gambaran perilaku konsumsi makanan dan ... semester iii di akbid muhammadiyah madiun sebanyak 80...
Post on 26-Apr-2018
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
GAMBARAN PERILAKU KONSUMSI MAKANAN DAN KEJADIAN
ANEMIA PADA REMAJA PUTRI
DI AKBID MUHAMMADIYAH MADIUN
PENELITIAN DOSEN
OLEH:
NISA ARDHIANINGTYAS, SST., M.Kes
AKADEMI KEBIDANAN MUHAMMADIYAH
MADIUN
2015
ii
GAMBARAN PERILAKU KONSUMSI MAKANAN DAN KEJADIAN
ANEMIA PADA REMAJA PUTRI
DI AKBID MUHAMMADIYAH MADIUN
PENELITIAN DOSEN
Disusun Sebagai Perwujudan Catur Dharma Perguruan Tinggi
Di Akademi Kebidanan Muhammadiyah Madiun
OLEH :
NISA ARDHIANINGTYAS, SST., M.Kes
AKADEMI KEBIDANAN MUHAMMADIYAH
MADIUN
2015
iv
Motto
wa man jaahada fa-innamaa yujaahidu
linafsihi.”
Artinya
Barangsiapa bersungguh-sungguh,
sesungguhnya kesungguhannya itu adalah
untuk dirinya sendiri.” (QS Al-Ankabut
[29]: 6)
v
RINGKASAN
Gizi merupakan salah satu faktor penentu untuk mencapai kesehatan yang
prima dan optimal. Masyarakat di Indonesia masih menghadapi beberapa masalah
gizi, salah satunya adalah anemia. Remaja putri mempunyai resiko untuk anemia
karena pada usia ini terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat pertumbuhan,
adanya menstruasi, sering membatasi konsumsi makan, serta pola konsumsinya
sering menyalahi kaidah-kaidah ilmu gizi. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji
kebiasaan makan, mengkaji frekuensi konsumsi pangan dan mengkaji status
anemia remaja putri.
Jenis penelitian yang digunakan adalah Deskriptif. Populasi adalah
mahasiswa Semester III di Akbid Muhammadiyah Madiun sebanyak 80
responden. Sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Data
dikumpulkan melalui kuesioner dan pemeriksaan hb dengan menggunakan
haemometer digital kemudian ditabulasi dan dianalisa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
kebiasaan makan yang baik (52,5 %), Responden yang memiliki frekuensi
konsumsi pangan sumber non heme setiap hari lebih besar (21,25 %) daripada
konsumsi sumber heme (12 %). Dan dari penelitian yang dilakukan 29 responden
menderita anemia (36,25 %) dari total populasi 80 responden. Dimana kadar
haemoglobin < 12 gr/dl.
Kesimpulan dari penelitian ini kejadian anemia dialami oleh responden
karena memiliki frekuensi makan sumber heme yang cenderung lebih rendah
daripada konsumsi non heme, sehingga perlu adanya sikap dan cara yang tepat
untuk mengurangi dampak anemia kekurangan besi dengan cara meningkatkan
konsumsi sumber heme dan mengkonsumsi vitamin C untuk meningkatkan
penyerapan sumber non heme.
Kata kunci : Kebiasaan makan, frekuensi konsumsi pangan, status anemia
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah yang berjudul “Gambaran Perilaku Konsumsi Makanan Dan Kejadian
Anemia Pada Remaja Putri Di AKBID Muhammadiyah Madiun” dapat selesai
tepat waktu.
Penulisan penelitian ini disusun sebagai perwujudan Catur Dharma
Perguruan Tinggi di Akademi Kebidanan Muhammadiyah Madiun. Dalam
penyusunan penelitian ini, penulis telah mendapatkan bimbingan, arahan dan
bantuan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena
itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Faqih Ruhyanudin, M.Kep., Sp. KMB., selaku direktur Akademi Kebidanan
Muhammadiyah Madiun
2. Rekan-rekan Dosen Akademi Kebidanan Muhammadiyah Madiun yang telah
banyak memberikan bantuan ikut berperan dalam memperlancar penelitian dan
penulisan penelitian Ini.
Penulis menyadari bahwa dalam teknik pembuatan penelitian dan
penulisannya masih ada yang kurang sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga penelitian ini berguna
bagi penulis maupun pihak lain yang memanfaatkannya.
Madiun, Nopember 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
SURAT PERNYATAAN................................................................................. iv
MOTTO ........................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xvi
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 LatarBelakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 4
1.3 TujuanPenelitian .................................................................... 4
1.4 ManfaatPenelitian .................................................................. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu .............................................................. 6
2.2 Remaja Putri .......................................................................... 12
viii
2.3 Anemia ................................................................................... 16
2.4 Faktor yang mempengruhi anemia pada remaja putri ........... 19
2.5 KerangkaKonseptual ............................................................. 24
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 JenisPenelitian ....................................................................... 26
3.2 KerangkaKerja ....................................................................... 26
3.3 Populasi, Sampel dan teknik sampling .................................. 27
3.4 Variabel Penelitian ................................................................ 28
3.5 Defisiensi Operasional ........................................................... 29
3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 30
3.7 Metode Pengumpulan Data ................................................... 30
3.8 Analisa Data .......................................................................... 32
3.9 Etika Penelitian ...................................................................... 35
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ....................................................................... 38
4.2 Pembahasan ............................................................................ 41
4.3 Keterbatsan Penelitian ............................................................. 37
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .............................................................................. 44
Saran ........................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 DefinisiOperasional ........................................................................ 29
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia ............................ 38
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan ................ 38
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan ................... 39
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar2.1KerangkaKonsep ............................................................................ 24
Gambar3.1 KerangkaKerjaPenelitian ............................................................. 27
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian
Lampiran 2 : Formulir Recall Konsumsi Makanan Sumber Zat Besi,
Penghambat dan Pendorong Penyerapan Zat Besi
Lampiran 3 : Formulir Recall Konsumsi Makanan
Lampiran 4 : Lembar Permohonan Menjadi Responden
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang
memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima
disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Siswanto,2001).
Gizi merupakan salah satu faktor penentu untuk mencapai kesehatan yang prima
dan optimal. Namun sayangnya, masyarakat di Indonesia masih menghadapi
beberapa masalah gizi, salah satunya adalah anemia.
Remaja putri juga merupakan salah satu kelompok yang beresiko
menderita anemia. Remaja putri adalah calon mahasiswi yang merupakan calon
pemimpin di masa datang, calon tenaga kerja yang akan menjadi tulang punggung
produktivitas nasional, serta calon ibu yang akan melahirkan generasi penerus dan
merupakan kunci perawatan anak di masa datang. Oleh karena itu, kualitas remaja
perlu mendapat perhatian khusus. Remaja putri mempunyai resiko untuk anemia
karena pada usia ini terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat pertumbuhan,
adanya menstruasi, sering membatasi konsumsi makan, serta pola konsumsinya
sering menyalahi kaidah-kaidah ilmu gizi (sakti,2003).
Anemia merupakan salah satu masalah gizi dengan prevalensi yang tinggi
didunia (Jackson dan Al-Maousa, 2000). Di Indonesia, kejadian anemia sekitar
36% dari perkiraan populasi 3800 juta orang dan lebih banyak terjadi di negara
yang sedang berkembang daripada negara industri (De Maeyer, 1993). Anemia
pada wanita masih merupakan satu masalah gizi utama yang membutuhkan
perhatian (DepKes RI, 1998).
Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro yang paling umum
terjadi di dunia dan merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh
remaja (Ruel 2001). Defisiensi zat besi merupakan hasil jangka panjang dari
keseimbangan negatif zat besi dan tingkatan yang paling parah dari defisiensi besi
adalah anemia (WHO 2001). Menurut Soekirman (2000), saat ini diperkirakan
2
lebih kurang 2,1 milyar orang didunia menderita anemia gizi besi termasuk pada
tingkat berat dan pada negara berkembang terdapat prevalensi anemia remaja putri
sebesar 17-89 persen (Ruel 2001). Hasil SKRT 2001 menunjukkan bahwa 30 %
remaja wanita (10-19 tahun) menderita anemia (konsentrasi haemoglobin <120
g/l). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dari hasil studi lainnya, yang
mengindikasikan anemia merupakan masalah kesehatan di Indonesia (Permaesih
dan Herman 2005)
Beberapa hasil penelitian di beberapa daerah di Indonesia juga
menunjukkan masih tingginya prevalensi anemia pada remaja putri. Pada tahun
1996, penelitian Lestari mendapatkan prevalensi anemia remaja putri SMU di
kabupaten Bandung sebesar 41,54 %, penelitian Budiman (1997) pada remaja
putri SMU dan MAN di enam daerah di Jawa Barat mendapatkan prevalensi
anemia sebesar 40,4 %. Penelitian Satyaningsih (2007) pada remaja putri SMK
Amaliyah Sekadau Kalimantan Barat, mendapatkan prevalensi anemia yaitu
58,7% . Dari beberapa penelitian tersebut, didapatkan beberapa faktor yang
berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri, yaitu asupan energi,
protein, asupan zat besi, asupan vitamin C, kebiasaan minum teh atau kopi,
investasi cacing, pengetahuan, pendidikan dan jenis pekerjaan orang tua,
pendapatan keluarga, dan pola menstruasi
Sedangkan di Jawa Timur berdasarkan kajian data anemia tahun 2002,
ditemukan 16 % wanuta usia subur menderita anemia, sedangkan untuk remaja
putri dan calon pengantin ditemukan masing-masing 80, 2 %dan 91,5 %
menderita anemia (Dinkes Prop, 2002).
Prevalensi anemia yang cukup besar pada remaja putri ini karena pada
masa remaja terjadi pertumbuhan yang cepat (growth spurt). Selama periode
remaja, massa tulang meningkat dan terjadi remodeling tulang, jaringan lunak,
organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran (Di
Meglio, 2000). Pertumbuhan tersebut menyebabkan kebutuhan zat besi meningkat
secara dramatis dan pada saat remaja inilah kebutuhan zat gizi mencapai titik
tertinggi. Menurut WHO (2001), kebutuhan zat besi yang diperlukan remaja putri
untuk pertumbuhan berbeda antara early adolescence dan middle adolescence.
3
Kebutuhan zat besi yang lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena
pada usia tersebut growth spurt lebih intens terjadi di bandingkan middle
adolescence, sehingga apabila terjadi kekurangan zat gizi makro dan mikro pada
usia remaja baik early adolescence maupun middle adolescence dapat menggangu
pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual (Beard 2000)
Apabila sejak remaja seorang wanita menderita anemia, maka akan
mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan terganggu, lemah karena sering
terkena infeksi, tidak aktif, malas, cepat lelah, disekolah sulit berkonsentrasi
dalam belajar, mengantuk, akibat lebih lanjut akan mempengaruhi kecerdasan dan
daya tangkap (Wirakusumah, 1999). Selain itu, akan semakin berat kondisinya
bila wanita tersebut menikah dan hamil, karena kehamilan membutuhkan lebih
banyak jumlah zat besi untuk pertumbuhan dan perkembangan janinnya, maka
akan berdampak pada kematian bayi, bayi lahir abnormal, kematian premature,
berat badan bayi lahir rendah, dan kematian ibu (Saraswati, 1997).
Proverawati (2010) mengatakan pengaruh kelompok bagi kehidupan
remaja sangat kuat dari pengaruh keluarga. Pada masa ini teman sebaya
mempunyai pengaruh tinggi bagi perkembangan kebiasaan makan yang tidak
sehat. Oleh karena itu diperlukan informasi masalah gizi pada remaja serta faktor-
faktor yang mempengaruhinya.
Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjudul “Gambaran Perilaku Konsumsi Makanan
Remaja Putri Terhadap Kejadian Anemia di Akbid Muhammadiyah Madiun.
1.2 Identifikasi Faktor Penyebab Masalah
Menurut Proverawati (2010) kebutuhan akan kecukupan gizi pada remaja
didapatkan dari kesesuaian antara jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi,
dengan kebutuhan fungsi tubuh sehingga bermanfaat bagi terpeliharanya fungsi
tubuh secara optimal. Kekurangan dalam mengkonsumsi makanan yang baik
jumlah maupun mutunya dapat menyebabkan kurang gizi seperti kekurangan
energi protein (KEK) dan anemia. Penyebab terjadinya anemia pada remaja putri
adalah karena dipengaruhi oleh kebiasaan makan yang berakibat pada rendahnya
4
tingkat konsumsi zat gizi. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan makanan atau
membatasi sendiri pola makanannya.
1.3 Batasan Masalah
Penyebab terjadinya anemia pada remaja putri bermacam-macam, yakni
kehilangan darah yang disebabkan oleh menstruasi, penyakit kronis dan pola
makan (konsumsi makan) yang tidak sesuai antara jumlah dan jenis makanan yang
dikonsumsi dengan kebutuhan fungsi tubuh, maka penelitian ini dibatasi pada
Gambaran Perilaku Konsumsi Makanan Dan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri
Di AKBID Muhammadiyah Madiun.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah
penelitian adalah sebagai berikut “Bagaimanakah Gambaran Perilaku Konsumsi
Makanan Dan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Di AKBID Muhammadiyah
Madiun ?”
1.5 Tujuan
1.5.1 Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui Gambaran
Perilaku Konsumsi Makanan Dan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Di
AKBID Muhammadiyah Madiun.
1.5.2 Khusus
1. Mengkaji frekuensi makan pada remaja putri di AKBID Muhammadiyah
Madiun.
2. Mengkaji sarapan pada remaja putri di AKBID Muhammadiyah Madiun.
3. Mengkaji kebiasaan diet pada remaja putri di AKBID Muhammadiyah Madiun.
4. Mengkaji kebiasaan melakukan pantangan makan pada remaja putri di AKBID
Muhammadiyah Madiun.
5
5. Mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi dan vitamin C remaja
putri di AKBID Muhammadiyah Madiun.
6. Mengkaji kebiasaan minum teh/kopi remaja putri di AKBID Muhammadiyah
Madiun.
7. Mengkaji status besi (kadar haemoglobin dan status anemia) remaja putri di
AKBID Muhammadiyah Madiun.
1.6 Manfaat
1.6.1 Manfaat Teoritis
Dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan
ilmu pengetahuan kebidanan, khususnya yang terkait dengan perilaku konsumsi
makanan remaja putri terhadap kejadian anemia.
1.6.2 Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti
Untuk mengetahui dengan jelas mengenai perilaku konsumsi makanan remaja
putri terhadap kejadian anemia, sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan dalam penelitian serta sebagai bahan untuk menerapkan ilmu yang
telah didapat, khususnya mata kuliah ilmu gizi untuk kebidanan, kesehatan
reproduksi, bio statistik, dan metode penelitian.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai tambahan referensi ilmiah untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya perilaku konsumsi makanan remaja putri terhadap
kejadian anemia.
3. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber referensi,
sumber bacaan, dan bahan pengajaran terutama yang berkaitan dengan perilaku
konsumsi makanan remaja putri terhadap kejadian anemia.
6
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk dijadikan bahan acuan dalam melakukan penelitian dan sebagai
pengembangan ilmu khususnya yang berkaitan dengan perilaku konsumsi
makanan remaja putri terhadap kejadian anemia.
5. Bagi Masyarakat
Sebagai bahan informasi tentang perilaku konsumsi makanan remaja putri
terhadap kejadian anemia.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang sesuai dengan judul diatas adalah penelitian oleh
Dilla Nursari disusun tahun 2009 yang berjudul “ Gambaran Kejadian Anemia
Pada Remaja Putri di SMP Negeri 18 Kota Bogor”, penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif
dengan cara FGD, wawancara mendalam dan observasi secara aktif. Disamping
menggunakan metode kualitatif, penelitian ini juga didukung dengan data
kuantitatif untuk menggambarkan status gizi dan asupan zat gizi para informan.
Informan dalam penelitian terdiri dari informan utama yaitu siswi yang berjumlah
15 orang, dan informan pendukung, yaitu orang tua siswi enam orang serta teman
dekat siswi enam orang, sehingga jumlah informan secara keseluruhan adalah 27
orang.
Seluruh informan menderita anemia tingkat sedang dengan kadar Hb
antara 8,7 gr/dl sampai 10,8 gr/dl memiliki beberapa gejala atau tanda-tanda
anemia, yaitu 5L, pusing, mudah mengantuk, pucat pada kuku, bibir, dan kelopak
mata. Kurangnya makanan yang mengandung zat besi dan kehadiran teh dalam
menu sarapan pagi informan merupakan salah satu faktor yang membuat informan
menderita anemia, karena terganggunya penyerapan zat besi oleh zat tanin yang
terkandung dalam teh. Sebagian besar informan memiliki pola menstruasi yang
abnormal dan ini merupakan salah satu faktor penentu kejadian anemia yang
dialami para informan. Pengetahuan yang kurang mengenai anemia dan zat gizi
membuat informan kurang tepat dalam memilih makanan yang mengandung zat
gizi, dan pada akhirnya menyebabkan ketidakcukupan zat gizi khususnya zat besi.
Pendidikan orangtua informan bervariasi, baik rendah maupun tinggi
antara SD sampai dengan S2. Sebagian besar pekerjaan ayah informan adalah
wiraswasta, sedangkan sebagian besar ibu informan adalah ibu rumah tangga
(IRT). Pendapatan orangtua informan setiap bulannya bervariasi, antara
8
Rp.525.000 – Rp. Rp.3.632.000,-. Sebagian besar informan memiliki status gizi
normal, hanya satu informan status gizinya lebih.
Asupan beberapa zat gizi seperti energi, protein, dan vitamin C yang
kurang dari AKG serta asupan zat besi yang defisit pada masing-masing informan
merupakan faktor utama yang menentukan informan menderita anemia tingkat
sedang. Sebagian besar informan memiliki perilaku jajan makanan yang tidak
memenuhi kecukupan zat gizi, secara tidak langsung perilaku jajan tersebut
merupakan penyebab para informan menderita anemia karena kurangnya asupan
beberapa zat gizi, khususnya zat besi.
2.2 Remaja Putri
Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa
yaitu antara usia 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukan
ke masa peralihan sampai tercapainya masa dewasa, maka sulit menentukan
batasumurnya (Gunarsa, 1995).
Menurut Gunarsa (1995) istilah asing yang sering digunakan untuk
menunjukkan masa remaja antara lain :
1. Puberty (bahasa Inggris) berasal dari istilah latin pubertas yang berarti kelaki-
lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tanda kelaki-lakian.
Pubescence dari kata pubis (pubic hair) yang berarti rambut (bulu) pada daerah
kemaluan (genetal) maka pubescence berarti perubahan yang dibarengi dengan
tumbuhnya rambut pada daerah kemaluan.
2. Adolescentia berasal dari istilah latin adolescentia yang berarti masa muda
yang terjadi antara 17 – 30 tahun yang merupakan masa transisi atau peralihan
dari masa kanak-kanak menunju masa dewasa yang ditandai dengan adanya
perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial. Proses perkembangan psikis
remaja dimulai antara 12 – 22 tahun.
Pada umumnya remaja masih belajar disekolah menengah. Masa remaja
dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa remaja dan akhir masa remaja. Garis
pemisah antara awal masa dan akhir masa remaja terletak kira-kira disekitar usia
17 tahun, usia saat rata-rata setiap remaja memasuki sekolah menengah atas. Awal
9
masa remaja berlangsung kira-kira dari usia 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun,
dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu
usia matang secara hukum (Hurlock, 1994).
Sekitar 1200 juta orang atau sekitar 19 % dari populasi total remaja di
dunia menghadapi permasalahan gizi yang cukup serius yang berkaitan dengan
pertumbuhan dan perkembangan remaja serta kehidupan mereka saat dewasa
nanti. Namun, tetap saja sebagian besar permasalahan remaja, terutama pada
remaja putri sering terabaikan. Padahal masa remaja merupakan masa yang
penting dalam daur hidup manusia, karena remaja akan mengalami perkembangan
fisik, psikososial dan kognitif yang sangat cepat. Peningkatan kebutuhan zat gizi
pada masa remaja berkaitan dengan percepatan pertumbuhan yang dialaminya,
dimana zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya digunakan untuk peningkatan
berat badan dan tinggi badan yang disertai dengan meningkatnya jumlah dan
ukuran jaringan sel tubuh (WHO, 2002).
Dilihat dari siklus kehidupan, masa remaja merupakan masa yang paling
sulit untuk dilalui oleh individu. Masa ini dapat dikatakan sebagai masa yang
paling kritis bagi perkembangan pada tahap-tahap kehidupan selanjutnya.
Mengapa dikatakan demikian ini dikarenakan pada masa inilah terjadi begitu
banyak perubahan dalam diri individu baik itu perubahan fisik maupun perubahan
psikologis. Perubahan pada ciri kanak-kanak menuju kedewasaan. Pada wanita
dimulainya menstruasi atau buah dada yang membesar. Dalam kondisi berbagai
perubahan tersebut, remaja biasanya tidak mau lagi katakan sebagai kanak-kanak
namun remajapun belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa jika dilihat dari
berbagai kesiapan yang mereka miliki. Masa ini dapat dikatakan sebagai masa
yang paling kritis bagi perkembangan pada tahap-tahap kehidupan selanjutnya.
Mengapa dikatakan demikian ini dikarenakan pada masa inilah terjadi begitu
banyak perubahan dalam diri individu baik itu perubahan fisik maupun perubahan
psikologis.
10
2.3 Anemia
2.3.1 Pengertian Anemia
Anemia oleh orang awam dikenal sebagai kurang darah. Anemia adalah
suatu penyakit dimana kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal.
Anemia berbeda dengan tekanan darah rendah. Tekanan darah rendah adalah
kurangnya kemampuan otot jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh
sehingga menyebabkan kurangnya aliran darah yang sampai ke otak dan bagian
tubuh lainnya (Depkes RI, 1998).
Anemia didefinisikan suatu keadaan yang mana nilai Hb dalam darah lebih
rendah dari keadaan normal (WHO, 2001). Batas kadar normal Hb untuk
kelompok orang ditentukan menurut umur dan jenis kelamin seperti yang
diperlihatkan dalam tabel 2.1 dibawah ini :
Tabel 2.1 Batas Normal Haemoglobin Menurut Usia
Batas Normal HB Menurut Usia
Kelompok Umur Kadar HB gr/dl
Anak-anak 6 bulan-59 bulan 11
5-12 tahun 11,5
12-14 tahun 12
Dewasa Wanita 12
Wanita hamil 11
Laki-laki 13
WHO 2001
Berdasarkan etiologinya, Baldy (1992) menerangkan anemia dapat dibagi
menjadi dua. Penyebab utama adalah meningkatnya kehilangan sel darah merah dan
gangguan atau penurunan pembentukan sel. Meningkatnya kehilangan sel darah
merah dapat disebabkan oleh perdarahan dan penghancuran sel. Perdarahan dapat
disebabkan oleh trauma atau luka, perdarahan kronik karena polip pada kolon,
penyakit keganasan, hemoroid dan mensturasi yang abnormal. Etiologi yang kedua
adalah pembentukan sel darah merah yang terganggu. Setiap keadaan yang
mempengaruhi sum-sum tulang dimasukkan dalam kelompok ini, seperti:
11
1. Keganasan yang tersebar seperti kanker, obat dan zat toksik, serta radiasi.
2. Penyakit menahun melibatkan ginjal dan hati, infeksi dan difisiensi endokrin.
Kekurangan vitamin-vitamin penting seperti vitamin B12, Vitamin C, dan zat besi
juga dapat mengakibatkan pembentukan sel darah merah tidak efektif sehingga
menimbulkan anemia.
WHO (2001) menetapkan batasan prevalensi anemia yang merupakan
masalah kesehatan masyarakat dapat dilihat dalam tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2 Ketentuan Masalah Kesehatan masyarakat Berdasarkan Prevalensi Anemia
Kategori Masalah Kesehatan Masyarakat Prevalensi Anemia
Tidak masalah ≤ 4,9
Ringan 5,0 – 19,9
Sedang 20,0 – 39,9
Berat ≥ 40,0
WHO 2001
Berdasarkan batasan hemoglobin, WHO 2001 juga melakukan klasifikasi
anemia, yaitu normal atau tidak anemia, anemia ringan, anemia sedang, anemia
berat dan anemia sangat berat. Batasan haemoglobin untuk setiap klasifikasi,
dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini :
Tabel 2.3 Klasifikasi Anemia Berdasarkan Batasan Haemoglobin
Klasifikasi Anemia Batasan Haemoglobin
Normal 12-14 gr/dl
Ringan 11-11,9 gr/dl
Sedang 8-10,9 gr/dl
Berat 5-7,9 gr/dl
Sangat Berat < 5 gr/dl
WHO 2001
12
2.3.2 Gejala Anemia
Gejala anemia menurut Arisman (2004) biasanya tidak khas dan sering
tidak jelas seperti pucat, mudah lelah, jantung berdebar, dan sesak nafas.
Sedangkan menurut Depkes ((1998) dan Supariasa (2002), gejala/tanda-tanda
anemia antara lain 5 L (lelah, lesu, lemah, letih, lalai), bibir tampak pucat, nafas
pendek, lidah licin, denyut jantung meningkat, susah buang air besar, nafsu makan
berkurang, kadang-kadang pusing, dan mudah mengantuk.
2.3.3 Dampak Anemia
Proses kekurangan besi sampai terjadi anemia melalui beberapa tahap.
Awalnya terjadi penurunan cadangan besi. Bila belum juga dipenuhi dengan
masukan besi, maka lama kelamaan akan timbul gejala anemia disertai penurunan
kadar Hb.
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia terjadi pada perkembangan fisik
dan psikis yang terganggu, penurunan kerja fisik dan daya pendapatan, penurunan
daya tahan terhadap keletihan, peningkatan angka kesakita dan kematian (WHO,
1996). Anemia yang diderita oleh remaja putri dapat menyebabkan menurunnya
prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit
infeksi. Selain itu pada remaja putri yang anemia, tingkat kebugarannya pun akan
turun yang berdampak pada rendahnya produktifitas dan prestasi olahraganya dan
tidak tercapainya tinggi badan maksimal karena pada masa ini terjadi puncak
pertumbuhan tinggi badan (peak higth velcity) (Depkes, 2003).
Akibat jangka panjang dari anemia pada remaja putri adalah apabila
remaja putri hamil, maka ia tidak mampu memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi
dirinya dan juga janin dalam kandungannya. Oleh karena itu keguguran, kematian
bayi dalam kandungan, berat badan lahir rendah atau kelahiran prematur rawan
terjadi pada ibu hamil yang menderita anemia (Depkes RI, 1998).
13
2.4 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Anemia Pada Remaja Putri
Menurut Junadi (1995), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya
anemia, yaitu :
1. Sebab langsung, yaitu karena ketidak cukupan zat besi dan infeksi penyakit.
Kurangnya zat besi dalam tubuh disebabkan karena asupan makanan yang
mengandung zat besi, makanan cukup, namun bioavailabilitas rendah, serta
makanan yang mengandung zat penghambat absorpsi besi. Infeksi penyakit yang
umumnya memperbesar resiko anemia adalah cacing dan malaria.
2. Sebab tidak langsung, yaitu rendahnya perhatian keluarga terhadap wanita,
aktifitas wanita tinggi, pola distribusi makanan dalam keluarga dimana ibu dan
anak wanita tidak menjadi prioritas.
3. Sebab mendasar yaitu masalah ekonomi, antara lain rendahnya pendidikan,
rendahnya pendapatan, status sosial yang rendah dan lokasi geografis yang sulit.
Menurut Depkes (2003), penyebab anemia pada remaja putri dan wanita
adalah :
1. Pada umumnya konsumsi makanan nabati pada remaja putri dan wanita tinggi,
dibanding makanan hewani sehingga kebutuhan Fe tidak terpenuhi.
2. Sering melakukan diet (pengurangan makan) karena ingin langsing dan
mempertahankan berat badan.
3. Remaja putri dan wanita mengalami menstruasi tiap bulan yang membutuhkan zat
3 kali lebih banyak dibanding laki-laki.
Berikut terdapat tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu :
2.4.1 Kondisi ekonomi, politik dan sosial masyarakat
Krisis ekonomi, sosial dan politik yang terjadi sejak tahun 1997
merupakan akar masalah gizi. Krisis tersebut menyebabkan berkurangnya
pendapatan yang akhirnya berdampak pada turunnya daya beli masyarakat hal ini
menyebabkan turunnya konsumsi pangan masyarakat dan akhirnya status
keehatan masyarakat mengalami penurunan (Aritonang, 2002).
2.4.2 Ketersediaan pangan dalam rumah tangga
Ketersediaan pangan baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar
atau sumber lain mempengaruhi tercukupinya asupan gizi setiap anggota keluarga
14
(Soekirman, 2000). Apabila jumlah pangan dalam keluarga tidak mencukupi maka
resiko kurang gizi akan tinggi dan gangguan gizi akan meningkat. Hal ini
menyebabkan keadaan kesehatan memburuk dan produktivitas menurun (Herper,
1998).
2.4.3 Sosial Ekonomi Keluarga
Khumaidi (1989) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
melatarbelakangi tingginya prevalensi anemia gizi di negara berkembanga adalah
keadaan sosial ekonomi yang rendah yang meliputi pendidikan orang tua dan
penghasilan yang rendah serta keadaan kesehatan lingkungan yang buruk.
Menurut Suhardjo (1989) bahwa rendahnya tingkat konsumsi disebabkan oleh
pemanfaatan pangan belum optimal, distribusi makanan belum merata,
pengetahuan tentang gizi dan pangan kurang, faktor sosial ekonomi seperti tingkat
pendidikan rendah, besar keluarga tinggi, tingkat pengetahuan rendah serta faktor
budaya setempat yang tidak mendukung antara lain masih terdapat pantangan,
tahayul, tabu dalam masyarakat.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu sangat berpengaruh terhadap
kualitas zat-zat yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi berkembang secara bermakna
dengan sikap positis terhadap perencanaan dan persiapan makanan. Semakin
tinggi pengetahuan ibu maka semakin positif sikap ibu terhadap gizi makanan
sehingga makin baik pula konsumsi energi, proten, dan besi keluarganya (Birowo,
1989).
Menurut Sariningrum (1990), ada dua kemungkinan hubungan tingkat
pendidikan orang tua dengan makanan dalam keluarga, yaitu :
1. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga secara langsung maupun tidak
langsung menentukan kondisi ekonomi rumah tangga, yang pada akhirnya
mempengaruhi konsumsi keluarga.
2. Pendidikan istri, disamping merupakan modal utama dalam menunjang
perekonomian keluarga juga berperan dalam penyusunan pola makan
keluarga.
15
2.4.4 Pengetahuan dan Sikap
Notoatmodjo (1993) menyatakan bahwa hubungan konsep pengetahuan
sikap dan perilaku dalam kaitannya dengan suatu kegiatan tidak dapat dipisahkan.
Adanya pengetahuan baru akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap
terhadap objek yang diketahuinya. Pengetahuan merupakan resultan dari akibat
proses penginderaan terhadap suatu objek penginderaan tersebut sebagian besar
dari penglihatan dan pendengaran. Pengukuran atau penilaian pengetahuan pada
umumnya dilakukan melalui test atau wawancara dengan alat bantu kuesioner
berisi materi yang ingin diukur dari responden.
2.4.5 Konsumsi pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis
pangan yang dikonsumsi dalam jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam
menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan
jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Pangan sebagai sumber berbagai zat
gizi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari. Pangan sumber zat
besi heme, yang biovabilitasnya timggi, sangat jarang dikonsumsi oleh
masyarakat di negara berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi
mereka dari produk nabati. Di Indonesia, ketidak cukupan jumlah Fe dalam
makanan terjadi karena pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih
didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang sulit diserap. Sementara itu,
daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron)
jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Depkes, 1998).
Menurut Almaitsier (2001) diperkirakan hanya 5-15 % besi makanan
diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik dan jika dalam
keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50 %. Faktor bentuk besi
berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan
hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi non heme.
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam hemoglobin
dan mioglobin makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan nabati).
16
Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Asam fitat
yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat
penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil
olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan besipun biasanya akan
positif. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan zat besi yang tinggi
sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan cadangan zat besi di
dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam oksalat yang
dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif lebih
kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat dalam teh
dan kopi (Almatsier 2001).
Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor
pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen
tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan (WHO 2001).
Menurut FAO/WHO (2001), faktor pendorong penyerapan zat besi
diantaranya :
a. Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan, dan seafood
b. Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan
c. Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap
Sedangkan faktor penghambat penyerapan zat besi :
a. Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan
b. Makanan dengan kandungan inositol tinggi
c. Protein di dalam kedelai
d. Besi yang terikat phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu (seperti
oregano)
e. Kalsium, terutama dari susu dan produk susu
Sumber baik zat besi berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas,
dan ikan karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier 2001).
Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat Fish,
Poultry Factor (MFP Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi. Hasil
pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteine dalam
jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan membantu
17
penyerapannya (Groff & Gropper 2000 dalam Puri 2007). Konsumsi pangan yang
rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam
tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan yang dapat menghambat penyerapan
besi dan rendahnya konsumsi pangan yang dapat membantu penyerapan besi di
dalam tubuh juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam tubuh.
Jika hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka dapat
menyebabkan defisiensi besi (Almatsier2001).
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi
pangan adalah metode frekuensi pangan . Metode frekuensi makanan adalah
untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau
makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun.
Selain itu dengan metode frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola
konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatannya
lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi
zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi
(Supariasa, 2001).
a. Makanan sumber heme
Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh
karena itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi
terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di samping itu makanan yang
tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak mengandung zat besi.
Transferin adalah suatu glikoprotein yang disintesis di hati. Protein ini
berperan sentral dalam metabolisme besi tubuh sebab transferin mengangkut besi
dalam sirkulasi ke tempat – tempat yang membutuhkan besi, seperti dari usus ke
sumsum tulang untuk membentuk hemoglobin yang baru. Feritin adalah protein
lain yang penting dalam metabolisme besi. Pada kondisi normal, feritin meyimpan
besi yang dapat diambil kembali untuk digunakan sesuai kebutuhan.
Tingkat konsumsi protein perlu diperhatikan karena semakin rendah
tingkat konsumsi protein maka semakin cenderung untuk menderita anemia. Hal
ini dapat dijelaskan, hemoglobin yang diukur untuk menentukan status anemia
18
seseorang merupakan pigmen darah yang berwarna merah berfungsi sebagai
pengangkut oksigen dan karbondioksida adalah ikatan protein globin dan heme.
Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai faktor
utama pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2004).
b. Sumber non heme
1) Lauk nabati
Zat besi non heme lebih sulit diserap dan penyerapannya sangat tergantung
pada zat makanan lainnya baik secara positif maupun negative. Sumber besi non
heme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Asam fitat yang terkandung
dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat penyerapan besi. Namun
karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi,
hasil akhir terhadap penyerapan besipun biasanya positif (Almaitser 2001).
2) Konsumsi Sayuran
Sayuran yang merupakan sumber besi non heme memiliki derajat absorpsi
besi sangat bervariasi dan sangat tergantung pada kualitas dan diversifikasi menu
makanan. Nonheme yaitu senyawa besi anorganik kompleks dan terdapat di dalam
bahan makanan nabati hanya dapat diabsorbsi sebanyak 5%. Besi nonheme
absorbsinya dapat ditingkatkan apabila terdapat kadar vitamin C yang cukup.
Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi besi nonheme sampai empat kali lipat.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa absorpsi besi yang efektif dan
efisien memerlukan suasana asam dan adanya reduktor, seperti vitamin C.
(Almaitser, 2001).
Vitamin A dan Vitamin C yang terdapat dalam sumber non heme (buah-
buahan) dapat membantu penyerapan besi. Vitamin A merupakan vitamin larut
lemak yang dapat membantu absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan
eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan membuat simpanan besi tidak dapat
dimanfaatkan untuk proses eritropoesis. Selain itu, Vitamin A dan β-karoten akan
membentuk suatu kompeks dengan besi untuk membuat besi tetap larut dalam
lumen usus sehingga absorbsi besi dapat terbantu.
Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi non heme sampai empat
kali lipat, yaitu dengan merubah besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga
19
mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar
dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Vitamin C pada umumnya
hanya terdapat pada pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam
seperti jeruk, nenas, rambutan, papaya, gandaria, dan tomat (Almatsier, 2001).
Oleh karena itu, kekurangan vitamin C dapat menghambat proses absorpsi besi
sehingga lebih mudah terjadi anemia. Selain itu, vitamin C dapat menghambat
pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika
diperlukan. Vitamin C juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin
di dalam plasma ke feritin hati.
c. Kebiasaan mengkonsumsi teh/kopi
Minum teh paling tidak sejam sebelum atau setelah makan akan
mengurangi daya serap sel darah terhadap zat besi 64 persen. Pengurangan daya
serap akibat teh ini lebih tinggi daripada akibat sama yang ditimbulkan oleh
konsumsi segelas kopi usai makan. Kopi, mengurangi daya serap hanya 39 persen.
Pada teh, pengurangan daya serap zat besi itu diakibatkan oleh zat tanin. Selain
mengandung tanin, teh juga mengandung beberapa zat, antara lain kafein,
polifenol, albumin, dan vitamin. Tanin bisa mempengaruhi penyerapan zat besi
dari makanan terutama yang masuk kategori heme non-iron. Remaja putri yang
memiliki kebiasaan minum teh/kopi > 1 gelas/hari memiliki resiko 2,023
menderita anemia dibandingkan dengan remaja putri yang mengkonsumsi teh < 1
gelas/hari (Satyaningsih, 2007).
Kebiasaan minum teh sudah menjadi budaya bagi penduduk dunia. Selain
air putih, teh merupakan minuman paling banyak yang dikonsumsi manusia. Rata-
rata konsumsi teh penduduk dunia adalah 120 mL/hari per kapita. Tannin yang
merupakan polifenol dan terdapat dalam teh, kopi, dan beberapa jenis sayuran dan
buah menghambat absorbsi besi dengan cara mengikatnya. Bila besi tubuh tidak
terlalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau kopi waktu makan (Almatsier,
2001).
20
2.4.6 Kebiasaan Makan
Pada umunya remaja lebih suka makan makanan jajanan yang kurang
bergizi seperti goreng-gorengan, coklat, permen, dan es. Sehingga makanan yang
beraneka ragam tidak dikonsumsi. Remaja sering makan diluar rumah bersama
teman-teman, sehingga waktu makan tidak teratur, akibatnya mengganggu sistem
pencernaan. Selain itu, remaja sering tidak makan pagi karena tergesa-gesa
beraktifitas sehingga mengalami lapar dan lemas, kemampuan menangkap
pelajaran menurun, semangat belajar menurun, keluar keringat dingin, kesadaran
menurun sampai dengan pingsan (Proverawati, 2009).
Remaja putri sering menghindari beberapa jenis bahan makanan seperti
telur dan susu. Susu dianggap minuman anak-anak atau dihubungkan dengan
kegemukan. Akibatnya akan kekurangan protein hewani, sehingga tidak dapat
tumbuh atau mencapai tinggi secara optimal. Kadang standar langsing tidak jelas
untuk remaja. Banyak remaja putri menganggap dirinya kelebihan berat badan
atau mudah menjadi gemuk sehingga sering diet dengan cara yang kurang benar
seperti membatasi atau mengurangi frekuensi makan dan jumlah makan,
memuntahkan makanan yang sering dimakan, sehingga lama-lama tidak ada nafsu
makan yang sangat membahayakan bagi remaja (Proverawati, 2009).
Kebiasaan makan antara lain :
a. Frekuensi makan
Kebiasaan makan 3 x/hari adalah kebiasaan makan yang baik karena
dengan frekuensi makan yang makin sering diharapkan akan semakin besar
kemungkinan terpenuhinya kebutuhan gizi. Frekuensi makan 2 x/hari atau kurang
akan berdampak kurang baik karena semakin besar kemungkinan tidak
terpenuhinya kebutuhan gizi (Pergizi, 2008).
b. Kebiasaan sarapan pagi
Makan/sarapan pagi yaitu : makanan yang dimakan sebelum beraktifitas,
yang terdiri dari makanan pokok dan lauk pauk atau makanan kudapan. jumlah
yang dimakan kurang lebih 1/3 dari makanan sehari.
Arisman (2002) mengatakan hampir 50 % remaja terutama remaja yang
lebih tua, tidak sarapan. Penelitian lain membuktikan masih banyak remaja
21
sebesar 89% yang meyakini kalau sarapan memang penting, namun yang sarapan
secara teratur hanya 60%. Remaja putri malah melewatkan dua kali waktu makan,
dan lebih memilih kudapan.
c. Kebiasaan diet
Kebiasaan makan yang kurang baik pada remaja dan keinginan untuk
terlihat langsing, khususnya pada remaja putri seringkali menimbulkan gangguan
makan (eating disorder). Gangguan pola makan yang umum diderita khususnya
oleh remaja putri adalah bulimia dan anorexsia nervosa. Pada masa remaja
banyak anak, khususnya remaja putri, dengan berat badan normal tidak puas
dengan bentuk dan berat badannya dan ingin menjadi lebih kurus. Pada remaja
putri ini pada umumnya ingin mempunyai bentuk badan yang lebih langsing,
ramping dan menarik. Untuk mencapai hal tersebut mereka tidak segan-segan
melakukan hal-hal yang justru tidak mereka sadari dapat membahayakan diri dan
kesehatannya. Agar tampak langsing dan menarik mereka tidak mau makan pagi,
mengurangi frekuensi makan bahkan melakukan diet yang berlebihan (Gunawan,
1997).
d. Kebiasaan melakukan pantangan makan
Permaesih (2003) menyatakan bahwa pengetahuan dan praktek gizi remaja
yang rendah tercermin dari perilaku menyimpang dari kebiasaan memilih
makanan. sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan dan selanjutnya akan
berpengaruh terhadap keadaan gizi individu yang bersangkutan termasuk status
anemia (Saraswati, 1997).
Remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk tubuh, sehingga
banyak yang membatasi konsumsi makanan dan banyak pantangan terhadap
makanan. Bila asupan makanan kurang maka cadangan besi banyak yang
dibongkar. Keadaan seperti ini dapat mempercepat terjadinya anemia.
2.4.7 Status Kesehatan
1. Indeks Massa Tubuh
Status gizi merupakan cerminan kecukupan konsumsi zat gizi masa-masa
sebelumnya yang berarti bahwa status gizi saat ini merupakan hasil kumulasi
22
konsumsi makanan sebelumnya Salah satu pengukuran antropometri untuk
mengetahui keadaan gizi adalah dengan mengukur berat badan (BB) dan tinggi
badan (TB) dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu hasil
pembagian BB dalam kg dengan kuadrat TB dalam satuan m2 (BB/TB2).
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana untuk memantau
status gizi khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat
badan (Supariasa dkk, 2002).
2. Pola menstruasi
Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa pertumbuhan
yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Selain itu pada masa
remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah perdarahan
secara periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan endometrium. Lama
menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan ada yang 1-2 hari. Beberapa faktor
yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi yaitu faktor stres, perubahan
berat badan, olahraga yang berlebihan, dan keluhan menstruasi. Panjang daur
dapat bervariasi pada satu wanita selama saat-saat yang berbeda dalam
hidupnya (Affandi 1990).
Menstruasi adalah suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak faktor
antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari permukaan
laut. Faktor lain yang penting adalah faktor sosial misalnya status perkawinan
dan lamanya menstruasi ibu. Usia dan ovulasi mempengaruhi lamanya
menstruasi. Rata-rata lama perdarahan pada kebanyakan wanita setiap periode
kurang lebih tetap (Affandi 1990).
Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini
menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu
komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Semakin lama menstruasi
berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut
mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam
tubuh terganggu (Depkes 1998).
23
3. Infeksi
Kehilangan besi dapat pula diakibatkan oleh infestasi parasit seperti cacing
tambang, Schistosoma, dan mungkin pula Trichuris trichiura. Hal ini lazim
terjadi di negara tropis, lembab serta keadaan sanitasi yang buruk (Arisman,
2004). Penyakit kronis seperti tuberkulosis (TBC), Infeksi Saluran Pernapasan
Atas (ISPA), diare serta kehilangan darah karena infeksi parasit (malaria dan
kecacingan) akan memperberat anemia (Depkes RI, 1998).
2.5 Kerangka Konseptual
Keterangan :
: Diteliti : Tidak diteliti
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Gambaran Perilaku Konsumsi Makanan dan
Kejadian Anemia Pada Remaja Putri
Secara umum anemia disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi, politik dan
sosial budaya sehingga mempengaruhi ketersediaan pangan rumah tangga dan
pengetahuan serta sikap remaja putri. Sikap remaja putri yang mepengaruhi
Politik
Ketersediaan
Pangan
Pengetahuan
Sosial
Sikap
1. Perilaku konsumsi pangan
a. Sumber heme
b. Sumber non heme
- Lauk nabati
- Sayuran
- Buah-buahan
c. Minuman
2. Kebiasaan makan
a. Frekuansi makan
b. Kebiasaan makan
pagi
c. Kebiasaan diet
d. Makanan pantangan
Status
Anemia
Status kesehatan :
1. 1. Indeks Massa tubuh
2. 2. Pola haid/mentruasi
3. 3. Infeksi
Malaria, Ispa, TBC,
diare, Cacingan dan
perdarahan
24
terjadinya anemia adalah frekuensi makan, kebiasaan makan pagi, kebiasaan diet
maupun pantangan makanan dan konsumsi pangan dimana konsumsi pangan
terbagi menjadi faktor yang mempengaruhi dan faktor yang menghambat
penyerapan zat besi (Arisman, 2009).
25
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan
dan kegunaan tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut terdapat empat hal yang
perlu dipahami yaitu : cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan (Sugiyono, 2010).
Jenis penelitian adalah menjelaskan penelitian yang diusulkan tersebut
termasuk ke dalam jenis atau metode yang mana tentang yang diusulkan tersebut
(Notoatmodjo, 2010).
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. Menurut Nursalam
(2011) penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk
mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada
masa kini. Deskripsi peristiwa dilakukan secara sistematis dan lebih menekankan
pada data faktual daripada penyimpulan. Fenomena disajikan secara apa adanya
tanpa manipulasi dan peneliti tidak mencoba menganalisis bagaimana dan
mengapa fenomena tersebut terjadi. Oleh karena itu penelitian jenis ini tidak
memerlukan adanya suatu hipotesis.
Dalam penelitian ini peneliti hendak mendiskripsikan pola konsumsi
pangan, kebiasaan makan dan status anemia pada remaja putri di Akbid
Muhammadiyah Madiun.
3.2 Kerangka Kerja Penelitian
Kerangka kerja penelitian pada dasarnya merupakan strategi untuk
mendapatkan data yang dibutuhkan untuk keperluan pengujian hipotesis atau
untuk menjawab pertanyaan penelitian serta sebagai alat untuk mengontrol atau
mengendalikan pelbagai variabel yang berpengaruh dalam penelitian. Dengan
demikian, kerangka kerja penelitian pada hakikatnya merupakan suatu strategi
untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai
pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian (Nursalam, 2011).
26
Gambar 3.1 Kerangka Kerja PenelitianGambaran Perilaku Konsumsi Makanan
dan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri
POPULASI
Mahasiswa semester III sebanyak 100 orang di AKBID
Muhammadiyah Madiun Tahun 2015
Perilaku Konsumsi Makanan
Dengan kuesioner
Pengolahan Data
Editing, Coding, Scoring, Tabulating, Analizing
Sampel
Mahasiswa semester III sebanyak 80 orang di AKBID
Muhammadiyah Madiun
Tahun 2013
Kejadian Anemia
Screening HB
Analisa data distribusi frekuensi
Penyusunan laporan
Kesimpulan dan Saran
Pengumpulan Data
Publikasi
27
3.3 Populasi, Sampel, dan Tehnik Sampling
3.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011).
Populasi dalam penelitian ini adalah semester III AKBID Muhammadiyah
Madiun Tahun 2015, dengan besar populasi 100 orang.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang
ada pada populsai, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka
peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang
dipelajari dari sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif
(mewakili) (Sugiyono, 2010). Karena keterbatasan waktu dan dana maka
pengambilan sampel pada penelitian ini adalah sesuai dengan kriteria populasi.
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2011). Kriteria
inklusi dalam penelitian ini adalah :
1. Mahasiswa tingkat I yang bersedia menjadi responden.
2. Mahasiswa tingkat I yang tidak dalam keadaan menstruasi.
3. Mahasiswa tingkat I yang dalam keadaan sehat.
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subyek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi karena pelbagai sebab (Nursalam, 2011).
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1. Mahasiswa tingkat II dan tingkat III.
2. Mahasiswa tingkat I yang dalam keadaan menstruasi.
3. Mahasiswa tingkat I yang menderita penyakit infeksi 3 bulan terakhir.
28
Besar sample dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut:
n = N
1 + N (d)2
Keterangan :
n = Besar sample
N = Besar populasi
d = Tingkat signifikansi/ tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (0,05)
Dalam penelitian ini besar populasi adalah 100 orang maka besar
samplenya adalah sebagai berikut :
n = N
1 + N (d)2
n = 100
1 + 100 (0,05)2
n = 100
1,25
n = 80
Jadi besar sample yang diperoleh adalah 80 orang
3.3.3 Tehnik Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat
mewakili populasi. Tehnik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam
pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan
keseluruhan subjek penelitian.
Dalam penelitian ini menggunakan tehnik sampling simple random
sampling. Dengan cara menggunakan lotre, setiap populasi akan mengambil lotre
dengan no 1 sampai dengan 100, Sample ditentukan dengan menentukan anggota
populasi yang mendapat angka 1-40 dan 50-90 akan dijadikan sample dalam
penelitian.
29
3.4 Variabel Penelitian
Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda
terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain( (Soeparto, dkk , 2000 dalam
Nursalam, 2011). Dalam riset, variabel dikarakteristikan sebagai derajat, jumlah,
dan perbedaan. Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Kebiasaan makan yang terdiri dari beberapa sub variabel, yaitu
a. Frekuensi makan
b. Kebiasaan sarapan
c. Kebiasaan diet
d. Pantangan makan
2. Konsumsi pangan terdiri dari beberapa sub variabel, yaitu :
a. Sumber heme
b. Sumber Non heme
c. Minuman
3. Status Anemia
3.5 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah unsur penelitian yang mengungkapkan
bagaimana mangukur suatu variable (Arikunto, 2006). Definisi operasional dalam
penelitian ini ditampilkan pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Parameter Alat ukur Skala Hasil Ukur
1. Kebiasaan
makan
Kebiasaan
makan yang
dilakukan
responden
meliputi
frekuensi
makan,
kebiasaan
sarapan pagi,
kebiasaan diet
dan makanan
pantangan
Kuesioner Ordinal 1. Frekuensi
makan
a. ≥ 3 kali
b. < 3 kali
c. Tidak tentu
2. Kebiasaan
sarapan
a. Setiap hari
b. Kadang-
kadang
c. Tidak pernah
3. Kebiasaan diet
30
a. Ya
b. Tidak
4. Pantangan
makan
a. Ya
b. Tidak
2. Konsumsi
pangan
Konsumsi
Pangan yang
dilakukan
responden:
1 Sumber
heme
2 Sumber
non heme
a. Lauk
nabati
b. Sayuran
c. Buah-
Buahan
1. Minuman
Kuesioner Ordinal 1. Tidak pernah
2. < 3 kali
3. 3-6 kali
4. Setiap hari
3. Status
anemia
Kejadian
anemia pada
responden
yang
diperoleh
datanya dari
pemeriksaan
Hb
Haemometer
digital dengan
merk Nesco
Nominal 2. ≥ 12 gr/dl
tidak anemia
3. < 12 gr/dl
anemia
3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di AKBID Muhammadiyah Madiun, pada bulan
September 2015.
3.7 Metode Pengumpulan Data
3.7.1 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini instrumen
penelitian yang digunakan adalah kuesioner dan Haemometer digital dengan
merek Nesco
31
3.7.2 Tehnik pengumpulan data
Terdapat dua hal yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian, yaitu:
kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Kualitas instrumen
penelitian dan kualitas pengumpulan data berkenaan dengan ketetapan cara-cara
yang digunakan untuk mengumpulkan data. Oleh karena itu instrumen yang telah
teruji validitas dan reliabilitasnya, belum tentu untuk menghasilkan data yang
valid dan reliabel, apabila instrument tersebut tidak digunakan secara tepat dalam
pengumpulan datanya (Sugiyono, 2005).
Cara pengumpulan data pada penelitian adalah dengan menggunakan data
primer. Data primer meliputi kejadian anemia dan perilaku konsumsi makanan
remaja putri. Perilaku konsumsi remaja putri meliputi kebiasaan makan (frekuensi
makan, kebiasaan sarapan/makan pagi, kebiasaan diet, dan makanan pantangan)
dan frekuensi konsumsi pangan (makanan heme, non heme, makanan jajanan,
minuman dan suplemen) . Data kebiasaan makan dikumpulkan melalui
wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Data tentang konsumsi
pangan dikumpulkan dengan menggunakan recall frekeunsi konsumsi makan
selama 1 minggu. Cara pengumpulan data kejadian anemia melalui pemeriksaan
kadar Hb darah dilakukan dengan melakukan pengukuran menggunakan
haemometer.
Tahap pengumpulan data
1. Tahap persiapan
Mengurus perizinan kepada pemimpin Direktur Akademi Kebidanan
Muhammadiyah Madiun Melakukan survey pendahuluan.
2. Tahap pelaksanaan :
a. Menyerahkan surat izin penelitian.
b. Menetapkan sampel penelitian.
c. Penyebaran kuesioner sekalian pengumpulan kuesioner.
d. Pemeriksaan Hb dengan haemometer.
e. Memproses dan menganalisa.
32
3. Akhir
Setelah data terkumpul dilakukan tabulasi selanjutnya dilakukan pengolahan
dan analisa data.
3.7.3 Cara perhitungan
Cara perhitungan dilakukan secara manual, dengan menggunakan rumus :
P = α x 100 %
B
Keterangan :
P = Presentase
α = Jumlah penderita anemia
b = Jumlah seluruh sample
3.8 Analisa Data
Setelah data terkumpul melalui kuesioner dan pemeriksaan Hb, maka
dilakukan tahap pengolahan data yang melalui tahap berikut :
1. Editing
Pada tahap ini penulis melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh
kemudian diteliti apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam pengisiannya.
Pada tahap editing kita mengedit data yang masuk. Apabila ada data yang
kurang memenuhi syarat maka akan dilakukan pengukuran ulang untuk
kemudian diedit ulang. Pada penelitian ini data yang masuk diedit supaya
data yang masuk menjadi benar dan lengkap, editing yang dilakukan yaitu
dengan cara mengecek kembali apakah semua pertanyaan sudah terjawab atau
terisi oleh responden dan apakah semua responden sudah dilakukan
pemeriksaan Hb.
33
2. Coding
Setelah dilakukan editing selanjutnya penulis memberikan kode tiap-tiap
data sehingga memudahkan dalam melakukan analisa data. Hal ini dimaks
udkan untuk mempermudah dalam melakukan tabulasi dan analisis data.
Coding yang diterapkan dalam penelitian ini adalah:
a. Kebiasaan makan
1. Frekuensi makan
Kode 1 bila frekuensi makan ≥ 3 kali perhari
Kode 2 bila frekuensi makan < 3 kali perhari
Kode 3 bila frekuensi makan tidak tentu perhari
2. Kebiasaan sarapan/makan pagi
Kode 1 bila setiap hari
Kode 2 bila kadang-kadang
Kode 3 tidak pernah
3. Kebiasaan diet
Kode 1 bila tidak melakukan diet
Kode 2 bila melakukan diet
4. Kebiasaan melakukan pantangan makanan
Kode 1 bila tidak melakukan pantangan makan
Kode 2 bila melakukan pantangan makan
b. Frekuensi konsumsi pangan
Kode 1 bila Tidak pernah
Kode 2 bila jarang yaitu frekuensi makan kurang dari 3 kali dalam
seminggu
Kode 3 bila kadang-kadang yaitu frekuensi makan antara 3-6 kali dalam
seminggu
Kode 4 bila dilakukan setiap hari
c. Status Anemia
Kode 1 Tidak anemia
Kode 2 Anemia
34
5. Tabulasi
Kegiatan tabulasi adalah memberikan skor item-item yang perlu diberi skor,
memberikan kode terhadap item-item yang tidak diberi skor, mengubah jenis
data yang disesuaikan dengan teknik analisis yang akan digunakan serta
memberikan kode dalam hubungan dengan pengolahan data (Arikunto, 2002)
Pada tahap ini jawaban responden yang sama dikelompokkan dengan teliti
dan teratur, lalu dihitung, dan dijumlahkan. Contoh table dilampirkan pada
lampiran ke 4.
6. Analisis
Analisis data dilakukan secara manual dengan tabel distribusi frekuensi
kemudian diolah secara manual dan dibuat menjadi beberapa diagram pie dan
diagram batang.
3.9 Etika penelitian
1. Informed Consent
Diberikan pada subjek yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dan
tujuan riset yang diadakan serta dampak yang mungkin terjadi selama dan
sesudah pengumpulan data. Jika responden tidak bersedia diteliti maka
peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati.
2. Anonimity
Untuk menjaga kerahasian responden, peneliti tidak mencantumkan
responden pada lembar kuesioner yang diteliti hanya diberi kode tertentu.
3. Confidentiality
Keberhasilan informed consent yang telah dikumpulkan responden dijaga
keberhasilannya oleh peneliti. Data tersebut hanya saja disajikan dan
dilaporkan kepada beberapa kelompok yang berhubungan dengan
penelitian.
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas hasil penelitian tentang gambaran perilaku
konsumsi makanan dan kejadian anemia pada remaja putri di AKBID
Muhammadiyah Madiun. Dalam penelitian ini besar sample sebanyak 80 orang
responden. Hasil penelitian ini terdiri data umum yang meliputi umur responden
yang dihitung dengan menggunakan persentase serta data khusus yang terdiri dari:
Status anemia (kadar haemoglobin), frekuensi makan dalam sehari, kebiasaan
sarapan pagi, kebiasaan diet, Frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi (heme
dan non heme), kebiasaan mengkonsumsi teh/kopi, dan kebiasaan mengkonsumsi
suplemen (Fe). Penelitian mulai dilakukan pada tanggal 17 Nopember 2015
dengan membagi kuesioner recall frekuensi konsumsi pangan selama 1 minggu
dan pengumpulan data serta pemeriksaan haemoglobin pada tanggal 24 Nopember
2015.
3.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 Nopember 2015 dengan
membagikan kuesioner recall frekuensi konsumsi pangan selama 1 minggu dan
pengumpulan data serta pemeriksaan Haemoglobin pada tanggal 24 Nopember
2015.
Berikut ini hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang meliputi data
umum dan data khusus.
3.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di AKBID Muhammadiyah Madiun. Batas-batas
sekolah, Sebelah timur berbatasan langsung dengan Jalan Raya Ring Road,
Sebelah barat berbatasan dengan Perkampungan Kelurahan Ngegong, Sebelah
selatan berbatasan dengan Perkampungan Kelurahan Ngegong dan sebelah utara
berbatasan dengan Perkampungan Kelurahan Ngegong.
AKBID Muhammadiyah Madiun merupakan sekolah diploma kebidanan
yang dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang pesat. Jumlah
36
keseluruhan siswa ± 200 siswa. AKBID Muhammadiyah Madiun Merupakan
bagian integral dari sistem pendidikan nasional yang diharapkan dapat melahirkan
sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu menjadi kompetitor di era
globalisasi.
3.1.2 Karakteristik Responden Menurut Usia
Usia responden
19
20
21
18(26,25)12
(15%)
57 (71,25 %)
Gambar 4.1 Distribusi frekuensi Usia Responden
Dari gambar 4.1 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar remaja putri
berusia 20 tahun.
3.1.3 Data Khusus
Setelah mengetahui data umum dalam penelitian ini maka berikut ini akan
dibahas hasil penelitian terkait dengan data khusus yang meliputi Status anemia
(kadar haemoglobin), frekuensi makan dalam sehari, kebiasaan sarapan pagi,
kebiasaan diet, Frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi (heme dan non
heme), kebiasaan mengkonsumsi teh/kopi, dan kebiasaan mengkonsumsi
suplemen (Fe).
37
1. Kebiasaan makan
a. Frekuensi makan
Gambar 4.2 Distribusi Frekuensi Makan
Dari gambar 4.2 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar remaja putri
memiliki frekuensi makan ≥ 3 x/hari.
38
Gambar 4.3 Distribusi Frekuensi Makan Kelompok Remaja Putri Yang
Menderita Anemia
Dari gambar 4.3 Kelompok remaja putri dengan frekuensi makan tidak
tentu yang mengalami anemia adalah 13 responden (44,82%).
Gambar 4.4 Distribusi Silang Frekuensi Makan Kelompok Remaja Putri
Yang Menderita Anemia dan Yang Tidak menderita Anemia.
Berdasarkan gambar 4.4 dapat disimpulkan bahwa kelompok remaja putri
dengan frekuensi makan < 3 x/hari yang mengalami anemia adalah 11,25% dan
kelompok remaja putri dengan frekuensi makan tidak tentu yang mengalami
anemia adalah 12,5%.
39
b. Kebiasaan sarapan pagi
Gambar 4.5 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Sarapan Pagi
Dari gambar 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri
memiliki kebiasaan sarapan pagi yakni sebesar 52,5 % (42 responden).
Gambar 4.6 Distribusi Frekuensi Sarapan Pagi Remaja Putri Yang
Menderita Anemia
Dari gambar 4.6 menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri dengan
anemia tidak memiliki kebiasaan sarapan pagi yakni sebesar 44,82% (13
responden).
40
Gambar 4.7 Distribusi Silang Frekuensi Sarapan Pagi Kelompok Remaja
Putri Yang Menderita Anemia dan Yang Tidak menderita
Anemia.
Dari gambar 4.7 kelompok remaja putri yang melakukan kebiasaan
sarapan pagi secara rutin yang mengalami anemia hanya 8,75 %.
c. Kebiasaan diet
Gambar 4.8 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Diet
Berdasarkan gambar 4.8 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar remaja
putri tidak melakukan diet yaitu sebesar 75 % (60 responden).
41
Gambar 4.9 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Diet Remaja Putri Dengan
Anemia
Gambar 4.9 Menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri yang
menderita anemia tidak melakukan diet yaitu sebesar 55,17% atau sebanyak 16
responden.
Gambar 4.10 Distribusi Silang Frekuensi Kebiasaan Diet Remaja Putri
Dengan Anemia Dan Remaja Putri Tidak Anemia
Berdasarkan gambar 4.10 presentase remaja putri yang melakukan diet
memiliki angka kejadian anemia yang lebih besar yakni 16,25 %.
42
d. Kebiasaan Melakukan Pantangan Makanan
Gambar 4.11 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Pantangan Makanan
Berdasarkan gambar 4.11 Sebagian besar remaja putri tidak melakukan
pantangan terhadap makanan yakni 80 % (64 responden).
Gambar 4.12 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Pantangan Makanan Remaja
Putri Dengan Anemia
Dari gambar 4.12 dapat disimpulkan bahwa remaja putri yang menderita
anemia sebagian besar tidak melakukan pantangan terhadap makanan yaitu
sebanyak 16 responden atau 55,1%.
43
Gambar 4.13 Distribusi Silang Frekuensi Kebiasaan Melakukan Pantangan
Makanan Remaja Putri Dengan Anemia Dan Remaja Putri
Tidak Anemia
Berdasarkan gambar 4.13 presentase remaja putri yang melakukan diet
memiliki angka kejadian anemia yang lebih besar yakni 16,25 %.
2. Frekuensi konsumsi pangan
Dalam penelitian ini frekuensi konsumsi pangan didapatkan dari hasil
recall frekuensi konsumsi pangan selama satu minggu dan didapatkan data
sebagai berikut :
a. Makanan sumber Heme (Hewani)
44
Gambar 4.14 Distribusi Frekuensi Konsumsi Sumber Heme
Dari Gambar 4.14 menunjukkan bahwa sumber heme dikonsumsi remaja
putri paling sering berkisar antara 3-6 x/minggu dengan presentase 60 % (48
responden).
Gambar 4.15 Distribusi Frekuensi Konsumsi Sumber Heme Remaja Putri
Dengan Anemia.
45
Gambar 4.15 menunjukkan bahwa remaja putri yang menderita anemia
memiliki frekuensi makan sumber heme berkisar antara 3-6 x/minggu sebanyak
15 responden (51,71 %).
Gambar 4.16 Distribusi Silang Frekuensi Konsumsi Sumber Heme Remaja
Putri Dengan Anemia Dan Remaja Putri Tidak Anemia
Gambar 4.16 Menunjukkan bahwa remaja putri dengan frekuensi makan <
3 x/minggu dan 3-6 x/minggu yang mengalami anemia hanya 11,25 % dan 18,75
% sedangkan remaja putri yang mengkonsumsi sumber heme dengan frekuensi 3-
6 x/minggu tidak menderita anemia sebanyak 64,7 %.
b. Makanan Sumber Non Heme
1) Lauk Nabati
46
Gambar 4.17 Distribusi Frekuensi Konsumsi Sumber Non Heme (Lauk
Nabati)
Dari gambar 4.17 menunjukkan frekuensi konsumsi lauk nabati Paling
banyak dikonsumsi remaja putri dengan frekuensi makan 3-6 x/minggu yaitu
sebesar 70 % (56 responden).
Gambar 4.18 Distribusi Frekuensi Konsumsi Sumber Non Heme (Lauk
Nabati) Remaja Putri Dengan Anemia
Dari Gambar 4.18 menunjukkan frekuensi konsumsi lauk nabati pada
remaja putri paling banyak dikonsumsi dalam rentang frekuensi 3-6 x/minggu
dengan besar responden 20 responden atau 68,97 %.
47
Gambar 4.19 Distribusi Silang Frekuensi Konsumsi Sumber Non Heme
(Lauk Nabati) Remaja Putri Dengan Anemia Dan Remaja
Putri Tidak Anemia
Dari Gambar 4.19 remaja putri dengan frekuensi konsumsi sumber non
heme (lauk nabati) setiap hari dengan anemia hanya 7 %.
2) Sayuran
Gambar 4.20 Distribusi Frekuensi Konsumsi Sumber Non Heme (Sayuran)
Dari gambar 4.20 dapat disimpulkan frekuensi konsumsi sayuran yang
dilakukan remaja putri adalah mengkonsumsi setiap hari yaitu sebanyak 77,5 %
(62 responden).
48
Gambar 4.21 Distribusi Frekuensi Konsumsi Sumber Non Heme (Sayuran)
Remaja Putri Dengan Anemia
Gambar 4.21 menunjukkan bahwa kelompok remaja putri yang memiliki
frekuensi makan sayuran setiap hari yang mengalami anemia adalah 21 responden
(72,41%).
Gambar 4.22 Distribusi Silang Frekuensi Konsumsi Sumber Non Heme
(Sayuran) Remaja Putri Dengan Anemia Dan Remaja Putri
Tidak Anemia
Dari gambar 4.22 menunjukkan kelompok remaja putri yang tidak pernah
mengkonsumsi sayuran yang menderita anemia hanya 2,5 % dibandingkan dengan
yang tidak menderita anemia 3,75%.
3) Konsumsi Buah-Buahan
49
Gambar 4.23 Distribusi Frekuensi Konsumsi Sumber Non Heme (Buah-
Buahan)
Dari gambar 4.23 menunjukkan bahwa sebagian remaja putri
mengkonsumsi buah-buahan dalam frekuensi yang rendah yaitu < 3 x/hari
sebanyak 27,5 % dan tidak pernah sebesar 31,25%.
Gambar 4.24 Distribusi Frekuensi Konsumsi Sumber Non Heme (Buah-
Buahan) Remaja Putri Dengan Anemia
Dari gambar 4.24 dapat disimpulkan bahwan sebagian besar remaja putri
yang memeiliki frekuensi konsumsi buah-buah < dari 3 x/minggu dan tidak
50
pernah cenderung menderita anemia dengan distribusi frekuensi 20,7 % dan
44,82%.
Gambar 4.25 Distribusi Silang Frekuensi Konsumsi Sumber Non Heme
(Buah-Buahan) Remaja Putri Dengan Anemia Dan Remaja
Putri Tidak Anemia
Dari gambar 4.25 distribusi silang menunjukkan bahwa remaja putri yang
tidak menderita anemia memiliki frekuensi makan buah-buahan lebih baik yaitu
sebesar26,25 %.
c. Kebiasaan mengkonsumsi teh/kopi
Gambar 4.26 Distribusi Frekuensi Konsumsi Teh/Kopi
Gambar 4.26 menunjukkan mayoritas remaja putri memiliki frekuensi
minum teh pada rentang frekuensi 3-6 x/minggu dengan presentase41,25 %.
51
Gambar 4.27 Distribusi Frekuensi Teh/Kopi Pada Remaja Putri Dengan
Anemia
Dari gambar 4.27 menunjukkan frekuensi minum teh pada remaja putri
dengan anemia berada pada rentang frekuensi setiap hari sebesar 37,97% (11
responden).
Gambar 4.28 Distribusi Silang Frekuensi Konsumsi Teh/Kopi Remaja
Putri Dengan Anemia Dan Remaja Putri Tidak Anemia
Dari gambar 4.28 Frekuensi menunjukkan bahwa frekuensi minum teh
remaja putri setiap hari 13,75 % menderita anemia dan 3,75 % tidak menderita
anemia.
3. Status anemia
52
Gambar 4.29 Distribusi Frekuensi Konsumsi Status Anemia
Berdasarkan gambar 4.29 diatas hasil penelitian terhadap 80 responden
didapatkan 51 responden tidak anemia (63,75 %).
3.2 Pembahasan
3.2.1 Data Umum
Data umum dalam penelitian ini adalah usia responden. Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 80 responden seluruhnya adalah remaja dalam
masa akhir dari masa remaja yang bermula dari usia 19 tahun atau 20 tahun
sampai 21 tahun.
Pertumbuhan yang pesat, perubahan psikologis yang dramatis serta
peningkatan aktivitas yang menjadi karakteristik masa remaja, menyebabkan
peningkatan kebutuhan zat gizi, dan terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan
ini akan mempengaruhi status gizi (Sayogo, 2006).
Meningkatnya aktivitas, kehidupan sosial, dan kesibukan pada remaja,
akan mempengaruhi kebiasaan makan mereka. Pola konsumsi makanan sering
tidak teratur, sering jajan, sering tidak makan pagi, dan sama sekali tidak makan
53
siang. Terutama pada remaja putri, mereka lebih memperhatikan penampilan
dirinya, seringkali terlalu ketat dalam pengaturan pola makannya karena enggan
menjadi gemuk, sehingga dapat mengakibatkan kekurangan zat gizi (Sayogo,
2006). Jumlah waktu makan yang ditunda dan makan diluar rumah meningkat
mulai awal remaja sampai remaja akhir.
Dalam hubungannya dengan proses perkembangan, masa remaja
merupakan masa transisi dari kontrol eksternal (paling sering orang tua) ke
kontrol internal. Masa ini merupakan periode yang sangat penting dan
berpengaruh terhadap perkembangan pola tingkah laku, yang meliputi pola makan
dan perawatan diri. Oleh sebab itu, masa remaja merupakan masa yang tepat
untuk intervensi pendidikan dasar.
3.2.2 Data khusus
1. Kebiasaan makan
a. Frekuensi makan
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 29 responden yang
mengalami anemia 9 responden (31,03) memiliki frekuensi makan < dari 3 x/hari,
13 responden (44,82) memiliki frekuensi makan tidak tentu dan 7 responden
(24,14 %) memiliki frekuensi makan ≥ 3 x/hari.
Kebiasaan makan 3 x/hari adalah kebiasaan makan yang baik karena
dengan frekuensi makan yang makin sering diharapkan akan semakin besar
kemungkinan terpenuhinya kebutuhan gizi. Frekuensi makan 2 x/hari atau kurang
akan berdampak kurang baik karena semakin besar kemungkinan tidak
terpenuhinya kebutuhan gizi (Pergizi, 2008).
b. Kebiasaan sarapan pagi
Dari hasil penelitian responden yang mengalami anemia didapatkan 7
responden (24,14 %) memiliki kebiasaan makan 3 x/hari, 9 responden ( 31,03 %)
kadang-kadang sarapan dan 13 responden (44,82) tidak pernah melakukan
sarapan.
54
Makan/sarapan pagi yaitu : makanan yang dimakan sebelum beraktifitas,
yang terdiri dari makanan pokok dan lauk pauk atau makanan kudapan. jumlah
yang dimakan kurang lebih 1/3 dari makanan sehari.
Arisman (2002) mengatakan hampir 50 % remaja terutama remaja yang
lebih tua, tidak sarapan. Penelitian lain membuktikan masih banyak remaja
sebesar 89% yang meyakini kalau sarapan memang penting, namun yang sarapan
secara teratur hanya 60%. Remaja putri malah melewatkan dua kali waktu makan,
dan lebih memilih kudapan.
c. Kebiasaan diet
Dari hasil penelitian responden yang mengalami anemia didapatkan 13
responden (44,82 %) melakukan diet dan 16 responden (55,17 %) tidak
melakukan diet. Prevalensi anemia pada responden cenderung lebih sedikit pada
responden yang melakukan diet, tetapi harus diingat bahwa persepsi diet yang
salah dapat membahayakan pelakunya.
Kebiasaan makan yang kurang baik pada remaja dan keinginan untuk
terlihat langsing, khususnya pada remaja putri seringkali menimbulkan gangguan
makan (eating disorder). Gangguan pola makan yang umum diderita khususnya
oleh remaja putri adalah bulimia dan anorexsia nervosa. Pada masa remaja
banyak anak, khususnya remaja putri, dengan berat badan normal tidak puas
dengan bentuk dan berat badannya dan ingin menjadi lebih kurus. Pada remaja
putri ini pada umumnya ingin mempunyai bentuk badan yang lebih langsing,
ramping dan menarik. Untuk mencapai hal tersebut mereka tidak segan-segan
melakukan hal-hal yang justru tidak mereka sadari dapat membahayakan diri dan
kesehatannya. Agar tampak langsing dan menarik mereka tidak mau makan pagi,
mengurangi frekuensi makan bahkan melakukan diet yang berlebihan (Gunawan,
1997).
d. Kebiasaan melakukan pantangan makan
55
Dari hasil penelitian pada responden yang mengalami anemia didapakan
frekuensi 13 responden (44,82 %) yang melakukan pantangan terhadap makanan
dan 16 responden (55,17 %) tidak melakukan pantangan terhadap makanan.
Permaesih (2003) menyatakan bahwa pengetahuan dan praktek gizi remaja
yang rendah tercermin dari perilaku menyimpang dari kebiasaan memilih
makanan. sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan dan selanjutnya akan
berpengaruh terhadap keadaan gizi individu yang bersangkutan termasuk status
anemia (Saraswati, 1997).
Remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk tubuh, sehingga
banyak yang membatasi konsumsi makanan dan banyak pantangan terhadap
makanan. Bila asupan makanan kurang maka cadangan besi banyak yang
dibongkar. Keadaan seperti ini dapat mempercepat terjadinya anemia.
2. Frekuensi konsumsi pangan
a. Makanan sumber heme
Dari hasil penelitian pada responden yang mengalami anemia didapakan
frekuensi 5 responden (17,24 %) yang tidak pernah mengkonsumsi bahan makan
sumber heme, 9 responden (31,03 %) kurang dari 3 x/minggu, 15 responden
(51,72 %) dengan frekuensi 3-6 x/minggu dan tidak ada responden yang
mengkonsumsi setiap hari.
Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh
karena itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi
terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di samping itu makanan yang
tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak mengandung zat besi.
Transferin adalah suatu glikoprotein yang disintesis di hati. Protein ini
berperan sentral dalam metabolisme besi tubuh sebab transferin mengangkut besi
dalam sirkulasi ke tempat – tempat yang membutuhkan besi, seperti dari usus ke
sumsum tulang untuk membentuk hemoglobin yang baru. Feritin adalah protein
lain yang penting dalam metabolisme besi. Pada kondisi normal, feritin meyimpan
besi yang dapat diambil kembali untuk digunakan sesuai kebutuhan.
56
Tingkat konsumsi protein perlu diperhatikan karena semakin rendah
tingkat konsumsi protein maka semakin cenderung untuk menderita anemia. Hal
ini dapat dijelaskan, hemoglobin yang diukur untuk menentukan status anemia
seseorang merupakan pigmen darah yang berwarna merah berfungsi sebagai
pengangkut oksigen dan karbondioksida adalah ikatan protein globin dan heme.
Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai faktor
utama pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2004). Menurut Depkes (1998),
masalah anemia gizi yang disebabkan kekurangan besi masih merupakan masalah
gizi utama di Indonesia. Anemia kekurangan besi terjadi karena pola konsumsi
makanan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber besi
yang sulit diserap, sedangkan daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber
besi yang baik dikonsumsi dalam jumlah yang kurang.
b. Sumber non heme
1) Lauk nabati
Dari hasil penelitian responden yang mengalami anemia didapatkan 7
responden (24,14 %) yang mengkonsumsi setiap hari, 2 responden (6,9%)
mengkonsumsi sumber non heme kurang dari 3 x/minggu, 20 responden (68,97
%) dengan frekuensi kurang dari 3-6 x/minggu.
Zat besi non heme lebih sulit diserap dan penyerapannya sangat tergantung
pada zat makanan lainnya baik secara positif maupun negative. Sumber besi non
heme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Asam fitat yang terkandung
dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat penyerapan besi. Namun
karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi,
hasil akhir terhadap penyerapan besipun biasanya positif (Almaitser 2001).
2) Konsumsi Sayuran
Dari hasil penelitian responden yang mengalami anemia didapatkan
frekuensi sayuran yaitu 2 (6,9 %) yang tidak pernah mengkonsumsi, 6 responden
yang mengkonsumsi dengan frekuensi < dari 3 x/ minggu, 6 responden (20,7 %)
yang mengkonsumsi dengan frekuensi 3-6 x/minggu, dan 21 (72,41 %) responden
yang mengkonsumsi setiap hari.
57
Sayuran yang merupakan sumber besi non heme memiliki derajat absorpsi
besi sangat bervariasi dan sangat tergantung pada kualitas dan diversifikasi menu
makanan. Nonheme yaitu senyawa besi anorganik kompleks dan terdapat di dalam
bahan makanan nabati hanya dapat diabsorbsi sebanyak 5%. Besi nonheme
absorbsinya dapat ditingkatkan apabila terdapat kadar vitamin C yang cukup.
Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi besi nonheme sampai empat kali lipat.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa absorpsi besi yang efektif dan
efisien memerlukan suasana asam dan adanya reduktor, seperti vitamin C.
Beberapa jenis sayuran hijau memiliki kandungan asam oksalat yang dapat
menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif lebih kecil
dibandingkan asam fitat dalam serelia (Almaitser, 2001).
3) Konsumsi buah-buahan
Dari hasil penelitian pada responden yang menderita anemia didapatkan
frekuensi, 13 responden yang tidak pernah mengkonsumsi, 6 responden yang
mengkonsumsi dengan frekuensi < 3 x/minggu, 10 responden dengan frekuensi 3-
6 x/minggu dan tidak ada responden yang mengkonsumsi setiap hari.
Vitamin A dan Vitamin C yang terdapat dalam sumber non heme (buah-
buahan) dapat membantu penyerapan besi. Vitamin A merupakan vitamin larut
lemak yang dapat membantu absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan
eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan membuat simpanan besi tidak dapat
dimanfaatkan untuk proses eritropoesis. Selain itu, Vitamin A dan β-karoten akan
membentuk suatu kompeks dengan besi untuk membuat besi tetap larut dalam
lumen usus sehingga absorbsi besi dapat terbantu.
Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi non heme sampai empat
kali lipat, yaitu dengan merubah besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga
mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar
dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Vitamin C pada umumnya
hanya terdapat pada pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam
seperti jeruk, nenas, rambutan, papaya, gandaria, dan tomat (Almatsier, 2001).
Oleh karena itu, kekurangan vitamin C dapat menghambat proses absorpsi besi
sehingga lebih mudah terjadi anemia. Selain itu, vitamin C dapat menghambat
58
pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika
diperlukan. Vitamin C juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin
di dalam plasma ke feritin hati.
c. Kebiasaan mengkonsumsi teh/kopi
Dari data responden yang menderita anemia didapatkan, 5 responden
(17,24 %) tidak pernah mengkonsumsi teh/kopi, 3 responden (10,34 %) dengan
frekuensi kurang dari 3 x/hari, 10 responden (34,48%) dengan frekuensi 3-6
x/minggu, dan 11 responden (37,93 %) yang mengkonsumsi setiap hari. Frekuensi
anemia paling banyak terdapat pada responden yang mengkonsumsi teh setiap
hari
Minum teh paling tidak sejam sebelum atau setelah makan akan
mengurangi daya serap sel darah terhadap zat besi 64 persen. Pengurangan daya
serap akibat teh ini lebih tinggi daripada akibat sama yang ditimbulkan oleh
konsumsi segelas kopi usai makan. Kopi, mengurangi daya serap hanya 39 persen.
Pada teh, pengurangan daya serap zat besi itu diakibatkan oleh zat tanin. Selain
mengandung tanin, teh juga mengandung beberapa zat, antara lain kafein,
polifenol, albumin, dan vitamin. Tanin bisa mempengaruhi penyerapan zat besi
dari makanan terutama yang masuk kategori heme non-iron. Remaja putri yang
memiliki kebiasaan minum teh/kopi > 1 gelas/hari memiliki resiko 2,023
menderita anemia dibandingkan dengan remaja putri yang mengkonsumsi teh < 1
gelas/hari (Satyaningsih, 2007).
Kebiasaan minum teh sudah menjadi budaya bagi penduduk dunia. Selain
air putih, teh merupakan minuman paling banyak yang dikonsumsi manusia. Rata-
rata konsumsi teh penduduk dunia adalah 120 mL/hari per kapita. Tannin yang
merupakan polifenol dan terdapat dalam teh, kopi, dan beberapa jenis sayuran dan
buah menghambat absorbsi besi dengan cara mengikatnya. Bila besi tubuh tidak
terlalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau kopi waktu makan (Almatsier,
2001).
59
3. Status Anemia
Dari penelitian yang dilakukan di AKBID Muhammadiyah Madiun dengan
besar sampel 80 orang terdapat 29 responden menderita anemia yaitu 36,25 % dan
51 responden tidak anemia yaitu 63,75 %.
Seorang remaja dapat mengalami peningkatan risiko defisiensi zat besi,
karena kebutuhan yang meningkat sehubungan dengan pertumbuhan. Remaja
putri membutuhkan makanan dengan kandungan zat besi yang tinggi terlebih yang
sudah mengalami haid setiap bulan. Remaja yang berasal dari sosial ekonomi
rendah, sumber makanan yang adekuat tidak terpenuhi, mempunyai risiko
defisiensi zat besi yang lebih besar.
Penelitian yang dilakukan Satyaningsih (2007) pada remaja putri SMK
Amaliyah Sekadau kalimantan Barat mendapatkan prevalensi anemia yaitu 58,7
%. Anemia yang diderita oleh remaja putri dapat menyebabkan menurunnya
prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit
infeksi. Selain itu pada remaja putri yang anemia, tingkat kebugarannya pun akan
turun yang berdampak pada rendahnya produktifitas dan prestasi olahraganya dan
tidak tercapainya tinggi badan maksimal karena pada masa ini terjadi puncak
pertumbuhan tinggi badan (peak higth velcity) (Depkes, 2003).
3.3 Keterbatasan Penelitian
3.3.1 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen yang dgunakan adalah kuesioner yang dibuat sendiri oleh
peneliti yang yang belum diuji validitas dan reliabilitasnya sehingga dapat terjadi
kesalahan dalam mempersepsikannya. Selain itu, jawaban responden mempunyai
kelemahan dan belum tentu menggambarkan keadaan sebenarnya.
3.3.2 Peneliti
Peneliti adalah peneliti pemula dalam melakukan penelitian sehingga
belum dapat mengaplikasikan secara menyeluruh dan hasil yang didapat masih
jauh dari kesempurna. Keterbatasan dana, tenaga dan waktu memungkinkan
peneliti untuk tidak dapat melakukan penelitian seoptimal mungkin.
60
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Gambaran perilaku konsumsi makanan pada remaja putri di AKBID
Muhammadiyah Madiun menunjukan sebagaian responden masih memiliki
perilaku konsumsi pangan yang kurang baik sehingga 29 responden (36,25 %)
menderita anemia.
5.1.1 Kebiasaan makan
1. Frekuensi makan
Sebagian responden memiliki frekuensi makan yang tidak baik yakni
frekuensi makan yang tidak teratur dan kurang dari 3 x/hari.
2. Kebiasaan sarapan pagi.
Sebagian responden yang tidak membiasakan sarapan memiliki frekuensi
lebih besar untuk menderita anemia.
3. Kebiasaan Diet
Sebagian kecil responden masih memiliki kebiasaan melakukan diet.
4. Kebiasaan melakukan pantangan makan
Sebagian responden masih melakukan praktek menghindari makanan tertentu
(pantang makan)
5.1.2 Konsumsi pangan
Konsumsi pangan didapatkan dari recall frekuensi konsumsi pangan dalam
satu minggu.
1. Makanan sumber heme
Responden yang kurang dalam mengkonsumsi sumber heme memiliki
peluang lebih besar terhadap kejadian anemia.
2. Makanan Sumber non heme
a. Lauk nabati
Dari keseluruhan responden tingkat konsumsi lauk nabati lebih besar
dibandingkan dengan konsumsi lauk heme.
61
b. Konsumsi sayuran
Dari keseluruhan responden mengkonsumsi sayuran dalam tingkat konsumsi
yang baik.
c. Konsumsi buah-buahan
Dari keseluruhan responden memiliki frekuensi makan buah yang relatif
jarang dimana frekuensi makan terbanyak berkisar antara 3-6 x/minggu,
d. Kebiasaan minum teh
Keseluruhan responden memiliki kebiasaan mengkonsumsi teh/kopi dengan
frekuensi yang bervariasi.
5.1.3 Status besi
Dari 80 responden 29 responden menderita anemia dengan kadar
haemoglobin kurang dari 12 gr/dl.
3.2 Saran
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan lliterur untuk
memperkaya konsep kebidanan demi menyokong perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya yang terkait dengan perilaku konsumsi makan remaja
dan anemia.
3.2.1 Bagi peneliti
Diharapakan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai
perilaku konsumsi makanan dan status anemia pada remaja, sehingga dapat
mengetahui bagaimana fenomena tersebut bisa terjadi.
3.2.2 Bagi institusi pendidikan
Dari hasil penelitian yang sudah didapatkan dilapangan agar dapat
dijadikan masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan
literatur bimbingan bagi generasi selanjutnya.
3.2.3 Bagi Pengembangan ilmu pengetahuan
Dari hasil penelitian ini diharapakan dapat dikembangkan terutama
bagaimana fenomena kebiasaan perilaku konsumsi makanan dapat menyebabkan
62
anemia sehingga dapat menambah sumber referensi pengembangan ilmu
pengetahuan.
3.2.4 Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan Peneliti selanjutnya dapat mengembangakan penelitian ini dan
penelitian ini dapat dijadikan masukan dan referensi bagi para peneliti
selanjutnya, khususnya penelitian mengenai perilaku konsumsi makanan
dan kejadian anemia.
3.2.5 Bagi masyarakat
Bagi masyarakat agar dapat meningkatkan konsumsi makanan yang
mengandung besi untuk menghindari anemia gizi dan menjadikan penelitian
sumber bacaan untuk meningkatkan pengetahuan khususnya perilaku
konsumsi dan kejadian anemia
63
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Bobak (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4 Jakarta : EGC
Budiarto, E. (2001). Biostatistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat
Jakarta : EGC
Dinkes. (2008). Melahirkan, Memulai Pemberian ASI dan Tujuh Hari Pertama
Setelah Melahirkan. HSP dan UNSAID
Dinkes. (2009). Inisiasi Menyusui Dini, Manfaatnya Seumur Hidup.Surabaya-
eHealth.org (Diakses 18 Maret 2012)
Inna. (2009). Breast Crawl dan Manfaatnya.
http://www.Mediaindonesia.com/media sehat/penta (Diakses pada tanggal 13
Maret 2012)
Iskandar. (2009). Inisiasi Menyusui Diniuntuk Ibu dan Bayi, http://inisiai-
menyusui-dini-untuk-ibu-danbayi.com. (Diakses 22 Maret 2012)
Lukmikadewi. (2009). Metode Kanguru- IMD. http//asipasi.blogspot.com
(Diakses pada tanggal 10 Maret 2012)
Manuaba, IBG. (2002). Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, Jakarta :
Arcan
Nazir, M. (2005). Metode Penelitian, Bogor : Ghalia Indonesia
Notoatmojo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kedokteran, Jakarta : PT. Rineka
Cipta
Nursalam. (2008). Konsep Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan,
Jakarta : Salemba Medika
Purwodaminto. (2000). Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
Roesli, Utami.(2008). Inisiasi Menyusui Dini Plus ASI Eksklusif, Pustaka Bunda,
Jakarta
Sarwono, P.(2007). Ilmu Kandungan, Jakarta : EGC
top related