ii. tinjauan pustaka · 6 ii. tinjauan pustaka 2.1 satelit alos sejalan dengan perkembangan...
Post on 11-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Satelit ALOS
Sejalan dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh, saat ini
tersedia satelit ALOS yang memiliki 3 sensor utama yaitu: 1) PRISM yang dapat
merekam pada julat gelombang tampak dengan resolusi spasial 2,5 meter; 2)
AVNIR yang dapat merekam pada julat gelombang sinar tampak hingga
inframerah dekat dan memiliki resolusi spasial 10 meter; dan 3) PALSAR yang
merupakan sensor perekam radar (ALOS/JAXA 2006). Dengan sensor yang
dibawa pada PRISM dan AVNIR, memungkinkan untuk melakukan identifikasi
objek dasar perairan dangkal (Prayudha 2008). Spesifikasi citra satelit ALOS
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Spesifikasi citra satelit ALOS
Pembedaan objek pada citra satelit dapat dilakukan secara visual melalui
teknik interpretasi maupun melalui teknik interpretasi secara digital. Teknik
interpretasi secara digital dilakukan dengan jalan menganalisis tiap nilai digital
yang ditampilkan pada setiap piksel dari citra satelit. Posisi dari tiap piksel
dipresentasikan pada sistem koordinat xy, contohnya pada citra Landsat, koordinat
asal berada pada pojok kiri atas citra. Tiap piksel memiliki nilai numerik yang
disebut dengan nilai digital yang menunjukkan intensitas energi elektromagnetik
yang terukur yang berasal dari pantulan, hamburan, atau pancaran dari obyek yang
diindera. Nilai digital memiliki julat dari 0 sampai nilai tertinggi pada tingkat
keabuan tertentu. Nilai digital terekam sebagai seri data bits, yang mampu
7
mengkombinasikan angka 1 dan 0 secara bertingkat. Misalnya, untuk seri data 8
bit akan mampu menampilkan 256 tingkat keabuan pada citra hitam putih (28 =
256 tingkat kecerahan), nilai minimum atau nol akan ditampilkan gelap pada citra
dan nilai maksimum atau 256 akan ditampilkan dengan warna putih atau cerah
(Sabins 1987).
2.2 Sistem Informasi Geografi
Sistem Informasi Geografi adalah suatu informasi yang berbasiskan
komputer digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengambil kembali,
memanipulasi, menganalisa dan mengeluarkan data yang bereferensi secara
geografi (spasial) yang disimpan dalam basis data digunakan untuk mendukung
pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir
(Aronoff 1993).
SIG merupakan suatu sistem yang mengorganisir perangkat keras
(hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta dapat mendayagunakan
sistem penyimpanan, pengolahan, maupun analisis data secara simultan, sehingga
dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan. SIG
merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis komputer
dengan tiga karakteristik dasar, yaitu: (i) mempunyai fenomena aktual (variabel
data non-lokasi) yang berhubungan dengan topik permasalahan di lokasi
bersangkutan; (ii) merupakan suatu kejadian di suatu lokasi; dan (iii) mempunyai
dimensi waktu (Purwadhi 2001).
2.3 Pemanasan Global dan Kenaikan Muka Laut
Pemanasan global terjadi karena dipicu oleh meningkatnya emisi CO2
yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pemakaian bahan bakar untuk
berbagai aktivitas, penggundulan hutan, maupun kejadian alam seperti peristiwa
gunung meletus. Berkaitan dengan emisi CO2, IPCC menyebutkan bahwa
sebelum revolusi industri, konsentrasi CO2 sekitar 280 ppm dan dari kajian
terakhir rata-rata peningkatannya sekitar 1,8 ppm/tahun. Peningkatan konsentrasi
CO2 itu telah menyebabkan meningkatnya suhu permukaan sekitar 0,3 oC – 0,6 oC
pada 100 (seratus) tahun terakhir (Mimura dan Harasawa 2000).
8
Perbandingan anomali suhu bulan Juni–Agustus (nilai tengah relatif tahun
1961–1990 dalam °C) beberapa bagian di Eropa yang menunjukkan pengamatan
suhu (garis hitam), dan suhu dari simulasi model HadCM3 (garis merah).
Pengamatan suhu tahun 2003 ditunjukkan titik panah, kejadian musim panas
tahun 2003 hingga 2040 di Eropa. Perbandingan dari hasil observasi dan simulasi
ini menunjukkan anomali kenaikan lebih cepat 2,4oC pada titik potong di tahun
2040 (Stott et al. 2004). Perbandingan skenario iklim disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2 Perbandingan skenario iklim (garis merah) dengan temperatur musim
panas dari tahun 1900-2100: dan iklim panas (panah hitam) di Eropa tahun 2003.
Berdasarkan kecenderungan peningkatan suhu permukaan laut dan
pencairan es di daerah kutub, Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun terhitung mulai tahun
2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi 15-90 cm dengan kepastian
peningkatan setinggi 48 cm (Mimura dan Harasawa 2000). Hasil proyeki IPCC
seperti disajikan pada Gambar 3 kenaikan muka laut terendah mencapai 18 cm di
tahun 2100, nilai tengah 44 cm, dan nilai maksimal 90 cm.
9
Sumber: IPCC 1992.
Gambar 3 Proyeksi kenaikan muka air laut terendah (L), menengah (M) dan tertinggi(H) pada kurun waktu 100 tahun
Kenaikan permukaan air laut ini ditengarai akan memberikan dampak
yang sangat besar. Sebagai contoh kenaikan permukaan air laut sebesar 1 meter
akan mengakibatkan kehilangan lahan daratan seluas 5-10 ribu mil² di Amerika
Serikat dan mempengaruhi kawasan pantai sepanjang 19.000 mil (Kombaitan
2001). Kerugian yang ditimbulkan oleh kehilangan daratan seluas itu tentunya
akan lebih jelas terlihat apabila kita melihat aktivitas yang ada dikawasan tersebut.
Hal itu disebabkan aktivitas-aktivitas yang ada akan terganggu atau bahkan tidak
bisa dilakukan lagi. Perubahan tinggi permukaan air laut dapat dilihat sebagai
suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik maupun menerus. Perubahan
secara periodik dapat dilihat dari fenomena pasang surut air laut, sedangkan
kenaikan air laut yang menerus adalah seperti yang teridentifikasikan oleh
pemanasan global. Dampak lanjutan dari pengaruh pasang surut dan kemungkinan
kenaikan muka laut secara permanen antara lain perubahan kondisi ekosistem
pantai, meningkatnya erosi, makin cepatnya kerusakan bangunan dan
terganggunya kegiatan penduduk seperti permukiman, perindustrian, pertanian
dan kegiatan lainnya (Suprijanto 2003).
Pengamatan pada beberapa lokasi stasiun penelitian di beberapa kawasan
pantai di Indonesia menunjukan adanya peningkatan yang bervariasi antara satu
tempat dengan tempat lainnya. Kenaikan muka air laut pertahun di Belawan
adalah 7,83 mm; Jakarta adalah 4,38 mm; Semarang adalah 9,27 mm; Surabaya
adalah 5,47 mm dan di Panjang-Lampung adalah 4,15 mm. Berdasarkan data pada
10
tahun 1976 – 1992 di pantai Cilacap menunjukan kenaikan rata-rata muka air laut
pertahun adalah 1,3 mm. Maka rata-rata kenaikan muka air laut pertahun pada
pantai di 6 (enam) kota di pulau Jawa adalah lebih tinggi dari kondisi pantai
secara global. Secara sepintas menggambarkan bahwa kawasan pantai di Jawa
cenderung berkurang lebih cepat dibandingkan kawasan pantai skala global
(Hadikusumah 1993).
2.4 Karakteristik Kawasan Pesisir dan Laut
Adapun karakteristik umum kawasan pesisir/tepi air (Suprijanto 2002),
antara lain :
a. Secara topografi, merupakan pertemuan antara darat dan air, dataran landai,
serta sering terjadi erosi, abrasi dan sedimentasi yang bisa menyebabkan
pendangkalan badan perairan. Topografi tanah dapat dibedakan atas 3 (tiga)
kategori, yaitu:
- daerah rawa atau di atas air (laut/sungai/danau)
- daerah relatif datar/kemiringan 0 - 20% (di darat, termasuk daerah
pasang surut);
- daerah perbukitan dengan kemiringan dataran 20 - 60% (di darat);
b. Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi,
terdapat tekanan air laut/sungai/danau terhadap air tanah, serta merupakan
daerah retensi sehingga run-off air rendah.
c. Secara geologi, sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas, tanah
lembek, serta rawan bencana tsunami.
d. Secara klimatologi memiliki dinamika iklim, cuaca, angin, suhu dan
kelembaban tinggi.
e. Adanya abrasi dan akresi menyebabkan pengikisan dan pengendapan sedimen
pada badan air (laut, sungai atau danau) sehingga garis pantai sering berubah,
yang berakibat terganggunya aktivitas yang sedang maupun yang akan
berlangsung. Pengendapan sedimen yang berakibat pendangkalan badan air
menjadikan terganggunya transportasi air.
f. Terdapat berbagai jenis vegetasi spesifik seperti tanaman bakau dapat
berfungsi untuk mencegah abrasi, serta menjadi pemandangan alami.
g. Terdapat binatang yang spesifik seperti bangau, dan ikan jenis tertentu.
11
h. Cocok bagi pengembangan perikanan darat (tambak) dan perikanan laut.
Pantai merupakan suatu wilayah yang dimulai dari titik terendah air laut
waktu surut hingga ke arah daratan sampai batas paling jauh ombak/gelombang
menjulur ke daratan. Jadi daerah pantai dapat juga disebut daerah tepian laut.
Adapun tempat pertemuan antara air laut dan daratan dinamakan garis pantai
(shore line). Garis pantai ini setiap saat berubah-ubah sesuai dengan perubahan
pasang surut air laut.
Pesisir adalah suatu wilayah yang lebih luas dari pada pantai. Wilayah
pesisir mencakup wilayah daratan sejauh masih mendapat pengaruh laut (pasang
surut dan perembasan air laut pada daratan) dan wilayah laut sejauh masih
mendapat pengaruh dari darat (aliran air sungai dan sedimen dari darat).
2.5 Kerentanan Pantai
Resiko merupakan suatu hal yang memiliki keterkaitan dengan kerentanan
pantai. Resiko menjadi perhatian apabila resiko tersebut cukup signifikan.
Signifikansi suatu resiko menurut Tompkins et al. (2005) apabila suatu resiko
berasosiasi dengan sejumlah biaya. Sebagai contoh, jika ada gunung meletus di
sebuah pulau yang tidak berpenduduk, seringkali hal ini tidak mendapat perhatian
sebagai suatu bencana. Namun apabila hal yang sama terjadi pada pulau yang
berpenduduk, apalagi jika pulau tersebut berpenduduk padat, maka kejadian
tersebut sangat signifikan karena memiliki berbagai konsekuensi terkait dengan
penduduk di pulau tersebut.
2.5.1 Konsep Kerentanan Pantai
Kerentanan memiliki banyak pengertian, baik ditinjau dari aspek maupun
dari sisi cakupan. Menurut Ford (2002), pengertian kerentanan mengandung dua
aspek, yaitu yang terkait dengan sifatnya (relative nature) dan terkait dengan
cakupan atau skala. Terkait dengan sifatnya, kerentanan adalah suatu entitas dari
suatu sistem yang menggambarkan kondisinya, sedangkan dilihat dari skalanya,
kerentanan digunakan dalam berbagai skala yang berbeda, seperti rumah tangga,
komunitas, ataupun negara. Pada Tabel 2 disajikan beberapa pengertian
kerentanan.
12
Tabel 2 Beberapa pengertian kerentanan
Nama Tahun Pengertian Timmerman 1981 Derajat atau tingkat dari suatu sistem pada suatu sistem
bertindak terhadap suatu kejadian yang tidak baik. Tingkat dan kualitas dari suatu reaksi yang dikondisikan oleh resiliensi sistem tersebut.
Susman et al. 1983 Derajat atau tingkat pada suatu kelas sosial yang berbeda yang dibedakan dalam hal resiko baik dalam hal kejadian fisik maupun efek dari sistem sosial.
Kates et al. 1985 Kapasitas yang dapat diadaptasi dari sutau gangguan atau reaksi terhadap kondisi yang kurang baik.
UN Departemen of Humanitarian Affairs
1992 Tingkat kehilangan (0-100%) yang dihasilkan dari suatu potensi dampak fenomena alam.
Cutter 1993 Kecenderungan yang dialami oleh individu atau kelompok yang akan terekspose terhadap suatu bahaya.
Watts dan Bohle 1993 Kerentanan didefiniskan sebagai fungsi dari keterpaparam, kapasitas dan potensial, dimana menurut perspektif dan normatif respon terhadap kerentanan untuk mereduksi keterbukaan dan meningkatkan kemampuan mengatasi, menguatkan potensi pemulihan.
Blaikie et al. 1994 Karakteristik dari seseorang atau sekumpulan orang terkait dengan kemampuannya untuk mengantisipasi, mengatasi, resistensi dan memulihkan dari dampak bencana alam.
Bohle et al. 1994 Suatu ukuran secara agregate kesejahteraan manusia yang terintegrasi antara lingkungan, sosial, ekonomi dan politik dalam mengatasi gangguan.
Dow dan Downing 1995 Perbedaan kepekaan dari keadaaan yang berpengaruh terhadap kondisi rentan, seperti faktor biofisik, demografi, ekonomi, sosial, dan teknologi.
Smith 1996 Konsep kerentanan diisyaratkan ukuran resiko kombinasi dari kemampuan ekonomi dan sosial untuk mengatasi dampak kejadian.
Vogel 1998 Karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang terkait dengan kapasitasnya dalam mengantisipasi, mengatasi, bertahan, dan memulihkan diri dari dampak perubahan iklim.
Adger dan Kelly 1999 Kondisi individu atau kelompok masyarakat dalam kaitannya dengan kemampuannya mengatasi dan beradaptasi terhadap berbagai tekanan eksternal yang mengganggu kehidupan mereka.
Liechenko dan O’Brien
2002 Dinamika kerentanan adalah proses-proses ekonomi nasional dan internasional mempengaruhi kapasitas individu dalam mengatasi, merespon dan beradaptasi terhadap gangguan (shocks) alam dan sosial ekonomi.
Sumber: disadur dari Ford (2002)
13
Istilah kerentanan merujuk pada kemudahan mengalami dampak dari
faktor eksternal. Kerentanan adalah kecenderungan suatu entitas mengalami
kerusakan (SOPAC 2005). Entitas dapat berupa fisik (manusia, ekosistem, garis
pantai) atau konsep yang abstrak (seperti komunitas, ekonomi, negara dan
sebagainya) yang mengalami kerusakan. Kerentanan dapat bersifat tunggal dan
komplek yang disebut overall vulnerability, yaitu suatu hasil dari banyak
kerentanan yang bekerja bersama-sama. Bahaya atau resiko (hazard) adalah
sesuatu atau proses yang dapat menyebabkan kerusakan, tetapi hanya dapat
didefenisikan dalam istilah dari suatu entitas yang dirusak, seperti badai siklon
adalah suatu bahaya bagi sebuah pulau kecil. Kerentanan memiliki makna yang
beragam (Campbell 2009), sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Sinonim dan antonim kata kerentanan
Synonym Antonym English Indonesia English Indonesia
weak powerless
insecure passive expose
unprotected unstable
risk constrained/limited
fragile small
peripheral marginal
dependent
lemah sangat lemah tidak terjamin pasif terbuka tidak terlindung tidak stabil beresiko terbatas rapuh sempit tidak memusat terpinggirkan tidak bebas
strongpowerfull
secureactive
coveredprotected
stablesafety
free/unlimitedrobustlarge
centralimportant
independent
kuat sangat kuat terjamin aktif tertutup terlindung stabil aman tidak terbatas tegap luas terpusat penting bebas
Sumber: Campbell (2009).
Perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim telah melalui 4
(empat) tahapan, yaitu; dimulai dengan kajian dampak (impact assessment),
kemudian kajian kerentanan generasi pertama (vulnerability assessment first
generation), kajian kerentanan generasi kedua (vulnerability assessment second
generation), dan kajian adaptasi kebijakan (vulnerability policy assessment)
(Fussel dan Klein 2006). Kajian kerentanan generasi pertama dikarakteristikkan
oleh adanya evaluasi dampak iklim dalam bentuk relevansinya dengan masyarakat
14
yang baru mempertimbangkan potensi adaptasi masyarakat di suatu wilayah.
Adapun novelty atau kebaharuan dari kajian kerentanan generasi kedua adalah
penilaian terhadap kapasitas individu/orang yang sudah bergeser dari sekedar
penilaian potensi daya adaptasi pada generasi pertama menjadi sebuah kelayakan
adaptasi dari masyarakat terhadap perubahan iklim (Fussel dan Klein 2006).
Dengan kata lain, kelayakan adaptasi sudah mampu memperhitungkan daya
adaptasi masyarakat terhadap kerentanan. Perbedaan dari karakteristik setiap
tahap dari perkembangan kajian kerentanan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Karakteristik 4 tahapan yang berbeda dari perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim
Kajian dampak
Kajian Kerentanan Kajian Kebi- jakan Adaptasi Generasi pertama Generasi kedua
Fokus utama kebijakan
Kebijakan mitigasi
Kebijakan mitigasi Alokasi sumberdaya
Kebijakan adaptasi
Pendekatan analisis
Positif Positif Positif Normatif
Hasil utama Dampak potensi
Adaptasi awal (pre-adaptation)
Adaptasi akhir (post-adaptation)
Rekomendasi strategi adaptasi
Waktu Jangka panjang
Jangka panjang Sedang-jangka panjang
Pendek-jangka panjang
Skala ruang Nasional ke global
Nasional ke global
Lokal ke global
Lokal ke nasional
Pertimbangan iklim, non-iklim dan adaptasi
Kecil Parsial penuh Penuh
Integrasi antara ilmu sosial dan alam
Rendah Rendah ke sedang Sedang ke tinggi Tinggi
Keterlibatan stakeholder
Rendah Rendah Sedang Tinggi
Sumber : Fussel dan Klein (2006).
Kerentanan adalah tingkatan dari suatu sistem terhadap kemudahan sistem
tersebut terkena dampak atau ketidakmampuan mengatasi dampak dari perubahan
iklim termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim. Kerentanan merupakan
fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi iklim karena terekspose,
sensitivitas dan kapasitas adaptasinya (McCarthy et al. 2001). Adapun Kasperson
et al. (2003) dan Turner et al. (2003) menyebutkan bahwa kerentanan adalah
15
tingkat dimana manusia dan sistem alam akan mengalami kerugian karena
gangguan atau tekanan dari luar. Sebagai contoh, kerentanan wilayah pesisir
terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut adalah tingkat ketidakmampuan
wilayah pesisir untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim dan kenaikan muka
laut (IPCC-CZMS 1992).
Dolan dan Walker (2004) mengemukakan terdapat 3 karakteristik dari
kerentanan. Pertama; kerentanan dicirikan oleh keterpaparan suatu sistem
terhadap bencana alam (misalnya banjir di wilayah pesisir) dan bagaimana
bencana tersebut mempengaruhi kehidupan manusia dan infrastruktur yang ada di
wilayah tersebut. Kedua; dari sudut pandang hubungannya terhadap manusia,
kerentanan bukan hanya dilihat sebagai hubungan fisik semata. Dalam hal ini,
kerentanan ditentukan oleh ketidakwajaran dan distribusi dampak/efek negatif
dari resiko diantara kelompok masyarakat yang ada di suatu wilayah, dan
kerentanan adalah hasil dari proses sosial dan struktur yang memiliki hambatan
terhadap akses sumberdaya. Ketiga; dari perspektif keterpaduan antara
kejadian/peristiwa secara fisik dari fenomena sosial yang menyebabkan
keterpaparan terhadap resiko dan keterbatasan kapasitas masyarakat dalam
merespon bencana alam yang muncul.
Kerentanan pesisir meliputi kerentanan lingkungan (environmental
vulnerability), kerentanan sosial (social vulnerability), dan kerentanan ekonomi
(economic vulnerability). Kerentanan lingkungan berbeda dengan kerentanan
ekonomi maupun sosial disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (1) lingkungan termasuk
didalamnya sistem yang kompleks dengan perbedaan disetiap level kelompok
spesies dan karakteristik fisik habitat, (2) berbeda dengan indikator umum untuk
manusia (sosial) yang dapat digunakan secara luas dengan menggunakan asumsi
bahwa kebutuhan dan ambang batas untuk resiko pada umumnya sama, sedangkan
indikator untuk lingkungan sangat dibatasi oleh kondisi geografi, dan (3) indikator
ekonomi dapat diekspresikan dalam unit uang yang dapat digunakan secara luas
diseluruh dunia dengan menggunakan unit pembanding (SOPAC 2005).
16
Kerentanan memiliki sifat yang dinamis, yang berarti kerentanan dapat
berubah seiring dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Preston
BL dan Stafford-Smith 2009). Perubahan kerentanan terjadi karena perubahan
faktor-faktor yang mempengaruhi seperti faktor-faktor sosial dan biofisik.
Dinamika kerentanan sebagai akibat dari perubahan faktor-faktor yang
mempengaruhinya disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Dinamika kerentanan pantai (Preston BL dan Stafford-Smith 2009)
2.5.2 Kuantifikasi Kerentanan
Turner et al. (2003) menggambarkan kerentanan sebagai sebuah fungsi
overlay dari keterpaparan (exposure), kepekaan (sensivity), dan kapasitas atau
daya adaptasi (adaptive capacity). Selanjutnya Metzger et al. (2006)
mengekspresikan konsep tersebut dalam bentuk matematika sebagai fungsi dari
keterpaparan, kepekaan dan daya adaptasi sebagai berikut:
V = f(E, S, AC)
Brenkert dan Malone (2005) juga menggambarkan kerentanan suatu
negara atau wilayah terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut
sebagai fungsi dari keterpaparan, kepekaan dan daya adaptasi (Gambar 5).
=
=
+
+
Kondisi Sekarang
Perubahan akan datang
Faktor Sosial
Sumberdaya Teknologi Pendidikan Modal sosial
Pertambahan penduduk Pertumbuhan ekonomi Perubahan nilai Kebijakan baru
+
Faktor Biofisik
Variabel iklim Topografi Penggunaan lahan Perlindungan Infrastruktur
Perubahan suhu Perubahan curah hujan Perubahan evaporasi Perubahan kelembaban Perubahan muka laut
+
Kerentanan saat ini
Kerentanan masa datang
Target adaptasi adalah memperhatikan faktor-faktor sosial saat ini yang akan mempertajam perubahan sosek kedepan
Target adaptasi adalah mengurangi kerentanan saat ini dan akan datang terhadap perubahan biofisik
17
Gambar 5 Prototip indikator kerentanan-resiliensi
2.5.2.1 Keterpaparan (exposure) Keterkaitan antara kerentanan dengan keterpaparan juga dikemukakan
oleh Adger (2006) dan Kasperson et al. (2003), dimana keterpaparan merupakan
salah satu konsep dari kerentanan yang memiliki pengertian umum dalam hal
tingkatan dan jangka waktu dari suatu sistem berinteraksi dengan gangguan.
Keterpaparan ini pada sebagian besar formulasi merupakan salah satu elemen
pengembangan kerentanan. Keterpaparan merupakan sebuah atribut dari
hubungan antara sistem dan gangguan (system and perturbation).
Keterpaparan berhubungan dengan pengaruh atau stimulus dampak pada
suatu sistem. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim (kenaikan muka laut),
tidak hanya menyangkut masalah kejadian dan pola iklim yang mempengaruhi
sistem, tetapi juga dapat dalam skala yang lebih luas seperti perubahan-perubahan
yang terjadi dalam sistem itu sendiri yang diakibatkan oleh efek dari perubahan
iklim. Keterpaparan menggambarkan kondisi iklim yang berlawanan dengan
operasional dari sistem dan perubahan dari kondisi tersebut (Allen 2005). Suatu
masyarakat dan sistem alam yang berbeda juga akan mengalami keterpaparan
yang berbeda dalam hal besaran (magnitude) dan frekuensi dari suatu gangguan
(Luers et al. 2003).
2.5.2.2 Kepekaan (sensitivity)
Kepekaan adalah tingkatan dari suatu sistem yang dipengaruhi atau
berhubungan dengan stimulus karena perubahan iklim (Olmas 2001). Sementara
Perubahan Iklim
Kepekaan
Kerentanan dan Resiliensi
Keterpaparan (−)
• Pangan • Air • Perumahan • Kesehatan • Ekosistem
Daya Adaptasi (+)
• Sumberdaya manusia • Kemampuan Ekonomi • Kapasitas lingkungan
18
itu, Allen (2005) mengemukakan bahwa kepekaan merefleksikan respon dari
suatu sistem terhadap pengaruh iklim (kenaikan muka laut) dan tingkat perubahan
yang diakibatkan oleh perubahan tersebut. Sistem dikatakan peka apabila respon
dari suatu sistem terhadap perubahan iklim tinggi, yang secara signifikan
dipengaruhi oleh perubahan iklim skala kecil. Pemahaman kepekaan dari suatu
sistem juga memerlukan pemahaman terhadap ambang batas dimana perubahan
itu direspon oleh pengaruh iklim termasuk kenaikan muka laut. Dalam
pendefinisian kerentanan dari suatu sistem, hal yang pertama diperlukan adalah
pemahaman terhadap kepekaan dari sistem terhadap tekanan yang berbeda dan
mengidentifikasi ambang batas dari sistem manusia yang akan terkena dampak
(Luers et al. 2003).
Adger (2006) mendefinisikan kepekaan sebagai suatu tingkatan atau level
dari sebuah sistem alam yang dapat mengabsorbsi atau menerima dampak tanpa
mengalami gangguan atau penderitaan dalam jangka panjang atau mengalami
perubahan signifikan dari kondisi lainya. Smit dan Wandel (2006) mengatakan
bahwa kepekaan tidak dapat dipisahkan dari keterpaparan. Luers (2005) juga
mengkombinasikan pengertian kepekaan dan keterpaparan, dimana ia
mendefinisikan kepekaan sebagai level dari sistem dalam merespon gangguan
eksternal terhadap sistem. Lebih lanjut Luers (2005) mengatakan bahwa termasuk
dalam konsep ini adalah kemampuan dari sistem untuk tahan terhadap perubahan
dan kemampuan untuk pulih kembali kekondisi semula setelah gangguan yang
mengenai sistem berlalu.
2.5.2.3 Daya Adaptasi (Adaptif Capacity)
Adaptasi adalah penyesuaian oleh sistem alam atau manusia dalam
merespon kondisi aktual dan iklim atau dampak dari perubahan iklim. Daya
adaptasi adalah kemampuan dari sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan
iklim (termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim) yang membuat potensi
dampak lebih moderat, mengambil manfaat atau untuk mengatasi konsekuensi
dari perubahan tersebut (Fussel dan Klien 2006). Menurut Luers (2005), daya
adaptasi merujuk pada potensi untuk beradaptasi dan mengurangi kerentanan
suatu sistem.Daya adaptasi menggambarkan kemampun dari suatu sistem terhadap
19
perubahan sebagai cara untuk membuat sistem tersebut lebih baik dalam
beradaptasi terhadap pengaruh eksternal. Adaptasi dapat direncanakan atau
terjadi secara otomatis. Perencanaan adaptasi adalah suatu perubahan dalam
mengantisipasi suatu variasi dari perubahan iklim. Perencanaan adaptasi ini sudah
merupakan suatu ciri dari suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas suatu sistem
untuk mengatasi konsekuensi perubahan iklim (Allen 2005). Daya adaptasi suatu
sistem atau masyarakat menggambarkan kemampuan untuk memodifikasi
karakteristik atau perilakunya sehingga mampu mengatasi dengan lebih baik
dampak perubahan kondisi eksternal (Fussel dan Klein 2006).
Daya adaptasi merupakan sifat yang sudah melekat dari suatu sistem yang
didefinisikan sebagai kapasitasnya untuk beradaptasi terhadap keterpaparan (Smit
dan Pilifosova 2003). Dalam hal ini, daya adaptasi direfleksikan dari resiliensi,
misalnya sebuah sistem yang resilien memiliki kapasitas untuk mempersiapkan,
menghindari, mentolerir dan memulihkan diri dari resiko atau dampak. Resiliensi
adalah kemampuan dari suatu entitas untuk resisten atau pulih dari suatu
kerusakan (SOPAC 2005). Resiliensi alami (intrinsic resilience) adalah
kemampuan alami suatu entitas untuk tahan terhadap kerusakan. Sebagai contoh,
pantai yang bervegetasi memiliki ketahanan yang kuat secara alami terhadap
gerusan arus dan hantaman gelombang pasang dibanding dengan pantai yang
tidak bervegetasi. Resiliensi adalah kemampaun dari suatu sistem, komunitas atau
sosial beradaptasi terhadap bahaya dengan cara meningkatkan resistensinya, atau
melakukan perubahan untuk mencapai atau memelihara suatu batas yang dapat
diterima atau ditolerir dari suatu fungsi atau struktur. Semisal sistem sosial, hal
ini ditentukan oleh tingkat kapasitas suatu organisasi meningkatkan
kemampuannya untuk belajar dari gangguan alam masa lalu untuk membuat
proteksi yang lebih baik pada masa yang akan datang.
Brooks (2003) mengklasifikasi faktor-faktor yang menentukan daya
adaptasi menjadi faktor yang spesifik dari faktor general/umum dan juga
berdasarkan faktor endogenous dan exogenous. Faktor penentu yang bersifat
umum dalam sistem sosial adalah sumberdaya ekonomi, teknologi, informasi dan
keahlian serta infrastruktur. Faktor endogenous merujuk pada karakteristik dan
perilaku penduduk atau masyarakat.
20
Menurut Downing et al. (2001) untuk mengkuantifikasi kerentanan akan
sangat sulit dilakukan bila tidak memungkinkan mengidentifikasi secara
sistematis sistem yang paling rentan. Dalam kasus tertentu, sangat tergantung
pada jenis tekanan dan keluaran variabel yang menjadi perhatian. Dampak
tekanan relatif pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai objek untuk mengukur
kerentanan (Luers et al. 2003). Pengukuran kerentanan hanya dapat dilakukan
secara akurat jika berhubungan dengan spesifik variabel dibandingkan dengan
menganalisis suatu tempat/lokasi. Hal ini disebabkan karena sistem yang paling
sederhanapun cukup kompleks dan akan sulit untuk menghitung seluruh variabel,
proses-proses dan gangguan yang dikarakteristikkan oleh kerentanan tersebut
(Luers et al. 2003). Suatu sistem dapat menurunkan atau mengurangi kerentanan
dengan memodifikasi hal-hal berikut: (1) bergerak kepada fungsi yang lebih baik
yang dapat mengurangi kepekaannya terhadap tekanan yang kritis, (2) merubah
posisi relatif terhadap ambang batas dari suatu dampak, dan (3) memodifikasi
keterpaparan sistem terhadap tekanan.
Dalam konteks adaptasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UNFCCC
(2007) membagi dua jenis adaptasi, yaitu adaptasi yang bersifat reaktif, seperti:
(a) perlindungan terhadap infrastruktur di wilayah pesisir, (b) penyadaran
masyarakat untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap ekosistem pesisir
dan laut, (c) pembangunan bangunan pelindung pantai (sea wall), perlindungan
dan konservasi terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan vegetasi pantai
lainnya. Adaptasi lainnya adalah adaptasi yang sifatnya antisipasi, seperti: (a)
implementasi konsep dari pendekatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, (b)
penyusunan rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil, (c) penyusunan
peraturan tentang perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil, (d) mengembangkan
kegiatan penelitian dan pemantauan pantai dan ekosistem pesisir.
2.6 Indeks Kerentanan
Indeks adalah tanda (signal) yang mengukur, menyederhanakan, dan
mengkomunikasikan realita yang kompleks dari suatu kondisi (Farell dan Hart
1998). Indeks ini sangat berguna karena dapat membantu dalam menentukan
target dan standar untuk memantau perubahan dan membandingkan entitas yang
21
berbeda dalam hal tempat dan waktu (Easter 1999). Indeks dapat juga digunakan
sebagai basis modal alokasi sumberdaya. GEF juga mengembangkan indeks
kerentanan untuk menentukan alokasi pembiayaan dibeberapa negara
berkembang. Indeks umumnya melibatkan sejumlah indikator untuk
menghasilkan sebuah indeks tunggal (Bossel 1999). Untuk menghasilkan sebuah
indeks tunggal, keragaan data dan indikator perlu distandarisasi dalam suatu unit
yang sama. Hal ini banyak dilakukan dengan mereduksi seluruh komponen ke
suatu nilai skoring pada beberapa skala.
Kemampuan sebuah kerangka teori menghasilkan indikator kerentanan
secara umum harus mencakup tiga komponen. Pertama, model kerentanan, yaitu
mengidentifikasi komponen-komponen model ketergantungan/keterkaitannya
dengan komponen lainnya yang berasosiasi dengan komponen kerentanan.
Kedua, model sistem yaitu menentukan cara untuk mendekomposisi target sistem
yang membuatnya lebih praktis sehingga kerentanan dapat diinterpretasi dengan
model yang dapat dibandingkan. Ketiga, model matematik yaitu penggunaan
informasi secara menyeluruh kedalam sistem model untuk mengorganisasi hirarki
dari indikator kerentanan. Dalam kaitannya dengan perbedaan indikator
kerentanan dengan lingkungan yang berbeda, ketiga komponen ini haruslah
kompatibel (Villa dan McLeod 2002). Schroter et al. (2005) menyajikan 8
tahapan dalam melakukan kajian kerentanan, termasuk dalam menyusun indeks
kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu: (1) mendefenisikan wilayah studi,
baik secara spasial maupun temporal; (2) mencari dan mengumpulkan informasi
terkait dengan wilayah studi, melalui kajian literatur dan diskusi dengan peneliti
sebelumnya; (3) mengembangkan hipotesis siapa/apa yang mengalami
kerentanan; (4) mengembangkan model kerentanan dengan menguraikan
keterpaparan, kepekaan, dan daya adaptasi, mengidentifikasi faktor pendorong,
(5) menentukan indikator untuk elemen kerentanan, seperti indikator
keterpaparan, indikator kepekaan, dan indikator daya adaptasi; (6)
mengoperasikan model kerentanan, melalui pembobotan dan penggabungan
indikator, validasi hasil; (7) pengembangan lebih lanjut dengan memilih skenario
dari aplikasi model; dan (8) mengkomunikasikan hasil kajian kerentanan kepada
stakeholder.
22
2.7 Kenaikan Muka Laut
2.7.1 Proses Kenaikan Muka Laut
Selama proses pemanasan global (perubahan iklim), dua proses utama
yang menyebabkan kenaikan rata-rata muka laut global adalah (1) pemanasan
lautan yang menyebabkan pengembangan massa air sehingga terjadi peningkatan
volume air (lautan), dan (2) pencairan es di daerah kutub yang juga menyebabkan
peningkatan massa air. Selain itu, pada beberapa wilayah pesisir terjadi subsiden
yang menambah kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut (USCCSP 2009).
Perubahan muka laut dalam skala lokal tergantung pada perubahan yang terjadi
pada skala regional dan global serta faktor-faktor lokal (Nichols 2002).
Komponen-komponen perubahan muka laut tersebut adalah (Church et al. 2001):
• Kenaikan rata-rata muka laut global, yaitu peningkatan volume global lautan
karena pemanasan global dan mencairnya es di kutub.
• Faktor meteo-oseanografi regional seperti variasi spasial dampak ekspansi
panas, perubahan tekanan atmosfir dalam jangka panjang dan perubahan
sirkulasi lautan.
• Pergerakan vertikal daratan yang disebabkan oleh berbagai proses geologi dan
tektonik.
Kajian terhadap kenaikan muka laut (sea level rise) dan dampaknya
terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil banyak mendapat perhatian dari banyak
kalangan peneliti. Secara global rata-rata kenaikan muka laut sekitar 2,5
mm/tahun, sedangkan secara lokal, di lokasi-lokasi tertentu bahkan dapat
mencapai maksimum 30 mm/tahun. Berdasarkan kecenderungan peningkatan
suhu permukaan laut dan pencairan es di daerah kutub, Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun
terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi 15-90 cm
dengan kepastian peningkatan setinggi 48 cm (Mimura dan Harasawa 2000).
Nilai kenaikan yang signifikan tersebut terutama disebabkan oleh
mengembangnya suhu air laut. Kajian kenaikan muka laut di Indonesia juga sudah
banyak dilakukan. DKP (2009) memprediksi laju kenaikan muka laut di perairan
sekitar Kabupaten Pangkajene Kepulauan sekitar 2,60 mm/tahun.
23
2.7.2 Dampak Kenaikan Muka Laut
Dari sudut pandang geografi pesisir, dampak dari kenaikan muka laut
terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil tergantung pada dua hal, yaitu: (1) tingkat
kekritisan dari kenaikan muka laut (laju kenaikan pertahun), dan (2) karakteristik
daratan pulau, seperti penggunaan lahan, topografi, dan penghalang pantai
(Nallathiga 2006). Proyeksi kenaikan muka laut akibat pemanasan global akan
mengancam wilayah pesisir yang memiliki elevasi rendah (Yamano et al. 2007;
Barnet dan Adger 2003).
Kenaikan muka laut ini diprediksi akan menyebabkan perendaman,
penenggelaman dan erosi pantai dari pulau-pulau karang (Leathermen 1997).
Erosi pantai, perendaman dan instrusi air laut merupakan dampak dari kenaikan
muka laut yang menimpa pulau-pulau atol di Tavalu (Aung et al. 2009). Hal yang
sama juga dikemukan oleh Mimura (1999), bahwa dampak yang prinsip ingin
diantisipasi dari kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil khususya pulau
atol adalah erosi pantai, perendaman pulau dan instrusi air laut. Upaya yang
dilakukan untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim ini harus
didasarkan pada kapasitas sistem alam yang kemudian didukung dengan
perencanaan adaptasi yang baik berupa proteksi kawasan pesisir dari perubahan
struktur bangunan (Klein dan Nicholls 1999; Hay et al. 2003).
Wilayah pesisir merupakan kawasan yang dinamis dan respon dari
kawasan pesisir terhadap kenaikan muka laut lebih kompleks dari sekedar
terjadinya perendaman. Erosi pantai adalah fenomena atau proses-proses alami
yang terjadi karena adanya gelombang dan arus laut dan dapat menyebabkan
hilangnya lahan darat (USCCSP 2009). Kenaikan muka laut dapat memperparah
perubahan wilayah pesisir yang disebabkan oleh erosi pantai. Kerentanan pantai
terhadap kenaikan muka laut, umumnya faktor elevasi daratan menjadi faktor
kritis dalam kajian potensi dampak. Flora dan fauna yang umumnya sangat kaya
terdapat di wilayah pesisir juga akan mendapatkan tekanan akibat pengaruh
kenaikan muka laut. Kualitas dan kuantitas serta distribusi spasial dan habitat di
wilayah pesisir akan berubah sebagai hasil dari erosi pantai, perubahan salinitas
dan hilangnya daerah lahan basah.
24
Ekosistem pesisir juga merupakan salah satu ekosistem yang mengalami
kerentanan karena adanya kenaikan muka laut. Sejak vegetasi lahan basah ‘akrab’
dengan kenaikan muka laut, maka ekosistem ini menjadi sensitif terhadap
perubahan muka laut jangka panjang. Hasil pemodelan dari pesisir lahan basah
(termasuk ekosistem lamun) menunjukkan bahwa sekitar 33% dari lahan basah di
dunia akan hilang dengan kenaikan muka laut sekitar 34 cm dalam kurun waktu
2000 sampal 2080, dan akan hilang sekitar 44% pada kenaikan muka laut sekitar
72 cm (Church et al. 2007). Pada tahun 2100 kenaikan muka laut akan
mengurangi 500.000 ha ekosistem mangrove di 16 negara di kawasan pasifik.
Dampak kenaikan muka laut ditentukan oleh perubahan relatif kenaikan
muka laut, yang direfleksikan tidak hanya oleh kecenderungan perubahan muka
laut global tetapi juga oleh variasi lokal perubahan kenaikan muka laut dan proses
geologi seperti subsiden. Umumnya pesisir yang mengalami subsiden akan lebih
terancam dibandingkan pulau yang tidak mengalami subsiden. Dampak kenaikan
muka laut juga dikemukan oleh Nicholls (2002) seperti disajikan pada Tabel 5
berikut:
Tabel 5 Dampak utama kenaikan muka laut
Dampak Biofisik Faktor Relevan Lainnya
Iklim Non Iklim Perendaman, banjir, gelombang, dampak efek backwater
Gelombang, perubahan morfologi, suplai sedimen, run-off
Suplai sedimen, penanganan banjir, perubahan morfologi, pengelolaan daerah tangkapan air dan pemanfaatan lahan
Kehilangan daerah lahan basah
Suplai sedimen Suplai sedimen
Erosi Gelombang dan badai iklim, suplai sedimen
Suplai sedimen
Intrusi air laut/air permukaan
Run-off, curah hujan Pengelolaan daerah tangkapan air
25
2.8 Kajian Kerentanan Pantai
Kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil terkait dengan pemanasan
global terus berkembang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang banyak
dijadikan model dari kajian kerentanan karena melihat kenyataan pentingnya
daerah pesisir sebagai penopang kegiatan perekonomian. Awalnya, Gornitzs
(1991) mengembangkan indeks kerentanan pantai dengan memasukkan parameter
dampak pemanasan global seperti kenaikan muka laut serta perendaman yang
digabungkan dengan parameter geomorfologi dan kajian oseanografi. Kajian ini
banyak diadopsi oleh sistem penilaian lain yang berbasis pesisir sehingga
memiliki sebuah angka (indeks) untuk pengelolaan wilayah pesisir.
Kajian kerentanan pulau-pulau kecil yang dikembangkan oleh SOPAC
(2005) untuk menentukan kerentanan negara-negara kepulauan yang berada di
kawasan Pasifik Selatan. Pendekatan yang digunakan adalah melakukan
penjumlahan terhadap nilai skor (1–7) dari 50 parameter/indikator yang
mencerminkan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Aplikasi konsep yang
dikemukakan SOPAC (2005) ini dilakukan oleh Gowrie (2003) untuk menghitung
indeks kerentanan lingkungan pulau di Tobago. Pilihan terhadap metode
penjumlahan atau perkalian untuk menghitung indeks kerentanan yang sesuai juga
dikemukakan oleh Villa dan McLeod (2002), dimana disebutkan bahwa
penggunaan metode perkalian untuk sub-indikator yang komponennya saling
berinteraksi adalah yang paling sesuai.
Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan tentu akan merasakan
dampak langsung dari fenomena ini terutama di wilayah-wilayah pesisir.
Sementara itu, mayoritas populasi di Indonesia tersebar di dekat atau di sekitar
wilayah pesisir. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut beserta variasi
temporal dan spasial di wilayah regional atau lokal Indonesia merupakan salah
satu data yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Strategi yang ditempuh secara internasional dalam menghadapi kenaikan
permukaan laut ini adalah bersifat pendekatan penyesuaian (adaptasi) sebab
adaptasi lebih tepat dari pada mengatasi apalagi melawan. Dampak yang berskala
global ini akan sangat mahal dan bahkan dengan kemampuan teknologi yang ada
26
saat inipun tidak akan dapat mengatasinya. IPCC merekomendasikan empat
strategi adaptasi untuk perencanaan daerah pantai, yaitu: (i) manajemen
perencanaan kawasan pantai harus memperhitungkan faktor kenaikan permukaan
laut; (ii) identifikasi daerah-daerah rawan terhadap kenaikan permukaan laut; (iii)
pengembangan pantai tidak meningkatkan kerentanan terhadap kenaikan
permukaan laut; dan (iv) kesiapsiagaan dan mekanisme respons terhadap kenaikan
permukaan laut ini harus dikaji kembali.
Bila strategi IPCC diterapkan di Pulau Jawa yang pantai utaranya sangat
rentan terhadap kenaikan muka laut ini, penataan wilayah perkotaan di pantai
utara ini hendaknya dikendalikan arah perkembangannya tidak terlalu dekat ke
daerah pantai. Strategi ini akan mengurangi risiko penduduk dari hantaman
gelombang pasang disamping juga menghindarkan penduduk dari masalah
pengadaan air bersih akibat intrusi air laut yang membuat air bawah tanah menjadi
asin.
top related