gangguan emosi dan perilaku anak usia 3-6 tahun dan
Post on 08-Nov-2021
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Gangguan Emosi dan Perilaku Anak Usia 3-6 Tahun dan Hubungannya dengan Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak di Provinsi Nusa
Tenggara Timur
Sari Rahmawati1, Nuri Purwito Adi2
1. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6, Jakarta Pusat, 10430, Indonesia
2. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6, Jakarta Pusat, 10430, Indonesia
E-mail: sari.rahmawati16@gmail.com
Abstrak
Gangguan mental pada anak-anak dan remaja berkontribusi dalam beban penyakit dunia karena dampak yang ditimbulkan mencakup aspek yang luas. Di Indonesia, gangguan mental usia 15 tahun ke atas cukup tinggi dengan proporsi terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Komunikasi orang tua-anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku anak, terutama pada anak usia 3-6 tahun ketika dimulainya perkembangan kemampuan sosial pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gangguan emosi dan perilaku pada anak usia 3-6 tahun di Provinsi NTT dan hubungannya dengan frekuensi komunikasi orang tua-anak. Desain potong lintang analitik dilakukan terhadap 328 sampel anak usia 36-83 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 49,7% subjek mengalami gangguan emosi dan perilaku. Pada hampir setengah jumlah subjek jarang atau tidak pernah terjadi komunikasi orang tua-anak (44,2%). Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square didapatkan hubungan tidak bermakna antara frekuensi komunikasi orang tua-anak dengan gangguan emosi dan perilaku pada anak (p=0,272). Selain itu, didapatkan hasil yang tidak bermakna antara karakteristik subjek lainnya, yaitu faktor jenis kelamin (p=0,505), gangguan perkembangan (p=0,956), jumlah anak dalam keluarga (p=0,244), dan status ekonomi keluarga (p=0,707). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa frekuensi komunikasi orang tua-anak tidak berhubungan secara bermakna dengan gangguan emosi dan perilaku pada anak.
Emotional and Behavioral Disorder of 3-6-Years-Old Children and Its Association with Parent-Child Communication Frequency in Nusa Tenggara Timur
Abstract
Children’s and adolescents’ mental disorder attributes to global burden of disease due to its wide impacts. In Indonesia, mental disorder of people aged 15 years old or more is high and Nusa Tenggara Timur (NTT) has the highest proportion. Parent-child communication is one of many factors that influences the development of children’s emotion and behavior, especially when they are 3-6 years old, the time whose social abilities is developing. This research aims to assess the emotional and behavioral disorder of 3-6-years-old children in NTT and its association with parent-child communication frequency. This analytical cross sectional study is used to 328 subjects of 3-6 years old children. The result shows that 49.7% subjects had emotional and behavioral disorder. Nearly half of the subjects had infrequently parent-child communication (44.2%). Bivariate analysis using chi-square test shows a nonsignificant association between parent-child communication and children’s emotional and behavioral disorder (p=0.272). In addition, there are nonsignificant association with other characteristics of the subjects: gender (p=0.505), developmental delay (p=0.956), number of children in the family (p=0.244), and family’s economic status (p=0.707). In conclusion, parent-child communication frequency has nonsignificant association with emotional and behavioral disorder among 3-6-years-old children in NTT. Keywords: 3-6 years old children; children’s emotional and behavior disorder; communication frequency; Nusa Tenggara Timur Province; parents.
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
Pendahuluan Gangguan mental merupakan salah satu beban penyakit dunia dan awitan terjadi lebih dini.
Berdasarkan survey oleh World Health Organization (WHO) World Mental Health (WMH)1,
prevalensi gangguan mental diestimasi sebesar 18,1-36,1%. Sebanyak 10-20% anak dan
remaja di dunia mengalami gangguan mental.2 Di Indonesia, gangguan mental emosional
pada usia 15 tahun ke atas cukup tinggi dengan proporsi tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT), sekitar 7,8% total penduduk.3
Terlepas dari tingginya angka gangguan mental, dampak yang ditimbulkan dari gangguan
mental, terutama gangguan emosi dan perilaku pada anak, mencakup aspek yang luas
(biologis, psikologis, dan sosial ekonomi) dan berjangka waktu yang pendek maupun panjang.
Gangguan emosi dan perilaku yang dialami anak dapat mengganggu fungsi mereka dalam
kehidupan sehari-hari. Risiko terjadinya gangguan mental atau gangguan fisik kronik
persisten di kemudian hari juga lebih tinggi pada anak dengan gangguan emosi dan perilaku.
Tidak hanya sebatas aspek biologis dan psikologis, dalam aspek sosial ekonomi, gangguan
emosi dan perilaku juga memakan biaya, tidak hanya untuk keperluan medis, tetapi juga
secara tidak langsung dengan menurunkan potensi sumber daya manusia yang ada.1,4–6
Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku anak meliputi faktor genetik,
jenis kelamin, disabilitas, pengasuhan orang tua, termasuk komunikasi antara orang tua dan
anak, kondisi psikis orang tua, jumlah anak dalam keluarga, status ekonomi keluarga, dan
kejadian traumatis yang dialami anak.4 Komunikasi antara orang tua dan anak merupakan
salah satu faktor yang berperan penting, terutama saat anak beranjak usia 3 tahun, saat
kemampuan sosial reflektifnya mulai berkembang.7 Orang tua yang selalu mengamati dan
memberikan respon kepada anak membuat anak merasakan hubungan yang erat dengan orang
tua mereka dan memberikan rasa nyaman bagi mereka.4 Menjalin komunikasi yang terbuka
dan efektif dengan anak dapat meningkatkan hubungan baik antara orang tua dan anak. Salah
satu penelitian sebelumnya yang terkait, yaitu penelitian oleh Kamumu8, didapatkan bahwa
terdapat hubungan negatif yang signifikan antara komunikasi efektif dengan tingkat stres
remaja, sekitar 18,1%. Semakin baik komunikasi efektif, semakin rendah tingkat stres remaja.
Sayangnya, orang tua di Provinsi NTT tidak memiliki cukup waktu untuk merawat dan
memerhatikan anak mereka, terutama karena bekerja.9 Apalagi untuk anak usia 6 tahun ke
bawah belum terpapar dengan lingkungan sekolah formal sehingga stimulus yang diterima
lebih banyak dari lingkungan keluarga. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
gangguan emosi dan perilaku pada anak usia 3- 6 tahun dan hubungannya dengan frekuensi
komunikasi antara orang tua dan anak di Provinsi NTT.
Tinjauan Teoritis Menurut Cooper dalam Poulou10, gangguan emosi dan perilaku anak adalah penyimpangan
emosi/perasaan atau perilaku anak yang sangat jauh dari norma dan mengganggu
pertumbuhan serta perkembangan anak tersebut dan/atau orang sekitarnya. Secara garis besar,
gangguan emosional dan perilaku pada anak dapat dikategorikan sebagai gangguan
internalisasi dan eksternalisasi. Gangguan internalisasi pada anak merupakan gangguan
berupa tingginya pengontrolan diri pada anak sehingga emosi negatif mengarah pada dirinya
sendiri dibandingkan ke orang lain. Hal ini dapat menyebabkan anak mudah merasa cemas
dan takut. Gangguan eksternalisasi pada anak merupakan gangguan berupa rendahya
pengontrolan diri anak sehingga anak tidak dapat mengendalikan perilakunya. Berbanding
terbalik dari masalah internalisasi, emosi negatif akan diarahkan ke orang lain. Hal ini
dimanifestasikan dengan amarah, sikap agresif, dan frustrasi.11 Deteksi dini gangguan emosi
dan perilaku pada anak usia 3-18 tahun dapat menggunakan kuesioner Pediatric Symptom
Checklist-17 (PSC-17).12
Kondisi emosi dan perilaku anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun
eksternal. Faktor internal berasal dari individu anak tersebut, sedangkan faktor eksternal
merupakan kondisi lingkungan, termasuk keluarga.
Faktor internal dapat berupa faktor genetik, disabilitas baik fisik maupun gangguan
perkembangan, dan karakter anak terhadap tekanan lingkungan. Adanya faktor predisposisi
genetik pada anak mempengaruhi ketahanan anak terhadap pengaruh lingkungan. Adanya
disabilitas, baik berupa keterbatasan fisik maupun keterlambatan perkembangan,
mempengaruhi kondisi psikisnya karena kondisinya tersebut. Deteksi dini keterlambatan
perkembangan dapat menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP). Selain
itu, karakter anak juga berpengaruh terhadap ketahanannya terhadap pengaruh lingkungan.4,13
Faktor eksternal dapat dibagi menjadi faktor struktural maupun insidental. Faktor struktural
dapat berupa kondisi alamiah anak, seperti jenis kelamin dan warna kulit, kondisi psikis orang
tua, pola asuh orang tua termasuk komunikasi orang tua-anak, pendidikan yang diberikan
kepada anak, kondisi sosial ekonomi lingkungan sekitar, budaya dan agama, serta kondisi
kedamaian dan ketentraman lingkungan sekitar. Kondisi keluarga, seperti jumlah anak dalam
keluarga, mempengaruhi besarnya perhatian yang diberikan orang tua kepada anaknya.
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
Dengan jumlah anak yang banyak, perhatian kepada setiap anak cenderung berkurang dan
risiko anak mengalami gangguan perilaku menjadi lebih besar. Faktor secara sosial ekonomi
juga berpengaruh terhadap penyakit mental, seperti adanya masalah ekonomi berkaitan
dengan tempat tinggal yang buruk, lingkungan yang tidak aman, kurangnya fasilitas, dan
buruknya asupan nutrisi, sehingga secara tidak langsung memengaruhi kesehatan mental
anak. Hal ini juga bergantung kepada seberapa baik keluarga tersebut dapat menghadapinya.4
Faktor insidental dapat berupa lahirnya adik, kematian keluarga, perceraian orang tua, dan
penyakit atau kejadian traumatis.13
Sangat penting bagi orang tua untuk melakukan komunikasi yang tebuka dan efektif terhadap
anak. Semakin baik komunikasi yang terjadi, semakin baik hubungan orang tua dangan
anaknya. Terjadinya komunikasi efektif diawali dengan seringnya terjadi komunikasi antara
orang tua dan anak sehingga anak merasa bahwa mereka didengar dan dimengerti oleh orang
tua. Hal ini membuat anak lebih kooperatif dengan apa yang diajarkan orang tua, seperti
moral.14
Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah desain potong lintang. Data yang digunakan
merupakan data sekunder hasil pemetaan oleh Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
(IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Pengambilan data dilakukan di
Provinsi NTT pada tahun 2014 dan pengolahan data dilakukan di Jakarta dari bulan Juli 2015
hingga November 2016.
Dengan metode total sampling, diperoleh 328 sampel penelitian yang diseleksi berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi meliputi anak berusia 3-6 tahun dan bertempat
tinggal di Provinsi NTT saat pengambilan data. Kriteria eksklusi meliputi subjek dengan data
yang tidak lengkap.
Setelah dipilah, data diolah menggunakan aplikasi SPSS versi 20. Analisis univariat
digunakan untuk mengetahui sebaran variabel yang diteliti. Selanjutnya dilakukan analisis
bivariat dengan uji chi-square untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan
dependen.
Variabel dependen yang diteliti yaitu gangguan emosi dan perilaku anak. Sementara variabel
independen yaitu frekuensi komunikasi orang tua dan anak dan karakteristik subjek yang
meliputi jenis kelamin, gangguan perkembangan anak, jumlah anak dalam keluarga, dan
status ekonomi.
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
a. Gangguan Emosi dan Perilaku Anak
Penilaian kondisi emosi dan perilaku anak dilakukan dengan kuesioner Pediatric
Symptoms Disease-17 (PSC-17). Kuesioner PSC-17 berisi pertanyaan-pertanyaan
mengenai perilaku anak yang dibagi ke dalam 3 subskala perilaku, yaitu internalisasi,
eksternalisasi, dan perhatian. Setiap pertanyaaan diberikan nilai 0 untuk jawaban tidak
pernah, nilai 1 untuk jawaban kadang-kadang, dan nilai 2 untuk jawaban sering. Setiap
subskala memiliki nilai batas yang dikatakan positif. Pada subskala internalisasi, nilai 5
atau lebih dikatakan positif, sedangkan pada subskala eksternalisasi dan perhatian, nilai 7
atau lebih pada setiap subskala dikatakan positif. Secara keseluruhan, jika setidaknya ada
satu subskala yang bernilai positif, maka hasil deteksi dini dengan PSC-17 bernilai positif
yang berarti anak kemungkinan memiliki gangguan emosi dan perilaku.
b. Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak
Frekuensi komunikasi orang tua dan anak diolah dari hasil kuesioner mengenai perilaku
orang tua terhadap anaknya yang diperoleh dari Departemen IKK FKUI. Terdapat 18
pertanyaan dari kuesioner yang terkait dengan komunikasi sehari-hari orang tua dan anak.
Setiap pertanyaan memiliki pilihan jawaban sering, kadang-kadang, dan tidak pernah
dengan nilai berturut-turut 1, 2, dan 3. Batas pengkategorian frekuensi komunikasi dibagi
berdasarkan persentil 30% dan 70% untuk batas penggolongan sering, jarang, dan tidak
pernah.
c. Gangguan Perkembangan Anak
Adanya gangguan perkembangan anak dinilai menggunakan Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP). KPSP merupakan kuesioner berisi 9-10 pertanyaan yang dijawab
dengan pilihan ya atau tidak untuk mendeteksi perkembangan anak usia 3 bulan hingga 6
tahun. KPSP memiliki isi pertanyaan yang berbeda-beda sesuai umurnya. Nilai batas anak
memiliki gangguan perkembangan pada penelitian ini adalah enam atau kurang.
d. Kondisi Keluarga
Jumlah anak dalam keluarga dikategorikan menjadi sedikit untuk jumlah anak dua atau
kurang dan banyak untuk jumlah anak lebih dari dua. Status ekonomi keluarga
dikategorikan menjadi status ekonomi rendah untuk penghasilan keluarga Rp1.000.000,00
atau kurang, dan status ekonomi cukup untuk penghasilan yang lebih besar, sesuai upah
minimum regional.
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
Hasil Penelitian Data yang diperoleh dari Departemen IKK FKUI sebanyak 1.227 responden. Setelah
dilakukan seleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, diperoleh subjek yang dianalisis
berjumlah 328 subjek. Tabel 1. Karakteristik Umum Subjek Variabel Frekuensi Persentase (%) Jenis Kelamin (n=328)
Laki-laki 169 51,5 Perempuan 159 48,5
Usia (n=328) 36-47 bulan 15 4,6 48-59 bulan 139 42,4 60-71 bulan 114 34,8 72-83 bulan 60 18,3
Kabupaten (n=328) Nagekeo 28 8,5 Sikka 62 18,9 Lembata 62 18,9 TTS 95 29,0 TTU 81 24,7
Tabel 2. Sebaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Gangguan Emosi dan Perilaku Variabel Frekuensi Persentase (%) Gangguan Emosi dan Perilaku Anak (n=328)
Positif 163 49,7 Negatif 165 50,3
Sebagaian besar subjek berjenis kelamin laki-laki, berusia 48-59 bulan, dan bertempat tinggal
di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sebaran karakteristik umum subjek dapat dilihat pada
Tabel 1. Dapat dilihat pada Tabel 2, didapatkan prevalensi gangguan emosi dan perilaku pada
anak usia 3-6 tahun sebesar 49,7%. Untuk sebaran frekuensi komunikasi orang tua dan anak
didapatkan sebagian besar subjek sering melakukan komunikasi orang tua-anak (55,8%).
Sebaran frekuensi komunikasi orang tua-anak dapat dilihat pada Tabel 3. Sebaran
karakteristik subjek berdasarkan gangguan perkembangan dan kondisi keluarga dapat dilihat
pada Tabel 4. Prevalensi gangguan perkembangan anak usia 3-6 tahun sebesar
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
Tabel 3. Sebaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak Variabel Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak (n=328)
Sering 183 55,8 Jarang atau Tidak Pernah 145 44,2
Tabel 4. Sebaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Gangguan Perkembangan Anak dan Kondisi Keluarga Variabel Frekuensi Persentase (%) Gangguan Perkembangan berdasarkan Kuesioner KPSP (n=328)
Perkembangan sesuai usia 237 72,3 Kemungkinan gangguan perkembangan 91 27,7
Jumlah Anak dalam Keluarga (n=328) Sedikit (≤2 anak) 203 61,9 Banyak (>2 anak) 125 38,1
Status Ekonomi Keluarga (n=328) Rendah (≤ Rp1.000.000,00) 302 92,1 Cukup (> Rp1.000.000,00) 26 7,9
Analisis bivariat dengan uji chi-square menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara
frekuensi komunikasi orang tua dan anak dengan gangguan emosi dan perilaku anak. Hasil
analisis hubungan variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Berdasarkan hasil uji chi-square, didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara faktor
internal berupa jenis kelamin dan gangguan perkembangan anak dengan gangguan emosi dan
perilaku anak; terdapat hubungan yang tidak bermakna antara kondisi keluarga berupa jumlah
anak dalam keluarga dan status ekonomi keluarga dengan gangguan emosi dan perilaku anak.
Hasil analisis hubungan variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Pembahasan Subjek dalam penelitian ini adalah anak berusia 3 hingga 6 tahun (36-83 bulan) dengan subjek
paling banyak berusia dalam rentang 48-59 bulan. Rentang usia prasekolah ini lah mulai
berkembangnya kemampuan sosial reflektif pada anak. Pada usia 3 tahun, anak sudah mulai
dapat memahami bahwa orang yang berbeda memiliki kemauan, kesukaan, dan perasaan yang
berbeda. Pada usia 4-5 tahun, anak sudah mulai memahami bahwa orang memiliki pemikiran
yang berbeda. Kemampuan sosial adalah unsur utama dari kemampuan anak untuk
berperilaku terhadap orang lain dan memiliki pemikiran sendiri.7 Stimulus yang diberikan
kepada anak dalam rentang masa ini merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
perkembangan sosial dan emosi anak.15 Rentang usia tersebut juga waktu di mana anak belum
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
terpapar dengan lingkungan sekolah sehingga pendidikan yang diberikan sebagian besar dari
keluarga. Pada penelitian oleh Sari dkk6 mengenai prevalensi masalah emosi dan perilaku
pada anak prasekolah juga memiliki subjek penelitian berupa anak usia 3-6 tahun.
Berdasarkan analisis univariat persebaran jenis kelamin dan tempat tinggal subjek,
perbandingan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sekitar 1:1 dengan persentase laki-laki
sedikit lebih tinggi (51,5%) dan paling banyak berasal dari Kabupaten Timor Tengah Selatan
(29,0%). Perbandingan tersebut sebanding dengan data persebaran jenis kelamin dari
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.16 Data persebaran tempat tinggal sebanding dengan
data kependudukan Provinsi NTT oleh BPS yang menunjukkan bahwa persentase penduduk
terbanyak ada di Kabupaten TTS.17
Prevalensi gangguan emosi dan perilaku anak di NTT, sebesar 49,7%, lebih tinggi daripada
data prevalensi gangguan mental dari Riskesdas tahun 20133, sebesar 7,8%. Perbedaan ini
disebabkan oleh berbedanya rentang usia sampel dan instrumen ukur. Riskesdas
menggunakan sampel berusia 15 tahun ke atas dan menggunakan instrumen Self Reporting
Questionnaire-20 (SQR-20). Paparan faktor-faktor risiko maupun protektif gangguan emosi
yang diterima pada setiap fase siklus kehidupan berbeda sehingga tingkat risiko terjadinya
gangguan mental berbeda pada usia dengan fase siklus yang berbeda.15 Hasil prevalensi pada
penelitian ini juga lebih tinggi daripada penelitian oleh Soekartiningsih18 yang menunjukkan
prevalensi gangguan emosi dan perilaku pada anak prasekolah di Klaten sebesar 43,6%.
Perbedaan ini dapat terjadi karena jumlah sampel, instrumen ukur, dan lokasi penelitian yang
berbeda. Faktor budaya setempat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cara
pengasuhan orang tua maupun tingkat tekanan stress psikologis terhadap anak.4
Pada penelitian ini didapatkan bahwa komunikasi orang tua dan anak di Nusa Tenggara
Timur sebagian besar sering dilakukan (55,8%). Hasil ini lebih rendah daripada proporsi
kuantitas komunikasi keluarga di Cengkareng (82%).19 Hal ini terjadi karena perbedaan
instrumen ukur, karakteristik dan jumlah sampel.
Prevalensi gangguan perkembangan pada anak usia 3-6 tahun di Provinsi NTT sebesar 27,7%.
Hasil pada penelitian ini sedikit lebih tinggi daripada penelitian yang dilakukan oleh Moonik
dkk20 yang mendapatkan prevalensi gangguan perkembangan anak usia 4-5 tahun di
Kabupaten Mongondow, Sulawesi Utara, pada tahun 2015 sebesar 26,6%. Hasil tidak jauh
berbeda karena sebaran usia subjek pada penelitian ini paling banyak dalam rentang 48-59
bulan. Sementara itu, hasil ini lebih rendah daripada hasil penelitian oleh Dwierin21 yang
mendapatkan prevalensi sebesar 34,4% di Kota Metro, Lampung, pada tahun 2015. Perbedaan
ini dapat terjadi karena adanya perbedaan paparan faktor-faktor yang mempengaruhi
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
perkembangan anak, seperti faktor genetik, asupan nutrisi, dan stimulasi eksternal yang
diberikan kepada anak.
Sebagian besar keluarga di Provinsi NTT memiliki dua anak atau kurang (61,9%), sesuai
rekomendasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang
menyarankan cukup memiliki 2 anak.22 Status ekonomi keluarga di NTT sebagian besar
rendah atau di bawah upah minimum regional (UMR) Provinsi NTT yang besarnya
Rp1.010.000,00.23
Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square didapatkan hubungan yang tidak
bermakna secara statistik antara frekuensi komunikasi orang tua dan anak dengan gangguan
emosi dan perilaku anak (p=0,272). Dapat dilihat dari Tabel 5, anak yang jarang atau tidak
pernah berkomunikasi dengan orang tuanya cenderung mengalami gangguan emosi dan
perilaku. Kecenderungan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Santos dkk24 yang
menyatakan bahwa rendahnya interaksi ibu dan anak meningkatkan 1,9 kali lipat
kemungkinan gangguan perilaku pada anak. Purwanty19 pernah melakukan penelitian sejenis
tetapi dengan karakteristik sampel yang berbeda, yaitu meneliti hubungan antara kuantitas
komunikasi keluarga dengan perilaku kekerasan remaja. Dari penelitian tersebut juga
didapatkan hubungan yang tidak bermakna. Hal ini dapat terjadi karena peneliti hanya menilai
kuantitas, seberapa sering komunikasi orang tua dan anak dilakukan, tetapi tidak menilai
efektivitas maupun pola komunikasi yang dilakukan. Dalam membentuk sikap dan perilaku
anak, selain diperlukannya komunikasi yang sering, juga perlu diperhatikan pola
komunikasinya, apakah pola otoriter, demokratis, atau permisif, untuk menanamkan nilai-
nilai secara tepat.25 Selain itu, kondisi emosi dan perilaku anak dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain yang juga berperan penting, seperti faktor genetik, kondisi psikis orang tua, pengalaman
traumatis yang pernah dialami sebelumnya, kekerasan dalam rumah tangga, dan paparan
buruk lainnya. Tabel 5. Hubungan antara Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku Anak di Provinsi NTT
Variabel Gangguan Emosi dan Perilaku
pada Anak Nilai p Positif (+) Negatif (-)
Frekuensi Komunikasi Orang Tua dan Anak (n=328) Sering 86 (47,0%) 97 (53,0%) 0,272 Jarang dan Tidak Pernah 77 (53,1%) 68 (46,9%)
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
Analisis bivariat dengan chi-square juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jenis
kelamin, gangguan perkembangan anak, jumlah anak dalam keluarga, dan status ekonomi
keluarga dengan gangguan emosi dan perilaku anak. Didapatkan hubungan yang tidak
bermakna secara statistik antara variabel-variabel tersebut. Hasil analisis dapat dilihat secara
lengkap pada Tabel 6.
Hasil analisis bivariat antara jenis kelamin dengan gangguan emosi dan perilaku anak
didapatkan hubungan tidak bermakna dengan p=0,505. Didapatkan kecendrungan anak laki-
laki lebih banyak mengalami gangguan emosi dan perilaku (51,5%). Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian oleh Wichstrøm dkk26 yang didapatkan gangguan emosi dan perilaku lebih
banyak ditemukan pada anak laki-laki pada anak usia 4 tahun. Pada penelitian oleh Naik
dkk27 juga didapatkan hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan gangguan perilaku
pada anak 6 hingga 18 tahun dengan kecendrungan anak laki-laki lebih banyak mengalami
gangguan perilaku dibandingkan perempuan. Hasil didapatkan hubungan tidak bermakna
dapat disebabkan oleh adanya faktor lain yang lebih berperan dalam mempengaruhi kondisi
emosi dan perilaku pada anak.
Hasil analisis bivariat antara gangguan perkembangan dengan gangguan emosi dan perilaku
didapatkan hubungan tidak bermakna dengan p=0,956. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian
oleh Dekker dkk28 yang menyatakan bahwa kemungkinan anak dengan gangguan
perkembangan intelektual mengalami gangguan emosi dan perilaku 3-4 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan dengan anak dengan perkembangan normal. Hal ini terjadi karena perbedaan
instrumen ukur yang digunakan dan karakteristik sampel yang diteliti, serta adanya faktor-
faktor lain yang lebih mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku anak, seperti faktor genetik
dan tekanan stress psikologis dari lingkungan sekitar.
Hasil analisis bivariat antara jumlah anak dalam keluarga dengan gangguan emosi dan
perilaku didapatkan hubungan tidak bermakna dengan p=0,224. Dari hasil didapatkan bahwa
anak dalam keluarga yang memiliki sedikit anak cenderung memiliki kemungkinan gangguan
emosi dan perilaku (52,2%), sedangkan dalam keluarga dengan banyak anak, anak cenderung
tidak memiliki gangguan emosi dan perilaku (54,4%). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan olah Naik dkk27 yang menyatakan bahwa anak dari keluarga yang memiliki
lebih dari 3 anak lebih banyak mengalami gangguan perilaku karena kebutuhan secara fisik
dan emosi anak tidak tercukupi sehingga membuat anak mengalami gangguan perilaku.
Ketidaksesuaian hasil penelitian dengan penelitian lain dapat terjadi karena perbedaan faktor
internal maupun faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku anak,
seperti faktor genetik, kekerasan rumah tangga, dan budaya pola asuh setempat. Di Provinsi
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
NTT, anak kecil yang ditinggal orang tuanya bekerja dititipkan anak tersebut kepada anaknya
yang sudah sekolah, saudara, tetangga, atau dibawa ke kebun.9 Kecendrungan anak tidak
memiliki gangguan emosi dan perilaku pada keluarga dengan jumlah anak yang banyak
karena anak tersebut masih diberikan perhatian yang lebih oleh anggota keluarganya, dalam
hal ini saudara-saudaranya yang menjaga anak tersebut. Selain itu, anak dengan banyak
saudara kandung akan lebih sadar akan kesehatan mentalnya dibandingkan dengan anak
tunggal.7 Faktor-faktor lain juga dapat berperan lebih terhadap kondisi emosi dan perilaku
anak, seperti faktor genetik, peristiwa traumatis yang pernah dialami sebelumnya, kondisi
psikis orang tua, dan kekerasan dalam rumah tangga. Tabel 6. Hubungan antara Jenis Kelamin, Gangguan Perkembangan Anak, Jumlah Anak dalam Keluarga, dan Status Ekonomi Keluarga dengan Gangguan Emosi dan Perilaku Anak di Provinsi NTT
Variabel Gangguan Emosi dan Perilaku pada
Anak Nilai p Positif (+) Negatif (-)
Jenis Kelamin (n=328) 0,505 Laki-laki 87 (51,5%) 82 (48,5%)
Perempuan 76 (47,8%) 83 (52,2%) Gangguan Perkembangan berdasarkan Kuesioner
KPSP (n=328) 0,956 Perkembangan sesuai usia 118 (49,8%) 119 (50,2%)
Kemungkinan gangguan perkembangan 45 (49,5%) 46 (50,5%) Jumlah Anak dalam Keluarga (n=328)
0,244 Sedikit (≤2 anak) 106 (52,2%) 97 (47,8%) Banyak (>2 anak) 57 (45,6%) 68 (54,4%)
Status Ekonomi Keluarga (n=328) 0,707 Rendah 151 (50,0%) 151 (50,0%)
Cukup 12 (46,2%) 14 (53,8%) Hasil analisis bivariat antara status ekonomi keluarga dengan gangguan emosi dan perilaku
didapatkan hubungan tidak bermakna dengan p=0,70. Pada keluarga yang berpendapatan
cukup, anak cenderung tidak memiliki gangguan emosi dan perilaku (53,8%). Pada penelitian
yang dilakukan oleh Gleason dkk29 pada anak usia 18-60 bulan, didapatkan bahwa
pendapatan memiliki hubungan terbalik dengan gangguan mental anak. Pada penelitian lain
oleh Wichstrøm dkk26, juga didapatkan didapatkan bahwa emosi dan gangguan emosi dan
perilaku lebih umum terjadi pada anak dengan keluarga yang memiliki pendapatan yang
rendah. Hasil pada penelitian ini sejalan dengan semua studi tersebut. Semakin tinggi
pendapatan keluarga, anak cenderung tidak memiliki gangguan emosi dan perilaku.
Hubungan yang tidak bermakna dapat terjadi karena karakteristik sampel sebagian besar
berpendapatan rendah dan status ekonomi tidak berperan langsung dalam mempengaruhi
kondisi mental anak.4 Status ekonomi dikaitkan terhadap pemenuhan kebutuhan anak, baik
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
secara fisik maupun psikis, sehingga walaupun status ekonomi rendah, tetapi kebutuhan anak
masih dapat terpenuhi, status ekonomi tidak mempengaruhi terjadinya gangguan emosi dan
perilaku anak. Selain itu, gangguan emosi dan perilaku juga dapat dipengaruhi oleh faktor-
faktor lainnya yang secara langsung mempengaruhi, seperti faktor genetik dan pernah
mengalami peristiwa traumatis sebelumnya.
Kesimpulan Prevalensi gangguan emosi dan perilaku pada anak usia 3 hingga 6 tahun di NTT cukup
tinggi, sebesar 49,7%. Masih cukup banyak orang tua di NTT yang jarang atau tidak pernah
berkomunikasi dengan anaknya (44,2%). Prevalensi keterlambatan perkembangan anak usia 3
hingga 6 tahun di NTT sebesar 27,7%. Sebagian besar keluarga di NTT berstatus ekonomi
rendah, di bawah UMR (92,1%).
Tidak terdapat hubungan bermakna antara frekuensi komunikasi orang tua dan anak dengan
gangguan emosi dan perilaku anak usia 3-6 tahun berdasarkan kuesioner PSC-17 di Provinsi
NTT. Selain itu, tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin, gangguan
perkembangan, jumlah anak dalam keluarga, dan status ekonomi keluarga dengan gangguan
emosi dan perilaku anak usia 3-6 tahun di Provinsi NTT.
Saran Edukasi dan penyuluhan mengenai gangguan emosi dan perilaku anak kepada orang tua perlu
dilakukan agar orang tua dapat lebih memperhatikan kondisi mental anaknya dan dapat
mendeteksi lebih dini bila terjadi gangguan. Pada penelitian selanjutnya perlu diteliti
mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku pada anak.
Daftar Referensi 1. Kessler RC, Aguilar-Gaxiola S, Alonso J, Chatterji S, Lee S, Ormel J, et al. The global
burden of mental disorders: An update from the WHO World Mental Health (WMH)
Surveys. Epidemiol Psichiatr Soc. 2009;18(1):23–33.
2. Kieling C, Baker-Henningham H, Belfer M, Conti G, Ertem I, Omigbodun O, et al.
Child and adolescent mental health worldwide: evidence for action. The Lancet. Oktober
2011;378(9801):1515–25.
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
4. Earle J. Emotional and Behavioural Problems. In: Growing up in the UK: ensuring a
healthy future for our children. UK: British Medical Association; 2013. hal. 121–48.
5. Merikangas KR, Nakamura EF, Kessler R C. Epidemiology of mental disorders in
children and adolescents. Dialogues Clin Neurosci. 2009;11:7–20.
6. Sari LGMP, Ardani IGAI. Prevalensi Masalah Emosi dan Prilaku pada Anak Prasekolah
di Dusun Pande, Kecamatan Denpasar Timur. eum. 2014;3(11):1–9.
7. Astington JW, Edward MJ. The Development of Theory of Mind in Early Childhood
[Internet]. Encyclopedia on Early Childhood Development. 2010. Tersedia pada:
http://www.child-encyclopedia.com/sites/default/files/textes-experts/en/588/the-
development-of-theory-of-mind-in-early-childhood.pdf
8. Kamumu R. Hubungan antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan tingkat stres
pada remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta. EMPATHY. 2013;2(1).
9. Raflizar, Aridhini L, Tagul CM, Setyoadi GS, Sadewo FS, Angkasawati TJ. Buku Seri
Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Manggarai Desa Wae Codi Kecamatan
Cibal Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Surabaya: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI; 2012.
10. Poulou MS. Emotional and behavioural difficulties in preschool. J Child Fam Stud.
Februari 2015;24(2):225–36.
11. Aunola K, Nurmi J-E. The role of parenting styles in children’s problem behavior. Child
Dev. November 2005;76(6):1144–59.
12. Walter HJ, DeMaso KP. Assessment and Interviewing. In: Kliegman R, Behrman RE,
Nelson WE, editor. Nelson textbook of pediatrics. 20 ed. Phialdelphia, PA: Elsevier;
2015. hal. 124–7.
13. Delfos MF. Children and behavioural problems: anxiety, aggression, depression and
ADHD, a biopsychological model with guidelines for diagnostics and treatment.
London ; Philadelphia: Jessica Kingsley; 2004.
14. Zolten K, Long MA, Long N. Parent/child communication [Internet]. Department of
Pediatrics, University of Arkansas for Medical Sciences; 2006. Tersedia pada:
http://www.parenting-ed.org/handouts/communication-parent%20to%20child.pdf
15. Risks to mental health: an overview of vulnerabilities and risk factors [Internet]. WHO
Secretariat; 2012 [dikutip 13 Oktober 2016]. Tersedia pada:
http://www.who.int/mental_health/mhgap/risks_to_mental_health_EN_27_08_12.pdf
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
16. Ompusunggu S. Riskesdas dalam Angka Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013. Jakarta:
Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI; 2013.
17. Badan Pusat Statistik. Persentase Penduduk, Rasio Jenis Kelamin, dan Kepadatan
Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2015 [Internet].
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. [dikutip 19 Oktober 2016].
Tersedia pada: http://ntt.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/569
18. Endang Soekartiningsih. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Gangguan Emosi dan
Perilaku Pada Anak Usia Prasekolah di Taman Kanak-Kanak Speak First Klaten
[Internet] [Thesis]. [Yogyakarta]: Universitas Gadjah Mada; 2014 [dikutip 13 Oktober
2016]. Tersedia pada:
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail
&act=view&typ=html&buku_id=74966
19. Purwanty. Pengaruh kuantitas dan kualitas komunikasi keluarga terhadap perilaku
kekerasan pada remaja [Skripsi]. [Jakarta]: Universitas Indonesia; 2001.
20. Moonik P, Lestari HH, Wilar R. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan
perkembangan anak taman kanak-kanak. J E-Clin. April 2015;3(1):124–32.
21. Dwierin. Perbandingan Hasil Skrining Deteksi Tumbuh Kembang Anak Usia Prasekolah
antara Metode Pemeriksaan KPSP (Kuesioner Pra-Skrining Perkembangan) dengan
Denver II di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Metro [Skripsi]. [Bandar Lampung]:
Universitas Lampung; 2016.
22. Trianto. Aktifkan Kembali Kampanye “Dua Anak Cukup“ dan “4 Terlalu“ [Internet].
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2013 [dikutip 16 Oktober
2016]. Tersedia pada:
http://www.bkkbn.go.id/_layouts/mobile/dispform.aspx?List=9c6767ad-abfe-48e3-
9120-af89b76d56f4&View=174a5cf7-357b-4b83-a7ac-be983c5ddb0e&ID=813
23. Badan Pusat Statistik. Rata-rata Upah/Gaji, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah
Minimum Kabupaten/Kota (UMR) Sebulan Tahun di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
2010-2014 [Internet]. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. [dikutip 16
Oktober 2016]. Tersedia pada: http://ntt.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/530
24. Santos LM dos, Queirós FC, Barreto ML, Santos DN dos. Prevalence of behavior
problems and associated factors in preschool children from the city of Salvador, state of
Bahia, Brazil. Rev Bras Psiquiatr. Maret 2016;38(1):46–52.
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
25. Lusiana. Pola komunikasi orang tua dengan anak depresi [Internet] [Skripsi].
[Surabaya]: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya; 2014 [dikutip 19 Oktober
2016]. Tersedia pada: http://digilib.uinsby.ac.id/id/eprint/778
26. Wichstrøm L, Berg-Nielsen TS, Angold A, Egger HL, Solheim E, Sveen TH. Prevalence
of psychiatric disorders in preschoolers: Psychiatric disorders in preschoolers. J Child
Psychol Psychiatry. Juni 2012;53(6):695–705.
27. Naik JD, Jogdand SS. Socio-meographic correlates of behavior problems amongst the
urban slum dwellers aged between 6 to 18 years. Natl J Med Res. September
2013;3(3):222–5.
28. Dekker MC, Koot HM, Ende J van der, Verhulst FC. Emotional and behavioral
problems in children and adolescents with and without intellectual disability. J Child
Psychol Psychiatry. November 2002;43(8):1087–98.
29. Gleason MM, Zamfirescu A, Egger HL, Nelson CA, Fox NA, Zeanah CH.
Epidemiology of psychiatric disorders in very young children in a Romanian pediatric
setting. Eur Child Adolesc Psychiatry. Oktober 2011;20(10):527–35.
Gangguan Emosi ..., Sari Rahmawati, FK UI, 2016
top related