kematian dalam al-qur’an: perspektif ibn kathĪr
Post on 09-Apr-2022
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Abdul Basit
NIM. 108034000018
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H./2014 M.
KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh:
Abdul Basit
NIM. 108034000018
Pembimbing:
Dr. M. Suryadinata, MA
NIP. 19600908 198903 1 005
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H./2014 M.
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Agustus 2014
Abdul Basit
ii
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah diuji pada Sidang Terbuka pada:
Hari, tanggal : Kamis, 21 Agustus 2014
Pukul : 14. 00-15.30 WIB
Pembimbing : Dr. M. Suryadinata, MA
Ketua Sidang : Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
Sekretaris : Jauhar Azizy, MA
Tim Penguji : 1. Dr. Abd. Moqsith, MA
2. Jauhar Azizy, MA
iii
PERSETUJUAN PARA PENGUJI
Skripsi berjudul “KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF IBN
KATHĪR” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 21 Agustus 2014. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada
Program Studi Tafsir-Hadis.
Jakarta, 01 Oktober 2014
Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Jauhar Azizy, MA
NIP. 19711003 199903 2 001 NIP. 19820821 200801 1 012
Anggota,
Penguji I Penguji II
Dr. Abd. Moqsith, MA Jauhar Azizy, MA
NIP. 19710607200501 1 002 NIP. 19820821 200801 1 012
Pembimbing,
Dr. M. Suryadinata, MA
NIP. 19600908 198903 1 005
iv
ABSTRAK
Abdul Basit, “Kematin dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir Ibn Kathīr”.
Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.
Kematian adalah keluarnya atau terpisahnya ruh dari jasad. Di
dalam kehidupan makhluk yang bernafas pastilah akan bertemu dengan
yang namanya kematian. Akan tetapi sepertinya banyak yang seakan-akan
tidak peduli dengan kematian.
Kematian bagi manusia sebagai makhluk yang berfikir dianggap
sesuatu hal yang menakutkan dan menyeramkan. Karena manusia berfikir
bahwa kalau sudah menemui ajal atau kematian pastilah semua
kesenangan dan semua hal-hal yang mengenakan di dunia akan
ditinggalkan, pemikiran yang seprti itu adalah merupakan pemikiran bagi
manusia yang tidak percaya dengan keimanan ataupun ketaqwaan dan juga
manusia yang hanya mementingkan kepentingan duniawi.
Di zaman ini banyak sekali manusia yang tidak memikirkan mati
sesudah hidup, Karena godaan kehidupan dunia, seperti pergaulan/tata
cara berpakaian/kedudukan/pangkat/jabatan dan uang, padahal semua
orang akan mengalami kematian cepat ataupun lambat ini hanya masalah
waktu saja. Supaya untuk meraih kematian yang khusnul khatimah kita
harus selalu mengingat mati dengan cara melakukan amal kebaikan.
Mengingat Kematian tidak berarti bahwa kita tidak boleh bekerja untuk
memenuhi keperluan hidup di dunia, tetapi dalam mencari
harta/pergaulan/tata cara berpakaian/mencari jabatan, tidak melakukan
perbuatan yang haramkan oleh Allah.
Dalam menyusun Skripsi ini penulis memfokuskan/memakai
dengan motode argumentasi dan juga menggunakan penelitian
Kepustakaan (Library Research). Buku rujukan yang paling utama adalah
Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm Karya Ibn Kathīr dan juga sebagai buku yang
membantu yaitu Tesis, Majalah, Web dan dari artikel. Skripsi ini
diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan, khususnya mengenai kematian. Selain itu skripsi ini
diharapkan mampu meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan manusia
sehingga dengan keimanan dan ketakwaan tersebut manusia mampu
menghadapi kematian dengan khusnul khatimah.
v
KATA PENGANTAR
Alḥamdulillāh Rabb al-Ālamin
Allahumma Ṣalli ‘alā Muḥammad wa ‘alā Āli Muḥammad
Dengan penuh kesadaran diri dan segala kerendahan hati, bahwa Allah-lah
pemilik kesempurnaan, dan saya hanya manusia biasa yang penuh akan
kekhilafan yang mencoba untuk memahami setiap perintah-Nya.
Segala puji dan syukur kepada Allah, Sang Pencipta, karena Dialah saya
ada di dunia ini, dan karena Dialah saya selalu bersemangat dalam hidup.
Shalawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad saw, yang telah
mengajarkan suatu kebenaran yang telah beliau jalankan, dan terbukti akan
kehebatan Allah swt.
Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan
karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan
skripsi ini, alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-Nya dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ungkapan
rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.
vi
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis.
Bapak Jauhar Azizy, MA., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.
4. Dr. M. Suryadinata, MA., mencakup juga sebagai dosen pembimbing
skripsi atas bimbingan dan arahannya dalam proses penyelesaian skripsi
ini.
5. Bapak Dr. Abd. Moqsith, MA., dan Jauhar Azizy, MA., selaku dosen
penguji atas arahan perbaikan skripsi.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan didikasinya
mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta pengarahan
kepada penulis selama masa perkuliahan.
7. Kepada Ayahanda saya (Alm) H. Abdul Karim bin H. Abdul Hamid
Hasyim, Ibunda saya Hj.Choiriyah binti KH. Abdurrahim Shofa, Ayah
angkat saya Bapak Endang bin H. Atmaja, Umi angkat saya Umi Nunung
binti H. Elang yang tak henti mendo’akan saya, mendidik saya, sampai
saya dapat berpijak pada diri saya sendiri.
8. Segenap pimpinan dan karyawan perpustakaan. Yang telah melayani
penulis dalam mempergunakan buku-buku dan literatur yang penulis
butuhkan selama penyusunan skripsi ini.
9. Tak lupa pula kepada segenap karyawan Perpustakaan Utama,
Perpustakaan FUF UIN, Perpustakaan Umum Iman Jama, Perpustakaan
Umum PSQ, Perpustakaan Pascasarjana UIN dan Perpustakaan LIPI.
10. Kepada Abang dan Kakak saya yang telah memberikan motivasi dan
dorongan semangat kepada saya.
vii
11. Kepada Saudara-saudara saya yang tidak dapat saya sebutkan namanya
satu persatu, yang telah membantu saya dalam penulisan skripsi ini dan
telah memberikan pemikirannya serta masukannya dan atau kritikannya
dalam penulisan skripsi ini.
12. Seluruh keluarga besar Tafsir Hadis angkatan 2008 yang selalu
memberikan warna-warni indahnya persahabatan.
13. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses
penyelesaian skripsi ini, namun tidak luput untuk penulis sebutkan, tanpa
mengurangi rasa terimakasih penulis.
Harapan penulis semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi
para pembaca dan semoga Allah swt selalu memberkahi dan membalas semua
kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian skripsi ini.
Āmīn yā Rabb al-Ālamīn.
Ciputat, 20 September 2014
Abdul Basit
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
gh ═ غ r ═ ر ’ ═ ء
f ═ ف z ═ ز b ═ ب
q ═ ق s ═ س t ═ ت
k ═ ك sh ═ ش th ═ ث
l ═ ل ṣ ═ ص j ═ ج
m ═ م ḍ ═ ض ḥ ═ ح
n ═ ن ṭ ═ ط kh ═ خ
w ═ و ẓ ═ ظ d ═ د
h ═ ة/ه (ayn) ‘ ═ ع dh ═ ذ
y ═ ي
B. Vokal dan Diftong
Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong
═ a ا— ═ ā ى ═ ī
═ i ى— ═ á وو ═ aw
═ u و— ═ ū يو ═ ay
C. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ال (alif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya
al-dhimmah. Kata sandang (الذمة) al-āthār dan (الآثار) ,al-jizyah (الجزية)
ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.
ix
2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya al-
muwaṭṭaʽ.
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis
sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................
TIM PENGUJI SKRIPSI .....................................................................................
PERSETUJUAN PARA PENGUJI .....................................................................
ABSTRAK ..............................................................................................................
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ...........................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................................
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................
D. Metode Penelitian .................................................................................
1. Metode Pengumpulan Data..............................................................
2. Metode Pembahasan ........................................................................
3. Teknik Penulisan .............................................................................
E. Tinjauan Pustaka ..................................................................................
F. Sistematika Penulisan ...........................................................................
BAB II TEMA-TEMA KEMATIAN DALAM AYAT AL-QUR’AN ...............
A. Ketentuan yang Pasti QS. 4: 78, dan QS. 23: 15 ..................................
B. Tiap-tiap Umat Mempunyai Ajal yang Pasti QS. 7: 34, QS. 10: 49,
QS. 15: 5, QS. 16: 61, QS. 17: 58, dan QS. 35: 45 ..............................
i
ii
iii
iv
v
viii
x
1
1
6
7
7
7
8
8
9
11
13
13
19
xi
C. Sesaat Menjelang Mati QS. 50: 19, dan QS. 56: 83-87 ........................
D. Cobaan-cobaan QS. 67: 2 .....................................................................
BAB III PENGERTIAN DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG
KEMATIAN .....................................................................................
A. Makna Kematian ..................................................................................
1. Pengertian Kematian Menurut Kebahasaan .....................................
2. Sebab Perubahan Keadaan pada Saat Kematian ..............................
B. Tanda-tanda Kematian ..........................................................................
C. Cara Menghadapi Kematian dengan Bertobat ......................................
BAB IV KEMATIAN MENURUT IBN KATHĪR .............................................
A. Kematian dalam Pandangan Ibn Kathīr ................................................
B. Ayat-ayat Kematian ..............................................................................
1. QS. al-Nisa’ [4]: 78 .........................................................................
2. QS. Ali ‘Imran [3]: 185 ...................................................................
3. QS. Ali ‘Imran [3]: 156-158 ............................................................
4. QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8 .................................................................
BAB V PENUTUP .................................................................................................
A. Kesimpulan ...........................................................................................
B. Saran-saran ...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
27
30
31
31
31
37
39
43
47
47
48
48
59
65
68
73
73
73
75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai kematian bukanlah suatu hal yang mudah karena di
samping pengetahuan manusia tentang hal tersebut sangat terbatas. Hidup dan
menghembuskan nafas itu adalah satu hakikat yang sulit dibantah dan hampir
tidak diperdebatkan oleh manusia.1
Sedangkan manusia terkadang tidak sadar setelah tidak menghembuskan
nafas, akan mengalami suatu proses yaitu kematian, yang mana proses itu
terkadang tidak diperhatikan oleh sekalian manusia dan terkadang bahkan
dilupakan.2
Sebagai seorang Muslim yang beriman, mereka harus percaya akan adanya
kematian yang selalu setia menunggunya. Banyak orang yang beranggapan bahwa
kematian hanyalah sebatas kelenyapan semata dan tidak ada hari kebangkitan
(pembalasan amal) setelahnya. Seperti halnya kaum Humanis di Barat, mereka
tidak percaya bahwa setelah kematian akan ada pembalasan atas amal kebaikan
dan kejahatan.3 Bagi mereka, kematian sama halnya dengan matinya hewan atau
keringnya dedaunan maupun tanaman. Mereka meyakini kematian pasti datang
menjemput, tetapi tidak mempercayai akan kehidupan selanjutnya yaitu akhirat.
Begitu besar perhatian al-Qur‟an dalam menerangkan fenomena kematian.
Sebagaimana tercatat, bahwa al-Qur‟an berbicara tentang kematian kurang lebih
1 M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT
(Tanggerang: Lentera Hati, 2005) h. 18 2 M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT, h. 19
3 Qomaruddin SF. dalam Alwi Shihab, Zikir Sufi-Menghampiri Ilahi dengan Tasawuf,
(Jakarta: Serambi, 2003), h. 145.
2
sebanyak 300 ayat. disamping itu pula ada juga hadis Nabi saw. baik yang shahih
maupun dhaif.4 Salah satu hadis Nabi yang penulis paparkan tentang kematian
adalah:
ا ال ك ل ما ا ك اكا نك ل ك سا ك ك م كاام ك ا نك ل ك ا ك ل ال ك ي س
“Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja
untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. al-Tirmidhī)5
Dengan adanya skripsi yang sederhana ini, penulis akan mencoba
membahas beberapa ayat al-Qur‟an yang memiliki hubungan erat tentang perihal
kematian. Di antara beberapa surat dan ayat yang akan penulis bahas tentang
tema-tema kematian adalah: QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan
156-158; QS. al-Jumu‟ah [62]: 5-8.
Kematian sebuah kata yang sederhana tetapi mengandung banyak makna
yang sangat dalam. Di dalam kehidupan makhluk yang bernyawa pastilah akan
bertemu dengan yang namanya kematian. Akan tetapi sepertinya mereka banyak
yang seakan-akan tidak peduli (tidak mau berfikir untuk mempersiapkan diri)
bertemu dengan kematian. Bagi sebagian manusia menganggap seolah-olah
kematian merupakan sesuatu hal yang menakutkan dan menyeramkan. Karena
manusia berfikir bahwa jika sudah menemui ajal atau kematian pastilah semua
kesenangan dan semua hal-hal yang meng-enakkan di dunia akan ditinggalkan.
Pemikiran yang seperti itu adalah merupakan pemikiran bagi manusia yang
memiliki keimanan dan ketaqwaan yang sangat tipis dan juga manusia yang hanya
mementingkan kehidupan duniawi semata. Akan tetapi akan berbeda bagi
4 M. Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Mizan: Bandung, 2007), h.
5 Muḥammad bin „Isā Abū „Isā Tirmidhī Salimī, Jāmi‟ al-Ṣaḥīḥ Sunan Tirmidhī, juz 9,
nomor 2647, (Beirut: tth), h. 337
3
manusia yang berfikir dengan kesadaran dan keimanannya, pastilah mereka akan
selalu memikirkan dan memaknai arti sebuah kematian dengan segala upaya
untuk bisa mengambil pelajaran dan mempersiapkannya secara lebih matang dan
mendalam.
Melalui proses kematian, manusia di-ingatkan akan keberadaannya di
alam dunia ini. Ternyata jika direnungkan, kehidupan ini hanyalah sebatas
persinggahan. Dikatakan persinggahan karena waktu kesempatan hidup yang
tersedia untuk mereka hanya sementara. Tiap-tiap manusia tidak akan pernah tahu
kapan-kah waktu kesempatan hidup ini akan berakhir. Tidak ada satu pun manusia
di alam dunia ini yang dapat hidup kekal abadi. Karena yang hidup kekal abadi
hanyalah Allah swt, dan semua yang bernama makhluk apapun itu pasti akan
rusak binasa (menghadapi kematian).6
Penulis menganalisa bahwa orang yang terjerumus ke dalam kesibukan di
dunia, yang terpedaya oleh kemewahan dunia, dan yang lebih menyukai
kenikmatan yang diperoleh dengan perantaraan dunia pasti hatinya tidak ingat
akan kematian. Yang dapat disimpulkan bahwa dikodratkan dalam penciptaan di
dunia untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah swt.
Jika ada seseorang yang membahas kepada mereka mengenai kematian
kemudian dia benci dan berpaling dari kematian dan bertambah jauhlah dari Allah
swt jika dia diingatkan kematian, maka dia akan menjadi orang yang celaka.
Biasanya orang tersebut akan berbuat yang sewenang-wenangnya dengan kata lain
mempunyai sifat-sifat yang tidak terpuji.
6 Imām al-Qurṭubī, Al-Tadhkirah fī Aḥwal al-Mauta wa „Umur al-Akhirah, (Beirut
Lebanon: Dār el-Marefah, 1996) h. 14.
4
Adapun di antara orang-orang yang baik ialah bagi orang yang selalu
mengingat kematian, sebab dengan mengingat mati orang tersebut di arahkan
untuk selalu mengerjakan perbuatan yang terpuji dan menjauhi perkara yang
tercela atau menyebabkan murka Allah swt.7
Sebagaimana penulis mengambil salah satu ayat kematian dari
pembahasan skripsi ini yaitu firman Allah swt dalam QS. al-Nisā‟ [4]: 78.
Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh” (QS. al-Nisā‟
[4]: 78)
Seluruh manusia yang memegang teguh ajaran agama Islam diperintahkan
untuk senantiasa ingat kepada kematian agar mempersiapkan bekal untuk hidup
setelah mati semaksimal mungkin. Karena kematian itu pasti akan mendatangi
makhluk yang bernyawa sekalipun mereka bersembunyi di tempat yang kokoh
tetap akan diterobos oleh mati.
kematian merupakan kejadian yang sangat berat dan paling menakutkan
serta mengerikan. Padahal kematian itu pasti akan dialami oleh setiap makhluk
yang bernyawa. Apabila kematian sudah dikatakan suatu peristiwa yang paling
menakutkan serta akan dialami oleh setiap manusia. Maka melupakan mati atau
tidak pernah ingat mati sekalipun, dikatakan orang yang sangat bodoh dan
merupakan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sama sekali.
Seseorang yang tidak pernah mengingat mati sedang dia pasti akan
mengalaminya, berarti ia akan menempuh kejadian yang hebat secara membabi
7 Imām al-Qurṭubī, Al-Tadhkirah fī Aḥwal al-Mauta wa „Umur al-Akhirah, h. 15.
5
buta. Ibarat orang yang berpergian jauh disuatu daerah yang tidak pernah
dipelajari sebelumnya dan tidak pernah dipikir sebelumnya dalam keadaan yang
gelap gulita pula. Maka sudah pasti dia tidak akan dapat melangkah atau berjalan
ke alam yang gelap gulita itu dan dia pasti akan mempunyai perasaan yang gentar,
takut, bingung, dan tidak tahu jalan apa yang harus dilakukan.
Allah menghendaki kebaikan pada seseorang kalau orang itu sendiri suka
berbuat baik, sehingga orang itu senantiasa terpelihara dalam kebaikan sampai
akhir hayatnya dan meninggal dengan cara khusnul khatimah. Sebaliknya Allah
menghendaki seseorang berbuat keburukan dan kejahatan kalau orang itu sendiri
suka berbuat buruk. Sehingga dia terus menerus berbuat buruk sampai akhir
hayatnya dan meninggal dengan cara su‛ul khatimah.
Makhluk-Nya tidak hanya manusia saja melainkan malaikat yang baik
yang diperintahkan oleh Allah untuk dilaksanakannya dan segala perbuatan
mereka juga akan merasakan kematian. Semua mahluk-Nya tidak akan kekal di
dunia ini kecuali Allah semata.
Dengan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, penulis
mencoba untuk mengkaji “Kematian dalam Al-Qur’an: Perspektif Ibn Kathīr”
Hal ini merupakan sebuah kekaguman penulis kepada seorang tokoh ahli tafsir
yaitu Ibn Kathīr8 sebagai al-Ḥafiẓ, al-Muḥaddīth, al-Faqih, al-Mu‟arrikh, al-
8 Nama lengkap Ibn Kathīr adalah Ismāil bin „Amr al-Quraisy bin Kathīr al-Baṣrī al-
Dimashqī „Imad al-Dīn Abul Fidā al-Ḥafiẓ al-Muḥaddīth al-Shāfi‟ī. Ia terkenal dengan panggilan
Ibn Kathīr „Imad al-Dīn al-Fidā‟. Ibn Kathīr lahir di Bashra tahun 700 H/1300 M dan meninggal
pada hari kamis 26 Sya‟ban tahun 774 H/1373 M di Damaskus, beberapa tahun setelah menulis. Ia
dikuburkan di pemakaman sufi di samping makam Gurunya Ibn Taimīyah berdasarkan wasiatnya.
Lihat „Umar Riḍā Kabalah, Mu‟jam al-Mu‟allifīn (Beirut, Maktabah al-Mutsannā Dār Iḥyā al-
Turāth al-„Arābī, 1376 H/ 1957 M). jilid I, h. 283-284 dan Ibn Kathīr, al-Bidāyah Wa al-Nihayah
(Beirut Libanon, Dār al-Kutūb al-„Ilmīyah). Jilid I, h. 2.
Karya monumental Ibn Kathīr adalah:
6
Mufassīr dan juga dari terjemahan Kitab Tafsīr Ibn Kathīr dapat di pahami dari
penafsiran ayat al-Qur‟an yang jelas dan mudah dimengerti.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini terarah maka penulis membatasi ayat-
ayat tentang kematian dalam skripsi ini dari sudut pandang kitab tafsir terjemahan
al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Imām Ibn Kathīr.
Dalam al-Qur‟an terdapat beberapa surat dan ayat yang membahas tentang
tema-tema kematian antara lain QS. al-Baqarah [2]: 94, 95, 96, 110, 223, 243 dan
281; QS. Āli „Imrān [3]: 156-158 dan 185; QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. al-An‟ām
[6]: 47; QS. al-A‟rāf [7]: 185; QS. al-Ḥijr [15]: 99; QS. al-Naḥl [16]: 70; QS. al-
Kahfī [18]: 7; QS. al-Anbiyā‟ [21]: 34 dan 35; QS. al-Mu‟minūn [23]: 15 dan 99;
QS. al-Qaṣaṣ [28]: 88; QS. al-Ankabūt [29]: 57; QS. al-Aḥzāb [33]: 16; QS. al-
Zumar [39]: 30; QS. Qāf [50]: 19; QS. al-Raḥmān [55]: 26; QS. al-Ḥashr [59]: 18;
QS. al-Jumu‛ah [62]: 5-8; QS. al-Munāfiqūn [63]: 10; QS. Nūḥ [71]: 4 dan 18;
QS. al-Muddaththīr [74]: 47; QS. al-Qiyāmah [75]: 26, 27, 28, 29 dan 30; QS.
„Abasa [80]: 21; QS. al-Takāthur [102]: 2.
Dari beberapa ayat di atas yang membahas tentang tema-tema kematian
penulis hanya membatasi dari beberapa ayat yang mengangkat tema-tema
kematian dalam al-Qur‟an yaitu QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan
156-158; QS. al-Jumu‟ah [62]: 5-8.
a. Al-Bidayah wa al-Nihayah, dalam bidang sejarah, merupakan rujukan terpenting bagi
para sejarawan, sebanyak 14 jilid.
b. Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm yang lebih dikenal dengan nama Tafsīr Ibn Kathīr,
pengaruhnya sangat besar dan sampai sekarang kitab tafsir ini masih banyak
digunakan sebagai rujukan. Tafsir ini masuk dalam kategori bi al-ma‟tsur. Menurut
Al-Zhahabi tidak memiliki corak.
7
Dalam skripsi ini penulis dapat menetapkan dengan mengajukan
pertanyaan yaitu:
- Bagaimana penafsiran Ibn Kathīr terhadap ayat-ayat kematian?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui sejauh mana al-Qur‟an membicarakan tentang kematian
yang di firmankan Allah swt dan ditafsirkan oleh Ibn Kathīr.
2. Mengetahui penafsiran yang diberikan oleh Ibn Kathīr terhadap ayat-
ayat yang berkaitan dengan kematian secara umum dan menjelaskan
tentang makna kematian, cara mati, tanda-tanda kematian serta cara
menghadapi kematian.
3. Dalam rangka memenuhi syarat-syarat kelulusan dan memperoleh
gelar Sarjana Theologi Islam dari Fakultas Ushuluddin khususnya
jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengadakan penelitian kepustakaan
(Library Research) dalam rangka penggalian data dengan membaca dan meneliti
(literatur) bahan-bahan yang telah tertulis.
8
Adapun sumber primer penulis merujuk pada kitab tafsir al-Qur‟ān al-
Aẓīm karya Imām Ibn Kathīr,9 dan juga sumber sekunder penulis merujuk Lubāb
al-Tafsīr min Ibn Kathīr karya „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān
bin Isḥāq Āl al-Sheikh,10
Taisir al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣarī Tafsīr Ibn Kathīr karya
Muḥammad Nasib al-Rifā‟i,11
Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr karya Ibn Kathīr12
merujuk kepada buku-buku yang berkaitan dengan topik kematian dan sumber
informasi lainnya.
2. Metode Pembahasan
Bahan-bahan tersebut yang berkaitan dengan penulisan dalam skripsi ini
diseleksi dan diklasifikasi sesuai dengan pokok bahasannya. Karena itulah,
pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode Argumentatif.
Metode argumentatif digunakan untuk mendapatkan sebuah gagasan yang
dikemukakan oleh Ibn Kathīr dalam kitab terjemahan tafsir al-Qur‟ān al-Aẓīm
sehingga nantinya pembahasan akan menjadi jelas dan terarah.
3. Teknik Penulisan
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada buku “Pedoman
Akademik Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2008 untuk Skripsi, Tesis dan Disertasi.
9 Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj.
Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000) 10
„Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-
Tafsīr min Ibn Kathīr,, terj. Abdul Ghaffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi‟i, 2001) 11
Muḥammad Nasib al-Rifā‟i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, terj,
Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir (Bandung: Gema Insani Press, 1999) 12
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,
Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994).
9
E. Tinjauan Pustaka
Dari penelusuran yang penulis lakukan, terdapat beberapa karya-karya
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Di antara karya tersebut adalah:
Skripsi; Umar Ubaidillah dengan judul “Pengisahan Nabi Yusuf dalam al-
Qur‟an dan Injil (Analisis Perbandingan Tafsir Ibn Kathīr dan Cerita-cerita al-
Kitab)”, ia menjelaskan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam kisah
Yusuf baik dalam tafsir Ibn Kathīr dan cerita-cerita al-Kitab. Di antara
persamaannya adalah kedua kitab menjelaskan mimpi Nabi Yusuf. Namun
perbedaannya dalam cerita-cerita menjelaskan Nabi Ya‟qūb tidak melarang
menceritakan mimpinya pada saudaranya sedangkan dalam tafsir Ibn Kathīr Nabi
Ya‟qūb melarang.
Persamaan lainnya, kedua kitab ini mengisahkan pelemparan Yūsuf ke
dalam sumur. Namun, berbeda dalam penutupan sumur setelah Yūsuf
dilemparkan. Tafsir Ibn Kathīr mengisahkan bahwa sumur tidak ditutup dengan
batu, sedangkan dalam cerita-cerita al-Kitab sumur tersebut ditutup dengan batu.
Alur pengisahan Nabi Yūsuf dalam kitab Injil lebih panjang dari pada di dalam
kitab al-Qur‟an. Karena dalam injil /cerita-cerita al-Kitab, kisah nabi Yūsuf ini
merupakan bagian dari sebuah sejarah. Sedangkan dalam al-Qur‟an kisah Nabi
Yūsuf tidak menjadi bagian dari hubungan sejarah yang berkelanjutan.13
Skripsi; Haromain dengan judul “Kiamat dalam Kajian Imam Ibn Kathīr
(Kajian Tematik Ayat-ayat Kiamiat dalam Kitab Tafsir al-Qur‟ān al-„Aẓīm)”,
dalam skripsi ini, ia menjelaskan bagaimana Ibn Kathīr ketika menjelaskan ayat-
13
Umar Ubaidillah, “Pengisahan Nabi Yusuf dalam al-Qur‟an dan Injil (Analisis
Perbandingan Tafsir Ibn Kathīr dan Cerita-cerita al-Kitab)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2013).
10
ayat tentang kiamat. Ibn Kathīr menjelaskan proses terjadinya hari kiamat dengan
beragumentasi hadis, karena tafsir karyanya merupakan kitab tafsir dengan
sumber al-Qur‟an dan Hadis dalam menafsirkan beberapa ayat.14
Skripsi; Irfan Abdurrahmat dengan judul “Penggambaran Malaikat dalam
al-Qur‟an (Studi Perbandingan antara Penafsiran Ibn Kathīr dan Hamka)”, ia
menjelaskan tentang hakikat malaikat penafsiran Ibn Kathīr adalah hamba Allah
yang sangat dimulyakan di sisi-Nya yang menempati kedudukan yang tinggi serta
memiliki tingkat kemuliaan yang luhur. Sedangkan menurut Hamka, malaikat
adalah hamba-hamba Allah yang bertambah tinggi perhambaannya, bertambah
pula kemuliaannya, dan selalu setia melaksanakan perintah. Kemulian ini dilihat
dari penugasan malaikan oleh Allah sebagai duta-duta istimewa dalam
memelihara dan mengatur wahyu.15
Skripsi; Mohamad Yasir dengan judul “Kualitas Hadis dalam Tafsir Ibn
Kathīr: Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis dalam Surat Yasin”, ia menemukan
hadis pertama, kedua dan keempat tidak memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad,
hanya hadis yang ketiga yang memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad. Dari segi
matan ia menemukan hadis ketiga yang memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad dan
ia menyimpulkan bahwa hadis ini berkualitas shahih karena telah memenuhi
kriteria ke-shahih-an matan.16
14
Haromain, “Kiamat dalam Kajian Imam Ibn Kathīr (Kajian Tematik Ayat-ayat Kiamiat
dalam Kitab Tafsir al-Qur‟an al-Azim)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatulah Jakarta, 2009). 15
Irfan Abdurrahmat, “Penggambaran Malaikat dalam al-Qur‟an (Studi Perbandingan
antara Penafsiran Ibn Kathīr dan Hamka)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatulah Jakarta, 2011). 16
Mohamad Yasir, “Kualitas Hadis dalam Tafsir Ibn Kathīr; Studi Kritik Sanad dan
Matan Hadis dalam Surat Yasin” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatulah Jakarta, 2010).
11
Tesis; Zarkasi dengan judul “Al-Maut dalam al-Qur‟an Kajian Tafsir
Tematik”, ia mengkaji al-maut dalam perspektif al-Qur‟an. Menurutnya
penciptaan al-maut dan ketetapan bagi makhluk adalah dalil yang jelas tentang
ketauhidan Allah dalam uluhiyyah dan rububiyyah-Nya. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa perbedaan antara khaliq dan makhluq adalah kematian. Oleh karenanya
makhluk tidak lazim menuhankan jiwa yang tertimpa kematian.17
Dari data yang penulis lacak, mungkin masih banyak lagi tulisan akademis
yang belum penulis ketahui, namun ternyat yang membahas tentang kematian
dalam penafsiran Ibn Kathīr secara khusus belum ada.
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan dalam melakukan penelitian kepustakaan (library
research) ini, dalam
Dalam BAB I berisi pendahuluan yang dimulai dengan menjelaskan istilah-
istilah kunci yang termuat dalam judul skripsi ini. Selanjutnya membahas latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan,
metodelogi penelitian, tinjauan kepustakaan dan sistematika penulisan. Dengan
harapan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai latar belakang
penulisan hingga manfaat penelitian kepustakaan dalam al-Qur‟an perspektif Ibn
Kathīr.
Dalam BAB II ini menjelaskan Tema-tema Kematian dalam Ayat al-
Qur‟an. Pembahasannya tentang ketentuan yang pasti, tiap-tiap umat mempunyai
ajal yang pasti, sesaat menjelang mati, dan cobaan-cobaan.
17
Zarkasi, “Al-Maut dalam al-Qur‟an Kajian Tafsir Tematik” ( Tesis Tafsir Hadis
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
12
Dalam BAB III ini menjelaskan Pengertian dan Pendapat Ulama tentang
Kematian. Pembahasannya mengacu pada makna kematian dilihat dari pengertian
secara kebahasaan, sebab perubahan keadaan pada saat kematian, tanda-tanda
kematian, dan cara menghadapi kematian dengan bertobat.
Dalam BAB IV merupakan bagian inti dari penelitian skripsi ini. Yaitu
menjelaskan Kematian menurut Ibn Kathīr. Adapun yang akan dijelasan tentang
pandangan kematian menurut Ibn Kathīr dan penafsirannya.
Dalam BAB V adalah bab terakhir yang berisi kesimpulan-kesimpulan dari
hasil penelitian yang penulis lakukan dan ditambah juga dengan saran-saran yang
ditujukan untuk para pembaca skripsi ini.
13
BAB II
TEMA-TEMA KEMATIAN DALAM AYAT AL-QUR’AN
Pada bab ini, penulis mengambil beberapa surat dan ayat tentang tema-
tema kematian yang dijadikan pembahasan, kemudian menguraikannya dengan
penafsiran Ibn Kathīr dan mufassir lain. Surat dan ayat yang akan dibahas yaitu
QS. al-Nisā‟ [4]: 78, QS. al-Mu‟minūn [23]: 15, QS. al-A‟rāf [7]: 34, QS. Yūnus
[10]: 49, QS. al-Ḥijr [15]: 5, QS. al-Naḥl [16]: 61, QS. al-Isrā‟ [17]: 58, QS. Fāṭir
[35]: 45, QS. Qāf [50]: 19, QS. al-Wāqi‟ah [56]: 83, 84, 85, 86 dan 87, QS. al-
Mulk [67]: 2.
A. Ketentuan Yang Pasti
1. (QS. al-Nisā’ [4]: 78)1
Ibn Kathīr menafsirkan maksud dari QS. al-Nisā‟ [4]: 78 yaitu kalian pasti
akan mati, dan tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dari maut, adalah
sama maknanya dengan yang disebutkan di dalam ayat lain yaitu QS. al-Raḥmān
[55]: 26, QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan QS. al-Anbiyā [21]: 34, maknanya yaitu
setiap orang pasti akan mati.
1 (QS. al-Nisā‟ [4]: 78)
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di
dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan,1 mereka
mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana
mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah:
"Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)
Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan1 sedikitpun”? (QS. al-Nisā‟ [4]: 78)
14
Tiada sesuatu pun yang dapat menyelamatkan dia dari kematian, baik dia
ikut dalam berjihad ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur
manusia itu ada batasnya dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta
kedudukan yang telah ditetapkan baginya.2 Sayyid Quṭb menjelaskan dalam
karyanya Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur‟ān, kematian menurutnya adalah suatu kepastian
yang sudah ditentukan waktunya, dan tidak ada hubungannya dengan
perlindungan tempat yang dapat melindungi seseorang atau tidak dapat
melindungi. Kalau demikian, kematian juga tidak dapat ditunda dengan
ditundanya tugas perang, dan tidak dapat pula dimajukan dengan dimajukkanya
tugas jihad sebelum waktunya.3
Kematian dan peperangan adalah dua urusan yang berbeda, dan tidak ada
hubungan di antara keduanya. Hubungan yang ada hanyalah antara kematian dan
ajal (umur), antara waktu yang ditakdirkan Allah dan habisnya waktu itu. Selain
itu, tidak ada hubungan lain. Oleh karena itu, tidak ada artinya manusia
menginginkan diundurkannya kewajiban perang, dan tidak ada artinya takut
kepada manusia baik dalam peperangan maupun di luar peperangan.
Dengan sentuhan kedua ini, manhaj Qur‟ani mengobati semua lintasan
yang melintas dalam pikiran mengenai urusan itu, dan mengobati semua
ketakutan dan kegentaran yang ditimbulkan oleh pandangan yang tidak mantap.4
Menurut pendapat lain yang dimaksud lafaz dari بروج ialah bintang-
bintang yang ada di langit. Pendapat ini disampaikan Ibn Kathīr, tetapi lemah.
2 „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr
min Ibn Kathīr, terj. Abdul Ghaffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi‟i, 2001), cet. 1, h. 356. 3 Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, terj. As‟ad Yasin, et. all., (Jakarta: Gema Insani,
2008), juz IV, h. 31. 4 Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz IV, h. 32.
15
Pendapat yang shahih ialah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya
adalah benteng yang kuat. Dengan kata lain, tiada guna sikap waspada dan
berlindung di tempat yang kokoh dari ancaman maut.
Menurut pendapat ulama lain yang di sampaikan oleh Ibn Kathīr yaitu
kemakmuran dan rezeki yang berlimpah berupa buah-buahan, hasil pertanian dan
lain-lainnya. Yang merupakan musim paceklik (kekurangan), kekeringan, dan
rezeki yang kering, atau tertimpa kematian anak atau tidak mempunyai
penghasilan atau lain-lainnya yang merupakan bencana.
Yang dimaksud dengan kata حسنة dalam QS. al-Nisā‟ ayat 78 yaitu
kemakmuran dan kesuburan yang membuat ternak mereka berkembang biak
dengan pesatnya. Begitu juga dengan kuda mereka dan keadaan mereka yang
menjadi membaik serta istri-istri mereka yang melahirkan anak-anaknya.5
Kata سيئة dalam QS. al-Nisā‟ ayat 78 menjelaskan yaitu tentang kekeringan
dan bencana yang menimpa harta mereka. Maksud dari semuanya yaitu adalah
atas ketetapan dan takdir Allah, Dia melakukan keputusan-Nya terhadap semua
orang baik terhadap orang yang bertakwa maupun terhadap orang yang durhaka,
dan orang mukmin maupun terhadap orang kafir tanpa pandang bulu.6
Bahwa semua musibah yang datang terhadapnya berawal yang diberikan
semuanya dari Allah swt yaitu merupakan kebaikan atau keburukan. Kemudian
dari pada itu banyak yang mengingkari, mereka yang mengatakan demikian yang
5 „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr
min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357. 6 „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr
min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357.
16
timbul dari keraguan dan kebimbangan mereka serta minimnya pemahaman dan
ilmu mereka yang diliputi kebodohan dan aniaya.7
Sesungguhnya ayat di atas sudah sangat jelas maknanya namun demikian
penulis menarik kesimpulan dari QS. al-Nisā‟ 78 bahwa setiap makhluk yang
hidup di dunia ini mempunya batas umur yang ditentukan oleh Allah swt dan
tidak ada yang selamat dari genggaman maut. Baik makhluk itu bersembunyi
dalam benteng atau pun bersembunyi dari tempat yang sunyi yang terhindar dari
keramaian makhluk lainnya pasti maut itu akan menjemputnya.
2. (QS. Al-Mu’minūn [23]: 15)8
Pada penafsiran QS. al-Mu‟minūn [23]: 12-15, Ibn Kathīr menjelaskan
ayat yang menceritakan bagaimana manusia itu diciptakan yang berasal dari
saripati tanah yaitu Adam, namun keturunannya diciptakan dari air mani yang
tersimpan dalam tempat yang kokoh yang sudah bercampur dengan cairan seorang
wanita yaitu ovum.
7 „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr
min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357. 8 (QS. al-Mu‟minūn [23]: 12-15)
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan
Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. (QS.
al-Mu‟minūn [23]: 12-15)
17
Setelah melewati suatu masa tertentu dijadikan air mani itu segumpal
darah, kemudian dari segumpal darah itu menjadi segumpal daging dan dari
segumpal daging itu terciptalah tulang belulang yang berbentuk kepala tangan dan
kaki, kemudian dibungkusnya tulang-tulang itu dengan daging, otot dan urat-urat,
maka terciptalah suatu makhluk yang berbentuk lain dan Allah meniupkan roh
terhadapnya. Kemudian Allah memberikan sarana berupa pendengaran,
penglihatan, penciuman, suara, pikiran dan gerak, sehingga lengkaplah ia menjadi
manusia yang utuh, sempurna sebagai makhluk Allah yang pilihan dan termulia.
Kemudian kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain, janin yang lahir
dari perut ibunya sebagai bayi tumbuh menjadi balita kemudian balita itu menjadi
remaja lalu menjadi manusia lanjut usia dan akan sampai akhir dari kehidupan
yaitu kematian. Itulah penjelasan sebuah perjalanan dari kehidupan yang berawal
dari saripati tanah yaitu proses penciptaan lalu kembali lagi kepada tanah yaitu
kematian.9 Menurut Sayyid Quṭb, kematian adalah akhir dari kehidupan dunia.
Dan, kehidupan di alam barzah merupakan jembatan antara dunia dan akhirat.
Dengan demikian, ia hanya merupakan fase dari kehidupan, bukan akhir dari
kehidupan itu. Kemudian kebangkitan merupakan fase akhir dari pertumbuhan itu.
Setelah itu dimulailah kehidupan sempurna yang bersih dari segala kekurangan
hidup duniawi, dan dari kebutuhan akan daging dan darah, dari rasa takut dan
gelisah, dan dari perubahan dan pertumbuhan. Karena, ia merupakan fase puncak
kesempurnaan yang telah ditentukan atas manusia.
9 Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,
Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994), h. 400-401.
18
Hal itu akan terjadi hanya bagi orang yang menempuh jalan yang
sempurna. Jalan yang telah digambarkan oleh paragraf pertama dari surat ini,
yaitu jalan orang-orang yang beriman. Sedangkan, orang-orang yang terjerumus
dalam fase kehidupan dunia ke tingkat binatang, maka dia dalam kehidupan
akhirat akan terjerumus sedalam-dalamnya. Maka, hancurlah kemanusiaannya dan
menjadi bahan bahan neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Dan,
manusia yang seperti ini sama persis dengan batu.10
Dalam al-Qur‟an QS. al-Mu‟minūn [23]: 15 penulis tidak mendapati
penjelasan yang panjang lebar. Penulis berkesimpulan bahwa antara QS. al-
Mu‟minūn [23]: 15 dengan ayat sebelumnya memiliki pertalian yang saling
berkaitan.
Oleh karena itu, penulis mencoba menarik kesimpulan dari al-Qur‟an QS.
al-Mu‟minūn [23]: 15 yang menyatakan proses terjadinya manusia dari awal
diciptakan, proses pembentukan tulang, daging dan saraf sehingga menjadikan
satu makhluk yang sempurna dalam bentuk yang beraneka ragam perbedaan.
Kemudian manusia tersebut menjadikan dewasa dan akhirnya manusia juga akan
menghadapi suatu kematian. Itulah perjalanan kehidupan yang berawal dari
saripati tanah lalu kembali kepada tanah lagi.
10
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XVIII, h. 167.
19
B. Tiap-tiap Umat Mempunyai Ajal yang Pasti
1. (QS. Al-A’rāf [7]: 34)11
Ibn Kathīr menjelaskan QS. al-A‟rāf [7]: 34 yakni bagi tiap-tiap kurun dan
generasi terdapat batasan waktu yang telah ditakdirkan bagi mereka. Kemudian
Allah swt memperingatkan kepada umat manusia bahwa Dia akan mengutus
Rasul-rasul-Nya kepada mereka yang akan membacakan atau mengabarkan
kepada mereka ayat-ayat-Nya, membawa berita gembira dan peringatan.12
Berbeda pandangan Sayyid Quṭb dalam penjelasan QS. al-A‟rāf [7]: 34 adalah
sebuah hakikat yang mendasar dari hakikat-hakikat akidah ini, yang disampaikan
ke senar hati yang lalai – yang tidak mau ingat dan bersyukur – supaya sadar,
sehingga tidak teperdaya oleh lamanya kehidupan.
Apa yang dimaksud dengan ajal di sini boleh jadi ajal tiap-tiap generasi
manusia yang berupa kematian yang memutuskan kehidupan sebagaimana yang
terkenal itu, dan boleh jadi ajal setiap umat dalam arti masa tertenut kekuatan dan
kekuasaannya di muka bumi. Baik yang ini maupun yang itu, semuanya sudah
ditentukan waktunya. Mereka tidak dapat memajukannya dan memundurkannya.13
Kesimpulan dari QS. al-A‟rāf [7]: 34 setiap manusia atau makhluk
lainnya mempunyai keterbatasan waktu untuk hidupnya yang berbeda dan itu
pasti akan terjadi. Lalu Allah mengutus para Rasul-rasulnya untuk
11
(QS. Al-A‟rāf [7]: 34)
“tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka
tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”
(QS. Al-A‟rāf [7]: 34) 12
Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj.
Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), h. 296-297. 13
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz VIII, h. 308.
20
memberitahukan dan mengabarkan ayat-ayat Allah yang diturunkan untuk hamba-
Nya dalam hal berupa kabar gembira maupun suatu peringatan.
2. (QS. Yūnus [10]: 49)14
Sebelum ayat 49 dalam QS. Yūnus penulis akan membahas ayat
sebelumnya terlebih dahulu, yakni dari ayat 48 yang menggambarkan tentang
sikap orang-orang kafir dan musyrik yang bertanya-tanya bila datangnya siksaan
Allah yang telah dijanjikan di dalam al-Qur‟an. Kemudian berlanjut ke ayat 49
bahwa Allah swt menyuruh Rasul-Nya dan Rasul-Nya menjawab, “Aku tidak
berdaya mendatangkan mudharat bagi diri aku sendiri, dan aku tidak mengetahui
selain apa yang telah diberitahukan oleh Allah kepada para Nabi. Aku hanya
hamba-Nya dan Rasul-Nya dan aku telah memberitahukan kepada manusia bahwa
hari kiamat itu pasti akan tiba, namun Allah tidak mengungkapkan kepada para
Nabi saatnya dan harinya yang pasti. Akan tetapi Allah telah menentukan dan
menetapkan ajal bagi tiap umat yang tidak dapat dilampauinya atau
dimajukannya.15
Sayyid Quṭb menjelaskan ajal itu kadang-kadang berakhir dengan
kehancuran secara indrawi, seperti dibabat habisnya sebagian umat terdahulu. Ajal
14
(QS. Yūnus [10]: 49)
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula)
kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". tiap-tiap umat
mempunyai ajal. apabila telah datang ajal mereka, Maka mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (QS. Yūnus
[10]: 49) 15
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,
Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 220-221.
21
kadang-kadang berakhir dengan kehancuran secara maknawi, mengalami
kerusakan dan hilang dari peredaran, seperti yang terjadi pada beberapa bangsa.
Mungkin untuk sementara waktu kemudian kembali lagi, dan mungkin dalam
kondisi seperti itu secara terus-menerus sehingga hilang pamornya dan hilang pula
wujudnya sebagai umat (bangsa), meskipun pribadi-pribadinya masih ada.
Semua itu terjadi sesuai dengan sunnah Allah yang tidak akan pernah
berganti, tidak akan berbenturan, tidak serampangan, tidak zalim, dan tidak pilih
kasih. Maka, bangsa-bangsa yang melakukan hal-hal yang menjadikan mereka
hidup (eksis), niscaya mereka akan eksis. Namun, bangsa yang menyimpang dari
sebab-sebab itu, niscaya mereka aka menjadi lemah, lenyap (pamornya), atau
mati, sesuai dengan penyimpangannya.16
Kesimpulan dari QS. Yūnus [10]: 49 Allah swt mengutus seorang Rasul
untuk menyampaikan kabar gembira atau suatu peringatan dari ayat-ayat Allah
yang di turunkan untuk hamba-Nya. Lalu Rasul tidak kuasa mengabarkan dari
ayat-ayat Allah yang berupa kapan waktu yang pasti terjadinya kiamat dan kapan
makhluk yang ada di dunia ini akan mengalami kematian itu.
3. (QS. al-Hijr [15]: 5)17
Bahwa Allah tidak membinasakan suatu kota dengan penduduknya
melainkan sesudah cukup alasan yang menjadikan mereka patut mendapatkan
azab dan sesudah pula usai masa yang telah ditetapkan bagi kebinasaan mereka.
16
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XI, h. 136. 17
(QS. al-Hijr [15]: 5)
“Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat
mengundurkan (Nya).” (QS. al-Hijr [15]: 5)
22
Tidaklah suatu umat dapat mendahului masa binasanya atau menangguhkannya ke
suatu masa yang lain. Ayat ini merupakan peringatan yang keras kepada orang-
orang Quraisy agar mereka menghentikan syirik mereka yang akan menyebabkan
kebinasaan dan kehancuran mereka.18
Maka, janganlah (meminta) kemunduran
siksa untuk mereka pada suatu saat. Karena, hal itu adalah sunnatullah yang
berlaku pada jalannya yang ditentukan, dan mereka pasti akan mengetahuinya.
Demikianlah kitab ketentuan masa yang ditetapkan dan ajal yang
ditentukan, yang diberikan Allah bagi negeri-negeri dan bangsa-bangsa, agar
mereka berkarya. Atas dasar karya dan perbuatannya, mereka tetap ingat tempat
kembali mereka. Jika bangsa-bangsa dan negeri itu beriman dan berbuat baik,
melakukan perbaikan dan menegakkan keadilan, niscaya Allah akan
memanjangkan usia (kejayaan) bangsa dan negeri itu, sampai ia menyimpang dari
asas-asas tersebut dan tak ada lagi kebaikan yang diharapkan. Saat itulah sampai
ajalnya, hilang eksistensinya, kemungkinan binasa sebinasa-binasanya atau
melemah secara bertahap.19
Kesimpulan dari QS. al-Hijr [15]: 5 bahwa Allah swt tidak akan
memberikan suatu azab di dunia ini melainkan orang-orang yang berbuat syirik
ataupun kezhaliman yang sudah melampaui batas yang dapat diampuni oleh
Allah.
18
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,
Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 510-511. 19
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XIV, h. 124.
23
4. (QS. al-Naḥl [16]: 61)20
Dalam firman-Nya ini, Ibn Kathīr menjelaskan sifat-sifat kasih sayang-
Nya terhadap hamba-hamba-Nya walaupun mereka telah melakukan kezhaliman
dan penganiayaan.21
Allah swt masih memberikan kesempatan agar mereka
kembali ke jalan yang benar, dengan menangguhkan pembalasan-Nya dan azab
siksa-Nya.
Karena jika Allah hendak menjatuhkan hukuman-Nya yang setimpal
dengan perbuatan hamba-hamba-Nya yang durhaka itu, niscaya binasalah semua
yang ada di atas bumi ini dan tidak ditinggalkan sesuatu makhluk pun, akan tetapi
bila waktu yang ditentukan tiba, maka tiada suatu kekuatan pun yang dapat
mengundurkannya barang sesaat pun atau mendahulukannya.22
Pandangan Sayyid
Quṭb bahwa Allah telah menciptakan mahkluk bernama manusia dan
melimpahkan untuknya berbagai nikmat-Nya. Tetapi, manusia sendiri yang
berbuat kerusakan dan berbuat zalim di muka bumi, menyimpang dari ajaran
Allah dan menyekutuhkan-Nya, mereka saling menindas dan berbuat aniaya
kepada makhluk lainnya. Sekalipun demikian, Akkah tetap berlaku arif dan kasih
20
(QS. al-Naḥl [16]: 61)
“Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan
ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah
menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba
waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya
barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. al-Naḥl [16]: 61) 21
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,
Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 572. 22
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,
Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 573.
24
sayang kepadanya. Dia menangguhkan siksa atasnya, tetapi Dia tidak
membiarkannya.
Inilah sifat kebijaksanaan beriring dengan sifat kuat, dan sifat kasih sayang
bersanding dengan sifat adil. Tetapi, sayang dan kebijaksaan Allah, sehingga
Allah menyiksa manusia atas dasar keadailan dan kekuatan-Nya. Yaitu, sesudah
waktu yang ditentukan oleh Allah dengan kebijaksaan dan kasih sayang-Nya itu
tiba, “Maka, apabila telah tiba waktu yang ditentuak bagi mereka, maka tidaklah
mereka dapat mengudurkannya barang sesaat pun dan tidak pula
mendahulukannya.23
Kesimpulan dari QS. al-Naḥl [16]: 61 walaupun hamba-Nya telah
melakukan kezhaliman yang sangat berat atau besar Allah akan tetap
memaafkannya karena Allah mempunyai sifat kasih sayangnya yang besar yang
melebihi kemurkaannya kepada hamba-Nya yang berbuat kesalahan.
5. (QS. al-Isrā’ [17]: 58)24
Dalam penafsiran QS. al-Isrā‟ [17]: 58, Ibn Kathīr menerangkan bahwa
ayat ini menjelaskan dan memperingatkan, bahwa Allah telah menentukan dan
menggariskan di dalam Lauḥ Maḥfūẓ-Nya.
23
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XIV, h. 191. 24
(QS. al-Isrā‟ [17]: 58)
“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami
membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab
yang sangat keras. yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS.
al-Isrā‟ [17]: 58)
25
Tiada suatu negeri yang penduduknya durhaka, melakukan kemaksiatan
dan kezhaliman, melainkan akan dibinasakan negeri itu dengan seluruh
penduduknya atau melimpahkan azab yang sangat keras atasnya,25
dan Allah juga
berfirman dalam QS. al-Ṭalāq [65]: 9.
“Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan
adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar.” (QS. al-Ṭalāq
[65]: 9)
Sayyid Quṭb juga memberi penjelasan bahwa sesungguhnya Allah semata
yang berkuasa mengatur nasib para hambanya. Jika Allah menghendaki, maa Dia
merahmati mereka; dan jika menghendaki lain, maka Dia mengazab mereka.
Sesungguhnya Tuhan-tuhan mereka yang mereka seru selain Allah itu tidak
memiliki kekuasaan untuk menghilangkan marabahaya dari mereka dan
memindahkannya kepada orang lain, selain mereka.
Sekarang rangkaian ayat-ayat dalam surat ini berlanjut kepada penjelasan
tentang nasib akhir yang akan dialami umat manusia seluruhnya, sebagaimana
yang telah ditakdirkan Allah dan sesuai dengan ilmu dan qadha-Nya. Yaitu,
berkahirnya negara-negara dan kehancurannya sebelum datangnya hari kiamat.
Atau, turun azab atas sebagian negeri-negeri itu jika ia melakukan dosa yang
menyebabkan turunya azab itu. Sehingga, tak ada satu negeri pun yang ada
kecuali akan menemui ajalnya, dengan sendirinya atau hancur karena turunnya
azab kepadanya.26
25
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,
Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 60. 26
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XV, h. 296.
26
Kesimpulan dari QS. al-Isrā‟ [17]: 58, surat ini menjelaskan kepada
hamba-Nya bahwa Allah swt sebelumnya sudah menentukan ketentuan-ketentuan
yang ada di dunia ini. Baik itu berupa musibah, bencana, kesenangan, kesedihan
dan ajal di dalam Lauḥ Maḥfūẓ-Nya.
6. (QS. Faṭir [35]: 45)27
Kalau Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya dan ulahnya, niscaya
binasalah semua manusia di permukaan bumi ini, akan tetapi Allah
menangguhkan penyiksaan mereka sampai waktu yang telah ditentukan, yaitu hari
kiamat yang mana mereka akan dihisab dan dibalas masing-masing menurut amal
perbuatannya selama hidup di dunia. Dan Allah Maha Mengetahui keadaan
hamba-hamba-Nya.28
Kesimpulan dari QS. al-Faṭir [35]: 45 jikalau Allah ingin mengazab
hamba-Nya di dunia entah itu dari perbuatan atau tingkah laku manusia yang
sudah melampaui batas, niscaya pasti akan binasa semua yang ada di muka bumi
ini. Tetapi Allah menunda azab tersebut sampai pada hari kiamat nanti yang mana
amal perbuatannya akan dihisab.
27
(QS. Faṭir [35]: 45)
“Dan kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak
akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun27
akan tetapi
Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila
datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-
hamba-Nya.” (QS. Faṭir [35]: 45) 28
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,
Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 394-395.
27
C. Sesaat Menjelang Mati
1. (QS. Qāf [50]: 19)29
Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu lari
darinya. Yang diajak oleh ayat ini adalah manusia, apakah dia seorang mukmin
ataukah seorang kafir. Ibn Kathīr menjelaskan bahwasanya manusia itu tidak
dapat melarikan diri dari kematian, ke mana pun dia akan berlari. Karena dia pasti
akan bertemu dengan kematian itu.30
Berbeda Sayyid Quṭb, kematian merupakan
sesuatu yang diupayakan manusia untuk dihindari atau dujauhkan dari benaknya.
Namun, bagaimana mungkin hal itu berhasil. Kematian senantiasa mencari. Ia
tiada bosannya mencari, tidak pernah terlambat melangkah, dan tidak
mengingkari janji. Sakratul maut bagaikan rombongan kafilah yang merambat di
seluruh persendian. Sementara itu, pemandangan terbentang dan manusia
mendengar, “Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.”31
Kematian mengguncangkan raganya, padahal sebelumnya dia berada
dalam alam kehidupan. Mengapa dikatakan demikian, padahal dia tengah
menghadapi sakaratul maut? Dalam hadis sahih ditegaskan bahwa setelah
Rasulullah sadar dari pingsan karena menghadapi sakaratul maut, beliau
mengusap keringat dari wajahnya seraya bersabda, “Sebhanallah! Kematian itu
memiliki beberapa hal yang memabukkan.” Beliau bersabda demikian, padahal
29
(QS. Qāf [50]: 19)
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari
daripadanya.” (QS. Qāf [50]: 19) 30
Muḥammad Nasib al-Rifā‟i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, terj,
Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir (Bandung: Gema Insani Press, 1999), h. 454-455. 31
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XXVI, h. 23.
28
dirinya memilih menjadi teman di kalangan malaikat yang tinggi dan merindukan
perjumaan dengan Allah. Lalu, bagaimana manusia selainnya?
Perhatikanlah kata al-ḥāqq pada ungkapa, “Dan datanglah sakaratul mau
yang sebenar-benarnya.” Kata itu mengisyaratkan bahwa diri manusia melihat
kebenaran yang utuh dalam sakaratul maut tanpa hijab. Dia memahami apa yang
semula tidak diketahuinya dan yang diingkarinya. Namun, pemahaman ini diraih
setelah hilangnya kesempatan, yaitu tatkala pengliahatan tidak berguna,
pemahaman tidak bermanfaat, tobat tidak diterima, dan keimanan tidak
dipertibangkan. Kebenaran itulah yang dahulu mereka dustakan, sehingga mereka
pun berakhir dalam perkara kacau-balau. Tatkala mereka memahami dan
membenarkannya, pemahaman itu tidak lagi berguna dan bermanfaat sedikit
pun.32
Kesimpulan dari QS. Qāf [50]: 19 penulis melihat adanya kesamaan
dengan kesimpulan QS. al-Nisā‟ ayat 78 bahwasanya manusia tidak akan mampu
melarikan diri dari kematian dan tidak akan dapat bersembunyi walaupun berada
di dalam benteng karena sesuai dengan firman-Nya bahwa setiap yang bernyawa
pasti akan mengalami kematian dan maut akan mendatangi mereka sesuai dengan
ketetapan dari-Nya.
32
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XXVI, h. 23-24.
29
2. (QS al-Wāqi’ah [56]: 83-87)33
Ibn Kahīr menafsirkan ayat di atas dengan munasabah ayat lain sebagaima
permasalahan yang menyangkut nyawa sudah sampai dikerongkongan yaitu
ketika sakaratul maut tiba, sebagaimana firman-Nya, “sekali-kali jangan. Apabila
nafas telah mendesak sampai ke kerongkongan dan dikatakan, „siapakah yang
dapat menyembuhkan.‟ Dan dia yakin itulah saat perpisahan dengan dunia. Dan
bertaut antara betis yang satu dan betis yang lain. Kepada Tuhanmulah pada hari
itu kamu dihalau. “(QS. al-Qiyāmah [75]: 26-30)” Selain ayat di atas Ibn Kathīr
juga menafsirkan ayat dengan permasalahan yang sama, hal ini bisa disebutkan
dalam firman Allah swt, “padahal kamu ketika itu melihat,” yaitu melihat
kehadiran malaikat maut dan apa yang dibawanya. “Dan kami lebih dekat
kepadanya dari pada kamu,” yaitu kami lebih dekat kepada para malaikat kami,
“tetapi kamu tidak melihat” mereka. Hal ini seperti firman-Nya, “sehingga apabila
datang kematian kepada salah satu seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh
malaikat-malaikat kami dan malaikat-malaikat kami itu tidaklah melalaikan
kewajibannya. (QS. al-An‟ām [6]: 61).
Dalam penafsiran Ibn Kathīr, bahwasanya orang yang sudah dalam
sakratul maut tidak ada satu pun yang dapat menyembuhkannya baik itu Nabi
33
(QS. al-Wāqi‟ah [56]: 83-87)
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, Padahal kamu ketika itu
melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat,
Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? kamu tidak mengembalikan nyawa
itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (QS. al-Wāqi‟ah
[56]: 83-87)
30
maupun Rasul. Mereka yang sedang merasakan sakratul maut itu bagaikan kulit
yang sedang diseseti, dan mereka yang sedang mengalami sakratul maut itu pasti
melihat malaikat maut tersebut.
D. Cobaan-cobaan
1. (QS. al-Mulk [67]: 2)34
Di dalam QS. al-Mulk [67]: 2 menjelaskan bahwa Allah swt berfirman
“Yang menjadikan mati dan hidup.” Ayat ini menjadi dalil bagi orang yang
beranggapan kematian itu adalah sesuatu yang wujud karena dia adalah makhluk.
Adapun maknanya adalah sesungguhnya Dialah yang telah mewujudkan semua
makhluk dari yang asalnya tidak ada dengan tujuan menguji mereka siapakah
diantara mereka yang paling bagus amalnya namun paling baik amalnya.35
Meskipun demikian Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang
bertaubat dan kembali kepada Allah setelah sebelumnya melakukan maksiat dan
durhaka kepada perintah Allah.
Kesimpulan dari QS. al-Mulk [67]: 2 yakni bahwa Allah Maha
Mengetahui segala-galanya yang mengetahui untuk apa manusia itu diciptakan
dan diturunkan ke muka bumi dengan tujuan memberikan ujian kepada mereka,
adakah diantara manusia yang paling bagus amalnya atau tidak, dan juga tujuan
hidup mereka di dunia ini yaitu untuk beribadah dan berbakti kepada Allah swt.
34
(QS. al-Mulk [67]: 2)
Artinya: “yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-
Mulk [67]: 2) 35
Muḥammad Nasib al-Rifā‟i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, h. 762.
31
BAB III
PENGERTIAN DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG KEMATIAN
A. Makna Kematian
1. Pengertian Kematian Menurut Kebahasaan
Sebelum menggali petunjuk al-Qur‟an tentang kematian, dan untuk
memahami makna kematian yang Allah telah tetapkan bagi makhluk-Nya,
diperlukan pemahaman tentang arti kematian menurut kebahasaan dalam
pandangan ulama.
Kehidupan dan kematian bertentangan seperti pertentangan cahaya dan
kegelapan, dingin dan panas. Karena itu kamus-kamus bahasa Arab
mendefiniskan salah satu dari keduanya dengan lawan kata bagi yang lain.
Pengertian al-maut atau mawatan atau muwat menurut bahasa Arab, berasal dari
kata مات يموت موتا yang berarti lawan kata dari hayat (hidup). Sedangkan menurut
al-Azharī dari al-Lathī; bahwa al-maut merupakan makhluk Allah swt. Sibawih
mengelompokkan al-maut ke dalam fi‟il mu‟tal yang aslinya adalah ووتم menurut مم
wazan لم يمفعل . فمعو1
Aḥmad Idrīs Ibn Zakariyyā mengartikan kata al-maut secara bahasa
sebagai “Hilangnya kekuatan dari sesuatu, dan hilang itu berarti mati; lawan
katanya adalah hidup (ḥayy). Ia mendasari pengertian ini kepada kandungan
makna sebuah hadis: “Siapa yang memakan (buah) dari kayu yang tidak baik ini,
1 Muḥammad Ibn Mukram Ibn Manẓūr al-Afriqī al-Miṣrī, Lisān al-„Arāb (Beirut: Dār
Ṣādir, tt), Jilid 6, h. 4294.
32
jangan dekati masjid kami. Jika dipaksa juga memakannya, maka kekuatannya
hendaknya dimatikan (dihilangkan).”2
Al-Jurjānī memberikan pengertian al-maut dalam ta‟rīfāt-nya dengan:
memaksa dan memalingkan hawa nafsu dari semua keinginannya, maka
barangsiapa yang mematikan hawa nafsunya maka sungguh ia telah hidup dengan
petunjuk Allah swt.3 Lebih lanjut al-maut dibagi menjadi 4 macam, sebagai
berikut:
a. Al-maut al-abyaḍ; adalah lapar, karena lapar menerangi batin dan
memutikan wajah hati, barangsiapa mati perutnya maka hidup
kecerdasannya.
b. Al-maut al-aḥmar; adalah memalingkan keinginan nafsu.
c. Al-maut al-aḥḍar; adalah berpakaian dengan baju tambalan yang tak
berharga, karena hidupnya penuh dengan sifat qana‟ah (merasa cukup
dengan apa yang dikaruniakan swt).
d. Al-maut al-aswad; sabar menghadapi perlakuan mahluk, dan lebur ke
dalam kekuasaan Allah swt karena menyaksikan siksaan darinya, dan
melihat leburnya af‟āl dalam af‟āl Kekasihnya Allah swt.4
Berbeda dari Muḥammad Ismā‟il Ibrāhīm, ia mengartikan kata al-maut
sebagai “terpisahnya kehidupan dari sesuatu, lalu menjadi mati. Bumi dapat
dikatakan mati jika sunyi dari kehidupan, sehingga ia menjadi vakum. Sementara
al-Asfahanī membagi arti mati secara bahasa menjadi limabagia, yakni: a)
2 Abū Ḥusain Aḥmad Ibn Faris Ibn Zakariyyā, Mu‟jam al-Muqāyīs fī al-Lughah (Beirut:
Dār al-Fikr, 1994), h. 968. 3 Muḥammad bin „Alī al-Jurjānī, Kitāb al-Ta‟rīfāt (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arābī, 1996),
cet. 3, h. 304. 4 Muḥammad bin „Alī al-Jurjānī, Kitāb al-Ta‟rīfāt, h. 304.
33
hilangnya kekuatan hidup pada makhluk (QS. al-Rūm [30]: 19,5 QS. Qāf [50]:
11);6 b) hilangnya kekuatan rasa (h issiyah), seperti ucapan Mariam ketika akan
melahirkan Nabi „Isā as: “Celakalah diriku, lebih baik aku mati sebelum ini” (QS.
Maryam [19]: 23);7 c) hilangnya kekuatan akal (bodoh), seperti QS. al-An‟ām [6]:
122);8 d) munculnya ketakutan yang menggerogoti hidup seperti bahaya kematian,
tetapi belum datang juga (QS. Ibrāhīm [14]: 17);9 e) tidur dalam (QS. al-Zumar
5 QS. al-Rūm [30]: 19
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. dan seperti Itulah kamu akan
dikeluarkan (dari kubur)” 6 QS. Qāf [50]: 11
“untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu
tanah yang mati (kering). seperti Itulah terjadinya kebangkitan.” 7 QS. Maryam [19]: 23
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon
kurma, Dia berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi
barang yang tidak berarti, lagi dilupakan".” 8 QS. al-An‟ām [6]: 122
“dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan
kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-
tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam
gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami
jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” 9 QS. Ibrāhīm [14]: 17
“diminumnnya air nanah itu dan hampir Dia tidak bisa menelannya dan datanglah
(bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi Dia tidak juga mati, dan
dihadapannya masih ada azab yang berat.”
34
[39]: 42).10
Khusus untuk kematian binatang, al-Qur‟an menggunakannya dengan
kata al-maitah QS. al-Mā‟idah [5]: 3.1112
Secara istilah, al-Qur‟an tidak mendefinisikan kata maut dalam arti
kematian secara biologis. Dari sudut ini kematian manusia tidak ada
perbedaannya dengan kematian makhluk lain. Jadi kata maut, sebagaimana
dikemukakan oleh al-Asfahanī, dikhususkan kepada manusia, karena dikaitkan
dengan kehidupan yang abadi di akhirat kelak. Menurutnya, kematian merupakan
akhir dari kehidupan di dunia dan merupakan tanda menuju kebahagiaan yang
10
QS. al-Zumar [39]: 42
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang
belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan
kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi
kaum yang berfikir.”
11
H. Abuddin Nata, et al., Ensklopedi al-Qur‟an (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997), h.
263. 12
QS. al-Mā‟idah [5]: 3
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi
nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.
pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab
itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
35
abadi. Mati berarti perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga
merupakan awal kehidupan yang baru bagi manusia. Manusia dalam
kehidupannya di dunia dan dalam kematiannya mirip dengan telur dan anak ayam.
Kesempurnaan wujud anak ayam meninggalkan tempatnya selama di dalam telur.
Demikian juga manusia, kesempurnaan hidupnya hanya dapat dicapai melalui
perpindahannya dari tempat ia hidup di dunia menuju kehidupan yang abadi di
akhirat, maka terlebih dahulu ia akan menempuh kematian.13
Sedangkan
pandangan Ibn Kathīr, kematian menurutnya adalah segala sesuatu yang ada di
bumi itu binasa dan zat yang kekal hanyalah Allah yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan.14
Sebagian lainya menyangka bahwa mati menyerang manusia dan mulai
dari kubur hingga saat dibangkitkan dari kubur tidak ada pahala atau siksa.
Sebagian lainnya berpendapat bahwa jiwa manusia tidak mati, pahala atau siksa
akan ditimpakan atas jiwa, bukannya atas raga, sehingga mereka mempunyai
pendapat bahwa kebangkitan fisik tidak akan terjadi nanti pada hari kiamat. Ini
semua adalah pendapat yang tak berdasar dan jauh dari kebenaran yaitu dari al-
Qur‟an dan Hadis.15
Kedua paragraf di atas sudah barang tentu dapat kita pahami sebagai
pendapatnya orang yang tidak beriman. Mengapa demikian? hal tersebut dapat
kita perhatikan dari pandangan mereka terhadap makna kematian itu sendiri.
Sesungguhnya makna kematian menurut ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits
adalah berpisahnya ruh dengan jasad untuk sementara waktu yang telah
13
H. Abuddin Nata, et al., Ensklopedi al-Qur‟an, h. 263. 14
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, Jilid 1, h. 628. 15
Imam al-Ghazali, Ihyā „Ulum al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 93.
36
ditentukan oleh Allah swt atau juga perubahan keadaan, bahwa ketika jiwa
terpisah dari raga, maka ia akan menerima pahala dan siksa, dan bahwa
terpisahnya nyawa dari badan berarti hilangnya kekuatan dan daya nyawa atas
badan.16
Hakikat mati bukan berarti ketiadaan semata-mata atau kehancuran
keseluruhan dan kehilangan sepenuhnya. Tetapi masih ada hubungannya selepas
itu. Sidi Gazalba17
menyatakan kematian ialah terhentinya jasmani berfungsi,
yakni nafas, jalan darah, gerak, fikiran, perasaan dan tenaga.
Mati berbeda dengan tidur, karena tidur adalah terputusnya roh sementara
dengan hubungan lahiriah, Allah berfirman:
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa
(orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa
(orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa
yang lain sampai waktu yang ditetapkan.18
Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berfikir.” (QS. al-Zumar [39]: 42)
Manusia menganggap kematian adalah sesuatu yang menakutkan. Namun,
keadaan sebenarnya mengenai kehidupan di alam barzakh hanya diketahui oleh
Allah sendiri. Kemudian Allah memberikan gambaran melalui nas al-Qur‟an dan
16
Imām al-Ghazālī, Iḥyā „Ulūm al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 94. 17
gus-aam.blogspot.com/2012/.../makna-kematian-menurut-sains-filosof.ht... diakses
pada hari selasa tanggal 28 januari 2014 18
Maksudnya: orang-orang yang mati itu rohnya ditahan Allah sehingga tidak dapat
kembali kepada tubuhnya; dan orang-orang yang tidak mati hanya tidur saja, rohnya dilepaskan
sehingga dapat kembali kepadanya lagi.
37
nabi menjabarkan kembali perkara yang masih kurang jelas dari ayat-ayat al-
Qur‟an yang menjadi hadis nabi. Manusia mulai diingatkan agar mempersiapkan
diri untuk menempuhnya dengan jalan memperbanyak amalan kebajikan dan
menjauhi kemungkaran agar terjamin keselamatannya kelak.19
2. Sebab Perubahan Keadaan pada Saat Kematian
Ada dua sebab sehingga perubahan keadaan ini terjadi.
Sebab pertama adalah bahwa seluruh anggota tubuh seorang manusia,
telinga, hidung, mata, lidah, dan sebagainya direnggut atau diambil dari jiwanya
pada saat ajal dan ia berpisah dari semua sanak-saudara dan sahabatnya, dan dari
semua harta benda yang dimilikinya. Jadi, ada rasa sedih, sakit, dan pedih pada
saat berpisah dengan semua yang dicintai dari dunia ini. Pada saat perpindahan ke
alam lain yang ia merasakan kesedihan, kesakitan, dan kepedihan berpisah dalam
bentuk yang lebih hebat. Dengan demikian, terdapat perubahan keadaan pada saat
seseorang mengalami kematian.
Sebab kedua adalah bahwa hakikat atau sifat hakiki dari segala sesutu
terungkap dan tersingkap kehadapan seseorang setelah ia mati, sehingga apapun
yang selama hidup di dunia ini tersembunyi darinya sebagaimana yang tidak
terungkap dan tersingkap bagi seseorang yang tidur, dapat terungkap dan
tersingkap saat ia tidak tidur. Saat ini, maksudnya ketika manusia hidup di dunia
ini, ia dapat diibaratkan seperti dalam keadaan tidur, dan ketika mati, mereka
diibaratkan seperti bangun dari tidurnya. Yang pertama-tama tampak dan
diperlihatkannya adalah amal perbuatannya. Jika di hadapannya sesuatu yang
19
http://evisyari.wordpress.com/2008/07/13/mati/
38
membawa mudharat baginya misalnya perbuatan dosa dan jika sesuatu di
hadapannya membawa manfaat misalnya perbuatan baik dan taat.20
Penjelasan dari kalimat tersebut di atas adalah selama masih hidup di
dunia semua amal perbuatan manusia yang baik ataupun buruk belum akan di
tampakkan kepadanya selama masih hidup. Kemudian baru akan ditampakkan
segala amal perbuatan tersebut ketika sedang mengalami sakaratul maut. Apabila
amal perbuatannya baik maka ketika sakaratul maut akan merasakan mudah dan
cepat. Sebaliknya, apabila amal perbuatannya buruk maka akan merasakan
kesulitan ketika sakaratul maut.
Kesibukan duniawi selama hidup di dunialah yang menyebabkan
seseorang tidak menyaksikan segala amal perbuatannya di dunia. Maka tatkala
kesibukan-kesibukan tersebut terhenti karena datangnya kematian, semua amal
perbuatan seseorang diperlihatkan ke-hadapannya. Allah swt berfirman:
"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai
penghisab terhadapmu". (QS. al-Isrā‟ 14)
Menurut pandangan penulis, makna dari penggalan ayat di atas adalah
bahwa semua amal perbuatan manusia akan ditampak-kan kepadanya pada saat
jiwanya terpisah dari tubuhnya sebelum dikuburkan. Rasa sakit dan pedih muncul
saat seseorang berpisah dari dunia yang selama ini begitu menyibuk-kan dan
menyenangkannya, yang pada hakikat sesungguhnya dalam kaca mata orang
beriman dunia ini adalah tempat yang fana. Pada saat itulah, yang diinginkan
20
Imām al-Ghazālī, Iḥyā „Ulūm al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 95.
39
sesungguhnya adalah perbekalan berupa kebaikan yang diperlukan guna
mengantarkannya ke tempat yang dicita-citakannya yang memberikan
kebahagiaan.
Dengan demikian dirinya terbebas dari rasa sakit dan pedih sebelum saat
kematiannya datang. Setelah seseorang dikuburkan, jiwanya dikembalikan pada
tubuhnya, sehingga ia dapat merasakan pedihnya hukuman dan nikmatnya pahala.
Kadang-kadang seseorang diampuni dari dosa dan kekhilafan yang dilakukannya
di dunia.21
B. Tanda-tanda Kematian
Tanda-tanda kematian menurut ulama adalah benar dan nyata, hanya
amalan dan ketakwaan seseorang saja yang akan dapat membedakan kepekaan
kita kepada tanda-tanda ini. Rasulullah saw diriwayatkan, masih mampu
memperlihatkan dan menceritakan kepada keluarga dan sahabat secara langsung
akan kesukaran menghadapi sakaratul maut dari awal hingga akhir hayat baginda.
Imām al-Ghazālī diriwayatkan memperolehi tanda-tanda ini sehingga
beliau mampu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi sakaratul maut secara
sendirian. Ia menyediakan dirinya segala persiapan termasuk mandinya, wudhu
serta kafannya, hanya ketika sampai bagian tubuh dan kepala saja ia telah
memanggil saudaranya yaitu Imām Aḥmad Ibn Ḥanbal untuk menyambung tugas
21
Imam al-Ghazali, Ihyā „Ulum al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 96.
40
tersebut. Ia wafat ketika Imām Aḥmad bersedia untuk mengkafankan bagian
mukanya.22
Adapun riwayat-riwayat ini memperlihatkan kepada seseorang
sesungguhnya Allah swt tidak pernah berlaku dhalim kepada hamba-Nya. Tanda-
tanda yag diberikan adalah untuk menjadikan umat Islam supaya dapat bertobat
dan selalu siap dalam perjalanan menghadap Allah swt.
Walau bagaimanapun, semua tanda-tanda ini akan berlaku kepada orang-
orang Islam saja, sedangkan orang-orang kafir yaitu orang yang menyekutukan
Allah, nyawa mereka ini akan dicabut tanpa peringatan sesuai dengan kekufuran
mereka kepada Allah swt.
Adapun tanda-tanda ini terdiri beberapa keadaan:
1. 100 hari sebelum hari kematian
Ini adalah tanda pertama dari Allah swt kepada hambanya dan hanya akan
disadari oleh mereka-mereka yang dikehendakinya. Walau bagaimanapun semua
orang Islam akan mendapat tanda ini, hanya apakah mereka sadar atau tidak saja.
Tanda ini akan berlaku lazimnya setelah waktu asar. Seluruh tubuh mulai
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki akan mengalami getaran seakan-akan
menggigil.
Contohnya sepeti gaging sapi atau kambing yang baru disembelih, di mana
jika diperhatikan dengan teliti akan mendapati daging tersebut seakan-akan
bergetar. Tanda ini rasanya nikmat, dan bagi mereka yang sadar dan berdetak di
22
Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 12 28
Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-
kematian.html
41
hatinya bahwa mungkin ini adalah tanda kematian maka getaran ini akan berhenti
dan hilang setelah sadar akan kehadiran tanda ini.
Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau mereka yang hanyut dengan
kenikmatan tanpa memikirkan soal kematian, tanda ini akan lenyap bagitu saja
tanpa ada manfaat. Bagi yang sadar dengan kehadiran tanda ini maka ini adalah
peluang terbaik untuk memanfaatkan masa yang ada untuk mempersiapkan diri
dengan amalan dan urusan yang akan dibawa atau ditinggalkan sesudah mati.23
2. 40 hari sebelum hari kematian
Tanda ini juga akan terjadi sesudah waktu asar. Bagian pusat seseorang
akan berdenyut-denyut atau berdetak-detak. Pada ketika ini daun yang tertulis
nama akan gugur dari pohon yang letaknya di atas arsyh Allah swt. Maka
malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan mulai membuat persediannya
ke atas antaranya adalah ia akan mulai mengikuti sepanjang waktu.
Akan terjadi malaikat maut ini akan memperlihatkan wajahnya sekilas dan
jika ini akan terjadi, mereka yang terpilih ini akan merasakan seakan-akan
bingung sekitika. Adapun malaikat maut ini wujudnya cuma seorang tetapi
kuasanya untuk mencabut nyawa adalah bersamaan dengan jumlah nyawa yang
akan dicabutnya.24
23
Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28
Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-
kematian.html 24
Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28
Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-
kematian.html
42
3. 7 hari sebelum kematian
Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan
musibah sakit di mana orang sakit yang tidak makan secara tiba-tiba dia berselera
untuk makan.25
4. 3 hari sebelum hari kematian
Pada masa ini akan terasa denyutan di bagian tengah dahi kita yaitu di
antara dahi kanan dan dahi kiri. Jika tanda ini dapat diketahui / dipahami maka
berkuasalah seseorang setelah itu supaya perut tidak mengandung banyak najis.
Dan ini akan memudahkan urusan orang yang akan memandikan orang mati
nanti.26
Ketika ini juga mata hitam seseorang tidak akan bersinar lagi dan bagi
orang yang sakit hidungnya akan perlahan-lahan turun. Dan ini dapat diketahui
jika seseorang melihatnya dari bagian sisi. Telinganya akan layu di mana bagian
ujungnya akan berangsur-angsur masuk ke dalam. Telapak kakinya yang terlunjur
akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar ditegakkan.27
25
Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28
Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-
kematian.html 26
Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28
Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-
kematian.html 27
Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28
Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-
kematian.html
43
5. 1 hari sebelum hari kematian
Akan berlaku sesudah waktu asar di mana seseorang akan merasakan satu
denyutan di sebelah belakang yaitu di bagian ubun-ubun di mana ini menandakan
tidak akan sempat untuk menemui waktu asar keesokan harinya.28
6. Tanda akhir
Akan berlaku keadaan di mana seseorang akan merasakan satu keadaan
dingin di bagian pusat dan akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke
bagian khalkum. Ketika ini hendaklah kita terus mengucap kalimat syahadat dan
berdiam diri dan menantikan kedatangan malaikat maut untuk menjemput
seseorang kembali kepada Allah swt yang telah menghidupkan dari sekarang akan
mematikan pula.29
C. Cara Menghadapi Kematian dengan Bertaubat
Tobat berasal dari kata taba-yatubu yang berarti kembali dari perbuatan
maksiat kepada Allah swt.30
Sedangkan dalam arti kata lain bermakna menyesal.31
Dari sekian kata tobat yang muncul dalam al-Qur‟an, pada pokoknya dirujukan
kepada dua kelompok. Pertama, tobat yang mengacu kepada arti tobat manusia
(meninggalkan perbuatan buruk). Kedua, kata tobat yang mengacu kepada arti
28
Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28
Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-
kematian.html 29
Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 12 28
Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-
kematian.html 30
Louis Makluf, al-Munjid fī al-Lughah Wa al-A‟lām, (Beirut: Dār al-Syuruq, 1987), cet
ke-34, h. 66 31
Atabik Ali dan Ahmad Zudhi Muhdlor, Kamus al-Ashri: Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum, 1996), cet ke-2, h. 379.
44
tobat Allah (Allah mengampuni dosa manusia).32
Sebagaimana dalam al-Qur‟an
menggambarkan,
“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah
mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu
(Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah
datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim.
mereka itu, balasannya Ialah: bahwasanya la'nat Allah ditimpakan
kepada mereka, (demikian pula) la'nat Para Malaikat dan manusia
seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari
mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang
yang taubat, sesudah (kafir) itu dan Mengadakan perbaikan. karena
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Āli-Imrān [3]: 86-89)
Kebanyakan ulama menjelaskan tobat dengan arti meninggalkan dosa
dalam segala bentuknya, menyesali dosa yang pernah dilakukan, dan bertekad
untuk tidak melakukan dosa lagi. Inilah pengertian tobat yang paling umum dan
sering dipakai di kalangan para ulama. Tetapi, dalam buku-buku yang
membicarakan masalah tasawuf, dikatakan bahwa tobat manusia tidak saja
32
Burhan Djamaluddin, konsepsi taubat: pintu pengampunan dosa besar, dosa syirik
masih terbuka, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1996), cet ke-1, h. 1.
45
terbatas pada kembali dari dosa kepada yang benar. Lebih dari itu, tobat adalah
kembali dari yang benar kepada yang lebih benar.33
Terlepas dari perbedaan pendapat dalam memberikan penjelasan dari
pengertian tobat secara umum. Rumusan tobat sebagaimana dipaparkan oleh para
ulama, berarti bahwa tobat akan datang dari pihak manusia. Itu pun terbatas pada
tobat manusia yang beriman kepada Allah dengan cara meninggalkan dosa dan
tobat manusia tidak beriman dengan cara meninggalkan kekafiran menuju
keimanan.
Jadi, pada dasarnya pembicaraan mengenai tobat adalah pembicaraan
mengenai pengampunan Allah atas dosa manusia, yaitu kepada siapa saja
pengampunan hanya diperuntukkan bagi orang mukmin yang bertobat dengan
cara meninggalkan dosa atau bagi orang yang kafir yang bertobat dengan cara
meninggalkan kekafiran.
Dalam buku lain disebutkan bahwa tobat adalah perasaan hati kecil yang
merupakan penyesalan atas segala yang telah terjadi, kemudian mengharapkan
ampunan Allah swt dengan menjauhi segala perbuatan dosa dan selalu berbuat
kebaikan. Dengan berbuat baik inilah tobat seseorang dan seluruh penyesalannya
akan diterima oleh Allah swt. Apabila bertobat hanya sekedar mengisi
kekosongan saja dan tidak mengerjakan apa yang diperintahkan Allah, maka dia
tidak dikatakan bertobat, terkecuali kalau dia benar-benar kembali kepada Allah
33
Burhan Djamaluddin, konsepsi taubat pintu pengampunan dosa besar, h. 3.
46
swt dan berusaha meninggalkan dari apa yang dilarang Allah dan menanamkan
makna tobat di dalam dirinya.34
34
Shaleh Ghanim as-Sadlani, Bagaimana Seharusnya Kita Bertobat, (Jakarta: Firdaus,
1992), h. 5-6.
47
BAB IV
KEMATIAN MENURUT IBN KATHĪR
Pada bab ini akan dijelaskan tentang kematian menurut pandangan Ibn
Kathīr dalam beberapa surat dan ayat yang yang dijadikan sampel terkait dengan
kematian, hanya saja pembahasannya kali ini berbeda dalam bab tiga. Surat dan
ayat yang akan dibahas yaitu QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan
156-158; QS. al-Jumu‟ah [62]: 5-8.
A. Kematian dalam Pandangan Ibn Kathīr
Ibn Kathīr menjelaskan pandangan tentang kematian, menurutnya
kematian adalah tidak seorang pun manusia yang selamat dari maut. Ibn Kathīr
menyebutkan perihalnya sama dengan yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu
firman-Nya: ا فا ػي -Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (QS. al“ مو
Raḥmān: 26). ت ”.Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati“ مو فس ذائقة اى
(QS. Āli „Imrān: 185). يل اىلي ا ؼيا ى “Kami tidak menjadikan hidup
abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu.”(QS. al-Anbiyā: 34).1
Pandangan Ibn Kathīr lain menjelaskan bahwa semua makhluk secara umum baik
manusia, hewan, jin, malaikat dan segalah sesuatu yang berjiwa pasti akan
merasakan mati. Hanya Allah sendirilah yang Hidup Kekal dan tidak mati. Hanya
Allah sematalah Yang Maha Esa lagi Maha perkasa Yang Kekal Abadi. Dengan
demikian, berarti Allah Yang Maha akhir, sebagaimana Dia Maha Pertama
1 Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj.
Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), juz 5, h. 322-323.
48
(Akhirnya Allah tidak ada kesudahannya dan Permulaan Allah tidak ada
awalnya).
B. Ayat-ayat Kematian
1. QS. al-Nisā’ [4]: 78
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika
mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi
Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan:
"Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya
(datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)
Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? (QS.al-Nisā‟
[4]: 78)
Ibn Kathīr menjelaskan bahwa kalian pasti akan mati, dan tiada seorang
pun dari kalian yang selamat dari maut. Dalam pembahasan ayat ini, Ibn Kathīr
menyebutkan perihalnya sama dengan yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu
firman-Nya: ا فا ػي -Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (QS. al“ مو
Raḥmān: 26). ت ”.Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati“ مو فس ذائقة اى
(QS. Āli „Imrān: 185). يل اىلي ا ؼيا ى “Kami tidak menjadikan hidup
abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu.”(QS. al-Anbiyā: 34).2
2 Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj.
Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), juz 5, h. 322-323.
49
Makna yang dimaksud ialah setiap orang pasti akan mati, tiada sesuatu
pun yang dapat menyelamatkan dia dari kematian, baik dia ikut dalam berjihad
ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur manusia itu ada batasnya
dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta kedudukan yang telah ditetapkan3
baginya. Seperti yang dikatakan oleh Khālid Ibn al-Walīd ketika menjelang
kematiannya di atas tempat tidurnya:
فاا م ا ت م ا ٬ىق ح ف أػضائ ئل ػض ا
ة اىل اا ٬ ؼة أ ث أػ ت ػي ف ا ف ا ا أا أ .
Sesungguhnya aku telah mengikuti perang anu dan perang anu, dan tiada
suatu anggota tubuhku melainkan padanya terdapat luka karena tusukan
atau lemparan panah. Tetapi sekarang aku mati di atas tempat tidurku,
semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur.
Ibn Kathīr menjalanjutkan penafsiran pada firman Allah swt.: ح ف م ى
ي , “kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” Yakni
benteng yang kuat, kokoh, lagi tinggi. Ia menyebutkan pendapat lain, yang
dimaksud dengan burūj ialah bintang-bintang yang ada di langit. Pendapat ini
dikatakan oleh al-Saddī, tetapi lemah. Pendapat yang sahih ialah yang mengatakan
bahwa yang dimaksud dengannya adalah benteng yang kuat. Dengan kata lain,
tiada gunanya sikap waspada dan berlindung di tempat yang kokoh dari ancaman
maut. Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair (Jahiliah), yaitu Zuhair Ibn
Abū Salmā:
اا ليي أ اا اىلي ا ى اا ي اا أ اا اى
Barang siapa yang takut terhadap penyebab kematian, niscaya dia akan
didapatkannya sekalipun dia naik ke langit yang tinggi dengan memakai
tangga.
3 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 323.
50
Kemudian menurut pendapat yang lain, al-mushayyadah sama artinya
dengan al-mashīdah. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: ص
ي “dan istana yang tinggi.” (QS. al-Ḥājj: 45). Menurut pendapat yang lainnya
lagi, di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu: Kalau dibaca al-mushayyadah4
dengan memakai tashdīd artinya yang ditinggikan, sedangkan kalau dibaca takhfīf
(tanpa tashdīd) artinya yang dibangun dengan memakai batu kapur.5
Ibn Kathīr menceritakan sebuah kisah. Ia mengutip pendapat Ibn Jarīr dan
Ibn Abū Ḥātim sehubungan dengan ayat ini mengetengahkan sebuah kisah
panjang dari Mujahid, bahwa zaman dahulu terdapat seorang wanita yang sedang
melahirkan, lalu si wanita itu memerintahkan kepada pelayannya untuk mencari
api.
Ketika si pelayan keluar, tiba-tiba ia bersua dengan seorang lelaki yang
sedang berdiri di depan pintu (entah dari mana datangnya). Lalu lelaki itu
bertanya, “Apakah wanita itu telah melahirkan bayinya?” Si pelayan menjawab,
“Ya, seorang bayi perempuan.” Selanjutnya lelaki itu berkata, “Ingatlah,
sesungguhnya bayi perempuan itu kalau sudah dewasa nanti akan berbuat zina
dengan seratus orang laki-laki, kemudian ia dikawini oleh pelayan si wanita itu,
dan kelak matinya disebabkan oleh laba-laba.”
Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa pelayan itu kemudian kembali ke
dalam rumah dan dengan serta-merta ia merobek perut si bayi dengan pisau
hingga menganga lebar, lalu ia pergi melarikan diri karena ia merasa yakin bahwa
bayi itu telah mati. Melihat hal itu ibu si bayi segera mengobati luka tersebut
4 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 324.
5 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325.
51
dengan menjahitnya. Lama-kelamaan luka si bayi sembuh dan ia tumbuh hingga
remaja. Setelah dewasa, ia menjadi wanita yang tercantik di kotanya.6
Sedangkan si pelayan yang kabur tadi pergi menjelajahi semua daerah, dan
akhirnya ia menjadi penyelam, lalu berhasil memperoleh harta yang berlimpah
(dari dalam laut). Dengan bekal harta itu ia menjadi orang yang paling kaya, lalu
ia kembali ke negerinya semula dan benuaksud untuk kawin. Untuk itu ia berkata
kepada seorang nenek, “Aku ingin kawin dengan wanita yang paling cantik di
kota ini.” Si nenek berkata, “Di kota ini tidak ada wanita yang lebih cantik dari si
Fulanah.” Ia berkata, “Kalau demikian pergilah kamu untuk melamarnya buatku.”
Si nenek akhirnya berangkat ke rumah wanita yang dimaksud, dan ternyata si
wanita itu menyetujui lamarannya.
Ketika akan menggaulinya, ia sangat terpesona dengan kecantikan istrinya
itu. Maka si istri itu bertanya kepadanya mengenai asal-usulnya. Lalu ia
menceritakan kepada istrinya semua yang pernah ia7 alami hingga menyangkut
masalah bayi perempuan tadi. Maka si istri menjawab, “Akulah bayi perempuan
itu,” lalu si istri memperlihatkan bekas robekan yang ada pada penitnya, hingga ia
percaya dengan bukti tersebut. Ia berkata, “Jika dulu engkau benar-benar bayi
tersebut, sesungguhnya ada seorang lelaki (barangkali malaikat) yang
memberitahukan kepadaku tentang dua perkara yang merupakan suatu keharusan
akan menimpamu. Salah satunya ialah bahwa engkau telah berbuat zina dengan
seratus orang laki-laki.” Si istri menjawab, “Memang aku telah berbuat itu, tetapi
aku lupa dengan berapa banyak lelaki aku melakukannya.” Si suami menjawab,
6 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325.
7 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325.
52
“Jumlah mereka adalah seratus orang laki-laki.” Si suami melanjutkan kisahnya,
“Hal yang kedua ialah engkau akan mati karena seekor laba-laba.” Karena si
suami sangat mencintai istrinya, maka ia membangunkan untuk si istri sebuah
gedung yang kokoh lagi tinggi untuk melindunginya dari penyebab tersebut.
Tetapi pada suatu hari ketika mereka sedang asyik masyuk, tiba-tiba ada seekor
laba-laba di atap rumah.
Lalu ia memperlihatkan laba-laba itu kepada istrinya. Maka si istri berkata,
“Inikah yang engkau takutkan akan menyerang diriku? Demi Allah, bahkan
akulah yang akan membunuhnya.”
Para pembantu menurunkan laba-laba itu dari atap ke bawah, kemudian si
istri dengan sengaja mendekatinya dan menginjaknya dengan jempol kakinya
hingga laba-laba itu mati seketika itu juga.
Akan tetapi, takdir Allah berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Ternyata
ada sebagian dari racun laba-laba itu yang masuk ke dalam kuku jari kakinya dan
terus menembus ke dagingnya, hingga kaki si wanita itu menjadi hitam dan
membusuk; hal tersebutlah yang mengantarkannya kepada kematian.8
Dalam pembahasan ini Ibn Kathīr mengetengahkan sebuah kisah tentang
Raja al-Ḥaḍar yang bernama Saṭīrun, ketika ia diserang oleh Raja Sabūr yang
mengepung bentengnya. Akhirnya Sabūr dapat membunuh semua orang yang ada
di dalam benteng sesudah mengepungnya selama dua tahun. Sehubungan dengan
kisah ini orang-orang Arab merekamnya ke dalam syair-syair mereka, yang antara
lain mengatakan:
8 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325-326.
53
اىلا ئذ د ـ ـية جل اى ا اىحض ئذ ا أخ مـ ذ ا ف ـا فييطي ي ميـ ا ييـ ا ا ـاد
لـ ف ا يل ػ ف اد اىـ ـ أ اى ج ى
Raja Al-Ḥaḍar, ketika membangun negerinya dan Sungai Tigris
dialirkannya menuju negerinya, begitu pula Sungai Khabūr, ia
membangun istananya dengan memakai batu marmar dan lantainya
memakai keramik yang indah lagi anggun.9 Di atas puncak istananya
yang tinggi itu banyak burung merpati bersarang. Tangan-tangan
kematian tidak ditakuti oleh benteng yang kokoh lagi tinggi itu. Akan
tetapi, si raja binasa dalam membela bentengnya yang kini menjadi
reruntuhan yang ditinggalkan.
Ketika „Alī masuk menemui „Uthmān, ia mengatakan, “Ya Allah,
persatukanlah umat Muhammad.” Kemudian „Alī mengucapkan syair berikut:
ـا ؼا ا ف اى د ذا ع ىؼـاد ى ا زا ت ل ق ػز أ اى
ؼا لا ا أج اىل اه ف غيق اىحص و اىحص ث أ
Aku melihat bahwa maut tidak menyisakan seorang yang perkasa pun, dan
tidak pernah memberikan perlindungan kepada pemberontak di negeri ini
dan kawasan ini. Penduduk benteng tinggal dengan aman, sedangkan
pintu benteng dalam keadaan tertutup kemegahan dan tingginya
menyamai bukit-bukit.
Ibn Hishām mengatakan bahwa Kisrā Sabūr —yang dijuluki Ẓū al-Aktāf—
yang membunuh Saṭīrun, Raja al-Ḥaḍar. Tetapi di lain kesempatan Ibn Hishām
mengatakan pida bahwa sesungguhnya orang yang membunuh Raja al-Ḥaḍar
adalah Sabūr Ibn Ardshīr Ibn Babik, generasi pertama Raja Banī Sasān; dia
pulalah yang mengalahkan raja-raja Ṭawāif dan mengembalikan kekuasaan
kepada kekaisarannya.
Adapun Sabūr yang dijuluki Ẓū al-Aktāf, dia bani muncul jauh sesudah itu.
Demikianlah menunit riwayat yang diketengahkan oleh al-Suhailī. Ibn Hishām
menceritakan bahwa Sabūr mengepung benteng Saṭīrun selama dua tahun.
9 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 327.
54
Peperangan itu terjadi karena Saṭīrunlah yang memulainya; Satimn menyerang
negeri Sabūr di saat Raja Sabūr sedang bepergian ke Irak.
Pada suatu hari putri Raja Saṭīrun bernama Nadirah naik ke atas benteng,
lalu ia melihat-lihat, dan pandangan matanya tertuju ke arah Raja Sabūr yang
memakai pakaian kebesaran yang terbuat dari kain sutra, di atas kepalanya
terdapat mahkota terbuat dari emas murni yang bertatahkan intan dan berbagai
macam batu permata yang amat langka.
Hati si putri terpikat, lalu ia menyusup menemuinya dan mengatakan
kepadanya, “Jika aku bukakan pintu benteng ini, maukah kamu memperistri
diriku?” Maka Raja Sabur menjawab, “Ya.”
Pada sore harinya Raja Saṭīrun minum khamr hingga mabuk, dan sudah
menjadi kebiasaannya bila hendak tidur ia mabuk terlebih dahulu. Maka putrinya
mengambil kunci pintu gerbang benteng dari bawah bantal ayahnya. Setelah itu
kunci tersebut ia kirimkan kepada Raja Sabūr melalui seorang bekas budaknya,
maka Raja Sabūr dapat membuka benteng tersebut.
Menurut riwayat yang lain, si putri menunjukkan kepada mereka sebuah
rajah yang berada di dalam benteng itu. Benteng tersebut tidak akan dapat dibuka
sebelum diambil seekor burung merpati abu-abu, lalu kedua kakinya dibasahi
dengan kotoran darah haid seorang gadis yang bermata biru, kemudian baru
dilepaskan terbang. Apabila burang merpati itu hinggap di atas tembok benteng,
maka tembok benteng itu akan runtuh dan terbukalah pintu gerbangnya.
Raja Sabūr melakukan hal tersebut. Setelah pintu gerbang benteng terbuka,
maka Sabūr membunuh Raja Saṭīrun dan berlaku sewenang-wenang kepada
55
penduduk benteng, lalu merusaknya hingga menjadi puing-puing. Kemudian ia
berangkat bersama putri tersebut yang telah ia kawini.10
Tersebutlah bahwa di suatu malam hari ketika si putri telah berada di atas
peraduannya, tiba-tiba ia gelisah, tidak dapat tidur.11
Hal ini membuat resah si
raja, lalu ia mengambil sebuah lilin dan memeriksa tempat tidur istrinya, ternyata
ia menjumpai selembar daun pohon as (yang pada zaman itu sebagai kertas).
Raja Sabūr berkata kepadanya, “Rupanya inilah yang menyebabkan kamu
tidak dapat tidur. Apakah yang telah dilakukan oleh ayahmu di masa lalu?” Ia
menjawab, “Dahulu ayahku menghamparkan kain sutra kasar buat permadaniku
dan memakaikan kepadaku kain sutra yang indah-indah, serta memberiku makan
sumsum dan memberiku minuman khamr.”
Al-Ṭabarī menceritakan bahwa dahulu ayah si putri memberinya makan
sumsum dan zubdah serta madu yang bermutu tinggi, dan memberinya minum
khamr. Al-Ṭabarī menceritakan pula, bahwa Raja Sabūr dapat melihat sumsum
betisnya (karena kecantikannya dan keindahan tubuhnya).
Raja Sabūr akhirnya berkata, “Ternyata jasa ayahmu itu dibalas olehmu
dengan air tuba, dan engkau pun pasd akan lebih cepat melakukan hal yang sama
terhadap diriku.”
Raja Sabūr akhirnya memerintahkan agar permaisurinya itu ditangkap, lalu
gelungan rambutnya diikatkan ke buntut kuda, kemudian kudanya dihardik untuk
lari sekencang-kencangnya, hingga matilah ia diseret kuda.
10
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 328. 11
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 328.
56
جص لة ا “dan jika mereka memperoleh kebaikan.” (QS. al-Nisā‟:
78). Yaitu kemakmuran dan rezeki yang berlimpah berupa buah-buahan, hasil
pertanian, banyak anak, dan lain-lainnya berupa rezeki. Demikianlah menurut
pendapat Ibn Abbās, Abū al-Aliyah, dan al-Saddī.12
ة ئ جص ػ ىا اذ mereka mengatakan, “Ini adalah dari sisi ,ق
Allah,” dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana. (QS. al-Nisā‟: 78). Berupa
paceklik, kekeringan, dan rezeki yang kering, atau tertimpa kematian anak atau
tidak mempunyai penghasilan atau lain-lainnya yang merupakan bencana.
Demikianlah menurut pendapat Abū al-Aliyah, dan al-Saddī.
ك ػ ىا اذ mereka mengatakan, “Ini (datangnya) dari sisi kamu ,ق
(Muhammad).” (QS. al-Nisā‟: 78). Yakni dari sisi kamu, disebabkan kami
mengikuti kamu dan memasuki agamamu. Seperti makna yang terkandung di
dalam firman-Nya yang menceritakan perihal kaum Fir‟aun, yaitu: اىحلة فاذا ااج
ؼ ي ا ي ة يطي جص ئ ا ىا Kemudian apabila datang kepada , اى
mereka kemakmuran, mereka berkata, "Ini adalah karena (usaha) kami." Dan jika
mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa
dan orang-orang yang mengikutinya. (QS. al-A‟rāf: 131). Juga semakna dengan
apa yang terkandung di dalam firman-Nya: ؼ ػي اىياا , Dan di
antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. (QS. al-
Ḥājj: 11), hingga akhir ayat. Demikian pula yang dikatakan oleh orang-orang
munafik, yaitu mereka yang masuk Islam lahiriahnya, sedangkan hati mereka
benci terhadap Islam. Karena itulah bila mereka tertimpa bencana, maka mereka
12
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 329.
57
kaitkan hal itu dengan penyebab karena mengikuti Nabi saw. Al-Saddī
mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: جص لة ا , “dan jika mereka
memperoleh kebaikan.” (QS. al-Nisā‟: 78).
Kemudian Ibn Kathīr menjelaskan kata al-ḥasanah ialah kemakmuran dan
kesuburan yang membuat ternak mereka berkembang biak dengan pesatnya—
begitu pula ternak kuda mereka— dan keadaan mereka menjadi membaik serta
istri-istri mereka melahirkan anak-anaknya.
ة ئ جص ػ ىا اذ mereka mengatakan, “Ini adalah dari sisi ,ق
Allah,” dan kalau mereka tertimpa sesuatu bencana. (QS. al-Nisā‟: 78). Yang
dimaksud dengan sayyi-ah ialah kekeringan (paceklik) dan bencana yang
menimpa harta mereka; maka mereka melemparkan kesialan itu kepada Nabi
Muhammad saw., lalu mereka mengatakan, “Ini gara-gara kamu.” Dengan kata
lain, mereka bermaksud bahwa karena kami meninggalkan agama kami dan
mengikuti Muhammad, akhirnya kami tertimpa bencana ini. Maka Allah swt.
menurunkan firman-Nya: ػ Katakanlah, “Semuanya (datang) dari , و مول
sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78)
Adapun firman Allah Swt.: ػ Katakanlah, “Semuanya , و مول
(datang) dari sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78). Maksudnya, semuanya itu adalah
atas ketetapan dan takdir Allah, Dia melakukan keputusan-Nya terhadap semua
orang, baik terhadap orang yang bertakwa maupun terhadap orang yang durhaka,
dan baik terhadap orang mukmin maupun terhadap orang kafir, tanpa pandang
bulu.13
13
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 331.
58
Ibn Kathīr merujuk sebuah riwayat „Alī Ibn Abū Ṭalḥah meriwayatkan
dari Ibn Abbās sehubungan dengan firman-Nya: ػ ,Katakanlah , و مول
“Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78). Yaitu kebaikan dan
keburukan itu semuanya dari Allah. Hal yang sama dikatakan oleh al-Ḥasan al-
Baṣrī. Kemudian Allah swt. berfirman, mengingkari mereka yang mengatakan
demikian yang timbul dari keraguan dan kebimbangan mereka, minimnya
pemahaman dan ibnu mereka yang diliputi dengan kebodohan dan aniaya, yaitu:
ثاا فق لناد اه اؤلا اىق Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) ,ف
hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun. (QS. al-Nisā‟: 78).
Sehubungan dengan firman-Nya: ػ Katakanlah, “Semuanya , و مول
(datang) dari sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78) terdapat sebuah hadis garib yang
diriwayatkan oleh al-Ḥāfiẓ Abū Bakr al-Bazzār. Telah menceritakan kepada kami
al-Sakan Ibn Sa„īd, telah menceritakan kepada kami „Umar Ibn Yūnus, telah
menceritakan kepada kami Ismā‟il Ibn Ḥammad, dari Muqāḍ Ibn Ḥayyān, dari
„Amr Ibn Shu‟aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan, “Ketika
kami sedang duduk di sisi Rasulullah saw., datanglah Abū Bakr bersama dua
kabilah, suara mereka kedengaran amat gaduh. Lalu Abū Bakr duduk di dekat
Nabi saw. dan „Umar pun duduk di dekat Abū Bakr. Maka Rasulullah saw.
bertanya, „Mengapa suara kamu berdua kedengaran gaduh?‟ Seorang lelaki
memberikan jawaban, „Wahai Rasulullah, Abū Bakr mengatakan bahwa semua
kebaikan dari Allah dan semua keburukan dari diri kita sendiri.‟14
Rasulullah saw.
14
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 332.
59
bersabda, „Lalu apakah yang kamu katakan, hai „Umar?‟ „Umar menjawab, „Aku
katakan bahwa semua kebaikan dan keburukan dari Allah.‟
Rasulullah saw. bersabda, „Sesungguhnya orang yang mula-mula
membicarakan masalah ini adalah Jibrīl dan Mikāil. Mikāil mengatakan hal yang
sama seperti apa yang dikatakan olehmu, hai Abū Bakr. Sedangkan Jibrīl
mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakan olehmu, hai „Umar.‟ Nabi
saw. melanjutkan kisahnya, „Penduduk langit pun berselisih pendapat
mengenainya. Jika penduduk langit berselisih, maka penduduk bumi pun
berselisih pula. Lalu keduanya mengajukan permasalahannya kepada Malaikat
Isrāfil. Maka Isrāfil memutuskan di antara mereka dengan keputusan bahwa
semua kebaikan dan semua keburukan berasal dari Allah.‟
Kemudian Rasulullah saw. berpaling ke arah Abū Bakr dan „Umar, lalu
bersabda, „Ingatlah keputusanku ini olehmu berdua. Seandainya Allah
berkehendak untuk tidak didurhakai, niscaya Dia tidak akan menciptakan iblis.‟
Shaikh al-Islām Taqīy al-Dīn Abū al-Abbās Ibn Taimiyah mengatakan bahwa
hadis ini mawḍū‟ lagi buatan, menurut kesepakatan ahli ma‟rifah (para ulama).15
2. QS. Āli ‘Imrān [3]: 185
15
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 333.
60
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada
hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan
dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah
beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.( QS. Āli „Imrān [3]: 185).
Pada surat ini, Ibn Kathīr menjelaskan bahwa Allah swt. memberitahukan
kepada semua makhluknya secara umum. bahwa setiap yang berjiwa pasti akan
merasakan mati. Perihalnya sama dengan firman Allah swt. yang mengatakan: مو
ا فا ػي , اام ا ل ذاىل ه ق “Semua yang ada di bumi itu akan binasa.
Tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. al-
Raḥmān [55]: 26-27).
Hanya Dia sendirilah yang Hidup Kekal dan tidak mati, sedangkan jin dan
manusia semuanya mati, begitu pula para malaikat umumnya dan para malaikat
pemangku Arasy. Hanya Allah sematalah Yang Maha Esa lagi Maha perkasa
Yang Kekal Abadi. Dengan demikian, berarti Allah Yang Maha akhir,
sebagaimana Dia Maha Pertama (Akhirnya Allah tidak ada kesudahannya dan
Permulaan Allah tidak ada awalnya).
Ayat ini merupakan belasungkawa kepada semua manusia, karena
sesungguhnya tidak ada seorang pun di muka bumi ini melainkan pasti mati.
Apabila masa telah habis dan nuṭfah yang telah ditakdirkan oleh Allah
keberadaannya dari sulbi Adam telah habis, serta semua makhluk habis, maka
Allah melakukan hari kiamat dan membalas semua makhluk sesuai dengan amal
perbuatannya masing-masing,16
yang besar, yang kecil, yang banyak, yang
sedikit.serta yang tua dan yang muda, semuanya mendapat balasannya. Tiada
seorang pun yang dianiaya barang sedikit pun dalam penerimaan pembalasannya.
16
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 339.
61
Karena itulah maka Allah Swt. berfirman: ة اىقا م أ في ا ج ئي , Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. (QS. Āli
„Imrān [3]: 185).
Ibn Abū Ḥatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami „Abd. al-
„Azīz al-Uwaisī, telah menceritakan kepada kami „Alī Ibn Abū „Alī al-Hashīmī,
dari Ja‟far Ibn Muḥammad „Alī Ibn al-Ḥusain, dari ayahnya, dari „Alī Ibn Abū
Ṭālib ra. yang menceritakan bahwa ketika Nabi saw. wafat, dan belasungkawa
berdatangan, maka datanglah kepada mereka seseorang yang mereka rasakan
keberadaannya, tetapi mereka tidak dapat melihat ujudnya. Orang tersebut
mengatakan:
ماج ة ث و اى أ ن ػي ت )اىلي ا . مو فس ذائقة اى ئي ة اىقا م ا ف ة (ج ص مو ي ف ػزااا مو . ئ خيفاا
مو فائث , اىل ا د ما ا: ا, ف الله فثق ئيا فا , صاا ي اى فا
اا اىثي ماج , ة ن ػي اىلي .
Semoga keselamatan terlimpah kepada kalian, hai Ahl al-Bait. Begitu pula
rahmat Allah dan berkahnya, tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala
kalian. Sesungguhnya belasungkawa dari setiap musibah itu hanyalah
kepada Allah, dan hanya kepada-Nya memohon ganti dari setiap yang
telah binasa, dan hanya kepada-Nya meminta disusulkan dari setiap yang
terlewatkan. Karena itu, hanya kepada Allah-lah kalian percaya, dan
hanyakepada-Nyalah kalian berharap, karena sesungguhnya orang yang
tertimpa musibah itu ialah orang yang terhalang tidak mendapat pahala.
Dan semoga keselamatan terlimpah kepada kalian, begitu pula rahmat
Allah dan berkah-Nya.17
Ja‟far Ibn Muḥammad mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku,
bahwa „Alī Abū Ṭālib berkata. “Tahukah kalian, siapakah orang ini?” „Alī
mengatakan pula, “Dia adalah al-Khiḍir as.” Firman Allah Swt.: اىيا ز زح ػ ف
17
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 340-341.
62
ادخو اىلية فق فاز , Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam
surga, maka sungguh ia lelah beruntung. (QS. Āli „Imrān [3]: 185).
Artinya, barang siapa yang dijauhkan dari neraka dan selamat darinya serta
dimasukkan ke dalam surga, berarti ia sangat beruntung. Ibn Abū Ḥatim
mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada
kami Muḥammad Ibn „Abdullāh al-Anṣārī, telah menceritakan kepada kami
Muḥammad Ibn „Amr Ibn Alqamah, dari Abū Salamah, dari Abū Hurayrah yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: ا اى ف اىلية خ ضغ
ا ا ف , ح ادخو اىلية فق فاز)ا ؤا ا اىيا ز زح ػ Tempat sebuah cemeti di“ , (ف
dalam surga lebih baik daripada dunia dan apa yang ada di dalamnya. Bacalah
oleh kalian jika kalian suka, yaitu firman-Nya, “Barang siapa dijauhkan dari
neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguhlah ia lelah beruntung.”
(QS. Āli „Imrān [3]: 186).
Hadis ini ditetapkan di dalam kitab Ṣaḥīḥain melalui jalur lain tanpa
memakai tambahan ayat. Telah diriwayatkan pula oleh Ibn Abū Ḥatim serta Ibn
Ḥibbān di dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya dan Imām Ḥakīm18
di dalam kitab Mustadrak-
nya tanpa memakai tambahan ini melalui hadis Muḥammad Ibn „Amr.
Telah diriwayatkan pula dengan memakai tambahan ini oleh Ibn
Murdawaih melalui jalur yang lain. Untuk itu Ibn Murdawaih menceritakan, telah
menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn Aḥmad Ibn Ibrāhīm, telah
menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn Yaḥyā, telah menceritakan kepada
kami Ḥumaid Ibn Mas‟adah, telah menceritakan kepada kami „Amr Ibn „Alī, dari
18
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 341.
63
Abū Ḥāzim, dari Sahl Ibn Sa‟d yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah
bersabda: ا اف ا اى ف اىلية خ أ م ضغ Sesungguhnya tempat sebuah“ ,ى
cemeti seseorang di antara kalian di dalam surga lebih baik daripada dunia ini
dan semua yang ada di dalamnya.”
Sahl Ibn Sa‟d melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu beliau saw.
membacakan firman-Nya: ادخو اىلية فق فاز اىيا ز زح ػ Barang siapa“ ,ف
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga,maka sungguh ia telah
beruntung.” (QS. Āli „Imrān [3]: 185). Dalam pembahasan yang lalu sehubungan
dengan firman-Nya: لي ح أ ي ئلي ج لج , dan janganlah sekali-kali kalian mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Āli „Imrān [3]: 102)
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Wakī‟ Ibn al-Jarraḥ di dalam kitab
tafsirnya, dari al-A‟māsī Ibn Zaid Ibn Wahb, dari „Abd. al-Raḥmān iIbn „Abdū
Rabb al-Ka‟bah, dari „Abdullāh Ibn „Amr Ibn al-Aṣ yang menceritakan bahwa
Rasulullah saw. pernah bersabda: خو اىلية اىيا ز زح ػ أ ي ػ يح . فيح م
ااخ اى الله إ , إج ئى ا ح ا اىأج ئى اىياا . , Barang siapa yang ingin
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah ia mati
sedang ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari kemudian. Dan
hendaklah ia memberikan kepada orang-orang apa yang ia suka bila diberikan
kepada dirinya sendiri. Imām Aḥmad meriwayatkannya di dalam kitab
musnadnya dari Waki‟ dengan lafaz yang sama.19
Firman Allah Swt.: حاع اىغ ا ئلي ا اىحا اى , Kehidupan dunia itu tidak
lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Āli „Imrān [3]: 185).
19
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 343.
64
Makna ayat ini mengecilkan perkara duniawi dan meremehkan urusannya. Bahwa
masalah duniawi itu adalah masalah yang rendah, pasti lenyap, sedikit, dan pasti
rusak. Seperti yang diungkapkan oleh Allah swt. dalam ayat yang lain, yaitu
firman-Nya: ا ق ي ااخ خ ا اىحا اى Tetapi kamu (orang-orang kafir)“ , و جإث
memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan
lebih kekal.” (QS. al-A‟lā: 16-17).20
Juga firman: ا حاا اىحا اى ئ ف ح ج ا ا
ا ق ي خ ا ػ حا ز , “Dan apa saja yang diberikan kepada kalian, maka itu
adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya, sedangkan apa yang di sisi
Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-Qaṣaṣ: 60).
Dan dalam sebuah hadis disebutkan: س ا م ا غ ا ف ااخ ئلي م ا اى
, ا ؼ ف اى ج غ ئى ظ في , “Demi Allah, tiadalah dunia ini dalam kehidupan di
akhirat, melainkan sebagaimana seseorang di antara kalian mencelupkan jari
telunjuknya ke dalam laut, maka hendaklah ia melihat apa yang didapat olehnya
dari laut itu.”
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: ا ا اىحا اى
حاع اىغ Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang“ ,ئلي
memperdayakan.” (QS. Āli „Imrān [3]: 185). Bahwa kehidupan duniawi itu
merupakan kesenangan yang akan ditinggalkan; tidak lama kemudian, demi Allah
yang tidak ada Tuhan selain Dia, pasti menyurut dan hilang dari pemiliknya.
Karena itu, ambillah dari kehidupan ini sebagai sarana untuk taat kepada Allah,
jika kalian mampu dan tidak ada kekuatan (untuk melakukan ketaatan) kecuali
berkat pertolongan Allah swt.
20
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 343.
65
3. QS. Āli ‘Imrān [3]: 156-158
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang
kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-
saudara mereka apabila mereka Mengadakan perjalanan di muka bumi
atau mereka berperang: "Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah
mereka tidak mati dan tidak dibunuh." akibat (dari Perkataan dan
keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan
yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan.
dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. Dan sungguh kalau kamu
gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-
Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan.
Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja
kamu dikumpulkan. (QS. Āli „Imrān [3]: 156-158)
Ibn Kathīr menjelaskan ayat di atas bahwa Allah swt. melarang hamba-
hamba-Nya yang mukmin meniru orang-orang kafir dalam akidah mereka yang
rusak. Hal tersebut diketahui melalui ucapan mereka terhadap saudara-saudara
mereka yang mati dalam perjalanan dan yang mati dalam peperangan. Seandainya
mereka yang mati itu tidak melakukan hal tersebut, niscaya mereka tidak akan
tertimpa apa yang menimpa mereka.21
Untuk itu Allah swt. berfirman: ا اىي أ
ا خ ا ا اى ا مف ا لجنا ماىي Hai orang-orang yang beriman, janganlah“ ,اا
21
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 239.
66
kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan
kepada saudara-saudara mereka” (QS. Āli „Imrān: 156)
Yakni perihal saudara-saudara mereka. ئذا ض ا ف اا, “apabila
mereka mengadakan perjalanan di muka bumi.” (QS. Āli „Imrān: 156).
Maksudnya, mereka melakukan perjalanan untuk niaga atau tujuan lainnya. ا ما أ
atau mereka berperang.” (QS. Āli „Imrān: 156) yaitu mereka berada dalam“ ,غزا
peperangan. ا اػ ما Kalau mereka tetap bersama-sama kita”. (QS. Āli“ ,ى
„Imrān: 156) yakni tetap tinggal di dalam kota. ا ا حي ا اج ا , “tentulah mereka
tidak mati dan tidak dibunuh.” (QS. Āli „Imrān: 156) yakni mereka tidak mati
dalam perjalanan dan tidak terbunuh dalam peperangan.22
Firman Allah Swt.: Sebagai akibat dari hal itu“ ,ىلؼو ذاىل ل ا ف ي
Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. (QS. Āli
„Imrān: 156). Artinya, Allah menimbulkan keyakinan ini dalam hati mereka agar
penyesalan mereka makin bertambah terhadap orang-orang mereka yang mati dan
terbunuh.
Kemudian Allah menjawab mereka melalui firman-Nya: ث ح ,
“Allah menghidupkan dan mematikan.” (QS. Āli „Imrān: 156). Yakni semua
makhluk berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, dan hanya kepada Allah-
lah urusan itu dikembalikan. Tidak ada seorang pun yang hidup dan tidak ada
seorang pun yang mati kecuali berdasarkan kehendak dan takdir-Nya. Tidak
ditambahkan pada umur seseorang, tidak pula dikurangi sesuatu dari usianya
kecuali dengan keputusan dan takdir Allah. ص ي ا جؼ , “Dan Allah melihat
22
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 239.
67
apa yang kalian kerjakan.” (QS. Āli „Imrān: 156). Yaitu pengetahuan dan
penglihatan Allah menembus semua makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun yang
samar dari perkara mereka bagi Allah.23
Firman Allah swt.: ؼ ا ل ي ة خ غف ى ح و أ ف ى حيح ,
“Dan sungguh kalau kalian gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah
ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagi kalian) daripada harta
rampasan yang mereka kumpulkan. (QS. Āli „Imrān: 157). Ayat ini mengandung
makna yang menunjukkan bahwa mati terbunuh di jalan Allah merupakan sarana
untuk memperoleh rahmat Allah, ampunan, dan rida-Nya. Hal ini jelas lebih baik
daripada tetap hidup di dunia dan mengumpulkan semua perbendaharaannya yang
fana itu.24
Kemudian Allah swt. memberitakan bahwa semua orang yang mati atau
terbunuh, tempat kembali dan kepulangannya hanyalah kepada Allah swt. Lalu
Allah akan memberikan balasan kepadanya sesuai dengan amal perbuatannya.
Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya baik pula; dan jika amal
perbuatannya buruk, maka balasannya buruk pula. Untuk itu Allah Swt.
berfirman: ى جح ا حيح أ ح ى ,“Dan sungguh jika kalian meninggal atau
gugur, tentulah kepada Allah saja kalian dikumpulkan.” (QS. Āli „Imrān: 158).25
23
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 240. 24
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 241. 25
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 242.
68
C. QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat,
kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa
Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk
kepada kaum yang zalim. Katakanlah: "Hai orang-orang yang menganut
agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa Sesungguhnya kamu
sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, Maka
harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar".
Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya
disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka
sendiri. dan Allah Maha mengetahui akan orang-orang yang zalim.
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka
Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS.
al-Jumu‟ah [62]: 5-8).
Ibn Kathīr menafsirkan ayat di atas bahwa Allah seraya mencela orang-
orang Yahudi yang telah diberikan kitab Taurat dan dibebankan kepada mereka
untuk diamalkan, namun mereka tidak mengamalkannya. Hal itulah yang
menjadikan mereka diberi perumpamaan seperti keledai yang mengangkut kitab-
69
kitab yang tebal.26
Yakni seperti keledai membawa kitab, di mana ia tidak
mengetahui isinya. Ia hanya memikul dengan pikulan inderawi, tidak memahami
kandungan yang terdapat di dalamnya. Demikian juga dengan orang-orang
Yahudi yang memegang kitab Taurat yang telah diberikan kepada mereka, lalu
mereka menghafalnya secara harfiyah tetapi sama sekali tidak memahaminya serta
tidak mengamalkan makna yang terkandung di dalamnya. Bahkan mereka
menakwilkan menyelewengkan, dan merubahnya. Mereka sebenarnya lebih parah
dari pada keledai, sebab keledai itu tidak mempunyai pemahaman sama sekali
terhadap kitab yang dipikulnya, sedangkan mereka sebenarnya mempunyai
pemahaman tetapi tidak dipakai untuk memahaminya. Oleh karena itu, Allah swt
berfirman dalam surat yang lain. ( اىغافي ى ل أضول أ و ؼا ى ل ماا mereka itu“ (ا
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-
orang yang lalai.” (QS. al-A‟rāf [7]: 179).
Ibn Kathīr merujuk sebuah riwayat Imām Aḥmad ra. meriwayatkan dari
Ibn Abbās, ia berkata:
مام يطب ف هو كمثل المار يمل أسفار واللذي ي قول له من تكلم ي وم المعة وال ل له عة , أ
Barangsiapa bercakap-cakap pada hari jum‟at sedang imam sedang
berkhutbah, maka dia seperti keledai yang tengah membawa kitab yang
tebal. Dan orang yang mengatakan: diamlah kamu, kepada orang lain,
maka tidak ada (pahala shalat) jum‟at (yang sempurna) baginya.27
Kemudian Allah swt berfirman:. د ىاا لله أ أين ح زػ ا ئ اد ا اىي و اأ
اد ح م ت ئ ا اى ي katakanlah: hai orang-orang yang menganut“ ,اىياا فح
agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah
26
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6. 27
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6.
70
kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah
kematiannmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” ( QS. al-Jumu‟ah [62]:
6). Maksudnya, jika kalian mengaku bahwa kalian berada dalam petunjuk
sedangkan Muhammad dan para sahabatnya sesat. Maka berdo‟alah supaya lekas
mati di antara dua golongan yang ada, jika anggapan kalian benar.
Allah swt berfirman: ث أ ا ي ا أ ا ي ي ل ح , “mereka tidak akan
mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah
mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri”. Yakni kekufuran, kezaliman,
dan kejahatan yang telah mereka kerjakan. اىظياى ػي , “dan Allah maha
mengetahui orang-orang yang zalim”. Pembahasan masalah ini sudah
diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 94 mengenai mubaḥalah28
dengan orang-
orang Yahudi, di mana Dia berfirman: د خاىصةا ا ااخ ػ اى ي ماث ىن و ئ
اد ح م ت ئ ا اى ي Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa)“ ,اىياا فح
kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang
lain, Maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar.” (QS. al-Baqarah
[2]: 94).
Sebagaimana murbaḥalah dengan orang-orang Nasrani juga telah
dikemukakan dalam surat Āli „Imrān ayat 61,29
di mana Allah berfiman: ل ا ي ف
و ي ح ث فلن أ فلا أ لاام لااا أ اام ا ع أ ااا فقو جؼاى اىؼي ا ااك ؼ ف
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah“ ,فلؼو ىيؼث ػي اىناذ
datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): "Marilah
28
Mubaḥalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat
(berselisih) berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan laknat kepada
pihak yang berdusta. Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6. 29
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6.
71
kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan
isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah
kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang
yang dusta.” (QS. Āli „Imrān [3]: 61).30
Serta mubahalah dengan orang-orang
Musyrik dalam surat Maryam: ا ا حي ئذا أ ا ا د ى اى ي ىة في ف اىضي ما و
ا ا أضؼف نااا ي ل اػة فلؼي ا اىلي ي ئ ا اىؼ اا ي ئ ػ ا , “Katakanlah:
"Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, Maka Biarlah Tuhan yang Maha
Pemurah memperpanjang tempo baginya; sehingga apabila mereka telah melihat
apa yang diancamkan kepadanya, baik siksa maupun kiamat, Maka mereka akan
mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah penolong-
penolongnya". (QS. Maryam [19]: 75)
Ibn Kathīr merujuk lagi sebuah riwayat Imām Aḥmad yang riwayatannya
dari Ibn Abbās, ia berkata: “Abū Jahal semoga Allah melaknatnya berkata: Jika
aku melihat Muhammad berada di dekat Ka‟bah, pastilah aku akan
mendatanginya dan menginjak lehernya, maka Rasulullah saw lanjut Ibn Abbās,
bersabda:31
ث نا ف رات عن عبد الكريم عن عكرمة عن ابن ث نا إساع ل بن يزيد الرقي أبو يزيد حد حدعباس قال قال أبو جهل لئن رأي رسول الله صلى الله عل ه وسلم ي لي عند الكعبة لت نه حت أطأ على عنقه قال ف قال لو ف عل لخذته الملئكة ع ا ا ولو أن ال هود تن وا الموت لماتوا ورأوا مقاعدهم ف النار ولو خرج الذين ي باهلون رسول الله صلى الله عل ه
وسلم لرجعوا دون ما و أهل
30
Mubaḥalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda Pendapat
mendoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan la'nat kepada pihak
yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan
ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. 31
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 7.
72
“Kalau saja dia berani melakukan hal itu, pastilah dia ditindak oleh para
malaikat dengan terang-terangan. Kalau saja orang-orang Yahudi itu
mengangankan kematian, pastilah mereka mati seketika itu juga dan akan
melihat tempat mereka di neraka dan kalau saja orang-orang yang
bermubahalah dengan Rasulullah itu keluar, pastilah mereka pulang
tanpa melihat lagi keluarga dan harta (mereka).” [HR. al-Bukhārī, al-
Tirmidhī, dan al-Nasā‟i]
Firman Allah swt selanjutnya: ئى ي ج د ث ن فاي جف ت اىي ي اى و ئ
ي جؼ ح ا م اد ف ن اى اىغ Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang ,ػاى
kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu,
kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib
dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".
(QS. al-Jumu‟ah [62]: 8). Penggalan ayat ini sama seperti firman-Nya dalam surat
al-Nisa‟ berikut ini: ي ف ح م ى ت اى ا من ا جن di mana saja kamu“ ,أ
berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng
yang Tinggi lagi kokoh,” (QS. al-Nisā‟ [4]: 78).32
32
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 8.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari rumusan masalah sebagaimana pemilihan ayat-ayat penulis bisa
menyimpulkan skripsi ini adalah Ibn Kathīr menafsirkan tentang kematian.
Menurutnya, bahwa setiap umat manusia akan mengalami kematian tidak satupun
yang akan selamat atau terhindar dari maut (QS.al-Nisā’ [4]: 78). Juga Ibn Kathīr
menjelaskan bahwa Allah swt. memberitahukan kepada semua makhluknya secara
umum. bahwa setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati (QS. Āli ‘Imrān [3]:
185). Namun sisi lain, ada pesan yang harus diperhatikan bagi orang Mukmin
adalah supaya tidak meniru orang-orang kafir dalam akidah mereka yang rusak.
Seandainya mereka melakukan demikian niscaya mereka akan tertimpa apa yang
menimpa mereka yaitu azab (QS. Āli ‘Imrān [3]: 156-158)
Ibn Kathīr juga menggambarkan apabila suatu kaum melakukan
kezhaliman dan penganiayaan, Allah memberikan kesempatan agar mereka
kembali ke jalan yang benar. Namun apabila suatu penduduk negeri melakukan
kemasiatan dan kezhaliman, maka Allah akan membinasakan negeri itu dengan
azab yang sangat keras. Dengan demikian sakaratul maut datang dengan sebenar-
benarnya sehingga manusia itu tidak dapat melarikan diri dari kematian, ke
manapun ia akan berlari. Karena ia pasti akan bertemu dengan kematian itu.
B. Saran-saran
Setelah mengambil kesimpulan dalam skripsi ini, maka penulis
menawarkan beberapa saran yang mungkin berguna dalam kehidupan sehari-hari.
74
Sehingga apa yang terkandung dalam skripsi ini benar-benar dapat memberikan
sumbangan dalam menciptakan ketenangan baik lahir maupun batin. Tentulah di
dalam konsep karya ini masih banyak dijumpai kelemahan di sana-sini. Oleh
karena itu bagi penyusun merasa perlu untuk memberikan saran-saran yang
berkaitan dengan skripsi ini.
Perlunya setiap insan manusia mengingat akan mati karena dengan
mengingatnya senantiasa manusia tidak akan melanggar apa yang dilarang oleh
Allah dalam menjalani kehidupan ini. Kematian juga dapat kita jadikan tolak ukur
diri kita untuk selalu taat dan beriman kepada Allah. Kemudian dengan mengingat
kematian juga menjadikan nasihat agar kita tidak mudah terpeleset dalam
keburukan sikap dan tingkah laku. Kita sering kali begitu mudah melupakan
kematian. Padahal, kematian tak pernah melupakan kita. Kematian ibarat jalan
yang akan dilalui oleh setiap manusia. Hanya saja kapan peristiwa itu terjadi tak
ada yang tahu kecuali Allah swt.
Penelitian ini tidak sampai disini saja oleh karena itu masih banyak
kemungkinan yang akan diteliti di kemudian hari dengan penulis lainya, sebagai
proses dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata semoga skripsi ini
yang sederhana dan jauh dari kesempurnaan ini dapat menjadi sumbangan bagi
dunia ilmu pengetahuan dan semoga bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta
yang mengoreksinya, Aamiin...
75
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Bahrun. Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000.
Abuddin Nata. Ensiklopedi al-Qur’an, Jakarta: Yayasan Bimantara PT. Intermasa,
1997.
Aḥmad bin Sha’ib Abū ‘Abd al-Raḥmān Nasā’i. al-Mujtabī Minassunan, juz 4,
Beirut: 1824.
Anis, Ibrāhīm. al-Mu’jam al-Wāsiṭ, Beirut: Dar el-Fikr, tth.
Ash Shiddieqy, Hasbi. Ilmu ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
As-Sadlani, Shaleh Ghanim. bagaimana seharusnya kita bertobat, Jakarta:
Firdaus, 1992.
Bahreisy, Salim. Tafsir Ibnu Katsir, Malaysia: Victory Agencie, 1988.
---------------. Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990.
Baidan, Nashiruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Cet II, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
---------------. Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
2000.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, Cet III, Jakarta : Ichtiar
Baru Van Hoe Ve, 1994.
Djamaluddin, Burhan. Konsepsi Taubat: Pintu Pengampunan Dosa Besar, Dosa
Syirik Masih Terbuka, Surabaya: Dunia Ilmu, 1996.
Faudah, Maḥmūd Basunī. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi
Tafsir, diterj. H.M. Mochtar Zoerni, Abdul Qodir Hamid dari kitab al-
Tafsīr wa Manahijuhu, Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.
Ghaffar, Abdul. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir (Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir),
Cet 1, Bogor: Pustaka asy-Syafi’i, 1994.
al-Ghazālī, Imām. Taubat Nasuha, Gresik: Putra Pelajar, 1998.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insani
Madani, 2008.
76
Hamid, Zeid. Imam Al-Ghazali Mukhtasor Ihya Ulumuddin, Jakarta: CV. Pustaka
Amani, 1986.
Ḥawwā, Sa‛īd, Induk Pensucian Diri, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD,
1992.
Kabalah, ‘Ūmar Riḍā. Mu’jam al-Mu‛allifīn. 1 jilid, Beirut: Maktabah al-
Muthanna-Dār Iḥyā al-Turāth al-‘Arābī, 1376 H/ 1957 M.
Karim, Maulana Fazlul. Ihya Ulumuddin, Bandung: Marja, 2001.
Kathīr, Ibn. al-Bidayah Wa al-Nihayah, 1 jilid, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
--------------. Tafsir al-Qur’an al-Adzim, 1 jilid, Cet I, Beirut: Dār al-Fikr, 1997.
Khātib, Muḥammad ‘Ajjaj. Uṣūl al-Ḥadīth, Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H.
Makluf, Louis. al-Munjid Fī al-Lughah Wa Al-A’lām, Beirut: Dār al-Shurūq,
1987.
Maswan, Nur Faizin. Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir, Yogyakarta: Menara
Kudus, 2000.
Muhdlor, Ahmad Zudhi. Kamus al-Ashri: Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan
Ali Maksum, 1996.
Qaṭṭān, Mannā Khalīl. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, diterj Mudzakir, AS.Cet. V,
Jakarta : PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2000.
Qomaruddin. Zikir Sufi-Menghampiri Ilahi dengan Tasawuf, Jakarta: Serambi,
2003.
al-Qurṭubī, Imām. al-Tadzkirah Fī Aḥwāl al-Mawta wa ‘Umūr al-Akhirah, Beirut
Lebanon: Dār el-Marefah, 1996.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalah al-Hadis, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981.
---------------. Ikhtishar Mushthalahul Hadits, Cet. I, Bandung: al-Ma’arif, 1974.
Rifa’i, M. Nasib. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta:
Gema Insani Press, 1999.
Salimī, Tirmidhī, Muḥammad bin ‘Isā Abū ‘Isā. Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ Sunan Tirmidhī,
Beirut, tth.
77
Sa‛id bin Muḥammad Dāib Ḥawwā. al-Mustakhlaṣ fī Tazkiyat al-Anfūs, Jakarta:
Robbani Press, 1999.
Shihab, M. Quraish. Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT,
Tanggerang: Lentera Hati, 2005.
Shihab, M. Qurais. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007.
Zuhri, Muhammad. Terjemah Ihya Ulumuddin, Jilid IX, Semarang: CV. Asy
Syifa, 1994.
http://evisyari.wordpress.com/2008/07/13/mati/
http://yusuf-batam.blogspot.com/2012/11/download-tafsir-ibnu-katsir-lengkap-
30.html
gus-aam.blogspot.com/2012/.../makna-kematian-menurut-sains-filosof/
top related