filkom habermas
Post on 28-Dec-2015
54 Views
Preview:
TRANSCRIPT
FILSAFAT KOMUNIKASI
Fenomenologi – Jürgen Habermas
Vella Yolanda 210110110208
Rifki Yudia P. 210110110249
Tria Andini 210110110255
M. Hanif Izzatullah 210110110260
Vinny Adityas P. 210110110272
Vinny Rahmi 210110110273
Radovan Raynes 210110110277
Efrin Umma N.R. 210110110287
Moh. Faizal M. 210110110313
Humas C
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PADJAJARAN
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN MASYARAKAT2014
Fenomenologi Habermas Dunia-Kehidupan Sebagai Konsep Tindakan Komunikatif
Diantara sekian banyak jasa Habermas bagi filsuf sosial termasuk
didalamnya filsafat komunikasi dan komunikasi sosial jasa paling menonjol
adalah perjuangannya yang tak kenal lelah menggali potensi komunikasi manusia.
Bagi Habermas komunikasi bagaikan harta karun yang tak pernah habis digali.
Selama 60 tahun Habermas tak habis – habisnya merangsang dan menantang
pemikiran kontemporer.
Edmund Arens ( dalam Shindunata, 2004 ) seorang teolog Universitas
Munster yang menekuni Habermas untuk mengembangkan teologinya
memberikan kesaksian seperti ini : dalam setiap pertemuan, seminar, atau
konfrensi, ketika ia harus meyakinkan para pendengar tentang pendapatnya, atau
harus berdebat dengan lawan – lawannya, atau ketika menarik kesimpulan dari
beberapa pendapat yang berbeda, Habermas selalu menunjukan diri sebagai
manusia yang amat kompeten dalam hal berkomunikasi. Dalam semua upayanya
itu, ia selalu menunjukan mutunya sebagai pribadi yang soverain dan amat
berpengetahuan dalam hal komunikasi.
Dalam mengembangkan konsep tentang tingkah laku dan rasionalitas
komunikatif, Habermas sanggup terus – menerus berdialog dengan bidang ilmu
apapun, sosiologi, psikologi, hukum, antropologi, bahkan teologi. Karena
kegigihan dan keterbukaannya itu pantas jika filsuf hermeneutic Hans-Georg
Gadamer pernah menjuluki Habermas sebagai “master komunikasi”. (Arens,2004,
dalam Sindhunata, 2004).
Wiggerhaus (1987, dalam Shindunata, 2004) komunikasi boleh dibilang
merupakan tema hidup Habermas, dan menjadi benang merah karya – karyanya.
Bagi Habermas, komunikasi bukanlah teknik atau komunikasi seperti yang biasa
terjadi dalam media. Baginya komunikasi adalah sesuatu yang demikian khas dan
dasariah melekat pada diri masyarakat hingga tanpanya, masyarakat takkan
pernah ada.
Dimata Alex Callinicos, penulis buku, Agains Postmodernism ([1990]
2008), Habermas ialah filsuf besar aliran kiri barat kontemporer. Penilaian ini
dapat dibenarkan dengan tiga dasar alasan, pertama, skala, jangkauan, dan
kualitas tulisan – tulisannya; kedua, usaha Habermas untuk merekonstruksi
materialism historis sebagai sebuah teori evolusi sosial, dan terutama untuk
menyajikan sebuah analisis yang bisa dipertahankan mengenai proses kontradiktif
dan modernisasi kapitalis; ketiga kegigihan untuk membela proyek pencerahan,
yakni ‘organisasi rasional dan kehidupan sosial sehari-hari’
A. Sekilas Tentang Habermas
Jürgen Habermas atau yang sering di kenal dengan Habermas merupakan
seorang pria berkebangsaan Jerman yang lahir di Gummersbach 18 Juni 1929. Di
universitas Gottigen ia belajar kesusasteraan Jerman, sejarah dan filsafat dan juga
mengikuti kuliah di bidang psikologi dan ekonomi. Lalu ia melanjutkan studi
filsafat di Universitas Bonn dan meraih gelar Ph.D setelah berhasil
mempertahankan disertasinya tentang Das Absolute und die Geschicte ( Yang
Absolut dan Sejarah ) yang kemudian di terbitkan menjadi buku pada tahun 1954.
Pada waktu itu ia juga berkecimpung sangat intens di dunia politik terutama
sehubungan dengan diskusi yang sangat hangat tentang persenjataan kembali (
rearmament ) di Jerman.
Pada tahun 1956 Habermas berkenalan dengan lembaga penelitian sosial di
Frankfurt dan menjadi asister Theodor Ardono. Bersama sebuah tim (von
Friedburg, Oehler, Weltz ) ia melakukan riset mengenai sikap politik mahasiswa
di Universitas Frankfurt. Ia mengerjakan dari sisi teoritis. Hasil penelitian itu
terdapat dalam buku student und politik ( mahasiswa dan politik ) 1964.
Pada tahun 1961 ia di undang untuk menjadi profesor filsafat di Heidelberg.
Namun pada tahun 1964 Habermas kembali ke Frankfurt sebagai profesor
sosiologi dan filsafat menggantikan Horkheimer. Seperti tradisi mahzab ia juga
tidak asing di Amerika Serikat karena ia juga mengajar di New School For Social
Reserch di New York.
Pada tahun 60-an Habermas sangat populer dalam kalangan mahasiswa
Jerman dan oleh beberapa golongan di anggap sebagai ideolog mereka, khususnya
beberapa golongan SDS ( Sozialistische Deutsche Studenttenbund ). Tetapi ketika
aksi mahasiswa mulai tidak wajar dan melakukan banyak kekerasan, Habermas
mengeluarkan kritikannya. Lama kelamaan nasibnya sama dengan anggota
mahzab frankfurt lainnya ( Horkheimer dan Ardono ) yang mengalami konflik
dengan mahasiswa.
B. Pemikiran-pemikiran Habermas
Filsafat Habermas masih di dalam perkembangan. Dari apa yang di tulisnya
sampai sekarang sudah dapat di tarik kesimpulan bahwa ia bergiat di suatu
wilayah ilmiah yang amat luas. Seperti pendahulunya di Mazhab Frankfurt ia pun
mempraktekan filsafat dan sosiologi tanpa membedakan secara tajam dua disiplin
ilmu tersebut.
Jauh sebelum bergabung di institut, Habermas telah membaca karya karya
Horkheimer dan Ardono pada tahun 1930-an, antara lain Traditionalle und
kritische Theorie, maupun karya mereka yang di terbitkan setelah perang, Dialetik
der Aufklarung. Karya karya ini sangat di pengaruhi pemikiran pemikiran
Habermas.
Ciri khas Habermas dalam tahun 60-an adalah sikap anti positivisme. Secara
khusus ia menolak positivisme Marx dalam karyanya dan berusaha merubah karya
Marx menjadi sebuah batu loncatan efektif untuk sebuah batu loncatan imanen. Di
sini seperti para pendahulunya, ia mengecam positivisme sebagai “ideologis” dan
saintisme karena positivisme mengkalim diri sebagai pengetahuan sejati yang
meliputi segala bidang, termasuk kehidupan social manusia. Klaim teori
positivisme menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, seperti
halnya yang terjadi pada ilmu-ilmu alam. Para pendukung positivisme
menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat kontemplatif dan affirmatif, oleh
karena itu metode yang dipakai ilmu-ilmu alam tidak berbeda dan dapat
diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Bagi positivisme sebuah riset sosial harus
menghasilkan deskripsi dan penjelasan-penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan
tidak memberikan penilaian apapun. Seorang ilmuwan dan peneliti harus mampu
meninggalkan rasa perasaannya, harapan-harapannya, keinginan-keinginannya
dan penilaian-penilaian moralnya atau singkatnya segala kepentingannya itu untuk
mendekati objek penelitian sosialnya sehingga diperoleh “pengetahuan Objektif”
tentang kenyataan sosial atau fakta sosial.
Pada awal 1970-an tampaknya Habermas mencoba merumuskan unsur
unsur pertama teori tentang bahasa, komunikasi dan evolusi masyarakat yang
dimaksudkan untuk memberikan landasan suatu kerangka normatif demi
direalisasikannya minat emansipatoris. Karya ini berpuncak dalam karya besar,
TheTheory Of Communicative Action, yang terbit pertama kali di Jerman pada
tahun 1981.
Secara khusus Habermas mulai membahas tentang dunia kehidupan pada
awal tahun 1980-an dengan kembali ke Durkheim dan sosiologi fenologis dari
Mead dan Schuzt. Bagi Habermas dunia kehidupan adalah sebuah cakrawala
kesadaran yang di dalamnya terdapat lingkungan publik maupun pribadi. Ini
adalah lingkungan pembentukan identitas dan aksi komunikatif. Bagi Habermas
komunikasi adalah aspek terpenting dari semua kegiatan dunia kehidupan karena
disini, secara ideal, para indivu bisa mendapatkan pengakuan atas keabsahan
semua ajaran mereka, dan struktur dunia kehidupan secara umum bisa di ubah.
Perubahan ini di anggap bereaksi balik ke sistem sosial yang lebih besar, dan dari
sini memupuk pertumbuhan rasionalitas instrumental.
Berikut adalah beberapa pemikiran Habermas :
1. Hanya dalam pertentangannya dengan teori yang mengklaim memusatkan
diri pada hakikat benda benda, positivisme menyatakan tidak berminat
terhadap bidang hakekat hakekat yang telah disingkapkan sebagai ilusi
atau khayal.
2. Komunikasi dari para peneliti menuntut penggunaan bahasa yang tidak
terbatas pada batas batas penguasaan teknis atas proses alam yang
diobyektifikasikan.
3. Bahasa adalah dasar intersubyektivitas dan setiap orang harus sudah mulai
dari bahasa sebelumnya ia dapat mengobyektivitaskan dirinya sendiri
dalam ungkapan hidupnya yang pertama, apakah itu lewat kata kata, sikap
atau tindakan.
4. Apa yang betul bagi komunikasi linguistis juga betul bagi tindakan
komunikatif.
C. Realitas Tindakan Komunikasi yang Terputus
Dalam majalah Basis edisi ’75, Jürgen Habermas (November – Desember
2004), Sindhunata menulis esai filsafatnya yang berjudul “Berfilsafat di Tengah
Zaman Merebak Teror”. Sebuah esai perenungan yang menyentuh tentang realitas
tindakan komunikasi yang terputus.
Pada 11 September 2001, ketika dunia dikejutkan dengan pemberitaan aksi
terorr di New York. Yaitu penabrakan 2 (dua) pesawat ke Menara Kembar World
Trade Center (WTC) New York. Beberapa hari setelah kejadian, Habermas pergi
ke New York untuk mengetahui suasana emosional warga yang baru saja
mengalami malapetaka besar tersebut. Namun, ia merasakan adanya jurang
pemisah yang memisahkan dia dengan warga setempat yang mengalami
malapetaka. Habermas yakin akan kemampuan bahasa dalam pengungkapan suatu
pengalaman. Namun kali ini ia merasa ada semacam kekuatan dari sesuatu yang
tidak bisa diungkapkan, bahkan oleh bahasa. Kekerasan yang mahadahsyat itu
ternyata telah membuat komunikasi yang amat biasa menjadi terputus.
Habermas sebagai orang ketiga yang tidak mengalami langsung malapetaka
tersebut merasa tidak mampu mengkomunikasikan dirinya dengan pengalaman
itu, demikian juga dengan mereka sebagai orang pertama yang mengalami
langsung malapetaka tersebut, merasa tidak ada kata-kata yang dapat
menyampaikan pengalaman mereka kepada orang lain.
Kendati kebisuan tersebut, tetapi peristiwa 11 September 2001 memberi
suasana komunikasi yang baru. Dimana sebelumnya orang ‘luar’ tidak pernah
memperoleh informasi ataupun berita mengenai peristiwa yang terjadi di suatu
negara seperti halnya peristiwa 11 September 2001 tersebut. Hal ini berkat kerja
media yang secara gencar memberitakan kejadian itu di berbagai media.
Menurut Habermas, peristiwa 11 September 2001 adalah peristiwa yang
secara historis menjadi peristiwa global untuk pertama kalinya. Habermas berkata
‘Benturan, ledakan, mereka yang jauh menukik perlahan-lahan—semua itu,
sungguh bukan lagi Hollywood di depan mata public dunia’ (Barradori, 2005).
Ironis bahwa justru melalui realitas kekerasan dahsyat tersebut, kita merasakan
komunikasi sebagai penduduk global”.
Menurut Habermas, jika kekerasan mulai dengan suatu distorsi komunikasi,
setelah ia meledak, mungkinlah untuk mengetahui apa yang salah dan apa yang
perlu diperbaiki.
D. Konsep Sistem dan Dunia Kehidupan
Habermas mengembangkan konsep lebenswelt (dunia kehidupan –
solodaritas) sebagai pelengkap untuk konsep tindakan komunikatif. Dunia
kehidupan (lebenswelt) yang diciptakan dengan model ini, akan menciptakan
harmoni sosial yang menghindari konflik, sebab pengetahuan bersama yang
terbentuk bersifat pra-reflektif (hanya terarah pada sesuatu yang difokuskan pada
saat itu), tidak dipersoalkan dan implisit. Menurut Habermas, hubungan yang baik
antara lebenswelt dan tindakan komunikatif akan berujung pada pencapaian
konsensus karena berlaku sebagai basis bersama para pelaku tindakan
komunikatif.
Bagi Habermas, dunia kehidupan menggambarkan suatu perspektif internal.
“masyarakat dipahami dari perspektif subjek yang bertindak.” Oleh karena itu
hanya ada satu masyarakat, dunia kehidupan dan sistem hanyalah cara-cara yang
berbeda untuk melihatnya.
Habemas melihat dunia kehidupan dan tindakan komunikatif sebagai konsep-
konsep komplementer. Secara lebih spesifik, tindakan komunikatif bisa dilihat
sebagai hal yang terjadi di dalam dunia kehidupan. Sebagaimana dikatakan
Habermas:
Dunia kehidupan, katakanlah, tempat transendental, tempat pembicara dan
pendengar bertemu, ketika mereka secara berbalasan mengajukan klaim-klaim
bahwa ucapan-ucapan mereka cocok dengan dunia ... dan di sana mereka dapat
mengkritik dan mengukuhkan klaim-klaim validitas, menyelesaikan
ketidaksepakatan-ketidaksepakatan mereka, dan tiba-tiba pada persetujuan-
persetujuan. (Habermas, 1987: 126)
Disini Labenswelt kita maksud adalah sebagai konsep teori komunikasi.
Habermas memakai istilah tersebut juga sebagai konsep dasar sosiologis.
Penggunaan konsep untuk “Labenswelt “ di sini adalah sistem. Penggunaan
konsep Labenswelt dalam sosiologi berarti bahwa Labenswelt sekarang berfungsi
sebagai kategori dasar teori sosial. Dalam teori sosial, Habermas memakai kedua
konsep itu bersama-sama dan menyebutnya “konsep dua tingkat” atau
“zwaistufiges konzept”. Pasangan konsep ini nantinya akan menjelaskan dua
aspek integrasi sosial. Kita dapat memahami hal tersebut sebagai cara pandang.
Namun kita juga harus memperhatikan secara cermat bahwa kedua konsep itu
juga bersangkutan dengan dua tipe tindakan yang berbeda. Jika dilihat dari
perspektif para peserta, masyarakat tampak sebagai :jaringan kerjasama-kerjasama
yang dimungkinkan lewat komunikasi”. Kerjasama-kerjasama inilah yang
memungkinkan integritas dan stabilitas masyarakat. Konsekuensi-konsekuensi
sosial – dilihat dari perspektif dalam ini – dihasilkan bersama-sama oleh para
aktor sosial. Sedangkan jika dilihat dari perspektif para pengamat, masyarakat
memperlihatkan dirinya sebagai jaringan fungsional dari rentetan tindakan”.
Tindakan-tindakan terakhir ini seolah-olah terjadi secara mekanis, yakni di luar
intensi para aktor. Disinilah masyarakat muncul sebagai sistem. Habermas
menyebutkan bahwa solidaritas (Lebenswelt), uang, dan kuasa (System) sebagai
tiga komponen integritas masyarakat.
Hubungannya dengan proses pencapaian konsensus mulai berkurang dan
justru membatasi terjadinya proses tersebut di dalam lebenswelt. Kaitannya
dengan mel dan ren di desa Ohoiwait (Maluku Tenggara) cukup jelas, dimana
ketika konsensus awal yang dilakukan atas dasar solidaritas kini berubah menjadi
dominasi mel terhadap ren. Hal ini bisa terjadi karena ‘uang dan kuasa’ (yang
dalam bahasa Bourdieu disebut modal) akan selalu dipakai oleh aktor untuk
memertahankan tatanan sosial (sistem) yang menguntungkan mereka sehingga
hubungan antara sistem dan lebenswelt dalam realitasnya seakan hilang.
E. Dunia-Kehidupan dan Dunia Mikro
Pada dasarnya, dunia yang dikonstruksikan oleh manusia bisa dibagi menjadi
dua kategori, yakni dunia-kehidupan (life world) dan dunia mikro (micro world)
(Hwang, 2010:137). Dunia kehidupan adalah konstruksi-konstruksi kultural yang
mendukung sarana guna menghadapi apa yang disebut given world. Perbedaan
antara dunia-kehidupan dan dunia mikro adalah: dunia-kehidupan itu bermakna,
sedangkan dunia mikro tidak bermakna. Dunia mikro adalah keseluruhan yang
berfungsi, untuk menguasai data. Jadi, dunia-kehidupan mendukung pengetahuan,
sedangkan dunia mikro tidak. Namun, ide tentang ilmu menghasilkan
pengetahuan, bukan berarti bahwa ilmu hanya menguasai data dengan benar.
Realisme konstruktif memostulasikan bahwa pengetahuanhanya dapat dicapai
dengan memahami dunia mikro bukan dengan mengonstruksikannya.
Kedua dunia, dunia-kehidupan dan dunia mikro, terdiri atas lapisan-lapisan
tingkat realitas yang dikonstruksikan bagi manusia (Hwang, 2010: 137-138).
Dalam dunia-kehidupan, sebelum manusia mengembangkan pengetahuan ilmiah,
mereka mencoba memahami pengalaman di dalam kehidupan mereka sehari-hari,
dan membuat berbagai macam penjelasan, struktur, dan respons terhadap dunia-
kehidupan mereka.
Semua konstruksi ilmu bisa dianggap sebagai sebuah dunia mikro. Sebuah
dunia mikro dapat menjadi sebuah model teoretik yang dibangun berdasarkan
realisme, atau sebuah interpretasi teoretik terhadap sebuah fenomena sosial yang
disodorkan oleh seorang ilmuwan sosial dari perspektif tertentu. Dalam dunia
mikro apapun, realitas given world digantikan oleh second-order constructed
reality yang dapat diperkuat.
Dalam buku kedua The Theory of Communicative Action, Habermas (1987)
mengatakan bahwa dunia-kehidupan seorang individu terdiri atas tiga tingkat,
yakni :
1. Budaya. Untuk orang yang memiliki warisan budaya tertentu yang sama,
komunikasi intersubjektif dapat menentukan interpretasi tentang tradisi
kultural sehingga mereka memiliki kekuatan yang sama untuk
menginterpretasikannya.
2. Masyarakat. Komunikasi dapat membantu masyarakat untuk menetapkan
standar-standar perilaku yang bisa diterima, mengidentifikasikan diri
dengan masyarakatnya, dan memperkuat integrasi masyarakatnya
3. Individu. Pertumbuhan dan pembelajaran yang dihasilkan dari komunikasi
konstan dapat memberi kemungkinan pada individu-individu untuk
memperkuat kapasitas mereka dalam bertindak dan membantu mereka
untuk menentukan bentuk integritas kepribadian mereka.
F. Dunia-Kehidupan sebagai Konsep Tindakan Komunikatif
Ilmu sosial dalam fenomenologi Husserl selalu terkait dengan konsep
“Lebenswelt” (Dunia-Kehidupan). Dengan fenomenologinya Husserl berusaha
untuk membangun suatu metode baru dalam ilmu sosial. Sehingga Ilmu tidaklah
merupakan tujuan yang melekat pada dirinya sendiri, melaikan harus dipandang
secara fungsional sebagai bagian dari kebijaksanaan manusia yang ditujukan
untuk memperoleh pengetahuan serta untuk menguasai alam. Jadi Ilmu tidak lagi
dipandang sebagai deskripsi mengenai kenyataan yang lebih dalam, yang dapat
dipandang sebagai pembatasan terhadap dunia tempat manusia hidup sehari-hari.
Karena apabila ilmu dijadikan sebagai batas pandang dari realitas, maka
kehidupan manusia adalah tidak ubahnya sebuah kehidupan mekanik yang
dikontrol oleh ilmu-ilmu tersebut.
Habermas mengembangkan konsep dunia-kehidupan (Lebenswelt) sebagai
pelengkap untuk konsep tindakan komunikatif (Hardiman 2013: 38). Dalam
karyanya, The Theory of Communicative Action, ia membagi tindakan menjadi 4
jenis yaitu tindakan teleologis, tindakan normative, tindakan dramaturgic, dan
tindakan komunikatif.
Dari kata Yunani, telos = tujuan, dalam tindakan teleologis, aktor akan
mempertahanakan sebuah tujuan dan untuk mencapainya dibutuhkan sarana yang
tepat dan sesuai, yaitu keputusan. Selain itu untuk membina tindakan ini,
dibutuhkan juga model strategi untuk memperhitungkan keberhasilan tindakan
aktor tersebut juga untuk mengantisipasi keputusan pada tujuan yang hendak
dicapai. Dengan demikian, konsep dasar dalam tindakan ini adalah keputusan.
Dalam tindakan normative, pertama-tama tindakan ini tidak diarahkan pada
tingkah laku actor soliter (sendirian), tetapi lebih diarahkan kepada kelompok-
kelompok sosial. Anggota kelompok sosial (termasuk kita semua) pada umumnya
mempunyai kecenderungan kepada nilai-nilai yang berlaku umum sehingga
mengukur tindakan kita atas dasar norma kelompok. Dengan demikian, konsep
dasar dalam tindakan ini adalah pemenuhan terhadap norma.
Dalam tindakan dramaturgic, yang penting bukan perseorangan ataupun
anggota kelompok-kelompok, melainkan “peserta” yang bertindak (dalam hal ini
ditujukan kepada masyarakat umum atau “pendengar”). Aktor mencoba untuk
menampilkan diri dalam image atau gambaran penampilan dirinya tersebut.
Dengan demikian, yang menjadi konsep dasar dalam tindakan ini adalah
penampilan diri di hadapan umum atau masyarakat.
Dalam tindakan komunikatif, tindakan ini pada dasarnya menunjuk kepada
interaksi, sekurang-kurangnya dari dua orang yang mempunyai kemampuan
berbicara dan bertindak, serta membentuk hubungan antarpersona, baik secara
verbal maupun non-verbal. Disini, aktor mencapai pemahaman terhadap situasi
tindakan serta rencana tindakan-tindakannya sendiri, juga tindakan terbaik atas
dasar persetujuan . Konsep dasar dalam tindakan ini adalah interpretasi. Di dalam
interpretasi, bahasa mendapat tempat utama.
Dalam praksis komunikasi sehari-hari, klaim-klaim kesahihan diandaikan
begitu saja secara naif. Artinya, seperti dijelaskan Hardiman, kita tidak membuat
klaim-klaim tersebut sebagai tema dan tidak mempermasalahkannya karena
klaim-klaim tersebut merupakan bagian dari hal-hal yang secara kultural
kebenarannya tidak dipersoalkan. Pengetahuan itu beroperasi dibelakang
panggung (pengetahuan latar belakang), pengetahuan latar belakang yang
membentuk konteks komunikasi verbal disebut juga dengan istilah Lebenswelt
(dunia-kehidupan).
Dalam tradisi fenomenologi, yang merentang dari fenomenologi
transcendental Husserl ke fenomenologi dunia-sosial Schutz sampai dengan
sosiologi dan etnometodologi fenomenologi kontemporer, landasan sosiologi
verstehenden ini telah dikembangkan dalam bentuk teori dunia-kehidupan
(Lebenswelet). Habermas telah mengulas titik-titik keberhasilan tradisi ini dalam
sejumlah tulisan.
Kita bisa bayangkan Lebenswelt tersebut sebagai sebuah horizon yang
memiliki batas-batas dan dapat bergeser sesuai dengan tempat berdiri pengamat.
Untuk menjelaskan apa yang dimaksud Habermas, Hardiman memberi contoh
yang tepat kepada kita berikut ini.
“jika kita sedang merencanakan liburan, tema’liburan’ bagaikan sebuah
cakrawala membatasi semesta pembicaraan kita dan sekaligus mengartikulasikan
situasi komunikasi kita di mana proses pemahaman berlangsung. Namun, tema
liburan hanya membentuk sepotong Lebenswelt yang relevan dalam komunikasi
itu. Bersamaan dengan tematisasinya, ‘liburan’ kehilangan dirinya sebagai
pengetahuan-latar belakang. Segera setelah kita mengubah tema dan situasi
komunikasi, horizon lebenswelt itu bergeser lagi. Kita tidak berpijak pada
kekosongan , melainkan berada dalam bidang lain darinya” (Hardiman, 2003:
39)
Dengan demikian, jelas bahwa Lebenswelt sosial dan kultural kita sebagai
keseluruhan tidak bisa ditematisasikan dan Lebenswelt itu tetap kebal terhadap
problematisasi. Dalam pengertian inilah para pelaku tindak komunikatif
senantiasa bergerak di dalamnya.
Lalu apakah hubungan antara Lebenswelt dan tindakan komunikatif? Menurut
Habermas Lebenswelt dari satu pihak memungkinkan tindakan komunikatif.
Lebenswelt membantu pencapaian konsensus karena berlaku sebagai basis
bersama bagi para pelaku tindakan komunikatif. Misalnya, partai-partai yang
bersaing di dalam MPR/ DPR kita dapat mencapai konsensus hanya jika mereka
berpijak pada basis yang lebih luas daripada tradisi partai itu masing-masing,
yakni pada basis tradisi dan budaya pengambilan keputusan di dalam MPR/ DPR.
Dengan terbentuknya budaya politis demokratis di dalam proses pengambilan
keputusan parlementer itu, konsesnsus akan makin mudah dicapai, dalam hal ini
habermas bicara tentang Lebenswelt sosial dan kultural sebagai gudang. Dari
gudang itu para peserta komunikasi mengambil dan memakai interpretasi-
interpretasi tertentu yang diyakini bersama. Proses pemakaian Lebenswelt sebagai
gudang interpretasi macam ini, misalnya, tidak hanya terdapat dalam tradisi
partai-partai politik. Di lain pihak menurut Habermas, Lebenswelt itu dipelihara,
diteruskan dan direproduksi lewat tindakan komunikatif :
“Orang dapat membayangkan komponen-komponen Lebenswelt, yaitu pola-
pola budaya, tatanan-tatanan legitim dan struktur-struktur kepribadian sebagai
pemadatan dan endapan proses-proses pemahaman, koordinasi tindakan dan
sosialisasi yang berlangsung melalui tindakan komunikatif.”
G. Kesadaran Hermaneustik dan Komunikasi yang Terdistorsi
Sugiharto (1996: 62-63), Habermas juga tidak melihat ketidak-terikuran
permainan bahasa sebagai akhir dari pluralisme. Baginya, inti perkaranya
hanyalah bagaimana mendapatkan rasionalitas komunikatif, yaitu syarat-syarat
yang memungkinkan komunikasi sosial antar budaya berbeda. suatu rasionalitas
yang sama bagi para peserta dialog dan memang disyaratkan bagi tiap bentuk
komunikasi,
Habermas melihat linguistik tampaknya tidak peduli terhadap kemampuan
berkomunikasi. Yakni kemampuanpenutur asli untuk berpartisipasi dalam
komunikasi sehari-hari melalui pemahaman dan pembicaraan. Sedangkan
linguistik membatasi diri pada pengertian linguistik yang sempit.
Dalam pemahaman Habermas (dalam Gibsons, 2002), kita masih mungkin
untuk mengutip empat aspek dimana hermeneutik filosofis relevan dengan sains
dan interpretasi hasil-hasilnya.
a. Kesadaran hermeneutik menghancurkan pemahaman diri secara objektif
mengenai sastra tradisional. Objektivitas pemahan hanya bias
dipertahankan dengan bercermin pada konteks sejarah-efektif yang
menghubungkan subjek-subjek pemahaman dengan objeknya.
b. Kesadaran hermeneutik lebih lanjut memperingatkan ilmu sosial mengenai
masalah yang muncul dari pra-strukturisasi objek secara simbolik. Jika
akses ke data tidak lagi diperantai oleh observasi yang terkontrol tetapi
melalui bahasa sehari-hari.
c. Kesadaran hermeneutik juga mempengaruhi pemahaman diri secara ilmiah
dari ilmu alam, tapi tentu bukan dari metodelogisnya.
d. Kesadaran hermeneutik juga pada akhirnya lebih dituntut oleh suatu area
terpretasi yang memiliki perhatian sosial lebih besar, yang dengannya
penerjemahan informasi ilmiah yang penting ke dalam bahasa dunia
kehidupan sosial.
Bagi Habermas, ‘tindakan’ kerja yang notabane dikendalikan kepentingan
teknis, bukanlah segalanya. Baginya masih terdapat ‘komunikasi’ yang juga
merupakan tindakan dasar manusia. Kebutuhan akan berinteraksi, berkomunikasi,
serta saling pengertian antarsubjek ini berkaitan dengan kebutuhan praktis
manusia.
Pemahaman hermeneutik senantiasa merupakan pemahaman berdasarkan
pra-pengertian. Bahwa pemahaan situasi orang lain hanya dapat dipahami setelah
pemahaman terhadap diri sendiri terlebih dahulu. Pemahaman berarti menciptakan
komunikasi antara dua situasi tersebut dan makin intensif komunikasi tersebut jika
situasi yang hendak dipahami, diaplikasikan kepada dirinya sendiri.
Namun bagaimana pun, penerapan metode ilmu-ilmu alam pada kenyataan
sosial memang mengundang persoalan. Secara filosofis bisa diketahui bahwa
kenyataan sosial terdiri atas berbagai tindakan manusia yang tidak bisa diprediksi
atau ditempatkan dalam ‘bingkai’ hukum tetap seperti pada fakta alam. Oleh
karena itu, sejak masa kesadaran positivis, beberapa pemikir Jerman mulai
berupaya membebaskan metodelogi ilmu sosial dan metodelogi ilmu alam, dan
membeuat metodelogi baru.
SUMBER DAN REFERENSI
Hardiman, Fransisco Budi. Demokrasi Deliberatif : menimbang ‘Negara Hukum’
dan ‘Ruang Publik’ Dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas. 2009.
Yogyakarta : Kanisius
Langeveld, M.J. Menuju ke pemikiran Filsafat. Jakarta: Pustaka Sarjana
Beerling [et.al.]. 1990. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara wacana Yogya
Djam’annuri. 2003. Studi Agama-agama: sejarah dan pemikiran. Yogyakarta:
Pustaka Rihlah
Lecthe, Jhon. 2001. 50 Filsuf Kontemporer dari Strukturalisme sampai
Posmoderisme. Yogyakarta: Pustaka Filsafat (Terjemahan)
Hardiman, Francisco Budi. 1993. Kritik Ideolugi. Yogyakarta : Kanisius
Habermas, Jürgen. 2004. Krisis Legitimasi. Yogyakarta : Qalam (Terjemahan)
Bertens, K.1981. Filsafat barat Abad XX Inggris-Jerman. Jakarta : PT. Gramedia
(Terjemahan)
http://en.wikipedia.org/wiki/Edmund_Husserl/13-02-2009. Diakses 04/27/2014
pukul 22:58 WIB
top related