hubungan positif ekspresi cyclooxygenase-2 … filelembar persetujuan pembimbing tesis ini telah...
Post on 28-Jun-2019
232 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TESIS
HUBUNGAN POSITIF EKSPRESI
CYCLOOXYGENASE-2 DENGAN MICROVESSEL
DENSITY
PADAUNDIFFERENTIATEDCARCINOMANASOPHAR
YNXDI RSUP SANGLAH DENPASAR
MADE DWI HARTAYATI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
TESIS
HUBUNGAN POSITIF EKSPRESI
CYCLOOXYGENASE-2 DENGAN MICROVESSEL
DENSITY PADA UNDIFFERENTIATED CARCINOMA
NASOPHARYNX DI RSUP SANGLAH DENPASAR
MADE DWI HARTAYATI
1014098103
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
HUBUNGAN POSITIF EKSPRESI
CYCLOOXYGENASE-2 DENGAN MICROVESSEL
DENSITY PADA UNDIFFERENTIATED CARCINOMA
NASOPHARYNX DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Tesisuntuk Memperoleh Gelar Magister pada ProgramMagister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
MADE DWI HARTAYATI
1014098103
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 20 OKTOBER 2015
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.dr.I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, Sp.PA(K) dr. Moestikaningsih, Sp.PA(K)
NIP 196502011996012001 NIP 194508020969022001
Mengetahui
Ketua Program Studi
Pendidikan Dokter Spesialis-1 Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
DR. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, Sp.PA (K)
NIP 196502011996012001
iv
Lembar Penetapan Panitia Penguji
Tesis Ini Telah Diuji
Pada13 Oktober 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,
Ketua : DR. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, Sp.PA (K)
Anggota :
1. dr. Moestikaningsih, Sp.PA (K)
2. dr. AAAN. Susraini, Sp.PA (K)
3. dr. Luh Putu Iin Indrayani, Sp.PA (K)
4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD
Surat Pernyataan Bebas Plagiat
v
Nama : dr. Made Dwi Hartayati
NIM : 1014098103
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)
Judul : Hubungan positif ekspresi cyclooxygenase-2 dengan
microvessel density pada undifferentiated carcinoma
nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010
dan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Denpasar, Oktober 2015
Yang membuat pernyataan,
(dr. Made Dwi Hartayati)
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas semua berkat, rahmat dan anugerahNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.Penulis sangat menyadari bahwa penulis tidak mungkin dapat
menyelesaikan tesis ini tanpa bantuan banyak pihak. Pada Kesempatan ini,
perkenankanlah penulis menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan
penghargaan kepada Dr. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, Sp.PA (K) selaku
pembimbing I dan Ketua Program Studi Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana periode 2014-2018 yang telah memberikan kesempatan
mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberikan bimbingan, masukan dan
pengarahan dan koreksi selama menjalani pendidikan spesialisasi maupun dalam
penyelesaian tesis ini, dr.Moestikaningsih, Sp.PA (K) selaku pembimbing II dan
Ketua Program Studi Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana Periode 2009-2014 yang telah memberikan kesempatan mengikuti program
pendidikan spesialisasi, memberikan petunjuk, nasehat serta bimbingan selama
menjalani pendidikan spesialisasi maupun dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga
menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan kepada dr.
AAAN. Susraini, Sp.PA (K) sebagai Kepala Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar Periode 2014-2018
sekaligus tim penguji yang telah memberikan kesempatan mengikuti program
pendidikan spesialisasi, memberikan bimbingan, masukan dan pengarahan selama
vii
menjalani pendidikan spesialisasi maupun dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga
menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan kepada dr.
Luh Putu Iin Indrayani Maker, Sp.PA(K) selaku Kepala Instalasi Laboratorium
Patologi Anatomi Rumah Sakit Sanglah Denpasar sekaligus tim penguji yang telah
memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberikan
bimbingan, petunjuk, nasehat selama menjalani pendidikan spesialisasi dan
memberikan fasilitas dan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan untuk Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD
selaku tim penguji yang telah banyak sekali membantu penulis dengan memberikan
bimbingan, dorongan, semangat, masukan, saran dan koreksi dari awal pendidikan
hingga selesainya tesis ini. Selain itu penulis juga menyampaikan rasa terima kasih
kepada :
1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD,
FINASIM dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr.
Putu Astawa, SpOT (K), M.Kes yang memberikan kesempatan dan fasilitas untuk
mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program
Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka
Sudewi, SpS (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk menjadi
mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.
viii
3. Dr. dr Gede Indraguna Pinatih, MSC, SpGK selaku Ketua Program Studi Ilmu
Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana yang
telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan Combined Degree.
4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian
Ilmu Patologi Anatomi dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar.
5. dr. Ni Wayan Winarti, Sp.PA, sebagai Kepala Bagian/SMF Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar periode
2009-2014 yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan
spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.
6. Seluruh staf dosen/pengajar di Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah dan seluruh dosen Pascasarjana
Program Magister Ilmu Biomedik Combined Degree, yang telah membimbing,
memberikan masukan, nasehat, petunjuk dan bekal pendidikan dari awal
pendidikan hingga terselesaikannya tesis ini.
7. dr. Kadek Pramesti Dewi, Sp.PA yang telah banyak memberikan masukan dan
saran serta dorongan semangat selama penulis menyelesaikan tesis ini.
8. Drs. I Ketut Tunas, Msi, yang telah membantu dan memberi masukan saran
dalam pengolahan data dan statistik dari awal hingga akhir penulisan tesis ini.
9. Seluruh rekan-rekan sejawat residen dan senior residen Patologi Anatomi
Universitas Udayana atas bantuan, bimbingan dan kerjasamanya selama ini serta
ix
kepada seluruh staf karyawan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP
Sanglah Denpasar atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.
Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila selama menjalankan
pendidikan spesialisasi dan selama proses penyelesaian tesis ini penulis banyak
membuat kesalahan yang membuat pembimbing, tim penguji dan seluruh staf
dosen merasa tidak nyaman.
Rasa syukur, terima kasih yang sebesar-besarnya dan sujud penulis
persembahkan kepada orangtua tercinta, Drs. I Nengah Musta (Alm) dan Ni
Wayan Sukardi, BA yang dari lahir hingga sekarang selalu merawat, memberikan
doa, perhatian, kasih sayang, bekal pendidikan serta semangat dan dukungan yang
luar biasa kepada penulis. Terima kasih pula atas doa dan dukungannya kepada
kakak Gede Adi Hartana, SE. Akhirnya, penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada suami tercinta dr. I Komang Budi Lastiawan,
Sp.An dan anak-anakku tercinta Gede Danendra Nayottama, Made Astaka
Widyadana, Nyoman Aldea Listiaputri atas doa, cinta kasih, semangat, dukungan,
perhatian dan pengertiannya kepada penulis setiap saat. Tak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih atas doa dan dukungannya kepada seluruh keluarga
besar penulis dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita
semua.
Denpasar, Oktober 2015
Penulis
x
ABSTRAK
HUBUNGAN POSITIF EKSPRESI CYCLOOXYGENASE-2 DENGAN
MICROVESSEL DENSITY PADA UNDIFFERENTIATED CARCINOMA
NASOPHARYNX DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Tumor memerlukan pembentukan pembuluh darah baru atau angiogenesis
untuk dapat tumbuh dan bermetastasis. Angiogenesis dapat dinilai dengan
menghitung microvessel density (MVD). Salah satu cara untuk menentukan
microvessel adalah dengan pengecatan imunohistokimia CD31. Cyclooxygenase-2
(COX-2) adalah faktor potensial penting pada angiogenesis. Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui hubungan ekspresi COX-2 dengan MVD pada undifferentiated
carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar.
Penelitian ini menggunakan metode analitik potong lintang. Sampel penelitian
adalah sediaan blok parafin penderita undifferentiated carcinoma nasopharynx yang
diperiksa secara histopatologi pada Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah
Mada/RSUP dr.Sardjito, Yogyakarta dari 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Agustus
2014. Diagnosis ulang sediaan histopatologi dilakukan dengan pengecatan rutin H&E
untuk mendapatkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga
tercapai jumlah 31 sampel.Selanjutnya dilakukan pulasan imunohistokimia COX-2
dan CD 31 untuk menentukan microvessel pada seluruh sampel.Kemudian hasil
dianalisis dengan uji Pearson.
Ekspresi COX-2 positif ditemukan pada 24 (77,42%) subyek dan dijumpai
negatif pada 7 (22,59%). Ditemukan 22 (70,97%) kasus undifferentiated carcinoma
nasopharynx dengan MVD tinggi dan 9 (29,03%) dengan MVD rendah. Ditemukan
adanya korelasi positif ekspresi COX-2 dengan MVD (r = 0,868; p = 0,001).
Pada penelitian ini, ditemukan adanya hubungan positif antara ekspresi COX-
2 dan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx.
Kata kunci :undifferentiated carcinoma nasopharynx, Cyclooxygenase-2, Microvessel
density.
xi
ABSTRACT POSITIVE CORRELATION BETWEEN EXPRESSION
CYCLOOXYGENASE-2 AND MICROVESSEL DENSITY IN UNDIFFERENTIATED CARCINOMA NASOPHARYNX AT RSUP
SANGLAH DENPASAR
Tumors require new blood vessel formation or angiogenesis in order to grow and metastasize. Angiogenesis can be assessed by counting the microvessel density (MVD). One way to determine microvessel is the CD31 immunohistochemical staining. Cyclooxygenase-2 (COX-2) is a potentially important factor in angiogenesis.The aim of this study was to prove the correlation between expression COX-2 and MVD in undifferentiated carcinoma nasophrynx at RSUP Sanglah Denpasar.
This study used cross-sectional analytic method . The sample were paraffin block preparation of patients with undifferentiated carcinoma of the nasopharynx were examined by histopathology in Pathology Anatomy Departement, Medical Faculty Udayana University/RSUP Sanglah Denpasar and Laboratory of Anatomical Pathology, Faculty of Medicine, University of Gadjah Mada/DR.Sardjito Hospital, Yogyakarta from January 1, 2014 to August 31, 2014. Histopathological diagnosis performed on preparations with routine H & E staining to obtain samples that met the inclusion and exclusion criteria in order to reach the number of 31 samples. Subsequently immunohistochemical staining was performed for COX-2 and CD 31 to determined microvessel on the entire sample. Then the results were analyzed by Pearson test. COX-2 positive expression were found in 24 (77.42%) subjects were found negative in 7 (22.59%). Twenty two cases (70.97%) cases of undifferentiated carcinoma of the nasopharynx with high MVD and 9 (29.03%) with low MVD. There was positive correlation expression of COX - 2 with MVD ( r = 0.868 ; p = 0.001 ) . In this study , found a positive correlation between the expression of COX- 2 and MVD in undifferentiated carcinoma nasopharynx Keywords: undifferentiated carcinoma nasopharynx, cylooxygenase-2, microvessel density
xii
DAFTAR ISI
halaman
SAMPUL DALAM .................................................................................. i
PRASYARAT GELAR ............................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ....................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .......................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................... vi
ABSTRAK............................................................................................... x
ABSTRACT ............................................................................................ xi
DAFTAR ISI .......................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xvii
DAFTAR SINGKATAN ......................................................................... xix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xxiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................... 6
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................... 6
1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................. 6
xiii
1.4.1 Manfaat Akademik ................................................... 6
1.4.2 Manfaat Praktis ......................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 7
2.1 Anatomi Nasofaring .......................................................... 7
2.1.1 Anatomi .................................................................... 7
2.1.2 Sistem Aliran Darah dan Sistem Saraf ....................... 9
2.1.3 Sistem Limfatik ........................................................ 11
2.2 Undifferentiated Nasopharynx Carcinoma ......................... 12
2.2.1 Epidemiologi ............................................................ 12
2.2.2 Etiologi ..................................................................... 13
2.2.3 Klasifikasi ................................................................. 17
2.2.4 Gambaran Klinis ........................................................ 18
2.2.5 Gambaran Morfologi ................................................. 20
2.2.5.1 Makroskopis ................................................... 20
2.2.5.2 Mikroskopis ................................................... 20
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang ............................................. 22
2.2.6.1 Pemeriksaan klinis ......................................... 22
2.2.6.2 Radiologi ....................................................... 22
2.2.6.3 Serologi .......................................................... 23
2.2.6.4 Pemeriksaan patologi ..................................... 24
2.2.7 Penatalaksanaan ......................................................... 24
2.2.7.1 Radioterapi ..................................................... 24
2.2.7.2 Kemoterapi .................................................... 25
xiv
2.2.7.3 Operasi ........................................................... 25
2.2.7.4 Imunoterapi .................................................... 26
2.2.8 Prognosis ................................................................... 26
2.3 Cyclooxygenase-2 ................................................................ 27
2.3.1 Biologi cyclooxygenase ............................................. 27
2.3.2 Cyclooxygenase, prostaglandin, karsinoma ................ 29
2.3.3 Peranan Cox-2 pada karsinoma nasofaring ................. 30
2.3.4 Peranan Cox-2 pada angiogenesis .............................. 31
2.3.5 Ekspresi Cox-2 pada karsinoma nasofaring ................ 33
2.4 Imunohistokimia .................................................................. 35
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN ......................................................................................... 39
3.1 Kerangka Berpikir ............................................................. 39
3.2 Konsep Penelitian .............................................................. 42
3.3 Hipotesis Penelitian ........................................................... 43
BAB IV METODE PENELITIAN .......................................................... 44
4.1 Rancangan Penelitian ........................................................ 44
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 45
4.3 Ruang Lingkup Penelitian ................................................. 45
4.4 Penentuan Sumber Data ..................................................... 45
4.4.1 Populasi .................................................................... 45
4.4.2 Sampel Penelitian ..................................................... 46
4.4.3 Kriteria Inklusi .......................................................... 46
xv
4.4.4 Kriteria Eksklusi ....................................................... 46
4.4.5 Besar Sampel ............................................................ 47
4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel ..................................... 48
4.5 Variabel Penelitian ............................................................ 48
4.5.1 Klasifikasi Variabel .................................................. 48
4.5.2 Definisi Operasional Variabel ................................... 48
4.6 Bahan Penelitian ................................................................ 49
4.7 Instrumen Penelitian .......................................................... 50
4.8 Prosedur Penelitian ............................................................ 50
4.8.1 Cara Pengumpulan Data ............................................ 50
4.8.2 Prosedur Pemeriksaan Bahan .................................... 51
4.8.3 Alur Penelitian .......................................................... 56
4.9 Analisis Data ..................................................................... 57
BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................. 58
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian .......................................... 58
5.2 Ekspresi COX-2 dan MVD ................................................. 59
5.3 Uji Normalitas antara COX-2 dengan MVD ....................... 61
BAB VI PEMBAHASAN HASIL ............................................................ 66
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian .......................................... 66
6.2 Hubungan antara COX-2 dengan MVD .............................. 67
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 72
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ 80
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Formula Digby ................................................................................. 19
Tabel 5.1 Distribusi Sampel berdasarkan jenis kelamin ..................................... 58
Tabel 5.2 Distribusi Sampel berdasarkan umur .................................................. 59
Tabel 5.3 Distribusi Sampel berdasarkan persentase sel dan ekspresi COX-2 .... 59
Tabel 5.4 Interpretasi Ekspresi COX-2 .............................................................. 60
Tabel 5.5 Microvessel Density sesuai dengan Ekspresi CD 31........................... 60
Tabel 5.6 Hubungan antara COX-2 dan MVD ................................................... 62
xvii
DAFTAR GAMBAR
halaman
2.1 Anatomi nasofaring ....................................................................... 9
2.2 Pendarahan nasofaring .................................................................. 10
2.3 Persarafan nasofaring ..................................................................... 11
2.4 Pathogenesis karsinoma nasofaring ............................................... 17
2.5 Undifferentiated Carcinoma “Regaud type” .................................. 21
2.6 Undifferentiated Carcinoma “Schmincke type” .............................. 22
2.7 Terapi karsinoma nasofaring .......................................................... 24
2.8 Metabolisme asam arakidonat melalui kerja COX-2 ....................... 28
2.9 Peranan Cox-2 pada perkembangan karsinoma ............................... 30
2.10 Hasil pewarnaan imunohistokimia COX-2 ..................................... 36
2.11 Hasil pewarnaan imunohistokimia CD 31 ...................................... 38
3.1 Bagan konsep penelitian ................................................................. 42
4.1 Rancangan penelitian ..................................................................... 44
4.2 Bagan alur penelitian ..................................................................... 56
5.1 ROC dari ekspresi CD 31 ............................................................... 61
5.2 Hasil pewarnaan imunohistokimia COX-2 pada undifferentiated
nasopharynx carcinoma terpulas pada <10% sel ganas dengan
intensitas kuat ................................................................................ 62
5.3 Hasil pewarnaan imunohistokimia COX-2 pada undifferentiated
nasopharynx carcinoma terpulas pada 10-50% sel ganas dengan
intensitas kuat ................................................................................ 63
xviii
5.4 Hasil pewarnaan imunohistokimia COX-2 pada undifferentiated
nasopharynx carcinoma terpulas pada >50% sel ganas dengan
intensitas kuat ................................................................................ 63
5.5 Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan hasil MVD tinggi ......... 64
5.6 Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan hasil MVD rendah ........ 64
5.7 Hasil pewarnaan imunohistokimia MVD pada intraitumoral .......... 65
xix
DAFTAR SINGKATAN
AA = Asam Arakhidonat
ACIF = Anticomplement and Immunoflorecent
AJCC = Americant Joint Committee on Cancer
BCl2 = B Cell Lymphoma-2
BFGF = Basic Fibroblast Growth Factor
CD31 = Cluster of Differentiation 31
COX = Cyclooxygenase
COX-1 = Cyclooxygenase-1
COX-2 = Cyclooxygenase-2
COX-3 = Cyclooxygenase-3
CT = Computerized Tomography
DNA = Deoxyribonucleic Acid
EBNA = EBV- determined Nuclear Antigen
EGFR = Epithelial Growth Factor Receptor
FITC = Fluorescein Isothiocyanate
HE = Hematoxillin Eosin
HLA = Human Leukocyte Antigens
IARC = International Agency for Research on Cancer
KNF = Karsinoma Nasofaring
LMP = Latent Membran Protein
xx
MAPK = Mitogen Activated Protein Kinase
MEP = Major Excreted Protein
MMP = Matrix Metalloprotein
MGG = May-Grunwald Giemsa
MRI = Magnetic Resonance Imaging
mRNA = messenger Ribonucleic Acid
MVD = Microvessel Density
PCR = Polimerase Chain Reaction
PG = Prostaglandin
PGD2 = Prostaglandin D2
PGE2 = Prostaglandin E2
PGF2α = Prostaglandin F2α
PGG2 = Prostaglandin G2
PGH2 = Prostaglandin H2
PGHS = Prostaglandin H2 Synthesa
PGI2 = Prostaglandin I2
ROC = Receiver Operating Curve
RNA = Ribonucleic Acid
TXA2 = Tromboxan
UICC = Union International Centre Cancer
VCA = Viral Capsid Antigen
xxi
VEB = Virus Epstein Barr
VEGF = Vascular Endothelial Growth Factor
WHO = World Health Organization
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Penilaian ekspresi COX-2 dan CD 31 ............................................ 80
Lampiran 2. Keterangan kelaikan etik .............................................................. 82
Lampiran 3. Surat ijin ....................................................................................... 83
Lampiran 4. Data subyek penelitian .................................................................. 84
Lampiran 5. Uji Normalitas data umur, COX-2 dan CD 31 ............................... 85
Lampiran 6. Analisis deskriptif Jenis kelamin dan umur .................................... 85
Lampiran 7. Uji korelasi Pearson antara COX-2 dan CD 31 .............................. 86
Lampiran 8. Kurva ROC Data CD 31 ................................................................ 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel
mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini
pada karsinoma nasofaring sampai saat ini masih tetap merupakan masalah besar.
Hal ini disebabkan oleh karena gejala penyakit yang tidak khas dan letak tumor yang
tersembunyi sehingga sulit diperiksa.Hampir seluruh penderita datang dengan
stadium lanjut, bahkan sering datang dengan keadaan umum yang jelek.
Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi World Health
Organization (WHO) tahun 2005 adalah keratinizing squamous cell carcinoma,
nonkeratinizing carcinoma dibagi menjadi 2 yaitu differentiated carcinoma
nasopharynx dan undifferentiated carcinoma nasopharynx, dan basaloid squamous
carcinoma. Tipe histologi undifferentiated carcinoma nasopharynx merupakan tipe
yang paling sering diantara tipe yang lain dari karsinoma nasofaring yaitu 92% (Chan
et al., 2005).
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang sering terdapat di Asia
Tenggara termasuk Cina, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Taiwan dengan
insiden antara 10 – 53 kasus per 100.000 penduduk (Tse et al., 2006). Karsinoma
nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas pada kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia yaitu sekitar 60% dan menduduki urutan ke-5 dari seluruh
2
keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, kelenjar getah bening, dan
kulit (Chou et al., 2008). Berdasarkan data registrasi kanker tahun 2010 di Bali
karsinoma nasofaring menempati peringkat kelima dari seluruh karsinoma pada laki-
laki dan perempuan dengan jumlah 70 kasus, pada laki-laki menempati peringkat
pertama dengan jumlah 47 kasus dari seluruh karsinoma (Anonim, 2010). Angka
prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Berdasarkan data International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun
2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru KNF di seluruh dunia dan sekitar 50.000
kasus meninggal diantaranya adalah berasal dari Cina sekitar 40%. Tingkat ketahanan
hidup lima tahun penderita karsinoma nasofaring di Indonesia hanya sekitar 6,4 %
dan angka harapan hidup rata-rata 5 tahun penderita yang diberikan terapi radiasi
adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV (Chou et al., 2010).
Karsinoma nasofaring mempunyai perangai berbeda dibandingkan dengan
keganasan pada daerah lain di kepala dan leher, karena sifatnya yang sangat invasif
dan sangat mudah bermetastasis sering ditemukan pada stadium yang lanjut
(Brennan, 2006). Diagnosis pasti karsinoma nasofaring memerlukan biopsi
lesi.Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah
genetik, faktor lingkungan dan Virus Ebstein Barr (VEB).Hampir semua karsinoma
nasofaring mengandung VEB. Pada undifferentiated carcinoma nasopharynx, VEB
menginfeksi sel epitel nasofaring bagian posterior fossa Rossenmuller’s di
Waldeyer;s ring. Infeksi VEB dapat terjadi sebelum neoplasma dan berkembang
menjadi keganasan (Mantovani et al., 2008).Pemeriksaan serologi dan
3
imunohistokimia belum rutin dilakukan (Cho, 2007).Hal ini menyebabkan
penatalaksanaan karsinoma nasofaring menjadi sulit dan belum memberi hasil yang
memuaskan (Garden, 2010).Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan
pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka
kesembuhan yang cukup tinggi.Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan
kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi (Feng et al., 2010). Salah satu
prognosis buruk pada undifferentiated carcinoma nasopharynx adalah dijumpainya
banyak pembuluh darah kecil (Roezin, 2005).
Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru yang
terjadi secara normal dan sangat penting dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan. Pertumbuhan jaringan pembuluh darah baru sangat penting untuk
proliferasi sel kanker, karena proliferasi bergantung pada suplai oksigen, zat makanan
dan pembuangan zat sisa yang adekuat.Angiogenesis juga berperan penting dalam
penyebaran sel kanker. Sel-sel kanker dapat menembus masuk kedalam pembuluh
darah ataupun limfe, bersirkulasi melalui aliran vaskular, dan kemudian berproliferasi
pada tempat yang lain atau metastasis (Nishida et al., 2006). Pendekatan secara
patologis untuk memperkirakan adanya suatu angiogenesis adalah dengan perkiraan
secara mikroskopik densitas pembuluh darah (microvessel density/MVD) dari
jaringan tumor melalui pemeriksaan immunohistokimia (Choi et al.,
2005).Cyclooxygenase-2 (COX-2) merupakan faktor potensial yang penting pada
angiogenesis tumor.Cyclooygenase-2 secara konsisten terekspresi dalam
4
pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor dan pembuluh darah disekitar tumor
(Choi et al., 2005).
Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim penting pada jalur biositetik
prostaglandin, tromboxan dan prostasiklin dari asam arakhidonat.Ekspresi seluler
COX-2 meningkat normal pada stadium awal karsinogenesis dan selama
perkembangan serta pertumbuhan invasif tumor (Xu et al., 2006).Cyclooxygenase-2
terekspresi pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya terbukti sebagai
penyebab karsinogenesis. Prostaglandin dan enzim COX-2 merupakan mediator
inflamasi yang terlibat dalam proses angiogenesis. Inflamasi merupakan respon
fisiologis tubuh terhadap iritasi maupun stimuli yang mengubah homeostasis
jaringan. Inflamasi akut dapat mengalami pemulihan sempurna jika tubuh mampu
mengeliminasi penyebabnya, tetapi jika tubuh tidak mampu mengeliminasi akan
berlanjut menjadi inflamasi kronis. Inflamasi kronis menyebabkan kematian sel dan
tubuh mengkompensasi dengan peningkatan pembelahan sel. Bila diakselerasi dapat
memudahkan terjadinya kesalahan pembentukan Deoxyribonucleic acid (DNA) dan
mutasi (mutagen).Reaksi inflamasi dapat meningkatkan pelepasan sitokin dan faktor
pertumbuhan.Secara umum sitokin ikut berperan pada regulasi protein dan
meregulasi COX-2 yang merupakan enzim untuk sintesis prostaglandin (Soo, 2005).
Induksi COX-2 atau ekspresi berlebihan berhubungan dengan peningkatan
produksi prostaglandin-E2 (PGE2).Prostaglandin E2 menunjukkan adanya hubungan
antara perkembangan tumor dan biosintesis prostaglandin.Prostaglandin E2 juga
penting pada invasi tumor. Prostaglandin E2 dapat meningkatkan kadarVascular
5
Endothelial Growth Factor (VEGF). Vascular Endothelial Growth Factor
memproduksi matrix metalloprotein (MMP) untuk memulai suatu proses
angiogenesis. Matrix Metalloprotein memecah ekstraseluler matrix.Hal ini
merangsang migrasi sel endotel.Sel endotel mulai membelah begitu mereka
bermigrasi ke jaringan sekitarnya.Kemudian tersusun menjadi pembuluh darah baru
dan kemudian berkembang menjadi pembuluh darah matur (Nishida et al., 2006).
Penelitian Hasibuan (2014) menemukan adanya korelasi positif sedang antara
ekspresi COX-2 dan MVD pada karsinoma nasofaring dengan koefisien relasi 0,559
dengan tingkat kemaknaan (p=0,005) antara tingkat ekspresi COX-2 dengan
gambaran angiogenesis. Sedangkan pada penelitian Tan dan Putti (2005) menyatakan
microvessel density berkisar antara 1-59 (rata-rata 24,2), namun tidak dijumpai
adanya perbedaan yang bermakna MVD pada kelompok COX-2 positif dengan COX-
2 negatif (p=0,774).
Dengan memperhatikan latar belakang maka peneliti tertarik untuk meneliti
hubungan antara ekspresi COX-2 dengan angiogenesis, yang dinilai melalui MVD
padaundifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar yang
nantinya diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu faktor prediktif.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka disusun rumusan masalah penelitian
adalah: apakah terdapat hubungan positif ekspresi COX-2dengan MVD
padaundifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar?
6
1.3.Tujuan Penelitian
Untuk membuktikan adanya hubungan positif antara ekspresi COX-2 dengan MVD
pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat akademik
1. Memberikan informasi data epidemiologi tentang ekspresi COX-2dan MVD
pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau tambahan
pengetahuan dalam pemanfaatan COX-2 sebagai faktor prediktif undifferentiated
carcinoma nasopharynx.
1.4.2. Manfaat praktis
Memberikan informasi kepada klinisi bahwa hasil pemeriksaan
imunohistokimia COX-2 dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengobatanundifferentiated carsinoma nasopharynxdengan COX-2 inhibitor.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terletak pada belakang rongga
hidung.Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput
dan ruas pertama tulang belakang.Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana. Orificium dari tuba Eustachian berada pada dinding samping dan pada
bagian depan belakang terdapat ruangan berbentuk koana yang disebut dengan torus
tubarius (Roezin, 2007).
2.1.1 Anatomi
Fossa rossenmuller terletak pada bagian atas dan samping dari torus tubarius
merupakan tempat asal munculnya sebagian besar karsinoma nasofaring dan paling
sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring (Lu, 2006).
Fossa rossenmuler mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya,
sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks dari fossa
rossenmulerterdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan
sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran KNF ke
sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik (Roezin, 2007).
8
Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan
tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen,
yaitu : 1) kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris
inferior; 2) kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis; dan 3) kompartemen
retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere. Kompartemen retrofaring ini berhubungan
dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring
mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral.Lokasi fossa
rossenmuler yang demikian itu dan dengan sifat KNF yang invasif, menyebabkan
mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya yang melibatkan banyak
struktur penting sehingga timbul berbagai macam gambaran klinis (Lu, 2006).
Lapisan mukosa ialah daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan
epitel kubus berlapis semu bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar
atap, sedangkan pada daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel
skuamosa berlapis. Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan
antara atap nasofaring dan dinding lateral (Gambar 2.1). Lamina propria seringkali
diinfiltrasi oleh jaringan limfoid, sedangkan lapisa submukosa mengandung kelenjar
serosa dan mukosa (Roezin, 2007).
9
Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring (Nancy, 2005)
2.1.2 Sistem Aliran Darah dan Sistem Saraf
Pembuluh darah arteri utama yang mensuplai daerah nasofaring adalah arteri
faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang
faringeal arteri sfenopalatina (Gambar 2.2).Semua pembuluh darah tersebut berasal
dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di
bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah
superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya (Nancy, 2005)
10
Gambar 2.2 Pendarahan Nasofaring (Nancy, 2005).
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot
konstriktor faringeus media.Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf
glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion
servikalis simpatikus (Gambar 2.3).Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal
dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim
tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina
yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1) (Nancy, 2005).
11
Gambar 2.3. Persarafan Nasofaring (Nancy, 2005)
2.1.3 Sistem Limfatik
Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas.Kelompok
pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada ruang
retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia
prevertebra. Pada dinding lateral terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan
pembuluh limfe. Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di
kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi
rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah otot
sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai
12
jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir yaitu saraf
IX,X,XI,XII. Metastase ke kelenjar limfe ini dapat terjadi sampai dengan 75%
penderita KNF, yang mana setengahnya datang dengan kelenjar limfe bilateral
(Roezin, 2007).
2.2 Undifferentiated carcinoma nasopharynx.
2.2.1 Epidemiologi
Angka kejadian karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak
geografisnya (Korcum et al., 2006). Berdasarkan data International Agency for
Research on Cancer (IARC) pada tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru
KNF di seluruh dunia dan sekitar 50.000 kasus meninggal diantaranya adalah berasal
dari Cina sekitar 40% . Di Indonesia angka kejadian karsinoma nasofaring cukup
tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 1000 penduduk dan memberikan hasil yang
beragam, dengan laki-laki lebih banyak menderita KNF daripada perempuan dengan
2,5:1. Kelompok umur yang terbanyak terjadi adalah pada umur 41-50 tahun
(Giordano et al., 2008). Berdasarkan data registrasi kanker tahun 2010 di Bali,
karsinoma nasofaring menempati peringkat kelima dari seluruh karsinoma pada laki-
laki dan perempuan dengan jumlah 70 kasus, pada laki-laki menempati peringkat
pertama dengan jumlah 47 kasus dari seluruh karsinoma. Umur rata-rata penderita
KNF yaitu 45-55 tahun. Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3 : 1. Di Bali rasio umur
tebanyak usia 35-45 tahun sebanyak 13 kasus, yang kedua usia 45-54 tahun sebanyak
11 kasus, dan yang ketiga usia 55-64 tahun sebanyak 8 kasus (Anonim, 2010).
13
Insiden tertinggi dilaporkan berasal dari provinsi Guandong dan daerah Guangxi Cina
Selatan yaitu mencapai lebih dari 50 per 100.000 orang pertahun.Etnis Cina yang
bermigrasi ke luar negeri juga mempunyai angka insiden yang tinggi, tetapi etnis
Cina yang lahir di Amerika Utara, mempunyai angka insiden yang rendah
dibandingkan dengan yang lahir di Cina (Chou et al., 2008).Temuan ini
mengindikasikan bahwa faktor genetik, etnik, dan lingkungan memegang peranan
penting terhadap meningkatnya KNF (Korcum et al., 2006).
Angka kejadian karsinoma nasofaring di Singapura, persentase terbesar
mengenai masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk) disusul oleh
keturunan Melayu (6,5% per 100.000) dan keturunan Hindustan (0,5 per 100.000).
Karsinoma nasofaring jarang terjadi di Amerika serikat dan Eropa, dengan angka
kejadian 1 per 100.000 penduduk per tahun (Lu, 2006)
2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Karsinoma nasofaring adalah suatu keganasan dengan etiologi
multifaktorial.Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring
adalah genetik, faktor lingkungan dan Virus Ebstein Barr (Korcum et al., 2006).
1. Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol, ras yang
banyak sekali menderitanya adalah bangsa China (Desen, 2008).Beberapa penulis
melaporkan adanya kecenderungan orang dengan tipe HLA tertentu dapat menderita
14
karsinoma nasofaring. Tingginya angka insiden KNF di daerah Cina Selatan, baik
yang tinggal di Cina atau yang sudah bermigrasi, dan angka insiden sedang pada
populasi keturunan Cina campuran, diduga mempunyai hubungan genetik dalam
terjadinya karsinoma nasofaring. Analisis genetik pada etnis China menunjukkan
Histo-Kompatibilitas Mayor pada lokus HLA-A2, B17 dan BW46 dengan
peningkatan risiko terjadinya karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Tetapi
pada penelitan di Amerika Utara gagal menunjukkan lokus HLA dengan peningkatan
risiko peningkatan karsinoma nasofaring (Levine et al., 2008).
Polimorfik genetik dari gen CYP-2 F1 menunjukkan dapat terjadi pada daerah
Guandong-China. Ketika polimorfik genetik CYP-2 F1 diselidiki dan dibantu dengan
polimorfik genetik yang multipel dari satu atau beberapa gen lain maka berpotensial
untuk berkembang dan berprogresif menjadi karsinoma nasofaring. Gen XRCC-1
penting didalam DNA yang diperbaiki. Hipotesis bahwa nukleotida polimorfik
tunggal XRCC-1 (codons 194Arg → Trp dan 399Arg → Gln) dihubungkan dengan
risiko karsinoma nasofaring dan interaksi dengan rokok serta tembakau.Genotip
XRCC-1 Trp yang bervariasi berhubungan dengan risiko perkembangan karsinoma
nasofaring terutama pada pria yang merokok. Pada bagian lain, dengan adanya Cyclin
D1 (kunci regulasi dari siklus sel) dan diubahnya aktifitas menunjukkan
perkembangan karsinoma (Desen, 2008)
15
2. Lingkungan
Paparan ikan asin dan makanan yang mengandung volatile nitrosamine
berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring.Dan telah terbukti bahwa
mengkonsumsi ikan asin sejak anak-anak meningkatkan risiko KNF di Cina Selatan
(Can et al., 2005; Lin, 2006).
Faktor lingkungan lain yang merupakan faktor risiko terjadinya karsinoma
nasofaring adalah merokok. Orang yang merokok selama 10 tahun atau lebih
mempunyai risiko yang tinggi terhadap KNF. Penelitian menunjukkan adanya
paparan formaldehid bentuk uap dan asap yang terhirup berpengaruh paling besar
terhadap kejadian KNF, keduanya terbukti secara bersama-sama berpengaruh secara
signifikan terhadap kejadian KNF. Adanya radang kronik pada mukosa nasofaring
akan lebih mudah terpapar karsinogen lingkungan dan dapat menyebabkan karsinoma
nasofaring (Wee et al., 2010).
3. Virus Epstein Barr (VEB)
Virus Epstein-Barr adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dngan
timbulnya karsinoma nasofaring.Penderita karsinoma nasofaring terbukti terinfeksi
VEB dan genom virus dapat diidentifikasikan pada sel tumor.VEB merupakan suatu
virus gamma herpes yang mengandung DNA yang termasuk dalam keluarga herpes
viridae yang ditemukan oleh Ied Tony Epstein dan Yvone Barr pada tahun 1964.
Pada undifferentiated nasopharyng carcinoma, VEB menginfeksi sel epitel
nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller’s di Waldeyer’s ring.Walaupun
hubungan reseptor VEB pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein
16
mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat
diuraikan dan VEB banyak masuk ke sel nasofaring berupa igA-mediated
endocytosis. VEB dapat juga dideteksi pada karsinoma insitu, suatu prekursor
undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Infeksi laten VEB sangat penting dalam
perkembangan menuju displasia yang berat pada KNF. Displasia merupakan lesi awal
yang dapat terdeteksi, yang diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa karsinogen
lingkungan.Hal ini berkaitan dengan kehilangan alel pada lengan pendek kromosom 3
dan 9 yang menyebabkan inaktivasi beberapa tumor suppressor genes, terutama p14,
p15, p16.Karsinogen yang berkaitan belum ditemukan dengan perkembangan
KNF.Area displasia ini merupakan asal dari tumor namun belum cukup untuk
menyebabkan perkembangan yang progresif. Pada stadium laten, infeksi VEB dapat
mengacu pada perkembangan displasia yang lebih berat. Didapatkan kerusakan gen
pada kromosom 12 dan kehilangan alel pada 11q, 13q, dan 16q dapat memicu
terjadinya kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan dengan mutasi p53 dan
ekspresi chaderin yang menyimpang (gambar 2.4) (Korcum et al., 2006).
EBNA1 dan LMP1 yang merupakan produk onkogen VEB terbukti
menyebabkan transformasi dan imortalisasi limfosit B. Adanya partikel VEB pada
jaringan tumor spesimen biopsi penderita KNF secara konsisten, mendukung
hipotesis VEB sebagai faktor etiologi utama pada KNF (Hsiao et al., 2009).
17
Gambar 2.4 Pathogenesis karsinoma nasofaring (Tao, 2007)
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing
squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge
atau keduanya. (2) Non Keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan
batas sel yang jelas (pavement cell pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai
oleh pola pertumbuhan sinsitial, sel-sel polygonal berukuran besar atau sel dengan
bentuk spindel, anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit. Sedangkan klasifikasi WHO tahun 2005 membagi karsinoma nasofaring
menjadi (1) Keratinizing squamous cell carcinoma. Tipe KNF ini menunjukkan
18
diferensiasi skuamous dengan adanya intercellular bridges, dan keratin dalam
gambaran histologinya; (2) Nonkeratinizing carcinoma yang mencakup tipe
berdiferensiasi dan tipe tidak berdiferensiasi (undifferentiated). Tumor ini umumnya
lebih radiosensitif dan mempunyai hubungan yang kuat dengan EBV. (2.1)
Differentiated nonkeratinizing carcinoma. Sel-sel tumor menunjukkan diferensiasi
dengan maturasi sel skuamous.(2.2.) Undifferentiated carcinoma.Sel-sel tumor
dengan bentuk inti oval atau bulat vesikular dengan anak inti menonjol.Batas antar sel
tidak jelas dan dengan hubungan antar sel yang sinsitial; (3).Basaloid squamous cell
carcinoma.Merupakan tipe histologi yang jarang, terdiri dari komponen basaloid dan
komponen skuamous (Chan et al., 2005).
2.2.4. Gambaran Klinis
Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan
infeksi saluran nafas atas.Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan
gejala telinga.Ini terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring.Timbul
keluhan pilek berulang dengan ingus yang bercampur darah.Kadang-kadang dapat
dijumpai epistaksis.Tumor juga dapat menyumbat muara tuba eustachius, sehingga
pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa berdenging kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran.Gejala ini umumnya unilateral, dan merupakan gejala
yang paling dini dari karsinoma nasofaring.Sehingga bila timbul berulang-ulang
dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai karsinoma
nasofaring (Roezin, 2007).
19
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga
pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer
telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke
kelenjar getah bening servikal (Roezin, 2007).
Menurut Formula Digby (Tabel 2.1), setiap gejala klinis mempunyai nilai
diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring. Bila
jumlah nilai mencapai 50, diagnosis klinik karsinoma nasofaring dapat dipertanggung
jawabkan (Roezin, 2005).
Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor
primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnostik histopatologi, juga
menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan
prognosis (Roezin, 2007).
Tabel 2.1. Formula Digby (Roezin, 2005)
GEJALA KLINIK NILAI
Dapat dilihat atau diraba tumor padat dalam nasofaring 25
Kelenjar limfe leher membesar 25
Gejala khas hidung (epistaksis, obstruksi) 15
Gejala khas telinga (kurang pendengaran, tinnitus) 5
Paralisis satu atau lebih syaraf otak (diplopia, neuralgia, trigeminus) 5
Sakit kepala mulai unilateral 5
Eksoptalmus unilateral/ bengkak di rahang/ bengkak di temporal 5
20
2.2.5 Gambaran Morfologi
2.2.5.1 Makroskopis
Tumor dapat berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki
permukaan halus, bernodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa
yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada
nasofaring (Chan et al., 2005).
2.2.5.2 Mikroskopis Undifferentiated carcinoma nasopharynx.
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma nasopharynx memperlihatkan
gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan
vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang
tindih.Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel.Dijumpai infiltrat sel radang dalam
jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai
lymphoepithelioma.Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma,
eosinofil, epiteloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang) (Chan et al.,
2005).
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe
Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang
dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit (Gambar 2.5). Yang kedua
tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-
sel radang (Gambar 2.6). Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant
lymphoma (Chan et al., 2005)
21
Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara
karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari
karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan
berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophilik. Inti dari malignant
lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, kromatin kasar dan anak inti lebih
kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang undifferentiated memiliki
sel-sel dengan bentuk oval atau spindel (Chan et al., 2005).
Gambar 2.5. Undifferentiated carcinoma “Regaud type”, terdiri dari sel-sel yang membentuk
sarang-sarang padat (Chan, 2005)
22
Gambar 2.6. Undifferentiated carcinoma “Schmincke type”, terdiri sel-sel yang tumbuh
membentuk gambaran sinsisial yang difus (Chan, 2005)
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang
2.2.6.1. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara
rinoskopi posterior, nasofaringoskopi serta fibernaso faringoskopi (Roezin, 2007).
2.2.6.2 Radiologi
Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang
menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :
1. Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat
lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi
erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.
23
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang
multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari
peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada
retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam.MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor
ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya (Roezin, 2007).
2.2.6.3 Serologi
Ekspresi spesifik viral messenger RNAs atau produk gen secara konsisten
dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan tekhnik
imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR pada material yang
diperoleh pada dari aspirasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening
leher (Chan et al., 2005).
2.2.6.4. Pemeriksaan Patologi
1. Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening serikalis
Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi
biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikalis (Chan et al., 2005)
2. Biopsi
Konfirmasi pasti diagnosis KNF diperoleh dari hasil biopsi positif yang
diambil dari tumor di nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari
hidung dan dari mulut (Chan et al., 2005).
2.2.7 Penatalaksanaan
24
National Comprehensive Cancer Network (2010), mengajukan suatu skema
penatalaksanaan karsinoma nasofaring (Gambar 2.7) dengan kombinasi kemoterapi
dan radioterapi (Yang et al,2012).
Gambar 2.7 Terapi Karsinoma Nasofaring berdasarkan NCCN (2010)
2.2.7.1 Radioterapi
Radioterapi sebagai gold standard untuk karsinoma nasofaring sudah dimulai
sejak lama.Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring dini sebenarnya cukup baik,
respon lengkap sekitar 80%-100%.Sedangkan untuk karsinoma nasofaring stadium
lanjut loko regional, respon radioterapi menurun tajam dengan angka ketahanan hidup
5 tahun yang kurang dari 40%.Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan
sebesar 25%-65% (Chang, 2006).Radioterapi sebagai terapi utama pada karsinoma
nasofaring diberikan untuk yang belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan
25
diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang kelangsungan
hidup penderita (Qu et al., 2012)
Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama untuk
karsinoma nasofaring terutama didasarkan fakta bahwa secara histopatologis
kebanyakan (75%-95%) karsinoma dari jenis undifferentiated carcinoma
nasopharynx yang sangat radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi
nasofaring yang terletak di dasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan
tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor (free margin)
sangat sulit (Qu et al., 2012).
2.2.7.2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi.Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada
keadaan kambuh (Tang et al., 2011).
2.2.7.3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi.Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer
sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan
serologi.(Feng et al., 2010).
26
2.2.7.4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka penderita karsinoma nasofaring dapat diimunoterapi
(Feng et al., 2010).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian penghambat COX-2
terhadap penderita tumor memberikan hasil yang positif melalui efek kemopreventif
dan radiosensititizer.Pemberian penghambat COX-2 dapat meningkatkan efek terapi
standar serta mengurangi progresivitas KNF.
2.2.8 Prognosis
Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia
muda), staging klinik dan lokasi dari metatasis regional ( lebih baik pada yang
homolateral dibandingkan pada metastasis kontralateral dan metastasis yang terbatas
pada leher atas dibandingkan dari leher bawah). Studi terakhir dengan menggunakan
TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stadium I 98%,
stadium II A-B 95%, stadium III 86%, dan stadium IV A-B 73%. Secara
mikroskopis, prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cell carcinoma
dibandingkan dengan yang lainnya (Roezin, 2005).
Untuk non keratinizing squamous cell carcinoma, prognosis buruk bila
dijumpai anaplasia dan atau plemorfism, proliferasi sel yang tinggi ( dihitung dari
mitotik atau dengan proliferasi yang dihubungkan dengan marker imunohistokimia ),
sedikitnya jumlah sel radang limfosit, tingginya densitas dari S-100 protein yang
27
positif untuk sel-sel dendritik, dijumpai banyak pembuluh darah kecil, dijumpai
ekspresi Her2/neu (Roezin, 2005).
2.3 Cyclooxygenase-2
2.3.1 Biologi Cyclooxygenase
Cyclooxygenase atau prostaglandin H2 synthase (PGHS) merupakan enzim
yang mengkatalisis dua langkah awal yaitu siklooksigenasi dan peroksidasi pada
biosintesis prostaglandin (PG) dari asam arakhidonat (AA). Asam arakhidonat (20-
carbon polyunsaturated fatty acid) merupakan prekursor dari prostaglandin dan
ditemukan hampir sebagian besar pada membran fosfolipid dari sel (Sonawane et al.,
2011).
Biosintesis prostaglandin terjadi melalui tiga langkah. Langkah pertama pada
sintesis prostaglandin adalah hidrolisis fosfolipid untuk menghasilkan arakhidonat
bebas dimana reaksi ini dikatalisasi oleh fosfolipase A. Langkah berikutnya
merupakan reaksi kunci yang dikatalisasi oleh COX dimana dua molekul oksigen
diinsersikan ke dalam asam arakhidonat untuk menghasilkan prostaglandin G2
(PGG2) intermediate yang tidak stabil dan kemudian secara cepat dikonversi menjadi
prostaglandin H2 (PGH2) oleh aktivitas peroksidase dari COX. Langkah ketiga
terjadi saat spesifik isomerase mengubah PGH2 menjadi berbagai prostaglandin
lainnya seperti PGE2, prostaglandin F2α (PGF2α), prostaglandin D2 (PGD2),
prostasiklin (PGI2) dan tromboksan (TXA2) (Gambar 2.8) ( Sonawane et al., 2011;
Zarghi dan Arfaei, 2011).
28
Gambar 2.8
Metabolisme Asam Arakidonat Melalui Kerja COX (Sonowane et al., 2011)
Cyclooxygenase merupakan bagian integral dari membran terutama membran
mikrosomal.Melalui pemeriksaan mikroskop fluorescence dan tehnik pewarnaan
histofluoresence menunjukkan bahwa Cyclooxygenase-1 (COX-1) dan COX-2
berlokasi pada retikulum endoplasma dan membran inti, COX-2 konsentrasinya lebih
tinggi pada membran inti (Stasinopoulos, 2008).
Saat ini diketahui ada 3 family enzim ini yaitu COX-1, COX-2, dan yang
terbaru diidentifikasi adalah Cyclooxygenase-3 (COX-3), yang memiliki kesamaan
aktivitas enzimatik tetapi memiliki fungsi dan pola ekspresi yang berbeda. COX-1
dan COX-2 mempunyai perbedaan dalam kemampuannya untuk memakai sumber
asam arakhidonat endogen, baik pada sel fibroblast maupun pada sel immune. COX-
2 dapat memanfaatkan asam arakhidonat endogen dan Cox-1 tidak.Hal yang paling
29
penting membedakan antara COX-1 dan COX-2 adalah perbedaan regulasi dari
ekspresi dan distribusinya pada jaringan. COX-3 merupakan varian dari COX-1,
mRNA COX-3 pada manusia memiliki panjang 5,2 kb. COX-1, COX-2, dan COX-3
memiliki persamaan yaitu responnya tergantung dari rangsangan hormon, faktor
pertumbuhan, pharbol ester, faktor inflamasi dan sitokin (Bertagnolli, 2008; Zhao et
al, 2008).
2.3.2 Cyclooxygenase, Prostaglandin, Karsinoma
Family COX adalah enzim yang terdiri dari 2 anggota, COX-1 adalah enzim
yang terekspresi di banyak organ dan COX-2 hanya terekspresi pada jaringan tertentu
saja, termasuk plasenta, otak dan ginjal. Dimana COX-2 ekspresinya meningkat oleh
sejumlah rangsangan, termasuk sitokin, faktor pertumbuhan dan onkogen (Howe,
2007; Surowiak, 2010).
Kedua enzim COX ini mengkatalisis asam arakidonat menjadi PGG2 dan
sesudah itu menjadi PGH2, yang berperan sebagai substrat untuk isomerisasi
multipel yang secara sendirinya berespon untuk generasi untuk menghasilkan
eikosanoid, termasuk PGE2, PGI2 dan TXA2. Prostaglandin terutama PGE2 akan
memodulasi terbentuknya tumor. Misalnya PGE2 berikatan secara spesifik dengan
reseptor protein G-couple reseptor pada permukaan sel epitel, dan akan menstimulasi
rangkaian sinyal pertumbuhan dan motilitas. Didalam sel-sel epitel PGE2 akan
menekan apoptosis dengan meningkatkan ekspresi BCL2 dan juga meningkatkan
ekspresi Mitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) yang dapat meningkatkan
migrasi sel atau lebih invasif dan mengaktivasi Epidermal Growth Factor Reseptor
30
(EGFR). Selanjutnya, PGE2 akan menginduksi angiogenesis, sehingga memiliki
kemampuan untuk tumbuh dan bermetastasis (Howe, 2007).
Gambar 2.9 Peranan COX-2 pada Perkembangan Karsinoma (Klimek et al., 2009)
2.3.3 Peranan COX-2 pada Karsinoma Nasofaring
Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa level enzim COX-2 meningkat pada
beberapa kanker, seperti karsinoma kolorektal, karsinoma sel skuamous kepala dan
leher, serta beberapa kanker paru-paru dan payudara.Faktor yang kemungkinan
berperan dalam peningkatan ekspresi COX-2 adalah sitokin, faktor pertumbuhan,
mediator inflamasi, agen perusak DNA dan agen oksidasi. Pada manusia dan model
binatang level COX-2 ditemukan lebih tinggi pada adenokarsinoma tipe intestinal
dibandingkan pada lesi prakanker seperti familialadenomatous polyposis . Mirip
pada beberapa karsinoma sel skuamous kepala dan leher, level COX-2, PG, seperti
31
PG2α, PGE2 dan metabolisnya ditemukan lebih tinggi daripada jaringan normal
(Divvella, 2010). Peningkatan ekspresi protein COX-2 sejalan dengan peningkatan
progresifitas invasi epitelium karsinoma nasofaring dari sel normal kemudian
menjadi displasia dan menjadi karsinoma (Widiastuti et al., 2011). Tidak ada
hubungan antara sub tipe histologi karsinoma nasofaring antara keratinizing
squamous cell carcinoma dan non keratinizing carcinoma dengan tampilan COX-2.
Didapatkan tampilan COX-2 sedang pada non keratinizing carcinoma dan derajat
tampilan sedang pada keratinizingsquamous cell carcinoma. Sel kanker
mengekspresikan protein COX-2 dalam kadar tinggi dan ekspresi yang berlebihan
pada COX-2 berhubungan dengan prognosis yang buruk terutama pada
undifferentiated carcinoma nasopharynx (Tan dan Putti, 2005).
2.3.4 Peranan COX-2 pada Angiogenesis.
Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru yang
terjadi secara normal dan sangat penting dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan. Pertumbuhan jaringan pembuluh darah baru sangat penting untuk
proliferasai sel kanker, karena proliferasi bergantung pada suplai oksigen, zat
makanan dan pembuangan zat sisa yang adekuat.Angiogenesis juga berperan penting
dalam penyebaran sel kanker. Sel-sel kanker dapat menembus masuk ke dalam
pembuluh darah ataupun limfe, bersirkulasi melalui aliran vaskular, dan kemudian
berproliferasi pada tempat yang lain atau metastasis. Tanpa lintasan angiogenesis,
sebuah tumor hanya akan berkembang hingga memiliki diameter sekitar 1–2 mm, dan
setelah itu perkembangan tumor akan terhenti. Sebaliknya, dengan angiogenesis,
32
sebuah tumor akan berkembang hingga melampaui ukuran diameter 2 milimeter.
Oleh karena itu, sel tumor memiliki kemampuan untuk mensekresi protein yang dapat
mengaktivasi lintasan angiogenesis. Dari berbagai protein yang dapat mengaktivasi
lintasan angiogenesis seperti acidic fibroblast growth factor, angiogeninepidermal
growth factor, G-CSF, HGF, interleukin-8, placental growth factor, platelet-derived
endothelial growth factor, scatter factor, transforming growth factor-alpha, TNF-α
dan molekul kecil seperti adenosine 1-butyryl glycerol, nikotinamida, prostaglandin
E1 dan E2, terdapat dua protein yang sangat penting bagi pertumbuhan tumor yaitu
VEGF dan basic fibroblast growth factor (bFGF). Kedua protein ini disekresi oleh
berbagai jenis sel kanker dan beberapa jenis sel normal.(Nishida et al., 2006).
Sekresi VEGF atau bFGF akan mengikat pada sel endotelial dan mengaktivasi
sel tersebut untuk memicu lintasan metabolisme yang membentuk pembuluh darah
baru. Sel endotelial akan memproduksi sejumlah enzim MMP yang akan melakukan
degradasi terhadap jaringan matriks ekstraselular yang mengandung protein dan
polisakarida berfungsi sebagai jaringan ikat yang menyangga jaringan parenkim
dengan mengisi ruang di sela-sela selnya. Degradasi jaringan tersebut memungkinkan
sel endotelial bermigrasi menuju jaringan parenkim, melakukan proliferasi dan
diferensiasi menjadi jaringan pembuluh darah yang baru (Pang dan Poon, 2006).
Angiogenesis diperlukan untuk menstabilkan koloni tumor yang baru
terbentuk dan untuk menyokong pertumbuhan massa tumor. COX-2 dan PG
(misalnya PGE2 dan PGI2) merupakan faktor potensial yang penting pada
33
angiogenesis tumor.Cyclooxygenase-2 secara konsisten terekspresi dalam
pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor dan pembuluh darah di sekitar.Efek
pro-angiogenik dari COX-2 dapat meningkatkan ekspresi dari
VEGF.Immunoreaktivitas COX-2 juga berhubungan dengan immunoreaktivitas
VEGF pada kanker kolorektal dan metastasis hati pada kanker kolorektal
(Bertagnolli, 2008).
Overekspresi COX-2 berkorelasi dengan meningkatnya ekspresi VEGF pada
angiogenesis karsinoma hepatoselular. Penelitian ini memakai Heb-B HCC cell line,
merupakan sel hepatosit karsinoma yang membawa gen HBV. Clone Heb-B, yang
merupakan cell line dengan overekspresi COX-2 menunjukkan ekspresi VEGF yang
lebih tinggi dibandingkan dengan clone yang tidak mengekspresikan COX-2 (Zhao
et al., 2008).
2.3.5 Ekspresi COX-2 pada karsinoma nasofaring
Prostaglandin endoperoxidase sintesa-2 atau COX-2 adalah enzim kunci
dalam produksi prostaglandin.Enzim ini ditemukan meningkat pada bebagai
keganasan, seperti pada kolon, paru, payudara, kepala leher, dan dipengaruhi oleh
berbagai sitokin, hormon, dan promotor tumor. Prostaglandin dan isoenzim COX-2
dapat membantu proses karsinogenesis dengan merubah proses sel normal seperti
proliferasi sel, angiogenesis, apoptosis, imunomodulasi dan metabolism karsinogen.
Overproduksi dari PGE2 sebagai akibat peningkatan COX-2 juga dapat mengirimkan
sinyal yang tidak sesuai pada sel, sehingga merangsang pertumbuhan sel atau
mengurangi apoptosis (Zhao et al., 2008; Sonowane et al., 2011).
34
Analisis imunohistokimia memperlihatkan COX-2 terekspresi kuat pada sel-sel
ganas karsinoma nasofaring dan tidak terekspresi atau terekspresi lemah pada
nasofaring normal (Xu et al., 2006). Penelitian lain juga menyebutkan COX-2 kuat
pada karsinoma tiroid dan kolorektal (Ji et al., 2012). Penelitian yang dilakukan pada
vulva, ternyata COX-2 terekspresi paling tinggi pada inflamasi dibandingkan dengan
lesi displasia maupun kanker yang invasif, dan tidak berhubungan dengan
peningkatan derajat diferensiasi tumor (Mozes et al., 2005; Ristimaki et al., 2012).
Sel kanker mengekspresikan protein COX-2 dalam kadar tinggi dan ekspresi
yang berlebihan pada COX-2 berhubungan dengan prognosis yang buruk terutama
pada undifferentiated carcinoma nasopharynx. Peningkatan ekspresi protein COX-2
sejalan dengan peningkatan progresifitas invasi epitelium karsinoma nasofaring dari
sel normal kemudian menjadi displasia dan menjadi karsinoma (Widiastuti et al.,
2011).
2.4 Imunohistokimia
Imunohistokimia merupakan suatu proses mengidentifikasi protein spesifik
pada jaringan atau sel dengan menggunakan antibodi. Tempat pengikatan antara
antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan marker yang biasanya
dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara langsung atau dengan
mengidentifikasi marker. Marker dapat berupa senyawa berwarna, zat berfluoresensi,
logam berat, label radioaktif atau enzim (Anonim, 2012 ).
35
Terdapat dua metode dasar identifikasi antigen dalam jaringan dengan
imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct method) dan tidak langsung
(indirectmethod).
a. Metode langsung (direct method)
Metode langsung merupakan metode pengecatan satu langkah karena hanya
melibatkan satu jenis antibodi, yaitu antibodi yang terlabel, contohnya anti serum
terkonjugasi fluorescein isothiocyanate (FITC) atau rodhamin.
b. Metode tidak langsung (indirect method).
Metode ini menggunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi primer (tidak berlabel)
dan antibodi sekunder (berlabel). Antibodi primer bertugas mengenali antigen yang
diidentifikasi pada jaringan (first layer), sedangkan antibodi sekunder akan berikatan
dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua merupakan anti-antibodi
primer. Pelabelan antibodi sekunder diikuti dengan penambahan substrat berupa
kromogen. Kromogen merupakan suatu gugus fungsi senyawa kimiawi yang dapat
membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa tertentu. Penggunaan
kromogen fluorescent dye seperti FITC, rodhamin, dan Texas-red disebut metode
immunofluorescence, sedangkan penggunaan kromogen enzim seperti peroksidase,
alkali fosfatase, atau glukosa oksidase disebut metode immunoenzyme
(Anonim,2012).
Sel yang mengekspresikan COX-2 akan tampak berwarna coklat pada
sitoplasma sel ganas. Penilaian ekspresi COX-2 dibuat berdasarkan analisis
persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaan.Berdasarkan persentase
36
sel ganas yang menunjukkan overekspresi COX-2 maka dibagi menjadi 3 (0-3) yaitu:
0 (tidak terwarnai), 1 (<10% sel dari seluruh sel ganas terwarnai), 2 (10-50% sel dari
seluruh sel ganas terwarnai), 3 (> 50% sel dari seluruh sel ganas terwarnai).
Berdasarkan intensitas sel-sel ganas yang menunjukkan overeksprei COX-2 maka
dibagi menjadi 3 skala (0-3) yaitu: 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang), 3 (kuat) (Tan
dan Putti, 2005).
Skor persentase dari sel tumor, sesuai dengan penelitian sebelumnya digunakan skor
immunoreaktif, diperoleh dengan mengalikan skor % sel ganas yang
mengekspresikan COX-2 dengan skor intensitas. Skor imunoreaktif 4 atau lebih
dinilai sebagai ekspresi COX-2 positif, skor imunoreaktif kurang dari 4 dinyatakan
sebagai COX-2 negatif (Gambar 2.10) (Tan dan Putti, 2005).
Gambar 2.10 A. Lemah (intensitas 1 dari 3). B. Sedang (intensitas 2 dari 3). C. Kuat (intensitas
3 dari 3). D. Tidak terpulas COX-2 pada epitel nasofaring normal (Tan dan
Putti, 2007).
37
Antibodi primer CD31 mengenali glikoprotein 1000 Da pada sel endothelial dan
130 kDa pada trombosit.CD31 bereaksi secara lemah dengan zona lapisan sel B, sel T
perifer dan neutrofil.CD31 dapat mendeteksi antigen yang berhubungan dengan sel
endotel vaskular dan telah digunakan sebagai penanda terhadap ganas atau jinak suatu
gangguan vaskular pada manusia, infiltrasi leukemia myeloid, dan megakariosit
dalam susum tulang normal.Ketika dibandingkan dengan faktor VIII dan CD34
penelitian menunjukkan bahwa CD31 merupakan penanda yang lebih unggul untuk
angiogenesis yang dilaporkan dapat memprediksi rekurensi tumor.CD31 bersama
dengan faktor VIII dan CD34 digunakan dalam panel pemeriksaan untuk
menandakan sarkoma Kaposi’s dan angiosarkoma.Kontrol CD31 terdapat pada tonsil,
angiosarkoma, atau karsinoma kolon. Sel yang mengekspresikan CD31 pada
sitoplasma dan membran (Anonim, 2009).
Untuk penghitungan microvessel density, pulasan CD31 dinilai pada pembesaran
lemah (10x) untuk area yang menunjukkan peningkatan pembuluh darah (hot spots).
Pada area hotspot dilihat pada pembesaran 400x dengan mikroskop cahaya binokuler
CX-21.Empat lapang pandang pada 1 slide dipilih untuk mewakili area seluas 1
mm2.Intratumoral dan peritumoral microvessel (pembuluh darah dengan diameter ˂
50µm tanpa lapisan muskular) dihitung jumlah microvessel pada masing-masing
empat lapang pandang, dan hasilnya digabungkan untuk mendapatkan
microvessel/mm2 (Gambar 2.11) (Taweevisit et al., 2010; Tan dan Putti, 2005).
38
Gambar 2.10.
A. Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan hasil MVD tinggi dan B. MVD rendah
(Hasibuan, 2014).
39
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Inflamasi merupakan salah satu faktor risiko pencetus terjadinya keganasan pada
beberapa organ.Rangsangan mekanik, kimia, fisik dan mediator inflamasi akan
melepaskan asam arakhidonat dari fosfolipid membran sel melalui kerja dari
fosfolipase A. Asam arakhidonat yang terbentuk akan mengalami biotransformasi
menjadi prostaglandin dan tromboksan melalui perantaraan enzim COX.
Cyclooxygenase-2 terekspresi pada beberapa tumor dan terbukti terlibat dalam
proses karsinogenesis melalui proses perubahan metabolism xenobiotik, yang
dapat meningkatkan pertumbuhan tumor invasi, angiogenesis dan menghambat
apoptosis
Hampir semua sel karsinoma nasofaring mengandung Virus Epstein Barr, dan
sebagian besar penderita karsinoma nasofaring terbukti terinfeksi oleh virus ini di
dalam darah.Infeksi VEB sendiri belum cukup untuk menyebabkan karsinoma
nasofaring. Faktor-faktor lain seperti genetik, dapat mempengaruhi bagaimana
tubuh berespon terhadap VEB. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
karsinoma nasofaring adalah iritasi oleh bahan kimia, asap, bahan makanan yang
mengandung pengawet nitrosamin, debu kayu, dan rokok. Adanya radang kronik
pada karsinoma nasofaring dan paparan faktor lingkungan yang disebutkan diatas
dapat meningkatkan terjadinya karsinoma nasofaring.
40
Pada undifferentiated carcinoma nasopharynx, VEB menginfeksi sel epitel
nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller’s di Waldeyer’s ring.Walaupun
hubungan reseptor VEB pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein
mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat
diuraikan dan VEB banyak masuk ke sel nasofaring berupa IgA-mediated
endocytosis. VEB dapat juga dideteksi pada karsinoma insitu, suatu prekursor
undifferentiated carcinoma nasopharynx. Infeksi laten VEB sangat penting dalam
perkembangan menuju displasia yang berat pada KNF. Displasia merupakan lesi
awal yang dapat terdeteksi, yang diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa
karsinogen lingkungan.Hal ini berkaitan dengan kehilangan alel pada lengan
pendek kromosom 3 dan 9 yang menyebabkan inaktivasi beberapa tumor
suppressor genes, terutama p14, p15, p16.Area displasia ini dapat menjadi
precursor dari karsinoma nasofaring. Pada stadium laten, infeksi VEB dapat
memicu perkembangan displasia yang lebih berat. Didapatkan kerusakan gen pada
kromosom 12dan kehilangan alel pada 11q, 13q, dan 16q dapat memicu terjadinya
kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan dengan mutasi p53 dan ekspresi
chaderin yang menyimpang.
Cyclooxygenase-2 tidak terdapat pada jaringan normal namun ekspresinya
secara cepat diinduksi oleh berbagai rangsangan seperti sitokin, lipopolisakarida,
mitogen dan onkogen, faktor pertumbuhan, hormon dan kelainan keseimbangan
cairan dan elektrolit sehingga pembentukan prostaglandin akan meningkat pada
jaringan yangmengalami inflamasi dan neoplastik.Kondisitersebut
41
mengimplikasikan keterlibatan COX-2 dalam berbagai proses patologis seperti
inflamasi dan keganasan.
Pada undifferentiated carcinoma nasopharynx, COX-2 berperan dalam
berbagai proses yaitu; (1) Menekan apoptosis oleh induksi PGE2, dimana
berakibat terjadi peningkatan protein antiapoptosis BCL2, menekan ekspresi
protein proapoptosis BAX dan melemahkan sinyal NO. (2) Meningkatkan
angiogenesis melalui peningkatan level PGE2, yang diikuti oleh peningkatan
VEGF, endothelin-1. (3) Meningkatkan kemampuan invasi sel tumor melalui
ekspresi berlebihan CD44. Cyclooxygenase-2 merupakan mediator
inflamasidanenzim yang dapatmengubahasamarakhidonatmenjadi PGE2,
PGE2berperan penting dalam proses karsinogenesis pada banyak organ
menyebabkan proliferasi sel ganas, bersifat anti apoptosis, memicu angiogenesis,
memicu metastasis.
Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru.
Pertumbuhan jaringan pembuluh darah baru sangat penting untuk proliferasai sel
kanker, karena proliferasi bergantung pada suplai oksigen, zat makanan dan
pembuangan zat sisa yang adekuat.Sel pada jaringan pre kanker membutuhkan
kemampuan angiogenik untuk membuat sel tersebut berubah menjadi
ganas.Angiogenesis juga berperan penting dalam penyebaran sel kanker. Sel-sel
kanker dapat menembus masuk kedalam pembuluh darah ataupun limfe,
bersirkulasi melalui aliran vaskular, dan kemudian berproliferasi pada tempat
yang lain atau metastasis.
42
Angiogenesis diperlukan untuk menstabilkan koloni tumor yang baru
terbentuk dan untuk menyokong pertumbuhan massa tumor. Cyclooxygenase-
2dan PG (misalnya PGE2 dan PGI2) merupakan faktor potensial yang penting
pada angiogenesis tumor.Cyclooxygenase-2 secara konsisten terekspresi dalam
pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor.Efek pro-angiogenik dari COX-
2 dapat meningkatkan prostaglansin E2.Peningkatan PGE2 dapat meningkatkan
VEGF.
3.2 Konsep Penelitian
Konsep penelitian tampak pada bagan sebagai berikut :
Gambar 3.1
BaganKonsep Penelitian
Keterangan Gambar :
Ekspresi COX-2
Microvessel density Undifferentiated carcinoma
nasopharynx
Genetik
Lingkungan
Virus Epstein Barr
43
= Variabel yang diteliti
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan positif ekspresi COX-2
dengan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah
Denpasar.
44
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 RancanganPenelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan
rancangan potong lintang (cross-sectional study). Skema rancangan penelitian
dapat dilihat pada Gambar 4.1
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
Undifferentiated carcinoma
nasopharynx
COX-2
Microvessel
density
45
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud / RSUP
Sanglah Denpasar dan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah
Mada/RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta dari 15Maret 2015 – 1 Mei 2015.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dimulai dengan rediagnosis sediaan histopatologi dari bahan
biopsi penderitaundifferentiated carcinoma nasopharynx yang diperiksa secara
histopatologi pada Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah di
Denpasar oleh peneliti dan seorang ahli patologi.Populasi terjangkau dicari blok
parafinnya, selanjutnya dilakukan pemotongan blok parafin, pulasan, dan
interpretasi ekspresi protein COX-2 dan CD31.
4.4 Penentuan Sumber Data
4.4.1 Populasi
4.4.1.1. Populasi target
Populasi target penelitian ini adalah semua sediaan blok parafin dari
penderita undifferentiated carcinoma nasopharynx yang diperiksa secara
histopatologi dari hasil biopsi di Bali.
4.4.1.2. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari
penderita undifferentiated carcinoma nasopharynx yang diperiksa
46
secarahistopatologi dari hasil biopsi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
4.4.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari
penderitaundifferentiated carcinoma nasophrynx yang telah diperiksa secara
histopatologi dari hasil biopsi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP
Denpasar dari tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Agustus 2014 yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4.3 Kriteria Inklusi
1. Sediaan berasal dari salah satu bahan biopsi dekstra atau sinistra yang
mengandung minimal 3 mm jaringan tumor (Chou, 2008).
2. Sediaan merupakan tumor primer.
3. Penderita belum pernah mendapatkan kemoterapi atau radioterapi.
4.4.4 Kriteria Eksklusi
1. Kasus dengan diagnosis histopatologi yang belum pasti (masih ada
diagnosis banding).
2. Blok parafin yang rusak.
3. Sediaan mengandung sel-sel radang padat, jika limfosit menginfiltrasi
tumor secara difus seluruh komponen tumor (Busam et al, 2011)
47
4.4.5 Besar Sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus besar
sampel penelitian analitik korelatif oleh (Machin et al., 2009):
( )3
1
1ln5,0
2
+
−+
+=
r
r
ZZn
βα
Keterangan: n = besar sampel
Zα = Nilai Z untuk α tertentu
Zβ = Nilai Z untuk power (1-β) tertentu
r = koefisien korelasi
Berdasarkan penelitian sebelumnya (Hasibuan, 2014) diperolehbahwa
koefisien korelasi (r) sebesar 0,559. Dengan tingkat kesalahan tipe I, α ditetapkan
sebesar 5% sehingga nilai Zα adalah 1,96. Sedangkan kesalahan tipe II, β
ditetapkan sebesar 10%, maka Zβ adalah 1,28. Dari rumus di atas maka
didapatkan besar sampel adalah
( )3
559,01
559,015,0
28,196,1
2
+
−++
=In
n
n= 28
Jadi besar sampel pada penelitian ini adalah 28. Untuk menghindari drop
out maka ditambah 10% sehingga besar sampel menjadi 28+2,8=30,8dan
dibulatkan menjadi 31 sediaan blok parafin untuk pulasan COX-2 dan CD 31.
48
4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara berikut :
a. Dari populasi terjangkau sediaan blok parafin diadakan pemilihan sampel
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
b. Populasi terjangkau yang telah memenuhi syarat diambil secara random untuk
mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan, yaitu sebanyak 31blok parafin.
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Klasifikasi Variabel
1.Variabel tergantung : Microvessel density
2. Variabel bebas : Ekspresi COX-2
4.5.2 Definisi Operasional Variabel
1.Undifferentiated carcinoma nasopharynxadalah keganasan yang berasal dari
epitel mukosa nasofaring infiltratif pada stroma yang memperlihatkan gambaran
sel berbentuk oval atau spindel dengan inti bulat sampai oval dan vesikular, dan
ditemukan anak inti membentuk pola sinsitial (Chan et al., 2005).
2. Ekspresi COX-2 adalah: Penilaian protein COX-2 dengan pulasan
imunohistokimia menggunakan antibodi primer monoklonal COX-2 clone D07
dari Dako, secara semikuantitatif, diamati dengan mikroskop cahaya binokuler
merk Olympus CX-21 mulai dari pembesaran lemah (40x) kemudian pembesaran
kuat (400x). Penghitungan dilakukan pada seluruh sel tumor dimulai dari bagian
tumor dengan ekspresi COX-2 terkuat ke bagian yang lebih lemah (40x). Sediaan
49
jaringan yang akan dinilai, dibandingkan dengan kontrol positif. Kontrol positif
diambil dari jaringan kolon. Sel yang mengekspresikan COX-2 akan tampak
berwarna coklat pada sitoplasma sel ganas. (Tan dan Putti, 2005). Penilaian
ekspresi COX-2 dijelaskan pada lampiran 1.
3. Microvessel density : Penilaian MVD dengan pulasan immunohistokimia
menggunakan antibodi primer monoclonal mouse anti human CD 31Endothelial
Cell secara semikuantitatif, diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk
Olympus CX-21 mulai dari pembesaran lemah (40x) kemudian pembesaran kuat
(400x). Penghitungan dilakukan pada seluruh sel tumor dimulai dari bagian tumor
dengan ekspresi terkuat ke bagian yang lebih lemah. Sediaan jaringan yang akan
dinilai, dibandingkan dengan kontrol positif. Kontrol positif diambil dari jaringan
tonsil. Untuk menentukan microvessel, dilihat dari ekspresi lemah sampai kuat
CD31 yaitu berwarna coklat pada sitoplasma dan membrane sel. Intratumoral dan
peritumoral microvessel (pembuluh darah dengan diameter ˂ 50µm tanpa lapisan
muskular) dihitung jumlah microvessel pada masing-masing empat lapang
pandang, dan hasilnya digabungkan untuk mendapatkan microvessel/mm2
(Taweevisit et al., 2010). Penilaian MVD dijelaskan pada lampiran 1.
4.6 Bahan Penelitian
1. Bahan pemeriksaan histopatologi berupa blok parafin dari bahan biopsi dan
operasi pasien yang menderitaundifferentiated carcinoma nasopharynxyang
diperiksa secara histopatologi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP
Sanglah,dan slide dengan pengecatan H&E.
50
2. Bahanpemeriksaan imunohistokimia berupa blok parafin dari bahan biopsi dan
operasi pasien yang menderitaundifferentiated carcinoma nasopharynxyang
diperiksa secara histopatologi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP
Sanglah, untuk pengecatan imunohistokimia COX-2 menggunakan antibodi
primer monoklonal COX-2 clone DO7 dari Dako dan antibodi monoclonal mouse
anti-Human CD31 Endothelial cell.
3. Buku Registrasi Pemeriksaan Histopatologi Bagian/SMF Patologi Anatomi FK
Unud/RSUP Sanglah di Denpasar tahun 2014 untuk mencari data pasien yang
menderita karsinoma nasofaring dari tahun 2014.
4.7 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah:
1. Instrumen untuk pemeriksaan imunohistokimia yaitu: mikrotom Leica 2135
RM,gelas obyek yang telah dilapisi dengan poly-L-lisyne, merk Biogear,
ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm dan inkubator.
2. Mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21 untuk melihat ekspresi COX-2
dan microvessel densitypada sediaan undifferentiated carcinoma
nasopharynx.
4.8Prosedur Penelitian
4.8.1 Cara Pengumpulan Data
1. Pengumpulan data pasien dan sediaan preparat biopsi atau operasi
Undifferentiated carcinoma nasopharynxyangdiperiksa secara histopatologi
51
dari 1 Januari 2014 sampai 31 Agustus 2014 di Bagian/SMF Patologi Anatomi
FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar.
2. Preparat hasil pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E) sesuai dengan yang
didapatkan tersebut diatas dikumpulkan dan dievaluasi ulang oleh peneliti dan
dua ahli patologiuntuk memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga didapat
kelompok data yaitu undifferentiated carcinoma nasopharynx. Preparat yang
sulit dievaluasi dilakukan potong ulang blok dan dipulas dengan pulasan rutin
menggunakan Harris’s Hematoksilin dan Eosin.
3. Blok paraffin dari pasien dikumpulkan dan dievaluasi sesuai kriteria inklusi
dan eklusi.
4. Blok paraffin dikirim ke Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UGM/RSUP dr.
Sarjito, Jogyakarta untuk dilakukan pulasan Imunohistokimia COX-2 dan
CD31.
5. Data hasil pulasan selanjutnya diusulkan kedalam formulir penelitian.
4.8.2 Prosedur Pemeriksaan Bahan
1. Prosedur pulasan H&E sesuai dengan prosedur pulasan yang rutin dikerjakan di
Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar:
a. Potong ulang blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2135 RM
dengan ketebalan 4µm, kemudian ditempelkan pada gelas obyek merk Sail
Brand dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.
b. Deparafinsasi dengan cara dicelupkan pada xilol sebanyak 4 kali masing-
masing celupan sebanyak 5 menit.
52
c. Hidrasi dengan alkohol bertingkat dengan kosentrasi menurun
menggunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 75%, dan alkohol 50%,
masing masing celupan selama 2 menit.
d. Masukkan ke air selama 10 menit.
e. Celupkan ke cat utama yaitu Harris’s hematoksilin selama 10 menit.
f. Cuci dengan air selama 10 menit.
g. Lihat dibawah mikroskop, inti sel akan terlihat biru terang sedangkan
sitoplasma tidak berwarna.
h. Celupkan pada cat pembanding eosin 1% selama 0,5-1 menit.
i. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi meningkat
menggunakan alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95% dan alkohol
absolut, masing-masing celupan selama 2 menit.
j. Penjernihan dengan xilol sebanyak 4 kali celupan, lama masing-masing
celupan selama 5 menit.
k. Tutup dengan cover glas
2. Melakukan pulasan imunohistokimia COX-2 dengan prosedur :
a. Potong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2135 RM ketebalan 3
µm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang telah dilapisi dengan
poly-L-lisyne, merk Biogear, ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan
tebal 1,2 mm. Disamping pemeriksaan untuk sampel, pemeriksaan juga
dilakukan pada kasus karsinoma kolon sebagai kontrol positif.
b. Letakkan gelas obyek di inkubator dengan suhu 45o C selama 1 malam.
53
c. Deparafinsasi dengan xilol, preparat dicelupkan kedalam xilol sebanyak 3
kali, masing-masing celupan selama 5 menit.
d. Rehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol absolut 2 kali,
alkohol absolut, alkohol 96%, dan alkohol 70%, masing-masing selama 5
menit.
e. Cuci dengan aquadest selama 10 menit.
f. Teteskan H2O2 dalam methanol 3% sampai menutupi seluruh permukaan
jaringan selama 15 menit.
g. Cuci dengan aquadest selama 10 menit.
h. Untuk retrivel dengan buffer citrate ph 6 selama 40 menit pada 950 dengan
decloaking chamber atau 10-20 menit dengan microwave.
i. Dinginkan pada suhu kamar kurang lebih selama 30 menit.
j. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 3-5 menit.
k. Inkubasi dengan bloking serum atau normal serum selama 15 menit.
l. Tiriskan, bersihkan.
m. Inkubasi dengan antibodi primer menggunakan antibodi monoklonal
COX-2 dari Dako yang telah diencerkan (pengenceran 1:100) selama 1
jam.
n. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 3-5 menit.
o. Inkubasi dengan antibodi sekunder atau trekkie universallink selama 20
menit.
p. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 3-5 menit.
q. Inkubasi dengan trekkie avidin HRP selama 10 menit.
54
r. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, selama 3-5 menit.
s. Teteskan dengan cromogenDAB (1:50), biarkan selama 2 menit.
t. Cuci dengan air mengalir.
u. Counterstain dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit.
v. Cuci dengan air mengalir.
w. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol 70%, alkohol
96%, dan alkohol 100%, masing-masing selama 3 menit.
x. Celupkan kedalam xilol sebanyak 3 kali, 3 menit.
y. Tutup dengan cover glass.
3. Melakukan pulasan imunohistokimia CD31 dengan prosedur :
a. Potong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2135 RM ketebalan 3
µm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang telah dilapisi dengan
poly-L-lisyne, merk Biogear, ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan
tebal 1,2 mm. Disamping pemeriksaan untuk sampel, pemeriksaan juga
dilakukan pada tonsil sebagai kontrol positif.
b. Inkubasi dalam inkubator dengan suhu 45o C selama 1 malam.
c. Deparafinsasi dengan xilol, preparat dicelupkan kedalam xilol sebanyak
3x5 menit.
d. Rehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol absolut, alkohol
96%, dan alkohol 70%, masing-masing selama 5 menit.
e. Cuci dengan aquadest selama 10 menit.
f. Teteskan H2O2 dalam methanol 3% selama 15 menit.
g. Cuci dengan aquadest selama 10 menit.
55
h. Untuk retrivel dengan buffer citrate ph 6 selama 40 menit pada 950 dengan
decloaking chamber atau 10-20 menit dengan microwave.
i. Dinginkan pada suhu kamar kurang lebih selama 30 menit.
j. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
k. Inkubasi dengan bloking serum atau normal serum selama 15 menit.
l. Tiriskan, bersihkan.
m. Inkubasi dengan antibodi primer menggunakan antibodi monoklonal
Mouse anti-human CD31 Endothelial cell dari Dako yang telah diencerkan
(pengenceran 1:100) selama 1 jam.
n. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 3-5 menit.
o. Inkubasi dengan antibodi sekunder atau trekkie universal link selama 20
menit.
p. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing 3-5 menit.
q. Inkubasi dengan trekkie avidin HRP selama 10 menit.
r. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 3-5 menit.
s. Teteskan dengan cromogen DAB (1:50), biarkanselama 2 menit.
t. Cuci dengan air mengalir.
u. Counterstain dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit.
v. Cuci dengan air mengalir.
w. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol 70%, alkohol
96%, dan alkohol 100%.
x. Celupkan kedalam xilol sebanyak 3 kali, 3 menit.
y. Tutup dengan cover glass.
56
4.8.3 Bagan Alur Penelitiaan
Skema alur penelitian dapat dilihat pada table 4.2
Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian
Mencari nomor-nomor sediaan undifferentiated carcinoma
nasopharynx dari 1 Januari 2013-31 Desember 2014
Pengumpulan sediaan pulasan HE
Seleksi dan rediagnosis sediaan mikroskopik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Pulasan imunohistokimia CD31
Undifferentiated nasopharyng carcinoma
Pulasan imunohistokimia ekspresi COX-2
Randomisasi
Pengumpulan dan pemotongan blok parafin
Interpretasi dan penghitungan ekspresi COX-
2
Interpretasi dan penghitungan microvessel density
Analisis data
57
4.9 Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16.0 for
windows dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Analisis Deskriptif.
2. Uji Normalitas data dengan ujiKolmogorov-Smirnov.
3. Analisis korelatif adalah uji Pearson karena distribusi data normal.
4. Tingkat kemaknaan dalam penelitian ini ditetapkan sebesar α < 0,05.
58
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian observasional dengan menggunakan rancangan potong lintang
(cross-sectional study) yang menggunakan sediaan blok parafin dari penderita
undifferentiated carcinoma nasopharynx yang telah diperiksa secara
histopatologi dari hasil biopsi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar dari tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Agustus 2014
didapatkan sebanyak 58 kasus. Setelah dilakukan diagnosis ulang secara
histopatologi, dilakukan pemilihan sampel, sesuai besar sampel yang dibutuhkan,
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak 31 kasus
undifferentiated carcinoma nasopharynx. Sampel tersebut kemudian dipulas
dengan pengecatan imunohistokimia COX-2 dan CD31.
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Pada penelitian ini, data karakteristik subyek meliputi jenis kelamin dan
umur.
Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 26 83,9%
Perempuan 5 16,1%
Jumlah 31 100%
Dari 31 kasus undifferentiated carcinoma nasofarinx, didapatkan 26(83,9%)
adalah laki-laki dan 5(16,1%) perempuan.
59
Tabel 5.2
Distribusi Sampel Berdasarkan Umur
Umur Jumlah Persentase
11-20 1 3,23%
21-30 1 3,23%
31-40 4 12,90%
41-50 11 35,48%
51-60 8 25,80%
61-70 5 16,13%
71-80 1 3,23%
Jumlah 31 100%
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata umur pasien adalah
49,52±11,64 tahun dengan rentangan 18-71 tahun (Tabel 5.2).
5.2 Ekspresi COX-2 dan Microvessel density
Tabel 5.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Persentase Sel dan Intensitas Ekspresi COX-2
Persentase Sel Intensitas
Skor Jumlah Skor Jumlah
0 (0%) Tidak ada 0 (negatif) Tidak ada
1 (˂10%) 6 (19,35%) 1 (lemah) 3 (9,68%)
2 (10-50%) 10 (32,26%) 2 (sedang) 8 (25,80%)
3 (˃50%) 15 (48,39%) 3 (kuat) 20 (64,52%)
60
Berdasarkan pemeriksaan perluasan ekspresi COX-2 dari 31 sampel
menunjukkan berturut-turut skor (0) tidak ada, skor (1) 6 kasus (19,35%), skor (2)
10 kasus (32,26%), skor (3) 15 kasus (48,38%). Sedangkan pada pemeriksaan
intensitas ekspresi COX-2dari 31 sampel didapatkan hasil sebagai berikut 0
(negatif) tidak terpulas, 3 (9,68%) terpulas dengan intensitas lemah, 8( 25,80%)
terpulas dengan intensitas sedang, dan 20 (64,52%) terpulas dengan intensitas
kuat (Tabel 5.3).
Tabel 5.4 Interpretasi Ekspresi COX-2
Interpretasi Ekspresi COX-2 Jumlah
Negatif (Skor<4) 7 (22,59%)
Positif (Skor ≥4) 24 (77,42%)
Interpretasi ekspresi COX-2 dibagi menjadi 2 yaitu skor negatif jika
intensitas pulasan<4 dan skor positif jika pulasan≥4.Penelitian ini
memperlihatkan intensitas negatif pada 7 kasus (22,59%) dan intensitas positif
pada 24 kasus (77,42%) (Tabel 5.4).
Tabel 5.5 Microvessel Density sesuai dengan Ekspresi CD 31
Ekspresi CD 31 Jumlah
Rendah (COP <4,5) 9 (29,03%)
Tinggi (COP >4,5) 22 (70,97%)
Pada tabel 5.5 menunjukkan ekspresi CD 31 rendah yaitu 29,03% dan
tinggi 70,97%. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Receiver
Operating system (ROC) didapatkan bahwa nilai batas (cut off point) ekspresiCD
31 adalah 4,5 dengan nilai sensitivitas 100% dan nilai spesifisitas adalah 79%.
61
Gambar 5.1 Kurva ROC dari Ekspresi CD 31
5.3 Uji Normalitas COX-2 dengan Microvessel Density
Berdasarkan hasil uji normalitas data dengan uji Kolmogrov-Smirnov
didapatkan bahwa data COX-2 dan MVD berdistribusi normal (p>0,05). Untuk
mengetahui hubungan antara COX-2 dengan MVD digunakan uji korelasi
Pearson.
Tabel 5.6
Hubungan antara COX-2 dengan Microvessel density
62
MVD
r P Tinggi Rendah
COX-2 Positif 23 1
0,868 0,001 Negatif 1 6
Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa dengan uji korelasi Pearson
didapatkan nilai r = 0,868 dan p = 0,001. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan
positif secara bermakna antara COX-2 dengan MVD (p<0,05).
Gambar 5.2 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia COX-2 pada Undifferentiated carcinoma
nasopharynx terpulas pada <10% sel ganas dengan Intensitas Kuat (IHK COX-2, pembesaran 400x pada kotak kecil).
63
Gambar 5.3 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia COX-2 pada Undifferentiated carcinoma
nasopharynx terpulas pada 10-50% sel ganas dengan Intensitas Kuat (IHK COX-2, pembesaran 400x pada kotak kecil)
Gambar 5.4 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia COX-2 pada Undifferentiated carcinoma
nasopharynx terpulas pada >50% sel ganas dengan intensitas kuat (IHK COX-2, pembesaran 400x).
64
Gambar 5.5 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia peritumoral dengan hasil MVD tinggi (IHK
CD 31, pembesaran 400x pada kotak kecil).
Gambar 5.6 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia peritumoral dengan hasil MVD rendah (IHK
CD 31, pembesaran 400x pada kotak kecil).
65
Gambar 5.7 Hasil Pewarnan Imunohistokimia MVD pada intratumoral (IHK CD 31,
pembesaran 400x)
Gambar 5.7 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia MVD pada intratumoral (IHK CD 31,
pembesaran 400x pada kotak kecil)
66
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Pada penelitian ini didapatkan kasus undifferentiated carcinoma nasopharynx dari
bahan biopsi 26 kasus (83,9%)pada laki-laki dan 5 kasus (16,1%) pada perempuan.
Hasil yang didapatkan ini tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan dari
kepustakaan bahwa karsinoma nasofaring lebih sering pada laki-laki daripada
perempuan (Chan et al., 2005).Lebih banyaknya penderita karsinoma nasofaring pada
laki-laki dibanding perempuan kemungkinan berhubungan dengan kebiasaan
merokok pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan.Hal ini sesuai dengan
penelitian Taweevisit et al (2010) yang mendapatkan insiden pada laki laki lebih
sering daripada perempuan. Beberapa penelitian di berbagai negara juga
menunjukkan penderita karsinoma nasofaring lebih banyak daripada perempuan
dengan rata-rata perbandingan 2:1 (Xu et al., 2006).Berdasarkan data registrasi
kanker tahun 2010 di Bali karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan dengan rasio 2:1.
Kasus undifferentiated carcinoma nasopharynx terbanyak ditemukan pada
dekade kelima (Chan,2006). Pada penelitian ini didapatkan usia terbanyak pada
dekade kelima dengan rentang usia 18 tahun sampai usia 71 tahun. Rerata usia pasien
67
dalam penelitian ini adalah 49,52±11,64 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian
Hasibuan (2014) mendapatkan kelompok usia terbanyak adalah kelompok 41-60
tahun dengan rerata 47,54±11,651.
6.2 Hubungan antara COX-2 dengan Microvessel Density
Inflamasi merupakan respon fisiologis tubuh terhadap iritasi maupun stimuli
yang mengubah homeostasis jaringan. Inflamasi akut dapat mengalami pemulihan
sempurna jika tubuh mampu mengeliminasi penyebabnya, tetapi jika tubuh tidak
mampu mengeliminasi akan berlanjut menjadi inflamasi kronis. Inflamasi kronis
menyebabkan kematian sel dan tubuh mengkompensasi dengan peningkatan
pembelahan sel. Bila diakselerasi dapat memudahkan terjadinya kesalahan
pembentukan DNA dan mutasi (mutagen).Reaksi inflamasi dapat meningkatkan
pelepasan sitokin dan faktor pertumbuhan.Secara umum sitokin ikut berperan pada
regulasi protein dan meregulasi COX-2 yang merupakan enzim untuk sintesis
prostaglandin (Soo, 2005).Inflamasi adalah salah satu faktor risiko pencetus
terjadinya keganasan pada beberapa organ.Rangsangan mekanik, kimia, fisik dan
mediator inflamasi akan melepaskan asam arakhidonat dari fosfolipid membran sel
melalui kerjadari fosfolipase A.Asam arakhidonat yang terbentuk akan mengalami
biotransformasi menjadi prostaglandin dan tromboksan melalui perantaraan enzim
COX (Xu et al., 2006).
Cyclooxygenase merupakan enzim penting pada jalur biosintetik
prostaglandin, tromboxan dan prostasiklin dari asam arakhidonat.Ekspresi seluler
COX-2 meningkat diatas normal pada stadium awal karsinogenesis dan selama
68
perkembangan serta invasif tumor. Prostaglandin dan enzim COX-2, yang
mengkatalisis produksi prostaglandin, merupakan mediator inflamasi yang terlibat
dalam proses angiogenesis (Bertagnolli, 2008).
Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru.
Pertumbuhan jaringan pembuluh darah baru sangat penting untuk proliferasi sel
kanker, karena proliferasi bergantung pada suplai oksigen, zat makanan dan
pembuangan zat sisa yang adekuat.Menurut Nishida et al (2006) angiogenesis juga
berperan penting dalam penyebaran sel kanker. Sel-sel kanker dapat menembus
masuk kedalam pembuluh darah ataupun limfe, bersirkulasi melalui aliran
intravaskular, dan kemudian berproliferasi pada tempat yang lain yang dikenal
sebagai metastasis. Angiogenesis merupakan proses pertumbuhan massa tumor.
Cyclooxygenase-2 merupakan faktor potensial yang penting pada angiogenesis
tumor.Cyclooxygenase-2 secara konsisten terekspresi dalam pembentukan pembuluh
darah baru dalam tumor dan pembuluh darah disekitar tumor.
Prostaglandin endoperoksidase sintesa-2 atau COX-2 adalah enzim kunci
dalam produksi prostaglandin.Enzim ini ditemukan meningkat pada berbagai
keganasan.Induksi COX-2 atau ekspresi berlebihan berhubungan dengan peningkatan
produksi PGE2.Prostaglandin-E2 menunjukkan adanya hubungan antara
perkembangan tumor dan biosintesis prostaglandin. Prostaglandin dan izoenzim
COX-2 dapat membantu proses sel normal seperti proliferasi sel, angiogenesis, dan
apoptosis. Prostaglandin E2 juga penting pada invasi tumor.Prostaglandin E2 dapat
meningkatkan kadar VEGF. Vascular Endothelial Growth Factor memproduksi
69
memproduksi MMP untuk memulai suatu proses angiogenesis. Matrix metalloprotein
memecah ekstraseluler matrix.Hal ini merangsang migrasi sel endotel.Sel endotel
mulai membelah begitu mereka bermigrasi ke jaringan sekitarnya.Kemudian tersusun
menjadi pembuluh darah baru dan kemudian berkembang menjadi pembuluh darah
matur (Nishida et al., 2006).Hal tersebut menjelaskan mengapa pada penelitian ini
ditemukan jumlah subyek dengan ekspresi COX-2 positif lebih besar dibandingkan
dengan yang negatif.
Pada penelitian ini diperoleh cut of point nilai MVD dengan kurva ROC
adalah 4,5 MV/LP. Sehingga pada penelitian diperoleh MVD rendah 29,03% dan
MVD tinggi 70,97%. Pada penelitian Hasibuan ditetapkan batas MVD 45 MV/LP.
Penelitia oleh Xu et al (2006) menemukan rata-rata MVD 32. Penelitian Zhao et al
(2006) pada kanker lambung mendapat rerata MVD 28,46±8,28, dengan cut of point
28, didapatkan 67 pasien dengan MVD tinggi dan 37 pasien engan MVD rendah.
Perbedaan hasil MVD pada berbagai penelitian ini mungkin disebabkan
perbedaan teknik pembacaan dan teknik pewarnaan dengan marker yang berbeda
seperti CD31, CD34, dan faktor VIII, dan hingga saat ini belum ada penelitian yang
membandingkan berbagai teknik pewarnaan ini untuk menentukan teknik pewarnaan
yang ideal (Rao et al., 2011).
Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan sudah pernah dilakukan
di Indonesia dengan hasil yang bermakna namun penelitian yang sama belum pernah
dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar. Oleh karena itu pada penelitian ini kami
menilai ekspresi Cox-2 dan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di
70
RSUP Sanglah Denpasar. Berdasarkan hasil uji normalitas data dengan uji
Kolmogrov-Smirnov didapatkan bahwa data COX-2 dan MVD berdistribusi normal
(p>0,05). Untuk mengetahui hubungan antara COX-2 dan MVD digunakan uji
korelasi Pearson. Hasil analisis dengan uji korelasi Pearson didapatkan nilai r =
0,868 dan p = 0,001. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan positif antara COX-2
dengan MVD (p<0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian Hasibuan pada tahun 2014,
dimana hasil penelitiannya menunjukkan adanya korelasi positif sedang antara COX-
2 dengan microvessel density dengan koefisien korelasi r = 0,559 dengan p = 0,005.
Gallo et al (2008) menyatakan ditemukan adanya peningkatan angiogenesis pada
tumor dengan ekspresi COX-2 positif (p = 0,007). Berbeda dengan Tan dan Putti
pada tahun 2005 yang tidak menemukan adanya hubungan antara ekspresi COX-2
dan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx (p = 0,774).
71
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Penelitian ini mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat adanya korelasi positif
antara ekspresi Cyclooxygenase-2 dan Microvessel density pada undifferentiated
carcinoma nasopharynx.
7.2 Saran
Adanya korelasi Cyclooxygnase-2 dan Microvessel density yang positif pada
undifferentiated carcinoma nasopharynx, maka pemberian penghambat COX-2 akan
dapat dipertimbangkan pada penderita dengan ekspresi COX-2 positif dan/atau
MVD> 4,5.
72
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Kanker di Indonesia Tahun 2010 Data Histopatologik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI.
Anonim. 2012. Pengecatan Imunohistokimia p53. Cancer Chemoprevention Research Center fakultas Farmasi UGM.
Anonim. 2009. Primary antibodies. Biocare medical. 4040 pike lane, concord, CA 94520.
Bertagnolli, M., Viner, J.l., Hawk, E.T. 2008.Cyclooxygenase-2 as a Target for Cancer Prevention and Treatment.In : Tavassoli, F.A., Devilee, P (eds). Molecular Targeting in Oncology. Boston: Humana Press: p. 5093531
Brennan, B. 2006.Nasopharyngeal carcinoma.Orphanet Journal of Rare Diseases, vol 1, no.23.p.1-5
Chan, J.K.C., Pilch, B.Z., Kuo, T.T., Wenig, B.M., Lee, A.W.M. 2005.Nasopharyngeal carcinoma. In: Barnes L, Eveson, J.W, Reichart, P, Sidrasky, D editors. WHO classification of tumours: Pathology and genetics
head and neck tumours. Lyon: IARCPress. p. 85-97.
Chang, J.T., Chan, S.H., Lin, C.Y., Lin, T.Y., Wang, H.M., Liao, C.T., Wang, T.H., Lee, L.Y., Cheng, A.J. 2007.Differentially expressed genes in radioresistant nasopharyngeal cancer cells: gp96 and GDF15.Mol. Cancer Ther, 6:2271–2279.
Cho, WC, 2007. Nasopharyngeal Carcinoma: Molecular Biomarker Discovery and Progres. Molecular Cancer, 6:1.
73
Choi, W.W.L., Lewis, M.M., Lawson, D., Goen, Q.Y., Birdsong, G.G., Cotsonis, G.A. 2005. Angiogenic and lymphangiogenic microvessel density in breast carcinoma: correlation with clinicopathologic parameter and VEGF family gene expression. Mod pathology, 18:143-52.
Chou, J., Lin, Y.C., Kim, J., You, L., Xu, Z., He, B. 2008.Nasopharyngeal carcinoma-review of the molecular mechanisms of tumorigenesis.Head and
Neck-DOI, 10:1002.
Choudhary, S., Wang, H.C.R. 2007.Proapoptotic ability of oncogenic H-ras to facilitate apoptosis induced by histone deacetylase inhibitors in human cancer cells.Mol Cancer Ther, 6(3):1099-111.
Desen, W. 2008. Tumor kepala dan leher. In: Desen W, editor. Buku ajar onkologi
klinis edisi II. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 263-78.
Divvela, A.K., Challa, S.R., Tagaram, I.S. 2010.Pathogenic Role of Cyclooxygenase32 in Cancer. J H Science, 56:5023516.
El-Gehani, K., Al-Kikhia, L., Mansuri, N., Syrjanen, K., Al-Fituri, O., Elzagheid, A. 2011. Angiogenesis in urinary bladder carcinoma as defined by microvessel density (MVD) after immunohistochemical staining for factor VII and CD31. Libyan J Med, vol 6, pp. 6016.
Evoric, B.M., Neuchrist, C., Berger, U., El-Rabadi, K., Burian, M. 2005.
Quantitation of microvessel density in squamous cell carcinoma of the head and neck by computer-aided image analysis. Wien Klin Wochenschr, vol. 117, no. 1 pp. 53-57
Feng, X.P., Yi, H., Li, M.Y., Li, X.H., Yi, B., Zhang, P.F., Li, C., Peng, F., Tang, C.E., Li, J.L. 2010.Identification of biomarkers for predicting nasopharyngeal carcinoma response to radiotherapy by proteomics.Cancer Res, 70: 3450–3462.
74
Gallo, O., Franchi, A., Magnelli, L., Sardi, I., Vanacci, A. 2008. Cyclooxygenase-2 Pathway correlates with VEGF expression in head and neck cancer: implication for tumor angiogenesis and metastasis. Neoplasia. 3(1):53-61.
Garden, A. 2010.The nasopharynx. In: Co, J.D, Ang, K.K, editors. Radiation
oncology: rationale, technique, results. Philadelphia: Mosby Elsevier. p. 207-20.
Giordano, A., De-Falco, G., Rubin, E., Rubin, R. 2008.Neoplasia. In: Rubin, R., Strayer, D.S., editors. Rubin’s Pathology Clinicopathologic Foundations
Medicine Fifth Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer. p. 137-176.
Greenhough, A., Smartt, A.J.M., Moore, A.E., Roberts, H.R., Williams, A.C., Paraskeva, C., Kaidi, A. 2009. The COX-2/PGE2pathway: key roles in the hallmarks of cancer and adaptation to the tumour microenvironment. Oxford
Journal. 30(3): 377-386.
Hasibuan, N.R., Farhat., Haryuna, T.S.H., Yudhistira,a. 2014, Korelasi positif ekspresi cyclooxygenase-2 dengan gambaran microvessel density pada karsinoma nasofaring. ORLI, 44:1.
Howe, L.R. 2007.Cyclooxygenase / Prostaglandin Signaling and Breast Cancer.BC
Research, 9:210.
Hsiao, S.H., Lee, M.S., Lin, H.Y., Su, Y.C., Ho, H.C., Hwang, J.H., Lee, C.C., Hung, S.K. 2009. Clinical significance of measuring levels of tumor necrosis factor-alpha and soluble interleukin-2 receptor in nasopharyngeal carcinoma.Acta Otolaryngol. 129, 1519–1523.
Ji, B., Liu, Y., Zhang, P., Wang, Y., Wang, G. 2012. COX-2 Expression and Tumor Angiogenesis in Thyroid Carcinoma Patient among Northeast Chinese Population-Result of Single-Center Study.Int J Med Sci. 9(3): 237-42.
75
Jiang, R., Cabras, G., Sheng, W., Zeng, Y., Ooka, T. 2009. Synergism of BARF1 with ras induced malignant transformation in primary primate epithelial cells and human nasopharyngeal epithelial cells. Neoplasia. 9:964-73.
Klimek, M., Urbański, K., Kojs, Z., Karolewski, K., Pudetek, J., Blecharz, P. 2009. Role of Cyclooxygenase-2 in Cervical Cancer. Arch Med Sci., 3:303-307.
Korcum, A.F., Özyar, E., Ayhan, A. 2006. Epstein-Barr virus genes and n[-asopharyngeal cancer. Turk J Cancer. 36 (3): 97-107.
Kumar., Abas., Fausto., Aster. 2010. Neoplasm. In: Robbins Cotran Pathologic
Basis of Desease. Eight Edition. Kumar Vinay. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 62-70.
Levine, A.J., Hu, W., Feng, Z. 2008. Tumor supressor genes. In: Mendelsohn, J., Howley, P..M, Israel, M.A., Gray, J.W., Thompson, C.B, editors. The
moleculaar basis of cancer. 3th ed. Philadelphia: Saunders. p. 31-8.
Lin, D.T., Subbaramaiah, K., Shah, J.P. 2006. Cyclooxygenase-2: a novel molecular target for the prevention and treatment a head and neck cancer. Head neck. 24:792-9.
Lu, H., Ouyang, W., Huang, C. 2006. Inflamation, a Key Event in Cancer Development.Molecular Cancer Research Journal. 4: 221-233.
Machin, D., Cambell, M.J., Tan, S.B., Tan, S.H. 2009.Sample size table for clinical studies.Third edition.A john wiley and sons.UK.
Mantovani, A., Allavena, P., Sica, A., Balkwil, F. 2008. Cancer-related inflammation.Nature, vol. 24, no. 254, pp. 436-44.
Monica, B., Jaye, L., Viner., Ernest, T., Hawk. 2008. Cyclooksigenase-2 as a Target for Cancer Prevention and Treatment. In: Kaufman H.L., Wadler S., Anntman K., Eds. Molecular Targeting In Oncology. Humana Press. p.509-541.
76
Mozes, S.N., Kupets, R., Rasty, G., Ismiil, N., Covens, A., Khalifa, M.A. 2005.
Cyclooxygenase-2 (COX-2) Immunostaining Does not Correlate withThe Degree of Vulvar Neoplasia. November., (Cited 2006 February. 2). Available from: http://www.jogc.com/abstracts/full/200604_Gynaecology_1.pdf. Accessed Pebruari, 10 2014.
Nancy R.T. Epstein Barr Virus in the Pathogenesis of NPC.In: Erles S.R. editor
Epstein Barr Virus, 1 st ed. Phyladelphia Pennsylvania 2005:p.71-87.
Nishida, N., Yano, H., Nishida, T., Kamura, T., Kojiro, M. 2006. Angiogenesis in cancer. Vascular Health and Risk Management, vol. 2, no. 3, p. 213-219.
Pang, R.W.C., Poon, R.T.P. 2006.Clinical implications of angiogenesis in cancers. Vascular Health and Risk Management, vol. 2, no. 2, p. 97-108.
Qu, C., Liang, Z., Huang, J., Zhao, R., Su, C., Wang, S., Wang, X., Zhang, R., Lee, M.H., Yang, H. 2012. MiR-205 determines the radioresistance of human nasopharyngeal carcinoma by directly targeting PTEN. Cell Cycle. 11, 785–796.
Rao ,V.U.S., Shenoy, A.M., Kanthikeyan, B. 2011. Role of angiogenetic marker to predict neck node metastasis in head and neck.J cancer Res Ther. 6(2): 1412-6.
Ristimaki, A., Sivula, A., Lundin, J., Lundin, M., Salminen, T., Haglun, C., Joensuu, H., Isola, J. 2012.Prognosis Significant of Elevated Cyclooxigenase-2 Expression in Breast Cancer.Cancer Research Journal.62: 632.
Roezin A. 2007. Karsinoma nasofaring. In: Soepardi, Arsyad E, editors. Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 182-98.
77
Rottey, S., Madani, I., Deron, P., van Belle, S. 2011. Modern treatment for nasopharyngeal carcinoma: Current status and prospects. Curr.Opin.Oncol. 23, 254–258.
Soo R. 2005. Overexpression of Cycloogenase-2 in Nasopharyngeal Carcinoma and Association With Epidermal Growth Factor Receptor Expression Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 131;p.147 – 152.
Sonawane, C.S., Jagdale, D.M., Kadam, V.J. 2011. Review Article: Role of Cyclooxygenase-2 in Cancer. International Journal of Research in Pharmacy
and Chemistry, 1(3):385-395.
Stasinopoulos, I., Mori, N., Bhujwalla, Z.M. 2008. The Malignant Phenotype of Breast Cancer Cells Is Reduced by COX32 Silencing. BMC Cancer, 10:116331169
Surowiak, P., Materna, V., Matkowski, R., Kornafel, J., Wojnar, A., Pudelko, M. 2005. Relationship between the Expression of Cyclooxygenase 2 and MDR1/P3Glycoprotein in Invasive Breast Cancers and their Prognostic Significance. J Breast Cancer, 7: 8623870
Svagzdys, S., Lesauskaite, V., Pavalkis, D., Nedzelskiene, I., Pranys, D., Tamelis, A. 2009. Microvessel density as new prognostic marker after radiotherapy in rectal cancer.Biomed Cancer, 9(95): 1-8.
Tan, E.L., Looi, L.M., Sam, C.K. 2006.Evaluation of plasma Epstein-Barr virus DNA load as a prognostic marker for nasopharyngeal carcinoma. Singapore
Med. J. 47, 803–807.
Tan, K.B., Putti, T.C. 2005. Cyclooxygenase-2 expression in nasopharyngeal carcinoma: immunohistochemical finding and potential implication. Journal
clinical pathology. 58(5):535-8
78
Tang, F., Xie, C., Huang, D., Wu, Y., Zeng, M., Yi, L., Wang, Y., Mei, W., Cao, Y., Sun, L. 2011.Novel potential markers of nasopharyngeal carcinoma for diagnosis and therapy.Clin.Biochem. 44, 711–718.
Tao, Q., Anthony, T.C. 2007.Nasopharyngeal carcinoma.Molecular Pathogenesis
and Therapeutic Development in Expert review in molecular medicine. Vol 9.
Taweevisit, M., Keelawat, S., Thoner P.S. 2010. Correlation of microvascular density and proliferation index in undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Asian Biomedicine.vol.4, no.2, pp.315-321.
Tse, L.A., IT-S, Y., OW, KM., Wong, S.L. 2006. Incidence rate trends of histological subtypes of nasopharyngeal carcinoma in Hong Kong. British J Cancer. 95:1269-73.
Uppaluri, R., Dunn, G.P., Lewis, J.S. 2008. Focus on TILs: prognostic significance of tumor infiltrating lymphocytes in head and neck cancer. Cancer immunity.8, 16-26.
Widiastuti., Prija, T.K.S., Alsagaf, J.H., Koentjono, W.A. 2011. Ekspresi Protein Cox-2 pada Karsinoma Nasofaring Respon Tinggi dan Respon Rendah Pasca- Radioterapi. JBP, 13(2):105-114.
Wee, J.T., Ha, T.C., Loong, S.L., Qian, C.N. 2010. Is nasopharyngeal cancer really a “Cantonese cancer”? Chin. J. Cancer. 29, 517–526.
Xie, P., Yue, J.B., Fu, Z., Feng, R., Yu, J.M. 2010. Prognostic value of 18F-FDG PET/CT before and after radiotherapy for locally advanced nasopharyngeal carcinoma. Ann. Oncol. 21, 1078–1082.
Xu, X., Hu, G., Li, S., Xu, F., Li, D., Dai, D., Chen, Y. 2006. Expression of cyclooxygenase-2 in nasopharyngeal carcinoma and its relation to angiogenesis and prognosis.Chinese-German J Clin Oncol. 5(2):104-7.
79
Yang, S., Chen, J., Guo, Y., Lin, H. Zhang, Z., Feng, G., Hao, Y., Cheng, J., Liang, P., Chen, K. 2012.Identification of prognostic biomarkers for response to radiotherapy by DNA microarray in nasopharyngeal carcinoma patients.Int. J.
Oncol. doi:10.3892/ijo.2012.1341.
Zhargi, A., Arfaei, S. 2011. Review Article: Selective COX-2 Inhibitors: A Review of Their Structure-Activity Relationships. Iran J Pharm Res 10(4):655-683
Zhao, H.C., Qin, R., Chen, X.X., Sheng, X., Wu, J.F., Wang, D.B. 2008. Microvessel density is a prognostic marker of human gastric cancer. World J
Gastroenterol. 2006; 12(47): 7598-603.
Zheng, H., Li, L., Hu, D., Deng, X., Cao, Y. 2007. Role of Epstein-Barr virus encoded Latent Membrane Protein 1 in the carcinogenesis of nasopharyngeal carcinoma. Celular & Molecular Immunology. 4(3):185-96.
. .
80
Lampiran 1. Penilaian ekspresi COX-2 dan CD 31
1. Penilaian ekspresi Cox-2 dibuat berdasarkan analisis persentase sel tumor yang
positif dan intensitas pewarnaan. Berdasarkan persentase sel ganas yang
menunjukkan overekspresi Cox-2 maka dibagi menjadi 3 skor (0-3) yaitu: 0 (tidak
terwarnai), 1 (<10% sel dari seluruh sel ganas terwarnai), 2 (10-50% sel dari seluruh
sel ganas terwarnai), 3 (>50% sel dari seluruh sel ganas terwarnai). Berdasarkan
intensitas sel-sel ganas yang menunjukkan overeksprei COX-2 maka dibagi menjadi
3 skor (0-3) yaitu: 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang), 3 (kuat) (Tan dan Putti, 2005).
Interpretasi ekspresi COX-2 dari sel tumor, sesuai dengan penelitian sebelumnya
digunakan skor immunoreaktif, diperoleh dengan mengalikan skor % sel ganas yang
mengekspresikan COX-2 dengan skor intensitas. Skor imunoreaktif 4 atau lebih
dinilai sebagai ekspresi COX-2 positif, skor imunoreaktif kurang dari 4 dinyatakan
sebagai COX-2 negatif (Tan dan Putti, 2005).
2. Untuk penghitungan microvessel density, pulasan CD31 dinilai pada pembesaran
lemah (40x) untuk area yang menunjukkan peningkatan pembuluh darah (hot spots).
Pada area hotspot dilihat pada pembesaran kuat 400x dengan mikroskop cahaya
binokuler CX-21.Empat lapang pandang pada 1 slide dipilih untuk mewakili area
seluas 1 mm2. Intratumoral dan peritumoral microvessel (pembuluh darah dengan
diameter ˂ 50µm tanpa lapisan muscular) dihitung jumlah microvessel pada masing-
masing empat lapang pandang dengan cara digeser, dan hasilnya digabungkan untuk
81
mendapatkan microvessel/mm2 (Taweevisit et al., 2010). Interpretasi MVD rendah
dan tinggi ditentukan dengan analisis menggunakan kurva ROC.
82
83
84
Lampiran 4.Data Subyek Penelitian
No
No CM
Jenis kel/ Umur
No PA
COX-2
Microvessel Density
Distri-
busi Inten-sitas
Skor Interpre-tasi
Jumlah Interpre-tasi
1 14003193 L,58 272/PP/14 3 3 9 positif 15 tinggi 2 14004532 L,64 460/PP/14 3 3 9 positif 16 tinggi 3 14005444 L,45 462/PP/14 3 3 9 positif 18 tinggi 4 1609275 L,45 522/PP/14 1 1 1 negatif 0 rendah 5 14007336 P,56 560/PP/14 2 2 4 positif 1 rendah 6 1343032 L,54 781/PP/14 2 2 4 positif 5 tinggi 7 1620807 L,48 844/PP/14 2 3 6 positif 7 tinggi 8 1647871 L,40 898/PP/14 2 3 6 positif 8 tinggi 9 14010199 L,55 928/PP/14 2 3 6 positif 10 tinggi 10 14008167 L,43 1082/PP/14 2 2 4 positif 5 tinggi 11 14014991 L,38 1150/PP/14 3 3 9 positif 18 tinggi 12 14015471 L,53 1216/PP/14 3 3 9 positif 19 tinggi 13 14016655 L,61 1238/PP/14 3 3 9 positif 26 tinggi 14 1631367 L,48 1464/PP/14 1 3 3 negatif 0 rendah 15 14019854 P,40 1535/PP/14 3 2 6 positif 5 tinggi 16 14021471 L,38 1617/PP/14 2 1 2 negatif 1 rendah 17 14024418 L,69 1730/PP/14 3 2 6 positif 5 tinggi 18 14025054 L,42 1758/PP/14 1 1 1 negatif 0 rendah 19 14023849 P,43 1772/PP/14 1 2 2 negatif 2 rendah 20 14026592 L,55 1955/PP/14 3 2 6 positif 5 tinggi 21 14018313 L,18 1960/PP/14 3 3 9 positif 16 tinggi 22 14028871 P,48 1993/PP/14 2 3 6 positif 10 tinggi 23 14027940 L,58 2075/PP/14 2 3 6 positif 8 tinggi 24 14034801 L,54 2397/PP/14 3 3 9 positif 13 tinggi 25 14034067 L,28 2443/PP/14 3 3 9 positif 9 tinggi 26 14037561 L,45 2647/PP/14 1 2 2 negatif 4 rendah 27 14016868 P,64 2667/PP/14 2 3 6 positif 6 tinggi 28 14036260 L,64 3278/PP/14 3 3 9 positif 13 tinggi 29 14047828 L,47 3676/PP/14 3 3 9 positif 12 tinggi 30 14050574 L,43 3926/PP/14 1 3 3 negatif 0 rendah 31 14053195 L,71 4322/PP/14 3 3 9 positif 12 tinggi
85
Lampiran 5
Uji Normalitas Data Umur, COX-2, dan CD 31
Cox-2 CD_31 Umur
N 31 31 31
Normal Parametersa
Mean 6.03 8.68 49.52
Std. Deviation 2.869 6.720 11.636
Most Extreme Differences
Absolute .237 .127 .100
Positive .150 .127 .100
Negative -.237 -.098 -.097
Kolmogorov-Smirnov Z 1.317 .708 .558
Asymp. Sig. (2-tailed) .062 .697 .915
a. Test distribution is Normal.
Lampiran 6
Analisis Deskriptif Jenis Kelamin dan Umur
Jenis_Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Laki-laki 26 83.9 83.9 83.9
Perempuan 5 16.1 16.1 100.0
Total 31 100.0 100.0
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Umur 31 18 71 49.52 11.636
Valid N (listwise) 31
86
Lampiran 7
UJi Korelasi Pearson antara Cox-2 dengan CD 31
Correlations
Cox_2 CD_31
Cox-2 Pearson Correlation 1 .868**
Sig. (2-tailed) .000
N 31 31
CD_31 Pearson Correlation .868** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 31 31
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 8
Kurva ROC Data CD 31
87
Area Under the Curve
Test Result Variable(s):CD_31
Area Std. Errora Asymptotic Sig.b
Asymptotic 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
.914 .056 .054 .804 1.024
The test result variable(s): CD_31 has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5
Coordinates of the Curve
Test Result Variable(s):CD_31
Positive if Less Than or Equal Toa Sensitivity 1 - Specificity
-1.00 .000 .000
.50 .500 .103
1.50 1.000 .138
3.00 1.000 .172
4.50 1.000 .207
5.50 1.000 .379
6.50 1.000 .414
7.50 1.000 .448
8.50 1.000 .517
9.50 1.000 .552
11.00 1.000 .621
12.50 1.000 .690
14.00 1.000 .759
15.50 1.000 .793
17.00 1.000 .862
18.50 1.000 .931
22.50 1.000 .966
27.00 1.000 1.000
The test result variable(s): CD_31 has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group.
a. The smallest cutoff value is the minimum observed test value minus 1, and the largest cutoff value is the maximum observed test value plus 1. All the other cutoff values are the averages of two consecutive ordered observed test values.
top related