i bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah - unairrepository.unair.ac.id/104790/4/4. bab i...
Post on 25-Jul-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-1
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
I BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dilihat dari letak geografisnya, Indonesia merupakan negara dengan posisi
berada di antara Benua Australia dan Benua Asia, selain itu juga berada di antara
dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dengan posisi seperti
itu, wilayah Indonesia tepat berada pada posisi silang, yang mempunyai arti penting
dalam hubungannya dengan iklim. Indonesia menjadi titik bertemunya dua
rangkaian jalur pegunungan muda dunia, yaitu antara Sirkum Pasifik (pegunungan
lipatan yang mengelilingi Samudera Pasifik) dan Sirkum Mediteran (pegunungan
lipatan yang dimulai dari pegunungan Atlas di Afrika Utara hingga Nikobar dan
masuk Indonesia) (Warto, Agus T, Sunit. dan Nugroho P, 2002)1, maka dari itu
Indonesia memiliki banyak keuntungan berupa anugerah pesona keindahan alam.
Mulai dari pegunungan yang berjajar di sisi barat hingga selatan pulau – pulau
Indonesia, berupa lembah, tebing terjal, ngarai, kepulauan dan sebagainya.
Disamping itu, Indonesia memiliki bahan mineral tambang yang melimpah akibat
dari posisi geologis nya.
Gambar 1.1 Peta sebaran jalur gunungapi Asia-Pasifik (ring of fire)
Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2018
1 Warto, Agus T, Sunit. & Nugroho P, P. (2002). Pengkajian Manajemen Penanggulangan Korban
Bencana pada Masyarakat di Daerah Rawan Bencana Alam dalam Era Otonomi Daerah.
Yogyakarta: Departemen Sosial RI.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-2
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Anugerah yang dimiliki tentu tidak terlepas dari resiko yang akan diterima,
karena jika ditinjau dari segi geologi, sebagian wilayah Indonesia merupakan
daerah yang rawan terhadap bencana alam. Selain bencana alam, dalam Undang –
Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana juga disebutkan
bahwasannya Indonesia juga memiliki potensi terjadi nya bencana non alam dan
bencana sosial.2
Bencana alam menurut pengertian yang dijabarkan dalam Undang – Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, merupakan bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam
antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, dan tanah longsor. Sementara bencana non alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Selain
bencana alam dan bencana non alam, potensi bencana sosial juga terus mengintai
Indonesia. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan terror (UU, 2007). Bencana
sosial selain dapat terjadi dalam bentuk konflik sosial juga dapat terjadi dalam
bentuk pencemaran lingkungan (polusi udara dan limbah industri).
Gambar 1.2. Peta kejadian bencana tahun 2015
Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2015
2 Undang - Undang no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-3
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Bencana secara keseluruhan diungkapkan oleh International Strategy for
Disaster Reduction yang berarti bencana sebagai suatu gangguan serius terhadap
keberfungsian suatu masyarakat yang menyebabkan kerugian luas dan berdampak
pada materi, ekonomi atau lingkungan (ISDR, 2004).3 Peristiwa terjadinya bencana
akan berpengaruh besar terhadap pembangunan dan perekonomian negara.
Sedangkan bencana menurut UU 24/2007 adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.4 Sedangkan menurut
ISDR tahun 2004 (International Strategy for Disaster Reduction) lembaga
dibawah PBB arti bencana adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian
suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan
manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui
kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan
sumberdaya mereka sendiri.
Gambar 1.3. Grafik Kejadian Bencana Selama 10 tahun terakhir
Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2019
3 ISDR. (2004). International Strategy for Disaster Reduction. 4 Undang - Undang no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-4
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Hingga saat ini, resiko terjadinya bencana terus meningkat di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia yang mengalami peningkatan kejadian
bencana secara terus menerus hingga tahun 2019 mencapai 3.622 bencana (BNPB,
2019).5 Hal tersebut mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan negara. Baik fisik yang ditandai dengan rusaknya infrastruktur dan
aset negara, maupun sosial, terutama aspek emosional dan kerugian ekonomi.
Bencana menjadi semakin meluas di mana-mana sehingga perlu tindakan yang
dilakukan secara komprehensif untuk mengurangi risiko bencana dan risiko
perubahan iklim dengan melaksanakan manajemen bencana dan rencana aksi
pengurangan risiko bencana.
Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar
apabila terjadi bencana, masyarakat yang menjadi korban berhak mendapat
pelayanan dan perlindungan berdasarkan standar pelayanan mulai dari pencarian,
penyelamatan, evakuasi, pertolongan darurat, adanya pemenuhan kebutuhan dasar.
Maka dari itu perlu kegiatan pengkajian atau penilaian cepat terhadap korban
meninggal dunia, luka-luka, pengungsi, kerusakan perumahan/kantor/sarana
ibadah/sarana pendidikan, sarana dan prasarana vital lainnya.
Bencana yang terjadi akan memiliki dampak yang lebih besar jika terjadi di
kota besar, hal ini karena kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan juga adanya
dampak kerugian dibidang perekonomian dengan efek yang besar. Menurut
Rogelio, F. & Sanahuj (2012:10) menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk dan
aktivitasnya sudah diakui secara luas sebagai penggerak dari meningkatnya
kerentanan terhadap bencana. Oleh karena itu, hal ini menjadi elemen penting
dalam perlakuan dan analisis risiko bencana.6 Selain itu, Gencer (2013:7) yang
menyatakan potensi terbesar bencana ada di kota-kota terpadat sebab konsentrasi
penduduk terdapat di wilayah-wilayah tersebut. Di wilayah perkotaan lebih sering
terpapar bencana alam, khususnya banjir (Gencer, 2013:8).7 Hal ini tidak lepas dari
5 Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2019). Grafik Kejadian Bencana Selama 10 tahun
terakhir. 6 Rogelio, F. & Sanahuj, H. (2012). Linkages between population dynamics, urbanization processes
and disaster risks: A regional vision of Latin America. Diakses dari
https://www.unisdr.org/files/31104_ linkagesbetween populationdynamicsur.pdf 7 Gencer, E. A. (2013). The interplay between urban development, vulnerability, and risk
management: A case study of the Istanbul metropolitan area. New York: Springer-Verlag Berlin
Heidelberg
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-5
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
lokasi kota-kota besar yang umumnya berada di tepi pantai atau terhubung langsung
dengan sungai.
Gambar 1.4. Peta tematik 2020
Sumber : Data dan Informasi Bencana Indonesia
Dalam peta tersebut tergambarkan hingga saat ini pulau jawa masih
memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, ketika terjadi bencana maka
akan menimbulkan dampak yang bedar pula. Sebagai representasi kota besar di
Indonesia, Kota Surabaya dan Kota Semarang dipilih karena merupakan dua kota
yang memiliki karakteristik yang hampir sama.
Sesuai dengan data yang diperoleh dari Kota Surabaya dalam Angka
(Surabaya Municipality in figures 2020) dapat diketahui bahwasannya Kota
Surabaya memiliki luas 326.81 hektar, dengan jumlah penduduk pada tahun 2020
yakni 2.896.195, dengan sebagian besar letak geografisnya berasal dari daerah tepi
pantai dan didominasi kegiatan ekonomi dengan perdagangan dan industry.8
Sedangkan data dari Kota Semarang dalam Angka (Semarang Municipality in
figures 2020) menyebutkan bahwasannya Kota Semarang memiliki luas 373.70
hektar, dengan jumlah penduduk pada tahun 2020 yakni 1.814.110, dengan
sebagian besar letak geografisnya berasal dari daerah tepi pantai dan didominasi
kegiatan ekonomi dengan perdagangan dan industry.9 Sehingga dari pemaparan
penjelasan Kota Surabaya dan Kota Semarang. Maka didapatkan komparasi kondisi
kedua kota, sebagai berikut :
8 Badan Pusat Statistik Kota Surabaya. (2020). Kota Surabaya Dalam Angka Semarang
Municipality in Figures. Surabaya. 9 Badan Pusat Statistik Kota Semarang. (2020). Kota Semarang Dalam Angka Semarang
Municipality in Figures. Semarang.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-6
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Tabel 1.1 Komparasi Kondisi Kota Surabaya dan Kota Semarang
No. Aspek/Karakterisitik Surabaya Semarang
1. Luas wilayah (ha) 326.81 373.70
2. Jumlah Penduduk (2020) 2.896.195 1.814.110
3. Kepadatan penduduk per km2 8.707 4.854
4. Letak Geografis Pantai Pantai
5. Karakter Awal Kota Modern Kota Modern
6. Dominasi Kegiatan Ekonomi Perdagangan,
industri
Perdagangan,
industri
7. Status Administratif Kota Kota
Sumber data : Badan Pusat Statistik Kota Surabaya, 2020 dan Badan Pusat
Statistik Kota Semarang, 2020
Dari komparasi kondisi Kota Surabaya dan Kota Semarang diatas, dapat
diketahui bahwasannya Kota Surabaya dan Kota Semarang memiliki luas wilayah
yang hampir sama, namun mengenai jumlah penduduk dan kepadatan penduduk
sedikit berbeda mengingat Kota Surabaya merupakan kota metropolitan kedua
setlah ibu kota Jakarta. Kota Surabaya dan Kota Semarang memiliki letak geografis,
karakter awal kota, dominasi kegiatan ekonomi, dan status administratif yang sama.
Selain itu terkait kondisi kota, kedua kota juga memiliki kesamaan dalam
hal bencana yang sering terjadi, dampak, dan tantangan yang dihadapi.
Tabel 1.2 Komparasi Bencana Kota Surabaya dan Kota Semarang
No. Aspek Surabaya Semarang
1. Jenis Bencana
Bencana alam, bencana
non alam, dan bencana
sosial
Bencana alam, bencana
non alam, dan bencana
sosial
2.
Bencana yang
Paling Sering
Terjadi
Banjir dan genangan air
banjir, tanah longsor,
kekeringan, abrasi,
kebakaran lahan
3. Dampak
Korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan
dampak psikologis
Infrastruktur, harta benda,
korban jiwa maupun
kerugian dan kerusakan
asset masyarakat yang lain
4. Daerah Rawan
Bencana Masih cukup tinggi Masih cukup tinggi
5. Tantangan
Mengubah paradigma
penanggulangan bencana
dari responsif ke preventif
yaitu manajemen risiko
bencana
Belum optimalnya
Hardware dan software
teknologi kebencanaan
Sumber data : Renstra BPB Linmas Kota Surabaya 2016-2021 dan Renstra
BPBD Kota Semarang 2016-2021
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-7
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Data komparasi bencana Kota Surabaya dan Kota Semarang diatas
menunjukkan bahwa kedua kota memiliki kesamaan akan jenis bencana, yakni
bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Namun memiliki sedikit
perbedaan dalam hal bencana yang sering terjadi sesuai dengan yang ada pada
Renstra BPB Linmas Kota Surabaya 2016-2021, Kota Surabaya bencana yang
sering terjadi banjir dan genangan air dengan daerah rawan bencana yang cukup
tinggi dan tantangan yang dimiliki yakni mengubah paradigma penanggulangan
bencana dari responsif ke preventif yaitu manajemen risiko bencana.10 Sedangkan
Kota Semarang menurut Renstra BPBD Kota Semarang 2016-2021, terdapat
beberapa bencana yang sering terjadi yakni banjir, tanah longsor, kekeringan,
abrasi, kebakaran lahan dengan sebuah tantangan Belum optimalnya Hardware dan
software teknologi kebencanaan.11
Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian komparasi terkait
penanganan darurat bencana di kedua kota tersebut khususnya terkait kinerja Tim
Reaksi Cepat kedua kota, dengan karakteristik kota yang hampir sama namun
pelaksanaan Tim Reaksi Cepat berbeda. Hal ini diwujudkan oleh Kota Surabaya
dan Kota Semarang dalam beberapa kebijakan dan strategi yang digunakan. Hal ini
sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No 9
Tahun 2008 tentang Prosedur Tetap Tim Reaksi Cepat Badan Nasional
Penanggulangan Bencana yang terkait perlunya untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 22.12 Serta Pasal 51 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Tabel 1.3 Komparasi Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota Semarang
No. Aspek/
Karakterisitik
Surabaya Semarang
1. Dinaungi BPBLinmas BPBD Kota Semarang
2. Jumlah Instansi
yang Terlibat 8 7
3. Landasan
Kebijakan
Keputusan Walikota
Nomor:
188.45/104/436.1.2/2014
Peraturan Daerah Nomor
12 Tahun 2010 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja
10 Renstra BPB Linmas Kota Surabaya 2016-2021 11 Renstra BPBD Kota Semarang 2016-2021 12 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No 9 Tahun 2008 tentang Prosedur
Tetap Tim Reaksi Cepat Badan Nasional Penanggulangan Bencana
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-8
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
yang terdiri dari beberapa
perangkat daerah yang
bertugas untuk
memberikan perlindungan
serta rasa aman yang layak
dan bermartabat kepada
masyarakat
Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kota
Semarang
4. Tugas dan
fungsi
Merespon dengan segera
ketika terjadi bencana
Merespon dengan segera
ketika terjadi bencana
5.
Penanganan
Tanggap
Darurat
Bencana
Memiliki sistem integrasi
yang baik, kerjasama
dengan command center
Belum optimalnya Tim
Reaksi Cepat dalam
penanggulangan bencana
Sumber data : Keputusan Walikota Surabaya, Perda Kota Semarang, Renstra
BPBD Kota Semarang 2016 – 2021, Edwin (2019)
Hal tersebut diterapkan oleh Pemerintah Kota Surabaya dengan membentuk
Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) dan Satuan Tugas Satuan
Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satgas Satlak PB) Kota Surabaya sesuai
dengan Keputusan Walikota Nomor: 188.45/104/436.1.2/2014 yang terdiri dari
beberapa perangkat daerah yang bertugas untuk memberikan perlindungan serta
rasa aman yang layak dan bermartabat kepada masyarakat (RPJMD Kota Surabaya
2016-2021, 2016:12).13
Sementara pelaksanaan penyelenggaraan bencana di Kota Semarang sendiri
diatur dengan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Organisasi Dan Tata
Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Semarang. Yang mana
mempunyai tugas melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang
meliputi, penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Tugas BPBD
tersebut diselenggarakan berdasarkan pada fungsinya sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 5 Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 12 Tahun 2010 yaitu,
perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi dengan bertindak cepat, tepat dan efektif, serta efisien.14
13 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Surabaya, Pub. L. No. 2016–2021, 12
(2016). Kota Surabaya. 14 Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Semarang
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-9
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Kedua kota memanfaatkan kerja dari Tim Reaksi Cepat dalam manajemen
penaggulangan bencana, baik bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.
Hal tersebut menarik untuk diteliti sesuai dengan keilmuwan yang dimiliki adalah
bagaimana peran Tim Reaksi Cepat dalam penanganan darurat bencana di kedua
kota. Karena dalam penanganan darurat bencana dibutuhkan tools dalam proses
penyelenggaraan penanganan bencana. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti ingin
menganalisis bagaimana penanganan darurat bencana di Kota Surabaya dan Kota
Semarang yang dilakukan oleh Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dengan Kota
Semarang.
Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 9 Tahun 2008 tentang Prosedur Tetap Tim Reaksi Cepat Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, Tim Reaksi Cepat BNPB merupakan suatu tim yang
dibentuk oleh Kepala BNPB, yang terdiri dari instansi/lembaga teknis/non teknis
terkait yang memiliki tugas untuk melaksanakan kegiatan reaksi cepat bencana dan
dampak bencana pada saat tanggap darurat meliputi penilaian kebutuhan (Needs
Assessment), penilaian kerusakan dan kerugian (Damage and Loses
Assessment) serta memberikan dukungan pendampingan (membantu
SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/ SATLAK PB/BPBD Kabupaten/Kota) dalam
penanganan darurat bencana.15
Pada Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana tentang
Prosedur Tetap Tim Reaksi Cepat Badan Nasional Penanggulangan Bencana
disebutkan bahwa, proses tanggap darurat bencana terdapat permasalahan antara
lain waktu yang sangat singkat, kebutuhan yang mendesak dan berbagai kesulitan
koordinasi antara lain yang disebabkan karena banyaknya institusi yang terlibat
dalam penanganan darurat bencana, kompetisi dalam pengerahan sumber daya,
otonomi yang berlebihan dan ketidakpercayaan kepada instansi pemerintah. Hal ini
perlu dilakukan koordinasi yang lebih intensif dalam rangka memperlancar
penyelenggaraan penanganan darurat bencana yang dilakukan oleh Tim Reaksi
Cepat.
15 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No 9 Tahun 2008 tentang Prosedur
Tetap Tim Reaksi Cepat Badan Nasional Penanggulangan Bencana
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-10
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Dalam pelaksanaannnya Tim Reaksi Cepat bekerja berdasarkan penilaian
kebutuhan (Needs Assessment), penilaian kerusakan dan kerugian (Damage and
Loses Assessment) serta memberikan dukungan pendampingan (membantu
SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/ SATLAK PB/BPBD Kabupaten/Kota).
Penilaian kebutuhan (Needs Assessment) adalah serangkaian kegiatan untuk
menentukan jumlah dan jenis bantuan yang diperlukan dalam upaya penyelamatan
korban bencana meliputi SAR, bantuan medis, penyediaan pangan, penyiapan
penampungan sementara, penyediaan air bersih dan sanitasi. Sementara Penilaian
kerusakan dan kerugian (Damage and Loses Assessment) adalah serangkaian
kegiatan untuk pengumpulan data primer dan sekunder tentang jenis, waktu, lokasi
dan penyebab bencana serta kondisi mutakhir (korban, kerusakan dan kerugian
serta dampak bencana). Terakhir yakni Mengaktivasi Posko adalah serangkaian
kegiatan untuk meningkatkan kemampuan personil, sarana dan prasarana Pusdalops
menjadi posko dalam rangka efektifitas penanganan darurat bencana.
Hal yang paling penting yakni terkait tugas Tim Reaksi Cepat yaitu
melaksanakan pengkajian secara cepat dan tepat di lokasi bencana dalam waktu
tertentu. Dalam rangka mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban,
kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum dan
pemerintahan serta kemampuan sumber daya alam maupun buatan. Serta
memberikan saran yang tepat dalam upaya penanganan bencana dengan tugas
tambahan membantu SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/ SATLAK PB/BPBD
Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan sektor yang terkait dalam penanganan
darurat bencana.
Tim Reaksi Cepat di Kota Surabaya berada dibawah naungan BPBLinmas.
Hal tersebut karena pemerintah Kota Surabaya tidak memiliki lembaga
penanggulangan bencana daerah (BPBD) yang berdiri sendiri, akan tetapi menjadi
salah-satu bagian dari Linmas. Berdasarkan studi pra lapangan, memiliki aplikasi
smartphone yang digunakan sebagai penunjang kinerja untuk memberikan layanan
yang tepat, cepat, dan efektif. Layanan tersebut juga terhubung kepada command
center, sehingga masyarakat dapat melakukan laporan dengan cepat. Tim Reaksi
Cepat Kota Surabaya melibatkan 8 instansi lain dalam melaksanakan penanganan
tanggap darurat bencana. Penanganan tanggap darurat bencana di Kota Surabaya
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-11
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
dilaksanakan oleh Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) yang
terdiri dari bidang - bidang yang menangani urusan yang telah ditetapkan dalam
Keputusan Walikota Surabaya tentang Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana
(Satlak PB), yaitu :
1. Bidang Bantuan Sosial dikoordinasikan oleh Kepala Dinas Sosial Kota
Surabaya;
2. Bidang Kesehatan dikoordinasikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota
Surabaya;
3. Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi dikoordinasikan oleh Kepala Dinas
Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan Kota Surabaya;
4. Bidang Komunikasi dan Informatika dikoordinasikan oleh Kepala Dinas
Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya;
5. Bidang Transportasi dikoordinasikan oleh Kepala Dinas Perhubungan Kota
Surabaya;
6. Bidang Penampungan dan Dapur Umum dikoordinasikan oleh Kepala Dinas
Sosial Kota Surabaya;
7. Bidang Keamanan dikoordinasikan oleh Kepala Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Surabaya;
8. Bidang Operasional dikoordinasikan oleh Kepala Badan Kesatuan Bangsa,
Politik dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya.
Sedangkan, Tim Reaksi Cepat di Kota Semarang dinaungi oleh BPBD Kota
Semarang, dalam penangan tanggap darurat bencana saat ini belum optimalnya
satgas/ Tim Reaksi Cepat penanggulangan bencana, dibuktikan dengan data yang
tercantum dalam Renstra BPBD Kota Semarang 2016 – 2021.16 Di dalam Renstra
BPBD Kota Semarang 2016 – 2021 juga dijelaskan bahwa berdasarkan standar UU
No. 24 Tahun 2007 dan PP No. 21 Tahun 2008 belum memenuhi standar. Selain itu
masalah internal yang terjadi juga karena BPBD yang ada tidak mencukupi untuk
secara cepat menangani tanggap darurat bencana, sehingga dibutuhkannya
penanganan tanggap darurat secara cepat dan akurat. Tim Reaksi Cepat yang berada
di Semarang memiliki program terkait penanggulangan dan evakuasi korban
bencana dibawah naungan kepala seksi kedaruratan sebagai bentuk pelaksanaan
16 Renstra BPBD Kota Semarang 2016 – 2021
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-12
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
program penanganan bencana. Di Kota Semarang yang memegang kenadali Tim
Reaksi Cepat adalah Ketua BPBD dengan ketua pelaksana Kepala Bidang
Kedaruratan dan Logistik pada BPBD Kota Semarang. Selanjutnya bekerja sama
dengan 7 instansi lain, yakni :
1. Kepala Bidang Perlindungan Masyarakat Kesatuan Bangsa, Politik, dan
Perlindungan Masyarakat;
2. Kepala Bidang Keselamatan dan Sarana Prasarana pada Dinas
Perhubungan, Komunikasi, Dan Informatika;
3. Kepala Bidang Opsidal dan Dinas Kebakaran;
4. Kepala Bidang Peralatan dan Pompa Pengelolaan Sumberdaya Air dan
Energi Sumberdaya Mineral;
5. Kepala Bidang Peralatan dan Pembekalan pada Dinas Bina Marga;
6. Kepala Bidang Penerangan Jalan Umum pada Dinas Perangan Jalan dan
Pengelolaan Reklame;
7. Unsur BASARNAS.
Dari adanya struktur Tim Reaksi Cepat antara Kota Surabaya dan Kota
Semarang mengalami perbedaan, hal ini juga terjadi dipelbagai aspek lain. Dari
uraian urgensitas permasalahan yang telah dipaparkan, permasalahan tersebut
menjadi penting untuk diteliti agar dapat diketahui bahwasannya sebagai
representasi kota besar dengan karakteristik yang hampir sama, penanganan darurat
bencana yang dilakukan Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya memiliki perbandingan
dengan penanganan darurat bencana yang dilakukan Tim Reaksi Cepat Kota
Semarang.
Sebagai landasan penentuan state of the art, berikut pemaparan penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, sebagai berikut :
Tabel 1.4 Pemaparan Penelitian Terdahulu yang Relevan
No. Judul dan Author Metodelogi Tujuan Penelitian Hasil/Kesimpulan
1. Pengembangan
Sistem Komunikasi
Seluler Darat Serta
Aplikasi Kaji Cepat
untuk Mendukung
Pelaksanaan Tugas
Tim Reaksi Cepat
Pada Situasi Bencana
Metode yang
digunakan
adalah studi
literatur dalam
melihat
praktik
manajemen
bencana yang
diterapkan
Tujuan dari jurnal ini
yakni untuk
mengidentifikasi proses
pelaksanaan kinerja
Tim Reaksi Cepat
dengan menggunakan
aplikasi kaji cepat yang
meurpakan inovasi dari
penulis.
Jurnal ini menjelaskan
bahwasannya Tim Reaksi
Cepat merupakan ujung
tombak dari terlaksananya fase
tanggap darurat bencana. Hasil
kerja Tim Reaksi Cepat
menjadi acuan untuk
melakukan tanggap darurat
dan pemulihan darurat
prasarana dan sarana vital.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-13
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Tutun Juhana, Jason
Widagdo, Ririn Nur
Widyani
Jurnal
Penanggulangan
Bencana Volume 3
Nomor 2, Tahun
2012, hal 1-13, 1
tabel.
ISSN 2087636X
oleh Tim
Reaksi Cepat
Fokus jurnal ini yakni
memberikan gambaran terkait
proses kinera Tim Reaksi
Cepat dan juga membahas
terkait perancangan aplikasi
kaji cepat yang dapat
digunakan oleh Tim Reaksi
Cepat dalam mendata korban
bencana dan mendata
kerusakan bangunan serta
kerugian lain, sehingga Tim
Reaksi Cepat dapat bekerja
dengan cepat dan terbantu
dengan mudah.
2. Employment-focused
disaster risk
management and
reconstruction in Asia
and the Pacific: A
comparative analysis
of recent disasters in
India, Japan, Nepal,
and the Philippines
ILO Regional Office
for Asia and the
Pacific, 2016
(Bangkok, ILO,
2016).
ISBN:
9789221307822;
9789221307839 (web
pdf)
Metodelogi
dalam
penelitian ini
yakni
menggunakan
komparatif
studi antara
Jepang,
Filipina, India,
dan Nepal.
Dengan teknik
pengumpulan
data primer,
berupa
wawancara,
dan analisis
kebijakan
setiap negara.
Studi empiris yang
berorientasi pada
tindakan yang bertujuan
untuk membantu
mengurangi resiko
bencana yang sering
terjadi di negara –
negara yang rawan
bencana. Dengan cara
menganalisis masalah
tenaga kerja yang
menagani bencana dan
pengembangan
kebijakan serta opsi
program dalam
melaksanakan inisiatif
manajemen resiko
bencana yang berfokus
pada tim yang
menangani.
Literatur ini memberikan dasar
untuk analisis komparatif dan
ketenagakerjaan yang
memadai sebelum bencana
terjadi berkontribusi besar
terhadap respons segera
pascabencana serta upaya
pemulihan jangka pendek dan
jangka panjang. Dalam
literature ini mengembangkan
strategi mitigasi bencana yang
berfokus pada ketenagakerjaan
atau tim yang menangani.
Literatur ini menjelaskan
terkait tim tanggap bencana
yang melibatkan empat negara
yang rawan bencana di Asia
Pasifik, yakni Jepang, Filipina,
India, dan Nepal sebagai studi
kasus.
3. Comparative
Analysis of Disaster
Management between
Japan & India
Dr. Priyanka Banerji,
Ms. Nidhi Singh
IOSR Journal of
Business and
Management (IOSR-
JBM) e-ISSN: 2278-
487X, p-ISSN: 2319-
7668. Volume 13,
Issue 6 (Sep. - Oct.
2013), PP 62-74
www.iosrjournals.org
Metodelogi
dalam
penelitian ini
yakni
menggunakan
komparatif
studi antara
Jepang dan
India.
Tujuan yang tercantum
dari artikel ini yakni
untuk mengetahui
perbandingan cara
penanganan bencana
yang terjadi di kedua
negara. Mulai dari
budaya pencegahan,
hingga proses
pemulihan dan
rekonstruksi
pascabencana.
Jurnal ini menjelaskan terkait
fenomena bencana besar di
Jepang dan India, studi
perbandingan sistem
manajemen bencana Jepang
dan India, teknik mobilisasi
masyarakat di Jepang untuk
keberhasilan implementasi
perencanaan kesiapsiagaan
bencana dan pemulihan dari
situasi pasca bencana. Dalam
literatur ini juga dijelaskan
terkait studi perbandingan
sistem manajemen bencana di
Jepang dan India, terlebih pada
implementasi kebijakan
pelaksanaan tanggap darurat
bencana yang terjadi di kedua
negara.
4. Comparative analysis
of immediate
response by national
disaster management
Metodelogi
dalam
penelitian ini
yakni
menggunakan
Tujuan dari penulisan
ini yakni untuk
mempelajari sistem
manajemen bencana
alam di Pakistan, Turki,
Literatur ini mengidentifikasi
kekurangan dalam sistem
manajemen bencana alam
Pakistan, Turki, dan AS, dan
akan memberikan wawasan
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-14
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
systems of the U.S.,
Pakistan, and Turkey
Ullah, Habib;
Gungor, Goktug
Monterey, California:
Naval Postgraduate
School
Directorate for
Information
Operations and
Reports, 1215
Jefferson Davis
Highway, Suite 1204,
Arlington, VA 22202-
4302, and to the
Office of
Management and
Budget, Paperwork
Reduction Project
(0704-0188)
Washington, DC
20503.
komparatif
studi antara
Pakistan,
Turki, dan AS.
dan AS. Dengan
melakukan penelitian
perbandingan di tiga
negara tersebut, maka
akan membantu
mengidentifikasi
kekurangan dalam
sistem manajemen
bencana alam di
Pakistan, Turki, dan
AS, serta akan
memberikan wawasan
untuk sistem
manajemen bencana
yang lebih baik efektif.
untuk sistem manajemen
bencana yang lebih efektif.
Lebih dalam lagi, literature ini
menunjukkan semua dampak
yang terjadi akibat bencana
alam, dengan memberikan
contoh gempa bumi Van di
Turki pada 2011 dan banjir
Pakistan pada 2010. Literatur
juga menunjukkan bahwa
respon kedia negara masih
kurang dalam hal kecepatan
dan kualitas, sehingga sering
gagal dalam memberikan
bantuan bagi korban
Dalam penelitian terdahulu yang menjadi landasan pada penelitian yang
akan dilakukan kali ini terdapat beberapa perbedaan. Pada penelitian ini peneliti
ingin mengungkapkan mengenai perbadaan dan persamaan dari Tim Reaksi Cepat
Kota Surabaya dan Kota Semarang dalam penanganan darurat bencana. Sangat
menarik yakni kedua kota memiliki karakteristik yang hampir sama, namun
penanganan tanggap darurat bencana yang dilakukan oleh Tim Reaksi Cepat di
kedua kota berbeda.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan
masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana gambaran perbandingan penanganan
tanggap darurat bencana yang dilakukan Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dengan
Kota Semarang?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran perbandingan
penanganan tanggap darurat bencana yang dilakukan Tim Reaksi Cepat Kota
Surabaya dengan Kota Semarang.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-15
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan manfaat secara teoritis
sebagai bentuk bahan rujukan dalam studi manajemen bencana dan pengembangan
lebih lanjut yang dinilai dari sudut pandang penanganan darurat bencana
menggunakan perbandingan administrasi negara. Perbandingan administrasi negara
ini melihat perbandingan penanganan darurat bencana. Hal tersebut untuk melihat
optimalisasi pelayanan yang diberikan oleh instansi – instansi yang tergabung
dalam Tim Reaksi Cepat, dengan perbandingan pelaksanaan penangan darurat
bencana antara Kota Surabaya dan Kota Semarang. Selain itu dalam penelitian ini
diharapkan mampu memberikan manfaat dalam pengembangan Ilmu Administrasi
Negara utamanya dalam penerapan penelitian studi komperatif.
Penulis berusaha untuk melihat proses penanganan tanggap darurat bencana
antara Kota Surabaya dan Kota Semarang, serta melihat faktor – faktor yang
mempengaruhi proses penanganan darurat bencana pada kedua kota. Output atau
hasil dari penelitian ini nantinya dapat dilihat pada proses penanganan tanggap
darurat bencana yang paling baik dari kedua instasni berdasarkan kriteria
penanganan tanggap bancana. Sehingga dapat dijadikan pembanding untuk dapat
meningkatkan kualitas dalam melakukan penanganan tanggap darurat bencana bagi
Tim Reaksi Cepat kota lain.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian yang dilakukan ini akan memberikan gambaran dan informasi
pelaksanaan proses penanganan tanggap darurat bencana yang dilakukan antara
Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota Semarang. Hasil
penelitian tentang perbandingan pelaksanaan penangan darurat bencana antara Kota
Surabaya dan Kota Semarang, diharapkan dapat bermanfaat melalui pelbagai
gambaran dan informasi. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi tolak ukur dan
masukan bagi kedua Tim Reaksi Cepat baik Kota Surabaya maupun Kota Semarang
untuk melakukan perbaikan agar lebih baik dalam pelaksanaan penanganan darurat
bencana oleh Tim Reaksi Cepat ke depannya agar lebih baik lagi.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-16
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
1.5 Landasan Teori
Untuk dapat memahami mengenai permasalahan dalam penelitian ini, tentunya
landasan berpikir atau kerangka konseptual menjadi hal yang penting guna menjadi
pisau analisis. Dan berikut merupakan kerangka konseptual yang akan penulis
paparkan :
1.5.1 Comparative Public Administration
Comparative Public Administration atau perbadingan administrasi negara
merupakan sebuah paradigma yang lahir pada 1947 melalui pernyataan Robert E.
Dahl. Kemudian secara lebih jauh, PAN mulai diakui sebagai sebuah disiplin ilmu
tersendiri, dengan diadakannya konferensi Princeton pada tahun 1952. Menurut
Riggs via Heady (1962: 4) kajian Perbandingan Administrasi adalah sebuah teori
Administrasi Publik sebagaimana Ilmu tersebut diaplikasikan pada berbagai tatanan
budaya dan nasional yang beragam.17 Sedangkan menurut Jreisat (2002: 1)
Perbandingan Administrasi Negara adalah kajian perbandingan institusi-institusi,
proses-proses, dan perilaku dalam banyak konteks.18 Konteks (atau lingkungan
dalam analisis perbandingan mengacu pada seluruh pengaruh-pengaruh eksternal
yang mempengaruhi manajemen, seperti nilai-nilai kemasyarakatan, norma-norma,
agama, budaya politik, dan perekonomian. Menurut Ontenyo and Lind (2006: 12),
Perbandingan Administrasi Negara adalah sebuah cabang dari Administrasi Publik
untuk mengamati Pemerintahan dalam berbagai tatanan budaya, sosial, ekonomi
yang berbeda-beda.19 Kajian ini mencakup keragaman yang luas dalam hal
aktivitas, termasuk pembuatan kebijakan Publik dan implementasinya baik di area
maju maupun berkembang. Terakhir yakni dari Robert A. Dahl dalam Rathod
(2007: 8) mengungkapkan bahwa Perbandingan Administrasi Negara adalah
akademisi pertama dan paling penting yang melakukan pencarian keilmuan dan
pemahaman yang lebih hebat dalam tujuannya untuk mendirikan Ilmu Administrasi
Publik, maka ilmu itu haruslah bersifat perbandingan.
17 Heady, Ferrel. 2006. “Comparisson in The Study of Public Administration”. Tercantum dalam
Kompilasi: “Comparative Public Administration: The Essential Readings”. Netherlands: JAI Press 18 Jreisat 19 Otenyo, E.E. & Lind, N.S. 2006. “Comparative Public Administration: Growth, Method, and
Ecology”. Tercantum dalam Kompilasi: “Comparative Public Administration: The Essential
Readings”. Netherlands: JAI Press.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-17
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Menurut Rathod (2007) Perbandingan Administrasi Negara dapat
meningkatkan pengetahuan tentang praktik administratif dari negara lain atau
institusi lain, serta untuk mengadopsi praktik-praktik ini yang sesuai dengan
sistemnya.20 Pada prinsipnya, tujuan akhir dari pendekatan Perbandingan
Administrasi Negara adalah untuk memperpendek kesenjangan antara objek yang
dibandingkan. Caranya adalah dengan mengenali dan menganalisis faktor yang
menyebabkan satu satu objek tertinggal atau secara kualitas lebih rendah daripada
yang lain atau begitupun sebaliknya. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana hal
tersebut agar menjadi meningkat setelah dibandingkan. Peningkatan tersebut tentu
saja identik dengan peningkatan kualitas, dalam hal ini peningkatan hal-hal yang
berkaitan dengan Administrasi Negara.
Comparative Public Administration berkaitan dengan organisasi atau sistem
administrasi yang berkaitan dengan budaya dan pengaturan yang berbeda, fitur atau
karakteristiknya sama atau berbeda dipelajari dan dibandingkan untuk mengetahui
"penyebab" atau "alasan" (Rathod, 2007:12).21 Rathod dalam bukunya yang
berjudul Comparative Public Administration menganalisis terkait masalah
administrasi publik dalam pemerintahan modern. Sedangkan kemampuan bangsa
untuk mencapai tujuan melalui tindakan administrasi publik tergantung pada
kinerja, kejujuran, dan motivasi karyawan publik. Mencakup masalah rekrutmen,
pelatihan, remunerasi, promosi, dan pensiun. Ini juga mencakup kegiatan sekutu
seperti evaluasi kinerja, klasifikasi posisi, moral dan disiplin di antara anggota
layanan publik.
Harus diingat bahwa konstitusi organisasi dan pemerintah bukan sekadar
bagan dan pekerjaan. Pada dasarnya terdiri dari unsur-unsur manusia, dan oleh
karena itu pemahaman yang cermat tentang studi perilaku manusia juga menjadi
salah satu aspek penting dari studi personil publik. Setiap demokrasi modern telah
berevolusi, sistem personalia publiknya sendiri berdasarkan pada sejarahnya,
kondisi sosial, politik dan ekonominya. Ada fitur umum dan unik tertentu dari
sistem personalia di berbagai negara. Perbandingan semacam itu berguna untuk
mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan. Tujuan perbandingan mungkin lebih
20 Rathod, P. B. 2007. “Comparative Public Administration”. Jaipur, India: ABD Publishers 21 Rathod, P. B. 2007. “Comparative Public Administration”. Jaipur, India: ABD Publishers
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-18
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
dari menggambarkan dua atau lebih fenomena (objek, orang, area, peristiwa dan
institusi). Salah satu prasyarat penilaian tentang pengaturan kelembagaan adalah
untuk membandingkan dan membedakan mereka dengan, dengan institusi serupa
lainnya (Rathod, 2007:154).22 Perbandingan Institusional, merupakan
perbandingan dilakukan untuk memahami aspek-aspek administrasi atau institusi
yang berbeda, namun tetap berada dalam satu lingkungan kebudayaan yang sama.
ni adalah fakta yang ditetapkan bahwa dimensi lintas budaya administrasi publik
memiliki janji dan masa depan di pengembangan ilmu administrasi publik.
Komparatif administrasi adalah satu-satunya harapan untuk pertumbuhan dan
perkembangan administrasi publik dalam waktu dekat.
1.5.1.1 Model - model Comparative Public Administration
Rathod dalam bukunya Comparative Public Administration, menganalisisi
beberapa model yang telah diungkapkan oleh beberapa pakar sebelumnya, yakni :
1. Weber's Bureaucratic Model
Model birokrasi Weber didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan politik yang
mendominasi para cendekiawan abad ke-19. Dia telah mengintegrasikan
birokrasi ke dalam skema yang lebih besar dari tiga tipe otoritas ideal. Dan hal
tersebut legal dalam artian bahwa itu didasarkan pada gaya otoritas yang
dilegitimasi melalui proses hukum. Berikut identifikasi kareaktieristiknya :
1. Wilayah yurisdiksi tetap dan resmi, terkontrol dan diperintahkan oleh
peraturan dan perundangan tertulis
2. Pembagian kerja yang jelas dengan wewenang dan tanggung jawab yang
ditetapkan dengan jelas, memaksimalkan spesialisasi dan keahlian
3. Pengaturan semua posisi menjadi hierarki wewenang,
4. Semua pejabat yang ditunjuk berdasarkan kualifikasi
5. Pekerjaan dipandang sebagai panggilan, pekerjaan penuh waktu
6. Keseragaman dan ketidakberpihakan "tanpa memperhatikan orang."
Ada banyak kritik terhadap 'model ideal' Weber sebagai kriteria identifikasi
umum untuk tujuan perbandingan. Salah satu kritiknya bahwa tipe ideal seperti
22 Rathod, P. B. 2007. Op Cit. Hal 154
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-19
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
itu tidak akan pernah ada sama sekali dan bahkan jika itu ada model menurut
definisi tidak cocok untuk menjelaskan situasi empiris yang dinamis.
2. Down's Model
Anthony Downs menjelaskan siklus hidup birokrat dengan menentukan
terlebih dahulu cara dasar dalam analisis. Pertama, dalam penjelasannya ia
merujuk pada rutinisasi karisma sebagai salah satu jenis biro-genesis. Jadi,
menurut Anthony Downs, birokrasi adalah akibat dari konsekuensi umum dari
rutinisasi karisma. Kedua, ia menyebutkan tentang penciptaan birokrasi oleh
kelompok-kelompok sosial untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu. Jenis ketiga
biro adalah karena pemisahan dari yang sudah ada dan jenis biro terakhir sebagai
hasil dari kewirausahaan beberapa kelompok fanatik. Hipotesis utamanya adalah
bahwa birokrat dimotivasi oleh kepentingan pribadi.
Downs menekankan pentingnya minat karir sebagai penentu proses
administrasi. Penerapan analisis 'tipe pasar' ekonomi untuk proses administrasi
melihat 'birokrasi' pada dasarnya berasal dari kurangnya paparan media secara
adaptif dari tipe pasar. Dalam teorinya, Law of Counter Control ia menyatakan
bahwa semakin besar upaya yang dilakukan oleh pejabat tingkat atas untuk
mengendalikan perilaku pejabat bawahan, semakin besar upaya yang dilakukan
oleh bawahan untuk menghindari atau menangkal kontrol tersebut. Asumsi
utama adalah bahwa agen administratif rasional akan cenderung menjadi
'imperialistik' bersaing satu sama lain untuk 'ruang'. Model Downs sangat
berguna dalam membandingkan asal-usul birokrasi sipil dari perspektif di atas.
Dia membedakan lima kategori pendaki birokrat, konservator, fanatik, advokat
dan negarawan.
3. Rigg's Ecological Model
Studi kontemporer dalam administrasi publik komparatif memanfaatkan
model ekologi yang dikembangkan oleh Rigg. Model ini dapat digunakan dalam
analisis lintas-budaya. Dia berfokus pada konseptualisasi tentang interaksi
antara sistem administrasi dan lingkungan mereka. Fokus utamanya adalah pada
pengembangan masyarakat institusional. Selain itu, Riggs menyarankan tipologi
ilustrasi sistem perbandingan administrasi negara dalam bidang agraria dan
industri, mengklaim bahwa tipe yang sama dapat berbeda jika dipraktikkan.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-20
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Terlebih pada berbagai tahap transisi antara keduanya dengan kategori
serupa yang menggambarkan saling ketergantungan sistem administrasi dan
masyarakat. Ketika konseptualisasi terbukti terlalu abstrak untuk diterapkan, ia
berpaling dari model sistem umum ke teori middle range berdasarkan penelitian
empirisnya di Asia Tenggara. Pendekatannya menekankan perspektif sistem
terbuka yang memiliki pengaruh yang meningkat di tempat lain dalam ilmu
sosial. Namun, model pendekatannya tidak memiliki kualitas dinamis yang
dikembangkan dalam banyak model sistem terbuka lainnya. Hal tersebut karena
Riggs belum menganalisis proses pembiasan dari perspektif pembangunan. Ia
juga tampaknya tidak berhasil sepenuhnya implikasi teorinya tentang
administrasi publik.
Riggs telah mencoba untuk mengelompokkan serta mengkategorikan isi
daripada bahan-bahan itu yang menurut penglihatannya dapat dijadikan atas
kelompok-kelompok berikut. 1. Kelompok tradisional yang dimodifikasi
(Modified Traditional); tentang metode tradisional yang telah mengalami
perubahan seperlunya, studi perbandingan tentang sesuatu Administrasi Negara
secara keseluruhan sistemnya atau bagian tertentu saja, misalnya bagian atau
sebagai keuangannya saja, bahkan kepegawaian saja. 2. Kelompok yang
berorientasi Pembangunan (Development Oriented); usaha untuk menemukan
atau untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi atau persyaratan-persyaratan dalam
mana dilakukan usaha untuk mencapai tingkat kemajuan yang optimal. 3.
Kelompok Pembuatan Model Sistem secara umum (General System Model
Building); tentang usaha-usaha studi perbandingan melalui penciptaan model-
model, model memberikan petunjuk data pada yang diperlukan, selanjutnya
mengklasifikasi dan sebagainya. 4. Kelompok rumusan teori yang modern (The
Modern Theory’s Formulation) tentang usaha untuk memformulasi teori-teori
yang modern dalam arti yang tidak membuat model dalam keseluruhan sesuatu
sistem Administrasi Negara.
4. Dorseys Information-Energy Model
Sumber terkemuka lain dari pembangunan model komprehensif adalah teori
keseimbangan oleh Dorsey yang dikenal sebagai sistem dengan input dan output
sebagai dasar analisis. Dia percaya bahwa hal tersebut berguna dalam analisis
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-21
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
sistem sosial dan politik secara umum serta untuk pemahaman yang lebih baik
tentang sistem administrasi, hal ini dikenal sebagai Model Informasi-Energi.
Model Informasi-Energi Johan F. Dorsey didasarkan pada sintesis konsep teori
sistem umum komunikasi dan konversi energi. Model Dorsey membuat konsep
individu, kelompok, organisasi dan masyarakat sebagai konverter informasi-
energi lengkap. Energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
beberapa perubahan bentuk, waktu ruang dalam hubungan fisik, yaitu
melakukan pekerjaan. Konversi energi, sebaliknya, adalah manifestasi dari
kapasitas ini atau proses yang mempengaruhi perubahan tersebut. Informasi
dapat dilihat sebagai energi dalam bentuk atau konfigurasi tertentu. Suatu sistem
mengubah input seperti permintaan dan intelijen melalui berbagai proses
konversi penyaringan, pemilihan dan penyaluran ke dalam output. Umumnya,
input, penyimpanan, dan pemrosesan informasi yang tinggi memungkinkan
keluaran energi yang tinggi. Sistem administrasi menghasilkan keluaran dalam
berbagai bentuk, misalnya, regulasi layanan untuk sub-sistem dan sistem yang
membentuk bagian dari lingkungannya.
Dorsey telah menekankan bahwa penelitian dalam perbandingan
administrasi negara harus fokus, jika mungkin pada semua aspek input, konversi
dan output dari sistem administrasi, meskipun ia menambahkan dalam kasus
studi tertentu, banyak yang akan tergantung pada kebutuhan dan orientasi. Hal
tersebut karena pendekatannya memandang sistem administrasi dalam konteks
lingkungan mereka, maka pada dasarnya bersifat ekologis.
Terlebih lagi, sebagaimana disebutkan sebelumnya, ia memiliki elemen-
elemen tertentu dari perspektif pembangunan. Namun, mungkin karena variabel
model yang kompleks dan masalah operasional yang terkait dengannya para
sarjana lain belum menggunakan pendekatan ini dalam analisis mereka. Dorsey
menggunakan modelnya dalam studinya tentang perkembangan politik Vietnam.
23 Model ini kemudian diuji oleh Berenson yang menggunakan data agregat dari
56 negara untuk memeriksa validitas proposisi yang diambil dari model energi
informasi yang menghubungkan tiga variabel ekologis seperti energi, informasi
dan konversi energi dalam pengembangan birokrasi di dunia ketiga. Dia
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-22
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
menyimpulkan bahwa model tersebut adalah kegagalan total dalam menjelaskan
perubahan birokrasi di negara-negara yang diteliti.
5. Mathur's Model
Mathur dalam studinya menganalisis Block Development Officers (BOO’s)
dari dua negara bagian yang berbeda di India. Sebelum analisis, ia terlebih
dahulu mengidentifikasi faktor-faktor geografis, sosio-ekonomi dan politik
tertentu yang menghadirkan latar belakang yang berbeda untuk BOO’s dari dua
negara. Dengan menggunakan teknik 'analisis faktor', ia mengembangkan
dimensi utama pemikiran dan persepsi birokrasi untuk membangun pola empiris
dari reaksi para birokrat terhadap lingkungan yang berubah. Dengan demikian,
ia mengembangkan tipologi dan profil para administrator lokal dalam pola
budaya yang hampir mirip untuk mengetahui perbedaan dalam persepsi dan
reaksi para birokrat dari satu negara bagian dari yang lain dan mengkorelasikan
perbedaan tersebut.
Dalam penelitian ini, kesimpulan yang ditarik adalah sebagai berikut:
1. Kelas pejabat yang sama (BOO) dari lingkungan yang berbeda berbeda.
2. Perbedaan tersebut disebabkan oleh latar belakang sosial ekonomi dan
politik yang berbeda.
3. Pola perilaku mereka berbeda karena pengaturan lingkungan mereka
yang berbeda,
4. Perbedaan pola perilaku tersebut juga karena perbedaan mereka dalam
pendidikan, rekrutmen dan metode pelatihan.
Model-model semacam itu dapat digunakan untuk studi serupa di bagian
lain negara serta dalam aspek lain dari fenomena administrasi dan pada tingkat
administrasi negara lain. Model ini, jika digunakan dengan tepat, dapat
memberikan wawasan tentang politik dan birokrasi dan persepsi dan sikap para
pejabat di setiap tingkat administrasi dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka,
faktor-faktor motivasi dan dalam mengevaluasi moral para karyawan di setiap
tingkat administrasi . Studi serupa dapat dilakukan untuk menyelidiki sikap dan
persepsi berbagai badan warga negara dan berbagai kelompok sosial dan
ekonomi terhadap birokrasi, keputusan birokrasi, dan harapan mereka terhadap
para birokrat dalam hal pencapaian tujuan.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-23
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
6. The Development Model
Terkait erat dengan studi perbandingan administrasi negara, alat yang
sangat diperlukan dalam pencapaian tujuan masyarakat yakni sebuah
ketertarikan aktor mencari cara, yang mana cara tersebut untuk meningkatkan
kinerja administrasi dan untuk memperkuat perencanaan dan pelaksanaan
program pembangunan. Gagasan ini berawal dari keinginan negara-negara kaya
untuk membantu negara-negara miskin dan lebih khususnya dalam kebutuhan
nyata dari negara-negara nasional yang baru muncul untuk mengubah birokrasi
kolonial mereka menjadi instrumen perubahan sosial yang lebih bertanggung
jawab.
Dalam model ini, organisasi dan perusahaan pengembangan, reorientasi
lembaga-lembaga mapan seperti departemen pertanian memiliki pendelegasian
wewenang administrasi kepada lembaga-lembaga pembangunan dan penciptaan
kader administrator yang dapat memberikan kepemimpinan dalam merangsang
dan mendukung program-program pembangunan sosial dan ekonomi. Ini
memiliki tujuan untuk membuat perubahan semenarik mungkin. Sebenarnya, itu
tidak dapat disebut sebagai sisi yang diterapkan dari administrasi publik
komparatif karena tidak ada perbedaan tajam dalam maksud, konsep dan
personil yang terlibat di antara keduanya. Mereka yang tertarik dalam
administrasi pembangunan tertarik dan menggunakan banyak sumber selain
administrasi publik komparatif dan beberapa dari mereka dilatih dalam disiplin
ilmu selain ilmu politik atau administrasi publik.
Administrasi pembangunan terkait dengan tujuan dan sistem administrasi
yang berorientasi aksi. Karena sebagian besar definisi kata 'administrasi'
berkonotasi dengan aspek pencapaian tujuan, dimasukkannya kata
'pengembangan' mungkin awalnya tampak berlebihan. Namun demikian, istilah
ini mengacu pada fokus khusus pada aspek-aspek kunci tertentu dari perubahan
sosial-administrasi. Juga kepada Edward Weidner, pendukung utamanya,
konsep administrasi pembangunan mengacu pada proses membimbing suatu
organisasi menuju pencapaian tujuan politik, ekonomi, dan sosial yang progresif
yang ditentukan secara otoritatif dalam satu atau lain cara.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-24
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Model ini menuntut penghormatan besar dalam administrasi publik
komparatif. Studi lintas budaya hanya mungkin dilakukan dengan model ini.
Weidner menekankan model berorientasi tujuan karena masalah dalam
menerapkan model Weber dalam studinya di negara-negara dunia ketiga. Dia
mulai dengan Mesir sebagai studi kasus dan kemudian meluas ke negara lain.
Dia menyatakan bahwa adalah mungkin untuk memiliki perbedaan dalam
karakter birokrasi dengan berbagai tujuan dan nilai utama yang diupayakan oleh
berbagai negara. Di antara semua pandangan lain, Weidner banyak menekankan
pentingnya mendorong inovasi di bidang non-administratif, perubahan sosial-
budaya dalam pikiran manusia dan perubahan lingkungan secara keseluruhan.
Ini adalah salah satu tujuan dengan prioritas tertinggi di negara-negara yang
paling berkomitmen untuk berubah.
Model – model diatas memiliki konsep dan karakteristik masing – masing
dalam pelaksanaan Perbandingan Administrasi Negara. Sehingga berdasarkan
penjelasan diatas terkait Perbandingan Administrasi Negara dapat digunakan untuk
memberikan gambaran secara jelas. Bahwa penelitian perbandingan proses
penanganan darurat bencana yang dilakukan Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya
dibandingkan dengan proses penanganan darurat bencana yang dilakukan Tim
Reaksi Cepat Kota Semarang ini, memiliki fokus dan rambu – rambu yang jelas
dalam prosesnya.
Dalam penelitian ini nantinya model yang digunakan yakni Mathur's Model,
karena sebelum melakukan analisis pada subjek penelitian, terlebih dahulu
mengidentifikasi faktor-faktor geografis, sosio-ekonomi dan politik tertentu yang
menghadirkan latar belakang yang berbeda. Hal tersebut nantinya dapat diketahui
secara mendalam penyebab terjadinya perbedaan kedua organisasi, sebagaimana
nantinya dapat diketahui pada pengembangan dimensi utama pemikiran dan
persepsi birokrasi untuk membangun pola empiris dari subjek penelitian. Dengan
demikian, dapat pula dikembangkan tipologi dan profil para administrator antara
Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota Semarang dalam pola
budaya yang hampir mirip untuk mengetahui perbedaan dalam persepsi dan reaksi
antara Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota Semarang dan
mengkorelasikan perbedaan tersebut.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-25
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
1.5.1.2 Unsur - Unsur Comparative Public Administration
Keith Henderson dalam buku Comparative Public Administration yang
ditulis oleh Rathod (2007)23 mengemukakan hanya tiga unsur dalam Comparative
Public Administration, yakni :
1. The bureaucratic system
Unsur sistem birokrasi merupakan suatu upaya kajian birokrasi
organisasi dari berbagai negara. Merupakan sebuah fakta yang diketahui
sebelumnya bahwa Prof. W. A. Robson telah berkontribusi sebelumnya
studi tentang pegawai negeri Perancis dan Profesor Inggris Raya Herman
Finer juga mencoba melakukan analisis komparatif terhadap organisasi
birokrasi dari beberapa (tujuh) orang Eropa organisasi birokrasi dan
perilaku mereka.24 Murroe Burger dalam bukunya, Birokrasi dan
Masyarakat di Mesir Modern, mencoba menguji Model birokrasi ideal
Weber. Burger kemudian mencoba mengeksplorasi teori fungsional
struktural birokrasi sebagai diterapkan ke negara-negara berkembang.25
Robert K. Merton dan Profesor Robert V. Presthus memiliki mencoba
menguji teori nilai perilaku birokrasi di negara barat dan non-barat. Robert
K. Merton berkembang teori kelas menengah untuk studi birokrasi
organisasi yang menjelaskan seperangkat relasi yang dapat dikelola
daripada teori khusus ukuran luas di satu ekstrim, dan kasus individu yang
tidak sebanding di sisi lain. Demikian pula, Alfred Diamant dalam "Model
Birokrasi: Max Weber Ditolak, Ditemukan Kembali, Reformasi "di Ferrel
Heady dan Cybill Buku Stoke adalah upaya untuk mengeksplorasi nilai
Weberian teori dalam penelitian organisasi demokrasi modern. Itu akan
akan banyak gunanya menyarankan kepada mahasiswa organisasi birokrasi
sebagai pendekatan untuk perbandingan publik administrasi yang mereka
butuhkan untuk membaca Joseph La Palombara. Mereka juga harus
membaca Leonard Binder untuk mendapatkan gambaran yang jelas
23 Rathod, P. B. 2007. “Comparative Public Administration”. Jaipur, India: ABD Publishers 24 Fred W. Riggs, "Agraria and Industria-Towards a Typology of Comparative Administration,"
Willam J. Siffin (ed.) Towards the Comparative Study of Public Administration, Indian University
Press, 1957 25 David Easton, "An Approach to the Analysis of Political Systems," World Politics, Vol. 9
(1956-57), pp. 383-400.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-26
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
birokrasi dalam pengaturan budaya yang berbeda. Leonard Binder
mengungkapkan tiga jenis utama proses politik pembangunan yang harus
dilanjutkan sebelum pengembangan organisasi birokrasi sebagaimana
dicatat oleh La Palombara. Beberapa mahasiswa Profesor Talcott Parsons,
yaitu Philip Selznick dan Reinhart Bendix telah mengejar teori organisasi
"Struktur-Fungsionalisme" saat mempelajari birokrasi. Amitai Etzioni juga
mempelajari organisasi dari perspektif yang sama, dilanjutkan dengan
kajian organisasi birokrasi oleh Blau dan Scott yang telah menunjukkan
minat yang besar pada teori organisasi birokrasi.26
2. Input-output system
Unsur dari input-output merupakan hasil dari sistem pendekatan. Melalui
proses konversi, masukan adalah ditransformasikan menjadi keluaran dan
neraca disiapkan dengan harapan bahwa keluaran akan selalu berjumlah
lebih dari masukan. Ini digambarkan sebagai kurang organik daripada mode
birokrasi fungsional struktural yang terkenal1.49 Dalam hal ini Pendekatan
sistem input-output tidak ada referensi ke hubungan antara bagian-bagian
dan keseluruhan, yaitu komponen bagian tidak "dijelaskan" menjadi saling
terkait secara fungsional, meskipun mereka, yaitu, bagian-bagian selalu
terkait secara organik sebagai elemen dari keseluruhan. Dalam kasus input-
output pendekatan, lebih menekankan pada persamaan input-output, pada
pertukaran batas antara sistem dan lingkungan Fred W. Riggs industria dan
agraria juga mendalilkan skema inputoutput meskipun tidak secara tegas
menyatakan hal ini dalam modelnya.
Pendekatan "Input Konversi Output" lebih merupakan hasil dari model
David Easton. Dalam Komparatif Publik Administrasi, David Easton telah
memberikan kontribusi lebih dari apapun sarjana lainnya. Dalam politik
komparatif, model Eastonian memiliki juga telah ditingkatkan oleh Almond
dan Coleman dari politik mengembangkan ketenaran daerah. Easton
kebanyakan meminjam konsep dan bahan dasar dari master sosiologi-
Talcott Parsons.27
26 Pubic Administration, Rand McNally, Chicago, 1978. 27 Gerald Caiden, op. cit., p. 244.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-27
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Almond telah mengidentifikasi empat masukan dasar dari sistem politik
yang diubah melalui proses konversi menjadi tiga keluaran. Dorsey
mengatakan itu dalam administrasi publik komparatif fokus penelitian
mungkin pada faktor-faktor luar biasa misalnya, tekanan dan ketegangan,
mempengaruhi proses konversi. Ira Sharkansky punya menggunakan
pendekatan input-konversi output untuk studi publik administrasi. Kerangka
bukunya yakni lingkungan sebagai masukan, dan hukum, kebijakan,
perintah sebagai keluaran, proses konsesi sebagai umpan balik.
3. The component system
Pendekatan Komponen Profesor Henderson menyebutkan "penampung-
semua" untuk bahan sejarah dan lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan
sebagai sistem birokrasi atau sistem input. James Fesler telah melamar
Pendekatan Komponen dalam Administrasi Lapangan Komparatif. Ada
penekanan pada kekuatan, dan hubungan komunikasi antara pusat dan
bidang yang menunjukkan integrasi menjadi model. Pendekatan ini
mempertimbangkan yang utama poin dari Dorsey dan Almond. 54
Demikian pula dengan Fritz Morstein Marx telah mempelajari jenis kontrol
dan tanggung jawab eksternal. Dalam mempelajari sistem administrasi di
berbagai negara, skema komparatif dapat digunakan yang mencakup studi
struktur, tujuan, proses dan lingkungan pembanding penilaian sistem
administrasi. 28
Diyakini secara luas bahwa Perbandingan Administratif Sistem dipelajari
dengan model pemerintah komparatif. Pendekatan administrasi publik komparatif
memiliki lebih atau kurang mengikuti analisis politik komparatif. Analisis
komparatif tidak harus deskriptif formal institusi.29
Ketiga unsur diatas mulai dari the bureaucratic system, the input-output
system, dan the component system akan digunakan dalam proses penelitian
perbandingan antara Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota
Semarang dalam penanganan tanggap darurat bencana. Bureaucratic system
digunakan karena untuk mengetahui kajian birokrasi organisasi dari kedua
28 Heady and Stokes (ed.) op. cit., pp. 145-171. The title of Fritz Morstein Marx's article: "Control
and Responsibility in Administration: Comparative Aspects." 29 Rathod, P. B. 2007. “Comparative Public Administration”. Jaipur, India: ABD Publishers
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-28
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
organisasi, dan untuk mendapatkan gambaran yang jelas birokrasi dalam
pengaturan budaya yang berbeda. Pada unsur input-output system dapat mengetahui
lingkungan sebagai masukan, dan hukum, kebijakan, perintah sebagai keluaran,
proses konsesi sebagai umpan balik pada perbandingan antara Tim Reaksi Cepat
Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota Semarang. Serta pada component
system penekanan pada kekuatan, dan hubungan komunikasi antara pusat dan
bidang yang menunjukkan integrasi menjadi model, yang mana pada skema
komparatif antara Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota
Semarang dapat digunakan yang mencakup studi struktur, tujuan, proses dan
lingkungan pembanding penilaian sistem administrasi.
1.5.2 Manajemen Bencana
Bencana adalah hasil dari munculnya kejadian luar biasa (hazard) pada
komunitas yang rentan (vulnerable) sehingga masyarakat tidak dapat mengatasi
berbagai implikasi dari kejadian luar biasa tersebut. Secara umun faktor penyebab
terjadinya bencana adalah karena adanya interaksi antara ancaman (hazard) dan
kerentanan (vulnerabillity). Ancaman bencana menurut (Undang-undang Nomor 24
tahun 2007) adalah “Suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan
bencana”.30 Kerentanan terhadap dampak atau risiko bencana adalah : Kondisi atau
karakteristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi
suatu masyarakat disuatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi
kemampuan masyarakat di suatu wilayah untuk mencegah, meredam, mencapai
kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tetentu (MPBI, 2005 dalam Nurjanah,
2012).31 Sehingga diperlukan managemen bencana untuk mengurangi resiko
maupun dampak dari adanya bencana.
Manajemen bencana sebagai istilah kolektif yang mencakup semua aspek
perencanaan untuk merespons bencana, termasuk kegiatan sebelum bencana dan
setelah bencana yang merujuk pada manajemen risiko dan konsekuensi bencana
(Shaluf, 2008). Manajemen bencana meliputi rencana, struktur, serta pengaturan
yang dibuat dengan melibatkan usaha dari pemerintah, sukarelawan, dan pihak-
30 Undang - Undang no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 31 Nurjanah, dkk. (2012). Manajemen Bencana. Yogyakarta: Alfabeta.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-29
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
pihak swasta dengan cara yang terkoordinasi dan komprehensif untuk merespons
seluruh kebutuhan darurat. Oleh karena itu, manajemen bencana terdiri dari semua
perencanaan, pengorganisasian, dan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk
menangani semua fase bencana sebagai peristiwa alam yang unik (Kelly, 1995).
Dalam manajemen bencana ada beberapa tahapan menurut Jayaraman,
Chandrasekhar, & Rao, 1997; King, 2007; Moe, Gehbauer, Senitz, & Mueller,
2007; Moe & Pathranarakul, 2006) yang ada didalam buku Manajemen Bencana
dan Kapabilitas Pemerintah Daerah oleh Bevaola Kusumasari (2014).32 Tahapan
yang dimaksud dimulai dari prediksi, peringatan, bantuan darurat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi.
Tabel 1.5 Tahapan Manajemen Bencana
Tahap pertama dari manajemen bencana adalah prediksi. Dalam tahap ini,
kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan dilakukan. Ini temasuk langkah-langkah
struktural yang diambil untuk membatasi dampak buruk bencana alam, degradasi
lingkungan, dan bahaya teknologi. Namun terlebih dulu langkah-langkah
nonstruktural diambil untuk memastikan respons yang efektif terhadap dampak
bahaya bencana. Termasuk di sini adalah dengan dikeluarkannya peringatan dini
yang tepat waktu dan efektif serta evakuasi sementara masyarakat dan properti dari
lokasi yang terancam bencana.
Tahap kedua adalah peringatan. Tahap ini mengacu pada penyediaan informasi
yang efektif dan tepat waktu melalui lembaga-lembaga yang teridentifikasi. Lewat
lembaga-lembaga ini, individu dimungkinkan untuk menghadapi bahaya dengan
32 Kusumasari, Bevaola. (2014). Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Lokal.
Yogyakarta: Gava Media.
Project Life
Cycle
Disaster
Management Time Activities Approach
Initiation Predicition Before
Mitigation Pro-Active
Planning Preparedness
Executing
Warming During Response
Reactive
Emergency Relief
Rehabilitation
(Short-term) After Recovery
Completing Reconstruction
(Long-term)
Sumber : Moe & Pathranarakul, 2006
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-30
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
mengambil tindakan menghindari atau mengurangi risiko yang mereka hadapi serta
mempersiapkan respons yang efektif.
Tahap ketiga adalah bantuan darurat yang merujuk pada penyediaan bantuan
atau intervensi selama atau setelah bencana terjadi. Ini merupakan bantuan
keselamatan dan memenuhi kebutuhan dasar mereka yang terkena dampak
bencana. Hal ini dapat dilakukan segera dan dalam jangka waktu singkat atau durasi
yang lama.
Tahap keempat adalah rehabilitasi. Tahap ini meliputi keputusan dan tindakan
yang diambil setelah bencana untuk memulihkan atau mengembalikan kondisi
kehidupan masyarakat yang terkena bencana seperti kondisi sebelum bencana
terjadi. Di samping itu, juga digiatkan kembali dan difasilitasi semua penyesuaian
yang dibutuhkan untuk mengurangi risiko bencana.
Tahap kelima adalah rekonstruksi. Tahap ini merujuk pada pembangunan
kembali kondisi kehidupan masyarakat yang telah rusak akibat bencana dengan
tujuan pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan. Secara keseluruhan,
kegiatan penting yang dilakukan adalah sebagai berikut. Kegiatan mitigasi dan
kesiapsiagaan dalam tahap prediksi, kegiatan respons dalam tahap peringatan dan
bantuan darurat, serta kegiatan pemulihan dalam tahap rehabilitasi dan
rekonstruksi.
1.5.2.1 Siklus Manajemen Bencana
Dalam siklus hidup manajemen bencana alam dan manajemen bencana
modern, hanya ada empat aktivitas yang sangat penting dilakukan, yaitu mitigasi,
kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan (Alexander, 2002; Coppola, 2007;King,
2007; Moe & Pathranarakul, 2006; Quarantelli, 2007).33
33 David Alexander et.al, Principles of Emergency Planning and Management (New York : Oxford
University Press, 2002) hal 21
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-31
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Gambar 1.5. Siklus manajemen bencana
Sumber : (bnpb, 2019)
1. Mitigasi
Mitigasi didefinisikan sebagai tindakan yang diambil sebelum bencana terjadi
dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak bencana terhadap
masyarakat dan lingkungan (King, 2007).34 Mitigasi dapat dilihat sebagai upaya
berkelanjutan yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana melalui
pengurangan kemungkinan dan komponen konsekuensi risiko bencana
(Coppola,2007).35 Tujuan mitigasi adalah pengurangan kemungkinan risiko,
pengurangan konsekuensi risiko, menghindari risiko, penerimaan risiko, serta
transfer, pembagian, atau penyebarluasan risiko.
Mitigasi sebagai sebuah langkah yang diambil secara independen dari situasi
darurat atau bencana yang sebenarnya harus berfokus pada langkah-langkah
pencegahan karena efisiensi langkah-langkah darurat sangat terbatas untuk
menghindari banyaknya kehilangan manusia dan ekonomi (National Research
Council, 1 994). Kegiatan mitigasi termasuk langkah-langkah struktural dan non
struktural yang dilakukan untuk membatasi dampak negatif bencana alam,
degradasi lingkungan, dan bahaya teknologi.
Ada dua jenis mitigasi, yaitu struktural dan nonstruktural. Mitigasi struktural
didefinisikan sebagai usaha pengurangan risiko yang dilakukan melalui
pembangunan atau perubahan lingkungan fisik melalui penerapan solusi yang
dirancang. Ini juga mengacu pada pemikiran bahwa manusia mengendalikan alam
(Coppola, 2007) yang diterapkan pada bencana alam.36 Upaya ini mencakup
34 King 35 David P. Coppola, Introduction to Internasional Disaster Management (Oxford: Elsevier Inc.
2007), hal. 9 36 David P. Coppola, Op Cit, hal 20
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-32
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
ketahanan konstruksi, langkah-langkah pengaturan, dan kode bangunan, relokasi,
modifikasi struktur, konstruksi tempat tinggal masyarakat, konstruksi pembatas
atau sistem pendeteksi, modifikasi fisik, sistem pemulihan, dan penanggulangan
infrastruktur untuk keselamatan hidup.
Mitigasi nonstruktural meliputi pengurangan kemungkinan atau konsekuensi
risiko melalui modifikasi proses-proses perilaku manusia atau alam, tanpa
membutuhkan penggunaan struktur yang dirancang. Teknik ini dianggap sebagai
cara manusia menyesuaikan diri dengan alam. Di dalam teknik ini terdapat langkah-
langkah regulasi, program pendidikan, dan kesadaran masyarakat, modifikasi fisik
nonstruktural, modifikasi perilaku, serta pengendalian lingkungan.
Namun ada juga beberapa hambatan dalam pelaksanaan mitigasi, seperti biaya,
rendahnya dukungan politik, isu-isu sosial budaya, dan persepsi risiko (Mileti,
1999). Pandangan seseorang terhadap bencana akan memainkan peran yang sangat
besar dalam menentukan tindakan orang itu untuk mencegah bencana dan seberapa
besar ia mau berkorban untuk menghindari risiko.
2. Kesiapsiagaan (Preparadness)
Para ahli menyebutkan beberapa alasan penting yang menjadikan kesiapsiagaan
sebagai komponen penting dari keseluruhan manajemen bencana (Auf der Heide,
1989; Dyne, 1994; Kreps, 199 I; Mileti, 199I).37 Pertama, kegiatan respons dan
kesiapsiagaan yang efektif dapat membantu menyelamatkan nyawa, mengurangi
cedera, membatasi kerusakan harta benda, dan meminimalkan segala macam
gangguan yang dapat disebabkan oleh bencana. Kedua, kesiapsiagaan membantu
melindungi nilai-nilai masyarakat dan mengurangi kondisi yang tidak diinginkan
saat bencana. Ketiga, kesiapsiagaan meningkatkan koordinasi dan komunikasi
antarorganisasi serta menetapkan tanggung jawab bagi pemain utama, seperti
pejabat masyarakat, pejabat negara, pejabat daerah, dan rumah sakit. Keempat,
kesiapsiagaan membantu mengidentifikasi sumber daya (personil, waktu,
keuangan, peralatan, perlengkapan, atau fasilitas) yang mungkin diperlukan
masyarakat untuk langkah-langkah kegiatan respons dan pemulihan. Terakhir,
37 Auf der Heide, Erik et.al. 1989. Disaster Response: Principles and Preparation and
Coorddination, St. Loiuis, MO: The C.V. Mosby Company
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-33
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
kesiapsiagaan mengidentifikasi beberapa fungsi penting yang perlu dilakukan pada
saat bencana, seperti manajemen sumber daya, evakuasi, dan penilaian kerusakan.
Ada banyak fase yang harus dilakukan pada tahap kesiapsiagaan, termasuk
membentuk manajemen darurat, menilai bencana, membuat rencana darurat,
mengembangkan sistem peringatan dini, mengidentifikasi sumber daya dan
bantuan, serta membuat kesepakatan saling membantu dan mendidik masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa prinsip dasar kesiapsiagaan (Drabek & Hoetmar,
1991).38
a. Kesiapsiagaan merupakan proses yang berkesinambungan, yang tertulis
pada waktu tertentu hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan proses
kesiapsiagaan. Oleh karena itu, harus selalu up-to-date serta harus
mengantisipasi adanya kondisi dan kebutuhan baru dalam perkembangan.
b. Kesiapsiagaan mengurangi ketidaktahuan selama bencana, mencoba
mengecilkan dampak bencana terhadap lingkungan, baik secara fisik
maupun sosial adalah sebuah keniscayaan.
c. Kesiapsiagaan merupakan kegiatan pendidikan, yang harus dilatih dan
disosialisasikan kepada semua elemen sehingga dapat diketahui tindakan
yang harus dilakukan pada saat dan setelah bencana terjadi.
d. Kesiapsiagaan didasarkan pada pengetahuan, mengantisipasi masalah dan
merancang solusi dalam kaitannya dengan bencana dengan akurat karena
berhubungan dengan nyawa manusia di situasi krisis.
e. Kesiapsiagaan menyebabkan timbulnya tindakan yang tepat, sebagai sebuah
cara untuk meningkatkan kecepatan respons ketika bencana terjadi.
f. Resistensi terhadap kesiapsiagaan bencana diberikan, beberapa birokrat
mungkin berpikir bahwa mereka telah mengetahui tindakan yang harus
dilakukan saat bencana terjadi dan pada saat mereka menjalaninya.
g. Perencanaan yang sederhana merupakan sebuah tujuan yang jelas, sebuah
rencana kesiapsiagaan yang sederhana harus dilakukan seefesien mungkin.
38 Drabek, Thomas E. 1991. “Managing the Emergency Response.” Public Administration Review
45:85-92
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-34
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
3. Daya Tanggap (Respons)
Respons adalah tindakan yang dilakukan segera sebelum, selama, dan setelah
bencana terjadi. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menyelamatkan nyawa,
mengurangi kerusakan harta benda, dan meningkatkan pemulihan awal dari insiden
tersebut (Shaluf, 2008).39 Respons meliputi pemberian bantuan atau intervensi
selama atau segera setelah bencana terjadi, serta memenuhi kelestarian hidup dan
kebutuhan hidup dasar masyarakat yang terkena dampak.
Respons tidak hanya meliputi kegiatan pembatasan pada hal-hal, seperti cedera,
hilangnya nyawa, serta kerusakan harta benda, tempat tinggal, dan lingkungan,
tetapi juga mencakup sistem yang dikembangkan untuk mengoordinasikan dan
mendukung upaya- upaya tersebut. Respons juga termasuk menghidupkan kembali
infrastruktur-infrasturktur penting dengan sangat cepat, misalnya membuka
kembali jalur transportasi, pemulihan jaringan komunikasi dan listrik, serta juga
memastikan pendistribusian makanan dan air bersih. Langkah-langkah ini bertujuan
untuk memungkinkan pemulihan dilakukan, mengurangi kondisi cedera lebih lanjut
dan hilangnya nyawa, serta mempercepat kembalinya masyarakat untuk berfungsi
secara normal.
Menurut Bevaola (2014:28) response atau tanggap bencana merupakan
tindakan yang diambil ketika terjadinya bencana untuk mengurangi akibat dari
bencana itu sendiri, mulai dari cedera hingga kerusakan yang dapat dilakukan
melalui peringatan evakuasi dan penyediaan tempat penampungan/shelter.40 Selain
itu menurut buku yang sama juga dikatakan bahwa response merupakan tahapan
yang sangat penting dibandingkan dengan keempat tahapan lainnya.
4. Pemulihan (Recovery)
Kegiatan pemulihan meliputi keputusan dan tindakan yang diambil setelah
bencana dengan maksud untuk memulihkan atau meningkatkan kondisi kehidupan
prabencana dari masyarakat yang terkena dampak. Pada saat yang sama kegiatan
ini mendorong dan memfasilitasi penyesuaian yang diperlukan untuk mengurangi
risiko bencana. Dalam tahap ini dapat dilakukan kegiatan, seperti penilaian
39 Shaluf, Ibrahim M. 2008. Technological disaster stages and management. Disaster and
Management: An International Journal. Vol. 17 (1): 120 40 Kusumasari, Bevaola. (2014). Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Lokal.
Yogyakarta: Gava Media.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-35
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
kerusakan, pemindahan puing- puing reruntuhan, dan pendirian pusat-pusat
bantuan bencana.
Aktivitas yang berhubungan dengan pemulihan bencana adalah yang paling
beragam dibandingkan dengan fungsi manajemen bencana lainnya. Lingkup
individu, organisasi, dan kelompok yang terlibat juga lebih besar daripada fungsi
lainnya. Pemulihan bencana telah menarik minat dan perhatian yang besar dari
seluruh masyarakat karena konsekuensi bencana memengaruhi kehidupan
masyarakat.
Proses pemulihan dapat dibagi menjadi kegiatan jangka pendek danjangka
panjang. Tahap pemulihan jangka pendek dilakukan segera setelah peristiwa
bencana terjadi dengan tujuan menstabilkan kehidupan mereka yang terkena
dampak. Pemulihan ini pun dalam rangka mempersiapkan diri mereka untuk
menjalani perjalanan panjang menuju pembangunan kembali kehidupan mereka
setelah bencana. Kegiatan pada tahap ini meliputi penyediaan tempat tinggal
sementara, distribusi makanan dan air, serta pemulihan infrastruktur penting.
Kegiatan pemulihan jangka panjang tidak dimulai sampai fase darurat bencana
berakhir, yaitu di saat masyarakat mulai merehabilitasi dan membangun kembali.
Jenis-jenis pemulihan meliputi bantuan publik, pemulihan ekonomi, pemulihan
perumahan, dan pemulihan budaya.
Pelaksanaan manajemen bencana juga telah menjadi proyek internasional dan
telah menjadi perwujudan Sustainable Development Goals di Indonesia. Diadopsi
dari penyelenggaraan Konferensi Dunia ke-3 di Sendai, Miyagi, Jepang pada
tanggal 14 – 18 Maret 2015 menghasilkan kerangka pengurangan risiko bencana
dengan cara :
1. Mengadadopsi secara ringkas, terfokus, melihat kedepan, dan mengambil
tindakan yang berorientasi pada kerangka pengurangan risiko bencana
pasca 2015
2. Melengkapi penilaian dan review terhadap pelaksanaan Kerangka Aksi
Hyogo 2005 -2015
3. Memanfaatkan pengalaman pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo untuk
menyusun perencanaan pengurangan resiko bencana
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-36
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
4. Mengidentifikasi modalitas kerjasama berdasarkan komitmen untuk
menerapkan kerangka kerja pengurangan risiko bencana pasca tahun 2015
5. Menentukan modalitas untuk melakukan review secara periodik terhadap
pelaksanaan kerangka pengurangan risiko bencana pasca tahun 2015
Gambar 1.6. Kerangka Sendai tahun 2015 - 2030
Sumber : Bappenas
Berdasarkan uraian diatas, maka manajemen bencana sangat berpengaruh
dalam prosedur pelaksaan sistem kebencanaan. Penjelasan terkait manajemen
bencana akan memberikan arahan tujuan, target dan prioritas aksi yang harus
dilakukan dalam proses manajemen bencana. Terlebih hal tersebut, sangat
berpengaruh terhadap proses pelaksanaan kebencanaan yang dilakukan oleh Tim
Reaksi Cepat.
Pada penelitian ini, peneliti akan berfokus pada salah satu siklus yakni tanggap
darurat atau response, hal tersebut guna lebih menganalisis lebih dalam terkait
perbandingan Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota
Semarang dalam penanganan tanggap darurat bencana. Berpedoman pada buku
Disaster Management – A Disaster Manager’s Handbook yang ditulis oleh W. Nick
Carter (2008) menjelaskan terkait tanggap darurat sebagai tindakan yang dilakukan
untuk menyelamatkan nyawa, melindungi sarana, dan untuk melakukan
penanganan kerusakan langsung disebabkan oleh bencana.41
41 Carter, W. N. (2008). Disaster Management A Disaster Manager’s Handbook. Asian
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-37
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
1.5.2.2 Karakteristik Tanggap Darurat Bencana
Tanggap darurat memiliki ruang lingkup yang luas, dengan keberhasilan yang
bergantung pada kesiapan yang baik. Carter (2008:233), menyebutkan ada beberapa
karakteristik tertentu yang dapat dilihat dalam upaya melakukan tanggap darurat,
yakni42 :
1. Jenis bencana, sebagai bentuk gambaran awal terkait tindakan yang harus
dilakukan mulai dari aktivasi, mobilisasi, dan upaya pelaksanaan tanggap
darurat.
2. Tingkat keparahan bencana, melihat luasnya bencana yang terjadi
mempengaruhi aspek – aspek seperti kemampuan tanggap darurat bencana
dalam menghadapi masalah, prioritas penanganan tanggap darurat, strategi
yang digunakan dalam menangani dampak, dan syarat bantuan dari pihak
luar.
3. Tindakan yang diambil, melakukan pra-dampak dengan bentuk peringatan
yang dilakukan dengan cara evakuasi, tempat pengungsian, dan tindakan
perlindungan lainnya.
4. Tindakan berkelanjutan, upaya penanganan darurat bencana yang
dilakukan agar memiliki dampak panjang, dengan melibatkan beberapa
faktor yakni kemampuan sumber daya, manajemen, kemandirian
masyarakat, dan bantuan.
5. Identifikasi, melakukan serangkaian analisis dan menyusun strategi
sebelum melakukan tindakan penanganan tanggap darurat, hal ini untuk
mempersiapkan tindakan penanganan tanggap darurat yang terdefinisi
dengan baik dalam menghadapi potensi ancaman.
Penelitian ini akan menjelaskan pertama terkait jenis bencana yang terjadi di
Kota Surabaya dan Kota Semarang dan dapat menganalisis tindakan yang harus
dilakukan mulai dari aktivasi, mobilisasi, dan upaya pelaksanaan tanggap darurat.
Kedua terkait dengan tingkat keparahan bencana, sehingga dapat dilihat
perbandingan kemampuan tanggap darurat bencana Tim Reaksi Cepat Kota
Surabaya dan Kota Semarang dalam menghadapi masalah, prioritas penanganan
Development Bank. Retrieved from https://www.think-
asia.org/bitstream/handle/11540/5035/disaster-management-handbook.pdf?sequence=1 42 Carter, W. N. Op Cit. Hal 223
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-38
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
tanggap darurat, strategi yang digunakan dalam menangani dampak, dan syarat
bantuan dari pihak luar. Ketiga yakni dapat melihat tindakan yang diambil oleh Tim
Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota Semarang saat melakukan evakuasi, tempat
pengungsian, dan tindakan perlindungan lainnya. Keempat yakni melihat
bagaimana evakuasi, tempat pengungsian, dan tindakan perlindungan lainnya yang
dilakukan oleh Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota Semarang. Kelima yakni
serangkaian analisis dan menyusun strategi sebelum melakukan tindakan
penanganan tanggap darurat Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota Semarang.
1.5.2.3 Faktor Tanggap Darurat Bencana
Selain itu, Carter (2008:237) juga menyebutkan bahwa ada beberapa faktor
yang membuat proses tanggap darurat bencana menjadi optimal, yakni informasi
dan sumber daya.43 Kedua komponen tersebut menjadi penting karena nantinya
akan mempengaruhi rencana terbaik, pengaturan manajemen, staf ahli, dan hal lain
yang mempengaruhi. Berikut beberapa syarat utama menurut Carter (2008:237)
agar proses tanggap darurat bencana menjadi optimal,44 yakni :
1. Kesiapsiagaan, upaya proses tanggap darurat bencana menjadi optimal
akan sangat bergantung pada proses kesiapsiagaan. Hal tersebut
mencakup berbagai aspek dari arah kebijakan, perencanaan, organisasi,
dan pelatihan.
2. Kesiapan Sumberdaya Organisasi, yang perlu dilakukan guna
merespons situasi bencana, seringkali diperlukan waktu yang sangat
singkat. Hal ini diperlukan perhitungkan, yakni menyelaraskan
perbedaan dari berbagai persepektif instansi yang terlibat dan waktu
yang digunakan dalam proses tanggap darurat bencana.
3. Peringatan, sangat penting untuk pelaksanaan tanggapan yang berhasil
walaupun ada beberapa kesempatan peringatan sebagai bentuk
peringatan dini agar masyarakat tau hal – hal yang diperlu dihindari.
4. Evakuasi, melakukan sistem evakuasi sesuai protokoler dengan kehati-
hatian untuk melindungi korban bencana.
43 Carter, W. N. Op Cit. Hal 237 44 Carter, W. N. ibid
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-39
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
5. Aktivasi Sistem Tanggap Darurat, biasanya perlu ada sistem untuk
mengaktifkan pejabat manajemen bencana dan organisasi sumber daya,
Manfaat pengaturan ini adalah bahwa jika, setelah peringatan awal,
bencana tidak terjadi, aktivasi dapat dibatalkan.
6. Koordinasi, tindakan yang diambil dalam pada pelaksanaan tanggap
tanggap darurat bencana yang sangat penting. Hal ini untuk memastikan
bahwa pihak – pihak yang terlibat telah sesuai dengan seharusnya
dilakukan, sehingga menghindari tumpang tindih tugas operasional.
7. Komunikasi, komunikasi yang baik sangat penting untuk respon yang
optimal, karena akan mempengaruhi semua aspek jika tidak terjadi
komunikasi yang baik.
Dari hal – hal tersebut, jelas bahwasannya tanggap darurat memiliki peranan
yang sangat penting, karena menghadapi dampak awal dari dampak bencana yang
membutuhkan respon cepat dan seefektif mungkin. Sehingga dapat membantu
mengurangi dampak kerugian yang terjadi saat terjadi bencana.
Dari pemaparan hal - hal diatas, dapat digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan penelitian khususnya proses penanganan darurat bencana yang
dilakukan Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dibandingkan dengan proses
penanganan darurat bencana yang dilakukan Tim Reaksi Cepat Kota Semarang.
Sehingga penelitian ini nantinya dapat memiliki aspek – aspek yang digunakan
dalam menilai proses penanganan darurat bencana yang dilakukan Tim Reaksi
Cepat Kota Surabaya dibandingkan dengan proses penanganan darurat bencana
yang dilakukan Tim Reaksi Cepat Kota Semarang.
1.5.3 Hubungan Comparative Public Administration dan Manajemen Bencana
Keberhasilan manajemen bencana yang dilakukan oleh suatu organisasi
pemerintah dapat berpengaruh pada pengelolaan bencana itu sendiri, sehingga
tujuan dari pemerintah dalam menajemen bencana dapat tercapai. Terlebih jika
pengelolaan manajemen suatu organisasi dapat dibandingkan dengan organisasi
lain agar terjadi keseimbangan yang terjaga dan hasil yang maksimal. Dalam
kaitannya dengan bencana, Bevaola (2014:47) mengemukakan bahwa sangat
penting untuk mengidentifikasi demand atau tuntutan dengan kondisi yang dinamis
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-40
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
dan berkembang ditengah ketidak pastian peran dan kendala situasional.45 Hal
tersebut menjadi karakteristik lingkungan tanggap bencana dan mengembangkan
sebuah kemampuan manajemen yang diperlukan ketika terjadi bencana. Cigler
(2007) mengemukakan bahwasannya kemampuan sebagai bentuk kapasitas, dan
dalam hal kapastias pemerintah daerah haru memiliki kepasitas keuangan, teknis,
hukum, sumber daya manusia, politik, dan kelembagaan untuk melakukan kegiatan
disemua tahapan rutin kondisi darurat. 46
Manajemen bencana membutuhkan jaringan antarpemerintahan, yaitu antara
pemerintah pusat,provinsi, dan daerah untuk berbagi tanggung jawab, informasi,
keahlian, dan Komunikasi (Kapucu, 2009).47 Upaya yang dilakukan pemerintah
masih sulit untuk dilaksanakan karena beberapa alasan. Alasan tersebut antara lain
yakni jenis bencana yang ada, rendahnya pemahaman terhadap pentingnya
manajemen bencana, adanya resistensi historis terhadap regulasi dan perencanaan,
kurangnya konsitituen administrasi dan politik yang kuat, dan ketidak pastian risiko
dari bencana itu sendiri (Bevaola, 2014:71).48
Melihat pentingnya peningkatan kapasitas dan pemahaman tentang isu – isu
manajemen bencana antar pemerintah, maka penelitian ini digunakan sebagai
bentuk perbandingan antar organisasi pemerintah. Sehingga dalam penelitian ini
dapat diketahui hubungan comparative public administration dan manajemen
bencana antara Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota
Semarang yang dapat dilakukan dengan melihat terkait berbagi tanggung jawab,
informasi, keahlian, dan komunikasi antara Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan
Tim Reaksi Cepat Kota Semarang. Selain itu kedua Tim Reaksi Cepat juga nanti
nya dapat saling mengetahui jenis bencana yang ada, rendahnya pemahaman
terhadap pentingnya manajemen bencana, adanya resistensi historis terhadap
regulasi dan perencanaan, kurangnya konsitituen administrasi dan politik yang kuat,
dan ketidakpastian risiko.
45 Kusumasari, Bevaola. (2014). Op Cit. Hal 47 46 Cigler, B.A (2007). The “Big Questions” of Katrina and the 2005 Great Flood of New Orleans.
Public Administration Review, December (Spesial Issue) 47 Kapucu, N. (2009). Public Administration and Cross-Sector Governance in Response to and
Recorvery from Disasters. Administration and Society. 41(7),910-914 48 Kusumasari, Bevaola. (2014). Op Cit. Hal 71
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-41
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
1.5.3.1 Pengelolaan Bencana
Diskusi tentang peran penting pemerintah daerah dalam mengelola bencana
dimulai dari literatur bencana pada pertengahan tahun 1950-an. Banyaknya
perhatian baru terhadap manajemen bencana di tingkat pemerintah daerah
disebabkan oleh alasan - alasan berikut ini. Pertama, manajemen bencana
diimplementasikan oleh pemerintah daerah (Perry & Mushkatel, 1984 dalam
Bevaola, 2014). Kedua, adanya pemahaman yang berkembang bahwa pemerintah
daerah memainkan peran yang paling aktif dalam operasi darurat bencana (Herman,
1982; Labadie, 1984 dalam Bevaola, 2014). Ketiga, adanya pergeseran pelimpahan
kekuasaan dan wewenang dari pemerintah pusat oleh pemerintah daerah
bergantung pada manajemen command-and-control (perintah dan kontrol) yang
mengikuti pendekatan terstruktur (Neal & Phillips,1995 dalam Bevaola, 2014).49
Birokrasi di tingkat daerah dirancang untuk menerima desentralisasi
tanggung jawab dari pemerintah pusat dengan fokus pada tujuan jangka pendek
serta menciptakan peran dan fungsi kerja yang khusus. Di sisi lain, untuk memiliki
kemampuan mengatasi bencana, birokrasi harus mengadopsi model manajemen
holistik yang didukung dengan pembelajaran secara terus - menerus, adaptasi
terhadap perubahan, memiliki fokus jangka panjang, kecilnya tingkat kesalahan,
serta kemampuan yang tinggi untuk menggabungkan informasi dan pembelajaran
baru (Takeda & Helms, 2006). 50
Menurut Solway (2004), tujuan pemerintah daerah dalam pengelolaan
bencana meliputi hal-hal berikut ini51 :
1. Mengidentifikasi orang dan wilayah yang rentan bencana dalam lingkup
kabupaten
2. Memastikan bahwa semua anggota masyarakat menyadari potensi
dampak bencana alam
3. Membagikan saran dan panduan praktik yang baik kepada masyarakat
untuk mitigasi bencana
49 Kusumasari, Bevaola. (2014). Op Cit. Hal 60 50 Takeda, M. B., & Helms, M. M. (2006). Bureucracy, Meet Catastrophe: Analysis of Hurricance
Katrina Relief Effort and Their Implication for Emergency Response Governance. International
Journal of Public Sector Management, I 9 (4) 51 Solway, L. (2004). Reducing the Effect of Natural Hazzards on Urban Areas. In R. Casale & C.
Margottini (Eds.), Natural Disaster and Sustainable Development. Berlin: Springer
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-42
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
4. Menjaga hubungan dengan para pejabat yang bertanggung jawab dalam
perencanaan, kesehatan, dan kesejahteraan dengan mengeluarkan
peringatan atau sistem pengendalian massa dan kebakaran
5. Memastikan bahwa anggota masyarakat menerima pelatihan first aid
atau pertolongan pertama yang sesuai
6. Melaksanakan program pendidikan dan penyadaran masyarakat melalui
kegiatan yang bekerja sama dengan sekolah-sekolah setempat
7. Mengidentifikasi rute evakuasi dan lokasi tempat yang aman serta lokasi
pengungsi
Bencana dapat menciptakan kondisi krisis bagi pemerintah daerah karena
harus menghadapi ketidakpastian. Hal ini disebabkan oleh sistem pemerintah
daerah yang mungkin tidak sesuai dengan paradigma yang ada saat ini yang
menyatakan bahwa bencana sebagai produk alam. Untuk menghadapi kejadian
tidak terduga, sistem harus disiapkan dalam penanganan krisis. Singkatnya,
pemerintah daerah perlu menghasilkan sebuah rencana perubahan dan adaptasi
yang cepat. Namun kebanyakan respons bencana yang dilakukan oleh pemerintah
daerah bergantung pada manajemen command-and-control (perintah dan kontrol)
yang mengikuti pendekatan terstruktur (Neal & Phillips, 1995 dalam Bevaola
2014)52.
Birokrasi di tingkat daerah dirancang untuk menerima desentralisasi
tanggung jawab dari pemerintah pusat dengan fokus pada tujuan jangka pendek
serta menciptakan peran dan fungsi kerja yang khusus. Di sisi lain, untuk memiliki
kemampuan mengatasi bencana, birokrasi harus mengadopsi model manajemen
holistik yang didukung dengan pembelajaran secara terus-menerus, adaptasi
terhadap perubahan, memiliki fokus jangka panjang, kecilnya tingkat kesalahan,
serta kemampuan yang tinggi untuk menggabungkan informasi dan pembelajaran
baru (Takeda & Helms, 2006).53 Secara tradisional, unsur-unsur penting dari sistem
manajemen birokrasi adalah fokus pada aturan dan pelaksanaannya secara formal,
yang keduanya lebih menekankan pada proses daripada hasil. Takeda dan Helms
(2006) berpendapat bahwa kegagalan pendekatan birokratis dihasilkan dari
52 Kusumasari, Bevaola. (2014). Op Cit. Hal 63 53 Takeda dan Helms. (2006). Op Cit. Hal 399
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-43
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
kombinasi pengetahuan desentralisasi dengan pengambilan keputusan yang
terpusat, dan cenderung mengabaikan informasi dari luar.54 Sistem manajemen
birokrasi tergantung pada pembuatan keputusan secara kelompok karena perannya
diformalkan dan informasinya dikodifikasi. Selain itu, pendekatan ini dapat
mengakibatkan adanya upaya mempertahankan orang-orang yang memiliki
keahlian yang terbatas.
Sehingga peran penting pemerintah daerah khususnya Tim Reaksi Cepat
dalam mengelola bencana, hal ini karena birokrasi di tingkat daerah dirancang
untuk menerima desentralisasi tanggung jawab dari pemerintah pusat dengan fokus
pada tujuan jangka pendek serta menciptakan peran dan fungsi kerja yang khusus.
Sebagaimana tujuan pemerintah daerah dalam pengelolaan bencana yang meliputi
hal-hal identifikasi orang dan wilayah yang rentan bencana dalam lingkup
kabupaten, potensi dampak bencana alam, membagikan saran dan panduan praktik
yang baik, menjaga hubungan dengan para pejabat yang bertanggung jawab dalam
perencanaan, kesehatan, dan kesejahteraan, memastikan bahwa anggota masyarakat
menerima pelatihan first aid atau pertolongan pertama yang sesuai, melaksanakan
program pendidikan dan penyadaran masyarakat, serta mengidentifikasi rute
evakuasi dan lokasi tempat yang aman serta lokasi pengungsi. Hal – hal tersebut
dapat dilihat jika sudah ada pembanding antar instansi satu dengan lainnya. Maka
dari itu penelitian ini digunakan sebagai perbandingan antara Tim Reaksi Cepat
Kota Surabaya dan Kota Semarang dalam penanganan tanggap bencana.
1.5.3.2 Faktor Mengelola Bencana
Menurut Bevaola (2014:32) banyak ahli kebancanaan mencoba menentukan
beberapa faktor penting dalam mengelola bencana.55 Berikut merupakan faktor
penentu keberhasilan Manajemen Bencana :
Tabel 1.6 Faktor Penentu Keberhasilan Manajemen Bencana
Indikator Penjelasan
Pengaturan
kelembagaan (Moe &
Pathranarakul, 2006)
Pengaturan kelembagaan merupakan faktor penting
dalam keberhasilan manajemen bencana, yang utama
pada kondisi ketika pemerintah yang bertanggungjawab
tidak memiliki otoritas sehingga dapat menyebabkan
54 Takeda dan Helms. (2006). Op Cit Hal 400 55 Kusumasari, Bevaola. (2014). Op Cit. Hal 32
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-44
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
ambiguitas distribusi kekuasaan dan penundaan
pembuatan keputusan, terutama dalam hal bantuan
darurat dan rehabilitasi.
Koordinasi dan
kolaborasi
(Charoenngam &
Leungbootnak, 2005)
Terdapat lima level yang berbeda dari setiap koordinasi
dan kolaborasi diantara pemangku kepentingan utama.
Undang – undang dan
peraturan yang
mendukung
(Tingsanchali, 2005)
Undang – undang dan peraturan yang mendukung
berdampak positif pada keberhasilan kebijakan
manajemen bencana. Sehingga undang – undang dan
peraturan harus ditetapkan dan diberlakukan untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif dalam
manajemen bencana.
Sistem manajemen
informasi yang efektif
(Charoenngam &
Leungbootnak,2005)
Adanya informasi memainkan peran yang sangat
penting dalam perencanaan, peringatan dini,
rehabilitasi, dan rekonstruksi. Oleh karenanya, sistem
manajemen informasi yang efektif dan penyebaran
informasi penting antara para pemangku kepentingan
guna pencapaian hasil manajemen bencana.
Kompetensi manajer
dan anggota tim
(Newport & Jawahar,
2003)
Kesiapsiagaan bencana tidak akan dilaksanakan tanpa
partisipasi dari masyarakat rentan yang menjadi
sasaran. Oleh karenanya, pelaksanaan kebijakan
seharusnya tidak menjadi tanggung jawab pengelola
secara individu. Masyarakat yang berada di daerah
rawan bencana berhak mendapat pelatihan, pada saat
yang sama pemerintah juga dapat menyediakan tenaga
ahli dengan tingkat kompetensi yang tinggi untuk
melatih masyarakat.
Konsultasi yang
efektif dengan para
pemangku
kepentingan utama
dan penerima manfaat
yang menjadi sasaran
(Moe &
Pathranarakul, 2006)
Partisipasi dari semua pemangku kepentingan sangat
penting untuk merumuskan strategi dan rencana aksi
yang sesuai dengan kebutuhan lokal.
Mekanisme
komunikasi yang
efektif (Turner &
Muller, 2004)
Komunikasi yang efektif digambarkan sebagai
hubungan kerja kolaboratif antara berbagai pemangku
kepentingan merupakan factor utama keberhasilan
selain keahlian staf pemerintahan.
Tujuan dan komitmen
didefinisikan secara
jelas oleh para
pemangku
kepentingan
utama (Diallo &
Thuillier, 2004;
Youker, 1999)
Tujuan harus didefinisikan secara jelas serta pemangku
kepentingan utama harus membuat kesepakatan dan
komitmen untuk melaksanakan tujuan tersebut. Tujuan
dapat diperoleh dari pengalaman bencana sebelumnya
yang menjadi pelajaran penting untuk menciptakan
kebijakan yang baik.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-45
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Manajemen logistik
yang efektif (Perry,
2007)
Manajemen logistik yang efektif berhubungan dengan
manusia, keahlian, dan teknologi yang diperlukan
dalam semua fase bencana: sebelum, selama, dan
sesudah terjadinya bencana. Sering ditemukan bahwa
permasalahan transportasi berakar dari hambatan
transportasi, kurangnya koordinasi terhadap bantuan
pekerjaan yang berbeda, dan buruknya infrastruktur
transportasi nasional.
Mobilisasi dan
penyaluran sumber
daya yang memadai
(Diallo & Thuillier,
2004; Youker, 1 999)
Sebuah proses perencanaan sumber daya menentukan
apa saja yang termasuk sebagai sumber daya (manusia,
peralatan, dan material) yang dibutuhkan dan dalam
jumlah seberapa besar untuk dapat melaksanakan
kegiatan yang diperlukan
Sumber: diadaptasi dari Charoenngam & Leungbootnak, 2005; Diallo & Thuillier,
2004; Moe & Pathranarakul, 2006; Newport & Jawahar, 2003; Perry, 2007; Turner
& Muller, 2004; Youker, 1999)
Selain itu, Quarantelli (1997 dalam Bevaola, 2014) juga memberikan
sepuluh kriteria manajemen bencana yang baik berdasarkan hasil penelitian empiris
yang dilakukan oleh para ilmuwan sosial selama empat puluh tahun terakhir.56
Tabel 1.7 Kriteria Manajemen Bencana yang Baik
Kriteria Indikator Penjelasan
1. Mengenali
dengan benar
perbedaan antara
agent-and
response-
generated needs
and demands
Mobilisasi personil dan
sumber daya secara
efektif
Pembagian tugas dan
pembagian kerja yang
sesuai
Memadainya arus
informasi
Banyaknya pengambilan
keputusan
Agent-generated demand
atau suatu kondisi yang
menyebabkan adanya
tuntutan, seperti gempa bumi
dapat menyebabkan adanya
kebutuhan terhadap benda-
benda, seperti tenda sebagai
tempat tinggal sementara.
response-generated demand
atau respon dari tuntutan
dihasilkan dari berbagai
usaha yang dilakukan oleh
organisasi yang merespons
untuk mengelola bencana
masyarakat
2. Menjalankan
fungsi umum
secara memadai
Fungsi telah diketahui
dari awal
Fungsi dijalankan tanpa
ada banyak masalah
Fungsi umum merujuk pada
kegiatan yang dapat berguna
dalam berbagai kegiatan
bencana dan dapat
disesuaikan dengan tuntutan
situasi, seperti peringatan,
evakuasi, perlindungan,
56 Kusumasari, Bevaola. (2014). Op Cit. Hal 34
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-46
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Korban bencana merasa
puas dengan fungsi yang
disediakan
perawatan medis darurat,
pencarian dan
penyelamatan, serta
perlindungan harta benda
3. Memobilisasi
personil dan
sumber daya
secara efektif
Siapa yang akan
menggunaka
sukarelawan/personil
yang ada?
Ke mana mereka akan
dikirim/ ditempatkan?
Bagaimana pengawasan
mereka?
Kapan mereka akan
diberdayakan?
Efektif berarti hasil yang
diinginkan dan diharapkan
telah tercapai
4. Menghasilkan
perwakilan tugas
pembagian kerja
yang sesuai
Mampu memobilisasi
sumber daya tambahan
yang tidak ada dalam
tanggung jawab normal,
seperti pencarian dan
penyelamatan korban
dalam skala besar,
penanganan korban
massal, dll.
Mampu mengubah pola
pengambilan keputusan
yang telah ada
Hubungan otoritas dan
jalur arus informasi
Tepat berarti semua tugas
yang diperlukan
dilaksanakan secara relative
cepat dengan hanya terdapat
beberapa masalah
5. Pengelolahan
informasi yang
cukup
Organisasi dan/atau
warga negara
mendapatkan informasi
yang dibutuhkan
Aliran informasi dalam
setiap organisasi yang
memberi respons,
antarorganisasi, dari
warga negara ke
organisasi, dan dari
organisasi ke warga
negara
Arus informasi menekankan
pada apa yang
dikomunikasikan, bukan
bagaimana komunikasi
terjadi
6. Pelaksanaan
pengambilan
keputusan yang
tepat
Menentukan otoritas
dalam organisasi untuk
membuat keputusan
Menentukan tanggung
jawab kelompok yang
muncul secara tiba-tiba
Pengambilan keputusan
yang tepat diperlukan ketika
pejabat dengan informasi
yang tepat tentang suatu hal
penting secara fisik tidak
selalu mampu bekerja di luar
kegiatan rutin
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-47
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
7. Membangun
koordinasi secara
keseluruhan
Adanya pembagian peran
yang jelas sehingga
individu atau organisasi
tertentu dapat
mengendalikan situasi
tertentu
Koordinasi adalah
menginformasikan kepada
organisasi atau kelompok
lain tentang tindakan yang
akan mereka lakukan
8. Memadukan
perilaku
organisasi yang
telah ada dan
yang baru muncul
Menentukan tujuan bagi
pejabat yang ingin
memfasilitasi beberapa
jenis kondisi darurat
Memfasilitasi relawan
yang tiba –tiba muncul
Setiap bencana akan ditandai
dengan hadirnya secara tiba-
tiba kelompok dan perilaku
yang harus disesuaikan
dengan semua kegiatan yang
relevan
9. Menyediakan
laporan yang
sesuai untuk
media berita
Adanya interaksi kerja
sama antara pejabat
organisasi dan
masyarakat serta
perwakilan media
Warga negara
memercayai media yang
memberikan informasi
yang akurat
Manajemen bencana yang
baik harus mendorong
pengembangan pola
bermanfaat bagi organisasi,
media hubungan yang dapat
diterima dan massa, dan
khususnya adalah warga
negara
10. Memiliki
Emergency
Operations
Center (EOC)
atau Pusat
Operasi Darurat
(POD) yang
berfungsi
dengan baik
Memfasilitasi arus
informasi yang
diperlakukan untuk
kegiatan koordinasi,
seperti penyediaan
komunikasi, computer,
dan ruang kerja yang
memadai
Personil penghubung
harus memiliki
pengetahuan
Memiliki tanggung
jawab pengambilan
keputusan tertentu
EOC berfungsi sebagai pusat
koordinasi serta EOC
merupakan fungsi, tempat,
dan struktur
Sumber : Quarantelli (1997 dalam Bevaola, 2014)
Faktor penting dalam mengelola bencana merupakan bagian dari
manajemen bencana, yang dapat dilihat dengan beberapa faktor penentu
keberhasilan dan kriteria manajemen yang baik. Faktor penting dalam mengelola
bencana menjadi sarana yang sebagai bentuk perbandingan yang dapat dilakukan
antar organisasi, dalam hal ini perbandingan antara Tim Reaksi Cepat Kota
Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota Semarang dalam penanganan tanggap darurat
bencana. Faktor penentu keberhasilan yang dapat dilihat dari pengaturan
kelembagaan, koordinasi dan kolaborasi, Undang – undang dan peraturan yang
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-48
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
mendukung, sistem manajemen informasi yang efektif, kompetensi manajer dan
anggota tim, konsultasi yang efektif dengan para pemangku kepentingan utama dan
penerima manfaat yang menjadi sasaran, mekanisme komunikasi yang efektif,
tujuan dan komitmen didefinisikan secara jelas oleh para pemangku kepentingan
utama, manajemen logistik yang efektif, mobilisasi dan penyaluran sumber daya
yang memadai dari Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota
Semarang.
Selain itu hubungan antara Comparative Public Administration dengan
manajemen bencana juga dapat ditelisik dengan menggunakan sepuluh kriteria
yang baik dalam pelaksanaan tanggap darurat bencana mulai dari Mengenali
dengan benar perbedaan antara agent-and response-generated needs and demands
hingga memiliki Emergency Operations Center (EOC) atau Pusat Operasi Darurat
(POD) yang berfungsi dengan baik. Sehingga nanti nya dapat mudah dianalisis
terkait perbandingan penanganan tanggap darurat bencana yang dilakukan oleh Tim
Reaksi Cepat Kota Surabaya dibandingkan dengan tanggap darurat bencana yang
dilakukan oleh Tim Reaksi Cepat Kota Semarang.
1.6 Definisi Konsep
Konsep merupakan suatu instrument yang penting dalam sebuah penelitian.
Konsep merupakan suatu fenomena atau gejala yang menjadi perhatian dalam
penelitian. Berdasarkan pemaparan dalam sub sebelumnya, maka pelbagai konsep
yang relevan dalam penelitian ini yakni :
1. Perbandingan Administrasi Negara / Comparative Public Adminsitration
Sebuah cara untuk membandingkan dua hal atau lebih, yang berkaitan dengan
budaya dan pengaturan yang berbeda, fitur atau karakteristiknya sama atau
berbeda. Hal tersebut digunakan sebagai cara perbangingan untuk mengetahui
"penyebab" atau "alasan".
2. Marthur’s Model
Tahapan pada proses penelitian perbandingan dengan melakukan analisis pada
subjek penelitian, diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor geografis,
sosio-ekonomi dan politik tertentu yang menghadirkan latar belakang yang
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-49
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
berbeda. Sehingga nantinya dapat diketahui secara mendalam penyebab
terjadinya perbedaan kedua organisasi
3. BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah)
Badan Penanggulangan Bencana Daerah merupakan representasi dari
pemerintah kabupaten/kota yang memiliki tugas dan fungsi dalam proses
manajemen bencana, memiliki perintah akan pelaksanaan tanggap darurat
bencana yang dilakukan oleh Tim Reaksi Cepat
4. Tim Reaksi Cepat
Pelaksana kewenangan yang berada dibawah naungan BPBD, melakukan
kegiatan secara cepat dan tanggap pada saat terrjadinnya bencana dengan
memberikan dukungan dan pendampingan dalam melakukan proses
penanganan darurat bencana.
5. Bencana
Sebuah kejadian yang ditimbulkan baik dari alam, non alam, maupun sosial
yang memberikan dampak kerugian secara general. Kerugian yang ditimbulkan
berdampak pada ekonomi, sosial, politik, dan juga stabilitas yang lain.
Sehingga memerlukan tindakan representatif ketika terjadi nya bencana.
6. Manajemen bencana
Tahapan – tahapan berupa strategi yang dilakukan sebelum, saat, dan sesudah
terjadinya bencana. Tahapan tersebut dilakukan guna mencegah terjadi nya
bencana, melakukan aksi tanggap saat terjadi bencana, dan melakukan
perbaikan pasca terjadinya bencana.
7. Penanganan tanggap darurat bencana
Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan,
prasarana dan sarana.
8. Tanggap darurat / Response
Tanggapan, reaksi, dan jawaban ketika terjadinya bencana yang dilakukan oleh
Tim Reaksi Cepat. Hal ini terjadi tepat saat terjadi bencana, tindakan yang
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-50
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
dilakukan berupa adanya perlindungan maupun evakuasi yang dilakukan oleh
Tim Reaksi Cepat.
9. Pengelolaan Bencana
Kemampuan dalam mengatasi bencana yang terjadi didukung dengan
peningkatan kualitas dan kemampuan, adaptasi terhadap perubahan, dan
memiliki fokus jangka panjang.
10. Faktor Mengelola Bencana
Keadaan atau peristiwa yang mempengaruhi pelaksanaan pengelolaan bencana
yang terdiri dari pengaturan kelembagaan koordinasi dan kolaborasi, undang
– undang dan peraturan, sistem manajemen informasi, dan kompetensi SDM.
11. Pengaturan kelembagaan
Sebuah pola yang diciptakan atau dibentuk oleh lembaga dalam menjalankan
pelaksanaan kelembagaan yang ditandai dengan adanya struktur organisasi
maupun tugas dan fungsi dari masing – masing bagian.
12. Koordinasi dan Kolaborasi
Tindakan yang diambil dalam pada pelaksanaan tanggap tanggap darurat
bencana yang sangat penting. Hal ini untuk memastikan bahwa pihak – pihak
yang terlibat telah sesuai dengan seharusnya dilakukan, sehingga menghindari
tumpang tindih tugas operasional.
13. Undang – Undang dan Peraturan
Landasan yang digunakan maupun dicipatakan sebagai dasar aturan dan
pelaksanaan dalam mewujudkan tujuan organisasi. Landasan tersebut berasal
baik dari dalam organisasi maupun luar organisasi yang memberikan payung
hukum pelaksanaan organisasi.
14. Sistem Manajemen Informasi
Pola pengaturan yang dibentuk sebuah organisasi dalam memberikan sebuah
informasi dan menyediakan pelayanan penampungan informasi, guna
memudahkan komunikasi ketika terjadi sebuah bencana.
15. Kompetensi SDM
Kemampuan yang dimiliki oleh masing – masing anggota dalam sebuah
organisasi yang dapat dilihat dari kinerja pada pelaksanaan tujuan organisasi.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-51
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan salah satu pra syarat yang harus dilakukan dalam
penelitian untuk mengungkapkan sebuah fenomena yang ada. Metode penelitian
dimaksudkan sebagai cara untuk memperoleh kebenaran atas asas gejala yang ada
pada masyarakat. Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, peneliti
berusaha untuk mengetahui dan memperoleh pemahaman mengenai fenomena
konstruksi sosial yang terjadi antara Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota
Semarang dalam penanganan tanggap darurat bencana. Oleh sebab itu, metode
penlitian yang digunakan yakni metode penelitian kualitatif.
Menurut Neuman, Lawrencse W (2017:23) metode penelitian kualitatif
memiliki fokus pada proses yang interaktif, adanya konstruksi maksa kebudayaan
serta realitas sosial, kebenaran dan juga faktor utama, yang dihadirkan secara
eksplisit, dengan data dan teori yang menyatu.57s
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif
dan teknik analisis data komparatif. Dimana dalam metode penelitian ini yang
menjadi fokus utama adalah memperoleh pemahaman atas tindakan dan makna
gejala sosial dalam sudut pandang subyek penelitian. Alasan peneliti menggunakan
metode penelitian kualitatif adalah sifat masalah yang diteliti, dimana penelitian ini
berupaya mengungkap dan memahami sesuatu makna dibalik fenomena dalam
suatu konteks khusus, yaitu mengenai manajemen penanggulangan bencana di Kota
Surabaya dan Kota Semarang.
1.7.1 Tipe Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan pada penelitian ini, maka tipe
penelitian yang digunakan yakni tipe penelitian deskriptif, karena tujuan penelitian
ini adalah untuk mendeskripsikan fenomena konstruksi sosial yang terjadi antara
Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota Semarang dalam penanganan tanggap
darurat bencana. Seperti yang dijelaskan (Neuman, 2017). Penelitian deskriptif
dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang,
57 Neuman, W. L. (2017). Metode Penelitian Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Edisi
Ketu). Jakarta: PT Indeks.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-52
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
lembaga, masyarakat dan lainnya) pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta
yang tampak atau sebagai mana adanya.58 Dalam hal ini, peneliti mencoba
menjelaskan mengenai Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota Semarang
dalam penanganan tanggap darurat bencana.
1.7.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah dimana penelitian
dilakukan. Penentuan lokasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive
yang ditentukan sesuai kesamaan bahwasannya Kota Surabaya dan Kota Semarang
memiliki luas wilayah yang hampir sama, namun mengenai jumlah penduduk dan
kepadatan penduduk sedikit berbeda mengingat Kota Surabaya merupakan kota
metropolitan kedua setelah ibu kota Jakarta. Alasan peneliti memilih kedua lokasi
penelitian tersebut, karena kedua kota memiliki karakterisitik yang hampir sama.
Kota Surabaya dan Kota Semarang memiliki letak geografis, karakter awal kota,
dominasi kegiatan ekonomi, dan status administratif yang sama. Namun, dalam
kebijakan penanganan darurat bencana berbeda penerapannya. Hal tersebut
dibuktikan dengan adanya Tim Reaksi Cepat yang memiliki cara berbeda dalam
melaksanakan tugas tanggap bencana di masing – masing kota.
Adanya pertimbangan – pertimbangan tersebut, maka berikut institusi yang
akan menjadi lokasi penelitian :
1. Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya, yang dinaungi oleh Badan
Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya
Alamat : Jl. Tambaksari 11, Tambaksari, Kec. Tambaksari, Kota SBY,
Jawa Timur 60136
2. Tim Reaksi Cepat Kota Semarang, yang dinaungi oleh Badan
Penanggulangan Bencana Kota Semarang
Alamat : Kompleks Terminal Penggaron, Jl. Brigjen Sudiarto No.KM.
11, Penggaron Kidul, Kec. Pedurungan, Kota Semarang, Jawa Tengah
50194
58 Neuman, W. L. (2017). Metode Penelitian Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Edisi
Ketu). Jakarta: PT Indeks.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-53
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
1.7.3 Teknik Penentuan Informan
Pada penelitian kualitatif yang paling utama yakni adanya cakupan terkait
informasi yang bersumber dari informan. Teknik penentuan informan sendiri
menjadi aspek penting karena informasi yang didapat dari informan sangat
berkaitan dengan permasalahan penelitian dan jawaban atas rumusan masalah yang
ada. Dalam penelitian ini, teknik penentuan informan dilakukan dengan teknik
purposive dengan ketentuan informan yang dipilih merupakan pihak yang dianggap
paling mengetahui dan memahami terkait permasalahan penelitian tentang
pelaksanaan penanganan darurat bencana dan kinerja Tim Reaksi Cepat Kota
Surabaya dan Kota Semarang. Informan yang rencana dipilih yakni
1. Kepala Sub Bidang Kedaruratan BPBLinmas Kota Surabaya yaitu Bapak
Arif Sunandar, S.Sos
2. Kepala Seksi Logistik BPBD Kota Semarang yaitu Bapak Ngafi
Kurniawan, S.E.
3. Koordinator Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya atau Kepala Rayon Pusat
Tim Reaksi Cepat BPBLinmas Kota Surabaya yaitu Bapak Khoirul Amin
4. Kasubag Perencanaan dan Evaluasi BPBD Kota Semarang yaitu Ibu Rita
Muflikatun Nu’amah
5. Anggota Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya yaitu Mbak Khamisa
6. Anggota Tim Reaksi Cepat Kota Semarang yaitu Mas Salman
Dari beberapa informan diatas yang telah dipilih, maka peneliti mendapatkan
informasi terkait penanganan tanggap darurat bencana yang dilaksanakan Tim
Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota Semarang. Selain itu
peniliti mendapatkan data – data pendukug yang diperoleh dari berbagai sumber
mulai dari studi dokumen hingga observasi.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam menjawab rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, diperlukan
data yang relevan terkait dengan pelaksanaan penanganan darurat bencana dan
kinerja Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota Semarang. Data sangatlah
diperlukan dalam proses penelitian ini nantinya, karena dengan data yang ada dapat
dilakukan perbandingan antar kedua unit yang menjadi objek penelitian. Adanya
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-54
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
data yang nantinya akan diperoleh, mampu untuk mengetahui fenomena yang
terjadi dan kemudian dapat dianalisis menggunakan teori yang sesuai dengan
permasalahan yang telah ditemukan. Selain itu dalam penelitian studi komparatif
menurut Neuman (2017:219), terdapat beberapa data yang diperlukan yakni catatan
sejarah, peta, foto, informasi resmi, dan wawancara.59
a. Catatan sejarah, didapatkan dari dokumen yang menjadi saksi tumbuh dan
berkembangnya unit penelitian. Pada penelitian ini, data – data yang diperoleh
yakni bersumber dari BPBLinmas Kota Surabaya dan BPBD Kota Semarang
berupa dokumen regulasi meliputi Peraturan Walikota, Renstra, Renja, Lakip,
SK, SOP.
b. Peta, gambaran lokasi yang tertuang sebagai bentuk nyata dari unit yang
menjadi fokus penelitian. Pada penelitian ini, peta yang didapatkan berupa peta
bencana yang menunjukkan daerah – daerah rawan bencana di Kota Surabaya
dan Kota Semarang.
c. Foto, informasi yang didapatkan dari adanya dokumentasi yang dilakukan di
unit penelitian. Dokumentasi didapatkan oleh peneliti secara langsung dari
narasumber saat melakukan proses pelakasanaan tanggap darurat bencana.
d. Informasi statistik resmi, adanya data resmi yang telah dirilis dan memperkuat
atau menyatakan kondisi unit penelitian. Pada penelitian ini, informasi statistic
resmi didapatkan melalui website resmi milik BPBLinmas Kota Surabaya dan
BPBD Kota Semarang.
e. Wawancara, adalah teknik pengumpulan data yang dapat digunakan sabagai
bentuk interaksi dengan pihak informan yang mengetahui secara detail terkait
fokus penelitian. Dari hasil wawancara juga mampu untuk menghimpun
informasi dalam bentuk percakapan dengan maksud tertentu. Data atau
infromasi pada penelitian ini secara garis besar berkaitan dengan penanganan
tanggap darurat bencana Kota Surabaya dan Kota Semarang.
Selain itu pada kontenks penelitian ini, data atau informasi yang dikumpulkan
melalui observasi langsung adalah informasi terkait penanganan darurat bencana
oleh Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota Semarang. Data
59 Neuman, W. L. (2017). Op Cit. Hal 219
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-55
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
yang dikumpulkan juga berdasarkan pedoman yang ditelah peniliti tentukan
sebelumnya, diantara nya mencakup :
Strategi Badan Penanggulangan Bencana yang dilaksanakan oleh Tim Reaksi
Cepat dalam melakukan penanganan darurat bencana di Kota Surabaya dan
Kota Semarang
Proses pelaksanaan darurat bencana oleh Badan Penanggulangan Bencana
yang dilaksanakan dalam hal ini Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota
Semarang
1.7.5 Teknik Keabsahan Data
Dalam penelitian ini, dituliskan terkait teknik keabsahan data karena
membutuhkan pembuktian berupa derajat kepercayaan data yang nantinya dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini digunakan pada penelitian kualitatif untuk
membuktikan data agar semua nya dapat dipercaya, yang disebut dengan keabsahan
data. Teknik keabsahan data yang digunakan yakni menggunakan teknik triangulasi
data.
Menurut Neuman (2017:186) triangulasi atau penyetigaan adalah teknik yang
dapat meningkatkan keakuratan dengan melihat berbagai sudut pandang.
Triangulasi merupakan cara untuk menghialngkan perbedaan persepektifdalam
proses pengumpulan data.60 Dengan adanya triangulasi, maka peneliti dapat
melakukan cek ulang terkait penemuan dengan beberapa hal yang dapat
dibandingkan dengan sumber/pengamat, metode, dan teori.
Sesuai dengan pendapat Neuman (2017:187) membagi triangulasi menjadi 3,
yakni triangulasi pengamat, triangulasi teori, dan triangulasi metode.61
a. Triangulasi pengamat, merupakan bentuk penggabungan yang dapat dilihat dan
dialami oleh berbagai pengamat yang akan menghasilkan gambaran yang lebih
lengkap, daripada hanya dialami oleh satu pengamat saja. Yang dimaksudkan
pengamat disini merupakan orang yang menjadi sumber wawancara ataupun
pengamat berbagai perilaku dan peristiwa dalam fokus penelitian.
60 Neuman, W. L. (2017). Op Cit. Hal 186 61 Neuman, W. L. (2017). Op Cit. Hal 187
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-56
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
b. Triangulasi teori, membutuhkan penggunaan perspektif teoritis majemuk guna
merencakan penelitian ataupun menginterpretasikan data, karena setiap teori
memiliki asumsi dan konsep yang berbeda-beda. Adanya triangulasi teori
membantu peneliti, karena setiap perspektif dalam teori mengidentifikasikan
sebuah data yang relevan, dengan menyediakan serangkaian konsep, membantu
dalam menafsirkan arti serta signifikansi data.
c. Triangulasi metode, merupakan bentuk pengembangan keahlian peneliti yang
menggabungkan berbagai metode agar lebih komperehensif.
Dalam penelitian ini, hal – hal diatas dicapai dengan cara :
Membandingkan data dari dokumen tertulis dengan wawancara. Peneliti
membandingkan informasi yang dihasilkan dari wawancara mengenai pelaksanaan
tanggap darurat bencana oleh Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi
Cepat Kota Semarang dengan dokumen – dokumen pendukung yang sesuai. Selain
itu membandingkan data hasil wawancara mendalam dari berbagai informan yang
berbeda. Dalam penelitian ini, membendingkan data hasil wawancara mendalam
dari berbagai informan yang berbeda terkait dengan pelaksanaan tanggap darurat
bencana oleh Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota
Semarang dari sudut pandang pihak BPBLinmas Kota Surabaya dan BPBD Kota
Semarang.
1.7.6 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini menggambarkan terkait teknik keabsahan data diperoleh
dari berbagai sumber dengan adanya catatan sejarah, peta, foto, informasi statistik
resmi, dan juga wawancara. Setelah memperoleh data dan informasi maka langkah
selanjutnya dilakukan analisis data dan informasi yang kemudian dilakukan
penarikan kesimpulan.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yakni teknik analisis
data penelitian komparatif untuk membandingkan manajemen bencana yang
berfokus pada Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota Semarang, yang mana
berfokus pada persamaan dan perbedaan antar unit yang mengungkap berbagai
aspek kehidupan sosial yang beroperasi pada seluruh unit (Neuman, 2017:535).
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-57
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Kekuatan dari penelitian komparatif ini juga diungkapkan oleh Neuman
(2017:535) merupakan kemampuan untuk menyingkirkan dan/ atau menawarkan
sebuah penjelasan alternatif dalam sebuah hubungan kausal. Dalam penelitian
kualitatif sendiri terdapat empat jenis.62 Yakni (1) Penelitian Komparatif Studi-
Kasus, yang digunakan untuk membandingkan masyarakat atau unit tetapi tidak
membuat generalisasi secara luas, (2) Penelitian Konteks Budaya, yakni
menggantikan studi kasus sebagai jenis masyarakat atau unit dengan konteks
budaya, (3) Penelitian Lintas Negara, dengan unit analisis negara yang melibatkan
banyak negara tanpa menyebut namanya, dan (4) Penelitian Transformasional, yang
menggunakan unit multi-bangsa dengan fokus hubungan antar blok negara.
Pada penelitian ini lebih berfokus pada penelitian komparatif studi kasus di
antara Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota Semarang yang menangani
darurat bencana. Komparatif studi dapat menentukan penyebab, efek, atau
konsekuensi yang ada diantara dua kelompok. Penelitian ini diawali dengan
mencatat perbedaan diantara dua kelompok, dan selanjutnya mencari kemungkinan
penyebab, efek, atau konsekuensi. Selain itu pendekatan kualitatif juga sangat
mendukung studi komparatif antara Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Kota
Semarang.
Dalam penelitian ini peneliti juga akan membandingkan antara Tim Reaksi
Cepat Kota Surabaya dan Kota Semarang dengan mengungkapkan :
1. Perbandingan strategi penanganan darurat bencana antara BPBLinmas
Kota Surabaya dan BPBD Kota Semarang
2. Perbandingan metode pelaksanaan penanganan darurat bencana antara
BPBLinmas Kota Surabaya dan BPBD Kota Semarang
3. Perbandingan kinerja antara Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim
Reaksi Cepat Kota Semarang
4. Membandingkan proses tanggap darurat bencana yang dilakukan antara
Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi Cepat Kota Semarang
Sehingga dapat diketahui proses penanganan tanggap darurat bencana dari
kedua kota, yakni Kota Surabaya dan Semarang berdasarkan perbandingan antara
item – item diatas. Dalam penelitian ini diporoleh gambaran tentang pelaksanaan
62 Neuman, W. L. (2017). Op Cit. Hal 535
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-58
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
proses penanganan tanggap darurat bencana oleh Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya
dan Tim Reaksi Cepat Kota Semarang. Data yang didapatkan melalui observasi dan
wawancara, menjawab pemahaman dan interpretasi mengenai proses penanganan
tanggap darurat bencana oleh Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan Tim Reaksi
Cepat Kota Semarang.
1.7.7 Skema Penelitian
Pada penelitian ini, terdapat skema penelitian atau tahap – tahap penelitian
yang dilakukan oleh peneliti dalam menghasilkan proses dan capaian yang fokus,
terarah, dan hasil yang maksimal dalam penelitian metode kualitatif dengan tipe
komparatif ini. Berikut skema penelitian ini yakni :
Gambar 1.7. Skema Penelitian
Sumber : modifikasi dari suharsimi (2006)63
Dalam melakukan penelitian kompratif tentu saja banyak hal yang
dilakukan, mengingat yang menjadi fokus penelitian bukan hanya satu subjek
namun dua subjek. Dari skema penelitian diatas, maka berikut penjelasan terkait
tahapan – tahapan yang ada didalamnya :
1. Tahap pra penelitian
a. Menentukan rumusan masalah
Langkah awal dalam penelitian ini dimulai oleh peneliti dari tahap
perumusan masalah, yang mana melihat permasalahan terjadinya bencana lebih
fokusnya pada tahap pelaksanaan penanganan tanggap darurat bencana.
Pelaksanaan tanggap darurat bencana menjadi urgensi penting dari proses
keilmuan administrasi negara, sebagai bentuk pengambilan dan implementasi
kebijakan.
b. Menentukan lokasi penelitian
63 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi VI, (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2006) hal.130.
Pra Penelitian
Pengambilan Data
Analisis DataPenulisan Laporan
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-59
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Proses penentuan lokasi penelitian ini dipilih karena kedua lokasi penelitian
tersebut merupakan kedua kota yang memiliki karakterisitik hampir sama.
Pada konteks penelitian komparasi juga dibutuhkan persamaan karakteristik
kedua lokasi penelitian untuk bisa dilihat dan dianalisis lebih dalam terkait
perbedaan dari pelaksanaan sebuah kebijakan.
c. Menyusun proposal penelitian
Pada tahapan penyusunan proposal menjadi bagian dari proses
pengumpulan informasi awal dan penggalian ide yang lebih dalam sebelum
pada proses pengambilan data. Pada proses penyusunan proposal ini, peneliti
mendapatkan banyak sekali masukan terkait pengembangan penelitian dari
dosen pembimbing maupun dosen penguji pada seminar proposal.
d. Menyiapkan perlengkapan penelitian
Pelaksanaan penelitian tentu saja tidak bisa berjalan tanpa adanya
perlengkapan penelitian. Dalam penelitian ini, perlengkapan penelitian yang
disiapkan yakni terkait perbaikan proposal, penyusunan berkas – berkas
perizinan, pedoman wawancara, rincian data yang akan dicari, hingga
narasumber yang dibutuhkan.
2. Tahap pengambilan data
a. Mengurus perizinan
Pengurusan perizinan yang dilakukan dalam penelitian ini yakni dimulai
dari proses administrasi lembar pengesahan pada proposal penelitian, yang
selanjutnya yakni pengurusan berkas administrasi pada fakultas yang ditujukan
kepada pihak Bakesbangpol Kota Surabaya. Surat dari Bakesbangpol Kota
Surabaya dilanjutkan kepada pihak BPB Linmas Kota Surabaya sebagai lokasi
penelitian. Alur administrasi yang berbeda pada lokasi penelitian lainnya,
yakni Kota Semarang yang mana dari pihak fakultas langsung ditujukan
kepada BPBD Kota Semarang sebagai lokasi penelitian.
b. Mengumpulkan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian
dengan observasi lapangan, wawancara, dan dokumentasi
Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian
dengan observasi lapangan, wawancara, dan dokumentasi dilakukan secara
daring, mengingat saat tahapan ini peneliti terkendala adanya pandemic Covid-
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-60
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
19. Namun proses wawancara dan pengumpulan data dalam hal ini dokumen –
dokumen yang dibuthkaan tetap sesuai dengan yang telah direncanakan karena
dapat langsung berinteraksi dengan narasumber. Pengumpulan data dan
informasi juga dilakukan satu persatu mulai dari BPBLinmas Kota Surabaya
dilanjutkan pada BPBD Kota Semarang.
3. Tahap analisis data
Setelah semua data sudah terkumpul maka dilakukan interpretasi data yang
dihubungkan dengan permasalahan dan kondisi. Proses analisis data dilakukan
dengan teknik komparatif yakni nnalisis yang dilakukan juga dengan
membandingankan antara dua subjek penelitian. Hal tersebut dikarenakan
penelitian komparatif perlu adanya pembanding baik subjek, masalah, data
yang merupakan hal utama dalam proses analisis. Selain itu tahapan analisis
juga menjadi tahapan yang sangat penting karena merupakan proses dari
penentuan jawaban dari rumusan masalah yang diangkat. Sehingga dibutuhkan
kemampuan lebih dalam pada interpretasi dari data dan hasil wawancara.
4. Tahap penulisan laporan
a. Penyusunan hasil penelitian
Hasil penelitian disusun berdasarkan dengan aturan penulisan laporan yang
sudah ditetapkan. Laporan berisi semua hal baik data maupun hasil wawancara
yang didapatkan di lapangan dengan bentuk hasil pengolahan yang tepat.
Laporan disusun mulai dari pemaparan latar belakang masalah hingga analisis
yang sesuai dengan data dan kondisi yang ada.
b. Perbaikan
Penyusunan hasil penelitian yang sudah selesai akan melewati proses
konsultasi. Proses konsultasi akan menghasilkan sebuah masukan – masukan
yang digunakan untuk membenahi laporan. Sehingga dihasilkan sebuah
laporan yang tepat.
1.7.8 Rincian Data yang Digunakan
Selama proses pelaksanaan penelitian, dilakukan pengumpulan data yang
bertujuan untuk menjawab fokus permasalahan penelitian secara empiris. Data
yang dikumpulkan yakni berkaitan dengan Tim Reaksi Cepat Kota Surabaya dan
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-61
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
Tim Reaksi Cepat Kota Semarang dalam penanganan tanggap darurat. Data dan
informasi pendukung yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode
komparasi dan diiterpretasikan guna menjawab rumusan masalah pada penelitian
ini. Dalam menghasilkan penelitian yang baik, maka dibutuhkan pelbagai sumber
informasi dan juga data yang akurat, maka sebelum melakukan penelitian di
lapangan, tentunya peneliti telah merencanakan untuk pengumpulan data – data
yang relevan dalam menjawab permasalahan penelitian. Namun, pada prosesnya
dilapangan tidak semua data yang direncanakan tersedia dan dapat direalisasikan
karena berbagai hal. Berikut rencana data dan realisasi data yang dikumpulkan pada
penelitian ini:
Tabel 1.8 Tabel Rencana dan Realisasi Data yang Diperoleh Selama Proses
Penelitian
No. Jenis Data Rencana Realisasi Keterangan
1.
Rencana
Nasional
Penanggulangan
Bencana 2015–
2019
Data Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana 2015–
2019 telah berhasil peneliti
temukan dan unduh pada website
bnpb.go.id
2.
Rencana
Nasional
Penanggulangan
Bencana 2020–
2024
Data Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana 2020–
2024 telah berhasil peneliti
temukan dan unduh pada website
bnpb.go.id
3.
Panduan
Pembentukan
Tim Reaksi
Cepat Kota
Surabaya
x
Data terkait panduan
pembentukan Tim Reaksi Cepat
Kota Surabaya menjadi satu pada
Peraturan Walikota Surabaya
Nomor 72 Tahun 2016 tentang
Kedudukan, Susunan Organisasi,
Uraian Tugas Dan Fungsi Serta
Tata Kerja Badan
Penanggulangan Bencana dan
Perlindungan Masyarakat Kota
Surabaya
4.
Panduan
Pembentukan
Tim Reaksi
Cepat Kota
Semarang
Ada dalam Surat Keputusan
Walikota Kota Semarang Nomor
360/0388
5.
SK Tim Reaksi
Cepat Kota
Surabaya
SK yang didapatkan sifatnya
untuk setiap anggota dan
perindividu
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-62
SKRIPSI COMPARATIVE STUDY PENANGANAN…. RERICA DHEA
6.
SK Tim Reaksi
Cepat Kota
Semarang
SK yang didapatkan sifatnya
untuk setiap anggota dan
perindividu
7.
Renja dan
Renstra
BPBLinmas
Kota Surabaya
5 Tahun
terakhir
Renja dan Renstra BPBLinmas
Kota Surabaya 5 Tahun terakhir
dengan meminta pada bagian
pusat data di BPBLinmas Kota
Surabaya
8.
Renja dan
Renstra BPBD
Kota Semarang
5 Tahun
terakhir
Renja dan Renstra BPBD Kota
Semarang 5 Tahun terakhir telah
berhasil peneliti temukan dan
unduh pada website
http://bpbd.semarangkota.go.id/
11.
Panduan kinerja
Tim Reaksi
Cepat Kota
Surabaya
Terdapat pada Standar
Operasional Prosedur
Penanganan Bencana, meminta
pada bagian pusat data BPBL
Kota Surabaya
12.
Panduan kinerja
Tim Reaksi
Cepat Kota
Semarang
Ada pada SK Tim Reaksi Cepat
Kota Semarang, yang diberikan
pada setaip invidu
13.
Peta lokasi
tanggap darurat
bencana Kota
Surabaya
Peta lokasi tanggap darurat
bencana Kota Surabaya telah
berhasil peneliti temukan dan
unduh pada website
https://bpblinmas.surabaya.go.id/
14.
Peta lokasi
tanggap darurat
bencana Kota
Semarang
Peta lokasi tanggap darurat
bencana Kota Semarang
didapatkan dengan meminta pada
bagian pusat data BPBD Kota
Semarang
15.
Kontrak Kinerja
anggota Tim
Reaksi Cepat
Kota Surabaya
x
Kontrak Kinerja dimiliki oleh
masing – masing anggota TRC
Kota Surabaya, dan merupakan
anggota non ASN
16.
Kontrak Kinerja
anggota Tim
Reaksi Cepat
Kota Surabaya
x
Kontrak Kinerja dimiliki oleh
masing – masing anggota TRC
Kota Semarang, dan merupakan
anggota non ASN
17. RPB Kota
Surabaya x x
Rencana Penananggulangan
bencana Kota Surabaya masih
dalam proses penyusunan
18. RPB Kota
Semarang x
Kota Semarang memiliki
Rencana Penananggulangan
bencana periode 2019 - 2023
top related