gasifikasi batubara
Post on 27-Oct-2015
205 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Gasifikasi Batubara
Teknologi terbaru untuk menghasilkan gas dari bahan dasar batu bara
Definisi Gasifikasi Batubara
Coal gasification (Gasifikasi Batubara) adalah sebuah proses guna merubah batu bara padat
menjadi gas batu bara yang mudah terbakar (combustible gases) , setelah proses pemurnian
gas-gas ini karbon monoksida (CO) , karbon dioksida (CO2), hidrogen (H), metan (CH4),
dan nitrogen (N2) – dapat digunakan sebagai bahan bakar.
Hanya menggunakan udara dan uap air sebagai reacting-gas kemudian menghasilkan water
gas atau coal gas, gasifikasi secara nyata mempunyai tingkat emisi udara, kotoran padat dan
limbah terendah.
Gasifikasi Batubara
Secara umum, teknologi pemanfaatan batubara terbagi menjadi pembakaran (combustion),
pirolisis (pyrolysis), pencairan (liquefaction), dan gasifikasi (gasification).
Pembakaran merupakan pemanfaatan batubara secara langsung untuk memperoleh energi
panas, menghasilkan produk sampingan berupa gas buang (flue gas) dan abu. PLTU
merupakan salah satu contoh pemanfaatan batubara secara langsung, dimana batubara
dibakar di boiler untuk menghasilkan panas yang akan digunakan untuk mengubah air
menjadi uap air (steam), yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin uap dan
memutar generator untuk menghasilkan energi listrik.
Sedangkan pada pirolisis, batubara dipanaskan dalam kondisi tanpa oksigen. Pada keadaan
demikian, zat terbang (volatile matter) di dalamnya akan terusir keluar. Bila suhu
pemanasannya rendah, proses ini disebut pirolisis suhu rendah (low temperature pyrolysis),
menghasilkan produk berupa bahan bakar padat non asap (coalite). Sedangkan pada pirolisis
suhu tinggi, bila batubara yang diproses adalah batubara kokas, maka akan dihasilkan kokas
yang keras. Selain padatan yang disebut char ataupun kokas, produk sampingan berupa gas
dan material cair yang disebut tar juga akan dihasilkan pada pirolisis. Pada awalnya, gas dan
tar ini tidak dimanfaatkan. Gas hasil pirolisis ini dimulai dimanfaatkan sejak tahun 1800an,
yang digunakan untuk keperluan penerangan. Pemanfaatannya bahkan meluas hingga untuk
bahan bakar (fuel gas), sehingga industri pirolisis yang bertujuan untuk menghasilkan gas
dari batubara pun berkembang pesat. Pada industri ini, gas merupakan produk utama,
sedangkan char atau kokas dan tar merupakan produk sampingan. Sebelum tahun 1960an
ketika bahan baku migas mulai menggeser peranan batubara, suplai gas kota ( town gas)
terutama berasal dari pirolisis batubara ini. Adapun untuk tar, pemanfaatannya dimulai pada
pertengahan abad ke-19, ketika perkembangan teknik kimia telah memungkinkan untuk
melakukan distilasi dan pemurnian tar menjadi produk pewarna sintetik dan bahan kimia.
Jadi, sebelum industri kimia yang berbahan baku migas atau disebut dengan petrochemical
berkembang, industri kimia berbasis batubara atau disebut dengan coal-chemical telah lebih
dulu eksis.
Dibandingkan dengan minyak, salah satu kekurangan batubara adalah bentuknya yang berupa
padatan, menyebabkan skala dan nilai pemanfaatannya menjadi terbatas. Pencairan batubara
sebenarnya berangkat dari pemikiran untuk lebih meningkatkan nilai guna batubara seperti
halnya minyak. Seperti disinggung pada bahasan pirolisis di atas, salah satu produk batubara
ketika dilakukan pemanasan adalah tar, yang berupa cairan. Pada dasarnya, batubara dan
minyak merupakan material hidrokarbon yang susunan utamanya terdiri dari karbon (C),
hidrogen (H), dan oksigen (O), hanya saja jumlah unsur hidrogen dalam batubara lebih
sedikit bila dibandingkan dengan minyak. Oleh karena itu, untuk menghasilkan produk cairan
dari batubara yang karakteristiknya menyerupai minyak, perlu diupayakan agar kandungan
hidrogennya diperbanyak sehingga mendekati minyak. Proses ini disebut dengan hidrogenasi
(hydrogenation), dimana batubara dipanaskan dalam kondisi tekanan tertentu, disertai
penambahan katalis. Pencairan batubara dengan metode ini merupakan salah satu pencairan
batubara secara langsung (direct coal liquefaction, DCL) yang disebut dengan proses
Bergius. Metode ini digunakan oleh Jerman selama Perang Dunia I dan II untuk memenuhi
kebutuhan minyak sintetik oleh militer. Selain itu, Jepang pun berhasil mengembangkan
sendiri teknologi DCL ini dengan menggabungkan 3 macam metode pencairan pada batubara
bituminus yaitu, direct hydrogenation, solven extraction, dan Solvolysis. Teknologi tersebut
dikenal dengan proses NEDOL, yang dapat diaplikasikan pula untuk pencairan batubara
muda.
Selain pencairan secara langsung, metode lain untuk menghasilkan minyak sintetik dari
batubara adalah dengan pencairan tidak langsung (indirect coal liquefaction, ICL), yaitu
melalui proses gasifikasi batubara yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Pada
perkembangannya, pencairan batubara akhirnya lebih banyak menggunakan metode tidak
langsung, yaitu melalui gasifikasi.
Teknologi Gasifikasi
Gasifikasi (gasification) adalah konversi bahan bakar karbon menjadi produk gas – gas
yang memiliki nilai kalor yang berguna. Pengertian ini tidak memasukkan istilah
pembakaran (combustion) sebagai bagian daripadanya, karena gas buang (flue gas)
yang dihasilkan dari pembakaran tidak memiliki nilai kalor yang signifikan untuk
dimanfaatkan [Higman, van der Burgt, 2003]. Karena proses ini merupakan konversi
material yang mengandung karbon, maka semua hidrokarbon seperti batubara, minyak,
vacuum residue, petroleum coke atau petcoke, Orimulsion, bahkan gas alam dapat
digasifikasi untuk menghasilkan gas sintetik (syngas).
Karena bertujuan untuk mengenalkan gasifikasi batubara, maka tulisan ini membatasi
pembahasannya hanya pada ruang lingkup gasifikasi batubara dan aplikasinya.
Pada dasarnya, terdapat 3 cara untuk memproduksi gas sintetik dari batubara, yaitu pirolisis,
hidrogenasi, dan oksidasi sebagian (partial oxidation).
Meskipun produksi gas sintetik pada awalnya memanfaatkan teknologi pirolisis, tapi saat ini
pirolisis lebih banyak diaplikasikan untuk memproduksi bio-oil dari bahan baku biomassa.
Metode yang dipakai adalah flash pyrolysis, dimana biomassa dipanaskan secara cepat tanpa
oksigen pada suhu tinggi antara 450~600℃, dengan waktu tinggal gas (residence time) yang
pendek yaitu kurang dari 1 detik. [Bramer, Brem, 2006].
Adapun hidrogenasi yang dimaksud disini adalah hidrogasifikasi (hydro-gasification), yang
bertujuan memproduksi gas metana (Synthetic Natural Gas) langsung dari batubara. Karena
operasional hidrogasifikasi memerlukan tekanan yang tinggi, teknologi ini kurang
berkembang dan akhirnya tidak sampai ke tahap komersial. [Higman, van der Burgt, 2003]
Sedangkan pada oksidasi sebagian, pemanasan batubara dilakukan dengan mengatur kadar
oksigen dari oksidan yang digunakan selama proses berlangsung. Oksidan tersebut dapat
berupa udara (air), oksigen murni, maupuan uap air (steam). Produk yang dihasilkan oleh
oksidasi sebagian adalah gas sintetik, dimana 85% lebih volumenya terdiri dari hidrogen (H2)
dan karbon monoksida (CO), sedangkan karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) terdapat
dalam jumlah sedikit. Dengan karakteristik produk yang dihasilkan, secara praktikal, istilah
gasifikasi sebenarnya merujuk ke metode oksidasi sebagian. Untuk selanjutnya, penjelasan
tentang gasifikasi batubara akan mengacu ke penggunaan metode oksidasi sebagian.
Gasifikasi Batubara
Terdapat 3 jenis penggas (gasifier) yang banyak digunakan untuk gasifikasi batubara, yaitu
tipe moving bed (lapisan bergerak), fluidized bed (lapisan mengambang), dan entrained flow
(aliran semburan). Karena masing – masing penggas memiliki kelebihan dan kekurangan,
maka alat mana yang akan digunakan lebih ditentukan oleh karakteristik bahan bakar dan
tujuan gasifikasi.
Untuk model moving bed, batubara yang digasifikasi adalah yang berukuran agak besar,
sekitar beberapa sentimeter (lump coal). Batubara dimasukkan dari bagian atas, sedangkan
oksidan berupa oksigen dan uap air dihembuskan dari bagian bawah alat. Mekanisme ini akan
menyebabkan batubara turun pelan – pelan selama proses, sehingga waktu tinggal (residence
time) batubara adalah lama yaitu sekitar 1 jam, serta menghasilkan produk sisa berupa abu.
Karena penggas model ini beroperasi pada suhu relatif rendah yaitu maksimal sekitar 6000C,
maka batubara yang akan digasifikasi harus memiliki suhu leleh abu (ash fusion temperature)
yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar abu tidak meleleh yang akhirnya mengumpul di bagian
bawah alat sehingga dapat menyumbat bagian tersebut. Disamping produk utama yaitu gas
hidrogen dan karbon monoksida, gasifikasi pada suhu relatif rendah ini akan meningkatkan
persentase gas metana pada produk gas. Karena gas metana ini dapat meningkatkan nilai
kalor gas sintetik yang dihasilkan, maka penggas moving bed sesuai untuk produksi SNG
(Synthetic Natural Gas) maupun gas kota (town gas).Contoh alat tipe ini adalah penggas
Lurgi, yang digunakan oleh Sasol di Afrika Selatan untuk produksi BBM sintetis dan Dakota
Gasification di AS untuk produksi SNG.
Gambar 1. Tipikal penggas jenis moving bed
(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)
Pada tipe fluidized bed, batubara yang digasifikasi ukurannya lebih kecil dibandingkan pada
moving bed, yaitu beberapa milimeter sampai maksimal 10 mm saja. Tipikal penggas ini
memasukkan bahan bakarnya dari samping (side feeding) dan oksidan dari bagian bawah.
Oksidan disini selain sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai media lapisan
mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan oksidan yang
demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat maksimal karena harus melengkapi fungsi
lainnya, atau bersifat komplementer. Hal ini mengakibatkan tingkat konversi karbon pada
tipe ini maksimal hanya sekitar 97% saja, tidak setinggi pada tipe moving bed dan entrained
flow yang dapat mencapai 99% atau lebih. [Higman, van der Burgt, 2003]. Karena penggas
ini beroperasi pada suhu sekitar 600~10000C, maka batubara yang akan diproses harus
memiliki temperatur melunak abu (softening temperature) di atas suhu operasional tersebut.
Hal ini bertujuan agar abu yang dihasilkan selama proses tidak meleleh, yang dapat
mengakibatkan terganggunya kondisi lapisan mengambang. Dengan suhu operasi yang relatif
rendah, penggas ini banyak digunakan untuk memproses batubara peringkat rendah seperti
lignit atau peat yang memiliki sifat lebih reaktif dibanding jenis batubara yang lain.
Pengembangan lebih lanjut teknologi penggas jenis ini sangat diharapkan untuk dapat
mengakomodasi secara lebih luas penggunaan batubara peringkat rendah, biomassa, dan
limbah seperti MSW (Municipal Solid Waste). Contoh alat model ini adalah penggas Winkler
yang merupakan pionir penggas fluidized bed, penggas HTW (High Temperature Winkler),
dan KBR (Kellog Brown Root) Transport Gasifier.
Gambar 2. Tipikal penggas jenis fluidized bed
(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)
Kemudian untuk tipe entrained flow, penggas ini sekarang mendominasi proyek – proyek
gasifikasi baik yang berbahan bakar batubara maupun minyak residu. Pada alat ini, batubara
yang akan diproses dihancurkan dulu sampai berukuran 100 mikron atau kurang. Batubara
serbuk ini disemburkan ke penggas bersama dengan aliran oksidan, dapat berupa oksigen,
udara, atau uap air. Proses gasifikasi berlangsung pada suhu antara 1200~18000C, dengan
waktu tinggal batubara kurang dari 1 detik. Dengan suhu operasi sedemikian tinggi, pada
dasarnya tidak ada batasan jenis batubara yang akan digunakan karena abunya akan meleleh
membentuk material seperti gelas (glassy slag) yang bersifat inert. Meski demikian, batubara
sub-bituminus sampai dengan antrasit lebih disukai untuk penggas jenis ini. Lignit atau
brown coal pada prinsipnya dapat digasifikasi, hanya saja kurang ekonomis karena
kandungan airnya yang tinggi yang menyebabkan konsumsi energi yang besar. Meskipun abu
akan meleleh membentuk slag, tapi batubara berkadar abu tinggi sebaiknya dihindari pula
karena dapat mengganggu kesetimbangan panas akibat proses pelelehan abu dalam jumlah
banyak. Batubara dengan suhu leleh abu tinggi biasanya dicampur dengan kapur (limestone)
untuk menurunkan suhu lelehnya sehingga suhu pada penggas pun dapat ditekan. Gasifikasi
suhu tinggi pada penggas ini menyebabkan kandungan metana dalam gas sintetik sangat
sedikit, sehingga gas sintetik berkualitas tinggi dapat diperoleh.
Terdapat beberapa tipe penggas entrained flow berdasarkan kondisi dan cara mengumpan
bahan bakarnya. Penggas Koppers-Totzek yang merupakan pionir jenis ini mengumpan
batubara serbuk dalam kondisi kering dari bagian bawah, atau disebut dry up. Gas sintetik
akan keluar dari bagian atas alat. Tipe dry up ini juga dijumpai pada penggas Shell dan
Mitsubishi (CCP). Untuk arah umpan dari bawah, selain terdapat bahan bakar dalam kondisi
kering, terdapat pula bahan bakar dalam kondisi basah atau disebut slurry up. Tipikal jenis ini
adalah penggas E-Gas dari Conoco Phillips. Selain slurry up, terdapat pula metode slurry
down, yang dijumpai pada penggas Chevron – Texaco. Secara umum, bahan bakar berupa
batubara kering mengkonsumsi energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan dalam
keadaan basah (slurry) sehingga lebih menguntungkan.
Gambar 3. Tipikal penggas jenis entrained flow (dry down)
(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)
Aplikasi Gasifikasi Batubara
Gas sintetik hasil gasifikasi batubara dapat diproses lebih lanjut atau dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bahan bakar sintetik (Coal to Liquid, CTL)
Salah satu alasan mengapa pembuatan bahan bakar sintetik melalui gasifikasi batubara
terus berlangsung sampai sekarang adalah karena cadangan batubara dunia yang begitu
melimpah. Berdasarkan data BP World Energy Review tahun 2004, dengan tingkat
produksi sebesar 4,9 milyar ton per tahun (akhir 2003), cadangan terbukti batubara dapat
bertahan hingga 192 tahun. Sedangkan minyak dan gas, dengan tingkat produksi saat itu,
masing – masing hanya mampu bertahan selama 41 tahun dan 67 tahun saja. Selain itu,
harga minyak yang fluktuatif dan cenderung tinggi menyebabkan bahan bakar sintetik dari
batubara (CTL) menjadi semakin kompetitif. Laporan departemen energi AS (DOE
Annual Energy Outlook 2005) menyebutkan potensi CTL diperkirakan sebesar 2 juta
barel per hari pada tahun 2025, ditambah Cina yang diperkirakan memiliki potensi 1 juta
barel per hari.
Pada pembuatan BBM sintetik, batubara digasifikasi terlebih dulu untuk menghasilkan gas
sintetik yang komposisi utamanya terdiri dari hidrogen (H2) dan karbon monoksida (CO),
kemudian dilanjutkan dengan proses Fischer-Tropsch (FT) untuk menghasilkan
hidrokarbon ringan (paraffin). Hidrokarbon tersebut kemudian diproses lebih lanjut untuk
menghasilkan bensin dan minyak diesel. Karena nilai oktan pada produk bensin yang
dihasilkan rendah, maka dilakukan upaya untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi
dari gas sintetik ini. Proses tersebut dilakukan dengan memproduksi metanol dari gas
sintetik terlebih dulu, kemudian metanol diproses untuk menghasilkan bensin bernilai
oktan tinggi. Metode ini disebut MTG (Methanol to Gasoline), yang dikembangkan oleh
Mobil pada tahun 1970an.
Salah satu kisah sukses pembuatan bahan bakar sintetik dari batubara adalah South
African Coal Oil and Gas Corporation atau yang dikenal dengan Sasol di Afrika Selatan,
yang saat ini memproduksi gas sintetik sebesar 55 juta Nm3 per hari menggunakan
penggas Lurgi, dan memproduksi minyak sintetik sebanyak 150 ribu barel per hari melalui
sintesis Fischer-Tropsch.
Berawal dari boikot dunia terhadap politik apartheid sehingga menyebabkan Afsel tidak
dapat membeli minyak mentah di pasaran, pemerintah setempat akhirnya meluncurkan
proyek CTL setelah menyadari bahwa Afsel memiliki cadangan batubara yang melimpah.
Pabrik pertama (Sasol I) selesai didirikan di Sasolburg pada tahun 1954, dan minyak
sintetik pertama dipasarkan pada tahun berikutnya. Pada tahun 1960, keuntungan pertama
(first profit) berhasil diraih oleh Sasol setelah 5 tahun operasional. Pabrik Sasol II
diumumkan pada tahun 1974 ketika harga minyak dunia mencapai US$13/barel saat itu
(setara US$40/barel tahun 2003) akibat perang Oktober di Timteng tahun 1973.
Sedangkan Sasol III diumumkan tahun 1979 ketika harga minyak mencapai US$35/barel
saat itu (setara US$80/barel tahun 2003) akibat revolusi Iran. Sasol II dan Sasol III masing
– masing selesai didirikan pada tahun 1980 dan 1984.
Saat ini, Sasol mempekerjakan 170 ribu karyawan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang merupakan 2% tenaga kerja sektor formal di Afsel. Selain itu, Sasol juga
menyumbang 4% GDP atau sekitar US$ 7 milyar, serta menyuplai 40% kebutuhan BBM
dalam negeri Afsel (28% dari batubara). [van de Venter, 2005]
2. Pembangkit listrik (Coal to Power)
Standar mutu lingkungan yang semakin ketat tentunya akan memaksa fasilitas pembangkit
listrik yang telah terpasang untuk dapat mengakomodasi peraturan tersebut. Ada 3 pilihan
yang dapat dilakukan untuk itu, yaitu modifikasi dan upgrade fasilitas sehingga teknologi
pembersihan pasca pembakaran (post-combustion clean up technology) dapat diterapkan,
modifikasi sistem pembangkitan berbahan bakar batubara menjadi pembangkitan
kombinasi berbahan bakar gas alam (Natural Gas Combined Cycle, NGCC), dan
modifikasi sistem pembangkitan dengan memanfaatkan mekanisme gasifikasi batubara
untuk menghasilkan pembangkitan kombinasi. [Childress, 2000]
Gambar 4. Konsep Sistem Gasifikasi
(Sumber:http://www.fossil.energy.gov/programs/powersystems/gasification/
howgasificationworks.html)
Pada pilihan pertama di atas, biaya pemasangan peralatan pembersihan pasca pembakaran
sangat besar. Sebagai contoh, untuk pembangkit berbahan bakar batubara serbuk
(pulverized coal) yang saat ini mendominasi, biaya pemasangan unit desulfurisasi (Flue
Gas Desulfurization, FGD) dapat mencapai 20% dari total biaya pembangunannya. Untuk
pilihan kedua yaitu mekanisme NGCC, meskipun emisi yang rendah dapat dicapai, tapi
ongkos bahan bakar yang relatif tinggi otomatis akan mempengaruhi biaya pembangkitan.
Pilihan ketiga merupakan alternatif terbaik, dimana pembangkitan kombinasi tersebut
mampu menghasilkan emisi yang sangat rendah dengan mengoptimalkan fasilitas
pembangkit yang ada serta menggunakan bahan bakar berbiaya rendah yaitu batubara.
Pembangkit listrik yang memanfaatkan gas sintetik hasil gasifikasi batubara disebut
dengan IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle). Pada IGCC, pembangkitan
listrik dihasilkan dari mekanisme kombinasi antara turbin gas, HRSG (Heat Recovery
Steam Generator), dan turbin uap. Tipikal penggas yang digunakan pada IGCC adalah
bertipe entrained flow, seperti E-Gas (Conoco Phillips), Chevron-Texaco (GE Energy),
SFG (Siemens), Mitsubishi, dan Shell.
Secara garis besar, gas sintetik yang dihasilkan oleh penggas akan diproses di pendingin
gas (gas cooler) dan fasilitas pembersih gas (gas clean up) terlebih dulu sebelum mengalir
ke turbin gas. Setelah melewati siklus Brayton, gas buang dari turbin gas kemudian
mengalir ke HRSG, dimana panas dari gas tersebut kemudian dimanfaatkan untuk
menghasilkan uap air. Selain dari turbin gas, panas buangan yang dihasilkan dari proses
pendinginan gas juga dialirkan ke HRSG pula. Uap air dari HRSG inilah yang kemudian
dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin uap melalui mekanisme siklus Rankine. Dengan
kombinasi 2 siklus ini, tidaklah mengherankan apabila efisiensi netto pembangkitan pada
IGCC lebih unggul dibandingkan dengan efisiensi pada sistem pembangkitan
konvensional (pulverized coal) yang saat ini mendominasi.
Pada proses pembersihan gas, unsur lain yang tidak ramah lingkungan yang dihasilkan
dari gasifikasi seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char dibersihkan. H2S dan
COS dapat diproses dengan mudah dan diubah menjadi sulfur padat atau asam sulfat yang
merupakan produk sampingan, sedangkan NH3 dapat dibersihkan dengan menggunakan
air. Uap air raksa dibersihkan dengan melewatkan gas sintetik tekanan tinggi ke lapisan
karbon aktif. Adapun abu akan meleleh selama proses gasifikasi, yang kemudian diubah
menjadi padatan (glassy slag) yang stabil. Material ini dapat digunakan untuk campuran
bahan pada pekerjaan konstruksi.[Phillips, 2006].
Contoh pembangkit ini adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda,
berkapasitas 253MWe. Meskipun saat ini beroperasi secara komersial, pembangkit ini
pada awalnya merupakan demonstration plant yang dikenal dengan proyek Demkolec.
Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value), dengan
performansi baku mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat
rendah yaitu kurang dari 10 ppm, kemudian efisiensi pengambilan sulfur di atas 99%,
tingkat emisi flyash, senyawa klorida dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang
nol, serta air limbah yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air
limbah ke lingkungan.[Chhoa, 2005].
Meskipun IGCC memiliki berbagai kelebihan, tapi masalah utama saat ini adalah biaya
pembangkitannya yang masih tinggi. Secara garis besar, disamping unit pembangkitan,
IGCC juga tersusun dari unit pemisah udara (Air Separation Unit, ASU) yang berfungsi
menyuplai oksigen ke penggas, dan unit penggas itu sendiri. Unit pembangkitan (turbin
gas, turbin uap, HRSG) dan unit ASU merupakan teknologi yang sudah mapan dan
terbukti sehingga dari segi ongkos, tidak mungkin untuk ditekan lagi. Untuk menekan
biaya pembangkitan pada IGCC, satu – satunya cara adalah dengan meningkatkan
performa penggas dan membangun sistem (building block) gasifikasi yang efisien. [van
der Burgt, 1998]. Dengan upaya demikian serta makin makin menguatnya isu lingkungan,
biaya pembangkitan pada IGCC diharapkan akan semakin kompetitif terhadap biaya
pembangkitan pada pembangkit pulverized coal (PC) yang saat ini mendominasi yang
ongkos pembangkitannya cenderung meningkat untuk mengakomodasi baku mutu
lingkungan. Dan pada tahun 2010, di Amerika diharapkan biaya pembangkitan IGCC
akan menyamai ongkos pembangkitan pada PC, yaitu sekitar US$1200/kW.[Arai, 2006].
Karena pada PLTU maupun IGCC dikenal dengan istilah scale merit, maka semakin besar
unit otomatis biaya pembangkitan juga semakin rendah. Salah satu laporan menyebutkan
bahwa IGCC komersial akan bernilai ekonomis pada kapasitas pembangkitan minimal 550
MWe.[Trapp, 2005].
3. Industri kimia (Coal to Chemical)
Gas sintetik hasil gasifikasi batubara juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri
kimia, diantaranya untuk pembuatan ammonia, pupuk, metanol, DME (Dimethyl Ether),
olefin, paraffin, dan lain – lain.
Eastman Chemical di Kingsport, Tennessee, AS, memanfaatkan gasifikasi batubara untuk
memproduksi bahan baku industri kimia yaitu asam asetat. Fasilitas ini beroperasi sejak
tahun 1983, menggunakan penggas Texaco. Pada awalnya, kapasitasnya hanya mampu
memenuhi separoh dari kebutuhan asam asetat yang diperlukan, tapi sejak tahun 1991
kapasitasnya ditingkatkan hingga mampu memenuhi seluruh kebutuhan asam asetat untuk
produksi hilir. Perusahaan ini mengkonsumsi batubara sebanyak 1300 ton per hari untuk
gasifikasi, dan memproduksi lebih dari 400 jenis bahan kimia, serat sintetis, serta plastik,
dengan omzet sekitar US$5 miliar per tahun.[Trapp, 2001].
Di Cina yang memiliki cadangan batubara melimpah, Shell melalui kerjasama joint
venture dengan Sinopec membangun pabrik pupuk menggunakan mekanisme gasifikasi
batubara berkapasitas 2000 ton per hari di Yueyang, propinsi Hunan. Pembangunannya
sendiri dimulai tahun 2003 dan direncanakan beroperasi pada akhir 2006. Selain itu, Shell
juga menangani sekitar 12 proyek gasifikasi batubara lainnya di Cina, dimana hampir
70%nya untuk keperluan industri pupuk dan sisanya untuk produksi metanol, serta
hidrogen untuk keperluan pencairan batubara secara langsung. [Chhoa, 2005].
Selain Shell, GE Energy juga menyediakan teknologi gasifikasi batubara di Cina. Sampai
dengan Oktober 2006, dari 7 proyek yang direncanakan, 3 unit telah telah beroperasi untuk
memproduksi metanol dan ammonia.[Lowe, 2006].
Penutup
Dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya, kemudian
ketersediaannya yang melimpah, serta penyebaran cadangan yang relatif merata di seluruh
dunia, batubara merupakan sumber energi primer yang menjanjikan. Apabila selama ini
pemanfaatan batubara terkesan terbatas untuk pembangkitan listrik saja, maka gasifikasi
batubara memberikan harapan yang besar untuk pemanfaatan batubara secara optimal di
masa mendatang. Dari paparan di atas dapat pula disimpulkan bahwa batubara memiliki
kekuatan yang besar untuk menarik roda perekonomian suatu bangsa melalui teknologi
gasifikasi.
Gasifikasi batubara tidak semata hanya dapat digunakan untuk satu tujuan saja, misalnya
untuk pembangkitan listrik, tapi dapat pula dirancang untuk tujuan yang lain secara
bersamaan. Sebagai contoh, fasilitas gasifikasi dapat didesain untuk menghasilkan listrik,
memproduksi bahan baku industri kimia, maupun membuat bahan bakar sintetis sekaligus.
Mekanisme ini disebut dengan polygeneration (polygen) atau co-generation (co-gen).
Gambar 5. Polygeneration
(Sumber: B. Trap, dkk, Eastman Gasification Services Company)
Memperhatikan nilai tambah (added value) batubara melalui teknologi gasifikasi dan efek
ekonomis yang ditimbulkannya, dapat dipahami bahwa batubara sesungguhnya lebih dari
sekedar komoditas dagang belaka. Batubara sesungguhnya merupakan sumber daya strategis
untuk menjamin kemandirian energi dan industri suatu bangsa di masa mendatang.
Penulis akan mencoba membandingkan kondisi perbatubaraan di Cina dan Indonesia terkait
hal ini. Meskipun data yang diambil hanya pada tahun 2003 dan 2004 saja, tapi penulis
melihat bahwa tahun tersebut merupakan titik balik penting yang merefleksikan kebijakan
energi pemerintah Cina yang perlu dijadikan pelajaran.
Berdasarkan laporan World Coal Institute (WCI), Cina memproduksi batubara sebanyak
1,502 milyar ton dengan ekspor sebesar 95,1 juta ton (6,3% total produksi) pada tahun 2003.
Di tahun berikutnya, terjadi peningkatan produksi sekitar 450 juta ton sehingga total produksi
menjadi 1,956 milyar ton. Menariknya, meskipun terjadi kenaikan produksi, volume ekspor
batubara Cina justru menurun menjadi 86 juta ton (4,4% total produksi). Bersamaan dengan
penurunan ekspor, volume impor justru naik dari 10,29 juta ton pada tahun 2003 menjadi
18,36 juta ton pada tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akhirnya memaksa
pemerintah Cina untuk memikirkan keamanan energi dalam negeri, dan batubara merupakan
pilihan utama. Hal inilah yang mengakibatkan penurunan ekspor dan meningkatnya volume
impor batubara. Disamping itu, pemerintah Cina juga meluncurkan proyek – proyek
pembangunan pabrik pupuk, metanol, dan industri petrokimia lainnya sampai tahun 2020
untuk mendongkrak perekonomian mereka melalui mekanisme gasifikasi batubara.
Dari laporan WCI pula, produksi batubara Indonesia pada tahun 2003 mencapai 120,1 juta
ton, dengan volume ekspor sebesar 90,1 juta ton (75% total produksi). Kemudian pada tahun
2004 terjadi peningkatan produksi sehingga total produksi batubara Indonesia menjadi 129
juta ton, dengan peningkatan ekspor mencapai 107 juta ton (83% total produksi). Sungguh
ironis bahwa pemerintah tidak mau belajar dari pengalaman, dimana Indonesia yang dulunya
eksportir minyak, sekarang menjadi importir murni sejak tahun 2004. Sangat disayangkan
pula, pemerintah nampaknya menganggap bahwa batubara tidak lebih dari komoditas ekspor
belaka seperti halnya minyak dulu.
Referensi
1. Bramer, EA., Brem, G., A New Technology for Fast Pyrolysis of Biomass: Development of
the PyRos Reactor, Pamflet Laboratorium Rekayasa Termal, Fakultas Teknik, Universitas
Twente, Belanda, 2006.
2. Childress, J., Repowering Conventional Coal Plants with Texaco Gasification: The
Environmental & Economic Solution, Gasification Technologies Conference, San
Francisco, 2000.
3. Chhoa, T., Shell Gasification Business in Action, Gasification Technologies Conference,
San Francisco, 2005.
4. Holt, N., Gasification Process Selection – Trade-offs & Ironies, Gasification Technologies
Conference, Washington DC, 2004
Likuifikasi Batu Bara
Likuifikasi adalah pengubah batubara padat menjadi bahan bakar cair. proses pencairan
(liquefaction) ini dibedakan antara proses yang indirect coal liquefaction (tidak langsung) dan
direct coal liquefaction (langsung).
A. Perkembangan Teknologi Liquifikasi
Pengembangan produksi bahan bakar sintetis berbasis batu bara pertama kali dilakukan di
Jerman tahun 1900-an dengan menggunakan proses sintesis Fischer-Tropsch yang
dikembangkan Franz Fisher dan Hans Tropsch. Pada 1930, disamping menggunakan metode
proses sintesis Fischer-Tropsch, mulai dikembangkan pula proses Bergius untuk
memproduksi bahan bakar sintesis. Sementara itu, Jepang juga melakukan inisiatif
pengembangan teknologi pencairan batubara melalui proyek Sunshine tahun 1974 sebagai
pengembangan alternatif energi pengganti minyak bumi.
Pada 1983, NEDO (the New Energy Development Organization), organisasi yang
memfokuskan diri dalam pengembangan teknologi untuk menghasilkan energi baru juga
berhasil mengembangkan suatu teknologi pencairan batubara bituminous dengan
menggunakan tiga proses, yaitu solvolysis system, solvent extraction system dan direct
hydrogenation to liquefy bituminous coal.
Cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik, bahkan setengahnya
merupakan batubara dengan kualitas rendah, seperti: sub-bituminous coal dan brown coal.
Kedua jenis batubara tersebut lebih banyak didominasi oleh kandungan air. Peneliti Jepang
kemudian mulai mengembangkan teknologi untuk menjawab tantangan ini agar
kelangsungan energi di Jepang tetap terjamin, yaitu dengan mengubah kualitas batubara yang
rendah menjadi produk yang berguna secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar
berkualitas serta ramah lingkungan. Dikembangkanlah proses pencairan batubara dengan
nama Brown Coal Liquefaction Technology (BCL).
B. Macam- macam Proses Likuifikasi
1. Fisher Tropsch proses
Fisher Tropsch adalah sintesis CO/H2 menjadi produk hidrokarbon atau disebut senyawa
hidrokarbon sintetik/ sintetik oil. Sintetik oil banyak digunakan sebagai bahan bakar mesin
industri/transportasi atau kebutuhan produk pelumas (lubricating oil).
(2n+1)H2 + nCO → CnH(2n+2) + nH2O
2. Bergius Proses
Bergius Process merupakan pencairan batubara metode langsung atau dikenal dengan Direct
Coal Liquefaction-DCL. DCL adalah proses hydro-craacking dengan bantuan katalisator.
Prinsip dasar dari DCL adalah meng-introduksi-an gas hydrogen kedalam struktur batubara
agar rasio perbandingan antara C/H menjadi kecil sehingga terbentuk senyawa-senyawa
hidrokarbon rantai pendek berbentuk cair. Proses ini telah mencapai rasio konversi 70%
batubara (berat kering) menjadi sintetik cair.
faktor yang menjadikan proses DCL sangat bervariasi :
• spesifikasi batubara yang dipergunakan, sehingga tidak ada sebuah sistem yang bisa optimal
untuk digunakan bagi segala jenis batubara.
• Jenis batubara tertentu mempunyai kecenderungan membentuk lelehan (caking perform),
sehingga menjadi bongkahan besar yang dapat membuat reaktor kehilangan tekanan dan
gradient panas terlokalisasi (hotspot). Hal ini biasanya diatasi dengan mencampur komposisi
batubara, sehingga pembentukan lelehan dapat dihindari.
• Batubara dengan kadar ash yang tinggi lebih cocok untuk proses gasifikasi terlebih dahulu,
sehingga tidak terlalu mempengaruhi berjalannya proses.
3. Brown Coal Liquefaction Technology (BCL)
Teknologi yang mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang berguna
secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah lingkungan.
Langkah pertama adalah memisahkan air secara efisien dari batubara yang berkualitas
rendah. Langkah kedua melakukan proses pencairan di mana hasil produksi minyak yang
dicairkan ditingkatkan dengan menggunakan katalisator, kemudian dilanjutkan dengan proses
hidrogenasi di mana heteroatom (campuran sulfur-laden, campuran nitrogen-laden, dan lain
lain) pada minyak batubara cair dipisahkan untuk memperoleh bahan bakar bermutu tinggi,
kerosin, dan bahan bakar lainnya. Kemudian sisa dari proses tersebut (debu dan unsur sisa
produksi lainnya) dikeluarkan.
C. Kelebihan Batubara Cair
1. Harga produksi lebih murah
2. Jenis batu bara yang dapat dipergunakan adalah batu bara yang berkalori rendah (low rank
coal), yang selama ini kurang diminati pasaran.
3. Dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti bahan bakar pesawat jet (jet fuel), mesin
diesel (diesel fuel), serta gasoline dan bahan bakar minyak biasa.
4. Teknologi pengolahannya lebih ramah lingkungan. Dari pasca produksinya tidak ada
proses pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2. Kalaupun menghasilkan limbah (debu dan
unsur sisa produksi lainnya), masih dapat dimanfaatkan untuk bahan baku campuran
pembuatan aspal. Bahkan sisa gas hidrogen masih laku dijual untuk dimanfaatkan menjadi
bahan bakar.
D. Kekurangan Batubara Cair
1. Keekonomian
Harga minyak bumi sangat fluktuatif, sehingga seringkali investor ragu untuk membangun
kilang pencairan batubara. Batubara cair akan ekonomis jika harga minyak bumi di atas US
$35/bbl.
2. Investasi Awal Tinggi
Biaya investasi kilang pencairan batubara komersial, cukup mahal .
3. Merupakan Investasi Jangka panjang
Break Even Point (BEP) baru dicapai setelah 7 tahun beroperasi, sedangkan tahap
pembangunan memakan waktu 3 tahun.
Karbon AktifArang merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon,
dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu tinggi.
Ketika pemanasan berlangsung, diusahakan agar tidak terjadi kebocoran udara di dalam
ruangan pemanasan sehingga bahan yang mengandung karbon tersebut hanya
terkarbonisasi dan tidak teroksidasi. Arang selain digunakan sebagai bahan bakar, juga
dapat digunakan sebagai adsorben (penyerap). Daya serap ditentukan oleh luas permukaan
partikel dan kemampuan ini dapat menjadi lebih tinggi jika terhadap arang tersebut
dilakukan aktivasi dengan aktif faktor bahan-bahan kimia ataupun dengan pemanasan
pada temperatur tinggi. Dengan demikian, arang akan mengalami perubahan sifat-sifat
fisika dan kimia. Arang yang demikian disebut sebagai arang aktif.
Pada umumnya bahan baku karbon yang terdapat pada binatang, tanaman, dan
mineral dapat dijadikan arang, misalnya tulang binatang, tempurung kelapa, kayu, serbuk
gergaji, ampas tahu, sekam padi, tongkol jagung, dan batu bara. Struktur karbon non aktif
berbeda dengan struktur karbon aktif, pada karbon non aktif mempunyai pori-pori yang
tersebar, sedangkan karbon aktif mempunyai pori-pori yang saling berhubungan, sehingga
mempunyai daya serap yang lebih besar (Arifin dan Ramli, 1989).
ALAT DAN BAHAN
Alat :
1. Timbangan analitik 1 buah
2. Erlenmeyer 12 buah
3. Buret 50 mL 1 buah
4. Labu takar 50 mL 1 buah
5. Pipet ukur 10 mL 1 buah
6. Pipet ukur 5 mL 1 buah
7. Penjepit pipet ukur 1 buah
8. Corong 1 buah
9. Kertas saring
Bahan :
1. Larutan asam asetat 1 M
2. Larutan standar NaOH 0.5 M
3. Karbon aktif
4. Indikator pp
5. Aquades
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil
No
Konsentrasi
Asam Asetat
(M)
Volume NaOH 0,5 M
Sebelum ditambah karbon aktif Setelah ditambah karbon aktif
Erlenmeyer I(mL)
Erlenmeyer I(mL)
Erlenmeyer I(mL)
Erlenmeyer I(mL)
Erlenmeyer I(mL)
Erlenmeyer I(mL)
1 0,8 17,4 17,4 17,4 - 15,4 15,4
2 0,6 13,7 13,6 13,65 11,5 11,2 11,35
3 0,4 9,1 8,8 8,95 7,6 7,4 7,5
4 0,2 4,5 4,5 4,5 3,5 3,4 3,45
5 0,1 2,6 2,3 2,45 1,4 1,5 1,45
b. Pembahasan
Pada percobaan ini, bertujuan untuk memahami sifat-sifat adsorpsi zat terlarut dari
suatu larutan pada permukaan adsorben. Adsorpsi adalah suatu contoh metode yang biasanya
digunakan untuk menjernihkan suatu larutan, contoh di kehidupan sehari-hari adalah dalam
proses penjernihan air. Pada percobaan ini, praktikan menganalisis adanya zat pengotor
dalam larutan asam asetat yang disediakan di laboratorium kimia fisik.
Percobaan ini dilakukan secara kuantitatif, yaitu dengan cara menghitung volume
larutan asetat mula-mula sebelum ditambah karbon aktif dibandingkan dengan volume
larutan asetat setelah ditambah karbon aktif, seperti yang tercantum di hasil percobaan dan
direpresentasikan dalam bentuk kurva. Dari hasil percobaan itu, diketahui bahwa di dalam
larutan asam asetat yang dianalisis, terdapat beberapa pengotor yang terlarut dalam larutan
tersebut sehingga mengakibatkan volumenya bertambah. Dengan melakukan analisis isoterm
adsorpsi larutan ini dapat diketahui berat pengotor yang ada dalam larutan asam asetat.
Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan larutan asam asetat dalam berbagai
konsentrasi yaitu, 0,8M; 0,6M; 0,4M; 0,2M; dan 0,1M. Larutan tersebut kemudian dititrasi
dengan larutan NaOH 0,5M dan menggunakan indikator pp untuk mengetahui konsentrasi
sesungguhnya. Indikator pp digunakan dalam titrasi ini karena merupakan indikator yang
bekerja pada pH basa, yaitu pada rentang pH 8,3-10. Hal ini sesuai dengan sifat larutan hasil
titrasi, yaitu bersifat basa. Indikator diperlukan dalam proses titrasi sebagai penanda pada
proses titrasi sehingga proses titrasi dapat dihentikan apabila indikator sudah berubah warna.
Selanjutnya, larutan ditambah dengan 1 gram karbon aktif untuk mengadsorpsi
pengotor-pengotor dalam larutan tersebut. Proses adsorpsi dilakukan pada keadaan isoterm
(temperatur tetap) karena temperatur juga dapat berpengaruh dalam adsorpsi, sehingga untuk
memudahkan analisis maka temperatur dibuat tetap. Erlenmeyer kemudian dikocok dengan
pengaduk agar terjadi pencampuran yang merata sehingga membantu dalam proses adsorpsi,
dengan kata lain, adsorpsi dapat berjalan lebih cepat. Erlenmeyer kemudian ditutup dengan
kertas saring dan didiamkan selama + 30 menit.
Campuran yang terbentuk kemudian disaring dengan kertas saring dengan cara
didekantir. Dekantir adalah suatu metode untuk memisahkan campuran yang penyusunnya
berupa cairan dan padatan. Untuk memudahkan proses dekantir ini digunakan pengaduk saat
menuang cairan. Dengan demikian, cairan tidak mengalir di luar wadah dan dapat terpisah
dari padatan dengan baik. Filtrat yang dihasilkan dari pemisahan inilah yang merupakan
larutan asam asetat murni tanpa pengotor. Filtrat tersebut kemudian dititrasi dengan larutan
NaOH 0,5M untuk mengetahui konsentrasi yang sesungguhnya.
Dari hasil percobaan yang tertera dalam tabel hasil percobaan, dapat dilihat bahwa
semakin besar konsetrasi zat terlarut, semakin besar pula zat terlarut yang dapat teradsorpsi.
Zat terlarut yang teradsorpsi merupakan hasil pengurangan dari larutan asam asetat mula-
mula dan larutan asam asetat setelah ditambah adsorben. Hal ini dapat dilihat dari
perhitungan berat teradsorpnya. Dari hasil percobaan tersebut kemudian direpresentasikan
dalam bentuk grafik. Grafik yang dibuat adalah grafik isoterm Freundlich dan grafik isoterm
Langmuir. Grafik isoterm Freundlich menggambarkan hubungan logaritmik antara berat
adsorbat dalam adsorben dengan konsentrasi larutan asam asetat setelah peristiwa adsorpsi.
Dari grafik yang telah digambar, diketahui bahwa kurva menunjukkan model linier dengan
nilai linieritas (R) = 0,9197, nilai n = -0,094, dan k = 0,4246. Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Freundlich mengenai nilai k yang mengindikasikan kapasitas serapan.
Semakin besar luas permukaan suatu adsorben, maka semakin besar pula harga intersep k.
Grafik yang kedua adalah grafik isoterm Langmuir yang menggambarkan hubungan
konsentrasi larutan terhadap adsorpsi. Dari grafik yang telah digambar, diketahui bahwa
kurva menunjukkan model linier dengan nilai linieritas (R) = 0,9612, nilai n = -0,471, dan
nilai α = 0,3428. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan pada teori adsorpsi isoterm
Langmuir yang menggambarkan bahwa pada permukaan adsorben terdapat sejumlah situs
aktif yang sebanding dengan luas permukaan adsorben. Artinya, semakin besar permukaan
adsorbennya, maka akan semakin besar daya adsorpsinya.
VI. KESIMPULAN
1. Semakin besar konsentrasi asam asetat yang digunakan maka semakin besar pula jumlah zat
dalam larutan asam asetat yang terserap.
2. Grafik isoterm Freundlich menunjukkan nilai intersep k = 0,4246 dan nilai n = -0,094,
sedangkan nilai linieritas grafik (R) = 0,9197.
3. Grafik isoterm Langmuir menunjukkan nilai n = -0,471, dan nilai α = 0,3428, sedangkan nilai
linieritas grafik (R) = 0,9612.
LAMPIRAN
Pengolahan Data1. Menentukan volume pengenceran
* M1 . V1 = M2 . V2
1. V1 = 0,8 . 50 V CH3COOH = 40 mLV1 = 40 mL V air = 10 mL
* M1 . V1 = M2 . V2
1. V1 = 0,6 . 50 V CH3COOH = 30 mLV1 = 30 mL V air = 20 mL
* M1 . V1 = M2 . V2
1. V1 = 0,4 . 50 V CH3COOH = 20 mLV1 = 20 mL V air = 30 mL
* M1 . V1 = M2 . V2
1. V1 = 0,2 . 50 V CH3COOH = 10 mLV1 = 10 mL V air = 40 mL
* M1 . V1 = M2 . V2
1. V1 = 0,1 . 50 V CH3COOH = 5 mLV1 = 5 mL V air = 40 mL
2. Konsentrasi CH3COOH sebenarnya[0,8M] VCH3COOH . M = VNaOH . 0,5M
10 . M = 17,4 . 0,5MM = 0,87
[0,6M] VCH3COOH . M = VNaOH . 0,5M10 . M = 13,65 . 0,5M
M = 0,6825
[0,4M] VCH3COOH . M = VNaOH . 0,5M10 . M = 8,95 . 0,5M
M = 0,4475
[0,2M] VCH3COOH . M = VNaOH . 0,5M10 . M = 4,5 . 0,5M
M = 0,225
[0,1M] VCH3COOH . M = VNaOH . 0,5M10 . M = 2,45 . 0,5M
M = 0,1225
3. Konsentrasi CH3COOH setelah adsorpsi (c)[0,8M] VCH3COOH . M = VNaOH . 0,5M
10 . M = 15,4 . 0,5MM = 0,77
[0,6M] VCH3COOH . M = VNaOH . 0,5M10 . M = 11,35 . 0,5M
M = 0,5675
[0,4M] VCH3COOH . M = VNaOH . 0,5M10 . M = 7,5 . 0,5M
M = 0,375
[0,2M] VCH3COOH . M = VNaOH . 0,5M10 . M = 3,45 . 0,5M
M = 0,1725
[0,1M] VCH3COOH . M = VNaOH . 0,5M10 . M = 1,45 . 0,5M
M = 0,0725
4.
[CH3COOH] Cx
(gram)m
(gram) log log c
0,8 0,77 0,3 1 0,3 -0,55282,566
7-0,1135
0,6 0,5675 0,345 1 0,345 -0,46221,644
9-0,246
0,4 0,375 0,2175 1 0,2175 -0,66251,724
1-0,426
0,2 0,1725 0,1575 1 0,1575 -0,80271,095
2-0,763
0,1 0,0725 0,15 1 0,15 -0,82390,483
3-1,1396
5. a. Berdasarkan Kurva
R2 = 0,846R = 0,9197
log = n log c + log ky = -0,094x – 0,372maka, nilai n = -0,094
log k = - 0,372k = 0,4246
b. Kurva vs c
R2 = 0,924R = 0,9612
= c + y = -0,471x + 2,917maka, nilai n = -0,471
= 2,917α = 0,3428
1. JAWABAN PERTANYAAN 1. 1. Apakah proses adsorpsi ini merupakan adsorpsi fisik atau kimia?
Pada percobaan ini proses adsorpsi terjadi secara adsorpsi fisik yang memiliki ciri molekul yang terikat pada adsorben oleh gaya Van Der Walls, mempunyai entalpi reaksi dan bersifat tidak spesifik
1. 2. Apakah perbedan antara kedua jenis adsorpsi ini? Berikan beberapa contoh dari kedua jenis adsorpsi ini!
1. Adsorbsi fisik, yaitu berhubungan dengan gaya Van der Waals dan merupakan suatu proses bolak – balik apabila daya tarik menarik antara zat terlarut dan adsorben lebih besar daya tarik menarik antara zat terlarut dengan pelarutnya maka zat yang terlarut akan diadsorbsi pada permukaan adsorben, tidak melibatkan energy aktivasi.
2. Adsorbsi kimia, yaitu reaksi yang terjadi antara zat padat dan zat terlarut yang teradsorbsi, terjadi pemutusan dan pembentukan ikatan kimia, panas adsorbsinya tinggi, melibatkan energy aktivasi.
Ex: adsorpsi SDBS
Adsorsi fisik : adsorpsi nitrogen pada besi secara fisik nitrogen cair pada -190 0 C akan teradsorpsi pada besi
Adsorpsi kimia: pada suhu 500 0 C nitrogen teradsorpsi cepat pada permukaan besi.
1. 3. Bagaimana isoterm adsorpsi Freundlich untuk adsorpsi gas pada permukaan zat padat? Apa pembatasannya?
Isoterm Freundlich untuk adsorpsi gas pada permukaan zat padat kurang baik atau memuaskan. Hal ini terjadi karaena pada adsorpsi Freundlich situs-situs aktif pada permukaan adsorben bersifat heterogen. Gas merupakan campuran yang homogen sehingga kurang cocok jika digunakan dalam isotherm Freundlich.
Batasannya : adsorpsi Freundlich situs-situs aktif pada permukaan adsorben bersifat heterogen.
1. 4. Mengapa isoterm adsorpsi Freundlich untuk adsorpsi gas pada permukaan zat padat kurang memuaskan dibandingkan dengan isoterm adsorpsi Langmuir?
Bagaimana bentuk isoterm adsorpsi yang berakhir ini?
Karena pada adsorpsi Freundlich situs-situs aktif pada permukaan adsorben bersifat heterogen, sedangkan adsorpsi pada Langmuir bersifat homogen. Ketika mengadsorpsi gas yang wujudnya campuran yang homogeny, maka adsorpsi Freundlich kurang cocok. Dari percobaan yang telah dilakukan, adsorpsi ini berbentuk adsorpsi Langmuir.
1. 5. Bagaimana bentuk kurva isoterm adsorpsi Lamgmuir (antara n dan C untuk larutan atau V/m dengan P untuk gas?
1. 6. Turunkan persamaan (1). C !
x/m = kCn
Log (x/m) = log k + n log c
PENUTUP
1. Kesimpulan
1) Batubara merupakan mineral organic yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan
purba yang mengendap dan berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang
berlangsung selama jutaan tahun, sehingga akhirnya membentuk fosil. Karena pengaruh
waktu, suhu dan tekanan fosil tersebut membentuk sedimen organic yang di sebut
Batubara.
2) Preparasi sample bertujuan untuk menyediakan suatu sample yang jumlahnya sedikit, yang
mewakili sample asalnya.
3) Batubara yang mempunyai kualitas yang baik ditandai dengan tingginya nilai kalori,
kandungan air rendah dan kandungan abu yang rendah.dan sebaliknya Batubara yang
mempunyai kualitas yang rendah ditandai dengan rendahnya nilai kalori, kandungan air
tinggi dan kandungan abu yang tinggi. Apabila kandungan abunya tinggi berarti batubara
tidak terbakar sempurna
4) Dalam pengerjaan analisa sample batubara disertai pengerjaan analisa ASCRM (Australian
Standard Certified Reference Materials) untuk memeriksa kondisi alat yang digunakan dan
ketepatan hasil analisa. Selain itu, juga dilakukan Daily Check (Inhouse Standard) untuk
menjaga mutu laboratorium secara harian.
5) Semakin tinggi peringkat suatu batubara semakin kecil porositas batubara tersebut atau
semakin padat batubara tersebut. Dengan demikian akan semakin kecil juga moisture yang
dapat diserap atau ditampung dalam pori batubara tersebut. Hal ini menyebabkan semakin
kecil kandungan moisturenya khususnya inherent moisturenya.
top related