evaluasi laju desertifikasi batuan pada bentang lahan...
Post on 28-Apr-2019
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1150
EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN KARST GUNUNGSEWU
MELALUI PENGINDERAAN JAUH
Oleh Eko Budiyanto
Jurusan Pendidikan Geografi - Universitas Negeri Surabaya Email : ekobudiyanto2@gmail.com, HP: 08156896667
Abstrak
Perkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya
proses desertifikasi batuan pada bentang lahan karst. Proses desertifikasi batuan karst yang berkelanjutan di Gunungsewu dapat memberikan dampak negatif yang berupa degradasi lingkungan seperti hilangnya air sungai bawah tanah dan banjir bandang di permukaan. Oleh karena itu laju proses desertifikasi ini perlu dipantau dan dievaluasi. Laju desertifikasi yang ditandai oleh bertambahnya singkapan karst dapat terrekam dengan baik melalui data penginderaan jauh. Kajian ini memanfaatkan data Landsat 7 ETM+ perekaman tahun 2000, 2001, 2002 dan Landsat 8 OLI perekaman tahun 2014. Teknik analisis yang digunakan adalah klasifikasi beracuan dengan dibantu analisis spektral melalui NDVI, dan interpretasi multi tingkat melalui citra google. Kajian ini menyimpulkan bahwa aplikasi data penginderaan jauh dan teknik klasifikasi beracuan berbantuan NDVI serta interpretasi multi tingkat memberikan hasil yang baik. Kajian ini juga memberikan temuan bahwa telah terjadi proses desertifikasi batuan karst di wilayah Gunungsewu dengan luasan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Kata kunci : Penginderaan jauh, desertifikasi batuan karst
PENDAHULUAN
Karst seperti wilayah karst Gunungsewu adalah bentang lahan yang sangat
rentan terhadap berbagai gangguan alami maupun manusia. Peningkatan temperatur
secara global serta perubahan intensitas curah hujan memberikan pengaruh terhadap
laju pelarutan ataupun tingkat erosi secara alamiah pada bentang alam tersebut.
Sementara itu, pertambahan penduduk, perambahan hutan (deforestasi), dan
pertambangan di lingkungan karst benar-benar telah terjadi dalam berbagai skala dan
intensitas. Tekanan alam dan sosial tersebut memicu munculnya proses desertifikasi
batuan karst (karst rocky desertification).
Gunungsewu adalah bentang lahan karst yang banyak dihuni oleh manusia
sebagai tempat tinggal. Gunungsewu adalah wilayah karst aktif yang ditandai oleh
salah satunya dengan banyaknya aliran sungai bawah tanah serta telah dinyatakan
sebagai wilayah cagar geologi oleh badan dunia ataupun pemerintah Indonesia
sendiri. Dengan status dan mengingat pentingnya bentang lahan karst Gunungsewu
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1151
tersebut, maka seharusnya wilayah ini benar-benar dijaga dari berbagai hal yang
mengarah pada degradasi lingkungannya. Salah satu hal yang harus diwaspadai adalah
ternjadinya proses desertifikasi batuan karst akibat aktifitas penambangan.
Maraknya aktifitas penambangan batu gamping di Gunungsewu telah
mengubah bentang kondisi eksokarst menjadi hamparan singkapan batuan karst.
Hilangnya epikarst pada singkapan tersebut akan menurunkan kemampuan medan
karst dalam menangkap dan menyimpan air (Ford dan William, 2007). Hal ini
berpotensi mengurangi debit air sungai-sungai bawah tanah (Adjie, 2006) yang selama
ini dimanfaatkan sebagai sumber air minum bagi warga penghuni Gunungsewu itu
sendiri. Dampak lain yang dapat terjadi akibat penyingkapan batuan karst tersebut
adalah meningkatnya air larian permukaan sebagai pemicu banjir bandang. Selain itu,
singkapan karst juga sulit untuk dimanfaatkan dan diperbaiki (Coxon, 2011)
Mengingat pentingnya hal tersebut, maka laju penyingkapan batuan karst
sebagai pemicu proses desertifikasi batuan sangat perlu dipantau dan dievaluasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji laju penyingkapan batuan karst sebagai suatu
proses desertifikasi batuan pada bentang lahan karst Gunungsewu melalui
penginderaan jauh.
Medan karst secara umum merupakan medan yang sulit untuk dijangkau
secara terestrial. Oleh karena itu, kajian desertifikasi batuan karst ini memerlukan
metode yang mampu mengatasi hal tersebut. Salah satu metode yang sering
digunakan adalah metode penginderaan jauh. Gejala proses desertifikasi ditandai oleh
berkurangnya tutupan vegetasi, dan semakin banyaknya batuan dasar karst yang
tersingkap. Gejala dari proses desertifikasi tersebut dapat terrekam dengan baik oleh
data penginderaan jauh. Kemampuan penginderaan jauh dalam merekam kondisi
permukaan lahan yang luas dengan waktu yang cepat dan menyediakan banyak
saluran sangat sesuai untuk kajian proses desertifikasi batuan karst ini.
Penginderaan jauh memiliki kemampuan merekam permukaan bumi dengan
area yang luas dalam satu waktu perekaman. Penginderaan jauh telah berkembang
tidak hanya sebagai fenomena teknis, tetapi telah menjadi bagian penting dalam
memahami perubahan lingkungan (Adams dan Gillespie, 2006). Aplikasi penginderaan
jauh untuk kajian karst khususnya terkait desertifikasi batuan karst telah dilakukan
oleh beberapa peneliti seperti Qiwei dkk (2003), Yue dkk (2008, 2009, 2012), Yansui
dkk (2008), Xu dkk (2009), Huang dan Cai (2009), Li dkk (2009), Xiong dkk (2009), Yang
dkk (2009), Zhang dkk (2009), Newman dkk (2011). Pemanfaatan teknik dan data
penginderaan jauh dalam berbagai penelitian tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi sebaran spasial dan tingkat desertifikasi batuan karst yang terjadi
pada daerah penelitiannya.
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1152
Proses Desertifikasi Batuan Karst
Desertifikasi batuan karst (karst rock desertification) merupakan suatu proses
yang mengubah bentang lahan karst bertutupan vegetasi dan tanah menjadi bentang
lahan berbatuan tanpa vegetasi dan tanah sama sekali (Daoxian dan Guilin, 1997).
Desertifikasi batuan karst ini adalah satu bentuk degradasi lingkungan yang terutama
terjadi pada lahan karst. Proses desertifikasi batuan diakibatkan oleh pemanfaatan
lahan karst yang berlebihan dan adanya erosi kuat yang mengikis tanah penutup
batuan karst sehingga batuan dasarnya tersingkap ke permukaan secara luas (Shijie
dkk, 2002; Huang dan Cai, 2007; Xiuqin, 2011). Secara kasat mata akibat dari proses
desertifikasi tersebut adalah adanya penyingkapan batuan karst ke permukaan.
Desertifikasi batuan merupakan suatu proses hasil interaksi antara kondisi
geologi, geomorfologi, curah hujan, temperatur, vegetasi penutup, tanah dan aktifitas
manusia (Yansui dkk, 2009; Ji dan Xie, 2011). Karakteristik batuan karbonat pada
kawasan karst mendasari terjadinya proses desertifikasi batuan karst (Sunkar, 2008).
Batuan karbonat yang mudah terlarutkan oleh air hujan membentuk morfologi
eksokarst maupun endokarst berupa celah, rekah, dan lorong. Lapisan tanah pada
kawasan karst yang tipis dapat tererosi bersamaan dengan aliran air hujan yang
masuk ke dalam celah, rekah dan lorong tersebut.
Curah hujan memberikan pengaruh langsung terhadap kejadian erosi pada
tanah penutup lahan karst. Xiong dkk (2009) menjelaskan adanya korelasi positif
antara peningkatan curah hujan dan temperatur dengan desertifikasi batuan. Erosi
tanah akan meningkat pada curah hujan dengan intensitas yang semakin tinggi.
Kemampuan air hujan mengerosi tanah ini semakin kuat dengan semakin jarangnya
vegetasi penutup tanah tersebut. Temperatur memberikan pengaruh terhadap
kelembaban tanah, dimana kelembaban tanah akan berkurang dengan semakin
tingginya temperatur. Kenaikan temperatur juga akan meningkatkan evapotanspirasi
pada vegetasi penutup lahan karst. Penurunan kelembaban tanah dan peningkatan
evapotranspirasi akan mengarah pada kekeringan lahan karst. Peningkatan
kekeringan hingga ambang batas tertentu dapat mengakibatkan kematian vegetasi
penutup yang ada pada lahan karst. Temperatur bersama-sama dengan hujan
memberikan pengaruh terhadap kecepatan pelarutan batuan karbonat (Ford dan
Williams, 2007; Xiong, 2009). Pada temperatur rendah, variasi curah hujan tidak
banyak memberikan efek pada variasi tingkat pelarutan karst. Tingkat pelarutan
batuan karbonat oleh curah hujan meningkat pada temperatur 16 hingga 20oC.
Intensitas pelarutan pada batuan karst ini akan memperlebar celah dan rekah yang
memungkinkan pengangkutan massa tanah yang semakin cepat.
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1153
Faktor manusia yang memberikan pengaruh pada terjadinya desertifikasi
batuan lahan karst ini adalah tekanan pertumbuhan jumlah penduduk dan berbagai
aktifitas eksploitasi terhadap lahan karst yang melebihi kemampuan dan daya dukung
karst tersebut (Sijhie dkk, 2002; Ford dan Williams, 2007; Huang dkk, 2012). Yang dkk
(2009) melaporkan bahwa faktor antropogenik seperti aktivitas manusia dan
penggunaan lahan menjadi faktor pemicu yang lebih dominan dibandingkan dengan
faktor lain dalam proses desertifikasi batuan karst.
Aktifitas manusia seperti penambangan, penebangan hutan, dan pertanian pada
lahan karst dapat percepatan proses desertifikasi lahan karst. Penambangan di
wilayah karst ini biasanya mengambil batu gamping hingga mencapai lapisan zona
vadose. Penggalian batu gamping seperti pada bukit-bukit karst akan menghilangkan
zona epikart yang sangat penting sebagai lapisan penangkap air. Hilangnya zona
epikart ini tentu saja akan mematikan imbuhan air ke dalam lorong-lorong konduit
atau sungai-sungai bawah tanah. Air tidak dapat terresapkan ke dalam jaringan sungai
bawah tanah tersebut. Air akan melimpas di permukaan dan dapat membentuk air
larian dengan volume yang besar dan banjir. Akibatnya tentu adalah matinya sungai-
sungai bawah tanah, matinya mata air di kawasan karst, peningkatan erosi pada tanah
penutup, serta potensi bencana banjir pada saat hujan. Penelitian yang dilakukan oleh
Risyanto dkk (2001) menyebutkan dampak negatif terhadap lingkungan akibat
penambangan dolomit meliputi perubahan relief, ketidakstabilan lereng, kerusakan
tanah, terjadinya perubahan tata air permukaan dan bawah permukaan, hilangnya
vegetasi penutup, perubahan flora dan fauna, meningkatnya kadar debu dan
kebisingan.
Penebangan hutan (deforestasi) pada wilayah karst telah terbukti menjadi
penyebab awal terjadinya desertifikasi batuan seperti dilaporkan oleh Sunkar (2008)
di karst Gunungsewu, Yansui dkk (2008) di wilayah otonomi Guangxi Zhuang, Xiong
dkk (2009) di wilayah Yongshun County dan Li dkk (2009) di area karst Zhudong.
Penebangan hutan ataupun pengubahan fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan
lain-lain, mengubah kerapatan tutupan vegetasi pada lahan karst. Air hujan akan
dengan mudah mencapai permukaan tanah karena hilangnya vegetasi penutup.
Ketika vegetasi penutup tanah pada lahan karst telah hilang, maka proses kehilangan
tanah akan tidak terhindarkan (White, 1988). Peran penting vegetasi penutup pada
lahan karst seperti disebutkan oleh Xiong dkk (2009) yaitu: 1. sebagai penangkap air
hujan dan meresapkannya ke dalam tanah, 2. mencegah butiran air hujan langsung
mengenai permukaan tanah sehingga mengurangi erosi percik (splash erosion) yang
ditimbulkan oleh air hujan tersebut. Tingginya kemampuan sistem pengatus pada
karst meloloskan butiran tanah ketika terjadi aliran air melalui celah dan rekah yang
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1154
ada serta kondisi solum tanah yang tipis mengakibatkan erosi kuat pada lapisan tanah
penutup batuan karst saat terjadi hujan (White, 1988; Ford dan Williams, 2007).
Pertanian yang dilaksanakan masyarakat pada lahan karst biasanya dilakukan
pada lembah-lembah karst atau pada lereng-lereng bukit karst dengan membuat
teras. Proses penggemburan tanah selama masa pertanaman akan meningkatkan
kemampuan pengangkutan butir tanah oleh air hujan melalui berbagai rekah dan
celah yang ada (Yang dkk, 2011). Massa tanah akan tererosi masuk ke dalam akuifer
karst melalui imbuhan-imbuhan autogenik, pori makro batuan karst dan jalur-jalur
masuk pada doline (Coxon, 2011). Akibat erosi tersebut ketebalan solum pada
permukaan karst terus menipis.
Proses desertifikasi batuan pada lahan karst akan memberikan dampak
hilangnya vegetasi dan tanah penutup, serta tersingkapnya batuan dasar ke
permukaan. Pada kondisi tersebut, produktifitas lahan akan menurun bahkan hilang
sama sekali (Zhang dkk, 2011). Dampak selanjutnya adalah terjadinya penurunan taraf
hidup masyarakat wilayah karst tersebut. Desertifikasi batuan pada lahan karst juga
memberikan pengaruh terhadap kondisi dan kualitas air bawah tanah. Deng dan Jiang
(2011) melaporkan bahwa dampak desertifikasi batuan mengakibatkan aliran yang
kecil dan tidak tetap pada mata air epikarst, sensitivitas yang tinggi terhadap curah
hujan pada mata air epikarst, serta kondisi air menjadi kotor. Mengingat hal tersebut,
maka proses desertifikasi batuan karst ini sangat penting diawasi menginggat lahan
yang telah terdesertifikasi akan sangat sulit untuk dipulihkan produktifitasnya serta
terjadinya penurunan kualitas air hingga hilangnya simpanan air pada sungai-sungai
bawah tanah lahan karst itu sendiri.
Data penginderaan jauh sebagai sumber data kajian penyingkapan batuan karst
Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang
suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees,
2001; Elachi, 2006). Proses tersebut dilakukan dengan cara perabaan atau perekaman
energi yang dipantulkan atau dipancarkan, memproses, menganalisa dan menerapkan
informasi tersebut. Nilai spektral citra mampu memberikan informasi kondisi dan
proses yang terjadi di permukaan lahan secara kuantitatif. Nilai spektral citra adalah
besaran energi dari gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh obyek
dipermukaan bumi dan terrekam oleh sensor satelit. Setiap obyek dimuka bumi
memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam interaksinya dengan gelombang
elektromagnetik. Perbedaan karakteristik tersebut menyebabkan adanya perbedaan
perbandingan nilai energi elektromagnetik yang ditransmisikan, diserap dan
dipantulkan kembali oleh obyek tersebut. Dalam kondisi atmosferik yang seragam,
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1155
perbedaan nilai pantulan gelombang elektromagnetik yang terrekam oleh sensor
satelit dapat digunakan sebagai dasar identifikasi obyek dan kuantifikasi proses-proses
dimuka bumi seperti desertifikasi batuan karst.
Citra Landsat ETM+ yang merupakan satu jenis citra multispektral memiliki
beberapa saluran spektral yang dapat dimanfaatkan untuk penilaian desertifikasi
batuan karst. Citra ini telah banyak dimanfaatkan dalam penelitian sejenis baik
sebagai sumber data pokok ataupun sebagai dasar pengembangan model
transformasi untuk penilaian tingkat desertifikasi batuan karst. Citra Landsat 7 ETM+
memiliki kualitas yang memadai untuk pemantauan desertifikasi batuan karst.
Kelemahan kualitas citra Landsat ETM+ akibat kerusakan Scan Line Corrector dapat
ditingkatkan dengan transformasi spectral gapfill.
Sebuah data citra dicirikan dengan rangkaian piksel berisi angka-angka yang
merupakan rekaman pantulan spektral obyek dilapangan. Rentang nilai spektral dari
masing-masing piksel direpresentasikan dalam suatu rentang skala dengan lebar yang
sangat tergantung dari resolusi radiometrik masing-masing sensornya. Penyadapan
informasi dapat dilakukan berdasarkan pada nilai spektral melalui berbagai metode
transformasi untuk menonjolkan ataupun menghilangkan atribut tertentu. Perolehan
informasi berdasar pada nilai spektral citra diturunkan melalui berbagai model
transformasi spektral. Terdapat beberapa bentuk tranformasi spektral yaitu
penisbahan saluran (band rationing), pengurangan saluran (image differencing), indek
spektral, rotasi citra dan analisis komponen utama (principal componen analysis).
Rasio multispektral (multispectral ratio) adalah salah satu bentuk transformasi
spektral yang banyak diaplikasikan. Rasio multispektral berupa perbandingan nilai
digital (DNs) pada satu saluran dengan saluran lainnya (Schowengerd, 2007). Liang
(2004) menggolongkan rasio multispektral ini sebagai algoritma metode statistik.
Indek vegetasi adalah contoh transformasi spektral yang termasuk sebagai
rasio multispektral. Indeks vegetasi telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian
tentang vegetasi skala global. Pengembangan indek vegetasi didasarkan pada
perbandingan nilai spektral saluran merah dan inframerah dekat pada sebuah ruang
data spektral atau diagram pencar (scatterplot). Persebaran piksel dalam ruang data
spektral saluran merah dan inframerah dekat merepresentrasikan nilai perbandingan
tutupan vegetasi dengan tanah terbuka dalam berbagai kondisi. Piksel dengan nilai
spektral vegetasi yang tinggi akan menempati sebaran di sepanjang sumbu saluran
inframerah dekat (garis vegetasi). Sebaliknya, piksel dengan nilai spektral tanah yang
tinggi akan berada tersebar searah garis tanah (soil line) yang terrentang dari kiri
bawah ke kanan atas ruang data spektral tersebut. Perubahan tingkat kecerahan
piksel searah vektor dari posisi garis tanah menuju garis vegetasi menunjukkan
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1156
peningkatan kepadatan tutupan vegetasi. Sebaliknya perubahan tingkat kecerahan
piksel searah vektor dari posisi garis vegetasi menuju garis tanah menunjukkan
penurunan kepadatan tutupan vegetasi. Indeks Vegetasi dapat secara efektif
digunakan untuk pemetaan kekeringan, penggurunan (desertifikasi) dan
penggundulan hutan (Horning, 2010). Contoh indek vegetasi adalah Normalized
Difference Vegetation Index (NDVI), Simple Ratio (SR), Soil Adjusted Vegetation Index
(SAVI), Perpendicular Vegetation Index (PVI), dan Enhanced Vegetation Index (EVI).
Wang dan Yu (2010) melaporkan bahwa informasi singkapan geologis dapat
diperoleh dengan baik pada panjang gelombang 2000 – 2400 nm. Yue dkk (2009)
memanfaatkan panjang gelombang 2200 nm untuk perekaman singkapan batuan
pada batuan karbonat. Alternatif lain adalah seperti dijelaskan oleh Huang dan Cai
(2009) yang mengeplorasi pemanfaatan band 3 dan band 5 citra Landsat TM untuk
pemetaan singkapan batuan karst. Persamaan tersebut dinamakan dengan
persamaan indek NDRI. Persamaan indek NDRI adalah sebagai berikut.
NDRI = (band 5 – band 3) / (band 5 + band 3)
Perbandingan luasan tutupan vegetasi dan luasan singkapan batuan dasar
karst adalah faktor penting dalam penilaian desertifikasi batuan karst melalui
penginderaan jauh. Desertifikasi batuan karst dapat diidentifikasi melalui gejala-gejala
yang terrekam dari permukaannya yaitu berkurangnya tutupan vegetasi dan
meluasnya singkapan batuan dasar karst. Dengan demikian, fraksional tutupan
vegatasi dan singkapan batuan dasar karst dapat dijadikan sebagai penciri proses
desertifikasi batuan karst. Lahan karst dengan tutupan vegetasi padat dinyatakan
sebagai lahan karst yang tidak mengalami desertifikasi batuan. Lahan karst yang tidak
memiliki tutupan vegetasi dan batuan dasarnya tersingkap merupakan lahan karst
yang mengalami desertifikasi batuan karst kuat. Lahan karst yang memiliki tutupan
vegetasi sedang dan berasosiasi dengan singkapan batuan merupakan lahan karst
dengan tingkat desertifikasi batuan sedang.
Yansui dkk (2008), Li dkk (2009), Yang dkk (2009) memanfaatkan teknik
interpretasi visual berbantuan komputer (onscreen) untuk menentukan tingkat
desertifikasi batuan karst. Interpretasi dibantu dengan studi lapangan untuk
memperoleh gambaran tentang kondisi desertifikasi yang terjadi di lapangan. Area
yang mengalami desertifikasi batuan diidentifikasi dengan mengacu pada indikator
prosentase luas tutupan vegetasi, tanah terbuka, singkapan batuan, dan kemiringan
lereng. Tabel berikut menunjukkan klasifikasi tingkat desertifikasi batuan yang
digunakan dalam pengujian hasil interpretasi.
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1157
Tabel 1. Kriteria desertifikasi batuan karst
Tingkat Desertifikasi Tutupan Vegetasi (%)
Singkapan Batuan (%)
Tidak Terdesertifikasi > 60 <30 Ringan 40 – 60 30 – 50 Sedang 20 - 40 50 – 70 Berat < 20 >70
Sumber : Yansui dkk (2009), Xiong dkk (2009), Li dkk (2009) dengan modifikasi.
Xiong dkk (2009) memanfaatkan teknik klasifikasi beracuan yang terlebih
dahulu dilakukan proses segmentasi untuk penentuan singkapan batuan karst dan
tutupan lainnya. Data yang digunakan adalah citra Landsat. Hasil klasifikasi diuji
lapangan dengan kriteria perbandingan luas tutupan vegetasi dengan luas singkapan
batuan karst.
Zhang dkk (2011) memanfaatkan data Landsat TM sebagai sumber data
tutupan hutan dan penggunaan lahan dengan menggunakan analisis NDVI dan
klasifikasi beracuan. Informasi-informasi tersebut selanjutnya di analisis bersama
dengan data-data lain menggunakan model radial basis function network (RBFN).
Hasil analisis RBFN di daerah penelitian menunjukkan bahwa desertifikasi batuan
karst berkaitan erat dengan kepadatan penduduknya. Area karst yang terdesertifikasi
kuat tersebar pada wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi.
Dari beberapa kajian diatas, dapat disimpulkan bahwa analisis proses
desertifikasi batuan karst dapat dilakukan melalui berbagai teknik pengolahan
spektral (Yue dkk : 2008, 2009, 2012; Huang dan Cai : 2009 ), ataupun interpretasi
manual dan klasifikasi (Yansui dkk, 2008; Li dkk,2009; Yang dkk, 2009; Xiong dkk,
2009; Zhang dkk, 2011).
METODE PENELITIAN
Wilayah Penelitian
Penelitian ini mengkaji wilayah karst Gunungsewu yang masuk pada kabupaten
Gunungkidul. Wilayah karst tersebut terbentang dari pantai parangtritis di sebelah
barat hingga pantai Sadeng di sebelah timur. Perbukitan karst Gunungsewu pada
sebelah utara dibatas oleh ledok wonosari, perbukitan panggung, dan lembah
Giritontro. Sedangkan disebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera
Hindia. Daerah penelitian dipilih pada wilayah karst yang banyak dilakukan aktifitas
penambangan yaitu di daerah Bedoyo kecamatan Ponjong.
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1158
Gambar 1. Wilayah karst Gunungsewu
Data pokok dalam penelitian ini adalah serangkaian citra Landsat 7 ETM+ dan
citra Landsat 8 OLI yang diperoleh dari USGS. Data citra terdiri dari Citra Landsat 7
ETM+ bulan Juni tahun 2000, bulan Agustus tahun 2001, Agustus tahun 2002 dan
bulan Agustus tahun 2014 pada path 119 row 066.
Saluran yang digunakan adalah saluran biru yaitu band 1 pada Landsat 7 ETM+
atau band 2 pada Landsat 8 OLI, saluran inframerah dekat yaitu band 4 pada Landsat
7 ETM+ atau band 5 pada Landsat 8 OLI, dan saluran inframerah tengah yaitu band 7
pada Lansat 7 ETM+ dan Landsat 8. Saluran multi spektral 741 dibentuk dari citra
Landsat 7 ETM+ dan multi spektral 752 dari citra Landsat 8 OLI. Pada masing-masing
citra multispektral tersebut dilakukan proses equalization enhancement agar
diperoleh visualisasi citra dengan kondisi yang sama antar tahun citra.
Citra multi spektral ini digunakan sebagai dasar interpretasi dan pembuatan
acuan klasifikasi. Jenis klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi beracuan dengan
metode minimum distance classification. Kelas klasifikasi yang digunakan adalah
tutupan vegetasi, tanah terbuka, karst bertutupan tanah tipis, dan singkapan karst.
Identifikasi dari masing-masing kelas klasifikasi dibantu dengan menggunakan citra
NDVI dan interpretasi visual pada citra yang diunggah oleh google melalui situs
http://wikimapia.org serta aplikasi googleearth.
Analisis spasial statistik dilakukan terhadap citra hasil klasifikasi untuk
mengetahui kecenderungan perkembangan dari masing-masing jenis klasifikasi. Hasil
analisis ini diwujudkan dalam bentuk citra, tabel, grafik dan deskribsi penjelasannya.
Ledok wonosari
Karst Gunungsewu
Daerah Penelitian
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1159
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Proses desertifikasi batuan karst secara kasat mata dapat diketahui dari adanya
proses penyingkapan batuan karst pada suatu area karst. Dengan demikian analisis
laju proses desertifikasi dapat dilakukan dengan menganalisis perkembangan tutupan
lahan dan singkapan batuan karst.
Tahun 2000 Tahun 2001
Tahun 2002 Tahun 2014
Keterangan Singkapan Karst Karst bertutupan tanah tipis Tanah terbuka Vegetasi hijau
Gambar 2. Citra multispektral daerah penelitian
Analisis terhadap citra multispektral menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan luas singkapan karst yang terutama diakibatkan oleh aktifitas
penambangan. Penyingkapan karst oleh proses alamiah tidak banyak ditemukan.
Penyingkapan karst oleh aktifitas penambangan dapat dilihat dengan jelas sebarannya
pada citra tahun 2014. Singkapan karst ditunjukkan oleh rona putih terang dan
terhubung oleh akses jalan. Semakin banyaknya titik berrona putih terang dari tahun
ke tahun menunjukkan bahwa aktifitas penyingkapan karst tersebut semakin intensif.
Singkapan karst
Tutupan tanah relatif
tebal
Tutupan tanah tipis
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1160
Tutupan vegetasi ditunjukkan oleh rona cerah berwarna hijau pada semua
citra tersebut. Tutupan vegetasi kecil berfluktuasi karena pengaruh musim. Hal ini
dapat dilihat pada citra bulan Juni tahun 2000, dimana masih terdapat tutupan
vegetasi pada cekungan-cekungan antar tinggian. Sementara pada citra tahun 2001,
2002, dan 2004 yang masa pengambilannya adalah bulan Agustus, tutupan vegetasi
kecil banyak berkurang.
Tutupan tanah yang tebal ditunjukkan oleh warna coklat gelap yang tersebar
pada dasar cekungan. Sedangkan tutupan tanah tipis ditunjukkan oleh rona cerah
berwarna ungu. Tutupan tanah tipis memiliki resiko besar terjadi proses
penyingkapan batuan karst secara alamiah karena proses erosi. Pada citra tersebut
ditunjukkan bahwa dari tahun ke tahun lahan dengan tutupan tanah tipis selalu tidak
tertutup oleh vegetasi, terutama oleh vegetasi berkanopi lebat. Karst bertutupan
tanah tipis tersebut tersebar pada lereng-lereng perbukitan karst di seluruh area
penelitian.
Tahun 2000 Tahun 2001
Tahun 2002 Tahun 2014
Keterangan Singkapan batuan karst Singkapan tanah tebal ataupun tipis Tutupan vegetasi
Gambar 3. Citra terklasifikasi daerah penelitian
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1161
Perkembangan singkapan karst dapat dengan jelas dilihat pada citra
terklasifikasi. Area singkapan karst ditunjukkan oleh poligon berwarna merah.
Keberadaan poligon tersebut terus berkembang dari citra tahun 2000, 2001, 2002 dan
2014. Perkembangan jumlah lokasi poligon berada ditengah citra yang jika
dihubungkan secara administratif terletak di desa Bedoyo kecamatan Ponjong.
Perubahan kondisi tutupan lahan daerah penelitian dapat dihitung dari citra
terklasifikasi diatas, seperti ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 2. Luas tutupan lahan daerah penelitian
Jenis Tutupan Tahun (km2)
2000 2001 2002 2014
Singkapan karst 142,20 162,90 413,10 467,10
Tutupan vegetasi 11.725,20 13.090,50 8.349,30 11.741,40
Tanah terbuka 22.285,80 21.414,60 25.905,60 22.459,50
Tabel 2 tersebut menunjukkan perkembangan masing-masing kondisi lahan
yaitu singkapan karst, tutupan vegetasi, dan tanah terbuka dalam satuan kilometer
persegi. Kondisi tutupan vegetasi dan tanah tampak berfluktuatif karena pengaruh
kondisi cuaca dan musim. Perkembangan luas dari tutupan vegetasi nampak
berkorelasi negatif dengan luas tanah terbuka. Peningkatan luas tutupan vegetasi
berakibat menurunnya luas tanah terbuka, sementara penurunan luas tutupan
vegetasi berakibat meningkatnya luas tanah terbuka. Kondisi ini dapat dilihat secara
jelas pada gambar 4. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum perkembangan luas
singkapan karst yang ada masih sangat kecil dibandingkan dengan luas total dari
tutupan vegetasi dan tanah terbuka.
Gambar 4. Grafik perkembangan luas tanah terbuka dan tutupan vegetasi (km2)
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
2000 2001 2002 2014
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1162
Namun demikian, perkembangan singkapan batuan karst menunjukkan
peningkatan yang terus menaik dari tahun ke tahun. Gambar 5 menunjukkan grafik
peningkatan luas singkapan batuan karst di daerah penelitian. Peningkatan terbesar
terjadi antara tahun 2001 ke tahun 2002 yaitu dari 162,9 km2 menjadi 413,1 km2.
Gambar 5. Grafik perkembangan luas singkapan batuan karst (km2)
Grafik luas singkapan batuan karst yang terus meningkat ini diakibatkan oleh
sulitnya proses reklamasi lahan singkapan karst dari sisa aktifitas penambangan untuk
dihijaukan kembali. Lahan singkapan karst sulit untuk ditumbuhi tanaman pertanian
ataupun vegetasi alamiah seperti rumput. Sementara itu, proses penambangan terus
dilakukan dilain tempat.
SIMPULAN
Dari kajian di atas dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Penginderaan jauh dapat dimanfaatkan dengan baik dalam kajian perkembangan
desertifikasi di wilayah karst Gunungsewu. Pemanfaatan data penginderaan jauh
dan teknik klasifikasi beracuan berbantuan analisis NDVI serta interpretasi multi
tingkat memberikan hasil yang baik dalam kajian tersebut.
2. Terjadi proses desertifikasi batuan karst di wilayah karst Gunungsewu yang
sebagian besar diakibatkan oleh aktifitas manusia yaitu kegiatan penambangan.
3. Luas singkapan batuan karst terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
yang dapat dibuktikan dengan citra penginderaan jauh.
142.20
162.90
413.10
467.10
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
2000 2001 2002 2014
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1163
DAFTAR PUSTAKA
Adams J.B., Gillespie A.R., 2006, Remote Sensing of Landscape with Spectral Images – A Physical Modeling Approach, Cambridge University Press, New York.
Adji, T. N., 2006. Kondisi daerah tangkapan sungai bawah tanah karst Gunungsewu dan kemungkinan dampak lingkungannya terhadap sumberdaya air (hidrologis) karena aktivitas manusia. Seminar UGK-BP DAS SOP bertema “ Pelestarian Sumberdaya Air Tanah Kawasan Karst Gunungkidul”.
Coxon, C., 2011. Agriculture and Karst. Dalam: Van Beynen, P.E. (ed), 2011. Karst Management. DOI. 10.1007/978-94-007-1207-2_5
Daoxian, Y., 1999. Rock desertification in the subtropical karst of south China. http://www.karst.edu.cn/desert/rockdesert.htm
Deng Y., Jiang Z., 2011, Water Resource Characteristics of Epikarst Spring in Rocky Desertification Area: A Case Study in Longhe Guangxi China, IEEE, 978-I-61284-340-7/11
Elachi, C., Zyl J.V., 2006, Introduction to the Phisics and Techniques of Remote Sensing, Second Edition, New Jersey: John Wiley & Sons,.
Ford, D.C., Williams, P., 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology. Chichester: John Wiley & Sons..
Horning, N., Robinson, J.A., Sterling, E.J., Turner, W., Spector, S., 2010. Remote Sensing for Ecology and Conservation. , New York: Oxford University Press.
Huang Q.H., Cai Y.L., 2007, Spatial Pattern of Karst Rock Desertification in the Middle of Guizhou Province, Southwestern China, Environ. Geol. 52: 1325-1330, DOI 10.1007/s00254-006-0572-y.
Huang Q.H., Cai Y.L., 2009, Mapping Karst Rock in SouthWest China, Mountain Research and Development, Vol. 29 No. 1. Feb.2009: 14-20.
Li Y., Shao J., Yang H., Bai X., 2009, The Relations between Land Use and Karst Rocky Desertification in Typical Karst Area China, Environ. Geol., 57:621-627, DOI 10.1007/s00254-008-1331-z
Liang, S. 2004. Quantitative Remote Sensing of Land Surface. New Jersey: John Willey & Sons Inc.
Newman, M.E., McLaren, K.P., Wilson, B.S., 2011. Use of Object-oriented classification and fragmentation analysis (1985-2008) to identify important areas for conservation in Cockpit County Jamaica. Environ Monit Assess 172:391-406.
Qiwei C., Anjun L., Kangning X., Sinzhen X., Jun W., Juan X., 2003, Spectral Feature-Based Model for Extracting karst Rock-Desertification from Remote Sensing Image, Journal of Guizhou Normal University (Natural Science Edition), 21(4): 82-87.
Rees, W.G., 2001. Physical Principles of Remote Sensing, Second Edition, Cambridge: Cambidge University Press.
Risyanto, Jamulya, Woro, S., Halim, Y., Sriyono. 2001. Identifikasi kerusakan lingkungan akibat penambangan bahan galian golongan C di Kecamatan
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
1164
Paciran Kabupaten Lamongan dan Kecamatan Panceng Kabupaten Gresik Propinsi Jawa Timur. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Fakultas Geografi UGM tahun 2001. Fakultas Geografi.
Schowendgerdt, 2007, Remote Sensing: Models and Methods for Image Processing, Third Edition, Amsterdam: Elsevier,
Shijie, W., Zhang, D., Ruiling, L., 2002. Mechanism of rocky desertification in karst mountain areas of Guizhou province, Southwest China. International review for Environmental Strategies. Vol. 3, No. 1. Pp. 123-135.
Sungkar. A., 2008. Deforestation and rocky desertification processes in Gunung Sewu karst landscape. Media Konservasi. Vol. 13. No. 3 Desember 2008. P. 1-7.
White, W.B., 1988. Geomorphology and Hydrology of Karst Terrains. Oxford: Oxford University Press..
Xiong, Y.J., Qin, G.Y., Mo, D.K., Lin, H., Sun, H., Wang Q.X., Zhao, S.H., Yin, J., 2009. Rocky desertification and its cause in karst area: a case study in Yongshun County, Hunan Province, China. Environ. Geol. 57: 1481-1288. DOI. 10.1007/s00254-008-1425-7.
Xu D., Kang X., Qiu D., Zhuang D., Pan J., 2009, Quantitative Assessment of Desertification Using Landsat Data on A Regional Scale – A Case Study in the Ordos Plateau China, Sensors,9,1738-1753, DOI 10.3390/s90301738
Yang Q., Wang K., Zhang C., Yue Y., Tian R, Fan F., 2009, Spatio Temporal Evolution of Rocky Desertification and its Driving Forces in Karst Areas of Northwestern Guangxi China, Environ. Earth Sci., 64:383-393, DOI 10.1007/s12665-010-0861-3
Yue Y., Liu B., Wang K., Li R., Zhang B., Zhang C., Chen H., 2012, Using Remote Sensing to Quantify the Fractional Cover of Vegetation and Exposed Bedrock within a complex landscape: Applications for Karst Rocky Desertification Monitoring, Environ. Monit. Assess., DOI 10.1007/s10061-012-2944-y
Yue Y., Wang K., Chen Z., Yu Y., 2008, Extraction of Karst Rocky Desertification Information From EO-1 Hyperion Data, The International Archives of the Photogrammetry Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol. XXXVII. Part B7, Beijing.
Yue Y., Wang K., Li J., Zhang B., Liu B., Jiao Q., Zhang X., 2009, Developing New Spectral Indices for Karst Rocky Desertification Monitoring in Southwestern China, IEEE, 978-I-4244-3395-7/09.
Zhang M., Wang K., Zhang C., Chen H., Liu H., Yue Y., Luffman I., Qi X., 2011, Using the Radial Basis Function Network Model to Assess Rocky Desertification in Nortwest Guangxi China, Environ. Earth Sci. 62:69-76, DOI 101007/s12665-010-0498-2.
top related