gambaran kontaminasi coliform pada makanan di...
Post on 14-Mar-2019
229 Views
Preview:
TRANSCRIPT
GAMBARAN KONTAMINASI COLIFORM PADA MAKANAN
DI PONDOK PESANTREN KABUPATEN BOGOR
TAHUN 2018
Skripsi
“Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)”
Oleh:
Nurul Fathiyah Urfa
Nim: 11141010000074
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439/2018
i
6
ii
6
iii
6
iv
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, 6 November 2018
Nurul Fathiyah Urfa, NIM : 11141010000074
Gambaran Kontaminasi Bakteri Coliform Pada Makanan Di Pondok Pesantren
Kabupaten Bogor Tahun 2018
xvii + 139 halaman, 11 tabel, 6 bagan, 38 gambar, 48 lampiran
ABSTRAK
Ketersediaan makanan sehat sangat penting bagi para santri untuk mendukung
sistem pembelajaran di Pondok Pesantren. Pada tahun 2017 ditemukan sebanyak 112
kasus diare di pondok pesantren X Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor yang diduga
akibat pencemaran air dan makanan. Dari hasil studi pendahuluan, makanan di dapur
pondok pesantren tersebut positif mengandung bakteri E.coli yang termasuk golongan
Coliform. Kontaminasi makanan yang terjadi di dapur Pondok Pesantren akan
mempengaruhi status kesehatan santri yang berdampak pada efektifitas proses belajarnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran higiene sanitasi makanan
serta kontaminasi bakteri Coliform di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018.
Jenis penelitian ini merupakan kuantitatif deskriptif dengan menggunakan desain cross-
sectional. Sampel pada penelitian ini berjumlah 12 Pondok Pesantren. Data yang
digunakan diperoleh melalui hasil pengujian MPN Coliform di Laboratorium Kesehatan
Daerah Kota Bogor, kegiatan wawancara serta observasi yang dilakukan oleh peneliti.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 4 sampel makanan, 6 sampel sendok,
6 sampel piring dan 12 sampel sumber air bersih di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor
terkontaminasi bakteri Coliform. Sebanyak 6 sumber air bersih di pondok pesantren
memiliki jarak <10 meter dengan sumber pencemar sehingga terjadi pencemaran pada
sumber air bersih. Sedangkan untuk perilaku responden sebanyak 12 penjamah makanan
di dapur pondok pesantren tidak melakukan praktik mencuci tangan yang baik, 1
penjamah makanan mencuci peralatan dengan buruk dan sebanyak 8 penjamah makanan
di pondok pesantren memiliki praktik memotong yang buruk dilihat dari kondisi kuku
yang kotor dan panjang saat melakukan pengolahan makanan.
Pihak pondok pesantren disarankan untuk memperhatikan sanitasi sumber air bersih
dengan memberikan zat klorin, menggunakan air matang dalam kegiatan pengolahan
makanan, memperhatikan kondisi sanitasi peralatan serta kondisi higiene penjamah
makanan yang bertugas melakukan pengolahan makanan di dapur pondok pesantren
Kata kunsi : higiene sanitasi makanan, air, peralatan, cara pencucian peralatan,
mencuci tangan, memotong kuku
Daftar bacaan : 95 Bacaan (2007-2018)
v
STATE ISLAMIC UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FACULTY OF HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
ENVIRONMENTAL HEALTH DEPARTEMENT
Undergraduate Thesis, November, 6th 2018
Nurul Fathiyah Urfa, NIM: 11141010000074
Overview Contamination Of Coliform Bacteria At Islamic Boarding School
In Bogor District 2018
(xvii + 139 pages, 11 tables, 6 charts, 38 images, 48 appendixs)
ABSTRACT
The availability of healthy food is very important for students to support the
learning system at Islamic Boarding Schools. In 2017 there were 112 cases of
diarrhea at the Islamic boarding school X in Ciawi Sub-district, Bogor Regency
which were allegedly caused by water and food pollution. From the results of
preliminary studies, the food in the kitchen of the Islamic boarding school was
positively containing E. coli bacteria belonging to the Coliform group. Food
contamination that occurs in the boarding school's kitchen will affect the health
status of students which has an impact on the effectiveness of the learning process.
This study aims to determine the description of food hygiene and sanitation
and contamination of Coliform bacteria at Islamic Boarding School in Bogor
District 2018. This type of research is quantitative descriptive using a cross-
sectional design. The samples were 12 Islamic Boarding Schools. Data was
obtained through the results of Coliform MPN testing at Labkesda in Bogor City,
interview activities and observations made by researchers.
The results of this study showed that 4 food, 6 spoons, 6 dishes and 12 clean
water sources in Islamic Boarding School are positive contaminated with Coliform
bacteria. 6 of the sources of clean water in Islamic boarding schools have a distance
of <10 meters with pollutant sources that support pollution in clean water sources.
For the behavior of respondents, 12 of food handlers in the boarding school's
kitchen did not practice good hand washing, 1 of food handlers washed the
equipment well and 8 of food handlers at Islamic boarding schools had bad cutting
practices seen from nail conditions which is dirty and long when processing food.
Islamic boarding schools are advised to pay attention to sanitation of clean
water sources by providing chlorine substances, using boiled water in food
processing activities, paying attention to the condition of equipment sanitation and
hygiene conditions of food handlers who are tasked with processing food in the
boarding school's kitchen by attaching educational posters in the boarding school's
kitchen.
Key Word: Hygiene and food sanitation, water, utensils, dishwashing,
handwashing, cutting nails
Reading list: 95 Bacaan (2007-2018)
vi
Daftar Riwayat Hidup
Nama : Nurul Fathiyah Urfa
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 19 Juli 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan otista raya no 448/449 rt 003/012 cawang,
Jakarta Timur
Telepon : 082117379273
E-mail : urfafathiyah@gmail.com
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Alhamdulillah penulis penjatkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan rahmat, nikmat dan kasih sayang-NYA sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Gambaran Kontaminasi Coliform
Pada Makanan Di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018”
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terwujud tanpa
adanya bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, pada kesempatan
ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, M. Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Izza Hananingtyas, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah banyak memberikan dukungan, masukan saran, arahan dan
pengembangan pemikiran kepada penulis.
4. Ibu Ir. Febriyanti, M. Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan dukungan kepada penulis
5. Pondok pesantren di Kabupaten Bogor yang telah bersedia menjadi tempat
penelitian peneliti
6. Ibu, Ayah Edy, Ayah Fatah, bunda, bang kiki, icha, Om Heru dan Tante
Buli yang senantiasa memberikan dukungan moral ataupun materi, serta
penuh pemakluman terhadap segala hal
viii
7. Teman-teman “Ter-arah” (Ulan, Anis, Amel, Memes, Muti, Sabil) yang
selalu ada ketika penulis membutuhkan hiburan untuk ketenangan pikiran.
8. Teman-teman (Cipit, Muti, Yeti, Rere, SA, Atul, Nida dan Bella) yang juga
selalu ada ketika penulis membutuhkan hiburan untuk ketenangan pikiran.
9. Bu Izza Squad (Anin, Siska, Ita dan Ridho) yang selalu mendukung dan
berjuang bersama demi mencapai kesuksesan di semester akhir ini.
10. Teman – teman Kos Muslimah (Nisa, Zaujah, Anita, Wardah, Nindi dan
Anya).
11. Teman-teman kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat angkatan
tahun 2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12. Teman-teman HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) Kesehatan
Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016 dan 2017
13. Dan seluruh pihak yang membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak untuk menyempurnakan penelitian ini. saya berharap, semoga penelitian ini
dapat bermanfaat bagi pihak yang membacanya.
Jakarta, 6 November 2018
Peneliti
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………….…..….....xii
DAFTAR BAGAN…………………………………………………..…………..…………..…xiii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..…………..…………...xiv
DAFTAR ISTILAH…………………………………………………..…………..……………xvi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..…………..………….xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................................4
C. Pertanyaan Penelitian………………………………………………………………..…..…..5
D. Tujuan ....................................................................................................................................5
E. Manfaat Penelitian .................................................................................................................6
F. Ruang Lingkup Penelitian……………………………………...………………..……….....7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kontaminasi Coliform pada Makanan .................................................................................8
B. Syarat Pertumbuhan Bakteri Pada Makanan………………………………………………10
C. Bakteri Coliform .......... …...................................................................................................11
D. HACCP…………………………………………………………………………………….12
E. SSOP………………………………………………………………………………………15
F. Good Manufacturing Practice……………………………………………………………...15
1. Higiene Penjamah Makanan ……..……………………………..………................….16
2. Tempat Pengolahan Makanan………………………………………………………....17
3. Sanitasi Peralatan………………………………………………………………………18
4. Rantai Produksi Makanan……………………………………………………………...20
5. Kualitas Sumber Air Bersih……………………………………………………………23
G. Pondok Pesantren..…………………………………………………………...…….…..…...26
H. Jalur Migrasi Bakteri Coliform ………………………………………………….…….……28
I. Dampak Kontaminasi Makanan Terhadap Kesehatan……………………………………….30
J. Metode MPN 3 Tabung untuk Total Coliform dalam makanan dan Peralatan.......................31
K. Pencegahan dan Pengendalian……………………………..…………………….………….34
L. Kerangka teori……………………………..……………………………………….…...…...39
x
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINIFI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep ………....................................................................................................40
B. Definisi Operasional…………….........................................................................................42
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian ................................................................................................................ 44
B. Waktu Dan Lokasi Penelitian .............................................................................................44
C. Populasi dan Sampel Penelitian...........................................................................................44
D. Teknik Pengambilan Sampel................................................................................................49
E. Metode Pengumpulan Data .................................................................................................51
F. Instrumen pengumpulan data…………………………………….……….…………...…..54
G. Uji Validitas……………………..……………………………………………………...….55
H. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................... 56
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian…………………………………………………………….. 59
B. Hasil Pengumpulan Data…………………………………………………………………..61
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian…………………………………………………………………….70
B. Kontaminasi Bakteri Coliform Pada Makanan Di Pondok Pesantren
Kabupaten Bogor Tahun 2018……………………………………………………………..71
1. Critical Control Point pada Proses Produksi Tumis Wortel Jamur di Pondok
Pesantren A Kabupaten Bogor…………………………………………………….72
2. Critical Control Point pada Proses Produksi Tumis Capcay di Pondok
Pesantren B Kabupaten Bogor…………………………………………………….77
3. Critical Control Point pada Proses Produksi Tumis Kangkung di Pondok
Pesantren C Kabupaten Bogor…………………………………………………….81
4. Critical Control Point pada Proses Produksi Sayur Asem di Pondok
Pesantren D Kabupaten Bogor…………………………………………………….85
5. Critical Control Point pada Proses Produksi Tumis Kembang Tahu di Pondok
Pesantren E Kabupaten Bogor…………………………………………………….89
6. Critical Control Point pada Proses Produksi Sayur Sop di Pondok
Pesantren F Kabupaten Bogor…………………………………………………….95
7. Critical Control Point pada Proses Produksi Tumis Kacang Panjang di Pondok
Pesantren G Kabupaten Bogor…………………………………………………….97
8. Critical Control Point pada Proses Produksi Sayur Sop di Pondok
Pesantren H Kabupaten Bogor…………………………………………………….100
xi
9. Critical Control Point pada Proses Produksi Tumis Terong di Pondok
Pesantren I Kabupaten Bogor…………………………………………………….103
10. Critical Control Point pada Proses Produksi Tumis Kacang Panjang di Pondok
Pesantren J Kabupaten Bogor…………………………………………………….109
11. Critical Control Point pada Proses Produksi Sayur Labu Tempe Kuning di Pondok
Pesantren K Kabupaten Bogor…………………………………………………….113
12. Critical Control Point pada Proses Produksi Sayur Labu Siam di Pondok
Pesantren L Kabupaten Bogor…………………………………………………….118
C. Faktor yang Berkaitan dengan Critical Control Point Proses Produksi Sayuran
Matang di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor………………………………………..…...123
D. Kontaminasi Makanan dalam Pandangan Agama Islam……………………………………130
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan……………………………………………………………………….……..….132
B. Saran………………………………………………………………………………....….….134
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….………...137
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Suhu Penyimpanan Makanan Jadi…...……………………………………….…23
Tabel 3.2 Definisi Operasional………………………………………………………….....42
Tabel 4.1 Kode Variabel…………………………………………………………………..56
Tabel 4.2 Kode Pondok Pesantren…………………………………………………...……57
Tabel 5.1 Gambaran Kondisi Bakteriologik Sumber Air Bersih...................……..……....61
Tabel 5.2 Gambaran Cara Pencucian Peralatan……….………………………………......62
Tabel 5.3 Gambaran Kondisi Bakteriologik Pada Piring....................…………………....63
Tabel 5.4 Gambaran Kondisi Bakteriologik Pada Sendok...................………...................64
Tabel 5.5 Gambaran Praktik Mencuci Tangan Penjamah Makanan...................................65
Tabel 5.6 Gambaran Praktik Memotong Kuku Penjamah Makanan …..…………………65
Tabel 5.7 Gambaran Kontaminasi Bakteri Coliform pada Sayuran Matang……………..67
Tabel 6.1 CCP Produksi Sayuran Matang di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor……..120
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.2 Jalur Migrasi Kontaminasi Coliform…...……………………………..……....28
Bagan 2.2 Kerangka Teori………………………………………………………..……....39
Bagan 3.1 Kerangka Konsep……………………………………………………………....40
Bagan 4.1 Pembagian Sampel Pondok Pesantren………………………………………....45
Bagan 4.2 Triangulasi Metode………………………………………………………….....51
Bagan 6.1 Alur Proses Produksi Sayuran Matang………...……………………………....70
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Jenis Piring dan Sendok………………………………………...…………….20
Gambar 5.1 Peta Wilayah Jawa Barat…………..……………………………………...….59
Gambar 6.1 Proses Persiapan bahan Makanan Pondok A..…………………. …...……….71
Gambar 6.2 Proses Pengolahan Tumis Wortel Jamur…………………...………….…….73
Gambar 6.3 Proses Penyajian Tumis Wortel Jamur……………………………...…….…74
Gambar 6.4 Proses Pencucian Bahan di Pondok B.……………………………………….77
Gambar 6.5 Proses Pengolahan Tumis Capcay……………………………………..…….79
Gambar 6.6 Proses Penyajian Tumis Capcay….………………………………..…………78
Gambar 6.7 Proses Pemotongan Kangkung di Pondok C….…………………...…………78
Gambar 6.8 Proses Pencucian Kangkung di Pondok C……………………………………80
Gambar 6.9 Proses Pengolahan Tumis Kangkung di Pondok C………………….……….82
Gambar 6.10 Proses Pengolahan Sayur Asem …………………….……………………...84
Gambar 6.11 Proses Penyajian Sayur Asem…………..…………………………………..86
Gambar 6.12 Proses Pemotongan Kembang Kol………………………………………….87
Gambar 6.13 Proses Pencucian Kembang Tahu………......................................................88
Gambar 6.14 Proses Pengolahan Tumis Kembang Tahu…………....................................89
Gambar 6.15 Proses Penyajian Tumis Kembang Tahu……………………………………90
Gambar 6.16 Proses Pemotongan Bahan Sayur Sop Pondok F………………….………..91
Gambar 6.17 Proses Pencucian Bahan Sayur Sop………………………………………...92
Gambar 6.18 Proses Pengolahan Sayur Sup Pondok F……………………………………93
Gambar 6.19 Proses Persiapan Tumis Terong…………………………………………….95
Gambar 6.20 Proses Pengolahan Tumis Terong………………………………………….96
xv
Gambar 6.21 Proses Pengolahan Tumis Kacang Panjang………………………………..99
Gambar 6.22 Penyajian Tumis Kacang Panjang Pondok J………………………………100
Gambar 6.23 Proses Pengolahan Kacang Panjang Pondok G……………………………101
Gambar 6.24 Proses Pencucian Kacang Panjang Pondok G……………………………..102
Gambar 6.25 Lokasi Sumber Air Pondok G……….…………………………………….103
Gambar 6.26 Proses Pengolahan Tumis Kacang Panjang Pondok G…………………….104
Gambar 6.27 Proses Penyajian Kacang Panjang Pondok G……………………………...107
Gambar 6.28 Proses Persiapan Bahan Makanan Pondok H……………………………...110
Gambar 6.29 Penyajian Sayur Sup Pondok H…………………………………………....111
Gambar 6.30 Lokasi Sumber Air Pondok H……………………………………………..113
Gambar 6.31 Pengolahan Sayur Labu Tempe Kuning…………………………………...113
Gambar 6.33 Prose Pengolahan Labu Siam Pondok L…………………………………..115
Gambar 6.34 Proses Pencucian Labu Siam Pondok L…………………………………...116
Gambar 6.35 Proses Pembuatan Santan………………………………………………….117
Gambar 6.36 Prose Penyajian Sayur Labu Siam…………………………………………119
xvi
DAFTAR ISTILAH
BPOM : Badan Pengawas Obta dan Makanan
BGLBB : Brilliant Green Lactose Bile Broth
CDC : Centers For Disease Control
CFR : Case Fatality Rate
FAO : Food Agricultural Organization
FEFO : First Expired First Out
FIFO : First In First Out
GMP : Good Manufacturing Practice
HACCP : Hazard Analysis Critical Control Point
SSOP : Standar Sanitation Operational Procedur
ISO : International Organization for Standardization
KLB : Kejadian Luar Biasa
LSTB : Lauryl Sulfate Typtose Broth
MPN : Most Probable Number
POSKESTREN : Pos Kesehatan Pesantren
SNI : Standar Nasional Indonesia
TPM : Tempat Pengolahan Makanan
WHO : World Health Organization
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kuesioner
2. Lembar Observasi
3. Tabel MPN
4. Daftar Pondok Pesantren Kabupaten Bogor
5. Output SPSS
6. Foto Kegiatan Turun Lapangan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kontaminasi makanan adalah kondisi makanan yang tercemar bahan atau
organisme berbahaya baik secara sengaja ataupun tidak, sehingga makanan
tersebut tidak layak dikonsumsi dan berpeluang menimbulkan penyakit di
kalangan masyarakat (Australian Institute of Food Safety, 2016). Menurut Badan
Pengandalian Obat dan Makanan/BPOM (2012) terjadinya kontaminasi pada
makanan lebih banyak disebabkan oleh cemaran biologi dengan persentase
sebesar 74,9%. Salah satu cemaran biologi yang mampu mengontaminasi
makanan adalah bakteri Coliform. (Candra. 2007).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1096/Menkes/Per/VI/2011
angka kuman Coliform pada makanan harus <3 MPN/ml sampel makanan.
Ketatnya peraturan tersebut dikarenakan keberadaan bakteri Coliform dalam
sumber air atau makanan dapat menjadi indikasi terjadinya kontaminasi tinja
karena rendahnya tingkat kebersihan selama proses pengolahan makanan dan
mampu menyebabkan penyakit diare (Rauf, 2013)
Menurut WHO (2013) terdapat 1,7 milyar kasus diare yang terjadi di dunia.
Sedangkan, berdasarkan Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2016
penyakit diare merupakan penyakit yang potensial KLB. Perkembangan KLB
diare di Indonesia masih terbilang cukup tinggi. Hal ini dapat terlihat dari CFR
(case fatality rate) diare di Indonesia mulai dari tahun 2014 - 2016 mengalami
peningkatan, dimana angka kematian diare pada masing-masing tahun 1,14 % ,
2,47% dan 3,04 %.
2
Berdasarkan Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2016 kasus diare
yang ditangani di Provinsi Jawa Barat menduduki posisi ke 3 dari 34 provinsi
dengan persentase sebesar 74 %. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa
Barat Tahun 2016 kasus diare di Kabupaten Bogor sebesar 12.845 kasus.
Sedangkan Menurut Profil Kesehatan Kabupaten Bogor Tahun 2016 Kecamatan
Cibinong, Bojong Gede dan Ciawi termasuk kedalam 10 besar kecamatan yang
memiliki kasus diare tertinggi di Kabupaten Bogor dengan persentase kasus diare
yang ditangani sebesar 100%, 83,77%, 43,52%.
Keberadaan bakteri Coliform dalam makanan mengindikasikan buruknya
praktik higiene sanitasi dalam pengolahan makanan karena bakteri ini bisa
dipindahsebarkan dengan kegiatan tangan ke mulut (manusia), atau dengan
pemindahan pasif lewat media benda mati (peralatan) dan air yang tercemar
(Falamy, 2013). Berdasarkan penelitian Aan (2017) penyediaan air bersih
merupakan permasalahan lingkungan yang sering terjadi di pondok pesantren.
Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Purwaningtyas (2013)
sebanyak 63% penjamah makanan di pondok pesantren memiliki perilaku
higiene yang buruk dalam melakukan pengolahan makanan dan sebanyak 100%,
penyimpanan peralatan makan di pondok pesantren belum terlindung dari sumber
pengotoran atau kontaminasi binatang pengerat sehingga dapat menyebabkan
kontaminasi pada peralatan makan yang akan digunakan.
Pondok pesantren yang menerapkan kurikulum pendidikan yang
mewajibkan seluruh santrinya menetap di pondok selama kegiatan pembelajaran
berlangsung mendorong mereka untuk mampu menyediakan kebutuhan makanan
yang layak dan bermutu. (Purwaningtyas, 2013). Berdasarkan hasil laporan
3
penyakit bagian kesehatan pondok pesantren X yang berada di Kecamatan Ciawi,
pada bulan September tahun 2017 terdapat 112 santri terkena diare. Dari hasil
wawancara kejadian diare tersebut lebih banyak dibandingkan bulan sebelumnya
sehingga dapat dikatakan mengalami peningkatan akibat dari pencemaran air dan
makanan.
Berdasarkan hasil observasi lapangan diketahui diantara seluruh jenis
makanan, nasi selalu dimasak lebih awal dan sebelum tahap distribusi dilakukan
nasi disimpan di dalam termos. Kondisi ini menyebabkan nasi berada pada suhu
ruang sehingga mampu memicu resiko pertumbuhan mikroorganisme di
dalamnya seperti bakteri E.coli (Eryando, 2014). Hasil studi pendahuluan yang
dilakukan oleh peneliti juga membuktikan bahwa sampel nasi di pondok
pesantren tersebut positif mengandung bakteri E. coli. Hal ini juga didukung oleh
penelitian Little, dkk (2002) yang menyatakan jika nasi dapat terkontaminasi oleh
bakteri E.coli akibat higiene pekerja yang kurang baik. Akan tetapi menurut
penelitian Eryando (2014) dilihat dari cara pengolahannya nasi memiliki resiko
tinggi terkontaminasi bakteri E.coli sebesar 5,8% sedangkan makanan jenis
lainnya seperti ikan memiliki persentase sebesar 0,6%, daging sebesar 5,2%
sayuran sebesar 26%. Sehingga produk memiliki persentase risiko paling besar
terkontaminasi bakteri E.coli dibandingkan dengan nasi adalah produk yang
mengandung sayuran. Sayuran juga merupakan menu makanan yang selalu
diproduksi setiap harinya di Pondok Pesantren Kabupatan Bogor. Bakteri E.coli
termasuk golongan Coliform yang merupakan bakteri gram negatif dimana
seluruh bakteri gram negatif jika keberadaannya berada dalam makanan akan
membahayakan kesehatan manusia.
4
Kondisi pondok pesantren yang setiap waktu memproduksi makanan untuk
memenuhi kebutuhan santrinya membuat lembaga pendidikan swasta ini perlu
untuk dikaji lebih lanjut aspek Good Manufacturing Practice (GMP) produksi
makanan yang terkait dengan higiene penjamah, sanitasi peralatan, kondisi
bakteriologik sumber air bersih dan kualitas makanan. Adanya penemuan kasus
diare dan kontaminasi makanan di Pondok Pesantren X Kabupaten Bogor serta
persentase resiko terkontaminasi bakteri Coliform pada sayuran yang lebih tinggi
dibandingkan dengan makanan lainnya cukup mampu menjadi justifikasi yang
kuat untuk membuat peneliti tertarik melakukan penelitian terkait gambaran
kontaminasi Coliform pada makanan di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor
Tahun 2018.
B. Rumusan masalah
Dari studi pendahuluan, makanan positif mengandung bakteri E.coli yang
termasuk golongan Coliform. Selain itu, terdapat sebanyak 112 santri yang
mengalami diare di pondok pesantren Kabupaten Bogor pada Tahun 2017. Hal
ini menunjukan pondok pesantren sebagai institusi swasta masih kurang
memperhatikan kondisi higiene sanitani makanan yang mengindikasikan
rendahnya tingkat kebersihan proses pengolahan makanan. Belum adanya
penelitian mengenai kontaminasi makanan di pondok pesantren kabupaten bogor
membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait gambaran
kontaminasi Coliform pada makanan di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor
tahun 2018.
5
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kontaminasi Coliform pada makanan di Pondok
Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018?
2. Bagaimana gambaran sanitasi peralatan (kondisi bakteriologik peralatan dan
cara pencucian peralatan) di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor Tahun
2018?
3. Bagaimana gambaran kondisi bakteriologik sumber air bersih di Pondok
Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018?
4. Bagaimana gambaran higiene penjamah makanan (praktik mencuci tangan
dan praktik memotong kuku) di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor Tahun
2018?
D. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui gambaran kontaminasi bakteri Coliform di Pondok Pesantren
Kabupaten Bogor Tahun 2018.
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya gambaran sanitasi peralatan (kondisi bakteriologik
peralatan dan cara pencucian peralatan) di Pondok Pesantren
Kabupaten Bogor Tahun 2018.
b. Diketahuinya gambaran kondisi bakteriologik sumber air bersih di
Pondok Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018.
c. Diketahuinya gambaran kontaminasi higiene penjamah makanan
(praktik mencuci tangan dan praktik memotong kuku) di Pondok
Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018.
6
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan informasi gambaran kontaminasi bakteri Coliform
di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi mengenai kondisi
higiene sanitasi makanan di pondok pesantren dan dapat dijadikan sebagai
bahan masukan untuk melakukan tindak penanganan seperti menjalani
kerjasama dengan pihak pondok dan puskesmas dalam pembuatan
Poskestren di Kabupaten Bogor.
2. Bagi Puskesmas
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi mengenai higiene
sanitasi makanan di pondok pesantren dan dapat dijadikan sebagai bahan
masukan untuk melakukan proram penyuluhan melalui media promosi
seperti poster atau video edukasi terkait higiene sanitasi makanan.
3. Bagi pondok pesantren
Penelitian dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi bagi pihak pondok
pesantren terutama pimpinan pondok untuk meningkatkan kondisi higiene
dan sanitasi makanan dengan menjaga kebersihan dapur dan peralatannya,
sumber air bersih dan mengedukasi penjamah makanan terkait tindakan
higiene dan sanitasi makanan yang baik sesuai dengan Permenkes RI
Nomor 1096/Menkes/Per/VI/2011 Tentang Higiene Sanitasi Jasaboga
4. Bagi peneliti
Penelitin ini sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya terkait
kontaminasi Colifom pada sayuran berkuah, kondisi bakteriologik peralatan
7
makan dan air dan higiene personal penjamah makanan di pondok
pesantren.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kontaminasi bakteri
Coliform Di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018. Penelitian ini
menggunakan desain cross-sectional yang dilakukan pada bulan Maret - Juni
2018. Unit terkecil penelitian ini adalah Pondok Pesantren di Kabupaten Bogor
yang berjumlah 12 sampel. Pengambilan sampel menggunakan teknik Cluster
Random Sampling. Data berupa primer dan data sekunder yang diperoleh melalui
wawancara dan observasi yang mengacu pada Permenkes No. 1096 Tahun 2011
Tentang Higiene Sanitasi Jasaboga, serta pengujian laboratorium kuantitatif
untuk mengetahui keberadaan kontaminasi bakteri Coliform pada makanan, air
dan peralatan produksi. Data sekunder diperoleh dari Kementerian Agama
Kabupaten Bogor terkait Pondok Pesantren di Kabupaten Bogor dan penderita
diare di Kabupaten Bogor dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kontaminasi Coliform pada Makanan
Makanan yang termasuk dalam kebutuhan primer bagi manusia dapat
menimbulkan gelaja penyakit infeksi ataupun keracunan jika sudah terkontaminasi.
Kontaminasi makanan adalah kondisi makanan yang tercemar bahan atau
organisme berbahaya baik secara sengaja ataupun tidak, sehingga makanan tersebut
tidak layak dikonsumsi dan berpeluang menimbulkan penyakit di kalangan
masyarakat (Australian Institute of Food Safety, 2016). Jalur masuknya kontaminan
kedalam makanan dapat melalui 2 cara yaitu kontaminasi tidak langsung
(kontaminasi silang) dan kontaminasi langsung. Kontaminasi langsung adalah
kontaminasi pada makanan yang terjadi secara langsung akibat ketidaktahuan atau
kelalaian yang disengaja ataupun tidak. Sedangkan kontaminasi silang adalah
kontaminasi pada makanan yang terjadi secara tidak langsung akibat ketidaktahuan
dalam pengelolaan makanan (Amaliyah, 2017).
Terdapat banyak hal yang dapat menjadi sumber kontaminasi makanan
sehingga menimbulkan ancaman terhadap munculnya penyakit dari makanan.
Menurut (Amaliyah, 2017) Kontaminasi makanan dapat bersumber dari 3 macam
hal, antara lain:
1. Pengaruh lingkungan fisik
Bahan pencemar makanan fisik adalah kontaminan yang terlihat
jelas oleh kasat mata dimana salah satu penyebab keberadaannya dapat
melalui hewan maupun dari faktor penjamah makanan ketika melakukan
9
pengelolaan makanan secara tidak higienis. Lingkungan fisik yang mampu
mempengaruhi kualitas makanan yaitu air, tanah dan udara.
2. Pengaruh lingkungan kimia
Kontaminasi kimiawi adalah bahan atau unsur kimia yang
keberadaannya dalam makanan dapat menimbulkan keracunan atau
penyakit jika masuk ke dalam tubuh manusia. Bahan pengawet, pewarna
dan bahan tambahan lainnya yang melebihi takaran merupakan bentuk atau
produk senyawa kimia dapat berbahaya jika terkontaminasi dengan
makanan
3. Pengaruh lingkungan biologi
Kontaminasi biologis adalah terkontaminasinya makanan yang
disebabkan oleh keberadaan organisme hidup di dalam makanan. Beberapa
macam mikroorganisme yang sering menimbulkan dampak pencemaran
makanan adalah fungi (Aspergillius, Fusarium, Penicillium), bakteri
(Clostridium Pefringens, Escherichia Coli, Salmonella, Streptokoki), virus
(Virus Hepatitis A/HAV) dan parasit (Entamoeba Histolitica, Trichinella
Spirallis, Tanea Saginata).
Makanan yang terkontaminasi dapat disebabkan oleh higiene sanitasi
makanan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Oleh karena itu, sangat
penting untuk melakukan pengawasan terhadap higiene dan sanitasi makanan,
mengingat 2 hal tersebut sangat potensial dalam menyumbang kejadian penyebaran
penyakit akibat makanan (Sofiana, 2012).
10
B. Syarat Pertumbuhan Bakteri Pada Makanan
Pertumbuhan atau perkembangbiakan bakteri didalam makanan dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor (Rauf, 2013), diantaranya adalah:
1. Water activity (aw)
Kebutuhan bakteri terhadap air dapat dikatakan sebagai water
activity dalam makanan (aw), yang dapat juga diartikan sebagai jumlah
ketersediaan air di dalam makanan untuk mendukung pertumbuhan
mikroba. Kandungan air dalam tubuh bakteri sebesar 80%. Selama
hidupnya bakteri membutuhkan air, namun bakteri tidak dapat
menggunakan air yang terikat dengan zat padat dan gula. Nilai water
activity berkisar dari 0,00 hingga 1,00 (Arisman, 2009).
2. Suhu
Daya tahan bakteri terhadap temperatur berbeda – beda antara species.
Jika untuk bakteri E. coli akan tumbuh dengan baik pada temperatur antara
10-40 ºC dan temperatur optimum 37 ºC. Bakteri yang berada dibawah
temperatur minimum atau sedikit diatas temperatur maksimum, tidak akan
segera mati melainkan berada dalam keadaan tidur atau dormancy (Ruth,
2009).
3. pH
pH atau tingkat keasaman juga merupakan syarat pertumbuhan
mikroba dalam makanan. Biasanya terdapat 3 Tingkatan pH yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroba yaitu pH optimum, pH maksimum
dan pH minimum. Dimana dari ketiga pH tersebut, pH optimum yang
paling cocok terhadap peningkatan pertumbuhan mikroba dalam makanan.
11
Kebanyakan dari mikroorganisme akan tumbuh pada pH kisaran 5,0-8,0
(Buckle, 2013)
4. Waktu
Jika bakteri menemukan kondisi yang cocok, bakteri dapat
berkembangbiak dengan baik dalam waktu singkat. Menurut Rauf (2013)
hanya dalam waktu 15-20 menit bakteri mampu memperbanyak diri dari
satu sel menjadi 2 sel. Dalam penelitian Widyanigsih (2016) waktu dan
suhu yang baik agar terhindar dari kontaminasi bakteri Coliform terutama
E.coli adalah 30 menit dengan suhu 60ºc.
5. Oksigen
Bagi beberapa jenis bakteri, oksigen berperan penting dalam
membantu pertumbuhannya, seperti bakteri yang termasuk kedalam
kategori bakteri aerobik. Sedangkan untuk bakteri yang masuk kedalam
golongan anaerob, oksigen tidak diperlukan dalam pertumbuhannya
bahkan dapat mematikan bakteri tersebut (Laelasari, 2015). Namun untuk
bakteri golongan fakultatif mereka dapat tumbuh pada dengan ada atau
tidak adanya oksigen.
C. Bakteri Coliform
Coliform merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang dengan sifat
anaerob atau fakultatif anaerob dan tidak mampu membentuk spora. Selain itu
bakteri ini termasuk tidak tahan panas atau bisa dikategorikan sebagai jenis
bakteri mesofilik yang hanya dapat tumbuh pada suhu 35ºC-37ºC (Mahramah,
2014). Diantara bakteri patogen yang menyebabkan penyakit, spesies bakteri
gram negatif umumnya lebih berbahaya dibandingkan dengan spesies gram
12
positif. Lipposakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri gram negatif
sering bersifat toksik (racun), dan membran bagian luar membantu melindungi
bakteri gram negatif melawan sistem pertahanan inangnya.
Bakteri Coliform dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu, Coliform
fekal dan Coliform non fekal. Coliform fekal diantaranya bakteri Escherichia
coli yang berasal dari tinja manusia sedangkan Coliform non fekal misalnya
Enterrobacter aeroginosa yang biasanya berasal dari hewan ataupun tanaman
yang sudah mati. Contoh bakteri Coliform yaitu E.coli, Citrobacter,
Salmonella spp, Klebsiella dan Enterobacter (Marhamah, 2014).
D. HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah sistem
manajemen resiko untuk menjamin keamanan makanan malalui pendekatan
pencegahan (preventive) yang dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan
makanan yang aman bagi konsumen. Kunci utama dalam penerapan HACCP yaitu
mengantisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan melalui analisis dan
pengendalian bahaya biologis, kimiawi, dan fisik dari produksi bahan baku,
pengadaan dan penanganan, hingga pembuatan, distribusi dan konsumsi produk
jadi yang mengutamakan pada tindakan pencegahan dari pada mengandalkan pada
pengujian produk akhir (Food and Drug Assosiation, 2018).
Menurut SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan
Pengendalian Titik- Titik Kritis (HACCP) , terdapat 7 langkah dalam prinsip
penerapan HACCP, yaitu:
13
1. Melakukan analisa bahaya
Bahaya (hazard) dapat berupa agen biologi, kimia atau agen fisik
dan faktor-faktor lain yang berpotensi menimbulkan efek yang
merugikan bagi kesehatan. Dimana tahap ini mencakup
a) Identifikasi semua potensi bahaya, dengan mendaftar semua
bahaya potensial pada setiap tahap
b) Analisis bahaya, mendefinisikan dan menganalisa semua
bahaya
c) Analisa resiko, menetapkan signifikansi bahaya dimana
merupakan hasil analisa antara peluang kejadian dengan
tingkat kekuatan dari bahaya keamanan pangan. Dimana dapat
terbagi menjadi resiko tinggi, resiko sedang dan resiko rendah.
d) Pengembangan tindakan pencegahan.
Mengidentifikasi tindakan pencegahan yang mungkin mampu
mengendalikan setiap bahaya. Tindakan pencegahan berupa
segala kegiatan yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya
atau memperkecil pengaruhnya pada tingkat yang dapat
diterima.
2. Menentukan Critical Control Point (CCP)
Tahapan merupakan kunci dalam menurunkan atau mengeleminasi
bahaya (hazard) keamanan pangan yang telah diidentifikasi sampai ke
tingkat yang dapat diterima. Dalam membantu menemukan CCP yang
benar dapat menggunakan pedoman diagram pohon keputusan CCP
14
3. Menetapkan batas-batas kritis pada setiap CCP
Batas-batas critical limit : kriteria untuk memisahkan keadaan yang
bisa diterima (akseptabilitas) dan yang tidak diterima
(unakseptabilitas).
4. Menetapkan prosedur pemantauan/monitoring
Tindakan terencana untuk melakukan sarangkaian observasi atau
pengukuran parameter guna mengkaji apakah prosedur pengolahan atau
penanganan pada CCP masih terkontrol, efektif dan terencana untuk
mempertahankan keamanan makanan. Pemantauan dapat berupa
pengamatan yang direkam dalam suatu checklist ataupun dapat berupa
pengukuran yang direkam kedalam suatu datasheet. Terdapat beberapa
cara pemantauan mulai dari observasi visual hingga pengujian
mikrobiologi.
5. Menetapkan tindakan korektif
Tindakan yang akan diambil jika hasil pemantaun CCP menunjukan
hilangnya kontrol/ terjadi penyimpangan terhadap batas kritis.
Tindakan koreksi yang dapat dilakukan mulai dari menghentikan suatu
proses produksi hingga mengeliminasi produk dan kerja ulang produk.
6. Menetapkan prosedur verifikasi
Pada tahap ini dilakukan metode, prosedur atau tes disamping
penerapannya dalam pemantuan, untuk menentukan kepatuhan
terhadap rencana HACCP dan atau rencana HACCP itu perlu diubah
15
7. Menetapkan prosedur dokumentasi
Dalam pelaksanaannya penetapan prosedur pencatatan yang efektif
dalam mendokumentasikan sistem HACCP.
E. Standar Sanitation Operating Procedur
Standar Sanitation Operating Procedur (SSOP) merupakan aplikasi dari
kegiatan GMP dan merupakan prasyarat terlaksananya sistem HACCP yang
efektif. SSOP merupakan prosedur yang mewajibkan setiap proses dilakukan
dalam kondisi dan cara yang mengaplikasikan sanitasi. Terdapat 8 aspek SSOP
yang harus dibuat prosedurnya, yaitu:
1. Keamanan air
2. Kebersihan permukaan yang kontak pangan
3. Fasilitas sanitasi
4. Pencegah kontaminasi silang
5. Pencegah penipuan
6. Pelabelan senyawa toksik
7. Kesehatan pekerja
8. Pengendalian hama
F. Good Manufacturing Practice (GMP)
Menurut WHO (2016) Good Manufacturing Practice (GMP) adalah
komponen dari sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang
bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan pada kualitas produk
makanan Beberapa ruang lingkup yang terdapat pada penerapan GMP
meliputi:
16
1. Higiene Penjamah Makanan
Penjamah makanan adalah orang yang secara langsung berhubungan
dengan makanan dan peralatan mulai dari tahap persiapan, pembersihan,
pengolahan, pengangkutan sampai dengan penyajian makanan
(Permenkes, 2011). Peran yang dimiliki oleh penjamah makanan sangat
mempengaruhi kemungkinan terjadinya kontaminasi makanan. Sehingga
penjamah makanan dianjurkan untuk menerapkan perilaku hidup bersih
dan sehat yang nantinya dapat dikaitkan dengan penanganan makanan.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1098/Menkes/SK/VII/2011 Terdapat beberapa persyaratan higiene
perilaku penjamah yang harus diperhatikan untuk mencegah terjadinya
kontaminasi pada makanan,yaitu:
a. Memotong kuku
Penjamah makanan harus selalu menjaga kebersihan
tangannya seperti memotong kuku yang panjang. Kuku dapat
menjadi media yang sangat memudahkan penyeberan bakteri,
untuk itu lebih baik membersihkan atau memotong kuku dengan
pemotong kuku dilakukan minimal seminggu satu kali agar
menghindari pertumbuhan kotoran atau bakteri yang mampu
mencemari makanan (Kemenkes, 2011).
b. Mencuci Tangan pakai Sabun
Tangan dapat kontak langsung dengan kotoran atau
makanan/minuman yang terkotaminasi sehingga dapat dengan
mudah menjadi media trasmisi bakteri patogen (Kemenkes, 2014).
17
Sehingga sangat penting bagi penjamah makanan untuk melakukan
tindakan mencuci tangan yang baik pada beberapa waktu
pengolahan makanan, mulai dari sebelum melakukan aktifitas
hingga ketika meracik makanan. Cara mencuci tangan yang baik
yaitu dengan menggunakan sabun dan air mengalir (Global
Handwahing Partnership, 2018)
Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir penting
untuk memutus mata rantai kuman sebagai upaya pencegahan
penyakit karena akan menghanyutkan partikel kotoran yang
menempel pada tubuh (Nely, 2011).
2. Tempat Pengolahan Makanan
Tempat pengolahan makanan (TPM) merupakan tempat dimana
makanan diolah sehingga menjadi makanan jadi yang dapat disebut juga
sebagai dapur. TPM memiliki peranan penting dalam higiene sanitasi
makanan dan mempunyai potensi yang besar dalam menimbulkan
gangguan kesehatan seperti keracunan akibat dari makanan yang
dihasilkannya. Sehingga dapur sebagai tempat pengolahan makanan
dikatakan baik dan sehat jika keberadaanya dapat mencegah terjadinya
kontaminasi makanan baik itu dari segi fisik, kimia ataupun biologi.
Berdasarkan peraturan sanitasi dapur yang ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI No 1096/Menkes/Per/VI/2011 tentang higiene
sanitasi jasa boga. Pesyaratan TPM/dapur yang baik meliputi:
18
1) Lantai
Kondisi lantai dapur harus kedap air, rata, tidak retak, tidak licin dan
memudahkan untuk dibersihkan
2) Dinding
Permukaan dinding sebelah dalam rata, tidak lembab, dan mudah
dibersihkan. Sedangkan permukaan dinding yang selalu kena
percikan air, dilapisi bahan kedap air setinggi 2 meter dari lantai
dengan permukaan halus dan tidak menahan
3. Sanitasi Peralatan
Peralatan adalah alat yang digunakan untuk melakukan penanganan
makanan. Sanitasi Peralatan adalah kebersihan semua peralatan yang
digunakan untuk proses persiapan, pengolahan dan penyajian makanan
yang dilihat dari proses pencucian alat (dengan air bersih dan sabun)
(Puspitasari, 2013). Perlengkapan dan peralatan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya dan tidak memenuhi persyaratan dapat menjadi sumber
kontaminasi. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1096 Tahun
2011 peralatan yang kontak dengan makanan harus memiliki beberapa
persyaratan seperti:
a. peralatan masak dan peralatan makan harus aman dan tidak berbahaya
bagi kesehatan
b. pencucian peralatan harus menggunakan sabun dan bilas
menggunakan air mengalir (jangan menggunakan kembali air yang
telah dipakai) sehingga menghilangkan sisa makanan dan tanah yang
memungkinkan pertumbuhan bakteri (FAO, 2017). Selain itu spons
19
yang digunakan untuk mencuci peralatan juga harus dijaga
kebersihannya karena mampu mencetuskan keberadaan bakteri pada
peralatan (Puspi,2018)
c. Pengeringan alat dengan mengusapkan kain lap bersih atau
mengeringkan dengan menggunakan handuk. Sebenarnya
penggunaan lap pada alat yang sudah dicuci tidak boleh dilakukan
karena ditakutkan akan menimbulkan pencemaran sekunder. Namun
pengeringan dengan menggunakan lap ini diperbolehkan dengan
syarat, lap yang dipergunakan harus steril dan bersih, serta sering
diganti. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Puspi (2018) yang
mengatakan jika kondisi lap/serbet yang kotor, bau dan tidak terawat
memudahkan pertumbuhan bakteri yang nantinya mampu
mengkontaminasi peralatan makan
d. Peralatan yang digunakan harus bersih, yang artinya tidak
diperbolehkan mengandung E.coli dan jenis kuman lainnya. Dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1096/Menkes/Per/VI/2011
tentang higine sanitasi jasaboga, angka kuman pada peralatan
diharuskan memiliki nilai <3 MPN/ml.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Tumelap (2011) angka kuman
pada sendok dan piring lebih tinggi dari pada peralatan yang lain (garpu
dan gelas) dan positif mengandung E.coli. Hal ini dikarenakan pencucian
yang kurang bersih sehingga masih terdapat sisa-sisa makanan yang
menempel dan permukaan alat masih berminyak sehingga mengandung
angka kuman dan E.coli yang tinggi. Terdapat beberapa jenis piring dan
20
sendok yang digunakan sebagai alat makan. Jenis jenis piring dan sendok
yaitu:
4. Rantai Produksi Makanan
a. Sumber bahan makanan
Makanan yang baik kualitasnya ditentukan oleh kondisi dari sumber
makanan itu berasal seperti sumber petanian, perikanan dan peternakan
yang juga baik dalam menjaga kualitas produk yang dihasilkannya.
Sumber bahan tersebut diharuskan memenuhi persyaratan sanitasi untuk
mencegah terjadinya kontaminasi atau pencemaran pada bahan makanan.
b. Pengangkutan bahan makanan
Cara mengangkut bahan makanan harus memenuhi persyaratan
sanitasi, seperti sarana atau alat pengangkutan. Pengangkutan tersebut
dilakukan baik dari sumber ke pasar maupun dari sumber ke tempat
penyimpanan agar menghindari bahan makanan tercemar oleh kotoran
atau debu dan juga mencegah bahan makanan tidak rusak.
c. Penyimpanan Bahan Makanan
Dalam kegiatan pengolahan makanan tidak semua bahan makanan
langsung dikonsumsi, tetapi sebagian disimpan baik dalam skala kecil di
rumah maupun skala besar di gudang. Tempat penyimpanan atau gudang
Sumber : Hutabarat 1998
1. Piring ceper besar
2. Piring ceper
makan
3. Piring dalam
21
harus memenuhi persyaratan sanitasi, seperti menjaga agar sirkulasi
udara cukup, suhu udara dalam gudang tidak lembab hingga memberikan
penerangan yang cukup di dalam ruangan.
Ruang penyimpanan harus tahan terhadap tikus, kutu dan suhunya
juga harus terkontrol. Variasi dan jumlah bahan pangan yang tersimpan
dalam ruang penyimpanan sebaiknya disesuaikan dengan luas ruangan
yang ada. Tempat penyimpanan makanan matang dengan makanan jadi
juga harus terpisah untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang
(Laelasari, 2015)
Selain itu penyimpanan harus memperhatikan prinsip first in first
out (FIFO) dan first expired first out (FEFO) yaitu makanan yang
disimpan terlebih dahulu dan yang mendekati masa kadaluarsa
dikonsumsi terlebih dahulu. Wadah untuk tempat penyimpanan makanan
juga harus sesuai dengan jenis bahan makanan, seperti contoh bahan
makanan yang cepat rusak disimpan dalam lemari pendingin dan bahan
makanan yang kering disimpan di tempat yang kering dan tidak lembab
(Peraturan Menteri Kesehatan, 2011).
d. Pengolahan Makanan
Proses mengubah bentuk makanan dari bahan mentah menjadi
makanan jadi/masak disebut pengolahan makanan. Dalam melakukan
pengolahan makanan harus memenuhi persyaratan terkait sanitasi
kebersihan dapur, alat-alat perlengkapan dan cara pengolahan yang baik
(Peraturan Menteri Kesehatan, 2011) yaitu, peracikan bahan, persiapan
bumbu, persiapan pengolahan dan prioritas dalam memasak harus
22
dilakukan sesuai tahapan dan harus higienis dan semua bahan yang siap
untuk dimasak harus dicuci terlebih dahulu menggunakan air bersih.
e. Penyajian makanan
Penyajian makanan merupakan kegiatan dalam melakukan
pengemasan makanan agar enak dipandang dan makanan tetap terjaga
dari kualitas gizi, warna dan cita rasanya (Laelasari, 2015). Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan No 1096 tentang Higiene sanitasi Jasa
boga dalam melakukan penyajian makanan sangat diwajibkan untuk
memenuhi persyaratan sanitasi seperti setiap jenis makanan
ditempatkan dalam wadah terpisah dan tertutup untuk menghindari
terjadinya kontaminasi silang. Selain itu, semua peralatan yang
digunakan harus higienis, utuh dan tidak cacat atau rusak.
f. Penyimpanan makanan Matang
Makanan jadi yang telah diolah juga harus dijaga sanitasinya
dengan menyimpan makanan tersebut di tempat yang memenuhi
persyaratan sanitasi. Menurut Permenkes No 1096 tentang higiene
sanitasi jasaboga tahun 2011, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penyimpanan makanan yang telah diolah, yaitu:
1) memenuhi persyaratan bakteriologis berdasarkan ketentuan yang
berlaku, yaitu: angka kuman E.coli pada makanan harus 0/gram
contoh makanan atau angka kuman Coliform pada makanan harus
<3 MPN/ml.
23
2) Penyimpanan harus memperhatikan prinsip first in first out
(FIFO) dan firts espired first out (FEFO) yaitu makanan yang
disimpan terlebih dahulu dan yang mendekati masa kadaluarsa
3) dikonsumsi terlebih dahulu.
4) Tempat atau wadah penyimpanan harus terpisah untuk setiap
jenis makanan jadi dan mempunyai tutup yang dapat menutup
sempurna tetapi berventilasi yang dapat mengeluarkan uap air.
5) Penyimpanan makanan jadi harus memperhatikan suhu sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Suhu Penyimpanan makanan jadi
5. Kualitas Sumber Air Bersih
Segala kegiatan yang dilakukan oleh makhluk hidup tidak akan
terlepas dari pemanfaatan air. Begitupun dalam kegiatan penyelenggaraan
makanan di pondok pesantren. Air sangat berguna untuk mendukung proses
pencucian bahan makanan, pencucian peralatan hingga proses memasak
makanan (Kepriana, 2016).
No Jenis
Makanan
Suhu Penyimpanan
Disajikan
dalam suhu
lama
Akan
segera
disajikan
Belum segera
disajikan
1. Makanan
kering
25ºC s/d
30ºC
2.
Makanan
basah
berkuah
> 60ºC -10ºC
3.
Makanan
cepat basi
(santan,
telur, susu)
≥ 65,5ºC -5ºC s/d -1ºC
4.
Makanan
disajikan
dingin
5ºC s/d
10ºC < 10ºC
24
Terdapat beberapa macam penyediaan sumber air bersih yang
digunakan masyarakat diantaranya yaitu PDAM (Perusahaan Depot Air
Minum) dan sumur (sumur gali dan sumur bor). Penyediaan air oleh PAM
/PDAM biasanya menggunakan sumber air yang berasal dari mata air, danau
ataupun sungai. Air yang berasal dari PAM sudah melewati penanganan
terlebih dahulu sebelum dikonsumsi agar memenuhi syarat air bersih yang
layak dikonsumsi. Dalam proses penyediaan air bersihnya PAM
menggunakan pengolahan secara fisika, bakteriologis, kimia maupun
bakteriologi (Pynkyawati, 2015).
Sedangkan penggunaan sumber air bersih dengan sumur dapat
melalui 2 cara yaitu melalui sumur bor atau sumur gali. Pemakaian air melalui
sumur bor dilakukan dengan cara dibor yang nantinya air tersebut dapat
diambil menggunakan pompa. Sedangkan pemakaian sumur melalui sumur
gali dilakukan dengan menggali lubang dan hanya perlu menggunakan timba
untuk mengambilnya (Pynkyawati, 2015). Perbedaan diantara sumur bor dan
sumur gali lainnya yaitu kedalaman dalam pengambilan sumber air bersih.
Menurut Nashiroh (2017) sumur gali umumnya mempunyai kedalaman <50
meter sedangkan sumur bor umumnya mempunyai kedalaman <100 meter
Pentingnya peran air dalam kegiatan pengolahan makanan maka
kualitasnya harus diperhatikan. Berdasarkan penelitian Aan (2017) yang
dilakukan di pondok pesantren Sunan Drajat, permasalahan lingkungan yang
sering terjadi di pondok pesantren salah satunya yaitu penyediaan air bersih.
Menurut Kusnoputranto dalam Maria.dkk (2014) kualitas sumber air bersih
25
yang tidak memenuhi kualifikasi kesehatan terjadi karena beberapa hal yang
seperti:
1. Jarak sumber air bersih dengan sumber pencemar
Jarak sumber air bersih dengan sumber pencemar memberikan
peluang sumber air untuk terkontaminasi bakteri karena perembesan air
dari sumber pencemar. Oleh karena itu diberikan jarak minimal sumber
air bersih dengan sumber yang dipersyaratkan yaitu 10 meter
(Prajawati, 2008).
2. Curah hujan
Air hujan yang mengalir kedalam permukaan tanah mampu
menyebarkan bakteri Coliform yang berada dipermukaan. Air hujan
yang meresap ke dalam lapisan tanah membuat bakteri bergerak dalam
lapisan tanah sehingga jika semakin banyak air hujan yang meresap ke
dalam lapisan tanah maka semakin besar peluang terjadinya
pencemaran sumber air bersih oleh bakteri Coliform (Maria.dkk, 2014).
3 Permeabilitas dan Porositas tanah
Permeabilitas adalah kemampuan tanah untuk melewatkan air
sedangkan porositas adalah kemampuan tanah untuk menyimpan air
yang berkaitan dengan tingkat kepadatan tanah (Nurhadini, 2016).
Tekstur tanah yang semakin padat maka akan semakin sulit untuknya
menyerap air sehingga dikatakan porositasnya semakin kecil.
Sebaliknya tanah yang mudah menyerap air memiliki porositas yang
besar.
26
Menurut Kusnoputranto dalam Amaliah (2018), Kondisi
permeabilitas dan porositas tanah mendukung dalam penyebaran
bakteri patogen. Karena air termasuk alat transportasi bakteri dalam
tanah maka semakin besar porositas dan permeabilitas tanah akan
meningkatkan kemampuannya untuk melewatkan air yang
mengandung bakteri patogen semakin banyak
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2011
menekankan jika dalam kegiatan penyelenggaraan makanan penyediaan air
bersih harus terpenuhi dimana kualitas air bersih harus memenuhi persyaratan
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam kegiatan pengolahan makanan
menggunakan mengacu pada Peraturan Menteri Keseharan RI No
492/MENKES/PER/IV/2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Dalam peraturan tersebut untuk menentukan kualitas air terdapat
beberapa parameter wajib yang harus diperiksa secara berkala, salah satunya
yaitu pemeriksaan total Coliform sebagai parameter biologi. Standar baku
mutu (kadar maksimum) total Coliform untuk keperluan higine dan sanitasi
adalah 0/100ml sampel air.
G. Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan tempat pembelajaran agama islam dan
ilmu lainnya dengan model pembelajaran berbentuk asrama dimana para
santri diwajibkan untuk melakukan kegiatan sehari hari seperti tidur,
makan,mandi dan belajar di tempat tersebut (Abdulloh. 2017).
Seiring perkembangan zaman, pondok pesantren mulai mengalami
perubahan dalam sistem pendidikannya. Pergeseran dari pondok salaf
27
menjadi pondok modern mulai menjadi perhatian dikalangan masyarakat.
Pondok pesantren salaf adalah sebuah pesantren yang menganut sistem
tradisional dimana di dalamnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan
sama sekali tidak mengajarkan ilmu umum sedangkan pondok pesantren
modern adalah pondok pesantren yang didalamnya menganut sistem
pendidikan yang diadopsi dari sistem pendidikan modern dan materi yang
dipelajari merupakan kombinasi antara ilmu agama dengan ilmu umum.
(Abdulloh. 2017).
Bila dilihat dari sisi kesehatan, kondisi kesehatan di lingkungan
pondok pesantren masih membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, baik itu
dalam perilaku sehat ataupun aspek kesehatan lingkungannya. Sehingga salah
satu cara yang mampu mengatasinya adalah dengan menumbuh kembangkan
poskestren (Kemenkes RI, 2013). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan dan Pembinaan Pos Kesehatan Pesantren, POSKESTREN
(pos kesehatan pesantren) merupakan bagian integral dari UKS sebagai
wujud dari UKBM di lingkungan pondok pesantren yang memiliki prinsip
dari, oleh dan warga pondok pesantren. Dimana program ini menekankan
pada pelayanan promotif dan prefantif tanpa melewatkan aspek kuratif dan
rehabilitatif dengan bantuan dan bimbingan dari puskesmas setempat.
28
H. Jalur Migrasi Bakteri Coliform
Sumber: Julian (2016)
Bagan 2.1 Jalur Migrasi Kontaminasi Coliform
Gambar diatas menjelaskan jalur migrasi kontaminasi Bakteri
Coliform yang pada awalnya berasal dari feses baik itu manusia atau pun
hewan yang dapat masuk tubuh melalui fekal-oral. Bakteri Coliform yang
terkandung di dalam feses dapat dipindahsebarkan melalui kegiatan yang
dilakukan oleh manusia (tangan ke mulut), vektor atau hewan pengerat,
pemindahan pasif lewat benda mati (peralatan) serta air ataupun tanah yang
tercemar (Falamy, 2013)
Lalat mampu melakukan transmisi patogen karena memiliki daya
tarik yang kuat terahadap kotoran dan makanan. Dimana keberadaan lalat
sebagai vektor mekanik juga dapat membantu penyebaran bakteri Coliform
yang nantinya lalat akan membawa bakteri Coliform melalui tubuhnya untuk
Feses
Tanah Lalat
Tangan
Makanan
Manusia
Benda mati Air
29
hinggap pada makanan sehingga jika manusia memakannya akan
menimbulkan penyakit.
Selain itu benda mati juga dapat menjadi jalur paparan bakteri yang
mampu memtransmisikan penyakit. walaupun transmisi oleh benda mati
(fomites) jarang terjadi namun benda mati yang terkontaminasi dapat dengan
mudah memindahkan patogen ke permukaan lainnya atau ke reservoir
lainnya. Hal ini bergantung pada karakteristik dari patogen, jenis bahan (dari
benda mati) dan karakteristik lingkungan seperti suhu dan kelembaban.
Penyebaran bakteri Coliform juga dapat terjadi jika faktor perilaku
higiene manusia tidak diperhatikan. Seperti tidak mencuci tangan dengan
sabun dan air mengalir ketika ingin mengolah makanan atau sesudah buang
air besar. Kebiasaan buruk yang sering dilakukan manusia memudahkan
bakteri menempel pada tangan dan mencemari makanan yang kontak
dengannya.
Tanah memiliki kemampuan menyimpan polutan berbahaya dari
berbagai sumber, selain itu tanah juga menjadi tempat hidup dari berbagai
jenis mikroorganisme patogen sehingga sangat berpotensi sebagai reservoir
penyakit ke manusia (Nugroho, 2014). Tanah berperan dalam jalur migrasi
Coliform karena bakteri ini terbukti dapat tumbuh didalam tanah yang
nantinya akan mencemari hasil pangan yang tumbuh diatasnya. Sehingga jika
manusia mengonsumsi pangan tersebut tanpa melakukan penanganan yang
baik dengan mencucinya terlebih dahulu, maka akan sangat membahayakan
kesehatan manusia
30
Selain itu, penyebaran bakteri Coliform juga dapat terjadi jika saluran
pembuangan air limbah atau toilet rusak/bocor dan mencemari air tanah,
sehingga menimbulkan pencemaran sumber air masyarakat yang sangat
dibutuhkan untuk kegiatan sehari-hari seperti mandi, minum, memasak dan
mencuci. Peran air yang sangat berpengaruh pada kehidupan manusia
membuatnya menjadi jalur paparan yang paling efisien untuk bakteri
Coliform membahayakan kesehatan manusia (Julian, 2016)
I. Dampak Kontaminasi Makanan Terhadap Kesehatan
Konsekuensi kesehatan akibat penyakit bawaan makanan bervariasi
tergantung dengan patogen penyebabnya, lamanya pengobatan, usia dan
faktor lain yang berhubungan dengan daya tahan tubuh seseorang (WHO,
2006).
Terdapat banyak potensi bahaya pada makanan mulai dari faktor
biologi, kimia, maupun fisik sehingga dapat menyebabkan gangguan
kesehatan pada manusia. Keracunan makanan/ foodborne disease merupakan
penyakit yang disebabkan oleh kontaminasi makanan atau minuman. Dimana
gejala yang sering muncul akibat dari keracunan makanan adalah diare.
Dikenal 2 tipe keracunan makanan, yaitu infeksi dan intoksikasi.
Infeksi merupakan kondisi dimana terdapat bakteri patogen dalam
jumlah yang cukup tertelan bersama makanan/minuman, berkembang biak
dan menimbulkan gejala keracunan. Bakteri yang menyebabkan infeksi
membutuhkan waktu berkembang biak dalam tubuh manusia untuk mencapai
jumlah tertentu yang mampu menyebabkan infeksi (Indriati, 2013). Gejala
infeksi muncul sehari bahkan beberapa hari setelah mengkonsumsi makanan
31
yang terkontaminasi bakteri. Lamanya gejala ini muncul dikarenakan bakteri
membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dan berkembang biak di dalam
pencernaan manusia (Rauf, 2013).
Sedangkan intoksikasi merupakan kondisi dimana terdapat bakteri
tumbuh dalam makanan dan minuman kemudian memproduksi racun/toksin.
Racun dalam hal ini hanya yang berasal dari mikroba yaitu bakteri dan jamur.
Dimana saat makanan dikonsumsi, racun yang diproduksi oleh bakteri ikut
tertelan bersama makanan, racun tersebut menyebabkan timbulnya gejala
keracunan. Gejala yang timbul akibat intoksikasi lebih cepat, hanya beberapa
menit atau beberapa jam setelah makanan dikonsumsi (Rauf, 2013). Secara
umum dapat dikatakan jika bakteri penyebab infeksi membutuhkan masa
inkubasi yang lama sampai timbulnya penyakit jika dibandingkan dengan
bakteri penyebab intoksikasi.
J. Metode MPN
Metode MPN (Most Probable Number) merupakan salah satu metode
untuk pengujian mikrobiologi yang terdiri dari uji presumtif (penduga) dan
uji konfirmasi (peneguhan). Teknis pengujian metode ini menggunakan
media cair di dalam tabung reaksi dan dilakukan berdasarkan jumlah tabung
positif, dimana pengamatan pada tabun positif dapat dilihat dari adanya gas
di dalam tabung durham. Tabung reaksi yang dikatakan positif jika timbul
kekeruhan atau terbentuk gas di dalamnya (jasad renik yang berbentuk gas).
Untuk setiap mengenceran dapat menggunakan 3 atau 5 seri tabung, dimana
tabel yang digunakan untuk menentukan nilai seri 3 tabung berbeda dengan
tabel untuk seri 5 tabung.
32
Metode ini biasanya untuk menentukan jumlah mikroba pada sampel
yang berbantuk cair, namun untuk sampel yang berbantuk padat juga dapat
diterapkan dengan terlebih dahulu membuat suspensi 1:10 dari sampel
tersebut. Metode MPN membutuhkan beberapa media dan reagen dalam
pengujiannya yaitu larutan BPW 0,1 %, BGLBB (Brilliant Green Lactose
Bile Broth), dan LSTB (Lauryl Sulfate Typtose Broth). (Standar Nasional
Indonesia, 2008). Pengujian MPN Coliform menggunakan seri 3 tabung dan
5 tabung memiliki beberapa tahap yaitu:
1. Uji pendugaan
MPN 3 Tabung :
a. Siapkan 9 tabung reaksi yang telah diberi label
b. Ambil 1 ml sampel pengenceran 10-1 masukan kedalam tabung reaksi 1
yang berisi media Lactose Broth dan tabung durham, replikasi 3 kali
c. Ambil 1 mil sampel pengenceran 10-2 masukan kedalam tabung reaksi
4 yang berisi media Lactose Broth dan tabung durham, replikasi 3 kali
d. Ambil 1 mil sampel pengenceran 10-3 masukan kedalam tabung reaksi
7 yang berisi media Lactose Broth dan tabung durham, replikasi 3 kali
e. Inkubasi temperatur 35ºC selama 48 jam
f. Perhatikan adanya gas yang terbentuk di dalam tabung durham. Hasil
uji dinyatakan positif apabila terbentuk gas
MPN 5 Tabung :
a. Siapkan 5 tabung masing masing berisikan lactose broth double
strength sebanyak 10 ml
33
b. Siapkan 5 tabung masing-masing berisi lactose broth single strength
sebanyak 10 ml
c. Siapkan 5 tabung masing-masing berisi 10 ml lactose broth single
strength
d. Tabung 1 sampai 5 diinokulasi masing-masing 10 ml sampel air
e. Kedalam tabung 1 sampai 5 diinokulasi masing masing 1 ml sampel air
f. Kedalam tabung 1 sampai 5 diinokulasi masing-masing 0.1 ml sampel
air
g. Kocok tabung perlahan agar sampel air merata menyebar keseluruhan
bagian media.
h. Inokulasi pada suhu 35 c selama 24-48 jam
i. Amati masing-masing tabung untuk melihat ada atau tidaknya gas,
terdapatnya gas menunjukan presumtif positif. Dimana tes pendahuluan
yang memiliki hasil positif ditandai dengan adanya gas, yang
selanjutnya perlu dilakukan pengujian penegasan (confirmative tes)
2. Uji Konformasi (Confirmed Test)
a. Hasil uji pendahuluan yang memiliki hasil positif dipindahkan 1-2 ose
ke dalam tabung uji penegasan yang telah berisi 10 ml BGLB. Dari
masing-masing tabung uji pendahuluan diinokulasi kedalam 2 tabung
BGLB
b. Satu seri tabung BGLB diinokulasi pada suhu 24-48 jam, hal ini
bertujuan untuk memastikan ada atau tidaknya Coliform. Dan satu seri
yang lain diinkubasi pada suhu 44 c selama 24 jam
34
c. Perhatikan adanya gas yang terbentuk di dalam tabung durham. Hasil
uji dinyatakan positif apabila terbantuk gas.
d. Selanjutnya gunakan tabel Most Probable Number (MPN) untuk
menentukan nilai MPN.
1. Interpretasi hasil
Banyaknya Coliform yang terdapat dalam contoh uji di interpretasikan
dengan mencocokan kombinasi jumlah tabun yang memperlihatkan hasil
positif, berdasarkan tabel nilai MPN ( seri 3 tabung dan 5 tabung memiliki
tabel yang berbeda). Kombinasi yang diambil, dimulai dari pengenceran
tertinggi yang masih menghasilkan semua tabung positif, sedangkan pada
pengenceran berikutnya terdapat tabung yang negatif. Kombinasi yang
diambil terdiri dari tiga pengenceran. Nilai MPN Contoh dihitung sebagai
berikut:
𝑀𝑃𝑁 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑀𝑃𝑁 𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙
100𝑥 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ
K. Pencegahan Kejadian Foodborne Disease
Menurut FAO (Food and Agricultural Organization) (2017) terdapat 5
kunci keamanan pangan yang penting untuk diterapkan dalam kegiatan
pengolahan makanan. 5 hal tersebut yaitu:
1. Menggunakan air dan bahan makanan yang bersih (Use water and raw
material)
Air dan bahan makanan merupakan komponen utama dalam
kegiatan pengolahan makanan sehingga sangat perlu diperhatikan
kualitasnya untuk mencegah terjadinya foodborne disease. beberapa
cara yang dapat dilakukan seperti menggunakan air yang bisa diminum/
35
sudah diolah ketika akan memasak, mencuci buah dan sayuran terlebih
dahulu sebelum diolah, memeriksa tanggal kadaluarsa makanan dan
jangan mengkonsumsi makanan yang sudah kadaluarsa.
2. Memasak dengan baik dan benar (Cook food througly)
Proses memasak harus dilakukan dengan baik melalui penggunaan
temperature panas yang sesuai dengan jenis makanan yang akan
dimasak. Hal yang harus diperhatikan yaitu: pastikan untuk merebus
sup dan rebusan lainnya menggunakan suhu 70ºC, pastikan memasak
daging dan ayam hingga matang dan lakukanlah pemanasan kembali
terhadap makanan yang sudah dimasak.
3. Memisahkan makanan mentah dengan makanan yang sudah dimasak
(Separate raw food from cooked food)
Makanan mentah dapat mengandung bakteri pathogen yang
berpeluang menimbulkan kontaminasi silang pada makanan yang sudah
dimasak atau siap untuk dikonsumsi. Hal ini karena makanan mentah
belum mendapatkan perlakukan yang baik seperti halnya makanan yang
telah diolah/makanan matang. Sehingga perlu untuk memperhatikan
hal-hal seperti: menyimpan makanan mentah seperti ayam, daging dan
ikan yang terpisah dari makanan matang, menjaga bahan makanan
menggunakan wadah terpisah agar menghindari kontak antara makanan
mentang dengan makanan matang dan menggunakan alat yang berbeda
(seperti pisau dan talenan) ketika akan menangani makanan mentang
dan makanan matang
36
4. Menjaga temperatur makanan tetap dalam kondisi baik (Keep foods at
the proper temperature)
Terjadinya foodborne disease selain dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, karakteristik atau sifat dari bakteri pathogen juga perlu
untuk diperhatikan. Secara umum sifat bakteri pathogen yaitu mampu
hidup dan berkembang biak dalam suhu ruang. Namun pada suhu
dibawah 5ºC atau diatas 60ºC pertumbuhan bakteri terhambat dan
berhenti. Sehingga penanganan makanan terkait dengan temperature
suhu sangat perlu untuk diperhatikan. Hal yang dapat dilakukan seperti:
tidak mencairkan makanan pada suhu kamar, menjaga makanan cuku
panas yaitu diatas 60ºC, segera melakukan pendinginkan makanan yang
sudah dimasak dan makanan yang mudah rusak dan tidak membiarkan
makanan yang sudah dimasak pada suhu kamar lebih dari 2 jam.
5. Mengetahui bagaimana dan kapan saja waktu yang baik untuk mencuci
tangan (How and when to wash hand)
Melakukan praktik mencuci tangan sebelum makanan dan
memasak makanan, setelah keluar kamar mandi, setelah melakukan
penanangan makanan mentah dan setelah melakukan kegiatan yang
berpotensi menimbulkan bakteri menempel pada telapak tangan.
Serupa dengan 5 kunci keamanan pangan milik FAO, Namun CDC
(Centers For Disease Control) (2018) membagi cara-cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya keracunan makanan kedalam 4
point, yaitu :
37
A. Clean
Bakteri yang menyebabkan keracunan makanan dapat bertahan di
setiap tempat yang berada disekitar dapur kita. Sehingga ketika
melakukan penanganan makanan akan lebih baik jika memperhatikan
beberapa hal seperti, melakukan praktik mencuci tangan selama 20
detik menggunakan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah
menangani makanan, membersihkan peralatan yang akan digunakan
menggunakan sabun dan air mengalir dan mencuci bahan makanan
seperti buah dan sayur dibawah air yang mengalir.
B. Separate : don’t cross-contamination
Jenis bahan makanan seperti daging mentah, seafood, telur dan
jenis bahan makanan mentah lainnya dapat menyebarkan bakteri
pathogen pada makanan yang siap disajikan/makanan matang jika tidak
dilakukan pemisahan. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa hal seperti,
menggunakan alat pemotong atau wadah yang berbeda untuk bahan
mentah, menjauhkan makanan mentah seperti daging mentah, seafood
dan produk ungags dari makanan lainnya ketika berbelanja, dan
menjaga bahan mentah agar tetap terpisah dengan bahan makanan
lainnya atau makanan matang ketika diletakan didalam lembari
pendingin.
C. Cook: to the right temperature
Makanan dikatakan sudah dimasak dengan baik/aman ketika
menggunakan temperature suhu yang cukup untuk membunuh bakteri
pathogen yang membahayakan kesehatan. Salah satu cara untuk
38
mengetahui makanan sudah dimasak dengan temperature yang baik
adalah dengan menggunakan thermometer.
D. Chill: refrigerate promptly
Bakteri dapat berkembangbiak jika berada dalam suhu ruang atau
biasa disebut dengan “danger zone”. Yaitu diantara 40ºF dan 140ºF
(5ºC atau diatas 60ºC). untuk itu beberapa hal yang harus diperhatikan
yaitu, jangan pernah meninggalkan makanan matang dalam suhu ruang
semala lebih dari 2 jam, setel kulkas dibawah suhu 5ºC, mengetahui
kapan makanan didalam kulkas harus dibuang, mendinginkan makanan
yang mudah rusak dalam 2 jam, melakukan pencairan makanan beku
dengan aman menggunakan air atau microwave dan jangan pernah
mencairkan makanan diatas meja karena bakteri berkembang biak
dengan cepat di bagian makanan yang mencapai suhu kamar.
39
KERANGKA TEORI
Pengolahan Makanan
Peralatan
Tanah Pencemaran Sumber
Makanan
Vektor
Tempat Pengolahan
Makanan
Penyimpanan Makanan
Sumber Air
Pencucian
Peralatan
Pencucian Bahan Makanan
Manusia
Penyajian Makanan
Memotong Kuku
Mencuci tangan
Bakteri
Coliform
Kontaminasi
Coliform pada
Sayuran Matang
Higiene Sanitasi
makanan Tidak
Memenuhi
syarat
- Suhu
- Kelembaban
- Ph
- Oksigen
- Waktu
Bagan 2.2 Kerangka Teori
40
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Pada penelitian ini variabel dependen yang diteliti adalah
kontaminasi Coliform pada makanan (Sayuran Matang), sedangkan variable
independen yang diteliti diantaranya praktik mencuci tangan, praktik
memotong kuku, kontaminasi bakteriologik peralatan makan, cara
pencucian peralatan dan kontaminasi bakteriologik sumber air bersih.
Variabel tempat pengolahan makanan tidak diteliti karena peneliti
menganggap katakteristik bangunan tidak berperan langsung dalam
keberadaan bakteri Coliform pada makanan. Pengankutan makanan tidak
diteliti karena hanya penjamah makanan dari dapur pondok pesantren
dengan jumlah santri > 200 orang yang melakukan pengankutan makanan
matang sedangkan yang kurang dari < 200 memerintahkan santrinya untuk
Kontaminasi
Coliform Pada
Sayuran Matang
Kondisi Bakteriologik Sumber
Air Bersih
Praktik memotong kuku
Kondisi Bakteriologik
Peralatan
Cara Pencucian Peralatan
Praktik mencuci tangan
41
mengambil makanan sendiri di dapur pondok pesantren. Penyajian
makanan, pencucian bahan makanan dan pengolahan makanan tidak diteliti
karena sudah terwakili oleh variabel kontaminasi bakteriologik peralatan
makan dan kontaminasi bakteriologik sumber air bersih yang merupakan
barrier pertama keberadaan bakteri Coliform pada makanan. Sedangkan
variabel lainnya tidak diteliti karena penelitian ini berfokus pada variabel
yang mendominasi sebagai barrier awal kontaminasi bakteri Coliform pada
makanan.
42
ii. Definisi Operasional
No Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala
1
Kontaminasi
Coliform pada
makanan
(Variabel
Dependen)
Keberadaan kandungan
bakteri Coliform pada sayuran
berkuah hasil produksi dapur
pondok pesantren
Uji
Kuantitatif
laboratorium
Metode
MPN 3
Tabung
.........MPN/gr Rasio
2.
Kondisi
Bakteriologik
peralatan
(Variabel
Independen)
Keberadaan kandungan
bakteri Coliform pada alat
makan (piring dan sendok) di
dapur pondok pesantren
Kegiatan membersihkan
peralatan makanan
menggunakan sabun dan air
mengalir di dapur pondok
pesantren
Uji
Kuantitatif
laboratorium
Metode
MPN 3
Tabung
.........MPN/gr Rasio
3
Cara
pencucian
peralatan
(Variabel
Independen)
Wawancara
dan observasi
Kuesioner
dan
lembar
observasi
1. Tidak memenuhi syarat (jika
dimasukan ke dalam ember berisi air
dan tidak menggunakan sabun)
2. Memenuhi syarat (jika dicusi dengan
air mengalir dan sabun)
Ordinal
43
4.
Kondisi
Bakteriologik
sumber air
bersih
(Variabel
Independen)
Keberadaan kandungan
bakteri Coliform pada sumber
air bersih yang digunakan
untuk kegiatan
penyelenggaraan makanan di
pondok pesantren
Uji
Kuantitatif
laboratorium
Metode
MPN 5
Tabung
.........MPN/ml Rasio
5
Praktik
mencuci
tangan
(Variabel
Independen)
Kegiatan membersihkan
tangan dan jari dengan
menggunakan sabun dan air
mengalir sebelum mengolah
makanan
Wawancara
dan Observasi
Kuesioner
dan
Lembar
Observasi
2. Tidak memenuhi syarat (jika tidak
mencuci tangan dengan sabun dan air
mengalir)
3. Memenuhi syarat (jika mencuci
tangan dengan sabun dan air mengalir)
Ordinal
6
Praktik
memotong
kuku
(Variabel
Independen)
Kegiatan memotong kuku
dilakukan minimal seminggu
satu kali yang juga dilihat dari
kondisi kuku penjamah
makanan ketika mengolah
makanan
Wawancara
dan Observasi
Kuesioner
dan
Lembar
Observasi
1. Tidak memenuhi syarat (jika tidak
memotong kuku dilakukan seminggu
satu kali dan kondisi kuku penjamah
dalam keadaan bersih )
2. Memenuhi syarat (jika memotong
kuku dilakukan seminggu satu kali
dan kondisi kuku penjamah dalam
keadaan bersih )
Ordinal
44
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif dengan
menggunakan desain cross sectional dimana data variabel dependen dan
variabel independen dibandingkan pada waktu yang sama. Variabel
Independen adalah praktik mencuci tangan, praktik memotong kuku, cara
pencucian paralatan, kondisi bakteriologik pada peralatan dan kondisi
bakteriologik sumber air bersih. sedangkan Variabel dependen adalah
kontaminasi bakteri Coliform pada makanan.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada pondok pesantren yang terdapat di
Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong Gede
Kabupaten Bogor pada bulan Maret-Juni 2018. Sedangkan pengujian
bakteri Coliform pada penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Kesehatan Daerah (Labkesda) Kota Bogor
C. Populasi dan Sampel Penelitan
1. Populasi dan sampel Pondok Pesantren
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pondok Pesantren
di Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong
Gede, Kabupaten bogor tahun 2017 sebanyak 34 pondok Pesantren
45
(Kementerian Agama Kabupaten Bogor, 2017). Besar sampel pada
penelitian ini dihitung menurut rumus besar sampel Slovin, yaitu:
𝑛 =N
1 + Ne²
n = Besar sampel
N = Populasi (34)
e = error level (tingkat kesalahan) (0.05)
Sehingga dari perhitungan dengan rumus diatas didapatkan besar
sampel pada penelitian ini adalah 31 Pondok Pesantren.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan teknik probability
sampling, yaitu Cluster Random Sampling (Sampel Acak Kluster).
Untuk menentukan besarnya sampel pada setiap kelas dilakukan
dengan alokasi proporsional agar sampel yang diambil lebih
proportional dengan cara:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
jumlah populasix Jumlah tiap Kelas
Sehingga penentuan jumlah sampel yang diambil pada masing-
masing kecamatan (Ciawi, Cibinong dan Bojong Gede) adalah
sebagai berikut:
Total Pondok Pesantren = 31
Kecamatan Kecamatan Kecamatan
31
34𝑥17 = 15 Pondok
31
34𝑥7 = 7 Pondok
31
34𝑥10 = 9 Pondok
Bagan 4.1 Pembagian Sampel Pondok Pesantren
46
Dalam penelitian ini kriteria sampel yang telah ditetapkan
peneliti, yaitu:
Kriteria inklusi dan ekslusi sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi, yaitu
1) Pondok Pesantren memiliki santri yang bermukim
2) Terdapat 1 sumber air di pondok pesantren untuk
penyelenggaraan makanan
3) Terdapat dapur yang berfungsi sebagai tempat pengolahan
makanan para santri pondok pesantren
4) Santri pondok pesantren mendapatkan makanan/melakukan
pengolahan makanan di dapur pondok
b. Kriteria ekslusi yaitu,
1) Pondok pesantren tidak memiliki santri yang bermukim
2) terdapat lebih dari 1 sumber air di pondok pesantren untuk
penyelenggaraan makanan
3) tidak terdapat dapur yang berfungsi sebagai tempat
pengolahan makanan para santri pondok pesantren.
4) Santri pondok pesantren tidak mendapatkan
makanan/melakukan pengolahan makanan di dapur pondok
Berdasarkan Kriteria diatas sampel pada penelitian ini
adalah 12 Pondok Pesantren pada 3 Kecamatan di Kabupaten
Bogor dengan masing-masing Kecamatan Ciawi 6 Pondok,
47
Kecamatan Bojong Gede 4 Pondok Pesantren dan Kecamatan
Cibinong 2 Pondok Pesantren.
3. Populasi dan Sampel Penjamah Makanan
Populasi penjamah makanan pada penelitian ini adalah seluruh
petugas masak di pondok pesantren. Sampel penjamah makanan
pada penelitian ini sebanyak 12 sampel penjamah, dimana dari 12
pondok pesantren diambil 1 petugas masak yang melakukan
kegiatan pengolahan makanan pada hari H pengambilan sampel. Hal
ini dikarenakan terdapat 1 pondok pesantren yang hanya memiliki 1
tenaga masak yang bertugas melakukan pengolahan makanan.
3. Populasi dan sampel makanan
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh sayuran matang
yang diproduksi oleh dapur pondok pesantren Kabupaten Bogor
Tahun 2018. Sampel makanan pada penelitian ini sebanyak 12
sampel makanan, dimana dari 12 Pondok Pesantren diambil 1
sampel sayuran matang yang mewakili 1 penjamah makanan. Jenis
sampel makanan yang diambil adalah makanan jenis sayuran
berkuah hasil produksi dapur pondok pesantren ketika hari
pengambilan sampel dilaksanakan. Pemilihan sampel ini ditentukan
berdasarkan:
a. Hasil survei pendahuluan dan wawancara pada pihak Pondok
Pesantren bahwa sebagian pondok tidak memiliki menu
mingguan dan santri memasak sendiri makananannya.
48
b. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pondok pesantren
mereka mengatakan jika setiap harinya selalu memasak sayuran
untuk para santri walau dengan berbagai jenis bentuk.
c. Menurut FAO (2017) sayuran termasuk kedalam kategori
makanan beresiko tinggi terkontaminasi bakteri.
d. Bakteri menyukai makanan dengan kadar air bebas yang tinggi
yaitu makanan basah (Auliya, 2015)
4.Populasi dan Sampel Alat Makan
Populasi alat makan pada penelitian ini adalah seluruh
peralatan makan (sendok dan piring) yang dimiliki pondok
pesantren. Hal ini berdasarkan penelitian Azari (2013) yang
menyatakan bahwa angka kuman pada sendok dan piring lebih besar
dibandingkan dengan angka kuman pada gelas. Sampel peralatan
makan pada penelitian ini sebanyak 24 sampel yang terdiri dari 12
sendok dan 12 piring, dimana dari 12 pondok pesantren diambil 2
sampel peralatan (sendok dan piring) sebagai perwakilan dari tiap
jenis peralatan.
C. Populasi dan Sampel Air Bersih
Populasi air bersih pada penelitian ini adalah seluruh sumber
air bersih yang dimiliki pondok pesantren. Sampel air bersih pada
penelitian ini sebanyak 12 sampel air, dimana dari 12 pondok
pesantren diambil 1 sampel air dari sumber air bersih. Hal ini
49
dikarenakan 1 pondok pesantren hanya memiliki 1 sumber air bersih
yang digunakan untuk melakukan kegiatan pengolahan makanan.
D. Teknik Pengambilan sampel
1. Pengambilan Sampel Makanan
Pengambilan sampel makanan pada penelitian ini dilakukan pada
pukul 17.00-18.00 WIB. Sampel makanan yang diambil yaitu
makanan yang akan didistribusikan kepada para santri mengunakan
wadah tertentu. Cara pengambilan sampel makanan pada penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Persiapkan semua peralatan yang dibutuhkan seperti (botol
steril/wadah plastik steril, sendok steril, alkohol 70%, alat tulis,
label dan tas pembawa sampel.
b.Buka wadah tempat sampel
c. Masukan sampel (kurang lebih 25 gram dalam wadah dengan
menggunakan sendok steril
d.Tutup wadah dengan baik dan rapat
e. Bari label dan masukan dalam tas sampel makanan untuk diperiksa
di laboratorium
f. Sampel siap dikirim ke laboratorium atau jika waktu tidak
memungkinkan sampel dimasukan terlebih dahulu kedalam freezer
untuk sementara.
4. Pengambilan Sampel Usap Alat
a. Siapkan alat makan yang akan diusap
50
b. Sterilkan tangan menggunakan kapas yang telah diberi alkohol
c. Buka pembungkus lidi kapas steril, pegang ujung tangkainya
d. Buka penutup tabung reaksi kemudian lidah apikan
e. Celupkan lidi kapas ke dalam tabung reaksi yang berisi pbs steril
f. Lalu usapkan ke alat makan
g. Masukan lidi kapas yang telah digunakan ke dalam tabung reaksi
yang berisi reagen dengan mematahkan ujung tangkainya
h. Lidah apikan tabung reaksi kemudian tutup kembali
i. Beri label
j. Masukan kedalam coolbox
k. sampel siap dikirim ke laboratorium atau jika waktu tidak
memungkinkan sampel dimasukan terlebih dahulu kedalam
lemari pendingin untuk sementara.
5. Pengambilan Sampel Air Pada Keran
a. siapkan botol steril yang tutupnya terbungkus kertas alumunium
b. buka kran selama 1-2 menit
c. sterilkan kran dengan cara membakar mulut kran sampai keluar
uap air
d. alirkan lagi air selama 1-2 menit
e. buka tutup botol steril dan isi sampai ¾ volume botol
f. bakar bagian mulut botol, kemudian botol ditutup kembali
51
g. sampel dibawa ke laboratorium atau jika waktu tidak
memungkinkan sampel dimasukan terlebih dahulu kedalam
lemari pendingin untuk sementara.
E. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan merupakan data
primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari melakukan
observasi, wawancara, dokumentasi kegiatan dan pengujian
laboratorium. Sedangkan data sekunder didapatkan dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Bogor, Puskesmas Kabupaten Bogor dan Pondok Pesantren.
1.Data Primer
Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data
mengenai higiene penjamah makanan, sanitasi peralatan, kondisi
bakteriologik sumber air bersih serta kontaminasi Coliform pada
makanan pondok pesantren yang diperoleh melalui wawancara,
observasi, dokumentasi dan pengujian laboratorium.
Penelitian ini menggunakan triangulasi terhadap data primer yang
didapatkan. Triangulasi merupakan sebuah teknik yang
menggabungkan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data
yang telah ada. Pada prinsipnya triangulasi adalah model pengecekan
data untuk memastikan sebuah data benar-benar tepat dalam
menggambarkan kejadian yang ada pada sebuah penelitian (Bachri,
2010). Triangulasi terdiri dari berbagai bentuk yaitu triangulasi
sumber, metode dan triangulasi waktu. Penelitian ini menggunakan
52
triangulasi metode yang berarti menggunakan teknik pengumpulan
data yang berbeda beda untuk mendapatkan data dari sumber yang
sama. Peneliti menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi
untuk sumber data yang sama secara serempak.
a. Wawancara
Wawancara dengan menggunakan kuesioner dilakukan kepada
penjamah makanan yang ketika sampling dilakukan. Penjamah
makanan berperan sebagai pengolah makanan di dapur pondok
pesantren. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perilaku penjamah
makanan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara berupa kuesioner dengan tipe pertanyaan tertutup.
Aspek yang diwawancara meliputi praktik higiene penjamah
makanan, sanitasi peralatan dan terkait kondisi bakteriologik
sumber air bersih yang mengacu pada Kepmenkes No 1096 Tahun
2011 tentang Higiene dan Peraturan Menteri Keseharan RI No
Observasi
Dokumentasi
Wawancara Sumber Data
Sama
Bagan 4.2 Triangulasi Metode (Sumber Bachri, 2010)
53
492/MENKES/PER/IV/2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air
Minum.
Namun aspek persyaratan yang diambil hanya yang sesuai
dengan penelitian yang dilakukan. Kegiatan wawancara ini
dilakukan ketika responden tidak sedang melakukan kegiatan
pengolahan makanan. Wawancara dilakukan sekitar pukul 15.00-
15.20 dimana pada waktu tersebut penjamah makanan belum
melakukan kegiatan pengolahan makanan.
b. Observasi
Pada penelitian ini observasi dilakukan dengan menggunakan 3
jenis lembar observasi yaitu lembar observasi untuk mengetahui
sanitasi peralatan, lembar observasi untuk mengetahui kondisi
bakteriologik sumber air bersih dan lembar observasi untuk
mengetahui higiene penjamah makanan. Lembar observasi juga
dibuat dengan mengacu pada ketentuan Kepmenkes No 1096
Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga dan Peraturan
Menteri Keseharan RI No 492/MENKES/PER/IV/2010 Tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum.
Observasi dilakukan ketika responden sedang melakukan
kegiatan pengolahan makanan di dapur yaitu pada pukul 15.00-
18.00 WIB. Observasi ini merupakan metode untuk triangulasi
verifikasi terhadap wawancara yang telah dilakukan, sehingga
54
dapat mencocokan kesesuaian jawaban responden dengan hasil
observasi yang dilakukan peneliti.
c. Dokumentasi Kegiatan
Dokumentasi kegiatan dilakukan untuk memberikan kejelasan
terkait kegiatan atau kejadian yang telah terjadi di lapangan dengan
menggunakan foto sebagai buktinya.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui secara
kuantitatif Total Coliform dengan berpedoman pada SNI 01-2897-
192. Untuk pengujian pada makanan dan alat makan menggunakan
metode MPN seri 3 tabung sedangkan untuk pengujian pada air
bersih yang digunakan dalam pengolahan makanan menggunakan
metode MPN seri 5 tabung. Media yang digunakan untuk
pengujian ini adalah media lactose broth dan media brilian green
lactose broth (BGLB).
D. Data Sekunder
Dalam penelitian ini data sekunder yang diperlukan berupa data
mengenai alamat pondok pesantren yang diperoleh dari Kementerian
Agama Kabupaten Bogor dan data penderita diare di Kecamatan
Cibinong, Bojong Gede dan Ciawi dari puskesmas.
F. Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini instrumen yang digunakan berupa kuesioner dan
lembar observasi yang berisi tentang variabel yang diteliti seperti praktik
55
memotong kuku, praktik mencuci tangan, cara pencucian peralatan,
kondisi bakteiologik sumber air bersih dan peralatan. Kuesioner yang
disusun dengan mengacu pada Keputusan Mentreri Kesehatan RI No
1096 Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga dan Peraturan
Menteri Keseharan RI No 492/MENKES/PER/IV/2010 Tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum. Namun peneliti hanya mengambil
beberapa variabel yang sesuai dengan penelitian.
G. Uji Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang memiliki arti sejauh
mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan
fungsi ukurannya. Sedangkan dalam penelitian validitas dinyatakan
dalam derajat ketepatan alat ukur penelitian terhadap analisis
sebenarnya yang diukur (Sugiharto. 2006). Menurut Gozali (2009) uji
validitas dipergunakan untuk mengukur sah atau tidaknya suatu
kuesioner, yang mana dikatakan valid jika pertanyaan pada kuisioner
dapat mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuisioner
tersebut.
Pada penelitian, ini peneliti menggunakan validitas muka (Face
Validity) dengan cara mengamati respon dari responden saat peneliti
mengajukan pertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Jika saat
wawancara responden kebingungan maka hal itu menandakan bahwa
point-point pertanyaan yang terdapat pada kuesioner relevan, jelas dan
56
masuk akal karena responden mampu menjawabnya dengan mudah.
Hal ini menandakan kuesioner lulus pada uji validitas (Murti, 2011).
Sedangkan untuk pengujian laboratorium validasi dapat
dilakukan dengan memastikan jika pengujian sampel dilakukan oleh
laboratorium yang sudah terakreditasi. Selain itu, petugas yang
memeriksa sampel juga harus dipastikan memiliki kompetensi untuk
pengujian bakteri Coliform pada makanan. Dimana pada penelitian ini
menggunakan jasa laboratorium lingkungan milik pemerintah Kota
Bogor yang sudah terakredistasi dan memenuhi persyaratan SNI ISO
14189:2013 dan SNI ISO/IEC 17025:2008.
H. Pengolahan dan Analisis Data
1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:
a. Data Editing
Melakukan pengecekan isian dari kuesioner pada saat dilapangan,
untuk mengetahui apakah jawaban pada kuesioner sudah lengkap,
jelas, relevan dan konsisten data
b. Coding
Melakukan klasifikasi data dan memberikan kode pada masing-
masing kelas yang disesuaikan dengan tujuan dikumpulkannya data
yang dilakukan ketika mengembangkan instrumen peletitian dengan
menggunakan bantuan software pengolah data.
57
Tabel 4.1 Kode Variabel
Variabel Hasil ukur Kode
Kontaminasi
Coliform
pada
makanan
a. Tidak Memenuhi syarat ≥ 3 MPN/gr
makanan 0
b. Memenuhi syarat < 3 MPN/gr makanan 1
Kondisi
Bakteriologik
Peralatan
a. Tidak memenuhi syarat ≥ 3 MPN/ml 1
b. Memenuhi syarat < 3 MPN/ml 2
Cara
Pencucian
Peralatan
a. Tidak memenuhi syarat (jika dimasukan
ke dalam ember berisi air dan tidak
menggunakan sabun
1
b. Memenuhi syarat (jika dicusi dengan air
mengalir dan sabun) 2
Kondisi
Bakteriologik
Sumber Air
Bersih
a. Tidak memenuhi syarat > 0 MPN/100ml
1
b. Memenuhi syarat = 0 MPN/100ml 2
Praktik
mencuci
tangan
a. Tidak memenuhi syarat (jika tidak
mencuci tangan dengan sabun dan air
mengalir)
1
b. Memenuhi syarat (jika mencuci tangan
dengan sabun dan air mengalir) 2
Praktik
memotong
kuku
a. Tidak memenuhi syarat (jika tidak
memotong kuku dilakukan seminggu satu
kali dan kondisi kuku penjamah dalam
keadaan bersih
1
b. Memenuhi syarat (jika memotong kuku
dilakukan seminggu satu kali dan kondisi
kuku penjamah dalam keadaan bersih )
2
58
Tabel 4.2 Kode Pondok Pesantren
c. Data Entry
Melakukan pemasukan data dari kuesioner ke dalam software
analisis data di komputer sesuai pengkodean yang telah dibuat.
d. Data Cleaning
Melakukan pengecekan kembali terdapat data yang sudah di entry,
untuk mengetahui apakan ada suatu kesalahan atau tidak.
2. Analisis Data
Analisis univariat yaitu analisis yang dilakukan untuk
mendeksripsikan karakteristik seluruh variabel yang diteliti. Variabel
yang diteliti meliputi kontaminasi Coliform pada makanan, praktik
mencuci tangan, praktik memotong kuku, cara pencucian paralatan,
kontaminasi bakteriologik pada peralatan dan kualitas sumber air bersih.
dimana dalam proses analisis data menggunakan bantuan software
pengolah data.
No Pondok Pesantren Kode
1 BM01 A
2 BS02 B
3 TC03 C
4 KW13 D
5 KPC 11 E
6 BB14 F
7 VA15 G
8 CB 04 H
9 CRM 05 I
10 BNI 06 J
11 MQ 10 K
12 NH 17 L
59
BAB V
HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di 12 pondok pesantren di Kabupaten Bogor.
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan islami yang mengajarkan
para santrinya tentang ilmu-ilmu agama dan mendidik mereka untuk hidup
mandiri sehingga mereka diwajibkan untuk bermukim di pondok selama
kegiatan belajar mengajar berlangsung. Sistem pendidikan di pondok pesantren
yang berbeda dengan madrasah lainnya ini membuat pihak pondok harus
menyediakan kebutuhan pokok santrinya seperti penyelenggaraan makanan
harian. Penyelenggaraan makanan di pondok pesantren berbeda-beda
tergantung dengan kemampuan pondok itu sendiri.
Secara administratif, Kabupaten Bogor merupakan salah satu Kabupaten
yang berada di Provinsi Jawa Barat. Luas dari Kabupaten Bogor adalah
298.838,31 Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 5.132 jiwa. Kabupaten
Bogor terdiri dari 40 Kecamatan, yaitu Kecamatan Nanggung, Kecamatan
Leuwiliang, Kecamatan Leuwisadeng, Kecamatan Pamijahan, Kecamatan
Cibungbulang, Kecamatan Ciampea, Kecamatan Tenjojaya, Kecamatan
Dramaga, Kecamatan Ciomas, Kecamatan Taman Sari, Kecamatan Cijeruk,
Kecamatan Cigombong, Kecamatan Caringin, Kecamatan Ciawi, Kecamatan
Cisarua, Kecamatan Megamendung, Kecamatan Sukaraja, Kecamatan
Babakan Madang, Kecamatan Sukamakmur, Kecamatan Cariu, Kecamatan
60
Tanjung Sari, Kecamatan Jonggol, Kecamatan Cileungsi, Kecamatan
Klapanunggal, Kecamatan Gunung Putri, Kecamatan Citeureup, Kecamatan
Bojong Gede, Kecamatan Tajurhalang, Kecamatan Kemang, Kecamatan
Rancabungur, Kecamatan Parung, Kecamatan Ciseeng, Kecamatan Gunung
Sindur, Kecamatan Rumpin Kecamatan Cigudeg, Kecamatan Sukajaya,
Kecamatan Jasinga, Kecamatan Tenjo, Kecamatan Parung Panjang. Batas
Wilayah Kabupaten Bogor antara lain
Utara : Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota
Depok dan Kota Bekasi
Timur : Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Purwakarta
Selatan : Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur
Barat : Kabupaten Lebak
Gambar 5.1 Peta Wilayah Jawa Barat
61
Kabupaten Bogor menduduki peringkat ketiga dari 18 Kabupaten
yang memiliki jumlah pondok pesantren paling banyak di Provinsi Jawa barat
dengan jumlah 660 pondok pesantren.
2. Hasil Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan pada makanan produksi dapur pondok pesantren
yang dilakukan dengan menggunakan data primer. Data primer berupa data
praktik mencuci tangan dengan sabun, praktik memotong kuku, kondisi
bakteriologik peralatan, cara pencucian peralatan, kondisi bakteriologik
sumber air bersih dan kontaminasi bakteri Coliform pada makanan yang
diproduksi dapur pondok pesantren yaitu jenis sayuran berkuah.
Pengamatan dilakukan terhadap 12 pondok pesantren di Kabupaten
Bogor. Penentuan hari pengamatan dilakukan secara random antara senin
sampai dengan jumat dengan jenis sampel makanan yang diambil adalah jenis
sayuran matang yang dimasak pada hari pengamatan. Pengamatan proses
produksi makanan dilakukan mulai dari tahap persiapan, tahap pengolahan
hingga tahap penyajian. Selain itu sampel lain seperti usap alat (sendok dan
piring) dan sampel air juga diambil untuk dilakukan pengujian laboratorium
dengan masukan kedalam cooler box untuk selanjutnya disimpan dalam lemari
pendingin.
Hal ini dikarenakan waktu pengambilan sampel yang dilakukan pada
sore hari membuat tidak memungkinkan untuk langsung membawa sampel ke
laboratorium. Namun, sampel yang diletakan dalam lemari pendingin dan
freezer akan berada dalam kondisi dorman (tetap) sehingga tidak
62
mempengaruhi kondisi sampel yang sesungguhnya. Kemudian sampel dibawa
ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan kadar bakteri Coliform selama
15 hari kerja. Sedangkan untuk praktik memotong kuku, cara pencucian
peralatan dan praktik mencuci tangan dengan sabun diperoleh menggunakan
lembar wawancara, observasi dan dokumentasi kegiatan.
a. Gambaran Kondisi Bakteriologik Sumber Air Bersih di Pondok
Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018
Hasil pengujian laboratorium terhadap sampel air bersih
dikelompokan berdasarkan kualitas, yaitu memenuhi syarat jika tidak
melewati ambang batas yang ditetapkan dan tidak memenuhi syarat jika
melewati ambang batas yang ditetapkan. Hasil pengujian mengacu pada
Peraturan Menteri Keseharan RI No 492/MENKES/PER/IV/2010 Tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum. yaitu sebesar 0 MPN/ml.
Tabel 5.2 Gambaran Kondisi Bakteriologik Air Bersih di Pondok Pesantren
Kabupaten Bogor Tahun 2018
*Keterangan: Memenuhi syarat 0 MPN/ml
Tidak Memenuhi Syarat > 0 MPN/ml
No Pondok
Pesantren Kondisi bakteriologik air bersih
Status
1 A <3 MPN/ml Tidak Memenuhi
2 B 55 MPN/ml Tidak memenuhi
3 C 7 MPN/ml Tidak Memenuhi
4 D <2 MPN/ml Tidak memenuhi
5 E 2 MPN/ml Tidak Memenuhi
6 F 8 MPN/ml Tidak memenuhi
7 G >1600 MPN/ml Tidak Memenuhi
8 H 39 MPN/ml Tidak memenuhi
9 I >1600 MPN/ml Tidak Memenuhi
10 J 9 MPN/ml Tidak memenuhi
11 K 2 MPN/ml Tidak Memenuhi
12 L <2 MPN/ml Tidak memenuhi
63
Berdasarkan tabel 5.13 diketahui pondok pesantren yang memiliki
angka Coliform pada air bersih paling tinggi berada di pondok pesantren
G dan I dengan nilai Coliform keduanya >1600 MPN/ml. Sedangkan,
pondok pesantren yang memiliki angka Coliform pada air bersih paling
rendah berada di pondok pesantren D dan L dengan nilai Coliform
keduanya <2 MPN/ml.
b. Gambaran Sanitasi Peralatan di Pondok Pesantren Kabupaten Bogor
Tahun 2018
l. Cara Pencucian Peralatan di Pondok Pesantren Kabupaten
Bogor Tahun 2018
Tabel 5.5 Gambaran Cara Pencucian Peralatan di Pondok Pesantren
Kabupaten Bogor Tahun 2018
*Keterangan:
Memenuhi syarat = menggunakan sabun dan air mengalir
No Pondok
Pesantren
Kondisi Bakteriologik
Piring
status
1 A Menggunakan air mengalir
dan sabun
Memenuhi
2 B Menggunakan air mengalir
dan sabun Memenuhi
3 C Menggunakan air mengalir
dan sabun Memenuhi
4 D Menggunakan air mengalir
dan sabun Memenuhi
5 E Menggunakan air mengalir
dan sabun Memenuhi
6 F Menggunakan air mengalir
dan sabun Memenuhi
7 G Menggunakan air mengalir
dan sabun Memenuhi
8 H Menggunakan air mengalir
dan sabun Memenuhi
9 I Menggunakan air mengalir
dan sabun Memenuhi
10 J Menggunakan air mengalir
dan sabun Tidak memenuhi
11 K Menggunakan air mengalir Memenuhi
12 L Menggunakan air mengalir
dan sabun Memenuhi
64
Tidak Memenuhi Syarat = tidak menggunakan sabun dan air mengalir
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui pondok pesantren yang memiliki
cara pencucian piring memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri
Kesehatan No 1096 tentang Higiene Sanitasi Jasa boga berada di
pondok pesantren A, B, C, D, E, F, G, H, J, K dan L. Sedangkan
pondok pesantren yang memiliki cara pencucian piring tidak
memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No 1096
tentang Higiene Sanitasi Jasa boga berada di pondok pesantren I.
2. Kondisi Bakteriologik Peralatan (Piring dan Sendok) di Pondok
Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018
Hasil pengujian laboratorium terhadap sampel peralatan berupa
jenis sendok dan piring dikelompokan berdasarkan kualitas, yaitu
memenuhi syarat jika tidak melewati ambang batas yang ditetapkan
dan tidak memenuhi syarat jika melewati ambang batas yang
ditetapkan. Hasil pengujian mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan No 1096 tentang Higiene Sanitasi Jasa boga yaitu sebesar
<3 MPN/ml
Tabel 5.6 Gambaran Kondisi Bakteriologik Piring di Pondok Pesantren
Kabupaten Bogor Tahun 2018
No Pondok
Pesantren
Kondisi Bakteriologik
Piring status
1 A <3 MPN/ml Memenuhi
2 B <3 MPN/ml Memenuhi
3 C <3 MPN/ml Memenuhi
4 D 3 MPN/ml Tidak Memenuhi
5 E 28 MPN/ml Tidak Memenuhi
6 F 1100 MPN/ml Tidak Memenuhi
7 G 460 MPN/ml Tidak Memenuhi
65
*Keterangan: Memenuhi syarat < 3 MPN/ml
Tidak Memenuhi Syarat ≥ 3 MPN/ml
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui pondok pesantren yang memiliki
kondisi bakteriologik piring memenuhi syarat sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan No 1096 tentang Higiene Sanitasi Jasa boga
berada di pondok pesantren A, B, C, H, K dan L dengan dengan nilai
Coliform seluruhnya <3 MPN/ml. Sedangkan pondok pesantren yang
memiliki kondisi bakteriologik piring tidak memenuhi syarat sesuai
Peraturan Menteri Kesehatan No 1096 tentang Higiene Sanitasi Jasa
boga berada di pondok pesantren D, E, F, G, I dan J dengan nilai
Coliform masing-masing 3 MPN/ml, 28 MPN/ml, 1100 MPN/ml, 460
MPN/ml, 460 MPN/ml dan 3 MPN/ml.
Tabel 5.7 Gambaran Kondisi Bakteriologik Sendok di Pondok Pesantren
Kabupaten Bogor Tahun 2018
8 H <3 MPN/ml Memenuhi
9 I 460 MPN/ml Tidak Memenuhi
10 J 3 MPN/ml Tidak Memenuhi
11 K <3 MPN/ml Memenuhi
12 L <3 MPN/ml Memenuhi
No Pondok
Pesantren
Kondisi Bakteriologik
Sendok status
1 A <3 MPN/ml Memenuhi
2 B <3 MPN/ml Memenuhi
3 C <3 MPN/ml Memenuhi
4 D 240 MPN/ml Tidak Memenuhi
5 E 210 MPN/ml Tidak Memenuhi
6 F <3 MPN/ml Memenuhi
7 G <3 MPN/ml Memenuhi
8 H 3 MPN/ml Tidak Memenuhi
9 I 1100 MPN/ml Tidak Memenuhi
10 J <3 MPN/ml Memenuhi
11 K >2400 MPN/ml Tidak Memenuhi
12 L <3 MPN/ml Memenuhi
66
*Keterangan: Memenuhi syarat < 3 MPN/ml
Tidak Memenuhi Syarat ≥ 3 MPN/ml
Berdasarkan tabel 5.7 diketahui pondok pesantren yang memiliki
kondisi bakteriologik sendok memenuhi syarat sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan No 1096 tentang Higiene Sanitasi Jasa boga
berada di pondok pesantren A, B, C, F, G, J dan L dengan nilai
Coliform seluruhnya <3 MPN/ml. Sedangkan pondok pesantren yang
memiliki kondisi bakteriologik sendok tidak memenuhi syarat sesuai
Peraturan Menteri Kesehatan No 1096 tentang Higiene Sanitasi Jasa
boga berada di pondok pesantren D, E, H, I dan K dengan nilai
Coliform masing – masing sebesar 240 MPN/ml, 210 MPN/ml, 3
MPN/ml, 1100 MPN/ml, >2400 MPN/ml.
c. Gambaran Higiene Penjamah Makanan di Pondok Pesantren
Kabupaten Bogor Tahun 2018
1. Praktik Mencuci Tangan Penjamah Makanan di Pondok
Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018
Tabel 5.3 Gambaran Praktik Mencuci Tangan Penjamah Makanan di
Pondok Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018
No Pondok
Pesantren
Status
1 A Tidak Memenuhi
2 B Tidak memenuhi
3 C Tidak Memenuhi
4 D Tidak memenuhi
5 E Tidak Memenuhi
6 F Tidak memenuhi
7 G Tidak Memenuhi
8 H Tidak memenuhi
9 I Tidak Memenuhi
10 J Tidak memenuhi
11 K Tidak Memenuhi
12 L Tidak memenuhi
67
*Keterangan:
Memenuhi syarat = Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
Tidak Memenuhi Syarat = Tidak mencuci tangan dengan sabun dan air
mengalir
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui seluruh penjamah makanan di
pondok pesantren memiliki praktik mencuci tangan yang tidak
memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No 1096
tentang Higiene Sanitasi Jasa boga yaitu dengan menggunakan
sabun dan air mengalir.
2. Praktik Memotong Kuku Penjamah Makanan di Pondok
Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018
Tabel 5.4 Gambaran Praktik memotong kuku Penjamah Makanan di
Pondok Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018
*Keterangan:
Memenuhi syarat = Memotong kuku seminggu sekali dan kuku
berada dalam keadaan bersih
Tidak Memenuhi Syarat = Tidak memotong kuku seminggu sekali dan
kuku berada dalam keadaan bersih
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui penjamah makanan di pondok
pesantren yang melakukan praktik memotong kuku memenuhi
syarat sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No 1096 tentang Higiene
No Pondok Pesantren Status
1 A Tidak memenuhi
2 B Tidak memenuhi
3 C Tidak memenuhi
4 D Tidak memenuhi
5 E Memenuhi
6 F memenuhi
7 G Tidak memenuhi
8 H memenuhi
9 I Tidak memenuhi
10 J memenuhi
11 K Tidak memenuhi
12 L Tidak memenuhi
68
Sanitasi Jasa boga adalah pondok pesantren E, F, H dan J sedangkan
penjamah makanan di pondok pesantren yang melakukan praktik
memotong kuku tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri
Kesehatan No 1096 tentang Higiene Sanitasi Jasa boga adalah
pondok pesantren A, B, C, D, G, I, K dan L.
d. Gambaran Kontaminasi Bakteri Coliform Pada Makanan di Pondok
Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018
Hasil pengujian laboratorium terhadap sampel sayur berkuah
dikelompokan berdasarkan kualitas, yaitu memenuhi syarat jika tidak
melewati ambang batas yang ditetapkan dan tidak memenuhi syarat jika
melewati ambang batas yang ditetapkan. Hasil pengujian mengacu pada
Peraturan Menteri Kesehatan No 1096 tentang Higiene Sanitasi Jasa boga
yaitu sebesar <3 MPN/gr.
Tabel 5.1 Gambaran Kontaminasi Bakteri Coliform pada Makanan (Sayur
matang) Hasil Produksi Dapur Pondok Pesantren di Kabupaten
Bogor Tahun 2018
No Pondok
Pesantren Sampel Makanan
Coliform
pada
Makanan
Status
Kontaminasi
1 A Tumis Wortel Jamur <3 MPN/gr Memenuhi
syarat
2 B Tumis Capcay <3 MPN/gr Memenuhi
syarat
3 C Tumis Kangkung <3 MPN/gr Memenuhi
syarat
4 D Sayur Asem <3 MPN/gr Memenuhi
syarat
5 E Tumis Kembang Tahu <3 MPN/gr Memenuhi
syarat
6 F Sop Sayur <3 MPN/gr Memenuhi
syarat
7 G Tumis Kacang Panjang 4 MPN/gr
Tidak
Memenuhi
syarat
69
*Keterangan: Memenuhi syarat <3 MPN/ml
Tidak Memenuhi Syarat ≥ 3 MPN/ml
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui Pondok pesantren yang
memiliki kontaminasi Coliform pada makanan memenuhi syarat
sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No 1096 tentang Higiene
Sanitasi Jasa boga berada di pondok pesantren A, B, C, D, E, F, I
dan J dengan nilai Coliform seluruhnya <3 MPN/ml. Sedangkan
pondok pesantren yang memiliki kontaminasi Coliform pada
makanan tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Kesehatan
No 1096 tentang Higiene Sanitasi Jasa boga berada di pondok
pesantren G, H, K dan L dengan nilai Coliform masing – masing
sebesar 4 MPN/gr, 9 MPN/gr, 6 MPN/gr, 4 MPN/gr.
8 H Sayur Sop 9 MPN/gr
Tidak
Memenuhi
syarat
9 I Tumis Terong <3 MPN/gr Memenuhi
syarat
10 J Tumis Kacang Panjang <3 MPN/gr Memenuhi
syarat
11 K Sayur Labu Tempe Kuning 6 MPN/gr
Tidak
Memenuhi
syarat
12 L Sayur Labu Siam 4 MPN/gr
Tidak
Memenuhi
syarat
70
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan memiliki kekurangan, dan untuk penelitian
ini beberapa keterbatasannya yaitu:
1. Peneliti hanya melakukan pengujian untuk mengetahui jumlah total
Coliform pada makanan, air dan peralatan tanpa menspesifikan jenis
bakteri yang berada di dalamnya. Hal ini dikarenakan bakteri yang
termasuk kedalam golongan Coliform merupakan jenis gram negatif
dimana setiap bakteri yang bersifat gram negatif sangat membahayakan
bagi kesehatan. Sehingga pengujian terkait total Coliform sudah cukup
untuk menggambarkan kelayakan kondisi makanan, air dan peralatan
makan yang terdapat di dapur pondok pesantren.
2. Peneliti tidak mengukur suhu / temperatur dalam proses memasak
sehingga tidak mengetahui nilai pasti dari suhu api yang dipergunakan
oleh penjamah makanan untuk memasak. Namun hal ini dapat diatasi
dengan adanya perbedaan memasak pada tiap pondok pesatren. Dimana
terdapat beberapa pondok yang menggunakan tungku dan terdapat juga
pondok yang menggunakan kompor gas dalam memasak yang dapat
membedakan suhu yang mereka pakai dalam memasak makanan. Dimana
suhu yang memasak menggunakan tungku lebih besar dibandingkan
dengan memasak menggunakan kompor gas biasa.
71
3. Peneliti memilih makanan jenis sayur matang sebagai sampel penelitian
dengan karakteristik yang berbeda-beda ditiap pondoknya. Hal ini
dikarenakan tidak semua pondok memiliki siklus menu dalam kegiatan
penyelenggaraan makanan dan juga setiap dapur pondok pesantren
memproduksi makanan jenis sayur berkuah yang berbeda-beda. Sehingga
peneliti mengeneralkan sampel makanan tersebut kedalam jenis makanan
sayuran matang.
B. Kontaminasi Bakteri Coliform Pada Makanan di Pondok Pesantren
Kabupaten Bogor Tahun 2018
Pondok pesantren bertanggung jawab untuk menyediakan makanan bagi
para santri setiap harinya. Sehingga sudah menjadi suatu kewajiban jika dalam
proses produksi makanannya harus menerapkan cara pengolahan makanan
yang baik atau biasa disebut dengan Good Manufacturing Practice (GMP) agar
dapat menghasilkan makanan yang aman dan layak untuk dikonsumsi.
Menurut Chandra (2012) salah satu kriteria makanan yang layak untuk
dikonsumsi adalah terbebas dari pencemaran dimulai dari tahap produksi
sampai penyajian makanan. Sehingga dalam produksi makanan penentuan
CCP harus dilakukan. CCP merupakan tahap penentuan titik pengendalian
yang dapat dilakukan untuk mencegah atau menghilangkan potensi bahaya
terhadap produk makanan (FAO, 2009). Tahap penentuan CCP yang benar
dapat menggunakan diagram alur CCP.
72
Bagan 6.1 Alur Proses Produksi Sayuran Matang
1. CCP pada Proses Produksi Tumis Wortel Jamur di Pondok Pesantren
A Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan bahan makanan.
Tahap persiapan terdiri dari proses pemotongan dan proses
pencucian bahan makanan. Ketika proses pemotongan ditemukan
adanya peluang kontak langsung antara penjamah dengan bahan
makanan saat proses pemotongan wortel dan bumbu masak yang
dilakukan secara manual dengan tangan penjamah makanan. Menurut
CDC (2016) sebanyak 89% makanan yang terkontaminasi disebabkan
oleh kuman yang terdapat pada tangan penjamah makanan. Sehingga
tindak penanganan yang dapat dilakukan untuk membersihkan kuman
yang terdapat di tangan adalah praktik mencuci tangan dengan sabun
dan air mengalir. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No 1096
tahun 2011 tentang higiene sanitasi jasa boga, penjamah makanan yang
bertugas mengolah makanan harus selalu menjaga kebersihan diri salah
satunya dengan melakukan praktik mencuci tangan pakai sabun dan air
mengalir.
Input
(Persiapan)
Output
(Penyajian)
Proses
(pengolahan)
73
Akan tetapi berdasarkan tabel 5.3 diketahui penjamah makanan di
pondok pesantren A tidak melakukan praktik mencuci tangan sebelum
melakukan penanganan makanan. Padahal mencuci tangan dengan
sabun merupakan salah satu intervensi kesehatan dengan biaya paling
efektif untuk dapat mencegah penyakit menular dan transmisi agent
infeksi pada masyarakat (Hirai, 2016).
Selain itu, berdasarkan tabel 5.4 penjamah juga tidak memotong
kuku seminggu sekali, dimana hal ini terlihat dari kondisi kuku
penjamah makanan yang panjang dan kotor saat menangani makanan.
Menurut Kemenkes RI (2011) penjamah makanan sebaiknya
menggunting kuku minimal seminggu sekali untuk menjaga kebersihan
kuku ketika akan kontak dengan makanan. karena jumlah mikroba pada
kuku yang panjang lebih banyak dibandingkan dengan kuku yang
pendek (Lin, 2017). Kondisi kuku yang panjang dan kotor
memungkinkan bakteri Coliform untuk tumbuh dan bersarang disana
Gambar 6.1 Proses persiapan bahan makanan di pondok A
74
sehingga ketika penjamah makanan kontak dengan makanan akan
membuat terjadinya kontaminasi silang. Tangan dan kuku penjamah
makanan yang berada dalam kondisi kotor sangat berpotensi
menimbulkan terjadinya kontaminasi silang dari tangan penjamah yang
kotor kedalam bahan makanan.
Kemudian, proses pencucian wortel, touge dan bumbu masak
pondok pesantren A menggunakan air keran ketika mencuci bahan
makanan yang akan dipergunakan untuk memproduksi tumis wortel
jamur. Terjadinya kontak antara air dengan bahan makanan ketika
pencucian dapat menjadi media transmisi bakteri ke dalam bahan
makanan tersebut. Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa sumber air
bersih di pondok pesantren A mengandung bakteri Coliform sebanyak
<3 MPN/ml sehingga tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri
Keseharan RI No 492/MENKES/PER/IV/2010 dimana kadar
maksimum total Coliform untuk air bersih adalah 0/100ml sampel air.
Kondisi air yang mengandung bakteri Coliform memiliki potensi besar
terhadap berpindahnya bakteri tersebut kedalam bahan pangan ketika
melakukan proses pencucian.
Terjadinya kontak langsung antara penjamah makanan dengan
bahan makanan ketika proses pemotongan dan kontak langsung antara
air yang terkontaminasi bakteri Coliform dengan bahan makanan ketika
proses pencucian tidak dapat dikatakan sebagai CCP (lampiran 11:A)
75
karena pada tahap selanjutnya masih terdapat pengolahan bahan
makanan menjadi tumis wortel jamur.
b) Tahap proses pengolahan
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:A), hal ini
dikarenakan pada saat memasak penjamah makanan menggunakan api
kompor dengan suhu maksimal sehingga membuat keberadaan bakteri
Coliform yang mungkin terdapat di dalam bahan makanan akibat proses
pencucian tidak ditemukan lagi setelah proses pengolahan. Bakteri
Coliform dikategorikan sebagai jenis bakteri mesofilik yang hanya
dapat tumbuh pada suhu 35ºC-37ºC (Marhamah, 2014). Menurut
National Restaurant Association Educational Foundation (NRAEF)
(2012) standar suhu untuk memasak sayuran harus mencapai 57ºC
(135ºF). Menurut penelitian Fathonah (2010) mengatakan bahwa sayur
Gambar 6.2 Proses Pengolahan Tumis Wortel Jamur
76
tumis harus dimasak hingga cukup layu agar dapat menjamin
keamanannya.
c) Tahap penyajian makanan
Pada tahap ini juga tidak terdapat CCP (lampiran 11:A). Hal ini
dikarenakan dari hasil observasi kondisi piring dan sendok yang
digunakan sebagai alat penyajian tumis wortel yang telah dimasak
berada dalam kondisi bersih. Selain itu berdasarkan tabel 5.6 dan 5.7
kondisi piring dan sendok memiliki nilai Coliform sebanyak <3
MPN/ml sehingga dikatakan telah memenuhi syarat sesuai No 1096
Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga dimana kadar
maksimum total Coliform untuk peralatan adalah <3 MPN/ml.
Peralatan di pondok pesantren A berada dalam kondisi baik karena
penjamah makanan menggunakan lap yang bersih ketika
membersihkan peralatan. Dimana dari hasil observasi penjamah
Gambar 6.3 Proses penyajian tumis wortel jamur
77
makanan mengatakan jika kain lap selalu diganti setiap hari sehingga
meminimalisir peluang keberadaan bakteri Coliform pada peralatan.
Kondisi sanitasi peralatan yang baik saat penyajian makanan akan
mempertahankan kualitas makanan yang dihidangkan. Berdasarkan
tabel 5.1 diketahui bahwa sampel tumis wortel jamur di pondok
pesantren tersebut mengandung bakteri Coliform sebanyak <3 MPN/gr,
sehingga telah memenuhi syarat kontaminasi Coliform pada makanan
sesuai Keputusan Mentreri Kesehatan RI No 1096 Tahun 2011 dimana
makanan memenuhi syarat jika kandungan bakteri Coliform <3
MPN/gr.
Dari proses penentuan CCP produksi tumis wortel jamur di pondok
pesantren A mulai dari tahap persiapan hingga penyajian makanan tidak
ditemukan CCP yang mampu menimbulkan kontaminasi Coliform kedalam
tumis wortel jamur.
2. CCP pada Proses Produksi Tumis Capcay di Pondok Pesantren B
Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan bahan makanan
Pada tahap persiapan, penjamah makanan menggunakan air yang
memiliki kandungan bakteri Coliform yang tinggi untuk mencuci bahan
makanan. Berdasarkan tabel 5.2 diketahui angka Coliform pada sumber
air bersih di pondok pesantren tersebut yaitu 55 MPN/ml sehingga
dikatakan tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Keseharan
RI No 492/MENKES/PER/IV/2010. Dari hasil observasi keberadaan
78
bakteri Coliform yang tinggi pada sumber air bersih disebabkan
dekatnya sumber air bersih dengan septic tank. Dimana sumber air
bersih seharusnya memiliki jarak ≥10 meter dengan sumber pencemar
sehingga mencegah perpindahan bakteri patogen kedalam sumber air
(Efendi, 2009). Dalam mencuci sayuran air yang dipakai harus terbebas
dari mikroba patogen karena kondisi bakteriologik air yang buruk
memiliki potensi besar terhadap kontaminasi pada bahan pangan
Terjadinya kontak langsung antara air yang terkontaminasi bakteri
Coliform dengan bahan makanan ketika proses pencucian tidak dapat
dikatakan sebagai CCP (lampiran 11:B) karena pada tahap selanjutnya
masih terdapat pengolahan bahan makanan menjadi tumis capcay
b) Tahap pengolahan
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:B). Hal ini
dikarenakan proses pengolahan sudah terdapat tindakan pengendalian
berupa penggunaan spatulla stainless yang bersih untuk mengaduk
Gambar 6.4 Proses pencucian bahan di pondok B
79
tumis capcay di dalam wajan. Dimana peralatan yang berbahan dasar
baja tahan panas (Stainless steel) memiliki kelebihan tidak mudah
bereaksi dengan bahan pangan dan mudah untuk dibersihkan sehingga
aman diaplikasikan pada berbagai jenis bahan makanan.
Selain itu, walaupun tidak diketahui temperatur suhu yang
digunakan penjamah dalam memasak tumis capcay, tapi dari hasil
observasi terlihat jika api yang digunakan berada dalam kondisi
maksimal. Menurut National Restaurant Association Educational
Foundation (NRAEF) (2012) standar suhu untuk memasak sayuran
harus mencapai 57ºC (135ºF). Sehingga proses termal yang baik sangat
dibutuhkan dalam kegiatan pengolahan makanan untuk mencegah atau
menghilangkan keberadaan bakteri patogen tersebut dalam makanan
yang akan dikonsumsi (Mailia, 2005).
Gambar 6.5 Proses pengolahan tumis capcay
80
c) Tahap penyajian
Penjamah makanan di pondok pesantren B menggunakan piring dan
sendok yang bersih sebagai untuk menyajikan tumis capcay sehingga
pada proses ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:B) yang menimbulkan
kontaminasi Coliform pada makanan. Berdasarkan tabel 5.6 dan 5.7
kondisi piring dan sendok di pondok pesantren B memiliki nilai
Coliform sebanyak <3 MPN/ml sehingga dikatakan telah memenuhi
syarat sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No 1096 Tahun 2011
tentang Higiene Sanitasi Jasaboga.
Kontaminasi yang tidak ditemukan dalam makanan yang telah
disajikan mengindikasikan bahwa higiene di tahap sebelumnya mulai
dari persiapan dan pengolahan sudah mendapatkan penanganan yang
baik (Eryando, 2014). Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa sampel
tumis capcay di pondok pesantren tersebut mengandung bakteri
Coliform sebanyak <3 MPN/gr, sehingga telah memenuhi syarat
Gambar 6.6 Proses penyajian tumis capcay
81
kontaminasi Coliform pada makanan sesuai Keputusan Mentreri
Kesehatan RI No 1096 Tahun 2011
Dari semua proses penentuan CCP produksi tumis capcay di pondok
pesantren B mulai dari tahap persiapan hingga penyajian makanan tidak
terdapat CCP yang mampu menimbulkan kontaminasi Coliform kedalam
tumis capcay.
3. CCP pada Proses Produksi Tumis Kangkung di Pondok Pesantren C
Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan bahan makan
Pada tahap persiapan, proses pemotongan dilakukan secara
manual oleh penjamah makanan sehingga memungkinkan terjadinya
kontak antara telapak tangan penjamah dengan bahan makanan.
Tangan dapat menjadi media perpindahan agent penyakit pada
makanan yang diproduksi sehingga mempengaruhi mutu dari
makanan yang dihasilkan (Rudiyanto, 2016). Oleh karena itu
penjamah makanan yang bertanggung jawab menangani makanan
harus melakukan praktik mencuci tangan untuk menghilangkan
bakteri yang mungkin terdapat pada telapak tangan.
Gambar 6.7 Proses pemotongan kangkung di Pondok C
82
Akan tetapi berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa penjamah
makanan di pondok pesantren C tidak mencuci tangan dengan sabun
dan air mengalir sebelum melakukan penanganan makanan. Dari hasil
wawancara mereka menganggap jika praktik mencuci tangan cukup
dilakukan ketika mencuci bahan makanan menggunakan air mengalir.
Padahal praktik mencuci tangan menggunakan sabun akan lebih
efektif untuk membunuh bakteri pada tangan dibandingkan dengan
mencuci tangan hanya dengan air saja (Ardi, 2013). Selain itu, dilihat
dari tabel 5.4 kuku tangan penjamah makanan di pondok pesantren C
berada dalam kondisi kotor dan panjang. Kondisi seperti ini sangat
berpotensi menimbulkan terjadinya kontaminasi silang dari tangan
penjamah yang kotor kedalam bahan makanan.
Pada proses pemotongan, selain penjamah makanan kondisi dari
talenan yang dipergunaan untuk memotong kangkung dan bahan
makanan lainnya juga berpotensi menimbulkan bahaya kontaminasi
Coliform pada bahan makanan. Dilihat dari hasil observasi talenan
yang digunakan sebagai alat memotong kangkung berbahan dasar
kayu, dimana peralatan yang berasal dari kayu memiliki kekurangan
mudah lapuk dan mudah menyerap air sehingga mampu menjadi
tempat potensial pertumbuhan bakteri Coliform yang menyukai
lingkungan dengan kadar air yang tinggi (Rauf, 2013).
Pada proses pencucian bahan makanan di pondok pesantren C
ditemukan jika penjamah makanan mencuci kangkung dan bahan
83
dasar lainnya menggunakan air yang berasal dari keran. Dimana
berdasarkan tabel 5.13 diketahui bahwa angka Coliform pada sumber
air bersih di pondok pesantren tersebut yaitu 7 MPN/ml sehingga
dikatakan tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Keseharan
RI No 492/MENKES/PER/IV/2010. Kondisi air keran yang
mengandung bakteri Coliform dapat mencemari bahan makanan saat
proses pencucian dilakukan.
Terjadinya kontak langsung antara penjamah makanan dengan
bahan makanan ketika proses pemotongan dan kontak langsung antara
air yang terkontaminasi bakteri Coliform dengan bahan makanan
ketika proses pencucian tidak dapat dikatakan sebagai CCP (lampiran
11:C) karena pada tahap selanjutnya masih terdapat pengolahan bahan
makanan menjadi tumis kangkung
b) Tahap pengolahan
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:C). Hal ini
dikarenakan ketika proses pengolahan kangkung penjamah makanan
Gambar 6.8 Proses pencucian kangkung
pondok C
84
sudah melakukan tindak pengendalian dengan melakukan proses
termal (suhu panas).
c) Tahap penyajian
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:C). Kondisi piring
dan sendok yang digunakan sebagai wadah dan alat penyajian
memiliki nilai bakteriologik yang baik. Berdasarkan tabel 5.3 piring
dan sendok di pondok pesantren C keduanya memiliki nilai Coliform
sebanyak <3 MPN/ml sehingga dikatakan telah memenuhi syarat
sesuai No 1096 Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Dari
hasil observasi diketahui jika penjamah makanan selalu mencuci piring
yang telah dipakai dengan sabun dan air mengalir dan menggunakan
tissu sekali pakai untuk membersihkan peralatan. Penggunaan kain
sekali pakai dapat menurunkan peluang berpindahnya bakteri dari kain
lap kedalam permukaan peralatan (Puspi, 2018).
Gambar 6.9 Proses pengolahan tumis kangkung pondok C
85
Peralatan yang akan dipakai pada tahap penyajian makanan harus
terjamin kualitasnya untuk menjaga mutu dari makanan yang
dihidangkan. Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa sampel tumis
kangkung di pondok pesantren tersebut mengandung bakteri Coliform
sebanyak <3 MPN/gr, sehingga telah memenuhi syarat kontaminasi
Coliform pada makanan sesuai Keputusan Mentreri Kesehatan RI No
1096 Tahun 2011. Kondisi produk tumis kankung yang memenuhi
syarat mengindikasikan jika tahap proses pengolahan sebelumnya
dilakukan dengan baik sehingga mampu memutus mata rantai
perpindahan bakteri Coliform dari proses persiapan.
Dari semua proses penentuan CCP (lampiran 11:C) produksi tumis
kangkung di pondok pesantren C mulai dari tahap persiapan hingga
penyajian tidak terdapat CCP yang mampu menimbulkan kontaminasi
Coliform kedalam tumis kangkung.
4. CCP pada Proses Produksi Sayur Asem di Pondok Pesantren D
Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan bahan makanan
Pada tahap persiapan bahan makanan penjamah makanan di pondok
pesantren D memiliki higiene yang buruk. Berdasarkan tabel 5.3
penjamah makanan di pondok pesantren D tidak melakukan praktik
mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Kondisi kuku
penjamah makanan juga dilihat berdasarkan tabel 5.4 berada dalam
kondisi panjang dan kotor. Dimana kondisi seperti ini akan
86
memungkinkan perpindahan bakteri dari tangan penjamah makanan
kedalam bahan makanan ketika kontak langsung dengan bahan
makanan saat proses pemotongan.
Selain itu, pada proses pencucian bahan kacang panjang, jagung,
labu siam dan bahan lainnya menggunakan menggunakan air yang
berasal dari keran. Dimana berdasarkan tabel 5.2 diketahui angka
Coliform pada sumber air bersih di pondok pesantren tersebut yaitu <2
MPN/ml sehingga dikatakan tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan
Menteri Keseharan RI No 492/MENKES/PER/IV/2010. Dalam
kegiatan sanitasi makanan peran air sangat dibutuhkan, mulai dari
proses penyiapan bahan makanan, pencucian peralatan makan hingga
proses pengolahan makanan (Mustika, 2015). Sehingga kualitasnya
harus selalu dijaga untuk menjamin mutu dari makanan yang
dihasilkan dan aman untuk dikonsumsi.
Kemudian pada proses pembuatan bumbu masak penjamah
makanan menggunakan cobek (ulekan) untuk menghaluskan bawang,
cabe dan bahan lainnya. Penjamah makanan menggunakan ulekan
setelah dicuci tanpa mengeringkannya terlebih dahulu. Sehingga
kondisi cobek yang basah dapat menjadi peluang kontaminasi
Coliform kedalam bumbu masak yang akan digunakan untuk
memproduksi sayur asem.
87
Terjadinya kontak langsung antara penjamah makanan dengan
bahan makanan ketika proses pemotongan, air yang terkontaminasi
bakteri Coliform dengan bahan makanan ketika proses pencucian dan
bahan makanan dengan peralatan (ulekan) ketika proses pembuatan
bumbu tidak dapat dikatakan sebagai CCP karena pada tahap
selanjutnya masih terdapat pengolahan bahan makanan menjadi sayur
asem.
b) Tahap pengolahan
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:D). Dari hasil
observasi ditemukan jika penjamah makanan menggunakan air keran
yang mengandung bakteri Coliform untuk memasak sayur asem. Akan
tetapi penjamah makanan melakukan tindak pengendalian berupa
merebus air terlebih dahulu hingga mendidih sehingga memutus
peluang keberadaan bakteri Coliform pada air yang digunakan.
Setelah air mendidih kacang panjang, jagung, labu siam dan bahan
Gambar 6.10 proses pengolahan sayur asem
88
lainnya dimasukan kedalam panci untuk selanjutnya dimasak
bersamaan hingga bahan makanan. Kondisi air yang mendidih akan
memutus rantai perpindahan dari air kedalam sayur asem yang akan
diproduksi. Sayur berkuah harus dimasak hingga benar-benar
mendidih dan sayur di dalamnya sudah cukup empuk yang
menandakan suhu minimal 70ºC telah tercapai (Fathonah, 2010).
.
c) Tahap penyajian
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:D) yang dapat
berasal dari penggunaan alat ketika akan menyajikan makanan. Hal ini
dikarenakan penyajian dilakukan dengan menggunakan panci masak
sehingga walaupun kondisi piring dan sendok yang berada di pondok
pesantren memiliki nilai bakteriologik yang buruk, berdasarkan tabel
5.6 dan 5.7 piring dan sendok di pondok pesantren D memiliki nilai
Coliform masing-masing sebanyak 3 MPN/ml dan 240 MPN/ml
sehingga dikatakan tidak memenuhi syarat sesuai No 1096 Tahun 2011
Gambar 6.11 Proses penyajian sayur asem
89
tentang Higiene Sanitasi Jasaboga namun tidak mempengaruhi kualitas
dari sayur asem yang disajikan. Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa
sampel sayur asem di pondok pesantren tersebut mengandung bakteri
Coliform sebanyak <3 MPN/gr, sehingga telah memenuhi syarat
kontaminasi Coliform pada makanan sesuai Keputusan Mentreri
Kesehatan RI No 1096 Tahun 2011
Dari semua proses penentuan CCP (lampiran 11:D) produksi sayur
asem di pondok pesantren D mulai dari tahap persiapan hingga penyajian
sayur asem tidak terdapat CCP yang mampu menimbulkan kontaminasi
Coliform kedalam makanan.
5. CCP pada Proses Produksi Tumis Kembang Tahu di Pondok
Pesantren E Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan bahan makanan
Pada tahap persiapan penjamah makanan memiliki perilaku
higiene yang buruk saat melakukan kontak langsung dengan kembang
tahu dan kol yang akan dipotong. Dilihat dari tabel 5.3 penjamah
makanan di pondok pesantren E tidak melakukan praktik mencuci
tangan sebelum melakukan penanganan makanan. Menurut CDC
(2011) penjamah makanan melakukan sekitar 9 kegiatan kerja dalam
satu jam yang seharusnya melibatkan kegiatan mencuci tangan.
Namun, tingkat mencuci tangan yang dimilikinya sangat rendah. Hal
ini menunjukkan bahwa mereka tidak tahu kapan harus mencuci
90
tangan atau kadang-kadang mereka memilih untuk tidak melakukan
praktik mencuci tangan.
Kurangnya pengetahuan terkait kapan waktu yang diharuskan
untuk mencuci tangan membuat mereka menganggap jika praktik
mencuci tangan telah dilakukan ketika mereka mencuci bahan
makanan yang akan diolah dengan air mengalir atau ketika mereka
mencuci peralatan makan menggunakan sabun di tempat cuci piring.
Kondisi seperti ini sangat berpotensi menimbulkan terjadinya
kontaminasi silang dari tangan penjamah yang kotor kedalam bahan
makanan.
Gambar 6.12 Proses pemotongan kol
Gambar 6.13 Proses pencucian bahan
kembang tahu
91
Selain itu, proses pencucian juga mampu menimbulkan
kontaminasi Coliform pada bahan makanan. Kondisi bakteriologik air
bersih yang digunakan untuk penanganan makanan di pondok
pesantren E mengandung bakteri Coliform sebanyak 2 MPN/ml
sehingga dikatakan tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri
Keseharan RI No 492/MENKES/PER/IV/2010. Dimana ketika
kembang tahu dan kol kontak dengan air keran saat pencucian akan
memberikan peluang bakteri Coliform untuk menempel pada bahan
makanan yang akan dimasak.
Terjadinya kontak langsung antara penjamah makanan dengan
bahan makanan ketika proses pemotongan dan kontak langsung antara
air yang terkontaminasi bakteri Coliform dengan bahan makanan ketika
proses pencucian tidak dapat dikatakan sebagai CCP (lampiran 11:E)
karena pada tahap selanjutnya masih terdapat pengolahan bahan
makanan menjadi tumis kembang tahu
Gambar 5.14 Proses Pengolahan tumis
kembang tahu
92
b) Tahap pengolahan
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:E) yang mampu
menimbulkan kontaminasi Coliform pada makanan. Kondisi
pemasakan yang menggunakan pengendalian termal (panas) dapat
menghilangkan keberadaan bakteri Coliform yang sebelumnya
mungkin berada dalam kol dan kembang tahu akibat proses pencucian.
Menurut penelitian Fathonah (2010) mengatakan bahwa sayur tumis
harus dimasak hingga cukup layu agar dapat menjamin keamanannya.
c) Tahap penyajian
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:E). Hal ini dikarenakan
penyajian tumis kembang tahu dilakukan dengan hanya menutup
wajan yang berisi tumis kembang tahu untuk selanjutnya para santri
mengambilnya sendiri. Walaupun berdasarkan tabel 5.5 dan tabel 5.6
kondisi piring dan sendok dikatakan tidak memenuhi syarat. Tapi pada
saat penyajian tumis kembang tahu yang telah dimasak kedua peralatan
Gambar 5.15 Proses penyajian tumis
kembang tahu
93
tersebut tidak digunakan. Sehingga memutus peluang terjadinya
kontaminasi silang antara peralatan dengan tumis kembang tahu yang
akan disajikan. Dilihat dari tabel 5.1 sampel tumis kembang tahu di
pondok pesantren tersebut mengandung bakteri Coliform sebanyak <3
MPN/gr, sehingga telah memenuhi syarat kontaminasi Coliform pada
makanan sesuai Keputusan Mentreri Kesehatan RI No 1096 Tahun
2011
Dari semua proses penentuan CCP (lampiran 11:E) produksi tumis
kembang tahu di pondok pesantren E mulai dari tahap persiapan hingga
penyajian tumis kembang tahu tidak ditemukan terdapat CCP yang mampu
menimbulkan kontaminasi Coliform kedalam makanan.
6. CCP pada Proses Produksi Sayur Sop di Pondok Pesantren F
Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan
Pada tahap persiapan proses pemotongan, penjamah makanan yang
bertugas memotong bahan makanan memiliki perilaku higiene yang
tidak baik sehingga dapat mempengaruhi kualitas bahan makanan yang
kontak dengannya. Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa penjamah
makanan tidak melakukan praktik mencuci tangan dengan sabun dan
air mengalir.
94
Dari observasi yang peneliti lakukan penjamah makanan di pondok
pesantren F tidak melakukan praktik mencuci tangan yang memenuhi
syarat karena mereka terlalu fokus terhadap tanggung jawabnya untuk
menyediakan makanan secara tepat waktu sesuai dengan jam makan
para santri yang telah ditentukan dimana ketika seorang penjamah
makanan sedang sibuk dalam melakukan kegiatan pengolahan makanan
akan membuatnya melupakan hal kecil yang sebenarnya penting untuk
dilakukan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Green
(2017) yang mengatakan jika peluang yang dimiliki oleh penjamah
makanan ketika sibuk bekerja hanya 0,45 kali untuk melakukan praktik
cuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Kondisi seperti ini
berpotensi menimbulkan terjadinya kontaminasi silang yang dapat
mencemari bahan makanan
Gambar 5.16 Proses pemotongan bahan
sayur sop pondok F
95
Sedangkan pada proses pencucian bahan makanan, juga terdapat
CCP (lampiran 11:F) karena penjamah makanan di pondok pesantren F
menggunakan air keran untuk membersihkan wortel, kentang dan
bahan dasar pembuat sayur sop dengan menggunakan air keran.
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui jika angka Coliform pada sumber air
bersih di pondok pesantren tersebut sebanyak 8 MPN/ml sehingga
dikatakan tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Keseharan
RI No 492/MENKES/PER/IV/2010. Kondisi bakteriologik air yang
buruk memiliki potensi besar terhadap terkontaminasinya bahan
pangan pada saat kegiatan pencucian.
Terjadinya kontak langsung antara penjamah makanan dengan
bahan makanan ketika proses pemotongan dan kontak langsung antara
air yang terkontaminasi bakteri Coliform dengan bahan makanan ketika
proses pencucian tidak dapat dikatakan CCP (lampiran 11:F) karena
pada tahap selanjutnya masih terdapat pengolahan bahan makanan
menjadi sayur sup.
Gambar 5.17 Proses pencucian bahan
sayur sop
96
b) Tahap pengolahan
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:F). Hal ini
dikarenakan proses pengolahan sayur sop sudah terdapat tindakan
pengendalian berupa proses thermal. Menurut FAO (2017) memasak
sup sayuran harus menjamin suhu memasak mencapai 70ºC. Sehingga
walaupun dalam pengolahan sayur sop membutuhkan air sebagai
bahan dasarnya, tapi penjamah makanan telah melalukan penendalian
termal dengan merebus air terlebih dahulu hingga benar-benar
mendidih. Kemudian memasukan bahan makanan yang akan dimasak
agar tidak merusak kandungan gizi yang terdapat pada sayuran
c) Tahap penyajian
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:F) yaitu penggunaan
alat bantu ketika melakukan penyajian makanan. Hal ini dikarenakan
penyajian dilakukan dengan menggunakan toples besar sehingga
walaupun kondisi piring yang berada di pondok pesantren memiliki
nilai bakteriologik yang buruk berdasarkan tabel 5.6 piring di pondok
Gambar 5.18 Proses pengolahan sayur sop
pondok F
97
pesantren E memiliki nilai Coliform sebanyak 1100 MPN/ml sehingga
dikatakan tidak memenuhi syarat sesuai No 1096 Tahun 2011 tentang
Higiene Sanitasi Jasaboga. Tapi tidak akan mempengaruhi kualitas
dari makanan yang akan disajikan. Dilihat dari tabel 5.1 sampel sayur
sop di pondok pesantren tersebut mengandung bakteri Coliform
sebanyak <3 MPN/gr, sehingga telah memenuhi syarat kontaminasi
Coliform pada makanan sesuai Keputusan Mentreri Kesehatan RI No
1096 Tahun 2011
Dari semua proses penentuan CCP (lampiran 11:F) produksi sayur sup
di pondok pesantren F mulai dari tahap persiapan hingga penyajian sayur
sup tidak ditemukan terdapat CCP yang mampu menimbulkan kontaminasi
bakteri Coliform pada makanan.
7. CCP pada Proses Produksi Tumis Terong di Pondok Pesantren I
Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan bahan makanan
Berdasarkan hasil observasi pada proses pemotongan bahan
makanan di pondok pesantren I ditemukan kondisi yang
memungkinkan terjadinya kontaminasi Coliform pada bahan
makanan. Hal ini disebabkan oleh perilaku higiene penjamah dan
peralatan yang digunakan untuk pemotongan berdasarkan tabel 5.4
diketahui bahwa penjamah makanan melakukan praktik menggunting
kuku seminggu sekali.
98
Namun, penggunaan cara tradisional yang masih memakai kayu
bakar untuk memasak membuat tangan penjamah lebih mudah untuk
kotor, berdasarkan tabel 5.3 diketahui penjamah makanan di pondok
pesantren I tidak mencuci tangan sebelum menangani makanan.
kondisi seperti ini akan memicu keberadaan bakteri Coliform pada
bahan makanan yang kontak langsung dengan penjamah makanan saat
proses pemotongan.
Kemudian, pada proses pencucian bahan makanan juga dapat
menjadi titik kendali kritis yang memicu keberadaan bakteri Coliform
karena berdasarkan tabel 5.2 kondisi air di pondok pesantren I
mengandung bakteri Coliform sebesar >1600 MPN/ml. Sehingga
bahan makanan yang dicuci menggunakan air tersebut berpeluang
mengandung bakteri Coliform.
Terjadinya kontak langsung antara penjamah makanan dengan
bahan makanan ketika proses pemotongan dan kontak langsung antara
air yang terkontaminasi bakteri Coliform dengan bahan makanan
Gambar 5.19 Proses persiapan tumis terong
99
ketika proses pencucian tidak dapat dikatakan sebagai CCP (lampiran
11:I) karena pada tahap selanjutnya masih terdapat pengolahan bahan
makanan menjadi tumis terong
b. Tahap pengolahan
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:I). Hal ini
dikarenakan penjamah makanan telah melakukan tindak pengendalian
berupa proses termal yang baik dengan tungku api maksimal sehingga
mampu menghilangkan keberadaan bakteri Coliform di dalam bahan
pangan akibat proses pencucian. Menurut FAO (2017) memasak sup
sayuran harus menjamin suhu memasak mencapai 70ºC.
c. Tahap penyajian
Pada tahap ini tidak ditemukan terdapatnya CCP (lampiran 11:I)
karena penyajian tumis terong yang sudah dimasak disajikan
menggunakan wajan tanpa dipindahkan terlebih dahulu kedalam
wadah piring. Dari hasil wawancara penjamah makanan mengatakan
Gambar 5.20 Proses pengolahan tumis
terong
100
bahwa karena jumlah santri yang hanya sedikit menyebabkan ketika
waktu makan para santri sendiri yang akan mengambil tumis terong
dari atas wajan tersebut.
Kondisi seperti ini membuat walaupun berdasarkan tabel 5.6 dan
5.7 kualitas piring dan sendok yang dimiliki pondok pesantren I
mengandung bakteri Coliform sebanyak > 3 MPN/ml, namun dalam
kegiatan penyajian tumis terong tidak digunakan sebagai alat
penyajian makanan maka kualitas dari makanan tersebut akan tetap
terjaga. Berdasarkan tabel 5.1 sampel tumis terong di pondok
pesantren I mengandung bakteri Coliform sebanyak <3 MPN/gr,
sehingga telah memenuhi syarat kontaminasi Coliform pada makanan
sesuai Keputusan Mentreri Kesehatan RI No 1096 Tahun 2011
Dari semua proses penentuan CCP (lampiran 11:I) produksi tumis
terong di pondok pesantren I mulai dari tahap persiapan hingga penyajian
makanan tidak ditemukan terdapat CCP yang mampu menimbulkan
kontaminasi Coliform pada makanan.
8. CCP pada Proses Produksi Tumis Kacang Panjang di Pondok
Pesantren J Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan
Berdasarkan alur CCP (lampiran 11:J) pada proses pemotongan
kacang panjang dan bahan dasar di pondok pesatren J terdapat bahaya
yang mampu menimbulkan kontaminasi Coliform pada bahan
makanan. Bahaya langsung dengan bahan makanan yang akan
101
dipotong. Dilihat dari tabel 5.3 penjamah makanan di pondok pesantren
J tidak melakukan praktik mencuci tangan sebelum melakukan
penanganan makanan. Dari hasil observasi menunjukkan bahwa
mereka tidak tahu kapan harus mencuci tangan atau kadang-kadang
mereka memilih untuk tidak melakukan praktik mencuci tangan.
Kondisi kuku penjamah makanan juga dilihat berdasarkan tabel 5.6
berada dalam kondisi panjang dan kotor. Dimana kondisi seperti ini
akan memungkinkan perpindahan bakteri dari tangan penjamah
makanan kedalam bahan makanan ketika kontak langsung dengan
bahan makanan saat proses pemotongan.
Kemudian, pada proses pencucian bahan kacang panjang dan bahan
lainnya menggunakan penjamah makanan menggunakan air yang
berasal dari keran. Dimana berdasarkan tabel 5.2 diketahui angka
Coliform pada sumber air bersih di pondok pesantren tersebut yaitu 9
MPN/ml sehingga dikatakan tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan
Menteri Keseharan RI No 492/MENKES/PER/IV/2010. Dalam
kegiatan sanitasi makanan peran air sangat dibutuhkan sehingga
kualitasnya harus selalu dijaga untuk menjamin mutu dari makanan
yang dihasilkan dan aman untuk dikonsumsi.
Terjadinya kontak langsung antara penjamah makanan dengan
bahan makanan ketika proses pemotongan dan kontak langsung antara
air yang terkontaminasi bakteri Coliform dengan bahan makanan
ketika proses pencucian tidak dapat dikatakan sebagai CCP karena
102
pada tahap selanjutnya masih terdapat pengolahan bahan makanan
menjadi tumis kacang panjang
b) Tahap pengolahan
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:J). Hal ini
dikarenakan penjamah makanan telah melakukan tindak pengendalian
berupa proses termal yang baik dengan tungku api maksimal sehingga
mampu menghilangkan keberadaan bakteri Coliform di dalam bahan
pangan akibat proses pencucian. Menurut penelitian Fathonah (2010)
mengatakan bahwa sayur tumis harus dimasak hingga cukup layu agar
dapat menjamin keamanannya.
c) Tahap Penyajian
Pada tahap ini tidak ditemukan terdapatnya CCP (lampiran 11:J)
karena penyajian tumis kacang panjang yang sudah dimasak disajikan
menggunakan wajan tanpa dipindahkan terlebih dahulu kedalam wadah
piring. Dari hasil wawancara penjamah makanan mengatakan bahwa
Gambar 5. 21 Proses pengolahan tumis
kacang panjang
103
karena jumlah santri yang hanya sedikit menyebabkan ketika waktu
makan para santri sendiri yang akan mengambil tumis kacang panjang
dari atas wajan tersebut. Kondisi seperti ini membuat walaupun
berdasarkan tabel 5.6 dan 5.7 kualitas piring dan sendok yang dimiliki
pondok pesantren J mengandung bakteri Coliform sebanyak > 3
MPN/ml, namun dalam kegiatan penyajian tumis kacang panjang tidak
digunakan sebagai alat penyajian makanan maka kualitas dari makanan
tersebut akan tetap terjaga. Berdasarkan hasil penelitian sampel tumis
kacang panjang di pondok pesantren J mengandung bakteri Coliform
sebanyak <3 MPN/gr, sehingga telah memenuhi syarat kontaminasi
Coliform pada makanan sesuai Keputusan Mentreri Kesehatan RI No
1096 Tahun 2011
Dari semua proses penentuan CCP (lampiran 11:J) produksi tumis
kacang panjang di pondok pesantren J mulai dari tahap persiapan hingga
tahap penyajian makanan tidak ditemukan terdapat CCP yang mampu
menimbulkan kontaminasi Coliform pada makanan.
9. CCP pada Proses Produksi Tumis Kacang Panjang di Pondok
Pesantren G Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan
Berdasarkan alur CCP (lampiran 11:G) pada proses pemotongan
kangkung dan bahan dasar lainnya terdapat CCP yang mampu
menimbulkan kontaminasi Coliform pada bahan makanan. Peluang
terkontaminasinya bahan makanan oleh bakteri Coliform dapat
104
disebabkan karena adanya kontak langsung antara tangan penjamah
yang kotor dengan bahan makanan.
Berdasarkan tabel 5.3 penjamah makanan di pondok pesantren G
diketahui hanya mencuci tangan dengan air mengalir dimana kondisi
seperti ini tidak akan mampu membunuh kuman yang terdapat pada
telapak tangan. Karena hanya praktik mencuci tangan dengan sabun
dan air mengalir yang dapat mengurangi kuman di tangan pekerja dan
penyebaran kuman dari tangan ke makanan (CDC, 2017).
Sedangkan berdasarkan tabel 5.4 penjamah makanan juga tidak
melakukan praktik memotong kuku seminggu sekali, hal ini dilihat
dari kondisi kuku penjamah makanan yang masih panjang dan kotor
saat kegiatan produksi tumis kacang panjang. Ujung –ujung kuku
yang panjang dan kotor dapat menjadi tempat bakteri Salmonella dan
E.coli dapat bertahan hidup untuk periode waktu yang berbeda-beda
bahkan setelah melakukan praktik mencuci tangan (Agyei, 2013).
Gambar 5.23 Proses pengolahan tumis
kacang panjang pondok G
105
Pada proses pencucian kacang panjang dan bahan dasar lainnya
terdapat CCP (lampiran 11:G) yang mampu menimbulkan
kontaminasi Coliform pada bahan makanan. Dari hasil observasi
penjamah makanan melakukan pencucian kacang panjang dengan
selang air yang berada disamping sungai. Selain itu ditemukan jika
sumber air bersih yang dipergunakan untuk penanganan makanan
berasal dari sumur gali yang dekat dengan sungai.
Gambar 5.25 Lokasi sumber air Pondok G
Gambar 5.24 Proses pencucian kacang
panjang pondok G
106
Sumur yang berdekatan dengan sungai memiliki peluang yang
tinggi untuk tercemar secara bakteriologis. Berdasarkan tabel 5.2
ditemukan jika pondok pesantren G memiliki sumur gali dengan
kandungan Coliform sebesar >1600 MPN/ml. Air sungai yang
mengandung campuran limbah baik domesik ataupun pabrik akan
mampu merembes masuk kedalam sumur yang tidak jauh dari sungai
tersebut dan mempengaruhi kualitasnya.
Hal ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Anggriani
(2014) yang mengatakan bahwa sebanyak 65% sumur gali yang
memiliki jarak dekat dengan sungai telah terkontaminasi bakteri
Coliform. Menurut penelitian Anggriani (2014) jarak yang
diperbolehkan dalam pembuatan sumur adalah 60,7 meter dari sungai.
Keberadaan bakteri Coliform pada air yang digunakan untuk mencuci
kacang panjang akan mendukung transmisinya sehingga mampu
mengkontaminasi bahan makanan.
Gambar 5.26 Proses pengolahan tumis
kacang panjang pondok G
107
Terjadinya kontak langsung antara penjamah makanan dengan
bahan makanan ketika proses pemotongan dan kontak langsung antara
air yang terkontaminasi bakteri Coliform dengan bahan makanan
ketika proses pencucian tidak dapat dikatakan sebagai CCP (lampiran
11:G) karena pada tahap selanjutnya masih terdapat pengolahan bahan
makanan menjadi tumis kacang panjang.
b) Tahap pengolahan
Pada tahap ini tidak terdapat CCP (lampiran 11:G). Hal ini dikarenakan
penjamah makanan telah melakukan tindak pengendalian berupa
proses termal yang baik dengan tungku api maksimal sehingga mampu
menghilangkan keberadaan bakteri Coliform di dalam bahan pangan
akibat proses pencucian. Menurut penelitian Fathonah (2010)
mengatakan bahwa sayur tumis harus dimasak hingga cukup layu agar
dapat menjamin keamanannya.
Gambar 5.27 Proses penyajian tumis
kacang panjang pondok G
108
c) Tahap penyajian makanan
Pada tahap ini diketahui terdapat CCP (lampiran 11:G) yaitu
penggunaan alat bantu ketika penyajian tumis kacang panjang.
Penjamah makanan menggunakan wadah piring yang tidak steril
untuk menyajikan makanan. Berdasarkan tabel 5.5 piring di pondok
pesantren G memiliki angka Coliform sebanyak 460 MPN/ml
sehingga dikatakan tidak memenuhi syarat sesuai No 1096 Tahun
2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Hal ini disebabkan karena
penjamah makanan di pondok pesantren G mengganti kain/serbet 2-3
hari sekali dan menggunakan serbet/kain lap kotor untuk
membersihkan peralatan. Dilihat dari hasil observasi, saat kegiatan
penyelenggaraan makanan penjamah makanan menggunakan kain
lap/serbet yang sama untuk membersihkan sudut permukaan
(permukaan peralatan, permukaan meja, dan lainnya) ataupun telapak
tangan. Sehingga kain lap/ serbet yang terkontaminasi jika digosokan
pada permukaan akan mampu mentrasfer organisme patogen ke
permukaan tersebut dalam jumlah yang cukup banyak. Selain itu,
penjamah makanan juga meletakan kain lap secara sembarangan yang
membuat debu, minyak dan kotoran lainnya menempel pada kain lap
yang akan digunakan untuk membersihkan peralatan. Temuan ini
membuktikan jika periode penggantian dan kebersihan serbet/kain
yang digunakan untuk membersihkan peralatan membuat bakteri
Coliform menempel pada peralatan yang kontak dengannya. Menurut
109
Puspi (2018) kondisi kain lap/serbet yang kotor, bau dan tidak terawat
memudahkan pertumbuhan bakteri yang nantinya mampu
mengkontaminasi peralatan makan.
Adanya bakteri Coliform pada piring yang digunakan sebagai wadah
penyajian kacang panjang mampu menjadi media transmisi bakteri
kedalam makanan sehingga berdasarkan tabel 5.1 sampel tumis kacang
panjang di pondok pesantren tersebut mengandung bakteri Coliform
sebanyak 4 MPN/gr, sehingga tidak memenuhi syarat kontaminasi
Coliform pada makanan sesuai Keputusan Mentreri Kesehatan RI No
1096 Tahun 2011
Dari semua proses penentuan CCP (lampiran 11:G) produksi tumis
kacang panjang di pondok pesantren G mulai dari tahap persiapan hingga
penyajian tumis kacang panjang, ditemukan 1 CCP yang mampu
menimbulkan kontaminasi Coliform kedalam makanan yaitu pada proses
penyajian.
10. CCP pada Proses Produksi Sayur Sop di Pondok Pesantren H
Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan bahan makanan
Tahap persiapan terdiri dari proses pemotongan bahan makanan
dan proses pencucian bahan makanan. Pada proses pemotongan bahan
makanan terdapatnya peluang yang menimbulkan kontaminasi
Coliform pada bahan makanan yaitu berasal dari tangan penjamah
makanan yang tidak menerapkan perilaku higiene yang baik. Dilihat
110
dari tabel 5.4 kondisi kuku penjamah makanan telah memenuhi syarat
karena terlihat pendek dan bersih. Namun penjamah makanan di
pondok pesantren H tidak melakukan proses pencucian tangan dengan
sabun dan air mengalir saat kontak dengan bahan makanan pada
proses pemotongan sehingga peluang berpindahnya bakteri Coliform
dari tangan penjamah kedalam bahan makanan dapat terjadi.
Sedangkan pada proses pencucian bahan makanan terdapat
potensi kontaminasi Coliform pada bahan makanan yang berasal dari
air yang digunakan untuk proses pencucian. Dalam kegiatan
pengolahannya pondok pesantren H menggunakan sumber air yang
berasal dari sumur gali yang yang berada disamping septic tank.
Sehingga berdasarkan tabel 5.2 nilai Coliform pada sumber air bersih
tersebut yaitu 39 MPN/ml sehingga dikatakan tidak memenuhi syarat
sesuai Peraturan Menteri Keseharan RI No
492/MENKES/PER/IV/2010. Kualitas air yang buruk karena
Gambar 5.28 Persiapan bahan makanan pondok H
111
mengandung bakteri Coliform mampu membuat bakteri tersebut
menempel pada bahan makanan yang kontak dengannya.
Terjadinya kontak langsung antara penjamah makanan dengan
bahan makanan ketika proses pemotongan dan kontak langsung antara
air yang terkontaminasi bakteri Coliform dengan bahan makanan
ketika proses pencucian tidak dapat dikatakan sebagai CCP (lampiran
11:H) karena pada tahap selanjutnya masih terdapat pengolahan bahan
makanan menjadi sayur sup.
b) Tahap pengolahan
Pada tahap ini tidak terdapat CCP yang mampu menyebabkan
kontaminasi Coliform pada makanan. hal ini dikarenakan walaupun
penjamah makanan menggunakan air yang memiliki kandungan
bakteri Coliform dalam memasak sayur sop, namun penjamah
makanan melalukan perebusan air terlebih dahulu hingga mendidih
untuk kemudian setelahnya dimasukan bahan makanan seperti wortel,
kentang dan bahan dasar lainnya. Perebusan air hingga mendidih dapat
memutus rantai penularan bakteri Coliform dari air kedalam makanan
karena bakteri Coliform termasuk bakteri gram negatif yang rentan
terhadap suhu tinggi. Menurut FAO (2017) memasak sup sayuran
harus menjamin suhu memasak mencapai 70ºC
c) Tahap penyajian
Pada tahap ini terdapat 1 CCP (lampiran 11:H). Titik kendali
kritis tersebut yaitu pada potensi kontaminasi Coliform yang berasal
112
dari peralatan yang digunakan ketika melakukan penyajian sayur sop.
Dari tabel 5.5 ditemukan bahwa sendok sup di pondok pesantren H
memiliki angka Coliform sebanyak 3 MPN/ml sehingga dikatakan
tidak memenuhi syarat sesuai No 1096 Tahun 2011 tentang Higiene
Sanitasi Jasaboga.
Terdapatnya bakteri Coliform pada peralatan dapat disebabkan
karena kondisi rak penyimpanan peralatan terbuka sehingga
memudahkan serangga atau hewat pengerat menjangkaunya. Hewan
pengerat seperti tikus, kecoa dan lainnya hidup di lingkungan kotor
dan kemungkinan membawa bakteri patogen sangat potensial
sehingga ketika hewan tersebut kontak dengan peralatan melalui
gigitan atau pergesekan tubuhnya dapat menjadi media penyebaran
bakteri patogen pada peralatan (Martelli, 2017). Sehingga adanya
kontak langsung antara sendok dengan sayur sop yang akan disajikan
mampu memicu ternjadinya kontaminasi silang yang mempengaruhi
kualitas sayur sop. Berdasarkan tabel 5.1 sampel sayur sop di pondok
pesantren H mengandung bakteri Coliform sebanyak 9 MPN/gr dan
dikatakan tidak memenuhi syarat kontaminasi Coliform pada
makanan sesuai Keputusan Mentreri Kesehatan RI No 1096 Tahun
2011
113
Dari semua proses penentuan CCP (lampiran 11:H) sayur sup di
pondok pesantren H mulai dari tahap persiapan hingga penyajiansayur sup,
ditemukan 1 CCP yang mampu menimbulkan kontaminasi Coliform
kedalam makanan yaitu pada proses penyajian.
11. CCP pada Proses Produksi Sayur Labu Tempe Kuning di Pondok
Pesantren K Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan bahan makanan
Pada tahap ini terdapat proses pemotongan bahan makanan dan
proses pencucian bahan makanan. Pada saat proses pemotongan
ditemukan jika perilaku higiene penjamah yang menangani makanan
berada dalam kondisi buruk. Berdasarkan tabel 5.3 penjamah
makanan di pondok pesantren K tidak melakukan proses pencucian
tangan dengan sabun dan air mengalir terlebih dahulu sebelum
melakukan pemotongan bahan makanan. selain itu berdasarkan tabel
5.4 penjamah makanan juga memiliki kondisi kuku yang panjang
dan kotor saat melakukan kegiatan penanganan makanan. Hal ini
Gambar 5.29 penyajian sayur sop pondok H
114
membuat terjadi kontaminasi silang antara tangan penjamah yang
kotor dengan bahan makanan yang akan dimasak.
Pada proses pencucian bahan makanan, terdapat kondisi yang
berpeluang menimbulkan kontaminasi Coliform pada bahan
makanan karena air yang digunakan untuk mencuci bahan makanan
memiliki kualitas yang buruk. Berdasarkan tabel 5.2 diketahui
bahwa sumber air bersih di pondok pesantren K mengandung bakteri
Coliform sebanyak 2 MPN/ml. dari hasil observasi diketahui
kandungan Coliform yang pada sumber air bersih disebabkan karena
sumur gali berada di samping tempat cuci piring yang merupakan
sumber pencemar utama limbah domestik sehingga mampu
menurukan kualitas bakteriologik sumber air bersih di pondok
pesantren H.
Gambar 5.30 Lokasi sumber air Pondok H
115
Terjadinya kontak langsung antara penjamah makanan dengan
bahan makanan ketika proses pemotongan dan kontak langsung antara
air yang terkontaminasi bakteri Coliform dengan bahan makanan
ketika proses pencucian tidak dapat dikatakan sebagai CCP (lampiran
11:K) karena pada tahap selanjutnya masih terdapat pengolahan bahan
makanan menjadi sayur labu tempe kuning.
b) Tahap pengolahan
Pada tahap ini tidak terdapat CCP yang berpotensi menimbulkan
kontaminasi Coliform pada makanan. Hal ini dikarenakan walaupun
air yang dipergunakan dalam pengolahan bahan makanan
mengandung bakteri Coliform, tapi penjamah makanan telah
menggunakan proses termal sehingga mampu menghilangkan
keberadaan bakteri Coliform pada air yang dimasak. Nilai
temperatur panas yang digunakan untuk memasak sayur labu tempe
kuning tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi penjamah makanan
di pondok pesantren K menggunakan tunggu besar untuk memasak
sehingga sudah dapat dipastika jika temperatur panas sudah cukup
untuk memasak sayur labu tempe kuning hingga matang sempurna.
. Menurut FAO (2017) memasak sup sayuran harus menjamin suhu
memasak mencapai 70ºC
116
c) Tahap penyajian makanan
Pada tahap ini terdapat 1 CCP (lampiran 11:K). Titik kendali
kritis tersebut yaitu pada potensi kontaminasi Coliform yang berasal
dari alat sendok. Dari tabel 5.5 sendok sup di pondok pesantren K
memiliki nilai Coliform sebanyak >2400 MPN/ml sehingga
dikatakan tidak memenuhi syarat sesuai No 1096 Tahun 2011
tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Dilihat dari hasil observasi
kualitas peralatan yang buruk di pondok pesantren K disebabkan
kondisi rak peralatan yang terbuka dan kondisi kain lap yang kotor.
Gambar 5. 32 Kondisi rak/tempat penyimpanan peralatan
yang terbuka
Gambar 5.31 Pengolahan sayur labu tempe kuning
117
Tempat penyimpanan peralatan yang terbuat dari kayu dengan
kondisi terbuka akan memudahkan hewan pengerat seperti tikus atau
serangga lainnya mampu mencemari permukaan yang sudah
dibersihkan (Martelli, 2017). Selain itu kain lap yang digunakan
untuk membersihkan peralatan berada dalam keadaan kotor dan
dipakai bukan hanya untuk membersihkan peralatan melainkan
untuk membersihkan sudut-sudut dapur yang kotor. Penggunaan
kain lap untuk membersihkan berbagai permukaan di dapur akan
memudahkan terjadinya kontaminasi silang pada peralatan yang
kontak dengannya.
Peralatan dengan kualitas bakteriologik yang buruk mendukung
terjadinya kontaminasi silang pada makanan yang dalam
penanganannya menggunakan alat tersebut (Susanna, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian sampel sayur labu tempe kuning di
pondok pesantren K mengandung bakteri Coliform sebanyak 6
MPN/gr, sehingga tidak memenuhi syarat kontaminasi Coliform
pada makanan sesuai Keputusan Mentreri Kesehatan RI No 1096
Tahun 2011.
Dari semua proses penentuan CCP (lampiran 11:K) sayur labu tempe
kuning di pondok pesantren H mulai dari tahap persiapan hingga
penyajian sayur labu tempe kuning ditemukan 1 CCP yang mampu
menimbulkan kontaminasi Coliform kedalam makanan yaitu pada proses
penyajian.
118
12. CCP pada Proses Produksi Sayur Labu Siam di Pondok Pesantren L
Kabupaten Bogor
a) Tahap persiapan bahan makanan
Tahap ini terdiri dari proses pemotongan bahan makanan, proses
pencucian bahan makanan dan proses pembuatan santan. Dari hasil
observasi ditemukan terdapat kondisi yang mampu menimbulkan
kontaminasi Coliform pada bahan makanan. Hal ini dapat terjadi karena
penjamah makanan yang bertugas melakukan pemotongan labu siam
berperilaku higiene yang buruk. Dimana dapat dari tabel 5.3 yang
mengatakan bahwa penjamah makanan di pondok pesantren L tidak
melakukan proses pencucian tangan dengan sabun dan air mengalir
terlebih dahulu dan berdasarkan tabel 5.4 penjamah makanan juga
memiliki kondisi kuku yang panjang dan kotor saat melakukan kegiatan
penanganan makanan. Hal ini membuat bakteri yang berada pada
tangan dan kuku dapat berpindah kedalam makanan melalui proses
pemotongan bahan makanan, sehingga terjadi kontaminasi silang antara
tangan penjamah yang kotor dengan bahan makanan yang akan
dimasak.
Gambar 5.32 proses pemotongan labu siam
119
Selain itu, pada proses pemotongan penjamah makanan tidak
menggunakan talenan saat akan memotong labu siam. Mereka
menggunakan alat meja kayu untuk proses pemotongan. Dimana
kondisi seperti ini akan membuat bakteri yang terdapat pada meja kayu
menempel pada labu siam
Kemudian, pada proses pencucian bahan makanan pondok pesantren
L menggunakan sumber air yang berdasarkan tabel 5.13 mengandung
nilai Coliform sebanyak <2 MPN/ml sehingga dikatakan tidak
memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Keseharan RI No
492/MENKES/PER/IV/2010
Selanjutnya pada proses pembuatan santan penjamah makanan
menggunakan air mentah dan melakukan pemerasan santan tanpa
sarung tangan sehingga memberikan peluang yang besar bagi bakteri
Coliform yang terdapat pada air dan telapak tangan yang kotor untuk
mengkontaminasi santan yang akan diolah.
Gambar 6.34 proses pencucian labu siam pondok L
120
Terjadinya kontak langsung antara penjamah makanan dengan
bahan makanan ketika proses pemotongan dan kontak langsung antara
air yang terkontaminasi bakteri Coliform dengan bahan makanan ketika
proses pencucian tidak dapat dikatakan sebagai CCP karena pada tahap
selanjutnya masih terdapat pengolahan bahan makanan menjadi sayur
labu tempe kuning
b) Tahap pengolahan
Pada tahap ini diketahui terdapat 2 CCP (lampiran 11:L). Dua titik
kendali tersebut yaitu ketika penjamah makanan memasukan santan
kedalam wajan untuk direbus dan proses perebusan labu siam.
Berdasarkan hasil observasi penjamah makanan merebus santan tidak
sampai mendidih dan kemudian langsung memasukan labu siam
beserta bumbu untuk dimasak secara bersamaan. Waktu memasak
yang digunakan hanya 39 menit. Berdasarkan tabel 5.1 sampel sayur
labu siam di pondok pesantren tersebut mengandung bakteri Coliform
sebanyak 9 MPN/gr, sehingga tidak memenuhi syarat kontaminasi
Gambar 6.35 pembuatan santan
121
Coliform pada makanan sesuai Keputusan Mentreri Kesehatan RI No
1096 Tahun 2011. Hasil ini membuktikan walaupun sayuran sudah
mendapatkan perlakuan termal saat pengolahan namun masih terdapat
bakteri Coliform yang mampu bertahan di dalam sayuran labu siam
yang telah matang.
Menurut penelitian Mailia (2015) terkait ketahanan panas cemaran
Escherichia coli mengatakan jika semakin banyak kandungan bakteri
patogen dalam air dan bahan makanan yang dimasak maka waktu
yang dibutuhkan untuk menginaktivasi bakteri tersebut semakin lama
dan membutuhkan perlakuan suhu tinggi. Sehingga dapat dikatakan
jika kandungan bakteri Coliform dalam bahan makanan dan air yang
digunakan untuk memasak mempunyai angka Coliform tinggi,
sebaiknya penjamah makanan melakukan perebusan air yang akan
digunakan terlebih dahulu hingga mendidih dan menyediakan tempat
penyimpanan air matang untuk mempermudah proses pengolahan
makanan.
Gambar 6.35 pengolahan sayur labu siam
122
c) Tahap penyajian makanan,
Pada tahap ini diketahui tidak terdapat CCP (lampiran 11:L). Hal
ini dikarenakan peralatan yang dipergunakan sebagai alat bantu
penyajian makanan dalam keadaan bersih. Dari hasil penelitian
sendok sup dan piring di pondok pesantren L keduanya memiliki nilai
Coliform sebanyak <3 MPN/ml sehingga dikatakan telah memenuhi
syarat sesuai No 1096 Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga.
Dari semua proses penentuan CCP (lampiran 11:L) sayur labu
siam di pondok pesantren L mulai dari tahap persiapan hingga
penyajiannya, ditemukan 2 CCP yang mampu menimbulkan
kontaminasi Coliform kedalam makanan yaitu pada proses
pengolahan makanan.
Gambar 6.36 proses penyajian sayur labu siam
123
C. Faktor yang Berkaitan dengan CCP Produksi Sayuran di Pondok
Pesantren Kabupaten Bogor Tahun 2018
Tabel 6.1 CCP Produksi Sayuran Matang di Pondok Pesantren Kab. Bogor
Berdasarkan tabel 6.1 diketahui bahwa CCP paling banyak terdapat pada
tahap penyajian sayuran matang yang berada di pondok pesantren G, H dan K.
Pada tahap ini sanitasi peralatan yang digunakan untuk penyajian makanan
mempengaruhi terkontaminasinya sayuran matang oleh bakteri Coliform.
Peralatan merupakan salah satu media transmisi bakteri karena termasuk
komponen penting yang sering digunakan dalam kegiatan produksi makanan.
Peralatan dengan kualitas bakteriologik yang buruk mendukung terjadinya
kontaminasi silang pada makanan yang dalam penanganannya menggunakan
alat tersebut (Susanna, 2015). Menurut Penelitian yang dilakukan oleh
Marpaung (2012) menyatakan bahwa peralatan yang terkontaminasi golongan
bakteri Coliform akan menyebabkan makanan yang diletakan diatasnya juga
terkontaminasi. Kontaminasi pada sayuran matang dapat terjadi ketika sayuran
yang telah dimasak bersentuhan dengan peralatan yang diperlakukan dengan
Pondok
Pesantren Jenis Sayuran Matang Persiapan Pengolahan Penyajian
A Tumis Wortel Jamur 0 CCP 0 CCP 0 CCP
B Tumis Capcay 0 CCP 0 CCP 0 CCP
C Tumis Kangkung 0 CCP 0 CCP 0 CCP
D Sayur Asem 0 CCP 0 CCP 0 CCP
E Tumis Kembang Tahu 0 CCP 0 CCP 0 CCP
F Sop Sayur 0 CCP 0 CCP 0 CCP
G Tumis Kacang Panjang 0 CCP 0 CCP 1 CCP
H Sayur Sop 0 CCP 0 CCP 1 CCP
I Tumis Terong 0 CCP 0 CCP 0 CCP
J Tumis Kacang Panjang 0 CCP 0 CCP 0 CCP K Sayur Labu Tempe Kuning 0 CCP 0 CCP 1 CCP
L Sayur Labu Siam 0 CCP 2 CCP 0 CCP
Total 0 2 3
124
tidak higienis dan sudah terkontaminasi. Sanitasi peralatan yang buruk di
disebabkan oleh kain lap, kondisi rak penyimpanan peralatan dan sumber air
yang digunakan untuk mencuci peralatan (Puspi, 2018).
Peralatan di pondok pesantren G, H dan K memiliki kualitas bakteriologik
yang tidak memenuhi syarat karena peralatan kontak dengan kain lap yang
kotor dan diletakan pada rak/tempat yang dekat dengan sumber pencemar.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Keshav (2015) yang mengatakan
bahwa sebanyak 42% kain lap peralatan yang sering dipakai mengandung
golongan bakteri Coliform. Selain kondisi kain lap, letak rak atau tempat
penyimpanan peralatan yang tidak terlindung dari sumber pencemar juga
berpeluang membuat peralatan terkontaminasi bakteri Coliform (Puspi, 2018).
Oleh karena itu, sebaiknya pondok pesantren G, H dan K melakukan upaya
peliharaan kondisi dapur khususnya tempat penyimpanan peralatan makan dari
sumber pencemar dengan membuat kondisi rak penyimpanan yang tertutup dan
konstruksinya yang tidak mudah lapuk dan berkarat. Selain itu, sebaiknya kain
lap/serbet yang akan dipergunakan dalam kegiatan pengolahan makanan
dibedakan berdasarkan peruntukannya dan pihak pondok pesantren lebih
menyediakan stok kain lap/serbet yang bersih sehingga penjamah makanan
dapat selalu menggantinya setiap sekali pakai dan pergantian kain lap dan
spons juga harus sering diganti untuk mencegah pertumbuhan bakteri Coliform
yang nantinya dapat mengkontaminasi peralatan yang kontak dengannya.
Kebersihan peralatan yang kurang baik memiliki peranan penting untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri patogen sehingga harus selalu
125
dijaga kebersihannya (Mustika, 2015). Berdasarkan tabel 5.5 penjamah di
pondok pesantren G, H dan K telah melakukan proses pencucian peralatan
dengan baik yaitu menggunakan sabun dan air mengalir. Namun hasil
penelitian juga mengatakan jika 3 pondok pesantren tersebut memiliki sumber
air bersih yang tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Keseharan RI
No 492/MENKES/PER/IV/2010 membuat kondisi bakteriologik sendok yang
tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Keseharan RI No 1096
tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Hal ini membuktikan walaupun penjamah
makanan melakukan proses pencucian yang baik namun kondisi air yang
dipergunakan pada proses pencucian memiliki kandungan bakteri patogen
maka akan membuat bakteri tersebut menempel pada peralatan sehingga
kualitas bakteriologik peralatan makan tidak memenuhi syarat dan mampu
mengkontaminasi makanan yang diletakan diatasnya.
Pernyataan ini didukung oleh penelitian Putri (2015) yang mengatakan jika
air yang terkontaminasi golongan bakteri Coliform tidak layak untuk dipakai
dalam proses pengolahan makanan seperti mencuci bahan makanan, mencuci
peralatan makan dan memasak makanan. Hal ini dikarenakan kekhawatiran
akan terjadinya perpindahan golongan bakteri Coliform dari air ke makanan
sehingga makanan berbahaya untuk dikonsumsi.
Kondisi tercemarnya air bersih menunjukan jika terdapat faktor yang
menyebabkan penurunan kualitasnya seperti jarak sumur dengan sumber
pencemar (sungai, tempat pembuangan sampah, septic tank dan tempat
mencuci piring) dan kondisi permeabilitas dan porositas tanah. Jarak sumber
126
air bersih dengan sumber pencemar mampu meningkatkan kandungan bakteri
Coliform yang terdapat di dalam air. Hal ini juga sesuai dengan penelitian
Indasah (2016) yang mengatakan semakin dekat letak sumur dengan sumber
pencemar akan meningkatkan peluang sumur tersebut tercemar. Menurut
Efendi (2009) sumber air bersih harus memiliki jarak kurang dari 10 meter
dengan sumber pencemar sehingga mencegah perpindahan bakteri patogen
kedalam sumber air
Lokasi sumur yang berdekatan dengan sungai yang mengandung campuran
limbah baik domesik ataupun pabrik akan mampu merembes masuk kedalam
sumur dan mempengaruhi kualitasnya. Hal ini didukung penelitian yang
dilakukan oleh Anggriani (2014) yang mengatakan bahwa sebanyak 65%
sumur gali yang memiliki jarak dekat dengan sungai telah terkontaminasi
bakteri Coliform. Menurut penelitian Anggriani (2014) jarak yang
diperbolehkan dalam pembuatan sumur adalah 60,7 meter dari sungai. Bahkan
dalam agama islam terdapat hadist yang menerangkan terkait jarak sumber air
dengan sumber pencemar dan kewajiban untuk umat manusia menjaganya.
Berikut hadist terkait hal tersebut:
من حفر بئرا فله اربعون ذراعا عطنا لما شيته )رواه ابن ماجه عن عبد هللا بن مغفل)
Artinya:
Barangsiapa menggali suatu sumur, maka ia (berhak) empat puluh hasta sebagai
kandang ternaknya. (H.R. Ibnu Majah dari Abdullah bin Mugaffal No. 2477)
Hadist diatas mengajarkan kita untuk menjaga kualitas sumber air dengan
menjauhkannya dari hal-hal yang dapat menjadi sumber pencemar. Karena
127
kondisi air yang tercemar akan merugikan makhluk hidup yang memanfaatkan
air tersebut untuk kelangsungan hidupnya.
Kondisi perpindahan bakteri Coliform dari sumber pencemar kedalam
sumber air dapat dikarenakan kondisi permeabilitas dan porositas tanah
mendukung proses penyebaran bakteri Coliform dari sumber pencemar
kedalam sumber air. Menurut Nurhadini (2016) permeabilitas adalah
kemampuan tanah untuk melewatkan air sedangkan porositas adalah
kemampuan tanah untuk menyimpan air. Sehingga jika lokasi sumber air bersih
berdekatan dengan berbagai sumber pencemaran dan didukung dengan
karakteristik tanah yang memiliki permeabilitas dan porositas tinggi akan
membahayakan kualitas air pada sumber air tersebut. Tanah dengan porositas
tinggi maka akan menghasilkan permeabilitas yang tinggi karena memiliki
ruang pergerakan air yang lebih baik. Dalam penelitian ini porositas dan
permeabilitas tidak dilakukan pengujian namun berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Aulia (2013) mengatakan semakin besar permeabilitas dan
porositas tanah semakin besar juga kemampuan tanah untuk melewatkan air
sehingga membuat bakteri Coliform yang mengikuti aliran air tanah berpindah
ke sumber air.
Jadi lebih baik jika air yang digunakan untuk kegiatan produksi makanan di
pondok pesantren selalu bersih dan memiliki kualitas bakteriologik yang
memenuhi syarat untuk meningkatkan efektifitas proses pencucian dan
menghindari makanan dari kontaminasi bakteri Coliform. Solusi untuk
128
menghindarkan terjadinya kontaminasi bakteri pada sumber air bersih dapat
dengan meneteskan zat klorin pembunuh bakteri pada sumber air bersih.
Akan tetapi, selain pengaruh sanitasi peralatan penyajian makanan kondisi
higiene penjamah saat melakukan proses penyajian makanan juga menentukan
kualitas dari peralatan yang digunakan. Kontaminasi dapat terjadi ketika secara
tidak sadar tangan penjamah makanan yang kotor memegang peralatan yang
bersih, sehingga penjamah makanan juga menjadi penyumbang kontaminasi di
peralatan (Puspi, 2018). Walaupun dalam menyajikan makanan penjamah telah
menggunakan alat khusus seperti sendok tetapi tangan penjamah yang
terkontaminasi dapat mencemari peralatan yang digunakan untuk menyajikan
makanan sehingga makanan yang akan disajikan juga dapat terkontaminasi
bakteri (Marpaung, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian seluruh pondok pesantren memiliki penjamah
makanan dengan perilaku higiene yang buruk menurut Kepmenkes No 1096
Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Menurut BPOM (2012) tentang
Cara Produksi Pangan Yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga, penjamah
makanan perlu memperhatikan kondisi higiene personal dengan menerapkan
praktik mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir setiap akan kontak
dengan makanan dan melakukan praktik memotong kuku seminggu sekali.
Penerapan higiene yang baik dapat menjamin terjadinya kontak langsung
ataupun tidak langsung antara penjamah makanan dengan makanan tidak akan
menjadi sumber pencemar yang membahayakan kesehatan.
129
Kemudian, berdasarkan tabel 6.1 juga diketahui pada tahap pengolahan
makanan terdapat CCP yang dapat menimbulkan keberadaan bakteri Coliform
pada makanan yaitu berasal dari pondok pesantren L yang memproduksi sayur
labu siam. Dari hasil penelitian ditemukan pada tahap pengolahan sayur labu
siam penjamah makanan telah menggunakan pengendalian termal yang
bertujuan untuk menghilangkan keberadaan bakteri Coliform. Namun, setelah
tahap pengolahan dilakukan masih ditemukan bakteri Coliform yang tetap
bertahan di dalam sayur labu siam.
Menurut penelitian Mailia (2015) bakteri E.coli masih ditemukan
keberadaannya dalam makanan setelah melewati suhu pemasakan antara 63ºC-
65ºC selama 30 menit. Ketahanan bakteri terhadap panas juga dapat
dipengaruhi oleh komposisi makanan seperti protein dan lemak, jumlah
karbohidrat dan jumlah mikroba dalam bahan dasar makanan. Namun, dalam
penelitian ini peneliti tidak spesifik melakukan pengujian pada bakteri
Coliform yang memiliki beragam spesies seperti E.coli, Salmonella spp,
Klebsiella dan Enterobacter (Marhamah, 2014). Sehingga peneliti tidak
mengetahui secara spesifik termasuk kedalam kelompok manakah bakteri
Coliform yang positif mengkontaminasi sayuran matang di pondok pesantren.
Bagi pondok pesantren L sebaiknya merebus air yang digunakan untuk
kegiatan pengolahan makanan sampai mendidih dan menyimpannya pada
tempat penyimpanan air matang agar mempermudah mereka ketika akan
memasak sayuran menggunakan air matang. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya kontaminasi bakteri Colifom pada sayuran berkuah
130
yang akan disajikan kepada para santri di pondok pesantren. Karena jika terjadi
kontaminasi makanan akan mempengaruhi status kesehatan santri yang dapat
berdampak pada kehadiran santri dalam sistem pembelajaran di Pondok
Pesantren (Putwaningtyas, 2013).
D. Kontaminasi Makanan dalam Pandangan Agama Islam
Dalam ajaran agama Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia
mengonsumsi makanan dan minuman yang sifatnya thayyiban. Allah
berfirman dalam Al-Qur’an Q.S An-Nahl/16:114:
إنكنتمإياهت عبدون ٱلل ت ٱشكروانعم ط ي بااو لال ح ق كمٱلل ز ار ف كلوامم
Terjemahan:
“maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah allah berikan
kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah
kepada-Nya”.
Ayat diatas menjelaskan jika makanan yang dikonsumsi haruslah bersifat
thayyib (baik) yaitu dengan menjaga kebersihannya dari bahan atau
mikroorganisme berbahaya. Karena makanan yang thayyib adalah makanan
yang sehat dan aman dikonsumsi, aman berarti terbebas dari mikroba patogen
dan bahan kimia yang berbahaya. Quraish Shihab dalam tafsirnya
menerangkan jika makanan thayyib yaitu makanan yang baik dan bergizi dari
segi cita rasa, cara penyajian dan kebersihannya (Safitri, 2010).
Pondok pesantren yang menanamkan sisi keislaman dalam pembelajaran
kepada para santri sudah seharusnya menerapkan segala sesuatu yang
131
tercantum dalam ayat Al-Qur’an di kehidupan sehari-hari. Termasuk ketika
melalukan pengolahan makanan untuk memenuhi kebutuhan santrinya maka
sangat perlu untuk menerapkan GMP yang baik mulai dari aspek higiene
penjamah, sanitasi peralatan makan, kondisi bakteriologik sumber air bersih
hingga kualitas makanan yang di produksinya. Hal ini dilakukan agar
menghindari resiko kontaminasi bakteri Coliform yang dapat berdampak pada
kehadiran santri dalam sistem pembelajaran di Pondok Pesantren
(Putwaningtyas. 2013).
132
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Kondisi bakteriologik sumber air bersih, seluruh sampel air bersih di
pondok pesantren tidak memenuhi syarat kondisi bakteriologik sumber air
bersih.
2. Sanitasi Peralatan yang diteliti adalah kondisi bakteriologik peralatan
(piring dan sendok) dan cara pencucian peralatan
a. Kondisi bakteriologik peralatan, didapatkan bahwa pondok pesantren
yang memiliki piring di pondok pesantren tidak memenuhi syarat
kualitas bakteriologik peralatan yaitu pondok pesantren B, D, E, F, G,
H, I dan J. Sedangkan pondok pesantren yang memiliki sampel sendok
tidak memenuhi syarat kondisi bakteriologik peralatan yaitu pondok
pesantren D, E, H, I, dan K.
3. Cara pencucian peralatan makan, didapatkan bahwa penjamah makanan di
Pondok Pesantren yang belum melakukan cara pencucian peralatan sesuai
dengan persyaratan yaitu pondok pesantren I.
4. Higiene penjamah makanan yang diteliti adalah praktik mencuci tangan
dan praktik memotong kuku.
133
a. Praktik mencuci tangan, seluruh penjamah makanan di pondok
pesantren tidak mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum
melakukan pengolahan makanan.
b. Praktik memotong kuku, penjamah makanan di pondok pesantren A, B,
C, D, G, I, K dan L memiliki kuku yang kotor dan panjang saat
melakukan pengolahan makanan
5. Pondok pesantren yang memiliki sayuran matang memenuhi syarat
kontaminasi Coliform yaitu pondok pesantren A, B, C, D, E, F, I dan J.
Sedangkan pondok pesantren yang memiliki sayuran matang tidak
memenuhi syarat kontaminasi Coliform yaitu pondok pesantren G, H, K
dan L.
B. Saran
1. Bagi Dinas Kesehatan
Diharapkan dapat bekerja sama dengan pihak pondok pesantren dan
puskesmas kecamatan untuk membuat Program Poskestren (Pos Kesehatan
Pesantren) agar menunjang kesehatan dan kebersihan lingkungan pondok
pesantren yang salah satunya menerapkan higiene dan sanitasi makanan.
2. Bagi puskesmas
Diharapkan untuk melakukan penyuluhan melalui media promosi seperti
poster atau video edukasi terkait penyediaan sumber air bersih dan higiene
tenaga masak pondok dalam mengolah makanan.
134
3. Bagi Pondok Pesantren
a. Bagi pondok pesantren A diharapkan memberikan zat klorin pada
sumber air bersih dan memperhatikan perilaku higiene penjamah
makanan yang bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan
dan edukasi terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik.
b. Bagi pondok pesantren B diharapkan memberikan zat klorin pada sumber
air bersih dan memperhatikan perilaku higiene penjamah makanan yang
bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan dan edukasi
terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik.
c. Bagi pondok pesantren C diharapkan memberikan zat klorin pada sumber
air bersih dan memperhatikan perilaku higiene penjamah makanan yang
bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan dan edukasi
terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik.
d. Bagi pondok pesantren D diharapkan memberikan zat klorin pada
sumber air bersih dan memperhatikan perilaku higiene penjamah
makanan yang bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan
dan edukasi terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik.
e. Bagi pondok pesantren E diharapkan memberikan zat klorin pada sumber
air bersih dan memperhatikan perilaku higiene penjamah makanan yang
bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan dan edukasi
terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik.
135
f. Bagi pondok pesantren F diharapkan memberikan zat klorin pada sumber
air bersih dan memperhatikan perilaku higiene penjamah makanan yang
bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan dan edukasi
terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik.
g. Bagi pondok pesantren G diharapkan memberikan zat klorin pada
sumber air bersih, memperhatikan perilaku higiene penjamah makanan
yang bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan dan
edukasi terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik,
menyediakan tempat penyimpanan peralatan tertutup dan juga menjaga
kebersihan spons dengan menggantinya setiap 2 minggu sekali.
h. Bagi pondok pesantren H diharapkan memberikan zat klorin pada
sumber air bersih, memperhatikan perilaku higiene penjamah makanan
yang bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan dan
edukasi terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik,
menyediakan tempat penyimpanan peralatan tertutup dan juga menjaga
kebersihan spons dengan menggantinya setiap 2 minggu sekali.
i. Bagi pondok pesantren I diharapkan memberikan zat klorin pada sumber
air bersih dan memperhatikan perilaku higiene penjamah makanan yang
bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan dan edukasi
terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik.
j. Bagi pondok pesantren J diharapkan memberikan zat klorin pada sumber
air bersih dan memperhatikan perilaku higiene penjamah makanan yang
136
bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan dan edukasi
terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik.
k. Bagi pondok pesantren K diharapkan memberikan zat klorin pada
sumber air bersih, memperhatikan perilaku higiene penjamah makanan
yang bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan dan
edukasi terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik,
menyediakan tempat penyimpanan peralatan tertutup dan juga menjaga
kebersihan spons dengan menggantinya setiap 2 minggu sekali.
l. Bagi pondok pesantren L diharapkan memberikan zat klorin pada sumber
air bersih, memperhatikan perilaku higiene penjamah makanan yang
bertugas mengolah makanan dengan melakukan pelatihan dan edukasi
terkait cara mencuci tangan dan memotong kuku yang baik, menyediakan
tempat penyimpanan peralatan tertutup serta menggunakan air matang
dalam kegiatan pengolahan makanan dengan menyediakan tempat
penampungan air sementara didalam dapur.
4. Bagi peneliti selanjutnya
a. Diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan melakukan
pengukuran suhu memasak makanan, usap tangan penjamah makanan
dan menggunakan agent kontaminasi makanan yang lebih spesifik untuk
dilakukan pemeriksaan.
b. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meningkatkan metode analisis
data menjadi bivariat untuk menganalisis hubungan diantara variabel
yang diteliti.
137
DAFTAR PUSTAKA
Aan. 2017. Keterkaitan Antara Sanitasi Pondok Pesantren Dengan Kejadian
Penyakit Yang Dialami Santri Di Pondok Pesantren Sunsn Drajat. Skripsi.
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Universitas
Nadhatul Ulama Surabaya.
Agyei, 2013. Hygienic Practices Among Food Vendors In Educational Institutions
In Ghana : The Case Of Konongo
Amaliyah, 2017. Penyehatan makanan dan minuman. Yogyakarta. Deepublish
Anggriani. 2014. Pengaruh Jarak Antara Sumur Dengan Sungai Terhadap Kualitas
Air Sumur Gali Di Desa Talumopatu Kecamatan Mootilango Kabupaten
Gorontalo. Program Studi Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan
Lingkungan Universitas Negeri Gorontalo.
Ardi. 2013. Efektivitas mencuci tangan menggunakan cairan pembersih tangan
antiseptic terhadap jumlah angka kuman. Fakultas kesehatan masyarakat
universitas ahmad dahlan Yogyakarta. Vol 7 no 2 pp 55-112.
Ari, 2014. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Jurusan Ilmu dan Teknologi
Pangan Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Udayana.
Arisman. 2009. Buku ajar ilmu gizi keracunan makanan. Jakarta. EGC
Aulia. Riefka, 2013. Analisis Pengetahuan Dan Perilaku Masyarakat Terhadap
Kualitas Fisik (Kekeruhan, Bau, Rasa) Dan Bakteriologis (Coliform) Air
Sumur Gali. Kesehatan Lingkungan Dan Kesehatan Keselamatan Kerja
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember (UNEJ). Artikel ilmiah
hasil penelitian mahasiswa
Auliya, 2015. Identifikasi Bakteri Escherichia coli Serta Salmonella sp Yang
Diisolasi Dari Soto Ayam. Skripsi. Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Australian Institute of Food Safety, 2016 What is Food Contamination. Diakses di
https://www.foodsafety.com.au/resources/articles/what-is-food-
contamination pada tanggal 1 Februari 2018
138
Astini, 2015. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Penjamah Makanan Dalam
Penerapan Cara Pengolahan Pangan Yang Baik Pada Industri Rumah
Tangga Pangan Di Kabupaten Karangasem. Public Health And Preventive
Achieve, Volume 3 Nomor 2 Page 194-202
Azari. 2013. Studi komparatif pencucian alat makan dengan perendaman dan air
mengalir terhadap jumlah kuman pada alat makan di warung makan bu am
gonilan. Skripsi.UMS. Solo.
Bartz, 2013. Evaluation Of Two Recommended Disinfection Methode For Cleasing
Cloths Used In Food Service Of Southern Brazil. Brazilian Journal Of
Microbiology 44,3 Pp765-770
BMKG, 2018. Buletin Informasi Ilkim Provinsi Jawa Barat : Analisis Hujan Bulan
Maret 2018, Prakiraan Hujan Bulan Mei, Juni, Dan Juli 2018. Stasiun
Klimatologi Bogor. Tahun XVII/Nomor 4: Edisi April 2018
BMKG, 2017. Analisis Hujan Bulan Juni 2017, Prakiraan Hujan Bulan Agustus,
September, Dan Oktober 2017. Stasiun Klimatologi Bogor. Tahun 2017
BPOM RI. 2016. http://ik.pom.go.id/v2016/ diakses pada tanggal 26 september
2017
Buckle. dkk. Penerjemah Hadi. Purnomi. 2013. Ilmu Pangan. Jakarta. UI-Press
Budiman, Chandra. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan Dan Komunitas. Buku
Kedokteran ECG. Jakarta
Brown, dkk (2013). Coliform Contamination Of Vegetables Obtained Form
Popular Restaurans In Guadalajara, Mexico And Houston, Texas. Briefit
Report. http://cid.oxfordjournals.org/
Candra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta.
CDC, 2016. Food Worker Handwashing and Food Preparation.
https://www.cdc.gov/nceh/ehs/ehsnet/plain_language/food-worker-
handwashing-food-preparation.htm
CDC, 2018. Food Safety Tips. https://www.cdc.gov/foodsafety/keep-food-
safe.html
139
Dianafitry. 2016. Hygiene Sanitasi Dapur Dan Penjamah Makanan Pada Hotel Di
Kota Parepare Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal kepariwisataan. Volume 10
no 01. Februari 2016. Halaman 14-29
Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, 2016. Profil Kesehatan Kabupaten Bogor
Tahun 2015
Efendi, 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas, Salemba Medika, Jakarta.
Ermala.dkk, 2015. Praktikum Mikrobiologi : Pengaruh Frekuensi Pemakaian Spons
Cuci Terhadap Kelimpahan Bakteri Pathogen. Jurusan Pendidikan
Biologi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Negeri Yogyakarta.
http://www.academia.edu/19757675/PENGARUH_FREKUENSI_PEM
AKAIAN_SPONS_CUCI_TERHADAP_KELIMPAHAN_BAKTERI_P
ATOGEN
Fathonah, 2010. Penerapan Sistem HACCP Pada Warung Tegal Dan Pembuatan
Modul Pelatihannya Sebagai Salah Satu Bentuk CSR Pt Bintang Toedjoe
Jakarta. Fakultas Teknologi Pertanian IPB
FAO, 2011 Preventing E.coli in Food. Diakses di
http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/agns/pdf/FAO_E.Coli_FCC_20
11.06.231.pdf pada tanggal 20 Januari 2018
FAO. 2017. Food Handlers Manual Instruction. Washington DC
Farah, 2015. Hubungan Higiene Sanitasi Dengan Kualitas Bakteriologis Pada Alat
Makan Pedagang Di Wilayah Sekitar Kampus UNDIP Tembalang. Volume
3, Nomor 3, April 2015 (ISSN:235633-46)
Food Safety Autority of Ireland. 2013. Temperature Control.
https://www.fsai.ie/faqs/temperature_control.html#cooking
Global Handwahing Partnership, 2018. Global Handwahing Guide 2018.
Green.dkk, 2017. Factor releated to food worker hand hygiene practice. Journal of
food protection. Oct;70(3) :661-6
Haastuti, 2008 Petunjuk Praktikum Mikrobiologi. Malang. Universitas Negeri
Malang
140
Hamid, Abdulloh. 2017. Pendidikan karakter berbasis pesantren
Hassan. Karim, 2017. The domestic student kitchen : a microbiological hazard?.
Journal of pure and applied microbiology.
http://www.microbiologyjournal.org/the-domestic-student-kitchen-a-
microbiological-hazard/
Hashim, 2017. Isolation And Identification Of Bacteria From Under Fingernail.
International Journal Of Curret Microbiology And Applied Sciences.
Volume 6. Number 8 Pp 3584-3590
Hirai, 2016. Exploring Determinat Of Handwashing With Soap In Indonesia : A
Quantitatve Analysis. International Journal Of Environtmental Research
And Public Health. Page 1-15
Indasah. 2016. Dampak Pencemaran terhadap kualitas bakteriologi air sumur gali
daerah pantai dan muara di paciran kabupatn lamongan.
https://publikasi.stikesstrada.ac.id/wpcontent/uploads/2016/09/bakteriologi
s-indasah.pdf.
Indrati, 2013. Pendidikan Konsumsi Pangan. Kencana Predana Media Group.
Jakarta.
https://books.google.co.id/books?id=T9xDDwAAQBAJ&pg=PA241&dq=
perbedaan+intoksikasi+dan+infeksi&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiZ7u2
Ki-vcAhXUfn0KHR2KBq8Q6AEIKDAA#v=onepage&q&f=false
Jafar, 2012. Aspek Keamanan Pangan Pada Penjamah Makanan Di
Penyelenggaraan Makanan Institusi. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/2694/B38%20M
AKALAH_KEAMANAN%20PANGAN_IBU%EDA.docx?sequence=I
Janet, 2013. Direct and cross contamination.
https://prezi.com/wz92zzi4bvf6/direct-and-cross-contamination/
Julian, 2016 Environmental transmission of diarrheal pathogens in low and
middle income countries. Royal Society of Chemistry
141
Kassa, 2017. Factors Associate With Sanitary Conditions Of Food And Drinking
Establishments In Addis Ababa, Ethiophia:Cross –Sectional Study. Pan
African Medical Journal.
Katrin. 2016. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kualitas fisik air sumur di
perkotaan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Pedoman Keamanan Pangan di
Sekolah Dasar. Jakarta: Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
Kementrerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Infodatin Perilaku Mencuci
Tangan Pakai Sabun di Indonesia. Jakarta. Pusat data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015. Profil Kesehatan Republik
Indonesia Tahun 2015
Kementrian Kesehatan RI, 2013. Pedoman Penyelenggaraan Dan Pembinaan Pos
Kesehatan Pesantren (Posekstren).
Kepriana, Venti. 2016. Hubungan Antara Higiene Dan Sanitasi Dengan Jumlah
Angka Kuman Pada Sambal Di Warung Tenda Kota Pontianan Tahun 2016.
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhamadiyah Pontianak
Keshav, 2015. E.coli From Dishcloths As An Indicator Of Hygienic Status In
Households, Journal Of Water , Sanitation And Hygiene For Development.
Page 351-358.
Khan, 2012. Bacteriological Study Of Food In The Pakistan’s Periurban Areas Of
Rawalpindi And Islamabad. Africal Journal Of Biotechnology Vol 11(39)
Pp 9945-9451
Laelasari, 2015. Islam dan Keamanan Pangan. Tangerang Selatan :UIN Press.
Marpaung, 2012. Hygiene Sanitasi Pengolahan Dan Pemeriksaan Eschericia Coli
Dalam Pengolahan Makanan Di Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Pusat H
Adam Malik Tahun 2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatra Utama Departemen Kesehatan Lingkungan.
142
Maria.dkk, 2014. Pengaruh Kondisi Lingkungan Terhadap Kualitas Air Tanah
Bebas Di Pangalengan Kabupaten Bandung. Pusat Penelitian Geoteknologi
LIPI
Marhamah, 2014. Kualitas Mikrobiologi Minuman Jajanan (Es Sirup) Pada Kantin
SD Negeri Di Wilayah Kota Bandar Lampung. Jurnal Kesehatan Volume 3
No 1 Maret
Martelli, 2017. Evaluation Of An Enhance Cleaning And Desinfection Protocol In
Salmonella Contamination Pig Holdings In United Kingdom. Plos One.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5464571/
Mellawati, Ruth. 2009. Escherichia coli dalam kehidupan manusia. Biotrends. Vol
4 no 1
Microbial Ecology Of Food Commodities. 2005. Plenum Publisher.
Mulyani, 2014. Pengetahuan, sikap dan perilaku Higiene penjamah makanan.
Jurnal Keperawatan, Volume X No 1 April.Page 6-12.
Murti, 2011, Validitas dan Reabilitas Pengukuran. Bagian ilmu Kesehatan
Masyarakat. Fakultas Kedokteran Universitas sebelas maret.
Mustika. 2015. Penerapan Higiene dan Sanitasi Di instalasi Gizi Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil Padang. Jurusan Kesejahteraan
keluarga. Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang.
Nashiroh. 2017. Gambaran Karakteristik Sumur Warga Di Wilayah Puskesmas
Kedungmundu Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Volume 5
Nomor 2 April 2017.
National Sanitation Foundation International, 2011. Germiest Item In The Home.
http://www.nsf.org/consumer-resources/studies-surveys-
infographics/germ-studies/germiest-items-home
Nurraini, Yuli. 2011. Kualitas Air Tanah Dangkal Di Sekitar Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Cipayung Kota Depok. Depok : Universitas Indonesia.
Nurhadini. 2016. Studi Deksriptif Sumur Gali Ditinjau Dari Kondisi Fisik
Lingkungan Dan Praktik Masyarakat Di Kabupaten Boyolali. Jurusan Ilmu
143
Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Semarang. Skripsi.
Nugroho, 2014. Peran Tanah sebagai reservoir penyakit. Vektora volume 6 nomor
1 juni 2014: 27-32
Peraturan Menteri Kesehatan Republic Indonesia Nomor
1096/Menkes/Per/Vi/2011 Tentang Higiene Sanitasi
Jasaboga. http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=%2FeEhdLEZt4PPcLAIa
af%2BQtIfapCyf3NuoAc%2BvZapIG4%3D. diakses pada tanggal 23
september 2017
Putri, Rizki dkk. 2015. Hubungan Higiene Dan Sanitasi Makanan Dengan
Kontaminasi Bakteri Escherichia Coli Dalam Makanan Di Warung Makan
Sekitar Terminal Borobudur, Magelang. FKM UNDIP. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Vol 3, Nomor 1 diakses di http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/jkm pada tanggal 10 Januari 2018
Purwaningtiyas. 2013. Gambaran Penyelenggaraan Makan Di Pondok Pesantren
Al-Qodiri Kabupaten Jember. Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Jember. Diakses di
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/1809/Sulistiyo%2
0Purwaningtiyas%20-%20072110101004.pdf?sequence=1 pada tanggal 24
september 2017
Puspitasari, 2013. Praktik Higine Penjamah Dan Sanitasi Peralatan Makanan
Jajanan Anak Sekolah Dasar Pada Sd Di Kel. Antang Kecamatan
Manggala Kota Makasar. Bagian Kesehatan Lingkungan FKM Unhas.
Jurnal MKMI, hal 103-108 diakses di
journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/article/download/448/997 pada
tanggal 1 Januari 2018
Puspi. 2018. Sanitasi Peralatan Dengan Indicator Total Mikroba Dan Escherichia
Coli Pada Warung Makan Sekitar Kampus 1 Unimus. Skripsi. Program
Studi Teknologi Pangan Fakultas Ilmu Keperawatan Dan Kesehatan
Universitas Muhamadiyah Semarang
144
Radji, M, 2008. Pemeriksaan Bakteriologis Air Minum Isi Ulang Di Beberapa Depo
Air Minum Isi Ulang Di Daerah Lenteng Agung Dan Srenseng Sawah
Jakarta Selatan. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol.V No.2, Agustus 2018,
101-109
Rauf. 2013. Sanitasi Pangan dan HACCP. Yogyakarta. Graha Ilmu.
Rizky, Librilliana. 2014. Hubungan Antara personal Hygiene dan sanitasi makanan
dengan kandungan E.coli pada sambal yang disediakan kantin universitas
negeri semarang tahun 2012. Unnes journal of public health.
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
Rukmi, dkk. 2018. Praktik Higiene Personal Dan Keberadaan Bakteri Escherichia
Coli Pada Tangan Penjual Petis (Studi Di Pasar Anom Kecamatan Sumenep
Kabupaten Sumenep). e-journal Pustaka Kesehatan, Vol 6 (No. 1) Januari
2018
Saryono. 2016. Konsep Fitrah dalam Perspektif Islam. Medina-te Jurnal studi
Islam. Volume 14 Nomor 2 Desembar 2016.
Samsiyani, 2018. Panduan sanitasi penyajian makanan. https://edoc.site/panduan-
sanitasi-penyajian-makanan-pdf-free.html
SNI 2897. 2008 tentang metode pengujian cemaran mikroba dalam daging telur dan
susu serta hasil olahannya.
http://www.academia.edu/24184332/SNI_2897_2008
SNI 7388-2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan diakses di
http://www.academia.edu/24184332/SNI_2897_2008 pada tanggal 13
Januari 2018
Sub Direktorat Sanitasi Makanan dan Bahan Pangan Direktorat Penyehatan
Lingkungan Direktorat PP & PL Kementrian Kesehatan RI, 2010. Modul
Kursus Hygiene Dan Sanitasi Makanan Dan Minuman
Suharto. 2011. Dari Pesantren Untuk Umat. Surabaya. Imtiyas
Susanna, 2015. Correlation between eating utensils and place of sales in the
contamination of Escherichia coli in food sold at campus food stalls. Vol
19 No 1
145
Suriawiria. 2008. Mikrobiologi air dan dasar –dasar pengelolaan buangan secara
biologis. Cetakan ke 4. Alumni. Bandung.
Sutapa, 2014. Kualitas Mikrobiologis Air Sungai dan Pipa Distribusi di Kabupaten
Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. LIMNOTEK 2014 21 (2) : 135-144.
Swarjana, I Ketut. 2016. Statistik Kesehatan. Yogyakarta: ANDI.
Tache, 2014. Hygiene in the home kitchen :change in behavior and impact of key
microbiological hazard control measures. Food control 35 (2014) pages
392-400
Vitria. Dkk, 2013. Hubungan Higiene Sanitasi Dan Cara Pengolahan Mie Ayam
Dengan Angka Kuman Di Kota Padang, September Vol 7 No 2
Widhya, 2014. Hubungan Faktor Predisposisi, Pemungkin Dan Penguat Dengan
Praktek Cuci Tangan Serta Keberadaan Mikroorganisme Pada Penjamah
Makanan Di Pantai Kedongan. Jurnal Skala Husada Volume 11 Nomor 1
Page 67-73.
Widyaningsih. 2016. Analisis total bakteri Coliform di perairan muara kali wiso
jepara. Dipenogoro journal of maquares.
WHO, 2006. Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Pendidikan Kesehatan
(Foodborne Disease: A Focus For Health Education). Jakarta. EGC
WHO, 2013. Media Center: Diarrheal Disease. Diakses di
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/ pada tanggal 28
November 2017
WHO, 2016. UNSAFE FOOD CAUSE OVER 200 illness
https://www.paho.org/hq/index.php?option=com_content&view=article&i
d=10639%3A2015-los-alimentos-insalubres-causan-mas-de-200-
enfermedades&catid=740%3Apress-releases&Itemid=1926&lang=en
WHO, 2016. Good manufacturing practice for biological products. Replacement of
annex 1 of WHO Technical Report Series, No 822.
http://www.who.int/biologicals/areas/vaccines/Annex_2_WHO_Good_ma
nufacturing_practices_for_biological_products.pdf?ua=1
146
Yualiastuti, D. 2011. 30 Penyakit ini akibat krisis air bersih. tempo.
http://www.tempo.co/read/news/2011/09/07/060354927/30-penyakit-ini-
akibat-krisis-air-bersih . tanggal akses 3 maret 2018
Yudhabuntara, 2003. Pengendalian Mikroorganisme Dalam Bahan Makanan Asal
Hewan. Staf Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran
Hewan UGM Yogyakarta
147
LAMPIRAN
148
LAMPIRAN 1
LEMBAR KUISIONER PENELITIAN
GAMBARAN HIGIENE SANITASI MAKANAN SERTA
KONTAMINASI BAKTERI COLIFORM PADA MAKANAN DI
PONDOK PESANTREN KABUPATEN BOGOR TAHUN 2018
Kode Pondok Pesantren :
Alamat :
Nomor Responden :
Hari/tanggal :
No Pertanyaan Jawaban Kode
A1 Apakah anda mencuci tangan dengan
sabun sebelum melakukan penanganan
makanan
0. Tidak
1. Ya
A2 Apakah anda mencuci tangan dengan air
mengalir?
0. Tidak
1. Ya
A3 Apakah anda memotong kuku seminggu
sekali
0. Tidak
1. Ya
A4
Apakah anda mencuci peralatan makanan
yang sudah dipakai dengan sabun dan air
bersih?
0. Tidak
1. Ya
A5 Bagaimana cara pencucian peralatan yang
digunakan untuk mengolah makanan?
0. Dimasukan ke dalam
ember yang berisi air
1. Dicuci dengan air
mengalir
A6 Apakah Peralatan dikeringkan dengan alat
pengering/Lap yang bersih
0. Tidak
1. Ya
149
A7 Dari mana sumber air yang digunakan
dalam pengolahan makanan
0. Sumur gali
1. Sumur Pompa tangan
2. PDAM
3. Sumur Bor
4. Lainnya……..
A8 Apakah terdapat tempat penyimpanan air
bersih untuk mengolah makanan?
0. Tidak
1. Ya
A9 Digunakan untuk apa saja air bersih yang
ada?
0. Memasak
1. MCK
2. Memasak dan MCK
3. Lainnya……
A10 Apakah spons / alat yang digunakan untuk
mencuci peralatan sering diganti?
0. Tidak
1. Ya
A11 Berapa kali spons/alat yang digunakan
untuk mencuci peralatan diganti ?
0. < 2 minggu sekali
1. 2 minggu sekali
A12 Berapa kali lap yang digunakan
mengeringkan peralatan diganti ?
0. 2-3 hari sekali
1. Setiap hari
2. Setiap 1 waktu
pakai
150
LAMPIRAN 2
LEMBAR OBSERVASI SANITASI PERALATAN PENELITIAN
GAMBARAN HIGIENE SANITASI MAKANAN SERTA
KONTAMINASI BAKTERI COLIFORM DI PONDOK PESANTREN
KABUPATEN BOGOR TAHUN 2018
Kode Pondok Pesantren :
Alamat :
Hari/tanggal :
No Objek Pengamatan Keterangan
Ya Tidak
B. Higiene Sanitasi Peralatan
B.1 Pencucian peralatan menggunakan sabun dan air
mengalir
B.2 Spons / alat yang digunakan untuk mencuci peralatan
dalam keadaan bersih
B.3 Peralatan dalam keadaan kering dan tidak ada
kotorannya saat digunakan
B.4 Letak tempat pencucian peralatan tidak dekat dengan
sumber kontaminan
B.5 Peralatan yang telah dicuci disimpan dalam tempat yang
terlindung dari sumber kontaminan (terhindar dari
serangga, tikus dan hewan lainnya)
B.6 Peralatan dikeringkan dengan alat pengering/Lap yang
bersih
B.7 Kondisi lap yang digunakan bersih dan tidak bau
B.8 Tidak terdapat mikroorganisme pada peralatan
151
LAMPIRAN 3
LEMBAR OBSERVASI KUALITAS SUMBER AIR BERSIH
PENELITIAN GAMBARAN HIGIENE SANITASI MAKANAN SERTA
KONTAMINASI BAKTERI COLIFORM DI PONDOK PESANTREN
KABUPATEN BOGOR TAHUN 2018
Kode Pondok Pesantren :
Alamat :
Hari/tanggal :
No Objek Pengamatan Keterangan
Ya TIdak
C. Kualitas Sumber Air Bersih
C.1 Air yang digunakan tidak berbau, tidak berasa dan tidak
berwarna
C.2 Air digunakan untuk mencuci bahan makanan dan
peralatan makan
C.3 Air Bersih tidak mengandung mikroorganisme
C.4 Jarak sumber air dengan sumber kontaminan tidak
kurang dari 10 meter
152
LAMPIRAN 4
LEMBAR OBSERVASI HIGIENE PENJAMAH MAKANAN
PENELITIAN GAMBARAN HIGIENE SANITASI MAKANAN SERTA
KONTAMINASI BAKTERI COLIFORM DI PONDOK PESANTREN
KABUPATEN BOGOR TAHUN 2018
No Objek Pengamatan Keterangan
Ya TIdak
D. Higiene Penjamah Makanan
D.1 Kuku tangan penjamah makanan dalam keadaan pendek
dan bersih
D.2 Kuku tangan penjamah makanan dalam keadaan bersih
D.3 Kuku tangan tidak di cat
D.4 Tangan selalu dalam keadaan bersih ketika menjamah
makanan
D.5 Penjamah makanan selalu mencuci tangan terlebih
dahulu menggunakan sabun dan air mengalir setiap
akan menangani makanan
153
LAMPIRAN 5 Daftar Kategori Resiko Produk Pangan
154
LAMPIRAN 6 MPN Seri 3 Tabung (Ari, 2014)
155
156
LAMPIRAN 7 MPN Seri 5 Tabung (Ari, 2014)
157
LAMPIRAN 8
Daftar Pondok Pesantren
No Ciawi Bojong Gede Cibinong
1 Fathan Mubina Al Fiqoriah Mq
2 Al-Umm Nurul Ilmi As-Sholihin
3 Nurul Ikhlas Nurul Hidayah Daruttaqwa
4 Riyadul Mutaalimin Al Amien Nurul Furqon
5 Alam Pangrango Nurul Amal Miftahul Ulum
6 Riyadus Shalawat Bahrul Ulum Al-Hikmah An Najiyah
7 Salafiyah Hidayatullah Ni’matul Jawahir Al Barokah
8 Riyadul Huda Awaliyah Al Asiyah
9 Mahasiswa Bina Tauhid Miftahul Falah
10 Syifaul Furqon Al Kinanah
11 Nurul Hidayah
12 Al Haedariyah
13 As-Shalafiyah
14 Al-Barakatissadah
15 Miftahul Huda
16 Nurul Furqon
17 Albarkah
158
LAMPIRAN 9
OUTPUT SPSS
STATUS_MAKANAN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid TIDAK MEMENUHI 4 33,3 33,3 33,3
MEMENUHI 8 66,7 66,7 100,0
Total 12 100,0 100,0
status memotong kuku
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid MEMENUHI 12 100.0 100.0 100.0
STATUS_MEMOTONGKUKU_OBSERVASI
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid TIDAK MEMENUHI 8 66.7 66.7 66.7
MEMENUHI 4 33.3 33.3 100.0
Total 12 100.0 100.0
STATUS_AIR
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid TIDAK MEMENUHI 12 100,0 100,0 100,0
STATUS_MENCUCITANGAN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid TIDAK MEMENUHI 4 33,3 33,3 33,3
MEMENUHI 8 66,7 66,7 100,0
Total 12 100,0 100,0
STATUS_MENCUCI_TANGAN_OBSERVASI
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
159
Valid TIDAK MEMENUHI 12 100.0 100.0 100.0
STATUS_CUCIPERALATAN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid TIDAK MEMENUHI 1 8,3 8,3 8,3
MEMENUHI 11 91,7 91,7 100,0
Total 12 100,0 100,0
B8_STATUSSENDOK
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid TIDAK MEMENUHI 5 41.7 41.7 41.7
MEMENUHI 7 58.3 58.3 100.0
Total 12 100.0 100.0
B8_STATUSPIRING
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid TIDAK MEMENUHI 7 58.3 58.3 58.3
MEMENUHI 5 41.7 41.7 100.0
Total 12 100.0 100.0
sumber air bersih
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid SUMUR GALI 6 50.0 50.0 50.0
PDAM 5 41.7 41.7 91.7
SUMUR BOR 1 8.3 8.3 100.0
Total 12 100.0 100.0
160
LAMPIRAN 10
FOTO KEGIATAN TURUN LAPANGAN
Pengambilan sampel
makanan
Pengambilan sampel
makanan
Pengambilan sampel
makanan
Pengambilan sampel air Pengambilan sampel air Pengambilan sampel air
Pengambilan sampel usap
alat piring
Pengambilan sampel usap
alat piring
Pengambilan sampel usap
alat piring
161
Kondisi kuku penjamah
makanan
Kondisi kuku penjamah
makanan
Kondisi kuku penjamah
makanan
Kegiatan mengolah
makanan di dapur pondok
pesantren
Kegiatan mengolah
makanan di dapur pondok
pesantren
Kegiatan mencuci peralatan
di dapur pondok pesantren
Kegiatan mengolah
makanan di dapur pondok
pesantren
Kegiatan mengolah
makanan di dapur pondok
pesantren
Kondisi dapur pondok
pesantren CB04
162
Kondisi dapur pondok
pesantren BS02
Kegiatan mengolah makanan
di dapur pondok pesantren
BB14
Kondisi dapur pondok pesantren
TC03
Kondisi dapur pondok
pesantren KW13
Kondisi dapur pondok
pesantren VA15
Kondisi dapur pondok pesantren
MQ10
Kondisi dapur pondok
pesantren NH17
Kondisi dapur pondok
pesantren NI06
Kondisi dapur pondok pesantren
RM05
163
Kondisi dapur pondok
pesantren BM01 Kondisi dapur pondok
pesantren KPC11
164
Kode Pondok : G
Nama makanan : Tumis kacang panjang
Bahan : Kacang panjang, garam, gula dan bumbu masak
Alur CCP Pembuatan Tumis Kacang Panjang
CCP
Mencuci kacang
panjang yang telah
dipotong-potong
Pemotongan kacang
panjang dan persiapan
bumbu masak
Menumis bumbu masak dan
kacang panjang selama 12
menit
Makanan disajikan
menggunakan wadah piring
besar
Input
(Persiapan)
Output
(Penyajian)
Proses
(pengolahan)
Kode Pondok : H
Nama makanan : Sayur Sop
Bahan : Wortel,kentang, garam, gula dan bumbu masak
Alur CCP Pembuatan Sayur Sop
CCP
Mencuci wortel dan
kentang serta bahan
makanan lainnya yang
telah dipotong-potong
Pemotongan wortel,
kentang dan persiapan
bumbu masak
Input
(Persiapan)
Output
(Penyajian)
Proses
(pengolahan)
Sayur sop siap disajikan
untuk dikonsumsi
Merebus seluruh bahan
makanan menggunakan air
Menumis bumbu masak
Kode Pondok : K
Nama makanan : Sayur labu tempe kuning
Bahan : labu siam, tempe, kunyit, garam, gula dan bumbu masak
Alur CCP Pembuatan Sayur Labu Tempe Kuning
CCP
Mencuci labu siam,
tempe serta bahan
makanan lainnya yang
telah dipotong-potong
Pemotongan labu
siam, tempe dan
persiapan bumbu
masak
Input
(Persiapan)
Output
(Penyajian)
Proses
(pengolahan)
Sayur labu tempe kuning
siap disajikan untuk
dikonsumsi
Merebus seluruh bahan
makanan
Menumis Bumbu masak
Kode Pondok : L
Nama makanan : Sayur Labu Siam
Bahan : labu siam, garam, gula dan bumbu masak
Alur CCP Pembuatan Sayur Labu Siam
CCP
Mencuci labu siam
serta bahan makanan
lainnya yang telah
dipotong-potong
Input
(Persiapan)
Output
(Penyajian)
Proses
(pengolahan)
Sayur labu siam siap
disajikan untuk dikonsumsi
Masukan labu siam
Pemotongan labu siam
dan persiapan bumbu
masak
Menumis bumbu masak
CCP
Membuat santan
Masukan santan
LAMPIRAN 11
Kode Pondok : A
Nama makanan : Tumis Wortel dan Jamur
Bahan : Wortel, Jamur, gula dan bumbu masak
Alur CCP Pembuatan Tumis Wortel Jamur
Mencuci wortel, jamur
serta bahan makanan
lainnya yang telah
dipotong-potong
Pemotongan wortel
dan persiapan jamur
serta bumbu masak
Input
(Persiapan)
Output
(Penyajian)
Proses
(pengolahan)
Tumis wortel jamur siap
disajikan
Menumis seluruh bahan
makanan selama 23 menit
Menumis bumbu masak
Kode Pondok : B
Nama makanan : Tumis Capcay
Bahan : Wortel, jagung, gula dan bumbu masak
Alur CCP Pembuatan Tumis Capcay
Mencuci Wortel,
jagung kacang panjang
serta bahan makanan
lainnya yang telah
dipotong-potong
Pemotongan Wortel,
jagung, kacang
panjang dan persiapan
jamur serta bumbu
Input
(Persiapan)
Output
(Penyajian)
Proses
(pengolahan)
Tumisan siap disajikan untuk
di konsumsi
Menumis seluruh bahan
makanan selama 60 menit
Menumis bumbu masak
Kode Pondok : C
Nama makanan : Tumis Kangkung
Bahan : Kangkung, gula dan bumbu masak
Mencuci kangkung
serta bahan makanan
lainnya yang telah
dipotong-potong
Pemotongan
kangkung serta bumbu
masak
Input
(Persiapan)
Output
(Penyajian)
Proses
(pengolahan)
Tumisan siap disajikan untuk
di konsumsi Menumis bumbu masak
Menumis kangkung dan
bumbu masak
Kode Pondok : D
Nama makanan : Sayur asem
Bahan : kacang panjang, labu siam, jangung manis, kacang tanah, melinjo, bumbu masak
Menghaluskan
bumbu masak
(bawang, cabe,dll)
Pemotongan kacang
panjang, labu siam,
jangung manis
Input
(Persiapan)
Output
(Penyajian)
Proses
(pengolahan)
Penyajian sayur asem yang
siap dikonsumsi
Pemasakan sayur asem
Perebusan air
Penambahan bumbu Mencuci kacang
panjang, labu siam,
jangung manis serta
bahan makanan
lainnya yang telah
dipotong-potong
Kode Pondok : E
Nama makanan : Tumis Kembang Tahu
Bahan : Wortel, Jamur, gula dan bumbu masak
Mencuci bahan
makanan yang telah
dipotong
Pemotongan kol dan
kembang tahu serta
bumbu masak
Input
(persiapan)
Output
(penyajian)
Proses
(pengolahan)
Menumis kol dan
kembang tahu
Menumis bumbu
masak Penyajian tumis kembang
tahu yang siap dikonsumsi
Kode Pondok : F
Nama makanan : Sayur Sop
Bahan : Wortel, Kentang, buncis, kol, daun bawang, gula dan bumbu masak
Mencuci wortel dan
kentang serta bahan
makanan lainnya yang
telah dipotong-potong
Pemotongan bahan
makanan dan
persiapan bumbu
masak
Input
(persiapan)
Output
(penyajian)
Proses
(pengolahan)
Sayur sop siap disajikan
Menumis bumbu masak
Perebusan wortel,
kentang dan bahan
makanan lainnya
Merebus air
Kode Pondok : I
Nama makanan : Tumis Terong
Bahan : terong, kecap, cabe, gula dan bumbu masak
Goreng terong hingga
kecoklatan
Mencuci terong dan
bahan masak lainnya
Input
(persiapan)
Output
(penyajian)
Proses
(pengolahan)
Tumis terong siap disajikan
diatas wajan
Memotong terong dan
bumbu masak
Menumis terong dan seluruh
bahan makanan bersamaan
Menumis bumbu masak
Kode Pondok : J
Nama makanan : Tumis kacang panjang
Bahan : kacang panjang, gula dan bumbu masak
Mencuci kacang
panjang serta bahan
makanan lainnya yang
telah dipotong-potong
Pemotongan kacang
panjang serta bumbu
masak
Input
(persiapan)
Output
(Penyajian)
Proses
(pengolahan)
Tumis kacang panjang siap
disajikan diatas wajan
Menumis bumbu masak
Menumis kacang panjang
bersamaan dengan bumbu
masak
top related