kajian yuridis penyelesaian sengketa lingkungan hidup di .../kajian... · sukarela dan hanya...
Post on 12-Mar-2019
237 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
OLEH ERLINA SEPTIYANINGRUM
NIM : E. 0006120
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA
Penulisan Hukum
( Skripsi )
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN
LINGKUNGAN DI INDONESIA
Disusun Oleh :
ERLINA SEPTIYANINGRUM
NIM : E. 0006120
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing
Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H, M.M
NIP. 197210082005012001
PENGESAHAN PENGUJI
3
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI
LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN
LINGKUNGAN DI INDONESIA
Oleh : Erlina Septiyaningrum
NIM. E0006120
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada : Hari : Kamis Tanggal : 25 Maret 2010
DEWAN PENGUJI
1. Pius Tri Wahyudi, S.H, M.Si : …………………………… Ketua 2. Waluyo, S.H, M.Si : ..…………………………… Sekretaris 3. Dr. I Gusti Ayu KRH, S.H, M.M : ……………………………
Anggota
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 196109301986011001
PERNYATAAN
4
Nama : Erlina Septiyaningrum
NIM : E0006120
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) yang
berjudul: KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA
LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA
MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG
BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA adalah betul-betul karya
sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 16 Maret 2010
Yang membuat pernyataan
Erlina Septiyaningrum NIM. E0006120
5
ABSTRAK
Erlina Septiyaningrum, 2010. KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Intervensi terhadap lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melaksanakan kegiatan pembangunan secara berkelanjutan. Tetapi, beberapa pelaku pembangunan masih melaksanakan kegiatan pembangunan dengan tidak berkelanjutan. Hal ini antara lain menyebabkan terjadinya kasus pencemaran dan perusakan lingkungan yang merupakan condisio sine quanon terjadinya sengketa lingkungan. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat memberikan jawaban keadilan ditengah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia, kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan solusinya, serta penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan jenis dan sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan sumber penelitian dilakukan dengan teknik riset kepustakaan dan teknik analisis sumber penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik berfikir deduksi dan interpretasi (gramatikal).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak yang bersifat sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan ditempuh berdasarkan kesepakatan para pihak dengan arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsultasi, penilaian ahli). Akan tetapi, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Indonesia jika ditinjau dari pengaturannya masih memiliki beberapa kelemahan. Meskipun demikian, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagai bagian inheren dari kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia masih mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia.
Kata Kunci: penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
6
ABSTRACT Erlina Septiyaningrum, 2010. A JURIDICAL REVIEW ON THE SETTLEMENT OF LIVING ENVIRONMENT DISPUTE OUTSIDE THE COURT AS AN ATTEMPT OF REALIZING THE SUSTAINABLE, ENVIRONMENT-ORIENTED DEVELOPMENT IN INDONESIA. Law Faculty of Sebelas Maret University.
Intervention to the environment in the implementation of development is
inevitable. Such problems can be addressed by implementing a sustainable development activity. However, many developers still implement unsustainable development practice. It results in the pollution case and environmental destruction constituting condisio sine quanon evoking the environmental dispute. The settlement of environmental dispute outside the court can give the justice response amid the public’s distrust against the judicature institution. For that reason, in this study, the researcher examines and answers the problems about the settlement of environmental dispute outside the court in Indonesia, the weakness of the environmental dispute settlement outside the court and the solution, as well as the environmental dispute settlement in realizing a sustainable, environment-oriented development. This study belongs to a normative law research that is prescriptive in nature with statutory approach. This research employed the secondary type and research source consisting of primary and secondary law materials. Technique of collecting research sources employed was literary research and technique of analyzing data used was deductive and interpretative thinking techniques.
The result of research shows that based on the provision in Acts No. 32 of
2009, No. 30 of 1999, and Governmental Regulation Number 54 of 2000, the settlement of living environment dispute outside the court is the parties’ voluntary choice and it only applies to the dispute included in the civil area. The environment dispute settlement outside the court is taken based on an agreement among the parties with arbitration or alternative dispute settlement (conciliation, negotiation, mediation, consultation, expert judgment). However, the environment dispute settlement outside the court in Indonesia, viewed from the regulation, still has some weaknesses. Nevertheless, the environment dispute settlement outside the court inherent to the policy of living environment protection and management in Indonesia still supports the sustainable, environment-oriented development in Indonesia.
Keywords: the environment dispute settlement outside the court, the sustainable,
environment-oriented development
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT dimana hanya dengan rahmat dan ridho-
Nya, penulisan hukum (skripsi) ini dapat penulis selesaikan. Penulisan hukum ini
membahas mengenai penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia ditinjau dari
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan dalam kaitannya dengan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Dengan terselesainya
penulisan hukum, penulis hendak mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Allah SWT, atas kasih dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan hukum ini. Tiada daya dan upaya kecuali atas kekuatan dan ijin
dari-Nya.
2. Mama, Papa, dan Elisa Hermawati (kakak), terima kasih untuk doa, kekuatan,
dan dorongan yang selalu diberikan.
3. Rohmat Subekti, S.H. atas setiap kesetiaan, kesabaran, dan pengertian yang
menenangkan.
4. Bapak Mohammad Jamin S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS
dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Hukum UNS.
5. Ibu I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H.,M.M. selaku Dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga penulisan hukum ini
dapat terselesaikan dengan baik.
6. Bapak Mohammad Rustamaji, S.H, M.H, Ibu Erna Dyah Kusumawati, S.H,
M.Hum, Ibu Anjar Si CN, S.H, M.Hum, dan Bapak Moelyanto,S.H, M.H yang
telah banyak membekali penulis dengan ketrampilan menulis.
8
7. Bapak Suranto, S.H, Bapak Joko Sugiyatno, dan Ibu Barsedyani yang telah
banyak memberikan pengetahuan non-akademik bagi penulis.
8. Bapak Prasetyo Hadi P, S.H, M.S yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menjadi asisten dosen dan seluruh Dosen di Fakultas Hukum
UNS yang telah membekali penulis dengan ilmu hukum dan menanamkan
kecintaan penulis terhadap hukum.
9. Sulistyo Probo Winahyo, Diana Dewi Kusumaningrum, Fatmawati Nurul
Handayani Kusuma Wardani, Galih Ahmad, Hermawan Fathoni, dan Rofi
Farih, sahabat yang dengan komitmen selalu memberikan cinta, keceriaan, dan
harapan.
10. Erika Rovita Maharani, Pratami Wahyudya Ningsih, Dian Rachma Fitria, dan
Hanifah Endah Setyowati yang telah menggoreskan kenangan indah selama
penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum UNS.
11. Amel, Sinta, Corry, Radit, Anna, Fera, Seto, Rohmadi, Andri, AW, Ita, Mbak
Nana, Mbak Athina, Mas Irawan, Chandra, Wisnu, Adel, Ayu, Giska, Ririn,
Beta, dan seluruh keluarga besar BEM serta KSP ”Principium” Fakultas
Hukum UNS yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih
untuk pendewasaan dan ilmu keorganisasian.
12. Staff Perpustakaan Fakultas Hukum UNS dan Perpustakaan Pusat UNS atas
keramahan dan bantuannya.
Surakarta, 18 Maret 2010
Penulis
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI HALAMAN PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………… 1 B. Perumusan Masalah…………………………………………….. 6 C. Tujuan Penelitian………………………………………………... 6 D. Manfaat Penelitian……………………………………………..... 7 E. Metode Penelitian……………………………………………….. 7 F. Sistematika Skripsi…………………………………………….... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori………………………………………………….. 14
1. Tinjauan Tentang Lingkungan Hidup a. Pengertian Lingkungan Hidup…….…………………….. 14 b. Hubungan Lingkungan Hidup dengan Manusia ………
2. Tinjauan Tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup a. Tinjauan tentang Pencemaran Lingkungan Hidup
1) Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup .....…….. 17 2) Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan Hidup.………… 17 3) Baku Mutu Lingkungan Hidup……………..……….. 18
b. Tinjauan tentang Perusakan Lingkungan Hidup 1) Pengertian Perusakan Lingkungan Hidup .....………. 19 2) Jenis-Jenis Perusakan Lingkungan Hidup.…………… 20 3) Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup ……….. 21
3. Tinjauan Tentang Sengketa Lingkungan Hidup a. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup………………… 23 b. Pihak-Pihak dalam Sengketa Lingkungan Hidup............... 24
4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa a. Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Peradilan
(Litigasi)............................................................................. b. Penyelesaian Sengketa di Luar Lembaga Peradilan (Non-
Litigasi).............................................................................. 5. Tinjauan tentang Pembangunan Berkelanjutan yang
Berwawasan Lingkungan a. Pengertian Pembangunan ................................................ b. Pengertian Pembangunan Berkelanjutan yang
Berwawasan Lingkungan ................................................
15
26
29
35
35
10
c. Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan ................................................
B. Kerangka Pemikiran…………………………………………… 42 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pembahasan……………………………………………………..... 44 1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
di Indonesia …………………………………………………...
2. Kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan solusinya …………………………………….
3. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ……………………………………...
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………….... 82 B. Saran…………………………………………………………….. 83
DAFTAR GAMBAR DAFTAR PUSTAKA
65
56 74
44
38
11
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Intervensi Pembangunan terhadap lingkungan
Gambar 2. Kerangka Berfikir
Gambar 3. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Gambar 4. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Gambar 5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dengan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Gambar 6. Pilihan Penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya, dalam hidupnya manusia akan selalu berusaha untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Upaya yang dilakukan oleh manusia untuk
meningkatkan kesejahteraannya tersebut antara lain adalah dengan
memanfaatkan sumber-sumber yang disediakan oleh alam untuk kegiatan
pembangunan. Pembangunan adalah upaya secara sadar memanfaatkan
lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia dan
meningkatkan kesejahterannya (Soekarman Moesa, 2002: 6). Dengan
demikian, lingkungan hidup merupakan bagian mutlak dalam kegiatan
pembangunan.
Seiring dengan semakin berkembangnya peradaban manusia, ilmu
pengetahuan dan teknologi mulai dikembangkan guna mendukung
pelaksanaan pembangunan. Sejak ilmu pengetahuan dan teknologi berat secara
efektif digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan membangun
industri-industri berat untuk memenuhi kebutuhan manusia, alam secara
drastis telah terganggu keseimbangannya (Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra,
2003: 177). Jika dibiarkan, pembangunan yang diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan manusia justru akan menurunkannya karena
lingkungan tidak lagi mampu mendukung kehidupan yang sehat (Imam
Supardi, 2003: 216).
Intervensi terhadap lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan
memang tidak dapat dihindari. Tetapi, permasalahan tersebut dapat
diselesaikan dengan melaksanakan kegiatan pembangunan secara
berkelanjutan. Dengan pembangunan berkelanjutan, daya dukung lingkungan
terhadap kegiatan pembangunan akan tetap terjaga sehingga peningkatan
13
kesejahteraan sebagai hasil kegiatan pembangunan tidak hanya akan dirasakan
oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi masa depan.
Pembangunan merupakan intervensi terhadap lingkungan yang mengganggu keseimbangan lingkungan dan membawanya ke keseimbangan baru yang terletak pada kualitas lebih tinggi (b, c, d). Dengan demikian pembangunan membawa lingkungan ke arah kualitas yang lebih tinggi seperti yang digambarkan oleh garis e. Dalam usaha ini harus dijaga agar kemampuan lingkungan untuk mendukung tingkat hidup yang lebih tinggi tidak rusak sehingga tidak terjadi keambrukan seperti yang digambarkan oleh garis f. Pembangunan harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Otto Soemarwoto, 2003: 16).
Komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia tercermin dalam dua
bentuk pengakuan terhadap konstitusionalisasi norma hukum lingkungan.
Pertama, mengakui subjective rights dalam pengelolaan lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, pengakuan bahwa elemen
berwawasan lingkungan merupakan elemen penting dalam perekonomian
nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jimly Asshiddiqie, 2009: vi).
1
2
3
Waktu (t)
Kualitas lingkungan (Q)
a
d
c
b
Gambar 1. Intervensi Pembangunan terhadap lingkungan
f
e
14
Ketentuan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa: ”Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional”. Berdasarkan ketentuan tersebut, walaupun tidak secara
jelas menekankan pembangunan berkelanjutan sebagai arah dan pola
pembangunan, namun ketentuan pasal tesebut dapat ditafsirkan memberi arah
pembangunan ekonomi yang didasarkan pada konsep pembangunan
berkelanjutan (Jimly Asshiddiqie, 2009: vii). Realitasnya, beberapa pelaku
kegiatan pembangunan masih melaksanakan kegiatan pembangunan dengan
tidak berkelanjutan. Hal ini antara lain terwujud dengan masih terjadinya
kasus pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai dampak negatif
pembangunan.
Ketentuan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengakui bahwa: ”setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Ketentuan
tersebut dipertegas kembali dalam Ketentuan Pasal 65 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang mengatur bahwa: ”Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”.
Diakuinya hak tersebut dalam konstitusi dan undang-undang menempatkan
hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian
dari hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum (Peter Mahmud Marzuki,
2008: 163). Dengan demikian, setiap orang yang merasa haknya terlanggar
karena kegiatan pembangunan yang mencemari dan merusak lingkungan dapat
melakukan tuntutan sehingga lahir sengketa lingkungan.
Tuntutan atas pelanggaran hak setiap orang atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat dalam kasus sengketa lingkungan tidak hanya berupa
15
tuntutan pemberian ganti kerugian, tetapi juga berupa tindakan-tindakan
tertentu untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Hal ini terkait dengan
lingkungan hidup sebagai bagian mutlak dalam kehidupan manusia (N.H.T.
Siahaan, 2004: 2). Dalam pembangunan, tuntutan masyarakat tersebut akan
turut menguntungkan kegiatan pembangunan karena dengan perbaikan kondisi
lingkungan, pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Tidak ada
pembangunan berkelanjutan tanpa lingkungan hidup sebagai unsur utamanya
(Jimly Asshiddiqie, 2009: 134). Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis
agar penyelesaian sengketa lingkungan tidak hanya dapat mengakomodir
kepentingan para pihak yang bersengketa tetapi juga lingkungan hidup
sehingga pembangunan berkelanjutan dapat terwujud.
Setiap orang yang merasa dilanggar haknya dapat menggunakan
lembaga formal untuk membantu memperoleh haknya (Peter Mahmud
Marzuki, 2008: 163). Lembaga formal tersebut tidak hanya berupa lembaga
peradilan, tetapi juga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sebagai
sarana penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan. Lahirnya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa serta Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup di Luar Pengadilan menempatkan arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa sebagai sarana penyelesaian sengketa yang telah diakui eksistensinya
di Indonesia. Keberadaan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
sebagai sarana penyelesaian sengketa di luar pengadilan semakin diperkuat
eksistensinya dalam Ketentuan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
mengatur bahwa: ”Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan”.
Penyelesaian sengketa dengan melalui pengadilan atau yang lazim
disebut sebagai penyelesaian sengketa secara litigasi bersifat pertentangan
antar para pihak (Adi Sulistiyono, 2006: 4). Penyelesaian sengketa melalui
16
jalur litigasi dalam perkembangannya mulai kehilangan kepercayaan dari
masyarakat karena dianggap tidak netral atau memihak. Hal ini terus
berkembang seiring dengan mafia peradilan yang sudah berurat dan berakar,
bergerak secara sistemik dan terorganisir di Indonesia (Juanda Kartawidjaya,
2009: 1). Minimnya kepercayaan publik terhadap litigasi dapat digambarkan
dari hasil jejak pendapat berbagai media masa, diantaranya yang dilakukan
oleh harian Kompas. Terkait dengan putusan pengadilan, hasil jejak pendapat
tersebut menunjukkan bahwa 45,3% responden menilai bahwa putusan
pengadilan berdasarkan pada pertimbangan uang, 30,5% menilai karena
pertimbangan politik dan hanya 9.3% responden yang masih percaya bahwa
putusan pengadilan di Indonesia didasarkan pada pertimbangan hukum
(R. Ginting, 2009: 3).
Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat
memberikan jawaban keadilan ditengah minimnya kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga peradilan. Di samping itu, penyelesaian sengketa di luar
pengadilan juga memberikan keuntungan bagi pengusaha dengan terjaganya
kerahasiaan sehingga nama baik perusahaan tidak akan tercemar dan bagi
pemerintah dengan berkurangnya beban perkara pada lembaga peradilan.
Berlatar dari hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam
mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa
Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Peradilan dalam
penelitian yang berjudul: ”Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan sebagai Upaya Mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan di
Indonesia”.
17
B. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas agar permasalahan yang ada nanti dapat dibahas
secara lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka penting
bagi peneliti untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas. Adapun
perumusan masalah dalam penelitian ini yang dirumuskan penulis adalah:
1. Bagaimana penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di
Indonesia?
2. Apakah kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan di Indonesia dan solusinya?
3. Apakah penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Mengetahui penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan di Indonesia.
b. Mengetahui kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
luar pengadilan di Indonesia dan solusinya.
c. Mengetahui penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti di bidang
ilmu hukum yang dalam hal ini lingkup hukum administrasi negara,
khususnya hukum lingkungan.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di
bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
18
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah peneliti peroleh
agar dapat memberi manfaat bagi peneliti sendiri pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan hukum lingkungan pada khususnya.
b. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam
pembangunan hukum nasional di bidang lingkungan hidup.
c. Menambah referensi keilmiahan bagi pihak-pihak yang concern
terhadap lingkungan hidup.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi peneliti untuk mengembangkan penalaran,
membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2006: 43). Metodologi
merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada dalam suatu penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 2006: 43). Adapun
19
Metode yang peneliti pergunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai
berikut.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif atau doktrinal. Penelitian yang peneliti lakukan
merupakan penelitian hukum normatif dengan melakukan analisis terhadap
undang-undang, khususnya yang terkait dengan penyelesaian sengketa
lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga
Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di
Luar Pengadilan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat penelitian preskriptif , yaitu suatu penelitian
yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus
dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu (Soerjono Soekanto,
2006: 10). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan saran-saran untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan terkait dengan penyelesaian
sengketa lingkungan di luar pengadilan yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa
Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
sebagai dasar pijakan penyelesaian sengketa lingkungan di luar
pengadilan.
20
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan (approach) yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan perundang-undangan. Menurut Peter Mahmud
Marzuki, pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 94). Dalam
penelitian ini, pendekatan perundang-undangan dilakukan terhadap
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa
Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.
4. Jenis Sumber Penelitian
Jenis sumber penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah sumber penelitian sekunder. Sumber penelitian sekunder adalah
sumber penelitian yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya
(Soerjono Soekanto, 2006: 12). Sumber-sumber penelitian dalam hukum
dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-
bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder (Peter Mahmud
Marzuki, 2006: 141).
a. Bahan-bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah:
1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
21
3) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga
Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan.
b. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini
berupa:
1) Jurnal.
2) Buku.
3) Makalah.
4) Artikel internet.
5. Teknik Pengumpulan Sumber Penelitian
Teknik pengumpulan sumber penelitian yang peneliti pergunakan
adalah teknik riset kepustakaan (library research). Riset pustaka dilakukan
dengan memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh sumber
penelitiannya. Riset pustaka membatasi kegiatannya hanya pada bahan-
bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan
(Mestika Zed, 2004: 1-2). Riset pustaka ini peneliti lakukan dengan
mengumpulkan, membaca, mencatat, serta mengolah bahan-bahan
penelitian terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan di luar
pengadilan dan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
6. Teknik Analisis Sumber Penelitian
Teknik analisis sumber penelitian yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah teknik berfikir deduksi dan interpretasi (gramatikal).
Deduksi artinya berfikir dari umum (premis mayor) ke khusus (premis
minor) (Sudikno Mertokusumo, 2003: 176).
Teknik berfikir deduksi dilakukan peneliti dengan berfikir dari
premis mayor bahwa lingkungan hidup merupakan unsur utama dalam
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Sebagai premis
minor, peneliti akan mengkaji apakan penyelesaian sengketa lingkungan
22
hidup di luar pengadilan dapat dipergunakan sebagai sarana untuk
mendesak pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan memperbaiki
kondisi lingkungan. Dengan cara berfikir dari premis mayor ke premis
minor tersebut, peneliti akan sampai pada suatu simpulan apakah
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan turut mendorong
terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
atau tidak.
Teknik berfikir deduksi yang dilakukan oleh peneliti di dukung
dengan interpretasi gramatikal. Interpretasi gramatikal merupakan cara
penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui
makna ketentuan Undang-Undang dengan menguraikannya menurut
bahasa, susun kata, atau bunyinya (Sudikno Mertokusumo, 2003: 171).
Dalam penelitian ini peneliti akan menafsirkan ketentuan tentang
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 dengan
menguraikannya menurut bahasa, susun kata, atau bunyinya untuk
mengetahui makna dari ketentuan peraturan perundangan tersebut.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika laporan penulisan hukum yang disusun dalam
penulisan hukum (skripsi) ini adalah sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab pendahuluan mencakup latar belakang permasalahan
yang akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skipsi.
23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini peneliti akan menguraikan landasan teori atau
memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-
literatur yang peneliti gunakan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka teori tersebut
mencakup:
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Lingkungan Hidup
a. Pengertian lingkungan hidup
b. Hubungan manusia dengan lingkungan hidup
2. Tinjauan tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan
Hidup
a. Tinjauan tentang pencemaran lingkungan hidup
1) Pengertian pencemaran lingkungan hidup
2) Jenis-jenis pencemaran lingkungan hidup
3) Baku mutu lingkungan hidup
b. Tinjauan tentang perusakan lingkungan hidup
1) Pengertian perusakan lingkungan hidup
2) Jenis-jenis perusakan lingkungan hidup
3) Kriteria Baku kerusakan lingkungan hidup
3. Tinjauan tentang Sengketa Lingkungan Hidup
a. Pengertian sengketa lingkungan hidup
b. Pihak-pihak dalam sengketa lingkungan hidup
4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa
a. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui lembaga
peradilan (litigasi)
b. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar lembaga
peradilan (non-litigasi)
24
5. Tinjauan tentang Pembangunan Berkelanjutan yang
Berwawasan Lingkungan
a. Pengertian pembangunan
b. Pengertian pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan
c. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan
B. Kerangka Pemikiran
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini peneliti akan menjawab rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di
Indonesia.
2. Kelemahan Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan di Indonesia dan solusinya.
3. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini peneliti akan memberikan kesimpulan dari
hasil penelitian dan pembahasan serta memberikan saran-saran
terhadap beberapa kekurangan yang menurut peneliti perlu
diperbaiki.
DAFTAR PUSTAKA
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Lingkungan Hidup
a. Pengertian Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup adalah suatu sistem kompleks yang berada
di luar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
organisme (Prabang Setyono, 2008: 1). Lingkungan hidup adalah
semua benda, daya, dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau
ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat
mempengaruhi hidupnya (N.H.T Siahaan, 2004: 4). Adapun ketentuan
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi
lingkungan hidup sebagai: ”kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditegaskan bahwa
lingkungan hidup merupakan bagian mutlak dalam kehidupan
manusia. Manusia dan lingkungan hidup memiliki hubungan yang
bersifat timbal balik. Terlebih manusia mencari makan dan minum
serta memenuhi kebutuhan lainnya dari ketersediaan sumber-sumber
yang diberikan oleh lingkungan hidup dan kekayaan alam sebagai
sumber utama dan terpenting bagi pemenuhan kebutuhannya (N.H.T
Siahaan, 2004: 2-3).
Lingkungan hidup yang memiliki posisi penting dalam
kehidupan manusia, oleh karena itu dalam Konstitusi Negara Kesatuan
26
Republik Indonesia, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di
integrasikan sebagai salah satu bagian dari hak asasi setiap manusia.
Hal tesebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi: ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
b. Hubungan Manusia dengan Lingkungan Hidup
Manusia memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungan.
Setiap bentuk aktivitas yang dilakukan oleh manusia akan
mempengaruhi lingkungan. Demikian juga manusia yang dalam setiap
aktivitasnya akan selalu dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan
hidup merupakan bagian mutlak dari kehidupan manusia (N.H.T.
Siahaan, 2004: 2).
Manusia mendapatkan usur-unsur yang diperlukan dalam
hidupnya dari lingkungan. Semakin tinggi kebudayaan manusia, makin
beraneka ragam kebutuhan hidupnya. Makin besar jumlah kebutuhan
hidupnya yang diambil dari lingkungan maka semakin besar pula
perhatian manusia terhadap lingkungan. Perhatian dan pengaruh
manusia terhadap lingkungan makin meningkat pada zaman teknologi
maju. Masa ini manusia mengubah lingkungan hidup alami menjadi
lingkungan hidup binaan. Eksploitasi sumber daya alam semakin
meningkat untuk memenuhi bahan dasar industri. Sebaliknya, hasil
sampingan dari industri berupa asap dan limbah mulai menurunkan
kualitas lingkungan hidup. Kegiatan manusia tersebut dapat
mengakibatkan bermacam-macam gejala, baik positif maupun negatif
terhadap lingkungan hidup (Imam Supardi, 2003: 73).
27
1) Peran manusia yang negatif terhadap lingkungan hidup adalah:
a) Berkurangnya persediaan sumber daya alam karena eksploitasi
secara terus-menerus.
b) Punahnya species tertentu yang merupakan sumber plasma
nutfah.
c) Berubahnya ekosistem alami yang mantap dan seimbang
menjadi ekosistem binaan yang labil karena terus memerlukan
energi.
d) Berubahnya profil permukaan bumi yang dapat mengganggu
kestabilan tanah.
e) Masuknya energi dan limbah bahan/senyawa lain ke dalam
lingkungan yang menimbulkan pencemaran air, udara, dan
tanah yang akan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan
hidup.
2) Peran manusia yang positif terhadap lingkungan hidup adalah:
a) Melakukan eksploitasi sumber daya alam secara tetap dan tetap
serta bijaksana terutama dalam pemakaian sumber daya alam
yang tidak terbaharui.
b) Mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga
kelestarian keanekaragaman jenis flora dan fauna serta
mencegah terjadinya bahaya banjir.
c) Melakukan proses daur ulang serta pengelolaan limbah agar
kadar bahan pencemar yang terbuang ke lingkungan tidak
melampaui ambang batas.
d) Melakukan sistem pertanian secara tumpang sari atas
multikultur untuk menjaga kesuburan tanah. Untuk tanah
pertanian miring dibuat terasiring guna mencegah derasnya
erosi serta hanyutnya lapisan tanah yang mengandung unsur
humus.
28
e) Membuat peraturan, organisasi, perundang-undangan untuk
melindungi dan mencegah lingkungan dari kerusakan, serta
melestarikan aneka jenis satwa dan makhluk hidup yang ada.
2. Tinjauan tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
a. Tinjauan tentang Pencemaran Lingkungan Hidup
1) Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup
Ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup memberikan definisi pencemaran lingkungan hidup sebagai
”masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang
telah ditetapkan”.
2) Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan Hidup
Jenis-jenis pencemaran yang dapat digolongkan dalam
degradasi lingkungan fisik adalah (Prabang Setyono, 2008: 36-37):
a) Pencemaran Air
Sumber pencemaran air adalah pergelandangan kota
(urban dwelles) yang membuang sampah dimana mereka
berada, pembuangan kotoran dari pabrik dan industri, penghuni
kota dengan sampah-sampahnya dan kotoran hasil cucian
(detergen dan sebagainya). Pencemaran melalui air berbahaya
karena di dalam air yang tercemar dikandung bakteri, virus, dan
bahan-bahan kimiawi yang berbahaya.
b) Pencemaran Udara
Sumber-sumber pencemaran udara adalah kendaraan
bermotor yang banyak memadati jalanan kota, emisi atau
kotoran melalui asap pabrik, kepadatan penduduk dan
29
pembakaran sampah, pembukaan daerah melalui tebang dan
bakar yang mengakibatkan uudara dipenuhi dengan carbon
monoxide, nitrogen oxide, dan sulfat oxide.
c) Pencemaran Suara
Suara yang dikategorikan sebagai pencemaran dan
dapat merusak telinga adalah suara-suara yang melebihi 75
decibel. Pencemaran suara dapat mengakibatkan terganggunya
saraf dan konsentrasi kerja. Suara-suara yang sudah mencapai
145 decibel dan secara terus-menerus di dengar dapat
menimbulkan rasa sakit.
3) Baku Mutu Lingkungan Hidup
Tidak seluruh bentuk aktivitas manusia terhadap
lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai pencemaran
lingkungan hidup. Hanya bentuk-bentuk aktivitas manusia yang
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan saja
yang dapat dikatakan sebagai pencemaran lingkungan hidup. Pasal
20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan
bahwa baku mutu lingkungan hidup merupakan ukuran untuk
menentuan terjadi atau tidaknya pencemaran lingkungan hidup.
Ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup memberikan definisi baku mutu lingkungan hidup sebagai,
”ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu
sebagai unsur lingkungan hidup”.
30
Adapun baku mutu lingkungan hidup meliputi (Pasal 20 ayat (2) dan penjelasannya): a. Baku mutu air, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
b. Baku mutu air limbah, yaitu ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimesukkan ke media air.
c. Baku mutu air laut, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.
d. Baku mutu udara ambien, ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam udara ambien.
e. Baku mutu emisi, yaitu ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.
f. Baku mutu gangguan, yaitu ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan.
g. Baku mutu lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Tinjauan tentang Perusakan Lingkungan Hidup
1) Pengertian Perusakan Lingkungan Hidup
Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
memberikan definisi kerusakan lingkungan hidup sebagai
”perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik,
kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria
baku lingkungan hidup”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 16
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ditegaskan bahwa
perusakan lingkungan hidup adalah ”tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap
sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.
31
Berdasarkan kedua definisi tentang kerusakan dan
perusakan lingkungan hidup tersebut, dapat dipahami adanya
perbedaan yang signifikan antara kerusakan dan perusakan
lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup mencakup segala
bentuk perubahan terhadap lingkungan, baik yang terjadi karena
alam maupun karena aktifitas manusia. Sedangkan kerusakan
lingkungan hidup lebih menekankan pada aspek ”tindakan orang”
yang menimbulkan perubahan terhadap lingkungan. Pembedaan
tersebut perlu ditekankan karena keduanya akan menimbulkan
impikasi yuridis yang berbeda.
2) Jenis-Jenis Perusakan Lingkungan Hidup
Berdasarkan definisi kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana telah diuraikan dapat ditegaskan bahwa pada
prinsipnya, kerusakan lingkungan hidup terjadi akibat adanya
”perubahan” lingkungan hidup. Perubahan lingkungan hidup dapat
terjadi karena aktivitas alam atau manusia. Perubahan lingkungan
hidup yang terjadi akibat aktivitas manusia cenderung diartikan
sebagai perusakan lingkungan, sedangkan perubahan yang terjadi
akibat aktivitas alam cenderung diartikan sebagai kerusakan
lingkungan.
Perubahan lingkungan yang terjadi secara alamiah akibat
aktivitas alam dapat bersifat revolusioner, seperti letusan gunung
api, badai, topan, gempa bumi, dan lain-lain, atau dapat pula
bersifat evolusioner, selektif, dan seimbang. Perubahan lingkungan
yang terjadi secara alamiah, hampir tidak mengakibatkan
perubahan yang sama sekali mengakibatkan hancurnya ekologi
global (Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003: 176).
32
Perubahan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas manusia
saat ini masih merupakan faktor pengubah lingkungan yang sangat
mengkhawatirkan. Perubahan tersebut antara lain terjadi karena
pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkontrol dan tidak
seimbang dengan peningkatan kualitas atau kemampuan dalam
mengelola sumber daya (Zoer’aini Djamal Irwan, 2005: 3). Dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan, manusia melakukan berbagai
kegiatan. Akan tetapi karena minimnya kualitas dan kemampuan
dalam mengelola sumber daya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Sejak ilmu pengetahuan dan teknologi berat secara efektif
digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan
membangun industri-industri berat untuk memenuhi kebutuhan
manusia, alam secara drastis telah terganggu keseimbangannya
(Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003: 177). Kegiatan-kegiatan
yang telah dilakukan oleh manusia yang mengakibatkan
lingkungan dalam kondisi krisis antara lain adalah kegiatan
pertambangan, perusakan hutan, kegiatan industri yang tidak
berwawasan lingkungan, dan perilaku masyarakat yang membabi
buta (Sudarsono, 2007: 1).
3) Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Dalam kasus pencemaran lingkungan, tidak seluruh
bentuk aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungan hidup
merupakan pencemaran lingkungan hidup. Demikian pula dalam
perusakan lingkungan. Hanya aktivitas manusia yang
menimbulkan akibat tertentu yang melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup yang telah ditetapkan saja yang dapat
dikategorikan sebagai perusakan lingkungan hidup. Ketentuan
dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
33
tentang Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
memberikan definisi kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
sebagai ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup
untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi
kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan
akibat perubahan iklim (Pasal 21 ayat (2)).
Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi (Pasal 21 ayat (3)):
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa. Sedangkan yang dimaksud dengan kriteria baku kerusakan tanah untuk prduksi biomassa adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat diteggang berkaitan dengan kegiatan prduksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budidaya dan hutan.
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang, yaitu ukuran batas perubahan fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan, yaitu pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
d. kriteria baku kerusakan mangrove e. kriteria baku kerusakan padang lamun f. kriteria baku kerusakan gambut g. kriteria baku kerusakan karst h. dan kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada parameter, antara lain (Pasal 21 ayat (4): a. kenaikan temperatur
34
b. kenaikan permukaan air laut c. badai, dan/atau d. kekeringan
3. Tinjauan Tentang Sengketa Lingkungan Hidup
a. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup
Sengketa lingkungan merupakan species dari genus sengketa
yang bermuatan konflik maupun kontroversi di bidang lingkungan.
Ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan
definisi sengketa lingkungan hidup adalah “perselisihan antara dua
pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau
telah berdampak pada lingkungan hidup”.
Dampak terhadap lingkungan merupakan pengaruh perubahan
pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/kegiatan
(Pasal 1 angka 26). Pembangunan merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Di samping
menghasilkan produk yang dapat meningkatkan kualitas hidup
manusia pada khususnya, pembangunan juga mengakibatkan dampak
negatif berupa pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan karena
limbah (Imam Supardi, 2003: 165). Dapat dikatakan bahwa dampak
terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1
angka 25 merujuk pada pencemaran atau kerusakan lingkungan
sebagai akibat pembangunan. Dari pengertian sengketa lingkungan
tersebut, sengketa lingkungan di format sebagai akibat in concreto
keberadaan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Tanpa adanya
pencemaran dan perusakan lingkungan, tidak ada sengketa lingkungan.
Sengketa lahir dari adanya pencemaran dan kerusakan
lingkungan, sehingga pencemaran dan kerusakan lingkungan
merupakan conditio sine quanon bagi timbulnya sengketa lingkungan
35
(Suparto Wijoyo, 1999: 6). Dapat pula dikatakan bahwa pencemaran
dan kerusakan lingkungan jika ditinjau dari teori conditio sine qua non
merupakan syarat-syarat terjadinya sengketa lingkungan yang jika
tidak dipenuhi tidak akan terjadi pencemaran dan kerusakan
lingkungan (Moeljatno, 2002: 92).
Suatu sengketa tidak hanya mengenai perselisihan pihak-pihak
ansich, tetapi perselisihan yang mengandung dan melahirkan tuntutan
(gugatan). Dari uraian tersebut dapat ditarik unsur-unsur dalam
sengketa lingkungan hidup, yaitu (Pius Tri Wahyudi, 2010):
1) Sengketa lingkungan hidup merupakan perselisihan antara dua
pihak atau lebih akibat pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup.
2) Sengketa lingkungan hidup pada hakekatnya merupakan
perselisihan hak (subjective rights) yang melahirkan gugatan
3) Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebagai sebab
timbulnya sengketa lingkungan meliputi pencemaran dan
perusakan lingkungan yang aktual dan potensial.
b. Pihak-Pihak dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan yang
melibatkan dua pihak atau lebih. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 25
Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akan tetapi, dalam ketentuan
Undang-Undang tersebut secara lebih lanjut, tidak ditemukan
pengaturan mengenai siapa yang dimaksud dengan para pihak.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga
Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di
Luar Pengadilan sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang
tersebut dalam Pasal 1 angka 7 memberikan pengaturan bahwa yang
dimaksud dengan para pihak adalah ”subyek hukum, baik menurut
36
hukum perdata maupun hukum pubilk yang bersengketa di bidang
lingkungan hidup”.
Subyek hukum adalah pembawa hak dan kewajiban. Manusia
sebagai pembawa hak dan kewajiban terjadi sejak ia lahir dan berakhir
sejak ia meninggal. Subyek hukum dalam hukum perdata merujuk
pada istilah ”orang” atau ”persoon” yang terdiri dari (Amiek
Sumindriyatmi, dkk, 2005: 25):
1) Manusia (natuurlijk persoon)
2) Badan hukum (rechtspersoon)
Indonesia sebagai negara hukum mengakui setiap orang
sebagai manusia, artinya bahwa setiap orang diakui sebagai subyek
hukum. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 27 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa ”segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada pengecualiannya” (Amiek Sumindriyatmi, dkk, 2005:
25). Artinya, dalam kasus sengketa lingkungan setiap orang (baik
manusia maupun badan hukum) baik yang merasa dirugikan atas
terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup maupun
pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup berkedudukan
sebagai pihak dalam sengketa lingkungan. Dalam bahasa hukum,
pihak-pihak tersebut dapat dikonfigurasikan sebagai pelaku
pencemaran atau perusakan dan korban pencemaran atau perusakan
(Waluyo, 2006: 57).
4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa
Upaya penyelesaian sengketa dalam bidang perdata dapat ditempuh
melalui lembaga peradilan maupun di luar lembaga peradilan sesuai
dengan kesepakatan para pihak.
37
a. Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan (litigasi)
Metode penyelesaian sengketa paling konvensional adalah
litigasi (proses pengadilan). Penyelesaian sengketa dengan jalur litigasi
untuk mendapatkan keadilan menggunakan pendekatan melalui sistem
perlawanan (the adversary system) dan menggunakan paksaan
(coercion) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu
keputusan win-lose sollution bagi pihak-pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa dengan jalur litigasi ini bersifat pertentangan
antara para pihak. Proses litigasi selalu menghasilkan bentuk
penyelesaian yang menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang
(a winner) dan pihak yang lain sebagai kalah (a loser) (Adi
Sulistiyono, 2006: 4).
Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dimulai dengan
pengajuan gugatan penggugat ke Pengadilan Negeri. Setelah itu,
sebelum dilaksanakan proses pemeriksaan, penyelesaian perkara
perdata diawali dengan upaya mendamaikan para pihak yang
dilakukan oleh hakim. Jika upaya mendamaikan tersebut berhasil,
maka dibuatlah perjanjian perdamaian yang diajukan ke sidang
pengadilan (acte van vergelijk) dimana para pihak wajib mentaati dan
memenuhi perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut berkekuatan sebagai
putusan hakim yang tidak dapat dilakukan upaya hukum (Marianna
Sutadi, 2004: 27). Apabila upaya pendamaian tersebut tidak berhasil,
maka ditempuh proses pemeriksaan perkara perdata. Proses
pemeriksaan perkara pasca dilakukannya upaya perdamaian adalah
pembacaan gugatan dan diberi kesempatan kepada penggugat untuk
merubah atau mencabut gugatannya kalau dikehendaki. Tahap
selanjutnya penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawaban
tergugat. Setelah itu, penggugat diberi kesempatan untuk replik
penggugat dan diikuti dengan tergugat yang mengajukan duplik
tergugat. Setelah tahap tersebut, penggugat dan tergugat masing-
38
masing diberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti untuk
kemudian ke dua belah pihak diberi kesempatan untuk mengajukan
kesimpulan sebelum majelis hakim akhirnya menjatuhkan putusan.
Apabila para pihak tidak tidak menerima putusan hakim Pengadilan
Negeri, maka para pihak dapat menempuh upaya hukum banding,
kasasi, dan peninjauan kembali. Tetapi apabila para pihak menerima
putusan tersebut, maka selanjutnya akan dilaksanakan eksekusi
(Amiek Sumindriyatmi, dkk, 2005: 74).
Jalur litigasi yang mengandalkan perangkat lembaga peradilan
sebagai institusinya telah mewabah penggunaannya selaras dengan
semakin derasnya infiltrasi hukum modern disetiap penjuru dunia.
Dalam konstelasi sistem hukum modern keberadaan lembaga peradilan
diantaranya mengemban tugas menyelesaikan sengketa untuk
menegakkan rule of law. Keberadaan pengadilan yang dimaksudkan
sebagai sarana fasilitatif untuk menegakkan wibawa hukum dengan
jalan memberikan akses keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat
sengketa. Akan tetapi di dalam perkembangannya, penyelesaian
sengketa dengan jalur litigasi dihinggapi formalitas yang berlebihan,
tidak efektif dan efisien, mahal, perilaku hakim yang memihak, dan
putusan hakim yang seringkali mengecewakan pencari keadilan (Adi
Sulistiyono, 2006: 6-7). Proses peradilan menuai banyak kritik yang
menujukkan pada kelemahan-kelemahan sistem peradilan, yaitu
(Emmy Yuhassarie, dkk, 2004: xix):
1) Waktu
Proses persidangan yang berlarut-larut atau terlalu lama dan
menempatkan suatu keputusan yang benar-benar final dan
mengikat (karena ”hak” para pihak untuk mengajukan banding,
kasasi, peninjauan kembali, bantahan, dan lain-lain). Waktu tidak
bisa di kontrol oleh para pihak.
39
2) Biaya mahal
Biaya pengadilan di beberapa negara dianggap mahal
(khusunya bagi masyarakat pedalaman, hal ini ditambah dengan
biaya transportasi). Hal ini ditambah dngan sistem peradilan yang
mempunyai prosedur yang bertingkat-tingkat. Mahalnya biaya
tersebut ditambah dengan biaya pengacara.
3) Adversary
Proses beracara dalam pengadilan memaksa para pihak untuk
saling menyerang.
4) Prosedur yang ketat
Dengan adanya prsedur beracara yang rigid, kadangkala
menghilangkan keluwesan para pihak untuk mencari inovasi
alternatif-alternatif penyelesaian. Seringkali kepentingan
sebenarnya dari pihak yang bersengketa tidak tercermin dalam
gugatan/tuntutan yang diajukan.
5) Lawyer Oriented
Karena sistem prosedua yang kompleks dalam peradilan,
maka hanya pihak yang mempunyai keahlian saja yang dapat
beracara di pengadilan. Oleh karena itu, pihak yang bersengketa
banyak mendelegasikan semuanya kepada pengacaranya, dimana
acapkali pengacara tidak mengerti benar-benar kepentingan klien.
6) Win-lose sollution
Sistem peradilan pada nilai benar atau salah.
7) Hubungan putus
Dengan adanya sistem win-lose maka (untuk kasus perdata
atau bisnis) hubungan para pihak menjadi putus.
8) Memicu konflik baru
Karena untuk menyelamatkan muka dan telah terputusnya
hubungan, hal tersebut dapat memicu konflik lagi.
40
b. Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan (non-litigasi)
Mekanisme penyelesaian sengketa di banyak negara, termasuk
Indonesia, kini telah berkembang khususnya di bidang keperdataan.
Perkembangan ini terdorong oleh kenyataan bahwa pada umumnya
penyelesaian sengketa melalui pengadilan (court system)
membutuhkan biaya yang sangat besar dan birokrasi pengadilan yang
sangat rumit (N.H.T Siahaan, 2004: 330-331). Litigation is a difficult,
time consuming, and costly process that must comply with complex
procedural rules (Henry R Cheeseman, 2000: 42). The use of court
system to resolve businnes and other dispute can take years and cost
thousand, if not millions, of dollars in legal fees and expenses. In
commercial litigation, the normal bussines operations of the parties
are often disrupted. (Henry R Cheeseman, 2000: 62).
Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan atau
Alternative Dispute Resolution (Selanjutnya disebut ADR) merupakan
ekspresi responsif (dissatisfication) terhadap penyelesaian sengketa
melalui proses litigasi yang konfrontatif dan zwaarwichtig (bertele-
tele). Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya
minat dan perhatian terhadap ADR, yaitu: pertama, perlunya
menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih fleksibel
dan responsif bagi kebutuhan para pihak yang bersengketa; kedua,
untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian
sengketa; ketiga, memperluas akses mencapai atau mewujudkan
keadilan sehingga setiap sengketa yang memiliki ciri-ciri tersendiri
yang terkadang tidak sesuai dengan bentuk penyelesaian yang satu,
akan cocok dengan bentuk penyelesaian yang lain. Para pihak dapat
memilih ketentuan yang terbaik (Suparto Wijoyo, 1999: 92-93).
ADR merupakan salah satu sarana peningkatan akses kepada
keadilan. ADR dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu
41
permasalahan keluar dari sistem formal pengadilan kepada suatu forum
yang lebih murah, cepat, dekat, dan tidak mengintimidasi. Keberadaan
ADR sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan.
di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de
Rechtsvordering (RV) dan Net Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBG). Semula ADR diatur
dalam pasal 615 s/d 651 RV. Dengan diundangkannya Undang-undang
Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, maka ketentuan-ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku
(Abd. Rahmad, 2010).
Terdapat beberapa pendapat mengenai ADR. Pertama, ADR
adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam
konteks ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat
berupa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, dan lain-lain. Kedua, ADR adalah forum penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dan arbitrase. Hal ini mengingat
penyelesaian sengketa melalui ADR tidak dilakukan oleh pihak ketiga.
Sedangkan dalam forum pengadilan atau arbitrase, pihak ketiga (hakim
atau arbiter) mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa. ADR
disini hanya terbatas pada teknik penyelesaian sengketa yang bersifat
kooperatif, seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi, serta
teknik-teknik penyelesaian sengketa kooperatif lainnya. Ketiga, ADR
adalah seluruh penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan
tetapi juga tidak terbatas pada arbitrase, negosiasi, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan APS termasuk juga
penyelesaian sengketa yang diatur oleh peraturan perundang-
undangan, tetapi berada di luar pengadilan, seperti Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),
dan sebagainya.
42
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa secara implisit menganut paham
bahwa arbitrase merupakan hal yang berbeda dengan Alternatif
Penyelesaian Ssengketa sehingga judul undang-undang tersebut adalah
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Wicipto Setiadi,
2010). Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut,
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (ADR) dapat diuraikan
sebagai berikut.
1) Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pengertian alternatif penyelesaian sengketa telah
diperkenalkan sebagai suatu institusi atau lembaga yang dipilih
para pihak yang mengikat apabila timbul beda pendapat atau
sengketa (Suyud Margono, 2004: 107). Alternatif penyelesaian
sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melaui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa).
a) Konsultasi
Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal
antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan
pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan
pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan
dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada keharusan bagi
klien untuk mengikuti pendapat yang disampaikan konsultan.
Jadi, konsultan hanyalah memberikan pendapat hukum
sebagaimana diminta oleh kliennya. Selanjutnya, keputusan
mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri
43
oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga
diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang
bersengketa tersebut (Abd. Rahmad, 2010).
b) Negosiasi
Negosiasi adalah Penyelesaian sengketa melalui
perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa guna
mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang
dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan (Bambang
Pramudyanto, 2008: 12). In the process of negotiation,
negotiators themselves come to an agreement on a notion of
justice which will govern the disposition of the items in conflict,
and if they do not, negotiations will not be able to proceed any
further to a conclusion (I. William Zartman, 1996: 3).
c) Mediasi
Mediation is a process in which a mediator facilitates
communication and negotiation between parties to assist them
in reaching a voluntary agreement regarding their dispute
(Tiffany T. Smith, 2009: 2). Mediasi memiliki prinsip-prinsip
sebagai berikut (Marta Amnan, 2008: 10).
(1) Para pihak secara suka rela bersedia dan berkeinginan
untuk menyelesaikan sengketa secara musyawarah
dengan bantuan mediator.
(2) Mediator adalah netral dan tidak memihak, disetujui para
pihak, dan bersedia melakukan mediasi.
(3) Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat
keputusan selama perundingan, namun perlu membatu
para pihak yang bersengketa untuk mencari solusi
penyelesaian sengketanya.
(4) Para pihak berkeinginan untuk mencapai kesepakatan.
44
d) Konsiliasi
Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa
(lingkungan) melalui perundingan dengan melibatkan pihak
ketiga netral untuk membantu para pihak yang bersengketa
dalam menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat
disepakati para pihak. Bantuan pihak ketiga netral dalam
konsiliasi lazimnya bersifat pasif atau terbatas pada fungsi
prosedural, sedangkan mediator memainkan peran aktif dalam
membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa
lingkungan (Bambang Pramudyanto, 2008: 6).
e) Penilaian Ahli
Penilaian Ahli dalam alternatif penyelesaian sengketa
berupa pendapat hukum yang bersifat mengikat dari lembaga
arbitrase. Ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak
untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga
Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian
(Budhy Budiman, 2010). Pendapat arbitrase adalah pendapat
yang mengikat yang diberikan oleh suatu lembaga arbitrase
yang diajukan oleh para pihak dalam suatu kontrak terhadap
suatu masalah atau hubungan hukum tertentu dari suatu
perjanjian. Konsekuensi yuridis dari adanya pendapat ini
adalah para pihak terikat terhadap pendapat tersebut
sebagaimana keterikatan atas suatu kontrak. Jadi, apabila para
pihak melanggar pendapat tersebut sama artinya seperti
melanggar kontrak (wanprestasi) (Munir Fuady, 2003: 97).
2) Arbitrase
Arbitration is a form of ADR in which the parties choose an
impartial third party to hear and decide the dispute (Henry R
45
Cheeseman, 2000: 62). Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa memberikan batasan arbitrase sebagai “cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa”.
Penyelesaian sengketa dengan arbitrase merupakan cara
penyelesaian sengketa yang lebih formal jika dibandingkan dengan
negosiasi, mediasi, atau konsiliasi. Arbitrase yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan masalah menurut kebijaksanaan
para ahli (arbitrator) dan tidak berhenti sampai disini, akan tetapi
keputusan arbiter juga menerapkan ketentuan-ketentuan hukum
seperti yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.
Penyelesaian secara arbitrase penting karena tidak perlu
formalitas yang ketat, lebih murah, memuaskan karena ditangani
oleh arbitrator yang dipilih berdasarkan keahliannya, berproses
melalui arbitrase akan memelihara dan menjamin kerahasiaan para
pihak yang bersengketa, tepat karena setelah para pihak
bersengketa dan sengketa tersebut diselesaikan dengan arbitrase,
para pihak dapat berhubungan kembali (Hero Prahartono, 2005:
1370).
Arbitrase pada umumnya dipakai dalam lingkungan bisnis,
dan biasanya pihak yang terlibat menyepakati melalui sistem
klausul perjanjian berupa menundukkan diri (submission)
menyerahkan penyelesaian kasus yang timbul kepada pihak ketiga
yang bersifat netral yang bertindak sebagai arbitrator. Proses
peyelesaiannya dapat dilakukan dalam suatu badan tertentu sebagai
arbitral tribunal, yang di Indonesia dikenal dengan BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia). Badan arbitral tribunal diberi
46
kewenangan penuh oleh para pihak yang terlibat untuk
menyelesaikan sengketa. Sifat putusannya adalah langsung/final
dan banding kepada para pihak (N.H.T Siahaan, 2004: 330-333).
5. Tinjauan tentang Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan
Lingkungan
a. Pengertian Pembangunan
Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan. Mengubah
keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik (Imam Supardi, 2003:
73). Pembangunan adalah upaya secara sadar memanfaatkan
lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia
(Soekarman Moesa, 2002: 6). Pembangunan itu berhasil apabila
sasarannya tercapai dan bermanfaat bagi rakyat banyak serta apabila
masyarakat terlibat dalam proses pembangunan tersebut (Prabang
Setyono, 2008: 16).
Pembangunan bertujuan setingkat demi setingkat mengubah
keseimbangan lingkungan menuju kualitas lingkungan yang dianggap
lebih tinggi. Karena itu tidak mungkin pelaksanaan pembangunan
tidak mengganggu keseimbangan lingkungan. Dalam pembangunan,
lingkungan atau keseimbangan lingkungan tidak dapat dilestarikan.
Yang harus dilestarikan bukanlah lingkungan itu sendiri atau
keseimbangan lingkungan, melainkan kemampuan lingkungan untuk
mendukung pembangunan dan tingkat hidup yang lebih tinggi (Otto
Soemarwoto, 2003: 25-26). Keseimbangan lingkungan diubah menjadi
keseimbangan yang baru (Imam Supardi, 2003: 73).
b. Pengertian Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan
Lingkungan
Pembangunan Indonesia berorientasi pada pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yaitu pembangunan
47
dengan penghematan penggunaan sumber daya dan pertimbangan jauh
ke depan (Zoer’aini Djamal Irwan, 2005: 28). Pembangunan
berkelanjutan mengandung arti lingkungan dapat mendukung
pembangunan secara terus-menerus karena tidak habisnya sumber daya
yang menjadi modal pembangunan. Modal itu sebagian berupa modal
buatan manusia seperti ilmu, teknologi, pabrik, dan prasarana
lingkungan, sebagian lagi modal itu berupa sumber daya alam, baik
yang dapat terbaharui maupun yang tidak dapat terbaharui (Otto
Soemarwoto, 2003: 14-15).
Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar
dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan
ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan
mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Terdapat tiga
hal penting yang tercakup disini, yaitu (Gatot P Soemartono, 1996:
199):
1) Pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana.
2) Pembangunan berkesinambungan sepanjang masa.
3) Peningkatan kualitas hidup.
Laporan Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan
memberikan definisi pembangunan berkelanjutan sebagai
pembangunan yang mengusahakan dipenuhinya kebutuhan yang
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang
untuk memenuhi kebutuhan mereka (Otto Soemarwoto, 2003: 14).
Komisi Dunia Bidang Lingkungan dan Pembangunan merumuskan
konsep pokok dalam pembangunan, yaitu berorientasi pada kebutuhan
dan keterbatasan. Tujuan pembangunan tersebut harus dapat dicapai
48
dengan memperhatikan enam permasalahan pokok, yaitu (Soekarman
Moesa, 2002: 6):
1) Pengendalian pertumbuhan penduduk dan kualitas sumber daya
manusia
2) pemeliharaan daya dukung lingkungan
3) pengendalian ekosistem dan jenis (species) sebagai sumber daya
bagi pembangunan
4) pengembangan industri
5) mengantisipasi krisis energi sebagai penopang utama industrialisasi
6) pengendalian pengembangan lingkungan.
Terdapat lima pokok ikhtiar yang perlu dikembangkan dengan
sungguh-sungguh untuk melaksanakan pembangunan yang
berwawasan lingkungan, yaitu (Gatot P Soemartono, 1996: 200-201):
2) Menumbuhkan sikap kerja berdasarkan kesadaran saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain. Diperlukan sikap
kerjasama dengan semangat solidaritas antar sektor, antar daerah,
antar negara, dan antar generasi.
3) Kemampuan menyerasikan kebutuhan dan kemampuan sumber
alam dalam menghasilkan barang dan jasa. Kebutuhan manusia
yang terus meningkat perlu dikendalikan untuk disesuaikan dengan
pola penggunaan sumber alam secara bijaksana.
4) Mengembangkan sumber daya menusia agar mampu menanggapi
tantangan pembangunan tanpa merusak lingkungan.
5) Mengembangkan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat
sehingga tumbuh menjadi kesadaran berbuat.
6) Menumbuhkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang dapat
mendayagunakan dirinya untuk menggalakkan partisipasi
masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup.
Istilah pembangunan berkelanjutan (sustuinable development)
secara resmi baru dipergunakan di Indonesia pada tahun 1997, yaitu
49
dengan dicantumkannya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Istiah resmi yang
dipergunakan dalam Undang-Undang ini adalah pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Adapun dalam
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN), istilah ini dipersingkat menjadi pembangunan
berkelanjutan saja. Istilah lain yang biasa dipergunakan berkaitan
dengan ide pembangunan bekelanjutan adalah pembangunan yang
berwawasan lingkungan (Jimly Assiddiqie, 2009: 135).
Merujuk dari uraian tersebut dapat ditarik benang merah bahwa
pada hakekatnya perbedaan penggunaan istilah pembangunan
berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan, maupun pembangunan yang berwawasan lingkungan
hanya merupakan permasalahan redaksional. Kesemuanya dari istilah
tersebut pada akhirnya bermuara pada satu arti, yakni upaya sadar dan
terencana yang memadukan lingkungan, termasuk sumber dayanya,
kedalam proses pembangunan yang menjamin kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi sekarang dan generasi yang
akan datang (Jimly Assiddiqie, 2009: 135).
c. Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan
Lingkungan
Menjaga kemampuan lingkungan untuk mendukung
pembangunan merupakan usaha untuk mencapai pembangunan jangka
panjang yang menyangkut jangka waktu antar generasi merupakan
bentuk pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Otto
Soemarwoto, 2003: 26). Terdapat tiga prinsip utama pembangunan
berkelanjutan, yaitu (A. Sonny Keraf, 2002: 175-180):
50
1) Prinsip Demokrasi
Prinsip demokrasi menjamin agar pembangunan
dilaksanakan sebagai perwujudan kehendak bersama seluruh rakyat
demi kepentingan bersama seluruh rakyat. Terdapat beberapa
aspek penting dalam prinsip demokrasi, yaitu:
a) Agenda utama pembangunan adalah agenda rakyat demi
kepentingan rakyat. Pemerintah harus menjamin bahwa agenda
dan kebijakan pembangunan yang dilaksanakan memang
benar-benar berasal dari rakyat dan untuk kepentingan bersama
seluruh rakyat.
b) Partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan
pembangunan dan dalam mengimplementasikan kebijakan
pembangunan adalah keharusan moral dan politik.
c) Akses informasi yang jujur dan terbuka tentang agenda
pembangunan dan proses perumusan agenda pembangunan
tersebut.
d) Akuntabilitas publik tentang agenda pembangunan, proses
perumusan kebijakan pembangunan, dan implementasi
pembangunan tersebut. Agenda pembangunan berasal dari
rakyat demi kepentingan rakyat banyak, harus ada
pertanggungjawaban publik tentang sejauh mana aspirasi
rakyat di dengar, diakomodasi, dan diwujudkan serta sejauh
mana tujuan pembangunan telah benar-benar diwujudkan
dengan komitmen dan upaya serius dari semua pihak.
2) Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan pada dasarnya menjamin bahwa:
1. Semua orang dan kelompok masyarakat mempunyai peluang
yang sama untuk ikut serta dalam pembangunan dan kegiatan-
kegiatan produktif serta ikut dalam menikmati hasil-hasil
pembangunan.
51
2. Distribusi beban dan manfaat secara proporsional antara semua
orang dan kelompok masyarakat sesuai dengan peran dan
kontribusinya dalam pembangunan. Dalam konteks ini berlaku
prinsip bahwa mereka yang mendapat manfaat ekonomi
terbesar dari kegiatan pembangunan harus menanggung
kerugian terbesar akibat proses pembangunan, khususnya
dibidang lingkungan hidup akibat kerusakan dan pencemaran
lingkungan hidup serta membayar secara proporsional kerugian
yang ditimbulkan termasuk proporsionalitas dalam hal lingkup
dan besarnya kerugian akibat kerusakan dan pencemaran yang
ditimbulkan.
3. Peluang yang sama bagi generasi yang akan datang untuk
memperoleh manfaat yang sama atau proporsional dari sumber
ekonomi yang ada. Oleh karena itu, sumber daya ekonomi yang
ada harus dimanfaatkan secara arif dan kerusakannya harus
dipulihkan sedemikian rupa agar menjamin bahwa generasi
yang akan datang mempunyai peluang yang sama untuk
menikmati tingkat kehidupan yang relatif sama dengan generasi
sekarang.
4. Kerugian akibat proses pembangunan yang dialami oleh
kelompok masyarakat tertentu harus bisa ditebus atau
dikompensasi secara seimbang atau proporsional baik oleh
negara maupun oleh kelompok yang menimbulkan kerugian
tersebut.
3) Prinsip Keberlanjutan
Prinsip keberlanjutan pada dasarnya menjamin bahwa:
a) Terdapat rancangan agenda pembangunan dalam dimensi
visione jangka penjang untuk melihat dampak pembangunan,
baik positif maupun negatif dalam segala aspeknya, tidak
hanya dalam dimensi jangka pendek.
52
b) Memilih alternatif pembangunan yang lebih hemat sumber
daya dan mampu mensinkronkan aspek konservasi dengan
aspek kemanfaatan secara arif.
c) Menggunakan pola-pola pembangunan dan konsumsi yang
hemat energi, hemat bahan baku, dan hemat sumber daya alam.
d) Menerapkan prinsip produksi bersih dengan melakukan seleksi
yang ketat terhadap proses produksi, teknologi, bahan baku,
manajemen minimalisasi limbah dalam setiap kegiatan
pembangunan dan kegiatan kegiatan produksi ekonomi.
53
B. Kerangka Berfikir
Keterangan:
Manusia dalam kehidupannya akan selalu berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan tersebut, manusia
Gambar 2. Kerangka Berfikir
Pembangunan
Pencemaran dan Perusakan lingkungan
Pelanggaran terhadap hak setiap orang atas lingkungan hdiup yang baik dan sehat
Sengketa Lingkungan
Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
Pembangunan Berkelanjutan yang
Berwawasan Lingkungan
Manusia
Upaya Peningkatan Kesejahteraan
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 - Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 - Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
Lingkungan Hidup
Kelemahan - Pasal 6 ayat (7) dan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor
30 tahun 1999 - Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 - Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan
pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 - Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009,
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
- Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
Solusi
54
melaksanakan kegiatan pembangungan. Kegiatan pembangunan dapat
memberikan dampak positif terhadap manusia berupa tercapainya kesejahteraan,
tetapi jika tidak dilaksanakan secara bijaksana, kegiatan pembangunan justru akan
merugikan manusia. Salah satu bentuk dampak negatif dari pelaksanaan
pembangunan yang merugikan manusia adalah terjadinya pencemaran dan
perusakan lingkungan yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak setiap
warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Terhadap pelanggaran
hak tersebut, masyarakat berhak untuk mengajukan tuntutan sehingga melahirkan
sengketa lingkungan. Dalam sengketa lingkungan, tuntutan korban pencemaran
dan/atau perusakan tidak hanya berupa pemberian ganti kerugian, tetapi juga
tuntutan untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Jika dikaitkan dengan
pembangunan, tuntutan masyarakat tersebut turut menguntungkan kegiatan
pembangunan karena dengan perbaikan kondisi lingkungan, pembangunan dapat
dilaksanakan secara berkelanjutan.
Minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan mendorong
masyarakat untuk lebih memilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia di atur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Akan tetapi, dalam ketiga
peraturan perundang-undangan tersebut masih ditemukan beberapa kelemahan.
Oleh karena itu, perlu dicari solusi agar penyelesaian sengketa lingkungan hidup
di luar pengadilan di Indonesia dapat menjadi langkah strategis guna mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia ditengah
minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
55
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan di
Indonesia
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di
Indonesia tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga
Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di
Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundangan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut.
1. Penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
merupakan pilihan para pihak yang bersifat sukarela. Hal ini secara
implisit tertuang dalam ketentuan Pasal 84 ayat (1) yang mengatur bahwa:
“Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan”. Kebebasan tersebut diberikan untuk
memberikan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan para pihak yang
bersengketa (penjelasan Pasal 84 ayat (1)).
Kebebasan para pihak untuk memilih penyelesaian sengketanya di
luar lembaga peradilan bukan merupakan kebebasan mutlak. Terdapat
beberapa pembatasan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32
56
Tahun 2009. Pertama penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan tidak dapat diterapkan terhadap tindak pidana lingkungan
hidup (Pasal 85 ayat (2)). Jadi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
luar pengadilan hanya berlaku untuk sengketa dalam ranah perdata.
Meskipun demikian, pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup
di luar pengadilan tidak secara otomatis menutup penuntutan perkara
secara pidana. Penuntutan terhadap perkara pidana pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan tetap dapat dilakukan meskipun para pihak telah
menempuh upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan.
Kedua, dalam hal para pihak telah memilih upaya penyelesaian
sengketa lingkungan diluar pengadilan, para pihak tidak dapat secara serta
merta mengajukan penyelesaian sengketanya melalui lembaga peradilan.
Pembatasan ini tertuang dalam ketentuan Pasal 84 ayat (3) yang mengatur
bahwa: “gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa”. Artinya,
pengajuan kembali suatu sengketa lingkungan ke pengadilan mensyaratkan
adanya pernyataan tidak berhasil yang d iberikan oleh salah satu atau para
pihak yang bersengketa. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup
yang sama untuk menjamin kepastian hukum (Penjelasan Pasal 84 ayat
(3)). Berdasarkan penjelasan tersebut, pembatasan yang tertuang dalam
Pasal 84 ayat (1) tersebut memiliki dua tujuan, yakni tujuan antara dan
tujuan akhir. Mencegah lahirnya putusan yang berbeda mengenai satu
sengketa yang sama merupakan tujuan antara pembatasan tersebut untuk
mencapai tujuan akhir, yakni jaminan kepastian hukum.
Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai (Pasal 85 ayat (1)): a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
57
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Bertumpu pada ketentuan tersebut, penyelesaian sengketa
lingkungan di luar pengadilan tidak hanya memiliki tujuan finansial, tetapi
juga tujuan nonfinansial.
Tujuan finansial terletak dalam ganti kerugian yang menekankan pada aspek monetery settlement. Tujuan nonfinansial berwujud tindakan tertentu yang sifatnya non monetary settlement terdiri atas tindakan memasang atau memperbaiki Unit Pengelolaan Limbah (UPL) sehingga limbah sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan (BML) yang ditentukan, memulihkan fungsi lingkungan, dan menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran-perusakan lingkungan (Suparto Wijoyo, 1999: 116).
Upaya pencapaian kesepakatan sebagaimana diamanatkan dalam
ketentuan Pasal 85 ayat (1) tersebut dapat dilakukan oleh para pihak
dengan negosiasi atau melibatkan pihak ketiga, baik itu mediator, arbiter,
atau pihak ketiga lainnya. Kebebasan para pihak untuk menentukan
mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan tersebut
diatur dalam Pasal 85 ayat (3) yang mengamanatkan bahwa: “Dalam
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat
digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan
sengketa lingkungan hidup”.
58
Penggunaan istilah ”dapat” dalam ketentuan tersebut memberikan
implikasi terbukanya kesempatan bagi para pihak dalam suatu sengketa
untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup yang timbul diantaranya
melalui mekanisme selain mediasi atau arbitrase sesuai kesepakatan para
pihak. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
berdasarkan ketentuan Pasal 85 ayat (3) tersebut secara skematis dapat
digambarkan sebagai berikut.
2. Penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan berdasarkan
Ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memang
tidak secara khusus mengatur mengenai penyelesaian sengketa lingkungan
di luar pengadilan. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 berkedudukan sebagai dasar pijakan penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di luar pengadilan karena Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 secara umum mengatur mekanisme penyelesaian sengketa di
luar pengadilan.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
mengatur 2 (dua) bentuk mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
(Pasal 85 ayat (1))
Arbitrase
Mediasi
Mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan lainnya sesuai
kesepakatan para pihak
Gambar 3. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
59
Penyelesaian sengketa dengan arbitrase dapat dilaksanakan dengan arbiter
tunggal atau majelis arbiter, sedangkan penyelesaian sengketa dengan
alternatif penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut secara
skematis dapat digambarkan sebagai berikut.
Dari skema tersebut, penyelesaian sengketa lingkungan dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan arbitrase
Ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 memberikan definisi arbitrase
sebagai: “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Dari definisi tersebut,
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
Penyelesaian sengketa
lingkungan di luar pengadilan
Arbitrase (Pasal 1 angka 1)
Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Pasal 1 angka 10)
Arbiter Tunggal (Pasal 14)
Mediasi
Majelis Arbiter (Pasal 15)
Konsiliasi
Penilaian Ahli
Konsultasi
Negosiasi
60
ditempatkan sebagai syarat dilaksanakannya penyelesaian sengketa
dengan arbitrase. Oleh karena itu, kedudukan perjanjian arbitrase
dalam suatu sengketa memiliki posisi yang penting. Terutama jika
dikaitkan dengan hak para pihak untuk mengajukan kembali
penyelesaian sengketanya melalui Pengadilan.
Ketentuan Pasal 3 menegaskan bahwa: ”Pengadilan Negeri
tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah
terikat dalam perjanjian arbitrase”. Ketentuan tersebut dipertegas
kembali dalam rumusan Pasal 11 ayat (1) yang mengatur bahwa:
”Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak
untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang
termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri”. Artinya, dengan
adanya suatu perjanjian arbitrase, secara otomatis menghapuskan hak
para pihak untuk mengajukan kembali penyelesaian sengketanya ke
muka pengadilan.
Dalam kasus sengketa lingkungan, sengketa terjadi karena
adanya kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak terhadap
lingkungan. Artinya, dalam kasus sengketa lingkungan perjanjian
arbitrase tidak mungkin dibuat sebelum timbulnya sengketa.
Memperjanjikan pencemaran dan perusakan lingkungan (dampak
lingkungan) sebagai sumber sengketa lingkungan adalah hal yang tidak
logis (Sudarsono, 2007: 345).
Terhadap kondisi demikian, ketentuan Pasal 1 angka 3
memberikan kemungkinan bagi para pihak dalam suatu sengketa
lingkungan untuk mengajukan penyelesaian sengketanya melalui
arbitrase dengan mengatur bahwa perjanjian tertulis adalah: “suatu
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang di buat para pihak sebelum timbul sengketa
atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
61
timbul sengketa”. Dari ketentuan tersebut, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 mengakui dua bentuk perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian
arbitrase yang dibuat sebelum timbunya sengketa (kontraktual) dan
perjanjian arbitrase yang dibuat pasca timbulnya sengketa
(nonkontraktual).
Para pihak dalam suatu sengketa lingkungan tetap memiliki
kesempatan untuk memilih arbitrase sebagai sarana penyelesaian
sengketanya dengan membuat perjanjian arbitrase pasca lahirnya
sengketa lingkungan (nonkontraktual). Perjanjian tersebut harus dibuat
secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak. Dalam hal para
pihak tidak dapat menandatanganinya, maka perjanjian tersebut harus
dibuat dalam bentuk akta notaris. Perjanjian penyelesaian sengketa
diluar pengadilan harus memuat hal-hal sebagai berikut agar tidak
dinyatakan batal demi hukum (Pasal 9):
a. masalah yang dipersengketakan b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak c. nama lengkap dan tempat tinggal para arbiter atau majelis
arbiter d. tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil
keputusan e. nama lengkap sekretaris f. jangka waktu penyelesaian sengketa g. pernyataan kesediaan dari arbiter h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Pasca dibuatnya perjanjian nonkontraktual tersebut,
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan arbitrase
dapat segera dilaksanakan. Para pihak dapat memilih untuk
menyelesaikan sengketanya dengan bantuan arbiter tunggal atau
majelis arbiter.
62
1) Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan
arbiter tunggal
Penyelesaian sengketa dengan arbiter tunggal diatur dalam
Pasal 14. Berdasarkan ketentuan tersebut, penyelesaian sengketa
dengan arbiter tunggal dilakukan oleh arbiter yang disepakati oleh
para pihak. Kesepakatan mengenai penunjukkan arbiter tunggal
tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari. Jika tidak, atas permohonan dari salah satu
pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter tunggal
dengan berdasar pada daftar nama yang disampaikan oleh para
pihak atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase
dengan memperhatikan rekomendasi maupun keberatan yang
diajukan oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan.
2) Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan
mejelis arbiter
Penyelesaian sengketa dengan majelis arbiter diatur dalam
ketentuan Pasal 15. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut,
pembentukan majelis arbiter dilakukan dengan memberikan
kesempatan kepada masing-masing pihak untuk memilih satu
orang arbiter. Dengan dipilihnya dua orang arbiter oleh masing-
masing pihak, maka para arbiter memiliki wewenang untuk
memilih dan menunjuk arbiter ketiga yang akan berkedudukan
sebagai ketua majelis arbiter. Akan tetapi jika para arbiter yang
telah ditunjuk oleh para pihak dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas hari) tidak berhasil berhasil menunjuk arbiter ketiga,
maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan Negeri
dapat mengangkat arbiter ketiga. Terhadap pengangkatan arbiter
oleh Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak dapat diajukan upaya
pembatalan.
63
Para pihak dalam suatu sengketa lingkungan memiliki
kebebasan untuk menunjuk dan mengangkat arbiter yang akan
berkedudukan sebagai arbiter tunggal maupun mejelis arbiter tersebut.
Akan tetapi, kebebasan tersebut bukan kebebasan mutlak. Ketentuan
Pasal 12 ayat (1) memberikan pembatasan bahwa pihak-pihak yang
dapat ditunjuk dan diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat
sebagai berikut.
a. cakap melakukan tindakan hukum b. berumur paling rendah 35 tahun c. tidak mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun.
Sebagaimana kebebasan yang dimiliki oleh para pihak untuk menunjuk
dan mengangkat arbiter, pihak-pihak yang dipilih sebagai arbiter turut
memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak penunjukkan
tersebut. Penerimaan atau penolakan tersebut wajib diberitahukan
secara tertulis kepada para pihak dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukkan atau
pengangkatan. Arbiter yang telah menerima penunjukkan atau
pengangkatan tersebut tidak dapat begitu saja menarik diri dari
perundingan. Harus terdapat persetujuan para pihak setelah arbiter
yang bersangkutan mengajukan permohonan secara tertulis kepada
para pihak. Jika para pihak menerima pengunduran diri tersebut, maka
pembebasan tugas arbiter akan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan
Negeri.
Mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase dimulai
dengan penyampaian surat tuntutan dari pemohon kepada arbiter atau
majelis arbiter dalam jangka waktu yang telah ditetapkan oleh arbiter
atau majelis arbiter.
64
Dalam surat tuntutan tersebut harus memuat sekurang-
kurangnya (Pasal 38 ayat (2)):
a) nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para
pihak;
b) uraian singkat tentang sengketa dis ertai dengan lampiran bukti-
bukti; dan
c) isi tuntutan yang jelas.
Dengan diterimanya surat tuntutan dari pemohon tersebut
berdasarkan ketentuan Pasal 39, arbiter atau majelis arbiter
menyampaikan satu salinan surat tersebut kepada termohon dengan
disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan
jawaban tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya salinan tuntutan. Dalam jawabannya tersebut,
termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan
balasan tersebut pemohon diberi kesempatan pula untuk menanggapi.
Pasca diterimanya jawaban dari termohon, arbiter atau ketua
majelis arbiter menyerahkan salinan jawaban tersebut kepada
pemohon. Penyerahan salinan tersebut disertai pula dengan perintah
agar para pihak atau kuasa mereka menghadap ke muka sidang
arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 hari sejak dikeluarkannya
perintah tersebut. Perintah untuk menghadap tersebut harus dilakukan
secara patut. Terhadap perintah mengahadap tersebut, ketidakhadiran
pemohon dan termohon memiliki implikasi yang berbeda.
Ketidakadiran pemohon pada hari yang telah ditetapkan tanpa
adanya suatu alasan yang sah membawa akibat gugurnya tuntutan.
Tetapi apabila termohon yang tidak hadir dan tidak terdapat alasan
yang sah, maka arbiter atau majelis arbiter akan melakukan panggilan
sekali lagi. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (2), dalam waktu
65
paling lama 10 (sepuluh) hari sejak pemanggilan kedua diterima
termohon dan tanpa alasan yang sah termohon juga tidak hadir, maka
pemeriksaan akan dilanjutkan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan
pemohon dikabulkan untuk seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak
beralasan atau tidak berlandaskan hukum.
Kehadiran para pihak ke muka persidangan pada hari yang
telah ditetapkan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1)
dilakukan untuk mengusahakan perdamaian. Jika perdamaian tersebut
berhasil, maka arbiter atau majelis arbiter membuat suatu akta
perdamaian yang bersifat final dan mengikat bagi para pihak. Akan
tetapi jika upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, pemeriksaan
terhadap pokok perkara akan dilanjutkan.
Dengan dilanjutkannya pemeriksaan terhadap pokok perkara
tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) para pihak diberi
kesempatan terakhir untuk menjelaskan secara tertulis pendirian
masing-masing pihak serta mengajukan bukti yang dianggap perlu
untuk menguatkan pendirian dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh
arbiter atau majelis arbiter. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 49
ayat (1), arbiter atau mejelis arbiter dapat menghadirkan seorang atau
lebih saksi atau saksi ahli untuk didengar keterangannya.
Penyelesaian sengketa dengan arbitrase berdasarkan ketentuan
Pasal 48 ayat (1) harus dilakukan dalam waktu paling lama 180
(seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk.
Akan tetapi apabila diperlukan, dengan persetujuan para pihak jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang. Berdasarkan ketentuan Pasal 33,
arbiter atau majelis arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka
waktu tugasnya apabila:
a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai satu hal tertentu
66
b. sebagai akibat ditetapkannya putusan provisionil atau putusan sela lainnya
c. dianggap perlu oleh arbiter atau mejelis arbiter untuk keperluan pemeriksaan
Upaya penyelesaian sengketa dengan arbitrase tersebut
dilakukan untuk menghasilkan putusan arbitrase. Berdasarkan
ketentuan Pasal 57, putusan tersebut harus dijatuhkan dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pemeriksaan ditutup.
Putusan arbiter tersebut harus memuat (Pasal 54 ayat (1)):
a. kepala putusan yang berbunyi: ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
b. nama lengkap dan alamat para pihak c. uraian singkat sengketa d. pendirian para pihak e. nama lengkap dan alamat arbiter f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbiter
mengenai keseluruhan sengketa g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan
pendapat mengenai keseluruhan sengketa h. pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan
pendapat dalam majelis arbiter i. amar putusan j. tempat dan tanggal putusan k. tandatangan arbiter atau majelis arbiter
Lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase tersebut
berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1), dalam jangka waktu
maksimal 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembacaan
putusan harus sudah diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri
agar dapat dilaksanakan. Ketentuan Pasal 60 menegaskan bahwa
putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan
mengikat para pihak. Oleh karena itu, terhadap putusan arbitrase tidak
dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Meskipun demikian, pasca dilakukannya pendaftaran putusan arbiter
atau majelis arbiter ke Panitera Pengadilan Negeri, para pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan. Upaya pembatalan putusan
arbitrase bukan merupakan upaya hukum biasa, tetapi merupakan
67
upaya hukum yang luar biasa (Munir Fuady, 2003: 106). Putusan
arbitrase tidak dapat diajukan banding hanya karena ketidakpuasan
salah satu pihak semata, tetapi karena alasan-alasan sebagai berikut.
(Pasal 70).
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan tersebut harus diajukan secara tertulis
kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal hari penyerahan dan pendaftaran putusan
arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketentuan
Pasal 72 ayat (3), terhadap permohonan pembatalan tersebut Ketua
Pengadilan Negeri harus sudah menjatuhkan putusan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima.
Konsekuensi hukum terhadap putusan arbitrase yang telah dibatalkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dapat berupa (Munir Fuady, 2003: 111): a) Batalnya seluruh atau sebagian isi putusan tersebut. Hal ini
harus ditentukan secara tegas dalam pembatalan oleh ketua pengadilan negeri.
b) Ketua pengadilan negeri dapat memutus bahwa perkara tersebut diperiksa kembali oleh: (1) arbiter yang sama; atau (2) arbiter yang berbeda; atau (3) tidak mungkin lagi diselesaikan melaui arbitrase.
Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, para pihak
dapat mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang
memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung dalam
hal ini harus sudah menjatuhkan putusan dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan banding tersebut diterima.
68
b. Penyelesaian Sengketa Lingkungan dengan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Ketentuan Pasal 1 angka 10 mengatur bahwa alternatif
penyelesaian sengketa adalah: “lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. Berdasarkan ketentuan
Pasal 6, penyelesaian sengketa lingkungan dengan alternatif
penyelesaian sengketa dimulai dengan proses negosiasi antara para
pihak dalam jangka waktu maksimal 14 hari. Jika negosiasi tersebut
berhasil, maka para pihak merumuskan kesepakatan yang telah dibuat
dalam suatu kesepakatan tertulis untuk kemudian didaftarkan ke
Pengadilan Negeri. Akan tetapi jika negosiasi yang dilaksanakan oleh
para pihak tidak menghasilkan suatu kesepakatan, maka penyelesaian
sengkata dapat dilakukan dengan bantuan penasehat ahli maupun
mediator.
Mediator atau penasehat ahli yang ditunjuk oleh para pihak
dalam jangka waktu maksimal 14 hari harus sudah berhasil
mempertemukan kedua belah pihak dalam suatu kesepakatan. Jika
kesepakatan tersebut belum tercapai maka para pihak dapat
menghubungi sebuah lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk
menunjuk mediator yang akan memfasilitasi penyelesaian sengketa
para pihak. Dalam jangka waktu maksimal 7 hari lembaga alternatif
penyelesaian sengketa harus sudah menunjuk mediator dan dalam
jangka waktu maksimal 30 hari harus sudah tercapai kesepakatan yang
dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis.
Sama halnya dengan putusan arbitrase, kesepakatan tertulis
yang dibuat oleh para pihak tersebut bersifat final dan mengikat para
pihak serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka
69
waktu maksimal 30 hari sejak pendaftaran. Sejak tanggal pendaftaran
tersebut, para pihak wajib melaksanakan kesepakatan tertulis tersebut
dalam jangka waktu paling lama 30 hari. Dengan demikian, dalam hal
penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan dengan alternatif
penyelesaian sengketa telah melahirkan suatu kesepakatan tertulis yang
dibuat para pihak, maka hak para pihak untuk mengajukan kembali
perkaranya ke Pengadilan Negeri menjadi gugur. Demikian pula
dengan upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
Upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh para
pihak dengan negosiasi, konsultasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian
ahli tersebut pada hakekatnya merujuk pada satu tujuan yang sama,
yaitu tercapainya kesepakatan antara para pihak untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi. Oleh karena itu, jika upaya penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh para pihak tidak berhasil merumuskan
suatu kesepakatan, maka para pihak dapat memilih untuk
menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad
hoc.
70
Penyelesaian sengketa lingkungan dengan alternatif
penyelesaian sengketa berdasarkan ketentuan Pasal 6 secara skematis
dapat digambarkan sebagai berikut.
Ketentuan dalam Pasal 6 tersebut mengatur penyelesaian
sengketa dengan negosiasi, konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli kedalam satu rangkaian. Akan tetapi, mekanisme
penyelesaian sengketa tersebut tidak harus dilaksanakan secara runut
sebagaimana dituangkan dalam Pasal 6 tersebut. Misalnya, para pihak
tanpa terlebih dahulu melakukan mediasi dengan bantuan seorang atau
lebih mediator yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dapat langsung
mengajukan penyelesaian sengketanya melalui lembaga alternatif
penyelesaian sengketa atau arbitrase.
Gambar 5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa
7 hari
14 hari
Sengketa Lingkungan
Negosiasi
bantuan penasehat ahli maupun madiator
Menghubungi lembaga alternatif penyelesaian
sengketa
arbitrase atau arbitrase ad hoc
14 hari
Menunjuk mediator bantuan
30 hari
Pengadilan Negeri
Kesepakatan Tertulis
Mediasi
Putusan Arbitrase
30 hari
30 hari
71
3. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia
Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan.
Peraturan Pemerintah berfungsi menyelenggarakan pengaturan
lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang secara tegas
menyebutnya atau menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan
lain dalam undang-undang yang mengatur meskipun tidak secara tegas
mengaturnya (Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007 : 249). Demikian pula
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 merupakan peraturan pelaksana dari
ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang
mengamanatkan bahwa:
(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di atur dengan peraturan pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 diundangkan dan
mulai berlaku secara efektif pada tanggal 17 Juli 2000. Pada awal
pembentukannya, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 merupakan
peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasca dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku. Meskipun demikian, Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2000 masih dinyatakan berlaku sebagai peraturan
pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 karena amanat
dalam Pasal 124 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur
bahwa:
72
”Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum di ganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini”.
Tidak berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 84 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang secara implisit mengakui bahwa
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan merupakan pilihan
para pihak yang bersifat sukarela, ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2000 juga mengatur bahwa: “penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan
bersifat sukarela”. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, dalam hal para pihak telah memilih
untuk menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan, maka gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
menarik diri dari perundingan. Ketentuan tersebut agak berbeda dengan
ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang
mengatur bahwa gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan yang
ditempuh para pihak dinyatakan tidak berhasil. Mundurnya salah satu atau
para pihak dalam penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
berdasarkan ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tidak diakui sebagai penyebab lahirnya hak para pihak untuk
mengajukan gugatan melalui pengadilan.
Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan
ketentuan dalam Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 dilaksanakan dengan
bantuan pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan mengambil
keputusan (arbiter) maupun yang tidak memiliki kewenangan mengambil
keputusan (mediator atau pihak ketiga lainnya). Secara skematis pilihan
73
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut.
Terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan melalui
arbitrase, Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 menyatakan diri tunduk pada
ketentuan arbitrase, yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini
secara eksplisit tertuang dalam ketentuan Pasal 19 yang mengatur bahwa:
“tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbitrase
tunduk pada ketentuan arbitrase”. Demikian halnya dengan pihak yang
dapat ditunjuk sebagai arbiter, ketentuan Pasal 14 mengamanatkan bahwa:
“anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai arbiter oleh
para pihak tunduk pada ketentuan arbitrase”. Oleh karena itu, dalam
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tidak ditemukan pengaturan mengenai
arbitrase sebagai pilihan penyelesaian sengketa lingkungan di luar
pengadilan.
Penyelesaian sengketa dengan mediasi atau pihak ketiga lainnya
dilakukan dengan bantuan seorang atau lebih mediator atau pihak ketiga
lainnya yang ditunjuk dan diterima para pihak yang bersengketa dalam
rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan. Penyelesaian sengketa lingkungan
melalui mediasi atau pihak ketiga lainnya bermuara pada lahirnya
Penyelesaian sengketa
lingkungan di luar pengadilan
Arbitrase (Pasal 14 dan Pasal 19)
Mediasi atau Pihak Ketiga lainnya
(Pasal 15 dan Pasal 20)
Gambar 6. Pilihan Penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
74
kesepakatan tertulis di atas kertas bermaterai. Kesepakatan tersebut wajib
didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak
atau para pihak kepada Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 hari sejak ditandatanganinya kesepakatan oleh para pihak.
Kesepakatan tersebut antara lain memuat mengenai (Pasal 24 ayat (1)):
a. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; b. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga
lainnya; c. uraian singkat sengketa; d. pendirian para pihak; e. pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga
lainnya; f. isi kesepakatan; g. batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan; h. tempat pelaksanaan isi kesepakatan; i. pihak yang melaksanakan isi kesepakatan.
Terkait dengan isi, kesepakatan tersebut dapat berisi antara lain (Pasal 24
ayat (2)):
a. bentuk dan besarnya ganti rugi; dan/atau
b. melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau
terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan.
Tindakan tertentu tersebut antara lain melakukan penyelamatan dan/atau
tindakan penanggulangan dan/atau pemulihan lingkungan hidup. Tidakan
pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah timbulnya kejadian yang
sama di kemudian hari (Penjelasan Pasal 24 ayat (2) huruf b).
Dalam upaya pencapaian kesepakatan tersebut para pihak memiliki
kebebasan untuk menunjuk mediator atau pihak ketiga lainnya dari
lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan di luar
pengadilan (selanjutnya disebut lembaga penyedia jasa) yang akan
membantu menyelesaikan sengketanya. Akan tetapi, kebebasan yang
diberikan kepada para pihak tersebut bukanlah kebebasan mutlak.
Ketentuan dalam Pasal 15 memberikan pembatasan bagi pihak-pihak yang
dapat ditunjuk sebagai mediator atau pihak ketiga lainnya.
75
”anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai mediator atau pihak ketiga lainnya oleh para pihak harus memenuhi syarat sebagai berikut. a. disetujui oleh para pihak yang bersengketa; b. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
c. tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang besengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak;
e. tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya”.
Pembatasan tersebut multak diperlukan untuk menjamin mediator
atau pihak ketiga lainnya bersikap netral dan tidak memihak. Tidak
dipenuhinya syarat-syarat penunjukan serta adanya keberpihakan mediator
atau pihak ketiga netral memberikan implikasi batal atau tidak sahnya
penunjukan tersebut. Akibatnya, mediator atau pihak ketiga lainnya wajib
mengundurkan diri atau para pihak atau salah satu pihak berhak
menghentikan penugasannya (Pasal 22 ayat (2)).
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di
Indonesia ditinjau dari ketiga peraturan perundangan tersebut pada intinya
mengatur bahwa:
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan
pilihan para pihak yang bersifat sukarela.
2. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan hanya berlaku
terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata.
3. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan ditempuh
berdasarkan kesepakatan para pihak dengan arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa (konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsultasi, penilaian
ahli).
76
B. Kelemahan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan di Indonesia dan Solusinya
Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Indonesia jika
ditinjau dari pengaturannya masih memiliki beberapa kelemahan. Bentuk-
bentuk kelemahan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.
1. Pelaksanaan kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase sebagai output dari
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sangat digantungkan
pada itikad baik para pihak
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kelemahan penyelesaian
sengeketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Pelaksanaan putusan
arbitrase atau kesepakatan bersama sebagai output dari penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sangat digantungkan pada itikad baik para
pihak (Abd. Rahmad, 2010). Pendaftaran putusan arbitrase atau
kesepakatan bersama kepada Pengadilan Negeri yang diwajibkan dalam
ketentuan Pasal 6 ayat (7) dan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 serta Pasal 24 ayat (5) Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
hanya bertujuan untuk mendapatkan akta pendaftaran. Tidak sekaligus
memberikan kewenangan kepada Pengadilan Negeri untuk melaksanakan
eksekusi.
Permasalahan timbul bilamana output penyelesaian sengketa di
luar pengadilan tersebut berwujud kesepakatan tertulis. Ketentuan Pasal 6
ayat (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 hanya mengatur bahwa:
”kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran”. Ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
maupun Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 belum memberikan
77
pengaturan bilamana salah satu pihak tidak memiliki itikad baik untuk
melaksanakan kesepakatan tertulis yang telah dibuat oleh para pihak.
Berbeda dengan kesepakatan tertulis, terhadap putusan arbitrase
bilamana salah satu pihak tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan
putusan tersebut maka berdasarkan permohonan salah satu pihak Ketua
Pengadilan Negeri dapat memaksakan pelaksanaan (eksekusi). Meskipun
demikian, pengajuan permohonan tersebut dapat menimbulkan
permasalahan baru karena secara otomatis akan berpengaruh terhadap
jangka waktu eksekusi yang semakin mundur. Terlebih ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009, maupun Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tidak diatur
mengenai jangka waktu maksimal bagi para pihak untuk pelaksanaan
putusan arbitrase.
Permasalahan ini dapat diatasi dengan pemberian perintah
pelaksanaan eksekusi dari Pengadilan Negeri bersamaan dengan
pendaftaran kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase ke Pengadilan
Negeri. Jadi bilamana salah satu pihak tidak memiliki itikad baik untuk
melaksanakan kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase dalam suatu
jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan, Pengadilan Negeri dapat
secara langsung melakukan paksaan tanpa harus adanya prosedur
pengajuan permohonan eksekusi oleh salah satu pihak yang akan kembali
memakan waktu. Ketentuan tersebut tentu akan lebih selaras pula dengan
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan
arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin
atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
2. Tidak terdapat batasan yang jelas mengenai kesusilaan dan ketertiban
umum sebagai salah satu hal yang harus dinilai oleh Ketua Pengadilan
78
Negeri untuk mengabulkan atau menolak permohonan eksekusi putusan
arbitrase yang diatur dalam Ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999.
Ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada
intinya mengatur bahwa dalam hal terdapat permohonan eksekusi, Ketua
Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan putusan
arbitrase harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah putusan
arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum. Artinya, terdapat dua kemungkinan dalam pengajuan permohonan
eksekusi. Pertama, jika Ketua Pengadilan Negeri menilai bahwa putusan
arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum maka Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan eksekusi
tersebut dan pelaksanaannya dapat segera dilakukan sesuai dengan
eksekusi putusan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kedua, jika Ketua Pengadilan Negeri menyatakan putusan arbitrase
tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 serta dianggap
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka Ketua
Pengadilan Negeri akan menolak permohonan eksekusi tersebut. Terhadap
putusan Ketua Pengadilan Negeri, baik yang menerima maupun menolak
permohonan eksekusi, tidak terbuka upaya hukum apapun.
Permasalahan timbul karena kewenangan Ketua Pengadilan Negeri
untuk memberikan perintah eksekusi yang didasarkan pada penilaian
terhadap kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal
62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak diikuti dengan parameter
atau pengaturan yang jelas dalam hal bagaimana kesusilaan dan ketertiban
umum tersebut dilanggar. Tidak terdapat batasan, pengertian, atau
penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan ketertiban umum dan
kesusilaan dalam undang-undang tersebut.
79
Terkait dengan besarnya pengaruh penafsiran ketertiban umum dan
kesusilaan terhadap diterima atau tidaknya permohonan eksekusi putusan
arbitrase, maka untuk lebih menjamin kepastian hukum perlu adanya
pembatasan yang jelas terkait dengan hal ini dalam peraturan perundangan
tersebut. Tidak adanya pembatasan ketertiban umum dan kesusilaan
merupakan celah besar yang menjadi kelemahan dan dengan mudah dapat
disalahgunakan oleh para pihak yang tidak memiliki itikad baik untuk
mengingkari putusan arbitrase (Nurfaqih Irfani, 2010: 13).
3. Syarat-syarat pengangkatan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya
yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 dan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
masih kurang jelas ratio legis-nya.
Pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan
putusan atau tidak dalam suatu sengketa memiliki peran yang besar dalam
tercapainya kesepakatan yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.
Terlebih dalam arbitrase dimana pihak ketiga mempunyai kewenangan
untuk menjatuhkan putusan yang bersifat final, berkekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999). Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan
ketentuan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tidak
hanya bertujuan untuk mengasilkan kesepakatan atau putusan yang
mengakomodir kepentingan para pihak tetapi juga kepentingan
lingkungan.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya
pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif
terhadap lingkungan.
80
Dengan demikian, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
dapat mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan di Indonesia. Tindakan perbaikan terhadap
lingkungan disertai dengan tindakan pencegahan agar pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan serta dampak negatif terhadap lingkungan
tidak terjadi lagi, sehingga daya dukung lingkungan terhadap pelaksanaan
pembangunan dapat tetap terlestarikan. Pembangunan berkelanjutan dapat
diwujudkan. Agar penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal
85 ayat (1) tersebut, maka dibutuhkan pihak ketiga yang benar-benar
memiliki kompetensi dalam bidang lingkungan hidup. Penyelesaian
sengketa dengan pihak ketiga yang tidak memiliki kompetensi dalam
bidang lingkungan hidup hanya akan menghasilkan kesepakatan yang
menguntungkan para pihak yang bersengketa, tanpa memperhatikan
kepentingan lingkungan.
Terkait dengan hal tersebut, ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa:
Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat: a. cakap melakukan tindakan hukum; b. berumur paling rendah 35 tahun; c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai denganderajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atasputusan arbitrase; dan
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui lembaga
penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
akan dilaksanakan oleh anggota dari lembaga penyedia jasa tersebut.
Lembaga penyedia jasa tersebut dapat merupakan lembaga penyedia jasa
yang dibentuk oleh masyarakat atau pemerintah. Untuk lembaga penyedia
81
jasa yang dibentuk oleh masyarakat, ketentuan Pasal 12 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 mengatur bahwa:
Untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut. a. cakap melakukan tindakan hukum b. berumur paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun dan dan
paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya
c. memiliki pengalaman serta aktif dibidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya.
d. Memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan
Sedangkan untuk menjadi anggota dari lembaga penyedia jasa yang
dibentuk pemerintah, syarat-syarat untuk menjadi anggota lembaga
penyedia jasa yang dibentuk masyarakat tersebut berlaku seluruhnya dan
ditambah syarat tidak adanya keberatan dari masyarakat.
Permasalahannya adalah penentuan kriteria memiliki pengalaman
serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15
(lima belas) tahun untuk arbiter dan 5 (lima) tahun untuk mediator tidak
jelas dihitung darimana serta apakah hal itu berlangsung secara terus
menerus atau tidak (Slamet Hariyanto, 2010). Seharusnya kriteria
semacam itu diatur secara lebih rinci sehingga dapat lebih memberikan
jaminan kepastian hukum. Terlebih pihak ketiga memiliki peran besar
dalam upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan agar
kesepakatan atau putusan yang dibuat tidak hanya menguntungkan para
pihak yang bersengketa, tetapi juga mengakomodir kepentingan
lingkungan.
4. Terdapat celah hukum dalam ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2000 serta pertentangan antara ketentuan tersebut dengan ketentuan
Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
82
Ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 mengatur bahwa: ”gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang
bersengketa”. Ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2000 mengatur bahwa: ”dalam hal para pihak telah memilih upaya
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak
yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang bersengketa
menarik diri dari perundingan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat ditarik dua hal yang
mendasari lahirnya hak para pihak untuk mengajukan kembali
penyelesaian sengketanya kepada pengadilan, yaitu:
1. upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dinyatakan
tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang
bersengketa; atau
2. salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari
perundingan.
Terkait dengan hak para pihak tersebut, terdapat beberapa hal yang
dapat menjadi kelemahan dalam upaya penyelesaian sengketa lingkungan
di luar pengadilan. Terlebih apabila salah satu pihak dalam sengketa
memiliki itikad buruk, misalnya berniat mengulur waktu untuk
memulihkan kondisi lingkungan dan memberikan ganti rugi kepada
korban pencemaran dan/atau perusakan. Pertama, dalam ketentuan tersebut
tidak terdapat parameter yang jelas dalam hal bagaimana suatu upaya
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat dikatakan tidak
berhasil. Hal ini dapat menimbulkan masalah bilamana salah satu pihak
sudah mengetahui indikasi akan kalah (dalam penyelesaian sengketa
dengan arbitrase yang bersifat win-lose sollution).
83
Kedua, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2000 yang me-legal-kan pengajuan kembali sengketa lingkungan ke muka
persidangan karena salah satu pihak menarik diri dari perundingan tersebut
semakin memberikan celah atau mempermudah salah satu pihak yang
memiliki itikad buruk untuk mengajukan kembali penyelesaian
sengketanya melalui lembaga peradilan. Terlebih ketentuan dalam Pasal 3
Peraturan Pemerintah tersebut tidak mensyaratkan pernyataan
pengunduran diri tersebut harus dibuat secara tertulis.
Pernyataan tertulis tentang tidak berhasilnya penyelesaian sengketa
lingkungan di luar pengadilan sebagai syarat pengajuan kembali
penyelesaian sengketa ke muka persidangan menurut penulis lebih efektif
dipergunakan karena lebih menjamin kepastian hukum. Pernyataan tidak
berhasil yang dibuat secara tertulis tersebut harus dilampirkan dalam
gugatan pengadilan (N.H.T Siahaan, 2009: 315). Hal ini sebagai upaya
untuk mencegah lahirnya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa
lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum.
Ketiga, ketentuan tersebut jika ditinjau dari ketentuan Pasal 3 dan
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 terdapat pertentangan.
Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menegaskan
bahwa: ”Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa
para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Ketentuan
tersebut dipertegas kembali dengan ketentuan Pasal 11 yang mengatur
bahwa:
(1) Adanya suatu perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
84
Hal-hal tertentu yang diamanatkan dalam Pasal 11 ayat (2) tersebut antara
lain berupa kewenangan pengadilan untuk menentukan arbiter yang akan
membantu menyelesaikan sengketa lingkungan di luar pengadilan dalam
hal tidak terdapat kesepakatan para pihak dalam penunjukkan arbiter
tunggal atau para arbiter dalam penunjukkan ketua majelis arbiter. Selain
itu pengadilan negeri memiliki kewenangan untuk ikut campur tangan
terkait dengan eksekusi putusan arbitrase.
Artinya, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
mengatur bahwa kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa
lingkungan di luar pengadilan yang dituangkan dalam suatu perjanjian
arbitrase telah menggugurkan hak para pihak untuk mengajukan kembali
sengketanya kepada lembaga peradilan. Jika para pihak telah memilih
untuk melakukan penyelesaian sengketa melalui proses di luar pengadilan,
maka para pihak tidak lagi dapat memilih penyelesaian melalui pengadilan
(Gunawan Widjaja, 2002: 31). Inkonsistensi dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2000 jelas terlihat karena melalui ketentuan dalam Pasal
14 dan Pasal 19, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 telah
menyatakan diri tunduk pada ketentuan tentang arbitrase (Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999).
Menurut Fuller sebagaimana dikutip oleh Satjipto Raharjo, tidak
boleh terdapat aturan yang saling bertentangan merupakan salah satu asas
yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan perundangan. Apabila tidak
dipenuhi maka gagalah hukum disebut sebagai hukum (Satjipto Raharjo,
2006: 136). Oleh karena itu, revisi terhadap peraturan perundangan yang
terkait dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan
melakukan penyesuaian antara peraturan perundangan yang satu dengan
peraturan perundangan yang menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan.
Tujuannya untuk meniadakan pertentangan antara peraturan perundangan
yang bermuara pada lemahnya kepastian hukum.
85
5. Ketentuan mengenai batal atau tidak sahnya penunjukan mediator atau
pihak ketiga lainnya dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2000 kurang jelas implikasi yuridisnya.
Keberpihakan mediator dalam proses penyelesaian sengketa dapat
mengakibatkan penunjukan mediator atau pihak ketiga tersebut tidak sah
atau batal. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 bahwa:
Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukkan mediator atau pihak ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah atau batal dengan alasan: a. mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukkan keberpihakan,
dan/atau b. mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan syarat-
syarat yang seharusnya dipenuhi. Ketentuan Pasal 22 ayat (2) mengatur bahwa: ”dalam hal mediator atau pihak ketiga lainnya memenuhi alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka: a. mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri,
atau b. para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan
penugasannya. Pengaturan tersebut berlaku bila para pihak menempuh
penyelesaian sengketa melalui mediasi atau pihak ketiga lainnya. Jika para
pihak menempuh penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
para pihak dapat mengajukan tuntutan hak ingkar. Hal yang perlu
ditegaskan dalam ketentuan tersebut adalah mengenai batal atau tidak
sahnya penunjukan mediator atau pihak ketiga, batal demi hukum atau
dapat dibatalkan (Gunawan Widjaja, 2002: 35). Hal ini penting karena
keduanya memiliki implikasi yuridis yang berbeda. Dapat dibatalkan
memiliki implikasi penyelesaian sengketa yang telah ditempuh para pihak
tetap dianggap terjadi jika para pihak tidak membatalkannya. Sedangkan
batal demi hukum memiliki implikasi penyelesaian sengketa yang telah
ditempuh dianggap tidak pernah ada.
86
C. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan dalam
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan
Lingkungan
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di
Indonesia memang masih memiliki beberapa kelemahan. Tetapi kelemahan
tersebut tidak menjadikan penyelesaian sengketa lingkungan di luar
pengadilan tidak mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagai bagian
inheren dari kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia turut berperan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan.
Prinsip keadilan dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan pada dasarnya menjamin bahwa (A. Sony Keraf, 2002: 178-179):
5. Semua orang dan kelompok masyarakat mempunyai peluang yang sama untuk ikut serta dalam pembangunan dan kegiatan-kegiatan produktif serta ikut dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.
6. Pihak yang mendapat manfaat ekonomi terbesar dari kegiatan pembangunan harus menanggung kerugian terbesar akibat proses pembangunan.
7. Dalam dibidang lingkungan hidup, pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup wajib membayar secara proporsional kerugian yang ditimbulkan.
8. Peluang yang sama bagi generasi yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sama atau proporsional dari sumber ekonomi yang ada.
9. Kerugian akibat proses pembangunan yang dialami oleh kelompok masyarakat tertentu harus bisa ditebus atau dikompensasi secara seimbang atau proporsional baik oleh negara maupun oleh kelompok yang menimbulkan kerugian tersebut.
Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat
dipergunakan sebagai sarana untuk mewujudkan prinsip-prinsip tersebut
secara lebih efektif. Kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase sebagai output
dari penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat dipergunakan
sebagai sarana bagi korban pencemaran atau perusakan untuk menekan pihak
87
yang mendapat manfaat ekonomi terbesar dari kegiatan pembangunan (dalam
hal ini pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan) untuk menanggung
kerugian terbesar akibat proses pembangunan, antara lain dengan memberikan
ganti kerugian secara proporsional kerugian yang ditimbulkan, melakukan
rehabilitasi terhadap lingkungan, mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan kembali, dan lain-lain. Tujuannya, agar generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang mendapatkan manfaat yang sama
dari sumber ekonomi yang ada sehingga pembangunan dapat berkelanjutan.
Hal ini selaras pula dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia
sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009.
Di Indonesia penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
dapat diselesaikan dengan arbitrase, konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi,
atau penilaian ahli. Meskipun demikian, penyelesaian sengketa lingkungan di
Indonesia sering diselesaikan dengan cara negosiasi atau mediasi (Bambang
Pramudyanto, 2008: 6). Beberapa contoh kasus sengketa lingkungan yang
diselesaikan dengan mediasi adalah:
1. Sengketa antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah
(selanjutnya disebut KKL) di Kabupaten Karanganyar.
Sengketa antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah
lahir karena adanya dugaan telah terjadinya suatu peristiwa pencemaran
dan/atau kerusakan yang diakibatkan oleh keberadaan PT Palur Raya.
Dugaan adanya pencemaran dan/atau perusakan tersebut dibuktikan
dengan (Waluyo, 2006: 47):
a. air sumur penduduk mengalami kekeringan hingga kedalaman 20 meter;
88
b. hasil panen pertanian merosot tajam baik dari segia kualitas maupun kuantitas terutama disebelah barat pabrik atau tempat pembuangan limbah padat;
c. tanah mengalami kerusakan akibat resapan limbah padat dan cair yang dibuang oleh PT Palur Raya;
d. Sungai mengalami pendangkalan akibat kandungan dalam limbah cair dan padat;
e. kualitas udara disekitar pabrik sangat buruk; f. bau (odor) akibat pembuangan limbah padat menimbulkan gangguan
kenyamanan pada masyarakat disekitar pabrik; g. seringnya terjadi kerusakan jalan umum yang membelah pabrik akibat
lalu lalang truk-truk yang mengangkut barang yang keluar masuk PT Palur Raya.
Terhadap sengketa tersebut, para pihak memilih untuk
menyelesaikan sengketanya melalui mediasi. Mediasi antara PT Palur
Raya dan KKL tersebut dimulai pada tanggal 10 Juli 2000 dan berakhir
pada tanggal 22 Juli 2000. Pelaksanaan mediasi tersebut memberikan hasil
berupa kesepakatan mediasi yang pada intinya berisi (Kesepakatan
Mediasi antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah):
a. PT Palur Raya wajib menghilangkan polusi udara berupa bau busuk
yang menyengat sebagai akibat limbah yang dihasilkan.
b. PT Palur Raya wajib menghentikan pencemaran dan perusakan
terhadap air baik terhadap air sungai, air tanah, air sumur, dan sawah
serta lahan-lahan pertanian yang berlokasi di dekat PT Palur Raya
dengan menaati ketentuan ambang batas baku mutu lingkungan hidup.
c. PT Palur Raya wajib menghilangkan pencemaran udara yang berupa
asap-asap dan gas beracun yang membahayakan kesehatan manusia
dan dan makhluk hidup lainnya sebagai akibat atau bersumber dari
limbah yang dihasilkan dengan menaati ketentuan ambang batas baku
mutu lingkungan hidup.
d. PT Palur Raya wajib melaksanakan rehabilitasi terhadap komponen
lingkungan hidup yang tercemar dan rusak sebagai akibat limbah yang
dihasilkan.
89
e. PT Palur Raya wajib memberikan ganti rugi baik materiil maupun
imateriil kepada korban yang secara langsung dan nyata mengalami
kerugian sebagai akibat dari limbah yang dihasilkan.
f. PT Palur Raya memberikan ijin kepada korban untuk berkoordinasi
dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten
Karanganyar untuk melakukan kontrol dan monitoring terhadap
limbah yang dihasilkan PT Palur Raya.
g. PT Palur Raya wajib memberikan laporan secara tertulis berupa
dokumen Upaya Pengolahan Lingkungan dan Upaya Pengelolaan
Lingkungan) kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Kabupaten Karanganyar dengan tembusan kepada KKL setiap 3 (tiga)
bulan sekali selama PT Palur Raya berproduksi.
Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Pihak PT Palur Raya dan
KKL sepakat untuk membentuk tim independen yang akan bertugas
menghitung dan membuktikan seberapa besar dan jauh kerusakan yang
ditimbulkan oleh PT Palur Raya (Ratri Nugroho, 2003: 74). Hasil
penelitian dari tim idependen tersebut akhirnya menimbulkan
permasalahan kembali karena PT Palur Raya hanya sanggup membayar
ganti kerugian sebesar Rp. 1.100.000.000,00 (satu milyar saratus juta
rupiah). Padahal perhitungan tim independen menunjukkan angka Rp.
7.299.569.706,00 (tujuh milyar dua ratus sembilan puluh sembilan juta
lima ratus enam puluh sembilan ribu tujuh ratu enam rupiah) sebagai ganti
kerugian dan biaya rehabilitasi terhadap lingkungan. Meskipun demikian,
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan yang dilaksanakan
oleh PT Palur Raya dan KKL tersebut dapat dikatakan berhasil karena atas
prakarsa dari Menteri Negara Lingkungan Hidup, permasalahan tersebut
dapat diatasi karena berdasarkan kesepakatan tanggal 1 April 2002 pihak
korban bersedia untuk menerimanya ganti rugi tersebut (Waluyo, 2006:
50).
90
2. Sengketa antara PT Indo Acidatama Chemical Industri (selanjutnya
disebut PT. IACI) dengan dengan sebagian masyarakat petani di Desa
Sroyo dan Kemiri, Kabupaten Karanganyar.
Sengketa antara PT. IACI dan masyarakat yang terjadi tahun 1999-
2000 dilatarbelakangi oleh adanya dugaan pencemaran lingkungan yang
diakibatkan oleh limbah cair yang dihasilkan oleh PT IACI. Dugaan
adanya pencemaran tersebut oleh masyarakat disekitar perusahaan
dibuktikan dengan (Waluyo, 2006: 47):
a. keruhnya (warna coklat pekat) air sungai sroyo; b. timbul gejala gatal-gatal yang dirasakan oleh sebagian
masyarakat yang menggunakan sungai sebagai tempat kebutuhan mereka sehari-hari, misalnya pencari pasir dan peternak;
c. perubahan warna air pada sumur milik penduduk di sekitar perusahaan;
d. terjadinya penurunan permukaan air sumur penduduk di sekitar pabrik terutama waktu musim kemarau;
e. timbulnya bau busuk yang menyengat; f. meningkatnya korosifitas/pengeroposan; g. penurunan secara drastis hasil produksi pertanian dari petani
yang lahannya dialiri limbah cair dari perusahaan.
Penyelesaian sengketa tersebut dilaksanakan para pihak dengan
membentuk tim pengendalian limbah PT IACI yang beranggotakan
sembilan orang dan dikenal dengan nama tim sembilan. Anggota-
anggotanya mewakili pihak perusahaan, pihak korban, dan pihak ketiga
netral (Waluyo, 2006: 48). Sebagai hasilnya, PT IACI dalam forum Tim
sembilan bersedia mengganti kerugian dan mengakui telah menyebabkan
pencemaran yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Selanjutnya
ditunjuk lembaga HIALI (Himpunan Ahli Lingkungan) Surakarta untuk
menghitung besarnya kerugian dan kewajiban yang harus dibayar
perusahaan (PiusTri Wahyudi, 2010).
3. Kasus pencemaran Sungai Sambong di Batang antara PT Indonesia Miki
Industries dan masyarakat sekitar.
91
Sengketa antara PT Indonesia Miki Industries dan masyarakat yang
menjadi korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan diselesaikan
melalui mediasi selama 1 (satu) tahun 27 (dua puluh tujuh) hari.
Penyelesaian sengketa tersebut mencapai hasil sebagai berikut (Bambang
Pramudyanto, 2008: 26).
a. PT Indonesia Miki Industries menyerahkan bantuan/dana sebesar Rp 53.925.000,00 (lima puluh tiga juta sembilan ratus dua puluh lima ribu rupiah) kepada 328 (tiga ratus dua puluh delapan) orang warga melalui Bupati yang akan digunakan untuk meningkatkan pengembangan usaha.
b. Kasus Sungai Sambong dianggap sudah selesai dan masyarakat tidak akan menuntut kembali.
c. PT Indonesia Miki Industries Group bersedia mengolah limbahnya sesuai dengan baku mutu limbah yang ditetapkan.
d. Pengaturan bantuan atau dana dari PT Indonesia Miki Industries Group kepada masyarakat semua pihak sepakat untuk menyerahkan sepunuhnya kepada Bupati Batang.
e. Untuk jangka waktu 6 (enam) bulan sejak ditandatangani kesepakatan ini akan dilakukan pemantauan oleh PT Indonesia Miki Industries Group, Pemerintah Daerah dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pusat. Mekanisme pemantauan ditetapkan oleh Bapedal Pusat.
f. Setelah 6 (enam) bulan dari ditanda tanganinya kesepakatan ini akan dilakukan evaluasi bersama.
Dari contoh-contoh kasus tersebut dapat dipaparkan bahwa hasil
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan tidak hanya
mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa, tetapi juga
kepentingan lingkungan. Hal ini telah sejalan dengan ketentuan Pasal 58 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur bahwa:
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya
pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap
lingkungan.
Jika ditinjau dari konsep pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
92
mampu mengembalikan kemampuan lingkungan untuk mendukung
pelaksanaan pembangunan dan tingkat hidup yang lebih tinggi karena adanya
perbaikan terhadap kondisi lingkungan. Akhirnya, aspek lingkungan hidup
dalam pembangunan berkelanjutan akan terpenuhi. Dengan adanya perbaikan
terhadap kondisi lingkungan, maka kemampuan lingkungan untuk mendukung
pelaksanaan pembangunan akan tetap terjaga sehingga hasil dari pelaksanaan
pembangunan tidak hanya akan dinikmati oleh generasi sekarang, tetapi juga
generasi masa depan. Di samping itu, penyelesaian sengketa lingkungan di
luar pengadilan dapat dipergunakan sebagai alternatif yang dapat ditempuh
masyarakat ditengah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
peradilan untuk menuntut haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan dalam pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan.
Akan tetapi, jika dikaji dari segi peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
masih memiliki beberapa kelemahan sebagaimana telah dipaparkan dalam
pembahasan sebelumnya. Dalam contoh kasus yang telah dipaparkan,
kelemahan tersebut antara lain tercermin dalam tindakan PT Palur Raya yang
mengingkari hasil penelitian tim independen dan berbuntut pada tindakan PT
Palur Raya yang menggugat tim independen melalui Pengadilan Negeri
Yogyakarta (Ratri Nugroho, 2003: 76). Meskipun sengketa tersebut akhirnya
dapat diselesaikan dengan prakarsa Kementrian Lingkungan Hidup, tetapi hal
ini tentu akan kembali memakan waktu.
Menyikapi permasalahan tersebut, perlu segera diambil tindakan tegas
dan nyata dari pemerintah dengan melakukan revisi terhadap peraturan
perundangan yang terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan di luar
pengadilan sebagai wujud komitmen pemerintah melaksanakan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Terlebih sumber daya alam dan
lingkungan tidak pernah terlepas dari berbagai kepentingan, seperti
kepentingan negara, pemilik modal, rakyat, maupun lingkungan sendiri dan
93
perebutan kepentingan ini selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai
pihak yang dikalahkan (I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, 2006: 72).
Kelemahan-kelemahan yang telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya
hendaknya dijadikan bahan pertimbangan revisi sehingga ke depannya
pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat tertata
secara lebih sistematis, komprehensif, dan aplikatif sehingga akan lebih
mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan di Indonesia.
94
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia
tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di luar pengadilan di Indonesia ditinjau dari ketiga peraturan
perundangan tersebut pada intinya mengatur bahwa:
a. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan
pilihan para pihak yang bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam
Ketentuan Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000.
b. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan hanya
berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata
sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Pasal 84 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009.
c. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan ditempuh
berdasarkan kesepakatan para pihak dengan arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa (konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsultasi,
penilaian ahli) sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 85
ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Pasal 14, 15, 19, dan
Pasal 20, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, dan Pasal 1
angka 1 serta Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999.
95
2. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Indonesia jika
ditinjau dari pengaturannya masih memiliki beberapa kelemahan, yakni:
a. Pelaksanaan putusan arbitrase atau
kesepakatan tertulis sebagai output dari penyelesaian sengketa
lingkungan di luar pengadilan sangat digantungkan pada itikad baik
para pihak.
b. Tidak terdapat batasan yang jelas mengenai kesusilaan dan ketertiban
umum sebagai salah satu hal yang harus dinilai oleh Ketua Pengadilan
Negeri untuk mengabulkan atau menolak permohonan eksekusi
putusan arbitrase.
c. Syarat-syarat pengangkatan arbiter atau mediator atau pihak ketiga
lainnya yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 dan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2000 masih kurang jelas ratio legis-nya.
d. Terdapat celah hukum dalam ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2000 serta pertentangan antara ketentuan tersebut
dengan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999.
e. Ketentuan mengenai batal atau tidak sahnya penunjukan mediator atau
pihak ketiga lainnya dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2000 kurang jelas implikasi yuridisnya.
3. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagai bagian
inheren dari kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan.
96
B. Saran
1. Perlu segera diambil tindakan tegas dan nyata dari pemerintah dengan
melakukan revisi terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sebagai wujud
komitmen pemerintah melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan.
2. Kelemahan-kelemahan yang telah dipaparkan dalam pembahasan
sebelumnya hendaknya dijadikan bahan pertimbangan revisi sehingga ke
depannya pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
dapat tertata secara lebih sistematis, komprehensif, dan aplikatif sehingga
akan lebih mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan di Indonesia.
97
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A Sonny Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.
Adi Sulistiyono. 2006. Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia. Surakarta: UNS-Press.
Amiek Sumindriyatmi, dkk. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Surakarta:
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Gatot P Soemartono. 1996. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. Gunawan Widjaja. 2002. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. Henry R Cheeseman, 2000. The Legal and Regulatory Environment
(Contemporary Perspectives in Business). United States : Prentice-Hall, Inc.
Imam Supardi. 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Bandung: PT.
Alumni. Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution (Nuansa Hijau Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra. 2003. Hukum sebagai Suatu Sistem.
Bandung: CV. Mandar Maju. Maria Farida Indriati Soeprapto. 2007. Ilmu Perundang-Undangan (Jenis,
Fungsi, dan Materi Muatan). Kanisius: Yogyakarta. Mestika Zed. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Munir Fuady. 2003. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bisnis). Bandung: Pt Citra Aditya Bakti.
98
N.H.T Siahaan. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga.
. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam.
Otto Soemarwoto. 2003. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Yogyakarta: Gajahmada University Press. Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. . 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana. Prabang Setyono. 2008. Cakrawala Memahami Lingkungan. Surakarta: UNS
Press. Satjipto Raharjo. 2006. Hukum dalam Jagad Ketertiban. Jakarta: UKI Press. Soekarman Moesa. 2002. Ilmu Lingkungan: Ekosistem, Manusia, dan
Pembangunan Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press.
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Sudarsono. 2007. Negeriku Menuai Bencana Ekologi Mengabaikan Norma
Agama, Adat dan Hukum (Reposisi dan Revitalisasi Penegakan Hukum Lingkungan antara Harapan, Impian, dan Kenyataan. Yogyakarta: Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa.
. 2007. Mengedalikan Dampak Pemanasan Global dengan Kearifan
Lingkungan. Yogyakarta: Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa.
Sudikno Mertokusumo, 2003. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).
Yogyakarta: Liberty Suparto Wijoyo, 1999. Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Surabaya:
Airlangga University Press. Suyud Margono. 2004. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase.
Jakarta: Ghalia Indonesia. Zoer’aini Djamal Irwan, 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan
Kota. Jakarta : Bumi Aksara.
99
B. Peraturan Perundangan
Kesepakatan Mediasi antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Peradilan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
C. Majalah atau Jurnal
Hero Prahartono. 2005. “Penyelesaian Sengketa Perusahaan Multinasional melalui Arbitrase”. Majalah Hukum Yustisia. Tahun XVII Edisi 68. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani. 2006. “Krisis Air, Illegal Logging, dan
Penegakan Hukum Lingkungan”. Yustisia Jurnal Hukum. Tahun XVII Edisi 69. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
I William Zartman. 1996. “Negotiation As A Search For Justice”.
International Negotiation Journal. Vol. 1, No. 1.
Tiffany T. Smith. 2009. “Mediating Culture: Is Mediation an Appropriate Forum for Employment Discrimination Claims Despite Cultural Differences?”. Ohio State Journal on Dispute Resolution. Volume 7, Issue 1.
Waluyo. 2006. “Identifikasi Penyebab dan Pola Penyelesaian Sengketa
Lingkungan di Wilayah Kabupaten Karanganyar”. Yustisia Jurnal Hukum. Tahun XVII Edisi 69. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
100
D. Makalah
Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni. 2008. ”Hukum Kontrak”. Makalah. Disampaikan pada perkuliahan hukum kontrak di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Bambang Pramudyanto. 2008. “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
dengan Cara Negosiasi”. Makalah. Disampaikan pada pendidikan dan pelatihan alternative penyelesaian sengketa lingkungan (APS) di Serpong, pada tanggal, 17 sampai 21 November 2008.
Emmy Yuhassarie, dkk. 2004. “Mediasi dan Access to Justice”. Makalah.
Disampaikan dalam rangkaian lokakarya terbatas masalah-masalah kepailitan dan wawasan hukum bisnis lainnya, pada 17-18 Februari 2004 di Jakarta.
Juanda Kartawidjaya. 2009. ”Gerakan Aktif Ati Korupsi Versus Mafia
Peradilan”. Makalah. Disampaikan pada seminar akademik BEM FH UNS, pada tanggal 15 Desember 2009.
Marianna Sutadi. 2004. “Pendayagunaan Perdamaian menurut Pasal 130
HIR/154 R.Bg dan Potensinya dalam Mewujudkan Keadilan yang Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan”. Makalah. Disampaikan dalam rangkaian lokakarya terbatas masalah-masalah kepailitan dan wawasan hukum bisnis lainnya, pada 17-18 Februari 2004 di Jakarta.
Marta Amnan. 2008. “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan
Menggunakan Pihak ke Tiga Netral”. Makalah. Disampaikan pada pendidikan dan pelatihan alternative penyelesaian sengketa lingkungan (APS) di Serpong, pada tanggal, 17 sampai 21 November 2008.
R. Ginting. 2009. ”Mafia Peradilan sebagai Kejahatan Sistemik”. Makalah.
Disampaikan pada seminar akademik BEM FH UNS, pada tanggal 15 Desember 2009.
E. Hasil Penelitian
Ratri Nugroho. 2003. ”Studi Pelaksanaan Mediasi pada Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup antara PT Palur Raya dengan sebagian Masyarakat Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar”. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
101
F. Internet
Abd. Rahmad. Peranan Alternative Dispute Resulution dalam Penyelesaian Perkara Perdata. http://padang-today.com/index.php?today=article&j=2&id=155> [6 Feb 2010 pukul 02:15 WIB].
Budhy Budiman. Penyelesaian Sengketa Perdata melalui Lembaga Arbitrase
(Kajian terhadap Praktek Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). http://isrard.multiply.com/journal/item/2/lembaga_arbitrase> [10 Feb 2010 17:46 WIB].
Nurfaqih Irfani. Beberapa Permasalahan yang Timbul dalam Praktik
Arbitrase di Indonesia (Kritisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). http://irfaninurfaqih.files.wordpress.com/2009/06/aps2-published.pdf> [10 Feb 2010 17:18 WIB]
Pan Mohamad Faiz. Klausul Arbitrase dan Pengadilan (Kemungkinan
Diajukannya PerkaraDengan Klausul Arbitrase Ke Muka Pengadilan.) .http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/klausul-arbitrase-dan-pengadilan_18.html> [9 Februari 2010 pukul 15:52 WIB].
Pius Tri Wahyudi. Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Luar Pengadilan di
Wilayah Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo. http://www.scribd.com/doc/12969535/e010201> [9 Februari 2010 pukul 15:34 WIB].
Slamet Hariyanto. Menggagas Revisi UU Nomor 30 Tahun 1999 .
http://slamethariyanto.wordpress.com/2008/12/20/menggagas-revisi-uu-nomor-30-tahun-1999-bagian-ii-habis/> [2 Feb 2010 pukul 18:32 WIB].
Wicipto Setiadi. 2010. Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute
Resolution (ADR). http://www.legalitas.org/?q=node/21> [19 Feb 2010 pukul 08:14 WIB].
top related