kekuatan pembuktian- studi analisis.pdf
Post on 25-Oct-2015
235 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
8
Universitas Indonesia
BAB II
“ANALISA KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIFIKAT HAK GUNA
BANGUNAN DAN BUKTI TANAH LETTER C”
2.1. Tinjauan Umum Mengenai Pendaftaran Tanah, Hak Guna Bangunan,
Bukti Letter C:
2.1.1. Sejarah Hukum Tanah di Indonesia
Seperti telah disebutkan pada bahasan sebelumnya, bahwa
kehidupan manusia selalu terkait erat dengan keberadaan tanah. Hubungan
manusia dan tanah menjadi tidak terpisahkan meskipun terjadi suatu
perubahan atas perkembangan manusia. Dr. B.F. Sihombing, SH, MH
menyebutkan bahwa jiwa rakyat baik sebagai hasil perubahan yang lama
maupun sebagai hasil letusan revolusi menghendaki juga perubahan dalam
hukum tanah.7 Ini mengartikan bahwa terdapatnya perubahan yang terjadi
pada kehidupan manusia, mengharuskan adanya penyesuaian terhadap
sebuah pengaturan hubungan manusia dengan tanah itu sendiri. Pengaturan
hubungan manusia dengan tanah itu yang kemudian disebut sebagai hukum
tanah.
Prof. Boedi Harsono menyebutkan bahwa Hukum Tanah merupakan
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah
yang disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. Dari
konteks tersebut, Hukum Tanah Indonesia diartikan sebagai bentuk
pengaturan hubungan antara manusia, Pemerintah yang mewakili negara
sebagai badan hukum publik maupun swasta termasuk badan
keagamaan/badan sosial dan perwakilan negara asing dengan tanah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)8
Penerapan Hukum Tanah di Indonesia dalam kerangka mengatur
hubungan atau hak-hak penguasaan masyarakat atas tanah di wilayah
7 Dr. B. F. Sihombing, SH, MH. Evaluasi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia. (Jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 2004). Hal 51. 8 Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1. Cet. X (Edisi Revisi) 2005. (Jakarta : Djambatan, 2005). Hal. 16.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
9
Universitas Indonesia
Indonesia telah mengalami berbagai tahapan perkembangan yang cukup
signifikan. Tahapan perkembangan Hukum Tanah di Indonesia dapat
dideskripsikan dalam dua bagian penting, yaitu dengan membedakan antara
kondisi sebelum dan sesudah UUPA
2.1.1.1. Hukum Tanah Indonesia Sebelum Berlakunya UUPA
Pada masa jauh sebelum berlakunya UUPA, masyarakat
Indonesia sebenarnya telah melakukan pengaturan terhadap
hubungan manusia dengan tanahnya melalui sebuah kesepakatan-
kesepakatan dengan masyarakat lainnya sehingga menghasilkan tata
kehidupan yang tentram dan saling menghargai. Perubahan terjadi
setelah datangnya Belanda ke Indonesia yang pada akhirnya juga
mengubah ketentuan masyarakat di bidang agraria sebelumnya.
Bagi Hukum Tanah di Indonesia pada masa sebelum
berlakunya UUPA, terdapat dua sumber peraturan yang dianut
masyarakat, yaitu peraturan agraria yang bersumber pada Hukum
Adat dan Hukum Barat. Perbedaan sumber peraturan ini lebih pada
pengaturan atas tanah yang dimiliki dan bukan pada orang – orang
yang memilikinya. Pada saat ini, Hukum Tanah yang berlaku di
masyarakat terdiri atas hukum yang tertulis dan yang lainnya tidak
tertulis.
Pada zaman pendudukan Belanda, antara tahun 1602 – 1799
dimana Vereenigde Oostindische Compagnie atau lebih dikenal
dengan sebutan VOC berkuasa, pengaturan, pemilikan dan
penguasaan tanah menerapkan Hukum Barat dengan tidak
memperdulikan hak – hak tanah rakyat dan raja – raja di Indonesia,
tetapi secara umum Hukum Adat yang memiliki corak dan sistem
sendiri tidak dipersoalkan oleh VOC, bahkan membiarkan rakyat
Indonesia hidup menurut adat dan kebiasaannya9 Sedangkan pada
zaman Daendels tahun 1808 – 1811 telah terjadi perubahan yang
cukup mencolok atas struktur penguasaan dan pemilikan tanah
9 Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Daerah Kebutuhan Hidup, (Jakarta: Chandra Pratama, 1995). Hal. 8-11.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
10
Universitas Indonesia
dengan sistem penjualan tanah. Kondisi ini menyebabkan
munculnya tanah – tanah partikelir.
Pada zaman pendudukan Inggris tahun 1811 – 1816, terutama
masa Raffles berkuasa, semua tanah yang berada dibawah kekuasaan
Pemerintah dinyatakan sebagai eigendom government, sehingga
seluruh tanah dikenakan pajak bumi. Zaman Cultuur stelsel telah
melakukan pemaksaan terhadap rakyat Indonesia untuk melakukan
penanaman komoditi tertentu yang hasilnya harus diberikan untuk
kepentingan penjajah. Dari hal ini, penduduk tersingkir ke
pegunungan untuk mencari lahan-lahan lain untuk memenuhi
kebutuhannya.
Sejak tahun 1870, setelah keluarnya Undang-undang
Agraria Barat yang disebut dengan Agrarisch Wet 1870 menjadi
pokok hukum dan semua peraturan pelaksanaannya dalam
pengaturan bidang agraria yang diberlakukan pada masa itu.
Ketentuan utama dalam Agrarisch Wet adalah bahwa Pemerintah
masa itu memberikan kesempatan yang besar bagi perusahaan asing,
terutama yang bergerak di bidang pertanian untuk berkembang di
Indonesia, dengan tetap menjamin hak – hak pribumi atas tanah
miliknya. Aturan selanjutnya yang dikeluarkan adalah Agrarisch
Besluit yang merupakan ketetapan Raja Belanda untuk menetapkan
bahwa pemilik atas tanah di seluruh Indonesia adalah Pemerintah
Belanda, kecuali tanah – tanah yang dapat dibuktikan eigendom-nya.
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar,
kalaupun ada hanya bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah
dibayar pemiliknya. Dalam hal ini, terdaftarnya tanah tersebut bukan
sebagai bukti formal hak atas tanahnya.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
Pemerintah Indonesia berusaha mengakhiri dominasi Hukum
Agraria Barat yang ditinggalkan oleh Pemerintah kolonial. Namun
demikian sampai tahun 1950-an Pemerintah Indonesia belum mampu
menghasilkan suatu Hukum Agraria Nasional yang secara tetap
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
11
Universitas Indonesia
menggantikan Hukum Agraria Barat. Baru pada tahun 1954,
dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 tentang
Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat10.
Undang-undang ini hanya mengatur secara parsial persoalan tanah di
Indonesia, sedangkan aturan secara umum tentang Hukum Agraria
yang akan menggantikan secara total Hukum Agraria Barat warisan
penjajah sampai tahun 1959 tidak dapat dibuat.
2.1.1.2. Hukum Tanah Indonesia Sesudah Berlakunya UUPA
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) adalah penyebutan
lazim dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok – pokok Agraria, yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) pada tanggal 24
September 1960. UUPA ini merupakan hasil penyempurnaan dari
hasil – hasil rancangan yang telah dibuat oleh lima kepanitiaan
pembentukan UUPA sebelumnya yang telah ditetapkan sejak tahun
1948 hingga 1959, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria
Jakarta, Panitia Soewahjo, Rancangan Soenarjo dan Rancangan
Sadjarwo, yang kemudian hasilnya dilakukan penyesuaian dengan
UUD 1945.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960,
maka terjadilah perubahan secara fundamental dibidang Hukum
Tanah dan hak-hak perorangan atas tanah yang berlaku di Indonesia.
Jika pada masa sebelumnya terjadi dualistik Hukum Tanah yang
berlaku, maka setelah UUPA terjadi unifikasi Hukum Tanah yang
bersumber hanya kepada Hukum Adat Tidak Tertulis. Konsekuensi
dari hal ini adalah secara tegas dinyatakan tidak berlakunya lagi :
a. Hukum Tanah Barat yang liberalistik yang ketentuannya terdapat
dalam Buku Kedua Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
10 Indonesia (d), Undang Undang tentang Penetapan Undang Undang Darurat tentang Pemindahan Hak atas Tanah dan Barang – barang Tetap yang lainnya yang Bertakluk Kepada Hukum Eropa (Undang – undang Darurat nomor 1 tahun 1952) sebagai Undang Undang, UU Nomor24 Tahun 1954, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 62.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
12
Universitas Indonesia
Indonesia (kecuali tentang ketentuan hipotik yang masih
berlaku),
b. Hukum Tanah Adat Tertulis yang diciptakan oleh Pemerintah
Belanda dan Pemerintah Swapraja.
Sangat wajar apabila konsepsi, bahan, norma, sistem, asas-
asas dan lembaga-lembaga hukumnya ditetapkan sebagai sumber
perumusan Hukum Tanah Nasional, karena Hukum Tanah Adat
Tidak Tertulis ini sangat sesuai dengan kepribadian Bangsa
Indonesia dan juga merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli.
Dalam hal lain, unifikasi hak – hak perorangan atas tanah
(hak – hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah) yang sudah
dikuasai oleh orang dan badan hukum baik yang berasal dari Hukum
Tanah Barat maupun Hukum Tanah Adat (yang tertulis atau tidak
tertulis), melalui diktum kedua UUPA, yaitu ketentuan konversi dari
hukum terhitung sejak 24 September 1960 dikonversi atau diubah
menjadi hak-hak perorangan atas tanah menurut Hukum Tanah
Nasional.
Dari konteks di atas, maka fungsi UUPA adalah :
a. Menciptakan unifikasi hukum tanah dan mengakhiri hukum tanah
yang dualistik,
b. Unifikasi hak – hak perorangan atas tanah melalui ketentuan
konversi (Diktum Kedua UUPA),
c. Meletakkan landasan hukum untuk melaksanakan pembangunan
Hukum Tanah Nasional.
UUPA memiliki sifat nasional dalam aspek formal maupun
material. Dalam aspek formal, UUPA merupakan Hukum Tanah
Nasional yang dibuat oleh pembentuk Undang – undang di
Indonesia, dibuat di Indonesia, disusun dalam bahasa Indonesia,
berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan meliputi seluruh tanah
yang ada di wilayah negara Indonesia. Sedangkan tentang aspek
material, UUPA harus juga bersifat nasional dalam hal tujuan,
konsepsi, asas – asas, sistem dan isinya.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
13
Universitas Indonesia
Konsepsi yang mendasari Hukum Tanah Nasional yang
berasal dari konsepsi Hukum Adat adalah bersifat komunalistik
religius yang berarti Hukum Tanah Nasional memberikan
kesempatan pemilikan tanah secara individual, dengan hak hak atas
tanah yang bersifat pribadi sekaligus mencakup unsur kebersamaan.
Kesempatan hak kepemilikan atas tanah oleh individu masyarakat
memperoleh perlindungan hukum dengan ketentuan dilakukan
pendaftaran terlebih dahulu. Dengan pendaftaran tanah, maka
hubungan pribadi individu masyarakat dengan tanah yang
dimilikinya diumumkan dan memperoleh jaminan hukum. Dengan
pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas kepemilikan tanah juga,
maka hak keperdataan seseorang anggota masyarakat terhadap
tanahnya memperoleh jaminan hukum.
2.1.2. Konsep Hak Milik atas Tanah
2.1.2.1. Pengertian Hak Milik atas Tanah
Hak-hak atas tanah berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUPA
terdiri atas :
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa
f. Hak Membuka Tanah
g. Hak Memungut Hasil Hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak – hak tersebut di
atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak – hak
yang sifatnya sementara yaitu Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil,
Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Soedharyo Soimin11 menyatakan bahwa, bila dilihat dari
kepentingan yang mendesak dan sangat dibutuhkan oleh manusia
11 Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), Hal. 1.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
14
Universitas Indonesia
ataupun badan hukum maka hak atas tanah dapat dibedakan atas Hak
Milik, Hak Pakai, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha.
Senada dengan pendapat tersebut A. P. Perlindungan12,
menyatakan bahwa :
“Pada dasarnya hak atas tanah hanya terdiri atas Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Namun berdasarkan UUPA maka hak tersebut dapat ditambah dengan hak memungut hasil dan hak membuka tanah”.
Salah satu hak atas tanah yang sering menjadi pangkal
sengketa di pengadilan adalah sengketa terhadap hak milik atas
tanah. Secara yuridis hak milik diatur dalam Pasal 20 ayat (1) & (2)
UUPA yang menegaskan bahwa, hak milik adalah hak turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah
dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA, dan hak ini dapat
beralih serta dialihkan pada pihak lain.
Sehubungan dengan pengertian tersebut Soedharyo Soimin13
mengatakan bahwa, hak milik adalah hak yang dapat diwariskan
secara turun temurun, secara terus menerus dengan tidak harus
memohon haknya kembali apabila terjadi pemindahan hak.
Selanjutnya A. P. Parlindungan14 menegaskan bahwa, unsur-
unsur dari hak milik:
a. Turun temurun
Bahwa hak milik dapat diwariskan pada pihak lain atau ahli waris
apabila pemiliknya meninggal dunia tanpa harus memohon
kembali bagi ahli waris untuk mendapatkan penetapan.
b. Terkuat dan terpenuh
Hal ini berarti bahwa hak milik merupakan hak yang terkuat dan
terpenuh yang dimiliki oleh seseorang, dapat dibedakan dengan
hak yang lain seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
12 A. P. Perlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara PPAT, (Bandung: Mandar Maju, 1998), Hal. 13. 13 Soedharyo Soimin, Op. Cit., Hal. 1. 14 A. P. Parlindungan, Op. Cit., Hal. 137.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
15
Universitas Indonesia
Hak Pakai; bahwa diantara hak-hak atas tanah hak miliklah yang
mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat, tetapi tetap
mempunyai fungsi sosial.
c. Fungsi sosial
Maksudnya adalah meskipun hak milik sifatnya terkuat dan
terpenuh tetapi tetap mempunyai fungsi sosial, yang mana apabila
hak ini dibutuhkan untuk kepentingan umum maka pemiliknya
harus menyerahkannya pada negara dengan mendapatkan ganti
rugi yang layak.
d. Dapat beralih dan dialihkan
Hak milik dapat dialihkan pada pihak yang lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku baik melalui
penjualan, penyerahan, hibah atau bahkan melalui hak
tanggungan.
Apabila disimak bunyi Pasal 21 ayat (1), (2) dan (3) UUPA
maka dapat diketahui bahwa yang berhak untuk memperoleh hak
milik adalah hanya warga negara Indonesia; oleh pemerintah
ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik
dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan; Orang asing yang
sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik
karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang
mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini
kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam
jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau
hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut
lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa
hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung; Selama
seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai
kewarga-negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
16
Universitas Indonesia
dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan mengenai orang
asing.
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963
tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum15, bahwa yang dapat
mempunyai hak atas tanah adalah sebagai berikut:
a. Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut Bank
Negara)
b. Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian
c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama
d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria
setelah mendengar Menteri Sosial.
2.1.2.2. Terjadinya Hak Milik atas Tanah
Sebagai salah satu jenis hak atas tanah maka hak milik
merupakan hak yang terkuat, terpenuh serta turun temurun. Hal ini
sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa
hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah.
a. Hak milik atas tanah terjadi disini dengan didaftarkan pada kantor
pertanahan Kabupaten/ Kota untuk mendapatkan sertifikat hak
milik.
b. Hak milik atas tanah yang terjadi karena penetapan pemerintah.
c. Hak milik atas tanah yang terjadi disini semua berasal dari tanah
negara
d. Hak milik atas tanah yang terjadi ini karena permohonan
pemberian hak milik atas tanah oleh pemohon dengan memenuhi
prosedur dan persyaratan yang telah ditentukan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN).
15 Indonesia (e), Peraturan Pemerintah tentang Penunjukan Badan – badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, PP Nomor 38 Tahun 1963, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2555.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
17
Universitas Indonesia
e. Hak milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan undang-
undang
f. Hak milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan konversi
(perubahan) menurut UUPA. Sejak berlakunya UUPA pada
tanggal 24 September 1960, maka semua hak atas tanah yang ada
harus diubah menjadi salah satu hak atas tanah yang diatur dalam
undang-undang pokok agraria. Yang dimaksud dengan konversi
adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya
UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA
diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam
UUPA.16
A.P. Parlindungan17 mengatakan bahwa proses lahirnya hak
milik terdiri atas beberapa sebab yaitu :
a. Konversi dari tanah-tanah eks eigendom
b. Konversi tanah-tanah eks hukum adat
c. Hak milik berdasarkan ketentuan-ketentuan landreform
d. Hak milik berdasarkan suatu surat keputusan dari Kepala Badan
Pertanahan Nasional atau dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional.
e. Pemberian hak milik kepada para transmigran.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa proses terjadinya hak milik atau lahirnya hak milik dapat
terjadi karena beberapa sebab yakni :
a. Atas keputusan pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional
b. Atas permohonan dari pemegang tanah yang akan berstatus hak
milik.
c. Karena aturan perundang-undangan yang berlaku.
16 A. P. Parlindungan, Log. Cit., Hal. 140. 17 Ibid., Hal. 148.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
18
Universitas Indonesia
2.1.2.3. Hapusnya Hak Milik atas Tanah
Pasal 27 UUPA menegaskan bahwa hapusnya hak atas tanah
karena :
a. Tanahnya jatuh pada negara yakni :
1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA;
2. Karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya;
3. Karena ditelantarkan;
4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2)
UUPA
b. Tanahnya Musnah
Hal ini bisa terjadi karena pengaruh bencana alam atau faktor
alam seperti tanah longsor, terkikisnya tanah pada aliran sungai
dan dengan musnahnya tanah maka pemiliknya tidak dapat
memanfaatkan lagi tanah tersebut.18
A. P. Parlindungan19, menyatakan bahwa hak milik dapat
hapus apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :
a. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA yakni :
b. Karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya
c. Karena ditelantarkan tapi belum ada peraturan pelaksanaannya
d. Akan kehilangan haknya karena terkena ketentuan perundang-
undangan
e. Tanahnya musnah, yang disebabkan oleh bencana alam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hapusnya hak
atas tanah dapat disebabkan karena campur tangan negara
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku maupun disebabkan
oleh bencana alam yang mengakibatkan hilangnya hak milik atas
tanah.
18 Ibid., Hal. 160. 19 Ibid., Hal. 5.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
19
Universitas Indonesia
2.1.3. Teori dan Hukum Pendaftaran Tanah
2.1.3.1. Asas – asas Pendaftaran Tanah
Terdapat beberapa asas dari pendaftaran tanah20 yaitu asas
sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan terbuka.
a. Asas Sederhana
Dalam pendaftaran tanah yang dimaksud sederhana dalam
pelaksanaannya agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun
Prosedurnya, dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak
yang berkepentingan terutama hak atas tanah.
b. Asas Aman
Dimaksud untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu
diselenggarakan secara teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat
memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran
tanah itu sendiri.
c. Asas Terjangkau
Dimaksud keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan
khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan,
golongan ekonomi lemah pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh
pihak yang memerlukan.
d. Asas Mutakhir
Dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya
dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya, dan data yang
tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir untuk itu
perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-
perubahan yang terjadi dikemudian hari.
e. Asas Terbuka
Masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang
benar setiap saat.
20 Supriadi, Log. Cit., Hal. 164.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
20
Universitas Indonesia
2.1.3.2. Tujuan Pendaftaran Tanah
Adapun tujuan pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19
UUPA yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka
menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan, sebagaimana pada
garis besarnya telah dikemukakan dalam pendahuluan tujuan
pendaftaran tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 adalah :
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termaksud pemerintah agar dengan mudah, dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar
dan perwujudan, tertib administrasi di bidang pertanahan; untuk
mencapai tertib administrasi tersebut disetiap bidang tanah dan
satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan
hapusnya wajib didaftarkan.
Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya; data tersebut dikenal sebagai
daftar umum yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat
ukur, buku tanah dan daftar nama para pihak yang berkepentingan.
Dalam melakukan suatu perbuatan hukum mengenai suatu
bidang tanah atau satuan rumah susun tertentu perlu masyarakat
mengetahui data yang tersimpan dalam daftar-daftar di kantor
pertanahan. Data tersebut bersifat terbuka untuk umum ini sesuai
dengan salah satu asas pendaftaran tanah yaitu terbuka seperti yang
dinyatakan dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
21
Universitas Indonesia
1997 karena terbuka untuk umum daftar-daftar dan peta-peta
tersebut disebut sebagai daftar umum.
Peta pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang
atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah.
Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang
memuat identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran.
Surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu
bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian yang diambil datanya
dari peta pendaftaran.
Daftar nama adalah dokumen dalam bentuk daftar yang
memuat keterangan mengenai penguasaan tanah dengan suatu hak
atas tanah atau hak pengelolaan dan mengenai pemilikan hak milik
atas satuan rumah susun oleh orang perseorangan atau badan hukum
tertentu.
2.1.3.3. Sertifikat Tanah Merupakan Alat Pembuktian Yang Kuat
Mengenai pengertian sertifikat, dalam beberapa literatur
kamus memberi arti yang berbeda-beda, sebagai berikut :
a. Kamus Bahasa Inggris yang ditulis E. Pino dan Wittermans :
tahun 1953, sertifikat dalam teks aslinya certificate, diartikan
sebagai “surat keterangan, surat lulusan, atau ijazah “.
b. Kamus Bahasa Indonesia populer yang ditulis Bambang
Marhijanto tahun 1996, dimana sertifikat diartikan sebagai ‘surat
keterangan yang menguatkan kedudukan sesuatu (menurut hukum
yang sah), surat tanda bukti. Maksudnya, ialah dengan sertifikat
itu seseorang dapat membuktikan kedudukannya, posisinya,
pembuktian mana dikuatkan oleh apa yang tersurat didalam
sertifikat itu.
c. Kamus Hukum yang ditulis oleh J.C.T Simorangkir, dkk tahun
2000 dalam teks aslinya certificate dimana sertifikat diartikan
sebagai surat tanda bukti, maksudnya ialah dengan sertifikat itu
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
22
Universitas Indonesia
orang dapat membuktikan kedudukannya apakah sebagai pemilik
suatu benda dan sebagainya.
Berdasarkan pengkajian literatur yang dilakukan penulis,
sertifikat yang diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang
bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah
didaftar dalam buku tanah dan jika terdapat catatan – catatan
menyangkut data fisik atau data yuridis maka penerbitan sertifikat
ditangguhkan.
Sesuai dengan Pasal 1 butir 20 Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa :
Sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA untuk hak atas tanah,
hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun,
dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam
buku tanah yang bersangkutan.
Sertifikat berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997 yaitu surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data
yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data
yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan
buku tanah yang bersangkutan.
1. Tujuan Penerbitan Sertifikat
Untuk memahami lebih mendalam tujuan penerbitan sertifikat
hak milik atas tanah kita harus kembali mempelajari penyerahan
klasifikasi benda sebagaimana diatur dalam Pasal 612 – 616 Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata. Pada prinsipnya benda dapat
diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu:
a. Benda bergerak
Barang bergerak karena sifatnya adalah barang yang dapat
berpindah sendiri atau dipindahkan (Pasal 509 Kitab Undang
– Undang Hukum Perdata). Kapal, perahu, sampan tambang,
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
23
Universitas Indonesia
kincir dan tempat penimbunan kayu yang dipasang di perahu
atau yang terlepas dan barang semacam itu adalah barang
bergerak.(Pasal 510 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata)
Yang dianggap sebagai barang bergerak karena
ditentukan undang – undang adalah:
1) Hak pakai hasil dan hak pakai barang-barang bergerak;
2) Hak atas bunga yang dijanjikan, baik bunga yang terus-
menerus, maupun bunga cagak hidup;
3) Perikatan dan tuntutan mengenai jumlah uang yang
dapat ditagih atau mengenai barang bergerak;
4) Surat saham atau saham dalam persekutuan perdagangan
uang, persekutuan perdagangan atau persekutuan
perusahaan, sekalipun barang – barang bergerak yang
bersangkutan dan perusahaan itu adalah kebendaan
tidak bergerak. Bukti saham atau saham ini dipandang
sebagai barang bergerak, tetapi hanya terhadap masing
– masing peserta saja, selama persekutuan berjalan;
5) Saham dalam utang atas beban negara Indonesia, baik
yang terdaftar dalam buku besar, maupun sertifikat,
surat pengakuan utang, obligasi atau surat berharga
lainnya, berserta kupon atau surat-surat bukti bunga yang
berhubungan dengan itu.
6) Sero-sero atau kupon obligasi dari pinjaman lainnya,
termasuk juga pinjaman yang dilakukan negara-negara
asing. (Pasal 511 Kitab Undang – undang Hukum
Perdata)
b. Benda tetap/ tak bergerak.
Barang tak bergerak adalah :
1) Tanah pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya;
2) Penggilingan, kecuali yang dibicarakan dalam Pasal 510;
3) Pohon dan tanaman ladang yang dengan akarnya
menancap dalam tanah, buah pohon yang belum dipetik,
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
24
Universitas Indonesia
demikian pula barang-barang tambang seperti batu bara,
sampah bara dan sebagainya, selama barang-barang itu
belum dipisahkan dan digali dari tanah;
4) Kayu belukar dari hutan tebangan dan kayu dari pohon
yang tinggi, selama belum ditebang;
5) Pipa dan salurán yang digunakan untuk mengalirkan air
dari rumah atau pekarangan; dan pada umumnya segala
sesuatu yang tertancap dalam pekarangan atau terpaku
pada bangunan. (Pasal 506 Kitab Undang – Undang
Hukum Perdata)
Yang termasuk barang tak bergerak karena tujuan adalah:
a. Pada pabrik; barang hasil pabrik, penggilangan,
penempaan besi dan barang tak bergerak semacam itu,
apitan besi, ketel kukusan, tempat api, jambangan, tong
dan perkakas – perkakas sebagainya yang termasuk
bagian pabrik, sekalipun barang itu tidak terpaku;
b. Pada perumahan: cermin, lukisan dan perhiasan lainnya
bila dilekatkan pada papan atau pasangan batu yang
merupakan bagian dinding, pagar atau plesteran suatu
ruangan, sekalipun barang itu tidak terpaku;
c. Dalam pertanahan: lungkang atau tumbuhan pupuk yang
dipergunakan untuk merabuk tanah; kawanan burung
merpati; sarang burung yang biasa dimakan, selama
belum dikumpulkan; ikan yang ada di dalam kolam;
d. Runtuhan bahan bangunan yang dirombak, bila
dipergunakan untuk pembangunan kembali; dan pada
umumnya semua barang yang oleh pemiliknya
dihubungkan dengan barang tak bergerak guna dipakai
selamanya. (Pasal 507 Kitab Undang – Undang Hukum
Perdata)
Pemilik dianggap telah menghubungkan barang –
barang itu dengan barang tak bergerak guna dipakai untuk
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
25
Universitas Indonesia
selamanya, bila barang – barang itu dilekatkan padanya
dengan penggalian, pekerjaan perkayuan dan pemasangan
batu semen, atau bila barang – barang itu tidak dapat
dilepaskan tanpa membongkar atau merusak barang itu atau
bagian dari barang tak bergerak di mana barang – barang itu
dilekatkan.
Yang juga merupakan barang tak bergerak adalah hak
–hak sebagai berikut;
a. Hak pakai hasil dan hak pakai barang tak bergerak.
b. Hak pengabdian tanah;
c. Hak numpang karang;
d. Hak guna usaha;
e. Bunga tanah, baik dalam bentuk uang maupun dalam
bentuk barang;
f. Hak sepersepuluhan;
g. Pajak bazar atau pasar yang diakui oleh pemerintah
dan hak Istimewa yang berhubungan dengan itu;
h. Hak gugatan guna menuntut pengembalian atau
penyerahan barang tak bergerak. (Pasal 508 Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata).
Pembagian kedua jenis benda tersebut bukan dilakukan
tanpa tujuan tetapi justru memiliki konsekuensi yuridis yaitu :
a. Dalam hal jaminan benda bergerak digadaikan sebaliknya
benda tak bergerak dihipotikkan.
b. Dalam hal peralihan (jual beli, hibah, tukar menukar) benda
bergerak diserahkan secara fisik, sebaliknya benda tak
bergerak dilakukan dengan cara membuat akta otentik
dihadapan pejabat tertentu.
c. Asas yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1977 Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata hanya berlaku terhadap
benda bergerak, sebaliknya benda tak bergerak tidak
berlaku.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
26
Universitas Indonesia
Asas yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1977
yaitu sebagai berikut :
“Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya.”
Dari uraian tersebut di atas ada yang menjadi anggapan/
sangkaan hukum bahwa setiap yang menguasai benda bergerak
harus dianggap ia sebagai pemilik, konsekuensinya ialah
barang siapa yang menyatakan bahwa benda yang dikuasai
orang tersebut sebagai miliknya maka dialah yang dibebani
pembuktian. Yang patut di garis bawahi disini ialah sangkaan/
anggapan hukum tersebut hanya berlaku terhadap benda
bergerak berarti kalau kita menggunakan metode konstruksi
hukum Argument a Contrario kita dapat menarik kesimpulan
bahwa terhadap benda tetap (termaksud tanah) tidak berlaku.
Hubungan antar asas tersebut dengan penerbitan
sertifikat hak milik atas tanah dapat dijelaskan karena asas
dimaksud tidak berlaku terhadap benda tak bergerak maka bagi
yang menguasai benda tak bergerak (termaksud tanah) belum
dianggap sebagai pemilik, sehingga dengan kata lain
membuktikan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah
tertentu tidak cukup dengan cara menguasainya secara de facto
melainkan diperlukan bukti tertentu sebagai pendukungnya.21
Bukti tersebut tidak lain adalah sertifikat hak milik atas
tanah. Sebagai bukti alas hak yang sah dan dimiliki kekuatan
pembuktian sempurna. Dengan diterbitkannya sertifikat,
kepastian hukumnya akan lebih terjamin yang meliputi :
a. Kepastian hukum tentang subyeknya, maksudnya adalah
dengan diterbitkannya sertifikat hak milik atas tanah secara
21 Abdurrahman, Tentang dan Sekitar UUPA, (Bandung: Alumni, 1995), Hal. 109.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
27
Universitas Indonesia
yuridis telah terjamin bahwa orang yang namanya tersurat
di dalam sertifikat sebagai pemilik atas tanah tertentu.
b. Kepastian tentang obyeknya, maksudnya dengan
diterbitkannya sertifikat hak milik atas tanah, baik letak,
luas maupun batas-batas tanah lebih terjamin karena
didalam sertifikat hal-hal yang berkenaan dengan suatu
bidang tanah termaksud gambar situasi termuat didalamnya.
Dengan terciptanya kedua kepastian hukum di atas kita
mengharapkan sengketa atau konflik di bidang pertanahan
lambat laun akan semakin berkurang dan inilah sebenarnya
tujuan akhir dari penerbitan sertifikat. Abdurrahman 22menyatakan bahwa :
Lebih parah lagi adalah timbulnya dua atau lebih
sertifikat tanda bukti hak atas tanah yang sama. Kondisi
demikian tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum
melainkan juga merugikan bagi pemegang bukti hak sebab
diantara sekian banyak sertifikat mungkin hanya satu yang sah,
selebihnya cacat hukum dan ini akan teruji kalau antara
mereka telah terjadi sengketa di pengadilan.
2. Fungsi Sertifikat Bagi Pemegangnya
Sebagai konsekuensi dari terciptanya kepastian hukum mengenai
subyek dan obyek maka dengan diterbitkannya sertifikat tersebut
dapat menimbulkan beberapa fungsi bagi pemiliknya yaitu :
a. Nilai ekonomisnya (harga jual) lebih tinggi
Dalam jual beli pada umumnya pembeli (konsumen) memiliki
pandangan, lebih baik kalah dalam membeli tetapi menang
dalam pemakaian daripada menang dalam membeli tetapi
kalah dalam memakai. Bertolak dari pandangan seperti itulah
sehingga tanah yang telah bersertifikat memiliki harga yang
jauh lebih tinggi ketimbang tanah yang belum bersertifikat.
22 Ibid., Hal. 120.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
28
Universitas Indonesia
Kenapa demikian, karena tanah yang telah bersertifikat telah
memiliki jaminan kepastian hukum baik subyek maupun
obyeknya. Kepastian hukum mengenai subyek, dalam hal ini
ada jaminan oleh hukum bahwa penjual adalah pemilik tanah
yang sesungguhnya. Dengan begitu telah menepiskan keragu-
raguan dari pembeli atas gangguan pihak ketiga. Kepastian
hukum mengenai obyek, bahwa luas dan batas-batas tanah
tidak perlu diragukan lagi karena kedua hal tersebut telah
tersurat di dalam sertifikat tanah.23
b. Tanah lebih mudah dijadikan sebagai jaminan utang
Tidak setiap orang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup,
sering ditemukan orang dalam mempertahankan hidupnya
harus meminjam uang dari pihak/ orang lain. Demikian juga
halnya dengan para pelaku usaha, bahwa tidak setiap pelaku
usaha memiliki modal yang cukup untuk tetap bertahan atau
mengembangkan usahanya, terkadang harus membutuhkan
dana yang cukup besar, sementara dana dimaksud tidak
dimilikinya. Suatu alternatif yang dapat ditempuh ialah dengan
cara meminjam dana dari orang/pihak lain.
Bertolak dari kenyataan tersebut pemerintah bahkan
pihak swasta membentuk lembaga-lembaga keuangan
misalnya, lembaga perbankan dimana salah satu fungsinya
memberi kredit bagi setiap orang yang membutuhkannya.
Suatu keraguan lalu muncul, bagaimana kalau debitur
terlambat atau tidak mengembalikan uang pinjamannya; kalau
ini terjadi kreditur akan menderita kerugian. Untuk mengatasi
hal ini lalu kreditur membuat persyaratan bahwa dalam
perkreditan disyaratkan adanya jaminan (garansi), maksudnya
para debitur hanya akan diberi kredit jika ada barang yang
dijaminkan.
23 Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1983), Hal. 73.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
29
Universitas Indonesia
Barang yang menjadi obyek jaminan tersebut meliputi
segala macam barang yang memiliki nilai ekonomi, termasuk
tanah. Dengan adanya barang yang dijaminkan kreditur tidak
perlu ragu akan pengembalian uang pinjaman sebab sekalipun
debitur wanprestasi barang dimaksud dapat dijual lelang dan
hasil penjualannya digunakan untuk pelunasan utang.
Keraguan yang muncul berikutnya adalah bagaimana kalau
barang yang dijaminkan tersebut bukan milik debitur; kalau ini
terjadi proses pelelangan akan terhambat oleh gangguan pihak
ketiga sebagai pemilik tanah yang sesungguhnya.
Konsekuensinya ialah pelelangan tidak dapat dilakukan
sehingga uang pinjaman tidak dapat dikembalikan oleh debitur
apa bila secara yuridis pihak ketiga itu mampu membuktikan
bahwa barang jaminan sebagai miliknya.
Terbayangi oleh dampak terburuk itu lalu muncul
pemikiran bahwa kalau sebidang tanah yang dijadikan sebagai
jaminan pelunasan utang disyaratkan dengan sertifikat tanah
dimaksud agar ada kepastian hukum, bahwa debitur adalah
benar-benar sebagai pemilik atas tanah yang dijaminkan itu.24
c. Potensi untuk menang dalam berperkara lebih terbuka
Ada pepatah dalam bahasa latin yang berbunyi “Sivis Pacem
Para Bellum” yang berarti hendak damai siapkan perang.
Rupanya pepatah tersebut tidak hanya dapat diterapkan pada
perang dalam arti yang sesungguhnya tetapi justru cukup
memberi inspirasi dalam dunia hukum, dalam hal ini
berperkara di pengadilan.25
Sertifikat hak milik atas tanah dapat diklasifikasikan
dalam golongan alat bukti tertulis/ surat. Bagi kita di Indonesia
hingga kini alat bukti primer (utama) lebih khusus lagi akta
otentik. Apa yang dinamakan akta otentik tidak lain adalah
24 Ibid., Hal. 74 25 Boedi Harsono. Log. Cit., Hal. 431.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
30
Universitas Indonesia
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan oleh Undang –
Undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
ditempat dimana akta itu dibuatnya. Berdasarkan rumusan
diatas maka sertifikat memenuhi syarat untuk digolongkan
kedalam akta otentik karena dibuat oleh pejabat tertentu.
Akta otentik dinamakan alat bukti primer karena
memiliki keunggulan tersendiri yang tidak dimiliki alat bukti
lain. Suatu keunggulan bagi akta otentik dibanding dengan alat
bukti lain ialah dari segi kekuatan pembuktiannya (Vis
Probandi) bahwa akta otentik memiliki kekuatan pembuktian
sempurna (Volledige Bewijs Kracht) artinya kekuatan
pembuktian yang memberikan kepastian hukum yang cukup,
kecuali terbukti sebaliknya. Sehingga menurut hukum akta
otentik (termasuk sertifikat hak milik atas tanah) untuk
sementara harus dianggap sebagai suatu yang benar sepanjang
belum terbukti kepalsuan nya. Konsekuensinya ialah barang
siapa yang membantah keasliannya pihak inilah yang harus
membuktikannya bahwa akta itu palsu, berarti kalau tidak
terbukti kepalsuannya maka pihak ini harus kalah dalam
perkaranya.26
d. Dapat memberi proteksi yuridis bagi pemegangnya
Seseorang yang bukan pemilik tanah menerbitkan sertifikat
hak milik terhadap tanah tersebut atas namanya tanpa seizin
pemilik sesungguhnya jika keduanya terlibat sengketa di
pengadilan dimana sertifikat dijadikan sebagai alat bukti
hampir dapat dipastikan pemegang sertifikat ini akan
memenangkan perkara, sebab paling tidak secara yuridis ia
telah membuktikan hak-haknya terhadap tanah tersebut.
Kebenaran hukum itu terkadang tidak mencapai kebenaran
yang sesungguhnya, dengan kata lain “pengertian yang benar”
menurut hukum ialah pihak yang mampu membuktikan dalil-
26 Ibid., Hal. 432.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
31
Universitas Indonesia
dalilnya dan mampu membuktikan dalil-dalil sangkalannya
yang diajukan pihak lawan dengan menggunakan alat – alat
bukti yang sah. Sebaliknya bagi pihak lawannya sekalipun ia
sebagai pemilik tanah yang sesungguhnya tetapi karena dalam
perkara, para pihak mampu membuktikan haknya atas tanah
yang dipersengketakan.27
Sertifikat sebagai salah satu bukti kepemilikan hak,
menjadi salah satu hal penting dalam pembangunan kesadaran
hukum masyarakat. Oleh karena itu penerbitan sertifikat,
menjadi sangat penting dalam sebuah negara hukum.
2.1.3.4. Proses Pendaftaran Tanah
Proses pendaftaran tanah pertama kali merupakan kegiatan
fisik untuk memperoleh data mengenai letaknya, batas – batasnya,
luasnya dan bangunan – bangunan yang terdapat di atasnya,
penetapan batas dan pemberian tanda – tanda batas yang jelas,
berdasarkan penunjukan oleh pemegang hak atas tanah dengan
persetujuan pemilik tanah berbatasan. Selanjutnya diadakan
pengukuran diikuti dengan perhitungan luas dan pembuatan peta
bidang tanahnya yang kemudian diterbitkan menjadi surat ukur.28
Kegiatan bidang yuridis bertujuan untuk memperoleh data
mengenai status tanah dan pemiliknya serta ada atau tidaknya hak
pihak lain, yang membebaninya yang diperlukan guna penetapan
surat keputusan haknya baik melalui penetapan konversi, pengakuan
hak atau pemberian hak. Kegiatan berikutnya adalah pengukuran
tanah, berdasarkan surat keputusan haknya dengan mencatatnya
dalam buku tanah, selanjutnya diterbitkan sertifikat hak atas tanah
sebagai salinan dari buku tanah dan suratyang berlaku; sebagai tanda
bukti hak yang kuat sertifikat tanah memuat data pemegang hak,
jenis hak serta dilengkapi surat ukur memuat letak batas-batas
bidang tanah yang bersangkutan. Ketentuan mengenai prosedurnya; 27 Ibid., Hal. 428. 28 Ibid., Hal. 54.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
32
Universitas Indonesia
pengumpulan, penyimpanan, dan penyajian data fisik dan data
yuridis serta penerbitan sertifikat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997. Sebagaimana telah diuraikan di atas,
pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui
pendaftaran secara sistematik atau sporadik. Pendaftaran tanah
secara sistematik dilaksanakan atas prakarsa badan pertanahan
nasional yang didasarkan atas suatu rencana kerja jangka panjang
dan rencana tahunan, yang berkesinambungan. Pelaksanaan
dilangsungkan diwilayah-wilayah yang ditentukan oleh menteri serta
diwilayah-wilayah yang belum ditunjuk oleh menteri.
Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas prakarsa
pihak yang berkepentingan yaitu pihak yang berhak atas obyek
pendaftaran tanah yang bersangkutan; yang akan diutamakan dalam
pendaftaran tanah secara sistematik tetapi pendaftaran tanah secara
sporadik juga akan ditingkatkan29, dengan kegiatan – kegiatan
sebagai berikut:
1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik
Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik
pertama-tama dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan
kegiatan ini meliputi :
a. Pembuatan peta dasar pendaftaran
b. Penetapan atas bidang-bidang tanah
c. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan
peta pendaftaran
d. Pembuatan daftar tanah
e. Pembuatan surat ukur
2. Pembuatan peta dasar pendaftaran
Kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik disuatu
wilayah yang di tunjuk dimulai dengan pembuatan peta dasar
pendaftaran. Peta dasar pendaftaran tersebut menjadi dasar
29 Ibid., Hal. 54.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
33
Universitas Indonesia
pembuatan peta pendaftaran sebagaimana yang dimaksud dalam
uraian di atas, selain untuk pembuatan peta pendaftaran dalam
pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik peta dasar
pendaftaran juga digunakan untuk memetak bidang-bidang tanah
yang sebelumnya sudah didaftar.
Penyiapan peta dasar pendaftaran diperlukan agar setiap
bidang tanah yang didaftar dijamin letaknya, secara pasti karena
dapat direkonstruksi dilapangan setiap saat untuk maksud
tertentu, diperlukan adanya titik-titik dasar teknik nasional. Titik
– titik dasar teknik adalah titik yang tetap yang mempunyai
koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungn
dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol
atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas.
Di wilayah – wilayah lain untuk keperluan pendaftaran
tanah secara sporadik diusahakan juga tersedianya peta dasar
pendaftaran; yang dimaksud dengan adanya peta dasar
pendaftaran tersebut dibidang tanah yang didaftar dapat diketahui
letaknya dalam kaitannya dengan bidang – bidang tanah yang lain
dalam suatu wilayah sehingga dapat dihindarkan terjadinya
sertifikat ganda atas suatu bidang tanah.30
3. Penetapan batas-batas bidang tanah
Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bidang –
bidang tanah yang akan diukur, setelah ditetapkan letak batas –
batasnya dan menurut keperluan ditetapkan tanda – tanda batas
disetiap sudut bidang tanah yang bersangkutan; dalam penetapan
batas tersebut diupayakan penetapan dasar batas berdasarkan
kesepakatan para pihak yang berkepentingan, untuk memperoleh
bentuk yang tertata dengan baik bagi bidang – bidang tanah yang
semula kurang baik bentuknya.31
30 Ibid., Hal. 72. 31 Ibid., Hal. 73.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
34
Universitas Indonesia
Penetapan batas – batas bidang tanah yang sudah dimiliki
dengan suatu hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar,
tetapi belum ada surat ukur atau gambar situasinya atau surat ukur
atau gambar situasinya tidak sesuai lagi dengan keadaan yang
sebenarnya, dilakukan berdasarkan penunjukan batas oleh
pemegang hak yang bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui
oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan; penetapan
batas bidang tanah yang akan diberikan dengan hak baru oleh
negara (Badan Pertanahan Nasional) dilakukan sesuai ketentuan
tersebut diatas atau penunjukkan instansi yang berwenang (Pasal
18 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).
Penetapan batas bidang-bidang di tanah tersebut jika tidak
diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan, dengan pemegang hak atas tanah yang berbatasan
atau pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak hadir,
biarpun sudah ada pemanggilan. Maka pengukuran bidang
tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan
batas – batas yang menurut kenyataannya merupakan batas –
batas bidang tanah yang bersangkutan. (menurut Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997)
4. Pengukuran dan pemetaan bidang – bidang tanah dan pembuatan
peta pendaftaran
Bidang – bidang tanah yang sudah ditetapkan batas –
batasnya di ukur dan selanjutnya dipetakan dalam peta dasar
pendaftaran, untuk bidang tanah yang luas pemetaannya
dilakukan dengan cara membuat peta sendiri, dengan
menggunakan data yang diambil dari peta dasar pendaftaran dan
hasil ukur batas tanah yang akan dipetakan.
Jika dalam wilayah pendaftaran tanah secara sporadik
belum ada peta dasar pendaftaran, dapat digunakan peta lain
sepanjang peta tersebut memenuhi persyaratan teknis untuk
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
35
Universitas Indonesia
pembuatan peta pendaftaran. Misalnya peta dari instansi
pekerjaan umum atau instansi pajak; dalam keadaan terpaksa
karena tidak tersedia peta dasar pendaftaran tanah ataupun peta
lain pembuatan peta dasar pendaftaran dapat dilakukan bersama-
sama dengan pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang
bersangkutan dan bidang – bidang tanah sekelilingnya yang
berbatasan sehingga letak relatif bidang tanah itu dapat
ditentukan.
Apabila dijumpai keadaan seperti dikemukakan dalam pasal
19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 pengukuran
diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas – batas
yang menurut kenyataan merupakan batas – batas tanah yang
bersangkutan; mengenai dilakukannya pengukuran sementara itu
dan belum diperolehnya kesepakatan mengenai penetapan batas
tersebut dibuat suatu berita acara dalam gambar ukur, sebagai
hasil pengukuran yang dilakukan, dibubuhkan catatan atau tanda
yang menyatakan bahwa batas – batas tanahnya masih merupakan
batas sementara.32
5. Pembuatan daftar tanah
Bidang atau bidang – bidang tanah yang sudah dipetakan
atau dibubuhkan nomor pendaftarannya pada peta pendaftaran, di
bukukan dalam daftar tanah yang bentuk, isi, cara pengisian,
penyimpanan dan pemeliharaannya akan diatur. Daftar tanah
dimaksudkan sebagai sumber informasi yang lengkap mengenai
nomor bidang, lokasi dan penunjukan kenomor surat ukur bidang
– bidang tanah yang ada di wilayah pendaftaran baik sebagai hasil
pendaftaran untuk pertama kali maupun pemeliharaannya
kemudian.33
32 Ibid., Hal. 79. 33 Ibid., Hal. 80.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
36
Universitas Indonesia
6. Pembuatan surat ukur
Untuk keperluan pendaftaran haknya, bidang – bidang
tanah yang sudah diukur serta dipetakan dalam peta pendaftaran
dibuatkan surat ukur yang dimaksud dalam uraian diatas,
demikian ditentukan dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 1997 beda dengan ketentuannya dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 surat ukur bukan kutipan dari
peta pendaftaran tanah, surat ukur memuat data fisik yang diambil
dari peta pendaftaran.34
Untuk wilayah – wilayah pendaftaran tanah secara
sporadik yang belum tersedia peta pendaftaran surat ukur dibuat
dari hasil pengukuran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
7. Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan hak
Dalam kegiatan pengumpulan data yuridis diadakan
perbedaan antara pembuktian hak baru dan hak lama, hak – hak
baru adalah hak – hak yang baru diberikan atau diciptakan sejak
mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Sedangkan hak – hak lama yaitu hak – hak atas tanah yang
berasal dari konversi hak – hak yang ada pada waktu mulai
berlakunya UUPA dan hak – hak yang belum didaftar menurut
Peraturan Pemerintah 10 Tahun 1961.
Untuk keperluan pendaftaran tanah, dalam Pasal 23
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditentukan bahwa:
a. Hak atas tanah baru data yuridisnya dibuktikan dengan:
1) Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang
memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan
yang berlaku, apabila pemberian hak tersebut berasal dari
tanah negara atau tanah hak pengelolaan yang dapat
diberikan secara individual kolektif ataupun secara umum
34 Ibid., Hal. 83.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
37
Universitas Indonesia
2) Asli akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang memuat hak
yang bersangkutan, mengenai Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai atas tanah Hak Milik.
b. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak
pengelolaan oleh pejabat yang berwenang.
c. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf di tinjau dari
sudut objeknya pembukuan tanah wakaf merupakan
pendaftaran untuk pertama kali, meskipun bidang tanah yang
bersangkutan sebelumnya sudah didaftar sebagai tanah milik.
d. Hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta
pemisahan biarpun hak atas tanah tempat bangunan gedung
rumah susun yang bersangkutan berdiri sudah didaftar.
e. Pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian
hak tanggungan.
Untuk pembuktian hak – hak atas tanah yang sudah ada
dan berasal dari konversi hak – hak lama data yuridisnya,
dibuktikan dengan alat – alat mengenai adanya tersebut berupa
bukti tertulis keterangan saksi dan atau hak pernyataan yang
bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh panitia ajudikasi
dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak, dan hak –
hak pihak lain yang membebaninya. Demikian yang ditetapkan
dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 alat – alat bukti tersebut adalah bukti pemilikan.
Maka mengenai kepemilikan itu ada tiga kemungkinan
alat pembuktian yaitu :
a. Bukti tertulisnya lengkap tidak memerlukan tambahan alat
bukti lain
b. Bukti tertulis sebagian tidak ada lagi, diperkuat keterangan
saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan.
c. Bukti tertulisnya semuanya tidak ada lagi, diganti keterangan
saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
38
Universitas Indonesia
Tetapi semuanya akan diteliti lagi melalui pengumuman
untuk memberi kesempatan kepada pihak – pihak yang
berkepentingan mengajukan keberatan.
8. Pengumuman data fisik dan data yuridis
Daftar isian tersebut memuat data yuridis beserta peta
bidang atau bidang tanah yang bersangkutan sebagai hasil
pengukuran. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang memuat data
fisik diumumkan selama 30 hari dalam pendaftaran tanah secara
sistematik, sedangkan 60 hari dalam pendaftaran tanah secara
sporadik.
Untuk memudahkan pelaksanaanya dalam pendaftaran
tanah secara sistematik pengumuman tidak harus dilakukan
sekaligus mengenai semua bidang tanah, dalam wilayah yang
ditetapkan tetapi dapat dilaksanakan secara bertahap;
pengumuman ini dilakukan dikantor kelurahan serta media massa,
dalam hal ini baik media cetak maupun elektronik; hal ini
ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997.
Tujuan diadakan pengumuman ialah memberi kesempatan
kepada pihak – pihak yang bersangkutan atau berkepentingan
mengajukan keberatan; jika dalam jangka waktu pengumuman
tersebut ada yang mengajukan keberatan mengenai data fisik dan
yuridis yang diumumkan, ketua panitia ajudikasi mengusahakan
agar secepatnya keberatan yang diajukan diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat.
Jika usaha tersebut tidak dapat dilakukan atau tidak
membawa hasil, ketua panitia ajudikasi memberitahukan secara
tertulis kepada pihak yang mengajukan keberatan, agar
mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai data fisik dan atau
data yuridis setelah jangka waktu pengumuman berakhir, data
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
39
Universitas Indonesia
fisik dan data yuridis yang diumumkan oleh ketua panitia
ajudikasi disahkan dengan suatu berita acara yang bentuknya
ditetapkan oleh menteri.
Jika masih ada kekurangan lengkap data fisik dan data
yuridis yang bersangkutan atau masih ada keberatan yang belum
diselesaikan, pengesahan yang dimaksud dilakukan dengan
membubuhkan catatan mengenai hal – hal yang belum
diselesaikan, mengenai hal – hal yang belum lengkap dan atau
keberatan yang belum diselesaikan.35
9. Pembukuan Hak
Pelaksanaan pembukuan diatur dalam Pasal 30 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, atas dasar alat bukti dan
berita acara pengesahan tersebut diatas hak atas bidang tanah :
a. Data fisik dan yuridis sudah lengkap dan tidak ada yang
disengketakan dilakukan pembukuannya dalam buku tanah.
b. Data fisik dan yuridis belum lengkap dan tidak ada yang
disengketakan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah
dengan catatan mengenai hal-hal yang belum lengkap.
c. Data fisik dan yuridis disengketakan tetapi diajukan gugatan
kepengadilan, pembukuannya dalam buku tanah dengan
catatan mengenai adanya sengketa tersebut.
d. Data fisik dan atau data yuridis disengketakan dan diajukan
gugatan di pengadilan tetapi tidak ada perintah dari pengadilan
untuk status quo dan tidak ada putusan penyitaan dari
pengadilan, dilakukan pembukuan dalam buku tanah dengan
catatan mengenai adanya sengketa tersebut.
e. Data fisik dan yuridis disengketakan dan diajukan gugatan
dipengadilan tetapi ada perintah dari pengadilan untuk status
quo dan tidak ada putusan penyitaaan dari pengadilan,
dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dan
35 Ibid., Hal. 89.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
40
Universitas Indonesia
mengosongkan nama pemegang haknya dan hal-hal lain yang
di sengketakan.36
10. Penerbitan Sertifikat
Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak diterbitkan untuk
kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan
data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah
didaftarkan dalam buku tanah. Sertifikat hanya boleh diberikan
kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah yang
bersangkutan sebagai pemegang hak atau pihak lain yang
dikuasakan olehnya. Dalam hal pemegang hak sudah meninggal
dunia sertifikat diterimakan kepada ahli warisnya atau salah
seorang ahli warisnya dengan persetujuan ahli waris lainnya37
2.1.4. Hak Guna Bangunan
2.1.4.1. Pengertian Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah yang
diatur dalam Undang – Undang Pokok Agraria. Menurut ketentuan
Pasal 35 UUPA yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan - bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
(2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
(3) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Dapat diketahui bahwa yang dinamakan Hak Guna Bangunan
adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah
yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu selama 30 tahun.
36 Ibid., Hal. 428 – 451. 37 Ibid., Hal. 451.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
41
Universitas Indonesia
Jadi, dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas
tanah di mana bangunan tersebut didirikan. Ini berarti seorang
pemegang Hak Guna Bangunan adalah berbeda dari Pemegang Hak
Milik atas bidang tanah di mana bangunan tersebut didirikan.
Sehubungan Hak Guna Bangunan ini, Pasal 37 Undang –
Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa:
Hak Guna Bangunan terjadi: a. mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara;
karena penetapan Pemerintah; b. mengenai tanah milik; karena perjanjian yang berbentuk
otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.
2.1.4.2. Subjek Hukum Yang Dapat Menjadi Pemegang Hak Guna
Bangunan
Kepemilikan Hak Guna Bangunan diatur dalam ketentuan
Pasal 36 UUPA yang menyatakan bahwa:
(1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah a. warga-negara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (2) Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna
Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sejalan dengan ketentuan – ketentuan tersebut, dapat
diketahui bahwa Undang – undang memungkinkan dimilikinya Hak
Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang didirikan menurut
ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan yang
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
42
Universitas Indonesia
berkedudukan di Indonesia. Dua Unsur tersebut harus secara
bersama – sama ada atau suatu keharusan kumulatif, jika badan
hukum tersebut ingin menpunyai Hak Guna Bangunan di Indonesia.
2.1.4.3. Tanah Yang Dapat Diberikan Dengan Hak Guna Bangunan
Ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 menentukan bahwa:
Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah: b. Tanah Negara; c. Tanah Hak Pengelolaan; d. Tanah Hak Milik.
1. Hak Guna Bangunan di Atas Tanah Negara dan Tanah Hak
Pengelolaan
Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan yang diberikan
di atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan di atur lebih
lanjut dalam ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 199638 menentukan bahwa:
Pasal 22 (1) Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan
dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 23 (1) Pemberian Hak Guna Bangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 di daftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
(2) Hak Guna Bangunan atas tanah Negara atau atas tanah Hak Pengelolaan terjadi sejak di daftar oleh Kantor Pertanahan.
38 Indonesia (f), Peraturan Pemerintah tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, PP Nomor 40 Tahun 1996, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
43
Universitas Indonesia
(3) Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Guna Bangunan diberikan sertifikat hak atas tanah.
Dari kedua ketentuan tersebut, dapat di ketahui bahwa
Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Negara dan
tanah Hak pengelolaan harus berdasarkan keputusan Menteri
Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, dengan
memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara,
khususnya ketentuan dalam Pasal 4, Pasal 9 dan Pasal 13. Maka
dapat diketahui bahwa terhadap pemberian Hak Guna Bangunan
a. Sampai dengan 2000 m2 (dua ribu meter persegi), pemberian
Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dilakukan oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya;
b. Mulai dari 2000 m2 (dua ribu meter persegi) hingga 150.000
m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi), pemberian Hak
Guna Bangunan atas tanah Negara dilakukan oleh Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi;
c. Diatas 150.000 m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi);
pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dilakukan
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional/ Menteri Negara
Agraria;
d. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan
dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/
Kotamadya.
2. Hak Guna Bangunan di Atas Tanah Hak Milik
Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik diatur dalam
Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 16 tahun 1997 tentang perubahan Hak Milik
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
44
Universitas Indonesia
menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna
Bangunan menjadi Hak Pakai.
Dari Ketentuan tersebut diketahui bahwa terjadinya Hak Guna
Bangunan dari Hak Milik adalah karena:
a. Sukarela, dilakukan dengan cara pelepasan Hak Milik atas
tanah yang disertai dengan pemberian Hak Guna Bangunan.
b. Hasil Lelang, yang diperoleh badan hukum.
Dalam Penjelasan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 40
tahun 1996 maka jelas bahwa pemberian hak milik lahir pada saat
dibuatnya akta pemberian Hak Guna Bangunan tersebut oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pendaftaran yang dilakukan adalah
untuk mengikat pihak ketiga.
2.1.5. Buku Letter C
2.1.5.1. Isi Buku Letter C
Penjelasan mengenai isi Buku Letter C ini penulis disini juga
didasarkan atas pendapat masyarakat, sarjana, dan menurut contoh
Buku Letter C yang dimiliki.
1. Masyarakat berpendapat isi Buku Letter C adalah :
a. Mengenai luas dan kelas tanah serta nomor persil
b. Mengenai nama pemilik
c. Mengenai jumlah pajak
2. Sarjana dalam hal ini adalah R. Soeprapto, menyatakan isi buku
Letter C adalah :
a. Daftar tanah
b. Nama pemilik dengan nomor urut
c. Besarnya pajak
3. Contoh Buku Letter C, isinya adalah :
a. Nama pemilik
b. Nomor urut pemilik
c. Nomor bagian persil
d. Kelas desa
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
45
Universitas Indonesia
e. Menurut daftar pajak bumi yang terdiri atas :
1) Luas tanah, hektar (ha) dan are (da)
2) Pajak, R (Rupiah) dan S (Sen)
f. Sebab dan hal perubahan
g. Mengenai Kepala Desa/Kelurahan yaitu, tanda tangan dan
stempel desa
NAMA : NO :
Nomor dan Bagian Persil
Kelas Desa
Menurut Daerah Perijinan Pajak Bumi
Sebab dan Perubahan Luas Tanah Pajak
Ha Da R S
Nama desa, Tgl, ……………………
Mengetahui,
Kepala Desa/Kelurahan
ttd
Gambar 1. Contoh Buku Letter C
Di dalam keterangan ataupun contoh di atas terdapat kata “Persil”
dan kelas desa, supaya lebih jelas saya mencoba akan menjelaskan
apa yang dimaksud dengan persil dan kelas desa.
a. Persil adalah suatu letak tanah dalam pembagiannya atau disebut
juga blok.
Tanah dengan luas 1 hektar, atau tanah itu dibagi dengan berbagai bagian yang
pemiliknya berbeda, luas tanahnya berbeda.
Persil 1 Persil 4
Persil 2
Persil 5 Persil 6 Persil 7 Persil 3
Gambar 2. Contoh Persil
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
46
Universitas Indonesia
b. Kelas Desa adalah suatu kelas tanah biasanya dipergunakan untuk
membedakan antara tanah darat dan tanah sawah atau diantara
tanah yang produktif dan non produktif ini terjadi pada saat
terbitan tahun dulu.
Contoh :
a) Kelas d. I, d.II, adalah kelas ini digunakan untuk perumahan
b) Kelas S.I, S.II, adalah kelas ini digunakan untuk sawah dan
pertanian
Selanjutnya kita akan membahas pihak – pihak yang ada
dalam buku letter C yang sangat berperan. Pertama kita akan
membahas pemilik tanah dan yang berwenang mencatat keterangan
tersebut dalam buku letter C.
1. Pemilik tanah
Pihak di sini adalah pihak yang keterangan mengenai
tanahnya baik persil, kelas desa, luas tanah, besarnya pajak dicatat
di dalam buku Letter C. Berarti pemilik tanah ini adalah seorang
yang memiliki hak atas tanah tersebut.
Pendaftaran pada waktu itu yang kita kenal hanyalah
pendaftaran untuk hak – hak atas tanah yang tunduk kepada Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata Barat, sungguh pun juga ada
orang – orang Bumiputera yang mempunyai hak – hak atas tanah
yang berstatus Hak Barat, selain dari golongan Eropa dan
golongan Timur Asing termasuk golongan China. Sesuai dengan
ketentuan perundangan yang ada, maka jika seorang bumiputera
yang memiliki tanah yang berstatus Hak Barat, maka dianggap
mereka telah menundukkan diri kepada Hukum Barat tersebut,
sebagai konsensuensi tanah-tanah bekas Hak Barat itu tunduk
Kitab Undang – undang Hukum Perdata (Barat). Untuk golongan
Bumiputera tidak ada suatu hukum pendaftaran tanah yang
bersifat uniform atau seragam, sungguhpun ada secara sporadik
kita temukan beberapa pendaftaran yang sederhana dan belum
sempurna, sebaliknya juga kita mengenal pendaftaran tanah pajak,
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
47
Universitas Indonesia
seperti girik, petuk, dan letter C yang dilakukan oleh kantor –
kantor pajak terutama di pulau Jawa.
2. Pihak yang mencatat buku letter C.
Pihak yang berwenang disini adalah Perangkat Desa/
Kelurahan, yang dilakukan secara aktif dalam pengertian adalah
bukan pemilik tanah yang datang ke Kantor Desa/ Kelurahan
untuk mencatat keterangan tanah yang mereka miliki, tetapi
secara otomatis Perangkat Desa/ Kelurahan yang mencatat.
Mengenai tindakan yang aktif dari Perangkat Desa/
Kelurahan ini tidakhanya dalam hal pencatatan Bukti Letter C
saja tetapi juga kegiatan atau transaksi-transaksi yang terjadi di
desa mereka, misalnya seperti:
a. Hibah
b. Jual beli
c. Kewarisan
d. Bagi hasil dan sebagainya
Mengenai hal ini terdapat Instruksi Presiden tahun 1980.
Sebagai contoh Instruksi Presiden Indonesia Nomor 13 tahun
1980 tanggal 10 September 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi
Hasil39. Pasal 6 ayat 1 menyatakan :
“Para Kepala Desa secara aktif mengadakan pencatatan
mengenai perjanjian – perjanjian bagi hasil yang ada di desanya
masing – masing untuk dihimpun dalam daftar yang disediakan
untuk itu dan dilaporkan kepada Camat yang bersangkutan.”
Jadi dalam hal pihak yang berwenang mencatat Buku
Letter C ini adalah Perangkat Desa/ Kelurahan secara aktif, dan di
dalam Buku Letter C ditanda tangani oleh Kepala Desa/
Kelurahan.
39 Indonesia (g), Instruksi Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil, Inpres Nomor 13 Tahun 1980.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
48
Universitas Indonesia
2.1.5.2. Fungsi Bukti letter C
Setelah membahas pengertian alat bukti, macam-macam alat
bukti, pengertian Bukti Letter C, maka dapatlah dikatakan bahwa
Bukti Letter C dapat digunakan sebagai alat bukti yang dimiliki oleh
seseorang, pada saat orang tersebut ingin memperoleh hak akan
tanahnya, dan ingin melakukan pendaftaran tanah atas namanya. Dan
tidak dapat dilupakan pula bahwa Bukti Letter C juga merupakan
syarat yang harus ada untuk pengkonversian tanah milik adat,
sebagai bukti hak milik adat. Jadi bukti letter C dapat dikatakan
sebagai alat bukti tertulis,
kemudian di dalam hal ini penulis akan membahas fungsi dari Bukti
Letter C dari beberapa segi
1. Bukti Letter C sebagai salah satu syarat untuk pengkonversian
tanah milik adat.
Pasal II UUPA, ayat 1, “ Hak – hak atas tanah yang memberi
wewenang sebagaimana atau mirip dengan Hak yang dimaksud
dalam Pasal 20 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai
dibawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini,
yaitu hak agrarisch eigendom, milik yayasan, andar beni, hak atas
druwe/ hak atas druwe desa, pesini, Grant Sultan, larderijen
bezitrercht, altijddurende Erfpacht, Hak usaha atas bekas tanah
partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan
ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai
berlakunya Undang-Undang ini, menjadi Hak Milik tersebut
dalam Pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyainya tidak
memenuhi syarat, sebagai tersebut dalam Pasal 21.”
Pengkonversian tanah milik adat dilihat dari sudut alat
bukti dapat dipisahkan dalam dua macam bekas tanah milik adat
yaitu :
a. Bekas tanah milik adat yang dianggap sudah mempunyai bukti
tertulis: girik, kekitir, petuk pajak dan sebagainya.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
49
Universitas Indonesia
b. Bekas tanah milik adat yang belum atau tidak dilengkapi
dengan alat bukti tertulis.40
Dari penjelasan di atas, maka sangat jelas disebutkan
untuk pengkonversian tanah milik adat memerlukan alat bukti,
dua macam; salah satunya petuk pajak atau bisa dikatakan Bukti
Letter C.
Dalam hal pengkonversian tanah milik adat Bukti Letter C
ini disebut sebagai tanda bukti hak.
R. Soeprapto mengemukakan tentang tanda bukti hak
milik adat sebagai berikut :
Adapun yang dimaksud dengan surat-surat bukti hak
menurut Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun
196241 ialah :
a. Surat hak tanah yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan
Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959, ordonantie tersebut
dalam S. 1873 Nomor 38 dan Peraturan Khusus di Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Keresidenan Surakarta serta
Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat (Pasal 2
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun
1962).
b. Surat Pajak Hasil Bumi/Verponding Indonesia atau bukti surat
pemberian hak dari instansi yang berwenang (Pasal 3 sub a
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun
1962).42
Dari penjelasan R. Soeprapto di atas maka semakin jelas
bahwa surat pajak (Girik, Petuk, Letter C, ) merupakan tanda
bukti hak terutama tanda hak milik adat. Kemudian R. Soeprapto
menjelaskan kembali bahwa : Menurut Permendagri Nomor SK.
40 R. Soeprapto, Op Cit, Hal. 207 41 Indonesia (h), Peraturan Menteri Pertanian Dan Agraria Tentang Penegasan Konversi Dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah, PMPA Nomor 2 Tahun 1962. 42 Ibid, Hal. 209-201
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
50
Universitas Indonesia
26/DDA/1970 (tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas
hak – hak Indonesia atas tanah).
Yang dianggap sebagai tanda bukti hak menurut Peraturan
Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun1962 Pasal 3a
adalah :
Untuk daerah-daerah yang sebelum tanggal 24 September
1960 sudah ada Pajak Hasil Bumi (Landrente) atau Verponding
Indonesia maka yang dianggap sebagai tanda bukti hak ialah :
a. Surat Pajak hasil Bumi atau Verponding Indonesia.
b. Girik, pipil, kekitir, petuk dan sebagainya hanya dikeluarkan
sebelum tanggal 24 September 1960. Jika antara tanggal 24
September 1960 sampai dengan tanggal diselenggarakannya
pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 terjadi jual beli, tukar menukar, hibah, maka asli
surat-surat akta jual beli, tukar menukar, hibah yang sah yaitu
yang dibuat dihadapan Kepala Desa/ Adat setempat, atau
dibuat menurut hukum adat setempat, harus dilampirkan juga
sebagai tanda bukti hak.43
2. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas tanah.
Memperoleh hak milik atas sebidang tanah sebagai hasil dari
pembagian warisan, membeli sebidang tanah atau hibah tidak
memerlukan prosedur yang panjang, dapat dilakukan di muka
Notaris/ Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pembuatan
akta.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tentang
pendaftaran tanah, Pasal 24 ayat 1, untuk keperluan pendaftaran
hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama yang
dibuktikan dengan bukti tertulis, diantaranya girik, kekitir, petuk
pajak bumi/ landrente.
43 Ibid, Hal. 210
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
51
Universitas Indonesia
2.1.5.3. Kutipan Buku Letter C
Kutipan Bukti Letter C yang dianggap masyarakat umumnya
adalah girik, kekitir, petuk, yang ada di tangan pemilik tanah,
sedangkan yang asli terdapat di desa/ kelurahan. Jadi dapat
disimpulkan Buku Letter C aslinya itu di Kantor Desa/ Kelurahan,
sedangkan kutipannya berupa girik, petuk, kekitir diberikan pada
pemilik tanah sebagai bukti pembayaran pajak.
2.1.5.4. Letter C Sebagai Alat Bukti Perolehan Hak Atas Tanah
Bukti Letter C sebagai alat bukti perolehan hak atas tanah ini
ada beberapa sarjana yang tidak menyetujui :
a. D. Bidara, dan Martin P. Bidara
Beliau – beliau ini menyatakan bahwa catatan dari buku desa
(Letter C) tidak dapat dipakai sebagai bukti hak milik jika tidak
disertai bukti-bukti lain. Kedua sarjana ini berpendapat atas dasar
keputusan MA. Reg. Nomor 84k/ Sip/ 1973 tanggal 25 Juni
1973.44
b. Effendi Peranginangin
Beliau dalam menjawab suatu pertanyaan “Apakah surat pajak
(girik, petuk, Letter C, Ipeda) dapat dianggap sebagai hak bukti
atas tanah, kalau sebidang tanah belum bersertifikat, maka yang
ada mungkin hanya surat pajak (girik, petuk, Letter C, tanpa
pembayaran Ipeda). Mahkamah Agung dalam beberapa
keputusannya telah menyatakan bahwa surat pajak, bukan bukti
pemilikan hak atas tanah. Surat pajak tanah hanyalah
pemberitahuan bahwa yang membayar atau wajib pajak adalah
orang yang namanya tercantum dalam surat pajak.45
c. A. P. Parlindungan
AP. Parlindungan berkomentar dalam bukunya bahwa “Kita harus
meninjau bagaimana pandangan dari Mahkamah Agung Nomor.
44 D. Bidara, dan Martin P Bidara, Ketentuan Perundang-undangan Yurisprudensi dan Pendapat Mahkamah Agung RI tentang Hukum Acara Perdata, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1984), Hal. 61. 45 Effendi Peranginangin, Pembuatan Akta, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1979), Hal. 16-17.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
52
Universitas Indonesia
34/ k.Sip/ 80. Tidak diakui sebagai bukti hak atas tanah yang sah,
surat-surat pajak bumi atau Letter C tersebut hanya merupakan
bukti permulaan untuk mendapatkan tanda bukti hak atas tanah
secara yuridis yaitu sertifikat (Pasal 13 jo Pasal 17 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961).46
Tetapi walaupun demikian Bukti Letter C tetap dikatakan
sebagai alat bukti. Mengapa demikian, karena untuk memperoleh
hak atas tanah seseorang harus memiliki alat bukti yang menyatakan
tanah itu miliknya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997, Pasal 24 ayat 1 itu menyatakan untuk keperluan pendaftaran
hak – hak atas tanah dibuktikan dengan alat bukti, salah satunya
bukti tertulis adalah Bukti Letter C yang merupakan alat bukti
perolehan hak atas tanah yaitu bukti tertulis karena Bukti Letter C itu
berisi tentang hal-hal yang menyangkut tanahnya dan semua itu
tertulis dengan jelas.
Mengenai pendapat-pendapat di atas itu tidak berarti salah
karena Letter C juga memiliki fungsi yang telah disebutkan para
sarjana-sarjana tersebut di atas, tetapi tetap dalam perkembangannya
Letter C tetaplah dinyatakan sebagai alat bukti.
Tidak cukup sampai disitu saja, pihak bank pun memiliki
keberanian bahkan keyakinan untuk memberikan kredit kepada
debitur yang memiliki tanah yang bukti kepemilikannya berupa
Letter C.
Pada penjelasan dari Pasal 8 Undang – undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan47 disebutkan sebagai berikut :
Kredit yang diberikan bank mengandung resiko, sehingga
dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas yang
sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit
dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur
46 A. P. Parlindungan, Op Cit, Hal. 31. 47 Indonesia (i), Undang – Undang tentang Perbankan, UU Nomor 7 Tahun 1992, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
53
Universitas Indonesia
untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan oleh
bank.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut sebelum memberikan
kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap
watak, kemampuan, modal, agunan, dan proyek usaha dari debitur.
Mengingat bahwa agunan adalah salah satu unsur jaminan
pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah
dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan
hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih
yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.
Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adalah
yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk dan lain-
lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan, bank tidak wajib
meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung
dengan obyek yang dibiayai yang lazim dikenal dengan “agunan
tambahan”.48
Jadi sudah semakin jelas bahwa Bukti Letter C sebagai alat
bukti untuk memperoleh dan untuk pendaftaran hak atas tanah yaitu
sebagai bukti tertulis.
2.2. Kasus Posisi
Kasus posisi kekuatan pembuktian sertifikat Hak Guna Bangunan Dan
Bukti Letter C pada studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor 190/ PDT.G/
2001/ PN.JKT.UT tanggal 17 Oktober 2001, Putusan Pengadilan Tinggi Nomor
110/ PDT/ 2002/ PT.DKI tanggal 7 Juni 2002, Putusan Mahkamah Agung Nomor
390 K/ Pdt/ 2003 tanggal 16 September 2004, Putusan Peninjauan Kembali
Nomor 163 PK/ PDT/ 2005 tanggal 27 Januari 2006, dijabarkan dibawah ini:
Para pihak yang bersengketa disini adalah PT. Taman Harapan Indah
selaku Penggugat, Terbanding, Termohon Kasasi dan Pemohon Peninjauan
Kembali dengan Bon Surya Santika selaku Tergugat, Pembanding, Pemohon
Kasasi dan Termohon Peninjauan Kembali. Dimana Penggugat telah memperoleh
48 A. P. Perlindungan, Op Cit, Hal. 30.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
54
Universitas Indonesia
lahan tanah seluas kurang lebih 18,227 m2, yang terletak di Wilayah Kelapa
Gading, Kecamatan Koja, Jakarta Utara berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama
Nomor 01/ SPK/ 1982, yang dibuat dan ditandatangani oleh Penggugat asli
dengan Badan Pelaksana Otorita Pluit Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Lahan
tanah tersebut luasnya berubah menjadi 19.150 m2 karena setelah dilakukan
pengukuran untuk pembuatan peta lokasi oleh Suku Dinas Tata Kota Jakarta
Utara;
Bahwa lahan tanah seluas tersebut diperoleh Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) Cq. Badan Pelaksana Otorita Pluit Jakarta (karena
terjadi perubahan status hukum kini berubah menjadi PT. Pembangunan Jaya) dari
Perkumpulan Sekolah Kristen Jakarta (PSKJ), karena didasari adanya tukar
menukar tanah sebagaimana terbukti dalam Surat Perjanjian Nomor 03/ Per/ PTI/
75, tanggal 29 Agustus 1975;
Bahwa dalam melaksanakan pembangunan rumah tinggal di atas lahan
tanah tersebut, Penggugat telah memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Nomor 08644/ IMB/ 1985, tanggal 11 Desember 1985;
Bahwa untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan rumah tinggal
tersebut, Penggugat mendapat hambatan karena “sebagian” lahan tanah Penggugat
dengan luas 2.970 m2, yang terletak di Blok A, Blok D, dan Blok H sebagian,
Jalan Taman Gading V, Kelurahan Kelapa Gading, Kecamatan Kelapa Gading,
Jakarta Utara, tidak dapat dikerjakan pembangunannya karena dikuasai secara
melawan hukum oleh Tergugat, padahal tanah in cassu telah memperoleh
sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513, tanggal 26 Februari 1993 dan Surat
Ukur Nomor 20/ 1992 tanggal 29 Februari 1992, dengan batas – batas seperti
disebut dalam surat gugatan;
Bahwa tanah milik Penggugat asli semula luasnya 4440 m2 terdiri dari
Letter C 333, dan bekas Hak Guna Bangunan Nomor 3195/ Kelapa Gading Timur
untuk sebagian dan seluas 1470 m2 diperuntukkan untuk “rencana jalan”,
sehingga luas tanah Penggugat yang dapat diterbitkan Sertifikat Hak Guna
Bangunan (HGB) adalah seluas 2970 m2 tentang Surat Ukur Nomor 20/ 1992
tanggal 29 Februari 1992;
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
55
Universitas Indonesia
Bahwa pada waktu Penggugat melakukan pemeriksaan lahan seluas 2.970
m2 di atas, Penggugat melihat dan menyadari tanah in cassu dikuasai Tergugat
secara melawan hukum dengan melakukan pemagaran dengan menggunakan
seng, dan diduga kuat dijaga oleh oknum Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI).;
Bahwa melihat keadaan tersebut, Penggugat langsung melapor kepada
Kantor Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (SDPPK) Jakarta Utara,dan
Kepala SDPPK Jakarta Utara telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Pekerjaan Pembangunan (SP4) Nomor 2346/ SP.4/ U/ 1994 kepada Tergugat;
Bahwa dalam realitanya Tergugat tidak mengindahkan Surat Peringatan
SDPPK Jakarta Utara tersebut, maka untuk kedua kalinya Penggugat melaporkan
Tergugat kepada Kepala SDPPK dengan hal yang sama, dan Kepala SDPPK
Jakarta Utara kembali mengeluarkan SP4 Nomor 1429/ SP.4/ U/ 1996 tanggal 15
Oktober 1996 kepada Tergugat;
Bahwa akibat Tergugat tidak mengindahkan peringatan Kepala SDPPK
Jakarta Utara, pada tanggal 18 Oktober 1996 Kepala SDPPK Jakarta Utara telah
mengeluarkan Surat Penyegelan Nomor 1379/ SP/ U/ 1996 atas seluruh bangunan
Tergugat;
Bahwa meskipun telah dua kali dikeluarkan SP4, dan terakhir Kepala
SDPPK Jakarta Utara mengeluarkan Surat Penyegelan Nomor 1379/ SP/ U/ 1996
atas seluruh bangunan Tergugat, namun Tergugat tetap tidak mengindahkannya,
dan bahkan dalam realita sekarang pagar seng tersebut telah berubah menjadi
pagar tembok yang melingkari tanah milik Penggugat tersebut.;
Bahwa akibat adanya perbuatan melawan hukum dari Tergugat, Penggugat
sampai saat ini tidak dapat melakukan pembangunan sebanyak 18 unit rumah
tinggal di atas tanah milik Penggugat seluas 2970 m2 yang terletak di daerah
tersebut, setempat dikenal Blok A, Blok D, dan Blok H sebagian, Jl. Taman
Gading Indah V Kelurahan Kelapa Gading, Jakarta Utara.;
Bahwa untuk pembangunan 18 unit rumah tinggal di atas tanah in cassu,
Penggugat telah mengurus perijinan, termasuk design structure, landscape, dan
pematangan tanah, dalam hal ini Penggugat telah mengeluarkan biaya ditaksir
sejumlah Rp. 1.688.550.000,- (satu milyar enam ratus delapan puluh delapan juta
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
56
Universitas Indonesia
lima ratus lima puluh ribu rupiah), diluar bunga Bank, akan tetapi biaya ini pada
akhirnya telah menjadi kerugian Penggugat karena lahan tanah tersebut tidak
produktif.;
Bahwa karena Tergugat masih menguasai lahan tanah Penggugat secara
melawan hukum, maka berdasarkan pada ketentuan Pasal 1246 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, kerugian yang patut dibebankan kepada Tergugat
sebesar Rp. 7.845.050.000,- (tujuh milyar delapan ratus empat puluh lima juta
lima puluh ribu rupiah), dengan perincian sebagai berikut :
Kerugian Materiil
1. Karena tidak bisa menguasai tanah milik Penggugat Rp. 2.970.000.000,-
2. Keuntungan yang diharapkan dari penjualan
18 unit rumah Tipe 70/112 (lb/lt) dan tanah Rp. 2.686.500.000,-
3. Biaya IMB, Sertifikat, pematangan tanah,
design structure, landscape Rp. 1.688.550.000,-
Total Kerugian Materil Rp. 7.345.050.000,-
(tujuh milyar tiga ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah)
Kerugian Inmateriil,
Karena keuntungan yang diharapkan tidak dapat dinikmati, yang akhirnya
menimbulkan keresahan hati yang tidak dapat dinilai dengan uang, namun
cukup pantas apabila dinilai dengan uang sebesar Rp. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah)
Bahwa untuk menghindari gugatan Penggugat tidak bersifat ilusoir dan
guna mencegah dialihkannya lahan sengketa serta harta kekayaan Tergugat, maka
Penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, agar
berkenan meletakkan Sita Jaminan terlebih dahulu, terhadap :
1. Tanah sengketa seluas 2.970 M2, terletak di Jalan Taman Gading Indah V Blok
A, Blok D, dan Blok H sebagian, Kelurahan Kelapa Gading, Kecamatan
Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang telah Penggugat peroleh Sertifikat HGB
Nomor4513 tanggal 26 Februari 1993, dan Surat Ukur Nomor 20/ 1992 tanggal
29 Februari 1992.
2. Tanah berikut bangunan rumah di Jalan Taman Gading Indah Blok H/4, Jakarta
Utara
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
57
Universitas Indonesia
Dari kasus tersebut, hakim memutuskan sebagai berikut:
1. Putusan Pengadilan Negeri Nomor 190/ PDT.G/ 2001/ PN.JKT.UT tanggal 17
Oktober 2001
PT. Taman Harapan Indah selaku Penggugat dan Bon Surya Santika
sebagai Tergugat
Menyatakan Penggugat adalah pemilik tanah seluas 2970 m2, yang
terletak di Jalan Taman Gading Indah V Blok A, Blok D dan Blok H sebagian,
Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading dan Surat
Ukur Nomor 20/1992 tanggal 29 Januari 1992, dengan batas – batas:
Sebelah Utara : Perumahan Kelapa Gading Blok KH.35
Sebelah Selatan : Taman Gading Indah Blok B, Jalan Kelapa Puyuh II;
Sebelah Timur : Komplek Perumahan PLN Blok B ;
Sebelah Barat : Perumahan Kelapa Gading, Jalan Kelapa Puyuh III
2. Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 110/ PDT/ 2002/ PT.DKI tanggal 7 Juni
2002
Bon Surya Santika selaku Pembanding semula Tergugat dan PT. Taman
Harapan Indah selaku Terbanding semula Penggugat.
Menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Utara tanggal 17
Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/2001/ PN.JKT.UT yang dimintakan banding
tersebut.
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 390 K/ Pdt/ 2003 tanggal 16 September
2004
Bon Surya Santika selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/
Pembanding dan PT. Taman Harapan Indah selaku Termohon Kasasi dahulu
Penggugat/ Terbanding dan memutuskan membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 7 Juni 2002 Nomor 110/ Pdt/
2002/ PT.DKI. dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17
Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/ PN.JKT.UT;
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
58
Universitas Indonesia
4. Putusan Peninjauan Kembali Nomor 163 PK/PDT/2005 tanggal 27 Januari
2006
PT. Taman Harapan Indah selaku Pemohon Peninjauan Kembali dahulu
Termohon Kaasasi/ Penggugat/ Terbanding dan Bon Surya Santika selaku
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/ Tergugat/
Pembanding,
Peninjauan Kembali memutuskan menolak permohonan peninjauan
kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : PT. Taman Harapan Indah
tersebut.
2.3. Analisa Pokok Permasalahan
Setelah mempelajari teori mengenai tata cara memperoleh tanah,
pendaftaran tanah, pembuktian hak, Hak Guna Bangunan, Bukti Letter C dan
kasus posisi yang menjadi pokok permasalahan serta dengan mempertimbangkan
putusan pengadilan tingkat pertama sampai dengan Mahkamah Agung merupakan
dasar untuk melakukan analisa terhadap sengketa dalam kasus yang diatas oleh
penulis.
2.3.1. Analisa yuridis sertifikat dan Bukti Letter C sebagai bukti
kepemilikan tanah
Pemahaman tentang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah adalah
hal terpenting yang harus dimiliki oleh masyarakat saat ini; hal ini
mengingat banyaknya sengketa hak atas tanah yang terjadi dewasa ini, dan
akan semakin meningkat karena kebutuhan akan tanah meningkat
sedangkan luas tanahnya bersifat tetap. Kejadian penyerobotan dan
pemalsuan tanda bukti kepemilikan tanah merupakan salah satu jenis
sengketa yang muaranya pada pengambilalihan paksa atas kepemilikan
tanah orang lain untuk memenuhi kebutuhan akan tanah tersebut. Kejadian
tersebut sebenarnya perbuatan melawan hukum, dan sangat merugikan bagi
pertumbuhan pembangunan dan perekonomian di Indonesia, karena tidak
adanya kepastian hukum. Dalam konteks inilah penulis ingin membahas
mengenai tanda bukti kepemilikan tanah yang sah dan diakui oleh hukum:
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
59
Universitas Indonesia
a. Pengertian Tanda Bukti
Pengertian alat atau tanda bukti, menurut Andi Hamzah adalah
segala apa yang menurut undang – undang dapat dipakai untuk
membuktikan sesuatu49. Sedangkan menurut Kitab Undang – undang
Hukum Perdata, Pasal 1865, istilah pembuktian memiliki pengertian
sebagai berikut:
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”
Jadi sangat jelas bahwa yang dapat menjadi suatu alat pembuktian
dalam suatu hal dalam hukum dan peradilan adalah suatu peristiwa dan
hak, contoh hak yang dimaksud diatas adalah hak atas kepemilikan tanah.
John Salindeho memberikan pengertian hak atas tanah sebagai
suatu hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan suatu
bidang tanah tertentu yang dimiliki, dimana didalamnya diatur tentang
kewenangan dan kewajiban50. Kewenangan disini diartikan sebagai
kewenangan untuk mempergunakan tanah bagi kepentingan pribadinya
dengan pembatasan tidak merugikan dan mengganggu pihak lain sesuai
yang diatur dalam UUPA.
Jadi secara ringkas dapat disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan tanda bukti hak atas tanah adalah segala alat atau tanda apapun
yang menurut undang – undang yang resmi dan sah dapat digunakan
untuk membuktikan hak seseorang atas tanah yang dimilikinya, sehingga
orang tersebut memiliki kewenangan yang luas untuk menggunakan dan
memanfaatkan tanah tersebut dengan tanpa adanya gangguan dari pihak
lain.
Di Indonesia dasar hukum atau peraturan perundang – undangan
yang menjadi rujukan dan mengatur tentang keabsahan hukum terhadap
alat atau tanda bukti hak atas tanah, atau secara umum mengatur tentang
bidang pertanahan adalah UUPA, beserta peraturan pelaksanaan
49 Andi Hamzah, Kamus Hukum. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Hal. 34. 50 John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), Hal. 184.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
60
Universitas Indonesia
dibawahnya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang
diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan
dibawahnya masih terdapat Peraturan Menteri dan peraturan pelaksanaan
lainnya.
b. Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak atas Tanah.
Mengenai pengertian sertifikat, dalam beberapa literatur kamus
memberi arti yang berbeda-beda, sebagai berikut :
1. Kamus Bahasa Inggris yang ditulis E. Pino dan Wittermans : tahun
1953, sertifikat dalam teks aslinya certificate, diartikan sebagai “surat
keterangan, surat lulusan, atau ijazah “.
2. Kamus Bahasa Indonesia populer yang ditulis Bambang Marhijanto
tahun 1996, dimana sertifikat diartikan sebagai ‘surat keterangan yang
menguatkan kedudukan sesuatu (menurut hukum yang sah), surat
tanda bukti. Maksudnya, ialah dengan sertifikat itu seseorang dapat
membuktikan kedudukannya, posisinya, pembuktian mana dikuatkan
oleh apa yang tersurat didalam sertifikat itu.
3. Kamus Hukum yang ditulis oleh J.C.T Simorangkir, dkk tahun 2000
dalam teks aslinya certificate (BLD) dimana sertifikat diartikan
sebagai surat tanda bukti, maksudnya ialah dengan sertifikat itu orang
dapat membuktikan kedudukannya apakah sebagai pemilik suatu
benda dan sebagainya. .
Sesuai dengan Pasal 1 butir 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa :
“Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak/ tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.“
Sertifikat berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997 yaitu surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
61
Universitas Indonesia
sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan.
Dari Pasal – pasal dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan
bahwa untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi
pemegang hak atas bidang tanah, maka Pemerintah menyelenggarakan
pendaftaran tanah yang disertai dengan pemberian tanda bukti hak atas
bidang tanah, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti
yang diatur dalam UUPA Pasal 19 ayat (2) huruf c. Sertifikat bukan
hanya sekedar fasilitas tetapi menjadi hak bagi pemegang hak atas tanah
bersangkutan, dan keberadaannya di jamin undang – undang.
Sebagai bukti alas hak yang sah dan memiliki kekuatan
pembuktian yang kuat. Dengan diterbitkannya sertifikat, kepastian
hukumnya akan lebih terjamin yang meliputi :
1. Kepastian hukum tentang subyeknya, maksudnya adalah dengan
diterbitkannya sertifikat hak milik atas tanah secara yuridis telah
terjamin bahwa orang yang namanya tersurat di dalam sertifikat
sebagai pemilik atas tanah tertentu.
2. Kepastian tentang obyeknya, maksudnya dengan diterbitkannya
sertifikat hak milik atas tanah, baik letak, luas maupun batas-batas
tanah lebih terjamin karena didalam sertifikat hal-hal yang
berkenaan dengan suatu bidang tanah termaksud gambar situasi
termuat didalamnya.
Ketentuan tersebut bersifat mutlak, kecuali apabila terdapat
sesuatu hal yang mampu membuktikan kondisi yang sebaliknya.
Penjaminan perlindungan hukum kepada pemegang sertifikat
mendapat perlakuan yang lebih tegas sesuai yang dinyatakan olleh
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 32 ayat (2) yang
berbunyi:
“Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
62
Universitas Indonesia
apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.”
Dengan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 32 ayat (2)
diatas, menjadi sangat jelas bahwa apapun yang tercatat dalam sertifikat
hak asalkan memenuhi kriteria yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang – undangan yang berlaku tersebut, kepastian hukumnya
menjadi sangat kuat. Kekuatan hukum tersebut tetap berlaku meskipun
Indonesia menganut sistem publikasi negatif yaitu negara tidak
menjamin atas kebenaran yang disajikan. Meskipun demikian, tidak
menjaminnya negara atas kebenaran data yang disajikan bukan dalam
arti sesuai sistem publikasi negatif murni, karena dalam Pasal 19 ayat
(2) huruf c, dan Pasal 23, 32 dan 38 dari UUPA sangat jelas disebutkan
bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti
yang kuat, serta pendaftaran berbagai peristiwa hukum tersebut
merupakan alat pembuktian yang kuat. Jadi pada dasarnya Indonesia
pada satu sisi tetap berpegang pada sistem publikasi negatif, tetapi
dalam sisi lain negara tetap memberikan keseimbangan untuk
memberikan kepastian hukum kepada pihak lain yang dengan itikad
baik menguasai bidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam
buku tanah dengan sertifikat sebagai tanda bukti dimana menurut
UUPA berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
c. Bukti Letter C sebagai Alat Bukti Hak atas Tanah.
Bukti Letter C dapat digunakan sebagai alat bukti yang dimiliki
oleh seseorang, pada saat orang tersebut ingin memperoleh hak atas
tanahnya, dan ingin melakukan pendaftaran tanah atas namanya. Dan
tidak dapat dilupakan pula bahwa Bukti Letter C juga merupakan syarat
yang harus ada untuk pengkonversian tanah milik adat, sebagai bukti hak
milik adat. Jadi Bukti Letter C dapat dikatakan sebagai alat bukti tertulis.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
63
Universitas Indonesia
Pasal II UUPA, ayat 1, “ Hak-hak atas tanah yang memberi
wewenang sebagaimana atau mirip dengan Hak yang dimaksud dalam
Pasal 20 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang
ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch
eigendom, milik yayasan, andar beni, hak atas druwe tanah / hak atas
druwe desa, pesini, Grant Sultan, larderiyen bezitrercht, altijddurende
erfpacht, Hak usaha atas bekas tanah partikulir dan hak-hak lain dengan
nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini, menjadi Hak Milik
tersebut dalam Pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyainya tidak
memenuhi syarat, sebagai tersebut dalam Pasal 21.”
Pengkonversian tanah milik adat dilihat dari sudut alat bukti dapat
dipisahkan dua macam bekas tanah milik adat yaitu :
1. Bekas tanah milik adat yang dianggap sudah mempunyai bukti
tertulis, girik, kekitir, petuk pajak dan sebagainya.
2. Bekas tanah milik adat yang belum atau tidak dilengkapi dengan alat
bukti tertulis.51
Dari penjelasan di atas, maka sangat jelas disebutkan untuk
pengkonversian tanah milik adat memerlukan alat bukti, salah satunya
petuk pajak atau bisa dikatakan Bukti Letter C.
Dalam hal pengkonversian tanah milik adat, Bukti Letter C ini
disebut sebagai tanda bukti hak.
R. Soeprapto mengemukakan tentang tanda bukti hak milik adat
sebagai berikut :
Adapun yang dimaksud dengan surat-surat bukti hak menurut
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 ialah :
1. Surat hak tanah yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri
Agraria Nomor 9 Tahun 1959, ordonantie tersebut dalam S. 873
Nomor 38 dan Peraturan Khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Surakarta serta Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat (Pasal 2
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962).
51 R. Soeprapto, Op. Cit., Hal. 207.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
64
Universitas Indonesia
2. Surat Pajak Hasil Bumi/Verponding Indonesia atau surat pemberian
hak dari instansi yang berwenang (Pasal 3 Peraturan Menteri
Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962).52
Dari penjelasan R. Soeprapto di atas maka semakin jelas bahwa
surat pajak (Girik, Petuk D, Letter C) merupakan tanda bukti hak
terutama bagi hak milik adat. Kemudian R. Soeprapto menjelaskan
kembali bahwa: Menurut Permendagri Nomor SK. 26/ DDA/ 1970
(tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hal-hal Indonesia
atas tanah).
Yang dianggap sebagai tanda bukti hak menurut PMPA Nomor 2
Tahun 1962 Pasal 3a adalah :
Untuk daerah-daerah yang sebelum tanggal 24 September 1960
sudah ada Pajak Hasil Bumi (Landrente) atau Verponding Indonesia
maka yang dianggap sebagai tanda bukti hak ialah :
1. Surat Pajak hasil Bumi atau Verponding Indonesia.
2. Girik, pipil, kekitir, petuk dan sebagainya hanya dikeluarkan sebelum
tanggal 24 September 1960. Jika antara tanggal 24 September 1960
sampai dengan tanggal diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 terjadi jual beli, tukar
menukar, hibah, maka asli surat-surat akta jual beli, tukar menukar,
hibah yang sah yaitu dibuat dihadapan Kepala Desa/adat setempat,
atau dibuat menurut hukum adat setempat, harus dilampirkan juga
sebagai tanda bukti hak,53 Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
hak milik atas tanah.
Dengan penjelasan – penjelasan diatas dapat dinyatakan bahwa
girik adalah bukti tertulis untuk melakukan pendaftaran atas tanah bekas
hak milik adat berkaitan dengan konversi hak atas tanah tersebut, yang
merupakan sejak di keluarkannya UUPA, tanah hak adat dan tanah Barat
harus dikonversi atau disesuaikan atau di ubah dari peraturan hukum
tanah nasional lama menjadi peraturan yang baru.
52 Ibid, Hal. 209 - 201. 53 Ibid, Hal. 210
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
65
Universitas Indonesia
Keberadaan Girik yang berkembang di masyarakat yang
kemudian dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai tanda bukti hak
atas tanah, jika di telusuri dapat diketahui berasal dari pengaruh ketika
masih terdapatnya status tanah hak barat dan hak adat sebelum
diundangkannya UUPA.
Sampai pada tahun 1961, di Indonesia dikenal tiga jenis pungutan
pajak yang masing – masing dikenakan sesuai dengan status tanah yang
ada. yaitu Verponding Eropa untuk tanah berstatus taah hak barat,
Verponding Indonesia untuk tanah berstatus hak adat yang berada di
wilayah Gemeente, dan Landrente atau Pajak Bumi untuk tanah dengan
status hak adat yang berada di luar wilayah Gemeente. Dalam konteks
pungutan pajak ini, yang memiliki kewajiban untuk membayar pungutan
pajak tersebut adalah hanya pemilik atau pemegang hak atas tanah
tersebut. Jadi meskipun yang menguasai tanah meminta untuk dikenai
verponding atau landrente, tetapi kalau tanah yang bersangkutan bukan
tanah hak barat atau hak adat, maka tidak akan diberikan. Landrente atau
pajak bumi hanya dikenakan di Jawa, Madura, Bali dan Lombok,
Sulawesi, Daerah Hulu Sungai Kalimantan, Bima, Dompu dan Anggar,
serta Sumbawa.
Pengenaan pajak dilakukan dengan menerbitkan surat pengenaan
pajak atas nama pemilik tanah. Di kalangan masyarakat surat ini disebut
Petuk Pajak, Pipil, Girik dan lainnya. Karena pajak tersebut dikenakan
kepada pemilik/ pemegang hak atas tanah, maka sering terjadi kesalahan
anggapan oleh sebagian masyarakat, bahwa petuk pajak atau Girik yang
sebenarnya hanya merupakan surat pengenaan dan tanda pembayaran
pajak, kemudian menjadi tanda bukti kepemilikan tanah yang
bersangkutan, dianggap sebagai bentuk pengakuan pemerintah atas tanah
yang dimilikinya.
Anggapan salah tentang Girik atau petuk pajak yang terjadi
sebelum tahun 1961, terbawa sampai saat ini, meskipun sejak
diundangkan UUPA, klasifikasi tentang hak tanah (hak barat dan hak
adat) telah dihapuskan termasuk didalamnya hak – hak yang ada dan
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
66
Universitas Indonesia
jenis pungutan pajak juga dilakukan konversi dalam bentuk lain. Tiga
jenis pungutan pajak yang sebelumnya dikenakan diganti dengan nama
Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) dan diganti lagi menjadi Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB). IPEDA dan PBB tidak berkaitan langsung
dengan status tanah, sehingga antara status tanah dan hubungan dengan
wajib pajak bukan sebagai faktor penentu penetapan pajaknya. Dalam
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan54 Pasal 4 ayat (1) disebutkan:
“Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai sesuatu hak atas bumi, dan/ atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/ atau memiliki, menguasai, dan/ atau memperoleh manfaat atas bangunan”.
Jadi setiap orang atau badan dapat dikenakan pajak apabila
memperoleh manfaat dari bumi/ bangunan, dan bukan hanya mereka
yang menjadi pemegang hak atas tanah tersebut.
Dengan penjelasan di atas terdapat penegasan bahwa Bukti letter
C, Girik, atau Petuk Pajak atau surat pajak lainnya tidak dapat dijadikan
bukti hak atas tanah. Tentang hal tersebut Mahkamah Agung dalam
putusannya pada tanggal 10 Februari 1960 melalui Ketetapan Nomor 34
K/ Sip/ 1960 menyatakan bahwa:
“surat petuk pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak, bahwa sawah sengketa adalah milik orang yang namanya tercantum dalam petuk pajak bumi tersebut, akan tetapi petuk itu hanya merupakan suatu tanda siapakah yang harus membayar pajak dari sawah yang bersangkutan.”
Putusan tersebut menegaskan bahwa Girik atau Petuk Pajak tidak
diterima sebagai bukti pemilikan tanah, meskipun telah dikenai pajak.
Penegasan lain yang menyatakan bahwa tanda pembayaran pajak
bukan menjadi bukti hak atas kepemilikan tanah adalah seperti yang
tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) itu
sendiri, yaitu:
54 Indonesia (j), Undang-Undang Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, UU Nomor 12 Tahun 1985, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
67
Universitas Indonesia
“Tanda pembayaran/ pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak”. Maka dalam hal pembuktian hak kepemilikan atas tanah, Bukti
letter C tidak dapat dijadikan bukti hak atas tanah. Bukti letter C juga
tidak kuat dalam melakukan pembuktian dalam kasus sengketa
pengadilan, kecuali untuk melakukan penggugatan atas bukti lain yang
tidak sah, dimana Bukti letter C masih harus didampingi oleh penguatan
alat bukti lain, seperti surat keterangan kepala desa dan atau tentang
sejarah kepemilikan tanah tersebut yang benar dan akurat.
Karena keberadaan Bukti letter C atau Girik yang banyak
mengandung sengketa dan juga pemahaman yang salah dari masyarakat
itulah, maka melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/
PJ.6/ 1993, tanggal 27 Maret 1993, yang kemudian dilakukan penegasan
ulang melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-44/ PJ.6/
1998, tanggal 11 November 1998, dinyatakan bahwa Girik/ Petuk/
Ketitir/ Keterangan Objek Pajak sejak dikeluarkannya surat edaran
tersebut dilarang untuk diterbitkan lagi di wilayah Indonesia.
2.3.2. Analisa cara memperoleh Sertifikat dan Bukti Letter C dalam kasus
tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Sertifikat dan Bukti Letter C merupakan produk hukum yang
diperoleh berdasarkan prosedur yang harus dijalani sedemikian rupa agar
dihasilkan produk hukum yang tidak cacat hukum. Sertifikat adalah produk
hukum setelah UUPA dan Bukti Letter C sebelum UUPA. UUPA sebagai
hukum tanah nasional yang mendasarkan pada kesatuan dan kesederhanaan
hukum dan keinginan untuk menghilangkan dualisme yang
diakibatkan oleh hukum agraria kolonial maka timbullah konversi
atas hak – hak tanah baik barat maupun adat. Dilaksanakanlah landreform
sebagai upaya penataan kembali struktur pemilikan dan penguasaan
sumber – sumber agraria (khususnya tanah) yang ditujukan untuk
mencapai keadilan, utamanya bagi mereka yang sumber penghasilannya
tergantung pada produksi pertanian dan/ atau sumber agraria tersebut.
Sumber – sumber agraria yang merupakan sumber penghidupan tersebut
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
68
Universitas Indonesia
harus dikelola sedemikian rupa sebagai sarana pemberdayaan masyarakat
memberi kemungkinan untuk kegiatan ekonomi skala besar. Namun, dalam
kenyataannya banyaknya sengketa hak atas tanah yang terjadi dewasa ini,
salah satunya disebabkan oleh adanya tumpang tindih bukti atas satu bidang
tanah yang sama.
Sebagaimana sudah di bahas penulis mengenai kekuatan pembuktian
Sertifikat dan Bukti letter C, maka berdasarkan kasus yang ada, penulis
ingin membahas apakah prosedur dalam hal PT. Taman Harapan Indah
sudah memperoleh pemindahan hak atas sertifikat Hak Guna Bangunan
sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan apakah Bon Surya Santika
juga sudah melalui proses yang benar dalam hal pemindahan hak
sebagaimana diatur dalam perundangan di Indonesia.
Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading
Timur, tanggal 15 Februari 1993 dan Surat Ukur Nomor 20/ Th. 1992,
tanggal 29 Februari 1992 atas nama PT. Taman Harapan Indah diperoleh
berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Sama Nomor 01/ SPK/ 1982, tanggal 6
Januari 1982 tentang pembangunan perumahan di atas areal tanah seluas
kurang lebih 18.227 M2 di daerah Kelapa Gading, Kecamatan Koja, Jakarta
Utara antara PT. Taman Harapan Indah dengan Badan Pelaksana Otorita
Pluit Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor Da. 11/ 23/ 49/ 1972,
tanggal 29 Nopember 1972, mengatur tentang ketentuan dan persyaratan
pemberian izin penunjukan penggunaan tanah untuk real estate (perumahan)
dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Latar belakang
dikeluarkannya keputusan ini adalah sebagai usaha untuk memenuhi
kebutuhan akan perumahan di wilayah DKI Jakarta yang belum terpenuhi,
disertai dengan keinginan masyarakat terutama para pengusaha perumahan.
Oleh karena itu untuk terlaksananya pembangunan perumahan Real Estate,
dengan kewajiban membiayai prasarana untuk kepentingan lingkungan
perumahan yang akan di bangunnya, agar pelaksanaan pembangunan dapat
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
69
Universitas Indonesia
dilakukan dalam kesatuan rencana yang ditentukan dalam Rencana Induk
Jakarta 1965 – 1985.55
Selain pengembang swasta atau pengusaha perumahan atau
developer, di lingkungan pemerintahan DKI Jakarta sudah terdapat badan –
badan yang bergerak dalam pengembangan kegiatan wilayah baru dan
peremajaan pusat – pusat kegiatan perkotaan. Kepada Otorita tersebut
diberikan wewenang pengembangan atas suatu areal tanah yang ditunjuk
untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan berpedoman pada
Rencana Induk. Adapun salah satu Otorita tersebut adalah Badan Pelaksana
Otorita Pluit56 yang bertugas mengembangkan sesuai dengan planologi,
mempercepat pembangunan dan mengendalikan pembangunan. Pengusaha
swasta selalu mencari tanah kosong dalam menanamkan modalnya, yang
tentunya ingin agar segera modalnya dapat kembali, disinilah Badan
Pelaksana Otorita Pluit berperan dalam mengendalikan para pengusaha Real
Estate, sehingga pengembangan wilayah dapat terlaksana dan menyentuh
semua golongan, baik golongan ekonomi kuat maupun golongan ekonomi
lemah.57
Perjanjian Kerja Sama dilaksanakan antara Badan Pelaksana Otorita
Pluit dengan PT. Taman Harapan Indah tentang Perjanjian Penggunaan
Tanah dari pemegang hak pengelolaan sebagaimana ditetapkan dalam pasal
3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 sebagai berikut:
(1) Setiap penyerahan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan, kepada pihak ketiga oleh pemegang hak pengelolaan, baik yang disertai ataupun tidak disertai dengan pendirian bangunan di atasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak pemegang hak pengelolaan dan pihak ketiga yang bersangkutan.
(2) Perjanjian termasuk dalam ayat (1) pasal ini memuat antara lain keterangan mengenai: a. Identitas para Pihak yang bersangkutan, b. Letak batas – batas dan luas tanah yang bersangkutan, c. Jenis penggunaannya,
55 Keputuan Gubernur KDKI Jakarta Nomor Da. 11/23/49/1972, dalam Menimbang, huruf a sampai dengan d. 56 Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 9557/BS/61 tanggal 31 Mei 1961. 57 Dr. B. F. Sihombing, SH, MH, Op. Cit., Hal. 397.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
70
Universitas Indonesia
d. Hak atas tanah yang dimintakan untuk diberikan kepada pihak ketiga dan jangka waktunya serta kemungkinan untuk memperpanjangnya jangka waktu atau memperbaharui haknya,
e. Jenis-jenis bangunan yang akan didirikan di atasnya dan ketentuan mengenai pemilikan bangunan-bangunan tersebut pada saat berakhirnya hak atas tanah yang diberikan,
f. Jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya, g. Syarat-syarat lain yang dipandang perlu
Berdasarkan penjelasan – penjelasan tersebut diatas, maka dapat kita
ketahui bahwa cara memperoleh Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor
4513/ Desa Kelapa Gading Timur, tanggal 15 Februari 1993 dan Surat Ukur
Nomor 20/ Th. 1992, tanggal 29 Februari 1992 atas nama PT. Taman
Harapan Indah diperoleh berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Sama Nomor
01/ SPK/ 1982, tanggal 6 Januari 1982 tentang pembangunan perumahan di
atas areal tanah seluas kurang lebih 18.227 M2 di daerah Kelapa Gading,
Kecamatan Koja, Jakarta Utara antara PT. Taman Harapan Indah dengan
Badan Pelaksana Otorita Pluit Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sudah sesuai
dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Bukti Kepemilikan atas tanah sengketa oleh Bon Surya Santika
adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan
tahun 1996 yang diperoleh berdasarkan Akta Penyerahan Hak dan Kuasa
Nomor 119 tertanggal 24 Maret 1981 antara H. Masnadi Badar, BBA
dengan Bon Surya Santika di hadapan Notaris J. F.B.T. Sinjal, SH. Bahwa
asalnya H. Masnadi Badar, BBA membelinya dari Muhali Bin Songsen
pada tahun 1971, dan Muhali Bin Songsen memperolehnya dari PR.
Maemunah binti H. Eli pada tahun 1963 berdasarkan Surat Jual Beli Mutlak
tanggal 16 Februari 1963. Surat Ketetapan Padjak Hasil Bumi atas nama Pr.
Maemunah Binti H. Eli Nomor 335 persil 375 seluas 0.361 Ha.
Sebagaimana sudah dibahas pada bagian pertama bagian
pembahasan pokok permasalahan ini, yaitu tanda pembayaran pajak bukan
menjadi bukti hak atas kepemilikan tanah adalah seperti yang tercantum
dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) itu sendiri, yaitu:
“Tanda pembayaran/ pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak”.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
71
Universitas Indonesia
Surat Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963 antara Pr.
Maemunah binti H. Eli sebagai Penjual dan Muhali bin Songsen sebagai
Pembeli, yang diketahui Lurah Desa Pulogadung dibawah register Nomor
46/ 63, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 195858 tersebut berlaku pada
tanggal 24 Januari 1958 maka sejak itu tanah – tanah partikelir karena
hukum telah menjadi tanah Negara, bahwa meskipun menurut Pasal 5 ayat 1
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1958, bahwa tanah partikelir oleh
Menteri Agraria atau Pejabat yang ditunjuknya diberikan kepada penduduk
yang mempunyai usaha atas itu dengan hak milik, namun tidak ternyata
adanya bukti bahwa atas tanah yang dikuasai Tergugat tersebut telah
ditunjuk oleh Menteri Agraria atau Pejabat yang ditunjuknya Pr. Maemunah
binti H. Eli adalah pemiliknya dan tidak ada usaha dari Pr. Maemunah untuk
mendaftarkan hak miliknya tersebut. Maka pada dasarnya tanah yang
diperjualbelikan adalah tanah negara, karena tidak adanya usaha untuk
mengklaim hak atas tanah berdasarkan bukti bukti letter C.
Surat Jual Beli Mutlak Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971
antara Muhali bin Songsen sebagai Penjual dan H.Masnadi Badar, BBA
sebagai Pembeli masing – masing adalah akta dibawah tangan yang menurut
ketentuan pasal 1875 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata hanya
membuktikan diantara para pihak dan para ahli warisnya tidak berlaku bagi
pihak ketiga.
Akta Penyerahan Hak dan Kuasa Nomor 119 tertanggal 24 Maret
1981 antara H. Masnadi Badar, BBA dengan Bon Surya Santika di hadapan
Notaris J. F.B.T. Sinjal, SH. tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk
dijadikan bukti terjadinya pemindahan hak atas tanah. Berdasarkan pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah,
yaitu :
“Setiap pejanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau
58 Indonesia (k), Undang Undang Tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, UU Nomor 1 Tahun 1958, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1571
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
72
Universitas Indonesia
meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut : penjabat). Akte tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.”
Pejabat yang dimaksud dalam pasal tersebut diatur dalam Pasal 3
ayat (1) Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 tahun 1961 tentang
penunjukan pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah serta hak dan
kewajibannya, yang lengkapnya berbunyi:
“Yang dapat diangkat sebagai pejabat adalah : a. Notaris; b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan
Departemen Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan-peraturan Pendaftaran Tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah;
c. Para pegawai pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang pejabat;
d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh Menteri Agraria.”
Akta yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
10 tahun 1961 diatur dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 11
tahun 1961 tentang bentuk akta, yaitu :
“Akta-akta yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran-Negara tahun 1961 Nomor 28) harus dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan mempergunakan pormulir-pormulir (daftar-isian) yang contoh - contohnya terlampir pada Peraturan ini.” Jadi berdasarkan peraturan yang disebutkan di atas, untuk
pelaksanaan perjanjian mengenai pertanahan harus dilaksanakan dan
dilakukan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria dengan
menggunakan akta yang ditentukan oleh Menteri Agraria yang di perjelas
oleh Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 tahun 1961 tentang
bentuk akta, bahwa pejabat tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah,
dan akta yang dimaksud adalah berbentuk formulir – formulir isian yang
sudah baku.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
73
Universitas Indonesia
2.3.3. Analisa Putusan Hakim Masing – Masing Peradilan
Dalam pokok pembahasan bagian ini, penulis ingin mempelajari
yang menjadi pertimbangan hukum hakim Peradilan yang menjadi dasar
yuridis dalam rangka memutuskan pokok perkara kasus Perseroan Terbatas
Taman Harapan Indah selaku developer dan pemegang Sertifikat Hak Guna
Bangunan melawan Bon Surya Santika selaku pemilik Bukti Letter C, untuk
memenangkan Perseroan Terbatas Taman Harapan Indah dalam Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi tetapi kalah dalam putusan Mahkamah Agung
dan ditolak dalam Peninjauan Kembali, pembatalan Putusan Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berupa sertifikat hak atas tanah yang
telah melalui analisis yang berkaitan dengan hukum materiil peraturan
perundang-undangan dibidang pertanahan dan dalam pertimbangan
hukumnya telah menganalisis kajian aspek hukum tanah nasional (hukum
materiil) yang menjadi landasan hukum mengatur tentang hak kepemilikan
atas tanah. Kepastian hukum harus diterapkan untuk mencapai keadilan dan
kebijakan pertanahan dapat dilaksankan secara konsisten.
2.3.3.1. Putusan Pengadilan Negeri
Dalam pokok perkara Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Utara Nomor 190/ PDT.G/ 2001/ PN.JKT.UT tanggal 17 Oktober
2001 berbunyi sebagai berikut:
“Menyatakan Penggugat adalah pemilik tanah seluas 2970 m2, yang terletak di Jalan Taman Gading Indah V Blok A, Blok D dan Blok H sebagian, Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading dan Surat Ukur Nomor 20/1992 tanggal 29 Januari 1992, dengan batas – batas: Sebelah Utara : Perumahan Kelapa Gading Blok KH.35 Sebelah Selatan : Taman Gading Indah Blok B, Jalan Kelapa Puyuh II; Sebelah Timur : Komplek Perumahan PLN Blok B ; Sebelah Barat : Perumahan Kelapa Gading, Jalan Kelapa Puyuh III”
Penggugat dalam hal ini adalah PT. Taman Harapan Indah
dan Tergugat adalah Bon Surya Santika.
Adapun pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Negeri
tersebut adalah:
Menimbang, bahwa Pengugat pada pokoknya mengajukan
gugatan agar tanah Hak Guna Bangunan Milik Pengugat luas 2970
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
74
Universitas Indonesia
m2, yang terletak dan didaerah setempat dikenal dengan Blok A,
Blok D, dan Blok H sebagian, Jalan Taman Gading Indah V
Kelurahan Kelap Gading, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara,
Sertifikat HGB Nomor 4513 tanggal 26 Februari 1993 dan Surat
Ukur Nomor 20/1992 tanggal 29 Februari 1992 dengan batas –
batas:
Utara : Perumahan Kelapa Gading Blok KH.35
Selatan : Taman Gading Indah Blok B, Jalan Kelapa Puyuh II;
Timur : Komplek Perumahan PLN Blok B ;
Barat : Perumahan Kelapa Gading, Jalan Kelapa Puyuh III
yang telah dikuasai oleh Tergugat secara melawan hukum
sehingga Pengugat tidak dapat mengerjakan pembangunannya,
dikembalikan kepada Pengugat dan Tergugat dihukum membayar
ganti rugi sebesar Rp. 7.345.050.000,- dan Immaterial sebesar Rp.
50.000.000,-;
Menimbang, bahwa karena gugatan Penggugat telah dibantah
Tergugat, maka pembuktian dibebankan kepada Pengugat ;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti Sertifikat Hak Guna
Bangunan Nomor 4513/Desa Kelapa Gading Timur, tanggal 15
Februari 1993, Surat Ukur Nomor 20 tahun 1992 tanggal 29 Februari
1992 ternyata bahwa benar Penggugat adalah pemilik tanah Hak
Guna Bangunan Nomor 4513/Desa Kelapa Gading Timur, yang
terletak di Jalan Taman Gading Indah V Blok A, Blok D, dan Blok H
sebagian, seluar 2970 m2;
Menimbang, bahwa berdasarkan keputusan Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanggal 11 Desember 1985 Nomor
08644/ IMB/ 1985 tentang ijin untuk mendirikan bangunan, terbukti
Pengugat telah mendapat ijin untuk mendirikan bangunan diatas
tanahnya yang terletak di Kelapa Gading Blok A Nomor1 sampai
dengan 12 A & 14 sampai dengan 16, Koja, Jakarta Utara tersebut;
Menimbang, bahwa Pengugat mendalilkan pula bahwa
pelaksanaan pembangunan rumah tinggal ditempat tersebut tidak
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
75
Universitas Indonesia
dapat dilaksanakan karena sebagian dari tanah Penggugat tersebut
telah dikuasai secara melawan hukum oleh Tergugat;
Menimbang, bahwa dari bukti Sertifikat Hak Guna
Bangunan Nomor 4513/Desa Kelapa Gading Timur, tanggal 15
Februari 1993, Surat Ukur Nomor 20 tahun 1992 tanggal 29 Februari
1992, ternyata tanah Hak Guna Bangunan milik Penggugat berasal
dari Tanah Negara bekas Eigendom Nomor 6871 Girik 335 persil
375 dan bekas Hak Guna Bangunan Nomor 3195/ Kelapa Gading
Timur sebagian;
Menimbang, bahwa ternyata tanah yang dikuasai Tergugat
Letter C 335 persil 375 yang berasal dari Pr. Maemunah binti H. Eli
adalah tanah yang berada diatas tanah Hak Guna Bangunan milik
Penggugat karena berasal dari Nomor Girik dan persil yang sama;
Menimbang bahwa Tergugat mendalilkan bahwa ia
memperoleh tanah tersebut dari H. Masnadi Badar, BBA selaku
penjual dan Tergugat selaku pembeli berdasarkan akta yang dibuat di
hadapan Notaris J. F. B. T. Sinjal, SH., sedangkan H.Masnadi
Badar, BBA membelinya dari Muhali bin Songsen yang
memperolehnya dari Pr. Maemunah binti H. Eli berdasarkan Surat
Jual Beli Mutlak tanggal 16 Februari 1963.
Bahwa Pr. Maemunah binti H.Eli tercatat dalam buku C
Kelurahan Kelapa Gading sebagai pemilik pertama atas tanah
setempat di kenal Kampung Pulogadung dahulu Desa Pulogadung
sekarang Kelurahan Kelapa Gading, Kecamatan Koja, Kotamadya
Jakarta Utara dengan batas – batas:
Sebelah Utara : Sawah Lihan;
Sebelah Selatan : Sawah Syamsudin;
Sebelah Timur : Sawah Piih;
Sebelah Barat : Sawah Jamhari;
Sedangkan Tergugat sudah lama menguasai tanah miliknya
yang dipagar dengan pondasi beton sejak tahun 1981, maka Tergugat
menguasai tanah tersebut sah secara hukum sehingga tidak masuk
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
76
Universitas Indonesia
akal sehat Tergugat dikatakan melakukan perbuatan melawan
hukum;
Menimbang, bahwa bukti Surat Jual Beli Mutlak tertanggal
16 Februari 1963 antara Pr. Maemunah binti H. Eli sebagai Penjual
dan Muhali bin Songsen sebagai Pembeli, yang diketahui Lurah
Desa Pulogadung dibawah register Nomor 46/ 63, dan bukti Surat
Jual Beli Mutlak Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 antara
Muhali bin Songsen sebagai Penjual dan H.Masnadi Badar, BBA
sebagai Pembeli masing – masing adalah akta dibawah tangan yang
menurut ketentuan pasal 1875 Kitab Undang – Undang Hukum
Perdata hanya membuktikan diantara para pihak dan para ahli
warisnya tidak berlaku bagi pihak ketiga;
Menimbang, bahwa karena Penggugat adalah pihak ketiga,
maka bukti Surat Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963 dan
Surat Jual Beli Mutlak Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971
tidaklah mengikat Penggugat, sehingga dengan sendirinya tidaklah
dapat membuktikan kepada Penggugat, bahwa benar tanah yang
sekarang dikuasai Tergugat adalah tanah yang diperoleh H. Masnadi
Badar, BBA dari jual beli dengan Muhali bin Songsen, dan Muhali
bin Songsen memperolehnya dari Pr. Maemunah binti H. Eli
berdasarkan Jual Beli Mutlak tanggal 16 Februari 1963;
Menimbang, bahwa dari bukti Surat Jual Beli Mutlak Tanah
Sawah tertanggal 24 Februari 1971 ternyata bahwa tanah yang
dikuasai oleh Penggugat adalah tanah yang berasal dari tanah
Partikelir yang menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1958
tentang Penghapusan Tanah Partikelir Lembaran Negara 1958
Nomor 2 Pasal 3 ayat 2 menyebutkan; Sejak mulai berlakunya
Undang – undang ini demi kepentingan umum hak – hak pemilik
beserta hak – hak pertuanannya hapus dan tanah – tanah bekas tanah
partikelir itu karena hukum seluruhnya menjadi tanah negara;
Menimbang, bahwa karena Undang – Undang Nomor 1
Tahun 1958 tersebut berlaku pada tanggal 24 Januari 1958 maka
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
77
Universitas Indonesia
sejak itu tanah – tanah partikelir karena hukum telah menjadi tanah
negara;
Menimbang, bahwa meskipun menurut Pasal 5 ayat 1
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1958, bahwa tanah partikelir oleh
Menteri Agraria atau Pejabat yang ditunjuknya diberikan kepada
penduduk yang mempunyai usaha atas itu dengan hak milik, namun
dari bukti – bukti Tergugat tidak ternyata adanya bukti bahwa atas
tanah yang dikuasai Tergugat tersebut telah ditunjuk oleh Menteri
Agraria atau Pejabat yang ditunjuknya Pr. Maemunah binti H. Eli
adalah pemiliknya;
Menimbang, bahwa dengan demikian meskipun dari Bukti T-
4 ternyata H. Masnadi Badar, BBA telah menyerahkan tanah yang
berasal dari Pr. Maemunah binti H. Eli kepada Tergugat, maka
peralihan hak atas tanah tersebut tidak mempunyai akibat hukum
beralihnya tanah tersebut kepada Tergugat;
Menimbang, bahwa karena Tergugat tidak dapat
membuktikan tanah tersebut adalah miliknya sebagai didalilkannya,
sedangkan bukti Surat Ketetapan Pajak Terutang Pajak Bumi dan
Bangunan, bukan bukti pemilikan, maka Tergugat tidak dapat
membuktikan dalil – dalil bantahannya bahwa tanah yang
dikuasainya adalah tanah yang berasal dari H. Masnadi Badar, BBA
yang membelinya dari Muhali bin Songsen, dan Muhali bin Songsen
memperolehnya dari Pr. Maemunah binti H. Eli dengan Jual Beli
Mutlak tanggal 16 Februari 1963;
Pertimbangan – pertimbangan hukum yang diambil dalam
mengambil keputusan sudah tepat, benar dan sesuai dengan
peraturan hukum dan perundang – undangan yang berlaku, Bukti
Letter C tidak dapat dijadikan bukti hak atas tanah, dan berdasarkan
penjelasan diatas juga cukup diragukan cara memperoleh Bukti
Letter C tersebut oleh Bon Surya Santika.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
78
Universitas Indonesia
2.3.3.2. Putusan Pengadilan Tinggi
Dalam Pokok Perkara Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Nomor 110/ PDT/ 2002/ PT.DKI tanggal 7 Juni 2002 adalah sebagai
berikut:
“Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/ PN.JKT.UT yang dimintakan banding tersebut”
Adapun pertimbangan hukum yang diambil oleh Pengadilan
Tinggi adalah menimbang, bahwa memperhatikan dan mempelajari
secara cermat dan seksama putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara
tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/ PN.JKT.UT
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat, bahwa putusan
Hakim pertama telah berdasarkan alasan – alasan dan pertimbangan
– pertimbangan yang tepat dan benar menurut hukum sehingga
diambil alih oleh Pengadilan Tinggi untuk dijadikan sebagai
pertimbangan sendiri oleh karena itu putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Utara tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/
PN.JKT.UT yang dimohonkan banding tersebut dikuatkan.
Oleh karena Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa alasan –
alasan dan pertibangan – pertimbangan dalam putusan Pengadilan
Negeri sudah tepat dan benar menurut hukum maka Pengadilan
Tinggi memutuskan untuk menguatkan Keputusan Pengadilan
Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Oktober 2001 Nomor
190/Pdt.G/2001/ PN.JKT.UT yang berbunyi :
“Menyatakan Penggugat adalah pemilik tanah seluas 2970 m2, yang terletak di Jalan Taman Gading Indah V Blok A, Blok D dan Blok H sebagian, Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading dan Surat Ukur Nomor 20/ 1992 tanggal 29 Januari 1992, dengan batas – batas: Sebelah Utara : Perumahan Kelapa Gading Blok KH.35 Sebelah Selatan : Taman Gading Indah Blok B, Jalan Kelapa Puyuh II; Sebelah Timur : Komplek Perumahan PLN Blok B ; Sebelah Barat : Perumahan Kelapa Gading, Jalan Kelapa Puyuh III”
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
79
Universitas Indonesia
2.3.3.3. Putusan Mahkamah Agung
Dalam Pokok Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 390
K/ Pdt/ 2003 adalah sebagai berikut:
“Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 7 Juni 2002 Nomor 110/ Pdt/ 2002/ PT.DKI. dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/ PN.JKT.UT”
Adapun pertimbangan hukum yang diambil oleh Mahkamah
Agung adalah sebagai berikut:
1. Bahwa putusan judex factie bertentangan dengan hukum yang
berlaku, hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan hukum alinea
18 alinea 2 putusan Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang menyatakan:
“Menimbang, bahwa dari bukti Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading Timur, tanggal 15 Februari 1993 dan Surat Ukur Nomor 20/ Th. 1992, tanggal 29 Februari 1992 dan bukti Surat Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963 yang diketahui oleh Lurah Desa Pulogadung dibawah Register Nomor 46/ 63 antara Pr. Maemunah binti H. Eli (Penjual) dan Muhali bin Songsen (Pembeli), Surat Jual Beli Mutlak atas Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 antara Muhali bin Songsen (Penjual) dan H. Masnadi Badar, BBA (Pembeli), Akta Penyerahan Hak dan Kuasa Nomor 119 tertanggal 24 Maret 1981 antara H. Masnadi Badar, BBA dengan Bon Surya Santika, Surat Ketetapan Padjak Hasil Bumi atas nama Pr. Maemunah binti H. Eli Nomor 335 persil 375 seluas 0.361 Ha, serta Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1996 atas nama Bon Surya Santika, ternyata tanah yang dikuasai Tergugat Letter C 335, persil 375 yang berasal dari Pr. Maemunah binti H. Eli adalah tanah yang berada diatas tanah Hak Guna Bangunan milik Penggugat karena berasal dari nomor girik dan persil yang sama”;
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, sangat
jelas Majelis Hakim tingkat pertama telah memberikan
pertimbangan hukum yang memihak kepada Penggugat atau tidak
objektif, karena pada dasarnya judex factie dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan bahwa ternyata tanah yang dikuasai
Pemohon Kasasi Letter C 335, persil 375 yang berasal dari Pr.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
80
Universitas Indonesia
Maemunah binti H. Eli adalah tanah yang berada diatas tanah Hak
Guna Bangunan milik Termohon Kasasi, sedangkan pihak
Termohon Kasasi tidak ada hubungan hukum apapun dengan Pr.
Maemunah binti H. Eli. Hak Guna Bangunan milik Termohon
Kasasi dari Surat Perjanjian Kerjasama tanggal 6 Januari 1982
dan tukar menukar tanah antara PT. Badan Pengelolaan
Lingkungan Pluit dengan Perkumpulan Sekolah Kristen
tertanggal 29 Agustus 1975, sedangkan Pemohon Kasasi sangat
jelas ada hubungan hukum dengan Pr. Maemunah binti H. Eli,
karena asal tanah yang dibeli oleh Pemohon Kasasi berasal dari
H. Masnadi Badar, BBA., selaku penjual dan Pemohon Kasasi
selaku pembeli berdasarkan Akta yang dibuat dihadapan J. F. B.
T.Sinjai, SH, Notaris di Jakarta, sedangkan H. Masnadi Badar,
BBA membeli dari Muhali bin Songsen, yang mana Muhali bin
Songsen membeli dari Pr. Maemunah binti H. Eli berdasarkan
Akta Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963, yang mana
dalam Bukti Letter C Kelurahan Kelapa Gading, tanah objek
sengketa a quo tercatat atas nama Pr. Maemunah binti H. Eli
sebagai pemilik Pertama.
Pertimbangan hukum hakim kurang tepat, hakim melihat
berdasarkan hubungan hubungan hukum, jika dilihat berdasarkan
hubungan hukum mengenai jual beli tanah atau pemindahan hak
atas tanah, berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu :
“Setiap pejanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut : pejabat). Akte tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.”
Akta yang dimaksud dalam pasal pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 diatur dalam pasal 1 Peraturan
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
81
Universitas Indonesia
Menteri Agraria Nomor 11 tahun 1961 tentang bentuk akta,
yaitu:
“Akta-akta yang dimaksudkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran-Negara tahun 1961 Nomor 28) harus dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan mempergunakan pormulir-pormulir (daftar-isian) yang contoh - contohnya terlampir pada Peraturan ini.”
Jadi berdasarkan peraturan yang disebutkan di atas, untuk
pelaksanaan perjanjian mengenai pertanahan harus dilaksanakan
dan dilakukan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri
Agraria dengan menggunakan akta yang ditentukan oleh Menteri
Agraria yang diperjelas oleh Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria
Nomor 11 tahun 1961 tentang bentuk akta, bahwa pejabat tersebut
adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan akta yang dimaksud
adalah berbentuk formulir – formulir isian yang sudah baku.
Sehingga Akta yang dibuat dihadapan J.F.B.T.Sinjai,SH,
Notaris di Jakarta oleh Bon Surya Santika selaku pembeli dan H.
Masnadi Badar, BBA., selaku penjual tidaklah tepat, karena
Notaris tidak dapat membuat akta pemindahan hak atas tanah,
tetapi dapat membuat Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang
dapat digunakan untuk Perjanjian awal sebelum dilaksanakannya
Pembuatan Akta Jual Beli. Perjanjian Jual Beli harus diikuti
dengan Pemberian Kuasa Mutlak bagi Pembeli agar Pembeli
dapat melakukan pengurusan untuk pendaftaran tanahnya.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan proses untuk
melakukan Jual Beli, dengan demikian tidak tunduk pada
ketentuan – ketentuan atau peraturan – peraturan mengenai Jual
Beli menurut Hukum Tanah Nasional, dalam hal ini, Pengikatan
Jual Beli hanyalah untuk mengikat suatu prestasi yang terlaksana
di kemudian hari, sehingga akibat hukumnya hanyalah janji untuk
melakukan sesuatu di masa datang, dengan demikian jual beli
tersebut bukan merupakan jual beli yang sah menurut Hukum
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
82
Universitas Indonesia
Tanah Nasional. Sehingga hubungan hukum yang dijadikan dasar
pertimbangan hakim menjadi tidak sah.
2. Bahwa, Pengadilan tingkat banding tidak menerapkan hukum atau
salah dalam menerapkan hukum, yang mana telah menguatkan
atau mengambil alih pertimbangan – pertimbangan hukum
pengadilan tingkat pertama, hal ini dapat dilihat dalam
pertimbangan hukumnya halaman 18 dan 19 alinea 4 dan 5
putusan Pengadilan Tingkat Pertama sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa bukti Surat Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963 antara Pr. Maemunah binti H. Eli sebagai Penjual dan Muhali bin Songsen sebagai Pembeli, yang diketahui Lurah Desa Pulogadung dibawah register Nomor 46/ 63, dan bukti Surat Jual Beli Mutlak Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 antara Muhali bin Songsen sebagai Penjual dan H. Masnadi Badar, BBA sebagai Pembeli masing – masing adalah akta dibawah tangan yang menurut ketentuan pasal 1875 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata hanya membuktikan diantara para pihak dan para ahli warisnya tidak berlaku bagi pihak ketiga;
Menimbang, bahwa karena Penggugat adalah pihak ketiga, maka bukti Surat Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963 yang diketahui oleh Lurah Desa Pulogadung dibawah Register Nomor 46/ 63 antara Pr. Maemunah Binti H. Eli (Penjual) dan Muhali bin Songsen (Pembeli) dan Surat Jual Beli Mutlak atas Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 antara Muhali bin Songsen ( Penjual ) dan H.Masnadi Badar, BBA (Pembeli) tidaklah mengikat Penggugat, sehingga dengan sendirinya tidaklah dapat membuktikan kepada Penggugat, bahwa benar tanah yang sekarang dikuasai Tergugat adalah tanah yang diperoleh H. Masnadi Badar, BBA dari jual beli dengan Muhali bin Songsen, dan Muhali bin Songsen memperolehnya dari Pr. Maemunah binti H. Eli berdasarkan Jual Beli Mutlak tanggal 16 Februari 1963”;
Bahwa pertimbangan hukum judex factie tersebut diatas,
sangat jelas tidak menerapkan hukum atau keliru dalam
menerapkan hukum karena judex factie menafsirkan Pasal 1875
Kitab Undang Undang Hukum Perdata hanya sebagian yang
menguntungkan pihak Termohon Kasasi, diantaranya hanya
dikutip kata – kata “ .............. Akta dibawah tangan hanya berlaku
bagi para pihak dan para ahli warisnya” dan telah judex factie
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
83
Universitas Indonesia
telah menghilangkan kata – kata “dan orang – orang yang
mendapat hak dari pada mereka”. Untuk jelasnya berikut ini
Pemohon Kasasi kutip isi Pasal 1875 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata sebagai berikut:
“Suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap tulisan itu hendak dipakai atau dengan cara menurut undang – undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang – orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang – orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik dan demikian pula berlakulah ketentuan pasal 1871 untuk tulisan itu”
Dengan demikian sudah sangat jelas dengan adanya kata –
kata “dan orang – orang yang mendapat hak dari pada mereka
berati berlaku bagi pihak ketiga”, sehingga kekeliruan atau
kekhilafan judex factie sudah terbukti dengan jelas;
Hakim melupakan bahwa perjanjian dibawah tangan
adalah tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil, terkecuali
bila si penandatangan dari surat/akta itu mengakui kebenaran
tanda tangannya. Dalam hal ini, para pihak yang melakukan
penandatanganan dalam akta di bawah tangan tersebut tidak hadir
ataupun tidak memberikan surat pernyataan mengakui kebenaran
tanda tangan mereka, sehingga pembuktian atas Surat Jual Beli
Mutlak atas Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 antara
Muhali bin Songsen ( Penjual ) dan H.Masnadi Badar, BBA
(Pembeli) tidak dapat dijadikan dasar pihak ketiga yang mendapat
hak dari pada mereka untuk menagih hak tersebut.
3. Bahwa, putusan tingkat banding bertentangan dengan ketentuan
hukum yang berlaku, yang mana telah menguatkan putusan
tingkat pertama;
Hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan hukum tingkat
pertama halaman 19 alinea 1, 2 dan 6 (mohon dianggap telah
diurai selengkapnya), menyatakan sesuai dengan Undang –
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
84
Universitas Indonesia
Undang nomor 1 tahun 1958 nomor 2 Pasal 3 ayat (2) yang
menyebutkan:
”Sejak mulai berlakunya undang – undang ini demi kepentingan umum, hak – hak pemilik beserta hak – hak pertuanannya hapus dan tanah – tanah bekas tanah partikelir itu karena hukum seluruhnya menjadi tanah negara”;
Bahwa, pertimbangan hukum judex factie tersebut sangat
bertentangan atau kontradiktif dalam pertimbangan hukumnya
sendiri, halaman 19 alinea 6 putusan tingkat pertama dinyatakan
bahwa tanah objek sengketa a quo milik Termohon Kasasi
berdasarkan bukti Surat Ketetapan Padjak Hasil Bumi atas nama Pr.
Maemunah Binti H. Eli Nomor 335 persil 375 seluas 0.361 Ha,
sedangkan berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut
diatas, tanah objek sengketa a quo dinyatakan atau menjadi milik
negara berdasarkan undang – undang nomor 1 tahun 1958;
Menimbang, bahwa terlepas dari alasan – alasan kasasi
yang diajukan Pemohon kasasi, Mahkamah Agung berpendapat
bahwa Judex Factie telah salah menerapkan hukum dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa situasi tahun 1963, undang – undang nomor 5
tahun 1960 belum sepenuhnya secara riil dilaksanakan, apalagi
bagi rakyat. Bagi masyarakat setiap nama yang tercantum dalam
Letter C dianggap sebagai pemilik. Kelalaian Pemerintah tidak
membuat Penetapan tidak dapat merugikan Pr. Maemunah binti
H. Eli yang menguasai tanah, karena telah dijamin oleh hukum.
Penetapan Pemerintah hanyalah formalitas belaka;
Bahwa seluruh proses jual beli telah terjadi sebelum
Penggugat mengikat perjanjian “menguasai” tanah tersebut.
Justru Penggugat yang melakukan perbuatan melawan hukum,
yaitu berusaha menguasai tanah yang telah menjadi milik orang
lain;
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
85
Universitas Indonesia
Dalam pertimbangan hukum hakim bagian :
“Bahwa situasi tahun 1963, undang – undang nomor 5 tahun 1960 belum sepenuhnya secara riil dilaksanakan, apalagi bagi rakyat. Bagi masyarakat setiap nama yang tercantum dalam Letter C dianggap sebagai pemilik. Kelalaian Pemerintah tidak membuat Penetapan tidak dapat merugikan Pr. Maemunah binti H. Eli yang menguasai tanah, karena telah dijamin oleh hukum. Penetapan Pemerintah hanyalah formalitas belaka;”
Dapat kita lihat bahwa hakim tidak berdasarkan hukum
yang diterapkan pemerintah melainkan menafsirkan kondisi riil
sosiologis pada tahun tersebut yaitu tahun 1963. Hal ini sangat
bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 10
Februari 1960 Nomor 34K/ Sip/ 1960 bahwa:
“surat petuk pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak, bahwa sawah sengketa adalah milik orang yang namanya tercantum dalam petuk pajak bumi tersebut, akan tetapi petuk itu hanya merupakan suatu tanda siapakah yang harus membayar pajak dari sawah yang bersangkutan.”
Dapat kita lihat bahwa hakim pada tahun 2003 melihat
kondisi tahun 1963 bahwa undang – undang nomor 5 tahun 1960
belum dapat sepenuhnya secara riil dilaksanakan, apalagi bagi
masyarakat, karena bagi masyarakat setiap nama yang tercantum
dalam Letter C dianggap sebagai pemilik. Sedangkan hakim pada
tahun 1960 yang pada saat itu ada pada masa yang dianggap tidak
sepenuhnya secara riil dapae dilaksanakan sudah memutuskan
bahwa surat petuk pajak bukanlah suatu bukti mutlak siapa
pemilik tanah tersebut tetapi hanya merupakan tanda siapakah
yang harus membayar pajak dari sawah yang bersangkutan.
Putusan Hakim Mahkamah Agung juga tidak memberi
kejelasan dalam akibat hukum dari masing – masing pihak yang
bersengketa dimana Hakim menyatakan Membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 7 Juni 2002 Nomor 110/ Pdt/
2002/ PT.DKI. dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara
tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/ PN.JKT.UT,
dimana Putusan kedua pengadilan tersebut adalah menyatakan
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
86
Universitas Indonesia
Penggugat atau PT. Taman Harapan Indah adalah pemilik tanah
seluas 2970 m2, yang terletak di Jalan Taman Gading Indah V
Blok A, Blok D dan Blok H sebagian, Sertifikat Hak Guna
Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading dan Surat Ukur
Nomor 20/1992 tanggal 29 Januari 1992, dengan batas – batas:
Sebelah Utara : Perumahan Kelapa Gading Blok KH.35
Sebelah Selatan : Taman Gading Indah Blok B, Jalan Kelapa
Puyuh II;
Sebelah Timur : Komplek Perumahan PLN Blok B ;
Sebelah Barat : Perumahan Kelapa Gading, Jalan Kelapa Puyuh
III”
Jika putusan hakim Mahkamah Agung adalah dibatalkan
maka yang dibatalkan adalah PT. Taman Harapan Indah sebagai
pemilik tanah sengketa tersebut tetapi tidak menghapus
kepemilikan sertifikat dari yang bersangkutan. Sehingga sampai
saat ini Sertifikat dan Bukti Letter C masih berlaku dan tidak
dapat menjadi dasar pendaftaran tanah bagi pemegang Bukti
Letter C. Sehingga tanah sengketa sampai saat ini masih dalam
keadaan terlantar dan tidak dapat di bangun oleh salah satu pihak
yang bersengketa.
2.3.3.4. Putusan Peninjauan Kembali
Dalam Pokok Peninjauan Kembali Nomor 163 PK/PDT/2005
tanggal 27 Januari 2006 adalah sebagai berikut:
“Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : PT. Taman Harapan Indah tersebut;”
Dengan pertimbangan bahwa alasan – alasan Kasasi yang
berupa kekeliruan yang nyata hanyalah perbedaan penafsiran antara
Pemohon Peninjauan Kembali dengan Termohon Peninjauan
Kembali tersebut; dimana Pemohon Peninjauan Kembali adalah PT.
Taman Harapan Indah dengan termohon Peninjauan Kembali adalah
Bon Surya Santika. Ketika salah satu pihak yang bersengketa
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
87
Universitas Indonesia
memohon peninjauan kembali adalah karena menganggap bahwa ada
kesalahan putusan oleh hakim dan kasus ini menjadi semakin
menggantung karena tidak adanya kejelasan dari status hukum dalam
putusan – putasan Mahkamah Agung tersebut.
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
top related