hukum administrasi negara-daerah
Post on 27-Jun-2015
256 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TUGAS
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
D I S K R E S I
PEMERINTAHAN DAERAH
Oleh:
Nama : Mega Triana Juanda
Semester : IV
Dosen : Asep B Hermanto S.H.,M.H.
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
JAKARTA
1
Daftar Isi:
JUDUL..............................................................................................................................1
DAFTAR ISI....................................................................................................................2
DARI PENULIS..............................................................................................................3
BAGIAN 1. DISKRESI DAN PEMERINTAHAN DAERAH....................................4
BAGIAN 2. PEMERINTAHAN DAERAH PASCA REFORMASI..........................7
BAGIAN 3. INTERVENSI POLITIK...........................................................................9
BAGIAN 4. DISKRESI BIROKRASI.........................................................................11
BAGIAN 5. DEMOKRASI DAN DESENTRALISASI.............................................12
BAGIAN 6. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.............................................13
BAGIAN 7. EVALUASI KELEMBAGAAN PERANGKAT DAERAH……...….14
BAGIAN 8. SISTEM MANAJEMEN PEMDA...................................................….15
BAGIAN 9. KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................….17
2
Dari Penulis...
Assalamualaikum, shallom, salam sejahtera...
Puji Syukur saya haturkan ke hadirat Tuhan YME atas terselesaikannya tugas
akhir semester IV, mata kuliah
Hukum Administrasi Negara (HAN) yang saya beri judul:
“DISKRESI PEMERINTAHAN DAERAH” ini.
Mengapakah topik ini yang saya ambil? Hal ini dikarenakan saya melihat
adanya koherelasi yang berkesinambungan antara topik DISKRESI yang sudah
dipelajari pada semester IV dengan materi tentang Pemerintah Daerah yang kelak
dipelajari pada semester V yaitu pada mata kuliah Hukum Administrasi Daerah (HAD).
Makalah yang saya buat ini tentu saja masih jauh dari sempurna,tapi baiklah
saya coba untuk mengetengahkannya. Besar harapan saya akan bermanfaat dengan
sebaik-baiknya. Saran serta kritik yang membangun akan sangat saya hargai demi
pemahaman yang lebih mendalam dan kaya mengenai topik yang saya pilih ini.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen, Bp asep Bambang
Hermanto atas sumbangsih dan bimbingannya, tidak lupa juga kepada keluarga
tercinta dan rekan-rekan atas dukungan, cinta dan sarannya.Demikianlah makalah ini
saya buat, atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih...
Salam,
3
Penulis,
mhtw9978
Bagian 1
DISKRESI dan PEMERINTAHAN DAERAH
Sebuah pendahuluan...
A. DISKRESI
“DISKRESI” pada dasarnya merupakan bagian dari Peraturan kebijaksanaan
(Beleidsregel) yakni peraturan yang digunakan pemerintah dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Dikarenakan prinsip penyelenggaraan pemerintahan modern pada saat
ini adalah prinsip doelmatigheid yang berarti: Tujuan untuk kepentingan umum. Jadi
dalam pelaksaannya terdapat penekanan pada “kegunaan” (doelstalling) dan
“kebijaksanaannya” (belleids).
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam pemerintahan, seringkali
pemerintah dalam hal ini pejabat administrasi negara diberikan suatu kewenangan yang
bebas.
Kewenangan yang bebas tersebutlah yang disebut dengan Diskresi & kewenangan
tersebut melekat pada kewenangan pejabat administrasi negara.
Jadi dapat diambil pengertian bahwa DISKRESI adalah:
” Kewenangan pejabat administrasi negara yang dijalankan demi kepentingan
masyarakat dan tidak melanggar azas pemerintahan yang bersih.”
Diskresi tidak memiliki dasar hukum akan tetapi boleh dilakukan sepanjang
kegunaannya adalah bagi kepentingan masyarakat.
4
B. PEMERINTAHAN DAERAH
Bicara tentang Pemerintahan Daerah berati kita bicara mengenai Desentralisasi.
Sebagai negara yang Demokratis, Indonesia termasuk kepada negara yang telah
menjalankan sistem ini. Desentralisasi merupakan solusi yang baik dalam menjalankan
pemerintahan yang demokratis. Desentralisasi yang memberikan peranan yang lebih
bermakna terhadap otonomi daerah yaitu kepada pemerintah daerah sekarang ini
merupakan penekanan perubahan paradigma dalam tata kepemerintahan yang baik. Oleh
karena itu desentralisasi kewenangan pemerintah tersebut mutlak perlu dilakukan agar
terwujudnya harmonisasi hubungan antara pemerintah daerah dan pusat.
Pemerintahan daerah (local government) pada sejarahnya di Inggris, istilah ini
menunjukkan adanya kekuasaan (authority) dari unit pemerintahan yang berdiri sendiri
(dependent) yang didirikan atas persetujuan parlemen untuk memberikan pelayanan dan
yang mewakili kepentingan umum (general interest) dari suatu daerah/wilayah tertentu di
bawah kepemimpinan kepala daerah yang dipilih oleh rakyat. Sebagaimana kita ketahui
Inggris termasuk kepada negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon.
Pemerintahan daerah di Inggris dibentuk atas dasar Undang-undang parlemen.
Susunan,fungsi,anggaran dan pelbagai proses tindakan pejabat pemerintahan daerah di
Barat mengikuti sistem demokrasi liberal. Pemerintahannya lalu disusun melalui
perundangan daerah dan bukan berdasarkan konstitusi nasional. Misalnya di Amerika
Serikat (USA), dimana yang menentukan susunan pemerintahan dan kewenangan pejabat
daerah adalah negara bagian sendiri (state) bukan pemerintah nasional (federal).
Berikutnya adalah yang berlaku di Indonesia yang menganut paham Eropa Kontinental.
5
Di Indonesia saat ini setelah pasal 18 ayat (1) UUD 1945 telah diamandemen dinyatakan
bahwa:
”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan
daerah-daerah Provinsi tersebut dibagi atas Kabupaten dan Kota dan mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dalam Undang-Undang.”
Dalam hal ini dapat ditafsirkan bahwa Pemerintahan Daerah tersebut dimiliki masing-
masing Provinsi, Kabupaten juga Kota yang mengatur/mengurus sendiri urusan
pemerintahannya. Mengenai kelembagaan Pemerintahan daerah itu sendiri diatur dalam
UU No.32’2004. Sebelum reformasi, yang diberlakukan adalah UU No.22/1999 dan
dikeluarkan PP No.84/2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. PP
No.84/2000 ini memberikan keleluasaan dan kekuasaan yang sangat besar kepada
pemerintahan daerah dalam menyusun dan menetapkan organisasi perangkat daerahnya.
Walaupun telah ditegaskan bahwa penyusunan kelembagaan perangkat daerah harus
mempertimbangkan:
-kewenangan yang dimiliki,
-karakteriskik, potensi
-kebutuhan daerah, kemampuan keuangan daerah
-ketersediaan sumber daya aparatur
-pengembangan pola kemitraan antar daerah
-pola kemitraan dengan pihak ketiga.
Namun pada prakteknhya kemudian kewenangan ini diterjemahkan secara berbeda-beda
oleh masing-masing daerah, nuansa politiknya kemudian menjadi lebih kental
dibandingkan pertimbangan rasional objektif, efisiensi dan efektifitas. Terjadilah kemudian
in-efisiensi dimana-mana terutama pada alokasi dana anggaran.
6
Lalu kemudian pada era reformasi, untuk mengatasi hal ini Pemerintahpun mengupayakan
penyempurnaannya dengan PP No.8/2003.
Bagian 2
PEMERINTAHAN DAERAH PASCA REFORMASI
Perkembangan PEMDA setelah reformasi ini, kedudukan sistem birokrasi PEMDA
terhadap kepemimpinan pejabat politik yang memimpinnya menjadi sangat
mengkhawatirkan. Banyak ditemui adanya hubungan yang tidak serasi antara pemerintah
daerah dengan rakyat yang notabene telah memilihnya sendiri. Contoh kasus:
-kasus Bupati Banyuwangi yang kebijakannya ditolak masyarakat, yang lalu diikuti dengan
pemecatan pejabat birokrasinya akibat adanya penyimpangan yang dilakukan.
-kasus Pemda Temanggung,Jawa Tengah, dimana Bupatinya didemo oleh pejabat birokrasi
daerahnya sendiri. Yang kemudian berakhir dengan pemecatan Bupati tersebut, lalu
dimasukkan ke penjara karena terbukti korupsi.
Ketidakserasian hubungan ini juga tergambar jelas saat Pemilihan langsung Kepala
Daerah ataupun Presiden. Dapat dilihat apabila salah satu calon mer Kepala Daerah
tersebut adalah Bupati/Walikota yang menjabat maka pejabat2 birokrasi lainnya seakan
tidak memiliki diskresinya untuk tidak memihak calon tersebut. Begitu juga halnya pada
saat Pilpres. Pemerintah maupun Parpol (DPRD) terkesan kurang peka dengan situasi
seperti ini, seringkali kejadian2 seperti ini hanya dianggap sebagai hal yang biasa sebagai
dinamika demokrasi.
Diskresi pejabat birokrasi dalam melaksanakan kebijakan2 pemerintah menjadi
terkendali oleh aspirasi pejabat politik yang memimpinnya sebagai kepala daerah. Belum
7
lagi intervensi kekuatan politik dari parpol yang berada di luar DPRD. Intervensi inilah
yang kemudian mengurangi diskresi pejabat birokrasi daerah.
Dijelaskan oleh S.Masdar bahwa DISKRESI PEJABAT adalah keleluasaan
yang dimiliki pemerintah dalam menjalankan kewenangannya sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Sementara ada hal-hal yang memang bertentangan dengan peraturan namun harus
segera dilakukan demi kepentingan masyarakat. Birokrasi pejabat mempunyai keleluasan
dalam batas2 nominal (nominal boundaries) yang melekat pada jabatan atau sistem yang
ada.
Misalnya dalam hal sbb;
-seorang Sekda (Sekretaris Daerah) di dalam menjalankan dan melaksanakan kebijakan
dan peraturan pemerintah/daerah harus berani menolak campur tangan kepala daerah
apabila hanya mementingkan kepentingan golongan atau partai tertentu.
-atau dalam hal keputusan kepala daerah yang mengakomodir kepentingan politik atau
pribadi kepala daerah, maka seorang Kadin (Kepala Dinas) diharapkan untuk berani
menolak keputusan tersebut.
Singkat kata, suatu kebijakan pemerintah dilaksanakan tidak hanya hitam putih
saja, tetapi dapat lebih berseni dan berwarna apabila diwarnai dengan diskresi pejabat yang
bertanggung jawab. Pejabat yang memiliki keluasan ruang gerak Diskresi diharapkan
adalah pejabat yang memahami seluk beluk urusan kewenangannya sepanjang tidak
menyalahi peraturan yang berlaku, bertujuan bagi kepentingan masyarakat dan berdasar
kepada azas pemerintahan yang bersih. Diskresi yang menyimpang dari ketentuan2
tersebut berarti diskresi yang telah menjadi korupsi.
8
Bagian 3
INTERVENSI POLITIK
Pada era Reformasi dapat dikatakan kjedudukan birokrasi pemerintahan secara
organisatoris berada di bawah kekuasaan kepala daerah yang adalah kepala daerah yang
berasal dari partai politik pemenang pemilihan yang notabene memperoleh mandat dari
rakyatnya (konstituen pemilih dari parpol tertentu).
Keterikatan kepala daerah dengan partai politiknya mustahil dapat dielakkan,
seringkali berujung dengan komitmen kepala daerah untuk membantu pendanaan kepada
partai politiknya. Sebagaimana kita ketahui ada dana taktis yang disediakan untuk kegiatan
kepala daerah. Disinilah diskresi dimungkinkan untuk beralih kepada korupsi yaitu disaat
komitmen kepala daerah terhadap parpolnya tersebut memaksanya untuk
menyalahgunakan dana taktis tersebut. Hal ini merupakan salah satu contoh intervensi
politik yang berujung kepada penyempitan wilayah diskresi pejabat yang bersangkutan.
Intervensi lain yang tak kalah menjadi momok yang menakutkan bagi pejabat untuk
berimprovisasi dalam wilayah diskresinya adalah pemberantasan korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Terutam bila ada kasus terjadinya tunjuk langsung pada
rekanan tanpa melalui sistem tender.
Adakalanya dalam menjalankan diskresinya pada saat yang mendesak, waktu yang
sempit dan kepentingan serta keamanan/keselamatan masyarakat dipertaruhkan, seorang
pejabat harus menggunakan hak diskresinya akan tetapi kemudian diusut KPK lalu beralih
menjadi dugaan korupsi. Misalnya pada kasus pembelian mobil pemadam kebakaran
(kasus Damkar) yang baru2 ini cukup menghebohkan.
9
Mungkin pembelian mobil Damkarnya merupakan diskresi pejabat saat itu
dikarenakan waktu yang sempit dan kebakaran hutan yang dikhawatirkan dapat meluas
bila tidak segera ditangani, akan tetapi, diskresi tersebut berubah menjadi korupsi saat
terjadi mark-up harga yang tidak masuk diakal, yang disinyalir adalah untuk kepentingan
pribadi pihak2 yang turut bermain.
10
Bagian 4
DISKRESI BIROKRASI
Robert Klitgaard (dalam bukunya Corrupt Cities:A Practical To Cure & Prevention,
Robert.Klitgaard 2000) memandang Diskresi Birokrasi sebagai penyebab terluas terjadinya
Korupsi apabila tidak diimbangi dengan Akuntabilitas Publik yang baik. Maka untuk pada
saat penyembuhan sekarang ini adalah lebih baik untuk mengurangi kekuasaan dan
diskresi tersebut terlebih dahulu dan menggiatkan akuntabilitas publik. Pemahaman
mengenai bahay korupsi dan diskresi yang bertanggung jawab dapat terus dibina mulai dari
masyarakat itu sendiri.
Diskresi dan Korupsi merupakan 2 sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Di
satu sisi Diskresi yang dijalankan dengan tujuan yang benar dan bersih merupakan seni
tersendiri dari kreatifitas masing2 pejabat daerah dalam menjalankan fungsinya. Dan di sisi
lain dapat bergeser nilai menjadi korupsi apabila menyimpang dari kebenaran.
Untuk itu, seyogyanya kita perlu meninjau kembali sistem birokrasi kita saat ini,
perlu ada evaluasi ulang dan reformasi yang menyeluruh seiring dengan perubahan sistem
perekonomian dan politik saat ini yang telah jauh berkembang.
11
Bagian 5
DEMOKRASI &DESENTRALISASI
Timbulnya suatu pemerintahan adalah berasal dari bawah, yakni dari adanya
kebutuhan bersama dari rakyat yang berada pada wilayah tertentu. Kebutuhan dan cita2
bersama ini adalah cikal bakal timbulnya pemerintahan, berarti pemerintahan itu bukan
hanya milik atau sarana penyaluran aspirasi kaum/golongan/elite/penguasa saja. Dari
sinilah lalu muncul istilah Pemerintahan yang Demokratis yaitu suatu pemerintahan yang
dijalankan dari rakyat, oleh rakyat & untuk rakyat. Dengan demikian sumber otoritas &
kewenangan mengatur pemerintahan adalah berasal dari rakyat itu sendiri.
Pelaksanaan demokrasi berkaitan erat dengan desentralisasi. PBB telah
mengadakan Global Forum untuk membahas praktek desentralisasi dalam pemerintahan
yang demokratis yaitu 6th Global Forum’2005. Terciptalah Deklarasi Seoul 27 Mei 2005
yang menyatakan bahwa:
”Good governance requires and appropriate level of decentralization, innovation and
development of local government. Local administration can be made more effective and
autonomous through the promotion of administrative and financial decentralization,
digitalization of government, and result-base performance management”.
“suatu kepemerintahan yang baik bisa dicapai jika dipenuhi suatu tingkat
desentralisasi, inovasi dan pembangunan pemerintahan daerah yang memadai.
Administrasi dan otonomi pemerintahan daerah bisa diwujudkan lebih efektif melalui
peningkatan desentralisasi baik administratif maupun financial, digitalisasi
pemerintahan dan tata manajemen yang berdasarkan hasil.”
12
Deklarasi Seoul tersebut perlu kiranya kita jadikan bahan renungan untuk menata sistem
diskresi pemerintahan yang demokratis.
Bagian 6
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Pelaksanaan Otonomi Daerahpun perlu kita evaluasi lebih lanjut yaitu pada 3
aspek:
1.aspek penataan kelembagaan perangkat daerah.
2.sistem penataan manajemen Pemerintahan Daerah.
3.aspek perilaku pelaksanaan manajemen Pemda.
Dan ukuran yang kia pakai adalah bagaimana sistem demokrasi Pemda itu diterapkan.
13
Bagian 7
EVALUASI KELEMBAGAAN PERANGKAT DAERAH
Kelembagaan organisasi pemerintah baik di pusat maupun di daerah saat ini
menurut saya belum dianalisis secara serius mengenai efektifitas & ketetapan
eksistensinya. Pemda ditenggarai jarang mau melakukan rasionalisasi antara pegawai yang
dibutuhkan dengan jumlah organisasi perangkat yang ada.
Pengaturan pemerintahan pusat masih dirasakan begitu besar sehingga dapat
mengurangi upaya pelaksanaan desentralisasi yang demokratis. Mestinya sistem demokrasi
yang dijalankan di Pemda adalah diskresi daerah untuk menentukan jumlah organisasi
perangkat daerahnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah sendiri untuk
membiayainya.
Begitu juga halnya dengan proses recruitment pejabat di daerah masih banyak
diwarnai oleh aspirasi politik praktis dari pimpinan politik yang menjadi kepala daerah,
demikian pula promosi jabatan & PNS di pemerintah daerah (PEMDA). Oleh karena itu
pendidikan politik kepada rakyat tidak hanya menjadi tugas pokok pemerintah akan tetapi
juga tugas pokok parpol2 tempat rakyat menjadi konstituennya, agar rakyat dapat belajar
untuk lebih sportif dalam menanggapi kehidupan berpolitik.
14
Bagian 8
SISTEM MANAJEMEN PEMDA
Sistem Mnajemen Pemda dijalankan berdasar 3 azas:
1.Desentralisasi
2.Dekonsenrasi
3.Perbantuan.
Ketiga asas tersebut sebenarnya bertujuan unutk memperjelas hubungan
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, juga tata hubungan antara lembaga
eksekutif daerah dan lembaga perwakilan daerah.
Kekuatan sistem desentralisasi dan otonomi daerah didukung oleh 3 pilar utamanya
yakni;
1.Kemampuan daerah untuk mengatur apa2 yang diwujudkan dalam peraturan daerah
bersama wakil rakyat daerah.
2.Didukung oleh kemampuan daerah menggali sumber pendapatan/keuangan daerah yang
bisa digunakan untuk membiayai pembangunan dan pemerintahan di daerah.
3.Didukung juga oleh sistem manajemen pengelolaan SDM/ kepegawaian daerah yang
profesional dan berkualitas.
Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintah oleh pemerintah
pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di
bawahnya (Pasal 1 ayat (8) UU No.32/2004). Dalam hal ini tampak jelas ada upaya
resentralisasi yang amat kental. Juga dalam hal banyaknya pembatalan perda2 oleh pusat.
15
Sedangkan untuk membuat Perda tersebut daerah telah mengeluarkan dana yang tidak
sedikit.
Sistem lain yang juga membingungkan adalah pada pasal 222 ayat (2) yang
menyatakan pembinaan dan pengawasan erhadap kabupaten dan kota dilakukan oleh
Gubrenur. Sebagaimana tertuang dalam PP No.79/2005 pasal 25 ayat (1),(2):
”Inspektur provinsi dalam melaksanakan tugas pengawasan, bertanggung jawab terhadap
Gubernur dan mendapat pembinaan dari Sekda Provinsi”
Membingungkannya sistem ini adalah inspektur provinsi mestinya adalah aparat perangkat
daerah dari pemda provinsi bukan aparat dekonsentrasi. Oleh karenanya kita perlu mencari
solusi yang lebih baik demi terciptanya pemerintahan daerah yang lebih demokratis.
Begitu juga halnya dengan sistem hubungan kerja antara DPRD dengan Kepala
Daerah yang dalam Undang-undang masing-masing sebagai penyelenggara pemerintahan
daerah perlu dicari upaya untuk mewujudkan check & balance dalam pemerintahan yang
demokratis.
Sistem pemilihan langsung Kepala Daerah yang semula diharapkan mampu
melaksanakan pemilihan secara demokratis & bebas politik uang (money politics), ternyata
malah menjadi kental nuansa politik uangnya. Misalnya saja saat pemilihan, parpol
menentukan sejumlah uang yang harus diberikan oleh calonnya, belum lagi dana yang
sangat besar yang harus dikeluarkan sang calon untuk memikat hati pemilihnya kemudian.
Betapa mahalnya untuk menjadi seorang Kepala Daerah. Makanya tak heran di kemudian
hari, calon yang terpilih kemudian akan memperhitungkan bagaimana mengembalikan
dana modalnya tersebut saat yang bersangkutan menjabat. Akibatnya timbul fenomena
bahwa yang jadi Kepala daerah adalah orang2 kaya bermodal besar yang masih diragukan
profesionalismenya. Perilaku2 manajemen pemerintahan daerah dalam pelayanan terhadap
16
masyarakat perlu dikaji kembali tujuan utamanya, apakah demi kepentingan rakyat ataukah
pribadi/golongan.
Bagian 9
KESIMPULAN & SARAN
Dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaannya, otonomi daerah masih perlu
memperoleh tanggapan dan perhatian. Persoalan2 yang perlu diperhatikan tersebut adalah
mengenai;
1.Penataan organisasi perangkat daerah hendaknya tidak membatasi diskresi pemda itu
sendiri.
2.Eksistensi suatu organisasi perangkat daerah haruslah semata-mata didasarkan pada
kemampuan dan kebutuhan daerah atas organisasi tersebut.
3.Hubungan antara jabatan politik dan pejabat karir perlu ditata dengan memberikan dasar
hukum yang tegas bagi birokrasi pemda, sehingga tidak mudah ditarik ataupun diintervensi
oleh kekuatan politik praktis parpol.
Pentingnya check & balance antara hubungan kelembagaan eksekutif & legislatif
juga perlu lebih ditekankan agar tercipta harmonisasi hubungan kerja dengan tetap
menjalankan diskresinya masing-masing demi kepentingan masyarakat.
Penilaian Pemda yang seringkali tidak percaya diri atas kemampuannya sendiri
perlu diperbaiki. Misalnya dalam meminta bimbingan pusat baik dalam rangka
memperoleh tambahan anggaran, dsb. Hal ini perlu sekali untuk dikurangi agar Pemda
dapat berprilaku lebih mandiri, mengingat ketergantungan daerah terhadap pusat dengan
berlebihan tersebut hanya akan melegitimasi intervensi pemerintah pusat ke daerah.
17
Selanjutnya akuntabilitas publik hendaknya dijadikan etos kerja dalam meberikan
pelayanannya terhadap masyarakat.
Kontrol masyarakat dapat dijadikan kriteria untuk mengevaluasi pelayanan publik
tersebut. Kontrol masyarakat dan akuntabilitas pemerintahan adalah selayaknya 2 sisi mata
uang yang sama mata uang logam, yang juga hendaknya dapat dijadikan acuan dalam
menerapkan Diskresi Pemda.
Dengan terciptanya Pemerintahan Daerah yang profesional dan memahami betul
batasan2 kewenangannya maka Diskresi dapat dijalankan sebagai bentuk kreatifitas
masing2 pemimpin daerah yang ada.
Demikianlah pokok2 pikiran sederhana yang dapat saya tuangkan dalam makalah
ini. Mohon maaf atas segala kekurangannya dan atas perhatiannya, saya ucapkan banyak
terima kasih.
PENULIS
DEPOK2009
18
top related