hal yang patut direnungkan i-iii
Post on 26-Nov-2015
107 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Hal yang Patut Direnungkan
I - III
Oleh
Bhikkhu Sikkhānanda
Dipersembahkan sebagai Dana Dhamma
Oleh
Keluarga Besar
Amir Sujono & Rima Sulastri
1
Hal yang Patut Direnungkan
Di bawah ini adalah beberapa wejangan Sang Buddha yang menjadi bahan perenunganku
dari waktu ke waktu dalam mengarahkan jalannya kehidupan kebhikkhuan-ku. Mungkin bahan
renungan ini bisa bermanfaat bagi teman-teman yang lain, khususnya bagi para bhikkhu,
samanera, dan mereka yang ingin menjadi bhikkhu. Oleh karena itu, aku berbagi di sini.
Namun demikian, bukan berarti seseorang yang tidak termasuk di dalam tiga kelompok di
atas, tidak perlu merenungkannya. Dengan merenungkan wejangan-wejangan ini, dia dapat
diharapkan untuk lebih mengerti bahwa menjalani kehidupan suci tidak bisa sembarangan, asal-
asalan, main-main, atau hanya sekedar untuk mengisi waktu; bukan juga untuk menikmati fasilitas
yang diberikan oleh umat, memperoleh penghormatan, ataupun ketenaran. Tujuan sebenarnya
dari menjalani kehidupan suci adalah untuk secepatnya mencapai berhentinya penderitaan,
kedamaian abadi, Nibbāna.
Oleh karena itu, marilah kita jalani kehidupan yang sungguh mulia ini sebaik-baiknya untuk
meraih Dhamma Mulia (Magga, Phala, dan Nibbāna) di kehidupan ini juga.
Untuk mengetahui lebih detail apa yang dikatakan Sang Buddha, silakan baca suttanya.
Hal yang Patut Direnungkan I ....................................................................................... hal 2
Hal yang Patut Direnungkan II ...................................................................................... hal 11
Hal yang Patut Direnungkan III ..................................................................................... hal 29
Salam dalam mettā,
U Sikkhānanda
Benteng Satipaṭṭhāna
Tangerang, 20 Oktober, 2013
Daftar singkatan:
AN Aṅguttara Nikāya
Dhp Dhammapada
DhpA Dhammapada Aṭṭhakathā
DN Dīgha Nikāya
MN Majjhima Nikāya
Sn Suttanipāta
SN Saṃyutta Nikāya
Thag Theragāthā
2
Bagian I:
Jalani dengan Kesungguhan, Jangan Sembarangan!
Sikkhānanda, kau telah memutuskan untuk menjadi bhikkhu, berjuanglah sungguh-
sungguh, jangan pernah malas! Kau harus tahu malu dengan para umat yang telah menyokong
kehidupanmu, terutama dengan kedua orang tuamu dan para gurumu yang telah memberikanmu
kehidupan yang mulia ini.
Tentu kau mengetahui arti dari namamu “Seorang yang suka berlatih - sila, konsentrasi,
dan kebijaksanaan.” Tunjukkan bahwa kau layak mendapatkan nama tersebut. Ingatlah salah satu
ciri dari kuda jenis unggul yang layak menjadi kuda seorang raja, “Tak peduli kuda lain ingin
menarik beban atau tidak, dia akan menariknya.” Demikian juga dengan kau, “Tak peduli orang
lain mau berlatih atau tidak, kau harus berlatih”. Jadilah bhikkhu yang layak menerima pujaan,
keramah-tamahan, persembahan, penghormatan, dan merupakan ladang tempat menanam jasa
yang tiada taranya bagi dunia (āhuneyyo, pāhuneyyo, dakkhiṇeyyo, añjalikaraṇīyo, anuttaraṃ
puññakkhettaṃ lokassa) – AN 8.13. Namun demikian, janganlah kau melekat pada hal-hal
tersebut, karena telah dikatakan oleh Sang Bhagavā bahwa perolehan, penghormatan, dan
kemasyhuran (lābhasakkārasiloka) adalah hal yang paling berbahaya bagi seorang bhikkhu.
Jalani kehidupan kebhikkhuan-mu dengan sungguh-sungguh, jangan sembarangan!
Jangan hanya karena kau memakai jubah bhikkhu, maka kau- walaupun tidak benar-benar berlatih
-juga berkata, “Saya juga seorang bhikkhu! Saya juga seorang bhikkhu!” Karena, bila demikian,
kau tidak ada bedanya dengan keledai yang berkata, “Saya juga sapi! Saya juga sapi!” Dan, satu
lagi, jangan sampai kau menjadi seperti salah satu dari enam puluh orang bhikkhu yang
memuntahkan darah panas – AN 7.72. Ingatlah baik-baik!, bila kau lengah, malas, dan asal-asalan
dalam menjalani kehidupan suci ini, kau akan terlahir di alam rendah, di alam menyedihkan, di
alam menderita, di neraka.
Oleh karena itu, simaklah dan renungkanlah baik-baik wejangan Sang Guru Agung, Sang
Bhagavā di bawah ini.
Dhp = Dhammapada
Dhp 9: Dia yang belum terbebas dari kekotoran mental (kilesa), yang tidak terjaga inderanya, dan
jauh dari kebenaran, [walaupun] mengenakan jubah kuning, tidaklah pantas mengenakan jubah
kuning.
Dhp 307: Banyak pria memakai jubah kuning (bhikkhu) yang mempunyai sifat jahat dan tidak
terjaga [dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan jasmani]. Mereka akan terlahir di neraka akibat
tindakan jahatnya.
Dhp 308: Lebih baik dia memakan bongkahan besi panas yang merah-nyala membara daripada
memakan dana makanan yang diberikan oleh umat, jika dia tidak bermoral (bermoral buruk) dan
[pikiran, ucapan, dan perbuatan jasmaninya] tidak terjaga.
3
Dhp 311: Bagaikan rumput kusa, bila salah memegangnya akan melukai tangan; begitu juga
kehidupan kebhikkhuan, bila dijalankan secara salah akan menyeret pelakunya ke neraka.
Dhp 312: Tindakan yang dilakukan sekenanya (sembarangan) atau praktik yang salah atau sikap
seorang bhikkhu yang diragukan/dipertanyakan tidak mendatangkan banyak manfaat.
Dhp 313: Jika ada sesuatu yang harus dikerjakan, kerjakanlah dengan baik, mantap, dan penuh
semangat; karena kehidupan kebhikkhuan yang sekenanya (sembarangan) menebarkan lebih
banyak debu (kekotoran mental - kilesa).
Gadrabha Sutta - AN 3.83
Keledai
AN 3 - 2. dutiyapaṇṇāsakaṃ - (9) 4. samaṇavaggo - 2. gadrabhasuttaṃ
PTS: A i 229 , Bodhi hal. 315
"Para bhikkhu, seperti halnya seekor keledai yang mengikuti tepat di belakang sekelompok
sapi (berpikir/berkata), ‘Saya juga sapi! Saya juga sapi!’ Penampilannya tidak sama seperti
penampilan seekor sapi, suaranya tidak sama seperti suara seekor sapi, jejaknya tidak sama
seperti jejak seekor sapi. Walaupun demikian, dia tetap mengikuti tepat di belakang sekelompok
sapi, (berpikir/berkata), ‘Saya juga sapi! Saya juga sapi!’“
“Begitu juga, seorang bhikkhu mengikuti tepat di belakang sekelompok sangha para
bhikkhu, (berpikir/berkata), ‘Saya juga seorang bhikkhu! Saya juga seorang bhikkhu!‘ Dia tidak
memiliki keinginan seperti keinginan para bhikkhu lainnya untuk melakukan latihan moralitas yang
lebih tinggi. Dia tidak memiliki keinginan seperti keinginan para bhikkhu lainnya untuk melakukan
latihan pemusatan pikiran (konsentrasi) yang lebih tinggi. Dia tidak memiliki keinginan seperti
keinginan para bhikkhu lainnya untuk melakukan latihan kebijaksanaan yang lebih tinggi.
Walaupun demikian, dia tetap mengikuti tepat di belakang sekelompok sangha para bhikkhu,
(berpikir/berkata), ‘Saya juga seorang bhikkhu! Saya juga seorang bhikkhu!‘”
"Jadi, para bhikkhu, kalian harus melatih diri kalian: 'Kami akan mempunyai keinginan
yang kuat dalam melakukan latihan moralitas yang lebih tinggi; kami akan mempunyai keinginan
yang kuat dalam melakukan latihan pemusatan pikiran (konsentrasi) yang lebih tinggi; Kami akan
mempunyai keinginan yang kuat dalam melakukan latihan kebijaksanaan yang lebih tinggi.'
Begitulah caranya bagaimana kalian harus melatih diri kalian."
Jadi camkanlah baik-baik hal ini di dasar hatimu Sikhhānanda, jangan sampai kau hanya ikut-ikutan
memakai jubah bhikkhu tanpa benar-benar melaksanakan latihan kehidupan suci yang
sesungguhnya. Bila tidak, suatu saat orang akan mengetahuinya dan akan berkata bahwa kau
hanyalah seorang bhikkhu yang berkata, “Saya juga seorang bhikkhu! Saya juga seorang
bhikkhu!” Bila hal ini terjadi, maka kau tidak ada bedanya dengan keledai yang berkata, “Saya juga
sapi! Saya juga sapi!”
4
Mīḷhaka Sutta - SN 17.5
Kumbang Pemakan Kotoran
SN 2 - 6. lābhasakkārasaṃyuttaṃ - 1. paṭhamavaggo - 5. mīḷhakasuttaṃ
PTS: S ii 228
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, perolehan, penghormatan, dan kemasyhuran adalah sesuatu
yang kejam; suatu rintangan yang kasar, yang menyakitkan bagi pencapaian kebebasan tertinggi
dari belenggu. Seandainya, ada seekor kumbang pemakan kotoran, diliputi oleh kotoran, penuh
dengan kotoran, dan dengan tumpukan besar kotoran di depannya. Dia, karena hal ini,
merendahkan kumbang-kumbang yang lain, berpikir, ‘Aku adalah pemakan-kotoran, diliputi oleh
kotoran, penuh dengan kotoran, dan di depanku terdapat tumpukan besar kotoran.’”
“Demikian juga, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang pikirannya dicengkeram dan dikuasai
oleh perolehan, penghormatan, dan kemasyhuran, mengenakan jubahnya di pagi hari dan dengan
membawa mangkuk dan jubah luarnya dia pergi memasuki desa atau kota untuk mengumpulkan
dana makanan. Setelah makan sebanyak yang dia inginkan, dengan mangkuk yang penuh dengan
makanan dan undangan makan untuk keesokan harinya, dia kembali ke vihara. Di sana, di hadapan
sekelompok bhikkhu, dia menyombongkan dirinya dengan berkata, ‘Aku telah makan sebanyak
yang kuinginkan, mangkukku penuh dengan makanan, dan telah diundang kembali untuk esok
hari. Aku adalah penerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan perlengkapan obat-obatan untuk
mengatasi sakit. Namun demikian, para bhikkhu ini hanya memiliki sedikit kebajikan dan
pengaruh, mereka [hampir] tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan perlengkapan
obat-obatan untuk mengatasi sakit.’ Demikianlah, karena pikirannya dicengkeram dan dikuasai
oleh perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, dia memandang rendah para bhikkhu lainnya
yang berperilaku baik. Hal ini akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan bagi orang bodoh
tersebut untuk jangka waktu yang lama. Para bhikkhu, demikianlah betapa kejamnya perolehan,
kehormatan, dan kemasyhuran; suatu rintangan yang kasar, yang menyakitkan bagi pencapaian
kebebasan tertinggi dari belenggu.”
"Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus melatih diri kalian sebagai berikut, ‘Kami akan
mengeliminasi perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran yang muncul; dan kami tidak akan
membiarkan perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran yang telah muncul mencengkeram dan
menguasai pikiran kami.’ Demikianlah seharusnya kalian melatih diri kalian.”
Sikkhānanda, apakah kau sekarang dapat menyadari betapa kejamnya “perolehan, kehormatan,
dan kemasyhuran?” Bila kau menjalani kehidupan suci ini tidak sungguh-sungguh, tetapi asal-
asalan, sekenanya, sembarangan, dapat dipastikan kau akan tercengkeram dan dikuasai oleh
perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran. Kau akan menjadi seperti kumbang pemakan kotoran
yang tidak mengetahui betapa menjijikkan dirinya karena dipenuhi oleh kotoran. Tahukah kau
bahwa Devadatta hancur karena perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran? – SN 17.35. Maka
dari itu, berjuanglah sungguh-sungguh! Jangan sampai hal yang menimpa Devadatta terjadi pada
dirimu. Untuk lebih jauh mengetahui betapa bahayanya mereka, silakan baca di bagian III.
5
Aggikkhandopama Sutta - AN 7.72
Perumpamaan Kobaran Api
AN 7 - paṭhamapaṇṇāsakaṃ - 7. mahāvaggo - 8. aggikkhandhopamasuttaṃ
Demikianlah yang saya dengar. Suatu ketika Sang Bhagavā sedang melakukan perjalanan di
daerah kerajaan Kosala bersama sekelompok bhikkhu Sangha dalam jumlah yang besar. Saat
melintas di jalan utama, di suatu tempat Sang Bhagavā melihat api besar yang menyala-nyala,
berpijar-pijar, dan berkobar-kobar. Setelah meninggalkan jalan tersebut, Beliau duduk di kursi
yang telah disiapkan di bawah sebuah pohon. Setelah duduk, Sang Bhagavā berkata kepada para
bhikkhu, "Para bhikkhu, apakah kalian melihat api besar yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan
berkobar-kobar?" "Ya, Bhante."
[1] "Apa pendapat kalian, para bhikkhu? Mana yang lebih baik? Merangkul api besar yang
menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-kobar, dan duduk atau berbaring di dekat api
tersebut; atau merangkul seorang gadis dengan tangan dan kaki yang halus dan lembut– baik dia
dari kaum kesatria, brahmana, ataupun perumahtangga -dan duduk atau berbaring di dekatnya?"
"Tentu akan jauh lebih baik, Bhante, merangkul seorang gadis dengan tangan dan kaki yang
halus dan lembut– baik dia dari kaum kesatria, brahmana, ataupun perumahtangga biasa –dan
duduk atau berbaring di dekatnya; karena, tentu akan menyakitkan, Bhante, merangkul api besar
yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-kobar, dan duduk atau berbaring di dekatnya."
"Saya beritahu kalian, para bhikkhu, Saya nyatakan kepada kalian, para bhikkhu, bahwa
jauh lebih baik bagi dia– yang bermoral buruk, sifatnya buruk, perilakunya tidak murni dan
diragukan, tindakannya penuh kerahasiaan, bukan petapa namun mengaku sebagai petapa,
tidak menjalani kehidupan suci (selibat) namun mengaku selibat, busuk hatinya, korup, bejat
–merangkul api besar yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-kobar, dan duduk atau
berbaring di dekat api tersebut. Apa alasannya? Karena akibat hal itu, para bhikkhu, dia akan
meninggal atau merasa kesakitan seperti akan halnya meninggal; tetapi karena hal itu dia tidak
akan, saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, terlahir di alam rendah, di alam menyedihkan, di
alam menderita, di neraka."
"Tetapi, para bhikkhu, sesungguhnyalah jika dia– yang bermoral buruk, sifatnya buruk,
perilakunya tidak murni dan diragukan, tindakannya penuh kerahasiaan, bukan petapa namun
mengaku sebagai petapa, tidak menjalani kehidupan suci (selibat) namun mengaku selibat, busuk
hatinya, korup, bejat –merangkul seorang gadis dengan tangan dan kaki yang halus dan lembut–
baik dia dari kaum kesatria, brahmana, ataupun perumahtangga –dan duduk atau berbaring di
dekatnya, hal ini akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk jangka waktu yang
lama. Dan saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, dia akan terlahir di alam rendah, di alam
menyedihkan, di alam menderita, di neraka."
[2] "Apa pendapat kalian, para bhikkhu? Mana yang lebih baik? Seseorang yang kedua
betisnya diikat oleh seorang pria perkasa dengan tali dari rambut buntut kuda yang kuat,
kemudian pria perkasa tersebut mengencangkannya (memutar ikatan tali tersebut) hingga
6
memotong kulit bagian luar dari betisnya; setelah memotong kulit bagian luar, kemudian
memotong kulit bagian dalam dari betisnya; setelah memotong kulit bagian dalam, kemudian
memotong dagingnya; setelah memotong dagingnya, kemudian memotong ototnya; setelah
memotong ototnya, kemudian memotong tulangnya; setelah memotong tulangnya, kemudian
memotongnya tembus sampai ke sumsum tulangnya; atau seseorang yang menikmati
penghormatan/sembah sujud (abhivādana/namakkāra)1 yang diberikan oleh para kesatria kaya,
brahmana kaya, atau perumahtangga kaya?”
"Tentu akan jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menikmati penghormatan
(namakkāra) yang diberikan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya, atau perumahtangga kaya;
karena, tentu akan menyakitkan, Bhante, jika seorang pria perkasa mengikat kedua betisnya
dengan tali dari rambut buntut kuda yang kuat, kemudian mengencangkannya hingga memotong
kulit bagian luar dari betisnya; ..... kemudian memotongnya tembus sampai ke sumsum
tulangnya.”
"Saya beritahu kalian, para bhikkhu, Saya nyatakan kepada kalian, para bhikkhu, bahwa
jauh lebih baik bagi dia– yang bermoral buruk, ..... bejat –bila seorang pria perkasa mengikat
kedua betisnya dengan tali dari rambut buntut kuda yang kuat, kemudian mengencangkannya
hingga memotong kulit bagian luar dari betisnya; ..... kemudian memotongnya tembus sampai ke
sumsum tulangnya. Apa alasannya? Karena akibat hal itu, para bhikkhu, dia akan meninggal atau
merasa kesakitan seperti akan halnya meninggal; tetapi karena hal itu dia tidak akan, saat
tubuhnya hancur, setelah meninggal, terlahir di alam rendah, di alam menyedihkan, di alam
menderita, di neraka."
"Tetapi, para bhikkhu, sesungguhnyalah jika dia– yang bermoral buruk, ..... bejat
–menikmati penghormatan (abhivādana) yang diberikan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya,
atau perumahtangga kaya, hal ini akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk
jangka waktu yang lama. Dan saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, dia akan terlahir di alam
rendah, di alam menyedihkan, di alam menderita, di neraka."
[3] "Apa pendapat kalian, para bhikkhu? Mana yang lebih baik? Seseorang yang ditombak di
bagian bawah dadanya oleh seorang pria perkasa dengan tombak yang telah digosok dengan
minyak; atau seseorang yang menikmati salam penghormatan (añjali)2 yang diberikan oleh para
kesatria kaya, brahmana kaya, atau perumahtangga kaya?”
"Tentu akan jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menikmati salam penghormatan
(añjali) yang diberikan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya, atau perumahtangga kaya; karena,
tentu akan menyakitkan, Bhante, jika seorang pria perkasa menombak bagian bawah dadanya
dengan tombak yang telah digosok dengan minyak.”
"Saya beritahu kalian, para bhikkhu, Saya nyatakan kepada kalian, para bhikkhu, bahwa
jauh lebih baik bagi dia– yang bermoral buruk, ..... bejat –bila seorang pria perkasa menombak
1 Melakukan penghormatan dengan bersujud di mana 1) jari kaki, 2) lutut, 3) siku, 4) telapak tangan, dan 5) dahi
menyentuh lantai. 2 Menangkupkan kedua belah telapak tangan di depan dada.
7
bagian bawah dadanya dengan tombak yang telah digosok dengan minyak. Apa alasannya? Karena
akibat hal itu, para bhikkhu, dia akan meninggal atau merasa kesakitan seperti akan halnya
meninggal; tetapi karena hal itu dia tidak akan, saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, terlahir
di alam rendah, di alam menyedihkan, di alam menderita, di neraka."
"Tetapi, para bhikkhu, sesungguhnyalah jika dia– yang bermoral buruk, ..... bejat
–menikmati salam penghormatan (añjali) yang diberikan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya,
atau perumahtangga kaya, hal ini akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk
jangka waktu yang lama. Dan saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, dia akan terlahir di alam
rendah, di alam menyedihkan, di alam menderita, di neraka."
[4] "Apa pendapat kalian, para bhikkhu? Mana yang lebih baik? Seseorang yang tubuhnya
dibungkus oleh seorang pria perkasa dengan sebuah lempengan besi panas yang menyala-nyala,
berpijar-pijar, dan berkobar-kobar; atau seseorang yang menggunakan jubah yang diberikan atas
dasar keyakinan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya, atau perumahtangga kaya?”
"Tentu akan jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menggunakan jubah yang
diberikan atas dasar keyakinan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya, atau perumahtangga kaya;
karena, tentu akan menyakitkan, Bhante, jika seorang pria perkasa membungkus tubuhnya dengan
sebuah lempengan besi panas yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-kobar.”
"Saya beritahu kalian, para bhikkhu, Saya nyatakan kepada kalian, para bhikkhu, bahwa
jauh lebih baik bagi dia– yang bermoral buruk, ..... bejat –bila seorang pria perkasa membungkus
tubuhnya dengan sebuah lempengan besi panas yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-
kobar. Apa alasannya? Karena akibat hal itu, para bhikkhu, dia akan meninggal atau merasa
kesakitan seperti akan halnya meninggal; tetapi karena hal itu dia tidak akan, saat tubuhnya
hancur, setelah meninggal, terlahir di alam rendah, di alam menyedihkan, di alam menderita, di
neraka."
"Tetapi, para bhikkhu, sesungguhnyalah jika dia– yang bermoral buruk, ..... bejat
–menggunakan jubah yang diberikan atas dasar keyakinan oleh para kesatria kaya, brahmana
kaya, atau perumahtangga kaya, hal ini akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya
untuk jangka waktu yang lama. Dan saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, dia akan terlahir di
alam rendah, di alam menyedihkan, di alam menderita, di neraka."
[5] "Apa pendapat kalian, para bhikkhu? Mana yang lebih baik? Seseorang yang mulutnya
dibuka paksa oleh seorang pria perkasa dengan sebuah paku besi panas– yang menyala-nyala,
berpijar-pijar, dan berkobar-kobar –dan kemudian dimasukkan sebuah bola tembaga panas–
yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-kobar –sehingga bibirnya terbakar, mulutnya
terbakar, lidahnya terbakar, tenggorokannya terbakar, perutnya terbakar, dan akhirnya keluar dari
tubuh bagian bawah dengan membawa serta isi perutnya; atau seseorang yang memakan
makanan yang diberikan atas dasar keyakinan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya, atau
perumahtangga kaya?”
8
"Tentu akan jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk memakan makanan yang
diberikan atas dasar keyakinan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya, atau perumahtangga kaya;
karena, tentu akan menyakitkan, Bhante, jika seorang pria perkasa membuka paksa mulutya
dengan sebuah paku besi panas– yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-kobar .....
dengan membawa serta isi perutnya.”
"Saya beritahu kalian, para bhikkhu, Saya nyatakan kepada kalian, para bhikkhu, bahwa
jauh lebih baik bagi dia– yang bermoral buruk, ..... bejat –bila seorang pria perkasa membuka
paksa mulutya dengan sebuah paku besi panas– yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-
kobar ..... dengan membawa serta isi perutnya. Apa alasannya? Karena akibat hal itu, para
bhikkhu, dia akan meninggal atau merasa kesakitan seperti akan halnya meninggal; tetapi karena
hal itu dia tidak akan, saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, terlahir di alam rendah, di alam
menyedihkan, di alam menderita, di neraka."
"Tetapi, para bhikkhu, sesungguhnyalah jika dia– yang bermoral buruk, ..... bejat
–memakan makanan yang diberikan atas dasar keyakinan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya,
atau perumahtangga kaya, hal ini akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk
jangka waktu yang lama. Dan saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, dia akan terlahir di alam
rendah, di alam menyedihkan, di alam menderita, di neraka."
[6] "Apa pendapat kalian, para bhikkhu? Mana yang lebih baik? Seseorang yang kepala atau
bahunya dicengkeram oleh seorang pria perkasa dan dipaksa untuk duduk atau berbaring di
sebuah kursi atau ranjang besi panas [yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-kobar];
atau seseorang yang menggunakan kursi atau ranjang yang diberikan atas dasar keyakinan oleh
para kesatria kaya, brahmana kaya, atau perumahtangga kaya?”
"Tentu akan jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menggunakan kursi atau ranjang
yang diberikan atas dasar keyakinan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya, atau perumahtangga
kaya; karena, tentu akan menyakitkan, Bhante, jika seorang pria perkasa mencengkeram kepala
atau bahunya dan memaksanya untuk duduk atau berbaring di sebuah kursi atau ranjang besi
panas [yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-kobar].”
"Saya beritahu kalian, para bhikkhu, Saya nyatakan kepada kalian, para bhikkhu, bahwa
jauh lebih baik bagi dia– yang bermoral buruk, ..... bejat –bila seorang pria perkasa
mencengkeram kepala atau bahunya dan memaksanya untuk duduk atau berbaring di sebuah
kursi atau ranjang besi panas [yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-kobar]. Apa
alasannya? Karena akibat hal itu, para bhikkhu, dia akan meninggal atau merasa kesakitan seperti
akan halnya meninggal; tetapi karena hal itu dia tidak akan, saat tubuhnya hancur, setelah
meninggal, terlahir di alam rendah, di alam menyedihkan, di alam menderita, di neraka."
"Tetapi, para bhikkhu, sesungguhnyalah jika dia– yang bermoral buruk, ..... bejat
–menggunakan kursi atau ranjang yang diberikan atas dasar keyakinan oleh para kesatria kaya,
brahmana kaya, atau perumahtangga kaya, hal ini akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan
baginya untuk jangka waktu yang lama. Dan saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, dia akan
terlahir di alam rendah, di alam menyedihkan, di alam menderita, di neraka."
9
[7] "Apa pendapat kalian, para bhikkhu? Mana yang lebih baik? Seseorang yang dicengkeram
dan dijungkirbalikkan oleh seorang pria perkasa lalu dilemparkan ke dalam periuk tembaga
panas– yang menyala-nyala, berpijar-pijar, dan berkobar-kobar –dan ketika dia digodok dan
diputar-putar di sana, dia kadang kala naik ke atas, kadang kala turun ke bawah, dan kadang kala
terhempas ke samping; atau seseorang yang menggunakan tempat tinggal (vihāra) yang diberikan
atas dasar keyakinan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya, atau perumahtangga kaya?”
"Tentu akan jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menggunakan tempat tinggal
(vihāra) yang diberikan atas dasar keyakinan oleh para kesatria kaya, brahmana kaya, atau
perumahtangga kaya; karena, tentu akan menyakitkan, Bhante, jika seorang pria perkasa
mencengkeram dan menjungkirbalikkannya lalu melemparkannya ke dalam periuk tembaga panas
..... dan kadang kala terhempas ke samping.”
"Saya beritahu kalian, para bhikkhu, Saya nyatakan kepada kalian, para bhikkhu, bahwa
jauh lebih baik bagi dia– yang bermoral buruk, ..... bejat –bila seorang pria perkasa
mencengkeram dan menjungkirbalikkannya lalu melemparkannya ke dalam periuk tembaga panas
..... dan kadang kala terhempas ke samping. Apa alasannya? Karena akibat hal itu, para bhikkhu,
dia akan meninggal atau merasa kesakitan seperti akan halnya meninggal; tetapi karena hal itu dia
tidak akan, saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, terlahir di alam rendah, di alam
menyedihkan, di alam menderita, di neraka."
"Tetapi, para bhikkhu, sesungguhnyalah jika dia– yang bermoral buruk, ..... bejat
–menggunakan tempat tinggal (vihara) yang diberikan atas dasar keyakinan oleh para kesatria
kaya, brahmana kaya, atau perumahtangga kaya, hal ini akan mengakibatkan kerugian dan
penderitaan baginya untuk jangka waktu yang lama. Dan saat tubuhnya hancur, setelah
meninggal, dia akan terlahir di alam rendah, di alam menyedihkan, di alam menderita, di
neraka."
"Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus melatih diri kalian sebagai berikut, ‘Kami akan
menggunakan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan serta perlengkapan pendukung
ketika sakit, sehingga persembahan yang para dermawan sediakan untuk kami memberikan buah
yang berlimpah, manfaat yang berlimpah kepada mereka, dan latihan kebhikkhuan kami tidak
akan sia-sia, tetapi akan memberikan hasil.’ Demikianlah seharusnya kalian melatih diri kalian.
Maka dari itu, seyogianyalah latihlah diri kalian, dengan memahami sepenuhnya demi keuntungan
diri kalian sendiri, demi keuntungan orang lain, dan demi keuntungan keduanya; para bhikkhu,
adalah hal yang benar untuk berusaha/berjuang dengan penuh kewaspadaan.”
Inilah yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Saat itu, ketika penjelasan ini sedang
disampaikan, enam puluh bhikkhu mengalami muntah darah-panas. Enam puluh bhikkhu lepas
jubah dan kembali menjadi umat awam, mereka berkata, “Ini terlalu sulit untuk dilaksanakan, Sang
Bhagavā, ini terlalu sulit untuk dilaksanakan, Sang Bhagavā.” Dan, enam puluh bhikkhu pikirannya
terbebas dari noda (āsava) [menjadi arahat].
Sikkhānanda, ingatlah baik-baik, nasihat Sang Bhagavā di atas, jangan sampai kau menjadi seperti
salah satu dari enam puluh orang bhikkhu yang memuntahkan darah-panas. Bila kau lengah,
10
malas, dan asal-asalan dalam menjalani kehidupan suci ini, kau akan terlahir di alam rendah, di
alam menyedihkan, di alam menderita, di neraka.
Kau juga bisa membaca kisah para bhikkhu, bhikkhuni, sāmaṇera, sikkhamānā, dan sāmaṇerī yang
menjalani kehidupan sucinya secara salah di Lakkhaṇa Saṃyutta (SN 19 - nidānavaggo, 8.
lakkhaṇasaṃyuttaṃ, 2. dutiyavaggo).3 Akibat dari perbuatannya, mereka terlahir di neraka untuk
waktu yang sangat lama dan sisa dari kekuatan hasil karma tersebut membawa mereka terlahir di
alam hantu kelaparan (peta) dengan kondisi yang sangat menyedihkan.
Salam dalam mettā,
U Sikkhānanda
Cetiya Dhamma Sikkhā
Tangerang, 04 April, 2013
=========oo0oo=========
3 Sutta-sutta dalam saṃyutta ini juga muncul di Vinaya III 104-8 (The Book of The Discipline Vol. I).
11
Bagian II:
Harus Berbeda & Capailah yang Belum Dicapai!
Sikkhānanda, kau sekarang adalah seorang bhikkhu, sikap dan perilakumu harus berbeda
dengan sikap dan perilaku para umat awam. Hal pertama yang harus kau pelajari dan mengerti
dengan baik adalah peraturan kebhikkhuan (vinaya), tidak cukup hanya sekedar mengikuti
praktik para sesepuh saat ini. Hanya dengan memahami vinaya dengan baiklah, barulah kau dapat
mengetahuinya apabila kau menjalani kehidupan sucimu sesuai dengan standar yang berlaku atau
tidak. Selain itu, kau harus sering merenungkan sepuluh hal sehubungan dengan kehidupan
seorang bhikkhu – AN 10.48. Satu lagi hal yang sangat penting adalah, kau harus menjaga dan
melaksanakan empat kualitas mulia yang selalu dijaga oleh para petapa dan brahmana mulia
(ariya sangha) - AN 4.28, yaitu: puas dengan jubah, makanan, dan tempat tinggal apapun yang
didapat, dan menyukai pengembangan mental (meditasi) - meningkatkan kualitas baik dan
mengikis kualitas buruk.
Manusia, sejak lahir, bahkan ketika masih bayi, tangannya sudah berusaha meraih
(mencengkeram) sesuatu, hal ini menandakan betapa tinggi keserakahannya (lobha). Bila tidak
mendapatkannya, dia akan menangis, yang merupakan pertanda dari kebencian/kemarahan
(dosa). Sekarang kau adalah seorang bhikkhu, tunjukkan bahwa kau berbeda. Empat kebutuhan
pokokmu berlimpah, bahkan banyak sekali cetiya dan vihara yang kosong. Khususnya mengenai
hal ini, ingatlah baik-baik!, bhikkhu adalah orang yang meninggalkan rumah, jadi jangan pernah
kau mengemis untuk mempunyai vihara sendiri. Jika kau melakukannya, maka kau dapat
dikatakan sebagai orang yang meninggalkan gubuk (rumah) untuk mendapatkan istana (vihara),
suatu hal yang sungguh memalukan. Selain itu, kemungkinan besar kau akan melanggar
peraturan Saṅghādisesa ke-6 (kuṭikārasikkhāpadaṃ). Bacalah dan ingatlah baik-baik cerita
seorang bhikkhu yang meminta bulu burung dan seorang petapa yang meminta batu mulia naga
Maṇikaṇṭha. Ingatlah apa kata Sang Bhagavā tentang mengemis, “Para bhikkhu, mengemis
ataupun melakukan indikasi adalah hal yang memuakkan, bahkan bagi para binatang; apalagi
bagi para manusia!” Oleh karena itu, kukatakan sekali lagi, jangan pernah kau mengemis!
Selain hal-hal di atas, agar kau bisa lebih baik lagi dalam menjalankan kehidupan suci ini,
maka kau harus benar-benar mengerti Dhamma ini dengan baik dan hidup berdiam dalam
Dhamma. Artinya adalah kau tidak boleh melupakan meditasi, khususnya meditasi vipassanā,
karena hanya dengan ber-vipassanā-lah pencerahan dapat dicapai. Hal ini sesuai dengan kualitas
mulia yang keempat di atas dan yang dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam AN 5.73 - 5.74, yaitu ‘Dia
yang lupa untuk bermeditasi bukanlah seorang yang berdiam dalam Dhamma.’ Satu lagi, ingatlah
bahaya masa depan yang telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam AN 5.79 - 5.80, dan semua itu
sudah terjadi saat ini. Maka, selagi kesempatan masih ada, kau harus meraih, mencapai, atau
merealisasi yang belum kau raih, capai, atau realisasi.
Camkanlah nasihat Sang Bhagavā ini di hatimu,
12
“Para bhikkhu, apapun yang seorang guru harus lakukan
– demi kesejahteraan murid-muridnya atas rasa simpati/rasa sayang pada mereka –
telah Aku lakukan untuk kalian.
Di sana ada akar-akar pohon, kuti-kuti (gubuk/tempat) kosong.
Ber-MEDITASI-lah, para bhikkhu, jangan lalai! Jangan sampai menyesal di kemudian hari.
Ini adalah pesan kami kepada kalian semua.” AN -7.74
Oleh karena itu, simak dan renungkanlah baik-baik wejangan Sang Guru Agung, Sang
Bhagavā di bawah ini.
Pabbajitābhiṇha Sutta - AN 10.48
Hal yang Harus Sering Direnungkan oleh
Seorang yang Meninggalkan Kehidupan Duniawi
AN 10 - 1. paṭhamapaṇṇāsakaṃ - 5. akkosavaggo - 8. pabbajitābhiṇhasuttaṃ
PTS: A V 87 , Bodhi hal. 1398
“Para bhikkhu, ada sepuluh hal (Dhamma) yang harus sering (dari waktu ke waktu)
direnungkan oleh seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi. Apa sepuluh hal itu?”
1. “Seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi harus sering merenungkan, ‘Aku sekarang
tanpa kasta (status).’”
Artinya: sekarang hidup sebagai putra Sakya, meninggalkan status sebelumnya, apakah dari
kasta brahmana, kesatria, waisya (vessa), sudra (sudda), atau buangan/paria (vasala/caṇḍāla).
Tetapi kitab komentar mengartikan tanpa perhiasan/aksesoris yang terdiri dari dua aspek,
tubuh dan perlengkapannya. Aspek tubuh: harus cukur rambut dan bewok. Aspek
perlengkapan: pakai baju kuning dari kain yang disambung-sambung; makan nasi campur kuah
di mangkuk dari besi atau tanah liat; tidur di bawah pohon, dsb.; berbaring di atas hamparan
rumput, dsb.; duduk di atas sehelai kulit atau kain, dsb.; dan menggunakan air seni sapi basi,
dsb., sebagai obat. Ketika merenungkan hal ini, kemarahan dan kesombongan dapat
ditinggalkan.
2. “Seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi harus sering merenungkan, ‘Kehidupanku
bergantung kepada orang lain.’”
Artinya: bhikkhu tidak bekerja untuk dapat gaji/uang untuk membeli keperluannya, tetapi
mendapatkan semua kebutuhannya– jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat –dari
persembahan umat. Dia juga tidak menggunakannya tanpa melakukan perenungan terlebih
dahulu. Walaupun demikian, bhikkhu bukanlah pengemis, jadi janganlah kau suka merengek
atau meminta-minta kepada para umat. Maka dari itu, latihlah dirimu untuk mudah merasa
puas, hidup bersahaja, dan mudah disokong, karena hal itu adalah berkah tertinggi.
13
3. “Seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi harus sering merenungkan, ‘Perilakuku
harus berbeda.’”
Artinya: kitab komentar: umat awam jalan dengan dada membusung ke depan, kepala
mendongak, bergaya (seperti main-main, lenggak-lenggok, dll.), dan langkahnya tidak
beraturan. Tetapi, sikapku harus berbeda – harus jalan dengan indra yang tenang/terjaga (sati
selalu terjaga), dengan pikiran tenang, perlahan, dan langkahnya teratur, bagaikan sebuah
kereta yang melalui genangan air atau jalan yang kasar.”
4. “Seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi harus sering merenungkan, ‘Apakah aku
masih dapat mencela diriku sehubungan dengan moralitasku?’”
Artinya: seorang bhikkhu harus mengerti peraturan kebhikkhuan (vinaya) dengan baik, bukan
hanya sekedar mengikuti tradisi para sesepuh. Hanya dengan mengetahui vinaya dengan
baiklah, barulah dia bisa mengetahuinya bila hidupnya sesuai dengan standar yang berlaku
atau tidak. Kembangkanlah kebijaksanaan (dengan ber-vipassanā), karena dia yang bijaksana,
otomatis sikap dan perilakunya akan baik; bukan sebaliknya.
5. “Seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi harus sering merenungkan, ‘Apakah teman
bhikkhu-ku yang bijaksana, setelah menyelidikinya, [masih dapat] mencela diriku
sehubungan dengan moralitasku?’”
Artinya: sama dengan nomor 4.
6. “Seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi harus sering merenungkan, ‘Aku akan
berpisah dengan semua yang aku cintai dan sukai.’”
Artinya: janganlah melekat pada apapun atau siapapun, untuk memudahkannya janganlah
mempunyai ataupun menyimpan banyak barang seperti umat awam, karena semua benda-
benda tersebut akan meminta perhatianmu. Apalagi praktik mengangkat anak asuh, sangat
salah sekali, jangan pernah punya keinginan untuk itu, apalagi meniru untuk melakukannya.
Ingatlah, bhikkhu adalah seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi, harus berlatih
melepas, bukan mengumpulkan dan membuat dirinya semakin terikat. Daripada memiliki
anak asuh, lebih baik kau lepas jubah, menikah, dan mempunyai anak sendiri. Selain itu,
bacalah AN 5.57.
7. “Seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi harus sering merenungkan, ‘Aku adalah
pemilik karmaku, pewaris karmaku, dilahirkan oleh karmaku, karmaku adalah kerabatku,
karmaku adalah pelindungku. Aku akan menjadi pewaris apapun karma, baik ataupun
buruk, yang kulakukan.’”
Artinya: lihat AN 5.57 atau buku Kisah-Kisah Hukum Karma.
8. “Seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi harus sering merenungkan, “Bagaimana aku
melewatkan/menghabiskan waktuku (siang dan malam hari)?’”
Artinya: jangan pernah bermalas-malasan, apalagi hanya makan dan tidur. Bila demikian,
sikapmu sama dengan pendapat kebanyakan orang tentang kehidupan seorang bhikkhu.
Bukan juga menghabiskan waktumu dengan membaca koran, majalah, menonton televisi,
14
mendengarkan lagu, ataupun membicarakan (mengobrol) yang bukan Dhamma (biasa dikenal
sebagai animal talks - AN 10.69) Hanya ada tiga hal yang perlu dilakukan seorang bhikkhu,
belajar Dhamma, mengajarkan Dhamma, atau berdiam dengan mulia (meditasi).
9. “Seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi harus sering merenungkan, ‘Apakah aku
menyukai/senang berdiam di tempat tinggal yang kosong?’”
Artinya: tidak seperti umat awam yang suka keluyuran mencari keramaian (mendengarkan
lagu atau bernyanyi, melihat tontonan atau mempertunjukkannya - tarian, drama, dll.) atau
secara umum dapat dikatakan mencari-cari kesenangan objek indra - karena, mereka mabuk
akan hal itu. Bila Seorang bhikkhu masih menyukai hal tersebut, berarti dia belum benar-
benar mengerti tentang Dhamma ini, karena Ajaran ini mengajarkan untuk melepas, bukan
mengumpulkan. Teori saja tidaklah cukup, untuk itu dia harus lebih sering meditasi untuk
merealisasinya. Seorang bhikkhu yang baik, dia suka menyendiri, tempat yang sunyi/kosong,
karena dia cukup puas & bahagia dengan mengontemplasikan fenomena mental &
jasmaninya sendiri. Ingatlah ini, Sang Bhagavā berkata, “Di dalam disiplin yang mulia ini
(ariyassa vinaye) menyanyi adalah menangis; menari adalah kegilaan; dan tertawa lebar,
keras, sampai memperlihatkan gigi adalah kekanak-kanakan.” – AN 3.108 (Bodhi 3.107, hal.
342).
10. “Seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi harus sering merenungkan, ‘Apakah aku
telah mencapai pengetahuan dan pandangan adiduniawi, sehingga ketika ditanya oleh
teman bhikkhu-ku di hari terakhirku (menjelang kematian), aku tidak merasa malu?’”
Artinya: mencapai pencerahan, inilah tujuan utama menjadi bhikkhu. Berjuanglah sungguh-
sungguh, kesempatan masih ada dan terbuka. Jangan pernah menyerah sebelum mencapai
tahapan terakhir, karena hanya itulah cara kau memenuhi harapan dan sekaligus melakukan
penghormatan terbaik terhadap Sang Bhagavā.
“Itulah, para bhikkhu, sepuluh hal (Dhamma) yang harus sering (dari waktu ke waktu)
direnungkan oleh seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi.”
Sikkhānanda, kau harus sering merenungkan sepuluh hal di atas agar kau tidak lupa bahwa saat ini
kau adalah seorang bhikkhu, bukan lagi umat awam. Pastikan bahwa sepuluh hal tersebut dapat
kau mengerti dengan baik dan terdapat di dalam dirimu.
Ariyavaṃsa Sutta - AN 4.28
Bangsa Mulia
AN 4 - 1. paṭhamapaṇṇāsakaṃ - 3. uruvelavaggo - 8. ariyavaṃsasuttaṃ
PTS: A ii 27, Bodhi hal. 414
“Para bhikkhu, ini adalah empat kualitas para Mulia– yang asli, telah berlangsung lama,
merupakan tradisi, kuno, murni dan belum pernah diselewengkan, tidak sedang diselewengkan,
15
dan tidak akan diselewengkan –yang tidak akan ditinggalkan oleh para petapa dan brahmana
bijaksana. Apakah keempat kualitas tersebut?”
[1] "Di Ajaran ini, seorang bhikkhu merasa puas dengan [jenis] jubah apapun, dia memuji
sikap berpuas diri dengan [jenis] jubah apapun,4 dan dia tidak melakukan pencarian yang salah,
yang tidak pantas, hanya untuk [mendapatkan] sebuah jubah. Jika dia tidak mendapatkan jubah,
dia tidak resah; jika mendapatkannya, dia memakainya tanpa mencengkeramnya, tergila-gila, dan
terbelenggu padanya. Dia melihat bahaya [dari kemelekatan] terhadapnya dan mengerti cara
terbebas darinya. Namun demikian, karena hal ini, dia tidak meninggikan dirinya ataupun
merendahkan bhikkhu lain. Siapapun, bhikkhu yang terampil dalam hal ini, energetik, memahami
dengan jernih, dan selalu terjaga sati-nya, dia dikatakan berdiri kokoh pada tradisi kuno yang
murni dari para Mulia.”
[2] "Selain itu, seorang bhikkhu merasa puas dengan [jenis] makanan apapun, dia memuji
sikap berpuas diri dengan [jenis] makanan apapun, ..... dia dikatakan berdiri kokoh pada tradisi
kuno yang murni dari para Mulia.”
[3] "Selain itu, seorang bhikkhu merasa puas dengan [jenis] tempat tinggal apapun, dia
memuji sikap berpuas diri dengan [jenis] tempat tinggal apapun, ..... dia dikatakan berdiri kokoh
pada tradisi kuno yang murni dari para Mulia.”
[4] "Selain itu, seorang bhikkhu menemukan kebahagiaan dalam pengembangan mental
dan menemukan kebahagiaan dalam pengeliminasian kekotoran mental.5 Namun demikian,
karena hal ini, dia tidak meninggikan dirinya ataupun merendahkan bhikkhu lain. Siapapun,
bhikkhu yang terampil dalam hal ini, energetik, memahami dengan jernih, dan selalu terjaga sati-
nya, dia dikatakan berdiri kokoh pada tradisi kuno yang murni dari para Mulia.”
“Inilah, para bhikkhu, empat kualitas para Mulia– yang asli, telah berlangsung lama,
merupakan tradisi, kuno, murni dan belum pernah diselewengkan, tidak sedang diselewengkan,
dan tidak akan diselewengkan –yang tidak akan ditinggalkan oleh petapa dan brahmana
bijaksana.”
“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki empat kualitas para Mulia, jika dia
berdiam di Timur, dia menaklukkan ketidakpuasan dan tidak ditaklukkan oleh ketidakpuasan; jika
dia berdiam di Barat, dia menaklukkan ketidakpuasan dan tidak ditaklukkan oleh ketidakpuasan;
jika dia berdiam di Utara, dia menaklukkan ketidakpuasan dan tidak ditaklukkan oleh
ketidakpuasan; jika dia berdiam di Selatan, dia menaklukkan ketidakpuasan dan tidak ditaklukkan
oleh ketidakpuasan. Apa alasannya? Karena seorang bijaksana dapat menaklukkan baik rasa
senang maupun ketidaksenangan (ketidakpuasan).”
4 Komentar, tiga jenis kepuasan: 1. puas dengan kualitas apapun yang didapatnya, 2. puas dengan apa yang cocok
untuk kesehatannya (bahan tebal, tipis, dll.), 3. puas dengan apa yang pantas baginya, hanya menyimpan untuk kebutuhan paling dasar dan mendanakan yang lainnya. 5 Komentar, menyukai pengembangan 37 hal yang berhubungan dengan pencerahan dan menyukai pengeliminasian
kekotoran mental (ringkasnya adalah meditasi).
16
Ketidakpuasan tidak dapat menaklukkan seorang bijaksana,
seorang bijaksana tidak dapat ditaklukkan oleh ketidakpuasan.
Seorang bijaksana menaklukkan ketidakpuasan,
karena seorang bijaksana adalah seorang penakluk ketidakpuasan.
Setelah meninggalkan semua karma,
Siapa yang bisa merintanginya?
Bagaikan koin emas terbaik,
Siapa yang pantas untuk mencelanya?
Bahkan para dewa memujinya,
Oleh para brahma dia juga dipuji.
Sikkhānanda, seperti yang disebutkan pada judul perenungan ini “Harus Berbeda,” maka,
buanglah jauh-jauh sifat umat awam yang masih melekat pada dirimu, contoh dan
kembangkanlah empat kualitas mulia dari para sesepuh yang Mulia. Oleh karena itu, berusahalah
sebaik-baiknya untuk merasa puas dengan jubah, makanan, dan tempat tinggal apapun, dan
khususnya pada poin keempat, yaitu menyukai meditasi. Pastikan dirimu dapat berdiri kokoh
pada tradisi kuno yang murni dari para Mulia.
Untuk membantumu memahami betapa buruknya ketidakpuasan, simaklah cerita di bawah ini.
Cerita ini dituturkan oleh Sang Bhagavā kepada para bhikkhu yang terus-menerus mengemis
kepada para umat untuk membantu mereka dalam pembuatan kuti. Karena ketidakpuasan,
bukan hanya diri mereka yang menderita, tetapi para umat pun turut menderita akibat dari
tindakan mengemis mereka. Seandainya saja mereka mau berpuas diri dengan tempat tinggal
yang telah tersedia, pasti hal ini tidak akan terjadi.
Bhikkhu Peminta Bulu Burung – Vin I 354 Vin 1 - 2. saṅghādisesakaṇḍaṃ - 6. kuṭikārasikkhāpadaṃ
“Di masa lampau, para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di lereng pegunungan Himalaya di
sebuah hutan lebat. Tidak jauh dari tempat tersebut terdapat rawa-rawa yang luas. Sekelompok
besar burung-burung, setelah mencari makan sepanjang hari di daerah rawa-rawa tersebut, pergi
bertengger untuk tidur di hutan lebat tersebut pada malam hari. Kemudian, para bhikkhu, bhikkhu
tersebut merasa terganggu oleh suara dari burung-burung tersebut. Maka, dia datang kepadaKu,
setelah tiba dan memberi hormat kepadaKu, dia duduk di satu sisi. Saat dia sedang duduk di sana,
Saya berkata kepadanya, “Saya berharap, bhikkhu, kamu berada dalam keadaan baik, kamu dapat
hidup dengan harmonis, menyelesaikan perjalananmu hanya dengan sedikit rasa lelah. Kamu
datang dari mana?”
“Saya baik, Guru, dapat hidup dengan harmonis, dan telah menyelesaikan perjalananku
hanya dengan sedikit rasa lelah. Di sana, Guru, di lereng pegunungan Himalaya terdapat sebuah
17
hutan lebat; dan tidak jauh dari tempat tersebut terdapat rawa-rawa yang luas. Sekelompok besar
burung-burung, setelah mencari makan sepanjang hari di daerah rawa-rawa tersebut, pergi
bertengger untuk tidur di hutan lebat tersebut pada malam hari. Itulah sebabnya mengapa saya
datang menemui Guru, karena saya sangat terganggu oleh suara dari burung-burung tersebut.”
“Bhikkhu, apakah kau ingin burung-burung tersebut pergi untuk selamanya?”
“Ya, Guru, saya ingin mereka pergi untuk selamanya.”
“Bila demikian, bhikkhu, kembalilah ke sana dan masuk ke hutan lebat tersebut di paruh
waktu pertama dari malam; lalu buatlah pengumuman ini sebanyak tiga kali:
‘Tolong dengarkan saya, para burung yang baik, saya menginginkan sehelai bulu dari kalian semua
yang beristirahat di hutan lebat ini. Masing-masing dari kalian berikan saya satu helai bulu.’ Di
paruh waktu kedua dari malam..... Di paruh waktu ketiga dari malam buatlah pengumuman ini
sebanyak tiga kali:
‘Tolong dengarkan saya, para burung yang baik, saya menginginkan sehelai bulu dari kalian semua
yang beristirahat di hutan lebat ini. Masing-masing dari kalian berikan saya satu helai bulu.’
(Sang bhikkhu melakukan seperti yang diinstruksikan).”
“Kemudian, para bhikkhu, kumpulan burung-burung tersebut berpikir, ‘Sang bhikkhu
mengemis untuk mendapatkan sehelai bulu, sang bhikkhu menginginkan sehelai bulu,’ lalu pergi
meninggalkan hutan lebat tersebut. Setelah mereka pergi, mereka tidak pernah kembali lagi.”
“Para bhikkhu, mengemis ataupun melakukan indikasi adalah hal yang memuakkan,
bahkan bagi para binatang; apalagi bagi para manusia!”
Sikkhānanda, dari cerita di atas yang dipicu oleh ketidakpuasan, kau dapat mengetahui bahwa
mengemis atau meminta-minta adalah tindakan yang benar-benar harus dihindari; karena,
bahkan binatang saja muak akan hal tersebut. Untuk cerita petapa muda dan naga Maṇikaṇṭha6
serta peraturan pendirian kuti (cetiya/vihara) - penting untuk diketahui (termasuk oleh umat) -
silakan baca artikel “Janganlah Menjadi Beban.”
Untuk memudahkanmu dalam melaksanakan semua itu, kau harus menjaga sati-mu dengan baik
setiap saat. Oleh karena itu, jangan pernah malas dalam mengembangkan sati (meditasi).
Walaupun kau setiap saat sibuk belajar dan mengajar Dhamma, kau belum dapat dikatakan
sebagai bhikkhu yang berdiam dalam Dhamma. Hanya bila kau tidak melupakan meditasi, barulah
kau dapat dikatakan hidup atau berdiam dalam Dhamma, hal ini sesuai dengan yang dikatakan
Sang Bhagavā dalam sutta di bawah ini.
6 Cerita ini juga bisa dibaca di Jātaka No. 253
18
Paṭhamadhammavihārī Sutta - AN 5.73
Dia yang Berdiam Dalam Dhamma - I
AN 5 - 2. dutiyapaṇṇāsakaṃ - (8) 3. yodhājīvavaggo - 3. paṭhamadhammavihārīsuttaṃ
PTS: A iii 86, Bodhi hal. 698
Kemudian seorang bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, saat tiba di sana, setelah memberi
hormat (namakkāra) dan duduk di satu sisi, dia berkata kepada Sang Bhagavā, “Ini dikatakan,
Bhante, ‘Dia yang berdiam dalam Dhamma, dia yang berdiam dalam Dhamma.’ Apa batasan
seorang bhikkhu untuk dapat dikatakan sebagai dia yang berdiam dalam Dhamma?”
[1] "Di Ajaran ini, bhikkhu, [ada kasus di mana] seorang bhikkhu mempelajari Dhamma
berupa: hasil ceramah, campuran prosa dan syair, penjelasan, syair-syair, ujaran inspirasi, kutipan,
cerita kelahiran, kejadian luar biasa, dan tanya-jawab. Dia menghabiskan waktunya seharian untuk
belajar Dhamma, tetapi mengabaikan penyendirian (menyepi) dan tidak mendedikasikan dirinya
untuk [mendapatkan] ketenangan internal pikirannya. Dia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang
larut dalam belajar, bukan sebagai dia yang berdiam dalam Dhamma.
[2] "Selain itu, [ada kasus di mana] seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada yang lain
dengan detail seperti yang telah dia dengar dan pelajari. Dia menghabiskan waktunya seharian
untuk menyampaikan (mengajarkan) Dhamma, tetapi mengabaikan penyendirian (menyepi) dan
tidak mendedikasikan dirinya untuk [mendapatkan] ketenangan internal pikirannya. Dia dikatakan
sebagai seorang bhikkhu yang larut dalam penyampaian, bukan sebagai dia yang berdiam dalam
Dhamma.
[3] "Di Ajaran ini, [ada kasus di mana] seorang bhikkhu melakukan resitasi7 dengan detail
seperti yang telah dia dengar dan pelajari. Dia menghabiskan waktunya seharian untuk melakukan
resitasi Dhamma, tetapi mengabaikan penyendirian (menyepi) dan tidak mendedikasikan dirinya
untuk [mendapatkan] ketenangan internal pikirannya. Dia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang
larut dalam resitasi, bukan sebagai dia yang berdiam dalam Dhamma.
[4] "Di Ajaran ini, [ada kasus di mana] seorang bhikkhu merenungkan, meneliti, dan
memeriksa Dhamma yang telah dia dengar dan pelajari. Dia menghabiskan waktunya seharian
untuk memikirkan Dhamma, tetapi mengabaikan penyendirian (menyepi) dan tidak
mendedikasikan dirinya untuk [mendapatkan] ketenangan internal pikirannya. Dia dikatakan
sebagai seorang bhikkhu yang larut dalam pemikiran, bukan sebagai dia yang berdiam dalam
Dhamma.
[5] "Di Ajaran ini, [ada kasus di mana] seorang bhikkhu mempelajari Dhamma berupa: hasil
ceramah, campuran prosa dan syair, penjelasan, syair-syair, ujaran inspirasi, kutipan, cerita
kelahiran, kejadian luar biasa, dan tanya-jawab. Namun demikian, dia tidak menghabiskan
waktunya [hanya] untuk belajar Dhamma. Dia tidak mengabaikan penyendirian (menyepi), tetapi
7 Membacakan atau mengucapkannya berulang-ulang untuk menghafalkannya (mengingatnya).
19
mendedikasikan dirinya untuk [mendapatkan] ketenangan internal pikirannya.8 Dalam hal ini, dia
dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang berdiam dalam Dhamma.
"Demikianlah, bhikkhu, Aku telah mengajarkanmu – seorang yang larut dalam belajar,
seorang yang larut dalam penyampaian, seorang yang larut dalam resitasi, seorang yang larut
dalam pemikiran, dan seorang yang berdiam dalam Dhamma. Apapun yang seorang guru harus
lakukan – demi kesejahteraan murid-muridnya atas rasa simpati/rasa sayang pada mereka –
telah Aku lakukan untuk kalian. Di sana ada akar-akar pohon, kuti-kuti (gubuk/tempat) kosong.
Ber-MEDITASI-lah, para bhikkhu, jangan lalai! Jangan sampai menyesal di kemudian hari. Ini
adalah pesan kami kepada kalian semua.”
Dutiyadhammavihārī Sutta – AN 5.74
Dia yang Berdiam Dalam Dhamma - II
AN 5 - 2. dutiyapaṇṇāsakaṃ - (8) 3. yodhājīvavaggo - 4. dutiyadhammavihārīsuttaṃ
PTS: A iii 88, Bodhi hal. 699
Kemudian seorang bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, saat tiba di sana, setelah memberi
hormat (namakkāra) dan duduk di satu sisi, dia berkata kepada Sang Bhagavā, “Ini dikatakan,
Bhante, ‘Dia yang berdiam dalam Dhamma, dia yang berdiam dalam Dhamma.’ Apa batasan
seorang bhikkhu untuk dapat dikatakan sebagai dia yang berdiam dalam Dhamma?”
[1] "Di Ajaran ini, bhikkhu, [ada kasus di mana] seorang bhikkhu mempelajari Dhamma
berupa: hasil ceramah, campuran prosa dan syair, penjelasan, syair-syair, ujaran inspirasi, kutipan,
cerita kelahiran, kejadian luar biasa, dan tanya-jawab, tetapi dia tidak berusaha lebih jauh dan
tidak mengerti artinya melalui kebijaksanaan.9 Dia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang larut
dalam belajar, bukan sebagai dia yang berdiam dalam Dhamma.
[2] "Selain itu, [ada kasus di mana] seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada yang lain
dengan detail seperti yang telah dia dengar dan pelajari, tetapi dia tidak berusaha lebih jauh dan
tidak mengerti artinya melalui kebijaksanaan. Dia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang larut
dalam penyampaian, bukan sebagai dia yang berdiam dalam Dhamma.
[3] "Di Ajaran ini, [ada kasus di mana] seorang bhikkhu melakukan resitasi dengan detail
seperti yang telah dia dengar dan pelajari, tetapi dia tidak berusaha lebih jauh dan tidak mengerti
artinya melalui kebijaksanaan. Dia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang larut dalam resitasi,
bukan sebagai dia yang berdiam dalam Dhamma.
8 Komentar: dia mengembangkan konsentrasi, sungguh-sungguh dan mendedikasikan dirinya pada meditasi
ketenangan (meditasi samatha). 9 Komentar: terlepas dari pengetahuan teorinya, dia tidak memahami arti Dhamma yang dipelajarinya melalui
kekuatan kebijaksanaan Sang Jalan bersama pengetahuan pandangan terangnya, dia tidak memahami dan
menembus Empat Kesunyataan Mulia; atau ringkasnya dia tidak mengembangkan vipassanā.
20
[4] "Di Ajaran ini, [ada kasus di mana] seorang bhikkhu merenungkan, meneliti, dan
memeriksa Dhamma yang telah dia dengar dan pelajari, tetapi dia tidak berusaha lebih jauh dan
tidak mengerti artinya melalui kebijaksanaan. Dia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang larut
dalam pemikiran, bukan sebagai dia yang berdiam dalam Dhamma.
[5] "Di Ajaran ini, [ada kasus di mana] seorang bhikkhu mempelajari Dhamma berupa: hasil
ceramah, campuran prosa dan syair, penjelasan, syair-syair, ujaran inspirasi, kutipan, cerita
kelahiran, kejadian luar biasa, dan tanya-jawab, tetapi dia berusaha lebih jauh dan mengerti
artinya melalui kebijaksanaan. Dalam hal ini, dia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang
berdiam dalam Dhamma.
"Demikianlah, bhikkhu, Aku telah mengajarkanmu – seorang yang larut dalam belajar,
seorang yang larut dalam penyampaian, seorang yang larut dalam resitasi, seorang yang larut
dalam pemikiran, dan seorang yang berdiam dalam Dhamma. Apapun yang seorang guru harus
lakukan – demi kesejahteraan murid-muridnya atas rasa simpati/rasa sayang pada mereka –
telah Aku lakukan untuk kalian. Di sana ada akar-akar pohon, kuti-kuti (gubuk/tempat) kosong.
Ber-MEDITASI-lah, para bhikkhu, jangan lalai! Jangan sampai menyesal di kemudian hari. Ini
adalah pesan kami kepada kalian semua.”
Sikkhānanda, dalam kedua sutta di atas Sang Bhagavā dengan sangat jelas mengatakan tentang
betapa pentingnya meditasi. Oleh karena itu, jangan pernah lalai dalam berlatih meditasi!
Agar matamu menjadi semakin terbuka, simaklah sutta Bahaya Masa Depan di bawah.
Tatiyānāgatabhaya Sutta - AN 5.79
Bahaya Masa Depan - III
AN 5 - 2. dutiyapaṇṇāsakaṃ - (8) 3. yodhājīvavaggo - 9. tatiyānāgatabhayasuttaṃ
PTS: A iii 105, Bodhi hal. 713
“Para bhikkhu, ada lima bahaya masa depan yang belum muncul saat ini, akan muncul di
masa depan. Kalian harus memahaminya, setelah memahaminya, berusahalah untuk
meninggalkannya. Apakah lima hal tersebut?”
[1] "Di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terlatih (buruk) dalam perilaku jasmani,
moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan. Mereka yang buruk dalam perilaku jasmani, moralitas,
pikiran, dan kebijaksanaan, akan menahbiskan orang lain menjadi bhikkhu; tetapi tidak dapat
mendisiplinkan mereka dalam moralitas yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan
kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Para bhikkhu baru] ini juga akan buruk dalam perilaku jasmani,
moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan. Kemudian, mereka (para bhikkhu baru) yang buruk dalam
perilaku jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan, akan menahbiskan orang lain menjadi
bhikkhu; tetapi tidak dapat mendisiplinkan mereka dalam moralitas yang lebih tinggi, pikiran yang
21
lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Para bhikkhu baru] ini juga akan buruk dalam
perilaku jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan. Demikianlah, para bhikkhu, dari Dhamma
yang korup (tercemar), muncullah disiplin yang korup; dari disiplin yang korup, muncullah
Dhamma yang korup. Ini, para bhikkhu, adalah bahaya masa depan yang pertama, yang belum
muncul saat ini, akan muncul di masa depan. Kalian harus memahaminya, setelah
memahaminya, berusahalah untuk meninggalkannya.”
[2] "Selain itu, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terlatih (buruk) dalam
perilaku jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan. Mereka yang buruk dalam perilaku
jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan, akan memberikan naungan kepada orang lain;
tetapi tidak dapat mendisiplinkan mereka dalam moralitas yang lebih tinggi, pikiran yang lebih
tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Para bhikkhu baru] ini juga akan buruk dalam perilaku
jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan. Kemudian, mereka (para bhikkhu baru) yang buruk
dalam perilaku jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan, akan memberikan naungan kepada
orang lain; tetapi tidak dapat mendisiplinkan mereka dalam moralitas yang lebih tinggi, pikiran
yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Para bhikkhu baru] ini juga akan buruk
dalam perilaku jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan. Demikianlah, para bhikkhu, dari
Dhamma yang korup, muncullah disiplin yang korup; dari disiplin yang korup, muncullah
Dhamma yang korup. Ini, para bhikkhu, adalah bahaya masa depan yang kedua, yang belum
muncul saat ini, akan muncul di masa depan. Kalian harus memahaminya, setelah
memahaminya, berusahalah untuk meninggalkannya.”
[3] "Selain itu, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terlatih (buruk) dalam
perilaku jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan. Mereka yang buruk dalam perilaku
jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan, ketika terlibat dalam pembicaraan yang
berhubungan dengan Dhamma yang lebih tinggi, dalam tanya - jawab, mereka akan tergelincir ke
dalam Dhamma yang salah, tetapi tidak menyadarinya. Demikianlah, para bhikkhu, dari Dhamma
yang korup, muncullah disiplin yang korup; dari disiplin yang korup, muncullah Dhamma yang
korup. Ini, para bhikkhu, adalah bahaya masa depan yang ketiga, yang belum muncul saat ini, akan
muncul di masa depan. Kalian harus memahaminya, setelah memahaminya, berusahalah untuk
meninggalkannya.”
[4] "Selain itu, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terlatih (buruk) dalam
perilaku jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan. Mereka yang buruk dalam perilaku
jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan, ketika khotbah-khotbah yang merupakan ucapan
Sang Tathāgata- yang sulit dipahami, bermakna dalam, bersifat adiduniawi, berkaitan dengan
kekosongan -sedang diulangi, mereka tidak ingin mendengarkannya, tidak menyimaknya, atau
mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu
harus diingat dan dikuasai.10 Tetapi ketika khotbah-khotbah yang hanya sekedar puisi yang
digubah oleh para penyair, indah dalam kata-kata dan frasanya, karya pihak luar, kata-kata para
siswa – sedang diulangi, mereka ingin mendengarkannya, menyimaknya, dan mengarahkan
pikiran mereka untuk memahaminya; mereka akan berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus diingat
10
Juga terdapat di Ani Sutta - SN 20.7 dan Okkācita Sutta AN 2.48 (duka, 1,5,6; Bodhi 2.47-pg 163; Ati 2.46).
22
dan dikuasai. Demikianlah, para bhikkhu, dari Dhamma yang korup, muncullah disiplin yang
korup; dari disiplin yang korup, muncullah Dhamma yang korup. Ini, para bhikkhu, adalah bahaya
masa depan yang keempat, yang belum muncul saat ini, akan muncul di masa depan. Kalian harus
memahaminya, setelah memahaminya, berusahalah untuk meninggalkannya.”
[5] "Selain itu, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terlatih (buruk) dalam
perilaku jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan. Mereka yang buruk dalam perilaku
jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan, akan menjadi para bhikkhu senior (sepuh) yang
akan hidup mewah, malas, pelopor kemerosotan (kegagalan), mengabaikan penyendirian
(meditasi). Mereka tidak akan berusaha untuk mencapai yang belum dicapainya, meraih yang
belum diraihnya, merealisasi yang belum direalisasinya. Mereka akan menjadi contoh bagi
generasi berikutnya, yang akan hidup mewah, malas, pelopor kemerosotan (kegagalan),
mengabaikan penyendirian (meditasi); dan yang tidak akan berusaha untuk mencapai yang belum
dicapainya, meraih yang belum diraihnya, merealisasi yang belum direalisasinya (jg ada di AN
2.45). Demikianlah, para bhikkhu, dari Dhamma yang korup, muncullah disiplin yang korup; dari
disiplin yang korup, muncullah Dhamma yang korup. Ini, para bhikkhu, adalah bahaya masa
depan yang kelima, yang belum muncul saat ini, akan muncul di masa depan. Kalian harus
memahaminya, setelah memahaminya, berusahalah untuk meninggalkannya.”
"Itulah, para bhikkhu, kelima bahaya masa depan yang belum muncul saat ini, akan muncul
di masa depan. Kalian harus memahaminya, setelah memahaminya, berusahalah untuk
meninggalkannya.”
Catutthānāgatabhaya Sutta - AN 5.80
Bahaya Masa Depan - IV
AN 5 - 2. dutiyapaṇṇāsakaṃ - (8) 3. yodhājīvavaggo - 10. catutthānāgatabhayasuttaṃ
PTS: A iii 108, Bodhi hal. 715
“Para bhikkhu, ada lima bahaya masa depan yang belum muncul saat ini, akan muncul di
masa depan. Kalian harus memahaminya, setelah memahaminya, berusahalah untuk
meninggalkannya. Apakah lima hal tersebut?”
[1] "Di masa depan, akan ada para bhikkhu yang menginginkan jubah yang baik. Mereka
[karena] menginginkan jubah yang bagus, tidak lagi menggunakan jubah dari kain bekas
(buangan), tidak lagi tinggal di tempat-tempat terpencil (sepi) dalam hutan belantara; mereka
akan pindah ke desa-desa, kota-kota kecil, dan kota-kota besar, dan akan menetap di sana. Hanya
demi sehelai jubah mereka akan melakukan berbagai jenis pencarian yang salah dan tidak pantas
(penghidupan salah). Ini, para bhikkhu, adalah bahaya masa depan yang pertama yang belum
muncul saat ini, akan muncul di masa depan. Kalian harus memahaminya, setelah memahaminya,
berusahalah untuk meninggalkannya.”
23
[2] "Selain itu, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang menginginkan makanan yang baik.
Mereka [karena] menginginkan makanan yang lezat, tidak lagi berkeliling untuk mengumpulkan
dana makanan (piṇḍapāta), tidak lagi tinggal di tempat-tempat terpencil (sepi) dalam hutan
belantara; mereka akan pindah ke desa-desa, kota-kota kecil, dan kota-kota besar, dan akan
menetap di sana, untuk mencari makanan lezat dengan ujung lidah mereka (bujuk rayu/ucapan
manis?). Hanya demi makanan mereka akan melakukan berbagai jenis pencarian yang salah dan
tidak pantas (penghidupan salah). Ini, para bhikkhu, adalah bahaya masa depan yang kedua yang
belum muncul saat ini, akan muncul di masa depan. Kalian harus memahaminya, setelah
memahaminya, berusahalah untuk meninggalkannya.”
[3] "Selain itu, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang menginginkan tempat tinggal yang
baik. Mereka [karena] menginginkan tempat tinggal yang baik, tidak lagi tinggal di bawah pohon,
tidak lagi tinggal di tempat-tempat terpencil (sepi) dalam hutan belantara; mereka akan pindah ke
desa-desa, kota-kota kecil, dan kota-kota besar, dan akan menetap di sana. Hanya demi tempat
tinggal mereka akan melakukan berbagai jenis pencarian yang salah dan tidak pantas
(penghidupan salah). Ini, para bhikkhu, adalah bahaya masa depan yang ketiga yang belum muncul
saat ini, akan muncul di masa depan. Kalian harus memahaminya, setelah memahaminya,
berusahalah untuk meninggalkannya.”
[4] "Selain itu, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang berasosiasi sangat erat dengan
para bhikkhuni, sikkhamānā,11
dan sāmaṇerī. Ketika para bhikkhu berasosiasi sangat erat dengan
para bhikkhuni, sikkhamānā, dan sāmaṇerī, dapat diharapkan mereka akan merasa tidak puas
dalam menjalani kehidupan kebhikkhuannya, melakukan pelanggaran vinaya berat, lepas jubah
dan kembali menjalani cara kehidupan yang lebih rendah (jadi umat awam). Ini, para bhikkhu,
adalah bahaya masa depan yang keempat yang belum muncul saat ini, akan muncul di masa
depan. Kalian harus memahaminya, setelah memahaminya, berusahalah untuk meninggalkannya.”
[5] "Selain itu, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang berasosiasi sangat erat dengan
para pekerja vihara dan sāmaṇera. Ketika para bhikkhu berasosiasi sangat erat dengan para
pekerja vihara dan sāmaṇera, dapat diharapkan mereka akan menyimpan berbagai jenis barang
keperluan dan memberikan isyarat/indikasi sehubungan dengan [pekerjaan yang berkaitan
dengan] tanah dan tanaman.12 Ini, para bhikkhu, adalah bahaya masa depan yang kelima yang
belum muncul saat ini, akan muncul di masa depan. Kalian harus memahaminya, setelah
memahaminya, berusahalah untuk meninggalkannya.”
"Itulah, para bhikkhu, kelima bahaya masa depan yang belum muncul saat ini, akan muncul
di masa depan. Kalian harus memahaminya, setelah memahaminya, berusahalah untuk
meninggalkannya.”
11
Calon bhikkhuni yang berada dalam masa percobaan - selama 2 tahun melaksanakan 6 sila pertama dari sāmaṇerī
dengan sangat ketat, tanpa gagal - sebelum ditahbiskan menjadi bhikkhuni. 12
Kasus penyimpanan barang sudah banyak terjadi, walaupun tidak semuanya merupakan pelanggaran, tetapi hal itu akan meningkatkan kemelekatannya. Namun demikian, penyimpanan makanan juga sudah banyak terjadi dan ini
adalah pelanggaran pācittiya 38. Masalah “memberi isyarat/indikasi” komentar memberi contoh: ‘memerintahkan
untuk menggali tanah (pācittiya 10) dan memotong tanaman (pācittiya 11).’
24
Sikkhānanda, setelah membaca kedua sutta di atas, apakah kau menyadari bahwa pada saat ini,
‘Bahaya Masa Depan’ yang Sang Bhagavā katakan semuanya telah terjadi? Ini adalah petunjuk
yang sangat nyata tentang kehancuran Dhamma ini. Oleh karena itu, selagi kau dapat
mempelajari dan mempraktikkan Dhamma ini, lakukanlah dengan sungguh-sungguh dan jangan
pernah lalai dalam berlatih meditasi!13
Kau harus meraih, mencapai, atau merealisasi yang belum
kau raih, capai, atau realisasi (maksudnya – mencapai kesucian).
Sikkhānanda, untuk memudahkanmu mencapai semua itu, maka hal terbaik dan terpenting yang
harus kau lakukan adalah berteman atau berasosiasi dengan teman yang baik. Bukan untuk
menunjukkan kesombongan, tetapi kau juga harus menghindari pergaulan dengan teman yang
tidak baik. Silakan kau renungkan beberapa syair atau penggalan sutta di bawah ini.
Bertemanlah dengan Teman yang Baik
“Tidak berteman dengan orang bodoh (jahat/sesat)
Bertemanlah dengan para bijaksana,
Menghormati yang patut dihormati,
Itulah berkah tertinggi (utama).” Maṅgala Sutta - Sn 2.4
“Adalah baik melihat (bertemu) orang Mulia (Ariya);
Hidup dengan mereka selalu menyenangkan;
[Dengan] tidak melihat (bertemu) orang bodoh, dia akan selalu bahagia.” Dhp 206
“Oleh karena itu, dia harus mengikuti
seorang Ariya yang teguh, pandai, terpelajar, tekun, dan rajin;
Mengikuti seorang yang bermoral dan bijaksana yang demikian,
Bagaikan bulan mengikuti jejak (orbit) bintang-bintang.” Dhp 208
“Di antara faktor-faktor eksternal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang
dapat menyebabkan kebaikan (keuntungan) yang luar biasa, seperti teman yang baik.” AN 1.111
“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang dapat menyebabkan kualitas baik
(kusalā dhammā) yang belum muncul menjadi muncul, dan kualitas buruk (akusalā dhammā) yang
telah muncul menjadi tenggelam, seperti teman yang baik. Karena dia yang berteman dengan
teman yang baik, kualitas baik yang belum muncul menjadi muncul, dan kualitas buruk yang telah
muncul menjadi tenggelam.” AN 1.71
“Jangan katakan itu, Ananda! Jangan katakan itu, Ananda! Teman yang baik,14 sahabat yang baik,
kawan yang baik adalah [inti dari] seluruh kehidupan suci. Ketika seorang bhikkhu mempunyai
teman yang baik, sahabat yang baik, dan kawan yang baik, dia dapat diharapkan dapat menempuh
dan mengembangkan Jalan Mulia Beruas Delapan.” Upaḍḍha sutta - SN 45.2
13
Bila ada waktu, silakan juga membaca sutta bahaya masa depan yang ke I & II (AN 5.77 & AN. 5.78). 14
Baik di sini berarti baik dalam keyakinan, moralitas, kemurahan hati, dan kebijaksanaan.
25
Jangan Berteman dengan Teman yang Jahat, Bodoh (Sesat).
“Tidak berteman dengan orang bodoh (jahat/sesat)
Bertemanlah dengan para bijaksana,
Menghormati yang patut dihormati,
Itulah berkah tertinggi (utama).” Maṅgala Sutta - Sn 2.4
“Jangan berasosiasi dengan teman yang jahat, jangan berasosiasi dengan teman yang bejat,
Berasosiasilah dengan teman yang baik, berasosiasilah dengan mereka yang luhur/mulia.” Dhp 78
“Dia yang tinggal (hidup) bersama orang bodoh akan menderita untuk jangka waktu yang lama.
Berteman dengan orang bodoh selalu menyakitkan, bagaikan [berkumpul] bersama musuh.
Berteman dengan orang bijaksana selalu menyenangkan, bagaikan berkumpul dengan kerabat.”
Dhp 207
“Di antara faktor-faktor eksternal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang
dapat menyebabkan kerugian yang luar biasa, seperti teman yang jahat.” AN 1.110
“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang dapat menyebabkan kualitas buruk
(akusalā dhammā) yang belum muncul menjadi muncul, dan kualitas baik (kusalā dhammā) yang
telah muncul menjadi tenggelam, seperti teman yang jahat. Karena dia yang berteman dengan
teman yang jahat, kualitas buruk yang belum muncul menjadi muncul, dan kualitas baik yang telah
muncul menjadi tenggelam.” AN 1.70
“Aku buta,
[Kedua] mataku telah rusak,
Aku tersandung [dan terjatuh] di jalanan dalam hutan belantara.
Bahkan, bila aku harus merangkak,
Aku akan terus berjalan (melanjutkan perjalanan),
Tetapi, tidak dengan teman yang jahat.” Cakkhupala - Thag 1.95
Mahā Nārada Kassapa - Jātaka 544
Penggalan ceritanya 15
“Siapapun teman yang seorang raja hormati, apakah dia baik atau buruk, berdedikasi pada
kebaikan atau kejahatan, sang raja akan jatuh dalam pengaruhnya. Bagaikan mengikuti teman
yang dia pilih sendiri, dia akan menjadi seperti temannya, itulah kekuatan pertemanan atau
persahabatan. Seseorang yang terus-menerus berhubungan akan mempengaruhi temannya,
rekannya; bagaikan anak panah yang dibubuhi racun mencemari tempat anak panahnya. Jangan
biarkan para bijaksana menjadi teman seorang yang jahat karena alasan takut tercemar. Jika
seseorang mengikat ikan yang berbau amis dengan sehelai rumput kusa, maka rumput tersebut
15
Untuk mendapatkan cerita yang lebih lengkap, silakan baca buku “Kisah-Kisah Hukum Karma & Moral Ceritanya.”
26
akan menjadi bau; begitu juga akibat dari berasosiasi dengan si bodoh. Tetapi bila seseorang
membungkus dupa dengan selembar daun, daun tersebut akan menjadi harum seperti dupa;
begitu juga akibat berasosiasi dengan para bijaksana. Oleh karena itu, jangan biarkan seorang yang
bijaksana mengikuti orang jahat, tetapi anjurkanlah untuk mengikuti orang baik; karena orang
jahat akan membawanya ke neraka dan orang baik akan membawanya ke surga.”
Khaggavisana Sutta - Sn 1.3
Badak Bercula Satu
Penggalan suttanya
“Buang ciri dari seorang perumah tangga.16
Bagaikan sebatang pohon kovilara,
Yang menggugurkan semua daunnya.
Seorang yang bijaksana, membuang semua ikatan kehidupan perumah-tangga
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
“Jika kau mendapatkan teman yang baik,
Teman berkelana, yang hidupnya lurus dan bijaksana,
Atasi semua masalah,
Berkelanalah dengannya, berpuaslah, jagalah sati setiap saat.”
“Jika kau tidak mendapatkan teman yang baik,
Teman berkelana, yang hidupnya lurus dan bijaksana,
Berkelanalah sendiri.
Bagaikan raja yang meninggalkan negaranya, kerajaannya,
Bagaikan gajah di hutan Matanga, meniggalkan kelompoknya.”
“Kami menghargai persahabatan,
Dengan mereka yang se-level atau lebih baik.
Jika tidak mendapatkannya,
Hiduplah tanpa cela.
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
“Melihat kilauan cahaya dari gelang emas
Yang dibuat dengan sempurna oleh pengrajin emas.
‘Jika dua gelang dipakai ditangan,
Mereka saling beradu.’
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
[merenungkannya]
“‘Sama halnya, jika aku harus tinggal bersama orang lain,
Akan muncul kata-kata yang tak bermanfaat atau kasar.’
Melihat bahaya masa depan ini,
16
Rambut dan bewok
27
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
“Bagaikan Gajah putih yang besar dengan bahu yang kokoh,
Meninggalkan kelompoknya,
Hidup di belantara manapun yang diinginkannya.
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
[merenungkannya]
“‘Tidaklah mungkin, dia yang suka berkumpul
Dapat mengecap bahkan pembebasan sementara.’
Mengikuti nasihat Sang Bhagavā dengan penuh pertimbangan,
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
“Hindari teman yang jahat,
Yang tidak peduli dengan tujuan (Nibbāna),
Yang berusaha di jalur yang salah.
Jangan jadikan teman,
Dia yang lalai dan penuh pendambaan.
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
“Bertemanlah dengan dia yang terpelajar,
Yang menjaga Dhamma,
Seorang yang Mulia dan cerdas.
Pahami maknanya, taklukkan kebimbangan, [kemudian]
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.
“Mata tertunduk, jangan menyukai jalan-jalan,
Indra terjaga, dengan pikiran terkendali,
Jangan dipenuhi, terbakar, oleh nafsu.
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
“Lepaskan ciri/tanda perumah-tangga,17
Berjalan dari rumah ke rumah untuk ber-piṇḍapāta
Dengan pikiran tak melekat pada keluarga manapun.
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
“Tinggalkan lima rintangan mental,
Cabut (basmi) semua kekotoran mental
Jangan bergantung, hancurkan kebencian dan rasa sayang.
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
“Berpalinglah dari kebahagiaan dan penderitaan (jasmani),
Setelah sebelumnya dengan kebahagiaan dan penderitaan mental.
Raihlah keseimbangan dan ketenangan yang murni.
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
17
Pakaian yang biasa dipakai umat awam
28
“Dengan semangat terbangkitkan untuk mencapai tujuan tertinggi,
Berlatihlah dengan pikiran aktif dan tidak malas-malasan,
Mantap dalam usaha, kuat, bertenaga,
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
“Tidak melupakan penyendirian, meditasi,
Selalu hidup sesuai dengan Dhamma,
Memahami bahaya dari kelahiran kembali,
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
“Setelah melepaskan keserakahan, kebencian, dan kebodohan,
Setelah menghancurkan semua belenggu,
Tenang di akhir kehidupan,
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
“Orang berteman dan berhubungan karena suatu alasan,
Saat ini, teman yang tanpa alasan, sulit ditemui,
Mereka licik dan kotor,
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
Salam dalam mettā,
U Sikkhānanda
Cetiya Dhamma Sikkhā
Tangerang, 09 April, 2013
=========oo0oo=========
29
Bagian III:
Thera
Sikkhānanda, usiamu terus bertambah, begitu juga vassamu. Dalam lima tahun ke depan,
orang mungkin akan memanggilmu sesepuh (Thera). Apakah kau mengetahui arti dari kata Thera
yang sesungguhnya? Renungkanlah arti yang sesungguhnya dari kata Thera dengan baik. Kau
harus malu bila suatu saat orang lain memanggilmu Thera tetapi kau tidak memiliki kualitas
seorang Thera. Mengapa demikian? Karena kau tidak memiliki kualitas seorang Thera, maka kau
tidak berhak dipanggil Thera.
Oleh karena itu, karena kau bukanlah seorang Thera, kau harus berusaha semaksimal
mungkin untuk menjadi seorang Thera dan pada saat yang sama hiduplah seperti seorang Thera.
Mengapa harus demikian? Karena kau memperoleh semua kebutuhanmu dari sokongan para
umat yang telah bekerja keras, memeras keringat, membanting tulang siang dan malam. Untuk
membalasnya, kau harus menjadi ladang tempat menanam jasa yang subur, yang tiada taranya
bagi dunia. Selain itu, usaha tersebut adalah sebagai bentuk penghormatan tertinggi kepada Guru
Agungmu, Sang Buddha.
Maka, simak dan renungkanlah baik-baik apa yang telah Sang Bhagavā wejangkan di
bawah ini.
Arti kata Thera:
Untuk memulainya, maka kau harus mengerti definisi dari kata Thera, yaitu tua atau
sepuh atau senior. Berdasarkan Saṅgīti Sutta – DN 33, ada tiga macam Thera, yaitu: “tayo therā –
jāti-thero, dhamma-thero, sammuti-thero”
Jāti-thero: disebut Thera karena usianya sudah lanjut.
Dhamma-thero: disebut Thera karena telah merealisasi Dhamma, inilah yang benar-benar layak
mendapat panggilan Thera.
Sammuti-thero: disebut Thera karena kesepakatan, sebagai bentuk penghormatan yang diberikan
oleh para bhikkhu baru kepada mereka yang telah menjalani kehidupan kebhikkhuan
setidaknya 10 vassa, terlepas apakah dia mempunyai kualitas seorang Thera atau tidak.
Maka, kau harus merasa malu, bahkan merasa sangat malu, bila mendapatkan sebutan
Thera berdasarkan Jāti-thero dan sammuti-thero. Mengapa? Coba simaklah sutta di bawah ini.
Kaṇḍarāyana Sutta - AN 2.39
Kepada Brahmana Kaṇḍarāyana
dukanipātapāḷi, 1. paṭhamapaṇṇāsakaṃ, 4. samacittavaggo
PTS: i 67; Ati (accesstoinsight) & B. Bodhi: AN 2.38
Pada suatu kesempatan, bhante Mahā Kaccāna tinggal di Hutan Gunda, di Madhura.
Kemudian, brahmana Kaṇḍarāyana datang menemui bhante Mahā Kaccāna dan saat tiba, bertukar
30
salam dengan sopan dengan beliau. Setelah mereka bertukar salam, dia duduk di satu sisi dan
kemudian dia berkata kepada bhante Mahā Kaccāna, "Saya telah mendengar, petapa Kaccāna,
‘Petapa Kaccāna tidak memberi hormat kepada para brahmana yang telah tua, lanjut usia,
berumur panjang, sangat tua, berada pada tahap akhir kehidupannya; juga tidak bangun/berdiri
untuk menyapanya ataupun menawarkan duduk untuk mereka.’ Sungguh!, ini adalah suatu
kenyataan, karena petapa Kaccāna tidak memberi hormat kepada para brahmana yang telah tua,
lanjut usia, berumur panjang, sangat tua, berada pada tahap akhir kehidupannya; juga tidak
bangun/berdiri untuk menyapanya ataupun menawarkan duduk untuk mereka. Hal ini tidaklah
pantas, petapa Kaccāna.”
"Brahmana, Yang Terberkahi– maha mengetahui, maha melihat, maha suci, tercerahkan
sempurna –telah menyatakan status seorang sepuh dan status seorang pemula.18 Brahmana,
walaupun dia telah tua - 80 , 90, 100 tahun, namun, jika dia masih menikmati kebahagiaan objek
indra, hidup dalam (di tengah-tengah) kebahagiaan objek indra, terbakar oleh demam dari
kebahagiaan objek indra, selalu diliputi oleh pemikiran akan kebahagiaan objek indra, dan penuh
hasrat dalam mencari kebahagiaan objek indra, maka dia dapat dianggap sebagai seorang pemula
yang bodoh, bukanlah sebagai seorang sepuh (Thera).”
"Tetapi, brahmana, walaupun dia masih muda- seorang pemuda dengan rambutnya yang
masih hitam, penuh berkah akan masa muda, berada pada tahapan pertama dari kehidupannya
-tetapi, jika dia tidak menikmati kebahagiaan objek indra, tidak hidup dalam (di tengah-tengah)
kebahagiaan objek indra, tidak terbakar oleh demam dari kebahagiaan objek indra, tidak diliputi
oleh pemikiran akan kebahagiaan objek indra, dan tidak penuh hasrat dalam mencari kebahagiaan
objek indra, maka dia dapat dianggap sebagai seorang sepuh (Thera) yang bijaksana.”
Ketika hal ini telah dikatakan, brahmana Kaṇḍarāyana bangkit dari tempat duduknya,
mengatur jubahnya sehingga menutupi salah satu bahunya, dan bersujud di kaki para bhikkhu
muda, [berkata,] "Anda, adalah para sesepuh, berada dalam status seorang sepuh. Kami adalah
pemula, berada dalam status seorang pemula.
"Luar biasa, petapa Kaccāna! Luar biasa, petapa Kaccāna! Petapa Kaccāna dengan
berbagai cara telah membuat Dhamma menjadi jelas bagaikan menegakkan apa yang terbalik,
mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi dia yang tersesat, atau
membawakan lampu ke dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki penglihatan yang baik
dapat melihat. Aku pergi berlindung kepada Petapa Gotama, Dhamma, dan Sangha. Semoga
petapa Kaccāna mengingat saya sebagai umat awam yang sejak hari ini telah mengambil
perlindungan seumur hidup."
Selain itu, coba baca dan renungkan baik-baik dua syair singkat ini:
Dhp 260: Dia bukanlah seorang Thera hanya karena rambutnya telah memutih. Dia yang tua
hanya dalam segi usia [ataupun vassa] dikatakan ‘dia tua sia-sia.’
18
“Dahara” = masih muda, anak-anak; tetapi karena dalam konteks ini penekankannya adalah masalah status
kebijaksanaan, maka di sini diterjemahkan sebagai pemula (karena walaupun sudah tua tetapi masih rendah
kebijaksanaannya bagaikan anak-anak).
31
Dhp 261: Hanya seorang bijaksana yang telah menembus Empat Kesunyataan Mulia dan
Dhamma, yang tidak berbahaya dan bermoral, yang telah membebaskan dirinya dari kekotoran
mental, dialah sesungguhnya yang disebut Thera.
Sekarang, setelah kau membacanya, coba jawab beberapa pertanyaan ini:
Apa kau telah terbebas dari keinginan untuk menikmati kebahagiaan dari objek indra?
Apa kau sudah tidak mengejar-ngajarnya lagi?
Apa kau telah bebas dari kekotoran metal?
Sikkhānanda, apa kau pernah dengar cerita tentang bhikkhu Poṭṭhila? Beliau adalah bhikkhu senior
yang mahir dalam Tipiṭaka dan mengajarkan Dhamma kepada 500 bhikkhu. Walaupun beliau ahli
dalam Tipiṭaka, tetapi karena beliau belum merealisasi Dhamma, maka Sang Buddha menyebutnya
sebagai “Tuccha” Poṭṭhila, bhikkhu kosong (tak ada isinya), sia-sia, tidak berguna - DhpA 282.
Apa kau lebih baik dari beliau?
Oleh karena itu, Sikkhānanda, di atas telah kuperingati agar kau harus merasa sangat malu bila
mendapatkan sebutan Thera hanya berdasarkan usia atau vassamu yang semakin bertambah (jāti-
thero dan sammuti-thero). Apalagi bila kau berharap suatu saat ada yang menyebutmu sebagai
Mahā Thera,19 maka kau layak dikatakan sebagai rajanya raja dari para “Kumbang pemakan
kotoran.” 20 Mengapa demikian? Karena bahkan bhante Sāriputta hanya mendapatkan julukan
Thera. Apa kau lebih bijaksana dari beliau?
Agar kau lebih jelas dan lebih mengerti tentang kualitas yang harus dimiliki oleh seorang
bhikkhu sehingga dia layak disebut sebagai seorang Thera, simaklah sutta di bawah ini.
Dutiyauruvelā Sutta - AN 4.22
Di Uruvelā II
catukkanipātapāḷi, 1. paṭhamapaṇṇāsakaṃ, 3. uruvelāvaggo, 2. dutiyauruvelāsuttaṃ
PTS: ii 22
Sutta ini dibabarkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu tentang siapa itu seorang
Thera dan kualitas apa yang membuat seseorang disebut sebagai seorang Thera. Sutta ini diawali
oleh tuduhan sekelompok brahmana kepada Beliau, tuduhan yang sama seperti yang terdapat
pada Kaṇḍarāyana Sutta. Inilah penjelasan Beliau:
Penggalan suttanya
"Tetapi, para bhikkhu, walaupun dia masih muda– seorang pemuda dengan rambutnya
yang masih hitam, penuh berkah akan masa muda, berada pada tahapan pertama dari
kehidupannya –tetapi, jika dia berbicara pada saat yang tepat, berbicara tentang hal yang
sebenarnya, berbicara tentang hal yang bermanfaat (baik), berbicara tentang Dhamma, berbicara
19
Kata “mahāthero atau mahāthera” tidak terdapat di naskah asli Tipiṭaka Pāḷi, hanya muncul di kitab komentar. 20
Lihat “Mīḷhaka Sutta - SN 17.5” di bagian I
32
tentang vinaya, dan jika pada saat yang tepat dia berbicara tentang sesuatu yang layak diingat,
masuk akal, ringkas (padat berisi), dan bermanfaat, maka dia dapat dianggap sebagai seorang
Thera yang bijaksana.”
“Para bhikkhu, ada empat kualitas yang membuat seseorang sebagai seorang Thera. Apa
empat kualitas tersebut?
1. “Dalam Dhamma ini, dia adalah seorang bhikkhu yang bermoral: dia hidup terkendali dalam
Pātimokkha,21 memiliki perilaku dan daerah berkelana yang baik,22 menyadari (melihat)
bahaya dari pelanggaran kecil sekalipun. Setelah menerima/mengambil aturan disiplin, dia
berlatih sesuai dengan aturan tersebut.
2. “Dia telah banyak belajar (pengetahuan Dhammanya luas), mengingat apa yang telah
dipelajarinya, dan menjaga (mengakumulasi) apa yang telah dipelajarinya. Ajaran-ajaran yang
baik di awal, tengah, dan akhir, dengan arti dan tatabahasa yang benar, yang menyatakan
kehidupan suci yang sempurna dan murni; ajaran-ajaran yang demikianlah yang telah banyak
dia pelajari, diingatnya, diresitasinya, direnungkannya, dan ditembusnya dengan baik
(dimengerti secara sempurna) melalui pandangan benarnya.
3. “Dia adalah seorang yang dapat mencapai empat jhāna- yang merupakan landasan bagi
pikiran yang lebih tinggi dan merupakan kediaman bahagia di kehidupan ini juga -tanpa
kesulitan sama sekali, sekehendaknya.
4. “Dengan hancurnya noda-noda mental (āsava), dia merealisasinya sendiri dengan
pengetahuan supernormalnya kebebasan pikiran tanpa noda, kebebasan melalui
kebijaksanaan; dan setelah mencapainya, dia berdiam di dalamnya, di kehidupan ini juga.
“Itulah empat kualitas yang membuat seseorang sebagai seorang Thera.”
Si bodoh dengan pikiran bergejolak,
yang banyak bicara hal tak penting,
pikirannya tidak tenang,
menyenangi ajaran yang buruk,
berpandangan salah, tidak hormat,
dia jauh dari status seorang Thera.
Tetapi, dia yang sempurna dalam sila,
terpelajar dan cerdas,
terkendali dan kokoh,
yang melihat dengan jelas [4 Kesunyataan Mulia] dengan kebijaksanaannya,
melampaui semua fenomena,
pikirannya tak terintangi, cerdas.
21
Pātimokkha = kumpulan peraturan disiplin kebhikkhuan yang terdiri dari 227 sila. 22
Ācāra-gocara-sampanno. Perilaku yang baik = ucapan, perbuatan jasmani, dan penghidupan benar. Tempat
berkelana yang baik = bukan tempat atau pergaulan yang kondusif untuk terjadinya pelanggaran sila. Contoh: bukan tempat - prostitusi, janda, perawan tua, banci, bhikkhuni, dan menjual minuman keras; atau tidak bergaul dengan
mereka yang tidak memiliki keyakinan, yang mengharapkan hal buruk bagi para bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka, dan
upāsikā. Ringkasnya, mungkin dapat dikatakan sebagai ruang lingkup tempat berdiam dan pergaulan yang baik.
33
Dia yang telah meninggalkan kelahiran dan kematian,
sempurna dalam kehidupan suci,
yang dalam dirinya tidak terdapat noda,
dialah yang Kusebut sebagai Thera.
Dengan hancurnya semua noda,
seorang bhikkhu dikatakan sebagai seorang Thera.
Sutta di atas menguatkan pernyataan sutta-sutta sebelumnya, yaitu bukan hanya karena telah tua
ataupun banyak vassanya seseorang dapat disebut sebagai seorang Thera. Sikkhānanda,
lupakanlah hal ini! Hanya orang bodohlah yang menginginkan dan bangga akan embel-embel
Thera dibelakang namanya, karena para Arahat sendiri yang layak mendapatkan julukan tersebut
tidak lagi memperdulikannya.
Sekarang tugasmu adalah berjuang sungguh-sungguh untuk menjadi seorang Thera; karena, itulah
cara termulia untuk menghargai dan menghormati para penyokongmu dan Sang Buddha.
Empat hal utama yang harus kau laksanakan:
1. Harus jujur - kejujuran adalah landasan segalanya dalam menjalani kehidupan suci (MN 61).
2. Mau menerima nasihat ataupun kritik khususnya dari para bijaksana (Dhp 76).
3. Kau harus mengembangkan dan mengondisikan pikiranmu yang belum matang menjadi
matang untuk merealisasi Dhamma (AN 9.3).
4. Selalu merenungkan lima kelompok pencengkeraman (SN 22.122).
Maka, simaklah sutta-sutta ini, ingat baik-baik, renungkan, dan praktikkan.
Ambalaṭṭhikarāhulovāda Sutta - MN 61
Instruksi Kepada Rahula di Batu Mangga
majjhimapaṇṇāsapāḷi, 2. bhikkhuvaggo, 1. ambalaṭṭhikarāhulovādasuttaṃ
PTS: M i 414
Penggalan dan ringkasan suttanya
Demikianlah yang saya dengar, pada suatu ketika Sang Bhagavā berdiam di hutan bambu,
tempat para tupai diberi makan, dekat kota Rājagaha. Saat itu, Yang Mulia Rahula berdiam di Batu
Mangga. Sang Bhagavā, setelah bangun dari penyepiannya (meditasinya) di sore hari, pergi ke
tempat Yang Mulia Rahula berdiam di Batu Mangga. Yang Mulia Rahula melihat Sang Bhagavā dari
kejauhan, dan setelah melihatNya, dia menyiapkan tempat duduk dan air untuk mencuci kaki.
Yang Mulia Rahula, setelah memberikan penghormatan, dia duduk di satu sisi.
Kemudian Sang Bhagavā, setelah meninggalkan sedikit air di gayung, berkata kepada Yang
Mulia Rahula, "Rahula, apakah kau melihat sedikit air yang tersisa di gayung ini?"
“Ya, Bhante.”
“Begitulah sedikitnya kehidupan suci yang terdapat pada diri seorang yang tidak malu melakukan
kebohongan dengan sengaja (sadar).”
34
Setelah membuang sedikit air yang tersisa, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia
Rahula, "Rahula, apakah kau melihat sedikit air yang tersisa tersebut dibuang?"
“Ya, Bhante.”
“Rahula, apapun kehidupan suci yang terdapat pada diri seorang yang tidak malu melakukan
kebohongan dengan sengaja (sadar), dibuangnya seperti demikian.”
Setelah membalikkan gayung tersebut, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Rahula,
"Rahula, apakah kau melihat bagaimana gayung ini dibalik?"
“Ya, Bhante.”
“Rahula, apapun kehidupan suci yang terdapat pada diri seorang yang tidak malu melakukan
kebohongan dengan sengaja (sadar), dijungkir-balikkannya seperti demikian.”
Setelah membalikkan gayung tersebut kembali, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia
Rahula, "Rahula, apakah kau melihat betapa kosong dan hampanya gayung ini?"
“Ya, Bhante.”
“Rahula, apapun kehidupan suci yang terdapat pada diri seorang yang tidak malu melakukan
kebohongan dengan sengaja (sadar), benar-benar kosong dan hampa seperti demikian.” ...
"Hal yang sama, Rahula, siapa pun yang tidak malu melakukan kebohongan dengan sengaja
(sadar), Aku katakan kepadamu, ‘Tidak ada kejahatan yang tidak berani dilakukannya.’ Oleh
karena itu, Rahula, kau harus melatih dirimu, ‘Aku tidak akan melakukan kebohongan dengan
sengaja (sadar),23 bahkan saat bercanda.’"
Di bagian berikutnya dari sutta ini, Sang Bhagavā juga mengajarkan Yang Mulia Rahula
untuk selalu merenungkan/mempertimbangkan dengan bijaksana apapun yang akan, sedang,
dan telah dilakukan baik itu melalui jasmani, ucapan, ataupun pikiran. Bila setelah
merenungkannya diketahui bahwa tindakan tersebut membawa kerugian/penderitaan pada diri
sendiri, orang lain, atau keduanya; maka tindakan yang akan dilakukan – tidak pantas untuk
dilakukan, tindakan yang sedang dilakukan – hentikan, tindakan yang telah dilakukan – jangan
diulangi lagi. Bila setelah direnungkan, diketahui bahwa tindakan tersebut membawa
kebaikan/kebahagiaan ... pantas untuk dilakukan, lanjutkan, dan lakukan lagi. Beliau juga
mengatakan bahwa semua brahmana dan petapa – baik di masa lalu, masa yang akan datang, dan
saat ini – memurnikan ketiga tindakannya melalui perenungan [bijaksana] dengan cara yang sama
berulang-ulang.
Di akhir sutta, Sang Bhagavā menasihati Yang Mulia Rahula bagaimana melatih dirinya:
"Oleh karena itu, Rahula, kau harus melatih dirimu sebagai berikut, ‘Aku akan memurnikan
tindakan jasmaniku melalui perenungan [bijaksana] berulang-ulang. Aku akan memurnikan
ucapanku melalui perenungan [bijaksana] berulang-ulang. Aku akan memurnikan pikiranku
melalui perenungan [bijaksana] berulang-ulang.’ Demikianlah seharusnya kau melatih dirimu.” 23
Berbohong dengan sengaja adalah pelanggaran kelas Pācittiya (Pc 1), sedangkan penerimaan uang adalah
pelanggaran kelas yang lebih tinggi yaitu Nissaggiya Pācittiya (NP 18). Bila untuk pelanggaran karena berbohong dengan sengaja saja Sang Buddha berkata demikian kerasnya, bagaimana dengan pelanggaran penerimaan uang yang
merupakan pelanggaran kelas yang lebih tinggi? “... mereka hanya akan memperbesar ukuran kuburan mereka
dengan terus terlahir berulang-ulang.” Silakan baca lengkapnya di buku “Kehidupan Tanpa Uang.”
35
Sikkhānanda, berdasarkan wejangan Sang Bhagavā di atas, kau dapat melihat betapa tidak ada
artinya, betapa kosongnya kehidupan suci pada diri seorang pembohong. Jadi, camkanlah baik-
baik!, harus jujur, jangan pernah melakukan kebohongan, sekali pun! Berdasarkan kitab
komentar, saat itu Rahula baru berusia tujuh tahun dan beliau dapat melaksanakan wejangan
tersebut dengan baik. Kau bukanlah seorang anak kecil lagi, maka, tidak ada alasan apapun untuk
tidak dapat melaksanakannya; dan, kau harus benar-benar malu bila sampai tidak dapat
melaksanakannya. Renungkanlah dengan bijaksana dan berulang-ulang apapun yang – akan,
sedang, dan telah – kau lakukan. Untuk memudahkanmu dalam melaksanakan semua itu, kau
harus menjaga sati-mu dengan baik setiap saat. Oleh karena itu, jangan pernah malas dalam
mengembangkan sati (meditasi).
Sikkhānanda, kau harus jujur kepada dirimu, gurumu, teman-temanmu, dan semua orang,
sehingga mereka dapat membantu dan menasihatimu sehubungan dengan kehidupan suci yang
sedang kau jalankan. Dengan demikian, dapat diharapkan kau mampu maju dan berkembang
dengan cepat dalam Dhamma ini. Hal ini sesuai dengan apa yang Sang Bhagavā katakan dalam
Dhammapada.
Dhp 76.
Seseorang harus mengikuti seorang bijaksana yang menunjukkan kesalahannya dan
menasihatinya bagaikan seseorang yang mengikuti pemandu ke tempat harta karun. Mengikuti
orang bijaksana yang demikian, adalah demi keuntungannya bukan kerugiannya.
Tahap berikutnya, kau harus mengembangkan dan mengondisikan pikiranmu yang belum matang
menjadi matang untuk merealisasi Dhamma.
Meghiya Sutta - AN 9.3
Kepada Meghiya
navakanipātapāḷi, 1. paṭhamapaṇṇāsakaṃ, 1. sambodhivaggo, 3. meghiyasuttaṃ24
PTS: A iv 355
Penggalan suttanya
"Karena pikiranmu belum matang untuk mencapai pencerahan Meghiya, ada lima hal
yang membuatnya matang. Apa lima hal tersebut?
1. Dalam Dhamma ini, Meghiya, seorang bhikkhu harus memiliki teman-teman yang baik,
sahabat-sahabat yang baik, kawan-kawan yang baik. Ketika pikiran belum matang untuk
mencapai pencerahan, inilah hal pertama yang membuatnya matang.
2. Kemudian, seorang bhikkhu harus bermoral; dia hidup terkendali dalam Pātimokkha, memiliki
perilaku dan daerah berkelana yang baik, menyadari (melihat) bahaya dari pelanggaran kecil
sekalipun. Setelah menerima/mengambil aturan disiplin, dia berlatih sesuai dengan aturan 24
Sutta ini juga terdapat di Udana 4.1 (udānapāḷi, 4. meghiyavaggo, 1. meghiyasuttaṃ)
36
tersebut. Ketika pikiran belum matang untuk mencapai pencerahan, inilah hal kedua yang
membuatnya matang.
3. Kemudian, Meghiya, seorang bhikkhu harus dapat mendengarkan pembicaraan yang cocok
dengan pelaksanaan kehidupan suci dan membantu terbukanya pintu hati, sekehendaknya,
tanpa kesulitan, yaitu pembicaraan mengenai - sedikit keinginan, perasaan puas, penyepian,25
tidak melekat pada pertemanan,26 pengembangan semangat, sila, konsentrasi, kebijaksanaan,
pencerahan, dan pengetahuan dan visi tentang pencerahan. Ketika pikiran belum matang
untuk mencapai pencerahan, inilah hal ketiga yang membuatnya matang.
4. Kemudian, Meghiya, seorang bhikkhu harus memiliki usaha/semangat yang terbangkitkan
untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk dan meraih kualitas-kualitas baik; usahanya kuat,
mantap, dan dia tidak meninggalkan tugasnya sehubungan dengan [pengembangan] kualitas-
kualitas baik. Ketika pikiran belum matang untuk mencapai pencerahan, inilah hal keempat
yang membuatnya matang.
5. Kemudian, Meghiya, seorang bhikkhu harus bijaksana; dia memiliki kebijaksanaan yang
dapat melihat keadaan timbul-tenggelam [dari fenomena yang terkondisi], yang mulia dan
menembus, yang membawanya pada kehancuran total dari penderitaan. Ketika pikiran belum
matang untuk mencapai pencerahan, inilah hal kelima yang membuatnya matang.
“Ketika, Meghiya, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, sahabat-sahabat
yang baik, kawan-kawan yang baik, dapat diharapkan dia akan bermoral - dia hidup terkendali
dalam Pātimokkha, ... dia berlatih sesuai dengan aturan tersebut.
“Ketika, Meghiya, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, sahabat-sahabat
yang baik, kawan-kawan yang baik, dapat diharapkan dia akan dapat mendengarkan pembicaraan
yang cocok dengan pelaksanaan kehidupan suci ... dan pengetahuan dan visi tentang pencerahan.
“Ketika, Meghiya, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, sahabat-sahabat
yang baik, kawan-kawan yang baik, dapat diharapkan dia akan memiliki usaha/semangat yang
terbangkitkan untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk ... dan dia tidak meninggalkan tugasnya
sehubungan dengan [pengembangan] kualitas-kualitas baik.
“Ketika, Meghiya, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, sahabat-sahabat
yang baik, kawan-kawan yang baik, dapat diharapkan dia akan bijaksana, memiliki kebijaksanaan
yang dapat melihat keadaan timbul-tenggelam [dari fenomena yang terkondisi], yang mulia dan
menembus, yang membawanya pada kehancuran total dari penderitaan.
“Kemudian, Meghiya, ketika seorang bhikkhu telah mantap dalam lima hal ini, dia harus
mengembangkan empat hal lagi: [persepsi] keburukan [dari jasmani] harus dikembangkan untuk
menghilangkan nafsu; cinta kasih universal harus dikembangkan untuk menghilangkan niat jahat;
perhatian murni pada keluar masuknya napas harus dikembangkan untuk menghentikan pikiran
mengembara; persepsi ketidakkekalan harus dikembangkan untuk menghilangkan kesombongan/
25
Menyepi di sini terutama tentang pikirannya, bukan jasmaninya. Jadi walaupun tinggal di tempat ramai, mereka
senantiasa menjaga pikirannya untuk tetap tenang (tidak mengembara). Mereka melakukannya dengan bermeditasi
atau menikmati buah dari pencapaian meditasinya (jhāna atau kesucian). Sayangnya, sekarang hal ini diadopsi secara
keliru, bukannya beristirahat dengan menikmati pencapaian meditasinya, tetapi dengan tidur siang – hal yang
sungguh memalukan. 26
Di sini maksudnya adalah tidak sering kumpul untuk hal yang bukan Dhamma atau untuk melakukan pembicaraan
yang tidak bermanfaat.
37
keegoisan ‘Aku.’ Dia yang melihat ketidakkekalan, persepsi ketanpaakuan (anattā) akan mantap
pada dirinya. Dia yang melihat ketanpaakuan, mencapai hancurnya kesombongan ‘Aku’ - Nibbāna
di kehidupan ini juga.”
Pada sutta di atas dikatakan, dia memiliki kebijaksanaan yang dapat melihat keadaan timbul-
tenggelam [dari fenomena yang terkondisi], yang mulia dan menembus, yang membawanya pada
kehancuran total dari penderitaan. Bagaimana caranya untuk mendapatkan kebijaksanaan
tersebut? Dia harus merenungkan lima kelompok pencengkeraman (pañcupādānakkhandhā)
atau melakukan meditasi vipassanā, untuk detailnya silakan baca sutta di bawah ini.
Sīlavanta Sutta - SN 22.122
Bermoral
khandhavaggo, 1. khandhasaṃyuttaṃ, 12. dhammakathikavaggo, 10. sīlavantasuttaṃ
PTS: S iii 167
Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita sedang berdiam di
Taman Rusa, Isipatana, Bārāṇasī. Kemudian, di sore hari, Yang Mulia Mahākoṭṭhita setelah bangkit
dari keheningannya, pergi ke tempat Yang Mulia Sāriputta berada. Setelah bertukar sapa, beliau
berkata kepadanya, “Sahabat Sāriputta, dhamma (hal) apakah yang harus diperhatikan dengan
benar (bijaksana) oleh seorang bhikkhu yang bermoral?”
“Sahabat Koṭṭhita, seorang bhikkhu yang bermoral harus memperhatikan dengan benar
lima kelompok pencengkeraman sebagai ketidakkekalan, sebagai penderitaan, sebagai penyakit,
sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai kemalangan, sebagai makhluk
asing, sebagai kehancuran, sebagai kekosongan, sebagai ketanpaakuan (bukan-diri).27 Apakah lima
[kelompok pencengkeraman] itu? Kelompok pencengkeraman materi, kelompok pencengkeraman
perasaan, kelompok pencengkeraman persepsi, kelompok pencengkeraman bentuk-bentuk
pikiran, dan kelompok pencengkeraman kesadaran.28 Seorang bhikkhu yang bermoral harus
memperhatikan dengan benar lima kelompok pencengkeraman ini sebagai ketidakkekalan …
sebagai ketanpaakuan. Ketika, sahabat, seorang bhikkhu yang bermoral memperhatikan dengan
benar lima kelompok pencengkeraman ini sebagai ketidakkekalan … sebagai ketanpaakuan, adalah
hal yang mungkin baginya untuk dapat merealisasi buah kesucian Sotāpatti (menjadi
Sotāpanna).”29
“Tetapi, sahabat Sāriputta, dhamma apakah yang harus diperhatikan dengan benar
(bijaksana) oleh seorang bhikkhu yang telah menjadi Sotāpanna?” “Sahabat Koṭṭhita, seorang
bhikkhu yang telah menjadi Sotāpanna harus memperhatikan dengan benar lima kelompok
27
Penjelasan sebelas istilah ini dapat dibaca di VM XX.19-20. Inti dari sebelas istilah ini adalah anicca, dukkha, anattā. 28
Rūpupādānakkhandho = kelompok materi yang menjadi objek pencengkeraman, tetapi untuk kenyamanan penulisan, ditulis sebagai kelompok pencengkeraman materi. Empat kelompok lainnya harap dimengerti dengan cara
yang sama. 29
Sotāpattiphala = buah kesucian Sotāpatti (Pemasuk-Arus), dia yang merealisasinya disebut sebagai Sotāpanna.
38
pencengkeraman ini sebagai ketidakkekalan … sebagai ketanpaakuan. Ketika, sahabat, seorang
bhikkhu yang telah menjadi Sotāpanna memperhatikan dengan benar lima kelompok
pencengkeraman ini sebagai ketidakkekalan … sebagai ketanpaakuan, adalah hal yang mungkin
baginya untuk untuk dapat merealisasi buah kesucian Sakadāgāmi.”
“Tetapi, sahabat Sāriputta, dhamma apakah yang harus diperhatikan dengan benar
(bijaksana) oleh seorang bhikkhu yang telah menjadi Sakadāgāmi?” “Sahabat Koṭṭhita, seorang
bhikkhu yang telah menjadi Sakadāgāmi harus memperhatikan dengan benar lima kelompok
pencengkeraman ini sebagai ketidakkekalan … sebagai ketanpaakuan. Ketika, sahabat, seorang
bhikkhu yang telah menjadi Sakadāgāmi memperhatikan dengan benar lima kelompok
pencengkeraman ini sebagai ketidakkekalan … sebagai ketanpaakuan, adalah hal yang mungkin
baginya untuk dapat merealisasi buah kesucian Anāgāmi.”
“Tetapi, sahabat Sāriputta, dhamma apakah yang harus diperhatikan dengan benar
(bijaksana) oleh seorang bhikkhu yang telah menjadi Anāgāmi?” “Sahabat Koṭṭhita, seorang
bhikkhu yang telah menjadi Anāgāmi harus memperhatikan dengan benar lima kelompok
pencengkeraman ini sebagai ketidakkekalan … sebagai ketanpaakuan. Ketika, sahabat, seorang
bhikkhu yang telah menjadi Anāgāmi memperhatikan dengan benar lima kelompok
pencengkeraman ini sebagai ketidakkekalan … sebagai ketanpaakuan, adalah hal yang mungkin
baginya untuk dapat merealisasi buah kesucian Arahatta.”
“Tetapi, sahabat Sāriputta, dhamma apakah yang harus diperhatikan dengan benar
(bijaksana) oleh seorang Arahatta?” “Sahabat Koṭṭhita, seorang Arahatta harus memperhatikan
dengan benar lima kelompok pencengkeraman ini sebagai ketidakkekalan … sebagai
ketanpaakuan. Bagi Arahatta, sahabat, tidak ada yang harus dilakukan lebih jauh lagi dan tidak ada
yang perlu ditambahkan pada apa yang telah dilakukan. Namun demikian, ketika dhamma ini
dikembangkan dan dilatih, dhamma ini menuntun menuju pada kediaman bahagia di kehidupan
ini juga dan pada sati dan pemahaman jernih.”
Sikkhānanda, setelah kau mengetahui arti yang sesungguhnya dari kata Thera dan bagaimana cara
mencapainya. Sekarang, selagi kau berjuang untuk menjadi seorang Thera, kau juga harus hidup
seperti seorang Thera.
Thera:
Sempurna Silanya,
Ladang Tempat Menanam Jasa yang Tiada Taranya,
Merupakan Pewaris Dhamma - Bukan Pewaris Materi, dan
Penjaga Dhamma - Bukan Penghancur Dhamma.
Sempurna Silanya
Seorang Thera sempurna silanya, maka seorang Thera akan selalu terlihat cantik,
mendatangkan kenyamanan bagi yang berasosiasi dengannya, dan memberikan berkah
berlimpah kepada penyokongnya. Oleh karena itu, kau juga harus menjaga silamu sebaik-baiknya.
39
Potthaka Sutta - AN 3.100 30
Kain dari Kulit Kayu
tikanipātapāḷi, 2. dutiyapaṇṇāsakaṃ, (10) 5. loṇakapallavaggo, 8. potthakasuttaṃ
PTS: A i 246; B. Bodhi AN 3.99
“Para bhikkhu, ketika dalam keadaan baru, kain dari kulit kayu adalah [kain yang] jelek,
tidak nyaman, dan rendah nilainya. Ketika telah dipakai, kain dari kulit kayu adalah [kain yang]
jelek, tidak nyaman, dan rendah nilainya. Ketika telah usang (tua) kain dari kulit kayu tetap jelek,
tidak nyaman, dan rendah nilainya. Mereka menggunakan kain dari kulit kayu yang telah usang
untuk membersihkan periuk atau mereka membuangnya ke tumpukan sampah.”
“Begitu juga, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu muda (junior) bermoral buruk, sifatnya
buruk, hal ini Saya katakan sebagai keburukannya (kejelekannya). Bagaikan kain dari kulit kayu,
jelek, begitu juga Saya katakan dengan orang (bhikkhu) tersebut.”
“Bagi mereka yang berasosiasi dengannya, berlindung padanya, melayaninya, dan
menjadikannya sebagai panutan, ini akan mengakibatkan keburukan dan penderitaan bagi
mereka untuk jangka waktu yang lama. Hal ini Saya katakan sebagai ketidaknyamanannya.
Bagaikan kain dari kulit kayu, tidak nyaman, begitu juga Saya katakan dengan orang tersebut.”
“Ketika dia menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan
perlengkapan lainnya untuk keperluan saat sakit, [penerimaan ini] tidak mendatangkan buah dan
manfaat yang besar bagi mereka [yang memberikannya]. Hal ini Saya katakan sebagai kerendahan
nilainya. Bagaikan kain dari kulit kayu, rendah nilainya, begitu juga Saya katakan dengan orang
tersebut.”
“Begitu juga, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu menengah (majjhima) .....
“Begitu juga, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu sepuh (thera) bermoral buruk, sifatnya
buruk, hal ini Saya katakan sebagai keburukannya (kejelekannya). ..... hal ini Saya katakan sebagai
ketidaknyamanannya. ...... hal ini Saya katakan sebagai kerendahan nilainya. Bagaikan kain dari
kulit kayu, rendah nilainya, begitu juga Saya katakan dengan orang tersebut.”
“Jika seorang bhikkhu sepuh yang demikian berbicara di tengah-tengah Sangha, para
bhikkhu [yang lain] berkata kepadanya, ‘Apa yang memberimu, seorang bodoh yang tidak punya
kemampuan, hak untuk berbicara? Apakah kau pikir bahwa kau juga punya hak untuk berbicara?’
Dia, karena hal itu, akan menjadi marah dan tidak senang, dan mengucapkan kata-kata yang
karenanya Sangha mengucilkannya (membuangnya), bagaikan [membuang] kain dari kulit kayu
ke tumpukan sampah.”
“Para bhikkhu, ketika dalam keadaan baru, kain dari Kāsi adalah [kain yang] cantik/indah,
nyaman, dan tinggi nilainya. Ketika telah dipakai, kain dari Kāsi adalah [kain yang] cantik, nyaman,
dan tinggi nilainya. Ketika telah usang (tua) kain dari Kāsi tetap cantik, nyaman, dan tinggi nilainya.
30
Potthaka artinya: buku atau kain kanvas untuk melukis. B. Bodhi, mengikuti penjelasan kitab komentar,
menerjemahkannya sebagai kain dari kulit kayu.
40
Mereka menggunakan kain dari Kāsi31 yang telah usang sebagai pembungkus perhiasan atau
mereka menyimpannya di peti yang harum.”
“Begitu juga, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu muda bermoral baik, sifatnya baik, hal
ini Saya katakan sebagai kecantikannya. Bagaikan kain dari Kāsi, cantik, begitu juga Saya katakan
dengan orang (bhikkhu) tersebut.”
“Bagi mereka yang berasosiasi dengannya, berlindung padanya, melayaninya, dan
menjadikannya sebagai panutan, ini akan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
mereka untuk jangka waktu yang lama. Hal ini Saya katakan sebagai kenyamanannya. Bagaikan
kain dari Kāsi, nyaman, begitu juga Saya katakan dengan orang tersebut.”
“Ketika dia menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan
perlengkapan lainnya untuk keperluan saat sakit, [penerimaan ini] mendatangkan buah dan
manfaat yang besar bagi mereka [yang memberikannya]. Hal ini Saya katakan sebagai ketinggian
nilainya. Bagaikan kain dari Kāsi, tinggi nilainya, begitu juga Saya katakan dengan orang tersebut.”
“Begitu juga, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu menengah (majjhima) .....
“Begitu juga, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu sepuh (thera) bermoral buruk, sifatnya
buruk, hal ini Saya katakan sebagai kecantikannya. ..... hal ini Saya katakan sebagai
kenyamanannya. ...... hal ini Saya katakan sebagai ketinggian nilainya. Bagaikan kain dari Kāsi,
tinggi nilainya, begitu juga Saya katakan dengan orang tersebut.”
“Jika seorang bhikkhu sepuh yang demikian berbicara di tengah-tengah Sangha, para
bhikkhu [yang lain] berkata kepadanya, ‘Mohon teman-teman yang mulia untuk tenang. Bhikkhu
sepuh sedang berbicara tentang Dhamma & Vinaya.’ Kata-katanya harus disimpan (diingat/
dipraktikkan), bagaikan [menyimpan] kain dari Kāsi di peti yang harum.” 32
“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus melatih diri kalian sebagai berikut, ‘Kami
akan menjadi seperti kain dari Kāsi, tidak menjadi seperti kain dari kulit kayu.’ Demikianlah
seharusnya kalian melatih diri kalian.”
Ladang Tempat Menanam Jasa yang Tiada Taranya
Seorang Thera bukan hanya sempurna silanya, tetapi dia juga telah membasmi semua
kekotoran mental dari dirinya. Oleh karena itu, dia menjadi ladang tempat menanam jasa yang
tiada taranya bagi dunia. Kau juga, Sikkhānanda, harus menjadi seperti seorang Thera, menjadi
ladang tempat menanam jasa yang tiada taranya. Apakah mungkin? Ya, seorang bhikkhu yang
memiliki delapan kualitas, walaupun dia bukanlah seorang Thera, adalah ladang tempat menanam
jasa yang tiada taranya bagi dunia. Apakah delapan kualitas tersebut?
31
Kāsi adalah kerajaan yang beribukota di Benares (Bārānasi). Kāsi terkenal dengan produk suteranya dan jubah dari
Kāsi sering dijadikan hadiah spesial. Di Jātaka no. 546, dikatakan harga satu jubahnya adalah 100.000 keping mata uang (Pali Proper Names). 32
Kalimat terakhir ini tidak ada di kitab Pali, ada di terjemahan PTS dan Bhikkhu Bodhi, karena cocok dengan
perumpamaan sebelumnya yang berada di bagian kain dari kulit kayu, maka hal ini pun penerjemah ikutsertakan
41
Assājānīya Sutta - AN 8.13
Kuda Keturunan Murni
aṭṭhakanipātapāḷi, 1. paṭhamapaṇṇāsakaṃ, 2. mahāvaggo, 3. assājānīyasuttaṃ
PTS: A iv 188
“Para bhikkhu, dilengkapi dengan delapan kualitas, seekor kuda unggul keturunan murni
milik raja layak menjadi kuda seorang raja, aset seorang raja, dan dihitung sebagai faktor dari
kedudukan seorang raja. Apa delapan kualitas itu?
1. “Dalam hal ini para bhikkhu, seekor kuda unggul keturunan murni milik raja memiliki silsilah
keturunan yang baik dari kedua sisi, dari ayah dan ibunya; dia dilahirkan di daerah di mana
kuda-kuda unggul keturunan murni lainnya dilahirkan.
2. “Apapun makanan yang diberikan kepadanya, baik segar ataupun kering, dia memakannya
dengan penuh perhatian (hati-hati) tanpa mencecerkannya.
3. “Dia merasa jijik untuk duduk atau berbaring dekat air seni ataupun kotoran.
4. “Dia ramah, menyenangkan untuk diajak berasosiasi/hidup berdampingan, dan dia tidak suka
mengganggu kuda yang lainnya.
5. “Dia mengungkapkan kecurangan-kecurangannya, tipu-dayanya, muslihatnya, kelicikannya
sebagaimana adanya kepada pelatihnya, sehingga pelatihnya dapat berusaha [menolongnya
untuk] meluruskannya/menghancurkannya.
6. “Saat menarik beban, dia berpikir, ‘Apakah kuda yang lain mau menarik atau tidak, saya akan
menariknya.’
7. “Ketika berjalan, dia hanya berjalan di jalan yang lurus.
8. “Dia tangguh dan tetap menunjukkan ketangguhannya sampai akhir hidupnya.
“Demikianlah, para bhikkhu, dilengkapi dengan delapan kualitas tersebut, seekor kuda
unggul keturunan murni milik raja layak menjadi kuda seorang raja, aset seorang raja, dan dihitung
sebagai faktor dari kedudukan seorang raja.
“Begitu juga, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang memiliki delapan kualitas layak
menerima pujaan, keramah-tamahan, persembahan, penghormatan, dan merupakan ladang
tempat menanam jasa yang tiada taranya bagi dunia. Apa delapan kualitas itu?
1. “Seorang bhikkhu harus bermoral; dia hidup terkendali dalam Pātimokkha, memiliki perilaku
dan daerah berkelana yang baik, menyadari (melihat) bahaya dari pelanggaran kecil sekalipun.
Setelah menerima/mengambil aturan disiplin, dia berlatih sesuai dengan aturan tersebut.
2. “Apapun makanan yang diberikan kepadanya, baik enak ataupun tidak, dia memakannya
dengan penuh perhatian (hati-hati) tanpa mengeluh.
3. “Dia merasa jijik terhadap perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; dia merasa
jijik terhadap berbagai macam kualitas buruk yang tidak baik.
4. “Dia ramah, menyenangkan untuk diajak berasosiasi/hidup berdampingan, dan dia tidak suka
mengganggu bhikkhu yang lainnya.
42
5. “Dia mengungkapkan kecurangan-kecurangannya, tipu-dayanya, muslihatnya, kelicikannya
sebagaimana adanya kepada gurunya atau teman bhikkhunya yang bijaksana, sehingga
mereka dapat berusaha [menolongnya untuk] meluruskannya/menghancurkannya.
6. “Dalam menjalani latihan, dia berpikir, ‘Apakah para bhikkhu yang lain mau berlatih atau
tidak, saya akan berlatih.’
7. “Ketika berjalan, dia hanya berjalan di jalan yang lurus; dalam hal ini, jalan yang lurus adalah
pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha
benar, perhatian murni benar, dan konsentrasi benar.
8. “Dia menjalani kehidupan kebhikkhuannya dengan semangat yang terbangkitkan, [dengan
berpikir] ‘Dengan ikhlas, biar hanya tinggal kulit, otot, dan tulang yang tersisa, biar daging
dan darah di tubuhKu mengering, tetapi bila Aku belum meraih apa yang dapat diraih
melalui kekuatan, semangat, dan usaha seorang manusia, Aku tidak akan mengendorkan
usahaKu.’
“Demikianlah, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang memiliki delapan kualitas tersebut
layak menerima pujaan, keramah-tamahan, persembahan, penghormatan, dan merupakan ladang
tempat menanam jasa yang tiada taranya bagi dunia.”
Sikkhānanda, baca dan renungkan delapan kualitas tersebut. Bila kau belum memilikinya,
berjuanglah dengan penuh semangat untuk meraihnya. Bila kau telah memilikinya, kuucapkan
Sādhu; tetapi, bukan berarti kau boleh berhenti berjuang sampai di sini, kau harus
mempertahankannya dan berusaha terus untuk meningkatkannya hingga sempurna, hingga kau
menjadi seorang Thera yang sesungguhnya!
Merupakan Pewaris Dhamma - Bukan Pewaris Materi
Seperti yang telah dijelaskan pada sutta ‘Dutiyauruvelā Sutta,’ seseorang menjadi Thera
karena pencapaian Dhammanya bukan karena pencapaiannya dalam mengumpulkan harta
duniawi. Sang Buddha, atas dasar belas kasihan kepada para muridNya, bahkan memberikan
perumpamaan tentang dua orang bhikkhu yang ditawari makanan sisa. Beliau menegaskan agar
para muridNya untuk menjadi pewaris Dhamma, bukan pewaris materi. Sayangnya, pada saat ini
yang terjadi adalah sebaliknya; maka, kau harus selalu hati-hati dan waspada agar tidak ikut
terseret ke dalam jalur yang salah.
Dhammadāyāda Sutta - MN 3
Pewaris Dhamma
mūlapaṇṇāsapāḷi, 1. mūlapariyāyavaggo, 3. dhammadāyādasuttaṃ
PTS: M i 12
Penggalan suttanya
“Dalam hal ini, para bhikkhu, seandainya Aku telah makan, telah menolak tawaran
43
berikutnya, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah makan sebanyak yang Aku butuhkan, dan
ada makanan tersisa yang akan dibuang. Kemudian, dua orang bhikkhu datang dalam keadaan
lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka, ‘Para bhikkhu, Aku telah makan … telah makan
sebanyak yang Aku butuhkan, dan ada makanan tersisa yang akan dibuang. Makanlah jika kalian
menginginkannya, jika kalian tidak memakannya maka Aku akan membuangnya ke tempat di
mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.’
“Kemudian bhikkhu pertama berpikir, ‘Sang Bhagavā telah makan … telah makan
sebanyak yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan
dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya ke tempat di mana
tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan. Tetapi hal
ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, “Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan
pewarisKu dalam hal materi.” Sekarang, makanan ini adalah salah satu bentuk materi, bagaimana
jika aku tidak memakan makanan tersebut dan melewatkan siang dan malam hariku dalam
keadaan lapar dan lemah?’ Dan dia tidak memakan makanan tersebut dan melewatkan siang dan
malam harinya dalam keadaan lapar dan lemah.
“Kemudian bhikkhu kedua berpikir, ‘Sang Bhagavā telah makan … telah makan sebanyak
yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang;
jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya ke tempat di mana tidak ada
tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan. Bagaimana jika aku
memakan makanan tersebut dan melewatkan siang dan malam hariku setelah mengatasi rasa
lapar dan lelahku?’ Dan dia memakan makanan tersebut dan melewatkan siang dan malam
harinya setelah mengatasi rasa lapar dan lelahnya.
“Tetapi, para bhikkhu, walaupun bhikkhu itu dengan memakan makanan tersebut
melewatkan siang dan malam harinya tanpa merasa lapar dan lemah, namun bhikkhu pertama
lebih dihormati dan dipuji olehKu. Mengapa demikian? Karena hal itu akan menumbuhkan:
sedikit keinginan, kepuasan, pemurnian, kemudahan dalam disokong, dan pembangkitan
semangat33 pada dirinya untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu
dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam hal materi. Atas belas kasihanKu kepada kalian, Aku
berpikir, ‘Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan
pewarisKu dalam hal materi?’”
Sikkhānanda, mungkin kau menganggap Sang Buddha memberikan contoh yang terlalu ekstrim.
Tujuannya adalah agar para siswaNya dapat benar-benar mengingat pesan Beliau. Makanya,
bahkan hal yang hampir tidak ada harganya pun “makanan sisa” harus dihindari, karena Beliau
melihat potensi bahaya yang sangat besar dari perolehan materi. Apakah kau masih ingat sutta
“Kumbang Pemakan Kotoran?” Seseorang yang berada dalam cengkeraman perolehan materi
bahkan tidak menyadari bahwa dirinya penuh dengan kotoran (kilesa). Agar kau semakin mengerti
betapa berbahayanya perolehan materi, silakan baca dan renungkan beberapa sutta berikut ini.
33
Menurut komentator, lima hal ini secara bertahap akan memenuhi setiap tahapan dari latihan dan mencapai
puncaknya pada pencapaian kesucian Arahat.
44
Jīvita dan Janapadakalyāṇi Sutta - SN 17.19 dan 17.20
Kehidupan dan Wanita Tercantik di Seluruh Negeri
nidānavaggo, 6. lābhasakkārasaṃyuttaṃ, 2. dutiyavaggo, 3-10. suvaṇṇanikkhasuttādiaṭṭhakaṃ
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, perolehan, penghormatan, dan kemasyhuran adalah sesuatu
yang kejam; suatu rintangan yang kasar, yang menyakitkan bagi pencapaian kebebasan tertinggi
dari belenggu. Para bhikkhu, Aku mengetahui seseorang di sini yang pikirannya telah Kubaca
dengan pikiranKu: ‘Yang Mulia ini tidak akan mengatakan kebohongan dengan sengaja bahkan
… demi hidupnya. (SN 17.19)
… demi wanita tercantik di seluruh negeri. (SN 17.20)
Namun, di kemudian hari, Aku melihatnya- pikirannya dicengkeram dan dikuasai oleh perolehan,
kehormatan, dan kemasyhuran -mengatakan kebohongan dengan sengaja. Para bhikkhu,
demikianlah betapa kejamnya perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran; suatu rintangan yang
kasar, yang menyakitkan bagi pencapaian kebebasan tertinggi dari belenggu.”
"Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus melatih diri kalian sebagai berikut, ‘Kami
akan mengeliminasi perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran yang muncul; dan kami tidak akan
membiarkan perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran yang telah muncul mencengkeram dan
menguasai pikiran kami.’ Demikianlah seharusnya kalian melatih diri kalian.”
Kalyāṇi Sutta - SN 17.22
Wanita Tercantik di Seluruh Negeri
nidānavaggo, 6. lābhasakkārasaṃyuttaṃ, 3. tatiyavaggo, 2. kalyāṇīsuttaṃ
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, perolehan, penghormatan, dan kemasyhuran adalah sesuatu
yang kejam; suatu rintangan yang kasar, yang menyakitkan bagi pencapaian kebebasan tertinggi
dari belenggu. Para bhikkhu, bahkan, seorang wanita tercantik di seluruh negeri- ketika seseorang
sedang sendirian bersamanya -tidak akan terus-menerus menguasai pikirannya; tetapi,
perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, akan selalu menguasai pikirannya. Para bhikkhu,
demikianlah betapa kejamnya perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran; suatu rintangan yang
kasar, yang menyakitkan bagi pencapaian kebebasan tertinggi dari belenggu.”
"Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus melatih diri kalian sebagai berikut, ‘Kami
akan mengeliminasi perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran yang muncul; dan kami tidak akan
membiarkan perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran yang telah muncul mencengkeram dan
menguasai pikiran kami.’ Demikianlah seharusnya kalian melatih diri kalian.”
Sikkhānanda, tidak pernahkah kau mendengar berita tentang para penyelam kerang mutiara yang
mengalami gangguan kesehatan, menjadi cacat, dan bahkan ada yang sampai meninggal? Semua
itu karena terserang dan tercengkeram oleh perolehan materi. Tidak pernahkah kau mendengar
45
kasus pembunuhan yang dipicu oleh perebutan materi (harta)? Tidak pernahkah kau mendengar
para bhikkhu yang saling berselisih hanya karena memperebutkan dana (uang) dari umat?
Sikkhānanda, apakah kau sekarang dapat menyadari betapa kejamnya “perolehan materi?” Oleh
karena itu, Sang Bhagavā mengingatkan para siswanya untuk menjadi pewaris Dhamma, bukan
pewaris materi.
Penjaga Dhamma - Bukan Penghancur Dhamma
Biar kuberitahu kau satu hal lagi mengenai kualitas dari seorang Thera. Seorang Thera
adalah pewaris Dhamma, maka seorang Thera juga layak disebut sebagai penjaga Dhamma,
penjaga Buddha Sāsana. Kau, Sikkhānanda, walaupun bukan seorang Thera, juga harus ikut
menjaga kelestarian Dhamma yang sungguh Mulia ini, bukan menghancurkannya. Dengan
demikian, kau dapat dikatakan menjalani kehidupan kebhikkhuanmu seperti seorang Thera.
Bacalah, ingat-ingatlah, dan renungkanlah baik-baik apa yang Sang Bhagavā katakan dalam sutta
berikut ini.
Tatiyaovāda Sutta - SN 16.8
Nasihat (III)
nidānavaggo, 5. kassapasaṃyuttaṃ, 8. tatiyaovādasuttaṃ
Di Rājagaha di Hutan Bambu, tempat para tupai diberi makan. Yang Mulia Mahākassapa
datang kepada Sang Bhagavā, setelah dekat, beliau memberi hormat kepadaNya dan duduk di satu
sisi. Kemudian setelah Yang Mulia Mahākassapa duduk, Sang Bhagavā berkata kepadanya:
‘Nasihatilah para bhikkhu, Kassapa. Berikan ceramah Dhamma. Apakah Aku atau kamu, Kassapa,
yang harus menasihati para bhikkhu. Apakah Aku atau kamu, Kassapa, yang harus memberikan
ceramah Dhamma.”
“Mereka keras kepala, Bhante; saat ini, para bhikkhu sulit untuk dinasihati dan mereka
memiliki kualitas yang membuat mereka sulit untuk dinasihati. Mereka tidak sabar dan tidak
menerima nasihat dengan hormat.”
“Memang demikianlah, Kassapa, di masa lampau para bhikkhu sepuh (Thera) berdiam di
hutan dan memuji hal tersebut; mereka makan makanan hasil dari piṇḍapāta dan memuji hal
tersebut; mereka memakai jubah dari kain buangan dan memuji hal tersebut; mereka hanya
memakai tiga potong jubah dan memuji hal tersebut; mereka memiliki sedikit keinginan dan
memuji hal tersebut; mereka merasa puas [dengan apapun catupaccaya yang didapatnya] 34 dan
memuji hal tersebut; mereka suka menyepi dan memuji hal tersebut;35 mereka tidak melekat pada
pertemanan dan memuji hal tersebut; mereka penuh semangat dan memuji hal-hal yang
membangkitkan semangat.”
34
Jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan; berdasarkan Anuruddhamahāvitakka Sutta - AN 8.30 35
Lihat catatan kaki no. 23.
46
“Kepada seorang bhikkhu yang demikianlah, yang berdiam di hutan dan memuji hal
tersebut; yang makan makanan hasil dari piṇḍapāta dan memuji hal tersebut; ... yang penuh
semangat dan memuji hal-hal yang membangkitkan semangat; para bhikkhu sepuh memberikan
undangan untuk duduk [dengan berkata], ‘Kemarilah bhikkhu. Siapakah nama Anda, bhikkhu?
Anda mempunyai kualitas yang sangat baik dan menyukai latihan dan disiplin. Kemarilah bhikkhu,
ini tempat duduk, silahkan duduk.’”
“Maka, Kassapa, para bhikkhu baru akan berpikir, ‘Kepada seorang bhikkhu yang
demikianlah, yang berdiam di hutan dan memuji hal tersebut; yang makan makanan hasil dari
piṇḍapāta dan memuji hal tersebut; ... yang penuh semangat dan memuji hal-hal yang
membangkitkan semangat; para bhikkhu sepuh memberikan undangan untuk duduk [dengan
berkata], ‘Kemarilah bhikkhu. Siapakah nama Anda, bhikkhu? Anda mempunyai kualitas yang
sangat baik dan menyukai latihan dan disiplin. Kemarilah bhikkhu, ini tempat duduk, silahkan
duduk.’’ Para bhikkhu baru tersebut akan berlatih seperti demikian dan hal tersebut akan
membawa mereka pada kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.”
“Tetapi sekarang, Kassapa, para bhikkhu sepuh tidak lagi berdiam di hutan dan tidak
memuji tentang berdiam di hutan; tidak lagi makan makanan hasil dari piṇḍapāta dan tidak
memuji tentang makan makanan hasil dari piṇḍapāta; mereka tidak lagi memakai jubah dari kain
buangan dan tidak memuji tentang pemakaian jubah dari kain buangan; mereka tidak lagi hanya
memakai tiga potong jubah dan tidak memuji tentang pemakaian hanya tiga potong jubah;
mereka tidak lagi memiliki sedikit keinginan dan tidak memuji tentang memiliki sedikit keinginan;
mereka tidak lagi merasa puas [dengan apapun catupaccaya yang didapatnya] dan tidak memuji
tentang perasaan puas [dengan apapun catupaccaya yang didapatnya]; mereka tidak lagi suka
menyepi dan tidak memuji tentang penyepian; mereka tidak lagi tidak-melekat pada pertemanan
dan tidak memuji tentang ketidak-melekatan pada pertemanan; mereka tidak lagi penuh
semangat dan tidak memuji tentang hal-hal yang membangkitkan semangat.”
Saat ini, kepada bhikkhu yang terkenal dan termasyhurlah– yang memperoleh banyak
jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk keperluan saat sakit –para bhikkhu
sepuh memberikan undangan untuk duduk [dengan berkata], ‘Kemarilah bhikkhu. Siapakah nama
Anda, bhikkhu? Anda mempunyai kualitas yang sangat baik dan suka bergaul dengan sesama
bhikkhu lainnya. Kemarilah bhikkhu, ini tempat duduk, silahkan duduk.’”
“Maka, Kassapa, para bhikkhu baru akan berpikir: ‘Kepada seorang bhikkhu yang
demikianlah, yang terkenal dan termasyhurlah– yang memperoleh banyak jubah, dana makanan,
tempat tinggal, dan obat-obatan untuk keperluan saat sakit –para bhikkhu sepuh memberikan
undangan untuk duduk [dengan berkata], ‘Kemarilah bhikkhu. Siapakah nama Anda, bhikkhu?
Anda mempunyai kualitas yang sangat baik dan suka bergaul dengan sesama bhikkhu lainnya.
Kemarilah bhikkhu, ini tempat duduk, silahkan duduk.’’ Para bhikkhu baru tersebut akan berlatih
seperti demikian dan hal tersebut akan membawa mereka pada kerugian dan penderitaan untuk
waktu yang lama.”
“Seandainya, Kassapa, dia yang berbicara benar berkata, ‘Mereka yang menjalani
kehidupan suci telah dihancurkan oleh penghancuran dari mereka yang menjalani kehidupan suci,
47
mereka yang menjalani kehidupan suci telah ditaklukkan oleh penaklukan dari mereka yang
menjalani kehidupan suci,’ hanya jika demikianlah dia mengatakan hal ini dengan benar.”
Sikkhānanda, simaklah paragraf terakhir baik-baik!
Dengan kata lain – para bhikkhu yang demikian dihancurkan dan ditaklukkan oleh hal-hal yang
merusak kehidupan seorang bhikkhu. Hal-hal apakah itu? Komentator mengatakan bahwa mereka
hancur dan takluk karena pendambaan (kemelekatan) yang berlebihan pada empat kebutuhan
pokok (catupaccaya). Sekali lagi, di sini kau melihat betapa bahayanya perolehan materi.
Bagaimana keadaan sekarang? Lebh parah lagi, karena sebagian besar juga melekat kepada
kebutuhan sekunder dan barang-barang mewah seperti barang-barang elektronik mewah, mobil,
dan uang.
Kita juga bisa mengatakan bahwa para pelaku kehidupan suci dihancurkan oleh mereka yang
menjalani kehidupan suci (oleh mereka sendiri) dan Buddha Sāsana juga dihancurkan oleh
mereka yang menjalani kehidupan suci. Namun demikian, sungguh disayangkan, karena
sepertinya hal ini tidak pernah terpikir oleh sebagian besar pelaku kehidupan suci, atau mereka
memang tidak peduli akan hal ini!
Sikkhānanda, walaupun saat ini sulit untuk menerapkan semua dari sembilan hal tersebut, tetapi
kau harus semaksimal mungkin menerapkan yang masih bisa diterapkan. Hal ini bukan hanya
untuk kebaikanmu saja, tetapi juga untuk kebaikan orang banyak, untuk kebaikan semua
makhluk. Atas dasar kasih sayang dan belas kasihan kepada mereka, berjuanglah sungguh-
sungguh. Jadilah penjaga Dhamma, bukan penghancur Dhamma. Dengan demikian, kau hidup
bagaikan seorang Thera.
Sebagai penutup renungan ini,
ingatlah baik-baik beberapa syair dari Dhammapada di bawah ini.
Dhp 32.
Seorang bhikkhu yang senang menjaga sati-nya dan melihat (menyadari) bahaya dari kelalaian,
tidak akan jatuh (merosot/keluar jalur).36 Sesungguhnyalah, dia sangat dekat dengan Nibbāna.
Dhp 271 & 272.
Tidak hanya dengan berlatih moralitas, banyak belajar, mencapai konsentrasi, berdiam di tempat
sunyi, ataupun berpikir, “Saya menikmati kebahagiaan dari meninggalkan keduniawain [misal,
buah dari kesucian Anāgāmi] yang tidak dinikmati oleh para kaum awam (puthujjana),” seorang
bhikkhu berpuas diri sebelum merealisasi lenyapnya noda (āsava) [menjadi Arahat].
Dhp 282.
Sesungguhnyalah, kebijaksanaan muncul dari meditasi; tanpa meditasi kebijaksanaan lenyap.
Setelah mengetahui kedua jalan ini, jalan mendapatkan dan lenyapnya kebijaksanaan, dia harus
bertindak sehingga kebijaksanaan dapat bertambah.
36
Tidak akan jatuh dari ketenangan pikiran dan pandangan terang, dia dipastikan mencapai jalan dan buah kesucian.
48
Dhp 364.
Seorang bhikkhu yang berdiam dalam Dhamma, yang menyenangi Dhamma, yang bermeditasi
tentang Dhamma, selalu menjaga sati-nya terhadap Dhamma, tidak akan jatuh (merosot/keluar
jalur) dari Dhamma Sejati.
Bila kau kesulitan mengingat renungan di atas, maka:
cukup ingat empat baris ini.
“Berasosiasilah dengan teman yang baik (bijaksana).
Jika tidak mendapatkannya,
Hiduplah tanpa cela.
Berkelanalah sendiri, bagaikan badak bercula satu.”
Aku melimpahkan semua jasa kebajikan
yang kuperoleh dari penulisan Dhamma ini
kepada semua makhluk.
Semoga semua makhluk, dapat berbagi dan menikmati
sebesar jasa kebajikan yang kuperoleh.
Semoga semua makhluk,
hidup bahagia, damai, dan bebas dari penderitaan,
serta secepatnya mencapai Nibbāna.
Sādhu! Sādhu!
Sādhu!
Salam mettā,
U Sikkhānanda
Benteng Satipaṭṭhāna
Tangerang, 20 Oktober, 2013
Tulisan ini boleh dikutip, diubah formatnya, dan dicetak dalam media
apapun tanpa izin dari penulis demi menyebarluaskan dan melestarikan
Buddha Dhamma. Dilarang keras untuk diperjualbelikan!
Janganlah menjadi pedagang Dhamma atau
Janganlah hidup dengan berjualan Dhamma
“dhammena na vaṇiṃ care” Buddha, Sattajaṭila Sutta - KN 3.52
=======oo0oo=======
49
Referensi:
1. Digital Pali Reader version 4.3, http://pali.sirimangalo.org., 2012 2. Chaṭṭha Saṅgāyana Tipiṭaka 4.0, Vipassana Research Institute.org., 1995.
3. Sutta-sutta dari, http://www.accesstoinsight.org, Pali Text Society, dan Sri Lanka Tipiṭaka
Project (http://www.metta.lk). 4. Majjhima Nikāya, versi: Bhikkhu Ñāṇamoli & Bhikkhu Bodhi (Wisdom Publication, Boston,
1995).
5. Aṅguttara Nikāya, versi: Bhikkhu Bodhi (Wisdom Publications, Boston, 2012) 6. Saṃyutta Nikāya, versi: Bhikkhu Bodhi (Wisdom Publication, Boston, 2000)
7. I. B. Horner M.A., The Book of The Discipline Vol. I, Published for PTS by Luzac & Company
Ltd., London, 1949. 8. Ṭhānissaro Bhikkhu, Buddhist Monastic Code I, 2007, PDF, http://www.accesstoinsight.org.
9. Ṭhānissaro Bhikkhu, Recognizing The Dhamma, Vihara Buddha Gotama, Perak, Malaysia.
10. The Jātaka, Stories of Buddha’s Former Births, translated by E. B. COWELL, M.A., and W. H. D. ROUSE, M.A., LITTḌ, http://www.sacred-texts.com.
11. The Dhammapada Commentary “Verses & Stories”, translated into English by Daw Mya Tin,
M.A., e-file dari http://www.budsas.org. 12. Kamus Besar Bahasa Indonesia (PDF), Pusat Bahasa Dep. Pendidikan Nasional, Jakarta 2008.
13. Kamus 2.4, (Indonesia-Inggris) Freeware-2010-2013 by Ebta Setiawan, http://ebsoft.web.id
14. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline Versi 1.5, Freeware-2010-2013 by Ebta Setiawan, http://ebsoft.web.id
15. TheSage's English Dictionary and Thesaurus, Freeware, www.SequencePublishing.com
16. Pali Lookup version 2.0 – For Free Distribution Only, 2002, Aukana Trust. 17. Malalasekera, G.P., Buddhist Dictionary of Pali Proper Names, www.palikanon.com.
Judul Beberapa Buku & Artikel lainnya
Buku:
1. Dasar-Dasar Meditasi Vipassanā, Mahāsī Sayādaw
2. Kemajuan Dalam Vipassanā, Mahāsī Sayādaw
3. Higher Magga & Phala (Indonesia), Sayādaw U Kuṇḍalābhivaṁsa
4. Kehidupan Mulia Ini, Sayādaw U Kuṇḍalābhivaṁsa
5. Meditasi Vipassanā, Chanmyay Sayādaw
6. Perkembangan Pandangan Terang, Chanmyay Sayādaw
7. The Cambridge Talk (Indonesia), Chanmyay Sayādaw
8. Dana, Bhikkhu Sikkhānanda
9. Kisah-Kisah Hukum Karma dan Moral Ceritanya, Bhikkhu Sikkhānanda
10. Dasar-Dasar Abhidhamma, Bhikkhu Sikkhānanda
11. Sila, Bhikkhu Sikkhānanda
Artikel:
1. Tujuan Hidup Ini
2. Manfaatkan Waktu Semaksimal Mungkin
3. Empat Macam Manusia
4. Pengembara yang Tersesat
50
5. Merenungkan/Membayangkan Penderitaan Neraka
6. Apa Itu Avijjā
7. Dua Jenis Tangisan
8. Empat Jenis Harta
9. Ketakutan oleh Gajah Ciptaannya
10. Lihat Dukkha sebagai Duri
11. Manfaat dari Meditasi Vipassanā
12. Membuang Keserakahan Indera yang Terpendam
13. Pembabaran Ajaran yang Tidak Lengkap
14. Lost Traveler (English short version of ‘Pengembara yang Tersesat’)
15. Petunjuk Meditasi Vipassanā
16. Petunjuk Meditasi Mettā
17. Samatha, Vipassanā, dan 4 Tipe Yogi
18. Teman yang Salah (pāpamitta)
19. Kehidupan Tanpa Uang (informasi penting untuk umat tentang vinaya mengenai uang)
20. Mengapa Berdana Uang Kepada Bhikkhu Adalah Perbuatan Karma Buruk?
21. Kathina dan Serba-Serbinya
22. Janganlah Menjadi Beban
23. Sejarah Konsili Sangha II (Apa reaksi Arahat bila diajak untuk menerima uang?)
24. Kemarahan dan Cara Mengatasinya
25. Memahami Vinaya
26. Manusia Malang
27. Sayangilah Diri Anda
Semua Buku dan Artikel di atas bisa diunduh (download) di
http://cid-f1e05c39cd1727e9.office.live.com/browse.aspx/Vipassana%20Dhamma.
Bila kesulitan untuk mengetik alamat tautan di atas, anda bisa menduplikasinya di:
www.facebook.com/andi.kusnadi atau http://sikkhananda.blogspot.com/
top related