fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
Post on 12-Nov-2014
755 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
1
IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH: Dalam perspektif Desentralisasi Fiskal
Disampaikan pada FGD Kebijakan Fiskal dalam Kerangka Otonomi Daerah
Bank Indonesia; Jakarta, 26 April 2013
Oleh :
Prof. Heru Subiyantoro, Ph.D.
Sekretaris Ditjen. Perimbangan Keuangan;
Kementrian Keuangan
OUTLINE
KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL SAAT INI 1
EVALUASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL 2
3 LANGKAH STRATEGIS DALAM MENJAWAB KENDALA DAN
TANTANGAN MELALUI REVISI UU 33/2004
2
1
2
3
3
KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL SAAT INI
KONSEPSI
• Desentralisasi adalah “alat” untuk mencapai tujuan politik tertentu dan sekaligus “alat” untuk meningkatkan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat
• Pembagian fungsi/tugas/kewenangan antar level pemerintahan adalah hal paling substansial dalam implementasi desentralisasi
• Pembagian sumber pendanaan harus didahului oleh kejelasan pembagian tugas belanja publik (expenditure assignment), sehingga tidak terjadi mismatch antara kebutuhan dana dengan ketersediaan dana.
KONSEPSI (2)
• “Desentralisasi fiskal” adalah salah satu instrument dalam implementasi desentralisasi, yang dilakukan terutama melalui pembagian sumber penerimaan (revenue assignment), baik yang dilakukan melalui penyerahan kewenangan pemungutan maupun dalam bentuk transfer
• Implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia lebih mengutamakan pemberian sumber pendanaan melalui transfer kepada daerah, yang diiringi dengan kewenangan yang luas untuk membelanjakannya (sebagian besar transfer berbentuk block grants)
• Untuk mengukur dan mebandingkan tingkat desentralisasi fiskal antar negara dapat dilakukan dengan melihat besarnya kewenangan atas penerimaan yang dipegang oleh daerah, dibandingkan dengan besarnya kewenangan belanja daerah.
6
INA
PERBANDINGAN DENGAN NEGARA LAIN BESARAN PERAN PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP TOTAL PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAHAN (%)
Porsi Pendapatan Daerah
terhadap Total Pendapatan
Nasional sekitar 7% sementara
persentase Belanja Daerah
sekitar 36% (Th 2011)
Desentralisasi di Indonesia lebih menekankan kepada desentralisasi di sisi
pengeluaran
Penerimaan daerah untuk mendanai kebutuhan belanjanya lebih banyak ditopang oleh
transfer dari Pusat
7
Hubungan Kebijakan Fiskal Nasional dan Daerah
Kebijakan
Moneter
Kebijakan
Neraca
Pembayaran Kebijakan
Sektor Riil
Kebijakan
Fiskal
Interrelasi Kebijakan Makro • Untuk mendukung dan
mempercepat pencapaian tujuan
nasional, maka kebijakan makro
ekonomi harus dilakukan melalui
harmonisasi arah kebijakan fiskal,
moneter, sektor riil maupun neraca
pembayaran.
• Untuk mewujudkan kebijakan
makro yang sehat perlu didukung
oleh kebijakan keuangan daerah
yang sejalan dengan kebijakan
fiskal nasional.
• Kebijakan fiskal diwujudkan
melalui strategi kebijakan
penerimaan dan pengeluaran
yang dikelola dalam APBN dan
APBD.
• Keterkaitan secara finansial antara
APBN dengan APBD tercermin
dari besarnya transfer ke daerah
yang mencapai sekitar 1/3 belanja
negara
8
Melalui Angg K/L
Belanja Pemerintah
Pusat
Transfer Ke Daerah
Daerah Pemerintah Pusat
Mendanai kewenangan
di luar 6 Urusan
Mendanai kewenangan 6
Urusan
PENDAPATAN
BELANJA
PEMBIAYAAN
APBN
Alur Belanja APBN ke Daerah
Dana Vertikal di Daerah
Hibah
Pinjaman
• Dana Perimbangan • Dana Otsus dan Penyesuaian
Dana Dekonsentrasi Dana Tgs Pembantuan
PNPM dan Jamkesmas
Subsidi dan Bantuan
Masuk APBD
8
Mendanai kewenangan
Daerah (Desentralisasi)
Melalui Angg
Non K/L
8
PERKEMBANGAN ALIRAN DANA APBN KE DAERAH
• Alokasi transfer ke daerah selalu meningkat dari tahun ke tahun, dari Rp253,3 triliun pada realisasi tahun 2007, terus meningkat hingga direncanakan mencapai Rp528,6 triliun pada APBN 2013.
• Transfer ke daerah telah mencapai kisaran 1/3 belanja negara. Pada APBN-P tahun 2012, total transfer ke daerah mencapai 30,9% dari belanja Negara dan naik menjadi 31,9% pada APBN 2013.
• Selain dana transfer ke daerah, pemerintah pusat juga mengalokasikan sebagian besar belanja untuk mendanai urusan pusat di daerah dan pelayanan kepada masyarakat, antara lain melalui subsidi, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, bantuan masyarakat melalui PNPM dan Jamkesmas, hibah, dll.
• Apabila dihitung secara keseluruhan, maka dana yang mengalir ke daerah telah mencapai kisaran 60% dari belanja negara.
9
Dana ke Daerah = 1.025,42(61,85 %)
Belanja APBN 2013 (Triliun Rupiah)
Sumber : APBN--2013
Melalui Angg.K/L dan APP (Program Nasional)
Melalui APP (Subsidi) Melalui Angg. Transfer ke Daerah
(Masuk APBD) Melalui Angg. K/L
•PNPM 9.7(0.59%) • BBM 193.8(11.52%) •DBH 102(6.15%) • Dana Dekon 13.4(0.81%) •Jamkes 6.7(0.41%) • Listrik 80.9(4.88%) •DAU 311.1(18.76%) • Dana TP 13.6(0.82%) • Pangan 17.2(1.03%) •DAK 31.7(1.91%) • Dana Vertikal 143.6(8.66%) • Pupuk 16.2(0.97%) •OTSUS 13.4(0.81%) • Benih 1.5(0.08%) • Penyesuaian 70.4(4.24%)
*) APP = Anggaran Pembiayaan • dll 4.8 (0.20%)
dan Perhitungan
Total 16.5(0.99%) Total 309.6(18.68%) Total 528.6(31.89%) Total 170.7(10,3%)
Total Belanja = 1.657,91
10
11
• Kebijakan desentralisasi fiskal pada dasarnya mengikuti prinsip money follows function,
dimana penyerahan beban kewenangan kepada daerah harus diikuti dengan penyerahan
sumber-sumber pendanaan kepada daerah.
• Penyerahan sumber pendanaan terutama dilakukan melalui penyerahan kewenangan
untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah, dan penyerahan pendanaan melalui
transfer ke daerah.
• Desentralisasi fiskal di Indonesia menitikberatkan pada desentralisasi di sisi pengeluaran,
sehingga pemberian kewenangan pungutan perpajakan daerah dan retribusi daerah relatif
terbatas, namun kepada daerah diberikan kewenangan yang luas untuk melakukan
pengeluaran sesuai prioritas dan kebutuhan daerah.
• Sebagian besar dana transfer ke daerah bersifat block grant (dapat digunakan secara
bebas oleh daerah dan dipertanggungjawabkan sepenuhnya di level daerah, yaitu kepada
DPRD).
• Untuk mendukung pencapaian prioritas nasional, kepada daerah juga diberikan transfer
yang bersifat specific grant (diarahkan penggunaannya oleh Pusat), antara lain melalui
Dana Alokasi Khusus (DAK) sehingga dapat menjaga keterkaitan antara program di Pusat
dan daerah.
• Untuk menjaga governance penggunaan dana publik, maka pengelolaan APBD harus
mengacu kepada pola pengelolaan keuangan Negara yang diatur dalam paket UU
Keuangan Negara.
PRINSIP MONEY FOLLOWS FUNCTIONS DALAM KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL
Kebijakan Pajak dan Retribusi Daerah
12
Selama satu dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah, UU Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (PDRD) telah mengalami dua kali perubahan, terakhir dengan UU
28/2009. Adapun perubahan utama kebijakan yang diatur dalam UU 28/2009
dibandingkan dengan UU sebelumnya (UU 34/2000) adalah:
Pokok Perubahan UU 28/2009 Tujuan perubahan
Jenis Pajak Daerah Closed-list, hanya yang
ditetapkan dalam UU
Memberikan kepastian kepada
masyarakat dan investor
tentang jenis pajak apa saja
yang berlaku di daerah
Local Taxing Power - Memperluas objek PDRD - Menambah jenis PDRD
- Memberikan diskresi
penetapan tarif kepada
daerah dalam batas tarif
maksimum yang ditetapkan
dalam UU
Dari sisi public accountability,
pajak punya kelebihan yaitu
keterkaitan yang erat antara
tax payers dengan pemerintah
daerah yang memungut. Oleh
karenanya pajak daerah perlu
diperkuat, melalui perluasan
objek pajak dan penambahan
jenis pajak baru (BPHTB,
PBB-P2 dan Pajak Rokok)
Sumber: Perpres No.5/2010 ttg RPJMN 2010-2014
Kebijakan Umum Transfer ke Daerah
• Meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan
mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat
& daerah dan antar daerah.
• Menyelaraskan kebutuhan pendanaan di
daerah sesuai dengan pembagian urusan
pemerintahan.
• Meningkatkan kualitas pelayanan publik di
daerah & mengurangi kesenjangan pelayanan
publik antar daerah.
• Meningkatkan kemampuan daerah dalam
mendorong perekonomian daerah.
• Mendukung kesinambungan fiskal nasional.
• Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber
daya nasional.
• Meningkatkan sinkronisasi antara rencana
pembangunan nasional dengan rencana
pembangunan daerah.
0.0
100.0
200.0
300.0
400.0
500.0
600.0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 APBN-P2012
APBN2013
Triliun Rupiah
DBH DAU DAK Otsus Penyesuaian
226.2
253.3
292.4 308.6
344.7
411.3
478.8
528.6
13
TREN TRANSFER KE DAERAH TAHUN 2008 - 2013
dalam miliar rupiah
Keterangan: Tahun 2008 – 2011 data diambil berdasarkan LKPP Tahun 2012 data APBNP Tahun 2013 data pagu APBN
14
Komponen Transfer 2008 2009 2010 2011 2012 2013
DAU 179.5 186.4 203.6 225.5 273.8 311.1
DAK 20.8 24.7 21 24.8 26.1 31.7
DBH 78.4 76.1 92.2 96.9 108.4 101.9
Dana Otsus 7.5 9.5 9.1 10.4 11.9 13.4
dana Penyesuaian 6.2 11.8 18.9 53.7 58.5 70.4
Total 292.4 308.6 344.7 411.3 478.8 528.6
0
50
100
150
200
250
300
350
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Dal
am M
iliar
Ru
pia
h
DAU
DAK
DBH
Dana Otsus
dana Penyesuaian
15
Kebijakan Pinjaman Daerah
• Untuk menutup defisit anggaran daerah, dan terutama untuk
mendukung kebutuhan daerah dalam akselerasi pembangunan
daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman.
• Pinjaman dapat bersumber dari Pemerintah Pusat, Pemda lain,
perbankan dalam negeri maupun masyarakat.
• Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak
luar negeri, kecuali dilakukan melalui Pemerintah Pusat dengan
mekanisme penerusan pinjaman
• Pinjaman Jangka Panjang digunakan untuk membiayai kegiatan
investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan
pelayanan publik yang:
i. menghasilkan penerimaan langsung,
ii. menghasilkan penerimaan tidak langsung, dan/atau
iii. memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
• Pinjaman Jangka Panjang berupa Obligasi Daerah digunakan
untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana
dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan
penerimaan bagi APBD.
• Untuk menjaga prinsip kehati-hatian, Pusat melakukan
pengendalian batas maksimal kumulatif defisit daerah dan juga
batas maksimal kumulatif pinjaman daerah
16
EVALUASI KEBIJAKAN
DESENTRALISASI FISKAL : -Beberapa Kendala dan Tantangan-
1. PENGELOLAAN PAJAK DAERAH
2. PENGELOLAAN TRANSFER
3. PENGELOLAAN KEUANGAN
Posisi: Maret 2013
Sumber: DJPK dan DJP
No. Kesiapan Daerah
Jumlah Persentase (%)
Daerah Potensi berdasarkan
Penerimaan 2011 (juta Rp)
Jumlah Daerah
Potensi berdasarkan
Penerimaan 2011
1. Perda yang telah siap 284**) 7.756.855,24 57,72 93,9
2. Raperda (dalam proses) 107 344.382,36 21,75 4,2
3. Belum menyusun Raperda 101 158.865,41 20,53 1,9
Total 492 8.260.103,00 100 100
Catatan: *) Pemungutan PBB-P2 oleh Kabupaten/Kota paling lambat 1 Januari 2014. **) Mulai memungut PBB-P2:
Tahun 2011 : 1 Daerah; (Kota Surabaya) Tahun 2012 : 17 Daerah; Tahun 2013 : 105 Daerah; dan Tahun 2014 : 161 Daerah.
1. Kendala & Tantangan Pengelolaan Pajak Daerah
17
Sebanyak 18 daerah telah memungut PBB-P2 sebagai pajak daerah pada tahun 2012, meskipun
batas waktu pengalihan sampai dengan Januari 2014.
Sampai saat ini 57,72% Pemda siap untuk memungut PBB-P2, yang dari sisi potensi telah mencakup
93,9%.
Beberapa daerah terkendala oleh kecilnya potensi PBB-P2, kesiapan SDM, sarana dan pra sarana,
dan perangkat pendukung lainnya
Kepada daerah terus dilakukan sosialisasi, fasilitasi, dan bimbingan untuk pengalihan PBB-P2
KESIAPAN DAERAH UNTUK MEMUNGUT PBB-P2*
18
2. Kendala & Tantangan Pengelolaan Transfer (1)
• Identifikasi daerah penghasil (prinsip by origin) seringkali terlambat
karena keterlambatan penyediaan data perhitungan.
• Penyaluran DBH didasarkan pada realisasi yang baru diketahui pada
tahun berikutnya, sehingga menimbulkan permasalahan kurang bayar.
• Banyaknya usulan daerah untuk mendapatkan bagi hasil yang belum
diatur dalam UU, misalnya pajak ekspor, perkebunan, daerah pengolah
migas.
• Alokasi dasar yang dihitung berdasarkan gaji PNSD, menyebabkan
inefisiensi dalam belanja pegawai daerah.
• Formulasi dan kebijakan DAU yang dialokasikan secara otomatis untuk
daerah otonom baru mendorong pemekaran daerah.
• Alokasi DAU hasilnya baru dapat diinformasikan ke daerah pada bulan
November (setelah penetapan APBN akhir Oktober) menyulitkan daerah
dalam penyusunan APBD.
19
2. Kendala & Tantangan Pengelolaan Transfer (2)
• Kerancuan fokus DAK, equalisasi, national priority, atau support untuk
daerah dengan kapasitas fiskal rendah.
• Juknis DAK yang rigid dan seringkali terlambat sehingga menyulitkan
daerah dalam melaksanakan kegiatan DAK.
• Penyediaan Dana Pendamping dianggap memberatkan bagi beberapa
daerah.
• Penetapan daerah penerima dan besarannya tidak dapat diprediksi dan
baru dapat diinformasikan ke daerah pada bulan November (setelah
penetapan APBN akhir Oktober) menyulitkan daerah dalam penyusunan
APBD.
• APBD seharusnya ditetapkan paling lambat 31 Desember sebelum tahun anggaran berjalan.
• Untuk APBD Tahun 2013, dari 524 daerah, yang menetapkan APBD-nya tepat waktu (sebelum 31 Desember) sebanyak 327 daerah (62% daerah), kondisi ini meningkat dari tahun 2012 yg hanya 274 daerah (52%) dan pada tahuan 2011 yg hanya 211 daerah (40%).
3. Kendala Pengelolaan Keuangan Daerah (1)
20
KETERLAMBATAN PENETAPAN APBD
BELANJA 2008 2009 2010 2011 2012 2013
B. Pegawai 121,879 153,823 180,439 198,562 229,081 261,358
B. Modal 98,120 112,134 114,598 96,179 113,523 137,525
B. Barang&Jasa 56,360 72,510 79,600 82,007 104,221 122,422
B. Lainnya 30,176 39,935 40,584 50,110 67,555 96,460
Total 306,534 378,401 415,222 426,857 514,380 617,765
Data berdasarkan Perda APBD
* Data Konsolidasi non reciprocal account
** 2013 data sementara
Dalam miliar Rupiah
Proporsi terbesar
belanja daerah
adalah belanja
pegawai meskipun
terus menurun di 3
tahun terakhir.
Proporsi belanja
modal relatif kecil,
meskipun mengalami
peningkatan di tahun
3 tahun terakhir.
21
STRUKTUR BELANJA APBD YANG KURANG IDEAL
3. Kendala Pengelolaan Keuangan Daerah (2)
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
50.0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
40.7 43.5
46.5 44.5
42.3 41.7
29.6 27.6
22.5 22.1 22.3 24.8
19.2 19.2 19.2 20.3 19.8 20.9
10.6 9.8 11.7 13.1
15.6 12.6
%
B. Pegawai B. Modal B. Barang&Jasa B. Lainnya
22
TW 1 TW 2 TW 3 TW 4
B. Pegawai 21.35 43.39 74.97 99.59 B. Barang&Jasa 10.06 30.47 49.76 90.41 B. Modal 2.73 10.26 26.61 97.34
B. Lainnya 14.56 44.09 77.86 118.83 Total Belanja 14.04 33.15 58.86 99.02
(Tahun 2011 Dalam %)
.000
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
TW 1 TW 2 TW 3 TW 4
B. Pegawai B. Barang&Jasa B. Modal B. Lainnya Total Belanja
Pola penyerapan
belanja daerah th
2010 sd 2012 relatif
hampir sama per
triwulan
Penyerapan Belanja
Modal di Tw I-III
sangat rendah,
namun melonjak
tinggi di akhir
November-Desember
Belanja Modal
PENYERAPAN APBD RELATIF LAMBAT
3. Kendala Pengelolaan Keuangan Daerah (3)
23
•Ternyata dana yang telah begitu besar ditransfer ke daerah, masih terdapat dana yang belum tergunakan oleh daerah
•Terjadi peningkatan dana Pemda di Bank sampai dengan bulan juni lalu mulai menurun sampai dengan bulan agustus disebabkan mulai dilakukannya proses pembayaran oleh pemda
•Posisi pada akhir Desember 2012 menunjukkan jumlah dana pemda yang idle di bank umum mencapai Rp99,2 triliun
• Bentuk dana pemda di Perbankan terdiri
dari simpanan berjangka, Giro dan
Tabungan.
• Giro lebih banyak digunakan untuk
transaksi sehari-hari Pemda (bagian
terbesar dana Pemda di Bank)
• Ternyata besaran dana dalam bentuk
simpanan berjangka mengalami tren
yg meningkat secara signifikan
dalam miliar Rupiah
3. Kendala Pengelolaan Keuangan Daerah (4)
Dana Idle Besar
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Mili
ar R
up
iah
Simpanan Berjangka Giro Tabungan
4,000
54,000
104,000
154,000
204,000
254,000
Jan feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Mili
ar R
up
iah
2009 2010 2011 2012
24
• Meskipun secara agregat nominal APBD Propinsi lebih kecil dari APBD
Kab/Kota, namun persentase rasio SiLPA mereka lebih besar
• Hal ini menunjukkan bahwa persentase dana yang belum bisa
tergunakan secara optimal di Propinsi masih lebih besar.
SiLPA = SiLPA tahun berkenaan
Th 2012 menggunakan data proxy
SiLPA (triliun)
2010 2011 2012
Prop 19,0 25,4 31,0
Kab/Kota 37,5 52,6 66,0
Total 56,5 78,1 97,0
Perbandingan Rasio SiLPA thd Belanja (%) Besarnya SiLPA Th Berkenaan
3. Kendala Pengelolaan Keuangan Daerah (4)
Dana Idle Besar
17.0%
19.2%
17.0%
11.4%
13.6% 15.0%
0.0%
5.0%
10.0%
15.0%
20.0%
25.0%
2010 2011 2012
Prop Kab/Kota
25
Masih banyak daerah yang mendapatkan opini disclaimer dan tidak wajar atas LKPD mereka. Untuk LKPD tahun 2011, BPK telah menyelesaikan pemeriksaan/audit terhdap daerah dengan opini WTP diberikan kepada 67 daerah, lalu sebanyak 316 LKPD diberikan opini WDP, 38 disclaimer dan 5 tidak wajar.
Terdapat peningkatan jumlah daerah yang mendapatkan WTP. Meskipun demikian masih terdapat banyak daerah yang mendapat disclaimer bahkan dinyatakan Tidak Wajar.
BELUM OPTIMALNYA KUALITAS PENGELOLAAN ADMINISTRATIF
3. Kendala Pengelolaan Keuangan Daerah (5)
26
LANGKAH STRATEGIS DALAM
MENJAWAB KENDALA DAN TANTANGAN
MELALUI REVISI UU 33/2004
Transformasi
1. Pengendalian Pemekaran Daerah 2. Peningkatan kualitas SDM 3. Pengendalian Belanja APBD 4. Perbaikan Pengelolaan Keuangan Daerah 5. Reformulasi Sumber Pendanaan APBD 6. Surveillance Kinerja Keuangan Daerah 7. Pemberdayaan BUMD 8. Reward dan Punishment
LANGKAH STRATEGIS DALAM MENJAWAB KENDALA DAN TANTANGAN MELALUI REVISI UU 33/2004
27
28
POINT PENTING DALAM DRAFT REVISI UU 33/2004
Pengendalian pemekaran daerah o Pengalokasian Dana Perimbangan kepada daerah otonom baru tidak secara
otomatis setelah penetapan, namun baru dilakukan pada tahun kedua.
Peningkatan kualitas SDM o sertifikasi jabatan tertentu dalam pengelolaan keuangan daerah sehingga
diharapkan dapat memperbaiki kualitas SDM maupun kualitas
pengelolaannya;
Pengendalian belanja daerah dan perbaikan pengelolaan keuangan o penetapan “batas atas” porsi belanja pegawai dalam APBD sehingga
diharapkan dapat mendorong alokasi untuk belanja modal ataupun
maintenance infrastruktur;
o kontrol terhadap dana idle daerah, terutama pembatasan terhadap simpanan
Pemda di Bank dalam bentuk simpanan berjangka. Hal ini dimaksudkan agar
daerah lebih fokus pada belanja untuk peningkatan kuantitas dan kualitas
public service delivery, dan mengurangi fokus daerah pada investasi financial;
Surveillance serta reward and pubishment: o surveillance dilakukan secara berkala, yang dimaksudkan sebagai salah satu
alat untuk memberikan reward and punishment kepada daerah yang
didasarkan pada kinerja keuangannya.
Selain itu, dalam revisi juga diatur beberapa pokok-pokok kebijakan untuk
pemberdayaan BUMD.
29
POINT PENTING DALAM DRAFT REVISI UU 33/2004
Reformulasi Sumber Pendanaan APBD o Menghapus alokasi dasar (belanja pegawai daerah) dari formula DAU,
sehingga formula DAU hanya didasarkan pada Fiscal Gap, yaitu selisih antara
Fiscal Needs dan Fiscal Capacity daerah sehingga akan mengurangi
dorongan potensi inefisiensi belanja pegawai.
o Reformulasi DAK, sehingga lebih fokus pada pencapaian SPM di sektor
kesehatan, pendidikan dan infrastruktur dasar (jalan, jembatan, air minum dan
irigasi).
o Mendesain DAK dalam konsep output based untuk mengurangi rigiditas
petunjuk penggunaan dari Pusat, namun digantikan dengan target output yang
harus dicapai oleh daerah.
o Penerapan kerangka pendanaan jangka menengah pada DAK yang
dimaksudkan untuk mengurangi komplikasi penyusunan APBD sebagai akibat
sempitnya jarak waktu antara penetapan DAK dengan tenggat waktu
penetapan APBD.
o Mengembalikan konsepsi by origin dalam DBH serta menghapus DBH tertentu
yang dinilai tidak memberikan dampak signifikan kepada daerah namun
menganggu prinsip by origin karena harus dibagi merata (Perikanan).
o Untuk mengatasi masalah penyaluran DBH di akhir tahun akan digunakan
sistem prognosa pada akhir tahun, yang selanjutnya akan diperhitungkan
pada tahun anggaran berikutnya.
30
top related