kehendak bebas dalam pemikiran ayatullah...
Post on 06-Mar-2019
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEHENDAK BEBAS DALAM PEMIKIRAN
AYATULLAH MUḤAMMAD TAQĪ MIṢBĀḤ YAZDĪ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Moh. Soivi
NIM: 1111033100029
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
ب
ا
Indonesia
a
b
Inggris
a
b
Arab
ظ
ط
Indonesia
ṭ ẓ
Inggris
ṭ ẓ
‘ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
’ ’ ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
Vokal Panjang
Arab آ
Indonesia ā
Inggris ā
ī ī ٳى ū ū ٲو
iv
Abstrak
Moh. Soivi. Kehendak Bebas dalam Pemikiran Ayatullah Muḥammad Tāqī
Miṣbāḥ Yazdī.
Tema kehendak bebas dapat dikatakan sebagai permasalahan tertua dalam
teologi. Untuk melacak persoalan awal dari problematika kehendak bebas ini maka
kita harus membuka kembali sejarah munculnya paham serta keyakinan terhadap
kemandirian manusia terhadap kehendak bebasnya tersebut. Problematika
kehendak bebas sudah lama ditemukan bahkan pada periode setelah wafatnya
Rasulullah Muḥammad, yakni pada periode kedua abad pertama Hijriyah.
Kemudian menjadi sitematis dan menjadi ilmu pada periode awal abad ke-3
Hijriyah. Pada saat itu, pemikiran teologi dimulai dengan tiga persoalan: hakikat
iman dan status dosa besar, takdir dan kebebasan, serta hakikat dan sifat Ilahi. Dua
yang pertama muncul sebab konflik politik dan berdampak pada persoalan teologis.
Kehendak bebas sebagai ilmu hingga kini masih saja dibahas dan dipelajari.
Banyak pemikir Muslim yang menjadikan kehendak bebas sebagai tema
pembahasan. Salah satunya yakni, Ayatullah Muḥammad Tāqī Miṣhbāḥ Yazdī.
secara garis besar, Pandangan terhadap kehendak bebas terbagi menjadi tiga
madzhab, yakni Jabiri, Tafwīḍ dan Ikhtiyari. Jabr diwakili oleh Asy‘ariyah, Tafwīḍ
cenderung diwakili oleh Mu‘tazilah, dan Ikhtiyari diwakili oleh madzhab Ahl al-
Bait Al-Amr bain al-Amrain.
Upaya pemahaman secara teologis dan filosofis dalam hal kehendak bebas
menuai polemik. Dalam konteks ini, Ayatullah Muḥammad Tāqī Miṣhbāḥ Yazdī
melihat bahwa persoalan ini sebenarnya adalah persoalan yang sudah jelas.
Namun memang memerlukan penafsiran yang benar agar tidak terjatuh ke dalam
Jabr dan Tafwīḍ. Ayatullah Muḥammad Tāqī Miṣhbāḥ Yazdī menolak terhadap
pemikiran golongan Mujabbiroh yang menisbahkan segala persoalan atau
fenomena yang terjadi termasuk, kehendak bebas manusia, terhadap Tuhan secara
langsung tanpa memerhatikan bahkan menafikan sebab apapun dan perantara
apapun yang memengaruhinya. Juga penolakan terhadap madzhab Tafwīḍ yang
secara tegas berpendapat bahwa manusia adalah mutlak memiliki kehendaknya
sendiri. Pembahasan mengenai kehendak bebas sebagai lawan predestination
dengan sendirinya akan mengantarkan kita pada kajian tentang Qaḍā’, Qadar, dan
keadilan Tuhan. Serta bagaiana hubungannya dengan kehendak bebas manusia
sebagai makhluk Tuhan yang eksistensinya selalu dihubungkan dengan kehendak
Tuhan.
Kata kunci: M. T. Miṣhbāḥ Yazdī, kehendak bebas, Qaḍā’ dan Qadar, dan
keadilan Ilahi.
v
KATA PENGANTAR
حيمبسم حمن الره الره للاه
Assalāmu‘alaykum waraḥmatullāh wabarakātuh
Alḥamdulillāh puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alah Swt, Tuhan
semesta alam ini yang telah memberikan rahamat dan petunjuknya sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “KEHENDAK BEBAS DALAM
PEMIKIRAN AYATULLAH MUHAMMAD TAQĪ MIṢHBĀḤ YAZDĪ ”.
Salawat beriringkan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda
kita Nabi Muḥammad saw. yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju
zaman terang benderang, terang bukan hanya karena lampu tapi terang juga karena
ilmu.Berkat beliau jugalah kita menjadi seperti sekarang ini, beliau menanamkan
contohsuri tauladan yang baik, akhlak dan ajarannya menjadi akar peradaban saat
ini.
Selain dari itu juga, penulis ucapakan terima kasih kepada pihak yang sudah
membantu penulis dalam menyusun skripsi ini, sehingga penulisan skripsi ini
alḥamdulillāh berjalan dengan baik dan lancar. Tanpa mengurangi rasa hormat,
penulis sampaikai ucapkan ini keapada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
3. Ibu Dra.Tien Rohmatin, MA selaku ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
dan Bapak Dr. Wahid Hakim MA selaku sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat
Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal, MA. sebagai dosen pembimbing dalam menulis
skripsi ini yang selalu ada dan meluangkan sebagian waktunya untuk penulis.
Terima kasih yang sangat mendalam atas kesabaran, keikhlasan membimbing
penulis, sehingga penulis memeroleh hasil yang baik. Tidak ada yang mampu
membalas amal kebaikan Bapak kecuali Allah swt. Semoga kesehatan,
kelancaran dalam kegiatan selalu menyertai Bapak.
5. Ibu Rosmaria Safariah, W. SS. Msi sebagai Dosen Penasihat Akademik penulis
yang senantiasa memerhatikan dan mengingatkan penulis hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen khususnya Aqidah Filsafat Islam, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah
memberikan ilmu pengetahuannya selama penulis belajar di Fakultas
Ushuluddin.
7. Orang tua tercinta yakni ayahanda Alm. M. Jazuli dan Ibu Umma, atas kasih
sayang dan doa yang tak henti-hentinya dipanjatkan pada Tuhan untuk penulis.
Semoga Allah selalu melimpahkan kesehatan, kekuatan dan kesuksesan baik
di dunia maupun di akhirat kelak dan untuk bapak semoga amal ibadahnya
diterima dan diberikan jalan terbaik disisi-Nya, Amien.
vii
8. Keluarga tercinta dan paling hangat dalam memberikan pelukan kasih sayang
dan motivasi untuk tetap menyelesaikan studi S1 ini. H. Samsul Arifin, Hj. Nur
Fadillah, Anum Hosnal, Sunamya, Wamuddin, Amrani, Mak Yum Masturi
Muhammad, Faisol Muhammad, Mas Mimi, Efva Nabila, Susi Buheng, H.
Nurullah, Zainuddin, Sururul Laila, Ilmiyatin, Zara, dan Filza sebagai ponakan
Paling kocak dan menjadi penghibur penat serta untuk pendatang baru di
keluarga Muhammad Ghibran Al-Ghifari.
9. Kawan-kawan seperjuangan di Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2011 yang
telah mau berbagi ilmu pengetahuan baik di ruang kelas maupun di luar,
sehingga imajinasi penulis semakin bertambah kuat.
10. Keluarga Besar SejarahRI (Husein Ja’far al Hadar, Sayyed Fadel, Hodary
Mahdan Abdallah, Miqdat, Adi dan Agung ), terimakasih untuk Pelajaran
Hidupnya dan kenikmatan diskusinya untuk mempelajari ke-Islaman, ke-
Indonesiaan dalam perspektif sejarah dalam konteks berbangsa dan bernegara.
11. Teman kosan Lestari Alamku (Khaiarus Shaleh, Muzayyan, Firdaus dll)
terimakasih untuk motivasi dan canda serunya setiap waktu.
Harapan penulis, semoga skripsi yang penulis buat ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan masyarakt pada umumnya. Oleh sebab itu, kritik dan
saran yang senantiasa membangun sangat penulis harapkan.
Wassalāmu‘alaykum waraḥmatullāh wabarakātuh.
Jakarta, 2 Juli 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................i
LEMBARPENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ..........................................................................iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ...........................................................................................vi
DAFTAR ISI ..........................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 6
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 6
F. Metode Penelitian....................................................................... 8
G. Sistematika Pembahasan ............................................................ 9
BAB II BIOGRAFI AYATULLAH MUḤAMMAD TAQĪ MIṢBĀḤ
YAZDĪ
A. Latar Belakang Sosial, Politik dan Kultural ............................. 11 B. Tokoh-tokoh yang memengaruhi M. T. MiṣbāḥYazdī ............... 16
C. Karya-Karya M. T. MiṣbāḥYazdī ................................................. 18
BAB III KEHENDAK BEBAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM
A. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Kehendak Bebas.................. 23
B. Polemik Kehendak Bebas dalam Islam .................................... 30
BAB IV KEHENDAK BEBAS MENURUT AYATULLAH
MUḤAMMAD TAQĪ MIṢBĀḤ YAZDĪ
A. Pemikiran Ayatullah Muḥammad Taqī Miṣbāh Yazdī Tentang Qada’ Qadar dan Keadilan Tuhan ...................... 45
1. Qaḍā’ dan Qadar ..................................................... 45
2. Keadilan Tuhan ...................................................... 50
B. Argumentasi Ayatullah Muḥammad Taqī Miṣbāḥ Yazdī Tentang Kehendak Bebas..................................................... 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 60 B. Saran-Saran ............................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 63
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan kehendak bebas dewasa ini tampaknya banyak
diperbincangkan. Tema tentang kehendak bebas masih menjadi hal yang
menarik perhatian. Tema ini merupakan permasalahan tertua dalam filsafat,
yang mencapai puncaknya pada pemikiran filsafat Islam, yakni terkait
kebebasan berkehendak.1
Pembahasan ini sudah dilakukan para pemikir dan pakar dalam
berbagai bidang ilmu sejak dulu kala. Apakah manusia benar-benar bebas
dalam bertindak dan mempunyai kehendak bebas (freewill)? Atau hanya
membayangkan dirinya bebas, padahal sebenarnya berada di bawah paksaan
dan tidak memiliki kehendak yang mandiri?
Jika Tuhan yang melakukan segala sesuatu, lalu apa peran manusia?
Bukankah ini fatalisme? Jika Tuhan menciptakan manusia dan segala
fenomenanya, tidakkah ini berarti bahwa kita terpaksa dan tidak memunyai
kehendak bebas?
Kehendak bebas telah menjadi salah satu persoalan tertua. Setelah
kedatangan Islam atau sejak kemunculan Islam untuk pertama kalinya,
dikarenakan kaum muslim melakukan kontak dengan orang-orang dan
budaya lain, persoalan ini pun cukup intensif dibicarakan di tengah umat
Islam. Pertanyaan yang diajukan adalah, dalam konteks tindakan, yakni
1 Abbas Muhajirani, Pemikiran Teologis dan Filosofis Syi’ah Dua Belas Imam dalam
Sayyid Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (buku Pertama);
terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003). 162.
1
2
apakah manusia benar-benar memiliki kehendak bebas? Apakah dalam
kehendak bebas seperti itu dirinya dapat memutuskan atau melakukan apa
saja yang diinginkannya? Atau adakah elemen-elemen tertentu yang
memaksa manusia melakukan tindakan tertentu, bahkan dalam menerima
suatu idea atau pemikiran tertentu, dan dengan begitu, kehendak bebas tak
lebih hanya ilusi belaka?
Para Teolog (Mutakallimīn), jatuh pada dua kubu pemahaman antara
Qadariyyah dan Jabariyyah. Qadariyyah hadir dengan pendapat bahwa
manusia independen dengan kebebasan kehendaknya sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya.2
Kubu Jabariyyah kemudian melakukan penolakan terhadap
pandangan Qadariyah tersebut. kaum Jabariyyah berpendapat bahwa
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan perbuatannya.
Sebab sejak awal perbuatan manusia telah ditetapkan oleh Tuhan, dan pada
hakikatnya, manusia itu tidak mempunyai kehendak bebas.3
Kehendak bebas, terkait dengan konsep yang sering digunakan
dalam bidang etika dan mistisisme, dalam pengertian ini, kehendak bebas
merupakan lawan dari kepemilikan dan keterikatan. Dengan arti, terkadang
hati manusia terikat dan menyayangi sesuatu, dan di waktu yang lain tidak
memiliki keterkaitan terhadap apapun, dengan kata lain bebas dari segala
jenis bentuk kepemilikan. Kehendak bebas seperti ini memiliki
2 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi smin (Jakarta:
Bumi Aksara, 1995), h. 153. 3 Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
h. 81.
3
manfaat, seperti, manusia tidak memiliki kecintaan pada dunia, benda-
benda material, serta tak terikat oleh kesenangan duniawi dan segala hal
yang kosong dari semangat ketuhanan.4 Kehendak bebas seperti ini biasanya
dianut oleh para sufi.
Sebagai reaksi dari pandangan Jabariyah dan qadariyah, dalam
menyikapi permasalahan kehendak bebas, M.T. Miṣbāḥ Yazdī, dengan
argumen yang rasional menjelaskan bahwa, jika tidak ada kehendak bebas,
untuk apa para nabi diutus? Pada dasarnya, tujuan kedatangan nabi dan al-
Qur’an dapat dibenarkan, hanya ketika manusia memiliki kehendak
bebasnya dan dapat diperintah untuk mengerjakan ini dan jangan
mengerjakan itu, dan manusia bebas untuk menerima atau menolak.5 Ada
juga yang terjatuh pada kemandirian manusia secara mutlak untuk menjaga
kemurnian sifat terpuji pada Tuhan. Namun mereka juga terjatuh pada sikap
yang berlebihan.
“Ada sebagian orang yang sadar akan bahaya Jabariyah, tetapi karena tidak memilik kemampuan untuk menolak paham sekaligus setia pada tauhid yang sempurna, dan tidak
berusaha menggali ajaran-ajaran Ahlulbait yang suci nun mulia. Mereka malah jauh ke dalam pemahaman Tafwīḍ dan
Qadariyah (Kebebasan Mutlak manusia) mereka malah
menganggap bahwa tindakan bebas manusia itu diluar jangkauan tindakan Allah. Dengan begitu, sebenarnya
mereka telah terjebak ke dalam bentuk dalam dari penyimpagan pikiran dan telah merenggang jauh dari ajaran
Islam.”6
4 M. T. Mishbah Yazdi, Freedom, terj. Nailul Aksa (Jakarta: al-Huda, 2006), h. 22. 5 M. T. Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid, Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman,
terj. M. Habib Wijaksana (Bandung: Arasy, 2003), h. 136. 6 M.T. Mishbah Yazdi, Iman Semesta Merancang Piramida, h. 134.
4
Pernyataan tersebut sebenarnya ingin menjelaskan bahwa antara
qadariyah dan Jabariyah berada pada jurang yang sama-sama gelap, yakni
fatalisme. Qadariyah dengan kemutlakan kehendaknya sedangkan
Jabariyah pada fatalisme ketidak berdayaan. Dengan demikian sikap M.T.
Miṣbāḥ Yazdī terhadap persoalan ini ada ditengah-tengah. Bahwa kehendak
bebas manusia disebut juga sebagai “sebab pelengkap” dari kehendak atau
tindakan Tuhan.
Dalam penelitian ini, secara signifikan M.T. Miṣbāḥ Yazdī dalam
membahas kehendak bebas sangat konsisten terhadap analisis filosofis.7
Bila ahli ilmu kalam (Mutakallimīn) merujuk teks-teks suci sebagai
argument teologisnya terhadap kehendak bebas, maka sebagaimana penulis
temukan dalam pemikiran M.T. Miṣbāḥ Yazdī yang dianggap baharu dan
relevan adalah, menurutnya, teks-teks suci, agar bisa dijadikan sebagai
dasar penalaran, mesti dipandang terlebih dahulu sebagai premis- premis
yang perlu diargumentasikan bukan sebagai dogma yang melampaui premis
dan figura-figura penalaran.8
Dari latar belakang tersebut, penulis ingin membahas judul
mengenai Kehendak Bebas dalam Pemikiran Ayatullah Muhammad
Taqī Miṣhbāḥ Yazdī.
7 Maksud dari Analisis Filosofis di atas adalah mengajak untuk kembali ke filsafat dan
menjadikan nalar deduksi sebagai dasar argumentasi, termasuk saat menghadapi teks-teks suci.
Dengan kata lain, teks-teks suci dapat dijadikan sebagai dasar pembuktian selama ia merupakan
premis yang telah divalidasi dalam inferensi rasional yang bermuara pada prinsip badāhah. Lihat:
Muhsin Labib Pemikiran Filasafat M.T. Miṣbāḥ Yazdī Filsuf Islam Kontemporer: Studi atas Filsafat
Penegetahuan, Filsafat Wujud dan Filsafat Ketuhanan (Jakarta: Sadra Press, 2011), h. 246. 8 Muhsin Labib, Pemikiran filsafat Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi Filsuf Islam
kontemporer : Studi atas Filsafat pengetahuan, Filsafat Wujud dan filsafat ketuhanan, h. 246.
5
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berangkat dari pendahuluan di atas, penulis menemukan hal
menarik dalam pemikiran M. T. Miṣbāḥ Yazdī. Utamanya dalam
pembahasan kehendak bebas. M. T. Miṣbāḥ Yazdī memasukkan tema
kehendak bebas ke dalam tema besar filsafat, yakni ontologi. Dalam hal ini,
Yazdī, menolak penggunaan doktrin atau teks murni sebagai dasar
argumentasi. Ia tidak menganggap ilmu kalam dengan pengertian umum
yang selama ini dipegang oleh para teolog sebagai sesuatu yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara epistemologi. Karena itu, ia secara
fundamental menolak konstruksi ilmu kalam. Untuk itu pembahasan
kehendak bebas ini mestilah atau secara linier berhungan dengan
pembahasan Qaḍā’, Qadar, dan Keadilan Ilahi. Sehingga argumen-
argumen M. T. Miṣbāḥ Yazdī tentang hubungan ketiganya dibangun sebagai
pandangan Teologi Filosofis.
Penulis akan membatasi tulisan ini pada kehendak bebas dalam
pandangan M. T. Miṣbāḥ Yazdī. Dengan demikian, penulis tidak akan
terlalu jauh mengemukakan semua bentuk pemikiran Yazdī, seperti
epistemologi M. T. Miṣbāḥ Yazdī.
Secara ringkas, tulisan ini ingin menjawab rumusan pertanyaan:
pertama, bagaimana Qaḍā’ dan Qadar menurut M. T. Miṣbāḥ Yazdī?
Kedua, bagaimana hubungan kehendak manusia dengan keadilan Tuhan?
Ketiga, bagaimana kehendak bebas dalam pandangan M. T. Miṣbāḥ Yazdī?
6
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi atau
pemahaman secara mendalam tentang konsep kehendak bebas M. T. Miṣbāḥ
Yazdī. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada masyarakat tentang konsepsi kehendak bebas menurut
M. T. Miṣbāḥ Yazdī yang sangat dinamis. Selain itu juga, tulisan ini guna
melengkapi salah satu persyaratan pada akhir program sarjana jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam meraih gelar sarjana strata 1 (S1).
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan gambaran yang jelas tentang kehendak bebas menurut
M. T. Miṣbāḥ Yazdī .
2. Memberikan cara pandang baru dalam melihat kebebasan manusia.
3. Menjadi sumbangan karya akademik yang bermanfaat bagi
masyarakat.
4. Menambah khazanah kepustakaan atau literartur di Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian yang mengulas tentang kehendak bebas dibahas oleh M. T.
Miṣbāḥ Yazdī dalam buku:
7
A. Iman Semesta
Buku ini merupakan terjemahan dari buku Amūzesye Aqāyid
karya M. T. Miṣbāḥ Yazdī. Buku ini menjelaskan tentang
kehendak bebas dalam pelajaran ke:18.
B. Meniru Tuhan
Buku ini merupakan terjemahan dari buku Falsafeh ye
Akhlāq karya M. T. Miṣbāḥ Yazdī. Ia mengulas kehendak
bebas pada bab VI.
C. Jagad Diri
Buku ini merupakan terjemahan dari buku Khud Syāsi
barāye Khud Syenāsī yang merupakan kumpulan hasil
ceramah-ceramah M. T. Miṣbāḥ Yazdī. Dalam buku ini
pembahasan tentang kehendak bebas dimuat pada bab IV.
D. Freedom
Buku dengan judul asli: Freedom: the understanding facts
and points. Buku ini juga merupakan kumpula ceramah M.
T. Mishabh Yazdī yang berfokus pada tema kebebasan.
Kajian ilmiah terkait tokoh Muḥammad Tāqī Miṣbāḥ Yazdī sudah
banyak dilakukan oleh para kalangan, baik ilmuan maupun akademisi, yakni
berupa buku-buku atau karya akademik. Hal tersebut setidaknya menjadi
bukti akan besarnya pengaruh pemikiran M. T. Miṣbāḥ Yazdī .
Dalam bentuk skripsi, penulis menemukan skripsi yang mengangkat
tokoh M. T. Miṣbāḥ Yazdī . Penelitian-penelitian tersebut
8
membahas aspek-aspek tertentu dari M. T. Miṣbāḥ Yazdī . Antara lain
yaitu:
Skripi berjudul Ashālah al-Wujūd M. T. Miṣbāḥ Yazdī karya Fardiana
Fikria Zaini, jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2009. Skripsi berusaha menggali konsep
Ashālah atau kemendasaran wujud menurut M. T. Miṣbāḥ Yazdī .
Penelitian Doktoral atau desertasi yang ditulis oleh Dr. Muhsin
Labib menjelaskan secara padat tentang pemikiran filsfat M.T. Miṣbāḥ
Yazdī. Kemudian desertasi tersebut diterbitkan dalam bentuk buku dengan
judul Pemikiran Filsafat M.T. Miṣbāḥ Yazdī (Filsuf Iran Kontemporer):
Studi atas Filsafat Pengetahuan, Filsafat Wujud dan Filsafat Ketuhanan.
Secara garis besar penulisan atau penelitian dan penerjemahan atas
karya Ayatullah M.T. Miṣbāḥ Yazdī sudah banyak dilakukan.
Jika dilihat dari segi objek penelitian tentang kehendak bebas sudah
sangat banyak dilakukan. Namun, yang secara khusus melakukan penelitian
tentang pandangan M.T. Miṣbāḥ Yazdī utamanya dalam pemikiran
kehendak bebas ke dalam bentuk skripsi belum ada yang memulai. Oleh
karena itu penelitian ini merupakan karya original dan pertama kali.
F. Metodologi Penelitian
Penulis menggunakan metode library research (studi kepustakaan).
Teknik ini berupaya mengumpulkan data-data terkait permasalahan yang
dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai literatur,
9
baik primer maupun sekunder. Dalam hal ini, sumber-sumber pustaka yang
penulis gunakan sebagai rujukan dalam mengumpulkan informasi dan
mengumpulkan data-data ialah dalam bentuk buku-buku, jurnal, skripsi dan
artikel dari internet yang berkaitan dengan penelitian ini.
Adapun pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode
deskriptif dan analitis. Jadi, secara teknis analitis data yang digunakan
adalah jenis kualitatif. Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan
memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait
dengan skripsi ini.Sementara analitis dipergunakan agar penulis dapat
menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga mengena pada
inti permasalahan.
G. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan bisa dilakukan secara runtut dan terarah maka
diperlukan sistematika yang jelas. Adapun sistematika dalam penulisan ini,
penulis membuat pembahasan yang terdiri dari lima bab, setiap bab terdiri
dari subbab yakni sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan. Dalam bab ini, penulis memaparkan
tentang latar belakang masalah yakni mengemukakan alasan-alasan
mengapa penulis tertarik untuk mengangkat topik ini, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka
dan sistematika penulisan.
Bab dua, tinjauan umum tentang biografi Muḥammad Tāqī Miṣbāḥ
Yazdī. Bab ini penulis paparkan guna mengetahui bagaimana
10
sejarah yang melatarbelakangi lahirnya M. T. Miṣbāḥ Yazdī , Guru-guru
M. T. Miṣbāḥ Yazdī dan karya-karya M. T. Miṣbāḥ Yazdī .
Bab tiga, kehendak bebas dalam Islam. Dalam bab ini penulis
memaparkan Pengertian dan sejarah lahirnya kehendak bebas. yang kedua
tentang polemik kehendak bebas dalam Islam.
Bab empat, kehendak bebas Menurut Muḥammad Tāqī Miṣbāḥ Yazdī
. Bab ini menjelaskan bagaimana kehendak bebas dalam pandangan
Muḥammad Tāqī Miṣbāḥ Yazdī Adapun sub-babnya terdiri dari:
Pemikiran Muḥammad Tāqī Miṣbāḥ Yazdī tentang Qadha, Qadar, dan
keadilan Tuhan. Serta Pemikiran Muḥammad Tāqī Miṣbāḥ Yazdī tentang
kehendak bebas.
Bab lima, penutup. Dalam bab ini, penulis membuat kesimpulan dan
saran-saran.
BAB II
BIOGRAFI AYATULLAH MUḤAMMAD TĀQĪ MIṢBĀḤ YAZDĪ
A. Latar Belakang Sosial, Politik dan Kultural
M.T. Miṣbāḥ Yazdī merupakan salah satu tokoh besar Iran yang lahir
di kota Yazd, Iran, pada 11 Bahman 1313 Hijriyah Syamsiyyah, bertetapan
dengan 17 Rabi’ul Awal 1353 Hijriah Qamariyah (1934). Di kota
kelahirannya itu pula beliau menamatkan pelajaran dasar ilmu-ilmu Islam
dan memulai membaca naskah-naskah klasik. Muḥammad Tāqī Miṣbāḥ
Yazdī merupakan tokoh yang sangat menyukai dan mencintai ilmu
pengetahuan, sampai-sampai ketika masa kecilnya dalam setiap ujian akhir
setiap tahunnya, ia selalu terpilih menjadi yang terbaik. Ia juga termasuk
murid yang sangat dihargai dan dihormati oleh para guru, termasuk kepala
sekolah. Muḥammad Tāqī Miṣbāḥ Yazdī sejak awal memang bercita-cita
menjadi ahli agama.1
Secara umum, kehidupan intelektual M. T. Miṣbāḥ Yazdī dapat
dibagi menjadi tiga fase. Yakni Muqaddimah, Suṭūḥ, dan Kharīj. Jenjang
Muqaddimat merupakan jenjang pendidikan awal M. T. Miṣbāḥ Yazdī di
hawzah ilmiah 2 Yazd. Ia menyelesaikan studi tingkat pertama dan
menengah sampai tahap mempelajari Rasāil karya Anshāri dan al-Makāsib
karya Akhud Kharasāni dalam kurun waktu empat tahun. Umumnya,
1 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī (Jakarta: Sadra press,
2011), h. 64. 2 Hawzah ilmiah merupakan sebutan bagi tempat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.
11
12
untuk menamatkan studi tersebut, diperlukan waktu minimal delapan
tahun.3
Prestasi dan keberhasilannya dihasilkan dengan bantuan serta
dukungan guru-gurunya. Di antara guru yang ikut andil dalam kesuksesan
M. T. Miṣbāḥ Yazdī adalah Muḥammad Ali Nuri yang selalu meluangkan
waktunya untuk memberikan pengajaran khusus untuk M. T. Miṣbāḥ Yazdī.
Ia juga mempelajari sastra dari Muḥammad Ali Nahwi. Dari ‘Abd al-Hasan,
Muḥammad Tāqī Miṣbāḥ Yazdī mempelajari sebagian syarḥ al-Lum‘ah al-
Dimasyqiyyah dan farā’id al-Uṣūl. Mirza Muḥammad Anwārī mengajarinya
beberapa bab dari buku Qawānin Uṣūl. M. T. Miṣbāḥ Yazdī tidak hanya
mempelajari ilmu agama, tetapi ia juga mempelajari ilmu fisika, kimia,
psikologi, dan bahasa perancis di bawah bimbingan Muhaqqiq Rasyti.4
Jenjang kedua dari kehidupan intelektual M. T. Miṣbāḥ Yazdī adalah
jenjang Suthūh. Pada jenjang ini ia melakukan hijrah ke dua kota untuk
melanjutkan pendidikan agamanya di hawzah. Hijrah pertama yang
dilakukannya untuk melanjutkan dan menyempurnakan pendidikannya.
Pada tahun 1330 H/1939 M, M. T. Miṣbāḥ Yazdī beserta orang tuanya hijrah
dan menetap di Najaf sempat mengikuti kuliah Muḥsin al-Ḥakīm, Mahmud
Syahrudi, Abd al-Hadi syirazi, Istahbanati, dan Abū al-Qasīm al- Khui. M.
T. Miṣbāḥ Yazdī mempunyai orang tua yang sangat menyayangi serta
memberi dukungan secara moril maupun materil kepadanya untuk
3 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī, h. 65. 4 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī, h. 67.
13
menuntut ilmu agama. Orang tuanya menjual rumahnya di Iran untuk
membuka usaha baru di Najaf. Namun kondisi perekonomiannya di Najaf
tidak kunjung membaik. Akhirnya, orangtuanya memutuskan untuk
kembali lagi ke kampung halaman bersama M. T. Miṣbāḥ Yazdī.
Sesampainya di Iran, M. T. Miṣbāḥ Yazdī masih memiliki semangat yang
membara untuk menuntut ilmu-ilmu agama. ia memutuskan untuk
melanjutkan studinya di hawzah Ilmiah Qom, tepatnya di madrasah
Faīḍiyyah.5
Jenjang terakhir adalah jenjang khurūjī. Pada jenjang khuruji, M.
T. Miṣbāḥ Yazdī mempelajari pelajaran Baḥtsul Kharīj dalam bidang fiqih dari
Burujerdi dan Baḥtsul Kharīj bidang ushul fiqh dari Khomeinei. Pada masa
ini pula M. T. Miṣbāḥ Yazdī berkenalan dengan sejumlah ulama besar,
seperti, Khomeinei, Ṭabāṭabā‘ī, dan Behjat.6
Dipanggung politik, ia memainkan peran penting bersama rekan-
rekannya, seperti Ayātullāh Behesytī, Ayātullāh Rafsanjanī, dan Ḥujjatul
Islam Muḥammad Javad Bahonar. Pada masa perlawanan terhadap Reza
Pahlevi yang zalim itu, ia menjadi penanggung jawab dua media informasi,
yaitu Media Bi’tsat dan Enteqam. Bersama Ayātullāh Junnatī, Ayātullāh
Behestī dan Ayātullāh Qoddusī, ia mengelolah pusat pendidikan Haqqani
dan Muntazeriyeh.7 Selama 10 tahun, ia sibuk menjadi guru besar filsafat
dan ilmu-ilmu al-Qur’an atas anjuran dan dukungan Ayātullāh
5 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī, h. 67-69. 6 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī, h. 70. 7 M. T. Miṣbāh Yazdī, Filsafat Tauhid, terj. M. Habib Wijaksana (Bandung: Arasy,
2003), h. 15-16.
14
Khomeni di Hawzah Qom. Hingga pada tahun 1369 H. M. T. Miṣbāḥ Yazdī
terpilih sebagai anggota dewan ahli dari provinsi pemilihan Khuzestan, dan
dalam pemilihan terakhir dewan ahli, M. T. Miṣbāḥ Yazdī kembali terpilih
sebagai anggota yang mewakili ibukota Tehran.8
Tāqī Misbah Yazdī merupakan figur jebolan Qom yang paling
menonjol dan produktif, salah satu bukti yang paling kongkrit ialah
keberhasilannya dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi
perkembangan wacana filsafat islam seraya mengharmoniskan Shadraisme,
Parepatetisme, Filsafat Moderen dan Visi politik Imam Khomeni yang
berpijak pada konsep wilayatul fakih. 9 Dan berkat kerjasama M. T. Yazdī
dengan Dr. Muḥammad Legenhausen yakni seorang pakar filsafat barat dan
yang menjadi santri di Hawzah Qom dan menjadi sumber otentik dalam
filsafat barat, maka berdirilah sejumlah pusat studi filsafat yang
dikembangkan secara modern serta mampu mencetak puluhan bahkan
ratusan sarjana yang berbasis ruhaniawan sekaligus filsuf muda yang cukup
produktif dan aktif menjadi narasumber dalam seminar-seminar keislaman
baik itu nasional maupun internasional, serta mampu menulis buku, jurnal,
surat kabar serta majalah. Mereka juga sangat kompeten dalam
kebahasaan.10
Sejak wafatnya Murtadha Muthahhari, M. T. Miṣbāḥ Yazdī,
merupakan figur pemikir produk Hawzah Qom yang paling produktif, ia
8 Muhsin Labib, Para Filosof sebelum dan sesudah Mulla Shadra, (Cet. I; Jakarta : Al-
Huda, 2005), h. 320. 9 Muhsin Labib, Para Filosof sebelum dan sesudah Mulla Shadra, h. 321. 10 Muhsin Labib, Para Filosof sebelum dan sesudah Mulla Shadra, h. 322.
15
telah menempati peran penting. Juga setelah menangnya revolusi Iran,
dengan memperhatikan urgensi islamisasi universitas maka beliau memulai
kembali kegiatannya. Ia bekerja sama dengan beberapa teman dan murid-
muridnya untuk mendirikan lembaga yang mengatur hubungan universitas
dengan Hawzah. Seperti pusat penelitian Baqir Ulum yang bergerak di
bidang pengaturan kurikulum Hawzah dan hubungan antara Hawzah
dengan universitas.11
M. T. Miṣbāḥ Yazdī juga merupakan murid dan produk Hawzah
yang diyakini mampu memberikan respon terhadap wacana-wacana
pemikiran kontemporer, yakni, sejumlah aliran pemikiran modern dan
postmodern yakni beliau berupaya mendialogkan tradisionalisme dan
modernism dalam wawasan filsafat yang diproyeksikan pada terciptanya
reformasi sistem pendidikan Hawzah.12
Beliau banyak melewati semua jenjang pendidikan di Hawzah
hingga pendidikan tertinggi dalam berbagai bidang, seperti, fiqh, ushul fiqh,
dan dibalik semua itu, M. T. Miṣbāḥ Yazdī merupakan hasil didikan dari tiga
tokoh terkemuka, yakni Tabātabā’Ī, Behjat Fumami dan Rūhullāh
Khomenei. Beliau juga mempunyai kecenderugan pada ilmu-ilmu rasional
seperti dalam bidang filsafat, teologi, logika, dan matematika.13
Di antara sosok guru yang sangat berpengaruh terhadap M. T.
Miṣbāḥ Yazdī salah satunya adalah Tabātabā’Ī. Darinya ia banyak
memperdalam ilmu-ilmu filsafat. Namun ia banyak memberikan kritik
11 Husain Ali Arabi, Haqiqate Syarq (Qom: zalat Kautsar, 1381[tahun Persia), h. 19. 12 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī, h. 101. 13 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī h. 91.
16
terhadap gurunya. Dalam berbagai karya M. T. Miṣbāḥ Yazdī, ia banyak
mengutip pendapat-pendapat yang dikemukan oleh Tabātabā’Ī dan
melakukan analisis kritis terhadap pemikirannya, terutama dalam masalah
ontologi.14
Sejak tahun 1975 M. T. Miṣbāḥ Yazdī mendirikan, mengarahkan, dan
mengajar di lembaga akademik yang berbeda, seperti departemen
pendidikan di Dar Rah-I Haqq, Baqīr al-‘Ulūm Cultural Foundation, PT
KALBE-I Hamkari Hawzah va Danishgah (kantor kerjasama antara
Hawzah dan Universitas). M. T. Miṣbāḥ Yazdī saat ini merupakan direktur
Imam Khomenei pendidikan dan Research Institute di Qum. Ia terpilih pada
tahun 1990 ke majlis-I khibrigan-I Rahbari (Dewan Ahli di Leadership) dari
Khuzistan provinsi dan terpilih kembali di babak berikutnya dari Teheran.
Dia adalah pengarang sejumlah karya tentang filsafat Islam dan Komparatif,
teologi, etika dan tafsir al-Qur’an.
B. Tokoh-tokoh yang memengaruhi M. T. Miṣbāh Yazdī
M. T. Miṣbāḥ Yazdī merupakan hasil didikan dari tiga tokoh
terkemuka, yakni Tabātabā’Ī, Behjat Fumami dan Rūhullāh Khomenei. Kita
mulai dengan tokoh revolusi Iran, Ayatulah Khomenei.
Ruhullah Khomenei merupakan tokoh paling fenomenal pada abad
ke-20. Ia memiliki nama lengkap Ayatullah al-Uzma Sayyid Ruhullah al-
Musawi al-Khomenei. Ulama pemimpin Syi’ah ini berhasil menumbangkan
sebuah rezim otoriter Reza Pahlevi di Iran melalui
14 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī, h. 93.
17
Revolusi 15 Islam Syi’ah pada tahun 1979, sehingga rakyat menyebut beliau
“sang Imam” dan dinobatkan sebagai “pemimpin Agung Revolusi”. Ia juga
merupakan teolog Islam pertama yang mengembangkan gagasan
pemerintahan Isamnya di duniamodern. Bagi banyak orang, dia pembela
iman, oramg yang mengembalikan kekuatan dan puritanisme Islam di
tengah-tengah dekadensi, korupsi, dan hegemoni Barat.16
Tokoh Revolusi Iran ini mempunyai andil dalam perkembangan
pemikiran M. T. Miṣbāḥ Yazdī. Dalam buku Pemikiran Filsafat Ayatullah
M. T. Miṣbāh Yazdī karya Muhsin Labib digambarkan bagaimana
hubungan Ayatullah Khomenei dengan M. T. Miṣbāḥ Yazdī.
“Ali Mishbah Putra Muhamad Taqī Miṣbāḥ Yazdī,
meneragakan hubungan Muhamad Taqī Miṣbāḥ Yazdī dengan
Khomaini, setelah mengikuti khomaini dalam masa liburan
pe;ajaran tersebut ia memberikan perentah kepada murid-
muridnya agar meneruskan pelajarannya dengan
Mubahatsah. Muhamad Taqī Miṣbāḥ Yazdī dan beberapa
orag terkemuka seperti Gilani Muhammad Yazdī, khosain
Mazhaheri, Ali Akbar Musawi, dan Muhamad Taqī Miṣbāḥ
Yazdī melaksanakan perintah khomaini tersebut dengan
Mubahatsah secara bersama-sama. Mubahatsah ini terus
berlangsung sampai menangnya revolusi Iran.tema-tema
yang dibahas dalam masalah ini sangat penting dan
berkualitas, yang umumnya adalah masalah-masalah sosial
islam seperti amar ma’ruf nahi mungkar dan lain-lain”17
Tokoh selanjutnya yakni, Tabātabā’Ī. Nama lengkapnya adalah
Muhammad Hosein bin Muhammad bin Ali Asghar Tabātabā’Ī Tabrīzī
Qādhī. Tabātabā’Ī lahir pada tanggal 29 Dzulhijjah tahun 1321 H/ 1892 M,
di desa Shadegan (provinsi Tabriz). Yatim piatu pada umur sembilan
15 Revolusi dalam wacana sosiologis diartikan sbagai perubahan sosial dan kebudayaan
yang diperlangsung secara cepat. 16 Ilyas Hasan, Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, 1995), h. 69. 17 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī, h. 95.
18
tahun, Tabātabā’Ī memperoleh pendidikan pada sekolah resmi, kemudian
belajar melalui guru-guru privat sehingga menguasai bahasa Persia dan
pelajaran lainnya. Mendalami al-Qur’an juga karya klasik seperti sastra dan
sejarah dari buku-buku Ghulistan dan Bustan karya Sa’di. Setelah itu beliau
belajar di Universitas Syi’ah di Najaf. Beliau belajar fiqih dan ushul fiqih
kepada al-Na’ini dan al-Isfahani.18
Selain menulis, membimbing masyarakat, mengajarkan al-Qur’an
dan filsafat dengan melakukan kunjungan di beberapa kota, beliau juga
mengajarkan pengetahuan danpemikiran keislaman kepada ketiga
kelompok masyarakat, yaitu:murid-murid tradisional yang menyebar ke
seluruh dan uar negeri Iran: kelompok mahasiswa pilihan tentang ilmu
ma’rifat dan tasawuf dan orang iran yang berpendidikan modern.19
C. Karya-karya
Di antara karya-karya yang ditulis oleh Prof. Ayatullah M. T.
Miṣbāḥ Yazdī adalah sebagai berikut:
1. Chikedeh-ye Bahts-e Falsafi (Ringkasan beberapa pembahasan
filsafat), Qom: Dar Rah-e Haqq, 1257/1978 M. Sebuah ikhtisar atau
ringkasan dari diskusi-diskusi yang berlangsung di London dalam
serangkaian konferensi yang juga memuat komentar- komentar para
pelajar Iran yang tinggal di Amerika Serikat mengenai konsep
filsafat dan sejarahnya, pengetahuan rasional
18 Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizan, terj. Syamsuri Rifai ( Beirut: Muassasah li al-
a’lam lil matbu’at, 1991 H), h. Ii. 19 Sayyid Husayn Nasr, Islam Tradisi, terj. Lukman Hakim (Bandung: Pustaka, 1994), h.
285.
19
(rasional knowledge), sebab akibat, maujud tetap, dan tak tetap
aktualitas serta potensialitas.20
2. Pasdari Az Sangarha-ye Iydi’uluzhik (pengawal benteng-benteng
ideology).
Buku ini diterbitkan oleh Dar Rah-e Haqq, Qom, pada tahun
1361/1982 M. buku ini memuat kumpulan tulisan singkat, ditambah
sebuah artikel dari Dr. Ahmad Ahmadi. Topic yang dibahas oleh M.
T. Miṣbāḥ Yazdī meliputi: makna pandangan- dunia, pengetahuan,
sebab-akibat, gerak, dialektika, dan pandangan-pandangan dunia
materealis.
3. Iydi’uluzhi-e Tathbīqī (Perbandingan Ideologi)
Terbit di Qom, Dar Rah-e Ḥaqq, pada tahun 1361/1982. Buku hasil
transkripsi ini terdiri atas empat puluh pelajaran yang disampaikan
penulis setelah kemenangan
4. Amūzisy-e ‘Aqāyid
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Ammar Fauzi Herriyadi dan diterbitkan oleh al-Huda (Jakarta) pada
tahun 2005 dengan judul Akidah Islam. Karya yang berisi 3 jilid ini
dipersiapkan oleh Prof. Miṣbāḥ Yazdī dengan mendapat bantuan dari
sekelompok sarjana di Institute Dar Rah-e Haqq, untuk keperluan
para pelajar tingkat menengah. tiap jilid memuat
20 pelajaran. Topik-topik yang di bahas di dalamnya adalah
20 M. T. Miṣbāh Yazdī, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Kazhim dan Saleh Baqir
(Jakarta: Shadra Press, 2010), h. xxvii-xxviii
20
tentang teologi, kajian-kajian agama, pembuktian akan wujud niscya
ada, sifat-sifat Tuhan, kritik atas materialism, keesaan Tuhan,
kebebasan berkehendak dan keterpaksaan (determinisme),
kebutuhan akan para nabi dan imam serta kemaksuman mereka, al-
Qur’an,, Imam Mahdi, immaterialitas ruh, kebangkitan, kehidupan
setelah mati, keimanan dan kekafiran, serta permasalahan wasilah.21
5. Rahiyyan-e Ku-ye Dust
Menjadi Manusia Ilahi adalah judul terjemahan buku dari Rahiyyan-
e Ku-ye Dust. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Iwan setiawan dan diterbitkan oleh Lembaga
Internasional Ahlu al-Bait pada tahun 2011. Buku ini memuat
kumpulan dua belas kuliah tentang moralitas Islam, seperti cinta
ilahi, keimanan kepada Allah, kekhusyuan dalam sholat, kehidupan
setelah mati, dan bagaiamana mencintai Tuhan yang disajikan dalam
bentuk syarah atas riwaya-riwayat sekitar peristiwa Mi‘raj Nabi
Muḥammad SAW.22
6. Jang Wa Jihād Dar Qur’an
Buku ini diterjemahkan oleh Akmal Kamil dan diterbitkan oleh
penerbit al-Huda, Jakarta, pada tahun 2006. Tema Utama yang
2005).
21 M. T. Miṣbāh Yazdī, Akidah Islam, terj. Ammar Fauzi Herriyadi (Jakarta: al-Huda,
22 M. T. Mishabh Yazdi, Menjadi Manusia Ilahi, terj. Iwan Setiawan (Jakarta: Lembaga
Internasional Ahlu al-Bait, 2011).
21
dikaji dalam buku ini adalah fenomena perang dalam perspektif al-
Qur’an.23
7. Durūs Falsafah
Pelajaran-pelajaran filsafat, begitulah terjemahan dari buku karya
M. T. Miṣbāḥ Yazdī di atas. Buku ini diterbitkan di Teheran oleh
Mu’assisah Muthāla‘at vā Taḥqīqāt Farhangi-e, 1363/1984 M. karya
ini merupakan karya ringkas dari Amuzisy-e Falsafah.24
8. Freedom
Buku dengan judul asli Freedom: the unstated facts and points,
diterjemahkan oleh Nailul Aksa, Jakarta, al-Huda, diterbitka pada
tahun 2006. Buku ini memuat tentang kebebasan, mulai dari definisi
kebebasan yang beragam, kemudian kebebasan dalam Islam dan
Tanya-jawab seputar kebebasan.
9. Falsafeh ye Akhlāq
Karya M. T. Miṣbāḥ Yazdī ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul Meniru Tuhan, diterjemahkan oleh Ammar
Fauzi Herriyadi, penerbit al-Huda, Jakarta, pada tahun 2006. Buku
ini mengupas tentang filsafat akhlaq, mulai dari definisi hingga
konsep baik dan buruk dan juga tentang pandangan-pandangan
seputar moralitas dalam Islam.25
23 M. T. Miṣbāh Yazdī, Perlukah Jihad? terj. Akmal Kamil (Jakarta: al-Huda, 2006). 24 Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī, Durus Falsafah (Teheran: Muassisah Muthala’at va
Farhangi-e, 1363/1984). 25 Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī, Meniru Tuhan, terj. Ammar Fauzi Herriyadi (Jakarta:
al-Huda, 2006).
22
10. Ma‘ārife Qur’ān
Terbit di Qom, diterbitkan oleh Dar Rah-e Haqq, pada tahun
1369/1989 M. Buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Terdiri dari 3 jilid dan terbagi dalam tiga bagian pembahasan,
yakni teologi, kosmologi, dan antropologi.26
26 Ayatullah M. T. Miṣbāh Yazdī, Ma’arif-e Qur’an (Qom: Dar Rah-e Haqq, 1368/1989
M.).
BAB III
KEHENDAK BEBAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM
A. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Kehendak Bebas Dalam Islam
Sejak manusia mengetahui bahwa ada kemampuan kreatif yang
menciptakan alam jagad semesta ini termasuk dirinya sendiri (manusia),
kemudian hal itu diyakini berhubungan dengan sang pencipta (Khāliq)
dengan ciptaanya (makhlūq) lalu manusia mempertanyakan satu hal dalam
dirinya. Apakah aku ini mampu bergerak secara bebas dalam menentukan
segala tingkah laku perbuatanku? ataukah justru seluruh tingkah laku
manusia sudah ditentukan atau dikendalikan oleh sang pencipta sejak
dahulu kala? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bahkan muncul secara
khusus dalam perkembangan pemikiran Islam.1
Kehendak bebas dalam pengetian di sini mengacu pada suatu
potensi, fakultas atau daya di dalam diri manusia untuk pengambilan suatu
keputusan.2 Dalam istilah teologi barat dikenal dengan Free will and Free
act, sebuah sikap yang menganggap bahwa manusia memiliki kehendak dan
kebebasannya sendiri dalam menentukan perbuatan. Atau predestination,
yang berarti bahwa manusia tidak memiliki kebebasan
1 Al Markaz ar Risalah, KeadilanTuhan Diterminisme Sejarah dan Kemandirian Manusia,
Perspektif Filsafat dan Teologi dalam Madzhab Ahlul Bait, terj. Muhsin Assegaf ( Yogyakarta:
RausyanFikr Institute, 2012), h. 1 2 Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 247.
23
24
dalam menentukan perbuatanya sendiri. sedangkan dalam Istilah Teologi
Islam dua sikap tersebut dikenal dengan Qadariyah dan Jabariyah.3
Dalam dinamika pemikiran Islam kehendak bebas merupakan
persoalan yang sangat seksi dan menjadi perbincangan sampai sekarang.
Sebab kebebasan adalah salah satu nilai kemanusiaan yang teragung. Tiang
kemanusian yang paling penting juga sebagai perhitungan dan tanggung
jawab.4
Pertanyaan yang sangat lazim dan menjadi titik awal dari pemikiran
Islam tentang kehendak bebas adalah apakah manusia memiliki kehendak
bebasnya sendiri ataukah segala perbuatan manusia sudah ditentukan sejak
dahulu kala oleh Allah SWT?5 Untuk melacak persoalan awal dari
problematika kehendak bebas ini maka kita harus membuka kembali sejarah
munculnya paham serta keyakinan terhadap kemandirian manusia terhadap
kehendak bebasnya tersebut.
Sepanjang sejarah pemikiran Islam bahwa pertanyaan seperti itu
(problematika kehendak bebas) sudah lama ditemukan bahkan pada periode
setelah wafatnya Rasulullah Muḥammad SAW. yakni pada periode kedua
abad pertama Hijriah. Kemudian mulai menjadi sistematis dan menjadi Ilmu
pada periode awal abad ketiga Hijriah.6 Pada saat itu Pemikiran filosofis
atau teologis dalam Islam dimulai dengan tiga
3 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI
Press), cet-1, h. 64. 4 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi Smin (Jakarta:
Bumi Aksara, 1995), h. 134. 5 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 1986), h. 31. 6 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 35.
25
persoalan: hakikat iman dan status dosa besar, takdir dan kebebasan serta
hakikat dan sifat Ilahi. Dua yang pertama muncul akibat konflik politik
sehingga mengakibatkan perpecahan umat Islam dan akibat-akibat
selanjutnya. Ketika umat Islam menyebut lawan mereka non-Muslim karena
perilaku kasarnya, maka isu, apakah bisa disebut beriman orang yang
berbuat dosa atau tidak. Ketika orang yang melakukan tindakan kekerasan
dimintai pertanggung jawaban tetapi mereka mengatakan tidak bersalah
karena tindakan mereka tentang takdir sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan,
maka muncul isu tentang takdir (kehendak bebas) dan problem kehendak
bebaspun mestilah dipecahkan.7
Para pelopor kedua pandangan (kebebasan dan keterpaksaan)
manusia tersebut adalah Qadariyah dan Jabariyah yang sejak awal sudah
terlibat dalam pemerintahan Bani Umayyah (661-750 M)8 dalam
pandangannya mengenai kemampuan manusia menentukan kehendak
bebasnya.
Pada masa Bani Umayyah muncul dan berkembang beberapa aliran
dan pemahaman terhadap agama dan sikap beragama (akidah). Walaupun
7 Isma’il Al-Faruqi dan lois lamya Al-Faruqi, Atlas dan Budaya Islam Menjelajah
Khazanah Peradaban Gemilang Islam, (Bandung: Mizan, 1998), h. 315. 8 Moh Sulaiman Haji Yasin, Pengantar Filsafat Islam (Kuala Lumpur: Percetakan Bahasa
dan Pustaka,),h.114-115. Bani Umayyaah ini merujuk pada ‘ Mu‘awiyyah Ibn Abī Safyān yang
merupakan gubernur Damaskus pada masa khalifah Umar Ibn Khaṭṭāb. Terlibat dalam perang
Ṣiffīn melawan Imam ‘Ali ibn Abī Ṭālib dan setelah mendapat persetujuan Sayyidina Hasan ibn ‘Ali
dalam peralihan kekuasaan kemuadian pemerintahan Islam dipindah dari Kuffah ke Damaskus. Pada
masa Bani Umayyah berkembang tafsir, hadis, fiqih dan ilmu kalam. Kemudian lahir nama-nama
besar seperti Hasan Al-Basri, Ibnu Shihab Al-Zuhri, Wasil Ibn Ata‘ serta Ma‘bad Al-Juhānī dan
Ghaylān Al-Damsyqī yang menjadi cikak-bakal paham Qadariyah kemudian menentang kekusaan
politik bani Umayah. Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh Buku Pintar Sejarah Islam; Jejak
Langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Zainal Arifin,(Jakarta:
Zaman,2004), h. 235. Lihat juga Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta:
UI-Press, 1985), Cet-5, h. 55-56.
26
aliran dan pemahaman tersebut berimplikasi terhadap persoalan yang
sifatnya politis dan merembes pada persoalan teologis. Hal ini tidak lepas
karena persoalan keagamaan khususnya yang menyangkut akidah sudah
menjadi pola perdebatan Umat Islam masa itu.9 Dimana pada masa periode
Rasullullah Muḥammad SAW. sampai pada masa Khulafa al- Rasyidin hal
tersebut tidak dibicarakan sebab pada periode Islam awal umat Islam masih
percaya terhadap taufiq (pertolongan) Allah.10
Periode Islam berikutnya yaitu periode kedua abad pertama
Hijirayah yang ditandai dengan kemenangan Mu‘awiyah bin Abī Safyān
atas ‘Alī pada perang Ṣiffīn. Sehingga menyebabkan terbunuhnya ‘Alī ibn
Abī Tālib secara politis oleh sekte Khawarij. Sehingga memudahkan
Mu‘awiyah memuaskan ambisi kekuasaanya untuk menjadi khilafah Islam
masa itu. Setelah kematian ‘Alī ibn Abī Ṭālib (656-661 M) umat Islam
atau masyarakat Arabia, Irak dan Iran memilih Sayyidinā Hasan ibn ‘Alī
untuk menjadi khilafah (661 M). Namun Ḥasan Ibn ‘Alī tidak mau
mengorbakan umat Islam dengan pertumpahan darah hanya karena haus
kekuasaan. Oleh sebab itu Hasan Ibn ‘Alī menyerahkan kekuasaanya secara
sah sebagai Khalifah kepada Mu‘awiyah bin Abī Safyān setelah Ḥasan Ibn
‘Alī sempat menjabat selama tiga bulan dan proses serah terima tersebut
berlangsung di Khufah.11
9 Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT Grafindo persada,1996), cet. 3, h.
13. 10 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 35 11 Joesoef Sou’yb, sejarah Daulah Umayah di Damaskus (Jakarta: Bula Bintang,
1977),h.15-16.
27
Sejak disepakatinya perpindahan pemerintahan dan disetujuinya
persyaratan oleh Mu‘awiyah dari Sayyidinā Ḥasan bin ‘Alī (r.a) bahwa
pemerintahan Islam berada pada tangan Bani Umayyah.12 Maka Mu‘awiyah
sudah berfikir bagaimana caranya supaya rakyat dapat diyakinkan bahwa
kekuasaan dan pemerintahanya itu merupakan suratan takdir Allah.
Malangnya, idea “Jabariyah” ini telah dijadikan doktrin dalam rezim
politiknya untuk mengambil kebijakan-kebijakan dengan
mengatasnamakan takdir dari Tuhan.13
Berkuasanya Bani Umayah ini menimbulkan keresahan politis dan
teologis dari golongan yang disebut dengan Qadariyah yang memiliki
paham bahwa manusia dapat menentukan potensi dan memiliki
kebebasanya sendiri. Paham Qadariyah melihat bahwa kekuasaan Bani
Umayah ini sangat bertentangan dengan kebebasan manusia. Di mana, sejak
semula Bani Umayah ini mengembalikan segala persoalanya terhadap
ketentuan Tuhan, baik dalam mengambil kebijakan dan lain sebagainya.14
Al-Qadariah berasal dari bahasa Arab yaitu kata qadara yang
artinya kemampuan dan kekuatan.15 Menurut pengertian terminologi
Qadariah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia
12 Dar Al Ilm, Atlas Sejarah Islam Sejak Masa Permulaan Hingga Kejayaan Islam
(Jakarta: Kaisa Media, 2011), cet-I, h.59. 13 Al Markaz ar Risalah, KeadilanTuhan Diterminisme Sejarah dan Kemandirian Manusia,
Perspektif Filsafat dan Teologi dalam Madzhab Ahlul Bait, terj. Muhsin Assegaf (Yogyakarta:
RausyanFikr Institute, 2012), h. 8 14 Ignas Goldziher, Pengantar Teologi Islam, terj. Hersri Setiawan (Jakarta: Iniz, 1991),
h. 81. 15 Harun Nasution Teologi Islam, h. 31
28
tidaklah diintervensi oleh Tuhan. Manusia bisa menciptakan perbuatanya
sendiri begitu juga bisa meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. oleh
sebab itu aliran ini bisa dipahami sebagai aliran yang memberi penekanan
atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatanya.16
Paham Qadariah didirikan oleh Ma‘bad bin Khalid Al-Juhānī (80
H/698 M) dan muridnya Ghailān al-Dimasyqī (105 H/ 722 M) di
Damaskus.17 Ma‘bad bin Khālid Al- Juhānī sendiri merupakan tabi’in dan
ahli hadits di Basrah. Dia menentang pendapat atau idea Jabariyah yang
direstui atau menjadi alat kekuasaan pemerintah Bani Umayah, sebab idea
Jabariyah telah dijadikan alasan untuk melakukan penindasan, kezaliman,
perampasan dan pembunuhan. Beliau telah terlibat secara langsung dalam
politik dan bergabung dengan ‘Abdur Raḥmān al-Asy‘ath seorang
pemimpin pemberontak yang sangat membahayakan rezim Bani Umayah.
Bagi Ma‘bad hanya dengan cara demikianlah dia bisa menantang, bukan
sekedar dengan kata-kata dan fikiranya. Tetapi juga dengan tangan dan
nyawanya. Sehingga menyebabkan beliau ditawan dan ditahan serta disiksa
sehingga menemui ajalnya pada 80 H.18
Bahkan semangat untuk menyuarakan dan memperjuangakan idea
dan perlawanan terhadap Rezim Bani Umayah yang dengan idea kebebasan
dan kemandirian mausia dalam menentukan dan membatalkan
16 Drs. Rosihon Anwar,M.Ag. Drs. Abdul Rozak, M.Ag. Kamus Istilah Teologi Islam,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), Cet-1,h.161. 17 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 139. 18 Moh Sulaiman Haji Yasin, Pengantar Filsafat Islam, h. 115.
29
perbuatanya tidak berhenti di situ saja. Hal tersebut dilanjutkan oleh
muridnya yang bernama Ghailān al-Dimasyqī (105 H/ 722 M). Ketika Umar
bin Abdul Aziz memegang kekuasaan sebagai Khalifah (99-101 H) usaha
Ghailān sempat dihentikan. Namun setelah Umar bin Abdul Aziz meninggal
usaha Ghailān dilanjutkan kembali sampai dia ditangakap dan terbunuh
pada masa Hisyām bin Abdul Malik menjadi Khalifah (106-126 H).19
Pandangan atau paham Qadariyah ini juga mendapatkan argument
penolakan oleh kelompok yang dikenal dengan Jabariyah, yang merupakan
suatu paham yang didirikan oleh Jahm bin Ṣafwān20 (127/745 M). Jabariyah
juga dikenal dengan nama pendirinya, yaitu Jahmiyyah. Pandangan
Jabariyah mendasarkan prinsipnya pada penafsiran mereka terhadap semua
tindakan manusia ditentukan oleh kuasa Tuhan, termasuk keimanan,
kebijakan dan kejahatanya.21 Adapun ayat Qur’an yang dikutip adalah (QS
76:29-30).
Artinya:
“….Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, Maka
Barangsiapa menghen daki (kebaikan bagi dirinya) niscaya Dia
19 Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan dan Pemikiran dalam Islam (Jakarta:
Beunebi Cipta), h.29-31. 20 Jahm bin Ṣafwān adalah juru tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih bin Harits, Ali
Nasar bin Sayyar yang memberontak di daerah khurasan terhadap pemerintahan bani Umayah. Dia
terkenal sebagai orang yang rajin dan tekun menyiarkan agama. lihat: Prof. Dr. K.H. Sahilun A
Nasir, M.Pd.I, Pemikiran Kalam Teologi Islam: Sejarah Ajaran, dan Perkembanganya, (Jakarta:
Rajawali Press,2012), h. 143. 21 Isma’il Al-Faruqi dan lois lamya Al-Faruqi, Atlas dan Budaya Islam Menjelajah
Khazanah Peradaban Gemilang Islam, (Bandung: Mizan, 1998),h. 316.
30
mengambil jalan kepada Tuhannya. dan kamu tidak mampu (menempuh
jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
B. Polemik Kehendak Bebas Dalam Islam
Semua Muslim dan aliran teologi Islam sepakat mengatakan bahwa
Allah adalah Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Adil dalam menentukan
takdir dan berkehendak. Namun ketika membahas masalah free will
(kehendak bebas) dan predestination (fatalisme) menjadi bahan perdebatan
yang sangat sengit di kalangan teolog.22 Perdebatan tersebut melahirkan
polemik diantara beberapa madzab teologi serta mewakili kecendrungan
penafsiran masing-masing terhadap wahyu. Setidaknya dalam hal tersebut
kita akan mendapatkan tiga kecenderungan pemikiran. Pertama adalah
kelompok Determinisme (Jabr). Kedua adalah glongan yang jatuh pada
kebebasan mutlaq (Tafwīḍ). Sedangkan yang ketiga adalah golongan
Ikhtiyari yang berada diantara Jabr dan Tafwīḍh (Baina Al Jabr Wa Al-
Tafwīḍh).
Golongan pertama adalah ‘Asy‘ariah yang mewakili pandangan
Jabr, dalam keyakinan Asy‘ariah bahwa segala langkah manusia telah
ditentukan oleh Allah sejak lahir sampai mati.23 Hal ini menegaskan bahwa
manusia sama sekali tidak memiliki bentuk kebebasan, segala daya dan
kekuatan manusia telah terpasung dalam setiap perbuatan. Inilah
22 Jurnal Teologia, Volume 25, Nomor 2, Juli-Desember 2014. 23 Murtadha Mutahari, Manusia Seutuhnya, terj. Insone Komil oleh Abdullah Hamid
Ba’abud, (Jakarta: Sadra Press, 2012) h. 279.
31
bentuk fatalisme dan diterminisme yaitu penisbahan segala pebuatan
manusia secara langsung terhadap Tuhan Allah SWT.24
Dalam hal ini Asy‘ariah memberikan setidaknya beberapa argumen.
Pertama bahwa kehendak bebas manusia itu bertentangan dengan semangat
nilai tauhid, sebab bila kehendak bebas diyakini sebagai (akidah Islam)
maka akan membatasi terhadap kekuasan Tuhan yang mutlak. Kedua,
Tuhan itu telah menciptakan segala fenomena di alam jagad ini termasuk
kehendak manusia sejak zaman Azali baik itu ruang dan waktunya. Ketiga,
justifikasi terhadap setiap kesalahan-kesalahan. Sesungguhnya setiap
manusia akan menghindari kesalahan kesalahan yang sekiranya menyiksa
hati nurani. Oleh sebab itu setiap kesalahan biasanya akan dikembalikan
terhadap takdir sedangkan keberhasilan selalu di kembalikan kepada
kemampuan diri manusia itu sendiri.25
Keyakinan Asy‘ariah ini tentunya sangat disemangati terhadap
pemahaman Al-Qur’an QS: Al- Saffat [37]: 96
Artinya:
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat itu".
Dalil naqli sebagai argumen yang diajukan oleh golongan Asy‘ariah
ini sebenarnya ingin menjelaskan betapa manusia itu tidak punya daya
upaya dalam segala perbuatanya. Kata Wa Mā Ta‘ malūn
24 Sayyid Mudjtaba Musawi Lari, Teolgi Imam Syi’ah Aqidah Alternatif, terj. Dirāsat Fī
Ushūsil Islam Oleh Thalib Anis, (Jakarta: Al-Huda, 2005). h.59. 25 Sayyid Mudjtaba Musawi Lari, Teologi Imam Syi’ah Aqidah Alternatif, h. 60.
32
disini diartikan “Apa yang kamu perbuat” bukan “apa yang kamu buat”
oleh sebab itu ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatan kamu.26 Jadi perbuatan manusia diciptakan Oleh
Tuhan dan tidak ada kekuatan lain dalam segala perbuatan manusia itu
selain perbuatan Tuhan Allah SWT.27
Lalu bagaimana golongan Asy‘ariah menjelaskan tentang gerak atau
perbuatan manusia? Selanjutnya dalam teori Al-Kasb (Acquisition,
Perolehan), golongan Asy‘ariah menjelaskan bahwa ada pembuat (Tuhan)
dan ada yang memeroleh perbuatan (manusia). Tuhan tidak mungkin
“memperoleh” perbuatan karena al-Kasb terjadi hanya dengan daya yang
diciptakan sedangakan Tuhan tidak mungkin memiliki daya yang
diciptakan. Hanya manusialah yang memeroleh daya penciptaan tersebut
yaitu perbuatan. oleh sebab itu manusia adalah tempat berlakunya
perbuatan-perbuata Tuhan. 28
Kepasifan manusia sebagai penerima perbuatan Tuhan
menyebabkan manusia juga tidak memiliki daya kehendak bebas dalam
dirinya. Dalam hal ini Asy‘ariah mengembalikan kepada firman Tuhan
dalam Al-Qur’an QS. Insan 76:30.
Artinya:
26 Harun Nasution, Teologi Islam,h, 107 27 Harun Nasution, Teologi Islam. h. 24 28 Harun Nasution, Teologi Islam. h. 25
33
“dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.29
Berbeda dengan paham Asy‘ariyah yang lebih dekat kepada Jabr
(fatalisme). Golongan Mu‘tazilah cendrung berlawanan. Dalam paham
Mu‘tazilah bahwa manusia merdeka dari keterpasungan. Manusia memiliki
kehendak bebas. Oleh sebab itu Golongan Mu‘tazilah ini lebih cendrung
mewakili Tafwīḍ (kebebasan mutlaq) dimana kemerdekaan manusia
dimaknai bebas dalam melakukan pilihanya sendiri tampa campur tangan
daya Tuhan.30
Mu‘tazilah ingin menanggapi golongan Asy‘ariah (kaum
Mujabbirah) yang menganggap bahwa manusia merupakan tempat
berlakunya perbuatan Tuhan. Sehingga manusia jatuh pada kepasifan dan
lemah dalam menerima segala perbuatan Tuhan tersebut. Sebagaimana
golongan Asy‘ariah mengembalikan persoalan ini pada Ayat Qur’an QS.
Insan (76:30) dan QS: Al- Saffat (37: 96) dalam penjelasan Asy‘ariah kedua
Ayat al-Qur’an tersebut mewakili bahwa ada ketentuan Allah atas apa yag
ada di dunia, termasuk di dalam perbuatan manusia. Dengan demikian
manusia tidak lagi memunyai pilihan. Segala fenomena yang terjadi di alam
semesta ini kalaulah tidak dikendaki oleh Tuhan maka hal tersebut tidak
akan terjadi.31
Bagi golongan Mu‘tazilah salah satu tokohnya yang paling mutakhir
al- Qadi Abdul Jabbar misalnya sebagaimana yang ditulis oleh Dr.
Machasin, MA. dalam bukunya menjelsakan bahwa Abdul Jabbar mencoba
memahami ayat yang dijadikan sandaran oleh golongan Asy‘ariah dalam
argumentasi naqliahya QS. Al-Saffat (37:96) yang menyatakan bahwa
“Allahlah yang menciptakan kalian semua dan apa
29 QS: Al-Insan [76]:30 30 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 102. 31 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 102
34
yang kalia perbuat” sebagai landasan bahwa manusia dan segala
perbuatanya sudah diciptakan oleh Allah SWT.32
Menurut Abdul Jabbar (tokoh Mu‘tazilah) Golongan Asy‘ariah
mengartikan نملوعتما sebagai amal perbuatan. sebagaimana dalam potongan
ayat 33 جزاءبماكانوايعملون. Padahal ayat tersebut mencritakan bagaimana Nabi
Ibrahim ketika menegur Umatnya yang menyembah arca-arca.
“Abdul Jabbar mengatakan bahwa pertanyaan Nabi Ibrahim
Apakah kamu semua menyembah arca-arca yang kamu
pahat?” itu merupakan celaan terhadap tindakan kaumnya itu.
Lalu diteruskan dengan anak kalimat … sedangkan Allah
menciptakan kamu semua dan apa yang kamu buat”. Itu
merupakan alasan mengapa ia mencela perbuatan mereka.
Kalau itu diartikan dengan bahwa Allah menciptakan mereka
dan apapun yang mereka lakukan, termasuk penyembahan
arca-arca itu, maka tidak ada lagi pengetian celaan”.34
Keterangan Abdul Jabbar ini mengisyaratkan bahwa golongan
Asy’ariyah dalam memahami ayat tersebut tidaklah tepat. Sebab tidak
dihubungkan dengan ayat sebelumnya. Kalaulah potongan ayat tersebut
dipahami sebagai satu ayat saja dan tidak dikaitkan dengan potongan ayat
sebelumnya, maka akan menghasilkan pengertian yang tidak benar.
Sehingga bila potongan ayat ini berbarengan maka maksudnya adalah: “
mengapa kalian semua menyembah arca-arca yang kalian buat dari kayu.
Sedangakan Allah yang menciptakan kalian sekaligus kayu yang kemudian
kalian pahat menjadi arca-arca yang kalian sembah”. Sehingga kalau
memakai pemahaman Asya’ariyah نوعملتام diartikan sebagai amal
32 Dr, Machasin, MA Al-Qadi Abdul Jabbar Mutashabih Al-Qur’an: Dalih Rasionalitas
Al-Qur’an, h. 94. 33 QS: Al-Ahqaf [46]:14. 34 Dr, Machasin, MA Al-Qadi Abdul Jabbar Mutashabih Al-Qur’an: Dalih Rasionalitas
Al-Qur’an, (Yogyakarta: LKiS 2000),h. 94.
35
perbuatan manusia. Maka pengetian ayat tersebut akan menjadi kacau.
Kalau Allah menciptakan amal perbuatan mereka. Maka allah juga
menciptakan praktek penyembahan mereka terhadap arca-arca tersebut.
Bila Allah yang menciptakan hal tersebut kenapa pula Allah mencela
mereka?35
Pemahaman golongan Asy’ariyah bahwa Allah menciptakan
perbuatan manusia dalam potongan ayat tersebut tidaklah pada tempatnya.
Sebab ayat ini bercerita tentang Nabi Ibrahim dan sikapnya terhadap
kaumnya yang menyembah selain Allah. Bukan tentang penciptaan
Perbuatan Manusia.
Oleh sebab itu dalam pandangan Mu‘tazilah bahwa pada dasarnya
kehendak untuk berbuat itu adalah kehendak manusia dan daya untuk
mewujudkan kehendak tersebut juga adalah daya manusia. Harun Nasution
dalam buku teologi Islam menarik kesimpulan tentang pandangan kaum
Mu‘tazilah bahwa :
“Daya siapakah dalam faham Mu‘tazilah yang mewujudkan perbuatan manusia, daya manusia atau daya Tuhan? Dari
keterangan keterangan Mu‘tazilah dapat ditarik kesimpulan
bahwa karena perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan. Maka daya yang
mewujudkan perbuatan itu tak boleh tidak mesti manusia itu
sendiri dan bukan daya Tuhan.”36
35 Dr, Machasin, MA Al-Qadi Abdul Jabbar Mutashabih Al-Qur’an: Dalih Rasionalitas
Al-Qur’an, h. 94. 36 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Dan Analisa Perbandingan,
(Jakarta, UI Press: 2002), h. 103.
36
Dalam pemahaman Mu‘tazilah bahwa kemandirian manusia dalam
menentukan pilihannya (kehendak bebasa) secara implisit dalam Al- Qur’an
Tuhan telah menjelasakan :
Artinya:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa,”37
Artinya :
“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak,
sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.38
Menurut Abdul Jabbār QS: Ali Imran [3]:133 tersebut menunjukkan
bahwa manusia adalah pelaku perbuatanya sendiri bukan Tuhan. Sebab bila
Tuhan yang sekaligus menciptakan gerak manusia سارعوا (bersegera) dan
Tuhan yang mesti mewujudkan dan meniadakanya, maka hal itu akan
meniadakan maksud Tuhan merangsang manusia untuk bersegera
memperoleh ampunan.39
Demikian juga dalam QS: Al-Taubah [9]:82 kalau perbuatan
manusia adalah perbuatan Tuhan, tentu tidak akan berarti pemberian
37 QS: Ali Imran [3]:133. 38 QS: al-Taubah [9]:82.
37
39 Dr. Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat Ayat Kalam Tafsir Al-Muraghi (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya), h. 65.
38
balasan dari Tuhan atas perbuatan manusia. Oleh sebab itu menurut Abdul
Jabbār perbuatan-perbuatan manusia haruslah betul-betul perbuatan
manusia secara mutlak.
Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa kaum Mu‘tazilah
memberikan porsi dominan terhadap kehendak bebas manusia (Tafwīḍ) dan
kecendrungan argumentasinya membela terhadap kehendak bebasan mutlak
manusia dalam menentukan perbuatannya sendiri bukanlah berasal dari
perbuatan Tuhan. Bagi kaum Mu‘tazilah keputusan moral dan etis harus
didasarkan atas akal, bahkan mungkin dengan mengesampingkan
pernyataan-pernyataan Al-Qur’an. Maksudnya jika akal mengimlakkan
bahwa sesuatu itu baik atau buruk, maka kepastian itu mestilah mutlak sah,
sekalipun membatasi terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan.40
Selain kedua golongan di atas yaitu Asy‘ariah dengan
argumentasinya yang cenderung terhadap Jabr (Fatalisme) dan Mu‘tazilah
dengan argumentasi bahwa manusia memiliki kehendak bebas secara
mutlak (Tafwīḍh). Ada golongan ketiga yang mencoba untuk mendamaikan
terhadap polemik tersebut, yaitu golongan Ikhtiyārī.
40 James Pavlin, Kalam Sunni Dan Kontroversi Teologis dalam Sayyid Hossein Nasr dan
Oliver Leaman, ed., Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (buku Pertama); terj. Tim Penerjemah
Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h.133
39
Golongan ini disebut juga dengan Madzhab Al Amr Baina Al-Amraini41
yaitu madzhab Ahlul Bait.42
Dalam pandangan madzhab Ahlul Bait (Iktiyari/ Al-Amr Baina Al-
Amru) bahwa persoalan kehendak bebas (Free will) dan Predestination
(Fatalisme) itu sudah sangat jelas dalam Al-Qur’an dan merupakan perkara
yang badīhī. Kehendak bebas tidak identik dengan kemandirian. Namun
segala fenomana di alam jagad semesta ini termasuk perbuatan manusia
adalah atas izin kekuasaan Allah SWT.43
Namun apabila tidak hati-hati dalam memahami ayat Al-Qur’an.
Maka akan terjatuh kedalam pemahaman yang salah. Sebenarnya
Mu‘tazilah dengan berbagai argumentasinya mengupayakan agar Tuhan
terhindar dari kedzaliman dan kejahatan. Oleh sebab itu manusia mestilah
secara mutlak memiliki kehendak bebas. sebab bila Tuhan telah
menciptakan segala sesuatu termasuk perbuatan manusia maka Tuhan akan
terjebak dalam perbuatan jahat pula. Demikian juga bantahan Asy‘ariah
kalaulah kehendak bebas manusia adalah mutlak. Maka hal itu
41 Istilah Al Amr Baina Amru dalam beberapa riwayat bahwa orang yang pertama kali
melontarkan frase ini adalah Imam Ja‘far Muḥammad Al-Ṣadiq. Lihat Abbas Muhajirin, Pemikiran
Teologis dan Filosofis Syi’ah Dua Belas Imam dalam Sayyid Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed.,
Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (buku Pertama); terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan,
2003). h.165 42 Al-Markas Al-risalah, Keadilan Tuhan Diterminisme Sejarah Kemandirian Tindakan
Manusia Perspektif Filsafat Dan Teologi Dalam Madzhab Ahlul Bait (Jogjakarta: Rausyan Fikr
Institute: 2012), h.71. Para sarjana dan kalangan sahabat dan tabiin memiliki pandagan yang berbeda
dengan dua kelompok Jabr dan Tafwīḍ. Mereka menegaskan pengetahuan azali Tuhan dan pada saat
yang sama menafikan keterpaksaan perbuatan manusia, yang mengaitkan kehendak dan tindakan
dengan satu sikap yang mengambil jalan tengah antara Jabr mutlak dan Tafwīḍ Mutlak. Penjelasan
seperti itu diberikan oleh Imam ‘Ali, Ibn ‘Umar, dan Al-Hasan Ibn ‘Ali. Lihat juga dalam M. Abdel
Haleem, Kalam Awal dalam Sayyid Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., Ensiklopedia Tematis
Filsafat Islam (buku Pertama); terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h.99. 43 M.T. Misbah Yazdi Iman Semesta, h. 185.
40
akan bersebrangan dengan prinsip Tauhid yaitu menafikan kekuasaan
Tuhan Itu sendiri. sehingga Madzhab Ahlul Baith mestilah menyudahi
perseteruan ini. Bagi Madzhab Ahlul Bait kedua kecenderungan tersebut
telah termaktub dalam Al-Qur’an sebagaimana dalil-dalil yang masing-
masing telah menyebutkannya.44
Dalam keyakinan Ahlu al-Bait. Pada dasarnya manusia akan
senantiasa membutuhkan Allah dalam segala urusan, keperluan dan tahap
hidupnya. Bahwa ada kesinambungan antara sebab, pencipta atau Tuhan
dengan akibat, ciptaan atau manusia dan segala yang menjadi perdebatan di
atas (kehendak bebas manusia). Kesinambungan tersebut dalam keyakinan
Ahl Bait disebut juga dengan sebab antara. 45
Dalam menjelaskan hal ini madzhab Ahlu al-Bait mencoba
menggunakan penalaran cemerlang. Agar tidak terjatuh kedalam
pemahaman Jabr dan Tafwīḍh mutlaq.46 Sebab keduanya dalam
pandangan mereka bolehlah untuk dikritisi sebagai konsekwensi dari
kekeliruan dalam pemahaman. Dalam pandangan madzhab ini, bahwa
klaim Mu‘tazilah, secara mutlak manusia memeliki kehendaknya sendiri
tidaklah masuk akal. Sebab apa yang dikehendaki oleh Tuhan tidaklah
berlaku pada manusia.
44 Murtadha Muthahari, Mengenal Ilmu Kalam: Cara Menembus Kebutaan Berfikir
(Jakarta, Pustaka Zahra:2002), h.98. 45 Dalam keyakinanya ahlul bait meyakini bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk
yang merdeka. Namun eksistensi dan segenap mode eksistensinya termasuk cara bertindaknya
bergantung terhadap Zat Allah. Lihat: Murtadha Muthahari, Mengenal Ilmu Kalam: Cara
Menembus Kebutaan Berfikir (Jakarta, Pustaka Zahra:2002), h.98. 46 Sayyid Mudjtaba Musawi Lari, Teologi Imam Syi’ah Aqidah Alternatif, terj. Dirāsat Fī
Ushūsil Islam Oleh Thalib Anis, (Jakarta: Al-Huda, 2005 ), h, 63.
41
Tuhan dalam pandangan Mu‘tazilah hanya menciptakan manusia
beserta kehendaknya, setelah itu Tuhan tidaklah ikut campur dalam proses
keberlanjutan hidupnya. Seperti halnya pelukis yang melukis gambar
sedang gambar tersebut akan tetap eksis meski telah ditinggalkan oleh
pelukis tersebut. Sedangkan apa yang terdapat dalam diri manusia tidaklah
terdapat dalam diri Tuhan (kecakapan memilih). Ini merupakan sebuah
kelemahan yang Absurd dalam kekuasaan dan kedaulatan. Sedang47kan
Tuhan jauh dari hal yang demikian.
Kesalahan pemahaman selanjutnya terdapat pada Asy‘ariah.
Sehingga madzhab Ahlul Baith menolaknya dengan penjelasan, bahwa
pendirian Asy‘ariah mengenai prilaku manusia yang sudah diciptaan oleh
Tuhan sejak Azali justru akan menghalangi manusia untuk melaksanakan
kebijaksanaan, mencegah intelek untuk menunaikan tugasnya, dan menutup
pintu penalaran. Sehingga kuasa Tuhan atas diri manusia bisa jadi suatu
ketika menghukum para nabi dan memberi pahala orang kafir. padahal
Tuhan maha suci, maha agung dari kedzaliman.
Oleh sebab kesalahan pemahaman tersebut haruslah diselesaikan
dengan pandangan teologis dan filosofis yang cermat serta membuka pintu
penalaran. Dalam hal ini Abbas Muhajirin dalam History of Islamic
Philosophy mengutip filosof Ṣadr Al-Dīn Syīrāzī atau Mulla Sadra tentang
pandangan Madzhab Ahlul Bait mengenai kehendak bebas manusia:
“…tidak ada urusan kecuali urusa-Nya, dengan perkataan
lain tidak ada perbuatan kecuali perbuatan-Nya. Tidak ada
47 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 102.
42
kekuatan dan daya kecuali milik Allah, yang Maha lembut,
yang Maha besar. Artinya setiap daya dan kekuatan berasal
dari Ketinggian dan Kebesaran-Nya. Dia bergerak diantara
maqam-maqam yang berbeda dan bertindak sesuai dengan
maqam-maqam itu. Juga walaupun keunikan dan kesucian-
Nya mengatasi semua wujud yang ada. Tidak ada bumi atau
langit tampa Dia. Seperti dikatakan oleh kaum Imam beriman,
‘Alī, Dia bersama dengan segala sesuatu tetapi tidak parallel
dengan mereka. Dia sama sekali tdak mirip dengan
sesuatupun. Karena demikian keadaanya, maka dapat
disimpulkan bahwa melekatkan kesadaran bertindak pada
manusia itu benar sebagaimana halnya eksistensi itu melekat
padanya…”48
Bagi Madzahab Ahlul bait kehendak bebas manusia adalah benar
sejauh hal tersebut dipahami dalam pengertian yang sebenarnya. Bukan
secara metaforis. Meskipun demikian tindakan-tindakan manusia juga
merupakan tindakan-tindakan Tuhan tampa sesuatu kekurangan. Ini
kemudian yang oleh madzhab Ahlul Bait disebut dengan kesinambungan
antara Tuhan sebagai pencipta dengan manusia sebagai ciptaan.
Kesinambungan antara Tuhan sebagai pencipta dan yang Maha
Berkehendak sedang manusia sebagai makhluk yang menerima kehendak
tersebut dicontohkan dalam sebuah analogi teologi filosofis,49 yaitu konsep
“penyebab” dan prinsip “penyebaban”. Seperti yang telah dijelaskan oleh
madzhab ini (Ahlul Bait) Bahwa seluruh fenomena eksistensi (termasuk
perbuatan manusia) dihubungkan dengan Tuhan
48Abbas Muhajirin, Pemikiran Teologis dan Filosofis Syi’ah Dua Belas Imam dalam
Sayyid Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (buku Pertama);
terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003). h.167. 49 Dalam contoh ini penulis membuat analogi tersendiri tetapi dengan substansi yang sama.
Analogi ini menggambarkan secara filosofis bahwa manusia terbatas dalam semua keadaan, tetapi
pada saat yang sama dalam keterbatasan itu manusia memiliki kehendaknya sendiri sebagai sebab
pelengkap terhadap terjadinya sebuah tindakan yang diridhai oleh Allah Swt. Lihat: M.T. Misbah
Yazdi, Filsafat Tauhid, Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman, (Bandung, Arasy: 2003),h.
151-157.
43
Allah SWT. Hanya dengan izin-Nyalah segala yang maujud ini terjadi.
Tidak ada satu wujud dalam ruang dan waktu kapan dan dimanapun dapat
berbuat tanpa Tuhan.50
Analogi teologis dan filosofis tentang konsep “penyebab” dan
prinsip “penyebaban” bisa kita contohkan terhadap lukisan dan
pelukisnya.51 “penyebab” dibagi mejadi dua umum dan khusus. Penyebab
umum adalah penyebab yang kepadanya segala sesuatu bergantung, tanpa
memerhatikan sesuatu itu sendiri, tidak juga jenis kebergantunganya.
Gambar sebuah lukisan bergantung kepada si pelukis. Tanpa adanya si
pelukis, maka lukisan tidak akan terwujud. Maka pelukis merupakan
penyebab terrhadap adanya lukisan. Namun pelukis juga memilik tangan,
yang harus sehat, syaraf dan ototnya harus sehat, karena ini diperlukan juga
dalam proses pelukisan. Selain itu pelukis juga memerlukan cat, kanvas,
kuas minyak, cat dan lain-lain. Sebab ini merupakan penyebab juga. Dan
kesemuanya itu disebut dengan penyebab secara umum terhadap
keberadaan sebuah lukisan.
Sedangkan penyebab dalam arti khusus adalah hal yang membawa
sesuatu menjadi eksis. Dalam hal ini adalah si pelukis yang menjadikan
kanvas, cat dan kuas menjadi sebuah lukisan yang bisa dinikmati oleh setiap
orang sebagai sebuah karya seni. Meskipun si pelukis juga memerlukan cat,
kanvas, kuas dan lain sebagainya. Hal ini bukanlah sebab
50 M.T. Misbah Yazdi, Iman Semesta, h. 185. 51M.T. Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid, Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman,
(Bandung, Arasy: 2003),h. 151-157.
44
secara khusus. Karena cat, kanvas, kuas dan lain semacamnya tidaklah
melukis.
Sedangakan “penyebaban” merupakan sumber dari penyebab yang
dipengaruhi. Artinya ia menjadi asal dari sesuatu yang memunculkan
sesuatu yang lain dalam arti sebab secara umu. Dalam hal ini cat, kanvas,
kuas dan minyak cat menjadi sebab yang dipengaruhi kemudian menjadi
sebab bagi terwujudnya sebuah lukisan.52
Sampai di sini sebenarnya persoalan kehendak bebas manusia dalam
pemahaman madzhab ini sudah sangan jelas dan gampang untuk dimengeti.
Madzhab ini mencoba untuk menengahi antara kehendak bebas mutlak
yang diberikan kepada manusia (Tafwīḍ) dan ketiadaan kebebasan kehendak
yang sempurna bagi manusia Jabr (Predistinasi/ falisme).53 Kemudian
kehendak bebas manusia dijelaskan dengan kosep “penyebab” dan prinsip
“penyebaban” atau dalam filsafat dikenal dengan istilah “Kausalitas”,54
yakni bahwa kehendak manusia merupakan gradasi dari kehendak Tuhan.
Seperti yang dijelaskan oleh Fadzlur Rahman ketika menulis tetang filsafat
Ṣadr Al-Dīn Syīrāzī seputar persoalan hubungan Kehendak Tuhan dan
kehendak manusia dalam bukunya The Philosophy Of Mulla Sadra.
52 M.T. Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid, Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman, h.
152. 53 Sayyid Mudjtaba Musawi Lari, Teolgi Imam Syi’ah Aqidah Alternatif (Jakarta, Al-
Huda: 2005 ).h 58. 54 Inggris Causality; dari bahasa Latin Causa yang berarti sebab. Biasanya yang dimaksud
dengan kausalitas ialah terjadinya hubungan melalui bekerjanya suatu sebab efesien. Hubungan ini
dijalankan secara khusus bila seseorang membandingkan kausalitas dari suatu sebab final dengan
suatu sebab efesien. Lihat: Loren Bagus¸ Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996),h. 399.
45
“Ide yang paling penting dari pembahasan ini adalah hubungan
kehendak Tuhan dengan Manusia― ada suatu keragaman
yang sebenarnya yang tetap mengandung dan menuju pada
kesatuan, dan kesatuan sebenarnya yang dalam ketunggalanya
mengandung semua keragaman (Waḥdah Fi Al-Katsra dan
katsra fi al-Waḥdah demikian sadra biasa menyebutnya) ini
tidak lain adalah prinsip Ṣadra tentang Tasykīk atau ambiguitas
Wujud yang sistematis, yang mempertahankan wujud karena
kenyataanya sebagai prinsip kesatuan adalah juga sebagai
prinsip keragaman, bahkan keduanya tidak harus disamakan
satu dengan yang lainya, juga tidak harus dibingungkan satu
dengan yang lainya, juga tidak harus yang satu menggantikan
yang lain, atau yang satu dinegasika demi yang lain.keragaman
dalam kesatuan tidak berarti tuhan sebagai susunan nomerik
dari sejumlah bagian, demikian juga bahwa kesatuan dalam
keragaman tidak berati bahwa Tuhan adalah sesuatu, yag
demikian itu berate bahwa tuhan hadir dalam atau dengan
segala sesuatu tetapi tidak dalam bentuk campura dua unsure
yang saling menatu, dan Ia melampaui segala sesuatu tidak
dalam suatu cara sehingga Ia :berpindah” darinya”.55
Ini berarti bahwa ketika manusia bertindak, ia bertindak sesuai dengan
tindakanya sendiri dalam arti yang sebenarnya bukan dalam arti metafisis. Namun
tindakan manusia pada saat yang sama juga karena kehadiran dan kekuasaan
Tuhan.
55 Fazlur Rahman, Filsafat Sadra, (Bandung, Pustaka: 2000), h. 236.
BAB IV
KEHENDAK BEBAS MENURUT
AYATULLAH MUHAMMAD TAQĪ MIṢBĀḤ YAZDĪ
A. Pemikiran M.T. Miṣbāḥ Yazdī Tentang Qadā’, Qadar, dan Keadilan
Tuhan
1. Qaḍā’ dan Qadar
Qaḍā’ dan Qadar merupakan topik kontroversial yang sering disalah-
pahami karena adanya kekurangan pemahaman yang benar atau terkadang
karena adanya niat yang buruk. Bahkan sepanjang sejarah dalam pemikiran
Islam ini merupakan topik yang sangat rumit dipahami dan ambigu. Kerumitan
tersebut terletak ketika harus meletakkan secara bersamaan antara takdir, dan
kehendak bebas manusia. Hal itu didorong karena dikalangan pemikir Islam
banyak yang tidak bisa membedakan antara kehendak bebas manusia dengan
takdir dan keputusan Tuhan.
”Bagaimanapun, ini merupakan kasus yang rumit disertai
ketidak jelasan dan ambiguitas dimanapun ia dibahas.
Kesulitan utama dalam persoalan ini yaitu menerima takdir
dan ketetapan tuhan secara tidak terpisahkan memerlukan
penerimaan determinisme. Sebagian pemikir tidak dapat
membedakan atara takdir dan keputusan Tuhan, di satu sisi
dan kehendak bebas manusia, disi lain. Mereka tidak dapat
memecahkan permasalahan agar tidak mengharuskan mereka
menerima determinisme dan menjaga kebebasan kehendak
manusia tetap utuh.”1
1 M.T. Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman
(Bandung: Arasy,2003), h. 272.
45
46
Untuk mencapai pada tingakat pehaman yang benar tentang perkara
tersebut M.T. Miṣbāḥ Yazdī mencoba menanganinya seperti persoalan
teologis lainya yakni berdasarkan Al-Qur’an.
Qadar dalam bahasa juga disebut dengan takdir, secara harfiah adalah
mengukur atau ukuran. Takdir juga bisa memiliki dua pengetian. Pertama
mengukur sesuatu dan yang kedua menemukan ukuran sesuatu.”…dan Dia
telah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukuran ukuranya…”2 Pada
ayat yang lain “… Sesungguhnya kami ciptakan segala sesuatu menurut
ukuran…”.3Ini merupakan contoh-contoh dalam ayat al-Qur’an yang secara
umum Tuhan membuat ketentuan-ketentuan atasa segala hal.
Dari contoh ayat tersebut kehendak bebas manusia seakan tidak
mendapatkan porsinya. Lalu bagaimana kemudian menjelaskan hal yang
demikian? Jawaban M.T. Miṣbāḥ Yazdī terhadap hal itu bahwa segala
fenomena yang terjadi adalah di bawah batasan dan hambatan tertentu, tanpa
menghiraukan tempat waktu dan kondisi. 4 Artinya Manusia dalam hal ini
adalah eksistensi ciptaan Tuhan dengan segala kompleksitasnya telah
ditentukan oleh-Nya secara ukuran, tempat, kondisi, posisi dan waktu. Secara
waktu tidaklah ada jenis ciptaan di semesta ini yag tidak memiliki batas
(temporal) “...hingga batas waktu yang telah ditentukan…”5
2QS: Al-Furqan (25): 2. 3 QS: Al-Qamar (54): 49. 4 M.T. Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman, h. 280. 5QS: Al-Hud [11]: 3.
47
Demikian juga dengan tempat, bumi sejauh ini adalah tempat yang pas
untuk menjadi tempat tinggal bagi manusia dan makhluk hidup lainya. Manusia
tidak bisa sembarang hidup diberbagai tempat demikian juga organ tubuh pada
manusia juga tunduk patuh terhadap hukum keterbatasan. manusia tidak bisa
hidup disembarang tempat, dia juga tidak di bagian dalam bumi atau di
angkasa. Ini merupakan jenis batasan bagi eksistensi manusia. Organ dan sistem
sistem manusia tunduk pada batas batas tertentu, berkenaan dengan tempat dan
posisi, segala sesuatu memiliki ukuran dan takaranya. Mata untuk melihat tidak
pernah untuk dipergunakan untuk mendengar karena itu adalah tugas telinga,
kaki untuk berjalan tidan pernah dipergunakan untuk berfikir karena itu kerja
otak. Tugas dari suatu organ tidak bisa digantikan oleh organ yang lain.
“Oleh karena itu, perbuatan kita dibatasi dan dihalangi oleh
alat dan batas tertentu, yang telah melakukan tugas mereka
yng telah ditetapkan.”6
Apakah ketentuan qadar Allah atas segala hal juga mempengaruhi
terhadap kehendak bebas manusia dalam menentukan prilakunya? sehingga
apapun yang manusia lakukan sebenarnya bukan merupakan kehendaknya
sendiri termasuk pilihan-pilihannya? Lalu bagaimana proses berlakunya qadar
tersebut? di sini M.T. Miṣbāḥ Yazdī mencoba mengurai tentang “penyebab
lengkap” sebagai berlakunya ketentuan Tuhan tersebut.
6 M.T. Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid Mengenal Tuhanmelalui Nalar dan Firman, h. 282.
48
Qadar Tuhan menurut M.T. Miṣbāḥ Yazdī merupakan ketentuan atau
ukuran yang berlaku atas sistem, keterbatasan, hambatan dan lain-lain seperti
yang dijelaskan di atas. M.T. Miṣbāḥ Yazdī juga menyebutnya sebagai
perbuatan sukarela. Seperti mata yang yang dipergunakan manusia untuk
melihat, telinga dipergunakan untuk mendengar, mulut dipergunakan untuk
berbicara, kaki untuk melangkah, dan tangan untuk menggapai. Hal ini menurut
M.T. Miṣbāḥ Yazdī adalah perbuatan sukarela yang di dalamnya manusia tidak
bisa menjadikan menyimpang satu sama lain untuk bertukar peran.7
Kehendak manusia sebenarnya sangat kecil dan terkepung dalam
batasan batasan non sukarela tersebut. tetapi, di dalam batasan nonsukarela
manusia memiliki dimensi memilih dan kebebasan berbicara atau diam, melihat
atau tidak, melangkah atau terhenti, menggapai, dan lain-lain setelah adanya
qadar Tuhan yang nonsukarela tersebut. nah, kehendak untuk memilih itu
disebut perbuatan sukarela yang menjadi “sebab pelengkap” atas qadar Tuhan.
Oleh sebab itu di suatu ketika qadar atau takdir Tuhan bisa saja berubah sesuai
dengan bentuk akhir “sebab pelengkapnya”.8
Sedangkan Qaḍā’ posisinya berada dibawah qadar yang mengandung
arti menuntaskan dan memutuskan sesuatu. Sedang sifatnya adalah (ḍaf‘i)
7 M.T. Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid Mengenal Tuhanmelalui Nalar dan Firman, h. 283. 8 M.T. Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid Mengenal Tuhanmelalui Nalar dan Firman, h. 284-
285.
49
seketika. “ apabila Allah menetapkan suatu perkara, Dia akan mengatakan
jadilah, maka terjadilah ia”9.
“sedangkan yang dimaksud Qaḍā’ ilahi adalah
menyampaikan sesuatu ke tahap kepastian wujudnya, setelah
terpenuhinya sebab-sebab dan syarat syarat sesuatu itu,
berdasarkan maksud ini, tahap takdir itu lebih dahulu dari
tahap qaḍa, karena didalam takdir terdapat beberapa tahap
gradual dan syarat syarat yang jauh, tengah dan dekat, takdir
ini dapat mengalami perubahan dengan berubahnya sebagian
sebab dan syaratnya.”10
Berdasarkan doktrin Qaḍā dan Qadar dalam ciptaan (Makhluk)
Tuhan, kejadian fenomena disepanjang prosesnya, kesinambungan, dan
keberakhirannya diatur oleh Tuhan yang maha bijaksana. Pemenuhan segala
syarat kejadian fenomena hingga jenjang realitas terakhirnya bergantung penuh
pada kehendak Tuhan.11
Sejarah telah mencatat bahwa ada orang yang menerima al-Qur’an,
tetapi masih menganggap manusia terpaksa sepenuhnya, yaitu al-Mujabbirah
atau Jabariyah. 12 Padahal dengan adanya penjelasan M.T. Miṣbāḥ Yazdī
tentang Qaḍā’ dan Qadar manusia juga peran dalam menentukan tindakan atau
yang disebut sebagai perbuatan sukarela dalam menentukan “penyebeb
lengkap”. Jadi takdir dan qaḍā disebut pula dengan nasib sedangkan kehendak
manusia sebenarnya bertalian dengan hal tersebut.
9QS:Ali Imran [2]: 49. 10 M. T. Mishbah Yazdi Iman semesta, h. 197. 11M. T. Mishbah Yazdi, Meniru Tuhan, Antara Yang Terjadi dan Yang Mesti Terjadi, terj.
Ammar Fauzi Herriyadi (Jakarta, al-Huda: 2006), h. 161. 12 Jabariyyah merupakan orang-orang yang percaya pada determinisme. Lihat:Harun Nasution
Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Perbandingan (Jakarta, UI Press: ), h.31.
50
2. Keadilan Tuhan
Keadilan Tuhan juga disebut dengan kebijaksanaan Tuhan yang
merupakan lawan dari kedzaliman. Sudah dijelaskan pada beberapa poin
sebelumnya bahwa sebenarnya Tuhan memiliki tingkat puncak dari semua
kekuasaan. Tuhan bisa saja melakukan segala hal dengan kekuasaanya. Namun
Tuhan melakukan segala hal dengan kehendaknya. Itulah kemudian yang
disebut oleh M.T. Miṣbāḥ Yazdī sebagai ke-mahabijaksasana-an Tuhan atau Al-
Hikmah Al-Ilāhiyyah.13
Pembahasan mengenai predestination dan kebebasan (Jabr dan
Ikhtiyār) dengan sendirinya akan mengantarkan kita pada kajian tentang
keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan merupakan salah satu masalah pokok dalam
ilmu kalam.
Dalam permasalahan ini kita temukan bagaimana Syi‘ah sejalan dengan
Mu‘tazilah. Kedua mazhab ini dikenal juga dengan ‘Adliyah, sebagai lawan
dari Asy‘ariyah. Masalah ini dianggap sebagai masalah ushūl al-‘aqāid dan
termasuk keistimewaan yang oleh madzhab Syi‘ah dan Mu‘tazilah. Hal ini
bukan berarti Asy‘ariyah menolak keadilan Tuhan.14
13 Kehendak Tuhan merupaka bagian dari sifat kemaha sempurnaanya. Tuhan berkehendak atas
kemahasempurnaan-Nya, oleh sebab itu apabia sesuatu tidaklah sesuai dengan sifat kemaha
sempurnaan-Nya kehendaknya-Nyapun tidaklah akan terjadi. Manusia dikehendaki untuk berbuat baik
sesuai dengan sifat kemaha sempurnaan Tuhan. Oleh sebab itu apabila dengan kehendaknya manusia
jauh dari sifat kesempurnaan Tuhan maka akan mendapat dosa yang setimpal. Demikian sebaliknya
apanila manusia dengan kehendaknya mendekati sifat kemahasempurnaan-Nya. maka Tuhan akan
menganjarnya. Lihat: Muhsin Labib Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T Mishbah Yazdi,h. 288-294 juga
bisa Lihat: M.T. Mishbah Yazdi Iman Semesta, h. 215. 14 M. T. Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan, h. 153.
51
Kaum Asy‘ariyah mendefinisikan keadilan dalam pengertian khas.
Mereka mengatakan bahwa keadilan itu tidak memiliki hakikat yang tetap
sebelumnya sehingga kita bisa mengungkapkannya dan menjadikannya sebagai
patokan perbuatan Allah. Pasalnya bila kita menjadikannya sebagai patokan
perbuatan Allah, berarti kita membatasi dan memasung kehendak Allah.
Bukankah mustahil kita mengasumsikan adanya hukum atau aturan yang
menentukan perbuatan-perbuatan Allah? Semua hukum adalah bagian dari
ciptaan-Nya dan ditentukan oleh-Nya. Allah adalah penentu mutlak segala
sesuatu. Setiap asumsi yang menjadikan kehendak Allah sebagai efek (dari
sesuatu di luar diri-Nya), niscaya bertentangan dengan sifat-sifat Allah, seperti
kekuasaan dan kewenangan mutlak-Nya.15
Hal di atas berarti bahwa Tuhan adalah sumber keadilan. Semua
perbuatan-Nya adalah adil, dan bukan setiap yang adil mesti Dia perbuat.
Jelasnya, keadilan dan kezaliman datang belakangan dan berasal dari perbuatan
Allah. Oleh karena itu, keadilan bukanlah tolak ukur perbuatan Allah,
melainkan perbuatan Allah adalah tolak ukur keadilan.16
Sedangkan menurut Mu‘tazilah, keadilan Ilahi merupakan salah satu
prinsip utama dalam Mu‘tazilah. Mu‘tazilah percaya bahwa ada tindakan-
tindakan yang pada dasarnya adil dan ada tindakan yang pada hakikatnya
15 Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, terj. Agus Efendi
(Bandung: Mizan, 2009), h. 17. 16 Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, terj. Agus Efendi, h.
17.
52
tidak adil. Sebagai contoh, memberikan pahala untuk orang yag taat dan
menjatuhkan hukuman bagi pendosa merupakan suatu keadilan: dan Allah adil,
Dia memberikan pahala untuk orang yang taat dan menjatuhkan hukuman
untuk pendosa, dan mustahil Allah akan berbuat sebaliknya. Memberikan pahal
kepada pendosa, dan menjatuhkan hukuman kepada orag yang taat pada
dasarnya dan pada hakikatya tidak adil, dan Allah mustahil berbuat demikian.
Begitu pula memaksa makhluk untuk berbuat dosa, atau menciptakan makhluk
tanpa memberikan daya kehendak bebas, kemudian menciptakan perbuatan
dosa dengan tangan makhluk, lalu menghukum makhluk karena dosa-dosa
tersebut, maka hal ini merupakan ketidakadilan, sesuatu yang tak pantas
dilakukan oleh Allah, sesuatu yang tidak dapat dibenarkan.17
B. Argumentasi Ayatullah Muḥammad Taqī Miṣbāḥ Yazdī Tentang
Kehendak Bebas
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya upaya pemahaman
secara teologis dan filosofis dalam hal kehendak bebas (Free Will) menuai
polemik. Hal itu menandakan bahwa persoalan ini sangatlah penting dipahami
secara benar. Pemahaman secara benar terhadap persoalan ini akan memupuk
iman dan keber-Tauhidan manusia terhadap Tuhannya. Dalam konteks ini,
M.T. Miṣbāḥ Yazdī melihat bahwa, persoalan ini sebenarnya adalah persoalan
17 Murtadha Muthahhari, Mengenal Ilmu Kalam, terj. Ilyas Hasan (Jakarta: Pustaka Zahra,
2002), h. 41.
53
yang sudah jelas (badīhī). Namun memang memerlukan penafsiran yang
benar agar tidak terjatuh kedalam Jabr dan Tafwīḍ.
“ Pemahaman yang benar atas persoalan ini, disamping
memerlukan kematangan akal pikiran, juga diperlukan
terhadap pengkajian dan penafsiran yagn benar, mereka yang
tidak memiliki pencerahan akal yang semestinya. Dan tidak
mau berusaha menimba ajaran-ajaran para imam yang
maksum serta penafsiran hakiki al-Qur’an, akan tergelincir
dalam menafsirkan persoalan di atas itu sedemikian rupa
sehingga menisbahkan segala pengaruh sebab-akibat hanya
kepada Allah Swt. Sembari menafikan pengaruh apapun dari
sebab dan peratara, padahal penafsiran ini bertolak belakang
dengan keterangan al-Qur’an. Mereka berusaha meyakinkan
misalnya akan kebiasaan (‘adah) Allah yang berlaku pada
munculya panas dari api, atau pada rasa kenyang dan segar
setelah makan dan minum. Tanpa kebiasaan Allah pada
dasarnya api, makanan dan air itu tidak punya pengaruh
sedikitpun dalam kejadian panas, kenyang ataupun hilangnya
dahaga.”18
Pandangan Misbah Yazdi bahwa setiap perbuatan adalah efek dari
kehendak pelaku, yang berarti bahwa kehendak adalah sebab, menjelaskan
pemikirannya bahwa setiap tindakan manusia adalah merupakan tindakan
kausalitas. Karena kehendak ini ada pada Tuhan dan manusia berarti
tindakan kausalitas berlaku pada tindakan manusia dan juga Tuhan.
Kehendak ini disebut sebagai eficient cause, yaitu potensi atau kondisi yang
mendorong subjek untuk bertindak. Selain eficient cause Misbah menyetujui
faktor lain yang menentukan terciptanya tindakan si pelaku yaitu sebuah
tujuan atau yang disebut sebagai final
18 M.T. Mishbah Yazdi Iman Semesta Merancang Piramida Keyakinan (Jakarta: Al-Huda:
2005), h.132.
54
cause. Tujuan ini terbentuk atau timbul karena bayangan akan hasil dan manfaat
suatu perbuatan dan konfirmasi akan keinginan diri terhadap hasil dan
manfaat tersebut. Jadi kehendak atau keputusan untuk melaksanakan tindakan
didukung oleh pengetahuan dan persetujuan diri tentang yang dikehendaki
yaitu tujuan.19
Keterangan M.T. Miṣbāḥ Yazdī tersebut merupakan gambaran
penolakanya terhadap golongan Mujabbirah yang menisbahkan segala
persoalan atau fenomena yang terjadi termasuk kehendak mausia terhadap
Tuhan secara langsung tanpa memperhatikan bahkan menafikan sebab apapun
dan perantara apapun yang memengaruhinya.
Demikian juga menurut M.T. Miṣbāḥ Yazdī golongan yang tidak setuju
terhadap pemahaman Jabr tetapi cenderung membanggakan terhadap
kedaulatan dirinya hingga terjatuh pada pemahaman yang berlebihan yaitu
golongan yang tidak berusaha menggali ajaran-ajaran Ahlul bait dan mereka
malah terjatuh kedalam paham Tafwīḍh dan Qadariyah:
“Ada sebagian orang yang sadar akan bahaya Jabariyah, tetapi
karena tidak memilik kemampuan untuk menolak paham
sekaligus setia pada tauhid yang sempurna, dan tidak berusaha
menggali ajaran-ajaran Ahlulbait yang suci nun mulia. Mereka
malah jauh ke dalam pemahaman Tafwīḍ dan Qadariyah
(Kebebasan Mutlak manusia) mereka malah menganggap
bahwa tindakan bebas manusia itu diluar jangkauan tindakan
Allah. Dengan begitu, sebenarnya mereka telah terjebak ke
dalam bentuk dalam dari
19 Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, terj. Muhammad
Legenhausen dan ‘Azim Sarvdalir (Binghamton: Institut of Global Cultural Studies (IGCS),
1999), h. 325.
55
penyimpagan pikiran dan telah merenggang jauh dari ajaran
Islam.”20
Sebenarnya posisi keduanya berada pada jurang yang sama-sama curam
dan gelap. Yang satu terjatuh pada fatalisme ketidak berdayaan sedang yang
satu pada fatalisme kemutlakan kehendak. Padahal persoalan kehendak bebas
ini adalah persoalan bagaimana menjaga keber-tauhid-an manusia pada
Tuhannya. Bahwa Tauhid kepada Allah merupakan pengaruh mutlak yang
mandiri, merupakan salah satu pengetahuan yang bernilai tinggi dan berperan
besar dalam pembinaan manusia. Karena itu ungkapan dalam Al-Qur’an akan
hal itu sangat beragam macamnya untuk dipahami secara benar. Diantaranya
bahwa setiap kejadian alam ini (termasuk kehendak manusia) terwujud dengan
izin, masyī ‘ah, kehendak, qaḍā’ dan qadar Allah.
Oleh sebab itu dalam argumen M.T. Miṣbāḥ Yazdī selanjutnya, bahwa
yang terjaga dan memahami hal tersebut secara benar ada pada madzhab ketiga
dalam polemik di atas:
“Sementara mereka yang memiliki kesiapan pengetahuan dan
mengenal para pengajar dan penafsir hakiki al-Qur’an,
senantiasa terjaga dari penyimpangan-penyipangan tersebut.
Dari sisi lain mereka percaya bahwa perbuatan mereka itu
bersumber dari kekuatan yang Allah berikan kepada mereka,
sehingga mereka bertanggung jawab atas perbuatan masing-
masing. Dari sisi lain merekapun mempercayai adanya
pengaruh Tuhan yang mandiri pada levelnya yang lebih tinggi,
sehingga mereka mendapatkan kesimpulan yang jernih.”21
20 M.T. Mishbah Yazdi, Iman Semesta Merancang Piramida, h. 134. 21 M.T. Mishbah Yazdi Iman Semesta Merancang Piramida Keyakinan, h. 189
56
Lā Jabra walā Tafwīḍ bal Amrun bainal Amrain adalah diktum yang
baik sebagai alternatif unggul dalam polemik.yakni, penisbahan kepada suatu
tindakan kepada dua pelaku adalah mustahil bila dua pelaku itu berada secara
sejajar dan sebanding sama. Tetapi, jika dua pelaku itu berada secara sejalur,
vertikal dan sepanjang penisbahan tersebut tidaklah mustahil,dalam hal ini pula
qadha dan kehendak Tuhan relevan dan sesuai dengan kehendak manusia.”22
Pernyataan-pernyataan M.T. Miṣbāḥ Yazdī tersebut menunjukkan
bahwa dia sangat ingin menunjukan keberpihakan terhadap pemahaman
kelompok madzhab ketiga dan me nolak secara rasional apa yang menjadi
perkara seputar kehendak bebas, Qaḍā’ dan Qadar serta keadilan Tuhan. Serta
melontarkan pemikiran-pemikirannya dalam rangka tetap menjaga
rasionalisme dan ketaatanya sebagai eksistensi yang bertauhid.
Setelah kita mengetahui bagaimana Qaḍā’ dan qadar Tuhan berlaku
terhadap finalnya sebuah tindakan serta mengetahui bagaimana keadilan atau
kemaha bijaksanaan Tuhan. Marilah kita lengkapi pengetahuan ini tentang
bagaimana M.T. Miṣbāḥ Yazdī Menjabarkan Kehendak Bebas (Free Will).
Kehendak bebas yang dimaksud disini sebagai lawan dari Jabr
(keterpaksaan) tindakan yang terjadi tanpa ada peran pilihan dan kehendak
bebas pelaku didalamnya sedikitpun. Tindakan itu terjadi sebagai akibat dari
tindak paksa kekuatan internal atau eksternal. Sebaliknya dalam banyak kasus
22 M.T. Mishbah Yazdi, Meniru Tuhan, h. 63
57
kehendak digunakan secara umum dan luas, bahwa pelaku melakukan
tindakanya hanya berdasarkan hasrat dan keinginan dirinya, dan tidak ada
faktor atau oknum lain yang menekan dirinya23. Inilah tindakan atau kehendak
bebas mutlak manusia (Tafwīḍh). Kemudian M.T. Miṣbāḥ Yazdī mengambil
jalan alternatif dalam melihat persoalan ini, yakni meneladani Para Imam
maksum Ahlul bait. Serta meletakkan kehendak bebas (Free Will) pada
tempatnya dan tidak menafikan peranan Tuhan dalam hasil Puncak sebuah
tindakan manusia.
Menurut M.T. Miṣbāḥ Yazdī, Pada hakikatnya kemampuan memilih dan
mengambil keputusan merupakan masalah yang begitu gamblang disadari oleh
manusia. Karena, setiap orang menyadari kemampuan itu dengan pengetahuan
hudhuri (presentatif) 24 yang tidak mungkin mengalami kekeliruan. Tanpa
kehendak bebas, tidak akan tersisa lagi peluang untuk validitas sebuah hak dan
tanggungjawab, sanjungan dan hujatan, pahala dan siksa.25
M. T. Miṣbāḥ Yazdī sepakat bahwa manusia memiliki kehendak bebas.
Timbulnya kehendak bebas seseorang untuk melakukan suatu tindakan bukan
kejadian determinatif dari bangkitnya hasrat-hasrat tersebut, sehingga
23 M.T.Mishbah Yazdi Meniru Tuhan, terj. Ammar Fauzi Heriydi (Jakarta, Al-Huda:
2006),h.147 24 Pada persoalan yang lebih gampang saja bahwa manusia memiliki kemerdekaan dalam
menentukan kehendaknya adalah dalam soal memilih. untuk berbicara atau diam, menggerakkan
tanganya atau mengistirahatkanya, makan atau Puasa. Lihat: M. T. Mishbah Yazdi, Meniru Tuhan, h.
149. 25 M. T. Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan, terj. Ahmad
Marzuki Amin , h. 130-131.
58
kemampuannya menjadi hilang. Bukti akan hal ini adalah munculnya keadaan
ragu dan bimbang pada diri manusia dalam berbagai kasus. Dalam keadaan ini,
untuk mengambil suatu keputusan, ia perlu merenung, berfikir serta
mempertimbangkan untung ruginya suatu tindakan. Terkadang ia menjumpai
kesulitan dalam melakukan semua ini.26
Adapun asumsi bahwa manusia itu tidak memiliki kehendak bebas dan
tanggungjawab, maka ia tidaklah berhak memperoleh pahala, kesenangan abadi
dan keridhoan Ilahi. Dengan demikian tujuan penciptaan manusia akan gugur,
undang-undang penciptaan itu akan menjadi pentas besar permainan; layaknya
boneka yang bergerak dan memainkan perannya tanpa kehendak dan kebebasan
pada dirinya, kemudian ia dihujat dan disiksa, atau disanjung dan diganjar
mulia.27
Pernyataan M.T. Miṣbāḥ Yazdī tentang dukunganya terhadap kehendak
bebas tidak lepas dari tujuan penciptaan dan hubunganya dengan manusia itu
sendiri. 28 M.T. Miṣbāḥ Yazdī mengembalikan persoalan kehendak bebas ini
pada konsep “sebab” dan prinsip “penyebabab” atau yang dalam Istilah filsafat
sering disebut sebagai prinsip sebab-akibat.
Menurut M.T. Miṣbāḥ Yazdī ada kekeliruan dalam memahami prinsip-
prinsip Kausalitas sehingga terjatuh pada Jabr (determinisme) dan Tafwīḍh.
26 M. T. Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan, terj. Ahmad
Marzuki Amin, h. 137-138. 27 M. T. Mishbah Yazdi, Akidah syi’ah, http://hauzah-jakarta.com/?page_id=2347 28 Jurnal Bayan Vol.II, No 3, Tahun 2013.
59
Penerimaan secara terburu-buru pada sebab dan akibat akan melahirkan sikap
determinatif. Begitu sebaliknya. Penolakan terhadap keterlibatan sebab pada
setiap penyebabban akan melahirkan sikap tafwīḍh.
“… Kaum Determinis menganggap hukum kausalitas itu sama
dengan determinisme. Padahal, diantara keduanya tidak ada
koralasi. Yakni seseorang bisa mengakui hukum kausalitas
yang mutlaq, dan mengatakan bahwa setiap akibat menjadi
mesti dan niscaya mengada dengan adanya sebab lengkapnya.
Pada saat yang sama ia pun menerima realitas kehendak dan
pilihanya degan mengatakan bahwa kehendak adalah salah
satu bagian dari sebab lengkap tindakan sengaja, dan hanya
dengan aktifnya kehendak itu tindakan sengaja itu sampai pada
level keniscayaan kejadiannya…”29
Argumentasi M.T. Miṣbāḥ Yazdī ini sungguh sangat ingin menyudahi
kedua kesalah pahaman terhadap penafsiran kehendak bebas. Maka M.T.
Miṣbāḥ Yazdī mengambil jalan tengah seperti yang dijelaskan pada polemik di
atas bahwa kecenderungan M.T. Miṣbāḥ Yazdī terhadap argumennya adalah
membela keyakinan Ahlulbait, yakni Madzhab Al Amr Baina Al Amraini.
29 M. T. Mishbah Yazd,Meniru Tuhan,h. 153.
A. Kesimpulan
BAB V
PENUTUP
Dari uraian yang telah dipaparkan di dalam penelitian ini, dapat ditarik
beberapa kesimpulan diantaranya:
Pada premis pertama M.T. Miṣbāḥ Yazdī dalam menguraikan
persoalan kehendak bebas ini terlebih dahulu membedakan secara tegas
kehendak bebas dalam beberapa persoalan. Kehendak bebas yang dimaksud
oleh M.T Miṣbāḥ Yazdī adalah kehendak bebas dalam artian lawan dari Jabr
atau Determinisme yang menjadi perdebatan teologis yang berkelanjutan.
Menurut M.T. Miṣbāḥ Yazdī paham Determinisme dengan
menisbahkan secara langsung ke pada Allah Swt segala persoalan termasuk
kehendak bebas manusia secara mutlak tidaklah benar. Sebab ini akan
mengurangi terhadap kreatifitas manusia dalam memperoleh ridha Tuhan
dalam memilih. M.T. Miṣbāḥ Yazdī kemudian mendukung terhadap keharusan
kehendak bebas terhadap manusia sebab itu akan menjadi nilai kesempurnaan
terhadap eksistensi manusia itu sendiri.
Kedua, M.T. Miṣbāḥ Yazdī menolak secara rasional terhadap paham
Mu’tazilah dengan kehendak bebas manusia secara mutlak Tafwīḍ . Sebab biar
bagaimanapun menurut M.T. Miṣbāḥ Yazdī, hal itu tidak bisa dibenarkan. Karena
pada dasarnya segala yang terjadi pada fenomena kejadian ini di alam semesta
ini termasuk kehendak manusia adalah atas izinya Allah Swt.
60
61
Oleh sebab itu kemudian M.T. Miṣbāḥ Yazdī mencoba untuk mengambil
posisi diantara kedua kecendrungan tersebut yakni madzhab atau pandangan
teologis-filosofis Ahlul Bait. Yakni posisi diantara Jabr dan Tafwīḍ atau yang
dikenal dengan diktum Al-Amr Bainal Amrain. Menurut yazdi pada
dasarnya manusia memiliki kehendak bebasya sendiri dalam mengkapi
fenomena terjadinya sebuah perbuatan yang di ridhoi Allah Swt.
M.T. Miṣbāḥ Yazdī kemudian dalam persoalan ini menjelaskan konseb “sebab”
dan prinsip “penyebaban”. Jadi pada saat yang sama manusia memiliki
kehendaknya pada tempatnya yang disitilahkan yasdi sebagai sebab pelengkap.
B. Saran-saran
Di penghujung studi ini, perlu kiranya penulis memberikan saran-saran
tentang pemikiran M.T. Miṣbāḥ Yazdī utamanya tentang pemikiran Kehendak
Bebas. kemudian pentingnya mememahami persoalan tersebut secara benar
agar tidak terjatuh pada pemahaman yang sekiranya memperkeruh suasana
akademis dengan saling mengklaim benar satu sama lain dan saling
menjatuhkan tanpa mempedulikan terhadap hal-hal yang substansial dari apa
yang semestinya diperoleh. Bahwa mempelajari kehendak bebas ini adalah
sangat penting terhadap proses lanjut menuju kesempurnaan manusia atau
dalam istiah filsafat disebut dengan eksistensialisme tanpa harus melupakan
terhadap keberadaan dirinya sebagai
62
ciptaan Tuhan yang penuh keterbatasan-keterbatasan. Kehendak bebas manusia
merupakan kesempurnaan, tetapi kesempurnaan yang sifatnya perantara bukan
tujuan. Tujuan manusia bukanah kehendak bebas itu sendiri, akan tetapi
manusia haruslah bebas, harus bebas untuk menentukan kesempurnaan dirinya.
Karena manusia adalah satu satunya maujud yang harus memilih jalanya
sendiri. itulah sebanarnya yang ingin disampaikan oleh
M.T. Miṣbāḥ Yazdī. Oleh sebab itu penulis sangat ingin ada peneliti lain yang
mau mengkaji pemikiran M.T. Miṣbāḥ Yazdī pada tema tema yang masih belum
diteliti khususnya dalam penelitian skripsi secara lebih baik lagi.
63
Daftar Pustaka
Abbas, Nukman. Al-Asy’ari, Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir
Tuhan, Jakarta: Erlangga, t.t.
Abduh, Muhammad. Perbuatan-Perbuatan Manusia dalam Pandangan
Para Ahli Pikir Tentang Takdir dan Ikhtiyar, ed Muhammad
Thalib, Surabaya: Bina Ilmu, 1977.
Ali, Syed Ameer. Api Islam, Sejarah dan Evolusi Islam dengan Riwayat
Hidup Nabi Muhammad SAW, terj. H.B. Jassin, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Bagus, Loren. Kamus filsafat Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
2002
Dahlan, Abdul Aziz. Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam,
Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
Gharawiyan, Mohsen. Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam.
Jakarta; sadra press,2012
Goldziher, Ignas. Pengantar Teologi Islam, terj. Hersri Setiawan,
Jakarta: Iniz, 1991
Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam, edisi revisi, Jakarta: Pustaka al-
Husna Baru, 2003.
Hasyim, Umar. Memahami Seluk Beluk Takdir, Solo: Ramadhani, 1992.
Hye, M. Abdul. ‘Ash’arism dalam MM Syari, ed, A History of Muslim
Philosophy, Delhi: low Price Publication, 1995.
Labib, Muhsin . Pemikiran Filsafat Muhammad Taqi Mishbah Yazdi,
Sadra Press 2011.
Murtadha Mutthahari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam,
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, Jakarta: UI
Press, 1997.
. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid II,
Jakarat: UI press, 2002.
. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,
Jakarta: UIPress, 1987.
. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Nata, Abudin. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006.
Rahman, Fazlur. Filsafat Shadra, terj. Munir A. Muin, Bandung: Pustaka,
2000.
Shadra, Mulla. Kearifan Puncak, terj. Dimiri Mahayana dan Dedi
Djuniardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Syarif, MM. A History of Muslim Philosophy, Delhi: low Price
Publication, 1995.
Ya’qub, Hamzah. Filsafat Agama, Titik Temu Akal dengan Wahyu,
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
64
Yazdi, M. T. Mishbah. Buku Daras Filsafat Islam: Orientasi ke Filsafat
Islam Kontemporer, terj. Muhammad Legenhausen dan ‘Azim
Sarvdalir, Jakarta: Sadra Press, 2010.
.Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan, terj.
Ahmad Marzuki Amin, Jakarta: al-Huda, 2005.
. Meniru Tuhan: Antara yang Terjadi dan yang Mesti
Terjadi, terj. Ammar Fauzi Heriyadi, Jakarta: al-Huda, 2006.
.Freedom, terj. Nailul Aksa, Jakarta: al-Huda,
2006.
. Akidah Islam, terj. Ahmad Marzuky Amin, Qom- Iran:
Majma Jahani Ahlul Bait, 2005
. Philosophical Instructions, terj. Muhammad
Legenhausen dan ‘Azim Sarvdalir Binghamton: Institut of
Global Cultural Studies, 1999.
top related