epidemiologi kasus ispa di daerah guntung payung akibat musim kemarau
Post on 08-Feb-2017
1.135 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PRODI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2015
Jl. Achmad Yani Km. 36 Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru 70714, Telp : (0511) 4773868 Fax:
(0511) 4781730,Kalimantan Selatan, Indonesia
UCAPAN TERIMAKASIH KEPADA
DEKAN
Dr-Ing Yulian Firmana Arifin,ST., MT.
REKTOR
Dr. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc
MAHASISWA
Via Susetia PutriH1E114226
MAHASISWA
DarmawatiH1E114227
MAHASISWA
CancianaH1E114232
H
DOSEN
Nova Annisa,S.Si.,MS
DOSEN
Prof.Dr. Qomariyatus Sholihah,Amd. Hyp., S.T., Mkes.
Kepala Prodi Teknik Lingkungan
Dr. Rony Riduan, ST., MT
KASUS ISPA DI DAERAH GUNTUNG PAYUNG AKIBAT MUSIM KEMARAU
SKRIPSI
OLEH
CANCIANA H1E114232
DARMAWATI H1E114227
VIA SUSETIA PUTRI H1E114226
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2015
KASUS ISPA DI DAERAH GUNTUNG PAIKAT AKIBAT MUSIM KEMARAU
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT KELULUSAN
MATA KULIAH EPIDEMOLOGI
CANCIANA H1E114232
DARMAWATI H1E114227
VIA SUSETIA PUTRI H1E114226
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2015
HALAMAN PENGESAHAN
Judul laporan : Kasus ISPA di Daerah Guntung Payung Akibat Musim Kemarau
Nama Mahasiswa : Canciana
Darmawati
Via Susetia Putri
No. Induk Mahasiswa : H1E114232
H1E114227
H1E114226
Program Studi : Teknik Lingkungan
Peminatan : Epidemiologi Lingkungan
Disahkan Oleh
Dosen Pembimbing
Prof. Dr.Qomariyatus Sholihah,Amd.Hyp.ST.MKes Nova Annisa,S.Si.,
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang mana atas berkat dan Rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Pencegahan Penyakit
ISPA”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan kelulusan mata kuliah
Epidemiologi di Fakultas Teknik (FT) Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM).
Tersusunnya laporan ini, tidak terlepas dari dukungan dan bantuan serta bimbingan dari
berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih, kepada :
1. Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Amd. Hyp. ST. Mkes dan selaku dosen pembimbing mata
kuliah Epidemiologi yang telah memberikan waktu dan bimbingan dalam proses penulisan
skripsi ini.
2. Kepala Puskesmas Guntung Payung Zainal A,SKM,.MKM. dan Pengelola P2 ISPA
Puskesmas Guntung Payung Melli Maria Limbong, AMK. Serta semua pihak Puskesmas
Gutung Payung yang telah bersedia memberikan izin untuk melaksanakan observasi dalam
rangka penyusunan skripsi ini.
3. Semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyeleseian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
membutuhkan banyak masukkan dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya
membangun dalam memperkaya siripsi ini. Namun demikian, penulis berharap semoga
skripsi ini berguna untuk ilmu pengetahuan khususnya ilmu Epidemiologi Lingkungan.
Banjarbaru, November 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………..iii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………………………...v
DAFTAR ISTILAH……………………………..…………………………………………………..vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………………..….1
1.2 Rumusan Maslah…………………………………………………………………………...…….2
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………………………………..….2
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………………………………....2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)…………………...……………………………………3
2.1.1 ISPA dalam Pelayanan Kesehatan……………………….………………………………….…6
2.1.2 Tingkatan Pencegahan Penyakit………………………………………………………………..6
2.2 Klasifikasi ISPA………………………………………………………………………………….7
2.2.1 Kelompok untuk Umur 2 Bulan Sampai Kurang dari 5 Tahun……………………………..….7
2.2.2 Kelompok untuk Umur Kurang dari 2 Bulan……………………………………………..……8
2.3 Tanda-Tanda Terserang ISPA........................................................................................................9
2.4 Cara Penularan ISPA.....................................................................................................................9
2.5 Strategi Pencegahan Penyakit ISPA…………………………………………………………….10
2.5.1 Kegiatan Pokok P2 ISPA……………………………………………………………………...10
2.5.2 Pengembangan Program………………………………………………………………………15
2.6 Tingkatan Pencegahan Penyakit ISPA………………………………………………………….16
2.6.1 Distribusi dan Frekwensi ISPA……………………………………………………………….16
2.6.2 Determinan ISPA……………………………………………………………………………...16
iii
BAB III METODOLOGI
3.1 Kerangka Konsep Penelitian………………………………………………………...………….28
3.2 Hipotesis…………………………………………………….……………………….….……...28
3.3 Definisi Operasional………………………………………………………………...………….29
3.4 Metodologi Penelitan……………………………………………...……………………………29
3.4.1 Lokasi & Waktu Penelitian………………………………………...………………………29
3.4.2 Desain Penelitian……………………………………………..……………………….……30
3.4.3 Variabel Penelitian……………………………………………………..……………….….30
3.4.4 Objek Penelitian…………………………………………………………..……….……….30
3.4.5 Instrumen Penelitian………………………………………………………...…………...…30
3.4.6 Teknik Analisi Data………………..…………………………………………………….....30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL…………………………………..………………………………………………………31
4.2 PEMBAHASAN……………………………….………………………………………………..34
4.2.1 Prinsip Dasar Pencegahan dan Pengendalian Teknis dan Lingkungan Terhadap ISPA….….36
4.2.1.1 Penempatan Psien ISPA……………..……………………………………………………...36
4.2.1.2 Rancangan Ruang Triase dan Ruang Tunggu…………..…………………………………..37
4.2.2.3 Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri)…..………………………………………………..37
4.2.1.3.1 Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) yang Benar.…………….....................................38
4.2.1.4 Perlindungan Pernapasan……………………………………………………………….…...38
4.2.1.5 Pemindahan Jenazah dari Ruang Isolasi………………………………………………….....40
4.2.1.5.1 Perawatan Jenazah………………………………………………………………….……..40
4.2.1.6 Pemeriksaan Post Mortem…………………………………………………………….…….40
4.2.1.7 Pencegahan dan Pengendalian Teknis dan Lingkungan Untuk Autopsy…...………..……..41
4.2.1.8 Ventilasi Ruangan Untuk Infeksi Pernapasan……………………………………………....42
4.2.2 Strategi Pencegahan Penyakit ISPA…………………………………………………………..43
4.2.2.1 Kegiatan Pokok P2 ISPA…………………………………………………………………....43
4.2.2.2 Pembangunan Program …………………………………………………………………......48
4.2.3 Tingkatan Pencegahan Penyakit ……………………………………………………………...49
iv
4.2.3.1 Distribusi dan Frekuensi ISPA ……………………………………………………………..49
4.2.3.2 Determinan ISPA …………………………………………………………………………...49
BAB V PENUTUP
5.1 KESIMPULAN…………..……………………………………………………………………..58
5.2 SARAN………………………………………………………………………………………….59
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1 DOKUMENTASI LAPANGAN
LAMPIRAN 2 LATIHAN SOAL
LAMPIRAN 3 SURAT OBSERVASI LAPANGAN
v
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Data Pasien ISPA padabulan Januari…………………………………………………….31
Tabel 4.2 Data Pasien ISPA padabulan Februari…………………………………………………...31
Tabel 4.3 Data Pasien ISPA padabulan Maret……………………………………………………...31
Tabel 4.4 Data Pasien ISPA padabulan April……………………………………………………....31
Tabel 4.5 Data Pasien ISPA padabulan Mei………………………………………………………...32
Tabel 4.5 Data Pasien ISPA padabulan Juni…………………………………………………..........32
vi
DAFTAR ISTILAH
Advokasi : Aksi strategis yang ditujukan untuk menciptakan kebijakan publik yang
bermanfaat bagi masyarakat atau mencegah munculnya kebijakan yang
diperkirakan merugikan masyarakat
Aerosol : Partikel halus yang tersebar dalam gas atau udara
Audit : Membandingkan antara kegiatan yang diaudit dan kegiatan yang seharusnya
terjadi, membandingkan antara kondisi dan kriterianya
Biomassa : Jumlah bahan hidupnyang terdapat di dalam satu atau beberapa jenis organism
yang berada dalam habitat tertentu
Crackles : Ronki basah atau suara krekels
Droplet : Partikel air kecil
Enviroment : Lingkungan
Epidemi : Penyakit menular yang berjangkit
Epidemiologi : Ilmu yang mempelajari pola kesehatan dan penyakit serta faktor yang terkait
di tingkat populasi
Etiologi : Ilmu yang mempelajari tentang sebab dan asal muasal
Exhaust : Pipa asap, alat pembuangan uap
Inflamasi : Peradangan, bengkak kemerahan, panas, dan nyeri pada jaringan karena cedera
fisik, kimiawi, infeksi, atau reaksi alergi
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Kuantitatif : Metode penelitian yang bersifat induktif, objektif dan ilmiah di mana data
yang di peroleh berupa angka-angka (score, nilai) atau pernyataan-
pernyataan yang di nilai, dan dianalisis dengan analisis statistik
Mikroba : Organisme yang berukuran sangat kecil
Morbiditas : Keadaan sakit; terjadinya penyakit atau kondisi yang mengubah kesehatan dan
kualtitas hidup
Mortalitas : Sebuah akirat fatal, kematian
vii
Nutriture : Keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan
gizi disatu pihak dan penggunaan oleh organism di pihak lain
Pneumonia : ISPA bagian bawah
Obstruksi : Penyempitan dari anastomosis atau segmen dari saluran pencernaan yang
menghalangi perlintasan normal bahan makanan atau limbah
Oportunistik : Infeksi yang disebabkan oleh organism yang biasanya tidak menyebabkan
penyakitpada orang dengan system kekebalan tubuh normal
Organisme : Makhluk hidup terdiri dari banyak komponen yang salin terkait dan bekerjasama
untuk mencapai tujuan bersama
Parasit : Hewan renik yang dapat menurunkan produktivitas hewan yang ditumpanginya
Partikukat : Partikel padat pencemar udara yang berada di udara bersama-sama dengan tetesan
cairan lain
Pharingitis : Penyakit radang tenggorokan
Polutan : Bahan/benda yang menyebabkam pencemaran
Patogen : Jenis-jenis bakteri yang menjadi sumber penyakit
Predisposisi : Kecenderungan khusus ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu
Prevalensi : Seberapa sering penyakit atau kondisi terjadi pada sekelompok orang
Rasio : Perbandingan antara dua hal yang mirip
Rontgen : Tindakan menggunakan radiasi untuk mengambil gambar dalam dari tubuh
seseorang
Sekresi : Proses untuk membuat dan melepaskan substansi kimiawi dalam bentuk lender
yang dilakukan oleh sel tubuh dan kelenjar
Surveilans : Upaya/sistem/mekanisme yang dilakukan secara terus menerus dari suatu
kegiatan pengumpulan, analisi, interprestasi dari suatu data spesifik
Temperatur : Ukuran panas-dinginnya dari suatu benda
Vaksin : Bahan antigenetik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap
suatu penyakit
Virulensi : Derajat tingkatan patogenitas bakteri
Virus : Parasit mikrokopik yang menginfeksi sel organisme biologis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu ruang lingkup epidemiologi ialah mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi
frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan pada manusia. Adapun masalah kesehatan yang
dipandang amat penting ialah yang menyangkut penyakit, terutama pada musim kemarau. Pada saat
musim kemarau, Indonesia mengalami kekeringan hampir di seluruh wilayahnya. Musim kemarau
menyebabkan perubahan lingkungan, dimana perubahan lingkungan tersebut merupakan salah satu
faktor penyebab timbulnya penyakit. Salah satunya yaitu penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA). Penyakit ini disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan misalnya kebakaran hutan terus
menerus, gaya hidup masyarakat sekitar yang kurang sehat, seperti kebiasaan merokok, membakar
sampah, penggunaan obat nyamuk bakar dan masih banyak lagi.
Penyakit ini meskipun dapat sembuh dengan sendirinya pada orang sehat , namun penyakit
ini dapat menyebabkan hilangnya produktifitas dan menyebabkan kesakitan dan kematian pada
usia lanjut. Penyakit ISPA ini juga merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tersering
pada anak-anak di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan laporan WHO tahun 2003
didapatkan bahwa dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun terdapat 4
juta (26,67%) kematian yang diakibatkan oleh penyakit ISPA setiap tahunnya. Sebanyak dua
pertiga kematian tersebut adalah bayi (khusus bayi muda). Berdasarkan hasil penelitian Khin, dan
kawan-kawan tahun 2002-2003 di Myanmar, didapatkan bahwa insidens penyakit ISPA pada balita
sebesar 1,8 dari 1.000 balita dalam sehari, hal ini berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu,
pola asuh dan polusi udara dalam rumah yang kurang mendukung kesehatan balita.
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM &
PL) Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2004 menyatakan bahwa ISPA merupakan
penyebab utama kematian bayi serta balita di Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut
disebabkan oleh ISPA bagian bawah (pneumonia).
2
1.1 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana prinsip dasar pencegahan penyakit ?
2. Bagaimana tingkatan pencegahan penyakit ?
3. Bagaimana strategi untuk mencegah penyakit ISPA ?
1.2 Tujuan Penelitian
tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Untuk mengetahui bagaimana prinsip dasar pencegahan penyakit .
2. Untuk mengetahui bagaimana tingkatan pencegahan penyakit .
3. Untuk mengetahui bagaimana strategi pencegahan penyakit ISPA.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini merupakan salah satu sumber informasi bagi Puskesmas Guntung
Payung dalam upaya pencegahan penyakit ISPA.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
merupakan bahan bacaan bagi peneliti selanjutnya.
3. Merupakan pengalaman bagi penulis dalam membuat skripsi dan memperluas wawasan
pengetahuan tentang pencegahan penyakit ISPA melalui penelitian.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Infeksi saluran nafas adalah suatu keadaan dimana saluran pernapasan (hidung, pharing dan
laring) mengalami inflamasi yang menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas dan akan
menyebabkan retraksi dinding dada pada saat melekukan pernapasan (Dewi, 2014).
Saat ini ISPA masih menjadi masalah kesehatan dunia. Berdasarkan WHO (2007), ISPA
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir 4 juta
orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan
bawah. Insiden ISPA bawah yaitu 34-40 per 1000 anak per tahun di Eropa dan Amerika Utara.
Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-
negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah, dimana ISPA juga merupakan salah
satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada
bagian perawatan anak (Mahendra, 2014).
Penyakit ISPA menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia
selama lebih dari dua dasawarsa. Penyebabnya yaitu kualitas udara yang rendah secara fisik, kimia,
dan biologi baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Penyakit ISPA juga merupakan penyakit
yang sering terjadi akibat kualitas udara dalam ruang yang tidak baik (Wardhani, 2010).
Sedangkan pneumonia adalah infeksi alat yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan
mempunyai gejala batuk, sesak napas, ronki, dan infiltrat pada foto rontgen. Terjadinya pneumonia
pada anak sering bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang disebut
Bronko Pneumonia (Maryani R, 2012).
Pneumonia berbahaya karena dapat menyebabkan kematian akibat paru-paru tidak dapat
menjalankan fungsinya untuk mendapatkan oksigen bagi tubuh (Rahim, 2013). Pneumonia dijumpai
dan terus menjadi pembunuh utama anak di negara berkembang dan lansia di negara maju. Menurut
perkiraan WHO, terdapat 450 juta laporan kasus pneumonia setiap tahunnya, menyebabkan 7%
(empat juta) dari keseluruhan 57 juta kematian. Insidens tertinggi terjadi pada anak usia kurang dari
lima tahun dan orang dewasa usia lebih dari 75 tahun. Pada anak usia kurang dari lima tahun,
4
khususnya di negara berkembang, pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas dan diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta kematian setiap tahunnya. Pada lansia,
mortalitas nursing home acquired pneumonia dilaporkan mencapai 44-57% sedangkan mortalitas
pneumonia komunitas berdasarkan penelitian pada rumah sakit dilaporkan mencapai 30% (Pardede,
2013), 25% penyumbang kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang dari dua bulan.
Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 diketahui bahwa morbiditas pada
bayi akibat pneumonia sebesar 42,4% dan pada balita sebesar 40,6%, sedangkan angka mortalitas
pada bayi akibat pneumonia sebesar 24% dan pada balita sebesar 36% (Maryani R, 2012).
Kejadian pneumonia pada balita yaitu proses infeksi akut yang mengenai jaringan
paru/alveoli yang ditandai dengan batuk disertai napas cepat atau terjadi tarikan dinding ke dalam
pada anak usia balita 0-5 tahun, dengan kategori pneumonia dan bukan pneumonia (Pramudiyani,
2011).
Studi mortalitas pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa
proporsi kematian pada bayi (post neonatal) karena pneumonia sebesar 23,8% dan pada anak balita
sebesar 15,5% (Depkes RI, 2011).
Pneumonia dicirikan dengan infl amasi alveoli dan ruang udara terminal (terminal
airspaces) sebagai respons terhadap invasi agen infeksius ke paru melalui inhalasi atau penyebaran
hematogen, mencetuskan kebocoran plasma dan kehilangan surfaktan sehingga menyebabkan
hilangnya udara dan konsolidasi. Interaksi antara agen infeksius yang masuk dan pertahanan
pejamu (host) meningkatkan tonus dan tahanan otot polos jalan napas, sekresi mukus, sel infl amasi
dan debris yang meningkatkan tahanan dan hambatan jalan napas serta menyebabkan airtrapping,
atelektasis, dan ventilatory dead space. Peningkatan hambatan difusi alveolar, perburukan pintasan
intrapulmoner, dan ventilation/perfusion mismatch yang terjadi menyebabkan gangguan pertukaran
gas; sehingga paru lebih sulit menambah oksigen dan membuang karbon dioksida dari sirkulasi
(Pardede, 2013).
Selanjutnya, penyebaran infeksi atau respons infl amasi, baik ke sistemik atau tempat fokal
lain, akan memperberat keadaan penyakit. Manifestasi klinis pneumonia pada anak bervariasi sesuai
usia. Pada neonatus gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah kesulitan minum (poor feeding),
iritabilitas, takipnea, retraksi, merintih (grunting), dan hipoksemia. Setelah bulan pertama
kehidupan, batuk merupakan gejala pneumonia yang paling sering dijumpai. Pada bayi lebih tua,
5
merintih akan lebih jarang dijumpai tetapi takipnea, retraksi, hipoksemia sering dijumpai dan dapat
disertai batuk persisten, kongesti, demam, iritabilitas, dan penurunan nafsu makan. Pada anak pra-
sekolah, pneumonia paling sering bermanifestasi dengan demam, batuk (produktif atau
nonproduktif), takipnea, kongesti dan kadang disertai muntah setelah batuk (posttussive emesis).
Pada anak lebih tua dan remaja dapat juga bermanifestasi sebagai demam, batuk, kongesti, nyeri
dada, dehidrasi dan letargi. Takipnea direkomendasikan oleh WHO sebagai kriteria klinis untuk
membantu mendiagnosis pneumonia pada anak, yang didefi nisikan sebagai berikut:
• Anak usia < 2 bulan – laju napas ≥ 60x/menit
• Anak usia 2-11 bulan – laju napas ≥ 50x/menit
• Anak usia 12-59 bulan – laju napas ≥ 40x/menit (Pardede, 2013).
Meskipun tidak sensitif dan spesifik untuk diagnosis pneumonia dan tidak terdapat pada
semua anak, crackles sering ditemukan. Ronkhi lebih jarang ditemukan pada bayi dibandingkan
pada anak lebih tua. Temuan klinis lainnya yang sugestif untuk pneumonia adalah asimetri suara
napas seperti mengi fokal atau penurunan suara napas di satu lapang paru (Pardede, 2013).
Manifestasi klinis pneumonia pada lansia berbeda dari anak. Pada lansia dengan pneumonia
komunitas, gejala respiratorik jarang dan demam tidak dijumpai pada 40- 60% kasus, sedangkan
gangguan kesadaran dijumpai pada 20-50% kasus. Gejala dan tanda lain yang dapat dijumpai
adalah menggigil, produksi sputum purulen, nyeri dada pleuritik, nyeri kepala, mialgia, syok, dan
ronkhi. Pada lansia dengan nursing home acquired pneumonia, sering dijumpai gejala dan tanda
yang tidak spesifik seperti gangguan kesadaran, inkontinensia, lemah menyeluruh, dan penurunan
nafsu makan. Penurunan kesadaran bisa merupakan satusatunya manifestasi klinis yang muncul dan
ditemukan pada 21-73% pasien. Takipnea merupakan indikator sensitif adanya infeksi saluran
napas bawah pada lansia dan dijumpai pada 70% kasus (Pardede, 2013).
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan
yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu
pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, pharingitis,
tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia.
Pharingitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita (Pramudiyani, 2011).
6
2.1.1 ISPA dalam Pelayanan Kesehatan
ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir
empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia,
terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah . Begitu pula, ISPA
merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan
terutama pada bagian perawatan anak . Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pernapasan
bawah, dan Streptococcus pneumoniae di banyak negara merupakan penyebab paling umum
pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit yang disebabkan oleh bakteri. Namun demikian,
patogen yang paling sering menyebabkan ISPA adalah virus, atau infeksi gabungan virus-bakteri.
Sementara itu, ancaman ISPA akibat organisme baru yang dapat menimbulkan epidemi atau
pandemi memerlukan tindakan pencegahan dan kesiapan khusus.Terjadinya ISPA tertentu
bervariasi menurut beberapa faktor. Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan :
1. Kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan anggota keluarga), kelembaban,
kebersihan, musim, temperatur);
2. Ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk
mencegah penyebaran (misalnya, vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan,
kapasitas ruang isolasi);
3. Faktor pejamu, seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu menularkan infeksi,
status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh
patogen lain, kondisi kesehatan umum; dan
4. Karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi (misalnya, gen
penyandi toksin), dan jumlah atau dosis mikroba (ukuran inokulum) (Pramudiyani, 2011).
2.1.2 Tingkatan Pencegahan Penyakit
Terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa faktor, yaitu antara lain:
1. kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan hunian rumah), kelembaban,
kebersihan, musim, temperatur); (Asriati, 2012).
7
2. ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk
mencegah penyebaran (misalnya, vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan,
kapasitas ruang isolasi); (Asriati, 2012).
3. faktor pejamu, seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu menularkan infeksi,
status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh
patogen lain, kondisi kesehatan umum; dan karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya
tular, faktor virulensi (misalnya, gen penyandi toksin), dan jumlah atau dosis mikroba (ukuran
inokulum) (Asriati, 2012)
4. Agent seperti bakteri, virus dan jamur, salah satu ciri khas penyakit yang dapat ditularkan
lewat udara adalah kecenderungannya untuk berjangkit secara epidemik dan menyerang
banyak orang dalam waktu yang relatif singkat. Contoh khas infeksi bakterial yang ditularkan
lewat udara adalah penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan streptokokal (Suharti,
2015).
2.2 Klasifikasi ISPA
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada umumnya menunjukkan gejala-
gejala seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, kesulitan bernapas, demam, dan sakit telinga.
Penentuan klasifikasi penyakit ISPA dapat dibedakan atas 2 kelompok yaitu:
2.2.1 Kelompok untuk umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun
Untuk kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun klasifikasi dibagi atas
pneumonia berat, pneumonia, dan batuk bukan pneumonia.
1. Pneumonia berat
Terjadi bila disertai napas cepat dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam waktu
menarik napas, dengan catatan dalam pemeriksaan anak harus tenang dan tidak menangis.
2. Pneumonia
Terjadi bila hanya disertai napas cepat dengan batasan umur 2 bulan sampai umur kurang
dari 1 tahun sebanyak 50 kali per menit atau lebih, sedangkan untuk umur 1 tahun sampai umur
kurang dari sama dengan 5 tahun sebanyak 40 kali permenit atau lebih (Maryani R, 2012).
8
3. Bukan pneumonia
Terjadi bila tidak ditemukan peningkatan frekuensi napas cepat dan tidak menimbulkan
adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (batuk pilek biasa). Sedangkan tanda hanya
untuk kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang,
kesadaran menurun, dan gizi buruk (Maryani R, 2012).
2.2.2 Kelompok untuk umur kurang dari 2 bulan
Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan klasifikasi dibagi atas pneumonia berat dan
batuk bukan pneumonia. Dalam pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) klasifikasi
pada kelompok umur kurang dari 2 bulan adalah infeksi bakteri sistemik dan infeksi bakteri local
(Maryani R, 2012).
1. Klasifikasi pneumonia berat
Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas
disertai tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK) pada anak umur 2 bulan sampai
kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan klasifikasi pneumonia berat
ditandai dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK) kuat atau adanya nafas cepat
lebih atau sama dengan 60 kali per menit (Maryani R, 2012).
2. Klasifikasi pneumonia
Klasifikasi pneumonia ini didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas
disertai adanya nafas cepat. Batas nafas cepat pada anak umur 2 bulan sampai <1 tahun adalah 50
kali permenit dan 40 kali per menit untuk anak usia 1 sampai <5 tahun (Maryani R, 2012).
3. Klasifikasi batuk bukan pneumonia
Klasifikasi batuk bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan batuk
yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukkan adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam. Dengan demikian klasifikasi batuk bukan pneumonia
mencakup penyakit-penyakit ISPA lain di luar pneumonia seperti batuk pilek (common cold,
pharyngitis, tonsilitis, otitis) (Maryani R, 2012).
9
2.3 Tanda-Tanda Terserang ISPA
Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan tiga gejala yaitu demam
(≥38°C) atau ada riwayat demam, batuk, Pneumonia berdasarkan gejala klinis atau gambaran
radiologis yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Perlu waspada pada pasien dengan
gangguan system kekebalan tubuh (immunocompromised) karena gejala dan tanda tidak jelas. Dan
salah satu dari kriteria berikut :
1. Adanya klaster penyakit yang sama dalam periode 14 hari, tanpa memperhatikan tempat
tinggal atau riwayat bepergian, kecuali ditemukan etiologi/penyebab penyakit lain.
2. Adanya petugas kesehatan yang sakit dengan gejala sama setelah merawat pasien ISPA
berat (SARI / Severe Acute Respiratory Infection), terutama pasien yang memerlukan
perawatan intensif, tanpa memperhatikan tempat tinggal atau riwayat bepergian, kecuali
ditemukan etiologi/penyebab penyakit lain.
3. Seseorang yang memiliki riwayat perjalanan ke Timur Tengah (negara terjangkit) dalam
waktu 14 hari sebelum sakit kecuali ditemukan etiologi/penyebab penyakit lain.
4)Adanya perburukan perjalanan klinis yang mendadak meskipun dengan pengobatan yang
tepat, tanpa memperhatikan tempat tinggal atau riwayat bepergian, kecuali ditemukan
etiologi/penyebab penyakit lain.
Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ringan sampai berat yang
memiliki riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi atau kasus probable infeksi MERS-CoV
dalam waktu 14 hari sebelum sakit (WHO, 2013).
2.4 Cara Penularan ISPA
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung
kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Infeksi saluran pernapasan bagian
atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada
bulan-bulan musim dingin.
ISPA bermula pada saat mikriorganisme atau atau zat asing seperti tetesan cairan yang
dihirup, memasuki paru dan menimbulkan radang. Bila penyebabnya virus atau bakteri, cairan
digunakan oleh organisme penyerang untuk media perkembangan. Bila penyebabnya zat asing,
cairan memberi tempat berkembang bagi organisme yang sudah ada dalam paru-paru atau sistem
10
pernapasan,. Umumnya penyakit pneumonia menular secara langsung dari seseorang penderita
kepada orang lain melalui media udara. Pada waktu batuk banyak virus dan kuman yang
dikeluarkan dan dapat terhirup oleh anak lain yang berdekatan dengan penderita (Aderita, 2010).
2.5 Strategi Pencegahan Penyakit ISPA
Strategi pengendalian dan pencegahan Pneumonia adalah dengan penerapan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS); faktor risiko Pneumonia pada anak yang selalu ada meliputi gizi
kurang, berat badan lahir rendah, tidak ada / tidak memberikan ASI eksklusif, polusi udara dalam
ruang, dan permukiman padat; imunisasi wajib campak dan DPT serta Imunisasi Hib (Haemophilus
influenza type b) dan Pneumokokus (Fanada, 2012).
Pencegahan Pneumonia yang masih sangat strategis yang dapat dilakukan misalnya
pendidikan kesehatan kepada berbagai komponen masyarakat, terutama pada ibu yang memiliki
anak Balita tentang besarnya masalah Pneumonia dan pengaruhnya terhadap kematian anak,
perilaku preventif sederhana misalnya kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikkan gizi
dengan pola makanan sehat, mencegah berat badan lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif,
mencegah polusi udara dalam ruangan yang berasal dari bahan bakar rumah tangga. Pemberian ASI
eksklusif selama enam bulan, perbaikkan gizi dan pencegahan berat badan lahir rendah, control
polusi udara dalam ruangan dan pencegahan dan manajemen infeksi HIV dan mendorong
pendekatan terpadu dalam pencegahan pengobatan Pneumonia melalui kolaborasi multisektoral dan
partisipasi masyarakat (Fanada, 2012).
Perlu upaya untuk meningkatkan pengetahuan responden tentang kesehatan secara umum,
khususnya mengenai penyakit menular (ISPA) sehingga diharapkan ada perubahan perilaku
perorangan dengan hasil akhir menurunkan angka kesakitan penyakit menular yaitu ISPA (Aderita,
2010).
2.5.1 Kegiatan Pokok P2 ISPA
Dalam mencapai sasaran dan tujuan pencegahan penyakit ISPA, maka Strategi Pencegahan
Penyakit ISPA dijabarkan dalam 8 kegiatan pokok yaitu promosi penanggulangan pnemonia balita,
kemitraan, peningkatan penemuan kasus, peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA, peningkatan
11
kualitas sumber daya, surveilans ISPA, pemantauan dan evaluasi dan pengembangan program ISPA
(Aderita, 2010).
Dalam pelaksanaannya kegiatan P2 ISPA mengacu kepada pendekatan Manajemen
Pemberantasan Penyakit Menular Berbasis Wilayah atau dengan kata lain diarahkan menanggulangi
secara komprehensif faktor-faktor yang berhubungan dengan ksakitan dan kematian balita termasuk
faktor resiko lingkungan, faktor resiko kependudukan dan penanganan kasus yang dilakukan secara
terpadu dengan mitra kerja terkait yang didukung oleh surveilans yang baik serta tercemin dalam
perencanaan dan penganggaran kesehatan secara terpadu (P2KT).
Secara rinci kegiatan pokok ISPA dijabarkan sebgai berikut:
1. Promosi Penanggulangan Pnemonia Balita
Promisi pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia mencakup kegiatan advokasi, bina
suasana dan gerakan masyarakat. Tujuan yang diharapkan dari kegiatan promosi balita secara
umum adalah meningkatnya pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam upaya dalam
penanggulangan pnemonia balita. Sasaran promosi dalam P2 ISPA mencakup sasaran primer (ibu
balita dan keluarganya), sasaran sekunder (petugas kesehatan dan petugas lintas program serta lintas
sektor), dan sasaran tersier (pengambil keputusan). Pesan pokok, metode dan media yang digunakan
sesuai dengan sasaran.
2. Kemitraan
Merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan program. Pembangunan
kemitraan dalam program P2 ISPA diarahkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat, peran
serta lintas program dan lintas sektor terkait serta peran pengambil keputusan termasuk penyandang
dana. Dengan demikian pembangunan kemitraan diharapkan pendekatan pelaksanaan program
pemberantasan penyakit ISPA khususnya pnemonia dapat terlaksana secara terpadu dan
kompherensif. Dengan kata lain intervensi pemberantasan penyakit ISPA tidak hanya tertuju pada
penderita saja, tetapi juga terhadap faktor resiko (lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain
yang berpengaruh melalui dukungan peran aktif sector lain yang berkompeten.
3. Peningkatan Penemuan dan Tatalaksana Kasus
Kegiatan ini merupakan kegiatan terpenting, karena keberhasilan upaya penurunan
kematian pnemonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan upaya penemuan dan tatalaksana
penderita ini. Dalam kebijakan dan strategi Program P2 ISPA maka penemuan dan tatalaksana
12
penderita ini dilaksanakan di rumah tangga dan masyarakat (keluarga, kader dan posyandu), di
tingkat pelayanan kesehatan swasta (praktek dokter, poliklinik swasta, RS swasta). Dengan
demikian yang melaksanakan kegiatan secara langsung adalah tenaga kesehatan di sarana-sarana
kesehatan tersebut dan kader posyandu di masyarakat. Adapun prosedur penemuan dan tatalaksana
penderita ISPA di masing-masing sarana/tingkatan mengacu pada tatalaksana standar yang
ditetapkan. Sedangkan tatalaksana kasus ISPA dilaksanakan melalui pendekatan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) disarana kesehatan dasar. Disamping itu perlu dilakukan audit kasus
dalam upaya peningkatan kualitas tatalaksana kasus yang dilaksanakan dengan koordinasi tingkat
kabupaten/kota.
4. Peningkatan Kualitas Sumber Daya
a. Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber Daya Manusia yang terlibat dalam program P2 ISPA meliputi kader, petugas
kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA di sarana pelayanan kesehatan (Polindes, Pustu,
Puskesmas, RS, Poliklinik), pengelola program ISPA di puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan
pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilakukan di berbagai jenjang melalui kegiatan
pelatihan, setiap pelatihan yang dilakukan perlu ditindaklanjuti dengan supervisi dan monitoring
serta pembinaan di lapangan. Selanjutnya pelaksanaan pelatihan secara terpadu dengan program
lain perlu dikembangkan, terutama pelatihan menyangkut aspek manajemen atau pengelola program
P2 ISPA dilakukan pula melalui kegiatan magang, asistensi tatalaksana oleh dokter ahli, studi
banding, seminar dan workshop sesuai dengan kebutuhan.
b. Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan program P2 ISPA.
Aspek logistik Pemberantasan Penyakit ISPA mencakup peralatan, bahan dan sarana yang
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan. Sampai saat ini logistik kegiatan distandarisasi,
dari logistik untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita dan logistik untuk kegiatan
komunikasi dan penyebaran informasi. Untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita
mencakup obat dan alat bantu hitung pernapasan (soundtimer). Untuk kegiatan komunikasi dan
penyebaran informasi, logistik yang telah disediakan program meliputi media cetak dan elektronik.
13
5. Surveilans ISPA
Untuk melaksanakan kegiatan pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit
termasuk ISPA secara efektif dan efisien, diperlukan data dasar (baseline) dan data program yang
lengkap dan akurat. Upaya dalam mendapatkan data atau informasi tersebut diatas dilakukan
melalui kegiatan surveilans epidemiologi ISPA yang aktif dengan diferivikasi oleh survey atau
penelitian yang sesuai.
Surveilans epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi yang dapat
digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan program pemberantasan
ISPA secara efektif dan efisien serta mampu mengantifikasi kecenderungan-kecenderungan yang
bakal muncul. Data dan informasi dimaksud meliputi data dan informasi kesakitan dan kematian
pnemonia, sumber penularan, faktor resiko yang berhubungan dengan pnemonia (faktor resiko
lingkungan dan kependudukan) dan data yang berhubungan dengan kinerja program.
Untuk itu mulai tahun 2002 dikembangkan kegiatan autopsi verbal kematian balita akibat
pnemonia dan audit kasus pnemonia. Dalam pelaksanaanya di lapangan, kegiatan surveilans dapat
disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan setempat, baik mekanisme kerja maupun bentuk
instrumennya. Namun demikian secara umum pelaksanaan surveilans Program P2 ISPA mengikuti
langkah-langkah surveilans epidemiologi pada umumnya, sebagaimana diuraikan berikut:
Tujuan Surveilans ISPA adalah menyediakan informasi tentang situasi dan besarnya
masalah penyakit ISPA khususnya kejadian pnemonia balita dan kematian balita akibat pnemonia di
masyarakat beserta faktor resikonya dan informasi lain yang diperlukan bagi upaya pencegahan dan
penanggulangan penyakit ISPA secara efektif sehingga angka kesakitan dan kematian balita akibat
pnemonia dapat diturunkan sesuai tujuan pemberantasan penyakit ISPA. Berikut adalah kegiatan
pokok surveilans:
a. Pengumpulan data
Data penyakit ISPA termasuk pnemonia balita dikumpulkan di sarana kesehatan tingkat
pertama (rawat jalan rumah sakit, Puskesmas, Pustu dan Posyandu, serta pelayanan kesehatan
swasta) dengan menggunakan formulir, kartu atau buku khusus. Selanjutnya kasus pnemonia dari
sarana tersebut dilaporkan ke puskesmas yang menangani wilayah kerja dari sarana kesehatan yang
bersangkutan, secara aktif (melaporkan sendiri) maupun pasif (puskesmas menjemput laporan dari
sarana kesehatan di wilayah kerjanya) dengan menggunakan instrumen standar yang dibuat oleh
14
puskesmas. Puskesmas selanjutnya meneruskan laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Untuk laporan kasus pnemonia dari rumah sakit, laporan langsung ke Dinas Kesehatan (Subdin
P2M).
b. Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telah terkumpul, baik dari institusi sendiri maupun dari luar selanjutnya
dilakukan pengolahan dan analisa. Pengolahan dan analisa data dilaksanakan baik oleh puskesmas,
Kabupaten/kota maupun Propinsi.
c. Penyajian Data Umpan Balik
Sebagai bahan atau dasar bagi kepentingan pelaksanaan kegiatan atau perbaikan
pelaksanaan kegiatan, hasil kerja survailans ISPA perlu disajikan dan disebarluaskan atau
diumpanbalikan kepada pihak-pihak yang memerlukannya secara teratur, baik kalangan internal
maupun eksternal.
6. Peningkatan Jaringan Informasi
Jaringan informasi antara Kabupaten/Kota, Provinsi dan pusat sangat diperlukan untuk
membangun sistem informasi kesehatan yang handal sehingga mampu meningkatkan koordinasi
dan keterpaduan pelaksanaannya pemberantasan penyakit ISPA antar berbagai jenjang dari mulai
perencanaan sampai dengan evaluasi program.
7. Pemantauan dan Evaluasi
Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pemantauan (monitoring) dan penilaian
(evaluasi).
a. Pemantauan
Pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA (monitoring) dimaksudkan untuk memantau
secara teratur kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat diketahui apakah kegiatan program
dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan digariskan oleh kebijaksanaan program.
Pelaksanaan pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA dapat memanfaatkan kegiatan supervisi
dan bimbingan tehnis, Pencatatan Pelaporan Pemberantasan Penyakit ISPA, dan Pemantauan
program P2M&PL di Kabupaten/kota.
b. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pencapaian hasil kegiatan telah memenuhi target yang
diharapkan, mengidentifikasi masalah dan hambatan yang dihadapi serta menyusun langkah-
langkah perbaikan selanjutnya termasuk perencanaan dan penganggaran. Kegiatan evaluasi
15
dilaksanakan di berbagai jenjang administrasi kesehatan, baik ditingkat pusat, provinsi maupun
Kabupaten/Kota.
8. Peningkatan Manajemen Program
Aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian terus ditingkatkan
diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan,dan administrsi. Aspek manajemen tersebut diatas
merupakan beban kerja terbesar untuk unit yang mengelola Pemberantasan Penyakit ISPA baik di
tingkat pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kegiatan ini juga dilaksanakan di berbagai tingkat
administrasi kesehatan.
Peningkatan manajemen program pada aspek perencanaan dilakukan melalui penerapan
perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu (P2KT) dalam perencanaan kegiatan program P2
ISPA. Penerapan P2KT dalam pelaksanaan program P2ISPA akan efektif bila didukung kinerja
surveilans yang mampu memberikan informasi yang lengkap dan akurat sehingga menghasilkan
perencanaan program P2 ISPA berdasarkan fakta (evidence based palanning). Dalam meningkatkan
manajemen pembiayaan, diupayakan penggalian potensi sumber biaya masyarakat, swasta,
organisasi non pemerintah, dan lembaga-lembaga donor, mengingat kemampuan pemerintah dalam
penyediaan biaya untuk program cukup terbatas. Pembiayaan dipusat terutama bersumber pada
APBN dengan sumber dana tambahan dari sumber dana lain seperti dana kerjasama Pemerintah RI
dengan organisasi internasional, dana bantuan pinjaman luar negeri. Di provinsi pembiayaan
terutama bersumber dari APBN dan Dana Alokasi Umum (DAU) provinsi disamping sumber dana
lain. Begitu pula di tingkat Kabupaten/Kota sebagian besar masih bertumpu pada APBN disamping
DAU Kabupaten/Kota, sedangkan potensi sumber dana dari masyarakat atau swasta belum
teralokasi dengan baik. Untuk itu dalam mewujudkan pembiayaan program P2ISPA yang memadai
di berbagai jenjang administrasi kesehatan, perlu diupayakan secara terus-menerus penggalian
potensi sumber biaya non pemerintah (Fanada, 2012).
2.5.2 Pengembangan Program
Dalam upaya pencapaian tujuan pemberantasan penyakit ISPA khususnya pnemonia, perlu
dilakukan pengembangan program sesuai dengan tuntutan perkembangan di masyarakat.
Pengembangan program P2 ISPA dilakukan diantaranya melalui kegiatan penelitian, uji coba
konsep-konsep intervensi baru seperti pendekatan tatalaksana penderita ISPA, pencegahan dan
16
penanggulangan faktor resiko baik dilingkungan maupun kependudukan, peningkatan kemitraan,
peningkatan manajemen dan sebagainya serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya seperti pertemuan
kajian program, seminar, workshop dan sebagainya (Kusumawati, 2010).
2.6 Tingkatan Pencegahan Penyakit ISPA
2.6.1 Distribusi dan Frekwensi ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia dari bayi,
anak-anak dan sampai orang tua. Menurut WHO 1981, bahwa satu dari tiga penyebab kematian
anak dibawah lima tahun adalah ISPA dengan pneumonia sebesar 75% dari semua jumlah
kematian. Data CBS-UNICEF juga mengungkapkan bahwa pneumonia menyebabkan 28%
kematian anak di dunia.
Penelitian yang dilakukan di Klaten tahun 1996 menemukan bahwa sebagian besar kasus
ISPA terjadi pada kelompok umur 7 – 12 bulan (65,23%) dan sebagian besar kasus terjadi pada bayi
laki-laki (73, 45 %).
ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut
diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun masyarakat masih awam dengan gangguan ini. Penderita
cepat meninggal akibat pneumonia berat dan sering tidak tertolong. Lambatnya pertolongan ini
disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang gangguan ini (Kusumawati, 2010).
2.6.2 Determinan ISPA
Menurut Ditjen PPM & PL Depkes RI, faktor beresiko untuk berjangkitnya atau
mempengaruhi timbulnya infeksi saluran pernapasan akut, yaitu; gizi kurang, berat badan lahir
rendah, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, termasuk asap rokok,kepadatan tempat tinggal,
imunisasi tidak memadai, defisiensi vitamin A, tingkat sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan
ibu rendah, dan tingkat pelayanan kesehatan rendah (Kusumawati, 2010).
Secara umum faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu :
1. Bibit Penyakit (Agent) Salah satu ciri khas penyakit yang dapat ditularkan lewat udara
adalah kecenderungannya untuk berjangkit secara epidemik dan menyerang banyak orang dalam
waktu yang relatif singkat. Contoh khas infeksi bakterial yang ditularkan lewat udara adalah
penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan streptokokal. Sedangkan penyakit yang khas
17
disebabkan oleh virus dan disebarkan melalui jalan pernapasan antara lain influenza dan salesma.
Penyakit yang disebabkan oleh jamur dan cendawan juga merupakan infeksi yang ditularkan lewat
udara. Jenis algae, protozoa, ragi, jamur, bakteri merupakan jenis mikroorganisme yang dapat
ditemukan di udara dekat pemukiman. Spora jamur merupakan bahagian terbesar dari
mikroorganisme yang ditemukan di udara. Bakteri yang ditemukan pada umumnya dari jenis gram
positif, baik spora maupun nonspora. Selain itu juga ditemukan kokus gram positif dan basil gram
negatif (Suharti, 2015).
2. Pejamu (Host)
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit,
terutama faktor yang ada pada dirinya sendiri seperti :
a. Umur
kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun,
terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda
akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut (Kusumawati, Ita 2010).
Tingginya risiko kejadian ISPA pada anak yang berusia <36 bulan kemungkinan disebabkan karena
pada usia tersebut seorang anak lebih banyak melakukan aktivitas dalam rumah. Meskipun
demikian, kontrol orang tua terhadap aktivitas anak masih kurang, khususnya dalam hal kontak
anak dengan sesuatu yang dapat menjadi sumber penyakit, misalnya asap kayu bakar dan asap
rokok dalam rumah. Sebaliknya, anak yang berusia ≥ 36 bulan sudah mulai mandiri sehingga
ketergantungan terhadap orang tua sudah mulai berkurang (Layuk, 2012).
b. Jenis Kelamin
meskipun secara keseluruhan di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masalah
ini tidak terlalu diperhatikan, namun banyak penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan
prevelensi penyakit ISPA terhadap jenis kelamin tertentu.Anak perempuan lebih tinggi dari laki –
laki di Negara (Kusumawati, 2010).
c. Status Gizi
Status gizi secara tidak langsung berpengaruh terhadap faktor sosial ekonomi dan langsung
terhubung dengan hygiene sanitasi, juga dengan tingkat konsumsi dan infeksi (Winardi, 2015).
Status gizi balita adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Beberapa
18
faktor penyebab status gizi balita dapat digolongakan menjadi penyebab langsung yaitu konsumsi
makanan dan penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsung yaitu ketersediaan pangan di
tingkat rumah tangga, pola asuh anak, sanitasi lingkungan, pelayanan kesehatan, pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, pengetahuan gizi ibu, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga dan
kemiskinan.
Zat gizi merupakan unsur yang penting dalam nutrisi mengingat zat gizi tersebut dapat
memberikan fungsi tersendiri pada nutrisi, kebutuhan nutrisi tidak akan berfungsi secara optimal
kalau tidak mengandung beberapa zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, demikian juga zat
gizi yang cukup pada kebutuhan nutrisi akan memberikan nilai yang optimal. Status gizi adalah
ekspresi dari keadaaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture
dalam bentuk variabel tertentu. Konsumsi gizi sangat mempengaruhi status gizi kesehatan
seseorang yang merupakan modal utama bagi individu. Asupan gizi yang salah atau tidak sesuai
akan menimbulkan masalah kesehatan (Hariyani, 2011).
Dengan terpenuhinya gizi yang baik, tubuh dapat mempertahankan diri terhadap penyakit
infeksi dan sebaliknya gangguan gizi dapat memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi
penyakit infeksi. Interaksi antara infeksi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP) telah lama dikenal,
kedua keadaan ini sinergistik, saling mempengaruhi, yang satu merupakan predisposisi yang
lainnya. Pada KKP, ketahanan tubuh menurun dan virulensi pathogen lebih kuat sehingga
menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu
determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi anak
(Kusumawati, 2010).
d. Berat Badan Lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah akan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian
bayi termasuk infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Bayi dengan BBLR menunjukkan
kecendrungan untuk lebih rentan menderita penyakit infeksi terutama pneumonia. Pneumonia
adalah penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi dengan dengan berat badan lahir rendah
karena belum berkembang sistem pertahanan tubuh dan pernapasannya sebaik anak yang lahir
dengan berat badan baik dan cukup (Rahmin, 2012).
Bayi BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh yang belum sempurna yang mengakibatkan
bayi BBLR mempunyai daya tahan tubuh yang rendah. Bayi BBLR memiliki pusat pengaturan
19
pernapasan belum sempurna, surfaktan paru-paru masih kurang, otot pernapasan dan tulang iga
lemah, dan dapat disertai penyakit hialin membran. Selain itu, bayi BBLR mudah mengalami
infeksi paru-paru dan gagal pernapasan (Ibrahim, 2010).
e. Status ASI dan Makanan Tambahan
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama
kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat
antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis
membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi
dan sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas (Kusumawati, Ita 2010).
Balita yang tidak diberikan ASI eksklusif lebih banyak yang menderita Pneumonia dari
pada Balita yang diberikan ASI eksklusif, ini karena kekebalan tubuh anak Balita juga tergantung
pada lamanya pemberian ASI, oleh karena itu ASI eksklusif sangat penting karena peluang untuk
terkena penyakit terutama Pneumonia lebih kecil dibandingkan dengan anak yang tidak ASI
eksklusif (Fanada, 2012).
f. Status Imunisasi
Ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA walaupun tidak
bermakna. Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap
dapat memberikan peranan yang cukup berartidalam mencegah kejadian ISPA (Kusumawati, 2010).
Imunisasi telah terbukti dapat mengurangi resiko terjangkitnya pneumonia karena adanya
perlindungan dari imunisasi yang lengkap. Imunisasi campak mempunyai pengaruh terhadap
terjadinya kematian pada bayi dan balita yang sedang menderita pneumonia, dengan imunisasi
campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi
pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah (Rahmin, 2011).
g. Vitamin A
Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa pertumbuhannya, daya tahan
tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan untuk
mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi (Kusumawati, Ita 2010).
h. Lingkungan (Environment)
Sanitasi lingkungan adalah keadaan lingkungan responden yang dinilai dari keadaan
perumahan, ventilasi, cahaya, luas bangunan, yang dinilai dengan menggunakan kuesioner yang
20
dikonfirmasi dengan pengamatan dengan skala ukur interval. Terdiri dari keadaan lingkungan baik,
cukup dan buruk (Wardhani, 2010).
1. Asap Dalam Ruangan
Sumber pencemaran udara salah satunya dapat berasal dari perumahan. Kualitas udara
dalam ruangan (indoor air quality) juga merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian karena
akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Timbulnya pencemaran udara dalam ruang
umumnya disebabkan oleh beberapa hal yaitu, kurangnya ventilasi udara (52%), sumber
kontaminasi di dalam ruangan (16%), kontaminasi dari luar ruangan (10%), mikroba (5%), bahan
material bangunan (4%), dan lain-lain (13%).1 Kondisi rumah sangat berkaitan dengan risiko
pencemaran udara. Pencemaran udara dalam ruang rumah berbahaya bagi kesehatan (Wardhani,
2010).
Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat
menimbulkan kanker (karsinogen). Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya
mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang-orang di
sekitarnya yang tidak merokok yang sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibu-ibu yang
terpaksa menjadi perokok pasif oleh karena ayah atau suami mereka merokok di rumah. Padahal
perokok pasif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita ISPA, kanker paru-paru dan penyakit
jantung ishkemia. Sedangkan pada janin, bayi dan anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar
untuk menderita kejadian berat badan lahir rendah, bronchitis dan pneumonia, infeksi rongga
telinga dan asma (Kusumawati, 2010).
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi
tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal
ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah,
bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan
karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama ibunya sehingga dosis pencemaran
tentunya akan lebih tinggi (Maryani R, 2012).
Rokok, sebagai salah satu resiko timbulnya ISPA merupakan pembunuh nomor tiga setelah
jantung koroner dan kanker, satu batang rokok membuat umur memendek 12 menit, 10.000 perhari
orang di dunia mati karena merokok, 57.000 orang pertahun mati di Indonesia karena merokok,
kenaikan konsumsi rokok Indonesia tertinggi di dunia yaitu 44%. Di Indonesia prevalensi merokok
21
dari tahun 1995 sampai 2001 dikalangan orang dewasa meningkat menjadi 31,5% dari 26,9%
(Kusumawati, 2010).
Penggunaan obat nyamuk adalah penggunaan obat nyamuk (oles, elektrik, semprot,bakar)
di dalam kamar balita, dengan kategori menggunakan dan tidak menggunakan. Variabel merokok
adalah kegiatan merokok yang dilakukan oleh orang tua dan atau anggota keluarga di dalam rumah
tempat tinggal balita. Membuka jendela pada kamar tidur balita setiap pagi dan siang hari, dengan
kategori setiap hari dibuka, kadang-kadang, atau jarang dibuka (Pramudiyani, 2011).
Hasil studi penelitian epidemologi menunjukkan bukti yang kuat bahwa paparan asap rokok
lingkungan terhadap anak berkaitan peningkatan jumlah penyakit saluran nafas bawah, eksaserbasi
asma, dan SIDS. Paparan semasa kanak-kanak juga dapat menyebabkan pertumbuhan kanker
semasa dewasa. Penelitian meta analisis yang dilakukan Strachan dan Cook menyimpulkan bahwa
hubungan orang tua perokok dan penyakit saluran nafas bawah akut pada bayi sangat mungkin.
Paparan asap rokok lingkungan (salah satu keluarga adalah perokok) setelah bayi lahir
menyebabkan peningkatan resiko penyakit pernafasan akut pada anak. Juga terbukti ada hubungan
antara orang tua perokok khususnya dengan penyakit saluran nafas bawah akut pada tahun kedua
dan tahun ketiga kehidupan anak (Kusumawati, Ita 2010).
Analisis WHO (World Health Organization), menunjukkan bahwa efek buruk asap rokok lebih
besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif, dengan pengertian bahwa perilaku merokok
orang tua dan anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan BALITA ketika merokok
sehingga BALITA menjadi perokok pasif (Wardani, 2010).
Adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan risiko
bronchitis, pneumonia pada anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada
kelompok umur 9 bulan dan 6 –10 tahun (Maryani R, 2012).
2. Ventilasi
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik
secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Menyuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang
optimum bagi pernapasan.
b. Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain
dengan cara pengenceran udara.
22
c. Menyuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
d. Menyuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
e. Mengeluakan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi
ataupun keadaan eksternal.
f. Mendisfungsikan suhu udara secara merata.
Ada dua macam ventilasi, yaitu:
1. Ventilasi alamiah yang dapat mengalirkan udara ke dalam ruangan secara alamiah misalnya
jendela, pintu, lubang angin, dan lubang-lubang pada dinding.
2. Ventilasi buatan yang menggunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara ke dalam rumah,
misalnya kipas angin, dan mesin pengisap udara luas ventilasi penting untuk suatu rumah karena
berfungsi sebagai sarana untuk menjamin kualitas dan kecukupan sirkulasi udara yang keluar dan
masuk dalam ruangan. Luas ventilasi yang kurang dapat menyebabkan suplai udara segar yang
masuk ke dalam rumah tidak tercukupi dan pengeluaran udara kotor ke luar rumah juga tidak
maksimal. Dengan demikian, akan menyebabkan kualitas udara dalam rumah menjadi buruk Luas
ventilasi alamiah yang permanen minimal adalah 10% dari luas lantai. Ventilasi yang memenuhi
syarat dapat menghasilkan udara yang nyaman dengan temperatur 220C dan kelembaban 50-70%
(Maryani R, 2012).
Luas ventilasi kamar adalah luas tempat proses penyediaan penghawaan atau ventilasi
alamiah yang permanen, tidak memenuhi syarat, bila < 10 % luas lantai dan memenuhi syarat, bila
≥ 10% luas lantai (Pramudiyani, 2011).
Ventilasi rumah berkaitan dengan kelembaban rumah, yang mendukung daya hidup virus
maupun bakteri. Sinar matahari dapat membunuh bakteri atau virus, sehingga dengan pencahayaan
yang memadai akan mengurangi risiko terjadinya penyakit ISPA pada anak (Winardi, 2015)
3.Tata Ruang dan Kepadatan Hunian
Lingkungan yang kumuh, sarat akan tempat berkembang biaknya beberapa jenis penyakit,
yang ditimbulkan dari bakteri (parasit) dan virus (Priyono, 2013),
Kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat kesehatan Kementerian Kesehatan
(≤8m2/orang) sebagian besar disebabkan oleh banyaknya keluarga yang tinggal dalam satu rumah,
misalnya satu rumah terdapat dua atau tiga keluarga bahkan lebih. selain itu juga disebabkan oleh
banyaknya anak yang dimiliki oleh satu keluarga. Rumah yang berpenghuni banyak (overcrowded)
23
dapat mempermudah proses transmisi penyakit terhadap penghuni lainnya. Faktor yang dapat
memperberat kejadian ISPA pada balita adalah kepadatan hunian (Wardhani, 2010).
Luas bangunan rumah yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang banyak dapat
menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini
memungkinkan bakteri maupun virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang
satu ke penghuni rumah yang lainnya bahkan hingga ke anak-anak yang m asih di bawah umur
(Winardi, 2015).
Kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena status sosial
ekonomi rendah. Dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu atau tripleks maupun dari kayu
umumnya banyak berdebu yang dapat menjadi media bagi virus atau bakteri untuk terhirup oleh
penghuni rumah yang terbawa oleh angin. Salah satu pemenuhan syarat segi kekuatan dinding
bangunan rumah adalah menggunakan bahan yang dapat dijamin keawetannya dan kemudahan
dalam pemeliharaan, dan menggunakan bahan yang tahan api untuk bagian-bagian yang mudah
tidak mudah terbakar, serta kuat dari pengaruh kondisi luar seperti angin, hujan, gempa, dan lainnya
(Winardi, 2015).
Jenis lantai ruang kamar tidur balita memenuhi syarat bila lantai ubin atau keramik, tidak
berdebu dan tidak lembab (semen dan tanah), serta tidak memenuhi syarat bila tidak memenuhi
salah satu kriteria tersebut. Kepadatan tempat tinggal/hunian kamar balita, memenuhi syarat, bila <
2 orang /8 m2 luas lantai dan tidak memenuhi syarat bila lebih dari 2 orang per 8 m2 luas lantai
(Pramudiyani,2011).
Risiko balita terkena penyakit ISPA tidak akan meningkat jika tinggal di rumah yang
lantainya memenuhi syarat. Lantai rumah yang memenuhi syarat terbuat dari semen atau lantai
rumah berubin. Kondisi lantai yang baik dapat mengurangi instrusi air sehingga dapat mengurangi
kelembaban di dalam rumah, lantai rumah yang selalu basah memudahkan timbulnya bakteri dan
kelembaban pada lantai. Lantai yang memenuhi syarat harus terbuat dari keramik sehingga mapu
mudah dibersihkan bahkan seluruh kotoran terbawa keluar hingga setiap celah-celah dari ruas
keramik (Winardi, 2015).
Berdasarkan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan
melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam
rumah yang telah ada (Maryani R, 2012).
24
4. Temperatur
Suhu rumah diukur menggunakan alat thermohygrometer, dengan kategori baik, bila suhu 22
sampai 25 derajat celsius. Kelembaban rumah baik, bila 50%-70%. Kondisi jendela adalah bagian
dinding yang dapat dibuka se- hingga udara dan sinar matahari dapat keluar masuk dari kamar
balita, dengan kategori permanen dan tidak permanen (Pramudiyani, 2011).
Suhu ruang yang tidak memenuhi syarat kesehatan memiliki risiko 3,19 kali lebih besar
terkena ISPA dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan suhu yang memenuhi syarat
kesehatan. Suhu dalam ruang rumah yang terlalu rendah dapat menyebabkan gangguan kesehatan
hingga hypotermia, sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan dehidrasi sampai
dengan heat stroke. (Soolani, 2013).
Kelembaban turut mempengaruhi jumlah bakteri udara. Udara pada musim panas/kering
membawa bakteri lebih banyak dari pada musim dingin atau hujan. Beberapa mikroorganisme
udara termasuk dalam golongan mikroorganisme yang patogen dan dapat menyebabkan penyakit
pada manusia, terutama bila berada di suasana udara tidak bebas seperti di dalam perumahan
penduduk, rumah sakit, gedung- gedung umum dan perkantoran, pabrik serta gedung- gedung
lainnya. Golongan ini terdiri atas berbagai jenis mikroorganisme patogen, baik jamur, protozoa,
bakteri maupun virus. Penyakit yang disebabkannya sering diklasifikasikan sebagai penyakit yang
menyebar lewat udara (air borne diseases).
5. Pencahayaan
Pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh
ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan. Salah satu penyebab kurangnya
pencahayaan alami yang masuk dalam rumah terutama pada kamar balita adalah karena daerah
pemukimannya termasuk padat penduduk sehingga batas antara rumah yang satu dengan yang lain
sangat sempit sehingga memperkecil kemungkinan sinar matahari untuk bisa masuk ke dalam
rumah. (Maryani R,2012).
6. Kualitas udara
Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut:
a. Suhu udara nyaman berkisar 180-300o C.
b. Kelembaban udara berkisar antara 40%-70%.
c. Konsentrasi gas CO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam.
25
d. Pertukaran udara=5 kaki kubik per menit per penghuni.
e. Konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3 (Maryani R,2012).
7. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita
dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun
anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan
tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila
salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh
terhadap anggota keluarga lainnya. Peran aktif keluarga dan masyarakat dalam menangani ISPA
sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat
atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak
menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita
mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit. Keluarga juga perlu
mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan
rujukan pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat.
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga dalam praktek
penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila praktek penanganan ISPA
tingkat keluarga yang kurang atau buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang
ringan menjadi bertambah berat. Dalam penanganan ISPA tingkat keluarga keseluruhannya dapat
digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: perawatan penunjang oleh ibu balita, tindakan yang
segera dan pengamatan tentang perkembangan penyakit balita, dan pencarian pertolongan pada
pelayanan kesehatan.
Menurut Cissy B. Kartasasmita (2010:23) faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang
mengakibatkan seorang anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat. Berbagai faktor
risiko yang dapat meningkatkan kejadian, beratnya penyakit, dan kematian karena pneumonia, yaitu
status gizi (gizi kurang dan gizi buruk memperbesar risiko), pemberian ASI (ASI eksklusif
mengurangi risiko), suplementasi vitamin A (mengurangi risiko), suplementasi zinc (mengurangi
risiko), bayi berat badan lahir rendah (meningkatkan risiko), dan polusi udara dalam kamar
terutama asap rokok dan bakaran dari dapur (meningkatkan risiko).
26
8. Tingkat Pendidikan Ibu yang Rendah
Pendidikan mempengaruhi pola berpikir pragmatis dan rasional terhadap adat kebiasaan,
dengan pendidikan lebih tinggi orang dapat lebih mudah untuk menerima ide atau masalah baru.
Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap tindakan ibu dalam pencarian pengobatan dan
pemulihan penyakit pneumonia pada balita (Rahmin, 2011).
Ibu pada umumnya berperan penting dalam pemeliharaan kesehatan Balita, segala upaya
dilakukan agar buah hatinya tetap sehat. Oleh karena itu pendidikan ibu sangat penting dalam
pemeliharaan kesehatan anak Balita. Ibu yang berpendidikan baik akan mempunyai wawasan yang
cukup dalam pemeliharaan Balita (Fanada, 2012).
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-
bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat tempat ia hidup, proses sosial yakni orang yang
dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari
sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan
kemampuan individu yang optimal (Maryani R, 2012).
Balita yang tingkat pendidikan ibu rendah lebih banyak terkena Pneumonia dibandingkan
dengan Balita yang tingkat pendidikan ibu tinggi, karena kurangnya pengetahuan ibu tentang
penyakit serta pola hidup bersih dan sehat yang tidak terapkan ibu, hal itu disebabkan karena
ketidak tahuan ibu tentang kesehatan (Fanada, 2012).
Kualitas pendidikan berbanding lurus dengan pencegahan penyakit. Demikian juga dengan
pendapatan, kesehatan lingkungan, dan informasi yang dapat diperoleh tentang kesehatan. Semakin
rendah pendidikan ibu, semakin tinggi prevalensi ISPA pada balita (CissyB. Kartasasmita,
2010:24).
Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat kesehatan, serta upaya pencegahan penyakit. Pada kelompok masyarakat
dengan tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya status ekonominya rendah pula. Mereka
sulit untuk menyerap informasi mengenai kesehatan dalam hal penularan dan cara pencegahannya.
Pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak tahu cara untuk memilih makanan yang
bergizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan.
Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor resiko yang meningkatkan kematian
ISPA terutama pnemonia. Kekurangpahaman orang tua terhadap pnemonia juga menyebabkan
27
keterlambatan mereka mambawa anak mereka yang sakit pada tenaga kesehatan. Mereka
beranggapan bahwa bayi/anak balita mereka hanya menderita batuk-batuk biasa, yang sebenarnya
merupakan tanda awal pnemonia. Orang tua hanya memberikan obat batuk tradisional yang tidak
memecahkan masalah. Ibu dengan pendidikan lebih tinggi akan lebih banyak membawakan anak
berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati
sendiri maupun berobat ke dukun ketika anaknya sakit.
9. Status Ekonomi
Indeks Lingkungan Sosial dan Ekonomi dibentuk oleh beberapa parameter, meliputi.
Lingkungan sosial meliputi pendidikan , keluarga, dan kemiskinan. Jumlah Penduduk Miskin/JPM.
Beberapa rumah responden masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Hal itu sulit untuk
dihentikan karena faktor kebutuhan dan kondisi sosial ekonomi (Wardani,2010).
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.2 Hipotesis
Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hipotesis Mayor
ISPA terjadi karena faktor lingkungan yang terjadi di musim kemarau. Karena
kualitas lingkungan pada musim kemarau sangat menurun bahkan sampai pada status
berbahaya akibat asap yang terjadi akibat dari prilaku si manusia sendiri.
2. Hipotesis Minor
a. Semakin tinggi pendidikan, semakin baik prilakunya.
b. Semakin baik kualitas sumberdaya, maka semakin baik lagi kualitas lingkungannya.
Faktor individu balita :
Status gizi
Status imunisasi
Faktor lingkungan
Pencemaran udara dalam
rumah
Ventilasi rumah
Kepadatan hunian rumah
Kejadian ISPA padabalita:
Faktor perilaku :
Pemberian air susu ibu (ASI)
Pendidikan Orang tua
Status Sosial ekonomi
Penggunaan fasilitas kesehatan
29
c. Semakin tinggi tingkat ekonomi, semakin baik kualitas hidup masyarakatnya.
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel Terkait : Kejadian ISPA pada balita Definisi operasional.
Kejadian ISPA balita adalah kejadianpenyakit infeksi saluran pernafasanakut yang ditandai
dengan gejala batuk, pilek, disertai dengan demamyang di diagnosa oleh dokter ISPA.
Skala : nominal
2. Variabel bebas :
a. Kelembaban dalam rumah
Kelembaban ruangan adalah kadar uap air dalam ruang yang diukur dengan hidrometer.
Skala : Interval
b. Pencahayaan dalam rumah
Pencahayaan pada rumah responden yang diukur dengan luxmeter pada waktu siang
hari, sedangkan sumber cahaya dari sinar matahari
Skala : Interval.
c. Kepadatan hunian dalam rumah
Banyaknya penghuni yang tinggal di dalam ruang tidur dibandingkan dengan luas
ruang tidur.
Skala : Rasio.
3.4 Metodologi Penelitian
3.4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini di Lakukan di Puskesmas Guntung Payung Daerah Banjarbaru Provinsi
Kalimantan Selatan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 November 2015.
30
3.4.2 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode deskriptif untuk
mengetahui penyakit dari dampak pada musim kemarau beserta pencegahannya di puskesmas
Guntung Payung Daerah Banjarbaru tahun 2015.
3.4.3 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah variabel dependen.Variabel Dependen ini merupakan
variabel tergantung, terikat, akibat, terpengaruh. Pada penelitian ini, variabel dependen yang
dimaksud adalah Kejadian ISPA.
3.4.4 Objek Penelitian
Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang menderita ISPA
yang tinggal di sekitar wilayah Guntung Manggis dan keadaan lingkungan yang menjadi faktor
utama dalam terjadinya ISPA sekitar serta pencegahannya.
3.4.5 Instrumen Penelitian
Untuk data primer dilakukan dengan menyelusuri wilayah Guntung Manggis. Data
sekunder diperolehdari pengumpulan pasien/penderita yang terkena penyakit ISPA di Puskesmas
Guntung Manggis Daerah Banjarbaru.
3.4.6 Teknik Analisa Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisisunivariat yang dilakukan
terhadap tiap variabel dari hasil penelitian, dengan menggunakan tabel distribusi frekwensi dan
persentase dari tiap variabel.
Penelitian analisis univariat adalah analisa yang dilakukan, menganalisis tiap variable dari
hasil penelitian. Analisis univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan data hasil pengukuran
sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna,
peringkasan tersebut bias berupa ukuran statistic, tabel, grafik. Dalam penelitian ini (kasus ISPA di
daerah Guntung Payung akibat musim kemarau) setelah dilakukan pengumpulan data, langkah
berikutnya adalah melakukan pengolahan data agar data yang masih terkesan bertebaran dapat
31
disusun sehingga lebih mudah dimanfaatkan dalam analisis oleh alat analisisnya untuk menjawab
tujuan penelitian.
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Hasil
Tabel 4.1 Data Penderita ISPA pada Bulan Januari
No. Nama Penyakit/Diagnosis
Jumlah Kasus/Golongan Umur
TOTAL
0-28 Hr < 1 Th 1-4 Th 5-9 Th10-14
Th15-19
Th20-44
Th45-54
Th55-59
Th60-69
Th> 70 Th
B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L Baru LamaK.
KssTotal
1 Pneumonia 3 5 8 0 0 8
Pada bulan Januari :
Jumlah pasien yang berumur 1-4 tahun didiagnosa terkena Pnemonia sebanyak 3 orang dengan
keterangan pasien baru, berumur 5-9 tahun 5 orang dengan keterangan pasien baru. Jadi di buln
Januari hanya terdapat pasien yang menderita Pnemonia saja dan jumlah pasien/penderita dibulan
Januari sebanyak 8 orang.
Tabel 4.2 Data Penderita ISPA pada Bulan Februari
No. NamaPenyakit/Diagnosis
Jumlah Kasus/Golongan UmurTOTAL
0-28 Hr < 1 Th 1-4 Th 5-9 Th 10-14 Th 15-19 Th 20-44 Th 45-54 Th 55-59Th
60-69Th > 70 Th
B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L Baru Lama K.Kss Total
1. Naspopharongitis akuta(common cold) 3 63 198 1 157 64 27 39 19 5 4 1 580 1 0 581
2. Pharingitis 1 4 37 26 12 5 4 1 2 92 0 0 92
3. Infeksi akut lain padasaluran pernafasan 6 21 15 5 7 10 1 65 0 0 65
4. Peny. Lain saluranpernafasan bag. Atas 1 1 1 1 0 2
5 Pnemonia 1 3 4 0 0 4
6. Asma 2 22
4 2 0 6
Pada bulan Februari :
Jumlah pasien yang berumur 0-28 hari didiagnosis terkena Naspopharongitis akut (common
cold)sebanyak 3 orang dengan keterangan pasien baru, berumur 1 tahun 63 orang dengan
keterangan pasien baru, berumur 1-4 tahun 198 orang dengan keterangan pasien baru dan 1 orang
33
pasien lama, berumur 5-9 tahun 157 orang dengan keterangan pasien baru, berumur 10-14 tahun 64
orang dengan keterangan pasien baru, berumur 15-19 tahun 27 orang dengan keterangan pasien
baru, berumur 20-44 tahun 39 orang dengan keterangan pasien baru, berumur 45-54 tahun 19 orang
dengan keterangan pasien baru, berumur 55-59 tahun 5 orang dengan keterangan pasien baru.,
berumur 60-69 tahun 4 orang dengan keterangan pasien baru, >70 tahun 1 orang pasien baru. Jadi
jumlah pasien yang menderita Naspopharongitis pada bulan Februari sebanyak 581 orang.
a) Jumlah pasien yang berumur 0-28 hari didiagnosis terkena Pharingitis sebanyak 1 orang
dengan keterangan pasien baru, berumur 1-4 tahun dengan keterangan pasien baru, berumur
15-19 tahun12 orang dengan keterangan pasien baru, berumur 20-44 tahun 5 orang dengan
keterangan pasien baru, berumur 45-54 tahun 4 orang dengan keterangan pasien baru,
berumur 55-59 tahun 1 orang dengan keterangan pasien baru, berumur 60-69 tahun 2 orang
dengan keterangan pasien baru. Jadi jumlah pasien yang menderita Pharingitis pada bulan
Februari sebanyak 92 orang.
b) Jumlah pasien yang berumur 1 tahun yang didiagnosa terkena Infeksi Akut Lain pada
Saluran Pernafasan Bagian Atas sebanyak 6 orang dengan keterangan pasien baru,
berumur 1-4 tahun 21 orang dengan keterangan pasien baru, berumur 5-9 tahun 15 orang
dengan keterangan pasien baru, berumur 10-14 tahun 5 orang dengan keterangan pasien
baru, berumur 15-19 tahun 7 orang dengan keteranan pasien baru, berumur 20-44 tahu 10
orang dengan keterangan pasien baru, berumur 45-54 tahun 1 orang dengan keterngan
pasien baru. Jadi jumlah pasien yang menderita Infeksi Akut Lain pada Saluran Pernafasan
Bagian Atas di bulan Februari sebanyak 65 orang.
c) Jumlah pasien yang berumur 5-9 tahun yang didiagnosis terkena Penyakit Lain Saluran
Pernafasan Bagian Atas sebanyak 1 orang dengan keterangan pasien baru, berumur 15-19
tahun 1 orang dengan keterangan pasien lama. Jadi jumlah pasien yamg mnderita Penyakit
Lain Saluran Pernafasan Bagian Atas di bulan Februari 2 orang.
d) Jumlah pasien yang berumur 1 tahun yang didiagnosis terkena Pnemonia sebanyak 1 orang
denagn keterangan pasien baru, berumur 1-4 tahun 3 orang dengan keterangan pasien baru.
Jadi jumlah pasien yang menderita Pnenonia di bulan Februari sebanyak 4 orang.
34
e) Jumlah pasien yang berumur 5-9 tahun yang didiagnosis terkena Asma sebanyak 2 orang
dengan keterangan pasien baru, berumur 10-14 tahub 2 orang dengan keterangan pasien
baru dan 2 orang pasien lama. Jadi jumlah pasien yang menderita Asma di bulan Februari
sebanyak 6 orang.
Berdasarkan keterangan diatas dibulan Februari terdapat penderita yang mnderita
Naspopharingitis Akuta (Common Cold), Pharingitis, Infeksi Akut Lain pada Saluran Pernafasan,
Penyakit Lain Saluran Pernafasan Bagian Atas, Pnemonia, Asma. Jumlah pasien baru pada bulan
Februari sebanyak 749 orang dan pasien lama sebanyak 4 orang. Sehingga total dari pasien di bulan
Februari sebanyak 753 orang pasien.
Tabel 4.3 Data Penderita ISPA pada Bulan Maret
No. Nama Penyakit/Diagnosis
Jumlah Kasus/Golongan UmurTOTAL
0-28 Hr < 1 Th 1-4 Th 5-9 Th 10-14Th
15-19Th
20-44Th
45-54Th
55-59Th
60-69Th > 70 Th
B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L Baru Lama K. Kss Total
1 Pneumonia 1 3 2 6 0 0 6
Pada bulan Maret :
Jumlah pasien yang berumur 1 tahun didiagnosis terkena Pneumonia 1 orang dengan
keterangan pasien baru, berumur 1-4 tahun 3 orang dengan keterangan pasien baru. Jadi, di bulan
januari hanya terdapat penderita yang menderita Pnemonia dan jumlah pasien di bulan Maret
sebanyak 6 pasien/penderita.
Tabel 4.4 Data Pederita ISPA pada Bulan April
No. Nama Penyakit/Diagnosis Jumlah Kasus/Golongan UmurTOTAL
0-28 Hr < 1 Th 1-4 Th 5-9 Th 10-14Th
15-19Th
20-44Th
45-54Th
55-59Th
60-69Th > 70 Th
B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L Baru Lama K. Kss Total
1 Pneumonia 2 2 2 0 0 2
Pada bulan April
Jumlah pasien yang berumur 1 tahun didiagnosa terkena Pnemonia sebanyak 2 orang
dengan keterangan pasien baru, berumur 5-9 tahun 2 orang dengan keterangan pasien baru. Jadi di
35
buln Januari hanya terdapat pasien yang menderita Pnemonia saja dan jumlah pasien/penderita
dibulan Januari sebanyak 4 orang.
Tabel 4.5 Data Penderita ISPA pada Bulan Mei
No. Nama Penyakit/Diagnosis
Jumlah Kasus/Golongan UmurTOTAL
0-28 Hr < 1 Th 1-4 Th 5-9 Th 10-14Th
15-19Th
20-44Th
45-54Th
55-59Th
60-69Th > 70 Th
B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L Baru Lama K. Kss Total
1 Pneumonia 1 1 1 1 0 2
Pada bulan Mei :
Jumlah pasien yang berumur 1 tahun didiagnosa terkena Pnemonia sebanyak 1 orang
dengan keterangan pasien baru, berumur 1-4 tahun 1 orang dengan keterangan pasien lama. Jadi di
buln Januari hanya terdapat pasien yang menderita Pnemonia saja dan jumlah pasien/penderita
dibulan Januari sebanyak 2 orang.
Tabel 4.6 Data Penderita ISPA pada Bulan Juni
No. Nama Penyakit/Diagnosis
Jumlah Kasus/Golongan UmurTOTAL
0-28 Hr < 1 Th 1-4 Th 5-9 Th 10-14Th
15-19Th
20-44Th
45-54Th
55-59Th
60-69Th > 70 Th
B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L B L Baru Lama K. Kss Total
1 Pneumonia 6 6 12 0 0 12
Pada bulan Juni :
Jumlah pasien yang berumur 1 tahun didiagnosa terkena Pnemonia sebanyak 6 orang dengan
keterangan pasien baru, berumur 1-4 tahun 6 orang dengan keterangan pasien lama. Jadi di buln
Januari hanya terdapat pasien yang menderita Pnemonia saja dan jumlah pasien/penderita dibulan
Januari sebanyak 12 orang.
36
4.2 PEMBAHASAN
4.2.1Prinsip Dasar Pencegahan dan Pengendalian Teknis Dan Lingkungan Terhadap ISPA
4.2.1.1 Penempatan Pasien ISPA
Pasien yang terinfeksi organisme baru yang menyebabkan ISPA yang dapat menimbulkan
dampak besar terhadap kesehatan masyarakat harus ditempatkan di ruang isolasi untuk transmisi
airborne (≥12 ACH dan aliran udara yang aman; lihat bagian V). Pasien yang terinfeksi ISPA lain
yang dapat menimbulkan kekhawatiran harus ditempatkan di kamar untuk satu pasien yang
berventilasi memadai (≥12 ACH).
1. Bila ruang isolasi untuk transmisi airborne tidak tersedia untuk pasien yang terinfeksi
organisme baru yang menyebabkan ISPA, kamar untuk satu pasien yang berventilasi
memadai harus disediakan untuk pasien ini. Bila memungkinkan, kamar yang digunakan
untuk ruang isolasi ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran (kamar untuk satu pasien
atau ruang isolasi untuk transmisi airborne) harus terletak di tempat yang jelas terpisah dari
tempat perawatan pasien lain.
2. Ruang yang digunakan untuk triase pasien, ruang tunggu, tempat yang digunakan untuk
prosedur yang menimbulkan aerosol yang berkaitan dengan penularan patogen, dan kamar
untuk satu pasien yang berventilasi memadai harus menghasilkan tingkat ventilasi minimal
12 ACH.
Penempatan pasien harus direncanakan sesuai dengan:
1. keberadaan tanda-tanda epidemiologis dan klinis pada pasien ISPA yang dapat
menimbulkan kekhawatiran;
2. kewaspadaan yang dilakukan selain Kewaspadaan Standar terhadap agen penyebab yang
suspek atau yang confirm; dan
3. ketersediaan fasilitas.
Ruang isolasi untuk transmisi airborne harus diprioritaskan untuk pasien yang mengalami
infeksi obligat atau preferensial (misalnya, tuberkulosis paru, campak, dan cacar air) dan untuk
pasien yang terinfeksi agen baru yang menyebabkan ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran
tanpa informasi mengenai kemungkinan cara penularannya.
37
Penularan oportunistik ISPA melalui droplet nuklei dalam jarak dekat bisa terjadi selama prosedur
yang menimbulkan aerosol yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan pathogen dalam
situasi khusus, (misalnya, penggunaan APD yang tidak memadai, ventilasi lingkungan yang kurang
baik). Perlunya melakukan prosedur ini pada pasien ISPA di ruang isolasi untuk transmisi airborne
belum banyak diteliti. Karena itu, fasilitas pelayanan kesehatan yang dilengkapi ruang isolasi untuk
transmisi airborne harus menggunakannya sesuai dengan kebijakan setempat. Pada saat penerbitan
pedoman ini, hal ini masih menjadi masalah yang belum teratasi, dan tidak ada rekomendasi khusus
yang dapat diberikan.
4.2.1.2 Rancangan Ruang Triase Pasien dan Ruang Tunggu
1. Ruang triase pasien dan ruang tunggu harus berventilasi memadai dengan ACH minimal
12.
2. Atur ruangan dan proses sehingga diperoleh jarak (≥1 m) antara para pasien yang sedang
menunggu dan klasifikasi cepat pasien infeksi pernapasan akut yang disertai demam, dan
tapis mereka dari faktor risiko yang berhubungan dengan ISPA yang dapat menimbulkan
kekhawatiran.
3. Ruang/tempat menunggu pasien harus dibersihkan dan didisinfeksi dengan tepat setelah
penempatan pasien yang diduga atau dipastikan menderita ISPA yang dapat menimbulkan
kekhawatiran.
4. Koridor yang sering digunakan untuk transpor pasien harus dilengkapi ventilasi yang
memadai.
4.2.1.3 Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri)
1. APD harus digunakan dalam konteks strategi dan rekomendasi pencegahan dan
pengendalian infeksi lain misalnya, Kewaspadaan Standar, Kontak, Droplet, atau Airborne.
2. Pantau kepatuhan petugas kesehatan dalam menggunakan APD dengan benar (misalnya,
dengan menggunakan pengamat). Ini sangat penting saat memberikan pelayanan kepada
pasien ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran.
3. Pelatihan yang sesuai mengenai penggunaan APD harus diadakan.
38
4.2.1.3.1 Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) Yang Benar
1. Penyediaan perlengkapan APD yang sesuai harus menjadi prioritas nasional dan
institusional.
2. Penggunaan kembali perlengkapan APD sekali pakai harus dihindari. Belum diketahui
apakah penggunaan kembali APD sekali pakai memberikan efektivitas perlindungan dan
keamanan yang sama dengan penggunaan APD baru dan apakah penggunaan kembali dapat
meningkatkan risiko infeksi pada petugas kesehatan.
3. Bila sumber daya terbatas dan perlengkapan APD sekali pakai tidak tersedia, gunakan
perlengkapan yang dapat digunakan kembali (misalnya, gaun pelindung katun yang dapat
didisinfeksi) dan lakukan disinfeksi dengan benar setelah digunakan.
4. Untuk menghindari pemborosan, lakukan evaluasi kristis terhadap situasi yang
mengindikasikan APD dengan menggunakan landasan pemikiran dan memaksimalkan
pelayanan klinis setiap kali masuk ke ruang pasien.
4.2.1.4 Pelindung Pernapasan
1. Bila pasien ISPA yang diketahui atau suspek tertular melalui udara ditempatkan secara
cohorting di tempat yang sama atau di beberapa kamar pada unit perawatan, dan banyak
pasien yang akan dikunjungi, mungkin lebih praktis bagi petugas kesehatan bila
mengenakan satu respirator partikulat selama melakukan kegiatannya. Dalam penggunaan
seperti ini, respirator tidak boleh dilepas sembarang selama kegiatan berlangsung dan
pengguna respirator tidak boleh menyentuh respiratornya. Bila respirator basah atau kotor
terkena sekresi, respirator tersebut harus segera diganti.
2. Pelatihan khusus mengenai bagaimana memasang respirator, melakukan pemeriksaan
kerapatan setiap kali memakai respirator, menghindari kontaminasi selama pemakaian
respirator, dan melepas serta membuang respirator, sangat diperlukan untuk menjamin
penggunaan respirator yang benar.
3. Bila persediaan terbatas, harus diutamakan memberikan pelayanan kepada pasien penyakit
obligat dan preferensial yang ditularkan melalui udara, yaitu petugas kesehatan yang
melakukan prosedur yang menimbulkan aerosol yang berkaitan dengan risiko penularan
patogen yang sudah terbukti. Bila respirator partikulat tidak tersedia, pelaksanaan prosedur
39
yang menimbulkan aerosol yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan patogen
yang sudah terbukti harus dihindari bila memungkinkan pada pasien ISPA yang dapat
menimbulkan kekhawatiran .
4. Masker bedah harus terpasang erat di wajah menutupi hidung dan mulut pemakai dan harus
segera dibuang setelah dipakai. Bila masker tersebut basah atau kotor terkena sekret,
masker tersebut harus segera diganti.
5. Sediakan sarung tangan untuk situasi yang menyebabkan ada kemungkinan kontak dengan
darah, sekret pernapasan, atau cairan tubuh, termasuk selama melakukan tindakan yang
menimbulkan aerosol yang berkaitan dengan risiko penularan patogen.
6. Bila persediaan gaun pelindung petugas kesehatan terbatas, penggunaan gaun pelindung
harus diutamakan untuk pelaksanaan prosedur yang menimbulkan aerosol yang berkaitan
dengan risiko penularan patogen dan untuk kegiatan yang berdekatan dengan pasien
(misalnya, di unit perawatan anak-anak), atau bila ada kemungkinan seringnya kontak
langsung dengan pasien.
7. Bila gaun pelindung petugas kesehatan tidak cukup, gaun pelindung petugas kesehatan bisa
juga dipakai untuk pelayanan lebih dari satu pasien di ruang rawat gabungan saja, dan bila
gaun pelindung tidak bersentuhan langsung dengan pasien.
8. Kacamata biasa tidak dirancang untuk perlindungan percikan terhadap mukosa mata dan
tidak boleh digunakan sebagai pelindung mata.
9. Alat pelindung mata yang dapat dipakai ulang bisa digunakan (misalnya, pelindung mata,
pelindung wajah). Namun demikian, peralatan ini dapat menimbulkan risiko infeksi silang
bila tidak dibersihkan dan didekontaminasi dengan benar setelah digunakan sesuai dengan
petunjuk pemakaiannya. Pembersihan harus dilakukan sebelum disinfeksi. Kebersihan
tangan harus dilakukan setelah pembuangan atau pembersihan peralatan pelindung mata
yang mungkin terkontaminasi oleh percikan/semburan.
10. Landasan pemikiran: APD dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada
pemakainya tetapi tidak boleh meningkatkan risiko bagi orang lain atau lingkungan. Bila
APD terbatas, dan penggunaan kembali tak dapat dihindari, APD dapat dipakai ulang
setelah dilakukan dekontaminasi. Pakailah APD sesuai indikasi.
40
4.2.1.5 Pemindahan jenazah dari ruang isolasi
1. Sesuai dengan Kewaspadaan Standar, penggunaan APD harus dilakukan untuk
menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh.
2. Aspek budaya dan agama harus diperhatikan. Bila keluarga pasien ingin melihat jenazah
setelah dipindahkan dari ruang isolasi, mereka dapat diizinkan untuk melihatnya, dan
Kewaspadaan Standar harus dilakukan.
4.2.1.5.1 Perawatan jenazah
1. Staf kamar jenazah dan tim pemakaman harus melakukan Kewaspadaan Standar, yaitu
melakukan kebersihan tangan yang benar dan menggunakan APD yang sesuai
(menggunakan gaun pelindung, sarung tangan, pelindung wajah, bila ada risiko percikan
dari cairan tubuh/ sekret pasien ke badan dan wajah staf) Pembalseman dapat dilakukan
menurut prosedur biasa, sesuai dengan peraturan/undangundang setempat dan dilakukan
sesuai Kewaspadaan Standar.
2. Pemulasaraan jenazah secara higienis (misalnya, membersihkan badan, merapikan rambut,
memotong kuku, dan mencukur) harus dilakukan dengan menerapkan Kewaspadaan
Standar.
3. Landasan pemikiran: Penularan penyakit menular mematikan yang berkaitan dengan
perawatan kamar jenazah telah dilaporkan. Namun demikian, aspek budaya dan agama
masyarakat setempat juga harus dihormati. Risiko yang dihadapi selama proses perawatan
kamar jenazah harus dinilai, dengan memberikan penjelasan yang rinci kepada keluarga.
Bila diperlukan, APD harus diberikan kepada keluarga tersebut setelah diberi petunjuk
mengenai cara penggunaannya. Setiap keluarga harus dihadapi sesuai kasusnya, dengan
menyeimbangkan hak mereka dengan risiko pajanan terhadap infeksi.
4.2.1.6 Pemeriksaan post mortem
1. Pemeriksaan post mortem dan pengambilan spesimen untuk analisis mikrobiologi sangat
penting untuk memastikan diagnosis ISPA. Pemeriksaan ini memiliki risiko penularan
infeksi dan bila diperlukan harus dilakukan dengan memperhatikan langkah keamanan
yang ada.
41
2. Langkah-langkah keamanan yang tepat untuk melindungi orang-orang yang melakukan
pemeriksaan harus sudah dilakukan sebelumnya.
3. Dalam melakukan prosedur tersebut sebaiknya jumlah staf harus seminimal mungkin.
Prosedur tersebut harus dilakukan hanya bila tersedia kamar berventilasi memadai yang
cocok untuk melakukan prosedur tersebut; dan tersedia APD yang sesuai. Untuk rincian
mengenai APD yang dianjurkan dan bagaimana memasang dan melepasAPD.
4.2.1.7 Pencegahan Dan Pengendalian Teknis Dan Lingkungan Untuk Autopsi
1. Lakukan autopsi di kamar berventilasi memadai dengan ≥12 ACH;
2. Kurangi aerosol di kamar autopsi (misalnya, selama proses eksisi paru) dengan:
b. menghindari penggunaan gergaji listrik bila memungkinkan;
c. menghindari percikan saat mengangkat, menangani, dan/atau mencuci organ,
khususnya jaringan paru dan usus;
d. menggunakan ventilasi exhaust untuk menangkap aerosol dan mengurangi volume
aerosol yang dilepaskan ke udara lingkungan sekitar. Sistem pembuangan di sekitar
meja autopsi harus mengarahkan udara dan aerosol menjauhi petugas kesehatan yang
melakukan suatu prosedur (misalnya, pembuangan ke bawah).
3. Permukaan yang sudah terkontaminasi jaringan atau cairan tubuh harus dibersihkan dan
didekontaminasi dengan:
a. Membuang sebagian besar jaringan atau cairan tubuh dengan bahan yang menyerap
cairan;
b. Membersihkan permukaan dengan air dan deterjen;
c. Menggunakan disinfektan yang ditetapkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Bila
menggunakan larutan sodium hipoklorit, basahi permukaan dengan larutan tersebut
dan biarkan selama minimal 10 menit;
d. Membilas secara menyeluruh.
4. Landasan pemikiran: Prosedur keamanan untuk jenazah yang terinfeksi ISPA yang dapat
menimbulkan kekhawatiran harus sesuai dengan prosedur yang digunakan untuk autopsi.
Secara umum, bahaya kerja yang telah diketahui di ruang autopsi nampaknya disebabkan
oleh kontak dengan bahan infeksius, khususnya yang berkaitan dengan percikan ke
42
permukaan badan petugas kesehatan, bukan akibat inhalasi bahan infeksius. Namun
demikian, bila pasien ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran meninggal selama masa
penularan, paru dan organ lainnya mungkin masih mengandung virus yang masih hidup,
dan perlindungan pernapasan tambahan diperlukan selama pelaksanaan prosedur yang
menimbulkan aerosol partikel kecil (misalnya, penggunaan gergaji listrik, pencucian usus).
Karena itu, pemeriksaan post mortem pasien ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran
perlu dilakukan dengan hati-hati sehubungan dengan lingkungan sekitar.
4.2.1.8 Ventilasi ruangan untuk infeksi pernapasan
Sudah terbukti bahwa ruangan yang dirancang dengan ventilasi yang baik dengan
pembuangan efektif udara yang terkontaminasi, penurunan konsentrasi droplet nuklei infeksius di
dalam ruangan dapat mengurangi risiko infeksi. Kualitas ventilasi merupakan salah satu faktor
utama yang menentukan risiko pajanan di ruangan isolasi. Karena itu, perlu dipertimbangkan
berbagai metode yang tersedia untuk mencapai ventilasi yang memadai pada ruangan yang
digunakan untuk mengisolasi pasien yang mungkin menderita ISPA yang tertular melalui airborne.
Pada pedoman ini, istilah “ruang Kewaspadaan Transmisi Airborne” digunakan untuk menyatakan
suatu ruangan dengan ≥12 ACH dan arah aliran udara yang diharapkan, yang dapat dicapai dengan
ventilasi alami atau mekanis. Ruangan seperti ini dapat digunakan untuk mengisolasi pasien yang
terinfeksi patogen yang ditularkan melalui udara (misalnya, tuberkulosis paru, campak, cacar air)
dan ISPA yang disebabkan oleh agen baru yang dapat menimbulkan kekhawatiran sebelum cara
penularannya diketahui. Ruang Kewaspadaan Transmisi Airborne dapat diberi ventilasi alami atau
mekanis.
Sebaliknya, bila suatu ruangan berventilasi baik (≥12 ACH) tapi aliran udaranya tidak
ditentukan, dalam pedoman ini ruangan tersebut dinamakan “ruang untuk satu pasien yang
berventilasi memadai”. Walaupun standar ventilasi yang memadai di ruang isolasi telah ditetapkan
sebesar 12 ACH, penurunan risiko infeksi yang sebenarnya perlu diteliti lebih lanjut. Yang
terpenting adalah tingkat ventilasi (yaitu, ACH) dalam ruang bila ada kemungkinan penularan
droplet nuklei. Tabel 2 memberikan informasi mengenai hubungan tingkat ventilasi dengan
penurunan konsentrasi droplet nuklei di ruang isolasi dengan tingkat ventilasi yang berbeda, dengan
menggunakan persamaan penurunan konsentrasi. Asumsi untuk persamaan ini adalah:
43
1. ACH tetap konstan;
2. konsentrasi droplet nuklei di ruang tertutup seragam (biasanya tidak demikian dalam situasi
yang sebenarnya). Dengan menggunakan persamaan penurunan konsentrasi, terjadi
penguraian 10 kali dalam 10 menit dengan 15 ACH. Karena kuantitas atau jumlah partikel
yang dihasilkan tidak seragam di fasilitas pelayanan kesehatan, ventilasi yang memadai
dapat mengurangi tetapi tidak menghilangkan risiko infeksi, dan dengan demikian
diperlukan APD yang sesuai.
4.2.2 Strategi Pencegahan Penyakit ISPA
Rumusan umum strategi pencegahan penyakit ISPA adalah sebagai
berikut:
1. Promosi penanggulangan pnemonia balita melalui advokasi, bina suasana dan gerakan
masyarakat.
2. Penurunan angka kesakitan dilakukan dengan upaya pencegahan atau penanggulangan faktor
resiko melalui kerjasama lintas program dan lintas sektor, seperti melalui kerjasama dengan
program imunisasi, program bina kesehatan balita, program bina gizi masarakat dan program
penyehatan lingkungan pemukiman.
3. Peningkatan penemuan melalui upaya peningkatan prilaku masyarakat dalam pencaharian
pengobatan yang tepat.
4. Melaksanakan tatalaksana kasus melalui pendekatan Manejemen Terpadu Balita sakit
(MTBS) dan audit kasus untuk peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA.
5. Peningkatan sistem surveilans ISPA melalui kegiatan surveilans rutin, autopsy verbal dan
pengembangan informasi kesehatan serta audit manejemen program.
4.2.2.1 Kegiatan Pokok P2 ISPA
Dalam mencapai sasaran dan tujuan pencegahan penyakit ISPA, maka Strategi Pencegahan
Penyakit ISPA dijabarkan dalam 8 kegiatan pokok yaitu promosi penanggulangan pnemonia balita,
kemitraan, peningkatan penemuan kasus, peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA, peningkatan
kualitas sumber daya, surveilans ISPA, pemantauan dan evaluasi dan pengembangan program
ISPA.
44
Dalam pelaksanaannya kegiatan P2ISPA mengacu kepada pendekatan Manajemen
Pemberantasan Penyakit Menular Berbasis Wilayah atau dengan kata lain diarahkan menanggulangi
secara komprehensif faktor-faktor yang berhubungan dengan ksakitan dan kematian balita termasuk
faktor resiko lingkungan, faktor resiko kependudukan dan penanganan kasus yang dilakukan secara
terpadu dengan mitra kerja terkait yang didukung oleh surveilans yang baik serta tercemin dalam
perencanaan dan penganggaran kesehatan secara terpadu (P2KT).
Secara rinci kegiatan pokok ISPA dijabarkan sebgai berikut:
1. Promosi Penanggulangan Pnemonia Balita
Promisi pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia mencakup kegiatan advokasi, bina
suasana dan gerakan masyarakat. Tujuan yang diharapkan dari kegiatan promosi balita secara
umum adalah meningkatnya pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam upaya dalam
penanggulangan pnemonia balita. Sasaran promosi dalam P2 ISPA mencakup sasaran primer (ibu
balita dan keluarganya), sasaran sekunder (petugas kesehatan dan petugas lintas program serta lintas
sektor), dan sasaran tersier (pengambil keputusan). Pesan pokok, metode dan media yang digunakan
sesuai dengan sasaran.
2. Kemitraan
Merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan program. Pembangunan
kemitraan dalam program P2 ISPA diarahkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat, peran
serta lintas program dan lintas sektor terkait serta peran pengambil keputusan termasuk penyandang
dana. Dengan demikian pembangunan kemitraan diharapkan pendekatan pelaksanaan program
pemberantasan penyakit ISPA khususnya pnemonia dapat terlaksana secara terpadu dan
kompherensif. Dengan kata lain intervensi pemberantasan penyakit ISPA tidak hanya tertuju pada
penderita saja, tetapi juga terhadap faktor resiko (lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain
yang berpengaruh melalui dukungan peran aktif sector lain yang berkompeten.
3. Peningkatan Penemuan dan Tatalaksana Kasus
Kegiatan ini merupakan kegiatan terpenting, karena keberhasilan upaya penurunan
kematian pnemonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan upaya penemuan dan tatalaksana
penderita ini. Dalam kebijakan dan strategi Program P2 ISPA maka penemuan dan tatalaksana
penderita ini dilaksanakan di rumah tangga dan masyarakat (keluarga, kader dan posyandu), di
tingkat pelayanan kesehatan swasta (praktek dokter, poliklinik swasta, RS swasta). Dengan
45
demikian yang melaksanakan kegiatan secara langsung adalah tenaga kesehatan di sarana-sarana
kesehatan tersebut dan kader posyandu di masyarakat. Adapun prosedur penemuan dan tatalaksana
penderita ISPA di masing-masing sarana/tingkatan mengacu pada tatalaksana standar yang
ditetapkan. Sedangkan tatalaksana kasus ISPA dilaksanakan melalui pendekatan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) disarana kesehatan dasar. Disamping itu perlu dilakukan audit kasus
dalam upaya peningkatan kualitas tatalaksana kasus yang dilaksanakan dengan koordinasi tingkat
kabupaten/kota.
4. Peningkatan Kualitas Sumber Daya
c. Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber Daya Manusia yang terlibat dalam program P2 ISPA meliputi kader, petugas
kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA di sarana pelayanan kesehatan (Polindes, Pustu,
Puskesmas, RS, Poliklinik), pengelola program ISPA di puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan
pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilakukan di berbagai jenjang melalui kegiatan
pelatihan, setiap pelatihan yang dilakukan perlu ditindaklanjuti dengan supervisi dan monitoring
serta pembinaan di lapangan. Selanjutnya pelaksanaan pelatihan secara terpadu dengan program
lain perlu dikembangkan, terutama pelatihan menyangkut aspek manajemen atau pengelola program
P2 ISPA dilakukan pula melalui kegiatan magang, asistensi tatalaksana oleh dokter ahli, studi
banding, seminar dan workshop sesuai dengan kebutuhan.
d. Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan program P2 ISPA.
Aspek logistik Pemberantasan Penyakit ISPA mencakup peralatan, bahan dan sarana yang
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan. Sampai saat ini logistik kegiatan distandarisasi,
dari logistik untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita dan logistik untuk kegiatan
komunikasi dan penyebaran informasi. Untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita
mencakup obat dan alat bantu hitung pernapasan (soundtimer). Untuk kegiatan komunikasi dan
penyebaran informasi, logistik yang telah disediakan program meliputi media cetak dan elektronik.
5. Surveilans ISPA
Untuk melaksanakan kegiatan pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit
termasuk ISPA secara efektif dan efisien, diperlukan data dasar (baseline) dan data program yang
46
lengkap dan akurat. Upaya dalam mendapatkan data atau informasi tersebut diatas dilakukan
melalui kegiatan surveilans epidemiologi ISPA yang aktif dengan diferivikasi oleh survey atau
penelitian yang sesuai.
Surveilans epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi yang dapat
digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan program pemberantasan
ISPA secara efektif dan efisien serta mampu mengantifikasi kecenderungan-kecenderungan yang
bakal muncul. Data dan informasi dimaksud meliputi data dan informasi kesakitan dan kematian
pnemonia, sumber penularan, faktor resiko yang berhubungan dengan pnemonia (faktor resiko
lingkungan dan kependudukan) dan data yang berhubungan dengan kinerja program.
Untuk itu mulai tahun 2002 dikembangkan kegiatan autopsi verbal kematian balita akibat
pnemonia dan audit kasus pnemonia. Dalam pelaksanaanya di lapangan, kegiatan surveilans dapat
disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan setempat, baik mekanisme kerja maupun bentuk
instrumennya. Namun demikian secara umum pelaksanaan surveilans Program P2 ISPA mengikuti
langkah-langkah surveilans epidemiologi pada umumnya, sebagaimana diuraikan berikut:
Tujuan Surveilans ISPA
Menyediakan informasi tentang situasi dan besarnya masalah penyakit ISPA khususnya
kejadian pnemonia balita dan kematian balita akibat pnemonia di masyarakat beserta faktor
resikonya dan informasi lain yang diperlukan bagi upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit
ISPA secara efektif sehingga angka kesakitan dan kematian balita akibat pnemonia dapat
diturunkan sesuai tujuan pemberantasan penyakit ISPA.
Kegiatan
a. Pengumpulan data
Data penyakit ISPA termasuk pnemonia balita dikumpulkan di sarana kesehatan tingkat
pertama (rawat jalan rumah sakit, Puskesmas, Pustu dan Posyandu, serta pelayanan kesehatan
swasta) dengan menggunakan formulir, kartu atau buku khusus. Selanjutnya kasus pnemonia dari
sarana tersebut dilaporkan ke puskesmas yang menangani wilayah kerja dari sarana kesehatan yang
bersangkutan, secara aktif (melaporkan sendiri) maupun pasif (puskesmas menjemput laporan dari
sarana kesehatan di wilayah kerjanya) dengan menggunakan instrumen standar yang dibuat oleh
puskesmas. Puskesmas selanjutnya meneruskan laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
47
Untuk laporan kasus pnemonia dari rumah sakit, laporan langsung ke Dinas Kesehatan (Subdin
P2M).
b. Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telah terkumpul, baik dari institusi sendiri maupun dari luar selanjutnya
dilakukan pengolahan dan analisa. Pengolahan dan analisa data dilaksanakan baik oleh puskesmas,
Kabupaten/kota maupun Propinsi.
c. Penyajian Data Umpan Balik
Sebagai bahan atau dasar bagi kepentingan pelaksanaan kegiatan atau perbaikan
pelaksanaan kegiatan, hasil kerja survailans ISPA perlu disajikan dan disebarluaskan atau
diumpanbalikan kepada pihak-pihak yang memerlukannya secara teratur, baik kalangan internal
maupun eksternal.
6. Peningkatan Jaringan Informasi
Jaringan informasi antara Kabupaten/Kota, Provinsi dan pusat sangat diperlukan untuk
membangun sistem informasi kesehatan yang handal sehingga mampu meningkatkan koordinasi
dan keterpaduan pelaksanaannya pemberantasan penyakit ISPA antar berbagai jenjang dari mulai
perencanaan sampai dengan evaluasi program.
7. Pemantauan dan Evaluasi
Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pemantauan (monitoring) dan penilaian
(evaluasi).
a. Pemantauan
Pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA (monitoring) dimaksudkan untuk memantau
secara teratur kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat diketahui apakah kegiatan program
dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan digariskan oleh kebijaksanaan program.
Pelaksanaan pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA dapat memanfaatkan kegiatan supervisi
dan bimbingan tehnis, Pencatatan Pelaporan Pemberantasan Penyakit ISPA, dan Pemantauan
program P2M&PL di Kabupaten/kota.
b. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pencapaian hasil kegiatan telah memenuhi target yang
diharapkan, mengidentifikasi masalah dan hambatan yang dihadapi serta menyusun langkah-
langkah perbaikan selanjutnya termasuk perencanaan dan penganggaran. Kegiatan evaluasi
48
dilaksanakan di berbagai jenjang administrasi kesehatan, baik ditingkat pusat, provinsi maupun
Kabupaten/Kota.
8. Peningkatan Manajemen Program
Aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian terus ditingkatkan
diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan,dan administrsi. Aspek manajemen tersebut diatas
merupakan beban kerja terbesar untuk unit yang mengelola Pemberantasan Penyakit ISPA baik di
tingkat pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kegiatan ini juga dilaksanakan di berbagai tingkat
administrasi kesehatan.
Peningkatan manajemen program pada aspek perencanaan dilakukan melalui penerapan
perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu (P2KT) dalam perencanaan kegiatan program P2
ISPA. Penerapan P2KT dalam pelaksanaan program P2ISPA akan efektif bila didukung kinerja
surveilans yang mampu memberikan informasi yang lengkap dan akurat sehingga menghasilkan
perencanaan program P2 ISPA berdasarkan fakta (evidence based palanning). Dalam meningkatkan
manajemen pembiayaan, diupayakan penggalian potensi sumber biaya masyarakat, swasta,
organisasi non pemerintah, dan lembaga-lembaga donor, mengingat kemampuan pemerintah dalam
penyediaan biaya untuk program cukup terbatas. Pembiayaan dipusat terutama bersumber pada
APBN dengan sumber dana tambahan dari sumber dana lain seperti dana kerjasama Pemerintah RI
dengan organisasi internasional, dana bantuan pinjaman luar negeri. Di provinsi pembiayaan
terutama bersumber dari APBN dan Dana Alokasi Umum (DAU) provinsi disamping sumber dana
lain. Begitu pula di tingkat Kabupaten/Kota sebagian besar masih bertumpu pada APBN disamping
DAU Kabupaten/Kota, sedangkan potensi sumber dana dari masyarakat atau swasta belum
teralokasi dengan baik. Untuk itu dalam mewujudkan pembiayaan program P2ISPA yang memadai
di berbagai jenjang administrasi kesehatan, perlu diupayakan secara terus-menerus penggalian
potensi sumber biaya non pemerintah.
4.2.2.2.Pengembangan Program
Dalam upaya pencapaian tujuan pemberantasan penyakit ISPA khususnya pnemonia, perlu
dilakukan pengembangan program sesuai dengan tuntutan perkembangan di masyarakat.
Pengembangan program P2 ISPA dilakukan diantaranya melalui kegiatan penelitian, uji coba
konsep-konsep intervensi baru seperti pendekatan tatalaksana penderita ISPA, pencegahan dan
49
penanggulangan faktor resiko baik dilingkungan maupun kependudukan, peningkatan kemitraan,
peningkatan manajemen dan sebagainya serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya seperti pertemuan
kajian program, seminar, workshop dan sebagainya.
4.2.3 Tingkatan Pencegahan Penyakit ISPA
4.2.3.1 Distribusi dan Frekwensi ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia dari bayi,
anak-anak dan sampai orang tua. Menurut WHO 1981, bahwa satu dari tiga penyebab kematian
anak dibawah lima tahun adalah ISPA dengan pneumonia sebesar 75% dari semua jumlah
kematian. Data CBS-UNICEF juga mengungkapkan bahwa pneumonia menyebabkan 28%
kematian anak di dunia.
Penelitian yang dilakukan di Klaten tahun 1996 menemukan bahwa sebagian besar kasus
ISPA terjadi pada kelompok umur 7 – 12 bulan (65,23%) dan sebagian besar kasus terjadi pada bayi
laki-laki (73, 45 %).
ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut
diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun masyarakat masih awam dengan gangguan ini. Penderita
cepat meninggal akibat pneumonia berat dan sering tidak tertolong. Lambatnya pertolongan ini
disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang gangguan ini.
4.2.3.2 Determinan ISPA
Terjadinya infeksi saluran pernapasan pada anak balita disamping adanya bibit penyakit,
juga dipengaruhi oleh faktor anak itu sendiri, seperti anak yang belum mendapat imunisasi campak
dan kontak dengan asap dapur, serta kondisi perumahan yang ditempatinya. Secara umum faktor-
faktor tersebut dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu :
1. Bibit Penyakit (Agent)
ISPA disebabkan oleh berbagai infectious agent yang terdiri dari 300 lebih jenis virus,
bakteri, ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus,
Stafilococcus, Pneumococcus, Haemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus penyebab ISPA
antara lain, golongan Paramyksovirus termasuk didalamnya virus Influenza, Parainfluenza, dan
50
virus campak, adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain. Pneumonia
umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang yang tersering sebagai penyebab
pneumonia pada anak ialah Streptococcus pneumonia dan Haemofilus influenza. Sedangkan di
negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.
2. Pejamu (Host)
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit,
terutama faktor yang ada pada dirinya sendiri seperti :
a. Umur
Terjadinya ISPA terutama pneumonia pada bayi dan pada anak balita dipengaruhi oleh
faktor usia anak. Bayi yang berumur kurang dari 2 bulan mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk
terkena pneumonia dibandingkan dengan anak umur 2 bulan sampai 5 tahun. Hasil analisis faktor
resiko membuktikan bahwa umur merupakan salah satu faktor resiko penyebab terjadinya kematian
pada balita yang sedang menderita pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita
pneumonia, semakin kecil resiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita yang berusia
muda. Insidens ISPA paling tinggi terdapat pada bayi dibawah satu tahun dan insidens menurun
dengan bertambahnya umur, didapatkan bahwa anak yang berumur 1-2 tahun lebih peka 5 kali
terkena ISPA dibandingkan dengan umur 5 tahun.
b. Jenis Kelamin
Anak jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena ISPA
dibandingkan dengan anak perempuan. Proporsi kasus ISPA-pneumonia menurut jenis kelamin
tidak sama, yaitu laki-laki 59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda. Hasil Survei
Demografi & Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997, menunjukkan adanya perbedaan prevalensi
2 minggu pada balita dengan batuk dan napas cepat (yang merupakan ciri khas pneumonia) antara
anak laki-laki dengan anak perempuan, dimana prevalensi untuk anak laki-laki adalah 9,4%
sedangkan perempuan 8,5%.
c. Status Gizi
Adanya hubungan antara gizi buruk dengan infeksi paru sehingga anak-anak yang bergizi
buruk sering mendapat pneumonia. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa
malnutrisi merupakan faktor resiko penting untuk ISPA. Anak yang menderita malnutrisi berat dan
kronis lebih sering terkena ISPA dibandingkan anak dengan berat badan normal.
51
Anak balita yang mengkonsumsi makanan yang tidak cukup baik dapat mengakibatkan
daya tahan tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit infeksi. Penelitian Status gizi
kurang pada anak balita mempunyai resiko untuk terkena ISPA 2,5 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang bergizi baik. Dalam penelitian ini proporsi anak yang bergizi kurang lebih
banyak pada kasus (41,03%) dari pada pembanding (25,64%).
d. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir ditetapkan sebagai suatu berat lahir kurang dari 2500 gram. Bayi dengan
Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian karena bayi rentan
terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Ibu yang sedang hamil harus
mendapatkan asupan makanan yang cukup dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat
hamil dapat menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah. Penyakit anemia defisiensi
zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah
atau bayi lahir premature.
Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan
janin yang sedang dikandung. Berat badan lahir bayi naik dan insiden BBLR menurun bila
kandungan energi diet ibu bertambah. Jika ibu hamil menderita anemia berat, resiko morbiditas
maupun mortalitas bagi ibu dan bayinya meninggi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan
premature lebih besar.
Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi
dengan berat lebih dari 2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. ISPA adalah
penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi yang baru lahir dengan berat rendah, bila
dibandingkan dengan bayi yang beratnya diatas 2500 gram.
e. Status ASI dan Makanan Tambahan
ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi tanpa tambahan cairan lain (seperti susu
formula, jeruk, madu, air teh, air putih), dan tanpa makanan tambahan (seperti pisang, pepaya,
bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim). Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk
jangka waktu sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi mulai diberikan makanan
pendamping secara bertahap dan bervariasi, dari mulai bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental,
sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat.
52
Menyusukan bayi harus selalu dianjurkan bila bayi dan ibunya ada dalam keadaan sehat
dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang tidak memungkinkan untuk menyusukan, jika
memungkinkan ASI diberi sampai 2 tahun. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sepuluh tahun
terakhir ini menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi
bakteri dan virus. Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan menghasilkan
kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan (imunoglobin, komplemen, lisozim,
laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Penelitian
di beberapa negara sedang berkembang menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi
saluran pernapasan berat. Angka kematian kasus secara berarti lebih tinggi pada anak yang telah
disapih daripada anak yang masih diberi ASI.
Kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2 – 6 kali lebih banyak pada bayi yang diberi
susu formula daripada bayi yang mendapat ASI. Anak balita yang menderita ISPA 5,3 kali tidak
mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA. Bila ASI
cukup bayi tidak perlu diberikan makanan tambahan dengan makanan lain sampai usia 4 bulan atau
bahkan 6 bulan. Namun bila ternyata bayi menangis karena lapar, dapat diberikan makan tambahan
sejak kira-kira umur 2 bulan. Sejak 2 bulan dapat diberikan buah-buahan (pisang) atau biskuit,
sedangkan pemberian makanan lumat sampai lembek (bubur susu) pada usia 3-4 bulan sesuai
keperluan bayi masing-masing. Bayi akan lapar dan menangis terus bila ASI kurang memuaskan.
Untuk mengawasi pertumbuhan, bayi perlu ditimbang secara berkala. Pada bulan ke empat biasanya
mulai pemberian makanan padat bayi yang pertama, yaitu makanan lumat misalnya; bubur susu
yang dapat dibuat dari tepung, susu dan gula.
f. Status Imunisasi
Imunisasi berarti memberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Setiap anak harus
mendapatkan imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1 tahun yaitu imunisasi BCG,
DPT, polio, campak dan hepatitis B. Imunisasi adalah cara untuk menimbulkan kekebalan terhadap
berbagai penyakit. Anak yang belum pernah diimunisasi campak lebih berisiko terhadap terjadinya
kematian karena pneumonia, terutama pada balita yang sedang menderita pneumonia.
Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insidens
ISPA, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat menentukan dalam tingginya angka insidens
ISPA. Angka kematian balita di Indonesia sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup, penyebab utama
53
kematian pada anak balita adalah penyakit infeksi saluran napasan akut, diare, penyakit yang
ditularkan binatang dan penyakit-penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi. UNICEF
menyebutkan bahwa 27 juta anak balita dan 40 juta ibu hamil di seluruh dunia masih belum
mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibat penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin ini
diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta kematian tiap tahun, termasuk 1,4 juta anak balita
yang meninggal karena tidak divaksin. Di Indonesia 2.400 anak meninggal setiap hari termasuk
yang meninggal karena sebab-sebab yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin. Misalnya
tuberculosis, pertusis, difteri dan tetanus.
Ketidakpatuhan imunisasi (imunisasi tidak lengkap) mempengaruhi berkembangnya ISPA
pada anak balita. Jumlah anak pada penelitian ini yang imunisasi tidak lengkap pada kasus 10,25%
dan kontrol 5,13%.
g. Vitamin A
Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan berbagaimacam infeksi,
namun asosiasi langsung antara kekurangan vitamin A dan infeksi tidak begitu jelas. Vitamin A
mulai menarik perhatian para ilmuwan setelah beberapa laporan penelitian oleh Somar dkk
mengenai pentingnya vitamin A. Sejak itu beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui efek
suplementasi vitamin A terhadap morbiditas, mortalitas dan lamanya ISPA, akan tetapi hasilnya
masih saling bertentangan.
Sampai saat ini satu hal mengenai suplementasi vitamin A yang diterima secara luas yang
juga direkomendasikan oleh WHO adalah untuk memberikan vitamin A pada penderita campak,
didaerah dimana angka kematian akibat penyakit campak (CFR) lebih dari 1%. Hasil penelitian
prospektif yang pernah dilakukan menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada insiden dan
derajat ISPA diantara anak yang mendapat vitamin A, juga tidak didapatkan perbedaan ISPA
sebelum dan setelah pemberian vitamin A, hanya didapatkan lama ISPA agak lebih panjang pada
anak yang tidak mendapat vitamin A.
h. Lingkungan (Environment)
Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya
proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit. Secara
garis besarnya lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial. Keadaan fisik sekitar
manusia berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak terhadap lingkungan-
54
lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia)
meliputi udara, kelembaban, air, dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA, adalah tergolong
air borne diasease karena salah satu penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke
dalam tubuh melalui saluran pernapasan, maka udara secara epidemiologi mempunyai peranan yang
besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan.
Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran udara dalam ruangan
(indoor) adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat meliputi bagian atas saja dan atau
bahkan bagian bawah seperti laryngitis, tracheobronchitis, bronchitis dan pnemonia . Secara garis
besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan yang bersumber dari
perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang / minyak tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar.
Disamping itu ditentukan oleh ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya. Berikut adalah
faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya ISPA:
1. Asap dalam Ruangan
Pencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas penghuninya, antara lain ;
penggunaan bahan bakar biomasa untuk memasak maupun memanaskan ruangan, asap dari sumber
penerangan yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok, penggunaan
insektisida semprot maupun bakar. Disamping itu ditentukan juga oleh ventilasi, penggunaan bahan
bangunan sintetis berupa cat dan asbes.
Penggunaan bahan bakar biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang dan minyak
tanah muncul sebagai faktor resiko terhadap terjadinya infeksi saluran pernapasan. Saat ini sebagian
masyarakat pedesaan masih menggunakan bahan bakar biomasa untuk memasak. Ditambah lagi
dengan kebiasaan ibu yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang penuh asap sambil
memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan ibu
yang tidak membawa bayi/anak balitanya didapur. Rumah dengan bahan bakar minyak tanah baik
untuk memasak maupun sumber penerangan memberikan resiko terkena ISPA pada balita 3,8 kali
lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar gas. Keadaan dapur yang penuh dan lembab juga
merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pernapasan.
Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan bakar kimia. Satu batang rokok dibakar
akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, karbon monoksida, nitrogen oksida,
hiydrogen cyanida, amoniak, acrolein, artcresor, peryline dan lain-lain. Secara umum bahan ini
55
dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel,
sedangkan komponen padat atau partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Bila rokok dibakar maka
asapnya akan berterbangan disekitar perokok. Asap yang berterbangan itu mengandung bahan yang
berbahaya dan bila dihisap oleh orang yang berada disekitar si perokok, maka orang
itu juga akan menghisap bahan kimia berbahaya didalam dirinya walau ia sendiri tidak merokok.
Anak balita misalnya akan lebih berbahaya dibanding orang dewasa karena daya tahan
tubuhnya masih rendah, pada anak-anak paparan asap rokok (sidestream smoke) dapat
menimbulkan gangguan pernapasan terutama mempererat timbulnya infeksi saluran pernapasan
akut dan gangguan fungsi paru-paru pada waktu dewasanya nanti. Paparan asap rokok memperberat
timbulnya ISPA, karena dari 1 batang rokok yang dinyalakan akan menghasilkan asap sampingan
selama sekitar 10 menit, sementara asap utamanya hanya akan dikeluarkan pada waktu rokok itu
dihisap dan biasanya hanya kurang dari 1 menit. Walaupun asap sampingan dikeluarkan dahulu ke
udara bebas sebelum dihisap perokok pasif, tetapi karena kadar bahan berbahayanya lebih tinggi
dari pada asap utamanya, maka perokok pasif tetap menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok
orang sekitarnya. Di negara maju, anak-anak yang orang tuanya merokok dalam rumah
didapatkan memiliki suatu peningkatan resiko bronkitis dan pnemonia jika dibandingkan dengan
anak-anak yang orang tuanya tidak merokok.
2. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga agar
aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya
ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun Fungsi kedua adalah
untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar
rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum.
Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m3/orang/jam, dengan kelembaban
sekitar 60% optimum. Untuk memperoleh kenyaman udara seperti dimaksud diatas diperlukan
adanya ventilasi yang baik. Luas lubang ventilasi insidentil (dapat buka tutup) minimum 5% dari
luas lantai ruangan. Jumlah keduanya adalah 10% dari luas lantai ruangan.
Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat diperlukan oleh
manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan masalah ventilasi. Sebuah
penelitian menunjukkan hubungan penyakit saluran pernapasan dengan kondisi ventilasi. Sebab itu
56
kondisi ventilasi dapat dijadikan indikator rumah sehat. Diketahui bahwa rumah yang berventilasi
buruk lebih banyak anggota keluarganya yang menderita ISPA dibandingkan dengan rumah yang
ventilasinya memenuhi syarat kesehatan.
3. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian
Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya. Penentuan bentuk,
ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah
tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi
dan kakus. Hasil dari beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara kesehatan
lingkungan dalam rumah dengan kejadian kesakitan. Studi terhadap
kondisi rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri dan kepadatan penghuni
per meter persegi, sehingga adanya efek sinergi yang diciptakan dimana sumber pencemar
mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan, bersamaan dengan terjadinya peningkatan bakteri
patogen dengan kepadatan penghuni pada setiap keluarga. Dengan demikian kuman yang umumnya
sebagai penyebab penyakit menular saluran pernapasan terdapat makin banyak, bila jumlah
penghuni semakin banyak jumlahnya. Jadi ukuran rumah yang kecil dengan jumlah penghuni yang
padat serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit melalui
droplet kontak langsung.
Demikian halnya dengan anak yang tinggal dirumah yang padat (<10 m2 / orang) akan
mendapat resiko ISPA sebesar 1,75 kali dibandingkan anak yang tinggal dirumah yang tidak padat.
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai
bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak
sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Luas
bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3 m2 untuk setiap anggota
keluarga.
4. Status Ekonomi dan Kependidikan
Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan factor yang dapat
mempengaruhi tingkat kesehatan, serta upaya pencegahan penyakit. Pada kelompok masyarakat
dengan tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya status ekonominya rendah pula. Mereka
sulit untuk menyerap informasi mengenai kesehatan dalam hal penularan dan cara pencegahannya.
57
Pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak tahu cara untuk memilih makanan yang
bergizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan.
Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor resiko yang meningkatkan kematian
ISPA terutama pnemonia. Kekurangpahaman orang tua terhadap pnemonia juga menyebabkan
keterlambatan mereka mambawa anak mereka yang sakit pada tenaga kesehatan. Mereka
beranggapan bahwa bayi/anak balita mereka hanya menderita batuk-batuk biasa, yang sebenarnya
merupakan tanda awal pnemonia. Orang tua hanya memberikan obat batuk tradisional yang tidak
memecahkan masalah.
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi akan lebih banyak membawakan anak berobat ke
fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati sendiri
maupun berobat ke dukun ketika anaknya sakit
58
BAB V
5.1 KESIMPULAN
1. Prinsip dasar pencegahan penyakit antara lain:
a. Dapat dilakukan dengan memperhatikan cara menempatan pasien ISPA
b. Merancang ruang trise pasien dan ruang tunggu
c. Pemeriksaan post moterm untuk mengurangi penularan ISPA
d. Penggunaan APD yang benar
e. Menggunakan pelindung pernapasan
f. Menggunakan ventilasi ruangan untuk infeksi pernapasan
g. Ventilasi exhaust untuk menangkap aerosol
2. Tingkatan penyegahan penyakit ISPA terdiri dari beberapa tingkatan sebagai berikut:
a. Distribusi dan frekuensi ISPA
b. Determinan ISPA terdiri dari bibit penyakit
c. Penjamu terdiri dari beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan
lahir , status ASI dan makanan tambahan , status imunisasi, vitamin A
3. Tingakatan pencegahan penyakit dari faktor lingkungan antara lain :
a. Secara garis besar dipengaruhi oleh kualitas udara dalam ruangan yang berasal dari asap
rokok yang bersumber dari perokok.
b. ventilasi , diketahui bahwa rumah yang berventilasi buruk lebih banyak anggota
keluarganya yang menderita ISPA.
c. Tata ruang dan kepadatan hunian, anak yang tinggal di rumah yang padat (<10 m2/orang)
akan mendapat resiko ISPA sebesar 1,75 kali disbanding dengan anak yang tinggal di
rumah tidak padat.
d. Status ekonomi dan pendidikan, pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak
tahu cara untuk memilih makanan yang bergizi dan pengadaan sarana sanitasi yang
diperlukan dan tingkatan pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor resiko yang
meningkatkan kematian ISPA terutama Pneumonia.
e. Dalam strategi pencegahan penyakit ISPA dapat dijabarkan dalam 8 kegiatan pokok yaitu
promosi penanggulangan pneumonia balita, kemitraan, peningkatan penemuan kasus,
59
peingkatan tata laksana kasus ISPA, peningkatan kualitas sumber daya, surveilans ISPA,
pemantauan, evaluasi dan pengembangan program ISPA.
5.2 SARAN
Untuk mengurangi angka kejadian ISPA, dalam hal ini penulis menyarankan agar semua
pihak baik keluarga maupun instansi kesehatan lebih memperhatikan pola hidup sehat dan tidak
membuang batuk sembarangan dan mengolah makanan sebaik mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Aderita, Novi Indah . 2010. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu dalam
Pencegahan Ispa Dengan Kejadian Ispa Pada Anak Balita di Desa Pucangan Wilayah
Kerja Puskesmas Kartasura I. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Asriati, M. Zamrud, Dewi Febrianty Kalenggo,2012. Analisis Faktor Risiko Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut Pada Anak Balita. Kendari: FK UHO
Cissy B. Kartasasmita, 2010, Pneumonia Pembunuh Balita, Buletin Jendela
Epidemiologi Volume 3, September 2010.
Depkes RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Dapartemen Kesehatan RI
Dewi, Putu Saptari. dkk. 2014. Hubungan Faktor-faktor Sanitasi Rumah dengan Kejdaian Infeksi
Pernapasan Akut di Wilayah Puskesmas IV Denpasar Selatan. Denpasar: Poltekkes
Jurusan Kesehatan Lingkungan
Fanada, Mery SPd,SKM,M.Kes. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Penyakit Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang Tahun
2012. Sumatera Selatan: Widyaiswara Muda Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan
Hariyani, Sulistyoningsih. (2011). Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Edisi Pertama. Jakarta:
Graha Ilmu.
Ibrahim, Hartati. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita
di Wilayah Puskesmas Botumoito Kabupaten Boalemo Tahun 2010. Tesis Program
Pascasarjana Unhas.
Kusumawati, Ita, 2010. Hubungan Antara Status Merokok Anggota Keluarga dengan Lama
Pengobatan Ispa Balita di Kecamatan Jenawi.Surakarta : Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Layuk, Ribka Rerung. Nur Nasry Noer. dan Wahiduddin. 2012. Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Lembang Batu Sura. Makassar: FKM Universitas
Hasanuddin
Mahendra, I Dewa Agung Ngurah & Ronald I. Ottay, Margareth R. Sapulete†. 2014. Gambaran
Perilaku Masyarakat Di Desa Purworejo Kecamatan Modayag Kabupaten Bolaang
Mongondow Timur Terhadap Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa). Jurnal Kedokteran
Komunitas dan Tropik: Volume 2 Nomor 2 Mei 2014
Maryani R, Diana. 2012. Skripsi Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Rumah Dan Kebiasaan
Merokok Anggota Keluarga Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Kelurahan Bandarharjo
Kota Semarang. Semarang: Universitas Negeri Semarang
Palgunadi, Sarngadi dan Totok Herlambang. 2012. Simulasi Penyebaran Penyakit Ispa
(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Pada Balita Di Kota Surakarta Menggunakan Game Of
Life.Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Pardede, Dimas K B. 2013. Peran Zink dalam Tata Laksana Pneumonia, Kabupaten Pohuwato,
Provinsi Gorontalo, Indonesia: Puskesmas Patilanggio
Pramudiyani, Novita Aris & Galuh Nita Prameswari. 2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat:
Hubungan Antara Sanitasi Rumah Dan Perilaku Dengan Kejadian Pneumonia Balita.
Semarang: Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Priyono, Jumadi dan Mahayu Istiningtyas Kurniasari. 2013. Pengukuran Kualitas Permukiman
Hubungannya Dengan Tingkat Kesehatan Masyarakat Di Kecamatan Sragen: Upaya Awal
Untuk Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam Strategi Pengurangan Resiko Penyakit
Fakultas Geografi-Universitas Muhammadiyah Surakarta
Puspitawati, Natalia dan Tri Sulistyarini.2013. Sanitasi Lingkungan Yang Tidak Baik
Mempengaruhi Status Gizi Pada Balita. . Jurnal STIKES Volume 6, No. 1, Juli 2013.
Kediri: STIKES RS Baptis Kediri
Rahim, Rita. Yulinda Fetritura, Suroso. 2013. Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Balita
Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Pneumonia Di Wilayah Kerja Puskesmas Putri
Ayu. Jambi: Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
Rahmin, Rizka. 2011.Skripsi: Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Suspek Pneumonia
Pada Balita Di Wilayah Kota Payakumbuh Tahun 2011. Padang: Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas
Soolani, Deflyn Centiany. Jootje. M. L. Umboh dan Rahayu H. Akili. 2013. Hubungan antara
Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) pada
Balita di Kelurahan Malalayang 1 Kota Manado . Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sam Ratulangi
Suharti, Nin. Erman Munir. Dwi Suryanto dan Harry Agusnar. 2015. Hubungan Antara Populasi
Mikroorganisme Udara Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut di Sekitar
Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terjun Medan. Sumatra: Universitas Sumatera Utara
Winardi, William. Jootje M.L. Umboh dan Joy M. Rattu. 2015. Hubungan Antara Kondisi
Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Sario Kecamatan Sario Kota Manado. Sulawesi: Universitas Sam Ratulangi
Wardhani, Eka. Kancitra Pharmawati. M.Rangga Sururi dan Nita Kurniati. 2010. Hubungan Faktor
Lingkungan, Sosial-Ekonomi, Dan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Insfeksi Saluran
Pernapasan Akut (Ispa) Pada Balita di Kelurahan Cicadas Kota Bandung. Lembaga
Penelitian Universitas Lampung: Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional
Bandung
Winarni. Basirun Al Ummah dan Safrudin Agus Nur Salim. 2010. Hubungan Antara Perilaku
Merokok Orang Tua Dan Anggota Keluarga Yang Tinggal Dalam Satu Rumah dengan
Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sempor di Kabupaten Kebumen
Tahun 2009, Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 6, No. 1, Februari 2010.
Gombong: Jurusan Keperawatan STiKes Muhammadiyah
World Health Organization (WHO). 2013. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Saluran
Pernapasan Akut Berat Suspek Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (Mers-
Cov). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
LAMPIRAN 1
DOKUMENTASI LAPANGAN
Gambar 1. Peraturan Presiden yang ditetapkan oleh Bapak Jokowi
(Guntung Payung Rabu, 11 November 2015 10:30)
Gambar 2. Keadaan sekitar daerah Guntung Payung
(Guntung Payung Rabu, 11 November 2015 10:30)
Gambar 3. Keadaan sekitar daerah Guntung Payung
(Guntung Payung Rabu, 11 November 2015 10:31)
Gambar 4. Keadaan sekitar daerah Guntung Payung (Guntung Payung Rabu, 11
November 2015 10:32)
Gambar 5. Keadaan sekitar daerah Guntung Payung
(Guntung Payung Rabu, 11 November 2015 10:32)
Gambar 6 Keadaan sekitar daerah Guntung Payung
(Guntung Payung Rabu, 11 November 2015 10:32)
Gambar 8. Bagian depan Puskesmas Guntung Payung
(Guntung Payung Rabu, 11 November 2015 08.24)
Gambar 9 Visi Misi dari Puskesmas Guntung Payung(Guntung Payung Rabu, 11 November 2015 08.25)
Gambar 10. Kondisi di luar ruangan Puskesmas Guntung Payung
(Guntung Payung Rabu, 11 November 2015 08.25)
Gambar 11. Foto bersama pembimbing di Puskesmas Guntung Payung selama proses
observasi berlangsung (Guntung Payung 11 November 2015 09.00)
Gambar 10. Kondisi di luar ruangan Puskesmas Guntung Payung
(Guntung Payung Rabu, 11 November 2015 08.25)
Gambar 11. Foto bersama pembimbing di Puskesmas Guntung Payung selama proses
observasi berlangsung (Guntung Payung 11 November 2015 09.00)
Gambar 10. Kondisi di luar ruangan Puskesmas Guntung Payung
(Guntung Payung Rabu, 11 November 2015 08.25)
Gambar 11. Foto bersama pembimbing di Puskesmas Guntung Payung selama proses
observasi berlangsung (Guntung Payung 11 November 2015 09.00)
LAMPIRAN 2
LATIHAN SOAL
1. Sebutkan faktor penjamu penyebab ISPA…
a. usia, kebiasaan merokok, kemampuan menularkan infeksi, status kekebalan,
status gizi
b. bakteri, virus dan jamur, status gizi, dan usia
c. kemampuan menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, dan vaksin
d. vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, dan kapasitas ruang isolasi
e. kapasitas ruang isolasi,status gizi, virus dan keadaan udara
2. Salah satu prinsip dasar pencegahan penyakit adalah…
a. Serve Acute Respiratory Syindrom (SARS)
b. Perkembangan ekonomi dan perubahan dalam penggunaan tanah
c. Memutuskan mata rantai
d. Terapi
e. Surveilens epidemiologi
3. Jumlah pasien yang terkena dampak ISPA di bulan Februari adalah…
a. 8 orang
b. 64 orang
c. 813 orang
d. 6 orang
e. 753 orang
4. Salah satu yang termasuk tingkatan pencegahan penyakit adalah…
a. Agent seperti bakteri, virus dan jamur
b. Imunisasi aktif
c. Vehicle transmission
d. Surveilans epidemiologi
e. Proteksi pada kelompok penduduk yang rentan
5. Dibawah ini yang termasuk cara penularan ISPA adalah…
a. Udara pernapasan
b. Berjabat tangan
c. Berada di lingkungan yang sama
d. Berdekatan
e. Tidak ada jawaban yang berkaitan
LAMPIRAN 3
SURAT OBSERVASI LAPANGAN
LAMPIRAN 3
SURAT OBSERVASI LAPANGAN
LAMPIRAN 3
SURAT OBSERVASI LAPANGAN
top related