ilmu bedah mulut traumatologi
Post on 01-Dec-2015
1.581 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
Cara Melakukan Pemeriksaan Trauma Oromaksilofasial dan Penanganan
Kegawat-daruratan Trauma Oromaksilofasial
Melva Sirait
160121120001
Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Bedah Mulut Dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
Abstrak : Trauma oromaksilofasial adalah trauma yang menyebabkan cedera
pada jaringan lunak mulut, dentoalveolar, serta fraktur wajah. Cedera pada pada
jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, laserasi dan luka bakar. Kasus
trauma oromaksilofasial adalah kasus yang cukup banyak ditemukan di unit gawat
darurat hampir sebagian besar rumah sakit. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa
penyebab trauma oromaksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas dan korban tersebut ternyata lebih banyak dialami oleh laki-laki. Terapi
yang dilakukan pada penderita pun bervariasi mulai dari hanya pemberian obat-
obatan, penjahitan luka, pencabutan gigi, alveolektomi, serta reposisi dan fiksasi.
Kelainan-kelainan seperti disebut di atas, mengharuskan kita untuk
melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian lain yang
terkait karena trauma maksilofasial dapat menjadi kasus yang kompleks dan
mungkin diperlukan keterlibatan multispesialis dalam manajemennya.
Kata kunci: Trauma oromaksilofasial, pemeriksaan trauma, penanganan trauma
2
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma oromaksilofasial berhubungan dengan cedera apapun pada wajah
atau rahang yang disebabkan oleh kekuatan fisik, benda asing atau luka bakar.
Trauma oromaksilofasial termasuk cedera pada salah satu struktur tulang ataupun
kulit dan jaringan lunak pada wajah. Setiap bagian dari wajah mungkin dapat
terpengaruh. Gigi dapat lepas atau goyang. Mata dengan otot-ototnya, saraf dan
pembuluh darahnya mungkin mengalami cedera sehingga dapat menyebabkan
gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola mata dan juga seperti
halnya rongga mata yang dapat retak oleh pukulan yang kuat. Kerusakan jaringan
lunak seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi. Rahang bawah
(mandibula) dapat mengalami dislokasi. Meskipun dilengkapi oleh otot-otot yang
kuat untuk mengunyah, rahang termasuk tidak stabil bila dibandingkan dengan
tulang-tulang lainnya sehingga dengan mudah mengalami dislokasi dari sendi
temporomandibular yang menempel ke tengkorak.1
Kelainan-kelainan seperti disebut di atas, mengharuskan kita untuk
melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian lain yang
terkait karena trauma maksilofasial dapat menjadi kasus yang kompleks dan
mungkin diperlukan keterlibatan multispesialis dalam manajemennya.
Trauma oromaksilofasial merupakan salah satu tantangan terbesar untuk
pelayanan kesehatan masyarakat di seluruh dunia karena insidennya yang tinggi.
Dari penelitian dilaporkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
utama dari traumamaksilofacial. Selain itu penyebab lainnya yang tersering ialah
kekerasan fisik, konsumsi alkohol yang dapat memicu terjadinya tindakan
kekerasan dan kecelakaan, serta trauma oromaksilofasial akibat olahraga.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Trauma oromaksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya.2 Trauma pada jaringan oromaksilofasial dapat mencakup
jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah
adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang
dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari :1
1. Tulang hidung
2. Tulang arkus zigomatikus
3. Tulang mandibula
4. Tulang maksila
5. Tulang rongga mata
6. Gigi
7. Tulang alveolus
2.2 Etiologi 1,3,4,5,6
Penyebab trauma oromaksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan
lalu lintas adalah penyebab utama trauma oromaksilofasial yang dapat
membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah
usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia
21-30 tahun.
a. Fisik
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama fisik terjadinya trauma
oromaksilofasial 1. Beberapa literatur mengungkapkan terdapat hubungan antara
4
posisi duduk pengemudi atau penggunaan sistem proteksi terhadap tingkat
keparahan cedera oromaksilofasial pada pasien kecelakaan lalu lintas.
Selain kecelakaan lalu lintas, etiologi fisik lainnya yang merupakan penyebab
trauma oromaksilofasial yaitu jatuh ketika bermain, kecelakaan kerja atau industri,
kecelakaan sewaktu berolahraga, gigitan binatang, perkelahian dan lain- lain.
b. Kimia
Trauma oromaksilofasial akibat bahan kimia biasanya mempunyai
manifestasi klinis berupa luka bakar di sekitar mulut dan wajah. Zat kimia seperti
kaporit, kalium perpangat, asam kromat, fenol dan fosfor putih dapat bersifat
oksidatif, juga larutan basa seperti kalium hidroksida menyebabkan denaturasi
protein. Asam sulfat merusak sel karena bersifat cepat menarik air. Gas yang
dipakai dalam peperangan menimbulkan luka bakar dan menyebabkan anoksia sel
bila berkontak dengan kulit atau mukosa. Trauma oromaksilofasial akibat bahan
kimia dapat terjadi akibat kelengahan, pertengkaran, kecelakaan kerja, kecelakaan
di industri, laboratorium dan juga akibat penggunaan gas beracun pada perang.
c. Elektrik
Kecelakaan yang disebabkan faktor elektrik terjadi karena arus listrik
mengaliri tubuh, hal ini biasa terjadi pada kecelekaan kerja petugas listrik atau
dapat juga akibat petir. Pada kecelakaan tersengat arus listrik didaerah kepala,
penderita dapat pingsan lama dan mengalami henti nafas, dapat juga terjadi oedem
otak.
d. Termis
Luka bakar yang terjadi pada wajah juga dikategorikan termasuk dalam
trauma oromaksilofasial, yang dapat disebabkan oleh karena benda panas,
gesekan, elektrik, radiasi, atau zat kimia.1 Trauma oromaksilofasial akibat termis
dapat terjadi akibat kelengahan seperti kebakaran rumah tangga akibat gas yang
meledak dan lain lain.
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah
karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat
mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%
5
kematian oleh trauma oromaksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas (automobile).
6
Berikut ini tabel etiologi trauma oromaksilofasial.7
Persentase (%)
Dewasa
Kecelakaan lalu lintas 40-45
Penganiayaan 10-15
Olah raga 5-10
Jatuh 5
Lain-lain 5-10
Anak-anak
Kecelakaan lalu lintas 10-15
Penganiayaan/berkelahi 5-10
Olah raga(termasuk naik sepeda) 50-65
Jatuh 5-10
2.3 Klasifikasi
Trauma oromaksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma
jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak
biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan
lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.8,9
2.3.1 Trauma jaringan lunak wajah 7,8
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma
dari luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab
Ekskoriasi
Luka sayat, luka robek , luka bacok.
Luka bakar
7
Luka tembak
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.
(Gambar 1)
Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan
mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek.
B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer9
2.3.2 Trauma jaringan keras wajah 7,8,10,11
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang
terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat
dari terminologinya (pengistilahan) :
I. Tipe fraktur
1. Fraktur simpel
• Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada
kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.
• Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk
greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan
jarang terjadi.
2. Fraktur kompoun
• Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak
8
• Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan
hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke
rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan
sobekan pada kulit.
3. Fraktur komunisi
• Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti
peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau
remuk.
• Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun
dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
4. Fraktur patologis
• keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang,
seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang
sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.
II. Perluasan tulang yang terlibat
1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )
III. Konfigurasi ( garis fraktur )
1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
2. Oblique ( miring )
3. Spiral (berputar)
4. Komunisi (remuk)
IV. Hubungan antar Fragmen
1. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat
2. Undisplacement, bisa terjadi berupa :
• Angulasi / bersudut
9
• Distraksi
• Kontraksi
• Rotasi / berputar
• Impaksi / tertanam
Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah :
a. Dento alveolar
b. Prosesus kondiloideus
c. Prosesus koronoideus
d. Angulus mandibula
e. Ramus mandibula
f. Korpus mandibula
g. Midline / simfisis menti
h. Lateral ke midline dalam regio insisivus
Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus
E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis.10
V. Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :
a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)
b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III
c. Fraktur segmental maksila
10
Gambar 3. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior)
(B). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital) 11
11
BAB III
PEMBAHASAN
Gambar 4. Urutan kejadian trauma oromaksilofasial 9
3.1. Pemeriksaan Primary Survey (ABCDE) 7,8
Pendekatan awal terhadap pasien trauma oromaksilofasial akut sedikit
berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap
saluran pernapasan, adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal.
Primary survey adalah penilaian terhadap keadaan penderita dan prioritas
terapi berdasarkan jenis luka, tanda- tanda vital dan mekanisme cedera. Selama
primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya
dilakukan saat itu juga.
12
Urutan Penanganan Penderita dalam Primary survey 7,8
A = Airway with C-Spine Protection
Pada kasus trauma oromaksilofasial, kita perlu dengan segera memperhatikan
kelancaran jalan nafas, apakah disana ada obstruksi atau tidak. Usaha untuk
membebaskan airway dilakukan dengan menjaga jalan nafas dan melindungi
vertebra servikal. Harus dilakukan segala usaha untuk menjaga jalan napas dan
memasang airway definitif bila diperlukan. Tidak kalah pentingnya adalah
mengenali kemungkinan gangguan airway yang dapat terjadikemudian, dan ini
hanya dapat dikenali dengan re-evaluasi berulang terhadap airway-ini.
Resusitasi:
1. Airway harus dijaga dengan baik pada semua penderita.
2. Jaw trust atau chin-lift dapat dipakai
3. Membersihkan airway dari benda asing
4. Memasang naso-pharingeal airway (pasien sadar) atau oro-pharingeal
airway (pada pasien tidak sadar)
5. Bila ada keraguan mengenai kemampuan menjaga airway, lebih baik
memasang airway definitif (intubasi oro atau nasotracheal atau surgical
crico-thyroidotomy).
6. Fiksasi leher dengan berbagai cara, setelah memasang airway.
B = Breathing / Ventilation / Oxygenation
Ini merupakan nilai keadaan oksigenasi dan ventilasi penderita.Ventilasi yang
baik meliputi fungsi yang baik dari paru,dinding dada dan diafragma. Setiap
komponen ini harus dievaluasi secara cepat. Luka yang mengakibatkan gangguan
ventilasi berat adalah tension pneumothorax, flail chest dengan contusio paru, dan
open pneumothorax.
Resusitasi
1. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi
2. Ventilasi dengan alat bag-valve-mask
3. Menghilangkan tension pneumothoraks
4. Menutup open pneumothoraks
14
C = Circulation & Stop Bleeding
Tahap selanjutnya untuk dinilai adalah keadaan hemodinamik pasien. Cari sumber
perdarahan, baik perdarahan eksternal maupun perdarahan internal. Suatu keadaan
hipotensi pada penderita trauma harus dianggap sebagai hipovolemia, sampai
terbukti sebaliknya.
‡ Tiga penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan
informasi keadaan hemodinamik pasien, yakni tingkat kesadaran, warna kulit dan
nadi.
‡ Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan (direct pressure) pada
luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan
menyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila ada amputasi
traumatik.
Resusitasi :
1. Perdarahan eksternal dihentikan dengan tekanan langsung pada tempat
perdarahan.
2. Mengenal adanya perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah,
serta konsultasi bedah.
3. Memasang 2 chateter i.v ukuran besar, ambil sampel darah untuk
pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan, golongan darah,
cross match dan analisis gas darah, berikan cairan kristaloid yang
dihangatkan atau pemberian darah.
4. Memasang NG tube dan kateter urin jika tidak ada kontra indikasi.
D = Disability (Neurologic Status)
Hal yang penting selanjutnya adalah penilaian terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Parameternya adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat cedera spinal.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan atau
penurunan perfusi ke otak yang disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan
15
kesadaran menuntut dilakukannya re-evaluasi terhadap keadaan oksigenasi,
ventilasi, dan perfusi jaringan.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh alkohol dan obat-obatan.
Namun pada kebanyakan pasien dengan trauma oromaksilofasial, hipoksia atau
hipovolemia adalah penyebab utamanya.
Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale) scoring.
GCS merupakan suatu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Rangsangan yang diberikan berbagai hal dengan memperhatikan 3 reaksi yang
terdiri dari reaksi membuka mata (Eye (E)), respon verbal (V) bicara dan gerakan
motorik.
Gamabar 5 : Eye (respon membuka mata)8
Respon membuka mata ini merupakan respon awal ketika kita bertemu
dengan pasien. Respon yang diharapkan ada pada pasien ialah bagaimana reflek
membuka matanya. Apakah ia akan spontan membuka mata tanpa harus dipanggil
namanya, disentuh atau diberikan cubitan. Untuk nilai dari respon ini kita nilai (4)
atau respon spontan. Apabila mata terbuka dengan rangsang suara, seperti kita
memanggil nama pasien, nilai respon E nya adalah nilai (3). Apabila pasien dapat
membuka mata ketika kita beri rangsang nyeri, (misalkan dengan menekan kuku
jari) maka nilai E pasien (2). Ketika tidak ada respon sama sekali, maka kita beri
nilai E (1), tidak ada respon.
16
Tabel 1 : Verbal (respon verbal)8
Setelah reflek membuka mata kita kaji, maka penilaian selanjutnya ialah
bagaimana kita menilai respon verbal pasien. Ketika pasien dapat mengetahui
dimana dia berada, siapa dirinya, kalimat yang diucapkan baik, orientasi baik,
maka kita nilai respon verbal dengan angka (5) . Apabila pasien bingung,
berbicara mengacau (sering bertanya berulang-ulang) disorientasi tempat dan
waktu, maka nilai respon verbal kita beri nilai (4) . Untuk nilai (3) kita beri ketika
pasien berbicara tidak patut seperti berbicara dengan kata-kata kasar dan makian.
Apabila pasien lebih banyak mengerang atau mengeluarkan suara tanpa arti, maka
kita nilai respon verbal pasien (2). Ketika masih saja tidak ada respon, maka kita
beri nilai verbal pasien (1).
Motor (respon motorik)
Respon motorik ini harus dibedakan dengan penilaian kekuatan otot.
Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien
dengan memantau respon motorik pasien. Ketika pasien diperintahkan untuk
melakukan apa yang kita inginkan, seperti memintanya untuk mengangkat tangan,
atau ketika kita datang kemudian kita memberikan tangan kita untuk berjabat
17
tangan dengannya. Kita bisa melihat adakah atau tidak respon pasien untuk
melakukan hal tersebut (menjabat tangan kita).
Tabel 2 : Motor (respon motorik)8
Gambar 6 : Respon motorik nilai 6 8
18
Apabila pasien mengikuti perintah yang kita berikan, maka kita nilai
respon motorik pasien (6)
Gambar 7 : respon motorik nilai 5 8
Kita bisa memberikan sebuah stimulus berupa rangsangan nyeri di daerah
N. Supraorbita dengan cara menggosokan kuku didaerah supraorbita groove
dengan tekanan yang makin kuat sampai pasien memberikan respon. Ketika
pasien mampu untuk melokalisir nyeri dengan cara menjauhkan stimulus saat
diberi rangsang nyeri, maka kita memberikan nilai (5). Namun jika pasien hanya
dapat menghindar terhadap stimulus nyeri maka kita beri nilai M (4).
Gambar 8 :Respon motorik nilai 3 8
Apabila pasien tidak dapat melokalisasi nyeri dari stimulus. Maka kita bisa
berikan stimulus nyeri di daerah kukunya dengan tekanan ujung pulpen atau
lainnya. Pasien akan memperlihatkan flexi siku yang bisa juga diikuti oleh flexi
pergelangan tangan, untuk kondisi ini kita berikan M (3).
19
Gambar 9 : Respon motorik nilai 2 8
Sedangkan untuk memberikan nilai M (2) didapatkan respon pasien
berupa extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan
jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). Namun ketika pasien
tidak ada respon apapun terhadap nyeri, maka untuk kondisi seperti ini kita nilai
M (1).
Penilaian GCS 8
1. Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol
(EMV)
2. Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu
E4M6V5 dan terendah adalah 3 yaitu E1M1V1.
3. Menilai status kesadaran klien
GCS 14–15 = cidera kepala ringan
GCS 9–13 = cidera kepala sedang
GCS 3–8 = cidera kepala berat
< 3 = koma
E = Exposure/Environment/Body Temperature
Buka pakaian pasien untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Periksa
hal-hal yang mungkin terlewat pada pemeriksaan sebelumnya, seperti darah yang
keluar dari anus atau luka pada tubuh yang tertutup pakaian. Setelah pakaian
dilepas, pasien harus segera diselimuti untuk mencegah hipotermi.
20
3.2 Pemeriksaan Secondary Survey 7,8
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe
examination), termasuk pemeriksaan tanda vital. Secondary survey baru
dilaksanakan setelah primary survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC
pasien telah dipastikan membaik.
Pada secondary survey ini, dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap,
termasuk mencatat skor GCS bila belum dilaksanakan dalam primary survey.
Prosedur khusus seperti pemeriksaan radiologis, pemeriksaan laboratorium juga
dapat dikerjakan pada kesempatan ini.
Pemeriksaan pada secondary survey meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik
ekstra oral seperti kepala dan oromaksilofasial juga pemeriksaan intra oral yang
meliputi status lokalis gigi dan jaringan pendukung sekitarnya.
3.2.1 Anamnesis
Untuk menegakan diagnosis dan menentukan rencana perawatan,
diperlukan informasi yang memadai tentang riwayat trauma. Namun, pada pasien
yang mendapat cedera pada daerah kepala, biasanya sulit untuk diajak
berkomunikasi. Pada situasi ini, riwayat trauma dapat diperoleh dari petugas unit
gawat darurat, perawat, orang yang mendampingi yang pasien, atau siapapun yang
melihat dengan jelas bagaimana trauma terjadi. 7
Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan
hambatan yang sering terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Penting
untuk dicatat mengenai tanggal, waktu, tempat kejadian, dan peristiwa khusus.
Apabila cedera disebabkan karena kecelakaan motor, perlu dicatat bagaimana
kronologis kejadiannya, apakah korban bertindak sebagai pengemudi atau
penumpang, apakah ia memakai helm atau tidak, bagaimana jenis helmnya full
face atau half face, apakah ada riwayat pingsan, mual dan muntah, apakah ada
perdarahan dari hidung, mulut dan telinga, apakah pasien telah mendapatkan
pertolongan medis dan pemberian obat sebelumnya dan pertanyaan penting
lainnya.
21
Riwayat trauma yang akurat sebaiknya diperoleh dari pasien, keluarga
pasien dan orang yang menyertainya. Meliputi jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan berikut (9)
:
1. WHO?
Jawabannya meliputi nama pasien, umur, alamat, nomor telepon, dan data
demografi lainnya.
2. HOW?
Sebagai contoh, seorang pengendara sepeda motor sedang dalam pengaruh
alkohol mengendarai motornya di cuaca hujan dan gelap gulita. Kemudian
ia tergelincir di tikungan dan turunan curam dengan keadaan terguling
sejauh 10 meter dengan kondisi wajah mengenai aspal. Motor dalam
keadaan rusak parah.
Jawaban kronologis tentang bagaimana kejadian terjadi mengindikasikan
keparahan cedera jaringan dan kemungkinan daerah-daerah mana saja dari
tubuh yang terkena trauma.
3. WHERE?
Pertanyaan ini penting untuk mengetahui kemungkinan adanya
kontaminasi luka. Sebagai contoh apabila pasien jatuh di daerah yang
berpasir maka penting untuk dilakukan debridemen sempurna sampai tidak
ada sama sekali pasir yang tertinggal di dalam luka.
4. WHEN?
Kapan trauma itu terjadi? Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan
penting untuk menentukan apakah suatu luka masih dalam golden period.
Jika ditemukan kasus avulsi gigi di dalam golden period maka prognosis
untuk reposisi semakin baik.
Selain itu riwayat medis yang penting untuk diketahui adalah tentang
riwayat alergi, ada tidaknya penyakit kelainan perdarahan, riwayat penyakit yang
pernah diderita, tanggal imunisasi tetanus terakhir. Perlu dicatat juga ada tidaknya
tanda-tanda kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat kesadaran
22
dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan dan
minum yang terakhir sangat penting apabila akan dilakukan anestesi umum.
3.2.2 Pemeriksaan Fisik 2,3,6
I. Ekstra Oral
a. Pemeriksaan Kepala
Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial
dan jaringan lunak disekitarnya. Pasien harus dibersihkan dari semua
darah dan benda asing secara hati-hati. Rangka kraniofasial terdiri dari
pertautan dan penonjolan tulang, maka pemeriksaannya harus meliputi
ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas, pergeseran, dan
hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hati
terhadap kranium, sambungan daerah fronto-orbital, naso-orbital
kompleks, artikulasi zygomatik, dan mandibula.
b. Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah
Evaluasi wajah bagian tengah dimulai dengan memperkirakan
adanya mobilitas dari maksila sebagai struktur maksila itu sendiri atau
hubungannya dengan zygoma atau tulang nasal. Untuk memeriksa
adanya mobilitas maksila, kepala pasien harus distabilisasikan dengan
cara menekan kening pasien cukup kuat dengan satu tangan. Dengan
ibu jari dan telunjuk tangan lainnya mencengkram maksila pada satu
sisi, dan digerakkan dengan tekanan yang stabil sehingga dapat
diperoleh kepastian ada atau tidaknya dapatkan mobilitas maksila.
23
Gambar 10 : Pemeriksaan mobilitas maksila. Gambar sebelah kanan menunjukkan
pemeriksaan bahwa cara ini juga dapat digunakan untuk evaluasi mobilitas tulang
nasal.9
Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah
dengan palpasi dimulai dari superior ke inferior. Pemeriksaan dimulai
dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal
dan saluran nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri
(bidigital). Palpasi diteruskan ke arah lateral menyilang cincin
supraorbital menuju sutura zygomatikofrontalis. Jaringan lunak yang
menutupinya digeser dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau
tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial ke lateral untuk
mengevaluasi sutura zygomatikomaksilaris. Bagian-bagian yang
mengalami nyeri tekan, dan baal juga dicatat, karena hal ini
menunjukkan adanya fraktur atau cedera pada saraf. Arcus
zygomatikus dipalpasi bilateral dan diamati apakah terdapat tanda-
tanda asimetri, dari aspek posterior atau superior. Vestibulum nasi juga
diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya
perdarahan atau cairan.
Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih
dahulu, karena trauma dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan.
Hampir 40% fraktur tengah wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan
yang akurat sulit dilakukan pada pasien yang mengalami cedera
24
neurologis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan
hitungan jari, deteksi gerakan, atau penggunaan sinar.
Hematoma aurikuler telinga harus segera didiagnosa dan
dilakukan terapi. Mastoid harus diperiksa dari kemungkinan adanya
ekimosis yang disertai dengan hemotimpanum dan otorrhea, karena
merupakan indikasi terjadinya fraktur basis tulang kranial. Adanya
laserasi dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda waspada
terhadap kemungkinan cedera pada kondilus mandibula.
Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat. Adanya
fraktur septum hidung dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi
hidung. Hematoma septum hidung harus didiagnosa dan dievakuasi
segera untuk menghindari terjadinya nekrosis tulang rawan septum
hidung yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan bentuk
hidung. 3
Tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa untuk
kemungkinan terjadinya anestesi atau parestesi. Saraf kranialis 3 ,4 ,5
,6 ,7 dites untuk mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasien
mengangkat alis dan meretraksi sudut mulutnya, apakah bola mata bisa
bergerak bebas, dan apakah pupil bereaksi terhadap sinar dan
berakomodasi..
c. Pemeriksaan Mandibula
Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap
digaris tengah, atau terjadi pergeseran ke lateral dan inferior.
Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan jalan memerintahkan
pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada
penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah
dan jarak interinsisal dicatat. Apabila meatus akustikus eksternus
penuh dengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan
telapak mengarah ke bawah dan ke depan untuk melakukan palpasi
endaural terhadap caput condilus pada saat istirahat dan bergerak. Pada
25
fraktur subcondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan atau
caput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior
mandibula dipalpasi mulai dari prosesus kondilaris sampai ke
simphisis mandibula. Sekali lagi nyeri tekan atau baal, dan kelainan
kontinuitas harus dicatat.
Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi
anatomi, yaitu kondilar, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan
daerah prossessus koronoid. Selain itu fraktur mandibula juga dapat
diklasifikasikan berdasarkan tipe frakturnya, yaitu fraktur greenstick,
simpel, kominuted, dan kompoun.
26
Gambar 11. Distribusi anatomik dari fraktur mandibula.2
Gambar 12 : Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya:
Greenstick (A), Simple (B), Komminuted (C), Kompoun (D).2
II. Intra Oral 3,7
Pemeriksaan ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi
yang hilang. Adanya gigi yang terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan
melakukan radiografi pada dada dan perut. Gigi tiruan yang lepas juga
dapat menyebabkan tersumbatnya jalan pernapasan. Adanya step dan
pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya fraktur dentoalveolar
ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka lateral (open bite lateral) juga
27
dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibula atau gangguan TMJ.
Sedangkan gigitan terbuka anterior (open bite anterior) mengindikasikan
adanya fraktur Le Fort (I, II, ataupun III).
3.2.3 Pemeriksaan Radiografis
Untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma dentoalveolar hanya
diperlukan radiograf oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasi
dan avulsi), dan sebagian besar fraktur prosessus alveolaris paling baik dirontgen
dengan cara ini. Sedangkan untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma
maksilofasial harus dilakukan foto panoramik dan schedel AP-Lat segera,
kemudian dapat dilakukan rontgen foto waters view dan jika memungkinkan dan
pasien mampu dapat dilakukan CT-Scan 3 dimensi. Meskipun demikian, tidak
dibenarkan untuk melakukan pembuatan radiografis untuk mengetahui adanya
fraktur bila bukti klinis kurang mendukung.
3.2.4 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan lab yang sering dilakukan pada kasus trauma
oromaksilofasial yaitu Hb, Leukosit, trombosit, BT CT, PT APTT, analisa gas
darah, GDS, ureum, kreatinin, elektrolit, albumin serum, dan differential sel.
Penatalaksanaan Fraktur Oromaksilofasial 2,3
1. Perawatan umum terhadap komplikasi yang menyertai
2. Penanganan Luka Jaringan Lunak
- Imobilisasi dan evaluasi bagian yang terluka untuk mengurangi rasa
nyeri dan edema.
- Debridement : membersihkan luka, membuang jaringan nekrotik dan
benda asing.
- Hemostasis
- Menghilangkan tegangan pada penutupan luka: undermining, jahitan
subkutis
- Antibiotika
28
3. Pemeriksaan klinis yang teliti dan interpretasi foto rontgen yang tepat
4. Menentukan tipe dan macam fraktur
5. Mencegah dan merawat infeksi
6. Memberikan imobilisasi sementara
7. Memilih cara pemberian anastesi yang tepat
8. Melakukan Reduksi, Fiksasi dan Imobilisasi fraktur
- Reduksi:
Mengembalikan fragmen pada posisi anatomisnya
Terdiri dari open dan closed reduction
- Fiksasi:
Mempertahankan fragmen yang telah direposisi tetap pada tempatnya
untuk menghasilkan penyembuhan.
- Imobilisasi :
Mempertahankan fiksasi, meniadakan rasa sakit, krepitasi dan funtio
laesa.
29
BAB IV
KESIMPULAN
Pendekatan awal terhadap pasien trauma oromaksilofasial akut sedikit
berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap
saluran pernapasan, adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal.
Pemeriksaan fisik baru bisa dilakukan apabila keadaan umum pasien
stabil, pendarahan, serta jalan nafas telah di tangani. Pemeriksaan dilakukan
secara akurat dan menyeluruh pada pasien ini. Rangkaian pemeriksaan primary
survey dan secondary survey berupa anamnesis yang lengkap, pemeriksaan klinis
ekstra oral dan intra oral. Pemeriksaan radiografis dan pemeriksaan laboraturium
dilakukan untuk membantu klinisi menegakkan diagnosa dan rencana perawatan
yang tepat pada penderita trauma oromaksilofasial.
Pengetahuan tentang jenis trauma, anatomi oromaksilofasial, status
kegawatdaruratan serta skala prioritas penanganan cedera oromaksilofasial mutlak
dibutuhkan dalam penanganan kegawatdaruratan trauma oromaksilofasial.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedersen GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Penerjemah: Purwanto
dan Basoeseno. EGC. Jakarta
2. Fonseca, RJ,et al. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis:
Elsevier Saunders
3. Marciani RD, Carlson ER, Braun TW. 2009. Oral and Maxillofacial Surgery
Volume II. Ed. Ke-2. Saunders Elsevier. St. Louis
4. Yokoyoma T, Motozawa Y, Sasaki T, Hitosugi M. 2006. A Retrospective
Análisis of Oral and Maxillofacial Injuries in Motor Vehicle Accidents. J Oral
Maxillofac Surg 64:1731-1735
5. Jong WD.1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerjemah. R.Sjamsuhidayat. EGC.
Jakarta.
6. Andreasen JO. 1999. Essential of Traumatic Injuries to the Teeth.
Munksgaard
7. Juliani KI, Frekuensi-distribusi trauma oromaksilofasial dan
penatalaksanaannya di Rumah Sakit Umum Tangerang dalam kurun waktu 1
Oktober 1992 -30 September 1993.
http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-81816.pdf
8. Peterson Lj. 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery.4 th ed. St
Louis: Mosby.
9. http://en.wikipedia.org/wiki/Glasgow_Coma_Scale
10. Banks P. 1990. Fraktur mandibula ( Killeys Fractures of the mandible ). Alih
bahasa Lilian Yuwono. Hipokrates. Jakarta
11. London PS. 1991. The anatomy of injury and its surgical implication.
Butterworth-Heinemana Ltd. London
31
Penyembuhan Luka Jaringan Lunak Dan Saraf
Dian Maifara Putri
160121120007
Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Bedah Mulut Dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
Abstrak : Luka adalah hilang atau rusaknya integritas jaringan tubuh, keadaan ini
dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,
ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.1 Penyembuhan luka dan jaringan saraf
merupakan hal yang penting untuk mengetahui tahapan luka, faktor-faktor yang
berpengaruh, dan komplikasi. Komplikasi dapat terjadi apabila tidak dilakukan
terapi dengan adekuat.
Kata kunci: penyembuhan jaringan lunak, infeksi
32
BAB I
PENDAHULUAN
Luka adalah hilang atau rusaknya suatu kesatuan atau komponen integritas
jaringan tubuh, keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul,
perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.1
Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ialah penyembuhan
luka yang dapat dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan
remodeling atau penyudahan yang merupakan pembentukan kembali dari
jaringan.1,2
Penyembuhan luka adalah proses kinetik dan metabolik yang kompleks
yang mengikutsertakan berbagai sel dan jaringan dalam usaha menutup tubuh dari
lingkungan luar dengan cara mengembalikan integritas jaringan. Maka pada setiap
perlukaan, baik luka itu bersih maupun luka yang kotor dan terinfeksi, tubuh akan
berusaha melakukan penyembuhan luka.
Komplikasi yang sering ditimbulkan pada tahap penyembuhan luka dapat
meliputi pembentukan kista implantasi, infeksi luka, nekrose atau gangren dari
jaringan, pembentukan jaringan parut, pembentukan keloid yaitu berupa tonjolan
jaringan parut, dan warna yang berbeda dari jaringan sekitarnya.1,2
33
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
JENIS-JENIS LUKA
Luka terdiri dari: 2,3,4,5,7,8
1. Luka Tertutup
Gambar 1.Luka Memar 9
a. Luka memar ( contusio )
Terjadi akibat benturan dengan benda tumpul, biasanya terjadi di
daerah permukaan tubuh, darah keluar dari pembuluh dan terkumpul di
bawah kulit sehingga bisa terlihat dari luar berupa warna merah kebiruan
b. Hematoma (darah yang terkumpul di jaringan)
Prinsipnya sama dengan luka memar tetapi pembuluh darah yang
rusak berada jauh di bawah permukaan kulit dan biasanya besar, sehingga
yang terlihat adalah bengkak, biasanya besar dan kemerahan.
2. Luka terbuka yang disertai kehilangan jaringan maupun yang tidak disertai
kehilangan jaringan
a. Vulnus Abrasivum (luka lecet), terjadi karena gesekan antara suatu benda
dengan permukaan jaringan lunak.
34
Gambar 2. Vulnus Abrasivum 9
Gambar 3. Kedalaman Luka Lecet 10
b. Vulnus Scissum ( luka sayat ), terjadi karena tersayat pisau atau benda tajam
lainnya, pinggir luka tajam dan rata serta mempunyai dasar yang sempit.
Gambar 4. Luka Sayat 11
35
c. Vulnus Penetratum ( luka tembus ), adalah luka yang terjadi sampai
menembus organ tubuh lain yang lebih dalam.
Gambar 5. Luka Tembus 11
d. Vulnus laceratum ( luka compang camping ), adalah luka yang disebabkan
oleh benda tumpul yang bentuknya tidak teratur.
Gambar 6. Luka Laserasi 11
e. Vulnus Punctum ( luka tusuk ), luka yang terjadi karena tusukan benda-
benda yang runcing.
36
Gambar 7. Luka Tusuk 11
Gambar 8. Penampang Luka Tusuk 12
Gambar 9. A. Luka laserasi, B. Luka Tusuk 12
f. Vulnus Sclopectorum ( luka tembak), luka yang disebabkan oleh tembakan
senjata api
37
Gambar 10. Luka Tembak 13
g. Vulnus Mossum ( luka karena gigitan binatang).
Gambar 11. Luka Gigitan Binatang 11
h. Avulsi; yaitu hilangnya substansi jaringan lunak yang biasanya mengenai
kulit, walaupun mukosa, otot, dan tulang juga bisa terkena. Avulsi
biasanya menyertai luka-luka multipel pada wajah dan biasanya pada
korban kecelakaan sepeda motor atau luka karena peralatan
industri/pertanian. Luka ini ditandai dengan kulit yang terlepas/ hilang
sama sekali. 1,2,3
PENATALAKSANAAN LUKA
Prioritas dalam penatalaksanaan luka adalah mengatasi perdarahan
(hemostasis); mengeluarkan benda asing yang dapat bertindak sebagai fokus infeksi;
melepaskan jaringan yang mengalami devitalisasi; krusta yang tebal dan pus;
menyediakan temperatur, kelembaban, dan pH yang optimal untuk sel-sel yang
berperan dalam proses penyembuhan; meningkatkan pembentukan jaringan granulasi
dan epitelialisasi; dan melindungi luka dari trauma yang lebih lanjut serta terhadap
38
masuknya mikroorganisme patogen. tujuannya adalah untuk melindungi individu dari
kerusakan fisiologis lebih lanjut, untuk menyingkirkan penyebab aktual atau potensial
yang memperlambat penyembuhan dan untuk menciptakan lingkungan lokal yang
optimal untuk rekonstruksi dan epitelialisasi vaskular dan jaringan ikat.6
Luka harus dibersihkan dari kotoran atau debris. Pembersihan luka dapat
dilakukan dengan bahan pembersih luka, sabun atau bila perlu dengan disikat. Biasanya
dilakukan tindakan anestesi sebelumnya untuk mengurangi rasa sakit. Lalu dengan
menggunakan larutan saline dilakukan irigasi untuk menghilangkan semua partikel
yang tertinggal pada luka. Debridement dilakukan untuk menghilangkan jaringan yang
mengalami devitalisasi agar didapat penutupan luka yang baik. Sebelum luka ditutup,
hemostasis harus tercapai. Bila tidak, maka akan terjadi hematoma di dalam jaringan
yang dapat membuka kembali luka yang telah ditutup. Pembuluh darah dapat diklem,
diligatur atau dikauterisasi untuk mengurangi perdarahan yang terjadi akibat luka yang
terbuka. 6
Setelah luka dibersihkan, dilakukan debridement dan hemostasis tercapai, luka
ditutup dengan dijahit. Namun tidak semua luka membutuhkan penjahitan, luka kecil
dapat dibiarkan dan dapat sembuh tanpa penjahitan. Bila penjahitan dianggap perlu,
tujuan penjahitan adalah mengembalikan jaringan ke posisi semula, tergantung
kedalaman dan posisi luka tersebut. Luka pada gingiva atau mukosa alveolar dapat
ditutup dengan penjahitan 1 lapis, sedangkan luka pada lidah atau bibir yang
melibatkan otot harus dijahit lapisan otot terlebih dahulu dengan benang jahit yang
dapat teresorbsi, dan luka yang lebih dalam membutuhkan penjahitan 3 lapis. Setelah
penutupan luka, klinisi harus mempertimbangkan pemberian terapi suportif untuk
mempercepat penyembuhan seperti pemberian antibiotik dan anti tetanus. Kecuali
untuk luka superficial antibiotik tidak diindikasikan. 6
Protokol 1: Wound toilet dan debridement
Gunakan satu dari 2 antiseptik di bawah ini untuk luka:
- Larutan Povidone iodine 10% dua kali sehari
- Cetrimide 15% + chlorhexidine gluconate 1,5%
39
1. Bersihkan luka dengan sabun dan air matang selama 10 menit, kemudian
luka diirigasi dengan larutan salin
2. Debridement: membersihkan luka dari benda asing, jaringan mati dan
rusak secara mekanis. Kemudian irigasi luka kembali. Jika analgetik lokal
dibutuhkan gunakan lidokain 1% tanpa epinefrin.
3. Tutup luka dengan kasa steril dan kering. Ganti kasa minimal sekali
sehari.
Protokol 2: Manajemen luka dengan tetanus
1. Luka biasanya terinfeksi tetanus jika telah lebih dari 6 jam sebelum
pembersihan luka dan memperlihatkan tanda-tanda: tipe luka punctum,
terdapat jaringan mati dalam jumlah signifikan, tanda klinis sepsis,
kontaminasi bakteri tetanus, dan luka bakar.
2. Untuk pasien terkontaminasi tetanus, WHO merekomendasikan injeksi TT
(Tetanus Toksoid) atau Td (vaksin tetanus dan diphteri) dan TIG
(Immunoglobin tetanus)
3. Jika pemberian vaksin tetanus dan immunoglobin tetanus dalam satu
waktu, maka harus diberikan dengan syringe yang berbeda dan lokasi
pemberian yang berbeda pula.
Protokol 3: Antibiotik profilaksis dan antibiotik perawatan
Antibiotik profilaksis
Antibiotik profilaksis diindikasikan untuk luka yang mempunyai risiko
tinggi untuk terinfeksi seperti luka yang terkontaminasi, vulnus penetratum,
trauma abdominal, vulnus laseratum dengan ukuran lebih dari 5 cm, luka dengan
banyak jaringan nekrotik, tempat yang berisiko tinggi seperti pada ekstremitas.
Antibiotik profilaksis yang direkomendasikan adalah penisilin G dan
metronidazole dalam satu kali pemberian. Dosis dewasa 8-12 juta IU, dan anak-
anak 200.000 IU/kg BB dalam sekali pemberian.
40
Antibiotik perawatan
Jika infeksi telah terjadi, berikan antibiotik secara intravena, diberikan
Penisilin G dan metronidazole untuk 5-7 hari. Penisilin untuk dosis dewasa 1-5
MIU setiap 6 jam, dan berikan secara peroral 2 hari kemudian jika
memungkinkan. Penisilin untuk dosis anak-anak 100 mg/kg BB setiap hari dibagi
dalam beberapa dosis. Metronidazole dewasa 500 mg setiap 8 jam dan anak-anak
7,5 mg/kg setiap 8 jam secara intravena. 6
Langkah-langkah pengelolaan luka jaringan lunak terdiri atas:
I. Pengelolaan vulnus secara umum 7:
1. Pembersihan luka (debridement)
Adalah tindakan membersihkan daerah luka dari benda-benda
asing yang mengkontaminasi luka, dan jaringan nekrotik yang terdapat
pada luka.
Debridement terbagi atas 4 metode 14
:
a. Surgery: merupakan cara tercepat jika jaringan nekrotik luas
b. Enzimatic: enzim yang dapat mendegradasi jaringan nekrotik
c. Autolisis: proses yang normal terjadi pada luka dan tidak melukai
jaringan sehat di sekeliling luka
d. Mekanikal: dengan cara membilas/irigasi luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara:
- mencuci daerah luka untuk membersihkan debris atau benda asing
yang tertinggal. Dilakukan dengan menggunakan sikat halus steril/
kapas steril dengan larutan garam fisiologis.
- Dilanjutkan dengan membuang sisa jaringan nekrotik sehingga
didapat pinggiran jaringan yang linear. Pembuangan dilakukan
seminimal mungkin, hanya jaringan non vital yang dieksisi.
Persiapan wound toilet 15
:
- Jangan memakai sabun atau alkohol
- Gunakan salin steril
- Irigasi dengan tujuan menghilangkan benda asing
41
- Gunakan 50-100ml/cm salin dengan tekanan
Gambar 12: Enzymatic wound debridement 14
II. Pengelolaan hematoma dan kontusio
1. Kompres dingin untuk mengurangi sakit dan perdarahan
2 Beri analgetik dan antiinflamasi
3. Instruksikan pada pasien keesokan harinya jika masih lebam dapat
dikompres hangat sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah
menyebabkan vaskularisasi aktif agar PMN bergerak untuk
memfagositosis sisa-sisa debris fibril atau leukosit dan trombosit yang
mati. Tindakan ini dilakukan beberapa hari hingga sembuh.
Setelah semua tindakan di atas dilakukan, maka dapat diberikan terapi suportif:
pencegahan luka dari infeksi
1. Spesifik dengan anti tetanus
2. Non spesifik dengan pemberian antibiotika
LUKA BAKAR
I. Definisi
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tinggi
seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi. Jenis luka dapat beraneka
ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan yang
42
terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka
tersebut. Luka bakar dapat merusak jaringan otot,tulang, pembuluh darah dan
jaringan epidermal yang mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang
lebih dalam dari akhir sistem persarafan. Seorang korban luka bakar dapat
mengalami berbagai macam komplikasi yang fatal termasuk diantaranya kondisi
shock, infeksi, ketidak seimbangan elektrolit (inbalance elektrolit) dan masalah
distress pernapasan. Selain komplikasi yang berbentuk fisik, luka bakar dapat juga
menyebabkan distress emosional (trauma) dan psikologis yang berat dikarenakan
cacat akibat luka bakar dan bekas luka (scar). 14
II. Beratnya Luka Bakar
Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh
kedalaman luka bakar. Walaupun demikian beratnya luka bergantung pada dalam,
luas dan daerah luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya akan
sangat mempengaruhi prognosis.14
III. Derajat Luka Bakar
Gambar 13. Dalamnya luka bakar 15
1. Luka bakar derajat 1 hanya mengenai epidermis serta belum terbentuk
lepuhan dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari, misalnya tersengat matahari.
Luka tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau
hipersensitivitas setempat.
43
2. Luka bakar derajat 2 mencapai kedalaman dermis tetapi masih ada elemen
epitel sehat yang tersisa. Elemen epitel tersebut misalnya sel epitel basal,
kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya sisa
sel epitel ini, luka dapat sembuh sendiri dalam 2 sampai 3 minggu. Gejala
yang timbul adalah nyeri, gelembung, atau bula berisi cairan eksudat yang
keluar dari pembuluh karena permeabilitas dindingnya meninggi.
3. Luka bakar derajat 3 meliputi seluruh kedalaman kulit dan mungkin
subkutis, atau organ yang lebih dalam. Tidak ada lagi elemen epitel hidup
yang tersisa yang memungkinkan penyembuhan dari dasar luka, karena itu
untuk mendapatkan kesembuhan harus dilakukan cangkok kulit. Kulit
tampak pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari
jaringan sekeliling masih sehat.14
IV. Luas Luka Bakar
Luas luka bakar dinyatakan dalam persen (%) terhadap luas seluruh tubuh.
Pada orang dewasa digunakan rumus 9, yaitu luas kepala dan leher, dada,
punggung, perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas
kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri
masing-masing 9%, sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu
untuk menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar bagi orang dewasa.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relative permukaan
kepala anak jauh lebih besar dan luas relative permukaan kaki lebih kecil.Karena
perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda. Untuk anak,
kepala dan leher 18%, badan depan dan belakang masin-masing 18 %, ekstremitas
atas kanan dan kiri masing-masing 9 %, ekstremitas bawah kanan dan kiri
masing-masing 14 %.14
44
Gambar 14. Luasnya luka bakar 16
V. Klasifikasi Luka Bakar Menurut Keparahannya
1. Berat/Kritis bila :
a. Derajat 2 dengan luas lebih dari 25 %.
b. Derajat 3 dengan luas lebih dari 10 %, atau terdapat di muka, kaki
dan tangan.
c. Luka bakar disertai trauma jalan napas atau jaringan lunak luas,
atau terdapat fraktur.
d. Luka bakar akibat listrik.
2. Sedang bila :
a. Derajat 2 dengan luas 15 - 25 %.
b. Derajat 3 dengan luas kuarang 10 %, kecuali terdapat di muka,
kaki dan tangan.
3. Ringan bila :
a. Derajat 2 dengan luas kurang dari 15 %.
b. Derajat 3 dengan kurang dari 2 %.2
45
VI. Penatalaksanaan Luka Bakar
Prinsip penanganan luka bakar adalah penutupan lesi sesegera mungkin,
pencegahan infeksi, mengurangi rasa sakit, pencegahan trauma mekanik pada
kulit yang vital dan elemen didalamnya, dan pembatasan pembentukan jaringan
parut.2
Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api misalnya dengan
menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan pasokan
oksigen bagi api yang menyala. Korban dapat mengusahakanya dengan cepat
menjatuhkan diri dan berguling dan mencegah meluasnya bagian pakaian yang
terbakar. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri misalnya
dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menceburkan diri ke air dingin,
atau melepaskan baju yang tersiram air panas.
Pertolongan pertama setelah sumber panas dipadamkan, terdiri dari
merendam daerah luka bakar dalam air atau menyiraminya dengan air mengalir
selama sekurang-kurangnya 15 menit. Pada luka bakar ringan, prinsip
penanganan utama adalah mendinginkan daerah yang terbakar dengan air,
mencegah infeksi dan memberi kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk
berproliferasi dan menutup permukaan luka.
Pada luka bakar berat, selain penanganan umum seperti pada luka bakar
ringan, kalau perlu dilakukan resusitasi segera bila penderita menunjukkan gejala
syok. Bila penderita menunjukkan gejala terbakarnya jalan napas, diberikan
campuran udara lembab dan oksigen. Kalau terjadi oedem laring dipasang pipa
endotrakea atau dibuat trakeostomi. Trakeostomi berfungsi untuk membebaskan
jalan napas, mengurangi ruang mati dan memudahkan pembersihan jalan napas
dari lender atau kotoran. Bila ada dugaan keracunan CO2, diberikan O2 murni.
Perawatan lokal adalah mengoleskan luka dengan antiseptik. Kalau perlu
penderita dimandikan dahulu. Selanjutnya diberikan pencegahan tetanus berupa
ATS dan/atau toksoid. Analgesik diberikan bila penderita kesakitan.17
46
VII. Volume Sirkulasi
Penilaian volume sirkulasi sering sulit pada penderita luka bakar berat.
Tekanan darah sukar diukur dan hasilnya tidak dapat dipercaya. Untuk
mengetahui status sirkulasi dilakukan pengukuran produksi urine/jam dengan
catatan tidak ada osmotic dieresis. Oleh karena itu penderita luka bakar berat
harus dipasang kateter. Sebagai patokan mengetahui sirkulasi yang akurat ialah
bila penderita diberi infus cairan dalam jumlah yang menghasilkan urine 1cc/Kg
BB/ jam (untuk anak dengan BB ≤ 30 Kg) dan 30 – 50 cc / kg BB / jam (dewasa).
Pada 24 jam pertama penderita luka bakar berat derajat II dan III
memerlukan 2 – 4 cc cairan RL/ Kg BB/ % Luas luka bakar untuk
mempertahankan volume sirkulasi dan fungsi ginjal yang adequat. Pemberian
cairan dilakukan sebagai berikut : ½ dari volume terhitung diberikan 8 jam
pertama setelah trauma, ½ dari sisanya diberikan 16 jam berikutnya. Untuk
mempertahankan produksi urine 1 cc/ Kg BB/jam pada anak-anak dan BB ≤ 30
Kg, perlu dihitung dengan cermat dan perlu ditambahkan cairan glukosa untuk
maintenance.
Perlu diketahui bahwa rumus penghitungan cairan tersebut merupakan
perkiraan volume cairan yang diperlukan. Pemberian cairan disesuaikan dengan
respon individual penderita, misalnya dinilai produksi urinenya, tanda-tanda vital
dan keadaan umum.17
VIII. Luka Bakar Khusus
1. Luka Bakar Karena Bahan Kimia/Kimiawi
Luka bakar dapat disebakan oleh asam, alkali dan hasil-hasil pengolahan
minyak. Luka bakar alkali lebih berbahaya dari asam, sebab alkali lebih dalam
merusak jaringan. Segeralah bersihkan bahan kimia tersebut dari luka bakar.
Kerusakan jaringan akibat luka bakar bahan kimia dipengaruhi oleh
lamanya kontak, konsentrasi bahan kimia dan jumlahnya. Segera lakukan irigasi
dengan air sebanyak-banyaknya, bila mungkin gunakan penyemprot air. Lakukan
tindakan ini dalam waktu 20 – 30 menit. Untuk luka bakar alkali, diperlukan
47
waktu yang lebih lama. Bila bahan kimia merupakan bubuk, sikatlah terlebih
dahulu sebelum irigasi.
Jangan memberikan bahan-bahan penetral (neutralizing agent) sebab
reaksi kimia yang terjadi akibat pemberian bahan penetral dapat menimbulkan
panas dan akan memperberat kerusakan yang terjadi. Untuk luka bakar pada mata,
memerlukan irigasi terus menerus selama 8 jam pertama setelah luka bakar. Untuk
irigasi ini dapat digunakan kanula kecil yang dipasang pada sulkus palpebra.17
2. Luka Bakar Listrik
Luka bakar listrik terjadi karena tubuh terkena aliran listrik. Luka bakar
listrik sering menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih berat dari pada luka
bakar yang terlihat pada permukaannya. Tubuh merupakan penghantar tenaga
listrik, dan panas yang ditimbulkannya, menyebabkan luka bakar pada tubuh.
Perbedaan kecepatan hilangnya panas dari tubuh superfasial dengan jaringan
tubuh yang lebih dalam, menghasilkan keadaan dimana jaringan yang lebih
dalam akan bisa mengalami nekrosis, sedangkan kulit di atasnya relatif tampak
normal.
Penanganan harus segera dilakukan pada penderita dengan luka bakar
listrik meliputi perhatian terhadap jalan nafas, pernafasan, pemasangan infus,
ECG dan pemasangan kateter. Apabila urine berwarna gelap mungkin urine
mengandung hemokhromogens, janganlah menunggu konfirmasi laboratorium
untuk melakukan terapi terhadap mioglobunuria. Pemberian cairan harus
ditingkatkan sedemikian rupa sehingga tercapai produksi urine sekurang-
kurangnya 100 cc/jam (pada dewasa). Bila urine belum tampak jernih, berikan
segera 25 gr manitol dan tambahkan manitol 12,5 gr manitol pada tiap
penambahan 1 liter cairan untuk mempertahankan diuresis sejumlah tersebut di
atas. Bila terjadi asidosis metabolic, pertahankan perfusi sebaik mungkin dan
berikan Natrium Bikarbonat untuk membuat urine menjadi alkalis dan
meningkatkan kelarutan mioglobin dalam urine.17
48
BAB III
PEMBAHASAN
MEKANISME PENYEMBUHAN LUKA
Proses biokimia dan seluler kemudian terjadi dalam penyembuhan semua
cedera jaringan lunak yang rusak ini. Proses fisiologis penyembuhan luka dapat
dibagi dalam tiga fase yaitu : fase inflamasi, proliferasi, dan remodelling jaringan.1,2,4
Tabel 1.Fase Penyembuhan Luka 17
FASE INFLAMASI
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima.
Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh
akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung
pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena
trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan
fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah.
Sementara terjadi reaksi inflamasi, sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan
serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi
eksudasi cairan, pengeluaran sel-sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang
menyebabkan oedem dan pembengkakan.
49
Selain itu akan terjadi aktivitas seluler yang merupakan gerakan leukosit
menembus dinding pembuluh darah menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit
mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka.
Limfosit, monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran
luka, pendapat lain mengatakan bahwa fase seluler ini disebabkan oleh aktivasi
dari serum pada jaringan yang rusak. Serum tambahan itu menghasilkan faktor-
faktor kemotaksis dan menyebabkan PMN lekosit (neutrofil) menempel pada
pembuluh darah (marginasi) dan migrasi melalui dinding pembuluh darah
(diapedesis). Pada waktu kontak dengan benda asing netropil melepaskan lisosom
yang dikandungnya (degranulasi). Lisosom tersebut merusak bakteri dan benda
asing lainnya serta mengangkat jaringan nekrotik. Terdapat juga limfosit yang
terdiri dari 2 kelompok yaitu limfosit B dan limfosit T. Limfosit B berguna untuk
mengenali antigen, menghasilkan antibodi yang membantu mengingatkan sistem
pertahanan tubuh untuk mengidentifikasi benda asing dan berinteraksi dengan faktor
tambahan untuk melarutkan sel-sel asing. Sedangkan limfosit T terdiri dari
kelompok yaitu T helper untuk merangsang sel B berdeferensiasi dan berproliferasi,
serta sel T citotoksis untuk melarutkan sel-sel asing dan antigen.2,5
Gambar 15. Fase inflamasi 4
50
FASE PROLIFERASI
Serat-serat fibrin diperoleh dari darah yang mengalami pembekuan yang
menutup luka, berbentuk seperti anyaman. Fibroblas mulai terbentuk pada
substansia dasar dan tropokolagen. Substansia dasar mengandung sejumlah
mukopolisakaride yang berguna untuk melekatkan serat-serat kolagen. Fibroblas
mengeluarkan fibronectin yaitu kandungan protein yang mempunyai fungsi
membantu mempertahankan kestabilan fibrin, membantu mengamati benda asing,
menggerakkan sistem pertahanan tubuh, bertindak sebagai faktor kemotaksis dari
fibroblas, dan membantu makrophage.2
Fibrinolisis terjadi disebabkan oleh plasma yang dibawa oleh pembuluh
darah kapiler yang baru. Fibroblas yang terdapat pada tropokolagen akan
menghasilkan serat kolagen. Jaringan dengan cepat tumbuh menjadi kuat selama
tahap fibroplastis, normalnya antara 2-3 minggu. Apabila tegangan pada luka terjadi
pada awal tahap fibroplastis, maka terjadi penarikan di sepanjang garis utama dan
luka. Akan tetapi bila terjadi pada akhir dan tahap ini akan menyebabkan lepasnya
hubungan antara serat kolagen yang lama di sepanjang tepi luka dan terbentuk
kolagen yang baru. Gambaran akhir pada tahap fibroplastis adalah kaku oleh karena
banyaknya kolagen dan kemerahan oleh karena vaskularisasi.4,5
Gambar 16. Fase proliferasi 4
51
FASE REMODELING
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya
pembentukan kembali jaringan yang baru. Fase ini dapat berlangsung berbulan-
bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh
berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses
penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler
baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya
mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan
parut yang pucat, tipis, dan lembut serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat
pengerutan maksimal pada luka.5
Lebih jelasnya pada tahap ini kolagen yang lama dihancurkan, diganti
dengan kolagen yang baru guna meningkatkan ketahanan jaringan pada luka.
Selama tahap ini kekuatan jaringan meningkat secara perlahan, tetapi tidak seperti
pada tahap fibroplastis. Kekuatan jaringan tidak lebih dari 80-85% dibandingkan
dengan jaringan yang normal dan hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah
penyembuhan. Karena serat kolagen sangat sedikit akibatnya terbentuk bekas luka
yang lunak. Metabolisme menurun, sistem vaskularisasi berkurang sehingga
kemerahan pada bekas luka juga berkurang. Elastin dan ligamen tidak kembali pada
penyembuhan luka, sehingga menyebabkan hilangnya fleksibilitas pada daerah
bekas luka.
52
JENIS-JENIS PENYEMBUHAN LUKA
Jenis-jenis penyembuhan luka adalah :
1. Penyembuhan secara primer
Penyembuhan luka berlangsung dengan pembentukan jaringan granulasi
yang minimal. Jenis penyembuhan ini terjadi pada luka sayat aseptik yang
ditutup secara primer.
2. Penyembuhan secara sekunder
Luka yang dalam proses penyembuhan terisi dengan jaringan granulasi,
selanjutnya terjadi kontraksi luka sehingga ukuran luka mengecil, dan
akhirnya luka tertutup dengan pertumbuhan epitel dari pinggiran luka. Hal
ini biasanya terjadi pada luka yang terbuka, karena infeksi, kehilangan
jaringan yang agak luas, jahitan yang kurang rapat atau luka dengan suatu
dead space. 3,5,6
3. Penyembuhan secara tertier
Diartikan sebagai penyembuhan pada suatu luka yang sejak awal dibiarkan
terbuka atau luka terbuka kembali setelah dijahit primer, yang pada beberapa
hari kemudian (3-4 hari) dilakukan penjahitan untuk menutup kembali luka
tersebut, jadi dilakukan bantuan tindakan bedah agar luka menjadi
tertutup.3,5,6
53
Gambar 17. Penyembuhan primer (a), sekunder (b), dan tersier (c) 3
FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan memperlambat
penyembuhan luka, faktor tersebut dibagi dalam faktor dari pasien (intrinsik) seperti
kondisi yang kurang menguntungkan pada tempat luka dan sejumlah kondisi medis
yang dapat menyebabkan lingkungan sekitar yang buruk terhadap penyembuhan
luka, serta faktor-faktor dari luar (ekstrinsik), seperti pengelolaan luka yang kurang
tepat dan efek-efek terapi lainnya yang kurang menguntungkan.
Faktor lokal yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka :
1. Kurangnya suplai darah dan pengaruh hipoksia. Pada semua luka terdapat
peradangan, membutuhkan banyak nutrisi dan pembuangan kotoran, jaringan
nekrotik, racun dan bakteri. Untuk itu dibutuhkan suplai darah dari vena dan
arteri yang cukup. Pada daerah dimana suplai darah tidak cukup akan
menyebabkan kebutuhan sel-sel tidak terpenuhi. Oleh karena itu akan terjadi
jaringan yang mati. Tepian luka yang sedang tumbuh merupakan suatu daerah
yang aktivitas metaboliknya sangat tinggi, dalam hal ini hipoksia menghalangi
mitosis dalam sel-sel epitel dan fibroblas yang bermigrasi, sintesa kolagen dan
kemampuan makrofag untuk menghancurkan bakteri yang tercerna.
2. Turunnya temperatur. Aktivitas fagositik dan aktivitas mitosis secara khusus
mudah terpengaruh terhadap penurunan temperatur pada tempat luka. Kira-kira
54
dibawah 28◦C aktivitas leukosit dapat turun sampai nol.
3. Mobilisasi, pergerakan yang terjadi pada luka merupakan trauma yang berulang
pada luka tersebut, sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya penyembuhan
luka.
4. Infeksi, faktor yang penting dan sering menimbulkan masalah pada kasus
penyembuhan di tempat praktek. Suatu kebijaksanaan adalah penggunaan
antibakteri lokal untuk mengatasi infeksi pada jaringan yang terkontaminasi.
5. Jaringan nekrotik, krusta yang berlebihan dan benda asing. Adanya jaringan
nekrotik dan krusta yang berlebihan di tempat luka dapat memperlambat
penyembuhan dan meningkatkan resiko terjadi infeksi. Demikian juga adanya
segala bentuk benda asing termasuk bahan jahitan dan drain luka. Oleh karena
itu sangat penting untuk mengeluarkan kontaminan organik maupun anorganik
secepat mungkin tetapi dengan trauma yang minimum terhadap jaringan utuh.
Faktor sistemik yang berpengaruh pada penyembuhan luka:
1. Malnutrisi. Dua bahan nutrisi yang menunjukkan secara langsung untuk
penyembuhan adalah protein dan vitamin C. Protein berguna untuk
mengefektifkan metabolisme penderita dan mengembalikan plasma protein.
Dalam keadaan kekurangan protein akan mengakibatkan fibroblas tidak menjadi
matang sehingga pembentukan serat kolagen hanya sedikit akibatnya
penyembuhan menjadi terhambat. Vitamin C penting untuk mempertahankan
ikatan antara sel-sel endotel pada kapiler. Kekurangan vitamin C menyebabkan
fibroblas tidak matang atau berdiferensiasi, akibatnya terjadi hambatan pada
pembentukan
2. Umur. Dengan bertambahnya umur daya regenerasi dari jaringan tubuh akan
berkurang. Penyembuhan luka pada penderita yang masih muda berlangsung
lebih cepat.
3. Penyakit sistemik, pasien dengan penyakit diabetes melitus, gangguan sistem
imun, gangguan kardiovaskuler, infeksi kronis, anemia dan penyakit lain.1,4
55
Benda Asing
Benda asing adalah segala sesuatu yang dianggap asing bukan anggota dari
tubuh oleh sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme, termasuk bakteri,
kotoran dan benang jahit.
a. Bakteri dapat berkembang biak dan menyebabkan infeksi dimana akan
mengeluarkan protein bakteri yang dapat merusak jaringan
b. Benda asing yang bukan bakteri tetapi bertindak sebagai bakteri yang dapat
meenyebabkan terjadinya infeksi.
c. Benda asing sering berbentuk antigen yang memacu terjadinya peradangan
kronis.
Jaringan Nekrotik
Jaringan nekrotik, dengan adanya jaringan nekrotik akan menyebabkan
masalah antara lain:
a. Merupakan penghambat terbentuknya sel-sel reparasi. Tahap peradangan
diperpanjang dimana sel darah putih mengangkut sisa-sisa jaringan nekrotik
melaiui proses larutnya enzim dan paghositosis.
b. Jaringan nekrotik sebagai tempat berlindungnya bakteri. Yang termasuk
jaringan nekrotik adalah darah yang terkumpul pada luka (hematom)
merupakan sumber makanan yang bagus bagi bakteri.
Iskemia
Iskemia, adalah berkurangnya suplai darah berpengaruh terhadap tahap
perbaikan luka. Iskemia dapat mengurangi pengiriman antibodi, sel darah putih, dan
antibiotik yang sangat diperlukan, sehingga dapat menyebabkan terjadinya infeksi
pada luka. Iskemia menurunkan pengiriman oksigen dan zat makanan yang
diperlukan untuk penyembuhan luka. Iskemia disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
a. Terlalu tegang atau tidak tepatnya lokasi penjahitan
b. Bentuk flap yang kurang benar
c. Tekanan dari luar dan dalam luka (hematom)
d. Hipotensi
56
e. Penyakit pembuluh darah tepi
f. Anemia
Ketegangan Jaringan
Ketegangan jaringan, ketegangan dari luka dapat menghambat terjadinya
penyembuhan. Penjahitan dengan benang yang terlalu kencang dapat menimbulkan
ketegangan pada jaringan di daerah luka. Jaringan diliputi oleh benang yang
terlalu tegang sehingga menimbulkan iskemia. Jika benang diambil terlalu awal
maka dapat terjadi pembukaan kembali dari luka sehingga dapat menimbulkan
kontraksi dari luka. Apabila terlalu lama benang tidak diambil maka akan
mendatangkan ketegangan jaringan dan luka cenderung semakin terbuka selama
tahap remodeling, sehingga akan meninggalkan tanda yang buruk.3,5,6
PENATALAKSANAAN LUKA YANG TIDAK TEPAT
Gagal mengidentifikasi penyebab yang mendasari sebuah luka atau gagal
untuk melakukan identifikasi masalah lokal di tempat luka, penggunaan antiseptik
yang tidak bijaksana, penggunaan antibiotik topikal yang kurang tepat dan ramuan
obat perawatan luka lainnya, serta teknik pembalutan dan penjahitan yang kurang
hati-hati adalah penyebab terlambatnya penyembuhan luka yang dapat dihindari.
MEKANISME PENYEMBUHAN JARINGAN SARAF
Proses penyembuhan jaringan saraf tergantung pada derajat keparahan dan
keluasan luka. Pada luka yang menyebabkan terganggunya konduksi saraf, tanpa
rusaknya akson (selubung myelin masih intak atau terdapat luka yang kecil)
penyembuhan dari defisit fungsional berlangsung secara spontan dan umumnya
lengkap dalam tiga - empat minggu. Apabila ada kerusakan akson (sel Schwann dan
jaringan ikat masih intak) akan terjadi perubahan morfologis sebagai manifestasi
dari degenerasi aksoplasma. Hal ini akan berpengaruh pada bagian distal dari lokasi
luka dan sebagian bagian proksimal dari luka. Pada luka badan saraf, terjadi
degenerasi pada semua akson di badan saraf yang terluka. Setelah sel saraf terluka,
investing Schwann cells akan memulai beberapa perubahan yang disebut
57
degenerasi wallerian, di sepanjang akson distalis dan beberapa akson proksimalis.
Selama 78 jam, akson yang terluka akan difagositosis oleh sel Schwann dan
makrofag. Setelah debris dapat dibersihkan, sel Schwann akan menghubungkan
bagian proksimal dan distal dari luka dengan cara membentuk suatu ikatan
(Bungner’s band) yang akan menerima akson yang sudah regenerasi dari bagian
proksimal. Sel Schwann juga dapat mengeluarkan beberapa faktor neurotropik
untuk menunjang regenerasi sel saraf. Proses regenerasi sel saraf berlangsung
sekitar 3 bulan dan ditandai dengan terbentuknya akson bermielin. Proses regenerasi
dipengaruhi oleh faktor umur, tipe luka, nutrisi, dan saraf yang terlibat.1,4
KOMPLIKASI PENYEMBUHAN LUKA
Infeksi Pada Luka
Infeksi pada luka umumnya merupakan infeksi dari kontaminasi bakteri
pada luka tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, infeksi dapat terjadi bila terdapat 1
x 105 bakteri dalam 1 gram jaringan. Selain itu, infeksi dapat terjadi akibat daya
tahan tubuh host yang menurun atau derajat virulensi bakteri. Gejala klinis dari luka
yang terinfeksi adalah eritema, peningkatan suhu, pembengkakan, rasa nyeri, dan
umumnya disertai dengan terbentuknya pus dan bau. Tindakan yang tidak asepsis
merupakan penyebab utama terjadinya luka yang terinfeksi. Infeksi luka dapat
dikurangi dengan cara melakukan tindakan bedah yang benar, meliputi debridement,
hemostasis yang adekuat, dan eliminasi dead space, serta menjaga luka tetap bersih.7
Dehiscence
Dehiscence terjadi akibat tindakan hecting yang tidak optimal. Bagian yang
mengalami dehiscence dapat ditutup lagi atau dibiarkan supaya terjadi
penyembuhan sekunder, tergantung luas daerah dehiscence dan keputusan klinisi.
Jaringan parut
Keloid memiliki faktor predileksi hubungan kekerabatan dan ras. Perlu
dibedakan antara keloid dengan hyperthrophic scar. Keloid timbul beberapa bulan
setelah luka sembuh, sedangkan hyperthropic scar timbul segera setelah luka
58
sembuh. Hal yang dapat dilakukan adalah menjaga jarak antarjahitan tidak terlalu
rapat dan setelah dilakukan hecting, pasien dapat diberikan obat anti-keloid (salep
kanakeloid atau injeksi kenacort 2x sebulan).4
59
BAB IV
KESIMPULAN
Luka adalah terputusnya kontuinitas jaringan baik tanpa kehilangan jaringan
atau disertai dengan kehilangan jaringan. Luka pada jaringan dapat disebabkan oleh
peristiwa patologis atau trauma. Proses penyembuhan luka dapat dibagi menjadi tiga
tahap dasar yaitu tahap inflamasi, tahap fibroblastis dan tahap remodeling.
Faktor-faktor yang menghambat proses penyembuhan luka adalah adanya
benda asing, adanya jaringan nekrotik, iskemia dan ketegangan jaringan,
penyembuhan luka dipengaruhi oleh faktor lokal dan faktor sistemik. Komplikasi
yang sering terjadi adalah infeksi, dehiscence, dan jaringan parut yang berlebihan.
60
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeon, Manual Untuk Peserta ATLS, 1997,hal.300 –
309.
2. Topazian R.G and Goldberg M.H, Oral and Maxillofacial infection, 4th
ed,
W.B Saunders Co, Philadelphia. 2002. Pp: 99-111
3. Feinberg, SE. Larsen, PE. 1991. Healing of Traumatic Injuries, in Fonseca RJ
and Walker RV, Oral and Maxillofacial Trauma. Vol. I, W.B. London:
Saunders Company.
4. Patient UK. Simple Wound Management and Suturing.
http://www.patient.co.uk
5. Frying, F. Enquist. 1998. The Principles of Wound Healing, in Loyal Davis,
M.D, Cristhoper's Textbook of Surgery. 9th ed. Philadelphia: W.B.Saunders and
Co.
6. Morison, JM. 2003. Manajemen Luka, EGC. hal 28-42.
7. Pederson W.G. 1996. Buku Ajar Bedah Mulut. Alih Bahasa Purwanto.
Jakarta: EGC
8. Robins; Cotran; Kumar, Radang dan perbaikan, dalam Dasar Patologi
Penyakit, edisi 5, tahun 1996, hal. 20- 65.
9. www.bayoesunaryo.wordpress.com, diunduh tanggal 22 Januari 2013
10. www.jellygamatluxornet.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013
11. www.dc349.4shared.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013
12. www.adam.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013
13. www.skwawesome.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013
14. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1998,
hal.81-91, 105-107.
15. www.meddet.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013
16. http://burn-victim-help-center.com, diunduh tanggal 22 Januari 2013
17. Arif Mansjoer, Suprohaita, dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media
Aesculapius, FK-UI, 2001, hal. 365-372.
62
Penanganan Perdarahan / Hemostasis dan Pengelolaan Nutrisi Penderita
Trauma Oromaksilofasial
Alvin
160121120006
Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Bedah Mulut Dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
Abstrak : Perdarahan pada penderita oromaksilofasial merupakan suatu jenis
kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa, maka dari itu diperlukan suatu
penanganan perdarahan secepat mungkin. Penanganan perdarahan dapat
dilakukan dengan membentuk mekanisme hemostasis natural, menggunakan
panas , pengikatan dengan benang, meletakkan substansi vasokonstriktif. Pada
penderita trauma oromaksilofasial juga diperlukan adanya pengelolaan nutrisi
yang adekuat dikarenakan pada penderita trauma kemampuan penggunaan mulut
penderita berkurang. Prosedur bedah mulut dan maksilofasial dapat
mengeliminasi permasalahan ini dengan suatu prosedur operasi,namun prosedur
ini juga membatasi kemampuan mulut sementara waktu. Pada keadaan trauma
(stress dan sepsis) tubuh mengalami rangkaian perubahan hormonal yang
menambah laju metabolisme. Hal ini berakibat menurunnya daya tahan tubuh,
terjadinya edema, dan terhambatnya penyembuhan luka gangguan motilitas usus,
gangguan enzim dan metabolisme serta kelemahan otot. Oleh karena itu pasien
dengan trauma oromaksilofasial memerlukan intervensi nutrisi dalam rawat inap
di rumah sakit. Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan
gambaran penanganan perdarahan dan pengelolaan nutrisi penderita trauma
oromaksilofasial .
Kata kunci : perdarahan, trauma, nutrisi
63
BAB I
PENDAHULUAN
Manajemen pasien yang mengalami trauma jarang dijumpai pada pusat
trauma mayor dimana sumber dayanya tidak terbatas, namun justru dijumpai
pada perumahan yang terpencil, kantor, jalan raya, atau daerah-daerah lain dengan
sumber daya yang terbatas yang biasanya tidak dapat menangani pasien dengan
trauma yang kompleks dan frekuensi yang besar. Kunci penatalaksanaan pasien
trauma biasanya melibatkan mobilisasi dari pasien-pasien tersebut dan penyaluran
ke pusat trauma untuk penanganan lebih lanjut. Ketika trauma yang kompleks
terjadi, pasien tersebut sering membutuhkan penanganan medis darurat atau
kematian dapat terjadi 1.
Pada mulanya dokter gigi dilibatkan pada perawatan trauma rahang karena
mereka menguasai pengetahuan tentang gigi dan oklusi. Perawatan yang terdahulu
hanya terdiri atas fiksasi gigi pada oklusi sentrik untuk mengurangi dan
mengimobilisasi suatu rahang. Sekarang ini dasar pemikiran perawatan fraktur
mandibula dan maksila masih tidak banyak berubah, hanya tekniknya yang
berkembang pesat. Diagnosis didukung dengan adanya teknik radiografis yang
berkembang dengan pesat. Fraktur-fraktur yang pada jaman dahulu tidak dapat
dikenali sama sekali atau hanya bersifat dugaan sekarang ini bisa ditunjukkan
sampai hal yang terkecil. Dengan tersedianya antibiotik dan peralatan yang
khusus, membuat pendekatan per oral pada perawatan fraktur fasial menjadi aman
dan layak dilakukan 2.
Trauma yang terdapat pada regio maksilofasial memerlukan perhatian
khusus. Trauma oromaksifasial dapat menimbulkan perdarahan, sehingga
memerlukan tindakan di dalam ruang gawat darurat agar tidak menimbulkan
kematian 3. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat berupa
pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara baik di rumah
64
sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa mencegah dan
membatasi cacat serta meringankan penderitaan dari penderita. Keadaan ini selain
membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang baik dari penolong dan sarana
yang memadai, juga dibutuhkan pengorganisasian yang sempurna. 3
Regio maksilofasial terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah
wajah yang bagian atas, bila fraktur melibatkan sinus dan tulang frontal. Bagian
kedua adalah daerah tengah wajah atau midface. Midface dibagi menjadi bagian
atas dan bagian bawah. Midface yang bagian atas bila terdapat fraktur Le Fort II
dan Le Fort III dan/atau fraktur tulang nasal, fraktur nasoetmoidal atau kompleks
zygomatikomaksilari dan fraktur dasar orbita. Fraktur Le Fort I bila fraktur
terdapat pada bagian bawah dari midface. Bagian yang ketiga dari regio
maksilofasial adalah wajah bagian bawah, bila fraktur hanya terdapat pada
mandibula. Insidensi trauma maksilofasial sering terjadi terutama yang
berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor. 3
Kematian pada penderita dengan trauma oromaksilofasial salah satunya
dapat disebabkan oleh perdarahan yang tidak cepat diatasi, sehingga memerlukan
tindakan di dalam ruang gawat darurat agar tidak menimbulkan kematian 3.
Distribusi umur pasien trauma menunjukkan bahwa pasien trauma
berumur antara 17 dan 24 tahun, dengan jenis kelamin laki-laki yang paling
dominan terluka pada kecelakaan motor dan oleh karena kekerasan (luka tembak,
luka tusuk dan perkelahian). Kelompok utama yang kedua dari pasien trauma
berumur antara 35 dan 44 tahun dan didominasi oleh laki-laki yang terluka karena
kecelakaan motor. Kelompok ketiga tertinggi dari pasien trauma berumur antara
75 dan 85 tahun dan kebanyakan adalah wanita yang terluka karena jatuh atau
oleh karena kecelakaan motor. Kelompok umur ini adalah kelompok yang paling
sering dijumpai oleh spesialis bedah mulut untuk evaluasi dan pengobatan luka
fasial 1.
Berikut ini akan dibahas mengenai penanganan perdarahan/hemostasis dan
pengelolaan nutrisi pada kegawatdaruratan trauma oromaksilofasial sebelum
dilakukan penanganan definitif lebih lanjut. 1
65
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENANGANAN TRAUMA OROMAKSILOFASIAL
Pada umumnya penderita dengan trauma oromaksilofasial terjadi
bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh yang lain (trauma multiple).
Sehingga tahap-tahap penangannnya bersamaan dengan penanganan trauma yang
lainnya. Adapun tahap-tahap penanganan trauma adalah sebagai berikut 4:
1. Penanganan yang dilakukan sebelum dibawa ke rumah sakit
a. Mempertahankan jalan napas
b. Menghentikan perdarahan eksternal
c. Stabilisasi fraktur
d. Stabilisasi tulang belakang
e. Tranportasi cepat (Ambulatory)
2. Resusitasi dan pananganan primer
a. ABC (Airway, Breathing, Circulation)
b. Resusitasi cairan
c. Pemantauan
3. Diagnosis dan penanganan sekunder
a. Pemeriksaan fisik menyeluruh
b. Radiografi
c. Pemeriksaan Laboratorium
d. Resusitasi dan pemantauan lanjut
4. Perawatan Definitif
a. Pembedahan
b. Perawatan non operatif
c. Nutritional support
5. Rehabilitasi
66
B. TINJAUAN UMUM PERDARAHAN
Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah kedalam ruang
ekstravaskuler, karena hilangnya kontinuitas pembuluh darah. Berbagai macam
perdarahan yang dibagi menurut pembuluh darah yang terluka, waktu perdarahan,
lokasi perdarahan, dan penyebab perdarahan, yang akan diuraikan sebagai
berikut1:
1. Menurut pembuluh darah yang terluka, perdarahan dapat dibagi menjadi:
a. Perdarahan arteri, dengan ciri-ciri warna darah cerah terang karena
mengandung oksigen dan perdarahan memancar dengan aliran yang
terputus-putus sesuai dengan denyut jantung.
b. Perdarahan vena, dengan ciri-ciri warna darah merah gelap karena
mengandung karbondioksida dan darah yang keluar mengalir tetap.
c. Perdarahan kapiler, dengan ciri-ciri warna darah antara darah arteri dan
vena, dan darah merembes dari permukaan luka.
2. Menurut waktu terjadinya perdarahan, dibagi menjadi:
a. Perdarahan primer jika terjadi pada waktu terputusnya pembuluh darah
karena trauma; operasi.
b. Perdarahan intermediate jika terjadi dalam 24 jam.
c. Perdarahan sekunder jika terjadi setelah 24 jam.
3. Menurut lokasi perdarahan, maka dibagi menjadi:
a. Perdarahan eksternal jika darah keluar dari kulit atau jaringan lunak
dibawahnya.
b. Perdarahan internal jika arah tidak keluar, tetapi masuk kejaringan
sekitarnya.
4. Menurut penyebab terjadinya perdarahan maka dibagi menjadi:
a. Perdarahan mekanik yaitu perdarahan terjadi akibat trauma mekanik atau
kecelakaan
b. Perdarahan spontan/biokemis yaitu perdarahan terjadi akibat kelainan
atau gangguan mekanisme hemostasis, dapat terjadi karena kelainan
67
pembuluh darah, kelainan trombosit dan kelainan mekanisme
pembekuan darah.
C. HEMOSTASIS
Hemostasis adalah proses penghentian perdarahan dari pembuluh darah
yang mengalami kerusakan secara spontan. Gangguan faktor hemostasis akan
mengakibatkan terjadinya perdarahan atau trombosis. Perdarahan yaitu darah
keluar dari pembuluh darah. Trombosis yaitu darah membeku di pembuluh darah.
Hemostasis dapat dibagi menjadi5:
1. Hemostasis primer, yang termasuk didalamanya adalah pembuluh
darah dan trombosit.
2. Hemostasis sekunder, yang termasuk didalamanya adalah faktor
pembekuan dan anti pembekuan.
Pencegahan kehilangan darah yang banyak merupakan hal yang penting
untuk menjaga kapasitas transpor oksigen pada pasien tersebut. Akan tetapi
pengontrolan hemostasis penting dikarenakan oleh adanya alasan-alasan yang
penting juga. Salah satunya adalah menurunnya visibilitas yang dikarenakan
perdarahan yang tidak terkontrol. Masalah lainnya yang disebabkan oleh
perdarahan adalah terbentuknya hematoma. Hematoma memberikan tekanan pada
luka, mengurangi vaskularitas; hematoma tersebut meningkatkan tarikan pada tepi
luka dan berfungsi sebagai media kultur, yang memungkinkan terjadinya infeksi
pada luka 5.
Evaluasi faal hemostasis dapat dilakukan melalui beberapa cara, yang akan
diuraikan sebagai berikut:
1. Percobaan Pembendungan (Tes Rumpel Leede)
Menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan cara mengenakan
pembendungan kepada vena, sehingga tekanan darah di dalam kapiler
meningkat. Dinding kapiler yang kurang kuat akan menyebabkan darah
keluar dan merembes kedalam jaringan sekitarnya sehingga nampak titik
merah kecil pada permukaan kulit, titik itu disebut petekia.
68
2. Masa perdarahan
Menilai kemampuan vaskuler dan trombosit untuk menghentikan
perdarahan.
3. Hitung jumlah trombosit
Perdarahan tidak terjadi jumlah trombosit lebih dari 100.000/ul. Jumlah
trombosit kurang dari 50.000/ul digolongkan trombositopenia berat dan
perdarahan spontan akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dari
20.000/ul.
4. Masa Protrombin Plasma (Protrombine Time/PT)
Menguji pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama yaitu
faktor pembekuan VII, X, V, protrombin dan fibrinogen.
5. Masa tromboplastin parsial teraktivitas (Activitated Parsial Tromboplastin
Time/APTT)
Menguji pembekuan darah melalui jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu
faktor pembekuan XII, prekalikren, kininogen, XI, IX, VIII, X, V,
protrombin dan fibrinogen
6. Trombine Time (TT)
Perubahan fibrinogen menjadi firbin
7. Pemeriksaan Penyaringan untuk Faktor XIII
Digunakan untuk menilai kemampuan faktor XIII dalam menstabilkan
fibrin.
Tabel 1. Tes Koagulasi
Jenis Tes Nilai Normal Kegunaan
Waktu perdarahan 2-7 menit Mengamati fungsi vaskular dan platelet,
deteksi penyakit willebrand
Hitung platelet 150.000-400.000/mm³ Deteksi trombositosis , trombositopenia
Waktu protrombin 12-14 Detik Lebih lama bila berkaitan dengan defisiensi
faktor-faktor I,II,V,VII,X. Mungkin abnormal
pada penyakit hati, defisiensi vitamin K,
69
terapi warfarin sodium (Coumadin),
Penggunaan aspirin, dan anti-radang non-
steroid lain.
Paruh waktu
tromboplastin
60-70 detik Lebih lama, bila ada defisiensi faktor
pembekuan darah, kecuali VII Hemofilia
Tabel 2. Faktor Pembekuan Darah
Faktor Peranan pada pembekuan darah Tes
I Fibrinogen Prekursor fibrin PT
II Protrombin Proensim,diaktifkan oleh tromboplastin PT
III Tromboplastin Diperlukan untuk merubah protrombin
menjadi thrombin
PTT
IV Kalsium
V Proaccelerin
VI Tidak lagi digunakan
VII Proconvertin
VIII Faktor antihemofilik (AHF)
IX Komponen Plasma
tromboplastin
X Faktor Stuart Prower
XI Anteseden tromboplastin
plasma
XII Faktor Hageman
XIII Faktor stabilisasi fibrin
Diperlukan pada semua tahap
Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin
Diperlukan untuk mengubah protrombin
menjadi thrombin
Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin
Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin
Diperlukan dalam pembentukan tromboplastin
dan perubahan dari protrombin menjadi thrombin
Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin
Mengawali proses pembekuan darah in vitro
Merubah fibrin menjadi polimer fibrin
PTT
PT
PTT
PT
PTT
PTT
PTT
PTT
PTT
PTT
PT : Waktu protrombin
PTT : Paruh waktu tromboplastin
70
D. PENANGGULANGAN PERDARAHAN KARENA TRAUMA
Kehilangan darah akut dari sistem peredaran darah disebut juga sebagai
hemoragi. Pada orang dewasa dengan berat badan yang ideal, volume darah
normal (liter) adalah sebanyak 7% dari berat badan (kilogram). Maka dari itu,
seorang laki-laki dengan berat badan 70 kg memiliki volume darah kurang lebih
5L. Pada individu yang menderita obesitas, volume darah tidak meningkat secara
spesifik. Pada anak-anak, volume darah secara umum tinggi per satuan berat, 8%
hingga 9% dari berat badan. Hemoragi dapat secara eksternal maupun internal ke
dalam kavitas tubuh. Hemoragi eksternal biasanya dapat dikontrol dengan
melakukan penekanan secara langsung ke luka yang ada. Tekanan yang digunakan
untuk mengontrol perdarahan sebaiknya kuat dan kontinu. Ketika dressing yang
digunakan menjadi basah, dressing tersebut sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi
sebaiknya dressing tambahan digunakan karena apabila dressing dilepaskan maka
formasi clot yang telah terbentuk dapat terganggu dan menyebabkan perdarahan
kembali. Tekanan yang kuat dapat diaplikasikan proksimal ke arah arteri mayor
untuk mengontrol perdarahan. Akan tetapi, hal tersebut hanya direkomendasikan
apabila penekanan langsung pada luka saja tidak efektif 1.
Perban tekan, seperti air-pillow splints dan blood pressure cuff dapat juga
digunakan. PASGs dan medical antishock trousers(MASTs), yang sebelumnya
digunakan untuk meningkatkan tekanan darah pada kasus hipotensi yang parah,
memberikan keadaan yang merugikan pada beberapa situasi karena menyebabkan
luka vaskular. Sebagai spesialis bedah mulut dan maksilofasial, kita mengetahui
adanya suplai vaskular yang banyak ke daerah muka dan leher. Aspek negatif dari
suplai darah tersebut adalah hemoragi mayor dapat disebabkan oleh luka pada
kulit kepala yang besar, fraktur nasal atau tengah wajah, dan luka tembus pada
leher. Luka pada kulit kepala dapat menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah
besar pada waktu yang singkat karena perembesan darah pada galea dan lapisan
jaringan ikat yang renggang. Luka kulit kepala dapat dengan cepat diatasi dengan
dijahit menggunakan 2.0 nonresobable atau staples tanpa memperhatikan
kosmetik pasien. Tekanan langsung kemudian dapat dilakukan pada luka untuk
71
mengontrol hemoragi dan meminimalkan pembentukan hematoma. Ketika pasien
sudah stabil, jahitan dapat dilepaskan dari luka dan penutupan lapisan luka secara
kosmetik dapat dilakukan 1.
Fraktur nasal dan tengah wajah dapat menyebabkan robeknya arteri
ethmoidal. Kebanyakan hemoragi dari fraktur fasial dapat dikontrol dengan
tekanan langsung atau packing. Perdarahan internal arteri maksilaris yang
disebabkan fraktur dinding posterior maksila, yang dapat terjadi pada fraktur Le
Fort I dan II, dapat dikontrol dengan tekanan dari gauze packing selama beberapa
waktu. Epinephrine dan cairan trombin dapat juga ditambahkan pada gauze
packing dan kepala dapat juga dinaikkan untuk mendapatkan hemostasis. Ketika
pengontrolan langsung pembuluh darah diperlukan, visualisasi yang adekuat dari
pembuluh darah diperlukan. Penjepitan tanpa melihat pembuluh darah dapat
menyebabkan perdarahan dari pembuluh darah dan jaringan lunak, sekaligus
dapat menyebabkan kemungkinan rusaknya nervus. Pada kasus yang langka,
ligasi dari arteri karotis eksternal mungkin diperlukan. Akan tetapi, hal ini
biasanya tidak efektif jika digunakan sendiri saja dikarenakan sirkulasi kolateral
dari wajah. Embolisasi dari perdarahan dengan cara intervensi secara radiologi
oleh radiologis ,jika tersedia, merupakan cara yang terbaik untuk mengatasi
perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan menggunakan metode yang telah
disebutkan di atas 1.
Daerah internal yang potensial untuk tempat terjadinya perdarahan
termasuk rongga dada, abdomen, retroperitoneum, dan ekskremitas. Pemeriksaan
fisik dan radiografis sangat menolong dalam mengidentifikasi hemoragi ke dalam
area tersebut. Hipovolemi yang terus menerus tanpa adanya perdarahan eksternal
atau ke dalam rongga dada dapat menunjukkan adanya hemoragi abdominal atau
hemoragi pada daerah fraktur. Fraktur pelvis dapat menyebabkan kehilangan
darah sekitar 1000 ml sampai 2000 ml, fraktur femur 500 ml hingga 1000 ml,
fraktur tibia 250 ml hingga 500 ml, dan tulang-tulang kecil lainnya 125 ml hingga
250 ml. Pengontrolan perdarahan internal tidak dilakukan pada saat survei primer,
kecuali jika hemoragi tersebut menyebabkan keadaan yang merugikan pada sistem
pulmonal dan kardiovaskular. Perdarahan internal dapat dikontrol dengan
72
menggunakan fiksasi sekunder dari fraktur, oklusi vaskular melalui mekanisme
perlindungan, refraksi, pembentukan clot, dan operasi eksplorasi 1.
Hemostasis luka dapat diperoleh dengan empat cara. Yang pertama adalah
dengan membentuk mekanisme hemostasis natural. Hal ini biasanya diperoleh
dengan mengunakan fabric sponge untuk memberikan tekanan pada pembuluh
darah atau meletakkan hemostat pada pembuluh darah. Kedua metode tersebut
menyebabkan stasis dari darah pada pembuluh darah, yang pada akhirnya
menyebabkan koagulasi. Beberapa pembuluh darah kecil kebanyakan hanya
memerlukan tekanan selama 20 hingga 30 detik, dan pembuluh darah besar
memerlukan 5 hingga 10 menit penekanan yang kontinu. Ahli bedah dan asisten
sebaiknya “mencolek” bukan mengusap dengan spons untuk menghilangkan
darah yang terekstravasasi. Mengusap dapat membuka kembali pembuluh darah
yang telah tersumbat dengan beku darah 5.
Cara kedua untuk memperoleh hemostasis adalah dengan menggunakan
panas untuk menyebabkan ujung dari pembuluh darah yang terpotong sehingga
bersatu (koagulasi termal). Panas biasanya diaplikasikan melalui tegangan listrik
yang dipusatkan oleh ahli bedah pada pembuluh yang mengeluarkan darah dengan
memegang pembuluh darah dengan instrumen metal, seperti hemostat, atau
dengan menyentuh pembuluh darah dengan tip elektrokauter. Tiga kondisi harus
dipenuhi untuk memenuhi persyaratan penggunaan koagulasi termal. Pertama,
pasien harus berhubungan dengan tanah, sehingga arus listrik dapat memasuki
tubuh. Kedua, tip cauter dan intrumen metal lainnya yang disentuh oleh tip kauter
tidak boleh menyentuh pasien pada titik lainnya selain pada area pembuluh darah
yang berdarah. Jika tidak, arus listrik dapat mengalir ke arah yang tidak
diinginkan dan menyebabkan luka bakar. Syarat yang ketiga untuk koagulasi
termal adalah pembuangan semua darah atau cairan yang terakumulasi di sekitar
pembuluh darah yang akan dikauter. Cairan bertindak sebagai penghalang energi
dan mencegah sejumlah besar panas mencapai pembuluh darah untuk
menyebabkan penutupan 5.
Cara ketiga untuk membantu terjadinya hemostasis bedah adalah dengan
pengikatan dengan benang. Jika pembuluh darah besar telah terpotong, setiap
73
ujungnya dijepit dengan menggunakan hemostat. Ahli bedah kemudian mengikat
pembuluh darah tersebut dengan benang non-resorbable. Jika pembuluh darah
dapat dibebaskan dari jaringan ikat sekitarnya sebelum dipotong, dua hemostat
dapat di letakkan pada pembuluh darah, dengan jarak yang cukup di anataranya
untuk memotong pembuluh darah. Ketika pembuluh darah telah terputus, benang
diikatkan pada setiap ujungnya dan hemostat dilepaskan 5.
Cara keempat untuk mendapatkan hemostasis adalah dengan meletakkan
substansi vasokonstriktif, seperti epinefrin, pada luka atau dengan pengaplikasian
prokoagulan, seperti trombin atau kolagen, pada luka 5.
E. PENANGANAN SEBELUM KE RUMAH SAKIT
Tujuan penanganan sebelum penderita dibawa ke rumah sakit yaitu
menyelamatkan jiwa penderita sebelum mendapatkan penanganan yang lebih
lanjut di rumah sakit 6..
Perawatan penderita cedera akut dengan faktur pada daerah wajah,
pertama kali harus ditujukan pada penyelamatan jiwa dengan memperhatikan
jalan nafas dan pernafasan, dan sirkulasi (Air ways, Breathing, Circulation), serta
kontrol perdarahan 6..
Perdarahan pada penderita dengan trauma oromaksilofasial dapat terjadi
secara internal maupun eksternal. Pada perdarahan internal hanya dapat diatasi di
rumah sakit. Penanganan perdarahan di tempat kecelakaan diutamakan pada
perdarahan eksternal. Cara mengatasinya dengan melakukan penekanan pada luka
dan jika perdarahan masih berlangsung terus dilakukan pengikatan (ligasi).
Perdarahan yang keluar dari hidung dapat diatasi dengan meletakan tampon di
lubang hidung depan dan belakang 6.
74
Gambar 1. Penanganan Perdarahan Hidung6
Penanganan awal apabila terjadi perdarahan arteri adalah dengan
penekanan. Penekanan diperoleh dari penekanan langsung dengan jari atau
dengan kasa. Sering dengan hanya melakukan sudah bisa berhasil mengatasi
perdarahan. Jika keluarnya darah sangat deras, misalnya terpotongnya arteri, maka
diklem dengan hemostat. Melakukan klem pada daerah perdarahan dimulut sangat
sukar dan melakukan pengikatan (ligasi) bahkan lebih sulit lagi. Untungnya hanya
dengan melakukan klem saja sudah cukup diinduksi untuk membuat beku darah.
Apabila tersedia,dapat digunakan elektrokoagulasi dari pembuluh yang diklem
sehingga tidak perlu diikat Alternatif yang lain yang biasa digunakan hanya pada
pembedahan adalah menggunakan klip hemostatik pada pembuluh darah. Sesudah
mengontrol perdarahan Intra-operatif, maka dapat diputuskan untuk meneruskan
atau menghentikan prosedur 4.
Pemberian cairan intravena dapat diberikan jika transportasi diperkirakan
memerlukan waktu lebih dari 30 menit, atau perdarahan berat melebihi 50 cc
permenit. Pergunakan cairan hipertonik 4.
75
Gambar 2. Penjepitan pembuluh darah dengan arteri klem6
Faktor yang mempengaruhi keputusan ini adalah kondisi fisik dan mental
pasien (tanda-tanda vital), perkiraan jumlah darah yang dikeluarkan dan waktu
yang digunakan untuk mengontrol perdarahan. Seringkali trauma oromaksilofasial
terjadi bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh lain (trauma multiple),
misalnya trauma mengenai cerebro kardiovaskuler, saraf, dada, dan anggota
gerakan lainnya. Pada keadaan ini kita mendahulukan penanganan trauma yang
paling mengancam jiwa 1.
Untuk penderita dengan trauma oromaksilofasial pendekatan awal sedikit
berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap
saluran pernafasan dan kontrol perdarahan eksternal, sebelum melakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital, keadaan-keadaan itu harus ditangani lebih dahulu
oleh karena mengancam jiwa penderita 1.
Perdarahan dari fraktur oromaksilofasial dapat terjadi perdarahan pada
rongga mulut, hidung, sinus paranasalis, nasofaring (dari basis cranii) atau
perdarahan dari hidung (fraktur nasalis, fraktur maksila). Penanganan perdarahan
eksternal pada trauma oromaksilo fasial sudah harus dilakukan saat sebelum tiba
di rumah sakit. Jika belum dilakukan, hendaknya dilakukan bersamaan dengan
penanganan jalan nafas. Penjepitan pembuluh darah secara acak harus dihindari
karena dapat membahayakan pembuluh darah balik dan saraf 1.
76
F. SYOK HIPOVOLEMIK
Syok adalah ketidakmampuan sirkulasi darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Perdarahan yang banyak bisa mengakibatkan syok
hipovolemik. Perdarahan adalah sebab tersering dari syok pada trauma, dan
hampir semua penderita multi-trauma ada syok. Syok hipovolemik adalah suatu
kondisi medis yang timbul akibat penurunan sirkulasi volume darah, penyebab
syok yang paling sering dan semua jenis syok memiliki komponen hipovolemik1.
Etiologi syok hipovolemik adalah kehilangan darah/perdarahan (trauma,
perdarahan GIT, dan hematoma); kehilangan Plasma (luka bakar); kehilangan
cairan dan elektrolit (muntah, diare, keringat, pancreatitis, dan asites) 1
.
Gejala syok hipovolemik antara lain adalah inadekuat perfusi organ,
kehilangan darah 10-15%, perubahan tanda vital karena adanya mekanisme
kompensasi, takikardia, ketolamin (+) dingin, ekstrimitas lembab dan
keterlambatan capillary filling, urine output <0,5 ml/kg BB/jam1.
Pemeriksaan laboratorium penunjang yang dilakukan untuk menetapkan
diagnosis adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan elektrolit (seperti Na,
K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin dan kadar glukosa), PT, APTT, analisa gas darah
dan pemeriksaan urin rutin (pada pasien dengan trauma). Selain itu golongan
darah dan cross matched juga perlu diperiksa1.
Untuk cukup atau tidaknya aliran darah dapat diketahui dengan
memperhatikan keadaan-keadaan seperti tensi yang menurun, denyut nadi yang
melemah, nafas yang cepat, dan perabaan pada daerah akral dari ektremitas.
Resusitasi cairan dapat diberikan sesuai dengan keadaan klinis1.
Tabel 3. Klasifikasi perdarahan1
KELAS I KELAS II KELAS III KELAS IV
Kehilangan
Darah (mL)
< 750 750-1500 1500-2000 > 2000
%
Kehilangan
Darah
< 15 % 15-30% > 40%
77
Nadi N N > 120 > 140
Tekanan
Darah
N N/(postural) Menurun Menurun
Tekanan
Nadi
N
Capilary
Refill
≤ 3o Memanjang Memanjang Memanjang
Respirasi N 20-30 > 30 > 35
Urine
(ml/jam)
≥30 cc/mnt 20-30
cc/mnt
5-15 cc/mnt Tidak ada
urine
Status
Mental
Sedikit cemas Cemas Sangat cemas
dan bingung
Bingung atau
letargi
Resusitasi
Cairan
Kristaloid Kristaloid Kristaloid &
Darah
Kristaloid &
Darah
Apabila darah belum tersedia pada kelas III dan IV sementara dapat
diganti dengan tambahan 0,5 L (PP) dan 2,0 L (RL) untuk kelas III, 1,0 L (PP)
dan 3,0 L (RL). Keberhasilan terapi dapat dilihat dari perbaikan gejala klinik
tersebut di atas (kesadaran, denyut nadi, napas, muka, tangan/kaki, tensi dan
urine). Menghentikan perdarahan mutlak harus dilakukan1.
Pemberian pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat
membantu dalam mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat. Pilihan tipe
cairan yang digunakan adalah koloid dan kristaloid. Koloid sangat baik untuk
ekspansi volume plasma, dan merupakan pilihan yang terbaik untuk peningkatan
Cardiac Output dan volume O2. Namun koloid efek udema parunya kurang dan
harga cairan ini mahal1.
Kristaloid sangat baik untuk dehidrasi (kehilangan cairan ekstraseluler)
atau perdarahan ringan. Selain itu juga dapat memberikan efek pada ekspansi
cairan intravaskular tetapi menyebabkan ekspansi berlebihan pada cairan
interstisiel. Kristaloid efektif, apabila tidak terdapat peningkatan permeabilitas
kapiler dan harga cairan ini murah1.
78
Bagan 1. Resusitasi Cairan1
Tujuan yang harus dipenuhi dalam pemberian cairan adalah menganti
cairan yang hilang selama trauma atau pembedahan. Maksud utamanya adalah
mengembalikan volume intravaskular dan mendapatkan perfusi jaringan yang
adekuat, serta penggantian cairan yang hilang dilakukan melalui pipa
lambung,drainase toraks, drainase peritonium, fistula usus, respirasi dsb.
Penatalaksanaan pada perdarahan akut adalah sebagai berikut1:
1. Pemasangan 2 jalur Infus I.V., dengan pemberian 1-2 liter kristaloid (NaCl
0,9% atau RL) atau Koloid (Dextran) secara I.V. dalam 30–60 menit, udema
paru diperhatikan. Pada orang dewasa 2–3 liter RL selama 20–30 menit
untuk memulihkan tekanan darah, tekanan vena sentral, dan diuresis.
2. Pemberian WB atau PRC hingga HT> 30 % dengan 1-2 unit fresh frozen
plasma (FFP) tiap 5 unit darah.
Sedangkan penatalaksanaan untuk kehilangan cairan gastrointestinal dapat
diberikan 1-2 liter NaCl 0,9% dalam 30–60 menit, dan memonitor tanda vital,
kemudian pengecekan elektrolit dan dikoreksi bila terdapat kelainan lainnya1.
FLUID THERAPY
RESCUCITATION MAINTENANCE
COLLOID CHRYSTALLOID ELLECTROLYTES NUTRITION
REPLACE ACUTE LOSS
(HEMORRAGHE, GI LOSS)
1. REPLACE NORMAL
LOSS
( IWL, URINE
FAECAL )
2. NUTRITION
79
Beberapa kriteria perfusi jaringan yang telah baik antara lain adalah nadi
<100 x/menit; kesadaran sudah membaik; produktif urine 1-2cc/kgBB/jam;
bagian-bagian akral yang terjadinya lembab sudah jadi kering; akral yang sianosis
telah berubah menjadi merah; akral yang dingin telah jadi hangat. Pemberian
transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan berdasarkan keadaan
umum penderita (kadar Hb dan Ht), jumlah perdarahan yang terjadi, sumber
perdarahan telah teratasi atau belum, keadaan hemodinamik (tensi dan nadi),
jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan, hasil serial pemeriksaan
kadar Hb dan Ht, dan usia penderita1.
H. PENGELOLAAN NUTRISI PENDERITA TRAUMA
OROMAKSILOFASIAL
Diantara banyak fungsi rongga mulut adalah sebagai jalan masuk makanan
menuju saluran cerna (gastrointerstinal tract). Kemampuan seseorang dalam
mengkonsumsi makanan melalui oral dapat berubah dikarenakan neoplasia,
infeksi, deformitas congenital, dan injuri (trauma). Prosedur bedah mulut dan
maksilofasial dapat mengeliminasi permasalahan ini dengan suatu prosedur
operasi,namun prosedur ini juga membatasi kemampuan mulut sementara waktu.
Pada keadaan trauma (stress dan sepsis) tubuh mengalami rangkaian perubahan
hormonal yang menambah laju metabolisme. Hal ini berakibat menurunnya daya
tahan tubuh, terjadinya edema, dan terhambatnya penyembuhan luka gangguan
motilitas usus, gangguan enzim dan metabolisme serta kelemahan otot. Oleh
karena itu pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan intervensi nutrisi
dalam rawat inap di rumah sakit7.
Respon neuroendokrin, merupakan suatu refleks neurofisiologi yang
dirangsang oleh proses trauma, meliputi susunan saraf pusat dan susunan saraf
tepi, terutama jaras spinothalamicus dan formatioretikularis dengan pengolahan
akhir timbul pada medula oblongata, thalamus dan hipothalamus. Kemudian
respon eferen dimulai pada hipotalamus, hipofise dan SSO. Aktivitas SSO
merangsang kenaikan simpatis dimana kadar katekolamin plasma meningkat7.
80
Respon kardiovaskuler, meliputi peningkatan nadi (takikardia), kenaikan
curah jantung (cardiac output), mobilisasi darah dari perifer serta vasokonstriksi
perifer7.
Respon metabolik mencakup kenaikan kadar glukosa dan asam lemak
bebas (FFA) plasma serta rangsangan pengeluaran kortisol, katekolamin serta
glukagon. Ketiga hormon ini berkombinasi untuk meningkatkan glukoneogenesis
serta lipolosis untuk mobilisasi cadangan energi. Ada tiga fase respon metabolik
trauma, yaitu7:
1. Phase Ebb
Ditandai dengan terjadinya hipovolemi dengan rangsangan adrenal dan
simpatis yang berlangsung sekitar 24 jam. Pada phase ini metabolisme
tubuh akan menurun serta tubuh kehilangan sensitivitas terhadap sekitar.
Kebutuhan kalori pada phase ini sekitar 5000 kkal. Kortisol tubuh akan
meningkat dan demikian pula kadar gula darah. Sumber energi berasal dari
glikogen dan trigliserida untuk menghasilkan glukosa dan asam lemak.
Adanya penghambat simpatis terhadap pengeluaran insulin dari pankreas
serta pengeluaran glukokortikoid menambah resistensi insulin di jaringan
perifer. Fase ini akan memanjang bila terjadi perdarahan pasca bedah.
2. Phase Flow (Katabolisme)
Ditandai oleh oksidasi protein otot untuk menghasilkan glukagon yang
sangat penting untuk pembakaran di otak dan jaringan rusak yang sedang
sembuh. Hormon pengatur stres antara lain: katekolamin, glukagon dan
kortisol dalam plasma menurun. Kadar gula darah biasanya menurun < 200
mg % bila nutrisi tidak adekuat maka jaringan tubuh akan mulai
dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan energi. Fase ini berlangsung
sekitar 3 x 24 jam.
3. Phase Anabolisme atau Konvalesen
Pada phase ini tubuh mulai melakukan pemulihan pada sel-sel yang
mengalami kerusakan akibat katabolisme sehingga diperoleh kalori yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan pada hari ke 7 – 10 bisa diberikan.
81
Lemak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan asam lemak bebas dan
menambah kalori dimana jumlah cairan dibatasi.
Berikut adalah pasien – pasien dengan kondisi yang memerlukan konsultasi,
rujukan dan intervensi nutrisi7:
1. Setiap pasien yang mengalami trauma atau sakit dengan kondisi yang kritis,
seperti luka bakar, fraktur dan infeksi HIV.
2. Setiap pasien dengan penyakit kronis sehingga asuhan nutrisi merupakan
komponen penting dalam perawatannya. Pasien- pasien tersebut mencakup
gagal ginjal baik akut maupun kronis, diabetes mellitus, dispilidemia,
malnutrisi, penyakit arteri koronaria, penyakit hati, penyakit hipertensi yang
baru didiagnosis, penyakit kanker dengan penurunan berat badan ,
malnutrisi, ataupun gangguan asupan nutrisi, penyakit paru obstruktif yang
menahun ( PPOM ) dengan penurunan berat badan.
3. Setiap pasien yang memerlukan dukungan energi khusus, apakah parentel
ataupun enteral
4. Setiap pasien dengan anemia nutrisi
5. Setiap pasien dengan deplesi simpanan protein yang bermakna ( misalnya
albumin < 3,0) yang disertai defisiensi nutrisi
6. Setiap pasien dengan penurunan bert badan yang bermakna sebelum masuk
rumah sakit
7. Setiap pasien yang dilaporkan pengunaan megadosis suplemen nutrient atau
yang sama sekali menghindari konsumsi kelompok makanan tertentu dari
dalam dietnya selama waktu yang lama ( > 1 bulan)
I. KEBUTUHAN NUTRISI PADA PASIEN TRAUMA
OROMAKSILOFASIAL
Penentuan status gizi penderita penting untuk menentukan jumlah, lama,
dan komposisi yang harus diberikan. Setidaknya penderita harus ditentukan
82
apakah termasuk malnutrisi ringan, sedang atau berat. Tahapan dalam menilai
status gizi adalah sebagai berikut7:
1. Anamnesa
Penyakit kronis juga alkoholisme dapat berhubungan dengan malnutrisi
energi dan protein juga disertai dengan devisiensi vitamin dan mineral.
Operasi yang baru dilakukan seperti gastrectomy atau reseksi ileum dapat
mempredisposisi malabsorpsi dan terjadi defisiensi vitamin ataupun
mineral. Penyakit yang diderita misalnya pada hati dan ginjal seringkali
berhubungan dengan defisiensi protein, vitamin dan trace elemen.
2. Pemeriksaan klinis dan laboratorium
3. Pemeriksaan fisik, meliputi:
a. Kulit : Kualitas, tekstur, rash, folikel, hiperkeratosis, deformitas
dan kuku
b. Rambut : Kualitas, tekstur, kerontokan
c. Mata : Keratokonjunctivitis, rabun senja
d. Mulut : Cheilosis, glossitis, atrofi mukosa, kelainan pada gigi
e. Abdomen : Hepatomegali
f. Rectum : Warna feses
g. Neurologis : Neuropathy perifer
h. Ekstrimitas : Ukuran otot, kekuatan otot, edema
83
Tabel 4. Klasifikasi Malnutrisi
J. MENGHITUNG KEBUTUHAN NUTRISI
Kebutuhan energi total dari seorang pasien dalam keseimbangan metabolik
adalah sama dengan pemakaian energi total (Total Energy Expenditure) yang
meliputi kebutuhan basal, peningkatan kebutuhan energi yang disebabkan
penyakit, energi yang terpakai selama proses asimilasi nutrien dan energi yang
terpakai pada kerja fisik7.
Clinical and Laboratory
Parameters
Extent of Malnutrition
Mild Moderate
Severe
Albumin (g/dL)2
2.8 - 3.2 2.1-2.7 <2.1
Transferrin (mg/dL)2
200 - 250 100-200 <100
Total lympochyte count
(cells/μL)2
1200 - 2000 800-1200 <100
Creatinine/height Index (%)3
60 - 80 30-60 <40
Ideal body weight (%) 80 - 90 70-80 <70
Usual body weight (%) 85 - 95 75-85 <75
Weight loss/unite time < 5%/month
<7,5%/3
months
< 10%/6
months
< 2%/week
< 5%/month
< 7,5%/3
months
< 10%/6 months
> 2%/week
Skin tests (No. reactive + No.
placed)
4/4
(normal)
1 - 2/4
(weak)
0/0
(anergic)
Normal antrophometric
measurements
Tricep skin fold (mm)4
Midarm circumference
(cm)
Male
12.5
29.3
Female
16.5
28.5
84
Kebutuhan kalori basal didapat dengan penghitungan BMR berdasarkan
persamaan Harris-Benedict. Menurut persamaan Harris – Benedict laju
metabolisme basal bisa dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut7:
HARRIS–BENEDICT METHOD FOR DETERMINING ENERGY
REQIUREMENTS
Pria
BEE = 66.47 + [13.57 x weight (kg)] + [5.0 x height (cm) – [6.67 x age (yrs)
= _______kcals/day
Wanita
BEE = 665.1 + [9.56 x weight (kg)] + [1.85 x height (cm) – [4.68 x age (yrs)
= _______kcals/day
BEE juga dapat ditetapkan dengan menggunakan 12Lcal/lb untuk pria dan
11 kcal/lb untuk wanita, atau 5.4 kcal/kg untuk pria and 5.0 kcal/kg untuk
wanita7.
Untuk menghitung kebutuhan energi total, kebutuhan energi dasar (Basal
Energy Expenditure/BEE) harus dikaitkan dengan Activity Factor (AF) dan Injury
Factor (IF)/stress factor (L. Morse, Maricopa Medical Center, Phoenix, AZ,
1993) 7.
ACTIVITY AND INJURY FACTOR
Activity Factors (AF)
1.2
1.3
Confined to bed
Ambulatory
Injury Factors (IF)
1.0 – 1.2
1.1 – 1.2
1.1 – 1.2
1.13
1.15 – 1.13
1.2 – 1.4
1.3 – 1.5
Non-stressed on ventilator
Congestive heart failure
Minor surgery
Fever, per 1o C
Skeletal trauma
Mild to moderate infection
Major abdominal/thoracic surgery
85
1.35 – 1.55
1.4 – 1.6
1.4 – 1.6
1.5
1.5 – 1.8
Multiple trauma
Closed head injury
Stressed ventilator dependent
Liver failure, cancer
Sepsis
Jadi Total kalori yang dibutuhkan pasien = BEE x AF x IF
Contoh perhitungan :
Seorang wanita, usia 30 tahun, berat badan 40 kg, tinggi badan 150 cm. penderita
dirawat karena perdarahan epidural.
BEE = 655,1 + (9,56 x 40) + (1,85 x 150) – (4,68 x 30) = 1174,6 kcal/hari
Activity Factor = 1,2
Injury Factor trauma kepala = 1,5
Total energi yang dibutuhkan = 1174,6 x 1,2 x 1,5 = 2114,28 kcal/hari
Terdapat pula cara estimasi kebutuhan kalori yang sederhana dengan
menggunakan rumus 3–4–5 dari I.D Syttrar yaitu7:
1. 30 kkal/kg BB/hari : kebutuhan basal, mempertahankan berat badan, tidak
disertai demam, pasca bedah ringan/sedang.
2. 40 kkal/kg BB/hari : malnutrisi sedang, infeksi berat, sepsis.
3. 50 kkal/kg BB/hari : luka bakar > 40%, malnutrisi berat, pasca bedah
dengan penyulit.
Secara keseluruhan, respon fisiologis terhadap trauma merupakan
peningkatan proses biokimia dan metabolik normal, sehingga biasanya terjadi
peningkatan kebutuhan nutrisi yang cukup besar. Bila tidak mendapat dukungan
nutrisi yang adekuat, pasien akan banyak kehilangan berat badan dan terjadi
komplikasi yang seringkali fatal. Tujuan utama terapi dukungan nutrisi adalah
menjaga agar penurunan berat badan seminimal mungkin dengan harapan dapat
mencegah komplikasi dan mengurangi morbiditas maupun mortalitas7.
86
Kebutuhan energi/kalori total sehari dapat dihitung dari penjumlahan
kebutuhan kalori basal (BMR), faktor stress, aktivitas fisik dan spesific dynamic
action (SDA). Rumusan yang dugunakan adalah sebagai berikut7:
KK = Kebutuhan kalori total
KKB = Kebutuhan kalori basal
FS = Faktor stress
AF = Aktivitas fisik
SDA = Spesific dynamic action
Faktor stress dinilai berdasarkan penilaian status gizi dan status metabolik.
Untuk memudahkan, faktor stress dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu derajat
stress ringan (10-30%); derajat stress sedang (31-50%); dan derajat stress berat
(51%). Trauma digolongkan ke dalam stress sedang, sehingga besarnya faktor
stress untuk trauma adalah 31-50%. Faktor stress trauma multipel adalah 50%.
Apabila pasien harus di tempat tidur, aktivitas fisik hanya 10%; sedangkan bila
tidak di tempat tidur, aktivitas fisik adalah 20%. SDA dari makanan tergantung
jenis makanan yang diberikan. SDA nutrisi parenteral adalah 0% sedangkan SDA
untuk formula enteral dan makanan peroral kira-kira 10-20%7.
Pada trauma terjadi katabolisme protein yang relatif konstan yaitu 10-20%
dari keluaran energi. Masukan protein untuk orang sehat (0,8-1 g/kgBB/hr) tidak
mencukupi kebutuhan pasien yang mengalami trauma oleh karena adanya
peningkatan protein turnover. Kebutuhan protein bagi pasien dengan trauma bila
tidak terdapat gangguan ginjal dan hati adalah 1,5-2 g/kgBB/hr, dengan rasio
kalori non-nitrogen : nitrogen = 100:17.
Lemak berfungsi sebagai sumber energi. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa pemberian emulsi lemak sebesar 30-40% dari kalori total merupakan
jumlah yang optimal. Untuk mencegah terjadinya defisiensi asam lemak esensial,
perlu diberikan asam lemak esensial sebanyak 4-8% dari kalori total sehari7.
KK = KKB + FS + AF + SDA
87
Karbohidrat juga berfungsi sebagai sumber energi. Banyaknya karbohidrat
yang diberikan adalah kebutuhan kalori total dikurangi yang berasal dari lemak.
Pada pasien dengan trauma, karbohidrat merupakan 40% dari kalori total sehari7.
Kebutuhan cairan adalah ± 1500 ml per m2 luas permukaan tubuh per hari,
kemudian ditambahkan bila terdapat peningkatan insensible loss melalui keringat,
diare, atau selang makanan. Garam fisiologis dan elektrolit intrasel harus
diberikan dalam jumlah yang adekuat. Kadar kalium, fosfor dan magnesium
dalam plasma dan seluruh tubuh perlu dipertahankan agar tetap normal supaya
didapat respon yang diharapkan dengan pemberian dukungan nutrisi7.
Oleh karena terjadi peningkatan metabolisme, maka kebutuhan vitamin B
meningkat. Kebutuhan tiamin dan niasin berkaitan dengan masukan kalori. Pada
trauma, terjadi peningkatan ekskresi seng (zinc) yang dianggap berasal dari
katabolisme di jaringan otot. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya defisiensi
seng, sehingga pasien trauma perlu mendapatkan suplementasi trace elemen ini7.
Untuk dapat melakukan peran dan fungsinya dalam tubuh, zat-zat gizi
mengalami proses metabolisme secara bertahap yaitu 7:
1. Pencernaan (digestion)
2. Penyerapan (absorption)
3. Perubahan (degradation)
4. Penggunaan oleh organ / sel (utilisation)
5. Pengeluaran zat sisa (excretion)
Masing-masing tahap metabolisme dilakukan oleh organ-organ yang
berbeda, seperti tahap pencernaan dan penyerapan dilakukan oleh organ saluran
cerna. Perubahan terutama dilakukan oleh hati; penggunaan oleh semua organ;
pengeluaran zat sisa terutama oleh ginjal dan saluran cerna bagian bawah. Fungsi
utama saluran cerna adalah pencernaan dan penyerapan dengan mensekresi
enzim-enzim spesifik untuk masing-masing zat gizi. Saluran cerna bagian atas
terutama mengabsorpsi zat-zat gizi utama; sedangkan saluran cerna bagian bawah
terutama mengabsorpsi air, mineral dan beberapa vitamin. Hati merupakan organ
yang penting pada proses degradasi zat-zat gizi karena merupakan organ utama
88
yang akan memetabolisme zat-zat gizi dan mensekresi enzim yang berperan
dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta bertanggung jawab
terhadap 20% metabolisme basal. Hati mensintesis beberapa protein plasma yang
penting dan garam empedu serta berperan dalam detoksikasi. Gangguan penyekit
hati dapat dikelompokkan menjadi penyakit hati akut seperti pada hepatitis virus
dan penyakit hati kronis seperti pada sirosis hati. Ginjal merupakan organ ekskresi
yang paling besar dan juga sebagai organ pengatur keseimbangan cairan tubuh.
Gangguan pada ginjal akan menyebabkan gangguan pada ekskresi sisa-sisa hasil
metabolisme terutama metabolisme protein serta gangguan cairan dan elektrolit7.
K. PEMBERIAN NUTRISI PADA PASIEN TRAUMA
OROMAKSILOFASIAL
Terapi nurisi enteral adalah terapi pemberian nutrisi melalui saluran cerna
dengan menggunakan selang/kateter khusus, cara pemberian dapat melalui
hidung-lambung (nasogastritic route) atau hidung–usus (nasoduodenal atau naso
jejunal route). Pemberian nutrisi juga bisa dilakukan dengan cara bolus atau cara
infus lewat pompa infus enteral.
Keuntungan nutrisi enteral dibandingkan parenteral antara lain adalah sebagai
berikut9:
1. Bersifat fisiologis
Nutrisi enteral bersifat fisiologis, sebab makanan masuk ke dalam tubuh
melalui saluran cerna yang normal, sehingga fungsi dan struktur alat cerna
tetap dipertahankan. Sebaliknya, nutrisi parenteral total dapat menyebabkan
atrofi mukosa usus halus dan pankreas terutama pada pemberian yang lama
karena makanan masuk ke dalam hati melampaui alat cerna (by pass dari
luar ke dalam hati).
2. Lebih efektif
Nutrisi enteral lebih efektif. Ini terbukti dengan kenaikan berat badan yang
cepat dan keseimbangan N yang cepat menjadi positif. Selain itu,
89
peningkatan imunitas tubuh akan cepat ditemukan pada pemberian nutrisi
enteral.
3. Komplikasi kurang
Komplikasi nutrisi enteral jauh lebih rendah bila dibandingkan nutrisi
parenteral. Nutrisi parenteral selain membutuhkan pemantauan yang ketat,
komplikasi-komplkasi berupa sepsis, trombosis, hematom, pneumothoraks
serta gangguan metabolik berupa hipoglikemi atau hiperglikemi tak jarang
ditemukan.
4. Kalori tinggi mudah dicapai
Dengan nutrisi enteral kebutuhan kalori tinggi lebih dari 3000 kkal/hari
dapat dengan mudah dipenuhi yang dengan parenteral amat sulit
mencapainya tanpa komplikasi dan pengawasan yang ketat. Kalori tinggi ini
diperlukan pada penderita dengan hipermetabolik seperti sepsis, trauma
ganda, atau luka bakar. Selain itu, pemberian kalori tinggi dengan nutrisi
parenteral sering menimbulkan perlemakan hati yang tidak dijumpai pada
nutrisi enteral.
5. Tekniknya mudah
Pemasangan sonde lambung dapat dengan mudah dilakukan oleh setiap
dokter maupun perawat tanpa persyaratan sterilitas yang ketat. Sedangkan
pemberian parenteral harus diberikan melalui vena besar yang letaknya
profundal dengan sterilitas tinggi. Itupun hanya dapat dilakukan oleh dokter
yang terlatih.
6. Biaya murah
Rata-rata nutrisi enteral lebih murah 10-20 kali dari nutrisi parenteral.
Untuk menghindari intoleransi laktosa yang sering terjadi pada penderita
malnutrisi sebaiknya suatu nutrisi enteral kurang atau tanpa mengandung laktosa,
atau paling tinggi kandungan laktosanya hanya 0,5% dari total karbohidrat.
Nutrisi enteral yang bebas dari bahan-bahan yang mengandung purin dan
kolesterol.
Syarat-syarat nutrisi enteral adalah9:
90
1. Memiliki kepadatan kalori tnggi
Karena nutrisi enteral harus diberikan melalui sonde kecil, maka ia harus
berbentuk cair agar mudah melalui sonde. Agar dalam bentuk cair ini nutrisi
enteral tetap memiliki kalori yang cukup, maka ia harus memiliki kepadatan
kalori tinggi. Sehingga, dengan volume yang tidak terlalu besar, jumlah
kalori sudah dapat tercapai. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1 kkal/ml
cairan.
2. Kandungan nutrisinya seimbang
Artinya, dalam jumlah minimal untuk kebutuhan sehari (2000 kkal) harus
sudah mengandung semua komponen nutrisi esensial seperti protein, asam
amino, lemak, vitamin, elektrolit dan elemen-elemen lain sesuai dengan
jumlah kebutuhan.
3. Memiliki osmolaritas yang sama dengan osmolaritas cairan tubuh
Suatu nutrisi enteral yang memiliki osmolaritas yang tinggi mudah
menimbulkan diare sebab cairan tubuh akan ditarik masuk ke dalam lumen
usus. Oleh karena itu, osmolaritas yang ideal adalah 350-400 m Osmol,
sesuai dengan osmolaritas cairan ekstraseluler.
4. Mudah diabsorpsi
Bahan-bahan baku suatu nutrisi enteral seharusnya terdiri atas komponen-
komponen yang siap diabsorpsi atau paling tidak hanya sedikit memerlukan
kegiatan pencernaan untuk dapat diabsorpsi. Dengan kata lain, molekul-
molekulnya berukuran kecil.
5. Tanpa atau kurang mengandung serat dan laktosa
Suatu nutrisi enteral hendaknya memiliki sedikit atau tanpa mengandung
serat agar efektif dan efisien. Nutrisi enteral yang banyak mengandung serat
akan bersifat bulk yang pada gilirannya akan meningkatkan frekuensi
defekasi.
91
Prosedur teknik pemberian nutrisi enteral / diet sonde akan diuraikan sebagai
berikut9:
1. Pemilihan sonde
Sebelum tahun 1980-an sonde yang tersedia umumnya terbuat dari
polietilen, PVC atau lateks. Kekurangan dari sonde-sonde ini selain
diameternya besar, sonde mudah menjadi kaku setelah zat pelemasnya habis
(setelah 24 jam pemakaian), juga tidak tahan terhadap pengaruh cairan
lambung maupun duodenum. Sonde yang menjadi kaku akan sangat
mengganggu penderita karena selain terasa tidak enak juga dapat
menimbulkan erosi atau perlukaan saluran napas atau saluran cerna. Saat ini
sonde-sonde yang dipakai untuk nutrisi enteral terbuat dari silikon atau
poliuretan yang selain diameternya kecil (2,5 mm), kelemasan dan
kelenturannya bertahan lama serta tahan terhadap pengaruh cairan lambung
dan cairan duodenum.
2. Teknik pemberian nutrisi enteral
Teknik pemberian secara tetes merupakan yang paling aman. Pola lama
yang memberikan secara bolus mengandung banyak komplikasi berupa
muntah, regurgitasi sampai aspirasi ke dalam paru, terutama pada penderita
yang kesadarannya menurun atau pada penderita yang berbaring. Guna
mengurangi komplikasi-komplikasi di atas, sebaiknya penderita diposisikan
setengah duduk selama pemberian nutrisi enteral.
Untuk menjaga ketepatan dan ketetapan tetes cairan nutrisi enteral dapat
digunakan portable pump. Guna menjaga toleransi penerimaan usus, kadar
cairan nutrisi enteral sebaiknya dinaikkan secara bertahap. Dimulai dengan
pengenceran ½ pada hari pertama, kemudian pengenceran 2/3 pada hari
kedua dan takaran penuh pada hari ketiga dan seterusnya, sambil mengawasi
dan mengevaluasi keluhan maupun gejala-gejala yang timbul.
92
Kebutuhan metabolisme basal dapat dihitung dengan indeks BROCA, sebagai
berikut9:
Dimana indeks stress:
Paska bedah + 10% BMR
Fraktur multipel + 25-30% BMR
Sepsis, tiap kenaikan 1° +10% BMR
Jadi, seorang dengan tinggi badan 165 cm tanpa stress memiliki BMR
(165-100)x20 = 1300 kkal. Dengan menambah 10-20% dari kebutuhan BMR
dapat diperoleh kebutuhan kalori pada saat aktivitas yang sangat terbatas.
Sedangkan pada suatu keadaan katabolik yang tinggi diperlukan penambahan 30-
100% dari kebutuhan BMR9.
Kemajuan atau kemunduran keadaan umum penderita dievaluasi setiap
harinya termasuk keseimbangan cairan dan elektrolitnya bila ada fasilitas.
Pengukuran berat badan atau lingkar lengan atas (LLA) setiap minggu merupakan
parameter yang objektif. Selain itu, pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan,
antara lain pemeriksaan darah (Hb, Ht, leukosit), serum (glukosa, ureum, protein
total, albumin total), volume dan urin rutin.
Indikasi pemberian nutrisi enteral adalah9:
1. Indikasi bedah, yakni pasca bedah: mulut, esofagus, lambung, saluran
empedu, dan kolon.
2. Indikasi non bedah: anoreksia, depresi berat, trauma kepala/otak, luka bakar
yang luas, sepsis, penderita kanker, malabsorpsi/maldigesti, fistula,
penderita dengan kebutuhan kalori ekstrim.
Kontrandikasi pemberian nutrisi enteral apabila pasien muntah-muntah, ileus,
perdarahan gastrointestinal yang akut, peritonitis, dan atoni paska bedah.
Komplikasi nutrisi enteral, antara lain akan diuraikan sebagai berikut9:
BMR = Indeks Stress (Tinggi Badan – 100) x 20
93
1. Komplikasi mekanik
Komplikasi mekanik berhubungan dengan sondenya sendiri yang dapat
mengalami dislokasi atau penyumbatan.
2. Komplikasi kimiawi
Hal ini berhubungan dengan osmolaritas serta komposisi kimiawi cairan
nutrisi enteral yang terlalu tinggi. Rasa mual sampai muntah dan kram perut
atau diare merupakan gejala yang menonjol.
3. Komplikasi bakteriologik
Kontaminasi dengan bakteri gram negatif pada waktu penyediaan nutrisi
enteral atau kantong plastiknya dapat menimbulkan syok septik.
4. Komplikasi metabolik
Dehidrasi hipertonik dapat terjadi bila komposisi nutrisi enteralnya memilki
osmolaritas yang tinggi. Pemberian kadar secara bertahap dapat mengurangi
komplikasi ini.
Nutrisi parenteral adalah pemberian nutrien melalui pembuluh darah vena.
Cara pemberian dapat melalui vena perifer (nutrisi parenteral perifer) atau vena
sentral (nutrisi parenteral total). Terapi nutrisi parenteral diberikan kepada setiap
penderita yang akibat penyakitnya membutuhkan banyak asupan nutrisi tetapi
penderita tersebut tidak mau makan, tidak cukup makan, tidak bisa makan dan
tidak boleh makan. Secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan keadaan
kondisi saluran pencernaan (gastriontestinal tract), yaitu9:
1. Bila saluran cerna mengalami obstruksi
2. Bila saluran cerna terlalu pendek
3. Bila terdapat fistula pada saluran cerna.
4. Bila saluran pencernaan tidak berfungsi.
Prinsip pemberian nutrisi parenteral adalah mempertahankan
keseimbangan tekanan osmotik sehingga volume interalumen tetap,
mempertahankan tekanan hidrostatik, dan mengatasi kehilangan plasma9.
94
Tujuan Pemberian Nutrisi Parenteral adalah supaya mempertahankan
volume dan perfusi sirkulasi darah, menjaga keseimbangan cairan-elektrolit dan
asam basa, memelihara hemostatik metabolik umum, menyediakan intake bagi
kebutuhan metabolisme secara parenteral9.
Kondisi-kondisi yang membutuhkan nutrisi parenteral anatara lain, ileus
obstruksi, peritonitis, fistula enterokutan, sindrom malabsorpsi berat, vomitus,
diare berat, malnutrisi protein atau protein-kalori, dan keganasan9.
Indikasi nutrisi parenteral adalah fungsi saluran cerna terganggu (tidak
mampu mencerna atau menyerap makanan), NPO > 3-5 hari, dan suplemen
terhadap nutrisi enteral. Sedangkan kontra indikasi nutrisi parenteral adalah9:
1. Pasien pasca bedah, trauma dalam phase Ebb (24 jam pertama)
2. Pasien yang masih mengalami hemodinamik krisis, seperti syok, defisit
cairan ekstra seluler yang belum terkoreksi dan demam tinggi (hipertermi).
3. Pada pasien dengan penyakit terminal (keganasan) atau keadaan vegetatif
(brain death).
4. Pasien yang mengalami gagal nafas (kecuali dibantu dengan bantuan nafas
mekanik dengan ventilator).
5. Komplikasi teknis berkaitan dengan pemasangan kateter seperti
pneumothoraks, emboli udara.
6. Komplikasi infeksi ditandai oleh demam seperti pada flebitis, infeksi pada
tempat.
Adapun akses yang digunakan untuk nutrisi parenteral, yaitu9:
1. Nutrisi Parenteral Perifer
Larutan standar yang diberikan untuk nutrisi parenteral total melaui vena
sentral memilki tekanan osmotik hampir 2000 mOsm/L. Sifat-sifat fisik dari
larutan demikian mendorong terjadinya trombosis vena perifer, dan baru
setelah dilakukan kateterisasi pada vena cava superior pemberian menjadi
praktis dan aman untuk larutan hiperosmolar demikian bisa digunakan pada
pasien bedah. Larutan nutrisi yang hanya sedikit hipertonik (antara 600 dan
900 m)sm/L) bisa disiapkan dengan mencampur proporsi sesuai dari asam
95
amino, dekstrosa dan emulsi lemak. Campuran nutrien ini memiliki desnitas
kalori rendah dan memasok hanya 2500 kcal dalam 3 L larutan. Bila volume
cairan besar, larutan-larutan demikian bisa diberikan melalui vena perifer
untuk jangka pendek(kira-kira satu minggu).
2. Nutrisi Parenteral Sentral
Perkembangan kateterisasi vena sentral telah memungkinkan pemberian
larutan hipertonik dengan aman. Campuran glukosa, lemak dan asam amino
diberikan melalui kateter vena sentral yang ujungnya berada dalam vena
cava superior. Larutan yang digunakan untuk nutrisi via vena sentral (TPN)
biasanya memiliki densitas 1 kcal/ml, dan kebutuhan akan air serta elektrolit
diresepkan secara individual. Kunci keberhasilan dari cara ini terletak pada
insersi serta perawatan kanul vena sentral.
96
Pendekatan yang digunakan pada pemberian nutrisi parenteral adalah 4
Tepat – 1 Waspada9:
Tepat pasien
Setiap pasien yang tidak cukup atau tidak mendapat intake oral seharusnya
segera mendapat nutrisi parenteral (NPE). Dosis NPE total harus diberikan lebih
lambat (mulai hari ketiga) karena beban metabolismenya besar. Hal ini berlaku
pada pasien trauma, sepsis, paska bedah ekstensif, preeklampsia, eklampsi, dsb.
Tepat indikasi
Dosis NPE parsial dapat diberikan sangat dini, yaitu 24 jam setelah trauma
atau krisis kegawatan dapat diatasi. Periode 24 jam ini adalah masa ebb-phase,
masa stabilisasi dimana kadar stres hormon masih tinggi. Sel-sel resisten insulin
dan kadar gula meningkat. Makin berat kondisi pasien, makin lambat NPE total
dapat dimulai. Sebelum keadaan tenang tercapai, NPE total hanya akan
menambah stres bagi tubuh pasien. Fase tenang ini ditandai dengan menurunnya
kadar kortisol, katekolamin dan glukagon.
Tepat obat/substrat
Bahan nutrisi yang digunakan adalah karbohidrat, asam amino, emulsi
lemak, mineral dan vitamin.
Tepat dosis
Quebbeman (1982) menemukan pada pasien trauma berat dan sepsis yang
mengalami katabolisme, resting energy expenditure berkisar 1000 kkal/m2/hari.
Ini setara dengan 1700 kkal pada pasien 70 kg dengan luas tubuh 1,73 m2 atau
kira-kira 25 kkal/hari. Agar imbang N tidak terlalu negatif, minimal diberikan 20
kkal/kg/hari. Dosis yang tepat harus diukur. Dosis kemudian dapat ditingkatkan
bertahap dengan memperhatikan perubahan kadar gula darah, keadaan umum
pasien, pemeriksaan kadar kalium dan natrium.
97
Untuk menghindari hiperglikemi, peningkatan glukosa 5% menuju 20%
harus dilakukan secara bertahap “start low, go slow”. Beban glukosa merangsang
pankreas mengeluarkan insulin. Jika larutan glukosa diselingi cairan lain maka
besar kemungkinan kadar gula darah berfluktuasi karean overshoot insulin dari
waktu ke waktu. Agar fluktuasi kadar gula darah bervariasi seminimal mungkin,
larutan karbohidrat dibagi rata dalam 24 jam.
Waspada efek samping
Berbeda dengan orang sehat yang dapat mengatur keseimbangan makan
dan kebutuhannya sendiri, pasien dengan bantuan nutrisi khusus terpaksa
menerima semua yang diberikan. Jika pilihan atau dosis tidak tepat, atau cara
memberikan keliru, penyulit yang timbul akan menyebabkan morbiditas bahkan
kematian. Penyulit yang sering dijumpai adalah hiperglikemi. Hiperglikemi
umumnya terjadi jika pola “start low, go slow” tidak diikuti. Kelainan ini dapat
disertai hyperosmolar state dan diuresis osmotik. Pada kasus yang ekstrim dapat
terjadi koma. Tromboflebitis karena iritasi mudah diikuti radang. Osmolaritas
plasma 300 mOsm. Makin tinggi osmolaritas, makin mudah terjadi tromboflebitis,
bahkan tromboemboli. Vena perifer dapat menerima sampai 900 mOsm. Untuk
cairan > 900-1000 mOsm jika perlu lebih dari 5 hari, seharusnya digunakan vena
sentral (vena cava, subclavia, jugularis) dimana darah mengalir secara cepat
sehingga kecepatan tetesan cairan NPE yang pekat tidak sempat merusak vena.
Cairan 900-1000 mOsm untuk jangka pendek 3-5 hari masih dapat diberikan
lewat vena tangan tapi jangan memberikan lewat vena kaki. Vena kaki mudah
mengalami deep vein thrombosis dan tromboemboli. Osmolaritas dapat dikurangi
dengan mencampur cairan menggunakan infus set bercabang7,8,9
.
Adapun komposisi yang ideal dari nutrisi parenteral adalah kombinasi
antara karbohidrat (KH), protein, lemak, dan cairan dan elektrolit (vitamin,
mineral). Semuanya akan diuraikan sebagai berikut9:
1. Karbohidrat
98
Karbohidrat sebagai sumber kalori utama yang layaknya selalu tersedia 40-
60% dari total kalori (1 gr KH = 4kkal). Rekomendasi dari American
Society for Parenteral & Enteral Nutrition (ASPEN, 1993) untuk pemberian
karbihidrat dalam keadaan normal adalah 25 – 30 kcal/kg/hari. Karbohidrat
tersimpan dalam tubuh dalam bentuk glikogen dihati dan otot. Sumber
kalori karbihidrat dapat berupa dextrosa, fruktosa, maltosa, sorbitol dan
xylitol. Glukosa/ dextrosa adalah sumber kalori yang paling fisiologis. Dosis
maksimal bagi kebanyakan penderita adalah 6-7,5gr/kgbb/hari. Pemberian
kalori dengan glukosa yang melebihi kebutuhan ternyata tidak bermanfaat,
bahkan justru merugikan sebab akan menyebabkan kadar co2 dalam tubuh
meningkat.
2. Protein
Protein diperlukan untuk regenerasi sel dan enzim, karena itu pemberiannya
harus dilindungi oleh pemberian kalori yang cukup agar protein tidak
digunakan sebagai sumber energi. Kebutuhan protein (asam amino) dapat
dihitung secara tidak langsung dengan menghitung jumlah nitrogen yang
dokonsumsi oleh tubuh. Menghitung nitrogen secara laboratorium relatif
mahal biayanya. Secara kasar dapat diperkirakan dengan menghitung
jumlah ureum dalam urine 24 jam, dengan rumus sebagai berikut
a. Menghitung energi konsumsi
Konsumsi nitrogen (mg/24 jam) = ureum urine (mmol) / 24jam x 28 +
4000 mg. Kebutuhan protein=konsumsi nitrogen x 6,25
b. Cara yang lebih mudah untuk menghitung kebutuhan asam amino
adalah dengan memperkirakan besar kecilnya stress metabolik yang
terjadi.
99
Perbandingan kebutuhan protein (AA) dan kalori perhari9:
Protein (AA) Kalori
Tanpa stress
metabolik
1 gr/kgbb/hari 30 kcal/kgbb/hari
Dengan stress
metabolik
2 gr/kgbb/hari 40 kcal/kgbb/hari
Contoh perhitungan kebutuhan protein. Misal berat badan pasien 60 kg
dengan sepsis
Dengan menggunakan tabel dengan stress metabolik
Kebutuhan kalori = 60 x 40 kcal = 2400 kcal/hari
Kebutuhan AA = 60 x 2 = 120 gr/hari
3. Lemak
Cairan emulsi lemak diberikan dalam nutrisi parental bertujuan untuk
mencegah defisiensi asam lemak esensial dan sebagai sumber kalori. Untuk
memenuhi kebutuhan kalori, cairan emulsi lemak diberikan 1-3 gr/kgbb atau
dalam proporsi 25 – 40% dari kalori total perhari. Pemberian lebih dari 60%
dari kalori total dapat menyebabkan ketoasidosis. Karena osmolaritasnya
yang rendah, pemberian cairan emulsi lemak dapat diberikan pada nutrisi
parental perifer.
4. Cairan, Elektrolit, Trace Elements, dan Vitamin
Dalam merencanakan komposisi carain untuk terapi nutrisi pareneral, harus
selalu diperhatikan dan diperhitungkan akan kebutuhan terhadap elektrolit,
trace element, dan vitamin baik yang larut dalam air maupun lemak.
Kebutuhan ini terutama harus diberikan bila terapi nutrisi parenteral
berlangsung lama. Besarnya kebutuhan disesuaikan dengan keadaan klinis
penderita.
Kebutuhan air dewasa : 30-50 ml/kgbb/hari
Kebutuhan Natrium : 2-4 mg/kgbb/hari atau 100-200 meg/hari
Kebutuhan Kalium : 1-2 mg/kgbb/hari atau 50-100 meg/hari
100
BAB III
PEMBAHASAN
Hemoragi adalah penyebab utama keadaan hipovolemik pada pasien yang
mengalami luka multisistem. Kebanyakan pasien tersebut memiliki beberapa
tingkatan dari syok hipovolemik. Tingkatan tersebut dapat diukur melalui respon
fisiologi terhadap hemoragi. Respon fisiologi ini dapat dikategorikan berdasarkan
persentasi dari kehilangan akut darah. Respon tekanan darah awal terhadap
kehilangan volume intravaskular tidak memiliki hubungan yang linear 1.
Pada dewasa sehat kehilangan 15% volume darah pertama diklasifikasikan
sebagai hemoragi kelas I. Gejala klinis minimal pada kelas I ini. Dalam kondisi
yang tidak kompleks, peningkatan denyut nadi minimal dengan peningkatan
kontraktilitas dari jantung dan peningkatan vasokonstriksi vena dan arteri dapat
menjaga tekanan darah. Hemoragi kelas II diklasifikasikan sebagai kehilangan
volume darah sebanyak 15-30%. Gejala klinis meliputi takikardia (denyut nadi
>100 pada orang dewasa), takipneu, dan penurunan tekanan darah. Tekanan sistolik
biasanya tidak berubah, tetapi tekanan diastol meningkat karena peningkatan dari
katekolamin. Hemoragi kelas III diklasifikasikan sebagai kehilangan 30-40%
volume darah. Biasanya hal ini diikuti dnegan takikardia, takipneu, perubahan
status mental penderita, dan turunnya tekanan sistolik. Pada kasus yang tidak
kompleks, kehilangan darah sebanyak ini secara konsisten menyebabkan tekanan
darah sistolik menurun. Pada pasien yang lebih tua, dengan mekanisme kompensasi
yang kurang efisien, penurunan tekanan darah dapat terjadi setelah kehilangan
darah sebanyak 10-15%. Hemoragi kelas IV didefinisikan sebagai kehilangan darah
sebanyak >40%, dan hal ini merupakan keadaan yang mengancam nyawa. Pasien
dapat terkena serangan jantung bila kehilangan darah sebanyak ini. Gejala klinis
meliputi takikardia, penurunan tekanan darah sistolik yang secara substansial,
tekanan darah yang sangat sempit (tidak adanya tekanan darah diastol), kurangnya
urine output, dan perubahan status mental pasien yang banyak. Perlu diperhatikan
101
bahwa tekanan darah pasien dapat turun tiba-tiba setelah pemeriksaan awal ketika
mekanisme kompensasi mereka telah gagal karena kehilangan darah yang terus-
menerus. Sulit dilakukan perubahan tekanan darah, karena pada kebanyakan kasus
batas bawah dari tekanan ydarah pasien tidak diketahui. Sebagai contoh, pasien
dengan hipertensi dapat menunjukkan tekanan sistol sebesar 120 mmHg dapat
menunjukkan gejala kehilangan darah yang signifikan, sedangkan atlet muda yang
sehat dapat memiliki tekanan sistol sebesar 90 mmHg 1.
Salah satu indikator dari rendahnya perfusi jaringan pada pemerikssaan awal
adalah perfusi kulit. Kompensasi fisiologi awal pada kehilangan volume
intravaskular adalah vasokonstriksi pada pembuluh darah di kulit dan otot. Kapiler-
kapiler pada kulit adalah yang pertama kali berhenti bekerja sebagai respon
terhadap hipovolemik yang dikarenakan stimulus dari sistem saraf simpatik dan
kelenjar adrenal melalui pelepasan hormon epinefrin dan nor epinefrin. Pelepasan
katekolamin menyebabkan keluarnya keringat dan kulit terasa dingin dan lembab
pada saat palpasi. Ekskremitas bawah adalah yang pertama terkena, dengan tanda-
tanda pertama dari hipovolemi adalah terasa dinginnya kaki dan regio patella.
Capillary fill time dapat diukur dengan menggunakan “blanch test”, yang dimana
memberikan ukuran kehilangan darah ke pembuluh kapiler. Dengan tes tersebut,
tekanan diaplikasikan ke kuku-kuku jari, kuku ibu jari, atau emninesia hipothenar
dari tangan untuk mengevakuasi darah dari daerah tersebut dan kemudian tekanan
langsung dilepaskan. Waktu yang diperlukan untuk jarinagn kembali ke warna
normalnya mengindikasikan waktu yang diperlukan untuk darah kembali ke
pembuluh kapiler. Waktu kurang dari 2 detik biasanya ditemukan pada pasien
normovolemik dan mengindikasikan aliran darah normal ke pembuluh kapiler 1.
Hemoragi dapat secara ekternal maupun internal ke dalam kavitas tubuh.
Hemoragi eksternal biasanya dapat dikontrol dengan melakukan penekanan secara
langsung ke luka yang ada. Tekanan yang digunakan untuk mengontrol
perdarahan sebaiknya kuat dan kontinu. Ketika dressing yang digunakan menjadi
basah, dressing tersebut sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi sebaiknya dressing
tambahan digunakan karena apabila dressing dilepaskan maka formasi clot yang
telah terbentuk dapat terganggu dan menyebabkan perdarahan kembali. Tekanan
102
yang kuat dapat diaplikasikan proksimal ke arah arteri mayor untuk mengontrol
perdarahan. Akan tetapi, hal tersebut hanya direkomendasikan apabila penekanan
langsung pada luka saja tidak efektif 1.
Perban tekan, seperti air-pillow splints dan blood pressure cuff dapat juga
digunakan. PASGs dan medical antishock trousers(MASTs), yang sebelumnya
digunakan untuk meningkatkan tekanan darah pada kasus hipotensi yang parah,
memberikan keadaan yang merugikan pada beberapa situasi karena menyebabkan
luka vaskular. Sebagai spesialis bedah mulut dan maksilofasial, kita mengetahui
adanya suplai vaskular yang banyak ke daerah muka dan leher. Aspek negatif dari
suplai darah tersebut adalah hemoragi mayor dapat disebabkan oleh luka pada
kulit kepala yang besar, fraktur nasal atau tengah wajah, dan luka tembus pada
leher. Luka pada kulit kepala dapat menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah
besar pada waktu yang singkat karena perembesan darah pada galea dan lapisan
jaringan ikat yang renggang. Luka kulit kepala dapat dengan cepat diatasi dengan
dijahit menggunakan 2.0 nonresobable atau staples tanpa memperhatikan
kosmetik pasien. Tekanan langsung kemudian dapat dilakukan pada luka untuk
mengontrol hemoragi dan meminimalkan pembentukan hematoma. Ketika pasien
sudah stabil, jahitan dapat dilepaskan dari luka dan penutupan lapisan luka secara
kosmetik dapat dilakukan 1.
Pemberian pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat
membantu dalam mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat. Pilihan tipe
cairan yang digunakan adalah koloid dan kristaloid. Koloid sangat baik untuk
ekspansi volume plasma, dan merupakan pilihan yang terbaik untuk peningkatan
Cardiac Output dan volume O2. Namun koloid efek udema parunya kurang dan
harga cairan ini mahal1.
Tujuan yang harus dipenuhi dalam pemberian cairan adalah menganti
cairan yang hilang selama trauma atau pembedahan. Maksud utamanya adalah
mengembalikan volume intravaskular dan mendapatkan perfusi jaringan yang
adekuat, serta penggantian cairan yang hilang dilakukan melalui pipa
lambung,drainase toraks, drainase peritonium, fistula usus, respirasi dsb.
Penatalaksanaan pada perdarahan akut adalah sebagai berikut9:
103
3. Pemasangan 2 jalur Infus I.V., dengan pemberian 1-2 liter kristaloid (NaCl
0,9% atau RL) atau Koloid (Dextran) secara I.V. dalam 30–60 menit, udema
paru diperhatikan. Pada orang dewasa 2–3 liter RL selama 20–30 menit
untuk memulihkan tekanan darah, tekanan vena sentral, dan diuresis.
4. Pemberian WB atau PRC hingga HT> 30 % dengan 1-2 unit fresh frozen
plasma (FFP) tiap 5 unit darah.
Sedangkan penatalaksanaan untuk kehilangan cairan gastrointestinal dapat
diberikan 1-2 liter NaCl 0,9% dalam 30–60 menit, dan memonitor tanda vital,
kemudian pengecekan elektrolit dan dikoreksi bila terdapat kelainan lainnya1.
Salah satu fungsi rongga mulut adalah sebagai jalan masuk makanan
menuju saluran cerna (gastrointerstinal tract). Kemampuan seseorang dalam
mengkonsumsi makanan melalui oral dapat berubah dikarenakan neoplasia,
infeksi, deformitas congenital, dan injuri (trauma). Prosedur bedah mulut dan
maksilofasial dapat mengeliminasi permasalahan ini dengan suatu prosedur
operasi,namun prosedur ini juga membatasi kemampuan mulut sementara waktu.
Pada keadaan trauma (stress dan sepsis) tubuh mengalami rangkaian perubahan
hormonal yang menambah laju metabolisme. Hal ini berakibat menurunnya daya
tahan tubuh, terjadinya edema, dan terhambatnya penyembuhan luka gangguan
motilitas usus, gangguan enzim dan metabolisme serta kelemahan otot. Oleh
karena itu pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan intervensi nutrisi
dalam rawat inap di rumah sakit7.
Penentuan status gizi penderita penting untuk jumlah lama dan komposisi
yang harus diberikan. Setidaknya penderita harus ditentukan apakah termasuk
malnutrisi ringan, sedang atau berat. Kebutuhan energi total dari seorang pasien
dalam keseimbangan metabolik adalah sama dengan pemakaian energi total (Total
Energy Expenditure) yang meliputi kebutuhan basal, peningkatan kebutuhan
energi yang disebabkan penyakit, energi yang terpakai selama proses asimilasi
nutrien dan energi yang terpakai pada kerja fisik. Kebutuhan kalori basal didapat
dengan penghitungan BMR berdasarkan persamaan Harris-Benedict. Nutrisi
parenteral adalah pemberian nutrien melalui pembuluh darah vena. Cara
104
pemberian dapat melalui vena perifer (nutrisi parenteral perifer) atau vena sentral
(nutrisi parenteral total). Terapi nutrisi parenteral diberikan kepada setiap
penderita yang akibat penyakitnya membutuhkan banyak asupan nutrisi tetapi
penderita tersebut tidak mau makan, tidak cukup makan, tidak bisa makan dan
tidak boleh makan. Tujuan pemberian nutrisi parenteral ini adalah untuk
mempertahankan volume dan perfusi sirkulasi darah, menjaga keseimbangan
cairan-elektrolit dan asam basa, memelihara hemostatik metabolik umum, dan
menyediakan intake bagi kebutuhan metabolisme secara parenteral7,8,9
.
105
BAB IV
KESIMPULAN
Trauma oromaksilo fasial dapat menyebabkan kematian jika dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas dan perdarahan yang banyak. Sebelum
melakukan perawatan fraktur perlu diperhatikan keadaan darurat medik yang
harus ditangani lebih dulu. Untuk penderita dengan trauma oromaksilofasial
perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernafasan dan kontrol
perdarahan eksternal, sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital,
keadaan-keadaan itu harus ditangani lebih dahulu oleh karena mengancam jiwa
penderita.
Perdarahan dari fraktur oromaksilofasial dapat terjadi perdarahan pada
rongga mulut, hidung, sinus paranasalis, nasofaring (dari basis cranii) atau
perdarahan dari hidung (fraktur nasalis, fraktur maksila). Perdarahan yang banyak
bisa mengakibatkan syok hipovolemik. Perdarahan adalah sebab tersering dari
syok pada trauma, dan hampir semua penderita multi-trauma ada syok. Pemberian
pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat membantu dalam
mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat.
Perawatan pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan terapi nutrisi
yang benar. Pengukuran kebutuhan nutrisi pasien trauma bergantung dari rumus
yang didasarkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi, dimana untuk
menentukan jenis nutrisi yang akan diberikan kepada pasien tersebut diperlukan
kerjasama dengan ahli gizi sehingga benar benar sesuai dengan kebutuhan gizi yang
telah ditentukan sebelumya.Pemberian nutrisi untuk pasien rawat inap dapat
dilakukan dengan 3 cara yaitu peroral, enteral dan parenteral. Pemberian nutrisi
yang adekuat akan membantu proses penyembuhan pasien.
106
DAFTAR PUSTAKA
1. Fonseca, R.J., dkk. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma 3rd ed. Vol 1, W.B.
Saunders Company. Philadelphia.
2. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa: drg.
Purwanto, drg. Basoeseno, EGC. Jakarta.
3. Fonseca, R.J. Robert. V.W. 1997. Oral and Maxillofacial Trauma 2nd ed. Vol
1, W.B. Saunders Company. Philadelphia.
4. Raymond and Wolker, 1991, Oral and maxillofacial Trauma. Vol I, W.B.
Saunders Company, Philadelphia, Co.
5. Hupp, J.R., Ellis III, E., Tucker, M.R. 2008. Contamporary Oral and
Maxillofacial Surgery. 5th ed. Mosby Elsevier. St. Louis.
6. Hutchinson and Skinner, 1996, ABC of Major Trauma 2nd
ed BMJ Publishing
Group, London.
7. Andry Hartono,dr, Sp.GK,2006,Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit, edisi kedua;
EGC,IKAPI.
8. Agus Purwadianto & Budi Sampurna. Kedaruratan Medik. 2000. Pedoman
Penatalaksanaan Praktis. Edisi Revisi.
9. Roesli, Ruly,dkk, 1997, Dasar-dasar Terapi Nutrisi Parenteral pada Dewasa dan
Anak; Kelompok Studi Terapi Cairan, Enteral, dan Parenteral, Bandung.
107
Fraktur Dentoalveolar
Sutami Wahyu Prasetya
160121120010
Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Bedah Mulut Dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung
Abstrak : Fraktur dentoalveolar adalah salah satu fraktur yang banyak kita
jumpai di emergency room. Adapun penyebab fraktur dentoalveolar yang utama
adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan sewaktu berolahraga, kekerasan dalam
rumah tangga dan lain sebagainya. Pada pasien anak juga sering kita jumpai
fraktur dentoalveolar, dimana anak – anak pada masa pertumbuhan dengan
aktivitas bermain yang tinggi seperti terjatuh dari sepeda. Trauma secara langsung
biasanya menyebabkan cedera pada insisivus sentral maksila karena posisinya
yang relatif lebih ke depan. Insisivus yang protrusif dengan penutupan bibir yang
tidak seimbang, seperti terlihat pada individu dengan maloklusi Kelas II divisi I
atau sebagai akibat kebiasaan buruk menghisap jempol, merupakan faktor
predisposisi trauma insisivus maksila. Cedera akan meningkat dua kali lebih
sering pada anak dengan insisivus yang protrusif dibandingkan dengan seorang
anak yang memiliki oklusi normal. Perawatan darurat merupakan perawatan yang
penting dan harus dilakukan dengan segera karena menyangkut prognosa dari
penderita. Perawatan darurat pada kasus truma gigi anterior meliputi pembersihan
luka akibat trauma dengan menggunakan cairan antiseptik, merawat luka akibat
trauma, dengan melakukan penjahitan dan penutupan luka dengan kain kassa,
menghentikan perdarahan, menghilangkan rasa sakit, pencegahan terhadap
infeksi.
Kata kunci: fraktur dentoalveolar, trauma, maloklusi, perawatan darurat
108
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering tejadi pada pasien
trauma. Keterlibatan trauma orofasial diperkirakan sekitar 15 % dari semua pasien
emergensi, dan 2% dari kasus tersebut melibatkan trauma dentoalveolar. Cedera
yang terjadi dapat hanya mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti
pada seorang anak yang terjatuh, ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera
multisistim, seperti yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera
dentoalveolar biasanya terjadi karena seseorang terjatuh, kecelakaan di taman
bermain, penganiayaan, kecelakaan sepeda, kecelakaan sepeda motor, dan
kecelakaan olahraga. Cedera pada strktur dentoalveolar dapat diakibatkan oleh
trauma secara langsung mengenai gigi atau trauma tidak langsung, biasanya
akibat oklusi yang menutup dengan cepat dan kuat antara gigi-geligi mandibula ke
gigi-geligi maksilla.1
Trauma secara langsung biasanya menyebabkan cedera pada incisivus
central maksilla karena posisinya yang relatif lebih kedepan. Incisivus yang
protrusif dengan penutupan bibir yang tidak seimbang, seperti terlihat pada
individu dengan maloklusi kelas II divisi 1 atau sebagai akibat kebiasaan buruk
menghisap jempol, merupakan faktor predisposisi trauma incisivus maksilla.
Cedera pada gigi akan meningkat dua kali lebih sering pada anak-anak dengan
gigi incisivus yang protrusif dibandingkan dengan seorang anak yang memiliki
oklusi normal. Trauma tidak langsung pada gigi dan struktur pendukung biasanya
sebagai akibat dari benturan yang mengenai dagu, atau gigi tidak dalam oklusi
yang baik, benturan akan diteruskan ke oklusi gigi-geligi, menimbulkan
kerusakan gigi-gigi posterior atau jaringan lunak anterior.1
Fraktur dentoalveolar dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan gigi.
Dapat dalam bentuk retak tetapi pada umunya dalam bentuk fragmen alveolar
yang sederhana. Fraktur dentoalvapaeolar pada umumnya terjadi bersamaan
109
dengan cidera mulut lainnya. Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan
kelangsungan hidup dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang
mengalami trauma adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64%
adalah gigi incisivus sentral, 15% incisivus lateral, dan 3% caninus. Fraktur
dentoalveolar pada umumnya terjadi pada kelompok usia anak, remaja, dan
dewasa muda dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 2-3 : 1. 2
Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar meliputi kemungkinan
adanya luka pada bibir dan umumnya terjadi edema dan echymosis. Pada
pemeriksaan gigi dan alveolus kemungkinan terdapat laserasi, echymosis dari
pada gingival dan perubahan bentuk dari pada alveolus.3
Selain itu pada saat palpasi hati-hati pada saat memeriksa bibir.
Pemeriksaan pada bibir berguna untuk mengetahui apakah ada benda asing atau
gigi di dalam jaringan tersebut. Palpasi pada alveolus berfungsi untuk merasakan
perubahan bentuk tulang-tulang, dan kadang-kadang terdapat krepitus.1
110
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Etiologi Fraktur Dentoalveolar
Trauma dentoalveolar dapat terjadi pada anak-anak, remaja, maupun
dewasa. Pada kelompok anak-anak penyebab utama dari trauma ini adalah jatuh.
Pada usia 1-3 tahun ketika anak belajar berjalan dan berlari insidennya meningkat
yang diakibatkan oleh aktivitas yang tinggi dan kurangnya koordinasi anggota
tubuh menyebabkan anak sering jatuh. Pada anak usia sekolah, taman bermain
dan cidera akibat bersepeda merupakan penyebab tersering. Selama masa remaja,
cidera olahraga merupakan kasus yang umum. Pada usia dewasa, cidera olahraga,
kecelakaan sepeda motor, kecelakaan industri dan pertanian, dan kekerasan dalam
rumah tangga merupakan penyebab potensial. Rasio laki-laki dan perempuan
adalah 2:1. Olahraga yang melibatkan kontak fisik merupakan penyebab umum
fraktur dental, seperti sepakbola dan bola basket. Frekuensi fraktur dentoalveolar
yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan retardasi mental dan serebral
palsi. Penyalahgunaan obat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
frakturdental.2
Gigi insisivus maksiler yang menonjol keluar atau ketidakmampuan
menutup gigi pada keadaan istirahat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
fraktur. Benturan atau trauma, baik berupa pukulan langsung terhadap gigi atau
berupa pukulan tidak langsung terhadap mandibula, dapat menyebabkan pecahnya
tonjolan-tonjolan gigi, terutama gigi-gigi posterior. Selain itu, tekanan oklusal
yang berlebihan terutama terhadap tumpatan yang luas dan tonjol-tonjolnya tak
terdukung oleh dentin dapat pula menyebabkan fraktur. Keparahan fraktur bisa
hanya sekedar retak saja, pecahnya prosesus, sampai lepasnya gigi yang tidak bisa
diselamatkan lagi. Trauma langsung kebanyakan mengenai gigi anterior, dan
karena arah pukulan mengenai permukaan labial, garis retakannya menyebar ke
belakang dan biasanya horizontal atau oblique. Pada fraktur yang lain, tekanan
111
hampir selalu mengenai permukaan oklusal, sehingga frakturnya pada umumnya
vertikal. Pukulan terhadap gigi anterior paling sering terjadi pada anak-anak dan
apabila dibiarkan maka tubulus dentinnya akan terpapar pada flora normal mulut
sehingga dapat menimbulkan infeksi dan inflamasi pulpa sehingga perlu dirawat.1
Di pihak lain, gigi posterior yang fraktur karena tekanan oklusal yang
besar biasanya karena mempunyai tumpatan yang luas. Pada gigi semacam ini,
hanya sedikit tubulus dentin yang terbuka yang langsung berhubungan dengan
pulpa karena telah terjadinya reaksi terhadap karies dan prosedur penambalannya
berupa kalsifikasi tubulus dan penempatan dentin reaksioner di rongga pulpa.
Dengan demikian jaringan pulpanya jarang sekali ikut terkena. Trauma terhadap
gigi pada umumnya bukan merupakan keadaan yang mengancam nyawa, tetapi
cidera maksilofasial lain yang berhubungan dengan trauma dental dapat
mengganggu jalan napas. Fraktur biasanya terjadi pada gigi permanen, sedangkan
gigi susu biasanya hanya mengalami perubahan letak. Morbiditas yang
berhubungan dengan fraktur dental bisa seperti gagalnya pergantian gigi,
perubahan warna gigi, abses, hilangnya ruang pada arkus dental, ankylosis,
lepasnya gigi secara abnormal, dan resorpsi akar merupakan keadaan yang
signifikan. Trauma dental sering berhubungan dengan laserasi intraoral. Ketika
ada gigi yang pecah atau hilang dan pada saat yang bersamaan terdapat laserasi
intraoral, maka harus diperhatikan bahwa bagian gigi yang hilang dapat tertanam
di dalam robekan luka tersebut. 1
Trauma secara langsung biasanya menyebabkan cedera pada incisivus
central maksilla karena posisinya yang relatif lebih kedepan. Incisivus yang
protrusif dengan penutupan bibir yang tidak seimbang, seperti terlihat pada
individu dengan maloklusi kelas II divisi 1 atau sebagai akibat kebiasaan buruk
menghisap jempol, merupakan faktor predisposisi trauma incisivus maksilla.
Cedera pada gigi akan meningkat dua kali lebih sering pada anak-anak dengan
gigi incisivus yang protrusif dibandingkan dengan seorang anak yang memiliki
oklusi normal. Trauama tidak langsung pada gigi dan struktur pendukung
biasanya sebagai akibat dari benturan yang mengenai dagu, atau gigi tidak dalam
112
oklusi yang baik, benturan akan diteruskan ke oklusi gigi-geligi, menimbulkan
kerusakan gigi-gigi posterior atau jaringan lunak anterior. 1
Cedera dentoalveolar ini paling banyak terjadi pada gigi sulung yang
terjadi pada saat anak-anak mulai belajar berjalan hingga usia sekolah, yang
berusia antara 2-4 tahun, sedangkan pada gigi permanen antara usia 7-10 tahun.
Jumlah cedera dentoalveolar yang signifikan juga terjadi berhubungan dengan
penatalaksanaan pasien yang tidak sadar atau pasien yang akan menjalani
anestetikum umum. Lockhart dan Colleases melakukan survai terhadap 133
program pelatihan anestesi dan menemukan dari setiap 100 tindakan intubasi
trachea terdapat 1 kejadian yang mengakibatkan trauma gigi anterior. 1
Gambar 1. Gambaran Klinis Fraktur Dento Alveolar
II. Klasifikasi
Ada banyak cara untuk mengklasifikasikan fraktur dental. Klasifikasi Ellis
merupakan salah satu yang sering digunakan dalam literatur kegawatdaruratan,
tetapi banyak dokter gigi dan ahli bedah maksilofasial yang tidak menggunakan
sistem ini. Metode klasifikasi yang paling mudah dimengerti adalah berdasarkan
deskripsi cidera. Fraktur mahkota gigi dapat dibedakan menjadi kategori
sederhana dan rumit. Fraktur mahkota sederhana melibatkan bagian enamel dan
dentin. Yang termasuk fraktur mahkota sederhana adalah fraktur Ellis kelas I dan
II. Fraktur Ellis kelas I Fraktur yang tergolong Ellis kelas I hanya melibatkan
lapisan enamel gigi. Pada inspeksi tampak sebagai kepingan kecil dengan tepi
113
yang tidak beraturan (kasar). Keluhan yang biasanya muncul adalah rasa tidak
nyaman akibat tepi fraktur yang kasar tersebut. Pasien pada umumnya tidak
mengeluhkan sensitivitas terhadap temperatur atau udara. Fraktur ini pada
umumnya tidak menyebabkan gangguan terhadap rongga pulpa.1
Sistim WHO yang dimodifikasi oleh Andreasen melibatkan cedera pada
gigi, struktur pendukungnya, gusi dan mukosa oral yang berdasarkan anatomi,
terapi dan prognosanya. 1
Cedera jaringan keras gigi dan pulpa.
1. Crown Infraction (keretakan mahkota).
Merupakan fraktur inkomplit atau retaknya enamel tanpa disertai
kehilangan substansi gigi.
2. Uncomplicated crown fracture (fraktur mahkota tidak komplit)
Merupakan fraktur yang terbatas pada enamel atau melibatkan enamel dan
dentin tanpa disertai terbukanya pulpa.
3. Complicated crown fracture (fraktur mahkota komplit)
Merupakan fraktur yang melibatkan enamel dan dentin disertai terbukanya
pulpa.
4. Uncomplicated crown-root fracture (fraktur mahkota dan akar tidak
komplit)
Merupakan fraktur yang melibatkan enamel, dentin dan sementum tanpa
disertai terbukanya pulpa.
5. Complicated crown-root fracture (fraktur mahkota dan akar komplit)
Merupakan fraktur yang melibatkan enamel, dentin, dan sementum yang
disertai dengan terbukanya pulpa.
6. Root fracture (fraktur akar)
Merupakan fraktur yang melibatkan dentin, sementum dan pulpa.
114
(1) (2) (3) (4)
(5) (6) (7)
Gambar 2. Cedera jaringan keras gigi dan pulpa.(1) Crown infraction. (2) dan (3) Uncomplicated
crown fracture dengan atau tanpa melibatkan dentin. (4) Complicated crown fractured. (5)
Uncomplicated crown root fractured. (6) Complicated crown root fracture. (7) Root Fracture. 1
Cedera jaringan periodontal. 1
1. Concussion (sensitif).
Merupakan suatu cedera pada struktur pendukung gigi tanpa adanya
kehilangan yang abnormal atau pergeseran gigi, tetapi ditandai dengan
adanya reaksi sensitif terhadap perkusi.
2. Subluksasi (kegoyangan gigi).
Cedera pada struktur pendukung gigi tanpa kehilangan yang abnormal
tetapi tanpa pergeseran gigi.
3. Intrusif luxation (central dislocation).
Pergeseran gigi ke dalam tulang alveolar tanpa disertai hancurnya atau
fraktur soket alveolar.
4. Extrusif luxation (peripheral dislocation, partial avultion)
Pergeseran sebagian gigi keluar dari soket alveolar.
5. Lateral luxation
Pergeseran gigi dalam arah lateral yang disertai hancur atau fraktur soket
alveolar.
115
6. Exarticulation (complete avultion)
Pergeseran gigi yang komplit keluar dari soket alveolar.
(1) (2) (3) (4)
(5) (6) (7) (8)
Gambar 3. Cedera jaringan periodontal. (1)Concussion. (2)Subluksasi. (3)Intrusif
luksatioin. (4)Extrusif luxation. (5) dan (6) Lateral luxation. (7)Retained root.
(8)Exarticulation. 1
Cedera tulang pendukung. 1
1. Comminution alveolar socket.
Fraktur atau remuknya soket alveolar mandibula atau maksila. Keadaan ini
biasanya ditemukan bersama-sama dengan luksasi intrusi dan luksasi
lateral.
2. Fracture of the alveolar socket wall (Fraktur dinding socket alveolar)
Fraktur dinding alveolar soket yang ditahan oleh dinding soket fasial atau
lingual.
3. Fracture of alveolar process (fraktur prosesus alveolaris).
Fraktur prosesus alveolaris yang dapat atau tidak melibatkan soket
alveolar.
4. Fraktur maksila atau mandibula.
116
Fraktur ini mengenai mandibula atau maksilla, dan dapat mengenai
prosesus alveolaris atau mungkin juga dengan atau tidak mengenai soket
alveolar gigi.
(1) (2) (3)
(4) (5) (6) (7)
Gambar 4. Cedera tulang alveolar. (1)Comminution alveolar process. (2) dan (3)Fracture
of the alveolar socket wall. (4) dan (5)fracture of the alveolar process. (6) dan (7)Fraktur
mandibula atau maksila. 1
Cedera gingiva atau mukosa oral. 1
1. Laserasi gingiva atau mukosa
Yaitu luka pada daerah mukosa yang biasanya disebabkan oleh sobekan
benda tajam.
2. Kontusio gingiva atau mukosa oral.
Yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan dari benda
tumpul dan menyebabkan perdarahan pada daerah submukosa tanpa
disertai sobeknya daerah mukosa.
3. Abrasi gingiva atau mukosa oral.
Yaitu luka daerah supefisial yang disebabkan karena gesekan atau goresan
yang mengakibatkan daerah mukosa terlihat lecet dan permukaan yang
berdarah.
117
Selain itu ada juga klasifikasi yang dibuat oleh Sanders, Brady dan Johnson yang
relatif lebih sederhana berdasarkan pada diskripsi cedera, gambaran struktur gigi
yang terlibat, tipe pergeseran dan arah fraktur akar dan mahkota. 3
Keretakan mahkota, yang dibagi lagi menjadi :3
1. Retak atau fraktur yang tidak lengkap dari email tanpa adanya kehilangan
struktur gigi.
2. Dapat terjadi secara horizontal atau vertical.
Fraktur mahkota 3
1. Fraktur mahkota yang hanya mengenai email
2. Fraktur mahkota yang mengenai email dan dentin.
3. Fraktur mahkota yang mengenai email, dentin dan pulpa.
4. Fraktur horizontal atau vertikal.
5. Fraktur secara oblique (mengenai sudut mesioincisal dan distoincisal)
Gambar 5, Gambaran Klinis Fraktur MAhkota Horizontal
Fraktur mahkota-akar.1,3
1. Tidak melibatkan pulpa.
2. Melibatkan pulpa.
Fraktur akar horizontal 1
1. Mengenai sepertiga apikal.
118
2. Mengenai sepertiga tengah akar.
3. Mengenai sepertiga servikal.
4. Horizontal atau vertikal.
Gigi sensitif (Concussion) 1
Yaitu trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya mengakibatkan gigi
sensitive terhadap perkusi, tetapai tanpa disertai adanya kegoyangan gigi dan
perubahan letak dari gigi.
Kegoyangan gigi (Subluxation)
Yaitu trauma terhadap gigi dan jaringan pendukungnya mengakibatkan
gigi menjadi goyang, tetapi tanpa disertai adanya perubahan letak gigi.
Perubahan letak gigi.1
1. Intrusi gigi (gigi masuk ke dalam soket, biasanya disertai dengan kompresi
fraktur dari saku alveolar).
2. Ekstrusi gigi (gigi sebagian keluar dari soketnya dan memungkinkan tidak
disertainya adanya fraktur tulang alveolar).
3. Perubahan letak gigi ke arah labial (kemungkinan disertai fraktur dinding
alveolar).
4. Perubahan letak gigi ke arah lingual (kemungkinan disertai fraktur dinding
lingual).
5. Perubahan letak gigi kea rah lateral (pergeseran gigi ke arah distal atau mesial,
kemungkinan juga disertai fraktur dinding alveolar).
Avulsi Gigi 1
Yaitu perubahan letak keseluruhan gigi keluar dari soketnya, dan
kemungkinan bersamaan dengan fraktur dinding alveolar.
119
Gambar 6, Gigi Avulsi
III. Pemeriksaan dan Menegakan Diagnosis
Cedera pada gigi-gigi dan struktur pendukungnya harus dipertimbangkan
sebagai suatu keadaan darurat. Agar penatalaksanaannya tepat dan berhasil,
dibutuhkan suatu penegakan diagnosa dan perawatan dalam waktu yang cepat.
Riwayat mekanisme dan kejadian yang lengkap harus didapatkan dan langsung
dilakukan pemeriksaan klinis dan radiografis untuk menjamin diagnosa dan
perawatan yang tepat. 1,3
Langkah pertama dalam proses mendiagnosa yaitu mendapatkan riwayat
kecelakaan yang akurat. Riwayat yang komprehensif harus didapatkan dari
pasien, orangtuanya atau orang yang mengetahui informasi yang berhubungan
dengan pasiennya, dimana, kapan, dan bagaimana kejadiannya, terapi apa yang
sudah diberikan sebelumnya.
Anamnesis. 1
Yang dimaksud dengan anamnesis adalah riwayat terjadinya trauma.
Anamnesis dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada penderita atau
pengantar.
Dalam melakukan anamnesis, ada beberapa informasi yang harus
diketahui antara lain sebagai berikut :
a. Kapan Terjadinya Trauma.
120
Karena jarak antara kecelakaan dan perawatan sangat penting
diketahui bukan hanya untuk menentukan jenis perawatan yang akan
dilakukan tetapi berpengaruh juga terhadap prognosisnya. Seperti pada
gigi yang mengalami avulsi, semakin cepat gigi tersebut di replantasi,
maka prognosisnya akan semakin baik. Juga pada fraktur rahang yang
proses penyembuhannya akan berpengaruh jika perawatannya ditunda.
b. Dimana Tempat Trauma Terjadi.
Hal ini penting karena mungkin saja penderita memerlukan
suntikan anti tetanus karena luka akibat trauma tersebut terjadi di daerah
yang kotor yang dengan mudah akan terkontaminasi dengan bakteri.
Demikian juga pada kecelakaan mobil perlu diperhitungkan kemungkinan
ada pecahan kaca pada bibir dan daerah muka.
c. Bagaimana Trauma Terjadi.
Informasi ini penting untuk mengetahui apakah trauma tersebut
mengenai benda keras atau tumpul atau lunak. Karena trauma pada benda
keras dapat mengakibatkan fraktur ahkota gigi, sedangkan trauma pada
benda yang lunak atau tumpul seperti siku biasanya dapat mengakibatkan
fraktur akar gigi dan luksasi.
d. Perawatan yang Sudah Didapat.
e. Riwayat Trauma pada Gigi
f. Penyakit Sistemik yang Diderita.
g. Keluhan Lain.
h. Gangguan Pengunyahan.
Pemeriksaan Klinis. 3
Pemeriksaan Fisik,
Pemeriksaan terhadap keadaan umum penderita, meliputi pemeriksaan
denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, tingkat kesadaran dan suhu tubuh.
Pemeriksaan Ekstra Oral
Pada kasus trauma gigi anterior ini dapat dilakukan dengan cara visual dan
palpasi. Palpasi pada wajah dilakukan untuk melihat diskontinuitas tulang rahang
121
yang menunjukkan adanya fraktur, gangguan pergerakan rahang, kelainan saraf
serta hematoma.
Pemeriksaan Intra Oral,
Pemeriksaan ini penting untuk mendapatkan informasi agar dapat
memberikan pertolongan pertama. Tindakan yang sebaiknya dilakukan pada
pemeriksaan intra oral meliputi antara lain :
(1) Perkusi gigi
(2) Pencatatan kegoyangan abnormal dari gigi atau tulang alveolar.
(3) Pencatatan adanya perubahan warna gigi
(4) Pencatatan kerusakan jaringan lunak, seperti pada bibir, gusi, langit-
langit dan lidah.
(5) Pencatatan perubahan letak gigi
(6) Tes vitalitas dari gigi
(7) Pencatatan adanya kerusakan prosesus alveolaris, dengan cara
palpasi prosesus alveolaris.
Pemeriksaan Radiologis. 3
Kegunaan Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosa
kelainan akibat trauma gigi anterior yang tepat dan benar. Biasanya pemeriksaan
radiologis dilakukan pada saat sebelum memulai perawatan dan pada saat kontrol
sesudah perawatan sebagai evaluasi terhadap perawatan yang telah dilakukan.
Pemeriksaan ini berguna untuk memberikan informasi, misalnya :
1. Untuk melihat arah garis fraktur
2. Adanya fraktur akar
3. Bagaimana tingkat keparahan dari gigi yang mengalami instrusi atau
ekstrusi
4. Adanya kelainan dari jaringan periodontal
5. Tingkat perkembangan akar
6. Ukuran kamar pulpa dan saluran akar
7. Adanya fraktur rahang
122
8. Melihat keadaan fragmen gigi dan jaringan lunak lain disekitar rongga
mulut, seperti dasar mulut, bibir dan pipi.
Macam-macam foto rontgen yang digunakan
Teknik foto rontgen yang biasa digunakan dalam melakukan pemeriksaan
riologis pada kasus trauma gigi anterior adalah teknik intra oral ( foto periapikal
dan foto oklusal), dan kadangkala diperlukan teknik ekstra oral (foto panoramik,
foto lateral dan foto postero-anterior) jika dengan foto intra oral garis fraktur tidak
terlihat.
Gambar 7. Foto panoramic, fraktur alveolar crest pada maksila dan
fraktur 1/3 apikal akar gigi pada mandibula
123
BAB III
Perawatan Trauma Pada Gigi Anterior 1
Setelah ananmnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologis telah
lengkap, maka diagnosis yang tepat juga dapat ditegakkan sehingga langkah
perawatan terhadap kelainan akibat trauma pada gigi anterior dapat dilakukan
dengan segera.
Trauma pada gigi merupakan salah satu kasus darurat yang memerlukan
penanggulangan yang cepat dan tepat, karena keadaan ini mempengaruhi
prognosis yang akan datang. Maka pada prinsipnya perawatan trauma gigi
anterior ini adalah perawatan untuk mencegah prognosis yang lebih buruk dan
mengurangi rasa sakit akibat trauma.
Perawatan trauma gigi anterior dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu
perawatan segera setelah terjadinya trauma (perawatan darurat) dan perawatan
terhadap gigi anterior yang mengalami trauma (perawatan definitif).
Perawatan Segera Setelah Terjadinya Trauma (Perawatan Darurat)
Perawatan darurat merupakan perawatan yang penting dan harus dilakukan
dengan segera karena menyangkut prognosa dari penderita. Perawatan darurat
pada kasus trauma gigi anterior meliputi :
a. Membersihkan luka akibat trauma dengan menggunakan cairan antiseptik
b. Merawat luka akibat trauma, dengan melakukan penjahitan dan penutupan
luka dengan kain kasa.
c. Menghentikan perdarahan
d. Menghilangkan rasa sakit
e. Pencegahan terhadap infeksi
Perawatan Gigi pada Cedera Dentoalveolar (Perawatan Definitif). 1
124
Perawatan gigi anterior yang mengalami trauma pada prinsipnya adalah
mengembalikan gigi yang mengalami trauma keposisi semula (reposisi) dan
mempertahankannya hingga proses penyembuhan (fiksasi dan imobilisasi).
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan
perawatan definitif pada kasus trauma gigi anterior, yaitu : keadaan umum pasien,
umur pasien, trauma terjadi pada gigi sulung atau gigi tetap, lokasi dan luas
daerah yang terkena trauma, keadaan dari tulang pendukung, keadaan jaringan
periodontal serta gigi-geligi yang ada, Vitalitas gigi yang terkena trauma, apakah
disertai dengan fraktur tulang alveolar.
Pada dasarnya perawatan definitif trauma gigi anterior meliputi :
a. Perawatan jaringan keras gigi, misalnya penambalan dengan resin komposit
pada mahkota gigi yang terkena trauma, pembuatan mahkota jaket, dll.
b. Perawatan jaringan pulpa, misalnya pada perawatan endodontik seperti pulp
capping, pulpotomi, dll.
c. Perawatan pada gigi yang goyang dan berubah letak, yaitu dengan melakukan
reposisi dan fiksasi.
Yang dimaksud dengan fiksasi adalah suatu tindakan pemasangan alat
yang digunakan untuk menstabilkan satu gigi atau lebih dengan mengikat atau
menggabungkan gigi goyah atau berubah letak kegigi sebelahnya yang masih
kokoh melalui kawat, band atau splin dari logam cor, plastik atau acrylik.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan fiksasi yang baik
1,yaitu :
1. Dapat dengan mudah dipasang didalam mulut tanpa melalui prosedur
laboratorium yang lama.
2. Bersifat pasif pada tempatnya, tanpa menyebabkan tekanan pada gigi.
3. Tindak berkontak dengan gusi dan tidak mengiritasi gusi.
4. Tidak terdapat sangkutan pada saat oklusi yang normal.
5. Dapat dengan mudah dibersihkan dan dipakai pada oral higiene yang baik.
6. Pada saat dipakai tidak menyebabkan trauma pada gigi atau gusi.
125
7. Dapat memberikan jalan bagi perawatan endodontik.
8. Dapat dengan mudah dikeluarkan.
9. Memperhatikan nilai estetik yang baik.
10. Harganya murah dan bahan-bahannya mudah diperoleh dipasaran.
Ada beberapa macam teknik fiksasi yang digunakan pada kasus trauma gigi
anterior ini1,4
, yaitu :
1. Interdental wiring fixation, yaitu fiksasi dengan pengikatan kawat
interdental. Misalnya dengan metode Essig, Ernt’s, Eyelet (Ivy).
Gambar 8, Eyelet & Essig Method 1
2. Arch bar wiring, yaitu pengikatan kawat dengan arch bar. Misalnya dengan
metode Erich arch bar, Sauer’s arch bar, hauptmeye’s arch bar,
Circumferential arch bar.
3. Resin komposit splin dengan menggunakan etsa asam.
4. Penggunaan alat Orthodontik bracket, misalnya pada gigi yang ekstrusi dan
avulsi.
5. Metal cast splint, yaitu splin dengan menggunakan logam cor.
6. Sectional acrylic splint, yaitu splin dengan menggunakan bahan dari akrilik.
126
A B
C D
Gambar 9, Fiksasi intermasiler: A. screw & wire, B. Gunning splint untuk rahang edentulous
(Miloro et.al, 2004), C. Fiksasi intermaksiler dengan Erich bar & rubber elastic, d. fiksasi dengan
Jalenko 1
Berikut ini akan diuraikan berbagai macam perawatan definitif trauma gigi
anterior menurut beberapa pakar bedah mulut 1,3
yaitu sebagai berikut :
Fraktur Mahkota
Pada fraktur mahkota yang mengenai email, dentin serta pulpa tanpa disertai
kegoyangan gigi biasanya dilakukan penambalan pada gigi yang terkena fraktur
dengan resin komposit sistem etsa dengan atau tanpa didahului perawatan
endodontik. Tetapi bila disertai dengan kegoyangan gigi dilakukan juga reposisi
gigi dan fiksasi gigi tersebut.
Fraktur Mahkota – Akar
a. Jika fragmen mahkota masih berada ditempat dan tidak goyang, maka
perawatan yang dilakukan sama dengan perawatan pada fraktur mahkota.
127
b. Jika garis fraktur jauh kearah apikal dan gigi masih dapat direstorasi, maka
dilakukan perawatan endodontik.
c. Jika disertai dengan fraktur tulang alveolar, maka sebaiknya dilakukan
ekstraksi gigi tersebut.
Fraktur Akar
a. Jika garis fraktur sepertiga apikal prognosisnya sangat baik dan
biasanya tidak diperlukan perawatan yang khusus.
b. Jika garis fraktur berada sepertiga tengah akar, prognosisnya
sangat baik terhadap pemulihan pertahanan jaringan pulpa dan
penyembuhan dari fraktur akar tersebut. Dan dalam hal ini
diperlukan tindakan reposisi dan fiksasi selama 2-3 bulan, karena
pada periode ini biasanya telah terjadi proses kalsifikasi dari
jaringan dan gigi kembali vital.
c. Jika terjadi fraktur akar vertikal dilakukan tindakan ekstraksi gigi.
Gigi Sensitif (Concussion) 1
Perawatan yang khusus pada gigi sensitif ini biasanya tidak ada, hanya
diperlukan pemeriksaan yang rutin dan berlanjut untuk mengevaluasi kesehatan
dari jaringan periodontal dan pulpa gigi tersebut dan jika perlu mengurangi kontak
incisal untuk mengurangi trauma saat oklusi yang diterima gigi.
Subluksasi Gigi 1
Gigi yang mengalami subluksasi sensitif terhada perkusi dan goyang.
Perawatan yang diperlukan biasanya perawatan simptomatik yaitu dengan
memberikan makanan yang lunak dan jika perlu menghilangkan kontak
oklusal/incisal untuk mengurangi trauma saat oklusi yang diterima dari gigi. Dan
apabila kegoyangan gigi sudah sangat ekstrim, dilakukan fiksasi pada gigi
lawannya.
128
Perawatan Pada Gigi Yang Berubah Letak 1
1. Intrusi Gigi
Pada apeks yang belum terbentuk sempurna, biasanya dibiarkan saja karena
diharapkan pada saat pertumbuhan, gigi akan kembali pada posisi semula.
Apabila akar sudah terbentuk sempurna, dilakukan reposisi dan immobilisasi
selama 2-3 bulan, dan penggunaan alat orthodonti juda dapat membantu gigi
yang mengalami instrusi dapat kembali keposisi semula.
2. Ekstrusi Gigi dan Luksasi Gigi ke lateral
Pada gigi yang mengalami ekstrusi dan perubahan letak kearah lateral
dilakukan perawatan
reposisi gigi dengan tekanan jari, kemudian immobilisasi gigi selama 2-3
minggu.
Avulsi Gigi
Pada gigi yang mengalami avulsi, dilakukan replantasi gigi dan stabilisasi
gigi. Keberhasilan replantasi gigi pada gigi yang mengalami avulsi ini tergantung
pada lamanya gigi berada diluar soket. Semakin cepat gigi tersebut direplantasi,
maka prognosisnya semakin baik. Andreasen dan Hjorting-Hansen 1
mengemukakan bahwa 90% dari gigi yang direplantasi kurang dari 30 menit
setelah terjadi avulsi gigi, tidak terdapat resorpsi akar pada gigi tersebut. Dan
resorpsi akar terlihat pada 95% gigi yang direplantasi setelah lebih dari 2 jam
mengalami avulsi.
Sebelum melakukan replantasi, gigi tersebut direndam dahulu dalam larutan
garam fisiologis hangat seperti cairan saline untuk mencegah kekeringan dari
serat-serat periodontal. Kemudian gigi tersebut dikeringkan dan setelah saku gusi
dibersihkan dari gumpalan darah replantasi dapat segera dilakukan. Setelah gigi
direplantasi, gigi tersebut distabilisasi dengan splint sistem etsa asam atau splint
akrilik selama 7-10 hari (pada gigi yang apeksnya sudah terbentuk sempurna) dan
3-4 minggu pada gigi yang apeknya belum terbentuk sempurna. Periode stabilisasi
pada kasus cedera dentoalveolar dapat dilihat pada tabel 1. 3
129
Tabel 1. Periode stabilisasi pada cedera dentoalveolar. 3
Cedera Dentoalveolar Durasi Imobilisasi
Gigi yang mobile. 7 – 10 hari
Gigi yang berubah tempat 2 – 3 minggu
Fraktur akar. 2 – 4 bulan.
Replantasi gigi (matur) 7 – 10 hari.
Replantasi gigi (imatur) 3 – 4 minggu.
Sumber : Ellis, 2003, Soft Tissue and Dentoalveolar Injuries.
Menurut Andreasen, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam
melakukan replantasi gigi yang mengalami avulsi,1 yaitu sebagai berikut :
a. Gigi tersebut tidak mempunyai kelainan periodontal.
b. Saku alveolar dapat menyediakan tempat bagi gigi yang direplantasi.
c. Tidak ada pertimbangan untuk melakukan perawatan orthodontik, seperti gigi
yang berjejal.
d. Berapa lama gigi tersebut berada diluar saku alveolar. Gigi yang berada diluar
saku gusi kurang dari 30 menit, merupakan indikasi replantasi yang baik,
sedangkan jika gigi berada diluar saku alveolar lebih dari 2 jam kemungkinan
besar akan terjadi komplikasi yaitu resorpsi dari akar gigi dan gigi menjadi non
vital, kecuali sebelum direplantasi gigi tersebut dirawat endodontik terlebih
dahulu.
e. Tingkat perkembangan akar.
Fraktur Tulang Alveolar 1
Fraktur tulang alveolar biasanya disertai dengan fraktur dari beberapa gigi
sehingga dengan fraktur tulang alveolar ini juga dapat terjadi fraktur mahkota,
fraktur akar dan trauma pada jaringan lunaknya.Maka perawatan yang dilakukan
adalah mengembalikan bagian yang terkena fraktur keposisi semula dan kemudian
dilakukan stabilisasi selama 4 minggu sampai terjadi proses penyembuhan tulang
serta penjahitan gusi yang mengalami laserasi.Pada pasien yang mengalami
130
fraktur tulang alveolar yang parah dilakukan tindakan alveolektomi disertai
ekstraksi gigi yang mengalami trauma.
Gambar 10. Foto panoramic, fraktur dentoalveolar pada maksila (panah).
Displacement segmen alveolar dan mengakibatkan maloklusi 1
Letak Fraktur pada Daerah Edentulous. 5
Bentuk cedera pada daerah tidak bergigi ini tidak terlalu berarti. Jika
mukosa mengalami perlukaan maka sebelum tindakan operatif harus diberikan
antibiotik terlebih dahulu baru kemudian dilakukan debridemen, tulang alveolar
yang lepas dan berukuran kecil dan tidak dapat dipertahankan dibuang dan
dilakukan alveolektomi. Kemudian mukosa gingiva atau rongga mulut diperbaiki
dengan cara melakukan penjahitan.
Cedera jenis ini jika mengenai daerah edentulous maksilla dapat
menyebabkan terjadinya fistula oro-nasal pada daerah premaksilla atau fistula oro-
antral di daerah premolar dan molar.
Finger pressure dapat digunakan untuk menekan fragmen alveolar yang
fraktur ke dalam posisinya yang tepat dan jika pasien menggunakan gigi tiruan
dapat digunakan sebagai alat bantu memfiksasi.
131
Gambar11, Alat Bantu Fiksasi 4
Masalah jangka panjang yang dapat terjadi jika prosesus alveolaris yang
lepas berukuran besar akan mengakibatkan kesulitan saat pembuatan gigi tiruan.
Komplikasi ini memerlukan perawatan pendahuluan sebelum pembuatan protesa
yaitu augmentasi ridge, pendalaman sulcus atau teknik implant.
Letak Fraktur pada Procesus Alveolaris Bergigi. 5
Adanya segmen tulang alveolar yang fraktur dan terdapat gigi permanen
pada fragmennya maka diperlukan tindakan reduksi dan imobilisasi, kecuali gigi
pada fragmen tulang alveolaris memerlukan pencabutan segera. Perawatann ini
dilakukan dengan anestesi lokal dibantu dengan sedasi, seperti diazepam oral atau
intra venous. Prognosis fragmen fraktur dapat ditingkatkan dengan tindakan
imobilisasi, kemudian gigi ditempatkan secara akurat pada posisinya dan juga
membebaskan trauma oklusal dari gigi lawannya. Splinting harus dipertahankan
selama 6 minggu, jika terdapat gigi pada garis fraktur maka harus
dipertimbangkan perawatan lainnya seperti perawatan endodontik diperlukan jika
pulpa mengalami nekrosis. Kadang-kadang pada fraktur dentoalveolar gigi pada
fragmen fraktur tidak mendapat dukungan tulang alveolar terutama pada penderita
usia tua, maka perlu dirujuk kepada ahli periodontologi dengan melakukan
perawatan splinting metoda Von Weissenfluh. Fraktur dentoalveolar pada usia
sangat muda dapat membaik tanpa memerlukan imobilisasi dan cukup dirawat
dengan pemberian diet lunak. Tetapi bagaimanapun jika fragmen alveolar yang
fraktur cukup besar maka tetap diindikasikan untuk pemasangan splint.
132
BAB IV
KESIMPULAN
Cedera pada strktur dentoalveolar dapat diakibatkan oleh trauma secara
langsung mengenai gigi atau trauma tidak langsung, biasanya akibat oklusi yang
menutup dengan cepat dan kuat antara gigi-geligi mandibula ke gigi-geligi
maksilla.
Cedera dentoalveolar seringkali melibatkan regio anterior maksila
Penyebab tersering cedera dentoalveolar adalah kecelakaan lalu lintas, olahraga,
perkelahian dan domestic abuse.Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan radiologis. Perawatan tergantung pada kasus dan
seringkali melibatkan bidang kedokteran gigi lainnya.
Tujuan perawatan cedera dentoalveolar adalah memperoleh kembali
bentuk dan fungsi normal dari organ pengunyahan.
133
Daftar Pustaka
1. Powers, MP, 1991, Diagnosis and management of Dentoalveolar Injuries, In,
Fonseca RJ, Oral and Maxillofacial Trauma, Volume 1, WB Saunders
Company, Philladelphia.
2. Kaban, LB, 1990, Pediatric Oral and Maxillofacial Surgery, WB Saunders
Company, Philladelphia.
3. Ellis, E III, 2003, Soft Tissue and Dentoalveolar Injuries, In, Peterson,
Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, Third ed., Mosby Year Book
Inc. St. Louis.
4. Schwenzer, N, and Steinhilber, 1982, Appliances for Immobilization, In,
Kruger, E and Schilli, Oral and Maxillofacial Traumatology, Vol. 1,
Quintessence Publishing Co.
5. Sowray, FH, 1994, Localized Injuries of the Teeth and Alveolar Process, In.
Williams, J, Rowe and Williams’ Maxillofacial Injuries, Second Ed. Churchill
Livingstone.
134
Fraktur Mandibula
Retno Widayanti
160121120003
Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Bedah Mulut Dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
Abstrak : Mandibula merupakan bagian tulang yang paling rentan mengalami
fraktur pada trauma fasialis. Hal ini dapat disebabkan karena posisinya yang
menonjol dan merupakan sasaran pukulan dan benturan. Daerah mandibula yang
lemah adalah daerah subkondilar, angulus mandibularis dan daerah mentalis.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur mandibula.
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan etiologi utama penyebab fraktur
mandibula di dunia. Pada prinsipnya ada dua cara penatalaksanaan fraktur
mandibula, yaitu cara tertutup atau disebut juga perawatan konservatif dan cara
terbuka yang ditempuh dengan cara pembedahan. Pada teknik tertutup imobilisasi
dan reduksi fraktur dicapai dengan penempatan peralatan fiksasi
maksilomandibular. Pada prosedur terbuka bagian yang mengalami fraktur di
buka dengan pembedahan dan segmen fraktur direduksi serta difiksasi secara
langsung dengan menggunakan kawat/plat yang disebut dengan wire atau plate
osteosynthesis. Kedua teknik ini tidak selalu dilakukan tersendiri tetapi kadang-
kadang diaplikasikan bersama atau disebut dengan prosedur kombinasi.
Kata Kunci : fraktur, mandibula, reduksi, fiksasi, Champy Line
135
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula1.
Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), dapat berakibat fatal bila
tidak ditangani dengan benar2. Mandibula adalah tulang rahang bawah pada
manusia dan berfungsi sebagai tempat menempelnya gigi geligi3. Faktor etiologi
utama terjadinya fraktur mandibula bervariasi berdasarkan lokasi geografis,
namun kecelakaan kendaraan bermotor menjadi penyebab paling umum. Beberapa
penyebab lain berupa kelainan patologis seperti keganasan pada mandibula,
kecelakaan saat kerja dan kecelakaan akibat olahraga4, 2
.
Fraktur mandibula merupakan fraktur kedua tersering pada kerangka
wajah, hal ini disebabkan kondisi mandibula yang terpisah dari kranium.
Diagnosis fraktur mandibula dapat ditunjukkan dengan adanya : rasa sakit,
pembengkaan, nyeri tekan, dan maloklusi5. Patahnya gigi, adanya gap, tidak
ratanya gigi, tidak simetrisnya arcus dentalis, adanya laserasi intra oral, gigi yang
longgar dan krepitasi menunujukkan kemungkinan adanya fraktur mandibula.
Selain hal itu mungkin juga terjadi trismus (nyeri waktu rahang digerakkan)4.
Evaluasi radiografis pada mandibula mencakup foto polos, bila perlu dilakukan
foto waters, CT Scan dan pemeriksaan panoreks4.
Secara khusus penanganan fraktur mandibula dan tulang pada wajah
(maksilofasial) mulai diperkenalkan olah Hipocrates (460-375 SM) dengan
menggunakan panduan oklusi (hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigi-
gigi rahang atas), sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur mandibula4. Pada
perkembangan selanjutnya oleh para klinisi menggunakan oklusi sebagai konsep
dasar penanganan fraktur mandibula dan tulang wajah (maksilofasial) terutama
dalam diagnostik dan penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan perkembangan
teknik fiksasi mulai dari penggunaan pengikat kepala (head bandages), pengikat
rahang atas dan bawah dengan kawat (intermaxilari fixation), serta fiksasi dan
136
imobilisasi fragmen fraktur dengan menggunakan plat tulang (plate and
screw)2,4,5
.
Pada semua manajemen fraktur, tujuan dari perawatannya adalah untuk
mengembalikan fungsi dengan memastikan penyatuan dari segmen tulang dan
mengembalikan kekuatan seperti sebelum cedera, mencegah terjadinya defek
kontur yang dapat timbul, mencegah terjadinya infeksi. Restorasi fungsi
mandibula sebagai bagian dari sistem stomatognati harus mencakup kemampuan
untuk mastikasi yang baik, berbicara dengan normal dan menciptakan pergerakan
artikulasi seperti sebelum terjadinya trauma.
137
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Mandibula
Mandibula dibentuk oleh dua bagian simetris yang mengadakan fusi dalam
tahun pertama kehidupan. Tulang ini terdiri dari korpus, yaitu suatu lengkungan
tapal kuda dan sepasang ramus yang pipih dan lebar yang mengarah keatas pada
bagian belakang dari korpus. Pada ujung dari masing-masing ramus didapatkan
dua buah penonjolan disebut prosesus kondiloideus dan prosesus koronoideus.
Prosessus kondiloideus terdiri dari kaput dan kolum. Permukaan luar dari korpus
mandibula pada garis median, didapatkan tonjolan tulang halus yang disebut
simfisis mentum yang merupakan tempat pertemuan embriologis dari dua buah
tulang.
Bagian korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus alveolaris
yang mempunyai 16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian bawah korpus
mandibula mempunyai tepi yang lengkung dan halus. Pada pertengahan korpus
mandibula kurang lebih 1 inchi dari simfisis didapatkan foramen mentalis yang
dilalui oleh vasa dan nervus mentalis. Permukaan dalam dari korpus mandibula
cekung dan didapatkan linea milohiodea yang merupakan origo m. Milohioid.
Angulus mandibula adalah pertemuan antara tepi belakang ramus mandibula dan
tepi bawah korpus mandibula. Angulus mandibula terletak subkutan dan mudah
diraba pada 2-3 jari dibawah lobulus aurikularis10
. Secara keseluruhan tulang
mandibula ini berbentuk tapal kuda melebar di belakang, memipih dan meninggi
pada bagian ramus kanan dan kiri sehingga membentuk pilar, ramus membentuk
sudut 1200 terhadap korpus pada orang dewasa. Pada yang lebih muda sudutnya
lebih besar dan ramusnya nampak lebih divergens.
138
Gambar 2.1 Anatomi mandibula10
Dari aspek fungsinya, merupakan gabungan tulang berbentuk L bekerja
untuk mengunyah dengan dominasi (terkuat) m. Temporalis yang berinsersi disisi
medial pada ujung prosesus koronoideus dan m. Masseter yang berinsersi pada
sisi lateral angulus dan ramus mandibula. M. Pterigodeus medial berinsersi pada
sisi medial bawah dari ramus dan angulus mandibula. M masseter bersama m
temporalis merupakan kekuatan untuk menggerakkan mandibula dalam proses
menutup mulut. M pterigoideus lateral berinsersi pada bagian depan kapsul sendi
temporo-mandibular, diskus artikularis berperan untuk membuka mandibula.
Fungsi m pterigoid sangat penting dalam proses penyembuhan pada fraktur
intrakapsuler.
139
Gambar 2.2 Insersi Otot pada Mandibula4
Pada potongan melintang tulang mandibula dewasa level molar II
berbentuk seperti ”U” dengan komposisi korteks dalam dan korteks luar yang
cukup kuat. Ditengahnya ditancapi oleh akar-akar geligi yang terbungkus oleh
tulang kanselus yang membentuk sistem haversian (osteons) diantara dua korteks
tersebut ditengahnya terdapat kanal mandibularis yang dilewati oleh syaraf dan
pembuluh darah yang masuk dari foramen mandibularis dan keluar kedepan
melalui foramen mentalis.
Lebar kanalis mandibula tersebut sekitar 3 mm ( terbesar) dan ketebalan
korteks sisi bukal yang tertipis sekitar 2.7mm sedang pada potongan level gigi
kaninus kanalnya berdiameter sekitar 1mm dengan ketebalan korteks sekitar 2.5-
3mm. Posisis jalur kanalis mandibula ini perlu diingat dan dihindari saat
melakukan instrumentasi waktu reposisi dan memasang fiksasi interna pada
fraktur mandibula11
.
Mandibula mendapat nutrisi dari arteri alveolaris inferior yang merupakan
cabang pertama dari arteri maxillaris yang masuk melalui foramen mandibula
bersama vena dan nervus alveolaris inferior berjalan dalam kanalis alveolaris.
140
Arteri alveolaris inferior memberi nutrisi ke gigi-gigi bawah serta gusi sekitarnya
kemudian di foramen mentalis keluar sebagai a. Mentalis. Sebelum keluar dari
foramen mentalis bercabang menuju incisivus dan berjalan sebelah anterior ke
depan didalam tulang. Arteri mentalis beranastomosis dengan arteri facialis, arteri
submentalis dan arteri labii inferior. Arteri submentalis dan arteri labii inferior
merupakan cabang dari arteri facialis. Arteri mentalis memberi nutrisi ke dagu.
Aliran darah balik dari mandibula melalui vena alveolaris inferior ke vena facialis
posterior. Daerah dagu mengalirkan darah ke vena submentalis, yang selanjutnya
mengalirkan darah ke vena facialis anterior. Vena facialis anterior dan vena
facialis posterior bergabung menjadi vena fascialis communis yang mengalirkan
darah ke vena jugularis interna12
.
Gambar 2.3 Vaskularisasi mandibula12
Gambar 2.4 Inervasi mandibula12
141
2.2 DEFINISI FRAKTUR MANDIBULA
Fraktur didefinisikan sebagai deformitas linear atau terjadinya
diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur dapat terjadi akibat
trauma atau karena proses patologis. Fraktur akibat trauma dapat terjadi akibat
perkelahian, kecelakaan lalulintas, kecelakaan kerja, luka tembak, jatuh ataupun
trauma saat pencabutan gigi. Fraktur patologis dapat terjadi karena kekuatan
tulang berkurang akibat adanya kista, tumor jinak atau ganas rahang, osteogenesis
imperfecta, osteomyelitis, osteomalacia, atrofi tulang secara menyeluruh atau
osteoporosis nekrosis atau metabolic bone disease. Akibat adanya proses
patologis tersebut, fraktur dapat terjadi secara spontan seperti waktu bicara,
makan atau mengunyah13
.
Mandibula merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat
dijumpai adanya bagian yang lemah. Daerah korpus mandibula terutama terdiri
dari tulang kortikal yang padat dengan sedikit substansi spongiosa sebagai tempat
lewatnya pembuluh darah dan pembuluh limfe. Daerah yang tipis pada mandibula
adalah angulus dan sub condylus sehingga bagian ini termasuk bagian yang lemah
dari mandibula. Selain itu titik lemah juga didapatkan pada foramen mentale,
angulus mandibula tempat gigi molar III terutama yang erupsinya sedikit, kolum
kondilus mandibula terutama bila trauma dari depan langsung mengenai dagu
maka gayanya akan diteruskan kearah belakang.
Garis fraktur pada mandibula biasa terjadi pada area lemah dari mandibula
tergantung mekanisme trauma yang terjadi. Garis fraktur subkondilar umumnya
dibawah leher prosesus kondiloideus akibat perkelahian dan berbentuk hampir
vertikal. Namun pada kecelakaan lalu lintas garis fraktur terjadi dekat dengan
kaput kondilus, garis fraktur yang terjadi berbentuk oblique. Pada regio angulus
garis fraktur umumnya dibawah atau dibelakang regio mlaor III kearah angulus
mandibula. Pada fraktur corpus mandibula garis fraktur tidak selalu paralel
dengan sumbu gigi, seringkali garis fraktur berbentuk oblique. Garis fraktur
dimulai pada regio alveolar kaninus dan insisivus berjalan oblique ke arah
midline. Pada fraktur mendibula, fragmen yang fraktur mengalami displaced
142
akibat tarikan otot-otot mastikasi, oleh karena itu maka reduksi dan fiksasi pada
fraktur mendibula harus menggunakan splinting untuk melawan tarikan dari otot-
otot mastikasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi displacement fraktur
mandibula antara lain ; arah dan kekuatan trauma, arah dan sudut garis fraktur,
ada atau tidaknya gigi pada fragmen, arah lepasnya otot dan luasnya kerusakan
jaringan lunak.
Pada daerah ramus mandibula jarang terjadi fraktur, karena daerah ini
terfiksasi oleh m masseter pada bagian lateral, dan medial oleh m pterigoideus
medialis. Demikian juga pada prosesus koronoideus yang terfiksasi oleh M.
Masseter.
2.3 ETIOLOGI
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur mandibula.
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan etiologi utama penyebab fraktur
mandibula di dunia4. Literatur menyebutkan bahwa 43% fraktur mandibula
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, 34% disebabkan oleh kekerasan,
7% kecelakaan kerja, 7% akibat terjatuh, 4% pada kecelakaan olahraga dan
sisanya oleh bermacam-macam sebab lainnya. Fraktur pada fasial jauh lebih
banyak terjadi pada mereka yang tidak menggunakan pelindung pada saat
terjadinya kecelakaan14
.
2.4 DISTRIBUSI ANATOMIS
Lokasi fraktur mandibula terbanyak pada kondilus (29,1%), angulus (24,5%),
simfisis dan parasimfisis (22%), korpus mandibula (16%), segmen dento
alveolar (3,1%) ramus (1,7%), dan prosesus koronoideus (1,3%)4. Fraktur
yang terjadi pada korpus, kondilus dan angulus mandibula tidak banyak
berbeda dalam insidensinya dan fraktur ramus serta processus koronoideus
sangat jarang. Beberapa penelitian memperlihatkan etiologi pada lokasi
fraktur. Fridrich dkk memperlihatkan bahwa fraktur akibat kecelakaan
kendaraan bermotor biasanya pada regio kondilus. Pada kecelakaan
pengendara kendaraan roda dua yang terkena adalah daerah simfisis. Pada
143
fraktur yang diakibatkan karena kekerasan biasanya di daerah sudut
mandibula14,15
.
Gambar 2.5 Distribusi anatomis fraktur mandibula15
Mandibula yang mengalami atropi mempunyai kelemahan pada banyak
tempat, tetapi tetap saja regio angulus mandibula dan mentalis yang paling sering
menjadi fraktur. Area fraktur cenderung berbeda pada pasien edentulus, dimana
fraktur korpus mandibula (43,5%), angulus (15,2%), simfisis mandibula (4,3%)15
.
Gambar 2.6 Distribusi fraktur mandibula pada pasien edentulus 15
Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
frekuensi fraktur mandibula dengan daerah anatomi. Fraktur subkondilus banyak
ditemukan pada anak-anak sedangkan fraktur angulus banyak ditemukan pada
remaja dan dewasa muda16
.
144
2.5 KLASIFIKASI
Secara garis besar fraktur mandibula diklasifikasikan dalam tiga kelompok
yaitu berdasarkan jenis fraktur, berdasarkan daerah fraktur dan berdasarkan
penyebab fraktur.
Berdasarkan jenis fraktur16,17
a. Fraktur sederhana. Fraktur yang terjadi tidak mempunyai
hubungan dengan dunia luar dan tidak terjadi dislokasi atau displacement.
Fraktur jenis ini disebut juga fraktur tertutup atau closed fracture.
b. Fraktur greenstick. Fraktur yang tidak seluruh kontinuitas
tulang terputus, tetapi hanya sebagian saja. Fraktur ini merupakan salah
satu tipe fraktur yang sering terjadi pada anak-anak. Hal ini diakibatkan
karena tulang anak-anak masih bersifat lentur, karena tulangnya belum
sepenuhnya terkalsifikasi.
c. Fraktur compound. Fraktur ini mempunyai hubungan antara
tulang yang patah dengan permukaan luar wajah atau dengan rongga
mulut. Hubungan ini dapat terjadi melalui kulit, jaringan mukosa dan
membran periodontal. Fraktur jenis ini disebut juga fraktur terbuka atau
open fracture.
d. Fraktur cominutted. Fraktur dimana tulang terbagi menjadi
beberapa bagian atau fragmen-fragmen kecil. Biasanya fraktur ini terjadi
pada regio simfisis mandibula.
e. Fraktur kompleks. Fraktur yang melukai jaringan lunak baik kulit, mukosa
atau bagian yang berdekatan seperti otot, pembuluh darah dan syaraf.
f. Teleskop atau fraktur impaksi. Fraktur tipe ini jarang terlihat pada
mandibula, tetapi dapat terjadi dimana sisi fragmen terdorong kesisi yang
berlawanan.
g. Fraktur indirect dan direct. Fraktur direct terjadi langsung pada titik
kontak dari trauma sedangkan indirect terjadi jauh dari sisi datangnya
trauma.
145
h. Fraktur patologis. Fraktur yang terjadi pada fungsi normal atau trauma
minimal pada tulang yang mengalami gangguan patologis, seperti kista
atau metastasis tumor.
Gambar 2.7 Tipe fraktur: A. Fraktur sederhana; B. Fraktur compound; C. Fraktur
comminuted; D. Fraktur impaksi pada subkondilus dekstra dan fraktur patologis pada
angulus sinistra; E. Fraktur direct dan indirect15.
Gambar 2.8 Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya:
Greenstick (A), Simple (B), Komminuted (C), Kompon (D)17
146
Fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan sebagai fraktur favorable
atau unfavorable, masing-masing dari arah vertikal dan horisontal tergantung pada
otot sekitarnya yang menahan atau memindahkan segment fraktur tersebut. Garis
fraktur favorable horizontal menahan gaya tarikan ke atas, seperti tarikan otot
masseter dan temporalis pada fragmen proksimal. Garis fraktur favorable vertikal
menahan gaya tarikan medial pterygoid medial pada fragmen proksimal18
.
Gambar 2.9 Unfavorable horizontal (kiri) dan favorable (kanan)15
Gambar 2.10 Favorable vertikal (kiri) dan unfavorable (kanan)15
147
Berdasarkan lokasi anatomis, fraktur mandibula dibagi atas15
:
1. Fraktur dentoalveolar
Fraktur yang hanya terjadi pada area penyangga gigi pada mandibula dan
tidak mengganggu kontinuitas struktur tulang dibawahnya.
2. Fraktur simfisis
Fraktur pada regio insisivus yang melalui prosessus alveolaris ke batas
inferior mandibula dalam arah vertikal atau hampir vertikal.
3. Fraktur parasimfisis
Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior
batas distal insisivus lateral hingga ke foramen mentalis.
4. Fraktur korpus
Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior
regio antara foramen mentalis hingga ke sisi distal dari molar kedua.
5. Fraktur angulus
Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior
distal molar kedua hingga ke sudut yang dibentuk oleh korpus dan ramus
madibula.
6. Fraktur ramus
Fraktur horizontal melalui batas anterior dan posterior ramus.
7. Fraktur prosesus kondiloideus
Fraktur yang terjadi dari sigmoid notch ke batas posterior ramus
mandibula sepanjang aspek superior dari ramus mandibula.
8. Fraktur prosessus koronoideur
Menurut Penyebab Terjadinya Fraktur
1. Fraktur traumatik
Trauma langsung (direct),Trauma tersebut langsung mengenai anggota
tubuh penderita.
Trauma tidak langsung (indirect), Terjadi seperti pada penderita yang
jatuh dengan tangan menumpu dan lengan atas-bawah lurus, berakibat
fraktur kaput radii atau klavikula. Gaya tersebut dihantarkan melalui
148
tulang-tulang anggota gerak atas dapat berupa gaya berputar,
pembengkokan (bending) atau kombinasi pembengkokan dengan kompresi
yang berakibat fraktur butterfly, maupun kombinasi gaya berputar,
pembengkokan dan kompresi seperti fraktur oblik dengan garis fraktur
pendek. Fraktur juga dapat terjadi akibat tarikan otot seperti fraktur patela
karena kontraksi quadrisep yang mendadak.
2. Fraktur fatik atau stress
Trauma yang berulang dan kronis pada tulang yang mengakibatkan tulang
menjadi lemah. Contohnya pada fraktur fibula pada olahragawan.
3. Fraktur patologis
Pada tulang telah terjadi proses patologis yang mengakibatkan tulang
tersebut rapuh dan lemah. Biasanya fraktur terjadi spontan
Menurut Hubungan dengan Jaringan Ikat Sekitarnya
1. Fraktur simple/tertutup, disebut juga fraktur tertutup, oleh karena kulit di
sekeliling fraktur sehat dan tidak sobek.
2. Fraktur terbuka, kulit di sekitar fraktur sobek sehingga fragmen tulang
berhubungan dengan dunia luar (bone expose) dan berpotensi untuk menjadi
infeksi. Fraktur terbuka dapat berhubungan dengan ruangan di tubuh yang
tidak steril seperti rongga mulut.
3. Fraktur komplikasi, fraktur tersebut berhubungan dengan kerusakan jaringan
atau struktur lain seperti saraf, pembuluh darah, organ viscera atau sendi.
2.6 PEMERIKSAAN KLINIS
Evaluasi trauma dilakukan secara menyeluruh, yaitu penanganan jalan nafas,
pemeriksaan terhadap pergeseran segmen tulang, traksi manual atau traksi
pada lidah dapat menghindarkan obstruksi jalan nafas. Jika perlu dapat
dilakukan intubasi orotrakhea pada kasus darurat jalan nafas.
Tanda dan gejala terjadinya fraktur adalah adanya maloklusi dihubungkan
dengan riwayat trauma seperti terkena pukulan, kecelakaan atau terjatuh.
Maloklusi dapat berupa gigitan silang, gigitan terbuka dan prematur kontak.
149
Rasa sakit bersifat akut dan dapat diperberat oleh gerakan ringan bagian yang
terluka. Gerakan-gerakan ringan tersebut misalnya waktu berbicara,
mengunyah atau waktu palpasi. Pergerakan abnormal dapat diketahui dengan
pemeriksaan jari tangan atau palpasi bimanual. Bila digerakkan dengan jari
tangan tiap fragmen fraktur akan bergerak sendiri. Pembengkakan atau
oedema tampak pada daerah fraktur yang disebabkan oleh keluarnya darah
dan serum ke jaringan sekitar14,18
.
Pemeriksaan pada rahang saat membuka dan menutup mulut dan
memperhatikan deviasi rahang atau mobiliti yang terbatas. Retraksi pergerakan
tulang merupakan kelainan sekunder yang dapat ditemukan pada fraktur
zigomatikus yang mengalami displacement dan berdampak pada prossesus
koronoideus mandibula17
.
Gambar 2.11 Palpasi bimanual pada mandibula untuk membandingkan struktur
anatomis18
Pemeriksaan intraoral memperlihatkan adanya laserasi atau hematoma.
Sering menunjukkan terpisahnya gigi yang satu dengan yang lain dan terputusnya
kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami fraktur
151
2.7 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Apabila pemeriksaan klinis sering dapat memberikan gambaran adanya fraktur
mandibula, maka evaluasi radiologis diperlukan untuk mempertegas hal
tersebut atau memberikan data yang lebih akurat. Evaluasi radiografis
terhadap perluasan pergeseran segmen fraktur, secara umum relatif akurat
kecuali kalau angulasi dan magnifikasi pemotretan tidak baik. Penentuan
terjadinya pergeseran berperan sebagai petunjuk dalam menentukan terapi,
tidak usah dirawat atau dilakukan reduksi terbuka16
.
Pemeriksaan radiologis yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosa
fraktur mandibula adalah14
:
a. Panoramik
- Panoramik menyediakan kemampuan untuk melihat seluruh
mandibula dalam satu radiograf.
- Panoramik membutuhkan pasien tegak, dan tidak memiliki
kemampuan melihat secara detail area TMJ, simfisis dan gigi /
daerah proses alveolar.
b. Plain film, termasuk pandangan lateral-obliq, oklusal, posteroanterior, dan
periapikal, dapat membantu.
- Pandangan lateral-obliq membantu mendiagnosis ramus, angel,
fraktur pada corpus posterior. Bagian kondilus, bicuspid dan
daerah simfisis seringkali tidak jelas.
- Tampilan oklusal mandibula menunjukkan perbedaan di posisi
tengah dan lateral fraktur body.
- Tampilan Caldwell posteroanterior menunjukkan setiap
perpindahan medial ataulateral ramus, sudut, tubuh, atau fraktur
simfisis.
c. CT scan juga dapat membantu:
- CT scan juga memungkinkan dokter untuk survei fraktur wajah
daerah lain, termasuk tulang frontal, kompleks naso-ethmoid-
152
orbital, orbit, dan seluruh sistem horizontal dan vertical yang
menopang kraniofasial.
- Rekonstruksi kerangka wajah sering membantu untuk konsep
cedera.
- CT scan juga ideal untuk fraktur condylar, yang sulit untuk
memvisualisasikan
Panoramik
Gambar 2.13 Pencitraan fraktur angulus kanan
dan simphisis kiri mandibula pada panoramik foto13
Gambar 2.14 Gambaran radiologis fr mandibula dan alveolaris 18
153
Posteroanterior foto
A B
Gambar 2.15 A. Pencitraan fraktur kondilus kiri pada Posteroanterior foto; B.
Pencitraan fraktur korpus mandibula dan angulus kiri pada posteroanterior foto15
Lateral oblique foto
Gambar 2.16 Pencitraan fraktur korpus dan angulus kiri mandibula
pada Lateral Oblique foto19
Reverse Towne
A B
Gambar 2.17 A. Pencitraan fraktur kondilus kiri;
B. Pencitraan fraktur korpus dan angulus mandibula kiri19
154
CT SCAN / (COMPUTERED TOMOGRAFI) SCAN
A B
Gambar 2.18 A. Pencitraan fraktur kondilus kiri dengan perobahan letak fragmen kondilus
proksimal pada CT scan potongan axial; B. Pencitraan fraktur comminuted ramus mandibula
kiri pada CT scan potongan axial19
A B
Gambar 2.19 A. Pencitraan fraktur ramus mandibula kiri pada CT scan direct coronal;
B. Pencitraan fraktur angulus kiri pada CT scan potongan sagital19
3D Imaging
Gambar 2.20 Pencitraan fraktur dengan 3 dimensi 19
155
2.8 TERAPI
Adapun tujuan yang ingin didapatkan pada perawatan fraktur mandibula
adalah18
:
1) Mendapatkan oklusi yang stabil dalam fungsi dan estetik.
2) Memperbaiki pembukaan interinsisal dan pergerakan mandibula.
3) Menciptakan pembukaan mandibula yang maksimal.
4) Meminimalisir deviasi mandibula
5) Menghasilkan artikulasi yang bebas dari rasa sakit pada saat istirahat
dan fungsi
6) Mencegah internal derangement pada TMJ sisi cedera atau sisi yang
berlawanan.
7) Mencegah komplikasi jangka panjang pada gangguan pertumbuhan.
Prinsip dasar umum dalam perawatan fraktur mandibula ialah sebagai
berikut. Evaluasi klinis secara keseluruhan dengan teliti, pemeriksaan klinis
fraktur dilakukan secara benar, kerusakan gigi dievaluasi dan dirawat bersamaan
dengan perawatan fraktur mandibula, mengembalikan oklusi merupakan tujuan
dari perawatan fraktur mandibula. Apabila terjadi fraktur mulitple di wajah,
fraktur mandibula lebih baik dilakukan perawatan terlebih dahulu dengan prinsip
dari dalam keluar, dari bawah keatas. Waktu penggunaan fiksasi intermaksiler
dapat bervariasi tergantung tipe, lokasi, jumlah dan derajat keparahan fraktur
mandibula serta usia dan kesehatan pasien maupun metode yang akan digunakan
untuk reduksi dan imobilisasi. Penggunaan antibiotik untuk kasus compound
fractures, monitor pemberian nutrisi pasca operasi.
Terapi fraktur mandibula secara garis besar dibagi menjadi dua bagian
yaitu dengan metode closed reduction (reduksi tertutup) dan metode open
reduction (reduksi terbuka)
Metode reduksi tertutup adalah suatu tindakan reduksi tertutup tanpa
melalui suatu tindakan pembukaan tulang untuk memudahkan lapang pandang
secara pembedahan. Jenis-jenis reduksi tertutup diantaranya external appliance
seperti head bandage, head gear, head frame plaster of paris, intermaxillary
fixation seperti interdental wiring fixation dan splint fixation.
156
Gambar 2.21 Head bandage16
Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara closed
reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4 minggu pada
fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu pada daerah lain dari mandibula.
Beberapa tehnik fiksasi intermaksilaris ;
a. Tehnik Gilmer ; merupakan tehnik yang mudah dan efektif tetapi
mempunyai kekurangan yaitu mulut tidak dapat dibuka untuk melihat
daerah fraktur tanpa mengangkat kawat. Kawat tersebut dilingkarkan pada
leher gigi, kemudian diputar searah jarum jam sampai tegang. Dilakukan
pada gigi atas dan bawah sampai oklusi baik. Kemudian kedua kawat atas
dan bawah digabungkan dan diputar dengan hubungan vertika maupun
silang, untuk mencegah tergelincir ke anterior dan posterior
157
Gambar 2.22 Tehnik Gilmer19
b. Tehnik eyelet (ivy loop) ; keuntungan tehnik ini bahan mudah didapat dan
sedikit menimbulkan kerusakan jaringan periodontal serta rahang dapat
dibuka dengan hanya mengangkat ikatan intermaksilaris. Kerugiannya
kawat mudah putus waktu digunakan untuk fiksasi intermaksiler
Gambar 2.23 Tehnik eyelet / ivy loop15
c. Tehnik continous loop (stout wiring) ; terdiri dari formasi loop kawat kecil
yang mengelilingi arkus dentis bagian atas dan bawah, dan menggunakan
karet sebagai traksi yang menghubungkannya
d. Tehnik erich arch bar ; indikasi pemasangan arch bar antara lain gigi
kurang/ tidak cukup untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila,
158
didapatkan fragmen dentoalveolar pada salah satu ujung rahang yang perlu
direduksi sesuai dengan lengkungan rahang sebelum dipasang fiksasi
intermaksilaris. Keuntungan penggunaan arch bar ialah mudah didapat,
biaya murah, mudah adaptasi dan aplikasinya. Kerugiannya ialah
menyebabkan keradangan pada ginggiva dan jaringan periodontal, tidak
dapat digunakan pada penderita dengan edentulous luas.
e. Tehnik Kazanjian ; dengan menggunakan kawat yang kuat untuk tempat
karet dipasang mengelilingi bagian leher gigi. Tehnik ini untuk gigi yang
hanya sendiri atau insufisiensi pada bagian dari pemasangan arch bar.
A B
Gambar 2.24 A. Essig wire; B. Interdental wiring15
Gambar 2.25 Tehnik Kazanjian15
Indikasi untuk metode reduksi tertutup adalah:18
a) Fraktur menguntungkan tanpa adanya pergeseran tempat (nondisplace
favorable fracture)
159
b) Fraktur comunitted yang luas, karena jika menggunakan open
reduction, dapat mengganggu vaskularisasi fragmen tulang yang kecil
c) Fraktur pada mandibula edentulus (tidak bergigi), karena open
reduction dapat mengganggu vaskularisasi
d) Fraktur mandibula pada anak, penggunaan open reduction dapat
merusak benih gigi atau gigi yang sedang tumbuh
e) Fraktur processus koronoidalis
f) Fraktur kondilus
Keuntungan dari reposisi tertutup adalah lebih efisien, angka komplikasi
lebih rendah dan waktu operasi yang lebih singkat. Tehnik ini dapat dikerjakan di
tingkat poliklinis. Kerugiannya meliputi fiksasi yang lama, gangguan nutrisi
karena adanya MMF, resiko ankilosis TMJ dan problem airway.
Keuntungan dari ORIF antara lain ; mobilisasi lebih dini dan
reaproksimasi fragmen tulang yang lebih baik. Kerugiannya adalah biaya lebih
mahal dan diperlukan ruang operasi dan pembiusan untuk tindakannya.
Dalam menangani fraktur mandibula umumnya digunakan lebih dari satu
modalitas sebab terdapat banyak variasi biomekanik dan problem klinis untuk
mencapai mobilitas fiksasi di regio fraktur. Ada 5 metode yang umum digunakan
yaitu dengan biocortical transfacial compression plates pada bagian inferior
dengan atau tanpa tension band plate, monocortical transoral miniplates pada
bagian superior, paired miniplates, lag screws dan noncompression stabilization
plates pada bagian inferior. Hasil yang didapatkan dari pemakaian monocortical
osteosynthesis adalah tercapainya netralisasi kekuatan tensi dan kompresi serta
rotasi pada garis fraktur sehingga diperoleh reduksi anatomis yang fisiologis,
kompresi pada fragmen fraktur dan imobilisasi yang rigid serta perbaikan
kekuatan self kompresi fisiologis.
Pada angulus mandibula, plat paling baik diletakkan pada permukaan yang
paling luas dan setinggi mungkin di daerah linea oblique eksterna. Pada regio
anterior, diantara kedua foramen mentalis, disamping plat subapikal perlu juga
ditambahkan plat lain di dekat batas bawah mandibula untuk menetralkan
160
kekuatan rotasi pada daerah simfisis tersebut. Pada daerah di belakang foramen
mentalis sampai mendekati daerah angulus cukup digunakan satu plat yang
dipasang tepat dibawah akar gigi dan diatas nervus alveolaris inferior.
Penempatan plat didaerah sepanjang tension trajectory ternyata juga
menghasilkan suatu fiksasi yang paling stabil bila ditinjau dari prinsip
biomekaniknya.
Pada bagian mandibula yang bergigi, archbar sudah cukup berfungsi
menetralkan kekuatan tension, sedangkan pada daerah angulus dan ramus
mandibula fungis tersebut baru bisa didapatkan dengan menggunakan plat yang
kecil.
Fraktur pada daerah angulus mandibula merupakan problem khusus pada
perawatan dengan menggunakan rigid internal fixation. Angulus merupakan
bagian yang sulit dicapai lewat intraoral karena adanya otot-otot pengunyah dan
otot-otot daerah suprahyoid. Batas inferior dari angulus sangat tipis dan tidak
mungkin dilakukan suatu kompresi. Adanya gigi molar 3 menyebabkan fraktur
mudah terjadi, distraksi dari kontak tulang menghambat reduksi dan vaskular dari
sisi fraktur dan dapat menjadi sumber infeksi. Penggunaan rigid internal fixation
untuk mencegah hilangnya kontrol segmen proksimal, delayed union dan
malunion yang dapat terjadi bila digunakan terapi lain.
Metode reduksi terbuka adalah suatu tindakan reduksi dengan cara
pembedahan untuk memudahkan lapang pandang. Jenis-jenis dari metode terbuka
contohnya interosseus wiring dan fiksasi dengan bone plate and screw.
Indikasi reduksi terbuka adalah19
:
Fraktur yang tidak menguntungkan pada sudut mandibula
Fraktur ini diindikasikan untuk reduksi terbuka bila fragmen proksimal
berubah tempat ke arah posterior atau median dan reduksi tidak dapat
dipertahankan tanpa intraosseus wiring, skrew dan plat.
Fraktur yang tidak menguntungkan pada bodi mandibula atau
daerah para simpisis mandibula
Otot mylohyoid, digastrikus, geniohyoid dan genioglosus dapat
menyebabkan perpindahan fragmen lebih jauh. Ketika dilakukan
161
perawatan reduksi terbuka, fraktur parasimpisis cenderung membuka
pada border inferior, dengan aspek dari segmen mandibula berputar ke
arah median pada titik fiksasi. Dengan rotasi medial dari body
mandibula, cusp lingual seluruh premolar dan molar bergerak keluar
dari kontak oklusal. Kalau konstriksi ini tidak diperbaiki, akan terjadi
inefisiensi pengunyahan dan perubahan periodontal yang buruk .
Gambar 2.26 Fraktur menguntungkan dan tidak menguntungkan19
Fraktur multipel pada tulang wajah
Pada kasus ini perawatan reduksi terbuka dari segmen mandibula
membuktikan perbaikan yang stabil
Fraktur setengah wajah dan fraktur kondilus bilateral
Pada fraktur ini salah satu kondilus yang fraktur harus dirawat dengan
reduksi terbuka untuk mempertahankan dimensi vertikal wajah. Kalau
prosedur ini tidak menyelesaikan masalah tipe wiring apapun, seperti
dari sutura frontozygomatikus ke daerah mandibula, cenderung gagal
dan memaksa fraktur setengah wajah berhimpitan dengan kondilus
yang menyebabkan profil wajah menjadi lebih pendek.
Fraktur edentolous mandibula dengan perpindahan yang hebat
fragmen fraktur
Pada fraktur ini reduksi terbuka dianggap bisa membuat kembali
kontinuitas mandibula. Tehnik ini berguna terutama pada mandibula
yang nonatropic pada saat tidak ada gigi tiruan, sehingga oklusinya
tidak menjadi pertimbangan langsung. Pada situasi ini memberikan
162
plat pada mandibula tanpa intermaxilary fixation merupakan
kemungkinan yang kuat. Ketika mandibulamenjadi atropik secara
ekstrim, harus dipertimbangkan status dari suplai darah ke tulang dan
efek dari prosedur reduksi terbuka pada kompromi vaskularisasi.
Pencangkokkan tulang harus dipeertimbangkan pada fraktur mandibula
yang mengalami atropic secara ekstrim.
Edontolous maksila dengan Fraktur mandibula
Adanya fraktur mandibula dengan edentolous maxila merupakan
kesulitan untuk dilakukan intermaxilary fixation, maka harus
dilakukan metode open reduction. Metode ini dengan fiksasi rigid
dengan fraktur mandibula akan menggantikan kebutuhan intermaxilary
fiksation. Jika diperlukan close reduction maka perlu adanya prostetik
pada maxilla, dan dapat distabilkan dengan palatal screw atau circum
zygomatic wires.
Perawatan yang tertunda dan Interposisi jaringan lunak antara
fragmen fraktur yang tidak kontak
Ketika perawatan tertunda dan jaringan lunak ada diantara fragmen
fraktur maka diperlukan metode open reduction. Alasan ditundanya
perawatan karena adanya luka kepala atau adanya masalah medis yang
serius, sehingga terjadi jaringan penghubung antara fragmen fraktur
yang menghambat osteogenesis.
Malunion
Ketika hasil perawatan fraktur mandibula yang buruk, berbagai tipe
osteotomi diperlukan untuk memperbaiki kekurangannya.
Kondisi sistemik tertentu yang merupakan kontraindikasi
intermaxillary fixation
Pada situasi dimana mandibula harus tetap bergerak, contohnya pada
pasien yang mengalami kesulitan mengontrol akibat serangan yang
tiba-tiba atau epilepsi, masalah psikiatrik dan neurologik, fungsi paru
yang harus dikompromikan, dan kelainan gastrointestinal.
Fraktur yang membutuhkan osteotomy/ Orthognathi Surgery
163
Fraktur yang membutuhkan bone graft.
Ada banyak metode perawatan fraktur mandibula dengan reduksi terbuka
diantaranya12,20
:
Pendekatan Bedah
Sebelum melakukan operasi pada fraktur mandibula, operator harus
memperhatikan sudut mulut pada lapangan operasi untuk memonitor aktifitas
nervous facialis dan untuk meyakinkan anestesiologist tidak membuat pasien
paralisis dalam waktu yang lama.
Faktor yang harus diperhatikan adalah isolasi fraktur, garis wajah dan
posisi nervous. Pendekatan bedah sendiri antara lain (Gambar 3) :
- Pendekatan submandibular
- Pendekatan retromandibular
- Pendekatan preauricular
Gambar 2.27 Insisi submandibular dan preauricular19
Pendekatan Submandibular
Pendekatan ini dikenalkan tahun 1934 oleh Risdon. Panjang incisi 4 cm
sampai 5 cm, 2 cm dibawah angulus mandibularis. Incisi kulit harus diletakkan
pada lipatan kulit untuk menghindari jaringan parut dan dibuat pada sudut yang
tepat. Lemak subkutan dan superficial fascia dipisahkan untuk mencapai
muskulus platymus. Lalu muskulus platymus dipotong untuk mencapai lapisan
superficialis pada bagian dalam fascia cervicalis, cabang mandibula marginal dan
nervus facialis terletak pada lapisan ini, sehingga sangat penting untuk diketahui.
164
Baik anterior atau posterior arteri facialis, seluruh cabangnya berinervasi
pada depressor bibir bawah, bagian belakang batas inferior dari mandibula.
Pemisahan ke tulang melewati fascia cervicalis yang dalam dengan menggunakan
nerve stimulator. Pemotongan dilanjutkan antara fascia sampai kebatas inferior
mandibula. Kelenjar submandibular dan capsulnya, akan menjadi bukti dan kutub
paling bawah dari parotis dapat ditemukan. Pemotongan dilanjutkan pada
muskulus masseter dan bagian atas nervus diretraksi. Setelah otot dilewati lalu
dipisahkan pada batas inferior untuk melihat tulang. Otot, periosteum dan jaringan
lunak dipisahkan untuk jalan melihat body, ramus, dan sisi fraktur. Jika pembuluh
darah facialis tidak dapat ditarik sempurna dapat dipisahkan dan diikat.
Submandibular nodus lympaticus dapat diidentifikasi berdekatan dengan
pembuluh darah facial. Pembukaan dapat dikurangi dan penutupan dapat
diperbaiki dengan penarikan pterygoid medialis dan ligament stylomandibular
dari batas interior dan posterior. Pembukaan lebih jauh dapat dicapai dengan
menarik sudut dan batas inferior dengan kawat atau forcep tulang. Kelenjar
submandibularis dan kapsulnya biasanya berlokasi dibagian batas inferior dari
mandibula. Kelenjar parotis biasanya di posterior ramus tetapi bisa terletak
mengelilingi sudut inferior. Kapsul keduanya harus dipisahkan selama
pemisahan. Kerusakan kelenjar dapat menyebabkan Sin loceles atau fistula
salivarius.
Pendekatan Retromandibular
Hinds dan Birroti pertama kali menerangkan pendekatan lekatan
retromandibular pada tahun 1967. Pada dasarnya pendekatan ini merupakan
variasi dari pendekatan submandibular kecuali incisinya kurang lebih 3 cm, diatas
incisi submandibular (Gambar 2.28)19
. Incisinya juga digambarkan mengikuti
sudut mandibula. Incisinya dibuat untuk memasuki parotis, masseter dan fascia
cervicalis bagian dalam. Pemisahan lalu meluas ke anterior, melalui fascia
cervicalis yang lebih dalam dengan menggunakan stimulus otot. Insisi ketulang
melewati muskulus masseter biasanya diantara margin mandibular dan cabang
buccal dari nervus facialis. Otot dan perios diinsisi melewati sudut termasuk
165
batas inferior. Jaringan lunak dan nervus kemudian ditarik ke superior. Incisi ini
memperlihatkan akses superior dari ramus dan regio subkondilus mandibula.
Gambar 2.28 Insisi retromandibular19
Pendekatan Preauricular
Insisi ini digunakan untuk melihat daerah TMJ dan dengan mudah
diperluas melewati daerah temporal. Pada insisi ini ditemukan pembuluh darah
temporalis superfisialis, yang dapat dihindari dengan menginsisi sepanjang
cartilago preauricular. Insisi dibuat kira-kira sepanjang 2,5 - 3.5 cm pada daerah
lipatan preauricular. Lipatan preauricular didapat dengan menekan telinga dan
tragus ke depan. Insisi dibuat 45 ° pada zygoma dari arah superior telinga ke arah
inferior perlekatan antara dagu dan telinga (Gambar 2.29).
Gambar 2.29 Macam-macam Insisi untuk daerah TMJ19
166
Akses Intra Oral
Simpisis dan Parasimpisis
Perawatan fraktur anterior mandibula dapat melalui incisi intraoral.
Pertama dilakukan anestesi dengan lokal anestesi dan vasokonstriktor. Bibir
ditarik dan dibuat insisi curvilinear tegak lurus permukaan mukosa. Musculus
mentalis terlihat dan harus diinsisi tegak lurus dengan tulang meninggalkan flap
dari perlekatan otot ke tulang untuk penutupan (Gambar 6).
Gambar 2.30 Akses Intra oral pada fraktur parasimpisis19
Pemotongan diteruskan ke arah subperiosteal untuk mengidentifikasikan
mental neurovascular borde dibawah premolar kedua maka daerah fraktur terlihat.
Setelah selesai perawatan fraktur muskulus mentalis dijahit dengan jahitan
terputus. Mukosa lalu ditutup, dan penggunaan adhesif bandage pada dagu untuk
mendukung musculus mentalis.
Body, Sudut dan Ramus
Setelah dilakukan anestesi, dagu ditarik ka arah lateral. Mukosa diinsisi
dengan pisau tegak lurus terhadap tulang untuk menjauhi nervus mentalis. Insisi
dibuat kurang lebih 5 mm dari mukogingival junction untuk mendapatkan
stabilitas jaringan ketika penutupan. Bagian proksimal dari insisi harus
disepanjang external oblique ridge, setinggi oklusal plane mandibula.
167
Internal fiksasi
Untuk Pasien fraktur yang hanya mengalami fraktur yang sederhana serta
masih terdapat gigi dan oklusi yang baik, tehnik close reduction dengan fiksasi
maxillamandibular sudah cukup untuk treatment frakturnya. Untuk fraktur
multipel dan fraktur dengan pergerakan yang berat maka diperlukan penggunaan
internal fiksasi yang dikombinasikan dengan fiksasi maksilomandibular.
Gambar 2.31 Interosseus wiring15
Transosseus wiring fixation20
Metode tradisional untuk stabilisasi tulang setelah dilakukan open
reduction dengan menggunakan kawat untuk mengikat dan mengimobilisasi
tulang (Gambar 2.32). Bahan yang diperlukan adalah:
- periosteotome
- bone rongeur
- mallet, chisel, cutting wire
- bone forceps, pistol drill, key dan drill point
- stainless stell wire, 24 dan 30
Pembuatan lubang menggunakan bor berkecepatan rendah pada awalnya
lalu kecepatan makin meningkat, sambil diberikan larutan normal salin. Setelah
itu baru kawat bisa diinsersikan.
168
Gambar 2.32 Parameter pembuatan lubang dan pengikatan20
Hal yang harus diperhatikan pada penempatan penempatan lubang adalah :
a. Jarak garis fraktur pada outer cortex
b. Jarak ke batas bawah
c. Jarak garis fraktur pada inner cortex
d. Kedekatan lubang dengan kanalis mandibularis, foramen mentalis
dan akar gigi
e. Ukuran dari lubang
f. Orientasi dari bidang fraktur ke panjang tulang
Teknik pemasukkan kawat pada fraktur :
1. Kawat langsung dimasukkan ke dalam lubang yang telah dibor
2. Kawat dimasukkan melewati hipodermic needle
3. Dengan membuat kawat seperti hairpin loop
Gambar 2.33 Teknik pemasukkan kawat20
169
Gambar 2.34 Pelindungan jaringan pada pembuatan lubang20
Gambar 2.34 Teknik simple wiring; B. Figure-of-eight wire;
C. Transosseus circum-mandibular wire 15
Fiksasi dengan Bone Plate dan Screw
Metode ini menggunakan bone plate dan bone screw untuk menyatukan
fragmen fraktur, maka fragmen fraktur akan lebih stabil dan kaku selama
penyembuhan. Walaupun menggunakan menggunakan fiksasi yang kaku
diperlukan adanya penyesuaian oklusi terlebih dahulu sebelum dilakukan fiksasi.
Plate dipasang melintang melewati garis fraktur. Jenis plate yang
digunakan bermacam-macam ada yang yang lurus dengan beberapa lubang untuk
dimasukkan screw (Gambar 11), ada juga yang membulat sehingga dapat
dipasang pada margo inferior mandibula (Luhr Mandibular Plate) Gambar 2.3517
.
170
Gambar 2.35 Luhr's Mandibular Plate17
Gambar 2.36 Penggunaan Plate dan Screw berdasarkan Champy Line 17
A B
Gambar 2.37 A. Fraktur korpus mandibula; B. Fiksasi dengan plate dan screw15
Gambar 2.38 Plat & Lag Screw17
171
Gambar 2.39 Fiksasi Intermaksiler17
Kontraindikasi penggunaan MMF ; penderita epilepsy, gangguan jiwa dan
gangguan fungsi paru.
Tolak ukur keberhasilan operasi pemasangan plat mini maupun IOID
wiring pada mandibula adalah oklusi yang baik, tidak trismus. Jangan tergesa
melakukan fiksasi sebelum yakin oklusinya sudah sempurna. Posisi plat jangan
terlalu tinggi karena sekrup akan menembus saraf/akar gigi. Permukaan tulang
bersih dari jaringan ikat dan jaringan lunak sehingga plat betul-betul menempel
pada tulang mandibula. Untuk penggunaan bor, sebaiknya arah matabor
tangensial, stabil dan arah obeng juga sesuai dengan arah bor sebelumnya.
Gunakan mata bor diameter 1.5mm dengan kecepatan rendah menembus 1
korteks dikukur kedalamannya kemudian dipasang sekrup yang panjangnya sesuai
dengan tebal satu korteks.Pemasangan sekrup dimulai dari satu sisi terlebih
dahulu kemudian menyebrang menyilang pada sisi plat satunya.
Secara umum lamanya penggunaan IMF untuk orang dewasa dengan
fraktur mandibula adalah 6-8 minggu. Namun, lamanya penggunaan IMF ini
bukan tanpa konsekuensi. Sering pasien berlanjut untuk kehilangan berat badan
172
selama masa ini, mereka tidak mampu untuk kembali bekerja dan ada beberapa
bukti yang menunjukkan adanya perubahan histologis pada TMJ. Juniper dan
Awty mampu menunjukkan 80% fraktur mandibula yang dirawat dengan open
reduction atau closed reduction dan IMF secara klinis menyatu dalam 4 minggu.
Terlihat bahwa kasus pada tiap individu harus dievaluasi secara seksama,
kebanyakan fraktur sederhana pada anak-anak menyatu dalam 2-3 minggu, pada
orang dewasa 3-4 minggu dan pada pasien yang lebih tua 6-8 minggu.
Situasi yang secara umum membutuhkan IMF yang lebih lama: fraktur
comminuted, fraktur pada alkoholik, pasien dengan problem nutrisi, pasien cacat
secara psikososial, fraktur yang terlambat dirawat, dan fraktur dengan pencabutan
gigi pada garis fraktur16
.
173
BAB III
FRAKTUR KONDILUS MANDIBULA
( Fraktur TMJ )
Fraktur kondilus merupakan salah satu fraktur yang melibatkan sendi
temporomandibula sehingga dapat menyebabkan gangguan sendi
temporomandibula. Komplikasi yang sering terjadi akibat fraktur kondilus adalah
ankylosis dan gangguan sendi temporomandibula 8,19,21,22,23
.
Penatalaksanaan fraktur kondilus memerlukan perhatian khusus dan dapat
dilakukan dengan metode tertutup atau konservatif dan terbuka atau bedah 8,19,24
.
Etiologi
Data yang diambil dari etiologi terjadinya fraktur kondilus mandibula
adalah sebagai berikut 8:
Kecelakaan kendaraan bermotor : 43%
Penyerangan/perkelahian : 34%
Kecelakaan kerja : 7%
Jatuh : 7%
Kecelakaan olah raga : 4%
Penyebab lainnya : 5%
Persentase terjadinya fraktur kondilus mandibula dibandingkan dengan
lokasi lainnya pada mandibula sebagai berikut 19
:
Body mandibula : 29%
Kondilus mandibula : 26%
Angle mandibula : 25%
Simfisis mandibula : 17%
Ramus mandibula : 4%
Prosesus koronoideus : 1%
174
Diagnosa dan gejala klinis
Jenis dan arah kekuatan trauma sangat membantu diagnosa. Obyek yang
menyebabkan fraktur juga mempengaruhi jenis dan banyaknya fraktur, apabila
obyeknya besar maka dapat menyebabkan fraktur lebih dari satu lokasi dan
sebaliknya bila kecil akan menyebabkan satu jenis fraktur karena kekuatan
impaknya hanya terkonsentrasi pada satu lokasi 19
.
Pengetahuan arah kekuatan impak dapat membantu klinisi mendiagnosa
fraktur dengan tepat. Blow anterior yang langsung mengenai dagu dapt
menghasilkan suatu fraktur kondilus bilateral, sedangkan blow ke arah
parasimfisis dapat menyebabkan fraktur kondilus kontralateral atau angle
mandibula. Seorang penderita dengan gigi-gigi yang terkunci pada saat terjadinya
impak akan menyebabkan terjadinya suatu fraktur alveolar atau gigi 19
.
Gambar 3.1. Gigitan terbuka pada fraktur kondilus25
Semua perubahan oklusi merupakan tanda adanya fraktur kondilus
mandibula. Pada pemeriksaan klinis harus ditanyakan pada penderita apakah
gigitannya terasa berbeda. Perubahan oklusi dapat dihasilkan dari fraktur gigi,
fraktur alveolar, fraktur mandibula pada semua lokasi dan trauma pada sendi
temporomandibula serta otot-otot pengunyahan. Kontak prematur gigi posterior
atau gigitan terbuka anterior dapat disebabkan fraktur kondilus bilateral atau
angle. Oklusi retrognatik biasanya berhubungan dengan fraktur kondilus atau
angle dan oklusi prognatik dapat terjadi pada sangat menonjol pada fraktur sendi
temporomandibula. Semua contoh tersebut hanya beberapa disharmoni oklusi
multiple yang muncul akan tetapi setiap perubahan oklusi harus dipertimbangkan
sebagai tanda awal suatu fraktur kondilus mandibula19
. Setiap penderita dengan
175
fraktur kondilus mandibula mempunyai keterbatasan pembukaan. Meskipun
demikian fraktur kondilus mandibula yang sesungguhnya atau berhubungan
dengan fraktur fasial menghasilkan pergerakan mandibula abnormal. Deviasi pada
saat pembukaan ke arah sisi fraktur kondilus mandibula merupakan contoh klasik
tanda fraktur kondilus. Deviasi terjadi karena otot pterygoideus lateralis yang
berfungsi pada sisi yang tidak terpengaruh tidak dinetralkan oleh otot
pterygoideus lateralisnya yang tidak berfungsi sisi berlawanan, maka terjadilah
suatu deviasi. Pergerakan mandibula lateral dapat dihambat oleh fraktur kondilus
dan fraktur ramus dengan pergeseran tulang19
.
Gambar3.2. Kiri: pergerakan normal mandibula. Kanan: pergerakan abnormal mandibula25
Gambar 3.3. Kiri: deviasi mandibula ke arah fraktur.
Kanan: efek tarikan otot pada fraktur kondilus25
176
Pada pemeriksaan klinis sebaiknya memeriksa wajah dan mandibula
dengan kontur yang abnormal, meskipun pada kontur fasial mungkin tertutupi
pembengkakan. Gambaran wajah yang memanjang diakibatkan fraktur
subkondilus, angle atau body, diikuti dengan mandibula bergeser ke bawah.
Asimetri wajah sebaiknya diperhatikan klinisi terhadap kemungkinan fraktur
kondilus mandibula.
Pemeriksaan mendalam terhadap kehilangan gigi dan tulang pendukung
dapat membantu diagnosa fraktur alveolar, body dan simfisis. Klinisi sebaiknya
melakukan palpasi dengan menggunakan kedua tangannya, dengan cara
meletakkan ibu jari pada gigi dan telunjuk pada batas bawah mandibula secara
hati-hati dan perlahan-lahan memberikan tekanan diantara kedua tangan hingga
dapat mendeteksi krepitasi fraktur19
.
Rasa sakit, kemerahan, pembengkakan dan panas yang terlokalisir
merupakan tanda yang awal yang sempurna suatu trauma dan meningkatkan
indeks kecurigaan adanya fraktur mandibula19
.
Pemeriksaan Radiologis
Penetapan diagnosis dari fraktur kondilus dapat ditegakkan dar
pemeriksaan radiologis yang sering digunakan sebagai dasar penegakan diagnosis.
Untuk melihat fraktur kondilus dapat dilakukan pemeriksaan radiolog
dengan cara: panoramik, lateral oblique mandibula, towne’s view, posteroanterior
mandibula dan transkranial mandibula. Teknik pencitraan yang lebih jauh adalah
CT scan dan MRI digunakan untuk trauma yang lebih kompleks dari kondilus26,27
.
Klasifikasi
Menurut De Riu (2001) klasifikasi fraktur kondilus disesuaikan dengan
lokasi anatomi (intrakapsuler dan ekstrakapsuler) dan derajat dislokasi kepala
artikuler. Klasifikasi fraktur kondilus menurut Lindahl (1977) didasarkan pada
beberapa faktor, yaitu: (1) lokasi anatomis fraktur, (2) relasi segmen kondilus
terhadap segmen mandibula, (3) relasi kepala kondilus terhadap fossa glenoideus.
177
Sistim klasifikasi ini memerlukan pencitraan radiografik yang diperoleh sekurang-
kurangnya dua gambar dari sudut yang tepat26
.
1. Ketinggian fraktur kondilus
a. Kepala kondilus. Meskipun sangat sulit mendefinisikan dengan tepat
kepala kondilus secara radiografik, akan tetapi sangat mudah untuk
melihat penyempitan leher kondilus dan kepala kondilus bersandar di
atasnya. Fraktur kondilus, melihat definisinya, merupakan fraktur
intrakapsular karena kapsul melekat pada leher kondilus. Fraktur ini
mungkin digolongkan sebagai fraktur vertikal.
b. Leher kondilus. Leher kondilus merupakan daerah penyempitan tipis
di bawah kepala kondilus. Fraktur ini merupakan fraktur
ekstrakapsular.
c. Subkondilus. Regio ini terdapat di bawah leher kondilus dan
memenjang dari titik terdalam sigmoid notch anterior hingga titik
terdalam aspek konkaf poterior ramus mandibula. Berdasarkan lokasi
fraktur maka fraktur ini sering disebut sebagai fraktur subkondilus
”tinggi” atau “rendah”.
2. Relasi segmen kondilus terhadap fragmen mandibula
a. Nondisplaced
b. Deviated. Pada fraktur ini, fragmen tetap dalam kontak tanpa separasi
atau
overlap
c. Displacement ke arah medial atau overlap lateral. Tarikan muskulus
pterygoideus lateral menyebabkan fragmen bergeser ke arah medial
d. Displacement ke arah anterior atau overlap posterior
e.Tidak ada kontak antara fraktur segmen
3. Relasi antara kepala kondilus dan fossa glenoideus
a. Nondisplaced. Kepala kondilus mempunyai relasi normal terhadap
fossa glenoid
178
b. Displacement. Kepala kondilus tertinggal dalam fossa, tetapi ada
gangguan sendi
c. Dislokasi. Adanya tarikan muskulus pterygoideus lateralis
menyebabkan segmen kondilus terletak anteromedial.
Gambar 3.4 Klasifikasi menurut Lindahl19
Perawatan
Perawatan fraktur kondilus mandibula masih kontroversial, terutama
disebabkan banyaknya modalitas yang ditawarkan oleh berbagai macam literatur.
Tujuan perawatan fraktur kondilus adalah mengembalikan fungsi sistim
pengunyahan seperti asalnya, rekonstruksi tersebut melibatkan hubungan antara
segmen fraktur, oklusi, keseimbangan maksilofasial. Perawatan fraktur kondilus
dapat dilakukan dengan cara konservatif atau metode tertutup dan bedah atau
metode terbuka 8,19,21,28
.
Metode tertutup atau konservatif
Fonseca (1997) menyatakan bahwa komplikasi selama perawatan
konservatif sangat jarang terjadi. Indikasi perawatan fraktur kondilus dengan
konservatif bila displacement yang terjadi minimal atau tidak ada atau bila garis
fraktur terlalu tinggi sehingga sulit dilakukan stabilisasi secara bedah21
. Perawatan
fraktur kondilus dengan cara konservatif sangat sederhana. Pengawasan yang
ketat wajib dilakukan untuk melihat ketidakstabilan oklusi, deviasi pad saat
pembukaan, peningkatan rasa nyeri, evaluasi klinis dan radiografi. Immobilisasi
melibatkan intermaxillary fixation (IMF) dengan menggunakan arch bar, eyelet
179
wires atau splint. Lamanya immobilisasi rata-rata sekitar 7 hingga 21 hari. Periode
ini dapat meningkat atau menurun tergantung pada umur penderita, derajat
pergeseran dan danya fraktur tambahan. Apabila intermaxillary fixation telah
dilepas maka diikuti dengan penggunaan elastic guidance untuk mengarahkan
mandibula pada posisi maximal intercuspation. Selanjutnya bila penderita telah
mempunyai kemampuan fungsional kembali dan oklusi tetap stabil serta rasa sakit
minimal maka elastic guidance dan arch bar dilepas19,8
.
Gambar 3.5 Pemakaian arch bar dan splint pada fraktur kondilus19
Metode terbuka atau bedah
Perawatan dengan metode terbuka diindikasikan bila 19,21,8,23
:
Displacement kondilus ke dalam fossa cranial media
Oklusi yang adekuat tidak mungkin didapatkan dengan metode
tertutup
Dislokasi kondilus ekstrakapsular lateral
Fraktur kondilus bilateral pada pasien tidak bergigi
Fraktur kondilus bilateral atau unilateral bila splinting tidak
direkomendasikan karena keadaan umum pasien atau karena
fisioterapi tidak memungkinkan.
Fraktur kondilus bilateral akibat fraktur wajah tengah comminuted
Ankylosis kondilus mandibula akibat trauma dan tertunda
perawatannya
180
Tiga teknik yang terpisah untuk fiksasi rigid pada perawatan fraktur
kondilus dengan metode terbuka, yaitu: (1) sistim bikortikal Luhr dengan
penggunaan plat vitallium, (2) sistim Arbeitgemeinschaff fur
Osteosynthesefragen/sistim Association for the Study for Internal Fixation
(AO/ASIF) dengan penggunaan stainless steel compression atau plat rekonstruksi
dengan bicortical screws dan (3) Teknik Champy miniplate digunakan sepanjang”
line of ideal osteosynthesis” memakai moncortical screws8.
Pemakaian IMF dilakukan selama 3 minggu, ikatan diperkuat tiap minggu,
setelah wires dilepas, dilakukan penilaian status sendi temporomandibula
terutama jarak pembukaan, pergerakan mandibula dan gejala-gejala yang timbul
selama sendi berfungsi. Apabila oklusi belum stabil maka penggunaan elastic
guidance selama 2-3 minggu sangat dianjurkan agar adaptasi neuromuscular
dapat tercapai. Apabila oklusi telah stabil maka elastic guidance dapat dilepas dan
fisioterapi dilakukan dengan penempatan tongue-blade diantara insisif sentral
untuk mencegah keterbatasan permanen ankylosis8,19
.
Gambar 3.6. Pemakaian monocortical screws19
Kondilektomi merupakan salah satu teknik untuk membebaskan ankylosis
dan tetap mempertahankan arsitektur sendi temporomandibula. Metode tersebut
telah banyak menunjukkan keberhasilan dan jarang menimbulkan reankylosis.
181
Fiksasi intermaksiler diaplikasikan dalam periode yang pendek, diikuti dengan
pengawasan yang ketat serta perawatan fisioterapi selama setahun19
.
Metode pendekatan yang sering digunakan untuk melakukan
kondilektomi, yaitu pre auricular approach, endaural approach, inverted
“hockey stick” approach, Risdon approach, post auricular approach8.
182
Gambar 3.7 Metode pendekatan bedah pada kondilektomi19
Gambar 3.8 Pre auricular approach26
Gambar 3.9 Post auricular dan Risdon approach26
Komplikasi
Komplikasi fraktur kondilus mandibula selama perawatan jarang terjadi
dan yang paling sering terjadi 19,21,22,8,24
:
Maloklusi
Maloklusi yang sering terjadi setelah trauma kondilus dapat disebabkan
karena perubahan dari pusat pertumbuhan kondilus dan penyatuan dari segmen
fraktur pada posisi yang tidak seharusnya.
183
Ankylosis sendi temporomandibula
Ankylosis dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keterbatasan, lokasi
perlekatan dan tipe jaringan yang terlibat. Faktor-faktor ini berpengaruh pada
pendekatan penatalaksanaan yang akan dilakukan. Hasil akhir kelainan tersebut
akan menyebabkan keterbatasan pergerakan mandibula sehingga terjadi gangguan
bicara, kesehatan mulut dan nutrisi. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
ankylosis adalah umur pada saat terjadi injuri, tempat dan tipe fraktur, lamanya
immobilisasi dan kerusakan diskus. Deviasi ke sisi fraktur dapat terjadi pada
unilateral, sedangkan pada bilateral ankylosis menunjukkan adanya gigitan
terbuka anterior dan hampir pembukaan mulut hampir tidak ada19,21
.
Gangguan pertumbuhan
Beberapa factor yang mempengaruhi efek dari fraktur kondilus terhadap
pertumbuhan kerangka wajah yaitu usia pasien, tingkat keparahan trauma, dan
lamanya immobilisasi. Kartilago kondilar merupakan pusat utama pertumbuhan
mandibula. Dimana cap kartilago memberikan tekanan sehingga mandibula
tumbuh ke arah depan dan bawah. Gangguan seperti displacement mandibula dan
aposisi tulang diregio kondilus dapat memyebabkan gangguan pertumbuhan
mandibula, demikian pula dengan pembentukan jaringan parut fibrous di daerah
cedera temporomandibular dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
Gangguan sendi temporomandibula lainnya
Internal derangement akibat fraktur kondilus dihasilakan dari trauma
langsung pada sendi. Kerusakan yang terjadi pada fraktur kondilus dapat
menimbulkan dearangement sekunder pada sendi kontralateral sehingga terjadi
overloading pada sendi yang tidak terkena injuri, hypermobility dan kadang-
kadang disk displacement. Gejala komplikasi tersebut di atas sering disebut
dengan “condylar post fracture syndrome” 19
.
184
BAB IV
PENYEMBUHAN TULANG DAN KOMPLIKASI PASCA
PENYEMBUHAN
Tulang merupakan jaringan keras yang membentuk tubuh manusia. Berat
tulang hanya sepersepuluh dari berat badan, namun demikian tulang sangatlah
kuat, elastis serta mampu melakukan regenerasi bila mengalami trauma/fraktur29
.
3.1 Gambaran Histologis Struktur Tulang
Karakteristik dari tulang mempunyai struktur yang bagian luarnya tersusun
atas tulang kompak yang disebut kortek dan pada bagian dalam yang berbentuk
seperti anyaman adalah tulang kanselus/spongious/trabecular. Pada Tulang yang
mengandung lebih banyak substansi tulang spongios dibanding tulang kompak
disebut “cancellous”, dimana tulang rahang termasuk dalam golongan tulang ini.
Urutan lapis demi lapis struktur tulang dari luar ke dalam adalah: periosteum,
substansia kompakta, substansia spongiosa, endosteum dan kavum medullare29
.
Tulang dilapisi oleh jaringan fibrous yang disebut periosteum, dimana
pada lapisan dalam periosteum terdapat pembuluh darah, limfe, dan sel-sel
osteoprogenitor yang mempunyai potensi osteogenik yang sangat berperan aktif
pada penyembuhan fraktur tulang.
Di bagian dalam tulang terdapat rongga medula/sumsum tulang, yang
dibatasi oleh endosteum yang juga mengandung sel-sel osteoprogenitor. Unit
fungsional tulang disebut juga sistem havers atau osteon yang terdiri atas kanal
havers sentral yang dikelilingi oleh lapisan konsentris tulang/lamela. Lamela
tulang yang mengelilingi kanal havers mempunyai lakuna yang mengandung
osteosit yang mengatur aktivitas selular tulang29
.
185
Gambar 4. 1. Gambaran Histologis Jaringan Tulang29
3.2 Komposisi Tulang
Komposisi tulang terdiri dari 8% air dan 92% benda padat yang tersusun
atas unsur organik, anorganik dan sel-sel tulang.
1. Unsur organik
Unsur organik yang merupakan matrik tulang tersusun dari
28% kolagen dan 5% nonkolagen protein.
2. Unsur selular
Terdapat tiga jenis sel utama tulang yaitu : Osteoblas, osteosit dan
osteoklas29
2.1 Osteoblas
Osteoblas berfungsi dalam sintesa matrik tulang yang
berperan dalam pertumbuhan, perbaikan dan remodelling tulang.
Osteoblas berasal dari sel yang terdapat pada lapisan dalam
periosteum atau dari diferensiasi sel-sel mesenkim.
2.2 Osteosit
Osteosit yang berasal dari osteoblas yang terperangkap
dalam matrik tulang yang mengalami mineralisasi. Sel ini
berperanan dalam nutrisi tulang berupa transfer oksigen dan
metabolit/ kalsium).
2.3 Osteoklas
Osteoklas merupakan sel tulang yang berfungsi dalam
resorbsi tulang. Sel ini mengandung enzim lisosim seperti asam
186
fosfat dan katepsin. Bila sel ini berkontak dengan permukaan
tulang maka akan berpenetrasi ke dalam tulang dan mengeluarkan
enzimnya sehingga terjadi resorbsi tulang.
3. Unsur anorganik
Komposisi tulang secara kimiawi terdiri dari 67% bahan anorganik
(Hydroxyapatite), dimana unsur utamanya berupa garam anorganik
hidroksiapatit kristalin, Ca10(PO4)6(OH)2. Kristal tulang ini tersusun
sejajar dengan sumbu serat kolagen.
3.3 Fungsi Tulang
Tulang mempunyai dua fungsi utama yaitu: fungsi mekanis dan biokimia.
Fungsi mekanis tulang meliputi:
1. Fungsi sebagai rangka
2. Persendian
3. Tempat perlekatan otot
4. Melindungi alat-alat tubuh penting.
Sedangkan fungsi biokimiawinya sebagai tempat penimbunan kalsium dan
fosfor dalam proses menjaga keseimbangan kadar mineral di dalam darah.
3.4 Penyembuhan Jaringan Keras Tulang
Pada proses penyembuhan fraktur tulang terdapat fase penyembuhan
primer dan sekunder, sebagai berikut :
1. Penyembuhan primer.
1.1 Penyembuhan pada celah (Gap Healing)
Meskipun fiksasi stabil pada fragmen fraktur, biasanya reduksi
anatomis yang sempurna jarang terjadi. Pada beberapa bagian segmen
tulang dapat terjadi adanya celah yang kecil. Pada bagian ini akan
terjadi proses penyembuhan dalam waktu beberapa hari setelah
fraktur. Pembuluh darah dari periosteum, endosteum dan sistem
havers akan menginvasi celah dan membawa sel-sel osteoblastik
mesenkim yang akan mendeposit tulang pada fragmen fraktur tanpa
187
melalui pembentukan kalus. Bila fragmen fraktur kurang dari 0,3mm
akan terbentuk langsung tulang lamelar. sedangkan celah antara 0,5 -
1,0 mm akan terisi oleh “woven bone” selanjutnya dalam ruang
trabekula akan terisi oleh tulang lamela. Dalam waktu 6 minggu
tulang lamelar akan tersusun tegak lurus terhadap fragmen fraktur,
kemudian proses remodeling akan merubah sejajar dengan sumbu
tulang.
1.2 Penyembuhan kontak (contact healing)
Penyembuhan kontak terjadi pada fragmen fraktur yang tidak
terjadi kontak. Proses ini terjadi melalui regenerasi tulang dimana
terjadi aktivitas osteoklas pada bagian fraktur yang menyediakan
tempat untuk pertumbuhan dan proliferasi osteoblas guna membentuk
tulang baru. Rekonstruksi lengkap dari kortek tulang memerlukan
waktu hingga 6 bulan.
Gambar 4.2. Penyembuhan primer29
2. Penyembuhan sekunder
2.1 Tahap awal
Pada fraktur tulang akan menimbulkan reaksi inflamasi
disertai dengan pengaktifan sistem pertahanan tubuh yang menginduksi
pelepasan sejumlah angiogenik vasoaktif sehingga terjadi vasodilatasi
dan oedema dalam beberapa jam. Perdarahan pada pembuluh darah
endosteum, periosteum dan sistem havers menyebabkan hematoma,
188
fragmen tulang mengalami deposit tulang oleh sel-sel osteoblas dari
periosteum, sedangkan sumsum tulang akan mengalami degenerasi
lemak. Hematoma yang terjadi mengandung eritrosit , fibrin, makrofag,
limposit, PMN, mastosit dan platelet. Platelet akan berdegranulasi
Zmelepaskan PDGF (Platelet Derived Growth Factor),
FGF(Fibroblastic Growth Factor) yang bersifat kemoatraktan dan
mitogenik sehingga dalam waktu 8 - 12 jam akan terjadi proliferasi
selular lapisan luar periosteum seperti osteoblas, fibroblas dan sel
kondrogenik (gambar 3). Terjadi pembentukan kapiler yang bersama
kolagen yang berasal dari fibroblas membentuk jaringan granulasi.
Keadaan ini memicu aktivitas sel makrofag untuk membersihkan
jaringan nekrotik15, 29,30
.
Gambar 4.3. Pase awal stage fibroplastik pembentukan tulang15
2.2 Tahap kalus kartilogenus (soft callus)
Pada hari ketiga sampai kelima jaringan granulasi akan
berkondensasi membentuk kalus yang terjadi baik internal maupun
eksternal (gambar 3), fibroblas bermigrasi dan membentuk kolagen
selanjutnya berdeferensiasi menjadi kondroblas yang membentuk
kartilago, terjadi kalsifikasi kartilago yang menyebabkan kondroblas
berubah menjadi kondrosit. Osteoblas bertambah banyak dan osteoklas
mulai nampak. Kalus yang terbentuk akan menstabilkan ujung fragmen
189
fraktur sehingga menguatkan tulang. kalus kartilagenous terisi oleh
pembuluh darah yang akan meningkatkan tekanan oksigen dan nutrisi
yang akan memacu aktivitas osteoblast15, 29,30
.
Gambar 4.4. Pase akhir stage fibroplastik pembentukan tulang15
2.3 Tahap kalus tulang (hard callus)
Proses ini terjadi dalam waktu 3 - 4 minggu. Osteoblas akan
mendepositkan osteoid pada kartilago yang mengalami kalsifikasi,
kemudian osteoid mengalami kalsifikasi menjadi tulang yang tersusun
acak (woven bone), selanjutnya berubah menjadi tulang lamela pada
tahap remodeling29,30
. Terdapat beberapa jenis kalus tulang primer,
yang dikelompokkan berdasarkan pada letak atau berdasarkan pada
fungsi dan urutan pembentuknya:
Anchoring Callus: Terbentuk jauh dari fragmen fraktur dan mendekati
ke arah bridging callus, berfungsi untuk menjamin hubungan antara
keseluruhan kalus dengan fragmen tulang. Sel-sel jaringan ikat pada
daerah ini akan berdifrensiasi jadi osteoblas dan menghasilkan
substansia spongiosa yang melekat erat dengan permukaan tulang.
Sealing Callus: Berfungsi menutupi rongga sumsum yang terbuka dan
berkembang dari bagian dalam kortek tulang, volumenya semakin
meningkat mendekati garis fraktur membentuk lepeng tulang yang
menutupi rongga sumsum. Terbentuk akibat proliferasi endosteum dan
membentuk trabekula tulang yang susunannya tidak teratur.
190
Bridging Callus: Fungsinya sebagai jembatan dari kedua fragmen
fraktur dan volumenya paling banyak jika dibandingkan dengan jenis
kalus lainnya. Saat pembentukan anchoring callus, terjadi pula
diferensiasi pada daerah bridding callus fibrokartilago, kartilago hialin,
ossifikasi (pada saat substansia spongiosa anchoring callus telah
mencapai kartilago) hingga membentuk tulang baru.
Uniting callus: Terbentuk sepanjang garis fraktur dan berfungsi
menyambungkan kedua fragmen fraktur, ossifikasi terjadi pada jaringan
ikat diantara fragmen fraktur dan juga ossifikasi tersebut dapat terjadi
secara langsung.
2.4 Tahap remodeling
Osteoklas dan osteoblas merupakan sel yang sangat
berperanan dalam remodeling tulang. Dalam remodeling akan terjadi
resorpsi tulang oleh osteoklas, selain akan dilepaskan protein
morphogenetik tulang (BMP) yang bersifat mitogenetik yang
menginduksi diferensiasi sel-sel mesenkim menjadi osteoblas untuk
pembentukan tulang sehingga kontur tulang kembali pulih29,30,15
.
3.5 Tanda-Tanda Klinis Penyembuhan Fraktur
1. Gejala hematom menghilang
2. Tidak ada rasa nyeri
3. Fragmen tidak bergerak dan tidak ada krepitasi
4. Pada daerah fraktur kalus dapat diraba sebagai masa bulat dan padat
5. Secara fungsional organ telah dapat dipergunakan tetapi masih perlu
dibatasi.
3.6 Gambaran Radiologis Penyembuhan Fraktur
Pemeriksaan radiologis penting untuk diagnosa dan membantu dalam
evaluasi perawatan, dan dilakukan sebelum perawatan, setelah reduksi dan fiksasi,
serta minimal 1 kali setiap bula selama perawatan serta foto diambil minimal dari
dua arah berbeda.
191
Gambaran radiologis proses penyembuhan: Secara klinis terjadi
penyatuan fragmen fraktur dan secara histopatologis telah terbentuk penulangan
namum secara radiologis belum tampak gambaran radioopak yang jelas.
Gambaran rdioopak nampak jika telah terbentuk kalus sekunder. Pada tulang yang
telah sembuh sempurna radiolusensi garis fraktur hilang dan diganti gambaran
radioopak yang sulit dibedakan dengan radiopasiti pad jaringan tulang normal,
nampak adanya trabekulasi sepanjang garis fraktur atau tempat penyatuan.
3.7 Biomekanik Mandibula
Mandibula memiliki mobilitas dan gaya yang sangat banyak, sehingga
dalam melakukan penanganan fraktur mandibula harus benar-benar diperhatikan
biomekanik yang terjadi. Gerakan mandibula dipengaruhi oleh empat pasang otot
yang disebut otot-otot pengunyah, yaitu otot masseter, temporalis, pterigoideus
lateralis dan medialis. Otot digastricus bukan termasuk otot pengunyah tetapi
mempunyai peranan yang penting dalam fungsi mandibula.
Pada waktu membuka mulut, maka yang berkontraksi adalah m.
Pterigoideus lateralis bagian inferior, disusul m pterigoideus lateralis bagian
superior ( yang berinsersi pada kapsul sendi) saat mulut membuka lebih lebar.
Sedangkan otot yang berperan untuk menutup mulut adalah m. Temporalis dan
masseter dan diperkuat lagi oleh m. Pterigoideus medialis. Kekuatan dinamis dari
otot pengunyah orang dewasa pada gigi seri ± 40kg, geraham ±90kg, sedang
kekuatan menggigit daerah incisivus ±10kg, molar ±15 kg.
Konsep biomekanik pada perawatan fraktur mandibula perlu dipahami
sebab keadaan statik dan dinamik dapat mempengarui proses penyembuhan
fraktur. Tujuan dari semua terapi fraktur ialah mengembalikan bentuk dan fungsi
seperti semula. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan imobilisasi
menggunakan fiksasi internal dan eksternal .
Rahang bawah memiliki bentuk anatomis yang unik, berdasarkan
arsitektur tulang, bentuk dan perlekatan ototnya mandibula dapat digambarkan
sebagai sebuah struktur yang mengubah tekanan yang diterimanya menjadi suatu
192
bentuk daya tensi dan kompresi. Kekuatan kompresi dihasilkan sepanjang daerah
basal mandibula sedangkan kekuatan tensi terdapat pada sepanjang daerah
alveolar. Aksis tranversal imajiner yang terletak kira-kira sepanjang kanalis
mandibula memisahkan prosesus alveolaris yang merupakan daerah tegangan atau
disebut dengan tension area dari daerah basal mandibula yang merupakan daerah
kompresi atau disebut dengan compression area. Pada waktu mandibula
mengalami fraktur, prinsip perawatan dilakukan dengan mempertimbangkan
kekuatan-kekuatan pada kedua sisi dari aksis imajiner tersebut, sehingga kedua
kekuatan tegangan yang berlawanan tersebut harus dinetralisir untuk mendapatkan
reduksi fungsional yang stabil.
Gambar 4.6 tension site (+) dan compression site (-) pada mandibula
Gambar. 4.7 tension line pada mandibula3
Hal ini dapat ditempuh dengan penggunaan plat dan tension bar system
yang secara individual berbeda tergantung dari lokasi dan tipe frakturnya. Secara
umum, pressure trajectory yang menghasilkan kekuatan kompresi pada
mandibula kemudain terjadi distorsi misalnya di rahang yang fraktur dapat
diperbaiki dengan pemasangan plat osteosintesis, sedangkan tension trajectory
dengan menggunakan arch bar yang berfungsi sebagai tension band. Plat sudah
cukup stabil untuk menetralkan shear dan torsional stress. Tension band
berfungsi untuk mengurangi kekuatan yang membengkokkan yang terjadi di
bagian alveolar atau kekuatan menahan yang menjauhi plat. (3,14,15,16)
193
Gambar 4.8 momentum gaya pada mandibula 11
Kekuatan torsional pada mandibula terdapat pada bagian symphisis
mandibula, hal ini disebabkan karena banyaknya muskulus dasar mulut yang
melekat pada bagian ini sehingga apabila terjadi fraktur pada bagian ini maka
dapat timbul rotasi. Stabilisasi fragmen tulang yang fraktur di regio ini digunakan
dua miniplate dengan jarak antar plat kurang lebih 5mm untuk menetralkan
kekuatan rotasi pada daerah symphisis tersebut.(17)
Selain menggunakan dua
miniplate dapat juga digunakan SNT plate untuk fraktur di regio symphisis.
Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada penyembuhan tulang adalah15
:
1. Delayed union dan nonunion
Delayed union adalah keterlambatan penyembuhan karena:
- Adanya interposisi diantara jaringan lunak diantara fragmen
- Fiksasi yang kurang baik
- Kurangnya reparatif vital dari tubuh karena gangguan sistemik
Sedangkan pada nonunion tidak terjadinya penyembuhan atau tidak
bersambungnya ujung-ujung tulang yang fraktur kecuali dilakukan
pembedahan untuk memperbaiki fraktur tersebut. Hal ini bisa disebabkan
karena :
- Fragmen-fragmen tulang tidak ditahan dengan rigid
- Fraktur dibiarkan terlalu lama
- Alat Fiksasi terlalu cepat dibuka
- Adanya jaringan lunak, serat oto, jaringan fibrous diantara fragmen tulang
194
- Gangguan sistemik atau penyakit kronis
Delayed union dan nonunion dapat terjadi pada 3 % dari kasus fraktur.
2. Infeksi
Infeksi dan osteomielitis merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.
Pada beberapa penelitian, tanpa penggunaan antibiotik dapat terjadi lebih
dari 50% kasus fraktur. Dapat disebabkan oleh faktor sistemik seperti
alkoholik dan tanpa penggunaan antibiotik, dan juga faktor lokal seperti
reduksi dan fiksasi yang buruk, tindakan debridemen yang kurang
sempurna dan sterilisasi yang kurang baik , pemberian obat-obatan yang
kurang adekuat , pasien yang kurang koopertif, penyebaran infeksi dari
jaringan sekitarnya.
Gambar 4.9. Fistula pada fraktur mandibula anterior setelah open reduction15
3. Malunion
Malunion dapat dijelaskan sebagai penyatuan fraktur tulang dimana
displacement tulang masih terlihat. Gangguan pada penyembuhan tulang
(Malunion) terjadi karena kegagalan transformasi hematoma menjadi
matrik osteogenik sehingga yang terbentuk jaringan fibrous
nonosteogenik, dapat juga disebabkan oleh :
a. Reduksi Inadekuat
Dapat disebabkan oleh distraksi fragmen fraktur oleh traksi otot atau
oleh interposisi jaringan lunak antara fragmen fraktur.
b. Fiksasi inadekuat
195
Seringkali mengakibatkan mobilitas dari fragmen fraktur sehingga
terjadi “delayed union” . bila pergerakannya melebihi ambang batas
fisiologis maka pembuluh darah kapiler akan terputus dan metabolisme
penyembuhan tulang akan terganggu karena hilangnya suplai nutrisi.
c. Infeksi
Infeksi dapat menimbulkan osteomielitis baik yang mengakibatkan
periosteum dan jaringan lunak yang berdekatan tidak berfungsi
sehingga terjadi pembentukan lapisan fibrous yang menghalangi
penyatuan tulang.
d. Vaskularisasi
Menurunnya vaskularisasi oleh karena trauma, usia, penyakit
menimbulkan reduksi tekanan oksigen yang mengganggu aktivitas
selular pada proses penyembuhan tulang.
e. Faktor sistemik
Kekurangan vitamin C dan D mengakibatkan gangguan pada
metabolisme kolagen dan proses mineralisasi tulang.
4. Injuri nervus
Injuri pada nervus alveolaris inferior biasa terjadi pada fraktur korpus dan
angulus mandibula. Kerusakan syaraf bisa disebabkan karena trauma yang
hebat pada waktu kecelakaan atau terputusnya syaraf oleh fragmen tulang.
5. Gangguan pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan yang merupakan akibat dari trauma pada kondilus
dapat diakibatkan oleh trauma langsung pada kondilus atau karena fibrosis
atau scarring dari jaringan disekitarnya.
196
Gambar 4.10 Hipoplasia mandibula akibat fraktur kondilus bilateral15
6. Trismus karena adanya fibrosis atau disfungsi atropi dari otot-otot
pengunyahan.
3.8 Lama Penyembuhan Tulang
Proses penyembuhan tulang sampai terbentuknya tulang lamela
membutuhkan waktu hingga 6 minggu. Selanjutnya pada proses remodeling
sampai terjadi rekonstruksi lengkap korteks tulang membutuhkan waktu 6 bulan31
.
197
BAB V
KESIMPULAN
Mandibula merupakan fraktur kedua yang palling sering terjadi pada
tulang maksilofasial dikarenakan posisi dan bentuknya yang membusur. Lokasi
dan pola dari fraktur dapat dibagi berdasarkan mekanisme dan arah dari trauma.
Sebagai tambahan juga usia pasien, keberadaan gigi-geligi dan karakteer fisik.
Lokasi fraktur mandibula terbanyak pada kondilus, angulus, simfisis dan
parasimfisis, korpus mandibula, segmen dento alveolar, ramus, dan prossesus
koronoideus.
Restorasi fungsi mandibula sebagai bagian dari sistem stomatognati harus
mencakup kemampuan untuk mastikasi yang baik, berbicara dengan normal dan
menciptakan pergerakan artikulasi seperti sebelum terjadinya trauma. Hal ini
dapat dicapai dengan pemilihan modalitas yang tepat, tehnik operasi yang benar
terutama dalam pencapaian oklusi mandibula, serta perawatan pasca operasi dan
rehabilitasi. Dalam tatalaksana fraktur mandibula perlu dipahami biomekanik
mandibula sehingga dapat diperkirakan letak fiksasi yang benar dan didapatkan
hasil yang memuaskan.
Perawatan fraktur mandibula terdiri dari dua macam yaitu dengan
menggunakan metode tertutup atau dengan menggunakan metode terbuka Harus
diperhatikan indikasi dan kontra indikasi bila akan dilakukan perawatan fraktur
mandibula dengan metode terbuka. Pemberian diet yang tepat dapat menjaga
kesehatan pasien.
Pengelolaan fraktur kondilus mandibula harus sesegera mungkin
berdasarkan diagnosa yang akurat sehingga dapat mengurangi atau
menghilangkan komplikasi yang akan timbul
198
DAFTAR PUSTAKA
1. Ajmal S, Khan M. A, Jadoon H, Malik S. A. 2007. Management protocol of
mandibular ractures at Pakistan Institute of Medical sciences, Islamabad,
Pakistan. J Ayub Med Coll Abbottabad. Volume 19, issue 3. Available at
http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/PAST/19-3/13%20Samira%20Ajmal.pdf
last update 12 Desember 2010
2. Adams G. L, Boies L. R, Higler P. A, 1997. Boies Buku Ajar penyakit THT.
Edisi 6. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
3. Snell R. S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6.
Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
4. Laub D, R.2009. Facial Trauma, Mandibular Fractures. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1283150-overview last update 12
Desember 2010
5. Soepardi E A, Iskandar N. 2006. Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher. Bab VII, hal 132-156. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia. Jakarta
6. Thapliyal C. G, Sinha C. R, Menon C. P, Chakranarayan S. L. C. A. 2007.
Management of Mandibular Fractures. Available at
http://medind.nic.in/maa/t08/i3/maat08i3p218.pdf. last update 12 Desember
2010.
7. Sjamsuhidajat, Jong W D. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
8. Barrera J. E, Batuello T. G. 2010. Mandibular Angle Fractures: Treatment.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/868517-treatment. last
update 21 Desember 2010
9. Sugiharto Setyo, Hardjowasito Widanto,1996. Penanganan Fraktur
Mandibula pada Anak dengan pemasangan Arch-Bar., Majalah
Kedokteran Unibraw; 12:39-41.
199
10. Wijayahadi R Yoga, Murtedjo Urip, et all. 2006. Trauma Maksilofasial
Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Surabaya, Divisi Ilmu Bedah Kepala &
Leher SMF/Lab Ilmu Bedah RSDS/FK Unair Surabaya:25-26, 58-63, 71-71,
89-95, 98,100,125-132
11. Keith L Moore. 1996. Clinically Oriented Anatomy, 3rd
, William-Wilkins
hal:143-148
12. Okeson JP,1993, Functional anatomy and Biomechanics of the masticatory
system, In management of temporomandibular disorder and occlusion,
Okeson Jeffrey P, Mosby, St Louis 13-21
13. Pedlar, J and Frame J.W.2001. Oral and Maxillofacial Surgery. Edinburg:
Churchill Livingstone.
14. Peterson, L.J. et al. 2004. Principle’s of Oral and Maxillofacial Surgery. 4th
ed. St. Louis: Mosby.
15. Pedersen, G.W.1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Edisi 1.
Philadelphia: W.B. Saunders Co.
16. Fonseca, R.J. et al.2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. Vol. 2. St
Louis: Elsevier.
17. Booth, P.W. et al.2007. Maxillofacial Surgery. 2nd ed. Vol. 2. St. Louis:
Churchill Livingstone.
18. Fonseca , R.J., et all. 1997. Oral and Maxillofacial Trauma. Second ed. WB
Saunders Co. Philadelphia
19. Peterson: et al. 1997. Oral and Maxillofacial Surgery. Third ed. Mosby Co.
St Louis.
20. David DJ. 1995. Craniomaxillofacial Trauma. London. Churchill
Livingstone. Hal : 270-283.
21. Widell T. 2001. Fractures Mandible. Vol 2, eMedecine Journal. Hal: 1-16
22. Tucker, SR. 2002. Ankylosis of TMJ. Oral and Maxillofacial Surgery
eJournal. Hal:1-3
23. Chaudhary A 2002. Temporomandibular Joint Syndrome.Vol 3. eMedecine
Journal. Hal: 1-9.
200
24. Schultz RC. 1988. Facial Injuries. London. Year Book Publishers,Inc. Hal:
386-404.
25. Bramley, P. Norman, JE. 1990. A Textbook and Colour Atlas of the
Temporomandibular Joint, Diseases, Disorders, Surgery. London. Wolfe
Medical Publications Ltd. Hal: 26-51.
26. De Riu G., Gamba U., Anghinoni M., Sesenna E.2001. A comparison of
open and closed treatment of condylar fractures: a change in philosophy.
Int J Oral Maxillofac Surg.; 30: 384 – 389
27. Goldman KE. 2002. Fractures Mandible, Condylar and Subcondylar. Vol 2.
Hal :1-13.
28. Nanci A., Whitson SW., Bianco P. 2003. Bone In Ten Cate’s Oral Histology.
6thed St. louis. Mosby. p. 111-44
29. Cross AR.,Lewis DD. Fracture Management Bone Healing and Grafting.
Fundamental of Ortopedic Surgery.
30. Feinberg SE., Larsen PE.1991. Oral and Maxillofacial Trauma. Philadelphia.
WB. Sounders Co.
201
Fraktur Maksila (Le fort I, II, III)
Nurwahida
160121120008
Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Bedah Mulut Dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung
Abstrak : Suatu trauma yang mengenai bagian tengah wajah, biasanya dapat
menyebabkan jejas atau fraktur pada maksila dan tulang-tulang di sekitarnya. Pola
fraktur yang terjadi pada maksila biasanya mengikuti area terlemah pada
kompleks midfasial. Le Fort mengklasifikasi pola fraktur pada maksila menjadi
fraktur Le Fort tipe I, II, dan III, tergantung pada organ-organ yang terlibat.
Penanganan dan rehabilitasi pasien dengan trauma pada maksila meliputi
pemahaman terhadap jenis, evaluasi, dan perawatan bedah pada wajah. Maksud
dari penyusunan makalah ini adalah untuk menggambarkan mengenai tipe-tipe
fraktur pada maksila, pemeriksaan, serta penanganannya agar diperoleh hasil
pemulihan yang optimal.
Kata kunci: Fraktur, Le Fort, trauma, reduksi, fiksasi.
202
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur maksila adalah suatu keadaan dimana hilangnya kontinuitas dari
tulang maksila dengan tulang pendukung disekitarnya ataupun dengan bagian –
bagian dari tulang masksila itu sendiri. Fraktur ini termasuk yang serius karena
menyangkut struktur penting lainnya yang berdekatan seperti rongga hidung,
sinus maksilaris, rongga mata bahkan dapat melibatkan kerusakan di otak baik
secara primer maupun sekunder dari penyebaran infeksi. Fraktur yang disebabkan
trauma ini bisa terlokalisir atau muncul dalam kombinasi- kombinasi.1
Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor
bersama-sama dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada
palatum durum dan mole. Pada regio anterior cabang terminal dari arteri naso
palatinus keluar pada foramen insisivus dan mereka mensuplai mukoperiosteum
dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui divisi kedua dari
nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infra orbital dan kemudian
berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior dan regio palpebral
inferior, termasuk juga mensyarafi labial dan gigi-gigi anterior.2
Fraktur pada daerah ini mempunyai gambaran yang unik dibandingkan
dengan injury pada bagian tubuh yang lain seperti :
1. Melibatkan jalan nafas, yang harus dilakukan tindakan cepat dan langsung.
2. Menampilkan oklusi gigi, yang dapat membantu sebagai pedoman dalam
mengembalikan perlekatan dan stabilisasi fraktur.
3. Terdapat suplai darah yang sangat bagus ke wajah, sehingga membantu
dalam proses penyembuhan yang cepat.
203
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI MAKSILA
Midfasial menghubungkan basis kranii dengan dataran oklusal. Ia
menyediakan pondasi kepada proyeksi fasial anterior sambil memberikan
perlindungan kepada basis tengkorak dan berperan sebagai jangkar kepada
ligamen fasial dan perlekatan otot. Tulang midfasial terdiri dari rangkaian
penebalan vertikal, sagital dan horizontal yang menutupi sinus.3
Gambar 1. Disartikulasi tulang midfasial menggambarkan anatomi maksila,
zigoma, tulang nasal, dan septum nasal.4
Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor
bersama-sama dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada
palatum durum dan mole. Pada regio anterior cabang terminal dari arteri naso
palatinus keluar pada foramen insisivus dan mereka mensuplai mukoperiosteum
dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui divisi kedua dari
nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infraorbital dan kemudian
berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior dan regio palpebral
inferior, termasuk juga mensyarafi labial dan gigi-gigi anterior.2
Kompleks midfasial dilengkapi oleh struktur dukungan vertikal untuk
menahan tekanan dari bawah. Midfasial secara efektif menyerap, melawan dan
mengusir tekanan infrasuperior melalui beberapa tahanan. Tetapi midfasial tidak
204
dilengkapi dengan kemampuan menahan tekanan dari lateral dan frontal. Struktur
dukungan vertikal pada midfasial terdiri atas pilar nasomaksilaris (medial),
zygomaticomaxillary (lateral) dan pterygomaxillary (posterior). Pilar
nasomaksilaris memanjang dari apertura piriformis dari kaninus dan anterior
maksila melalui prossesus frontalis dari maksila dan naik ke cerukan lakrimal dan
dinding medial orbita ke os frontalis. Pilar zygomticomaxillary memanjang tulang
alveolaris di atas molar I maksila melalui korpus zygoma naik ke prossesus
frontalis dari zygoma ke os frontalis. Pilar medial dan lateral memberikan tahanan
anterior. Sisi posterior, pilar pterygoid mengubungkan maksila ke lempeng
pterygoid dari os sphenoidalis dan memberikan stabilisasi kepada dataran vertikal
dari midfasial. Pilar midfasial horizontal meliputi rima orbita superior dan anterior
juga palatum durum. Lengkung zygoma menyediakan satu-satunya pilar sagital,
memandang midfasial mudah untuk kolaps dan mudah bergeser pada segmen
sentral.3 Dukungan superior pada pilar ini adalah arkus yang dibentuk oleh rima
orbita superior dan inferior dan arkus zygomaticus.2
Gambar 2. Pilar vertikal dan pilar horizontal, serta pilar sagital (S1).3
Gambar 2 menunjukan pilar vertikal terdiri dari pilar medial atau
nasomaksilari (V1), pilar lateral atau zigomatikomaksilari (V2), dan pilar
posterior atau pterygomaxillary (V3) yang berfungsi menahan tekanan kepada
basis kranii. Pilar horizontal meluas sepanjang rima supraorbita (H1), rima
infraorbita (H2) dan prossesus dentoalveolar dan palatum (H3), memberikan
205
dukungan struktural kepada fungsi dari mata, hidung dan mulut. Lengkung
zygoma berfungsi sebagai satu-satunya pilar sagital (S1).3
Rekonstruksi defek struktur midfasial membutuhkan rekonstruksi dari
pilar-pilar ini untuk mengembalikan pola tahanan normal pretrauma dan
parameter biomekanikal yang penting untuk mempertahankan integritas struktur
skeletal. Penebalan-penebalan tulang ini memberikan tempat untuk aplikasi pelat
fiksasi guna memastikan dukungan dan penyembuhan yang maksimal.3
II. ETIOLOGI
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu faktor
predisposisi dan faktor luar.
A. Faktor predisposisi:
Yang dimaksud dengan faktor predisposisi adalah faktor yang dapat
menimbulkan fraktur selain dari faktor utama. Seperti penyakit yang berupa
infeksi periapikal, kista, tumor, osteomielitis. Penyakit ini biasanya menyebabkan
tulang menjadi rapuh ataupun melunak. Bila resorbsi tulang meluas akibat
penyebaran penyakit ini maka dapat terjadi patah tulang spontan tanpa trauma.
B. Faktor utama
Faktor utama terjadinya fraktur pada tulang maksila adalah disebabkan
oleh trauma baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Trauma dapat
menyebabkan terjadinya fraktur secara langsungt maupun tidak langsung.
1. Trauma langsung adalah apabila fraktur terjadi pada bagian
yang terkena trauma.
2. Trauma tidak langsung adalah apabila fraktur terjadi pada
tempat yang
jauh dari lokasi trauma.
III. EPIDEMIOLOGI
Penyebab utama dari fraktur maksila adalah kecelakaan lalu lintas (60%),
perkelahian (24%), jatuh (9%), kecelakaan kerja (4%), olah raga (2%), luka
tembakan (2%). Tanpa termasuk fraktur nasal, wajah tengah terlibat pada 40%
206
dari seluruh kasus. Para ahli sepakat bahwa distribusi frekuensi fraktur Le Fort
yaitu tipe II > tipe I > tipe III, dimana Le Fort I mencapai 30 %, Le Fort II
mencapai 42%, dan Le Fort III mencapai 28% dari seluruh kasus Le Fort.
Kejadian cedera bersamaan dengan trauma kepala (50%), cedera servikal (10%),
cedera abdominal (15%), cedera skeletal (30%) ditemukan pada pasien dengan
fraktur midfasial.3
IV. KLASIFIKASI FRAKTUR MAKSILA
Klasifikasi fraktur maksila dapat dibedakan menurut jenis frakturnya dan
lokasi dari fraktur pada daerah tulang maksila itu sendiri.2
A. MENURUT JENISNYA.
Fraktur maksila dapat dibedakan atas jenis- jenis atau bentuk dari fraktur itu
sendiri.yaitu:
1. Single fracture : Fraktur yang memiliki satu garis
fraktur saja atau disebut juga fraktur tunggal.
2. Multiple fracture : Fraktur yang melibatkan dua atau lebih garis fraktur
pada tulang yang sama dan masing-masingnya saling tidak berhubungan.
3. Simple fracture : Fraktur yang tidak menyebabkan luka terbuka atau
tidak berhubungan dengan lingkungan luar, yaitu melalui mukosa, jaringan
periodontal atau kulit (closed fracture).
4. Compound fracture : Fraktur dengan luka terbuka yang melibatkan
kulit, mukosa atau jaringan periodontal untuk berhubungan dengan dunia
luar (opened fracture).
5. Comminuted fracture : Fraktur yang menyebabkan tulang hancur atau
splintered. Tulang pada fraktur ini pecah menjadi fragmen-fragmen yang
kecil.
6. Complicated fracture : Fraktur yang melibatkan jaringan lunak
sekitarnya atau bagian sekitarnya ikut menjadi rusak, dan fraktur ini dapat
terbuka atau tertutup.
7. Impacted fracture : Fraktur yang menyebabkan fragmen tulang yang
satu tertekan masuk kesisi fragmen fraktur yang lainnya.
207
8. Incomplete fracture : Fraktur dimana tulang tidak patah sama sekali atau
tidak putus, terjadi pada tulang yang kalsifikasinya belum sempurna,
seperti tulang anak-anak.
9. Displaced fracture : Fraktur yang mengalami perubahan letak dari garis
frakturnya sendiri
10. Distracted fracture : Fraktur yang mengalami dislokasi dari segment-
segment fraktur atau perubahan letak tanpa merusak jaringan sekitarnya.
Fraktur pada maksila dapat terjadi salah satu dari jenis fraktur diatas tetapi
juga bisa berupa kombinasi dari bermacam – macam fraktur serta dapat
melibatkan fraktur pada tulang lainnya yang berdekatan dengan maksila.
B. MENURUT LOKASINYA
Sedangkan menurut lokasi terjadinya fraktur tersebut telah banyak
klasifikasi dibuat olah para ahli seperti:
1. Menurut THOMA tahun 1969
Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu:
Fraktur prosesus alveolaris dan prosesus palatine
Fraktur horizontal (Transverse maxillary fracture, Horizontal
maxillary fracture, Guerin Fracture, Le fort I fracture)
Fraktur trasversal yang menyangkut orbital, tulang zygoma dan
tulang hidung. (Transverse facial fracture, Craniofacial
disjunction fracture)
Fraktur pyramidal yang menyangkut tulang-tulang hidung dan
maxilla.
2. Menurut GUSTAV O. KRUGER. Tahun 1984
Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu :
Fraktur Horizontal ( Le fort I )
Seluruh maksila terpisah dari dasar tengkorak, garis fraktur
terdapat diatas palatum tetapi dibawah perlekatan prosesus
zygomaticus. Fraktur ini dapat terjadi unilateral tetapi berbeda
208
dengan fraktur prosesus alveolaris karena pada fraktur alveolaris
tidak disertai dengan perluasan kedaerah garis tengah palatum
Fraktur Pyramidal ( Le fort II )
Garis fraktur melalui aspek fasial maksila, meluas kebagian atas
tulang hidung dan tulang ethmoid biasanya sinus maksilaris ikut
tersangkut, begitu juga tulang zigoma dapat terlibat
Fraktur Tranversal (Le fort III)
Garis fraktur meliputi daerah mata, daerah tulang hidung dan
tulang ethmoid terus ke arcus zygomaticus, sehingga dinding
samping tulang mata terpisah melalui sutura zygomaticofrontalis
Fraktur Multiple
Merupakan kombinasi dari ketiga macam fraktur diatas.
3. Menurut ARCHER
Fraktur maksila cukup dibagi atas 2 golongan saja yaitu:
Fraktur dimana sebagian tulang maksila ataupun seluruh tulang
maksila beserta beberapa gigi terpisah dari badan tulang maksila (
Le fort I )
Fraktur dimana seluruh tulang maksila bagian atas terpisah dari
tulang – tulang dasar tengkorak sebagai suatu unit tunggal atau
multiple.
4. Menurut LE FORT :
Fraktur Le fort adalah fraktur bilateral horizontal dari rahang atas dan
dibagi menjadi 3 jenis Le fort fraktur.
Le fort I ( Fraktur Guerin, Transverse maxillary fracture, Floating
maxilla, Horizon maxillary fracture )
Garis fraktur melintang melalui bagian atas dari prosesus
alveolaris, melibatkan sebagian dari dinding sinus maksilaris,
palatum dan bagian bawah dari prosesus pterygoideus dan tulang
sphenoid
Le fort II ( Pyramidal fracture )
209
Garis fraktur melalui tulang lakrimal, bagian bawah mata, melalui
dasar mata berjalan terus kebagian bawah sesuai dengan dinding
lateral dari maksila melalui pterygoid plate terus ke fossa
pterygomaxilla. Berbentuk kerucut makanya disebut fraktur
pyramid.
Le fort III ( Transverse facial fracture, Craniofacial disjunction )
Garis fraktur melalui sutura zygomatiko frontal, maksilo frontal
dan nasofrontal. Garis fraktur terus ketulang ethmoid dan
sphenoid, pada fraktur ini maksila hanya terikat oleh jaringan lunak
terhadap tulang-tulang dasar tengkorak.
5. Menurut KILLEY.
Pembagian fraktur rahang atas ini berdasarkan lokasinya menjadi 5
macam.
Klas I : Fraktur pada kompleks zygomaticus
Klas II : Fraktur pada kompleks nasalis
Klas III : Fraktur Le Fort I
Klas IV : Fraktur Le Fort II
Klas V : Fraktur Le Fort III
6. Menurut IVY dan CURTIS:
Fraktur maksila hanya mengenai prosesus alveolaris.
Fraktur pada muka mulai diatas akar gigi sampai palatum durum (
unilateral )
Fraktur terjadi horizontal dan bilateral yaitu diatas palatum dan
dibawah orbita.
Extensive comminuted fraktur, suatu fraktur yang terjadi dibagian
atas maksila disertai dengan fraktur pada tulang nasalis dan tulang-
tulang lain disekitarnya.
7. Menurut CLARK:
Fraktur pada prosesus alveolaris maksila
210
Punch type fracture disebabkan karena tembakan sehingga terjadi
luka pada tulang yang bergerigi terjadi pada satu atau lebih tulang
yang tipis.
Fraktur dimana setengah bagian dari tulang maksila dipisahkan
dari cranium
Seluruh tulang maksilla dipisahkan dari karnium disebut juga
Floating Maksila karena maksila seperti terapung terlepas dari
cranium.
Pada fraktur seperti ini dapat berupa ;
1. Transverse fracture
2. Pyramidal fracture
3. Transverse facial fracture.
8. Menurut ERICH dan AUSTIN :
Horizon fraktur, garis fraktur melintas secara horizontal pada
kedua antrum dan cavum nasalis.
Pyramidal fraktur, garis fraktur melintas pada kedua orbita dan
hidung
Transverse facial fracture, garis fraktur melintas pada kedua orbita
dan bagian atas cavum nasalis.
9. Menurut MEAD :
Membagi fraktur maksila berdasarkan lokasinya menjadi 3 macam:
Partial fracture, yaitu fraktur dengan beberapa gigi pada tiap
fragmen tulangnya
Complete fracture.
Partial or complete fracture pada kasus yang edentulous.
211
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapatlah disimpulkan bahwa
pada prinsipnya fraktur maksila dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur pada prosesus alveolaris.
Yaitu fraktu yang terjadi pada tulang maksila yang meliputi daerah
alveolranya saja tanpa melibatkan tulang pendukung yang lain dan tanpa
diikuti terputusnya hubungan tulang maksila dengan tulang nasal atau
basis cranial.
2. Vertical fracture
yaitu fraktur pada rahang atas yang meliputi palatum durum, sedangkan
garis fraktur sendiri berjalan vertikal atau disebut juga fraktur Unilateral.
3. Fraktur Le Fort I
Fraktur ini disebut juga Fraktur Guerin, Low Level Fracture, Tranverse
Maksila Frakture, Horizontal Frakture, Floating Maksila. Dapat terlihat
arah frontal dari maksila yang melibatkan struktur maksila dari plat
pterygoid, nasal dan zygomatik. Tipe ini dapat melibatkan maksila secara
tersendiri dan terpisah dari struktur lain dengan diikuti terputusnya sutura
palatina atau fragment maksila.1
Fraktur Le Fort I merupakan hasil benturan yang terjadi diatas
level gigi. Fraktur yang terjadi mulai dari batas lateral sinus pirimormis,
berjalan sepanjang dinding antral lateral, belakang tuberositas maksilaris,
dan melewati pteriogoid junction. Septum nasal dapat terjadi fraktur, dan
kartilago nasal mungkin terkena. Karena tarikan baik dari otot pterigoid
eksternal dan internal, maksila dapat berada pada posisi posterior dan
inferior. Pada fraktur ini, biasanya tampak open bite klasik.2
212
Gambar 3. Fraktur le fort I. 1
4. Fraktur Le Fort II
Fraktur piramidal/subzigomatik yang menyebabkan terpisahnya
wajah tengah pusat dari kompleks orbitozigomatikus.3
Fraktur Le Fort II terjadi akibat benturan yang didapat pada level
tulang nasal. Fraktur terjadi sepanjang sutura nasofrontalis, melalui tulang
lakrimalis, dan melewati garis infraorbita pada area sutura
zigomatikomaksilaris.2
.Gambar 4. Fraktur Le Fort II. 1
213
5. Fraktur Le Fort III
Fraktur pada daerah ini disebut juga supra zygomatic fraktur,
dihasilkan oleh suatu tekanan yang besar pada level superior yang dapat
memisahkan naso orbital eithmoid komplek, zygomaticus dan maksila dari
basis cranial atau disebut juga pamisahan craniofasial.1 Sedangkan
menurut Le fort fraktur ini disebut juga Transverse facial fracture,
Craniofacial disjunction. Dimana garis fraktur melalui sutura zygomatiko
frontal, maxillo frontal dan nasofrontal. Garis fraktur terus ke tulang
ethmoid dan sphenoid. Pada fraktur ini maxilla hanya terikat oleh jaringan
lunak terhadap tulang-tulang dasar tengkorak.
Gambar 5. Fraktur Le Fort III.1
V. PEMERIKSAAN DAN GEJALA KLINIS
1. Pemeriksaan Awal / Primary Survey
Evaluasi awal dan penatalaksanaan yang menyeluruh seringkali
menentukan apakah pasien mampu bertahan dari trauma mereka. Jejas pada
kepala dan leher seringkali melibatkan jalan nafas dan pembuluh utama; oleh
karena itu resusitasi ABC harus dilakukan secara ketat pada tahap awal
pemeriksaan dan penatalaksanaan pasien dengan fraktur maksilofasial. Setiap
214
pasien yang datang dengan jejas trauma, perhatian pertama harus ditujukan
langsung pada evaluasi menyeluruh. Selama pemeriksaan awal, jejas yang
membahayakan hidup dan kondisi medis sistemik harus dievaluasi secara tepat.
Pasien dengan jejas pada wajah sebaiknya diperkirakan memiliki jejas lain yang
berhubungan, tergantung dari insidensi trauma.5
A. Airway (Jalan Nafas)
Yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing., fraktur
tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha
untuk membebaskan airway, harus melindungi vertebra servikal. Hal ini dapat
dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat
berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian
ulang terhadap airway tetap harus dilakukan.
Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa
tidak bleh melakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya
kelainan vertebra servikalis didasarkan riwayat perlukaan. Dalam keadaan
kecurigaan fraktur servikal fraktur servikal harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat
imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara, maka untuk kepala harus dilakukan
imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai dipakai sampai
kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.
B. Breathing (Pernafasan)
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi
dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi
dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
menggangu ventilasi.
215
C. Circulation (Sirkulasi)
Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan eksternal
dihentikan dengan penekanan pada pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan
dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia.
D. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Banyak pasien yang mengalami injuri fasial mengalami
hilang kesadaran. Kesemua pasien ini, walaupun hanya pingsan dalam waktu yang
singkat, harus diperiksa secara keseluruhan dengan Skala Koma Glagow (GCS)
dan dikonsulkan ke bagian bedah syaraf.
Tabel 1. Skala koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) untuk evaluasi
cedera kepala.6
Skor Mata (E) Verbal (V) Motorik (M)
1 Respon (-) Respon (-) Respon (-)
2 Terbuka karena
rangsang sakit Tidak dipahami Ekstensi
3 Terbuka bila diminta Tidak tepat Fleksi
4 Terbuka spontan Bingung Gerakan tidak spesifik
5 - Bercakap-cakap Menunjukkan tempat
yg sakit
6 - - Bisa melakukan
perintah
E. Exposure environmental control
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara
menggunting guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka
216
harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan
intravena yang sudah dihangatkan.
Langkah pertama yaitu memastikan pasien memiliki jalan nafas yang baik
serta ventilasi yang adekuat. Tanda klinis, termasuk respirasi, nadi, dan tekanan
darah sebaiknya diperiksa dan dicatat. Selama pemeriksaan awal, masalah lain
yang dapat mengancam kehidupan, seperti perdarahan eksesif, sebaiknya
diperiksa. Penanganan awal, seperti gigit tampon, sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin. Selanjutnya pemeriksaan status nerologis pasien dan evaluasi spina
servikalis pasien. Benturan yang cukup berat yang dapat menyebabkan fraktur
pada tulang wajah biasanya tersalurkan ke spina servikalis. Leher harus
diimobilisasi sementara hingga jejas pada leher dikatakan baik.1
Perawatan terhadap jejas kepala dan leher biasanya dilakukan setelah
didapat evaluasi menyeluruh, pemeriksaan, dan stabilisasi pasien. Bagaimanapun,
beberapa perawatan awal seringkali penting untuk kestabilan pasien. Seringkali,
fraktur pada tulang wajah yang berat dapat mengurangi kemampuan pasien dalam
menjaga jalan nafas.1
Jejas pada daerah wajah tidak hanya melibatkan tulang wajah tapi juga
jaringan lunak, seperti lidah atau daerah leher atas, atau dapat berhubungan
dengan jejas seperti fraktur laring. Pada beberapa kasus, perlu dilakukan
trakheostomi untuk memberikan jalan nafas yang adekuat. Pada pasien trauma
dengan obstruksi jalan nafas atas komplit, krikotirotomi merupakan cara paling
cepat untuk mengakses trakea.1
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali
dan resusitasinya harus dilakukan pada saat itu juga. Penyajian primary survey
diatas adalah dalam bentuk berurutan sesuai dengan prioritas dan agar lebih jelas,
namun dalam prakteknya hal-hal diatas sering dilakukan berbarengan.7
2. Pemeriksaan Riwayat dan Klinis
a. Pemeriksaan Riwayat Penyakit
Setelah pasien stabil, dapatkan riwayat selengkap mungkin. Riwayat ini
sebaiknya diperoleh dari pasien, tetapi karena kehilangan kesadaran atau status
217
nerologi, informasi harus diperoleh dari anggota lain yang mendampingi. Lima
pertanyaan penting yang sebaiknya dipertimbangkan:
1. Bagaimana kejadiannya terjadi?
2. Kapan kejadiannya terjadi?
3. Apakah spesifikasi jejasnya, termasuk jenis benda yang berkontak,
pertimbangan logistik?
4. Apakah terjadi penurunan kesadaran?
5. Gejala apa yang sekarang sedang dirasakan oleh pasien, termasuk nyeri,
perubahan sensasi, perubahan visual, dan maloklusi?
Informasi lengkap, termasuk mengenai alergi, pengobatan, dan imunisasi
tetanus terdahulu, kondisi medis, dll.1
Mendapatkan riwayat yang adekuat dari korban trauma adalah sulit,
karena biasanya mereka tidak mampu memberi respon dengan baik. Keadaan
tidak sadar (koma), syok, amnesia merupakan hambatan yang sering terjadi dalam
menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan adalah
keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi atau pekerja pada unit gawat
darurat. Tanggal, waktu, tempat kejadian dan peristiwa khusus dicatat. Apabila
cedera disebabkan oleh kecelakaan mobil, apakah si korban yang menyetir, atau
sebagai penumpang, apakah korban memakai sabuk pengaman? Apakah pasien
merupakan korban tindak kejahatan dengan senjata tertentu? Apakah pasien
jatuh/tidak sadar? Kondisi medis resiko tinggi, alergi dan tanggal imunisasi
tetanus juga dicatat. Adanya tanda-tanda kecanduan alkohol dan obat-obatan,
dicatat karena tingkat kesadaran dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi
mengenai waktu makan dan minum yang terakhir sangat penting apabila akan
dilakukan anestesi umum.6
b. Pemeriksaan Klinis
Fraktur midfasial biasanya didiagnosa secara klinis dan dikuatkan dengan
pemeriksaan radiologis. Sejumlah faktor bisa membuat pemeriksaan klinis
menjadi sulit, termasuk kehadiran edema fasial, epistaksis, maksila yang tumpang
tindih atau bahkan pasien yang tidak sadar atau tidak kooperatif.3
218
1. Pemeriksaan Ekstraoral
Pemeriksaan pada area fasial harus dilakukan dalam teknik yang
terorganisir dan berkelanjutan. Wajah dan kranii harus diinspeksi secara hati-hati
terhadap kemungkinan trauma termasuk laserasi, abrasi, kontusio, edema ataupun
hematom dan kemungkinan cacat pada kontur. Area ekimosis harus dievaluasi
secara hati-hati.
Wajah dievaluasi terhadap kemungkinan terdapatnya laserasi dan depresi
tulang yang jelas. Asimetri area wajah perlu dicatat, dan cairan yang keluar baik
dari hidung maupun telinga diasumsikan sebagai cairan serebrospinal hingga
terbukti bukan itu. Jika diduga terdapat cairan serebrospinal, hidung maupun
telinga sebaiknya tidak ditutup tampon, karena dapat menyebabkan infeksi
retrograde yang menyebabkan meningitis.2
Tulang wajah dipalpasi untuk mengetahui adanya diskontinuitas tulang.
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secara bimanual dan disiplin. Pertama kita
lakukan pemeriksaan rima orbitalis, lalu berlanjut ke bawah untuk meliputi rima
lateral dan infraorbitalis, dimana apabila terdapat edema yang cukup besar dapat
membuat pemeriksaan menjadi sulit. Lengkung zigomatikus dipalpasi lalu ke
tulang nasal. Pemeriksaan berakhir dengan pemeriksaan maksila dan mandibula.
Evaluasi midfasial dimulai dengan penilaian mobiliti maksila, sendiri
ataupun kombinasi dengan zygoma atau os nasal. Untuk menilai mobiliti pada
maksila, kepala pasien harus distabilkan dengan menggunakan satu tangan
menekan dahi. Dengan menggunakan jempol dan jari telunjuk dari tangan yang
lain, memegang maksila, digoyang dengan hati-hati untuk melihat adanya mobiliti
pada maksila. Fasial dan midfasial sebaiknya dipalpasi untuk melihat adanya gap
pada dahi, rima orbita, nasal atau zygoma.1
Pembukaan mandibula dievaluasi baik untuk fraktur lengkung zigoma
maupun zigoma yang terdisposisi ke lateral, yang dapat mengobstruksi pergerakan
prosesus koronoid ke depan. Vestibulum bukalis dipalpasi dengan jari telunjuk.
Terdapatnya krepitasi dan pergeseran dinding antral lateral dan zigoma dapat
mudah didapatkan dengan teknik ini. Oklusi dievaluasi, keadaan dan kualitas gigi
perlu dicatat, faktor ini berpengaruh besar terhadap metode perawatan.2
219
Daerah ekimosis, terutama pada palatum, merupakan gambaran umum pada
fraktur maksila. Faring diperiksa untuk laserasi atau perdarahan retrofaringeal.
Pasien sebaiknya ditanya mengenai keluarnya cairan rasa metal dan asin, yang
merupakan indikasi terdapatnya drainase cairan serebrospinal.
Gambar 6. Ekimosis subkonjungtival
Gambar 7. Ekimosis sirkumorbital bilateral (racoon eyes).8
Pada Le Fort II, tanda dan gejala yang dapat kita temukan adalah adanya
oedem wajah dan terjadi retrusi mid fasial yang menyebabkan wajah terlihat datar.
Keadaan ini disebut sebagai deformitas dish face atau pan face. Terjadi
haemoragi subkonjunctiva dan diplopia. Kadang timbul parestesi daerah pipi
karena trauma pada nervus infraorbita. Terdapat hematom pada sulcus bukalis
rahang atas posterior, karena garis fraktur melewati tulang zygoma. Segmen
maksila bergeser ke posterior dan inferior, hal ini akan menyebabkan kontak
prematur gigi molar dan open bite anterior.7
220
Gambar 8. Openbite anterior.
2. Pemeriksaan Intraoral
Pemeriksaan intra oral dapat melihat keadaan oklusi, gigi geligi, stabilitas
alveolar ridge dan palatum serta jaringan lunak. Palpasi intra oral dengan jari pada
maksila dapat memberikan informasi tentang integritas dinding nasomaksilaris,
dinding sinus maksilaris anterior, dan dinding zigomatikomaksilaris.
Selama pemeriksaan mata dan tulang orbita, dapat dilihat integritas dari
lingkar orbita dan dasar orbita, penglihatan, pergerakan ektra ocular dan posisi
bola mata, serta jarak intercanthal. Tidak seperti fraktur Le fort II, Le fort III
berhubungan dengan adanya cedera pada zygomatikus. Perubahan penglihatan
menandakan adanya gangguan pada persyarafan mata, masalah pada retina
ataupun masalah neurologic lainnya. Gangguan pada pergerakan ekstraokular atau
enopthalmos menandakan adanya suatu blow out pada dasar orbita. Peningkatan
jarak interchantal menandakan adanya perubahan pada tulang frontomaksilaris
atau tulang lacrimalis ataupun adanya avulsi dari ligamentum canthal medialis .
Dalam hal kerusakan yang parah pada mata dan tulang orbita dapat
dikonsultasikan kepada opthalmologis.
Deformitas pada kontur tulang dapat tertutupi oleh pembengkakan, tetapi
permeriksaan dapat menemukan adanya kehilangan kontinuitas tulang atau
displacement. Gangguan pada oklusi dapat melokalisir adanya fraktur. Pergerakan
abnormal pada tulang dapat didiagnosa dan jika terjadi maka akan diikuti oleh
sakit dan krepitasi akibat dari ujung tulang yang keras bergesekan satu sama lain.
Hilangnya fungsi pada rahang merupakan hal biasa sebagai akibat dari trismus
atau sakit.7
221
Fraktur transversal pada Le Fort membuat muskulus pterygoid medial
yang kuat menciptakan tarikan posteroinferior pada segmen yang bergerak
menciptakan maloklusi klas III, kontak prematur pada molar dan anterior open
bite.3
Gambar 9. Pemeriksaan mobiliti pada maksila.1
Gambar 9 menunjukan pemeriksaan mobiliti pada maksila. A. Dahi
difiksasi dengan tangan kiri, maksila digoyang-goyangkan untuk menilai adanya
mobiliti. B. Tangan kiri juga dapat diletakkan pada os nasal untuk menilai mobiliti
pada os nasal.1
`
Gambar 10. Metode palpasi wajah tengah pada fraktur Le Fort.5
Gambar 10 menunjukan metode palpasi wajah tengah pada fraktur Le
Fort. Gigi anterior dipegang dan maksila dimanipulasi untuk memeriksa adanya
pergerakan. Jika gerakan dapat dipalpasi pada jembatan nasal (A), maka terdapat
adanya Le Fort II atau III. Jika gerakan terdeteksi juga pada zigoma (B), maka
222
terdapat fraktur III. Apabila tidak terdeteksi adanya gerakan pada daerah tersebut
namun maksila mengapung, maka kemungkinan terjadi fraktur Le Fort I.5
Gambar 11. Saat melakukan pemeriksaan fraktur pada maksila, kepala distabilisasi lalu prosesus
dentoalveolar dimanipulsi sehingga adanya pergerakan segmen fraktur dapat dideteksi.
Gambar 11 menunjukan saat melakukan pemeriksaan fraktur pada
maksila, kepala distabilisasi lalu prosesus dentoalveolar dimanipulsi sehingga
adanya pergerakan segmen fraktur dapat dideteksi. Pemeriksaan fraktur Le Fort II
dan III dilakukan dengan cara satu tangan memegang puncak hidung sementara
tangan lain memanipulasi maksila. Pergerakan pada sutura nasofrontal
menunjukkan kemungkinan terdapatnya fraktur Le Fort II atau III.4
Perbedaan klinis fraktur maksila:
1. Le fort I
Manifestasi Klinis Le Fort I antara lain adalah:
Seluruh rahang atas dapat digerakan dengan mudah.
Kecuali apabila segmen fraktur mengalami impaksi kearah posterior.
Terjadinya kontak premature dari gigi posterior karena tulang maksila
turun dan menimbulkan open bite yang klasik.
Palpasi tulang alveolar pada jaringan pendukung akan terasa nyeri
Dapat dilihat dengan jelas pada foto roentgen dan sering adanya gambaran
sinus yang berkabut serta gangguan kontinuitas yang bilateral dari dinding
sinus maksila.6
2. Le fort II
223
Manifestasi klasik Le Fort II antara lain :
Oedema periorbital secara bilateral, diikuti dengan ecchymosis yang
memberikan kesan seperti raccoon sign (menyerupai kucing).
Hipoesthesia dari nervus infra orbital juga ditemukan, kondisi ini muncul
karena perkembangan odema yang sangat cepat.
Suatu maloklusi dapat terjadi bersamaan dengan open bite.
Suatu kelainan bentuk ini dapat dideteksi pada daerah rima infra orbital
atau daerah sutura naso frontal. Cara pendeteksian ini dapat dengan
mengandalkan genggaman pada gigi anterior maksila dan
menggerakannya arah anterior- posterior, sehingga frakmen yang pecah
dari lantai orbita atau dinding media bisa terlihat dan ikut bergerak.
Dari gambaran foto roentgen dapat terlihat pemisahan atau pergeseran
pada sutura zygomaticomaksilaris serta terputusnya kontinuitas rima
orbital inferior didekat sutura tersebut.2,6
5. Le fort III
Manifestasi klinis Le Fort III antara lain :
Sering terlihat kebocoran cairan cerebrospinal akibat sobeknya meninge
(selaput otak)
Oedema yang hebat dan ecchymosis peri orbital terlihat bilateral karena
terjadinya perdarahan subkonjungtiva dalam berbagai tingkat keparahan.
Trauma telecantus dapat terasa seperti halnya juga ephypora. Ada baiknya
temuan ini dikomfirmasikan dengan CT coronal dan sagital scan, hal ini
berguna dalam rencana perawatan dan pertolongan nyawa pasien.
Fraktur ini biasanya diikuti dengan fraktur zygoma, dan naso orbita
eithmoid, luka yang dihasilkan pun berfariasi.
Pada waktu dilakukan tes mobilitas dari maksila akan memperlihatkan
pergerakan dari seluruh bagian atas wajah. 2,6
224
Gambar 12. Gambaran Klinis Fraktur Le Fort III
VI. Pemeriksaan Radiologis
Setelah dilakukan pemeriksaan klinis pada area fasial dan keadaan pasien
stabil, pemeriksaan radiologi harus dilakukan untuk memberikan tambahan
informasi tentang trauma fasial. Evaluasi pada fraktur midfasial secara umum
ditambahkan dengan gambaran radiografik, minimal foto Water’s, scheidel
anteroposterior, lateral dan foto submentovertex. Foto Towne’s sangat bermanfaat
dalam menggambarkan lengkung zigomatikus dan rami mandibula. Lengkung
zigoma paling bagus digambarkan pada foto submentovertex. Foto Water’s
memperlihatkan antrum hampir jelas. Foto lateral skull berguna dalam
menggambarkan kehadiran cairan pada sinus paranasal dan udara intrakranial.
Jika pasien tidak dapat tengkurap, dapat menggunakan reverse Water’s
(frontoosipital). Kekurangannya yaitu bertambahnya jarak antara tulang wajah ke
film.2
Gambar 13. Water’s view memperlihatkan gambaran fraktur Le Fort II yang membentuk segmen
fraktur bentuk Piramid.8
225
Gambar 14. Foto water’s lateral menunjukkan fraktur Le Fort II4
Scan yang diambil secara baik dan hasil tepat, dapat menjadi alat diagnostik
radiologi tunggal, tanpa foto lain. CT scan juga menggambarkan terdapatnya
edema dan kehadiran benda asing yang sering terlewat pada foto konvensional.
Gambar 15. CT scan axial menunjukkan fraktur Le Fort II
Gambar 16. Gambaran 3D fraktur Le Fort II.
VII. PERAWATAN FRAKTUR
A. Tujuan perawatan
Apabila stuktur wajah terkena trauma yang menyebabkan fraktur maksila
maka tujuan utama perawatan meliputi:
1. Penyembuhan tulang yang cepat.
226
2. Pengembalian penglihatan yang normal dan sempurna.
3. Kembalinya fungsi hidung untuk bernafas dan penciuman.
4. Kembalinya ruang bicara yang sempurna.
5. Hasil yang baik secara estetik baik dari gigi dan wajah seperti yang
diinginkan.
Selama perawatan diusahakan meminimalkan hal-hal yang merugikan pasien,
seperti pemberian nutrisi, mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien
serta kerusakan yang minimal jika memungkinkan.1
B. Prinsip perawatan
Untuk mencapai hal ini maka prinsip bedah hendaknya mengikuti aturan
berikut ini
Prinsip perawatan fraktur maksila:
1. Debridement yaitu membersihkan sisi fraktur meticulous.
2. Reduction yaitu mensejajarkan ujung tulang yang patah.
3. Fixation yaitu menstabilkan fraktur tulang, setelah selesai prosedur diatas,
baru-baru ini digunakan mini plat tulang dan scrub ( rigid internal fixation
).
4. Imobilisasi yaitu pengikatan Fraktur pada bagian sendi, dicapainya dengan
wiring sendi secara bersamaan selama 4-6 minggu dengan penyebaran
yang luas menggunakan fixasi interna yang kuat, bagaimanapun prosedur
ini sangat cepat dalam membantu penyembuhan.
5. Rehabilitasion yaitu mengistirahatkan total dari region yang terkena
trauma seperti perlekatan kembali secara prostetik dari gigi geligi yang
hilang akibat trauma dan injury.
C. Metode perawatan
Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka maupun
metode tertutup tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun untuk fraktur
maksila yang meliputi le fort I, II, III atau yang diikuti kelainan oklusi harus
dilakukan dengan metode terbuka.9,2,6
227
1. Reduksi tertutup ( close red )
Metode ini dilakukan tanpa melakukan insisi untuk mereduksi kembali
bagian tulang yang fraktur seperti pada frakmen fraktur ini bergerak, biasanya gigi
geligi yang terdapat pada sekmen fraktur mengalami kegoyahan . Pada kasus ini
dibutuhkan tekanan berulang (digital) untuk mereduksi tulang yang patah.
Pada kasus fraktur unilateral maksila atau terpisahnya sisi kanan dan kiri
palatum pada sutura palatine, maka digunakan alat Rowe Disimpaction forceps
atau Hayton-Williams forcep untuk mereduksi kembali kedua sisi palatum
tersebut. Arch bar dipasang pada lengkung maksila dan mandibula. Gigi yang
goyah diikat dengan kawat (wiring) kearch bar maksila, sedangkan gigi yang
terdapat pada segment yang tidak fraktur dilindungi dengan fiksasi intermaksila.
Kemudian fiksasi dilanjutkan kedaerah fraktur yang telah direduksi tadi. Fiksasi
dibiarkan selama 4 sampai 6 minggu didalam mulut pasient dan pasien diberikan
diet lunak selama fiksasi.
Indikasi dilakukannya metode tertutup pada fraktur maksila adalah:
Dimana pada pemeriksaan klinis dan radiografis tidak memperlihatkan
gambaran perobahan letak pada kedua segmen fraktur atau segmen
frakturnya terletak pada variable yang stabil dari tekanan otot-otot
mastikasi.( Undisplasment fracture )
Pada pasien yang edentulous (tidak bergigi) dan fraktur maksila secara
radiology memperlihatkan perobahan letak yang minimal dan letak garis
fraktur kemudian menjadi stabil oleh otot-otot pengunyahan. Maka union
tulang pada fraktur ini dapat menjadi penghubung yang baik.
Pasien dengan fraktur yang menimbulakan kerusakan pada otak dan tidak
adanya rangsangan untuk bangun, maka metode terbuka untuk sementara
merupakan kontra indikasi.
2 Reduksi terbuka (open red)
Metode ini lebih baik untuk kasus fraktur maksila khususnya yang
komplek. Dengan metode ini dapat dicapai immobilisasi fraktur yang sempurna
228
dan fiksasi yang kuat dan rigid. Metode ini dimulai dengan tahapan sebagai
berikut:
1. Pembukaan flap dengan insisi vestibular secara bilateral.
2. Sisi fraktur disingkapkan dengan meretraksi flap tadi
3. Dilakukan pembersihan segment pada garis fraktur.
4. Dilakukan perlekatan kembali kontunuitas tulang yang terputus.
5. Fiksasi garis fraktur dengan wiring atau mini dan mikro plat serta bautnya.
6. Tutup daerah operasi dengan mengembalikan flap pada posisi awal dan
dijahit
7. Fiksasi inter maksila selama 4 minngu (masa penyembuhan)
8. Pasien diberikan diet lunak selama fiksasi dengan kandungan gizi yang
cukup.
Indikasi dilakukannya metode fraktur terbuka adalah sebagai berikut:
Apabila metode tertutup gagal dilakukan
Fraktur dengan displacement yang kearah bawah dengan segala
komplikasinya seperti open bite klasik, elongasi fasial dana dish face.
Fraktur fasial kompleks dan multiple seperti Le fort I, II, III .
Fraktur dengan impaksi pada rahang bawah.
Fraktur yang memerlukan pemasangan miniplate dengan skrup untuk
reduksi dan stabilitas segment fraktur.
Fraktur yang membutuhkan bone graft.
Mikroplate and screw osteosynthesis
Pada abad ke dua puluh mulai diperkenalkannya pemakaian plat sederhana
atau yang lebih dikenal dengan Mini plate and screw. Sistem kompensasi plat
logam ini menggunakan lobang-lobang plat eksentrik dan skrup- skrup ( beberapa
diantaranya ada yang menggunakan swa-ulir ) yang cocok untuk penatalaksanaan
fraktur orofasial. Pada tahun –tahun terakhir perkembangan plat dan skrup
mengalami revolusi menjadi Mikro plate yang lebih ringan yang terbuat dari
titanium dan lebih bisa diterima oleh tubuh. Hal ini di kembangkan karena bentuk
229
dan jenis fraktur maksila yang berfariasi dan sangat komplek sekali.Bentuk dan
ukurannyapun disesuaikan dengan anatomi tulang fasial.
Beberapa keuntungan pemakaian mikro plat ini adalah: 2,6
Kestabilan yang rigid pada fiksasi anatomi dari bagian –bagian fraktur.
Dapat meniadakan pemakaian IMF ( intermaksilari fiksasi ).
Mempercepat penyembuhan dan memperpendek durasi perawatan.
Indikasi dilakukannya pemasangan mikro plate pada fraktur maksila adalah:
Apabila fiksasi maksilo mandibula sulit dilakukan.
Untuk perawatan kasus yang penyembuhannya lama dan pseudoartrosis.
Fiksasi pada graft tulang.
Fraktur kompleks dan multiple dari Le fort I, II, III.
Fraktur maksila pada pasien edentulous dengan displasment
Aplikasi mikor plate dan skrup:
Pemaparan perkutan atau peroral dan kemudian dilakukan reduksi fraktur.
Lakukan adaptasi dan stabilisasi mikro plat dan pembuatan lobang untuk
skrup pada tulang denga bur tulang.
Lobang bur dicocokan sampai sesuai dengan besar srkupnya.
Skrup dipasang menurut dataran lubang pada plate untuk mendapatkan
kompresi.
1-3 skrup diinsersikan pada sisi fraktur
Fiksasi dan Imobilisasi fraktur maksila
Ada beberapa macam alat untuk Immobilisasi fraktur maxilla yang mana
pada dasarnya menggunakan prinsip berikut ini:6
A. Fiksasi Intramaksila dan Intermaksila.
1. Hanya rahang atas saja yang dipasangkan alat fiksasi misalnya, dengan
memakai arch bar dari Erich. Contoh pada kasus fraktur sebagian kecil
dari prosesus alveolaris rahang atas (Intramaksila).
2. Pemasangan alat fiksasi pada gigi-geligi di maksila dan mandibula,
kemudian pada kedua rahang ini dipasang rubber elastic band melalui
230
kaitan atau hock pada acrh bar yang digunakan. Elastik hanya dipakai
pada gigi-geligi yang tidak mengalami fraktur rahang (berguna untuk
fraktur unilateral atau segmental ) sehingga tulang alveolar yang
mengalami fraktur akan terdorong keatas oleh tekanan gigi-geligi
dirahang atas dan rahang bawah (Intermaksila).
Gambar 17. Arch bar dan fiksasi intermaksilaris.4
B. Fiksasi Internal
Teknik ini ditemukan oleh Adam yang mana diindikasikan pada fraktur
horizontal yang sederhana dengan tidak terlibatnya tulang orbita.
Teknik ini menggunakan kawat suspensi (stainless steel ukuran 0.018 atau
0,2 inchi, 0,45 atau 0,5mm) yang dimasukan (diikatkan) pada titik tertentu di
tulang bagian superior. Bagian yang paling sering digunakan adalah Apertura
piriformis, Spina nasalis, tonjolan Malar, Arcur zygomatikus, Prosesus
zygomatikus ossis frotalis dan pinggiran tulang infra orbita. kemudian kawat
menelusuri daerah fasial terus kebawah dan kemudian dihubungkan (diikatkan)
pada arch bar yang telah dipasang pada gigi-geligi rahang atas (terhadap maksila)
disebut fiksasi kraniomaksila. Sedangkan pada ikatan atau perlekatan kawat
terhadap mandibula disebut fiksasi kraniomandibula. Gigi-geligi rahang atas dan
rahang bawah dalam keadaan fiksasi Intermaksila (Transosseous wiring fixation).
Apabila mandibula utuh atau karena perawatan bisa stabil, maka fiksasi
kraniomandibula lebih dianjurkan dibanding perawatan fiksasi kraniomaksila,
karena perlekatan ini memberikan hasil terbaik untuk mempertahankan posisi
komponen maksila yang mengalami fraktur.
231
C. Fiksasi eksternal
1. Pesawat Cranio-Maxilla.
Dimana digunakan suatu alat Head Appliances yang dihubungkan dengan alat
lain yang dipasang pada maksila. Head appliances yaitu suatu alat yang dipasang
pada kepala yang berfungsi sebagai penahan untuk fiksasi fraktur maksila dengan
tulang cranial. Alat ini ada beberapa macam yang biasa digunakan yaitu:
Plaster of Paris head cap.
Woodards appliance.
Englands appliance.
Bisnoffs head band.
Crawford head frame.
Crawford bloom head appliance
Pesawat Cranio Maxilla sendiri ada beberapa macam yaitu;
a. Pesawat C-M yang menggunakan Kingsley splint yang dapat dihubungkan
dengan berbagai macam splint yang diletakan pada gigi-gigi dirahang atas
seperti:
Wire splint
Cast metal splint
Band orthodontic
Pada pasien edentulous digunakan modifikasi dari kingsley
sendiri.
b. Pesawat C-M yang menggunakan Steinmann pin, dimana pin ini
dimasukan kedalam tulang alveolar rahang atas yang mengalami fraktur
melalui pipi lalu pin ini dihubungkan kembali kealat head appliance.
c. Pesawat C-M yang menggunakan cranio fasial wire. Ditemukan oleh
Erich, dimama kawat dihubungkan dengan arch bar yang telah dipasang
sebelumnya pada rahang atas ( gigi-geligi ), kawat ini menembus pipi lalu
dihubungkan denga head appliance. Pemakaian alat ini diindikasikan pada
fraktur dengan tidak adanya perubahan tempat dari rahang (fragmen) dan
mandibula dapat bergerak untuk berbicara dan makan (makanan lunak).
232
2. Pesawat Cranio – Mandibula.
Pada metode ini gigi-geligi pada kedua rahang berada dalam keadaan oklusi
dengan menggunakan Intermaksila wiring fixation dan eksternal traction. Pesawat
ini pun ada beberapa macam yaitu :
a. Pesawat C-mand dengan menggunakan Traction bandage (head bandage).
Terdiri dari Barton bandage denagn elastic yang dilekatkan pada kedua sisi
dengan menggunakan plaster. Ini untuk perawatan sementara dari fraktur
rahang.
b. Peasawat C-mand dengan menggunakan Steinmann-pin yang dimasukan
kedalam corpus mandibula , dibagian luar dihubungkan dengan Frac-sure
link vertical rod dikedua sisi. Frac-sure rods ini dihubungkan dengan head
appliance
c. Pesawat C-mand dengan half pin hamper sama dengan Steinmann pin,
juga digunakan Frac-sure rods dipakai sebagai penghubung dengan head
appliance.
d. Pada kasus tidak bergigi digunakan Gunning splint yaitu suatu acrilik
aplint yang digunakan sebagai alat fiksasi mandibula.
3. Pesawat Malar-Mandibula fixation.
Pesawat ini ditemukan oleh Gross, yang mana dua buah pin dimasukan
kedalam tulang pipi kiri dan kanan. Pin ini lalu dihubungkan dengan pin yang
telah dipasang pada corpus mandibula melalui suatu batang penghubung (rods)
atau rubber elastic band.
233
Gambar 18. Fiksasi kraniomaksilar.7
C. Tahapan perawatan pada fraktur Le Fort:
1. Perawatan Fraktur Le Fort I
Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka
maupun metode tertutup tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun untuk
fraktur maksila yang meliputi le fort I, II, III atau yang diikuti kelainan oklusi
sebaiknya dilakukan dengan metode terbuka.1,2
Aturannya, reduksi dini fraktur Le Fort I memberikan kesulitan minimal.
Di atas 7 hingga 10 hari, perlu tenaga tambahan untuk melakukan reduksi
sempurna. Fraktur dr pergeseran minimal direduksi di diimobilisasi secara ideal
dengan reduksi terbuka dan immobilisasi diperoleh dengan penempatan plat yang
tepat. Sebagai alternatif yang kurang ideal, melakukan fiksasi intermaksilari
selama sebulan, biasanya cukup untuk terjadi penyembuhan. Pada kasus fraktur
remuk yang parah, diperlukan perpanjangan periode fiksasi hingga 6 minggu.
Fraktur impacted atau fraktur yang tidak mudah direduksi karena penyatuan dini
oleh jaringan ikut (fibrous union) sebaiknya direduksi dengan menggunakan tang
disimpaksi Rowe atau Hayton-Williams. Paruh dari tang Rowe ditempatkan
sepanjang dasar hidung, dan sisi lainnya pada palatum keras (gambar). Digunakan
secara sepasang atau sendiri. Untuk melindungi mukosa hidung dan
mukoperiosteum palatum, dapat ditempatkan ujung karet pada paruh tang.
Gunakan gerakan menekan atau memutar, maksila ditarik ke depan dan ke
bawah.2
234
Gambar 19. Penggunaan tang disimpaksi Rowe untuk mereduksi maksila.2,4
2. Perawatan Fraktur Le Fort II
Reduksi tertutup yang dilakukan pada fraktur Le Fort II mudah dilakukan
dengan tang disimpaksi Rowe. Fiksasi intermaksilari kemudian dilakukan untuk
memperbaiki posisi anteroposterior fraktur. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
mendapat stabilitas dan penyembuhan yang adekuat. Imobilisasi dilakukan
minimal 4 minggu.
Sebagai alternatif, dapat dilakukan reduksi terbuka. Pada fraktur Le Fort II
dilakukan insisi pada sulkus bukalis, pembukaan tambahan ke superior sering
dibutuhkan untuk akses yang cukup dari orbital rim. Hal ini dapat dicapai dengan
insisi subsiliary atau transkonjunctiva. Perawatan dimulai dengan pemasangan
IDW untuk mendapatkan oklusi. Pada umumnya segmen maksila pyramidal yang
bebas distabilisasi ke tulang zygoma yang intak. Fiksasi dapat dilakukan dengan
mini plate yang menjangkau penyangga zygomaticomaksilaris.7
Setelah dilakukan reduksi pada fraktur, terdapat variasi pilihan untuk
imobilisasi. Minimal fiksasi tiga-titik atau mungkin empat-titik diperlukan. Hal ini
dapat diperoleh dengan membuka regio sutura zigomatikomaksilaris baik dari
rima inferior maupun intraoral, atau dapat juga menggunakan daerah sutura
nasofrontal. Kombinasi yang diperlukan tergantung pada kebutuhan untuk
235
mengeksplor dasar orbita, atau rekonstruksi rima inferior, atau keduanya, dan
rekonstruksi regio nasofrontal karena daerah ini sering kali terjadi keremukan.2
Pilihan lain dari perawatan pada fraktur Le Fort II yaitu imobilisasi sutura
nasofrontal. Dapat dilakukan dengan bilateral Lynch, open sky, atau insisi flap
koronal, atau melalui laserasi yang sudah ada. Semua pendekatan ini dapat
memberikan akses yang baik ke daerah sutura nasofrontalis. Penempatan plat
pada daerah ini dapat memberikan kestabilan dan keamanan dalam arah superior
posterior.
3. Perawatan Fraktur Le Fort III
Fraktur Le Fort III secara esensial merupakan kombinasi fraktur zigoma
bilateral dan fraktur pada kompleks nasal-orbital-ethmoid (NOE). Terdapatnya
jejas yang remuk dan parah bervariasi, tetapi prinsip perawatannya identik dengan
yang lain.2
Prinsip umum perawatan fraktur ini yaitu, reduksi dan imobilisasi
zigomatikofrontal, zigomatikotemporal, dan sutura nasofrontal, serta reduksi yang
tepat dari maksila ke wajah tengah inferior. Pada gilirannya, oklusi yang baik
harus didapatkan untuk mendapatkan posisi anteroposterior dan lateral wajah
tengah. 2
Dalam perawatan fraktur Le Fort III, kita menstabilisasi segmen tulang
yang bergerak untuk stabilisasi mandibula dan tulang kranium. Awalnya, rahang
atas harus dalam kondisi tidak terpendam (direposisi) dan MMF dilakukan. Insisi
jaringan lunak dapat dilakukan di lokasi yang sama seperti untuk fraktur Le Fort
II. Insisi alis lateral, lipatan glabela, atau flap kulit kepala bicoronal dapat
digunakan untuk topangan tambahan pada tulang frontozigomatik. Flap bicoronal
dapat diperpanjang untuk mencapai akses ke lengkung zigoma. Flap bicoronal
harus dirancang hati-hati untuk menghindari cedera pada cabang saraf wajah.
Ketika flap dibuat pada area lengkung orbita, perikranium dapat diinsisi tepat di
atas lengkung untuk menjaga suplai darah dari daerah supraorbital dan
supratroklearis ke flap. Pada daerah lateral, kita melakukan diseksi superfisial dari
fasia temporalis. Dalam mencapai lengkung zigomatik, kita lakukan insisi fasia
236
temporalis di atasnya. Perluas bidang insisi ke dalam fasia sampai tulang zigoma
yang fraktur. Patahan tulang kemudian dapat dikurangi dengan elevator kaku. Jika
terpendam atau comminuted, fiksasi langsung mungkin diperlukan. Jangan
gunakan flap bicoronal dalam situasi dimana flap membutuhkan suplai arteri
temporal. Garis rambut yang terlalu mundur juga dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk menggunakan tipe insisi lain. Sehubungan dengan tindakan
fiksasi pada fraktur maksila, kurangi dan stabilkan setiap patahan tulang yang
terlibat. Setelah ini dilakukan dan segmen fraktur terlihat, maka fiksasi dapat
dilakukan. Fiksasi Miniplate saat ini merupakan tipe yang paling dapat
diandalkan. Gunakan template lunak, pelat pembentuk kontur yang akurat dan
monocortical serta sekrup self-tapping. Gunakan pelat yang menjangkau seluruh
penopang utama. Pada fraktur Le Fort III sejati, fiksasi zygomaticofrontal bilateral
mungkin sudah cukup. Namun, secara umum, tetap dibutuhkan fiksasi tambahan
(misalnya, nasomaxillary, nasofrontal, lengkung inferior orbital, lengkung
zigomatic). Gunakan sesedikit mungkin pelat untuk mencapai fiksasi; pelat
berlebihan tidak diperlukan. Interoseus wiring dan suspension wiring digunakan
pada fraktur Le Fort III, tetapi hasilnya tidak sebaik miniplate fiksasi karena
vektor gaya untuk mempertahankan reduksi kurang akurat dan micromotion
meningkat.
D. Perawatan Post Operasi
Untuk meminimalisir edema paska operasi, lakukan pembalutan kassa
dengan tekanan ringan, pada daerah operasi. Jika pembalut tetap kering, dapat
diangkat setelah 2-5 hari. Apabila daerah fraktur terbuka terhadap lingkungan
eksternal atau terdapat komunikasi dengan intra oral atau ruang nasal, maka perlu
diberikan antibiotik profilaksis terhadap organisme gram-positif dan anaerob
selama 5-10 hari.
Setelah pembedahan, observasi pasien selama semalam terhadap
kemungkinan terjadinya perdarahan, masalah pada jalan nafas, dan muntah. Jika
menggunakan fiksasi dengan kawat pada IMF, tempatkan pemotong kawat di
237
dekat pasien setiap saat pada awal periode post-operasi untuk mengeluarkan
muntah. Lepas kawat atau rubber band apabila pasien mulai merasa mual.
Sebelum pulang, instruksikan pasien mengenai cara melepas IMF apabila
muntah. Selain itu, pasien diberi tahu untuk membatasi diet yaitu bubur atau
cairan.10
E. Follow Up
Lakukan evaluasi follow-up pada hari ke 5-7 (jahitan kulit dapat dilepas
pada saat ini), minggu ke 2-4, lalu minggu ke 3-8 untuk melepas IMF. Follow-up
jangka panjang mungkin dibutuhkan untuk memonitor terjadinya komplikasi post-
operasi atau deformitas.
Tujuan paling penting selama periode awal post-operasi yaitu memelihara
imobilisasi. Tergantung pada umur dan kesehatan umum pasien, keparahan dan
displacement fraktur, serta teknik perawatan yang digunakan, periode ini berkisar
antara 4-8 minggu. Sehingga IMF perlu dirawat selama periode ini. Selama
periode ini, tekankan pasien untuk memelihara kebersihan mulut dengan rajin
menyikat gigi dan arch bar dan berkumur dengan saline atau mouthwash
antiseptik setiap pagi dan malam serta setiap habis makan.
Pada pemeriksaan post-operasi, lakukan tes stabilitas tulang wajah dengan
mempalpasi geligi rahang atas pasien saat menggigit dan merelaksasi otot
pengunyahan. Terdapatnya Pergerakan minimal mungkin masih dapat diterima,
tapi mobilisasi berlebihan dapat mengindikasikan terjadinya penyembuhan yang
buruk. Pengambilan foto post-operasi (misal, serial mandibula, Panorex dental
views, facial series, CT scan) dapat membantu pada pasien yang dicurigai terjadi
malunion.
Apabila tulang wajah telah sembuh dengan baik dan didapat oklusi
normal, IMF dapat dilepas. Mobiliti vertikal yang minimal pada midfasial dapat
pulih seiring dengan waktu. Pergerakan yang berlebihan mengindikasikan terlalu
dininya melepas arch bar atau terdapatnya masalah penyatuan tulang. Pada
umumnya, MMF dapat dilepas lebih cepat pada fraktur yang diperbaiki dengan
238
fiksasi miniplate, dan lebih lama pada fraktur yang diperbaiki dengan kawat
interosseus atau suspensi.10
239
BAB III
KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur maksila dan
penyembuhannya biasanya tidak tampak hingga beberapa minggu hingga bulan
setelah terjadinya trauma, tetapi potensi kemunculannya dapat diperkirakan
selama evaluasi dan perawatan.
Komplikasi yang mungkin terjadi sehubungan dengan fraktur maksila
antara lain:4
1. Parestesi n. infraorbital
2. Enopthalmus
3. Infeksi
4. Alat terekspos
5. Deviasi septum
6. Obstruksi nasal
7. Perubahan penglihatan
8. Nonunion
9. Malunion atau maloklusi
10. Epiphora
11. Reaksi benda asing
12. Jaringan parut
13. Sinusitis
Terjadinya obstruksi jalan nafas perioperatif dan postoperatif jarang terjadi
pada fraktur maksila tunggal. Bagaimanapun, kondisi ini dapat terjadi sehubungan
dengan ekstubasi, dengan hematom septum atau nasal packing, dan dengan edem
berat jaringan lunak yang menghalangi pernafasan melalui jalan nafas nasal.
Pasien dengan fiksasi intermaksilari dan gigi lengkap biasanya mengalami
kesulitan pernafasan pada saat ini. Reintubasi, pembukaan jalan nafas
nasofaringeal, dan pembukaan fikasi intermaksilari dapat efektif menghilangkan
240
gangguan jalan nafas. Faktur pada septum nasal yang tidak diperbaiki dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas postoperatif yang akan tetap ada
hingga semua pembengkakan jaringan lunak hilang.4
Sinusitis akut dapat terjadi akibat tindakan intubasi trakheal yang
berkepanjangan. Sinusitis akut atau kronik dapat juga terjadi pada sinus ethmoid,
sphenoid, frontal, dan maksila, karena fraktur dapat mengobstruksi duktus sinus
atau ostia.4
Hemoragi post operatif dapat terjadi jika arteri dan vena tidak diligasi
ketika memperbaiki laserasi, jika reduksi tulang inadekuat dapat menyebabkan
perdarahan berlanjut, jika terjadi aneurisma, atau jika arteri sebagian terpotong.
Laserasi sebaiknya diperiksa ulang sehingga hemoragi dapat dikontrol. Hematom
yang ada, sebaiknya didrainase. Pada perdarahan tulang sebaiknya dilakukan
reduksi ulang atau menggunakan bone wax. Hemoragi dari arteri utama harus
segera ditangani, apabila sumbernya tidak dapat diidentifikasi, maka perlu
dilakukan arteriografi dan embolisasi. Aneurisma dan pseudoaneurisma
merupakan komplikasi trauma pada maksilofasial tetapi jarang terjadi akibat
fraktur maksila tersendiri.4
Karena kedekatan maksila dengan orbita, maka dapat terjadi komplikasi
yang berhubungan dengan penglihatan. Kebutaan jarang terjadi sehubungan
dengan fraktur midfasial dan paling sering terjadi pada pola fraktur yang
melibatkan orbita, seringkali dengan mekanisme jejas yang lebih berat. Kebutaan
postoperatif imediet dapat merupakan komplikasi reduksi pada fraktur Le Fort III
(atau fraktur yang melibatkan orbita) dan terjadi akibat peningkatan hemoragi atau
tekanan intraorbital, spasme arteri retinal, hemoragi retrobulbar, dan menekannya
fragmen tulang pada nervus optikus. Fraktur pada dasar orbita yang tidak
terdiagnosa atau ditangani dengan tidak adekuat (sendiri atau kombinasi dengan
komponen zigoma) dapat menyebabkan terjadinya enopthalmus dan diplopia.4
Komplikasi postoperatif lain yaitu salah penempatan segmen tulang atau
alat fiksasi. Komplikasi ini dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan klinis (misal,
maloklusi) atau pemeriksaan radiografi postoperatif. Perlu dilakukan prosedur
pembedahan kedua untuk memperbaiki komplikasi tersebut.4
241
BAB IV
KESIMPULAN
Dari penjabaran tentang fraktur maksila secara umum tadi dapatlah diambil
kesimpulan bahwa:
1. Sebaiknya klinisi membuat diagnosa yang tepat dengan memperhatikan
anamnesa, pemeriksaan klinis dan didukung dengan pemeriksaan radiology
demi tercapainya perawatan yang tepat pula.
2. Perhatikan komplikasi yang menyertai fraktur maksila seperti Perdarahan yang
hebat, Kehilangan kesadaran, Obstruksi jalan nafas dan Kebocoran
cerebrospinal renorrhoe.
3. Pengenalan tanda- tanda khas terjadinya fraktur Le fort I, II, III seperti:
Elongasi fasial, Dish face, Open bite klasik, Mobilitas seluruh rahang
atas atau setengah wajah yang menandakan lepasnya kontinuitas maksila
dengan basis cranial.
4. Perawatan dilakukan sesegera mungkin untuk mensegah terjadinya
komplikasi seperti infekasi, malunion dan lain-lain.
5. Immobilisasi segmen fraktur merupakan aspek perting untuk mencegah
terjadinya kegagalan perlekatan (malunion ).
6. Perawatan dengan memakai metode tertutup atau terbuka disesuaikan denga
indikasinya masing-masing.
7. Perkembangan baru dengan memakai miniplate dan skrup untuk
menghasilkan fiksasi dari reduksi fragmen yang rigid dengan mengurangi
waktu perawatan dan mempercepat penyembuhan.
242
DAFTAR PUSTAKA
1. James R. Hupp. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 5th
ed. St. Louis: Mosby.
2. Fonseca. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma vol.2. St. Louis: Elsevier.
3. Thaller, S.R., McDonald, W.S. 2004. Facial Trauma. Miami: Marcel Dekker,
Inc.
4. Peterson. 2004. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd ed.
Hamilton: BC Decker Inc.
5. Ellis, Edward. 2000. Assesment of Patients with Facial Fractures.Dallas:
Saunders.
6. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.
7. Moore, U.J. 2001. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed.
Oxford: Blackwell-Science.
8. http://www.gla.ac.uk/ibls/US/cal/anatomy/trauma/maxillaclinfeat.htm
9. Pedlar, J and Frame J.W, 2001, Oral and Maxillofacial Surgery. Edinburg:
Curchill Livingstone.
10. Moe, K.S. 2009. Maxillary and Le Fort Fractures Treatment &
Management. http://emedicine.medscape.com/article/1283568-
treatment#a1135.
243
FRAKTUR KOMPLEKS ZYGOMA
Leidya Valentina Elizabeth
160121120009
Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Bedah Mulut Dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung
Abstrak
Trauma akan menimbulkan jejas baik pada jaringan lunak maupun pada
jaringan keras. Jejas yang mengenai jaringan keras dapat merupakan suatu fraktur
tulang, di antaranya fraktur zygoma4. Fraktur zygoma merupakan cedera wajah
yang sering terjadi, dan berada pada urutan kedua setelah fraktur nasal. Insiden
yang tinggi ini kemungkinan disebabkan oleh posisi zygoma yang prominen
terhadap tulang wajah2.
Penatalaksanaan fraktur zygoma pada dasarnya sama dengan
penatalaksanaan fraktur maksilofasial lainnya yaitu meliputi reduksi, fiksasi, dan
imobilisasi. Namun karena strukturnya yang kompleks tentu saja
penatalaksanaannya pun lebih rumit.
Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran
mengenai gejala klinis, gambaran radiografi, perawatan serta komplikasi yang
dapat terjadi pada fraktur komplek zygoma.
Kata kunci : Fraktur Kompleks Zygoma, Reduksi, Fiksasi
244
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma pada wajah midfasial dapat menyebabkan fraktur yang melibatkan
maksila, zygoma dan komplek nasoorbital ethmoid. Fraktur midfasial cenderung
terjadi pada sisi benturan dan bagian yang lemah seperti sutura, foramen, dan
aperture. Tergantung dari mekanisme injuri, dan seringkali fraktur midfasial
melibatkan tulang zygoma.
Tulang zygoma mempunyai permukaan luar yang cembung dan kasar,
serta membentuk penonjolan pada pipi kiri dan kanan (penonjolan malar).
Tulang zygoma memegang peranan penting dalam menentukan lebar wajah
dan juga berperan sebagai major buttress (tulang dengan struktur yang tebal,
yang menopang proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan
anteroposterior) pada struktur wajah tengah, yaitu antara maksila dan
cranium3.
Tulang zygoma mempunyai struktur yang kuat, tetapi adanya
penonjolan tulang membuat tulang ini juga dapat mengalami fraktur jika
mendapatkan trauma yang hebat yang dapat terjadi karena pukulan atau akibat
kecelakaan kendaraan bermotor.
Insidensi, etiologi, predileksi umur dan jenis kelamin dari trauma
zygoma bervariasi, tergantung pada status sosial, ekonomi, pendidikan dan
politik dari suatu populasi yang diteliti. Dari kebanyakan penelitian
menunjukkan bahwa wanita lebih banyak terkena dari pada pria dengan rasio
4 : 1. Beberapa literatur mengatakan bahwa puncak insidensi dari trauma
terjadi antara dekade kedua dan ketiga dari kehidupan. Dalam beberapa
penelitian, penyebab fraktur tulang zigoma adalah kekerasan dimana pada sisi
yang lain kecelakaan kendaraan bermotor juga merupakan penyebab yang
sering terjadi. Etiologi dari terjadinya fraktur juga dipengaruhi oleh keadaan
suatu populasi penduduk dimana pada penelitian terdahulu terlihat bahwa
245
yang banyak mempengaruhi adalah pada populasi dari area industri dengan
tingkat pengangguran yang tinggi sehingga kekerasan interpersonal masih
banyak terjadi.
Selain karena tindak kekerasan dan kecelakaan lalu lintas, etiologi dari
fraktur zygoma juga dapat disebabkan karena terjatuh, kecelakaan pabrik,
benturan sewaktu olahraga, luka tembakan atau berupa fraktur patologis, yang
disebabkan oleh suatu penyakit.
Pada fraktur zygoma yang disebabkan oleh kekerasan, tulang zygoma
kiri adalah yang banyak terkena. Keadaan ini berbeda dengan keadaan fraktur
zygoma yang disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor. Fraktur
zygoma bilateral jarang terjadi, diperkirakan hanya terjadi sebanyak 4% dari
4067 kasus fraktur zygoma dalam sepuluh tahun yang dilaporkan oleh Ellis
dan kawan-kawan, dan mereka juga menemukan bahwa fraktur bilateral hanya
terdapat pada kasus kecelakaan, hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa
fraktur zygoma akibat kecelakaan kendaraan bermotor lebih parah jika
dibandingkan dengan kasus serupa yang terjadi akibat kekerasan.
Penanganan yang tepat dapat menghindari efek samping baik anatomis,
fungsi, dan kosmetik. Tujuan utama perawatan fraktur fasial adalah rehabilitasi
penderita secara maksimal yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian
fungsi okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara,
mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi estetis serta
memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat adanya mobilitas segmen
tulang.
246
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI TULANG ZYGOMA
Tulang zygoma merupakan bagian dari dinding lateral dan dasar
rongga orbita (Gambar 1a). Pada beberapa individu membentuk lateral atas
dari pada sinus maksilaris. Tulang ini mempunyai satu tonjolan yaitu
processus temporalis ossis zygomaticus yang menonjol ke dorsal dan
berhubungan dengan processus zygomaticus ossis temporalis yang menuju ke
arah ventral. Kedua penonjolan arcus ini bersama-sama membentuk arcus
zygomaticus.
Gambar 1a. Anatomi dan letak tulang zygoma3
Zygoma memiliki empat proyeksi yang menciptakan bentuk quadrangular
atau tetrapod yang meliputi: bidang frontal, temporal, maksilaris, dan infraorbital.
Zygoma berartikulasi dengan empat tulang: frontal, temporal, maksila, dan
sphenoid. Fraktur kompleks zygoma meliputi gangguan pada keempat sutura yang
berartikulasi, yaitu: sutura zygomaticofrontal, zygomaticotemporal,
zygomaticomaksilaris, dan zygomaticosphenoid (Gambar 1b).
Struktur tulang zygoma adalah kuat, tetapi bila mendapat trauma atau
pukulan hebat mudah patah. Tempat-tempat yang mudah patah adalah sutura
247
sphenozygomatika, sutura zygomatikomaksilaris, sutura
zygomatikotemporalis dan sutura zygomatikosphenoid.
Beberapa muskulus yang melekat pada tulang zygoma : m. masseter,
m. pterygoideus externa, m. zygomaticus, m. levator labii superior dan m.
temporalis. Muskulus maseter menempel pada aspek inferior dari zygoma.
Pada kasus fraktur adanya rotasi inferior dari tulang zygoma setelah
penatalaksanaan reduksi dapat disebabkan karena lokasi m. maseter ini. Selain
otot-otot, pada tulang zygoma juga melekat dua buah ligamen yaitu ligamen
kapsular dan ligamen temporomandibular.
Gambar 1b. Perlekatan otot-otot dan sutura2
Seluruh fraktur kompleks zygomatik melibatkan dasar orbita, dan oleh
karena itu sebuah pemahaman gambaran anatomis orbita adalah penting untuk
mereka yang merawat cedera ini. Orbita adalah piramid quadrilateral yang
berbasis anterior. Dasar orbita melandai kearah inferior dan yang paling pendek
pada dinding orbita, rata-rata 47 mm. Ia terdiri dari lingkaran orbita maksila,
permukaan orbita pada tulang zygomatik, dan prosesus orbital dari tulang
palatinus.
248
Dinding medial dan lateral berkonvergen di posterior pada apeks orbital.
Dinding medial terdiri dari prosesus frontal maksila, tulang lakrimal, lingkaran
orbital ethmoid, dan sebagian kecil dari badan sphenoid. Dinding orbital lateral
adalah yang tertebal dan terbentuk oleh zygoma dan gerater wing dari os
sphenoid.
Dasar orbital terdiri dari tulang frontal dan sayap yang lebih kecil dari
sphenoid. Arcus zygomatikus termasuk prosesus temporal zygoma dan prosesus
zygomatik dari tulang temporal. Fossa glenoid dan eminensia artikularis terlokasi
pada aspek posterior prosesus zygomatikus tulang temporal. (Gambar 2)
Gambar 21
Saraf sensori yang berhubungan dengan zygoma adalah divisi kedua
nervus trigeminal. Cabang-cabang zygomatik, fasial, dan temporal keluar dari
foramina pada tubuh zygoma dan memberikan sensasi pada pipi dan daerah
temporal anterior. Nervus infraorbital melewati dasar orbital dan keluar pada
foramen infraorbital. Hal ini memberikan sensasi pada pipi anterior, hidung
lateral, bibir atas, dan geligi anterior maksila. Otot-otot ekspresi wajah yang
berasal dari zygoma termasuk zygomaticus mayor dan labii superioris. Mereka
diinervasi oleh nervus kranialis VII. Otot masseter menginsersi sepanjang
249
permukaan temporal zygoma dan arcus dan diinervasi oleh sebuah cabang dari
nervus mandibularis. (Gambar 3)
Gambar 32
Fascia temporalis berlekatan ke prosesus frontal dari zygoma dan arcus
zygomatik. Fascia ini menghasilkan resistensi pergeseran inferior dari sebuah
fragmen fraktur oleh penarikan kebawah dari otot masseter(Gambar 4).
Gambar 42
250
Posisi bola mata dalam hubungan dengan aksis dipertahankan oleh
ligamen suspensori Lockwood. Perlekatan ini lebih kearah medial hingga aspek
posterior dari tulang lakrimal dan lateral terhadap tuberkel orbital (Whitnall)
(yang adalah 1 cm dibawah sutura zygomaticofrontal pada aspek medial dari
prosesus frontal dari zygoma). Bentuk dan lokasi dari canthi medial dan lateral
kelopak mata dipertahankan oleh tendon canthal. Tendon canthal lateral
berlekatan dengan tuberkel Whitnall. Tendon canthal medial berlekatan dengan
krista lakrimal anterior dan posterior. Fraktur kompleks zygomatik seringkali
dibarengi dengan sebuah antimongoloid (kearah bawah) dari daerah canthal lateral
yang disebabkan oleh pergeseran zygoma.
2.2 KLASIFIKASI FRAKTUR ZYGOMA
Jackson (1989) membuat klasifikasi fraktur zigomatikus yang
disederhanakan menurut pola dan pergeseran serta perawatannya. Gruss dkk
(1990) menekankan peran pola fraktur pada zygoma untuk reduksi yang akurat
dan mengklasifikasikan fraktur ini menurut tingkat keparahan tulang pada badan
zygoma dan arkus zygoma (Trott et al, 1995).
A. Jackson (1989)
Grup I Undisplaced fractures - tidak ada perawatan
Grup II Localized segmental fractures - pembukaan dan fiksasi
Grup III Displaced ‘tripod’ fractures (low velocity) – elevasi sederhana atau
elevasi, pembukaan dan fiksasi
Grup IV Displaced comminuted fractures (high velocity) – pembukaan luas
dan fiksasi multipel.
B. Gruss dkk (1990)
1. Badan zygomatikus
a. Intact
b. Undisplaced
c. Segmental
251
d. Displaced
e. Comminuted
2. Arkus Zygomatikus
a. Intact
b. Undisplaced
c. Segmenta
d. Displaced : inferior dengan depresi dan lateral
e. Comminuted
C. Menurut Knight dan North, fraktur zygoma dapat
dikalsifikasikan sebagai berikut2 ;
1. Fraktur tanpa displacement, hanya retakan saja.
Dalam hal ini tidak diperlukan penatalaksanaan. Pemeriksaan secara
radiologis menunjukkan adanya fraktur, tetapi tidak memperlihatkan
pergeseran.
2. Fraktur arkus zygomatikus dengan displacement.
Fraktur ini disebabkan oleh pukulan langsung pada arkus zygomatikus,
menyebabkan busur ini melekuk ke dalam tanpa mempengaruhi sinus
maksilaris ataupun rongga mata.
3. Fraktur zygoma tanpa perputaran.
Fraktur ini disebabkan oleh pukulan langsung terhadap penonjolan dari
tulang zygoma, sehingga terjadi fraktur dan pergeseran tulang
langsung ke dalam sinus maksilaris. Pada umumnya tulang terdorong
ke belakang, ke dalam dan sedikit mengarah ke bawah sehingga pipi
menjadi rata dan terjadi perubahan bentuk pada tepi infra orbital.
Dalam pemeriksaan radiologis timbul pergeseran ke bawah dari tepi
infra orbita, pergeseran pada sutura zygomatikofrontalis dan
penonjolan tulang zygoma ke dalam.
4. Fraktur zygoma dengan perputaran ke median.
252
Fraktur dan pergeseran timbul karena pukulan pada penonjolan tulang
zygoma di atas sumbu mendatarnya, sehingga tulang yang mengalami
fraktur tergeser ke belakang, ke dalam dan ke bawah. Pemeriksaan
radiologis memperlihatkan pergeseran ke bawah dari tepi infraorbital,
sutura zygomatikofrontalis keluar atau dapat ke dalam.
5. Fraktur tulang zygoma dengan perputaran ke lateral.
Fraktur disebabkan karena pukulan di bawah sumbu datar dari tulang
zygoma, sehingga tulang terdorong ke dalam dan ke belakang.
Pemeriksaan radiologis memperlihatkan pergeseran keluar dari
penonjolan tulang zygoma dan ke atas dari tepi infraorbita ataupun
keluar sutura zygomatikofrontalis.
6. Fraktur kompleks.
Disini termasuk semua kasus dimana didapatkan garis fraktur saling
menyilang lebih dari satu.
Kebanyakan fraktur zygoma terjadi pada arkus dalam meliputi lateral orbital2.
Fraktur arkus zygomatikus menyebabkan depresi pada pipi karena tekanan m.
masseter pada arah posterior, medial dan inferior.
Pada 1990, Manson et.al mengajukan sebuah metode klasifikasi yang
didasarkan pada pola segmentasi dan pergeseran3:
- Fraktur yang memperlihatkan sedikit atau tidak ada pergeseran diklasifikasikan
sebagai cedera energi-rendah. Fraktur incomplete (tidak lengkap) pada satu atau
lebih artikulasi dapat terlihat.
- Fraktur energi-menengah memperlihatkan fraktur lengkap (complete) pada
seluruh artikulasi dengan pergeseran ringan hingga moderat. Serpihan mungkin
dapat timbul (Gambar 5).
- Fraktur energi-tinggi ditandai dengan serpihan pada orbit lateral dan pergeseran
lateral dengan segmentasi pada arcus zygomatik (Gambar 6).
Zingg dan kolega, dalam sebuah tinjauan pada 1.025 fraktur zygomatik,
mengklasifikasikan cedera-cedera ini kedalam tiga kategori. Fraktur-fraktur tipe A
adalah fraktur energi rendah tidak lengkap dengan fraktur hanya pada satu pilar
zygomatik: arcus zygomatik, dinding orbita lateral, atau lingkaran infraorbita.
253
Fraktur tipe B mengacu pada fraktur “monofragmen” lengkap dengan fraktur dan
pergeseran disepanjang keempat artikulasi. Fraktur “multifragmen” tipe C
termasuk fragmentasi badan zygomatik.
2.3 DIAGNOSA FRAKTUR ZYGOMA
Riwayat yang terperinci akan banyak membantu dalam menentukan
diagnosa. Untuk menegakkan diagnosa fraktur tulang zygoma dilakukan
pemeriksaan :
Riwayat kecelakaan
Riwayat kecelakaan dapat diketahui dengan memberi pertanyaan-
pertanyaan kepada penderita untuk memperoleh keterangan yang objektif.
Bila penderita tidak dapat memberi keterangan-keterangan tersebut, dapat kita
tanyakan kepada pengantar yang melihat terjadinya kecelakaan. Asal mula
terjadinya fraktur tulang zygoma harus diketahui, apakah karena kecelakaan
lalu lintas atau karena pukulan. Keadaan penderita sewaktu terjadi kecelakaan
harus diketahui, apakah dalam keadaan sadar atau tidak, berapa lama dalam
keadaan tidak sadar.
Jennet dan Teasdale memperkenalkan sistem Glasgow Scale (GCS)
untuk melihat tingkat kesadaran. Skala ini menggunakan 3 parameter: Eye
opening, best motor responsen dan best verbal response dimana nilai antara 0-
8 untuk severe head injury, nilai 9-12 untuk moderate head injury dan nilai
antara 13-15 untuk mild head injury9.
Selain itu diperhatikan apakah terdapat perdarahan melalui mulut,
telinga atau hidung, terjadi muntah atau tidak dan riwayat penyakit yang
pernah diderita. Bila riwayat secara lengkap tidak dapat ditanyakan kepada
penderita atau pengantar penderita, maka dapat ditanyakan kemudian setelah
penderita agak pulih.
Pemeriksaan fisik
Hal ini penting untuk menentukan rencana penatalaksanaan yang akan
dijalankan. Kecelakaan yang serius dapat menyebabkan kolaps. Kolaps yang
lama dan terus menerus akan menyebabkan shok, yang ditandai dengan
254
tekanan darah rendah, nadi cepat tetapi lemah, kulit lembab, dingin dan pucat,
pernafasan cepat dan dangkal, bibir dan kuku stanosis, pupil berdilatasi dan
penderita apatis. Ketidaksadaran yang lama menandakan adanya kontusio
cerebri. Perdarahan dari mulut, hidung dan telinga menandakan terjadinya
fraktur basis kranii.
1. Pemeriksaan mata
Pupil berdilatasi menandakan adanya shok. Diplopia disebabkan
karena kerusakan dari syaraf infraorbita. Gangguan dari pergerakan bola mata
disebabkan karena otot-otot penggerak mata terjepit sehingga fungsinya
terganggu. Ketidaknormalan dari pinggir infraorbita dalam pemeriksaan
palpasi menyatakan adanya kerusakan dari dasar orbita. Retraksi dari jaringan
lunak sudut mata menyatakan adanya penurunan dinding periorbita ke arah
sinus maksilaris.
2. Pemeriksaan telinga
Bila terjadi perdarahan atau terdapat cairan serebrospinal pada satu
atau kedua lubang telinga menunjukkan adanya fraktur pada petrosa tulang
temporal. Perdarahan pada tulang telinga menunjukkan pecahnya basis kranii.
3. Gejala neurologis
Hilangnya perasaan pada perabaan (anesthesia) dari kelopak mata
bawah, lateral hidung atau bibir bagian atas disebabkan rusaknya nervus
infraorbitalis. Bila nervus zygomatikofasialis atau nervus
zygomatikotemporalis rusak menyebabkan hilangnya perasaan pada pipi dan
temporal bagian depan. Kerusakan dari syaraf fasialis menyebabkan Bell’s
palsy yaitu sudut mulut terkulai dan mata tidak bisa mengedip.
4. Gejala-gejala fraktur zygoma
Gejala-gejala fraktur ini sangat penting untuk mengetahui tindakan
penatalaksanaan apa yang harus didahulukan. Misalnya pada fraktur tulang
zygoma yang serius sehingga menyebabkan pecahnya basis kranii, penderita
harus segera dibawa ke bagian neurochirurgis. Penderita yang berada dalam
keadaan yang tidak sadar tidak boleh dilakukan operasi sebelum penderita
sadar.
255
5. Pemeriksaan visual
Diagnosa yang langsung dapat dilihat dari gambaran karakteristik yang
segera dapat dikenali yaitu muka terlihat asimetri karena adanya pendataran
kontur pada pipi yang mengalami fraktur. Hilangnya ekspresi pada pipi yang
mengalami fraktur, unilateral epistaksis, hematoma, penurunan bola mata
pada sisi yang fraktur, retraksi dari sudut mata.
6. Pemeriksaan dengan cara palpasi
Pemeriksaan zygoma meliputi inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan
dari bagian frontal, lateral, superior dan inferior3. Harus dicatat tingkat simteris,
level pupil, adanya edema orbital dan ekimosis subkonjungtival dan proyeksi
anterior dan lateral dari zygoma. Metoda yang paling berguna untuk mengevaluasi
posisi dari tubuh zygoma adalah dari pandangan superior (.
Gambar 51
Pasien dapat ditempatkan dalam posisi berbaring atau bersandar dikursi.
Ahli bedah menginspeksi dari atas, mengevaluasi bagaimana proyeksi anterior
dan lateral dari zygoma terhadap tepi supraorbital, dibandingkan sisi yang satu
dengan yang lain3,7
. Pada saat akan melakukan pemeriksaan dengan posisi seperti
ini akan memudahkan untuk menempatkan posisi jari telunjuk di bawah tepi
infraorbita, sepanjang zygoma, memberikan tekanan pada jaringan yang edema
guna palpasi dan mengurangi efek visual dari edema secara simultan. Pandangan
superior juga membantu dalam mengevaluasi kemungkinan terjadinya depresi dari
arkus zygoma. Tidak boleh dilupakan untuk melakukan pemeriksaan intraoral,
256
karena fraktur zygoma sering disertai dengan ekimosis pada sulkus bukalis
superior dan oleh fraktur dentoalveolar maksilaris.
Palpasi harus dilakukan dengan sistematik dan teliti, dibandingkan antara
sisi yang satu dengan yang lain. Tepi orbita dipalpasi dulu. Tepi infraorbita
dipalpasi dengan jari telunjuk yang secara ritmik digerakkan dari sisi yang satu ke
sisi yang lain sepanjang tepinya. Tepi orbita lateral dipalpasi dengan jari telunjuk
dan ibu jari. Jari telunjuk juga digunakan sepanjang aspek bagian dalam dari tepi
orbita lateral, dimana sering ditemukan fraktur dengan melakukan palpalsi di
bagian dalam dari tepi orbita yang berlawanan arah sepanjang aspek lateral. Bila
terdapat fraktur, palpasi seringkali harus dilakukan dengan cara yang halus. Tubuh
dan arkus zygoma paling baik dipalpasi dengan dua atau tiga jari yang bergerak
secara melingkar, dibandingkan dengan sisi yang berlawanan. Tonjolan zygoma
dari maksila dipalpasi dari dalam mulut dengan satu jari, untuk mengetahui
adanya hematoma atau irregularitas3.
2.3.1 TANDA DAN GEJALA FRAKTUR ZYGOMA
Adanya tanda dan gejala serta keparahannya sangat tergantung pada luas dan
tipe dari luka zygoma. Misalnya, pendataran wajah akan lebih nyata pada cedera
pada zygoma yang displaced dibandingkan dengan fraktur yang nondisplaced.
Sama halnya dengan fraktur arkus zygoma yang mungkin kurang mengakibatkan
gangguan okuler dibandingkan dengan fraktur kompleks zygoma. Tanda dan
gejala berikut ini bisa menyertai fraktur zygoma dan oleh karena itu harus
dievaluasi3 :
1. Ekimosis dan edema periorbital.
Edema dan perdarahan ke dalam jaringan ikat longar dari kelopak mata dan derah
periorbital adalah tanda yang paling umum yang menyertai fraktur tepi orbita.
Bengkak yang seringkali masif mungkin terjadi dan paling dramatis pada jaringan
periorbital, dimana kelopak mata mungkin tertutup karena bengkak. Ekimosis
mungkin hanya terdapat pada kelopak mata bawah dan derah infraorbita atau di
sekitar seluruh tepi orbita.
2. Pendataran dari tonjolan pipi.
257
Ini adalah tanda yng paling biasa ditemukan pada cedera komplek zygoma yang
dilaporkan 70-86% kasus, khususnya jika terdapat distraksi dari sutura
frontozygomatikus dan rotasi dan atau remuknya bagian medial. Pendataran
mungkin sulit untuk dilihat segera setelah terjadinya cedera jika terdapat edema;
namun biasanya dapat diperoleh dengan menekankan jari telunjuk pada jaringan
lunak darah zygoma dan membandingkan satu sisi dengan yang lainnya dari
sebelah atas pasien.
3. Pendataran di atas arkus zygoma.
Lekukan yang khas atau hilangnya kurvatura cembung yang normal dari daerah
temporal menyertai fraktur dari arkus zygoma.
4. Nyeri.
Kecuali jika ada pergerakan dari segmen fraktur, nyeri hebat bukan merupakan
gambaran yang normal dari cedera zygoma meskipun pasien akan mengeluh
karena merasa tidak nyaman sehubugan adanya memar. Palpasi dari sisi fraktur
juga akan menimbulkan rangsangan nyeri.
5. Ekimosis dari sulkus bukalis maksila.
Tanda yang penting dari fraktur zygoma atau fraktur maksila adalah ekimosis
pada sulkus bukalis maksila. Ekimosis ini bisa terjadi meskipun hanya dengan
sedikit gangguan pada maksila lateral atau anterior dan seharusnya tanda ini
dicurigai sebagai fraktur zygoma.
6. Deformitas pada tonjolan zygomatik dari maksila.
Palpasi intraoral dari aspek anterior dan lateral dari maksila seringkali
menunjukkan irregularitas dari permukaan halus yang normal, khususnya di
daerah tonjolan zygomatikus dari maksila. Juga sering teraba fragmen tulang yang
remuk, yang menimbulkan krepitasi. Jika pada manuver ini tidak teraba
tenderness, mungkin tidak terdapat adanya fraktur. Tidak adanya nyeri
menunjukkan tidak adanya fraktur, tetapi adanya nyeri belum tentu ada fraktur,
karena nyeri bisa ditimbulkan karena cedera pada jaringan lunak atau fraktur
maksila.
7. Deformitas dari tepi orbita.
258
Fraktur yang terjadi sepanjang tepi orbita seringkali menimbulkan celah atau
deformitas jika terjadi displacement. Deformitas ini sering ditemukan pada tepi
infra orbita dan tepi orbita lateral bila terjadi fraktur zygoma.
8. Trismus.
Terbatasnya kemampuan untuk membuka mulut sering terjadi bersamaan cedera
zygoma, terjadi pada kira-kira sepertiga kasus, dan lebih banyak lagi terjadi pada
fraktur tertutup dari arkus zygoma (45%). Alasan yang sering dikemukakan untuk
terjadinya trismus pasca fraktur adalah bergesernya prosesus koronoideus
mandibula pada fragmen zygoma yang berubah posisi. Sebenarnya terjadinya
pergeseran ini pada sebagian besar kasus masih meragukan, karena diperlukan
perubahan posisi yang cukup besar untuk menyebabkan gangguan mekanik.
Penjelasan yang lebih mendekati adalah spasme otot yang terjadi sekunder
terhadap pergeseran oleh fragmen yang berubah posisi, khususnya pada otot
temporalis. Temuan lain adalah terdapatnya deviasi kearah sisi yang fraktur pada
saat mulut dibuka.
9. Epistaksis.
Apabila mukosa sinus mengalami gangguan, mungkin terjadi perdarahan pada
sinus tersebut. Kebanyakan fraktur melalui dinding sinus yang hanya mengalami
sedikit perubahan posisi akan merobek mukosa yang melapisinya, menghasilkan
perdarahan internal. Karena sinus maksilaris dialirkan ke hidung melalui meatus
tengaha, perdarahn unilateral dari hidung yang mungkin terjadi adalah kira-kira
30-50% dari cedera komplek zygoma.
10. Sensibilitas saraf yang abnormal.
Gejala penting yang ditemukan pada kira-kira 50-90% dari cedera komplek
zygoma adalah berkurangnya sensasi nervus infraorbitalis. Parestesi nervus
infraorbitalis lebih sering terjadi pada fraktur dengan perubahan posisi daripada
yang tidak. Meskipun sulit untuk membedakan antara anestesia dari sensasi yang
berubah pada penelanan, jaringan edema, yang pada saat bengkaknya berkurang,
anestesia nervus orbitalis mulai dirasakan. Anestesia infraorbital terjadi bila
fraktur yang melalui dasar atau maksila naterior menyebabkan robeknya,
terpotongnya atau kompresi dari nervus infarorbitalis sepanjang kanalis atau
259
foramennya. Bila garis fraktur terjadi lateral dari jalur dan foramen infraorbital
(lebih jarang terjadi) nervus infraorbitalisnya akan terselamatkan. Terganggunya
nervus orbitalis akan menyebabkan anestesia kelopak mata bawah, bibir atas dan
bagian lateral hidung. Gejala tersebut bisa mempengaruhi sensitivitas gigi dan
gusi maksila.
11. Ekimosis subkonjungtiva.
Perdarahan subkonjungtiva sering ditemukan pada fraktur zygoma, sekitar 50-
70% kasus. Mungkin disertai retak yang sangat tipis melalui tepi orbita jika
periosteum telah robek. Kehadirannya tidak mengesampingkan adanya fraktur
tepi orbita, karena tidak adanya gangguan dari periosteum, perdarahan yang
mungkin terjadi dapat terskumulasi pada lokasi subperiosteal dan tidak tampak
dibawah konjungtiva. Bila terjadi, ekimosis subkonjungtiva biasanya tidak
mempunyai batas posterior dan kan tampak berwarna merah cerah sesuai dengan
kemampuan oksigen untuk menyebar melalui konjungtiva untuk pengumpulan
darah.
12. Krepitasi dari emfisema udara.
Fraktur yang melalui dinding sinus, dengan robekan pada mukosa yang melapisi,
menyebabkan udara bergerak menuju jaringan lunak wajah jika tekanan diantara
sinus lebih besar daripada tekanan didalam jaringan. Jaringan lunak dari daerah
periorbita terutama kelopak mata, cenderung terinflasi oleh udara karena
kehilangan sifat areolar. Jika terjadi inflasi dapat dilakukan palpasi dan
menimbulkan krepitasi, yang menunjukkan emfisema subkutan. Hal ini yang
paling mudah dikerjakan dengan jalan memutarkan dua jari dengan lembut
diseputar jaringan, yang akan memproduksi sensasi “crackling” yang khas. Hal ini
tidak umum ditemukan pada fraktur zygoma, tetapi potensi untuk terjadinya
emfisema udara konstan. Emfisema ini akan menghilang secara spontan dalam 2-
4 hari tanpa perawatan. Signifikan dari emfisema ini adalah berpotensi terjadinya
infeksi melalui hubungan antara sinus dan jaringan lunak.
13. Perubahan posisi dari celah palpebra.
Ligamentum palpebra lateralis menempel pada bagian zygoma dari tepi orbita.
Perubahan posisi dari zygoma juga termasuk palpebra yang menempelnya,
260
menghasilkan deformitas visual yang dramatis. Pada waktu zygoma mengalami
perubahan posisi pada arah anterior, ligamentum palpebra lateralis juga tertekan,
menyebabkan lekukan yang menurun ke celah (kemiringan antimongoloid).
Karena sekat orbita menempel pada tepi infraorbita, perubahan posisi inferior atau
posterior dari tepi orbita inferior menyebabkan tekanan pada kelopak mata yang
lebih rendah, sehingga tampak memendek. Kondisi ini mungkin menyebabkan
lebih banyak sklera yang terekspos di bawah iris dan tampak ektropion yang
nyata.
14. Level pupil yang tidak sama.
Dengan adanya gangguan dasar orbita dan bagian lateralnya, yang sering
menyertai fraktur zygoma, hilangnya dukungan tulang dari isi orbita dan
perubahan posisi dari kapsul tendon dan ligamentum suspensorium dari bola
mata. Keadaan ini tampak secra klinis berupa level pupil yang tidak sama, dimana
pupil pada bagian yang terkena terletak lebih rendah daripada normal.
15. Diplopia.
Adalah nama yang diberikan untuk gejala pandangan kabur. Penting untuk
membedakan antara dua jenis diplopia. Diplopia monocular atau kaburnya
pandangan dari satu mata, sementara yang satu tertutup, memerlukan perhatian
segera dari ahli mata, karena biasanya menunjukkan lepasnya lensa, hifema atau
cedera traumatik lain dari bola mata. Diplopia binokular, dimana kaburnya
pandangan hanya terjadi bila melihat dengan kedua mata secara bersamaan, hal ini
biasa terjadi kira-kira 10-40% dari cedera zygoma. Petunjuk yang bermanfaat
untuk membedakan penyebab dari diplopia adalah temuan bahwa edema yang
menyeluruh dari orbita biasnya menyebabkan diplopia pada pandangan keatas dan
kebawah yang ekstrim. Kuarngnya gerakan mata yang hampir lengkap dalam satu
arah terjadi dengan pengaruh mekanis atau cedera neuromuskuler, yang paling
banyak adalah terperangkapnya otot. Diagnosa diplopia bisa sangat sulit pada
tingkat awal dimana edema atau perdarahan bisa berkurang dalam beberapa hari
namun terperangkapnya jaringan orbita tetap tidak berkurang. Dapat ditentukan
apakah pada fraktur terdapat isi orbita yang melalui dasar orbita dengan forced
duction test. Forcep kecil digunakan untuk memegang tendon rektus inferior
261
melalui konjungtiva dari forniks inferior, dan bola mata dimanipulasi melalui
seluruh arah gerakan. Ketidakmampuan rotasi bola mata ke arah superior
menunjukkan secara pasti terperangkapnya isi orbita dan paralisis yang
disebabkan oleh edema atau cedera neuromuskuler. Hal ini harus dilakukan secara
rutin pada individu yang tidak bisa menggerakkan bola mata ke arah atas.
16. Enoftalmus.
Jika cedera zygoma sudah menyebabkan kenaikan volume orbita, pada umumnya
disebabkan oleh perubahan posisi lateral dan inferior dari zygoma atau gangguan
dinding orbita lateral dan inferior, atau keduanya atau mengakibatkan
berkurangnya volume dari isi orbita yang disebabkan oleh herniasi dari jaringan
lunak orbita, dapat enoftalmus. Ini adalah diagnosa yang sulit dilakukan pada
keadaan akut kecuali pada kondisi yang sangat berat, dimana edema pada jaringan
lunak sekitarnya selalu menimbulkan enoftalmus relatif. Pada saat bengkaknya
sudah hilang, enoftalmus akan tampak lebih nyata dan seringkali dihubungkan
denga terjadinya ptosis bola mata. Manifestasi klinik dari enoftalmus
dititikberatkan pada sulkus kelopak atas dan penyempitan fisur palpebra, yang
menyebabkan pseudoptosis dari kelopak atas. Fraktur zygoma yang menunjukkan
gejala enoftalmus kira-kira 5% dari seluruh kasus sebelum dilakukan perawatan.
2.3.2 PEMERIKSAAN RADIOGRAFIS
Diagnosa fraktur zygomatik biasanya dibuat dengan pemeriksaan riwayat
dan fisik. Pemindaian CT pada tulang wajah, pada bidang aksial dan koronal,
adalah standar untuk seluruh pasien dengan dugaan (suspect) fraktur zygomatik.
Radiografi membantu untuk konfirmasi dan untuk dokumentasi medikolegal dan
untuk menentukan perluasan cedera tulang.
A). Tomografi Komputasi
CT adalah standar emas untuk evaluasi radiografi fraktur zygomatik.
Gambaran aksial dan koronal didapat untuk menentukan pola fraktur, derajat
pergeseran, dan serpihan dan untuk mengevaluasi jaringan lunak orbital. Secara
spesifik, pemindaian CT memberikan visualisasi dan dasar-dasar dari tengkorak
wajah tengah: dasar-dasar nasomaksilaris, zygomaticomaksilaris, infraorbital,
262
zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Pandangan
koronal khususnya membantu dalam evaluasi fraktur dasar orbita (Gambar 6A).
Jendela jaringan lunak, pada dataran koronal, berguna untuk mengevaluasi otot-
otot ekstraokuler dan untuk mengevaluasi herniasi jaringan orbita kedalam sinus
maksilaris.
B). Radiograf Biasa
Pemindaian CT (CT scan) telah menggantikan film biasa untuk diagnosa
dan penanganan fraktur kompleks zygomatik. Meskipun demikian, sebuah
pengetahuan kerja fundamental pada teknik ini diperlukan. Pada banyak ruang
emergensi dan rumah sakit, pasien trauma akan masih menjalani evaluasi
radiografi film biasa. Kemampuan untuk membaca dan interpretasi film-film ini
menjadi diagnosa dan merawat pasien-pasien ini adalah penting.
A B C
GAMBAR 6. A, Coronal CT scan, terlihat gambaran zygomaticomaxillary buttress dekstra dan
fraktur dasar orbital dengan herniation of orbital padamaxillary sinus. B, Waters’ view, terlihat
gambaran fraktur kompleks zygomatic dekstra. C, Submentovertex view,terlihat gambaran
displaced fraktur arkus zygomatikus sinistra.1
a. Water’s View.
Radiograf tunggal terbaik untuk evaluasi fraktur kompleks zygomatik
adalah Water’s view. Ia adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan kepala
yang terposisi pada sudut 27° terhadap vertikal dan dagu berada pada kaset
(cassette). Hal ini memproyeksikan piramida petrosa jauh dari sinus maksilaris,
memberikan visualisasi sinus-sinus, orbita lateral, dan lingkaran infraorbita
(Gambar 6B). Ketika hal ini dikombinasikan dengan sebuah Water’s view yang
263
terangkat, sebuah pandangan stereografi dari fraktur dapat terlihat. Pada pasien
yang tidak mampu mengira-ngira posisi wajah kebawah, proyeksi Water’s view
terbalik memberikan informasi yang sama.
b. Caldwell’s View.
Caldwell’s view adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan wajah
pada sudut 15o terhadap cassette. Penelitian ini membantu dalam evaluasi rotasi
(disekitar aksis horisontal).
c. Submentovertex View.
Submentovertex (jug-handle) view diarahkan dari daerah submandibula
ke vertex tengkorak. Ia membantu dalam evaluasi arcus zygomatik dan proyeksi
malar (Gambar 6C).
264
BAB III
PENATALAKSANAAN FRAKTUR KOMPLEK ZYGOMA
Tidak semua fraktur zygoma memerlukan intervensi bedah. Pada kasus
fraktur yang tidak diikuti pergeseran fragmen (undisplaced) atau dengan
pergeseran minimal tidak diperlukan intervensi bedah. Jika tidak dilakukan
intervensi bedah maka pasien sebaiknya diobservasi selama dua sampai tiga
minggu dengan diet lunak7.
Bila terjadi pergeseran fragmen maka diperlukan suatu reduksi (reposisi)
dengan cara terbuka (open reduction). Reduksi tertutup tidak bisa dilakukan,
karena kita tidak mungkin melakukan manipulasi eksternal1.
Sebagian besar ahli bedah berpendapat, pada fraktur zygoma setelah suatu
tindakan reduksi, fiksasi tidak mutlak diperlukan. Fiksasi hanya diperlukan bila
ada indikasi, seperti pada fraktur communite1
Disamping itu fraktur zygoma juga sering melibatkan orbita. Davies
mengemukakan adanya insiden kerusakan (disruption) dasar orbita sebesar 47%
pada penderita fraktur zygoma. Pada kasus ini diantaranya diperlukan
rekonstruksi dengan pemakaian implan dasar orbita atau graft untuk mendukung
jaringan periorbita7.
3.1 TEKNIK REDUKSI
A). Pendekatan Vestibulum Maksila
Pendekatan ini paling populer, karena scar yang terjadi tidak terlihat.
Berbagai instrumen juga bisa digunakan dengan pendekatan ini antara lain
cushing elevetor, large Kelly hemostat, tang ekstraksi gigi3,7
.
265
Gambar 7:reduksi melalui pendekatan vestibulum maksila2
Insisi dilakukan kira-kira 3 sampai 5 mm di atas mucogingival junction
dari gigi insissivus pertama diperluas ke posterior sesuai keperluan, biasanya
sampai gigi molar pertama. Fraktur infraorbital rim, maksila bagian anterior dan
buttress zigomatikomaksila mudah dicapai dengan pendekatan ini7.
Keuntungan dari pendekatan ini adalah scar yang terjadi tersembunyi,
sederhana, lebih cepat dan komplikasinya sedikit1,3
.
B). Pendekatan Supraorbital Eyebrow
Pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan akses ke lateral orbital rim
(daerah frontozigoma). Sebelum melakukan insisi, operator sebaiknya meraba
daerah lateral orbital rim untuk menentukan lokasi fraktur. Insisi dilakukan
sepanjang 2 cm dan bisa meluas ke bawah eyebrow sesuai lokasi fraktur7.
Pada teknik ini instrumen diinsersikan pada posterior zygoma sepanjang
permukaan temporal. Instrumen digunakan untuk mengangkat zygoma ke
anterior, lateral, dan tangan yang lain meraba infraorbital rim dan body zigoma.
Alat yang digunakan Large Kelly hemostat, Dingman Zygomatic Elevator atau
urethral sound 1,3
.
Secara estetis scar yang dihasilkan kurang tersembunyi pada pasien dengan
eyebrow yang tidak meluas ke lateral dan disamping itu akses yang didapat tidak
terlampau luas1,4
.
266
Gambar 8: Pendekatan supraorbita eyebrow (alis mata) 1,3
C). Pendekatan Upper Eyelid (Kelopak Mata Atas)
Pendekatan ini sering juga disebut upper blepharoplasty atau pendekatan
supratarsal fold. Insisi dilakukan pada lipatan kulit di kelopak mata atas. Insisi
dibuat sekurang-kurangnya 10 mm di atas tepi kelopak mata. Scar yang terbentuk
didaerah ini tidak menarik perhatian1,3
.
Gambar 9: Pendekatan pada kelopak mata atas1,4
D). Pendekatan Subtarsal
Pendekatan ini paling sering dilakukan untuk mendapatkan akses ke orbital
rim, dan dasar orbita. Insisi dibuat pada lipatan kulit di kelopak mata bawah
dibawah level tarsus. Keuntungan dari pendekatan subtarsal ini adalah relatif
mudah, baik secara estetis dan komplikasinya minimal1,3
.
267
Gambar 10: Pendekatan subtarsal1,4
E). Pendekatan Subkonjungtiva
Pendekatan ini dapat dikombinasi dengan canthotomy lateral untuk
membuka dasar orbita. Sebelum tindakan ini dilakukan pemasangan pelindung
kornea (corneal shell). Mula-mula dilakukan canthotomy dengan menggunakan
gunting jaringan pada fisura palpebra lateral dan memotong dalam arah
horizontal. Dengan menarik tepi kelopak, gunting kemudian diarahkan ke bawah
kemudian dilakukan transeksi terhadap tendon chantal lateral (inferior
cantholysis), bila telah sempurna kelopak mata akan jatuh bebas. Kemudian
dilakukan pemisahan (undermine) palpebra konjungtiva tepat dibawah tarsus ke
arah medial sampai lacrimal punctum. Salah satu ujung gunting dikeluarkan dari
pocket dan dilakukan penarikan dengan retraktor, kemudian dilakukan insisi
konjungtiva pada fornik dengan gunting. Setelah itu dilakukan diseksi tumpul
pada orbital rim1,3
.
268
A B
C D
Gambar 11: Pendekatan subkonjungtiva1,3
F). Pendekatan Koronal
Pendekatan ini nampaknya radikal dalam penanganan fraktur zigoma, tapi
menyediakan akses yang sangat baik ke orbita, body zigoma dan lengkung zigoma
tanpa komplikasi, serta Scar yang terbentuk tidak terlihat7.
Insisi ditempatkan atas dua pertimbangan. Pertama hairline, harus
diantisipasi kemungkinan terjadinya kemunduran hairline, maka insisi
ditempatkan beberapa sentimeter dibelakang hairline. Kedua, besarnya akses ke
inferior yang diperlukan, untuk keperluan ini insisi koronal dapat meluas ke lobus
dari telinga7.
Insisi dilakukan dengan menggunakan pisau no. 10 menembus kulit, sub
kutis dan galea. Pada tahap ini akan ditemukan jaringan ikat longggar, flap akan
dengan cepat (mudah) dilepaskan perikranium. Tepi insisi (anterior dan posterior)
diangkat 1 sampai 2 cm untuk pemasangan klip hemostatik (Raney Clips). Flap
anterior dipisahkan dengan diseksi tumpul sampai kira kira 2 cm dari body
lengkung dan zigoma. Kemudian lapisan superfisial fasia temporal diinsisi, akan
terlihat permulaan lengkung zigoma. Dari lengkung zigoma, dilakukan diseksi
269
tumpul sampai ke lateral orbita dan lengkung zigoma. Infraorbital rim dapat
terlihat dengan memperluas diseksi dari lateral orbita ke medial1,3
.
Penutupan dimulai dengan penjahitan fasia temporal, kemudian penutupan
scalp dengan dua lapis jahitan yaitu gelea dan kutis dengan benang 2-07.
Gambar 12: Pendekatan koronal1,4
G). Pendekatan Perkutan
Ini merupakan teknik yang paling sederhana dan tidak memerlukan diseksi
jaringan lunak dan bisa menggunakan beberapa instrument. Carol-girard screw
instrument yang bisa digunakan meredukasi zigoma, screw-nya dapat tertanam
dalam zigoma pada lubang yang dibuat sebelumnya. Keuntungan dari penggunaan
screw ini adalah dapat dilakukan kontrol yang lebih baik dalam mengembalikan
posisi zigioma. Alat lain yang sering digunakan adalah Bone hook1,3
.
270
Gambar 13:Reduksi melalui pendekatan perkutan 1,3
H). Pendekatan Temporal
Pada pendekatan ini dibuat insisi sepanjang 2,5 cm menembus kulit dan
subkutis sampai terlihat warna putih yang merupakan fasia temporalis. Kemudian
dilakukan insisi pada fasia, insisi harus cukup dalam sampai otot temporal terlihat.
Setelah itu insersikan elevator diantara fasia dan otot temporal dan didorong
sampai body zigoma dan mengembalikan posisinya1.
Gambar 14 : Reduksi melalui pendekatan temporal 1
3.2 PRINSIP FIKSASI
Untuk mempertahankan hasil reduksi, jika hanya memerlukan satu plate,
dianjurkan untuk memasang pada prosesus frontozigomatik. Pape (1997)
merekomendasikan untuk menggunakan satu atau dua mikroplate pada
zigomatikomaksila buttress7.
271
Pada fraktur Comminuted di infraorbital rim direkonstruksi dengan
menggunakan microplate. Plate yang digunakan biasanya sebanyak 4 lubang
dengan panjang 5 atau 7 mm7
3.3. KOMPLIKASI
Walaupun komplikasi pada fraktur kompleks zygoma dan lengkung
zygoma tidak umum terjadi, ahli bedah harus mengenali tanda-tanda dan gejala
untuk dapat memberikan perawatan yang tepat. Komplikasi bisa saja terjadi pada
masa awal periode postoperasi atau hanya menjadi manifestasi dikemudian hari.
A). Paresthesia Infraorbita
Insidensi perubahan sensoris saraf infraorbita yang menyertai trauma
zygoma berkisar 18 hingga 83%. Penelitian oleh Vriens bersama mahasiswanya
dan Taicher bersama mahasiswanya, telah menemukan bahwa pemulihan sensasi
infraorbita yang lebih baik yang menyertai reduksi yang terbuka dan fiksasi
internal pada sutura zygomatikofrontal dibandingkan dengan reduksi yang tanpa
disertai dengan fiksasi. Sepertinya, reduksi anatomis pada fraktur dapat
meminimalisir tekanan saraf dan dibiarkan untuk pulih. Namun, pada penelian
Vrien, tidak didapat tingkat kesembuhan yang sama pada pasien yang
membutuhkan eksplorasi bagian dasar dan rekonstruksi orbita.
B). Malunion dan asimetris
Fraktur malunion dari zygoma terjadi dalam beberapa tingkat keparahan.
Meskipun pada sebagian besar kasus terdapat defisit kosmetik, malposisi dari
tulang bisa menyebabkan penurunan fungsi mandibula. Insidensi terjadinya
asimetris bervariasi antara 3,6-27% pada seluruh fraktur komplek
zigomatikomaksilaris, namun angka ini hanya berdasarkan pada penilaian klinis.
Sebagian besar fraktur malunion dari zygoma didapatkan karena kekeliruan untuk
mengetahui keparahan dari cedera atau reduksi yang tidak stabil. Malunion yang
diketahui sampai 6 minggu setelah cedera masih bisa dikoreksi, menggunakan
teknik reduksi zygoma rutin. Teknik koreksi yang terlambat meliputi uatograft
272
maupun homograft atau bahan-bahan aloplastik dan ostektomi zygoma. Meskipun
bahan aloplastik telah dianjurkan, kontur yang dihaasilkan mungik irreguler dan
potensial terjadinya migrasi dan ekstrusi dari implan tersebut sepanjang waktu.
Untuk deformitas minor, kartilago telah terbukti lebih efektif. Bagaimanapun
defek yang lebih besar memerlukan reposisi kraniofasial atau penempatan tulang.
C). Enophtahlmos
Enophtahlmos merupakan satu dari beberapa komplikasi yang paling
mengganggu yang menyertai fraktur-fraktur zygoma. Peningkatan volume orbita
merupakan etiologi yang paling umum.
Grant bersama mahasiswa menjelaskan permasalahan klinis ini secara
jelas dengan membandingkan bentuk orbit dan bentuk kerucut. Volume kerucut
adalah ½ ( r2)h. Posisi lengkung orbita menentukan radius kerucut dan dimensi
panjang anteroposterior orbita adalah tinggi dari kerucut. Pada rumus ini, radius
dikwadratkan dan sedikit penambahan pada radiusnya menghasilkan pertambahan
volume yang drastic. Secara klinis, kesejajaran yang buruk dari lingkar orbita
dapat menambah volume orbita secara signifikan dan menimbulkan
enophthalmos.
Fraktur pada bagian dasar orbita juga merupakan akibat dari enophthalmos
dengan pertambahan volume orbita (Gambar 15). Dengan teknologi CT-scan yang
lebih baik, kalkulasi volume orbita dan implikasinya terkait dengan fraktur pada
bagian dasar orbita, mungkin saja untuk dilakukan.
Gambar 151
273
Raskin bersama mahasiswa menunjukan bahwa pertambahan sebesar 13%
pada volume orbita, pada 4 minggu, mengakibatkan enophthalmos yang
siginifikan (>2mm). Ukuran pada kerusakan orbita dan tonjolan abnormal pada
jaringan orbita juga telah diteliti. Pada tahun 2002, Ploder bersama mahasiswa
menjelaskan bahwa nilai rata-rata area fraktur sebesar 4,08 cm atau rata-rata nilai
jaringan yang bergeser sebesar 1,89 mL, dikaitkan dengan enophtahlmos dengan
ukuran lebih besar dari 2 mm. Pada umumnya, kira-kira 1 cm3 jaringan yang
bergeser sebanding dengan 1 mm enophthalmos.
Perawatan enophthalmos yang telat bisa dikatakan cukup menantang.
Akses yang luas dengan oetotomy zygoma, reposisi, dan grafting bisanya
diperlukan. Re-draping dari jaringan lunak periorbital termasuk itu canthopexy
juga diperlukan.
D). Diplopia
Diplopia merupakan kondisi abnormal (sequel) pada fraktur bagian tengah
wajah. Insidensinya bervariasi anatar 17 dan 83% dan tergantung dari waktu
timbulnya yang menyertai kerusakan dan pola serta tingkat keparahan dari
kerusakan. Pada pengamatan 2067 kasus fraktur kompleks zgoma, Ellis bersama
mahasiswa mencatat sebanyak 5,4 hingga 74,5 % insidensi diplopia. Fraktur
kompleks zygoma non-displaced dan fraktur lengkung zygoma yang terisolir
memiliki insidensi diplopia terendah, sedangkan fraktur murni memiliki insidensi
yang tinggi.
Penyebab-penyebab utama diplopia antara lain adalah edema dan
hematoma, terjepitnya otot-otot ekstraokular dan jaringan orbita, dan kerusakan
saraf III, IV, atau VI cranial. Penelitian histologist oleh Iliff bersama
mahasiswanya telah menunjukan fibrosis post-traumatik pada otot-otot
extraocular sebagai akibat kerusakan yang ditimbulkan. Mereka mengajukan
hipotesis bahwa hal ini bisa saja merusak contractility dan mengurangi terjadinya
penyimpangan otot-otot. CT scan pada bagian axial dan coronal serta konsultasi
dengan ahli mata perlu dilakukan untuk membantu pelaksanaan evaluasi. Diplopia
yang berhubungan dengan edema, hematoma, atau neurogenic bisa saja diatasi
274
tanpa adanya intervensi. Diplopia yang ditimbulkan oleh entrapment
membutuhkan eksplrasi dan reduksi tonjolan abnormal pada jaringan orbita
(gambar 19).
Diplopia yang menetap membutuhkan perawatan oleh ahli mata. Kondisi
tersebut membutuhkan perhatian khusus atau pembedahan.
E). Hyphema Traumatik
Trauma pada mata bisa mengakibatkan perdarahan di dalam ruang
anterior-area di antara kornea dan iris yang berwarna (gambar 15). Konsultasi
dengan ahli mata diperlukan. Hasil akhir perawatan termasuk pula pencegahan
terhadap perdarahan, yang bisa saja terjadi pada 5-30% pasien, dan
mempertahankan keadaan ocular normal.
Penatalaksanaan hyphema terdiri atas terapi suportif termasuk itu
mengatur kemiringan bagian kepala tempat tidur dan mengobati bagian mata yang
rusak. Penatalaksanaan medis dengan menggunakan cycloplegic topikal, dan beta-
blocker. Antifibrinolitik sistemik, carbonic anhydrase inhibitor, dan osmotic agent
juga diperlukan. Intervensi pembedahan oleh ahli mata jarang dibutuhkan.
Perawatan fraktur dapat ditunda.
F). Trauma Neuropati Optik
Trauma neuropati optik dapat saja bermanifestasi sebagai kondisi yang
meluas dari gambaran defisit yang ringan hingga gambaran kehilangan secara
keseluruhan. Konsultasi dengan ahli mata harus dilakukan. Perawatannya
bervariasi tergantung dari penyebabnya tapi bisa saja melibatkan penggunaan
steroid secara sistemik atau pembedahan dengan dekompresi saraf orbital atau
optik. Perawatan pada fraktur wajah dapat ditunda.
G). Sindrom Superior Orbital Fissure
Sindrom orbital fissure merupakan komplikasi yang tidak umum yang
menyertai trauma wajah. Keadaannya bisa saja berupa ptosis, ophthalmoplegia,
forehead anesthesia, dan fixed dilated pupil. Proptosis juga mungkin terlihat
275
Perawatannya bisa berupa reduksi fraktur, steroid, eksplorasi apeks orbital dan
aspirasi hematoma retrobular, apabila ada.
H). Perdarahan retrobulbar
Perdarahan pada retrobular jarang terjadi namun merupakan komplikasi
yang parah yang dapat mengakibatkan kerusakan awal atau koreksi operatif.
Gangguan pada sirkulasi retina dapat mengakibatkan iskemi yang ireversibel dan
kebutaan permanen. Pengamatan pada 1405 kasus fraktur orbita, Ord melaporkan
insidensi sebanyak 0,03% pada perdarahan retrobular posoperatif disertai dengan
kehilangan penglihatan. Konsultasi sesegera mungkin dengan ahli mata
diperlukan, namun dekompresi dengan canthotomy lateral dan cantholysis
sebaiknya tidak ditunda ( gambar 16).
Gambar 16 A. Retrobulbar hemorrhage. A, pasien dengan keluhan sakit pada periorbital,fiksasi
dan dilatasi pupil, proptosis, dan akut progressiveloss of vision dengan hyphema. B, Immediate
lateralcanthotomy and cantholysis were performed.3
I). Trismus
Berkurangnya gerakan mandibula mungkin merupakan komplikasi yang
merugikan dari fraktur zygoma. Penyebab yang paling umum terjadi adalah
terkenanya zygoma pada prosesus koronoid dari mandibula. Trismus juga bisa
terjadi secara sekunder akibat ankilosis fibrosis atau fibrooseus dari koronoid pada
arkus zygoma. Terkenanya zygoma atau arkus zygoma atau koronoidektomi
mungkin diperlukan untuk memulihkan gerakan normal dari mandibula
277
BAB IV
KESIMPULAN
Perawatan fraktur zygoma memerlukan tindakan bedah bila tidak ada
pergeseran fragmen atau pergeseran minimal. Bila terjadi pergeseran fragmen
diperlukan tindakan reduksi terbuka. Setelah tindakan reduksi terbuka tidak selalu
diperlukan fikasasi, kecuali atas indikasi seperti fraktur cumminuted.
Untuk tindakan reduksi dapat dilakukan pendekatan supra eyebrow (alis
mata), kelopak mata atas, subtarsal, sub konjungtiva, koronal, perkutan dan
temporal
278
DAFTAR PUSTAKA
1. Ellis E. Oral and Maxillofacial Trauma. 2005. 3rd Ed.Vol 1. Elsevier
Saunders.
2. Thaller SR, McDonald WS. 2004. Facial Trauma. New York : Marcel
Dekker.
3. Fonseca, R.J., et. All. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. Third Ed.
WB Saunders Co. Philadelphia.
4. Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson
et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co.
2003
5. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus.
Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1
tahun IX hal 41-50.
6. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex
Fractures. Dalam : Miloro M et al. Peterson’s principles of Oral and
Maxillofacial Surgery 2nd
. Hamilton, London : BC Decker Inc. 2004
7. David D.J., 1995, Craniomaxillofacial Trauma, 1th
ed. Churchill
Livingstone, London
8. Harle, F, et al., 1999. Atlas of Craniomaxillofacial Osteosynthesis, 1th
ed.
Thieme. New York.
9. Gray H. 2010. Anatomy of The Human Body : The Zygomatic Bone.
Available at : http:// www.bartleby.com/107/40.html
279
10.
FRAKTUR PALATAL
Leidya Valentina Elizabeth
160121120009
Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Bedah Mulut Dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung
Abstrak : Fraktur palatal jarang ditemukan sebagai diagnosis tunggal pada pasien
dengan trauma kraniofasial. Fraktur palatal biasanya berhubungan dengan fraktur
midfasial atau panfacial, dan berhubungan dengan fraktur Le Fort (8-13,2%).
Gejala klinis fraktur ini antara lain seperti ekimosis palatal pada fraktur tertutup
dan laserasi pada bibir atas atau mukosa palatal, kehilangan gigi incisivus, atau
disruption pada hubungan oklusi pada fraktur dislokasi. CT scan dilakukan
dengan potongan yang tipis, setiap 1.0 sampai 1.5mm, menunjukkan fraktur
dengan jelas.
Kata kunci : Fraktur palatal, alveolar maksila.
280
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur palatal memberikan tantangan unik untuk keterampilan bedah
dalam penanganan fraktur midfasial. Fraktur tidak stabil ini seringkali ditemukan
pada pasien trauma maksilofacial. Sering kali fraktur palatal dihubungkan dengan
fraktur midfasial lainnya. Fraktur palatal ditemukan pada 8% fraktur Lefort dan
jarang ditemukan sebagai fraktur palatal sendiri. Untuk memastikan stabilisasi
post operasi yang tepat dan restorasi oklusi sebelum cedera, pendekatan tahap
operasi diperlukan untuk setiap kelas fraktur palatal3.
Fraktur palatal jarang sebagai diagnosa tunggal pada pasien dengan trauma
kraniofasial. Biasanya berhubungan dengan fraktur midfasial atau panfasial, dan
dilaporkan sebanyak 8-13,2% berhubungan dengan kasus fraktur Le Fort. Tanda
klinis fraktur ini antara lain palatal eccymosis pada fraktur tertutup dan laserasi
bibir atas atau mukosa palatal, kehilangan gigi insisivus, kehilangan relasi oklusal
karena dislokasi fraktur. CT scan dilakukan dengan potongan yang tipis, setiap 1.0
sampai 1.5mm, menunjukkan fraktur dengan jelas.
Pilihan perawatan untuk fraktur palatal meliputi braket ortodontik, arch
bar acylated, dan arch bar untuk fiksasi maxillomandibular untuk fiksasi internal,
dengan plate dan screw yang dipasang dibawah mukosa palatal dan periosteum,
bersama dengan apertura pyriform atau plating alveolar serta rekonstruksi pilar-
pilar pada fraktur Le Fort.
281
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI TULANG PALATUM
Palatum durum terbentuk diantara tujuh tulang pilar kraniomaksilofasial.
Palatum terbentuk dari dua tulang yang bersatu: palatum pada bagian maksila dan
bagian horizontal palatum. Lebar dan dalam palatum keras serta lebar dan panjang
mandibula menunjukkan bangunan tiga dimensi sepertiga wajah bagian bawah.
Tulang palatal lebih tebal pada bagian anterior dan berangsur menipis ketika
mendekati palatum lunak. Tanpa memperhatikan crest pada midline, palatum
keras relatif tipis pada regio sagital dan parasagital, namun menjadi lebih tebal ke
arah alveolus. Pada area alveolus, ketebalannya antara 12 sampai 14 mm. Tebal
rata-rata palatal adalah 4,5 mm. Foramen terdapat dekat midline palatum dari arah
anterior (dibelakang insisivus mesial) dan jauh ke arah posterior (dekat gigi
molar). Foramina berukuran sangat kecil dan berfungsi untuk mengimbangi
struktur palatum secara keseluruhan. Periosteum lebih melekat kuat pada
membran mukosa di dalam kavitas oral dibandingkan dengan tulang palatal,
keduanya dikenal sebagai mukoperiosteum.
2.2 DIAGNOSA
Saat ini, hampir pada semua trauma center dilengkapi dengan peralatan
CT Scanner yang sangat akurat, dimana beberapa kasus fraktur palatal dapat
terdiagnosa (Gambar 1a). Peralatan ini sangat penting terutama untuk
mendiagnosa fraktur yang tidak memberikan tanda klinis yang jelas. Pada hampir
semua pasien yang menderita fraktur palatal, akan memberikan tanda dan gejala
yang jelas. Pada lebih dari 65% penderita fraktur palatal, pasien menderita laserasi
bibir, dengan 45% pasien menderita disruption mukosa palatal dan gingival
(Gambar1b). Adanya perubahan oklusi maksila mandibula merupakan tanda yang
dapat ditemui juga. Hampir semua segmen fraktur palatal mengalami pergeseran
282
baik ke arah anterior dan lateral. Ahli bedah harus berhati-hati dalam menentukan
oklusi pada penderita fraktur palatal, karena penderita dapat mengalami fraktur
mandibula juga yang mana dapat mengaburkan diagnosa.
Gambar 1.a) CT-scan b) Klinis fraktur palatal1
2.3 KLASIFIKASI FRAKTUR PALATAL
Fraktur palatal dibedakan berdasarkan hubungan palatal dengan alveolus
maksila, gigi dan midline palatal3.
Type I : Fraktur Alveolar (2 type)
Type Ia : alveolus anterior, meliputi gigi incisivus beserta daerah
alveolusnya.
Type Ib : Posterolateral, meliputi gigi premolar, molar beserta
alveolusnya.
283
a) b).
Gambar 2.a) Tipe Ia b) Tipe Ib2
Type II : Fraktur Sagital
Fraktur type II terjadi pada daerah midline dari palatum. Type ini paling
sering ditemukan pada dekade ke 2 dan ke 3 sebab garis tengah palatum
belum terlalu mengeras.
mmhg
Type III : Fraktur Parasagital
Paling sering ditemui pada dewasa (63%) sebab tulang yang tipis berada di
daerah parasagital. Fraktur pada daerah ini berbeda dengan type Ib sebab
selain daerah premolar dan molar , daerah kaninus juga ikut terlibat.
a) b)
Gambar 3.a) Tipe II b) Tipe III2
Type IV : Fraktur paraalveolar
Terjadi dari arah palatal menuju alveolaris maksila dan berisi gigi-gigi
insisivus.
284
Type V : Fraktur compleks/ Comminuted
Fraktur yang besar multiple, ke arah oblik atau comminuted fraktur kasar.
Type VI : Fraktur Transversal
Fraktur palatal yang paling jarang terjadi, membelah maksila pada dataran
koronal.
a) b) c)
Gambar 4.a) Tipe IV b) Tipe V c) Tipe VI2
285
BAB III
PEMBAHASAN
Perawatan bedah pada fraktur palatal dimulai dengan identifikasi secara
spesifik tipe fraktur, keadaan gigi geligi, dan hubungannya dengan fraktur pada
maksila dan mandibula. Kemungkinan perawatan yang bisa dilakukan adalah:
kombinasi fiksasi internal, pemakaian arch bar, dan palatal acrylic splint pada
fraktur kompleks. Fraktur palatal tipe Ia bisa dirawat menggunakan Erich bar
segmental atau menggunakan braket ortodontik tanpa fiksasi intermaksiler. Kedua
cara perawatan ini bisa didukung dengan pemakaian mini plate atau mikroplate
menggunakan insisi gingival standar untuk Le Fort I. Fraktur tipe Ib bisa dirawat
menggunakan arch bar pada pertemuan segmen fraktur yang terbuka di belakang
pilar zygomaticomaxillary untuk menfasilitasi reduksi terbuka dengan fiksasi
internal. Dianjurkan untuk melakukan fiksasi intermaksiler selama dua atau empat
minggu.
Fraktur palatal tipe II, III, IV dan VI dirawat dengan pendekatan perbagian
secara urut untuk mengurangi kesalahan penyatuan segmen-segmen fraktur.
Oklusi harus didapatkan sebelum merawat fraktur ini.
Reduksi dimulai dengan aplikasi arch bar maksila untuk memasang
tension band melewati segmen alveolus maksila, supaya penyatuan awal dapat
dilakukan. Untuk memastikan penyatuan awal, pasien bisa dipasangi fiksasi
intermaksiler sementara. Setelah fikasi intermaksiler dilepas, perhatian
dilanjutkan pada fiksasi internal rigid pada daerah palatal yang fraktur.
Pendekatan bedah meliputi laserasi atau insisi longitudinal pada palatal untuk
mempertahankan suplai darah pada segmen palatal. Ketika segmen yang fraktur
terlihat, tekanan ke arah mesial menggunakan jari untuk mendapatkan lebar
lengkung dan batas oklusal. Saat menggunakan fiksasi internal yang rigid, paling
tidak dua plate digunakan 9 satu anterior dan satunya lagi diposterior) untuk
286
menghindari terjadinya pergerakan segmen fraktur ke arah posterior,
menghasilkan lebar lengkung daripada yang direncanakan.
Setelah aplikasi fiksasi rigid dan penutupan insisi, fiksasi intermaksilari
dipasang kembali untuk mempersiapkan fiksasi internal rigid pada segmen
piriformis dan ridge alveolar. Pendekatan bedah meliputi laserasi, insisi vestibular
standar untuk Le Fort I, dan jika suplai darah menjadi perhatian, insisi vertikal
ginggiva kemungkinan perlu dilakukan. Pemasangan plate dilakukan di regio
piriformis dan sepanjang basis pilar zygomaticomaksilaris. Rekonstruksi secara
bedah dilakukan setelah semua stabilisasi dilakukan dan stabilisasi oklusi sudah
dipastikan. Direkomendasikan untuk memasang fiksasi intermaksiler selama 2
sampai 4 minggu diikuti dengan elastic guidance dan diet lunak sampai dilepas.
Gambar 5. Acrylic splint2
Fraktur palatal tipe V membutuhkan aplikasi palatal splint akrilik untuk
perawatan. Fraktur comminuted pada palatum sebaiknya dirawat dengan
pendekatan tertutup (close reduction) dimana suplai darah pada segmen fraktur
tidak dapat dikompromikan. Persiapan yang optimal diperlukan pada saat
memperbaiki palatum yang fraktur comminuted. Model gigi diambil dari pasien
untuk membuat model pembedahan di laboratorium dan membuat splint palatal.
287
Splint sebaiknya tidak diperlebar secara interoklusal diantara mandibula dan
maksila. Bisa juga diaplikasikan circumdental wire dengan atau tanpa
menggunakan arch bar.
288
BAB IV
KESIMPULAN
Fraktur palatal memberikan tantangan unik untuk keterampilan bedah
dalam penanganan fraktur midfasial. Fraktur tidak stabil ini seringkali ditemukan
pada pasien trauma maksilofacial. Sering kali fraktur palatal dihubungkan dengan
fraktur midfasial lainnya.
Perawatan bedah pada fraktur palatal dimulai dengan identifikasi secara
spesifik tipe fraktur, keadaan gigi geligi, dan hubungannya dengan fraktur pada
maksila dan mandibula. Kemungkinan perawatan yang bisa dilakukan adalah:
kombinasi fiksasi internal, pemakaian arch bar, dan palatal acrylic splint pada
fraktur kompleks.
289
DAFTAR PUSTAKA
1. Ellis E. Oral and Maxillofacial Trauma. 2005. 3rd Ed.Vol 1.
Elsevier Saunders.
2. Thaller SR, McDonald WS. 2004. Facial Trauma. New York :
Marcel Dekker.
3. Fonseca et al.2005. Oral and Maxillofacial Trauma. Vol 2nd. St
Louis : Elseviere
290
Fraktur Nasal dan Kompleks Orbita
Susanti Bulan
160121120004
Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Bedah Mulut Dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
Abstrak: Cedera pada nasal, orbita dan ethmoid menjadi suatu tantangan baru
baik dari cara mendiagnosa maupun rekonstruksinya pada perawatan setelah
trauma. Hal ini menjadi penting karena terdapat lacrimal apparatus, medial
chantal ligament, dan arteri ethmoidal di daerah tersebut. Hasil yang baik akan
tercapai dengan penguasaan anatomi yang baik, perawatan yang dilakukan sedini
mungkin dan proses rekonstruksi yang hati-hati. Maksud dari penulisan makalah
ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai fraktur nasal dan kompleks
orbita serta perawatannya. Sehingga memudahkan doktergigi jika mendapatkan
kasus-kasus kegawatdaruratan
Kata Kunci: fraktur, nasal, orbita
291
BAB I
PENDAHULUAN
Hidung terdiri dari tulang, jaringan lunak dan kartilago. Fungsinya sebagai
saluran udara ke saluran pernapasan bawah dan paru-paru. Fraktur tulang nasal
dapat bervariasi tergantung arah dan kekuatan yang mengenainya1.
Perawatan fraktur nasal telah menjadi subjek dalam dunia kedokteran
sejak zaman Yunani. Selama berabad-abad, dasar filosofi perawatan adalah
reduksi fraktur dengan mengembalikan pada bentuk dan fungsi yang normal.
Dengan mengetahui hubungan sebab dan akibat antara keparahan trauma dan
derajat deformitas, kita dapat memutuskan pilihan perawatan mana yang akan
dilakukan, dan lebih penting lagi perawatan mana yang paling baik untuk pasien
sesuai dengan traumanya2.
Menurut Christian, fraktur nasal paling sering terjadi pada struktur tulang
fasial dan menurut Schroeder, 50 % fraktur pada tulang fasial terpisah dari
piramid nasal. Fraktur nasal sering kali dirawat dengan penilaian preoperative
yang tidak adekuat. Perluasan disrupsi struktur nasal sehubungan dengan arah dan
derajat kekuatan trauma sering kurang diperhitungkan. Kemudian hidung dirawat
dengan cara sederhana dan hasil akhirnya mungkin jauh dari yang diharapkan,
meskipun pada mulanya tampak cukup baik4.
Pada penelitian yang dilakukan Cruse dari 182 kasus trauma fasial kira-
kira 18% adalah fraktur nasal dan kompleks orbita. Insidensi umur dari pasien
adalah 31 tahun. Kecelakaan kendaraan bermotor sebanyak 70% dan 63%
mengalami cedera pada bagian lain yang cukup parah. Sebanyak 51% mengalami
cedera pada central nervous system dimana 42% nya mengalami keluarnya cairan
cerebrospinal2.
Untuk mendiagnosa fraktur didaerah ini biasanya ditentukan melalui
pemeriksaan CT-Scan. Rontgen film biasa sulit menggambarkan derajat
keparahan dan lokasi dimana cedera itu terjadi. Hal ini terjadi karena pada
292
gambaran rontgen dapat terjadi overlapping struktur-struktur tulang di daerah
tersebut2.
Pada makalah ini akan dibahas dan diharapkan dengan mengetahui
kekuatan trauma, dengan kombinasi dengan pilihan perbaikan dan penilaian
keputusan yang baik, maka ahli bedah dapat membuat diagnosis yang benar dan
memilih rencana perawatan yang tepat untuk pasien.
293
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. ANATOMI
Daerah Hidung-Mata-ethmoid disusun oleh cranium, tulang maksila,
hidung dan orbita. Rekonstruksi yang dilakukan satu-persatu akan
mendapatkankan hasil yang maksimal. Rekonstruksi pada daerah ini dilakukan
secara hati-hati dan memerlukan kontrol terhadap volume orbita. Tulang hidung
dekat dengan bagian anterior dari tulang orbita dan berhubungan dengan tulang
frontal, tulang lakrimal, dan processus maksilaris. Daerah ini merupakan
perlekatan dari medial chantal tendon yaitu processus frontalis dan tulang
lakrimal. Sehingga penting diperhatikan pada saat rekonstruksi untuk mencegah
telechantus, enophtalmos dan disfungsi dari sisem lakrimal. Daerah posterior dari
kompleks nasal berhubungan dengan sinus ethmoidalis dan terletak ditengah dan
dapat dengan mudah terkena trauma karena posisinya yang berdekatan dengan
cribiform plate. Jika ada trauma maka dapat timbul cerebropinal fluid rhinorhea,
pneumocephalus, dan cedera pada saraf olfaktori. Tidak jarang pada cedera yang
parah dapat menyebabkan komplikasi intrakranial2.
Hidung adalah suatu struktur midline sentral fasial yang mempunyai unsur
kosmetik dan fungsional. Secara kosmetik, hidung membantu membentuk central
frame wajah, dan kesimetrisannya adalah penting dalam membentuk simetris
wajah. Fungsi estetiknya memberikan keseimbangan, sehingga mata, pipi, dan
mulut memberikan keindahan wajah. Secara fungsional, hidung merupakan jalan
masuk respirasi nasal manusia pada keadaan normal3.
294
(1) os nasale (2) os. Maksilla
Gambar 1: Anatomi Cranium dan os. Nasal5
Gambar 2: Permukaan dan struktur anatomi hidung 3
295
Pernapasan mulut adalah merupakan tanda terjadinya kelainan pada
saluran pernapasan atas (upper airway), oleh karena itu adanya obstruksi pada
hidung diduga telah terjadi kelainan3.
Secara anatomi, hidung dibentuk oleh gabungan antara tulang pendukung
yang fleksibel dan rigid, yaitu tulang dan kartilago. Tulang hidung adalah
setengah bagian puncak, dan cartilago adalah setengah bagian bawah. Tulang
hidung sendiri adalah rata (flat), berbentuk lembaran empat persegi panjang
(rectangle) yang menebal pada bagian superior, dan berinterdigitasi dengan tulang
frontal dan tipis pada bagian inferior, dan melekat pada bagian atas kartilago
lateral hidung. Prosesus nasalis tulang frontal dan maksila menyebabkan adanya
support dari superior dan lateral, berturut-turut untuk tulang nasal, dan struktur
supporting ini lebih tebal dan lebih kuat dari tulang hidung sendiri. Pada midline,
tulang hidung bersatu untuk membentuk suatu tenda “pup tent”, dengan plat tegak
lurus dari dukungan ethmoid pada garis tengah seperti sebuah tenda. Anastomosis
tulang sepanjang garis sutura antara ketiga tulang adalah rigid, jadi tulang hidung
berbentuk tripod3.
Cartilaginous hidung dibentuk kombinasi dari dua pasang kartilago lateral
atas (upper lateral cartilages) (ULCs)), dua pasang kartilago bagian bawah (lower
lateral cartilages) (LLCs)), satu septum cartilage midline, dan suatu cartilage
terdapat pada beberapa daerah pada jaringan lunak. Pasangan kartilago lateral
bawah, flat, triangular sections dari cartilage hyaline yang melekat secara kuat ke
superior pada tepi inferior dari tulang hidung oleh jaringan fibros konektif yang
kuat. Hubungan ini tidak tepi dengan tepi tetapi overlapping, dengan tulang nasal
yang berada dibawah ULCs. Pada midline, kedua ULCs melekat secara kuat satu
dengan yang lainnya dan kartilago kwadrangular dari septum nasal anterior.
Walaupun penyatuan ini tidak kontinius, penyatuan fibrous ini sangat kuat, oleh
karena itu bagian hidung ini harus dipertimbangkan sebagai tripod. Secara lateral,
ULCs mempunyai perlekatan jaringan lunak pada jaringan fibrofatty dari alae
nasal dan lateral hidung. Pasangan LLCs mempunyai medial crus yang berjalan
lateral dari LLCs yang berjalan dari lateral ke kartilago septum caudal, disebut
dengan kolumela. Lateral krus dari LLCs dapat dibagi atas menjadi daerah puncak
296
medial, dimana ini disebut sebagai ukuran dan besar puncak hidung, dan pada
segmen lateral, yang mendukung alae nasal dan berfungsi untuk menjaga
terjadinya kolaps selama fungsi inspirasi. Kartilago yang berjalan sepanjang
margin inferior lateral LLC. Pada daerah midline terdapat perlekatan fibrous
antara struktur yang membantu membentuk puncak hidung, tetapi ini tidak sekuat
perlekatan pada ULCs dengan septal. Ujung kaudal inferior dari kartilago septum
nasal dilekatkan oleh pita jaringan fibrous pada spina nasalis anterior maksila,
yang akan membantu menjaga terjadinya rotasi ke posterior dari septum dan
kehilangan dukungan puncak hidung. Jaringan yang menutupi tulang dan
kartilago ini adalah jaringan lunak dan mukosa bagian dalam, otot dan kulit. Otot
pada hidung adalah otot depressor septi, dan procerous-kontribusi pada kumpulan
jaringan lunak hidung dan hanya mempunyai sedikit fungsi pada pergerakan fasial
atau respirasi. Kulit dan jaringan subkutan pada tulang hidung tipis dan mobil,
dimana kartilagenous hidung ini lebih tebal dan lebih melekat pada struktur di
bawahnya. Kulit hidung sangat bervariasi ketebalannya, dan mengandung
kelenjar keringat yang semakin meningkat jika kulit semakin tebal. Pada bagian
dalam hidung anterior, kulit yang menutupi hidung berubah menjadi membran
mukos, membentuk mucocutaneous junction3.
Orbit merupakan kavitas tulang yang terbentuk oleh tulang fasial yang
menyerupai rongga pyramid quadrangular dengan dasar berada dalam arah
anterolaterally dan apeksnya dalam arah posteromedially. Dinding medial dari
dua orbit terpisah oleh sinus ethmoidal dan bagian atas dari rongga hidung yang
paralel, sedangkan dinding lateralnya hampir memnbentuk sudut 40 derajat.
Sehingga, axis dari orbit divergen kira-kira 45 derajat. Orbit memiliki kandungan
yang melindungi bola mata serta sruktur visual tambahan yang terdiri atas :
- Kelopak mata, yang membatasi orbit bagian anterior, mengontrol
pembukaan bola mata anterior.
- Muskulus ekstraokular yang memposisikan bola mata dan menaikkan
kelopak mata superior. Yang terdiri atas :
1. M. Levator palpebrae superioris
297
2. Empat m.rectus yang terdiri atas superior, medialis, inferior
dan lateral
3. Dua otot oblik yang terdiri atas obliqus superior dan inferior
- Nervus dan pembuluh darah yang melewati bola mata dan muskulus.
- Membran mukous (konjungtiva) melapisi kelopak mata dan aspek anterior
dari bola mata dan aparatus lacimal yang melubrikasinya.
Gambar : Mata tampak lateral Gambar : Mata tampak coronal
Gambar 3: Otot-Otot Mata5
Tidak semuannya ruang di dalam orbit ditempati oleh struktur yang berisi lemak
orbita; sehingga orbit ini tersusun oleh matriks dimana struktur dari orbit
melekat. Bentuk pyramid dari orbit memiliki dasar, empat dinding dan suatu
apeks.
- Dasar orbita dibatasi oleh margin orbita yang mengelilingi orbital
opening. Tulang membentuk tepi orbita yang memperkuat proteksi
kandungan orbita dan memberikan perlekatan untuk septum orbita, suatu
lapisan fibrous terputus yang meluas ke dalam kelopak mata.
- Dinding superior (atap orbita) diperkirakan berbentuk horizontal dan
terutama dibentuk oleh frontal bone, yang memisahkan rongga orbita dari
fossa cranial anterior. Dekat dengan apeks dari orbit, dinding supeior
M.Rectus sup.
M.Rectus lateralis
M.Rectus inf.
M.obliqus .inf.
M.Obliqus med
Chiasma opticus
298
dibentuk oleh tulang sphenoid. Dan dibagian anterolateral suatu lekukan
pada bagian orbita yang disebut fossa lacrimal.
- Dinding medial yang posisinya kontralateral dari orbit yang paralel dan
terbentuk oleh tulang ethmoid, yang berhubungan dengan tulang lacrimale,
sphenoid dan frontal. Dibagian anterior
- Dinding inferior (dasar orbita), dibentuk terutama oleh tulang maksila dan
sebagian tersusun oleh zygoma dan tulang palatina. Dinding inferior yang
tipis dibentuk oleh orbit dan sinus maksilaris.
- Dinding lateral dibentuk oleh prosessus frontalis dari tulang zygomatik
dan sayap terbesar dari tulang sphenoid. Ini merupakan dinding yang
terkuat dan paling tebal. Ini sangat penting karena daerah ini sangat
terbuka dan berpotensi mengalami trauma secara langsung. Bagian
posterior dipisahkan orbit dari temporal dan pertengahan fossa cranial.
- Apeks orbit merupakan suatu canal optik pada sayap tulang sphenoid yang
kecil, dibagian medial dari fissure orbital superior. (Moore LK,)
Gambar : Kavitas Orbita
Gambar 4: Anatomi Kavitas Orbita5
II.2 DEFINISI
Fraktur nasal adalah terjadinya kerusakan pada tulang di sekitar pangkal
hidung, biasanya disebabkan oleh adanya trauma tumpul dan merupakan fraktur
tulang daerah fasial yang paling sering. Trauma yang serius pada hidung dapat
menyebabkan masalah yang memerlukan perhatian segera. Tetapi pada trauma
Maksila
Sphenoid Frontal
Zygoma
Frontal
299
hidung yang tidak terlalu berat, perlu diperhatikan lebih baik lagi setelah
pembengkakan mereda untuk mengevaluasi efek perluasan trauma.
Trauma nasal didefinisikan sebagai adanya trauma pada hidung atau hal
lain yang dapat menyebabkan terjadinya deformitas, gangguan pernapasan melalui
hidung karena adanya obstruksi, atau adanya gangguan penciuman (olfaction).
Fraktur orbita biasanya tampak bersamaan dengan trauma midfacal.
Tingkat keparahan fraktur mulai dari fraktur yang pergeserannya minimal pada
suatu dinding yang terbatas yang tidak membutuhkan intervensi bedah sampai
dengan kerusakan yang parah dari orbit. Fraktur orbita mungkin di jelaskan
dengan pertimbangan hubungan anatomi, berikut ini :
1. Fraktur dapat terbatas pada tulang orbital internal. Jenis ini termasuk
blow-out dan blow-in, seperti yang tampak pada fraktur pada dasar orbita,
dinding medial, dan atap orbita. Fraktur blow out dapat dibagi mengikuti
berbagai macam fraktur :
- Fraktur trapdoor yang disebabkan oleh kekuatan yang ringan.
- Fraktur medial blow-out yang disebabkan kekuatan menengah.
- Fraktur lateral blow-out yang sebabkan oleh kekuatan yang tinggi.
2. Fraktur mungkin melibatkan rim orbital. Suatu fraktur rim superior,
inferior, dan lateral mungkin sebagai suatu luka yang terbatas, atau ini
mungkin berbatasan dengan fraktur dinding internal.
3. Fraktur yang hubungkan dengan fraktur lain pada skeleton facial.
Keterlibatan orbit pada berbagai bentuk fraktur fasial, termasuk
zygomaticomaxillary (ZMC), naso-orbito-ethmoid (NOE), sinus frontal,
Le Fort II,dan Le Fort III.
4. Fraktur apeks orbita adalah penting untuk diidentifikasi karena ini
berhubungan dengan kerusakan pada struktur neurovaskuler dari fissura
orbita superior dan kanal optik.
Trauma fasial kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, kecelakaan industri, fasial trauma yang berhubungan dengan olah raga,
dan kekerasan. Kecelakaan kendaraan bermotor, khususnya yang tidak
300
menggunakan seatbelt, merupakan kejadian yang paling banyak mengakibatkan
trauma maksilofasial, yang ditunjukkan pada sebagian besar negara berkembang.
Penatalaksanaan trauma orbita dan fraktur bertujuan untuk meminimalisir dan
mencegah kerusakan awal dan lanjutan serta komplikasinya. Tujuan dari
intervensi adalah untuk mencegah hilangnya penglihatan dan meminimalisir
masalah lebih lanjut, seperti diplopia yang persisten dan malposisi bola mata.
II.3 KLASIFIKASI
Pola kerusakan dan perluasan displacement struktur nasal jika terjadi
fraktur adalah tergantung pada arah dan derajat kekuatan yang terjadi. Pada tahun
1468, Rowe dan Killey menggambarkan trauma yang terjadi pada nasal dari arah
lateral dan anterior. Ini merupakan dasar klasifikasi trauma tulang nasal yang
dibuat oleh Stranc dan Robertson (1474). Tetapi kemudian mereka membagi
fraktur akibat benturan atas tiga tingkatan trauma dimana peningkatan keparahan
merupakan cermin peningkatan kekuatan trauma. Bidang satu, trauma tidak
meluas berdasar suatu garis pertemuan tepi bawah tulang nasal ke spina nasalis
anterior; bidang dua, trauma terbatas pada daerah hidung eksternal dan tidak
mengenai orbital rim; bidang tiga, trauma lebih serius, oleh karena meliputi orbita
dan kemungkinan juga struktur intra cranial, biasanya berhubungan dengan
trauma pada nasoethmoid serta diagnosa dan perawatannya juga lebih
komprehensif 4.
301
Gambar 5: A dan B menunjukkan peningkatan derajat trauma dengan peningkatan daya
yang mengenai hidung5
Pada tahun 1486, Murray dan Maran mengemukakan suatu klasifikasi
pathologi dari fraktur nasal yang diteliti pada lebih dari lima puluh cadaver.
Mereka menemukan tujuh pola yang berbeda dari fraktur nasal dengan berbagai
macam derajat keterlibatan septum. Mereka menyimpulkan bahwa kerusakan
septum juga berhubungan dengan fraktur nasal. Pada keadaan klinis mereka
menetapkan bahwa, jika hidung mengalami deviasi lebih dari setengah kali dari
lebar aslinya, tulang akan mengalami deviasi kembali setelah dilakukan
manipulasi hanya pada tulang nasal saja4.
Klasifikasi dari fraktur orbita adalah:
1. blow out fracture, dibagi menjadi:
1. pure blow out – orbital rim intak
2. impure blow out – terjadi fraktur pada orbital rim
2. fraktur blow in
Fraktur dasar orbita blow out merupakan trauma dari tepi orbita atau
jaringan lunak di sekitar orbita, fraktur ini disebabkan oleh peningkatan tekanan
302
intra-orbital secara akut yang menekan dinding-dinding orbita. Fraktur dasar
orbita blow out dapat timbul bersamaan dengan fraktur dinding medial atau orbita
rim.1,2
Gambar 6: Fraktur Blow in dan Blow out1,2
Klasifikasi fraktur Nasal-Orbit-ethmoid (2)
Type I : Klasifikasi yang paling sederhana, hamya melibatkan satu bagian
dari nasal-orbita ethmoid yaitu bagian medial orbital rim.
Type II : daerah yang terkena lebih luas atau comminuted fraktur
Type III: daerah yang terkena luas termasuk bagian tengah dari central
fragmen dimana medial canthal tendon melekat, terjadi avulsi dari canthus
303
Gambar 7: Fraktur Nasal, ethmoid4
II.4 PENYEBAB DAN GEJALA KLINIS
Penyebab terbanyak adalah trauma kecelakaan kendaraan bermotor,
trauma karena olah raga, berkelahi, kecelakaan pekerjaan, aktivitas yang
berlebihan, dan terjatuh adalah yang paling sering terjadi pada anak-anak1.
Gejala klinis dapat meliputi rasa sakit, pembengkakan, obstruksi
pernapasan, epistaksis, krepitasi, septal hematoma, rhinitis, dan stenosis nasal
vestibular1.
Kebanyakan penderita yang mengalami trauma dasar orbita blow out
mempunyai gambaran sebagai berikut :
1. Berkurangnya kemampuan visual.
2. Blepharoptosis.
3. Diplopia binocular vertical atau oblik.
4. Hyperthesia ipsilateral, dysesthesia atau hyperalgesia sesuai
dengan distribusi n. infraorbitalis.
304
5. Epistaksis
6. Pembengkakan pada kelopak mata setelah meniupkan udara ke
hidung
7. Edema dan ecchymosis periorbita yang disertai dengan rasa sakit
merupakan gejala dan tanda eksternal.
8. Enophtalmos mungkin juga terlihat tapi awalnya terjadi
pembengkakan jaringan disekelilingnya. Pembengkakan juga akan
membatasi gerak otot ekstraokuler
9. Proptosis juga bisa terjadi dari perdarahan retrobulbar atau
peribulbar.
10. Tenderness pada saat palpasi orbita, juga dapat merasakan step
pada tulang orbital rim.
Pemeriksaan bola mata sangat penting dan mungkin sulit karena adanya
edema pada jaringan lunak. Untuk ini diperlukan set desmares retractor. Jika
terjadi disfungsi pupil, ditandai dengan menurunnya kemampuan visual, harus
diwaspadai terhadap kemungkinan terjadinya neuropathy optikus traumatik.4
Mata dengan kesejajaran yang tidak sama dapat juga terjadi, hipotropia
atau hipertropia serta terbatasnya kemampuan menarik mata ke atas.
Wilkin dan Havin melaporkan 30 % terjadi insidensi bola mata yang
ruptur bersamaan dengan fraktur orbita, kenyataan ini mengingatkan betapa
perlunya pemeriksaan opthalmologis yang menyeluruh dan kompleks.1
Gambaran klinik dari fraktur blow in terutama berhubungan dengan
pengurangan volume pada rongga orbita.4
1. Proptosis (exopthalmus) adalah protrusi atau majunya bola mata (okuli)
yang abnormal. Umumnya terjadi di awal kejadian, bersama dengan
hematom dan pembengkakan dari jaringan orbita
305
Gambar 8:. Exopthalmus6
2. Bola mata bergeser lebih jauh pada dataran koronal dan pergerakan bolah
mata yang terbatas
3. Diplopia (double vision), merupakan gejala umum dan berhubungan
dengan fraktur pada dinding medial, dasar, lateral dan atap orbita. Adanya
hematoma, edema pada muskulus ekstraokular atau pada fasia di sekitar
orbita atau terperangkapnya lemak orbita merupakan penyebab utama.
4. Pergeseran fragmen fraktur ke dalam orbit mengakibatkan ruptur bola
mata.
5. Sindrom fissure orbital superior, disebabkan oleh lesi yang diakibatkan
oleh trauma, tekanan langsung atau suatu penekanan akibat hematom (atau
keduanya) pada kandungan fissura orbital superior antara lain : nervus
lacrimale, nervus frontal, vena ophtalmic superior, nervus kranial IV,
nervus kranial III (cabang suerior), nervus nasomaksilaris, nervus kranial
VI, divisi inferior darinervus kranial III dan vena ophtalmicus. Gejalanya
adalah hilangnya sensasi pada dahi yang diakibatkan oleh cabang frontal
dari nervus V. Hilangnya refleks kornea diakibatkan karena keterlibatan
cabang nasociliary dari subdivisi nervus V, menetapnya dilatasi pupil
akibat nervus kranial III, IV dan VI, dan terbendungnya suplai parasimpatik
yang dibawa oleh nervus III. Tidak adanya refleks dan akomodasi terhadap
sinar langsung karena terbendungnya aliran efferen oleh paralisis dari
306
nervus III. Selain itu juga terjadi edema yang persisten akibat obstruksi
vena ophtalmicus2.
6. Cedera pada nervus optikus, cedera pada nervus dapat menyebabkan
spasme dari pembuluh darah retina. Selain itu ditandai oleh gangguan
visual dan perubahan respon pupil terhadap respon cahaya.
7. Ptosis, merupakan jatuhnya kelopak mata atas ke posisi lebih jika
dibandingkan dengan posisi normal sebelumnya. Ptosis dapat terjadi secara
manual dan secara kongenital.
8. Keterbatasan pada muskulus rectus superior atau hematom yang pada
kelopak mata bagian atas. (peter ward booth)
9. Mungkin ditemukan adanya CSF, karena adanya fraktur sphenoidale dan
ethmoid juga fraktur pada sinus frontal sehingga menyebabkan dural tear
sehingga terjadi hubungan dengan subarachnoid space. Selain itu CSF juga
dapat timbul karena adanya fraktur pada basis cranium.
10. Meningoceles dan encephaloceles, merupakan keluarnya penonjolan dari
selaput dan bagian otak melalui celah yang terbentuk antara tulang dapat
merupakan akibat dari suatu trauma, ataupun pascaoperasi.
II.5 POLA TRAUMA
A. Trauma dari Lateral
Ini adalah trauma yang paling sering terjadi dan seringkali tidak terlalu
parah. Tergantung pada derajat kekuatan, luasnya kerusakan tulang dapat
bervariasi dari yang sederhana sampai displacement tulang nasal, berhubungan
dengan bengkok atau tertekuknya septum nasal tanpa terjadi fraktur septum. Pada
keadaan ini umumnya dengan dilakukan manipulasi tertutup sudah cukup
memuaskan, hasilnya akan lebih stabil diikuti dengan reduksi fraktur dengan
menggunakan Walsham’s forceps dan pelurusan septum nasal dengan
menggunakan Asch’s forceps. Hasilnya akan lebih stabil sebab tidak terdapat
fraktur pada septum. Dengan suatu kekuatan yang lebih besar kedua tulang nasal
dapat terjadi fraktur dan displaced dan ini sering kali disertai dengan terjadinya
fraktur septum. Displaced fragmen nasal dapat segera direduksi dengan
307
manipulasi tertutup tetapi penting untuk melakukan eksisi berbentuk C pada
septum4.
Gambar 9 : Trauma nasal dari arah lateral, a. Daya yang moderat menimbulkan depressi pada tulang dan septum nasal; b. Daya yang lebih besar menimbulkan displacement pada piramid dan
septum nasal4
B. Trauma dari Anterior
Adanya pukulan atau trauma dengan kekuatan yang moderat dari arah
frontal, kedua tulang nasal akan fraktur pada ujung bawah dan, oleh karena
sebagian besar daya diterima oleh septum nasal, displacement dan fraktur dari
struktur ini sering sekali terjadi. Dengan daya yang lebih besar lagi, seluruh
piramid nasal, termasuk prossesus frontalis dari maksila, dapat terlepas, dengan
comminuted fracture, terutama pada bagian sepertiga bawah tulang nasal. Fraktur
nasal tipe ini bervariasi hubungannya dengan fraktur septum dan terjadi
displacement yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan nasal (4).
Kelompok pertama dirawat dengan manipulasi dan bedah septum tetapi
pada kelompok yang kedua, terutama dengan adanya ketidakstabilan nasal,
reseksi submukus akan menimbulkan kolaps yang lebih parah. Manipulasi dengan
sentralisasi septum harus dikombinasi dengan support internal pada nasal seperti
yang dikemukakan oleh Sear (1477)4.
308
Gambar 10 : Trauma nasal dari anterior; a. Daya sedang menimbulkan depressi pada septum dan piramid nasal; b. Daya yang lebih besar menimbulkan fraktur comminuted pada piramid nasal dan
septum4
C. Trauma yang Berhubungan Dengan Fraktur Fasial Lain
Fraktur pada tulang wajah, terutama pada bagian tengah wajah, harus
dapat direduksi dan distabilisasi terutama untuk reduksi fraktur nasal. Ini mungkin
perlu untuk merubah nasal endotracheal tube menjadi oral endotracheal tube
sebelum reduksi nasal.
Untuk menjaga kedua penetapan oklusi dan aplikasi fiksasi intermaksila
yang masih tetap terpasang sampai pasien sadar dari efek anestesi agar jalan nafas
tetap aman. Alternatif lain, nasal endotracheal tube dapat diletakkan pada posisi
atau dilakukan trakheostomi. Manipulasi tertutup fraktur nasal dianjurkan untuk
tetap menggunakan support intranasal. Septum harus dikembalikan ke posisinya
tetapi tidak boleh dilakukan reseksi septum pada tahap pembedahan primer,
meskipun sudah indikasi, dalam pandangan faktor waktu meliputi waktu yang
lama dan prosedur operasi yang komplek4.
Jika terdapat laserasi yang parah pada mukosa nasal disarankan untuk
menggunakan lapisan silastik yang dimasukkan pada nostril untuk menjaga
pembentukan adhesi intranasal. Plate silastik ini dipertahankan dengan
menjahitkannya bersama-sama melalui kulit sedikit di belakang kolumela dan
dipertahankan selama 10 – 14 hari4
310
BAB III
PEMBAHASAN
Menurut Christian (1476), trauma ini adalah yang paling sering pada
skeleton fasial dan menurut Schroeder (1481), 50 % fraktur pada tulang fasial
terpisah dari fraktur pyramid
Fraktur nasal sering kali dirawat dengan penilaian preoperative yang tidak
adekuat. Perluasan disrupsi struktur nasal sehubungan dengan arah dan derajat
kekuatan trauma jarang diperhitungkan. Kemudian hidung dirawat dengan cara
sederhana dan hasil akhirnya mungkin akan jauh dari yang diharapkan, meskipun
pada mulanya tampak cukup baik4.
Salah satu konsep yang selalu salah tentang fraktur nasal adalah terjadinya
pelepasan dan displacement tulang nasal. Setengah bagian bawah atau sepertiga
dari tulang nasal yang biasanya mengalami fraktur. Dasar dari piramid hidung
jarang sekali terlepas dari tulang frontal, kecuali terjadi fraktur nasoethmoid yang
parah. Pada waktu eksplorasi biasanya menunjukkan bahwa dasar piramid tetap
intak meskipun terjadi displacement yang hebat ke ruang interorbita4.
Gambar 11 : Trauma nasal lateral menunjukkan adanya displaced fracture pada bagian
tengah bawah tulang nasal kiri dan tepi anterior prosesus frontal kiri tulang maksila disertai
dengan pembengkokan tulang septum4
311
Posisi dan integritas komponen kartilagenus dari rangka nasal harus selalu
ditetapkan. Harus tetap diingat, bahwa meskipun jarang, kartilago lateral dan
septum nasal dapat terjadi dislokasi tanpa disertai fraktur tulang nasal4.
Penempatan manipulasi tertutup dari fraktur hidung masih menjadi
pertanyaan. Menurut Stell (1480), dari hasil penelitian retrospektif menunjukkan
bahwa, dari 107 fraktur hidung yang dirawat dengan manipulasi tertutup, hanya
30 % yang menunjukkan penampilan yang normal, dan 50 % berfungsi normal
dalam jangka waktu lama. Septum sering kali tidak tetap lurus setelah dilakukan
manipulasi dan piramid hidung pada garis septum yang mengalami distorsi.
Alasan mengapa distorsi tampak progresif dari kartilago septum dijelaskan oleh
Fry, yaitu pelepasan dari tegangan internal yang terkunci. Tetapi Harrison (1474)
menemukan bahwa suatu pola dari suatu fraktur septum dan displacement yang
diindentifikasi adalah disebabkan karena manipulasi yang kurang baik. Harrison
adalah orang yang pertama menemukan bentuk C fraktur septum (C-shaped
fracture). Harrison menganjurkan pada fraktur nasal horizontal bagian bawah, dan
vertikal posterior, sebaiknya dilakukan reseksi submukus pada septum nasal dan
jika ini dilakukan pada waktu perawatan primer, hasilnya akan menjadi lebih baik.
Stranc menekankan pada perawatan fraktur nasal bidang dua, harus dilakukan
reseksi submukus primer agar tidak terjadi kolaps pada garis jembatan
kartilagenous4.
Pengertian yang lebih jauh lagi dari mekanisme dan perawatan fraktur
nasal dibuat oleh Murray (1484). Mereka mempelajari mekanisme fraktur nasal
dengan meneliti fraktur nasal pada kadaver dan menyimpulkan bahwa tulang
nasal yang mengalami deviasi lebih dari setengah lebar jembatan, ada suatu
fraktur berbentuk C yang terjadi bersamaan dari tulang dan cartilaginous septum.
Kemudian mereka menyimpulkan pada percobaan klinis, bahwa eksisi pada
daerah cartilage pada sisi septum yang mengalami fraktur berbentuk C akan
menghasilkan hasil yang lebih baik. Fraktur berbentuk C dari tulang dan kartilago
dimulai dari bawah dorsum hidung berjalan ke posterior melalui perpendicular
plate dari ethmoid, kemudian ke inferior melalui vomer terminate dengan suatu
312
curve anterior pada kartilago septum 1 cm di atas puncak maksila dekat dengan
sudut vomerine4.
Gambar 12 : Skema menunjukkan garis fraktur dengan displacement
yang berat disertai fraktur septum berbentuk C4
Untuk operasi pada septum mereka menganjurkan melakukan suatu insisi
vertical di posterior, yaitu pada 2,5 cm posterior dari kolumela. Kemudian
mukoperichondrium dibuka dan biasanya garis fraktur berbentuk C akan segera
dapat terlihat. Kartilago dipisahkan dan sisi kontralateral disingkapkan. Suatu
reseksi yang terbatas dari septum kemudian dibuat dengan melakukan suatu eksisi
tipis dari kartilago dan tulang pada sisi yang terdapat fraktur C dan diangkat
paling sedikit 1 cm dari plate perpendicular dari ethmoid. Kemudian dilanjutkan
sampai pertemuan ethmoid dan tulang nasal, tetapi harus hati-hati agar tidak
terlalu caudal dari tulang nasal atau terlalu dalam karena akan dapat merubah
profil. Tulang nasal dimanipulasi dan suatu pack (light pack) dimasukkan ke
dalam nostril4.
Menurut Murray, salah satu faktor yang menyebabkan hasil yang tidak
memuaskan dari manipulasi fraktur nasal adalah tidak adanya dukungan nasal
internal setelah reduksi. Pita gauze lembut yang dimasukkan pada nasal adalah
merupakan stabilisasi yang kurang baik dan packing yang berlebih pada hidung
sering kali menyebabkan distorsi dari reduksi yang diinginkan. Light packing
pada hidung sebaiknya hanya digunakan untuk mengkontrol epistaksis setelah
313
manipulasi tulang nasal. Pengggunaan plaster eksternal atau Paris splint tidak
akan mendukung fragmen nasal. Kemungkinan dapat terjadi relaps dengan
resolusi dari pembengkakan jaringan disekitar jaringan yang disebabkan fiksasi
yang buruk dari splint plaster. Kebanyakan fraktur nasal sederhana tidak
memerlukan aplikasi splint eksternal setelah dilakukan reduksi4.
Sebelum melakukan reduksi fragmen nasal yang mengalami displacement,
operator harus mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa yang seharusnya
akan dilakukan. Penilaian klinis dan radiografis preoperative yang sangat hati-hati
adalah suatu syarat untuk keberhasilan perawatannya. Ronsen foto harus diambil
dari dua arah untuk kepentingan diagnosis dan rencana metoda reduksi. Pada
tahap ini, informasi tambahan akan lebih diperoleh dengan inspeksi intranasal
dengan bantuan speculum dan lampu kepala (head light). Hidung harus
dibersihkan dari semua debris dan gumpalan darah dengan suction. Fragmen
tulang yang hilang harus diambil and mukoperikhondral harus tampak jelas.
Septum nasal kemudian diperiksa. Metoda manipulasi hidung dibawah anestesi
lokal telah dijelaskan sebelumnya. metode yang telah dijelaskan di atas akan lebih
baik menggunakan anestesi umum. Instrument yang biasa digunakan adalah
Walsham’s forceps, yang digunakan untuk memanipulasi tulang nasal dari
prosesus frontal maksila, dan Asch’s septal forceps4.
Paruh yang lebih kecil dari Walsham’s forcep dimasukkan ke dalam
lubang hidung dan paruh yang lebih besar (dilapisi dengan karet lembut untuk
melindungi kulit) yang terdapat pada eksternal untuk memegang sisi luar hingga
dapat memegang dan mengangkat hidung ke arah medial canthus dan sejajar
dengan proses frontal tulang maksila. Rotasi ke arah medial atau lateral yang akan
menjauhkan atau mendekatkan fragmen fraktur pada tulang nasal4.
Pangkal hidung harus dipegang di antara jari telunjuk dan ibu jari tangan
yang berlawanan yang juga digunakan untuk menambah stabilitas pada kepala
terutama pada waktu melakukan manipulasi4.
Septum dimanipulasi dengan Asch’s septal forceps. Paruh forceps
pertama-tama dimasukkan pada dasar hidung dan sisi yang lainnya pada septum
dan dengan tekanan gentle digunakan untuk mengembalikan cartilage septum.
314
Kemudian paruh dapat diputar ke kiri atau ke kanan dengan memegang septum
sepanjang garis jembatan dan tarikan dapat dilakukan untuk elevasi nasal bridge4.
Walsham forceps dan Ash Forceps
Gambar 13. Tang Rekonstruksi Nasal4
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS DAN DIAGNOSTIK
Penegakan diagnosis selain dari temuan klinis dilakukan dengan bantuan
pemeriksaan penunjang, antara lain yaitu :
1. Foto AP orbita biasanya diambil dengan berbagai variasi angulasi sinar.
2. Paling umum digunakan adalah proyeksi Cadwell dan Waters. Proyeksi
Caldwell memperlihatkan visualisasi dasar orbita dan prosessus
zygomatiko-orbitalis diatas densitas petrosus pyramidalis. Gambaran yang
lebih luas dari orbita bisa didapatkan dari proyeksi waters. Proyeksi ini
menempatkan petrosus piramidalis di bawah sinus maksilaris sehingga
memudahkan evaluasi dasar orbita, prolaps isi orbita, dan tingkat cairan
udara dalam sinus maksilaris.
3. CT scan masih merupakan pemeriksaan imaging yang dipilih untuk
evaluasi trauma orbita karena kemampuannnya untuk melihat detail
315
struktur tulang, walaupun MRI bisa memperlihatkan detail regio orbita
dengan sangat halus.1,2
Jika CT scan mempunyai hasil yang samar-samar saat mengevaluasi
pasien yang dicurigai terjadi entrapment, dilakukan test forced duction. Menilai
secara langsung kemampuan atau ketidak mampuan lebih jauh mata saat pasien
disuruh melirik ke atas, test ini dapat menghasilkan konfirmasi klinis yang penting
mengenai adanya otot atau jaringan yang terperangkap.1
Gambar 14. CT Scan dalam mengevaluasi fraktur4
KOMPLIKASI FRAKTUR ORBITA
Fraktur orbita akan menyebabkan beberapa komplikasi dan permasalahan,
di antaranya adalah :
1. Enophthalmus.
Fraktur dasar orbita dapat mengakibatkan penambahan volume orbita dan
keadaan ini mengakibatkan enophthalmus. Jika terjadi enophthalmus lebih
316
dari 2 mm, keadaan ini mengakibatkan ketidakseimbangan. Bola mata juga
dapat melesak atau hipo-ophthalmik dibanding sisi kontralateralnya.
2. Diplopia.
Otot rektus inferior atau jaringan orbita dapat terperangkap dalam lokasi
fraktur. Keadaan ini mengakibatkan terhambatnya pergerakan ke atas dari bola
mata, menyebabkan diplopia.
3. Emfisema.
Biasanya, dapat terjadi emfisema orbita karena adanya hubungan dengan sinus
maksilaris serta bisa juga disertai perdarahan orbita. Bola mata dapat menjadi
robek, namun trauma yang tidak begitu berat hanya akan mengakibatkan
hyphema atau edema retina.1
III.1 WAKTU PERAWATAN
Waktu perawatan fraktur nasal masih terdapat kontroversial. Fraktur nasal
yang terpisah dapat dapat dilakukan reduksi dalam waktu 24 jam pertama, untuk
mencegah terjadinya pembengkakan yang lebih besar, tetapi pada kasus yang lain,
perawatan harus ditunda sampai sepuluh hingga dua belas hari agar
pembengkakan dan luka memar menjadi lebih reda. Jika fraktur berhubungan
dengan fraktur sepertiga wajah yang lainnya, maka komponen hidung harus
direduksi bersamaan dengan fraktur lainnya4.
Perawatan fraktur nasal bertujuan untuk memperbaiki dan mengembalikan
fungsi dan etetik. Perawatan yang paling baik adalah pada waktu tiga jam pertama
saat terjadi trauma. jika ini tidak memungkinkan, maka sebaiknya penanganan
dilakukan 3 - 7 hari. Waktu perawatan ini sangat penting oleh karena fraktur nasal
lebih dari 10 hari akan mengalami penyembuhan tulang dan kemungkinan
memerlukan tindakan termasuk rhinoplasty .
Waktu dan perlunya intervensi bedah pada perawatan fraktur dasar orbita
murni masih dalam perdebatan. Kebanyakan literatur mendukung waktu dua
minggu untuk perbaikan sehingga mencegah fibrosis, kontraktur dan
317
terperangkapnya jaringan. Beberapa ahli sering menunggu beberapa hari supaya
edema dan perdarahan sudah tidak ada sehingga didapat penilaian yang baik
terhadap enopthalmus dan fungsi otot ekstraokuler. Pada kasus dimana
terperangkapnya tarikan rektus inferior, perawatan harus dilakukan lebih cepat.1,2
III.2 METODE IMOBILISASI
A. Splint Intranasal
1. Ribbon gauze
Metode ini sering kali dianjurkan sebagai metoda yang adekuat dan
standar untuk memperoleh dukungan internal pada fraktur nasal, dengan
menggunakan pita gauze yang dilapisi dengan paravin/ flavine emulsion atau
bismuth iodoform paraffin paste (BIPP). Gauze ini secara hati-hati dimasukkan
kedalam lubang hidung dengan bentuk lapis demi lapis dan penting untuk
diperhatikan pertama-tama menempatkan pack pada nares superior sepanjang
garis jembatan (bridge-line)4.
Sayangnya metode ini tidak hanya menutup jalan nafas tetapi juga
merupakan sumber infeksi yang potensial, yang mungkin dapat menimbulkan
konsekuensi serius berhubungan dengan CSF rhinorrhoea. Pack ini harus tetap
dipertahankan selama 2 – 3 hari. Tehnik ini tidak mempunyai support intra nasal
anterior posterior, tetapi juga merupakan penyebab terjadinya masalah pada
telecanthus jika pemasangan pack terlalu berlebihan sehingga menimbulkan
terjadinya fraktur lain pada prosessus frontal maksila, keadaan ini mungkin
disebabkan oleh tidak adanya tekanan dari eksternal. Metode ini sebaiknya hanya
digunakan sebagai hemostasis pada periode awal operasi dan sebagai support awal
pada reposisi tulang nasal dimana pada septum nasal tidak terjadi fraktur. Suport
intra nasal yang adekuat tidak akan diperoleh dengan teknik ini untuk
menstabilkan hidung4.
318
Gambar 15: Ribbon gauze4
2. Stainless-steel intranasal splint
Metoda ini dikemukakan oleh Sear pada tahun 1477, yaitu untuk
mendapatkan support internal yang rigid terutama pada kasus terjadinya kolaps
anteroposterior. Splint terbuat dari bahan stainless steel 3,175mm x 1,5875 mm
dan pasangan yang sama dibengkokkan membentuk angka 7 dengan diameter
yang lebih lebar pada posisi datar. Metode insersi dan retensi splinting ini seperti
gambar yang memperlihatkan tulang nasal dan tepi jaringan lunak tanpa
kehilangan palatum keras dianjurkan pada waktu memilih ukuran splint yang
cocok4.
319
Gambar 16 : Metode insersi dan retensi splint intra nasal
untuk memperoleh support internal4
Metode yang sederhana dan memuaskan untuk memperoleh support
internal pada hidung, tetapi pada beberapa kasus tertentu tidak begitu praktis.
Metoda ini terutama cocok untuk memperoleh support nasal pada pasien dengan
fraktur fasial multiple4.
B. Splint Eksternal
1. Plaster of Paris Splint
Teknik ini dikenal dengan bentuk kupu-kupu, dan sangat membantu untuk
memperoleh suatu pola dengan juga menggunakan gauze atau jaconet cut untuk
membentuknya dan mengetahui ukuran yang tepat sebelum diaplikasikan. Bahan
ini terdiri dari 4 atau 5 lapis dari potongan 10 cm plaster of Paris bandage yang
dilembutkan dengan air, kelebihan dibuang dengan tekanan antara cotoon gauze
sebelum aplikasi. Kemudian dengan hati-hati dilakukan pemasangan plester pada
daerah sekitar kepala dan glabela, nasal bridge line dan duapertiga bagian atas
hidung. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa plaster sudah menempel pada
kulit dari daerah medial sampai bagian dalam canthus masing-masing mata yaitu
dengan memegang antara jari telunjuk dengan ibu jari. Sementara plaster
320
mengeras, terutama pada daerah yang dekat dengan mata dan sekitar puncak
hidung, sehingga akan membentuk cetakan dan diperhalus dengan Howarth’s
elevator. Ini adalah untuk menjaga agar tidak terjadi luka pada kulit. Kemudian
plaster dilekatkan pada daerah kepala dan pipi dengan bahan Elastoplast atau
bahan pelekat lain, perlekatan dengan kulit dibantu dengan pemberian Compound
Tincture of Benzoin. Sudah menjadi standard untuk membiarkan Plaster of
Paris selama 7 – 10 hari, tetapi ini tidak benar. Ketika pembengkakan mulai
berkurang splint akan menjadi longgar dan oleh karena itu harus segera diangkat,
lebih baik pada hari ketiga dan keempat atau lebih jika diperlukan. Terutama pada
fraktur nasal yang disertai dengan fraktur ethmoid, biasanya terjadi
pembengkakan jaringan lunak pada sekitar hidung4.
Gambar 17: Plaster of paris splint4
2. Collodion gauze dan soft metal sheet (Ash’s soft metal sheet-tin/lead alloy)
Beberapa lapisan gauze dipotong sesuai dengan ukurannya dan direndam
dalam larutan collodion. Kemudian diaplikasikan pada kontur hidung satu persatu.
Sehelai lembaran logam lunak (soft metal) dipotong mengikuti bentuknya
kemudian diaplikasikan dan konturnya dibentuk. Kemudian lapisan gauze
collodion diaplikasikan dan dibentuk sehingga akhirnya splint tercetak hanya pada
bagian medial dari bagian dalam canthi seperti yang diterangkan sebelumnya pada
splint Plaster of Paris. Tipe splint eksternal ini sangat memuaskan, terutama pada
kasus dengan adanya jahitan luka pada hidung dan glabela Tetapi ini tidak tepat
pada kasus dengan fraktur septum pada waktu ini dan pembedahan sekunder
321
mungkin diperlukan pada beberapa waktu kemudian, terutama untuk mengatasi
obstruksi pada nasal4.
Gambar 18: soft metal sheet4
Waktu dan perlunya intervensi bedah pada perawatan fraktur dasar orbita
murni masih dalam perdebatan. Kebanyakan literatur mendukung waktu dua
minggu untuk perbaikan sehingga mencegah fibrosis, kontraktur dan
terperangkapnya jaringan. Beberapa ahli sering menunggu beberapa hari supaya
edema dan perdarahan sudah tidak ada sehingga didapat penilaian yang baik
terhadap enopthalmus dan fungsi otot ekstraokuler. Pada kasus dimana
terperangkapnya tarikan rektus inferior, perawatan harus dilakukan lebih cepat.1,2
Fraktur dasar orbita melibatkan lebih dari 50 % mengenai lantai, dengan
atau tanpa bersamaan dengan fraktur dinding mesial dan dengan prolaps jaringan
orbital. Keadaan ini biasanya mengakibatkan enophtalmos yang signifikan (lebih
dari 2 mm) dan ini merupakan indikasi untuk dilakukannya reparasi. Selain itu,
pada fraktur dasar orbita bisa timbul diplopia karena terbatasnya gerakan ke atas
dan ke bawah. Jika keterbatasan ini terjadi dalam 30 derajat dari gerakan
utamanya dengan test forced-duction positip dan CT Scan menunjukkan adanya
fraktur, harus dilakukan perbaikan yang cepat karena kemungkinan kelainan ini
bisa menetap sangat tinggi. Trapdoor atau fraktur anteroposterior dapat ditemukan
secara klinis dimana sulit ditemukan secara radiologis. Hal ini harus
322
dipertimbangkan, jika hal ini terjadi harus segera dikoreksi untuk menurunkan
kemungkinan diplopia yang persisten.1
Koreksi bedah merupakan kontra indikasi pada pasien yang secara medis
tidak stabil dan tidak bisa mentoleransi anestesi.
Dasar orbita bisa dicapai melalui pendekatan konjungtival, melalui
pembukaan perkutaneous atau pendekatan transmaksilaris. Akses pada regio ini
memudahkan eksplorasi dan membebaskan jaringan lunak yang bergeser atau
terperangkap, dengan demikian diharapkan dapat memperbaiki semua gangguan
motilitas ekstraokuler. Selain itu, pendekatan ini dilakukan untuk memperbaiki
defek tulang dengan mengambil atau mereposisi fragmen tulang, hal ini bertujuan
untuk perbaikan partisi antara orbit dan antrum maksilaris, dengan demikian dapat
mengembalikan volume orbita dan menghilangkan semua pergeseran struktur
jaringan lunak.4
Perawatan orbital fraktur harus terlebih dahulu melakukan dekompresi
dengan segera kemudian melakukam rekonstruksi sesuai dengan lokasi dari
fraktur. Fraktur blow in yang pergeserannya minimal biasanya tidak
membutuhkan perawatan selain perawatan yang bersifat konservatif.2,4
Fraktur atap orbita
Penanganan fraktur pada atap orbita dianjurkan untuk mengeksplorasi atap orbita
dengan menggunakan periosteal elevator sehingga segment fraktur dapat
dikembalikan ke posisinya atau menjadi datar dan mencegah cederanya muskulus
dan nervus. Aksesnya dapat dilakukan dengan insisi pada bagian blepaharoplasty
bagian atas atau melalui laserasi yang terjadi.
Fraktur lateral orbita
Penanganan fraktur pada dinding lateral melalui incisi pada subciliary
(blepharoplasty) lateral dikombinasi dengan lateral incisi eyebrow . Selain itu
dapat dipergunakan muscle relaxant untuk mencegah spasme muskulus temporal.
Tidak dipergunakannya tranosseus wire tetapi IMF dipertahankan selama
seminggu untuk mencegah reduksi yang adekuat dari fragment.
Fraktur medial orbita
323
Daerah ini sangat tipis khususnya daerah ethmoid, penanganan fraktur pada
daerah ini dapat dilakukan dengan pendekatan incisi melalui subciliary dan
memberikan kesempatan untuk ekspolarasi dasar orbita.
Fraktur dasar orbita
Dianjurkan untuk mengeksplorasi dasar orbital dengan menggunakan periosteal
elevator sehingga segment fraktur dapat dikembalikan ke posisinya atau menjadi
datar dan mencegah cederanya muskulus dan nervusAkses masuk pada bagian
dasar orbita dapat dilakukan dengan incisi transkonjungtiva dan infraorbita
(subciliary dan subpalpebra). Seperti pada gambar :
Gambar 19 : incisi subkonjungtiva3
Gambar 20: Incisi subpalpebra4
324
Gambar 21 : incisi subciliary4
Gambar 22 Insisi trans konjungtiva4
Material untuk rekonstruksi fraktur orbita
Bahan – bahan material yang biasa dipergunakan adalah :
- autografts dari tulang, contohnya tulang kortikal dan kanselous, cartilago.
- Material alloplastik : nan absorbable ( Titanium, silicon, porous
polyetilene, dan teflon) Absorbable (polydioanone, polylactide, dan
polyglactin)
- Allogenik dura.
325
Gambar 23. Gambaran pemasangan material rekonstruksi6
Semua material memiliki keuntungan dan kerugian, dan pilihan material
biasanya tergantung kepada ahli bedah dan pasiennya. Auto bone graft merupakan
standar kriteria untuk menyediakan kerangka untuk tulang fasial dan dinding
orbita. Cancellous bone graft lebih disenangi daripada kortikal karena
vaskularisasinya lebih cepat dan lengkap, juga memiliki aposisi formasi tulang
yaitu proses resorbsi dan perbaikan yang baik.
Implant
Implant myriad tersedia untuk kegunaan rekonstruksi. Implant yang ideal
harus bisa secara mudah diinsersikan dan dimanipulasi, tidak menjadi tempat
infeksi, tidak akan mengalami ekstrusi, mudah ditempatkan pada struktur di
sekitarnya, harganya wajar, dan tidak merangsang pembentukan jaringan fibrous.
Hampir kebanyakan defek pada kasus fraktur dasar orbita dapat direparasi
dengan implant sintetik yang terbuat dari polyethylene, silicon, miniplat metal,
mesh vicryl, atau mesh metal. Alternatif lain dapat digunakan tulang autogenous
dari dinding maksila atau calvarium.
Perawatan Pasca Bedah :
Segera setelah pembedahan, kepala pasien ditinggikan dengan sudut
kurang lebih 30 o
. Beberapa ahli menganjurkan kompres dengan saline dingin di
atas mata yang tertutup.
Kemampuan visual dan fungsi pupil dinilai setiap 15 menit selama 1 jam
pertama dan kemudian setiap 30 menit.
326
Setelah operasi pasien dilarang untuk meniup lewat hidung, dan
beraktivitas berat. Selain itu pasien diinstruksikan untuk mengompres dingin
selama 48 jam, dan diberikan antibiotik serta analgetik yang adekuat. Pemberian
steroid dapat membantu pengurangan pembengkakan.1,2
Seperti pembedahan lainnya komplikasi pada reparasi fraktur dasar orbita
bisa berupa perdarahan atau infeksi. Kehilangan kemampuan penglihatan
merupakan komplikasi yang serius berkaitan dengan reparasi kelainan ini.
Diplopia yang tetap ada atau new onset, neuralgia, dan disfungsi otot ekstraokuler
merupakan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Demikian juga ekstrusi implant
dan enophtalmos yang menetap merupakan sequele postoperasi yang memerlukan
intervensi bedah selanjutnya.
327
BAB IV
KESIMPULAN
Fraktur nasal sering terjadi pada fraktur tulang fasial, tetapi sering
dianggap tidak terlalu berpengaruh. Kesimetrisan hidung dan fungsi adalah
penting untuk pasien, dan perawatan yang tidak tepat dan kurang adekuat akan
menimbulkan hasil yang kurang memuaskan. Jika pendekatan yang dilakukan
pada waktu terjadi trauma sama dengan pemikiran kedepan seperti yang dilakukan
pada penanganan elektif kosmetik septorhinoplasty, maka akan diperoleh hasil
yang lebih baik dan lebih memuaskan pasien.
Fraktur orbita bisa terjadi bersamaan dengan fraktur pada daerah wajah
lainnya. Jenis fraktur ini sering menimbulkan komplikasi berupa enophtalmos,
diplopia, dan emfisema, namun pemeriksaan klinis terkadang sulit dilakukan
karena adanya edema di daerah orbita, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi
radiologis secara seksama.
Pendekatan bedah pada kasus-kasus yang diindikasikan harus dilakukan
dengan hati-hati mengingat kemungkinan komplikasi yang akan terjadi.
328
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramirez R.F. 2004. Nasal Trauma. The Thomson Corporation. All right
reserved. http://www.ehendrick.com/healty/000561.htm.
2. Fonseca, RJ. et al. 1997. Oral and Maxillofacial Trauma. 2nd
edition.
Philadelphia: WB. Saunders Co.
3. Pitcock K.J & Bumsted M.R. 1997. Nasal Fractures. In: Raymond J.
Fonseca and Robert V. Walker. Oral And Maxillofacial Trauma. Volume
II. W.B. Saunders Company. Philadelphia London. Toronto Montreal
Sydney Tokyo. p. 775 – 41.
4. Bowerman J.E. 1994. Fracture of the Middle Third of the Facial Skeleton.
In: Rowe and William’s. Maxillofacial Injures. Second Edition. Churchill
Livingstone. Edinburgh London Madrid Melbourne New York Tokyo. p.
541- 604.
5. Moore, K.L., Arthur F. Dalley II. 1999: Clinically Oriented Anatomy. 4 'h
ed. Lippincott Williarli"s & 1Nilkins
6. Archer, H. W. 1975. Oral and Maxillofacial Surgery. 5th
ed. Toronto : W.
B. Saunders Company.
7. Booth, P. W. et al. 2003. Maxillofacial Trauma and Esthetic Facial
Reconstruction. 1st ed. Edinburgh: Churchill Livingstone. Edinburgh.
8. Cohen, AJ. Facial Trauma, Orbital Floor Fracture (Blow out). Available
at www.eMedicine.com. Last updated on March 7th
2005.
9. Williams, J. L. 1999. Maxillofacial Injuries. 1st ed. Edinburgh : Churchill
Livingstone.
329
Fraktur Panfasial
Yudi Wijaya
160121120002
Peserta PPDGS Ilmu bedah mulut dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
Abstrak : Regio maksilofasial terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama
adalah wajah yang bagian atas, Bagian kedua adalah daerah tengah wajah atau
midface. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bagian bawah. Midface yang
bagian atas bila terdapat fraktur Le Fort II dan Le Fort III dan/atau fraktur tulang
nasal, fraktur nasoetmoidal atau kompleks zygomatikomaksilari dan fraktur dasar
orbita. Fraktur Le Fort I bila fraktur terdapat pada bagian bawah dari midface.
Bagian yang ketiga dari regio maksilofasial adalah wajah bagian bawah, bila
fraktur hanya terdapat pada mandibula. Fraktur panfasial adalah fraktur yang
terjadi pada daerah wajah yang meliputi sepertiga atas, sepertiga tengah dan
sepertiga bawah yaitu meliputi fraktur pada regio frontal, kompleks nasalis,
kompleks orbitalis, kompleks zigomatikus, maksila dan mandibula. Prinsip umum
untuk penatalaksanaan fraktur panfasial yaitu dengan tehnik bottom to top (dari
bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke bawah).
Kata kunci: Fraktur panfasial, bottom to top , top to bottom
330
BAB I
PENDAHULUAN
Pada mulanya dokter gigi dilibatkan pada perawatan trauma rahang karena
mereka menguasai pengetahuan tentang gigi dan oklusi. Perawatan yang terdahulu
hanya terdiri atas fiksasi gigi pada oklusi sentrik untuk mengurangi dan
mengimobilisasi suatu rahang. Sekarang ini dasar pemikiran perawatan fraktur
pada daerah maksilafasial tidak banyak berubah, hanya tekniknya yang
berkembang pesat. Diagnosis didukung dengan adanya teknik radiografis yang
berkembang dengan pesat. Fraktur-fraktur yang pada jaman dahulu tidak dapat
dikenali sama sekali atau hanya bersifat dugaan sekarang ini bisa ditunjukkan
sampai hal yang terkecil.1
Regio maksilofasial terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah
wajah yang bagian atas, bila fraktur melibatkan sinus dan tulang frontal. Bagian
kedua adalah daerah tengah wajah atau midface. Midface dibagi menjadi bagian
atas dan bagian bawah. Midface yang bagian atas bila terdapat fraktur Le Fort II
dan Le Fort III dan/atau fraktur tulang nasal, fraktur nasoetmoidal atau kompleks
zygomatikomaksilari dan fraktur dasar orbita. Fraktur Le Fort I bila fraktur
terdapat pada bagian bawah dari midface. Bagian yang ketiga dari regio
maksilofasial adalah wajah bagian bawah, bila fraktur hanya terdapat pada
mandibula. Insidensi trauma maksilofasial terutama yang berhubungan dengan
kecelakaan kendaraan bermotor. 2
Trauma yang mengenai wajah dapat menyebabkan diskontinuitas dari
jaringan lunak wajah maupun jaringan kerasnya. Fraktur yang terjadi pada daerah
wajah yang meliputi sepertiga atas, sepertiga tengah dan sepertiga bawah yaitu
meliputi fraktur pada regio frontal, kompleks nasalis, kompleks orbitalis,
kompleks zigomatikus, maksila dan mandibula disebut dengan fraktur panfasial.2
Fraktur ini biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja, kecelakaan olah raga dan lain-lain.2,3
Penelitian pada tahun 2008 di
331
Amerika Serikat, penyebab utama fraktur panfasial adalah perkelahian (36%),
kecelakaan kendaraan bermotor (32%), jatuh (18%), olahraga (11%), kecelakaan
kerja (3%), dan luka tembak (2%).2 Lebih banyak terjadi pada laki-laki dewasa
muda, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 4:1.4
332
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kraniofasial
Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas 22 tulang dengan dikelilingi oleh
kavitas-kavitas yang berbeda yaitu kranium, orbita, sinus, hidung dan mulut.
Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan berbeda.
Tulang-tulang yang tebal berhubungan dengan tulang- tulang berdinding tipis.
Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai 'buttress' yang
menopang/penyangga proporsi kraniofasial dalam proyeksi antero-posterior. 2
Banyak penulis membagi buttres wajah dalam dua bidang yaitu bidang
vertikal dan bidang horizontal. Buttres vertikal meliputi buttress nasomaxilaris pada
medial,, zigomaticomaxilaris pada lateral, dan pterigomaxilaris pada posterior.
Buttress nasomaksilaris meliputi prosessus maksilaris dari frontalis dan prosessus
frontalis dari tulang maksila, meluas ke lateral sampai rima piriformis. Buttress
zigomaticomaxilaris terdiri dari prosessus zygomatikus dari tulang frontal, rima
orbita lateral, tulang zygomatikus lateralis, dan prosessus zygomatikus dari tulang
maxilla. Buttress pterigomaksilaris terdiri dari lempeng pterigoid dari tulang sphenoid
dan tuberositas maksilaris. Ketiga buttress ini menghasilkan suatu sistem penyangga
unit-unit fungsi pada oral, nasal dan orbital. Pada umumnya buttress
zygomaticomaksilaris dan buttress nasomaksilaris dilakukan rekonstruksi, tapi
buttress pterigomaksilaris tidak dilakukan rekonstruksi karena tidak dapat diakses. 2,4
Buttress horizontal sering juga disebut dengan anterior posterior buttress.
Buttress ini meliputi buttress frontal, zygomatik, maxilaris dan mandibular.
Buttress frontal terdiri dari rima supraorbital, dan regio glabelar. Buttresss
zygomatik terdiri dari zygomatic arch, zygomatic body, dan infraorbital rim.
Buttress maxila dan mandibula terdiri dari basis maxila dan lengkung tulang
mandibula.4
Keseluruhan buttress ini secara bersama-sama memberikan integritas
tulang wajah. Tulang-tulang yang pada umumnya lebih tebal ini berfungsi untuk
333
menetralisir kekuatan pengunyahan dan benturan. Dengan reduksi yang tepat kita
dapat merekonstruksi tinggi, lebar dan proyeksi wajah. 2,3
Gbr.1 Buttress vertikal dan horizontal.1
2.2 Klasifikasi Fraktur Panfasial
Gruss dkk (1989) membagi fraktur panfasial menjadi tiga kelompok yaitu: 3
1. Fraktur kraniofasial sentral
Fraktur terjadi pada bagian sentral yang memisahkan buttress fasial dari
basis kranial anterior. Variasinya meliputi tulang frontal dan atap orbital
dan sinus frontalis. Pada trauma yang ekstensif terjadi perluasan ke
arah vertikal melalui sepertiga tengah wajah dan bagian tengah mandibula.
2. Fraktur kraniofasial lateral
Fraktur ini mengakibatkan kerusakan pada buttress fasial lateral yaitu
tulang frontozigomatikomaksilaris dengan perluasan ke arah posterior
pada sayap tulang sphenoid, temporal dan parietal. Komplikasi
intrakranial lebih jarang terjadi, namun perluasan ke bagian bawah
wajah lebih sering terlihat
3. Kombinasi fraktur sentral dan lateral
334
Trauma yang ekstrim akan menghasilkan kehancuran elemen fasial
sentral dan lateral disertai dengan fraktur sepertiga tengah wajah,
mandibula, kondilus dan trauma intrakranial. Kerusakan dapat meliputi
kerusakan pada otak yang lokal maupun difus dan diskontinuitas dasar
fosa kranial anterior.
335
BAB III
PEMBAHASAN
2.3 Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita dengan trauma oromaksilofasial terjadi
bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh yang lain (trauma multiple).
Sehingga tahap-tahap penangannnya bersamaan dengan penanganan trauma yang
lainnya. Adapun tahap-tahap penanganan trauma adalah sebagai berikut: 6
1.Penanganan yang dilakukan sebelum dibawa ke rumah sakit
a. Mempertahankan jalan napas
b. Menghentikan perdarahan eksternal
c. Stabilisasi fraktur
d. Stabilisasi tulang belakang
e. Tranportasi cepat (Ambulatory)
2. Resusitasi dan pananganan primer
a. ABC (Airway, Breathing, Circulation)
b. Resusitasi cairan
c. Pemantauan
3. Diagnosis dan penanganan sekunder
a. Pemeriksaan fisik menyeluruh
b. Radiografi
c. Pemeriksaan Laboratorium
d. Resusitasi dan pemantauan lanjut
4. Perawatan Definitif
a. Pembedahan
b. Perawatan non operatif
c. Nutritional support
5. Rehabilitasi
336
2.3.1 Evaluasi
Evaluasi dimulai dengan menilai jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi serta
tingkat kesadaran (ABC trauma management). Perhatian segera yang ditujukan
pada kasus berat adalah penatalaksanaan 'life-support' yang tepat dan penilaian
komplikasi intrakranial dan ekstrakranial. 2,3
Setelah pasien dalam keadaan stabil dan bebas dari trauma tulang spinal
servikal, evaluasi terhadap regio maksilofasial dapat dilakukan. Dalam mendiagnosa
fraktur panfasial dibutuhkan data riwayat trauma yang seksama, pemeriksaan fisik
dan evaluasi radiografis yang baik. Informasi yang lengkap meliputi keadaan wajah
penderita, oklusi dan fungsi sebelum terjadi trauma amat dibutuhkan. Hal ini
dapat diperoleh melalui data fotografi dan rekam medis dental.2,3
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis yaitu dengan metode
inside out and bottom up yaitu meliputi inspeksi dan palpasi dari dagu hingga
kepala serta dari intraoral dan ekstraoral untuk dapat mengidentifikasi luka pada
jaringan lunak, tulang, gigi geligi dan neurovaskular. Pada observasi klinis akan
terlihat adanya pembengkakan pada wajah yang difus, luka memar laserasi pada
tonjolan tulang seperti dahi, daerah supraorbital ridge dan pangkal hidung.
Deformitas pada tulang seringkali terlihat dengan hilangnya proyeksi hidung dan
gangguan pada proyeksi midfasial, kesimetrisan dan ketinggian wajah. Perhatian
utama harus ditujukan pada daerah nasoethomid, palatum, mata dan prosesus
kondilus.5
Pemeriksaan intraoral dilakukan untuk melihat adanya memar dan laserasi
jaringan lunak maupun adanya kehilangan jaringan. Selain itu juga untuk
mengevaluasi adanya fraktur segmental maupun sagital pada maksila maupun
mandibula serta dentoalveolar. Adanya fraktur pada kondilus dapat diperkirakan
apabila terdapat krepitus, pergerakan abnormal pada mandibula dengan palpasi
pada daerah external auditory canal dan menginstruksikan pasien untuk membuka
dan menutup mulut.6
Pemeriksaan penunjang seperti CT Scan pada negara maju telah
menggantikan peranan radiologi konvensional. Evaluasi pertama dapat dilakukan
dengan data radiologis seperti Water's. CT Scan dua dimensi dengan potongan
337
axial akan memberikan informasi penting terhadap perluasan trauma
kraniomaksilofasial. CT Scan dua dimensi dengan potongan koronal dan sagital
akan memberikan informasi mengenai fraktur pada dinding orbital, buttress maxilla
dan ramus ascenden mandibula. Dengan kemajuan tehnologi CT Scan tiga dimensi
akan memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan keadaan fraktur dalam
hal ada atau tidaknya displacement tulang. 1,6
Gbr 2. Pasien dengan fraktur panfasial 2
Gbr 3. Digital imaging fraktur panfasial 1
2.3.2 Tata laksana
Manajemen pasien dengan multiple displaced dan fraktur comminuted
sangatlah menantang tidak saja pada ahli bedah yang belum berpengalaman
nemun juga pada ahli bedah yang sudah berpengalaman. Diagnosa dan rencana
perawatan yang tidak tepat akan menyebabkan hasil yang tidak adekuat dan
memperlama prosedur bedah. Akan tetapi, dengan melalui gambaran rontgen
338
yang detail, fiksasi yang baik, tehnik bone graft serta urutan tahapan bedah yang
baik, akan didapatkan hasil yang optimal.7
Ketika terjadi fraktur wajah multiple yang melibatkan wajah bagian atas,
tengah dan bawah, proses rekonstruksi seperti menyusun puzzle. Pengetahuan
akan landmark dan anatomi dapat digunakan untuk rekonstruksi yang tepat pada
bagian wajah yang mengalami kerusakan. Key landmark yang dapat membantu
adalah, lengkung gigi, mandibula, sutura sphenozigomatik, maxxilary buttress,
dan regio intercanthal, sebagai nerikut:1,7
a. Lengkung Gigi
Ketika salah satu atau kedua lengkung gigi utuh, mereka dapat digunakan sebagai
panduan. Sebagai contoh, ketika terjadi fraktur lefort dengan midpalatal yang
masih utuh, maxila yang memiliki lengkung yang masih utuh dapat digunakan
untuk panduan mendapatkan lebar lengkung mandibula yang tepat. Masalah
utama terjadi jika terdapat fraktur midpalatal dan mandibula yang disertai fraktur
kondyle. Kondisi ini dapat menyebabkan melebarnya kompleks facial jika
segmen fraktur tidak direduksi dengan benar. Solusi untuk mengatasi masalah ini
adalah dengan mengembalikan keutuhan maxila dengan melakukan reduksi dan
fiksasi fraktur palatal. Pendekata ini bisa dilakukan jika fraktur palatal single
tanpa kominusi atau avulsi.
b. Mandibula
Reduksi simphisis dan/atau ramus mandibula dapat diperoleh melalui pembukaan
ekstraoral. Eksposure ini memungkinkan didapatkannya visualisasi langsung dari
inferior border mandibula dan sedikit korteks lingual. Reduksi permukaan bukal
dan lingual memungkinkan untuk didapatkannya hasil fiksasi yang lebih baik.
Jika terdapat fraktur subkondilar bilateral, fraktur tersebut harus dirawat agar
didapatkan tinggi dan lebar wajah yang tepat. Jjika terdapat fraktur subkondilar
yang disertai dengan fraktur simphisis dan/atau ramus mandibula, kan terjadi
penambahan lebar wajah. Perlekatan otot pterigoid lateral pada fovea
pterigoideus, berfungsi untuk mencegah pergerakan lateral yang ekstrem.
339
Kondilus mandibula can be reconstitude ramus mandibula untuk mendapatkan
tinggi dan lebar wajah.
c. Sutura Sphenozygomatikus
Sutura sphenozygomatikus, disepanjang permukaan dalam dari didingding orbita
lateral adalah key landmark pada reduksi dan fiksasi complex
zygomatikomaksilaris. Jika orbital roof dan orbita lateral superior masih baik,
sutura ini dapat menjadi landmark yang penting untuk menempatkan zygoma dan
lengkung zygoma pada posisi yang tepat. Sutura sphenozygomatikus biasanya
nampak pada sepanjang permukaan internal dari dinding orbita lateral. Likewise ,
buttress zigomatikus sangatlah penting dalam menempatkan zygoma dan maksila
dalam posisi yang tepat. Ketika zygoma telah berada pada posisi yang tepat,
lokasi dari maksila dapat di tentukan. Permukaan kontak yang luas ini sangat
penting pada proses reduksi dan fiksasi. Jika terjadi kehilangan tulang yang
signifikan pada regio ini, perlu dipertimbangkan pencangkokan untuk
mengembalikan buttress ini.
Gambar 4. Reduksi dan fiksasi sutura sphenozygomatik 1
d. Daerah Interchantus
Daerah interchantus digunakan untuk mengembalikan lebar midfacial setelah
jarak interchantus stabil pada rangka wajah orang dewasa. Restorasi jarak
interchantus dengan menggunakan reduksi kompleks naso-orbitoethmoid dapat
membantu menentukan lebar wajah.
340
Gambar 5. A.Gambaran klinis penderita dengan fraktur naso-orbitoethmoid dengan jarak interchantus
43mm. B. Gambaran intraoperatif menunjukkan gambaran fraktur naso-orbitoethmoid.7
Tujuan dari perawatan fraktur panfasial adalah merehabilitasi jaringan
yang terkena, mengurangi rasa sakit, penyembuhan tulang, serta perbaikan oklusi
gigi. Sebelum merencanakan perawatan terlebih dahulu perhatikan:7
1. Lokasi dan luasnya fraktur
2. Struktur yang terluka atau terlibat di sepanjang fraktur
3. Jumlah kehilangan jaringan lunak, meliputi kulit, mukosa dan saraf
4. Luas kehilangan tulang
5. Keadaan trauma dentoalveolar
Perawatan jenis trauma yang kompleks ini merupakan rangkuman dari
seluruh perbaikan dari semua fraktur fasial dan kranial yang individual.
Dibutuhkan perencanaan yang baik untuk meminimalkan operasi ulang dan
lamanya perawatan di rumah sakit.
Perawatan terhadap jenis fraktur ini sebelumnya sering mengalami
kesulitan dalam menentukan waktu perbaikan wajah sehubungan dengan intervensi
bedah saraf dan ophtalmologis. Pada saat ini perawatan modern unit kraniofasial di
negara maju memungkinkan untuk dilakukannya perbaikan kraniofasial dan bedah
neurologis dalam merekonstruksi perbaikan fraktur fasial yang multipel dan
penutupan fistula kranionasal pada saat yang bersamaan. Defek tulang yang luas atau
defek jaringan lunak dapat dipertimbangkan dengan menggunakan rekonstruksi flap yang
luas atau graft. Defek diskontinuitas dapat dilakukan dengan fiksasi maksilomandibular
341
baik internal dengan intraosseus wiring, plate dan screws, lag screws maupun fiksasi
eksternal. Cangkok tulang definitif dapat dilakukan pada operasi pertama ataupun kedua.
Hilangnya gigi geligi akan mempengaruhi hubungan antara maksila dan mandibula.2,7
Gbr 6. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior1
Koreksi definitif pada pasien dengan trauma kraniofasial yang kompleks
secara ideal dilakukan dalam 5-7 hari. Beberapa penulis menganjurkan untuk
fiksasi primer pada 12-48 jam paska trauma. Namun dalam jangka waktu tersebut
seringkali tidak cukup untuk memperoleh pemeriksaan radiologis, ophtalmologis
dan pengelolaan gigi geligi yang adekuat terutama pada pasien dalam keadaan
koma dan tidak kooperatif. Pada periode tersebut jaringan lunak berada dalam
keadaan pembengkakan sehingga pengelolaan operatif pada saat itu akan
menyebabkan proyeksi wajah dan kesimetrisan wajah sulit dicapai. Selain itu
adanya rhinorrhoea serebrospinal atau aerocele intrakranial merupakan alasan lain
keterlambatan perawatan. 2
Seringkali pasien tersebut membutuhkan waktu lebih dari tiga minggu
untuk pengelolaan life-saving yang ekstensi terhadap trauma ekstrakranial. Pada
banyak kasus keterlambatan koreksi seringkali menyebabkan telah terjadinya
union pada tulang dan kontraktur jaringan lunak sehingga diperlukan diseksi
jaringan lunak yang ekstensif untuk mendapatkan pemaparan tulang yang baik
dalam rangka reduksi dan fiksasi fraktur tulang. Selain itu diperlukan osteotomi pada
garis fraktur akibat telah terjadinya penyatuan tulang.6
Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk
mendapatkan fiksasi dan stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang tidak
stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3 dimensi yaitu vertikal, horisontal dan
transversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan fraktur panfasial
342
yaitu dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke
bawah).2,8
Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada fossa
kranial anterior atau fronto-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang atau
dimana struktur-struktur tulang tersebut di atas telah terekonstruksi dengan kuat,
regio midfasial dapat direkonstruksi dalam arah atas ke bawah. Namun bila
terdapat diskontinuitas pada lengkung mandibula, hilangnya tulang pada tulang
kranial dan diskontinuitas pada dasar fosa kranial anterior atau hilangnya titik
referensi, pendekatan dilakukan dalam arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan agar
rekonstruksi pada mandibula dapat menghasilkan hubungan yang intak dalam
mereposisi maksila. Selain itu bila basis kranial frontalis diperbaiki dan dilekatkan
terhadap tengah wajah dapat menaikkan resiko kerusakan atau perubahan letak
terhadap fosa kranialis anterior yang telah diperbaiki.2,6,8
Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila
lengkung mandibula terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada
kondilus baik unilateral maupun bilateral memerlukan reduksi segera dan fiksasi
internal untuk mempertahankan ketinggian fasial. Setelah mandibula terkoreksi
dengan baik, maksila yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan
menyesuaikan oklusi pada rahang bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris.
Perbaikan dapat dilanjutkan dalam arah atas ke bawah dan bertemu dengan segmen
maksilomandibula yang telah terfiksasi.5,6
Bila terdapat fraktur sagital pada maksila dilakukan reduksi dan fiksasi untuk
mendapatkan kembali lengkung maksila sehingga koreksi terhadap lebar wajah
tengah dapat tercapai. Fiksasi dapat dilakukan dengan menempatkan miniplate
secara transversal pada maksila. 5,6
Kerugian pada tehnik bottom to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan
dimulai dari jarak yang cukup jauh dari elemen simetris yang stabil yaitu basis
kranial. Ketidakakuratan dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus akan
menyebabkan asimetri wajah. 5,6
343
Gbr 7. Tehnik bottom up dan inside out. A dan B, penatalaksanaan fraktur panfacial dapat dimulai dengan
fikasi maxilomandibular. Kemudian diikuti dengan reduksi dan fiksasi fraktur subkondil, kemudian
fraktur symphisis. C dan D, reduksi dan fiksasi zygoma dengan menggunakan panduan sutura
sphenozygomatik dan sutura zigomatiko maxilary. E dan F, selanjutnya maxiila dapat distabilisasi
sepanjang buttress zygomaticomaxilary. G dan H, selanjutnya fraktur naso-orbiethmoid dapat
direduksi dan fiksasi pada sutura naso frontalis dan sutura frontomaxilary dan infraorbital rim serta
piriform. 1
Pada tehnik top to bottom, Gruss dan Mackinon (1986) menyarankan
untuk melakukan rekonstruksi pertama-tama pada bagian luar rangka fasial (outer
facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung zygomatik, kompleks
malar dan tulang frontalis. Kemudian rekonstruksi dilakukan pada bagian dalam
344
rangka fasial (inner facial frame) atau pada kompleks naso-orbitho-ethmoidal,
sutura zygomatikofrontalis dan orbital rim. Setelah itu dilakukan rekonstruksi pada
maksila pada Le Fort I dengan menggunakan plat pada buttress. Kemudian reposisi
pada fraktur mandibula dan diakhiri dengan fiksasi intermaksilaris.
Gbr 8. Teknik top to bottom1
Cangkok tulang biasanya dilakukan untuk merekonstruksi dinding orbital
dan hidung. Selain itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder bila
345
dibutuhkan untuk menambah kontur pada regio tertentu dan memperbaiki
kesimetrisan wajah.6
Berbagai macam insisi dilakukan untuk mendapatkan pemaparan tulang yang
mengalami fraktur dan merekonstruksinya antara lain dengan insisi koronal, insisi
pada kelopak mata bagian bawah, periorbital, sulkus gingivobukal, preaurikular,
retromandibular atau submandibular. Insisi koronal akan dapat memberikan
pemaparan yang lebih luas pada tulang kranium dan rangka kraniofasial bagian
atas. Selain itu insisi ini dapat memberikan akses yang optimal untuk dapat
mereduksi dan memfiksasi fragmen tulang.5
2.4 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada trauma maksilofasial adalah :
1. Kerusakan neurologis seperti adanya anestesi, parastesi,
2. Kurangnya ketinggian wajah pada bagian posterior,
3. Gigitan terbuka pada bagian anterior (openbite anterior),
4. Bertambahnya lebar wajah,
5. Berkurangnya ukuran proyeksi wajah dalam arah anterior dan posterior,
6. Maloklusi,
7. Deformitas dan obstruksi hidung dan serta
8. Kebutaan.
346
BAB III
KESIMPULAN
Penatalaksanaan pasien dengan trauma panfasial memerlukan diagnosa yang
cermat untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam merekonstruksi wajah.
Kunci keberhasilan pengelolaan pasien fraktur panfasial adalah dengan
mendapatkan lapang pandang yang cukup luas, reduksi yang cermat dan fiksasi
dari fraktur. Prinsip dalam merekonstruksi adalah dengan mereduksi daerah yang
anatomi yang memberikan panduan rangka wajah yang maksimal yaitu pada
kerangka wajah luar. Daerah-daerah yang mengalami kehilangan tulang yang luas
dapat dilakukan cangkok tulang.
347
DAFTAR PUSTAKA
1. Hard N, Kuttenberger. 2010. Craniofacial Trauma, Diagnosis and
Management, Berlin: Springer-Verlag
2. Fonseca R.J. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis:
Elsevier Saunders.
3. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Workup: Facial
Trauma, Management of Panfacial Fractures
4. http://www.otohns.net/default UTMB Grand Rounds-Maxillary and
Periorbital Fractures
5. Trott, J.A et al. 1995. Facial Fracture in David, D.J & Simpson D.A.
Craniomaxillofacial Trauma. Edinburg: Churchill Livingston
6. Bos, R.R.M. 1990. Panfacial fractures : Planning an Organized Treatment in
Harle F. and Champy, M. Atlas of Craniomaxillofacial Osteosynthesis
Miniplates, Microplates and Screws. Stuttgart. New York: Thieme
7. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Treatment:
Facial Trauma, Management of Panfacial Fractures
8. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Follow-up:
Facial Trauma, Management of Panfacial Fractures
9. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Multimedia:
Facial Trauma, Management of Panfacial Fractures
10. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa: drg.
Purwanto, drg. Basoeseno, EGC. Jakarta.
348
Manajemen Trauma Pada Anak-Anak
Arismunandar
160121120005
Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Bedah Mulut Dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung
Abstrak
Manajemen trauma oromaksilofasial pada pasien anak-anak sedikit
berbeda dengan orang dewasa. Dengan kemampuan penyembuhan yang cepat,
ukuran bagian tubuh yang lebih kecil dan komplikasi yang minimal menjadi
karakteristik tersendiri pada pasien anak-anak. Perlu di perhatikan pada
penanganan kegawatdaruratan dan perawatan definitive oleh karena struktur
anatomi yang sedikit berbeda dengan orang dewasa.
Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran
mengenai manajemen penatalaksanaan trauma pada anak-anak.
Kata kunci : trauma, fraktur, reduksi, reposisi, fiksasi, anak-anak.
349
BAB I
PENDAHULUAN
Pasien trauma orofasial pada anak-anak berbeda dari orang dewasa dengan
luka yang serupa oleh karena trauma yang terjadi. Pertama, pada pasien anak-anak
memiliki keuntungan dari kemampuannya untuk menyembuhkan yang cepat
dengan komplikasi yang minimal, oleh karena vaskularisasi jaringan yang baik
dari wajah. Kedua, melalui pertumbuhan dan kemampuan yang melekat pada
anak-anak untuk beradaptasi, pemulihan jaringan orofasial yang rusak dapat
dimaksimalkan dan hilangnya fungsi dapat diminimalkan.1,2
Disamping
keuntungan ini, ada karakteristik tertentu dari trauma orofasial pada anak-anak
yang harus selalu diingat. Ini termasuk anatomi wajah yang belum dewasa, cedera
pada wajah karena trauma berpengaruh pada pertumbuhan, yang membuat tindak
lanjut penanganan jangka panjang pada pasien anak-anak wajib
diperhatikan. Karena faktor ini, trauma orofasial pada anak-anak tidak dapat
dikelola dengan cara yang sama seperti pada orang dewasa.3 Ukuran tubuh anak-
anak yang lebih kecil juga berpengaruh, saat terjadi trauma, akan menyebabkan
gaya yang lebih besar per unit masa tubuh.
Pada pasien pediatrik, tulang lebih elastis, garis sutura lebih fleksibel,
dan adanya lapisan adiposa yang menutupi kerangka lebih tebal daripada pada
orang dewasa.2 Faktor-faktor ini juga berkontribusi terhadap rendahnya frekuensi
fraktur fasial pada anak-anak dan seringya terjadi greenstick dan nondisplaced
fraktur pada anak-anak. Kurangnya sinus pneumatization dan tunas gigi dalam
rahang berkontribusi terhadap stabilitas dan rendahnya prevalensi pada fraktur
midface .4
Adanya perbedaan antara pasien anak dan dewasa mempunyai dampak
terhadap pola trauma pada anak-anak pada umumnya dan trauma maksilofasial
khususnya. Anak-anak memiliki permukaan yang lebih tinggi-untuk-rasio volume
tubuh, tingkat metabolisme lebih tinggi, oxygen demand, dan curah jantung, darah
total yang lebih rendah volume, dan stroke volume lebih kecil daripada orang
dewasa.3 Oleh karena itu, mereka lebih rentan menghadapi resiko hipotermia,
350
hipotensi, dan hipoksia setelah kehilangan darah dan bahkan pembengkakan
ringan pada saluran napas atau terjadinya obstruksi mekanis. Oleh karena itu
maka pemeliharaan jalan nafas, pengendalian perdarahan, dan resusitasi awal
lebih kritis pada anak-anak daripada orang dewasa.3
Dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak memiliki rasio cranial to
body mass lebih besar. Rasio cranial to body mass diperkirakan 8:1 pada masa
bayi dan 2.5:1 pada dewasa. Perlindungan ''relatif'' wajah oleh tulang
tengkorak memberikan informasi bahwa, insidensi fraktur midface dan tulang
mandibula pada anak-anak lebih rendah, serta lebih besar insiden cedera
tengkorak dalam kelompok usia yang lebih muda. Ini juga menjelaskan mengapa,
dengan bertambahnya usia, insiden patah tulang rahang midface dan meningkat
sedangkan insiden cedera kranial berkurang.3,4
351
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi
Etiologi cedera pada wajah bervariasi dengan usia. Walaupun kebanyakan
dokter mengkategorikan pasien yang sedang dalam masa tumbuh kembang sesuai
dengan kesar tubuh anak-anak tersebut, anak-anak harus dibedakan berdasarkan
usia tumbuh kembangnya. Infant dikategorikan pada usia kurang dari 1 tahun,
kategori anak-anak berada pada usia 1-11 tahun, dan dewasa muda berada pada
usia 11-19 tahun. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa, penyebab paling
umum cedera pada wajah adalah kecelakaan kendaraan bermotor apakah anak
sebagai penumpang atau pejalan kaki. 2,3,4
Anatomi Dan Patofisiologi
Proporsi wajah anak-anak sangat berbeda dari yang orang dewasa. Tulang
kranium kepala besar dan struktur wajah yang relatif kecil. Rasio kraniofasial saat
lahir adalah 8:1 dan wajah tersembunyi di bawah tulang kranium yang relatif
besar. Awalnya, kranium tumbuh lebih cepat daripada wajah, mencapai 80% dari
ukuran dewasa pada usia dua tahun. Otak dan ocular pertumbuhan hampir selesai
pada usia tujuh. Pertumbuhan fasial terus berlangsung sampai pada dekade kedua
kehidupan hingga ratio kraniofasila menjadi 2:1. Oleh karena alasan tersebut
maka tulang kranium lebih sering terkena trauma sebelum usia ke-7 daripada
trauma yang terjadi pada wajah.3,4
Prinsip umum penatalaksanaan fraktur (recognition, reduction,
stabilization, & fixation) harus diterapkan disamping tetap mempertimbangkan
dampak yang terjadi terhadap tumbuh kembang anak-anak di masa mendatang.1
Dilema sering muncul ketika harus memutuskan perawatan yang terbaik untuk
penatalaksanaan trauma orofasial terutama pada pasien anak-anak. Peran dan
fungsi rahang sebagai modulator pertumbuhan mandibula tidak terbantahkan.
Potensi penyembuhan dan remodeling tulang pada anak-anak lebih besar
daripada orang dewasa. Pada perawatan IMF yang menghambat tumbuh kembang
352
wajah efeknya bersifat reversible, jika pemasangan IMF dilakukan untuk jangka
waktu yang singkat. Ketika perawatan open reduction menjadi pilihan, harus
diperhatikan bahwa jangan sampai tindakan tersebut mempunyai efek terhadap
tumbuh kembang wajah akibat penempatan bone plates, screws ataupun wires.
Selama fase mixed dentition mungkin akan sulit didapatkan IMF yang stabil pada
perawatan closed dan open reduction.2,4
Anatomi jalan nafas pada pasien anak-anak memiliki saluran yang pendek
dan diameter yang kecil serta epiglotis yang sempit serta lidah yang besar pada
anak. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya airway resintance, mudahnya
tejadi obstruksi, kesulitan intubasi, dan mudahnya self-extubation. Pada anak-anak
dan bayi rigiditas dada kurang bila dibandingkan dengan dewasa. Tidak seperti
pada orang dewasa, pada anak-anak penyebab umum terjadinya gangguan jantung
oleh karena gangguan sekunder pernafasan.1,2
Fraktur greenstick lebih sering dijumpai pada pasien anak-anak oleh
karena tulang korteks yang tipis dan meningkatnya bagian medulla tulang
menyebabkan tulang tahan terhadap benturan. Komposisi tulang dengan lebih
banyak tulang kanselus menyebabkan kurang kondusif dilakukan screw/ wire
fixation untuk internal fiksasi. Oleh karena alasan tersebut, closed reduction
menjadi pilihan solusi penanganan pada kebanyakan fraktur fasial. Aktivitas
osteogenic dan bone remodeling yang aktif pada anak-anak menyebabkan fraktur
yang terjadi baik pada maksila ataupun pada mandibula yang jika tidak segera
dilakukan reduksi dalam beberapa hari maka akan sulit didapatkan reduksi yang
adekuat dikemudian hari. Hampir tidak ada/ jarang ditemukan kasus nonunion
pada fraktur fasial pada anak-anak.1,3
Psikologi anak-anak
Stress trauma dan bedah akan berpengaruh pada psikologi anak-anak.
Selama periode infant, rawat inap rumah sakit, trauma dan bedah akan
mengganggu alur makan dan tidur infant. Pada usia yang lebih dewasa, depresi
dapat terjadi karena tekanan dari ingatan akan trauma dan kehilangan anggota
tubuh dapat menghambat perkembangan mental pada anak.
353
Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) dapat muncul setelah luka pada
individu muda yang tidak pernah mengalami luka yang serius ataupun rawat inap
pada lingkungan rumah sakit. Walaupun PTSD bukanlah kelainan yang fatal,
keadaan ini dapat memicu pertumbuhan mental pasien kea rah yang tidak wajar.
Perawatan khusus harus diberikan untuk menjaga keadaan mental pasien anak-
anak. Konsultasi dengan psikiatri dan layanan social lainnya penting untuk
menghasilkan kesehatan yang sempurna pada anak-anak.
Insiden Fraktur Fasial
Fasial fraktur pada anak-anak jarang terjadi pada anak-anak. Analisa yang
dilakukan Rowe pada 1500 kasus fraktur fasial ditemukan bahwa, 5% dari semua
kasus fraktur fasial terjadi pada anak-anak dibawah umur 12 tahun dan kurang
dari 1% terjadi pada anak-anak dibawah umur 6 tahun. Fraktur pada midface pada
anak-anak ditemukan kurang dari 1% dan 4% disertai variasi fraktur Le Fort I.1
Studi yang dilakukan McCoy et al, menemukan bahwa 40% kasus fraktur
fasial berkaitan dengan fraktur kranium. Pada pasien anak-anak, trauma kepala
sering menyertai fraktur fasial, kemudian diikuti trauma pada ekstremitas. Posnick
et al mendapatkan dari 137 pasien, menemukan 42 % dengan fraktur fasial (6-12
tahun), 32 % fraktur orbita pada dasar orbita, 19% pada dinding media, 18% pada
atap orbita. Pada kasus kecelakaan kendaraan bermotor yang terjadi/ melibatkan
anak-anak, 51,4% terjadi faraktur nasal, 15,5% fraktur mandibula, 11,6% fraktur
orbita, 8,7 fraktur zygoma dan maksila.1
354
BAB III
PEMBAHASAN
Manajemen Kegawat-daruratan
Pemeliharaan jalan nafas, pencegahan terjadinya aspirasi, kontrol
perdarahan dan stabilisasi tulang servikal merupakan langkah utama pada
manajemen kegawatdaruratan pada pasien anak-anak dengan trauma orofasial.
Pembengkakan karena trauma maksilofasial, fragmen fraktur mandibula, dapat
membahayakan saluran pernafasan pada anak-anak dengan trauma maksilofasial.
Mulut dan pharynx harus terbebas dari kotoran dan intubasi dilakukan jika
diperlukan. Perdarahan dari kulit kepala, wajah, leher dan mulut harus dikontrol
dengan penekanan dan dilakukan penjahitan bila perlu. Stabilisasi tulang servikal
sampai kondisi dinyatakan clear.4
Cairan Dan Elektrolit
Resusitasi cairan merupakan komponen penting pada manajemen
perioperatif pada pasien trauma anak-anak. Perubahan status mentalis, respiratory
compromise, berkurangnya nadi perifer, delayed capillary refill, dan hipotermi
adalah tanda-tanda shock dan memerlukan segera resusitasi cairan dengan cairan
intravena yang hangat untuk mengembalikan ke kondisi semula. Dengan adanya
trauma, resusitasi cairan dengan 2 cateter intravena diperlukan, jika kurang dari 6
tahun, akses intraosseus bisa dilakukan sampai akses intravena didapatkan.
Kebutuhan cairan pada anak-anak terdiri dari maintenance dan
replacement. Maintenance terapi untuk mengkompensasi kehilangan cairan
insensible (paru & keringat) dan sensible (urine & stool). Kemungkinan terjadi
kehilangan cairan pada kondisi adanya luka terbuka, muntah, diare. Untuk terapi
maintenance dikalkulasikan dengan estimasi caloric expenditure dari berat badan
dan luas permukaan tubuh. Kalkulasi terapi maintenance pada anak-anak berkisar
1500 mL + 20 mL/kg untuk berat badan yang lebih dari 20 Kg per hari. Jika
diduga dehidrasi moderate maka maintenance awal 5mL/ Kg per jam selama 2
355
jam pertama dan berkurang sampai 1,5-2 mL/ Kg per jam. Output urine
diharapkan 1-2 mL/ Kg per jam pada anak-anak.
Terapi cairan untuk maintenance biasanya larutan hipotonis dengan
konsentrasi Na dan K yang memadai ( 5% dextrose [D5] dengan ¼ NS, D5
dengan ½ NS). Penggunaan NS bisa memicu terjadinya hipernantremi ketika
diberikan untuk maintenance karena kandungan sodium yang tinggi (154 mEq/L)
dan juga karena kemampuan bayi untuk mengekskresikan kelebihan sodium
berkurang. Serta juga dapat menyebabkan hiperchloremic pada neonates jika
digunakan dalam jangka waktu yang lama, karena kandungan chloride
didalamnya adalah nonphysiologic chloride.1,3
Blood Loss Dan Replacement
Tujuan utama manjemen terapi cairan pada anak-anak adalah untuk
mengenali dan mengatasi kondisi yang mengancam nyawa dan mengeliminasi
kondisi sekunder karena trauma yang terjadi. Pada kasus trauma pada anak-anak
operator harus jeli memonitor kondisi klinis pasien jika sewaktu-waktu terjadi
shock dan dibutuhkan resusitasi cairan. Tanda-tanda shock meliputi tachycardia,
pallor, poor filling capillary refiil, dan pre renal azotemia. Pada anak-anak dengan
multisystem trauma harus dipertimbangkan kemungkinan terjadinya perdarahan.
Resusitasi untuk hipovalemia dapat dimulai dengan pemberian crystalloid
bolus 20 mL/Kg, yang mewakili 25% volume darah normal pada anak-anak.
Bolus diulang sampai total 60 mL/Kg ,karena tiga kali jumlah crystalloid
diperlukan untuk menggantikan volume darah yang hilang. Penggunaan cairan
isotonis dianjurkan karena aktif secara osmosis dan menyebabkan ekspansi
intravascular. Penggunaan cairan hipotonis tidak dianjurkan pada resusitasi karena
menyebabkan menurunnya crystalloid osmotic pressure.
Darah merupakan agen yang sangat efektif untuk mengoreksi defisit
intravascular. Ketika kondisi hemodinamik sudah tidak stabil maka perlu
diberikan bolus crystalloid fluid, transfusi PRC 10-20 mL/Kg. Compatibility test
harus dilakukan sebelum dilakukan transfusi untuk menentukan golongan darah
dan Rh recipient, serta kemungkinan adanya red cell isoantibodies.1,3
356
Nutrisi
Pada pasien anak-anak paska penatalaksanaan tindakan bedah, sering
terjadi kondisi hypercatabolic yang memerlukan oral intake yang adekuat untuk
mencukupi nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Pada pasien recovery, intake makanan
dalam bentuk mechanical diet yang tidak dikunyah atau dalam bentuk cairan jika
terpasang IMF. Ketika pasien dalam kondisi severe neurologic injury, respiratory
failure, massive edema hindari pemberian makan secara enteral selama kurang
lebih 3 hari atau lebih, berikan secara parenteral.1,3
Pemeriksaan klinis
Perhatikan airway, terutama pada pasien dengan trauma midface yang
parah, kemudian diikuti evaluasi kardiopulmonal. Karena jalan nafas yang relatif
sempit maka kemungkinan dampak karena oedem dan pembengkakan semakin
besar. Perhatikan dan observasi tanda-tanda vital untuk menentukan apakah
pasien stabil atau dalam kondisi sebaliknya.
Sedasi selama periode tersebut mungkin sangat diperlukan tetapi harus
dihindari karena kondisi pasien masih dalam masks neurologoc changes.
Identifikasi adanya pembengkakan yang terjadi dan kemungkinan terjadinya
fraktur pada struktur tulang dibawahnya, oedema fasial, periorbital ecchymosis,
subconjunctival hemorrhage, subcutaneous emphysema, perdarahan hidung, dan
identifikasi perdarahan dari rongga mulut. Adanya battle’s sign (postauricular
echymosis) curigai adanya basal skull fracture.
Palpasi regio orbita dan nasal untuk mengetahui adanya deformitas tulang
pada daerah tersebut,subcutaneous emphysema, dan krepitasi yang terjadi. Ketika
terjadi fraktur orbita lakukan tes visual , adakah diplopia, dan kelainan pergerakan
bola mata. Adanya kelainan maloklusi, atau adanya gigi yang tanggal curigai
adanya fraktur rahang. Adanya deviasi waktu membuka mulut curigai adanya
fraktur pada kondil mandibula. Adanya laserasi atau kontusi pada daerah dagu
waspadai kemungkinan terjadinnya fraktur pada kondil mandibula. Konsultasikan
ke neurosurgical jika ada riwayat pingsan, perubahan status mentalis, battle’s
sign, rhinorea, parestesi wajah, atau adanya hemotympanum.
357
Anamnesa yang akurat tentang riwayat trauma pada pasien ataupun
pengantar sangat membantu perencanaan tindakan berikutnya.1,2
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaa radiologi perlu dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosa. Pemeriksaan lengkap pada wajah meliputi; schede AP lateral, Town’s
projection, Water’s view dan submental vertex. Panoramic foto merupakan alat
diagnostic lainnya yang diperlukan tetapi menuntut kerjasama pasien untuk diam
selama berlangsung pemaparan. Penggunaan CT-Scan telah menjadi kegiatan
rutin dinegara-negara besar dan menjadi standar perawatan menggantikan
pemeriksaan radiologi konvensional.1,2,3
TIPE FRAKTUR
1. Fraktur Alveolar
Fraktur mandibular alveolar pada anak-anak merupakan yang
paling sering terjadi pada fraktur fasial. Prosentasenya berkisar 8.1 % dan
50.6 % pada trauma fasial pada anak-anak. Pada fraktur alveolar maksila
berkisar antara 5% sampai 65%. Penanganan fraktur alveolar meliputi
imobilisasi segmen fraktur dengan arch bar, wire ligation serta composite
supported orthodontic wire extended pada gigi disekitarnya. Pada pasien
dengan alveolar bone loss dapat dilakukan autogenous bone grafting
dengan pengambilan tulang berasal dari mandibular ramus, os mental atau
tulang kranial.1
Gambar 1. Fiksasi gigi dengan composite supported orthodontic
wire extended1
358
2. Fraktur Midfasial
Fraktur Nasal. Fraktur nasal sering terjadi pada cedera midfasial
anak-anak. Fraktur nasal yang terjadi sebelum proses tumbuh kembang
selesai harus di perlakukan sama seperti fraktur nasal pada orang dewasa.
Adanya gangguan pertumbuhan setelah terjadinya fraktur nasal akan
menyebabkan penutupan premature dari sutura septovomerine. Seperti
pada fraktur nasal orang dewasa maka oedema terjadi disekitar struktur os
nasalis. Epistaksis sering terjadi menyertai trauma pada hidung dan mudah
dikontrol dengan melakukan penekanan pada nostril selama 5-10 menit
dengan kepala sedikit ditengadakan, bukan hiperekstensi kebelakang,
untuk mencegah terjadinya aspirasi dari darah karena darah mengalir ke
posterior pharynx. Jika terjadi terjadi deviasi septum maka harus dilakukan
reduksi. Reseksi pada septal cartilage dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan wajah, dan hal ini harus dihindari. Pemeriksaan ulang
dilakukan setelah 3-4 hari setelah terjadinya trauma, dan jika terjadi
deformitas maka harus dilakukan closed reduction. Setelah dilakukan
reduksi dengan kaudal traksi. Tulang hidung dapat direposisi dengan
pendekatan intranasal. Nasal packs dapat digunakan untuk menyangga
tulang dan septum hidung yang telah direposisi, dan membiarkanya
beberapa saat selama proses penyembuhan.1
Splinting eksternal dapat
membantu untuk mengontrol pembengkakan dan menyediakan
perlindungan pada hidung setelah dilakukan reposisi.
359
Gambar 2. Jejas pada nasal merupakan fraktur wajah yang sering terjadi pada pasien
anak-anak. (A) Deviasi ke kanan setelah trauma pada wajah.
(B) Setelah reduksi tertutup. 1
Fraktur Maksila. Fraktur Le fort pada anak-anak jarang ditemui
oleh karena maksila pada anak-anak masih tulang kanselus, gigi belum
tumbuh dan sinus maksilaris masih belum sempurna. Aperture piriformis
dan dinding zygomaticomaxillary tebal , dan jaringan lunaknya lebih
banyak jaringan lemak. Jika terjadi fraktur dan terjadi maloklusi maka
dapat dilakukan closed reduction. Pencetakan dilakukan dan pembuatan
model, kemudian model dipotong untuk memfasilitasi konstruksi
pembuatan splint untuk closed reduction. Intervensi bedah pada tooth-
bearing area pada maksila untuk penempatan kawat untuk stabilisasi atau
plate meningkatkan insiden terjadinya gangguan perkembangan benih gigi
dan sedapat mungkin dihindari, dan dilakukan pada kondisi tertentu.1,2
Fraktur Orbita. Sebelum usia 7 tahun, sebagian besar fraktur
pada orbita terjadi pada atap orbita dan meluas ke sinus frontalis. Hal ini
dikarenakan sinus masih dalam perkembangan. Setelah usia 7 tahun,
cedera pada atap orbita, dinding lateral, dasar dan sinus frontalis lebih
sering terjadi , karena sebagian besar perkembangan orbita telah selesai.
Penatalaksanaan fraktur orbita pada anak-anak umur 7 tahun ke atas sama
dengan penatalaksanaan pada fraktur orbita orang dewasa. Adanya
disfigurement wajah, adanya keterbatasan gerak bola mata, prolaps
360
periorbita ke athrum atau sinus ethmoidalis dan adanya diplopia yang
persisten merupakan indikasi dilakukan open orbital exploration. Untuk
eksplorasi regio frontozygomatico dapat dilakukan insisi di sekitar alis
mata. Untuk eksplorasi daerah infraorbital rim, dasar orbita dan dinding
medial dapat dilakukan pendekatan dengan melakukan insisi pada lipatan
inferior kantung mata atau melalui transconjunctival approach. Karena
pada anak-anak lipatan kantung mata belum terbentuk maka insisi bisa
dilakukan parallel dengan batas kantung mata dan sedikit bersudut ke
inferior hal ini untuk mengurangi terbentuknya jaringan parut. Insisi dibuat
7 mm dari tepi bawah kantung mata, dan diseksi dilakukan ke otot
orbicularis oculli terus sampai ke bawah pada orbital rim. Jika dilakukan
fiksasi internal maka kawat ditempatkan pada inferior orbital rim, dan jika
gigi permanen belum tumbuh, kemungkinan tunas benih gigi akan terkena.
Untuk menghindari hal tersebut maka sedapat mungkin kawat atau screw
harus ditempatkan dengan posisi cephalic diatas rim.
Gambar 3. Fraktur fronto-rima orbitalis superior terjadi karena adanya tumbukan yang
cepat kearah benda diam. (A) Edema pada fronto-periorbita dextra dan ekimosis setelah
trauma. (B) Durante op dengan gambaran impaksi frontal dan rima supra orbita yang
memerkukan dilakukannya craniektomi untuk akses dan pebaikan.2
361
Gambar 4. Potongan cross-seksi dari inferior palpebral dan variasi dari insisi pada dasar.
Menurut Ochs MW FR. Orbital trauma. In: Fonseca RJ.3
Jika dasar orbita atau dinding medial fraktur maka akan terjadi
prolaps bola mata ke anthrum atau sinus ethmoidalis. Prolaps yang terjadi
harus dikembalikan dan dasar atau dinding harus didukung dengan bone
graft untuk mencegah enophthalmus.1,2
Fraktur Nasal-Orbita-Ethmiodal. Fraktur ini relatif jarang
dijumpai pada anak-anak, tapi karena pentingnya harus digaris bawahi
karena potensialnya yang bisa menyebabkan gangguan pada pertumbuhan
tulang wajah. Pertumbuhan midface tergantung dari pertumbuhan fossa
cranii anterior, orbita dan septum nasalis. Ketika dilakukan open reduction
pada daerah ini maka periosteum akan dipisahkan dari tulang orbita dan
nasal dan kondisi ini sendiri berpotensial menghambat pertumbuhan
wajah. Open reduction kompleks pada nasal-orbita-ethmoid dilakukan 4
hari setelah trauma dan dengan gangguan seminimal pada septum nasalis.
Regio ini dapat diakses melalui pendekatan insisi koronal untuk
hasil estetik yang memuaskan, disamping bisa dilakukan insisi pada nasal
dorsum dan juga perluasan insisi dari insisi inferior kantung mata yang
meluas ke tulang hidung bagian lateral. Insisi koronal dilakukan
362
dibelakang hairline pada kulit kepala dan dimulai setinggi dari telinga.
Kadang-kadang insisi meluas sampai ke regio preauricular bila diinginkan
lapang pandang yang luas.1
Fraktur Arkus Zygomatikus. Fraktur pada arkus zygoma terjadi
dengan prosentase 7- 41 % dari seluruh populasi trauma pada anak-anak.
Seiring dengan bertambahnya usia tulang zygoma semakin menonjol dan
prevalensi kejadian fraktur pada arkus zygomatikus juga meningkat.
Penatalaksanaan pada fraktur ini hanya jika dibutuhkan dan sama seperti
pada orang dewasa. Penatalaksanaan pada fraktur ini dilakukan jika
terdapat deformitas atau terjadi trismus. Studi terbaru menemukan bahwa
penyuntikan botulinum pre-op dapat menahan tarikan otot masseter kearah
inferior sehingga mengurangi kemungkinan displacement fraktur post
reduction oleh karena tarikan otot masseter. Pada fraktur greenstick atau
minimal displaced hanya dibutuhkan observasi saja, tetapi jika terjadi
depressed dan comminuted fracture perlu dilakukan open reduction dan
fiksasi. Jika terjadi maka pendekatan dilakukan melalui intra oral atau
Gilles approach. Jika terjadi fraktur zygoma kompleks atau Quadrapod
yang melibatkan disartikulasi tulang zygoma dengan tulang frontal,
maksilaris, sphenoid dan tulang temporal maka reduksi dan reposisi
biasanya melalui multiple approaches, meliputi pendekatan hemicoronal,
sublabial,dan transconjuctival. Gangguan pertumbuhan oleh karena fraktur
ini jarang terjadi.1,2
363
Gambar 5. Fraktur zigomatic dengan defisiensi malar disertai dengan infraorbital (V2)
parastesi. (A) Setelah pembengkakan awal, keadaan malar dapat dilihat. (B) Post-bedah
dengan reduksi intraoral dan pemasangan plat fiksasi2
Gambar 6. Pendekatan dengan Gilies untuk reduksi arkus zigomatikus2
Penggunaan double ended periostel elevator, Kelly clamp dapat digunakan
untuk mereposisi fraktur ini, dengan pendekatan insisi pada regio
temporalis. Trismus post-op sering terjadi dan akan berkurang dalam
dalam beberapa minggu. Pasien harus latihan buka tutup mulut,
memajukan mandibula dan lateral excursion.
3. Fraktur Mandibula
Fraktur Kondil. Fraktur pada kondil semasa kanak-kanak
berpotensi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan wajah. Kondil
mandibula merupakan daerah yang paling sering cedera dengan tingkat
364
insidensi 14.5%-60%. Fraktur pada kondil mandibula dapat dikategorikan
fraktur kondil terbuka (capsular disruption) dan tertutup (intracapsular).
Closed fracture pada kondil dapat dilakukan closed reduction kecuali
oklusi normal tidak tercapai. Open reduction dilakukan jika terjadi terjadi
displaced segmen kondil pada fossa cranial media atau jika terdapat benda
asing.
Pada pemeriksaan fisik, mandibula mengalami deviasi kesisi yang
fraktur jika terjadi dislokasi pada proksimal segmen. Deviasi terjadi
karena pemendekkan ramus. Trismus dan keterbatasan membuka mulut
merupakan gejala adanya fraktur pada kondil. Tanda dan gejala fraktur
kondil pada anak-anak sama dengan tanda dan gejala pada fraktur kondil
orang dewasa. Adanya asimetri maloklusi, anterior open bite, deviasi
mandibula waktu buka dan tutup mulut, nyeri pada preauricular,
pembengkakan, keterbatasan pergerakan, darah pada canalis meatus
acusticus, dan laserasi submental merupakan pertanda adanya fraktur
kondil.
Perawatan. Karena proses penyembuhan yang cepat pada anak-
anak, maka immobilisasi dilakukan tidak terlalu lama dengan
pertimbangan kalau terlalu lama maka akan berpotensi terjadi ankylosis.
Mobilisasi segera, terapi fisik, dan diet lunak menghambat terjadinya
fibrosis dan penyatuan tulang serta mengembalikan stimulasi otot-tulang
penting untuk kelanjutan pertumbuhan simetris wajah.
Closed reduction dengan IMF elastis dengan kurun waktu 1-2
minggu. Jika posisi mandibula dan oklusi dapat dicapai dan dipertahankan
selama 6 bulan , maka pertumbuhan mandibula akan berlangsung secara
simetris. Goal dari penatalaksanaan pada fraktur kondil mandibula untuk
mengembalikan ke simetrisan mandibula, oklusi , dan fungsi tanpa
gangguan pertumbuhan dimasa mendatang. Jika fraktur kondil
teridentifikasi, tetapi tidak terjadi maloklusi maka tidak perlu dilakukan
immobilisasi.
365
Ketika terjadi maloklusi atau mandibula asimetri serta adanya
fraktur kondil, maka reduksi untuk mencapai oklusi awal dan posisi
mandibula ke posisi awal dapat dicapai dengan IMF atau traksi elastic.
Arch bar dapat dipasang pada gigi sulung dengan bantuan
circummandibular, piriform atau circumzygomatic wires. Open reduction
pada fraktur kondil jarang dilakukan. Intervensi bedah diindikasikan jika
segmen kondil displaced ke fossa cranial atau adanya keterbatasan gerakan
karena posisi segmen fraktur.1,2
Gambar 7. Ilustasi 3 kranium dengan usia yang berbeda (A: 2 tahun, B: 6 tahun, C: 12
tahun). Perbedaan metode stabilisasi dengan arch bar pada variasi umur termasuk circum-
mandibula, circum-zygomatic, infraorbital, dan wiring. (Posnick JC.) 2
Fraktur Bodi Dan Simfisis Mandibula. Fraktur bodi dam
simfisis mandibula pada anak-anak terjadi seiring dengan berkembangnya
gigi geligi dan biasanya selalu melibatkan trauma pada rongga mulut. Pada
fraktur ini penatalaksanaan dengan pemberian antibiotic, dilakukan
reduksi, dan stabilisasi dari fraktur. Pada pasien di bawah 2 tahun biasanya
hanya di observasi dan diet lunak. Sering terjadi greestick fraktur pada
regio ini, dan terjadi sedikit displacement, kemungkinan hal ini
dikarenakan tulang mandibula yang elastic dan tertanamnya benih gigi
sehingga memegang fragmen fraktur. Open reduction pada pasien anak-
366
anak jarang dilakukan. Fiksasi maksilomandibular dapat dilakukan
dengan pemasangan erich arch bar. Pada umur antara 5-12 tahun, dapat
dilakukan pemasangan circummandibular wires atau fiksasi skeletal. Jika
memungkinkan, closed reduction untuk penanganan fraktur tersebut
dengan pertimbangan jika dilakukan open reduction akan mengganggu
perkembangan tunas gigi. Hampir pada semua kasus fraktur pada regio ini
penatalaksanaannya dapat dengan menggunakan teknik closed reduction.
Perkembangan yang terbaru, FDA menyetujui penggunaan resorbable
plating systems untuk penatalaksanaan fraktur mandibula, sehingga pada
penggunaan sistem ini tanpa dilakukan pengambilan plate dan terjadinya
migrasi dari plate oleh karena pertumbuhan tak perlu dikhawatirkan
lagi.1,2,4
(Fig. 4)
Gambar 8. Fraktur mandibular yang menyebabkan openbite, yang terjadi pada posterior
ramus dan kondulus. (A) fraktur parasimfisis mandibular dengan separasi antara kaninus
dan premolar. (B) Reduksi intraoral dan plat fiksasi yang dapat di resorbsi. (C)
Penggunaan plat yang dapat di resorbsi pada anak usia 4 tahun. 4
(C)
367
BAB III
KESIMPULAN
Fraktur wajah pada anak jarang terjadi, tapi dapat mengakibatkan tingkat
morbiditas yang signifikan jika tidak ditangani dengan baik. Mayoritas dari
fraktur ini dapat ditangani secara konservatif. Jika memang dibutuhkan tindakan
bedah, harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya gangguan
pertumbuhan
Manajemen trauma oromaksilofasial pada anak-anak sedikit berbeda
dengan orang dewasa namun pada intinya sama karena pada anak-anak masih
dalam proses tumbuh kembang. Prinsip umum penatalaksanaan fraktur pada
trauma oromaksilofasial pada anak-anak (recognition, reduction, stabilization, &
fixation) harus diterapkan disamping tetap mempertimbangkan dampak yang
terjadi terhadap tumbuh kembang anak-anak di masa mendatang.
368
DAFTAR PUSTAKA
1. Fonseca. RJ. Walker, RV. Betts, NJ. Barber HD. 2005. Oral and
Maxilofacial Trauma. Vol 2. 3rd
ed. Philadelphia. W.B. Elsevier-Saunders
company.
2. Kaban, LB. 1990. Pediatric Oral and Maxillofacial Surgery.
Philadelphia. W.B. Saunders Company.
3. Thaller SR, Mc Donald WS. 2004. Facial Trauma. Marcell Dekker, New
York.
4. Wesson DE. 2006. Pediatric Trauma. Taylor & francis Group, New York.
top related