ii. tinjauan pustaka 2.1. edible filmeprints.umm.ac.id/64925/2/bab ii.pdf · 2020. 8. 19. · 4 ii....
Post on 28-Mar-2021
12 Views
Preview:
TRANSCRIPT
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Edible film
Edible film merupakan lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat
dimakan dan digunakan sebagai bahan pengemas atau pelapis pada produk pangan.
Edible film memiliki fungsi sebagai penghalang (barrier) terhadap massa
(kelembaban, cahaya, lipida, oksigen, gas volatil, dan zat terlarut), pengawet,
pembawa aditif, vitamin, mineral, antioksidan, antimikroba, memperbaiki rasa dan
warna pada produk yang dikemas, dan dapat memudahkan penanganan bahan
pangan serta berfungsi untuk melindungi bahan pangan dari kerusakan fisik, kimia,
dan mikrobiologi (Dangaran, dkk., 2004).
Berdasarkan komponen penyusun edible film dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kategori yaitu hidrokoloid (mengandung protein, polisakarida, alginat), lemak
(mengandung asam lemak, acylgliserol, lilin) dan kombinasi (menggabungkan
antara komponen hidrokoloid dan komponen lemak) (Skurtys, dkk., 2011).
Menurut Irianto dkk, (2006) beberapa jenis hidrokoloid yang dapat digunakan
sebagai bahan pembuatan edible film adalah protein (contoh: gelatin, protein
kedelai, protein jagung, kasein, dan gluten gandum), karbohidrat (contoh: pati,
pektin, alginate, gum arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya), dan lipid (contoh:
lilin/wax, gliserol, dan asam lemak). Beberapa penjelasan tentang komponen
penyusun edible film diantaranya:
a. Hidrokoloid
Bahan dasar polisakarida dalam pembuatan edible film dapat berfungsi dalam
mengatur udara sekitarnya dan memberikan ketebalan atau kekentalan pada larutan
edible film yang terbentuk. Pembuatan edible film dapat dilakukan dengan
5
hidrokoloid menggunakan protein atau karbohidrat. Bahan dasar karbohidrat yang
digunakan dalam pembentukan film dapat berupa pati, gum (contoh: alginat, pektin,
gum arab), dan pati yang dimodifikasi secara kimia. Bahan dasar pembuatan edible
film dengan protein antara lain dengan kasein, protein kedelai, gluten gandum, dan
protein jagung. Film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai penghambat
perpindahan oksigen, karbondioksida, lemak, dan memiliki karakteristik mekanik
yang sangat baik, sehinggga sangat baik digunakan untuk memperbaiki struktur
pada film agar tidak mudah hancur (Donhowe dan Fennema, 2004).
b. Lipida
Bahan dasar lipida dalam pembuatan edible film dapat berfungsi sebagai
penghambat uap air, bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk permen.
Selain itu, penambahan lipida juga dapat berfungsi dalam memberikan sifat
hidrofobik pada pembuatan edible film. Film yang terbuat dari lemak murni sangat
terbatas penggunaanya dikarenakan menghasilkan kekuatan struktur film yang
kurang baik (Donhowe dan Fennema, 2004). Lipida yang sering digunakan sebagai
pembuatan edible film antara lain lilin (wax), resin, asam lemak, dam monogliserida
(Hui, 2006).
c. Komposit
Bahan dasar komposit dalam pembuatan edible film yaitu gabungan
komponen yang terdiri dari komponen hidrokoloid dan komponen lipida. Aplikasi
dari komposit film dapat digunakan dengan cara lapisan satu-satu (bilayer), di mana
satu lapisan merupakan kompoonen hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan
komponen lipida, atau juga dapat dengan gabungan hidrokoloid dan lipida dalam
satu kesatuan film. Komponen antara hidrokolid dan lipida yang telah bergabung
6
memiliki fungsi masing – masing yang saling menguntungkan pada pembentukan
film. Kandungan pada hidrokoloid dapat memberikan daya tahan sedangkan
kandungan lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap penguapan air. Film
yang telah terbentuk dengan gabungan antara komponen hidrokoloid dan lipida
dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan dan sayuran (Donhowe dan Fennema,
2004).
Formulasi dalam pembuatan edible film atau coating harus memiliki
setidaknya satu komponen yang dapat membentuk matriks kohesif dan
berkesinambungan. Penggunaan bahan polisakarida memiliki keuntungan pada film
yang akan dihasilkan yaitu dapat membentuk film yang baik dalam menghambat
minyak dan lipid tetapi kurang dalam menghambat kelembaban. Akan tetapi, film
yang berbasis protein memiliki sifat mekanik dan penghalang yang lebih baik
daripada film yang berbahan polisakarida. Hal ini dapat disebabkan karena protein
merupakan polimer monoton, protein memiliki struktur khusus dengan potensi sifat
fungsional yang lebih besar. Senyawa lipid seperti lemak nabati dan lemak hewani
memiliki sifat penghalang kelembaban yang sangat baik. Namun, senyawa lipid
kurang dalam menghambat stabilitas (oksidasi), tekstur dan kualitas hasil
organoleptik (Jirukkakul, 2016).
Tabel 1 Nilai Edible film Berdasarkan Japan Industrial Standard
Parameter Nilai
Ketebalan
Kuat tarik
Elongasi
WVTR
Maks. 0,25 mm
Min. 0,39 Mpa
<10% buruk
10-50% baik
>50% sangat baik
Maks. 7 g/m2 /hari
Sumber: Japan Industrial Standard (JIS) (1975) dalam Ariska dan Suyanto (2015)
7
Secara umum parameter yang sering digunakan dalam mengukur sifat
mekanik pada edible film seperti ketebalan, kuat tarik (tensile strength), kemuluran
(elongation) dan laju transmisi uap air.
a. Ketebalan
Ketebalan merupakan kemampuan edible film sebagai pengemas produk.
Kenampakan edible film yang tebal akan memberikan warna yang tidak transparan
dan akan mengurangi penerimaan konsumen karena produk menjadi kurang
menarik (Khotimah, 2006). Faktor yang dapat mempengaruhi ketebalan pada edible
film adalah konsentrasi total padatan terlarut yang ada dalam larutan pembentuk
film dan ukuran cetakan yang digunakan dalam pembentukan film. Semakin tinggi
penambahan konsentrasi padatan terlarut, maka ketebalan film yang terbentuk juga
akan meningkat begitupun sebaliknya (Krisna, 2011).
b. Kekuatan tarik (tensile strength)
Kuat tarik merupakan ukuran dari besarnya gaya yang diperlukan untuk
mencapai tarikan maksimum pada setiap luas area film. Kuat tarik edible film
dihitung berdasarkan kekuatan tarikan maksimum yang dapat dicapai hingga film
tetap bertahan sebelum terjadinya putus. Faktor yang dapat mempengaruhi sifat dari
kekuatan tarik yaitu pada jumlah konsentrasi yang ditambahkan dan jenis bahan
penyusun edible film yang digunakan (Krisna, 2011).
c. Kemuluran (elongation)
Kemuluran merupakan perubahan panjang maksimum hingga sampel film
terputus. Keberadaan plasticizer dalam proporsi lebih besar akan membuat nilai
persen kemuluran dari suatu film semakin meningkat. Sedangkan, elastisitas
merupakan nilai kebalikan dari persen kemuluran karena elastisitas akan semakin
8
menurun seiring meningkatnya jumlah plasticizer dalam film. Apabila nilai
elastisitas menurun maka fleksibilitas film dapat meningkat. Modulus elastisitas
merupakan ukuran dasar kekakuan dari sebuah film (Banerjee dkk, 1995).
d. Laju transmisi uap air (Water Vapor Transmission Rate/WVTR)
Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang melalui suatu permukaan
per satuan luas atau slope jumlah uap air dibagi luas area. Edible film yang berbahan
dasar polisakarida umumnya sifat barrier terhadap uap air lebih rendah. Ketebalan
film hidrofilik memiliki hubungan positif dengan permeabilitas uap air (Liu and
Han, 2005). Nilai laju transmisi uap air pada suatu bahan dipengaruhi oleh struktur
bahan pembentuk dan juga konsentrasi plasticizer yang ditambahakan.
Penambahan plasticizer seperti sorbitol dan gliserol dapat membantu meningkatkan
permeabilitas film terhadap uap air karena bahan tersebut memiliki sifat hidrofilik
(Gontard dkk., 1993). Ketahanan suatu film terhadap laju uap air sangat
menentukan daya simpan produk pangan yang akan dikemas. Semakin rendah
permeabilitas plastik maka semakin lama daya simpan produk pangan yang akan
dikemas (Khotimah, 2006).
Prinsip pembentukan gel hidrokoloid terjadi karena adanya pembentukan
jaringan tiga dimensi oleh molekul primer yang terentang pada seluruh volume gel
yang terbentuk dengan memerangkap sejumlah air didalamnya. Kekuatan edible
film terkait dengan struktur kimia polimer, bergantung pada bahan aditif dan
kondisi lingkungannya selama berlangsungnya pembentukan edible film
(Bourtoom,2008). Proses pelapisan untuk membentuk lapisan film dilakukan
dengan perataan pada permukaan plat kaca atau teflon yang datar dan kemudian
dikeringkan (Stanescu dkk., 2011).
9
2.2. Singkong Karet
2.2.1. Definisi
Tanaman singkong merupakan tanaman yang berasal dari benua Amerika,
yang bertepatan di negara Brazil. Penyebaran singkong hampir ke seluruh dunia,
antara lain: Afrika, India, Madagaskar, dan Tiongkok. Singkong berkembang di
negara-negara yang terkenal wilayah pertaniannya dan masuk ke negara Indonesia
pada tahun 1852 (Prihatman, 2000). Singkong merupakan tanaman yang dapat
digunakan sebagai bahan pangan, sumber energi, pakan, dan berbagai macam
keperluan industri lainnya (Islami, 2015). Singkong merupakan tanaman yang
memiliki waktu tanam selama kurang lebih 7-12 bulan sebelum siap dipanen (Roja,
2009).
Singkong varietas pahit, yang biasanya disebut dengan singkong karet
merupakan salah satu jenis umbi-umbian atau akar pohon yang panjang dengan
fisik rata – rata bergaris tengah 2-3 cm dan memiliki panjang 50-80 cm. Singkong
karet (Manihot glaziovii) merupakan salah satu jenis atau varietas dari singkong
pohon yang mengandung senyawa beracun yaitu asam sianida (HCN) dengan kadar
yang cukup tinggi, sehingga tidak diperjualbelikan dan kurang dimanfaatkan oleh
masyarakat. Singkong karet memiliki ukuran lebih besar, dengan daun yang juga
lebih lebar dan lebat, sehingga potensi singkong karet untuk berfotosintesis juga
lebih besar dibanding dengan singkong biasa, dimana dapat menghasilkan ubi
dengan berat hampir empat kali lipat dibandingkan singkong biasa. Singkong karet
merupakan salah satu sumber karbohidrat karena menghasilkan kalori yang besar
dibandingkan dengan tanaman lain seperti jagung, gandum, beras, dan sorghum.
10
Singkong karet (Manihot glaziovii) mempunyai kadar karbohidrat (pati) sebesar
98,47% (Hapsari dkk., 2013).
2.2.2. Klasifikasi
Klasifikasi atau taksonomi singkong karet (Manihot glazovii) termasuk dalam
famili Euphorbiaceae. Menurut Lies (2005), adapun klasifikasi tanaman singkong
karet adalah sebagai berikut:
Nama Umum : Singkong Karet (Indonesia)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot glaziovii M.A.
2.2.3. Kandungan Singkong Karet
Singkong merupakan jenis tanaman umbi-umbian yang mengandung
karbohidrat tinggi dengan kadar amilosa yang rendah dan amilopektin yang tinggi
sehingga dapat dijadikan bahan makanan sumber karbohidrat sebagai pengganti
beras. Karbohidrat yang tinggi pada singkong ternyata merupakan sifat yang tidak
dimiliki oleh umbi-umbian lainnya sehingga singkong dapat dimanfaatkan secara
11
luas (Rismayani, 2007). Kandungan yang terdapat di dalam singkong karet dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan yang Terdapat di dalam Singkong Karet
Analisa Kadar (%)
Kadar Abu
Kadar Lemak Kasar
Kadar Serat Kasar
Kadar Protein Kasar
Kadar Karbohidrat
0,4734
0,5842
0,0067
0,4750
98,4674
Sumber: Laboratorium Ilmu Makanan FK Undip, 2015
Tanaman singkong memiliki dua bentuk sianogenik glukosida, yaitu
linamarin dan lotaustralin, kedua bentuk sianogenik ini akan dirombak oleh enzim
linamerase menjadi glukosa, aldehid/keton dan HCN (asam sianida) (Jalaludin,
1973 ). Hidrogen sianida (HCN) atau sianida adalah senyawa kimia yang memiliki
sifat toksik dan termasuk dalam jenis racun yang paling cepat aktif dalam tubuh
sehingga dapat menyebabkan kematian dalam waktu beberapa menit.
Kandungan sianida dalam singkong pada setiap varietas memiliki nilai yang
tidak konstan dan dapat berubah. Hal ini dapat disebabkan karena adanya beberapa
faktor yang mempengaruhi seperti keadaan iklim, keadaan tanah, metode
pemupukan, dan juga metode pembudidayaannya. Rata-rata kadar sianida dalam
singkong manis dibawah 50 mg/kg berat awal, sedangkan singkong pahit/racun
diatas 50 mg/kg. Menurut FAO, singkong dengan kadar 50 mg/kg masih aman
untuk dikonsumsi manusia (Winarno, 1983).
2.2.4. Asam Sianida
Asam Sianida pada singkong dapat menimbulkan rasa yang pahit. Rasa pahit
itu menandakan bahwa kadar asam sianida pada singkong cukup tinggi dan
apabila singkong tersebut dikonsumsi, maka akan mengakibatkan keracunan bagi
12
konsumen dan dapat berujung pada kematian. Asam sianida sangat berbahaya bagi
manusia apalagi racun ini terdapat pada salah satu bahan makanan yang sering
dikonsumsi oleh manusia yaitu singkong. Mengingat akan bahayanya bagi
manusia. Masalah utama yang muncul adalah besarnya kandungan senyawa
glukosida sianogenik di dalam singkong yang memiliki kecendrungan sebagai
racun (Ardhiyanto,2013).
Menurut FAO (2013), asam sianida atau HCN memiliki sifat-sifat sebagai
berikut:
1. Ikatan kimianya berupa asam lemah, relatif korosif dan bila disimpan tanpa
stabilizer dapat terurai dan meledak dalam wadah.
2. Memiliki kelarutan dalam air yang tidak terbatas pada semua suhu
3. Memiliki titik leleh 26°C dan titik beku -14°C
4. Kemurnian komersial mencapai 96-99%
5. Massa atom relatifnya adalah 27,03 sma
6. Panas laten penguapan pada 210 cal/g
Asam sianida disebut juga dengan Hidrogen sianida (HCN), biasanya
terdapat dalam bentuk gas atau larutan dan terdapat pula dalam bentuk garam -
garam alkali seperti potasium sianida. Sifat-sifat Hidrogen sianida (HCN) murni
mempunyai sifat tidak berwarna, mudah menguap pada suhu kamar dan
mempunyai bau khas. Hidrogen sianida (HCN) mempunyai berat molekul yang
ringan, sukar terionisasi, mudah berdifusi dan lekas diserap melalui paru-paru,
saluran cerna dan kulit. Sianida termasuk dalam golongan bahan kimia sangat
beracun dan reaktif. Reaksi racun tersebut dapat terjadi bila sianida terhirup atau
terserap pada kulit (Widodo dkk, 2010).
13
Hidrogen sianida (HCN) dikenal sebagai racun yang mematikan. Hidrogen
sianida (HCN) akan menyerang langsung dan menghambat sistem antar ruang sel,
yaitu menghambat system cytochroom oxidase dalam sel - sel, hal ini menyebabkan
zat pembakaran (oksigen) tidak dapat beredar ketiap – tiap jaringan sel-sel dalam
tubuh. Adanya sistem keracunan ini maka menimbulkan tekanan dari alat - alat
pernafasan yang menyebabkan kegagalan pernafasan, menghentikan pernafasan
dan jika tidak tertolong akan menyebabkan kematian. Bila dicerna, Hidrogen
sianida (HCN) sangat cepat terserap oleh alat pencernaan masuk ke dalam saluran
darah. Tergantung jumlahnya hidrogen sianida (HCN) dapat menyebabkan sakit
hingga kematian (dosis yang mematikan 0,5-3,5mg HCN/kg berat badan)
(Winarno,2004).
2.2.5. Metode Pengurangan Kadar Asam Sianida
Beberapa metode pengolahan singkong agar dapat menurunkan kandungan
sianida meliputi proses pengupasan, pengeringan, fermentasi,dan perendaman.
Menurut Purwanti (2007) yang melaporkan bahwa proses pencucian dan
pengukusan memberikan hasil yang sangat signifikan yaitu kadar HCN masing-
masing 89,32 mg/100g dan 16,42 mg/100g dibandingkan tanpa perlakuan sebesar
143,3 mg/100g. Metode lain yang dapat digunakan dalam penurunan kadar HCN
yang efektif dan efisien dengan cara proses pengeringan. Menurut Torres (1976)
yang disitasi oleh Soetrisno, dkk (1981), proses penjemuran selama 72 jam akan
mengurangi kadar asam sianida, dan hanya akan tersisa 12,8 %.
Asam sianida (HCN) dapat larut di dalam air, sehingga metode yang
paling mudah dalam menghilangkan kadar HCN dapat dilakukan dengan proses
perendaman. Proses yang dapat dilakukan yaitu dengan pengupasan kulit singkong
14
sebelum diolah, direndam sebelum dimasak dan difermentasi selama beberapa
hari. Dengan perlakuan tersebut linamarin banyak yang rusak dan hidrogen
sianidanya ikut terbuang keluar sehingga pengolahan secara tradisional ini dapat
mengurangi atau bahkan menghilangkan kandungan racun dan kadar HCN sekitar
10 - 40 mg/kg (Winarno, 2004).
Pada penelitian Nasution (2015) melaporkan bahwa kadar sianida pada
singkong beracun dengan lama perendaman di dapatkan hasil tertinggi pada sampel
A yang kadar sianidanya 81,5 mg/kg dengan perendaman 0 (nol) hari (2 Jam). Hal
ini dikarenakan singkong diperiksa dalam keadaan segar, sehingga kadarnya masih
terlalu tinggi. Sedangkan kadar terendah pada sampel D di dapatkan hasil 36 mg/kg
dengan lama perendaman 3 hari. Hal ini di pengaruhi oleh lamanya perendaman
pada sampel D sehingga di dapat hasil yang menurun. Hasil penelitian tersebut
dapat disimpulkan bahwa kadar sianida pada singkong beracun dapat turun 55,82%
kadarnya apabila di lakukan perendaman.
2.3. Pati
Pati merupakan karbohidrat yang terdiri dari amilosa dan amilopektin.
Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-(1,4) unit glukosa yang
memiliki derajat polimerisasi setiap molekulnya yaitu 102-104 unit glukosa.
Sedangkan amilopektin merupakan polimer α-(1,4) unit glukosa yang memiliki
percabangan α-(1,6) unit glukosa dengan derajat polimerisasi yang lebih besar yaitu
104-105 unit glukosa. Bagian percabangan amilopektin terdiri dari α-D-glukosa
dengan derajat polimerisasi sekitar 20-25 unit glukosa (Kusnandar, 2011).
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, yang
banyak terdapat pada tumbuhan terutama biji-bijian, umbi-umbian. Berbagai
15
macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya,
serta lurus atau bercabang (Koswara, 2006; Pudjihastuti, 2011). Bentuk asli pati
alami yaitu butiran - butiran kecil yang sering disebut dengan granula. Bentuk dan
ukuran granula merupakan karakteristik dari setiap jenis pati, sehingga dapat
digunakan sebagai identifikasi jenis pati tersebut. Pati paling sedikit tersusun dari
tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan material seperti protein dan
lemak.
Pati memiliki tingkat kristalinitas 15-45% dan pemanfaatan pati yang
digunakan sebagai pembuatan plastik dikarenakan keunggulan- keunggulan yang
dimiliki seperti sifat yang dapat diperbaharuhi, memiliki ketersediaan yang
melimpah, harga yang ekonomis, mampu terdegradasi dan sebagai penahan yang
baik untuk oksigen. Pati memiliki stabilitas termal dan minimum interface dengan
sifat pencairan yang cukup untuk membentuk produk dengan kualitas yang baik.
Campuran biopolimer hidrokarbon dan pati dapat menghasilkan lembaran film yang
baik untuk kemasan (Nolan-ITU, 2002).
Komposisi pati umumnya terdiri dari amilosa dan amilopektin. Amilosa
mempunyai struktur lurus yang didominasi dengan ikatan α-(1,4)-D- glukosa.
Panjang polimer dipengaruhi oleh sumber pati dan akan mempengaruhi berat
molekul amilosa. Amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur
rantai polimernya yang sederhana. Struktur amilosa yang sederhana ini dapat
membentuk interaksi molekuler yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus hidroksil
molekul amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada
amilosa dari pada amilopektin (Taggart, 2004). Struktur amilosa disajikan pada
Gambar 1.
16
Gambar 1 Stuktur Amilosa
Sumber : Taggart (2004)
Amilopektin mempunyai titik percabangan dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa
disampingikatan α-(1,4)-D-glukosa pada rantai lurusnya, dan memiliki bobot
molekul yang besar. Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak
sereaktif amilosa karena adanya rantai percabangan yang menghalangi
terbentuknya kristal (Taggart, 2004). Pati alami biasanya mengandung amilopektin
lebih banyak dari pada amilosa (Flach, 1993). Struktur amilopektin disajikan pada
Gambar 2.
Gambar 2 Stuktur Amilopektin
Sumber : Taggart (2004)
Pembentukan edible film berbahan baku pati dimulai dari pecahnya granula
pada pati dan diikuti keluarnya amilosa dengan membentuk jaringan yang
mengelilingi granula tersebut sehingga terjadi interaksi antara amilosa satu dengan
17
amilosa yang lain dalam keadaan homogen (terjadi pertemuan jembatan hidrogen
antar amilosa dan begitu juga dengan jembatan fosfat). Interaksi molekul amilosa
dan fosfat yang demikian menyebabkan matriks pada film akan terbentuk lebih
rapat. Matriks edible film dengan kerapatan yang tinggi akan sulit untuk ditembus
oleh uap air (Santoso, 2011).
2.4.Bawang Putih
Bawang putih (Allium sativum) adalah tanaman umbi lapis dan salah satu
spesies dari genus Allium sp. Bawang putih memiliki kekerabatan dekat dengan
bawang merah, bawang bombay dan daun bawang. Bawang putih adalah tanaman
asli dari asia tengah. Dengan riwayat dimanfaatkan manusia lebih dari 7000 tahun,
bawang putih telah menjadi bahan pokok di wilayah Mediterania, Afrika dan Eropa
dan menjadi bumbu masak di wilayah Asia. Bawang putih telah dimanfaatkan
orang mesir kuno sebagai bahan medis dan bahan masak (Bayan dkk., 2014;
Ehrlich, 2011).
Kedudukan bawang putih dalam botani (Hutapea, 2000)
Kingdom : Plantae
Class : Monocothylledon
Order : Asparagales
Family : Amaryllidaceae
Genus : Allium
Spesies : A. Sativum
Nama binomial : Allium sativum
Penggunaan bawang putih dalam mengobati luka dimulai dari abad
pertengahan hingga perang dunia dua, ketika bawang putih digunakan untuk
18
mengobati luka dari tentara (Amagase dkk., 2001). Bawang putih memiliki bunga
hemaprodit dengan batang yang panjang dan tegak yang dapat mencapai tinggi dua
hingga tiga kaki (0,6-0,91 m). Bawang putih memiliki tiga cara reproduksi; umbi
lapis yang menjadi akar bunga (siung), umbi kecil yang secara botani disebut bulbil
yang berasal dari bunga, dan dari biji. Bawang putih di alam liar diduga melakukan
reproduksi seksual dan aseksual sekaligus tetapi pada pertanian hampir dilakukan
secara aseksual dengan cara menanam langsung umbi bawang putih dalam tanah
karena lebih mudah (Meredith dan Drucker, 2012).
Bawang putih setidaknya mengandung 33 senyawa sulfur, 17 asam amino,
beberapa enzim dan mineral. Senyawa sulfur inilah yang membuat bawang putih
memiliki bau tajam yang khas dan membuat bawang putih memiliki efek klinis
(Kemper, 2005). Senyawa sulfur primer dalam siung bawang putih utuh adalah γ-
glutamyl-S-alk(en)yl-L-cysteines dan S-alk-(en)yl-L-cysteine sulfoxides atau yang
disebut sebagai alliin (Amagase dkk., 2001). Senyawa senyawa paling aktif dari
bawang putih, allicin (allyl 2- propenethiosulphinate) dan hasil turunannya (dialil
thiosulfinat dan dialil disulfida) tidak akan ada jika bawang putih dihancurkan atau
dipotong. Kerusakan pada sel bawang putih akan mengaktifkan enzim allinase yang
merubah alliin menjadi allicin (Bayan dkk., 2014; Fujisawa dkk., 2009; Kemper,
2005).
Allicin dan derivatnya adalah senyawa sulfur yang teroksigenasi yang
terbentuk pada saat sel bawang putih mengalami kerusakan, adalah senyawa yang
tidak stabil. Allicin hanya memiliki paruh waktu satu hari dalam 15 temperatur 37℃
(Fujisawa dkk., 2008). Tetapi, alkohol 20% dapat menstabilkan molekul allicin
(Cutler dan Wilson, 2004; Fujisawa dkk., 2008). Adapun kandungan gizi lain yang
19
terkandung dalam 100 gram bawang putih dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai
berikut:
Tabel 3 Kandungan Gizi Bawang Putih
Kandungan Nilai Kandungan per 100 gram
Air
Energi
Energi
Protein
Total Lemak
Karbohidrat
Serat
Gula total
Mineral
Kalsium
Besi, Fe
Magnesiun, Mg
Fosfor, P
Kalium, K
Natrium, Na
Zinc, Zn
Copper, Cu
Mangan, Mn
Selenium, Sn
Vitamin
Vitamin C, total asam askorbat
Vitamin B-6
Beta karotin
Vitamin A, IU
Vitamin E, (alpha-tocopherol)
Vitamin K (phylloquinone)
Asam amino
Tryptophan
Threonine
Isoleusin
Leusin
Metionin
Sistin
Lisin
58,58 g
149 Kcal
623 kJ
6,36 g
0,50 g
33,06 g
2,1 g
1,00 g
181 mg
1,70 mg
25 mg
153 mg
401 mg
17 mg
1,16 mg
0,299 mg
1,672 mg
14,2 mcg
31,2 mg
1,235 mg
5 mcg
9 IU
0,08 mg
1,7 mcg
0,066 g
0,157 g
0,217 g
0,308 g
0,076 g
0,065 g
0,273 g
Sumber : United States Departement of Agriculture, 2010.
Aktivitas antibakteri bawang putih sebagian besar karena allicin yang muncul
ketika sel bawang putih rusak. Allicin dan derivatnya mempunyai efek menghambat
secara total sintesis RNA dan menghambat secara parsial pada sintesis DNA dan
20
protein. Allicin bekerja dengan cara memblok enzim bakteri yang memiliki gugus
thiol yang akhirnya menghambat pertumbuhan bakteri (Boboye dan Alli, 2008).
Selain allicin, bawang putih juga memiliki kandungan minyak atsiri seperti
flavonoid yang memiliki aktivitas antibakteri. Senyawa fenol tersebut dapat
menghambat dengan mengganggu metaolisme serta proses kelangsugan hidup
bakteri.
Ekstrak bawang putih dapat diperoleh dengan metode maserasi. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Wirasti dan Mgiyanto (2017), ada dua metode
maserasi untuk mendapatkan ekstrak bawang putih yaitu metode maserasi
bertingkat dan maserasi pelarut air (aquades). Proses pembuatan edible film,
penambahan ekstrak bawang putih diperoleh dari proses maserasi dengan
menggunakan pelarut air lebih aman untuk dikonsumsi dibandingkan dengan proses
maserasi bertingkat. Ekstrak bawang putih mempengaruhi sifat mekanik dari edible
film berupa penurunan kuat tarik serta peningkatan persen pemanjangan dan
ketebalan. Nilai kuat tarik edible film menurun karena ikatan hidrogen pada matriks
intermolekuler mengalami penurunan seiring dengan penambahan ekstrak bawang
putih, sehingga memungkinkan terputusnya ikatan amilosa yang mengakibatkan
jaringan yang terbentuk pada gel edible film ikut terputus (Whardhani, dkk 2013).
Pengaruh bawang putih terhadap elastisitas semakin meningkat karena
ekstrak bawang putih dapat mengurangi gaya intermolekuler amilosa sehingga
jarak antar molekul pada amilosa mengalami peningkatan. Jarak antar molekul
tersebut akan diisi oleh ekstrak bawang putih sehingga terjadi peningkatan
kerapatan ruang antar molekul. Hal ini yang menjadikan penambahan ekstrak
bawang putih dapat meningkatkan persen elongasi. Selain itu, nilai ketebalan
21
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi bawang putih.
Bawang putih memiliki senyawa seperti dialil disulfisa, dialil trisulfida, sejumlah
kecil disulfida, alil propil disulfida, dan poli sulfida yang dinamakan allicin.
Keberadaan senyawa ini dapat menyebabkan ketebalan pada edible film meningkat.
2.5. Gliserol
Gliserol atau 1,2,3-propanetriol, merupakan senyawa organik yang tidak
berwarna, tidak berbau, dan higroskopis dengan rumus kimia
HOCH2CH(OH)CH2OH. Gliserol adalah senyawa trihidrik alkohol yang
mempunyai titik beku 17,8 ºC dan titik didih 290 ºC. Senyawa ini dapat larut dan
bercampur dengan air dan etanol. Gliserol hadir dalam bentuk ester (gliserida) pada
semua hewan dan lemak dan minyak nabati. Sifatnya yang mudah menyerap air dan
kandungan energi yang dimilikinya membuat gliserol banyak digunakan pada
industri makanan, farmasi, dan kosmetik (Afrozi dalam Marbun, 2012).
Tabel 4 Sifat Kimia Gliserol
Sifat Kimia
Nama IUPAC
Nama lain
Rumus kimia
Berat Molekul
Densitas
Viskositas
Titik leleh
Titik nyala
Propan 1,2,3 triol
Gliserin, 1,2,3 propanetriol, 1,2,3
tritydroxypropana, glyceritol, glycyl
alcohol
C3H5(OH)
92,09382 g/mol
1,261 g/ml
1,5 Pa.s
17,8 °C (64,2°F)
290 °C (554°F)
Sumber: Wales,2010.
Gliserol diperoleh secara komersial sebagai produk sampingan ketika lemak
dan minyak yang dihidrolisis untuk menghasilkan asam lemak. Gliserol juga
disintesis pada skala komersial dari propylene (diperoleh dengan cracking minyak
bumi), karena pasokan gliserol alam tidak memadai. Selain sintesis dengan
22
menggunakan propylene, gliserol juga dapat diperoleh selama fermentasi gula
natrium bisulfit jika ditambahakan dengan ragi (Wang dalam Marbun, 2012).
Pada penelitian yang telah dilakukan oleh (Zulisma dkk, 2013) menunjukkan
hubungan antara volume gliserol dengan kekuatan tarik dimana kekuatan tarik
terbaik pada 4 ml gliserol. Sedangkan modulus yang semakin menurun dengan
penambahan gliserol. Hai ini disebabkan gliserol sebagai platizer dapat
memingkatkan persentase pemanjangan dan penrunan kekuatan tarik sedangkan
pengaruh penambahan gliserol terhadap pemanjangan saat putus akan semakin
meningkat.
Menurut Winarno (2004) gliserol merupakan senyawa alkohol polihidrat
(polyol) dengan 3 gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalent). Gliserol
merupakan komponen yang menyusun berbagai macam lipid, termasuk trigliserida.
Gliserol terasa manis saat dikecap, namun bersifat racun. Rumus kimia gliserol
adalah C3H8O3, berat molekul gliserol 92,10 massa jenisnya 1,23 g/cm3 dan titik
didihnya 204°C. Edible film membutuhkan plasticizer dengan berat molekul rendah
untuk meningkatkan fleksibilitas dan ketahanannya, dengan cara menginterupsi
interaksi rantai polimer dan menurunkan suhu Transition Glass. Gliserol bersifat
mudah larut air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan
Aw. Gliserol diperoleh dari fermentasi gula, sayuran, minyak hewan dan lemak.
Gliserol berbentuk cair pada suhu ruangan. Gliserol merupakan plasticizer yang
efektif dengan harga yang terjangkau. Selain itu, gliserol dapat membuat material
fleksibel pada suhu yang sangat rendah. Penambahan gliserol akan menghasilkan
film yang lebih fleksibel dan halus, selain itu gliserol dapat meningkatkan
permeabilitas film terhadap gas, uap air, dan zat terlarut (Winarno, 2005).
23
Gliserol efektif sebagai plasticizer karena mampu mengurangi ikatan
hidrogen internal pada ikatan intermolekul sehingga melunakkan struktur film,
meningkatkan mobilitas rantai biopolimer, dan memperbaiki sifat mekanik film.
Gliserol bersifat humektan dan aksi plasticizing gliserol berasal dari
kemampuannya dalam menahan air pada edible coating (Lieberman dan Gilbert
1973). Penambahan gliserol dalam pembuatan edible film akan meningkatkan
fleksibilitas dan permeabilitas film terhadap gas, uap air, dan gas terlarut. 15
Penambahan plasticizer gliserol berpengaruh terhadap kehalusan permukaan film.
Hal ini karena selain sebagai plasticizer, gliserol juga membantu kelarutan pati
sehingga terbentuk ikatan hidrogen antara gugus OH pati dan gugus OH dari
gliserol, yang meningkatkan sifat mekanik. Bertambahnya jumlah gliserol dalam
campuran pati-air mengurangi nilai tegangan dan perpanjangan (elongation).
Kandungan gliserol yang rendah juga mengurangi kuat tarik edible film (Larotonda
dkk. 2004). Penambahan gliserol 1,5% pada pati garut butirat memberikan edible
film lebih baik dibandingkan dengan penambahan sorbitol dan sirup glukosa
(Damat, 2008). Mendapatkan struktur film yang stabil dari campuran pati ubi kayu,
gliserol, dan lilin lebah (beeswax) pada konsentrasi gliserol < 5% (Auras dkk.,
2009).
2.6. Penelitian Terkait
Penelitian terkait atau penelitian terdahulu merupakan salah satu acuan
penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang
digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Penyusunan skripsi ini
didasari oleh penelitian – penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan latar
belakang yang telah tertuliskan. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai
24
karakteristik edible film pati singkong karet (Manihol Glaziovii Muell) dengan
penambahan ekstrak bawang putih (Allium Sativum) antara lain:
Penelitian Farham HM. Saleh, Arni Yuli Nugroho, M. Ridho Juliantama
(2017) dengan judul “Pembuatan Edible film dari Pati Singkong Sebagai Pengemas
Makanan”. Terdapat tiga (3) konsentrasi pati singkong yang digunakan masing -
masing 3%, 3,5%, dan 4% (berat per volume) yang dilarutkan dalam 100 ml
aquades. Perlakuan selanjutnya dengan penambahan gliserol dilakukan dengan
konsentrasi 1,5%, 1,75%, dan 2% (volume per volume). Selain itu terdapat tiga (3)
konsentrasi pati singkong yang digunakan masing - masing 1,75%, 2%, dan 2,25%
(berat per volume) yang dilarutkan dalam 100 ml aquades. Perlakuan selanjutnya
dengan penambahan sorbitol dilakukan dengan konsentrasi 1,5%, 1,75%, dan 2%
(volume per volume). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi pati singkong dengan penggunaan plasticizer gliserol maupun sorbitol
maka kekuatan tarik dan ketebalan edible film makin besar. Hasil terbaik diperoleh
pada perlakuan pati singkong 3,5 gram dengan penambahan gliserol 1,75 ml dengan
hasil dalam kondisi optimum kekuatan tarik sebesar 1035 cN, mulur 33,9% dan
ketebalan 0,245 cm. Selanjutnya hasil terbaik pada perlakuan pati singkong 2 gram
dengan penambahan sorbitol 1,75 ml dengan hasil dalam kondisi optimum kekuatan
tarik 1013,7 cN, mulur 20,7%, dan ketebalan 0,197 cm.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Angga Prih Utomo (2017) dengan judul
“Pengaruh Berat Pati Umbi Singkong Karet (Manihot glaziovii) dan Volume
Gliserol Terhadap Kualitas Bioplastik”. Terdapat lima (5) konsentrasi pati singkong
karet (5, 6, 7, 8, 9 gram) dan penambahan gliserol dengan konsentrasi (2, 3, 4, 5, 6
ml). Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh sifat mekanik plastik untuk uji
25
elongasi didapatkan komposisi: 7 gram pati, 4 ml gliserol, dengan elongasi 32%
lalu dilakukan penggulangan didapatkan elongasi 35% dengan komposisi yang
sama, uji kuat tarik didapatkan komposisi: 7 gram pati, 2 ml gliserol, dengan kuat
tarik 1,85094 MPa lalu dilakukan penggulangan didapatkan kuat tarik 1,70609 MPa
dengan komposisi yang sama, sedangkan untuk uji biodegradasi didapatkan plastik
terdegradasi 100 % selama 10-11 hari dengan komposisi 9 gram pati, 4 ml gliserol.
Hasil anova yang didapat menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai uji
kuat tarik yang nyata terhadap variasi pati dan gliserol. Tidak terdapat perbedaan
nilai uji kuat tarik (penggulangan) yang nyata terhadap variasi pati dan gliserol.
Tidak terdapat perbedaan nilai uji elongasi yang nyata terhadap variasi pati dan
gliserol. Tidak terdapat perbedaan nilai uji elongasi (penggulangan) yang nyata
terhadap variasi pati dan gliserol.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Tika Novia Anggraini, Tri Winarni
Agustini, Laras Rianingsih (2018) dengan judul “Karakteristik Edible film
Karagenan Dengan Penambahan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Sebagai
Antibakteri”. Terdapat empat (4) konsentrasi ekstrak bawang putih yang digunakan
(0%, 2,5%, 5%, dan 7,5 %). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya
ekstrak bawang putih diketahui dapat menurunkan laju transmisi uap air, serta
meningkatkan ketebalan dan kuat tarik. Penambahan ekstrak bawang putih
menghasilkan karakteristik terbaik pada konsentrasi 7,5% dengan nilai ketebalan
0,17±0,003 mm, laju transmisi uap air 6,49±0,42 g/m2/jam, kuat tarik 13,88±0,29
Mpa, persen pemanjangan 14,75±0,09%. Sehingga, menunjukkan bahwa
penambahan ekstrak bawang putih pada edible film karagenan memberikan
pengaruh nyata (P<0,05) terhadap karakteristik edible film karagenan.
26
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Ratna Paramitha Sari, Septia Tri
Wulandari, Dyah Hesti Wardhani,ST,MT,Ph,d (2013) dengan judul “Pengaruh
Penambahan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Terdapat Karakteristik Edible
film Pati Ganyong (Canna edulis Kerr.)”. Terdapat 4 konsentrasi ekstrak bawang
putih 0%, 5%, 10%, dan 15% (v/v larutan) dengan perlakuan penambahan
konsentrasi pati ganyong 3% w/v, konsentrasi sorbitol 2% w/w pati. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak bawang putih berpengaruh
terhadap karakteristik fisik dan mekanik edible film yaitu terjadinya penurunan nilai
kuat tarik, meningkatkannya persen pemanjangan dan ketebalan edible film. Hasil
pengamatan terbaik terdapat pada edible film dengan penambahan konsentrasi 5%
ekstrak bawang putih yang memiliki nilai kuat tarik 2,03 kgf/cm2, persen
pemanjangan 20,62%, dan ketebalan 0,04 mm.
top related