hukum pemakaian hadist ahad dalam permasalahan aqidah

Post on 12-Apr-2017

20 Views

Category:

Education

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

Hadits Ahad, Hujjah dalam Perkara Akidah?

DEFINISI ‘ILM, ZHANN, SYAKK, DAN JAHL

Al-Qadhi Abu Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali (w. 458 H)

Al-Qadhi Abu Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali (w. 458 H)

Imam Al-Haramain Al-Juwaini Asy-Syafi’i (w. 478 H)

DEFINISI HADITS AHAD

Al-Imam Al-Hafizh Ibn Hajar Al-’Asqalani Asy-Syafi’i (w. 852 H)

Al-Imam Al-Hafizh Ibn Hajar Al-’Asqalani Asy-Syafi’i (w. 852 H)

Al-Imam Al-Hafizh Ibn Hajar Al-’Asqalani Asy-Syafi’i (w. 852 H)

Dr. Muhammad Abu Al-Laits Al-Khair Abadi

DEFINISI DAN BATASAN AKIDAH

Asy-Syaikh Abdullah bin Abdulhamid Al-Atsari:

Asy-Syaikh Asy-Syahiid Hasan Al-Banna, menurut ket. Asy-Syaikh Dr. Utsman Jum’ah Dhumairiyah

Al-Imam Al-Muhaqqiq Muhammad bin Ahmad As-Safarini Al-Hambali (w. 1188 H)

Asy-Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi (Imam Masjid Nabawi):

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimiyn (w. 2001 M):

Al-’Allamah Thahir bin Shalih Al-Jazairiy (w. 1338 H):

Asy-Syaikh Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan (w. 1429 H)

Akidah Pembenaran yang Bersifat Pasti (100%)

Al-Imam Al-Mufassir Abu Bakr Al-Qurthubi Al-Maliki (w. 671 H): “Ayat ini (Yunus 36) menunjukkan bahwa dalam perkara-perkara akidah tidak cukup (berdasarkan) zhann (dugaan).”

Al-Muhaqqiq Abu Ishaq Asy-Syathibiy Al-Malikiy (w. 790 H): “Bahwasannya jika memang dalil zhanniy bisa dijadikan dasar Ushulul-Fiqh tentunya dia juga bisa dijadikan dasar Ushulud-Diyn, namun menurut konsensus ulama tidak demikian.”

Al-’Allamah Sa’duddin At-Taftazani Al-Hanafi (w. 791 H): “Zhann (dugaan) tidak diperhitungkan dalam perkara-perkara akidah, …”

Al-Imam Badruddin Az-Zarkasyi Asy-Syafi’i (w. 794 H): “Aku katakan: Perbedaan antara taqliyd dengan perkara akidah adalah bahwa yang dituntut dalam perkara akidah adalah keyakinan sementara yang dituntut dalam perkara cabang adalah dugaan, dan taqliyd dekat dengan dugaan, dan karena perkara akidah lebih urgen daripada perkara cabang, di mana orang yang salah dalam perkara akidah adalah kafir.”

Al-Imam Al-Muhaqqiq Muhammad bin Ahmad As-Safarini Al-Hambali (w. 1188 H): “Yang diperhitungkan sebagai dalilnya (dalil Akidah) adalah keyakinan, karena Zhann (dugaan) tidak diperhitungkan dalam perkara-perkara keyakinan, akan tetapi dia diperhitungkan dalam perkara-perkara ‘amaliyah (praktis).”

Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdullah bin Shiddiq Al-Ghumari: “… Dalam permasalahan-permasalahan Tauhid (Akidah), keyakinan merupakan perkara yang dituntut dengan pasti/harus.”

POSISI HADITS AHAD PADA TINGKATAN PENILAIAN AKAL

FAIDAH YANG DIHASILKAN HADITS AHAD PERKARA MUKHTALAF

PARA ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD BERFAIDAH ‘ILM

SECARA MUTLAK

Al-Imam Ibn Hazm Azh-Zhahiri (w. 456 H), dan menurut ket. beliau: Abu Sulaiman Dawud bin Ali Azh-Zhahiri (w. 270 H), Al-Husain bin Ali Al-Karabisi Asy-Syafi’i (w. 248 H), Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi Ash-Shufi (w. 243 H), dan Ibn Huwaizamandzad Al-Maliki (w. 390 H) dan menurut ket. beliau: Al-Imam Malik bin Anas (w. 179 H)

Al-Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) (dalam sebuah riwayat), menurut ket. Al-Imam Tajuddin Ibn As-Subki (w. 771 H)

Al-Faqih Muhammad bin Ali bin Ishaq bin Khuwayzamandad Al-Maliki (w. 390 H), menurut ket. Ibn Hajar Al-Asqalani (w. 852 H)

PARA ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD BERFAIDAH ‘ILM

JIKA DISERTAI QARINAH (INDIKASI)

Al-Imam Abu Bakar Ar-Razi Al-Jashshash Al-Hanafi (w. 370 H)

Al-Imam Al-’Allamah Ali bin Muhammad Al-Amidi Asy-Syafi’i (w. 631 H)

Al-Imam Qadhi Qudhat Tajuddin Ibn As-Subki As-Syafi’i (w. 771 H)

Imam Al-Haramayn Al-Juwaini (w. 478 H), Al-Ghazali (w. 505 H), Ibn As-Subki (w. 771 H), Al-Amidi (w. 631 H), Ibnu Al-Hajib (w. 646 H), dan Al-Baidhawi (w. 691 H),

menurut ket. Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H):

Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syiyrazi (w. 476 H) (dalam pendapat barunya)

Al-Hafizh Abu Amr Ibn Shalah Asy-Syahrazuri (w. 643 H), menurut ket. Al-Hafizh An-Nawawi (w. 676 H)

Al-Imam Al-Hafizh Ibn Katsir Asy-Syafi’i (w. 774 H)

Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Isfirayini (w. 418 H) dan Ibnu Furak Asy-Syafi’i (w. 406 H), menurut ket. Al-Imam Tajuddin Ibn As-Subki (w. 771 H)

Al-Imam Abu Manshur Abdul Qahir Al-Baghdadi Al-Hambali (w. 429 H), menurut ket. Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H):

PARA ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD BERFAIDAH ZHANN

SECARA MUTLAK

Al-Aimmah Al-Arba’ah: Abu Hanifah (w. 150 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Asy-Syafi’i (w. 204 H), dan Ahmad bin Hambal (w. 241 H) dalam salah satu riwayat.

Menurut keterangan Prof. Dr. Mahmud Syaltut:

Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit (w. 150 H), menurut ket. Al-Imam As-Sarakhsi Al-Hanafi (w. 483 H):

Mayoritas ‘Ulama, menurut ket. ‘Alauddin As-Samarqandi Al-Hanafi (w. 450 H):

Fakhrul Islam Ali bin Muhammad Al-Bazdawi Al-Hanafi (w. 482 H)

Al-Imam Abu Bakar As-Sarakhsi Al-Hanafi (w. 490 H)

Al-Imam Abu Al-Barakat An-Nasafi Al-Hanafi (w. 710 H)

Al-Imam Abu Al-Barakat An-Nasafi Al-Hanafi (w. 710 H)

Al-Imam Al-’Allamah Ibn Najim Al-Hanafi (w. 970 H), dan menurut ket. beliau: Mayoritas ‘Ulama dan Seluruh Fuqaha’

Al-Imam ‘Alauddin Abdul’aziz Al-Bukhari Al-Hanafi (w. 730 H)

Al-Imam Malik bin Anas (w. 179 H). Menurut ket. Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H), sedangkan nukilan Ibn Khuwazamandad adalah janggal.

Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani Al-Maliki (w. 403 H), menurut ket. Al-Hafizh Al-’Iraqi (w. 806 H):

Al-Hafizh Al-Muhaddits Ibn ‘Abdilbarr Al-Maliki (w. 463 H) dan menurut ket. beliau: Mayoritas Malikiyyah

Al-Hafizh Abu Al-Walid Al-Baji Al-Maliki (w. 474 H) dan menurut ket. beliau: Seluruh Fuqaha’

Al-Qadhi Abu Bakar Ibn Al-’Arabi Al-Maliki (w. 543 H)

Al-Imam Syihabuddin Ahmad bin Idris Al-Qarafi Al-Maliki (w. 684 H)

Asy-Syaikh Muhammad Abdul ‘Azhim Az-Zurqani Al-Maliki (w. 1367 H)

Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (w. 204 H), mayoritas Fuqaha’ dan ‘Ulama, menurut ket. Al-Imam Ibn ‘Abdilbarr (w. 463 H):

Al-Hafizh Al-Muhaddits Al-Khathib Al-Baghdadi Asy-Syafi’i (w. 463 H)

Al-Imam Abu Al-Muzhaffar As-Sam’ani Asy-Syafi’i (w. 489 H)

Al-Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddin Asy-Syafi’i (w. 604 H)

Al-Hafizh Abu Zakariya An-Nawawi Asy-Syafi’i (w. 676 H) dan menurut ket. beliau: Mayoritas Sahabat, Tabi’in, Muhadditsin, Fuqaha’, dan Ushuliyin

Al-Imam Tajuddin Ibn Al-Farkah Asy-Syafi’i (w. 690 H)

Al-Hafizh Al-Mujtahid Ibn Daqiq Al-’Iyd Asy-Syafi’i (w. 702 H) dan menurut ket. beliau: Mayoritas ‘Ulama

Al-Hafizh Al-Faqih Sirajuddin Ibn Al-Mulqin Asy-Syafi’i (w. 804 H). Dan menurut ket. beliau: Al-Hafizh An-Nawawi, Al-Imam Ibn Barhan, dan Al-Imam ‘Izzuddin

‘Abdussalam

Al-Imam Al-Hafizh Al-Muhaddits Abdurrahman bin Abi Bakr Al-’Iraqi Asy-Syafi’i (w. 806 H)

Al-Imam Muhammad bin ‘Utsman Al-Mardini Asy-Syafi’i (w. 871 H)

Al-Muhaddits Ahmad Ibn Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i (w. 974 H)

Al-Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) (dalam salah satu riwayat), Mayoritas ‘Ulama, dan Hanabilah Mutaakhkhirin, menurut ket. Al-Imam Ibn Qudamah Al-

Maqdisi Al-Hambali (w. 620 H):

Al-Imam Abu Al-Khaththab Mahfuzh bin Ahmad Al-Hambali (w. 510 H)

Al-Imam Sulaiman bin Abdulqawi Ath-Thufi Al-Hambali (w. 716 H): yang paling menonjol dari dua riwayat pendapat Al-Imam Ahmad bin Hambal dan Mayoritas

‘Ulama

Al-Imam Shafiyuddin Al-Baghdadi Al-Hambali (w. 739 H), dan menurut ket. beliau: Al-Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, Mayoritas ‘Ulama dan

Hanabilah Muta’akhkhirun

Al-Imam ‘Alauddin ‘Ali bin Sulaiman Al-Mardawi Al-Hambali (w. 885 H): yang sahih dari dua riwayat pendapat Al-Imam Ahmad bin Hambal, dan menurut ket.

beliau: Mayoritas Hanabilah dan Mayoritas ‘Ulama.

Asy-Syaikh Muhammad Al-Khudhari Bik (w. 1345 H)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri (w. 1353 H)

Asy-Syaikh Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou

Al-Hafizh Abu Zakariya An-Nawawi Asy-Syafi’i (w. 676 H) dan menurut ket. beliau: Mayoritas Sahabat, Tabi’in, Muhadditsin, Fuqaha’, dan Ushuliyin

Al-Imam Tajuddin Ibn As-Subki (w. 771 H): “Hadits Ahad tidak berfaidah keyakinan kecuali jika disertai qarinah (indikasi), Mayoritas ‘Ulama berpendapat dia tidak berfaidah keyakinan secara mutlak, menurut Al-Imam Ahmad (dalam salah satu riwayat) dia berfaidah keyakinan secara mutlak. …”

Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H): “Telah terjadi perbedaan pendapat terkait faidah keyakinan pada Hadits Ahad dalam beberapa pendapat: Pertama: Tidak berfaidah keyakinan secara mutlak. Ini adalah pendapat mayoritas ‘ulama, baik dengan disertai qarinah maupun tidak. …”

Asy-Syaikh Al-’Allamah ‘Abdullah bin Ibrahim Asy-Syinqithi Al-Maliki (w. 1235 H): “[ … ] [ dan menurut mayoritas dari para ‘ulama yang ahli, dia (Hadits Ahad) tidak berfaidah ‘ilm (keyakinan) secara mutlak ] [ … ].”

Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi (w. 1393 H): “Artinya, bahwa Hadits Ahad tidak berfaidah ‘ilm atau keyakinan bagi mayoritas ‘ulama yang kompeten, yaitu para ‘ulama ushul. Perkataan beliau [ secara mutlak ] artinya sama saja baik didukung oleh indikasi-indikasi akan kebenarannya atau tidak. Hujjah dari pendapat ini adalah: Bahwa para perawi tidak ma’shum, jadi klaim ke-qath’iy-an hadits yang mereka bawa dengan adanya kemungkinan dusta pada mereka seakan-akan merupakan suatu kerancuan.”

Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi (w. 1393 H): “Kesimpulan dari pendapat ‘ulama ushul dalam masalah ini, yaitu apakah Hadits Ahad berfaidah keyakinan atau dia tidak berfaidah kecuali hanya dugaan?, para ‘ulama ushul memiliki tiga madzhab: Pertama; madzhab mayoritas ‘ulama ushul: bahwa Hadits Ahad hanya berfaidah dugaan saja, dia tidak berfaidah keyakinan.”

Al-Imam Abu Yusuf Al-Hanafiy (w. 182 H), menurut ket. Al-Imam Muhammad Al-Asmandi (w. 552 H)

Al-Imam ‘Alauddin As-Samarqandi Al-Hanafi (w. 450 H): “Adapun apabila dia (Hadits Ahad) berkenaan dengan perkara-perkara akidah –yaitu masalah-masalah Kalam– maka dia tidak bisa menjadi hujjah.”

Al-Hafizh Abu Bakar Al-Baihaqiy Asy-Syafi’iy (w. 458 H): “Dikarenakan aspek ini, yaitu adanya ihtimal (kemungkinan salah), maka para ulama ahli nazhar (Ulama Ushul) dari madzhab kami, meninggalkan berhujjah dengan Hadits Ahad dalam perkara sifat Allah swt.”

Al-Imam Abu Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali (w. 458 H)

Al-Hafizh Al-Muhaddits Al-Khathiyb Al-Baghdadiy (w. 463 H): “Hadits Ahad tidak diterima dalam perkara-perkara agama yang menuntut para mukallaf untuk meyakininya dan memastikannya.”

Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syiyraziy Asy-Syafi’iy (w. 476 H): “Jawabannya adalah bahwa dalam perkara ushul (seperti Tauhid dan Penetapan Sifat-sifat Allah swt) dalil-dalil nya harus logis, yang mengharuskan keyakinan serta menghilangkan sangsi, maka kami tidak menggunakan Hadits Ahad.”

Imam Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini Asy-Syafi’i (w. 478 H)

Al-Imam Abu Al-Khaththab (w. 510 H), Ibn ‘Aqil (w. 513 H), dll. menurut ket. Al-Imam Ibn Najjar Al-Hambali (w. 972 H): “Hadits Ahad tidak diamalkan dalam perkara Ushuluddin (Akidah).”

Al-Imam Abu Al-Khaththab Mahfuzh bin Ahmad Al-Hambali (w. 510 H): “Kami menerimanya (Hadits Ahad) dalam perkara ‘amaliyah (praktis), dan jika diberitakan kepada kami suatu qira’ah syadzdzah (ayat dengan riwayat ahad) yang di dalamnya ada ketetapan halal dan haram maka kami jadikan ia pegangan, namun kami tidak menetapkannya sebagai Al-Qur’an, karana jalan penetapan Al-Qur’an dan Ushuluddin (Akidah) adalah keyakinan, sementara keyakinan tidak bisa timbul dengan Hadits Ahad.”

Al-Imam Abu Al-Wafa’ Ali bin ‘Aqil Al-Baghdadi Al-Hambali (w. 513 H): “Bahwa perkara-perkara keyakinan (akidah) menurut dalil-dalilnya, dan pengaruh-pengaruh dalam jiwa dan kalbu menurut apa yang mempengaruhinya, tidak kami temukan pada Hadits Ahad. Meskipun dia mencapai puncaknya (kekuatan tertinggi Hadits Ahad), tidak lain hanyalah berupa pengunggulan benar dari dusta nya, dengan tetap mengakui ada kemungkinan dusta padanya. Tidak ada pengaruh pada jiwa dari mengunggulkan salah satu dari dua perkara yang sama-sama memungkinkan kecuali hanyalah zhann (dugaan). ”

Al-Imam Muhammad bin Abdil Hamid Al-Asmandi Al-Hanafi (w. 552 H): “Tidak boleh menerima Hadits Ahad (sebagai hujjah) dalam perkara-perkara akidah.”

Al-Imam Abu Ats-Tsana’ Al-Hanafi (w. 6.. H): “Hadits Ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah-masalah akidah, karena masalah-masalah akidah dibangun berdasarkan keyakinan yang pasti, sementara Hadits Ahad (hanya) menimbulkan kebenaran pada umumnya dan dugaan kuat , tidak sampai kebenaran yang bersifat pasti.”

Abu Al-Hasan Al-Amidi Asy-Syafi’i (w. 631 H): “Bahwa yang diakui dalam perkara-perkara pokok (akidah) adalah kepastian dan keyakinan, sementara tidak ada kepastian pada Hadits Ahad. Lain dengan perkara-perkara cabang, sesungguhnya dia berdiri di atas dugaan.”

Al-Faqih Shafiyuddin Al-Armawi Al-Hindi (w. 715 H): “… Ini karena yang diminta dalam perkara-perkara pokok adalah ‘ilm dan yakin (keyakinan), sementara Hadits Ahad tidak bisa menghasilkannya sebagaimana (telah dijelaskan) lalu. Berbeda dengan perkara-perkara cabang, dia cukup dengan dugaan, dan Hadits Ahad bisa menghasilkannya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Hambali (w. 728 H): “Bagaimana bisa pokok agama yang keimanan tidak sah tanpanya itu ditetapkan berdasarkan Hadits Ahad?” (Bantahan beliau atas Rafidhah yang mengklaim Hadits kedatangan Al-Mahdiy untuk melegitimasi kedatangan Muhammad bin Al-Hasan, imam mereka yang ke-12)

Al-Imam ‘Alauddin ‘Abd Al-‘Aziz Al-Bukhari Al-Hanafi (w. 730 H): “Kemudian Hadits Ahad tatkala dia tidak berfaidah keyakinan maka dia tidak bisa menjadi hujjah dalam perkara-perkara yang perpulang kepada akidah, karena akidah dibangun berdasarkan keyakinan. Dia hanya merupakan hujjah dalam apa yang dimaksudkan di dalamnya perbuatan.”

Al-Imam Syaikhul Islam Taqiyuddin As-Subki Asy-Syafi’i (w. 756 H): “Ke-qath’iy-an atau ke-mutawatir-an bukan merupakan syarat baginya (penetapan ru’yatu-Llaah), bahkan tatkala suatu hadits yang shahih meski hanya zhahirnya, sementara dia adalah Hadits Ahad, maka boleh dijadikan dasar dalam perkara itu, karena perkara itu tidak termasuk dalam masalah akidah yang menuntut syarat kepastian.”

Al-Imam Ali bin Muhammad Al-Jurjani (w. 816 H): “Hadits Ahad adalah apa-apa yang dinukil oleh satu orang dari satu orang, yaitu yang tidak sampai batas kemasyhuran, hukumnya meniscayakan amal tanpa ‘ilm (keyakinan). Karenanya dia tidak menjadi hujjah dalam perkara-perkara akidah”

Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi'i (w. 852 H): “… Bahwa Beliau (Al-Bukhari) menggiring hadits-hadits tentang sifat suci Allah dengan menjadikan setiap hadits menjadi satu bab lalu memperkuatnya dengan ayat Al-Qur’an, untuk menunjukkan bahwa hadits-hadits tersebut tidak termasuk Hadits Ahad, demi tidak berhujjah dengannya (Hadits Ahad) dalam perkara-perkara akidah.”

Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari Asy-Syafi’i (w. 926 H): “… Allah melarang untuk mengikuti selain keyakinan dan mencela terhadap mengikuti dugaan. Kami (Al-Imam Zakariya) katakan: Hal itu berlaku pada apa-apa yang di dalamnya dituntut keyakinan berupa Ushuluddin sebagaimana misalnya kemahaesaan Allah swt., karena syara’ telah menetapkan akan adanya pengamalan terhadap dugaan pada perkara-perkara cabang.”

Al-Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi (w. 970 H): “Penjelasan tentang tempat digunakannya Hadits Ahad maka di luar perkara-perkara akidah, karena sesungguhnya perkara-perkara akidah tidak bisa ditetapkan berdasarkan Hadits Ahad lantaran keharusannya dibangun berdasarkan keyakinan.”

Al-’Allamah ‘Ali Al-Qary Al-Hanafi (w. 1014 H): “… karena dia (penetapan kedudukan orang tua Rasulullah saw di akhirat) termasuk dalam bab i‘tiqad (keyakinan) maka tidak berlaku padanya dalil-dalil zhanni, dan tidak cukup hanya berdasarkan Hadits-hadits Ahad yang lemah dan riwayat-riwayat Ahad yang tidak jelas, ...”

Al-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani (w. 1314 H): “…, Kalaupun kami terima keshahihan hadits ini, ia (tetap) tidak menghasilkan kepastian dikarenakan termasuk Hadits Ahad. Maka dari itu hendaknya mereka (para nabi) tidak dibatasi pada jumlah tertentu. Karena yang demikian itu tidak aman dari penyebutan jumlah terlalu banyak sehingga memasukkan orang yang bukan nabi ke dalamnya, juga penyebutan jumlah yang terlalu sedikit sehingga mengeluarkan orang yang termasuk nabi darinya.”

juz 1 hlm 193

Sayyid Quthb bin Ibrahim (w. 1387 H): “… Hadits-hadits Ahad tidak dapat dijadikan pegangan dalam perkara akidah, yang menjadi rujukan ialah Al-Qur’an. dan kemutawatiran merupakan syarat bagi hadits-hadits Nabi saw untuk dapat dijadikan pegangan dalam pokok-pokok akidah.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad Abu Zahrah (w. 1394 H): “…, mereka (para ‘ulama) mengatakan: Seseungguhnya dia (Hadits Ahad) wajib diamalkan jika tidak ada penghalang. Akan tetapi dia tidak dapat dijadikan pegangan dalam perkara keyakinan (akidah), karena perkara-perkara akidah dibangun di atas kepastian dan keyakinan, tidak dibangun di atas dugaan sekalipun dia unggul (dugaan unggul). Karena dugaan dalam akidah tidak bermanfaat sama sekali bagi kebenaran.”

Satu-satunya pendapat yang dikenal di Al-Azhar, menurut keterangan Asy-Syaikh Muhammad Al-Ghazali

Asy-Syaikh Muhammad Al-Ghazali

Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki Al-Makki Al-Hasani: “… bahwa dia (Hadits Ahad meniscayakan wajibnya amal dalam syari’at (‘amaliyah), tapi tidak meniscayakan wajibnya kepastian dan keyakinan terhadap isinya dengan keyakinan yang pasti, tapi hanya berfaidah dugaan saja.”

Asy-Syaikh Mahmud Syaltut, dan menurut beliau Al-Imam Al-Bazdawi dan Al-Hafizh Al-Asnawi

Asy-Syaikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi (w. 1436 H)

Asy-Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili: “Bahwasannya dia (Hadits Ahad) berfaidah dugaan, bukan keyakinan dan bukan pula ketenangan batin. Kedatangannya dari Rasulullah saw bersifat dugaan, akan tetapi dia wajib diamalkan dan tidak wajib diyakini lantaran adanya keraguan pada kebenarannya. Sebagaimana ini merupakan pendapat Mayoritas Ulama.”

Asy-Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar: “Mayoritas ulama ushul berpendapat bahwa Hadits Ahad bukan hujjah dalam bidang Akidah selama perawinya tidak berjumlah banyak hingga menjadi Masyhur, karena Masyhur dapat menghasilkan ketenangan hati. Sebagaimana banyaknya perawi juga banyaknya syahid (pendukung) dan qarinah (indikator).”

Asy-Syaikh Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa Hadits Ahad tidak dapat diamalkan dalam perkara-perkara Akidah.”

Asy-Syaikh Ahmad Ibrahim Bik (w. 1364 H)

Asy-Syaikh Prof. Dr. Muhammad Abdullathif Shalih Al-Furfur: “Dia (Hadits Ahad) meniscayakan pengamalan tanpa meniscayakan keyakinan, menurut pendapat yang terkuat.”

Asy-Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Syalabi: “... Karena Hadits Ahad tidak diamalkan dalam perkara-perkara akidah, sebab yang dituntut dalam perkara-perkara akidah adalah keyakinan dan ‘ilm, sedangkan Hadits Ahad hanya berfaidah dugaan.”

Asy-Syaikh Dr. Ahmad Farraj Husain dan Dr. Abdulwadud Muhammad As-Suraiti: “Bahwasannya dia (Hadits Ahad) tidak berfaidah keyakinan, hanya berfaidah dugaan. Dia tidak diamalkan dalam perkara-perkara akidah, akan tetapi diamalkan dalam perkara-perkara ‘amaliyah, ...”

Asy-Syaikh Al-Imam Al-Akbar Mahmud Syaltut: “Dari sini menjadi kuat bahwa apa yang telah kami tetapkan (sebelumnya) berupa: Hadits Ahad tidak menimbulkan Akidah, dan bersandar padanya dalam perkara-perkara ghaib adalah tidak benar, merupakan pendapat yang telah disepakati bersama. Hal ini tsabit berdasarkan hukum keniscayaan akal yang tidak ada ruang bagi orang-orang yang berakal untuk berbeda pendapat di dalamnya.”

Asy-Syaikh Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdulmuhsin At-Turki: “Mereka (jumhur ‘ulama) mengatakan: Sesungguhnya Hadits Ahad dijadikan dalil dalam hukum-hukum Amaliyah (praktis) tidak dalam hukum-hukum Akidah.”

Asy-Syaikh Dr. Nuruddin ‘Itr: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa keyakinan (akidah) tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil yang bersifat meyakinkan dan pasti, yaitu ayat Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir.”

Al-Hanabilah, menurut ket. Ibn Qadhi Al-Jabal, Abu Ya’la, dan Ibn Taimiyyah, menurut ket. Al-Imam Muhammad bin Ahmad (Ibn Najjar) Al-Hambali (w. 972 H)

Al-Hanabilah, menurut ket. Asy-Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki

Syaikhu-l-Islam Ibn Taimiyyah Al-Harrani (w. 728 H) dan menurut ket. beliau: Al-Hanabilah

Al-Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayat Al-Atsram: “Apabila datang sebuah hadits dari Nabi saw dengan sanad yang shahih, yang di dalamnya terdapat ketetapan hukum atau kewajiban, maka aku akan mengamalkannya dan beribadah kepada Allah swt dengannya. Tapi aku tidak berani bersumpah bahwa Nabi saw telah benar-benar mengatakannya. Beliau menuturkan bahwa ia (Hadits Ahad) tidak bersifat pasti (kebenarannya). Mayoritas ulama berpendapat dengan pendapat ini.”

juz 1 hlm 329

Asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad Abu Zahrah (w. 1394 H)

juz 1 hlm 193

top related