hakikat pernikahan dalam islam
Post on 11-Dec-2014
109 Views
Preview:
TRANSCRIPT
HAKIKAT PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Dalam program talkshaw Hitam Putih yang ditayangkan Rabu tanggal 27 Maret 2013 yang lalu,
yang dipandu artis Oki Lukman, menghadirkan Dedy Corbuzier dan keluarganya terkait dengan
perceraiannya dengan istrinya, Dedy membuat tamsilan yang menggelitik perhatian kita. Mengomentari
persoalan perceraiannya, dia berteori bahwa bagian yang terpenting dalam peristiwa perkawinan itu
adalah prosesnya. Menurutnya melaksanakan perkawinan ibarat seorang pemancing profesional. Pada
saat memulainya si pemancing terobsesi untuk mendapatkan target ikannya. Namun ketika target itu
sudah ditangan maka ia kehilangan ide untuk memperlakukan ikan apakah akan dibakar, digulai, digoreng
atau bahkan kemudian dilepaskan kembali saja.
Kelihatannya ide ini rasional tetapi sesungguhnya sangat berbahaya. Ketika entertainer yang
dikenal sebagai pakar mentalis ini memandang persoalan memancing sesederhana itu, sesungguhnya telah
terjadi disorientasi (penyimpangan) dari hakekat memancing itu sendiri. Sewaktu orang menciptakan alat
memancing, sejatinya ia digunakan untuk memberikan kemudahan untuk mendapatkan ikan. Dengan alat
ini, orang tidak perlu bersusah payah untuk turun ke sumber airnya secara langsung lalu berjuang untuk
menangkap ikan secara manual yang tentu saja memiliki peluang yang sangat kecil untuk mendapatkan
ikan itu. Dengan demikian melalui memancing, orang akan memperoleh fasilitas dan kenyamanan untuk
bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jadi, memancing pada hakekatnya bukan semata-mata hobi, tapi sesungguhnya merupakan akses
yang bisa dimanfaatkan untuk mendatangkan kemudahan, dan kenyamanan dalam hidup. Kalau
memancing dipandang sesederhana itu maka, sebenarnya kepuasan yang didapatkan akan menjadi semu
dan sedang menyembunyikan kekecewaan.
Demikian pula perkawinan, bukan semata-mata hobi, bukan pula sarana untuk mencapai
kenikmatan lahiriah semata, tetapi bagian dari pemenuhan naluri yang didasarkan pada aturan Allah
(bernilai ibadah).
Allah swt menciptakan manusia, pria dan wanita dengan sifat fitrah yang khas. Manusia memiliki
naluri, perasaan, dan akal. Adanya rasa cinta kasih antara pria dan wanita merupakan fitrah
manusia. Hubungan khusus antarjenis kelamin terjadi secara alami karena adanya gharizatun nau` (naluri
seksual/berketurunan). Sebagai sistem hidup yang paripurna, Islam pasti sesuai dengan fitrah manusia.
Karenanya Islam tidak melepaskan kendali naluri seksual itu secara bebas yang dapat membahayakan diri
manusia dan kehidupan masyarakat. Islam telah membatasi hubungan khusus antara pria dan wanita
hanya dengan pernikahan. Dengan begitu terciptalah terciptalah kondisi masyarakat yang penuh kesucian,
kemuliaan, sangat menjaga kehormatan setiap anggotanya, dan dapat mewujudkan ketenangan hidup dan
kelestarian keturunan umat manusia, sehingga pernikahan akan mampu memberikan kontribusi bagi
kesatabilan dan ketenteraman masyarakat, karena kaum pria dan wanita dapat memenuhi naluri
seksualnya secara benar dan sah. (QS. Ar-Rum [30] : 21).
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Memang Hidup berumah tangga bagaikan mengemudi bahtera di tengah samudera luas. Lautan
kehidupan seperti tak bertepi, dan medan hamparan kehidupan sering tiba-tiba berubah. Memasuki
lembaran baru hidup berkeluarga biasanya dipandang sebagai pintu kebahagiaan. Segala macam harapan
kebahagiaan ditumpahkan pada lembaga keluarga. Akan tetapi setelah periode ‘impian indah’ terlampaui
orang harus menghadapi realita kehidupan. Bahwa hidup selalu menyajikan hamparan problem. Dengan
kata lain, Sunnah kehidupan ternyata adalah ‘problem’. Kehidupan manusia, tak terkecuali dalam lingkup
keluarga adalah problem, problem sepanjang masa. Tidak ada seorangpun yang hidupnya terbebas dari
problem, tetapi ukuran keberhasilan hidup justeru terletak pada kemampuan seseorang mengatasi
problem. Sebaik-baik mukmin adalah orang yang selalu diuji tetapi lulus terus, khiyar al mu’min
mufattanun tawwabun.(hadis). Problem itu sendiri juga merupakan ujian dari Allah, siapa diantara
mereka yang berfikir positif, sehingga dari problem itu justeru lahir nilai kebaikan, liyabluwakum
ayyukum ahsanu `amala (Q/67 [al-Mulk]:2) liyabluwakum fi ma a ta kum (Q/6 [al-An`am]:165)
2. supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.
165. untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Menurut hadis Nabi, menemukan pasangan yang cocok (saleh/salihah) dalam hidup berumah
tangga berarti sudah meraih separoh urusan agama, separoh yang lain tersebar di berbagai bidang
kehidupan. Hadis ini mengambarkan bahwa ‘rumah tangga’ itu serius dan strategis. Kekeliruan orientasi,
keliru jalan masuk, keliru persepsi, keliru problem solving dalam hidup rumah tangga akan membawa
implikasi yang sangat luas. Oleh karena itu problem hidup berumah tanga adalah problem sepanjang
zaman, dari sejak problem penyesuaian diri, problem aktualisasi diri, nanti meluas ke problem anak,
problem mantu, cucu dan bahkan tak jarang suami isteri yang sudah berusia di atas 60 masih juga
disibukkan oleh problem komunikasi suami isteri, hingga kakek dan nenek itu pisah ranjang.
Itulah sebabnya mengarungi kehidupan tak ubahnya mengarungi samudera, terkadang lautan
tenang dan angin sumilir, tetapi terkadang tanpa diduga datang ombak besar. Bagi orang yang faham
sunnatullah laut, maka ia bisa berhitung kapan musim ombak dan kapan musim tenang. Tetapi kehidupan
juga sering diungkapkan sebagai ‘tersandung di jalan rata’, terpeleset oleh ‘kerikil’ kehidupan. mungkin
kita sudah banyak makan asam dan garam kehidupan. Meski begitu tetap saja kita masih dihadang oleh
banyak problem. Berpikir positif dan meluruskan orientasi bahwa pernikahan adalah mencari keberkahan
dan keridhaan Allah itulah solusi menghadapi berbagai masalah di dalam rumah tangga.
hubungan suami dan istri dalam islam bukan berlandasan kepada keajiban ( misalnya, bakti istri
pada suami ). Tapi apapun yang dilakukan suami atau istri terhadap pasangannya adalah dalam rangka
ketaatan kepada Allah s w t .
Dengan kata lain, intinya adalah hubungan yang lebih tulus semata mata karena Allah dan bukan
karena sesuatu yang bisa dibeli dengan uang (tidak bersifat transaksional).
Misalnya, kalau kita bisa melakukan yang lebih baik kepada pasangan kita, kenapa tidak. Karena
orientasinya adalah mencari ridho Allah atau mengharapkan pahala dari Allah. Dan bukan mengharapkan
balasan yang lebih baik dari pasangan kita. Jika kemudian ia ternyata membalas kebaikan kita dengan
yang lebih baik lagi, maka itu merupakan sunnatullah.
Hal ini sejalan dengan pendapat M. Fauzil`Azhim (mantan dosen psikologi UII jogyakarta),
menurutnya, yang membuat pernikahan bahagia adalah karena orientasi pernikahan yang kuat. Semakin
kuat orientasinya, semakin besar peluang pernikahan itu bertahan lama dan bahagia.
Sebaliknya, pernikahan yang dilandasi oleh harapan harapan akan menimbulkan masalah dan
mendatangkan kekecewaan. Misalnya seorang laki laki yang menikahi perempuan berjilbab yang juga
seorang muslim aktivis, ketika ia hendak shalat tahajjud, ternyata istrinya sulit dibangunkan. Kalau
pernikahannya dilandasi harapan , maka ia akan kecewa karena tidak sesuai dengan yang ia harapkan.
Namun kalau pernikahannya berangkat dari orientasi ketaatan kepada Allah, semua itu indah saja
Menurut Fauzil , Ketaatan kepada Allah tidak harus mengabaikan hak hak yang bersifat fisik . Misalnya ,
kecantikan, pakaian dan sebagainya perlu diperhatikan sebagai bahagian dari bentuk ketaatan kepada
Allah. Sebaliknya, suami berpenampilan rapi, mengenakan pakaian bagus, dan memakai parfum yang
disukai oleh istri sebagaimana diingatkan Allah dalam QS. 2 [al-Baqarah: 228.
“dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma'ruf.”
Sahabat ibnu `Abbas berkata: “Aku berdandan diri untuk kepentingan istriku
sebagaimana ia berdandan untuk kepentinganku, aku tidak mau hanya menikmati hakku
dari dirinya, tetapi akupun ingin ia memperoleh haknya dari diriku sebagaimana difirmankan
Allah.”
Akhirnya , keindahan dan kebahagian pernikahan akan tercapai bila pola hubungan suami istri itu
seimbang. Suami tahu akan hak istri , dan istri tahu akan hak suami . Masing masing juga tahu dan sadar
akan kewajibannya sebagai suami atau istri.
.
top related