financial technology fintech) di indonesia
Post on 04-Oct-2021
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI PERPAJAKAN DALAM TRANSAKSI
FINANCIAL TECHNOLOGY (FINTECH) DI INDONESIA
Disusun oleh:
Debri Luky Kristiani
NIM. 155020300111051
Dosen Pembimbing:
Yuki Firmanto, SE., MSA., Ak.
ABSTRAK
Financial Technology (Fintech) sebagai perpaduan inovasi antara teknologi dan jasa
keuangan merupakan hal yang saat ini berkembang sangat pesat di dalam masyarakat
Indonesia. Inovasi ini telah meningkatkan jumlah transaksi Fintech dengan pesat dan
tentu mendorong potensi perpajakan di dalamnya. Isu perpajakan Fintech merupakan
salah satu hal yang penting dan banyak dibicarakan di Indonesia. Penelitian kualitatif
ini bertujuan untuk mengidentifikasi perpajakan Fintech dan tantangan pemungutan
pajak pada transaksi Fintech. Metode yang digunakan adalah studi eksploratori yang
dianalisis dengan teknik reduksi data Miles dan Huberman (1994). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hampir seluruh transaksi Fintech telah dikenakan pajak dan
masih terdapat tantangan dalam pemungutan pajak Fintech.
Kata kunci: Financial Technology (Fintech), Potensi Pajak, Tantangan
Pemungutan Pajak
TAX IMPLEMENTATION OF FINANCIAL TECHNOLOGY
(FINTECH) TRANSACTION IN INDONESIA
Written by:
Debri Luky Kristiani
NIM. 155020300111051
Supervised by:
Yuki Firmanto, SE., MSA., Ak.
ABSTRACT
Financial Technology (Fintech), as the combination of technology and financial
services, is a rapidly growing innovation in Indonesian society. This innovation has
rapidly increased the number of financial transactions and enlarged tax potencial. The
issue of Fintech taxation is an important and widely discussed issue in Indonesia
recent times. The aim of this qualitative study is to identify Fintech taxation and
challenges of tax collection on Fintech transactions. This study is an exploratory
study, with analysis performed through data reduction techniques of Miles and
Huberman (1994). The findings in this study showed that almost all Fintech
transactions have been taxed and there are some challenges in collecting Fintech
taxes.
Keywords: Financial Technology (Fintech), Tax Potency, Tax Collection
Challenge
I. Pendahuluan
Perkembangan teknologi internet
merupakan perkembangan yang tidak
dapat dihindari khususnya oleh
masyarakat Indonesia. Berdasarkan
hasil laporan survei yang berjudul
Penetrasi dan Profil Pelaku Pengguna
Internet Indonesia tahun 2018,
penetrasi pengguna internet di
Indonesia telah mencapai 171,17 juta
jiwa. Jumlah ini mengalami
peningkatan sebanyak 27,91 juta jiwa
dan memiliki persentase 64,8% dari
total populasi penduduk Indonesia.
Internet digunakan untuk banyak hal
salah satunya untuk mempermudah
manusia dalam melakukan aktivitas
dan gaya hidup salah satunya
menggunakan Financial Technology
(Fintech).
Carney (2016) mendefinisikan
Fintech sebagai inovasi dalam sektor
keuangan yang akan membawa
revolusi bagi setiap pengguna jasa
keuangan dan mengubah fondasi dari
bank sentral. Salah satu bukti
perubahan atau revolusi model bisnis
yang paling terlihat adalah perubahan
model proses pembayaran yang saat
ini dapat dilakukan dengan jarak jauh
dan dalam hitungan detik.
IMF (2017) yang dikutip oleh
Harahap (2017) menyatakan bahwa
total investasi global pada perusahaan
Fintech mengalami peningkatan
sebesar 16 miliar dolar AS dari tahun
2010 hingga tahun 2016. Publikasi dari
Ernst & Young (2017) yang berjudul
EY Fintech Adoption Index juga
menunjukkan bahwa rata-rata
persentase adoption index atas jasa
Fintech mengalami peningkatan dari
16% pada tahun 2015 menjadi 33%
pada tahun 2017.
Cepatnya perkembangan Fintech
terjadi karena Fintech dapat memotong
biaya, meningkatkan kualitas dari jasa
keuangan, dan menciptakan
keragaman serta kestabilan industri
keuangan (PwC, 2015). Lebih spefisik,
Bank of Japan (2016) menyatakan
bahwa Fintech dapat berkembang
dengan pesat karena dapat melakukan
Globalizing, Personalizing, dan
Virtualizing dari jasa keuangan.
Di Indonesia, pesatnya
perkembangan Fintech sendiri dimulai
sejak tahun 2015. Salah satu indikator
perkembangan Fintech adalah jumlah
perusahaan Fintech di Indonesia.
Dilansir dari Hadad (2017),
perusahaan Fintech di Indonesia pada
tahun 2015-2016 mengalami
peningkatan sebesar 412,5% dari tahun
sebelumnya. Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) mempublikasikan secara
berkala dalam laman resminya jumlah
perusahaan Fintech Lending, model
bisnis Fintech yang paling
mendominasi, yang telah terdaftar dan
memiliki ijin di Indonesia.
Hingga 30 Oktober 2019, jumlah
perusahaan penyelenggara Fintech
Lending terdaftar dan berizin di
Indonesia adalah sebanyak 144
perusahaan dengan tren yang selalu
mengalami peningkatan setiap
publikasi dilaksanakan. Berdirinya
Asosiasi Fintech Indonesia pada tahun
2015 juga menjadi salah satu hal yang
menunjukkan bahwa Fintech
merupakan hal yang berkembang
dengan pesat dan menjadi salah satu
pendorong berkembang pesatnya
Fintech di Indonesia selain tren
peningkatan jumlah pelaku Fintech di
Indonesia.
Menurut Bank Indonesia (2017)
yang dikutip oleh Hulu (2017),
transaksi Fintech di Indonesia
mencapai Rp247,65 triliun atau sekitar
US$18,6 miliar dengan nilai tukar
Rp13.000,- per dolar Amerika Serikat.
Jumlah ini menunjukkan peningkatan
sebesar US$ 15 miliar atau sekitar 24
persen dari tahun sebelumnya. Di masa
depan, data statistika Bank Indonesia
memprediksikan bahwa transaksi
Fintech akan mencapai US$ 37,15
miliar atau sekitar Rp494 triliun.
Perkembangan Fintech di
Indonesia yang sangat pesat tentu
memberikan dampak kepada
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Pada tahun 2018, Fintech telah
berhasil menyalurkan kredit Fintech
sebesar 7,64 triliun dan mendorong
tingkat konsumsi rumah tangga hingga
mencapai 8,94 triliun. Ekonom INDEF
Nailul Huda juga menyatakan bahwa
kehadiran Fintech telah mampu
menyumbang penyerapan tenaga kerja
sebesar 215.433 orang. Masifnya
perkembangan Fintech dan tingginya
transaksi yang dibawa tentu saja
membawa potensi perpajakan di
dalamnya.
Akan tetapi, meskipun telah
memiliki skema pajak, Kepala Group
Inovasi Keuangan Digital dan
Pengembangan Keuangan Mikro OJK,
Triyono memaparkan bahwa industri
Fintech di Indonesia masih memiliki
masalah perpajakan (Klinikpajak,
Agustus 2018). Adrian Gunadi selaku
Wakil Ketua Asosiasi Fintech
Indonesia menambahkan bahwa isu
pajak ini merupakan salah satu isu
yang semakin diperhatikan oleh calon
pemberi pinjaman termasuk yang
berasal dari luar negeri. Hal ini
didukung dengan pernyataan Staf Ahli
Menteri Keuangan bidang Kepatuhan
Perpajakan, Suryo Utomo, dalam
pagelaran CNBC Indonesia VIP
Forum yang menyatakan bahwa
pemungutan pajak bagi Fintech dan E-
Commerce masih tergolong sulit bagi
otoritas pajak karena bentuknya yang
cukup berbeda dengan sektor jasa
keuangan lainya.
Hal lain yang menimbulkan
permasalahan dalam Fintech adalah
masalah yang berkaitan dengan server
perusahaan sebagai Bentuk Usaha
Tetap (BUT) di Indonesia. Server
merupakan hal mendasar yang harus
dimiliki oleh perusahaan dalam
menjalankan aplikasinya. Namun pada
kenyataannya, server ini menimbulkan
kendala karena pemerintah mengalami
kesulitan dalam menentukan apakah
server tersebut dapat digolongkan
sebagai BUT.
Kompleksnya penggunaan server
ini masih belum didukung dengan
jelasnya peraturan pemerintah yang
membahas mengenai server sebagai
BUT tersebut. Peraturan pemerintah
yang membahas mengenai Bentuk
Usaha Tetap dapat dilihat pada
Undang-Undang No. 17 Tahun 2000
dan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) No. 35/PMK.03/2019. Namun,
karena belum luasnya peraturan
tersebut, pemerintah mengalami
kesulitan dalam menentukan siapa
Subjek Pajak Fintech tersebut (Utomo,
2018).
Berkembangnya isu perpajakan
ini mendorong pihak terkait baik
pemerintah, asosiasi, maupun
perusahaan untuk memperhatikan isu
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
perkembangan penyusunan maupun
penyesuaian regulasi khususnya sistem
pajak Fintech yang sudah mulai
digiatkan oleh beberapa instansi yang
terkait. Selain pemerintah, Asosiasi
Finteh Pendanaan bersama Indonesia
(AFPI) juga berusaha untuk mengkaji
mengenai isu yang muncul dalam
Fintech. Dilansir dari kontan.co.id,
saat ini AFPI tengah membentuk tim
satuan tugas atau task force. Tim ini
membahas tentang isu perpajakan,
prinsip mengenal nasabah atau Know
Your Customer (KYC), dan limit
pinjaman lending.
Besarnya dampak Fintech
terhadap masyarakat Indonesia baik
secara langsung maupun tidak
langsung serta banyaknya pihak yang
turut serta dalam membahas
mekanisme perpajakan Fintech
menunjukkan bahwa permasalahan
pajak Fintech merupakan sebuah hal
yang cukup penting bagi masyarakat
Indonesia. Pentingnya permasalahan
ini tentu harus didukung oleh
pemahaman melalui literasi maupun
referensi bagi masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, penulis menemukan
bahwa masih sedikit literatur ilmiah
yang membahas mengenai
implementasi perpajakan pada bisnis
proses Fintech. Padahal, Fintech
merupakan sesuatu yang saat ini
sangat dekat dengan kebutuhan dan
keseharian masyarakat Indonesia.
Berdasarkan permasalahan telah
dipaparkan di atas, penulis tertarik
untuk mencari tahu dan menggali
informasi mengenai implementasi
perpajakan pada bisnis proses Fintech.
Penulis berharap penelitian ini dapat
menjadi literasi dan referensi bagi
masyarakat dalam memahami
perpajakan Fintech yang saat ini
sangat dekat dengan kehidupan
masyarakat.
II. Tinjauan Pustaka
2.1 Financial Technology (Fintech)
Fintech merupakan sebuah
sektor baru dalam bidang jasa
keuangan yang menggabungkan
teknologi yang digunakan dalam
keuangan untuk memfasilitasi
perusahaan, perdagangan, maupun
melakukan interaksi atau memberikan
jasa kepada penggunanya (Micu dan
Micu, 2016) yang dikutip dalam
Schueffel (2016). Leong dan Sung
(2018) mendefinisikan Fintech sebagai
subyek cross-disciplinary sebagai
kombinasi dari Finance, manajemen
teknologi, dan manajemen inovasi
untuk membuat proses atas jasa
keuangan menjadi semakin efektif.
Bank Indonesia mendefinisikan
Fintech sebagai teknologi yang dapat
memberikan dampak baik kepada
stabilitas moneter, sistem keuangan,
keandalan sistem pembayaran,
efisiensi, kelancaran dan juga
keamanan namun dapat mengganggu
sistem keuangan di Indonesia jika
tidak diantisipasi.
Berdasarkan definisi di atas,
penulis menyimpulkan bahwa Fintech
adalah sebuah sektor dalam bidang
keuangan yang menggabungkan jasa
keuangan dengan teknologi yang
menghasilkan sebuah inovasi dalam
industri keuangan dimana inovasi ini
dapat mengganggu industri perbankan
jika tidak diatur dengan baik.
2.2 Perkembangan Financial
Technology (Fintech)
Perkembangan Fintech sangat
berhubungan erat dengan
perkembangan teknologi. Menurut
Leong dan Sung (2018), Fintech dapat
dibagi ke dalam tiga fase yakni
Fintech 1.0 yang ditandai dengan
penemuan telegraf dan kabel translatik
yang menjadi infrastruktur dasar
perkembangan Fintech; Fintech 2.0
yang ditandai dengan perkembangan
teknologi digital seperti SWIFT dan
ATM; dan Fintech 3.0 yang ditandai
dengan pesatnya perkembangan
teknologi keuangan.
2.3 Model Bisnis Fintech
Menurut Lee dan Shin
(2018:38), Fintech dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa
model bisnis yakni Payment yang
bertujuan untuk mempermudah dan
mempercepat user dalam melakukan
pembayaran; Wealth Management
yang menawaekan jasa konsultasi
keuangan secara otomatis atau biasa
disebut dengan robo-advisor yang
menyediakan saran keuangan dengan
sebagian harga dari penasihat
keuangan yang nyata; Crowdfunding
sebagai Fintech yang menawarkan jasa
pengumpulan dana untuk proyek atau
unit usaha yang melibatkan
masyarakat secara luas; Capital
Market yang menawarkan jasa pada
bidang pasar modal seperti investasi,
trading, pertukaran mata uang asing,
manajemen risiko, serta riset; dan
Insurtech yang menawarkan jasa
asuransi yang lebih efisien kepada
penggunanya;
2.4 Ekosistem Fintech
Menurut Lee dan Shin
(2018:37), ekosistem Fintech terdiri
dari lima elemen yang terdiri dari
Fintech Startups yakni pembawa
inovasi umum dalam setiap
perkembangan jasa keuangan dan
menjadi sumber jiwa kewirausahaan;
Government selaku regulator bagi
pelaksanaan perusahaan Fintech;
Traditional Financial Institutions
yakni berupa perbankan yang dapat
menjadi mitra maupun pesaing dari
Fintech, Financial Customers yakni
pegguna dari jasa Fintech serta
menjadi sumber penghasilan utama
Fintech Start up; dan Technology
Developers yakni perusahaan yang
menyediakan platform digital bagi
perusahaan Fintech.
2.5 Pajak
2.5.1 Asas Pajak
Asas pajak di Indonesia dapat
dibagi menjadi dua jenis yakni asas
pemungutan dan asas pengenaan
pajak. Menurut Adam Smith dalam
pajak.go.id, asas pemungutan pajak
terdiri dari 4 asas yakni Equality
dimana pemungutan pajak yang
dilakukan oleh negara harus sesuai
dengan kemampuan dan penghasilan
wajib pajak; Certainty dimana semua
pungutan pajak harus berdasarkan UU,
sehingga bagi yang melanggar akan
dapat dikenai sanksi hukum;
Convinience of Payment dimana pajak
harus dipungut pada saat yang tepat
bagi wajib pajak; dan Efficiency
dimana biaya pemungutan pajak
diusahakan sehemat mungkin.
Tidak hanya asas pemungutan
pajak, negara Indonesia juga memiliki
asas pengenaan pajak, yakni faktor-
faktor yang harus diperhatikan oleh
institusi pemungut pajak terkait
sumber penghasilan dan penerima
penghasilan. Asas pengenaan pajak
menurut www.pajak.go.id terdiri dari
Asas Domisili dimana pajak akan
dikenakan jika orang pribadi atau
badan tersebut merupakan penduduk
yang berdomisili atau berkedudukan di
negara tersebut; Asas Sumber dimana
pajak tidak mempermasalahkan siapa
atau status dari orang atau badan yang
menerima penghasilan tersebut; dan
Asas Kebangsaaan, Nasionalitas,
Kewarganegaraan dimana yang
menjadi landasan dalam pengenaan
pajak ini adalah status
kewarganegaraan dari orang atau
badan yang memperoleh penghasilan.
2.5.2 Fungsi Pajak
Menurut pajak.go.id, pajak
memiliki empat fungsi yang terdiri
dari fungsi Anggaran (Budgetair)
yakni sebagai salah satu sumber
penerimaan negara; Mengatur
(Regularend) dimana pajak menjadi
alat untuk mengatur dan melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang
sosial ekonomi serta mencapai tujuan
tertentu di luar bidang keuangan;
Stabilitas dimana pajak menjadi sarana
bagi pemerintah dalam melaksanakan
kebijakan yang berhubungan dengan
stabilitas harga; dan Redistribusi
Pendapatan dimana pajak yang telah
dipungut akan dibagikan kembali
kepada masyarakat melalui
pembangunan negara.
2.5.3 Jenis Pajak
Jenis-jenis pajak dapat dibagi
menjadi pajak pusat dan pajak daerah.
Menurut pajak.go.id, pajak pusat
merupakan pajak yang diatur oleh
pemerintah pusat sedangkan pajak
daerah adalah pajak yang
pengaturannya dipercayakan kepada
pemerintah daerah masing-masing.
2.5.4 Sistem Perpajakan
Sistem perpajakan merupakan
mekanisme yang mengatur bagaimana
hak dan kewajiban perpajakan suatu
wajib pajak dilaksanakan. Menurut
pajak.go.id, sistem pemungutan pajak
terdiri dari dua model yakni Official
Assesment dan Self Assesment. Official
Assesment merupakan sistem
perpajakan dimana institusi pemungut
pajak menentukan besaran pajak yang
terutang. Berbeda dengan Official
Assesment, Self Assesment merupakan
sebuah sistem perpajakan dimana
wajib pajak menghitung,
memperhitungkan, menyetorkan, dan
melaporkan sendiri besaran jumlah
pajak yang terutang. Dalam hal ini,
institusi pemungut pajak hanya
mengawasi dengan serangkaian
tindakan pengawasan maupun
penegakan hukum.
III. Metode Penelitian
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi literatur atau
literature review. Menurut Sekaran
(2013), penelitian studi literatur
merupakan penelitian yang bertujuan
untuk mengupas segala teori yang
telah beredar baik secara umum
maupun secara khusus yang berasal
dari data sekunder yang berhubungan
dengan topik yang akan diteliti.
Berdasarkan hasil kajian literatur
tersebut, peneliti akan menghasilkan
sebuah kesimpulan atas data sekunder
yang telah ditemukan.
3.2 Alur Penelitian
Menurut Rahardjo (2017:15),
alur atau langkah penelitian kualitatif
dapat digambarkan dalam bagan
berikut ini:
Bagan 3.1 Alur Penelitian
Mulai Pengumpulan
Data
Pemilihan
Tema
Perumusan
Masalah
Penyempurna
an Data
Pengolahan
Data
Analisis
Data
Triangulasi Temuan
Simpulan
Hasil
Penelitian
Laporan
Penelitian Selesai
Sumber: Rahardjo (2018)
3.3 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian
dibagi menjadi dua jenis yakni sumber
data sekunder. Sumber data sekunder
didapatkan dari jurnal, skripsi, buku
atau e-book, website instansi yang
terkait, surat kabar, artikel dari
lembaga yang kredibel, dan sumber
pustaka lainnya mengenai
perkembangan Fintech, bisnis proses
Fintech, implementasi perpajakan
Fintech, dan tantangan pemajakan
Fintech.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
studi pustaka. Studi pustaka
merupakan istilah lain dari kajian
pustaka, kajian teoritis, telaah pustaka
(literature review), atau tinjauan
teoritis (Melfianora, 2018). Studi
pustaka akan peneliti lakukan terhadap
literatur yang berkaitan dengan
mekanisme Financial Technology
(Fintech) serta analisis implementasi
perpajakan terkait.
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan
proses mengorganisasikan, memilah
menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari,
dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain (Bogdan
& Biklen, 1982) dalam Moleong
(2016). Menurut Miles dan Huberman
(1994), tahap analisis data merupakan
tahap yang terdiri dari tiga arus
aktivitas yakni dan dapat digambarkan
dalam bagan berikut:
Bagan 3.2 Teknik Analisis Data
p
Sumber: Miles & Huberman (1994)
3.6 Teknik Pemeriksaan
Keabsahan Data
Pokok permasalahan yang selalu
muncul dalam penelitian kualitatif
adalah apakah data yang telah
diperoleh dapat dipercaya. Karena itu,
pemeriksaan keabsahan data
merupakan unsur yang tidak dapat
dipisahkan dari penelitian kualitatif
(Moleong, 2016). Pemeriksaan
keabsahan data berkaitan erat dengan
validitas dan reliabilitas. Pengecekan
validitas data dalam penelitian ini
dilakukan dengan triangulasi sumber
sedangkan pengecekan reliabilitas data
dilakukan dengan pengecekan data
berulang-ulang antar sumber data
IV. Pembahasan
4.1 Gambaran Umum Sumber
Penelitian
Literatur yang telah peneliti
dapatkan terdiri dari: data mengenai
model bisnis Fintech; bisnis proses
dari setiap model bisnis Fintech;
peraturan perpajakan di Indonesia;
kebijakan Fintech di Indonesia;
implementasi perpajakan Fintech yang
1. Reduksi Data a. Mengidentifikasi jenis Financial Technology (Fintech) yang
ada
b. Mengidentifikasi bisnis proses dari masing-masing Fintech
c. Mengidentifikasi jenis pajak yang terelevan terhadap Fintech
d. Mengidentifikasi tantangan dalam implementasi perpajakan
dalam masing-masing transaksi Fintech yang terjadi
2. Data Display a. Membuat bagan alir mekanisme Fintech
b. Memaparkan perpajakan yang terkait dalam mekanisme
Fintech
c. Memaparkan analisis implementasi perpajakan yang dalam
mekanisme Fintech
3. Penarikan Kesimpulan a. Menyimpulkan hasil analisis berdasarkan hasil reduksi data
dan data display
didapatkan dari jurnal ilmiah; dan
tantangan implementasi perpajakan
Fintech di Indonesia yang didapatkan
baik dari artikel, berita, maupun
publikasi pemerintah.
4.2 Bisnis Proses dari Perusahaan
Fintech
4.2.1 Bisnis Proses Fintech Payment,
Clearing, and Settlement
Bagan 4.1 Bisnis Proses Fintech
Payment
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
Berdasarkan bagan alur di atas,
peneliti mengidentifikasi bahwa
transaksi Fintech Payment, Clearing,
and Settlement tidak dikenakan pajak
apapun. Fintech ini tidak dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai sesuai
dengan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
(PPN) dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPNBM) BAB III
Pasal 4A ayat (3)d.
4.2.2 Bisnis Proses Fintech Wealth
Management
Bagan 4.2 Bisnis Proses Fintech
Wealth Management
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
Berdasarkan skema di atas,
Fintech Wealth Management
dikenakan pajak:
Tabel 4.2 Identifikasi Pajak Fintech
Wealth Management Proses Bisnis Pajak Tarif Objek
Pajak
Pembayaran
jasa
konsultan
Fintech
PPh Pasal 23 2% Jasa
Konsultan
Penyerahan
jasa di dalam
Daerah
Pabean
Pajak
Pertambahan
Nilai
10% Jasa Kena
Pajak PPN
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
4.2.3 Bisnis Proses Fintech
Crowdfunding
Mulai
Client memberikan
informasi mengenai kekayaan yang
dimilikinya kepada
Platform Fintech
Platform Fintech Wealth
Management
menganalisis informasi kekayaan baik secara
otomatis dengan
menggunakan Robo-
advisor maupun semi otomatis dengan dibantu
oleh Wealth Managers
Platform Fintech Wealth Management
menyerahkan proposal
hasil analisis portofolio
keuangan Client
Client membayar jasa
Platform Fintech Wealth
Management
Selesai
P
P
h
Informasi
pembayaran akan
masuk ke
Smartphone
pengguna
Melakukan
transaksi dengan
menggunakan saldo
dalam Fintech
Payment yang ada
Kasir atau penjual
scan QR Code
pengguna atau
pengguna
memasukkan PIN
Kantor MNO
memberikan sim
card
Melakukan
pengisian PIN yang
akan digunakan
dalam setiap
transaksi
Mengisi saldo
sesuai dengan cara
yang
direkomendasikan oleh Fintech
Payment
Customer
melakukan
registrasi pada
Platform Fintech
Payment
Customer
mengotorisasi data
baik secara online
maupun offline
dengan mendatangi
kantor Fintech
terkait
Mulai
Transaksi disetujui
oleh pengguna Selesai
Bagan 4.3 Bisnis Proses
Fintech Crowdfunding
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
Berdasarkan pemaparan diatas,
peneliti menyimpulkan bahwa Fintech
Crowdfunding dikenakan pajak
Tabel 4.3 Identifikasi Pajak
Crowdfunding Proses Bisnis Pajak Tarif Objek
Pajak
Equity Based
Crowdfunding
Pemberian
Deviden
PPh
Pasal 23
15% Deviden
Lending Based PPh
Pasal 23
15% Bunga
Crowdfunding
Pembayaran
Bunga
Rewards Based
Crowdfunding
Pemberian
Rewards
PPh
Pasal 23
15% Rewards
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
4.2.4 Bisnis Proses Fintech Lending
Bagan 4.4 Bisnis Proses Fintech
Lending
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
Berdasarkan bagan alir
tersebut, Fintech Lending dikenakan
pajak:
Selesai
Jika ya, Donatur dan Backer
akan menerima kepuasan sesuai dengan tujuan
Crowdfunding
Jika tidak, Donatur dan Backer akan menerima
pengembalian dana yang telah
dikirimkan
Jika dana yang dihimpun
telah mencapai target, maka Fundraiser akan menjalankan
proyek terkait
Setelah proyek dilaksanakan,
Donatur dan Backer akan menganalisis apakah tujuan
dari proyek telah tercapai
Fundraiser memulai
kampanye penggalangan dana
dalam platform yang tersedia
Donatur atau Backer mendapatkan informasi
mengenai proyek yang akan
dilaksanakan
Donatur atau Backer
mengirimkan sejumlah dana
yang dibutuhkan melalui
Money Processor
Fundraiser menerima dana
yang telah dikirimkan
Fundraiser mempersiapkan
serta mendeskripsikan proyek
dan tujuan yang akan dicapai
Funrdraising Platform
menerima deskripsi proyek
dari Fundraiser
Mulai
Mulai
Application
Lenders dan Borrowers
mendaftarkan dirinya
dalam platform P2P Lending yang telah
dipilih
Acknowledge
Platform P2P Lending mengautentikasi lenders
dan borrowers
berdasarkan informasi
yang telah diberikan
Credit
Platform P2P Lending mengevaluasi rating dari
lenders dan borrowers
Approval
P2P Lending menetapkan
jumlah pinjaman dan
pembayaran kembali
Assign
P2P Lending
mencocokkan lenders dan
borrowers baik secara tunjuk langsung
maupun otomatis
Loan Management
Menentukan tingkat suku
bunga yang disepakati antara lenders dan
borrowers
Pada masa jatuh tempo, borrowers wajib
mengembalikan pinjaman
beserta dengan bunganya
Lenders akan
mendapatkan bunga dan
pengembalian dana
Selesai
PPh
Pasal
23
Tabel 4.4 Identifikasi Pajak Fintech
Lending Proses Bisnis Pajak Tarif Objek
Pembayaran
pokok pinjaman
beserta bunga
PPh Pasal
23
2% Bunga
Pinjaman
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
4.2.5 Bisnis Proses Fintech Insurtech
Bagan 4.5 Bisnis Proses Fintech
Insurtech
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
Berdasarkan analisa bisnis
proses di atas, peneliti
mengidentifikasi bahwa Fintech
Insurtech tidak dikenakan Pajak
Penghasilan (PPh) maupun Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
4.2.6 Bisnis Proses Fintech Capital
Market
Bagan 4.6 Bisnis Proses Fintech
Capital Market
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
Berdasarkan bagan di atas,
peneliti mengidentifikasi pajak yang
dikenakan dalam proses bisnis Fintech
Capital Market:
Bagan 4.6 Identifikasi Pajak Fintech
Capital Market Proses
Bisnis
Pajak Tarif Objek Pajak
Nasabah
membeli
produk
pasar
modal
Pajak
Pertambahan
Nilai (:PPN)
10% Jumlah
pembelian
produk pasar
modal
Nasabah
menjual
produk
pasar
modal
Pajak
Pertambahan
Nilai (PPN)
10%
Jumlah
penjualan
produk pasar
modal
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
Nasabah
menjual saham yang
dimilikinya ke
pasar modal
Platform
Fintech
Capital Market membuat
Rekening Dana
Nasabah
(RDN)
Nasabah
mengisi RDN
yang akan digunakan
untuk jual beli
produk pasar
modal
Nasabah
membeli saham yang
tersedia dalam
pasar modal
Calon nasabah melakukan
registrasi pada
Platform Fintech
Capital Market
Platform
Fintech
Capital Market melakukan
authentikasi
terhadap calon
Nasabah
Mulai
Selesai
PP
N
PP
N
Mulai
Customer mengisi data diri
pada platform yang telah
disediakan
Customer memilih jenis
asuransi yang akan dibeli
Customer mengisi
informasi mengenai jenis
asuransi yang dibutuhkan
Customer memilih jenis
asuransi dengan premi yang
sesuai dengan budgetnya
Customer melakukan
pembelian asuransi dan
melaksanakan pembayaran
Asuransi siap untuk
digunakan
Selesai
4.2.7 Kesimpulan Pajak yang
Dikenakan pada Fintech
Berdasarkan pemaparan pada subbab
sebelumnya, penulis menyimpulkan
bahwa Fintech seharusnya dikenakan
pajak:
Tabel 4.7 Pajak dalam Fintech
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
Peneliti juga menyimpulkan bahwa
mekanisme perpajakan dalam masing-
masing bisnis proses Fintech masih
relevan dengan ketentuan perpajakan
yang ada di Indonesia. Namun, peneliti
melihat bahwa terdapat dua jenis
Fintech yang bukan merupakan Objek
Pajak yakni Fintech Payment dan
Fintech Insurtech.
Identifikasi pajak ini juga
didukung oleh artikel opini yang
dipublikasikan oleh MUC Consulting
Group (2019) yang menyatakan bahwa
aspek perpajakan dalam Fintech yakni:
1. Fintech P2P Lending atau
Crowdfunding seharusnya
dikenakan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 23 sebesar 2% dari
total pendapatan;
2. Perdagangan software keuangan
Fintech dikenakan PPN sebesar
10% atas penyerahan barang
tidak berwujud;
3. Fintech jasa riset penilaian kredit
dikenakan PPN sebesar 10% atas
penyerahan jasa;
4. Fintech manajemen investasi
atau wealth management
dikenakan PPh Pasal 23 sebesar
2% dari total pendapatan dan
PPN sebesar 10% atas
penyerahan jasa;
5. Fintech yang bergerak di bidang
jasa keuangan dan asuransi
seperti tabungan, pinjaman, serta
permodalan dikenakan PPh pasal
23 sebesar 15% atas bunga
pinjaman, dividen, dan
keuntungan lainnya.
Proses Bisnis Objek Pajak Pajak Tarif
Fintech Payment
Pembayaran
Elektronik Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Fintech Wealth Management
Pembayaran jasa
konsultan Fintech Jasa Konsultan PPh Pasal 23 2%
Penyerahan jasa di
dalam Daerah Pabean
Pajak Pertambahan
Nilai
Jasa Kena Pajak
PPN 10%
Fintech Crowdfunding
Equity Based
Crowdfunding
Pemberian Deviden
Deviden PPh Pasal 23 15%
Lending Based
Crowdfunding
Pembayaran Bunga
Bunga PPh Pasal 23 15%
Rewards Based
Crowdfunding
Pemberian Rewards
Rewards PPh Pasal 23 15%
Fintech Lending
Pembayaran pokok
pinjaman beserta
bunga
Bunga Pinjaman PPh Pasal 23 2%
Fintech Insurtech
Tertanggung membeli
produk asuransi Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Fintech Capital Market
Nasabah membeli
produk pasar modal
Jumlah pembelian
produk pasar modal
Pajak
Pertambahan
Nilai (PPN)
10%
Nasabah menjual
produk pasar modal
Jumlah pembelian
produk pasar modal
Pajak
Pertambahan
Nilai (PPN)
10%
4.3 Tantangan Perpajakan
Fintech
Meskipun masih dianggap
relevan dengan skema pajak yang telah
ada, Kepala Group Inovasi Keuangan
Digital dan Pengembangan Keuangan
Mikro OJK, Triyono, memaparkan
dalam klinikpajak.co.id bahwa industri
Fintech di Indonesia masih memiliki
masalah perpajakan. Penulis
mengidentifikasi bahwa tantangan
dalam pemajakan Fintech terdiri dari:
4.3.1 Fintech yang Tidak Terbatas
oleh Negara
Hal utama yang menjadi
penyebab munculnya isu ini adalah
model bisnis Fintech yang menembus
batas geografis. Hal ini dikarenakan
aplikasi ini dapat diakses melalui
internet ini disebut dengan Layanan
Over-The-Top (OTT).
Layanan OTT merupakan
aplikasi dan jasa yang dapat diakses
melalui internet dan menggunakan jasa
operator atau Telecom Service
Providers (TSPs) yang menawarkan
akses kepada internet (Bhawan, 2015).
Salah satu contoh layanan OTT yang
sering digunakan di masyarakat adalah
layanan yang berbasis komunikasi
seperti Skype, Whatsapp, Snapchat,
Instagram, dan lainnya. Selain itu,
layanan ini juga ditujukan untuk e-
commerce, m-commerce, e-health, e-
education, dan ekonomi digital pada
umumnya (Bhawan, 2015). Fintech
dapat diklasfikasikan ke dalam jasa
internet bidang ekonomi digital atau
Commerce. Dengan demikian, Fintech
menjadi sangat mudah masuk negara-
negara lain seperti Indonesia.
Meskipun Fintech memiliki
kemudahan untuk masuk ke dalam
Indonesia, tidak semua Fintech asing
memiliki kesadaran untuk
mendaftarkan usahanya di OJK. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya
Fintech illegal baik yang berasal dari
dalam maupun luar negeri yang
diberhentikan oleh OJK.
Kurangnya kesadaran Fintech
untuk mendaftarkan diri ke OJK tentu
memiliki dampak terhadap potensi
pajak yang ada dalam perusahaan
Fintech yakni hilangnya potensi
perpajakan karena besar kemungkinan
start up Fintech tersebut tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP). Padahal, NPWP merupakan
nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal
diri atau identitas Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya (Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007).
Dengan demikian, pemerintah
menjadi kesulitan dalam mendeteksi
aktivitas Fintech asing yang
melaksanakan kegiatan di Indonesia
jika Fintech tersebut tidak memiliki
cabang di Indonesia dan tidak
memiliki NPWP.
4.3.2 Sulitnya Menentukan Subjek
Pajak dari Fintech
Penentuan Subjek Pajak
merupakan hal yang krusial untuk
dilakukan dalam melakukan
mekanisme pemajakan. Pemungutan
pajak Fintech memiliki tantangan
tersendiri ketika Fintech berasal dari
luar negeri. Jika Fintech berasal dari
luar negeri, pemerintah harus mencari
tahu apakah Fintech tersebut memiliki
Badan Usaha Tetap di Indonesia.
Vidyana (2014) menyatakan
bahwa ketentuan perpajakan baik
domestik maupun internasional saat ini
masih menekankan pentingnya
kehadiran fisik sebagai ambang batas
pemajakan bagi negara tempat BUT
berada. Dalam konteks Fintech, tempat
usaha yang berupa komputer, agen
elektronik, atau peralatan otomatis
yang dimiliki, disewa, atau digunakan
Orang Pribadi Asing atau Badan Asing
untuk menjalankan usaha melalui
internet biasa disebut dengan server
(Bunga, 2017).
Server merupakan sebuah sistem
komputer yang menyediakan jenis
layanan tertentu dalam sebuah jaringan
komputer. Secara umum, dalam
mendirikan sebuah start-up,
perusahaan dapat menggunakan dua
jenis server yakni cloud dan dedicated
server (Rifzan, 2017). Cloud server
merupakan server yang dikelola oleh
penyedia hosting sedangkan dedicated
server adalah server fisik yang telah
disewa atau dibeli secara keseluruhan.
Dengan demikian, cloud server
merupakan salah satu jenis server yang
dapat berpindah tempat dan hal ini
menimbulkan kesulitan bagi
pemerintah dalam menentukan negara
mana yang akan memiliki kewajiban
memotong pajak.
4.3.3 Banyaknya Fintech yang
Sengaja Tidak Menempatkan
Server di Indonesia
Tantangan selanjutnya dalam
pemungutan pajak Fintech adalah
banyaknya Fintech illegal yang tidak
menempatkan server di Indonesia.
Berdasarkan Siaran Pers OJK No. SP
08/X/SWI/2019 mengenai ‘Satgas
Buka “Warung Waspada Investasi”’,
Satgas Waspada Investasi menemukan
297 entitas Fintech baru yang yang
melakukan kegiatan Fintech peer to
peer lending (P2P) yang tidak terdaftar
di OJK. Karena tidak menempatkan
server di Indonesia, Ketua Satgas
Waspada Investasi Otoritas Jasa
Keuangan, Tongam L. Tobing (2019)
dalam okezone.com menyatakan
bahwa Fintech akan sulit dilacak oleh
OJK jika menggunakan server yang
berada di luar negeri.
Menurut Bunga (2017), kendala
dimana Fintech yang secara sengaja
tidak meletakkan server Indonesia
maupun kendala dalam menentukan
server sebagai Bentuk Usaha Tetap
(BUT) dapat diatasi dengan melakukan
kerjasama antara Kementerian
Keuangan dengan Kementerian
Komunikasi dan Informasi dalam
melakukan analisa secara terus
menerus atas kegiatan usaha dari
Fintech. Pak Tiong (2017) yang
dikutip oleh Bunga (2017) juga
menyatakan bahwa cara mengatasi
kendala ini adalah dengan
menggunakan asas keadilan dan asas
sumber sebagai dasar dalam penetapan
server sebagai Bentuk Usaha Tetap
(BUT).
4.4 Solusi atas Tantangan
Perpajakan Fintech
Berdasarkan pemaparan di atas,
peneliti memberikan solusi atas
tantangan perpajakan Fintech di
Indonesia yang terdiri dari:
4.4.1 Menggiatkan Warung
Waspada Investasi OJK
Warung Waspada Investasi OJK
merupakan layanan yang baru dibuka
dengan menghadirkan perwakilan dari
13 kementerian/lembaga anggota
Satgas untuk menerima pengaduan,
konsultasi, dan sosialisasi langsung
mengenai berbagai persoalan terkait
investasi, fintech lending, dan gadai
swasta illegal kepada masyarakat.
Hingga saat ini, pembukaan Warung
Waspada Investasi ini masih hanya
dibuka setiap hari Jumat pada pukul
09.00-11.00 WIB yang bertempat di
The Gade Coffee & Gold, Jalan H.
Agus Salim, Jakarta Pusat. Tujuan dari
pendirian Warung Waspada Investasi
ini adalah untuk mempermudah
masyarakat dalam melapor maupun
bertanya langsung mengenai Fintech
dan meningkatkan pemahaman
masyarakat mengenai manfaat dan
risiko jasa dan layanan sektor jasa
keuangan serta semakin mewaspadai
maraknya tawaran investasi dan
Fintech illegal.
Melalui hal ini, penulis melihat
bahwa hadirnya Warung Waspada
Investasi OJK ditengah-tengah
masyarakat Indonesia dapat menjadi
salah satu cara untuk mengurangi
tantangan perpajakan Fintech
khususnya dalam mengatasi Fintech
yang tidak terbatas oleh negara
khususnya Fintech illegal.
Berdasarkan hasil pengaduan dari
masyarakat, OJK dapat lebih mudah
dalam menemukan Fintech yang
mungkin belum terdeteksi. Lebih
mudahnya pendeteksian Fintech
tersebut tentu akan mempermudah
OJK dalam melakukan verifikasi
Fintech meskipun akan berujung pada
pemblokiran aktivitas Fintech. Namun,
melalui aktivitas pemblokiran ini,
pemerintah melalui OJK dapat
memiliki jalan untuk menghimbau
agar Fintech yang terkait segera
mendaftarkan dirinya ke OJK.
Salah satu persyaratan bagi
Fintech agar menjadi pelaku yang
terdaftar dan berizin adalah memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Nomor Pokok Wajib Pajak merupakan
nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal
diri atau identitas wajib pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.
4.4.2 Pemerintah Memperjelas
Kebijakan Kebijakan
Penentuan Server sebagai
Subjek Pajak Bentuk Usaha
Tetap (BUT)
Penentuan Bentuk Usaha Tetap
(BUT) merupakan isu yang mulai
hangat dibicarakan di masyarakat
semenjak berkembangnya e-commerce
di Indonesia. Menurut Vindyana
(2014), jika perusahaan perusahaan
luar negeri melakukan kegiatan usaha
melalui website, maka kegitan tersebut
tidak akan menimbulkan suatu BUT.
Hal ini juga masih didukung dengan
penelitian terbaru yakni penelitian
Pangesti (2017), yang menyatakan
bahwa hadirnya perusahaan luar negeri
melalui situs web masih menimbulkan
pertanyaan apakah perusahaan tersebut
dapat diklasifikasikan sebagai BUT.
Hingga saat ini, Undang-Undang
Pasal 2 ayat (5) masih mengatur bahwa
penentu adanya BUT bagi perusahaan
yang melakukan aktivitas dari luar
negeri dengan menggunakan website
adalah dengan adanya kehadiran server
di negara terkait. Dengan demikian,
pemerintah masih harus mengkaji
kebijakan mengenai penetapan BUT di
Indonesia.
4.4.3 OJK Bekerja sama dengan
Kementerian Kominfo dalam
Mendeteksi Aktivitas Fintech di
Indonesia
Hal ini sejalan dengan fungsi
Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) yang diatur
dalam Peraturan Presiden (Perpres)
Republik Indonesia yang memaparkan
fungsi Kementerian Kominfo dimana
beberapa diantaranya adalah
perumusan dan penetapan kebijakan
pada pos informatika, penatakelolaan
aplikasi informatika dan pengelolaan
informasi publik, dan pengawasan atas
pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian Kominfo. Penulis
mengidentifikasi bahwa fungsi dari
Kementerian Kominfo juga sejalan
dengan fungsi dari OJK yakni
mengatur, mengawasi, dan melindungi
agar lingkungan dari industri keuangan
menjadi lingkungan yang sehat.
Dengan demikian, kerja sama antara
OJK dan Kementerian Kominfo tentu
akan menghasilkan kerjasama yang
baik dalam mengatur mengenai
perkembangan fenomena Fintech di
Indonesia. Selain kerjasama antara
kedua lembaga tersebut, Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) juga menjadi
lembaga yang turut serta diajak
bekerja sama sehubungan dengan
eksekutor dari pemungutan pajak
Fintech adalah DJP.
V. Penutup
1.1 Kesimpulan
Financial Technology adalah
sebuah inovasi disruptif yang
memperkenalkan kepraktisan,
kemudahan akses, kenyamanan, dan
biaya yang ekonomis sebagai hasil dari
perpaduan antara teknologi informasi
dengan jasa keuangan. Fintech
memiliki aspek perpajakan yakni:
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
yang dikenakan pada model bisnis
Fintech Capital Market;
2. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
yang dikenakan pada model bisnis
Fintech Wealth Management,
Crowdfunding, dan Lending
Penulis juga menyimpulkan bahwa
mekanisme perpajakan dalam masing-
masing bisnis proses Fintech masih
relevan dengan ketentuan perpajakan
yang ada di Indonesia. Namun, peneliti
melihat bahwa terdapat dua jenis
Fintech yang bukan merupakan Objek
Pajak yakni Fintech Payment dan
Fintech Insurtech.
Meskipun masih relevan dengan
kebijakan perpajakan yang ada,
implementasi perpajakan atas transaksi
dalam masing-masing model bisnis
Fintech masing memiliki beberapa
tantangan. Berikut adalah tantangan
baik yang dihadapi oleh perusahaan,
pemerintah, dan pengguna Fintech
terdiri dari:
1. Fintech yang tidak terbatas oleh
negara sehingga pemerintah
mengalami kesulitan untuk
mendeteksi pemain-pemain
Fintech di Indonesia;
2. Sulitnya menentukan Subjek
Pajak dari Fintech karena sifat
server yang digunakan oleh
perusahaan Fintech khususnya
cloud server dapat berpindah-
pindah tempat dan sulit untuk
diklasifikasikan sebagai Badan
Usaha Tetap (BUT);
3. Banyaknya Fintech yang tidak
menempatkan server di Indonesia
sehingga pemerintah harus terus
menerus melakukan analisa secara
terus-menerus terhadap aktivitas
Fintech di Indonesia.
1.2 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian adalah
terbatasnya sumber data sekunder
khususnya mengenai bisnis proses
masing-masing Fintech karena
masing-masing website Fintech yang
terkait tidak memberikan penjelasan
secara rinci tanpa harus mendaftarkan
diri dan masih sedikitnya penelitian
terdahulu mengenai bisnis proses
Fintech khususnya Fintech selain
Crowdfunding dan Peer to Peer
Lending;
1.3 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya
adalah diharapkan dapat
menambahkan sumber data primer dari
perusahaan Fintech terkait khususnya
mengenai bisnis prosesnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ananti, Ridha. (2018, Agustus 18).
Dua Hal Yang Bikin Pemerintah
Sulit Tarik Pajak Fintech. Klinik
Pajak Online. Diakses pada 27
Juni 2019 dari http://www.klinik
pajak.co.id/berita+detail/?id=
berita+pajak+-+dua+hal+yang+
bikin+pemerintah+sulit+tarik+
pajak+fintech.
Anonim. (2019, Agustus 3). Server di
Luar Negeri, Polisi Tak Maksimal
Awasi Fintech. CNN Indonesia
Online. Diakses pada 6 September
2019 dari https://www.cnnindone
sia.com/nasional/2019080214305
8-12-417767/server-di-luar-
negeri-polisi-tak-maksimal-awasi-
fintech.
Asmara, Chandra Gian. (2018,
Agustus 8). Kemenkeu Akui
Sulitnya Memajaki Fintech dan E-
Commerce. CNBC Indonesia
Online. Diakses pada 27 Juni 2019
pada https://www.cnbcindonesia.
com/fintech/20180807153723-37-
27400/kemenkeu-akui-sulitnya-
memajaki-fintech-dan-e-
commerce.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia. (2019). Laporan
Survei: Penetrasi & Profil Pelaku
Pengguna Internet Indonesia,
Survei 2018. Jakarta:Penulis.
Diakses pada 25 Juli 2019 dari
http://www.rtiktuban.or.id/wp-
content/uploads/2019/05/survei-
apjii-2018-short-version-dist.pdf.
Bhawan, Mahanagar Doorsanchar.
(2015). Consultation Paper on
Regulatory Framework for Over-
The-Top Services. Consultation
Paper No. 2/2015 on Telecom
Regulatory Authority of India.
Diakses pada 7 Desember 2019
dari https://main.trai.gov.in/sites/
default/files/OTT-CP-27032015.
pdf.
Branzov, Todor and Nelly Maneva.
(2014) Crowdfunding Business
Models and Their Use in Software
Product Development. Interna-
tional Scientific Conference
Informatics In Scientific
Knowledge 2014. Diakses pada 7
Agustus 2019 dari https://www.
researchgate.net/publication/2696
98095.
Budi, Budi. (2014). Menyasar Pajak
Transaksi e-Commerce.
Kementerian Keuangan. Diakses
pada 5 September 2019 dari
https://www.kemenkeu.go.id/
media/4473/menyasar-pajak-
transaksi-e-commerce.pdf.
Creswell, John W.. (2016). Research
Design: Pendekatan Metode
Kualitatif, Kuantitatif, dan
Campuran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ernst & Young. (2017). EY Fintech
Adoption Index 2017. Diakses
pada 4 November 2019 dari
https://www.ey.com/Publication/
vwLUAssets/ey-fintech-adoption-
index-2017/$FILE/ey-fintech-
adoption-index-2017.pdf.
Fauzi, Yuliyanna. (2016, Agustus 30).
Sri Mulyani: Fintech Sasaran Baru
Pungutan Pajak. CNN Indonesia
Online. Diakses pada 25 Juli 2019
Dari https://www.cnnindonesia.
com/ekonomi/20160830125321-
78-154784/sri-mulyani-fintech-
sasaran-baru-pungutan-pajak.
Hadad, Muliaman D. (2017).
Financial Technology (Fintech) di
Indonesia. Materi Kuliah Umum
tentang Fintech – IBS. Diakses
pada 21 Oktober 2019 dari
http://www.ibs.ac.id/img/doc/
Herdiansyah, Haris. (2011). Metode
Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-
ilmu Sosial. Jakarta: Penerbit
Salemba Humanika.
Ikatan Konsultan Pajak Indonesia
Cabang Malang. (2019).
Pendidikan Profesi Konsultan
Pajak: Brevet A & B. Malang:
Ikatan Konsultan Pajak Indonesia
Cabang Malang.
Kang, Jungho. 2018. Mobile Payment
in Fintech Environment: Trends,
Security Challenges, and Services.
Human-centric Computing and
Information Sciences. 8:32.
Diakses pada 1 Agustus 2019 dari
https://link.springer.com/article/
10.1186/s13673-018-0155-
4#citeas.
Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. (2013). Undang-
Undang KUP dan Peraturan
Pelaksanaanya. Diakses pada 5
Agustus 2019 dari https://www.
kemenkeu.go.id/sites/default/files/
uu-kup%20mobile.pdf.
Lee, In dan Yong Jae Shin. (2018).
Fintech: Ecosystem, business
models, investment decisions, and
challenges. Business Horizons. 61.
35-46. Diakses pada 14 Juni 2019
Dari https://www.sciencedirect.
com/science/article/pii/S00076813
17301246.
Lingga, Murti Ali. (2019, Oktober
2019). Sebanyak 1.773 Fintech
Ilegal Dihentikan Hingga Oktober
2019. Kompas Online. Diakses
pada 10 Desember 2019 dari
https://money.kompas.com/read/
2019/10/29/123800526/sebanyak-
1.773-fintech-ilegal-dihentikan-
hingga-oktober-2019.
Melfianora, Melfianora. (2019).
Penulisan Karya Tulis Ilmiah
dengan Studi Literatur. Diakses
pada 29 Oktober 2019 dari
https://osf.io/efmc2/.
Miles, Matthew B and A. Michael
Huberman. (1994). London:
SAGE Publications. Diakses pada
29 Oktober 2019 dari https://
vivauniversity.files.wordpress.
com/2013/11/milesandhuberman1
994.pdf.
Moleong, Lexy J. (2016). Metodologi
Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Otoritas Jasa Keuangan. (2019).
Penyelenggara Fintech Terdaftar
di OJK per 30 Oktober 2019.
Diakses pada 26 Juli 2019 dari
https://www.ojk.go.id/id/berita-
dan-kegiatan/publikasi/Pages/
Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-
di-OJK-per-30-Oktober-2019.
aspx.
Otoritas Jasa Keuangan. (2019). Siaran
Pers: Satgas Buka “Warung
Waspada Investasi”. Diakses pada
11 November 2019 dari https://
www.ojk.go.id/id/berita-dan-
kegiatan/siaran-pers/Pages/Siaran-
Pers-Satgas-Buka-Warung-
Waspada-Investasi.aspx.
Pricewaterhouse Coopers. (2016).
Blurred Lines: How Fintech is
Shaping Financial Services.
Global Fintech Report. March
2016. Diakses pada 20 Mei 2018
dari https://www.pwc.de/de/
newsletter/finanzdienstleistung/
assets/insurance-inside-ausgabe-4-
maerz-2016.pdf.
Rifzan, Rifzan. (2019). Perbedaan
Cloud Server dan Dedicated
Server, Mana yang Lebih Baik?
Diakses padan 12 November 2019
dari https://www.robicomp.com/
perbedaan-cloud-server-dan-
dedicated-server-mana-yang-
lebih-baik.html.
Sekaran, Uma. (2009). Research
Methods for Business: Metode
Penelitian untuk Bisnis. Jakarta:
Penerbit Salemba Empat.
Sugiyono, Sugiyono. (2013). Metode
Penelitian Pendidikan: Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sukirno, Sukirno. (2018, Agustus 28).
Dampak Fintech Terhadap
Ekonomi Indonesia Capai
Rp25,97 Triliun. Alinea Online.
Diakses pada 26 Juli 2019
https://www.alinea.id/bisnis/
dampak-fintech-terhadap-
ekonomi-indonesia-capai-rp25-97-
triliun-b1U4p9dyH.
Vidyana, Adhysty. (2014). Studi
Terhadap Kelemahan
Pendeteksian Transaksi
Dunia Maya (E-Commerce)
Indonesia. Skrispi. Diakses pada
19 September 2019 dari http://
www.lib.ui.ac.id/naskahringkas/20
16-05/S57290-Adhysty%20
Vidyana.
Walfajri, Maizal. (2019, Juni 17).
AFPI dan OJK Tengah Bahas
Perpajakan, KYC, dan Limit
Pinjaman Fintech Lending.
Kontan Online. Diakses pada 26
Juli 2019 dari https://keuangan.
kontan.co.id/news/afpi-dan-ojk-
tengah-bahas-perpajakan-kyc-dan-
limit-pinjaman-fintech-lending.
Wang, H., Chen, K., Zhu, W. et al. A
Process Model on P2P Lending.
Financial Innovation (2015) 1: 3.
Diakses pada 7 Agustus 2019 dari
https://doi.org/10.1186/s40854-
015-0002-9.
Yusuf, Muri. (2017). Metode
Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif,
& Penelitian Gabungan). Jakarta:
Kencana.
top related