filsafat pendidikan
Post on 05-Dec-2014
3.324 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
A. Kata Pengantar
B. Latar Belakang Filssafat Pendidikan
1. Pengantar
Filsafat diakui sebagai induk ilmu pengetahuan (the Mother of sciences) yang
mampu menjawab segala pertanyaan permasalahan. Mulai dari masalah-masalah yang
berhubungan dengan alam semesta hingga masalah manusia dengan segala problematika
dan kehidupanya. Namun karena banyak permasalahan yang tidak dapat dijawab lagi oleh
filsafat, maka lahirlah cabang ilmu pengetahuan lain yang membantu menjawab segala
macam permasalahan yang timbul.
Disiplin ilmu pengetahuan yang lahir itu ternyata memiliki objek dan sasaran yang
berbeda-beda, yang terpisah satu sama lain. Suatu didiplin ilmu pengetahuan pengurus
dan mengembangkan bidang garapan sendiri-sendiri dengan tidak memperhatikan
hubungan dengan bidang lainya. Akibatnya, terjadilah pemisahan antara berbagai macam
bidang ilmu, hingga ilmu pengetahuan semakin kehilangan relevansinya dalam kehidupan
masyarakat dan umat manusia dengan segala macam problematikanya.
Diantara permasalahn yang tidak dapat dijawab oleh filsafat adalah permasalah yang
terjadi dilingkungan pendidikan. padahal menurut John Dewey, seorang filosof Amerika,
filsafat merupakan teori umum dan landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan
((Barnadib,1990:15). tugas filsafat adalah mengajukan pertanyaa-peertanyaan dan
menyelidiki faktor-faktor fealita dan pengalaman yang banyak terhadap dalam lapangan
pendidikan.
Apa yang dikatatakan John Dewey tersebut memang benar. Dan karena filsafat dan
pendidikan memiliki hubungan hakiki dan timbal balik, maka berdirinya filsafat
pendidikan yang berusaha menjawab dan memcahkan persoalan-persoalan pendidikan
yang besifat filosofi dan memerlukan jawaban secara filosofis pula. Dengan kata lain,
kemunculan filsafat pendidikan ini disebebkan banyaknya perubahan dan permasalahan
yang timbul di lapangan pendidikan yang tidak mampu dijawab oleh ilmu filsafat.
ditambah dengan banyaknya ide-ide baru dalam dunia pendidikan dari tokoh-tokoh
filsafat Yunani
1
Menurut catatan sejarah, filsafat Barat bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai
mempergunakan akal ketika mempertanyakan mitos yang berkembang di masyarakat
sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran ini menandai usaha manusia untuk
mempergunakan akal dalam memahami segala sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio
filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak pemikiran Barat abad pertengahan, modern
dan masa berikutnya.
Di samping menempatkan filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga
menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa
hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya
dunia Barat didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan
terjadi pembalasan terhadap agama. Peran agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu
positif. Akibatnya, Barat mengalami kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat
kembali melirik kepada peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna
Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha menggunakan akal
untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab
meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani.
Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani
sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut
jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat
bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari
agama dan politik secara bersamaan
Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui
bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan,
yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu
adalah air, belum murni bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi
kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga Phitagoras (572-500 SM) belum murni
rasional. Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih
dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih
dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi.
2
Filsafat diakui sebagai induk ilmu pengetahuan yang pada mulanya mampu menjawab
segala pertanyaan tentang segala sesuatu dan segala macam masalah. Masalah-masalah yang
berhubungan dengan alam semesta, manusia dengan segala problematikanya dan kehidupan,
yang dibicarakan oleh filsafat. Kemudian karena perkembangan dan keadaan masayarakat,
banyak problem yang tidak bisa dijawab lagi oleh filsafat, maka lahirlah ilmu pengetahuan
yang sanggup memberi jawaban terhadap problem-problem perkembangan metodologi
ilmiah yang semakin pesat. Kemudian berkembanglah ilmu pengetahuan dalam bentuk
disiplin ilmu dengan keterkhususannya masing-masing. Setiap disiplin ilmu memilki obyek
dan sasaran yang berbeda-beda, yang terpisah satu sama lain.
Di atara banyak filsafat seperti filsafat Cina, India, juga ada filsafat Barat adalah
sesuatu yang tidak begitu jelas, karena tradisi filsafat Barat telah mulai di Asia kecil dan
memikat pikiran-pikiran dari Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika. Termasuk filsafat Barat,
Yunani, Helleinisme, kristiani, dan seterusnya. Sehingga dengan analisa, timbullah
bermacam-macam disiplin ilmu yang menggunakan analisa filsafat.
Dengan demikian, dengan menggunakan analisa fisafat, berbagai macam disiplin ilmu
yang berkembang sekarang ini, akan menemukankembali relevansinya dengan hidup dan
kehidupan masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi
kesejahteraan hidup masyarakat.
John Dewey, seorang filosof Amerika yang menyatakan bahwa filsafat itu adlah teori
umum dai pendidikan, landasan mengenai beberapa pemikiran mengenai pendidikan . Tugas
filsafat adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan
pengalaman yang banyak terdapat dlam lapangan pendidikan.
Filsafat mulai berkembang dan berubah fungsinya dari sebagai induk ilmu
pengetahuan menjadi semacam pendekatan dan perekat kembali berbagai macam ilmu
pengetahuan yang telah berkembang pesat yang menjadi terpisah satu sama lainnya. Jadi
jelaslah bagi kita bahwa filsafat berkembang sesuai dengan perputaran dan perubahan
zaman.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang melatar belakangi
munculnya filsafat pendidikan adalah banyaknya perubahan-perubahan dan permasalahan
yang timbul dilapangan pendidikan, yang tidak mampu dijawab sendiri oleh ilmu oleh
3
filsafat saja. Selain itu juga yang melatar belakangi munculnya filsafat adalah banyaknya
ide-ide yang baru dalam dunia pendidikan. Adapun datangnya ide-ide tersebut di ataranya
berasal dari tokoh-tokoh filsafat Yunani.
2. Perkembangan Pemikiran Filsafat Spiritualisme Kuno
Sejarah menunjukan bahwa kini filsafat tidak lagi membawa pemikiran mengenai
adanya subjek besar sebagaimana masa lalu. Kemajuan ilmu pengetahuan, terutama ilmu
pengetahuan alam, telah menggoyahkan dasar-dasar filsafat. Banyak hal yang semula
menjadi bagian dari filsafat yang membahas tentang ilmu asal (epistemologi), kini
menjadi topik pokok perhatian dari ilmu-ilmu fisiologis dan psikologis.
Kosmologi telah berhasil meneliti dalam astronomi, fisika, dan logika dengan
cemerlang berhasil memodifikasikan diri lewat karya-karya tokoh-tokoh ahli matematika.
begitu juga metafisika dan etika, tanpa meninggalkan cacat sedikitpun tidak terhindar dari
kemajuan ilmu pengetahuan. banyak para ahli filsafat modern menolak sama sekali
seluruh pernyataan matfisika sebagai omong kosong, karena keyakinan terhadap
pernyataan-pernyataan itu tidak didasarkan pada penelitian yang biasa digunakan.Dengan
kata lain, pernyataan-pernyataan etis filosof itu tidak berdasarkan fakta, tetapi hanyalan
berbentuk kalimat-kalimat yang tidak bisa dibuktikan.
Jika kita memperhatikan pemikiran orang barat yang membahas filsafat, kita akan
mendapati mereka sama sekali lepas dari apa yang dikatakan agama. Bagi mereka, titik
berat filsafat adalah mencari hikmah. Hikmah itu dicari untuk mengetahui suatu keadaan
yang sebenarnya, apa itu, darimana, hendak kemana, bagaimana. dengan kata lain,
filsafaat untuk mengetahui hakekat sesuatu. namun kalau pertanyaan filosofis itu
diteruskan, akhirnya akan sampai dan berhenti pada sesuatu yang disebut agama. Baik
para filosof timur maupun barat, mereka memiliki pandangan yang sama bila sudah
sampai pada pertanyaan, “bilakah permulaan makhluk yang ada ini, dan apakah sesuatu
yang pertama kali terjadi, dan apakah yang terakhir sekali bertahan dalam alam ini”
(Rifai,1994:67). Akan tetapi, mereka tetap berusaha untuk mencari hikmah yang
sebenarnya supaya sampai kepada puncak pengetahuan yang tinggi, yaitu Tuhan Yang
Maha mengetahui dan Mahakuasa.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa filsafat mulai berkembang dan berubah
fungsi, dari sebagai induk ilmu pengetahuan menjadi semacam pendekatan dan perekat
4
kembali berbagai macam ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dan terpisah satu
dengan lainya. Jadi, jelaslah bagi kita bahwa filsafat bekembang sesuai dengan perputar
derubahan zaman. Paling tidak, sejarah filsafat lama membawa manusia untuk
mengetahui salah satu cerita dalam kategori filsafat spiritualisme kuno. Kira-kira 1200-
1000 SM sudah terdapat cerita-cerita lahirnya Zarathusthra, dari keluarga Sapitama, yang
lahir di tepi sungai, yang ditolong oleh Ahura Mazda dalam masa pemerintahan raja-raja
Akhmania (550-530 SM).
1. Timur Jauh
Yang termasuk dalam wilayah timur jauh ialah China,India,Dan Jepan.di India,
berkembang filsafat spiritualisme Hinduisme dan Buddhisme. Sedangkan di Jepang
berkembang Shintoisme. Begitu juga di China, berkembang Taoisme dan
Konfusianisme (Gazalba,1986:60).
a) Hindu
Pemikiran spiritualiasme Hindu adalah konsep karma yang berarti setiap individu
telah dilahirkan kembali secara berulang dalam bentuk manusia atau binatang
sehingga ia menjadi suci dan sempurna sebagai bagian dari jiwa universal
(reinkarnasi). Karma tersebut pada akhirnya akan menentukan status seseorang
sebagai anggota suatu kasta. Poedjawitjatna (1986:54) mengatakan, bahwa para
filosof Hindu berfikir untuk mencari jalan lepas dari ikatan duniawi agar bisa
masuk dalam kebebasan(yang menurut mereka) sempurna.
Dengan demikian, disamping filosof-filosof Yunani, filosof-filosof Hindu pun
sangat berperan dalam dunia filsafat. Hindu juga benar-benar merasakan bahwa
dunia (alam) ini penuh rahasia dan manusia yang terhadap didalamnya
merupakan sesuatu yang amat kecil, namun manusia memiliki arti dan nilai yang
sangat besar bagi kehidupan. Karenanya, manusia didorong untuk menyelidiki
dan memahami alam semesta dan segala isinya.
Agama Hindu yang politeisma dan kuno itu telah berkembang selama ribuan
tahun. Dalam Hindu banyak dew yang dipuja, tetapi hanya tiga dewa utama,
yakni Brahmana, Shiwa, dan wishnu. Hinduisme merupakan kepercayaan yang
sangat populer di India, kira-kira sekitar 45Juta dari semua jumlah 520juta
penganutnya diseluruh dunia ( Pudjawijadna,1986:54).
5
b) Budha
Pencetus ajaran Buddha ialah Sidartagautama (kira-kira 563-483 SM) sebagai
akibat dari ketidak puasnya terhadap penjelasn para guru Hinduisme tentang
kejahatan yang sering menimpa manusia.
Meskipun di Indonesia telah disebut agama Buddha sebenarnya bukanlah agama
dalam asli sesungguhnya, karena dalam agama Buddha tidak ditemukan adanya
ajaran tentang Tuhan. Kitab Buddha, Tripitaka, Banyak meceritakan bakyak
kehidupan daripada pembawa agama ini, yaitu Sidartagautama.
Karena filsafat Buddha berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini
terliputi oleh sengsara yang disebebkan oleh “cinta” terhadap sesuatu yang
berlebihan.
c) Taoisme
Pendiri Taoisme Ialah Lao Tse, lahir pada tahun 604 SM. Tulisanya yang
mengandung makna filsafat adalah jalan Tuhan atau sabda Tuhan, Tao ada
dimana-mana, tetapi tidak berbentuk dan tidak dapat pula diraba, tidak dilihat dan
di dengar. Manusia harus hidup selaras dengan Taq dan harus bisa menahan
nafsunya sendiri. peperangan, menurut Lao Tse hanya memusnahkan manusia
saja, kebahagiaan hidup sulit dicapai dengan peperangan (Jumhur &
Danasaputra, 1979:18). Karenanya, dalam buku tentang Tao dijelaskan bahwa
kekuatan yang selalu berubah disebut Tao, yang jelas bekerja di seluruh jagat
raya, sedangkan kekuatan peribadi yang berasal dari kebersesuaian dengan Tao
disebut Te (Wing,1987).
Pengertian Tao dalam filsafat Lao Tse tersebut dapat dimasukan dalam aliran
spiritulisme. Dan, menurut aliran-aliran filsafat India dan Tiongkok, spiritualisme
itu berkaitan dengan etika, karena ia memberi petunjuk bagiman manusia mesti
bersikap dan bertindak didunia agar memperoleh bahagia dan kesempurnaan Ruh
(Gazalba,1986:60).
Para pengikut Toisme diajarkan untuk menerima dan menyesuikan diri secara
pasti dengan hubungan –hubungan dan cara bekerja alam. Ajaran-ajaran pokok
Taoisme dimuat dalam buku kecil Tao Te ching (ajaran-ajaran Tao), yaitu prinsip
yang menga tur alam raya buah, buah pikiran ahli filsafat Cina, Laos, Tse ( abad
6
ke-6 SM) menurut Wing (1987:11), Tao merupakan kekuatan yang selalu
berubah dan selalu bekerja diseluruh jagat raya. Tse merupakan kekuatan yang
berasal dari kesesuaian dengan Tao. Buku Tao Te ching tersebut ditulis oleh Tao
Tse, seorang penjaga arsip kerajaan selama pemerintahan dinasti Chou.
Taoisme menggangap behwa alam semesta dan ideal berjalan menurut kekuatan
bertuhan. Surga mempunyai hukum alam sendiri. Tetapi hukum tentang manusia
dan dunia semacam itu dibawah kekuasaan dan kendali Tao, yang memberi
petunjuk dan merupakan hukum yang memerintah alam semesta ini.
d) Shinto
Shinto merupakan salah satu kepercayaan yang banyak dipeluk masyarakat
Jepang. Shinto merupakan agama (kepercayaan) yang utama di Jepang,
disamping Buddisme. Sejak abad ke-19 Shinto telah mendapat status agama
resmi negara, yang menitikberatkan pemujaan alam dan pemujaan leluhur. agama
Shinto memiliki banyak memiliki upacara keagamaanyang sederhana, pemberian
kurban yang khidmat dan upacara ditempat suci yang di persembahkan kepada
dewa matahari, sungai-sungai, desa-desa, pohon-pohon, pahlawan-pahlawan, dan
sejenisnya dengan tujuan agar memperoleh panen yang baik, perlindungan
terhadap luka-luka atau pencurian dan kemurahan hati(Smith,1986:15).
Sebenarnya agama Shinto mempunyai hubungan yang kuat denan agama
(buddhisme). Kojiki kitab suci agama shinto, tidak hanya menerangkan proses
penciptaan alam semesta yang dilakukan oleh para dewa dan bahwa manusia itu
abadi, tapi ia juga menegaskan bahwa setiap orang harus memiliki dirinya
sendiri, melakukan hal-hal yang mengadung nilai budiluhur, dan mengajarkan
mencuci dangan air sebagai metode pencucian keagamaan (Smith,1986:16).
Agama shinto tumbuh dan berkembang di Japang, yang sangat respek terhadap
alam (nature) disebabkan ajaran-ajaran mengandung nilai antara lain kreasi
(Sozo, hidup dan kehidupan, mengandung nilai optimis.
Aplikasi nilai-nilai ajaran-ajaran Shinto telah menjadkan masyarakat jepang
menjadi religius. Hadipranata (1994:89) menjelaskan bahwa materi bukanlah
nilai tertinggi dalam budaya Jepang. Ada nilai-nilai lain yang lebih berharga
dalam kehidupan mereka sebagai landasan untuk bekerja keras, hidup
7
bermasyarakat dengan saling mempercayai dan selalu berusaha melaksanakan
kewajiban agar meraka memperoh nilai-nilai surgawi-spiritual, keruhanian.
Kepuasan yang mereka miliki bukan diukur dengan materi. Keyakinan itulah
yang mendorong mereka untuk bekerja sama dan menghasilkan yang lebih baik.
2. Timur Tengah
a) Yahudi
Yahudi berasal dari nama seorang putra Ya’kub, yahuda, putra keempat dari 12
orang bersaudara. 12 orang inilahyang kelak menjadi nenek moyang bangsa
Yahudi,yang terdiri dari 12 suku bangsa.bagsa Yahudi dinamakan bangsa Israel.
agama Yahudi pada perinsipnya sama dengan agama nasrani dan agama Islam,
karena itu agama Yahudi disebut juga agama kitab (Samawi), yang berarti agama
yang mempunyai kitab suci dari nabi. Pemikiran-pemikiran filsafat timur tengah
muncul sekitar 1000-150 SM. Tanda-tanda yang tampak atas keberadaan
pemikiran filsafat itu ialah adanya penguraian tentang bentuk-bentuk menindasan
moral dari monoteisme, beredaraan, kebenaran dan bernilai tinggi. Selama dua
ribu tahun lalu doktrin-doktrin monoteisme dan pengajaran tentang etnis yang
angap penting dari kaum yahudi, yang dikembangkan oleh nabi Musa dan para
nabi Elyah. Pendidikan dimulai guna mengangkat martabat dan pengharapan
kemanusiaan pada masa depan (Smith,1986:4)
Kaum Yahudi sangat mementingkan pendidikan bagi generasinya. Pendidikan
merupakan hal yang pokok dan lebih utama ketimbang kekuatan militer. Rasa
cinta kepada anak-anak, Kepercayaan terhadap keadilan, kebenaran dan potensi
masyarakat beserta ganjaran-ganjaranya di surga, tentu bisa dicapai hanya dengan
pendidikan.
Menuurut Philo, Sedikit manusia yang dapat menguraikan tentang allah secara
positif, yaitu bahwa Dia itu Esa, tidak tersusun dari bagian-bagian. Dia
mempunyai kesempurnaan yang sangat tinggi keindahan asali, kebaikan yang
mutlak dan ke Maha Kuasa pada Allah ada aksi kerja( Hadiwijono,1990:64).
Berbeda dengan Philo, Parsi, dalam riwayat-riwayat (Hakam)-nya yang nantinya
dikenal dengan nama Talmut, mengatakan, bahwa Allah telah menyesal atas
8
bencana yang telah ditimpahkan terhadap kaum Yahudi Haikal dan perampasan
terhadapan terhadap anak-anak-Nya. ishmah (terhindar dari kesalahan)
merupakan ciri sifat Allah, namun suatu ketika dia murka terhadap bani Israil
karena terlalu menuruti perasaan mereka sendiri, sehingga Dia bersumpah untuk
menyingkirkanya Bani Israil dari kehidupanya yang abadi. namun, menurut
Talmud, setelah marah-Nya reda, Dia menyesal atas perbuatan-Nya. Maka Dia
pun membatalkan sumpah-Nya karena Dia mengetahui bahwa Dia telah
melakukan perbuatan melanggar keadilan bagi diri-Nya (Shalaby,1991:279-280).
Pengakuan kaum Yahudi, sebagaimana dirinya ini kaum Parsi tersebut,
menunjukkan kesamaan-kesamaan dengan keyakinan umat lain (Kristen dan
Islam), misalnya allah memang terlepas dari sifat bersalah dan kekhilafan.
Seandainya Allah memang benar menunda atau membatalkan ancaman-Nya
terhadap bani Israil, tentunya agama kristen tidak turun kemuka bumi, sebagai
koreksi terhadap agama yahudi tersebut. lagi pula tidak terdapat sumber yang
aktual bahwa allah telah menyesali atas perbuatan keji Bani Israil pada masa lalu
itu. Terdapat banyak ayat dlam kitab suci Al-Qur’an misalnya, bahwa Allah
memang mengutuk kaum Yahudi.
Lebih kurang 200 tahun SM, di Plestina telah tumbuh berbagai lembaga
pendidikan yang membahas dan mempelajari syaria dan hukum-hukum Torah
(Rifai,1987:80). Lembaga pendidikan itu muncul dalam rangka untuk
mengimbangi pengaruh ajaran filsafat dan kebudayaan kaum Yahudi, yang sudah
mengalami kemajuan dibidang pendidikan. terbukti banyak berdiri sekolah dasar
bagi para anak laki-laki di setiap desa dan program pendidikan khusu bagi wanita
dirumah. Program pendidikan mereka sudah bersifat universal. Tak heran jika
doktrin-doktrin monoteisme dan pengajaran-pengajaran etis telah meresapi
pikiran-pikiran kaum Yahudi.
b) Kriten
Pengikut agama Kristen pada waktu itu tidak ubahnya seperti pengikut agama
lain, yaitu dari golongan rakyat jelata. Setelah berkembang, pengikutnya pun
merambah ke kalangan atas, ahli pikir (Filosof) dan kemudian para pemikir. atas
pemajuanya, zaman ini disebut zaman patristik. Pater berarti bapa, yaitu para
9
bapa keraja. Zaman Patristik adalah zaman Rasul (pada abad pertama) sampai
abad ke delapan.
Pertumbuhan agama Kristen ini unik. Dari satu sekte Yahudi, agama ini telah
menjadi suatu agama dunia dan menjadi agama utama dibagian dunia sebelah
barat (Roham,1993:3). Perkembangan agama ini sangatlah pesat berkat
keberanian, ketabahan dan ketekuna para pengikutnya, meskipun mereka
mengalami berbagai macam rintangan baik dari orang-orang Yahudi, yang tidak
mau mempercayai agama mereka, maupun dari kerajaan romawi. Penyebab
agama kristen diluar orang-orang Yahudi mula-mula dilakukan oleh Paulus,
bekas pendeta Yahudi yang berbalik menjadi penyiar di Eropa.
Agama Kristen ini mempunyai kitab suci yang dikenal dengan janjian lama dan
perjanjian baru. perjanjian lama (Old testament) diperkirakan sudah ada sejak
abak 16-40 SM. Bangsa yang dipakai yaitu bangsa ibrani.kitab suci agama
kristen ini bernama Injil, yang diturunkan kepada Isa Al-Masih. Guna dijadikan
tuntunan bagi bani Israil.
Disamping perjanjian lama, umat Kristen juga mengakui dan/atau memakai kitab
suci yang disebut perjanjian baru(New testement). Adanya perjanjian baru ini
disebebkan oleh perubahan zaman, atau karena adanya perombaka-perombakan
yang dihasilkan oleh karangan orang banyak.
Agama kristen ini juga mempunyai ajran-ajaran. Pokok ajaranya adalah
mengajarkan konsep Tuhan dalam arti monoteisme murni. dasar kepercayaan
keagamaan yang dijadikan sumber ajaran-ajaran agama kristen ini kemudian
dikembangkan oleh Paulus mengenai pokok keyakinan yang harus diimani dan
dipengang, yang tesimpul dalam doktrin-doktrin, yang diajarkan Paulus dalam
lingkungan Jemaat-Jemaat dia asia kecil (Sou’yab, 1993:329).
Memang illmu pengetahuan sudah berkembang lama sekali . bahkan, sejak
400SM sudah ditemukan kebudayaan yang maju dan ada hubunganya dengan
ilmu pengetahuan. Yesus Kristus dikenal sebagai guru, ajatan-ajaran yang
diberikan sangat mempengaruhi ilmu pengetahuan, dan cara-cara mengajar
disekolahan seluruh dunia sampai sekarang. Ini berarti, bahwa ilmu pengetahuan
10
pada agama Kristus sudah ada sejak lama atau dulu dan sampai sekarang masih
dipakai oleh masyarakat, terutama yang beragana Kristen
Namun sebaliknya, orang-orang Yahudi juga berusah keras untuk melestarikan
kepercayaan-kepercayaan dan adat istiadat kuno walaupun mereka telah
mengalami kekalahan militer. Mereka telah kehilangan banyak penganut setelah
titus memusnahkan tempat sembahyang mereka,di jerussalem.
3. Romawi dan Yunani : Antromorfisme
Antromofisme metupakan sesuatu benda, paham yang menyamakan sifat-sifat yang
ada pada manusia (yang diciptakan). Misalnya tangan Tuhan disamakan dengan
Tangan manusia. paham ini muncul pada zaman Patristik dan skolastik, pada akhir
zaman kuno atau zaman pertengahan filsafat barat yang dikuasa oleh kristiani.
Latar belakang biasanya identikkan dengan sejarah tentang suatu masalah yng akan
diteliti. Masalah sejarah sudah barang tentu adalah suatu peristiwa masa lampau yang
dipertanyakan dn sangat penting untuk dipecahkan, atau suatu yang mengandung
beberapa kemungkinan pemecahan dan jawabannya berdasarkan fakta-fakta masa
lampau. Dalam hai ini, uraian mengenai latar belakang suatu topik hanyalah garis
besarnya saja. Begitu pula latar sejarah itu secara kronologis hendaknya hanya
diseputar waktu terdekat dengan topik.[1]
Perkembanga filsafat dan kemajuan ilmu pengetahuan berkembang dengan baik
sampai seantero. Pada masa ini juga uncul filosof-filosof yang membantu perkembangan
dunia pendidikan Selain di yunani, Antromorpisme juga bekembang diRomawi. Namun
demikian, sifat-sifat persamaan manusia dengan Tuhan dengan paham Antromorpisme
Yunani dan Romawi itu tidak sama dengan paham yang dianut eh aliran teologi dalam
islam semisal qadariyah.
Sejarah Romawi kuno bersumber pada legnda yang dkisakan dalam bentuk syair
karya seseorang pujangga besar Romawi Vergelius yang berjudul Aenied(Aeneis). Aenied
karya Vergelius seolah-olah merupakan sumbangan dari Illiat karya pujangga besar
Yunani Homeros. Jika illiat mengisahkan peperangan dan kejatuhan troa maka Aenied
menceritakan pertualangan Aeneis, salah eorang palawan Toya, ya bisa menyelamatkan
diri saat kota telah mnjadi puing-puing sesudah dibakar habis oleh orang
Yahudi(Rapar,1989:5-6).
11[1] Jalaludin & Abdullah, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan),(Jakarta: Ar-ruzz Media, 2007), hal 41
Ketika Romawi telah tumbuh menjadi negara besar dan telah cukup kuat dan
tangguh, di susunlah suatu rencana besar untuk mewujudkan cita-cita menjdi penguasa
dikawasan laut tengah. Repoblik Roawi tumbuh begitu pesat menjadi suata negara
adikuas lewat rangkaian peperangan terus menerus selama lebih kurang lima ratus tahun.
Pada abad 22M, kekaisaran Romawi barat berada di puncak kejayaan. Namun, pada ke-4,
kekaisaran romawi sudah begitu merosot, bahkan telah berada diambenag pintu
kehancuran.
Bagi orang Romawi, kemanusiaan telah membuat kemajuan besar dlam bidang-
bidang eis sosial dan kultural. Pada pendidikan lama Romawi, anak laki-laki maupun
perempuan didik dirumah hingga umur tujuh tahun,untuk membiasakan yang baik dalam
hal pembicaraan dan perbuatan. Setelah bertambah umur, maka diajarkan berburu,
berlari, melompat, bergumul, melempar ba dan tombak, berkuda, menunggang kuda, dan
jua berenang. Saat itu, pendidikan yang penting bagi anak Romawi adalah yang berguna,
yang menguntungkan negara, menjaga agama dan kesusilaan. Kegiatan pendidikan itu
berlangsung di rumah masing-masing dan yang menjadi pendidik adalah orang tua
mereka sendiri. Pendidikan tidak menjadi tugas negara, yang dipentingkan adalah jasmani
dan kesusilaan. Atujuanya adalah untuk membentuk manusia yang selalu siap sedia
berkorban membela untuk kepentingan tanah airnya, membentuk warga negara menjadi
tentara.
Adapun tokoh-tokoh romawi yang termashur adalah Cicero dan Quintiliyanus. Selain
ahli pidato keduanya juga banyak memberikan banyak pemikiran kepada pendidikan dan
filsafat gagasan dan pemikiran Cicero tentang pendidikan banyak sekali, dan salah
satunya dijadikan seebagai contoh untuk mengajarkan pemakaian bahasa seecara efektif
dan filsafat oleh para cendekiawan seluruh Eropa. Dia jugalah yang telah memberikan
dorongan yang hebat untuk mempeelajari tulisan-tulisan Yunani dan Romawi kuno
terhadap unsur-unsur kebudayaan Renaisance. Menjawab, memecahkan, atau
menerangkan masalah yang telah diidentifikasikan itu, atau untuk merumuskan hipotesis.
Penyusunan landasan teori pada umumnya dapat berbentuk uraian kualifikasi, model
matematis, atau persamaan-persamaan yang langsung berkaitan dengan bidang ilmu yang
diteliti. Dalam penelitian sejarah, teori yang digunakan biasaya disusun sesuai dengan
pendekatan apa dan bidang sjarah mana yang diteliti. Bila yang diteliti adalah mengenai
12
sejarah soial, maka teori-teori yang relevan akan lebih tepat diambil dari sosiologi. Begitu
pula bidang sejarah yang lain seperti agama, kebudayaan, ekonomi, dan politik.
Menurut Mely G. Tan (dalam Koentjaraningrt, 1989: 19), teori-teori itu pada
dasarnya merupakan “pertanyaan mengenai sebab-akibat atau mengenai adanya suatu
hubungan positif antara gejala yang diteliti dan faktor-faktor tertentu dalam masyarakat”.
Salah satu contoh dikemukakan oleh G. Tan mengenai kegiatan ekonomis. Teori terkenal
dari Max Weber, yang menyatakan adanya hubungan positif antara agama protestan adan
bangkitnya kapitalisme, dapat dipergunakan sebagai landasan penyusunan kerangka
pemikiran atas persoalan ekonomi tersebut. Berdasarkan teori Webber banyak sekal
hipotesis yang dapat diperoleh, yakni dengan meluaskan konsep agama protestan dengan
agama-agama lain, termasuk islam, atau sistem nilai budaya pada umumnya, dan juga
meluaskan konsep kapitalisme dengan kegiatan ekonomis umumnya. Didalam sejarah
Islam di Indonesia khususnya, penelitian berdasarakan teori ini sangatlah mungkin
dilakukan. Misalnya, tentang pertumbuhan dan dinamika kelas menengah muslim di
Jawa, atau hubungan antara agama Islam dan kegiatan-kegiatan entrepreneur di suatu
daerah di Sumatra, dan sebagainya.
Penyusunan teori dapat juga dilakukan dengan penjelasan atas konsep-konsep
constructs. Dalam penelitian sejarah dan filosof yunani (Greek). Dari sinilah awal
munculnya filsafat. Dlam perkembangan selanjutnya, karena banyak para filosof ang
banyak mencurahkan pikirannya mengenai dunia spiritualisme (Bakry, 1992:56).
Spiritualisme meruapakan suatu aliaran filsafat yang mementingkan keruhanian,
lawan dari materialisme (Poerwadarminta, 1984:963). Karena itu, spiritualisme
mendasari yang ada di alam ini terdiri dari ruh, sukma, jiwa yang tidak berbentuk dan
tidak menempati ruangan. Jiwa mempunyai kekuatan dan dapat melakukan tanggapan
(voorsteling) atau sesuatu yang bukan berasal dari tangkapan panca indera, yang datang
secara tiba-tiba berbentuk gambaran. Dengan kata lain, jiwa adalah alat untuk menerima
sesuatu yang bersifat non-materi yang tidak bercampur dengan tangkapan-tangkapan
panca indera lahiriah. Jiwa ini menangkap angan-angan yang murni dan alami pada
lapangan metafisis (Suryadiputra, 1994:105). Maka dari itu, yang hendak dicapai oleh
jiwa adalah menentukan sesuatu yang nyata dengan melalui alam metafisis yang
keberadaannya di luar jangkauan rasio yang bersifat material.
13
Namun demikian, ternyata ada bebapa fiosofi yang merasa kurang puas dengan aliran
spiritualisme. Mereka merasa kurang puas dengan aliran spiritualisme yang dianggap
tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Maka,lahirlah aliran materialisme. Diantara
tokohnya adalah Leukipos dan Demokristus(460-370SM), yang menyakan bahwa semua
kejadian alam adalah atom, dan semuanya adalah materi. Kemudian, lahir pula aliran
Rasionalisme Rene descartes, menyatakan bawa pusat segala sesuatu terletak pada dunia
rasio, sementara yang lai alah objeknya. Demikianlah rankaian reaksi filosof terhadap
aliran Spiritualisme. Sebenarnya reaksi ini tidak saja bergulir di Yunani, tetapi di dunia
Barat dan Eropa.
a. Idealisme
Tokoh aliran Idealisme adalah Plato (427-374). Ia adalah murid Socrates (Ali,
1996:23). Aliran idealisme merupakan suatu aliran filsafah yang mengagungkan jiwa.
Menurut aliran ini, cita adalah gambaran asli yang bersifat rohani dan jiwa terletak
diantara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca
indera (Suryadiputra, 1994:133). Dari pertemuan jiwa dan cita, lahirlah suatu angan-
angan, yaitu dunia ideal. Aliran ini memandang dan menganggap yang nyata hanya
idea. Idea selalu tetap, tidak mengalami perubahan dan pergeseran yang mengalami
gerak yang tidak dikategorikan idea (Poedjawijatna, 1987:23). Keberadaan idea tidak
tampak dalam wujud lahiriah, dan gambaran aslinya hanya dapat dipotert oleh jiwa
murni. Menurut pandangan idealisme, alam adalah gambaran dari dunia idea
disebabkan posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah
hakikat murni dan asli dan dimana keberadaannya sangat absolut dan
kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh material (Ali, 1986: 29).
Pada kenyataanya, idea digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk, sedangkan
jiwa bertempat di dunia yang bertubuh (ideal).
Kadang dunia idea adalah pekerjaan ruhani berupa angan-angan untuk
mewujudkan cita-cita dalam lapangan metafisis. Menurut Berguson, ruh merupakan
sasaran untuk mewujudkan seseatu fisi yang lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi,
dengan melihat kenyataan bukan sebagi materi yang beku maupun dunia luar yang tak
dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif (Peursen, 1978: 36).
14
Aliran idealisme sangat identik dengan alam dan lingkungan, karena itu aliran ini
melahirkan dunia macam realita. Pertama, yang tampak, yaitu apa yang dialami oleh
kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini ada yang datang dan pergi, ada yang
hidup dan ada yang mati, demikian seterusnya. Kedua, realitas sejati, yang merupakan
sifat yang kekal dan sempurna (idea). Gagasan dan pikiran yang utuh didalamnya
memiliki nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian
kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena idea merupakan wujud yang
hakiki (Ibid, 1978: 61).
Prinsip aliran idealisme mendasari semua yang ada dan nyata dialam ini hanya
ideal, disebabkan dunia merupakan lapangan ruhani dan pembentuknya tidak sama
dengan alam nyata sebagaiman yang tampak dan yang tergambar. Sedangkan
ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari idea adalah
arche, tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan tuhan. Arche
sifatnya kekal dan sedikitpun tidak mengalami perubahan.
Ini yang terpenting dari ajaran ini adalah bahwa manusia menganggap ruh atau
sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingakan dengan materi bagi kehidupan
manusia. Ruh merupakan gakikat yang sebernarnya, sementara benda atau materi
disebut sebagai penjelmaan dari ruh atau sukma. Aliran idealisme berusaha
menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya secara metfisis yang baru berupa
gerakan-gerakan ruhaniah, dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat
yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi
individu dengan individu lainnya sehingga terbentuklah kebudayaan dan peradaban
baru (Bakry, 1992: 56).
Dengan demikian, apabila kita menganalisis berbagai macam pendapat tentant isi
aliran idealisme yang pada dasarnya membicarakan alam pikiran ruh yang berupa
angan-angan untuk mewujudkan cita-cita, maka kita akan mengetahui bahwa sumber
pengetahuan terletak pada kenyataan ruh sehingga kepuasan hanya bisa dicapai dan
dirasakan dengan memiliki nilai-nilai keruhanian yang dalam idealisme disebut
dengan idea.
Memang para filosof idealisme memulai sistemetika berpikir mereka dengan
pandangan yang fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah alam pikiran (Ali,
15
1991: 63), karena itu ruhani dan sukma merupakan tumpuan bagi pelaksaan paham
ini. Dengan kata lain, alam nyata tidak mutlak bagi aliran idealisme. Berbagai macam
pandangan para filosofi idealisme yang mengemukakan hakikat alam yang
sebenarnya adalah idea, yang digali dari pemikiran murni yang sangat sederhana yaitu
melalui pengamatan di luar benda yang nyata, pada dasarnya adalah untuk mengenal
alam raya itu sendiri. Dari sini didapatkan, bahwa dunia itu terbagi menjadi dua, yaitu
dunia nyata dan tidak nyata, atau dunia kelihatan (Boraton Genas) dan dunia yang
tidak kelihatan (Kosmos Neotos). Bagian inilah yang menjadi sasaran studi bagi
aliran filsafat idealisme (Van der wij, 1988:19).
b. Materialisme
Aliran Materialisme merupakan aliran kfilsafat yang berisikan tentang ajaran
kebendaan. menurut aliran ini, benda merupakan sumberb segalanya
(Poerwadarminta,1984:683). Aliran ini berpikir sederhana, bahwa segala sesuatu yang
ada dialam ini dapat dilihat atau di observasi, baik wujudnya, gerakanya, maupunya
peristiwa-peristiwanya.
Berdasarkan resepsi itu maka realitas semesta ini pastilah sebagaimana yang
tampak dihadapan kita. semuanya adalah materi, serbaset , serbabeda. Manusia
merupakan makhluk ilmiah yang tidak memiliki perbedaan dengan alam semesta,
karena itu tingkah laku manusia pada prosesya sejalan dengan sifat dan gerakan
peristiwa alamiah; menjadi bagian hukum alam.
Fokus aliran materialisme adalah benda, dan segala kyang berawal dari benda.
Karena itu yang nyata hanya dunia materi. Segala kenyataan yang didasarkan pada zat
atau unsur dan jiwa, ruh, sukma (idealisme), oleh aliran materialisme dianggap
materi. Meskipun mempunyai sifat yang berbeda dengan sifat meteri, jiwa, ruh, dan
sukma itu mempunyai naluri untuk bergerak sendiri, yang mempunyai gerakan yang
terbatas sehingga tidak bebas atau kaku.
Tokoh-tokohh aliran Metarialisme diantaranya adalah Leo Kipos dan Demokripus
(460-370SM). Mereka berpendapat bahwa kejaian seluruh alam terjadi karena atom
kecil, yang mempunyai ,bentuk dan bertubuh. Jiwa-pun dari atom kecil yang
mempunyai bentuk bulat dan mudah bereaksi untuk mengadakan gerak(Suryadipura,
1994:130). Atom-atoom tersebut membentuk satu kesatuan yang dikuasai oleh
16
hukum-hukum fisis kimiawi, dan atom-atom yang tertinggi nilainya dapat
membentuk manusia, dan kemungkinan yang dimiliki manusia tidak melebihi
kemungkinan kombinasi-kombinasi atom. Oleh karena itu, atom tidak pernah
melampaui ;potensi-potensi jasmani, karena keduanya memiliki sumber yang sama.
Demikian juga dengan keberakhiran atau kematian, disebebkan karena hancurnya
struktur atom-atom, peleburan dan kombinasi atom-atom yang ada pada manusia atau
alam lainya.
Menurut Karl Marx, kenyataan ang ada adalah dunia materi. Ide dan teori tumbuh
dari kehidupan nyata masyarakat. Hal ini disebebkan karena adanya daya dorong atau
daya mareti atau benda yang mendorong manusia untuk berbuat dan bertindak
( Hadijono,1986:121). Dalan hal ini, apapun yang dibicarakan oleh masyarakat,
mengenai rapat ekkonomi apabila dihubungkan dengan filsafat manusia, intinya
tidaak lain membicarakan bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh benda atau
materi.
Pada bagian ini, bila materi dihubungkan dengan sejarah, berasama-sama dengan
alamnya, yang digambarkan oleh kehidupan masyarakat, yang dihubungkan individu
dengan individu, maka melahirkan kebutuhan dan akan memberikan daya hidup yang
disebebkan oleh materi dan kecenderungan untuk memilikinya. Hal ini disebut
Thomas Hobbes dengan materialismus monistis, hiburan sangat mengagung-
agungkan kebedaan (Suryadipura, 1994:130). Bahkan, lanjutanya, perasaan dan
pikiran adalah materi dan gerakanya pun adalah gerak materi. Sementara apa yang
dikatakan dengan bendawi adalah segala yang mempunyai ketergantungan yang ada
ikeharusan yang disebabkan oleh faktor materi dan bendawi yang mengelilinginya.
Manusia pun hidup selama darahnya beredar dan jantungnya bekerja, yang
disebebkan oleh mekanis atmosfir dan itu merupakan lambang kehidupan manusia
dan alam mengerakkan tubuhnya. Disisi lain, Thomas Hobbes meninjau dunia akal.
Menurutnya, akal merupakan hasil perkembangan yang disebebkan adanya usaha
manusia yang bukan pembewaa, melainkan ada oleh karena berinteraksi dengan
alamnya(Hadi1991:33).
Pada kenyataanya, isi pemikiran Hobbes banyak diilhami oleh proses alam.
Karena filsafat ini banyak dihubungkan dengan kejadian-kejadian dan proses interaksi
17
manusia dengan alam, dimana prosesnya disebebkan oleh adanya pergeseran dan
perubahan atom, antara dimensi atom alam dengan atom manusia. keterpaduan
keduanya disebebkan karna manusia dan alam mempunyai dasar yang sama, yaitu
sama-sama terbentuk sekumpulan atom-atom.
Selanjutnya adalah filosof Julien Offray (Prancis:1709-1751). Menurut, alam dan
manusia merupakan mesin; manusia disebut mesin otomatis karena mempunyai
gerakan yang didorong oleh materi. Karena, menurutnya, jiwa tanpa badan tidak
mugkin ada, sedangkan badan tanpa jiwa masih dapat bergerak dan bertindak
(Ahmadi,1995:116). Demikian juga Herbert Spencer (1820-1903), yang mengatakan
bahwa manusia merupakan bagian dimensi alam, hidup dan berkembang karena
adanya proses evolusi yang disebebkan oleh atom materi, sedangkan materi itu
berkembang menurut hukum-hukum tertentu yang mengakibatkan adanya bentuk
baru.
Dengan merinci pendapat-pendapat dan pemikiran dari filosof-filosof aliran
materialisme diatas, dapatlah diambil pengertian bahwa adanya alam dan
strukturkehidupan disebabkan adanya kesatuan-kesatuan meteri yang terdiri dari
atom-atom. Gerakan atom-atom itu merupakan gerakan yeng teratur ;secara berkala
meurut hukum alam. Di satu sis, pendapat aliran ini sangat bnerlebihan, karena ia
membicarakan jiwa, sukma, dan ruh yang merupakan materi dan proses terjadinya
tidak berbeda dengan materi.
c. Rasionalisme
Berbagai ahli pikir telah berusaha menyajikan sebuah gambaran mengenai
pengetahuan manusia. Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan itu terletak
pada akal. Sedangkan kesadaran terbentuk dalam wadahh-wadah penegetahuan, yaitu
ide-ide. Penganut aliran ini yakin kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita,
bukanya di dalam diri sesuatu. Pengetahuan tersebut menjadi suatu hal yang hidup
karena mereka terus menerus menumpuhkan pemikiran mereka untuk mencari atau
menemukan hakikat di balik hakikat (Peursen, 1987:58). Dan untuk mencari atau
menemukan hakikat di balik hakekat tersebut, aliran ini menentukan satu alat tunggal
yang bisa digunakan untuk menganalisis dan membaca sesuatu yakni akal . sementara
18
pengalaman (Eksperimen),bagi aliran ini, merupakan perangsang bagi pemikiran
untuk menentukan kebenaran dalam menganalisis suatu objek.
Aliran rasionalisme ini lahir karena adanya usaha untuk membebaskan diri dari
bentuk pemikiran yang tradisional(Scolastis) yang tidak pernah mampu menangani
dan menemukan hasil terhadap ilmu pengetahuan.hal ini disebabkan aliran Scolatif
lebih banyak mengadakan praduga yang berisi angan-angan semata-mata.
Demikian halnya dengan Spinoza ( 1632-1677). Ia berpendapat bahwa akal
adalah tumpuan dari segala sesuatu , tidak ada pengetahuan yang terlepas dari akal,
bahwa Tuhan pun menjadi sasaran akal dengan interprestasi religius. Dengan catatan,
akal merupakan jalur utama dalam menghadapi substansi-substansi yang ada
(Mamersma,1986 ;11).
Memang akal merupakan karunia tuhan yang tettinggi.Akal lah yang
membedakan manusia dengan mahluk lainnya demikian derajat manusia, ditentukan
oleh akal.Dan sebagai mahluk hidup, manusia dilengkapi dengan empat hidayah
tuhan yang saling berhubungan satu sama lain.Pertama ,hidayah indrawi , kdeua ,
hidayat naluri, merupakan suatu kehendak untuk mengerakkan manusia sehingga
menimbulkan rangsangan yang akan diterima oleh indera.ketiga, hidayat aqliyah,
kyang biasa disebut rasio atau respont yang masuk dengan perantara naluri dan indra.
keempat hidayat agama, yaitu bimbingan agama untuk meluruskan pekerjaan akal
dengan memproses bahan-bahan yang masuk.
Keempat komponenn tersebut dapat dikategorikan sebagai hasil pengetahuan,
yang pada prinsipnya bekerja sama antara yang satu dengan yang lain; akal tidak bisa
sama sekali tanpa adanya indra dan akal pun tidak berfungsi jika jiwa seseoramg
menjadi rusak (Jalaludin dan Said,1994:160).[3]
C. Filsafat Pendidikan
1. Pengertian Filsafat Secara Umum
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan
jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam
kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris;
“philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.
19[1] [2] Jalaludin & Abdullah, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan),(Jakarta: Ar-ruzz Media, 2007), hal 64
Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat, namun batasan
yang berbeda itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi
yaitu secara etimologi dan secara terminologi.
Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga
dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien : cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi
bisa dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah
pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan
pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang
dimilikinya. Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang
berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sedangkan muridnya Aristoteles
berpendapat kalau filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang
terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik,
dan estetika. Lain halnya dengan Al Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu
( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang
Dengan demikian dapat ditarik suatu pengertian bahwa filsafat adalah cinta kepada
ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Jadi orang
yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli
hikmah dan bijaksana.
Orang yang ahli dalam berfilsafat disebut philosopher (Inggris), dan orang arab
menyebutnya Failasuf, kemudian dalam bahasa Indonesia manjadi filosof. Pemikiran
secara filsafat sering diistilakan dengan pemikiran filosofis.
Dalam pengertian yang lebih luas Harol Titus, mengemukakan pengertian filsafat
sebagai berikut:
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara kritis.
2. Filsafat ialah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi.
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4. Filsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti konsep.
20
5. Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian
manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat (Jalaluddin dan Said, 1994: 9).
Selanjutnya, Imam Barnadib menjelaskan filsafat sebagai pandangan yang menyeluruh
dan sistematis. Menyeluruh karena filsafat bukan hanya pengetahuan, melainkan juga
suatu pandangan yang dapat menembus sampai di balik pengetahhuan itu sendiri.
Dengan pandangan yang lebih terbuka ini, hubungan dan pertalian antara semua unsure
yang mengarahkan perhatian dan kedalam mengenai kebajikan dimungkinkan untuk
dapat ditemukan. Sistematis, karena filsafat menggunakan berfikir secara sadar, teliti,
dan teratursesuai hokum-hukum yang ada (Imam Barnadib, 1994:11-12). Karena itu,
menurut Harun nasution, filsafat ialah berfikir menurut tata tertib (logika), bebas (tidak
terikat pada tradisi, dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai
dasar-dasar persoalan (Nasution, 1973:24)
Brpikir yang seperti ini, menurut Jujun S. Suriasumantri adalah sebagai karakteristik
dan berpikir filosofis. Ia berpandangan bahwa berpikir secara filsafat merupakan cara
berfikir merupakan cara berpikir radikal, sistematis, menyeluruh, dan mendasar untuk
suatu permasalahan yang mendalam. Begitupun berpikir secara spekulatif termasuk
dalam rangkaian berpikir filsafat. Maksud berpikir spekulatif disini adalah berpikir
dengan cara merenung, memikirkan segala sesuatu sedalam-dalamnya, tanpa keharusan
adanya kontak langsung dengan objek sesuatu tersebut. Tujuannya adalah untuk
mengerti hakkat sesuatu (Muhammad Nur Syam, 1986:25).
Karena pemikiran-pemikiran yang bersifat filsafat didasarkan atas pemikiran yang
bersifat spekulatif, maka nilai-nilai kebenaran yag dihasilkan juga tak terhindarkan dari
kebenaran yang spekulatif. Hasilnya akan sangat tergantung dari pandangan filosofis
yang bersangkutan. Oleh karena itu, pendapat yang baku dan diterima oleh semua orang
agak sulit diwujudkan. Padahal kebenaran yang ingin dicapai oleh filsafat ialah
kebenaran yang bersifat hakiki, sehingga nilai kebenaran tersebut dapat dijadikan
pandangan hidup manusia.
Mengingat dominasi penggunaan nalar manusia dalam berfilsafat, maka kebenaran
yang dihasilkannya didasarkan atas penilaian kemampuan maksimal menurut nalar
manusia. Namun karena nalar manusia bersifat terbatas, maka kebenaran yang
didapatpun bersifat relatife. Dalam kaitan itu Muhammad Noor Syam, menjelaskan
21
bahwa filsafat adalah suatu lapangan pemikiran dan penyelidikan manusia yang amat
luas. Filsafat menjangkau semua persoalan dalam daya kemampuan pikiran manusia,
filsafat mencoba mengerti, menganalisa, menilai dan menyimpulkkan semua persoalan-
persoalan secara mendalam. Meskipun kesimpulan-kesimpulan filsafat bersifat hakiki
namun masih relatif dan subyektif. Kedua sifat ini tak mungkin dapat dihindarkan karena
adanya sifat-sifat alamiah (kodrat) pada subyek yang melakukan aktivitas filsafat itu
sendiri, yaitu manusia sebagai subyek selalu dalam proses perkembangan baik jasmani
dan rohani terutama pada subyek yang selalu cenderung memiliki watak subyektivitas,
akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang subyektivitas pula. Faktor-faktor inilah
yang melahirkan aliran-aliran filsafat dan perbedaan-perbedaan dalam filsafat.
Dengan demikian kebenaran filsafat adalah kebenaran yang relatif. Artinya kebenaran
itu sendiri selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan zaman dan
peradaban manusia. Bagaimanapun penilaian tentang sesuatu kebenaran yang dianggap
benar itu masih sangat tergantung oleh ruang dan waktu. Apa yang dianggap benar oleh
suatu masyarakat atau bangsa lain, belumlah tentu akan dinilai sebagai suatu kebenaran
oleh masyarakat atau bangsa lain, meskipun dalam kurun waktu yang sama. Sebaliknya
sesuatu yang dianggap benar oleh sesuatu masyarakat atau bangsa tertentu dalam suatu
zaman, akan berbeda pada zaman bertikutnya. Maka wajar jika pengertian filsafat itu
selalu mangalami perubahan.[2]
Plato (427 – 347), Filsuf Yunani yang merupakan murid langsung dari Socrates
mengemukakan bahwa Filsafat adalah “Pengetahuan tentang segala yang ada” menurut
Plato filsafat berkenaan dengan upaya penemuan kenyataan atau kebenaran mutlak
melalui dialektika.
Aristoteles (384 – 322) berpendapat bahwa “filsafat itu menyelidiki sebab dan prinsip
segala sesuatu. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang
didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika. Logika, retorika, etika, ekonomi, politik,
dan estetika. Aristoteles memandang filsafat sebagai totalitas pengetahuan manusia.
Kattsoff (1963) di dalam bukunya Elements of Philosophy untuk melengkapi
pengertian kita tentang "filsafat":
1. Filsafat adalah berpikir secara kritis.
2. Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis.
22
3. Filsafat harus menghasilkan sesuatu yang runtut.
4. Filsafat adalah berpikir secara rasional.
5. Filsafat harus bersifat komprehensif.
Kemudian Windelband, seperti dikutip Hatta dalam pendahuluan Alam Pikiran
Yunani, "Filsafat sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu
keadaan atau hal yang nyata." Demikian kata Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib,
metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang
sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang
tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh
pihak-pihak lain.
Secara etimologis, pengertian filsafat seperti diuraikan Brubache adalah sebagai
berikut:
“Phylosophy was, as its etymology from the Greek words filos and sofia, suggest, love of wisdom or learning. More over its wa love of learning in generals, it sub-sumed under one heading what today we call science as well as we now call philosophy. It is for this reason that philosophy is often referred to to as the mother as well as the queen of the science (5:20). (Filsafat berasal dari perkataan Yunani; filos dan sofia yang berarti cinta kebijaksanaan atau belajar, ilmu pengetahuan. Lebih dari itu diartikan cinta belajar pada umumnya, dalam proses pertumbuhan ilmu-ilmu hanya ada di dalam apa yang disebut filsafat. Untuk alas an itulah sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk atau ratu pengetahuan”).
Theodore Brameld (dalam Mohammad Nor Syam(1983:20):
“ filsafat sebagai aktivitas piker-murni (reflecktive-thinking), atau kegiatan akan manusia dalam usaha untuk menerima secara mendalam sebagai sesuatu”.
Berfilsafat merupakan daya dan tingkat berpikir manusia yang tertinggi dalam
memahami kesemestaan. Brameld menegaskan filsafat sebagai produk kegiatan berpikir
murni ini merupakan wujud dari “ilmu”, sebagai hasil pemikiran dan berfilsafat itu
sendiri. Filsafat dalam konteks ini adalah sebagai suatu bentuk perbendaharaan yang
terorganisir, memiliki sistematika tertentu sesuatu atau tentang segala sesuatu sebagai
suatu “ideologi”.
Menurut batasan modern, filsafat diartikan antar lain sebagai illmu yang berusaha
untuk memahami semua hal yang timbul di dalam keseluruhan lingkup hidup
pengalaman manusia. Tersirat di dalam yang tersurat., diharapkan manusia dapat
23
[2] Jalaludin & Abdullah, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan),(Jakarta: Ar-ruzz Media, 2007), hal 15
mengerti dan memiliki pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta
dan tempat manusia di dalamnya. Pengertian “di dalamnya” dalam hal ini menunjuk
bahwa manusia itu merupakan keseluruhan dari dunia. Oleh karena semestinya manusia
tentu mempunyai caranya berada (Imam Bernadib, 1992:11). Pandangan yang
menyeluruh dan sistematis yang diharapkan dapat dikuasai oleh manusia itu adalah
pengetahuan yang dapat menembus sampai di balik pengetahuan itu sendiri, dan yang
dapat menemukan saling hubungan dan pertalian (implication) dari semua unsure yang
dipertinggi. Dalamhubungan ini terdapat perhatian dan kedalaman dalam kebijakan.
Sesuai dengan makna filsafat seperti telaah disinggung di depan, berfilsafat adalah
berfikir, dan malahan sampai kepada berspekulasi. Berfilsafat berarti menghendaki olah
piker yang sadar, artinya teliri dan teratur. Hal ini berarti bahwa manusia menugaskan
pikirannya untuk bekerja sesuai dengan aturan dan hokum-hukum yang ada, berusaha
menyerap semua yang berada di alam, baik yang berasal dari dirinya maupun dari luar
dirinya. Diantar unsure-unsur yang diketemukan diperiksa adanya kesamaan dan
perbedaan, ditinjau dari keseluruhan, tidak sepotong-potong. Hal ini berarti bahwa
berspekulasi adalah suatu tingkatan berpikir filosofis yang lebih mendalam.
Pendekatan lain yang dikemukakan oleh Bruner dalam Burns (dalam M.Nor Syam
(1983:22), dalam buku “Problems in Education and Philosophy”, antara lain ditulis
sebagai beriku:
“To ask what is philosophy? ”is usually to ask “ What is the subject matter of philosophy?”. In one sense the sense of considering what philosopher have or used as their subject matter-the answer to that question must be anythink, ..” (3:7). Bertanya tentang apakh filsafat itu biasanya sama dengan menanyakan apakh materi atau objek itu? Dalam satu pengetian-pengaturan apakah yang di ambil atau digunakan oleh ahli filsafat itu sebagai sumber materi jawaban atas pertanyaan tersebut pastilah “sesuatu, segala sesuatu,….”
Para ahli menerangkan bahwa objek filsafat itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu (a)
objek formal dan (b) objek material. Objek formal filsafat adalah menyelidiki segala
sesuatu untuk mengerti hakikat sedalam-dalamnya atau mengerti objek material secara
hakiki, mengerti kodrat segala sesuatu itu secara mendalam (to know the nature of
everythink). Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada,
baik material konkrit (fisik), maupun yang non-materia abstrak (psikis). Termasuk juga
24
pengertian abstrak logis, konseptual, nilai-nilai. Oleh karena itu maka objek material
filsafat tak terbatas, yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.
Mengingat bahwa filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan itu semestinya
mempunyai objek material dan objek formal. Hanya objek material ilmu pengetahuan
amat terbata, tertentu maka dapat dengan mudah pula dibedakan ilmu satu dengan ilmu
lain.
Bertolak dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa objek materi suatu ilmu
dapat saja sama. Sebab objek forma ialah sudut pandangan, tujuan penyelidikan. Jadi
pada dasarnya untuk mengenal esensi ilmu, bukanlah pada objek materialnya, melainkan
pada objek formalnya (yang bersangkutan). Dengan demikian mempelajari filsafat
pendidikan artinya mengerti skope filsafat secara sederhana.
Sulit ditemukan kesepakatn para ahli mengenai makna dan hakikat filsafat, namun
paling tidak dapat ditemukan pemahaman umum, bahwa aktivitas filsafat selalu ditandai
dengan adanya upaya berpikir kritis, sungguh-sungguh, berhati-hati melalui system dan
tata cara tersendiri dalam mencari dan memahami berbagai realitas dengan sedalam-
dalamnya dan menyeluruh menuju suatu kesimpulan yang baik dan komperhensif.
Pendeknya, berpikir filsafat merupakan upaya berpikir sistematis dan radikal tentang
segala realitas yang ada dan atau diduga ada untuk menemukan kebenaran yang
sesungguhnya. Semakin komperhensif analisis yang dilakukan tentang suatu perkara
dalam realitas, maka semakin baik dan jernih pulalah kesimpulan atau keputusan yang
diperoleh yang secara niscaya akan berdampak pula pada nilai kebenaran yang akan
diraih dalam kativitasnya.
Aktivitas filsafat yang selalu ditandai dengan adanya proses tindakan akal budi
manusia yag sungguh-sungguh dan terarah melalui system berpikir logis dan sistematis
yang dapat dipertanggung jawabkan dalam menemukan kebenaran. Ini berarti bahwa
aksentuasi filsafat berada pada wilayah proses pencarian kebenaran. Produk filsafat
tergantung pada eksistensi aktivitas akal budi manusia dalam upaya mencari kebenaran.
Sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan bahwa ajaran filsafat mestilah dibedakan
dengan filsafat itu sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa filsafat bukanlah pemikiran dan bukan pula ajaran, tetapi
lebih pada aktivitas berpikir secara sistematis menurut alur berfikir filsafat menuju
25
terbangunnya suatu pemikiran atau pemahaman yang tegas dan murni tentang suatu
realitas. Dan karenanya pula, maka aktivitas filsafat banyak bergerak pada wilayah
proses tempuh seseorang dalam memperoleh kebenaran dan bukan pada penekanan
ajaran, dogma atau pemikiran. Disinilah kemudian filsafat lebih terkonsentrasi pada
wilayah metodologi atau proses pelahiran suatu kebenaran.
Beradasarkan urain diatas dapat diambil kesimpulan filsafat adalah suatu proses
berpikir logis, kritis, dan sistematis tentang segala realitas yang ada dan yang mungkin
ada yang akan menjadi sikap dan keyakinan yang sangat dijunjung tinggi oleh
subjeknya. Filsafat adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan
pemahaman dan gambaran makna yang jelas dan benar tentang sesuatu dalam
keseluruhan hakikatnya. Filsafat adalah analisis yag diarahkan untuk mencari makna
kata dankalimat dalam suatu pemikiran, sehingga ditemukan apa yang dikehendaki oleh
pemikirnya. Filsafat adalah upaya mencari jawaban atas berbagai problematika yang
menjadi perhatian khusus manusia dalam kehidupannya.
2. Ruang Lingkup Filsafat
Berdasarkan objek kajiannya, kajian filsafat biasanya dibagi ke dalam tiga bidang
permasalahan: metafisika, epistemology, dam askiologi, sehingga setiap masalah filsafat
selalu masuk ke dalam salah satu bidang kajian ini.
a. Metafisika
Istilah metafisika sering digunakan dalam bahasa filsafat. Bahkan seolah-olah
istilah filsafat itu diidentikan dengan metafisika. Sebenarnya metafisika bukanlah disiplin
filsafat secara utuh, tetapi lebih untuk menamai suatu bagian kegiatan filsafat dari
keseluruhan bagian-bagian disiplinnya.
Metafisika merupakan cabang kajian filsafat yang mengkaji persoalan yang
berkenaan dengan hakikat realitas. Konsentrasi filsafat disini lebih diarahkan untuk
menelaah dan atau mengkaji secara mendalam dan menyeluruh tentang hakikat yang ada
dan dianggap ada. Jika fisika membicarakan segala sesuatu yang dapat disentuh oleh
pancaindra yang kebenarannya ditemukan oleh unsure pengamatan dimana
pengukurandan pengujiannya secara empiris, maka metafisika membincangkan sesuatu
26
yang tidak terjangkau olehnya. Metafisika terfokus telaahannya pada bidang esensi
sesuatu, apakah sesuatu benar-benar ada? Dan apa hakikat sesuatu itu?
Sekilas pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangat sederhana, tetapi yang diinginkan oleh
metafisikawan bukanlah sederhana yang dipikirkan oleh fisikawan. Kaum fisikawan jika
dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang realitas suatu bangunan umpamanya,
maka mereka pun akan menjawab bahwa itu tidak lain adalah susunan molekul-molekul
yang eksistensinya terdiri dari atom-atom, dalam atom terdapat pula electron, proton,
neutron dan lain sebagainya. Sedangkan jika pertanyaan yang sama dihadapkan pada
kelompok metafisikawan, maka mereka tidak melihat bangunan itu dari susunan material
yang membentuk dirinya, tetapi mereka akan menjawab persoalan itu dari sudut esensi
yang menjadi karakter dan atau sifat pokoknya yang lebih mendalam dan melekat dari
suatu bangunan itu.
Contoh ini mengilustrasikan bahwa istilah metafisika ini dipakai untuk mengungkapkan
masalah-masalah teoritis-intelektual filsafat dalam maknanya yang umum. Identitasnya
menyangkut pandangan tentang realitas yang melampaui dunia riil. Oleh karena itu, yang
termasuk bidang ini adalah kajian-kajian yang menyangkut persoalan kosmologis seperti
pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dunia, proses, dan perkembangan alam
semesta, pembicaraan seputar ketuhanan, seperti apakah Tuhan itu ada, kekuasaan dan
keadilah Tuhan, bagaimana proses piker tentang adanya Tuhan, bagaimana makhluk bisa
berhubungan dengan Tuhan dan lain-lainya.
Jadi, jika orang bertanya tentang metafisika ini, maka jawabannya tentu akan mengarah
pada bentuk pengetahuan yang akan memberikan pemahaman akan perbedaan-perbedaan
anatar riil dan yang ilusi, antara ppengetahuan tentang yang esensi dan yang substansi
dan empiris sebagai apa adanya. Pembicaraan metafisika selalu bermuara pada penemuan
hal yang esensi yang berada di ballik dunia riil. Capaian filsafat metafisika adalah
bagaimana melihat sesuatu realitas secara paripurna.
b. Epistemologi
Dalam bidang epistemology, konsentrasi filsafat tertuju pada pembicaraan
problem pengetahuan, apa pengetahuan itu? Apa sumber dan bagaimana prosedur
memperolehnya? Apa gunanya? Bagaimana nilainya? Bagaimana membentuk
27
pengetahuan yang valid? Apa kebenaran itu? Dan lain-lain. Epistemologi terkonsentrasi
untuk membicarakan persoalan yang berkenaan dengan hakikat dan struktur pengetahuan.
Secara akademis, epistemology merupkan kajian yang berkaitan tentang persoalan dasar
ilmu pengetahuan yang meliputi: (1) Hakkat ilmu;(2) Jenis ilmu pengetahuan yang
mungkin dapat diraih manusia;(3) Sumber ilmu pengetahuan itu;(4) Batas-batas ilmu
pengetahuan manusia.
Kajian epistemologi diperlukan terutama untuk membuat jaminan-jaminan suatu
keputusan itu dpaat dikatan benar. Kebenaran yang diambil atas dasar common sense atau
mungkin atas dasar pandangan dan atau pendapat ahli saja tidak dapat menjamin
seseorang untuk merasa puas akan temuannya. Kondisi ini meniscayakan seseorang ingin
melanjutkannya dengan mencari sesuatu yang tidak menjadikannya ragu dan bimbang
atas apa yang diketahuinya. Sehingga dapat diambil sebuah kesepakatan bahwa kajian-
kajian epistemology adalah kajian filsafat tentang ilmu pengetahuan dan segala hal yang
terkait dengannya.
c. Aksiologi
Dalam bidang aksiologi , pemikiran filsafat diarahkan pada persoalan nilai baik
dalam konteks estetika,, moral maupun agama. Yang menjadi pertanyaan dalam wilayah
ini terkait pada hakikat nilai, apakah ia absolu atau relative, bagaimana menentukan niai,
apakah sumber nilai itu, dan lain sebagainya. Persoalan nilai ini sesungguhnya adalah
mara bagi keseluruhan aktivitas filsafat dalam bidang metafisika maupun epistemology
ialah terwujudnya tingkah laku dan perbuatan-perbuatan manusia yang mengandung
nilai. Kearifan sebagai lambang orientasi kegiatan filsafat tidak akan terwujud jika
aktivitas filsafat hanya bergerak dalam dua bidang kajiannya saja dan menegasikan
wilayah aksiologi.
Dari keseluruhan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jika fokus telaah isi
diarahkan untuk mencari pemecahan masalah hakikat dan kebenaran dalam suatu realitas
yang ada, maka kajiannya termasuk dalam filsafat metafisik. Jika seseorang berupaya
memberikan jawaban atas persoalan-persoalan pengetahuan, baik hakikat, criteria,
validitas, sumber-sumber, prosedur maupun klasifikasi dan jenis-jenis ilmu, maka dalam
hal inni telaah filsafat berada dalam wilayah kajian epistemologi.
28
Problem lain yang juga masuk dalam lapangan epistemology ini adalah logika.
Logika adalah suatu disiplin dalam kajian filsafat yang mengajarkan tentang tata
hubungan antar gagasan dan ide yang dimiliki seseorang menuju pembentukan suatu
kesimpulan, pemahaman, dan keyakinan mendalam terhadap segala realitas. Dengan
logika seseorang akan memiliki pemahaman yang tegas dan jelas tentang bagaimana
membangun sebuah pemikiran yang logis, baik dalam struktur maupun dalam materi.
Sedemikian rpa sehingga dengan logika, seseorang dapat menyusun dan atau menata
idenya dengan struktur kalimat yang logis dan sistematis yang adalah juga sebagai
lambang utama dalam karakteristik filsafat.
Sedangkan jika yang menjadi fokus telaahannya penyangkut problem nikai dan
atau mencari nilai-nilai yang diperlukan dan dikehendaki manusia sebagai dasar pijakan
dan pegangan dalam hidup dan kehidupannya, maka kajiannya berada ke dalam lingkup
aksiologi. Untuk yang terakhir ini, diskursus penting disni adalah hal-hal yang berkenaan
dengan problem nilai kebenaran, nilai, kebaikan, dan nilai keindahan.
Mengingat bahwa universalitas filsafat itu memiliki hubungan erat dengan
berbagai bentuk problem hidup dan kehidupan manusia yang tampak dalam berbagai
dunia pengalaman dan wawasan yang meniscayakan munculnya berbagai jawaban atas
berbagai realita dan varian yang bergelayut di dalamnya, maka dalam tata cara dan
sistemnya, penyelesain filsafat pun tergantung pada problemnya. Jika problem berkenaan
dengan pencarian konseptual yang sifatnya universal, maka pendekatan filsafat yang
berhubungan dengan tata kehidupan dan perilaku manusia. Berdasarkan perwilayahn
objek filsafat ini, maka dalam tata kerja piker filsafat dapat pula dibagi kepada dua
bagian, yaitu filsafat teritis dan filsafat praktis.
Filsafat teoritis adalah pendekatan filsafat yang ditujukan untuk persoalan-
persoalan yang umum, baik tentang hakikat maupun pengetahuan. Hal ini dapat dilihat
umpamanya dalam bidang ontology, kosmogoni, kosmologi, antropologi, epistemology,
logika, teologi, filsafat agama, dan lain sebagainya. Yang praktis adalah pendekatan
filsafat yang ditujukan untuk menemukan kewajiban-kewajiban, kebutuhan-kebutuhan,
dan keinginan-keinginan humanitas. Yang termasuk dalam kelompok ini misalnya, etika,
sosiologi, filsafat sejarah, estetika, psikologi, psikologi agama, filsafat politik, dan lain
sebagaimya.
29
Kecuali itu, apabila dilihat pula dari segi teknis dan system aktivitasnya, filsafat
memiliki tiga corak, yaitu: spekulatif, analitik, dan prespektif. Filsafat spekulatif adalah
suatu system berpikir filsafa tentang segala sesuatu yang ada. Para filsuf tertarik dalam
hal ini karena mereka memandang bahwa pikiran manusia selalu hendak melihat segala
sesuatu secara utuh dan menyeluruh, tidak ada satu baianpun di dunia ini yang berdiri
sendiri. Eksistensinya selalu terkait dengan yang lain. Oleh karena itu, kebenaran yang
sesungguhnya tidak mungkin akan diperoleh seseorang, jika ia dalam aktivitasnya
melihat realitas yang satu terpisah dengan realitas yang lain. Filsafat analitik lebih
memfokuskan perhatiannya dalam upaya memaknai, menerjemahkan, dan membuat
interpretasi terhadap setiap kata yang digunakan dalam suatu ide, agar ide itu dapat
dipahami sesuai dengan keinginan dan maksud sesungguhnya dari pencetusnya. Berbeda
dengan dua domensi metodologi filsafat di atas, filsafat preskriptif adalah suatu tedensi
kegiatan filsafat yang ingin mencari standar yang kukuh dalam melihat suatu nilai dalam
kehidupan manusia, baik dalam konteks baik dan buruk; benar dan salah; indah dan
jeleknya suatu tindakan.
3. Filsafat Pendidikan
Berbagai pengertian tentang filsafat Pendidikan yang telah dikemukakan oleh
para ahli, Al-Syaibany (1979 : 36) mengartikan bahwa filsafat pendidikan yaitu aktifitas
pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat tersebut sebagai jalan untuk mengatur,
menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya, bahwa filsafat pendidikan
dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk
mencapainya, maka filsafat pendidikan dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor
yang integral atau satu kesatuan.
Filsafat pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu: (1)
filsafat praktek pendidikan dan (2) filsafat ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2001).
Filsafat praktek pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana
seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia.
Filsafat praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi: (a) filsafat proses pendidikan
(biasanya hanya disebut filsafat pendidikan) dan (b) filsafat sosial pendidikan. Filsafat
proses pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya
kegiatan pendidikan dilaksanakan dalam kehidupan manusia.
30
Filsafat proses pendidikan biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu: (1)
apakah sebenarnya pendidikan itu, (2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya, dan (3)
dengan cara apakah tujuan pendidikan itu dapat dicapai (Henderson, 1959 dalam
Mudyahardjo, 2001). Filsafat sosial pendidikan merupakan analisis kritis dan
komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dalam
mewujudkan tatanan manusia idaman. Filsafat sosial pendidikan, terkait dengan tiga
masalah pokok, antara lain: (1) hakekat kesamaan pendidikan dan pendidikan, (2)
hakekat kemerdekaan dan pendidikan, dan (3) hakikat demokrasi dan pendidikan.
Secara konsepsional filsafat ilmu pendidikan didefinisikan sebagai analisis kritis
komprehensif tentang pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan yang
dihasilkan melalui riset, baik kualitatif maupun kuantitatif. Objek filsafat ilmu
pendidikan dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu:
1) Ontologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat substansi dan pola organisasi
ilmu pendidikan.
2) Epistemologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat objek formal dan material
ilmu pendidikan.
3) Metodologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam
menyusun ilmu pendidikan, dan
4) Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan
praktis ilmu pendidikan.
Status filsafat ilmu pendidikan dengan filsafat secara umum ditampilkan pada Gambar
1 (Mudyahardjo, 2001). Selanjutnya disebutkan bahwa, aliran-aliran filsafat pendidikan,
antara lain: aliran idealisme, realisme, scholatisisme, empirisme, pragmatisme dan aliran
neoposivitisme.
Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan
dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya
perasaan ( emosional), menuju arah tabi’at manusia. Jadi filasafat dapat pula diartikan
sebagai teori umum pendidikan.
Barnadib (1993 : 3) mempunyai versi pengertian atas filsafat pendidikan, yakni ilmu
yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam
pendidikan. Secara filosofis pendidikan merupakan aplikasi sesuatu analisa filosofis
31
terhadap bidang pendidikan. Menurut seorang ahli filsafat Amerika Brubachen
sebagaimana diungkapkan oleh Arifin (1993 : 3) bahwa filsafat pendidikan adalah
seperti menaruh sebuah kereta di depan seekor kuda, dan filsafat dipandang sebagai
bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri secara
bebas dengan memperoleh keuntungan karena punya kaitan dengan filsafat umum.
Secara makro, (umun) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat, yaitu dalam ruang
lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan alam
sekitarnya adalah juga obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi secara mikro
(khusus) yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:
1. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan.
2. Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan.
3. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan
kebudayaan.
4. Merumuskan hubungan antara filsafat negara, filsafat pendidikan dan politik
pendidikan.
5. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
6. Merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan
pendidikan.
Dengan demikian, yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan itu ialah semua
aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat
pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan
yang baik dan bagaimana dengan tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-
citakan.
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi
mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan
antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap manusia bernilai
tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual,
sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikn dalam praktek adalah fakta empiris yang
syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik
dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat
maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi
32
dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal
secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan
variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah
variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks
sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra
orang perorang (personal).
Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara
demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar
pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi
yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis
yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik.
Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu
sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial
atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral
mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi
dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, sehingga ilmu pendidikan harus
bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan-nya khususnya ditanah air kita.
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di
sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan
berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis).
Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro)
lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah
memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan
ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya
mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
4. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
Filsafat adalah studi secara kritis mengenai masalah-masalah yang timbul dalam
kehidupan manusia dan merupakan alat dalam mencari jalan keluar yang terbaik agar
dapat mengatasi semua permasalahan hidup dan kehidupan yang dihadapi. Dalam
33
pengertian yang luas, filsafat bertujuan memberikan pengertian yang dapat diterima oleh
manusia mengenai konsep-konsep hidup secara ideal dan mendasar bagi manusia agar
mendaptkan kebahagiaan dan kesejahteraan.
Dari uraian di atas, dapat dikatan bahwa ruang lingkup filsafat adalah semua lapangan
pemikiran manusia yang komprehensif. Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar-
benar (nyata), baik material konkrit maupun non material (abstrak). Jadi, objek filsafat
itu tidak terbatas (Muhammad Nur Syam, 1988:22).
Secara makro, apa yang menjadi objek pemikiran filsafat, yaitu permasalah kehidupan
manusia, alam semesta, dan alam sekitarnya, jua merupakan objek pemikiran filsafat
pendidikan. Namun secara mikro, ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:
1. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan ( the nature of education)
2. Merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan ( the
nature of man)
3. Merumuskan secara tegas hubungan natar filsaffat, filsafat pendidikan, ilmu, agama,
dan kebudayaan
4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan terori pendidikan
5. Merusmuskan hubungan antara filsafat Negara (ideology), filsafat pendidikan, dan
politik pendidikan (system pendidikan)
6. Merumuskan system nilai –norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan
pendidikan ( Tim Dosen IKIP Malang :65)
Dengan demikian, dari uraian di aasa dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang
menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan itu ialah semua aspek yang berhubungan
dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri,
yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang baik dan bagaimana
tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.
Keberadaan filsafat berbeda dengan ilmu. Ilmu ingin mengetahui sebab dan akibat dari
sesuatu. Sementara filsafat tidak terikat pada satu ketentuan dan tidak mau terkurung
pada ruang dan waktu dalam pembahasan dan penyelidikannya tentang hakikat sesuatu
yang menjadi objek dan materi dari pembahasannya. Pertanyaan yang diajukannya
berkisar sekitar apa itu, darimana dan kemana. Filsafat ingin memperoleh realita
34
mengenai apa hakikat benda, dari mana asal usulnya dan kemana tujuan akhirnya (Ali.
1986:7)
Memperhatikan tujuan atau ruang lingkup filsafat yang begitu luas, maka para ahli pun
membatasi ruang lingkupnya. Menurut Will Durant (Hamdani, Ali, 1986:7-8), ruang
lingkup studi filsafat itu ada lima: logika, estetika, etika, politik, dan metafisika.
a. Logika. Studi mengenai metode-metode ideal mengenai berpikir (thinking) dan
meneliti research dalam melakukan observasi, intripeksi, deduksi dan induksi,
hipotesis dan analisis eksperimental dan lain-lain yang merupakan bentuk-bentuk
aktivitas manusia melalalui upaya logika agar bisa dipahami. Studi logika kadang
kurang menarik perhatian sebagian orang, namun studi ini pada prinsipnya suatu
kejadian yang penting dalam sejarah berpikir umat manusia dan sebagai revisi
terhadap metode berfikir dan meneliti.
b. Estetika. Studi tentang bentuk dan keindahan atau kecantikan yang sesungguhnya dan
merupakan filsafat mengenai kesenian
c. Etika. Studi mengenai tingkah laku yang terpuji yang dianggap sebagai ilm
pengetahuan yang nilainya tinggi (sophisticated). Menurut Socrates, bahwa etika
sebagai pengetahuan tentang baik, buruk, jahat, dan mengenai kebijaksanaan hidup.
d. Politik. Suatu studi tentang organisasi social yang utama dan bukan sebagai mana
yang diperkiraka orang, tetapi juga sebagai seni dan pengetahuan dalam
melaksanakan pekerjaan kantor. Politik merupakan pengetahuan mengenai organisasi
social seperti monarki aristokrasi, demokrasi, sosialisme, marksisme, feminism dan
lain-lain, sebai ekspresi aktual filsafat politik
e. Metafisika. Suatu studi mengenai realita tertinggi dari hakikat semua benda (ultimate
reality of auting), nyata dari benda (antologi) dan dari akal pikiran manusia (ilmu jiwa
filsafat) serta suatu studi mengenai hubungan kokoh anatar pikiran seseorang dan
benda dalam proses pengamatan dan pengetahuan (epistemologi).
John S. Brubachen, seorang guru besar filsafat Amerika, mengatak behwa hubungan
antar filsafat dan pendidikan sangat erat sekali. Kuatnya hubungan tersebut disebabkan
arena kedua disiplin tersebut menghadapi menghadi problema-problema filsafat secara
bersama-sama. Menurut Imam Barnadib (1994:20), filsafat sebagai ilmu yang
mempelajari obkek dari segi hakikatnya, memilik beberapa problema pokok anatar lain:
35
(a). realita, yakni kenyataan yang selanjutnya mengarah kepada kebenaran, akan muncul
bila orang telah mampu mengambil suatu konklusi bahwa pengetahuan yang diperoleh
tersebut memang nyata. Realita dibagi oleh metafisika; (b). pengetahuan, yakni yang
menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya apakah pengetahuan, cara manusia
memperoleh dan menangkap pengetahuan tersebut, dan jenis-jenis pengetahuan.
Pengetahuan dibagi oleh epistemology; (c) Nilai, yang diperoleh oleh filsafat disebut
aksiologi. Pertanyaan-pertanyaan yang dicari jawabannya misalnya nilai yang
bagaimana yang diingini manusia sebagai dasar hidupnya. Disamping tiga problema
pokok tersebut, terdapat problema yang merupakan bagian dari pengetahuan dan
dipelajari atau dibagi oleh logika (ajaran berfikir), yakni problema yang berhubungan
dengan masalah hubungan yang benar dan tepat antara gagasan dan ide yang telah
dimilki oleh manusia.
Menurut Imam Barnadib (1994: 21), dalam penegembangan konsep-konsep
pendidikan dapat dugunakan sebagai dasar hasil-hasil yang diperoleh dari cabang-
cabang di atas. Lebih penting lagi, dalam menyelenggarakan pendidikan perlu
mengetahuai bagaimana pandangan dunia terhadap pendidikan yang diperlukan
masyarakat pada masanya. Hal ini merupakan kajian metafisika. Begitu juga halnya
dengan keberadaan epistemologi, aksiologi, dan logika dalam dunia pendidikan,
tentunya member kontribusi yang besar.
Filsafat pendidikan mempunyai akar filsafat klasik. Filsafat merupakan studi
melalui penggunaan kekuatan pemikiran, sebagai puncak akhir sebab-sebab sesuatu di
alam nyata. Filsafat membantu kita untuk menjawab pertanyaan, seperti apakah realita
itu? Bagaimana kita mengetahui segala sesuatu? Filsafat juga membantu kita mengatur
keyakinan pribadi kita agar dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Mempelajari filsafat pun member manfaat kepada kita agar lebih mengerti siapa kita,
kenapa kita disini, dan sejauh mana (dimana) kita berada.
Filsafat pendidikan memiliki perhatian terhadap filsafat klasik. Tetapi perhatian
filsafat ini fokus pada analisis dan penjelasan terhadap problema-problema pendidikan.
Hanya saja, sebagai suatu bnetuk dari filsafat umum mengenai kehidupan ia memiliki
upaya untuk mengembangkan berbagai masalah filsafat yang berhubungan dengan
pendidikan dan sekolah. Hamper setiap hari para pengajar tidak saja berhadapan
36
langsung dengan persoalan-persoalan pendidikan, tapi juga masalah pokok yang tidak
bersentuhan langsung dengan pendidikan (Ellis, 1986:111).
Sebagai filsafat umum, filsafat pendidikan juga memiliki beberapa sumber; ada
yang tampak jelas dan ada yang tidak jelas.
a. Manusia (people). Manusia kebanyakan mengalami kesulitan-kesulitan dalam proses
pendewasaan atau kemaatangan. Hal ini tentunya memiliki dampak yang signifikan
bagi keyakian manusia sebagai individu. Orang dua, guru, teman, saudara kandung,
anggota-anggota kelurga, tetangga dan orang lain dalam masyarakat akan
mempengaruhi pemikiran dan tingkah laku individu. Macam-macam hubungan dan
pengalaman seseorang bersama kelompok di atas membantu proses penciptaan sikap
dan system keyakiannya.
b. Sekolah. Pengelaman seseorang, jenis sekolah, dan guru-guru didalamnya merupakan
sumber-sumber pokok dari filsafat prndidikan. Banyak orang yang telah memutuskan
untuk perfrofesi guru karena meraka menyenangi sekolah, atau mungkin karena
dipengaruhi seseorang selama belajar di sekolah. Ada juga yang memilih mengejar
karir mengejar karena meraka yakin akan dapat menciptakan kondisi sekolah yang
lebih baik bagi anak didik dan generasi anak muda. Sekolah telah mempengaruhi dan
akan mempengaruhi filsafat pendidikan seseorang.
c. Lingkungan (invironment). Lingkungan social budaya tempat tinggal seseorang dan
dibesarkan adalah sumber yang lain dari filsafat pendidikan. Jika sesorang dibesarkan
dalam masyarakat yang menempatkan suatu nilai pendidikan yang tinggi, hal ini akan
mempengaruhi filsafat pendidikan seseorang.
Sumber-sumber yang disebutkan di atas merupakan sumber-sumber primer dari
filsafat hidup dan filsafat pendidikan yang dialami seseorang. Sumber-sumber ini akan
terus memiliki dampak karena seseorang individu terus tumbuh dan berkembang.
Filsafat mengkaji permasalahan yang menyangkut nilai dan ditentukan untuk
dijadikan pandangan hidup manusia. Dengan demikian, filsafat mempunyai ruang
lingkup yang lebih luas menuju asaran yang lebih luas, menjurus, total dan komprehensif.
Selanjutnya filsafat sebagai ilmu yang mengadakan tinjauan dan mempelajari objeknya
dari hakikat ini, lalu berhadap dengan problem. Problem tersebut meliputi realita,
pengetahuan dan nilai (Imam Barnadib, 1994: 20).
37
Filsafat pendidikan sesuai dengan peranannya merupakan landasan filosofis yang
menjiwai seluruh kebijakan dan pelaksanaan karena pendidikan. Sedangakan filsafat,
dengan cara kerjanya bersifat sistematis, yunifersal dan radikal, yang mengupas dan
menganalisis sesuatu secara mendalam (Jujun, 1982: 4), ternyata sangat relevan dengan
problematika hidup dan kehidupan manusia dan mampu menjadi perekat kembali antara
berbagai macam disiplin ilmu yang berkembang saat ini. Sehingga filsafat pendidikan
akan menemukan relevansinya dengan hidup dan kehidupan masyarakat dan akan lebih
mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan manusia.
Dengan demikian hubungan filsafat dan filsafat pendidikan menjadi begitu
penting. Karena masalah pendidikan merupakan massalah hidup dan kehidupan manusia.
Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembangan hidup dan
kehidupan manusia. Dalam konteks ini filsafat pendidikan mempunyai ruang lingkup
yang sangat luas, menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu konklusi bahwa filsafat adalah studi kritis
tentang masalah-masalah kehidupan yang dilakukan untuk mencari jalan keluar yang
lebih baik bagaimana mengenai msalah tersebut. Dalam hal ini, filsafat bertujuan
memberikan yang lebih dapat diterima tentang konsep-konsep hidup yang meliputi suatu
kehidupan yang ideal dan lebih mendasar.
Sedangkan filsafat dan pendidikan, keduanya merupakan semacam usaha yang sama.
Berfilsafat ialah mencari nilai-nilai ide (cita-cita) yang lebih baik, sedangkan pendidikan
menyatakan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan pribadi manusia. Pendidikan bertindak
mencari arah yang terbaik, sedangkan filsafat dapat member latihan yang pada dasarnya
diberikan kepada anak. Hal ini bertujuan untuk membina manusia dlam membangun
nilai-nilai yang kritis dalam watak mereka. Dengan jalan ini, mereka mempunyai cita-cita
hidup yang tinggi dengan berubahnya filsafat yang tertanap dalam diri mereka. Dengan
demikian, filsafat pendidikan adalah mencari kesatuan pandangan untuk memecahkan
berbagai problem dalam lapangan pendidikan.
38
5. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan
1) Rekonstruksionisme
a) Rekonstruksionisme dalam Pengertian dan Sejarah
Kata rekonstruksionisme berasal dari bahasa inggris reconstruct yang berarti
menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme adalah
sebuah aliran yang berupaya merombak tata susunan lam adan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercocok modern. Aliran ini sering disebut dengan
aliran rekonstruksi social.
Rekonstruksionisme sebagai aliran pendidikan sejak awal sejarahnya di tahun
1920 dengan lahirnya sebuah karya John Dewey yang berjudul reconstruction in
philosophy yang kemudian digerakkan secara nyata oleh George Counts dan Harold
Rugg di tahun 1930-an selalu ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana
rekonstruksi masyarakat. Rekonstruksionisme ini pun telah pula diformulasikan oleh
George S. Counts dalam sebuah karya klasiknya Dare the Schools Build a New Social
Order? Yang diterbitkan pada tahun 1932.
Aliran ini pada prinsipnya sependapat pada aliran perenialisme dalm mengungkap
krisis kebudayaan modern. Menurut Syam, kedua aliran tersebut memandang bahwa
keadaan sekarang merupakan zaman yang kebudayaannya terganggu oleh
kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran. Bila aliran perenialisme memilih cara
dan jalan pemecahan maslah dengan kembali kepada abad pertengahan, maka
rekonstruksionisme berupaya membina suatu consensus yang paling luas dan paling
mungkin tentang tujuan yang pertama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Halsenada juga di kemukakan oleh John Hendrik, bahwa rekonstruksionisme
merupakan revormasi social yang menghendaki budaya modern para pendidik.
Rekonstruksionisme memandang kurikulum sebagai problem sentral, dimana
pendidikan harus menjawab pertanyaan beranikah sekolah membangun suatu orde
social baru?
Tujuan utama dan tertinggi hanya melalui kerja sama semua bangsa. Penganut
aliran ini percaya telah tumbuh keinginan yang sama dari bangsa-bangsa yang
tersimpul dalam ide rekonstruksionisme. Hari depan bangsa-bangsa adalah sebuah
dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang
39
dikuasai suatu golongan. Cita-cita demokrasi ini bukan hanya sekedar teori tetapi
mesti menjadi kenyataan, karena hanya dengan cra demikian dapat diwujudkan
sebuah dunia dengan potensi-potensi teknologi yang mampu meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran, keamanan dan jaminan hokum bagi masyarakat,
tanpa membeda-bedakan warna kulit, nasionalitas, dan kepercayaan.
Rekonstruksionisme di barat bercita-cita mewujudkan dan melaksanakan
perpaduan antara ajaran agama dan demokrasi modern dengan teknologi modern dan
seni modern dalam suatu kebudayaan yang dibina bersama oleh seluruh kedaulatan
bangsa-bangsa sedunia. Rekontruksionisme mencita-citakan terwujudnya suatu dunia
baru dengan suatu kebudayaan baru dari satu kadaulatan dunia dalam mengontrol
umat manusia.
Rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang tentang tujuan
utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan yang baru di
seluruh lingkungannya, rekonstruksionisme ini juga ingin merombak tata susunan
lama dan membangun tata susunan kebudayaan baru melalui lembaga dan proses
pendidikan. John Dewey (1859-1952) dalam hal ini mengatakan, bahwa education as
reconstruction.
Muhammad Iqbal (w.1938) dalam hal ini mengungkapkan, bahwa perubahan
mendasar dalam pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang meliputi keseluruhan
system pendidikan guna untuk membentuk pandangan baru yang sesuai dengan
kebutuhan zaman. Menciptakan masyarakat baru melalui rekonstruksi pendidikan
merupakan suatu, karena dengan system pendidikan yang buruk yang
diselenggarakan pemerintahan india saat itu menurut Muhammad Iqbal tanpa
kesadaran untuk menanamkan pemahaman bagi pemuda akan pentingnya kecerdasan
guna merebut kepentingan individu, melalui prinsip idealism dan spirtualisme.
b) Landasan Filosofis Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realitas itu bersifat universal,
realitas itu ada di mana saja dan sama di setiap tempat. Untuk memahami suatu
realitas dimulai dari sesuatu yang konkret menuju arah yang khusus yang
menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan
ditangkap oleh panca indra manusia. Misalnya hewan, tumbuh-tumbuhan atau benda-
40
benda lain disekeliling kita. Realitas tidak terlepas dari suatu system disamping
subtansi yang dimiliki bagi tiap-tiap benda tersebut yang dipilih melalui akal pikiran.
Pada prinsipnya aliran ini memandang alam metafisika dalam bentuk dualism
dimana alam nyata ini mengandung dua hakikat, jasmani dan rohani. Kedua macam
hakekat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, azali dan abadi, hubungan
antara keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Rine Dercartes seorang
tokohnya menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima prinsip dualism
ini menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh pancaindra
manusia sementara kenyataan batin segera diakui dengan adanya akal dan perasaan
hidup. Di balik realitas, sesungguhnya terdapat kualitas sebagai pendorongnya dan
merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa prima dalam konteks ini adalah
tuhan sebagai penggerak yang tidak digeraknya. Tuhan adalah aktualitas murni yang
sama sekali sunyi dari substansi.
Muhammad Iqbal sebagai tokoh rekonstruksionisme dari dunia islam
mengatakan, bahwa hakikat manusia adalah segenap kekuatan diri yang akan
menentukan siapa ia. Apabila ego seseorang dapat berkembang dengan baik, maka
eksistensinya dalam masyarakat dan dunia pun akan diakui. Jika manusia tidak
mengambil prakarsa dan berkeinginan untuk mengembangkan dirinya dan tidak ingin
merasakan gejolak batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada padanya akan
mengkristal dan perlahan-perlahan akan menjadikan dirinya tereduksi kepada benda-
benda mati. Oleh karena itu Iqbal berpendapat, bahwa untuk membangun kembali
umat islam yang telah terpuruk pada kemrosotan humanitas, perlu menata dan
membangun kembali tata system baru dengan mengembangkan potensi diri dan akal
manusia yang akan menunjuk pada eksistensi manusia dalam memandang realitas.
Suatu yang riil bukan saja bersifat rasional-idealis seperti yang ditawarkan Plato,
tetapi juga sesuatu yang bersifat indrawi.
Muhammad Iqbal dalam hal ini percaya, bahwa gagasan semata tidak akan
memberikan pengaruh bagi gerak maju manusia, suatu gagasan memerlukan
penjabarann ke dalam bentuk tidakan nyata, karena memang amal perbuatanlah yang
akan membentuk kualitas kemanusiaan. Muhammad Iqbal dalam hal ini
menegaskan, bahwa hidup sesungguhnya adalah melakukan segala sesuatu yang
41
membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Islam dalam hal ini memiliki aturan-
aturan yang disusun sedemikian rupa, sehingga individu dan masyarakat mana pun
yang melaksanakannya akan dapat memperoleh kemajuan yang paling besar dalam
menata kehidupannya menuju pada kesempurnaan manusia.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh John Dewey yang mengungkapkan bahwa
ide-ide dan gagasan-gagasan mestilah sesuatu yang dapat diterapkan dalam tindakan-
tindakan yang berguna bagi pemecahan berbagai problematika yang muncul dalam
masyarakat.
Kajian epistemology aliran ini tampaknya merujuk pada pendapat aliran
pragmatism di satu sisi dan perenialisme di sisi lain, karena menurut aliran ini bahwa
untuk memahami realitas alam nyata memerlukan sebuah azas tahu, dalam arti tidak
mungkin memahami realitas tanpa mengalami proses pengalaman dan hubungan
dengan realitas terlebih dahulu melalui penemuan suatu gerbang ilmu pengetahuan.
Karena itu, baik indra maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan
self-evidence, yakni bukti yang ada pada dirinya sendiri, realitas dan eksistensinya.
Pemahamannya bahwa pengetahuannya yang benar buktinya ada di dalam
pengetahuan itu sendiri. Kajian tentang kebenaran itu, diperlukan suatu pemikiran dan
metode yang diperlukan untuk menuntut agar sampai pada pemikiran yang hakiki.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua
hal pokok, yakni pikiran atau rasio dan bukti atau evidence dengan jalan
pemikirannya silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis
mayor, premis minor dan kesimpulan dengan memakai cara pengembalian
kesimpulan deduktif dan induktif.
Pandangan aksiologi. Dalam interaksi sesame manusia diperlukan nilai, begitu
pula hubungan manusia dengan manusia dan alam secara sadar maupun tidak sadar
telah melakukan proses penilaian.
Aliran rekonstruksionisme memandang nilai berdasarkan pada supernatural yang
bersifat universal yang berdasarkan pada nilai-nilai teologis. Karena hakikat manusia
adalah emanasi yang secara potensial berasal dari dan dipimpin oleh tuhan, maka
peninjauan tentang kebaikan dan keburukan pun dapat dilakukan dan diketahuinya.
42
Sebagai objek, manusia telah memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan berbuat
buruk. Nilai kebaikan tertinggi adalah nilai-nilai yang terbebas dari penguasaan hawa
nafsu. Penentuan nilainya selalu ditentukan oleh akalnya semata, namun dalam
mencapai kebaikan tertinggi manusia perlu bersatu dengan tuhan dalam pemikirannya
rasionalnya. Kaitannya dengan estetika, bahwa hakikat keindahan yang sesungguhnya
adalah tuhan itu sendiri, sehingga nilai-nilai yang baik dan indah yang ada pada
manusia adalah nilai-nilai yang terpancar dari nilai-nilai universal yang abadi dari
tuhan.
Muhammad Iqbal menyebutkan, bahwa kesadaran diri dan individualitas
merupakan kata kunci bagi penyempurnaan kemanusiaan. Gerak sejarah manusia
selalu ditentukan oleh peran ego yang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan
kebebasan dirinya. Individualitas adalah suatu gerak maju yang menjadi saluran
segala objek dan benda. Dengan memperkuat kepribadian, ego manusia dapat
menguasai lingkungan dan mendekati ego tuhan dengan sifat-sifatnya, sehingga
manusia itu pun mencapai kesempurnaannya. Jadi, perubahan sejarah, sangat
tergantung pada kualitas individu dalam memahami dan memaknai hakikat hidup.
Aristoteles dalam hal ini membedakan kebajikan kepada dua macam, yaitu
kebajikan moral dan kebajikan intelektual. Kebajikan moral diperoleh melalui
pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
c) Pandangan Rekonstruksionisme tentang Pendidikan
Aliran ini yakin bahwa pendidikan tidak lain adalah tanggung jawab social. Hal
ini mengingat eksistensi pendidikan dalam keseluruhan realitasnya diarahkan untuk
pengembangan dan atau perubahan masyarakat. Rekonstruksionisme tidak saja
berkonsentrasi tentang hal-hal yang berkenan dengan hakikat manusia, tetapi juga
terhadap teori belajar yang dikaitkan dengan pembentukan kepribadian subjek didik
yang berorientasi pada masa depan. Oleh karena itu pula, maka idealitasnya terletak
pada filsafat pendidiknya. Bahkan penetapan tujuan dalam hal ini merupakan sesuatu
yang penting dalam aliran ini. Segala sesuatu yang diidamkan untuk masa depan
suatu masyarakat mesti ditentukan secara jelas oleh pendidikan.
Para rekonstruksionis menginginkan, bahwa pendidikan dapat memunculkan
kesadran para subjek didik untuk senantiasa memperhatikan persoalan social,
43
ekonomi dan politik dan menjelaskan kepada mereka bahwa memecahkan problem.
Tujuan aliran ini tidak lain adalah untuk membangun masyarakat baru, yakni suatu
masyarakat global yang memiliki hubungan interdependensi.
Rekonstruksionisme percaya bahwa manusia memiliki potensi fleksibel dan
kukuh baik dalam sikap maupun dalam tindakan. Adalah suatu hal yang paling
berharga dalam kehidupan manusia itu, jika ia memiliki kesempatan yang cukup
untuk mengembangkan potensi naturalnya secara sempurna. Pendidikan dalam hal ini
adalah jawaban atas keinginan potensial manusia itu.
Muhammad Iqbal menyebutkan, bahwa tujuan pendidikan adalah mampu
membangun dunia bagi masyarakat dengan menggunakan kemampuan akal, indra dan
intuisi. Oleh karena itu ketiga aspek ini mesti tertuang dalam kurikulum pendidikan
itu. Pendidikan harus menjadikan subjek didiknya mampu menggunakan ilmu
pengetahuan yang diperolehnya sebagai wahana bagi perealisasian nilai-nilai
spiritual. Pendidikan menurutnya mesti mampu memandang situasi actual dengan
tidak melihat manusia secara sebahagiaan-bagian. Pendidikan baru harus mampu
menjadikan ilmu-ilmu pengetahuan sebagai wahana bagi realisasi nilai-nilai spiritual.
Untuk itu perl;u adanya upaya integrasi intelektual dan cinta, sebab hidup bukanlah
ritinitas, tetapi seni yang kreatif, konstruktif, dan inovatif.
Jonh Dewey sebagai seorang tokoh awal pergerakan aliran ini mengatakan,
bahwa pengembangan watak manusia ini selalu berinteraksi dengan kondisi-kondisi
yang mengelilinginya dalam menghasilkan budaya. Oleh karena itu manusia selalu
beradaptasi dengan lingkungan masyarakatnya. Manusia adalah bagian terpenting
dalam sebuah masyarakat, sehingga apapun yang ia lakukan selalu berkenan dengan
pembentukan kebudayaannya. Masalah perbedaan biologis dan perbedaan individu
berfungsi dalam suatu bentuk sosiam namun itu bukanlah sifat asli yang dapat
memisahkan suatu bangsa, kelompok, dan kelas tertentu dari yang lainnya. Lebih
lanjut, ia mengatakan bahwa kebebasan adalah hak esensial manusia, namun dalam
pengembangannya memerlukan hubungan dengan sesuatu yang berbeda di luar
dirinya dan di sinilah manusia mesti menjadi bagian dalam suatu masyarakat.
Mengingat manusia adalah bagian masyarakat, maka pendidikan secara efisiensi
mesti mengacu pada kepentingan rekonstruksi masyarakat.
44
Rekonstruksionisme percaya bahwa pendidikan sebagian sesuatu lembaga
masyarakat tentulah diarahkan pada upaya rekayasa social, sehingga segala
aktivitasnay pun senantiasa merupakan solusi bagi berbagai problem kehidupan
dalam masyarakat. Sekolah dalam hal ini menjadi agen perubahan social, politik dan
ekonomi yang primer. Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti memiliki komitmen
untuk menciptakan masyarakat baru yang sarat denagn nilai-nilai dasar budaya dan
social ekonomi yang akan memebantuk harminisasi suatu masyarakat. Pendidikan
dalam hal ini mesti diarahkan pada perubahan pola piker masyarakat, sehingga
teknologi-teknologi yang begitu besar lebih dijadikan sebagai sumber kreativitas dari
pada untuk mengahancurkan. Tranformasi social merupakan suatu keniscayaan dan
ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Sebagai sebuah lembaga yang bebas
pendidikan tidak mungkin tanpa mekanisme.
Jonh Dewey mengungkapkan, bahwa demokrasi akan memperoleh legitimasi,
sebab ia bersentuhan langsung dengan standar dasar rasionalitas. Dengan pola
demokrasi, semua orang mempunyai hak mengeluarkan pendapat dan adu
argumentasi. Oleh karena itu, demokrasi merupakan suatu pola yang menjunjung
tinggi hakikat humanitis.
Dalam bidang pendidikan, bukan berarti semua subjek didik dianggap mempunyai
kapasitas yang sama dalam intelektual dan kreativitas, sehingga sekolah tidak mesti
harus diorganisasikan secara politis seperti pada masyarakat demokrasi-demokrasi,
sebab kendatipun kodrat manusia bebas belajar dan mengembangkan diri, bukan
berarti ia boleh berbuat apa saja tanpa dapat dibatasi dan diarahkan.
Muhammad Iqbal dalam hal ini tampaknya lebih menginginkan pendidikan
yang sesuai dengan watak manusia yakni suatu pendidikan yang mengaksentuasikan
aktivitasnya pada pemberian pengetahuan kepada subjek didik melalui metode
problem solving, suatu cara yang efektif ungtuk melatih berfikir kreatif, kritiss, dan
inovatif. Dengan cara ini menurutnya dapat menjadi manusi-manusia yang tangkap
akan berbagai problematika kehidupannya dalam masyarakat.
Guru menurut aliran ini bertugas meyakinkan subjek didiknya tentang urgensi
rekonstruksi dalam memajukan kehidupan social kemasyarakatan dan membiasakan
mereka untuk sensitive terhadap berbagai problem yang tumbuh dan berkembang
45
dalam masyarakat serta mencarikan solusi yang diperlukan menuju perbaikan dan
perubahan-perubahan. Untuk itu, seorang guru dituntut untuk memiliki keterampilan
dalam membantu dan menyediakan kondisi kepada subjek didik agar subjek didiknya
mampu dan keterampilan dalam memberikan solusi terhadap berbagai masalah social,
ekonomi, dan politik yang tumbuh dalam masyarakat. Seorang guru mesti berani
berbeda pandangan sebagai lambing dari suatu kreativitas dalam memberikan solusi
terhadap persoalan-persoalan yang dipikirkan.
Kinsley Price dalam hal ini menggaris bawahi, bahwa hal-hal mendasar dalam
aliran ini tercium dalam pemilihan corak aktivitas pembelajaran sebagai berikut:
a. Segala sesuatu yang bercorak otokrasi mesti dihindari, sehingga yang belajar
terhindar dari unsure pemaksaan.
b. Guru mesti dapat meyakinkan subjek didiknya akan kemampuannya dalam
memecahkan masalah yang ada dalam subject matters dapat dibatasi.
c. Untuk menumbuhkembangkan keinginan belajar subjek didik, seorang guru mesti
mampu mengenali setiap diri subjek didik secara individu.
d. Seorang guru mesti dapat menciptakan kondisi kelas sedemikian rupa segingga
interaksi guru dengan subjek didik dan semua yang hadir dalam suatu ruangan
kelas dapat berkomunikasi dengan baik, tanpa ada yang menunjukkan sikap
otoriter.
d) Dialog Antar – Aliran
Berbagai pemikiran yang ditampilakan oleh masing-masing aliran filsafat di atas
bergulir di atas bangunan epistomologi masing-masing. Progresivisme umpamanya
memiliki keyakinan ontologism bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki
kemampuan yang memadai secara potensial untuk mengahadapi dan mengatasi
berbagai problem kehidupannya menuju suatu perkembangan yang lebih baik dan
lebih sempurna yang mengarah pada yang progress. Pendidikan dalam hal ini di
pandang sebagai suatu motot bagi penumbuhkembangan kemampuan dasar subjek-
subjek didik ini agar fungsional dalam mengahadapi dan memecahkan berbagai
kesulitan hidup. Dengan demikian, meraka akan memiliki kemandirian dalam
pengambilan sikap berdasarkan cara-cara yang logis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berbagai ragam ilmu pengetahuan dan
46
teknologi adalah bukti nyata bagi fungsionalitas kemampuan manusia dalam
memecahkan problem-problem kehidupannya, dan sekaligus akan menjadi modal
bagi pengembangan kea rah pengetahuan dan teknologi baru yang adalah juga akan
menjadi langkah kemajuan-kemajuan selanjutnya tanpa henti.
Proses pendidikan dalam konteks progresivisme adalah memberikan pengalaman
empiris kepada subjek-subjek didik agar ia memiliki kemampuan ilmiah dalam
memecahkan berbagai problem kehidupan agar ia siap menghadapi berbagai
perubahan dalam suatu kehidupan di masyarakatnya. Progresivisme dalam hal ini
memandang ilmu pengetahuan sebatas mengembangkan paham pengetahuan yang
lebih ekstrim dengan mengatakan bahwa suatu pengetahuan yang berangkat dari
fakta-fakta yang terxerifikasi dan terukur secara ketat. Ketika paham ini dimaknai
dalam konteks studi ilmiah terhadap masyarakat di sini mesti pula dipandang sebagai
suatu realitas yang terpisah dari subjek peneliti dan berjalan seperti layaknya alam
yang deterministic.
Suatu keilmuan lahir selalu berkenaan dengan problem yang dihadapi oleh
manusia dalam kehidupannya. Pengembangan keilmuan sangat tergantung pada cara
pandang seseorang atau sekelompok orang dalam memandang realitas.
Di lain pihak, filsafat perenialisme dilandasi oleh keyakinan ontologism yang
dianutnya tentang manusia dan alam yang memandang bahwa hakikat manusia
sebagai makhlik rasional yang selalu sama bagi setiap manusia sepanjang
kesejarahannya, oleh karena itu perlakukan yang dianggap efektif di suatu masa tentu
akan efektif pula pada masa beikutnya. Kesuksesan masa lalu dapat pula diterapkan
untuk memecahkan problem masa sekarang dan akan datang bahkan sampai kapan
pun.
Aliran esensialisme, karena memandang bahwa etentitas manusia sangat
ditentukan oleh ragam struktur kebudayaan yang membentuknya, maka diperlukan
pendidikan yang bersendikan atas azas-azas yang tetap yang dapat mendatangkan
kestabilan. Azas-azas yang tetap ini hendaknya azas yang benar-benr telah teruji oleh
waktu.
Rekonstruksionisme percaya, bahwa pengembangan watak manusia mesti selalu
berinteraksi dengan kondisi-kondisi yang mengelilinginya. Suatu kebudayaan lahir
47
berdasarkan pada pola adaptasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan
lingkungan masyarakatnya. Mengingat manusia adalah bagian terpenting dalam
sebuah masyarakat, maka apa pun yang ia lakukan selalu berkenan dengan
pembentukan kebudayaannya. Pemebentukan kebudayaan ini sangat tergantung pada
aspek kebebasan yang memang merupakan hak esensial manusia. Untuk itu,
demokrasi mestilah menjadi atas penting dalam kehidupan social dalam skala apa
pun.
Mengingat manusia adalah bagian masyarakat, maka pendidikan secara efisiensi
mesti mengacu pada kepentingan rekonstruksi masyarakat. Pendidikan bagi
rekonstruksionisme mesti diarahkan untuk memampukan subjek-subjek didik
membangun dunia bagi masyarakat melalui pendayagunaan kemampuan akal, indra,
dan intuisi, sehingga pendidikan harus menjadikan subjek didiknya mamapu
menggunakan ilmu pengetahuan yang diperolehnya sebagai wahana bagi
perealisasian nilai-nilai spiritual. Untuk itu perlu adanya upaya integrasi intelektual
dan cinta, sebab hidup bukanlah rutinitas, tetapi seni yang kreatif, konstruktif, dan
inovatif.
Rekonstruksionisme percaya bahwa pendidikan sebagai suatu lembaga
masyarakat tentulah diarahkan pada upaya rekayasa social, sehingga segala
aktivitasnay pun senantiasa merupakan solusi bagi berbagai problematika kehidupan
dalam masyarakat. Sekolah dalam hal ini menjadi agen perubahan social, politik dan
ekonomi yang primer. Transformasi social sangat terkait dengan aktivitas
kependidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti memiliki komitmen untuk
menciptakan masyarakat baru yang serat dengan nilai-nilai dasar budaya dan social
eekonomi yang akan membantu harminisasi suatu massyarakat. Pendidikan dalam hal
ini mesti diarahkan pada perubahan pola piker masyarakat, sehingga teknologi-
teknologi yang begitu besar lebih dijadikan sebagai sumber kreativitass dari pada
untuk mengahncurkan nilai-nilai dalam suatu masyarakat.
Suatu yang rill bukan saja sesuatu yang ada sekarang, tetapi juga yang ada pada
masa silam dan aka nada di masa depan. Ada ketergantungan yang tidak terpisahkan
antara realitas-realitas yang ada. Bangunan suatu realitas selalu berhubungan pula
dengan realitas lain. Mempertautkan antar-realitas sebagai suatu prinsip selalu
48
mendasari suatu perubahan dalam kehidupan manusia. Menghubungkan antar fakta
dan realitas dalah karakteristik berfikir rasional yang menjaddi lambing bagi
kemanusiaan yang selalu akan memunculkan kreativitas dan aktivitas manusia dalam
kehidupannya. Kreativitas adalah daya dinamis dalam alam semesta ini yang akan
menjadi dasar logis untuk menerangkan berbagai perubahan dalam kehidupan. Oleh
karena itu, progresivisme tidak dapat serta merta mengabaikan prinsip yang
digunakan oleh aliran perenialisme dan esensialisme yang menginginkan para
partisipan pendidikan meninjau kondisi rill masa silam. Masa silam dan masa
sekarang di sini mesti menjadikan bahan pertimbangan untuk menciptakan situasi
yang kondusif dalam merangsang kreativitas dan inovai dalam berbagai kehidupan
yang menjadi arah bangun bagbi suatu upaya kependidikan.
Kendatipun terdapat kesamaan dengan aliran perenialisme yang menginginkan
upaya kependidikan memiliki system nilai yang kukuh dan bertradisi, namun
tampaknya tuntutan perenialisme terhadap dunia kependidikan lebih sulit terrealisasi.
Hal ini disebabkan tuntutannya membutuhkan tingkat intelektualisme yang tinggi,
seperti mempelajari berbagai tradisi berfikir para tokoh besar pada masa lalu sampai
sekarang yang kemudian dengan cara yang kritis akan membentuk suatu pemikiran
yang siap dalam menatap masa sekarang dan masa depan yang penuh dengan
dinamika problem kependidikan.perenialisme menyarankan pendidikan intelektual
tidak menyeluruh, karena kosentrasinya sebatas hubungan tata logika yang berada
pada wilayah pengembangan watak inteletualisme yang sarat dengan nuansa nilai-
nilai moral, namun kurang menyentuh problem keterkaitan eksistensi manusia
memandang dunia yang selalu tidak akan persis sama apa yang di butuhkan manusia-
manusia dalam suatu masa dengan masa lain yang secara niscaya akan membawa
pada perbedaan-perbedaan pola kerja rasio dalam mencari pemecahan-pemecahan
masalah yang tengah mereka hadapi .
2) Esensialisme
a) Esensialisme dalam pengertian sejarah
Filsafat esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan
ide filsafat idealisme-objektif di satu sisi dan realisme-objektif sisi lainnya.Oleh
karana itu,wajar jika ada yang mengatakan bahwa Plato lah sebagai peletak asas-asas
49
filosofis aliran ini,ataupun Aristoteles dan Democritis sebagai peletak dasar-
dasarnya.kendatipun kemunculan aliran ini didasari oleh pemikiran filsafat idealisme
Plato dan realisme Aristoteles,namun bukan berarti kedua aliran ini lebur kedalam
paham esensialisme.
Sebagai ssebuah aliran filsafat,esensialisme telah lahir sejak zaman
renaissance,bahkan dapat dikatakan sejak zaman Plato dan Aristotele.
Esensaliasme secara formal memang tidak dapat dihubungkan dengan berbagai
tradisi filsafat,tetapi compatible dengan berbagai pemikiran filsafat.Tahap-tahap
pertama dari perkembangan esensialisme dapat dilihat dari zaman renaissance .hal ini
me ngingat aliran ini menempatkan cirinya pada alam pemikiran pada manusia.Pada
zaman ini telah muncul upaya-upaya untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan
dan seni serta kebudayaan purbakala,terutama di zaman Yunani dan Romawi.
Dalam konteks filsafat Pendidikan ,aliran ini memiliki ciri utamanya yang
menekankan, bahwa Pendidikan mesti di bangun di atas nilai-nilai yang kukuh,tetap
dan stabil.kemunculannya adalah reaksi atas kecenderungan kehidupan manusia pada
yang serba duniawi,ilmiah,prualistik dan materialistik,akibat dari prinsip pendidikan
yang fleksibel,terbuka untuk segala bentuk perubahan,toleran serta tidak mempunyai
pegangan yang kukuh dengan doktrin tertentu.Kondisi dunia yang merusak tatanan
humanitas telah menjadi perhatian kelompok esensialisme.
Esensialisme pertama kali muncul sebagai reaksi atas simbolisme mutlak dan
dogmatisme abad pertengahan.Aliran ini beranggapan , bahwa manusia perlu kembali
kepada kebudayaan lama,yaitu kebudayaan yang telh ada sejak peradaban manusia
yang pertama.Hal ini mengingat kebudayaan lama itu telah banyak membuktikan
kebaikan-kebaikannya untuk manusia.
Tokoh-tokoh yang tercatat sepanjang sejarahnya , antara lain Desiderius
Erasmus,Johann Amos Comenuis(1592-1670),John Locke(1632-1704),John
Frederich Froebel,Immanuel Kant,Schopenhauer, Libneiz, Hangel ,Kandel, dan
lain-lain. Arthur K. Ellis dkk.menyebutkan bahwa esensialisme yang dikaitkan
dengan pendidikan diformasiakan oleh Prof.William C,Bagley , namun George F.
Kneller menambahkan dengan nama-nama seperti Thomas Briggs,Frederick Breed,
dan IsaacL. Kandel.
50
Menurut kneller,mereka ini tercatat sebagai orang-orang yang telah membentuk
Komite Esensialis guna untuk meningkatkan pendidikan di Amerika.Tradisi ini
dilanjutkan pula dengan adanya tulisan-tulisan William Bricman,editor buku Scool
and Society.Sejumlah nama lain yang tercatat sebagai penyokong aliran ini adalah
Arthur Beston dan Mortimer Smith.Kendatipun dua nama terakhir ini dikatakan
sangat skeptis terhadap nilai study pendidikan formal melalui pemikiran-pemikiran
pendidikan yang dikembangakan oleh aliran esensialisme ini,namun kenyataanya
mereka berpendapat bahwa pendidikan mesti dibangun nilainilai yang tetap.
b) Landasan Filosofis Esensialisme
Esensialisme memandang bahwa manusia sebagai bagian dari alam semesta yang
bersifat mekanis dan tunduk pada hukum-hukumnya yang objektif kausalitas,maka ia
pun secara nyata terlibat dan tunduk pula pada hukum-hukum alam.Dengan
demikian,manusia selalu bergerak dan berkembang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan hukum natural yang bersifat universal.Hukum universallah yang mengatur
keseluruhan makrokosmos yang meliputi aturan benda-benda,energi,ruang dan waktu
bahkan juga pikiran manusia.Tuhan dalam hal ini mengatur eksistensi segala realitas
yang ada termasuk diri manusia dari “atas” .Semua hukum ilmu pengetahuan tidak
lain adalah perwujudan keharmonisasian dan validitas aktivitas Tuhan.
Berdasarkan tesisnya ini pulalah ,maka para essensialis melihat hakikat ilmu
pengetahuan tidak saja bersifat fisikis-naturalis yang bercorak empiris-realistis,tetapi
juga bersifat metafisikis-supranaturalis yang bercorak idealis-rasionalis.Para
esensialis memandang , bahwa ilmu pengetahuan mulai dari upaya manusia dalam
memandang realitas melalui bantuan panca inderanya .Atas dasar penggunaan alat
indrannya,manusia kemudian akan dapat memahami dan mengerti apa yang ia lihat
sehingga melahirkan ide dengan cara membuat relasi antar fakta dan realitas tidak lain
adalah melalui kesadaran jiwa dalam memandang fakta tersebut.oleh karna itu adalah
suatu hal mustahil ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang jika semata-mata
berdasarkan pada hal-hal yang bersifat indawi saja tanpa mengikut sertakan fungsi
akal manusia.
Aliran ini berpendapat, bahwa sumber segala pengetahuan manusia terletak pada
keteraturan li ngkungan hidupnya.Dalam bidang aksiologi, nilai bagi aliran ini ,seperti
51
kebenaran, berakar dalam dan berasal dari sumber objektif. Watak sumber merupakan
perpaduan pandangan idealisme dan realisme.Disatu sisi esensialisme , mengakui,
bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos , dan karenanya seseorang
dikatakan baik jika ia secara aktif, berada didalam dan melaksanakan hukum-hukum
itu.di sisi lain,pemahaman objektif atas fakta dan peristiwa dalam kehidupan juga
menjadi pertimbangan proporsional dalam ekspresi keinginan , rasa suka, kagum,
tidak suka dan penolakan yang akhirnya melahirkan predikat baik dn buruk terhadap
sesuatu.
Immanuel Kant seorang tokoh idealisme modern mengemukakan bahwa asas
dasar tindakan moral atas hukum moral adalah apa yang disebutnya sebagai
categorical-imperative, yaitu rasa kewajiban atas tugas tanpa syarat dan predikat
seperti taat atau loyal terhadap suatu norma.Dalam hukum moral, setiap manusia
harus melakukan sesuatu yang oleh semua orang wajib melakukannya dimana dan
kapanpun, sebab kebaikan senantiasa bersifat universal.
c) Pandangan Esensialisme Tentang Pendidikan
Tidak seperti perenialisme yang menolak progresivisme dalam keseluruhan aspek
yang menjadi karakteristiknya, esensialisme hanya memberikan penolakan dalam
beberapa aspek khusus saja, seperti pemberian konsentrasi aktivitas pembelajaran
semata-mata berpusat pada anak didik saja sehingga terlihat kesan pengabaian
fungsionalitas pendidik sebagai orang yang mengatur dan mengarahkan proses
pembelajaran itu sendiri.
Kelompok essensialis memandang , bahwa pendidikan yang didasari pada nilai-
nilai yang fleksibel dapat menjadikan pendidikan ambivalen dan tidak memiliki arah
dan orientasi yang jelas.Oleh karna itu,agar pendidikan memiliki tujuan yang jelas
dan kukuh diperlukan nilai-nilai yang kukuh yang akan mendatangkan
kestabilan.Untuk itu perlu dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan telah
teruji oleh waktu.
Esensialisme memberikan penekanan upaya kependidikan dalam hal pengujian
ulang materi-materi kurikulum, memberikan pembedaan-pembedaan esensial dan
non-esensial dalam berbagai program sekolah dan memberikan kembali pengukuan
autoritas pendidik dalam suatu kelas di sekolah.Esensialis percaya bahwa pelaksanaan
52
pendidikan memerlukan modifikasi,dan penyempurnaan sesuai dengan kondisi
manusia yang bersifat dinamis dan selalu berkembang, namun mengingat
pengembangan manusia akan selalu berada dibawah azaz ketetapan dan natural, maka
pendidiakan harus dibina atas dasar nilai-nilai yang kukuh dan tahan lama agar
memberikan kejelasan dan kestabilan aerah bangunannya.Pendidikan yang bersifat
fleksibel dan terbuka untuk perubahan,toleran, dan tidak berhubungan dengan doktrin
dan norma yang universal menjadikan eksistensinya mudah goyah dan tidak memiliki
arah yang jelas.Oleh karna itu,pendidikan mesti didasarkan pada asaz ang kukuh yang
secara nyata telah teruji kebenaran dan ketangguhannya dalam pelajaran sejarah.
Karena para esensialis meyakini bahwa manusia,alam jagad raya, dan Tuhan
merupakan tiga hal yang saling terkait dalam peraihan pengetahuan, seperti telah
diungkap didepan , maka Comenius (1592-1670) dalam hal ini pun mengandaikan ,
bahwa membina kesadaran manusia akan alam semesta dan duniannya untuk
membentuk kesadaran spiritual menuju Tuhannya adalah tugas pokok
pendidikan.John Lucke (632-1704) dalam hal ini menyebutkan, bahwa pendidikan
mesti mengutamakan faktor lingkungan dalam pengupayaan penyesuaian manusia
pada hal yang natural dan supranatural.Berdasarkan ini pulalah , maka esensialisme
mengemukakan , bahwa sistem sekolah mesti dengan mengutamakan realitas dunia
dimana ia hidup dan situasi praktis, karena memang pendidikan tidak lain adalah agar
anak-anak didiknya kelak mampu hidup di dalam masyarakatnya.
Untuk memutuskan hakikat belajar yang sesungguhnya esensialisme berupaya
untuk kembali pada psikologi pendidikan tentang pola dan cara manusia dalam
proses perahian pengetahuan melalui aktivitas belajar.Berdasarkan ini para essensialis
memaknai belajar sebagai melatih daya jiwa yang secara potensial sudah ada,seperti
daya pikir, ingat dan perasaan. Belajar bertujuan untuk mengisi subjek mengerti
berbagai realitas, nilai-nilai dan kebenaran baik secara warisan sosial maupun
makrokosmis.Pengenalan warisan masa lampau tersebut menurut Brakley dan Finey
dijadiakan sebagai dasar interpretasi bagi realitas yang ada sekarang.
Para esensialisme juga percaya bahwa proses belajar adalah proses penyesuaian
diri individu dengan lingkungan dalam pola stimulus dan respons.Dalam hal ini tugas
guru adalah sebagai agen untuk memperkuat pembentukan kebiasaan dalam rangka
53
penyesuaian dalam lingkungan tersebut.Berdasarkan konsep ini , para essensialis
sangat yakin, bahwa belajar mesti didasarkan pada disilin kerja keras yang ketat. Hal
ini disebabkan karena proses belajar akan berlangsung baik dengan adanya dedikasi
tinggi untuk meraih tujuan yang lebih jauh.Para esensialis menolak keras konsep
progresivisme yang menekankan pendidikan pada intres personal,Esensialis
memberikan perhatian bukan pada subjek belajar ,tetapi lebih pada subjek kurikulum.
Kurikulum dalam pandangan esensialisme adalah kurikulum yang kaya,bertingkat
dan sistematis yang didasarkan pada suatu kesatuan pengetahuan yang tidak
terjabarkan lagi, pada sikap yang berlaku pada suatu kebudayaan demokratis.
Ulrich menekankan”Core Curriculum”(inti kurikulum)termasuk bahasa asing ,
dalam rangka hubungan internasional ang lebih erat dan luas di masa depan di
samping juga dalam pengertian-pengerian religius untuk memahami alam
semesta .Home menganggap bahwa kurikulum pada dasarnya harus sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan anak.Yang utama adalah kajian-kajian tentang segala hal
yang esensialyang meliputi metode ilmiah dunia organis dan non-organis, lingkungan
manusia, budaya dan alamiah serta apresiasi terhadap seni.Semua itu didasarkan pada
pemikiran kita yang dapat mengerti dan memahami, serta yang dapat merasakan.dan
oleh karena itu harus dipergunakan dengan tepat pada segala sesuatu.
Menurut Brakly, kurikulum terdiri dari serangkaian bahan yang dimulai dari yang
sederhana seperti berhitung dan bahasa , sampai kepada yang lebih
komplit.Thordaik dan Boboit menekankan bahwa kurikulum adalah persiapan tugas
anak di dalam kehidupannya.
Esensialis berkeyakinan , bahwa inisiatif pendidikan tergantung sepenuhnya pada
guru, bukan pada subjek didik.Oleh karna itu , guru mesti mengambil peranan yang
paling besar untuk mengatur dan mengarahkan subjek didik ke arah
kedewasaan.Sedemikian besarnya tanggung jawab dan peranan guru, maka guru
mesti dibekali berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk
menyokong kompetensinya dalam menjalankan tugas.
Para esensialis sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh progresivisme bahwa
belajar tidak akan sukses tanpa didasarkan pada berbagai kapasitas,intres dan tujuan
subjek belajar, namun aliran ini yakin bahwa kesemuannya ini mesti melalui
54
kemampuan dan keterampilan mengajar guru, baik dalam merencanakan atau
mengorganisasikan subjek-subjek materi, maupun dalam memahami proses
pendidikan.Jadi , esensialisme lebih menekankan aspek guru dalam setiap gerak
aktivitas belajar di sekolah.Guru yang berkualitas akan dapat melahirkan subjek didik
berkualitas pula.
Kecuali itu, mengingat belajar dalam aliran esensialisme ini dimaknai dengan
proses asimilasi preskripsi subjek-subjek mattters seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, maka peranan guru memang sangat mendominasi setiap gerak aktivitas
pembelajaran. Esensialis mengakui, bahwa pendidikan dalam hal ini esti menjadikan
subjek-subjek didiknya memiliki kemampuan untuk merealisasikan potensi-
potensinya dan bahkan mengupayakan bagaimana agar mereka menjadi subjek-subjek
yang mandiri dalam menghadapi berbagai problem kehidupannya. Hal ini semakin
nyata dengan konsepnya yang mengaksentuasikan adanya hubungan material manusia
secara luas dengan lingkungan sosial yang mengatur bagaimana ia mesti hidup yang
berkonsekuensi pada perhatiannya yang dalam atas upaya-upaya pendidikan dalam
membentuk subjek-subjek didik yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
kehidupannya. Karena belajar adalah juga menyesuaikan individu-individu belajar
dengan lingkungannya, maka tentu aliran ini mesti juga menempatkan pengalaman
subjek didik dalam lingkungan masyarakatnya, sehingga ketika mereka
menyelesaikan pendidikannya, mereka memiliki kesimpulan mental dalam
menghadapi berbagai problem kehidupannya.
Metode yang paling cocok untuk tujuan di atas, menurut essensialis adalah
melalui metode trdisional, aitu mental discipline method, suatu metode yang
menggunakan pendekatan psikologis pendidikan yang mengutamakan latihan-latihan
berfikir logis, teratur, ajek, sistematis, menyeluruh menuju latihan penarikan
kesimpulan yang baik dan komprehesif.
3) Progresivisme
a) Progresivisme dalam pengertian dan sejarah
Progresivisme dalam bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan
kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan, progresivisme
merupakan suatu aliran yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya
55
pemberian sekumpulan ppengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi
beragam aktivitas yang mengarah pada kemampuan berpikir mereka secara
menyeluruh, sehingga mereka dapat berpikir secara sstematis melalui cara-cara ilmiah
seperti penyediaan ragamdata empilis dan informasi teoritis, memberikan analisis,
pertimbangan, dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling
memungkinkan untuk pemecahan masalah yang tengah dihadapi. Dengan
kepemilikan kemampuan berpikir yang baik, sebjek-subjek didik akan terampil
membuat keputusan-keputusan terbaik pula untuk dirinya dan masyarakatnya serta
dengan mudah pula dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Para progresivis berkeyakinan, bahwa manusia secara alamiah memiliki
kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan atau mengatasi
berbagai problem kehiidupannya menuju siatu perkembangan yang lebih baik, yang
mengarah pada suatu yang progres. Pendidikan dalam hal ini dipandang sebagai suatu
motor bagi penumbuhkembangan kemampuan dasar subjek didik agar mampu
memecahkan kesulitan-kesulitan hidup yang dalam banyak varianya memiliki
hubungan strategis dengan penumbuhan sikap kemandirian subjek didik dalam
pengambilan keputusan berdasarkan cara-cara yang logis dan dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Hanya dengan pemilikian kemampuan-kemampuan inilah
munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan tekhnologi sebagai bukti bagi kemajuan
suatu masyarakat dan sebagai langkah pula bagi kemajuan-kemajuan berikutnya.
Slogan yang pantas untuk aliran ini adalah bahwa dari kepekaan sunjek didik
terhadap berbagai problem yang ada disekitarnya, akan muncul keinginan; dari
keinginan akan muncul kreativitas; daeri kreativitas akan muncul prediksi dan dari
prediksi akan muncul aksi yang akan membawa pada perubahan dan kemajuan-
kemajuan.
Secara historis, progresivisme ini telah muncul pada abad ke-19, namun
perkembangannya secara pesat baru terlihat pada awal abad ke-20, terutaa di Amerika
Serikat. Bahkan pemikiran yang dikembangkan aliran inipun sesungguhnya memiliki
benang merah yang secara tegas dapat dilihat sejak zaman Yunani Kuno, seperti
Heraklitos (+544-454 SM), Protagoras(+480-410 SM), Socrates(+469-391 SM)
dan Aristoteles(384-322 SM). Sebagai sebuah aliaran filsafat pendidikan,
56
progresivisme lahir sebagai protes terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan
konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah diwariskan oleh filsafat
abad ke-19 yang dianggapnyankurang kondusif dalam melahirkan manusia-manusia
yang sejati. Aliran ini memandang bahwa metodologi pendidikan konvensional yang
menekankan pelaksanaan pendidikan melalui pendekatan mental dicpline, passive
learning yang telah menjadi karakteristik pendidikan selama ini tidak sesuai dengan
watak humanitas manusia yang sebenarnya.
Dalam kesejahteraannya, progresivisme muncul dari tokoh-tokoh filsafat
fragmatisme seperti Charles S. Peirc, William James, dan John Dewei ; dan
eksprimentalisme, seperti Francis Bacon. Tokoh lain yang juga memicu lahirnya
aliran ini adalah John Locke dengan ajaran filsafatnya tentang kebebasan politik dan
J.J.Rousseau dengan ajaran-ajarannya yang meyakini bahawa kebaikan berada
dalam diri manusia dan telah dibawanya sejak ia lahir dan oleh karena itu, ia pulalah
yang mesti mempertahankan kebaikan itu agar selalu ada dalam dirinya. Kebaikan
manusia memiliki hubungan signifikan dalam segala ruang gerak kehidupan dalam
diri manusia. Tuhan menganugerahkan manusia freedom sebagai suatu kapasitas yang
akan menggerakkan manusia itu untuk mampu memilih dan menetapkan mana
perbuatan yang baik dan bajik dan mana pula tindakan yang tidak baik dan tidak bajik
untuk dirinya. Bagi J.J.Rousseau, institusi-institusi dan keyakinan-keyakinan ini
memberikan fase-fase awal bagi perkembangan manusia menuju fase-fase yang lebih
tinggi.
Begitu juga Immanuel Kant yang melihat manusia sebagai makhluk yang
memiliki martabat yang tinggi dan Hegel yang mengajarkan bahwa alam bersifat
dinamis dan selalu berada dalam suatu gerak dalam proses perubahan dan
penyesuaian yang tidak ada hentinya. Hukum gerak manusia selalu dalam bentuknya
yang natural dengan gerakan yang pasti mengarah pada perbaikan dan taraf hidup.
Secara gerakan, tokoh-tokoh Amerika seperti Benjamin Franklin, Thomas
Phaine, Thomas Jefersson telah ikit mempengruhi progresivisme dengan sikapnya
menentang dokmatisme dan sikap positif yang menjunjung tinggi individualisme dan
nilai-nilai demokrasi.
57
Di samping tokoh-tokoh di atas, situasi pada saat itu pun turut memengaruhi
perkembangan progrevisme ini. Menurut Theodore Brameld, pengeruh budaya pun
sesungguhnya turut ambil bagian penting dalam perkembangan selanjutnya. Ia
menyatkan secara tegas bahwa diantara faktor kebudayaan yang memengaruhi
perkembangan progresivisme ini antara lain adalah revolusi industri di satu sisi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lainnya.
Pada dasarnya revolusi industri adalah suatu peristiwa sejarah yang mengubah
ekonomi dan mengubah sifat manusia atas alam dalam rangka eksplorasi alam dan
penggunaan tenaga mesin untuk produksi. Secara psikologis hal ini memberikan dasar
bagi kepercyaan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menguasai alam.
Manusia dalam hal ini mulai sensitif atas kebebasan dalam sistem ekonomi yang
didasrkan pada kompetisi persaingan bebas. Cara pandang ini memberi pengaruh
pada proses kehidupan manusia, termasuk didalamnya penyelenggaran pendidikan.
Kecuali itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dimulai
sejak zaman renaissance juga turut ambil bagian dalam membentuk pola pikir
manusia. Munculnya aliran progresivisme ini pun merupakan salah satu jawaban atas
berbagai persoalan yang berkenaan dengan problem pendidikan sebagai upaya
menjadikan manusia sebagai sejatinya.
Dalam konteks pendidikan, perkembangan progresivisme tidak dapat dilepaskan
dari pemikiran Jhon Dewey, karena bagaimana pun juga tulisannya yang berjudul
shcool of tomorrow yang belum diterbitkan sampai tahun 1915 beberapa tahun
sebelum didirikannya asosiasi pendidikan progresis turut ambil bagian dalam proses
sejarah progresivisme. Hal ini semakin nyata dengan pemikirannya yang nyatakan,
bahwa hidup selalu berupa dan selalu menuju pembaharuan-pembahuruan. Oleh
karena itu pendidikan mestilah diaanggap sebagai alat sekaligus juga dilihat sebagai
kebutuhan manusia untuk hidup dan sebagai pertumbuha dari gerak maju suatu
masyarakat. Bagi Jhon Dewey, aktivitas intelegensi manusia akan lebih
manyenangkan jika disentuhkan dengan praktik lian dalam kehidupan ini, yaitu seni.
Seseorang yang menempatkan imaji seninya dalam titik- titik fokus argumentasinya,
maka ia akan dengan mudah pula mengembangkan dirinya dlam pencaria-pencarian
sains. Dan bahkan Jhon Dewey memandang bahwa aktivitas intelek manusia baik
58
dalam proses produktivitasnya konsumsi dan ataupun pada level kritik,
keseluruhannya tidak lain adalah sebagi upaya seni.
Dalam aktivitas gerakan perubahan sosial, progresivisme muncul pada tahun 1930
an. Aliran ini meprlihatkan diri melaui upaya kerja sama Jhon E. Childs, George
Counts dan Boyd H. Bode, namun kemudian untuk beberapa waktu asosiasi
pendidikan progresif ini pun terpaksa dibubarkan. Kegiatannya terlihat kembali
terutama setelah bermunculan karya-karya tokoh kontemporer lainnya seperti George
Axtelle, William O. Stanley, Ernets Bayles, Lawrence G. Thomas, dan Frederick
C. Neff. Oleh karena itu, wajar jika kemudian banyak buku-buku filsafat pendidikan
yang menempatkan tokoh-tokoh terakhir ini sebagai tokoh progresivisme.
b) Landasan Filosofi Progresivisme
Progresivisme beranggapan bahwa kemjuan-kemajuan yang telah dicapai oleh
manusia tidak lain adalah karena kemampuan manusia dalam mengembangkan
berbagai ilmu pengetahuan berdasarkan tat logis dan sistematisasi berpikir ilmiah.
Oleh karena itu, tugas pendidikan adalah melatih kemampuan-kemampuan subjek
didiknya dalam memecahkan berbagai masalah kehidupan yang mengarah pada
pengemabangan ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupannya dalam
masyarakat.
Ilmu pengetahuan diperoleh manusia dari proses interaksinya dengan berbagai
realitas, baik melalui pengalaman langsung maupun tidak langsung. Sebagai
prakmatisme, aliran ini memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang
bermanfaat, karena pengetahuan itu adalah sarana bagi kemajuan manusia. Kendati
pun tokoh-tokoh pragmatis berbeda dalam epitemologi pengembangan pemikirannya,
namun mereka sepakat dalam aksentuasi pemikirannya pada fungsi pengetahuan,
bukan pada hakikat pengetahuan. Pengetahuan adalah sesuatu gambaran yang
diperoleh dari akiabat apa yang ditimbulkan. Nilanya sangat tergantung pada
penerapannya di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, ilmu pengetahuan
disini sangat dinamis dan berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam
masyarakat. Ilmu pengetahuan adalah bukti nyata suatu kemajuan manusia dalam
menjalani kehidupan. Semakin banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dihasilkan oleh manusia maka semakin maju pulalah suatu masyarakat.
59
Aliran ini memandang, bahwa yang riil adalah segala sesuatu yang dapat dialami
dan dipraktikan dalam kehidupan nyata. Manusia adla makhluk fisik yang berevolusi
secara biologis, sosial, dan psikologis karena itu manusia terus menerus akan
berkembang ke arah yang lebih baik dan sempurna. Manusia hidup selalu
menunjukan proses pengembangan, karena memang ia adalah organisme yang aktif,
yang secara terus menerus merekontruksi, menginterprestasi dan mereorganisasikan
kembali berbagai pengalamnnya, sehingga manusia akan selalu menemukan
pengetahuan baru untuk kemajuan dirinya tanpa henti. Jadi, manusia sesuai dengan
hakikatnya ini akan selalu menunjukan ke arah kemajuan. Bahkan dapat dikatakan
bahwa esensi kemanusian tidak lain adalah semangat untuk mengadakan perubahan-
perubahan menuju kemajuan-kemajuan hidup dan oleh karana itu, lembaga
pendidikan mestilah berfungsi sebagai wahana penumbuhkembangan day kreatifitas
subjek didiknya agar memiliki kemampuan dalam mengatasi berbagai problem diri
dan masyarakatnya. Kondisi ini memiliki korelasi dengan kemunculan semangat dan
berbuat dan pembaharuan yang tentu berguna bagi pengembangan diri dan
masyarakatnya. Kondisi ini memiliki korelasi dengan pemunculan semangta berbuat
dan mengadakan pembaruhan yang tentu berguna bagi pengemabngan diri dan
msyarakatnya. Semangat mengadakan pembaharuan ini tidak akan dapat
dikembangan sedemikian rupa oleh dunia pendidikan tanpa memberikan perhatian
penuh pada kemampuan subjek didik secara individu.
Aliaran ini bersikap anti pada sikap otoritarianisme dan absolutisme dalam segala
bentuknya. Hal ini mengingatkan bahwa baginya sikap ini sangat tidak menghargai
kemapuan dasar manusia yang sangat natural akan selalu mampu menghadapi dan
memecahkan berbagai kesulitan hidup.
Progresivisme berpendapat bahwa akal manusia bersifat aktif dan selalu ingin
mencari tahu dan meneliti, sehingga ia tidak mudah menerima begitu saja suatu
pandangan atau pendapat sebelum ia benar-benar membuktikan kebenarannya secara
empiris. Ilmu pengatahuan lahir berdasarkan pada pembuktian-pembuktian di dunia
empiris.
60
c) Pandangan Progresivisme tentang Pendidikan
Asas pokok aliran ini adalah bahwa karena manusia selalu tetap survei terhadap
semua tantangan kehidupannya yang secara praktis akan senantiasa mengalami
kemajuan. Oleh karena itu alairan ini selalau memandang bahwa pendidikan tidak lain
adalah proses perkembangan,sehingga seorang pendidik mesti selalu siap untuk
senantiasa memodifikasi berbagai metode dan strategi dalam pengupayaan ilmu-ilmu
pengetahuan terbaru dan berbagai perubahan-perubahan yang menjadi kecenderungan
dalam suatu masyarakat. Kualitas pendidikan tidak dapat ditentukan semata-mata dari
standarisasi suatu nilai kebaikan, kebenaran ataupun keindahan yang bersifat perenial,
tetapi ditentukan oleh sejauh mana suatu pendidikan itu mampu untuk terus menerus
merekontruksi berbagai pengalaman.
Sebagai sebuah aliran pragmatis, aliran ini mengakui bahwa tidak ada perubahan
dalam setiap realitas yang bersifat permanen. Aliran ini memandang bahwa
pendidikan dalam hal ini mesti dipandang sebagai hidup itu sendiri, bukan sebagai
suatu aktivias untuk yang mempersiapkan subjek-subjek didiknya untuk hidup.
Mengingat kehidupan intelektual manusia selalu berada pada aktivitas interpretasi dan
rekonstruksi berbagai pengalaman, maka pendidikan mesti diarahkan pada
pembentukan situasi yang menumbuhkan kembangan sikap intelektual ini agar ia
dapat melakukan sesuatau yang berguna bagi masa-masa kehidupan setelah ia
dewasa.
Berdasarkan pada pandangan ini pula, maka aliran ini berpendapat bahwa
pendidikan mestilah dimaknai sebagai sebuah proses yang berlandaskan pada asas
pragmatis. Dengan sas ini, pendidikan bertujuan untuk memberikan pengalaman
empiris, kepada anal didik sehingga terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat.
Belajar mesti pula berpusat pada anak didik, bukan pada pendidik. Pendidik progresif
mesti mengiring pemahaman kepada anak didiknya, bahwa belajar adalah suatu
kebutuhan anak didik dan ialah yang ingin belajar. Oleh karena itu, anak didik
progresif mesti selalu mampu menghamburkan apa yang ia pelajari dengan
kehidupannya.
Inti proses pendidikan bagi aliran ini terdapat pada anak didik, karena anak didik
dalam konsepnya adalah manusia yang memiliki potensi rasio dan intelektual yang
61
akan berkembang melalui pengkondisian pendidikan. Anak didik adalah manusia
yang aktif, kreatif dan dinamis dalam menghadapi berbagai problem dalam
lingkungannya. Oleh karena itu, semua aktivitas kependidikan pun mesti diarahkan
pada penyediaan kondisi yang dpat memungkinkan setiap anak secara individu untuk
mengembangkan potensinya. Ini bukan berarti, bahwa anak didik mesti diarahkan
untuk mengikuti keinginan-keinginannya, bila kenyataannya bahwa ia tidak cukup
matang dalam menentukan tujuan-tujuan yang jelas. Kendatipun pada hakikatnya,
anak didik mesti menentukan sendiri proses belajarnya, namun ia bukanlah suatu
penentu fianl. Eksistensinya memerlukan bimbingan dan pengarahan dari para
pendidik.
Aliaran progresivisme beranggapan bahwa belajar adalah suatu proses yang
bertumpu pada kelebihan akal manusia yang bersifat kreatif dan dinamis sebagi
potensi dasra manusia dalam memecahkan berbagai problem kehidupannya. Karena
kehidupan anak selalu bergerak dari pengalaman-pengalaman di lingkungan sekitar,
maka pendidikan menurut aliran ini mestilah dipandang sebagai suatu proses
sosialisasi, yaitu suatu proses pertumbuahan dan pengembangan potensi intelektual
anak melalui berbagai pengalaman yang ada di lingkungan sekitarnya. Proses ini
mesti berlangsung terus menerus sepanjang hayat manusia, karena memnag manusia
selalu berada dalam proses menjadi. Oleh karena itu, sekolah yang ideal menurut
alirannya, adalah sekolah mengaksentuasikan ii pendidikannya pada persoalan-
persoalan yang terdapat di lingkungan masyarakat.
Aliaran progresivisme sangat memberiakan penghargaan yang tinggi terhadap
individualitas anak didik, namun ia pun menjunjung tinggi sikap sosialitas, sehingga
corak aktivitas pembelajaran yang ditonjolkan lebih pada kooperasi dari kompetisi.
Progresivisme tidak menolak nilai suatu kompetisi, karena memang anak-anak didik
memerlukan adanya sikap kompetisi ini dalam rangka pertumbuhan personalitasnya.
Namun demikian aliran ini beranggapan bahwa kooperasi lebih baik dari kompetisi
dalam pembentukan biological dan sosial yang menjadi hakikat kemanusiaan itu
sendiri. Berdasarkan pemikiran inin pulalah mak aliran ini memandang bahwa hanya
melalui corak demokrasilah kebebasan subjek didik dalam mengeluarkan ide dapat
dikembangkan. Dan ini sangat diperlukan untuk membentuk sikap mandiri anak didik
62
dalam memecahkan berbagai problem kehidupannya sebagai langkah penting dalam
pembentukan proses kehidupannya yang penuh dengan dinamiak dan perkembangan.
Jhon Dewey dalam hal ini mengungkapkan bahwa segala aktivitas pendidikan
semestinya berorientasi pada pengembangan nilai-nilai ideal sosial kemsyarakatan
jika menginginkan suatu sistem pendidikan itu eksis dalam kehidupan manusia.
Pendidikan di sini semacam rekayasa sosial menuju ke arah perbaikan-perbaikan,
sehingga perbagai problem sosial semestinya menjadi materi inti bagi setiap program
pendidikan. Bagi Jhon Dewey, agar subjek didik dapat memahami sains dengan baik
maka aktivitas pembalajaran yag disediakan kepada mereka janganlah sekedar
pemberitahuan dan latihan keterampilan saja, tetapi bagaimana materi-materinay
dikemas sedemikian rupa dalam konteks menyenangkan mereka, sehingga mereka
betah dan bertahan lama dalam proses pendidikan itu.
Progresivisme memandang bahwa kurikulum yang paling cocok untuk
kepentingan di atas adalah semacam laboraturium dimana ia terlliahat sebagai sebuah
kegiatan eksperimentasi yang semua kegiatan terinci sedemikian rupa sampai kepada
hal-hal yang sekecil-kecilnya, sehingga mencerminakan sebuah proses yang tidak
terpisah-pisah.
Progresivisme menempatkan pengajaran bahsa asing kuno dan modern sebagai
suatu yang dibutuhkan bagi subjek didik sekolah tingkat didik menengah pertama,
sebab hanya dengan cara demikian cara subjek didik akan dapat menganal duania
seacara biak dan luas. Sedangakan pada tingkat lanjuatan atas, subjek didik perlu
diberikan kelompok pengetahuan logika, tetorika, sastra, dan ilmu pasti; dan
pengetahuan yang akan mengenalkan tokoh-tokoh besar sepanjang erjalan sejarah
dunia. Hal ini sangat dibutukan subjek didik untuk meningkatkan kecerdasan akal
yang hanya dapat dicapai dengan kelompok ilmu pertama untuk mengenal isi hakiki
3) Perenialisme
a) Perenialisme dalam Pengertian dan Sejarah
Perenialisme dengan kata dasarnya perenial, yang berarti continuing throughout
the whole year atau lasting for a very long time, yakni abadi atau kekal yang terus ada
tanpa akhir.
63
Dalam pengertiannya yang lebih umum dapat dikatakan bahwa tradisi dipandang
juga sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus mengalir sepanjang sejarah
manusia, karena ia adalah anugrah Tuhan pada semua manusia dan memang
merupakan hakikat insaniah manusia.
Karena esensi aliran ini berupaya menerapkan nilai-nilai atau norma-norma yang
bersifat kekal dan abadi yang selalu seperti itu sepanjang sejarah manusia, maka
perenialisme dianggap sebagai suatu aliran yang ingin kembali atau mundur kepada
nilai-nilai kebudayaan masa lampau. Kembali kepada masa lampau dalam konteks
aliran ini, bukanlah dalam pengertian bernostalgia dan sekedar mengingat-ingat
kembali pola keidupan masa lalu, tetapi untuk membina kembali keyakinan akan
nilai-nilai asasi masa silam untuk menghadapi problematika kehidupan manusia saat
sekarang dan bahkan sampai kapanpun dan dimanapun.
Perenialisme, sesuai dengan namanya yang berarti segala sesuatu yang ada
sepanjang sejarah manusia, melihat bahwa tradisi perkembangan intelektual yang ada
pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan yang telah terbukti dapat
memberikan solusi bagi berbagai problem kehidupan masyarakat perlu digunakan dan
diterapkan dalam menghadapi alam modern yang sarat dengan problem kehidupan.
Kondisi dunia modern yang sangat mengandalkan rasionalitas empiris-positivistis
yang memandang kebenaran dalam konteksnya yang serba terukur, teramati dan teruji
secara inverensial dan yang melihat realitas sebagai sesuatu yang serba materi, telah
pula memunculkan berbagai problem kemanusiaan, seperti munculnya sikap
ambivalensi yang memcekam dan akan mendatangkan kebingungan,
kebimbangan,kekakuan, kecemasan, ketakutan dalam bertingkah laku, sehingga
manusia hidup dalam ketidakmenentuan dan cenderung kehilangan arah dan jati
dirinya. Pengabaian berpikir logis dalam hal ini telah pula memunculkan
ketidakmampuan manusia melihat pengetahuan yang sebenarnya. Hal ini mengingat
corak kehidupan yag serba rasional bertujuan dengan landasan empiris-positivistis
yang melihat realitas dunia dengan serba objektif dimana kebenaran ilmu berangkat
dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat, telah pula menjadikan
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai orientasi kehidupan.
64
Kondisi dunia yang terganggu oleh budaya yang tak menentu, yang berada dalam
kebingungan dan kekacauan seperti diungkap diatas,memerlukan usaha seris untuk
menyelamatkan manusia dari kondisi yang mencekam dengan mencari dan
menemukan orientasi dan tujuan yang jelas, dan ini adalah tugas utama filsafat
pendidikan. Perenialis dalam hal ini mengambil jalan regresif dengan mengembalikan
arahya seperti yang menjadi prinsip dasar perilaku yang dianut pada masa kuno dan
abad pertengahan.
Perenialisme secara filosofis memiliki dasar pemikiran yang melekat pada aliran
filsafat klasik yang ditokohi oleh Plato, Aritoteles, Augustinus, dan Aquines;
namun menurut Sayyed Husein Nasr, istilah filsafat perenial ini pertama kali
digunakan oleh Augustinus (1497-1548) dalam sebuah karyanya yang berjudul De
Perennia Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540 M. Istilah menjadi lebih
populer ditangan Leibniz yang digunakan dalam suratnya kepada temanya Remundo
yang ditulisnya pada tahun 1715 M. Perenialisme dalam konteks pendidikan ditokohi
oleh Robert Maynard Hutchins, Mortimer J. Adler, dan Sir Richard Livingstone.
Prinsip mendasar perenialis kemudian dikembangkan pula oleh Sayyed Husein
Nasr, serang filsufislam kontemporer, yang mengatakan bahwa mausia memiliki
fitrah yang sama yang berpangkal pada asal kejadiannya yang fitri yang memiliki
konsekuensi logis pada kesucian dan kebaikan. Sifatnya tidak berubah karena prinsip-
prinsipnya mengandung kontinuitas dalam setiap ruang dan waktu menurutnya tradisi
mengisyaratkan kebenaran yang fitri yang langgeng, tetap, abadi dan
kesinambungan, sifatnya tidak akan lenyang bersamaan dengan lenyapnya waktu.
Perenialisme dalam konteks Sayyed Husein Nasr terlihat hendak mengembalikan
kesadaran manusia akan hakikatnya yang fitri akan membuatnya berwatak kesucian
dan kebaikan.
Dalam perjalanan sejarahnya, perenialisme berkembang dalam dua sayap yang
berbeda, dari golongan teologis yang ingin menegakkan suplemasi ajaran agama, dan
dari kelompok yang sekuler yang beregang teguh dengan ajaran Plato dan
Aristoteles
65
b) Landasan Filosofis Perenialisme
Sebagiamana pada perkembangan pemikiran filsafat umumnya, dasar pemikiran
filsafat perenenialisme ini pun terlihat dari keyakinan ontologism mereka tentang
manusia dan alam. Bagi mereka system gerak perkembangan manusia memiliki
hokum natural yang bersifat tetap dan teratur menurut hukum-hukumnya yang jelas
dan terarah.
Aliran ini memandang bahwa hakikat manusia sebagai makhluk rasional yang
akan selalu sama bagi sertiap manusia dimanapun dan sampai kapan pun dalam
pengembangan historisitasnya. Keyakinan ontologism sedemikian, membawa mereka
pada suatu pemikiran, ba\hwa kemajuan dan keharmonisan yang dialami oleh
manusia disuatu masa akan dapat pula diterapkan pada manusia-manusia lain pada
masa dan tempat yang berbeda, sehingga klesuksesan masa lalu dapat pula diterapkan
untuk memecahkan problem masa sekarang dan akan datang bahkan sampai kapan
pun dan dimana pun.
Menurut psikologi Plato, manusia pada hakikatnya memiliki tiga potensi dasar
yaitu nafsu, kemauan ,dan pemikiran. Ketiga potensi ini merupakan asaz bagi
kebagnuan kepribadia dan watak manusia. Ketiga potensi ini akan tumbuh dan
berkembang melalui pendidikan, sehingga ketiganya berjalan secara berimbang dan
harmponis. Manusia yang memilki potensi rasio yang besar akan manusia kelas
pemimpin, kelas social yang tinggi. Manusia yang besar potensi kemampuannya,
akan menjadi manusia-manusia prajurit, kelas manusi-manusia pekeja kelas rakyat
jelata. Pendidikan dalam hal ini hendalah berorientasi pada potensi psikologis
masyarakat, sehingga dapaty mewujudkan pemenuhan kelas-kelas social dalanm
masyarakat tersebut.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh aristoteles dengan mengatakan, bahwa
kebahagiuan hidup sebagai tujuan pendidikan itu sendiri dapat terealisasi jika ketiga
komponern potensi dasarnya terdidik dan berkembang secara seimbang. Harmonisasi
fungsionalitas tiga potensi dasar manusia dalam aktifitasnya merupakan kukci dari
pengembangan kualitas, humanitas dalam hidupnnya. Oleh karena itu, pengisian
pendidikan dalam ketiga aspek ini merupakan suatu peniscayaan. Pendidik bertugas
memberikan bantuan pada subjek-sebjek didiknya untuk mewujudkan potensi-potensi
66
yang ada padanya agar menjadi aktif, nyata dan actual, melalui latihan dan berfiklir
secara baik dan benar. Pendeknya pembinaan dan latihan berfikir merupan teori dasar
pembelajarannya, sehingga demikian mental disiplin merupakan karakteristik pokok
teori belajaran aliran perenialisme.
Aliran ini berkeyakinan, bahwa pendatipun dalam lingkungan dan tempat yang
berbeda-beda, hakikat manusia tetap menunjukkan kesamaannya. Oleh karena itu,
pola dan corak pendidikan yang sama dapat diterapkan kepada siapapun dan dimana
pun dia berada. Menurutnya, setiap manusia memiliki fungsi kemanusiaan yang sama
karena memang terlahir dari hakikat yang sama sebagai makhluk rasional yang sama.
Aliran ini berpendapat, bahwa rasionalitas adalah hukum peretama yang akan tetap
benar disegala zaman dan tempat. Dengan prinsip rasionalitas ini pula perenialiosme
berhadapan dengan persoalan adanya prinsip kesadaran dan kebebasan dalam gerak
kehidupan manusia.
Kesadaran dan kebebasan adalah bukti nyata bagi fungsionalitas rasio manusia,
sebab kekuatan bertindak bebas tergtantung pada kekuatan berfikir, sehingga otoritas
berfikir adalah satu-satunya sumber kemerdekaan. Tugas pendidikan disini adalah
bagaimana menjadikan dan memajukan manusia-manusia yang ada pada suatu
masyarakat sehingga dia menjadi manusia utuh, yaitru manusia yang memiliki
kekuatan berfikir. Pendeknya, hakiukat pendidikan adalah upaya memanusiakan
manusia sebagai manusia yang memiliki kekuatan berfikir.
Pendidikan dalam teori ini dimaknai dalam sebagai suatu aktivitas yang
mengaksentuasikan programnya pada perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan.
Prestasi yang gemilang dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus
diraih oleh manusia dialam modern dan telah menunjuk pada perkembangan tiada tara
dalam peradapan manusia. Prestasi manusia dibidang ilmu pengetahuan dan ilmu
tekhnologi ini akan selalu menunjukkan perkembangannnya dan bahkan tidak dapat
diketahui kapan upaya peraihannya akan berakhir.
Mortimer J. Adler sebagai salah seorang pendukung perenialisme ini mengatakan,
bahwa jika seorang manusia adalah makhluk rasional yang merupakan hakikat yang
senantiasa seperti itu di sepanjang sejarahnya, maka tentulah manusia memiliki
gambaran yang tetpa pula dalam hal program pendidikan dengan tidak mengikutkan
67
peradaban dan masa tertentu. Begitu pula Sayyed Husen Nasr menyebutkan, bahwa
karakteristik khusus manusia tidak lain adalah rasionalitas. Rasionalitas ini
merupakan sifat manusia yang hakiki dengan prinsip dasar ini pulala, maka aliran ini
berpendapat bahwa sesungguuhnya ilmu pengetahuan sebagai produk dan prestasi
manusia dimanapun dan kapan pun selalu akan sama, karena memang bersumber dari
hakikat yang sama.
Dalam hal ini Mortimer J Adler mengungkapkan, bahwa manusia adalah makhluk
rasional yang memilik kemampuan intelekltual yang tampak dalam kapasitasnya
sebagai subjek yang aktif dan dapat melakukan tindakan-tindakan seni, membaca dan
mendengar, menulis dan berbicara suka berfikir. Kecuali itu, mengingat manusia
adalah juga makhluk social, maka kehidupan intelektualnya juga hidup ditengah-
tengah komunitas yang akan menjadi eksis melalui komunikasi.
Aristoteles, sebagai salah satu tokoh yang menjadi rujukan aliran ini menekankan,
bahwa melatih dan membiasakan diri merupakan hal yang mendasar bagi
pengembangan kualitas manusia. Oleh karena itu kesadaran disiplin mesti ditanamkan
sejak dini. [4]
6. Beberapa Aliran Filsafat Pendidikan Modern Ditinjau dari Ontologi, Epistemologi
dan Aksiologi.
Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran
darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan
inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan
demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut
filsafat .Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat
kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap apa
yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-
orang terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan ini agama.
Jika pengetahuan-pegetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode persuasif
digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer, yang diterima
secara umum, dan bersifat eksternal.
Al-Fârâbî menghidupkan kembali klaim kuno yang menyatakan bahwa agama adalah
tiruan dari filsafat. Menurutnya, baik agama maupun filsafat berhubungan dengan
68[4] Muhmiyadeli,2011, FIlsafat Pendidikan ,(Bandung:PT.Refika Aditam), hal 149
realitas yang sama. Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama
melaporkan prinsip-prinsip tertinggi wujud (yaitu, esensi Prinsip Pertama dan esensi dari
prinsip-prinsip kedua nonfisik). Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang
diciptakan demi manusia yaitu,kebahagiaan tertinggi dan tujuan puncak dari wujud-
wujud lain. Tetapi, dikatakan Al-Fârâbî, filsafat memberikan laporan berdasarkan
persepsi intelektual. Sedangkan agama memaparkan laporannya berdasarkan imajinasi.
Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai metode-metode
persuasif untuk menjelaskannya.
Tujuan dari 'tiruan-tiruan' kebenaran wahyu kenabian dengan citra dan lambang telah
dijelaskan sebelumnya. Sifat dari citra dan lambang religius ini membutuhkan
pembahasan lebih lanjut. Menurut Al-Fârâbî, agama mengambil tiruan kebenaran
transenden dari dunia alami, dunia seni dan pertukangan, atau dari ruang lingkup
lembaga sosio-politik. Sebagai contoh, pengetahuan-pengetahuan yang sepenuhnya
sempurna, seperti Sebab Pertama, wujud-wujud malakut atau lelangit dilambangkan
dengan benda-benda terindra yang utama, sempuma, dan indah dipandang. Inilah
sebabnya mengapa dalam Islam, matahari melambangkan Tuhan, bulan melambangkan
nabi, dan bintang melambangkan sahabat nabi.
Fungsi dari tugas-tugas politis seperti raja dengan segenap hierarki bawahannya
berikut fungsi-fungsi kehormatannya memberikan citra dan lambang bagi pemahaman
akan hierarki wujud dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan mengurus alam
semesta. Karya-karya seni dan pertukangan manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan
gerakan kekuatan dan prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya objek-objek
alami. Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang disebut Al-Fârâbî sebagai empat
prinsip wujud, dapat dijelaskan dengan merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan objek-
objek seni. Secara umum, menurut Al-Fârâbî, agama berusaha membawa tiruan-tiruan
kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan esensi mereka.
Dalam Islam, pandangan mengenai perbedaan antara agama (millah) dan filsafat
(falsafah) umumnya diidentifikasi dengan mazhab masysyâ'î ilmuwan filosof di mana
Al-Fârâbî termasuk di dalamnya. Rahman telah memperlihatkan bahwa perbedaan ini
diikuti rumusan terinci menyangkut filsafat agama Yunani-Romawi dalam
perkembangan-perkembangan berikutnya. Namun, gagasan mendasar yang ingin
69
disampaikan melalui perbedaan ini bukan sesuatu yang asing bagi perspektif wahyu
Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para Sufi dalam kerangka perbedaan eksoterik-
esoterik. Gagasan itu berbunyi demikian: kebenaran atau realitas adalah satu namun
pemahamannya oleh pikiran manusia mempunyai derajat kesempurnaan yang bertingkat-
tingkat. Meskipun dia juga seorang Sufi, Al-Farabi di sini berbicara sebagai wakil dari
tradisi filosofis.
Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar
menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat,
yang dipahami sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang
dirumuskan secara bebas; dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total.
Ini sangat jelas tampak dari perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah
yang digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah;
bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak Al-Fârâbî membedakan filsafat secara kontras
tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi eksoterik
tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah daripada dîn.
Millah lebih tepat karena dia mengacu pada komunitas religius di bawah sanksi ilahi
dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau perintah-perintah hukum
moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari tradisi wahyu harus
diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik komunitas religius
ini.
Dalam wacana yang dikutip di atas, Al-Fârâbî tampaknya berpendapat ada dua jenis
filsafat. Jenis pertama, filsafat yang disebutnya filsafat populer, diterima secara umum
dan eksternal. Dari paparannya tentang karakteristik filsafat tersebut dan kalâm,
khususnya penjelasan dalam Ihshâ' al-'ulûm, tidak diragukan bahwa Al-Fârâbî
menganggap kalâm sebagai contoh dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua, filsafat
esoterik yang ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu filsafat yang hanya diperkenalkan
pada mereka yang telah siap secara intelektual dan spiritual. Filsafat dapat digambarkan
sebagai ilmu tentang realitas yang didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan
(al-burhân al-yaqînî), suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual
dan putusan logis (istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat adalah sejenis pegetahuan
70
yang lebih unggul dibanding agama (millah), karena millah didasarkan atas metode
persuasif (al-iqnâ').
Kemudian, bagi Al-Fârâbî, filsafat merujuk pada kebenaran abadi atau kebijaksaaan
(al-hikmah) yang terletak pada jantung setiap tradisi. Ini dapat diidentifikasi dengan
philosophia perennis yang diajarkan oleh Leibniz dan secara komprehensif dijelaskan
dalam abad ini oleh Schuon, Berbicara mengenai beberapa tokoh kuno pemilik
kebijaksanaan tradisional ini. Al-Fârâbî menulis:
Konon, dahulu kala ilmu ini terdapat dikalangan orang-orang Kaldea, yang merupakan bangsa Irak, kemudian bangsa Mesir, dari sini lantas diteruskan pada bangsa Yunani, dan bertahan di situ hingga diwariskan pada bangsa Syria, dan selanjutnya, bangsa Arab. Segala sesuatu yang terkandung dalam ilmu tersebut dijelaskan dalam bahasa Yunani, kemudian Syria, dan akhirnya Arab.
Dikatakan Al-Fârâbî, bangsa Yunani menyebut pengetahuan tentang kebenaran abadi
ini kebijaksanaan "paripuma" sekaligus kebijaksanaan tertinggi. Mereka menyebut
perolehan pengetahuan seperti itu sebagai ilmu', dan mengistilahkan keadaan ilmiah
pikiran sebagai filsafat'. Yang dimaksud dengan yang terakhir ini adalah tidak lain
pencarian dan kecintaan pada kebijaksanaan tertinggi. Menurut Al-Fârâbî, orang-orang
Yunani juga berpendapat bahwa secara potensial kebijaksanaan ini memasukkan setiap
jenis kebajikan. Berdasarkan alasan ini, filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala
ilmu, induk dari segala ilmu, kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan seni dari
segala seni. Maksud mereka sebenarnya, tutur Al-Fârâbî, adalah seni yang
memanfaatkan segala kesenian, kebajikan yang memanfaatkan segala kebajikan, dan
kebijaksanaan yang memanfaatkan segala kebijaksanaan.
Al-Fârâbî agaknya sadar sepenuhnya akan fakta berikut: sementara esensi dari
kebijaksanaan abadi ini satu dan sama dalam setiap tradisi, sejauh ini tidak ditemukan
model pengungkapan yang sama pada tradisi-tradisi ini. Tetapi, Al-Fârâbî tidak
menjelaskan deskripsi cara pengungkapan ini dalam kasus tradisi pra-Yunani. Tetapi dia
menyebut filosof-filosof Yunani, tepatnya plato dan Aristoteles, khususnya lagi
Aristoteles, sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan baru dari
kebijaksanaan kuno ini, berupa pengungkapan dialektis atau logis. Pengetahuan tentang
bentuk-bentuknya baru diwarisi oleh Islam melalui orang-orang Kristen Syria.
Sebagaimana telah kita lihat, Al-Fârâbî mendefinisikan kebijaksanaan tertinggi
sebagai "pengetahuan paling tinggi tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama dari
71
setiap eksistensi sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber dari setiap
kebenaran". Mengikuti Aristoteles, Al-Fârâbî menggunakan istilah filsafat untuk
merujuk pada pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk rasional
serta ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan metafisis yang didasarkan pada
metode demonstrasi yang meyakinkan. Karena itu, filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat
bagian: ilmu-ilmu matematis, fisika (filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang
masyarakat (politik). Perbedaan filsafat-agama oleh Al-Fârâbî dibayangkan dalam
konteks satu tradisi wahyu yang sama. Tetapi perbedaan itu memiliki keabsahan
universal, yang dapat diterapkan bagi setiap tradisi wahyu. Dengan meninjau tiap-tiap
tradisi dalam batas-batas pembagian hierarkis menjadi filsafat dan agama, Al-Farabi
memberikan teori untuk menjelaskan fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama
berbeda itu satu sama lain karena kebenaran-kebenaran intelektual dan spiritual yang
sama bisa jadi memiliki banyak penggambaran imajinatif yang berlainan. Kendati
demikian, terdapat kesatuan pada setiap tradisi wahyu didataran filosofis, karena
pengetahuan filosofis tentang realitas sesungguhnya hanya satu dan sama bagi setiap
bangsa dan masyarakat.
Pada saat yang sama, Al-Fârâbî menyukai gagasan keunggulan relatif satu lambang
religius atas lambang lainnya, dalam pengertian bahwa lambang-lambang dan citra-citra
yang dipakai dalam satu agama lebih mendekati kebeparan spiritual yang hendak
disampaikan-lebih tepat dan lebih efektif-ketimbang yang dipakai dalam agama lainnya.
renting dicatat, Al-Farabi diketahui tidak pernah mencela agama tertentu, meskipun dia
berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra religius agama tersebut tak
memuaskan atau bahkan membahayakan. Tulisnya:
Tiruan dari hal-hal macam itu bertingkat-tingkat dalam keutamaannya; penggambaran imajinatif sebagian dari mereka lebih baik dan lebih sempurna, sementara yang lainnya kurang baik dan kurang sempurna; sebagian lebih dekat pada kebenaran, sebagian lain lebih jauh. Dalam beberapa hal, butir-butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak dapat-diketahui, atau malah sulit berpendapat menentang mereka, sementara dalam beberapa hal lainnya, butir-butir pandangannya banyak atau mudah dilacak, di samping mudah memahami pendapat tentang mereka atau untuk menolak mereka.
Perbedaan filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-Fârâbî, lagi-lagi, menjadi
fokus pemusatan hierarki ilmu dalam pemikirannya. Ketika perbedaan ini diterapkan
baik pada dimensi teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti dikemukakan sebelumnya,
72
kita akan sampai pada hasil yang menyoroti lebih jauh perlakuan Al-Fârâbî terhadap
ilmu-ilmu religius dalam klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu filosofis. Kalâm dan
fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius yang muncul dalam klasifikasinya, Al-Fârâbî
adalah ilmu-ilmu eksternal atau eksoterik dari dimensi-dimensi wahyu secara teoretis
dan praktis. Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan politik (al-'ilm al-madanî) berturut-turut
merupakan mitra filosofisnya.
Dalam proses pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau
para filosof sepanjang kurun waktu dengan objek permasalahan hidup di dunia, telah
melahirkan berbagai pandangan. Pandangan-pandangan filosof itu, adakalanya satu
dengan yang lain untuk bersifat saling kuat menguatkan, tetapi tidak jarang yang berbeda
atau berlawanan. Hal ini disebabkan terutama pendekatan yang dipakai oleh mereka
berbeda, walaupun untuk objek permasalahan sama; karena perbedaan dalam sistem
pendekatan itu, maka kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda pula. Selain itu,
faktor zaman dan pandangan hidup yang melatarbelakangi mereka, serta tempat di mana
mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.
Filsafat pendidikan dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pendangan atau aliran.
Pemikiran filsafat tidak pernah mandeg, maka keputusan atau kesimpulan yang
diperoleh pun tidak pernah merupakan kesimpulan final. Oleh sebab itu, dunia
percaturan filsafat pendidikan seringkali hanya berkisar pada permasalahan yang itu-itu
juga, baik sebagai bentuk persetujuan ataupun penolakan terhadap kesimpulan yang ada.
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan.
Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman
pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu
pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek
kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau
diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga
masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik. Ontologi memiliki arti ilmu hakikat
yang menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Ontologi
berupaya mengetahui tentang hakikat sesuatu. Anatara lain ingin mengetahui, bagaimana
realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal
73
tanpa perubahan, apakah realita berbentuk unsur yang banyak. Ontologi dibatasi adanya
mutlak, keterbatasan, umum, khusus.
Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan
jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia itu adalah
hasil dari benda atau diperiksa, diselidiki dan akhirnya diketahui (obyek), manusia juga
melakukan berbagai pemeriksaan dan penyelidikan dan akhirnya mengetahui (mengenal)
benda atau hal yang telah diselidiki tadi (subyek). Epistemologi membahas sumber,
proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan
dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya. Inti
dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskaan objek
formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan
menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgai ilmu otonom yang mempunyi
objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan
pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara
koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).
Aksiologi menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan, apakah yang baik atau
bagus itu. Definisi lain mengatakan aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan
mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya,
membinanya di dalam kepribadian anak. (Ibid, 1986: 95). Ada 3 dasar pandangan filsafat
yang bersifat aksiologis dan berlaku universal yaitu: (1) sosialitas, (2) individualitas, dan
(3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional
didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran
nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4)
religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurang-kurangnya secara mikro
berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar
kepada Allah swt.
Dalam filsafat pendidikan modern dikenal beberapa aliran, yakni:
1. Aliran Progressivisme, yaitu aliran yang mengakui dan berusaha mengembangkan
asas progressivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan manusia.
74
2. Aliran essensialisme, adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan
yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Essensialisme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama
yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
3. Aliran Perennialisme, yaitu suatu aliran yang memandang pendidikan itu sebagai
jalan kembali yakni sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang ini
terutama pendidikan zaman sekarang dikembalikan kemasa lampau. Perennialisme
merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya
itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk
bersikap yang tegas dan lurus.
7. Hubungan antara Filsafat, Manusia dan Pendidikan
Jika kita mendengar kata filsafat maka konotasi kita akan segera pada sesuatu yang
bersifat prinsip yang juga sering dikaitkan pada suatu pandangan hidup yang
mengandung nilai-nilai dasar. Pada hakekatnya filsafat adalah hasil usaha manusia
dengankekuatan akal budinya untuk memahami sacara radikal, integral, dan universal
tntang hakikat sarwa yang ada (hakikat Tuhan, alam, dan hakikat manusia), serta sikap
manusia termasuk dari konsekwensi dari pemahamannya tersebut (Ashari, 1984: 12),
dan manusia tentu mempersoalkan dirinya sendiri, siapakah sebenarnya “aku” ini?
(Salam. 1988: 12).
Pendidikan sangat erat hubungannya dengan filsafat. Filsafat pendidikan pada
hakikatnya merupakan suatu penerapan prinsip-prinsip filsafat ke dalam pendidikan.
Sebagaimana halnya, filsafat sebagai landasan untuk mempelajari guna memahami
filsafat pendidikan.
Menurut F.H. Sulaiman, pendidikan merupakan konsekuensi logis dari filsafat. Sorang
filosof selalu berusaha menyebarluaskan paham dan prinsip yang dianut dan untuk
mencapai maksud itu digunakan sarana pendidikan. Filsafat dan pendidikan tidak dapat
dipisahkan, keduanya saling bergantung. Pendidikan menyebarluaskan filsafat dan
mengajarkan kepada orang lain, sedangkan filsafat berperan mengarahkan tujuan sistem
pendidikan, merumuskan sarana dan metode guna mencapai tujuan tersebut.
Jika kita berbicara hubungan filsafat dengan pendidikan berarti kita berbicara adanya
pemikiran filsafat dalam pendidikan sebagai jembatan yang dapat menghubungkan
75
antara filsafat dengan pendidikan. Hal ini kita harus mengakui bahwa filsafat
memberikan pendangan terhadap pendidikan di satu pihak dan adanya aspek dalam
pendidikan yang memerlukan pemikiran filsafat di pihak lain.
Para filsuf berusaha mencari inti alam sehingga mereka disebut filsuf alam dan
filsafatnya dinamai filsafat alam. Filsafat mereka dapat dikatakan suatu pemikiran
pendidikan. Karena ahli pikir berusaha mencari intisari alam melalui pikiran . Adapun
filsuf-filsuf tersebut antara lain :
a. Thales (624-548), berpendapat bahwa dasar pertama atau intisari alam ialah air.
b. Anaximenes (590-528), mengatakan bahwa intisari alam atau dasarnya pertama ialah
udara, karena udaralah yang meliputi seluruh alam serta udara pulalah yang menjadi
dasar hidup bagi manusia yang amat diperlukan untuk bernafas.
c. Piatgoras (523), menurutnya dasar sesuatu ialah bilanga. Orang tahu dan mengerti
bilangan, tahu juga segala sesuatunya. Ia juga berpendapat bahwa manusia adalah
sesuatu yang bukan jasmani dan tak dapat mati, terus ada, jika sudah tak ada.
Pitagoras seorang ahli ilmu pasti dan ahli musik, penyelidikan alamnya memang
mendalam serta besar pengaruhnya dalam lingkungan ahli pikir zaman itu dan
kemudian.
d. Herakleitos (532-475) mengatakan bahwa di dunia ini segala sesuatu-Nya berubah.
Disimpulkan pula bahwa yang menjadi gerak, perubahan atau menjadi. Semuanya
bebas tak ada yang tetap, pendapat ini dirumuskan dengan istilah “panta rhei” sebab
itu filsafat Herakleitos disebut filsafat menjadi.
e. Parmenides (540-475), mengatakan bahwa pengetahuan itu ada dua yaitu
pengetahuan sebenarnya dan pengetahuan semu. Maka itu pengatahuan yang tetap
dan umum yang dapat dipercaya, kalau ia benar maka sesuai realitas. Sebab yang
realitas bukan yang berubah, melainkan yang tetap.
Perkembangan filsafat amat pesat diminati orang, karena minat terhadap kebijaksanaan
tinggi dan hendak memberikan kebijaksanaan kepada orang lain, sehingga sekarang ini ahli
pikir memang mencari kebenaran bukan mencapai kebenaran. Mereka berfilsafat demi
kebanaran.
Ada beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontologi,
epistemologi, dan aksiologi, yakni:
76
1. Ontologi
Ontologi sering diidentikkan dengan metafisika yang juga sering disebuty dengan
Proto-filsafat atau filsafat yang pertama (ketuhanan) yang bahasanya adalah hakikat
sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan
segala sifatnya.
Untuk mengetahui realita semestaini di dalam ruang lingkup ontologi secara jelas,
disini dibedakan antara metafisika dengan kosmologi:
a. Ontologi, secara etimologi yag berarti di balik atau dibelakan fisika, maka yang
diselidiki adalah hakikat realita menjangkau sesuatu dibalik realita karena
metafisika ingin mengerti sedalam-dalamnya.
b. Kosmologi tentang realita. Kosmos yakni tentang keseluruhan sistem semesta raya
dan kosmologi terbatas pada realita yang lebih nyata dalam arti alam fisika
yangmaterial dalam memperkaya kepribadian manusia di dunia tidaklah di alam
raya dan isinya.
Menurut Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang
dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya
diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya
mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak
lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data dan
fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu.
Filsafat sebagai latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala
macam pandangan yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita
disuruh membangun masyarakat, filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan
yang misalnya hanya mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu
memang bukan hanya rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya
mengenai prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana
pembangunan itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk
merasa bahagia. Dan kalau pelbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan
sesuatu kepada kita, filsafat dapat membantu kita dalam mengambil sikap yang dewasa
dengan mempersoalkan hak dan batas mereka untuk mewajibkan sesuatu. Terhadap
ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Atau orang yang mau
77
mengekang kebebasan kita atas nama Tuhan yang Mahaesa, filsafat akan menarik
perhatian kita pada fakta bahwa yang mau mengekang itu hanyalah manusia saja yang
mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik dengan suara manusia
begitu saja. Dan kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan segala nilai pada
kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada seorang filsuf yang dua ribu
tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato, dan bagaimana dia dilawan oleh
seorang filsuf lain jaman itu, Aristoteles" (Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat Dari
Konteks, Jakarta, Gramedia, 1999).
Untuk menutup pemahaman awal kita mengenai terminologi "filsafat", baiklah
dicatat nuansa perbedaan arti "filsafat" dengan istilah-istilah yang hampir serupa
dengan ini, yakni "falsafah", "falsafi" atau "filsafati", "berpikir filosofis" dan
"mempunyai filsafat hidup" yang sering kita dengar, kita baca, atau bahkan mungkin
kita pakai dalam hidup keseharian kita. "Falsafah" itu tidak lain filsafat itu sendiri.
"Falsafi" atau "filsafati" artinya: "bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat".
"Berpikir filosofis", sesungguhnya begini: berpikir dengan dasar cinta akan
kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang muncul sebagai hasil dari usahanya
untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikir benar saja ternyata belum
mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah tindakan yang jahat.
Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun diketahuinya itu jahat, namun ia
tidak menghendaki untuk tidak melakukannya. Cara berpikir yang filosofis adalah
berusaha untuk mewujudkan gabungan antara keduanya, berpikir benar dan
berkehendak baik. Sedangkan, "mempunyai filsafat hidup" mempunyai pengertian yang
lain sama sekali dengan pengertian "filsafat" yang pertama. Ia bisa diartikan
mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu.
Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat bahwa "tujuan menghalalkan cara".
Sekarang kita melangkah untuk melihat lebih dekat tentang hubungan antara
filsafat, ilmu dan agama. Masalah tentang hubungan antara ketiganya adalah suatu
masalah yang sering dipersoalkan. Ada yang menyatakan pendapat bahwa filsafat
hendak menyaingi sains dan agama, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi saling
curiga mencurigai antara ketiganya, yang tak jarang merugikan bagi kepentingan
pencarian akan kebenaran itu sendiri.
78
2. Epistemologi
Epistemologi pertama kali di pakai oleh J.F. Farier di abad ke 19 di dalam Istitut Of
Metaphisics (1854). Pencipta sesungguhnya adalah Plato sebab beliau telah berusaha
membahas pertanyaan dasar, seperti apakah panca indera dapat memberikan
pengetahuan. Dapatkah akal menyediakan ilmu pengetahuan. The Encylopedia of
Pholosophy memdefenisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang bersangkutan
dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-anggapan dan dasar-dasarnya
serta realitas umum Epistemologi ini adalah nama lain dari logika material atau logika
mayor yang membahas dari isi pikiran manusia yakni pengetahuan (Dardini, 1986:18).
Defenisi lain dari, epistemologi ialah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita
mengetahui tentang benda-benda. Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia
memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut
epistemologi, setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari benda atau diperiksa,
diselidiki dan akhirnya diketahui (objek). Kemudian, epistemologi membahas sumber,
proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kebenaran
kepada murid-muridnya (Noor Syam, 1986: 32)
Pendekaatan fenomenologis lebih bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi
dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena
itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai
pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya
pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk
mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka
vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan
seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan
penelitian ex post facto.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam
menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan
ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgai ilmu
otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak
dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell &
79
Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara
korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall
&Buchler,1942).
3. Aksiologi
Dalam pembahasan mengenai aksiologi, maka manusia diperhadapkan pada sebuah
pertanyaan: Apakah kegunaan ilmu bagi manusia? Tak dapat disangkal bahwa ilmu
telah banyak merubah dunia dalam memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan
berbagai wajah kehidupan yang duka. Namun demikian, apakah ilmu selalu merupakan
berkat dan penyelamat bagi kehidupan manusia? Memang, dengan jalan mempelajari
atom, manusia bisa memanfaatkan wujud tersebut sebagai sumber energi bagi
keselamatannya, tetapi dipihak hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa
manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.
Untuk mengaplikasikan ilmu itu dalam kehidupan manusia dengan memperhatikan
perkembangan dan pertumbuhannya, maka dapat diketahui bahwa kecenderungan ilmu
itu selalu dikaitkan dengan sesuatu tujuan.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki fungsi sebagai sarana, di
samping memberikan kemudahan bagi hidup dan kehidupan umat manusia sebagai
sebuah berkah, juga sekaligus mambawa kutuk yang berupa malapetaka. Jadi, tujuan
ilmu di suatu ketika membawa dampak yang positif dan pada ketika yang lain
membawa dampak yang negatif bagi kehidupan manusia.
Dampak ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perspektif sejarah kemanusia, maka
dapat ditemukan bahwa kegunaan ilmu itu bukan saja untuk menguasaai alam
sebagaimana adanya, tetapi juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasainya.
Oleh karena itu, maka untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran ilmu itu,
diperlukan keberanian moral dan tanggung jawab sosial ilmuan agar produk keilmuan
mereka itu dapat sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi
juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai
proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan
tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai
80
ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek
mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang
positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai
mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan
tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan
pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu
sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian
dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya
dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di
Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada
ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu
terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
Aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (volume). Brameld
membedakan tiga bagian dalam aksiologi, yaitu:
1. Moral Conduct, tindakan moral; bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika.
2. Esthetic Ekspresion, ekspresi keindahan; yang melahirkan estetika.
3. Socio-political Life, kehidupan sosio-politik, bidang ini melehirkan ilmu filsafat
sosio-politik (Syam, 1986: 34-36).
Nilai dan implikasi aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan
mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kegidupan manusia dan membinanya di
dalam kepribadian anak. Karena untuk mengatakan sesuatu itu berniali baik, bukanlah
suatu yang mudah. Apalagi menilai dalam arti yang mendalam untuk membina dalam
kepribadian ideal.
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Hakikat
berarti adanya berbicara mengenai apa manusia itu, ada empat aliran yang dikemukakan
yaitu: aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, aliran eksistensialisme.
Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau
materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka manusia
adalah zat atau materi (ibid, 1991).
81
Aliran serba ruh berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah
ruh, juga hakikat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di atas
dunia ini. Fiche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain yang rupanya ada dan hidup
hanyalah suatu jenis perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari ruh . Dasar pikiran
aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi.
Aliran dualisme menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua
subtansi yaitu jasmani dan rohani. Kedua subtansi ini masing-masing merupakan unsur asal,
yang adanya tidak tergantung satu sama lain.
Aliran eksistensialisme memandang manusia dari sudut serba zat atau serba ruh atau
dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri
ddunia ini. Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia merupakan kaitan
antara badan dan ruh.
Sistem adalah merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling
bertautan, yang tergabung menjadi suatu keseluruhan. Nilai merupakan suatu norma tertentu
yang mengatur ketertiban kehidupan sosial.
Niali adalah sesuatu yang selalu muncul apabila manusia sebagai makhluk sosial
mengadakan hubungan sosial atau dengan kata lain hidup bermasyarakat dengan manusia
lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh aliran Progressivisme “masyarakat
menjadi wadah nilai-nilai”. Secara umum, Scope menguraikan bahwa nilai adalah tak
terbatas. Maksudnya bawa segala sesuatu yang ada dalam raya ini adalah bernilai namun
kalau kita lihat kembali bahwasanya, nilai adalah bagian dari filsafat pendidikan yang
dikenal dengan aksiologi.
Filsafat sebagai ilmu yang mengadakan tinjauan dan mempelajari objeknya dari sudut
hakikat juga mengadakan tinjauan dari segi sistemantik, artinya tinjauan dengan
memperoleh pandangan mengenai problem-problemnya yang utama dan lapangan
penyelidikannya yang saling berhubungan.
Filsafat sebagai ilmu dalam tinjauan dari segi sitematik, maka filsafat berhadapan
dengan tiga problem utama, yakni:
1. Realita, ialah mengenai kenyataan, yang selanjutnya menjurus kepada masalah
kebenaran. Kebenaran akan timbul bila orang telah dapat menarik kesimpulan bahwa
pengetahuan yang telah dimiliki ini telah nyata.
82
2. Pengetahuan, ialah yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apa hak
pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan itu, dan jenis-
jenis pengetahuan.
3. Nilai, yang dipelajari oleh oleh cabang filsafat yang disebut aksiologi. Pertanyaan
dicari jawabnya antara lain adalah seperti: nilai-nilai yang bagaimanakah yang
dikehendaki oleh manusia dan yang dapat digunakan sebagai dasar hidupnya.
Uraian di atas jika dipahami lebih jauh memberikan pengertian bahwa filsafat
mencakup nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam perbuatan,
terutama dalam pekerjaan mendidik. Atau dengan kata lain, mendidik tidak lain adalah
merealisasikan nilai-nilai yang dimiliki guru selama nilai-nilai tersebut tidak bertentangan
dengan hakikat anak didik.
Nilai-nilai dalam pendidikan adalah bersumbar pada filsafat atau ajaran filsafat yang
telah berakar dalam sosio-kultural atau kepribadian suatu bangsa yang akan tumbuh sebagai
realita dan filsafat hidup. Jadi, jelaslah bahwa ide-ide filsafat menetukan pendidikan. Dan
jika masalah pendidikan adalah merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan
hidup dan kehidupan manusia, berarti masalah kependidikan juga mempunyai ruang lingkup
yang luas yang di dalamnya terdapat masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan juga
menghadapi persoalan-persoalan yang tidak mungkin dijawab dengan menggunakan analisa
dan pemikiran yang mendalam atau analisa secara filosofis pula.
D. Filsafat Ilmu
1. Pengertian Ilmu dan Filsafat Ilmu
Sebelum membahas apa itu filsafat ilmu akan diabahas terleih dahulu apa itu ilmu? Kata
ilmu dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui.Dalam
kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan,
dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.
Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam
alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu
diperoleh dari keterbatasannya.
83
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan
pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji
dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut
filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan
yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang
bahani (material saja), atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika
lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret.
Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak
matahari dan bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi cocok menjadi
perawat.
Banyak definisi dari para ahli tentang apa pengertian dari ilmu itu sendiri. Beberapa
pengertian ilmu menurut para ahli adalah sebagai berikut :
1. M. IZUDDIN TAUFIQ
Ilmu adalah penelusuran data atau informasi melalui pengamatan, pengkajian dan
eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat, landasan dasar ataupun asal usulnya.
2. THOMAS KUHN
Ilmu adalah himpunan aktivitas yang menghasilkan banyak penemuan, bail dalam
bentuk penolakan maupun pengembangannya.
3. Dr. MAURICE BUCAILLE
Ilmu adalah kunci untuk mengungkapkan segala hal, baik dalam jangka waktu yang
lama maupun sebentar.
4. NS. ASMADI
Ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang padat dan proses mengetahui melalui
penyelidikan yang sistematis dan terkendali (metode ilmiah).
5. POESPOPRODJO
Ilmu adalah proses perbaikan diri secara bersinambungan yang meliputi
perkembangan teori dan uji empiris.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa
penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai
84
ilmu[4]. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam
yang telah ada lebih dahulu.
1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang
sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat
bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji
objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek,
sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau
subjek penunjang penelitian.
2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan
terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara
tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani
“Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang
digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek,
ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga
membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun
secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat
umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya
universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari
kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam
mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat
universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
Selanjutnya jika dikaitkan dengan filsafat, para ahli juga meberikan berbagai definisi
tentang apa itu filsafat ilmu. Berikut beberapa definisi para hali tentang pengertian filsafat
ilmu:
1. Robert Ackerman
Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat
ilmiah dewasa ini dengan perbandingn terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah
85
dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-
pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu demikian bukan suatu cabang yang bebas dari
praktek ilmiah senyatanya.
2. Peter Caws
Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang
filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia.
3. Lewis White Beck
Filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta
mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
4. John Macmurray
5. Filsafat ilmu terutama bersangkutan dengan pemeriksaan kritis terhadap pandangan-
pandangan umum, prasangka-prasangka alamiah yang terkandung dalam asumsi-asumsi
ilmu atau yang berasal dari keasyikan dengan ilmu.
Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana
teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini,
ilmu menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk
mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat.
2. Aliran- aliran Filsafat Ilmu
1) Empirisme
Salah satu konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme, atau ketergantungan
pada bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari
pengalaman yang kita alami selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus
berdasarkan dari pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji
dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah
pengamatan dan eksperimentasi ini dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang
konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk
mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam.
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua
pengetahuan berasal dari pengalaman manusia dan mengecilkan peranan akal.
Empirisme dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman.
86
Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme
berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh
melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu
mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang
sesuai dengan pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah
membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Paham empirisme ini
mempunyai ciri-ciri pokok yaitu:
a. Teori tentang makna
Teori pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal
pengetahuan yaitu asal usul ide atau konsep. Pada abad pertengahan, teori ini
diringkaskan dalam rumus Nihil Est in Intellectu Quod Non Prius Feurit in Sensu
(tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Pernyataan
ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya “An Essay Concerning
Human Understanding” yang dikeluarkan tatkala ia menentang ajaran ide bawaan
(Innate Idea) kepada orang-orang rasional. Jiwa (Mind) itu tatkala dilahirkan
keadaannya kosong laksana kertas putih yang belum ada tulisan di atasnya dan setiap
ide yang diperolehnya mestinya datang melalui pengalaman, yang dimaksud di sini
adalah pengalaman indrawi. Hume mempertegas teori ini dalam bab pembukaan
bukunya “Treatise of Human Nature (1793)” dengan cara membedakan antara ide dan
kesan. Semua ide yang kita miliki itu datang dengan kesan-kesan, dan kesan itu
mencakup penginderaan, passion dan emosi.
b. Teori pengetahuan
Menurut rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tertentu
mempunyai sebab, dasar-dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika dan
kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah
kebenaran a priori yang diperoleh keluar intuisi rasional. Empirisme menolak hal
demikian karena tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang
disebut tadi adalah kebenaran kebenaran yang diperoleh lewat observasi, jadi ia
kebenaran posteriori.
87
Poedjawijatna (1997:105) menyatakan bahwa empirisme berguna dalam filsafat pada
umumnya karena dengan empirisme ini filsafat memperhatikan lebih cermat lagi manusia
sebagai keseluruhan. Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:
a. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami.
b. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau
rasio.
c. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
d. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung
dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
e. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa
acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi
mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
f. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan.
Dari beberapa pandangan mengenai paham empirisme tersebut diatas, menurut penulis
empirisme adalah yang suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman
dalam memperoleh pengetahuan. Sehingga setiap orang yang menyatakan telah memiliki
pengetahuan dia harus bisa membuktikan apa itu pengetahuan berdasarkan pengalaman
yang dapat di ketahui oleh indra manusia
2) Rasionalisme
Rasionalisme adalah mashab filsafat ilmu yang berpandangan bahwa rasio adalah
sumber dari segala pengetahuan. Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada
intelektualitas. Strategi pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian,
adalah mengeksplorasi gagasan dengan kemampuan intelektual manusia.
Sejak abad pencerahan, rasionalisme diasosiasikan dengan pengenalan metode
matematika (Rasionalisme continental). Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah
Descartes, Leibniz dan Spinoza.
Benih rasionalisme sebenarnya sudah ditanam sejak jaman Yunani kuno. Salah satu
tokohnya, Socrates, mengajukan sebuah proposisi yang terkenal bahwa sebelum manusia
88
memahami dunia ia harus memahami dirinya sendiri. Kunci untuk memahami dirinya itu
adalah kekuatan rasio. Para pemikir rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para
filosof diantaranya adalah membuang pikiran irasional dengan rasional. Pandangan ini
misalnya disokong oleh Descartes yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya
didapat dengan menggunakan rasio. Tokoh lain, Baruch Spinoza secara lebih berani
bahkan mengatakan : “God exists only philosophically” (Calhoun, 2002).
Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan
modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Hasil-hasil teknologi
era industri dan era informasi tidak dapat dilepaskan dari andil rasionalisme untuk
mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.
Pengertian lain rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang
menyatakan bahwa kebenaran ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang
berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme
mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme,
dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus
sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada
perbedaan dengan kedua bentuk tersebut: Humanisme dipusatkan pada masyarakat
manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih
penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang
dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik. Atheisme adalah suatu
keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak
menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak
kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang
kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar konteks religius, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum,
umpamanya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini,
yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap
perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang
dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme
89
modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang
diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan
rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan,
suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.
Latarbelakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri
dari segala pemikiran tradisional (scholastic), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak
mampu mengenai hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Para tokoh aliran
Rasionalisme diantaranya adalah :
1) Rene Descartes ( 1596- 1650 M )
Descartes disamping tokoh rasionalisme juga dianggap sebagai bapak filsafat,
terutama karena dia dalam filsafat-filsafat sungguh-sungguh diusahakan adanya
metode serta penyelidikan yang mendalam. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan
ilmu kedokteran.
Ia yang mendirikan aliran Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang
dapat dipercayai adalah akal. Ia tidak puas dengan filsafat scholastik karena dilihatnya
sebagai saling bertentangan dan tidak ada kepastian. Adapun sebabnya karena tidak
ada metode berpikir yang pasti.Descartes merasa benar-benar ketegangan dan ketidak
pastian merajalera ketika itu dalam kalangan filsafat. Scholastic tak dapat memberi
keterangan yang memuaskan kepada ilmu dan filsafat baru yang dimajukan ketika itu
kerapkali bertentangan satu sama lain. Descartes mengemukakan metode baru yaitu
metode keragu-raguan. Seakan- akan ia membuang segala kepastian, karena ragu-ragu
itu suatu cara berpikir. Ia ragu- ragu bukan untuk ragu-ragu, melainkan untuk
mencapai kepastian. Adapun sumber kebenaran adalah rasio. Hanya rasio sejarah yang
dapat membawa orang kepada kebenaran. Rasio pulalah yang dapat memberi
pemimpin dalam segala jalan pikiran. Adapun yang benar itu hanya tindakan budi
yang terang-benderang, yang disebutnya ideas claires et distinctes. Karena rasio saja
yang dianggap sebagai sumber kebenaran, maka aliran ini disebut Rasionalisme.
2) Spinoza (1632- 1677 M)
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 M. Nama aslinya adalah barulah Spinoza ia
adalah seorang keturunan Yahudi di Amsterdam. Ia lepas dari segala ikatan agama
maupun masyarakat, ia mencita- citakan suatu sistem berdasrkan rasionalisme untuk
90
mencapai kebahagiaan bagi manusia.menurut Spinoza aturan atau hukum ynag
terdapat pada semua hal itu tidak lain dari aturan dan hukum yang terdapat pada idea.
Baik Spinoza maupun lebih ternyata mengikuti pemikiran Descartes itu, dua tokoh
terakhir ini juga menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam metafisika, dan
kedua juga mengikuti metode Descantes.
3) Leibniz
Gottfried Eilhelm von Leibniz lahir pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun
1716 M. ia filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarawan. Lama menjadi
pegawai pemerintahan, pembantu pejabat tinggi Negara. Waktu mudanya ahli piker
Jerman ini mempelajari scholastik. Ia kenal kemudian aliran- aliran filsafat modern
dan mahir dalam ilmu. Ia menerima substansi Spinoza akan tetapi tidak menerima
paham serba Tuhannya (pantesme). Menurut Leibniz substansi itu memang
mencantumkan segala dasar kesanggupannya, dari itu mengandung segala
kesungguhan pula. Untuk menerangkan permacam- macam didunia ini diterima oleh
Leibniz yang disebutnya monaden. Monaden ini semacam cermin yang
membayangkan kesempurnaan yang satu itu dengan cara sendiri.
3) Realisme
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah
terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan
demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim
idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan
teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks
pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu
observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam
konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara
teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi secara langsung.
Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi
nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia.
Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern dari pendekatan pengetahuan versi
Kantianism fenonomologi sampai pendekatan struktural (Ibid, 2002). Mediasi bahasa
91
dan kesadaran manusia yang bersifat nyata inilah yang menjadi ide dasar ‘Emile
Durkheim’ dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial. Dalam area linguistik atau
ilmu bahasa, de Saussure adalah salah satu tokoh yang terpengaruh mengadopsi
pendekatan empirisme Durkheim. Bagi de Saussure, obyek penelitian bahasa yang
diteliti diistilahkan sebagai ‘la langue’ yaitu simbol-simbol linguistic yang dapat
diobservasi (Francis & Dinnen, 1996)
Ide-ide kaum realis seperti ini sangatlah kontributif pada abad 19 dalam
menjembatani antara ilmu alam dan humaniora, terutama dalam konteks perdebatan
antara klaim-klaim kebenaran dan metodologi yang disebut sebagai ‘methodenstreit’
(Calhoun, 2002). Kontribusi lain dari tradisi realisme adalah sumbangannya terhadap
filsafat kontemporer ilmu pengetahuan, terutama melalui karya Roy Bashkar, dalam
memberikan argument-argument terhadap status ilmu pengetahuan spekulatif yang
diklaim oleh tradisi empirisme.
4) Idealisme
Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin
tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia.
Dengan kata lain kategori dan gagasan eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih
dahulu sebelum adanya pengalaman-pengalaman inderawi. Pandangan Plato bahwa
semua konsep eksis terpisah dari entitas materinya dapat dikatakan sebagai sumber dari
pandangan idealism radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis demarkasi
yang jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan materialis. Aritoteles menjadi
orang yang memberikan tantangan pemikiran bagi gagasan-gagasan idealis Plato.
Aristoteles mendasarkan pemikiran filsafatnya berdasarkan materi dan fisik.
Salah satu sumbangan dari tradisi filsafat idealisme adalah pengaruh idealism
platonic dalam agama kristen. Dalam Perjanjian Baru terdapat gagasan yang diagungkan,
yakni “Permulaan adalah kata-kata” (Ibid, 2002). Pada gilirannya, dalam sejarah,
pemikiran Kristen turut memberikan andil dalam membentuk tradisi idealis terutama
gagasan-gagasan dari Sain Augustine dengan pengembangan konsep penyucian jiwa.
Selain Kristen, pemikiran yang turut memberikan saham bagi tradisi idealis adalah
mistisisme Yahudi, mistisisme Kristen dan pengembangan pemikiran matematika oleh
92
bangsa-bangsa Arab. Gerakan-gerakan pemikiran inilah yang kemudian membentuk
dialektika modern antara idealisme dan materialism sejak era renaisans.
Sumbangan idealism terhadap ilmu pengetahuan modern sangatlah jelas. Ilmu
pengetahuan modern diniscayakan oleh kohesi antara bukti-bukti empiris dan formasi
teori. Kaum materialis mendasarkan pemikirannya pada bukti-bukti empiris sedangkan
kaum idealis pada formasi teori. Sebagai sebuah tradisi filosofi, idealisme tak bisa
dipisahkan dengan gerakan Pencerahan dan filsafat Pasca Pencerahan Jerman. Salah satu
tokoh pemikir idealis yang tersohor adalah Immanuel Kant. Melalui bukunya “Critique of
pure reason” yang diterbitakan tahun 1781, Kant menentang pendapat tradisi tokoh
empiris seperti David Hume dan lain-lainnya. Kant mengatakan bahwa pengetahuan dan
pemahaman dunia memerlukan kategori dan pandangan yang berada dalam ruang
kesadaran manusia (ibid, 2002). Gagasan Kant yang terkenal adalah ‘idealisme
transedental’. Dalam konsep ini Kant berargumen bahwa ide-ide rasional dibentuk tidak
saja oleh ‘phenomenal’ tapi juga ‘noumenal’, yakni kesadaran transedental yang berada
pada pikiran manusia (ibid, 2002). Generasi idealis berikutnya dipelopori oleh, Georg
Hegel. Hegel mengenalkan gagasan pendekatan dialektis yang tidak memihak baik
gagasan ‘kesadaran mental’ Kant maupun ‘bukti-bukti material’ dari kaum empiris.
Pikiran-pikiran Hegel inilah yang kemudian melahirkan konsep ‘spirit’-sebuah konsep
yang integral dengan kelahiran tradisi ‘idealisme absolut’ (ibid, 2002).
Dengan demikian, pemikiran filsafat idealisme dibangun terutama oleh gagasan-
gagasan Hegel dan Kant. Namun demikian, bangunan filsafat politik modern yang
berpaham bahwa manusia dapat mengatur dunia melalui ilmu pengetahuan telah
membuktikan vitalitas aliran idealisme Kantian. Tokoh-tokoh yang meletakkan batu
pertama bagi fondasi filsafat politik modern antara lain John Rawls yang menulis tentang
teori keadilan dan Habermas (1987) yang membuahkan karya ‘Communication action’.
Melalui karya ini Habermas menjadi tokoh idealis yang mengoreksi idealisme
konvensional. Bagi kaum idealis konvensional, kenyataan sejarah merupakan
determinisme sejarah yang statis dan tidak dapat ditolak. Namun bagi Habermas,
kenyataan sejarah adalah hasil dari dialektika dan komunikasi antar manusia. Dengan
kata lain, Habermas memposisikan manusia menjadi subyek aktif dalam praktek-praktek
politik dan dalam membangun institusi-institusi sosial.
93
5) Positivisme
Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang
menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu
pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte
untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati serta
penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk
memperbaiki kehidupan manusia.
Salah satu bagian dari tradisin positivism adalah sebuah konsep yang disebut
dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang
menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’ (Calhoun, 2002) pada awal abad ke duapuluh.
Sebagai salah satu bagian dari positivisme, positivisme logis ingin membangun kepastian
ilmu pengetahuan yang disandarkan lebih pada deduksi logis daripada induksi empiris.
Kerangka pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah memunculkan
perdebatan tentang apakah ilmu pengetahuan sosial memang harus “diilmiahkan”. Kritik
atas positivism berkaitan dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam penelitian
sosial. Menurut para oponen positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas
sosial dan kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi kedalam kuantifikasi
angka yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan nilai-nilai yang
bersifat kualitatif (Calhoun, 2002). Menjawab kritik ini, kaum positivis mengatakan
bahwa metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan
ketepatan karena sulitnya untuk di verifikasi secara empiris.
Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme
adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-
pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam
membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik.
6) Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S
Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard
Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang
menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas.
Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu
94
pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber
pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran
adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Pada awalnya pragmatisme dengan tokoh-tokohnya mengambil jalan berpikir
yang berbeda antara satu dengan lainnya. Peirce (dalam Calhoun, 2002), misalnya, lebih
tertarik dalam meletakkan praktek dalam bentuk klarifikasi gagasan-gagasan. Peirce
adalah tokoh yang menggagas konsep bahasa sebagai media dalam relasi instrumental
antara manusia dengan benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai semiotik. James,
tokoh yang mempopulerkan pragmatism, lebih tertarik dalam menghubungkan antara
konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang lain seperti; kepercayaan dan
nilai-nilai kemasyarakatan. Tokoh selanjutnya, Dewey, menjadikan pragmatisme sebagai
basis dari praktek-praktek berpikir secara kritis. Pendekatan Dewey (1916) yang
pragmatis dalam pendidikan, misalnya, menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir
kritis daripada metode hafalan materi pelajaran.
Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktek demokrasi. Dalam
area ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif
terhadap masalah yang dihadapi.
7) Falsifiabilitas
Kemudian apa perbedaan anatara ilmu filsafat dengan filsafat ilmu ?Banyak ilmuwan dan
golongan akademis yang masih belum memahami perbedaan antara ilmu filsafat dan filsafat
ilmu secara ‘utuh’. Jika direnungkan kembali, perkembangan IPTEK saat ini sudah lebih
cepat dari sebuah kedipan mata.
Yang paling mencengangkan lagi adalah tidak hanya sekadar sekat-sekat antar disiplin
ilmu dan arogansi ilmu saja yang terjadi saat ini, tetapi yang paling mendasar adalah
terpisahnya ilmu itu dengan nilai luhur ilmu yaitu untuk menyejahterakan umat manusia
(Bakhtiar, 2011).
Jika dicermati lebih lanjut, ilmu filsafat harus dipahami terlebih dahulu secara mendalam
dan holistik, sebelum menerapkan ilmu filsafat ke dalam suatu ilmu (filsafat ilmu). Pada
hakikatnya, ilmu filsafat memiliki peran yang sangat vital bagi perkembangan ilmu-ilmu
sebab ilmu filsafatlah yang telah melahirkan ilmu-ilmu. Oleh sebab itu, ilmu filsafat
95
dikatakan sebagai ‘induk ilmu’. Menurut Setia (1997) filsafat berasal dari Bahasa Yunani
yaitu dari akar kata; ‘philein’ (cinta) dan ‘shopos’ (hikmah, kebijaksanaan, kebenaran).
Jadi filsafat bermakna cinta akan kebijaksaan (love to the wisdom). Sebagai manusia, kita
adalah mahluk yang senantiasa berpikir karena memiliki ‘idep’ (pikiran). Dengan
kemampuan berpikir inilah, pada awalnya manusia merasa keheranan dengan segala sesuatu
yang ada dan terjadi di alam. Hingga akhirnya dengan kemampuan berpikir inilah yang
menghantarkan manusia untuk memperoleh suatu jawaban yang bersifat logis.
Proses berfilsafat adalah proses berpikir, tetapi tidak semua proses berpikir adalah proses
berfilsafat. Berpikir yang bagaimana dapat dikatakan berfilsafat? Berfilsafat adalah berpikir
yang radikal, universal, konseptual, koheren, konsisten, sistematik, komperehensif, kritis,
bebas, bertanggung jawab, dan bijaksana. Ilmu filsafat yang diterapkan ke dalam suatu ilmu
(filsafat ilmu) memperhatikan tiga penelahaan dasar ilmu yaitu aspek ontologi (teori hakikat /
theory of being), epistemologi (teori pengetahuan/ theory of knowledge), dan aksiologi (teori
nilai/ theory of meaning). Kajian ilmu filsafat dalam suatu ilmu (filsafat ilmu) sangat penting
dan fundamental.
Keramas (2008) membedakan antara kajian ilmu filsafat dan kajian filsafat ilmu dengan
menyatakan bahwa kajian ilmu filsafat ditujukan untuk mendapatkan kebenaran mutlak
(absolut) yaitu benar dilihat dari berbagai sudut pandang dan benar pula untuk sepanjang
masa sedangkan kajian filsafat pada ilmu (filsafat ilmu) bertujuan untuk memegang etika
keilmuan, mencari kegunaan yang terbaik dari ilmu itu untuk kesejahteraan manusia,
mencegah agar ilmu tidak menghancurkan manusia tetapi menyejahterakannya, serta mencari
kebenaran common sense (bukan kebenaran mutlak/ kebenaran yang masuk akal/ kebenaran
sementara/ kebenaran dalam praktek), namun tetap diupayakan mencari kajian-kajian yang
mendekati kebenaran mutlak.
Lalu, apakah manfaat mempelajari ilmu filsafat dan filsafat ilmu? Menurut Purwati
(2011) manfaat mempelajari ilmu filsafat adalah membantu kita untuk mencari kebenaran
dari segala fenomena yang ada, memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup
dan pandangan dunia, memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam
kehidupan memahami diri sendiri dan dunia, mengembangkan kemampuan kita dalam
menalar, dan memberikan bekal untuk memperhatikan pandangan kita sendiri dan orang lain
dengan kritis sedangkan manfaat mempelajari filsafat ilmu adalah memberikan pandangan
96
yang luas sehingga dapat membendung egoisme dan ego-sentrisme, membebaskan manusia
dari belenggu cara berpikir yang mistis dan dogma, memberikan landasan historis-filosofis
bagi setiap kajian disiplin ilmu yang ditekuni, filsafat ilmu memberikan nilai dan orientasi
yang jelas bagi setiap disiplin ilmu.
Jika dilakukan suatu kontemplasi lebih lanjut, maka manfaat ilmu filsafat secara radikal
adalah menjadikan seseorang bijaksana dalam hal menyikapi masalah hidup dan kehidupan
karena telah ‘berteman’ dengan kebijaksanaan, serta mengetahui dengan benar apa tujuan
mereka berbuat (tidak merugikan orang lain dan untuk kemashlatan diri sendiri) sehingga
ilmu filsafat berperan sebagai pandangan hidup, pegangan hidup bahkan sebagai pedoman
hidup.
Sedangkan manfaat filsafat ilmu adalah agar kita sebagai manusia lebih bijaksana dalam
memanfaatkan suatu ilmu sehingga dapat menyejahterakan kehidupan manusia atau dengan
kata lain agar suatu ilmu tetap terintegrasi dengan nilai luhur ilmu yaitu untuk
menyejahterakan umat manusia.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara
spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan
yang mempunyai cirri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan
antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu social, namun karena permasalahn-permasalahan
teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering menjadi filsafat ilmu alam dan filsafat-
filsafat ilmu social. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dak filsafat ilmu-ilmu social. Ilmu memang berbeda dari
pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsip antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social, dimana keduanya mempunyai cirri-cirikeilmuan yang
sama.
Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan
mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi
dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat
ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk
dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan
pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana
ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara
97
menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah;
macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta
implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu
sendiri.
Filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan
mengenai hakikat ilmu seperti:
a) Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut?
Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir,
merasa dan menginderakan) yang membuahkan pengetahuan?
b) Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya?
Cara./ Teknik/ sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahan yang
berupa ilmu?
c) Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kajian antar
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antar teknik procedural
yang merupakan operasionalisai metodeilmiah dengan norma-norma moral/
professional?
Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok pertanyaan yang pertama (a)
disebut landasan ontologism; kelompok kedua (b) disebut landasan epistemologis; dan
kelompok ketiga dalam aksiologis. Semua pengetahuan apakh itu ilmu, seni, atau
pengetahuan apa saja pada dasarnya mempunyai ketiga landasan ini. Yang berbedda adalah
materi perwujudnya serta sejauh mana landasan-landasan adri ketiga aspek ini
diperkembangkan dan dilaksanakan.
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan yang lain maka pertanyaan
yang diajukan adalah: apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana caranya
mendapatkan pengetahuan termaksud dipergunakan ( aksiologi)? Dengan mengetahi
jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai
jenis pengetahuan.[5]
98[5] Ihsan, Fuad, Filsafat Ilmu, 2010 (Jakarta: PT. Rineka Cipta) hal 150
3. Sistem, Struktur, dan susunan Ilmu Pengetahuan
Peter R Senn dalam Ilmu Dalam Perspektif (Jujun Suriasumantri) meskipun tidak
secara gamblang ia menyampaikan bahwa ilmu memiliki bangunan struktur Van Peursen
menggambarakan lebih tegas bahwa “Ilmu itu bagaikan bangunan yang tersusun dari batu
bata. Batu atau unsur dasar tersebut tidak pernah langsung di dapat di alam sekitar. Lewat
observasi ilmiah batu-batu sudah dikerjakan sehingga dapat dipakai kemudian digolongkan
menurut kelompok tertentu sehingga dapat dipergunakan. Upaya ini tidak dilakukan dengan
sewenang wenang, melainkan merupakan hasil petunjuk yang menyertai susunan limas ilmu
yang menyeluruh akan makin jelas bahwa teori secara berbeda- beda meresap sampai dasar
ilmu.
Hidayat Nataatmaja menggambarkan dalam bahasanya sendiri mengenai hal tersebut
di atas bahwa “ilmu memiliki struktur dan struktur ilmu itu beberapa lapis. Beliau membagi
lapisan ilmu ke dalam 2 golongan/ kategori yaitu lapisan yang bersifat terapan dan lapisan
yang bersifat paradigmatik. Kedua kategori memiliki karakter sendiri-sendiri. Lapisan
terapan besifat praktikal dan lapisan paradigmatik bersifat asumtif spekulatif.
Dalam penerapannya, ilmu dapat dibedakan atas berikut di bawah ini:
1. Ilmu Murni (pure science)
Yang dimaksud dengan Ilmu murni adalah ilmu tersebut hanya murni bermanfaat untuk
ilmu itu sendiri dan berorientasi pada teoritisasi, dalam arti ilmu pengetahuan murni
tersebut terutama bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan
secara abstrak yakni untuk mempertinggi mutunya.
2. Ilmu Praktis (applied science)
Yang dimaksud dengan ilmu praktis adalah ilmu tersebut praktis langsung dapt
diterapkan kepada masyarakat karena ilmu itu sendiri bertujuan untuk mempergunakan
hal ikhwal ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat banyak.
3. Ilmu Campuran
Yang dimaksud dengan ilmu campuran dalam hal ini adalah sesuatu ilmu yang selain
termasuk ilmu murni juga merupakan ilmu terapan yang praktis karena dapat
dipergunakan dalam kehidupan masyarakat umum.
Sedangkan dalam fungsi kerjanya, ilmu juga dapat dibedakan atas berikut ini:
99
1. Ilmu teoritis rasional
Ilmu teoritis rasional adalah ilmu yang memakai cara berpikir dengan sangat dominan,
deduktif dan mempergunakan silogisme, misalnya dogmatis hukum.
2. Ilmu empiris praktis
Ilmu empiris praktis adalah ilmu yang cara penganalisaannya induktif saja, misalnya
dalam pekerjaan social atau dalam mewujudkan kesejahteraan umum dalam masyarakat.
3. Ilmu teoritis empiris
Ilmu teoritis empiris adalah ilmu yang memakai cara gabungan berpikir, induktif-
deduktif atau sebaliknya deduktif-induktif.
Saat ini tampaknya sebagian besar para pakar membagi ilmu atas ilmu-ilmu eksakta
dan ilmu-ilmu hukum yang pada satu titik tertentu sangat sulit dibedakan, namun pada titik
yang lain sangat berbeda satu sama lain.
Ilmu-ilmu eksakta kesemuanya mempunyai objek fakta-fakta, dan benda-benda alam
serta hukum-hukumnya pasti dan tidak dapat dipengaruhi oleh manusia. Ilmu-ilmu eksakta
meliputi antara lain yaitu berbagai ilmu teknik (seperti teknik permesinan kapal, nuklir,
perminyakan, metalurgi, gas, petrokimia, informatika, computer, planologi, kelautan,
industry, pertambangan, kimia, sipil, mesin, elektro, arsitektur, pertanian, geodesi, geologi,
geofisika, dan meteorologi), berbagai ilmu kedokteran (seperti kedokteran gigi, anak,
penyakit dalam, penyakit khusus, bedah, kebidanan, bedah mulut, kesehatan masyarakat,
keperawatan, kelamin, dan penyakit mata), berbagai ilmu alam (seperti geofisika, bumi,
ruang angkasa, dan pesawat), berbagai ilmu matematika (seperti ilmu ukur ruang, ilmu ukur
sudut dan aljabar), berbagai ilmu hewan (seperti kedokteran hewan, biologi, lingkungan dan
peternakan), berbagai ilmu tumbuh-tumbuhan (seperti pertanian dan kehutanan), berbagai
ilmu kimia, ilmu tanah, ilmu komputer, farmasi, agronomi, geografi dan statistik.
Sedangkan ilmu-ilmu sosial hukum-hukumnya relatif tidak sama dalam berbagai ruang
dan waktu, dibandingkan ilmu-ilmu eksakta (ilmu pasti) dalam arti selalu ada perubahan
yang tergantung pada situasi dan kondisi dan lingkungan, bahkan bisa dipengaruhi dan
diatur (rekayasa) oleh manusia. Ilmu-ilmu social meliputi antara lain berbagai ilmu
administrasi (seperti administrasi pembangunan, Negara, fiskal, niaga, kepegawaian dan
perkantoran), berbagai ilmu ekonomi (seperti ekonomi pertanian, mikro, makro, social,
akuntansi dan keuangan), berbagai ilmu hukum (seperti hukum perdata, hukum pidana,
100
hukum adat, hukum islam dan hukum waris), serta disiplin ilmu social lainnya seperti ilmu
politik, ilmu pemerintahan, ilmu jiwa (psikologi), sosiologi, jurnalistik, perhotelan,
kepariwisataan, sejarah, antropologi, arkeologi, komunikasi, manajemen, akuntansi,
perpustakaan, hubungan internasional dan ilmu negara.
4. Jenis – jenis Ilmu pengetahuan dan sifatnya
1. Jenis jenis Ilmu Pengetahuan
Sehubungan dengan adanya berbagai sumber, sifat-sifat, karakter dan susunan ilmu
pengatahuan, maka dalam pandangan tentang ilmu pengetahuan itu orang mengutarakan
pembagian ilmu pengetahuan (classification). Ini tergantung kepada cara dan tempat
para ahli itu meninjaunya. Menurut pembagian klasik, maka ilmu pengetahuan
dibedakan atas:
a) Natural Sciences (kelompok ilmu-ilmu alam)
b) Social Sciences (kelompok ilmu-ilmu sosial)
Sedang Dr. C. A. Van Peurson membedakan ilmu pengetahuan atas:
a) Ilmu pengetahuan kemanusiaan
b) Ilmu pengetahuan alam
c) Ilmu pengetahuan hayat
d) Ilmu pengetahuan logic-deduktif
Di dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan tentang Perguruan Tinggi Nomor: 22
Tahun 1961 di Indonesia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan atas empat kelompok
sebagai berikut:
a) Ilmu Agama/Kerohanian, yang meliputi:
1. Ilmu agama
2. Ilmu jiwa
3. Ilmu Kebudayaan, yang meliputi:
1) Ilmu sastra
2) Ilmu sejarah
3) Ilmu pendidikan
4) Ilmu filsafat
101
b) Ilmu Sosial, yang meliputi:
1. Ilmu hukum
2. Ilmu ekonomi
3. Ilmu sosial politik
4. Ilmu ketatanegaraan dan ketataniagaan
c) Ilmu Eksakta dan Teknik, yang meliputi:
1. Ilmu hayat
2. Ilmu kedokteran
3. Ilmu farmasi
4. Ilmu kedokteran hewan
5. Ilmu pertanian
6. Ilmu pasti alam
7. Ilmu teknik
8. Ilmu geologi
9. Ilmu oceanografi
Pengklasifikasian ilmu pengetahuan menurut subjek dan objeknya:
a) Menurut Subjeknya
1. Teoritis
1) Nomotetis: ilmu yang menetapkan hukum-hukum yang universal berlaku,
mempelajari objeknya dalam keabstrakan dan mencoba menemukan unsur-
unsur yang selalu terdapat kembali dalam segala pernyataan yang konkrit
bilamana dan dimana saja. Misalnya, ilmu alam, ilmu kimia, sosiologi, ilmu
hayat.
2) Ideografis (ide: cita-cita, grafis: lukisan), ilmu yang mempelajari objeknya
dalam konkrit menurut tempat dan waktu tertentu, dengan sifat-sifatnya yang
menyendiri (unik), misalnya: ilmu sejarah, etnografi (ilmu bangsa-bangsa),
sosiografi, dsb.
2. Praktis (Applied Science/ Ilmu Terapan): Ilmu yang langsung ditujukan kepada
pemakaian atau pengalaman pengetahuan itu, jadi menentukan bagaimanakah orang
harus berbuat sesuatu. Maka ini pun diperinci lebih lanjut yaitu:
102
1) Normatif, ilmu yang memesankan bagaimanakah kita harus berbuat,
membebankan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan, misalnya: etika
(filsafat kesusilaan/ filsafat moral).
2) Positif (“applied” dalam arti sempit): ilmu yang mengatakan bagaimanakah
orang harus berbuat sesuatu, mencapai hasil tertentu, misalnya: ilmu pertanian,
ilmu teknik, ilmu kedokteran,sb.
b) Menurut Objeknya (terutama objek formalnya atau sudut pandangnya)
1. Universal/ umum: meliputi keseluruhan yang ada, seluruh hidup manusia,
misalnya: Teologi/agama dan Filsafat.
2. Khusus: hanya mengenai salah satu lapangan tertentu dari kehidupan manusia, jadi
objek terbatas, hanya ini saja atau itu saja. Inilah yang biasa disebut “ Ilmu
Pengetahuan ”. ini diperinci lagi atas:
1) Ilmu-ilmu alam (natural science, natuurwetenscappen): yang mempelajari
barang-barang menurut keadaannya di alam kodrat saja, terlepas dari pengaruh
manusia dan mencari hukum-hukum yang mengatur apa yang terjadi di dalam
alam, jadi terperinci lagi menurut objeknya, misalnya: ilmu alam, ilmu fisika,
ilmu kimia, ilmu hayat, dsb.
2) Ilmu pasti (Mathmatics), yang memandang barang-barang, terlepas dari isinya
hanya menurut besarnya. Jadi mengadakan abstraksi barang-barang itu. Ilmunya
dijabarkan secara logis berpangkal pada beberapa asas-asas dasar (axioma).
Misalnya, ilmu pasti, ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu aljabar,dsb.
3) Ilmu-ilmu kerohanian/kebudayaan (Geisteswissen-schaf-ten/social-science).
Ilmu yang mempelajari hal-hal dimana jiwa manusia memegang peranan yang
mementukan. Yang dipandang bukan barang-barang seperti di alam dunia,
terlepas dari manusia, melainkan justru sekedar mengalami pengaruh dari
manusia. Dan karena manusia berbuat dengan berdasarkan kekuatan jiwanya
dan jiwa dalam Bahasa Jerman disebut “Geist”, maka gerombolan ilmu-ilmu
yang memandang perbuatan manusia dan hasil-hasil kegiatannya itu disebut
“Geisteswissenscaften”. Misalnya: ilmu sejarah, ilmu mendidik, ilmu hukum,
ilmu ekonomi, ilmu sosiologi, ilmu Bahasa, dsb.
2. Sifat-sifat ilmu pengetahuan
103
Sejarah membuktikan, bahwa dengan metode ilmu, akn membawa manusia
kepada kemajuan dalam pengetahuannya. Kemajuan dalam pengetahuan yang dihasilkan
oleh ilmu itu memungkinkan, karena beberapa sifat, atau cirri khas yang dimiliki oleh
ilmu.
Dalam hal ini, Randall mengemukakan beberapa ciri umum daripada ilmu, di
antaranya ialah:
a) Hasil ilmu sifatnya akumulatif dan merupakan milik bersama. Artinya, hasil daripada
ilmu yang telah lalu dapat dipergunakan untuk penyelidikan dan penemuan hal-hal
yang baru, dan tidak menjadi monopoli bagi yang menemukannya saja, setiap orang
dapat menggunakan, memanfaatkan hasil penyelidikan atau hasil penemuan orang
lain.
b) Hasil ilmu, kebenarannya tidak mutlak, dan bisa terjadi kekeliruan, karena yang
menyelidikinya adalah manusia. Namun yang perlu diketahui, kesalahan-kesalahan
itu bukan karena metodenya, melainkan terletak pada manusia yang menggunakan
metode tersebut.
c) Ilmu itu objektif, artinya prosedur cara penggunaan mtode ilmu tidak tergantung
kepada yang menggunakannya, tidak tergantung kepada pemahaman secara pribadi.
Berbeda dengan prosedur otoritas dan intuisi, yang tergantung kepada pemahaman
secara pribadi.
Selanjutnya, Ralph Ross dan Ernest Van den Hagg yang disunting oleh Prof.
Drs. Harsojo, mengemukakan ciri-ciri umum daripada ilmu, yaitu:
1) Bahwa ilmu itu rasional
2) Bahwa ilmu itu Bersifat empiris
3) Bahwa ilmu itu Umum
4) Bahwa ilmu itu Akumulatif
d) Ilmu dikatakan rasional, karena ilmu merupakan hasil dari proses berpikir dengan
menggunakan akal, atau hasil berpikir secara rasional.
Pada umumnya, orang-orang menggolongkan filsafat itu pasti ke dalam ilmu-ilmu
pengetahuan. Walaupun filasafat iu muncul sebagai salah satu ilmu pengetahuan, akan
tetapi ia mempunyai struktur tersendiri dan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai
“ilmu pengetahuan”.
104
Tentu saja sedikit banyak bagi setiap ilmu pengetahuan berlaku, bahwa ilmu itu
mempunyai struktur dan karakteristik tersendiri. Studi tentang ilmu kedokteran adalah
sesuatu yang berbeda sekali dengan sejarah kesenian, dan ilmu pasti/matematika sesuatu
yang berlainan sekali dengan ilmu pendidikan. Akan tetapi untuk filsafat, hal yang
“tersendiri” ini berlaku dengan cara yang dasarnya lain.
5. Batasan-batasan Pengkajian Ilmu Pengetahuan
Apakah batasan yang merupakan lingkup penelajahan ilmu? Dimanakah ilmu berhenti?
Apakah yang menjadi karakter objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dan
pengetahuan pengetahuan yang lain? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah
sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas
pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari ikhwal surga dan neraka. Sebab ikhwal surga
dan neraka berada diluar Jangkauan pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari sebab
musabab terciptanya manusia sebab kejadian itu terjadi diluar jangkauan pengalamann
manusia. Baik hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun hal-hal yang terjadi setelah
kematian manusia, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman kita
karena fungsi ilmu sendiri dalam hidup manusia yaitu sebagai alat bantu manusia dalam
menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari
kemudian tidak akan kita tanyakan pada ilmu, melainkan kepada agama. Sebab agamalah
pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu.
Ilmu membatasi batas penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan
pada metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah diuji kebenarannya secara
empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, maka
pembuktian metodologis tidak dapat dilakukan.
Ilmu tanpa bimbingan moral agama adalah buta. Kebutaan moral dari ilmu mungkin
membawa kemanusiaan ke jurang malapetaka. Contoh penyalahgunaan teknologi nuklir
yang telah merenggut jutaan jiwa.
Ruang penjelajahan keilmuan kemudian kita menjadi “kapling kapling” berbagai disiplin
keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengn perkembangan kuantitatif
disiplin keilmuan. Dahulu ilmu dibagi menjadi dua, ilmu alam dan ilmu sosial. Kini telah
105
terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan. Oleh karena itu, seorang ilmuwan harus tahu benar
batas-batas penjelajahan cabang keilmuan maing-masing.
Mengenai batas-batas kapling ini, disamping menunjukkan kematangan keilmuan dan
profesional kita, juga dimaksudkan agar kita mengenal tetangga-tetangga kita. Dengan makin
sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan, maka sering sekali diperlukan
“pandangan” dari disiplin-disiplin yang lain. Saling pandang memandang ini atau
pendekatan multi disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang
berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua, dimana disiplin seseorang berhenti dan dimana
disiplin orang lain mulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multi disipliner
akan berubah menjadi sengketa kapling.
6. Periodesasi Filsafat Ilmu
Awal timbulnya filsafat tidak diketahui secara pasti. Namun, filsafat pertama kali hanya
dapat diketahui dari permulaan orang-orang yang menamakan dirinya Sophia pada tahun
500-400 SM. Sokrates yang melanjutkan filsafat Sophia hidup pada tahun 469-399 SM.
Kemudian, datang filosof lain, yaitu Plato tahun 427-357 SM. Dari Plato menurun kepada
Aristoteles yang hidup antara tahun 384-322 SM.
Beberapa ahli filsafat ini meletakkan dasar-dasar pemikiran filsafat. Setelah masa Plato
dan Aristoteles, berlalulah satu kurun panjang manakala murid-murid kedua tokoh itu
tenggelam dalam pengumpulan, pengaturan dan pengupasan pendapat-pendapat kedua guru
mereka. Murid-murid ini turut meramaikan pasar filsafat. Namun tidak lama berselang,
keramaian itu berganti dg kemandekan, kegairahan berangsur hilang dari peredaran. Di
Yunani tinggal segelintir konsumen yang berminat kepada ilmu pengetahuan. Guru-guru
seni dan ilmu berpindah ke dan menetap di Aleksandaria.Kota ini menjadi pusat ilmu sampai
abad ke 4 SM.
Abad pertengahan abad 2 SM sampai abad 14 M, termasuk di dalamnya kejayaan dunia
Islam. Kalau sebelum abad pertengahan adalah abad Yunani Kuno dengan tiga tokoh
besarnya, maka sejak Rasulullah diutus oleh Allah melalui tanah Arab, orang-orang yang
paling pertama memperoleh pencerahan dari kenabian Muhammad SAW tersebut. Pada
abad ke 6 M, Islam mendorong umatnya untuk memperoleh ilmu dan kebijakan atau
106
hikmah, maka dengan serta merta di abad ke 7 perkembangan kemajuan bangsa Arab
(Islam) semakin tampak di belahan dunia.
Filsafat ilmu terus tumbuh dan berkembang dari zaman ke zaman. Perkembangan
filsafat ilmu dapat dibagi menjadi beberapa periode, yakni zaman pra Yunani kuno, Yunani
kuno, abad pertengahan, zaman islam, zaman renaissans (abad 14 – 17 M), zaman modern
(abad 17 – 19 M),zaman kontemporer (abad 20- sekarang). Dalam makalah ini akan dibahas
filsafat ilmu pada abad pertengahan yang merupakan masa kejayaan Islam dan sumbangan
Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
1. Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat abad pertengahan lazim di sebut filsafat skolastik. Kata tersebut di ambil
dari kataschuler yang berarti ajaran atau sekolahan. Pasalnya sekolah yang
diselanggarakan oleh Karel Agung mengajarkan apa yang di istilahkan sebagai artes
liberalis, meliputi mata pelajaran, gramatika, arithmatika, astronomia, musika, dan
dialektika. Dialektika ini sekarang disebut logika dan kemudian meliputi seluruh filsafat.
Belakangan kata skolastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad 9-15 yang mempunyai
corak khusus yaitu filsafat yang di pengaruhi Agama.Filsafat barat abad pertengahan
(476-1492) juga dapat dikatakan sebagai abad gelap. Berdasarkan pada pendekatan
sejarah gereja sangat membelenggu kehidupan manusia. Manusia tidak lagi memiliki
kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir
saat itu juga tidak memiliki kebebasan berfikir. Apalagi terdapat pemikiran-pemikiran
yang bertentangan dengan agama ajaran gereja. Siapa pun orang yang mengemukakannya
akan mendapat hukuman yang berat. Pihak geraja melarang diadakannya penyelidikan-
penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu kajian terhadap agama
(teologi) yang tidak berdasarkan pada ketentuan gereja akan mendapat larangan yang
ketat. Yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak gereja.
Kendati demikian, ada juga yag melanggar peeraturan tersebut dan mereka dianggap
orang murtad dan kemudian diadakan pengajaran (inkuisisi). Pengejaran terhadap orang-
orang murtad ini mencapai puncaknya pada saat paus Innocentius III di akhir abad XII,
dan yang paling berhasil di Spanyol.
Pendapat-pendapat mengenai ilmu di abad tengah simpang siur. Para sejarawan
terdahulu memandang ilmu di zaman itu belum terbebaskan dari beban dogmatisme dan
107
takhayul, sementara sejarawan lainnya mencoba menunjukkan bahwa banyak fakta dan
prinsip pokok ilmu modern ditemukan pada waktu itu. Persoalannya menjadi jelas ketika
disadari bahwa orang terpelajar pada zaman itu tidak semuanya mencoba melaksanakan
penelitian ilmiah seperti yang dipahami sekarang ini. Filsafat alamiah dan fakta-fakta
khusus dipelajari terutama dalam hubungan dengan agama.
Untuk mengetahui corak pemikiran filsafat abad pertengahan, perlu dipahami
karateristik dan ciri khas pemikiran filsafatnya. Beberapa karateristik yang perlu
dimengerti adalah:
a) Cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja.
b) Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles.
c) Berfilsafat dengan pertolongan Augustinus.
Abad pertengahan ini juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh
dengan upaya mengiring manusia kedalam kehidupan sistem kepercayaan yang picik dan
fanatic, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Karena itulah
perkembangan ilmu pengetahuan terhambat. Secara garis besar filsafat abad pertengahan
ini dibagi dua periode, yaitu periode skolastik Islam dan periode skolastik Kristen.
1) Periode Filsafat Skolastik Islam ( Arab )
Kendati islam sudah dikenal oleh dunia sejak awal abad VII Masehi, namun
filsafat dikalangan kaum muslim baru dimulai pada awal abad VIII. Ini disebabkan
karena pada abad pertama perkembangan islam tidak terdapat isme- isme atau paham-
paham selain melayu. Di kalangan kaum muslim filsafat dianggap berkembang dengan
baik mulai abad IX Masehi hingga abad XII. Keberadaan filsafat pada masa ini juga
menandai masa kegemilangan dunia islam, yaitu selama masa Daulah Abbasiyah di
Baghdad 750-1258) dan Daulah Amawiyah di Spanyol (755-7492).
Menurut Hasbullah Bakry, istilah Skolastik islam jarang di pakai dalam khazanah
pemikiran islam. Istilah yang sering dipakai adalah ilmukalam atau filsafat Islam.
Kedua ilmu tersebut dalam pembahasannya dipisahkan, periode skolastik Islam dapat
kedalam empat masa, yaitu:
1. Periode Kalam Pertama
108
Periode ini ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok mutakallimin / aliran-
aliran dalam ilmu kalam, yakni:
a. Khawarij
b. Murjiah
c. Qadariyah
d. Jabariyah
e. Mu’tazilah
f. Ahli Sunnah
2. Periode Filsafat Pertama
Periode ini ditandai dengan munculnya ilmuwan dan ahli-ahli dalam berbagai
bidang yang menaruh perhatian terhadap filsafat Yunani, terutama filsafat
Aristoteles. Periode filsafat Islam pertama adalah periode munculnya filsuf-filsuf
muslim di wilayah Timur, masing-masing adalah:
a. Al-Kindi (806-873 M)
b. Al-Razi (865-925 M)
c. Al-Farabi (870-950 M)
d. Ibn Sina (980-1037 M).
3. Periode kalam kedua
Periode ini ditandai dengan tampilnya tokoh-tokoh kalam penting dan besar
pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu kalam berikutnya, mereka antara lain:
a. Al-Asy’ari (873-957 M)
b. Al-Ghazali (1065-1111)
4. Periode Filsafat Kedua
Periode ini ditandai dengan tampilnya sarjana-sarjana dan ahli-ahli dalam berbagai
bidang yang juga meminati filsafat. Mereka hidup dalam masa Daulah Amawiyah
di Spanyol (Eropa) pada saat Eropa sedang dalam masa kegelapan. Dengan
tampilnya para filsuf muslim di Eropa ini, ilmu dan peradaban tumbuh
berkembang dan terus meningkat. Mereka adalah:
a. Ibnu Bajjah (1100-1138 M), di barat di kenal Avempace
b. Ibnu Thufail(m.1185 M), di barat di kenal Abubacer
109
c. Ibnu Rusyd(1126-1198), di barat di kenal Averroce
Perlu dicatat di sini bahwa pada masa ini Ibn Rusyd menunjukan sikap
pembelaannya terhadap filsafat dan para filsuf atas serangan-serangan Al-Ghazali
dalam buku Tahafut al-Falasifah dengan bukunya yang berjudul Tahafut al-
Tahafut (kerancuan {kitab} tahafut)
5. Periode kebangkitan
Periode ini dibangkitkan kembali dunia islam setelah mengalami kemerosotan
alam pikiran sejak abad XV hingga abad X1X. Oleh karenanya, periode ini di
sebut juga sebagai Renaissans islam. Di antara tokoh yang mempengaruhi adalah
Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhamad Iqbal dan
masih banyak lagi.
2) Periode Filsafat Skolastik Kristen
Periode skolastik Kristen dalam sejarah perkembangannya dapat di bagi menjadi tiga,
yaitu masa skolastik awal, masa skolastik keemasan, dan masa skolastik akhir.
1. Masa skolastik awal (Abad 9-12 M)
Masa ini merupakan kebangkitan pemikiran abad pertengahan abad pertengahan
setelah terjadi kemerosotan. Kemorosotan pemikiran Filsafat pada masa pra-
Yunani di sebabkan kuatnya dominasi golongan gereja. Pada saat ini muncul ilmu
pengetahuan yang dikembangkan di sekolah-sekolah. Mulanya skolastik timbul
pertama kalinya di biara selatan dan akhirnya berpengaruh ke daerah-daerah lain.
2. Masa Skolastik keemasan
Pada masa skolastik awal, Filsafat bertumpu pada alam pikiran dan karya-karya
Kristiani. Tetapi sejak pertengahan abad ke12 karya nya non kristiani mulai
muncul dan filsuf islam mulai berpengaruh dari tahun 1200-1300 M. Masa ini juga
disebut juga masa berbunga disebabkan bersamaan dengan munculnya beberapa
universitas dan ordo-ordo yang menyelanggarakan pendidikan ilmu
pengetahuan.Secara umum ada beberapa faktor yang menjadikan masa skolastik
mencapai keemasan yaitu :
a) Adanya pengaruh dari Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibnu sina sejak abad ke 12
hingga pada abad ke 13 telah tumbuh menjadi ilmu pengetahuan yang luas.
110
b) Tahun 1200 M didirikan Universitas Alamameter di Prancis. Universitas ini
merupakan gabungan dari beberapa sekolah. Alamameter inilah sebagai
embrio berdirinya universitas di Paris, Oxpod, Montpellier, Cambridge, dan
lain-lainya.
c) Berdirinya ordo-ordo karena banyaknya perhatian orang terhadap ilmu
pengetahuan sehingga menimbulkan dorongan yang kuat untuk memberikan
suasana yang semarak pada abad ke -13. Hal ini akan berpengaruh terhadap
kerohanian saat kebanyakan tokoh-tokohnya memegang peranan dibidang
filsafat dan teologi, seperti Albertus de Grote, Thomas Aquinas, Binaventura,
J.D.Scontus, William Ocham.
3. Masa Skolastik Akhir
Masa skolastik akhir ditandai dengan kemalasan berfikir filsafati sehingga
menyebabkan filsafat skolastik Kristen. Meskipun demikian, masih muncul tokoh
yang terkenal pada masa ini, yaitu Niccolaus Cusanus (1401-1404). Dari
pemikiran filsafatnya ia membedakan tiga macam pengenalan yang kurang
sempurna.
4. Periode Filsafat Skolastik Thomas Aquinas
Puncak tradisi pemikiran skolastisisme adalah pada masa Thomas Aquinas. Ia
adalah seorang pendeta dominikian Gereja Katolik. Karya Filsafatnya yang
terpenting adalah multicolume summa contra gentiles (sebuah rangkuman
melawan orang kafir) sedangkansumma theological (rangkuman teologi) menjadi
karya teologinya yang di sajikan secara sistematis yang dipersembahkan bagi
orang-orang yang ingin menjadi biarawan dan pendeta.
2. Perkembangan Ilmu Zaman Islam
Sebelum di uraikan sejarah dan perkembangan ilmu dalam islam, ada baiknya di
uraikan sedikit tentang pandangan islam terhadap ilmu. Sejaka awal kelahirannya, islam
sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu.sebagaimana sudah
diketahui, bahwa Nabi Muhammad Saw. Ketika diutus oleh Allah sebagai Rasul, hidup
dalam masyarakat yang terbelakang, dimana paganisme tumbuh menjadi sebuah identitas
yang melekat pada masyarakat Arab masa itu. Kemudian islam datang menawarkan
111
cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab Jahiliyah menjadi masyarakat yang
berilmu dan beradab.
Kalau dilacak akar sejarahnya, pandangan islam tentang pentingnya ilmu tumbuh
bersamaan dengan munculnya islam itu sendiri. Ketika Rasulullah Saw, menerima wahyu
pertama, yang mula-mula di perintahkan kepadanya adalah “membaca” jibril
memerintahkan. Muhammad dengan bacalah dengan menyebut nama Tuhan yang
menciptakan “. Perintah ini tidak hanya sekali di ucapkan jibril tetapi berulang-ulang
sampai Nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata Iqra inilah kemudian lahir aneka
makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu
dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu menghendaki
umat islam untuk senantiasa “membaca” dengan dilandasi Bismi Rabbik, dalam arti hasil
bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan. Lebih lagi sumber pokok
ajaran islam ini memeainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembanagan ilmu-
ilmu. Peran itu adalah pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin
terdapat dalam Al-Qur’an, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteric lebih mendalam
terhadap kitab suci ini, yang memumngkinkan tidak hanya misteri yang dikandungnya
tetapi juga pencarian makna secara mendalam. Kedua, al-quran dan hadits menciptakan
iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan
keutamaan ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya akan bernuara pada
penegasan Tauhid.
Dalam perjalanan ilmu dan juga filsafat didunia islam, pada dasarnya terdapat upaya
rekonsilasi–dalam arti mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan yang berbeda,
bahkan seringkali ekstrim–antara pandangan filsafat Yunani, seperti filsafat Plato dan
Arisoteles, dengan pandangan keagamaan dalam islam yang seringkali menimbulkan
benturan-benturan. Sebagai contoh konkret dapat disebutkan bahwa Plato dan Aristoteles
telah memerikan pengaruh yang besar pada mazhab-mazhab islam. Al-Farabi, dalam hal
ini, memiliki sikap yang jelas karena ia percaya pada kesatuan filsafat dan bahwa tokoh-
tokoh filsafat harus bersepakat diantra mereka sepanjang yang menjadi tujuan mereka
adalah kebenaran. Bahkan bisa dikatakan para filsof Muslim mulai dari Al-Kindi sampai
ibnu Rusyd terlibat dalam upaya rekonsiliasi tersebut, dengan cara mengemukakan
pandangan-pandangan yang relative baru dan menarik. Usaha-usaha mereka pada
112
dilirannya menjadi alat dalam penyebaran filsafat dan penetrasinya kedalam-studi-studi
keislaman lainnya, dan tidak diragukan lagi upaya rekonsiliasi oleh para filsof Muslim ini
menghasilkan afinitas dan ikatan yang kuat anatara filsafat Yunani.
Selain itu, pada masa ini juga didapati pusat-pusat ilmu pengetahuan seperti Ariokh,
Ephesus, dan Iskandariah, dimana buku-buku-buku Yunani purba masih dibaca dan
diterjemahkan kedalam berbagai bahasa , terutama, siriani, bahkan setelah pusay-pusat
ini dikatakan oleh umat islam, pengaruh pemukiran Yunani tetap mendalam dan meluas.
Pada masa ini juga didapai seorang tokoh Kristen bernama Nestorius, yang melakukan
dekontruksi atas pemahaman teologi kalanga Kristen konservatif ortodoks, setelah ia
terpengaruh oleh alam pikiran Yunani tersebut. Ia bersama pengikutnya kemudian hijrah
ke Suriah dan melanjutkan kegiatan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani.
Hal ini menunjukkan bahwa islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan
intelektual , tetapi juga membuktikkan kecintaan umat islam terhadap ilmu pengetahuan
dan sikap hormat mereka kepada ilmuwan, tetapi memandang agama mereka.
Islam adalah peristiwa Fitnah al-kubra, yang ternyata tidak hnaya membawa
konsekuensi- logis dari segi polotis an-sich seperti yang dipahami selama ini tapi ternyata
juga membawa perubahan besar bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu di dunia
Islam pasca terjadinya Fitnah al-kubra,muncul berbagai golongan yang memilikia aliran
teologis tersendiri yang pada dasarnya berkembang karena alasan-alasan politis. Pada
saat itu muncul alairan syi’ah yang membela Ali, aliran Khawarij , dan kelompok
Muawiyah. Namun, di luar konflik yang munculpada saat itu, sejarah mencatat dua orang
tokoh besar yang tidak ikut terlibat dalam perdebatan teologis yang cenderung
mengkafirkan satu sama lain, tetapi justru mencurahkan perhatinnya pada bidang ilmu
agama. Kedua tokoh itu adalah Abdullah Ibnu Umar dan Abdullah Ibnu Abbas . yang
disebut pertama mencurahkan perhatinnya dalam bidangilmu hadis, sementara yang
disebut belakangan lebih berorientasi pada ilmu Tafsir. Kedua tokoh ini sering disebut
sebagi pelapor tumbuhnya intuisi keulamaan dalam islam, sekaligus berarti pelapor
kajian mendlam dan sistematis tentang agama islam. Mereka juga sering disbut sebagai
“moyang” golongan sunni atau Ath-al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Seperti sudah di aliran singgung diatas , pasca Fitnah al-kubra bermunculan
bermunculan berbagai polotik dan teologi.dari sini kemudian dapat dikatakan bahwa
113
sejak awal islam kajian-kajian dalam bidag teologi sudah berkembang, meskipun masih
berbentuk embrio. Embrio inilah yang pada masa kemudian menemukan bentuknya yang
lebih sistematis dalam kajian–kajian teologis dalam islam. Sebagai contoh, persoalan
tentang hukum orang yang berdosa besar, apakah mu’min atau kafir, masalah kebebasan
atau ketidakbebasan manusia dalam menentukan perbutannya, sudah diwakilli sejak dini
perdebatan antara kalangan Mu’Tazilah dan Khawarij. Dari sini tampaknya , seperti
ditulis Naution, peranan akal dalam pergaulan pemikiran dan keilmuan dalam tradisi
islam dimulai.
3. Perkembangan Ilmu pada Masa Kejayaan Islam
Dalam sejarah islam, kita mengenal nama-nama seperti Al-Mansur, Al-Ma’mun,
dan Harun Rasyid, yang memberikan perhatian teramat besar bagi perkembangan ilmu di
dunia Islam. Pada masa pemerintahan Al-Mansur, misalnya proses penerjemahan karya-
karya filsof Yunani ke dalam bahas Arab berjalan dengan pesat. Dikabarkan bahwa Al-
mansur telah memerintahkan penerjemahan naskah-naskah Yunani mengenai filsafat dan
ilmu, dengan memberikan imbalan yang besar kepada para ahli bahasa (penerjemah).
Pada masa Harun Al-Rasyid (786-809) proses penerjemahan itu juga masih terus
berlangsung. Harun memerintahkan Yuhanna (Yahya) Ibn Musawayh (w.857), seorang
dokter Istana, untuk menterjemahkan buku-buku kuno mengenai kedokteran. Dimasa itu
juga dierjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi, seperti Siddanta, sebuah risalah
india yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibn Ibrahim al-Fazari (w. 806). Pada masa
selanjutnya oleh al-khawarizmi Siddhanta ini dibuat versi baru terjemahannya dan
diberikan komentar-komentar. Selain itu juga ada Quadripartituskarya Purdemy, dan
karya-karya bidang astrologi yang diterjemahkan oleh satu tim sarjana.
Dalam bukunya, The Reconstruction of Religious Thougt in Islam Iqbal
menyatakan bahwa salah satu penyebab utama kematian semangat ilmuwan dikalangan
umat islam adalah diterimanya paham Yunani mengenai realitas yang pada pokoknya
bersifat statis, sementara jiwa islam adalah dinamis dan berkembang. Ia selanjutnya
mengungkapkan bahwa semua aliran pemikiran muslim bertemu dalam suatu teori Ibn
Miskawasih mengenai kehidupan sebagai suatu gerak evolusi dan pandangan Ibn
Khaldun mengenai sejarah.
114
7. Ruang LIngkup Filsafat Ilmu
Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi
tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
1. Ontologi ilmu
Meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren
dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan
bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah
menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dualisme, pluralisme dengan berbagai
nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat
bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada
sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Tokoh yang membuat istilah ontologi adalah Cristian Wolff (1679-1714).Istilah
ontologi berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta bararti”yang barada”, dan logi berarti
ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, antologi adalah ilmu paengetahuan atau
ajaran tentang yang berbeda. Adapun dapat diartikan juga yaitu, antologi adalah ilmu
yang mencari asensi dan eksentasi yang terakhir. Antologi adalah bagian dari Metafisika.
Persoalan dalam keberadaan menurut Ali Mudhofir (1996) ada tiga pandangan,
yang masing-masing menimbulkan aliran yang berada. Tiga segi pandangan itu adalah
sebagai berikut.
a. Keberadaan Dipandang dari Segi Jumlah (Kuantitas)
Keberadaan dipandang dari segi jumlah (Kuantitas), artinya berapa banyak kenyataan
yang paling dalam itu. Pandangan ini malahirkan beberapa aliran filasafat sebagai
jawabannya, yaitu sebagai berikut.
a) Monoisme
Aliran yang menyatakan bahwa hanya satu kenyataan yang fundamental.
Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau subtansi lainnya yang
tidak dapat diketahui. Tokohnya antara lain: Thales (625-545 SM) yang
berpendapat bahwa kenyataan yang terdalam adalah sebuah subtansi, yaitu air.
Aniximander (610-547 SM) berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan
terdalam adalah Aperion, yaitu sesuatu yang tanpa batas, tidak dapt ditentukan
dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia .
115
Anaximenes (585-528 SM) berkeyakinan bahwa yang merupakan unsur
kenyataan yang sedalam-dalamnya adlah udara. Filuf modern yang ternasuk
monisme adalah B.Spinoza, berpendapat bahwa hanya ada satu subtansi, yaitu
Tuhan. Dalam hal ini Tuhsn dididentikkan dengan alam (naturans naturata)[7].
b) Dualiasme (Serba Dua)
Aliran yang menganggap adanya dua subtabsi yang masing-masing berdiri sndiri.
Tokoh-tokoh yang termasuk aliran ini adalah Plato (428-348 SM), yang
membadakan dua dunia, yaitu dunia indra (bayang-bayang) dan dunia ide (dunia
yang terbuka bagi rasio manusia). Rene Descrates (1596-1650 M) yang
membedakan subtansi pikiran dan subtabsi keluasan. Leibniz (1646-1716 M) yang
membadakan antara dunia dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin.
Imanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala (fenomena)
dan dunia hakiki (naumena).
c) Pluralisme (Serba Banyak)
Aliran yang tidak mengakui adanya satu subtansi atau dua subtansi melainkan
banyak subtansi. Para filsuf yang termasuk pluralisme diantaranya Empedokles
(490-430 SM) yang mrnyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri atas 4 unsur,
yaitu udara, api, air, dan tanah. Anaxagoras (500-428 SM) yang menyatakan
bahwa hakikat hakikat kenyataan terdiri atas unsur-unsur yang tidak terhitungg
banyaknya, sebanyak sejumlah sifat benda dan semuanya dikuasai oleh suatu
tenaga yang dinamakan nous. Dikataknnya bahwa nous adalah suatu zat yang
paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.
b. Keberadaan Dipandang dari Segi Sifat (Kualitas)
Keberadaan dipandang dari segi sifat (kualis) menimbulkan beberapa aliran sebagai
barikut.
a) Spiritualisme
Spiritualisme mengandung beberapa arti, yaitu:
1) Ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh
(Pneuma, Nous, Reason, Logos), yakni roh yang mendasari dan mengisi
seluruh alam. Spirituliasme dalam arti ini dilawankan dengan materialisme.
116
2) Kadang-kadang dikenakan pada pandangan idealistis yang menyatakan
adanya roh mutlak. Dunia indra dalam pengertian ini sebagai dunia ide.
3) Dipakai dalam istilah keagamaan untuk menekankan pengaruh langsung dari
roh suci dalam bidang agama.
4) Kepercayaan bahwa roh orang mati berkomunikasi dengan roh orang yang
masih hidup melalui perantara atau orang tertenntu dan melalui bentuk wujud
yang lain. Istilah spiritualisme lebih tepat dikenakan bagi kepercayaan
semacam ini. Aliran spiritualisme juga disebut idealisme (serba cita). Tokoh
aliran ini diantaranya Palto dengan ajarannya tentang idea(cita) dan jiwa. Idea
atau cita adalah gambaran asli segala benda. halSemua yang ada dalam
dunia hanyalah penjelmaan atau bayangan saja.
b) Materialisme
Adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang nyata kecuali
materi. Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan materi yang dapat
dikembalikan pada unsur-unsur fisik. Materi adalah sesuatu yang kelihatan, dapat
diraba, berbentuk, dan menempati ruang. Hal-hal yang bersifat keharmonian
seperti pikiran, jiwa, keyakinan rasa sedih, dan rasa senang tidak lain hanyalah
pengungkapan proses kebendaan. Tokoh aliran ini antara lain Demokritos (460-
370 SM), Berkeyakinan bahwa alam semesta tersusun atas atom-atom kedil yang
memiliki bentuk dan badan. Atom ini mempunyai sifat yang sama, perbedaannya
hanya hanya besar, bentuk, dan letaknya. Thomas ahobbes (1588-1679)
berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia merupakan gerak dari
materi. Termasuk juga pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka karena segala
sesuatu yang terjadi dari benda-benda kecil. Bagi Thomas Hobbes, filsafat sama
dengan ilmu yang mempelajari benda-benda.
c. Keberadaan Dipandang dari Segi Proses, Kejadian, atau Perubahan
Aliran yang berusaha menjawab persoalan ini adalah sebagai berikut.
c) Mekanisme
Menyatakan bahwa semua gejala dapat dijelaskan berdasarkan asas-asas
mekanik(mesin). Semua peristiwa adalah hasil dari materi yang bergerak dan
dapat dijelaskan menurut kaidahnya. Aliran ini jua menerangkan semua peritiwa
117
berdasar pada sebab kerja (efficient cause), yang dilawankan sebab tujuan (final
cause). Alam dianggap sebuah mesin yang keseluruha fungsinya ditentukan
secara otomatis oleh bagian-bagiannya. Pandangan yang bercorak mekanistik
dalam kosmologi pertama kali diajukan oleh Leucippus dan Demokritus yang
berpendirian bahwa alam dapat diterangkan berdasarkan pada atom-atom yang
bergerak dalm ruang kosong. Pandangan ini dianut oleh Galileo Galilei (1564-
1641) dan filsuf lainnya dalam abad ke-17 sebagai filsafat mekanik.
d) Teleologi (Serba- Tujuan)
Berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab
akibat, akan tetapi sejak semula memang ada suatu kemauan atau kekuatan yang
mengarahkan alam kesuatu tujuan. Plato membedakan antara idea dan materi.
Tujuan berlaku di dalam ide, sedangkan kaidah sebab-akibat berlaku dalm materi.
Menurut Aristoteles, untuk melihat kenyataan yang sesungguhnya kita harus
memahami empat sebab, yaitu sebab bahan (materia cause), sebab bentuk
(formal cause), sebab kerja (efficient cause), dan sebab tujuan (final cause). Sebab
bahan adalah bahan yang menjadikan sesuatu itu ada; sebab bentuk adalah yang
menjadikan sesuatu itu berbentuk; sebab kerja adalah yang menyebabkan bentuk
itu bekerja atas bahan; sebab tujuan adalah yang menyebabkan tujuan semat-mata
karena perubahan tempat atau gerak. Dibidang ini semata-mata berkuasa yang
kaidah sebab akibat yang pasti. Sebaliknya, segala kejadian tujuannya adalah
menimbulkan sesuatu bentuk atau sesuatu tenaga. Namun, di katakan juga bahwa
kegiatan alam maengandung suatu tujuan. Sehubungan dengan masalah ini kaidah
sebab akibat hanyalah alat bagi alam untuk mencapai tujuannya
e) Vitalisme
Memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya secara fisika-kimiawi,
karena hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup. Filsuf vitalisme seperti
Henry Bergson (1859-1941) menyebutkan elan vital. Dikatakannya bahwa ela
vital merupakan sumber dari sebab kerja dan perkembangan dalam alam. Asas
hidup ini mamimpin dan mengatur gejala hidup dan menyesuiakannya dengan
tujuan hidup. Oleh karena itu, vitalisme sering juga dinamakan finalisme.
f) Organisme
118
Aliran ini biasanya dilawankan dengan mekanisme dan vitalisme. Menurut
organisisme, hidup adalah suatu sturktur yang dinamis, suatu kebetulan yang yang
memiliki bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya sistem
yang teratur. Semua bagian bekerja dibawah kebulatannya.
2. Epistemologi ilmu
Meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai
pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan
sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih.
Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan
pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga
dikenal adanya model-model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme
atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya.
Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be-
serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seped teori koherensi, korespondesi,
pragmatis, dan teori intersubjektif.
a. Pengertian Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiridari dua kata, yaitu
epistemeyang berarti pengetahuan, dan logos, yang berarti pikiran, teori atau ilmu.
Jadi, epistemologi berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan atau ilmu
pengetahuan. Istilah lain juga biasa digunakan, yaitu teori pengetahuan (theory of
knowledge) atau filsafat pengetahuan (philosophy of knowledge) (Susanto,
2011:136).
Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan
pengetahuan: Apakah sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan
ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan
pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap
manusia (William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965 dalam
Suriasumantri, 2007:119).
Menurut Surajiyo (2010:26), epistemologi adalah bagian filsafat yang
membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
119
pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan. Dan menurut
Pidarta (2009:77) epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan
dan kebenaran.
Dari berbagai pendapat ahli di atas dapat disimpulkan dengan bahasa sederhana
epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar.
b. Jarum Sejarah Pengetahuan
Sejarah pengetahuan berjalan sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia.
Dengan mengetahui sejarah akan pengetahuan, kita akan dibantu bagaimana
menetapkan suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang benar nantinya.
Secara garis besar, sejarah pengetahuan terbagi menjadi tiga fase, yaitu :
1) Pengetahuan abad primitif
Pada abad primitif manusia sudah mulai mengenal dengan yang namanya
pengetahuan. Mereka menfungsikan pengetahuan tersebut sebagai alat dan cara
mereka untuk menyelesaikan masalah yang terjadi disekitar mereka. Akan tetapi,
pada abad ini pengetahuan masih berupa satu kesatuan yang bulat. Tidak adanya
pengklasifikasian antara suatu pengetahuan tertentu dengan pengetahuan yang
lainnya. Akibatnya, pada masa itu, seorang yang dianggap mampu dibidang
kedokteran, dia juga akan dianggap mampu dibidang pertanian, keagamaan,
pemerintahan dan lainnya. Seorang pemimpin pada masa itu adalah mereka yang
ahli atau pakar dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berada dibawah
kepemimpinanya.
2) Pengetahuan abad penalaran (age of reason)
Pada abad ini manusia telah mengalami perkembangan pemikiran yang cukup
pesat setelah terlewatnya masamasa pemikiran primitif. Pada abad ini manusia
mulai melakukan pembedaan pembedaan antara satu pengetahuan dengan
pengetahuan yang lainnya. Mereka membedakan pengetahuan pengetahuan
tersebut dalam wadahnya yang terpisah. Artinya, antara satu pengetahuan dengan
pengetahuan yang lainnya memiliki ranahnya masing masing untuk dikaji. Tidak
ada hubungan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya dalam
rangka menyelesaikan suatu masalah. Metode yang berkembangpun antara satu
pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya sangat berbeda. Intinya, pada
120
masa ini pengetahuan mengalami diferensiasi dan memiliki ranahnya masing
masing tanpa berhubungan atau berkait dengan pengetahuan lainnya.
3) Pengetahuan abad modern
Fase terakhir ini adalah fase pengetahuan yang masih berlaku hingga sekarang ini.
Manusia mulai menggabungkan antara metode primitif dengan metode yang
digunakan oleh manusia masa penalaran. Dengan penggabungan dua cara
tersebut, munculah metode inter-disipliner dalam pengetahuan. Tidak seperti
metode yang dipergunakan pada masa penalaran, masa ini, pengetahuan lebih
diperlakukan sebagai suatu rangkaian penyelesaian masalah yang berkaitan antara
satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya. Artinya, wilayah antara satu
pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya tetap dibedakan untuk kajian
telaahnya. Akan tetapi, dalam perannya sebagai alat untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi manusia, pengetahun memiliki semacam ikatan yang erat antara
satu wilayah kajian keilmuan dengan yang lain. Demikianlah jarum sejarah
perjalanan pengetahuan dalam perannya sebagai alat untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan manusia yang terjadi pada kehidupan sehari hari.
c. Pengetahuan
Sama seperti sejarah pada perkembangan pengetahuan dari masa ke masa, metode
epistemologi juga berkembang seiring dengan berkembangnya cara berpikir manusia.
Dimulai dengan nenek moyang kita yang hidup di masa-masa purba yang mana
masih sangat primitif. Usaha mereka dalam mendapatkan pengetahuan yang benar
terutama dalam penafsiran dan memahami alam adalah dengan meletakkan dewa
dewa pada setiap gejala yang terjadi di alamini. Hujan deras yang merusak pertanda
bahwa dewa hujan sedang dalam keadaan badmood. Entah itu karena manusia yang
lupa memberikannya sesajen atau dia sedang ada masalah dengan dewa lainnya.
Tahap selanjutnya adalah masa dimana manusia mulai berusaha untuk melepas
belenggu mitos dalam setiap gejala alam yang mereka rasakan dan mereka lihat. Dari
usaha ini berkembanglah epistemologicommon sense dan trial-and-error. Ada dua
ciri dari epistemologi manusia zaman ini untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar. Yang pertama dengan menggunakan common sense atau akal sehat. Pada
121
tahap ini mereka mulai menggunakan akal mereka untuk menafsirkan alam dengan
melepas belenggu belenggu mitos yang diwariskan generasi sebelumnya. Kedua
adalah dengan trial-and-error yaitu metode praktek lapangan dengan mencoba-coba.
Artinya sebelum mengkaji tentang tentang sesuatu mereka masih belum dibekali
dengan suatu teori tentang hal tersebut. Yang ada hanyalah bekal akal yang sehat dan
keberanian untuk mencoba-coba. Akibatnya sistem epistemologi seperti ini tidaklah
mendatangkan sebuah pengetahuan yang benar akan objek yang dikaji. Contoh :
ketika Copernicus mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari.
Masyarakat setempat tidak mempercayainya. Sebab, menurut akal sehat mereka
mataharilah yang mengelilingi bumi. Jadi, akal sehat selamanya tidak selalu
memberikan kebenaran. Akan tetapi, epistemology seperti ini berperan penting
dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Dilanjutkan dengan tumbuh rasionalisme untuk merontokkan dasar dasar pikiran
yang masih bersifat mitos. Lalu, karena adanya beberapa kelemahan pada metode
seperti ini, berkembanglah empirisme. Sama seperti rasionalisme, empirisme juga
terdapat celah-celah dalam metode penemuan kebenarannya.Selanjutnya, munculah
metode eksperimen yang menengahi antara merode rasionalisme dan empirisme.
Bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Yaitu dengan mengadakan
penjelasan-penjelasan teoritis dalam ranah rasio dan melakukan pembuktian
pembuktian dalam ranah empiris. Inilah yang disebut dengan metode eksperimen
yang menjembatani antara rasionalisme dan empirisme. Konsep epistemologi ini
dikembangkan para sarjana muslim ketika masa keemasan islam dan
dimasyarakatkan oleh Francis Bacon. Dari metode eksperimen inilah nanti timbul
“metode ilmiah” yang menggabungkan antara cara berpikir deduktif dan cara
berpikir induktif.
d. Metode Ilmiah
Kata metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta
(menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara,
arah) kata methodos sendiri lalu berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah,
uraian ilmiah.
122
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu
tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah (Suriasumantri,
2007:119).
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam
beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka
berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada
dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang
jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di
dalamnya;
2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka
berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah
teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan
dengan permasalahan;
3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berpikir yang dikembangkan;
4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta ynag relevan
dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta
yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak;
5) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang
diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam pengujian terdapat fakta yang
cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya
sekiranya dalam proses pengujian tidak tedapat fakta yang cukup mendukung
hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterimakemudian dianggap
123
menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan
keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisiten dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian
kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini
belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Metode Ilmiah ini tidak dapat digunakan pada pengetahuan yang tidak termasuk
kedalam kelompok ilmu, contohnya matematika dan bahasa tidak mempergunakan
metode ilmiah dalam penyusunan pengetahuannya, karena matematika hanyalah
pengetahuan yang menjadi sarana dalam berfikir ilmiah. bagitu juga halnya dengan
bidang sastra yang termasuk kedalam humoniora yang jelas tidak mempergunakan
metode ilmiah dalam penyusunan tubuh pengetahuannya.
e. Struktur Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang
memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan
ilmiah atau ilmu. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang
bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan
serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang
ada. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan
berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar
ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Jadi pengetahuan ilmiah pada hakikatnya
mempunyai tiga fungsi, yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.
Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif,
probabilistik, fungsional atau teleologis, dan genetik (Ernest Nagel, 1961, dalam
Suriasumantri, 2007:142).
1) Penjelasan deduktif mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan
suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang
telah ditetapkan sebelumnya.
2) Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari
sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti
124
penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang bersifat peluang seperti
“kemungkinan”, „kemungkinan besar” atau “hampir dapat dipastikan”.
3) Penjelasan fungsional atau teleologis merupakan penjelasan yang meletakkan
sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai
karakteristik atau arah perkembangan tertentu.
4) Penjelasan genetik mempergunakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam
menjelaskan gejala yang muncul kemudian.
Struktur pengetahuan ilmiah terdiri dari:
1) Teori
Merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor
tertentu dari sebuah disiplin keilmuan.
2) Hukum
Pada hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua
variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat.
3) Prinsip
Dapatdiartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok
gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi,
umpamanya saja hukum sebab akibat sebuah gejala.
4) Postulat
Merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut
pembuktiannya. Bila postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti
tentang kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus
ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan
pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji.
3. Aksiologi llmu
Meliputi nilal-nilal (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna
terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang
menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasansimbolik atau pun
fisik-material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu
conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan
125
penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Dalam perkembangannya Filsafat llmu
juga mengarahkan pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut
etik dan heuristik. Bahkan sampal pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan.
E. Bubungan Antara Filsafat Ilmu Dengan Filsafat Pendidikan
Pendidikan sebagai pengetahuan atau ilmu mempunyai bagian yang terdiri atas dasar dan
fakta. Lazimnya dasar bersifat abstrak. Pendidikan di Indonesia dinyatakan berdasarkan
Pancasila. Pancasila yang dimaksud adalah nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber
pada Pancasila, misalnya keadilan. Keadilan sebagai nilai bersifat abstrak dan baru akan
menjadi konkret bila diterapkan dalam bidang tertentu, seperti dalam bidang hukum.
Akan terasa janggal bila dalam mendidik seseorang tanpa dibekali terlebih dahulu dengan
teori-teori yang bersifat abstrak. Dalam mendidik perlu diketahui tujuan yang ingin dicapai.
Pendidikan adalah serangkaian tindakan yang disengaja. Seseorang yang terpaksa
menghukum anaknya perlu mengetahui makna dan kegunaaan hukuman dalam pendidikan,
misalnya untuk membuat jera atau untuk membuat peserta didiknya sakit, dan sebagainya.
Bagian yang abstrak ini pemaknaannya banyak yang perlu diambil dari bidang filsafat. Pada
hakikatnya, hubungan antara filsafat dan pendidikan merupakan hubungan keharusan, bukan
hanya hubungan insidental semata. Berikut ini ditampilkan beberapa contoh.
Dalam bidang pendidikan, manusia atau khususnya peserta didik adalah subjek
pendidikan. Pendidikan perlu mengetahui dengan jelas pengertian tentang manusia atau
peserta didik tersebut. Dengan sendirinya muncullah pertanyaan mengenai apa manusia dan
peserta didik itu. Pertanyaan ini perlu dijawab dengan jelas, namun besifat umum. Karena
bersifat abstrak maka dengan sendirinya jawaban itu tidak akan memuaskan bila dijawab
dengan data konkret, tetapi seyogianya dijawab secara umum, kemudian dilanjutkan dengan
penjabaran secara konkret. Jawaban ini berasal dari bidang filsafat, misalnya manusia adalah
makhluk monodualis, mono-multi-dimensional, dan sebagainya.
126
Dari contoh-contoh tersebut dapat dijabarkan menjadi lebih konkret, misalnya manusia
adalah makhluk monodualis. Yang dimaksud di sini adalah manusia terdiri atas jiwa dan raga
yang keduanya tidak terpisah satu sama lain. Keduanya saling menunjang dan saling
berhubungan. Masing-masing juga mempunyai sifat saling ketergantungan.
Selain itu, yang dimaksud mono-multidimensional adalah manusia terdiri atas berbagai
komponen, jiwa-raga, tampak dan tidak tampak, serta mempunyai sifat yang bermacam-
macam. Namun semua itu menyatu dalam suatu ikatan sehingga pada hakikatnya manusia
mempunyai pribadi yang utuh dan tunggal.
Kedua jawaban tersebut berasal dari metafisika, yaitu suatu cabang dari ilmu filsafat.
Dengan demikian, antara pendidikan dan filsafat mempunyai hubungan keharusan. Contoh
lain yang dapat menjelaskan hubungan keharusan adalah masalah pengetahuan. Pada
hakikatnya, hubungan antara filsafat dan pendidikan merupakan hubungan keharusan, bukan
hanya hubungan insidental semata. Berikut ini ditampilkan beberapa contoh. Dengan
pengajaran, seorang guru dapat menyampaikan berbagai pengetahuan kepada peserta didik.
Penyampaiannya dapat juga menggunakan bermacam-macam cara. Oleh karena itu, perlu
dirumuskan dengan cermat tentang makna dari pengetahuan. Dengan dasar inilah dapat
diperkirakan metode mana yang sebaiknya digunakan atau diterapkan. Sebagai contoh, bila
pengetahuan dicari maknanya berdasarkan sumber-sumbernya maka akan muncul beberapa
jenis pengetahuan.
Pengetahuan dapat bersumber pada wahyu yang berasal dari Tuhan. Secara sederhana
diartikan pengetahuan bersumber pada agama. Karena manusia berkedudukan sebagai
penganut agama maka semakin banyak pengetahuan agama yang dipelajari, diharapkan
keimanan dan ketakwaannya menjadi semakin tebal. Oleh karena itu, guru yang mengajarkan
pengetahuan agama selain mentransfer pengetahuan juga bertugas untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan. Materi pengajaran yang diberikan perlu diusahakan selalu menarik
dan memperkuat keinginan untuk memperoleh pahala dari yang bersendian wahyu perlu
dihindarkan dari kemungkinan timbulnya keragu-raguan pada peserta didik.
Sebaliknya, bila pengetahuan yang diajarkan bersumber pada pengelaman yang
terkendali, seperti ilmu pengetahuan alam dan berbagai pengetahuan dalam bidang teknologi
maka harus disampaikan secara mantap. Pengetahuan ini dihimpun atas dasar pengamatan
atau observasi yang teratur. Bila pengamat atau observer menjumpai gejala atau data itu
127
benar-benar yang dicari. Pengujian itu didasarkan atas kriteria yang telah ditetapkan, dan
sampailah ia pada kesimpulan tentang sesuai atau tindaknya pengetahuan tersebut. Dengan
demikian, jelaslah bila jenis pengetahuan yang diajarkan guru bersumber pada pengalaman
yang terkendali.
Beberapa contoh yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa jenis pengetahuan
merupakan dasar tentang bagaimana dan apa yang perlu dikembangkan pada diri peserta
didik. Hal-hal tersebut perlu dilakukan agar pengajaran dapat berhasil. Dengan demikian,
semakin jelas bahwa pengajaran perlu memperhatikan epistemologi, yaitu salah satu cabang
filsafat mengenai pengetahuan.
Berikut akan dikemukakan contoh yang berhubungan dengan pengembangan bidang
kecerdasan. Sebagaimana telah diketahui bahwa pendidikan selalu berusaha agar peserta
didik menjadi cerdas dan pandai. Tujuan pendidikan nasional di Indonesia menunjukkan hal
tersebut dalam tujuan utama pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia seutuhnya. Salah satu kemungkinan untuk pengembangan
kecerdasan adalah adanya kemampuan berpikir logis. Berpikir logis adalah berpikir atau
mengambil keputusan dengan logis. Logis berarti lurus dan benar. Jadi, berpikir pun perlu
memperhatikan efisiensi.
Oleh karena itu, agar peserta didik memiliki penguasaan tersebut perlu dikenalkan
dengan logika. Ada beberapa logika yang perlu dikenalkan sejak kecil, misalnya logika
tradisional. Logika ini ditemukan dan dikembangkan oleh Aristoteles atau logika yang lebih
mutakhir, seperti logika modern atau logika simbolik.
Dari contoh tersebut, jelaslah bahwa pengajaran perlu memerhatikan logika yang
menyelidiki dan mengembangkan kemampuan berpikir yang lurus dan benar.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dari salah satu cabang filsafat dalah pendidikan yang
berkecimpung dalam bidang nilai. Pengembangan watak serta kepribadian memegang peran
penting dalam menntun dan mengembangkan peserta didik. Peserta didik perlu memiliki
sopan santun dan tingkah laku yang terpuji sehingga guru perlu terus-menerus memberi
teladan. Cabang ilmu lainyang perlu diperhatikan adalah aksiologi, yaitu filsafat yang
membahas tentang nilai. Aksiologi meliputi dua aspek, yaitu etika dan estetika. Aspek
pertama mengenai baik dan buruk ditinjau dari tingkah laku manusia. Aspek yang kedua
mengeanai keindahan. Kedua aspek ini perlu hadir dalam kancah pendidikan.
128
Rasa keindahan, termasuk keharmonisan perlu dikembangkan secara teratur. Salah satu
cara yang ditempuh guru-guru adalah memberikan tugas kepada murid agar setiap hari secara
bergiliran membersihkan kelas. Bila siswa-siswa dapat menghayati hal tersebut maka tidak
mustahil bila pengahayatan akan tertanam dengan baik dalam hati sanubari peserta didik.
Baik buruk yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia merupakan salah satu perekat
hubungan yang harmonis di antara mereka. Dengan kata lain, etika perlu ditegakkan agar
pergaulan menjadi harmonis dan serasi. Dalam filsafat ada beberapa pendekatan tentang hal
ini. Sebagai contoh, pendekatan yang menyatakan bahwa sesuatu itu dikatakan baik bila
hasilnya menunjukkan kebaikan. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konsekuensialis,
misalnya makan makanan yang bergizi dapat dipandang baik bila yang dimakan itu dapat
berakibat baik bagi kesehatan. Contoh yang lain, mengikuti pertandingan sepak bola
antarnegara baru dapat dipandang baik bila hasilnya dapat meningkatkan martabat bangsa
yang diwakili, yaitu berhasil menang dengan gemilang.
Pendekatan yang lain adalah nonkonsekuensialis. Pandangan ini tidak meletakkan
tinjauan baik dan buruk pada hasil perbuatan seseorang, melainkan pada landasan ideal yang
menjadi dasar perbuatannya. Pendekatan ini bersendikan atas teori kategori imperatif yang
berasal dari Immanuel Kant, seorang tokoh pemikir yang hidup di Jerman (1724-1804). Ia
berpendapat bahwa pada dasarnya setiap manusia mempunyai watak atau panggilan hati
untuk berbuat kebaikan. Panggilan ini bersifat universal. Siapa pun terpanggil untuk berbuat
hal-hal yang terpuji, seperti kejujuran, kesusilaan, kesederhanaan, keterusterangan,
keterbukakan, dan sebagainya. Tingkah laku yang dilandasi oleh cita-cita yang mulai ini akan
berwujud secara nyata pada tingkah laku dan perbuatan orang yang bersangkutan. Kendati
pendekatan tersebut berbeda, tetapi tidak berlawanan. Bahkan dengan pertimbangan yang
matang, keduanya dapat dipertemukan dan saling mengisi. Misalnya tentang cita-cita
pembangunan yang dapat menyejahterakan orang banyak. Karena ideal maka dapat
dikatakan bahwa cita-cita itu terbentang jauh ke depan tanpa batas. Namun bats itu
merupakan sesuatu yang sulit untuk dibanyangkan. Pembangunan dilaksanakan dengan
tahapan-tahapan. Setiap satu tahapan selesai dikerjakan akan dievaluasi keberhasilan serta
kegagalannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada awal penyusunan,
pembangunan bersifat nonkonsekuensialis, tetapi sampai pada penilaian suatu tahapan,
pandangan yang digunakan bersifat konsekuensialis.
129
George F. Kneller dalam bukunya Introduction to the Philosophy of Education (1971),
menyatakan adanya 3 modus dalam mempelajari hubungan antara filsafat dan pendidikan.
Artinya, modus yang lazim ada dalam filsafat juga berlaku bagi filsafat pendidikan, modus
itu adalah spekulatif, preskriptif, dan analitis.
Spekulatif berarti pemikiran yang sistematis terhadap apa saja yang ada, baik abstrak
maupun konkret. Filsafat berusaha menemukan koherensi antarberbagai keadaan, pemikiran,
dan pengalaman. Dengan pencaharian koherensi, dunia pikiran diharapkan dapat
dipertemukan dengan pengalaman nyata.
Modus yang kedua adalah preskriptif. Dengan modus ini tercipta standar untuk
mempelajari adanya peranan nilai bagi pendidikan. Kedudukan nilai dalam kehidupan sangat
fundamental sehingga perlu diusahakan agar kualitas dan penerapannya selalu meningkatkan
mutu kehidupan. Dengan modus ini pendidikan akan memperoleh gambaran yang jelas
tentang nilai serta pemahaman tentang baik buruknya tingkah laku dan sebagainya. Nilai-
nilai tersebut merupakan sebuah gambaran atau proyeksi pemikiran orang atau siapa pun
yang berada di luar hal atau benda itu. Misalnya, bila membicarakan masalah kemanusiaan
yang beradab akan diperoleh deskripsi yang lebih kurang sebagai berikut.
Manusia adalah makhluk yang mempunyai pembawaan. Immanuel Kant mengatakan
bahwa manusia mempunyai impertif kategoris, yaitu pembawaan untuk mempunyai wawasan
dan pendapat tentang kebaikan. Berdasarkan hal ini maka imperatif kategoris itu inheren
pada diri manusia.
Contoh lain dapat kita lihat pada pengawsan melekat. Tiap jenis pekerjaan seyogianya
selalu diawasi agar kuantitas dan kualitasnya terjaga. Bila ada kualiatas yang menurun, hal
ini dapat diketahui dari pengawasan sehingga dapat segara dapat ditingkatkan kembali.
Karena orang-orang yang berbeda pada pekerjaan tersebut sudah berada pada suatu jaringan
kerja dan masing-masing telah mengetahui mana yang boleh dan mana yang melanggar
disiplin maka pengawasan dapat dilakukan oleh pimpinan beserta orang-orang yang
membantunya. Pengawasan yang dimaksud bukan eksternal seperti yang dilakukakn oleh tim
pengawas dari kantor pengawasan. Pengawasan diharapkan dapat dilakukan sendiri sehingga
merupakan sesuatu yang inheren pada masing-masing anggota pimpinan beserta orang-orang
yang membantunya. Dengan adanya pengawasan yang inheren ini maka tugas tim dari kantor
pengawasan akan lebih ringan.
130
Dari contoh tersebut disimpulkan bahwa pendidikan perlu mengembangkan kriteria-
kriteria tentang nilai, baik yang burk maupun baik, serta apresiasi-apresiasi terhadap karya
seni tertentu. Agar tujuan tersebut dapat dikembangkan secara proporsional, perlu didukung
pemahamna dan penerapan mengenai aksiologi.
Modus yang ketiga adalah analisis. Modus ini berkenaan dengan kata-kata dan mkana.
Dalam bidang pendidikan, istilah-istilah baku, seperti sekolah, persekolahan, kebebasan,
kedewasaan, otonomi, atau kebebesan mimbar dapat berubah-ubah maknanya adari waktu ke
waktu atau dari negara ke negara lain. Kata sekolah biasanya menunjukan kepada satuan
pendidikan yang setara dengan sekolah dasar dan sekolah menengah. Tetapi selain itu, ada
istilah scola materna sebagaimana dikemukakan oleh Johan Amos Comenius. Istilah ini lebih
kurang sama dengan play group. Persekolahan, sebagaimana lazimnya meliputi jenjang studi
yang telah dikemukakan, namun sekarang ini persekolahan apa saja dapat dihubungkan
dengan pendidikan, misalnya kursus. Saat ini kursus dapat digolongkan ke dalam
persekolahan.
Kebebasan ada kaitannya dengan pola asuh dalam pendidikan. Sampai sekarang ini pola
asuh yang dipandang memadai adalah pola asuh demokratis, bukan yang otokratis atau laises
faire. Dalam demokrasi terkandung pengertian kebebasan. Dengan terpenuhinya kebebasan
dalam praktik pendidikan maka peserta didik akan berkembang ke pemilikan kepribadian dan
kemandirian. Namun, timbul pertanyaan tentang seberapa jauhkah kebebasan perlu diberikan
kepada pesreta didik. Karena pendidikan sebagai proses pada hakikatnya bergerak di antara
pemberian kebebasan penuh dan pemaksaan maka bagaimana makna kebebasan yang
sesungguhnya?
Salah satu telaah yang perlu dilakukan secara analitis adalah mencermati perkembangan
makna secara historis. Dari situ akan dijumpai kenyataan bahwa kebebasan bila ditinjau dari
maknanya dapat berubah-ubah dalam keterkaitannya dengan lingkungan dan waktu. Secara
historis serta dikaitkan dengan keadaan masyarakat yang tradisional dan paternalistik,
kebebasan lebih banyak diikat oleh tata cara pergaulan dan sikap yang kaku, yang seolah-
olah tidak pernah berubah. Namun dalam alam modern sekarang ini, hal yang peternalistik
sudah mulai kabur dan penguasaan pengetahuan boleh dikatakan tanpa akhir sehingga
diperlukan pemberian kebebasan yang cukup agar peserta didik mampu menyerap
pengetahuan yang diperlukan. Saat ini, tradisi seolah-olah tidak lagi sepenuhnya mengikat,
131
terlebih hal-hal yang merupakan ekspresi paternalisme tidak mampu membatasi cita-cita
peserta didik. Akibatnya pada masa sekarang kebebasan banyak ditentukan oleh kemampuan
peserta didik dalam mencapai cita-citanya. Hal ini didukung lingkungan yang memberi jalan
ke arah yang dituju oleh peserta didik.
Makna kedewasaan berbeda dalam masyarakat tradisional dan modern. Dalam
masyarakat tradisional, kedewasaan dapat dikatakan stabil dan pencapaiannya terkait dengan
norma-norma yang telah mapan dan digunakan sebagai pegangan oleh masyarakat pada
umumnya. Dalam masyarkat modern, nilai kedewasaan menjadi relatif. Dalam banyaka hal
pemilihan norma dan nilai oleh peserta didik dapat berubah karena didesak oleh berbagai
perkembangan yang meliputi berbagai hal yang sifatnya lebih baru, lebih memberikan
harapan, dan sebagainya.
Otonomi mempunyai hubungan dengan kebebasan karena otonomi mengandung
pengertian kebebasan dalam pengelolaan mengenai sesuatu. Namun, kebebasaan terikat
dengan struktur dan tata kerja suatu masyarakat atau lembaga dengan organisasinya. Dalam
masyarakat yang perubahan dan perkembangannya dikendalikan secara terpusat, yang ada
hanyalah gerak diantara yang boleh dan kemungkinan yang diperbolehkan. Jadi, ruang gerak
otonomi sangat terbatas.
F. Daftar Pustaka
Alwasilah, Chaedar. 2007. Filsafat Bahasa da Pendidikan. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Barnadib, Imam. 2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: PT. Mitra Gama Widya
Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta
Jalaludi dan Idi, Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan). Jakarta: AR-RUZZ MEDIA
132
Mufid, Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Muhmidayeli.2011. Filsafat Pendidikan. Pekanbaru: PT. Refika Aditama
Tim Model IKIP PGRI Madiun. 2010. Landasan Filosofis Pendidikan. Madiun: Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP PGRI Madiun
G. Kurikulum Vitae
133
top related