identifikasi dan analisis aspek sosial dalam perencanaan pesisir

Post on 25-Dec-2015

47 Views

Category:

Documents

14 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

PKP

TRANSCRIPT

Identifikasi dan Analisis Aspek Sosial dalam Perencanaan Pesisir

Pendahuluan

1.1 Urgensi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu

pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.

Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada korrdinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antartingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration)

Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyarakatkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hokum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis

Pembangunan wilayah pesisir dan laut juga menghendaki adanya kerjasama dari para pihak atau stakeholder pembangunan di kawasan pesisir dan laut, yaitu pemerintah pusat dan daerah, masyarakat pesisir, pengusaha, dan lembaga swadaya masyarakat. Para pihak yang memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir dan laut harus menyusun perencanaan pengelolaan yang dapat mengakomodir segenap kepentingan mereka, dengan menggunakan model pendekatan dua arah, yaitu pendekatan dari atas ke bawah atau top down dan dari bawah ke atas atau bottom up. Pembangunan wilayah pesisir juga menghendaki adanya keterpaduan pendekatan, sebab pengelolaan wilayah pesisir dan laut memiliki keunikan wilayah dan beragamnya sumberdaya yang mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut

Dahuri et al (1996) menguraikan lima alasan yang mendasari pentingnya pengelolaan terpadu, yaitu : pertama, secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis atau hubungan fungsional, baik antarekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antar kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian, perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir, misalnya hutan Mangrove, cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Demikian pula halnya, jika pengelolaan kegiatan pembangunan, misalnya industri, pertanian dan permukiman, di lahan atas suatu daerah aliran sungai, tidak dilakukan secara arif atau berwawasan lingkungan, maka dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir.

Dua, dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari satu jenis sumberdaya alamiah, sumberdaya buatan, dan jasa – jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.

Tiga, dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan atau keahlian dan kesenangan bekerja yang berbeda, seperti petani sawah, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga, dsb.

Empat, baik secara ekologis maupun ekonomis pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur atau single use sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Contoh kerugian ekonomi dapat dilihat pada kasus yang terjadi pada tahun 1988, ketika Jepanng menghentikan impor udang dari Indonesia selama sekitar 3 bulan, karena selama masa berkabung atas kematian kaisarnya, rakyat Jepang tidak makan udang. Hal ini menyebabkan harga udang jatuh separuh harga, sehingga banyak petani tambak yang merugi dan frustasi

Terakhir, kawasan pesisir merupakan sumberdaya milik bersama yang dapat digunakan oleh siapa saja, dimana setiap penggunaan sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan. Hal ini menyebabkan kawasan pesisir rawan terkena masalah pencemaran, over – eksploitasi sumberdaya alam, dan konflik pemanfaatan ruang.

1.2 Urgensi perlindungan sumberdaya pesisir dan laut Ekosistem pesisir dan laut beserta sumberdaya yang dikandungnya

sangat dibutuhkan oleh masyarakat pesisir di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Beragam ekosistem yang terdapat di wilayah

pesisir secara fungsional saling terkait dan berinteraksi satu sama lain sehingga membentuk suatu sistem ekologi yang unik. Bilamana aktivitas manusia menyebabkan perubahan pada salah satu komponen sistem ekologi tersebut, maka akan mempengaruhi keseluruhan sistem secara structural dan fungsional sehingga terjadi ketidakseimbangan. Kelestarian ekosistem pesisir dan laut sangat ditentukan oleh berfungsinya hubungan – hubungan yang ada perlu dilindungi.

Jika kelestarian sumberdaya terancam, maka pemenuhan kebutuhan masyarakat yang hidup pada wilayah tersebut juga akan terancam.

1.3 Dimensi pengelolaan Dahuri at al (1996) mengemukakan empat dimensi pengelolaan

secara berkelanjutan, yaitu: (1) ekologis, (2) sosial-ekonomi-budaya, (3) sosial-politik, serta (4) hukum dan kelembagaan.

o Secara ekologis, pemanfaatan sumberdaya ekosistem alamiah dan buatan di wilayah pesisir dan laut diupayakan agar dampak segenap kegiatan pemanfaatan tidak melebihi kapasitas fungsional ekosistem tersebut agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Wilayah pesisir dan laut merupakan kawasan yang unik karena umumnya permasalahan atau kerusakan lingkungan yang terjadi bersifat eksternalitas, yaitu pihak yang menderikan akibat kerusakan bukanlah si pembuat kerusakan tersebut, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat miskin dan lemah. Kasus minamata merupakan contoh yang sangat nyata dimana kegiatan industri yang membuang limbah logam berat ke perairan telah menyebabkan cacat fisik dan mental yang mengkonsumsi ikan yang ditangkap di perairan teluk Minamata

o Mengingat karakteristik permasalahan di wilayah pesisir tersebut, maka pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan berlangsung lebih cepat dibanding upaya pencegahan dan penanggulangannya.

o Pengelolaan wilayah pesisir dan laut juga mengehendaki adanya pengendalian diri warga masyarakat untuk tidak merusak lingkungan. Kelompok yang lebih mampu secara ekonomi hendaknya dapat berbagi kemampuan dan rasa dengan saudaranya yang kurang mampu memenuhi

kebutuhan dasarnya dengan megurangi kebiasaan konsumsi secara berlebihan.

Pembahasan Masyarakat nelayan didefiniskan sebagai kesatuan sosial kolektif

masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dengan mata pencahariannya menangkap ikan di laut, yang pola – pola perilakunya diikat oleh sistem nilai budaya yang berlaku, memiliki identitas bersama dan batas – batas kesatuan sosial, struktur sosial yang mantap, dan masyarakat terbentuk karena sejarah sosial yang sama. Sebagai sebuah entitas sosial, masyarakat nelayan memiliki sistem budaya yang tersendiri, dan berbeda dengan masyarakat lain yang hidup di daerah pegunungan, lembah atau dataran rendah, dan perkotaan.

Kebudayaan nelayan adalah sistem gagasan atau sistem kognitif masyarakat nelayan yang dijadikan referensi kelakuan sosial-budaya oleh individu – individu dalam interaksi bermasyarakat. Kebudayaan ini terbentuk melalui proses sosio – historis yang panjang dan kristalisasi dari interaksi yang intensif antar masyarakat dan lingkungannya. Kondisi – kondisi lingkungan atau struktur sumberdaya alam, mata pencaharian, dan sejarah sosial-etnisitas akan memengaruhi karakteristik kebudaayaan masyarakat nelayan. Dalam perspektif antropologis, eksistensi kebudayaan nelayan tersebut adalah sempurna dan fungsional bagi kehidupan masyarakatnya.

1.4 Karakteristik sosial masyarakat pesisir Dalam perspektif startifikasi sosial ekonomi, masyarakat

pesisir bukanlah masyarakat yang homogeny. Masyarakat pesisir terbentuk oleh kelompok – kelompok sosial yang beragam. Dilihat dari aspek interaksi masyarakat dengan sumberdaya ekonomi yang tersedia di kawasan pesisir, masyarakat pesisir terkelompok sebagai berikut: (1) pemanfaatan langsung sumberdaya lingkungan, seperti nelayan (yang pokok), pembudi daya ikan di perairan pantai (dengan aring apung atau karamba), pembudi daya rumput laut / mutiara, dan petambak; (2) pengolah hasil ikan atau hasil laut lainnya, seperti pemindang, pengering ikan, pengasap, pengusaha terasi / kerupuk ikan / tepung ikan, dan sebagainya; dan (3) penunjang kegiatan ekonomi perikanan,

seperti pemilik toko atau warung, pemilik bengkel (montir dan las), pengusaha angkutan, tukang perahu, dan buruh kasar.

Tingkat keragaman (heteroginitas) kelompok – kelompok sosial yang ada dipengaruhi oleh tingkat perkembangan desa – desa pesisir. Desa – desa pesisir atau desa – desa nelayan yang sudah berkembang lebih maju dan memungkinkan terjadinya diversifikasi kegiatan ekonomi, tingkat keragaman kelompok – kelompok sosialnya lebih kompleks daripada desa – desa pesisir yang belum berkembang atau yang terisolasi secara geografis. Di desa – desa yang sudah berkembang biasanya dinamika sosial ekonomi lokal berlangsung secara intensif.

Di desa – desa pesisir yang memiliki potensi perikanan tangkap (laut) cukup besar dan memberi peluang mata pencaharian bagi separo atau sebagian besar penduduknya melakukan kegiatan penangkapan, masyarakat atau kelompok sosial nelayan merupakan pilar sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pesisir. Karena masyarakat nelayan berposisi sebagai produsen perikanan tangkap, maka kontribusi kerja di sektor perikanan tangkap ini tidak hanya memberi manfaat secara sosial ekonomi kepada masyarakat lokal, tetapi juga kepada masyarakat desa – desa lain di daerah hulu yang berbatasan dengan desa nelayan tersebut.

Karena masyarakat nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum. Karakteristik yang menjadi ciri – ciri sosial budaya masyarakat nelayan adalah sebagai berikut: memiliki struktur relasi patron – klien sangat kuat, etos kerja tinggi, memanfaatkan kemampuan diri dan adaptasi optimal, kompetitif dan berorientasi prestasi, apresiatif terhadap keahlian, kekayaan, dan kesuksesan hidup, terbuka dan ekspresif, solidaritas sosial tinggi, sistem pembagian kerja berbasis seks (laut menjadi ranah laki – laki dan darat adalah ranah kaum perempuan), dan berperilaku konsumtif

Patron – klien merupakan basis relasi sosial masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir. Relasi sosial patron – klien sangat dominan dan terbentuk karrena karakteristik kondisi mata pencaharian, sistem ekonomi, dan lingkungan. Hubungan – hubungan demikian terpola dalam kegiatan

organisasi produksi, aktivitas pemasaran, dan kepemimpinan sosial. Pola – pola hubungan patron – klien harus diperlakukan sebagai modal sosial atau potensi pemberdayaan masyarakat

1.5 Permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat pesisir Secara umum, persoalan yang dihadapi masyarakat nelayan

berkisar pada hal – hal yang berhubungan dengan isu – isu: (1) kemiskinan dan kesenjangan sosial, (2) keterbatasan akses modal, teknologi, pasar, (3) kualitas SDM rendah, (4) degradasi sumberdaya lingkungan, dan (5) kebijakan pembangunan yang belum memihak secara optimal pada masyarakat nelayan. Masalah – masalah tersebut telah menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap kehidupan masyarakat nelayan.

Kemiskinan sebagai indikator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan oleh tiga hal pokok, yaitu kemiskinan struktural, superstruktural, dan kultural (Nikijuluw, 2003).

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal individu. Smith (1979) dan Anderson (1979) berkesimpulan bahwa kekakuan asset perikanan adalah alasan utama kenapa nelayan tetap bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan asset adalah karena sifat asset perikanan yang sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya, pada saat produktivitas asset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalihfungsikan atau melikuidasi asset tersebut. Oleh sebab itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.

Kemiskinan superstruktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel kebijakan makro yang tidak atau kurang berpihak pada pembangunan masyarakat nelayan. adanya keterbatasan untuk mengakses ke lembaga permodalan, baik bank maupun lembaga non – bank. Keterbatasan akses tidak semata karena faktor geografis mengingat wilayah pesisir relatif jauh dari perkotaan, tetapi juga karena kebijakan perbankan yang melihat kegiatan perikanan sebagai kegiatan yang penuh ketidakpastian dan resiko. Selain pertimbangan resiko dan sifat usaha yang musiman, sebagai besar

pelaku ekonomi pada sektor ini juga tergolong dalam pengusaha dengan skala usaha ekonomi rendah dan tidak memiliki asset dalam jumlah berarti.

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu yang menyebabkan individu yang bersangkutan sulit keluar dari kemiskinan karena faktor tersebut tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan (Nikijiluw, 2003). Panayantou (1982) menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang diperoleh dari hasil menangkap ikan jika dibandingkan kegiatan yang hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan. Jalan hidup seperti ini sulit untuk mengeluarkan nelayan dari kemiskinan karena nelayan merasa sudah bahagia dengan kehidupan itu.

Selain kemiskinan, masalah kerusakan ekosistem pesisir – laut telah berdampak serius terhadap menipisnya sumberdaya perikanan. Di beberapa wilayah perairan yang sudah dalam kondisi tangkap lebih, kelangkaan sumberdaya perikanan terus meningkat. Selain itu, kompetisi memperebutkan sumberdaya perikanan terus meningkat dari waktu ke waku dan hal ini menimbukan konflik sosial terbuka antar kelonpok nelayan di berbagai daerah. Terakhir, mengenai dampak negative pemanasan global dan perubahan iklim terhadap kegiatan penangkapan. Terjadinya angina kencang dan gelombang besar, apalagi jika disertai dengan hujan deras, yang tidak diprediksi awal dan berakhirnya dari gejala alam ini, telah menghambat intensitas penangkapan atau menghentikan kegiatan melaut. Ketiga masalah diatas berkontribusi terhadap kesulitan – kesulitan nelayan memperoleh hasil tangkapan, sehingga menimbulkan pengurangan pendapatan dan penurunan kualitas kesejahteraan sosial rumah tangga nelayan.

o Jika nelayan - nelayan semakin kesulitan memperoleh penghasilan, pihak yang paling berat menanggung beban hidup dalam rumah tangga nelayan adalah istri – istri nelayan atau kaum perempuan pesisir (Kusnadi, 2003 : 75-82). Karena pendapatan suami mereka berkurang atau tidak ada sama sekali, perempuan pesisir dituntut untuk memenuhi sepenuhnya kebutuhan ekonomi rumah tangga. Dalam situasi demikian, perempuan pesisir berperan sebagai tulang punggung ekonomi rumah tangga. Ia harus berusaha keras

mencari dan atau mengembangkan sumber – sumber pendapatan di luar sektor penangkapan atau di luar industri pengolahan dan pengawetan hasil tangkap. Industri demikian akan berhenti beroperasi jika hasil tangkapan nelayan menurun drastic. Meskipun tidak mudah dilakukan, diversifikasi usaha dan pendapatan bagi rumah tangga nelayan sangat membantu memulihkan kondisi sumberdaya perikanan dan mengurangi ketergantungan nelayan pada pendapatan dari kegiatan melaut

Namun, terdapat suatu hal yang mendasar, yang saat ini sering dilupakan, yaitu persoalan mengenai belum diakuinya hak – hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Di era orde baru, terjadi sentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Praktis hak ulayat melemah seiring dengan lahirnya UU Pemerintah Desa 1979 yang menyeragamkan struktur desa. padahal sebelum itu, desa – desa di Indonesia sangatlah beragam strukturnya dan mengakomodasi kepentingan adat. Juga UU Perikanan 1985 tidak menyebutkan soal eksistensi Hak Perikanan Tradisional (HPT). Bagi nelayan, HPT merupakan hak dasar, dan mestinya dalam pembangunan perikanan bisa dimasukkan sebagai syarat perlu. Jadi, pengakuan HPT merupakan salah satu dimensi pembe rdayaan nelayan, yang selama ini sering dikonotasikan hanya dengan bantuan modal usaha. Dimensi baru pemberdayaan ini perlu memperoleh kekuatan hokum

1.6 Solusi untuk permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat pesisir Selama ini dikenal lima pendekatan yang dapat dilakukan untuk

memberdayakan masyarakat pesisir (Nikijuluw, 2003), yaitu:1. Penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber

pendapatan lain bagi keluarga. Banyaknya nelayan yang terkonsentrasi pada suatu daerah tangkapan (yang sebenarnya daerah tersebut tidak memiliki sumberdaya ikan yang cukup banyak) dan kurangnya kesadaran nelayan untuk tidak menangkap ikan dengan metode yang tidak lingkungan merupakan penyebab utama hasil tangkapan nelayan tidak bisa dijadikan andalan bagi peningkatan kesejahteraan.

2. Mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri masuk ekonomi

3. Mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna masuk ekonomi

4. Mendekatkan masyarakat dengan pasar masuk ekonomi5. Membangun solidaritas serta aksi kolektif ditengah

masyarakat. Aksi kolektif dapat dilakukan melalui pengembangan koperasi atau kelompok usaha bersama. Aksi kolektif merupakan suatu aksi bersama yang bermuara pada kesejahteraan setiap anggota. Upaya pengembangan aksi kolektif yang dilakukan selama ini adalah melalui pengembangan kelompok yang berbasis agama, seperti koperasi pondok pesantren. Aksi bersama juga dikembangkan oleh kelompok yang beraliansi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tertentu, yang memang memiliki staf dan dana untuk pembangunan masyarakat pesisir. Pengembangan aksi kolektif masih sangat premature dan memerlukan kajian untuk mencari bentuk yang tepat untuk masyarakat pesisir. Beberapa aksi kolektif yang pernah berkembang namun tidak murni gagasan masyarakat, seperti perikanan inti rakyat serta kemitraan usaha antara masyarakat dan pengusaha besar, hanya membawa ketidakpuasaan kepada masyarakat dan berhenti di tengah jalan. Hal ini terjadi karena aksi semikolektif tersebut terlalu berpihak kepada kepentingan pengusaha (Nikijuluw, 2003)Kelompok perempuan juga perlu mendapat perhatian.

Dalam kaitannya dengan dengan penciptaan mata pencaharian alternatif bagi rumah tangga nelayan, khususnya perempuan pesisir, ada tiga hal yang perlu diperhatikan . (Kus, 107 – 109)

1. Jenis – jenis mata pencaharian alternatif yang akan dikelola perempuan pesisir sangat bergantung pada struktur dan potensi sumberdaya ekonomi lokal, baik yang tersedia di kawasan pesisir, maupun dengan mendayagunakan potensi sumberdaya laut.

2. Penentuan atas jenis usaha sebagai mata pencaharian alternatif akan berpengaruh terhadap pilihan teknologi dan peralatan yang dibutuhkan untuk mendukung usaha tersebut

3. Jaringan pemasaran yang luas dan jauh untuk menjamin keberlanjutan usaha dari mata pencaharian alternatif

1.7 Studi kasusAnalisis kondisi sosial bagi pengembangan wilayah pesisir adalah mengambil kasus Pengembangan Ekowisata Pesisir dan Laut Kepulauan Tanake (Tuwo et al, 2009). 288 - 302

a. Sikap penerimaan

b. Kesehatan masyarakat

c. Budaya

d. Pendidikan

e. Keamanan

f. Lapangan kerja

Lesson LearnedSebagai sebuah entitas sosial, masyarakat nelayan memiliki sistem

sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda dengan masyarakat lain. Upaya memahami masyarakat nelayan dapat dilakukan dengan cara memetakan secara komprehensif sistem sosial, ekonomi, dan budaya mereka. Pemahaman terhadap unsur – unsur kehidupan masyarakat nelayan ini sangat berguna untuk modal pengetahuan pemberdaya masyarakat, sehingga memberikan kontribusi dalam menetapkan langkah – langkah pemberdayaan yang efektif

Sering terjadi kegagalan pelaksanaan program – program pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat, karena penguasaan dan pemahaman masalah sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat diabaikan oleh para pelaksana pemberdayaan. Mereka lebih menekankan aspek teknis pemberdayaan masyarakat. Akibatnya, mereka tidak bisa menempatkan program pemberdayaan tersebut dalam kerangka sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang menjadi subjek pemberdayaan. Program tersebut menjadi tidak membumi dalam kehidupan masyarakat. Kegagalan demikian berarti juga penyia – nyiaan terhadap kesempatan dan sumberdaya program pemberdayaan, sehingga tujuan program pemberdayaan tidak dapat dicapai dengan baik. Hal – hal demikian harus dihindari

Oleh karena itu, para pelaku pemberdayaan masyarakat nelayan harus intensif mengasah kepekaan sosialnya dalam memahami masalah

dan merancang penyelesaiannya melalui program – program kerja yang bersifat komprehensif, visioner, dan tuntas. Rencana kegiatan sebagai jabaran untuk mencapai tujuan program hendaknya dirumuskan secara tepat dan kontekstual. Pencapaian tujuan pemberdayaan tidak dapat dilakukan dengan cara pandang dan tindakan yang asal jalan, sehingga sangat dibutuhkan keseriusan dan tahapan – tahapan pelaksanaan bertarget yang bisa diukur tingkat keberhasilannya

Daftar pustaka

Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, M. (2004). Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu. In M. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (p. 12). Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Kusnadi. (2009). Masyarakat Nelayan : Karakteristik, Identifikasi Masalah, dan Pemecahannya. In Kusnadi, Keberadaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir (pp. 37-45, 107-109). Yogyakarta: Ar-RuzzMedia.

Prof. Dr. Ir. H. Ambo Tuwo, D. (2011). Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut; Kondisi Sosial-Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir; Kelayakan Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. In D. Prof. Dr. Ir. H. Ambo Tuwo, Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut (pp. 17-26, 131-143, 287-309.). Sidoarjo: Brilian Internasional.

Satria, A. (2009). Desa Pesisir sebagai National Security Belt. In A. Satria, Pesisir dan Laut untuk Rakyat (pp. 32-35). Bogor: IPB Press.

(Kusnadi, 2009)

(Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, 2004)

(Satria, 2009)

top related