hiv aids docx
Post on 27-Nov-2015
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TUGAS KEPERAWATAN ANAK
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIV/AIDS
Disusun Oleh:
Lukmanul Hakim 09060102
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat-Nya Sehingga dapat menyelesaikan makalah mengenai HIV AIDS.
Makalah ini disusun dalam rangka pendokumentasian dari aplikasi pembelajaran mata
kuliah Keperawatan Anak. Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Untuk itu, pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
terutama kepada Dosen mata kuliah Keperawatan Anak selaku pembimbing dalam pembuatan
makalah.
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini di masa mendatang.
Pada akhirnya, penyusun mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusun
khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Malang, 06 januari 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit HIV/AIDS telah memberikan dampak buruk pada beberapa negara khususnya
diarea sub Sahara Afrika dan Asia Tenggara. Angka prevalensi dan insiden secara bermakna
menunjukkan bahwa banyak negara berkembang mengalami beban yang berlebih
dibandingkan kemampuannya untuk mengatasi pandemik penyakit ini. Meliputi hampir
seluruh aspek ekonomi, kesehatan dan sosial.
WHO mengungkapkan bahwa dua puluh tahun sejak ditemukannya virus HIV secara
klinis telah mengjangkiti sekitar 56 juta orang di seluruh dunia, 22 juta diantaranya
meninggal dunia. Secara global pada tahun 2001 diperkirakan lebih dari 60 juta orang telah
terinfeksi virus HIV, sebanyak 40 juta orang hidup dengan HIV (ODHA) dan 20 juta lainnya
tidak dapat tertolong. Menurut catatan UNAIDS, saat ini di dunia terdapat peningkatan
jumlah orang dengan HIV/AIDS dari 36,6 juta orang pada tahun 2002 menjadi 39,4 juta
orang pada tahun 2004. Penderita HIV/AIDS di Asia diperkirakan mencapai 8,2 juta orang,
2,3 orang diantaranya adalah perempuan. Satu dari empat kasus AIDS terjadi di Asia dan
lebih kurang dari 1.500 orang meninggal dunia akibat virus HIV (Gobel, 2008 : 1).
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan infeksi retrovirus RNA yang
dulunya disebut sebagai “human T lymphotrophic virus III” (HTL-III). Infeksi HIV akan
menyebabkan immunodefisieansi. Virus HIV bisa ditularkan oleh penderita HIV melalui
beberapa cara yaitu hubungan seksual, berbagi jarum suntik atau syringe, transfuse darah dan
organ serta melalui ibu hamil kepada bayinya (Scully, 2004).
Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV yaitu HIV-1 yang sejauh ini paling umum
di dunia dan HIV-2 yang menyebar terutama di Afrika Barat. Pintu masuk utama HIV ke
dalam tubuh adalah melalui darah dan mukosa yang terbuka pada vagina, vulva, rectum,
penis dan juga pada oral cavity (Scully, 2002).
Diperkirakan pada tahun 2020 jumlah pengidap HIV/AIDS mencapai 2.000.000,
untuk mengubah jalannya epidemik HIV/AIDS di seluruh Indonesia, diupayakan mencegah
penularan sebanyak 1.000.000 orang pada tahun 2020 dengan merencanakan aksi nasional.
Ada 8 sasaran kunci yang akan di capai hingga 1010 diantaranya adalah 80% populasi yang
paling berisiko, terjangkau oleh program pencegahan yang komprehensif, perubahan perilaku
pada 60% populasi yang beresiko (Metro Lacak, 2007 : 6).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah adalah rumusan yang disusun untuk memahami apa dan bagaimana
masalah yang diteliti. Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimana askep pada penyakit HIV/AIDS?
2. Apakah HIV/AIDS itu?
3. Bagaimana Latar Belakang terjadinya Virus HIV AIDS?
4. Bagaimana Etiologi HIV/AIDS?
5. Bagaimana Klasifikasi HIV/AIDS?
6. Bagaimana Manifestasi Klinis HIV/AIDS?
7. Bagaimana Patofisiologis HIV/AIDS?
8. Bagaimana Pemeriksaan Diagnostik HIV/AIDS
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui askep yang tepat pada penyakit HIV/AIDS
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui Definisi HIV/AIDS
2. Untuk mengetahui Latar Belakang Virus HIV AIDS
3. Untuk mengetahui Etiologi HIV/AIDS
4. Untuk mengetahui Klasifikasi HIV/AIDS
5. Untuk mengetahui Manifestasi Klinis HIV/AIDS
6. Untuk mengetahui Patofifiologis HIV/AIDS
7. Untuk mengetahui Pemeriksaan Diagnostik HIV/AIDS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
HIV/AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang mengakibatkan rusaknya/ menurunnya sistem
kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit (Rasmaliah, 2001).Virus ini ditemukan dalam
cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan ASI (Air Susu Ibu).
Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau
hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi (Depkes, 2007).
Menurut Price & Wilson (1995), HIV (Human immunodeficiency virus) adalah virus
penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV yang dulu disebut sebagai
HTLV-III (Human T cell lympothropic virus Tipe III) atau LAV (Lymphadenopathy Virus),
adalah virus sitopatik dari famili retrovirus. Hal ini menunjukkan bahwa virus ini membawa
materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat
(DNA).
Menurut Muma et al (1997), Virus ini memiliki kemampuan unik untuk mentransfer
informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut
reverse transcriptase, yang merupakan kebalikan dari proses transkripsi (dari DNA ke RNA)
dan translasi (dari RNA ke protein) pada umumnya.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV.Dalambahasa
Indonesia AIDS disebut sindrom cacat kekebalan tubuh (Depkes,1997). Sedangkan menurut
Weber (1986) AIDS diartikan sebagai infeksi virus yang dapat menyebabkan kerusakan
parah dan tidak bias diobati pada system imunitas,sehingg amudah terjadi infeksi
oportunistik.
Menurut Samsuridjal Djauzi (2004), AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
adalah sekumpulan gejala penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh infeksi HIV Centers for Disease Control (CDC) merekomendasikan bahwa
diagnosa AIDS ditujukan pada orang yang mengalami infeksi opportunistik, dimana orang
tersebut mengalami penurunan sistem imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau
kurang) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV. Kondisi lain yang sering digambarkan
meliputi kondisi demensia progresif, “wasting syndrome”, atau sarkoma kaposi (pada pasien
berusia lebih dari 60 tahun), kanker-kanker khusus lainnya (yaitu kanker serviks invasif) atau
diseminasi dari penyakit yang umumnya mengalami lokalisasi (misalnya, TB) (Doengoes,
2000).
2.2 ETIOLOGI
Penyebab HIV/AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu virus yang
menyebabkan penurunan daya kekebalan tubuh. Virus ini adalah retrovirus yang termasuk
dalam famili lentevirus. HIV mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA
pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang.
Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang
(klinik-laten), dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV
menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi
dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu,
virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam dan Kurniawati, 2008)
Virus ini mempunyai kemampuan yang unik untuk mentransfer informasi genetik
mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut dengan reverse
transcriptase, cara ini merupakan kebalikan dari proses transkripsi (dari DNA ke RNA) dan
translasi (dari RNA ke protein) (Muma et. al, 1997).
2.2.1 Penularan HIV/AIDS
HIV terdapat dalam cairan tubuh seseorang seperti darah, cairan kelamin (air
mani atau cairan vagina yang telah terinfeksi) dan air susu ibu yang telah terinfeksi.
Sedangkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu sindrom menurunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Orang yang mengidap AIDS amat mudah
tertular oleh berbagai macam penyakit karena sistem kekebalan tubuh penderita telah
menurun (Depkesa, 2006). Virus HIV menular melalui enam cara penularan
(Nursalam dan Kurniawati, 2008) yaitu :
1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV
tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung,
air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis,
dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke
aliran darah.
2. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi peularan HIV dari ibu ke bayi
adalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala
AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan kalau
gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%, penularan juga
terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara
kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan. Semakin lama proses melahirkan, semakin besar risiko penularan.
Oleh karena itu, lama persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesari.
Transmisi lain terjadi selama periode post parturm melalui ASI. Risiko bayi
tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%.
3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh
darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
4. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat
lain yang dapat menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV,
dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan
HIV.
5. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang,
membuat tato, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin
dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
6. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitasi kesehatan, maupun yang
digunakan oleh para pengguna narkoba (injecting Drug User-UDU) sangat
berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai UDU secara
bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas
pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.
2.3 KLASIFIKASI
2.4.1 STADIUM AIDS
1. Stadium Pertama : HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV kedalam tubuh dan diikuti terjadinya
perubahan serologik ketika antibodi terhadap virus berubah dari negatif menjadi
positif. Rentang waktu dari masuknya HIV hingga tes antibodi positif disebut
Window Period, lamanya 1 ? 6 bulan. Pada stadium ini sudah dapat menularkan
bahkan sangat menular.
2. Stadium Dua : Asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh
tidak menunjukkan gejala sakit. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata 5 ? 10
tahun. Fase ini juga menular walau penderita tampak sehat-sehat saja.
3. Stadium Tiga : Pembesaran kelenjar limfe
Fase ini ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata,
tidak hanya muncul pada satu tempat dan berlangsung lebih dari satu bulan.
4. Stadium Empat : AIDS
Keadaan ini disertai dengan adanya bermacam-macam penyakit antara lain
penyakit konstitusional, penyakit syaraf dan penyakit infeksi sekunder.
Menurut Little dkk. (2002), pertama kali terinfeksi HIV, pasien dapat
dikelompok menjadi tiga kelompok yang dapat dilihat pada tabel 1. Klasifikasi infeksi
HIV yang paling sering digunakan adalah yang dipublikasi oleh U.S. Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 1986, yang berdasarkan kondisi tertentu
yang terkait dengan infeksi HIV. Pada tahun 1993, klasifikasi CDC telah direvisi menjadi
(CDC 1993b) (Hoffmann dkk., 2007).
Tabel 1. Categorization of HIV Exposure
(Little dkk., 2002)
Kelompok Tanda
Kelompok 1 Immediate post-HIV exposure
Antibodi HIV positif- asimptomatik
Kelompok 2 Progressive Immunosupresan- HIV simptomatik stage.
CD4 < 400
Constitutional symptom (demam, malaise, limfadenopati, diarre,
penurunan berat badan, oral candidiasis)
Kelompok 3 AIDS; CD4 <200
Kaposi’s sarcoma, limfoma, pneumonia, cervical carcinoma,
diarre kronis.
HIV telah menginfeksi CNS yang bisa menyebabkan dimensia.
Tabel 2. Kategori Klinis Pada Klasifikasi CDC untuk Orang Yang Terinfeksi HIV
(Hoffmann dkk., 2007)
Kategori Tanda
Kategori A Infeksi HIV asimptomatis
Akut (primer) infeksi HIV yang disertai dengan penyakit atau riwayat
infeksi HIV akut
Lymphadenopathy yang persisten dan menyeluruh
Kategori B Kondisi simptomatik* yang tidak termasuk pada kondisi dalam
Kategori C. Contohnya, namun tidak tebatas pada:
Bacillary angiomatosis Candidiasis,
oropharyngeal (thrush) Candidiasis,
vulvovaginal; persistent, frequent, or poorly responsive to therapy
Cervical dysplasia (sedang atau parah)/cervical carcinoma in situ
Constitutional symptoms, misalnya demam (38.5° C) atau diare
yang lebih dari 1 bulan
Hairy leukoplakia, oral
Herpes zoster (shingles), melibatkan paling tidak dua episode yang
terpisah atau lebih dari satu dermatomeIdiopathic thrombocytopenic
purpura
Listeriosis
Pelvic inflammatory disease, khususnya jika terdapat komplikasi dengan
tuboovarian abscess
Peripheral neuropathy
Kategori Tanda
Kategori C Penyakit AIDS**
Candidiasis of bronchi, trachea, or lungs
Candidiasis, esophageal
Cervical cancer, invasive*
Coccidioidomycosis, disseminated or extra pulmonary
Cryptococcosis, extrapulmonary
Cryptosporidiosis, chronic intestinal (durasi lebih dari 1 bulan) Penyakit
Cytomegalovirus (selain liver, spleen, or nodes)
Cytomegalovirus retinitis (dengan hilangnya penglihatan)
Encephalopathy, HIV-related
Herpes simplex: chronic ulcer(s) (durasi lebih dari 1 bulan); atau
bronchitis, pneumonitis, atau esophagitis
Histoplasmosis, disseminated atau extrapulmonary
Isosporiasis, chronic intestinal (durasi lebih dari 1 bulan)
Kaposi's sarcoma
Lymphoma, Burkitt's (atau istilah sejenis)
Lymphoma, immunoblastic (or equivalent)
Lymphoma, primary, of brain
Mycobacterium avium complex or M. kansasii, disseminated or
extrapulmonary
Mycobacterium tuberculosis, pada tempat tertentu (pulmonary or
extrapulmonary)
Mycobacterium, spesies yang lain atau spesis yang belum teridentifikasi,
disseminated atau extrapulmonary
Pneumocystis pneumonia
Pneumonia, recurrent*
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Salmonella septicemia, recurrent
Toxoplasmosis of brain
Wasting syndrome due to HIV
Terdapat juga klasifikasi menurut jumlah limfosit T CD4+ yang
ditunjukkan pada tabel 3. Klasifikasi lesi oral pada infeksi HIV ditunjukkan pada tabel 4.
Table 3. The CD4+ T-lymphocyte categories
(Hoffmann dkk., 2007)
Kategori CD4+ T- lymphocyte
Kategori 1 >500 CD4+ T-cells/µl
Kategori 2 200-499 CD4+ T-cells/µ
Kategori 3 <200 CD4+ T-cells/µl
Tabel 4. Klasifikasi Lesi Oral Pada Penyakit HIV
(Scully, 2004)
Kategori Tanda
Kategori 1 Lesi yang sangat berhubungan dengan infeksi HIV
Candidiasis: eritematous, hiperplastik, thrush
Hairy leukoplakia (EBV)
HIV gingivitis
Necrotising ulcerative gingivitis
HIV periodontitis
Kaposi sarcoma
Non-Hodgkin’s limfoma
Kategori 2 Lesi yang kurang berhubungan dengan infeksi HIV
Atypical ulceration (oropharyngeal)
Idiopathic thrombocytogeic purpura
Penyakit glandula salivarius: mulut kering, pembesaran
glandula salivarius mayor unilateral atau bilateral
Infeksi virus (selain EBV): cytomegalovirus, herpes
simplex virus, human papilloma virus, epithelial
hyperplasia, verruca vulgaris, varicella zoster virus
Kategori 3 Lesi yang mungkin berhubungan dengan infeksi HIV
A miscellany of rare diseases
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis suatu infeksi HIV normalnya dibuat secara tidak langsung,
misalnya melalui virus-spesific antibodies. Tanda respon pertahanan tubuh humoral
melawan agen ditemukan 100% pada individu yang terinfeksi HIV. Adanya
antibodi sebanding dengan diagnosis infeksi HIV aktif kronis. Diagnosis langsung untuk
infeksi HIV juga memungkinkan melalui demonstrasi virus penginfeksi
(menggunakan kultur sel – hal ini hanya mungkin dilakukan di laboratorium dengan
biological safety level 3), viral antigen (p24 antigen ELISA) atau asam nukleus virus
(misalnya genome virus; NAT – nucleic acid testing). Untuk menentukan status infeksi
seorang pasien, deteksi virus langsung dibutuhkan pada keadaan tertentu, misalnya
kecurigaan transmisi infeksi primer atau vertikal (Hoffmann dkk, 2007).
Menurut Hoffmann dkk (2007), selain tes kualitatif (jawaban “ya” atau “tidak”),
pemeriksaan untuk deteksi kuantitatif virus juga penting. Konsentrasi RNA virus pada
plasma atau “viral load”, telah menjadi alat yang sangat diperlukan sebagai petunjuk
terapi antiretroviral.
Menurut Hoffmann dkk (2007), pengujian antibodi HIV paling tidak
membutuhkan 2 uji, yaitu:
1. Screening test, yaitu ELISA
2. Confimatory test, yaitu Western blot atau immunofluorescence assay (IFT or IFA)
Untuk mengekslusi terjadinya pencampuran sampel, sampel darah kedua
dari pasien yang sama harus di uji. Baru kemudian diagnosis infeksi HIV dapat
dikomunikasikan kepada pasien dengan hasil seropositif (Hoffmann dkk, 2007).
Menurut Anonim (2010), tes HIV ELISA dan HIV Western blot digunakan untuk
mendeteksi virus HIV dalam darah. Menurut Nisyrios (2005), ELISA dilakukan
untuk mendeteksi HIV p24 antigen dan antibodi HIV. Beberapa interpretasi uji
ELISA dan Western Blot, antara lain:
1. Tes ELISA yang menunjukkan hasil positif harus dikonfirmasi dengan uji
Western blot. Jika keduanya menunjukkan hasil yang positif maka
menegaskan suatu infeksi HIV. Pemeriksaan lebih lanjut harus diulang dalam interval
3-6 bulan.
2. Jika hasil Western blot menunjukkan hasil negatif, maka hasil ELISA
dipertimbangkan sebagai hasil false positive, hal ini menunjukkan pasien tidak
terinfeksi HIV. Pengulangan tes dilakukan jika pasien memiliki resiko dalam tiga
bulan dari tes pertama.
3. Jika Western blot menunjukkan hasil yang tidak tentu, pasien mungkin baru
terinfeksi HIV dan dalam proses seroconverting. Skrining HIV ELISA harus diulang
setiap interval 2 minggu untuk menentukan apakah uji Western blot menjadi positif.
4. Jika HIV ELISA dan Western blot menunjukkan hasil positif, tes darah lainnya dapat
dilakukan untuk menentukan banyaknya HIV pada aliran darah.
Pada suatu infeksi HIV, hasil uji CBC (complete blood count) dan sel darah
putih akan menunjukkan suatu abnormalitas. Selain itu, jumlah sel CD4 yang lebih rendah
dari rentang normal juga menjadi tanda bahwa virus sedang merusak sistem pertahanan tubuh
(Anonim, 2010).
Menurut Hoffmann dkk (2007), saat ini tersedia tes HIV sederhana/cepat. Tes
semacam ini berguna pada saat dibutuhkan hasil yang cepat, misalnya pada ruangan
emergency, sebelum operasi emergency, setelah perlukaan dari jarum dan untuk
meminimalisir rerata hasil “unclaimed” tes (jika hasil tes baru didapat beberapa
hari kemudian, beberapa orang tidak kembali lagi untuk mengambil hasil tes
tersebut).
Rapid Antibody Test adalah immunoassays kualitatif yang bertujuan untuk digunakan
sebagai titik uji perawatan untuk membantu dalam diagnosis infeksi HIV. Tes ini harus
digunakan pada seseorang yang memiliki resiko pada status klinis, riwayat, dan memiliki
faktor risiko. Tes ini harus digunakan dalam algoritma multites yang sesuai yang
dirancang untuk validasi statistik hasil tes HIV cepat (Anonimb, 2010). Menurut Fine dkk
(2005), pada Oktober 2004 FDA telah menyetujui suatu tes HIV yang baru, dimana
seseorang dapat melakukannya tanpa penggunaan jarum dan menunjukkan hasilnya dalam 20
menit.
Menurut FDA (2004), OraQuick® ADVANCE Rapid HIV-1/2 Antibody Test
merupakan kualitatif immunoassay sekali pakai untuk mendeteksi antibodi Human
Immunodeficiency Virus Type 1 (HIV- 1) and Type 2 (HIV-2) pada cairan rongga mulut,
darah dari fingerstick, darah dari venipuncture, dan spesimen plasma. Menurut
Roeslan (2002), cairan rongga mulut atau cairan celah gusi mengandung leukosit,
komponen komplemen, seluler dan humoral yang terlibat pada respons imun.
Menurut Anomim (2009), prosedur tes dengan menggunakan OraQuick Assay yaitu:
1. Usap antara gigi dan gusi atas dan bawah sekali
2. Masukkan perangkat ke dalam buffer
3. Baca hasilnya antara 20-40 menit
a. Non reaktif: garis berada pada zona C
b. Preliminary Positive: garis berada antara zona
T – C
Menurut FDA (2004), keterbatasan OraQuick Assay antara lain:
1. Pembacaan hasil test kurang dari 20 menit atau lebih dari 40 menit akan
menunjukkan hasil yang tidak akurat.
2. Tes ini disetujui FDA untuk penggunaan dengan cairan rongga mulut,
fingerstick darah, venipuncture darah dan spesimen plasma. Penggunaan
spesimen yang lain, pengujian spesimen venipuncture darah yang diambil
dengan tube yang berisi antikoagulan selain EDTA, sodium heparin, sodium citratem
atau ACD solutions A, atau pengujian spesimen plasma yang diambil menggunakan
tube yang mengandung antikoagulan selain EDTA dapat menunjukkan hasil
yang tidak akurat.
3. Individu yang terinfeksi HIV-1 atau HIV-2 yang mendapat HAART (highly active
antiretroviral therapy ) dapat memproduksi hasil negatif yang palsu.
4. Data klinik belum dikumpulkan untuk menunjukkan perfomance OraQuick®
ADVANCE Rapid HIV-1/2 Antibody Test pada orang dibawah 12 tahun.
5. Hasil reaktif dengan menggunakan OraQuick® ADVANCE Rapid HIV-1/2
Antibody Test menunjukkan adanya antibodi HIV-1 dan/atau HIV-2 pada
spesimen. OraQuick® ADVANCE Rapid HIV-1/2 Antibody Test bertujuan
sebagai tambahan dalam diagnosis infeksi HIV-1 dan/atau HIV-2. AIDS dan kondisi
yang berhubungan dengan AIDS merupakan sindrom klinik dan
diagnosisnya hanya bisa ditegakkan secara klinis.
6. Untuk hasil yang reaktif, intensitas warna pada garis tes tidak berhubungan dengan
titer antibodi pada spesimen.
7. Untuk hasil non-reaktif tidak tidak mengindarkan kemungkinan terpapar HIV atau
adanya infeksi HIV. Respon antibodi dari paparan awal membutuhkan waktu
beberapa bulan untuk mencapai level yang dapat dideteksi.
2.5 PENATALAKSANAAN
Perawatan yang paling efektif untutk HIV/AIDS adalah beberapa tipe
medikasi antiretroviral. Perawatan pada pasien HIV dimulai apabila terjadi
immunnosupresan yaitu CD4 <500, dan juga adanya infeksi kronis (Little dkk., 2004).
Menurut Greenberg dkk. (2008), terdapat empat kelas antiretroviral yaitu fusion
inhibitor, nucleotiside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors (NNRTIs) dan protease inhibitors (PIs). Perawatan pada penderita
HIV membutuhkan terapi kombinasi yaitu highly active antiretroviral therapy (HAART).
Pada penderita HIV yang naïf, perawatan yang direkomendasikan adalah NNRTI yang
didasari oleh (1 NNRTI+ 2 NRTIs), PI yang didasari oleh (1 atau 2 PIs+ 2NRTIs), atau
triple NRTI yang didasari oleh (3 NRTIs). Pada penderita HIV dengan koinfeksi
HBV, HCV, dan tuberculosis memerlukan perawatan antiretroviral yang khusus.
Tabel 5. Antiretroviral therapy
(Little dkk., 2002)
Tipe Obat
Nucleoside analogs Zidovudine (retrovir)- formerly known as
azidothymidine (AZT)
Dideoxyinosine (videx)
Zalcitabine (HIVID)
Stavudine (ZERIT) (d4T)
Lamivudine (Epivir) (3TC)
Abacavir (Ziagen) (ABC)
Protease inhibitors Saquinavir (Fortovase)
Indinavir (Crixivan)
Ritonavir (Norvir)
Nelfinavir (Viracept)
Amprenavir (Agenerase)
Non-nucleoside reverse
trancriptase inhibitors
Delaviridine (Resciptor)
Efavirenz (Sustiva)
Banyak kasus yang menunjukkan pada pemakaian jangka panjang
antiviretrovirus ini (lebih dari 6 bulan), akan menyebabkan resistensi terhadap HIV strains
sehingga harus dilakukan perawatan dengan kombinasi antivirus yang lain seperti
acyclovir. Selain itu, perawatan dengan antiretrovirus ini juga mempunyai efek
samping yang signifikan. Anemia adalah efek samping utama karena obat-obat ini
merupakan toxic terhadap bone narrow dan sel darah. Pada kasus tertentu, harus dilakukan
tranfusi darah. Leukopenia dan granulositopenia mempengaruhi terjadinya infeksi, nausea,
diarre, dan headaches. Efek samping yang lainnya adalah hepatoxicity, peripheral neuropathy
dan pancreatitis (Little dkk., 2002).
a. Antiretroviral terapi
Terapi antiretroviral berarti mengobati infeksi HIV dengan obat-obatan. Obat
tersebut (yang disebut ARV) tidak membunuh virus, terapi dapat memperlambat
pertumbuhan virus. Karena HIV adalah retrovirus, obat-obatan ini biasa disebut sebagai
terapi antiretroviral (ART) (Depkes, 2007).
b. Tujuan pengobatan antiretroviral (ARV) adalah sebagai berikut (Depkes, 2004) :
1) Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
2) Menurunkan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan HIV
3) Memperbaiki kualitas hidup ODHA
4) Memulihkan atau memelihara fungsi kekebalan tubuh
5) Menekan replikasi virus secara maksimal dan terus menerus
6) Mencegah atau mengobati infeksi oportunistik
c. Manfaat ART
Antiretroviral merupakan suatu revolusi dalam perawatan ODHA. Terapi dengan
antiretroviral atau disingkat ARV telah menyebabkan penurunan angka kematian dan
kesakitan bagi ODHA. Manfaat terapi antiretroviral adalah sebagai berikut :
1) Menurunkan morbiditas dan mortalitas
2) Pasien dengan ARV tetap produktif
3) Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis infeksi
4) Oportunistik berkurang atau tidak perlu lagi
5) Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak terdeteksi, namun
ODHA dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus dipandang tetap menular
6) Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu
7) Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status HIV-nya
secara sukarela
d. Penggolongan ARV
Ada tiga golongan utama ARV yaitu
1) Penghambat masuknya virus.
Mekanisme kerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung
glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat
penghambat fusi ini adalah enfuvirtid (Depkes, 2004).
Obat enfuvirtid diindikasikan untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan
antiretroviral yang lain. Hati-hati untuk pasien dengan kronik hepatitis B atau C,
gangguan hati, gangguan ginjal, kehamilan. Obat ini kontraindikasi terhadap ibu
menyusui. Untuk efek sampingnya meliputi reaksi pada tempat suntikan, diare, mual,
muntah, sakit kepala, reaksi hipersensitifitas, neuropati perifer. Untuk dosis subkutan
90 mg dua kali sehari (Depkesa, 2006).
2) Penghambat reverse transcriptase enzyme
a) Analog nukleosida (NRTI)
Mekanisme : NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus
fosfat dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga
perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan
pemanjangan DNA.
(1) Zidovudin (ZDV/AZT)
Zidovudin diindikasikan untuk pengobatan infeksi HIV lanjut (AIDS), HIV awal
dan HIV asimtomatik dengan tanda-tanda risiko progresif, infeksi HIV asimtomatik
dan simtomatik pada anak dengan tanda-tanda imuno defisiensi yang nyata. Hati-hati
untuk pasien dengan toksisitas hematologis, defisiensi vitamin B12, gangguan fungsi
ginjal, fungsi hati.
Konsentrasi dari zidovudin akan meningkat jika diberikan bersama flukonazol,
interferon-B, metadon, valproat, simetidin,imipramin, dan trimetoprim. Sedangkan
zidovudin jika diberikan bersama gansiklovir dapat menyebabkan neutropenia.
Zidovudin kontraindikasi terhadap pasien dengan neutropenia dan atau anemia berat,
neonatus dengan hiperbilirubinemia. Sedangkan efek sampingnya anemia, neutropenia
dan leukopenia, mual, muntah, anoreksia, sakit perut, dispepsia, sakit kepala, ruam,
demam, mialgia, insomnia, lesu. Dosis yang diberikan dalam sediaan bentuk tablet 300
mg, kapsul 100 mg, sirup 10 mg/ml, dan IV 10 mg/ml (Depkesa, 2006).
(2) Stavudin (d4T)
Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang
lain. Hati-hati untuk pasien dengan kronik hepatitis B atau C, gangguan hati, gangguan
ginjal, kehamilan. Jika obat ini diberikan bersama didanosin maka akan meningkatkan
risiko efek samping obat ini. Dan obat ini juga meningkatkan risiko toksisitas jika
diberikan bersama hidroksicarbamide. Obat ini kontraindikasi terhadap ibu menyusui.
Efek sampingnya adalah neuropati perifer, peningkatan enzim transaminase, laktat
asidosis, gejala saluran cerna, dan lipoatropy. Dosis yang diberikan pada pasien
dengan berat badan lebih dari 60kg adalah 40 mg per oral tiap 12 jam dengan atau
tanpa makanan. Sedangkan dosis untuk pasien dengan berat badan kurang dari 60kg
adalah 30 mg per oral 12 tiap jam (Depkesa, 2006).
(3) Lamivudin (3TC)
Lamivudin indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral
yang lain. Hati-hati untuk pasien dengan kelainan fungsi ginjal, penyakit hati yang
disebabkan infeksi hepatitis B kronis (risiko kembalinya hepatitis saat penghentian
obat), kehamilan. Jika lamivudin diberikan bersama trimetoprim akan meningkatkan
konsentrasi dari lamivudin. Obat ini kontraindikasi untuk ibu menyusui. Efek samping
obat ini adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, batuk, sakit kepala, insomnia,
malaise, ruam. Dosisnya 150 mg peroral tiap 12 jam atau 300 mg peroral sekali sehari.
untuk pasien dengan berat badan kurang dari 50kg, dosisnya adalah 2 mg/kg peroral
tiap 12 jam dengan atau tanpa makanan (Depkesa, 2006).
(4) Zalcitabin (ddC)
Obat ini indikasi untuk infeksi HIV lanjut yang tidak tahan terhadap zidovudin.
Hati-hati pada pasien dengan risiko neuropati perifer, pankreatitis monitor amilase
serum, alkoholisme, nutrisi parenteral, kardiomiopati, riwayat gagal jantung kongesif,
hepatotoksitas, gangguan fungsi hati, dan kehamilan. Obat ini dihentikan dengan
segera bila timbul gejala-gejala neuropati rasa kesemutan, baal, panas, rasa ditusuk-
tusuk. Obat ini kontraindikasi untuk neuropati perifer dan menyusui. Efek sampingnya
adalah neuropati perifer, ulkus mulut, mual, muntah, disfagia, anoreksia, diare, sakit
perut, konstipasi, faringitis, sakit kepala, pusing, mialgia,ruam, penurunan berat badan,
lesu, demam, nyeri dada, anemia, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati,
pankreatitis. Dosisnya 750 mcg tiga kali sehari (Depkesa, 2006).
(5) Didanosine (ddI)
Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral
yang lain. Hati-hati pada pasien dengan neuropati perifer, riwayat pankreatitis,
hiperurisemia, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, dan kehamilan.
Konsentrasi dari didanosine akan meningkat jika diberikan bersama allopurinol,
tenovavir, dan ganciclovir. Sedangkan konsentrasi dari didanosine akan menurun jika
diberikan bersama tipranavir. Jika didanosine diberikan bersama hidroksicarbamide
akan meningkatkan toksisitas dari didanosine. Dan jika didanosine diberikan bersama
ribavirin dan stavudine maka akan meningkatkan risiko efek samping. Obat ini
kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya neuropati perifer, pankreatitis,
diabetes melitus, hipoglikemia. Dosis yang diberikan pada pasien dengan berat badan
lebih dari 60 kg adalah 400 mg per oral sekali sehari. Sedangkan dosis untuk pasien
dengan berat badan kurang dari 60kg adalah 250 mg per oral sekali sehari (Depkesa,
2006).
(6) Abacavir (ABC)
Obat ini indikasinya untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral
yang lain. Hati-hati pada pasien dengan tanda-tanda alergi seperti demam, mual, lelah,
dengan atau tanpa ruam.Konsentrasi abacavir akan menurun jika diberilan bersama
rifampicin, phenobarbital, dan fenitoin. Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui.
Efek sampingnya mual, muntah, diare, nyeri perut, dan reaksi hipersensitifitas.
Dosisnya 300 mg tiap 12 jam dengan atau tanpa makanan, atau 600 mg sekali sehari
(Depkesa, 2006).
b) Analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI
tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi. Obat ini indikasi untuk infeksi
HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Perlu dilakukan tes fungsi hati dan
serum fosfat sebelum terapi setiap 4 minggu selama 1 tahun selanjutnya tiap 3 bulan dan
monitor pasien dengan hepatitis B. Jika obat ini diberikan bersama didanosine maka
maka akan meningkatkan konsentrasi didanosine dan resiko toksisitas. Obat ini
kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya mual, muntah, diare, nyeri perut,
gangguan fungsi ginjal. Dosisnya 245 mg peroral sekali sehari dengan atau tanpa
makanan (Depkesa, 2006).
c) Nonnukleosida (NNRTI) yaitu
Mekanisme kerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan
langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural.
(1) Nevirapin (NVP)
Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral
yang lain. Hati-hati pada pemberian 200 mg dosis tunggal untuk 2 minggu pertama
mengurangi kemungkinan alergi, periksa fungsi hati tiap 2 minggu untuk 2 bulan
pertama, selanjutnya tiap bulan 3 bulan berikutnya. Jika nevirapin diberikan bersama
dengan amprenavir, aripiprazole, atazanavir, lopinavir, dan metadine maka akan
menurunkan konsentrasi dari obat tersebut. Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui
dan gangguan fungsi hati. Efek sampingnya ruam yang berat, demam, gangguan
saluran cerana. Dosisnya 200 mg peroral sekali sehari 14 hari, selanjutnya 200 mg 2
kali sehari (Depkesa, 2006).
(2) Efavirenz (EFV)
Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang
lain. Hati-hati pada pasien dengan kronik hepatitis B atau C, gangguan fungsi hati,
gangguan fungsi ginjal, kehamilan, dan usia lanjut. Jika obat ini diberikan bersama
amprenavir, aripiprazole, atazanavir, atorvastatin, diltiazem, dan darunavir maka akan
mengurangi konsentrasi dari obat tersebut. Obat ini kontraindikasi pada menyusui dan
gangguan fungsi hati. Efek sampingnya hepatitis, pankreatitis, hiperlipidemia,
diabetes, lipodistropi. Dosisnya 600 mg per oral sekali sehari dengan atau tanpa
makanan (Depkesa, 2006).
d) Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)
Mekanisme Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease
yang mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan
virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain.
PI adalah ARV yang potensial (Depkesa, 2006).
(1) Saquinavir (SQV)
Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral
yang lain. Hati-hati pada pasien dengan hiperglikemia, haemopilia, gangguan fungsi
hati. bawang putih dapat menurunkan konsentrasi dari saquinavir. Konsentrasi
saquinavir akan meningkat jika diberikan bersama dengan imidazole dan triazole.
Sedangkan konsentrasi saquinavir akan menurun jika diberikan bersama efavirenz.
Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya neuropati perifer, mual,
muntah, disfagia, anoreksia, diare, sakit perut, konstipasi, faringitis, sakit kepala,
pusing, mialgia, ruam, penurunan berat badan, lesu, demam, nyeri dada, anemia,
leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati,, pankreatitis, perubahan seksual,
dan alopeksia. Dosisnya 1000 mg tiap 12 jam (Depkesa, 2006).
(2) Nelfinavir (NFV)
Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral
yang lain. Hati-hati pada pasien dengan hiperglikemia,haemopilia, dan gangguan
fungsi hati. Konsentrasi nelfinavir akan menurun jika diberikan bersama dengan
barbiturat dan carbamazepin. Kombinasi nelfinavir dan saqunavir meningkatkan
konsentrasi kedua obat tersebut. Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek
sampingnya neuropati perifer, mual, muntah, disfagia, anoreksia, diare, sakit perut,
konstipasi, faringitis, sakit kepala, pusing, mialgia, ruam, penurunan berat badan,
lesu, demam, nyeri dada, anemia, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati,
pankreatitis, dan demam. Dosisnya 1250 mg tiap 12 jam atau 750 mg tga kali sehari
(Depkesa, 2006).
2.6 PATOFISIOLOGIS
Vertikal : dari Ibu HIV (-) ke anak
Transseksual : Homoseksual dan biseksual
Horizontal : kontak antar daerah
Masuk dalam tubuh manusia melalui sirkulasi darah
Fusi membran virus dengan membran sel target
Terjadi proses transkripsi dan replikasi
HIV dlm limfosit teraktivasi shg lebih aktif dan menyerang limfosit T berikutnya
Jumlah limfosit T-CD4 menurun
Defisiensi imun
1.Faktor infeksi masuk dan
berkembang dalam usus
MK : Resiko tinggi infeksi
Infeksi Mudah Masuk
AIDS
2. Faktor infeksi masuk
Pada paru-paru
3. Faktor infeksi masuk dan
berkembang pada saluran pencernaan
Motilitas Usus Meningkat
Hipersekresi air dan elektrolit Spasme intestinal
Feses cair
MK : Gg integritas perianalKehilangan cairan
Nyeri abdomen
Dehidrasi
Iritasi mukosa
MK : nyeri
MK : intoleransi aktivitas
MK : Gg persepsi sensori
Kelemahan
kesadaran me
MK : Gg perfusi jaringan
Syok hipovolemik
MK : Defisit Volume Cairan
MK : Defisit Perawatan Diri
Kelemahan
ATP berkurang
MK : nutrisi kurang dr
kebutuhan Tubuh
Anoreksia, vomitus
MK : Gg istirahat
tidur
HCl meningkat
Ansietas
MK : Pola nafas inefektif
Hipokalemi
Asidosis Metabolik
Nafas kusmaul
MK : Ggg. Pertukaran gas
Hiperventilasi
CO2 meningkat
Sel velli usus rusak Malabsorbsi
Sesak nafas
hipoksia
Difusi O2 terganggu
Suplay O2
Gangguan jalan nafas
eksudat
kelemahan
ATP
Metabolisme sel
Inhalasi & ekhalasi terganggu
RESIKO BERSIHAN JALAN NAFAS TIDAK EFEKTIF
INTOLERANSI AKTIFITAS
RESIKO POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF
2. Faktor infeksi masuk
Pada paru-paru
3. Faktor infeksi masuk dan
berkembang pada saluran pencernaan
Imun tidak ada
Bakteri mudah masuk
Mukosa teriritasi
Pelepasan as. amino
Metabolisme proteinPeristaltik
Absorbsi air & Nutrisi
diare
BB < dari normal
RESIKO GANGGUAN KEBUTUHAN NUTRISI
GANGGUAN KESEIMBANGAN
CAIRAN DAN ELEKTROLIT
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit
yang menunjukkan kelemahan dan kerusakan system pertahanan tubuh seseorang yang
disebabkan oleh HIV(Human Immunodeficiency Virus). HIV menyebabkan menurunnya
kemampuan tubuh untuk melawan virus, bakteri, dan jamur secara efektif yang menyebabkan
timbulnya penyakit. Hal ini menyebabkan tubuh rentan terhadap berbagai jensi tumor dan infeksi
opurtunistik yang secara normal dapat dilawan oleh tubuh.
Sindrome ini pertama kali ditemukan oleh Michael Gottlieb pertengahan tahun 1981 pada
penderita pria homoseksual dan pecandu narkotik suntik di Los Angles, Amerika Serikat. Sejak
penemuan ini, dalam beberapa tahun dilaporkan lagi sejumlah penderita dengan syndrom yang
sama dari 46 negara bagian Amerika Serikat lainnya. Penyebaran AIDS terjadi secara cepat ke
berbagai benua. Dampak yang terlihat pada penderita beserta keluarganya, serta belum
diketahuinya cara penanganan dan pengobatannya menyebabkan keresahan psikosial yang sangat
besar di kalangan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner&suddart.2005.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta;EGC
Nursalam, M.Nurs (Hons) dan Ninuk Dian kurniawati, S.Kep.Ns. 2008. Asuhan Keperawatan
pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba medika
Greenberg MS., Glick M., Ship J.A., 2008, Burket’s Oral Medicine, 11th edition, BC Decker
Inc, Hamilton.
Smeltzer,Suzanne C.2001.Keperawatan Medikal Bedah Ed.8.Jakarta;EGC
Little JW., Falace DA., Miller CS., Rhodus NL., 2002, Dental Management of The Medically
Compromised Patient, 6th edition, Mosby.
Reznik, D.A., 2005, Oral Manifestations of HIV Disease, International AIDS Society-
USA, 13(5):146-7
Scully C., 2004, Oral Maxillofacial Medicine- ther basis of diagnosis dan treatment .
Elsevier Limited.
FDA, 2004, Summary of Safety and Effectiveness Data,
http://www.fda.gov/downloads/BiologicsBloodVaccines/BloodBloodProdu
cts/ApprovedProducts/PremarketApprovalsPMAs/ucm091919.pdf, Accessed 8/8/2010.
top related