hubungan antara jenis dan bahan kontainer ...repository.ub.ac.id/8460/1/ima sri wahyuni.pdfm.biomed...
Post on 02-Oct-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
HUBUNGAN ANTARA JENIS DAN BAHAN KONTAINER DENGAN
PERSENTASE KONTAINER POSITIF JENTIK NYAMUK DI WILAYAH
PUSKESMAS DINOYO KOTA MALANG
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Umum
Oleh :
Ima Sri Wahyuni
145070100111055
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
ii
HALAMAN PENGESAHAN
TUGAS AKHIR
HUBUNGAN ANTARA JENIS DAN BAHAN KONTAINER DENGANPERSENTASE KONTAINER POSITIF JENTIK NYAMUK DI WILAYAH
PUSKESMAS DINOYO KOTA MALANG
Oleh:
Ima Sri Wahyuni
NIM 145070100111055
Telah diuji pada
Hari : kamis
Tanggal : 21 Desember 2017
dan dinyatakan lulus oleh :
Penguji-I
dr.AstriProborini, SpA.,M.Biomed.
NIP. 2016078104062001
Pembimbing-I/Penguji-II Pembimbing-II/ Penguji-III
Prof.Dr.dr. Teguh Wahyu Sardjono, Dr.Lilik Zuhriyah, S.K.M,M.Kes.DTM,&H.,M.Sc.,Sp.ParK NIP. 197306061997022001NIP.195204101980021001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter,
dr. Triwahju Astuti, M.Kes., Sp.P(K)
NIP. 196310221996012001
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Tugas Akhir ini dengan lancar dan tepat waktu.
Tugas Akhir disusun sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran dengan judul “Hubungan antara jenis kontainer dengan
persentase kontainer positif jentik nyamuk di wilayah Puskesmas Dinoyo Kota
Malang”.
Dalam proses penulisan tugas akhir ini, penulis juga didukung oleh
berbagai pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang yang telah memberi saya kesempatan untuk menjadi
mahasiswa kedokteran Universitas Brawijaya.
2. Segenap anggota Tim Pengelola Tugas Akhir FKUB dr. Elly Mayangsari,
M.Biomed dan dr.Yhusi Karina Riskawati, M.Sc atas bantuan dan
bimbingannya untuk memenuhi persyaratan tugas akhir ini.
3. Prof.Dr.dr.Teguh Wahyu Sardjono DTM&H.,M.Sc.Sp.ParK, selaku dosen
pembimbing pertama atas segala bimbingan dan kesabarannya sehingga
tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Dr. Lilik Zuhriyah, S.K.M,M.Kes selaku dosen pembimbing kedua atas segala
bimbingan dan kesabarannya sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan
dengan baik.
5. dr.Astri Proborini, SpA.,M.Biomed selaku dosen penguji atas masukan dan
sarannya sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik.
iv
6. Ibunda Yusminah, Ayahanda Suwito, kakakku Yuli Wijayanto dan semua
keluargaku yang senantiasa mendoakan, memberi semangat dan dukungan
dalam bentuk moril maupun materiil sehingga tugas akhir ini berjalan lancar.
7. Teman-teman satu penelitian Siti Dwi Astuti, Fryzka Amalia, dan Dwilan
Achmad Fauzan.
8. Kakak Achmad Saiful Amri yang membuat saya menjadi semangat untuk cepat
menyelesaikan tugas akhir ini.
9. Semua teman-teman Progam Studi Kedokteran Angkatan 2014, kakak tingkat,
dan adik tingkat yang memberikan doa dan semangat.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu banyak dalam menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis membuka diri untuk segala saran dan kritik yang membangun.
Akhir kata semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua yang
membutuhkannya.
Malang, 8 Januari 2018
Penulis
v
ABSTRAK
Wahyuni, Ima, Sri. 2018. Hubungan Antara Jenis dan Bahan Kontainer Dengan Persentase Kontainer Positif Jentik Nyamuk Di Wilayah Puskesmas Dinoyo Kota Malang. Tugas Akhir, Program Studi Kedokteran,Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.Pembimbing:(1)Prof.Dr.dr.Teguh Wahyu Sardjono DTM&H.,M.Sc.Sp.ParK (2) Dr. Lilik Zuhriyah, S.K.M,M.Kes
Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan di Provinsi Jawa Timur dimana hampir seluruh kota merupakan daerah endemis. Kota Malang menempati peringkat kedua daerah dengan Incidence Rate (IR) tertinggi di Jawa Timur. Salah satu upaya pengendalian populasi nyamuk adalah dengan mengendalikan jentik nyamuknya. Keberadaan jentik nyamuk dipengaruhi oleh banyak faktor seperti jenis kontainer, bahan kontainer, letak kontainer,suhu, kelembapan udara, pH air dan keberadaan predator jentik nyamuk. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah jenis dan bahan kontainer. Kontainer adalah tempat penampungan air (TPA) atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Aedes aegypti.
PeneIitian ini diIakukan dengan melakukan survei pada 100 rumah warga di kelurahan Sumbersari Wilayah Puskesmas Dinoyo Kota MaIang . Survei diIakukan untuk mengetahui keberadaan jentik nyamuk serta jenis kontainer yang digunakan masyarakat. Instrumen yang digunakan untuk meIakukan survei adaIah kuisioner dari Rhikusvektora. Dari uji chi-square, didapatkan hubungan yang signifikan antara jenis dan bahan kontainer dengan persentase keberadaan kontainer positif jentik nyamuk dengan nilai (r=0.22) (P=0,012) untuk jenis kontainer dan nilai (r =0.44) (P=0,07) untuk bahan kontainer. Persentase keberadaan kontainer positif jentik terbesar adalah dispenser (80%). Bahan kontainer yang memiIiki persentase kontainer positif jentik paIing besar adalah tanah (54,5%). Perhatian besar untuk pengaruh keberadaan jentik nyamuk perlu diberikan pada kontainer berjenis dispenser dan berbahan tanah.
Kata kunci: jenis kontainer,bahan kontainer, kontainer positif jentik nyamuk.
vi
ABSTRACT
Wahyuni, Ima. Sri. 2018.The Relationship Between The Kind of Container and Percentage of The Positif Container Contains Mosquito Larva In Health Clinic Dinoyo Malang City. Final assignment, Medical Program, Faculty of Medicine, Brawijaya University. Supervisors: (1)Prof.Dr.dr.Teguh Wahyu Sardjono DTM&H.,M.Sc.Sp.ParK., (2) Dr. Lilik Zuhriyah, S.K.M,M.Kes
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is still a health problem in East Java Province where almost all cities are endemic areas. The city of Malang is ranked second with the highest Incidence Rate (IR) in East Java. One effort to control the mosquito population is to control the mosquito larvae. The existence of mosquito larvae is influenced by many factors such as type of container, container material, container location, temperature, humidity, water pH and the presence of mosquito larvae predators. One of the factors that need to be considered is the type and material of the container. Container is a water reservoir (TPA) or vessel that can be a breeding ground for Aedes aegypti mosquitoes. This research was conducted by conducting a survey on 100 residents' homes in the Sumbersari sub-district of Dinoyo District Health Center of MaIang City. Surveys were conducted to determine the presence of mosquito larvae and types of containers used by the community. The instrument used to conduct the survey is a questionnaire from Rhikusvektora. From the chi-square test, there was a significant correlation between the type and the container material with the percentage of the presence of positive mosquito larvae container with r value (0.22) for the container type, r value (0.44) for the container material and P value (0.012) for the container type, P value (0.07) for the container material. The largest percentage of larval positive containers was dispenser (80%). The container material that has a large percentage of positive larvae containers is ground (54,5%). Great attention to the influence of the presence of mosquito larvae should be given to containers of dispenser type and made of ground.
Keywords: container type, container material, positive container of mosquito larva.
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ....................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ......................................................................................... ..ii
Kata Pengantar .................................................................................................... .iii
Abstrak ................................................................................................................. v
Abstract ................................................................................................................ vi
Daftar Isi .............................................................................................................. vii
Daftar Gambar ..................................................................................................... xii
Daftar Tabel ........................................................................................................ xiii
Daftar Lampiran .................................................................................................... xi
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... .1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 4
1.3.1 Tujuan Umum .............................................................................................. 4
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi DBD Kota Malang ……………………………………...….......…....6
2.2 Jenis nyamuk.....................................................................................................9
2.2.1 Taksonomi nyamuk .................................................................................... ..9
2.2.2 Morfologi Nyamuk Aedes ........................................................................... 10
2.2.3 Siklus hidup nyamuk .................................................................................. 11
2.3.Habitat nyamuk ............................................................................................. 17
2.3.1Bionomik nyamuk Aedes aegypti ................................................................ 18
viii
2.4Pengendalian vektor nyamuk ......................................................................... 19
2.5Kelembapan udara ........................................................................................ 22
2.6Kepadatan nyamuk Aedes Aegypti ................................................................ 22
2.7Pengukuran Kepadatan Vektor ...................................................................... 23
2.7.1 Cara survei jentik nyamuk .......................................................................... 23
2.7.2Metode survei jentik nyamuk ....................................................................... 24
2.8 Faktor yang berhubungan dengan kepadatan jentik nyamuk……......….........25
2.9. Kontainer.........................................................................................................27
BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep ....................................................................... ....................31
3.2 Hipotesis Penelitian ....................................................................................... 33
BAB 4.METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian ................................................................................... 34
4.2 Variabel Penelitian ........................................................................................ 36
4.3 Definisi operasional....................................................................................... 37
4.4Cara kerja dan pengumpulan data ................................................................. 38
4.5Materi dan instrumen penelitian ..................................................................... 39
4.6Jadwal dan waktu pelaksanaan .................................................................... 40
4.7Teknik pengolahan dan analisis data ............................................................. 40
4.8 Alur Kerja ...................................................................................................... 42
BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
5.1 Karakteristik lokasi penelitian dan nilai HI .................................................... .43
5.2 Karakteristik Rumah ...................................................................................... 44
5.3Keberadaan jentik berdasarkan sumber air ................................................... .47
5.4 Keberadaan jentik berdasarkan jenis kontainer dan nilai CI, BI. ....................48
5.5 Keberadaan jentik nyamuk berdasarkan bahan kontainer .............................51
5.6 Identifikasi jentik nyamuk................................................................................52
ix
BAB 6. PEMBAHASAN
6.1 Nilai HI, CI, dan BI ..................................................................................... ..53
6.2 Jenis kontainer yang digunakan masyarakat Kelurahan Sumbersari ........ ..56
6.3 Bahan kontainer yang digunakan masyarakat kelurahanSumbersari…..........58
6.4Hubungan antara jenis kontainer dengan kontainer positif jentik nyamuk ...... 60
6.5Hubungan anatara bahan kontainer dengan kontainer positif jentik nyamuk...65
6.6 Identifikasi jentik nyamuk.................................................................................69
BAB 7. PENUTUP
7.1 Kesimpulan ................................................................................................... 71
7.2 Saran ............................................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................73
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................80
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Data kasus DBD .............................................................................. 7
Tabel 3.1Definisi operasional dan variabel..................................................... 37
Tabel 5.1 Data lokasi survei dan jentik nyamuk ............................................. 44
Tabel 5.2 Distribusi status rumah ................................................................... 45
Tabel 5.3 Distribusi jentik berdasarkan sumber air ........................................ 48
Tabel 5.4 Distribusi jentik berdasarkan jenis kontainer .................................. 49
Tabel 5.5 Nilai CI dan BI ................................................................................ 50
Tabel 5.6 Distribusi jentik berdasarkan bahan kontainer ............................... 51
Tabel 5.2 Identifikasi jenis jentik nyamuk ...................................................... 52
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1Telur Aedes aegypti ....................................................................... 11
Gambar 2 Larva nyamuk Aedes aegypti ........................................................ 13
Gambar 3 Pupa nyamuk Aedes aegypti ......................................................... 15
Gambar 4 Nyamuk dewasa nyamuk Aedes aegypti ....................................... 16
Gambar 5Rumah pribadi ................................................................................ 45
Gambar 6Rumah kost kosan ......................................................................... 46
Gambar 7Rumah Sewa ................................................................................. 47
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1Foto penelitian ............................................................................. 80
Lampiran 2 Hasil data mentah peenlitian ....................................................... 82
Lampiran 3 Kuisioner penelitian ..................................................................... 85
Lampiran 4 Hasil analisa spss uji chi square .................................................. 86
xiii
ABSTRAK
Wahyuni, Ima, Sri. 2018. Hubungan Antara Jenis dan Bahan Kontainer Dengan Persentase Kontainer Positif Jentik Nyamuk Di Wilayah Puskesmas Dinoyo Kota Malang. Tugas Akhir, Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1)Prof.Dr.dr.Teguh Wahyu Sardjono DTM&H.,M.Sc.Sp.ParK (2) Dr. Lilik Zuhriyah, S.K.M,M.Kes
Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan di Provinsi Jawa Timur dimana hampir seluruh kota merupakan daerah endemis. Kota Malang menempati peringkat kedua daerah dengan Incidence Rate (IR) tertinggi di Jawa Timur.
Salah satu upaya pengendalian populasi nyamuk adalah dengan mengendalikan jentik nyamuknya. Keberadaan jentik nyamuk dipengaruhi oleh banyak faktor seperti jenis kontainer, bahan kontainer, letak kontainer,suhu, kelembapan udara, pH air dan keberadaan predator jentik nyamuk. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah jenis dan bahan kontainer. Kontainer adalah tempat penampungan air (TPA) atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Aedes aegypti.
PeneIitiana ini diIakukana dengan melakukan survei pada 100 rumah warga di kelurahan Sumbersari Wilayah Puskesmas Dinoyo Kota MaIang . Survei diIakukan untuk mengetahui keberadaan jentik nyamuk serta jenis kontainer yang digunakan masyarakat. Instrumen yang digunakan untuk meIakukan survei adaIah kuisioner dari Rhikusvektora. Dari uji chi-square, didapatkan hubungan yang signifikan antara jenis dan bahan kontainer dengan persentase keberadaan kontainer positif jentik nyamuk dengan nilai (r=0.22) (P=0,012) untuk jenis kontainer dan nilai (r =0.44) (P=0,07) untuk bahan kontainer. Persentasea keberadaan kontainer positif jentik terbesar adalah dispenser (80%). Bahan kontainer yang memiIiki persentase kontainer positif jentik paIing besar adalah tanah (54,5%). Perhatian besar untuk pengaruh keberadaan jentik nyamuk perlu diberikan pada kontainer berjenis dispenser dan kontainer berbahan tanah.
Kata kunci: jenis kontainer, bahan kontainer, kontainer positif jentik nyamuk.
ABSTRACT
Wahyuni, Ima. Sri. 2018. The Relationship Between The Kind of Container and Percentage of The Positif Container Contains Mosquito Larva In Health Clinic Dinoyo Malang City. Final assignment, Medical Program, Faculty of
Medicine, Brawijaya University. Supervisors: (1) Prof.Dr.dr.Teguh Wahyu Sardjono DTM&H.,M.Sc.Sp.ParK.,(2) Dr. Lilik Zuhriyah, S.K.M,M.Kes
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is still a health problem in East Java Province where almost all cities are endemic areas. The city of Malang is ranked second with the highest Incidence Rate (IR) in East Java. One effort to control the mosquito population is to control the mosquito larvae. The existence of mosquito larvae is influenced by many factors such as type of container, container material, container location, temperature, humidity, water pH and the presence of mosquito larvae predators. One of the factors that need to be considered is the type and material of the container. Container is a water reservoir (TPA) or vessel that can be a breeding ground for Aedes aegypti mosquitoes.
This research was conducted by conducting a survey on 100 residents' homes in the Sumbersari sub-district of Dinoyo District Health Center of MaIang City. Surveys were conducted to determine the presence of mosquito larvae and types of containers used by the community. The instrument used to conduct the survey is a questionnaire from Rhikusvektora. From the chi-square test, there was a significant correlation between the type and the container material with the percentage of the presence of positive mosquito larvae container with r value (0.22) for the container type, r value (0.44) for the container material and P value (0.012) for the container type, P value (0.07) for the container material. The largest percentage of larval positive containers was dispenser (80%). The container material that has a large percentage of positive larvae containers is ground (54,5%). Great attention to the influence of the presence of mosquito larvae should be given to containers of dispenser type and made of ground.
Keywords: container type, container material, positive container of mosquito larva.
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit
endemik di daerah tropis yang memiliki tingkat kematian tinggi terutama
pada anak-anak. Indonesia merupakan negara dengan tingkat kejadian DBD
maupun Demam Dengue (DD) yang tinggi. Berdasarkan publikasi World
Health Organization (WHO) dalam Dengue Guidelines for Diagnosis,
Treatment, Prevention and Control, dengue merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang besar di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan di
Indonesia pada tahun 1968, angka kejadian DBD di Indonesia terus
meningkat. Pada tahun 2007, dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus DBD
dengan lebih dari 25.000 kasus terjadi di Jakarta dan Jawa Barat. Indonesia
yang berada di wilayah tropis pada daerah ekuator memungkinkan
perkembangbiakan Aedes aegypti yang merupakan vektor dari virus dengue.
Beberapa laporan menyebutkan Case Fatality Rate (CFR) dari kasus DBD
di Indonesia mencapai 1% (WHO, 2009; Karyanti & Hadinegoro, 2009).
Di Jawa Timur, DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat dan
endemis di hampir seluruh kabupaten/kota. Pada tahun 2010, angka
kejadian DBD di Jawa Timur mencapai 25.762 kasus dengan angka
2
kematian 230 jiwa; tahun 2011 menurun tajam mencapai 5.374 kasus
dengan angka kematian 65 jiwa; dan tahun 2012 kembali meningkat dengan
angka kejadian DBD di Jawa Timur mencapai 8.266 kejadian dengan angka
kematian mencapai 119 jiwa (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sampai dengan
Juni 2013, telah terjadi 11.207 kejadian DBD dengan Angka Kejadian
(Incidency Rate = IR) 29,25 dan CFR 0,88% (99 orang). Berdasarkan
laporan yang sama, di Surabaya angka kejadiannya adalah 1.504 kasus
dengan CFR 0,4% (6 orang) (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2013).
Surabaya merupakan kota dengan IR DBD tertinggi di Jawa Timur. Sebagai
pembanding, Kabupaten Malang dan Kabupaten Jember yang menempati
peringkat kedua dan ketiga IR DBD di Jawa Timur menunjukkan angka
2.506.102 dan 2.375.469 kasus pada Januari hingga Juni 2013. Data di
Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya menunjukkan jumah kasus rawat
inap DBD tahun 2013 sebesar 165 kasus, 57% kasus terjadi pada anak usia
5-14 tahun. Data rawat jalan menunjukkan 52% dari 29 kasus DBD periode
Januari hingga Juli 2013 terjadi pada anak usia 5-14 tahun (Rumah Sakit
Gotong Royong Surabaya, 2014). Prevalensi lebih dari 50% pada kelompok
umur 5-14 tahun ini menjadi dasar peneliti untuk mengambil sampel
penelitian dari kelompok umur tersebut.
3
Gizi merupakan faktor mayor, dapat dimodikasi, dan berperan
penting dalam meningkatkan kualitas kesehatan, mencegah dan mengobati
penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup (The Nutrition Society, 2009).
Penelitian epidemiologis dan klinis menunjukkan bahwa kekurangan gizi
menghambat respons imunitas dan meningkatkan risiko penyakit infeksi.
Berbagai penelitian yang dilakukan selama kurun waktu 35 tahun yang lalu
membuktikan bahwa gangguan imunitas adalah suatu faktor antara
(intermediate factor) kaitan gizi dengan penyakit infeksi (Chandra, 1997).
Angka kejadian balita dengan gizi kurang di Jawa Timur mencapai
10,3% dan gizi buruk 2,3%. Kota Surabaya memiliki balita dengan gizi
kurang 10,6% dan gizi buruk 2,8% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur,
2012). Berdasarkan survei awal mengenai status gizi pasien anak di RS.
Gotong Royong Surabaya yang dilakukan peneliti pada 8-21 Januari 2014,
didapatkan data status gizi dari 200 pasien rawat jalan. Dari data tersebut
didapatkan 2,5% anak sangat kurus, 5,5% kurus, 73,5% normal, 6,5%
gemuk, dan 12% obesitas.
Nyeri pada seluruh tubuh merupakan salah satu gejala yang terjadi
pada pasien dengan infeksi dengue (Shepherd, 2014). Penurunan intensitas
nyeri dapat digunakan sebagai dasar penilaian terhadap perbaikan klinis
penyakit dengan manifestasi nyeri. Faces Pain Scale-Revised memiliki
konten dan validitas yang telah teruji dalam menilai intensitas nyeri pada
4
anak. Pengukuran ini sederhana, mudah digunakan, dan membutuhkan
instruksi minimal untuk anak 4-18 tahun (Stinson, 2006).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa status gizi merupakan salah
satu faktor risiko yang mempengaruhi tingkat keparahan DBD. Penelitian-
penelitian ini banyak difokuskan pada pengaruh status gizi terhadap luaran
penyakit DBD. Hakim dan Kusnandar (2012) dalam penelitiannya di
Cirebon menyebutkan bahwa anak dengan status gizi yang tidak normal,
baik gizi kurang maupun gizi lebih, memiliki risiko 1,25 kali lebih besar
untuk tertular infeksi virus dengue dibanding anak dengan status gizi
normal. Elmy S., dkk. (2009) dalam penelitiannya di Denpasar
menyebutkan risiko SSD pada anak obese 4,9 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak non-obese. Kalayanarooj dan Nimmannitya (2005) dalam
penelitiannya di Thailand menyebutkan bahwa anak-anak dengan gizi
kurang memiliki risiko infeksi dengue yang lebih rendah namun memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami SSD ketika terinfeksi, serta anak
dengan obesitas memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi virus dengue.
Kontras dengan penelitian di atas, Hung dkk. (2005) menyebutkan bahwa
tidak terdapat perbedaan tingkat keparahan DBD/SSD pada anak dengan
malnutrisi ataupun anak dengan gizi normal. Maron dkk. (2010) dalam
penelitiannya di El Salvador juga menyebutkan bahwa nutrisi berlebih
bukan merupakan faktor risiko terjadinya infeksi dengue yang parah dan
5
malnutrisi bukan merupakan faktor prediktif luaran yang baik pada infeksi
dengue. Hasil penelitian yang masih berbeda satu sama lain ini mendorong
peneliti untuk melakukan penelitian tentang hubungan status gizi dengan
perjalanan penyakit DBD pada anak.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara status gizi dengan perjalanan
penyakit demam berdarah dengue anak usia 5-14 tahun di Rumah Sakit
Gotong Royong Surabaya?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis hubungan status gizi dan perjalanan penyakit DBD
pada anak usia 5-14 tahun di Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi status gizi pasien DBD anak usia 5-14 tahun
di Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya.
b. Mengidentifikasi lama demam, lama perbaikan skor Faces
Pain Scale-Revised, derajat leukopenia, derajat
trombositopenia, dan derajat hemokonsentrasi pada pasien
DBD anak usia 5-14 tahun di Rumah Sakit Gotong Royong
Surabaya.
6
c. Menganalisis hubungan status gizi dengan lama demam pada
pasien DBD anak usia 5-14 tahun di Rumah Sakit Gotong
Royong Surabaya.
d. Menganalisis hubungan status gizi dengan lama perbaikan
skor Faces Pain Scale-Revised pada pasien DBD anak usia 5-
14 tahun di Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya.
e. Menganalisis hubungan status gizi dengan derajat leukopenia
pada pasien DBD anak usia 5-14 tahun di Rumah Sakit
Gotong Royong Surabaya.
f. Menganalisis hubungan status gizi dengan derajat
trombositopenia pada pasien DBD anak usia 5-14 tahun di
Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya.
g. Menganalisis hubungan status gizi dengan derajat
hemokonsentrasi pada pasien DBD anak usia 5-14 tahun di
Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti :
Sebagai prasyarat kelulusan Program Pendidikan Dokter Strata-1
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
7
1.4.2 Bagi Masyarakat dan Dunia Kedokteran :
1.4.2.1 Membantu menganalisis luaran klinis dan memperkirakan
perjalanan penyakit anak yang menderita DBD berdasarkan status
gizi.
1.4.2.2 Membantu menganalisis hubungan status gizi dengan perjalanan
penyakit DBD pada anak.
1.4.3 Bagi Rumah Sakit Gotong Royong :
Memberikan gambaran status gizi dan gambaran klinis pasien anak
yang menderita DBD di Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya.
!
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi DBD di Kota Malang
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menyebar luas di seluruh
wilayah Kota Malang. Jika pada tahun 2012 peristiwa DBD mencapai 136, maka
pada tahun 2013 meningkat menjadi 409 kasus, dan pada tahun 2014 menurun
menjadi 160 kasus. Dari jumlah tersebut terdapat 1 kasus meninggal akibat
terserang DBD. Pada tahun 2013 angka kesakitan DBD mencapai 48,62 per
100.000 penduduk. Sedangkan angka kesakitan tahun 2014 menurun hingga
mencapai 18,89 per 100.000 penduduk, artinya ada 18 sampai 19 orang yang
sakit DBD dari 100.000 penduduk di Kota Malang pada tahun 2014.Kondisi ini
tentunya lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2013. Angka kematian
penyakit DBD Case fatality rate (CFR) pada tahun 2013 adalah mencapai
0,49%.Hampir sama dengan 2013, pada Tahun 2014 angka kematian penyakit
DBD (CFR) adalah 0,63%, artinya setiap 100 orang yang terserang DBD terdapat
0-1 orang yang meninggal(Depkes, 2014).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Malang pada tahun 2014 di
dapatkan data kejadian kasus DBD berdasarkan tingkat kecamatan pada masing
masing masing puskesmas adalah sebagai berikut:
2
Jumlah Kejadian Kasus DBD Menurut Kecamatan, Kelurahan dan
Puskesmas Kota Malang Tahun 2014.
Tabel 2.1 Data Kasus DBD Berdasarkan Kecamatan dan Puskesmas Kota Malang
Tahun 2014
NO
KECAMATAN
PUSKESMAS
JUMLAH MENINGGAL
KASUS DBD
1.
Kedungkandang
1.Kedungkandang
2. Gribig
3.Arjowinangu
23
0
0
0
0
0
2. Sukun 1. Janti
2.Ciptomulyo
3. Mulyorejo
44
0
0
0
0
0
3. Klojen 1. Arjuno
2. Bareng
3. Rampalcelaket
25
0
0
0
0
0
4. Blimbing 1. Cisadea
2. Kendalkerep
3. Pandanwangi
31
0
0
0
0
0
5. Lowokwaru 1. Dinoyo
2. Mojolangu
3. Kendalsari
37
0
0
1
0
0
3
Pada Tahun 2015 sebanyak 1.817 kasus DBD telah dilaporkan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur kepada Kementerian Kesehatan RI. Upaya
yang telah dilakukan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur telah sesuai dengan
standard operation prosedure (SOP)penanggulanganDBD.Namun masih ada
peningkatan kasus DBD sebesar 46% bila dibandingkan bulan yang sama di tahun
2014, yaitu 980 kasus (Depkes, 2014).
Upaya yang telah dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
mengalami KLB antara lain memberikan pelayanan kesehatan di puskesmas dan
rumah sakit, pemutusan rantai penularan melalui fogging massal di desa dan
kecamatan, larvasidasi dan pemberantasan sarang nyamuk, surveilans ketat
kasus DBD, pemantauan jentik mingguan, penyiapan logistik (insektisida,
larvasida dan RDT) serta sosialisasi pemberantasan kasus DBD kepada
masyarakat di tingkat desa dan kecamatan.Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
melakukan asistensi teknis penanganan KLB DBD kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, penyiapan logistik insektisida, larvasida dan mesin fogging serta
melakukan pemantauan dan pelaporan kepada Kementerian Kesehatan(Depkes,
2015).
Dinas Kesehatan Kota Malang meminta masyarakat untuk selalu
waspada terhadap penyakit ini terlebih lagi di musim pancaroba sebagai respon
terhadap banyaknya kasus DBD yang terjadi di Kota Malang. Kegiatan
penyuluhan, Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD melalui gerakan
Menguras, Menutup dan Mengubur barang bekas (3M), larvasidasi dan fogging
focus/pengasapan telah dilakukan untuk menanggulangi DBD. Namun demikian
jumlah kasus DBDmasih tinggi dan Angka Bebas jentik (ABJ) yang yang masih di
bawah standar yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan yaitu ABJ
>95%(Depkes, 2014).
4
2.2 Jenis nyamuk
Nyamuk Aedes sp tersebar di seluruh dunia dan diperkirakan mencapai 950
spesies. Nyamuk ini dapat menyebabkan gangguan gigitan yang serius terhadap
manusia seperti menyebabkan DBD baik di daerah tropik maupun yang beriklim
lebih dingin (Djakaria, 2004)
2.2.1 Taksonomi
a. Aedes aegypti
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Uniramia
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Subordo : Nematosera
Familia : Culicidae
Sub family : Culicinae
Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
(Djakaria, 2004)
b. Aedes albopictus
Aedes albopictus termasuk dalam subgenus yang sama dengan Ae. aegypti.
Klasifikasi Ae. albopictus adalah sebagai berikut :
Kingdom: Animalia
Phylum: Insecta
Ordo: Diptera
Familia: Culicidae
5
Genus: Aedes
Spesies:Aedes albopictus(Djakaria,2004)
2.2.2 Morfologi
Aedes aegypti memiliki tubuh yang lebih kecil dibandingkan species
lainnya, tubuh sampai kakinya berwarna hitam dan bergaris garis putih. Nyamuk
ini sering ditemukan di tempat yang bersih dan genanagan air yang tenang dan
tidak menyukai tempat kotor. Tempat sering ditemukan jentik nyamuknya seperti
jambangan bunga, tempayan, bak mandi dan lain lain yang kurang diterangi
matahari dan tidak dibersihkan secara teratur. Manusia diperlukan sebagai host
berupa darah yang digunakan sebagai tempat pematangan telur agar dapat
dibuahi saat perkawinan (Rozanah,2004).
Sedangkan nyamuk Ae.albopictus atau dikenal dengan istilah nyamuk kebun
(forest mosquito) mendapat makanan dengan menggigit dan menghisap darah
binatang. Berbeda dengan nyamuk Ae.aegypti, nyamuk ini berkembang biak di
dalam lubang lubang pohon, lekukan tanaman, potongan batang bambu, dan
buahkelapa yang terbuka(Djakaria, 2004).
Nyamuk Ae. aegypti sebagaimana serangga yang lainnya, memiliki ciri
khas sebagai berikut :
a.Tubuh dapat dibedakan secara jelas menjadi tiga bagian yaitu :
kepala,toraks, dan abdomen yang beruas-ruas.
b.Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang
berbulu, serta memiliki moncong yang panjang (proboscis) untuk menusuk
kulit hewan/manusia dan menghisap darahnya.
c.Kaki terdiri dari 3 pasang.
d.Sistem peredaran darah terbuka(Harun,2006).
6
Jarak terbang nyamuk Ae. albopictus jenis dewasa betina sekitar 400-600
meter, sedangkan jenis Ae.aegypti dapat terbang sekitar jarak 200 meter. Disisi
lain, kebiasaan mencari makanAe.albopictus yang suka menggigit darah hewan
memungkinkan species ini menularkan virus dengue dari kera ke manusia dan
sebaliknya. Perkawinan species ini terjadi di udara, satu kali kopulasi sudah cukup
untuk menyebarkan bibit telur. Perkawinan terjadi sebelum atau sesudah
menghisap darah pertama kali (Djakaria,2004).
2.2.3 Siklus Hidup
Siklus hidup nyamuk Ae. aegypti dan Ae.albopictus dibagi menjadi 4 siklus
yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa sehingga termasuk jenis metamorfosis
sempurna (Soegeng,2006)
a. Telur
Gambar 1. Telur Ae. aegypti (Dept.medical entomotology, 2002)
Waktu pertama kali menetas telur nyamuk berwarna putih, kemudian akan
berubah warna menjadi hitam setelah 30 menit. Berdasarkan penelitian Brown
(1962) telur nyamuk akan menetas dalam waktu 1-3 hari pada air dengan suhu
30º, tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama ketika suhu mencapai suhu 16ºC.
7
Pada hari pertama, telur akan menetas sekitar 80% dan pada hari kedua jika
tempat penetasan dalam suhu dan kondisi yang normal, maka akan menetas
sekitar 95%. Saat diamati di bawah mikroskop akan tampak bentukan seperti
sarang di bagian luarnya (exochorion) telur nyamuk Aedes sp. tersebut(Sudart,
1972).
Telur Ae. albopictus dan Ae. aegypti dapat bertahan selama berbulan-
bulan dalam kondisi yang kering atau pengeringan dengan intenitas dan durasi
yang berbeda. Saat musim hujan tiba, nyamuk ini akan menetas dalam beberapa
menit namun ada pula beberapa yang membutuhkan waktu lebih lama untuk
menetas. Setelah menetas, besar kemungkinan nyamuk ini akan menyebar dalam
beberapa hari atau minggu seseudahnya. Nyamuk Ae. albopictus membutuhkan
peresapan air sebelum dapat bertahan dalam pengeringan dan temperatur yang
rendah dalam jangka lama (Service, 1996).
Meskipun usia telur sama tetapi waktu penetasan masing-masing telur
berbeda tergantung pada waktu yang dibutuhkan telur untuk masak sesudah
ditelurkan oleh induknya dan tergantung temperatur masa perkembangan
selanjutnya. Waktu terpendek antara menghisap darah dan bertelur untuk
pertama kali adalah 7 hari pada suhu suhu 21ºCdan 3 hari pada suhu28ºC.
Penahanan telur yang sudah matang agaknya berhubungan dengan keadaan
dasar tempat bertelur(Service, 1996).
Telur ditempatkan di wadah yang terdapat genangan air seperti kaleng,
botol, guci atau wadah hujan. Ban mobil juga bisa untuk menetas telur dan
menjadi habitat yang baik untuk larva serta tempat istirahat saat stadium dewasa.
Di negara dengan iklim tropis, larva dapat ditemui di lubang pohon yang besar.
Telur Ae. aegypti dapat menahan pengeringan hingga 1 tahun. Telur tersebut akan
menetas setelah terdapat banjir atau air (Womackmedical record,1993).
8
b. Larva
Gambar 2. Larva nyamuk Ae. aegypti (Russell, 2000)
Setelah menetas telur akan berkembang menjadi larva (jentik-jentik). Pada
stadium ini kelangsunganhidup larva dipengaruhi suhu,pH air perindukan,
ketersediaan makanan, cahaya, kepadatan larva,lingkungan hidup, serta adanya
predator. Berikut ini adalah ciri-ciridari larva Ae. aegypti:
a)Adanya corong udara (siphon) pada segmen terakhir. Pada corong udara
tersebut memiliki pecten serta sepasang rambut dan jumbai.
b) Pada segmen-segmen abdomen tidak dijumpai adanya rambut-rambut
berbentuk kipas (palmate hairs).
c)Pada setiap sisi abdomen segmen kedelapan ada comb scale sebanyak
8–21 atau berjejer 1–3 .
d)Bentuk individu dari comb scale seperti duri.
e)Pada sisi thorax terdapat duri ang panjang dengan bentuk kurva dan
adanya sepasang rambut di kepala (Agung,1985).
Larva Ae. aegypti memiliki gerakan yang lincah dengan berderak keatas
permukaan air lalu kembali ke dasar wadah, gerakan ini dilakukan berulang-ulang.
Makanan larva berada di dasar wadah sehingga larva nyamuk ini sering disebut
9
dengan (bottom feeder). Makanannya terdiri dari mikroorganisme,
detritus,alga,protista,daun,dan invertebrata hidup danmati. Pada larva
Ae.albopictus makanan yang mengandung protein lebih disukai daripada yang
mengandung hidrat arang(Beaty, 1996). Pada saat mengambil oksigen di
permukaan air, larva akan memunculkan corongnya di permukaan air seolah olah
membentuk sudut dengan permukaan air (Kusnidar,1990).
Larva nyamuk Ae.aegypti mengalami pergantian kulit selama 4 kali. Larva
instar I memiliki panjang 1-2 mm, tubuh transparan, siphon masih transparan,
tumbuh menjadi larva instar II dalam 1 hari. Larva intar II memiliki panjang 2,5 –3,9
mm, siphon agak kecoklatan, tumbuh menjadi larva instar III selama 1-2 hari.
Larva instar III berukuran panjang 4-5 mm, siphon sudah berwarna coklat, tumbuh
menjadi larva instar IV selama 2 hari. Larva instar IV berukuran 5-7 mmm sudah
terlihat sepasang mata dan sepasang antena, tumbuh menjadi pupa dalam 2-3
hari. Larva ini saat istirahat memberntuk sudut 45 0 terhadap permukaan air
(Depkes RI, 2007).
10
c. Pupa
Gambar 3. Pupa Nyamuk Ae.aegypti (Dept.medical entomotology, 2002)
Larva instar akan berubah menjadi pupa yang berbentuk bulat gemuk mirip
seperti tanda koma. Pada pupa terdapat kantong udara yang terletak di antara
bakal sayap nyamuk dewasa dan terdapat sepasang sayap pengayuh yang saling
menutupi sehingga memungkinkan pupa untuk menyelam cepat dan mengadakan
serangkaian jungkiran sebagai reaksi terhadap rangsangan. Pada saat stadium
pupa ini, tidak membutuhkan makanan sampai terbentuk nyamuk dewasa.
Nyamuk dewasa terbentuk di selongsong pupa, adanya gelembung udara di
dalam selongsong pupa dapat meningkatkan tekanan internal dan membagi
selongsong sepanjang garis belahan dada. Nyamuk dewasa akan muncul dari
selongsong yang robek dan dapat terbang setelah 10-15 menit (Beaty, 1996).
Pada punggung pupa terdapat terompet yang digunakan sebagai alat
napas. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang menjumbai
panjang dan bulu di ruas ke-7 dan ruas ke-8 yang tidak bercabang. Waktu
istirahat, posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air (Soegeng,2006).
11
d. Dewasa
Gambar 4. Nyamuk Dewasa Ae. aegypti (Dept.medical entomotology,
2002)
Tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3 bagian, yaitu kepala (caput), dada
(thorax) dan perut (abdomen). Badan nyamuk berwarna hitam dan memiliki
bercak dan garis-garis putih dan tampak sangat jelas pada bagian kaki dari
nyamuk Ae. aegypti. Tubuh nyamuk dewasa memiliki panjang 5 mm. Pada bagian
kepala terpasang sepasang mata majemuk, sepasang antena dan sepasang palpi,
antena berfungsi sebagai organ peraba dan pembau. Pada nyamuk betina, antena
berbulu pendek dan jarang (tipe pilose). Sedangkan pada nyamuk jantan, antena
berbulu panjang dan lebat (tipe plumose). Thorax terdiri dari 3 ruas, yaitu
prothorax, mesotorax, dan methatorax. Pada bagian thorax terdapat 3 pasang kaki
dan pada ruas ke 2 (mesothorax) terdapat sepasang sayap. Abdomen terdiri dari 8
ruas dengan bercak putih keperakan pada masing-masing ruas. Pada ujung atau
ruas terakhir terdapat alat kopulasi berupa cerci pada nyamuk betina dan
hypogeum pada nyamuk jantan (Depkes RI,2007).
12
Perbandingan jumlah nyamuk jantan dan betina sebesar 1:1.
Nyamukjantan keluar terkebih dahulu dari kepompong lalu disusul dengan nyamuk
betina. Setelah keluar , nyamuk jantan akan tinggal disekitar kepompong sampai
nyamuk betina keluar lalu kawin sebelum pergi menghisap darah. Nyamuk betina
hanya kawin sekali selama hidupnya(Hoedojo dan Zulhasril,2008).
Nyamuk betina memiliki probosis yang lebih panjang dibanding dengan
nyamuk jantan, karena berfungsi untuk menghisap darah manusia. Nyamuk jantan
lebih suka menghisap saribunga atau tumbuhan yang mengandung gula. Nyamuk
betina suka menghisap darah manusia karena membutuhkan protein untuk
pembentukan telur agar menetas jika dibuahi oleh nyamuk jantan. Setelah dibuahi
nyamuk betina akan mencari tempat hinggap di tempat-tempat yang agak gelap
dan lembab sambil menunggu pembentukan telurnya, setelah menetas telurnya
diletakkan pada tempat yang lembab dan basah seperti di dinding bak mandi,
kelambu, dan kaleng-kaleng bekas yang digenangi air (Hoedojo dan
Zulhasril,2008).
2.3 Habitat
Nyamuk Ae. aegypti hidup disekitar rumah (domestik)dan lebih sering
hidup di perkotaan. Nyamuk ini memiliki tempat hidup yang sangat erat dengan
manusia.Sedangkan nyamuk Ae. albopictus lebih sering tinggal di perkebunan dan
di rawa rawa(Soegeng,2006).
Penyebaran nyamuk Ae. aegypti adalah dengan bantuan manusia, karena
nyamuk ini hanya dapat terbang sekitar 40-100 meter saja. Meski kadang kadang
nyamuk ini juga bisa terbang sampai jarak 2 km, namun dikarenakan mencari
tempat perindukan untuk meletakkan telurnya di daerah lain. Namun, hal ini jarang
terjadi jika dilingkungannya sudah tercukupi 3 hal ini yaitu tempat perindukan,
tempat mendapatkan darah manusia, dan tempat istirahat(Sudarto, 2010).
13
2.3.1 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti
1. Kebiasaan menggigit (Feeding Habit)
Nyamuk Ae. aegypti betina bersifat anthropofilik, karenanya lebih menyukai
darah manusia daripada darah binatang. Nyamuk Ae. aegypti betina menghisap
darah dengan tujuan mematangkan telur dalam tubuhnya. Nyamuk Ae. aegypti
hidup di dalam dan sekitar rumah sehingga makanan yang diperoleh semuanya
sudah tersedia. Boleh dikatakan bahwa nyamuk betina sangat menyukai darah
manusia (anthropofilik) dari pada darah binatang. Kebiasaan menghisap darah
terutama pada pagi hari jam 08.00 – 12.00 dan sore hari jam 15.00 – 17.00.
Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-
kali dari satu indiviu ke individu yang lain (Djakaria,2006).
Hal ini disebabkan pada siang hari orang sedang aktif, sehingga nyamuk yang
menggigit seseorang belum tentu kenyang. Orang tersebut sudah bergerak,
nyamuk terbang menggigit orang lagi sampai cukup darah untuk pertumbuhan dan
perkembangan telurnya. Pada nyamuk perkotaan lebih suka menggigit pada waktu
siang hari (90%) dan waktu malam (10%). Nyamuk desa hanya menggigit siang
saja. Kejadian tersebut kemungkinan juga sinar lampu di perkotaan ikut
mempengaruhi kebiasaan menggigit (Hasan,2006).
2. Kebiasaan/ perilaku Istirahat (Resting Habit)
Ae. aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan
tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar
mandi, kamar kecil, maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah,
di tumbuhan, atau di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan
istirahat yang mereka suka adalah di bawah furnitur, benda yang tergantung
seperti baju dan korden, serta di dinding. Kebiasaan hinggap istirahat, lebih
banyak di dalam rumah, yaitu benda-benda yang bergantungan, berwarna gelap,
14
dan tempat-tempat lain yang terlindung, juga di dalam sepatu. Keadaan inilah
yang menyebabkan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi(Ditjen PPM&PL,
2001).
3. Tempatberkembangbiak nyamuk Ae. aegypti
Tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti adalah tempat
penampungan air bersih di dalam rumah ataupun berdekatan dengan rumah, dan
air bersih tersebut tidak bersentuhan langsung dengan tanah (Ditjen
PPM&PL,2002). Tempat perkembangbiakan tersebut berupa:
a. Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat menampung air guna
keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC dan ember.
b. Bukan tempat penampungan air (non TPA) yaitu tempat - tempat yang
biasa digunakan untuk menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari
seperti tempat minum hewan piaraan, kaleng bekas, ban bekas, botol, pecahan
gelas, vas bunga dan perangkap semut.
c. Tempat penampungan air alami (TPA alami/natural) seperti lubang
pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon
pisang dan potongan bambu.
2.4 Pengendalian Vektor Nyamuk
Beberapa usaha pencegahan dan pengendalian terhadap serangan
nyamuk demam berdarah dengue tidak akan berjalan jika dilakukan secara
simultan dan terpadu. Jika salah satu lingkungan saja tidak ikut berpatisipasi,
lingkungan tersebut bisa menjadi sumber infeksi serangan nyamuk demam
berdarah. Usaha-usaha pencegahan dan pengendalian yang bisa dilakukan
sebagai berikut (Kardinan,2007).
15
1. Pencegahan
Usaha ini dilakukan dengan menggunakan repellent atau pengusir, misalnya lotion
yang digosokkan ke kulit sehingga nyamuk takut mendekat. Banyak bahan
tanaman yang bisa dijadikan lotion anti nyamuk. Hal ini yang dapat dilakukan
untuk mengusir nyamuk adalah menanam tanaman yang tidak disukai serangga,
termasuk nyamuk Ae. aegypti. Tanaman ini bisa diletakkan di sekitar rumah atau
di dalam rumah.
2. Pengendalian
Pengendalian vektor adalah semua usaha yang dilakukan untuk menurunkan atau
menekan populasi vektor pada tingkat yang tidak membahayakan kesehatan
masyarakat (Putranto, 2000). Menurut data dari Direktorat Pemberantasan
Penyakit Menular, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, keberhasilan
pencegahan penyakit DBD sangat bergantung pada pengendalian vektornya, yaitu
Ae. Aegypti/Ae. albopictus (Bermawie, 2006). Pengendalian nyamuk tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
a. Secara Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), misalnya sarang nyamuk dengan cara
mengeringkan genangan air yang menjadi tempat berkembangbiaknya, membakar
sampah yang menjadi tempat lalat bertelur dan tempat-tempat persembunyian
serangga pengganggu(Soedarto, 1992).
16
b. Secara Biologi
Pengendalian secara biologi adalah pengendalian serangga dengan
menggunakan predator (binatang pemangsa serangga), menyebarkan parasit
penyebab penyakit pada serangga dengan tujuan untuk menurunkan populasinya
secara alami tanpa mengganggu ekologi (Soedarto, 1992). Contoh Predator
tersebut terdiri dari Ikan pemakan larva yaitu ikan kepala timah, cupang dan
gambus yang sudah semakin banyak digunakan untuk mengendalikan nyamuk
Ae. aegypti di kumpulan air yang banyak atau di kontainer air yang besar, bakteri
penghasil endotoksin yaitu Bacillus Thuringies serotipe H-14 (Bt: H-14) dan
Bacillus sphaericus(Bs) adalah efektif untuk mengendalikan nyamuk.
c. Secara Kimia
Bahan kimia yang banyak digunakan dalam pemberantasan Ae. aegypti
ialah golongan organophospat. Malathion digunakan untuk memberantas nyamuk
dewasa, sedangkan temephos digunakan untuk jentiknya. Malathion digunakan
dengan cara pengasapan (fogging), karena kebiasaan beristirahat Ae. aegypti
ialah pada benda yang bergantungan. Temephos yang biasa digunakan
berebentuk butiran pasir (sandgranules) dan ditaburkan di tempat penampungan
air. Penggunaan larvasida ini dalam posisi 1 ppm mampu mencegah infestasi
jentik Ae. aegypti selama 2 - 3 bulan. Pengaruh residu temephos ini disebabkan
karena bahan aktifnya dilepas secara perlahan (slow release) dan menempel pada
pori – pori dinding sebelah dalam dari tempat penampungan air(Soedarto, 1992).
17
2.1.7 Suhu
Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi
kelangsungan hidup serta populasi nyamuk di lingkungan. Rata-rata suhu optimum
untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25°-27°C. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti
sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C (Sugito, 1990).
2.5 Kelembaban
Kelembaban udara sangat mendukung dalam kelangsungan hidup nyamuk
mulai dari telur, larva, pupa hingga dewasa. Kelembaban yang sesuai adalah
sekitar 70% - 89% (Jumar, 2000).
2.6 Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti
Faktor yang mempengaruhi kepadatan hidup nyamuk adalah suhu, pH air tempat
perindukan, ketersediaan makanan, cahaya, lingkungan hidup dan adanya faktor
predator. Selain itu, cara pengambilan telur seperti rusak atau tidaknya telur
mempengaruhi perkemabangan nyamuk Aedes sp. Dan terakhir kemungkinan
adanya telur infertil (Iskandar,1985).
Faktor yang sering dijumpai sebagai pengahambat perkembangan nyamuk
adalah pH air . pH paling optimal untuk perkembangan nyamuk Aedes sp adalah
sekitar 6,5-7, sehingga jika pH terlalu asam atau basa maka akan menghambat
pertumbuhan nyamuk ini. Kandungan oksigen yang terlarut juga berpengaruh
terhadap perkembangan larva nyamuk. Dibutuhkan oksigen sekitar 7,9 mg/l
dengan suhu media sekitar 28 derajat celcius untuk berkembang secara optimal.
Kandungan zat kimia dalam air ternyata juga turut mempengaruhi daya tetas
Aedes sp, sebuah penelitian menemukan bahwa air yang diberi penjernih air
(tawas) membuat penetasan telur Aedes sp menjadi terhambat(Yuliana, 2008).
18
Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk.Rata-rata suhu
optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25 derajat celcius –27derajat celcius
dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10
derajat celcius atau lebih dari 40derajat celcius (Mardihusodo,1988).
2.7.0 Ukuran Kepadatan Vektor
Untuk mengetahui jumlah vektor nyamuk, maka dapat dilakukan survei
berupa survei nyamuk, survei jentik dan survei perangkap telur, namun dalam hal
ini hanya akan dibahas tentang survei jentik nyamuk. Survei jentik dilakukan
dengan pemeriksaan terhadap semua tempat air didalam dan diluar rumah dari
seratus rumah yang diperiksa di suatu daerah dengan mata telanjang untuk
mengetahui ada tidaknya jentik (Depkes RI, 2005).
2.7.1 Cara Survei Jentik
Survei jentik nyamuk Ae. aegypti dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Depkes RI, 2005):
a.Semua tempat yang dapat menampung air untuk keperluan manusia atau
bejana yang memungkinkan tempat bersarangnya jentik nyamuk dapat diperiksa
dengan mata telanjang.
b.Saat memeriksa Tempat Penampungan Air (TPA) yang berukuran besar,
seperti: bak mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan air lainnya pada
penglihatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira 1 menit untuk
memastikan bahwa benar jentik tidak ada.
c.Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti: vas
bunga atau pot tanaman air atau botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu
dipindahkan ke tempat lain.
19
d.Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh, biasanya
digunakan senter.
2.7.2 Metode Survei Jentik
Metode survei jentik dapat dilakukan dengan cara (Depkes RI, 2005):
a. Single larva : cara ini digunakan pada kontainer yang ditemukan adanya
jentik nyamuk, yaitu dilakukan dengan mengambil satu sampel jentik
nyamuk dengan gayung atau pipet panjang jentik, lalu dimasukkan
kedalam botol kecil dan diberi label. Setelah itu dilakukan pemeriksaan
terhadap jenis jentik nyamuk tersebut. Pemeriksaan jentik ini
menggunakan (Ditjen PP & PL, 2008).
b. Visual: Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di
setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Biasanya dalam
program DBD menggunakan cara visual (Ditjen PP & PL, 2008).
2.7.3 Ukuran Kepadatan Jentik Aedes
Ukuran yang digunakan untuk mengetahui kepadatan jentiknyamuk
diantaranya adalah :(HI, BI dan CI)
a.House Indeks (HI)
House Indeks (HI) adalah persentase rumah yang ditemukan jentik yang dilakukan
di semua desa/kelurahan oleh petugas pada rumah-rumah penduduk yang
diperiksa secara acak.
HI = jumlah rumah yang terjangkit larva × 100 % =
Jumlah rumah yang di periksa
20
b.Container Indeks (CI)
Container Indeks (CI) adalah persentase jumlah kontainer yang ditemukan jentik di
rumah-rumah penduduk yang diperiksa secara acak.
CI = jumlah container yang terjangkit larva/pupa × 100%=
Jumlah container yang diperiksa
c.Breteau Indeks (BI)
Breteau Indeks (BI) adalah jumlah kontainer yang terdapat jentik dalam 100
rumah.
BI= jumlah kontainer yang terdapat jentik ×100 RMH
Jumlah rumah yang diperiksa
Dengan indikator HI, CI dan BI dapat diketahui ABJ
d. Angka Bebas Jentik (ABJ)
Angka Bebas Jentik adalah persentase pemeriksaan jentik yang dilakukan
di semua desa/kelurahan oleh petugas pada rumah-rumah penduduk yang
diperiksa secara acak.
ABJ= jumlah rumah yang bebas jentik × 100 %
Jumlah rumah yang diperiksa
2.8 Faktor faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik aegypti
1. Pelaksanaan PSN DBD
PSN DBD adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk
penular DBD ( Ae. aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, bahwa terdapat hubungan antara PSN DBD
dengan keberadaan jentik dimana penelitian tersebut dilakukan di kecamatan
21
Pedurung Kota Semarang tahun 2007. Pada penelitian tersebut nilai proporsi ABJ
sebesar 0,93 (Syarifah, 2007). Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah
Dengue (PSN DBD) dilakukan dengan cara :
a. Fisik : cara ini dikenal dengan kegiatan 3M : yaitu menguras (dan
menyikat) bak mandi, bak wc, dan lain lain. Menutup tempat penampungan
air rumah tangga (tempayan, drum, dll). Mengubur, menyingkirkan atau
memusnahkan barang barang bekas (seperti kaleng, ban, dll).
b. Kimia: cara memberantas jentik Ae. aegyptidengan menggunakan
insektisida pembasmi jentik (larvasida) ini antara lain dikenal dengan istilah
larvasidasi. Larvasida yang digunakan adalah granules (sand granules).
Dosis yang digunakan 10 gram (1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter
air). Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan.
c. Biologi : cara ini dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala
timah, ikan gupi, ikan cupang, dll). Dapat juga dengan menggunakan
Bacillus thuringiensis
2. Macam tempat perindukan buatan Ae. aegypti
Sumber utama perkembangbiakan Ae. aegypti sebagian besar daerah
pedesaan Asia Tenggara adalah di wadah-wadah penampungan air untuk
keperluan rumah tangga, termasuk wadah dari keramik, tanah liat dan bak semen
yang berkapasitas 200 liter, tong besi yang berkapasitas 210 liter (50 galon), dan
wadah yang lebih kecil sebagai tempat penampungan air bersih atau hujan.
Wadah penampungan air harus dituutp dengan penutup yang rapat atau kasa.
Setelah air digunakan, wadah tetap dijaga agar tertutup. Cara ini cukup efektif
seperti yang dilakukan di Thailand (Depkes RI, 2003).
Menurut Sutaryo pada tahun 2005, macam TPA yang berada di rumah meliputi
tandon air, tower, bak mandi, padasan, cadangan air di taman, air jebakan semut
22
yang berpeluang untuk tempat perkembangbiakan jentik nyamuk. Macam TPA
untuk keperluan sehari hari meliputi drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi
atau WC dan ember.
Menurut Hasyimi dan Sukirno (2004) TPA rumah tangga yang paling banyak
ditemukan jentik atau pupa Ae.aegypti adalah TPA rumah tangga yang berasal
dari bahan dasar logam dan tempayan.
3. Sampah Padat
Sampah padat, kering seperti kaleng, botol ember atau sejenisnya yang
tersebar di sekitar rumah harus dipindahkan dan dikubur di dalam tanah. Sisa
material di pabrik dan gudang harus disimpan sebaik mungkin sebelum
dimusnahkan. Perlengkapan rumah dan alat perkebunan (ember, mangkok dan
alat penyiram) harus disimpan terbalik untuk mencegah tertampungnya air hujan.
Sampah tanaman (tempurung kelapa, kulit ari, coklat harus dimusnahkan segera.
Ban mobil bekas merupakan tempat perkembangbiakan utama jentik nyamuk Ae.
aegypti di perkotaan, sehingga menjadi masalah kesehatan. Botol, kaca, kaleng
dan wadah kecil lainnya harus dikubur di dalam tanah atau dihancurkan dan
didaur ulang untuk keperluan industri (Depkes RI, 2003).
2.9 Kontainer
Telur, larva dan pupa nyamuk Ae.aegypti tumbuh dan berkembang di
dalam genangan air seperti pada kontainer. Kontainer adalah Tempat
Penampungan Air (TPA) atau bejana yang digunakan sebagai tempat perindukan
nyamuk Aedes aegypti (Depkes RI, 2003).
23
a. Karakteristik Kontainer
Karakteristik kontainer disini terdiri dari bahan kontainer, letak kontainer,
volume kontainer, keberadaan penutup kontainer, kebersihan kontainer , sumber
air kontainer dan frekuensi membersihkan kontainer.
1. Bahan dan Jenis kontainer
Pemilihan tempat bertelur nyamuk Ae. aegypti dipengaruhi oleh bahan
kontainer karena telur diletakkan menempel pada dinding tempat penampungan
air (Depkes RI, 2004). Bahan dasar kontainer berpengaruh terhadap keberadaan
jentik Ae. aegypti seperti semen, logam, tanah, keramik dan plastik. Berdasarkan
penelitian sebelumnya, semen memiliki jumlah jentik yang lebih banyak dibanding
bahan dasar kontainer lainnya. Hal ini terjadi karena bahan semen mudah
berlumut,permukaannya kasar dan terdapat pori-pori pada dindingnya. Permukaan
kasar memiliki kesan sulit dibersihkan, mudah ditumbuhi lumut dan refleksi cahaya
yang rendah. Refleksi cahaya yang rendah dan permukaan dinding yang berpori-
pori mengakibatkan suhu dalam air menjadi rendah. Sehingga membuat nyamuk
lebih suka menempatkannya di dalam kontainer tersebut (Hadrah dan
Hidayah,2011).
Jenis kontainer juga sangat mempengaruhi kepadatan jentik nyamuk. Jenis
kontainer yang sering digunakan oleh masyarakat seperti tempayan, drum, bak
mandi dan ember. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hasyimi dan
Mardjan (2004) terhadap jenis kontainer, dari 325 kontainer yang diidentifikasi
yang paling banyak terdapat jentik Ae. egypti adalah tempayan(6 buah; 66,7%),
diikuti drum (95 buah; 32,6%), bak mandi (112 buah; 18,8%) dan ember (93 buah;
5,4%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan diatas menunjukkan adanya
perbedaan jentik nyamuk berdasarkan jenis kontainernya.
24
2. Letak kontainer
Letak kontainer merupakan keadaan dimana kontainer diletakkan baik di
dalam maupun di luar rumah. Hal ini memiliki peranan yang penting terhadap
perindukan nyamuk Ae. aegypti. Kontainer yang terletak di dalam rumah
berpeluang lebih besar untuk terdapat jentik(Singh et al,2011). Kontainer di dalam
rumah 76,24%lebih banyak terdapat jentik Ae. aegypti daripada di luar rumah. Hal
ini sesuai dengan kesukaan nyamuk aegyptiuntuk beristirahat di tempat-tempat
yang gelap, lembab dan tersembunyi yaitu di dalam rumah atau bangunan yang
terlindung dari sinar matahari secara langsung (Ganda,2002).
3. Keberadaan penutup kontainer
Keberadaan penutup kontainer erat kaitannya dengan keberadaan jentik
Ae. egypti. Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan pengelolaan
lingkungan hidup yaitu 3M salah satunya dilakukan dengan menutup kontainer
rapat-rapat agar nyamuk tidak dapat masuk untuk meletakkan telurnya (Depkes
RI, 2003). Nyamuk Ae. aegypti akan mudah untuk meletakkan telurnya pada
kontainer yang terbuka. Ada kecenderungan yang signifikan 84% kontainer yang
terbuka menyebabkan nyamuk bebas masuk ke dalam kontainer untuk
berkembangbiak sedangkan kontainer yang tertutup memiliki peluang lebih kecil
yaitu 7% terdapat jentik (Hasyimi dkk, 2009).
4. Volume kontainer
Nyamuk Ae. aegypti meletakkan telurnya pada batas air atau sedikit di atas
batas air pada dinding kontainer, jarang sekali di bawah permukaan air, serta tidak
akan meletakkan telurnya bila di dalam kontainer tidak terdapat air (Depkes RI,
25
2007). Knox Et al dalam Fock and Alexander(2006) menyatakan bahwa ada
hubungan antara volume kontainer dengan jumlah jentik yang dihasilkan. Hal ini
berarti kontainer dengan volume besar (>50 liter) akan menjadi tempat perindukan
jentik yang secara epidemiologi mempunyai arti yang penting. Hal ini dikarenakan
pada kontainer dengan ukuran besar, air yang berada di dalamnya cukup lama
sehingga sesuai untuk tempat perindukan telur ataupu jentik nyamuk.
4. Sumber air Kontainer
Sumber air kontainer yang dimaksudkan adalah asal darimana air yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang ditampung pada
kontainer, baik berasal dari air sumur sumur gali/artetis dan air PDAM.
Tersedianya air dalam wadah akan menyebabkan telur nyamuk Ae. aegypti
menetas dan setelah 10-12 hari berubah menjadi nyamuk. Ada perbedaan jenis
sumber air terhadap jumlah jentik, jenis sumber air yang paling disenangi nyamuk
Ae. aegypti sebagai tempat perkembangbiakannya adalah air sumur gali dan yang
paling tidak disenangi adalah air PDAM (Damanik, 2002).
26
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
1.1 Kerangka konsep
Keterangan: HI : House Index BI : Bretau Index CI : Kontainer Index Bold : Yang diteliti
1.2 Penjelasan Kerangka Konsep
pH
air
Jenis dan
bahan
kontainer
Sumber air Lokasi
Kontainer
Suhu
Keberadaan jentik nyamuk
Jenis Jentik nyamuk
Kepadatan Jentik Nyamuk
(HI, BI, CI) PSN DBD
(Pemberantasan
sarang nyamuk demam
berdarah Dengue) Kejadian DBD
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan jentik nyamuk seperti
jenis dan bahan kontainer, suhu, lokasi kontainer, pH air dan sumber air. Keberadaan
jentik nyamuk berhubungan dengan kepadatan jentik nyamuk. Kepadatan jentik nyamuk
dapat diukur melalui HI, BI dan CI. Tujuan mengetahui HI, BI dan CI adalah untuk
mengurangi angka kejadian DBD dengan cara memberantas sarang nyamuk, sehingga
angka kepadatan jentik nyamuk berkurang.
Jenis dan bahan kontainer adalah salah satu variabel yang diteliti. Jenis dan
bahan kontainer merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan jentik
nyamuk. Peneliti mengelompokkan jenis kontainer menjadi bak mandi, ember, kolam,
dispenser, kulkas, pot, saluran air, drum dan panci / tempayan. Bahan kontainer
dikelompokkan menjadi tanah, plastik, keramik dan logam.
Hasil penelitian berupa jentik nyamuk akan di teliti lebih lanjut dan akan
diidentifikasikan jenis jentiknya. Tujuan untuk mengidentifikasikan jentik nyamuk adalah
untuk mengetahui jenis jentik nyamuk yang paling banyak dan sedikit ditemukan.
Identifikasi jentik nyamuk bermanfaat untuk mengurangi angka kejadian DBD di daerah
tersebut.
3.3 Hipotesa Penelitian
Dari kerangka konsep diatas,maka didapatkan hipotesis penelitian,yaitu :
3.3.1 Hipotesa
1. Terdapat perbedaan persentase keberadaan jentik nyamuk di kontainer
menurut jenis kontainer.
2. Perbedaan persentase keberadaan jentik nyamuk di kontainer menurut bahan
kontainer.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional ini dilakukan
dengan melakukan pengamatan terhadap jenis kontainer serta keberadaan kontainer positif
jentik nyamuk di wilayah Puskesmas Dinoyo Kota Malang Tahun 2017. Desain yang
digunakan adalah survei khususnya survei entomologi.
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian
4.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah yang ditinggali dan berada di
Kelurahan Sumbersari Wilayah Puskesmas Dinoyo Kota Malang.
4.2.2 Sampel
Besar sampel penelitian ini adalah sebesar 100 rumah yang berada di Kelurahan
Sumbersari, yang mengacu pada pedoman/standar yang ditetapkan oleh Riset Khusus
Vektor dan Reservoir Penyakit B2P2VRP Salatiga (Depkes, 2015).
4.2.3 Prosedur dan Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel menggunakan multistage sampling. Sampel pertama
dipilih dengan cara diundi secara acak untuk dijadikan objek observasi. Langkah
pengambilan sampel adalah:
1. Dipilih satu Kelurahan Sumbersari karena memiliki angka prevalensi kejadian DBD
yang tinggi di Kota Malang.
2. Dipilih RW satu dengan sistem diundi secara purposif kasus DBD terbanyak.
3. Dipilih RT 1,2,3,5,10 berdasarkan simple random sampling atas saran dari kader
jentik nyamuk di Kelurahan Sumbersari dengan alasan lokasi yang mudah dijangkau
dan berdekatan.
4. Dipilih rumah warga yang bersedia untuk di survei hingga jumlahnya terpenuhi 100
sampel.
Pengambilan sampel dikelompokkan dalam kriteria berikut:
a.Kriteria inklusi
1)Rumah yang terletak di Kelurahan Sumbersari wilayah Puskesmas Dinoyo
Kota Malang tahun 2017.
2)Bersedia sebagai sampel.
3)Rumah yang terdapat kontainer untuk keperluan sehari hari atau untuk
menyimpan air.
b.Kriteria eksklusi
1) Rumah yang memiliki kontainer yang terdapat ikan pemakan jentik.
4.2 Variabel Penelitian
4.2.1 Variabel Bebas
Variabel independen (variabel bebas) adalah variabel yang dapat memberikan
perubahan pada variabel dependen (variabel tergantung) bila variabel ini dirubah. Dalam
penelitian ini adalah jeniskontaineryang digunakan baik diluar maupun di dalam rumah.
4.2.2 Variabel Tergantung (dependen)
Variabel tergantung (variabel dependen) adalah variabel yang dapat berubah akibat
perubahan pada variabel bebas. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah keberadaan
jentik nyamuk pada kontainer.
4.3 Definisi Operasional
Tabel 4.3 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Skala
1. Variabel bebas : Jenis Kontainer
Tempat penampungan air yang dapat digunakan untuk menyimpan air baik untuk keperluan sehari hari atau tidak.
-Formulir pada lampiran 3 -Kamera
jenis kontainer (bak mandi, ember, kolam, dispenser, kulkas,pot, saluran air, panci/tempayan)
Nominal
Variabel terikat :
2. Keberadaan jentik nyamuk di kontainer .
Jumlah kontainer yang positive jentik nyamuk per seluruh jumlah sampel kontainer yang di periksa.
-Formulir di lampiran 3 -senter
Dalam presentase
Numerik
3. Jenis jentik nyamuk Macam jentik nyamuk berdasarkan spesiesnya.
Mikroskop Aedes aegypti, Aedes albopictus,Culex sp., pupa
Nominal
4. House Index Jumlah rumah positif jentik / seluruh rumah yang diperiksa.
-Alat hitung kalkulator
Dalam Persentase
Numerik
5. Breteau index jumlah kontainer dengan larva dalam seratus rumah
-Alat hitung kalkulator
Dalam persentase
Numerik
6. Container Index jumlah kontainer yang ditemukan larva dari seluruh kontainer yang diperiksa
-Alat hitung kalkulator
Dalam persentase
Numerik
4.4 Cara Kerja dan Pengumpulan Data
4.4.1 Observasi di lapangan
1. Dipilih rumah yang akan diperiksa dengan menggunakan undian.
2. Jenis kontainer,bahan, letak, keberadaan penutup dan kondisi kontainer pada tiap
rumah diperiksa baik di dalam maupun di luar rumah.
3. Melakukan wawancara dengan tuan rumah sesuai dengan kuisioner dari
Rhikusvektora.
4. Keberadaan jentik pada tiap kontainer diperiksa menggunakan metode pengambilan
jentik nyamuk. Jika ditemukan jentik pada kontainer maka sebagian jentik akan diambil
dengan cidukan (gayung plastik) atau menggunakan pipet panjang kemudian jentik
dtempatkan dalam botol dan diberi label.
5. Identifikasi jentik nyamuk dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis
4.4.2 Metode pengambilan jentik nyamuk.
a) Semua alat dan bahan disiapkan. Identitas rumah yang akan diperiksa
kontainernya diisikan pada formulir pada lampiran 3.
b) Pemeriksaan jentik dilakukan di kontainer yang terletak di dalam dan luar
rumah pada 100 sampel rumah dengan lampu senter. Kontainer yang
diperiksa antara lain bak mandi, gentong, ember, penampungan kulkas,
penampungan dispenser, perangkap semut, vas bunga,dll.
c) Selain mencatat jenis kontainer, bahan kontainer juga dicatat dalam formulir
lampiran 3.
d) Alat pengambilan jentik berupa gayung dan pipet lalu dimasukkan di dalam
botol yang sudah diberi label.
e) Botol jentik diberi label lokasi, tanggal dan jenis serta bahan kontainer.
4.4.3 Metode pemeriksaan jentik:
a) Sebelum melakukan pengamatan jentik nyamuk, jentik dimatikan dengan air panas
di dalam suatu wadah dan disimpan kembali di dalam botol yang sudah diberi label.
b) Mengambil jentik dari botol plastik yang sudah diberi label dengan pipet tetes
b) Meletakkan jentik pada object glass menggunakan pipet dalam posisi
telungkupkemudian tutup menggunakan deck glass.
c) Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 sampai 40 kali.
d) Menentukan spesies Aedes aegypti dan Aedes albopictus
dengan menggunakan kunci identifikasi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictusberdasarkan panduan dari Rhikusvektora.
f) Mencatat hasil pengamatan jentik nyamuk.
4.5 Materi dan Instrumen Penelitian
4.5.1 Materi Penelitian
Materi yang digunakan adalah :
1. Formulir pada lampiran 3.
2. Alat tulis menulis (spidol, pensil, penghapus, gunting).
4.5.2 Peralatan Penelitian
1. Pipet
2. Botol jentik
3. Kertas label
4. Lampu senter
5. Mikroskop
4.6 Jadwal Waktu Pelaksanaan Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada siang sampai sore hari sekitar pukul 09.00-15.00 WIB ,
karena pada pukul ini adalah waktu yang tepat untuk mengadakan pengamatan dan
pengambilan sampel air yang berasal dari kontainer.
4.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
4.7.1 Teknik Pengolahan
Data Pengolahan data dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1.Pemeriksaan data (editing)
Bertujuan untuk meneliti data yang telah diperoleh dari pengukuran dengan cara memeriksa
kelengkapan dan konsistensi data yang ada.
2.Pengkodean data (coding)
Bertujuan untuk memudahkan dalam menganalisis data dengan cara memberikan kode atau
atribut pada data.
3.Memasukkan data (entry)
Memasukkan data yang telah diperoleh untuk diolah menggunakan komputer dengan
program SPSS.
4.Mentabulasi (tabulating)
Tabulasi merupakan lanjutan langkah koding untuk mengelompokkan data ke dalam suatu
data tertentu menurut sifat-sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian.
4.7.2 Analisa Data
4.7.2.1 Analisis Univariat
Untuk mendeskripsikan karakteristik kontainer yang meliputi jenis, bahan
dasar, letak, keberadaan penutup, kondisi kontainer dan frekuensi membersihkan kontainer
yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
4.7.2.2Analisis Bivariat
Uji statistik komparatif untuk data dengan skala nominal dan nominalyang dilakukan
dengan menggunakan uji beda non parametrik yaitu chi-square. Uji ini digunakan untuk
menguji beda proporsi kontainer positif jentik menurut jenis kontainer dengan dua buah
variabel nominal dan mengukur kuatnya hubungan antara variabel yang satu dengan
variabel nominal lainnya.
4.8 Alur Kerja
Alur Kerja
1. Memilih Kelurahan Sumbersari
sebagai populasi penelitian.
2. Memilih RW yang akan
dijadikan sebagai sampel dengan
cara mengundi .
3. Menentukan RT yang akan
dipilih sebagai sampel penelitian
berdasarkan arahan kader jentik
nyamuk kelurahan Sumbersari.
4. Memasuki rumah yang akan
diperiksa kontainer serta
keberadaan jentik nyamuknya.
5.Mendokumentasikan kontainer
dan mencatatnya.
6.Mengambil jentik nyamuk dari
kontainer di dalam atau luar
rumah.
7. Mengamati jenis jentik dari
sampel yang sudah
diidentifikasikan menggunakan
mikroskop.
BAB 5
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
5.1 Karakteristik lokasi penelitian / survei dan nilai HI
Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas Dinoyo Kota Malang. Salah satu
kelurahan yang ada di Puskesmas Dinoyo adalah Kelurahan Sumbersari. Kelurahan ini
dipilih karena memiliki prevalensi angka kejadian DBD yang cukup tinggi. Kelurahan
Sumbersari memiliki 7 RW dan 40 RT. RW 1 dipilih karena memiliki jumlah RT yang paling
banyak diantara RW lainnya yaitu memiliki 12 RT. Sesuai dengan buku panduan dari
Rhikusvektora, jumlah sampel penelitian yang dibutuhkan adalah 100 rumah, sehingga
peneliti memilih secara acak RT yang masuk kedalam RW 1. Setelah dilakukan pemilihan
secara acak, diperoleh RT 1, RT 2, RT 3, RT 5, dan RT 10 sebagai sampel penelitian. Pada
tabel 5.1, didapatkan nilai total HI pada sampel penelitian adalah sebesar 41%. Nilai HI
paling tinggi terdapat pada RT 10 dengan nilai 12%. Sedangkan nilai HI paling rendah
adalah RT 2 dengan nilai 4%. Rincian data keberadaan jentik nyamuk dari 100 rumah
tersebut disajikan pada tabel 5.1 dibawah ini.
Tabel 5.1 Data Lokasi Survei dan Temuan Jentik Nyamuk di RW 01 Kelurahan
Sumbersari Kecamatan Lowokwaru Kota Malang, pada bulan Agustus 2017
RT Jumlah rumah/KK Rumah yang Terpilih Positif Jentik (HI)
Jumlah % Jumlah %
RT 1 43 19 19% 6 6%
RT 2 40 18 18% 4 4%
RT 3 46 16 16% 9 9%
RT 5 42 22 22% 10 10%
RT 10 43 25 25% 12 12%
Total 214 100 100% 41 41%
Keterangan : HI = House Index = jumlah rumah yang positf jentik / jumlah rumah yg diperiksa X 100%
5.2 Karakteristik Rumah
Dari data yang ada jenis/karakterisitik rumah yang disurvei diklasifikasi atas dasar
kepemilikannya, yaitu rumah pribadi, rumah sewa dan rumah kost. Pada tabel 5.2, dapat
diketahui bahwa berdasarkan pada status rumah, rumah pribadi memiliki persentase yang
paling banyak yaitu sebesar 62%. Di urutan kedua adalah rumah yang dijadikan kost kosan
dengan persentase 34%. Di urutan terakhir adalah rumah yang dijadikan tempat sewa
dengan persentase sebesar 4%. Distribusi status rumah yang ditemukan di Kelurahan
Sumbersari RT 01, RT 02, RT 03, RT 05 dan RT 10 dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Distribusi Status Rumah
Status rumah RT 1 RT 2 RT 3 RT 5 RT 10 Total Persentase (%)
Pribadi 12 11 13 13 13 62 62%
Foto mengenai kondisi rumah pribadi, kost dan sewa di Kelurahan sumbersari dapat dilihat
pada gambar dibawah ini
Gambar 5.1 Rumah Pribadi
Pada status rumah pribadi, tampak dari depan rumah pribadi lebih asri dengan
terdapat tanaman di luar rumahnya serta ventilasi rumahnya cukup bagus yaitu terdapat
jendela rumah yang mengarah keluar rumah untuk sirkulasi udara yang baik.
Rumah pribadi memiliki kebersihan lingkungan yang lebih terjaga dibandingkan
dengan rumah kost-kosan dan rumah sewa. Anggota rumah rata rata juga sering
membersihkan lingkungan rumah dan kamar mandinya seminggu dua kali.
Kost 5 6 3 7 13 34 34%
Sewa 2 1 - - 1 4 4%
Total 19 18 16 20 27 100 100%
Gambar 5.2 Rumah kost
Pada status rumah kos, mayoritas kebersihan lingkungan sekitarnya kurang terjaga.
Tampak dari depan rumah, tidak terdapat jendela yang digunakan untuk sirkulasi udara
didalam rumah dan cahaya yang masuk pun sangat kurang sehingga kondisi dalam rumah
cukup lembap dan redup. Selain itu, untuk membersihkan bak mandi dilakukan secara
bergiliran oleh penghuni kost. Rata-rata penghuni kost hanya membersihkan kamar mandi
jika bak mandi sudah terlihat ada genangan lumpur dibawahnya, sehingga bak mandi tidak
rutin dibersihkan tiap minggunya. Oleh karena itu, sering ditemukan jentik nyamuk pada bak
mandi di rumah kos kosan.
Gambar 5.3 rumah sewa.
Pada status rumah sewa (kontrakan) tampak dari depan rumah terlihat terdapat
barang bekas yang dibiarkan berantakan sehingga memungkinkan sebagai tempat
perindukan jentik nyamuk. Kondisi kamar mandi yang jarang dikuras dan banyaknya
kontainer tempat meyimpan air tanpa penutup membuat rumah sewa memiliki jumlah
kontainer positif jentik nyamuk yang cukup banyak.
5.3 Keberadaan Jentik Berdasarkan Sumber Air
Distribusi keberadaan jentik nyamuk berdasarkan sumber air yang ditemukan di
Kelurahan Sumbersari RW 01 RT 01, RT 02, RT 03, RT 05 dan RT 10 dapat dilihat pada
tabel 5.3. Tabel tersebut menunjukkan bahwa sumber air yang ditemukan jentik nyamuk
dengan persentase paling besar adalah air galon dengan persentase sebesar 80%. Sumber
air dengan jumlah jentik nyamuk terbanyak kedua adalah air kulkas dengan persentase
sebesar 37,5%, sedangkan sumber air dengan jentik nyamuk paling sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali adalah air hujan dengan nilai 0%. Data distribusi keberadaan jentik
nyamuk berdasarkan sumber dapat dilihat pada tabel 5.3.
Sumber Air Positif jentik / jenis Jentik
Sumber air frekuensi % Culex aedes Frekuensi %
Air galon 5 1,937% - 4 4 80%
Air hujan 2 0,7755% - - - 0%
Air kulkas 8 3.10% 2 1 3 37,5%
PAM 95 36,82% 9 10 19 20%
PAM-sumur 9 3,48% - 1 1 11,11%
Tabel 5.3 Distribusi Keberadaan Jentik Nyamuk Berdasarkan Sumber Air
5.4 Keberadaan jentik nyamuk berdasarkan jenis kontainer dan nilai CI, BI
Hasil penelitian keberadaan jentik nyamuk berdasarkan jenis kontainer dan nilai HI,
CI dan BI dapat dilihat pada tabel 5.4. Tabel tersebut menunjukkan bahwa kontainer yang
paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah ember dengan persentase 55,4%,
sedangkan yang paling sedikit digunakan adalah kolam yaitu dengan persentase 0,38%.
Selain itu juga dapat dilihat kontainer dengan persentase positif jentik nyamuk paling banyak
adalah dispenser dengan nilai persentase sebesar 80% sedangkan kontainer dengan positif
jentik nyamuk paling sedikit adalah bak WC, drum dan kolam dengan nilai persentase 0%.
Hasil dari penelitian adalah sebagaimana tertera pada tabel sebagai berikut:
Tabel 5.4 Distribusi Jenis Kontainer dan Keberadaan Jentik Nyamuk yang Ditemukan pada
100 Rumah yang Disurvei
Sumur pompa 104 40,3% 3 8 11 10,57%
Sumur
terbuka
35 13,56% 1 2 3 8,57%
258 100% 15 26 41 15,89%
Jenis Kontainer
RT 1
RT 2
RT 3
RT 5
RT 10
Total Positif Jentik
Frekuensi %1 Frekuensi %2
Bak mandi 12 16 12 20 16 76 29,45% 33 43,4%
Bak WC - - 2 - 1 3 1,16% - 0%
Ember 13 38 23 36 33 143 55,4% 13 9,0%
Dispenser - - 2 2 1 5 2,19% 4 80%
Pot/vas 2 1 - - - 3 1,16% 1 33,3%
Keterangan :
Rumus Persentase (%1)=∑ 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
258× 100 %, (%2 )=
∑ 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓𝑗𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘
𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟× 100 %
Chi square = 𝑥2= 51,627 ; df = 9 ; P value = 0,012
Nilai Container Index (CI) pada Kelurahan Sumbersari RW 1 RT 1, 2, 3, 5 dan 10
adalah sebesar 22,1% sedangkan nilai Breteau Index (BI) sebesar 57%. Nilai Container
index (CI) terbanyak terdapat pada bak mandi dengan nilai 12,79%. Hal ini sama dengan
nilai Breteau Index(BI), nilai BI terbanyak adalah pada bak mandi dengan nilai 33%.
Sedangkan nilai CI dan BI paling rendah terdapat pada kolam, drum dan bak wc dengan
nilai 0% jentik nyamuk.
Tabel 5.5 Nilai CI dan BI Kelurahan Sumbersari RW 1 RT 1, 2, 3, 5 dan 10.
Jenis Kontainer
Jumlah
Kontainer Positif Jentik
Frekuensi Container index (CI)
(%)
Breteau Index(BI)
(%)
Bak Mandi 76 33 12,79% 33%
Bak WC 3 - 0% 0%
Ember 143 13 5,04% 13%
Dispenser 5 4 1,55% 4%
Pot/vas 3 1 0,38% 1%
Saluran air - - 1 2 - 3 1,16% 2 66,7%
Drum 3 3 1 4 - 11 4,26% - 0%
Kulkas - 3 2 2 2 9 3,38% 3 33,%3
Panci/tempayan 2 - 1 1 - 4 1,55% 1 25%
Kolam 1 - - - - 1 0,38% - 0%
Total 33 61 44 67 53 258 100% 57 22,%1
Saluran air 3 2 0,77% 2%
Drum 11 - 0% 0%
Kulkas 9 3 1,16% 3%
Panci/tempayan 4 1 0,38% 1%
Kolam 1 - 0% 0%
Total 258 57 22,1% 57%
Keterangan :
-Container index (CI) : Jumlah kontainer yang ditemukan jentik dari seluruh kontainer yang diperiksa. CI = (jumlah kontainer yang positif jentik / Jumlah kontainer yang diperiksa)X 100%
-Breteau Index (BI) : jumlah kontainer yang ditemukan jentik dalam seratus rumah yang diperiksa. BI = ( jumlah kontainer yang positif jentik / 100) X 100%
5.5 Keberadaan jentik nyamuk berdasarkan bahan kontainer
Peneliti mengambil data berupa bahan dasar kontainer yang digunakan oleh
masyarakat Kelurahan Sumbersari Kota Malang. Pada tabel 5.6 didapatkan hasil berupa
bahan dasar kontainer yang paling banyak digunakan adalah berjenis plastik sedangkan
bahan yang paling sedikit digunakan adalah logam. Jika dihubungkan dengan keberadan
jentik, maka bahan yang terdapat banyak jentik adalah tanah dan yang paling sedikit jentik
adalah plastik.
Tabel 5.6 Distribusi Bahan Kontainer dan Keberadaan Jentik Nyamuk yang Ditemukam
pada 100 Rumah yang Disurvei
Bahan Kontainer
RT 1
RT 2
RT 3
RT 5
RT 10
Total Positif Jentik
Frekuensi %1 Frekuensi %2
Tanah 2 1 3 3 2 11 4,3% 6 54,5%
Plastik 19 43 27 46 38 173 67,1% 22 12,71%
Keramik 13 21 8 14 13 72 27,9% 28 38,9%
Logam - - 1 1 - 2 0,8% 1 50%
Total 34 65 39 64 53 258 100% 57 22,1%
Keterangan:
Rumus Persentase (%1)=∑ 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
258× 100 %, (%2 )=
∑ 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓𝑗𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘
𝑛 𝑏𝑎han× 100 %
Chi square = 𝑥2= 28,273 ; df = 3 ; P value = 0,07
Kontainer yang menggunakan tanah sebagai bahan dasar pembuatannya adalah
kolam dan gentong air. Bahan kontainer berupa plastik dapat ditemukan dalam bentuk
ember, dispenser, pot / vas bunga dan kulkas. Bahan kontainer berupa keramik dapat
ditemukan dalam bentuk bak mandi dan bak WC. Bahan kontainer berupa logam dapat
ditemukan dalam kontainer berupa panci dan drum.
5.6 Identifikasi Jentik nyamuk
Pada tabel 5.7, dapat dilihat bahwa urutan jentik nyamuk dengan frekuensi paling
banyak adalah Aedes aegypti dengan persentase sebesar 61% jentik, diurutan kedua
adalah Culex sp. dengan persentase sebesar36,6% dan yang paling sedikit adalah Ae.
albopictusdengan persentase sebesar 2,4%. Nyamuk Culex sp. terdapat paling banyak
pada RT 10 dengan jumlah 7 rumah positif jentik nyamuk. Sedangkan nyamuk Ae.
aegypti paling banyak terdapat pada RT 5 dengan jumlah 8 rumah positif jentik nyamuk.
Nyamuk Ae. albopictusditemukan pada 1 rumah di RT 1.
Tabel 5.7 Distribusi Hasil Identifikasi Jentik Nyamuk
Jenis jentik RT 1 RT 2 RT 3 RT 5 RT 10 JML %
Culex sp. - 3 5 - 7 15 36,6%
Ae. aegypti 3 3 4 8 7 25 61%
Ae. albopictus 1 - - - - 1 2,4%
Total 4 6 9 8 14 41 100%
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Nilai HI, CI, BI di Kelurahan Sumbersari Kecamatan Dinoyo Kota Malang.
Ukuran yang digunakan untuk mengetahui kepadatan jentik nyamuk disuatu daerah
adalah dengan menggunakan rumus HI, BI dan CI. House Index (HI) adalah persentase
rumah ditemukan jentik yang dilakukan di 100 rumah oleh petugas pada rumah-rumah
penduduk yang diperiksa secara acak. Kontainer Index (CI) adalah persentase jumlah
kontainer yang ditemukan jentik dalam seluruh kontainer yang diperiksa di rumah-rumah
penduduk yang diperiksa secara acak. Breteau Indeks (BI) adalah persentase jumlah wadah
air yang terdapat jentik dalam 100 rumah yang diperiksa.
Nilai HI di Kelurahan Sumbersari RT 1, 2, 3, 5, dan 10 dapat dilihat pada tabel 5.1.
Pada tabel tersebut, nilai HI sebesar 41% tergolong cukup tinggi. Pengelompokan nilai HI
terdiri dari 3 kelompok yaitu kepadatan rendah, sedang dan tinggi. Kepadatan rendah
berada pada rentang 1-3 %, kepadatan sedang berada pada rentang 4-37%, dan kepadatan
tinggi berada pada rentang >38%. Dari 100 rumah yang diperiksa, 41 rumah terdapat wadah
air positif jentik nyamuk. Hal ini disebabkan karena banyaknya jenis dan jumlah kontainer
yang digunakan oleh masyarakat, sehingga memperbesar peluang ditemukannya jentik
nyamuk di wilayah tersebut. Selain itu, frekuensi membersihkan wadah air juga jarang dan
kurang diperhatikannya kebersihan kontainer. Rata-rata rumah yang paling banyak terdapat
jentik nyamuk adalah kos-kosan dan kontrakan karena penghuni kosan kebanyakan adalah
mahasiswa yang sibuk dengan kegiatan di kampusnya, sehingga jarang memperhatikan
kebersihan kamar mandinya. Hal ini sangat memicu keberadaan jentik nyamuk di
kontainernya.
Nilai Container index (CI) dapat dilihat pada tabel 5.5. Pada tabel tersebut, nilai CI
sebesar 22,07% juga tergolong masih cukup tinggi. Pengelompokan nilai CI terdiri dari 3
kelompok yaitu, kepadatan rendah nilai CI (1-2%), kepadatan sedang nilai CI (3-20%) dan
kepadatan tinggi nilai CI (>21%). Karena kontainer yang ditemukan positif jentik memiliki
jumlah yang cukup banyak yaitu 57 dari 258 jumlah kontainer yang diperiksa. Nilai tersebut
cukup banyak karena dalam satu rumah, masyarakat menggunakan wadah air lebih dari dua
dan jarang untuk dibersihkan. Selain itu, masyarakat juga kurang memperhatikan kontainer
yang tidak digunakan untuk keperluan sehari hari seperti pot dan tatakan dispenser.
Sehingga mereka mengabaikan kebersihannya, padahal kontainer tersebut mengandung
genangan air yang berpotensial sebagai tempat tumbuhnya jentik nyamuk.
Nilai Breteau index (BI) dapat dilihat pada tabel 5.5. Pada tabel tersebut, nilai BI
sebesar 57% menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pengelompokan nilai BI terdiri atas 3
kelompok yaitu, kepadatan rendah dengan nilai BI (1-4%), kepadatan sedang dengan nilai
BI (5-49%) dan kepadatan tinggi dengan nilai BI (>50%). Dengan angka yang cukup tinggi
ini memungkinkan untuk terjadi penyebaran wabah DBD yang cukup tinggi pula. Sehingga
perlu dievaluasi lagi tentang pengetahuan serta kesadaran masyarakat akan pentingnya
menjaga kebersihan kontainer guna mencegah penyebaran wabah DBD lebih lanjut
terutama pada musim penghujan.
Pada penelitian yang dilakukan di daerah Bogor oleh Sulistyorini (2016), nilai HI,CI
BI di kelurahan di Bojongkerta (42%; 23.2%; 54). Rata rata masyarakat menggunakan
wadah air dengan volume air lebih dari 20 liter sehingga air tidak dibuang atau dikuras. Hal
itu berkaitan dengan kebiasaan masyarakat untuk menyimpan air untuk menghindari sumber
air kering atau tidak mengalir sehingga mengakibatkan nyamuk pra dewasa berkembang
dengan baik.
Nilai HI, CI dan BI di daerah kelurahanBojongkerta Bogor lebih tinggi dibandingkan di
Kota Malang, karena kemungkinan daerah Bogor lebih banyak penduduk sehingga
kepadatannya yang tinggi membuat lingkungan sekitarnya kurang diperhatikan termasuk
kebersihan kontainer. Selain itu, Bogor dikenal sebagai kota hujan, dengan frekuensi hujan
yang cukup tinggi membuat udara sekitar menjadi lembab dan banyak terdapat genangan
air di dalam kontainer yang tidak diperhatikan, sehingga membuat nilai HI, CI dan BI nya
menjadi lebih tinggi daripada Kelurahan Sumbersari Kota Malang. Selain itu, penelitian yang
dilakukan di Kelurahan Sumbersari dilakukan pada musim kemarau yang membuat suhu
udara menjadi lebih panas dan lebih sedikit genangan airnya. Salah satu faktor yang
membuat nilai HI, BI dan CI berbeda di kedua wilayah adalah karena survei yang dilakukan
kemungkinan dalam musim dan waktu yang berbeda.
Banyaknya kontaineryang mengandung jentik nyamuk digambarkan dalam nilai CI.
Parameter ini untuk mengevaluasi program pengendalian vektor. Parameter ini juga tidak
bisa berdiri sendiri karena tidak dapat melihat kepadatan larvanya (Pant dan Self 1999).
Penelitian lain di Kota Makkah menyebutkan bahwa indeks larva Ae. aegypti (CI, HI, BI)
tercatat lebih besar selama musim penghujan dibandingkan dengan musim kering (Aziz et
al. 2012). Kemenkes menetapkan bahwa untuk mencegah penularan DBD, maka HI tidak
boleh lebih dari 5%, jika > 10% maka wilayah tersebut mengindikasikan wilayah yang
berisiko tinggi terhadap kejadian DBD. Semakin tinggi nilai HI, semakin tinggi pula risiko
masyarakat di wilayah tersebut untuk kontak dengan nyamuk pembawa virus dengue.
Perhitungan HI harus diiringi perhitungan parameter yang lain, karena jika berdiri sendiri
kurang kuat karena tidak memperhitungkan faktor habitat yang ada di dalam rumah tersebut,
walaupun parameter ini banyak digunakan (Sunaryo dkk.,2014).
1.1 Kontainer yang digunakan oleh masyarakat Kelurahan Sumbersari
Kontainer adalah tempat yang digunakan oleh masyarakat untuk menyimpan air
yang berguna untuk keperluan sehari hari atau sebagai cadangan air disaat musim
kemarau. Distribusi jenis kontainer yang digunakan oleh masyarakat Kelurahan Sumbersari
RT 1, 2, 3, 5 dan 10 dapat dilihat pada tabel 5.4. Pada tabel tersebut, kontainer yang paling
banyak digunakan oleh masyarakat Kelurahan Sumbersari adalah berupa ember, karena
masyarakat sekarang lebih menyadari akan pentingnya kebersihan kontainer serta mulai
menghindari penggunaan bak mandi untuk mengurangi keberadaan jentik nyamuk. Ember
memiliki banyak kelebihan diantara kontainer lainnya karena lebih murah untuk dibeli,
mudah didapatkan dan bisa dipindahkan. Selain itu, penggunaan air yang langsung habis
pada jenis kontainer ember membuat jentik nyamuk jarang terdapat pada ember. Cara untuk
membersihkan ember pun relatif lebih mudah dan cepat jika dibandingkan dengan bak
mandi, sehingga hal ini bisa mengurangi angka keberadaan jentik nyamuk di kamar mandi.
Di urutan kedua, bak mandi masih banyak digunakan karena rata-rata tempat kos-kosan
atau kontrakan masih menggunakan bak mandi jaman dulu dan belum menggantinya
dengan ember. Selain itu, kondisi bak mandi terlihat jarang dikuras karena rata-rata
penghuni kos-kosan/kontrakan adalah mahasiswa. Jadwal membersihkannya pun tidak rutin
setiap minggu dibersihkan. Pada penelitian ini didapatkan pula beberapa drum. Sebagian
besar masyarakat menggunakan drum untuk tempat menyimpan air ketika musim kemarau.
Kegunaan drum lebih digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti untuk mencuci piring
dan menyiram tanaman, sehingga kondisi drum pun terlihat banyak lumut dan kotor, karena
tempatnya lembap dan disimpan berhari-hari.
Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulistyorini (2016), di daerah
Bogor ember merupakan jenis tempat penampungan air (TPA) yang paling banyak
digunakan di kedua kelurahan yaitu diBaranangsiang sebanyak 59% dan di Bojongkerta
sebanyak 55%.Penggunaan kontainer di masyarakat telah bergeser dari tempayan ke
ember yang lebih praktis, ringan dan mudah dipindahkan serta lebih mudah didapatkan.
Kemudahan dalam menguras ember dan fungsinya untuk air habis sekali pakai. Berbeda
dengan bak mandi yang volume airnya cenderung selalu ada menyebabkan kondisi ruangan
menjadi lembab, bak mandi banyak yang masih dari semen sehingga permukaannya yang
kasar lebih memudahkan nyamuk untuk meletakkan telurnya.
Berbeda dengan hasil penelitian diatas, penelitian yang dilakukan Hadi dkk. (2009)
menyatakan bahwa di satu wilayah RW V Desa Cikarawang didapatkan kontainer yang
paling banyak adalah bak mandi. Hal ini serupa dengan penelitian di Kabupaten
Tulungagung dan Kota Kediri Jawa Timur, mayarakat masih banyak menggunakan bak
mandi (Joharina dan Widiarti, 2014). Kemungkinan perbedaan penggunaan kontainer
terletak pada kurangnya kesadaran mayarakat akan pentingnya membersihkan kontainer
dan keberadaan jentik nyamuk. Kemungkinan masyarakat enggan untuk mengganti
kontainer mereka, karena sudah terdapat bak mandi yang bisa digunakanuntuk keperluan
sehari-hari. Selain itu, masyarakat kota besar biasanya lebih mudah memahami dan
menyadari akan pentingnya menjaga kebersihan dan keberadaan jentik nyamuk di
kontainer. Karena lingkungan mereka yang sangat padat, sehingga penularan wabah DBD
lebih mudah terjadi di kota, membuat masyarakat lebih waspada akan pentingnya
kebersihan kontainer dan waspada terhadap keberadaan jentik nyamuk.
Kontainer berupa ember lebih banyak disukai oleh masyarakat karena
penggunaanya yang praktis, mudah dibersihkan, mudah dibawa dan mudah ditemukan di
banyak toko. Sedangkan bak mandi sekarang mulai ditinggalkan karena lebih susah untuk
dibersihkan dan ukurannya yang relatif besar membuat air jarang diganti setiap hari
sehingga memungkinkan banyak jentik nyamuk bersarang di bak mandi.
6.2 Bahan kontainer yang digunakan oleh masyarakat Kelurahan Sumbersari
Distribusi bahan kontainer yang digunakan oleh masyarakat Kelurahan Sumbersari
dapat dilihat pada tabel 5.6. Pada tabel tersebut, bahan kontainer yang paling banyak
digunakan adalah berjenis plastik. Hal ini disebabkan karena masyarakat Kelurahan
Sumbersari banyak menggunakan kontainer berjenis ember atau bak yang terbuat dari
plastik. Masyarakat lebih memilih menggunakan bak mandi plastik karena harganya yang
murah, terjangkau, mudah dipindahkan dan mudah dibersihkan. Volumenya yang tidak
begitu besar membuat air yang tertampung didalamnya langsung habis dalam sekali pakai,
sehingga memudahkan penghuni rumah untuk membersihkannya setiap hari. Selain itu,
masyarakat Kelurahan Sumbersari sangat gemar untuk menyimpan air sebagai persediaan
air saat musim kemarau. Penggunaan ember plastik ditemukan lebih dari satu dalam satu
rumah, karena digunakan juga untuk keperluan rumah tangga seperti mencuci piring, baju
dan kontainer untuk memasak.
Kontainer berbahan dasar keramik berada di urutan kedua setelah bahan dasar
plastik. Sebagian masyarakat Kelurahan Sumbersari masih banyak menggunakan keramik
sebagai bahan dasar kontainernya. Karena sebelum dilakukan penyuluhan tentang peduli
wadah DBD, mayoritas masyarakatnya masih menggunakan keramik untuk menyimpan air.
Masyarakat merasa masih nyaman dan enggan untuk menggantinya dengan kontainer
plastik, namun itu hanya sebagian kecil dari masyarakat Kelurahan Sumbersari Kota
Malang. Mayoritas rumah yang masih menggunakan keramik sebagai bahan dasar
kontainernya adalah rumah sewa, karena rata rata penghuni dari rumah sewa malas untuk
menggantinya dengan kontainer dari plastik, karena dari awal memang sudah disediakan
kontainer keramik. Sehingga, mereka menggunakan kontainer yang sudah tersedia disana.
Bahan kontainer yang paling sedikit digunakan adalah logam, karena rata-rata logam
digunakan sebagai bahan dasar drum untuk menyimpan air di musim kemarau. Namun, saat
ini, masyarakat sudah sangat jarang menggunakan drum sebagai tempat penyimpanan air,
karena air dari PDAM terus mengalir dan jarang kekurangan air. Sehingga, masyarakat
merasa tidak perlu untuk menggunakan drum berbahan dasar logam sebagai tempat
menyimpan airnya.
Jika dibandingkan dengan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sulistyorini
(2016),di daerah Bogor, menunjukkan hasil yang sama. Bahan kontainer yang paling banyak
digunakan adalah terbuat dari plastik. Masyarakat di Bogor juga gemar untuk menggunakan
kontainer berbahan plastik karena sebelumnya didaerah tersebut terdapat banyak
prevalensi kejadian DBD. Penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah kota tersebut lebih
menganjurkan masyarakatnya untuk mengganti kontainer dari keramik menjadi kontainer
berbahan dasar plastik. Karena kontainer berbahan dasar keramik lebih susah untuk
dibersihkan dibanding dengan kontainer dari plastik.
Penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2015) di Desa Cikarawang, kontainer terbanyak
terbuat dari bahan dasar plastik (715 wadah). Sama dengan penelitian sebelumnya,
masyarakat sekarang sudah banyak berpindah kontainer yang digunakannya untuk
menyimpan air yang semula berbahan dasar keramik menjadi bahan dasar plastik. Salah
satu alasan masyarakat menggantinya menjadi berbahan dasar plastik adalah karena
banyaknya prevalensi penyakit DBD yang terjadi di daerahnya. Sehingga pemerintah kota
sekitar menyarankan masyarakatnya untuk mengganti bahan dasar kontainer menjadi
bahan dasar plastik. Pemerintah daerah kabupaten Bogor sangat gencar untuk
mempromosikan tidakan pencegahan dan pengendalian wabah DBD karena bogor memiliki
intensitas curah hujan yang cukup tinggi. Sehingga sangat memungkinkan nyamuk banyak
berkembang biak disana.
6.4 Hubungan antara jenis kontainer dengan persentase kontainer positif jentik
nyamuk di wilayah kerja Puskesmas Dinoyo Kota Malang.
Tabel persentase kontainer positif jentik jamuk berdasarkan jenis kontainer dapat
dilihat pada tabel 5.4. Berdasarkan pada tabel 5.4, dispenser memiliki jumlah kontainer
positif jentik terbanyak karena dispenser jarang dibersihkan. Masyarakat kurang waspada
terhadap keberadaan genangan air didalam dispenser, sehingga memungkinkan jentik
nyamuk bersarang di dalam dispenser. Selain itu, rata-rata dispenser tidak terdapat
penutupnya sama sekali, hal ini memungkinkan larva nyamuk akan meletakkan telurnya
didalam dispenser tersebut. Masyarakat jarang sekali membersihkan dispenser bahkan
jarang membuang air didalamnya, sehingga memungkinkan nyamuk banyak meletakkan
telurnya disana. Ukuran dispenser yang kecil juga menjadi alasan masyarakat kurang
waspada terhadap genangan air didalam dispenser.
Kontainer dengan jumlah positif jentik paling sedikit adalah bak WC, drum dan
kolam. Pada jenis kontainer berupa bak WC, masyarakat lebih sering menggunakan air
sekali pakai, sehingga sedikit sekali kemungkinan genangan air didalamnya. Hal ini
berpengaruh terhadap nyamuk yang jarang meletakkan telurnya didalam bak WC.
Keberadaan drum juga jarang ditemukan jentik nyamuk, karena masyarakat yang
menggunakan drum untuk persedian air musim kemarau selalu menggunakan penutup drum
di atasnya, sehingga nyamuk jarang meletakkan telurnya disana. Pada kolam, kondisi air
didalam kolam rata-rata keruh dan terdapat ikan didalamnya, sehingga nyamuk juga jarang
meletakkan telur di dalam kolam.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square mengenai hubungan jenis kontainer
dengan persentase kontainer positif jentik nyamuk diperoleh nilaip= 0,000 (p < 0,05), yang
berarti bahwa terdapat perbedaan persentase yang signifikan antara jenis kontainer dengan
persentase kontainer positif jentik nyamuk. Hal ini menunjukkan arti bahwa, ada hubungan
yang kuat antara jenis kontainer dengan keberadaan jentik nyamuk di kontainer. Jenis
kontainer berpengaruh terhadap persentase keberadaan jentik nyamuk. Masing masing
jenis memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap keberadaan jentik nyamuk di
kontainer.
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan di Thailand oleh Kittayapong &
Strickman (1993), bak mandi yang ditemui kebanyakan tidak dicat, berwama gelap, lembab
dan kurang ventilasi. Bak mandi berukuran besar sulit untuk diganti airnya, sehingga sangat
sesuai untuk perkembangbiakan nyamuk. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa di antara
semua habitat, keberadaan larva Ae. aegypti tertinggi tercatat di bak mandi/drum/tangki
yang disemen (32.9%) diikuti oleh barang pecahan yang terbuat dari kaca (25.25%),
sampah (5.81%) dan kolam/air mancur/lubang (4.64%). Penelitian yang dilakukan di
Thailand ini menunjukkan hasil yang hampir sama dengan hasil pada penelitian ini.
Kontainer dengan positif jentik nyamuk terbanyak adalah pada bak mandi karena memiliki
permukaan yang relatif lebih kasar dibandingkan dengan kontainer lainnya. Kolam memiliki
jumlah paling sedikit karena air didalam kolam biasanya lebih keruh dan terdapat ikan
didalamnya. Hal ini membuat jentik nyamuk tidak menyukai kolam sebagai habitatnya,
sehingga kolam merupakan kontainer dengan jumlah paling sedikit jentik nyamuk.
Berbeda dengan hasil pada penelitian di atas, penelitian yang dilakukan Sigit &
Koesharto (1998) di Bogor menemukan jenis kontainer drum paling disukai jentik Ae. aegypti
dengan rata-rata persentase positif jentik 27.5% kemudian diikuti oleh tempayan dengan
20.8%. Di Bangkok dilaporkan bahwa jenis wadah seperti gentong sebagai tempat
penyimpanan air yang terbuat dari tanah dan perangkap semut yang berada di dalam rumah
merupakan habitat jentik utama (Gratz, 1993). Rata-rata warga diatas lebih banyak
menggunakan kontainer dengan ukuran yang besar karena berfungsi untuk menyimpan air
serta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berbeda dengan masyarakat Kelurahan
Sumbersari yang lebih menyukai kontainer dengan ukuran yang lebih kecil untuk tempat
menyimpan airnya.
Perbedaan juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Sulistyorini (2016),
tatakan dispenser merupakan jenis kontainer yang paling banyak digunakan di kedua
wilayah (Baranangsiang 7.9% dan di Bojongkerta 2.6%) dan paling banyak banyak
ditemukan larva nyamuk (Baranangsiang 9.5% dan Bojongkerta 7.4%). Masyarakat banyak
yang menggunakan air galon, tetapi cenderung mengabaikan air yang masuk ke dalam
tatakan dispenser yang bisa menjadi habitat nyamuk pra dewasa. Hasil penelitian ini sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh Dhewantara dan Dinata (2015) di Kota Banjar,
penelitian menunjukkan bahwa tatakan dispenser di rumah tangga memiliki jumlah kontainer
positif jentik sebesar 22.86%. Hal ini disebabkan karena tidak diperhatikannya kebersihan
jenis kontainer ini sehingga cenderung membiarkannya terisi air. Berbeda dengan hasil
penelitian di Kelurahan Sumbersari Kecamatan Dinoyo Kota Malang, masyarakat jarang
menggunakan dispenser pada air galonnya, sehingga frekuensi tatakan dispenser sangat
rendah, yang membuat nilai kontainer positif jentiknya pun menjadi relatif rendah.
Masyarakat lebih banyak menggunakan pompa untuk mengambil air minum dalam
kebutuhan sehari-hari, sehingga mengurangi keberadaan jentik nyamuk di dalam tatakan
dispenser.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Soegijanto(2004) yang menyebutkan
bahwa telur, larva, clan pupa nyamuk Aedes aegypti tumbuh dan berkembang di dalam air.
Genangan yang disukai sebagai tempat perindukan nyamuk ini berupa genangan air yang
tertampung di suatu tempat yang biasa disebut kontainer atau TPA. Hasil penelitian ini
didukung juga oleh hasil penelitian Ririh dan Anny(2005) yang menunjukkan bahwa adanya
hubungan yang bermakna antara jenis kontainer dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Wonokusumo. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fathi
dkk.(2005)didapatkan kesimpulan bahwa faktor lingkungan berupa keberadaan kontainer
air, baik yang berada di dalam maupun di luar rumah menjadi tempat perindukan nyamuk
Aedes aegypti sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue, merupakan faktor yang
sangat berperan terhadap penularan ataupun terjadinya Kejadian Luar Biasa penyakit
Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram.
Hasil penelitian Suyasa (2008) juga memberikan kesimpulan yang senada yaitu ada
hubungan antara keberadaan kontainer dengan vektor DBD di wilayah kerja Puskesmas I
Denpasar Selatan. Kegiatan PSN dengan menguras dan menyikat TPA seperti bak
mandi/WC, drum seminggu sekali, menutup rapat-rapatTPAseperti gentong air/ tempayan,
mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan serta
mengganti air vas bunga, tempat minum burung seminggu sekali merupakan upaya untuk
melakukan PSN-DBD. Masyarakat diharapkan rutin melakukan kegiatan tersebut dan pihak
pemerintah melakukan pemeriksaan jentik berkala, sehingga pencegahan dan
pemberantasan penyakit DBD dapat berjalan dengan baik.
Senada dengan penelitian diatas, jenis kontainer yang digunakan sebagai habitat
nyamuk terutama Aedes aegypti. erat kaitannya dengan jumlah volume air, pengurasan
kontainer dan permukaan kontainer tersebut yang digunakan sebagai tempat bertelur
nyamuk dewasa. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Badrah dan Hidayah (2011)
bahwa terdapat hubungan bermakna antara jenis kontainer dengan keberadaan larva di
Kelurahan Penajam, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara.
Kontainer berjenis ember relatif lebih sedikit terdapat jentik nyamuk karena air yang
digunakan langsung habis/diganti setiap harinya, relatif mudah dibersihkan, terdapat
penutupnya dan permukaan dalam kontainer yang lebih halus membuat nyamuk jarang
bersarang di ember. Sedangkan kontainer yang perlu diwaspadai adalah bak mandi karena
terbukti daerah yang memiliki angka kejadian DBD tinggi rata-rata masyarakatnya
menggunakan kontainer berupa bak mandi. Hal ini disebabkan karena jentik nyamuk lebih
suka bersarang ditempat yang yang jarang dibersihkan, permukaannya yang kasar, air yang
jarang diganti dan tidak terdapat penutup kontainernya.
6.5 Hubungan antara bahan kontainer dengan persentase kontainer positif jentik
nyamuk di wilayah kerja Puskesmas Dinoyo Kota Malang.
Persentase kontainer positif jentik nyamuk berdasarkan bahan kontainer dapat dilihat
pada tabel 5.6. Berdasarkan pada tabel 5.6, bahan kontainer yang paling banyak terdapat
jentik nyamuk adalah berbahan dasar tanah, sedangkan bahan kontainer yang paling sedikit
mengandung jentik nyamuk adalah berbahan dasar plastik. Bahan dasar tanah banyak
mengandung jentik nyamuk dikarenakan bahan tanah banyak digunakan sebagai bahan
untuk membuat bak mandi. Bak mandi yang berbahan tanah memiliki celah / pori
diantaranya yang membuat permukaan dalam bak mandi menjadi tidak halus. Celah
diantara bak mandi biasanya ditumbuhi lumut atau bakteri karena permukaannya lebih
dalam daripada permukaan lainnya. Celah itulah yang sering dijadikan sebagai tempat
perindukan jentik nyamuk karena disana terdapat banyak mikroorganisme yang bisa
dijadikan makanan jentik nyamuk. Hal inilah yang membuat keramik menjadi bahan yang
paling mungkin didapatkan banyak jentik nyamuk.
Selain itu, biasanya masyarakat membuat bak mandi berbahan dasar tanah
dalam ukuran yang relatif besar. Hal ini membuat masyarakat jarang menghabiskan airnya
dalam satu kali penggunaan, sehingga memungkinkan air masih terdapat di dalam bak
mandi selama beberapa hari. Oleh karena itu, nyamuk sering menempatkan telurnya di
dalam bak mandi yang masih terdapat banyak genangan airnya.
Hal ini bisa dibandingkan dengan bahan plastik. Kontainer berbahan plastik
memiliki jumlah kontainer positif jentik paling kecil diantara bahan kontainer lainnya. Rata
rata kontainer berbahan plastik memiliki ukuran yang relatif kecil dibandingkan dengan
kontainer berbahan tanah. Hal ini membuat kontainer berbahan plastik relatif mudah
dibersihkan dan penggunaan airnya pun setiap hari bisa diganti. Selain itu, permukaan
kontainer berbahan dasar plastik relatif lebih halus jika dibandingkan dengan kontainer
berbahan dasar tanah. Inilah yang membuat jentik nyamuk lebih jarang ditemukan di
kontainer berbahan plastik.
Berdasarkan hasil statistik yang menggunakan uji analisa chi square, nilai p value
menunjukkan 0,012. Hal ini menunjukkan bahwa bahan kontainer memiliki perbedaan
persentase yang siginifikan dengan keberadaan kontainer positif jentik nyamuk. Artinya,
bahan kontainer sangat berpengaruh terhadap keberadaan jentik nyamuk di dalamnya.
Salah satu faktornya adalah karena bahan kontainer berpengaruh terhadap tekstur
permukaan dalam dinding kontainer.
Jika dibandingkan dengan peneltian yang dilakukan oleh Sulistyorini (2016),
didaerah Bogor, keberadaan jentik nyamuk yang paling banyak adalah terdapat pada bahan
kontainer dari plastik (Baranangsiang sebesar 59.52% dan Bojongkerta 53.70%). Sebagian
besar kontainer dengan bahan dari plastik adalah ember dengan volume 1-20 liter.
Keberadaan larva dalam kontainer dari plastik disebabkan habitat yang tersedia terbuat dari
plastik dan perbedaan bahan kontainer tidak mempengaruhi kandungan nutrisi yang
diperlukan larva dalam air. Hal ini berbeda dengan hasil yang diperoleh dari penelitian di
Kelurahan Sumbersari Kota Malang. Di daerah Bogor, bahan yang paling banyak terdapat
jentik nyamuk adalah plastik, tetapi di Kelurahan Sumbersari adalah keramik yang memiliki
persentase paling banyak. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena di Bogor
penggunaan kontainer berbahan plastik sangat mendominasi, sehingga tidak ada pilihan
lain yang memungkinkan nyamuk untuk menempatkan telurnya di kontainer lain. Selain itu,
bisa jadi peneliti Sulistyorini melakukan penelitian tersebut pada musim hujan sehingga
memungkinkan ditemukannya lebih banyak jentik pada saat itu.
Sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulistyorini, menurut Hasyimi
dkk.(2008) di Banyuasin, Sumatera Selatan, penyusun tempat perkembangbiakan
nyamukdengan persentase paling banyak adalah terbuat dari plastik yaitu 60.6%. Alasannya
adalah karena kontainer yang paling banyak digunakan adalah berbahan plastik. Hal ini
menyebabkan keberadaan jentik paling banyak juga terdapat pada kontainer berbahan
dasar plastik karena tidak ada pilihan lain bagi nyamuk dewasa untuk meletakkan telurnya
pada kontainer lain yang tidak tersedia di rumah tersebut. Tidak menutup kemungkinan jika
tersedia kontainer berbahan dasar selain plastik, maka nyamuk dewasa lebih memilih
kontainer lain tersebut.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Ayuningtyas
(2013), ada perbedaan keberadaan larva Ae. aegypti di Kelurahan Bangetayu Wetan Kota
Semarang berdasarkan bahan kontainer (p = 0.004). Bahan kontainer yang paling tinggi
positif larva Ae. aegypti adalah semen dan tanah 54.3%. Hal ini terjadi karena bahan dari
semen dan tanah mudah berlumut, permukaannya kasar dan berporipori pada dindingnya.
Permukaan kasar memiliki kesan sulit dibersihkan, mudah ditumbuhi lumut dan mempunyai
refleksi cahaya yang rendah. Refleksi cahaya yang rendah dan permukaan dinding yang
berpori-pori mengakibatkan suhu dalam air menjadi rendah, sehingga bahan kontainer yang
demikian akan disukai oleh nyamuk Ae. aegypti sebagai tempat perindukannya. Hasil pada
penelitian ini juga berbeda dengan hasil yang ditemukan di Kelurahan Sumbersari Kota
Malang. Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya perbedaan hasil adalah karena
masyarakat Kelurahan Bangetayu Wetan Kota Semarang sebagian besar masih
menggunakan bak mandi berbahan dasar semen dan tanah, sedangkan pada Kelurahan
Sumbersari, mayarakatnya sudah meninggalkan bak mandi sebagai kontainer tempat
kebutuhan sehari hari dan beralih ke plastik yang lebih praktis.
Banyak sedikitnya ditemukan Ae. aegypti diduga terkait dengan makanan larva yang
tersedia, karena ketersediaan makanan terkait dengan bahan dasar tempat penampungan
air (Katyal, 1997). Menurut penelitian Vezzani dkk.(2002) di Buenos Aires, Argentina
menemukan kontainer dengan bahan dasar plastik yang berwarna hitam mengandung
banyak jentik Ae. aegypti (82.1%), kemudian diikuti oleh kaca (8.5%), logam (6%) dan
keramik (3.4%). Di Florida kontainer dengan bahan dasar logam mengandung sedikit jentik
Ae. aegypti. Hal ini terkait dengan kandungan logam yang bersifat toksik dan suhu air yang
terlalu panas di dalam wadah (45°C) menyebabkan banyak jentik tidak dapat bertahan hidup
(Vezzani et al., 2002).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sungkar (1994) melaporkan bahwa angka
kematian jentik terendah ditemukan dalam kontainer berbahan semen dan kematian
tertinggi terdapat dalam kontainjer berbahan keramik. Hal ini diduga berhubungan dengan
mikroorganisme yang menjadi makanan larva lebih mudah tumbuh pada dinding kontainer
yang kasar seperti semen dan lebih sulit tumbuh pada kontainer yang licin seperti keramik.
6.6 Identifikasi Jentik nyamuk
Berdasarkan pada data sebelumnya, nyamuk Ae. aegypti masih menjadi jentik
nyamuk terbanyak karena banyaknya kontainer yang digunakan oleh mayarakat Kelurahan
Sumbersari khususnya RW 1 dan RT 1, 2,3,5, dan 10. Nyamuk Ae. aegypti senang bertelur di
tempat yang lembap dengan kondisi air yang bersih. Hal ini sesuai dengan kondisi kontainer
mayarakat Kelurahan Sumbersari, mereka lebih banyak meletakkan kontainer di dalam rumah
dan di dalam kamar mandi. Kondisi kontainer yang tanpa penutup juga mempengaruhi
keberadaan jentik nyamuk khusunya Ae. aegypti. Hal ini berbeda dengan jentik nyamuk Culex
sp. yang lebih sering ditemukan di kontainer yang berada di luar rumah dan tanpa penutup
seperti tempat minum burung dan ember di luar rumah. Pada penelitian ini juga ditemukan
jentik nyamuk Ae. albopictus, yang terdapat pada pot/vas bunga. Hal ini sesuai dengan
habitat nyamuk Ae. albopictus yang suka hidup di luar rumah dan di kebun. Pot yang
ditemukan terdapat tanaman rumah hias yang diletakkan di luar rumah dan terdapat
genangan air hujan didalamnya.
Penelitian diatas memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulistyorini
(2016). Berdasarkan pada penelitian di daerah Bogor, hasil identifikasi terhadap seluruh larva
yang diperoleh dari kedua kelurahan di Bogor menunjukkan 99.8% adalah spesies Ae.aegypti
dan 0.02% Ae. albopictus. Kontainer yang ditemukan paling banyak ditemukan di kedua
wilayah adalah di dalam rumah, di Baranangsiang sebesar 89% dan di Bojongkerta 86%.
Habitat Ae. aegypti pada umumnya berada di dalam rumah dan bisa ditemukan di luar rumah,
sedangkan Ae. albopictus hanya berada di luar rumah. Kondisi rumah di Baranangsiang
sebagian besar di wilayah penelitian adalah saling berhimpitan sehingga walaupun di luar
rumah tetapi atap berhimpit menjadi satu sehingga dimungkinkan untuk menjadi habitat Ae.
aegypti. Hal ini sesuai dengan penelitian Fadilla dkk.(2015) di Kelurahan Bantarjati Kota
Bogor bahwa species Ae. aegypti ditemukan sebanyak 84.09% dan Ae. albopictus 15.91%.
Banyak penelitian yang mengemukakan bahwa jentik nyamuk terbanyak di daerah yang
padat akan penduduk sebagian besar adalah berupa Ae. Aegypti. Oleh karena itu, tingkat
kejadian DBD masih tergolong tinggi karena masih banyaknya ditemukan jentik Ae. aegypti.
Rata-rata masyarakat meletakkan kontainernya di dalam rumah, sehingga menjadi tempat
yang digemari oleh nyamuk Ae. aegypti untuk berkembangbiak.
1
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian hubungan antara jenis kontainer dengan
persentase kontainer positif jentik nyamuk di wilayah Puskesmas Dinoyo Kota
Malang, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Nilai HI, BI dan CI di Kelurahan Sumbersari masih cukup tinggi, jika
dibandingkan dengan nilai standar dari kementerian kesehatan yaitu
sebesar 18,06%
2. Ember adalah jenis kontainer yang paling banyak digunakan oleh
masyarakat Kelurahan Sumbersari
3. Plastik adalah bahan kontainer yang paling banyak digunakan oleh
masyarakat Kelurahan Sumbersari.
4. Dispenser adalah jenis kontainer yang paling banyak terdapat jentik
nyamuk.
5. Tanah adalah bahan kontainer yang paling banyak terdapat jentik nyamuk.
6. Ae. aegypti adalah nyamuk yang paling banyak ditemukan di Kelurahan
Sumbersari.
7. Hasil uji analisa chi square menunjukkan perbedaan persentase yang
signifikan antara jenis dan bahan kontainer dengan keberadaan jentik
nyamuk di kontainer.
2
7.2 Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
yang telah dilakukan antara lain sebagai berikut:
7.2.2 Bagi Instansi Kesehatan
Bagi Dinas Kesehatan, Puskesmas dan instansi terkait diharapkan untuk
melakukan pembaharuan data jentik nyamuk secara rutin karena sangat berguna
untuk mengetahui tercapainya target pemberantasan jentik nyamuk. Selain itu
melakukan evaluasi dan pengendalian jentik Aedes aegypti dengan lebih ketat
dengan merencanakan kegiatan PSN DBD melalui kerjasama lintas sektoral,
bulan bakti 3M, mengaktifkan Juru Pemantau Jentik (Jumantik) pada setiap Rukun
Tetangga (RT) dan secara intensif melakukan penyuluhan tentang DBD.
Penyuluhan ini dapat dilakukan melalui organisasi kemasyarakatan yang ada
seperti: PKK, dasa wisma, karang taruna, posyandu atau perkumpulan
masyarakat lainnya.
7.2.3 Bagi Peneliti lain
Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan memperluas jumlah sampel
penelitian sehingga bisa digunakan sebagai rujukan dalam program
pemberantasan sarang nyamuk. Selain itu, perlu diteliti juga pengaruh kebiasaan
atau pola membersihkan kontainer serta pengetahuan masyarakat tentang jentik
nyamuk, yang nantinya bisa dijadikan bahan evaluasi program kerja pemerintah.
Penelitian mengenai hubungan antara jenis nyamuk dengan jenis kontainer belum
begitu banyak dilakukan, sehingga bisa dijadikan sebagai bahan untuk penelitian
selanjutnya.
3
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, N. S., Sigit, S., Partosoedjono, S., Chairul. 2001. S. lerak, D. metel dan
E. prostata sebagai Larvasida Aedes aegypti. Cermin Dunia Kedokteran
No. 131.
Astuti, SM. 20122. Determination of Saponin Compound from Anredera
cordifolia (Ten) Steenis Plant (Binahong) to Potential Treatment for Several
Diseases. Journal of Agricultural Science Vol. 3 (4)
(Binahong) to Potential Treatment for Several Diseases. Journal of Agricultural
Science Vol. 3 (4)
Angela W. .2009. Efektivitas Ekstrak Etanol Buah Pare (Momordica
charantia) Sebagai Larvisida Aedes sp. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Maranatha, Bandung
Bar, A. and J. Andrew. 2013. Morphology and Morphometry of Aedes aegypti
Larvae. Reasearch Article. St. Jhon's Collage. Agra
Cania, Eka. 2013. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Daun Legundi (Vitex Trifolia)
Terhadap Larva Aedes Aegypti. MAJORITY (Medical Journal of
Lampung University). vol. 2 (4) hal :
Christiawan A, Perdanakusuma D. 2010. Aktivitas Antimikroba Daun Binahong
Terhadap Pseudomonas Aeruginosa Dan Staphylococcus Aureus Yang
Sering Menjadi Penyulit Pada Penyembuhan Luka Bakar. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya
Daniel. 2008. Ketika Larva dan Nyamuk Dewasa Sudah Kebal Terhadap
Insektisida. FARMACIA. Vol.7 No.7
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Dirjen
POM. Jakarta. hlm : 13-38.
Depkes RI. 2007. INSIDE ( Inspirasi dan Ide) Litbangkes P2B2 vol II : Aedes
aegypti Vampir Mini yang Mematikan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2008. Pelatihan bagi Pelatih Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN-DBD) dengan Pendekatan Komunikasi Perubahan
Perilaku (Communication For Behavioral Impact) : Modul. Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI.
Jakarta.
Depkes RI. 2010. Pusat Data dan Surveilens Epidemologi Demam Berdarah
Dengue 2010. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. hlm : 3.
Depkes RI. 2011. Informasi umum Demam Berdarah Dengue. Ditjen PP dan PL
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. hlm : 1.
Dinata, A. 2009. Mengatasi DBD dengan Kulit Jengkol. Diakses pada tanggal 38
Oktober 2013 melalui http://arda.students- blog.undip.ac.id/2009/10/18/
atasi-jentik-dbd-dengan-kulit-jengkol/
Djakaria, S. 2004. Pendahuluan Entomologi Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-3.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 343 hlm.
Djakaria, S. dan S. Sungkar. 2008. Pendahuluan Entomologi. Parasitologi
Kedokteran Edisi Ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 383 hlm.
Gunawan, D., Mulyani, S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid Pertama.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Halimah, 2010. Uji Fiokimia dan Uji Toksisitas ekstrak tanaman Anting-Anting
(acalypha indica Linn) terhadap larva udang (Artemia salina Leach).
Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Hidayatullah, N. 2013. Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70% Akar
Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti
sebagai Biolarvasida Potensial. MAJORITY (Medical Journal of
Lampung University). vol. 2 (8) hal : 95-104
Hoedojo, R. dan Zulhasril. 2008. Insektisida dan Resistensi : Parasitologi
Kedokteran Edisi Ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 383 hlm.
Kemenkes RI. 2012. Laporan Kasus Demam Berdarah Dengue. Subdit
Arbovirosis, Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta.
Komisi Pestisida. Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida. Bandung: Komisi
Pestisida Bandung. 1995
Kumalasari E, Sulistyani N. 2011. Aktivitas Antifungi Ekstrak Etanol Batang
Binahong (Anredera Cordifolia (Tenore) Steen.) Terhadap Candida
Albicans Serta Skrining Fitokimia. Jurnal Ilmiah Kefarmasian, Vol. 1 (2),
hal. 51-62
Lestari, B. D., Gama Z. P., Brian R. 2009. Identifikasi Nyamuk Di Kelurahan
Sawojajar Kota Malang. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 melalui
http://biologi.ub.ac.id/files/2010 /12/BSS2010ZPGBR.pdf.
Mufid, K. 2010.Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Binahong (Anredera
Cordifolia (Ten.) Steenis) Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus Dan
Pseudomonas Aeruginosa. Universitas Islam Negeri Malang. Malang
Ndione, R. D., Faye, O., Ndiaye, M., Dieye, A., and Afoutou, JM. 2007.Toxic
effects of neem products (Azadirachta indica A. Juss) on Aedes aegypti
Linnaeus 1762 larvae. In African Journal of Biotechnology Vol. 6 (24), pp.
2846-2854
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka
Cipta .
Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan dan Aplikasi. Jakarta : PT. Rineka
Cipta.
Paju, N., Yamlean P. V. Y., Kojong, N. 2013. Uji Efektivitas Salep Ekstrak Daun
Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) pada Kelinci (Oryctolagus
cuniculus) yang Terinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus. Diakses pada
tanggal 20 Oktober 2013 melalui http ://ejournal.unsrat.ac.id
Raharjo, B. 2006. Uji Kerentanan (Susceptibility test) Aedes aegypti (Linnaeus)
dari Surabaya, Palembang dan Beberapa Wilayah di Bandung terhadap
Larvasida Temephos (Abate 1 SG). Skripsi. Sekolah Ilmu dan Teknologi
Hayati ITB, Bandung.
Rahmawati, L. 2012. Isolasi, Identifikasi Dan Uji Aktivitas Antioksidan Senyawa
Flavonoid Daunbinahong (Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis). Fakultas
Sains dan Matematika Universitas Diponegoro
Ratih, S. W. 2010. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Tembelekan (Lantana
Camara) Terhadap Kematian Larva Aedes Aegypti. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB,
Bandung. 367 hal.
Rofida, S. 2010. Studi Etnobotani Dan Etnofarmakologi
Umbi Binahong (Anredera Cordifolia (Ten) Steenis). Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang
Rohyami, Yuli. 2008. Penentuan Kandungan Flavonoid dari Ekstrak Metanol
Daging Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa Scheff Boerl).
LOGIKA. Vol. 5 (1) hal : 1-8.
Selawa, W ; Runtuwene, MRJ ; Citraningtyas, G. 2010. Kandungan Flavonoid
Dan Kapasitas Antioksidan Total Ekstrak Etanol Daun Binahong [Anredera
Cordifolia(Ten.)Steenis.]. PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi – Unsrat
Vol. 2 (01)
Soedarto. 1992. Atlas Entomologi Kedokteran. EGC. Jakarta
Sovia, L. 2006. Senyawa Flavonoid, Fenil Propanoida dan Alkaloid. Repository
USU. FMIPA Universitas Sumatera Utara
Sudarmaja, I. M., Mardihusodo, S. J. 2009. Pemilihan tempat bertelur nyamuk
Aedes aegypti pada air limbah rumah tangga di laboratorium. Jurnal
Veteriner. Vol. 10 hal : 205- 207. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Suhendro, L., Nainggolan, K., Chen dan H.T. Pohan. 2009. Demam Berdarah
Dengue :Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 5. Interna Publishing.
Jakarta.
Sukmasari ; Fatimah, T. 2006. Analisis Kadar Saponin Dalam Daun Kumis
Kucing Dengan Menggunakan Metode Tlc-Scanner Man. Pusat Penelitian
Dan Pengembangan Peternakan. Bogor
Supartha, I. W. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah
Dengue, Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Universitas Udayana.
Denpasar.
Suwarno. 2010. Perakitan Teknik Budidaya Binahong Anredera cordifolia (Ten.)
Steenis Berbasis Dosis Pupuk Organik. Institut Pertanian Bogor
Syamsuhidayat, S. S. dan Hutapea J. R. 1991. Inventaris Tanaman Obat
Indonesia. Edisi I. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan
Depkes RI. Jakarta.
Trevor Robinson. 2000. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit
ITB. Bandung.
Wahyuhidayah, ID. 2010. Efikasi Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon Spp)
Terhadap Larva Ae. Aegypti. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Semarang
World Health Organization. 2003. Prevention Control of Dengue and Dengue
Haemorage Fever. Regional Office for South East Asia. New Delhi.
World Health Organization. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of
Mosquito Larvicides. Geneva.
World Health Organization. 2011. Comperhensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Haemorrhagiz Fever. World Health
Organization, Regional Office for South-East Asia. 67 hlm.
top related