hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self …
Post on 15-Oct-2021
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
HUBUNGAN ANTARA KEKERASAN DALAM PACARAN DAN SELF
ESTEEM PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA
(THE RELATIONSHIP BETWEEN DATING VIOLENCE AND SELF
ESTEEM ON YOUNG WOMEN )
Yuanita Zandy Putri
Pembimbing : Grace Kilis
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self
esteem pada perempuan dewasa muda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan desain penelitian cross sectional study. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 101
perempuan dewasa muda. Pengukuran kekerasan dalam pacaran menggunakan alat ukur The
Revised Conflict Tactics Scales 2 dan pengukuran self esteem menggunakan Rosenberg Self
Esteem Scale. Hasil dari penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kekerasan
dalam pacaran dan self esteem perempuan dewasa muda (r = -0,252, p<0,05). Ketiga bentuk
kekerasan yaitu psikologis, fisik dan seksual juga berhubungan signifikan dengan self esteem.
Kata kunci : kekerasan dalam pacaran; perempuan dewasa muda; self esteem
ABSTRACT
This research investigates the relationship between dating violence and self esteem on young
women. This study uses a quantitative approach with cross sectional study design. One hundred
and one young women were served as a participants in study. Measurement of dating violence
using The Revised Conflict Tactics Scales 2 and measurement of self esteem using Rosenberg
Self Esteem Scale. The result of study authenticate that there is a significant relationship between
dating violence and self esteem on young women (r = -0,252, p<0,05). The third form of
violence, that is psychological, physical, and sexual has a significant relationship with self
esteem.
Keyword : dating violence; self esteem; young women
Pendahuluan
Masa perkembangan dewasa muda diwarnai dengan isu seputar pemilihan pasangan,
pernikahan, dan membangun sebuah keluarga (Havighurst, 1955). Salah satu tugas
perkembangan pada dewasa muda, yang awal disebutkan oleh Havighurst (1955) adalah memilih
pasangan (selection mate). Pemilihan pasangan adalah tugas yang paling menarik namun juga
bisa sangat menganggu bagi seorang dewasa muda. Tugas pemilihan ini disadari baik oleh laki-
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
2
laki atau perempuan dewasa muda sebagai tanggung jawab utama mereka (Havighurst, 1955).
Seorang dewasa muda perlu memiliki hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan dengan
lawan jenis untuk proses memilih pasangan. Di Indonesia, hubungan yang lebih dari sekedar
pertemanan dan mengarah pada komitmen untuk menikah dikenal dalam istilah pacaran.
Pacaran adalah kegiatan yang melibatkan pertemuan antara dua orang dan mereka
melakukan aktivitas bersama dengan tujuan untuk mengenal satu sama lainnya (DeGenova,
2008). Dalam hubungan pacaran akan dilakukan berbagai hal yang bertujuan untuk saling
membangun satu sama lainnya sehingga pasangan mendapatkan rasa aman dan berharga
(DeGenova, 2008). Selain hal-hal positif dan menyenangkan yang didapatkan individu dalam
hubungan pacaran, dapat terjadi berbagai macam permasalahan. Permasalahan dalam hubungan
pacaran seperti masalah yang muncul karena keluarga, tingkat ekonomi, dan perbedaan
kepribadian pasangan. Permasalahan yang muncul ini berlanjut menjadi sebuah konflik dalam
hubungan pacaran. Jika konflik atau ketegangan mulai terjadi dalam hubungan pacaran, salah
satu hal yang seringkali terjadi ialah penggunaan tindak kekerasan oleh pasangan. Penggunaan
tindak kekerasan ini dianggap sebagai cara untuk menyelesaikan konflik interpersonal yang
terjadi (Scott & Straus, 2007).
Penggunaan tindak kekerasan dalam hubungan pacaran diperjelas dengan penelitian
yang dilakukan oleh Prospero dan Gupta (2007) dengan subjek mahasiswa di Amerika Serikat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 86% partisipan penelitian, mengalami kekerasan dalam
hubungannya. Kasus kekerasan dalam pacaran di Indonesia telah diperjelas dengan data statistik
yang dipublikasikan Komnas Perempuan pada tahun 2011. Terdapat laporan kasus kekerasan
dalam pacaran sebanyak 1.405 kasus. Tentunya angka yang didapatkan ini belum bisa
menggambarkan keseluruhan kasus yang nyata terjadi di masyarakat Indonesia, karena banyak
korban yang belum berani melaporkan dan tidak menganggapnya sebagai bentuk kekerasan.
Kekerasan dalam pacaran (dating violence) terjadi ketika seseorang secara sengaja
menyakiti dan membuat takut pasangannya (Womens Health, 2011). Lebih lanjut Mars dan
Valdez (2007) mendefinisikan kekerasan dalam pacaran sebagai kekerasan dalam bentuk fisik,
seksual dan psikologis yang dilakukan dalam hubungan pacaran. Kekerasan dalam pacaran
termasuk di dalamnya tindakan kekerasan secara fisik, emosional dan seksual serta ditambahkan
juga adanya kekerasan secara ekonomi (Zulfah, 2007). Penelitian pada mahasiswa di Amerika
mendapatkan hasil persentase untuk kekerasan fisik sebesar 49%, kekerasan psikologis 82%, dan
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
3
kekerasan seksual 46% (Prospero & Gupta, 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan kekerasan
psikologis lebih banyak terjadi dalam hubungan pacaran.
Kekerasan dalam pacaran dapat dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan, namun
dalam penelitian ini lebih difokuskan untuk melihat perempuan yang menjadi korban kekerasan.
Kekerasan yang terjadi pada perempuan dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Faktor-
faktor penyebab seperti individu, hubungan, komunitas dan sosial (WHO, 2010). Salah satu
faktor penyebab kekerasan yaitu faktor sosial yang membuat perempuan menjadi korban dari
kekerasan dijelaskan oleh komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati dalam salah satu situs
berita internet (2011). Sri Nurherwati memberikan pendapat bahwa perempuan lebih sering
diposisikan sebagai orang yang bersalah karena hukum yang berlaku di Indonesia belum dapat
melindungi perempuan. Menurut beliau, dari kasus yang pernah ditanganinya pelaku kekerasan
dalam pacaran maksimal hanya dikenakan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak
menyenangkan. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa keterbatasan
dukungan dari masyarakat dan hukum yang berlaku dapat menjadi faktor penyebab tindak
kekerasan yang terjadi atas perempuan.
Teori feminis (Scott & Straus, 2007) menyatakan bahwa kekerasan pada perempuan yang
dilakukan oleh pasangannya adalah hasil yang tidak dapat dihindari dari sistem masyarakat
patriarkal, yang secara langsung memperbolehkan laki-laki untuk mendominasi dan mengontrol
pasangannya. Laki-laki diperbolehkan menyiksa perempuan karena norma budaya yang
mendukung keyakinan bahwa kekerasan adalah hal yang disetujui dan dianggap sebagai cara
untuk menyelesaikan konflik interpersonal. Selanjutnya kekerasan yang dilakukan pada
perempuan terjadi karena adanya ketidaksetaraan gender. Menurut beberapa sumber buku
(Poerwandari, 2008; Jurnal Perempuan, 2002; Unger, 2001) yang menuliskan mengenai
kekerasan terhadap perempuan, terlebih dahulu dibahas hal yang berkaitan dengan gender.
Adanya ketidaksetaraan gender seringkali memposisikan perempuan sebagai pihak lemah,
korban kekerasan dari laki-laki yang dianggap mempunyai kuasa (Poerwandari, 2008). Dalam
ranah baik domestik maupun publik, kekuasaan perempuan cenderung lebih kecil dibandingkan
dengan laki-laki. Oleh karena itu perempuan cenderung menjadi korban kekerasan domestik,
kekerasan terhadap mitra intim, maupun kekerasan dalam pacaran (Sunarto, 2004).
Kekerasan dalam pacaran terjadi selain karena terbatasnya dukungan masyarakat dan
hukum adalah adanya pandangan/ kepercayaan perempuan akan kekerasan.
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
4
Pandangan/kepercayaan ini berpengaruh pada sikap penerimaan akan kekerasan oleh perempuan.
Seorang tokoh feminis, Jalna Hanmer (1996) telah membahas mengenai sudut pandang
perempuan mengenai kekerasan. Menurut perempuan penerimaan kekerasan dari pasangan
dianggap sebagai bentuk kepatuhan terhadap pasangannya. Mereka memiliki keyakinan bahwa
pasangan bisa berubah pada akhirnya, merasa takut apabila pasangan akan menyakiti mereka,
dan tidak menemukan solusi atas persoalan yang dihadapinya karena sedikit sekali dukungan
yang dimilikinya baik secara sosial maupun individual (Jurnal Perempuan, 2002).
Kekerasan yang dialami oleh perempuan dapat berdampak pada berbagai segi
kehidupannya. Hakiki, Hayati, Marlinawati, Winkvist, dan Ellsberg (2001) dan sebuah lembaga
di Amerika, Advocates For Youth (2006) menyebutkan beberapa hal yang disebut sebagai
dampak pada perempuan karena kekerasan yang dialaminya. Dampak dari kekerasan adalah
luka, simptom fisik, kerusakan fisik yang permanen, post traumatic disorder (PTSD), depresi,
kecemasan, gangguan makan, disfungsi seksual, self esteem yang rendah, penggunaan rokok,
alkohol dan obat-obatan, komplikasi kehamilan, berbagai resiko pada fungsi reproduktif
perempuan, terkena AIDS, hingga bunuh diri.
Bila dilihat dari dampak yang dimunculkan oleh kekerasan, terdapat dua hal yang lebih
menonjol yaitu dampak secara fisik dan psikologis. Hal yang kemudian menarik untuk diteliti
lebih lanjut ialah dampak secara psikologis pada perempuan korban kekerasan, dikarenakan
dampaknya lebih menetap pada kehidupan korban. Salah satu dampak psikologis yang
dimunculkan pada korban kekerasan ialah menurunnya self esteem perempuan. Hal ini didukung
dengan wawancara yang peneliti telah lakukan pada perempuan, korban kekerasan. Perempuan
yang mengalami kekerasan dalam hubungan pacarannya, menunjukkan karakteristik individu
dengan self esteem yang rendah. Guindon (2010) menyebutkan bahwa individu dengan self
esteem yang rendah, menampilkan sikap tidak merasa aman, tidak percaya diri, hanya mengikuti
apa yang orang lain katakan, dan bersikap negatif pada dirinya.
Guindon (2010) memberi pengertian tentang self esteem sebagai suatu sikap, evaluasi
pada komponen diri berupa penilaian afektif pada konsep diri yang terdiri dari perasaan berharga
dan penerimaan diri yang telah dikembangkan dan dipelihara sebagai konsekuensi dari kesadaran
akan kompetensi diri dan umpan balik dari dunia luar. Self esteem pada individu terbentuk
karena dipengaruhi oleh hal-hal di luar dirinya seperti faktor keluarga, faktor nilai dari
lingkungan, faktor gender dan faktor budaya.
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
5
Self esteem dalam beberapa penelitian dipandang sebagai sesuatu yang berbeda. Ada
penelitian yang menyebutkan self esteem sebagai dampak dan ada yang menyebutkannya sebagai
faktor. Perbedaan ini dimungkinkan karena adanya perbedaan konsep self esteem sebagai hal
yang berubah atau menetap di dalam diri individu (Holt, 2007). Jika self esteem dikonsepkan
sebagai hal berubah, maka self esteem lebih dianggap sebagai dampak sedangkan konsep self
esteem sebagai sesuatu yang menetap bisa menjadi faktor penyebab.
Penelitian yang kemudian dilakukan oleh Aguilar dan Nightingale (1994), untuk
melihat hubungan diantara keduanya mendapat hasil yang signifikan sedangkan di tahun 2003,
penelitian oleh Callahan, Tolman, dan Saunders mendapatkan hasil yang tidak signifikan
diantara kedua variabel. Perbedaan hasil dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
mendorong peneliti untuk melakukan penelitian serupa yaitu menguji hubungan di antara
kekerasan dalam pacaran dan self esteem pada perempuan dewasa muda. Terutama penelitian ini
akan dilakukan di Indonesia dan untuk di negara Indonesia sendiri penelitian terkait kekerasan
dalam pacaran masih terbatas pada gambaran kekerasan dalam pacaran.
Penelitian tentang hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self esteem
merupakan bagian dari payung penelitian tentang kekerasan dalam pacaran (dating violence).
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dalam mendapatkan hasilnya.
Pengambilan data dalam penelitian dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada
perempuan dewasa muda yang sedang menjalani hubungan pacaran lebih dari 1 tahun dan
pengambilan data hanya dilakukan satu kali. Alat ukur yang digunakan untuk mendapat skor
kekerasan dalam pacaran adalah The Revised Conflict Tactis Scales 2 (CTS2), sedangkan untuk
mendapat skor self esteem individu adalah Rosenberg Self Esteem Scale (RSES).
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan dalam penelitian yang
akan dijawab melalui penelitian adalah:
“Apakah terdapat hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self esteem pada perempuan
dewasa muda ?”
Landasan Teori
Perkembangan Usia Dewasa Muda
Individu yang memasuki masa dewasa (early adulthood) dimulai pada usia 18-30 tahun
(Havighurst, 1955) sedangkan menurut Hurlock (1980) individu dikatakan dewasa mulai usia 18
dan berakhir di usia 40 tahun. Karakteristik seorang yang dewasa menurut Arnett (2006) ialah
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
6
dapat bertanggung jawab atas kehidupannya, mampu membuat keputusan sendiri, dan tidak lagi
bergantung dalam hal keuangan. Menurut Havighurst (1955) seorang di masa perkembangan
dewasanya memiliki beberapa tugas perkembangan. Havighurst menyebutkan dalam teorinya
ada 8 tugas perkembangan yang secara umum dimiliki oleh seorang dewasa muda. Tugas
perkembangannya adalah sebagai berikut :
1. Pemilihan pasangan, yang dilakukan untuk menemukan pasangan hidup.
2. Menjalani hidup bersama suami atau istri
3. Membangun sebuah keluarga
4. Membesarkan anak
5. Mengelola rumah tangga
6. Memulai karir dalam pekerjaan
7. Mengambil tanggung jawab sebagai seorang warga negara
8. Menemukan kelompok sosial yang sesuai dengannya
Erickson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) menyebutkan bahwa perkembangan
psikososial seorang dewasa berada pada tahapan intimacy versus isolation. Dimana secara
umum, seorang dewasa akan membangun hubungan dengan orang lain untuk menemukan cinta
(virtue love) dalam hubungan yang intim. Bila seorang dewasa gagal menemukan hubungan
yang intim pada tahapan perkembangannya, ia akan terisolasi dari dunianya. Hubungan yang
dijalin oleh seorang dewasa lebih bersifat serius dan diisi dengan membuat sebuah komitmen
bersama pasangan. Dalam membangun hubungan intim yang kuat, stabil, dekat dan saling
pengertian dengan pasangan, maka dibutuhkan pemahaman diri, empati, kemampuan untuk
mengkomunikasikan emosinya, kemampuan dalam penyelesaian konflik, dan komitmen di
antara keduanya (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
Hubungan Pacaran
DeGenova (2008) menyatakan pacaran sebagai kegiatan yang melibatkan pertemuan
antara dua orang dan mereka melakukan aktivitas bersama dengan tujuan untuk mengenal satu
sama lainnya. Dalam menjalin hubungan pacaran terdapat beberapa hal terkait dengan fungsi
pacaran bagi kehidupan individu yaitu (DeGenova, 2008) :
1. Rekreasi, untuk bersantai, bersenang-senang, dan sebagai hiburan
2. Menyediakan keintiman
3. Sosialiasi
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
7
4. Berkontribusi bagi perkembangan kepribadian individu
5. Sebagai kesempatan untuk individu mencoba peran gender
6. Memenuhi kebutuhan akan cinta
7. Kesempatan untuk melakukan eksperimen seksual dan kepuasan secara seksual.
8. Mencari pasangan hidup, dengan menjalin hubungan pacaran.
Dapat disimpulkan dari definisi dan fungsi pacaran yang telah disebutkan di atas bahwa
hubungan pacaran berisikan kegiatan yang ditujukan untuk lebih mengenal satu sama lain
sehingga dapat melanjutkan hubungan dan membuat sebuah komitmen untuk pernikahan. Selain
hal-hal positif yang didapatkan dengan berpacaran, bisa saja terjadi masalah dalam hubungan
pacaran pada dewasa muda. Salah satu masalah yang mungkin terjadi ialah kekerasan dalam
pacaran.
Kekerasan dalam Pacaran (Dating Violence)
Sugarman dan Hotaling (dalam Lewis dan Fremouw, 2001) menyebutkan kekerasan
dalam pacaran sebagai penggunaan kekuatan fisik atau ancaman penggunaan kekuatan fisik, atau
pembatasan yang dilakukan dengan maksud menyebabkan luka atau cedera pada pihak lain
dalam hubungan pacaran. Menurut Mars dan Valdez (2007), kekerasan dalam pacaran
disebutkan sebagai kekerasan dalam bentuk fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan dalam
hubungan pacaran. Berdasarkan kedua definisi yang telah dipaparkan mengenai kekerasan dalam
pacaran, maka dibuat kesimpulan bahwa kekerasan dalam pacaran adalah penggunaan tindak
kekerasan dalam bentuk fisik, psikologis dan seksual terhadap pasangan dalam hubungan
pacaran dengan maksud sengaja untuk menyakiti dan menyebabkan luka baik secara fisik,
psikologis dan juga seksual.
Bentuk Kekerasan dalam Pacaran
Kekerasan yang dialami korban tidak hanya terjadi secara fisik melainkan juga dapat
terjadi dalam berbagai bentuk lain seperti psikologis, seksual, serta ekonomi. Berdasarkan UU
No 23 tentang kekerasan dalam rumah tangga dan menurut Poerwandari (2008) penjabaran
mengenai bentuk-bentuk kekerasan adalah sebagai berikut :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat. Contoh perilaku dalam kekerasan fisik ialah memukul, menendang, mendorong,
menampar, menonjok, mencekik, dan menganiaya bagian tubuh orang lain (YLBH APIK,
2010).
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
8
2. Kekerasan psikologis
Kekerasan tampil dalam perbuatan menghina, mengancam, menimbulkan rasa takut,
membuat orang kehilangan percaya diri, dan tidak mampu lagi bekerja serta
menimbulkan penderitaan psikis berat pada seseorang (Poerwandari, 2008). Contoh
perilaku dari kekerasan psikologis ialah mengeluarkan kata-kata cacian/umpatan/hinaan,
menjadikan orang lain sebagai bahan ejekan, dan menyebut orang lain bukan dengan
panggilan nama sebenarnya (YLBH APIK, 2010).
3. Kekerasan seksual
Kekerasan muncul ketika seseorang dipaksa melakukan tindakan seksual yang
merendahkan, menyakitkan dan menimbulkan luka dan penderitaan (Poerwandari, 2008).
Contoh perilaku dalam kekerasan seksual ialah meraba, mencium, menyentuh yang tidak
dikehendaki, melecehkan secara seksual, memaksa untuk melakukan hubungan seksual
dengan ancaman akan meninggalkan atau menganiaya (YLBH APIK, 2010)
4. Kekerasan ekonomi
Kekerasan juga tampil dalam dimensi ekonomi yaitu ketika seseorang ditelantarkan oleh
pihak yang seharusnya bertanggung jawab, dipaksa untuk bekerja atau mengekploitasinya
secara ekonomi (Poerwandari, 2008).
Faktor Penyebab Kekerasan dalam Pacaran
World Health Organization (2010) menjelaskan faktor-faktor penyebab yang
memunculkan tindak kekerasan berdasarkan model ekologis, terbagi menjadi empat yaitu :
a. Faktor individual, termasuk di dalamnya faktor biologis dan sejarah kehidupan pribadi
dari individu yang memiliki kemungkinan untuk menjadi korban atau pelaku kekerasan.
Penyebab dalam faktor individu terdiri atas berbagai hal seperti usia yang tergolong
muda, tingkat pendidikan individu, pemaparan tentang penganiayaan di masa kecil,
kepribadian yang anti-sosial, penggunaan alkohol dan penerimaan tindak kekerasan.
b. Faktor hubungan, termasuk di dalamnya faktor individu yang memiliki hubungan dengan
teman-teman, kelompok, pasangan dan keluarga. Dari orang-orang yang ada di dekat
individu dapat membentuk perilaku dan pengalaman. Penyebab yang termasuk dalam
faktor ini ialah memiliki pasangan lebih dari satu.
c. Faktor komunitas, adalah konteks komunitas dimana terbangun hubungan sosial seperti
sekolah, tempat bekerja, dan lingkungan tempat tinggal individu. Dengan
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
9
mengidentifikasikan karakteristik komunitas dapat diasosiasikan dengan individu yang
menjadi korban dan pelaku kekerasan. Penyebab kekerasan yang ada dalam faktor ini
adalah lemahnya sanksi yang dimiliki oleh masyarakat untuk kekerasan yang terjadi dan
kemiskinan.
d. Faktor sosial, adalah faktor yang lebih luas dibanding ketiga faktor sebelumnya.
Termasuk di dalamnya adalah ketidaksetaraan gender, agama, nilai-nilai budaya, norma
sosial, dan kebijakan politik-ekonomi yang kemudian menciptakan jarak antara
kelompok-kelompok orang. Penyebab kekerasan yang terdapat dalam faktor sosial adalah
adanya aturan tradisional yang memposisikan kedudukan perempuan di bawah
kedudukan laki-laki (ketidaksetaraan gender) dan norma sosial yang mendukung
terjadinya kekerasan.
Dampak dari Kekerasan dalam Pacaran
Kekerasan yang telah terjadi tidak begitu saja hilang dan berlalu, namun menimbulkan
dampak pada korban yang mengalaminya. Pendekatan psikologi menyatakan bahwa perempuan
yang mengalami kekerasan memiliki gangguan kesehatan mental dan terjadinya learned
helplessness yaitu suatu kondisi yang membuat perempuan tidak dapat keluar dari kekerasan
yang dialaminya. Perempuan merasa tidak lagi berdaya dan hanya bisa menyerah dengan
kekerasan yang dialami (Hyde, 2007).
Dampak yang dialami oleh korban bisa sangat merugikan keadaan korban dan
menganggu berbagai segi kehidupan korban seperti kesehatan fisik, psikologis, kehidupan sosial
dan ekonominya (Poerwandari & Lianawati, 2010; Hanmer, 1996). Penjelasan mengenai
masing-masing dampak adalah sebagai berikut :
a. Dampak fisik yang diderita korban kekerasan seperti luka, cedera, sakit yang terus
berkelanjutan, hingga bisa menimbulkan kecacatan pada korban.
b. Dampak psikologis yang terjadi pada korban adalah kehilangan minat untuk
mengurus/merawat diri, kehilangan minat untuk bisa berinteraksi dengan orang lain,
menunjukkan perilaku depresif, dan kecenderungan untuk membandingkan diri dengan
orang lain yang dianggap lebih baik sehingga tidak mampu mengenali kelebihannya dan
ragu akan kemampuan diri (Poerwandari & Lianawati, 2010).
c. Dampak bagi kehidupan sosial korban seperti terputusnya hubungan dengan keluarga,
kerabat dan teman-teman karena terlebih dahulu terjadi dampak psikologis dimana
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
10
korban kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain serta ada kecenderungan
menarik diri dari lingkungan (Hanmer, 1996). Dampak dalam kehidupan ekonomi ialah
kehilangan materi seperti uang, harta benda yang dimiliki oleh korban.
Self Esteem
Branden (1992) menyebutkan self esteem sebagai keyakinan seseorang akan
kemampuannya untuk berpikir dan mengatasi tantangan dalam kehidupan. Keyakinan memiliki
hak untuk bahagia, merasa sebagai pribadi yang berharga, merasa layak dan berhak menyatakan
kebutuhan dan keinginan untuk menikmati hasil dari usahanya (Branden, 1992). Guindon (2010)
menyebutkan self esteem sebagai sikap, evaluasi pada komponen diri berupa penilaian afektif
pada konsep diri yang terdiri dari perasaan berharga dan penerimaan diri yang telah
dikembangkan dan dipelihara sebagai konsekuensi dari kesadaran akan kompetensi diri dan
umpan balik dari dunia luar.
Tokoh lain juga menyebutkan definisi dari self esteem adalah Baumeister, Coopersmith,
Heatherton, Wyland dan Morris Rosenberg. Menurut Baumeister, self esteem ialah aspek
evaluatif dalam konsep diri individu yang sesuai dengan pandangan secara menyeluruh
mengenai dirinya sebagai pribadi yang berharga atau tidak (dalam Heatherton & Wyland, 2003).
Definisi dari Coopersmith tentang self esteem ialah evaluasi dimana individu membuat dan
membangun penerimaan terhadap dirinya sendiri yang diekspresikan dalam sikap menyetujui
dan diindikasikan dengan kepercayaan individu sebagai pribadi yang mampu, penting, sukses
dan berharga. Singkatnya dari definisi Coopersmith ialah pendapat pribadi mengenai
keberhargaan individu yang diekspresikan dalam sikap terhadap diri individu (dalam Heatherton
dan Wyland, 2003). Heatherton dan Wyland (2003) menyebutkan self esteem sebagai sikap
dalam diri individu yang berhubungan dengan kepercayaan individu akan ketrampilan,
kemampuan, hubungan sosial dan hasil yang dicapainya di masa depan.
Rosenberg menyimpulkan konsep self esteem sebagai sikap yang mengarah pada diri
sendiri. Self esteem disebutkan sebagai gabungan dari beragamnya karakteristik pada individu
yang muncul dari hasil evaluasi individu terhadap dirinya. Setiap karakteristik individu
kemudian akan dievaluasi berdasarkan penilaian dan penilaian bisa bersifat positif dan negatif.
Hasil penilaian akan karakteristik individu menjadi evaluasi secara luas (global) mengenai diri
individu. Melalui beberapa definisi dari para ahli mengenai self esteem, peneliti mencoba
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
11
membuat kesimpulan bahwa self esteem adalah hasil evaluasi yang dilakukan individu pada
dirinya terkait dengan keberhargaan diri dan kemampuan dirinya.
Dalam memahami self esteem terdapat dua aspek penting yaitu kompetensi dan
keberhargaan diri. Kompetensi mengarah pada keyakinan akan individu pada kemampuan yang
ditampilkannya dan keberhargaan diri mengarah pada perasaan individu yang berharga dengan
nilai-nilai yang dimiliki (Mruk, 2006).
Metode Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang bertujuan untuk
menggeneralisasi dan membuktikan adanya hubungan antar kekerasan dalam pacaran dan self
esteem. Dalam pengukuran kuantitatif hasil yang didapatkan berupa skor kekerasan dalam
pacaran dan skor self esteem. Penelitian hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self
esteem termasuk dalam tipe penelitian korelasional. Desain penelitian yang digunakan
berdasarkan number of contacts (Kumar, 2005) adalah cross-sectional study design karena
peneliti hanya melakukan satu kali pengambilan data dalam penelitian hubungan antara
kekerasan dalam pacaran dan self esteem, serta tidak melihat perubahan jangka panjang yang
terjadi pada partisipan penelitian. Hipotesis dalam penelitian ini ialah:
Hα: “Terdapat korelasi yang signifikan antara skor total kekerasan dalam pacaran dan skor
total self esteem pada perempuan dewasa muda“.
H₀: “Tidak terdapat korelasi yang signifikan skor total kekerasan dalam pacaran dan skor
total self esteem pada perempuan dewasa muda“.
Penelitian ini ditujukan kepada populasi perempuan dewasa muda, yang sedang dalam
hubungan pacaran dengan lawan jenis (heteroseksual relationship) dan sampel penelitian adalah
beberapa perempuan dewasa muda yang sedang dalam hubungan pacaran dengan jangka waktu
hubungan minimal 1 tahun. Dalam mendapatkan sampel penelitian, digunakan teknik
convenience sampling, yaitu berdasar pada kesediaan partisipan untuk mengisi kuesioner yang
peneliti berikan (Graveter & Forzano, 2009). Selain itu peneliti berusaha mencari partisipan
penelitian dengan menggunakan teknik snowball (Kumar, 2005) dimana peneliti mencari
partisipan yang memenuhi kriteria dengan menanyakan pada teman-teman peneliti.
Penelitian ini memperoleh data dalam bentuk kuesioner, yang terdiri atas adaptasi CTS2
dan RSES. Pengukuran kekerasan dalam hubungan pacaran, menggunakan adaptasi alat ukur
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
12
The Revised Conflict Tactics Scales 2 (CTS2) yang dibuat oleh Murray. A Straus pada tahun
1996. CTS2 digunakan untuk mengukur sejauh mana pasangan dalam suatu hubungan intim
(dating, cohabiting, marriage) melakukan kekerasan fisik, psikologis dan seksual satu sama lain,
serta negosiasi yang dilakukan dalam mengatasi konflik mereka (Straus, dkk., 1996). Adaptasi
alat ukur CTS2 terdiri dari 23 item untuk korban dan 23 item untuk pelaku. Total keseluruhan
adaptasi alat ukur 46 item. Kategori dari respon jawaban yang terdapat alat ukur adalah “tidak
pernah”, “jarang”, “kadang-kadang”, “sering”, “sangat sering”. Dari setiap kategori diberikan
nilai mulai 1 hingga 4 (“tidak pernah” dan “sangat sering”) dan untuk beberapa item yang
mengukur negosiasi mendapat kebalikan nilai.
Pengukuran self esteem menggunakan alat ukur Rosenberg Self Esteem Scale yang
disusun oleh Morris Rosenberg pada tahun 1965. RSES digunakan untuk mengukur global self
esteem (Rosenberg, dkk., 1995). RSES adalah pengukuran self esteem yang ditujukan pada
remaja hingga orang dewasa dan lebih umum dipergunakan dalam penelitian (Guindon, 2010).
Alat ukur RSES memiliki item yang berjumlah 10 dan menggunakan rating 4 poin (sangat
setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju).
Data penelitian yang didapatkan akan diolah menggunakan Microsoft Excel untuk
skoring dan SPSS (Statistical Package for Social Science) untuk mengetahui hubungan antara
kekerasan dalam pacaran dan self esteem.
Hasil Penelitian
Data yang berhasil didapatkan dalam penelitian berjumlah 250, namun data partisipan
yang dapat digunakan untuk penelitian ini hanya 101 data. Dari pengolahan data 101 partisipan
didapatkan hasil gambaran umum partisipan dan setelah itu dilakukan analisis statistik, yaitu
pearson correlation. Gambaran umum hasil penelitian dari aspek demografis menunjukkan
bahwa usia partisipan perempuan yang lebih banyak mengalami kekerasan dalam hubungan
pacarannya adalah perempuan berusia 18-22 tahun dengan persentase 77%. Berdasarkan jenis
pekerjaan, perempuan dewasa muda yang masih menjalani pendidikan di universitas lebih
banyak mengalami kekerasan dengan persentase 88% dan berdasar lama hubungan pacaran,
perempuan dengan lama pacaran sekitar 2-4 tahun lebih banyak mengalami kekerasan di dalam
hubungannya yaitu 40% dari total partisipan.
Analisis utama penelitian yang dilakukan menggunakan pearson correlation,
menunjukkan bahwa hubungan kekerasan dalam pacaran dan self esteem pada perempuan
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
13
berkorelasi secara signifikan (r = -0,252, p<0,05). Hasil korelasi menunjukkan bahwa hubungan
keduanya negatif, dimana meningkatnya frekuensi kekerasan yang dialami oleh perempuan
diikuti dengan menurunnya self esteem pada perempuan.
Hasil perhitungan statistik juga menemukan hubungan yang signifikan antara bentuk-
bentuk kekerasan dan self esteem pada perempuan. Korelasi kekerasan psikologis dan self esteem
pada perempuan mendapatkan hasil yang signifikan (r = -0,270, p<0,01). Korelasi keduanya
adalah korelasi negatif. Dapat dijelaskan bahwa meningkatnya frekuensi kekerasan psikologis
diikuti dengan menurunnya self esteem pada perempuan. Korelasi kekerasan fisik dan self esteem
pada perempuan juga mendapatkan hasil yang signifikan (r = -0,250, p<0,05) dan berkorelasi
negatif. Korelasi negatif menunjukkan meningkatnya frekuensi kekerasan fisik diikuti dengan
menurunnya self esteem pada perempuan.
Korelasi kekerasan seksual dengan self esteem pada perempuan mendapatkan hasil yang
signifikan (r = 0,207, p<0,05), namun berbeda dengan bentuk kekerasan psikologis dan fisik,
hasil korelasi kekerasan seksual dan self esteem didapatkan positif. Dapat diartikan dari korelasi
positif bahwa menurunnya frekuensi kekerasan seksual pada perempuan diikuti dengan
menurunnya self esteem pada perempuan.
Diskusi
Penelitian untuk melihat hubungan di antara kekerasan dalam pacaran dan self esteem ini
ditujukan kepada perempuan dewasa muda yang menerima kekerasan dari pasangannya. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya (Lewis, dkk., 2002) yang menunjukkan perempuan
lebih banyak menerima kekerasan dari pasangan dibandingkan perempuan yang melakukan
kekerasan pada pasangannya. Kenyataan ini juga didukung karena adanya ketidaksetaraan
gender antara laki-laki dan perempuan yang akhirnya membuat perempuan lebih sering
menerima kekerasan dari pasangannya (Poerwandari, 2008).
Hasil penelitian mendapatkan hubungan signifikan antara kekerasan dalam pacaran dan
self esteem pada perempuan dewasa muda sejalan dengan penelitian sebelumnya (Aguilar &
Nightingale, 1994) yang menemukan hasil bahwa perempuan yang mengalami kekerasan
memiliki self esteem yang rendah bila dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami
kekerasan. Penelitian yang dilakukan oleh Sherer (2009) di Israel juga mendukung hasil
penelitian ini yang menemukan hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self esteem.
Melalui hasil ini dapat disimpulkan bahwa perempuan dengan self esteem rendah tidak memiliki
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
14
keyakinan bahwa dirinya setara dengan laki-laki, tidak memandang dirinya sebagai pribadi yang
berharga dan memiliki kemampuan yang juga dimiliki oleh laki-laki. Perempuan dengan self
esteem rendah akan cenderung menerima setiap bentuk tindakan kontrol dan dominasi dari
pasangan, yang kemudian dapat berdampak negatif pada berbagai segi kehidupan perempuan.
Perempuan akan merasa tidak berdaya dan lemah dengan pengalaman kekerasan yang terjadi dan
situasi yang seperti ini mendorong perempuan terus berada dalam siklus kekerasan.
Meningkatkan self esteem pada perempuan akan mengurangi tindak kekerasan yang terjadi
dalam hubungan pacaran.
Hasil penelitian juga menunjukkan korelasi yang signifikan dari masing-masing bentuk
kekerasan dan self esteem. Hasil penelitian menemukan bahwa kekerasan psikologis dan fisik
berkorelasi negatif dengan self esteem perempuan dan jika dibandingkan nilai korelasinya maka
kekerasan psikologis lebih tinggi daripada kekerasan fisik. Bentuk kekerasan psikologis yang
diukur melalui CTS2 seperti “pasangan menghina saya”, “pasangan memanggil saya dengan
panggilan yang buruk” dan “Pasangan membentak saya ketika ia marah”. Korelasi yang
didapatkan antara bentuk kekerasan psikologis dan self esteem menunjukkan peningkatan
frekuensi kekerasan psikologis diikuti dengan penurunan self esteem. Penemuan ini didukung
dengan penelitian oleh Jezl, Molidor dan Wright (1996) yang menyebutkan bahwa kekerasan
psikologis berkorelasi secara negatif dengan self esteem. Kekerasan psikologis merupakan
bentuk kekerasan yang seringkali terjadi tapi tidak disadari oleh pelaku dan korbannya, karena
dianggap bukan kekerasan (Kuffel & Katz, 2002). Oleh karena itu akan lebih sulit untuk
diketahui pihak luar dan karena itu juga sulit untuk bisa mendapatkan penanganan/pencegahan
kekerasan. Bila dibuat berdasarkan tingkatan kekerasan, kekerasan psikologis berada di tingkatan
dasar. Jika perempuan sudah mengalami kekerasan seksual maka dipastikan ia telah mengalami
kekerasan psikologis dan fisik dari pasangan.
Hal yang berbeda dalam penelitian ini adalah ditemukan bahwa kekerasan seksual
berkorelasi positif dengan self esteem. Korelasi positif menunjukkan bahwa menurunnya
kekerasan seksual diikuti dengan self esteem yang menurun. Hasil ini dimungkinkan terjadi
karena pandangan di budaya Indonesia bahwa seksual adalah sesuatu yang tabu, sesuatu yang
tidak biasa diungkapkan secara terbuka. Pandangan perempuan tentang seksual yang
menyebabkan adanya kemungkinan partisipan penelitian menjawab item-item kekerasan seksual
mengikuti norma yang berlaku di masyarakat. Penyebab lain dari hasil yang berbeda dalam
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
15
penelitian ialah adanya pandangan dari perempuan yaitu dengan melakukan aktivitas seksual
bersama pasangan membuat kebutuhan akan keintiman terpenuhi. Meskipun aktivitas seksual
yang dilakukan bersama pasangan terjadi dalam bentuk kekerasan, perempuan akan
menganggapnya sebagai pemenuhan kebutuhan akan keintiman. Ketika kebutuhan akan
keintiman sudah terpenuhi membuat perempuan dapat diterima oleh pasangannya. Sikap
penerimaan dari pasangan terhadap perempuan yang kemudian dihayati oleh perempuan sebagai
sumber self esteem. Dengan demikian menunjukkan korelasi yang positif antara kekerasan dalam
pacaran dan self esteem pada perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa perempuan dengan usia yang
tergolong muda rentan menjadi korban kekerasan dalam hubungannya. Hasil penelitian
menunjukkan perempuan dengan usia 18-22 tahun yang lebih banyak menerima kekerasan dari
pasangan. Sesuai dengan hasil penelitian oleh Prospero dan Gupta (2007) yang menunjukkan
bahwa kekerasan banyak dialami oleh partisipan penelitian dengan usia 18-22 tahun. Hasil yang
menunjukkan bahwa perempuan dengan usia muda rentan menjadi korban kekerasan, telah
disebutkan oleh WHO (2010) sebagai faktor penyebab kekerasan. Perempuan dengan usia muda
rentan mengalami kekerasan dikarenakan individu masih kurang dalam pengalaman dan
pengetahuannya ketika membangun hubungan. Perempuan cenderung tidak menyadari bahwa
kekerasan yang dialami terus-menerus dapat memberikan dampak negatif pada kehidupan
selanjutnya. Di budaya Indonesia sendiri, perempuan akan lebih bersikap pasif sehingga mereka
tidak berani untuk mengambil pilihan untuk putus dari pasangan. Selain itu adanya tugas
perkembangan di usia dewasa muda, untuk mendapatkan keintiman dengan membuat sebuah
komitmen. Tugas pemilihan pasangan akan berpengaruh pada pandangan perempuan yang
enggan apabila harus memiliki status tanpa pacar. Alasan-alasan ini yang kemudian mendorong
perempuan dewasa muda tetap bertahan dalam hubungannya yang berkekerasan. Mengenai lama
pacaran, hasil penelitian ini menunjukkan lama pacaran yang dijalin perempuan selama 2-4
tahun lebih banyak mengalami kekerasan. Hasil ini didukung dengan penemuan oleh Straus dan
Ramirez (2004) yang telah menyebutkan bahwa kekerasan dalam pacaran terjadi pada hubungan
dengan jangka waktu lebih dari 1 tahun.
Dari aspek demografis yang terdapat dalam penelitian ini seperti faktor usia, pekerjaan
dan lama pacaran tidak ditemukan hubungan yang signifikan baik dengan kekerasan maupun self
esteem perempuan. Penemuan ini serupa dengan penelitian sebelumnya (Chase, dkk., 2002;
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
16
Callahan, dkk., 2003) yang tidak mendapatkan hubungan signifikan antara kekerasan dengan
lama pacaran dan usia partisipan. Penelitian oleh Connor, dkk. (2004) juga tidak menemukan
hubungan signifikan antara self esteem dan usia partisipan. Hal ini yang kemudian menyebabkan
peneliti tidak mencantumkan analisis tambahan pada hasil penelitian.
Kesimpulan
Secara umum penelitian ini mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan
antara kekerasan dalam pacaran dan self esteem pada perempuan dewasa muda. Hubungan antara
kekerasan dalam pacaran dan self esteem menunjukkan korelasi yang negatif, dimana
meningkatnya frekuensi kekerasan dalam pacaran diikuti dengan menurunnya self esteem pada
perempuan dewasa muda.
Saran
Saran yang peneliti berikan untuk penelitian-penelitian selanjutnya jika ingin
menggunakan alat ukur CTS2 untuk mengukur kekerasan ialah dengan memodifikasi item-item
yang ada di dalam alat ukur CTS2, khususnya item kekerasan seksual agar lebih sesuai dengan
budaya yang ada di Indonesia. Modifikasi item dapat diperoleh dengan sebelumnya melakukan
sebuah survey untuk mencegah social desirability. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah
menjangkau partisipan perempuan dewasa muda lebih banyak lagi khususnya memperbanyak
partisipan perempuan yang sudah bekerja. Perlu juga dipertimbangkan dalam aspek demografis
partisipan perempuan, tentang suku/ras dan golongan ekonomi keluarga dari partisipan. Saran
Praktis yang dapat peneliti berikan sesuai hasil penelitian adalah bagi pihak-pihak yang memiliki
kepedulian akan kesejahteraan perempuan dapat menciptakan tindakan pencegahan kekerasan
berupa pemberian edukasi pada siswa-siswi di SMP/SMA dan membuat sebuah pelatihan dengan
tujuan untuk meningkatkan self esteem perempuan dewasa muda, agar mereka tidak menjadi
korban kekerasan dalam pacaran.
Daftar Pustaka
Advocates For Youth. (2006). Dating violence among adolescents. Diakses dari
http://www.advocatesforyouth.org/storage/advfy/documents/fsdating.pdf
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
17
Aguilar, R. J., & Nightingale, N. N. (1994). The impact of specific battering experiences on the
self-esteem of abused women. Journal of Family violence, 9 (1), 35-45. doi: 0885-
7482/94/03G0-0035507.00/0
Arnett, J. J. (2006). Emerging adulthood: The winding road from late teens through the twenties.
New York : Oxford University Press.
Branden, N. (1992). The power of self esteem: An inspiring look at our most important
psychological resource. USA: Health Communication.
Callahan, M. R., Tolman, R. M., & Saunders, D. G. (2003). Adolescent dating violence
victimization and psychological well-being. Journal of Adolescent Research, 18(6), 664-
681. doi: 10.1177/0743558403254784
Chase, K. A., Treboux, D., & O’leary, K. D. (2002). Characteristics of high-risk adolecents’
dating violence. Journal of Interpersonal Violence, 17(33), 33-49. doi:
10.1177/0886260502017001003
Connor, J. M., Poyrazli, S., Wreder, L. F., & Grahame, K. M. (2004). The relation of age,
gender, ethnicity and risk behaviors to self esteem among students in nonmainstream
schools. Adolescence, 39(155), 457-473. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/195935954/13AB16FA3203908BED2/1?accountid=
17242
DeGenova, M. K. (2008). Intimate Relationship Marriages & Families. New York: McGraw
Hill.
Follingstad, D. R., Bradley, R. G., Laughlin, J. E., & Burke, L. (1999). Risk factors and
correlates of dating violence: The relevance of examining frequency and severity levels
in a college sample. Violence and Victims, 14(4), 365-380. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/208555095/13AB1337C74494F2AD/1?accountid=1
7242
Graveter, F. J & Forzano, L. B. (2009). Research methods for the behavioral sciences. Canada :
Wadsworth, Cengage Learning.
Guindon, M. H. (2010). Self esteem across the lifespan: Issues and interventions. New York:
Routledge, Taylor & Francis Group.
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
18
Hakiki, M., Hayati, E. N., Marlinawati, V. U., Winkvist, A., & Ellsberg, M. C. (2001). Silence
for the sake of harmony: Domestic violence and health in central java, Indonesia.
Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center.
Hanmer, J. (1996). Women and violence: Commonalities and diversities. In Barbara
Fawcett, Brid Featherstone, Jeff R Hearn, & Christine Toft (Eds). Violence and gender
relations (pp 1-20). London: Sage Publications.
Havighurst. (1955). Human development and education. Toronto: Longman, Green and Co.
Heatherton, T. F., & Wyland, C. L. (2003). Assessing self esteem. In Shane J. Lopez & C. R.
Snyder (Ed). Positive psychological assessment: A handbook of models and measures (pp
219-233). Washington, DC : American Psychological Association. doi: 10.1037/10612-
014
Holt, J. L. (2007). Impact of self-esteem, adult attachment, and family on conflict resolution in
intimate relationships (Master of Arts in Psychology). Diakses dari ProQuest (UMI:
1441900).
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta: Erlangga
Hyde, J. S. (2007). Half the human experience: The psychology of women. USA : Houghton
Mifflin Company.
Jezl, D. R., Molidor, C. E., & Wright, T. L. (1996). Physical,sexual and psychological abuse in
high school dating relationships: Prevalence rates and self-esteem issues. Child and
Adolescent Social Work Journal, 13(1), 69-87. Diakses dari
http://link.springer.com/article/10.1007/BF01876596?LI=true
Jurnal Perempuan. (2002). Hentikan kekerasan terhadap perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
Komisi Nasional Perempuan. (2011). Lembar fakta catatan tahunan (catahu) komnas
perempuan. Jakarta: Komnas Perempuan. Diakses dari
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2012/06/Lembar-
Fakta_Memperingati-Hari-Internasional-untuk-Dukungan-bagi-Korban-Penyiksaan-26-
Juni.pdf
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
19
Kuffel, S. W., & Katz, J. (2002). Preventing physical, psychological and and sexual aggression
in college dating relationship. Journal of Primary Prevention, 22(4), 361-374. doi: 0278-
095X/02/0600-0361/0
Lewis, S. F., & Fremouw, W. (2001). Dating violence : A critical review of the literature.
Clinical Psychology Review, 21(1), 105–127. doi: S0272-7358(99)00042-2
Lewis, S. F., Travea, L., & Fremouw, W. J. (2002). Characteristics of female perpetrators and
victims of dating violence. Violence and Victims, 17(5), 593-606. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/208556679/13AB144A4252684C25B/1?accountid=1
7242
Mars, T.,& Valdez, A. M. (2007). Adolescent dating violence: Understanding what is ‘‘at risk?’’.
Emergency Nurses Association, 33(5), 492-494. doi: 10.1016/j.jen.2007.06.009
Mruk, C. J. (2006). Self esteem research, theory, and practice: Toward a positive psychology of
self esteem. New York: Springer.
Naderi, H., Abdullah, R., Azian,H. T., Sharir, J., & Kumar, V. ( 2009). Self esteem, gender and
academic achievement of undergraduate students. American Journal of Scientific
Research, 3, 26-37. Diakses dari http://www.eurojournals.com/ajsr.htm
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development. New York: McGraw
Hill International.
Poerwandari, E. K. (2008). Penguatan psikologis untuk menangulangi kekerasan dalam rumah
tangga dan kekerasan seksual: Panduan dalam bentuk tanya-jawab. Jakarta: Program
Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia.
Poerwandari, E. K., & Lianawati, E. (2010). Buku saku untuk penegak hukum: Petunjuk
penjabaran kekerasan psikis untuk menindaklanjuti laporan kasus KDRT. Jakarta :
Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia.
Prospero, M., & Gupta, S. V. (2007). Gender differences in the relationship between intimate
partner violence victimization and the perception of dating situations among college
students. Violence and victims, 22(4), 489-502. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/208557406/13AB14B4C31423B3D71/1?accountid=
17242
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
20
Rosenberg, M., Schooler, C., Schoenbach, C., & Rosenberg, F. (1995). Global self esteem and
specific self esteem: Different concept, different outcomes. American sociological
review, 60(1), 141-156. Diakses dari
http://www.jstor.org/stable/2096350
Scott, K. & Straus, M. (2007). Denial, minimization, partner blamming, and intimate aggression
in dating partners. Journal of Interpersonal Violence, 22(7), 851-871. doi:
10.1177/0886260507301227
Setiawan, A. (2011, 25 Oktober). Kekerasan dalam relasi pacaran masih tinggi. Vivanews.
Diakses dari http://metro.news.viva.co.id/news/read/258656-kekerasan-dalam-relasi-
pacaran-masih-tinggi.
Sherer, M. (2009). The nature and correlates of dating violence among jewish and arab youths in
israel. Journal Family Violence, 24, 11-26. doi 10.1007/s10896-008-9201-8
Simanjuntak, J. (2012, 1 Juli). Kekerasan dalam pacaran dan bagaimana bersikap. Kompas.
Diakses dari
http://health.kompas.com/read/2012/07/01/11233663/Kekerasan.dalam.Pacaran.dan.Baga
imana.Bersikap.
Straus, M. A., & Ramirez, I. L. (2004). Criminal history and assault of dating partners: The role
of type of prior crime, age of onset, and gender. Violence and Victims, 19(4), 413-434.
doi: 10.1891/vivi.19.413.64164
Sunarto, K. (2004). Pengantar sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi.
Unger, R. K. (2001). Handbook of the psychology of women and gender. USA: Wiley.
Womens Health. (2011). Violence against women. Diakses dari
http://www.womenshealth.gov/violence-against-women/types-of violence/dating-
violence.cfm#a.
World Health Organization. (2010). Preventing intimate partner and sexual violence against
women : Taking action and generating evidence. Geneva: WHO.
Zulfah. (2007, 24 Desember). Kekerasan dalam pacaran: sebuah fenomena yang terjadi pada
remaja. Diakses dari http://www.kesrepro.info/?q=node/252.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK. (2010). Kekerasan dalam pacaran. Diakses dari
http://www.lbh-apik.or.id/fact-52%20dating%20vlc.htm
Hubungan antara..., Yuanita Zandy Putri, FPs-UI, 2012
top related