fpips.upi.edu · web viewsementara itu orde baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk...
Post on 26-Dec-2019
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KISAH PEMBANGUNAN DALAM
REFLEKSI SEJARAH
==================
Taufik Abdullah
AIPI
Reformasi dalam kegelisahan kini
Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman Youtube yang
menarik. Meskipun sepintas lalu seperti hanya berisi kisah perjalanan
seorang wartawan Amerika ke Indonesia, tetapi seketika pesannya
tertangkap kiriman ini langsung menggugah perasaan. Sang wartawan
( tentu saja dengan crew tv-ny) datang karena ia sempat melihat siaran TV
tentang “an Indonesian smoking baby”, yang katanya telah menjadi ‘
international sensation”. Jadi bisalah dipahami juga kalau Youtube ini
dimulai dengan video betapa seorang anak Indonesia merokok dengan
“gaya yang canggih”. Rupanya anak yang baru berusia tiga tahun ini
menghabiskan dua bungkus rokok sehari. Sang wartawan ini heran juga
sebab telah sekian tahun ia mengalami kegencaran kampanye anti-rokok di
Amerika dan bahkan di mana –mana. Di Amerika boleh dikatakan tidak
ada lagi papan reklame rokok. Harga sebungkus rokok di New York City
tak kurang dari $12.00 atau kira- kira Rp.110 rupiah dan tambah lagi pajak,
$ 1.35. Tetapi di Indonesia seorang anak balita menjadi berita internasional
karena gayanya yang meyakinkan merokok bersama-sama orang-orang
dewasa.
Maka begitulah sang wartawan datang ke Jakarta. Seketika ia keluar
dari terminal airport iapun, katanya, dengan begitu saja merasa seperti “
1
stepping back in time”. Tiba-tiba ia melihat betapa megahnya iklan rokok
di mana-mana. Ketika perjalanan telah dilanjutkan semakin ia merasakan
betapa hebatnya jaringan pengaruh rokok ini. Di depan sekolah ia melihat
bukan saja betapa megahnya terpampang iklan rokok dengan gambar
Cowboy , yang sudah sekian tahun “absen” di negerinya, tetapi juga penjual
rokok. Dalam wawancara yang diadakannya dengan kelompok anti-rokok ia
mendapat informasi bahwa satu dari empat anak laki-laki yang berumur 13
sampai 17 telah asyik menikmati rokok. Inilah sejenis racun yang dikatakan
seorang ilmuwan, yang ditampilkan dua-tiga dalam Youtube ini, bisa
membunuh satu milyar orang dalam satu abad di seluruh dunia. Delapan
puluh persen dari jumlah ini adalah penduduk dari negara-negara
berkembang. i
Ternyatalah juga bahwa sementara negara-negara maju semakin
berhasil memperkecil pengaruh rokok, di negara berkembang rokok malah
semakin meraja lela. Jadi semakin bisalah dipahami mengapa Philips
Morris membeli Sampurna. Kapitalis Barat rupanya meluaskan jaringannya,
ketika di negerinya sendiri ruangan telah semakin sempit. Tetapi
bagaimanakah masa depan negara berkembang itu. Bagaimanakah masa
depan Indonesia? Tetapi siapakah orang yang terkaya di Indonesia menurut
majalah Forbes ? Bukankah rangking satu dan dua dari orang yang terkaya
itu adalah pengusaha rokok ?
Dalam surat pengantar nya kawan yang mengirim Youtube itu
mengatakan betapa ia harus menahan tangis melihat tayangan tentang kisah
rokok itu. Ia membayangkan masa depan yang gelap jika saja semuanya
berjalan seperti biasa. Tiba-tiba saya mersakan juga dilemma dalam
masyarakat kita. Ke manakah petani tembakau dan para perajin rokok
mencari kehidupan, jika rokok harus dibatasi, apalagi dilarang?
2
Mungkin nasib saya lagi apes sepagi itu. Baru saja selesai melihat
dengan penuh perhatian Youtube yang berkisah tentang rokok ini berita lain
telah menunggu dalam email saya. Kali ini kisah tentang rekaman tv BBC,
yang mengisahkan keterharuannya seorang binman, pemungut sampah ,
London, yang disponsori datang ke Jakarta untuk melihat dan bahkan
mengecap kehidupan “kolega” sesama pemungut sampah.Betapa terharunya
sang binman London ini. Sering kali ia tak bisa menahan air matanya.
Tidak sanggup ia menyampaikan perasaannya setelah melihat dan mencoba
ikut dalam kemiskinan koleganya ini. Ia tidak bisa membayangkan
kehidupan seperti yang dialami sang pemungut sampah Jakarta yang telah
dianggapnya sebagai teman.
Bagaimanakah perasaan ironistentang berbagai aspek kehidupan
Jakarta, bahkan nuga kota-kota besar lain tak akan terbayangkan setelah
siaran tv BBC ini selesai dibaca. Sementara pedagang kaki lima – mereka
yang mungkin bisa memberi kesempatan bagi sang pemungut sampah untuk
sekadar belanja bagi keperluannya, betapapun mungkin secuil saja-- harus
selalu siaga menghadapi kemungkinan diusir secara baik-baik atau dengan
paksaan , mall dan supermarket yang serba canggih telah membuka pintu
mereka dengan penuh kemegahan. Hampir di setiap mall, yang kemewahan
dan kecanggihannya tidak kalah dari mall manapun di luar negeri, beroperasi
juga toko-toko eksklusif penjual branded items. Maka siapakah yang akan
heran kalau sempat juga membaca hasil suatu survey yang mengatakan
bahwa sebagian terbesar, sekitar 80 per sen, dari pengunjung mall adalah
mereka yang ingin jalan-jalan saja?. Kalau begitu diperlukankah imajinasi
yang canggih untuk menebak bahwa yang berbelanja di toko-toko mewah itu
adalah mereka yang sudah sangat dan bahkan teramat jauh berada di atas
3
garis kemiskinan. Mereka adalah yang terasuk kategori kelas sosial yang
teramat berada.
Semakin terasalah betapa gambaran sepintas tentang kota besar
bukan sekadar mengatakan bahwa kemiskinan masih meraja lela , tetapi juga
ketimpangan sosial-ekonomis semakin memperlihatkan sosoknya pula.
Betapapun konon “kelas menengah”—suatu ukuran berdasarkan tingkat
kemampuan ekonomis-- telah semakin membesar juga, ketimpangan sosial
ekonomis yang ekstrim pun telah pula semakin menjadi bagian dari realitas
kehidupan bangsa. Apalagi kemiskinan yang tidak kalah ekstrimnya masih
merupakan realitas yang tidak bisa ditutup-tutupi betapapun statistik
mungkin bisa memberikan gambaran yang lebih optimistis. Maka siapakah
yang tidak geleng-geleng kepala kalau perbandingan kekayaan antara
mereka yang sangat berpunya dengan mayoritas penduduk dengan jelas
memperlihatkan betapa negara yang menjadikan “keadilan sosial” sebagai
salah satu landasan kehadiran negara memperlihatkan ketimpangan sosial-
ekonomis yang semakin eksrim. Konon sekarang di Amerika Serikat
kekayaan rata-rata dari 500 orang terkaya adalah 20.000 kali kekayaan
kalangan biasa. Di Singapore , kata studi ini, kekayaan dari 500 orang
terkaya itu 25.000 kali lebih besar dari average citizen of Singapore. Jika
begitu bagaimanakah perbandingan kekayaan perseorangan di Indonesia?
Maka tercatatlah bahwa jumlah kekayaan rata-rata dari masing-masing 500
anggota oligarki Indonesia itu adalah 600.000 kali kekayaan average
Indonesian.1 Jadi janganlah heran kalau terasa sekali betapa orientasi politik
Indonesia sekarang—setelah Reformasi politik dilancarkan—semakin
1 Jeffrey A.Winters, “ If Indonesians are going to find a candidate to ooppose the oligarchs, they need to start organizing now”, i http://www.youtube.com/watch?v=DivWK3f2TpA&feature=youtube-qdata player
4
dikuasai, langsung ataupun dari belakang layar saja -- oleh para oligarki
yang teramat kaya itu.
Dalam konteks ketimpangan yang sedemikian mencolok ini perlukah
diherankan kalau Indeks Pembangunan Manusia semakin melorot saja?
Dalam release-nya UNDP 2 menunjukkan bahwa Indonesia sekarang
( 2011) berada pada ranking 124 (index 0,617) dari 187 negara. Jadi turun
dari tahun 2010 ketika Indonesia berada pada ranking 108 dari 169 negara.
Dengan ini Indonesia berada di urutan ke lima di negara ASEAN—
Singapore , 26 ( 0,866) Brunei Darusssalam 33 (0,838), Malaysia 61(0,761),
Thailand, 103(0,682), dan Filipina 112 (0,644).Hanyalah Vietnam ( urutan
120), Laos ( 138), Kamboja (139) dan Myanmar ( 112) yang berada di
bawah Indonesia. Ranking yang disampaikan UNDP itu memperlihatkan
juga sebuah ironi. Ternyata penurunan Index Indonesia terutama terjadi di
bidang pendidikan.Pada hal, sesuai dengan ketentuan UUD 1945 ( hasil
amandemen), anggaran pendidikan adalah 20% dari APBN. ii Meskipun –
sebagaimana ingin ditonjolkan pemerintah—landasan ukuran itu adalah
lamanya bersekolah, yaitu rata-rata hanya 5,8 tahun=-- jadi belum lulus
SD-- bukankah hal ini dengan jelas membayangkan ketimpangan sosial yang
cukup ekstrim juga? Semakin nyatalah sekolah-sekolah swasta yang
eksklusif dan perguruan menegah dan tinggi, apalagi sekolah ke luar
negeri, hanyalah milik kelompok sosial yang semakin ekskluisif pula.
Setelah mengalami berbagai macam cobaan politik, sosial, dan
ekonomi , mengapakah struktur kekinian Indonesia masih begitu-begitu saja.
Adanya ketimpangan dalam ketidak-adilan sosial-ekonomi dan bahkan juga
--sebagaimana index pendidikan dan kisah balita merokok terasa sebagai
2 Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Anjok ( penulis : Cornelius Eko Susanto), Media Indonesia, 4, Nov. 2011ii Media Indonsia, 4, 11, 2011
5
menggelapkan prospek mas depan? Apakah masa kini sedemikian
pentingnya sehingga masa depan hanyalah milik mereka yang telah sanggup
meniti jenjang kelas ekonomi yang memadai saja?
Kalau observasi yang selintas dan index belum mencukupi untuk
memahami situasi yang sedang dihadapi bangsa maka renungkan sajalah
makna dari berbagai peristiwa yang kini membelit kenangan dan bahkan
masih bagian dari pengalaman bangsa. Meskipun konon kabarnya mata
pelajaran geografi, seperti halnya—dan, apalagi— pelajaran sejarah, tidak
lagi merupakan hal yang begitu “dianggap” dalam lembaga pendidikan
rendah dan menengah, namun pengetahuan geografi di kalangan
masyarakat umum tampaknya senantiasa bertambah juga bahkan semakin
cepat saja. Siapakah kini yang tidak pernah mendengar nama-nama Puncak
Jaya, Sape, Bima, dan Mesuji ( yang rupanya berada di dua propinsi ,
Sumatra Selatan dan Lampung), dan Sidomulyo. Apalagi Cikeusik dan
tentu saja Cirebon, jangankan Bali , bahkan juga Bireun dan Aceh Besar.
Malah Sumenep pun menampilkan dirinya dengan gegap gempita di atas
pentas persada tanah air dengan gaya yang sama tetapi dengan skenario
yang berbeda. Tentu nama Bekasi telah umum dikenal. Tetapi berapa jam-
kah jalan raya Bandung-Jakarta kalau lewat Bekasi harus ditempuh? Dua
tiga jam atau malah, ketika pemogokan itu terjadi, sepuluh jam atau lebih?
Di waktu sesuatu yang tidak terbayangkan terjadi di jalan raya pada
pertengahan Januari (2012) puluhan ribu buruh dengan gegap gempita
menghambat kelancaran jalan raya. Mereka menuntut gaji yang mereka
anggap pantas.
Kesemua nama-nama tempat ini seakan-akan dengan bangga
menampakkan diri sejajar dengan nama Ambon, Ternate, Halmahera, Palu,
Sampang, Sampit, bahkan Aceh yang telah lebih berhasil menancapkan
6
kehadirannya dalam kesadaran bangsa. Kini nama-nama itu mulai setahap
demi setahap “mengundurkan diri” dari berita headline , setelah
“memukau” perhatian bangsa pada tahun-tahun peralihan abad dan
melanjutkannya untuk beberapa lama ke abad 21.
Seketika nama-nama tempat itu disebut berbagai corak kenangan pun
terhampar dalam struktur ingatan atau bahkan dalam pengalaman batin yang
tak mudah terkikis. Nama-nama tempat itu tampil sebagai simbol dari
berbagai permasalahan dan peristiwa yang mengenaskan yang cukup
dirumuskan dalam satu ungkapan saja : konflik internal. Betapa tragis
ketika reformasi, yang menginginkan kembalinya tatanan negara yang
demokratis digairahkan kembali, di saat itu pula beberapa daerah dilanda
konflik horizontal, yang hanya disebabkan oleh kejadian yang semula
sepele saja. Maka begitulah ketika keresahan perseorangan dan sosial
yang semula diransang ketimpangan ekonomis yang dirasakan tidak adil dan
tidak semestinya telah tersalin dengan begitu saja ke dalam bahasa agama
dan etnis, konflik berdarahpun tidak terelakkan dan bahkan dengan begitu
saja menyebar entah ke mana-mana. Sekian banyak korban yang jatuh dan
sedemikian dalam pula dendam yang tertanam, sebelum akhirnya
ketenganan relatif bisa terpulihkan.
Konflik etnis-keagamaan ini masih membekas ketika semangat
intoleransi pada perbedaan dalam pemahaman terhadap keyakinan agama
yang sama-sama dianut menampilkan wajahnya yang ganas. Berapa
orangkah yang terusir dari kampung halamannya dan dari masjidnya di
Jawa Barat, Lombok dan sebagainya? Bahkan kemudian juga di Madura.
Tiba-tiba ethnic jokes tentang Madura yang serba polos dan lugu kehilangan
kelucuannya. Maka siapakah yang akan heran kalau ada lembaga penelitian
yang mencatat betapa beberapa daerah seakan-akan berlomba-lomba dalam
7
menunjukkan sikap intoleransi-nya terhadap perbedaan? Dan, pemerintah
hanya sekadar geleng-geleng kepala seakan-akan semuanya hal yang wajar
saja. Bahkan ada organisasi yang katanya membela agama dengan gagah
berani menampilkan diri sebagai barisan vigilanté. Demi terwujudnya
tatanan mereka yang diinginkan, anggota organisasi ini berbuat kekerasan
tanpa hak, etika kepatutan dan dengan wajah dan gaya penuh kebencian
dalam konteks sebuah negara hukum.
Kalau kelompok vigilanté telah disebut, bagaimanakah membendung
ingatan pada para teroris, yang memakai nama Allah tetapi melakukan
tindakan kekejian terhadap kemanusiaan. Kalau operasi pembunuhan di Bali
dan Jakarta mereka lakukan di restoran, cafė dan hotel, yang banyak
dikunjungi “orang asing” yang non-Islam, bisa dianggap kebodohan yang
keji, maka penjelasan apakah yang harus diberikan jika perbuatan teror itu
dilakukan di masjid, ketika orang sedang shalat, seperti yang terjadi di
Ceribon?
Nama-nama georafis itu menunjukkan corak konflik yang berbeda-
beda di saat penguasaan lahan yang semakin sempit telah menjadi taruhan.
Ketika negara—demi pembangunan-- telah membuka kesempatan bagi
pengolahan perkebunan besar atau pertambangan dan bahkan melindungi
operasi keduanya di saat masyarakat telah semakin gelisah dan merasa
dirugikan, maka benih-benih konflik pun tertanam dan semakin membesar
begitu saja. Maka ketika waktunya telah sampai dan di saat rasa terpingirkan
yang tidak adil sudah tidak bisa ditahan lagi maka benih konflik yang
tumbuh itupun meledak. Di waktu itulah pula masyarakat semakin
menyadari bahwa pemerintah rupanya sama sekali tidak memperdulikan
nasib dan keresahan mereka dan bahkan memberi kesan yang jelas betapa
negara lebih cenderung membela perusahaan besar itu. Maka setelah korban
8
satu-satu mulai berjatuhan, sedangkan tanda-tanda penyelesaian masih
belum juga membayang ,siapakah yang secara moral bisa menyalahkan bila
kenekatan masyarakat meledak begitu saja? Siapakah pula yang akan
disalahkan kalau kantor Bupati Bima dibakar masyarakat setempat dan siapa
pulakah yang akan dihukum kalau masyarakat mengarahkan kemarahannya
kepada pihak keamanan?
Ternyata hutan bukanlah lahan yang dengan begitu saja bisa
dieksploitasi tanpa memikirkan masyarakat sekitar dan kelestarian
lingkungan. Ternyata pula betapa keharusan dan bahkan tak jarang,
keserakahan, finansial kekinian bisa mengancam masa depan,.“Indonesia
adalah salah satu negara di dunia yang mengalami resource curse. “, kata
Lex Riefel3, seorang ahli ekonomi dan politik Amerika Serikat. “ Indonesia”,
katanya selanjutnya, “ tidak menangani sumber daya alamnya dengan
efektif , negara ini justru menghancurkan alamnya dengan efektif, negara ini
menghancurkan alam dengan over-eksploitasi, dan tidak menangani
sumber daya alam untuk kepentingan rakyat keseluruhan....Indonesia akan
menjadi masalah baru bagi Asia”iii Kalau telah begini haruskah Pasal 33 ayat
2 dari UUD, yang konon ditulis langsung oleh Bung Hatta, dilupakan saja?
Kalau akan tidak ada bukankah sebaiknya sistem kenegaraan secara terus
terang dinyatakan bersifat kapitalistik murni?
Kisah tentang situasi masa kini belum selesai juga. Siapakah yang
tidak kenal dengan Gayus Tambunan, pegawai muda usia yang bisa
mempermalukan pajak, kejaksaan, kehakiman, bahkan juga imigrasi? Siapa
pulakah yang tak kenal dengan M.Nazaruddin dan berbagai nama yang
disebutnya? Bank apakah yang lebih terkenal daripada Bank Century,
3 “Indonesiia Bisa Jadi Masalah Baru Bagi Asia”, VIVAnews,, 30 Januari,2012 iii Wawanca & Analisis. “Indonesia Bisa Jadi Masalah Baru bagi Asia”. VIVA NEWS, Senen 30 Januai,2012
9
meskipun bank ini telah berganti nama? Akhirnya wisma apakah yang
belum selesai tetapi malah langsung terkenal, kalau bukan Wisma Atlet?
Apapun komentar dan bahkan pandangan yang akan diberikan, namun
kesimpulan yang hakiki hanya satu saja. Betapa maraknya kecamuk korupsi
sekarang, meskipun gerakan Reformasi dilancarkan dengan landasan
pembasmian KKN di persada Indonesia.
Demokrasi dan otonomi daerah adalah antithesis dari sistem otoriter
yang sentralistis , betapapun dibungkus dengan ideologi yang bercorak
seperti apapun. Tetapi apakah yang akan dikatakan kalau ketika otonomi
dan demokrasi ,yang segera dilancarkan begitu kekuasaan otoriter
ditumbangkan, ternyata memberi pintu bagi masuknya angin konflik lokal,
demi kekuasaan? Dalam suasana inilah konflik lokal terjadi di beberapa
tempat. Para pendukung calon yang dijagokan mengamukbegitu saja ketika
tokoh mereka ternyata kalah. Atau, bahkan munculnya ancaman kekerasan
yang tidak terlalu terselubung bilamana pemilihan kepala daerah dilancarkan
ketika hasrat monopoli kelompok seperti tidak tersalurkan. Maka sebuah
pertanyaan yang dilandasi sinisme mungkin saja bisa tertanyakan. Setelah
sekian lama – sekitar empat puluh tahun—berada dalam sistem otoriter dan
sentralistis , sudah sampai di manakah kesiapan bangsa untuk kembali
berdemokrasi?
Meskipun mungkin saja tidak membayangkan realitas yang
sesungguhnya , tetapi gugatan yang mengatakan bahwa Indonesia tidak
obahnya dengan pesawat terbang yang mempunyai “autopilot” atau kapal
tanpa nachkoda cukup merangsang pemikiran juga. Sinisme ini terasa
mengena karena bukankah sering juga masyarakat menemukan situasi
ketika kehadiran tidak dirasakan,meskipun sangat diperlukan?. Di manakah
representasi kehadiran negara ketika buruh dan majikan berhadapan muka
10
sehingga mengganggu ketertiban umum? Di manakah pulakah negara
ketika penganiayaan pada golongan yang dianggap tidak sejalan dengan
keharusan dan perilaku keagamaan yang umum berlaku dengan begitu saja
diserang dan bahkan dianiaya? Karena itu bisa jugalah dipahami kalau ada
survey yang memperlihatkan betapa merosotnya penghargaan masyarakt
terhadap hampir semua lembaga kenegaraan.Maka haruskah masyarakat
disalahkan kalau bahkan lembaga hasil pilihannya sendiri, seperti DPR,
bahkan juga beberapa DPRD, dijadikannya sebagai bahan gunjingan yang
sinis?
Harapan, sukses dan kegetiran
Dalam beberapa pidatonya yang disampaikan ketika ia masih seorang
pemimpin pergerakan kebangsaan, Sukarno, sang Proklamator,
membayangkan bahwa kemerdekaan adalah “jembatan” dari masa kini yang
gelap gulita ke masa depan yang cemerlang. Masa depan, yang dibayankan
itu , adalah masa sekarang yang sedang dijalani. Tetapi di manakah suasana
yang cemerlang itu bisa didapatkan? Apakah yang telah dilalui bangsa dan
negara ini sejak cita-cita , sebagaimana yang dirumuskan dalam Pembukaan
UUD, diperjuangan dengan penuh pengorbanan dan kepahlawnan?
Setelah sekian tahun berada dalam suasana dan gelora revolusi untuk
mempertahankan dengan “darah dan airmata” Proklamasi kemerdekaan
bangsa akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949 mendapat pengakuan
resmi. Seperti tba-tiba saja negara-bangsa yang baru inipun mengalami
suasana ketika —sebagaimana dikatakan Herbert Feith 4-- “nationalism
was at its zenith”.Optimisme akan masa depan telah terbayang. Kedudukan 4 Herbert Feith, The Decline of Indonesian Constitutional Democracy, Ithaca, New York : Cornell University Press, 1964.
11
Indonesia kini telah sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Ketika itulah pula
sekelompok seniman dengan penuh percaya diri membuat sebuah
manifesto, “ Kami adalah ahli waris kebudayaan dunia yang syah”. Tetapi
mengapa tidak? Bukankah mereka adalah warganegara dari sebuah negara
demokratis yang sedang merintis masa depan? Dalam waktu yang teramat
singkat keutuhan Republik Indonesia Serikat—sebuah negara hasil
kompromi—terancam oleh gerakan bekas KNIL di Jawa Barat dan Sulawesi
Selatan. Tetapi ancaman yang meninggalkan korban ini hanya mempercepat
perubahan RIS untuk kembali menjadi negara kesatuan. Sementara itu
universitas-universitas mulai berdiri-- bukan saja di Jawa, tetapi juga d
Sumatra dan kemudian di Sulawesi dan Bali. Betapapun berbagai corak
ancaman bagi ketenteraman publik masih membayang, namun masa depan
yang cerah telah mulai membayang dalam konteks struktur kenegaraan yang
bercorak demokrasi parlementer.5
Berbagai problem yang berasal dari masa revolusi nasional ternyata
harus juga segera dihadapi dan diselesaikan. Kelompok politik yang sempat
terpisah selama revolusi kini menuntut keabsyahan kehadiran dirinya, maka
Darul Islam pun menjadi saluran dari keresahan politik di beberapa daerah
( Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan). Dalam suasana
ini pula gerakan separatisme, Republik Maluku Selatan ,mengancam
keutuhan negara. Sementara itu kedudukan bekas pejuang dalam konstelasi
negara yang ingin melakukan modernisasi ketentaraan pun harus pula
diatasi. Ketika parlemen terasa seperti menyuarakan kepentingan partainya,
maka bagaimanakah akan mengelak dari persaingan partai dengan
kepentingan modernisasi ketentaraan?
5 Bagian ini berdasarkan Taufik Abdullah, Indonesia. Toward Democracy. Singapore: ISEAS, 2009
12
Ketika sekian banyak tuntutan yang saling bertentangan harus
dihadapi kelangsungan hidup parlementarisme pun menghadapi kenyataan
yang pahit. Perbenturan ideologi dalam merintis hari depan yang diinginkan
tidak bisa dengan begitu saja terhindarkan,betapa pun harapan akan masa
depan tidak pernah digoyahkan. Pemilihan Umum bahkan memperlihatkan
betapa Indonesia sesungguhnya terdiri atas berbagai unsur politik dan
kultural dengan hasrat kekinian aspirasi akan masa depan yang berbeda.
Maka kestabilan politik pun menjadi taruhan yang terelakkan. Ketika
percaturan politik telah didampingi kemacetan dalam menentukan dasar
negara, sedangkan pembangkangan daerah masih belum juga teratasi,
apalagi Irian Barat masih berada di bawah kekuasaan Belanda, suatu
initiatif yang berani rupanya diperlukan. Tetapi di saat keberanian ini
diwujudkan ketika itu pula pelanggaran keharusan konstitusi dilakukan.
Seketika ini terjadi maka kegelisahan politik pun mengalami trasnformasi
menjadi pembangkangan. Seketika intervensi asing mulai bermain integritas
keutuhan negara pun menjadi taruhan.
Ketika itulah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Dengan argumen kembali pada “kepribadian nasional” maka sistem
parlementer yang dikatakan “tradisi liberal Barat” pun ditinggalkan.
Keharusan perubahan ditekankan lagi karena , sebagaimana selalu
dikampanyekan “revolusi belum selesai”. Kembali ke UUD 1945 adalah
juga sesungguhnya “ the rediscovery of our revoution”. .Tetapi seketika itu
pula kehidupan demokrasi menemui ajalnya, meskipun namanya
diperabadikan juga dalam istilah “Demokrasi Terpimpin”
Begitulah masa demokrasi parlementer yang penuh idealisme tentang
hari depan bangsa berakhir sudah. Idealisme sistem politik yang demokratis
telah terbentur pada pertentangan ideologi dan persaingan politik serta
13
kegelisahan daerah yang tidak mudah teratasi. Pemilihan Umum , yang
umum dianggap paling bersih, hanya memperlihatkan kompleksitas dari
keragaman aliran dan aspirasi politik. Tidak banyak memang pembangunan
konkrit yang bisa ditinggalkan masa yang penuh idealisme dan pertentangan
politik dan ideologi ini. Keragaman konflik yang multi-dimensional
rupanya terlalu berat untuk diatasi dengan kesabaran. Hanya saja seketika
Demokrasi Terpimpin telah berdiri, di waktu itu pula benih ke arah
tumbuhnya negara yang serakah disemaikan. Secara bertahap tetapi dalam
waktu yang sangat singkat negara pun menampilkan dirinya bukan saja
sebagai pemegang hak tunggal dari sistem kekuasaan dan perekonomian,
tetapi juga pemilik hegemoni wacana dan penentu corak ingatan kolektif
bangsa. Dengan menjadikan dirinya sebagai pusat kekuasaan negara yang
syah—Presiden dan Panglima Tertinggi-- dan sekali gus personifikasi dari
ideologi yang dipelihara– Pemimpin Besar Revolusi dan Penyambung Lidah
Rakyat—Presiden Sukarno bukan saja meniadakan keberlakukan konsep
Trias Politica—pembagian tugas kenegaraan atas eksekutif, legislatif, dan
judikatif -- tetapi juga melihat dunia dengan kaca mata konflik. Maka prinsip
ideologis akan ketidak-mungkinan terjadinya persesuaian yang damai antara
New Emerging Forces dengan Old Established Forces dijadikan sebagai
landasan dalam memahami realitas dan dinamika politik.
Dalam suasana pemikiran inilah semangat revolusi yang tanpa henti
senantiasa dikobarksan. Dengan landasan pemikiran ini pula program
pembangunan yang lebih dipentingkan ialah yang bercorak Nation and
Character building. Untuk keperluan inilah indoktrinasi anak-bangsa
diperlukan dan karena ini pula berbagai simbol atau “mercu suar”
kebanggaan bangsa dibangun. Gedung DPR ( semula untuk gedung
CONEFO), monumen nasional, masjid Istiqlal, bahkan juga kota
14
Palangkaraya adalah contoh dari visi Bung Karno untuk mendatangkan
kebanggaan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Hanya saja kesemuanya
baru bisa diselesaikan ketika masa Demokrasi Terpimpin telah berakhir dan
zamannya telah disebut sebagai periode Orde Lama. Tetapi sementara itu
kemerosotan ekonomi dan prose penurunan kesejahteraan masyarakat
berjalan mulus saja. Antri untuk mendapatkan secuil keperluan pokok
seakan-akan tampil sebagai salah satu unsur budaya bangsa.
Dalam suasana serba revolusioner tetapi didampingi kemunduran
kesejahteraan ekonomis inilah pula politik Belanda untuk menjadikan Irian
Barat sebagai “sebuah negara merdeka” harus dihadapi. Dengan “tiga
komando rakyat “(Tritura) persiapan perang semesta pun mulai dijalankan.
Tetapi intervensi PBB ( dan Amerika Serikat) kemungkinan perang
Indonesia-Belanda bisa dihalangani dengan diadakannya perjanjian New
York ( 1962) .Indonesiapun diberi tugas untuk menjalankan trusteeship
PBB atas Irian Barat sampai diadakannya Act of Free Choise pada tahun
1969.
Tahun 1962 adalah tahun isimewa. Sebab di tahun ketika Indonesia
dengan gemilang berhasil sebagai tuan rumah Asian Games . Tidak pernah
sebelum dan sesudah itu prestasi internasional atlet-atlet Indonesia sehebat
yang dicapai ketika Jakarta menjadi tuan rumah pekan olah raga Asia ini.
Terasa juga betapa tahun 1962 ini sebagai “ a golden year” .Zaman baru
bagi kehidupan bangsa mulai membayang. Tetapi betapa cepanya hari
berlalu. Dalam waktu yang teramat singkat tahun 1962 berubah saja
menjadi “ the year of wasted opportunities”. Dalam tahun ini pula politik
konfrontasi atas pembentukan Malaysia dijalankan, dengan penuh semangat.
Tetapi “konfrontasi”, yang dilancarkan Indonesa sebagai pelopor gerakan
New Emerging Forces bukan saja menyebabkan Indonesia merasa perlu
15
memencilkan dirinya dari pergaulan internasional dan membiarkan benih-
benih perpecahan dalam tubuh bangsa tumbuh semakin subur.
Maka ketika waktunya telah datang, “malam petaka” itu terjadi dan
tragedi yang teramat memilukan segera pula berkecamut dalam kehidupan
bangsa. Siapakah yang tak tergencil untuk berkhayal betapa peristiwa yang
terjadi di peralihan malam 30 September jalan 1 Oktober subuh di tahun
1965 itu tidaak pernahj terjadi? Bagaimanakah mengelak dari pengandaian
khayal kesejarahan ( “if in history”) tentang situasi bangsa yang tidak
dihantui oleh hari-hari dan bulan-bulan penuh konflik dan pembunuhan
yang teramat memilukan itu?.Tetapi peristiwa yang memilukan adalah
realitas yang tak terpungkiri. Peristiwa itu benar-benar terjadi dan akibatnya
Demokrasi Terpimpin pun tersingkir ke dalam keranjang sejarah. Bapak
Bangsa pun dibiarkan dalam kesendiriannya, sebelum akhirnya Sang Maha
Pencipta menjemputnya. Sementara itu Orde Baru telah menyatakan
kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan
kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila.
Dengan berakhirnya Demokrasi Terpimpin, yang telah disebut Orde
Lama, masa “ the rediscovery of our revolution” pun tamatlah sudah dan
perode yang disebut “ pembangunan nasional” bermula. Dunia tak lagi harus
dilihat sebagai medan pertentangan tanpa henti antara NEFOS dan
OLDEFOS, tetapi calon pasar dan partner dalam pembangunan dan
perkembangan ekonomi. Dengan begini penampilan yang serba
revolusioner pun kehilangan daya tarik. Dalam suasana ini tiada lagi politik
“konfrontasi” yang harus dilakukan. Secara ideologis dan politik kedudukan
para revolusioner mulai digantikan para teknokrat—profesi yang baru
diperkenalkan dalam kamus politik populer. Masa developmentalisme yang
teknokratis pun bermula meskipun berada di bawah dominasi militer yang
16
ber-dwifungsi. Tetapi dalam suasana ini konsep “kepribadian nasional”
dipertahankan , meskipun dengan ungkapan “jati diri bangsa” Bukankah
dengan argumen keaslian budaya , bukannya tiruan dari dunia Barat,
kekuasaan yang otoriter bisa dipertahankan?
Begitulah dalam perjalanan waktu kekuasaan yang semula bercorak
“otoriter yang revolusioner” kini semakin menekankan developmentalisme
yang ditopang oleh sistem kekuasaan yang otoriter dan sentralistis. Tiada
lagi “komando revolusioner”yang harus diikuti karena “program
pembangunan” yang sentralistis semakin menampakkan diri. Segala
keharusan prosedural UUD 1945 pun diikuti—pemilihan umum, GBHN,
Presiden dipilih MPR – tetapi kata akhir berasal dari belakang layar. Sang
Mandataris MPR adalah sumber kekuasan yang otentik. Dalam situasi inilah
“kesatuan dan persatuan” bangsa dijaga dengan keharusan berlakunya azas
tunggal, Pancasila, bagi semua organisasi sosial, dan disederhanakannya
sistem kepartaian yang hanya terdiri atas kelompok “spritual-material”, PPP,
dan “material-spiritual, PDI, dan Golkar, partai yang bukan partai,sebab
“electoral machine” dari pemerintah. Untuk menjamin kesemunya ini
“penataran penghayatan dan pelaksanaan Pancasila” pun dijalankan. Semua
murid, pelajar dan mahasiswa,pegawai,tentara dan aktivis organisasi dan
kepartaian diharuskan mengikuti P-4.. Maka BP7 pun mempunyai cabang
sampai ke daerah tingkat II. Pada puncak perkembangannya sistem
kekuasan tidak lagi hanya terletak pada uniformitas dan sentralisasi
pemerintahan daerah , tetapi juga menjadikan masyarakat desa sebagai
bagian dari sistem pemerintahan yang telah diseragamkan. Bukankah dengan
keseragaman yang terpusat pembangunan nasional yang dikatakan
“berkesinambungan” lebih mudah diselenggarakan?
17
Bagi Orde Baru “pembangunan nasional” bukan saja sebuah
landasan legitimasi dari kehadirannya tetapi juga arah langkah politik yang
diayunkan dengan penuh perhatian. Maka BAPPENAS pun memainkan
peranan penting, seperti juga GBHN selalu merupakan tugas utama MPR,
meskipun draftnya telah lebih dulu disiapkan team ahli. Setiap departemen,
apalagi universitas, harus mempunyai pusat-pusat penelitian dan
pengembangan. Setiapdaerah pun harus memounyai BAPPEDA.
Pembangunan nasional bukan saja program yang harus dijalankan tetapi
bagi Orde Baru adalah juga landasan ideologis dari legitimasi kehadirannya.
Maka, apapun yang hendak dikatakan tentang regim di bawah
kepemimpinan Presiden Soeharto ini, ketika semua telah berlalu, harus
diakui juga bahwa Orde Baru, adalah rezim yang mengubah peta Indonesia
seacra dramatis. Dalam masa kekuasannya kota-kota baru, baik yang
merupakan satelit dari kota lama, maupun yang bukan – seperti Batam,
umpamanya—didirikan dan bahkan juga berkembang. Sementara itu kota-
kota lama bertambah ramai dan semakin menjadi pusat perekonomian bagi
daerah sekitarnya. Kota-kota inipun semakin besar dan modern juga.
Jaringan jalan raya dan jembatan dan seterusnya bertambah luas. Dalam
masa Orde Baru pula hubungan antar daerah , dari yang terujung Barat
sampai terujung Timur, terjadi. Naik pesawat terbang semakin menjadi hal
yang rutin dan semakin penumpangnya semakin cenderung pula
meninggalkan batas-batas kelas sosial ekonomi. Di masa Orde Baru pula
Indonesia mendapat penghargaan internasional karena berhasil menjadi
negara yang swasembada beras serta pelaksana program keluarga berencana
yang sukses. Jaringan sekolah meluas ke pelosok-pelosok. Di setiap
propinsi, bahkan di sebagian ibukota kabupaten berdiri universitas atau
perguruan tinggi lainnya, baik milik pemerintah ataupun swasta. Puskemas
18
dan Posyandu tersedia di hampir setiap pelosok yang strategis bagi
masyarakat desa dan kampung di pinggiran kota. Sementara itu GNP pun
rata-rata naik 7 per sen per tahun. Para peninjaupun asing tanpa ragu-ragu
menyebut Indonesia sebagai salah satu the emergimg Asian Tigers.
Hanya saja di balik keberhasilan ini corak lain dari perkembangan dari
perkembangan sosial terjadi juga. Setelah perdebatan antara pilihan
“persamaan”, equity, dan “pertumbuhan” , growth, atau, dalam alur wacana
lain , “adil” atau ”makmur” diselesaikan dengan pilihan yang tegas pada
alternatif yang kedua dan keyakinan akan terjadinya trickle down effects
telah pula semakin dimantapkan , maka dinamika sosial-ekonomi yang tak
diucapkan,tetapi mudah diramalkan ,terjadi begitu saja. Kemakmuran
rupanya lebih sering bertengger di atas dengan curahan yang terbatas ke
bawah. Dengan begini negara bukan saja semakin bisa memperkuat dirinya,
sehingga hampir tak mungkin digoyah, tetapi juga semakin menjadikan
dirinya sebagai pendukung pertumbuhan oligarki, yang merelatifkan batas-
batas antara kekuasan politik dan penguasaan kapital. Dengan begini
pelebaran jarak kelas sosial pun semakin menunjukkan bentuknya. Ketika
batas-batas kepatutan tradisional, yang disimbolkan dalam ungkapan
“negara kekeluargaan”, telah diwujudkan dalam kecenderungan untuk
merelatifkan batas-batas keharusan negara modern, yang bertolak dari
kepastian hukum, maka praktek KKN pun tak terhindarkan. Maka proses
pembentukan dan peneguhan kekuasaan oligarki pun terjadi secara alamiah
saja. Maka begitulah dalam proses pertumbuhannya Orde Baru , yang ingin
menjalankan UUD 1945 secara murni dan menjadikan Pancasila sebagai
“azas satu-satunya” telah tergelincir pada sistem oligarki,meskipun sejauh
mungkin masih mencoba bertindak sebagai pemabawa sistem enlightened
19
despotism. Orde Baru mencoba berbuat baik pada rakyat, tetapi tanpa
keikut-sertaan rakyat
Otoritarianisme dan sentralisme yang ditempa oleh semangat
developmentalisme yang teknokratis ternyata adalah perjudian yang mahal
juga jika dipakai dalam usaha menghadapi masa depan , yang hanya bisa
diperkirakan , tetapi tidak kepastian. Perjudian itu semakin serius juga
karena senantiasa dipelihara dengan penguasaan sistem wacana dan makna
—hegemony of discourse and meaning . Dalam tradisi yang dipelihara ini
tiada pemikiran tantangan yang dibiarkan bisa bersuara apalagi mencoba
menampilkan diri sebagai alternatif yang syah dalam percaturan pemikiran
dan perumusan strategi pembangunan. Maka begitulah ketika semuanya
telah terpusat pada suatu titik kekuasaan dan di waktu pemikiran hanya
dianggap berharga kalau sesuai dengan landasan asumsi yang telah
diperabadikan maka ketergelinciran dalam menjawab tantangan yang
berada di luar paradigma yang dianggap syah terjadi begitu saja. Apalagi
dalam perjalanan waktu kebuntuan dalam kreativitas bukan saja
menimbulkan kebosanan intelektual, tetapi juga membekukan imanjinasi di
saat tantangan yang di luar skenario terhampar di depan mata dan bahkan
memasuki relung-relung kehidupan sosial -ekonomi. Ketika hal ini terjadi,
skenario kejatuhan pun dengan cepat bermain di hadapan mata. Inilah yang
terjadi ketika krisis moneter yang mula-mula melanda Thailand tetapi datang
dengan kekuatan yang masif ke Indonesia. Krismon –pun menjadi cambuk
untuk membangunkan kekuatan massa. Dengan dimotori para mahasiswa
dan kaum terpelajar lainnya akhirnya Orde Baru tidak mempunyai pilihan
sangat terbatas. Meskipun dipilih untuk ke tujuh kalinya sebagai Presiden,
dengan suara mayoritas yang teramat mutlak, lengser keprabon pun tak
terhindarkan. Hanya saja ketika Presiden Soeharto akhirnya meletakkan
20
jabatan, tetapi hasratnya untuk menjadi pandito tidak kesampaian. Indonesia
pun memasuki masa reformasi. Orde baru telah berakhir, setidaknya
begitulah terungkap dalam sistem politik.
Tetapi tradisi politik yang dipelihara selama hampir empat puluh
tahun – sejak Dekrit Presiden 5 Juli, 1959 sampai 21 Maret 1998—tidak
pudar begitu saja. Dalam situasi ini bangsa pun mengalami perbenturan
antara keharusan reformasi yang ingin ditegakkan dan tradisi otoritarianisme
yang telah menjadi bagian kedirian pribadi dan tradisi. Maka batas antara
reformasi dengan euforia demokrasi pun menjadi kabur dan bahkan kadang-
kadang semakin kabur saja. Sebuah pertanyaan pun tertanyakan juga –
kapankah dan dalam suasana apakah euforia demokrasi menyingkit dan
regormasi yang sesungguhnya bisa jalan sendiri?
Antara keresahan dan optimisme
Seketika mendengar bahwa Presiden Soeharto meletakkan jabatan,
para mahasiswa, yang telah selama beberapa hari menduduki kompleks
gedung DPR, bersujud dan menangis. Kemenangan pertama untuk
menghapus praktek KKN dan mengembalikan negara pada tatanan
kehidupan demokratis, yang bertolak dari kesadaran rule of law, telah
tercapai. Tetapi di kalangan sebagian elit, peralihan kekuasaan dari Presiden
Soeharto dan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie dirasakan tidak lebih
daripada persambungan yang tidak syah dan tidak dikehendaki. Bukankah
Habibie adalah “anak didik” Soeharto? Maka terbentuklah gerakan untuk
menjatuhkan sang Presiden. Terhambat oleh keharusan konstitusiona,
gagasan tentang tatanan sistem kekuasaan yang bersifat sementara pun
dilansir pula. Hanya saja sikap demokratis dari mereka yang menginginkan
“demokrasi yang murni” ini semakin menjadi problematik ketika mereka
21
menolak untuk berdialog dengan Presiden yang tidak mereka akui itu.
Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa sikap mereka hanyalah
simptomatik dari kecenderungan otoriter yang diterapkan dalam konteks
situasi ketika tradisi dan keharusan demokrasi hendak dihidupkan kembali.
Tetapi memang harus diakui juga ambivalensi adalah salah satu ciri melekat
pada masa peralihan.
Sementara itu dan dalam waktu yang teramat singkat tanpa sekalipun
mengecam pendahulunya Presiden Habibie memperkenalkan sekian banyak
undang-undang yang sesuai dengan idealisme yang terkandung dalam UUD
1945. Otonomi Daerah , kebebasan pers, hak berserikat, dan sebagainya
diperkenalkan. Bank Indonesia dipisahkan dari kabinet. Ketika BP7
dibubarkan berarti secara simbolik Habibie menyatakan zaman dari
“negara yang serakah” ( greedy state)., yang menguasai kesemuanya, telah
berakhir. Terlepas dari perdebatan tentang kearifan politik atau suatu
kesalahan fundamental, tetapi ketika Presiden Habibie memberi kebebasan
pada rakyat Timor Timur untuk memilih untuk “merdeka” atau tetap
menjadi bagian dari R.I. secara implisit ia ingin mengikuti kalimat pertama
dari Pembukaan UUD—“ kemerdekaan adalah hak semua bangsa”. Iapun
harus membayar harga politik yang mahal, ketika ia berani mengadakan
Pemilu dan pemilihan Presiden sebelum waktunya. Pidato pertanggungan-
jawabnya ditolak. Pemerintahan Habibie pun berakhir tetapi zaman
reformasi diharuskan mengikuti irama sejarah yang tertimpa pada dirinya.
Maka ketika semuanya telah terhampar di atas poentas sejarah,
apakah yang bisa dipelajari dari pengalaman yang masih segar dalam
ingatan ini. Jika diingat-ingat bolehlah dikatakan bahwa tidak ada satu
bangsa dan negara pun yang tidak pernah mengalami masa-masa yang
diselimuti tragedi yang kadang-kadang dramatis dan bahkan juga
22
mengenaskan. Demikian pula nasib yang menimpa Indonesia. Seketika
Demokrasi Terpimpin menyatakan kehadiran dirinya, dengan menyingkir
sistem parlementer, Indonesia pun memasuki periode panjang dari
keberlakuan ‘Hukum militer”. Dalam suasana inilah beberapa partai
dibubarkan dan sekian pemimpin partai politik dan tokoh masyarakat
di-“istirahatkan” di rumah tahanan militer. Tetapi ketika Demokrasi
Terpimpin telah mendekati ajalnya, tragedi yang teramat parah dan tragis
pun harus dialami anak bangsa. Betapapun besarnya keinginan untuk
melupakan peristiwa ini, dorongan untuk mempertanyakan, “mengapa
semua itu harus terjadi?” tidak juga bisa disingkirkan. Begitu dulu dan
demikian pula sekarang, bahkan sering juga dibangkit-bangkit dengan segala
macam corak argumen, yang menyembunyikan perasaan dendam.
Cerita lama pun seakan-akan berulang lagi di waktu gerakan
reformasi telah mendapatkan kemenangan—ada harga yang harus bagi
perubahan yang fundamental. Di waktu itulah euforia demokrasi bergelora
seperti tak terbendung. Tiba-tiba di samping lahirnya partai-partai baru yang
bertolak dari idealisme yang mungkin telah lama dipupuk, tiga partai yang
dipelihara Orde Baru—Golkar, PPP, PDI-- menemukan diri mereka
terpecah-pecah. Bahkan , kemudian pecahan itupun pecah pula dan ecah
lagi. Dalam proses selanjutnya, kata “pemimpin” pun seperti terhapus saja
dalam wacana politik. Tetapi kata “ elit politik” telah menjadi bagian dari
wacana dan kritik politik. Hubungan kepemimpinan telah mengalami krisis.
Seketika itu pula tampak betapa krisis saling percaya ( crisis of mutual trust)
berkecamuk begitu saja. Rupanya ketika “tutup dari kotak segala corak
perbedaan” , yang dijaga keutuhannya oleh Orde Baru, terbuka di waktu
kejatuhannya, masyarakat pun menyadari bahwa selama ini mereka tidak
saling mengenal orientasi pemikiran masing-masing. Kini terasalah betapa
23
“kesatuan dan persatuan”, yang selalu diagung-pagungkan dan bahkan
diharuskan, hanyalah kamuflase dari perbedaan yang tidak pernah mendapat
kesempatan untuk saling mengerti dansaling menyesuaikan. Dominasi
yangnyaris total dari Orde Baru telahmenjadikan semuanya bunghkam,
seakan-akan semua adalah pengikut yang setia dari keharusan kekuasaan..
Jika katub tutuoan tekah terbuka dan segala perbedaan telah menampakkan
dirinya , mestikah diherankan kalau crisis of crisis management telah pula
dengan begitu saja menghinggapi kehidupan bangsa? Berapa lamakah
sebuah konflik yang sederhana bisa diselesaikan?
Dalam situasi ini , meskipun dua-tiga Presiden, telah \mendapat
kepercayaan rakyat, namun gejala sosial-politik, bahkan juga dalam
administrasi pemerintahan, situasi yang memungkinkan terjadinya apa yang
bisa disebut sebagai the spiral of stupidity masih juga belum terhindarkan.
Bukankah sering juga terjadi ketika sebuah tindakan “bodoh” dengan begitu
saja ditanggapi secara “bodoh” pula? Dan sebelum kita tahu masalah yang
sesungguhnya dua kampung yang bertetangga telah saling membunuh atau
sebuah partai telah pecah begitu saja dan sekian banyak contoh bisa
diajukan. Atau, sebagaimana kerapkali juga terjadi di kalangan mereka yang
kini disebut elit politik—suatu pernyataan :bodoh” ditanggapi secara
”bodoh” pula. Dan sebelum kita sadar apa yang terjadi, pertengkaran politik
di kalangan elit politik, telah dengan begitu saja menghambat penyelesaiaan
masalah yang dihadapi bangsa dan negara. . Peserta dan pemerhati pun
kehilangan fokus tentang masalah apa yang sesungguhnya menjadi taruhan.
Maka pertanyaan yang fundamental pun tertanyakan juga . Apakah
tanah air tercinta ini telah dikutuk untuk berada dalam lingkaran harapan
akan perubahan tetapi tergelincir kembali kepada kekecewaan? Bukankah
terasa juga betapa seakan-akan dengan begitu setiap perubahan yang terjadi
24
bangsa kita seperi tergelincir kembali kepada ketidakpastian. Situasi semula
terasa sebagai mendekat kembali. Kalau begitu ,masihkah kita bisa berharap
akan masa depan yang cerah bagi kehidupan bangsa?
Tetapi apakah kesan sepintas ini adalah suatu realitas dalam
keutuhannya? Ataukah semua ini hanyalah peristiwa dan fenomena sosial-
politik yang dengan sangat cepat tetapi dengan mendalam bisa memasuki
ingatan dan kesadaran ? Bukankah yang mudah teringat dan yang hampir
selalu tercatat ialah hal-hal yang menyentuh subjetivitas perasaan dan yang
dirasakan sebagai menggugah kemantapan? Kalau hal ini yang menjadi
pertanyaan maka ternyatakah bahwa sejarah sesungguhnya bukanlah sekadar
cacatan tentang rentetan peristiwa -- “One damned thing after another”,
kata orang sana. Sejarah bukan pula sekadar rentetan kisah tentang
berbagai corak krisis dan konflik, betapapun hal-hal ini terlalu biasa
dicatat dan bahkan diingat. Sejarah tidaklah pula membiarkan tanpa catatan
peristiwa yang tenang-tenang berlalu tanpa gegap gempita. Jika seandainya
yang tidak bersuara gegap gempita ini diperhatikan, bagaimanakah
optimisme akan hari depan bangsa bisa dipungkiri?
Terlepas atau bahkan di samping segala corak krisis politik,bahkan
sosial, serta berbagai ragam kekecewaan , yang malah sampai kini mungkin
masih menjadi bagian dalam kesadaran sebagian anak bangsa—andaipun
tidak golongan mayoritas—bagimanakah akan bisa dilupakan begitu saja
sekian banyak keberhasilan fundamental yang pernah dan bahkan masih
dicapai peruangan bangsa? Ambillah contoh yang paling sederhana., tetapi
biasa sekali terlupakan. Berapa banyakkah suku-bangsa, besar kecil, yang
menjadi bagian dari yangdisebut Ben Anderson “ imagined community”
alias “bangsa” ini. Berapa pulakah tagam bahasa yang menjadi unsur-unsur
penting yang membentuk bahasa Indonesia ini? Sedemikian kompleks
25
keragamannya tetapi mengapa kesemuanya—terlepas dari krisis-krisis yang
kadang-kadang melanda—tetap menjadi bagian dari bangsa dan negara-
bangsa Indonesia? Pertanyaan ini mungkin tak tertanyakan ketika hanya
Indonesia yang jadi perhatian, karena telah dianggap sebagai hal yang
semestinya saja. Tetapi seketika perbandingan dengan pengalaman wilayah
lain ( Uni Sovyet, Yugoslavia, British India, dan sebagainya) dilakukan,
maka jawab apakah yang didapatkan? Berapa banyakkah krisis yang
mengancam perpecahan telah dilalui sejak proklamasi Kemerdekaan, tetapi
mengapa keutuhan relatif masih terpelihara, bahkan semakin kuat juga?
Ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan berapa orangkah anak
bangsa yang sempat atau yang pernah dimungkinkan untuk menginjak
perguruan tinggi? Tetapi sekarang lembaga manakah yang berani meng-
claim diri sebagai pemegang angka yang pasti tentang jumlah anak bangsa
yang telah mendapatkan apa yang dulu dianggap sebagai kemewahan itu.
Betapapun mungkin kekecewaan akan masih sangat terbatasnya terasa
jumlah itu dan betapapun pula kemampuan lapangan kerja juga terbatas ,
prestasi ini tidak bisa dianggap enteng saja. Di waktu kaumterpelajar telah
merupakan siuatu komunitas besar yang didukung oleh keilmuan dan
keterempilan teknologis yang beragam dan mendalam, di waktu itu pula hak
untuk berputus asa tekah kehilangan makna. Betapapun mungkin masih
terasa jauh dari yang diinginkan terbentunya golngan terpelajar dari segala
suku-bangsa adalah harta yang tak terpermanai. Jakarta – jika boleh disebut
sebagai contoh—tak lebih dari sebuah big village, ketika tahun 1970
dimasuki. Sekarang? Maka biarlah orang menghitung-hitung ranking berapa
Jakarta sebagai salah satu metropolitan dunia. Rumah sakit , besar dan kecil,
bahkan mewah ataupun sederhana, telah menjadi pemandangan yang
semakin biasa, meskipun rumah-rumah reyot, yang membayangkan
26
kemiskinan belum sepenuhnya teratasi. Jakarta hanyalah sekadar contoh
saja dan bahkan belum pula tentu yang pantas dibanggakan. Tetapi
perubahan yang fundamental tak bisa dipungkiri telah terjadi juga.
Berbagai krisis, bahkan tak jarang yang berdarah dan mengancam
keutuhan dsn eksistensi negara telah dilalui sejak roda revolusi nasional
digulirkan. Tetapi kata akhir masih tetap sama—“Indonesia survives”.
Berapa banyakkah pemberontakan yang terjadi atau bahkan “revolusi dalam
revolusi” yang harus dihadapi atau pembelokan yang keras dari cita-cita
kebangsaan yang berhasil diselesaikan tanpa mengurangi integritas negara-
bangsa? Tetapi sampai kini kesemuanya masih bisa , meskipun kadang-
kadang dengan pengorbanan yang mendalam, diselesaikan dengan berhasil.
Maka kalau kesemuanya dihitung-hitung lagi, apalagi kalau sekian banyak
cerita sukses boleh dimasukkan, akhirnya kesimpulan apakah yang harus
diambil selain daripada optimisme akan masa depan bangsa.
Tetapi apakah langkah yang harus diayunkan untuk mengatasi
masalah yang kini dihadapi? . Mungkin hanyalah sebuah klise saja. Tetapi
bagaimanapun juga harus diingat kembali bahwa tujuan mendirikan negara-
bangsa yang telah menjadi konsensus bangsa , bahkan telah pula ditempa
oleh berbagai corak ujian sejarah, termaktub dalam Pembukaan UUD .
Kesemuanya masih teramat relevan sebagai bimbingan dalam mengusai
masa kini dan melangkah ke hari depan. Di samping “melindungi segenap
tumpah darah dan bangsa”, “ meningkatkan kesejahteraan rakyat”, serta “
ikut serta menjamin perdamaian dunia” , bukankah jelas juga tercantum tiga
kata yang sederhana, “ mencerdaskan kehidupan bangsa”? Tetapi seperti
apakah kehidupan bangsa yang cerdas berdasarkan P:ancasila, sebagaimana
dikatakan Pembukaan itu.
27
Berbagai visi dan teori bisa dimajukan, tetapi kalau saja pengalaman
bangsa bisa dipelajari dan dipahami, maka tampaklah betapa tidak
memadainya semboyan ataupun bahkan sikap yang hanya berdasarkan pada
konsep “kebenaran”. Ketika telah dihadapkan ke wilayah publik maka
ternyatalah bahwa tidak ada kebenaran tunggal itu. Jika dipaksakan
kebenarann yang diyakini itu maka konflik pun tak selamanyab
terhindarkan.. Siapakah yang salah dansiapa pulakah yang benar? Sekian
puluh contoh dalam sejarah kehidupan kenegaraan bisa diperlihatkan tentang
masalah ini. Apakah pemberontak salah? Ataukah mereka sesungguhnya
bertolak dari keyakinan akan “kebenaran” yang mereka anut?
Demikian pula halnya dengan “keadilan”. Seperti apakah adil yang
sama-sama dirasakan?. Buruh merasa adil kalau upah mereka dinaikkan,
pengusaha merasa adil kalau biaya yang dikeluarkan bisa mendatangkan
keuntungan , bukan sebaliknya. Dan sebutlah sekian banyak contoh lain,
ketika konsep keadilan yang berbeda-beda, meskipun sama-sama
berdasarkan kebenaran yang diyakini, sering hanya berakhir dengan konflik.
Inilah wajah bangsa yang sering “menghiasi “ media cetak dan elektronik.
Kedua prinsip yang agung ini barulah mempunyai arti jika telah didampingi
oleh “kearifan” . Tetapi sayang, jika sejarah boleh dikaji lagi, tampaklah
betapa konflik dan sekikan hal yang tak diinginkan terjadi ketika “kearifan”
tertinggal dalam proses penentuan sikap dan strategi sosial-politik.
Kearifan , yang menjadi pasangan dari “kebenaran” dan
“keadilan” ,seadar menentukan amnakah yang baik dan jelek. Kearifan
adalah kemampuan untuk memilih yang terbaik dari sekian banyak alternatif
yang tersedia. Keaifan adalah pula—dan mungkin lebih lebih berat—
melepaskan diri dan sekali gus menetukan sikap ketika berbagai corak
dilema ethis harus dihadapi. Karena itulah bisa pula dikatakan bahwa
28
kearifan tidaklah bisa didapatkan hanya dengan samadi atau bertanya pada
‘orang pintar”, tetapi pada pemahaman tentang masyarakat, bangsa dan
kemanusiaan. Kearifan juga bertolak dari pemahaman yang mendalam
tentang hakekat dari struktur realitas serta corak dinamika nya. Batrangkali
ucapan sederhana dari Bismark , kanselir Prusia , boleh dikatakn mengena
juga. “ Orang-orang pintar”, katanya, “belajar dari pengalaman sendiri.
Saya belajar dari penalaman orang lain”. Pengalaman orang lain? Artinya ia
belajar dari sejarah. Dan ia berhasil mempersatukan Jerman. Kerajaan
Prussia berakhir tetapi Jerman yang bersatu tampil sebagai keuatan Eropa
yang besar setelah mengakahkan Perancis (1870). Ini tentu saja sekadar
contoh saja dari kasus klearifan sejarah.. Kini bayangkanlah pula dari
manakah para pelopor kemerdekaan tanah air membayangkan terbentuknya
sebuah bangsa yang bergerak menuju kemerdekaan. Dari manakah mereka
mendapat inspirasi yang arif dalam mengayuh ke kemerdekaan bangsa.
Hanya saja sekarang entah apa sebabnya ada juga masalah dalam
pendidikan. Di negeri tercinta ini, mata pelajaran sejarah telah
dikesampingkan, meskipun bangsa ini dibentuk dari pemahaman dan
kesadaran sejarah dan para pemimpinnya bicara tentang pembentukan
karakter bangsa. Tetapi sudahlah. Mungkin saja mereka yang lebih tahu
bisa menerangkan alasan dari kebijaksanaan yang aneh ini.
Kembali ke masalah semula. Kesimpulan yang bisa ditarik
sederhanha saja, bahkan telah rutin. Kebenaran bagaimana pun juga harus
senantiasa ditegakkan. Kalau begitu korupsi tentu saja harus dikikis habis.
Tegaknya keadilan pun harus selalu diperjuangan. Tetapi keduanya,
dsengan segala macam embel-embelan yang teroikat pada keduanya, bisa ja
membuyar, jika saja kearifan tertinggal di belakang. Kearifan
bagaimanapun senantiasa jadi pembimbing, Bukankah ketiga unsur ini lah
29
yang sesungguhnya membetiuk apa yang dikatakan “ kehiduoan bangsa
yang cerdas”? Setelah itu? Maka doa kepada Allah adalah perilaku orang
yang beriman.
30
top related