ii. tinjauan pustaka a....
Post on 16-Jun-2018
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BIOPESTISIDA
Biopestisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti
bakteri, virus dan jamur. Biopestisida tidak menimbulkan kekebalan atau resistensi
terhadap hama target, aman bagi lingkungan, manusia dan hama non target. Berbagai
biopestisida telah dilaporkan dapat mengendalikan hama dan penyakit tanaman,
diantaranya :
1. Insektisida biologi (Bioinsektisida)
Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme
yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan
terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan
digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus
menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya.
Pada saat ini insektisida biologi sudah digunakan dan diperdagangkan secara
luas. Mikroba yang berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah
Bacillus thuringiensis. B. thuringiensis var. kurstaki telah diproduksi sebagai
insektisida biologi dan diperdagangkan dalam berbagai nama seperti Dipel, Sok-Bt,
Thuricide, Certan dan Bactospeine. Sedangkan B. thuringiensis var. israelensis
dengan nama dagang Bactimos, BMC, Teknar dan Vektobak. Insektisida ini efektif
untuk membasmi larva nyamuk dan lalat (Sastroutomo, 1992).
Jenis insektisida biologi yang lain adalah yang berasal dari protozoa, Nosema
locustae, yang telah dikembangkan untuk mengendalikan belalang dan jengkerik.
Nama dagangnya adalah NOLOC, Hopper Stopper, sdangkan nematoda yang
pertama kali didaftarkan sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae, yang
diperdagangkan dengan nama Spear, Saf-T-Shield. Insektisida ini digunakan untuk
membunuh rayap (Sastroutomo, 1992).
2. Herbisida biologi (Bioherbisida)
Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan
menggunakan bakteri, jamur dan virus. Bioherbisida yang pertama kali digunakan
ialah DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora yang digunakan untuk
mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada tanaman jeruk. Bioherbisida yang
kedua dengan menggunakan Colletotrichum gloeosporioides yang diperdagangkan
dengan nama Collego dan digunakan pada tanaman padi dan kedelai di Amerika
(Sastroutomo, 1992).
3. Fungisida biologi (Biofungisida)
Biofungisida yang dipakai untuk mengendalikan penyakit jamur. Beberapa
biofungisida yang telah digunakan adalah spora Trichoderma sp. untuk
mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai
dengan merek dagang Saco P dan Biotri P (Novizan, 2002).
Biofungisida lainnya menurut Novizan (2002), yaitu kelompok Gliocladium
yaitu G. roseum dan G. virens. Produk komersialnya dengan merek dagang
Ganodium P yang direkomendasikan untuk mengendalikan busuk akar pada cabai
akibat serangan jamur Sclerotium rolfsii dan B. subtilis untuk mengendalikan
serangan jamur Fusarium sp. pada tanaman tomat. Bakteri ini telah diproduksi
secara masal dengan merek dagang Emva dan Harmoni BS (Novizan, 2002).
B. LIMBAH CAIR TAHU
Tahu merupakan makanan yang mempunyai nilai tinggi dalam memenuhi
kriteria makanan sehat, karena tahu mempunyai nilai gizi yang tinggi sehingga baik
jika dikonsumsi. Pada sisi lain proses pembuatan tahu menghasilkan dua jenis limbah
yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat dari proses pembuatan tahu sudah
banyak dimanfaatkan tetapi untuk limbah cairnya masih sedikit. Limbah cair tahu
merupakan cairan yang berasal dari sari kedelai yang disaring dalam proses menjadi
tahu melalui proses pengumpalan protein sari kedelai. Limbah cair tahu sebagian
besar mengandung bahan organik berupa protein, lemak, karbohidrat dan bahan an
organik (Ca, Fe, Cu, Na, N, P, K, Cl, Mg). Proses pembuatan tahu dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir pembuatan tahu (Moertinah dan Djarwanti, 2003)
Limbah cair tahu dapat digunakan sebagai media fermentasi karena masih
mengandung nutrisi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba. Komposisi
dan karakteristik fisika limbah cair tahu dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Komposisi limbah cair tahu
Komponen Penggumpal
CaSO4 ( a ) CaSO4 ( b ) Asam asetat
Air ( % b/v) - 99.007 -
Pati ( % b/v) - 0.010 -
Glukosa ( % b/v) 0.009 - 0.037
Total N ( % b/v) 0.043 0.157 0.023
Abu ( % b/v) - 0.209 -
Ca ( ppm ) 34.030 24.37 2.940
Cu ( ppm ) 0.178 - 0.107
Na ( ppm ) 0.591 - 0.537
Mg ( ppm ) - 2.961 -
Fe ( ppm ) - 0.143 -
a. Kuswardani ( 1985 ) b. Rochani ( 1986 )
Tabel 2. Karakteristik fisika limbah cair tahu
No Karakteristik Hasil Pengukuran
1 Suhu 37-45°C
2 Padatan terendap 175-190 mg/l
3 Padatan tersuspensi 635-660 mg/l
4 Padatan total 810-850 mg/l
5 Warna 2225-2250 Pt.co
6 Amonia-Nitrogen 23,3-23,5 mg/l
7 Nitrit-Nitrogen 3,5-4,0 mg/l
8 Nitrat-Nitrogen 32-40 mg/l
9 pH 4-6
10 Kebutuhan oksigen biologi (BOD) 6000-8000 mg/l
11 kebutuhan oksigen kimia (COD) 7500-14000 mg/l
( Nurhasan,1987)
C. Pseudomonas putida
Genus Pseudomonas dapat dibedakan berdasarkan berbagai karakter
fisiologis dan genetiknya. P. fluorescens dikelompokkan ke dalam bakteri ungu
kelompok gamma, bersama P. aeroginosa, P. putida, dan P. syringae yang disebut
subkelompok flourescens. Pada penelitian ini menggunakan Pseudomonas putida
untuk memproduksi biopestisida.
Bakteri antagonis P. putida termasuk ke dalam genus Pseudomonas, yang
berbentuk lengkung batang atau ramping berukuran ( 0,5-1,0) x ( 1,5-5,0 ) µm dan
bergerak dengan satu atau beberapa flagelum polar. Bakteri ini bersifat gram negatif,
aerob, berjenis metabolisme respirasi dengan oksigen sebagai penerima elektron
akhir. Golongan bakteri antagonis ini tidak mempunyai fase istirahat, tidak
fermentasi, katalase positif, dan mempunyai pigmen hijau, biru, ungu, merah muda,
atau kuning yang menyebar terutama pada medium kaya zat besi, dan beberapa
spesies tidak berpigmen. Bakteri juga bersifat kemolitotrof fakultatif, menggunakan
CO2 dan bahan organik sebagai sumber energi bagi pertumbuhannya ( Soesanto,
2008 ). Klasifikasi bakteri Pseudomonas putida dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi bakteri Pseudomonas putida
Kingdom Eubacteria Phylum Proteobacteria Class Gamma Proteobacteria Ordo Pseudomonadales Family Pseudomonadaceae Genus Pseudomonas Species putida
Gambar 2. Gambar Pseudomonas putida (www.google.com)
Bakteri P. putida mempunyai habitat ekologi yang mirip dengan bakteri
antagonis lainnya, khususnya dari genus Pseudomonas. Kondisi dengan kelembaban
tinggi dan kaya bahan organik, terutama rizosfer dan rizoplan, sangat disukainya.
Bakteri mempunyai kemampuan mengoloni akar secara agresif, sehingga dikenal
dengan istilah rhizobakteri. Kemampuannya yang tinggi tersebut disebabkan oleh
tingkat pertumbuhan yang tinggi, pergerakannya dan ketertarikan terhadap bahan
kimia atau kemotaksis, terutama terhadap eksudat akar, yang menyediakan unsur
nutrisi seperti C, N, dan Fe (Soesanto, 2008).
Bakteri antagonis Pseudomonas putida dikenal dapat menghasilkan
antibiotika dan siderofor, yang mampu menekan pertumbuhan tular-tanah. Selain itu,
bakteri dapat berperan sebagai rhizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman (PGPR).
Antibiotika yang dihasilkan antara lain pyrolnitrin, pyocyanin, asam pseudomonat,
floroglusinol, dan fenazin. Siderofor diproduksi secara luar sel yang mempunyai
daya ikat sangat kuat terhadap besi (III) dan berperan sebagai penghambat
pertumbuhan patogen, faktor pertumbuhan tanaman, dan sebagai antibiotika. Selain
itu, bakteri antagonis ini juga mempunyai kemampuan bersaing yang tinggi sebagai
salah satu mekanisme antagonisnya. Persaingan dilakukan terhadap nutrisi dan
tempat infeksi. Persaingan terhadap ion besi (III) dengan mikroba tular-tanah lainnya
dapat menekan infeksi patogen (Soesanto, 2008).
D. Nematoda Pratylenchus brachyurus
Pratylenchus brachyurus adalah salah satu spesies nematoda parasit yang
sangat merusak pertanaman nilam di Indonesia. Serangan P. brachyurus pada
tanaman nilam menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, warna daun merah
atau kekuning-kuningan dan menyebabkan luka nekrosis pada akar rambut dan
kadang-kadang akar membusuk (Mustika et al. 1995; Harni & Mustika 2000). Selain
menghambat pertumbuhan tanaman, infeksi P. brachyurus juga mampu menurunkan
kandungan klorofil dan kadar minyak, baik pada kultivar rentan maupun agak tahan
(Sriwati 1999). Kerusakan akibat serangan nematoda tersebut pada tanaman nilam
dapat menurunkan hasil sampai 85% (Mustika et al. 1995). Klasifikasi P. brachyurus
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi bakteri P. brachyurus
Kingdom Animalia
Phylum Nematoda
Class Adenophorea
Subclass Diplogasteria
Ordo Tylenchida
Superfamily Tylenchoidea
Family Pratylenchidae
Subfamily Pratylenchinae
Genus Pratylenchus
Species P. brachyurus
(Thorne,1961)
Pratylenchus brachyurus mempunyai dua anul pada daerah bibir dan
panjang tubuh antara 0,45 – 0,75 mm. Stilet kelihatan agak kaku dengan panjang 17-
22 µm, kekar dan berkembang dengan baik serta memiliki knop. Jantan jarang
ditemukan bahkan tidak ada. Pada nematoda betina tidak terlihat spermateka yang
mengindikasikan spermateka tidak berfungsi. Lokasi vulva jauh ke belakang,
jaraknya kurang dari dua kali panjang ekor, ujung ekor membulat dan tumpul
(Thorne, 1961). Morfologi spesies Pratylenchus brachyurus dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Pratylenchus brachyurus. A: Female posterior region; B, C: Female tails; D: Femalelabial region; E: En face view; F: Entire female; G: SEM micrographs ofen face view; H: SEM micrographs of female tail. Rectangular box indicatesphasmid position. (Scale bars: G = 2 µm; H = 5 µm.) ,Corbett (1976)
Gambar 4. Siklus Hidup Pratylenchus brachyurus (Singh dan Sitaramaiah,1993)
Singh dan Sitaramaiah (1993) mengemukakan bahwa semua stadia mulai
larva instar 2 sampai dewasa dari nematoda ini dapat masuk ke dalam akar. Kondisi
yang sesuai untuk penetrasi biasanya pada daerah elongasi. Setelah masuk ke dalam
akar, nematoda mengkonsumsi isi sel kortek yang menyebabkan luka meluas pada
akar. Luka tersebut pada awalnya kecil dan secara bertahap akan membesar karena
aktivitas makan nematoda yang berlangsung terus menerus. Nematoda ini
menyelesaikan siklus hidupnya dalam jaringan akar dan dapat berpindah dari akar
tua ke akar yang lebih muda. Siklus hidup (Gambar 4) dapat berlangsung dalam 30-
75 hari tergantung pada kesesuaian tanaman inang dan kondisi lingkungan.
E. AERASI DAN BIOREAKTOR KOLOM GELEMBUNG
Mikroorganisme membutuhkan oksigen yang berbeda-beda. Pada proses
fermentasi aerob, campuran mikroorganisme, nutrien dan udara merupakan hal yang
penting dan utama. Untuk memperoleh hal tersebut, perlu dilakukan agitasi dan
aerasi secara terus menerus selama proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur
ditumbuhkan dalam tangki atau labu (Vandekar dan Dulmage, 1982).
Agitasi dan aerasi merupakan metode penyediaan dan pemasokan oksigen
yang sesuai untuk kebutuhan mikroorganisme di dalam bioreaktor dan untuk
mempertahankan kondisi aerobik serta membuang gas karbondioksida yang
dihasilkan selama fermentasi ( Hartoto, 1991 ).
Tujuan utama aerasi adalah memberikan oksigen yang cukup untuk
kebutuhan metabolisme mikroorganisme pada kultur terendam ( Standbury and
Whitaker, 1984 ). Bioreaktor yang digunakan pada penelitian ini adalah bioreaktor
kolom gelembung ( bubble column ). Bioreaktor kolom gelembung merupakan
bioreaktor yang berbentuk kolom yang dilengkapi dengan pemasok udara dari bagian
bawah dan tanpa pengadukan mekanis. Pada biorektor ini, pencampuran semata-mata
bergantung pada sirkulasi udara yang dimasukkan ( Crueger, 1987 ).
Menurut Pons, et al. ( 1987 ), bioreaktor kolom gelembung menunjukkan
proses pengadukan dan transfer oksigen yang baik. Selain itu, laju perpindahan
oksigen dapat mencapai nilai maksimum ( Crueger, 1987 ). Pergerakan gelembung-
gelembung udara tersebut menurut Deckwer ( 1990 ) dapat terjadi secara bersamaan
atau gerakan bolak-balik sehingga membentuk pola sirkulasi yang menyebabkan
pengadukan yang intensif dalam fasa cairan.
Bioreaktor kolom gelembung merupakan biorektor yang mempunyai
konstruksi sederhana, mudah perawatannya, mempunyai sistem pencampuran, sistem
pindah panas maupun pindah massa yang sangat baik ( Deckwer, 1990 ). Selain itu,
bioreaktor jenis ini membutuhkan pasokan energi kurang dari 1,0 KW/m3, sedangkan
bioreaktor tangki berpengaduk membutuhkan energi 1,0-2,0 KW/m3. Hartoto (1991)
menyebutkan bahwa bila dibandingkan dengan bioreaktor teragitasi secara mekanis,
bioreaktor kolom gelembung dapat menghasilkan biomassa dan yield metabolit
sekunder yang lebih tinggi.
F. KINETIKA KULTIVASI
Kinetika fermentasi menggambarkan pertumbuhan dan pembentukan produk
oleh mikroorganisme. Kinetika fermentasi juga menggambarkan kegiatan sel-sel
istirahat dan mati karena banyak produk komersial yang diproduksi setelah
pertumbuhan sel terhenti (Gumbira-Said, 1987) selanjutnya Judoamidjojo et al.,
(1989) mengemukakan pula bahwa kinetika fermentasi secara umum dikaji
berdasarkan laju penggunaan substrat, laju pertumbuhan biomassa dan laju
pembentukan produk.
Gambar 5. Bioreaktor Kolom Gelembung
Ciri-ciri pertumbuhan mikrobial adalah waktu yang dibutuhkan untuk
menggandakan massa atau jumlah sel. Waktu ganda massa sel dapat berbeda dengan
waktu ganda jumlah sel karena massa sel dapat meningkat tanpa peningkatan jumlah
sel (Gumbira-Said, 1987).
Pertumbuhan mikroorganisme pada fase eksponensial dapat dinyatakan
dalam persamaan sebagai berikut :
................................................................................................(1)
atau
..................................................................................................(2)
Dimana, X = Konsentrasi sel (g/l)
N = Konsentrasi sel (total sel/l)
T = selang waktu (jam)
µx = Laju pertumbuhan sel (jam-1 massa)
µo = Laju pertumbuhan sel (jam-1 jumlah)
Pada umumnya pertumbuhan sel diukur dengan peningkatan massa sel,
sehingga µx dapat digunakan. Nilai besaran µxX adalah laju pertumbuhan volumetrik
(produktivitas volumetrik) dalam g/l.jam. pengintegralan keseimbangan (1)
memberikan :
.............................................................................................(3)
Jika laju pertumbuhan spesifik adalah tetap, maka keseimbangan (3) dapat
menghasilkan persamaan berikut :
.................................................................................................(4)
=µxX
=µoN
dXx = µ dt
ln(푋푋표) = 휇∆푡
atau
LnXt = Ln Xo + µ ∆t ................................................................................................(5)
Keseimbangan (4) dapat diselesaikan untuk kasus dimana ∆푡=td, yaitu waktu
yang dibutuhkan untuk mendapatkan massa sel dua kali jumlah massa sel semula, Xt
= 2Xo, sehingga :
td = .............................................................................................(6)
Menurut Wang et al.,(1978), koefisien hasil sel terhadap sumber karbon
dinyatakan sebagai Y x/s, sedangkan koefisien konversi nutrien dalam substrat
menjadi produk pada periode tertentu dinyatakan sebagai Yp/s. Perhitungannya
menggunakan persamaan berikut:
Yx/s = ...........................................................................................(7)
Yp/s = .............................................................................................(8)
Koefisien konversi nutrien dalam substrat berhubungan dengan efisiensi penggunaan substrat. Perhitungan untuk menghitung efisiensi penggunaan substrat adalah sebagai berikut :
% penggunaan substrat = ....................................................(9)
Ln 2µ
Δ푋Δ푆
Δ푃Δ푆
푆표 − 푆푡푆표
top related