kajian pemekaran daerah
Post on 08-Jun-2015
1.469 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KAJIAN KRITERIA PEMEKARAN DAERAH
Dari Aspek Kemampuan Ekonomi, Potensi Daerah,
Penduduk, dan Rentang Kendali
Tim Penyusun :
Dr. Noldy Tuerah (Universitas Sam Ratulangi)
Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana (Universitas Padjajaran)
Prof. Dr. Bambang Brodjonegoro (Universitas Indonesia)
Dr. Raksaka Mahi (Universitas Indonesia)
Victor Waluyono, SH. (Departemen Keuangan)
TIM ASISTENSI MENTERI KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2006
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
1
KAJIAN KRITERIA PEMEKARAN DAERAH
Dari Aspek Kemampuan Ekonomi, Potensi Daerah,
Penduduk, dan Rentang Kendali
A. LATAR BELAKANG
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mulai dilaksanakan pada tanggal 1
Januari 2001 melalui pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 sebagaimana direvisi
dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan otonomi
daerah tersebut memberikan kewenangan yang luas kepada daerah sehingga
memberikan implikasi dan peluang kepada daerah-daerah tertentu untuk memekarkan
wilayahnya sebagai daerah otonom. Pada prinsipnya dengan pemekaran/penataan
daerah menjadi daerah otonom diharapkan terjadi efisiensi dan efektifitas pelayanan
publik, peningkatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah,
serta terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sejak tahun 2001, pembentukan daerah otonom baru mengalami peningkatan
yang cukup besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu pembentukan 3
provinsi baru, 80 kabupaten baru dan 18 kota baru, sehingga pada tahun 2005 jumlah
keseluruhan provinsi menjadi 33 provinsi dan kabupaten/kota menjadi 434 daerah,
yang terdiri dari 348 kabupaten dan 86 kota. Di samping itu, khusus untuk Provinsi DKI
Jakarta terdiri dari 1 kabupaten administratif dan 5 Kota administratif. Revisi UU No. 22
Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 mempertegas pengaturan mengenai
pembentukan daerah, dimana pembentukan daerah harus memenuhi 3 persyaratan,
yaitu syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Tata cara, prosedur dan persyaratan pembentukan daerah sampai saat ini
masih berdasarkan PP No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan, dan
Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Berdasarkan pada PP
No. 129 Tahun 2000, pembentukan daerah dapat dilakukan apabila memenuhi batas
minimal kelulusan pada 7 kriteria, yaitu kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah,
sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Masing-masing kriteria tersebut
dibagi dalam beberapa indikator, sehingga dari 7 kriteria tersebut terdiri dari 19
indikator dan masing-masing indikator dinilai berdasarkan skor. Menurut PP tersebut,
usulan daerah baru yang memenuhi skor sekurang-kurangnya 2280 dinyatakan
memenuhi kriteria menjadi daerah otonom baru walaupun satu atau beberapa indikator
menunjukkan nilai/skor yang kurang dari minimal. Dengan kata lain, penilaian
kelulusan suatu usulan daerah hanya didasarkan pada total skor padahal seringkali
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
2
ditemukan indikator-indikator tertentu seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah,
atau jumlah penduduk nilainya tidak memadai. Padahal faktor-faktor tersebut, sangat
dominan pengaruhnya terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Dalam penilaian kriteria
pemekaran, kriteria kemampuan ekonomi dan potensi daerah merupakan kriteria
pokok yang mencerminkan kemampuan keuangan calon daerah otonom baru dalam
menyelenggarkan pemerintahan. Kriteria kemampuan ekonomi terdiri dari 2 indikator,
yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Penerimaan Daerah Sendiri (PDS),
sedangkan kriteria potensi daerah, terdiri dari lembaga keuangan, sarana ekonomi,
sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi, sarana
pariwisata, serta ketenagakerjaan.
Pembentukan daerah harus benar-benar bermanfaat bagi pembangunan
nasional pada umumnya dan pembangunan daerah pada khususnya serta dapat
meningkatkan pelayanan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Disamping itu pembentukan daerah juga mengandung arti bahwa daerah
tersebut harus mampu melaksanakan otonomi daerahnya sesuai dengan kondisi,
potensi, kebutuhan dan kemampuan daerah yang bersangkutan. Selain itu,
pembentukan daerah harus memperhatikan syarat-syarat kemampuan ekonomi,
potensi daerah, sosial politik, sosial budaya, jumlah penduduk, luas wilayah, dan
pertimbangan lain yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan, dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.
Pembentukan suatu daerah otonom baru, tidak boleh mengakibatkan daerah induk
tidak mampu melaksanakan otonomi daerahnya. Dengan demikian, baik daerah yang
dibentuk baru maupun daerah yang dimekarkan atau daerah induk secara sendiri-
sendiri dapat melaksanakan otonomi daerahnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Walaupun telah dilakukan penilaian terhadap calon daerah otonom baru melalui
7 kriteria tersebut, namun demikian setelah daerah tesebut terbentuk, masih terdapat
beberapa kendala, khususnya kendala keuangan, terutama karena kemampuan
keuangan dan potensi daerah yang kurang mendukung. Hal ini mengindikasikan
bahwa kriteria yang ada belum mencerminkan kemampuan keuangan yang
sebenarnya sehingga penyelenggaraan pemerintahan menjadi kurang baik. Lemahnya
kondisi keuangan daerah tersebut, akan sangat berpengaruh terhadap
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan peningkatan pelayanan masyarakat yang
menjadi salah satu tujuan pembentukan daerah. Untuk itu, perlu kajian yang mendalam
tentang penilaian yang didasarkan indikator-indikator tertentu yang dapat lebih
mencerminkan kemampuan suatu daerah untuk dapat menyelenggarakan kegiatan
pemerintahan dan pelayanan masyarakat, terutama dari aspek keuangan daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
3
Indikator penilaian pembentukan daerah tersebut sangat dibutuhkan dalam menilai
kelayakan suatu daerah untuk dapat dibentuk dan pengaruhnya terhadap daerah
induk.
Penilaian layak tidaknya suatu daerah dimekarkan selama ini masih
mempunyai kelemahan dan kekurangan. Banyak daerah otonom baru setelah
pemekaran daerah merasa belum mampu membiayai kegiatan pemerintahannya dan
harus dibantu oleh Pemerintah Pusat, karena penerimaan daerah dari PAD dan
transfer dari pusat melalui dana perimbangan, dinilai kurang untuk membiayai
pemerintahan apalagi untuk pembangunan daerah tersebut.
Agar dasar penilaian layak tidaknya suatu daerah dimekarkan dapat menjadi
acuan bahwa daerah tersebut benar-benar mampu untuk menjadi daerah otonom,
maka perlu penyempurnaan dan pengkajian atas mekanisme yang berlaku selama ini,
khususnya dari aspek analisis kriteria pemekaran daerah, khusunya dari segi
kemampuan ekonomi—didalamnya terdapat kemampuan keuangan—dan potensi
daerah, penduduk, dan rentang kendali.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian bertujuan untuk mengkaji kriteria pemekaran daerah, khususnya
faktor kemampuan ekonomi daerah—didalamnya termasuk kemampuan keuangan
daerah—potensi daerah, kependudukan, dan rentang kendali, serta menentukan bobot
masing-masing faktor dan indikatornya sebagai rekomendasi bagi revisi Peraturan
Pemerintah tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan
dan Penggabungan Daerah.
C. METODE PENELITIAN
Untuk mengkaji dan menentukan kriteria kemampuan ekonomi, kemampuan
keuangan daerah, dan potensi daerah, menggunakan data sekunder yang bersumber
dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, dan instansi terkait lain seperti
Dinas Pertanian, Perikanan, perkebunan, Kehutanan, Peternakan, Kesehatan,
Pendidikan, Pertambangan dan Energi, Perhubungan, Pasar, Koperasi dan UMKM,
Perindustrian dan Perdagangan, Pariwisata, Aset Daerah, Badan Kepegawaian, dan
Tenaga Kerja di provinsi, kabupaten, dan kota.
Selain data sekunder akan menggunakan juga data primer diperoleh dengan
teknik wawancara menggunakan kuesioner kepada beberapa stakeholders seperti
beberapa dinas dan badan terkait langsung (Bappeda, BPS, Dipenda, Biro dan Bagian
Keuangan Biro dan Bagian Ekonomi di provinsi, kabupaten, dan kota), tokoh
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
4
masyarakat, pimpinan partai politik, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tabel
1.1. menggambarkan institusi yang menjadi responden untuk mengisi daftar
pertanyaan.
Para responden yang menyatakan setuju terhadap penggunaan indikator-
indikator pada masing-masing faktor (kemampuan ekonomi daerah termasuk
kemampuan keuangan daerah, potensi daerah, kependudukan, dan rentang kendali)
untuk pemekaran wilayah provinsi, kabupaten, dan kota telah mempertimbangkan
beberapa aspek seperti; relevansi terhadap manfaat pemekaran wilayah bagi
masyarakat, ketersediaan serta kemudahan memperoleh data dalam penyusunan
indikator, potensi daerah untuk memacu percepatan pembangunan daerah, dan
pemerataan pembangunan daerah. Oleh sebab itu, besarnya persentase persetujuan
responden dapat menentukan besarnya bobot indikator yang diajukan. Bahkan suatu
indikator dapat diabaikan atau dikeluarkan apabila persentase persetujuan responden
dianggap kurang meyakinkan.
Tabel 1.1.
INSTITUSI RESPONDEN
NO INSTITUSI JUMLAH PERSENTASE 1 BPS 14 42,42 2 Bappeda 8 24,24 3 Bagian Keuangan 6 18,18 4 Bagian Ekonomi 4 12,12 5 BPKD 1 3,04 Jumlah 33 100
D. LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Penetapan lokasi disesuaikan
dengan lokasi-lokasi penelitian terkait lainnya. Kekhususan dari penelitian ini
menetapkan dengan tim peneliti mengenai kekhasan dari sampel provinsi, kabupaten,
dan kota sebagai wilayah sampel. Kemudian menetapkan beberapa provinsi yang
sudah melakukan pemekaran untuk provinsi, provinsi sudah pernah melakukan
pemekaran kabupaten dan kota. Selanjutnya, memilih lokasi kabupaten yang sudah
melakukan pemekaran kabupaten dan kota. Selain itu akan menetapkan provinsi yang
belum pernah melakukan pemekaran provinsi, dan kabupaten yang belum melakukan
pemekaran. Sampel lokasi penelitian seperti ditunjukkan pada Tabel 1.2.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
5
Tabel 1.2.
SAMPEL LOKASI PROVINSI, KABUPATEN, KOTA, dan INSTITUSI
NO PROVINSI KABUPATEN KOTA INSTITUSI 1 Nangroh Aceh
Darussalam (NAD) Aceh Besar Bappeda
Bandah Aceh BPS 2 Kepulauan Riau Pangkal Pinang Bag. Keuangan,
Bappeda 3 Bengkulu BPS Propinsi Bengkulu BPS 4 Jambi BPS 5 Lampung Bappeda 6 Sumatera Utara Karo Bag. Keuangan,
BPS 7 Sumatera Selatan Ogan Komelir Ilir BPS 8 Jawa Timur Gresik Bag. Ekonomi,
Bappeda, BPS, Bag. Keuangan
Surabaya BPKD, BPS 9 Jawa Tengah Bag. Ekonomi,
BPS 10 Kalimantan Timur Balikpapan Bappeda 11 Nusa Tenggara Timur Kupang BPS 12 Bali Denpasar BPS 13 Maluku Ambon Bappeda, BPS,
Bag. Ekonomi 14 Maluku Utara Halmahera Barat BPS, Bappeda,
Bag.Keuangan, Bag. Ekonomi
15 Gorontalo Gorontalo BPS, Bappeda,
Bag. Keuangan 15 Sulawesi Utara Minahasa Selatan Bag. Keuangan
E. WAKTU PENELITIAN DAN PELAKSANA PENELITIAN
Penelitian ke provinsi, kabupaten, dan kota dilaksanakan selang bulan Juli dan
Agustus 2006. Penelitian dilakukan oleh Tim Asistensi, sedangkan pengambilan
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
6
sampel dilakukan oleh Anggota Tim Asistensi dan dibantu oleh Sekretariat Tim
Asistensi.
F. KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH
Bervariasinya kondisi geografi, lokasi, sumberdaya alam, lingkungan, ekonomi,
sosial budaya, dan politik antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, sehingga
diperlukan pengembangan wilayah dengan menggunakan konsep-konsep tanpa
mengabaikan kearifan lokal (local knowledge) serta berkelanjutan. Pengembangan
suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi dan kondisi wilayah setempat, serta
masalah-masalah yang dihadapi langsung wilayah tersebut. Singkatnya,
pengembangan wilayah adalah suatu proses kegiatan yang terencana secara
sistimatis dalam jangka waktu tertentu untuk mempercepat pembangunan ekonomi,
sosial dan budaya, memperkecil kesenjangan antara wilayah, meminimalkan
kerusakan lingkungan akibat pelaksanaan pembangunan, serta menciptakan
pembangunan wilayah yang dapat mandiri dan berkelanjutan.
Bagian ini menjelaskan konsep wilayah sebagai satu unit administrasi yang
mencakup aspek tanah, biologi, lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Kemudian dijelaskan batas wilayah sangat penting ditetapkan sejak awal sebelum
melakukan aspek-aspek lain dalam membangun wilayah, serta menentukan wilayah
berdasarkan referential mode, appraisive mode, prescriptive mode, dan, optative
mode. Bagian selanjutnya menjelaskan pembagian wewenang wilayah dimana
dikemukakan capital division of power dan areal division of power. Pembagian
kewenangan sangat erat kaitannya dengan efisiensi pelayanan dan kemapuan
administrasi. Bagian berikutnya dijelaskan pengembangan wilayah dari aspek sektoral
dan regional. Aspek sektoral dengan menggunakan pendekatan 9 sektor ekonomi
yang sangat umum digunakan menghitung Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Serta aspek regional sangat memperhatikan pemanfaatan keruangan dan keterkaitan
antar kegiatan. Bagian akhir menjelaskan proses perkembangan wilayah dikaji dari
aspek sumberdaya manusia, PDRB, pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Daerah
Sendiri (PDS), kelembagaan, keamanan, sosial budaya, dan politik.
F.1. Konsep Wilayah
Pemahaman tentang wilayah (region) terus berkembang didiskusikan oleh para
ahli ekonomi, geografi, sosial, perencanaan, dan ahli lainnya tentang definisi wilayah
itu sendiri. Beberapa ahli menjelaskan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah,
ada juga yang mengacu pada fungsi-fungsi suatu wilayah, serta sebagian mengacu
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
7
pada keterkaitan antara aspek fisik dan non-fisik untuk membentuk suatu wilayah.
Secara umum wilayah dapat dijelaskan sebagai suatu kesatuan geografi yang tidak
saja mencakup aspek fisik tanah, tetapi juga termasuk didalamnya aspek biologi,
lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Lebih praktis lagi menjelaskan suatu
wilayah dikemukakan oleh Davis (1993), dimana suatu wilayah umumnya didefinisikan
sebagai suatu bagian dari negara yang dibatasi dengan suatu unit administrasi seperti
state atau provinsi, regional district, area metropolitan, kabupaten, kota, kecamatan,
dan desa. Lebih jauh Davis menjelaskan bahwa suatu wilayah selalu akan berfungsi
sebagai wilayah homogen atau wilayah nodal. Namun dalam kenyataan, para
perencana akan diperhadapkan dengan ”wilayah administrasi” sebagai batasan-
batasan ketika melakukan tugas-tugas mereka. Secara singkat klasifikasi pembagian
wilayah administrasi di Indonesia diilustrasikan pada Gambar 1.
Wilayah homogen merupakan satu kesatuan tataruang yang terbentuk oleh
wilayah-wilayah yang memiliki karakteristik relatif seragam. Ciri-ciri keseragaman
karakteristik tersebut dapat diidentifikasi melalui aspek geografi dimana wilayah yang
memiliki topografi dan iklim yang serupa. Aspek ekonomi dapat diidentifikasi
keseragaman pada potensi sumberdaya alam, struktur produksi, dan pola konsumsi.
Dari aspek sosial budaya dapat dilihat pada keseragaman bahasa, etnik, dan perilaku
masyarakat. Serta aspek-aspek lainnya yang dapat menjelaskan keseragaman wilayah
setempat. Contoh wilayah homogen di Indonesia seperti wilayah perkebunan karet di
K/K
K/K
K/K
K/K
K/K
D/L
D/L
D/L
D/L
D/L
D/L
D/L
D/L
D/L
D/LD/L
D/L
D/L
Keterangan :D/L : Dusun / Lingkungan
D/K : Desa / Kelurahan
K : Kecamatan
K/K : Kabupaten / Kota
KK
K
K
K
K
K
D/K
D/K
D/K
D/K
D/K
D/K
D/K
D/K
D/K
DESA /KELURAHAN
KECAMATAN
KABUPATEN / KOTA
PROVINSI
Gambar 1. STRUKTUR WILAYAH DESA/KELURAHAN,
KECAMATAN, KABUPATEN/KOTA, DAN PROVINSI
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
8
Sumatera Utara, wilayah perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur dan
Kalimantan Barat, wilayah perkebunan kelapa di Sulawesi Utara.
Wilayah heterogen atau nodal region yaitu wilayah-wilayah yang saling
ketergantungan dan berhubungan secara fungsional karena faktor ketidakmerataan
dan ketidaksamaan tersebut. Hubungan antar wilayah atau sub-wilayah akan saling
melengkapi dengan melakukan fungsi yang berbeda-beda. Hubungan keterkaitan
seperti ini umumnya terjadi pada wilayah-wilayah pusat (core) dan wilayah-wilayah
pinggiran (periphery). Contoh wilayah heterogen seperti Jakarta dan sekitarnya,
Surabaya dan sekitarnya, dan Medan dan sekitarnya.
Wilayah perencanaan (planning region) atau dapat disebut juga wilayah
administrasi adalah wilayah perencanaan yang dilaksanakan berdasarkan kedekatan,
saling berhubungan dan terkait, serta merupakan satu kesatuan kebijakan atau
administrasi. Contoh wilayah perencanaan seperti wilayah-wilayah yang tergabung
dalam klasifikasi provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, dan desa. Atau wilayah-
wilayah yang secara spasial memiliki perencanaan tetap seperti Daerah Aliran Sungai
(DAS).
F.2. Batas Wilayah
Ketika para perencana menyusun perencanaan untuk kegiatan-kegiatan
manusia dan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, selalu akan berkaitan dengan suatu
wilayah (space) yang direncanakan, dan wilayah tersebut memiliki batas-batas yang
jelas. Umumnya, bata-batas wilayah akan selalu ada walaupun dalam kenyataan tidak
selalu secara fisik akan jelas teridentifikasi tanda batas-batas wilayah tersebut.
Kemungkinan dapat diukur dengan batasan kemampuan manusia melakukan
perjalanan ataupun dengan menggunakan kemampuan fasilitas-fasilitas pelayanan
yang dapat menjangkau dan melayani akan kebutuhan masyarakat dalam suatu
wilayah. Dalam perencanaan sulit membuat rencana suatu wilayah tanpa batas-batas
wilayah yang jelas. Singkatnya dalam perencanaan wilayah atau regional, batasan-
batasan suatu teritori menjadi fokus perencanaan wilayah. Seperti dikatakan oleh
Gertler dalam Hodge dan Robinson (2001) bahwa batas-batas wilayah menjadi elemen
utama yang harus diperhatikan dan ditetapkan terlebih dahulu dibandingkan dengan
elemen-elemen lain dalam membangun suatu wilayah. Pengalaman pelaksanaan
pemekaran wilayah di Indonesia sejak tahun 1999, salah satu masalah yang sampai
saat ini belum terselesaikan sebagian daerah yang telah dimekarkan yaitu batas-batas
wilayah antara daerah induk dengan daerah baru dimekarkan.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
9
Sejarah dan pengalaman selama ini menjelaskan batas-batas suatu wilayah
direfleksikan dengan kondisi alam setempat seperti pegunungan dan sungai. Sisi lain
cara menetapkan suatu batas-batas wilayah dieskpresikan berdasarkan kebutuhan
dan kepentingan politik serta budaya. Sangat menarik seperti dikemukakan oleh
Whittlesey dalam Hodge dan Robinson (2001) bahwa substansi pemahaman suatu
wilayah sebagai suatu outcome dari kepentingan dan keinginan wilayah-wilayah
tertentu. Jadi wilayah diwujudkan dari hasil pemikiran mereka yang memiliki
kepentingan tertentu di dalam wilayah tersebut atau berkeinginan untuk mempertegas
keinginan suatu wilayah.
Menurut Guttenberg dalam Hodge dan Robinson (2001) ada empat cara
(mode) untuk menentukan wilayah:
1. Referential mode: Para ahli sosial dan sumberdaya alam menetapkan wilayah-
wilayah dalam referential mode disimbolkan atau diasosiasikan dengan identitas
alam dan budaya setempat.
2. Appraisive mode: Para ahli analisa kebijakan sangat memperhatikan serta
mengidentifikasi masalah-masalah wilayah seperti polusi dan disparitas ekonomi
sebagai dasar utama digunakan dalam appraisive mode untuk mengevaluasi
kondisi wilayah.
3. Prescriptive mode: Sejak para perencana perlu menetapkan langkah-langkah aksi
untuk menyelesaikan masalah, mereka menggunakan prescriptive mode untuk
menentukan wilayah. Pendekatan seperti ini juga digunakan untuk menetapkan
suatu wilayah yang akan dibangun dan dikelola serta memiliki otoritas tertentu
seperti desa, kecamatan, kabupaten, kota, serta provinsi (di Indonesia).
4. Optative mode: Pendekatan ini berangkat dari kebutuhan mengekspresikan
aspirasi-aspirasi untuk kepentingan wilayah-wilayah tertentu. Optative mode
membangkitkan serta mendorong keinginan masyarakat untuk lebih ekspansif
memikirkan isue-isue sentral untuk mengembangkan wilayah mereka. Contoh
konkrit optative mode di Indonesia seperti provinsi NAD dan Papua.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
10
Tabel 2.1. Beberapa Mode Menentukan Wilayah dengan Contoh Indonesia
MODE Dasar Definisi
Regional Fenomena-Fenomena Spasial yang Relevan
Contoh Indonesia
REFERENTIAL Disinterested observations
Past, present, and future natural dan cultural features
DIY, Bali
APPRAISIVE Evaluation of conditions
Territorial quality-of-life indicators (economic, social, environmental) • Poverty • Conservation Areas • Natural hazards
NTT, NTB, Beberapa provinsi- provinsi di pulau Kalimantan dan Sumatera
PRESCRIPTIVE Special remedial and/or preventive rules of action
Types of territorial control exercised, proposed, or planned • Preservation • Reclamation
Sebagian provinsi-provinsi di Indonesia
General regulations Governance Umumnya provinsi di Indonesia
OPTATIVE Aspirations Types of ideal territorial order envisioned (aesthetic, moral, political)
Nanggro Aceh Darussalam, Papua, Sulawesi Barat, Gorontalo, Banten
Sumber: dimodifikasi dari Hodge and Robinson 2001.
F.3. Pembagian Wewenang Wilayah
Para perencana wilayah menyusun dan menetapkan perencanaan pada
wilayah seperti appraisive regions harus memiliki akses pada kontrol kekuasaan jika
ingin mengimplementasikan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen
perencanaan yang telah mereka susun sebelumnya. Sebagai contoh, suatu daerah
sangat jelas nampak terkebelakang dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain—
disebabkan keterbatasan sumberdaya alam, air bersih, dan infrastruktur dasar—
sehingga memerlukan alternatif-alternatif solusi strategis untuk menangani masalah.
Tentunya permasalahan yang sudah jelas teridentifikasi dapat diselesaikan atau
diperkecil melalui pilihan-pilihan alternatif solusi apabila daerah telah memiliki
kapasitas serta sumberdaya yang memadai. Tetapi dengan banyak keterbatasan-
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah daerah, penyelesaian masalah
perlu dibicarakan dengan pemerintah provinsi dan nasional untuk membagi tugas dan
pembiayaan dalam penyelesaian masalah secara bersama-sama dan komprehensif.
Maass dan kawan-kawan dalam Hodge and Robinson 2001 mengatakan
bahwa sebuah negara pada saat tertentu memiliki ”total capacity to govern”. Negara
dengan wilayah laut yang sangat luas seperti Indonesia—sebagai negara maritim
terbesar di dunia—serta memiliki jumlah penduduk yang besar dan tersebar secara
tidak merata, menunjukkan bahwa untuk mewujudkan tujuan dan harapan yang
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
11
diinginkan oleh sebagian besar impian penduduk Indonesia, perlu pembagian
kapasitas pengelolaan sumberdaya dan kewenangan ”division of power”.
Selanjutnya Maass dan kawan-kawan menjelaskan pembagian kewenangan
dapat dilakukan dengan mendistribusikan keseluruhan kapasitas pengelolaan kepada
seluruh institusi pemerintah ataupun institusi independen yang berada di kabupaten
atau kota atau provinsi. Pembagian kewenangan seperti ini disebut ”capital division of
power” dapat diilustrasikan dengan pembagian kekuasaan antara eksekutif dan
legislatif di Indonesia. Kedua, kewenangan distribusikan berdasarkan pembagian
wilayah yang ada. Pembagian kewenangan seperti ini disebut ”areal division of power”.
Di Indonesia kita mengenal pembagian kewenangan berdasarkan tingkatan
pemerintahan (nasional, provinsi, dan kabupaten atau kota, kecamatan, dan desa).
Setiap pembagian kewenangan harus diletakkan pada prinsip nilai-nilai dasar
per individu atau kelompok masyarakat kemudian tergabung dalam satu kesatuan
politik masyarakat pada tingkat wilayah yang lebih luas maupun pada wilayah tertentu.
Katakanlah prinsip-prinsip nilai dasar Indonesia sebagai konsensus dasar yang
tertuang pada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
perdamaian, keadilan, persatuan, demokrasi, dan kesejahteraan. Sehubungan dengan
pembagian kewenangan pada beberapa tingkatan pemerintahan, pertanyaan yang
muncul yaitu; apakah nilai-nilai dasar sedang dilaksanakan dan direalisasikan?
Ataukah tujuan pembagian kewenangan untuk mewujudkan efisiensi dalam
penyelenggaraan pemerintahan? Kedua pertanyaan ini menjadi perhatian utama
dikemukakan oleh Hodge and Robinson (2000). Untuk mewujudkan nilai-nilai dasar
masyarakat, perencanaan dan pembangunan pada daerah-daerah pemekaran baru
menjadi sangat penting. Walaupun dapat terjadi dua kemungkinan yaitu nilai-nilai
dasar dapat diwujudkan atau terjadi semakin jauh untuk mewujudkan nilai-nilai dasar
yang diharapkan oleh masyarakat di daerah.
Kedua kemungkinan ini nampaknya terjadi di Indonesia. Hasil evaluasi dan
kajian yang dilakukan Departemen Dalam Negeri menunjukkan bahwa dari 98 daerah
(kabupaten dan kota) baru yang dimekarkan sampai tahun 2005, sekitar 74 kabupaten
dan kota belum menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum
dimekarkan. Kemungkinan besar terjadi hal ini disebabkan antara lain; Pertama, pada
saat pemekaran kurang memperhatikan atau mengabaikan indikator-indikator
kemampuan ekonomi dan keuangan daerah, serta potensi daerah yang menjadi syarat
utama pemekaran suatu wilayah. Kedua, indikator-indikator politik cenderung
mendominasi indikator lainnya dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga, orientasi
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
12
melakukan pemekaran wilayah lebih mengarah pada kepentingan menciptakan
jabatan-jabatan baru dan kekuasaan baru di daerah.
Seperti dijelaskan oleh Boex, Martinez-Vazquez, dan Timofeev (2004) bahwa
teori lokasi dapat menjelaskan kewenangan dalam struktur pemerintahan. Prinsipnya
yaitu membentuk pemerintahan sampai pada tingkatan bawah yang paling efisien
mendistribusikan pelayanan pada masyarakat. Misalnya diambil suatu wilayah
pelayanan “provision area” atau “market area” sebagai unit dasar untuk pemerintahan
yang paling di bawah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Artinya, wilayah
jangkauan pelayanan untuk fasilitas pendidikan (sekolah) atau fasilitas kesehatan
(balai pengobatan atau puskesmas) dapat digunakan sebagai acuan suatu daerah
untuk memiliki pemerintah sendiri dan legislatif yang dipilih langsung oleh masyarakat
untuk meyakinkan bahwa pemerintah daerah akan menyiapkan pelayanan dan
pendanaan. Jadi ukuran suatu daerah pelayanan yaitu memperhatikan efisiensi,
jangkauan, dan kemampuan pelayanan publik yang dapat dilakukan oleh pemerintah
daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Skala ekonomi signifikan berlaku untuk menyediakan barang-barang dan jasa-
jasa pelayanan masyarakat, walaupun skala ekonomi akan berbeda berdasarkan tipe
barang dan jasa yang disediakan, struktur biaya untuk menyediakan barang dan jasa
pemerintah, kondisi politik dan institusi, demografi, geografi, serta akan berbeda antara
satu daerah dengan daerah lainnya dalam satu negara.
F.4. Pembangunan Wilayah dari Aspek Sektoral and Regional
Perencanaan dan pengembangan wilayah dapat dilakukan melalui pendekatan
sektoral dan pendekatan regional. Dari sisi sektoral, seluruh kegiatan ekonomi dalam
suatu wilayah diklasifikasikan berdasarkan sektor-sektor kegiatan ekonomi yang
membentuk struktur ekonomi suatu wilayah (provinsi, kabupaten, kota). Sampai
dengan akhir tahun 1992 menggunakan 11 sektor ekonomi. Kemudian sejak tahun
1993, dari sebelas sektor diciutkan menjadi 9 sektor ekonomi. Dari keseluruhan 9
sektor dapat diklasifikasikan menjadi 26 sub-sektor, dan dari 26 sub-sektor terdapat
sekitar 75 jenis komoditi yang secara reguler dihitung perkembangan dari masing-
masing sub-sektor dan sektor ekonomi tersebut.
Perkembangan masing-masing sub-sektor dan sektor ekonomi tersebut yang
akan menjelaskan perkembangan ekonomi suatu wilayah (kota, kabupaten, provinsi)
ataupun pada tingkat nasional. Artinya, analisis sektoral dapat menjelaskan fluktuasi
perubahan kondisi ekonomi wilayah, dapat digunakan untuk menyusun rencana
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
13
pengembangan serta keseimbangan pertumbuhan antar sektor, dapat digunakan juga
untuk memperbaiki keseimbangan distribusi antar sektor terhadap total pembangunan
ekonomi wilayah atau daerah. Pendekatan sektoral inilah yang digunakan untuk
menghitung struktur ekonomi suatu wilayah atau daerah yang biasanya direfleksikan
melalui Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB).
Pendekatan regional sangat memperhatikan pada aspek pemanfaatan
keruangan yang memungkinkan dapat direncanakan sesuai dengan kondisi wilayah
setempat, memperhatikan dan memprediksi kosentrasi kegiatan-kegiatan produksi
pada suatu wilayah tertentu dalam pemanfaatan ruang, memperkirakan kebutuhan
fasilitas-fasilitas untuk masing-masing kosentrasi kegiatan, serta merencanakan
jaringan antar kosentrasi-kegiatan agar dapat dihubungkan secara efisien. Asumsi
yang digunakan dalam pendekatan ini bahwa manusia dan barang akan bergerak
secara bebas dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Daya tarik suatu daerah yang lebih
kuat akan mengarahkan manusia dan barang bergerak pindah ke daerah tersebut
dibandingkan ke daerah lainnya yang relatif terbatas memiliki daya tarik.
Daya tarik suatu wilayah dapat menciptakan berbagai peluang bisnis dan
investasi. Sangat memungkinkan dalam pendekatan regional memberikan ruang
munculnya proyek-proyek investasi yang baru ataupun perluasan proyek-proyek yang
sudah berjalan di wilayah tersebut. Perkembangan pembangunan fisik proyek-proyek
tersebut akan secara langsung mempengaruhi kondisi lingkungan setempat serta
daerah sekitarnya. Pengaruh terhadap daerah sekitarnya kemungkinan bisa terjadi
baik dari aspek positif maupun negatif. Singkatnya dapat terjadi kesenjangan antar
daerah yang semakin mengecil atau sebaliknya makin melebar. Hal-hal seperti ini yang
menjadi prioritas utama dalam perencanaan awal pengembangan wilayah. Walaupun
sangat jelas perbedaan pendekatan antara sektoral dan regional, tapi dapat
disimpulkan bahwa hasil akhir dari kedua pendekatan tersebut intinya adalah
menentukan kegiatan-kegiatan ekonomi pada lokasi atau wilayah tertentu.
F.5 Proses Perkembangan Wilayah
Penyebaran sumberdaya alam dan manusia yang tidak merata, menyebabkan
terjadinya pengelompokan kegiatan pada wilayah-wilayah tertentu yang relatif memiliki
sumberdaya alam yang cukup ataupun melimpah, infrastruktur, serta didukung dengan
potensi penduduk yang memiliki sumberdaya manusia yang memiliki ketrampilan
tertentu serta mampu memanfaatkan teknologi tersedia untuk mengelolah sumberaya
alam menjadi komoditas yang benilai ekonomi tinggi serta dapat diekspor keluar
wilayah tersebut.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
14
Daerah yang memiliki sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang
berkualitas, serta didukung dengan infrastruktur, teknologi, informasi, ditopang dengan
kelembagaan keuangan, dan pemerintah daerah yang mengutamakan
penyelenggaraan kepemerintahan dengan prinsip-prinsip good governance dan clean
government, akan menciptakan pembangunan suatu daerah serta penduduknya yang
berdayasaing dan sejahtera. Sebaliknya daerah yang terbatas memiliki sumberaya
alam dan faktor pendukung lainnya, serta memiliki pemerintah daerah yang terbatas
berinovasi, akan menjadi daerah yang kurang berkembang dan kemungkinakan akan
ketinggalan dibandingkan dengan daerah tetangga lainnya. Kesenjangan akan
semakin nyata ketika sumberdaya (alam dan manusia) mulai berpindah ke daerah
yang relatif lebih berkembang (seperti dikemukakan pada pendekatan regional
dijelaskan di atas).
Singkatnya bahwa perkembangan suatu wilayah akan sangat dipengaruhi oleh
berbagai aspek utama seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, investasi,
teknologi, infrastruktur, kelembagaan, sosial budaya, keamanan, dan politik seperti di
disederhanakan dalam Gambar 2. Walaupun perlu diperhatikan bahwa proses
pengembangan wilayah akan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Proses pengembangan suatu wilayah harus sejak awal memperhatikan keberadaan
faktor-faktor utama penentu laju perkembangan suatu daerah seperti potensi daerah,
kondisi ekonomi, kemampuan keuangan daerah, jumlah dan kepadatan penduduk,
serta rentang kendali. Mengapa faktor-faktor utama harus menjadi perhatian sejak
awal. Karena rencana pengembangan wilayah akan disusun program-program dan
kegiatannya yang akan diintervensi melalui kebijakan-kebijakan yang akan di hasilkan
oleh pemerintah daerah bersangkutan dan pemerintah diatasnya seperti provinsi dan
nasional, dengan tujuan untuk memajukan daerah sesuai potensi yang tersedia serta
kesejahteraan masyarakat.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
15
GambarGambarGambarGambar 2. FAKTOR2. FAKTOR2. FAKTOR2. FAKTOR----FAKTOR PENGEMBANGAN SEBUAH WILAYAHFAKTOR PENGEMBANGAN SEBUAH WILAYAHFAKTOR PENGEMBANGAN SEBUAH WILAYAHFAKTOR PENGEMBANGAN SEBUAH WILAYAH
AspirasiMasyarakat
Politik
Keragaman Etnik, Bahasa, dan Agama
SosialBudaya
Penduduk Migran
Pendidikan
Kesehatan
SDM
Potensi SDA
Investasi
( Pemerintah, Swasta,
Masyarakat )
PDRB, PertumbuhanEkonomi, PDS
Infrastruktur
dan Teknologi
Kelembagaan
Bank danNon Bank
Pasar
Listrik Air Bersih Jalan/Jembatan Telekomunikasi Transportasi
PertahananKeamanan
KarakteristikWilayah danLokasi
Jumlah AparatKeamanan
LUAS WILAYAH
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
16
G. KEMAMPUAN EKONOMI, POTENSI DAERAH, PENDUDUK DAN RENTANG
KENDALI
Tujuan utama pemerintah nasional dan daerah melakukan pemekaran wilayah
menjadi provinsi, kabupaten, dan kota baru yaitu untuk meningkat kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik dan pembangunan daerah.
Mewujudkan kemakmuran bagi masyarakat di daerah tidak terlepas dari kemampuan
menciptakan skala ekonomi dan pelayanan publik yang efisien, serta kemampuan
daerah itu sendiri untuk bisa lebih mandiri membangun daerah berkelanjutan dimasa
akan datang. Oleh sebab itu, mengidentifikasi kemampuan ekonomi daerah,
kemampuan keuangan daerah, potensi daerah, penduduk, dan rentang kendali
menjadi syarat utama pemekaran wilayah (provinsi, kabupaten, dan kota). Bab ini
mengidentifikasi serta menjelaskan indikator-indikator yang perlu digunakan berkaitan
dengan kemampuan ekonomi, kemampuan keuangan, potensi daerah, penduduk, dan
rentang kendali.
G.1. KEMAMPUAN EKONOMI
Kemampuan ekonomi suatu wilayah administrasi (provinsi, kabupaten, dan
kota) dapat dikaji melalui beberapa variabel atau indikator ekonomi yang sangat umum
digunakan oleh pemerintah daerah dan sering dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik
di daerah. Dalam kajian kemampuan ekonomi suatu daerah didalamnya mencakup
juga kajian tentang kemampuan keuangan daerah. Indikator-indikator digunakan untuk
mengkaji kemampuan ekonomi suatu daerah yaitu; Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Per Kapita Non Migas, Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Non Migas terhadap PDRB Total Non Migas, Kontribusi Pembentukan Modal Tetap
Bruto (PMTB) terhadap PDRB Total, Kontribusi Ekspor Neto terhadap PDRB Total,
Kontribusi PDRB Sektor Industri dan Jasa terhadap PDRB Total, Pertumbuhan
Ekonomi (5 tahun terakhir), Konsumsi Per Kapita, Persentase Konsumsi Non Makanan
terhadap Konsumsi Rumah Tangga Total.
Untuk menganalisa kemampuan keuangan daerah, menggunakan beberapa
indikator yaitu; Pendapatan Daerah Sendiri (PAD+DBH Pajak+Bagi Hasil Provinsi),
Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap Belanja Pegawai Daerah, Rasio
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pegawai Daerah, Rasio Pendapatan
Daerah Sendiri (PDS) terhadap PDRB.
Indikator-indikator yang digunakan untuk mengkaji kemampuan ekonomi
daerah dalam tulisan ini, dapat merefleksikan kemampuan akumulasi produksi
kegiatan ekonomi daerah yang dijelaskan melalui Produk Domestik Regional Bruto
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
17
(PDRB), kemampuan akumulasi investasi barang modal daerah yang dijelaskan
melalui Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), kemampuan daerah menghasilkan
barang yang dapat diperdagangkan domestik dan internasional ditunjukan melalui
kontribusi ekspor neto terhadap PDRB total, peran sektor industri dan jasa terhadap
kegiatan ekonomi daerah dijelaskan melalui share sektor industri dan jasa terhadap
PDRB total, gerak perkembangan ekonomi daerah direfleksikan melalui pertumbuhan
ekonomi selama 5 tahun terakhir, produktivitas penduduk suatu daerah dapat
dijelaskan melalui PDRB Per Kapita Non Migas, sebagai refleksi dari daya beli
masyarakat suatu daerah dijelaskan melalui Konsumsi Per Kapita, dan seberapa besar
kemampuan rumah tangga mengeluarkan sebagian pendapatan mereka untk
membelanjakan non-makanan dijelaskan melalui Persentase Konsumsi Non Makanan
terhadap Konsumsi Rumah Tangga Total.
Disisi lain, untuk menganalisa kemampuan keuangan suatu daerah dijelaskan
potensi penerimaan keuangan daerah melalui sumber penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil Pajak dari Pemerintah Nasional, dan Dana bagi Hasil
dari Pemerintah Provinsi, berapa besar kemampuan Pendapatan Daerah Sendiri
(PDS) untuk belanja pegawai daerah dijelaskan melalui rasio PDS terhadap belanja
pegawai daerah. Selanjutnya untuk mengetahui seberapa besar kemampuan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk membiayai belanja Pegawai daerah di jelaskan
melalui rasio PAD terhadap belanja Pegawai daerah. Demikian juga secara umum
dapat diketahui berapa besar kontribusi akumulasi Pendapatan Daerah Sendiri (PDS)
terhadap PDRB total, dijelaskan melalui rasio PDS terhadap PDRB total.
Dari 12 indikator yang digunakan untuk merefleksikan kemampuan ekonomi
dan keuangan daerah—seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1—ada dua indikator
(Kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto [PMTB] terhadap PDRB Total dan
Kontribusi Ekspor Neto terhadap PDRB Total) yang mendapat response dari
responden daerah relatif rendah yaitu masing-masing hanya sebesar 67,74% dan
66,67% dari total responden yang menyetujui kedua indikator tersebut dapat
digunakan untuk menjelaskan kemampuan ekonomi suatu daerah. Begitu juga untuk
indikator Konsumsi Per Kapita mendapat response hanya 78,13% dari total responden.
Alasan utama yang dapat dikemukakan mengapa ketiga indikator tersebut
kurang mendapat response dari responden dibandingkan dengan indikator-indikator
lainnya, hal ini disebabkan umumnya responden yang mengisi daftar pertanyaan
adalah representasi dari pemerintah kabupaten dan kota. Ketiga indikator tersebut
relatif terbatas tersedia di BPS tingkat kabupaten dan kota. Sebagian kantor BPS di
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
18
kabupaten dan kota masih terbatas melakukan perhitungan besarnya Pembentukan
Modal Tetap Bruto (PMTB) di wilayah mereka.
Lebih khusus lagi untuk indikator ekspor, relatif sulit di dapat di daerah
kabupaten dan kota khususnya bagi daerah yang tidak memiliki pelabuhan laut dan
bandara, serta belum secara rutin pemerintah daerah melakukan pendataan barang-
barang yang diproduksi di daerah diperdagangkan antar kabupaten dan kota melalui
angkutan darat. Sehingga reaksi yang muncul ketika akan dihitung share ekspor neto
terhadap PDRB total mereka (yang mengisi kuesioner) menganggap share tersebut
relatif terbatas sehingga menurut mereka kurang relevan digunakan sebagai salah satu
refleksi kemampuan ekonomi daerah. Walaupun indikator tersebut sangat penting
karena dapat menunjukkan keterbukaan dan kemandirian daerah.
Dari 12 indikator—sebagai refleksi kemampuan ekonomi dan kemampuan
keuangan daerah—yang ditanyakan seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1, sekitar
32,14% dari responden menjelaskan bahwa data indikator-indikator tersebut tidak
tersedia di kantor mereka. Serta sekitar 22,22% dari responden yang menyatakan
bahwa sulit bagi mereka untuk menyediakan data-data tersebut. Pernyataan ini dapat
dipahami sebab sebagian dari dinas dan badan seperti Bagian Keuangan dan Bagian
Ekonomi yang mengisi kuesioner tidak memproduksi sebagian data-data pada
indikator yang ditanyakan kepada mereka. Walaupun demikian, sekitar 77,78% dari
responden menyatakan bahwa mereka dapat menyediakan data-data 12 indikator
yang ditanyakan ketika dibutuhkan untuk menganalisa pemekaran wilayah. Lebih dari
57% responden menyatakan bahwa data-data tersebut dapat disiapkan kurang dari 6
bulan. Hanya sekitar 28,57% dari responden yang mengatakan bahwa mereka dapat
menyediakan data-data tersebut hanya membutuhkan waktu sekitar 1 bulan.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
19
Tabel 3.1. KEMAMPUAN EKONOMI DAN KEUANGAN DAERAH
PERNYATAAN RESPONDEN (%) NO INDIKATOR
SETUJU TIDAK SETUJU 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per
Kapita Non Migas 96,67 3,33
2 Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Non Migas terhadap PDRB Total Non Migas
100 0
3 Kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap PDRB Total
67,74 32,26
4 Kontribusi Ekspor Neto terhadap PDRB Total 66,67 33,33 5 Kontribusi PDRB Sektor Industri dan Jasa
terhadap PDRB Total 84,38 15,62
6 Pertumbuhan Ekonomi (5 tahun terakhir) 100 0 7 Konsumsi Per Kapita 78,13 21,88 8 Persentase Konsumsi Non Makanan terhadap
Konsumsi Rumah Tangga Total 83,33 16,67
9 Pendapatan Daerah Sendiri (PAD+DBH Pajak+Bagi Hasil Provinsi)
90,63 9,38
10 Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap Belanja Pegawai Daerah
93,10 6,90
11 Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pegawai Daerah
96,67 3,33
12 Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap PDRB
96,30 3,70
Sumber: Data Survey Lapangan
G.1.1. Produk Domestik Regional Bruto Non Migas dan PDRB Per Kapita Non
Migas
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat merefleksikan kemampuan
kegiatan-kegiatan ekonomi suatu daerah—wilayah administrasi suatu pemerintahan
(provinsi, kabupaten, kota)—memproduksi barang dan jasa, tanpa membedakan
sumber-sumber faktor produksi berasal dari daerah bersangkutan atau dari luar
daerah. Setelah dikurangi dengan pendapatan yang dibayarkan ke luar daerah dan
luar negeri, produk regional menunjukkan keseluruhan produk barang-barang dan
jasa-jasa dihasilkan dari faktor-faktor produksi yang dimiliki penduduk suatu daerah.
Singkatnya, PDRB dapat digunakan untuk menilai kinerja perekonomian suatu
daerah melalui besaran PDRB sebagai dasar untuk mengetahui potensi ekonomi
daerah dalam mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, sebagai dasar
analisa mengukur kinerja ekonomi suatu daerah dalam periode tertentu yang lebih
populer disebut pertumbuhan ekonomi, untuk mengetahui sektor-sektor ekonomi yang
dominan dalam perekonomian suatu daerah serta dapat menjelaskan perubahan
struktur ekonomi daerah, PDRB juga dapat digunakan menganalisa tingkat
kesejahteraan masyarakat suatu daerah secara umum atau disebut pendapatan per
kapita, serta dapat merefleksikan kemandirian suatu daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
20
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita menjelaskan nilai
tambah yang dapat dihasilkan oleh masing-masing penduduk melalui kegiatan-
kegiatan produksi. Kata lainnya, PDRB per kapita mencerminkan tentang produktivitas
penduduk suatu daerah.
G.1.2. Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Non Migas terhadap
PDRB Total Non Migas
Indikator ini dapat menjelaskan besarnya persentase PDRB suatu kabupaten
atau kota terhadap jumlah PDRB seluruh kabupaten dan kota dalam satu provinsi.
Pada tingkat provinsi indikator ini dapat menjelaskan besarnya persentase PDRB
suatu provinsi terhadap jumlah PDRB seluruh provinsi atau nasional. Singkatnya,
share PDRB terhadap PDRB total dapat memberikan suatu gambaran berapa besar
kemampuan kontribusi PDRB suatu kabupaten atau kota terhadap PDRB total provinsi
atau suatu provinsi terhadap PDRB seluruh provinsi atau nasional.
G.1.3 . Kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap PDRB Total
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menjelaskan semua barang modal
baru—dibeli baru maupun bekas dari luar daerah atau pengadaan di daerah sendiri—
yang digunakan sebagai alat untuk berproduksi di suatu daerah. Artinya, PMTB
menjelaskan kemampuan tambahan pembentukan investasi dalam bentuk barang
modal suatu daerah. Jadi share PMTB dapat merefleksikan besarnya kemampuan
akumulasi investasi barang modal terhadap PDRB total. Singkatnya, data PMTB dapat
menjelaskan kemampuan suatu daerah menciptakan investasi dalam bentuk barang
modal dari investasi awal yang sudah berkembang di daerah tersebut.
G.1.4. Kontribusi Ekspor Neto terhadap PDRB Total
Ekspor neto—ekspor dikurangi impor—menjelaskan transaksi barang-barang
dan jasa-jasa antar penduduk suatu daerah dengan penduduk daerah dan negara lain.
Semakin besar kontribusi ekspor neto terhadap PDRB total menggambarkan daerah
tersebut berkemampuan menciptakan barang dan jasa yang dapat bersaing
dipasarkan ke luar daerah tersebut (termasuk ke luar negeri), serta menunjukkan
surplus daerah karena jumlah ekspor lebih besar dari jumlah impor barang dan jasa
yang masuk ke daerah. Selain itu, ekspor neto menunjukkan kemampuan daya saing
daerah tersebut untuk menghasilkan barang dan jasa tertentu mampu bersaing di
pasar global, dan ekspor neto juga dapat menunjukkan keterbukaan serta kemandirian
suatu daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
21
G.1.5. Kontribusi PDRB Sektor Industri dan Jasa terhadap PDRB Total
Semakin besar peran sektor industri pengolahan dan sektor jasa terhadap
PDRB total menjelaskan suatu daerah semakin berkembang serta menunjukkan
terjadinya perubahan struktur ekonomi, dari ekonomi berbasis pertanian bergeser ke
ekonomi berbasis industri dan jasa. Indikator ini dapat merefleksikan potensi sumber-
sumber penerimaan pendapatan daerah yang dapat dikontribusikan oleh kegiatan-
kegiatan ekonomi di sektor industri pengelohan dan sektor jasa. Peran sektor indutri
pengolahan dan sektor jasa akan semakin besar di wilayah perkotaan.
G.1.6 Pertumbuhan Ekonomi
Indikator pertumbuhan ekonomi menjelaskan tingkat pertumbuhan ekonomi
atau mengukur kinerja ekonomi suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi digunakan untuk
menilai keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah dalam jangka waktu
tertentu. Oleh karena itu, indikator ini sangat sering digunakan untuk menentukan arah
kebijakan pembangunan ekonomi daerah dimasa datang.
G.1.7. Konsumsi Per Kapita dan Persentase Konsumsi Non Makanan terhadap
Konsumsi Rumah Tangga Total
Indikator konsumsi per kapita dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kehidupan masyarakat. Konsumsi per kapita dapat menunjukkan kemampuan daya
beli masyarakat, kemampuan ekonomi masyarakat, serta sebagai penggerak utama
perekonomian daerah. Fluktuasi yang terjadi pada tingkat konsumsi penduduk
merefleksikan tingkat kehidupan ekonomi masyarakat setempat.
Konsumsi non makanan dapat menjelaskan kemampuan masyarakat
membelanjakan sebagian pendapatan mereka untuk barang-barang dan jasa-jasa
kebutuhan sekunder. Semakin besar persentase konsumsi non makanan menjelaskan
semakin baik tingkat kehidupan masyarakat karena memiliki kemampuan daya beli
yang lebih besar untuk dialokasikan membelanjakan barang dan jasa selain makanan.
G.1.8. Pendapatan Daerah Sendiri (PAD+DBH Pajak+Bagi Hasil Provinsi)
Indikator Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) menggambarkan kemampuan
nyata penerimaan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi
Hasil Pajak, dan Bagi Hasil Provinsi. Selain itu, Pendapatan Daerah Sendiri (PDS)
dapat menjelaskan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai pelaksanaan
pembangunan daerah atau sebagai refleksi dari kemandirian membangun daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
22
G.1.9. Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap Belanja Pegawai Daerah
Indikator ini dapat menggambarkan dengan jelas besaran angka Pendapatan
Daerah Sendiri (PDS) atau kemampuan fiskal daerah untuk membiayai belanja
Pegawai daerah. Semakin besar jumlah share sebagai kemampuan PDS untuk belanja
Pegawai, merefleksikan semakin besar kemampuan penerimaan daerah untuk
membiayai belanja pegawai. Indikator ini juga dapat menjelaskan kemandirian daerah
untuk membiayai kebutuhan belanja pegawai.
G.1.10.Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pegawai Daerah
Berapa besar share pendapatan asli daerah (PAD) dapat membiayai belanja
pegawai daerah mengambarkan tingkat kemampuan fiskal daerah dapat membiayai
kebutuhan belanja pegawai menjalankan tugas-tugas pemerintahan di daerah.
Besarnya kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat membiayai belanja
pegawai daerah merefleksikan juga kemampuan daerah menggali dan mengelola
potensi daerah sebagai sumber-sumber penerimaan pendapatan daerah, serta
menjelaskan kemandirian daerah membiayai kebutuhan pegawai daerah dalam
menjalankan roda pemerintahan daerah otonom.
G.1.11.Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap PDRB
Indikator ini sangat jelas merefleksikan kemampuan pendapatan daerah sendiri
(PDS) dapat membiayai pelaksanaan pembangunan daerah atau sebaliknya sebagai
gambaran seberapa besar ketergantungan daerah membiayai pembangunan berasal
dari luar sumber-sumber penerimaan utama daerah. selain itu, indikator ini dapat
menggambarkan kemampuan riil daerah mempercepat gerak pembangunan ekonomi
daerah berkelanjutan dan membiayai pembangunan daerah berkaitan langsung
dengan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
G.1.12. Pembobotan Faktor Kemampuan Ekonomi Dan Kemampuan Keuangan
Daerah
Dari delapan indikator yang digunakan menganalisa kemampuan ekonomi
suatu daerah dapat memenuhi syarat untuk dimekarkan, ada 3 indikator (Kontribusi
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap PDRB Total, Kontribusi Ekspor
Neto terhadap PDRB Total, dan Konsumsi Per Kapita) yang dinilai belum relevan
digunakan dalam penilaian pemekaran, disebabkan ketiga indikator tersebut relatif
masih terbatas dapat disediakan oleh instansi-instansi berwewenang di daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
23
Pertimbangan ini didasarkan pada response dari responden terhadap ketiga indikator
tersebut relatif rendah. Sehingga dalam menentukan indikator-indikator berhubungan
dengan kemampuan ekonomi daerah, ditetapkan pada indikator-indikator yang
mendapat response dari responden minimal 80%. Dari delapan indikator, terdapat 5
indikator yang mendapat nilai lebih dari 80% yaitu; Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Per Kapita Non Migas, Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Non Migas terhadap PDRB Total Non Migas, Kontribusi PDRB Sektor Industri dan
Jasa terhadap PDRB Total, Pertumbuhan Ekonomi (5 tahun terakhir), dan Persentase
Konsumsi Non Makanan terhadap Konsumsi Rumah Tangga Total, seperti ditunjukkan
pada Tabel 3.2.
Total nilai bobot dari faktor kemampuan ekonomi yang terdiri dari 5 indikator
(Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Non Migas, Kontribusi Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Non Migas terhadap PDRB Total Non Migas,
Kontribusi PDRB Sektor Industri dan Jasa terhadap PDRB Total, Pertumbuhan
Ekonomi (5 tahun terakhir), dan Persentase Konsumsi Non Makanan terhadap
Konsumsi Rumah Tangga Total) sebesar 15. Nilai ini merupakan jumlah dari kelima
indikator tersebut dengan masing-masing indikator mendapat bobot sebagai berikut;
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Non Migas bobot 3, Kontribusi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Non Migas terhadap PDRB Total Non Migas
bobot 4, Kontribusi PDRB Sektor Industri dan Jasa terhadap PDRB Total bobot 2,
Pertumbuhan Ekonomi (5 tahun terakhir) bobot 4, dan Persentase Konsumsi Non
Makanan terhadap Konsumsi Rumah Tangga Total bobot 2, seperti dipaparkan pada
Tabel 3.2.
Tabel 3. 2. BOBOT KEMAMPUAN EKONOMI DAERAH
NO INDIKATOR % Responden Setuju Bobot 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per
Kapita Non Migas 96,67 3
2 Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Non Migas terhadap PDRB Total Non Migas
100 4
3 Kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap PDRB Total
67,74 0
4 Kontribusi Ekspor Neto terhadap PDRB Total 66,67 0 5 Kontribusi PDRB Sektor Industri dan Jasa
terhadap PDRB Total 84,38 2
6 Pertumbuhan Ekonomi (5 tahun terakhir) 100 4 7 Konsumsi Per Kapita 78,13 0 8 Persentase Konsumsi Non Makanan terhadap
Konsumsi Rumah Tangga Total 83,33 2
Total 15 Keterangan: Bobot = 0, bila % responden setuju < 80%
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
24
Mengkaji kemampuan keuangan daerah dapat direfleksikan melalui empat
indikator yaitu; Pendapatan Daerah Sendiri (PAD+DBH Pajak+Bagi Hasil Provinsi,
Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap Belanja Pegawai Daerah, Rasio
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pegawai Daerah, Rasio Pendapatan
Daerah Sendiri (PDS) terhadap PDRB). Keempat indikator tersebut diresponse oleh
responden diatas 90%, sehingga sangat relevan digunakan untuk mengukur
kemampuan keuangan daerah. Total keseluruhan bobot keempat indikator tersebut
sebesar 10, yang terdiri dari Pendapatan Daerah Sendiri (PAD+DBH Pajak+Bagi Hasil
Provinsi) bobot 2, Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap Belanja Pegawai
Daerah bobot 2, Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pegawai
Daerah bobot 3, dan Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap PDRB bobot
3, seperti nampak pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 BOBOT KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH
NO INDIKATOR % Responden Setuju Bobot 1 Pendapatan Daerah Sendiri (PAD+DBH
Pajak+Bagi Hasil Provinsi) 90,63 2
2 Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap Belanja Pegawai Daerah
93,10 2
3 Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pegawai Daerah
96,67 3
4 Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap PDRB
96,30 3
Total 10 Keterangan: Bobot = 0, bila % responden setuju < 80%
G.1.13. Penilaian Provinsi, Kabupaten, dan Kota Menggunakan Indikator-
Indikator Kemampuan Ekonomi dan Kemampuan Keuangan Daerah
Dari 12 indikator digunakan untuk menganalisis kemampuan ekonomi dan
keuangan daerah yang digambarkan pada Tabel 3.4, ada 3 indikator yaitu (Kontribusi
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap PDRB Total, Kontribusi Ekspor
Neto terhadap PDRB Total, dan Konsumsi Per Kapita) yang belum relevan digunakan
untuk mengkaji pemekaran wilayah kabupaten dan kota, karena keterbatasan data
yang tersedia pada tingkat kabupaten dan kota. Sedangkan untuk pemekaran wilayah
provinsi, indikator rasio Penerimaan Daerah Sendiri (PDS) terhadap PDRB relatif tidak
relevan untuk digunakan. Alasanya bukan disebabkan ketidaktersediaan data pada
tingkat provinsi, tetapi dengan pertimbangan bahwa bagian terbesar sumber-sumber
pendapatan asli daerah (PAD) berada di kabupaten dan kota, dan bukan di tingkat
provinsi.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
25
Tabel 3.4. INDIKATOR-INDIKATOR KEMAMPUAN EKONOMI DAN KEMAMPUAN KEUANGAN
DAERAH YANG RELEVAN DIGUNAKAN UNTUK PENILAIAN PEMEKARAN PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA
No Indikator PROVINSI KABUPATEN
DAN KOTA 1 Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Per Kapita Non Migas Relevan Relevan
2 Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Non Migas terhadap PDRB Total Non Migas
Relevan Relevan
3 Kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap PDRB Total
Relevan Tidak Relevan
4 Kontribusi Ekspor Neto terhadap PDRB Total
Relevan Tidak Relevan
5 Kontribusi PDRB Sektor Industri dan Jasa terhadap PDRB Total
Relevan Relevan
6 Pertumbuhan Ekonomi (5 tahun terakhir)
Relevan Relevan
7 Konsumsi Per Kapita Relevan Tidak Relevan 8 Persentase Konsumsi Non Makanan
terhadap Konsumsi Rumah Tangga Total
Relevan Relevan
9 Pendapatan Daerah Sendiri (PAD+DBH Pajak+Bagi Hasil Provinsi)
Relevan tanpa memasukkan bagi
hasil provinsi
Relevan
10 Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap Belanja Pegawai Daerah
Relevan tanpa memasukkan bagi
hasil provinsi
Relevan
11 Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pegawai Daerah
Relevan Relevan
12 Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap PDRB
Tidak Relevan Relevan
Sumber: Data Survey Lapangan
G.2. POTENSI DAERAH
Potensi suatu daerah dapat menggambarkan kemampuan suatu daerah
mengembangkan serta membangun daerah secara berkelanjutan dan dimanfaatkan
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah. Pada kajian ini, potensi daerah
terfokus pada peran perbankan dan lembaga keuangan non bank, pendidikan,
kesehatan, pemilikan kendaraan transportasi, infrastruktur (listrik, telepon, dan panjang
jalan), tenaga kerja dan pegawai negeri sipil.
Pertama, mengidentifikasi jumlah bank dan lembaga keuangan non bank
dibandingkan dengan jumlah penduduk, kemampuan penduduk mengakumulasikan
dana melalui tabungan masyarakat, peran perbankan serta lembaga keuangan non-
bank menyalurkan kredit khususnya untuk usaha mikro, kecil dan menengah, serta
peran pasar tradisional serta pertokoan dalam menggerakan ekonomi daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
26
Kedua, mengidentifikasi fasilitas dan peran pendidikan khususnya partisipasi
aktif usia sekolah untuk SD, SMP, dan SMA, serta perbandingan jumlah guru terhadap
jumlah murid yang mereka didik. Pada bidang kesehatan diidentifikasi fasilitas
kesehatan yang tersedia dan pelayanan kesehatan. Ketiga, mengidentifikasi peran
sarana transportasi darat dan laut yang dimiliki masyarakat, pelanggan listrik dan
telepon tetap, serta ruas panjang jalan yang tersedia. Terakhir, melihat potensi pekerja
berpendidikan, jumlah pekerja, serta ketersedian pegawai negeri sipil di daerah.
Mengidentifikasi potensi daerah digunakan 17 indikator seperti ditunjukkan
pada Tabel 3.5. Dari ke 17 indikator tersebut ada satu indikator (Rasio PNS terhadap
Penduduk) yang mendapatkan respons dari responden relatif rendah yaitu hanya
sebesar 57,14% dari total responden yang menyetujui indikator dapat digunakan untuk
pertimbangan pemekaran wilayah. Alasan umum yang mereka kemukakan bahwa
datanya tidak tersedia serta jumlah PNS yang dibutuhkan akan disesuaikan dengan
kebutuhan pemerintah. Tapi ada juga yang menyatakan bahwa indikator ratio PNS
dengan jumlah penduduk tidak akan mencerminkan kehidupan masyarakat akan lebih
baik.
Selanjutnya ada dua indikator (Persentase Rumah Tangga yang Mempunyai
Kendaraan Bermotor atau Perahu atau Perahu Motor atau Kapal Motor dan Ratio
Telepon Tetap terhadap Jumlah Rumah Tangga) yang mendapat response dari
responden masing-masing hanya sebesar 66,67% dan 71,88% yang menyetujui kedua
indikator tersebut dapat digunakan sebagai bagian dari potensi daerah. Alasan utama
dikemukakan bahwa indikator kepemilikan kendaraan bermotor dan perahu kurang
disetujui oleh responden disebabkan tidak tersedia data tersebut pada institusi
pemerintah. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden berkaitan dengan
indikator ratio telepon tetap terhadap jumlah rumah tangga yaitu masih banyak wilayah
yang belum terjangkau dengan jaringan telepon tetap dan sebagian masyarakat
menggunakan telepon seluler.
Indikator rasio nilai tabungan terhadap jumlah penduduk dan rasio panjang
jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor, mendapat response dari responden yang
setuju kedua indikator digunakan masing-masing hanya 75,76% dan 76,67%.
Beberapa alasan dikemukakan berkaitan ratio nilai tabungan terhadap jumlah
penduduk yaitu; sebagian besar masyarakat belum berkemampuan menabung di bank,
sebagian besar masyarakat belum terbiasa menabung di bank, serta jumlah bank
masih terbatas. Kemudian alasan-alasan yang dikemukakan berkaitan dengan
indikator panjang jalan terhadap kendaraan bermotor yaitu belum tersedianya data
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
27
pajang jalan dan jumlah kendaraan bermotor, serta masih terbatasnya jumlah
kendaraan roda empat di daerah.
Sekitar 50,00% dari jumlah responden mengatakan bahwa indikator-indikator
potensi daerah tidak tersedia pada institusi mereka, serta hanya 20% dari responden
yang menyatakan institusi mereka tidak dapat menyediakan karena tidak berhubungan
langsung dengan institusi mereka. Dari sebagian besar responden yang menyatakan
dapat menyediakan data-data indikator potensi daerah, hanya sekitar 28,57% yang
menyatakan bahwa mereka memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk menyiapkan
data-data tersebut.
Dari 17 indikator yang digunakan untuk menganalisis potensi daerah, ada dua
indikator (Rasio Nilai Tabungan terhadap Jumlah Penduduk dan Rasio Nilai Kredit
Usaha Kecil (KUK) terhadap Jumlah Penduduk) yang belum relevan digunakan untuk
menganalisis pemekaran wilayah kabupaten dan kota, disebabkan keterbatasan
ketersediaan kedua indikator tersebut di kabupaten dan kota.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
28
Tabel 3.5. POTENSI DAERAH
PERNYATAAN RESPONDEN (%) NO INDIKATOR
SETUJU TIDAK SETUJU 1 Rasio Kantor Bank dan Lembaga Keuangan Non
Bank per 10.000 Penduduk 84,38 15,63 2 Rasio Nilai Tabungan terhadap jumlah Penduduk 75,76 24,24 3 Rasio Nilai Kredit Usaha Kecil (KUK) terhadap
Jumlah Penduduk 84,38 15.63 4 Rasio Pasar dan Pertokoan per 10.000
Penduduk 83,87 16,13 5 Rasio Sekolah SD per Penduduk Usia SD 93.55 6,45 6 Rasio Sekolah SMP per Penduduk Usia SMP 81,25 18,75 7 Rasio Sekolah SMA per Penduduk Usia SMA 90,32 9,68 8 Rasio Guru Murid 81,25 18,75 9 Rasio Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk 90,63 9,38 10 Rasio Paramedis per 10.000 Penduduk 83,38 15,63 11 Persentase Rumah Tangga yang mempunyai
Kendaraan Bermotor atau Perahu atau Motor atau Kapal Motor 66,67 33,33
12 Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Kendaraan Bermotor 76,67 23,33
13 Persentase Pelanggan Listrik terhadap Jumlah Rumah Tangga 84,38 15,63
14 Rasio Telepon Tetap terhadap Jumlah Rumah Tangga 71,88 28,13
15 Rasio Pekerja yang Berpendidikan Minimal SMA terhadap Penduduk Usia 18 tahun ke atas 83.36 13.64
16 Persentase Penduduk yang Bekerja 100.00 0.00 17 Rasio Pegawai Negeri Sipil terhadap Penduduk 57.14 42.86
Sumber: Data Survey Lapangan
G.2.1. Rasio Kantor Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank per 10.000
Penduduk
Indikator ini sangat relevan menjelaskan ketersedia sarana perbankan dan
lembaga keuangan non bank sebagai penggerak utama aktivitas-aktivitas ekonomi di
daerah khususnya bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. Ketersediaan lembaga
perbankan dan non bank di daerah akan memudahkan masyarakat dapat akses pada
fasilitas kredit investasi, kredit modal kerja, serta kredit konsumsi yang disediakan oleh
perbankan dan lembaga non bank, serta mempermuda perputaran dana dari
masyarakat maupun untuk disalurkan pada masyarakat. Indikator ini juga menjelaskan
ketersediaan sumber-sumber pembiayaan investasi di daerah.
G.2.2. Rasio Nilai Tabungan terhadap Jumlah Penduduk
Besarnya persentase nilai tabungan terhadap jumlah penduduk merupakan sisi
lain refleksi dari kemampuan keuangan masyarakat, performa ekonomi masyarakat,
serta juga menjelaskan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu indikator ini dapat
menjelaskan kemampuan masyarakat menabung sebagai pendapatan mereka. Kata
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
29
lainnya, jumlah tabungan masyarakat merupakan potensi utama yang dapat digunakan
sebagai investasi di daerah.
G.2.3. Rasio Nilai Kredit Usaha Kecil (KUK) terhadap Jumlah Penduduk
Indikator ini menjelaskan bahwa semakin besar jumlah kredit usaha kecil
terhadap jumlah penduduk akan semakin baik gerak ekonomi khususnya usaha mikro,
kecil, dan menengah sebagai urat nadi utama pemacu ekonomi daerah. Penyaluran
kredit usaha kecil akan memberikan kesempatan pelaku ekonomi di daerah—yang
pada umumnya tergabung dalam UMKM—sebagai refleksi aktivitas ekonomi
kerakyatan di daerah. Kondisi ini akan ditunjukkan langsung dengan kegiatan-kegiatan
ekonomi skala mikro dan kecil bergerak lebih dinamis, roda perputaran ekonomi
daerah terus bergerak. Artinya, semakin besar dana KUK dapat disalurkan
menjelaskan potensi bisnis di daerah akan semakin baik. Indikator ini dapat
memberikan informasi kepada pemerintah daerah dan sektor perbankan tentang
penentuan strategi penyaluran kredit untuk UMKM.
G.2.4. Rasio Pasar dan Pertokoan per 10.000 Penduduk
Indikator pasar dan pertokoan sebagai prasarana dan sarana ekonomi utama
penggerak roda perekonomian di daerah. Pasar tradisional sebagai prasarana utama
ekonomi di daerah sebab berfungsi sebagai tempat untuk bertemu pembeli dan
penjual, menampung dan mendistribusikan produk-produk unggulan lokal,
menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, pusat informasi, fasilitas sosial
masyarakat, dan objek wisata. Jadi pasar merefleksikan kemampuan daya beli
masyarakat untuk menyerap produksi lokal dan produk dari luar daerah. Disisi lain,
menggambarkan kemampuan mensuplai barang dan jasa melalui usaha-usaha unit
produksi dan distribusi yang direpresentasikan oleh sejumlah pedagang yang
membuka toko-toko dan warung-warung. Jadi pasar tradisional dan pertokoan sebagai
sarana industri pariwisata dan berperan penting mempercepat gerak pengembangan
ekonomi lokal. Singkatnya, semakin besar jumlah pasar dan pertokoan terhadap
jumlah penduduk menggambarkan kemampuan keuangan masyarakat dan tingkat
pergerakan ekonomi daerah semakin baik. Indikator ini sangat relevan digunakan
untuk menetapkan arah kebijakan daerah membangun dan memperbaiki prasarana
dan institusi ekonomi daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
30
G.2.5. Rasio Sekolah SD per Penduduk Usia SD, Rasio Sekolah SMP per
Penduduk Usia SMP, Rasio Sekolah SMA per Penduduk Usia SMA, dan
Rasio Guru Murid
Ketersediaan fasilitas pendidikan seperti sekolah-sekolah SD sampai SMA di
suatu daerah menjadi syarat mutlak dalam rangka membangun modal manusia
berkualitas. Indikator rasio sekolah per penduduk usia sekolah dapat menjelaskan
daya tampung murid pada fasilitas sekolah-sekolah yang tersedia di suatu daerah.
Indikator ini menjelaskan ketersediaan fasilitas sekolah pendidikan dasar, menengah,
dan atas dengan jumlah penduduk usia sekolah pada tingkatan masing-masing, serta
menggambarkan kemudahan penduduk akses pada fasilitas pendidikan. Semakin
banyak fasilitas sekolah dibandingkan dengan jumlah anak usia sekolah menunjukkan
semakin terbuka luas kesempatan pada anak-anak berpartisipasi masuk sekolah untuk
mendapatkan pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk suatu daerah akan
semakin baik mutu modal manusia sebagai penggerak utama pembangunan di daerah.
Indikator ini juga dapat digunakan untuk penentuan kebijakan jumlah sekolah pada
setiap tingkatan yang perlu dibangun di daerah.
Indikator rasio guru murid adalah cara lain dapat menjelaskan mutu modal
manusia. Semakin besar angka perbandingan antara guru dan murid akan semakin
baik pelaksanaan proses belajar mengajar di sekolah. Sebab ketersedia jumlah guru
dapat menjadi ukuran keberhasilan tingkat kelulusan anak didik. Indikator ini juga
sangat relevan digunakan dalam menetapkan kebijakan jumlah guru yang dibutuhkan
pada suatu daerah atau satu sekolah.
G.2.6. Rasio Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk dan Rasio Paramedis per
10.000 Penduduk
Indikator rasio fasilitas kesehatan dan paramedis per 10.000 penduduk
menggambarkan ketersediaan fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang dapat
melayani penduduk. Semakin besar angka rasio perbandingan antara fasilitas
kesehatan dengan penduduk dan rasio paramedis dengan penduduk menjelaskan
bahwa semakin mudah penduduk dapat akses untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Pada aspek lain, indikator ini dapat menjelaskan kemampuan penanganan
pelayanan kesehatan pada masyarakat. Semakin baik pelayanan kesehatan akan
menghasilkan penduduk yang semakin sehat dan berkualitas. Sangat relevan indikator
ini digunakan sebagai penentuan kebijakan untuk kebutuhan pembangunan fasilitas
kesehatan serta jumlah tenaga medis yang dibutuhkan.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
31
G.2.7. Persentase Rumah Tangga yang Mempunyai Kendaraan Bermotor atau
Perahu atau Motor atau Kapal Motor dan Rasio Panjang Jalan terhadap
Jumlah Kendaraan Bermotor
Indikator ini merefleksikan kemampuan masyarakat memiliki alat transportasi
digunakan sendiri maupun digunakan untuk angkutan umum. Semakin besar
persentase rumah tangga yang memiliki alat transportasi sendiri menggambarkan
bahwa masyarakat setempat memiliki kemampuan untuk menyediakan alat
transportasi sendiri, tingkat mobilitas penduduk relatif tinggi, arus transportasi barang
dan penumpang menjadi lancar, serta menjelaskan juga ketersedia sarana transportasi
di daerah.
Indikator rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor
menggambarkan ketersediaan prasarana jalan yang tersedia dengan jumlah
kendaraan yang ada di daerah tersebut. Semakin kecil angka rasio tersebut
menjelaskan semakin padat kendaraan yang beredar di daerah tersebut. Indikator ini
selain menjelaskan ketersediaan prasarana dan sarana transportasi sebagai
pendorong utama pembangunan ekonomi daerah, merefleksikan juga kemajuan suatu
daerah. Kedua indikator dijelaskan diatas sangat penting dalam penentuan kebijakan-
kebijakan untuk kebutuhan pembangunan prasarana dasar seperti jalan dan
jembatan, dan penyediaan sarana transportasi di daerah.
G.2.8. Persentase Pelanggan Listrik terhadap Jumlah Rumah Tangga dan Rasio
Telepon Tetap terhadap Jumlah Rumah Tangga
Semakin besar proporsi rumah tangga yang menggunakan listrik menandakan
semakin maju dan berkembang kondisi masyarakat daerah tersebut. Tingginya
pemanfaatan listrik bagi masyarakat menjelaskan ketersediaan suplai listrik yang
memadai, kemudahan penduduk akses fasilitas listrik, serta menunjukkan kemampuan
ekonomi masyarakat memanfaatkan fasilitas listrik. Listrik selain digunakan sebagai
alat penerangan, digunakan juga untuk kebutuhan kegiatan-kegiatan proses produksi
ekonomi rumah tangga. Indikator ini menjelaskan kemudahan aksesibilitas listrik oleh
masyarakat, serta listrik sudah menjadi kebutuhan dasar masyarakat.
Ketersediaan infrastruktur telekomunikasi di daerah merupakan syarat yang
harus disiapkan. Indikator ini menjelaskan jumlah rumah tangga yang dapat akses
pada fasilitas telepon menggunakan telepon tetap. Makin banyak rumah tangga
menggunakan telepon tetap menggambarkan kondisi masyarakat setempat semakin
baik. Ketersediaan sarana telekomunikasi yang mudah diakses oleh masyarakat
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
32
merefleksikan kemudahan dalam berkomunikasi, kondisi daerah yang semakin maju,
dan memiliki daya tarik untuk mengembangkan bisnis-bisnis baru di daerah.
Kedua indikator dijelaskan diatas merupakan prasarana dasar sangat penting
dalam mempercepat gerak pembangunan ekonomi di daerah. Selain itu ketersediaan
listrik dan telekomunikasi di daerah menjadi indikator utama untuk menarik para pelaku
bisnis melakukan investasi di daerah. Kedua indikator ini sangat penting bagi
pemerintah daerah bekerjasama dengan PT. PLN dan PT. Telekom menetapkan arah
kebijakan daerah untuk penyediaan pembangkit dan jaringan listrik dan jaringan
telepon mengantisipasi rencana pengembangan wilayah-wilayah strategis di daerah.
G.2.9. Rasio Pekerja yang Berpendidikan Minimal SMA terhadap Penduduk Usia
18 tahun ke Atas dan Persentase Penduduk yang Bekerja
Indikator rasio pekerja yang berpendidikan minimal SMA terhadap penduduk
usia 18 tahun ke atas merefleksikan angka sejumlah pekerja berpendidikan minimal
SMA atau menggambarkan kualitas pekerja di daerah bersangkutan. Indikator ini juga
dapat menjelaskan kemampuan daerah menghasilkan tenaga kerja berpendidikan
setara SMA, tingkat partisipasi tenaga kerja terdidik dalam kegiatan-kegiatan produksi,
serta juga dapat menunjukkan ketersediaan lapangan kerja bagi pekerja berkualitas di
daerah tersebut.
Indikator persentase penduduk yang bekerja menjelaskan partisipasi penduduk
secara aktif terlibat langsung pada kegiatan-kegiatan ekonomi. Pada sisi lain, indikator
ini dapat menjelaskan ketersediaan lapangan kerja pada daerah tersebut. Sebaliknya,
indikator ini merefleksikan proporsi penduduk yang menganggur serta proporsi
ketergantungan penduduk tidak produktif.
Kedua indikator ini sangat penting untuk menetapkan kebijakan-kebijakan
strategis pengelolaan sumberdaya potensial sebagai penggerak utama ekonomi
daerah sesuai dengan kualitas tenaga kerja yang tersedia. Pada aspek lain, indikator-
indikator ini juga dapat menjadi arahan pemerintah daerah untuk menciptakan
kebijakan-kebijakan yang terfokus pada penciptaaan tenaga kerja berkualitas dan
berdaya saing untuk bekerja di daerah maupun di luar daerah termasuk luar negeri.
G.2.10. Rasio Pegawai Negeri Sipil terhadap Penduduk
Pelayanan pemerintah daerah pada masyarakat selain ditentukan oleh aturan
dan prosedur yang telah ditetapkan, sangat di pengaruhi juga oleh pegawai negeri sipil
yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Indikator rasio pegawai negeri sipil
terhadap penduduk menjelaskan kemampuan pelayanan pegawai negeri sipil terhadap
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
33
penduduk di daerah yang bersangkutan. Makin kecil angka perbandingan tersebut
merefleksikan keterbatasan pegawai negeri sipil dapat melayani kebutuhan
masyarakat. Indikator ini sangat penting untuk menetapkan kebutuhan ideal pegawai
negeri sipil yang dapat melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat di daerah.
G.2.11. Pembobotan Faktor Potensi Daerah
Faktor potensi daerah dijelaskan melalui 17 indikator, dimana dari 17 indikator
tersebut terdapat 3 indikator (Persentase Rumah Tangga yang mempunyai Kendaraan
Bermotor atau Perahu atau Motor atau Kapal Motor, Rasio Telepon Tetap terhadap
Jumlah Rumah Tangga, dan Rasio Pegawai Negeri Sipil terhadap Penduduk) yang
mendapat response dari responden kurang dari 75%, dengan alasan dari responden
bahwa data-data tersebut relatif terbatas tersedia di daerah. Pertimbangan itulah
sehingga indikator-indikator yang diresponse kurang dari 75% belum relevan untuk
digunakan dalam penilaian potensi daerah.
Total keseluruhan bobot dari 14 indikator yang dapat digunakan untuk penilaian
potensi daerah sebesar 20. Untuk indikator Rasio Kantor Bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank per 10.000 Penduduk, Rasio Nilai Tabungan terhadap jumlah
Penduduk, Rasio Nilai Kredit Usaha Kecil (KUK) terhadap Jumlah Penduduk, Rasio
Pasar dan Pertokoan per 10.000 Penduduk, Rasio Sekolah SMP per Penduduk Usia
SMP, Rasio Guru Murid, Rasio Paramedis per 10.000 Penduduk, Rasio Panjang Jalan
terhadap Jumlah Kendaraan Bermotor, Persentase Pelanggan Listrik terhadap Jumlah
Rumah Tangga, Rasio Pekerja yang Berpendidikan Minimal SMA terhadap Penduduk
Usia 18 tahun ke atas, masing-masing mendapat bobot sebesar 1. Untuk indikator
Rasio Sekolah SMA per Penduduk Usia SMA dan Rasio Fasilitas Kesehatan per
10.000 Penduduk, masing-masing mendapat bobot sebesar 2. Untuk indikator Rasio
Sekolah SD per Penduduk Usia SD dan Persentase Penduduk yang Bekerja, masing-
masing mendapat bobot sebesar 3, seperti digambarkan pada Tabel 3.6.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
34
Tabel 3.6. BOBOT POTENSI DAERAH
NO INDIKATOR % Responden Setuju Bobot
1 Rasio Kantor Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank per 10.000 Penduduk 84,38 1
2 Rasio Nilai Tabungan terhadap jumlah Penduduk 75,76 1
3 Rasio Nilai Kredit Usaha Kecil (KUK) terhadap Jumlah Penduduk 84,38 1
4 Rasio Pasar dan Pertokoan per 10.000 Penduduk 83,87 1
5 Rasio Sekolah SD per Penduduk Usia SD 93.55 3
6 Rasio Sekolah SMP per Penduduk Usia SMP 81,25 1
7 Rasio Sekolah SMA per Penduduk Usia SMA 90,32 2
8 Rasio Guru Murid 81,25 1 9 Rasio Fasilitas Kesehatan per 10.000
Penduduk 90,63 2 10 Rasio Paramedis per 10.000 Penduduk 83,38 1 11 Persentase Rumah Tangga yang
mempunyai Kendaraan Bermotor atau Perahu atau Motor atau Kapal Motor 66,67 0
12 Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Kendaraan Bermotor 76,67 1
13 Persentase Pelanggan Listrik terhadap Jumlah Rumah Tangga 84,38 1
14 Rasio Telepon Tetap terhadap Jumlah Rumah Tangga 71,88 0
15 Rasio Pekerja yang Berpendidikan Minimal SMA terhadap Penduduk Usia 18 tahun ke atas 83.36 1
16 Persentase Penduduk yang Bekerja 100.00 3 17 Rasio Pegawai Negeri Sipil terhadap
Penduduk 57.14 0 Total 20
Keterangan: Bobot = 0, bila % responden setuju < 75%
Pada faktor potensi daerah, terdapat 14 indikator yang layak digunakan dalam
penilaian potensi suatu daerah untuk pemekaran pada tingkat kabupaten dan kota.
Untuk penilaian pemekaran daerah pada tingkat provinsi dapat digunakan 17 indikator
seperti ditunjukkan pada Tabel 3.7.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
35
Tabel 3.7. INDIKATOR-INDIKATOR POTENSI DAERAH YANG RELEVAN DIGUNAKAN UNTUK
PENILAIAN PEMEKARAN PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA
NO INDIKATOR Provinsi Kabupaten dan Kota
1 Rasio Kantor Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank per 10.000 Penduduk Relevan Relevan
2 Rasio Nilai Tabungan terhadap jumlah Penduduk Relevan Relevan
3 Rasio Nilai Kredit Usaha Kecil (KUK) terhadap Jumlah Penduduk Relevan Relevan
4 Rasio Pasar dan Pertokoan per 10.000 Penduduk Relevan Relevan
5 Rasio Sekolah SD per Penduduk Usia SD Relevan Relevan 6 Rasio Sekolah SMP per Penduduk Usia SMP Relevan Relevan 7 Rasio Sekolah SMA per Penduduk Usia SMA Relevan Relevan 8 Rasio Guru Murid Relevan Relevan 9 Rasio Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk Relevan Relevan 10 Rasio Paramedis per 10.000 Penduduk Relevan Relevan 11 Persentase Rumah Tangga yang mempunyai
Kendaraan Bermotor atau Perahu atau Motor atau Kapal Motor Relevan Tidak Relevan
12 Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Kendaraan Bermotor Relevan Relevan
13 Persentase Pelanggan Listrik terhadap Jumlah Rumah Tangga Relevan Relevan
14 Rasio Telepon Tetap terhadap Jumlah Rumah Tangga Relevan Tidak Relevan
15 Rasio Pekerja yang Berpendidikan Minimal SMA terhadap Penduduk Usia 18 tahun ke atas Relevan Relevan
16 Persentase Penduduk yang Bekerja Relevan Relevan 17 Rasio Pegawai Negeri Sipil terhadap Penduduk Relevan Tidak Relevan
G.3. KEPENDUDUKAN
Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk suatu wilayah atau daerah menjadi
pertimbangan utama untuk melaksanakan pembangunan daerah. Sebaliknya pada
daerah-daerah tertentu seperti wilayah kepulauan dan perbatasan ataupun pada
wilayah-wilayah perbatasan di daratan dengan negara-negara tetangga, jumlah
penduduk tidak akan menjadi pertimbangan prioritas untuk membangun fasilitas-
fasilitas umum pada wilayah khusus tersebut. Aspek politik akan sangat dominan
berpengaruh dalam proses-proses penyusunan dan penetapan kebijakan.
Aspek penduduk, seperti digambarkan pada Tabel 3.8, ditetapkan dua indikator
yaitu jumlah penduduk dan tingkat kepadatan penduduk. Untuk indikator jumlah
penduduk, hanya 3,23% dari total responden yang tidak menyetujui indikator ini
digunakan dalam penentuan pemekaran wilayah. Selanjutnya, sekitar 9,68% dari
responden yang tidak menyetujui tingkat kepadatan penduduk digunakan sebagai
salah satu indikator pemekaran wilayah. Walaupun mereka tidak memberikan alasan-
alasan mengenai ketidak setujuan penggunaan kedua indikator tersebut, tapi dapat
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
36
diduga sementara bahwa mereka dari daerah-daerah yang memiliki jumlah penduduk
terbatas serta tingkat kepadatan penduduk relatif rendah.
Hanya 11,11% dari seluruh responden yang menyatakan belum memiliki data,
serta sekitar 33,33% dari responden menyatakan mereka tidak dapat menyediakan
data tersebut karena diluar tugas dan kewenangan institusi mereka bekerja. Tetapi
yang menarik dari pernyataan responden yaitu sekitar 66,67% responden dapat
menyediakan data tersebut sekitar 3 bulan. Sementara 33,33% dari responden
menyatakan bahwa mereka dapat menyediakan data penduduk dan kepadatan
penduduk kurang dari 1 bulan.
Tabel 3.8. PENDUDUK DAN KEPADATAN PENDUDUK
Pernyataan Responden (%) No Indikator
Setuju Tidak Setuju 1 Jumlah Penduduk 96,77 3,23 2 Tingkat Kepadatan Penduduk 90,32 9,68
Sumber: Data Survey Lapangan
G.3.1. Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk
Penduduk menjadi objek utama tujuan pembangunan daerah. Oleh sebab itu,
mereka perlu aktif secara langsung ikut serta dalam proses perencanaan
pembangunan, pelaksanaan pembangunan, pelaksanaan pemantauan dan evaluasi
pembangunan, serta mereka dapat menikmati langsung manfaat dari hasil-hasil
pembangunan daerah. Indikator jumlah penduduk merupakan modal utama
pembangunan daerah, dapat menjelaskan kebutuhan bentuk-bentuk pelayanan yang
perlu disiapkan oleh pemerintah daerah untuk melayani penduduk, serta
pembangunan daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan penduduk itu
sendiri.
Mengetahui besaran jumlah penduduk serta kepadatan penduduk menjadi
informasi awal untuk analisa kebutuhan perencanaan pembangunan daerah serta
digunakan untuk penentuan kebijakan-kebijakan strategis daerah dalam mewujudkan
masyarakat lebih sejahtera. Arah dan strategi kebijakan yang tepat dibutuhkan untuk
mewujudkan penduduk yang produktif dan berkualitas, serta sedapat mungkin
memperkecil ruang terjadinya penduduk sebagai beban dari pelaksanaan
pembangunan daerah itu sendiri.
Tingkat kepadatan serta penyebaran penduduk akan sangat dipengaruhi oleh
karakteristik wilayah dan potensi sumberdaya alam—seperti wilayah pegunungan,
dataran rendah, pesisir pantai, kepulauan, perbatasan, dan wilayah terisolasi—serta
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
37
ketersediaan pelayanan infrastruktur di daerah tersebut. Indikator tingkat kepadatan
penduduk menjelaskan tentang konsentrasi-konsentrasi penyebaran penduduk pada
suatu wilayah atau daerah, serta dapat mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan
pelayanan pemerintah sesuai dengan kondisi geografis daerah masing-masing.
Tingkat kepadatan penduduk digunakan sebagai data dasar untuk penentuan
kebijakan-kebijakan strategis pemerintah dalam jangka pendek, menengah, dan
panjang, serta digunakan untuk penetapan arah kebijakan perencanaan tata ruang,
arah kebijakan pengembangan wilayah secara umum maupun pengembangan wilayah
tertentu dan wilayah khusus. Selain itu, dapat menetapkan kebijakan-kebijakan khusus
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan spesifik masyarakat pada wilayah-wilayah
tertentu seperti wilayah terisolasi dari pusat pelayanan fasilitas-fasilitas pemerintah,
serta wilayah kepulauan dan perbatasan.
G.3.2. PEMBOBOTAN FAKTOR KEPENDUDUKAN
Faktor kepadatan penduduk yang merupakan faktor utama dalam penilaian
pemekaran suatu wilayah mendapat response relatif tinggi dari responden baik untuk
indikator penduduk maupun indikator tingkat kepadatan penduduk. Jumlah bobot untuk
faktor kependudukan sebesar 20 yang terdiri dari indikator jumlah penduduk bobot 15
dan indikator tingkat kepadatan penduduk bobot 5. Kedua indikator tersebut sangat
relevan digunakan untuk penilaian pemekaran pada tingkat provinsi, kabupaten, dan
kota, seperti digambarkan pada Tabel 3.9.
Tabel 3.9. BOBOT PENDUDUK DAN KEPADATAN PENDUDUK,
DAN RELEVANSI PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA
No Indikator % Responden Setuju Bobot Provinsi Kabupaten
dan Kota 1 Jumlah Penduduk 96,77 15 Relevan Relevan 2 Tingkat Kepadatan
Penduduk 90,32 5
Relevan
Relevan Total 20
Keterangan: Bobot = 0, bila % responden setuju < 80%
G.4. RENTANG KENDALI
Efektivitas dan efisiensi rentang kendali pelaksanaan tugas-tugas pelayanan
oleh pemerintah daerah terhadap masyarakat menjadi salah satu syarat utama
pemerintah daerah menyelenggarakan otonomi daerah. Kemudahan akses dan
kecepatan memberikan pelayanan pada masyarakat merupakan kewajiban pemerintah
daerah melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan publik, dimana
manfaatnya yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat setempat.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
38
Untuk menjelaskan rentang kendali, digunakan indikator rata-rata jarak
kecamatan ke pusat pemerintahan dan rata-rata waktu perjalanan dari kecamatan ke
pusat pemerintahan, seperti dijelaskan pada Tabel 3.10. Kedua indikator tersebut di
response masing-masing oleh responden sebesar 96,77% dan 93,55%. Angka-angka
ini menjelaskan bahwa bagian terbesar responden (dinas, badan, bagian) di
kabupaten, kota, dan provinsi menyetujui kedua indikator tersebut dapat merefleksikan
rentang kendali pemerintah daerah menyelenggarakan tugas-tugas pelayanan publik.
Hanya sekitar 19,23% dari responden yang menyatakan tidak memiliki data
tersebut, dan sekitar 25% responden mengemukakan bahwa data tersebut tidak dapat
mereka sediakan karena tidak berhubungan langsung dengan tugas mereka sehari-
hari. Untuk menyediakan data-data tersebut sekitar 25% responden menjelaskan
bahwa data tersebut dapat mereka sediakan kurang dari 6 bulan. Sedangkan sekitar
75% responden mengatakan bahwa data-data rentang kendali dapat disiapkan antara
1 sampai 3 bulan.
Tabel 3.10 RENTANG KENDALI
Pernyataan Responden (%) No Indikator
Setuju Tidak Setuju 1 Rata-rata jarak kecamatan ke pusat
pemerintahan 96,77 3,23
2 Rata-rata waktu perjalanan dari kecamatan ke pusat pemerintahan
93,55 6,45
Sumber: Data Survey Lapangan
G.4.1. Rata-Rata Jarak Kecamatan ke Pusat Pemerintahan dan Rata-Rata Waktu
Perjalanan dari Kecamatan ke Pusat Pemerintahan
Jarak dan waktu tempuh dari kecamatan ke pusat pemerintahan menjadi salah
satu tolok ukur pengukuran efisiensi dan kecepatan pelayanan tugas-tugas pemerintah
kepada masyarakat. Selain itu, kedekatan jarak dan waktu tempuh yang pendek akan
sangat memudahkan pemerintah (kecamatan dan kabupaten atau kota) melakukan
konsultasi, koordinasi, mediasi, fasilitasi, serta monitoring dan evaluasi program dan
kegiatan yang dilakukan pada masyarakat.
Indikator jarak dapat menjelaskan dan menentukan efektifitas dan kemudahan
bentuk-bentuk pelayanan publik yang dapat ditempatkan atau dilakukan pada lokasi-
lokasi tertentu yang mudah dijangkau oleh masyarakat, serta kemudahan interaksi
antara masyarakat dengan pemerintah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
39
Indikator waktu perjalanan dapat menggambarkan efisiensi dan kecepatan
pelayanan publik, serta dapat menjelaskan biaya transportasi yang harus dikeluarkan
oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan-pelayanan publik tertentu. Waktu
tempu dari kecamatan ke pusat pemerintahan sangat dipengaruhi oleh ketersiadiaan
prasarana (jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara) dan sarana penunjang
(kendaraan bermotor, motor laut, kapal laut, dan pesawat).
Kedua indikator tersebut menjadi pijakan utama bagi pemerintah daerah untuk
menetapkan arah kebijakan-kebijakan strategi berhubungan dengan penentuan,
penempatan, dan pembangunan fasilitas-fasilitas pelayanan dasar seperti pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur dasar yang menjadi tugas utama pemerintah daerah
melaksanakan otonomi daerah.
G.4.2. PEMBOBOTAN FAKTOR RENTANG KENDALI
Faktor rentang kendali yang terdiri dari indikator rata-rata jarak kecamatan ke
pusat pemerintahan dan rata-rata waktu perjalanan dari kecamatan ke pusat
pemerintahan mendapat response sangat baik dari responden. Jumlah bobot rentang
kendali sebesar 10 yang terdiri dari indikator rata-rata jarak kecamatan ke pusat
pemerintahan bobot 6 dan rata-rata waktu perjalanan dari kecamatan ke pusat
pemerintahan bobot 4. Kedua indikator tersebut relevan digunakan untuk penilaian
pemekaran wilayah provinsi, kabupaten, dan kota, seperti dijelaskan pada Tabel 3.11.
Tabel 3.11. BOBOT RENTANG KENDALI DAN RELEVANSI PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA
No Indikator % Responden
Setuju Bobot Provinsi Kabupaten
dan Kota 1 Rata-rata jarak
kecamatan ke pusat pemerintahan
96,77 6 Relevan Relevan
2 Rata-rata waktu perjalanan dari kecamatan ke pusat pemerintahan
93,55 4 Relevan Relevan
Total 10 Keterangan: Bobot = 0, bila % responden setuju < 80%
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
40
H. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
H.1. KESIMPULAN
Untuk menentukan faktor kemampuan ekonomi daerah dapat dijelaskan melalui
8 indikator yaitu; Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Non Migas,
Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Non Migas terhadap PDRB Total
Non Migas, Kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap PDRB Total,
Kontribusi Ekspor Neto terhadap PDRB Total, Kontribusi PDRB Sektor Industri dan
Jasa terhadap PDRB Total, Pertumbuhan Ekonomi (5 tahun terakhir), Konsumsi Per
Kapita, Persentase Konsumsi Non Makanan terhadap Konsumsi Rumah Tangga Total.
Ada 3 indikator dari 8 indikator yang menjelaskan faktor kemampuan ekonomi
daerah, yaitu; Kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto [PMTB] terhadap PDRB
Total, Kontribusi Ekspor Neto terhadap PDRB Total, dan Konsumsi Per Kapita yang
mendapat response dari responden relatif rendah yaitu masing-masing hanya sebesar
67,74%, 66,67%, 78,13% dari total responden. Karena ketiga indikator mendapat
response dibawah 80%, sehingga dinyatakan belum relevan digunakan untuk
dimasukan dalam penilaian pemekaran wilayah kabupaten dan kota.
Total bobot untuk penilaian faktor kemampuan ekonomi sebesar 15 yang terdiri
dari; Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Non Migas terhadap PDRB
Total Non Migas bobot 4, Pertumbuhan Ekonomi (5 tahun terakhir) bobot 4, Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Non Migas bobot 3, Kontribusi PDRB
Sektor Industri dan Jasa terhadap PDRB Total bobot 2, dan Persentase Konsumsi Non
Makanan terhadap Konsumsi Rumah Tangga Total bobot 2.
Faktor kemampuan keuangan daerah dijelaskan dengan menggunakan 4
indikator yaitu; Pendapatan Daerah Sendiri (PAD+DBH Pajak+Bagi Hasil Provinsi),
Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap Belanja Pegawai Daerah, Rasio
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pegawai Daerah, Rasio Pendapatan
Daerah Sendiri (PDS) terhadap PDRB. Keempat indikator tesebut mendapat response
dari responden diatas 90%, sehingga dinilai sangat layak untuk digunakan dalam
penilaian pemekaran wilayah kabupaten dan kota.
Total bobot untuk penilaian faktor kemampuan keuangan daerah sebesar 10
yang terdiri dari; Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pegawai
Daerah bobot 3, Rasio Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap PDRB bobot 3,
Pendapatan Daerah Sendiri (PAD+DBH Pajak+Bagi Hasil Provinsi) bobot 2, dan Rasio
Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap Belanja Pegawai Daerah bobot 2.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
41
Analisa faktor potensi daerah direfleksikan melalui 17 indikator yaitu; Rasio
Kantor Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank per 10.000 Penduduk, Rasio Nilai
Tabungan terhadap jumlah Penduduk, Rasio Nilai Kredit Usaha Kecil (KUK) terhadap
Jumlah Penduduk, Rasio Pasar dan Pertokoan per 10.000 Penduduk, Rasio Sekolah
SD per Penduduk Usia SD, Rasio Sekolah SMP per Penduduk Usia SMP, Rasio
Sekolah SMA per Penduduk Usia SMA, Rasio Guru Murid, Rasio Fasilitas Kesehatan
per 10.000 Penduduk, Rasio Paramedis per 10.000 Penduduk, Persentase Rumah
Tangga yang mempunyai Kendaraan Bermotor atau Perahu atau Motor atau Kapal
Motor, Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Kendaraan Bermotor, Persentase
Pelanggan Listrik terhadap Jumlah Rumah Tangga, Rasio Telepon Tetap terhadap
Jumlah Rumah Tangga, Rasio Pekerja yang Berpendidikan Minimal SMA terhadap
Penduduk Usia 18 tahun ke atas, Persentase Penduduk yang Bekerja, Rasio Pegawai
Negeri Sipil terhadap Penduduk.
Ada 3 indikator dari 17 indikator untuk menjelaskan faktor potensi daerah yaitu;
Persentase Rumah Tangga yang mempunyai Kendaraan Bermotor atau Perahu atau
Motor atau Kapal Motor, Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Kendaraan Bermotor,
Rasio Telepon Tetap terhadap Jumlah Rumah Tangga, dan Rasio Pegawai Negeri
Sipil terhadap Penduduk yang mendapat response dibawah 75% dari total responden.
Sehingga ketiga indikator dinyatakan belum relevan digunakan untuk menilai
pemekaran wilayah kabupaten dan kota.
Jumlah keseluruhan bobot 14 indikator yang dapat digunakan untuk penilaian
faktor potensi daerah sebesar 20, yang terdiri dari; Rasio Sekolah SD per Penduduk
Usia SD bobot 3, Persentase Penduduk yang Bekerja bobot 3, Rasio Sekolah SMA per
Penduduk Usia SMA bobot 2, Rasio Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk bobot
2, Rasio Kantor Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank per 10.000 Penduduk bobot
1, Rasio Nilai Tabungan terhadap jumlah Penduduk bobot 1, Rasio Nilai Kredit Usaha
Kecil (KUK) terhadap Jumlah Penduduk bobot 1, Rasio Pasar dan Pertokoan per
10.000 Penduduk bobot 1, Rasio Sekolah SMP per Penduduk Usia SMP bobot 1,
Rasio Guru Murid bobot 1, Rasio Paramedis per 10.000 Penduduk bobot 1, Rasio
Panjang Jalan terhadap Jumlah Kendaraan Bermotor bobot 1, Persentase Pelanggan
Listrik terhadap Jumlah Rumah Tangga bobot 1, dan Rasio Pekerja yang
Berpendidikan Minimal SMA terhadap Penduduk Usia 18 tahun ke atas bobot 1.
Faktor kependudukan menggunakan 2 indikator yaitu Jumlah Penduduk dan
Tingkat kepadatan Penduduk. Kedua indikator ini mendapat reponsen dari responden
masing-masing 96,77% dan 90,32% dari total responden yang menyetujui kedua
indikator digunakan untuk menjelaskan potensi penduduk daerah. Jumlah keseluruhan
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
42
bobot untuk penilaian faktor kependudukan sebesar 20, yang terdiri dari indikator
jumlah penduduk bobot 15 dan indikator tingkat kepadatan penduduk bobot 5.
Rentang kendali menggunakan 2 indikator yaitu rata-rata jarak kecamatan ke
pusat pemerintahan dan rata-rata waktu perjalanan dari kecamatan ke pusat
pemerintahan. Indikator-indikator ini mendapat response dari responden masing-
masing 96,77% dan 93,55% dari total responden yang sepakat kedua indikator
tersebut relevan digunakan menganalisa rentang kendali. Jumlah keseluruhan bobot
untuk penilaian faktor rentang kendali sebesar 10, yang terdiri dari indikator rata-rata
jarak kecamatan ke pusat pemerintahan bobot 6 dan indikator rata-rata waktu
perjalanan dari kecamatan ke pusat pemerintahan bobot 4.
Untuk penilaian pemekaran pada wilayah provinsi, 8 indikator untuk
menjelaskan faktor kemampuan ekonomi daerah relevan untuk digunakan. 4 indikator
yang digunakan untuk menjelaskan faktor kemampuan keuangan daerah, hanya
indikator rasio pendapatan daerah sendiri (PDS) terhadap PDRB yang tidak relevan
digunakan. 17 indikator yang digunakan untuk merefleksikan faktor potensi daerah
relevan untuk digunakan. Demikian juga 2 indikator menjelaskan faktor kependudukan
dan 2 indikator menggambarkan rentang kendali relevan digunakan dalam penilaian
pemekaran wilayah provinsi.
Untuk penilaian pemekaran wilayah kabupaten dan kota, ada 5 indikator
masing-masing Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Non Migas,
Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Non Migas terhadap PDRB Total
Non Migas, Kontribusi PDRB Sektor Industri dan Jasa terhadap PDRB Total,
Pertumbuhan Ekonomi (5 tahun terakhir), dan Persentase Konsumsi Non Makanan
terhadap Konsumsi Rumah Tangga Total, yang merefleksikan faktor kemampuan
ekonomi daerah relevan untuk digunakan.
Faktor kemampuan keuangan daerah dijelaskan melalui 4 indikator masing-
masing Pendapatan Daerah Sendiri (PAD+DBH Pajak+Bagi Hasil Provinsi), Rasio
Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap Belanja Pegawai Daerah, Rasio
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pegawai Daerah, dan Rasio
Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) terhadap PDRB, sangat relevan digunakan untuk
penilaian pemekaran kabupaten dan kota.
Faktor kependudukan yang dijelaskan melalui 2 indikator yaitu jumlah
penduduk dan tingkat kepadatan penduduk, serta faktor rentang kendali yang
dijelaskan melalui 2 indikator masing-masing rata-rata jarak kecamatan ke pusat
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
43
pemerintahan dan rata-rata waktu perjalanan dari kecamatan ke pusat pemerintahan
sangat relevan digunakan dalam penilaian pemekaran wilayah kabupaten dan kota.
H.2. REKOMENDASI
Dari hasil kesimpulan dirangkum diatas perlu untuk direkomendasikan bahwa
faktor kemampuan ekonomi, faktor kemampuan keuangan daerah, faktor potensi
daerah, faktor kependudukan, dan faktor rentang kendali harus dihitung sebagai nilai
faktor mutlak yang tidak dapat di “cross-subsidy” dengan nilai faktor-faktor lainnya.
Dengan kata lain, suatu daerah dapat dimekarkan apabila memenuhi syarat kelulusan
dari ke empat faktor mutlak disebutkan diatas.
Bobot masing-masing faktor kemampuan ekonomi bobot 15, faktor kemampuan
keuangan daerah bobot 10, faktor potensi daerah bobot 20, faktor kependudukan
bobot 20, dan faktor rentang kendali bobot 10, merupakan bobot mutlak. Artinya, ketika
suatu daerah akan dimekarkan (provinsi atau kabupaten atau kota) setelah dihitung
total bobot faktor kemampuan ekonomi daerah tidak mencapai 15, daerah tersebut
langsung dinyatakan belum memenuhi syarat untuk dimekarkan pada saat itu. Hal
yang sama berlaku juga untuk penilaian faktor kemampuan keuangan daerah, faktor
potensi daerah, faktor kependudukan, dan faktor rentang kendali. Dengan kata lain,
pada saat suatu daerah (provinsi, kabupaten, kota) akan dimekarkan dan satu dari
empat faktor disebutkan di atas setelah dihitung belum mencapai jumlah bobot yang
telah ditetapkan pada masing-masing faktor tersebut, calon daerah baru tersebut dapat
dinyatakan belum memenuhi syarat dan harus menunggu beberapa waktu tertentu
untuk dinilai kembali sampai dapat memenuhi jumlah bobot pada masing-masing faktor
yang telah ditetapkan.
Seluruh indikator-indikator pada masing-masing faktor (kemampuan ekonomi
daerah, kemampuan keuangan daerah, potensi daerah, kependudukan, dan rentang
kendali) yang digunakan untuk penilaian pemekaran suatu wilayah (provinsi,
kabupaten, dan kota) dapat juga digunakan untuk penilaian penggabungan daerah-
daerah yang tidak dapat menunjukkan perkembangan pembangunan daerah serta sulit
untuk dapat mandiri.
Indikator-indikator digunakan untuk menilai faktor kemampuan ekonomi daerah,
faktor kemampuan keuangan daerah, faktor potensi daerah, faktor kependudukan, dan
faktor rentang kendali beserta dengan bobot masing-masing indikator serta faktornya
seperti telah dijelaskan sebelumnya, dapat digunakan untuk memperbaiki rancangan
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
44
peraturan pemerintah (RPP) tentang Persyaratan Pembentukan, dan Kriteria
Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
REFERENSI Boex, Martinez-Vazquez, Timofeev. 2004. Subnational Government Structure and
Intergovernmental Fiscal Relations: An Overlooked Dimension of Decentralization. Working paper 04-01. Andrew Young School of Public Studies, Georgia State University.
BPS, 1996. Pedoman Praktis Penghitungan PDRB Kabupaten/Kota. Buku I.
Jakarta: BPS. Brenner, N., Jessop. B., Jones. M., MacLeod. G. (Eds.) 2003. State/Space A Reader.
U.K.: Blackwell Publishing. Davis, H. C. 1993. Regional Economic Impact Analysis and Project Evaluation.
Vancouver: UBC Press Glasson, J. 1974. An Introduction to Regional Planning. London: Hutchinson. Hodge, G., and Robinson, I. M. 2001. Planning Canadian Regions. Vancouver: UBC
Press. Richardson, H. W. 1969. Elements of Regional Economics. Harmondsworth, U.K.:
Penguin Books.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
i
Lampiran
RINGKASAN PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)
DEFINISI
PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) adalah penjumlahan nilai neto dari seluruh
barang dan jasa yang dihasilkan atau diproduksi di suatu wilayah (provinsi atau
kabupaten atau kota) dalam selang waktu tertentu misalnya 1 tahun. Neto dalam arti
sudah dikeluarkan biaya-biaya selain dari biaya tenaga kerja, sewa tanah, penyusutan,
dan pajak tak langsung netto. Dengan kata lain, PDRB adalah penjumlahan Nilai
Tambah Bruto (NTB) di seluruh sektor kegiatan ekonomi, pengertian Bruto disini
karena masih termasuk penyusutan.
PDRB Harga Berlaku adalah nilai barang dan jasa, pendapatan, dan pengeluaran
sesuai dengan rata-rata harga berlaku setiap tahun. Secara umum bila seluruh
produksi barang dan jasa dikalikan masing-masing harga rata-ratanya setiap tahun
sama dengan PDRB Harga Berlaku.
PDRB Harga Konstan adalah nilai barang dan jasa, pendapatan, dan pengeluaran
sesuai dengan harga pada tahun tertentu (tahun dasar). Untuk PDRB sekarang adalah
rata-rata harga tahun 2000 dan diubah setiap 5 tahun sekali. Secara umum bila
seluruh produksi barang dan jasa setiap tahun dikalikan masing-masing harga rata-
ratanya pada tahun 2000 sama dengan PDRB Harga Konstan 2000.
METODE PENGHITUNGAN PDRB
Pendekatan Produksi
• Mengumpulkan data produksi (Q)
• Mengumpulkan data harga produsen (P)
• Menghitung output: Q x P = Output
• Menghitung Biaya Antara (biaya produksi selain biaya tenaga kerja, sewa tanah,
penyusutan, dan pajak tak langsung netto)
• Menghitung Nilai Tambah Bruto (NTB) = Output - Biaya Antara
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
ii
Contoh Penghitungan untuk Komoditi PADI dengan Pendekatan Produksi
Struktur Biaya Nilai Rp Struktur Output Produksi
Harga Produsen
Rp/ton
Nilai Rp
Bibit 20 000 Padi gabah sawah 1000 ton 100 100 000
Obat-obatan 50 000 Merang/Jerami 5 % 5 000
Lainnya 20 000 Padi gabah ladang 100 ton 90 90 000 Nilai Tambah Bruto (Sisa)
108 000 Jerami 4 % 3 000 000
Total 195 000 Total Output 198 000
Pendekatan Pendapatan
• Menentukan Komponen Pendapatan berupa balas jasa faktor produksi
• Balas Jasa Faktor Produksi yaitu; Upah, Surplus Usaha (Sewa Tanah, Bunga
Modal, Keuntungan), Pajak Tak Langsung, Penyusutan
• Menjumlahkan nilai semua komponen diatas.
Contoh Penghitungan Pendekatan Pendapatan
No Komponen Nilai Tambah Nilai 1 Upah Gaji: dalam bentuk uang tunai dan THR 1 000 000 dalam bentuk barang 500 000 2 Surplus Usaha: Bunga yang dibayarkan 50 000
Sewa tanah (tidak termasuk sewa alat/gedung) 50 000
Pajak langsung/keuntungan 1 000 000 Keuntungan bersih 2 000 000 3 Pajak tidak langsung 500 000 4 Penyusutan 500 000 5 Jumlah Nilai Tambah Bruto 5 600 000
Pendekatan Pengeluaran
• Menentukan kelompok pengguna barang dan jasa
• Menghitung konsumsi rumah tangga biasa dan khusus
• Konsumsi pemerintah pusat dan daerah
• Investasi pemerintah dan swasta
• Menghitung Ekspor dan Impor
• Menjumlahkan komponen diatas dikurangi impor
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
iii
Contoh Penghitungan Dengan Pendekatan Pengeluaran
1 Konsumsi Rumah Tangga
Jumlah RT x Konsumsi perkapita menurut komponen/jenis-jenis pengeluaran
5 000 000
2 Konsumsi Pemerintah Angaran rutin pemerintah ditambah % dari anggaran proyek yang menjadi bagian nilai tambah (Honor Pimpro)
2 000 000
3 Pembentukan Modal Tetap
Total nilai barang modal: konstruksi, mesin, mobil, dan barang tahan lama lainnya untuk dunia usaha
3 000 000
4 Ekspor: Barang
Nilai ekspor barang dalam satuan FOB dikalikan Kurs yang berlaku
1 000 000
Impor : Barang
Nilai barang impor dalam satuan CIF dikalikan kurs yang berlaku
1 000 000
Ekspor jasa neto Ekspor Impor Jasa 500 000
5 Selisih Stok Sisa dari PDRB sektoral 500 000 Jumlah PDRB 10 000 000
SEKTOR EKONOMI DAN SUMBER DATA UNTUK MENGHITUNG PDRB
SEKTOR SUMBER DATA 1. Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan
BPS, Dinas Pertanian BPS, Dinas Perkebunan BPS, Dinas Peternakan BPS, Dinas Kehutanan BPS, Dinas Perikanan
2. Pertambangan dan Penggalian Dinas Pertambangan 3. Industri BPS, Dinas Perindustrian 4. Listrik, Gas, dan Air PLN, PDAM, dan Pertamina 5. Konstruksi BPS, Dinas PU dan Dinas Tata Kota 6. Perdagangan, Hotel dan restoran BPS, Dinas Perdagangan, Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata 7. Angkutan dan Komunikasi BPS, Dinas Perhubungan 8. Lembaga Keuangan, Persewaan dan jasa perusahaan
BPS, Bank Indonesia
9. Jasa-jasa Biro Keuangan, Bappeda, KPKN, Kepegawaian Daerah, Dinas Pendidikan Nasional, Kesbang, Dinas Kesehatan, dsb.
INDIKATOR TURUNAN DARI PDRB
1. Struktur Ekonomi: diperoleh melalui nilai PDRB salah satu sektor dibagi dengan
Total PDRB dikali dengan 100
2. Pertumbuhan Ekonomi: diperoleh dari PDRB atas dasar harga konstan, dengan
cara membagi PDRB saat ini dengan PDRB tahun sebelumnya di kali 100 dan
dikurangi 100.
3. PDRB Per Kapita: diperoleh dengan membagi nilai Total PDRB dengan junlah
penduduk
Sumber: Pedoman Praktis Perhitungan PDRB Kabupaten/Kota. Buku I. Edisi 2. BPS,
Jakarta, 1996.
top related