kajian struktural dan sosiologi sastra cerpen “darah pembasuh luka”
Post on 31-Jan-2016
346 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Kajian Struktural dan Sosiologi Sastra Cerpen “Darah
Pembasuh Luka”
karya Made Adnyana Ole
Makalah
Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas matakuliah Kajian Prosa Fiksi Indonesia
(IN205)
dosen pengampu Halimah, S.Pd. (2321)
oleh
Yury Purnana Indah
1301191
Dik-B 2013
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2014
Pendahuluan
Sastra sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita sebagai manusia. Setiap
orang dapat mengungkapkan perasaannya lewat bersastra. Namun, sastra tidak hanya
sekadar digunakan untuk mengungkapkan perasaan kita saja tetapi sastra juga dapat
kita kaji lebih dalam dan menyeluruh. Sehingga suatu karya sastra tidak hanya dat
kita nikmati dan kita apresiasi tetai sebuah karya sastra pun dapat kita kaji secara
ilmiah berdasarkan teori-teori para ahli.
Kajian karya sastra (termasuk mengkaji prosa) adalah suatu kegiatan yang
dilakukan guna mempelajari dan menyelidiki latar belakang sebuah karya sastra itu
muncul. Baik dikaji hanya teks sastranya saja ataupun beserta pengarangnya.
Dalam mengkaji sebuah karya sastra banyak sekali teori yang telah
dikemukakan para ahli dan sastrawan diantaranya berbagai macam teori Struktural,
teori Sosiologi Sastra, Psikoanalisis, Semiotik, Fenimisme dan masih banyak lagi
teori lainnya yang dapat kita gunakan dalam mengkaji sebuah teks sastra.
Kali ini saya akan mencoba mengkaji sebuah karya sastra yaitu sebuah cerpen
yang berjudul “Darah Pembasuh Luka” karya Made Adnyana Ole. Beliau adalah
seorang penulis asal pulau dewata, Bali. Dalam cerpennya ini, beliau juga mengambil
latar sesauai dengan daerah asalnya, Bali.
Cerpen ini akan dikaji dengan dua teori pengkajian yakni teori Struktural dan
Sosiologi Sstra. Teori yang digunakan dalam menganaisis cerpen “Darah Pembasuh
Luka” ini dikaji dengan menggunakan Struktural A. J. Greimas dan Sosiologi sastra.
Kajian Struktural A. J. Greimas terdiri dari analisis aspek sintaksis (terdiri dari
analisis skema aktan dan model fungsional), analisis aspek semantik (terdiri dari
analisis tokoh dan analisis latar), dan analisis aspek pragmatik (terdiri dari analisis
bahasa dan sudut pandang).
Selain kajian Struktural A. J. Greimas, cerpen ini juga akan dikaji dengan
Sosiologi Sastra yang mengacu pada teori Ian Watt yang mencakup tiga hal, yakni 1)
konteks sosial pengarang, 2) sastra sebagai cermin masyarakat di mana konteks
sosial teks tersebut akan dikaitkan dengan konteks sosial dunia nyata/Zamannya,
dan 3) fungsi sosial sastra guna mendeskripsikan bagaimana nilai sosial/ fungsi
sosial karya dalam masyarakat.
Teori Struktural Algirdas Julien Greimas
Naratologi Greimas (dalam Ratna, 2004: 77) merupakan kombinasi antara model
paradigmatis Levi-Strauss dengan model sintagmatis Propp. Dengan memanfaatkan
fungsi-fungsi yang hampir sama, Greimas memberikan perhatian pada relasi,
menawarkan konsep yang lebih tajam, dengan tujuan yang lebih umum, yaitu tata
bahasa naratif universal. Tidak ada subjek di balik wacana, yang ada hayalan subjek,
manusia semu yang dibentuk oleh tindakan, yang disebut actans dan acteurs.
Aktan (Actans) merupkan peran-peran abstrak yang dapat di,ainkan oleh seorang
atau sejumlah pelaku. Aktan merupakan struktur dalam, sedangkan aktor merupakan
struktur luar, dengan kalimat lain, aktor merupakan manifestasi kongkret dari actans
(Ratna, 2004: 137).
Pada umumnya pejuang (subjek) terdiri atas pelaku sebagai manusia, sedangkan
tujuan (objek) terdiri atas berbagai kehendak yang mesti dicapai, seperti kebebasan,
keadilan, kekayaan, dan sebagainya. Suatu perjuangan pada umunya dialangi oleh
kekuasaan (pengirim), tetapi apabila berhasil maka pelaku (Penerima) menerima
sebagai hadiah.
Penolong dan penentang tidak selalu merupakan manusia, misalnya senjata
pusaka atau benda-benda lain yang memiliki pelaku. Maka kesimpukannya di antara
subjek dan objek ada tujuan, di antara pengirim dan penerima ada komunikasi,
sedangkan di antara penolong dan penentang ada bantuan atau tentangan. Rimmon-
Kenan (dalam Ratna, 2004: 78) merupakan hubungan keenam faktor tersebut sebagi
berikut,
Pengirim
Penolong
Penerima Objek
Penentang Subjek
Sinopsis
Kini, luka di lutut kiri Tantri tumbuh lagi. Awalnya hanya sebintik kecil
dengan bunga nanah yang anggun, tapi kemudian membesar. Bintik itu mengembang
seperti gunung kecil dengan kawah nanah yang siap meledak jadi borok.
Tantri merasa ngeri karena luka sekecil apa pun yang muncul pada lutut
kirinya adalah soal amat besar bagi hari-hari yang akan dilewatinya. Bukan hanya
hebatnya sakit yang akan dirasakannya, namun lebih karena luka pada lutut kiri akan
menyeret ingatannya kepada sebuah gumpalan waktu yang teramat kelam dan akan
memberi Tantri rasa sakit melebihi luka yang paling parah. Gumpalan waktu yang
kelam itu memang memberi tanda-tanda akan muncul kembali. Saat luka di lutut kiri
Tantri benar-benar jadi borok.
Suatu hari Bontoan, suami Tantri pamit dari rumah sembari menjinjing
sebilah pedang yang dibalut sarung dari kulis sapi. Bontoan pergi dengan mobil
pinjaman dari seorang tokoh partai dan Bontoan dijanjikan boleh memiliki seutuhnya
mobil itu jika tokoh tersebut berhasil menjadi anggota Dewan pada pemilu tahun ini.
Bontoan pergi ke pusat kota di Jalan Pahlawan untuk memperbaiki spanduk
dan gambar partai yang dirusak massa. Belakangan ini lelaki itu berperilaku seperti
preman kampung yang siap menyerang siapa saja. Sikap itu muncul saat ia bertikai
dengan tamu di tempat ia bekerja kemudian ia dipecat oleh bosnya. Pernah suatu saat
setelah dipecat, ia mencoba mengancam bekas bosnya dengan todongan pedang,
tetapi ia malah dikeroyok oleh sepuluh orang yang diketahui merupakan anggota
salahsatu ormas yang cukup ditakuti di Bali.
Suatu saat Bontoan diajak oleh teman-temannya untuk masuk suatu ormas
yang ada di Denpasar. Ia pun langsung masuk dengan niat ingin membalas dendam
pada ormas yang dahulu mengeroyaknya, karena ormas yang dimasukinya adalah
musuh besar ormas yang dulu mengeroyoknya. Sejak masuk ormas, Bontoan kerap
keluar rumah tanpa kenal waktu, kadang pamit kadang pergi begitu saja. Apalagi
menjelang pemilu, Bontoan selalu keluar rumah membawa senjata tajam. Alasannya
bermacam-macam tapi lebih sering alasannya berhubungan dengan partai. Ini karena
ormas Bontoan memang disewa oleh sebuah partai politik dengan tugas mengawal
tokoh-tokoh partai, mengamankan kegiatan partai sekaligus menjaga atribut-
atributnya. Lelaki itu bersemangat dan selalu terkesan terburu-buru, karena ormas
yang dulu pernah mengeroyoknya kini disewa oleh partai politik lain, sebuah partai
yang menjadi saingan dari partai yang dibela Bontoan.
Kenyataan itulah yang membuat Tantri makin ngeri ketika Bontoan pergi
membawa pedang untuk membetulkan spanduk dan gambar partai yang dirusak
massa. Terutama karena situasi itu terjadi bersamaan dengan borok yang terus
mengembang di lutut kirinya. Partai politik, massa, pedang, dan luka di lutut kiri
adalah hal-hal yang berhubungan dengan satu titik waktu paling kelam dalam riwayat
hidup Tantri. Tahun 1965 luka di lutut kiri Tantri juga muncul untuk yang pertama
kalinya saat itu ia sedang duduk di kelas 4 SD. Luka aneh dan misterius itu muncul
dan Tantri pun kehilangan ayahnya yang ia sangat sanyangi.
(Kompas, 23 Februari 2014)
Kajian Struktural A. J. Greimas
1. Analisis Aspek Sintaksis
a. Analisis Skema aktan Utama
1) Subjek
Subjek dalam cerpen ini adalah Tantri. Tantri menjadi tokoh utama
yang ingin menyembuhkan luka aneh dan misterius di lutut kaki kirinya. Ia
banyak terlibat dalam setiap adengan dalam cerpen “Darah Pembasuh Luka”
ini, karena cerpen ini menceritakan kisah yang berpusan pada kejadian yang
menimpanya.
2) Objek
Objek yang terdapat dalam cerpen ini adalah sembuhnya luka yang
ada pada lutut kaki kiri Tantri yang sulit untuk disembuhkan. Tantri telah
berobat ke berbagai mantri kesehatan dan juga ke dokter kulit, tapi luka itu
masih tetap ada dan sulit untuk disembuhkan. Hingga suatu saat ia berobat
pada seorang dukun. Menurut sang dukun satu-satunya cara agar luka itu
sembuh adalah dengan mengusap/membasuh luka itu menggunakan darah
manusia yang meninggal tidak wajar.
Subjek Tantri
Objek Sembuhnya luka
di lutut kiri Tantri
Penerima Tantri
PengirimLuka di lutut kiri
Tantri yang tumbuh lagi secara tiba-tiba
Penolong Darah manusia yang meninggal dengan cara tidak wajar
Penentang Sulit untuk
mendapatkan darah manusia yang
matinya tak wajar
3) Pengirim
Pengirim pada cerpen ini adalah luka di lutut kaki kiri Tantri yang
tiba-tiba tumbuh lagi setelah sekian lama luka itu sembuh. Luka itu sangat
aneh dan misterius karena tumbuh begitu saja tanpa diawali luka ataupun
goresan. Luka itu bukan luka biasa, luka yang menakutkan. Luka itu adalah
luka yang meminta korban. Luka itu dapat menguak masa lalu Tantri yang
kelam dan akan memberikan rasa sakit yang dahsyat padanya.
4) Penerima
Penerima dalam cerpen ini adalah Tantri, karena Tantri berupaya
mendapatkan kesembuhan dan agar luka yang tumbuh di lutut kirinya itu
tidak pernah datang lagi.
5) Penolong
Penolong dalam cerpen “Darah Pembasuh Luka” ini adalah darah
manusia yang meninggal secara tak wajar sehingga luka misterius dan aneh
yang ada di lutut kaki kiri akan sembuh. Tantri mengetahui obat yang dapat
menyembuhkan luka di kaki kirinya itu setelah ia dan ayahnya (Ganggas)
datang untuk bertanya pada seorang dukun yang tinggal di kaki gunung
Batukaru. Dukun itu berkata bahwa luka yang diderita Tantri adalah
kiriman/guna-guna dari seseorang yang iri pada keluarganya.
6) Penentang
Dalam cerpen ini yang menjadi penentang adalah sebuah
keadaan/kondisi dimana Tantri sulit mendapatkan darah dari manusia yang
meninggal dengan cara yang tak wajar.
b. Model Fungsional Utama
c. Analisis Skema Aktan Bawahan
Situasi Awal Transformasi Situasi AkhirTahap uji kecakapan Tahap utama Tahap
keberhasilanSetelah sekian lama, kini luka di lutut Tantri tumbuh lagi.
Luka itu mulanya
sebintik kecil yang dihiasi nanah yang
anggun. Luka itu muncul bertepatan
dengan masa kampanye yang akan
menyambut perhelatan
pemilu. Bontoan,
suami Tantri kini
berperilaku seperti preman
setelah ia di pecat dari
pekerjaannya sebagai satpam saat bertengkar dengan tamu di sebuah tempat hiburan malam di Kuta, Bali.
Setelah ia dipecat, Bontoan mengancam bekas bosnya dengan
todongan sebuah pedang. Tapi ia malah
dikeroyok sepuluh orang yang diketahui
bahwa mereka anggota ormas yang cukup
ditakuti di Denpasar. Dengan alasan ingin membalas dendam
kepada anggota ormas yang pernah
mengeroyaoknya, Bontoan kemudian
masuk salahsatu ormas yang biasa disewa oleh partai politik
untuk mengawal dan menjaga para anggota
partai politik itu. Ormas yang ia masuki bertugas menggawal anggota partai politik yang menjadi saingan dari partai politik yang
dikawal ormas yang pernah
mengeroyokknya
Saat Bontoan memabawa
sebilah pedang dan melenggang keluar rumah
untuk membetulkan spanduk dan
gambar partai yang
dirusak massa.
Bertepatan dengan
kepergian Bontoan itu luka di lutut kiri Tantri semakin
tumbuh dan membesar
serta nanahnya
pun semakin banyak.
Puncak kengerian
Tantri saat luka di lutut kirinya yang semakin membesar dan menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat.
Lalu ia mendengar
bahwa Bontoan tewas dikeroyok
massa saat sedang
mengamankan atribut partai.Kejadian itu
mengingatkan akan kejadian
pada tahun 1965 saat
ayahnya pun menjadi korban pengeroyokkan
oleh massa.
Bontoan terbunuh
ketika sedang
mengamankan atribut partai. Ia dikeroyok
massa. Mayatnya diseret di
jalan. Darah mengucur deras dari
lubang luka di kepala.
Tantri mencoba menahan
tangisannya dan ia
menatap tajam luka
di lutut kirinya yang
sudah menjadi
borok. Dan ia
membayangkan darah suaminya.
1) Subjek
Subjek dalam cerpen ini adalah Tantri. Tantri menjadi tokoh utama
yang ingin menyembuhkan luka aneh dan misterius di lutut kaki kirinya.
2) Objek
Objek yang terdapat dalam cerpen ini adalah kesembuhan atas luka
yang ada pada lutut kaki kiri Tantri yang sulit disembuhkan. Padahal Tantri
dan ayahnya trlah mencoba berobat ke mantri kesehatan dan juga ke dokter
kulit tetapi luka itu masih belum sembuh juga.
3) Pengirim
Pengirim pada cerpen ini adalah luka di lutut kaki kiri Tantri yang
tiba-tiba tumbuh saat ia bersekolah di kelas 4 SD. Luka itu muncul bersamaan
dengan masa pemilu yang terjadi di Bali. Luka itu sangat aneh dan misterius
karena tumbuh begitu saja tanpa diawali luka ataupun goresan. Luka yang
sulit untuk disembuhkan dan luka yang tidak diketahui asalnya darimana
sehingga luka itu bisa muncul.
4) Penerima
Penentang Kejanggalan obat penyembuh luka dilutut kiri tantri
Penolong Ayah Tantri
(Ganggas), ibu Tantri, Uwak Kajeng, dan Dukun Batukaru
PengirimLuka di lutut kiri
Tantri yang aneh dan misterius
Penerima Tantri
Objek Sembuhnya luka di lutut kiri Tantri
Subjek Tantri
Penerima dalam cerpen ini adalah Tantri, karena Tantri berupaya
mendapatkan obat untuk menyembuhkan luka di lutut kirinya.
5) Penolong
Penolong dalam skema aktan bawahan ini adalah Ganggas (Ayah
Tantri), ibu Tantri, Uwak Kajeng, dan dukun dari Gunung Batukaru.
Ayah Tantri berupaya menyembuhkan Tantri dengan mengantarnya
berobat ke mantri kesehatan dan ke dokter kulit hingga pada seorang dukun di
kaki Gunung Batukaru.
Ibu Tantri menolong Tantri dengan mengoleskan ramuan obat rempah-
rempah pada lukanya sembari menenukan obat luka Tantri yang belum
diketahui apa obatnya.
Uwak Kajeng ikut menolong agar Tantri segera sembuh dengan
memberi pinjaman uang dan mobil untuk digunakan Tantri berobat. Ia juga
merekomendasikan tempat dukun yang bisa mengobati luka di lutut kiri
Tantri.
Dukun dari kaki Gunung Batukaru juga tanpa sengaja membantu
Tantri mengetahui obat apa yang dapat menyembuhkan lukanya.
6) Penentang
Penentang dalam skema aktan bawahan cerpen ini adalah kejanggalan
obat yang dapat menyembuhkan luka di lutut kiri kaki Tantri yang aneh, yakni
luka tersebut hanya bisa sembuh dengan dioleskan darah manusia yang
matinya secara tidak wajar. Asumsi itu dianggap gila oleh Ganggas (ayah
Tantri) dan pada kenyataanyapun memang tidak masuk akal mengapa setitik
luka yang kecil hanya bisa di sembuhkan dengan darah dari manusia yang
mati secara tidak wajar.
d. Model Fungsional Bawahan
Situasi Awal Transformasi Situasi AkhirTahap uji kecakapan
Tahap utama Tahap keberhasilan
Pada tahun 1965, saat itu Tantri duduk
di kelas 4 SD. Itulah
awal munculnya luka aneh
dan misterius yang ada di
lutut kiti Tantri.
Luka di lutut Tantri membesar dan
menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat sehingga menyulitkannya
dalam berjalan dan akhirnya setiap ia pergi ke sekolah ia selalu digendong
oleh ayahnya, Ganggas.
Karena merasa
kasihan dan tak tega kepada ayahnya
yang selalu mengantar
dan menjemputnya ke sekolah
setiap hari tanpa kenal lelah, Tantri
pun ingin berhenti sekolah.
Dengan modal yang dipinjamkan
Uwak Kajeng, Ganggas mengantar
Tantri berobat ke mantri kesehatan
tapi hasilnya nihil, belum ada obat
yang bisa menyembuhkan
luka itu. Sementara itu, Ibu Tantri pun selalu memberikan ramuan rempah-
rempah yang dioleskan ke luka Tantri tapi luka itu
tak kunjungg sembuh.
Suatu hari Uwak Kajeng
merekomendasikan agar
Ganggas (ayah Tantri)
membawa anaknya
untuk berobat ke
seorang dukun yang
berada di kaki Gunung
Batukatu.
2. Analisis Aspek Semantik
a. Analisis Tokoh
a) Tantri
Tantri adalah tokoh utama dalam cerpen ini. Ia adalah wanita Bali
yang telah menikah dengan Bontoan. Tokoh Tantri memiliki sifat yang tidak
ingin menyusahkan orang tua, bersemangat, dan pantang menyerah. Tetapi
suatu ketika Tantri mendapatkan luka yang aneh dan misterius di lutut kirinya.
Luka di lutut kirinya itu begitu aneh karena luka tersebut muncul dengan
sendirinya dan tumbuh begitu saja. Luka itu tumbuh tanpa diawali dengan
goresan benda runcing semisal ranting kayu kering atau sisi pipih rumput
ilalang. Tanpa dimulai dengan sayatan benda tajam semacam pisau dapur atau
hulu kapak besi. Luka itu muncul begitu saja. Sungguh aneh dan misterius.
Berikut kutipan tokoh dan penokohan Tantri,
‘Ketika luka itu jadi borok, Tantri seakan mengawali
derita panjang di tengah kubang kutuk yang tak
terelakkan. Awalnya ia masih bisa memaksa diri berjalan
kaki ke sekolah, menempuh jarak tiga kilometer, dengan
menyeberangi dua sungai berbatu, mendaki tiga bukit
kecil dan menuruni tiga jurang di tengah-tengah hutan
bambu. Meski ia harus menyeret paksa kaki kirinya,
namun ia bisa melewati jalan-jalan sulit dengan hati
gembira’
‘Seminggu berlalu, kaki kiri Tantri tak bisa digerakkan.
Namun ia tetap ke sekolah’
‘Saat siang, ayahnya kembali ke sekolah, menjemputnya
dari atas bangku lalu menggendongnya pulang. Namun
lama-lama Tantri kasihan dan akhirnya minta berhenti
sekola’
(Ole, 2014)
b) Bontoan
Bontoan adalah suami Tantri yang berperilaku dingin dan sering
terlibat masalah, terutama setelah ia dipecat dari pekerjaannya yang dulu
sebagai seorang satpam di sebuah tempat hiburan malam di Kuta, Bali karena
terlibat pertengkaran dengan seorang tamu. Kini perilaku Bontoan seperti
preman kampung yang sering membawa senjata tajam. Bontoan merupakan
laki-laki yang telah menemani hidup Tantri selama kurang lebih tiga puluh
tahun. Berikut kutipan tokoh dan penokohan dari seorng Bontoan,
‘ ”Ke mana, Kak?” tanya Tantri.
‘ ”Ke Jalan Pahlawan. Ada spanduk dan gambar partai
dirusak massa,” sahut Bontoan dingin. Lelaki itu
melompat ke jok depan, menginjak gas dan mobil melesat
di jalan menuju pusat kota. Belakangan ini lelaki yang
sudah tiga puluh tahun hidup bersamanya itu memang
seperti preman kampung yang selalu siap membalas
dendam, entah kepada siapa’
‘Bontoan masuk rumah sakit. Keluar dari rumah sakit ia
masuk penjara. Pengadilan memutuskan ia bersalah
membawa senjata tajam dan melakukan pengancaman’
‘Bontoan selalu keluar rumah membawa senjata tajam.
Alasannya macam-macam tapi lebih sering berhubungan
dengan partai. Kenyataan itulah yang membuat Tantri
makin ngeri ketika Bontoan pergi membawa pedang
untuk membela spanduk partai yang dirusak massa.
Terutama karena situasi itu terjadi bersamaan dengan
borok yang terus mengembang di lutut kirinya’
(Ole, 2014)
c) Ganggas/Ayah Tantri
Ganggas adalah ayah Tantri yang berprofesi sebagai pelatih bela diri.
Ia merupakan seorang ayah yang perhatian kepada anaknya, penyayang
keluarga, dan seorang ayah yang giat bekerja. Ganggas merupakan sosok ayah
yang kuat dari segi fisik dan mental. Tetapi, ia juga ayah yang lebih sering
menyelesaikan masalah dengan otot/kekuatannya daripada dengan pikiran dan
hatinya. Berikut kutipan tokoh dan penokohan Ganggas,
‘Ganggas–ayah Tantri–harus menggendongnya setiap
pagi ke sekolah dan setiap siang saat pulang ke rumah.
Ganggas seorang ayah yang kuat secara fisik dan mental
sekaligus penyayang keluarga. Kekuatan tubuhnya
membuat banyak orang takut, apalagi ia dikenal sebagai
pelatih di sebuah perguruan bela diri milik Uwak Kajeng.
Ayahnya yang ditakuti kini justru mengabdi sepenuh hari
pada dirinya. Saat pagi, Tantri digendong ayahnya
hingga masuk kelas. Ayahnya terkadang menunggu
hingga Tantri duduk di bangku dengan nyaman. Begitu
pelajaran dimulai, ayahnya pulang karena harus bekerja
di sawah. Saat siang, ayahnya kembali ke sekolah,
menjemputnya dari atas bangku lalu menggendongnya
pulang’
‘Ganggas terhenyak. Keinginan Tantri membuatnya sadar
bahwa selama ini ia lebih sering menyelesaikan
persoalan dengan kekuatan tubuh, dan jarang
menggunakan pikiran dan hati. Ia sadar betapa malu
Tantri digendong setiap hari, meski sebagai ayah ia
bangga bisa pamer kasih sayang kepada anak sekaligus
pamer kekuatan tubuh di hadapan warga desa’
(Ole, 2014)
d) Ibu Tantri
Dalam cerpen ini Tantri dikisahkan memiliki seorang ibu yang
menyayanginya dan selalu merawatnya saat Tantri sakit dan luka di lututnya
tak kunjung sembuh. Berikut kutipan dari tokoh ibu,
‘Ibunya selalu rajin mengolesi luka Tantri dengan ramuan
rempah dicampur tumbukan daun-daun semak. Bahkan
Tantri sempat dibawa ke rumah mantri kesehatan di desa
tetangga’
‘Di rumah, Tantri melewati hari-hari dengan terbaring saja di
kamar. Ibunya tetap rajin mengobati luka Tantri dengan
ramuan rempah-rempah dan tumbukan daun semak. Namun
borok itu tetap ada’
(Ole, 2014)
e) Massa/partisipan pemilu
Massa atau Partisipan pemilu dalam cerpen ini tidak banyak dituliskan
bagaimana karakternya karena partisipan tersebut bukan tokoh utama
melaikan hanya tokoh sampingan, tetapi karakternya penokohannya dapat kita
ketahui dari narasi penulis cerpen ini. Massa/partisipan pemilu memiliki sifat
yang suka main hakim sendiri, kejam, dan keroyokan. Berikut kutipan
penokohannya,
‘Ganggas diburu massa’
‘Sebenarnya ia tak tahu politik. Namun sebagai pelatih
bela diri di perguruan milik Uwak Kajeng, ia dianggap
antek-antek Uwak Kajeng yang partainya tiba-tiba dicap
pengkhianat bangsa. Uwak Kajeng sendiri menyerah lalu
dijemput massa dan digiring entah ke mana. Sedangkan
Ganggas menolak untuk menyerah. Ketika massa
menyerbu perguruan, Ganggas sudah siap dengan
pedang di tangan. Seorang diri ia hadapi massa yang
jumlahnya lebih dari seratus orang’
‘Mayatnya diseret massa di jalan. Kepalanya pecah
ditumbuk benda tumpul. Darah mengucur deras dan
berceceran di jalan’
‘Dan kengerian itu mencapai puncak ketika seseorang
mengabarkan bahwa Bontoan terbunuh ketika sedang
mengamankan atribut partai. Ia dikeroyok massa’
(Ole, 2014)
f) Uwak kajeng
Tokoh Uwak Kajeng merupakan tokoh sampingan yang memiliki
perguruan bela diri dan ikut dalam sebuah pertain politik/anggota parpol.
Apabila dilihat dari narasi penulis, Uwak Kajeng memiliki karakter yang baik
dan sering membantu Ganngas (ayah Tantri) dengan meminjamkan sejumlah
uang untuk dipakai pengobatan Tantri dan sewa mobil. Tetapi entah mengapa
pada suatu hari terjadi konflik politik dan Uwak Kajeng serta perguruannya
dianggap penghianat bangsa. Berikut kutipan tokoh dan penokohan dari Uwak
Kajeng,
‘Ganggas kemudian menemui Uwak Kajeng, tokoh partai
yang juga pemilik perguruan bela diri tempat ia menjadi
pelatih. Selain memberi uang untuk biaya sewa mobil
dan berobat, Uwak Kajeng juga memberi petunjuk untuk
mengantar Tantri ke rumah dokter ahli penyakit kulit di
Mengwi’
‘Ganggas mengantar Tantri ke dokter itu. Tapi berkali-kali
diobati, borok di lutut kiri Tantri tak juga sembuh.
Ganggas datang lagi ke rumah Uwak Kajeng. Dengan
mudah Ganggas mendapat uang dan ia disarankan
mengantar Tantri ke rumah dukun di kaki Gunung
Batukaru’
(Ole, 2014)
g) Dukun
Dukun di kaki Gunung Batukaru merupakan tokoh sampingan yang
melengkapi jalan cerita dari cerpen ini. Karakter dukun pada cerpen ini adalah
serba tahu, karena pada umumnya dukun bisa merngetahui hal-hal tertentu
yang berkaitan dengan hal-hal yang mistis. Berikut kutipan dari penokohan
Dukun,
‘ ”Ini bukan luka biasa. Luka ini dikirim dengan
kekuatan gaib oleh seseorang yang iri pada keluarga
Bapak. Obatnya susah. Luka ini bisa sembuh jika
dibasuh dengan darah manusia!” papar si dukun setelah
memeriksa luka Tantri dengan cara aneh.
”Darah manusia?” Ganggas kaget. Tantri hanya
mendengar.
”Ya. Itu pun darah dari manusia yang terluka atau mati
tidak wajar!” tegas si dukun’
(Ole, 2014)
b. Analisis Latar
Cerpen ini memiliki latar tempat di daerah Bali, tepatnya di rumah Tantri
dan Berikut kutipan latar yang terdapat dalam Cerpen “Darah Pembasuh Luka”,
1) Latar Tempat
Latar tempat yang ada di dalam cerpen ini adalah rumah dan kamar Tantri,
sekolah Tanri, Rumah dukun, dan jalan.
a) Rumah dan kamar
Rumah dan kamar Tantri menjadi salahsatu latar dalam cerpen ini.
Rumah adalah latar saat Bontoan, suami Tantri bergi dari rumah. Di
rumah, tepatnya di kamar Tantri juga merupakan latar saat Tantri terbaring
di kamarnya karena masih belum bisa menemukan obat yang dapat
menyembuhkan luka di lutut kirinya. Berikut kutipan latar rumah dan
kamar Tantri,
‘Bontoan tiba-tiba pamit dari rumah sembari menjinjing
sebilah pedang. Hulu pedang yang dibalut sarung dari
kulit sapi itu sempat diacungkan ke arah langit sebelum
diselipkan di bawah jok mobil merah jenis jip tanpa atap’
‘Di rumah, Tantri melewati hari-hari dengan terbaring
saja di kamar. Ibunya tetap rajin mengobati luka Tantri
dengan ramuan rempah-rempah dan tumbukan daun
semak. Namun borok itu tetap ada’
‘Tantri yang terbaring di kamar kemudian mendengar
kabar ayahnya terbunuh.
Ketika mayat Ganggas digotong warga desa ke rumahnya,
darah segar masih mengalir dari lubang luka di kepala’
(Ole, 2014)
b) Sekolah Tantri
Sekolah merupakan salahsatu latar dari cerpen ini, dimana digunakan
saat Ganggas mengantarkan Tantri ke sekolahnya dan menjemputnya lagi
untuk pulang ke rumah. Berikut kutipan latar di sekolah Tantri,
‘Awalnya ia masih bisa memaksa diri berjalan kaki ke
sekolah, menempuh jarak tiga kilometer, dengan
menyeberangi dua sungai berbatu, mendaki tiga bukit kecil
dan menuruni tiga jurang di tengah-tengah hutan bambu’
‘Seminggu berlalu, kaki kiri Tantri tak bisa digerakkan.
Namun ia tetap ke sekolah. Ganggas–ayah Tantri–harus
menggendongnya setiap pagi ke sekolah dan setiap siang
saat pulang ke rumah’
‘Saat pagi, Tantri digendong ayahnya hingga masuk
kelas. Ayahnya terkadang menunggu hingga Tantri duduk
di bangku dengan nyaman. Begitu pelajaran dimulai,
ayahnya pulang karena harus bekerja di sawah. Saat
siang, ayahnya kembali ke sekolah, menjemputnya dari
atas bangku lalu menggendongnya pulang’
(Ole, 2014)
c) Rumah Dukun
Rumah dukun di kaki Gunung Batukaru menjadi salahsatu latar tempat
di dalam cerpen ini. Latar di rumah dukun digunakan saat Ganggas
mengantar Tantri berobat ke dukun itu atas saran dari Uwak Kajeng.
Berikut kutipan yang dapat memperlihatkan bahwa latar cerpen ada di
Rumah dukun,
‘Di rumah dukun itu Ganggas mendapatkan penjelasan
yang susah diterima nalar’
‘Dukun gila! Ganggas menyumpah dalam hati. Tanpa
ingin mendengar penjelasan lebih lengkap lagi, Ganggas
langsung mengajak Tantri pulang’
(Ole, 2014)
d) Jalan
Jalan merupakan salahsatu latar dari cerpen ini. Latar jalan digunakan
di dalam cerpen saat massa menyeret mayat Ganggas (ayah Tantri) dan
mayat Bontoan (suami Tantri) setelah mereka mengeroyoknya. Berikut
kutipan latar jalan yang terdapat pada cerpen ini,
‘Lelaki itu melompat ke jok depan, menginjak gas dan
mobil melesat di jalan menuju pusat kota’
‘Tantri yang terbaring di kamar kemudian mendengar
kabar ayahnya terbunuh. Mayatnya diseret massa di jalan.
Kepalanya pecah ditumbuk benda tumpul. Darah
mengucur deras dan berceceran di jalan’
‘Ia dikeroyok massa. Mayatnya diseret di jalan. Darah
mengucur deras dari lubang luka di kepala’
(Ole, 2014)
2) Latar waktu
Latar waktu yang digunakan dalam cerpen ini adalah pagi, siang hari,
dan pada tahun 1965.
a) Pada tahun 1965
Kejadian luka di ltutut Tantri muncul pada tahun 1965. Saat itu
Tantri duduk di kelas 4 SD. Tahun itu merupakan tahun yang
kelam bagi Tantri, karena di tahun itu ia mendapatkan luka
aneh dan misterius yang tumbuh di lutut kirinya. Berikut
kutipan tentang latar waktu yakni tahun 1965,
‘Luka di lutut kiri Tantri pernah muncul sekira tahun
1965. Saat itu ia baru kelas empat SD. Seperti saat ini,
luka itu juga muncul dan tumbuh begitu saja’
(Ole, 2014)
b) Pagi dan siang hari
‘Saat pagi, Tantri digendong ayahnya hingga masuk
kelas. Ayahnya terkadang menunggu hingga Tantri duduk
di bangku dengan nyaman. Begitu pelajaran dimulai,
ayahnya pulang karena harus bekerja di sawah. Saat
siang, ayahnya kembali ke sekolah, menjemputnya dari
atas bangku lalu menggendongnya pulang’
(Ole, 2014)
3) Latar suasana
Latar suasana yang ada pada cerpen ini adalah haru, sedih, merasa bersalah,
ngeri, dan mencekam.
a) Haru
Suasana haru timbul saat Tantri mengatakan keinginannya
untuk sembuh kepada sang ayah, Bontoan. Berikut kutipan
suasana haru yang terdapat pada cerpen ini,
‘ ”Tantri malu. Tantri ingin sembuh!” kata Tantri. Ia
memegangi kaki kirinya sembari mendongakkan kepala
memandang ayahnya. Mata bocah itu berkaca-kaca’
(Ole, 2014)
b) Sedih dan merasa bersalah
Suasana sedih dan bersalah terjadi saat Tantri mengetahui
bahwa Ayahnya (Ganggas) meninggal dikeroyok massa.
Kemudian ia harus mengoleskan darah ayahnya ke luka di lutut
kirinya. Selain itu, suasana sedihpun dirasakan oleh Tantri saat
mendengar kabar suaminya (Bontoan) merasakan halyang
sama seperti ayah Tantri yakni dikeroyok massa sampai tewas.
Berikut kutipan suasana sedih dalam cerpen ini,
‘ ”Maaf, Ayah! Maaf, Ayah!” kata Tantri berkali-kali
sembari terus menangis. Warga desa, termasuk ibu Tantri,
tak mengerti, dan hanya Tantri yang paham tentang apa
yang sedang dilakukannya’
‘Namun Tantri merasakan sesak seakan dipukul rasa
bersalah yang tak kunjung enyah hingga kini’
‘Tantri berusaha menahan tangis. Ia memandang borok
di lutut kirinya dengan tajam. Dan ia membayangkan
darah suaminya’
(Ole, 2014)
c) Ngeri dan mencekam
‘Tantri yang terbaring di kamar kemudian mendengar
kabar ayahnya terbunuh. Mayatnya diseret massa di jalan.
Kepalanya pecah ditumbuk benda tumpul. Darah
mengucur deras dan berceceran di jalan. Mendengar
kabar itu, Tantri tersedu. Ia ingat kata-kata si dukun.
Dan ia membayangkan darah ayahnya. Ketika mayat
Ganggas digotong warga desa ke rumahnya, darah segar
masih mengalir dari lubang luka di kepala’
‘Dan kengerian itu mencapai puncak ketika seseorang
mengabarkan bahwa Bontoan terbunuh ketika sedang
mengamankan atribut partai. Ia dikeroyok massa.
Mayatnya diseret di jalan. Darah mengucur deras dari
lubang luka di kepala’
(Ole, 2014)
3. Analisis Aspek Pragmatik
a. Analisis Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam cerpen ini adalah bahasa sehari-hari
yang ringan sehingga mudah dimengerti oleh pembaca. Selain itu bahasa
dalam cerpen ini dibumbui oleh majas ironi, sehingga apa yang buruk seolah-
olah terlihat baik. Namun, dengan ditambahkannya majas-majas tersebut
dapat menambah keindahan cerpen ini.
Bahasa yang digunakan juga disesuaikan dengan peristiwa yang terjadi
di cerpen itu. Ketika muncul peristiwa tragis maka pengarang menggunakan
bahasa yang dapat menimbulkan suasana mencekam. Berikut kutipan
salahsatu penggunaan majas ironi dalam cerpen ini,
‘LUKA di lutut kiri Tantri tumbuh lagi. Mula-mula hanya
bintik kecil dengan bunga nanah yang anggun. Tapi
kemudian membesar. Bintik itu mengembang seperti
gunung kecil dengan kawah nanah yang siap meledak jadi
borok’
(Ole, 2014)
b. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerpen ini adalah
sudut pandang orang ketiga serba tahu karena disini pengarang tidak ikut
langsung dalam cerita dan mengarang hanya menuntun pembaca untuk
mengetahui bagaimana runtutan peristiwa dalam cerpen ini terjadi. Berikut
kutipan sudut pangang orang ketiga serba tahu yang terdapat dalam cerpen,
‘ Tantri ngeri. Karena luka sekecil apa pun yang muncul
pada lutut kiri adalah soal amat besar bagi hari-hari yang
akan dilewatinya’
‘ Saat luka di lutut kiri Tantri benar-benar jadi borok,
Bontoan tiba-tiba pamit dari rumah sembari menjinjing
sebilah pedang’
‘ Bontoan masuk rumah sakit. Keluar dari rumah sakit ia
masuk penjara. Pengadilan memutuskan ia bersalah
membawa senjata tajam dan melakukan pengancaman.
Sedangkan para pengeroyoknya bebas karena dianggap
membela diri’
‘ Sejak masuk ormas, Bontoan kerap keluar rumah tanpa
kenal waktu. Kadang pamit kadang pergi begitu saja’
‘ Kenyataan itulah yang membuat Tantri makin ngeri
ketika Bontoan pergi membawa pedang untuk membela
spanduk partai yang dirusak massa’
‘ Luka di lutut kiri Tantri pernah muncul sekira tahun
1965. Saat itu ia baru kelas empat SD. Seperti saat ini,
luka itu juga muncul dan tumbuh begitu saja’
‘ Ketika luka itu jadi borok, Tantri seakan mengawali
derita panjang di tengah kubang kutuk yang tak
terelakkan. Awalnya ia masih bisa memaksa diri berjalan
kaki ke sekolah, menempuh jarak tiga kilometer, dengan
menyeberangi dua sungai berbatu, mendaki tiga bukit
kecil dan menuruni tiga jurang di tengah-tengah hutan
bambu’
(Ole, 2014)
Kajian Sosiologi Sastra
A. Teori Sosiologi Sastra
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline kata ”Sosiologi” diartikan
sebagai pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan
masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial, dan perubahannya. Sementara
kata “Sosiologi Sastra” diartikan sebagai sastra karya para kritikus dan sejarawan
yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan
masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta
khalayak yang ditujunya.
Secara bahasa, Ratna Nyoman K. (2003:1) menguraikan istilah sosiologi
sastra sebagai berikut.
”Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra.
Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius ber-
arti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos
berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan
berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti
masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti
ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi)
masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keselu-
ruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat,
sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata
sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi,
sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk
atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat
lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu
kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik.”
Sosiologi sastra merupakan ilmu yang dapat digunakan untuk menganalisis
karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.
Paradigma sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala, yaitu
masyarakat dan sastra: karya sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain, tidak
ada karya sastra tanpa masyarakat.
Sosiologi sastra bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga
bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Wilayah sosiologi sastra
cukup luas. Welek dan Weren (1993: 111) mengklasifikasi sosiologi sastra menjadi
tiga bagian: 1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi
sosial, dan yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra; 2) sosiologi karya
sastra yang mengetengahkan permasalahan karya sastra itu sendiri, yang menjadi
pokok permasalahannya adalah apa yang tersifat dalam karya sastra dan apa yang
menjadi tujuannya; dan 3) sosiologi yang mempermasalahkan pembaca dan
pengaruh sosial karya sastra.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian
Watt. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni
konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Hal ini dijelaskan Damono sebagai berikut:
”Ian Watt menjelaskan hubungan timbal balik sastrawan, sastra
dan masyarakat sebagai berikut: 1) Konteks sosial pengarang
yang berhubungan antara posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dengan masyarakat pembaca. Termasuk faktor-faktor
sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai
perseorangan selain mempengaruhi karya sastra. 2) Sastra
sebagai cermin masyarakat, yang dapat dipahami untuk
mengetahui sampai sejauh mana karya sastra dapat
mencerminkan keadan masyarakat ketika karya sastra itu ditulis,
sejauh mana gambaran pribadi pengarang mempengaruhi
gambaran masyarakat atau fakta sosial yang ingin disampaikan,
dan sejauh mana karya sastra yang digunakan pengarang dapat
dianggap mewakili masyarakat. 3) Fungsi sosial sastra, untuk
mengetahui sampai berapa jauh karya sastra berfungsi sebagai
perombak, sejauh mana karya sastra berhasil sebagai penghibur
dan sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial”
(Damono, 2004:3).
Junus (1985: 84-86) mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam
telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Ia
juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra.
Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya
sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan dengan
pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine
yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan
pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan
strukturalisme genetik dari Goldman dan pendekatan Devignaud yang melihat
mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Sastra bisa dilihat sebagai dokumen
sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu
masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir
dari kekosongan budaya. Bagaimanapun karya sastra itu mencerminkan
masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat
dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Dengan demikian, sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter
sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau
potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi
di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh
pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses
kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan
sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Tujuan sosiologi satra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra
dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan
dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi
kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya sastra
bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial (Ratna, 2013: 11).
Berdasarkan uraian di atas, analisis prosa fiksi dengan menggunakan teori
sosiologi sastra dapat dilakukan atas tiga langkah. Langkah pertama adalah
menganalisis struktur suatu karya sastra. Analisis struktur tidak berbeda dengan
analisis pada kajian lainnya. Langkah kedua mendeskripsikan bagaimana
konteks sosial teks tersebut. Konteks sosial teks tersebut harus dikaitkan dengan
konteks sosial dunia nyata/Zamannya. Langkah ketiga mendeskripsikan
bagaimana nilai sosial/ fungsi sosial karya dalam masyarakat. Artinya, kita harus
melihat bagaimana masyarakat memandang karya sastra itu. Yang terpenting
dalam kajian ini adalah langkah utama, yaitu dalami masalah sekaitan dengan
hal yang terjadi di masyarakat.
Pendekatan Sosiologi Sastra
Banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam menelaah sosiologi sastra.
Salah satu diantaranya adalah pendekatan yang dikemukakan oleh Damono (dalam
Faruk, 2005: 4). Pendekatan tersebut terdiri dari tiga macam yaitu :
1) konteks sosial pengarang, yakni hubungan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat. Selain itu, faktor kepengarangan
dengan karya sastranya;
2) sastra sebagai cermin masyarakat, yang diperlihatkan dari segi waktu penulisan,
sifat pribadi yang mempengaruhigambaran masyarakat, dan mewakili seluruh
masyarakat;
3) fungsi sosial sastra, yang memberikan fungsi terhadap sastra itu sendiri dalam
masyarakat.
Analisis Struktural pada cerpen ini telah dibahas pada awal makalah, kini
penulis akan mengkaji cerpen ”Darah Pembasuh Luka” ini dengan teori
Sosiologi Sastra.
Beberapa istilah yang berhubungan dengan Cerpen ”Darah Pembasuh
Luka” ini akan dipaparkan sebagai berikut,
1. Partai Politik
Pengertian Partai Politik di Indonesia menurut pendapat Mac. Iver (dalam
Busroh, 2009 dalam Serizawa, 2014) merumuskan partai politik sebagai perkumpulan
yang diorganisasikan untuk mendukung suatu asas atau perumusan kebijaksanaan
yang menurut saluran-saluran konstitusi dicoba menjadikannya sebagai dasar penentu
bagi pemerintahan.
Sedangkan R.H Salton mengemukakan Pengertian Partai Politik adalah suatu
golongan rakyat yang tersusun yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan
dengan penggunaan kekuasaan hak dan memberikan suara bertujuan untuk
mengawasi pemerintah dan melaksanakan politik untuk mereka.
Sigmund Neumann memberikan gambaran mengenai Pengertian Partai
Politik ialah sebagai oraganisasi-organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku
politik yang aktif dalam masyarakat yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya
pada pengendalian pemerintah dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan
rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Secara umum Pengertian Partai Politik adalah sekelompok anggota
masyarakat yang terorganisir secara teratur berdasarkan ideologi/ program dimana
ada keinginan para pimpinannya untuk merebut kekuasaan negara terutama eksekutif
melalui yang terbaik.
2. Pemilihan Umum/Pemilu
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara
persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations,
komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di
Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik
agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus
selalu komunikator politik.Menurut (Ramlan, 1992:181) Pemilu diartikan sebagai “
mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada
orang atau partai yang dipercayai.
Menurut Ali Moertopo pengertian Pemilu sebagai berikut: “Pada
hakekatnya, pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankn
kedaulatannya sesuai dengan azas yang bermaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pemilu itu sendiri pada dasarnya adalah suatu Lembaga Demokrasi yang memilih
anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, DPRD, yang pada gilirannya
bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah, menetapkan politik dan jalannya
pemerintahan negara”.
Menurut Suryo Untoro “Bahwa Pemilihan Umum (yang selanjutnya
disingkat Pemilu) adalah suatu pemilihan yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia yang mempunyai hak pilih, untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk
dalam Badan Perwakilan Rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dan Tingkat II (DPRD I dan DPRD II)”.Dari
beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan mengenai pengertian pemilihan
umum secara luas yaitu sebagai sarana yang penting dalam kehidupan suatu negara
yang menganut azas Demokrasi yang memberi kesempatan berpartisipasi politik bagi
warga negara untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menyuarakan dan
menyalurkan aspirasi mereka.
(dikutip dari Rahayu, 2014 tersedia
http://seputarpengertian.blogspot.com/2014/04/Pengertian-Makna-Sistem-Jenis-
Tahapan-Tujuan-Dan-Manfaat-Pemilu.html )
A. Konteks Sosial Pengarang Cerpen “Darah Pembasuh
Luka”
Made Adnyana Ole adalah seorang sastrawan yang lahir di Marga, Tabanan,
Bali. Sempat bergabung dengan sejumlah penyair Bali di Sanggar Minum Kopi
(SMK) dan kemudian mendirikan Yayasan Selakunda di Tabanan.
Lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Dwijendra, Denpasar, ini
pernah bekerja di Jakarta menjadi wartawan Nusa Bali Beberapa kali memenangkan
lomba penulisan puisi dan cerpen di Bali maupun tingkat nasional.
Puisi dan cerpennya dimuat di sejumlah media massa, seperti Bali Post, Nusa,
Suara Karya, Jawa Pos, Koran Tempo, Kompas, Horison, Minggu Pagi dan
rumahlebah ruangpuisi.
Puisinya terkumpul dalam berbagai antologi puisi, antara lain Antologi Puisi
Indonesia (Komunitas Sastra Indonesia, 1997), Amsal Sebuah Patung (Yayasan
Borobudur, 1997), Bunga Rampai Puisi Bali (Bali Mangsi, 1999), Datang dari Masa
Depan (Sanggar Satra Tasik, 2000), Bali The Morning After (Darma Printing
Australia, 2000), Art and Peace (Buratwangi, 2000), 100 Puisi Terbaik Indonesia
(GPU, 2008), Singa Ambara Raja dan Burung-Burung Utara (Mahima Institute
Indonesia, 2013), serta Dendang Denpasar Nyiur Sanur (Arti Foundation dan Pemkot
Denpasar, 2012).
Buku kumpulan cerpen tunggalnya, Padi Dumadi, diterbitkan Arti
Foundation, 2007. Bersama buku kumpulan cerpennya itu, tahun 2007, ia mendapat
penghargaan Widya Pataka di bidang kepenulisan dari Gubernur Bali.
Beberapa kali terlibat dalam acara Ubud Writers and Readers sebagai
pemateri, pembaca puisi dan kurator untuk penulis Indonesia.
(Dikutip dari http://penyairbali.blogspot.com/2014/10/made-adnyana-ole.html )
B. Konteks Sosial Masyarakat dalam Cerpen “Darah
Pembasuh Luka”
1) Intrepretasi Sosial-Politik Indonesia dan kaitannya
dengan beberapa kasus
a) Konteks Sosial-Politik: di balik Tahun 1965
Dalam cerpen ini pengarang mencantumkan sebuah tahun
yang merupakan tahun-tahun kelam bagi rakyat Indonesia.
Tahun itu adalah tahun 1965 di mana di dalam cerpen tahun itu
merupakan tahun yang mengawali tumbuhnya luka aneh dan
misterius di lutut kiri Tantri yang dapat memberikannya masa-
masa kelam dan rasa sakit yang luar biasa. Tahun yang juga
berkaitan dengan pemilu yanag akan segera berlangsung pada
saat itu. Berikut kutipan dalam cerpen,
‘Partai politik, massa, pedang dan luka di lutut kiri adalah hal-hal
yang berhubungan dengan satu titik waktu paling kelam dalam
riwayat hidup Tantri.
Luka di lutut kiri Tantri pernah muncul sekira tahun 1965. Saat
itu ia baru kelas empat SD. Seperti saat ini, luka itu juga muncul
dan tumbuh begitu saja. Tanpa diawali dengan goresan benda
runcing semisal ranting kayu kering atau sisi pipih rumput ilalang.
Tanpa dimulai dengan sayatan benda tajam semacam pisau dapur
atau hulu kapak besi. Luka itu muncul begitu saja’
Sedangkan dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa
tahun 1965 merupakan tahun di mama terjadi peristiwa
pembantaian terhadap rakyat Indonesia di berbagai
pulai termasuk pulau Bali yang dilakukan saat Rezim
Soeharto berkuasa dan diduga pembantaian tersebut
terjadi dengan keterlibatan PKI. Berikut kutipan
beritanya,
“KKP-HAM 65 Sumut menuntut pertanggungjawaban dan
pengakuan negara atas peristiwa pembantaian massal.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi setelah
Suharto melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah
dibawah Presiden Sukarno. Selama 32 tahun rezim Soeharto
berkuasa, masyarakat telah dikelabui dengan informasi dan
sejarah yang melegitimasi tindakan kebiadaban rezim orde baru
terutama atas terjadinya pembantaian sebagaimana pengakuan
Sarwo Edhie Wibowo “seba-nyak tiga juta orang terbunuh
dalam peristiwa 1965”. Terjadinya penangkapan, penahanan
dan wajib lapor terhadap puluhan ribu orang selama bertahun-
tahun bahkan puluhan tahun tanpa pernah menjalani proses
hukum dan peradilan dengan tuduhan “terlibat PKI”. Jutaan
rakyat kehilangan harta benda karena dirampas, anak istri
diperkosa, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh
instansi pemerintah (PNS), TNI, BUMN, perkebunan tanpa
pernah diberikan pesangon, pemberangusan hak untuk
berkarya, tidak dapat melanjutkan sekolah karena tidak bersih
lingkungan dan diskriminasi yang terus terjadi hingga kini”
(Kompas, Jumat 30 September 2005)
Pembantaian di Bali
‘ Seperti halnya sebagian Jawa Timur, Bali mengalami keadaan
nyaris terjadi perang saudara ketika orang-orang komunis
berkumpul kembali. Keseimbangan kekuasaan beralih pada
orang-orang Anti-komunis pada Desember 1965, ketika Angkatan
Bersenjata Resimen Para-Komando dan unit Brawijaya tiba di
Bali setelah melakukan pembantaian di Jawa. Komandan militer
Jawa mengizinkan skuat Bali untuk membantai sampai dihentikan.
Berkebalikan dengan Jawa Tengah tempat angkatan bersenjata
mendorong orang-orang untuk membantai "Gestapu", di Bali,
keinginan untuk membantai justru sangat besar dan spontan
setelah memperoleh persediaan logistik, sampai-sampai militer
harus ikut campur untuk mencegah anarki. Serangkaian
pembantaian yang mirip dengan peristiwa di Jawa Tengah dan
Jawa Timur dipimpin oleh para pemuda PNI berkaus hitam.
Selama beberapa bulan, skuat maut milisi menyusuri desa-desa
dan menangkap orang-orang yang diduga PKI. Antara Desember
1965 dan awal 1966, diperkirakan 80,000 orang Bali dibantai,
sekitar 5 persen dari populasi pulau Bali saat itu, dan lebih
banyak dari daerah manapun di Indonesia’
(http://id.wikipedia.org/wiki/
Pembantaian_di_Indonesia_1965%E2%80%931966 )
‘ Saat meletusnya G30S, Bali menjadi salah satu daerah dengan
"penyembelihan" terganas terhadap orang-orang yang dituduh
simpatisan dan anggota PKI, penuh dengan jejak darah
pembantaian dan kuburan massal yang ada di hampir semua
jengkal desa-desa di Bali. Soe Hok Gie dalam sebuah essainya di
Zaman Peralihan, menuliskan gambaran tentang Bali saat hari-
hari mencekam 1965-1966 di Bali sbb.;
"Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara
pembaca ada yang mempunyai teman orang Bali, tanyakan
apakah dia mempunyai teman yang menjadi korban pertumbuhan
darah itu. Ia pasti akan mengiyakan, karena memang demikianlah
keadaan di Bali. Tidak seorang pun yang tinggal di Bali pada
waktu itu yang tidak mempunyai tetangga yang dibunuh atau tidak
dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di
mana-mana pada waktu itu." ‘
(dikutip dari http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2007/8/12/bud4.html)
b) Kerusuhan yang muncul jelang Masa Pemilihan Umum
(Pemilu)
Dalam cerpen ini disajikan contoh bagaimana rusuhnya
bentrokan massa antarpendukung parpol ataupun bentrokan massa
pendukung parpol dengan aparat penertiban massa. Bentrokan
yang terjadi penuh dengan anarkisme dan kekerasan yang bahkan
bisa sampai membuat masyarakat terluka ataupun kehilangan
nyawanya sendiri. Berikut kutipan yang terdapat dalam cerpen,
‘Ganggas putus asa. Ia jarang pulang dan lebih banyak mengurus
perguruan bela diri. Saat ia sibuk merekrut murid dari berbagai
desa, terjadi konflik politik. Ganggas diburu massa’
‘Ganggas menolak untuk menyerah. Ketika massa menyerbu
perguruan, Ganggas sudah siap dengan pedang di tangan.
Seorang diri ia hadapi massa yang jumlahnya lebih dari seratus
orang’
‘Tantri yang terbaring di kamar kemudian mendengar kabar
ayahnya terbunuh. Mayatnya diseret massa di jalan. Kepalanya
pecah ditumbuk benda tumpul’
‘ Dan kengerian itu mencapai puncak ketika seseorang
mengabarkan bahwa Bontoan terbunuh ketika sedang
mengamankan atribut partai. Ia dikeroyok massa. Mayatnya
diseret di jalan. Darah mengucur deras dari lubang luka di
kepala’
(Ole, 2014)
Sementara fakta yang terjadi di Indonesia pun
hampir sama dengan apa yang teerjadi di dalam cerpen
ini. Saat menjelang pemilu banyak sekali terjadi konflik dan
bentrokan antara sesama pendukung parpol. Anarkisme
dan kekerasan tak terelakkan lagi hingga banyak warga
menjadi korban dari bentrokan tersebu. Berikut kutipan
bentrokan yang mewarnai pergelatan pemilu yang
berlangsung di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya;
‘ Memang, kekerasan dan anarkisme bukan hal baru dalam
pilkada, atau sistem pemerintahan di negeri ini. Sepanjang
sejarah perjalanan bangsa, kekerasan dan anarkisme itu acap
kali menyembul ke permukaan. Bukan hanya terjadi dalam
kegiatan politik praktis, tetapi juga terkait kegiatan pemerintahan.
Bukan hanya kekerasan yang berlangsung antarkelompok
masyarakat, tetapi juga kekerasan aparatur pemerintah terhadap
warga masyarakat.
Kekerasan dan anarkisme yang mengawali pergantian
pemerintahan sebagaimana disebutkan, sangat dimungkinkan
lantaran kondisi kultural dan sistem struktur sosial belum tertata
secara demokratis. Maka kesan yang muncul, entah pilkada,
pemilihan presiden (pilpres), sekadar formalitas atau pemanis
bibir saja ’
(dikutipdarihttp://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailopiniindex&kid=1&id=945)
‘ Liputan6.com, Jakarta: Suhu politik menjelang Pemilihan
Umum 2004 memanas. Penyulutnya adalah gesekan antarmassa
pendukung Partai Golongan Karya dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan di Bali. Dua kader dan simpatisan partai
tersebut bentrok. Akibatnya, dua orang tewas, belasan
kendaraan hangus terbakar, dan puluhan orang luka-luka.
‘ Bentrokan pertama terjadi saat massa Partai Golkar bergerak
dari Jembrana menuju Lapangan Kapten Jaya, Padanggalak,
Denpasar, Sabtu pekan silam. Mereka ingin mengikuti hari ulang
tahun ke-39 Partai Beringin. Namun, perjalanan tak berlangsung
mulus. Sebab di ruas jalan menuju Sanur, kawasan Tabanan,
rombongan dihadang massa pendukung Partai Banteng.
Bentrokan fisik tak terhindarkan. Di sini, enam pendukung
Golkar terluka, sehingga harus dirawat di Rumah Sakit
Tabanan. Selain itu, sembilan mobil dan tiga sepeda motor
pendukung Golkar juga dirusak [baca: Massa Golkar dan PDIP
Bentrok di Tabanan] ’
(http://news.liputan6.com/read/65272/bara-pemilu-dari-bali)
2) Kehidupan Sosial Masyarakat Bali
Kehidupan masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi nilai adat
dan budaya nenek moyangnya. Terbukti dengan masih bayaknya
masyarakat bali melakukan doa di Pura, masih merayakan tradisi
nyepi dan masih banyak lagi budaya Bali yang tetap lestari hingga
kini.
C. Fungsi Cerpen “Darah Pembasuh Luka”
a) Fungsi Pendidikan
Dalam cerpen ini banyak hal yang dapat kita ambil sebagai bahan
pembelajaran untuk kehudipan yang lebih baik diantaranya adalah jangan main
keroyokkan dan main hakim sendiri, haruslah bermusyawarah dalam mengambil
keputusan dan jangan gegabah atau tergesa-gesa dalam bertindak karena bila tidak
makan akan ada nyawa yang melayang dengan mudahnya. Berikut kutipan yang
dapat kita jadikan pelajaran agar kita tidak main keroyok yang amain hakim sendiri
serta agar kita dapat memecahkan persoalan ndengan kepala yang dingin bukan
dengan hawa nafsu,
‘ Dan kengerian itu mencapai puncak ketika seseorang
mengabarkan bahwa Bontoan terbunuh ketika sedang
mengamankan atribut partai. Ia dikeroyok massa. Mayatnya
diseret di jalan. Darah mengucur deras dari lubang luka di
kepala ’
b) Fungsi Religius
Dalam cerpen ini tidak banyak fungsi religius yang di kemukakan, tetapi
dapat kita simpulkan bahwa kita sebagai masyarakat yang beragama dan yakin akan
adanya keberadaan Allah Swt. haruslah lebih mendekatkan diri pada Tuhan kita dan
jangan percaya pada Dukun karena boleh jadi ini adalah hal yang membuat kita jauh
dari Allah Swt. Sang Pencipta Alam Semesta beserta isinya.
D. Nilai Sastra dalam Cerpen “Darah Pembasuh Luka”
a) Nilai Budaya
Dalam cerpen ini disajikan budaya masyarakat tradisional yang masih
percaya pada hal-hal gaib dan mistis. Dalam salah satu adegan, tokoh Tantri dan
Ganggas (ayahnya) mencoba untuk berobat kepada seorang dukun. Berikut
kutipan yang ada dalam cerpen ini,
‘ Ganggas datang lagi ke rumah Uwak Kajeng. Dengan mudah
Ganggas mendapat uang dan ia disarankan mengantar Tantri ke
rumah dukun di kaki Gunung Batukaru. Ganggas menurut. Di
rumah dukun itu Ganggas mendapatkan penjelasan yang susah
diterima nalar.
”Ini bukan luka biasa. Luka ini dikirim dengan kekuatan gaib oleh
seseorang yang iri pada keluarga Bapak. Obatnya susah. Luka ini
bisa sembuh jika dibasuh dengan darah manusia!” papar si dukun
setelah memeriksa luka Tantri dengan cara aneh.
”Darah manusia?” Ganggas kaget. Tantri hanya mendengar.
”Ya. Itu pun darah dari manusia yang terluka atau mati tidak
wajar!” tegas si dukun ’
b) Nilai Sosial
Nilai sosial yang terdapat pada cerpen ini adalah hubungan dan interaksi
masyarakatnya yang masih baik dan saling menolong. Seperti saat Tantri
kesulitan berjalan karena luka di lututnya semakin membesar temen-temannya
senantiasa menghiburnya, lalu saat Ganggas tidak memiliki uang untuk biaya
berobat Tantri ia meminta tolong kepada Uwak Kajeng dan beliau pun
memberinya pinjaman. Berikut kutipan yang terdapat di dalam cerpen,
‘ Meski ia harus menyeret paksa kaki kirinya, namun ia bisa
melewati jalan-jalan sulit dengan hati gembira. Itu karena teman-
teman sekolahnya selalu siap membantu sekaligus menghiburnya
dengan lagu-lagu dolanan sepanjang perjalanan.
Seminggu berlalu, kaki kiri Tantri tak bisa digerakkan. Namun ia
tetap ke sekolah ’
‘ Ganggas kemudian menemui Uwak Kajeng, tokoh partai yang
juga pemilik perguruan bela diri tempat ia menjadi pelatih. Selain
memberi uang untuk biaya sewa mobil dan berobat, Uwak Kajeng
juga memberi petunjuk untuk mengantar Tantri ke rumah dokter
ahli penyakit kulit di Mengwi’
‘ Ganggas datang lagi ke rumah Uwak Kajeng. Dengan mudah
Ganggas mendapat uang dan ia disarankan mengantar Tantri ke
rumah dukun di kaki Gunung Batukaru’
(Ole, 2014)
Simpulan
Kajian struktural A. J. Greimas pada cerpen ini memiliki skaema aktan yang
cukup lengkap yakni terdiri dari satu Skema Aktan Utama dan satu Skema Aktan
Bawahan. Dalam skema aktan utam subjek yang ada pada novel ini adalah Tantri,
objeknya adalah kesembuhan yang diinginkan Tantri dan agar luka misterius di lutut
kiri Tantri tak pernah muncul lagi, pengirim dalam skema aktan utama adalah luka di
lutut kiri Tantri yang aneh dan misterius karena muncul secara tiba-tiba, sementara
penerimanya adalah Tantri yang menginginkan kesembuhan, lalu penolongnya adalah
obat yang dapat menyembuhkan luka di lutut kiri Tantri yang misterius yakni darah
manusia yang meninggal dengan cara tidak wajar, dan penentang dari skema aktan
utama adalah sulitnya mendapatkan darah manusia itu dan bila ia berhasil
mendapatkan maka aka nada konsekuensi yang sangat pahit yang harus didapatkan
olehnya.
Kajian cerpen “Darah Pembasuh Luka” ini dengan menggunakan teori Sosiologi
Sastra dapat diketahui bahwa pengarang mencoba mengungkapkan apa yang pernah
terjadi pada tahun yang ia cantumkan sebagai salahsatu latar waktu pada cerpennya
ini dengan menelusuri latar belakang pengarang dan hal-hal yang pernah terjadi pada
masa itu.
Konteks sosial diangkat dalam novel ini adalah: intrepretasi
sosial-politik Indonesia dan kaitannya dengan beberapa kasus yakni
di balik tahun 1965 (kejadian pembantaian terhadap rakyat
Indonesia) dan maraknya kerusuhan dan anarkisme yang terjadi
selam masa pemilu berlangsung.
Daftar Pustaka
Damono, D.S. (2004). “Teori dan aplikasi sosiologi sastra”. Makalah Pelatihan teori
dan Kritik Sastra, 27-30 Mei.
Faruk. (2005). Pengantar sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Junus, U. (1985). Sosiologi sastra: Persoalan teori dan metode. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kamus Besar Bahasa Indonesia offline
Liputan 6. (2003). [Online] Tersedia: http://news.liputan6.com/read/65272/bara-
pemilu-dari-bali pada 27 Oktober 2003. (diakses pada 21 Desember 2014)
Ole, Made Adnyana. (2014). Darah pembasuh luka. Koran Kompas, edisi 23
Februari 2014.
Rahayu, Srikandi. (2014). Seputar pengertian, makna, sistem, jenis tahapan, tujuan
dan manfaat pemilu . [Online] Tersedia:
http://seputarpengertian.blogspot.com/2014/04/Pengertian-Makna-Sistem-Jenis-
Tahapan-Tujuan-Dan-Manfaat-Pemilu.html (diakses pada 26 Desember 2014)
Ratna, Nyoman Kuntha. (2003). Paradigma sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ratna, Khuta Nyoman. (2013). Paradigma sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Serizawa, Ali. (2014). Pengertian partai politik menurut para ahli. [Online]
Tersedia: http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-
partai-politik.html (diakses pada 26 Desember 2014)
Suardana, Made. (2007). Segores kisah kelam di Bali. [Online] Tersedia:
http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2007/8/12/bud4.html (diakses pada 21
Desember 2014)
Welek, R. & Warren , A. (1993). Teori kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
(tanpa nama) .(2014). Made Adnyana Ole. [Online] Tersedia:
http://penyairbali.blogspot.com/2014/10/made-adnyana-ole.html (diakses pada
25 Desember 2014)
Wibowo, Agus. [Online] Tersedia: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailopiniindex&kid=1&id=945 (diakses pada 21 Desember 2014)
Wikipedia. [Online] Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_di_Indonesia_1965%E2%80%9319
66 (diakses pada 21 Desember 2014)
top related