faktor-faktor internal yang mempengaruhi …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20300497-t30497-satya...
Post on 20-Mar-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN KEBIJAKAN REFORMASI BIROKRASI
DEPARTEMEN KEUANGAN (Studi Kasus: Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Tahun 2007 s.d 2010)
TESIS
SATYA SUSANTO 0906589356
PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI
KEBIJAKAN PUBLIK JAKARTA JUNI, 2012
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN KEBIJAKAN REFORMASI BIROKRASI
DEPARTEMEN KEUANGAN (Studi Kasus: Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Tahun 2007 s.d 2010)
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Administrasi dalam Ilmu Administrasi Kebijakan Publik
SATYA SUSANTO 0906589356
PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI
KEBIJAKAN PUBLIK JAKARTA JUNI, 2012
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan
dengan benar
Nama : Satya Susanto NPM : 0906589356 Tanda Tangan :
Tanggal : 30 Juni 2012
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh : Nama : Satya Susanto NPM : 0906589356 Program Studi : Ilmu Administrasi Judul Tesis : Faktor-Faktor Internal Yang Mempengaruhi
Pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan (Studi Kasus: Direktorat Jenderal Anggaran Dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Tahun 2007 s.d 2010)
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Administrasi (M.A) pada program studi Ilmu Administrasi Kebijakan Publik, Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang : Dr. Amy YS. Rahayu, MSi ( ) Pembimbing Tesis : Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.Publ ( ) Penguji Ahli : Drs. Lisman Manurung, Msi, Phd ( ) Sekretaris Sidang : Lina Miftahul Jannah, MSi ( )
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 30 Juni 2012
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
iii
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA KEKHUSUSAN ILMU ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN PUBLIK
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS
Nama : Satya Susanto
NPM : 0906589356
Judul Tesis : Faktor-Faktor Internal Yang Mempengaruhi Pelaksanaan
Kebijakan Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan
(Studi Kasus: Direktorat Jenderal Anggaran Dan Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan Tahun 2007 s.d 2010)
Disetujui oleh
Pembimbing Tesis,
( Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.Publ. )
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Pasca Sarjana Ilmu
Administrasi dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
penulisan tesis ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya
kepada:
1. Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag. rer.Publ., Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi selaku pembimbing tesis yang telah membantu
dan memberikan bimbingan untuk penyelesaian tesis ini;
2. Pertamina Training Center, yang telah memberikan dukungan dana bea siswa
untuk melanjutkan pendidikan Pasca Sarjana di FISIP UI;
3. Prof. Dr. Heru Subiyantoro, MSc, Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan, Dr. Ahmad Yani, Ak, SH, MM, Kepala Bagian Organisasi dan Tata
Laksana DJPK, dan Defredi Rozal, SE, Msoc.Sc, Kepala Bagian Kepegawaian
DJPK yang telah bersedia menjadi narasumber dalam penyusunan tesis ini;
4. Ari Wahyuni, SH, MPM, Sekretaris Direktorat Jenderal Anggaran, Meriyam
Megia Shahab, S.IP, MA, Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJA, dan
Triana Ambarsari, SE Kepala Bagian Kepegawaian DJA yang telah bersedia
menjadi narasumber dalam penyusunan tesis ini;
5. Seluruh rekan-rekan kerja dilingkungan Direktorat Jenderal Anggaran dan
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang telah bersedia menjadi
responden dalam penyusunan tesis ini;
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
v
6. Seluruh rekan-rekan mahasiswa seangkatan di Program Pasca Sarjana Ilmu
Administrasi, konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UI;
7. Seluruh staf administrasi dan perpustakaan Program Pasca Sarjana Ilmu
Administrasi dan Kebijakan Publik, FISIP UI baik yang bertugas di Salemba
maupun di Cikini atas bantuan dan kerjasamanya;
8. Ervina Susanto, Istri tercinta yang setia dan selalu memberikan semangat untuk
menyelesaikan tesis ini;
9. Anak-anakku yang kubanggakan: Muhammad Wildan Pratomo, Rofi Ahmad
Abiyyi, Hafidhea Luthfiana Fithri, dan Rizqi Akbar Maulana, semoga semangat
belajar papa bisa menginspirasi kalian untuk menjadi jauh lebih baik dari papa;
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu baik langsung maupun
tidak langsung yang turut membantu penyelesaian tesis ini.
Kiranya Allah SWT, berkenan membalas kebaikan semua pihak yang telah
membantu dengan kebaikan yang berlipatganda.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Jakarta, Juni 2012
Penulis
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Satya Susanto NPM : 0906589356 Program Studi : Ilmu Administrasi Departemen : Ilmu Administrasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis Karya : Tesis Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti NonekskluSif (Non-exculisive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Faktor-Faktor Internal Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan (Studi Kasus: Direktorat Jenderal Anggaran Dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Tahun 2007 s.d 2010) Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : Juni 2012
Yang menyatakan (Satya Susanto)
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
vii
ABSTRAK Nama : Satya Susanto Program Studi : Ilmu Administrasi Judul : Faktor-Faktor Internal Yang Mempengaruhi
Pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan (Studi Kasus: Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Tahun 2007 s.d 2010)
Tesis ini membahas faktor-faktor internal yang mempengaruhi pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan di DJA dan DJPK pada kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi DJA dan DJPK dalam melaksanakan Kebijakan Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan dan faktor-faktor internal yang mempengaruhinya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menemukan permasalahan implementasi yang sama-sama dihadapi DJA dan DJPK maupun yang khas. Hasil penelitian juga menemukan adanya perbedaan faktor-faktor internal antara DJA dengan DJPK yang mempengaruhi hasil capaian implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan. Kata kunci : Implementasi, faktor internal, Reformasi Birokrasi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
viii
ABSTRACTS Name : Satya Susanto Program : Administrative Science Title : Internal Factors Affecting the Implementation of
Bureaucracy Reform Policies at the Ministry of Finance (A Case Study of Directorate General of Budget and Directorate General of Fiscal Balance from 2007 to 2010)
This thesis discusses the internal factors affecting the extent to which the objectives and implementation of Ministry of Finance’s Bureacracy Reform policies are met in the Directorate General of Budget (DJA) and the Directorate General of Fiscal Balance (DJPK) from 2007 to 2010. The purpose of this study is to find some problems of Ministry of Finance’s bureaucracy reform policy implementation are met in DJA and DJPK and the internal factors affecting it. This research is qualitative in nature with a descriptive design. The reseacher found the same problems and the specific problems of Ministry of Finance’s bureaucracy reform policy implementation in DJA and DJPK. The findings indicate that the achievements of Bureaucracy Reform policy implementation in DJA and DJPK are affected by different factors. Keyword : Impementation, internal factor, Bureacracy Reform
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................................... i HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................................ vi ABSTRAK ................................................................................................................... Vii ABSTRACTS............................................................................................................... viii DAFTAR ISI................................................................................................................ ix DAFTAR TABEL........................................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR................................................................................................... xiv BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah............................................................................... 8 1.3 Tujuan Penelitian................................................................................... 9 1.4 Manfaat Penelitian................................................................................. 10 1.5 Analisis Penelitian Terdahulu............................................................... 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 16 2.1 Kebijakan Publik................................................................................... 17 2.2 Implementasi Kebijakan Publik............................................................ 19 2.3 Model Implementasi Kebijakan Publik................................................. 24 2.3.1 Implementasi Kebijakan Model Donald Van Metter dan Carl
Van Horn................................................................................... 25 2.3.2 Implementasi Kebijakan Model Daniel Mazmanian dan Paul
Sabatier...................................................................................... 28 2.3.3 Implementasi Kebijakan Model George C.Edwards
III............................................................................................... 32
2.3.4 Implementasi Kebijakan Model Merilee S. Grindle................. 36 2.4 Lingkungan Implementasi Kebijakan Publik........................................ 37 2.5 Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik............................................. 40 2.6 Efektivitas Implementasi Kebijakan Publik.......................................... 45 2.7 Reformasi Administrasi sebagai Kebijakan.......................................... 46 BAB 3 METODE PENELITIAN............................................................................ 53 3.1 Pendekatan Penelitian........................................................................... 53 3.2 Jenis Penelitian...................................................................................... 54 3.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian............................................................................................... 55
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
x
3.3.1 Wawancara Mendalam (Indepth Interview).............................. 55 3.3.2 Studi Kepustakaan (Library Research)..................................... 56 3.4 Hipotesis Kerja...................................................................................... 57 3.5 Teknis Analisis Data............................................................................. 57 3.6 Model Penelitian................................................................................... 58 3.7 Keterbatasan Penelitian......................................................................... 58 3.8 Penentuan Lokasi dan Obyek Penelitian............................................... 59 BAB 4 PEMBAHASAN........................................................................................... 61 4.1 Kebijakan dan Strategi Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan Tahun 2007 s.d Tahun 2010 ..........................
61 4.2 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan Tahun 2007 s.d Tahun 2010.................................................
81 4.2.1 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan di DJA tahun 2007 s.d Tahun 2010 bidang Penataan Organisasi..................................................................
82 4.2.2 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan di DJA Tahun 2007 s.d Tahun 2010 bidang Perbaikan Proses Bisnis............................................................
89 4.2.3 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan di DJA Tahun 2007 s.d Tahun 2010 bidang Peningkatan Manajemen SDM.................................................
101 4.3 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan di DJPK Tahun 2007 s.d Tahun 2010..................................
108 4.3.1 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan di DJPK Tahun 2007 s.d Tahun 2010 Bidang Penataan Organisasi..................................................................
109 4.3.2 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan di DJPK Tahun 2007 s.d Tahun 2010 Bidang Perbaikan Proses Bisnis............................................................
111 4.3.3 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan di DJPK Tahun 2007 s.d Tahun 2010 Bidang Peningkatan Manajemen SDM..................................................
115 4.4 Perbandingan Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan di DJA dengan di DJPK Kurun Waktu Tahun 2007 s.d Tahun 2010..................................................................
121 4.5 Faktor-faktor Lingkungan Internal Yang Mempengaruhi
Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA dan di DJPK Kurun Waktu Tahun 2007 s.d Tahun 2010.......................................................................................................
123 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................... 130 5.1 Kesimpulan............................................................................................ 130 5.2 Saran...................................................................................................... 132
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
xi
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 134 LAMPIRAN................................................................................................................. 142 DAFTAR RIWAYAT HIDUP.................................................................................... 181
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Tingkat Kepuasan Stakeholder Terhadap Pelayanan Kementerian Keuangan………………………………………... 7
Tabel 1.2 : Penilaian Kinerja Dibandingkan Dengan Tahun Lalu……........ 7
Tabel 1.3 : Analisis Persepsi Korupsi............................................................ 8
Tabel 2.1 : Perbandingan Pendekatan Evaluasi Implementasi Kebijakan……………………………………………………….
43
Tabel 4.1 : Garis Komando Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan
63
Tabel 4.2 : Perkembangan Output DJA di Bidang Penataan Organisasi.. 86
Tabel 4.3 : Jumlah SOP DJA per Unit Eselon II………………………… 94
Tabel 4.4 : Jumlah Uraian Jabatan DJA per Unit Eselon II Tahun 2007.. 98
Tabel 4.5 : Jumlah Uraian Jabatan DJA per Unit Eselon II Tahun 2008.. 99
Tabel 4.6 : Perkembangan Output DJA dibidang Perbaikan Proses Bisnis.. 101
Tabel 4.7 : Kompetensi Kementerian Keuangan…………………………... 102
Tabel 4.8 : Perkembangan Output DJA dibidang Peningkatan Manajemen SDM
104
Tabel 4.9 : Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Penataan Organisasi……………………………………………………..
111
Tabel 4.10 : Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Perbaikan Proses Bisnis program Analisis dan Evaluasi Jabatan………. 113
Tabel 4.11 : Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Perbaikan Proses Bisnis Program Analisis Beban Kerja………………… 113
Tabel 4.12 : Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Perbaikan Proses Bisnis Program SOP………………………………….. 115
Tabel 4.13 : Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Peningkatan Manajemen SDM, Program Diklat Berbasis Kompetensi…………………………………………………… 117
Tabel 4.14 : Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Peningkatan Manajemen SDM, Program Assessment Center.. 118
Tabel 4.15 : Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di Bidang Peningkatan Manajemen SDM, Program Pola Mutasi……… 119
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
xiii
Tabel 4.16 : Perbandingan Permasalahan Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA dan DJPK........................................................................................... 122
Tabel 4.17 : Profil Komposisi SDM DJA dan DJPK Berdasarkan Pendidikan .................................................................................. 123
Tabel 4.18 : Faktor Internal yang Berpengaruh Signifikan dalam Implementasi Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA.............................................................................................. 128
Tabel 4.19 : Peringkat Faktor Internal yang Berpengaruh Signifikan dalam Implementasi Reformasi Birokrasi Menurut Narasumber…...... 129
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Model Implementasi Kebijakan D.Van Metter dan Carl Van Horn ............................................................................................ 28
Gambar 2.2 : Model Implementasi Kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul Sabattier....................................................................................... 32
Gambar 2.3 : Model Implementasi Kebijakan George C. Edwards III............. 36
Gambar 2.4 : Model Implementasi Kebijakan Grindle..................................... 37
Gambar 3.1 : Model Penelitian ......................................................................... 56
Gambar 4.1 : Tiga Pilar/Program Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan..................................................................................... 64
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
1 Kartasasmita, Ginanjar. Pembangunan Menuju Bangsa yang Maju dan Mandiri, Pidato Ilmiah
Penerimaan Gelar DR.HC dalam Ilmu Administrasi Pembangunan dari UGM, 15 April 1995 hlm 4 1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelaksanaan birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar di Indonesia.
Sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi saat ini, kinerja birokrasi masih menuai
kritikan dari berbagai kalangan masyarakat. Siagian misalnya, mengakui adanya
patologi birokrasi. Siagian (1994, p 11) menyatakan “hal itu dicirikan oleh
kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah
pengetahuan dan keterampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan
adanya situasi internal”.
Ginanjar Kartasasmita dalam pidato ilmiahnya pada saat penerimaan gelar
Dr. HC dalam Ilmu Administrasi Pembangunan dari Universitas Gajah Mada, 15
April 1995 menyebutkan, bahwa “birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan
kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan status quo dan resisten terhadap
perubahan, dan memusatkan kekuasaan”1. Hal inilah yang kemudian memunculkan
kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi,
lamban dan menghambat kemajuan. Patologi pemusatan kekuasaan ditandai dengan
kecenderungan memperluas kekuasaan melalui pengembangan organisasi. Kajian
kelembagaan untuk mewujudkan right sizing organisasi hampir tidak pernah ditandai
dengan perampingan organisasi. Organisasi yang “miskin struktur kaya fungsi”
hanya sebatas semboyan yang sulit diimplementasi.
Menurut Islamy (1998, p 8):
“Birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung
bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and
under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan
dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
2
Universitas Indonesia
lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering
tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.”
Birokrasi di Indonesia cenderungan berkembang baik jumlah personil
maupun jumlah struktur dalam birokrasi. Pemekaran yang terjadi bukan karena
tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping
itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas
masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi.
Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung
tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan
birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara
optimal.
Gerald Caiden (1991), salah seorang pelopor studi Reformasi Administrasi
dalam buku Administrative Reform Comes of Age sebagaimana dikutip Soffian
Effendi (2009, p.90) mengungkapkan ironi yang terjadi dibanyak negara, negara
maju maupun negara berkembang. Reformasi sistem administrasi tidak pernah
mencapai inti permasalahan, karena seringkali hanya sebatas formalitas semata.
Reformasi yang dilakukan pemerintah biasanya tidak cukup luas dan mendalam.
Bahkan cukup banyak negara tidak memberikan perhatian yang memadai pada
reformasi administrasi. Karena itu, Caiden (1991) mengingatkan:
“By the time it was realized that defective administrative system were a
serious obstacle to progress, that what was wrong with them was
fundamental, and higher priority should be to put them right, the prevailing
gales were fast blowing into hurricanes”. (Effendi, Soffian 2009, p.90)
Kesadaran suatu negara akan pentingnya melakukan reformasi administrasi
yang sesungguhnya, biasanya baru muncul setelah sistem administrasi di negara
tersebut sudah pada titik nadir. Bukan karena negara tersebut belum melaksanakan
reformasi administrasi, melainkan lebih pada kelemahan komitmen dari pimpinan-
pimpinan negara itu dalam menjalankan reformasi. Maka pada saat kesadaran akan
perlunya keseriusan komitmen untuk melakukan reformasi sistem administrasi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
3
Universitas Indonesia
--------------------------------------
2 www.presidensby.info/index.php/pidato/2009/08/14/1206.html
muncul, saat itu semuanya menjadi sudah terlambat, karena sistem administrasi
pemerintahan saat itu sudah sedemikian rusak.
Pemerintah menyadari betul hal tersebut, sehingga Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam pidato kenegaraan didepan rapat paripurna DPR dalam rangka
Peringatan Hari Ulang Tahun ke-64 Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 14
Agustus 2009 menjelaskan bahwa reformasi gelombang kedua dimaksudkan untuk
membebaskan Indonesia dari dampak dan ekor krisis yang terjadi sepuluh tahun
yang lalu dan diharapkan pada tahun 2025 Indonesia berada pada fase untuk benar-
benar bergerak menuju negara maju2.
Metode yang digunakan Pemerintah dalam rangka merubah paradigma
birokrasi melalui pelaksanaan program reformasi birokrasi adalah dengan metode
pilot project, yaitu menunjuk beberapa instansi Pemerintah yang diujicobakan
menjalankan program tersebut. Metode ini dipilih Pemerintah ketimbang big bang
dengan alasan keterbatasan biaya dan adanya resiko kegagalan implementasi
kebijakan tersebut. Namun, metode ini mengabaikan pengaruh lingkungan yang
menurut hemat penulis memberikan dampak relatif besar dalam implementasi
Kebijakan Reformasi Birokrasi.
Pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi diujicobakan pada beberapa
institusi birokrasi seperti Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), dan Mahkamah Agung (MA). Ketiga unit tersebut secara sendiri-sendiri
menetapkan Kebijakan Reformasi Birokrasi di lingkungannya masing-masing
dengan strategi yang ditetapkan oleh masing-masing pimpinan institusi tersebut.
Dari ketiga institusi pilot project pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi,
penulis memilih lokus penelitian Kementerian Keuangan dengan beberapa
pertimbangan yaitu (1) ukuran organisasi Kementerian Keuangan yang terbesar
dibandingkan dengan BPK dan MA sehingga potensi kompleksitas permasalahan
akan lebih tinggi, (2) peran strategis Kementerian Keuangan yang mencakup seluruh
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, dan (3) kedudukan penulis sebagai salah
satu pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan dan ikut terlibat langsung dalam
pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
4
Universitas Indonesia
Dari sisi kronologi waktu, implementasi reformasi birokrasi di Kementerian
Keuangan dimulai sebelum grand design dan road map pelaksanaan reformasi
birokrasi nasional disusun. Kebijakan Reformasi Birokrasi di lingkungan
Kementerian Keuangan dimulai sejak tahun 2007 dengan lahirnya Surat Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi
Departemen Keuangan Tahun Anggaran 2007, sedangkan Kebijakan Reformasi
Birokrasi secara nasional baru dimulai tahun 2010 dengan ditetapkannya Peraturan
Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi. Artinya
Kementerian Keuangan benar-benar “babat alas” dalam konteks pelaksanaan
reformasi birokrasi di Indonesia yang ditujukan untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik dan meningkatkan mutu pelayanan masyarakat.
Implementasi program-program dalam agenda reformasi birokrasi dipimpin
langsung oleh Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan saat itu. Dengan
gigih dan komitmen yang tinggi, Sri Mulyani meyakinkan lingkungan internal dan
eksternal akan pentingnya pelaksanaan reformasi birokrasi. Bahkan, Sri Mulyani
memanfaatkan event-event internasional untuk sounding dan mencari dukungan
dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan. Suatu saat, pada
kesempatan menyampaikan keynote speech di Oxford University United Kingdom
pada acara Global Economic Governance Lecture 2007 – 2008 pada bulan Februari
2008 yang dihimpun dalam buku yang berjudul Turning Words Into Action:
Advancing Reform and The Economic Agenda (Collection of Speeches To
Commerate Indonesia’s 62nd Finance Day Anniversary) menyampaikan:
“The Indonesian Ministry of Finance has taken fundamental measures to
reform the way it does business both in technical and management areas.
Due to the Ministry’s central role in guaranteeing Indonesia’s economic
stability, the success of these reforms are crucial because, as we all know,
sound economic policies and good governance are keys to economic growth
and sustainable development”. (The Fiscal Policy Office, Ministry of
Finance, 2008 p. 3-4)
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
5
Universitas Indonesia
Sri Mulyani merasa perlu mencari dukungan masyarakat internasional
dengan melakukan kampanye dan menjelaskan mengapa Kementerian Keuangan
berinisiasi menjalankan reformasi birokrasi, karena dirasakan gagasan reformasi
birokrasi belum mendapat dukungan penuh dari seluruh elemen bangsa. Kepada
masyarakat internasional Sri Mulyani menjelaskan, bahwa reformasi birokrasi
diawali di Kementerian Keuangan karena peran strategis Kementerian Keuangan
dalam menggerakkan ekonomi nasional dengan harapan agar masyarakat
internasional ikut berpartisipasi untuk mendorong baik pemerintah maupun DPR
agar mendukung gagasan tersebut3.
Dalam lingkungan internal Kementerian Keuangan sendiri, pelaksanaan
Kebijakan Reformasi Birokrasi menimbulkan reaksi yang beragam. Apalagi praktek-
praktek birokrasi yang korup di masa lalu, diberantas secara tegas dengan
pelaksanaan reformasi birokrasi. Menteri Keuangan saat itu menggunakan
remunerasi untuk menumpas korupsi. Dengan remunerasi, tidak ada lagi ruang bagi
pegawai Kementerian Keuangan untuk melakukan korupsi, karena punishment tegas
diambil bagi mereka yang melanggar. Namun, ditilik dari besaran remunerasi yang
diberikan dengan income yang diperoleh dari hasil penyalahgunaan wewenang, tentu
saja tidak sebanding. Maka terjadilah resistensi penolakan terselubung dari sebagian
pihak. Penolakan tersebut terekspresi dengan derajat yang berbeda dan hanya sedikit
baik dari lingkungan internal maupun eksternal yang mendukung reformasi birokrasi
dengan derajat yang berbeda pula.
Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan dilakukan secara
terpusat. Menteri Keuangan membentuk Tim Reformasi Birokrasi Pusat (TRBP)
yang bertugas untuk menentukan strategi-strategi implementasi reformasi birokrasi
berupa agenda-agenda reformasi birokrasi beserta sasaran-sasarannya, dan
menentukan model implementasinya. Kemudian, ditingkat unit eselon I, dibentuk
Tim Reformasi Birokrasi Unit (TRBU) yang bertugas sebagai agent of change dan
menjadi lokomotif implementasi agenda-agenda reformasi birokrasi dilingkungannya
masing-masing. -------------------------- 3 Kementerian Keuangan. Turning Words Into Action: Advancing Reform and The Economic
Agenda, Collection Of Speeches To Commemorate Indonesia’s 62nd Finance Day Anniversary. Jakarta: The Fiscal Policy Office, Ministry of Finance of The Republic of Indonesia: 2008, p
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
6
Universitas Indonesia
Dalam TRBP, keanggotaannya diambil dari Sekretariat Jenderal Kementerian
Keuangan dan perwakilan masing-masing sekretariat direktorat jenderal pada unit
eselon I. Sekretaris Jenderal dan semua Sekretaris Direktorat Jenderal masuk dalam
tim ini. Demikian pula dalam TRBU, keanggotaan tim dimotori oleh pejabat dan
pegawai dilingkungan sekretariat direktorat jenderal.
Memasuki tahun ke-empat pelaksanaan reformasi birokrasi, Kementerian
Keuangan meminta bantuan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menguji hasil
capaian reformasi birokrasi melalui survei4. Survei dilakukan untuk mengetahui
opini stakeholder Kementerian Keuangan terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi,
yaitu mengenai (1) tingkat kepuasan stakeholder atas layanan unit-unit eselon I di
lingkungan Kementerian Keuangan, (2) peningkatan kinerja unit-unit eselon I di
lingkungan Kementerian Keuangan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dan (3)
indeks persepsi korupsi dari unit-unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan.
Hasilnya, implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi menunjukkan derajat capaian
yang berbeda-beda antar unit eselon I dilingkungan Kementerian Keuangan untuk
tingkat kepuasan stakeholder, peningkatan kinerja dibandingkan tahun sebelumnya,
dan indeks persepsi korupsi.
Tabel 1.1 adalah hasil survei yang dilakukan oleh IPB mengenai tingkat
kepuasan stakeholder terhadap pelayanan unit-unit eselon I di lingkungan
Kementerian Keuangan.
-------------------------- 4 MoU Nomor NK-01/FKRB/VIII/2010 tanggal 13 Agustus 2010 Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
7
Universitas Indonesia
Tabel 1.1: Tingkat Kepuasan Stakeholder Terhadap Pelayanan Kementerian Keuangan
Unit Eselon I Tingkat Kepuasan Jumlah
Responden Tidak Puas Cukup Puas Puas
Direktorat Jenderal Pajak 5.4 28.7 65.9 633 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 7.3 35.2 57.5 415 Direktorat Jenderal Anggaran 7.6 22.9 69.4 146 Direktorat Jenderal Perbendaharaan 4.0 15.5 80.5 385 Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 3.8 14.6 81.6 289 Bappepam - LK 2.8 27.0 70.2 145 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan - 21.5 78.5 77
Sekretariat Jenderal 4.1 29.5 66.5 194 Kementerian Keuangan 5.0 25.2 69.8 2.284
Sumber: Laporan Hasil Survey IPB, 2010
Dari sisi peningkatan kinerja pelayanan Kementerian Keuangan, hasil survei
menunjukkan bahwa tidak semua responden setuju bahwa telah terjadi peningkatan
kinerja pelayanan sebagai hasil dari implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi.
Bahkan untuk Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), 25% responden menyatakan
tidak ada perubahan kinerja setelah empat tahun implementasi Kebijakan Reformasi
Birokrasi.
Tabel 1.2: Penilaian Kinerja dibandingkan dengan Tahun Lalu
Sumber: Laporan Hasil Survey IPB, 2010
Satuan Kerja N
Lebih Burukdan Jauh
Lebih BurukSama Saja
Lebih Baikdan Jauh
Lebih Baik
Tidak
Tahu% % % %
Ditjen Pajak 631 3.2 27.7 67.2 1.9Ditjen Bea dan Cukai 414 1.7 26.8 70.5 1.0Ditjen Anggaran 144 4.9 25.0 67.4 2.8Ditjen Perbendaharaan 385 2.3 7.5 88.6 1.6Ditjen Kekayaan Negara 289 0.7 15.9 81.0 2.4Bappepam - LK 145 1.4 18.6 76.6 3.5
Ditjen Perimbangan Keuangan 77 13.0 11.7 67.5 7.8Sekretariat Jenderal 192 1.6 25.0 68.8 4.7Kemenkeu 2277 2.6 21.1 73.9 2.3
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
8
Universitas Indonesia
Indeks persepsi korupsi di masing-masing unit eselon I juga menunjukkan
hasil yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1.3: Analisis Persepsi Korupsi
Sumber: Laporan Hasil Survey IPB, 2010
1.2 Perumusan Masalah
Masalah pokok yang akan diteliti dalam tesis ini adalah berangkat dari
laporan hasil survei yang telah dilakukan oleh lembaga independen (IPB), dimana
menunjukkan fenomena perbedaan capaian dari masing-masing unit eselon I di
lingkungan Kementerian Keuangan mengenai tingkat kepuasan stakeholder,
peningkatan kinerja, dan indesk persepsi korupsi. Di sisi lain, kebijakan dan strategi
implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi dilakukan secara sentralistis (oleh
TRBP). Dengan demikian, efektivitas implementasi kebijakan di tiap unit eselon I
dipengaruhi faktor-faktor tertentu yang berbeda-beda sehingga hasil capaian
implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi menjadi berbeda-beda juga. Tesis ini
mencoba melakukan analisa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi di level eselon I di lingkungan
Kementerian Keuangan serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi eselon I
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
9
Universitas Indonesia
dalam mengimplementasikan Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan.
Mengingat besarnya organisasi Kementerian Keuangan, serta karakteristik
unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang relatif beragam, maka
penulis mencoba melakukan identifikasi awal terhadap persamaan karakteristik
organisasi unit eselon I agar persandingan tingkat efektivitas pelaksanaan agenda
reformasi birokrasi bisa apple to apple antar eselon I. Hasilnya, penulis menetapkan
lokus penelitian pada Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan (DJPK).
Tesis ini, dengan menggunakan kacamata disiplin ilmu Kebijakan Publik dan
Administrasi, akan mencoba menjawab pertanyaan penelitian (reaserch question)
yaitu:
1. Permasalahan apa yang dihadapi DJA dan DJPK dalam implementasi Kebijakan
Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan ?
2. Faktor-faktor internal apa saja yang mempengaruhi efektivitas implementasi
Kebijakan Reformasi Birokrasi di DJA dan DJPK ?.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dari penelitian dalam tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi DJA dan DJPK dalam
melaksanakan Kebijakan Reformasi Birokrasi sehingga dapat digunakan sebagai
feedback dalam melakukan penyempurnaan strategi implementasi di kedua unit
eselon I tersebut.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan internal apa yang secara signifikan
mempengaruhi keberhasilan implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi di
DJA dan di DJPK.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
10
Universitas Indonesia
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai faktor-faktor lingkungan internal yang mempengaruhi
implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi pada dua unit eselon I Kementerian
Keuangan yaitu DJA dan DJPK ini memiliki beberapa manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat akademis, yaitu penelitian ini untuk memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kebijakan publik, terutama
aspek implementasi kebijakan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi
gambaran yang komprehensif tentang faktor-faktor lingkungan internal yang
mempengaruhi dinamika pelaksanaan kebijakan publik, khususnya interaksi
antar stakeholders yang terlibat di dalam organisasi itu sendiri pada saat
pelaksanaan kebijakan dalam kurun waktu tahun 2007 s.d. 2010. Kedepannya,
tesis ini diharapkan dapat menjadi referensi bahkan inspirasi bagi peneliti-
peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih mendalam tentang implementasi
kebijakan publik dengan segala permasalahannya, demi memperkaya wawasan
keilmuan di bidang administrasi dan kebijakan publik.
2. Manfaat praktis, yaitu penelitian ini untuk memberikan gambaran pola hubungan
antar lingkungan internal organisasi dalam pelaksanaan kebijakan publik serta
berbagai unsur yang terkait dalam prosesnya. Dengan mengetahui pola hubungan
tersebut, diharapkan dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang menjadi
penghambat pelaksanaan kebijakan, serta strategi yang dapat digunakan agar
kesenjangan yang acapkali timbul antara tujuan kebijakan dan hasil implementasi
kebijakan dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
1.5 Analisis Penelitian Terdahulu
Selama ini, penelitian tentang berbagai faktor lingkungan internal yang
mempengaruhi implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi di level unit eselon I
dilingkungan Kementerian Keuangan, belum pernah dilaksanakan. Namun,
penelitian terhadap strategi Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan pernah
dilakukan oleh Yulia Indraswari dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Strategi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
11
Universitas Indonesia
-------------------------- 5 Universitas Indonesia, Indraswari, Yulia, Analisis Strategi Reformasi Birokrasi di Departemen
Keuangan Republik Indonesia, Skripsi, 2008
Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan Republik Indonesia” sebagai syarat
mendapatkan gelar sarjana (S-1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia tahun 2008.5 Dalam penelitiannya, Indraswari menyimpulkan
bahwa:
(1) Strategi reformasi di Departemen Keuangan terdiri dari strategi penataan
organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya
manusia yang dilakukan secara komprehensif dan terdiri dari program-program.
Pada implementasinya strategi yang dijalankan memiliki banyak kekurangan
yang dapat berdampak pada keseluruhan pelaksanaan reformasi dan output yang
dihasilkan.
(2) Implementasi strategi reformasi birokrasi di Departemen Keuangan meliputi
strategi fiskal, struktural dan program dimana ketiga strategi tersebut dilakukan
secara simultan. Pelaksanaan reformasi birokrasi walaupun masih pada tahap
awal namun sudah memberikan hasil yang positif bagi peningkatan pelayanan
masyarakat, hal ini terlihat dalam berbagai survei yang dilakukan, namun masih
banyak program-program reformasi yang belum terlaksana dan masih dalam
proses penyusunan.
Terkait penelitian tersebut, Indraswari memberikan empat saran yaitu:
(1) Perlu kejelasan tujuan dari reformasi birokrasi di Departemen Keuangan
sehingga program maupun strategi yang dijalankan sesuai atau tepat dengan
kondisi dalam Departemen Keuangan.
(2) Perlu adanya sosialisasi terhadap strategi dan program-program reformasi
birokrasi, baik secara internal maupun eksternal melalui workshop seminar
(internal), media elektronik seperti iklan televisi dan radio, dan penyuluhan
(eksternal). Secara internal sosialisasi ditujukan agar setiap pegawai Depkeu
mengerti tugasnya secara tepat dan tidak ada lagi pelanggaran yang disebabkan
karena kurangnya pemahaman, sedangkan secara eksternal sosialisasi juga
diperlukan untuk mengantisipasi pergantian pimpinan sehingga bila periode
jabatan pimpinan berakhir, reformasi tetap terus berjalan sesuai dengan sistem
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
12
Universitas Indonesia
atau peraturan yang ada, dalam hal ini juga harus didukung oleh pembangunan
sistem peraturan perundang-undangan yang kuat.
(3) Pembuatan unit akuntabilitas di pusat untuk mengkontrol pelaksanaan program
reformasi birokrasi pada unit-unit dirjen ataupun di tiap unit sehingga terdapat
pola pelaporan tanggungjawab yang jelas. Serta pembaharuan sistem
pengukuran kinerja individual, karena sistem yang digunakan saat ini sudah
tidak sesuai dan relevan.
(4) Perluasan teknologi informasi secara lebih luas dan terintegrasi dalam rangka
mendukung program-program reformasi yang berjalan.
Beda penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Indraswari adalah
terletak pada beberapa hal yaitu:
(1) Fokus penelitian, dimana Indraswari memfokuskan pada strategi reformasi
birokrasi, sedangkan penelitian ini memfokuskan pada permasalahan yang
dihadapi dalam tataran implementasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi khusus pada dua eselon I
dilingkungan Kementerian Keuangan, yaitu DJA dan DJPK. Indikasi awal
penelitian ini berangkat dari hasil survei yang menunjukkan bahwa hasil
implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi hingga saat ini adalah beragam
antar unit eselon I tersebut.
(2) Lokus penelitian, dimana Indraswari mengambil lokus yaitu Kementerian
Keuangan, sedangkan penelitian ini lokusnya difokuskan pada dua unit eselon I
Kementerian Keuangan yaitu DJA dan DJPK.
(3) Standing position penulis. Indraswari adalah peneliti yang berdiri diluar
pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi di Kementerian Keuangan, berbeda
dengan penelitian ini, dimana penulis adalah salah satu pegawai yang ikut
menggerakkan dan menjalankan proses reformasi birokrasi di Kementerian
Keuangan karena menjadi anggota tim reformasi biokrasi baik di tingkat
kementerian (anggota TRBP) maupun di unit eselon I (salah satu koordinator
dalam TRBU DJA).
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
13
Universitas Indonesia
------------------------------------------------------------
6 Universitas Indonesia, Simon, Hidra, Pengaruh Reformasi Administrasi Perpajakan Terhadap Motivasi dan Kepuasan Kerja Pegawai, Tesis, 2006
Penelitian lain yang juga mengupas masalah reformasi birokrasi di
lingkungan Kementerian Keuangan pernah dilakukan oleh Hidra Simon dalam
tesisnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia tahun 2006
yang berjudul “Pengaruh Reformasi Administrasi Perpajakan Terhadap Motivasi dan
Kepuasan Kerja Pegawai”6. Permasalahan yang diangkat dalam tesis tersebut adalah
(1) apakah terdapat hubungan reformasi administrasi perpajakan dengan motivasi
kerja Account Representative ? (2) Apakah terdapat hubungan reformasi administrasi
perpajakan dengan kepuasan kerja Account Representative ?
Diakhir penelitiannya, Simon menyimpulkan bahwa:
1. Secara umum reformasi administrasi perpajakan di Kantor Pajak Modern
tergolong cukup, motivasi kerja tergolong tinggi, dan kepuasan kerja juga
tergolong tinggi.
2. Reformasi administrasi perpajakan memiliki hubungan positif dan signifikan
dengan motivasi kerja pada Kantor Pajak Modern. Hasil ini berarti bahwa
semakin baik reformasi perpajakan, semakin tinggi motivasi kerja; sebaliknya
semakin rendah reformasi administrasi perpajakan semakin rendah motivasi
kerja. Dengan demikian, motivasi kerja dapat ditingkatkan dengan cara
memperbaiki reformasi administrasi perpajakan.
3. Reformasi administrasi perpajakan memiliki hubungan positif dan signifikan
dengan kepuasan kerja pada Kantor Pajak Modern. Hasil ini memberikan arti
bahwa semakin baik reformasi administrasi perpajakan maka semakin tinggi
kepuasan kerja; sebaliknya semakin rendah reformasi administrasi perpajakan
maka semakin rendah kepuasan kerja. Dengan demikian, kepuasan kerja dapat
ditingkatkan dengan cara meningkatkan reformasi administrasi perpajakan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, Simon memberikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Reformasi administrasi perpajakan Kantor Pajak Modern perlu dikembangkan
lebih lanjut karena terbukti memiliki hubungan positif dan signifikan dengan
motivasi kerja pegawai. Kondisi ini memperlihatkan fakta empirik bahwa
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
14
Universitas Indonesia
----------------------------------------------
7 Universitas Indonesia, Salomo V, Roy, Scenario Planning Reformasi Administrasi Pemerintah Subnasional di Indonesia: Sebuah Grand Strategy Menuju Tahun 2025, Disertasi, 2006
reformasi administrasi perpajakan merupakan salah satu faktor penting yang
dapat diandalkan untuk membangun motivasi kerja pegawai, sehingga layak
untuk dikembangkan lebih lanjut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
pengembangan tersebut adalah berupaya mendukung implementasi reformasi
administrasi perpajakan yang secara nyata terbukti memberikan manfaat bagi
peningkatan motivasi kerja, dan dalam waktu yang sama berani meninggalkan
berbagai hal yang selama ini menghambat atau setidaknya menutup peluang bagi
pelaksanaan reformasi administrasi perpajakan.
2. Reformasi administrasi perpajakan dikalangan pegawai Kantor Pajak Modern
perlu dikembangkan secara terus menerus karena keberadaannya terbukti
memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja pegawai. Upaya yang dapat
dilakukan untuk kepentingan itu antara lain dengan cara memenuhi aspek-aspek
kepuasan kerja yang dirasakan oleh pegawai masih kurang, yang dapat dilihat
dari hasil jawaban responden untuk setiap aspek kepuasan kerja.
3. Reformasi administrasi perpajakan secara umum dinilai cukup oleh responden.
Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaannya belum dapat dikatakan telah
diterapkan dengan optimal. Untuk itu, para pengambil kebijakan perlu
mengoptimalkan pelaksanaan reformasi administrasi perpajakan.
4. Untuk memperkaya hasil penelitian ini ada baiknya dilakukan penelitian lanjutan
dengan obyek yang berbeda dan melibatkan sampel yang lebih banyak sehingga
diperoleh area generalisasi yang lebih luas, mengingat pelaksanaan kantor
pelayanan pajak yang menerapka sistem administrasi modern masih terpusat
pada kantor pelayanan pajak yang berada di Jakarta dan sekitarnya.
Penelitian lain tentang reformasi administrasi dengan coverage yang lebih
luas (nasional) pernah dilakukan oleh Roy Valiant Salomo dalam disertasinya pada
program studi Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Administrasi,
Universitas Indonesia tahun 2006 yang berjudul “Scenario Planning Reformasi
Administrasi Pemerintah Subnasional di Indonesia: Sebuah Grand Strategy Menuju
Tahun 2025”.7 Pokok permasalahan yang diteliti dalam disertasi tersebut adalah:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
15
Universitas Indonesia
1. Bagaimanakah potret administrasi pemerintah subnasional Indonesia sekarang
ini ? Pengaruh Reformasi Administrasi Perpajakan Terhadap Motivasi dan
Kepuasan Kerja Pegawai
2. Bagaimanakah deskripsi skenario (optimis, status quo, dan pesimis) lingkungan
administrasi pemerintah subnasional sampai dengan tahun 2025 ?
3. Bagaiamana grand strategy reformasi administrasi pemerintah subnasional di
Indonesia sampai dengan tahun 2025 ?
Selain penelitian, berbagai jurnal, best practice, dan artikel tentang
Reformasi Birokrasi telah banyak ditulis. Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan dalam
tulisannya yang dimuat di media website dengan alamat
http://staff.ui.ac.id/internal/0900300014/publikasi/ReformasiBirokrasi_dan_GoodGo
vernance_EP_TK_reviseed.pdf menyatakan bahwa pengalaman sejumlah negara
menunjukkan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah yang menentukan
dalam pencapaian kemajuan negara tersebut. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan
penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahaan yang tidak hanya efektif
dan efisien, tetapi juga mampu menjadi tulang punggung kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pada akhirnya keberhasilan pelaksanaan daripada reformasi birokrasi
akan sangat mendukung dalam penciptaan good governance. Karena reformasi
birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan good governance.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
16
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Di negara berkembang seperti Indonesia, buruknya birokrasi tetap
menjadi problem terbesar. Birokrasi yang memiliki sifat patron-klien yang kental,
hierarkhis dan impersonal telah memberikan dampak antara lain mematikan
inisiatif masyarakat dan kualitas pelayanan masyarakat yang tidak efisien. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa pelayanan umum di instansi pemerintah selama ini
lamban, ruwet, tidak efisien bahkan menjengkelkan karena banyak calo yang
berkeliaran. (Pratiwi, Oktafiani Catur dan Sobandi, Khairu Roojiqien di
http://fisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/artikel%20Okta%20Khairu%20Birokra
si-AIPI.doc)
Menyadari bahwa rendahnya kinerja birokrasi bisa menjadi ancaman yang
serius dalam kelanjutan pembangunan bangsa dan negara, Pemerintah berupaya
mempercepat tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Upaya tersebut yaitu dengan melakukan reformasi birokrasi di seluruh
kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Sebagai acuan pelaksanaan
reformasi birokrasi kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam rangka
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, Presiden menetapkan Peraturan
Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010
– 2025.
Kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi sebagai ranah kebijakan
publik, dalam implementasinya mendapat banyak kritikan karena sampai saat ini
masih dirasakan belum mampu mendongkrak kinerja birokrasi. Termasuk
pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi di lingkungan Kementerian
Keuangan yang menjadi pilot project, tidak luput dari kritikan karena dinilai
belum sepenuhnya berhasil merubah paradigma dan midset aparat birokrasi.
Berbagai analisis dan kajian telah banyak dilakukan untuk mencoba menjawab
mengapa kebijakan publik ini belum efektif mencapai hasil yang diharapkan.
Oleh karena itu, untuk memahami permasalahan-permasalahan yang timbul
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
17
Universitas Indonesia
dalam implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi, maka terlebih dahulu harus
dipahami apa yang dimaksud dengan kebijakan publik itu sendiri.
2.1 Kebijakan Publik
Kebijakan Publik telah banyak didefinisikan oleh para ahli. Secara
etimologis, kata “Kebijakan” berasal dari kata “polis” dalam Bahasa (Greek),
yang berarti “negara-kota”. Dalam Bahasa Latin, kata ini menjadi “politia” yang
berarti “negara”. Masuk kedalam Bahasa Inggris lama (Middle English), kata
tersebut menjadi “policie” yang mempunyai pengertian berkaitan dengan urusan
pemerintah atau administrasi pemerintah (Dunn, 1981:7).
Dalam pengertian umum, kata ini seterusnya diartikan sebagai “... a
course of action intended to accomplish some end” (Jones, 1977:4) atau sebagai
“... whatever government chooses to do or not to do” (Dye, 1995:1). Dengan
demikian Kebijakan dapat dimaknai sebagai sebuah instrumen pemerintahan,
bukan saja dalam arti government, dalam hal ini menyangkut aparatur negara
saja, juga menyangkut governance yang menyentuh berbagai bentuk
kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, maupun masyarakat madani (civil
society). Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-
pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian
sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni
masyarakat luas atau warga negara. Oleh karena itu, kata “Kebijakan”
mengandung tiga elemen yaitu:
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan;
3. Menyediakan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata
dari taktik atau strategi.
Pengertian kata “publik” dalam rangkaian kata “Kebijakan Publik”
mengandung tiga konotasi yaitu pemerintahan, masyarakat, dan umum. Ini dapat
dilihat dalam dimensi subyek, obyek, dan lingkungan dari kebijakan. Dalam
dimensi subyek, kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah yang
mempunyai kewenangan untuk memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Dalam
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
18
Universitas Indonesia
dimensi obyek, kebijakan publik menunjukkan materi atau muatan kebijakan
yang hendak diatur dan dicapai dalam kehidupan masyarakat. Dalam dimensi
lingkungan yang dikenai kebijakan, pengertian publik disini adalah masyarakat
dan umum.
Terdapat beragam definisi yang disampaikan oleh banyak ahli tentang
kebijakan publik. Dari berbagai definisi tersebut, dua hal yang menjadi
penekanan dalam kebijakan publik yaitu:
1. Menunjukkan sikap dan hubungan pemerintah dengan lingkungannya
sebagaimana definisi kebijakan publik yang disampaikan oleh Bridgman dan
Davis (2004, p 3) yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai “whatever
government choose to do or not to do”. Robert Eyestone dalam bukunya The
Threads of Public Policy (1971) yang mendifinisikan kebijakan publik
sebagai “hubungan antara unit pemerintah dan lingkungannya” (Agustino,
Leo, 2006, p.6). Thomas R. Dye (1995, p. 2) yang mendefinisikan kebijakan
publik sebagai “ what government do, why they do it, and what difference it
makes”, David Easton (1965, p. 212) mendefinisikan sebagai “impact of
government activity” dan Austin Ranney (dikutip Lester dan Steward, 2000, p
8) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “a selected line of action or
declaration of intent”.
2. Menunjukkan strategi pemerintah untuk memecahkan masalah publik,
sebagaimana definisi kebijakan publik yang disampaikan oleh Harold Laswell
dan Abraham Kaplan (1970, p. 71) mendefinisikan kebijakan publik sebagai
“a projected program of goals, values, and practices”, Carl Friedrich (1969,
p 79) yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah “serangkaian
tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah
dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan
(kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-
kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam
mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.”
James Anderson (1984, p.3) dalam bukunya Public Policy Making,
memberi batasan kebijakan publik sebagai “a relative stable, purposive
course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
19
Universitas Indonesia
problem or matter of concern” Robert Steward (2000, p.18)
mendefinisikannya sebagai “a process or a series or pattern of governmental
activities or decissions that are design to remedy some public problem, either
real or imagined.” (sebuah proses atau serangkaian proses atau pola dari
kegiatan pemerintah atau keputusan pemerintah yang didesain untuk
mengatasi berbagai masalah publik, baik riil maupun tidak riil). Steve A.
Peterson (2003, p. 1030) mendefinisikannya sebagai “government action to
address some problem” B.G. Peters (1993, p.4) mendefinisikannya sebagai
“the sum of government activities, whether acting directly or through agents,
as it has an influence on the lives of citizens”
Dari definisi-definisi tersebut diatas, tesis ini memposisikan bahwa
kebijakan publik adalah:
1. Sesuatu pilihan atau keputusan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan
yang terencana untuk mencapai suatu tujuan, atau keputusan pemerintah
untuk tidak melakukan sesuatu.
2. Kebijakan publik ditujukan untuk mengatur kehidupan bersama atau
kehidupan publik, bukan kehidupan orang seorang atau golongan, atau untuk
mengatasi masalah bersama dalam berbangsa dan bernegara. Kebijakan
publik mengatur semua yang ada di domain lembaga administratur publik.
Kebijakan publik mengatur masalah bersama, atau masalah pribadi atau
golongan, yang sudah menjadi masalah bersama dari seluruh masyarakat di
daerah itu.
3. Setiap peraturan perundang-undangan adalah merupakan kebijakan publik,
namun tidak semua kebijakan publik berupa peraturan perundang-undangan.
2.2 Implementasi Kebijakan Publik
Hakekat sebuah kebijakan publik adalah harus menguntungkan atau
memberi manfaat bagi banyak orang dan menekan risiko seminimal mungkin.
Memang tidak ada sebuah kebijakan yang akan memuaskan semua orang, tetapi
yang pasti harus memberikan manfaat atau nilai bagi banyak orang. Pengertian
banyak orang bukanlah didasarkan pada mayoritas dan minoritas, karena
kebijakan itu sendiri tidak boleh diskriminatif.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
20
Universitas Indonesia
---------------------- 1 Leo Agustinus, S.Sos, M.Si. Dasar-dasar Kebijakan Publik, 2006, hal 4-6
Mempelajari kebijakan publik menjadi hal yang penting. Ada tiga alasan
yang melatarbelakangi mengapa kebijakan publik perlu untuk dipelajari1.
Pertama, pertimbangan atau alasan ilmiah (scientific reasons). Kebijakan publik
dipelajari dalam rangka untuk menambah pengetahuan yang lebih mendalam.
Mulai dari asalnya, prosesnya, perkembangannya, serta akibat-akibat yang
ditimbulkannya bagi masyarakat. Dimana pada gilirannya hal ini akan
meningkatkan pemahaman kita mengenai sistem politik dan masyarakat pada
umumnya. Untuk tujuan ilmiah, kebijakan publik dapat dipandang baik sebagai
variabel dependen maupun variabel independen. Dikatakan sebagai variabel
dependen manakala perhatiannya tertuju pada faktor politik dan lingkungan yang
mempengaruhi atau menentukan konten kebijakan. Misalnya, bagaimana
kebijakan dapat dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan antara kelompok-
kelompok penekan atau kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat dan
instansi pemerintah? Bagaimana juga, misalnya, urbanisasi dan pendapatan
nasional dapat mempengaruhi isi kebijakan? Jika kebijakan publik dipandang
sebagai variabel independen, maka sebaliknya, perhatian kita beralih pada
dampak kebijakan pada sistem politik dan lingkungannya. Sebagai contoh,
misalnya, bagaimana kebijakan publik mempengaruhi dukungan terhadap sistem
politik atau yang tengah berwujud dimasa datang? Apakah dampak kebijakan
publik atas kesejahteraan sosial warga?
Kedua, pertimbangan atau alasan profesional (professional reasons). Don.
K. Price (1965, p 122-135) memberikan pemisahan antara scientific-estate yang
hanya mencari untuk kepentingan ilmu pengetahuan dengan profesional-estate
yang berusaha menerapkan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah sosial
secara praktis. Dalam bahasa sederhana studi kebijakan digunakan sebagai alas
untuk menerapkan pengetahuan ilmiah dalam rangka memecahkan atau
menyelesaikan masalah sehari-hari. Disini kita tidak akan memperhatikan
apakah ilmuwan politik akan menambah pengetahuannya atas fenomena-
fenomena sosial yang tengah dihadapinya, tetapi lebih jauh dari itu, apabila
mereka mengetahui sesuatu tentang faktor yang membentuk akan pembentukan
kebijakan publik atau konsekuensi dari kebijakan yang ada, maka mereka harus
mengerjakan sesuatu yang berguna tentang bagaimana individu, kelompok, atau
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
21
Universitas Indonesia
pemerintah dapat bertindak untuk mencapai atau menyelesaikan tujuan kebijakan
tersebut. Pendapat semacam itu dapat digunakan untuk menunjukkan kebijakan
apa yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu ataupun faktor politik
apakah yang menghasilkan pengembangan kebijakan yang ada.
Ketiga, pertimbangan atau alasan politis (political reasons). Kebijakan
publik dipelajari pada dasarnya agar setiap perundang-undangan dan regulasi
yang dihasilkan dapat tepat guna mencapai tujuan yang sesuai target.
Pertimbangan ini pula yang membawa kita pada upaya untuk memastikan bahwa
pemerintah menggunakan kebijakan yang cocok untuk mencapai tujuan yang
benar. Dalam hubungan pertimbangan politis ini, perlu dibedakan antara policy
analysis dan policy advocacy. Policy analysis pada dasarnya berhubungan
dengan pengetahuan tentang sebagian-sebagian dan akibat-akibat yang
ditimbulkan dari suatu kebijakan publik (William Dunn, 1999:3). Yang biasanya
dianalisis adalah formulasi, isi, dan dampak dari suatu kebijakan tertentu, seperti:
hak-hak sipil atau perdagangan internasional tanpa persetujuan atau
ketidaksetujuan dari mereka. Policy advocacy khususnya berhubungan dengan
apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah, dengan kemajuan kebijakan tertentu,
melalui: diskusi, pendekatan, dan aktivitas politik.
Studi tentang implementasi kebijakan merupakan suatu kajian kebijakan
yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam
prakteknya, implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang paling berat,
karena masalah-masalah yang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan.
Kompleksitas masalah implementasi kebijakan menjadi semakin tinggi karena
tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan.
Oleh karena itu, seorang ahli studi kebijakan, Eugene Bardach (1991) melukiskan
kerumitan tersebut dengan menyatakan sebagai berikut :
“adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang
kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam
kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan bagi
telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan
lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang
memuaskan semua orang”. (Agustinus, Leo, 2006, p. 138)
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
22
Universitas Indonesia
Mazmanian dan Sabatier, sebagaimana yang dikutip oleh De Leon and De
Leon (2001), mengemukakan bahwa implementasi kebijakan adalah upaya
melaksanakan keputusan kebijakan.
“Implementation is the carrying out of basic policy decission, ussually
incorporated in a statute but wich can also take the form of important
executives orders or court decission. Ideally, that decission identifies the
problem(s) to be addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and,
in variety of ways, “structures” the implementation process”. (p. 473)
Dengan demikian, menurut Mazmanian dan Sabatier, implementasi
kebijakan diawali dengan adanya suatu permasalahan atau identifikasi
permasalahan yang akan dipecahkan melalui pengambilan keputusan baik dalam
bentuk regulasi maupun keputusan eksekutif yang menyebutkan secara jelas dan
tegas tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, dan selanjutnya menstrukturkan
proses pelaksanaan untuk pencapaian tujuan dan sasaran tersebut. Atau dengan
kata lain, implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu: (1) adanya tujuan
atau sasaran kebijakan, (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan, dan
(3) adanya hasil kegiatan.
Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana
kebijakan melakukan suatu kegiatan atau aktivitas, sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu
sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Lester dan Stewart Jr.
(2000, p 104) dimana mereka mengatakan bahwa “implementation as a process
and an outcome. The success of an implementation of the policy or views of the
measured process and outcome goals, which is reached whether or not the
objectives to be achieve”
Tak jauh berbeda dengan Lester dan Stewart Jr., Merrile Grindle (1980)
menyatakan “pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya,
dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah
ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang
kedua apakah tujuan program tersebut tercapai” (Agustino, Leo, 2006, p.139).
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
23
Universitas Indonesia
-----------------------------------------
2 Getok Tular di http://hykurniawan.wordpress.com/2009/07/03/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-keberhasilan-implementasi-kebijakan/
Dengan demikian, implementasi kebijakan merupakan tahapan yang
sangat penting dari keseluruhan tahapan kebijakan, karena melalui prosedur ini
proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau
tidaknya pencapaian tujuan. Penelitian terhadap implementasi kebijakan berarti
sebuah upaya melakukan penilaian terhadap kinerja kebijakan, yaitu dengan
membandingkan antara tujuan kebijakan yang akan dicapai dengan realitas hasil
di lapangan. Dalam proses implementasi sebuah kebijakan, para ahli
mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
sebuah kebijakan. Dari kumpulan faktor tersebut, bisa kita ditarik benang merah
faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik. Faktor-
faktor tersebut adalah2:
1. Isi atau content kebijakan tersebut. Kebijakan yang baik dari sisi content
setidaknya mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: jelas, tidak distorsif,
didukung oleh dasar teori yang teruji, mudah dikomunikasikan ke kelompok
target, didukung oleh sumberdaya baik manusia maupun finansial yang baik.
2. Implementator dan kelompok target. Pelaksanaan implementasi kebijakan
tergantung pada badan pelaksana kebijakan (implementator) dan kelompok
target (target groups). Implementator harus mempunyai kapabilitas,
kompetensi, komitmen dan konsistensi untuk melaksanakan sebuah kebijakan
sesuai dengan arahan dari penentu kebijakan (policy makers), selain itu,
kelompok target yang terdidik dan relatif homogen akan lebih mudah
menerima sebuah kebijakan daripada kelompok yang tertutup, tradisional dan
heterogen. Lebih lanjut, kelompok target yang merupakan bagian besar dari
populasi juga akan lebih mempersulit keberhasilan implementasi kebijakan.
3. Lingkungan. Keadaan sosial-ekonomi, politik, dukungan publik maupun
kultur populasi tempat sebuah kebijakan diimplementasikan juga akan
mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik. Kondisi sosial-ekonomi sebuah
masyarakat yang maju, sistem politik yang stabil dan demokratis, dukungan
baik dari konstituen maupun elit penguasa, dan budaya keseharian
masyarakat yang mendukung akan mempermudah implementasi sebuah
kebijakan.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
24
Universitas Indonesia
---------------------------------------
3 Dr.Riant Nugroho, Public Policy, 2009, hal 502 4 Ibid
Lingkungan kebijakan terdiri dari lingkungan eksternal atau diluar
organisasi, dan lingkungan internal atau didalam organisasi. Baik lingkungan
kebijakan internal maupun eksternal, keduanya dapat bertindak sebagai subyek
maupun obyek kebijakan. Menjadi subyek manakala lingkungan mempengaruhi
perumusan content kebijakan, menjadi obyek manakala lingkungan menjadi
target yang akan dipengaruhi oleh content kebijakan.
Pengaruh lingkungan internal dalam implementasi kebijakan yang
menggunakan model top-down sebagaimana Kebijakan Reformasi Birokrasi di
Kementerian Keuangan, cukup signifikan. Perumusan kebijakan yang dilakukan
di level top management, kemudian diimplementasikan pada level dibawahnya
dengan lingkungan internal yang berbeda-beda, menyebabkan derajat pencapaian
tujuan kebijakan yang berbeda, dan faktor-faktor lingkungan internal yang
berpengaruh terhadap implementasi kebijakan berbeda-beda pula.
2.3 Model Implementasi Kebijakan Publik
Pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan publik dapat
dikelompokkan dalam tiga generasi. Generasi pertama, yaitu pada tahun 1970-an,
memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah yang terjadi antara
kebijakan dan eksekusinya. Peneliti yang mempergunakan pendekatan ini antara
lain Graham T. Allison dengan studi kasus Misil Kuba (1971, 1999). Pada
generasi ini implementasi kebijakan berimpitan dengan studi pengambilan
keputusan di sektor publik3.
Generasi kedua, tahun 1980-an, yaitu generasi yang mengembangkan
pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat “dari atas ke bawah” (top
downer perspective). Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi untuk
melaksanakan kebijakan publik yang telah diputuskan secara politik. Tokoh-
tokoh ilmuwan yang mengembangkan pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian
dan Paul Sabatier (1983), Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), dan
Paul Berman (1980). Pada saat yang sama, muncul pendekatan bottom-upper
yang dikembangkan oleh Michael Lypski (1971, 1980) dan Benny Hjern (1982,
1983)4.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
25
Universitas Indonesia
---------------------------------------
5 Dr. Riant Nugroho, Public Policy, 2009, hal 503 6 Leo Agustino,S.sos,Msi, Dasar-dasar Kebijakan Publik, 2006, hal 142-144
Generasi ketiga, tahun 1990-an, dikembangkan oleh ilmuwan sosial
Malcolm L. Goggin (1990), memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku
dari aktor pelaksana implementasi kebijakan yang lebih menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan. Pada saat yang sama, muncul pendekatan kontijensi
atau situasional dalam implementasi kebijakan yang mengemukakan bahwa
implementasi kebijakan banyak didukung oleh adaptabilitas implementasi
kebijakan tersebut. Para ilmuwan yang mengembangkan pendekatan ini antara
lain Richard Matland (1995), Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle
(1997)5.
Mengingat pendekatan implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan menggunakan model top-downer perspective, maka
model-model implementasi kebijakan yang diuraikan pada sub bab berikutnya
adalah model implementasi kebijakan yang menggunakan pendekatan top-
downer perspective.
2.3.1 Implementasi Kebijakan Model Donald Van Metter dan Carl Van Horn
Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van Metter
dan Carl Van Horn disebut dengan A Model of The Policy Implementation.
Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu
implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk
meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung
dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi
kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana,
dan kinerja kebijakan publik.
Menurut Van Metter dan Van Horn, faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja kebijakan publik, yaitu6:
1. Ukuran dan tujuan kebijakan.
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika
dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan
sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan
atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
26
Universitas Indonesia
di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik
hingga pada titik yang dapat dikatakan berhasil.
2. Sumber daya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari
kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan
sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses
implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi
menuntut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan
pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara
apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber daya itu nihil,
maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan.
Diluar sumber daya manusia, sumber daya lain yang perlu diperhitungkan
adalah sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena meskipun
sumber daya manusia yang ada sudah berkompeten dan kapabel, tetapi
sumber daya finansial tidak tersedia, maka akan menjadi persoalan pelik
untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan publik
tersebut. Demikian pula dengan sumber daya waktu. Saat sumber daya
manusia dan sumber daya finansial telah tersedia dengan baik, tetapi terbentur
dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hal ini pun dapat menjadi
penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan mencapai tujuan.
3. Karakteristik agen pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik.
Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan
sangat dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen
pelaksananya. Misalnya, implementasi kebijakan publik yang berusaha
merubah perilaku atau paradigma manusia secara radikal, maka agen
pelaksana projek ini haruslah yang berkarakteristik keras dan ketat pada
aturan serta sanksi hukum. Apabila kebijakan publik itu tidak terlalu
merubah perilaku dasar manusia, maka dapat saja agen pelaksana yang
diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas pada gambaran yang pertama.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
27
Universitas Indonesia
Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga
diperhitungkan manakala akan menentukan agen pelaksana. Semakin luas
cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen
yang dilibatkan.
4. Sikap/kecenderungan (dispotition) para pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat
banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi
kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang
dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul
persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang
akan diimplementasikan adalah kebijakan “dari atas” (top down) yang sangat
mungkin para pengambil keputusan tidak pernah mengetahui (bahkan tidak
mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga
ingin selesaikan.
5. Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi
kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-
kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan, begitu pula sebaliknya.
6. Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik
Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi kebijakan publik dalam prespektif yang ditawarkan oleh Van
Metter dan Van Horn adalah, sejauhmana lingkungan eksternal turut
mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan
sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi
dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan publik. Karena itu, upaya
untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan
kekondusifan kondisi lingkungan ekstenal.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
28
Universitas Indonesia
-----------------------------------------------
7 Leo Agustino, S.Sos,Msi, Dasar-dasar Kebijakan Publik, 2006, hal. 144 - 148
Gambar 2.1 : Model Implementasi Kebijakan D. Van Metter dan Carl Van Horn
2.3.2 Implementasi Kebijakan Model Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier
Model implementasi kebijakan yang ditawarkan oleh Daniel Mazmanian
dan Paul Sabatier disebut dengan A Framework for Policy Implementation
Analysis. Kedua ahli kebijakan publik ini berpendapat bahwa peran penting dari
implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam
mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-
tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Dan, variabel-variabel yang
dimaksud, diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu7:
1. Mudah atau Tidaknya Masalah yang akan Digarap, meliputi:
a. Kesukaran-kesukaran Teknis.
Tercapai atau tidaknya tujuan suatu kebijakan akan tergantung pada
sejumlah persyaratan teknis, termasuk diantaranya: kemampuan untuk
mengembangkan indikator-indikator pengukur prestasi kerja yang tidak
terlalu mahal serta pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausal
yang mempengaruhi masalah. Disamping itu tingkat keberhasilan suatu
kebijakan dipengaruhi juga oleh tersedianya atau telah dikembangkannya
teknik-teknik tertentu.
b. Keberagaman Perilaku yang Diatur.
Sumber: Agustino, Leo, Dasar-dasar Kebijakan Publik, 2006, hal. 144
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
29
Universitas Indonesia
Semakin beragam perilaku yang diatur, maka asumsinya semakin
beragam pelayanan yang diberikan, sehingga semakin sulit untuk
membuat peraturan yang tegas dan jelas. Dengan demikian, semakin besar
kebebasan bertindak yang harus dikontrol oleh para pejabat pada
pelaksana (administratur atau birokrat) di lapangan.
c. Persentase Totalitas Penduduk yang Tercakup dalam Kelompok Sasaran.
Semakin kecil dan semakin jelas kelompok sasaran yang perilakunya akan
diubah (melalui implementasi kebijakan), maka semakin besar peluang
untuk memobilisasikan dukungan politik terhadap sebuah kebijakan dan
dengannya akan lebih terbuka peluang bagi pencapaian tujuan kebijakan.
d. Tingkat dan Ruang Lingkup Perubahan Perilaku yang Dikehendaki.
Semakin besar jumlah perubahan perilaku yang dikehendaki oleh
kebijakan, maka semakin sulit para pelaksana memperoleh implementasi
yang berhasil. Artinya ada sejumlah masalah yang jauh lebih dapat kita
kendalikan bila tingkat dan ruang lingkup perubahan yang dikehendaki
tidaklah terlalu besar.
2. Kemampuan Kebijakan Menstruktur Proses Implementasi Secara Tepat.
Para pembuat kebijakan mendayagunakan wewenang yang dimilikinya
untuk membuat struktur proses implementasi secara tepat melalui beberapa
cara:
a. Kecermatan dan kejelasan penjejangan tujuan-tujuan resmi yang akan
dicapai.
Semakin mampu suatu peraturan memberikan petunjuk-petunjuk yang
cermat, dan disusun secara jelas skala prioritas/urutan kepentingan bagi
para pejabat, pelaksana dan aktor lainnya, maka semakin besar pula
kemungkinan bahwa output kebijakan akan sejalan dengan petunjuk
tersebut.
b. Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan.
Memuat suatu teori kausalitas yang menjelaskan bagaimana kira-kira
tujuan usaha pembaharuan yang akan dicapai melalui implementasi
kebijakan.
c. Ketetapan alokasi sumber dana.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
30
Universitas Indonesia
Agar tujuan-tujuan formal tercapai, perlu adanya ketersediaan sumber
dana pada ambang batas tertentu, yang dialokasikan secara tepat guna dan
tepat sasaran.
d. Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga
atau instansi-instansi pelaksana.
Salah satu ciri penting yang perlu dimiliki oleh setiap peraturan
perundangan yang baik ialah kemampuannya untuk memadukan hirarki
badan-badan pelaksana. Ketika kemampuan untuk menyatupadukan
dinas, badan, dan lembaga alpa dilaksanakan, maka koordinasi antar
instansi yang bertujuan mempermudah jalannya implementasi kebijakan
justru akan membuyarkan tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan.
e. Aturan-aturan pembuat keputusan dan badan-badan pelaksana.
Selain dapat memberikan kejelasan dan konsistensi tujuan, memperkecil
jumlah titik-titik veto, dan intensif yang memadai bagi kepatuhan
kelompok sasaran, suatu undang-undang harus pula dapat mempengaruhi
lebih lanjut proses implementasi kebijakan dengan cara menggariskan
secara formal aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan
pelaksana.
f. Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-
undang.
Para pejabat pelaksana memiliki kesepakatan yang diisyaratkan demi
tercapainya tujuan. Hal ini sangat signifikan halnya, oleh karena, top
down policy bukanlah perkara yang mudah diimplankan pada para pejabat
pelaksan di level lokal.
g. Akses formal pihak-pihak luar.
Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi implementasi kebijakan
adalah sejauhmana peluang-peluang yang terbuka bagi partisipasi para
aktor diluar badan pelaksana dapat mendukung tujuan resmi. Ini
maksudnya agar kontrol pada para pejabat pelaksanaan yang ditunjuk oleh
pemerintah pusat dapat berjalan semestinya.
3. Variabel-variabel diluar Undang-undang yang Mempengaruhi Implementasi.
a. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
31
Universitas Indonesia
Perbedaan diantara wilayah-wilayah yang ada dalam suatu negara seperti
misalnya perbedaan waktu, budaya, dan sebagainya, akan sangat
berpengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan dalam
suatu undang-undang. Oleh karena itu, eksternalitas menjadi satu hal yang
harus diperhatikan dalam upaya meraih keberhasilan dalam implementasi
kebijakan publik.
b. Dukungan publik
Efektivitas pelaksanaan kebijakan publik, sangat membutuhkan dukungan
publik. Dukungan yang bersifat sesaat, hanya akan melahirkan
permasalahan pelaksanaan kebijakan di kemudian hari. Oleh karena itu,
dalam tiap-tiap tahapan kebijakan publik, harus mampu menciptakan
mekanisme yang melibatkan peran serta publik atau dukungan publik.
c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat
Perubahan-perubahan yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan publik
akan sangat berhasil apabila masyarakat memiliki local genius (kearifan
lokal) yang kondusif. Dan local genius tersebut dipengaruhi oleh sikap
dan sumber-sumber yang dimiliki dalam masyarakat tersebut.
d. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana
Kesepakatan para pejabat instansi merupakan fungsi dari kemampuan
undang-undang untuk melembagakan pengaruhnya pada badan-badan
pelaksana melalui penyeleksian institusi-institusi dan pejabat-pejabat
terasnya. Selain itu pula, kemampuan berinteraksi antarlembaga atau
individu di dalam lembaga untuk menyukseskan implementasi kebijakan
menjadi hal indikasi penting keberhasilan kinerja kebijakan publik.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
32
Universitas Indonesia
--------------------------------------------
8 Leo Agustino,S.Sos, Msi, Dasar-dasar Kebijakan Publik, 2006, hal 149 - 154
Gambar 2.2: Model Implementasi Kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul Sabattier
2.3.3 Implementasi Kebijakan Model George C.Edwards III
Model implementasi kebijakan Edwards III juga berprespektif top down.
Model implementasi kebijakan Edwards III tersebut, sering disebut dengan direct
and indirect impact on implementation. Dalam model ini terdapat empat variabel
yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu8 :
(1) Komunikasi
Keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik
tergantung pada efektivitas komunikasi. Implementasi kebijakan publik akan
efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang
akan mereka kerjakan. Pengetahuan mengenai apa yang akan mereka
kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga
setiap keputusan kebijakan harus ditransmisikan atau dikomunikasikan
kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang
dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten.
Sumber: Agustino, Leo, Dasar-dasar Kebijakan Publik, 2006, hal. 149
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
33
Universitas Indonesia
Ada tiga indikator yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan
komunikasi tersebut diatas, yaitu:
a. Transmisi, penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi distorsi informasi
dalam komunikasi sebagai akibat dari tingkatan birokrasi yang harus
dilalui.
b. Kejelasan, informasi dalam komunikasi yang diterima oleh para
pelaksana kebijakan (street level bureaucrats) harus jelas dan tidak
ambigu. Pada tataran tertentu, kejelasan informasi dalam komunikasi ini
dapat mengurangi fleksibilitas implementasi kebijakan publik. Namun,
pada tataran yang lain, kejelasan informasi tersebut, mencegah terjadinya
bias antara realisasi dengan tujuan yang hendak dicapai.
c. Konsistensi, perintah yang disampaikan dalam komunikasi haruslah
konsisten dan tidak berubah-ubah. Sebab, jika perintah yang
disampaikan dalam komunikasi tersebut berubah-ubah, akan
menimbulkan kebingungan pada pelaksana kebijakan di lapangan.
(2) Sumber daya
Variabel lainnya yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan
publik adalah sumber daya. Edwards III, membagi indikator sumber daya
dalam beberapa elemen, yaitu:
a. Staf, sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf.
Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah
satunya sebabkan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai,
ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan
implementor saja tidak mencukupi tetapi diperlukan pula kecukupan staf
dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan
kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan
tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
b. Informasi, dalam implementasi kebijakan, informasi memiliki dua
bentuk yaitu, pertama, informasi yang berhubungan dengan cara
melaksanakan kebijakan. Implementator harus mengetahui apa yang
harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
34
Universitas Indonesia
tindakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana
terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
Implementator harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di
dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.
c. Wewenang, pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar
perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau
legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang
ditetapkan secara politik. Ketika kewenangan itu nihil, maka kekuatan
implementator dalam melaksanakan kebijakan tersebut dimata publik,
tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi
kebijakan.
Tetapi dalam konteks yang lain, ketika kewenangan formal
terlegitimasi, implementasi kebijakan masih mungkin tidak sesuai
dengan tujuan manakala implementator menggunakan kewenangan
formalnya tersebut untuk kepentingan pribadi maupun golongan
(menyalahgunakan kewenangan).
d. Fasilitas, faktor sarana dan prasarana merupakan hal yang juga penting.
Implementator bisa saja memiliki kewengangan dan staf yang memadai,
namun tanpa didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana, maka
proses implementasi kebijakan tersebut bisa gagal.
(3) Disposisi
Disposisi adalah sikap dari pelaksana kebijakan yang merupakan faktor
penting ketiga dalam pendekatan mengenai implementasi kebijakan publik.
Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana
kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga
harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam
prakteknya tidak terjadi bias. Dua hal penting yang perlu dicermati dalam
variabel disposisi adalah :
a. Pengangkatan birokrat, disposisi atau sikap pelaksana kebijakan akan
menimbulkan berbagai masalah dalam tataran implementasi kebijakan
manakala tidak sejalan dengan kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu,
pengangkatan pelaksana yang akan ditugaskan sebagai pengimplementasi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
35
Universitas Indonesia
kebijakan, harus dipilih orang-orang yang memiliki dedikasi yang tinggi
dan sejalan dengan kebijakan itu sendiri.
b. Insentif, untuk mendorong pelaksana kebijakan menjalankan kebijakan
sesuai dengan arah kebijakan yang diambil, insentif dapat diberikan
kepada para pelaksana tersebut. Hal ini mengingat sifat manusia yang self
interest, sehingga insentif diharapkan dapat mendorong pelaksana
kebijakan bertugas sesuai keinginan pengambil kebijakan.
(4) Struktur birokrasi
Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan telah
tersedia, para pelaksana kebijakan telah mengetahui apa yang seharusnya
mereka lakukan, dan mereka mempunyai keinginan untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, masih terdapat kemungkinan untuk terjadinya kegagalan
implementasi kebijakan akibat dari lemahnya struktur birokrasi. Mengingat,
dalam implementasi sebuah kebijakan, melibatkan banyak orang dan banyak
kerjasama, maka struktur birokrasi dapat membuat tidak efektif sebuah
kerjasama apabila tidak diperhitungkan mekanisme kerjasama dan
koordinasinya. Terdapat dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja
struktur birokrasi, yaitu (1) melakukan standar operating procedures (SOP)
dan (2) melaksanakan fragmentasi. SOP berguna sebagai acuan bagi
struktur birokrasi dalam melakukan kegiatan-kegiatannya agar memenuhi
standar minimum yang ditetapkan. Fragmentasi adalah upaya penyebaran
tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas pegawai diantara
beberapa unit kerja (Agustino, Leo, 2006, p.150)
Gambar 2.3: Model Implementasi Kebijakan George C.Edwards III
Sumber: Agustino, Leo, Dasar-dasar Kebijakan Publik, 2006, hal. 150
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
36
Universitas Indonesia
--------------------------------------------
9 Leo Agustino,S.Sos,Msi, Dasar-dasar Kebijakan Publik, 2006, hal 154-156
2.3.4 Implementasi Kebijakan Model Merilee S. Grindle
Implementasi Kebijakan model Grindle (1980) dikenal dengan
Implementation as A Political and Administrative Process. Menurutnya,
keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari dua hal, yaitu9:
1. Dilihat dari prosesnya yaitu dengan mengidentifikasikan apakah pelaksanaan
kebijakan telah sesuai dengan design yang dibuat.
2. Dilihat dari apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan
melihat dua faktor, yaitu (a) impak atau efeknya bagi masyarakat secara
individu ataupun kelompok, (b) tingkat perubahan yang terjadi dan tingkat
penerimaan kelompok sasaran perubahan.
Tingkat keberhasilan implementasi suatu kebijakan, menurut Grindle juga
ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri. Tingkat
implementability ditentukan oleh content of policy dan context of policy.
Content of policy atau isi kebijakan, mencakup hal-hal berikut:
a. Interest Affected yaitu berbagai kepentingan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan. Suatu kebijakan dalam implementasinya pasti
melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Keberadaan kepentingan-
kepentingan tersebut dapat mempengaruhi dan dipengaruhi dalam
implementasi kebijakan.
b. Type of benefit yaitu jenis manfaat yang akan dihasilkan dari implementasi
kebijakan.
c. Extent of change envision yaitu derajat perubahan yang ingin dicapai dari
implementasi kebijakan.
d. Site of decision making yaitu letak pengambilan keputusan harus dijelaskan
pada kebijakan yang akan diimplementasikan
e. Program implementer yaitu pelaksana kebijakan yang harus kompeten dan
kapabel.
f. Resources committed yaitu sumber-sumber daya yang harus digunakan dalam
implementasi kebijakan.
Sementara itu, context of policy menurut Grindle adalah:
a. Power, interest, and strategy of actor involved yaitu kekuasaan, kepentingan
dan strategi dari pihak-pihak yang terlibat. Dalam suatu kebijakan, hal-hal
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
37
Universitas Indonesia
tersebut perlu diperhitungkan dengan matang agar pada saat implementasi
kebijakan, tidak terkendala.
b. Institution and regime characteristic yaitu karakteristik lembaga dan rezim
yang berkuasa. Lingkungan dimana kebijakan akan diimplementasikan juga
berpengaruh terhadap keberhasilannya.
c. Compliance and responsiveness yaitu tingkat kepatuhan dan respon dari
pelaksana.
Gambar 2.4 : Model Implementasi Kebijakan Grindle
2.4 Lingkungan Implementasi Kebijakan Publik
2.4 Lingkungan Implementasi Kebijakan Publik
Pembuatan dan implementasi kebijakan publik tidak bisa terlepas dari
lingkungannya, karena kebijakan publik terbentuk dan membentuk lingkungan
sekitarnya (sosial, politik, ekonomi, maupun budaya). Untuk mengukur kinerja
suatu kebijakan publik menurut Grindle (1980, p.10) dan Quade (1984, p.310)
harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu
perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat
dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan
Sumber: Nugrono, Riant D, Public Policy, 2006, hal. 511
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
38
Universitas Indonesia
yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih
diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan
berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan
publik. Lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif.
Apabila lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan, maka akan
menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap
kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan
negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam
akan gagal. Kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil langsung
dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat.
Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi menurut Ripley dan
Franklin (1986, p. 12) didasarkan pada tiga aspek, yaitu: (1) tingkat kepatuhan
birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana
diatur dalam undang-undang, (2) adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya
masalah; serta (3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang dikehendaki dari
semua program yang ada terarah. Menurut Goggin et al. (1990, p. 20-21, p. 31-
40), proses implementasi kebijakan sebagai upaya transfer informasi atau pesan
dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih rendah diukur keberhasilan
kinerjanya berdasarkan variabel: (1) dorongan dan paksaan pada tingkat federal,
(2) kapasitas pusat/negara, dan (3) dorongan dan paksaan pada tingkat pusat dan
daerah.
Pada suatu saat kebijakan publik memaksa dan menyalurkan masukannya
pada lingkungan, namun pada saat yang sama, atau yang lain, lingkungan
memaksa atau menyalurkan masukannya yang harus dikerjakan oleh para
pembuat kebijakan. Dalam tataran implementasi, lingkungan kebijakan memiliki
signifikansi yang tinggi terhadap efektivitas implementasi. Resistensi lingkungan
kebijakan memiliki pengaruh terhadap derajat pencapaian tujuan dari perumusan
kebijakan publik tersebut.
Selain kriteria pengukuran implementasi kebijakan di atas, perlu pula
dipahami adanya hubungan pengaruh antara implementasi kebijakan dengan
faktor lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Meter dan Van Horn (Grindle,
1980, p. 6) bahwa terdapat variabel bebas yang saling berkaitan sekaligus
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
39
Universitas Indonesia
menghubungkan antara kebijakan dengan prestasi kerja. Variabel yang dimaksud
oleh keduanya meliputi: (i) ukuran dan tujuan kebijakan, (ii) sumber kebijakan,
(iii) ciri atau sifat badan/instansi pelaksana, (iv) komunikasi antar organisasi
terkait dan komunikasi kegiatan yang dilaksanakan, (v) sikap para pelaksana, dan
(vi) lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Menurut Quade (1984, p. 310), dalam proses implementasi kebijakan yang
ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi,
kelompok sasaran dan faktor lingkungan yang mengakibatkan munculnya
tekanan dan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Dari transaksi
tersebut diperoleh umpan balik yang oleh pengambil kebijakan dapat digunakan
sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya. Quade
memberikan gambaran bahwa terdapat empat variabel yang harus diteliti dalam
analisis implementasi kebijakan publik, yaitu: (1) Kebijakan yang diimpikan,
yaitu pola interaksi yang diimpikan agar orang yang menetapkan kebijakan
berusaha untuk mewujudkan; (2) Kelompok target, yaitu subyek yang diharapkan
dapat mengadopsi pola interaksi baru melalui kebijakan dan subyek yang harus
berubah untuk memenuhi kebutuhannya; (3) Organisasi yang melaksanakan,
yaitu biasanya berupa unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab
mengimplementasikan kebijakan; dan (4) Faktor lingkungan, yaitu elemen dalam
lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Sebagai komparasi dapat dipahami pemikiran Mazmanian dan Sabatier
yang mengembangkan “kerangka kerja analisis implementasi” (Wahab, 1991, p.
117). Menurutnya, peran penting analisis implementasi kebijakan negara ialah
mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan formal pada
keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh Mazmanian dan
Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu: (1) mudah atau
sulitnya dikendalikan masalah yang digarap; (2) kemampuan kebijakan untuk
mensistematisasi proses implementasinya; dan (3) pengaruh langsung variabel
politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam
kebijakan. Ketiga variabel ini disebut variabel bebas yang dibedakan dengan
tahap implementasi yang harus dilalui sebagai variabel terikat.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
40
Universitas Indonesia
Variabel mudah atau sulitnya suatu masalah dikendalikan mencakup: (i)
kesukaran teknis, (ii) keragaman perilaku kelompok sasaran, (iii) persentase
kelompok sasaran dibandingkan dengan jumlah penduduk, dan (iv) ruang lingkup
perubahan perilaku yang diinginkan. Variabel kemampuan kebijakan untuk
mensistematisasi proses implementasi mencakup: (i) kejelasan dan konsistensi
tujuan, (ii) ketepatan alokasi sumber daya, (iii) keterpaduan hirarki dalam dan di
antara lembaga pelaksana, (iv) aturan keputusan dari badan pelaksana, (v)
rekruitmen pejabat pelaksana, dan (vi) akses formal pihak luar. Variabel di luar
kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi mencakup: (i) kondisi sosial
ekonomi dan teknologi, (ii) dukungan publik, (iii) sikap dan sumber daya yang
dimiliki kelompok, (iv) dukungan dari pejabat atasan, dan (v) komitmen dan
kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana (Keban, 2007, p. 16). Variabel
terikat yang ditunjukkan melalui tahapan dalam proses implementasi mencakup:
(i) output kebijakan badan pelaksana, (ii) kesediaan kelompok sasaran mematuhi
output kebijakan, (iii) dampak nyata output kebijakan, (iv) dampak output
kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan (v) perbaikan.
Lingkungan kebijakan dalam implementasi Kebijakan Reformasi
Birokrasi Kementerian Keuangan ini lebih menitikberatkan evaluasi pada
lingkungan internal institusi atau institusional. Namun tidak berarti bahwa
lingkungan umum diluar pemerintahan dan lingkungan khusus yang
mempengaruhi kebijakan diabaikan sama sekali.
2.5 Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik
Di dalam website melakukan evaluasi terhadap suatu program/kebijakan,
dapat menggunakan sejumlah pendekatan yang berbeda yang tentunya akan
mempengaruhi indikator yang digunakan, antara lain :
1. Pendekatan berdasarkan sistem nilai yang diacu.
2. Pendekatan berdasarkan dasar evaluasi.
3. Pendekatan berdasarkan kriteria evaluasi.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
41
Universitas Indonesia
1. Pendekatan Berdasarkan Sistem Nilai yang Diacu
William N. Dunn (2003, p. 613 - 622) menjelaskan bahwa terdapat tiga
pendekatan dalam melakukan evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Evaluasi Semu (pseudo evaluation), adalah pendekatan yang menngunakan
metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat
dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan
tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil kebijakan. Asumsi utama dari
evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan
sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self evident) atau tidak kontroversial.
Metode pengumpulan data yang digunakan melalui rancangan eksperimental-
semu, kuesioner, random sampling, dan teknik statistik. Hasil evaluasinya
mudah diterima oleh publik dan tidak terlalu rumit (complicated).
Penilaiannya berkisar antara gagal atau berhasil. Pseudo evaluation ini
seringkali dijadikan sebagai salah satu metode monitoring.
2. Evaluasi Formal (Formal Evaluation) merupakan pendekatan yang
menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid
dan dapat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hasil
tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah diumumkan secara
formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama
dari evaluasi formal adalah bahwa tujuan dan target diumumkan secara
formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai
kebijakan program. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah sama
dengan pendekatan evaluasi semu, meskipun demikian perbedaannya adalah
bahwa evaluasi formal menggunakan undang-undang, dokumen-dokumen
program, dan wawancara dengan pembuat kebijakan dan administrator untuk
mengidentifikasikan, mendefinisikan, dan menspesifikasikan tujuan dan
target kebijakan. Dalam evaluasi formal, tipe-tipe kriteria evaluatif yang
sering digunakan adalah efektivitas dan efisiensi. Dalam evaluasi formal,
metode yang ditempuh untuk menghasilkan informasi yang valid dan reliable
ditempuh dengan beberapa cara antara lain:
• Merunut legislasi (peraturan perundang-undangan);
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
42
Universitas Indonesia
• Merunut kesesuaian dengan kebijakan yang tercantum pada dokumen
formal yang memiliki hierarki diatasnya;
• Merunut dokumen formal (kesesuaian dengan hasil yang diharapkan
/tujuan dan sasaran); dan
• Interview dengan penyusun kebijakan atau administrator program.
Evaluasi formal terbagi atas dua jenis, yaitu summative evaluation dan
formative evaluation. Summative evaluation adalah upaya untuk
mengevaluasi program/kegiatan yang telah dilakukan dalam kurun waktu
tertentu, umumnya dilakukan untuk mengetahui/mengevaluasi
program/kegiatan yang relatif sering dilakukan dan karena indikatornya
tetap/baku. Formative evaluation adalah upaya untuk mengevaluasi
pelaksanaan program/kegiatan secara kontinyu, karena merupakan
program/kegiatan yang relatif baru dan indikatornya dapat berubah-rubah.
3. Evaluasi Keputusan Teoritis (Decision Theoretic Evaluation) yaitu
pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan
informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil
kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku
kebijakan. Evaluasi model ini berusaha memunculkan dan membuat eksplisit
tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau
dinyatakan. Ini berarti bahwa tujuan dan target dari para pembuat kebijakan
dan administrator merupakan salah satu sumber nilai, karena semua pihak
yang mempunyai andil dalam memformulasikan dan mengimplementasikan
kebijakan dilibatkan dalam merumuskan tujuan dan target dimana kinerja
nantinya akan diukur.
Untuk lebih jelasnya, perbandingan ketiga pendekatan evaluasi
implementasi kebijakan diatas dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
43
Universitas Indonesia
---------------------------------
10 www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8843/
Tabel 2.1: Perbandingan Pendekatan Evaluasi Implementasi Kebijakan
PENDEKATAN TUJUAN ASUMSI BENTUK-BENTUK UTAMA
Evaluasi Semu Evaluasi Formal Evaluasi Keputusan Teoritis.
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan. Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program-kebijakan. Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan.
Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak kontroversial. Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai. Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diam-diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.
Eksperimentasi sosial, Akuntansi sistem sosial, Pemeriksaan s.osial, Sintesis riset dan praktik. Evaluasi perkembangan, Evaluasi eksperimental, Evaluasi proses retrospektif, Evaluasi hasil retrospektif. Penilaian tentang dapat tidaknya dievaluasi, Analisis utilitas multiatribut.
Sumber: William N. Dunn, Analisis Kebijakan Publik hal 612
2. Pendekatan Berdasarkan Dasar Evaluasi
Pendekatan berdasarkan dasar evaluasi ada enam yaitu10:
a. Before vs after comparison (pembandingan antara sebelum dan sesudah)
Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain hanya berlaku untuk
satu komunitas yang sama dengan membandingkan kondisi sebelum dan
sesudah adanya intervensi.
b. With vs without comparisons (pembandingan antara dengan atau tanpa
intervensi)
Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain hanya berlaku untuk
lebih dari satu komunitas (>1) dengan membandingkan antara komunitas
yang diberi intervensi dengan komunitas yang tidak diberi intervensi dalam
waktu yang bersamaan.
c. Actual vs planned performance comparisons (pembandingan antara
kenyataan dengan rencana)
Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain membandingkan antara
rencana dengan kenyataan di lapangan (sesuai atau tidak).
d. Experimental (controlled) models
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
44
Universitas Indonesia
Karakteristik dari pendekatan ini adalah melihat dampak dari perubahan
kebijakan/policy terhadap suatu kegiatan yang memiliki standar ketat.
Dampaknya dilihat dari proses dan hasil kegiatan tersebut.
e. Quasi experimental (uncontrolled) models
Karakteristik dari pendekatan ini adalah melihat dampak dari perubahan
kebijakan/policy terhadap suatu kegiatan yang tidak memiliki standar tidak
memiliki standar. Dampaknya dilihat hanya berdasarkan hasilnya saja,
sedangkan prosesnya diabaikan.
f. Efisiensi penggunaan dana (Cost Oriented Approach)
Cost Oriented Approach terbagi tiga yaitu ex-ante evaluation, on-going
evaluation dan ex-post evaluation. Ex-ante evaluation adalah evaluasi yang
dilakukan sebelum kegiatan tersebut dilaksanakan. On-going Evaluation
adalah evaluasi yang dilakukan saat kegiatan tersebut sedang berjalan. Ex-
post evaluation adalah evaluasi yang dilakukan setelah kegiatan tersebut
selesai.
3. Pendekatan Berdasarkan Kriteria Evaluasi
Pendekatan berdasarkan kriteria evaluasi terbagi atas 6 indikator jenis
(Dunn, William N, 1999, p.608 -610), yaitu:
a. Efektivitas
Penilaian terhadap efektivitas ditujukan untuk menjawab ketepatan waktu
pencapaian hasil/ tujuan. Parameternya adalah ketepatan waktu.
b. Efisiensi
Penilaian terhadap efisiensi ditujukan untuk menjawab pengorbanan yang
minim (usaha minimal) untuk mencapai hasil maksimal. Parameternya adalah
biaya, rasio, keuntungan dan manfaat.
c. Adequacy/ketepatan dalam menjawab masalah
Penilaian terhadap adequacy ditujukan untuk melihat sejauh mana tingkat
pencapaian hasil dapat memecahkan masalah.
d. Equity / pemerataan
Penilaian terhadap equity ditujukan untuk melihat manfaat dan biaya dari
kegiatan terdistribusi secara proporsional untuk aktor-aktor yang terlibat.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
45
Universitas Indonesia
e. Responsiveness
Penilaian terhadap responsiveness ditujukan untuk mengetahui hasil
rencana/kegiatan/kebijaksanaan sesuai dengan preferensi/keinginan dari
target grup.
f. Appropriateness/ketepatgunaan
Penilaian terhadap ketepatgunaan ditujukan untuk mengetahui
kegiatan/rencana/kebijaksanaan tersebut memberikan hasil/ keuntungan dan
manfaat kepada target grup. Standar tingkat keuntungan dan manfaat sangat
relatif sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada target grup tersebut.
Merujuk pada teori-teori diatas, maka evaluasi kebijakan publik yang
dikembangkan dalam tesis ini adalah evaluasi formal yaitu menggunakan metode
deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat
dipertanggungjawabkan dengan metode pengumpulan data melalui in depth
interview, serta melakukan studi terhadap peraturan perundang-undangan sebagai
legal basic pelaksanaan reformasi birokrasi.
2.6 Efektivitas Implementasi Kebijakan Publik
Efektivitas Implementasi Kebijakan Publik dapat diukur dari tingkat
keberhasilan implementasi kebijakan publik tersebut dalam mencapai tujuan yang
diharapkan. Informasi mengenai efektivitas implementasi kebijakan publik
diperoleh melalui evaluasi implementasi kebijakan publik yang menekankan pada
penciptaan premis-premis nilai.
William N. Dunn dalam bukunya Pengantar Analisi Kebijakan Publik
(2003, p.607) menjelaskan bahwa antara pemantauan (monitoring) dengan
evaluasi kebijakan publik memiliki perbedaan. Pemantauan menjawab
pertanyaan “apa yang terjadi, bagaimana, dan mengapa?”, sedangkan evaluasi
menjawab pertanyaan “apa perbedaan yang dibuat?”.
Prof. Sofyan Effendi sebagaimana yang dikutip oleh Riant Nugroho D
dalam buku Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang (2006, p.162)
menjelaskan bahwa tujuan evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
46
Universitas Indonesia
mengentahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk
menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu:
1. Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Jawabannya berkenaan
dengan kinerja implmentasi kebijakan publik (variasi dari outcome) terhadap
variabel independen tertentu.
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu? Jawabannya berkenaan
dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan
lingkungan implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome dari
implementasi kebijakan.
3. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik ?
Pertanyaan ini berkenaan dengan tugas dari pengevaluasi untuk memilih
varibel-variabel yang dapat diubah, atau actionable variable – variabel yang
bersifat natural atau variable lain yang tidak bisa diubah tidak dapat
dimasukkan sebagai varibel evaluasi.
2.7 Reformasi Administrasi Sebagai Kebijakan
Gerakan reformasi administratif mendominasi pemerintahan di seluruh
dunia sejak akhir abad 20 dengan gerbong penariknya sebuah pendekatan
manajemen pemerintahan yang dikenalkan oleh David Osborne dan Ted Gabler
(1992) dengan bukunya yang berjudul “Reinventing Government: How The
Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector”. Ali Farazmand
menyatakan:
“Administrative reform has been one of the most recurrent activities of
governments the world over. It has been accentuated by the severity of the
problems faced by the less developed nations. Most of these nations
inherited a colonial legacy with significant dependency on colonial powers
of the West, and their administrative system suffer profound deficiencies”
(2002, Chapter 1,p.1)
Administrasi publik ibaratnya adalah darah dalam tubuh manusia yang
bertugas membawa makanan dan oksigen ke seluruh bagian tubuh dan
mengambil sisa-sisa hasil pembakaran untuk dibuang ke luar tubuh. Dengan
demikian, jelas bahwa lancar atau tidaknya administrasi publik suatu negara akan
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
47
Universitas Indonesia
mempengaruhi “kesehatan” seluruh bagian “tubuh” negara. (Hidayat, L.Misbah,
2007, p.21)
Reformasi administrasi publik di Indonesia pun seharusnya juga mencakup
seluruh kehidupan masyarakat demi tercapainya pembangunan di segala bidang.
Sekaligus menempatkan negara dan bangsa di tengah masyarakat dunia secara
bermartabat sesuai tujuan pokok strategis terbentuknya negara dan bangsa
Indonesia. (Hidayat, L.Misbah, 2007, p.21)
Menurut Zauhar (1996, p. 47) melihat bahwa reformasi administrasi
merupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatan efektivitas pemanfaatan
sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan
demikian, dalam reformasi administrasi, perhatian lebih dicurahkan pada upaya
dan bukan semata-mata hasil. Secara internal, tujuan reformasi adalah untuk
menyempurnakan atau meningkatkan kinerja, sedangkan secara eksternal, yang
berkaitan dengan masyarakat adalah untuk menyesuaikan sistem administrasi
terhadap meningkatnya kebutuhan masyarakat. Sementara Riggs (1986, p 94)
melihat reformasi administrasi dari dua sisi, yaitu perubahan struktur dan kinerja.
Secara struktural, adanya penggunaan diferensiasi struktural yang diperlihatkan
dengan semakin terspesialisasikannya pembagian kerja yang makin tajam dan
intens dalam masyarakat. Adapun mengenai kinerja, ditekankan sebagai ukuran
bukan hanya kinerja yang lain atau organisasi secara keseluruhan.
Caiden (1991, p 69) mendefinisikan reformasi administrasi sebagai “the
artifical inducement of administrative transformations againts resistance”, yang
berarti mengandung beberapa implikasi yaitu:
(1) Reformasi administrasi merupakan kegiatan yang dibuat oleh manusia (man
made), tidak bersifat eksidental, otomatis, maupun alamiah.
(2) Reformasi administrasi merupakan suatu proses.
(3) Resistensi beriringan dengan proses reformasi administrasi.
Wallis (1989, p.24) mengatakan bahwa “reformasi administrasi meliputi
tiga aspek, yaitu bahwa suatu perubahan harus merupakan perbaikan dari keadaan
sebelumnya, yang diperoleh dengan upaya yang disengaja dan bukan terjadi
secara kebetulan, perbaikan yang bersifat jangka panjang dan tidak sementara.
Sehingga reformasi administrasi merupakan suatu usaha sadar dan terencana
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
48
Universitas Indonesia
----------------------------------------------------
11 Rakhmat, MS, Jurnal Administrasi Publik, Vol.1 No.1/2005 12 Prof.Dr.Muh Irfan Islamy, MPA, Agenda Kebijaksanaan Reformasi Administrasi Negara,
Jurnal Administrasi Negara, Vol.II, No.1, September 2001, hal 13-30
untuk memperbaiki institusi birokrasi dan perilaku orang yang terlibat
didalamnya”. Menurut Zauhar (1996, p.13), “tujuan dilakukannya reformasi
administrasi adalah untuk menyempurnakan tatanan, menyempurnakan metode,
dan menyempurnakan kinerja”.
Penyempurnaan tatanan, baik dalam masyarakat modern, keteraturan
merupakan kebajikan yang melekat dalam pemerintahan. Kebanyakan reformasi
administrasi yang dilakukan di negara-negara berkembang adalah atas inisiatif
para birokrat yang inspirasi pembaharuannya didasarkan pada administrasi
kolonial. Apabila yang ingin dituju adalah penyempurnaan tatanan maka
tentunya reformasi harus diorientasikan pada penataan prosedur dan kontrol.11
Penyempurnaan metode, para administrator merupakan pekerja teknis yang
mengetahui banyak tentang metode kerja. Sebagai akibatnya maka mereka harus
fanatik terhadap metode. Karena itu, apabila masyarakat semakin mendukung
terhadap adanya administrator teknis maka administrator harus semakin fanatik
terhadap metode. Tetapi sebaliknya, apabila masyarakat makin berorientasi pada
status maka semakin berkurang tuntutan terhadap yang fanatik pada metode.
Hal fundamental dari reformasi administrasi adalah untuk mengubah tata
pikir (a major change of the mind – set) pemerintahan agar sesuai dengan visi
dan misi dan cita-cita bangsa dan negara itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan
reformasi administrasi tidak saja mewujudkan efektivitas dan efisiensi birokrasi,
melainkan sejauh mungkin diarahkan sesuai dengan kriteria public accountability
and responsibility yang harus dipenuhi oleh seluruh aparat pemerintahan. Untuk
itu, perlu disusun agenda kebijakan reformasi administrasi negara, karena
setidaknya terdapat lima hal yang menjadi tuntutan masyarakat yang harus
dipenuhi oleh administrasi negara dalam rangka memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada masyarakat, yaitu12:
1. Derasnya tuntutan agar pemerintah mampu menumbuhkan adanya good
governance yaitu suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih,
bertanggungjawab, dan profesional. Recruitment penyelenggara
pemerintahan di semua jenjang harus benar-benar didasarkan pada
persyaratan merit system dan menolak favoritisme dan nepotisme.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
49
Universitas Indonesia
2. Semakin tajamnya kritik masyarakat atas semakin rendahnya kualitas
pelayanan publik. Masyarakat telah merasa melaksanakan kewajiban-
kewajibannya tetapi seringkali hak-haknya terpasung oleh aparat pelayanan.
3. Semua aparat pemerintahan dituntut untuk memiliki sense of crisis sehingga
mereka benar-benar paham bahwa saat ini dibutuhkan aparat yang mampu to
do more with less artinya dalam situasi yang penuh dengan krisis ini aparat
pelayanan harus bekerja lebih keras dan lebih produktif memanfaatkan
kelangkaan sumber-sumber yang ada.
4. Aparat pemerintah dituntut agar bekerja lebih profesional dengan
mengedepankan terpenuhinya public accountability and responsibility yaitu
dengan menekan sekecil mungkin pemborosan penggunaan sumber-sumber
negara dan juga sekaligus memperkuat peraturan perundangan yang berlaku
(the body of rules) sebagai fondasi untuk melaksankan tugas-tugasnya.
5. Masyarakat, sebagai pihak yang harus dipenuhi dan dilindungi
kepentingannya (public interest), menuntut agar pemerintah memperhatikan
dengan sungguh-sungguh aspirasi mereka dan sejauh bisa memenuhinya.
Reformasi administrasi pada hakikatnya menyangkut dimensi dan spektrum
yang sangat luas dan kompleks dengan tujuan yang sangat jelas yaitu
meningkatkan administrative perfomance dari birokrasi pemerintah. Oleh karena
itu, agenda reformasi administrasi perlu diarahkan, dengan meminjam kata-kata
Caiden (1991, p. 12) “to improve the administrative perfomance of individuals,
groups, and institutions more effectively, more economically, and more quickly”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa administrative reform
merupakan suatu upaya yang disengaja dan direncanakan untuk memenuhi
tuntutan masyarakat yaitu tidak saja sekedar merubah birokrasi pemerintahan
menjadi lebih efektif dan efisien, tetapi sejauh mungkin diarahkan sesuai dengan
kriteria public accountability and responsibility, dan perubahan tersebut
dilakukan secara fundamental, yaitu berupa perubahan mind-set baik individu
birokrat, groups, maupun institusional dan bersifat jangka panjang dan tidak
sementara. Oleh karena itu, administrative reform harus dilaksanakan dengan
agenda yang jelas yang diarahkan pada tujuh wilayah penyempurnaan utama
(Tjokroamidjojo, 1985, p.28) yaitu:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
50
Universitas Indonesia
1. Penyempurnaan dalam bidang pembiayaan pembangunan.
2. Penyempurnaan dalam bidang penyusunan program-program pembangunan
diberbagai bidang ekonomi dan non ekonomi dengan pendekatan integratif
(integrative approach).
3. Reorientasi kepegawaian negari ke arah produktivitas, prestasi, dan
pemecahan masalah.
4. Penyempurnaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah.
5. Administrasi partisipatif untuk mendukung pembangunan daerah.
6. Kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses
pembangunan.
7. Lebih bersihnya pelaksanaan administrasi negara.
Salah satu agenda reformasi administrasi adalah pembenahan aparatur
negara atau reformasi birokrasi. Pengalaman berbagai negara menunjukkan
bahwa reformasi merupakan langkah yang menentukan dalam pencapaian
kemajuan suatu negara. Melalui reformasi birokrasi, upaya-upaya penataan
sistem pemerintahan diarahkan menuju terwujudnya good governance. Karena
sesungguhnya reformasi birokrasi adalah inti dari upaya mewujudkan good
governance.
Menurut World Bank governance adalah “ the way state power is used in
managing economic and social resources for development of society “, dimana
world bank lebih menekankan pada cara yang digunakan dalam mengelola
sumber daya ekonomi dan sosial untuk kepentingan pembangunan masyarakat
(Mardiasmo,2004:17). UNDP sebagaimana dikutip Mardiasmo (2004, p.18)
menjelaskan karakteristik good governance sebagai berikut:
1. Participation. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang
dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar
kebebasan berasosiasi dan berbicara serta partisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh
informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara
langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
51
Universitas Indonesia
---------------------------------------
13 Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan, http://staff.ui.ac.id/internal/0900300014/publikasi/ ReformasiBirokrasi dan GoodGovernance_EP_TK_reviseed.pdf
14 www.ti.or.id/news/8/tahun/2007/bulan/07/tanggal/24/id/1651
4. Responsiveness. Lembaga – lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam
melayani stakeholders.
5. Consensus of orientation. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang
lebih luas.
6. Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh
kesejahteraan dan keadilan.
7. Efficiency and effectiveness. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara
berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
8. Accountability. Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang
dilakukan
9. Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki
visi jauh ke depan
Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan13 dalam tulisannya yang
dipresentasikan pada the 5th International Symposium of Jurnal Antropologi
Indonesia, Banjarmasin 22 – 25 Juli 2008 menyebutkan bahwa keberhasilan
reformasi birokrasi akan sangat tergantung pada komitmen dan national
leadership. Tanpa adanya komitmen dan national leadership yang memadai,
maka reformasi birokrasi akan mengalami kegagalan implementasi.
Variabel utama lainnya yang menentukan proses reformasi birokrasi
adalah sumber daya manusia aparatur (SDM aparatur). Dalam kaca mata
reformasi birokrasi, SDM aparatur memegang dua peran kunci yaitu sebagai
obyek birokrasi dan sebagai subyek birokrasi. Sebagai obyek, dapat diartikan
bahwa reformasi haruslah menyentuh pola-pola manajemen SDM aparatur yang
diterapkan, mulai dari sistem rekruetmen, pola mutasi, promosi, pengembangan,
sampai dengan sistem remunerasi.14
Sebagai subyek, SDM aparatur merupakan pelaku utama proses reformasi
birokrasi. Kesadaran, kemauan, dan semangat melakukan perubahan menjadi
modal penting yang harus dimiliki oleh SDM aparatur, terutama yang bertugas
sebagai agent of change dari reformasi birokrasi. Manajemen perubahan perlu
dikelola secara profesional karena roh reformasi birokrasi adalah melakukan
perubahan. Menurut Transparansi Internasional Indonesia
(www.ti.or.id/news/8/tahun/2007/bulan/07/tanggal/24/id/1651), ada tujuh
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
52
Universitas Indonesia
langkah manajemen perubahan. Pertama, memobilisasi energi dan komitmen
para anggota organisasi melalui penentuan cita-cita, tantangan, dan solusinya
oleh semua anggota organisasi. Kedua, mengembangkan visi bersama, bagaimana
mengatur dan mengorganisasi diri maupun organisasi agar dapat mencapai apa
yang dicita-citakan. Ketiga, menentukan kepemimpinan. Pemimpin tertinggi
harus memastikan orang-orang yang kompeten dan jujurlah yang berperan
sebagai pemimpin pada level-level di bawahnya. Keempat, fokus pada hasil
kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat mekanisme asessment yang dapat
mengukur hasil kerja tiap pegawai atau tiap tim yang diberi tugas tertentu.
Kelima, mulai mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar
perubahan itu menyebar ke unit-unit lain di seluruh instansi. Keenam, membuat
peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan,
termasuk cara untuk mengukur perubahan yang terjadi. Ketujuh, mengawasi dan
menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan yang timbul selama proses
perubahan berlangsung.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
53 Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
Untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang permasalahan yang
dihadapi DJA dan DJPK dalam implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Departemen Keuangan dan faktor-faktor internal yang mempengaruhi tingkat
keberhasilan implementasi kebijakan tersebut, maka penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode tertentu. Dalam bab ini diuraikan mengenai
pendekatan penelitian, jenis penelitian, model operasional penelitian, teknik
pengumpulan data, hipotesis kerja, teknik analisis data, dan penentuan lokasi dan
objek penelitian
3.1. Pendekatan Penelitian
Tesis ini merupakan suatu penelitian dengan menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif dengan berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu
peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif
peneliti sendiri. Pemilihan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan
kepada pendapat Irawan (2007, p.6) bahwa ciri-ciri penelitian kualitatif antara
lain : mengkonstruk realitas makna sosial budaya; meneliti interaksi peristiwa
dan proses; melibatkan variabel-variabel yang kompleks dan sulit diukur;
memiliki keterkaitan erat dengan konteks; melibatkan peneliti secara penuh;
memiliki latar belakang alamiah; menggunakan sampel purposif; menerapkan
analisis induktif; mengutamakan “makna” di balik realitas; serta mengajukan
pertanyaan “mengapa” (why), bukan “apa” (what). Lebih jauh, pendekatan
penelitian kualitatif dirasa tepat mengacu pada pendapat Creswell (1994, p.146)
bahwa karakteristik penelitian kualitatif adalah : (a) konsepnya tidak matang
karena kurangnya teori dan penelitian terdahulu, (b) pandangan bahwa teori yang
sudah ada mungkin tidak tepat, tidak memadai, tidak benar, atau rancu, (c)
kebutuhan untuk mendalami dan menjelaskan fenomena dan untuk
mengembangkan teori, atau (d) hakekat fenomenanya mungkin tidak cocok
dengan ukuran-ukuran kuantitatif.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
54
Universitas Indonesia
Berdasarkan pada karakteristik diatas, alasan pemilihan pendekatan
penelitian kualitatif dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman
mendalam terhadap permasalahan implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
di DJA dan di DJPK selama kurun waktu tahun 2007 sampai dengan 2010. Tesis
ini mendasarkan pembahasannya pada kajian implementasi Kebijakan Reformasi
Birokrasi Departemen Keuangan beserta permasalahan yang ditemui di DJA dan
DJPK, serta faktor-faktor internal yang mempengaruhinya untuk mencari
jawaban mengapa capaian implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi di DJA
dan DJPK berdasarkan hasil survei yang dilakukan Tim Independen dari IPB
berbeda.
3.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian
deskriptif. Artinya tesis ini bertujuan mendeskripsikan obyek dari hasil
penelitian, sehingga dapat disimpulkan unsur-unsur yang terkait dengan
pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi pada Kementerian Keuangan.
Dengan demikian tesis tidak hanya akan memberikan gambaran dan penjelasan
mengenai data-data yang diperoleh, namun juga menganalisis dan
menginterpretasikan data tersebut.
Meskipun dalam paparan deskriptif tesis ini dibuat kronologis sesuai
rentang waktu yang dipilih sebagai objek penelitian yaitu tahun 2007 sampai
dengan tahun 2010, penelitian ini bukan merupakan penelitian historis.
Pemaparan yang kronologis waktu tersebut dilakukan untuk menggambarkan
progress dari implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi.
Pertama-tama peneliti akan menggambarkan mengenai perkembangan
kebijakan dan output Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan, kemudian
perkembangan implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi tersebut di DJA dan
DJPK dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 beserta permasalahan yang
dihadapi. Selanjutnya, peneliti akan menggambarkan faktor-faktor internal yang
mempengaruhi implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Departemen
Keuangan di DJA dan DJPK.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
55
Universitas Indonesia
3.3 Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai fenomena sosial
yang diteliti, maka pengumpulan data tesis diusahakan sekomprehensif mungkin.
Pengumpulan data tesis dilakukan dengan cara :
3.3.1 Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview)
menggunakan pedoman wawancara terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan kebijakan reformasi birokrasi di DJA dan DJPK.
Informan yang akan di wawancarai di kelompokkan berdasarkan jenjang
struktural mereka, dengan ketentuan yang terlibat secara langsung dengan
implementasi reformasi birokrasi di DJA dan DJPK. Hal ini perlu dilakukan
mengingat kewenangan disetiap jenjang struktural berbeda-beda, sehingga
pemahaman dan perannya dalam pelaksanaan reformasi birokrasi juga berbeda.
Kelompok informan tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu:
Kelompok pertama adalah pejabat eselon II yang ditunjuk sebagai ketua
pelaksana harian implementasi agenda reformasi birokrasi. Kelompok ini adalah
para Sekretaris Direktorat Jenderal, yaitu Ari Wahyuni sebagai Sekretaris DJA
dan Heru Subiyantoro sebagai Sekretaris DJPK. Wawancara mendalam dilakukan
pada narasumber kelompok pertama ini untuk menggali pengalaman dan
pandangan narasumber sebagai Ketua Pelaksana Harian Implementasi Kebijakan
Reformasi Birokrasi dalam menjalankan agenda-agenda reformasi birokrasi di
unit eselon I masing-masing.
Kelompok kedua, para Key Perfomance Indicator Manager di DJA dan
DJPK serta pejabat pengelola kepegawaian yang memiliki jenjang struktural
eselon III. Untuk DJA, selaku Key Perfomance Indicator Manager adalah
Meriyam Megia Shahab yang juga merupakan Kepala Bagian Organisasi dan
Tata Laksana DJA, serta Triana Ambarsari yang merupakan Kepala Bagian
Kepegawaian DJA. Untuk DJPK Key Perfomance Indicator Manager adalah
Ahmad Yani yang juga merupakan Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana
DJPK serta Defredi yang merupakan Kepala Bagian Kepegawaian. Wawancara
mendalam dilakukan pada kelompok narasumber kedua ini untuk menggali
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
56
Universitas Indonesia
pengalaman dan pandangan narasumber dalam menjalankan agenda-agenda
reformasi birokrasi di unit eselon I masing-masing.
Selain itu, data juga diperoleh dari jejak rekam pernyataan-pernyataan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baik di media masa maupun internal
Kementerian Keuangan yang diantaranya telah dibukukan. Hal ini untuk
memperoleh gambaran yang komprehensif, kearah mana reformasi birokrasi ini
akan dijalankan.
3.3.2 Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang
penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian dalam tesis ini,
menghubungkan penelitian tesis dengan dialog yang lebih luas dan
berkesinambungan tentang topik yang sama, dan memberi kerangka untuk
melakukan analisis terhadap topik penelitian. Studi kepustakaan dalam rangka
penelitian tesis dilakukan dengan cara mempelajari sejumlah literatur, jurnal,
paper, naskah akademis, tesis, dan peraturan-peraturan terkait yang dinilai
mampu memberikan kerangka teori dan gambaran arah kebijakan bagi penelitian
ini. Peneliti juga mempelajari berita-berita yang banyak terdapat di media massa,
baik cetak maupun elektronik, mengenai dinamika fenomena sosial yang diteliti.
Pemberitaan di media massa memberikan gambaran fenomena sosial yang diteliti
dalam berbagai versi dan sudut pandang, tergantung pada latar belakang
narasumber yang dikutip. Dengan mempelajari berbagai pemberitaan di media
massa peneliti dapat memperoleh gambaran dinamika sosial tersebut secara
kronologis. Gambaran inilah yang akan digunakan oleh peneliti untuk melakukan
penggalian data lebih mendalam. Peneliti juga mempelajari berbagai peraturan
perundang-undangan dalam berbagai tingkatan mengenai pengelolaan keuangan
negara dan kelembagaan institusi pemerintah. Hal ini dilakukan untuk memahami
konteks permasalahan sehingga dapat melakukan analisis secara tajam dan
mendalam. Di samping itu, peneliti juga memanfaatkan data sekunder yang
diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh IPB berupa survei
tingkat keberhasilan implementasi kebijakan reformasi birokrasi Kementerian
Keuangan.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
57
Universitas Indonesia
3.4 Hipotesis Kerja
Preposisi tesis ini adalah bahwa kemampuan organisasi dalam
menginventarisasi faktor-faktor lingkungan intenal akan mempengaruhi
efektivitas pemilihan strategi implementasi, yang berujung pada efektivitas
pencapaian tujuan dari Kebijakan Reformasi Birokrasi itu sendiri. Semakin besar
deviasi yang terjadi antara realisasi implementasi dengan tujuan yang akan
dicapai, menunjukkan ketidaktepatan dalam mengidentifikasi faktor-faktor
lingkungan internal yang mempengaruhi implementasi Kebijakan Reformasi
Birokrasi, sehingga strategi implementasi menjadi tidak efektif mencapai tujuan.
3.5 Teknik Analisis Data
Dalam melakukan penelitian terhadap permasalahan yang dihadapi dalam
implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi serta faktor-faktor internal yang
mempengaruhi implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi, pertama-tama
peneliti menentukan pertanyaan penelitian yang relevan dengan fenomena sosial
yang diteliti. Selanjutnya peneliti melakukan penggalian data pustaka untuk
menyusun pedoman wawancara yang akan digunakan sebagai alat penggalian
data kepada beberapa narasumber yang terlibat langsung dan menjadi tokoh
sentral dalam implementasi reformasi birokrasi. Proses wawancara direkam
dalam bentuk transkrip wawancara, yang kemudian diolah melalui proses
penandaan (koding) untuk memperoleh gambaran kesinambungan data antar
narasumber penelitian. Dengan melakukan proses koding akan diperoleh
gambaran kecenderungan pola hubungan antara berbagai faktor dominan.
Informasi tersebut selanjutnya diolah menggunakan model yang diperkenalkan
oleh Saasa (1985), sehingga setiap item dalam proses administrasi dan kebijakan
publik beserta pola interaksinya dapat dijelaskan.
Analisis data juga dilakukan dengan cara mendalami hasil penelitian yang
sudah ada sebelumnya, termasuk hasil survei yang dilakukan oleh lembaga survei
independen mengenai tingkat kepuasan stakeholder terhadap layanan
Kementerian Keuangan.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
58
Universitas Indonesia
3.6 Model Penelitian
Adapun model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Gambar 3.1 Model Penelitian
3.7 Keterbatasan Penelitian
Penelitian dalam tesis ini hanya membahas implementasi Kebijakan
Reformasi Birokrasi di DJA dan DJPK Kementerian Keuangan terutama tentang
permasalahan yang dihadapi dalam implementasi dan faktor-faktor internal yang
mempengaruhi pencapaian tujuan dan target reformasi birokrasi. Kebijakan
Reformasi Birokrasi beserta tiga agendanya yang ditetapkan secara terpusat,
dalam implementasinya ditiap unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan
menunjukkan hasil capaian yang berbeda. Dengan mengasumsikan bahwa
substansi Kebijakan Reformasi Birokrasi yang dirumuskan sudah baik, dan
mengabaikan faktor lingkungan eksternal, maka penelitian ini diharapkan mampu
menemukan faktor-faktor lingkungan internal yang spesifik dari masing-masing
unit eselon I yang menjadi lokusnya. Dengan melakukan analisis terhadap faktor-
faktor lingkungan internal yang mempengaruhi implementasi Kebijakan
Reformasi Birokrasi di dua unit eselon I tersebut, serta permasalahan yang
dihadapi dalam implementasi kebijakan, maka strategi implementasi yang telah
dijalankan selama kurun waktu tahun 2007 sampai dengan 2010 pada masing-
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
59
Universitas Indonesia
masing unit eselon I tersebut dapat dievaluasi untuk menyempurnakan strategi
implementasi di tahun-tahun berikutnya.
Penelitian dalam tesis ini bukan merupakan penelitian sejarah, meskipun
sistematika penelitian dilakukan secara kronologis untuk mendapatkan gambaran
yang jelas dari dinamika implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi di DJA
dan DJPK.
Namun demikian, penelitian dalam tesis ini memiliki beberapa keterbatasan
penelitian yaitu:
1. Mengingat karakteristik penelitian kualitatif yang meneliti interaksi peristiwa dan
proses serta melibatkan variabel-variabel yang kompleks dan sulit diukur, maka
hasil penelitian ini akan menimbulkan banyak saran berkenaan dengan fenomena
sosial yang diteliti
2. Kebijakan Reformasi Birokrasi adalah kebijakan yang dinamis, berkaitan dengan
banyak pihak dan melibatkan banyak faktor, sehingga senantiasa mengalami
perkembangan seiring perubahan kondisi sosial, politik dan ekonomi bangsa.
Demikian halnya ditataran implementasi kebijakan tersebut. Penelitian mengenai
permasalahan yang dihadapi dalam implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
serta faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya dalam kurun waktu tahun
2007 sampai dengan tahun 2010 di DJA dan DJPK ini tidak akan dapat
memberikan gambaran secara utuh mengenai implementasi Kebijakan Reformasi
Birokrasi di Kementerian Keuangan.
3.8 Penentuan Lokasi dan Obyek Penelitian
Penelitian ini secara khusus membidik pelaksanaan Kebijakan Reformasi
Birokrasi Kementerian Keuangan pada dua unit eselon I yaitu DJA dan DJPK,
yaitu dengan meneliti permasalahan yang dihadapi dalam implementasi
Kebijakan Reformasi Birokrasi dan faktor-faktor lingkungan internal apa saja
yang mempengaruhi implementasi kebijakan reformasi birokrasi sehingga terjadi
derajat deviasi yang berbeda-beda antara realisasi dengan tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya di DJA dan DJPK.
Pertimbangan pemilihan lokus pada kedua unit eselon I tersebut adalah
sebagai berikut:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
60
Universitas Indonesia
1. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi
dan Tata Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, DJA dan
DJPK merupakan satu unit eselon I yaitu Direktorat Jenderal Anggaran dan
Perimbangan Keuangan (DJAPK). Namun pada tahun 2006 dengan terbitnya
Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Peraturan
Presiden No. 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tata Tugas Eselon I
Kementerian Negara Republik Indonesia, maka DJAPK di pecah menjadi dua
unit eselon I yaitu DJA dan DJPK. Dengan demikian, secara historis kedua
unit eselon I tersebut memiliki kesamaan karena pernah bernaung dalam satu
organisasi.
2. Apabila ditilik lebih dalam pada unit-unit eselon II baik di DJA maupun di
DJPK, maka terdapat kesamaan pada kedua unit eselon I tersebut, yaitu sama-
sama diisi oleh unit-unit eselon II yang merupakan sempalan dari berbagai unit
eselon I yang lain.
3. Dari sisi fungsi, baik DJA dan DJPK menjalankan fungsi pada tataran
perencanaan anggaran.
4. Dari sisi struktur organisasi, baik DJA maupun DJPK merupakan unit eselon I
yang tidak memiliki instansi vertikal di daerah.
Persamaan historikal dan karakteristik organisasi DJA dan DJPK inilah
yang menjadi dasar pemilihan kedua unit eselon I tersebut sebagai lokus
penelitian karena dalam penelitian ini penulis membandingkan keduanya baik
dari sisi hasil capaian pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi berdasarkan
hasil survei Tim Independen dari IPB maupun permasalahan yang dihadapi
dalam implmentasi serta faktor lingkungan internal yang mempengaruhi
implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi. Konten Kebijakan Reformasi
Birokrasi beserta agenda-agendanya diasumsikan yang ditetapkan secara
sentralistik diasumsikan sudah baik. Faktor-faktor internal menjadi pilihan
penelitian dengan pertimbangan bahwa sesungguhnya organisasi itu sendiri
memiliki kemampuan untuk mengendalikan faktor-faktor tersebut. Dengan
demikian, diharapkan hasil penelitian tesis ini dapat memberikan kontribusi
evaluasi implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi di tingkat unit eselon I
Kementerian Keuangan dalam hal ini DJA dan DJPK.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
61
BAB 4
PEMBAHASAN
Pembahasan mengenai permasalahan yang dihadapi DJA dan DJPK dalam
implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan serta faktor-
faktor internal yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pencapaian tujuan
implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan diawali dengan
melihat perkembangan kebijakan dan strategi implementasi kebijakan yang
ditetapkan secara sentralistik ditingkat Kementerian Keuangan antara tahun 2007
sampai dengan tahun 2010. Pembahasan selanjutnya mengulas dinamika
implementasi dari kebijakan dan strategi implementasi kebijakan tersebut di DJA
dan di DJPK, permasalahan yang dihadapi dalam implementasi Kebijakan Reformasi
Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA dan di DJPK, perbandingan implementasi
Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA dengan di DJPK,
serta faktor-faktor lingkungan internal yang mempengaruhi implementasi Kebijakan
Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA dan DJPK kurun waktu 2007
sampai dengan 2010
4.1 Kebijakan dan Strategi Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan Tahun 2007 s.d Tahun 2010
Pelaksanaan modernisasi pajak yang dirintis sejak tahun 2001 merupakan
cikal bakal lahirnya reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan. Pada kesempatan
pelantikan pejabat eselon II Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Gedung Djuanda,
Jumat 13 Juni 2008, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengemukakan “Direktorat
Jenderal Pajak selalu dianggap sebagai yang pertama menggulirkan reformasi
birokrasi, jadi anda sekalian harus bisa menjadi contoh”. Fokus strategi pelaksanaan
reformasi birokrasi di DJP saat itu adalah penataan organisasi dan perbaikan proses
bisnis melalui pemanfaatan IT.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
62
Universitas Indonesia
Ketika pelaksanaan modernisasi pajak membuahkan hasil yang dianggap
memuaskan, maka program reformasi birokrasi dicanangkan sebagai program di
lingkungan Kementerian Keuangan, ditandai dengan terbitnya Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi Departemen
Keuangan. Sebagai tindaklanjut keputusan itu, dibentuklah tim Reformasi Birokrasi
secara berjenjang yaitu Tim Reformasi Birokrasi Pusat (TRBP) ditingkat
Kementerian Keuangan dan Tim Reformasi Birokrasi Unit (TRBU) di tingkat unit
eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan.
Dalam TRBP, Menteri Keuangan bertindak sebagai pengarah dan tim
tersebut diketuai oleh Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan, dengan anggota
para Staf Ahli Menteri Keuangan. Para pimpinan eselon I ditetapkan sebagai
narasumber. Dalam TRBU, Sekretaris eselon I ditunjuk sebagai ketua, dengan
pejabat eselon I sebagai pengarah dan anggotanya adalah para pejabat eselon II serta
para pejabat eselon III dilingkungan Sekretariat eselon I. Tugas TRBP adalah
mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan program Reformasi
Birokrasi, sedangkan tugas TRBU adalah melaksanakan Reformasi Birokrasi unit
sesuai dengan program atau kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Selain itu, TRBP berkewajiban untuk menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya
secara berkala kepada Menteri Keuangan, dan TRBU wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan tugasnya secara berkala kepada TRBP. Dengan demikian, Menteri
Keuangan secara langsung memimpin sendiri pelaksanaan Kebijakan Reformasi
Birokrasi di Kementerian Keuangan saat itu. Tabel 4.1 menggambarkan garis
komando Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
63
Universitas Indonesia
Tabel 4.1 Garis Komando Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan
Sumber : Keputusan Menteri Keuangan No. 30/KMK.01/2007, diolah penulis
Selain keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi di bidang perbaikan
proses bisnis dan pemanfaatan IT di lingkungan DJP, Kebijakan Reformasi
Birokrasi diambil sebagai respon atas telah ditetapkannya tiga paket undang-undang
yang mereformasi regulasi dibidang pengelolaan keuangan negara, yaitu Undang-
undang Nomor: 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor:
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor: 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara . Hal ini dapat lihat pada gambar dibawah ini dimana tiga paket reformasi
regulasi dibidang pengelolaan Keuangan Negara tersebut menjadi latar belakang
lahirnya Kebijakan Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan.
Strategi implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan pada waktu itu ditetapkan dengan mesin reformasi birokrasi yang dikenal
sebagai Tiga Pilar/program Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan. Ketiga
pilar/program tersebut adalah (1) Penataan Organisasi, (2) Penyempurnaan Proses
Bisnis, dan (3) Peningkatan Disiplin dan Manajemen SDM, yang didukung dengan
program Indikator Kinerja Utama dan Remunerasi. Berikut adalah gambar
Pilar/program Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
64
Universitas Indonesia
Gambar 4.1 : Tiga Pilar/Program Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan.
Secara kronologis, Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan
dan strategi implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan
berkembang sebagai berikut:
a. Tahun 2007
Program yang dijalankan pada awalnya meliputi (1) Penataan Organisasi
dilingkungan Sekretariat Jenderal, (2) Penyempurnaan Proses Bisnis, (3)
Peningkatan Manajemen Sumber Daya Manusia, dan (4) Perbaikan Remunerasi.
Dalam implementasinya, Kebijakan Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan
dengan program-programnya terus mengalami penyempurnaan melalui penambahan
program.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan reformasi birokrasi
melalui empat pilar/program di tahun 2007 tersebut adalah sebagai berikut:
Pilar Reformasi Birokrasi
Penataan Organisasi PenyempurnaanProses Bisnis
Peningkatan Disiplin& Manajemen SDM
Reformasi Keuangan Negara• UU No. 17 Th. 2003 • UU No. 1 Th. 2004 • UU No. 15 Tahun 2004
Indikator Kinerja Utama
Remunerasi
Pelayanan Publik
Peningkatan Kinerja
Good Governance
Reformasi Birokrasi Depkeu: 30/KMK.01/2007
Created by Satya Susanto
Sumber : Bahan Presentasi Sosialisasi Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
65
Universitas Indonesia
1. Penataan Organisasi di Lingkungan Sekretariat Jenderal
Pilar/program Penataan Organisasi di lingkungan Sekretariat Jenderal
ditujukan untuk mempertajam fungsi dan peran Sekretariat Jenderal dalam aspek
manajmen SDM Departemen Keuangan. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi
yang digunakan adalah melalui penataan struktur organisasi, proses bisnis, dan
peningkatan kapasitas SDM. Penataan struktur organisasi dan proses bisnis
dilaksanakan melalui pengaturan peran Biro Kepegawaian, Bagian Kepegawaian di
Unit Eselon I dan BPPK dalam keseluruhan manajemen SDM.
2. Penyempurnaan Proses Bisnis
Pilar/program Penyempurnaan Proses Bisnis terdiri atas:
1) Penyusunan Pedoman Analisis dan Evaluasi Jabatan
2) Penyusunan Pedoman dan Pelaksanaan Penyusunan Standar Prosedur Operasi
3) Penyusunan Pedoman dan Pelaksanaan Analisis Beban Kerja
Penyusunan Pedoman Analisis dan Evaluasi Jabatan dilaksanakan oleh
Pelaksana Harian Analisis dan Evaluasi Jabatan, dan pelaksanaan analisis dan
evaluasi jabatan dilakukan oleh Unit Eselon I dengan ketentuan (i) sesuai dengan
pedoman analisis dan evaluasi jabatan yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
(ii) dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan Pelaksana Harian Analisis dan
Evaluasi Jabatan reformasi birokrasi, dan output yang dihasilkan adalah Uraian
Jabatan, Spesifikasi Jabatan, dan Peta Jabatan.
Penyusunan Pedoman Standar Prosedur Operasi dilaksanakan oleh Pelaksana
Harian Standar Prosedur Operasi, dan pelaksanaan penyusunan standar prosedur
operasinya dilakukan oleh Unit Eselon I dengan ketentuan bahwa penyusunan
standar prosedur operasi harus sesuai dengan Pedoman Standar Prosedur Operasi
yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, serta berkoordinasi dengan Pelaksana
Harian Standar Prosedur Operasi. Output yang dihasilkan adalah standar prosedur
operasi yang ditetapkan oleh peraturan pimpinan Unit Eselon I masing-masing dan
menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
66
Universitas Indonesia
Penyusunan Pedoman Analisis Beban Kerja dilaksanakan oleh Pelaksana
Harian Analisis Beban Kerja, dan pelaksanaan analisis beban kerja dilakukan oleh
Unit Eselon I dengan ketentuan harus sesuai dengan Pedoman Analisis Beban Kerja
yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berkoordinasi dengan Pelaksana
Harian Analisis Beban Kerja. Output yang dihasilkan adalah jumlah SDM yang
dibutuhkan pada suatu unit.
3. Peningkatan Manajemen Sumber Daya Manusia
Pilar/program Peningkatan Manajemen SDM terdiri atas :
1) Pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian
2) Penyusunan Pedoman dan Penetapan Pola Mutasi
3) Pembangunan Assessment Center
4) Penyusunan Pedoman Rekrutmen
5) Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian bertujuan untuk
meningkatkan kualitas informasi kepegawaian melalui perbaikan proses bisnis
administrasi kepegawaian dengan dukungan aplikasi komputer dan SDM Teknologi
Informasi, memberikan dukungan informasi dalam proses pengambilan keputusan
SDM (decision support system), dan memberikan dukungan informasi untuk
pimpinan Departemen Keuangan (executive information system). Kegiatan ini
dikoordinasikan oleh Pelaksana Harian Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian,
sedangkan pelaksanaan pengintegrasian sistem informasi manajemen kepegawaian
dilakukan bersama dengan Unit Eselon I dengan ketentuan sebagai berikut: (i) Unit
Eselon I wajib menyesuaikan struktur data dan tabel referensi yang terkait dengan
Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian Kementerian Keuangan, (ii) Unit Eselon
I wajib memberikan segala data kepegawaian kepada Sekretariat Jenderal secara
berkala sesuai dengan kebutuhan, dan (iii) Output yang dihasilkan adalah kualitas
informasi kepegawaian yang up to date dan akurat.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
67
Universitas Indonesia
Penyusunan Pedoman Pola Mutasi dilaksanakan oleh Pelaksana Harian Pola
Mutasi, sedangkan penyusunan pola mutasi dilaksanakan oleh Unit Eselon I dengan
mengacu pada Pedoman Pola Mutasi yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pembangunan Assessment Center bertujuan untuk menjamin obyektifitas dan
standarisasi sistem seleksi Pejabat Eselon II, III, dan IV. Dilaksanakan oleh
Pelaksana Harian Assessment Center bekerja sama dengan Pelaksana Harian Sistem
Informasi Manajemen Kepegawaian. Pembangunan Assessment Center terdiri atas
Assessment Center Pusat dan Assessment Center Unit. Assessment Center Pusat
digunakan untuk seleksi Calon Pejabat Eselon II dan III, sedangkan Assessment
Center Unit untuk seleksi Calon Pejabat Eselon IV dengan berpedoman pada sistem
Assessment Center Pusat. Hasil Assessment Center baik ditingkat pusat maupun unit,
diintegrasikan dalam data base sistem informasi manajemen kepegawaian.
Penyusunan Pedoman Rekrutmen dilaksanakan oleh Pelaksana Harian
Pedoman Rekrutmen, yang mengatur tentang pengadaan pegawai golongan II yaitu
program diploma, STAN, dan umum. Dalam Pedoman Rekrutmen memuat
ketentuan dalam menyusun rencana kebutuhan pegawai, ketentuan dalam
mengajukan formasi dan ketentuan pengadaan serta pengangkatan sebagai CPNS di
lingkungan Departemen Keuangan.
Peningkatan Disiplin PNS bertujuan untuk menjamin terpeliharanya tata
tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas, menjamin tersedianya pedoman perilaku
yang lebih mudah diingat dan dipahami, dan menjabarkan PP No. 30 Tahun 1980
dalam bentuk kode etik unit yang langsung berkaitan dengan bidang tugas.
Penyusunan Pedoman Peningkatan Disiplin PNS dilaksanakan oleh Pelaksana
Harian Peningkatan Disiplin, sedangkan penyusunan kode etik dilaksanakan oleh
Unit Eselon I dengan mengacu pada Pedoman Peningkatan Disiplin PNS.
4. Perbaikan Remunerasi
Perbaikan remunerasi bertujuan untuk memberikan tunjangan berdasarkan
sistem remunerasi yang berbasis pekerjaan (job base) dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan pegawai. Untuk menetapkan peringkat jabatan (grading), Kementerian
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
68
Universitas Indonesia
Keuangan menyewa konsultan agar independen dan lebih obyektif. Hasilnya adalah
27 peringkat jabatan dimana eselon I ada pada peringkat 24 s.d 27, eselon II ada pada
peringkat 20 s.d 23, eselon III ada pada peringkat 17 sd 19, eselon IV ada pada
peringkat 14 s.d 16, dan pelaksana ada pada peringkat 1 s.d 13.
b. Tahun 2008
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan mengalami
perubahan kebijakan di tahun 2008 dengan ditandai ditetapkannya Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 24/KMK.01/2008 tentang Reformasi Birokrasi
Departemen Keuangan Tahun Anggaran 2008. Pilar/program yang telah
dilaksanakan pada tahun 2007 disempurnakan dan ditambah dengan program-
program baru. Program-program tersebut adalah :
1. Organisasi
2. Proses Bisnis, yang terdiri atas:
a. Analisis dan Evaluasi Jabatan
b. Penyempurnaan Standar Prosedur Operasi, dan
c. Pengembangan dan Pelaksanaan Analisis Beban Kerja.
3. Sumber Daya Manusia, yang terdiri atas:
a. Pengembangan Assessment Center
b. Penyelenggaraan Pendidikan Pelatihan Berbasis Kompetensi
c. Penyusunan Pola Mutasi, dan
d. Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian.
4. Indikator Kinerja Utama
5. Komunikasi Publik
6. Monitoring dan Evaluasi
Untuk melaksanakan program-program tersebut, kembali dibentuk TRBP
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 25/KMK.01/2008, dan TRBU yang
dibentuk oleh Pimpinan Unit Eselon I dilingkungan Kementerian Keuangan. TRBP
memiliki tugas:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
69
Universitas Indonesia
a. Mengarahkan, memantau dan mengevaluasi seluruh pelaksanaan Program
Reformasi Birokrasi di setiap unit eselon I.
b. Menyusun indikator-indikator keberhasilan dalam setiap program reformasi
birokrasi (output, jangka waktu, dan kualitas).
c. Menyusun sistem penilaian berdasarkan indikator keberhasilan.
d. Mendesain alat-alat yang dibutuhkan untuk memantau dan mengevaluasi seluruh
pelaksanaan Program Reformasi Birokrasi di masing-masing unit eselon I.
e. Menyusun jadwal dan pemantauan serta evaluasi.
f. Menyusun laporan hasil pemantauan dan evaluasi, dan
g. Memberikan saran kepada TRBU terhadap pelaksanaan program dengan
mempertimbangkan kendala penyebab tertundanya suatu program.
Untuk menjalankan tugas-tugasnya tersebut, TRBP memiliki kewenangan
sebagai berikut:
a. Mengakses semua data yang dibutuhkan dalam melaksanakan pemantauan dan
evaluasi.
b. Meminta kepada TRBU untuk memberikan penjelasan dalam rangka
mendapatkan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan pelaksanaan Program
Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan.
c. Mengadakan pemantauan dan evaluasi kepada kantor-kantor vertikal atau unit-
unit di lingkungan kantor pusat, dan
d. Menetapkan kebijakan teknis yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan
reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan.
TRBU mempunyai tugas melaksanakan program-program reformasi birokrasi
di lingkungan unitnya masing-masing dibawah koordinasi TRBP. TRBP mempunyai
kewajiban untuk menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya secara berkala
kepada Menteri Keuangan, sedangkan TRBU juga mempunyai kewajiban untuk
menyampaiakan laporan pelaksanaan tugasnya secara berkala kepada TRBP.
Adapun tujuan, prinsip, dan rencana kerja dari masing-masing program
tersebut adalah sebagai berikut:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
70
Universitas Indonesia
1. Organisasi
Program Organisasi memiliki tujuan untuk membangun organisasi
Departemen Keuangan yang efektif, efisien, dan profesional. Prinsip yang dianut
adalah modernisasi dan penajaman, penggabungan, serta pemisahan fungsi yang
dilaksanakan oleh Bidang Penataan Organisasi. Adapun rencana kerja program ini
adalah pembentukan kantor modern (Kantor Madya dan Pratama DJP diluar Jawa
dan Bali, Kantor Pelayanan Utama DJBC, KPPN Percontohan DJPB, Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang DJKN), penyusunan pedoman
penyempurnaan organisasi, pelaksanaan evaluasi dan pengkajian struktur organisasi
Departemen Keuangan, dan penyempurnaan organisasi dan tata kerja beberapa unit
eselon I.
2. Penyempurnaan Proses Bisnis
Program Penyempurnaan Proses Bisnis bertujuan untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi kerja melalui penyederhanaan dan pembakuan proses bisnis.
Prinsip dalam melakukan penyempurnaan proses bisnis adalah (i) berbasis pada
akuntabilitas jabatan/pekerjaan, dan (ii) penyempurnaan proses kerja untuk
meningkatkan efektifitas dan efisiensi melalui penyederhanaan, transparansi,
pemberian janji layanan, serta orientasi pada pemangku kepentingan (stakeholder).
Kegiatan Analisis dan Evaluasi Jabatan dilaksanakan oleh Bidang Analisis
dan Evaluasi Jabatan yang bertugas melakukan monitoring dan evaluasi penerapan
uraian jabatan dan peringkat jabatan, dengan rencana kerja melakukan
penyempurnaan uraian jabatan dan peringkat jabatan. Kegiatan Penyempurnaan
Standar Prosedur Operasi dilaksanakan oleh Bidang Standar Prosedur Operasi yang
bertugas melakukan monitoring dan evaluasi standar prosedur operasi, dengan
rencana kerja melakukan penyempurnaan terhadap standar prosedur operasi.
Kegiatan Analisis Beban Kerja dilaksanakan oleh Bidang Analisis Beban
Kerja yang bertugas melanjutkan program analisis beban kerja, dan memiliki rencana
kerja untuk membuat kajian alternatif penyelesaian masalah kelebihan pegawai.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
71
Universitas Indonesia
3. Sumber Daya Manusia
Program Sumber Daya Manusia memiliki tujuan untuk menciptakan aparatur
yang bersih, profesional, dan bertanggungjawab melalui penerapan sistem
manajemen SDM berbasis kompetensi. Prinsip Program SDM adalah (i)
pengembangan SDM berbasis kompetensi, (ii) penempatan SDM yang tepat pada
tempat yang tepat, (iii) sistem pola karir yang jelas dan terukur, (iv) keakuratan dan
kecepatan penyajian informasi SDM sesuai kebutuhan manajemen.
Rencana kerja program ini adalah:
a. Pengembangan Assessment Center yang dilaksanakan oleh Bidang Pengembangan
Assessment Center dengan tugas:
1. Mengintegrasikan sistem aplikasi Assessment Center ke dalam sistem
Informasi Manajemen Kepegawaian.
2. Melaksanakan assessment center terhadap seluruh pejabat eselon III.
3. Menyusun program pengembangan SDM berdasarkan hasil Assessment
Center.
4. Mempersiapkan prasarana dan sarana dalam upaya pembangunan Assessment
Center unit yang mandiri.
5. Melaksanakan uji coba Assessment Center unit yang mandiri, dan
6. Menerapkan hasil Assessment Center dalam pengembangan karir.
b. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi yang
dilaksanakan oleh Bidang Pengembangan SDM yang bertugas melakukan:
1. Menyusun rencana pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi (jenis dan
kurikulum pendidikan dan pelatihan), dan
2. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi terhadap pejabat
eselon II.
c. Penyusunan pola mutasi yang dilaksanakan oleh Bidang Penyusunan Pola Mutasi
dengan tugas:
1. Menyelesaikan penyusunan Pedoman Pola Mutasi.
2. Menyusun petunjuk teknis, dan
3. Memfasilitasi penyusunan pola mutasi masing-masing unit eselon I.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
72
Universitas Indonesia
d. Pengembangan sistem informasi manajemen SDM yang dilaksanakan oleh Bidang
Pengembangan Sistem Informasi Manajemen SDM dengan tugas:
1. Mensosialisasikan sistem dan prosedur pemutakhiran data kepegawaian.
2. Mengimplementasikan sistem dan prosedur pemutakhiran data kepegawaian
yang telah dibakukan.
3. Membangun aplikasi SIMPEGtm.
4. Melakukan konversi data SIMPEGtm.
5. Melaksanakan pendataan ulang pegawai.
4. Indikator Kinerja Utama
Program Indikator Kinerja Utama memiliki tujuan untuk menselaraskan
seluruh kegiatan/program di seluruh level dan unit dengan peta strategi Kementerian
Keuangan dalam rangka mendorong transformasi organisasi terkait dengan
manajemen kinerja. Prinsip Program Indikator Kinerja Utama adalah keseimbangan
antara indikator finansial dan non finansial, indikator internal dan eksternal,
berdasarkan hubungan sebab akibat. Program ini dilaksanakan oleh Bidang Indikator
Kinerja Utama, dengan rencana kerja:
a. Menyusun peta strategi untuk seluruh unit eselon I dan eselon II.
b. Menyusun manual key perfomance indicators untuk seluruh unit eselon I dan
eselon II dilingkungan Departemen Keuangan.
c. Menginstal QPR software.
d. Melatih sistem administrator seluruh unit eselon I.
e. Melatih end user sistem manajemen kinerja, dan
f. Mengintegrasikan scorecard ke dalam QPR.
5. Komunikasi Publik
Pelaksanaan program Komunikasi Publik bertujuan untuk mendesiminasikan
seluruh program Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan kepada masyarakat
serta meningkatkan citra Kementerian Keuangan. Prinsip yang menjadi pedoman
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
73
Universitas Indonesia
dalam menjalankan program ini adalah (i) transformasi dan akuntabilitas informasi,
dan (ii) kecepatan dan akurasi penyampaian informasi.
Program Komunikasi Publik ini dilaksanakan oleh Bidang Komunikasi
Publik dengan rencana kerja sebagai berikut:
a. Menyusun program komunikasi publik khususnya yang berkaitan dengan kegiatan
reformasi birokrasi.
b. Mengembangkan website untuk kepentingan diseminasi program reformasi
birokrasi.
c. Menyiapkan newsletter dalam bentuk artikel, editorial, dan berita yang berkaitan
dengan reformasi birokrasi, dan
d. Menyiapkan booklet dan leaflet yang berkaitan dengan reformasi birokrasi.
6. Monitoring dan Evaluasi
Program Monitoring dan Evaluasi bertujuan untuk memastikan terlaksananya
program reformasi birokrasi di seluruh unit, mengindentifikasi tantangan dan
hambatan pelaksanaan reformasi birokrasi serta memberikan alternatif solusinya.
Prinsip yang digunakan adalah independence dan fairness.
Program ini dilaksanakan oleh Bidang Monitoring dan Evaluasi, dengan
rencana kerja:
a. Menyusun dan menyempurnakan pedoman monitoring dan evaluasi, dan
b. Melaksanakan monitoring dan evaluasi atas implementasi program reformasi
birokrasi.
c. Tahun 2009
Pada tahun 2009, kembali Kementerian Keuangan melakukan
penyempurnaan program-program reformasi birokrasi, terutama dilevel kegiatan dari
masing-masing program. Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan
nomor 29/KMK.01/2009 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan Tahun
Anggaran 2009, enam program yang telah dilaksanakan pada tahun 2008 dilanjutkan
di tahun 2009 dengan penambahan satu program baru, yaitu Program Penataan
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
74
Universitas Indonesia
Pegawai. Secara lengkap, program-program yang dilaksanakan dalam rangka
Reformasi Birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan di tahun 2009 adalah
sebagai berikut:
1. Penataan Organisasi
2. Penataan Pegawai
3. Proses Bisnis, yang terdiri dari:
a. Analisis dan Evaluasi Jabatan
b. Standar Prosedur Operasi, dan
c. Analisis Beban Kerja.
4. Sumber Daya Manusia, yang terdiri dari:
a. Pengembangan Assessment Center.
b. Penyelenggaran Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi.
c. Penyusunan Pola Mutasi, dan
d. Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian.
5. Indikator Kinerja Utama
6. Komunikasi Publik
7. Monitoring dan Evaluasi
1. Penataan Organisasi
Pada tahun 2009, Program Penataan Organisasi ditujukan untuk membangun
organisasi Kementerian Keuangan yang efektif, efisien, dan profesional. Prinsip
dalam program ini adalah modernisasi, penggabungan, penajaman fungsi, dan
penyusunan jabatan fungsional baru. Sebagaimana pelaksanaan program tersebut di
tahun 2008, Bidang Penataan Organisasi bertanggungjawab menjalankan tugas ini,
dengan rencana kerja melakukan evaluasi terhadap organisasi dan tata kerja
Kementerian Keuangan, menyusun road map Kementerian Keuangan 2010 sampai
dengan 2014.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
75
Universitas Indonesia
2. Penataan Pegawai
Penataan Pegawai adalah kajian dan perumusan mengenai tindak lanjut atas
hasil analisis beban kerja berupa penyelesaian atas kemungkinan-kemungkinan
kelebihan/kekurangan pegawai pada unit tertentu. Pelaksanaan program ini bertujuan
untuk mengidentifikasi dan merumuskan solusi adanya kelebihan/kekurangan
pegawai atas hasil analisis beban kerja yang telah dilakukan.
Prinsip dalam melakukan penataan pegawai adalah diperolehnya jumlah
pegawai yang sesuai baik dari segi kuantitas maupun kualitas atau kompetensi.
Program ini dilaksanakan oleh Bidang Penataan Pegawai, dengan rencana kerja
merumuskan kajian mengenai solusi adanya kelebihan/kekurangan pegawai dan
menyusun jabatan fungsional baru di lingkungan Kementerian Keuangan.
3. Proses Bisnis
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan Program Proses Bisnis
ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja melalui penyederhanaan
dan pembakuan proses bisnis. Pelaksanaan program ini berpegang pada prinsip
berbasis akuntabilitas jabatan/pekerjaan dan penyempurnaan proses kerja untuk
meningkatkan efektifitas dan efisiensi melalui penyederhanaan, transparansi,
pemberian janji layanan serta orientasi pada pemangku kepentingan (stakeholder).
Rencana kerja dari Program Proses Bisnis di tahun 2009 adalah sebagai
berikut:
a. Analisis dan evaluasi jabatan dilaksanakan oleh Bidang Analisis dan Evaluasi
Jabatan yang bertugas melakukan:
1) Evaluasi peringkat jabatan bagi unit yang mengalami reorganisasi, dan
2) Evaluasi pelaksanaan penilaian grading pelaksana.
b. Standar Prosedur Operasi dilaksanakan oleh Bidang Standar Prosedur Operasi
yang bertugas melakukan:
1) Identifikasi standar prosedur operasi layanan unggulan baru, dan
2) Evaluasi standar prosedur operasi yang telah ada.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
76
Universitas Indonesia
c. Analisis Beban Kerja dilaksanakan oleh Bidang Analisis Beban Kerja yang
bertugas melakukan:
1) Analisis beban kerja tahap II terhadap unit eselon I yang tidak mempunyai
kantor vertikal, dan
2) Analisis beban kerja secara mandiri terhadap unit eselon I yang mempunyai
kantor vertikal (DJP, DJBC, DJPB, dan DJKN).
4. Sumber Daya Manusia
Program SDM merupakan kelanjutan dari pelaksanaan program yang sama di
tahun 2008. Tujuan pelaksanaan program tersebut adalah untuk menciptakan
aparatur yang bersih, profesional, dan bertanggungjawab melalui penataan pegawai
dengan menerapkan sistem manajemen SDM berbasis kompentensi. Prinsip Program
SDM adalah (i) pengembangan SDM berbasis kompetensi, (ii) penempatan SDM
yang tepat pada tempat yang tepat, (iii) sistem pola karir yang jelas dan terukur, (iv)
keakuratan dan kecepatan penyajian informasi SDM sesuai kebutuhan manajemen.
Rencana kerja Program SDM di tahun 2009 adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan Assessment Center yang dilaksanakan oleh Bidang Assessment
Center yang bertugas:
1) Mengintegrasikan sistem aplikasi Assessment Center ke dalam Sistem
Informasi Manajemen Kepegawaian.
2) Melakukan akselerasi pelaksanaan Assessment Center unit eselon I yang
mandiri.
3) Pembuatan alat ukur Assessment Center.
4) Menerapkan hasil Assessment Center dalam pengembangan SDM.
b. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi (jenis dan
kurikulum pendidikan dan pelatihan).
c. Penyusunan pola mutasi yang dilaksanakan oleh Bidang Pola Mutasi, dengan
tugas memfasilitasi penyusunan pola mutasi masing-masing unit eselon I.
d. Pengembangan sistem informasi manajemen SDM, dilaksanakan oleh Bidang
Sistem Informasi Manajemen SDM, yang bertugas melakukan:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
77
Universitas Indonesia
1) Implementasi/deployment aplikasi SIMPEGTM.
2) Sosialisasi dan training of trainers Modul SIMPEGTM.
3) Maintenance dan perfomance tuning SIMPEGTM., dan
4) Verifikasi data pegawai hasil PUPNS.
5. Indikator Kinerja Utama
Program Indikator Kinerja Utama di tahun 2009 merupakan kelanjutan dari
program yang sama di tahun 2008. Tujuan, prinsip dan bidang yang melaksanakan
program tersebut sama dengan di tahun 2008, namun rencana kerja yang akan
dilaksanakan berbeda yaitu :
a. Penyempurnaan peta strategi, manual indikator kinerja utama dan inisiatif
strategis untuk Depkeu-Wide, Depkeu-One, dan Depkeu-Two untuk seluruh unit
eselon I dan eselon II.
b. Menyusun rencana Depkeu-Three di lingkungan Kementerian Keuangan.
c. Pelatihan bagi pengelola kinerja Depkeu-One dan Depkeu-Two berbasis Balance
Scorecard (BSC)
d. Pembuatan buletin pengembangan dan operasionaliasi kinerja berbasis BSC.
e. Pembuatan manual integrasi laporan, perencanaan kinerja, dan anggaran
(perfomance based budget), dan
f. Desiminasi/sosialisasi konsep BSC.
6. Komunikasi Publik
Program Komunikasi Publik di tahun 2009 merupakan kelanjutan program
yang sama di tahun 2008. Tujuan, prinsip, bidang yang bertanggung jawab, dan
rencana kerja yang akan dilaksanakan masih tetap sama dengan tahun 2008. Hal ini
dapat dimengerti karena komunikasi harus terus dilaksanakan agar perkembangan
progress pelaksanakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan dapat dipahami
secara komprehensif.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
78
Universitas Indonesia
7. Monitoring dan Evaluasi
Program Monitoring dan Evaluasi, ini merupakan kelanjutan dari program
yang sama yang telah dilaksanakan pada tahun 2008. Baik tujuan, prinsip,
penanggungjawab, sampai dengan rencana kerja program ini, sama dengan yang
ditetapkan/dilakukan pada tahun 2008.
d. Tahun 2010
Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan terus mengalami
penyempurnaan menyesuaikan kebutuhan organisasi di tahun 2010. Lahirnya
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 65/KMK.01/2010 tentang Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan Tahun Anggaran 2010 menjadi landasan hukum kontinuitas
kebijakan tersebut. Program yang diagendakan disesuaikan dengan perubahan yang
telah terjadi dan arah perubahan yang dituju. Pada tahun 2010, program Reformasi
Birokrasi Kementerian Keuangan dibedakan menjadi dua, yaitu Program Inti dan
Program Pendukung. Program Inti terdiri dari:
1. Penataan Pegawai yang meliputi:
a. Pengembangan Assessment Center
b. Penyempurnaan Pola Mutasi
c. Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian
2. Penataan Organisasi dan Ketatalaksanaan, yang meliputi:
a. Penataan Organisasi
b. Analisis dan Evaluasi Jabatan
c. Standar Prosedur Operasi, dan
d. Analisis Beban Kerja
3. Pengembangan Sumber Daya Manusia yang meliputi penyelenggaraan pendidikan
dan pelatihan berbasis kompetensi.
Program Pendukung terdiri dari:
1. Monitoring, Evaluasi, dan Penetapan Indikator Kinerja Utama, dan
2. Komunikasi Publik, Survey Kepuasan Stakeholder, dan Website Reform.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
79
Universitas Indonesia
Perubahan mendasar dalam Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan di tahun 2010 adalah tidak dibentuknya TRBP maupun TRBU sebagai
unit pelaksana kebijakan tersebut, melainkan program-program dimaksud
dilaksanakan kepada unit-unit organisasi yang telah ada dalam organisasi
Kementerian Keuangan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sebagai wadah
koordinasi, Menteri Keuangan membentuk Forum Koordinasi Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan, dan di tingkat unit eselon I, para pimpinan unit eselon I
membentuk Tim Reformasi Unit. Forum Koordinasi Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan atau yang biasa disebut Forum diketuai oleh Sekretaris
Jenderal, dan Menteri Keuangan bertindak selaku Pengarah. Forum ini memiliki
tugas :
1. Mengkoordinasikan, mengarahkan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan
Program Reformasi Birokrasi yang dilaksanakan oleh seluruh unit organisasi di
Kementerian Keuangan, dan
2. Mengkaji dan menyiapkan terbentuknya Badan Transformasi Birokrasi di
Kementerian Keuangan.
Perubahan kebijakan terkait penanggungjawab pelaksana program-program
reformasi birokrasi dilakukan sebagai upaya meningkatkan efektivitas dan
kesinambungan pelaksanaan program reformasi birokrasi Kementerian Keuangan.
Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksananaan tugas Forum, Ketua Forum
membentuk Tim Asistensi Forum dan Sekretariat Forum. Apabila dipandang perlu,
Ketua Forum juga dapat membentuk gugus tugas lainnya dalam rangka
melaksanakan tugas khusus yang bersifat lintas unit eselon I.
Proses koordinasi, harmonisasi perumusan dan pelaksanaan kebijakan
Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan tahun 2010 dilaksanakan melalui
mekanisme sebagai berikut:
1. Rapat Koordinasi, yaitu rapat yang dipimpin oleh Koordinator Pelaksana Harian
dan dihadiri oleh para Koordinator dan Wakil Koordinator Program, Sekretaris
Program, dan Tim Asistensi.
2. Rapat Koordinasi dimaksud paling kurang dilaksanakan satu minggu sekali.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
80
Universitas Indonesia
3. Rapat Koordinasi antara lain membahas evaluasi pending matters dan minggu
sebelumnya, perumusan rencana tindak lanjut pending matters, pembahasan
inisiatif kebijakan baru maupun perubahan kebijakan yang sedang berlaku, dan
penetapan agenda kerja minggu berikutnya.
4. Rapat Konsultasi, yaitu rapat yang dipimpin oleh Ketua Forum dan dihadiri oleh
seluruh peserta rapat koordinasi dengan Ketua dan para Wakil Ketua Forum.
5. Rapat Konsultasi dimaksud diselenggarakan paling kurang satu bulan sekali.
6. Rapat Konsultasi dilaksanakan dalam rangka mengkomunikasikan,
mengkonsultasikan, dan pengarahan atas inisiatif kebijakan baru maupun
perubahan kebijakan yang telah dibahas pada Rapat Koordinasi.
7. Rapat Pimpinan/FORSA (Forum Staf Ahli) yaitu rapat yang dipimpin oleh
Menteri Keuangan dan dihadiri oleh seluruh peserta Rapat Konsultasi dengan
seluruh Eselon I.
8. Rapat Pimpinan/FORSA dilaksanakan paling kurang satu bulan sekali.
9. Rapat Pimpinan/FORSA merupakan evaluasi perkembangan agenda reformasi
biokrasi pada umumnya dan merupakan final approval untuk inisiatif kebijakan
baru.
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan pada tahun 2010
diatur sebagai berikut:
1. Kebijakan baru atau perubahan atas kebijakan diinisiasi, dirancang, dan diproses
oleh unit struktural penanggungjawab atas program dimaksud.
2. Inisiatif kebijakan tersebut wajib dikomunikasikan, dikonsultasikan, dan dibahas
dalam Rapat Koordinasi.
3. Hasil pembahasan dalam Rapat Koordinasi disampaikan pada Rapat Konsultasi
untuk mendapatkan pengarahan dan keputusan.
4. Apabila dipandang perlu, khususnya terhadap perumusan dan pelaksanaan
kebijakan yang bersifat kompleks dan membutuhkan komitmen pimpinan
kementerian, Forum dapat mengkomunikasikan, mengkonsultasikan dan
membahas perumusan dan pelaksanaan kebijakan tersebut.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
81
Universitas Indonesia
Apabila diperhatikan dari perkembangan kebijakan dan karakteristik
implementasinya, model implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan pada saat itu merupakan implementasi kebijakan model George C.
Edwards III, dimana kebijakan ditetapkan secara sentralistik di tingkat pusat,
selanjutnya level birokrasi dibawahnya menjadi pelaksana dari kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, variabel-variabel yang sangat menentukan keberhasilan
implementasi model ini adalah (1) komunikasi, yaitu perlu adanya transmisi
informasi yang baik, jelas, dan berjenjang melalui street level bureuacrats dan
konsisten, (2) sumber daya yang meliputi staf yang mencukupi dalam arti jumlah dan
kompetensinya, informasi yang mampu dipahami oleh implementator sehingga dapat
mengambil tindakan sesuai dengan arah kebijakan dan mematuhinya, wewenang
yang mencukupi yang dimiliki oleh implementator dalam mengimplementasikan
kebijakan, dan fasilitas sarana dan prasarana yang mencukupi sebagai penunjang
implementasi kebijakan, (3) disposisi yaitu sikap dari pelaksana kegiatan. Jika
implementasi kebijakan diharapkan memberikan hasil yang optimal, maka pelaksana
kegiatan tidak saja harus memahami kebijakan, tetapi juga harus memiliki
kemampuan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, dan terakhir (4) struktur
organisasi dimana efektivitas koordinasi harus menjadi pertimbangan dalam
menentukan struktur birokrasi yang dipilih sebagai implementator kebijakan.
4.2 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA Tahun 2007 sampai dengan 2010
Implementasi kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA
tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 dimotori oleh Sekretariat DJA. Berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Anggaran Nomor KEP-02/AG/2007 tanggal 30 Januari
2007 yang merupakan tindaklanjut dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor
30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan, Sekretaris
DJA ditunjuk sebagai ketua pelaksana Reformasi Birokrasi Unit (TRBU) yang
bertugas memimpin langsung pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan di DJA dan strategi implementasi yang ditetapkan oleh
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
82
Universitas Indonesia
Menteri Keuangan di DJA. Dalam melaksanakan tugas tersebut Sekretaris DJA
dibantu oleh koordinator masing-masing bidang, yaitu Kepala Bagian Organisasi
dan Tata Laksana sebagai koordinator pelaksanaan bidang Penataan Organisasi dan
bidang Perbaikan Bisnis Proses, dan Kepala Bagian Kepegawaian sebagai
koordinator pelaksanaan bidang Peningkatan Manajemen SDM. Kedua bagian
tersebut dibantu oleh tim yang beranggotakan pegawai-pegawai di Sub Direktorat
Dukungan Teknis seluruh unit eselon II di lingkungan DJA.
Berikut adalah pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan di DJA beserta permasalahan-permasalahan yang dihadapi dari tahun
2007 sampai dengan tahun 2010 berdasarkan bidang yang telah ditetapkan oleh
Menteri Keuangan sebagai pilar/program Kebijakan Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan.
4.2.1 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA Tahun 2007 s.d Tahun 2010 bidang Penataan Organisasi
Pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA
untuk bidang Penataan Organisasi sebenarnya telah dirintis dan dilaksanakan sejak
tahun 2002 hingga saat ini, yaitu dengan dilakukan melalui proses organization
reinventing. Proses ini meliputi pemisahan, penggabungan dan penajaman fungsi
unit-unit dilingkungan DJA khususnya.
Tonggak penataan organisasi di DJA, ditandai dengan lahirnya Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tanggal 23 Juni 2004 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Perubahan mendasar yang diatur
dalam keputusan tersebut adalah pemisahan fungsi perencanaan anggaran dengan
fungsi pelaksanaan anggaran. DJA (lama) yang semula menjalankan kedua fungsi
tersebut dipecah menjadi dua unit eselon I yaitu Direktorat Jenderal Anggaran dan
Perimbangan Keuangan (DJAPK) dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB).
DJAPK menjalankan fungsi perencanaan anggaran yaitu bertugas untuk
merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis dibidang
kebijakan fiskal, APBN, serta perimbangan keuangan, sedangkan DJPB menjalankan
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
83
Universitas Indonesia
fungsi pelaksanaan anggaran yaitu bertugas untuk merumuskan dan melaksanakan
kebijakan dan standardisasi teknis dibidang perbendaharaan negara sesuai dengan
kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam perkembangannya, pelaksanaan tugas DJAPK ternyata terlalu
luas karena menangani perencanaan belanja pusat dan daerah. Oleh karena itu,
dipandang perlu melakukan pemisahan fungsi pengelolaan belanja pusat dan belanja
daerah. Pemisahan fungsi tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 466/KMK.01/2006 tanggal 31 Juli 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Keuangan, dimana dalam keputusan tersebut DJAPK dipecah menjadi
DJA dan DJPK.
DJA menangani perencanaan anggaran pemerintah pusat khususnya belanja
pusat, yaitu bertugas untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang penganggaran sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sedangkan DJPK menangani perencanaan anggaran perimbangan
keuangan antara pusat dengan daerah, khususnya belanja transfer ke daerah, dengan
tugas untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di
bidang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai dengan
kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 ini mengalami
perubahan lagi dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
131/PMK.01/2006 untuk mengakomodir penggabungan Bappepam dengan Lembaga
Keuangan menjadi Bappepam-LK.
Perubahan dan penyempurnaan organisasi terus berlangsung di DJA yaitu
berdasarkan arahan Menteri Keuangan pada bulan November 2006 bahwa:
1) Pelaksanaan tugas DJA dibidang sistem penganggaran perlu dioptimalkan
sehingga perlu dibentuk unit yang mempunyai tugas mengkaji dan
mengembangkan sistem penganggaran sesuai amanat Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
84
Universitas Indonesia
2) Menata kembali Direktorat Penyusunan APBN sebagai akibat dipindahkannya
sebagian tugas dan fungsi Direktorat Penyusunan Asumsi Makro ke Badan
Kebijakan Fiskal.
3) Pengalihan tugas penyusunan laporan Bagian Anggaran 70 dan Bagian Anggaran
71 ke DJPK.
4) Pengalihan tugas dan fungsi penerimaan pungutan ekspor (dari Direktorat PNBP-
DJA) ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
5) Peningkatan Seksi Penerimaan Laba BUMN menjadi Subdirektorat Penerimaan
Laba BUMN.
Berdasarkan arahan tersebut, DJA mengusulkan revisi terhadap Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006, sehingga pada tanggal 11 Juli 2008
terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Keuangan. Hal-hal baru yang diatur dalam peraturan
Menteri Keuangan tersebut adalah:
1) Dibentuknya Direktorat Sistem Penganggaran sebagai pengganti Direktorat
Penyusunan Asumsi Makro yang tugasnya dialihkan ke Badan Kebijakan Fiskal,
2) Pengalihan tugas pungutan ekspor ke DJBC meskipun masih dalam masa
transisi, pembentukan Subdirektorat Laba BUMN, dan
3) Pengalihan tugas penyusunan laporan Bagian Anggara 70 dan Bagian Anggaran
71 ke DJPK.
Sebagai tindak lanjut dari penetapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
100/PMK.01/2008, Direktur Jenderal Anggaran menetapkan Keputusan Direktur
Jenderal Anggaran Nomor KEP-51/AG/2008 tentang Pembagian Tugas di
Lingkungan DJA. Keputusan ini mengatur pembagian kementerian/lembaga yang
menjadi wilayah kerja Direktorat Anggaran I, Direktorat Anggaran II, dan Direktorat
Anggaran III.
Pada tahun 2009, Menteri Keuangan menetapkan peraturan tentang penataan
organisasi yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.01/2009 tentang
Penataan Organisasi di Lingkungan Departemen Keuangan. Dalam peraturan
tersebut diatur ketentuan mengenai hal-hal yang dapat menjadi pertimbangan untuk
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
85
Universitas Indonesia
dilakukannya penataan organisasi. Pertimbangan tersebut meliputi dua faktor yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor-faktor internal antara lain meliputi:
1) Adanya perubahan beban kerja yang signifikan.
2) Perluasan wilayah kegiatan, misalnya potensi penerimaan pemerintah dari pajak
dan non pajak yang belum tergali, dan
3) Perubahan visi dan misi yang merupakan perubahan strategi organisasi.
Faktor-faktor eksternal, antara lain:
1) Perubahan kebijakan pemerintah yang implikasinya memerlukan perubahan
struktur, tugas, dan fungsi dari organisasi yang ada.
2) Tuntutan stakeholder, dalam hal ini perubahan dilakukan sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan stakeholder dan pencapaian tujuan organisasi, dan
3) Perkembangan teknologi yang sangat cepat.
Kajian terhadap penataan struktur organisasi DJA terus dilakukan oleh
Bagian Organisasi dan Tata Laksana – Sekretariat DJA, hingga pada tahun 2010
kembali DJA melakukan perubahan struktur organisasi karena adanya peningkatan
beban kerja yang signifikan dan dampak dari pelaksanaan program Reformasi
Birokrasi Nasional yang salah satu agendanya adalah pemberian remunerasi serta
perubahan skenario jaminan sosial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Maka terbitlah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Keuangan. Perubahan dalam Peraturan Menteri Keuangan
tersebut terkait DJA adalah :
1) Dibentuknya unit eselon II baru yaitu Direktorat Harmonisasi Peraturan
Penganggaran sebagai upaya penajaman fungsi tugas pengharmonisasian
peraturan penganggaran dan jaminan sosial serta fungsi pengelolaan kebijakan
penganggaran remunerasi yang selama ini menjadi salah satu tugas Direktorat
Sistem Penganggaran.
2) Direktorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran terdiri dari empat unit eselon III
yaitu Subdirektorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran Kementerian/Lembaga,
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
86
Universitas Indonesia
Subdirektorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran Jaminan Sosial,
Subdirektorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran PNBP, dan Subdirektorat
Harmonisasi Penganggaran Remunerasi.
3) Dibentuk satu jabatan eselon IIb yaitu Tenaga Pengkaji PNBP untuk membantu
proses reformasi pengelolaan PNBP.
4) Dibentuk satu unit eselon III dilingkungan Sekretariat Direktorat Jenderal yang
menangani masalah penegakan kepatuhan internal dan pemberian bantuan
hukum, yaitu Bagian Kepatuhan Internal dan Bantuan Hukum.
Secara skematis, perkembangan output yang dihasilkan dibidang penataan
organisasi dalam kerangka implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi pada kurun
waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2 : Perkembangan Output DJA di Bidang Penataan Organisasi
Sumber: Buku Profil Reformasi Birokrasi DJA, diolah peneliti
Apabila menilik hasil capaian implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
DJA pada program Penataan Organisasi diatas, dapat disimpulkan bahwa
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
87
Universitas Indonesia
kecenderungan yang terjadi adalah pemekaran organisasi. Arah kebijakan penataan
organisasi yang mempertajam fungsi, membawa dampak organisasi menjadi kaya
struktur miskin fungsi. Hal ini berbanding terbalik dengan arah Kebijakan
Reformasi Birokrasi Nasional dalam Perpres Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi Nasional, dimana agenda Penataan Organisasi
seharusnya menuju pada terwujudnya organisasi yang miskin struktur kaya fungsi.
Selain itu, pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi dibidang Penataan
Organisasi cenderung mengakomodir kehendak pimpinan dan bukan sepenuhnya
hasil dari analisis kebutuhan organisasi. Pada umumnya, pimpinan DJA mencetuskan
gagasan tentang perbaikan struktur organisasi untuk selanjutnya menugaskan Bagian
Organisasi dan Tata Laksana untuk melakukan kajian dan menyiapkan naskah
akademik pendukung gagasan tersebut. Kenyataan ini diperkuat dengan penjelasan
Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJA ketika ditanya peneliti mengenai
strategi implementasi kebijakan dibidang Penataan Organisasi yang mengatakan
“Oke. Karena aku ngikutin cuma mulai 2009 kali ya efektif ya. 2009 kalau penataan
organisasi sekarang mungkin kita udah mencoba kalau di DJA ya...kalau di DJA kita
coba sedapat mungkin menyeimbangkan antara Teori Organisasi sama
pelaksanaannya”.
Berangkat dari statement tersebut, penulis mendalami informasi kepada
Kepala Subbagian Penataan Organisasi DJA. Informasi yang diperoleh bahwa proses
pengusulan penataan organisasi DJA seringkali berangkat dari gagasan pimpinan,
kemudian dilakukan kajian secara teoritis untuk memperkuat gagasan tersebut.
Meskipun demikian, menurut Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana, program
Penataan Organisasi adalah yang memiliki tingkat kesuksesan paling tinggi jika
dibandingkan dengan agenda lainnya. Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana
DJA menyatakan “Eee, yang berhasil mungkin justru penataan organisasi, kalau ee
evaluasi ini ya, kalau SOP segala macem, kalau di DJA sampai saat ini, mungkin
baru tahun kemarin sama tahun ini kita berusaha SOP itu dibuat dengan benar dan
gimana caranya supaya dibaca oleh pegawai.” Indikator keberhasilan program
Penataan Organisasi menurut Kepalda Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJA
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
88
Universitas Indonesia
didasarkan pada keberhasilan proses penajaman fungsi dan penempatan fungsi
tersebut pada unit organisasi yang sesuai. Hal ini sebagaimana pernyataan Kepala
Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJA ketika peneliti menanyakan indikator
keberhasilan implementasi kebijakan dibidang Penataan Organiasi sebagai berikut:
“Indikatornya kita mencoba mendudukkan eee jadi gini, sebenarnya penataan
organisasi itukan tidak berarti menambah struktur atau menghilangkan struktur aja.
Tapi tugas dan fungsinya dipertajam. Nah, menurut saya indikator ee keberhasilan
penataan organisasi itu lebih kepada penajaman tugas dan fungsi aja sebenarnya. Di
kita itu sudah mulai mendudukkan tugas dan fungsi yang sebenarnya di unit yang pas
gitu, yang lebih tepat gitu.”
Sekretaris DJA selaku Ketua Harian Pelaksana Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan di DJA beranggapan bahwa seringnya perubahan struktur
organisasi yang terjadi di DJA dikarenakan adanya keinginan yang kuat dari
pimpinan untuk mencari bentuk organisasi yang paling ideal untuk DJA. Saking
seringnya, Sekretaris DJA merasa pekerjaan ini menjadi tidak putus-putus. Hal ini
sebagaimana pernyataan Sekretaris DJA “kalau dari sisi negatifnya, kita menjadi
punya terlalu banyak aja. Jadi kadang-kadang tidak menjadi priority. Karena apa,
setiap kali, karena saking sering kita kepingin berubah, tiap kali rapat, bisa aja, habis
itu bentuknya berubah lagi, ndak putus - putus, nah...kuwi wis. Enggak putus-putus,
karena, saking senengnya kalau menurut saya ni, saya melihat dari sisi yang positif
ni. Karena kita kepingin mencari bentuk yang paling ideal, akhirnya ndak putus –
putus tuh. Ya, waktu itu masih ada, kita mutusin tahun 2009 mau nambah tenaga
pengkaji tiga, jadi akhirnya satu. Sekarang dah jadi lagi, 184 jadi PMK nya, sekarang
mo dimasukin, kan mo dimasukin lagi. Kemudian mau diregrouping lagi, itu
remunerasi mau ditarik lagi ke DSP segala macem, ini keinginan untuk mencari
bentuk yang ideal itu, sangat tinggi. Itu ya, sehingga akhirnya ndak putus-putus ni
karena diskusi terus lha itu kalau boleh saya ngomong.”
Sementara itu Triana Ambarsari yang sebelum menjabat sebagai Kepala
Bagian Kepegawaian menjabat sebagai Kepala Subbagian Penataan Organisasi
hingga tahun 2010 menyatakan bahwa memang implementasi program Penataan
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
89
Universitas Indonesia
Organisasi di DJA arahnya menjadi tidak right sizing atau menuju ke perampingan
organisasi, namun demikian, hal ini dapat dimengerti karena tugas-tugas DJA
semakin lama semakin banyak dan kompleks. Hal ini dinyatakan dalam wawancara
sebagai berikut: “Memang pada kenyataannya di kedua PMK tersebut semakin lama
semakin membesar, bukan right sizing lagi. Nah itu tapi kita juga bisa memahami,
karena apa ... karena tugas-tugas di DJA itu semakin lama semakin banyak, dan...
semakin banyak semakin kompleks dari yang dulu-dulu sehingga perlu dibentuk unit
khusus. Memang akhirnya menggemuk, dan larinya ke spesialisasi.”
Berdasarkan analisa peneliti, seringnya dilakukan perubahan struktur
organisasi DJA, yaitu sepanjang kurun waktu 2006 sampai dengan 2010 sebanyak
tiga kali (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006, Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.01/2010), menunjukkan tidak adanya grand design tentang penataan
organisasi di DJA. Hal ini mengakibatkan, perubahan struktur organisasi bersifat
incremental dan cenderung mengakomodasi kehendak pimpinan. Selain itu, terdapat
pemahaman tentang indikator keberhasilan pelaksanaan Kebijakan Reformasi
Birokrasi Kementerian Keuangan bidang Penataan Organisasi di DJA bahwa
perubahan struktur organisasi yang terjadi mencerminkan keberhasilan pelaksanaan
Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan bidang Penataan Organisasi
di DJA.
4.2.2 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA Tahun 2007 s.d Tahun 2010 bidang Perbaikan Proses Bisnis
Pada agenda Perbaikan Proses Bisnis, output yang harus dihasilkan meliputi
Standard Operating Procedures (SOP), Uraian Jabatan, dan Analisis Beban Kerja
(ABK). Ketiga output tersebut merupakan hal baru bagi DJA, dan untuk
menghasilkan ketiga output tersebut, DJA harus melakukannya sendiri tanpa bantuan
konsultan. Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan hanya membekali para
person in charge dari masing-masing unit eselon I dengan ilmu bagaimana
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
90
Universitas Indonesia
menyusun SOP, Uraian Jabatan, dan ABK melalui berbagai workshop dan
sosialisasi. Padahal, mayoritas pegawai di Sekretariat Jenderal sendiri juga baru
belajar tentang teknik menyusun SOP, Uraian Jabatan, dan ABK. Selain itu,
Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan mengeluarkan regulasi sebagai panduan
untuk menyusun SOP, Uraian Jabatan, dan ABK serta deadline penyelesaiannya.
Pada awal pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan program Perbaikan Proses Bisnis (tahun 2007), DJA mengikuti strategi
implementasi yang telah ditetapkan Menteri Keuangan yaitu dengan membentuk tim
dimasing-masing output serta melibatkan seluruh unit eselon II dilingkungan DJA
untuk menghasilkan output tersebut. Permasalahan implementasi Kebijakan
Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan program Perbaikan Proses Bisnis ini
muncul, karena gaung reformasi birokrasi belum terasa diseluruh elemen pegawai
dilingkungan DJA. Gaung reformasi birokrasi baru sangat terasa hanya dilingkungan
Sekretariat DJA karena sebagai unit eselon II yang in charge dalam menjalankan
kebijakan tersebut. Kondisi ini disampaikan oleh Kepala Bagian Organisasi dan Tata
Laksana DJA yang pada saat itu bertindak sebagai Koordinator pelaksanaan
Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan program Perbaikan Proses
Bisnis di DJA saat ditanya peneliti mengenai kendala yang dihadapi ketika
melaksanakan Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan bidang
Perbaikan Proses Bisnis di DJA. Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJA
mengatakan “Kendala dulu ya....kalau kendala itu, pertama ... eee mungkin kalau
yang tahu persis reformasi birokrasinya itu paling temen-temen di Setditjen, yang
terlibat langsung. Tapi kalau temen-temen di direktorat itu kan tidak terlibat
langsung. Sehingga kalau begitu misalnya ada pekerjaan-pekerjaan reformasi
birokrasi seperti pembuatan SOP, segala macem itu jadi kesannya memberatkan gitu.
Nah kalau misalnya itu sudah diinformasikan, jadi semua...semua pegawai itu punya
informasi yang sama, itu mungkin menjadi lebih gampang. Itu aja sih sebenarnya.
Jadi informasi yang diterima tu nggak..nggak sama dengan yang di Setditjen
mungkin.” Situasi sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Bagian Organisasi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
91
Universitas Indonesia
dan Tata Laksana DJA dirasakan betul oleh peneliti yang pada saat itu ditunjuk
sebagai Koordinator Teknis Penyusunan SOP DJA.
Tim Teknis Penyusunan SOP DJA yang terdiri dari pegawai-pegawai di
Subdirektorat Dukungan Teknis di masing-masing unit eselon II di lingkungan DJA
sulit diajak bekerja secara optimal karena menganggap kegiatan ini hanya menambah
beban pekerjaan mereka yang sudah overload. Mayoritas anggota Tim Teknis
menganggap bahwa pekerjaan implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan bidang Perbaikan Proses Bisnis adalah tanggung jawab
Sekretariat DJA, sehingga anggota tim yang mewakili unit eselon II di lingkungan
DJA ini bekerja ala kadarnya dalam tim. Akibatnya output yang dihasilkan sekedar
memenuhi target waktu penyelesaian sehingga mengabaikan aspek kualitas.
Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana mengatakan bahwa fenomena
sosial yang terjadi saat itu merupakan dampak dari kurang dipahaminya Kebijakan
Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan diseluruh unit eselon II di lingkungan
DJA kecuali di Sekertariat DJA. Kondisi ini merupakan indikasi kurang kuatnya atau
belum jelasnya komitmen pimpinan dalam menjalankan Kebijakan Reformasi
Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA. Kepala Bagian Organisasi dan Tata
Laksana mengatakan “Kendalanya, karena tidak ada....eee, mungkin pemimpinnya
berkomitmen, tapi ia tidak menyampaikan itu ke pegawainya gitu. Itu,..itu yang
pertama, karena menurut saya, biar bagaimanapun, ee begitu pemimpin itu bilang,
saya akan melaksanakan reformasi birokrasi ini, saya mengajak kalian, itu dengan
jelas dikatakan, itu dengan jelas dilakukan oleh pemimpinnya, maka semua akan
jalan gitu. Nah jadi, kelemahan pertama ya, begitu tidak ada komitmen yang jelas
dari pimpinan yang disuarakan, yaitu akhirnya jadi kendala pertama gitu.”
Pandangan Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana berbeda dengan Ari
Wahyuni yang pada saat itu belum menjabat sebagai Sekretaris DJA (Ari Wahyuni
menjabat sebagai Sekretaris DJA pada tahun 2009, sebelumnya menjabat sebagai
Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Umum, BPPK yaitu salah satu
unit eselon I dilingkungan Kementerian Keuangan). Menurut pandangan Ari
Wahyuni, fenomena rendahnya kualitas output yang dihasilkan dari implementasi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
92
Universitas Indonesia
Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan program Perbaikan Proses
Bisnis ini dikarenakan proses implementasi kebijakan reformasi birokrasi baru
masuk pada tahap pembelajaran. Menurutnya fenomena rendahnya kualitas output
dari implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan program
Perbaikan Proses Bisnis ini tidak saja terjadi di DJA, melainkan diseluruh unit eselon
I dilingkungan Kementerian Keuangan. Ari Wahyuni mengatakan “Kalau menurut
yang saya pahami, saya rasakan, pada masa-masa itu, itu kita mencari bentuk
termasuk DJA. Nah, masing-masing eselon I itu mencari bentuk, nah ada satu
nuansa, yang mungkin, harusnya sama juga dengan DJPK karena dulu DJAPK,
dimana ada suatu background yang mendasari dari sisi eee.... dua institusi ini, yaitu
masing-masing dan sesuai arahannya dari Menteri harus berubah”.
Triana Ambarsari yang pada saat itu menduduki jabatan sebagai Kepala
Subbagian Penataan Organisasi yang merupakan Koordinator Teknis Penyusunan
Uraian Jabatan dan ABK, menyatakan “Iya ya... jadi, kalau dulu, menyambung yang
tadi ya, dari atas kita itu...kita diminta untuk, ada pedomannya membuat.. contohnya
dulu... waktu itu diantaranya tugas saya adalah untuk membuat Uraian Jabatan, itu
sampai detil sekali. (Peneliti: Itu dari atas, petunjuknya sampai detil ya ?) Iya.. dari
atas petunjuknya sampai detil. Nah, sudah dibuat ni, sampai... Uraian Jabatan itu
sampai lima belas point, sudah membuatnya susah, lama... bagaimana kita
menggerakkan teman-teman di unit-unit itu supaya membuat gitu.... itu juga seni
tersendiri ya...kita juga membuat pedomannya untuk mempermudah mereka. Karena
kalau, kita nggak memenuhi aturan tersebut, oleh Organta dikembalikan, nah..setelah
dibuat, itu tebel sekali, tapi dalam pelaksanaannya atau implementasinya, ndak
dipakai. Kenapa? Karena terlalu rigid sekali. Kalau di swasta itu kan simple, hanya
beberapa lembar. Jadi orang lebih tertarik itu. Jadi itu diantaranya”, ketika ditanya
peneliti mengenai kendala implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan bidang Perbaikan Proses Bisnis di DJA.
Strategi implementasi yang dilakukan DJA dalam memenuhi target
Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan bidang Perbaikan Proses
Bisnis diawali dengan pembentukan tiga tim yaitu Tim Teknis Penyusunan SOP,
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
93
Universitas Indonesia
Tim Teknis Penyusunan Uraian Jabatan, dan Tim Teknis Penyusunan ABK. Bagian
Organisasi dan Tata Laksana melakukan training terlebih kepada anggota tim,
selanjutnya masing-masing anggota tim yang merupakan perwakilan dari unit eselon
II dilingkungan DJA menyusun SOP, Uraian Jabatan, dan ABK dengan asistensi dari
Bagian Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat DJA. Berikut adalah progress
pelaksanaan Program Perbaikan Proses Bisnis dari tahun 2007 s.d tahun 2010
ditinjau per output yang dihasilkan.
(1) Penyusunan Standar Prosedur Operasi (SOP)
Sebagaimana telah diuraikan diatas, penyusunan SOP diawali dengan
membentuk tim dan melakukan training terhadap anggota tim tersebut tentang
Teknik Penyusunan SOP. Setelah pelaksanaan training, tim mulai menyusun SOP di
unit eselon II-nya masing-masing dengan melewati tahapan-tahapan sebagai berikut:
Tahap I : Analisis Kebutuhan SOP
Analisis Kebutuhan SOP adalah proses identifikasi terhadap tugas dan fungsi
yang diamanatkan kepada masing-masing unit eselon II di lingkungan DJA untuk
mengetahui SOP apa saja yang perlu dibuat sesuai kebutuhan organisasi. Analisis
dilakukan dengan memperhatikan tiga faktor utama, yaitu:
a. Peraturan-peraturan pelaksanaan tugas yang berlaku, seperti Peraturan Menteri
Keuangan tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, Uraian
Jabatan, dan lain-lain. Termasuk didalamnya adalah kebijakan-kebijakan
pimpinan yang berlaku dalam organisasi terkait pelaksanaan tugas dan fungsi
organisasi tersebut.
b. Lingkungan operasional (operating enviroment) yang meliputi aspek komposisi
unit kerja (struktur organisasi), komposisi dan jumlah pegawai, jumlah dan jenis
pelayanan kepada stakeholder DJA, sumber daya yang dibutuhkan dalam
memberikan layanan tersebut, harapan stakeholder atas layanan DJA, serta
hubungan DJA dengan unit organisasi lain.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
94
Universitas Indonesia
c. Kebutuhan organisasi. Tim dalam melakukan identifikasi kebutuhan organisasi
memperhatikan beberapa aspek yaitu:
(1) Proses-proses yang dipandang harus distandardisasikan;
(2) Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari;
(3) Meneliti semua proses yang ada untuk mengidentifikasi proses-proses yang
overlapping;
(4) Kebutuhan akan peningkatan kualitas pelayanan yang diharapkan oleh
stakeholders dengan melakukan survei terhadap stakeholders mengenai
harapan mereka terhadap kualitas pelayanan DJA.
Tahap II : Pengembangan SOP
Tahap pengembangan SOP dilakukan dengan pengumpulan informasi dan
identifikasi alternatif, analisis dan pemilihan alternatif, penulisan SOP, pengujian
dan review, serta diakhiri dengan pengesahan SOP. Hasil dari tahap ini adalah
keluarnya Surat Keputusan Dirjen Anggaran Nomor KEP-94/AG/2007 tanggal 18
September 2007 tentang SOP DJA. Adapun rincian SOP DJA berdasarkan unit
eselon II adalah sebagai berikut:
Tabel 4.3 : Jumlah SOP DJA per Unit Eselon II No. Unit Eselon II Jumlah SOP 1. Sekretariat DJA 109 2. Direktorat Penyusunan APBN 16 3. Direktorat Anggaran I, II, dan III 46 4. Direktorat PNBP 45 5. Direktorat Sistem Penganggaran 19 Jumlah SOP 235
Sumber: Sekretariat DJA
Tahap III : Penerapan SOP
Tahap penerapan SOP dilaksanakan setelah SOP ditetapkan oleh Dirjen
Anggaran. Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah sosialisasi baik internal,
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
95
Universitas Indonesia
yaitu kepada para pegawai DJA sendiri, dan juga eksternal, yaitu kepada para
stakeholders DJA tentang SOP DJA.
Tahap IV : Monitoring dan Evaluasi SOP
Tahap monitoring dan evaluasi SOP dilaksanakan dalam rangka menjaga
mutu pelayanan DJA kepada stakeholders, sekaligus sebagai upaya terus-menerus
menyempurnakan SOP. Untuk melaksanakan fungsi monitoring dan evaluasi
tersebut, DJA membentuk Gugus Kendali Mutu SOP (GKM SOP) melalui Surat
Keputusan Dirjen Anggaran Nomor KEP-102/AG/2007.
Selain membentuk GKM-SOP, DJA melontarkan gagasan untuk menyusun
manual instruction sebagai penjabaran lebih rinci dari SOP yang dirasakan perlu
dibuat detil. Selain itu, DJA juga mengikutkan 5 jenis SOPnya dalam program SOP
Quickwin yaitu:
(1) Pelayanan Penyelesaian Lampiran Peraturan Presiden tentang Anggaran Belanja
Pemerintah Pusat (SAPSK);
(2) Pelayanan Penyelesaian Revisi SAPSK;
(3) Pelayanan Penyelesaian Standar Biaya Khusus (SBK);
(4) Penyusunan Konsep RPP tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP atau Revisi
yang berlaku pada Kementerian/Lembaga;
(5) Penyusunan Target dan Pagu Penggunaan PNBP pada Kementerian/Lembaga
untuk RAPBN atau Revisi Target dan Pagu Penggunaan PNBP.
Pada tahun 2008, dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan SOP dan juga
penyusunan Manual Instruction. Mengingat pelaksanaan penyusunan SOP pada
tahun 2007 lebih fokus pada target waktu penyelesaian SOP sesuai ketentuan dari
Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan, maka tahun 2008 menghasilkan 245
SOP sebagai hasil dari monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh GKM-SOP.
Pada tahun 2009, DJA terus melakukan penyempurnaan pada SOP-nya,
sehingga pada tahun tersebut terdapat 13 SOP yang dievaluasi, dan 12 SOP disusun
manual instruction-nya. Selain kegiatan monitoring dan evaluasi, pada tahun 2009
juga dilakukan sosialisasi kepada internal DJA dalam rangka meningkatkan
pemahaman pegawai terhadap SOP.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
96
Universitas Indonesia
Pada tahun 2010, kegiatan monitoring dan evaluasi SOP terus dilaksanakan,
dan saat itu kegiatannya difokuskan pada SOP yang link dengan Unit Eselon I
lainnya dilingkungan Departemen Keuangan. Untuk agenda ini, DJA menjadi
peserta, sedangkan leader-nya adalah Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan.
Selain penyempurnaan dari sisi proses mengikuti perubahaan struktur
organisasi DJA, pada tahun 2010 juga dilakukan penyempurnaan SOP dari sisi
tampilan. Ini dipandang perlu dilakukan agar para pegawai DJA mau mempelajari
SOPnya masing-masing karena tampilannya lebih menarik dan mudah dipahami
daripada sebelumnya.
(2) Penyusunan Uraian Jabatan
Agenda lain dari Program Perbaikan Bisnis Proses adalah penyusunan Uraian
Jabatan yang merupakan pemaparan secara rinci dan lengkap mengenai informasi
suatu jabatan. Prinsip dasar yang dijadikan pedoman DJA dalam penyusunan Uraian
Jabatan adalah:
(1) Memilah dan mengelola informasi jabatan sesuai dengan template yang telah
ditentukan oleh Menteri Keuangan;
(2) Analisis dilakukan terhadap jabatan, dan bukan terhadap pemangku jabatan.
Dengan demikian penyusunan Uraian Jabatan tidak terkait dengan prestasi
kinerja individu. Pemangku jabatan diposisikan sebagai narasumber atau
responden saja.
(3) Sumber informasi jabatan adalah fakta berdasarkan tugas dan fungsi jabatan
tersebut sesuai statuta organisasi.
Proses yang dilalui dalam rangka melakukan Analisis dan Evaluasi Jabatan
meliputi tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahap
pengolahan data.
Tahap I Persiapan
Bagian Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat DJA melakukan berbagai
kegiatan dalam rangka persiapan Analisis dan Evaluasi Jabatan. Kegiatan persiapan
tersebut meliputi pembentukan Tim Penyusun Uraian Jabatan, mengirim anggota tim
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
97
Universitas Indonesia
untuk mengikuti training pelaksanaan Analisis dan Evaluasi Jabatan yang
diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan, membuat
workshop Teknik Analisis dan Evaluasi Jabatan, dan melakukan sosialisasi kepada
calon responden Analisis dan Evaluasi Jabatan DJA.
Tahap II Pengumpulan Data
Setelah anggota Tim Penyusunan Uraian Jabatan mendapat bekal
pengetahuan yang memadai dalam teknik Analisis dan Evaluasi Jabatan, maka
masing-masing anggota tim yang merupakan perwakilan dari masing-masing unit
eselon II dilingkungan DJA diberi tugas untuk mengumpulkan data tentang
informasi jabatan yang ada dilingkup unitnya. Bagian Organisasi dan Tata Laksana
bertindak sebagai supervisor sekaligus melakukan pemeriksaan terhadap data
informasi jabatan yang diperoleh oleh anggota tim.
Tahap III Pengolahan Data
Pada tahap ini seluruh anggota tim bersama Bagian Organisasi dan Tata
Laksana mendiskusikan data-data yang dikumpulkan pada tahap II untuk disajikan
dalam bentuk Uraian Jabatan sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor
387/KMK.01/1987 tentang Pedoman Penyusunan Uraian Jabatan, yang
disempurnakan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.01/2006 jo
70/PM.1/2007.
Proses penyusunan Uraian Jabatan ini merupakan proses yang terberat dalam
pelaksanaan Program Perbaikan Proses Bisnis di DJA, karena pada waktu itu DJA
sedang mengajukan usulan perubahan struktur organisasi kepada Menteri Keuangan.
Berdasarkan arahan dari TRBP, akhirnya DJA harus menyusun dua jenis Uraian
Jabatan, yaitu Uraian Jabatan yang didasarkan pada kondisi struktur organisasi
existing, dan Uraian Jabatan yang didasarkan pada usulan perubahan struktur
organisasi yang baru.
Hasil dari pelaksanaan Analisis dan Evaluasi Jabatan di DJA pada tahun 2007
adalah dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 424/PM.1/2007
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
98
Universitas Indonesia
tanggal 25 Juni 2007 tentang Uraian Jabatan di Lingkungan Direktorat Jenderal
Anggaran. Adapun jumlah Uraian Jabatan yang telah disusun pada tahun 2007
adalah sebanyak 1.225 dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 4.4 : Jumlah Uraian Jabatan DJA per Unit Eselon II Tahun 2007 No. Unit Kerja DJA Urjab Struktural Urjab
Pelaksana Jumlah I II III IV 1. Direktur Jenderal Anggaran 1 1 2. Sekretariat DJA 1 4 12 100 117 3. Direktorat Penyusunan APBN 1 6 25 175 207 4. Direktorat Anggaran I 1 6 23 158 188 5. Direktorat Anggaran II 1 6 23 159 189 6. Direktorat Anggaran III 1 6 23 158 188 7. Direktorat PNBP 1 6 22 180 209 8. Direktorat Sistem Penganggaran 1 4 15 106 126
Jumlah Urjab 1 7 38 143 1036 1225 Sumber: Bagian Organisasi dan Tata Laksana – Sekretariat DJA
Pada tahun 2008, dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, maka
terjadi perubahan struktur organisasi DJA. Perubahan struktur organisasi ini
berimplikasi pada perlunya penyempurnaan Uraian Jabatan di DJA. Maka pada
tahun 2008, Tim kembali bekerja menyempurnakan Uraian Jabatan yang hasilnya
telah ditetapkan 1.293 Uraian Jabatan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
706/PM.01/2008 tanggal 22 Oktober 2008 tentang Uraian Jabatan di Lingkungan
Direktorat Jenderal Anggaran.
Adapun secara rinci, jumlah Uraian Jabatan pada tahun 2008 adalah sebagai
berikut:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
99
Universitas Indonesia
Tabel 4.5 : Jumlah Uraian Jabatan DJA per Unit Eselon II Tahun 2008 No. Unit Kerja DJA Urjab Struktural Urjab
Pelaksana Jumlah I II III IV 1. Direktur Jenderal Anggaran 1 1 2. Sekretariat DJA 1 4 12 100 119 3. Direktorat Penyusunan APBN 1 6 25 187 219 4. Direktorat Anggaran I 1 6 23 171 201 5. Direktorat Anggaran II 1 6 23 171 201 6. Direktorat Anggaran III 1 6 23 171 201 7. Direktorat PNBP 1 6 22 178 207 8. Direktorat Sistem Penganggaran 1 4 16 123 144
Jumlah Urjab 1 7 38 144 1103 1293
Tahun 2009 dan 2010, tidak ada lagi kegiatan tim dalam rangka penyusunan
Uraian Jabatan. Namun demikian, hasil kerja tim, dimanfaatkan manajemen sebagai
dasar untuk berbagai hal diantaranya penyusunan kamus kompetensi, penetapan
mutasi, dan sebagainya.
(3) Penyusunan Analisis Beban Kerja
Penyusunan Analisis Beban Kerja (ABK) merupakan salah satu bagian dari
Program Perbaikan Proses Bisnis yaitu dibidangi ketatalaksanaan. Dalam proses
penyusunan ABK ini, kembali Bagian Organisasi dan Tata Laksana menjadi leader-
nya. Penyusunan ABK mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
140/PMK.01/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Analisis Beban Kerja (workload
analysis) dilingkungan Departemen Keuangan.
Pada tahun 2007, DJA menyusun ABK dengan melalui tiga tahapan, yaitu:
Tahap I Persiapan
Pada tahap persiapan ABK, Departemen Keuangan telah membentuk Tim
Analis yang keanggotaannya terdiri dari perwakilan unit-unit eselon I dilingkungan
Departemen Keuangan termasuk dari DJA. Tim ini dibekali dengan ilmu ABK
melalui training dan workshop, selanjutnya Sekretariat Jenderal Departemen
Keuangan memberitahukan kepada pimpinan unit eselon I di lingkungan
Sumber: Bagian Organisasi dan Tata Laksana – Sekretariat DJA
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
100
Universitas Indonesia
Departemen Keuangan tentang tim tersebut yang akan melakukan ABK di unitnya
masing-masing.
Tahap II Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan, tim melakukan pengumpulan data dengan
menyebarkan Form A, Form B, dan Form C untuk diisi oleh pegawai. Data yang
terkumpul diverifikasi dan diolah untuk disajikan kepada pimpinan unit eselon I
masing-masing untuk mendapatkan persetujuan sebelum ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
Dalam melakukan pengolahan data, aspek yang dianalisis adalah dua hal,
yaitu:
(1) Uraian tugas dan fungsi baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional;
(2) Volume kerja, norma waktu, dukungan teknologi, dan jumlah pegawai.
Tahap III Penetapan
Setelah hasil ABK selesai dan telah mendapat persetujuan pimpinan unit
eselon I, maka ABK DJA ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Setelah penetapan,
maka kegiatan ABK selesai di tahun 2007. Di tahun 2008, 2009, dan 2010,
meskipun terjadi perubahan struktur organisasi, belum dilakukan kegiatan review
ABK DJA.
Berdasarkan uraian diatas, secara keseluruhan output yang dihasilkan dalam
pelaksanaan Program Perbaikan Proses Bisnis adalah sebagaimana tabel dibawah ini.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
101
Universitas Indonesia
Tabel 4.6 : Perkembangan Output DJA dibidang Perbaikan Proses Bisnis
4.2.3 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA Tahun 2007 s.d Tahun 2010 bidang Peningkatan Manajemen SDM Untuk pelaksanaan agenda Peningkatan Manajemen SDM, baik Triana
Ambarsari, Meriyam Megia Shahab, dan Ari Wahyuni merasakan sebagai agenda
yang paling berat dan krusial, karena sasaran yang dituju sesungguhnya tidak
sekedar terselenggaranya pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi,
terbangunnya assessment center, pola mutasi, pola karir, SIMPEG terintegrasi, dan
peningkatan disiplin pegawai, lebih dari itu harus mampu merubah midset dan
cultureset seluruh pegawai di lingkungan DJA. Pelaksanaan agenda ini tidak bisa
berhenti setelah setahun dua tahun pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi,
melainkan harus secara terus menerus dilaksanakan.
Pada tahun 2007, implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi pada program
Peningkatan Manajemen SDM untuk kegiatan membangun assessment center, unit-
u
• Menghasilkan 235 buahSOP
• Membentuk GugusKendali Mutu – SOP (GKM-SOP) untukmelakukan monitoring dan evaluasi SOP dengan KeputusanDirektur JenderalAnggaran Nomor KEP-102/AG/2007
• Mulai menyusunManual Instruction sebagai perincian SOP yang merupakan murniide DJA dan hanya adadi DJA
• Menghasilkan 1.225 Uraian Jabatan yang ditelah ditetapkan olehMenteri KeuanganNomor 424/PM.1/2007
• ABK
• Penyempurnaan SOP, dan Uraian Jabatanmengikuti PeraturanMenteri KeuanganNomor100/PMK.01/2008 tentang Organisasidan Tata KerjaDepartemenKeuangan
• Menghasilkan 245 SOP.
• Menghasilkan UraianJabatan sebanyak1.293 Uraian Jabatan
•PenyusunanManual Instruction untuk 10 SOP
•Menghasilkan 5 SOP quick win
•PenyempurnaanSOP baik dari sisitampilan, alur bisnisdan penyesuaiandengan PeraturanMenteri KeuanganNomor184/PMK.01/2010 tentang Organisasidan Tata KerjaKementerianKeuangan.
2007 2008 2009 2010
Sumber: Buku Profil Reformasi Birokrasi DJA setelah diolah penulis
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
102
Universitas Indonesia
unit eselon I termasuk DJA dilibatkan dalam proses penyusunan Kamus Kompetensi
Jabatan Departemen Keuangan. Dalam kamus tersebut kompetensi dikelompokkan
dalam tiga rumpun yaitu Thinking, Working, dan Relating yang secara keseluruhan
terdiri dari 35 kompetensi (lihat Tabel 4.17).
Mengacu pada kamus kompetensi tersebut, DJA menyusun standar
kompetensi jabatan untuk seluruh jabatan yang ada yang dikelompokkan dalam tiga
kelompok yaitu:
1) Kompetensi Umum, yaitu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap pegawai
dilingkungan Departemen Keuangan.
2) Kompetensi Inti, yaitu kompetensi yang harus dimiliki oleh pejabat sesuai jenjang
eselon di Departemen Keuangan.
3) Kompetensi Khusus, yaitu kompetensi yang harus dimiliki oleh masing-masing
pejabat sesuai dengan jabatan yang dipangkunya.
Tabel 4.7 : Kompetensi Kementerian Keuangan
Pada tahun 2009 DJA membentuk Tim Assessment Center DJA dengan
Keputusan Direktur Jenderal Anggaran Nomor KEP-10/AG/2009 yang memiliki
tugas:
Kompetensi Departemen Keuangan
THINKING RELATINGWORKING
1. Visioning
2. Innovation
3. In Depth Problem Solving and Analysis
4. Decivie Judgment
5. Championing Change
6. Adapting to Change
7. Courage of Conviction
8. Business Acumen
9. Planning and Organizing
10. Driving for Result
11. Delivering Result
12. Quality Focus
13. Continues Improvement
14. Policies, Processes and Procedures
15. Safety
16. Stakeholder Focus
17. Stakeholder Service
18. Integrity
19. Resilience
20. Continous Learning
21. Teamwork and Collaboration
22. Influencing and Persuading
23. Managing Others
24. Team Leadership
25. Coaching and Developing Others
26. Motivating Others
27. Organizational Savoy
28. Relationship Management
29. Negotiation
30. Conflict Management
31. Interpersonal Communication
32. Written Communication
33. Presentation Skill
34. Meeting Leadership
35. Meeting Contribution
Sumber: Kamus Kompetensi Departemen Keuangan
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
103
Universitas Indonesia
1) Merencanakan, mengevaluasi, dan mengembangkan sistem Assessment Center
DJA.
2) Merencanakan dan melaksanakan Assessment Center jabatan eselon IV dan
jabatan tertentu di lingkungan DJA.
3) Melakukan koordinasi dengan Sekretariat Jenderal dalam hal kebutuhan assessor.
4) Menyusun, memelihara, dan menyampaikan laporan profil kompetensi
pegawai/calon pejabat dari hasil Assessment Center di lingkungan DJA kepada
Sekretariat Jenderal.
5) Memelihara dan menjaga kerahasiaan berkas dan hasil Assessment Center DJA.
Sampai dengan tahun 2009, DJA bekerja sama dengan Biro SDM Sekretariat
Jenderal Departemen Keuangan telah melakukan assessment terhadap 215 pegawai
DJA yang terdiri dari 6 orang pejabat eselon II, 34 orang pejabat eselon III, 120
orang pejabat eselon IV dan 55 orang pelaksana DJA.
Tahun 2010, apa-apa yang telah dicapai DJA dalam pelaksanaan Program
Peningkatan Manajemen SDM dalam kerangka Reformasi Birokrasi terus
disempurnakan. DJA mulai menyusun konsep grand design pengembang pegawai,
jumlah pegawai yang diikutsertakan dalam diklat berbasis kompetensi dan
assessment center juga terus ditambah.
Selain Assessment Center, DJA juga telah menyusun kode etik yang
ditetapkan pada tanggal 28 September 2007 dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 01/PM.02/2007 tentang Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Anggaran
dengan nilai-nilai dasar transparansi, akuntabilitas, kemandirian, integritas,
profesionalisme, dan religiusitas. Untuk pola mutasi, DJA sejak tahun 2008
memanfaatkan hasil assessment center sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi
mempromosikan seorang pegawai dalam menduduki suatu jabatan tertentu.
Dibidang penyelenggaraan pendidikan dan latihan (diklat) berbasis
kompetensi, DJA bekerjasama dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
(BPPK) menyusun rencana diklat tahunan dan pada tahun 2009 telah menyusun
grand design pengembangan pegawai DJA yang terus menerus dilakukan kajian dan
penyempurnaan.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
104
Universitas Indonesia
Dibidang peningkatan disiplin pegawai, sama halnya dengan unit-unit eselon
I lainnya dilingkungan Departemen Keuangan, DJA tunduk dan mematuhi semua
ketentuan yang ditetapkan oleh pimpinan Departemen Keuangan. Demikian juga
halnya dengan pembangunan SIMPEG terintegrasi, DJA berkoordinasi dengan
Sekretariat Jenderal membangun sistem IT terintegrasi dibidang kepegawaian.
Secara matrik, maka output dari pelaksanaan program Peningkatan
Manajemen SDM dari tahun 2007 sampai dengan 2010 adalah sebagai berikut:
Tabel 4.8 : Perkembangan Output DJA dibidang Peningkatan Manajemen SDM
2007 2008 2009 2010 1) Membangun
Assessment Center DJA
2) Standar Kompetesi Jabatan DJA telah tersusun
3) Kode Etik DJA ditetapkan dengan PMK Nomor 01/PM.02/2007
4) Menyusun diklat berbasis kompetensi bekerjasama dengan BPPK
1) Melakukan Assessment terhadap 34 pejabat Eselon III
2) Mengirim 8 pegawai untuk mengikuti certified assessor training
3) Memanfaatkan hasil assessment center sebagai salah satu pertimbangan pola mutasi
4) Menyusun diklat berbasis kompetensi bekerjasama dengan BPPK
5) Membangun SIMPEG DJA bekerjasama dengan Sekretariat Jenderal
1) Menyusun Pakta Integritas Pegawai DJA
2) Menyempurnakan Standar Kompetensi DJA
1) Menyusun grand design pengembangan pegawai DJA
Sumber: Bagian Kepegawaian, DJA diolah penulis
Berdasarkan hasil wawancara kepada tiga narasumber di DJA, Ari Wahyuni,
Sekretaris DJA menilai pelaksanaan Program Peningkatan Manajemen SDM inilah
yang banyak menghadapi tantangan. Sekretaris DJA ini menerangkan bahwa dari
ketiga program utama pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi di DJA, Program
Peningkatan Manajemen SDM merupakan program yang relatif lebih lambat
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
105
Universitas Indonesia
perkembangannya jika dibandingkan dengan program yang lain. Kelambatan
perkembangan ini dikarenakan merubah mindset dan cultureset pegawai memang
tidak mudah dan butuh waktu.
Sekretaris DJA menyatakan bahwa salah satu kendala yang dihadapi DJA
dalam menjalankan Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di
bidang Peningkatan Manajemen SDM adalah masalah remunerasi. Di DJA, sebelum
memasuki era reformasi birokrasi, bagi pegawai yang bertugas di Direktorat
Anggaran I, Direktorat Anggaran II, Direktorat Anggaran III, dan Direktorat
Penyusunan APBN mendapatkan tunjangan kegiatan tambahan (TKT) selain
tunjangan khusus pembina keuangan negara (TKPKN) yang diterima oleh seluruh
pegawai Kementerian Keuangan. Setelah era reformasi birokrasi, TKT dan TKPKN
ini dilebur menjadi satu jenis tunjangan kinerja. Konsekuensi peleburan tunjangan ini
menimbulkan beberapa permasalahan karena dalam implementasi kebijakan
reformasi birokrasi Kementerian Keuangan selanjutnya, terjadi dualisme perlakuan
yang berbeda. Satu sisi terjadi peleburan TKPKN dengan TKT seperti di DJA, disisi
lain tidak dilakukan peleburan antara TKPKN dengan TKT seperti di DJP, bahkan
beberapa unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang semula tidak
mendapatkan TKT, berubah menjadi mendapatkan TKT seperti di DJBC, DJPB,
Bapeppam- LK dan DJPU.
Permasalahan yang timbul di DJA sebagai dampak dari peleburan TKT
dengan TKPKN menurut Sekretaris DJA adalah:
(1) Pada beberapa pegawai, peleburan tersebut mengakibatkan penurunan take
home pay mereka sehingga menjadi demotivasi.
(2) Dualisme kebijakan atas pemberian atau peleburan TKT berakibat pada
kecemburuan DJA terhadap unit eselon I yang lain yang semula tidak
mendapatkan TKT setelah era reformasi birokrasi malah diberikan TKT.
(3) Peleburan TKT dengan TKPKN di DJA menjadi satu tunjangan kinerja yang
didasarkan pada peringkat jabatan (grade) menghasilkan tingkatan grade yang
berbeda untuk jabatan tingkat eselon yang sama. Kondisi ini membuat pola
mutasi di DJA menjadi sulit dilaksanakan.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
106
Universitas Indonesia
Senada dengan Sekretaris DJA, Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana
Meriyam Megia Shahab juga menilai bahwa pelaksanaan Program Peningkatan
Manajemen SDM belum berhasil secara keseluruhan merubah mindset dan cultureset
pegawai. Yang paling mencolok misalnya masih dirasakannya keengganan pegawai
untuk mengembangkan kompetensi dirinya melalui keikutsertaannya dalam diklat,
training, ataupun workshop yang diselenggarakan oleh Sekretariat DJA. Kepala
Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJA menilai baru aspek kedisiplinan dan upaya
pemberantasan KKN saja yang menonjol sebagaimana pernyataannya ketika peneliti
menanyakan implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di
DJA yang paling kurang menonjol “Kalau SDM, SDM ini kan menurut saya sih,
nggak bisa cuma satu kali dibilang gitu ya... di...apa... diajarkan gitu. Itukan proses
yang harus terus menerus dilakukan gitu. Jadi kalau dibilang berhasil ya..ee berhasil
mungkin terbatas pada sekarang kita eee..dalam ini aja, disiplin jam kerja, oke. Gitu
ya...tapi kalau misalnya eee, kan reformasi birokrasi itu, apa..pengembangan SDM
itu nggak terbatas cuma orang patuh apa enggak, tapi bagaimana dia meningkatkan
kapasitasnya segala macem, nah itu yang di DJA kayaknya belum. Jadi seorang
pegawai itu harus supaya bisa...bisa dia eee...apa ya namanya itu, dia bisa bertahan
hidup diera reformasi birokrasi dia kan harus melakukan eee pengembangan dirinya
gitu kan ya,...nah itu yang saya pikir masih sangat kurang itu. Jadi tidak ada baik dari
organisasi maupun dari pegawai itu yang menyadari bahwa kalau dia tidak
mengembangkan capacitynya, dia akan mati di era reformasi birokrasi, karena
sebenarnya di era reformasi birokrasi, itu persaingan fair kan, kita mengharap
persaingan lebih fair. Sehingga orang enggak lagi melihat misalnya senioritas, itu
menjadi faktor yang dibawah gitu. Nah persaingan makin ketat, berarti
pengembangan dirinya harus terus menerus. Itu yang menurut saya masih kurang.
Tapi kalau kepatuhan, itu udah lumayan bagus lah.”
Triana Ambarsari selaku Kepala Bagian Kepegawaian merasa ada beberapa
agenda bidang Peningkatan Manajemen SDM yang sudah berhasil, dan ada pula
yang kurang berhasil. Hal ini disampaikan ketika peneliti menanyakan tentang
kendala yang dihadapi dalam implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
107
Universitas Indonesia
Kementerian Keuangan di DJA. “Yang pertama... sebetulnya banyak aturan-aturan
tentang peningkatkan manajemen SDM. Saya pribadi merasa ada yang berhasil dan
ada yang belum berhasil. Yang berhasil itu diantaranya, kalau sebelum reform itu,
tidak ada penilaian kompetensi, soft competency. Nah, sejak ada reform itu
dibentuk... ada assessment center. Semua pejabat eselon II, III, dan IV apabila mau
menduduki jabatan tertentu, mereka harus di assesst terlebih dahulu. Nah assesst itu
minimal 72%, kalau ndak itu, ndak bisa. Itu salah satu prasyaratnya. Itu sampai
sekarang masih berlaku. Dan itu cukup berhasil menurut saya.
Dalam...meskipun,..maaf, itu kan baru soft kompetensi...memang itu salah satu
syarat. Tidak satu-satunya alat. Tidak satu-satunya alat. Memang banyak penilaian,
diantaranya ada dari soft competency-nya, ada dari hard kompetensinya, penilaian
pimpinan sehari-hari soal perilaku dan lain-lain. Itu dari kompetensi, kemudian,
tentang pola mutasi. Pola mutasi sama. Tapi dalam pelaksanaannya, belum. Karena
akan kesulitan. Tidak hanya di DJA saja. Karena di unit-unit eselon I yang lain, juga
kesulitan. Apalagi dengan adanya sistem grading sekarang ini. Tiap jabatan, itu ada
gradingnya masing-masing. Nah, dampaknya apabila seseorang yang sudah,
sebelumnya duduk digrading yang tertinggi, kemudian dipindah, dimana dipindah
unit yang dituju itu gradingnya lebih rendah, seolah-olah itu satu hukuman. Dan itu
menghambat, menghambat mutasi. Nah itu akhirnya,...ndak bisa... itu merupakan
kendala juga.”
Selain ketiga program diatas, yaitu Penataan Organisasi, Perbaikan Proses
Bisnis, dan Peningkatan Manajemen SDM, hiruk pikuk pelaksanaan Kebijakan
Reformasi Birokrasi di DJA menjadi semakin naik manakala di pertengahan tahun
2007 pimpinan Departemen Keuangan mengambil kebijakan tentang pengelolaan
kinerja atau manajemen kinerja dengan memanfaatkan BSC yang oleh penggagasnya
yaitu Kaplan dan Norton didesign untuk mengukur kinerja sektor private. Para
pejabat eselon I pada waktu itu dikumpulkan oleh Menteri Keuangan (Sri Mulyani)
untuk mendapat pembekalan ilmu BSC dari konsultan, untuk selanjutnya mereka
ditugaskan merumuskan peta strategi (strategy map) Departemen Keuangan atau
yang biasa disebut Depkeu-wide Strategy Map.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
108
Universitas Indonesia
Setelah Depkeu-wide strategy map tersusun, kembali Bagian Organisasi dan
Tata Laksana DJA ditugaskan untuk melakukan penjabaran (cascading) hingga level
eselon II (strategy map Depkeu-one dan Depkeu-two). Hal ini tidaklah mudah.
Selain masalah tool BSC yang merupakan ilmu baru dan harus dimodifikasi agar
sesuai dengan karakteristik sektor publik, sebelumnya kinerja pegawai tidak pernah
diukur dengan serius sehingga menimbulkan resistensi dan kegelisahan tersendiri.
Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi di tahun 2007 bisa dikatakan
sebagai masa terberat dan tersulit terutama bagi TRBU sebagai agent of change,
karena tidak saja komitmen pimpinan yang belum jelas, tetapi sebagaimana di
sampaikan oleh Ari Wahyuni bahwa sejak dideklarasikannya Kebijakan Reformasi
Birokrasi, seluruh sistem ditinjau kembali dan diperbaiki termasuk sistem
pengawasan dan sistem pencegahan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Padahal pada tahun 2007, tunjangan kinerja (remunerasi) belum diberlakukan di
Kementerian Keuangan.
4.3 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJPK Tahun 2007 s.d Tahun 2010
DJPK sebagai salah satu unit eselon I dilingkungan Kementerian Keuangan,
melaksanakan seluruh Kebijakan Reformasi Birokrasi berikut penambahan-
penambahannya sebagai sebuah proses penyempurnaan pelaksanaan reformasi
birokrasi yang telah ditetapkan oleh TRBP. Sama halnya dengan DJA dan unit
eselon I lainnya dilingkungan Kementerian Keuangan, DJPK juga membentuk
TRBU DJPK dengan struktur keanggotaan yang sama dengan DJA dan unit eselon I
lainnya. Sekretariat DJPK menjadi motor penggerak pelaksanaan Reformasi
Birokrasi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ahmad Yani, Kepala Bagian Organisasi
dan Tata Laksana DJPK selaku Koordinator Pelaksanaan Kebijakan Reformasi
Birokrasi Kementerian Keuangan bidang Penataan Organisasi dan bidang Perbaikan
Proses Binis menyatakan bahwa pada awal pelaksanaan Kebijakan Reformasi
Birokrasi di DJPK selain komitmen pimpinan yang belum cukup kuat, juga terasa
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
109
Universitas Indonesia
ada keengganan dari pegawai untuk melakukan perubahan. Pegawai sudah masuk
dalam comfort zone sehingga perubahan disikapi sebagai “mau apa lagi ni”. Namun
demikian, sama halnya dengan DJA, mengingat pegawai tidak punya pilihan untuk
menolak, maka mau tidak mau Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan dijalankan di DJPK.
Sementara itu, Heru Subiyantoro, Sekretaris DJPK yang ditunjuk sebagai
Ketua Pelaksana Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJPK
berpendapat bahwa yang terpenting dalam pelaksanaan Kebijakan Reformasi
Birokrasi Kementerian Keuangan di DJPK adalah perlunya keteladanan.
Keteladanan di semua level pimpinan, mulai dari hal yang sederhana, ini yang akan
efektif mendorong terjadinya perubahan. Hal ini diungkapkan Sekretaris DJPK
dalam wawancara dengan peneliti sebagai berikut “Dari hal yang kecil-kecil saya
katakan. Kayak katanya AA Gym, mulai dari yang kecil, laksanakan sekarang, dan
diri kita sendiri. Udah mulai itu, semua akan berubah. Gitu. Aku sekarang ya... aku
kebetulan, saya itu jam 7 tet sudah sampai dikantor walaupun aku ndak punya
absen, tapi saya tetep dateng jam 7 lebih 10 sudah ada dikantor. Orang kan.. orang
kan juga sungkan kalau aku dateng. Kalau aku dateng jam 10, ooo Ses saya dateng
jam 10. Ini nggak, walaupun saya nggak punya absen, saya tetep dateng jam 7.10”.
Hal ini juga disampaikan oleh Defredi Kepala Bagian Kepegawaian DJPK, bahwa
apabila pimpinan punya komitmen kuat akan implementasi reformasi birokrasi,
maka bawahnya akan mengikuti saja.
4.3.1 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJPK Tahun 2007 s.d Tahun 2010 Bidang Penataan Organisasi
Implementasi agenda penataan organisasi dalam rangka reformasi birokrasi
di DJPK merupakan kegiatan strategis yang dilakukan melalui penajaman dan/atau
pengalihan tugas dan fungsi, penggabungan, pemisahan, pembentukan unit baru, dan
modernisasi untuk menghasilkan organisasi yang efisien, efektif, dan proporsional.
Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJPK menyatakan bahwa implementasi
Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan bidang Penataan Organisasi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
110
Universitas Indonesia
di DJPK belum berhasil dengan indikasi bahwa struktur organisasi DJPK relatif tidak
mengalami perubahan. Meskipun demikian, Kepala Bagian Organisasi dan Tata
Laksana DJPK menjelaskan bahwa upaya-upaya untuk melakukan perbaikan struktur
organisasi telah dilakukan, hanya saja terkendala masalah regulasi dimana proses
penetapan struktur organisasi baru harus melalui Sekretariat Jenderal Kementerian
Keuangan dan kemudian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, sebagaimana pernyataannya “Saya pikir gini, saya lihat
kendalanya itu dari aturan hukumnya yang apa terlambat ... mengantisipasi
perubahan itu. Jadi kita kan ada proses untuk itu gitu, terlepas dari faktor ya, jadi
sebenarnya kita harus memiliki pijakan hukum yang kuat menurut saya. Itu, kalau
dari sisi organisasi”.
Sekretaris DJPK menyatakan bahwa perlu dilakukan penataan organisasi
karena secara umum fungsinya sudah mengalami perubahan. Ketua Pelaksana
Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJPK tersebut
mengatakan “Nah.. organisasinya...organisasinya harus ditata. Nah..Organisasinya
harus ditata.. fungsi secara umum sudah berubah..fungsinya sudah berubah.. jadi
kalau...kan ada adigium begini..yang bisa survive...itu bukan mereka yang kuat...
bukan mereka yang pandai, tapi mereka yang bisa melakukan perubahan. Harus
berubah.”
Kepala Bagian Kepegawaian, Defredi menolak untuk memberikan komentar
masalah penataan organisasi karena merasa bukan domainnya.
Hal-hal yang menjadi penekanan dalam penataan organisasi di DJPK adalah :
a. Perubahan bidang tugas dan fungsi DJPK dari perimbangan keuangan menjadi
hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
b. Penyesuaian tugas dan fungsi Sekretariat Ditjen dengan tuntutan/kebijakan
pimpinan Departemen Keuangan terkait dengan pelaksanaan manajemen risiko,
manajemen kinerja berbasis balance scorecard, dan pembentukan Unit Kepatuhan
Internal, serta mekanisme whisle blower.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
111
Universitas Indonesia
c. Penajaman tugas dan fungsi direktorat dengan pengelompokkan unit-unit
berdasarkan fungsi/gabungan fungsi sebagai regulator, alokator, evaluator, dan
supporting.
d. Pembentukan Tenaga Pengkaji Perimbangan Keuangan.
e. Pembentukan Kantor Wilayah DJPK.
Adapun progress dari pelaksanaan agenda penataan organisasi di DJPK dari
tahun 2007 s.d 2010 adalah sebagai berikut:
Tabel 4.9 : Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Penataan Organisasi
2007 2008 2009 2010 Pembentukan DJPK yang meru pakan pemisahan dari DJAPK
Penambahan beberapa unit eselon III dan IV, yaitu antara lain : • Penambahan
Subdit Transfer I dan II
• Penambahan Subbag Perenca naan
Penyampaian surat Dirjen Nomor S-528/PK/2009 kepada Setjen tentang penun daan usulan penataan organisasi
Penyampaian Surat Usulan Penataan Organisasi DJPK kepada Sekretaris Jenderal Kemen terian Keuangan melalui nota dinas Sekretaris Ditjen PK Nomor : ND-1827/ PK.1/ 2010
Sumber: Bagian Organisasi dan Tata Laksana- Sekretariat DJPK
4.3.2 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJPK Tahun 2007 s.d Tahun 2010 Bidang Perbaikan Proses Bisnis
Pelaksanaan agenda perbaikan proses bisnis dalam rangka reformasi birokrasi
di DJPK sama halnya dengan unit eselon I lainnya di lingkungan Kementerian
Keuangan, ditempuh melalui tiga program yaitu Analisis dan Evaluasi Jabatan,
Analisis Beban Kerja, dan penyusunan SOP. DJPK membentuk tim-tim teknis
sesuai output yang dihasilkan dari implementasi kebijakan dibidang ini. Tim teknis
tersebut adalah (1) Tim Teknis Penyusunan SOP, (2) Tim Teknis Penyusunan Uraian
Jabatan, dan (3) Tim Teknis Penyusunan ABK. Keanggotaan masing-masing tim
berasal dari perwakilan pegawai di masing-masing eselon II di lingkungan DJPK dan
dikomandani oleh Kepala Subbagian Tata Laksana DJPK untuk Tim Teknis
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
112
Universitas Indonesia
Penyusunan SOP, Kepala Subbagian Penataan Organisasi untuk Tim Teknis
Penyusunan Uraian Jabatan dan Tim Teknis Penyusunan ABK.
Kendala implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan bidang Perbaikan Proses Bisnis di DJPK sebagaimana disampaikan oleh
para koordinator tim teknis adalah keengganan pegawai dalam tim tersebut untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan padanya. Ada kesan para anggota tim
bekerja asal jadi karena menganggap tugas-tugas yang harus mereka laksanakan
sebagai anggota tim teknis merupakan tambahan beban tugas yang baru yang tidak
sesuai dengan tugas dan fungsi mereka. Indikator dari fenomena ini menurut salah
satu koordinator tim teknis adalah kualitas output yang dihasilkan yang harus
diperbaiki lagi oleh Sekretariat DJPK.
Progress masing-masing ketiga program tersebut adalah sebagai berikut:
a. Analisis dan Evaluasi Jabatan
Strategi implementasi program Analisis dan Evaluasi Jabatan yang dilakukan
DJPK hampir sama dengan yang dilakukan DJA. Bagian Organisasi dan Tata
Laksana mengikuti workshop tentang materi tersebut yang diselenggarakan oleh
Sekjen, untuk selanjutnya melakukan sosialisasi pada anggota TRBU DJPK yang in
charge untuk melakukan analisis dan evaluasi jabatan.
Adapun progres pelaksanaan program tersebut dari tahun 2007 s.d 2010
adalah sebagai berikut:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
113
Universitas Indonesia
Tabel 4.10 : Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Perbaikan Proses Bisnis program Analisis dan Evaluasi Jabatan
2007 2008 2009 2010
• Telah disusun 555 uraian jabatan
• Penetapan pejabat dan pelaksana dalam peringkat jabatan
• Penetapan pedoman evaluasi peringkat jabatan pelaksana
Telah dilakukan evaluasi peringkat jabatan eselon I
• Review jabatan pelaksana
• Penetapan kembali peringkat jabatan eselon I
• Penyusunan konsep pedoman penilaian kinerja individu
Sumber: Bagian Organisasi dan Tata Laksana- Sekretariat DJPK
b. Analisis Beban Kerja
Analisis beban kerja adalah suatu teknik manajemen yang dilakukan secara
sistematis untuk memperoleh informasi mengenai jumlah kebutuhan pegawai,
tingkat efektivitas dan efisiensi kerja organisasi berdasarkan volume kerja. Tujuan
pelaksanaan analisis beban kerja adalah untuk mendapatkan informasi jumlah
kebutuhan pegawai, tingkat efektivitas unit yang dilaksanakan secara sitematis,
sebagai bahan atau feedback dalam melakukan penataan organisasi dan penataan
pegawai.
Progress analisis beban kerja yang telah dilakukan DJPK pada kurun waktu
2007 s.d 2010 adalah sebagai berikut:
Tabel 4.11 : Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Perbaikan Proses Bisnis Program Analisis Beban Kerja
2007 2008 2009 2010
• Inventarisasi produk
• Uji coba ABK berdasarkan PMK No. 140/KMK.01/ 2007
Evaluasi Analisis Beban Kerja
Evaluasi Analisis Beban Kerja
Penyusunan konsep Standar Norma Waktu sebagai dasar penyusunan Analisis Beban Kerja DJPK
Sumber: Bagian Organisasi dan Tata Laksana- Sekretariat DJPK
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
114
Universitas Indonesia
c. Penyusunan Standar Prosedur Operasi
Standar prosedur operasi (SOP) merupakan pedoman atau petunjuk
prosedural bagi seluruh individu aparatur yang ada di suatu unit organisasi dalam
proses pelaksanaan tugas dan pemberian pelayanan yang ditetapkan secara tertulis
mengenai apa yang harus dilakukan, kapan, dimana, berapa lama, dan oleh siapa.
Tujuan penyusunan SOP adalah untuk penyempurnaan proses kerja dalam rangka
meningkatkan efektifitas dan efisiensi melalui penyederhanaan, transparansi, janji
layanan dan orientasi pada pemangku kepentingan. DJPK pada tahun 2007 telah
menyusun sebanyak 365 SOP yang ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan Nomor KEP-38/PK/2007 tanggal 12 September 2007.
Dengan adanya reorganisasi di lingkungan DJPK yang tertuang dalam terbitnya
PMK Nomor 100/PMK.01/2008, maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap
SOP yang telah disusun tersebut diatas. Jumlah SOP yang dihasilkan setelah
dievaluasi dan disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi organisasi baru adalah
sebanyak 400 SOP yang ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan Nomor KEP-15/PK/2009 tanggal 8 Mei 2009.
Dari 400 buah SOP tersebut, pada tahun 2010 ditetapkan 6 buah SOP
unggulan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 187/KMK.01/2010
tanggal 3 Mei 2010. Selama tahun 2010 telah dilakukan revisi dan penambahan SOP
(2 revisi SOP dan 6 SOP tambahan). Kemudian juga telah dilakukan identifikasi
terhadap SOP DJPK yang memungkinkan untuk menjadi SOP Link, yang
disampaikan kepada Biro Organta, Setjen Kemenkeu melalui surat No. S-
1681/PK.1/2010 tanggal 4 Oktober 2010.
Progress penyusunan SOP DJPK pada kurun waktu 2007 s.d 2010 adalah
sebagaimana dalam tabel dibawah ini.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
115
Universitas Indonesia
Tabel 4.12 : Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Perbaikan Proses Bisnis Program SOP
2007 2008 2009 2010
Telah disusun sebanyak 365 SOP, dengan Ke putusan Dirjen PK No. KEP-38/ PK/2007 tanggal 12 Sep 2007
Evaluasi/ penyem purnaan SOP de ngan adanya reor ganisasi di ling-kungan DJPK yang tertuang di PMK No. 100/ PMK.01 /2008.
Telah disusun se banyak 400 SOP, dengan Keputusan Dirjen PK No. KEP-15/ PK/2009 tanggal 8 Mei 2009 (yang telah dise suaikan dengan PMK No. 100/ PMK.01/2008)
• Telah ditetapkan 6 SOP Layanan Unggulan, dengan Keputusan Menteri Keu No. 187/ KMK.01/2010 tanggal 3 Mei 2010
• Revisi 2 SOP dan Penambahan 6 SOP.
• Identifikasi SOP Link DJPK
Sumber: Bagian Organisasi dan Tata Laksana- Sekretariat DJPK
Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana,
Ahmad Yani, diperoleh informasi bahwa menurut beliau, dari tiga program yang
dilaksanakan DJPK dalam rangka implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Departemen Keuangan, maka program Perbaikan Proses Bisnis dinilai yang paling
berhasil.
4.3.3 Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJPK Tahun 2007 s.d Tahun 2010 Bidang Peningkatan Manajemen Sumber Daya Manusia
Pelaksanaan agenda peningkatan manajemen SDM di DJPK dalam rangka
reformasi birokrasi mengikuti semua program yang ditetapkan secara terpusat di
Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Khusus untuk program peningkatan
disiplin pegawai, semua unit eselon I dilingkungan Kementerian Keuangan tinggal
menerapkan regulasi yang telah ditetapkan Menteri Keuangan. Artinya, tidak
diperlukan strategi untuk menjalankan kebijakan tersebut, dan hasil capaian semua
unit eselon I dilingkungan Kementerian Keuangan relatif sama. Program
peningkatan disiplin pegawai sebagai salah satu bagian dari agenda peningkatan
manajamen SDM yang dimaksud adalah penggunaan absensi secara elektronik
(handkey) dan regulasi mengenai pemotongan terhadap tunjangan khusus bagi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
116
Universitas Indonesia
pegawai yang terlambat masuk kerja, pulang kerja sebelum waktunya, dan tidak
masuk kerja.
Selain program peningkatan disiplin pegawai, program lain yang merupakan
bagian dari agenda peningkatan manajemen SDM adalah penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, pembangunan assessment center,
penyempurnaan pola mutasi, dan pengembangan sistem informasi manajemen
kepegawaian. Berikut adalah perkembangan hasil capaian DJPK pada masing-
masing program dari tahun 2007 s.d 2010.
a. Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi merupakan
tindak lanjut dari Assessment Center. Semua pemangku jabatan di setiap level
jabatan diwajibkan mengikuti assessment center, sehingga dapat diketahui
kompetensi apa yang masih kurang dan harus ditingkatkan oleh pemangku jabatan
tersebut. Selanjutnya, untuk meningkatkan kompetensi-kompetensi yang masih
kurang tersebut, diselenggarakan pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian,
pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi merupakan upaya untuk menutup
kesenjangan (gap) antara level kompetensi yang dimiliki dan level kompetensi yang
dibutuhkan dalam jabatan.
Hasil capaian DJPK pada implementasi program Penyelenggaraan
Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi dari tahun 2007 s.d 2010 adalah
sebagai berikut:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
117
Universitas Indonesia
Tabel 4.13: Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Peningkatan Manajemen SDM, Program Diklat Berbasis Kompetensi
2007 2008 2009 2010
- - Pelaksanaan Diklat Berbasis Kompetensi untuk seluruh pejabat eselon III
Pelaksanaan Diklat Berbasis Kompetensi untuk 21 pejabat IV dan 4 pejabat eselon III
Sumber: Bagian Kepegawaian - Sekretariat DJPK
b. Pembangunan Assessment Center
Assessment center adalah suatu proses sistematik untuk menilai kompetensi
perilaku individu yang dipersyaratkan bagi keberhasilan dalam pekerjaan, dengan
menggunakan beragam metode dan tehnik evaluasi, dilaksanakan oleh beberapa
assessor (penilai), serta diterapkan kepada lebih dari 1 (satu) orang assesse (yang
dinilai). Tujuan dilaksanakannya assessment center adalah untuk mengetahui profil
kompetensi pejabat atau pegawai melalui seperangkat metode yang terstandardisasi
dan selanjutnya digunakan sebagai salah satu tools pada perencanaan karir, mutasi
jabatan, dan pengembangan pegawai berbasis kompetensi. Hasil assessment center
dijadikan salah satu dasar pertimbangan pimpinan untuk melakukan promosi dan
mutasi pegawai.
Adapun hasil yang dicapai DJPK dalam kurun waktu 2007 s.d 2010 pada
program ini adalah sebagai berikut:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
118
Universitas Indonesia
Tabel 4.14: Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Peningkatan Manajemen SDM, Program Assessment Center
2007 2008 2009 2010
• Telah tersusun Kamus Kompetensi
• Telah tersusun Standar Kompe tensi jabatan Eselon II dan III
• Telah dilaksa nakan Assess ment Center untuk Pejabat eselon II dan III
Telah tersusun profil pejabat eselon II dan III
Pelaksanaan Assess ment Center untuk Pejabat eselon III, IV dan Pelaksana
Pelaksanaan Assess ment Center untuk Pejabat eselon III, IV dan Pelaksana
Sumber: Bagian Kepegawaian - Sekretariat DJPK
c. Penyempurnaan Pola Mutasi
Penyempurnaan pola mutasi adalah upaya menyempurnakan sistem
pemindahan pegawai dalam jabatan karier yang dilakukan secara terencana dengan
memperhatikan persyaratan sesuai peraturan perundang-undangn dan kebutuhan
organisasi. Pola mutasi ini meliputi promosi, rotasi, maupun demosi. Kegiatan
penyempurnaan pola mutasi perlu dilakukan dengan tujuan untuk menjamin
objektivitas, transparansi, perencanaan karir dan meningkatkan motivasi kerja. Di
DJPK, penyempurnaan pola mutasi selesai dilaksanakan dengan diterbitkannya
Peraturan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan No. PER-13/PK/2010 tanggal
13 Maret 2010.
Adapun progres hingga terbitnya peraturan Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan tersebut adalah sebagai berikut:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
119
Universitas Indonesia
Tabel 4.15: Perkembangan Reformasi Birokrasi DJPK di bidang Peningkatan Manajemen SDM, Program Pola Mutasi
2007 2008 2009 2010
Penyusunan konsep pedoman pola mutasi jabatan karier
Penyempurnaan konsep pedoman pola mutasi jabatan karier
Penetapan pedoman pola mutasi jabatan karier tingkat kementerian
Penetapan pedoman pola mutasi jabatan karier tingkat DJPK
Sumber: Bagian Kepegawaian - Sekretariat DJPK d. Pembangunan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian
Pembangunan sistem informasi manajemen kepegawaian adalah suatu
kegiatan untuk menghasilkan aplikasi berbasis transaksi yang memungkinkan data
pegawai menjadi lebih terintegrasi antar unit eselon I di lingkungan Departemen
Keuangan. Pembangunan suatu sistem informasi manajemen yang terintegrasi pada
level Departemen ini penting dilakukan dalam upaya mendukung manajemen yang
menginginkan terjadi pola mutasi tidak saja internal dilingkungan eselon I yang
bersangkutan, namun juga mutasi lintas eselon I.
DJPK telah melakukan koordinasi dan evaluasi untuk penyempurnaan dan
pengembangan SIMPEG DJPK dengan melibatkan Biro Sumber Saya Manusia.
Aplikasi (modul) yang dikembangkan adalah : aplikasi pengelolaan cuti pegawai,
aplikasi administrasi kenaikan pangkat, aplikasi kenaikan gaji berkala, aplikasi
assessment center, dan aplikasi penilaian grading pelaksana.
Berdasarkan hasil wawancara, Kepala Bagian Kepegawaian DJPK merasa
bahwa DJPK telah mengikuti semua kegiatan yang dicanangkan oleh Sekjen
Kementerian Keuangan dalam rangka peningkatan Manajemen SDM. Defredi
mengatakan “Dari sisi manajemen SDM ya kalau menurut saya ya, untuk bisa
melaksanakan reformasi birokrasi itu, memang dibutuhkan SDM-SDM yang
kompeten dalam melaksanakan tugasnya, terutama yang menyangkut kalau... ada
dua ya, .. hard competency dan soft competency. Ketrampilannya ya
ditingkatkan..kalau soft competency itu berhubungan dengan perilakunya kan... nah
itu...memang..eee,... itu sangat di ini kan gitu ya,. Artinya kita melalui manajemen
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
120
Universitas Indonesia
SDM itu ya bagaimana, hard competency maupun soft competency itu ya ... terus
ditingkatkan gitu.”
Menurut Ahmad Yani yang merupakan pejabat Kepala Bagian Organisasi
dan Tata Laksana menyatakan bahwa pelaksanaan program Peningkatan Manajemen
SDM merupakan titik lemah dari implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan di DJPK. Indikasi dari statement tersebut adalah pola mutasi
dan diklat yang belum bersinergi, dan banyaknya pegawai yang mulai frustasi karena
“mentok” jabatannya sebagai akibat sistem mutasi yang tidak jelas. Ahmad Yani
mengatakan " Ya... pola mutasi, pola karir, kita punya pak. Tapi menurut saya itu
implementasi yang belum...belum diselenggarakan. Ini mungkin juga karena kita
masih terlalu apa... teringat dengan gaya-gaya lama. Kenapa gaya lama itu,
contohnya wah dulu itu ada pimpinan misalnya pak, takut dia kalau anak buahnya
keluar, dan takut orang masuk gitu. Padahal ini kan menentukan keberhasilannya.
Tour of duty dan sebagainya, itu. Orang kan bosan juga. Orang perlu dilatih ditempat
yang baru. Lingkungan yang baru. Tapi enggak ber...mohon maaf ya, di DJPK
enggak jalan itu. Saya katakan. Boleh anda catet itu. Enggak jalan selama ini. Nah
sekarang mungkin baru mau mulai. Beberapa pimpinan selama ini...ya, semacem
kerajaan-kerajaan disana. Semacem kalau direktorat itu, ya orang-orang itu aja ndak
pernah mutasi. Saya Alhamdulillah saya dimanapun mau, saya bilang, saya enggak
perduli. Takut orang-orang tu. Jadi semacem ada ke... apa.. keengganan Jadi kayak
pola karir, pola mutasi terutama, kalau pola karir memang kan kita ni organisasinya
sudah sekarang sudah berbentuk ini... apa wajik... apa tuh, (peneliti: piramid) gendut
di tengah...bukan piramida pak. Dibawahnya kecil juga, ditengah-tengahnya gendut.
Jadi susah tuh. Kasihan juga, disini frustasi orang-orang. Mohon maaf, banyak orang
pada frustasi disini. Kayak kita misalnya, golongan-golongan sudah tinggi ya, IIId
masih...IIId, IVa belum naik eselon III. Yang IIIc IIIc, IIId bahkan, belum naik ke
Kasie. Padahal mereka bukan SDM yang cemen lo. dari luar negeri sekolahnya
segala macem tu. Yang menurut saya tuh... tapi karena tempatnya ndak ada. Contoh
kemarin tuh misalnya, ada dua kosong di kita Kepala Seksi pak, 90 orang lebih yang
bisa yang eligible untuk itu. Kan susah milihnya. Satu eselon III ya, tapi ada sekitar
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
121
Universitas Indonesia
40 orang yang.. eligible untuk itu. Kan susah. Karena kita organisasi kecil ya. Itu
yang mungkin membedakan dengan tempat-tempat lain ya. Perbend misalnya. Kita
tuh cuman punya empat eselon II, masing-masing kan ada batasannya. Jadi disini
juga pegawainya udah bertumpuk-tumpuk nih, banyak gendut ditengah. Dibawah sih
sedikit juga, yang diatasnya apalagi tuh. Jadi berat.”
Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJPK juga menyampaikan
bahwa sebagai salah satu SDM di DJPK merasa tidak diberdayakan oleh organisasi.
“Saya kan bagian dari SDM disini pak. Saya merasa tidak... tidak diberdayakan satu
ya, tidak dikembangkan. Saya sebagai manusia pegawai DJPK saya lihatnya tidak
ada apa... program yang spesifik yang membuat orang itu menjadi lebih maju.
Contoh, misalnya, diklat-diklat disini hanya siapa yang mau, saya mau,... kalau
enggak mau ya udah gitu lo. Harusnya menurut saya di plan dengan baik dong..gitu.
kemudian kinerja SDM, baru sebatas diukur dengan IKU aja. Kompetensinya belum
jalan. Jadi kalau mengukur apa....ee..matrik yang kita buat...apa namanya, kuadran-
kuadran untuk melihat siapa yang akan... itu belum berhasil. Jadi sebatas wacana
menurut saya ya. Ya, belum berjalan.”
Sementara Sekretaris DJPK, Heru Subiyantoro lebih menyoroti bahwa
memang permasalahan SDM adalah yang paling kompleks sehingga strategi yang
digunakan adalah memanfaatkan karakteristik masyarakat Indonesia yang bersifat
paternalistik. Disinilah diperlukan keteladanan pimpinan agar lebih mudah
menggerakkan pegawai dalam melakukan perubahan termasuk peningkatan
Manajemen SDM.
4.4 Perbandingan Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA dengan di DJPK Kurun Waktu Tahun 2007 s.d Tahun 2010
Perbandingan implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan di DJA dengan di DJPK pada subbab ini ditujukan untuk mengupas
perbandingan permasalahan yang dihadapi kedua instansi tersebut pada saat
melaksanakan kebijakan reformasi birokrasi. Perbandingan permasalahan
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
122
Universitas Indonesia
implementasi akan dilihat dari tiga program utama Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan yaitu Penataan Organsasi, Perbaikan Proses Bisnis, dan Peningkatan
Manajemen SDM.
Perbandingan permasalahan implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan di DJA dengan di DJPK adalah sebagaimana pada tabel 4..
berikut:
Tabel 4.16 Perbandingan Permasalahan Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA dan DJPK
1 Tidak ada grand design penataan organisasi
1 Tidak ada grand design penataan organisasi
2 Penataan organisasi bersifat incremental dan cenderung mengakomodir keinginan pimpinan
2 Keengganan SDM untuk berubah terutama terhadap gagasan pembentukan kantor wilayah
3 Penataan organisasi cenderung mengembangkan struktur organisasi
3 Penataan organisasi cenderung stagnan
4 Penataan organisasi tidak didasarkan pada Analisis Beban Kerja
4 Penataan organisasi tidak didasarkan pada Analisis Beban Kerja
5 Persepsi yang kurang tepat terhadap indikator keberhasilan implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan bidang Penataan Organisasi
5 Persepsi yang kurang tepat terhadap indikator keberhasilan implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan bidang Penataan Organisasi
1 Tenggat waktu penyelesaian output yang relatif pendek
1 Tenggat waktu penyelesaian output yang relatif pendek
2 Regulasi yang menjadi pedoman penyusunan output terlalu rigid
2 Regulasi yang menjadi pedoman penyusunan output terlalu rigid
3 Output yang dihasilkan berupa SOP, Uraian Jabatan, dan ABK belum dapat secara optimal dimanfaatkan oleh organisasi
3 Output yang dihasilkan berupa SOP, Uraian Jabatan, dan ABK belum dapat secara optimal dimanfaatkan oleh organisasi
1 Belum terbangun semangat untuk meningkatkan kapasitas diri
1 Keterbatasan formasi jabatan yang tersedia
2 Grand design Pengembangan SDM belum dijalankan secara konsisten
2 Belum memiliki grand design pengembangan SDM
3 Penurunan take home pay pada sebagian pegawai
3 Pola pengembangan karir yang belum baik dan transparan
4 Mekanisme mutasi/promosi meskipun telah memanfaatkan assessment center, namun belum transparan
4 Keteladanan dari semua level kepemimpinan
kurang berhasil
Implementasi Reformasi Birokrasi secara keseluruhan
cukup berhasil cukup berhasil
Peningkatan Manajemen SDM
kurang berhasil
Perbaikan Proses Bisnis
kurang berhasil berhasil
KATEGORI CAPAIAN AGENDA
PERMASALAHAN
DJPKDJA
Penataan Organisasi berhasil kurang berhasil
DJA DJPK
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
123
Universitas Indonesia
4.5 Faktor-Faktor Lingkungan Internal Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA dan di DJPK Kurun Waktu Tahun 2007 s.d Tahun 2010
Informasi yang digali peneliti dari para narasumber dan informan baik di
DJA maupun di DJPK, terdapat faktor-faktor internal yang sama yang
mempengaruhi implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan
baik di DJA maupun di DJPK. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Komitmen Pimpinan
Indikator kelemahan komitmen pimpinan adalah:
(a) frekuensi sosialisasi, kampanye, dan ajakan-ajakan untuk melaksanakan
reformasi birokrasi masih rendah;
(b) miskin keteladanan (role model) sebagai contoh figur pegawai yang sudah
reformis: dan
(c) inkonsistensi penerapan kebijakan, contohnya penerapan kebijakan peningkatan
disiplin melalui kewajiban absen menggunakan handkey. Pimpinan (pejabat
eselon I dan II) tidak wajib melakukan absen dengan handkey, sedangkan
pegawai lainnya wajib.
2. Kualitas SDM
Kualitas SDM DJA maupun DJPK secara umum relatif baik apabila dilihat
dari komposisi pegawai berdasarkan latar belakang pendidikannya (lihat tabel 4.17)
Tabel 4. 17 Profil Komposisi SDM DJA dan DJPK berdasarkan Pendidikan
No. Golongan 2007 2008 2009 2010
DJA DJPK DJA DJPK DJA DJPK DJA DJPK 1 SD 2 - 2 2 - 2 - 2 SLTP 2 3 1 1 1 1 1 - 3 SLTA 124 34 134 30 134 30 92 29 4 DI - DIII 134 127 107 125 107 125 127 127 5 Sarjana (S-1)/DIV 289 177 284 187 284 197 334 200 6 Master (S-2) 149 65 179 76 179 81 185 85 7 Doktor (S-3) 5 2 5 3 5 3 4 3 Total 705 408 712 422 712 437 745 444
Sumber: Bagian Kepegawaian DJA dan DJPK, diolah peneliti
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
124
Universitas Indonesia
Namun karena sifat pekerjaan yang rutin dan dibatasi secara jelas dengan peraturan-
peraturan, maka out of the box thinking yang dibutuhkan dalam implementasi
Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan hampir tidak ada yang
muncul. SDM bekerja seperti robot, melakukan pekerjaan yang sama, dan berulang-
ulang. Dampaknya, beberapa informan baik di DJA maupun DJPK menyatakan
bahwa :
(a) Tingkat kejenuhan kerja yang dialami pegawai sangat tinggi karena mutasi dan
pengembangan karir tidak berjalan dengan baik;
(b) Pegawai enggan mengikuti pendidikan/training dalam rangka peningkatan
kapasitas pegawai karena merasa tidak akan ada gunanya baik untuk menunjang
pelaksanaan tugas maupun untuk pengembangan karir;
(c) Tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam rangka implementasi Kebijakan
Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan dianggap sebagai tambahan beban
tugas yang bukan menurut pegawai bukan merupakan tanggungjawabnya.
3. Sistem dan Prosedur
Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan
menghendaki terjadinya perubahan-perubahan. Baik di DJA maupun di DJPK,
perubahan tersebut telah terjadi dengan derajat yang berbeda. Namun, berdasarkan
informasi dan pengamatan peneliti, perubahan yang telah dilakukan belum
menyentuh sistem secara keseluruhan. Sebagai contoh, di DJA dan di DJPK sama-
sama sedang berusaha membangun pusat layanan sebagai upaya mewujudkan one
stop services. Namun sistem yang menjadi perangkat pendukung untuk mewujudkan
one stop services tersebut belum dibangun. Yang ada hanya secara fisik tempat pusat
layanan ada baik di DJA maupun DJPK. Kesan yang ditangkap adalah upaya
pencitraan organisasi dan belum pada perubahan paradigma.
4. Regulasi sebagai Pedoman Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan disusun terlalu Rigid.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
125
Universitas Indonesia
Regulasi berupa pedoman penyusunan yang terlalu rigid ini dapat dirasakan
pada pedoman penyusunan SOP, Uraian Jabatan, dan ABK. Format yang harus
digunakan untuk penyusunan Uraian Jabatan misalnya, harus berisi terlalu banyak
informasi jabatan sehingga Uraian Jabatan yang dihasilkan menjadi sangat tebal dan
pegawai yang bertugas untuk menyusun Uraian Jabatan itu sendiri bingung
membedakan antar faktor jabatan.
Selain faktor internal yang sama-sama mempengaruhi implementasi
Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA dan di DJPK diatas,
terdapat faktor-faktor internal yang khas yaitu untuk DJA adalah:
1. Remunerasi
Sebelum Kebijakan Reformasi Birokrasi dijalankan di DJA, dari tujuh unit
eselon II yang ada di DJA waktu itu, terdapat empat unit eselon II yang selain
mendapatkan Tunjangan Khusus Pengelola Keuangan Negara (TKPKN) yang
diberikan kepada seluruh pegawai dilingkungan Departemen Keuangan, juga
mendapatkan Tunjangan Tambahan Kegiatan (TKT). Keempat unit eselon II
dilingkungan DJA tersebut adalah Direktorat Anggaran I, Direktorat Anggaran II,
Direktorat Anggaran III, dan Direktorat Penyusunan APBN. Pertimbangan pimpinan
memberikan TKT kepada keempat unit eselon II tersebut pada waktu itu adalah
adanya potensi korupsi yang relatif besar dari pelaksanaan tugas dan fungsi di unit-
unit tersebut.
Setelah DJA berkomitmen mengikuti pelaksanaan Kebijakan Reformasi
Birokrasi Kementerian Keuangan, maka TKPKN maupun TKT dilebur dalam sistem
remunerasi yang baru yaitu Tunjangan Kinerja (TK). Dua permasalahan muncul
pada saat itu yaitu :
(1) Peleburan TKPKN dan TKT kedalam TK pada level staff berakibat pada
terjadinya penurunan penghasilan (take home pay). Hal ini tentu saja menjadi
semacam demotivasi bagi mereka. Padahal Kebijakan Reformasi Birokrasi
menuntut mereka untuk melakukan perubahan secara menyeluruh dari proses
pemberian pelayanan kepada stakeholders.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
126
Universitas Indonesia
(2) Masalah berikutnya adalah manakala peringkat jabatan yang ditetapkan oleh
Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan untuk level struktural yang sama
memiliki grade yang berbeda beda di DJA. Hal ini berimplikasi kepada besaran
TK yang juga berbeda-beda untuk level struktural yang sama. Kendala muncul
karena salah satu program Peningkatan Manajemen SDM adalah
penyempurnaan pola mutasi yang dulunya terkotak-kotak hanya dilingkungan
eselon II itu sendiri, dibaurkan tidak saja antar eselon II, bahkan antar eselon I.
Dengan kondisi seperti itu, Sekretaris DJA berpendapat bahwa perbedaan
grading yang berimplikasi pada perbedaan TK untuk level struktural yang sama
berakibat pada sulitnya pola mutasi dijalankan. Ketika seorang pegawai yang
memiliki grade lebih tinggi disalah satu unit eselon II DJA dipindahkan ke unit
eselon II lainnya yang kebetulan gradenya lebih rendah, maka berkembang anggapan
bahwa pegawai yang bersangkutan di punish oleh organisasi. Padahal, tujuan dari
mutasi tersebut adalah melakukan pendewasaan kepada pegawai agar lebih
memahami seluruh tugas dan fungsi yang menjadi tanggungjawab DJA.
2. Sifat Pekerjaan
Mengingat DJA merupakan unit yang memiliki fungsi utama dibidang
perencanaan dan alokasi anggaran, maka pick season pekerjaan mengikuti siklus
penganggaran. Padahal pick season ini hampir terjadi disepanjang tahun. Manakala
Kebijakan Reformasi Birokrasi dengan program-programnya diterapkan, maka
pegawai DJA merasakan adanya tambahan pekerjaan yang luar biasa, yang
sebenarnya secara regulasi bukan merupakan tugas dan fungsi utama mereka.
Akibatnya, pegawai tetap lebih fokus dan mendahulukan penyelesaian pekerjaan
mereka sesuai tugas dan fungsi yang diamanatkan regulasi, dan kemudian
menomorduakan melaksanakan tugas reformasi birokrasi. Pendapat tersebut
disampaikan oleh Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJA.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
127
Universitas Indonesia
3. Kesempatan KKN
Kesempatan KKN yang dimaksud disini adalah peluang pegawai DJA untuk
melakukan KKN dengan stakeholders. Sekretaris DJA menggunakan istilah
“kemudahan berkomunikasi pegawai DJA dengan stakeholders-nya”. Dimasa lalu
pegawai sudah terbiasa hidup diera yang mudah “berkomunikasi dengan
stakeholder” dan itu berlangsung bertahun-tahun. Begitu DJA berkomitmen
melakukan Reformasi Birokrasi, maka seluruh kemudahan tersebut diperketat dan
diawasi, sehingga “komunikasi dengan stakeholder” menjadi sangat sulit. Namun
disisi lain, pegawai DJA terutama di level staff, tidak mendapatkan kompensasi
berupa remunerasi yang memadai, malah beberapa level staff mengalami penurunan.
Hal ini berakibat pada pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi yang tidak
sepenuh hati.
4. Ketidakjelasan Tujuan dan Target Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJA menilai bahwa
ketidakjelasan target dan tujuan dari pelaksanaan program-progam Kebijakan
Reformasi Birokrasi menjadi faktor internal yang juga memiliki pengaruh relatif
besar. Beliau berpendapat bahwa arah Reformasi Birokrasi yang dijalankan di DJA
tidak cukup jelas, sehingga pemenuhan implementasi program-program dalam
rangka reformasi birokrasi tersebut dilakukan seadanya.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
128
Universitas Indonesia
Tabel 4.18 Faktor Internal yang Berpengaruh Signifikan dalam Implementasi Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA
Narasumber Faktor internal Penjelasan
Ari Wahyuni
1 Komitmen pimpinan Karena baru tahap pembelajaran
2 Remunerasi Karena terjadi penurunan penghasilan pada sebagian pegawai
3 Kesempatan KKN Dulu relatif “mudah berkomunikasi dengan stakeholder”, sekarang relatif “sulit”
Meriyam M S
1 Komitmen pimpinan Ketidakjelasan komitmen pimpinan diindikasikan dengan jarangnya melakukan sosialisasi kepada pegawai
2 Sifat Pekerjaan
Sifat pekerjaan yang mengikuti siklus APBN menyebabkan munculnya budaya organisasi yang taat dan mementingkan penyelesain tugas pokok.
3 Ketidakjelasan target dan tujuan
Ketidakjelasan target dan tujuan dari masing-masing program reformasi birokrasi menyebabkan arah reformasi birokrasi juga tidak jelas
Triana A S 1 SDM Karena SDM menjadi subyek dan obyek perubahan
2 Sistem dan Prosedur Perubahan yang terjadi belum sepenuhnya terlembagakan dalam sistem dan prosedur yang baru
3 Organisasi Struktur organisasi yang ada belum mendukung perubahan.
Sumber: Hasil Wawancara, diolah Penulis
Di DJPK, faktor-faktor internal lain yang khas tidak ada, namun penjelasan
dari faktor-faktor internal yang juga terdapat di DJA yang berbeda. Seperti contoh,
masalah komitmen pimpinan. Di DJPK, perwujudan dari komitmen pimpinan yang
dibutuhkan adalah tidak sekedar sosialisasi dan himbauan, tetapi sampai dengan
keteladanan.
Untuk faktor internal kualitas SDM, penjelasan Kepala Bagian Tata Laksana
DJPK mengungkapkan bahwa pengembangan kompetensi SDM melalui pendidikan
dan pelatihan tidak dibarengi dengan career path. Seorang pelaksana misalnya,
ketika yang bersangkutan telah sukses menyelesaikan pendidikan S-2 nya diluar
negeri melalui jalur bea siswa, ketika kembali bekerja tetap menjadi pelaksana
ditempat kerja yang sama seperti saat yang bersangkutan belum mengikuti
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
129
Universitas Indonesia
pendidikan S-2 di luar negeri. Kondisi ini menyebabkan banyak pegawai yang stress
dan tidak lagi termotivasi untuk bekerja.
Kemudian untuk faktor internal sistem dan prosedur, Kepala Bagian Tata
Laksana DJPK menjelaskan bahwa sistem dan prosedur pengawasan dari
pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJPK
menjadi faktor yang sulit. Sifat tugas DJPK mengharuskan pegawai berkoordinasi
dengan Pemerintah Daerah. Sistem pengawasan yang efektif terhadap pegawai DJPK
yang sedang melaksanakan tugas koordinasi dengan Pemerintah Daerah belum
terbangun.
Apabila pendapat para narasumber tersebut disarikan, maka sebagai berikut:
Tabel 4.19 Peringkat Faktor Internal yang Berpengaruh Signifikan dalam Implementasi Reformasi Birokrasi Menurut Narasumber
Narasumber Faktor internal Penjelasan
Heru Subiyantoro
1 Komitmen pimpinan
tidak sekedar himbauan dan ajakan dari pimpinan kepada bawahan untuk melakukan reformasi birokrasi, tapi yang lebih efektif adalah dengan memberikan keteladanan kepada bawahan bagaimana seharusnya PNS bersikap, bertindak, dan berpikir di era reformasi birokrasi
2 Kualitas SDM SDM sebagai input dari sebuah proses reform harus dibuat prima
3 Sistem dan Prosedur
Karakteristik organisasi DJPK yang memiliki tugas sangat beragam dan asal pegawai DJPK yang berbeda-beda, menghasilkan kultur dan karakter yang majemuk yang harus didorong pada standardisasi kualitas pelayanan DJPK
Ahmad Yani
1 Komitmen pimpinan
Care pimpinan ditunjukkan dengan selalu mengajak, mengingatkan, mengawasi, dan memberikan arahan-arahan dalam pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi
2 Sistem dan Prosedur
Sifat pekerjaan yang mengikuti siklus APBN menyebabkan munculnya budaya organisasi yang taat dan mementingkan penyelesain tugas pokok.
3 Kualitas SDM SDM DJPK yang sebenarnya berkualitas berubah menjadi stress karena tidak ada kejelasan career path
Defredi Rozal 1 Komitmen pimpinan Ditunjukkan dari concern pimpinan terhadap reformasi birokrasi
Sumber: Hasil Wawancara, diolah Penulis
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
130 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kebijakan Reformasi Birokrasi yang ditetapkan secara sentralistik di
Kementerian Keuangan, dalam tataran implementasinya pada kurun waktu 2007
sampai dengan 2010 di DJA dan DJPK memiliki tingkat keberhasilan capaian yang
berbeda. Berdasarkan hasil penelitian terhadap implementasi Kebijakan Reformasi
Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA dan di DJPK dapat disimpulkan bahwa
terdapat permasalahan implementasi yang sama yang dihadapi kedua unit eselon I
tersebut dan terdapat pula permasalahan yang berbeda/khas
Permasalahan yang sama-sama dihadapi dalam implementasi Kebijakan
Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan oleh DJA dan DJPK adalah sebagai
berikut:
a. Pada Bidang Penataan Organisasi:
1) Belum ada grand design tentang penataan organisasi sebagai pedoman kearah
mana struktur organisasi yang ideal akan dituju.
2) Perubahan struktur organisasi yang dilakukan belum didasarkan pada kajian
ilmiah, yaitu belum menggunakan pendekatan analisa beban kerja.
3) Frekuensi terjadinya perubahan struktur organisasi dijadikan salah satu
indikator keberhasilan implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan di DJA maupun di DJPK.
b. Pada Bidang Perbaikan Proses Bisnis:
1) Regulasi berupa pedoman penyusunan SOP, Uraian Jabatan, dan ABK dibuat
terlalu detil sehingga mempersulit penyelesaian output tersebut.
2) Target waktu penyelesaian dokumen SOP, Uraian Jabatan, dan ABK terlalu
pendek (untuk tiga jenis output tersebut harus diselesaikan tiga bulan)
sehingga menjadi mengabaikan kualitas.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
131
Universitas Indonesia
3) Dokumen SOP, Uraian Jabatan, dan ABK belum dapat dimanfaatkan secara
optimal oleh organisasi karena kualitasnya belum memadai, namun
kesungguhan organisasi untuk melakukan perbaikan terhadap kualitas output
tersebut belum maksimal.
Permasalahan khas yang dihadapi oleh DJA adalah sebagai berikut:
a. Bidang Penataan Organisasi:
1) Perubahan struktur organisasi terjadi cenderung mengikuti keingingan
pimpinan
2) Perubahan struktur organisasi cenderung mengarah ke penambahan struktur
baru dengan alasan penajaman tugas dan fungsi.
b. Bidang Peningkatan Manajemen SDM:
1) Grand design pengembangan SDM belum dijalankan secara konsisten.
2) Sistem mutasi dan promosi belum berjalan transparan meskipun telah
memanfaatkan hasil assessment center.
3) Terjadi penurunan take home pay pada beberapa pegawai yang mengakibatkan
demotivasi pegawai tersebut.
4) Career path tidak transparan sehingga pegawai tidak termotivasi untuk
mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam rangka peningkatan
kapasitas diri.
Permasalahan khas yang dihadapi oleh DJPK adalah sebagai berikut:
a. Bidang Penataan Organisasi:
1) Muncul keengganaan SDM untuk melakukan perubahan struktur organisasi
karena yang tersosialisasikan kepada pegawai adalah akan adanya
pembentukan kantor vertikal di daerah-daerah.
2) Struktur organisasi DJPK cenderung tidak mengalami perubahan.
b. Bidang Peningkatan Manajemen SDM:
1) Keterbatasan formasi jabatan yang tersedia diikuti dengan pola mutasi yang
tidak transparan dan terkotak hanya dalam lingkungan DJPK saja membuat
banyak SDM frustasi.
2) Belum memiliki grand design pengembangan SDM.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
132
Universitas Indonesia
3) Miskin keteladanan dari pimpinan di semua level.
Faktor-faktor lingkungan internal yang mempengaruhi efektivitas
implementasi kebijakan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di DJA dan di
DJPK terdiri dari dua hal yaitu faktor-faktor lingkungan internal yang sama baik di
DJA maupun di DJPK, yaitu:
1) rendahnya komitmen pimpinan;
2) kualitas SDM dalam hal ini motivasi untuk melakukan perubahan rendah;
3) sistem dan prosedur yang ada belum mendukung perubahan, dan
4) pedoman kebijakan yang terlalu rigid sehingga membatasi inovasi dalam
implementasi.
Faktor - faktor yang khas adalah:
1. Di DJA :
a) masalah remunerasi, yaitu terjadinya penurunan take home pay pada beberapa
pegawai DJA.
b) masalah kesempatan KKN. Sebelum reformasi birokrasi, pegawai DJA
memiliki potensi yang relatif besar untuk melakukan KKN dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya. Dengan melaksanakan reformasi birokrasi, kesempatan
untuk KKN dipersempit namun belum diimbangi dengan peningkatan
kesejahteraan pegawai. Hal ini menyebabkan perubahan yang dilakukan
pegawai setengah hati.
c) Ketidakjelasan target dan tujuan implementasi agenda-agenda reformasi
birokrasi Kementerian Keuangan di DJA.
2. Di DJPK. Faktor internal yang khas di DJPK tidak ada, namun untuk faktor sifat
pekerjaan, DJPK memiliki penjelasan berbeda, yaitu pelaksanaan tugas yang
mengharuskan pegawai DJPK berkoordinasi ke daerah, menyebabkan potensi
KKN muncul dan sulit diawasi.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapat dari hasil pengamatan dan analisa yang
dilakukan, maka dapat disarankan sebagai berikut:
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
133
Universitas Indonesia
1. Perlu penguatan komitmen pimpinan baik di DJA maupun di DJPK yang
diwujudkan dengan melakukan kampanye secara terus menerus mengenai
pelaksanaan agenda reformasi birokrasi, target serta tujuan yang akan dicapai dan
keteladanan (role model).
2. Penguatan aspek pengawasan terhadap implementasi Kebijakan Reformasi
Birokrasi juga perlu dilakukan oleh kedua unit eselon I tersebut agar hasil yang
dicapai tidak sekedar memenuhi target waktu, namun juga pada aspek kualitas.
Penguatan aspek pengawasan ini dapat dilakukan dengan misalnya
menyelenggarakan meeting secara rutin antara pimpinan dan SDM yang
bertindak sebagai agent of change untuk mendengarkan langsung kendala
implementasi dilapangan sekaligus laporan capaian yang telah dihasilkan.
3. Khusus untuk DJA, perlu dilakukan penataan ulang terhadap aspek remunerasi,
karena terbukti penurunan take home pay sebagai dampak dari pelaksanaan
Kebijakan Reformasi Birokrasi telah menjadi demotivasi pegawai yang
mengalami penurunan penghasilan. Penataan ulang tersebut dapat dilakukan
dengan dua alternatif kebijakan, yaitu:
1) Memberikan tunjangan tambahan sebesar selisih penghasilan yang berkurang
kepada pegawai yang mengalami penurunan take home pay, atau
2) Mengintegrasikan pola mutasi dengan reward and punishment system,
sehinggaa skema mutasi perlu diharmoniskan dengan peta remunerasi yang
ada di DJA saat ini. Artinya, bagi pegawai yang berprestasi, mutasi dijadikan
salah satu reward yaitu dengan cara memindahkan pegawai yang
bersangkutan pada level yang sama namun dengan tingkat remunerasi yang
berbeda. Demikian juga sebaliknya, untuk pegawai yang berkinerja rendah,
maka dimutasikan pada level yang sama dengan tingkat remunerasi yang
turun (punishment).
4. Khusus di DJPK, perlu dilakukan sosialisasi yang lebih intensif kepada seluruh
pegawai mengenai tujuan dari implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi serta
perlu melakukan penyempurnaan sistem dan prosedur kerja agar budaya
organisasi khususnya budaya kerja berubah paradigmanya.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
134
DAFTAR REFERENSI
BUKU
Abidin, SZ. Kebijakan Publik. Jakarta : Yayasan Pancur Siwah, 2004.
Andersen, James, E. Public Policy Making. New York : Holt, Rinehart and Winston: 1984.
Agustinus, Leo, S.Sos, M.Si. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV. Alfabeta, 2006.
Arifin, Bustanul, dan Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia : 2001.
Alatas, S.H, Corruption and Destiny of Asia, Petaling Jaya: 1999.
Badjuri, H. Abubakar dan Tcguh Yuwono , Kebijakan Publik, Konsep dan Stratcgi, JIP FISIP Univcrsitas Diponcgoro, Semarang.: 2002.
Bowman, J.S. and West, J.P, American Public Service: Radical Reform and the Merit System, CRC Press, Florida: 1998.
Creswell, J.W. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. California: Sage Publicatons Inc, 1994.
Caiden, Gerald E. Administrative Reform Come Age. Berlin : Walter de Gryter : 1992.
Dye, Thomas.R. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall: 1995.
Dunn, William. Pengantar Analisa Kebijakan Publik. Trans. Ramelan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999.
Dunn, William. Pengantar Analisa Kebijakan Publik, edisi kedua, Trans. Ramelan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.
Direktorat Jenderal Anggaran. Profil Reformasi Birokrasi DJA 2009. Jakarta : Bagian Ortala, Sekretariat DJA : 2009.
Direktorat Jenderal Anggaran. Profil Reformasi Birokrasi DJA 2010. Jakarta : Bagian Ortala, Sekretariat DJA : 2010.
Eyestone, Robert. The Treads Of Public Policy. Indianapolis: Bobbs-Merrill: 1971.
Effendi, Soffian. Reformasi Aparatur Negara Guna Mendukung Demokrastisasi Politik dan Ekonomi Terbuka, Yogyakarta: Penerbit Gava Media – MAP UGM: 2009.
Farazmand, Ali, Administrative Reform in Developing Nations, Westport, Connecticut, London: 2002.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
135
Grindle, Merilee S., Politics and Policy Implementation in The Third World, Princnton University Press, New Jersey, 1980.
Goggin, Malcolm L et al., Implementation, Theory and Practice: Toward a Third Generation, Scott, Foresmann and Company, USA, 1990.
Hamilton-Hart, N, Anti-Corruption Strategies in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies: 2001.
Howlett, M and Ramesh, M. Studying Public Policy. Policy Cycles and Policy Subsystems. Second Edition. New York : Oxford University Press, 2003.
Hidayat, L. Misbah, Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden (Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2007.
Irawan, P. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007.
Islalmy, Muh. Irfan. Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Malang : Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya : 1998.
Jonker, Jan, Bartjan J.W. Pennink, dan Sari Wahyuni. Metodologi Penelitian, Panduan Untuk Master dan Ph.D di Bidang Manajemen. Jakarta : Salemba Empat : 2011.
Jones, C.O., Pengantar Kebijakan Publik (An Introduction to the Study of Public Policy), Radjawali Press, Jakarta: 1996.
Kartasasmita, Ginanjar. Pembangunan Menuju Bangsa yang Maju dan Mandiri, Pidato Ilmiah Penerimaan Gelar DR.HC dalam Ilmu Administrasi Pembangunan dari UGM, 15 April 1995.
Kartasasmita, P.S, Revitalisasi Konsep Publik Dalam Pemikiran Dan Praktek Administrasi Publik Di Indonesia - “Bringing The Public Back In”, Graha Ilmu Jakarta: 2006.
Kumorotomo, Wahyudi, Dr. dan Dr. Agus Pramusinto. Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional. Yogyakarta : Penerbit Gava Media : 2009.
Kumorotomo, Wahyudi, Dr. dan Dr. Ambar Widaningrum. Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta : Penerbit Gava Media: 2010.
Keban, Y.T , Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik (Konsep, Teori dan Isu), Gava Media, Yogyakarta: 2004.
Keban, Yeremias T., Pembangunan Birokrasi di Indonesia: Agenda Kenegaraan yang Terabaikan, Pidato Pengukuran Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007.
Korten, David C dan Syahrir. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1980.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
136
Kementerian Keuangan. Era Baru Reformasi Birokrasi, Kumpulan Naskah Pidato Dr. Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Republik Indonesia. Jakarta: Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan, Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan RI: 2009.
Kementerian Keuangan. Turning Words Into Action: Advancing Reform and The Economic Agenda, Collection Of Speeches To Commemorate Indonesia’s 62nd Finance Day Anniversary. Jakarta: The Fiscal Policy Office, Ministry of Finance of The Republic of Indonesia: 2008.
Mardiasmo, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta: 2002.
Mazmanian, Daniel A and Paul A. Sabatier. Implementation and Public Policy, Scott Foresman and Company, USA, 1983.
McLeod, R.H and MacIntrye, A.J (Eds), Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore: 2007.
Moekijat. Analisis Kebijaksanaan Publik. Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1995.
Majchrzak, Ann. Methods For Policy Research. California : Sage Publications, Inc. : 1984.
Nugroho, Riant, Dr. Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang, Model-model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia : 2006.
Nugroho D.R. Kebijakan Public: Formulasi, Implementasi. dan Evaluasi, PT Gramedia, Jakarta: 2004
----------------. Public Policy. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo – Kelompok Gramedia : 2009.
----------------. Dasar-dasar Kebijakan Publik, CV. Alfabeta, Bandung : 2006.
Newcomer, Kathryn, et al, ed. Meeting The Challenges Of Perfomance-Oriented Government, Washington : American Society for Public Administration, Publisher : 2002.
Osborne, David dan Gaebler, Ted. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government): Mentransformasikan Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik. Jakarta : Penerbit PPM, 2005.
----------------. Reinventing Government: How The Enterpreneurial Spirit Is Transforming The Public Sector. New York : Plume Book : 1993.
Pandiangan, Liberti, Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan Berdasarkan UU Terbaru, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta: 2002.
Parsons, Wayne. Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Trans. Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta : Kencana Prenada Media Group :2006.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
137
Pramusinto, Agus. Dr. dan Dr. Erwan Agus Purwanto. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Gava Media: 2009.
Pramusinto, Agus dan Kumorotomo, W (Eds), Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional, Penerbit Gava Media, Yogyakarta: 2009.
Putra, F, Senjakala Good Governance, Averroes Press, Malang: 2009.
Quade, E.S., Analysis For Public Decisions, Elsevier Science Publishers, New York: 1984.
Riduwan, Drs, MBA. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung : Penerbit Alfabet : 2004.
Ripley, Rendal B. and Grace A. Franklin. Policy Implementation and Bureaucracy, second edition, the Dorsey Press, Chicago-Illionis: 1986.
Santoso, Priyo Budi. Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta : Raja Grafindo Persada :1993.
Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu : 2006.
Shafritz, J.M. and Russell, E.W, Introducing Public Administration, Longman, New York: 1997.
Sugiyono, Prof. Dr. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta : 2003.
Suharto, Edi, Ph.D. Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung : Alfabeta : 2010.
Siagiaan, Sondang P. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan Terapinya. Jakarta: Ghalia: 1994.
Tangkilisan, H.N, Kebijakan Publik Yang Membumi (Konsep, Strategi dan Kasus), Lukman Offset, Yogyakarta : 2003.
Taylor, Steven J and Bogdan, Robert. Introduction To Qualitative Research Methods The Search For Meanings. New York : John Wiley and Sons. Inc.: 1984.
Thoha, Miftah. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta : Kencana Prenada Media Group : 2010.
Tjokroamidjojo, Bintoro, Reformasi Administrasi Publik, Program Magister Ilmu Administrasi, Universitas Dwipayana, 2001.
United Nation Economic and Social Commision for Asia and the Pacific (UN ESCAP), What is Good Governance, ESCAP: 2010.
Universitas Indonesia, Indraswari, Yulia, Analisis Strategi Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan Republik Indonesia, Skripsi, 2008.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
138
Universitas Indonesia, Simon, Hidra, Pengaruh Reformasi Administrasi Perpajakan Terhadap Motivasi dan Kepuasan Kerja Pegawai, Tesis : 2006.
Universitas Indonesia, Solomon V, Roy, Scenario Planning Reformasi Administrasi Pemerintah Subnasional di Indonesia: Sebuah Grand Strategy Menuju Tahun 2025 Scenario Planning Reformasi Administrasi Pemerintah Subnasional di Indonesia: Sebuah Grand Strategy Menuju Tahun 2025, Disertasi : 2006.
Wahab, Solichin A, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan, Bumi Aksara Jakarta: 1991.
Wahab, S.A, Analisis Kebijakan; Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta: 2005.
Wibawa, Samodra, Kebijakan Publik, Intermedia Jakarta: 1994.
Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo Yogyakarta:
2002.
JURNAL Carlson, Deven, Trends and Innovations in Public Policy Analysis, The Policy Studies
Journal, Vol. 39, No. S1, 2011
Compston, Hugh, The Future Of Public Policy, World Futures, 64: 43–59, 2008.
Tjokroamidjojo, Bintoro, Prof. Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan).
Suryono, Agus. Pentingnya Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi Kemunduran Birokrasi Dalam Pelayanan Publik. Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang 2002.
Rakhmat, MS, Reformasi Administrasi Publik Menuju Pemerintahan Daerah Yang Demokratis, Jurnal Administrasi Publik, Vol.1. No. 1, 2005.
Romli, Lili. Masalah Reformasi Birokrasi. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN.
Robichau, Robbie Waters and Laurence E. Lynn Jr, The Implementation of Public Policy : Still the Missing Link, The Policy Sudy Journal, Vol. 37, No. 1, 2009.
Lau, Richard R. and Caroline Heldman, Self-Interest, Symbolic Attitudes, and Support for Public Policy: A Multilevel Analysis, Political Psychology, Vol. 30, No. 4, 2009.
Lascoumes, Pierre And Patrick Le Gales, Introduction: Understanding Public Policy Through Its Instruments—From The Nature Of Instruments To The Sociology Of Public Policy Instrumentation.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
139
Lele, Gabriel. Memahami Etika Birokrasi Publik: Sebuah Diagnosis Institusional. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN.
Hicklin, Alisa and Erik Godwin, Agents of Change: The Role of Public Managers in Public Policy Agents of Change: The Role of Public Managers in Public Policy, The Policy Studies Journal, Vol. 37, No. 1, 2009
Hutahayan, John dan Janry Haposan U.P. Simanungkalit. Mempersoalkan Etika dan Moral Pegawai Negeri Sipil Pasca Orde Baru. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN.
Jean C. O’Connor, Jamie F. Chriqui and Frank J. Chaloupka, What Gets Measured, Gets Changed: Evaluating Law and Policy for Maximum Impact, journal of law, medicine & ethics, 2011.
Kartono, Drajat Tri, Reformasi Administrasi: Dari Reinventing ke Pesimisme, Spirit Publik, Volume 2 No. 1, April 2006.
Wahab, S.A, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta: 2005.
Wallner, Jennifer, Legitimacy and Public Policy: Seeing Beyond Effectiveness, Efficiency, and Performance, The Policy Sudy Journal, Vol. 36, No. 3, 2008.
Widodo, Joko, Analisis Kebijakan Publik, Bayumedia Publishing, Malang: 2007.
Winarno, Budi, Kebijakan Publik ; Teori dan Proses, Edisi Revisi, Media Pressindo, Yogyakarta: 2007.
Wisura, Gde. Demokratisasi dan Problem Netralitas Birokrasi di Indonesia. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN.
Sholeh, Badrus. Perilaku Dan Etika Pegawai Negeri: Fakta, Idealisme, Dan Tantangan Masa Depan. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN.
Tobirin. Penerapan Etika Moralitas Dan Budaya Malu Dalam Mewujudkan Kinerja Pegawai Negeri Sipil Yang Profesional. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN.
PERATURAN-PERATURAN
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
140
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.01/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Prosedur Operasi (Stadard Operating Procedures) di Lingkungan Departemen Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.01/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Analisis Beban Kerja (workload analysis) di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PM.1/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.01/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Prosedur Operasi (Stadard Operating Procedures) di Lingkungan Departemen Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.01/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 376/PMK.01/2008 tentang Peringkat Jabatan di Lingkungan Departemen Keuangan.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: 20 Tahun 2010 tentang Roadmap Reformasi Birokrasi 2010 – 2014.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 387/KMK.01/1987 tentang Pedoman Penyusunan Uraian Jabatan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 131/KMK.01/2006 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 24/KMK.01/2008 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan Tahun Anggaran 2008.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29/KMK.01/2009 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan Tahun Anggaran 2009.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 65/KMK.01/2010 tentang Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan Tahun Anggaran 2010.
Keputusan Direktur Jenderal Anggaran Nomor : KEP-94/AG/2007 tentang Standard Operating Procedures Direktorat Jenderal Anggaran.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
141
Keputusan Direktur Jenderal Anggaran Nomor : KEP-102/AG/2007 tentang Pembentukan Gugus Kendali Mutu Standard Operating Procedures (GKM-SOP).
Keputusan Direktur Jenderal Anggaran Nomor : KEP-32/AG/2010 tentang Tim Reformasi Birokrasi Direktorat Jenderal Anggaran Tahun Anggaran 2010.
Keputusan Direktur Jenderal Anggaran Nomor : KEP-64/AG/2010 tentang Perubahan Atas Keputusan Direktur Jenderal Anggaran Nomor : KEP-32/AG/2010 tentang Tim Reformasi Birokrasi Direktorat Jenderal Anggaran Tahun Anggaran 2010.
SERIAL
Buletin Kinerja edisi 1 sampai dengan 6 Tahun 2010
Majalah Warta Anggaran Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2011.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
142
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Lampiran 1 : Transkrip Wawancara dengan Sekretaris DJA 2. Lampiran 2 : Transkrip Wawancara dengan Kepala Bagian Organisasi
dan Tata Laksana DJA 3. Lampiran 3 : Transkrip Wawancara dengan Kepala Bagian
Kepegawaian DJA 4. Lampiran 4 : Transkrip Wawancara dengan Sekretaris DJPK 5. Lampiran 5 : Transkrip Wawancara dengan Kepala Bagian Organisasi
dan Tata Laksana DJPK 6. Lampiran 6 : Transkrip Wawancara dengan Kepala Bagian
Kepegawaian DJPK
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
142
Universitas Indonesia
Lampiran 1 : Transkrip Wawancara Pengumpulan Data Penelitian dengan Ari Wahyuni
Peneliti : Selamat malam Bu Ses, terima kasih atas waktunya. Kami dalam rangka penyusunan tesis kami, ingin melakukan wawancara in depth interview terhadap Ibu terkait implementasi kebijakan reformasi birokrasi di DJA kurun waktu 2007 s.d 2011 bu. Jadi, di tesis kami itu, kami ingin menkomparasikan gitu bu. Mengkomparasikan capaian dari implementasi kebijakan reformasi birokrasi di DJA dan di DJPK, kenapa di DJA dan di DJPK, karena dua organisasi ini dulunya satu, jadi bisa diasumsikan memiliki kultur budaya organisasi yang sama dan juga banyak kesamaan-kesamaan dari segi tugas dan fungsinya, .. bukan tugas dan fungsinya, maksud kami area pekerjaannyakan sama-sama diperencanaan, kemudian struktur organisasinya sama-sama tidak memiliki kantor vertikal di daerah dan lain sebagainya. Eee, di tesis ini kita juga tidak,... kita mengabaikan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi implementasi kebijakan reform, karena kalau faktor eksternal itu kan diluar kendalinya organisasi, jadi kita fokus ke faktor internal bu. Jadi mungkin kita mulai dengan pertanyaan yang pertama, eee...kalau menurut Ibu, karena dari hasil survey yang dilakukan oleh lembaga independen, itu hasil capaian reformasi birokrasi dalam kurun waktu 2007 s.d 2011 di DJA dan di DJPK itu berbeda bu. Ini kan kita ingin menggali kenapa kok berbeda. Nah kalau menurut Ibu kira-kira faktor-faktor internal apa saja yang saat itu, dalam kurun waktu 2007 s,d 2011 itu yang mempengaruhi implementasi kebijakan reformasi birokrasi di DJA bu?
Ari Wahyuni : Oke, mas Satya, selamat malem. Jadi, saya mulai gabung di DJA tahun
2009 ya, jadi saya hanya merasakan saja dari tahun 2007 sampai dengan 2009, kalau bicara tahun 2007 sampai 2009, wah mas Satya juga ada disitu kan saat itu. Bagaimana ? kalau reformasi birokrasi ada tiga hal, satu organisasi, dua bisnis proses, tiga SDM. Ketiga-tiganya berjalan, guidancenya adalah dari Sekjen kan ya, karena belajar kan ya, karena masa berjalan, karena pada saat 2007 remunerasi kita jalan saat itu. Kalau menurut yang saya pahami, saya rasakan, pada masa-masa itu itu kita mencari bentuk termasuk DJA. Nah, masing-masing eselon I itu mencari bentuk, nah ada satu nuansa, yang mungkin, harusnya sama juga dengan DJPK karena dulu DJAPK, dimana ada suatu background yang mendasari dari sisi eee.... dua institusi ini, yaitu masing-masing dan sesuai arahannya dari menteri harus berubah. Berubah mindset....berubah
Subyek Wawancara : Ari Wahyuni Sekretaris Direktorat Jenderal Anggaran Tempat : Ruang Kerja Sekretaris DJA Waktu : Kamis, 3 Maret 2012, Pkl 19.00 – 19.30
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
143
Universitas Indonesia
mindset, berubah image dari yang dulu, seperti kita ketahui bersama, akan menjadi berubah. Salah satu yang ditunjukkan oleh DJA, adalah bagaimana kita mencoba, kalau dari struktur organisasi sudah, sambil berjalan diperbaiki sampai tahun 2011 juga makin, kita selalu melakukan perubahan-perubahan, sampai nantipun kita mau akan ada perubahan lagi ni, ya. Dari grouping kita akan seuaikan lagi. Cuman ada satu hal yang mungkin eee..kita bisa lihat masalah remunerasi tadi salah satunya yang menjadi pendorong. Karena orang kerja, selama ini yang kita lihat DJA dulu seperti apa, begitu mudahnya kita itu berkomunikasi dengan stakeholders kita dalam tanda quote and quote. Tapi begitu kita memutuskan reformasi birokrasi, harus stick dengan komitmen yang ada. Nah langkah-langkah yang sudah kita lakukan adalah kita melakukan perubahan-perubahan dengan basic yang sudah ditentukan oleh Sekjen, oleh Kementerian Keuangan, namun sebenarnya masih dirasakan ada yang belum maksimal. Salah satunya ya, kita ngelihat komitmen pimpinan waktu itu, mungkin saya juga tidak terlalu lihat ya, sampai tahun 2009 sebelum saya masuk, sampai sejauhmana sih, itu ya... dan itu mencari bentuk dimana yang pasti, kalau dari sisi kebijakan yang ada diputuskan tahun itu dan yang sebelumnya kita mau berubah, dan itu usulan perubahan remunerasi kita juga kita liat rangenya kita tidak terlalu signifikan besarnya, tambahan. Dari sisi pejabat, remunerasi kita sudah bagus, ya. Tapi dari sisi staffing kebawah, itu sepertinya remunerasi belum maksimal, sehingga ada upaya kita melakukan perubahan tetapi tidak terlalu maksimal dalam arti kita mengikuti komitmen bersama gitu lo. Kita mau mengikuti komitmen bersama, sehingga ada upaya-upaya tapi belum maksimal, sehingga ada perbedaan ini dari 7 eselon II pada waktu itu, sekarang menjadi 8 ya, itu, hanya 4 eselon II yang remunerasinya.... remunerasi apa take home pay ya..? apa...tunjangan ya... tunjangannya berbeda dengan eselon II yang lain. This is actually the problem itu disitu tu..ya. Yang itu yang harus kita selesaikan bersama-sama. Sebenarnya sih kalau saya lihat, gap itu pada waktu itu tidak terlalu bermasalah ya, karena mutasi pola mutasi organisasi pada waktu itu muter-muternya hanya di direktoratnya itu sendiri. Sehingga, itu tidak menjadi masalah ya, cuman yang muncul adalah kelas-kelas ni. Kalau di direktorat yang kelasnya itu adalah yang A1, 2, 3 yang remunerasinya ada tambahan itu menjadikan secara tidak langsung,..saya kelas yang lebih atas ini ya, na ini yang, sehingga dalam perjalanan dimana kita sekarang sudah mulai membaurkan mekanisme pola mutasi, ini agak menjadi kendala. Padahal, mutasi itu tidak didasarkan pada konsep itu sebenarnya, bahwa orang pindah ke itu, mutasi itu adalah merupakan pendewasaan seorang pegawai. Jadi pada saat dia di judge ada kebijakan yang berjalan, dimana membedakan, orang menjadi berpikir saya mendapat punish ni pada saat dia dipindahkan dari tempat satu ke tempat yang lain. Jadi, itu satu, menurut saya yang mempengaruhi mungkin berjalannya, berjalannya reformasi birokrasi ini, ya kan itu satu tu apa namanya, penataan organisasi rasanya
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
144
Universitas Indonesia
kita enggak ada masalah, kita berjalan dengan baik. Juga proses bisnis juga berjalan, cuman proses bisnis yang sekarang menjadi kendala adalah proses bisnis itu kan SOP ya kan. SOP yang ada, itu bagus, tapi enggak aplicable. Apalagi sekarang-sekarang ini dimana SOP itu sebenarnya yang menyelamatkan mereka untuk kalau ada kasus-kasus. Tetapi, cara penuangan SOP yang ada itu, tidak membuat mereka itu mudah memahami. Nah ini yang nantinya rencananya kita akan membuat SOP itu menjadi sesuatu yang mudah dipahami. Planning kita kedepan. Jadi SOP itu cuman selembar gini, ada gambar yang menarik, sehingga orang bisa baca ni. Nah, yang ketiga yang terkait dengan peningkatan manajemen SDM. Kuncinya menurut saya ada disini. Nah, saya melihat, merasakan mulai akhir-akhir ini. Karena kunci dari semua reformasi birokrasi ini adalah SDM. Ini kan kita merubah, change. Change agent istilahnya mas Satya sendiri. Nah ini tergantung, enggak bisa, ada satu kebijakan, pegawai suruh jalan, enggak bisa. Harus ada komitmen dari atas, bahwa yuk kita berubah. Kita mau seperti sekarang ini, kita mau punya pusat pelayanan. Segala macem, berjalannya belum maksimal, karena, ada satu titik yang belum jalan ini. Ya, SOP sudah dibikin, struktur organisasi sudah dibikin, SDMnya sudah ditempat-tempat, tapi kok enggak jalan ini, proses bisnisnya, ternyata ada satu proses bisnis yang merubah ini, ada satu titik yang masih kesumpel. Sumpelnya satu sebenarnya. Dirjennya ngomong aja, karena proses bisnisnya dirubah, yang tadinya dari atas ke bawah ni, sekarang sudah diputus ni, langsung dari tengah jebret. Nah ternyata, komitmen dari pimpinan itu besar sekali pengaruhnya. Itu dah, nomor satu.
Peneliti : Kalau saya, simpulkan bu, dari uraian penjelasan ibu berarti, kalau di
DJA, kalau kita buat semacem pemeringkatan nggih bu, faktor internal yang, kalau kita lihat faktor internal yang menjadi dalam quote and quote kendala, ngoten nggih bu, kendala itu, mungkin yang pertama masalah remunerasi yang tadinya itu tadi, ibu jelaskan...
Ari Wahyuni : Adanya gap Peneliti : He eh, yang dulunya itu seperti itu, tiba-tiba setelah reformasi birokrasi
terjadi gap. Ari Wahyuni : He eh, guidance itu ternyata belum memenuhi keadaan sehingga ada
tambahan remunerasi yang tidak seragam di beberapa tempat. Ada gap disitu. Muncul gap.
Peneliti : Itu yang pertama, kemudian yang kedua, terkait dengan komitmen.
Dalam hal ini komitmen pimpinan. Trus yang ketiganya, mungkin masalah, eee, apa namanya formatnya nggih bu. Ibu tadi menjelaskan masalah SOP, malah kalau SOP kebetulan saya sendiri ada disitu nggih bu. Ada disitu dalam arti, proses binis ini kan sebenarnya tidak hanya
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
145
Universitas Indonesia
SOP, ada Urjab segala, ada ABK segala, dan memang nuansanya awal 2007, terutama 2007 – 2008 itu, nuansanya memang kejar target bu. Jadi eee...
Ari Wahyuni : Asal jadi. Peneliti : Ya, sebenarnya dibilang asal jadi, tidak. Karena gini, itu kan sebenarnya
yang menyusun itu, sebenarnya bukan kita. Kita hanya semacam advisor, supervisor untuk temen-temen teknis menyusun itu. Hanya pada waktu itu memang, gaung reformasi birokrasi itu karena quote on qoute komitmen pimpinan waktu itu belum begitu jelas, artinya belum begitu jelas itu, tidak sekuat sekarang-sekarang ini. Itu tadi istilah ibu mencari bentuk itu tadi. Itu,ee gaung reform itu bener-bener terasa di Sekditjen. Tetapi di teknis, ...
Ari Wahyuni : Karena mereka tidak tahu, mau harus gimana ?, gitu lo, kan mereka
follower. Yang mendrive itu belum ada ya. Peneliti : Setuju. Nah, kemudian kalau kita lihat per agenda nggih bu. Tadi ibu
juga sudah sampaikan bahwa agenda reform itu ada tiga nggih. Ada penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, sama peningkatan manajemen SDM. Nah ini juga kalau kita lihat berangkat dari hasil survei pihak independen itu, capaiannya ketiga-tiganya berbeda, antara DJA dan DJPK. Nah, kalau kita lihat per agenda itu, kira-kira menurut Ibu nggih, Faktor internal yang mempengaruhi dalam rangka implementasi penataan organisasi, itu yang positifnya apa, yang negatifnya apa. Kemudian dalam rangka pelaksanaan implementasi perbaikan proses bisnis, faktor internal yang positifnya apa, yang negatifnya apa. Demikian juga yang SDM gitu bu. Jadi maksud saya, yang menjadi strengthness nya, sehingga DJA ndak masalah sih kalau penataan organisasi, itu yang tadi ibu sampaikan begitu. Penataan organisasi ndak masalah. Nah ini berarti ada strenghtness nya sebenarnya. Faktor internal yang menjadi strenghtnessnya apa, weaknessnya apa. Pasti ada weakness nya.
Ari Wahyuni : Oke, satu-satu nih berarti. Oke untuk penataan organisasi ya.. Peneliti : Tapi ini kita potret di 2007 – 2011 nggih bu. Tetep fokusnya kesitu. Ari Wahyuni : Ya...ya, mungkin ee yang mungkin yang 2007 sampai dengan 2009, saya
ndak bisa detil banget. Karena aku enggak...enggak...saya hanya merasakan ni..
Peneliti : Posisinya ibu sebagai observer dari luar DJA Ari Wahyuni : Ya.. cuman kemauan-kemauan untuk berubah itu, saya rasakan sama ni,
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
146
Universitas Indonesia
dari sisi penataan organisasi ya, itu, ndak ada masalah sebenarnya.. Kemauan, komitmen dari pimpinan untuk membuat organisasi yang pas untuk DJA itu berjalan terus. Itu dari tahun 2007 sampai 2011, dan sekarang ni 2012. Buktinya apa? Terus ada perubahan-perubahan terus ni. Terus ada perbaikan – perbaikan terus. Jadi menurut saya, komitmen, kemauan yaitu itu jalan terus ni. Ini..ini yang utama disitu, dan ingin memperbaiki terus ..itu tu jalan terus ni..ya. dari sisi bisnis proses. Kalau dari sisi negatifnya, kita menjadi punya terlalu banyak aja. Jadi kadang-kadang tidak menjadi priority. Karena apa, setiap kali, karena saking sering kita kepingin berubah, tiap kali rapat, bisa aja, habis itu bentuknya berubah lagi, ndak putus - putus, nah...kuwi wis. Enggak putus-putus, karena, saking senengnya kalau menurut saya ni, saya melihat dari sisi yang positif ni. Karena kita kepingin mencari bentuk yang paling ideal, akhirnya ndak putus – putus tuh. Ya, waktu itu masih ada, kita mutusin tahun 2009 mau nambah tenaga pengkaji tiga, jadi akhirnya satu. Sekarang dah jadi lagi, 184 jadi PMK nya, sekarang mo dimasukin, kan mo dimasukin lagi. Kemudian mau diregrouping lagi, itu remunerasi mau ditarik lagi ke DSP segala macem, ini keinginan untuk mencari bentuk yang ideal itu, sangat tinggi. Itu ya, sehingga akhirnya ndak putus-putus ni karena diskusi terus lha itu kalau boleh saya ngomong. Kemudian masalah proses bisnis, yang dominan, eee, tadi pertanyaannya apa sih ?
Peneliti : Yang weaknessnya sama yang strenghtnessnya Ari Wahyuni : Oya, proses bisnis kita, kita punya banyak tuh SOP. Urjab kita punya
banyak, kita punya 350 berapa. Malah di KPI kita yang sekarang, untuk punya pak eselon I, target kita tinggi banget tuh, 188 SOP yang mau diterbitkan, karena ada perbaikan konsep. Itu dari sisi hal yang positif ya. Kita dari sisi kelengkapan sih kayaknya sudah oke nih. Jadi tinggal penyesuaian-penyesuaian, karena kita kan ada yang disseques, proses bisnis kita perbaiki, proses revisi kita perbaiki, gitu.
Peneliti : Eee, diinterupsi sedikit bu. Ini kalau seandainya saya, karena kebetulan
pada waktu itu saya ikut disitu nggih bu. Kalau saya menyimpulkan, sebenarnya weaknessnya di perbaikan proses bisnis, regulasi yang dikeluarkan, regulasi ni dalam artian juknisnya nggih bu, juknis yang dikeluarkan oleh Sekjen itu memang rigid sekali. Jadi dulu kenapa kok format SOP yang saat ini yang ibu sampaikan tadi, ndak menarik, itu sebenarnya bukan kreasinya DJA, tapi memang dari PMKnya penyusunan SOP, ini lo formatnya seperti ini. Nah kita ngikutin.
Ari Wahyuni : Ya Peneliti : Terus kemudian, juga di urjab, sekarang, kalau kita lihat urjab kita, siapa
yang mau baca. Setebel ini untuk satu jabatan dan sangat rigid. Itu terjadi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
147
Universitas Indonesia
ya karena memang regulasi nya, jadi maksud kami salah satu weaknessnya, ya itu, memang ini rada eksternal, tetapi kenyataannya memang ...
Ari Wahyuni : Tapi dibalik weakness itu, aku ngelihat positifnya mas. Jadi ada dua ni,
jadi setuju dari ticknya, tebelnya, terus terlalu rigid. Tetapi, itu juga yang menyelamatkan DJA, pegawai kita pada saat ada kasus-kasus, dia terselamatkan dengan SOP itu. Nah masalahnya, dengan adanya PMK itu, terlalu rigid itu, jadi banyak orang males baca. Nah, yang berikutnya adalah PR kita, bagaimana membuat itu menjadi sesuatu yang mudah, enak dibaca dan mudah dipahami. Ini yang terobosan baru yang kita mau lakukan, yaitu, kita akan membuat dalam bentuk yang, entah karikatur entah opo-opo, jadi cuman satu lembar ni. Sudah ada contohnya sih, jadi kita ngasih setiap pegawai ditaruh diatas meja, mo dipasang dibawah meja gini nih, nah, SOPnya dia apa sih. Jadi, kita akan buat ataran kok. Jadi, dia duduk disitu, nomor satu dia harus baca SOPnya. SOPnya, secara garis besar itu ini, ini, ini dalam bentuk yang menarik. Jadi instead of PMK is PMK tetapi kita ada step berikutnya, untuk perbaikan ini, dalam betuk yang sangat ...eee apa namanya, menarik. Memang enggak akan ada di PMK itu. Itu about bagaimana kita berkreasi. Kita arahnya mau kesana, ya. Jadi if we talk weakness, ada PMK ada kelemahan ada kelebihan, tetapi kita dengan kondisi yang ada, kita mencari terobosan agar supaya kebijakan yang ada sekarang itu kita bisa fasilitasi. Untuk mencari goal yang kita harapkan.
Peneliti : Jadi, hasil evaluasi nggih bu. Ari Wahyuni : Yap, pasti dong...heeh. Peneliti : Kemudian kalau dari sisi agenda manajemen SDM bagaimana bu Ari Wahyuni : Nah ini yang..yang memang agak, ini disini, bahwa yang namanya
reformasi birokrasi kan kita merubah, yang istilahnya mas Satya, Sekretariat menjadi change agent, karena yang namanya disini kan berarti kita merubah manajemen. Change of management, dari manajemen yang lama seperti itu, sekarang kita diatur, ditata dalam situasi yang .. ini lo aturan mainnya. Dan kita harus tunduk itu. Dan kunci kesuksesan itu adalah dimanusianya. Nah, yang saya bilang dominan di kita sebenarnya pegawai kita itu, siap sih. Haus akan bagaimana kita itu diatur menjadi yang baik. Nah sekarang yang jadi masalah yang kita lihat, kita belum punya grand design yang clear ni untuk membawa pegawai kita menuju ke pegawai yang diharapkan. Itu tahun 2009 ya, pada waktu saya masuk disini saya belum punya peta itu. Sehingga saya bingung nih. Lho ini apa saja sih nih, nah... kita baru mulai mengupdate data-data yang ada di kita, mengumpulkan sambil berjalannya waktu kan kita mulai benahi, nah kita mulai petakan, ya,..
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
148
Universitas Indonesia
sehingga kita bisa ngelihat,...eee, untuk mencapai goal yang kita harapkan itu kita sudah bisa... eee... kemampuan SDM kita itu, bisa mengikuti apa yang organisasi harapkan. Kemarin-kemarin ini kan, sudah megarah kesana, tetapi patternnya belum clear enought, gtu lo,...ya. Nah waktu itu mas Satya juga bisa merasakan bagaimana kita mencoba mendesign sendiri, suatu grand design untuk mendisign HR kita ya, karena kitakan juga mau kalau dari sisi budgeting, kita akan merubah dari sisi costing menjadi budget analis. Yang dibutuhkan seperti apa, ini ni suatu kebutuhan yang berkembang terus ni. Dan ini harus diikutin. Kita dari sisi ini, ya jadi, komitmen dari atasan, dari pimpinan juga sangat penting sekali dan kebetulan dengan dirjen kita yang baru ini, beliau sangat ini sekali ya, apa, bagaimana SDM kita, dan pak Menteri pun juga itu, SDM kita harus baguslah dan cuman kalau cuman, SDM kita bagus, bentuknya kayak apa, karena ini sangat terkait sekali dengan sistem kita. Katanya Simpeg, Simpeg mau di sentralisir di Sekjen, sampai sekarang yo ra dadi-dadi to. Sampai dimasukkan di KPI kita, jadi banyak hal yang....karena kita ndak bisa sendiri nih sekarang, kita mau ditarik didalam satu, sentralisasi datalah ibaratnya, kan gitu kan kalau boleh ngomong, tetapi, desing HR juga katanya mau didesign, ternyata gagal lelang pada waktu itu kan, kita akhirnya bikin sendiri nih, kita sedang jalan sambil coba... tapi prinsipnya sebenarnya SDM kita tuh siap menerima itu. Cuman sekarang, apa sih yang mau dikasihkan ke kita, gitu loh. Kelemahannya kalau saya boleh ngomong, designnya ini yang harus kita perbaiki terus. Supaya, kita sudah punya nih,..design yang sekarang transisi, jadi kita sudah punya konsultan, kemudian kita dalam transisi itu, itu yang saya selalu tanyakan. Pada saat konsultan itu membuat design yang bener, yang bagus, yang optimallah ya, opo istilahnya, bagaimana transisinya nih kesini. Ini seperti apa sih, jangan sampai terus kemudian, yang terjadi kan pada saat jadi yang baru, yang lamanya hilang jebret. Nah ini untuk mengawali ini ni seperti apa. Nah kita bergerak juga disitu. Yang baru seperti apa, bagaimana mengawal dari yang lama ke yang baru. Ni transisi supaya pada saat integrated, ini langsung blended. Itu yang kita...yang kita inikan. Oke dah.
Peneliti : Kalau ini, jadi berbicara yang strategi kedepan nggih bu, karena dari
hasil wawancara kami dengan DJPK maupun hasil survei DJA dan DJPK, karena komparasinya di dua itu, (ada telepon masuk,... wawancara dihentikan sesaat). Eee... dari hasil data yang kita peroleh bu, itu casesnya hampir sama. Artinya hampir sama, di DJPK pun yang dirasakan qoute on quote agak seret gitu nggih, itu di masalah manajemen...agenda manajemen SDM. Dan mereka juga, karena didalam agenda manajemen SDM ini kan banyak sebenarnya, apa namanya elemen-elemennya pola pengembangan karir, pola mutasi, dan lain sebagainya lah, kultur organisasi, dan sebagainya, nah, terkait dengan pola mutasi tadi, sebagaimana ibu sampaikan tadi, DJPK pun mengalami kendala yang sama nggih bu, karena sebenarnya, eee, dilihat
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
149
Universitas Indonesia
dari background sejarahnya, ini kan sama DJPK itu kan terbentuk dari, ...dulunya dari unit eselon I yang berbeda-beda, gabung jadi DJPK. Seperti DJA juga sama, ada yang dari DJA lama, ada yang dari PKPD, ada yang dari Direktorat PNBP, jadi gabung jadi satu, sehingga terkendala dengan mutasi, nah ini, eee bicara strateginya bu, strateginya, ini ...dengan kondisi yang sama seperti ini gitu nggih, terutama khusus untuk pola mutasi, ditambah lagi DJA itu plus sebenarnya. Plus kendala dengan..plus yang tadi, yang tidak ada di DJPK. Di DJA itu lebih berat karena kendalanya plus dengan ada gap diremunerasinya tadi, nah yang ingin kita ketahui, strateginya nih, apa yang ibu lakukan, untuk melakukan penataan terutama terkait dengan pola mutasi, mengatasi kendala-kendala yang tadi di DJA jauh lebih banyak ketimbang dengan DJPK
Ari Wahyuni : Ya... eee, sebenarnya ini kembali lagi kepada komitmen pimpinan.
Karena SDM itu unik, dia bukan barang, gitu lo. Dibikin peratuan kayak apapun tapi kalau tidak dikomunikasikan juga nggak akan jalan. Tapi sesusah apapun, kalau itu dikomunikasikan sebenarnya jalan ini, gitu lo. Nah,... ini yang-yang dikita,..kita sudah mulai dobrak itu. Dalam arti begini, yang dulu konsepnya untuk kalau dari jenis,...pendidikan pelatihan, courses segala macem itu, sudah bervariasi, sudah bagus ni. Saya ndak ngomong kesana deh. Itu sudah jalan bagus. Tetapi, dari sisi mutasi tadi nih. Dari sisi mutasi, kalau dulu itu mutasi antar direktorat itu saja, nah sekarang kita coba terobosan, kita pindah kan ini. Antara direktorat satu dengan direktorat lain. Nah memang ada kendala tadi itu, gap itu, jadi penyebab, ini yang PR yang harus kita selesaikan bersama. Tapi ini sudah jalan ini. Sejak tahun 2009, itu sudah campur-campur, solusinya pada waktu itu kita ajak bicara, kita panggil, satu-satu karena terus terang itu yang mujarab. Untuk saat kultur Indonesia itu, komunikasi itu salah satu jalan yang ini,.. dan dengan adanya tuntutan pekerjaan seperti itu, kalau kau bekerja, jangan mikir duit thok, wis wasalam. Karena orang yang dapet duitnya kecilpun, dapet honor yang, dapet take home pay yang kecil pun, tapi kalau dikasih kerjaan, dia lebih...dia oke. Gitu lo..kita persuide temen-temen seperti itu. Oke don’t worry about money. Selama kamu kerja bagus, kamu bisa tunjukkan, rezeki itu akan datang. Karena kenapa, grading yang kita punya itu belum memenuhi eee sebenarnya apakah sudah...sudah, apa namanya fair atau sudah sesuatu yang ideal sih, kayaknya belum ideal ini, itu yang memang perlu kita perbaiki grading itu, sehingga sebenarnya ada gap seperti itu enggak harus terjadi, tetapi kita harus..enggak bisa...enggak bisa menunggu itu kan. Kita harus nyari alternatif-alternatif, nah terobosan lain yang harusnya..yang kemudian dilakukan oleh dirjen kita adalah dengan, kebetulan beliau dari DJPB, beliau nawarin juga. Kalau lu ndak maksimal disini, ada tempat lain lo. DJPB oke... heee. Kita kita sekarang enggak cuman about perpindahan antar direktorat, udah enggak, one day, enggak lama lagi itu eselon III udah antar eselon I,
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
150
Universitas Indonesia
sekarang, enggak tertutup kemungkinan eselon IV juga. Beliau sudah ngomong nih, nanti pun, akan kita lakukan perputaran seperti itu. Wich is please, jangan berpikir uang saja. Ya itu memang hak kita, tetapi itu sesuatu yang akan bergerak terus,... kita akan mencari solusi disitu. Tapi jangan akhirnya berpikir bahwa karena ada masalah uang itu, menjadi kita terbatas cara berpikir kita. Terkurangi motivasi bekerja kita. Itu yang saya enggak setuju, dan selama ini kalau aku ketemu sama temen-temen, saya persuit mereka itu, do it best. Selama kamu bekerja bagus, rezeki itu ada. Kalau grade yes...kadang-kadang enggak fair, karena memang sistem di kita belum fair enought. Itu sambil kita berjalan kita perbaiki. Tetapi, kita sebagai satu individu, dalam bekerja, dalam hidup, jangan melihat itu, yes kita perlu melihat, tetapi kalau mau melihat itu, bandingkan dengan tempat lain deh...gitu. Kita lebih the best,...lebih better lah dari, kalau boleh ngomong the best lah.
Peneliti : Kuncinya komunikasi nggih bu. Ari Wahyuni : Ya..kalau saya ngomong itu. Peneliti : Ada faktor lain yang khas di DJA nggak bu ? Ari Wahyuni : Opo...? Peneliti : Faktor internal lain, yang diluar tadi yang ibu sudah jelaskan. Ari Wahyuni : Opo kira-kira ? Peneliti : Ya justru itu, tadi ibu sudah jelaskan, faktor-faktor internal itu ya
remunerasi, ya komitmen, ya kemudian regulasinya kadang-kadang terlalu detil tetapi disatu sisi dia juga memberikan apa..positifnya gitu nggih bu, tadi ibu sampaikan. Trus kemudian juga ibu menceritakan masalah strateginya, nah..tapi diluar yang itu, kalau ndak ada ya ndak apa-apa.
Ari Wahyuni : Wis lah,...kecuali kalau kamu kasihkan masukannya. Ntar gue ngomong Peneliti : Sekarang kalau kita melihat dari capaiannya nggih bu. Kalau menurut
ibu sendiri, dari waktu itu, mungkin ibu merasakan dari 2009 sampai 2011. Itu secara umum, menurut ibu, gimana bu ? capaian dari implementasi agenda reformasi birokrasi di DJA.
Ari Wahyuni : Kalau boleh jujur ya, apa nanti di quote apa enggak nih. Ati-ati
nguotenya nanti. Saya agak malah, agak... harus banyak yang dirubah nih. Dari sisi konsepnya yes bagus, tetapi ini kan belum, kita proses, proses menjadi baik ni gitu, ternyata dalam proses menjadi baik itu, begitu yang disentuh adalah rasa, ini yang menjadi permasalahan.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
151
Universitas Indonesia
Buktinya opo ? Pada saat kita mutasi-mutasi, kalau ada kemudian kebutuhan organisasi, ya, karena ada suatu kebutuhan organisasi, dia dibutuhkan ditempat organisasi yang baru itu, nah...karena kebetulan organisasi bisnis prosesnya itu belum jalan, ya...akhirnya dia gradingnya turun nih. Nah, begitu dia gradingnya turun, ini menjadi masalah. Jadi akhirnya masalah bukan karena eee...apa namanya. Dari sisi kita bekerja itu kita ngelihat eee... apa namanya profesionalisme. Tapi profesionalisme kita ini, ya.... itu tidak didukung oleh bisnis proses yang maksimal, yang cepet juga nih. Ketepatan dari.... eee apa namanya, bisnis proses, ... apa, kecepatan dari kegiatan kita, itu ternyata, belum didukung dengan kecepatan tools yang mendukung. Dari sisi bisnis proses. Kemudian ada perbedaan grading. Itu ternyata menjadi salah satu penghambat. Dan itu sudah terbukti nih. Piye carane ngomong ?
Peneliti : Mungkin yang Ibu maksudkan bisnis proses ini kan, bisnis proses terkait
dengan ... Ari Wahyuni : Nek grading iki opo sih...? Peneliti : Regulasi ... PMKnya bu. PMK penetapan berapa sih grade di direktorat
ini berapa,... Ari Wahyuni : Iya...iya...iya... Peneliti : Ini kan memang butuh waktu nggih bu nggih. Kan kejadian yang
menimpa pada diri saya gitu lo...hehehe, dan temen-temen itu. Ari Wahyuni : Itu ...itu..kemudian, iya....apalagi ditempat-tempat yang baru. Kita
memerlukan organisasi. Kita bicara mengenai organisasi kan. Ada yang tambah, ada yang baru, ada yang digabung, sehingga yang baru-baru ini biasanya lebih challengging. Tetapi, konsep dari apa namanya... grading kita yang bermula dari SOP segala macem, tidak cepet ni, tidak mendukung ini. Sehingga akhirnya profesional kita sudah lari didepan, tetapi pendukung ini masih dibelakang nih. Gitu lo...
Peneliti : Jadi... ini nggih bu, dinamika organisasi, jauh lebih cepet dibandingkan
dengan apa...penyesuaian regulasi. Ari Wahyuni : Yes...yes...yes.. ini yang... yang menjadi kendala, sementara yang kita
ngomongin itu orang. Ini yang akhirnya membuat, terus terang saya rodo susah ni...banyak. Akhirnya kalau boleh dingomongin, saya yang paling cerewet di Sekjen. Karena kita ngomongin,...saya memperjuangkan temen-temen yang memang lho...dia orangnya bagus. Gara-gara gradingnya belum ada, jadi paling rendah,...atau misalkan sudah ditetapkan tapi tetep lebih turun dari yang ini. Ini kan, lo....gitu lo.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
152
Universitas Indonesia
Peneliti : Ya,... memang merasa quote on quote kayak dipunishment aja gitu. Ari Wahyuni : Iya...kebijakan, apa...ketiga hal ini belum berjalan secara harmonis.
Kalau saya boleh ngomong. Belum harmonis.. iya kan bener kan... Peneliti : Betul... Ari Wahyuni : Sudah berjalan.... tetapi, jalane jek dhewe-dhewe ngono lo mas... Peneliti : Betul...betul... Ari Wahyuni : Wis opo meneh ? Peneliti : Eee...kalau tadi....kalau kita lihat per pilar tadi nggih bu, per agenda, Ibu
merasakan yang paling sukses itu di agenda yang mana bu? Penataan organisasi kah ? proses bisnis kah ? apa manajemen SDM bu ? Kayaknya penataan organisasi nggih bu.
Ari Wahyuni : Karena kita.. karena kita penataan organisasi tidak memerlukan ..rasa
yang lebih, orang maksudnya ya gitulah. Peneliti : Cuman... eh, bukan cuman nggih...eee istilahnya, .. Ari Wahyuni : Ya... paling susah itu memang SDM. Bisnis proses juga opo.. kita
mendrive sendiri,... tapi, ya nomor satulah. Oke... Peneliti : Oke.. mungkin pertanyaan terakhir ini bu. Ari Wahyuni : Haa... Alhamdulillah Peneliti : Yang terakhir ini kan, saya bisa menyimpulkan bahwa secara umum...eee
reformasi birokrasi...implementasi reformasi birokrasi di DJA ini, dibilang sudah memuaskan, belum. Kalau saya simpulkan mungkin cukup nggih bu.
Ari Wahyuni : He eh iya... kita terus berusaha untuk menjadikan...itu tadi
mengharmoniskan semuanya, itu berjalan menjadi sesuatu yang harmonis. Karena nggak bisa kita eee... ini merupakan satu kesatuan gitu lo
Peneliti : Jadi kalau nilai itu B+ ya...atau A- gitu ? Ari Wahyuni : Terserah lah... kowe arep nilai koyok opo ..terserahlah. Peneliti : Ndak... pertanyaan terakhirnya... indikatornya apa nggih bu, yang
mendukung pernyataan Ibu bahwa DJA good enought tapi not yet perfect
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
153
Universitas Indonesia
gitu barangkali bu. Ari Wahyuni : Kalau saya melihat, ini bisa berjalan dengan baik kalau kita sudah punya
satu mekanisme yang .... apa namanya, berkesinambungan. Maksudnya opo sih, kalau jadi.. sudah berjalan sendiri nih... mekanisme. Sistem itu sudah berjalan sendiri. Kita itu bisa... saya terus terang...saya melihat sistem itu belum berjalan ini. Dengan...dengan... ini kan satu konsep yang bagus ini. Bisnis proses...eee,..struktur organisasi, bisnis proses, SDM. Nah kita masih mencari yang terbaik itu yang mana gitu lo, itu akan menjadi bagus...kalau ini sudah terkoordinasikan dengan baik nih. Satu hal yang perlu, juga sekarang sedang kita persiapkan adalah dalam hal monitoring dan evaluasi. Ya... ini, kita sedang mencari bentuk juga untuk monev. Bagaimana secara reguler, secara sistem ...ini kita sekarang kan sudah ke web based ya... sekarang semua sudah kita coba ke web based kan, supaya dari keuangan, dari DAMS segala macem, laporan-laporan dan dari situ kita bisa memetakan, ini sudah jalan bagus apa belum. Nah.. ketiga hal ini, kita...kita sudah punya tools-tools nya, tetapi belum terhamonize dengan baik. Kayak ring road lah. Ring road itu kan muter..sana,...reeed gitu, nah ini..ini sudah muter... tengah-tengahnya ada bus way, kan gitu. Nih...kan kayaknya begitu. Ini...ini kan harusnya begitu...ni,...struktur organisasi. Struktur organisasi ini berjalan ada bisnis proses. Bisnis proses ini diisi oleh orang-orang SDM ni. Nah kalau semua itu terpetakan dengan baik ini, kemudian ini sistemnya sudah ada, enak ni jalan ni... gitu lo. Nah kita ini sekarang ni on the track untuk menuju itu. Gitu lo...kita mencari... oke, roadmap ini seperti apa SDM kita. Kemana arahnya,...kearah goal kita,... apa... DJA seperti apa sih, dengan kemudian diaturnya seperti opo?...ooo aliran darahnya pakai SOP. Nah SOP seperti apa. Yang gampang... bikin bus way kan... yang simple nih.. supaya apa..supaya orang tuh ngerti ni ..nah itu, itu impian saya.
Peneliti : Oke... terima kasih atas waktunya bu Ses.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
154
Universitas Indonesia
Lampiran 2 : Transkrip Wawancara Pengumpulan Data Penelitian Dengan Meriyam Megia Shahab
Subyek Wawancara : Meriyam Megia Shahab Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJA Tempat : Ruang Kerja Kepala Organisasi dan Tata Laksana DJA Waktu : Selasa, 24 Januari 2012, Pkl 08.00 – 08.15
Peneliti : Faktor-faktor internal yang menjadi kendala, kita bicara kendala terlebih dahulu deh, dalam implementasi reformasi birokrasi di DJA kurun waktu 2007 s.d 2011. Menurut Mbak Megi itu apa saja?
M. Megia S : Kendala dulu ya....kalau kendala itu, pertama ... eee mungkin kalau
yang tahu persis reformasi birokrasinya itu paling temen-temen di Setditjen, yang terlibat langsung. Tapi kalau temen-temen di direktorat itu kan tidak terlibat langsung. Sehingga kalau begitu misalnya ada pekerjaan-pekerjaan reformasi birokrasi seperti pembuatan SOP, segala macem itu jadi kesannya memberatkan gitu. Nah kalau misalnya itu sudah diinformasikan, jadi semua...semua pegawai itu punya informasi yang sama, itu mungkin menjadi lebih gampang. Itu aja sih sebenarnya. Jadi informasi yang diterima tu nggak..nggak sama dengan yang di Setditjen mungkin.
Peneliti : Itu kendalanya M. Megia S : Iya... Peneliti : Kalau yang strengthnessnya atau pendorongnya? M. Megia S : Di DJA ya.... Peneliti : Iya M. Megia S : Di DJA mungkin e...orang-orangnya lebih banyak yang e.... jadi
prinsipnya gini. Ya kalau disuruh, ya dikerjakan, gitu. Jadi eee apa namanya, eee kalau saya bilang sebenarnya, eee pimpinan juga waktu itu tidak... tidak menunjukkan....eee komitmen yang jelas. Jadi jalan, jalan aja gitu, ngikutin TRBP ngikutin, tapi nggak ada bener-bener bilang, pimpinan itu bilang eee oke kita reformasi biro....masuki era reformasi birokrasi, kita harus berubah, tapi konsekuensinya kita harus membuat misalnya perubahan kerja segala macem, budaya kerjanya, itu nggak ada. Tapi kita terbiasa, yaitu mungkin karena kita dari Anggaran...lebih banyak dari Anggaran lama ya, dimana eee kerjanya itu ya, sesuai dengan perintah gitu kan, jadi itu, ya mungkin
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
155
Universitas Indonesia
akhirnya jadi bisa jalan, gitu. Peneliti : Jadi kalau..kalau saya teruskan pertanyaannya.. silahkan dulu mbak
(telpon internal berbunyi, tapi Mbak Megi mempersilahkan pertanyaan dilanjutkan saja dan mengacuhkan bunyi telpon).kalau dia dikerjakan gitu ya...kalau ada perintah dikerjakan, bagaimana dengan hasilnya ni...kan karena asal dikerjakan itu outputnya bisa,.... ada orang yang diberi tugas, dikerjakan semaksimal mungkin, (Mbak Megi : betul), ada yang pokoknya asal dikerjakan gitu.
M. Megia S : Hasilnya sebenarnya yaitu, jadi enggak maksimal kan. Artinya
mungkin dibilang asal-asalan juga enggak gitu, tapi dibilang menjadi sesuai dengan apa yang diharapkan mungkin belum 100%.
Peneliti : Nah, kalau kita mencoba peringkat ya Mbak, dari sisi kendalanya,
faktor-faktor internal yang mungkin menjadi peringkat pertama dari sisi kendala itu apa. Karena tadi kalau saya simpulkan, ada komitmen pimpinan, ada SDM gitu ya, nah ini kalau,... dan mungkin ada yang lain yang belum Mbak sampaikan. Kalau misalkan kita potret kurun waktu 2007 sd 2011 kita peringkat, ni mana yang paling signifikan.
M. Megia S : Kendalanya atau strenght nya? Peneliti : Kendalanya M. Megia S : Kendalanya, karena tidak ada....eee, mungkin pemimpinnya
berkomitmen, tapi ia tidak menyampaikan itu ke pegawainya gitu. Peneliti : Ya...ya M. Megia S : Itu,..itu yang pertama, karena menurut saya, biar bagaimanapun, ee
begitu pemimpin itu bilang, saya akan melaksanakan reformasi birokrasi ini, saya mengajak kalian, itu dengan jelas dikatakan, itu dengan jelas dilakukan oleh pemimpinnya, maka semua akan jalan gitu. Nah jadi, kelemahan pertama ya, begitu tidak ada komitmen yang jelas dari pimpinan yang disuarakan, yaitu akhirnya jadi kendala pertama gitu. Nah yang kedua mungkin faktor pekerjaan ya. Kalau di DJA itu kan selama satu tahun cenderung untuk eee selalu ada, ee masa- masa yang (peneliti: pick season) ...heeh, yang tinggi load pekerjaannya. Nah jadi, enggak efektif karena mungkin eee, jadi mengganggu siklus pekerjaan gitu. (Mbak Megi keliatan kesal dengan bunyi telpon yang terus menerus berdering, dan akhirnya mengangkatnya). Tadi opo,... aku lupa.
Peneliti : Eee.. tadi sampai ke ..
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
156
Universitas Indonesia
M. Megia S : Kendala. Yang kedua, jadi itu tadi, ee...kita pasti lebih berat ke tugas pokok ini kan, jadi akhirnya yaitu tadi jadi tidak maksimal karena kita, ya udah saya lebih baik saya mengerjakan pekerjaan saya dulu, baru kemudian (peneliti: membantu pekerjaan orang lain). ...heeh.
Peneliti : Yang ketiganya ada enggak Mbak? M. Megia S : Yang ketiganya....mungkin arah dari reformasi birokrasinya juga
enggak jelas. Peneliti : Kebijakannya Mbak ya,...kebijakannya kurang jelas M. Megia S : Iya,...heeh. Peneliti : Kalau kita lihat, kita potret per agenda Mbak, kan itu ada tiga agenda
utama ya, penataan organisasi, proses bisnis, kemudian ... (Mbak Megi: SDM) ... manajemen SDM. Kalau di DJA, dari capaiannya. Capaian implementasi ketiga agenda ini, mana yang paling berhasil dan mana yang menurut Mbak Megi kurang berhasil?
M. Megia S : Eee, yang berhasil mungkin justru penataan organisasi, kalau ee
evaluasi ini ya, kalau SOP segala macem, kalau di DJA sampai saat ini, mungkin baru tahun kemarin sama tahun ini kita berusaha SOP itu dibuat dengan benar dan gimana caranya supaya dibaca oleh pegawai. Sebelum-sebelumnya mungkin lebih pada memenuhi syarat aja dulu (Peneliti: ngejar waktu... target). Heeh,...mengejar target. Kalau SDM, SDM ini kan menurut saya sih, nggak bisa cuma satu kali dibilang gitu ya... di...apa... diajarkan gitu. Itukan proses yang harus terus menerus dilakukan gitu. Jadi kalau dibilang berhasil ya..ee berhasil mungkin terbatas pada sekarang kita eee..dalam ini aja, disiplin jam kerja, oke. Gitu ya...tapi kalau misalnya eee, kan reformasi birokrasi itu, apa..pengembangan SDM itu nggak terbatas cuma orang patuh apa enggak, tapi bagaimana dia meningkatkan kapasitasnya segala macem, nah itu yang di DJA kayaknya belum. Jadi seorang pegawai itu harus supaya bisa...bisa dia eee...apa ya namanya itu, dia bisa bertahan hidup diera reformasi birokrasi dia kan harus melakukan eee pengembangan dirinya gitu kan ya,...nah itu yang saya pikir masih sangat kurang itu. Jadi tidak ada baik dari organisasi maupun dari pegawai itu yang menyadari bahwa kalau dia tidak mengembangkan capacitynya, dia akan mati di era reformasi birokrasi, karena sebenarnya di era reformasi birokrasi, itu persaingan fair kan, kita mengharap persaingan lebih fair. Sehingga orang enggak lagi melihat misalnya senioritas, itu menjadi faktor yang dibawah gitu. Nah persaingan makin ketat, berarti pengembangan dirinya harus terus menerus. Itu yang menurut saya masih kurang. Tapi kalau kepatuhan, itu udah lumayan bagus lah.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
157
Universitas Indonesia
Peneliti : Trus kemudian kalau kita lihat ininya Mbak, eee tadi sudah beberapa
hal...banyak hak yang disampaikan Mbak Megi terkait dengan kendala. Pada waktu 2007 – 2011 itu strateginya seperti apa? Strategi implementasinya di DJA, dari banyak hal, dari tiga agenda tadi, dari kendala-kendala tadi, strategi implementasinya gimana?
M. Megia S : Oke. Karena aku ngikutin cuma mulai 2009 kali ya efektif ya. 2009
kalau penataan organisasi sekarang mungkin kita udah mencoba kalau di DJA ya...kalau di DJA kita coba sedapat mungkin menyeimbangkan antara Teori Organisasi sama pelaksanaannya. Itu sudah kita coba. Kemudian untuk tadi misalnya SOP, evaluasi pekerjaan, nah itu juga kita berusaha supaya memang SOP ini digunakan dalam pekerjaan sehari-hari. Itu kita mencoba membuat semenarik mungkin ya...artinya memang nantinya orang begitu duduk disuatu jabatan, eee itu sudah punya pegangan gitu. Bagus-bagus mungkin nanti kita punya yang memang dari dulu cita-cita kita bikin manual instruction pekerjaan. Itu kan belum kesampaian itu ya... (peneliti: sudah Mbak,...cuman berapa biji) nah... itu kan. Jadi itu mungkin nanti jadi eee tujuan kita berikutnya gitu. Nah untuk, yang terakhir SDM kali ya...SDM setahu saya Kepegawaian itu sudah mencoba membuat grand design ya. Heeh, nah itu paling tidak lima tahun kedepan itu. Mudah-mudahan kalau kita bisa ngikuti grand design itu bagus gitu.
Peneliti : Terus,...terkait dengan penataan organisasi ini. Ini mohon maaf
sebelumnya. Jadi indikator-indikator keberhasilannya, karena saya ingin melihat per agenda tadi. Kita lihat dulu penataan organisasi. Karena kebetulan Mbak Megi menjelaskan Penataan Organisasi yang menurut Mbak Megi paling berhasil. Indikator-indikatornya apa Mbak keberhasilan penataan organisasi?
M. Megia S : Indikatornya kita mencoba mendudukkan eee jadi gini, sebenarnya
penataan organisasi itukan tidak berarti menambah struktur atau menghilangkan struktur aja. Tapi tugas dan fungsinya dipertajam. Nah, menurut saya indikator ee keberhasilan penataan organisasi itu lebih kepada penajaman tugas dan fungsi aja sebenarnya. Di kita itu sudah mulai mendudukkan tugas dan fungsi yang sebenarnya di unit yang pas gitu, yang lebih tepat gitu. Eee kemudian, kalau misalnya kemarin itu tahun lalu kita udah melakukan penataan organisasi, itu sebenarnya, kita tahun 2010 ya keluar PMK 184, 2011 itu sebenarnya kita enggak diam tuh. Jadi kita tetep melihat, tugas fungsi yang kita buat kemarin sudah bener atau enggak. Contohnya seperti yang di PNBP, di PNBP itu 2011 kemarin kita tetep melakukan evaluasi karena kita melihat ada mungkin ketersinggungan dengan pajak. Khususnya yang seperti yang di migas. Jadi menurut saya itu, kenapa
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
158
Universitas Indonesia
saya bilang berhasil, lebih berhasil ya dibanding yang lain karena saya merasa bahwa dipenataan organisasi yang kemarin itu kita udah mulai merapikan fungsi-fungsinya itu.
Peneliti : Ini mungkin eee... pertanyaan terakhir ini , karena Mbak Megi sudah
ditelpon-telpon terus ini. Jadi dipercepat ini pertanyaannya. M. Megia S : Maaf... Peneliti : Eee kalau kita bikin apa...skala 4 lah, jadi sangat berhasil, berhasil,
cukup berhasil, kurang berhasil ya, capaian implementasi reformasi birokrasi DJA dari 2007 sampai 2011 kita melihatnya. Itu kalau menurut Mbak Megi ada dilevel berapa?
M. Megia S : Masih cukup. Peneliti : Cukup berhasil ya berarti ya... oke. Terima kasih Mbak Megi.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
159
Universitas Indonesia
Lampiran 3 : Transkrip Wawancara Pengumpulan Data Penelitian Dengan Triana Ambarsari
Peneliti : Kalau kita perhatikan dalam implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi, policy yang diambil itu bersifat sentralistik, ditetapkan oleh Kementerian Keuangan, kemudian masing-masing unit eselon I mengimplementasikan policy itu. Kalau menurut Mbak Ana dalam tataran implementasi kalau kita lihat koridor waktu tahun 2007 sampai 2011 atau 2010, itu faktor internal apa saja yang ada di DJA ini yang mempengaruhi implementasi, baik faktor yang sifatnya menjadi pendorong maupun yang menjadi penghambatnya ?
Triana : Kalau faktor-faktor internal, itu dari ... ee, di Kementerian Keuangan
itu ada MSDMnya, kemudian ada proses bisnis, ada dari segi organisasi, nah...MSDMnya juga dari segi kepemimpinan, dan lain-lain.
Peneliti : Ya... dari faktor-faktor tadi yang Mbak sampaikan itu, eee...kalau kita lihat misalkan..ya dari tadi kepemimpinan, SDM dan lain sebagainya itu, mana yang menurut Mbak, oo ini faktor yang sangat berpengaruh, faktor ini yang kurang , kalau diperingkatlah, dan kalau di DJA di kurun waktu 2007 sampai 2010 itu, mana menurut Mbak yang menjadi strengthness nya, mana yang menjadi weaknessnya dari faktor-faktor itu ?
Triana : Kalau dibuat pemeringkatan, kalau dari yang paling dominan itu dari
segi SDMnya, kemudian yang kedua tentang Proses Bisnis, yang ketiga penataan organisasi. Nah kenapa ? karena kalau yang paling dominan itu SDM, itu karena SDM itu sebagai penggerak, mindset nya ada disitu semua jadi butuh waktu yang tidak sebentar. Menurut saya, itu sangat sangat berpengaruh.
Peneliti : Nah kalau dari tadi mbak, yang streghnessnya, kalau di..faktor-faktor
yang ada di DJA ini, faktor-faktor internal yang ada di DJA tadi, dalam implementasinya itu, yang menjadi strenghnessnya yang mana ini, faktor yang mana, yang misalnya kekuatan untuk DJA dalam melakukan implementasi dari tadi masalah organisasi, mulai dari SDM sampai faktor kepemimpinan, ini yang mempunyai pengaruh positif yang luar biasa dalam rangka perubahan ini, faktor yang mana ?
Triana : Yang... SDMnya?
Subyek Wawancara : Triana Ambarsari Kepala Bagian Kepegawaian DJA Tempat : Ruang Kerja Kepala Bagian Kepegawaian DJA Waktu : Kamis, 26 Januari 2012, Pkl 07.00 – 07.30
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
160
Universitas Indonesia
Peneliti : Bukan... yang... jadikan gini, faktor itu kan yang pengaruh positif bisa yang pengaruh negatif, kalau pengaruh negatif ini menjadi hambatan, penghambat gitu ya. Nah yang ingin saya ketahui, yang menjadi faktor pendorongnya ini. Fakitor internal tapi yang sifatnya positif, yang mendorong atau yang mendukung implementasi pelaksanaan Reformasi Birokrasi di DJA ini ?
Triana : Eee...dari segi regulasinya. Menurut saya dari segi regulasinya itu
yang menjadi penggerak, karena apa ? Gini, eee.. regulasinya itu, semua ini Reformasi Birokrasi, menurut kami, semua yang dibuat, kebanyakan dibuat...eee..dari awalnya itu dari Sekjen. (Peneliti: Sekjen). Itu yang jadi pendorongnya. Nah biasanya, Sekjen itu ada yang memang pedomannya itu ada yang cuman global saja, ada yang sifatnya detil. Kalau global, kadang cuman diminta masing-masing unit eselon I diminta membuat pola mutasi contohnya seperti itu. Ada pedomannya ada. Nah, ini nanti bergerak ke bawah Bergerak ke bawah,...nah intinya dari sananya. (Peneliti: dari Sekjennya ya..) Ya.. dari Sekjen, dari segi aturannya, kemudian kita buat, itu yang akhirnya, setelah dibuat aturan-aturannya, akhirnya kita sosialisasikan ke teman-teman, nah mau ndak mau kan mereka berubah, jadi bergerak, mendorong perubahannya seperti itu, juga kalau selain itu, nggak cuman...nggak cuman,...tadi saya contohkan kan.. tentang pola mutasi, itu hanya sebagian kecil saja, semua tingkatan ada kok. Tentang penataan organisasi, itu ada pedomannya juga., proses bisnis, tentang SOPnya, kemudian tentang ABKnya, semua lini, MSDM misalkan, tentang yaitu tadi..pola mutasi, bahkan sampai sekarang ada pedoman-pedoman yang juga masih dikaji. Contohnya penataan pegawai, kemudian... masih terus berproses sampai dengan saat ini.
Peneliti : Itu yang menjadi pendorong ya...(Triana: Iya) Kalau yang jadi
penghambatnya, karena gini ee...kami tahukan pada kurun waktu 2007 sampai dengan 2011 itu, Mbak Ana ini termasuk salah satu pegawai yang duduk didalam tim yang menjadi agent of changenya di DJA,...jadi yang ingin kami ketahui itu, yang mbak rasakan pada saat menjalankan agenda Reformasi itu di DJA, nah ini dilihat dari faktor penghambatnya gitu mbak, apa sih yang menghambat dulu, kendala-kendala yang mbak rasakan dulu itu, ini cmritanya engenang masa lalu ini?
Triana : Iya ya... jadi, kalau dulu, menyambung yang tadi ya, dari atas kita
itu...kita diminta untuk me... ada pedomannya, membuat.. contohnya dulu... waktu itu diantaranya tugas saya adalah untuk membuat Uraian Jabatan, itu sampai detil sekali. (Peneliti: Itu dari atas, petunjuknya sampai detil ya ?) Iya.. dari atas petunjuknya sampai detil. Nah, sudah dibuat ni, sampai... Uraian Jabatan itu sampai lima
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
161
Universitas Indonesia
belas point, sudah membuatnya susah, lama... bagaimana kita menggerakkan teman-teman di unit-unit itu supaya membuat gitu.... itu juga seni tersendiri ya...kita juga membuat pedomannya untuk mempermudah mereka. Karena kalau, kita nggak memenuhi aturan tersebut, oleh Organta dikembalikan, nah..setelah dibuat, itu tebel sekali, tapi dalam pelaksanaannya atau implementasinya, ndak dipakai. Kenapa? Karena terlalu rigid sekali. Kalau di swasta itu kan simple, hanya beberapa lembar. Jadi orang lebih tertarik itu. Jadi itu diantaranya.
Peneliti : Jadi,... kalau saya simpulkan tadi, Mbak Ana mengatakan faktor
pendorongnya regulasi, tapi sekaligus faktor penghambatnya juga regulasi juga ini berarti.
Triana : Ya... Peneliti : Trus...bagaimana dengan itu mbak....komitmen pimpinan? Triana : Komitmen Pimpinan,... Peneliti : Ndak...kita ini bicara di DJA ya...karena fokus penelitian ini di
DJA,...kurun waktu 2007 sampai 2011. Yang Mbak rasakan.... karena kalau saya lihat di literatur itu, faktor komitmen pimpinan mempunyai pengaruh yang signifikan untuk menggerakkan sebuah perubahan ?
Triana : Kalau menurut saya... faktor pimpinan cukup berpengaruh... cukup
berpengaruh. Kalau dari atas mereka melihat globalnya saja. Yang penting ada perubahan. Memang ada terjadi...terjadi perubahan. Ee dari pimpinan itu sering mengingatkan di forum-forum itu. Pada saat ini good governance supaya lebih terjaga... dan lain-lain. Memang eee... apa ya... para pegawai itu juga,...karena sering diingatkan, kemudian aturan-aturan juga kita semakin banyak. Aturan disiplin, aturan tentang pengawasan intern, waskat, segala macem, itu banyak sekali, sampai berlapis-lapis. Dan selain itu juga figur ya...jadi model (peneliti: role model). Role model itu juga sangat berpengaruh. Mereka sih komit.
Peneliti : Komitmennya ada ya... cuman ee.. apakah,... ini ini menurut mbak
ya.. yang mbak rasakan ketika menjalankan implementasi Reformasi Birokrasi dalam kurun waktu 2007 sampai dengan 2011. Apakah role modelnya ada di DJA gitu ya... untuk menjalankan sebuah reform ini sehingga, yaitu tadi...tadi yang mbak sampaikan bahwa perlu role model itu. Maksud saya ya...paling tidak, yang cukup signifikan untuk dijadikan role model gitu lo ?
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
162
Universitas Indonesia
Triana : Kalau yang pimpinan sekarang, jujur kalau mau saya katakan, pimpinan sekarang sudah baik.
Peneliti : Ndak...kita memotretnya 2007 sampai 2011. (keliatan Triana enggan
menjawab pertanyaan tersebut dan memberi isyarat untuk ganti pertanyaan)
Triana : Ya..dalam kurun waktu itu, kan ada terjadi pergantian pimpinan. Ee..
kalau yang, saya katakan tadi, yang sekarang ini. Beliau ini seorang yang inovasinya juga tinggi, integritasnya juga terjaga.
Peneliti : Oke...kalau kita lihat gini mbak...kalau kita lihat per agenda. Kan di
reformasi birokrasi kan ada tiga pilar ya...tiga pilar agenda yang besar, yaitu penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen SDM. Pada kurun waktu 2011...eee 2007 sampai 2011 itu, Mbak Ana kan ada di agenda penataan organisasi mbak ya...juga masuk di perbaikan proses bisnis juga sebenarnya. Nah...mungkin mbak bisa ceritakan kalau untuk dua agenda ini. Itu kendalanya seperti apa, kendala implementasinya di DJA itu?
Triana : Tentang Penataan Organisasi. (Datang OB menawarkan minuman
untuk peneliti dan Mbak Ana). Kalau tentang penataan organisasi, ee.. dalam kurun waktu 2007 sampai 2011, dihasilkan dua PMK di DJA. Ada PMK 100 tahun 2008 dan PMK 184 tahun 2010. Nah... pada saat,...ini kita mau bicara soal prosesnya?
Peneliti : Heeh..heeh, prosesnya,...karena penataan organisasi itu kan bagian
dari agenda itu kan. Jadi arahnya sebenarnya dalam penataan organisasi, kalau dilihat dari sisi regulasinya, itu kan membentuk right sizing dari organisasi, gitu ya, penajaman fungsi dan lain sebagainya. Ini kembali bertanya mengenai apa yang mbak rasakan ceritanya. Pada saat implementasi itu kendalanya apa, apa ini sudah right sizing bener, apakah sudah sesuai dengan yang diinginkan regulasi...intinya seperti itu ?
Triana : Memang pada kenyataannya di kedua PMK tersebut semakin lama
semakin membesar, bukan right sizing lagi. Nah itu tapi kita juga bisa memahami, karena apa ... karena tugas-tugas di DJA itu semakin lama semakin banyak, dan... semakin banyak semakin kompleks dari yang dulu-dulu sehingga perlu dibentuk unit khusus. Memang akhirnya menggemuk, dan larinya ke spesialisasi.
Peneliti : Kalo dari sisi proses bisnis....perbaikan proses bisnis ? Triana : Kalo perbaikan proses bisnis.. sekarang,..dibandingkan dengan yang
dulu ya... eee sekarang sudah banyak SOP-SOP ... SOP-SOP baru,
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
163
Universitas Indonesia
tapi... Peneliti : Sebenarnya dalam prakteknya memang yang in charge disitu saya
kan. Cuman saya ingin melihat apa yang saya rasakan sama ndak dengan yang mbak Ana rasakan kira-kira seperti itu? pada waktu implementasi itu
Triana : Iya..tapi ee... SOP menurut saya, SOP itu belum sepenuhnya
dijadikan pedoman dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari. Dibuat sih dibuat gitu... hanya sekedar untuk memenuhi target, hanya sekedar untuk memenuhi.. ada lo SOP gitu lo, hanya untuk sekedar memenuhi syarat untuk... syarat reform itu kan harus ada SOP
Peneliti : Hampir sama nasibnya dengan Urjab, detil ...detil.. tapi ndak... Triana : Iya...detil...detil, tapi belum dijadikan menjadi pedoman. Saat ini
belum dijadikan pedoman, karena...karena memang terlalu detil, jadi bagaimana caranya membuat itu lebih menarik, lebih aplikatif, lebih implementatif.
Peneliti : Iya...kesimpulannya memang kalo itu faktor SDMnya...memang agak
susah ya. Triana : Dan juga dari regulasinya... dan mungkin harus lebih disederhanakan
lagi. Peneliti : Kemudian kalo dari sisi Manajemen SDM. Nah ini... posisi sekarang
ya mbak,... jadi artinya eee... istilahnyakan Mbak Ana meneruskan apa yang sudah dicapai oleh pejabat pendahulu. Nah dalam posisi saat ini, kalau Mbak rasakan dalam manajemen SDM ini kendala-kendalanya apa, trus strategi untuk meningkatkannya seperti apa gitu ya ?
Triana : Yang pertama... sebetulnya banyak aturan-aturan tentang
peningkatkan manajemen SDM. Saya pribadi merasa ada yang berhasil dan ada yang belum berhasil. Yang berhasil itu diantaranya, kalau sebelum reform itu, tidak ada penilaian kompetensi, soft kompetensi. Nah, sejak ada reform itu dibentuk... ada assessment center. Semua pejabat eselon II, III, dan IV apabila mau menduduki jabatan tertentu, mereka harus di assesst terlebih dahulu. Nah assesst itu minimal 72%, kalau ndak itu, ndak bisa. Itu salah satu prasyaratnya. Itu sampai sekarang masih berlaku. Dan itu cukup berhasil menurut saya. Dalam...meskipun,..maaf, itu kan baru soft kompetensi...memang itu salah satu syarat. Tidak satu-satunya alat. Tidak satu-satunya alat. Memang banyak penilaian, diantaranya ada
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
164
Universitas Indonesia
dari soft kompetensinya, ada dari hard kompetensinya, penilaian pimpinan sehari-hari soal perilaku dan lain-lain. Itu dari kompetensi, kemudian, tentang pola mutasi. Pola mutasi sama. Tapi dalam pelaksanaannya, belum. Karena akan kesulitan. Tidak hanya di DJA saja. Karena di unit-unit eselon I yang lain, juga kesulitan. Apalagi dengan adanya sistem grading sekarang ini. Tiap jabatan, itu ada gradingnya masing-masing. Nah, dampaknya apabila seseorang yang sudah, sebelumnya duduk digrading yang tertinggi, kemudian dipindah, dimana dipindah unit yang dituju itu gradingnya lebih rendah, seolah-olah itu satu hukuman. Dan itu menghambat, menghambat mutasi. Nah itu akhirnya,...ndak bisa... itu merupakan kendala juga.
Peneliti : Artinya, perlu terobosan untuk mengintegrasikan antara pola mutasi
dengan mekanisme reward and punishment gitu ya, jadi desain mutasinya tidak sekedar tour of duty tapi juga bagian dari reward and punishment. Kalo menurut Mbak Ana gimana Mbak? Jadi artinya gini, ya memang kalau seseorang itu dipindahkan dari suatu tempat, kalau dia gradingnya turun itu bagian dari pusnishment untuk dia, karena dinilai tidak perform ditempat ini. Kalau si A misalkan ditempat tertentu di grading yang lebih rendah, terus kemudian dipindahkan masih dengan jabatan yang sama, dilevel eselon yang sama gitu ya, tapi gradingnya lebih tinggi, ya memang itu bagian dari reward. Kalau sekarang, belum terintegrasi seperti itu. Kalau menurut Mbak Ana bagaimana?
Triana : Menurut saya, kalau soal reward dan punishment, hubungannya
dengan mutasi, bisa iya bisa enggak gitu. Kenapa bisa iya? Seperti tadi yang Mas Satya bilang tadi, bagian dari reward iya. Tapi kalau bagian dari punishment, misalnya tadi dari yang tertinggi ke yang terendah, saya kurang setuju ya. Tapi itu,...gimana ya jelasinnya, eee..kalau ndak seperti itu, ndak akan gerak. Orang kan kalau digrade yang tertinggi terus, ndak akan gerak. Kalau nggak keluar, nggak akan gerak itu. Nah mungkin reward and punishmentnya itu dalam bentuk lain, misalkan insentif, yang saat ini, peraturannya sedang digodok. Jadi tidak hanya orang itu...eeee gini, jadi apabila dia punya target, kemudian target terpenuhi, maka diberi reward dia. Tapi saat ini memang sedang digodok.
Peneliti : Eee...ni mulai mendekati kesimpulan, kalau menurut Mbak Ana
sendiri, dari kurun waktu 2007 sampai 2011. Capaian ini, bicara capaian implementasi reformasi birokrasi di DJA menurut Mbak Ana, seberapa berhasil ?
Triana : Gradenya apa ni... sangat berhasil, berhasil, ..(Mbak Ana tertawa)
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
165
Universitas Indonesia
Peneliti : Sangat berhasil, berhasil, cukup berhasil, kurang berhasil... Triana : Atau lima grade,.....??? Peneliti : Cukup empat grade aja deh.... Sangat berhasil, berhasil, cukup
berhasil, .....eeee sama terakhirnya kurang berhasil. Kira-kira ada digrade berapa ni kalau kita buat empat
Triana : Di grade tiga. Tiga tapi belum tiga full, tiga masih dibawah. Peneliti : Tiga minus ya.... dua plus tapi tiga minus. Eee..bisa menjelaskan
indikator-indikatornya apa Mbak? Triana : Seperti yang tadi. Akhirnya kesimpulan yang tadi. Kita memenuhi
dari segi reform, ya.... tapi dari segi pelaksanaannya masih banyak kendala. Secara aturan ada, tapi kurang bisa diimplementasikan, gitu. Itu tadi, tapi ada yang berhasil, tapi kalau dibilang secara umum, itu seperti itu menurut saya pribadi. Atau misalkan ini, tentang disiplin, tentang kode etik. Menurut saya sangat sangat ee.. sudah jauh ya... sudah... sudah.. sudah jauh lebih baik dibanding yang dulu. Kalau dulu seperti apa, mas mungkin sudah tahu sendiri. Sekarang, orang akan lebih berpikir berapa kali dia kalau ada, sampai ada KKN, gratifikasi, karena aturannya sudah sangat berlapis-lapis. Dan sering diingatkan. Role model juga sudah cukup bagus ditingkat pimpinan. Kalau soal disiplin, sekarang menurut saya sudah disiplin. Dibanding yang dulu, kalau dulu, dibandingkan dengan yang dulu, tanda tangan, tanda tangan manual gitu, bisa dititipkan, sekarang, pakai handkey. Tapi dari segi aturan atau regulasi ini juga kita tampung. Ada ini baru-baru ini per 1 Januari 2012 itu ada aturan tentang fleksitime. Eee, 30 ...30 menit bisa diakomodir apabila terlambat. Nah itu juga sebetulnya menampung juga ee aspirasi-aspirasi, dan kondisi yang terjadi di Jakarta. Itu juga bagian dari reform juga menurut saya, itu karena terobosan yang.. dan ditempat KL lain juga belum ada yang seperti ini.
Peneliti : Oke, terima kasih Mbak Ana atas waktunya.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
166
Universitas Indonesia
Lampiran 4 : Transkrip Wawancara Pengumpulan Data Penelitian dengan Heru Subiyantoro
Peneliti : Terkait dengan pelaksanaan agenda Reformasi Birokrasi ini pak, karena capaian dari implementasi Reformasi Birokrasi ini masing-masing eselon I beda meskipun agenda dan kebijakannya ditetapkan sama. Kalau menurut Bapak kira-kira faktor internal, dengan mengabaikan faktor eksternalnya pak, faktor internal apa saja yang mempunyai pengaruh baik positif maupun negatif dalam capaian implementasi Reformasi Birokrasi di DJPK ini pak?
Heru : Oke.. nah di DJPK, kalau kita lihat internal yang perlu diperhatikan
itu ini.. apa namanya, satu yang jelas ndak bisa dirubah ..ndak bisa diabaikan adalah persoalan sumber daya manusia. Itu harus... harus prima. Jadi kalau kita bicara aspek internal. Kita lihat dulu inputnya apa, inputnya ini. Inputnya apa ? Inputnya itu sumber daya SDM, lalu SOPnya harus jelas. Ini sekarang saya bicara SOP ni. Sekarang ya... eee kita mencari kesamaan. Mencari kesamaan diantara hal-hal yang bisa ditangani bersama. Jadi itu... itu penting. Karena gini, kita jangan mencari...kayak disini ni kan unitnya boleh dikata sangat-sangat sangat beragam. Kalo ditempat anda, antara PA I eee ...Anggaran I, II, III itu seragam..homogen. Na..disini, itu ada unit-unit sangat heterogen. Saya ambil contoh ditempat Saya. Tempat saya itu ada kepegawaian disitu, ada organisasi disitu, ada keuangan disitu,.. ..ada satu lagi ada apa.. umum disitu...itu by nature itu berbeda. Tetapi bukan .. bukan kita lalu mencari bedanya gitu... carilah kesamaannya. Carilah kesamaannya sehingga itu bisa dikerjakan bersama. Ini kok kebetulan ada datang... sekarang ada perdebatan mengenai itu ..mengenai kita kan mengadakan unit pelayanan dilantai 3 ni.. dibawah rencananya...itu ada pro and con.. kenapa harus dipilih satu orang yang menangani semuanya sebagai supervisor. Itu soalnya pertanyaannya itu jadi pertanyaan terbalik.. nah kalau itu ditangani banyak orang dibawah,..artinya sebenarnya itu nggak terjadi...mindahin..mindahin pekerjaannya kebawah kan. Nah jadi harus dicari..apa..itu ..orang-orang yang mempunyai kapabilitas tinggi yang tidak bisa di...anu.. apa namanya yang tidak bisa dihindarkan ..harus..harus internal itu harus diperhatikan. Lalu SOPnya harus jelas. SOP harus jelas mas...itu. Terus apa lagi.. lupa aku.
Subyek Wawancara : Heru Subiyantoro Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
(Dalam Implementasi Reformasi Birokrasi DJPK bertindak sebagai Ketua Pelaksana Harian Reformasi Birokrasi)
Tempat : Ruang Tunggu Tamu Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
Waktu : Kamis, 12 Januari 2012, Pkl 15.00 – 15.15
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
167
Universitas Indonesia
Peneliti : Kemudian kalo dari sisi penataan organisasinya pak? Heru : Nah.. organisasinya...organisasinya harus ditata. Nah..Organisasinya
harus ditata.. fungsi secara umum sudah berubah..fungsinya sudah berubah.. jadi kalo...kan ada adigium begini..yang bisa survive...itu bukan mereka yang kuat... bukan mereka yang pandai..tapi mereka yang bisa melakukan perubahan. Harus berubah. Ni sekarang kita akan mencoba.... sekarang ni.. DJPK akan... tadi saya arahkan ni... berubahlah seperti bagaimana swasta bekerja. Saya ambil contoh tadi.. kalo kita Garuda..ya kan selalu dia selalu... dipesawat mau mendarat itu kan... dia selalu sopan. Di perbankan...lebih-lebih diperbankan.. ada ni “bisa saya bantu pak..” Selalu ngomong begitu...setelah selesai ..”ada lagi pak yang bisa saya bantu pak”...trus layani dengan senyum dan dengan hati...saya kira itu Menteri Keuangan sudah..sudah itu...kemarin Menteri Keuangan memberi contoh..kemarin pada rapat Forum Ses. Dia muter dia... Dia datang terlambat..dia muter...nyalami semuanya. Itukan senang..orang yang didatangi senang gitu.
Peneliti : Kalo ..dari sisi ini pak.. dari sisi implementasinya sendiri. Ya itu
faktor yang mempengaruhi, tapi yang Bapak rasakan sebagai kendala. Kendala.. kendala dalam melakukan perubahan implementasi Reformasi Birokrasi di DJPK
Heru : Saya.. kalau saya melihatnya gini. Ini masalah kebiasaan saja. Kalau
kita terbiasa melayani orang, saya kira nggak sulit. Ni contoh ni.. Dirjen saya ni ya.. kalau ada tamu. Ada cleaning service memberikan minum teh, dia selalu ngasih ke Dirjen dulu. Eh..tegur.. tamunya dulu. Kalau ada tamu yang penting,... dia selalu antar sampai ke depan lift. Tamu itukan merasa dihormati. Sebetulnya itu dimulai dari... eee apa,..eee.. cara-cara yang sudah kita kenal diswasta. Swasta bisa melakukan itu dengan efisien. Ya..contoh yang sangat sederhana... dulu ketika kantor ini... Departemen Keuangan membentuk apa namanya debt management unit... saya pernah disitu. Yang sekarang jadi DJPU itu. Itu hal sepele. Saya ceritakan begini... Kita kan cenderung melayani tamu dengan teh, kue, snack, segala macem itu ya...Saya kira ndak perlu. Sediakan aja di pojok itu... apa namaya teh, kopi...kalau dia mau minum...haus... ambil sendiri. Itu ternyata lebih hemat. Lebih hemat. Kita ndak usah “ngorahi” piring banyak-banyak. Tamu bisa dateng kesini.. orang-orang asing tinggal di hotel. Makan itu seperlunya. Ngapain kita suguhin. Jadi mulai dari hal-hal seperti itu. Hal-hal yang kecil-kecil kalau mau merubah itu. Kita sudah tidak membolehkan tamu naik ke ruangan. Ndak boleh. Hal seperti itu ndak boleh. Ndak tau di Anggaran. Tapi kita tidak boleh... nongkrong. Tapi kita sediakan dalam satu ruangan di lantai 3. Lantai 3 nya seminggu lagi jadi.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
168
Universitas Indonesia
Peneliti : Trus... kalau dari sisi strateginya pak. Strategi untuk... kan ini Bapak
sampaikan tadi, ni ya agak susah kan dari sisi SDMnya pak..(Heru: Ya... betul). Dari sisi SDM-nya untuk merubah habit
Heru : Ya betul... itu tidak bisa merubah seketika, tetapi harus dimulai dari
contoh dari pimpinan. Contoh dari pimpinan (tiba-tiba masuk seorang pegawai yang akan rapat dengan Dirjen PK). Ee... masyarakat kita itu adalah masyarakat paternalistik. Dia melihat pimpinan. Jadi dia kalo melihat pimpinan seperti itu orang sungkan. (pegawai yang akan rapat keluar dari ruang rapat dan berbicara dengan Pak Heru), nah jadi... jadi dilihat dari contoh dari pimpinan. Saya kasih contoh soal sepele tadi... jangan...tamunya dulu, OB tahunya Dirjennya dia, soalnya tamu itu kita nggak tahu siapa, tapi walaupun tamu itu orang lebih rendah dari Dirjen, tapi kalau tamu itu dilayani lebih dulu, tamu itu akan merasa senang.
Peneliti : Jadi strateginya strategi keteladanan dulu ya .. Heru : Iya...keteladanan. Teladan...harus teladan Peneliti : Ini mungkin terakhir pak, sebelum Bapak rapat ni... Eee..kalau secara
umum Bapak menilai Reformasi Birokrasi di DJPK dari tahun 2007 sampai 2011 kemarin ni pak. Ini bagaimana pak?
Heru : Oo... sudah berubah, sudah sangat berubah. Bukan karena aku dari Departemen Keuangan, saya sering ke daerah, tadi saya juga ceritakan disini. Saya sering ke daerah, dan orang daerah selalu bilang begini... eee saya salut dengan Departemen Keuangan, bukan kayak departemen lain. Ngomong seperti itu. Mudah-mudahan dia ngomong begitu bukan karena saya ketemu mereka sebagai Ses kan. Tapi rasanya itu eee.... pernyataan yang tulus. Kita kan tahu mana pernyataan yang tulus sama tidak. Jadi memang harus dirubah itu dimulai dari kita. Dari hal yang kecil-kecil saya katakan. Kayak katanya AA Gym, mulai dari yang kecil, laksanakan sekarang, dan diri kita sendiri. Udah mulai itu, semua akan berubah. Gitu. Aku sekarang ya... aku kebetulan, saya itu jam 7 teht sudah sampai dikantor walaupun aku ndak punya absen, tapi saya tetep dateng jam 7 lebih 10 sudah ada dikantor. Orang kan.. orang kan juga sungkan kalau aku dateng. Kalau aku dateng jam 10, ooo Ses saya dateng jam 10. Ini nggak, walaupun saya nggak punya absen, saya tetep dateng jam 7 lebih 10.
Peneliti : Oke pak... terima kasih atas waktunya Heru : Jadi contoh..., SOP, dan sumber daya manusia harus diperbaiki. Peneliti : Ee... sebentar pak, kalau masalah SOP ini... ini kan memang kalau
kita perhatikan... seperti kasus yang ada di Dirjen Perbendaharaan, SOPnya sudah jelas,... ada kawan, dia sudah menjalankan SOP, tapi dia malah masih kejerat...
Heru : Nah...tindak saja.. tindak saja Departemen ini, sebentar lagi akan.. selesai sebetulnya. Sekarang pecat itu lebih gampang,... sebentar lagi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
169
Universitas Indonesia
akan saya lakukan... masih dalam proses. Ndak ada masalah. Peneliti : Oke pak...terima kasih atas waktunya.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
170
Universitas Indonesia
Lampiran 5 : Transkrip Wawancara Pengumpulan Data Penelitian Dengan Ahmad Yani
Peneliti : Kalau kita perhatikan dalam implementasi reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan khususnya di Dirjen Perimbangan Keuangan Pak, kalau kita mengabaikan faktor eksternalnya gitu ya, karena berdasarkan hasil survei yang dilakukan lembaga independen ini hasil capaian dimasing-masing unit eselon I ini berbeda-beda. Nah, untuk DJPK Pak, faktor internal apa yang kira-kira mempengaruhi capaian implementasi kebijakan reformasi birokrasi ini Pak?
A. Yani : Saya pikir banyak ya, kalau kita bicara faktor internal ya,..eee jadi
yang internal kan apa yang ada dikita, yang kita kuasai ya. Kalau saya melihat, yang pertama yang menentukan itu adalah faktor komitmen dari pimpinan. Faktor komitmen pimpinan menentukan, menurut saya itu. Kalau pimpinannya care terhadap hal ini, ya kita jadi ikut-ikutan care. Siapa, ya tentunya pimpinan tertinggi di DJPK, ya Dirjennya... dia care nggak itu. Dan di kita cukup care lah kira-kira, kalau Pak Marwanto kan dikenal orang apa..bekas apa.. tim reformasi birokrasi, yang kedua,... eee. Itu terkait dengan leadership mungkin, leadership....leadership dari pimpinan tidak hanya tertinggi, jadi leadership dari tiap-tiap pucuk pimpinan itu menentukan.
Peneliti : Artinya disini tipe gaya kepemimpinannya ? A. Yani : Bisa..bisa begitu, gaya leadership menentukan juga. Trus yang
berikut...banyak sih faktornya. Kalo saya lihat, eee... aturan main, ya legal formalnya, itu juga menentukan. Itu faktor internal juga yang mungkin boleh dikatakan menentukan keberhasilannya. Kalau kuat, matang gitu ya aturan mainnya, ya ini kita jadi taat dan patuh. Yang berikut, ee sarana prasarana menurut saya gitu ya, harus ada yang menentukan, yang kita miliki ya, orang (peneliti: SDM), SDM ya SDM, duit juga uang, saya pikir, kemudian prosedur, metode
Peneliti : Uang dalam hal ini anggaran untuk pembiayaan agendanya ya.. A. Yani : Ya...ya, dana ya. Kalau ndak ada didukung oleh sumber pendaanaan
kan, misalnya untuk mengubah cara orang bekerja kan perlu ada misalnya training dan sebagainya, perlu ada pembayaran remunerasi dan sebagainya, kan ujung-ujungnya kan begitu kan. Itu kira-kiranya.
Subyek Wawancara : Ahmad Yani Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana DJPK Tempat : Ruang Kerja Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana
DJPK Waktu : Kamis, 12 Januari 2012, Pkl 13.00 – 13.30
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
171
Universitas Indonesia
Peneliti : Kemudian kalau, kalau dari faktor-faktor internal tadi yang Bapak sampaikan tadi, itu kalau kita buat peringkat gitu, tiga teratas, tiga yang paling besar pengaruhnya di DJPK dalam mencapai implementasi reformasi birokrasi, faktor apa saja Pak yang teratas?
A. Yani : Yang pertama faktor pimpinan tadi, faktor pimpinan, itu paling kuat
menurut saya, yang kedua itu... Peneliti : Mohon maaf, kalau yang pimpinan ini komitmennya apa
leadershipnya A. Yani : Komitmen...komitmennya Peneliti : komitmennya A. Yani : Komitmen...komitmen untuk .. untuk apa... untuk menggenjot agar
supaya kita mau. Jadi dia selalu mengingatkan, selalu care, selalu bertanya, selalu mengarahkan dan sebagainya, itulah kira-kira. Itu satu, yang kedua adalah sistem dan prosedurnya, yang ketiga baru manusia. Manusia itu menentukan juga. Kalau manusianya enggak mau berubah, enggak mau reform ya susah juga. Itu tiga..tiga yang menentukan.
Peneliti : Tiga ini ya yang paling dominan di DJPK ya ? A. Yani : Ya Peneliti : Kemudian, kalau kita lihat dari masing-masing agenda Pak. Kan kita
ada agenda penataan organisasi, agenda perbaikan proses bisnis, dan agenda peningkatan manajemen SDM, nah didalam menjalankan implementasi mengenai agenda reformasi dibidang penataan organisasi misalkan, itu kendala,...karena ini kan kebetulan leadernya ada disini nih pak, artinya agent of changenya ada di organisasi disini, nah yang bapak rasakan itu, kendala faktor internal apa saya yang bapak rasakan itu ?
A. Yani : Kendala ni ya. Bukan faktor... ini dari sisi kendalanya nih ya Peneliti : Iya,... dari sisi kendalanya ni pak A. Yani : Saya pikir gini, saya lihat kendalanya itu dari aturan hukumnya yang
apa terlambat ... mengantisipasi perubahan itu. Jadi kita kan ada proses untuk itu gitu, terlepas dari faktor ya, jadi sebenarnya kita harus memiliki pijakan hukum yang kuat menurut saya. Itu, kalau dari sisi organisasi. Karena sebenarnya organisasi itu boleh dikatakan apa...
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
172
Universitas Indonesia
Peneliti : Artinya gini pak, mohon maaf. Kendala yang memang ada di
authoritynya, kewenangannya DJPK gitu. Apakah yang dimaksud bapak aturan hukum itu, aturan hukum yang memang dibuat DJPK tersendiri...
A. Yani : Bukan bukan, aturan hukum yang secara umum yang sebenarnya
membuat kita menjadi sulit untuk melakukan perubahan. Tapi kalau kendala untuk melakukan perubahan organisasi misalnya ya, mungkin saya melihat ini ada semacam keengganan ya, ada... ada semacam apa tu, kekhawatiranlah, contoh kami, contohnya... kan dulu kan, Menteri menginginkan adanya reformasi organisasi untuk membuka kantor daerah, itu semacam, ada semacam resistensi dari pegawai. Jangan-jangan saya dibuang ke daerah nanti, itu seperti itu. Saya pikir itu kendala juga ya, yang lain sih saya pikir kalau dukungan cukup baik. Soalnya kita kan melaksanakan perintah pimpinan ya, pimpinan care, segala macemnya. Kalau kita sendiri kita laksanakan kok, sesuai dengan ini. Eee... kemudian mungkin juga di internal kita ni ya, karena karena menyangkut uang, kita tergantung tuh ya ...tergantung pihak Biro Organta, tapi kalau kita, kita ndak masalah sih kalau saya pikir. Cuman ada semacem ketakutan lah kalau saya melihat. Ketakutan dari ya mungkin beberapa orang lah ya.
Peneliti : Berarti termasuk juga kalau di agenda perbaikan proses bisnis ?
Hampir sama berarti Pak ya? A. Yani : Di proses bisnis, kendala yang kita ini ya, ya gini, kalau saya melihat
orang terbiasa dengan hal yang sudah mapan Peneliti : O ya ya.. A. Yani : Jadi untuk mengubah itu agak berat. Untuk mengubah eee... change.. Peneliti : Cara kerjanya A. Yani : Cara kerja Peneliti : Mindset A. Yani : Jadi orang bekerjanya, udahlah seperti business as usual. Jadi eee
orang berada pada zona nyaman Peneliti : Comfort zone ya A. Yani : Comfort zone, jadi enggak mau berubah itu. Takut.... itulah
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
173
Universitas Indonesia
kendalanya sebenarnya. Setiap ada perubahan-perubahan tu... apalagi, kenapa lagi ni... kan sudah biasa kita lakukan. Nah memulai sesuatu yang baru itu hal yang sulit di business process tu ya. Contohnya, kan kita di business process ada beberapa macem ya saya lihat ya, ada SOP ya,.. misalnya orang enggak mau repot gitu dengan hal-hal yang baru, kemudian mungkin analisa beban kerja ya, orang melihatnya itu sebagai barang-barang yang aneh. Apa ngrepotin aja. Itu saya lihat. Ini apa urusannya sih. Padahal kita perlu melihat kesiapan tenaga kerjanya gitu. Itu kira-kira yang saya tahu.
Peneliti : Trus kalau di aspek...ini mungkin tidak... bukan merupakan faknya
Bapak. Tapi kalau menurut Bapak dari apa... implementasi agenda peningkatan manajemen SDM. Aa.. ni faktor internal yang menjadi kendalanya kira-kira apa nih pak yang ....
A. Yani : Kalau saya melihat... ditempat saya ni ya Peneliti : Ya di DJPK A. Yani : Itu ininya... mohon maaf ni ya,... karena bukan bagian saya. Tapi
menurut saya greget dari bagian SDM ini tidak terlalu kuat... Peneliti : Berarti kelemahan leadership ya ? A. Yani : Mestinya di... sorry ya, saya enggak mau menilai itu. Menurut saya
mereka bisa memulai, karena banyak, kita bisa menggunakan.. tools management apa.. tools..talent management kan... kemudian masalah kinerja, dan sebagainya itu harusnya dimulai gitu lo,..
Peneliti : Tapi apa belum ada grand design... A. Yani : Saya enggak tahu persis ya, karena itu dibuat diluar saya. Tapi kalau
diluar 1, 2 tadi kan bukan ditempat saya. Kalau saya melihat harusnya SDM juga penting ini, karena mereka juga harus mengetahui kan, unit-unit dipersiapkan, tools tools untuk itunya. Eee.. kalau disitu saya melihat justru dari sisi pelaksanaannya yang kurang. Karena ada ketidakaktifan mereka untuk mengikuti perkembangan ini kalau untuk yang seperti itu. Ini bisa disebut kendala. Tapi sebenarnya boleh dikatakan kita bicara organisasi, kita ikuti induknya lah. Kita ngikut aja sebenarnya. Cuman tadi itu ada semacam hambatan aja. Satu-satunya kendala ya itu.
Peneliti : Kalau yang... faktor paling spesifik gitu pak, yang paling spefisik
yang menjadi... yang mempunyai pengaruh terbesar gitu ya.. atau... (A. Yani : untuk ?) untuk DJPK dalam mencapai kesuksesan dalam implementasi reformasi birokrasi, jadi faktor kendala yang spesifik,
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
174
Universitas Indonesia
hanya ada di ... A. Yani : Kendala ya ? Peneliti : Ya, kendala ya otomatis kalau kita melihat yang mempengaruhi...
mempengaruhi untuk menjadi tidak... A. Yani : Ini ni maksudnya positif apa negatif nih ? Peneliti : Mempengaruhi sebenarnya kita lebih melihat ke negatif Pak. Yang
negatif, yang spesifik yang menjadi kendala dalam pelaksanaan implementasi reformasi birokrasi yang mungkin hanya ada di DJPK gitu lo pak
A. Yani : Kalau saya melihat ya,.. masih ada tadi itu...kendala yang utama itu
rasa enggan itu untuk berubah itu tadi ya. Itu yang menurut saya tu... orang..orang... apa memang merasa saya sudah ada pada zona nyaman. Kenapa mesti berubah. Itu keinginan untuk berubah itu yang tidak ada. Bukan tidak ada.. yang sulit gitu lo. Mereka merasa berubah nanti akan mengubah nasib, mengubah segala macem
Peneliti : Mengubah penghasilan kah? A. Yani : Iya mengubah penghasilan itu yang saya rasakan. Peneliti : Itu kalau kayak gitu, strateginya yang sudah dilakukan selama ini
gimana pak? A. Yani : Ya, kita beberapa langkah yang kita lakukan ya, kita melakukan itu
ya...apa... semacem sosialisasi,... pemahaman pemahaman bahwa kita memang harus berubah. Bahwa ini adalah suatu hal yang dilakukan oleh pimpinan ya..yang diminta oleh pimpinan, dan sudah merupakan program Kementerian Keuangan, jadi ya mau enggak mau kita harus siap, harus ngikutin. Jadi enggak ada cerita enggak siap, meskipun ada hal pribadi. Itu yang bisa kita lakukan. Trus melakukan pemahaman-pemahaman bahwa ini keberhasilan kita ini akan didukung tiga pilar tadi reformasi tadi. Dan faktanya kan kita sudah menerima remunerasi. Jadi mau enggak mau kita harus mendukung itu. Jangan sampai nanti, kalau kasarnya dicabut nanti. Kalau anda tidak mendukung ini, ya.. dinilai gagal reformasi birokrasi kita, efeknya juga ada dikita secara personal. Penghasilan kita akan turun. Hilang remunerasi kita. Itu yang menurut saya menjadi... semacem kita takut-takuti juga lah gitu. Tapi upaya lain, tidak adalah, ya selalu mendengung-dengungkan itu disetiap-tiap rapat itu selalu. Apa, kalau disini ya. Di setiap-tiap rapat selalu pimpinan tertinggi, pak Dirjen selalu meng... selalu meng ... ini terus... mengintroduce terus hal ini
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
175
Universitas Indonesia
gitu lo. Sehingga, itu menjadi terus hal yang ini, tapi ada beberapa pimpinan tertentu ya tetap aja...waduh, ni kita repot ni. Kita ikutin aja deh. Kita begini dah bisa hidup. Seperti itu kira-kira pak.
Peneliti : ee.. kemudian kalau kita. Kita coba tarik lagi ke umum ya pak. Secara
umum...secara general. In general, kalau menurut bapak, implementasi kebijakan reformasi birokrasi di Ditjen Perimbangan Keuangan ini tingkat keberhasilannya sudah sampai level tingkat berapa?
A. Yani : Jadi satu-satu ya... Peneliti : ya B. Yani : Satu-satu, organisasi. Kita sebenarnya saat ini. Kalau dileveling kita
ya kita sudah done. Mengusulkan. Tapi ternyata kan organisasi ini tidak bisa berdiri sendiri kita. Ada faktor eksternalnya yang mempengaruhi kita. Ada pimpinan. Kita sudah mengusulkan sesuai arahan pimpinan, kita sudah usulkan. Kirim surat kita, misalnya untuk mengantisipasi perubahan-perubahan di kita. Perubahan visi, perubahan misi maupun faktor-faktor internal di kita, kita sudah kirim surat ke Sekjen, supaya kita mengusulkan ada perubahan-perubahan, tapi ternyata perkembangan berikutnya kan ada. Ternyata ada semacam asistensi dari pihak luar juga, akhirnya kita berubah lagi ni. Dan selalu mengikuti perkembangan terbaru gitu lo. Jadi untuk organisasi, saya melihatnya itu berjalan mulus lah. Yang kedua untuk SOP, untuk bussines process, bussines process saya lihat, yang paling baik ini, apa dari semua yang tiga ini. Karena SOP sudah kita perbaiki, ada SOP unggulan dan sebagainya, work load analisis beban kerja kita lakukan ya, apalagi ni, kemudian analisa jabatan ya, itu kita lakukan. Ini menurut saya yang paling... paling mulus jalannya dari ketiga itu. Nomor dua organisasilah, yang ketiga SDM. Saya kan bagian dari SDM disini pak. Saya merasa tidak... tidak diberdayakan satu ya, tidak dikembangkan. Saya sebagai manusia pegawai DJPK saya lihatnya tidak ada apa... program yang spesifik yang membuat orang itu menjadi lebih maju. Contoh, misalnya, diklat-diklat disini hanya siapa yang mau, saya mau,... kalau enggak mau ya udah gitu lo. Harusnya menurut saya di plan dengan baik dong..gitu. kemudian kinerja SDM, baru sebatas diukur dengan IKU aja. Kompetensinya belum jalan. Jadi kalau mengukur apa....ee..matrik yang kita buat...apa namanya, kuadran-kuadran untuk melihat siapa yang akan... itu belum berhasil. Jadi sebatas wacana menurut saya ya. Ya, belum berjalan.
Peneliti : Ini ya pak... apa istilahnya, kaitannya dengan pola karir, pola mutasi
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
176
Universitas Indonesia
A. Yani : Ya... pola mutasi, pola karir, kita punya pak (peneliti: iya). Tapi menurut saya itu implementasi yang belum...belum diselenggarakan. Ini mungkin juga karena kita masih terlalu apa... teringat dengan gaya-gaya lama. Kenapa gaya lama itu, contohnya wah dulu itu ada pimpinan misalnya pak, takut dia kalau anak buahnya keluar, dan takut orang masuk gitu. Padahal ini kan menentukan keberhasilannya. Tour of duty dan sebagainya, itu . Orang kan bosan juga. Orang perlu dilatih ditempat yang baru. Lingkungan yang baru. Tapi enggak ber...mohon maaf ya, di DJPK enggak jalan itu. Saya katakan. Boleh anda catet itu. Enggak jalan selama ini. Nah sekarang mungkin baru mau mulai. Beberapa pimpinan selama ini...ya, semacem kerajaan-kerajaan disana. Semacem kalau direktorat itu, ya orang-orang itu aja ndak pernah mutasi. Saya Alhamdulillah saya dimanapun mau, saya bilang, saya enggak perduli. Takut orang-orang tu. Jadi semacem ada ke... apa.. keengganan. Wah kalau dimasukin orang baru nanti berantakan padahal menurut saya itu menunjukkan ketidakmampuannya kita sendiri tuh, kalau kita mampu segala macem kita enggal peduli. Jadi kayak pola karir, pola mutasi terutama, kalau pola karir memang kan kita ni organisasinya sudah sekarang sudah berbentuk ini... apa wajik... apa tuh, (peneliti: piramid) gendut di tengah...bukan piramida pak. Dibawahnya kecil juga, ditengah-tengahnya gendut. Jadi susah tuh. Kasihan juga, disini frustasi orang-orang. Mohon maaf, banyak orang pada frustasi disini. Kayak kita misalnya, golongan-golongan sudah tinggi ya, IIId masih...IIId, IVa belum naik eselon III. Yang IIIc IIIc, IIId bahkan, belum naik ke Kasie. Padahal mereka bukan SDM yang cemen lo. dari luar negeri sekolahnya segala macem tu. Yang menurut saya tuh... tapi karena tempatnya ndak ada. Contoh kemarin tuh misalnya,
ada dua kosong di kita Kepala Seksi pak, 90 orang lebih yang bisa yang eligeble untuk itu. Kan susah milihnya. Satu eselon III ya, tapi ada sekitar 40 orang yang.. eligeble untuk itu. Kan susah. Karena kita organisasi kecil ya. Itu yang mungkin membedakan dengan tempat-tempat lain ya. Perbend misalnya. Kita tuh cuman punya empat eselon II, masing-masing kan ada batasannya. Jadi disini juga pegawainya udah bertumpuk-tumpuk nih, banyak gendut ditengah. Dibawah sih sedikit juga, yang diatasnya apalagi tuh. Jadi berat.
Peneliti : Kalau..kalau saya simpulkan berarti kalau kita peringkat ya, kalau
menurut pendapat Bapak, tingkat keberhasilan capaiannya ya, mungkin proses bisnis yang pertama atau penataan organisasi dulu yang pertama pak ?
A. Yani : Apanya... yang paling berhasil Peneliti : He eh, kalau kita peringkat gitu, kita bikin ranking. Tingkat
keberhasilan capaian dari ketiga agenda itu yang...
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
177
Universitas Indonesia
A. Yani : Kalau disini ? kalau di kita ni yang paling berhasil menurut saya
baru..baru proses bisnis, baru organisasinya.... sebenarnya belum berhasil juga. Kita enggak berubah dari dulu kan....tapi masih maksudnya sudah kita lakukan itu. Kan saya baru mengatakan baru ada perubahan kan kalau kita sudah melakukan perubahan juga, penambahan unit dan sebagainya. Tapi kan belum disetujui ini. Prosesnya dilakukan ini, tapi belum done gitu lo.
Peneliti : Jadi indikator keberhasilannya, prosesnya sudah jalan, dokumen-
dokumennya dah selesai berarti ya... A. Yani : Ya, berpikir itu. Kita melakukan proses itu, tapi kan faktor
eksternalnya berat sekali. Ada Menpan dan sebagainya ya... eee ada Depdagri...itu kan berupa..berupa orang-orang yang sering berhubungan dengan kita, enggak semudah itu yang kita bayangkan kan...dan juga, daerah, ...daerah kan juga merasa, kenapa lagi pemerintah pusat mau ngatur daerah kan sudah otonomi seperti itu juga ada, semacam resistensi lah, baru yang ketiga SDM lah.
Peneliti : Oke pak, terima kasih atas waktunya, mohon maaf nanti kalau ada
informasi-informasi yang kurang kita akan kesini lagi A. Yani Itu yang bisa saya sampaikan, mohon maaf kalau ada yang kurang-
kurang,... pas gitu ya, ini kan untuk kepentingan akademisi ya.
Peneliti : Iya pak...bukan untuk dipublis
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
178
Universitas Indonesia
Lampiran 6 : Transkrip Wawancara Pengumpulan Data Penelitian Dengan Defredi Rozal
Peneliti : Kalau kita lihat implementasi reformasi birokrasi ini kan capaiannya berbeda-beda pak masing-masing unit eselon I, nah kalau kita abaikan faktor eksternal pak, kira-kira kalau menurut Bapak di DJPK ini, faktor internal yang berpengaruh terhadap hasil capaian terhadap implementasi kebijakan reformasi birokrasi ini, apa saja ni pak kira-kira?
Defredi : Ya,..seperti yang saya katakan tadi kan dukungan pimpinan ya...pimpinan
eselon I, kalau saya lihat, kebetulan Dirjen kami ini kan Pak Marwanto ini kan baru tahun 2011 ya, kalau Dirjen sebelumnya Pak Mardiasmo itu sangat concern sekali itu, artinya dia..dia sangat mendukung semualah apa yang diagendakan oleh pimpinan Kementerian Keuangan ya, tentang reformasi birokrasi itu artinya mereka sangat ini gitu...sangat kuat gitu.
Peneliti : Selain faktor pimpinan, kira-kira apa pak? Defredi : Faktor pimpinan artinya itu dimulai dari pimpinan dulu ya. Kalau pimpinan
memang...memang ya...ke...apa namanya...ke...dukungannya kuat ya biasanya bahannya ngikut aja itu. Tapi kalau pimpinannya enggak ini saya rasa bawahannya enggak ini juga. Kalau pimpinan unit eselon I itu memang bener-bener concern ya, itu biasanya kebawahnya mengikut itu.
Peneliti : Nah, kalau kita lihat per agenda pak, atau per pilar. Karena kan reformasi
birokrasi Kementerian Keuangan (Defredi : ada lima pilar). Kita fokus ke tiga pilar aja pak, mengenai penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, sama peningkatan manajemen SDM. Pak kalau kita lihat dari masing-masing pilar, ini untuk penataan organisasi misalkan meskipun ini bukan..bukan domain bapak, tetapi dari bapak rasakan sebagai bagian dari DJPK kira-kira faktor internal yang mempengaruhi baik positif maupun jadi kendalanya itu apa pak ?
Defredi : Penataan organisasi ? Peneliti : Iya Defredi : Ya karena bukan domain saya, ya saya agak ini juga ya... lebih pasnya...udah
ke Pak Yani belum ? Peneliti : Sudah-sudah
Subyek Wawancara : Defredi Rozal Kepala Bagian Kepegawaian Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Tempat : Ruang Kerja Kepala Bagian Kepegawaian Waktu : Kamis, 12 Januari 2012, Pkl 16.00 – 16.15
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
179
Universitas Indonesia
Defredi : Atau saya jawab dari sisi manajemen SDMnya aja ? Peneliti : O boleh... dari sisi manajemen SDMnya saja, silahkan Defredi : Dari sisi manajemen SDM ya kalau menurut saya ya, untuk bisa
melaksanakan reformasi birokrasi itu, memang dibutuhkan SDM-SDM yang kompeten dalam melaksanakan tugasnya, terutama yang menyangkut kalau... ada dua ya, .. hard competency dan soft competency. Ketrampilannya ya ditingkatkan..kalau soft competency itu berhubungan dengan perilakunya kan... nah itu...memang..eee,... itu sangat di ini kan gitu ya,. Artinya kita melalui manajemen SDM itu ya bagaimana, hard competency maupun soft competency itu ya ... terus ditingkatkan gitu. Kalau DJPK karena memang unitnya enggak...enggak besar ya...sama dengan Anggaran. Kalau-kalau Perbendaharaan, Pajak, dan Bea Cukai kan... sampai ke daerah-daerah, itu memang ya enggak terlalu sulit untuk menginikannya. Kalau Perimbangan Keuangan kan hanya sekitar kurang sedikit dari 500 – 400 sekian gitu. 480 atau 490 gitu. Itu ya, menurut saya ndak terlalu sulit untuk meningkatkan hard competency maupun soft competencynya gitu. Tapi kalau untuk organisasi yang besar seperti Perbendaharaan, atau Pajak, atau Bea Cukai membutuhkan waktu yang lama juga gitu.
Peneliti : Strategi Bapak yang sudah Bapak lakukan untuk meningkatkan manajemen
SDM ini, kira-kira apa saja pak? Trus kemudian pada waktu implementasinya ada hambatan apa gitu pak kira-kira?
Defredi : Ya terutama kami merancang diklat-diklat yang sesuai dengan tupoksi kami
lah ya, nah itu baik itu diklat teknik substansi I (DTS 1) atau diklat substansi dasar ya, tapi terutama untuk pegawai-pegawai yang baru masuk kalau untuk DTSD itu kan. Kalau untuk pegawai-pegawai yang sudah lama itu ya paling untuk penyegaran aja gitu. Misalnya kayak diklat motivasi, bagaimana memotivasi mereka gitu. Saya rasa itu pak.
Peneliti : Pertanyaan berikutnya pak, ada enggak faktor yang khusus gitu. Faktor yang
faktor internal yang mempengaruhi capaian implementasi reformasi birokrasi di DJPK. Tapi ni khusus, kayaknya adanya hanya di DJPK gitu, di DJ-DJ yang lain ndak ada?
Defredi : Faktor khusus? Peneliti : Ya. Saya ambil contoh misalkan kayak di Pajak, di Pajak itu hasil
pemantauan kami ada faktor khususnya yaitu, karena sifat pekerjaan Pajak inikan mengelola uang yang mau masuk ke APBN, ke kas negara sehingga potensi untuk korupsinya lebih besar karena duit ini mau masuk, belum dicatet ini...
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
180
Universitas Indonesia
Defredi : Kalau kami juga sebenarnya ya... kami tu kan penyalur dana perimbangan. Memang sih eee...walaupun enggak banyak ya, adalah kasus satu dua gitu ya, tapi itu eee... itu memang dibutuhkan ketegasan dari pimpinan ya, kalau pimpinan kita tegas, semuanya sesuai dengan prosedur yang ada, itu menurut saya akan mudah untuk diatasi. Percaloan segala macem itu ada, tapi sekarang sudah... kalau awal-awal dulu ya ada, tapi sekarang sudah enggak ini lagi deh. Kasusnya enggak banyak itu untuk saat ini.
Peneliti : Kalau menurut pendapat Bapak sendiri kalau saya simpulkan secara umum
gitu pak ya, tingkat capaian implementasi kebijakan reformasi birokrasi di DJPK seperti apa pak ?
Defredi : Ya, cukup baguslah kalau menurut saya gitu. Terutama kesadaran dari
pegawainya ya, kebijakan-kebijakan dari pimpinan Kementerian Keuangan itu untuk melaksanakan itu ya. Dan dan faktor pendorongnya kalau menurut saya itu ya, karena ada perubahan sistem remunerasi juga kan, mereka enggak...enggak... pada akhirnya memang mereka enggak berpikir yang macem-macem gitu, artinya yang misalnya menyalahi prosedur dan sebagainya gitu.
Peneliti : Oke pak, terima kasih atas waktunya
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
181
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS DIRI Nama : Satya Susanto Tempat Tanggal Lahir : Ngawi, 24 Mei 1969 NPM : 0906589356 Alamat : Kompleks Pasir Jati, Jl. Tebu Ireng No. 47 Ujung
Berung, Bandung. RIWAYAT PENDIDIKAN Sekolah Dasar : SDN Karang Tengah IV Ngawi, Jawa Timur Lulus tahun 1982 Sekolah Menengah Pertama : SMPN 2 Mojokerto, Jawa Timur Lulus tahun 1985 Sekolah Menengah Atas : SMAN Sooko Mojokerto, Jawa Timur Lulus tahun 1988 Diploma III : Program Diploma III Keuangan – STAN,
Spesialisasi Anggaran, Jakarta Lulus tahun 1992 Sarjana : Jurusan Administrasi Niaga, STIA-LAN Kampus
Bandung Lulus tahun 1995 RIWAYAT PEKERJAAN 1992 s.d 2001 : Pelaksana pada Pusat Pengolahan Data dan
Informasi Anggaran, DJA, Kementerian Keuangan.
2001 s.d 2003 : Koordinator Pelaksana Data Base, Direktorat Informasi dan Evaluasi Anggaran, DJA, Kementerian Keuangan.
2003 s.d 2005 : Koordinator Pelaksana Seksi Bank Persepsi, KPPN Serang, DJPB, Kementerian Keuangan
2007 s.d 2010 : Kepala Subbagian Tata Laksana, Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Direktorat Jenderal Anggaran, DJA, Kementerian Keuangan.
2010 s.d 2011 : Kepala Subbagian Pengembangan Pegawai, Bagian Kepegawaian, Sekretariat Direktorat Jenderal Anggaran, DJA, Kementerian Keuangan
2011 s.d Sekarang : Kepala Subdirektorat Harmonisasi Penganggaran Remunerasi, Direktorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran, DJA, Kementerian Keuangan.
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
182
ISTRI : Ervina ANAK : Muhammad Wildan Pratomo : Rofi Ahmad Abiyyi : Hafidhea Luthfiana Fithrie : Rizqi Akbar Maulana
Faktor-faktor..., Satya Susanto, FISIP UI, 2012
top related