economic bubble indonesia waspada!!
Post on 24-Oct-2015
30 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Waspada!! “Economic Bubble” Sebagai Indikator Awal Krisis
Moneter : Bisa Jadi, Indonesia Justru Sedang Diambang Krisis Keuangan!
Gelembung Ekonomi atau “Economic Bubble” dapat muncul setiap saat,
tanpa didahului terjadinya ketidakpastian harga dan aksi spekulasi.
Fenomena globalisasi membuat krisis ekonomi di suatu negara langsung
menciptakan ancaman krisis serupa di seluruh negara di dunia.
Janganlah kita mudah terlena dengan indikasi ekonomi makro yang
gemilang. Namun sesungguhnya keropos di dalam.
Ditengah krisis dunia sejak tahun 2008 yang akhirnya berkembang
secara global termasuk di AS dan Eropa, namun justru pendapatan
perekonomian dan daya beli rakyat dibeberapa negara seperti Cina, India
dan Indonesia semakin tinggi.
Banyak statistik membuktikan bahwa rakyat Indonesia semakin makmur,
dibidang otomotive dan property misalnya, kedua jenis produk itu dibeli
layaknya “kacang goreng”.
Di dunia otomotif, dari motor hingga mobil-mobil mewah berseliweran di
jalan, hingga blanko STNK pun habis tanpa stok saat mengurus
perpanjangan STNK dan harus menunggu beberapa bulan ke depan, gila!
ini terjadi hanya karena membludaknya pembelian otomotif di Indonesia.
Masalah macet? bukan lagi terjadi
di kota besar, saat Lebaran misalnya, macet sudah seantero pulau-pulau
besar di Nusantara, melalui jalan-jalan antar provinsi di tiap pulaunya.
Harga properti dan tanah juga naik gila-gilaan, kawasan elite di Menteng
Jakarta misalnya, pada periode Mei 2013 tiap satu meter persegi sudah
mencapai hingga Rp. 100 juta lebih.
Tapi harga setinggi itupun tetap dibeli, harga-harga perumahan,
apartemen dan properti lainnya di Indonesia juga semakin naik tanpa
patokan yang jelas, tapi tetap dibeli dan terbeli oleh masyarakat. Luar
biasa daya beli masyarakat pada saat ini.
Masih ingat bagaimana orang-orang golongan ekonomi menengah ke
atas dengan perhiasan mencolok serta gadget terbaru yang
digenggamnya, masih mau dan rela mengantri di mall-mall sepanjang
lebih dari 100 meter hanya untuk dapat membeli sebuah sandal merk
Crocs?
M asih ingat orang berebut mengantri panjang
bagaikan ular di setiap ada peluncuran handphone keluaran terbaru
dengan harga discount?
Harga sebuah sandal atau handphone yang kelewat mahal “tak masuk
akal” jauh dari biaya produksi hanya ada di Indonesia, karena
masyarakatnya sangat konsumtif terhadap merk-merk “kelas dunia”
tertentu diatas negara-negara lainnya.
Sehingga, banyak produsen handphone dan gadget meluncurkan produk
terbarunya justru di Indonesia. Selain konsumtif, Indonesia memang tak
berdampak signifikan oleh krisis monetar dunia yang belum pulih hingga
kini.
Indonesia merupakan salah satu market atau pasar potensial di dunia
dengan jumlah penduduk 250 juta, yang nyaris semuanya memakai
barang import. Berbeda dengan banyak negara lain yang penduduknya
jauh lebih banyak dibanding Indonesia, namun warganya tidak begitu
konsumtif apalagi terhadap suatu brand atau merk seperti warga
Indonesia.
Namun janganlah justru senang, BISA JADI inilah salah satu indikator
awal krisis moneter Indonesia sebentar lagi untuk ke depannya, ketika
harga-harga naik tanpa patokan, ketika rakyat tetap
membelinya, Economic bubble! Mirip Amerika Serikat saat terpuruk
ekonominya. Kredit macet perumahan tak terkira. PREPARE! Economic
bubble ahead!
Gelembung ekonomi (economic bubble), atau gelembung spekulatif, atau
gelembung keuangan adalah “perdagangan dalam volume besar dengan
harga yang sangat berbeda dengan nilai intrinsiknya”.
Dalam kata lain, memperdagangkan produk atau aset dengan harga yang
jauh lebih tinggi atau lebih mahal daripada nilai fundamentalnya!
Walaupun beberapa ahli ekonomi menyangkal adanya gelembung
ekonomi, tapi penyebab gelembung ekonomi tetap menjadi tantangan
untuk diteliti bagi mereka yang yakin bahwa harga aset sangat sering
menyimpang dari nilai intrinsiknya.
Meskipun ada banyak penjelasan tentang penyebab gelembung ekonomi,
namun belakangan ini diketahui bahwa gelembung ekonomi dapat
muncul bahkan tanpa didahului ketidakpastian, spekulasi, atau
rasionalitas terbatas!
Penjelasan lain mengatakan gelembung ekonomi mungkin akhirnya
disebabkan oleh proses koordinasi harga atau norma-norma sosial yang
baru muncul.
Pengamatan nilai intrinsik sering sulit dilakukan dalam keadaan nyata di
pasar, sehingga gelembung yang terjadi sering hanya dapat dikenali
dengan pasti secara retrospektif, ketika terjadi penurunan harga secara
tiba-tiba.
Keadaan anjloknya harga seperti
itu sering disebut juga sebagai Keruntuhan (crash) atau “pecahnya
gelembung” (boom economic).
Fase “boom economic” maupun resesi dalam suatu ekonomi gelembung
adalah contoh-contoh dari mekanisme “umpan balik positif” yang
membedakannya dari mekanisme “umpan balik negatif” yang
menentukan harga keseimbangan dalam keadaan pasar normal.
Harga-harga dalam gelembung ekonomi dapat berfluktuasi dengan tidak
menentu, dan menjadi tidak mungkin untuk memprediksinya hanya
berdasarkan penawaran dan permintaan saja.
Ahli ekonomi menggunakan istilah “gelembung” untuk peningkatan
harga aset secara ekstrem berdasarkan harapan kenaikan harga pada
masa depan dan tanpa dukungan fundamental ekonomi dan lazimnya
diikuti kenyataan yang bertolak belakang dari harapan, dan anjloknya
harga-harga.
Contoh-Contoh Gelembung Ekonomi di Indonesia dan di Dunia
Sebagai contoh-contoh kecil, masih ingatkah Anda saat mewabahnya
berbagai produk “dengan harga gila dan aneh” di Indonesia yang tak
masuk akal beberapa tahun lalu?
Ikan Louhan, hanya karena motif berwarna gelap yang ada disisi samping badannya dan mirip tulisan
sesuatu, harganya bisa mencapai milyaran rupiah. Kini tak ada lagi kabar tentang bisnis ini.
Masih ingat saat Indonesia evoria dan demam ikan Louhan? Seekor ikan
Louhan bisa berharga ratusan juta hingga milyaran, hanya karena
terdapat “mirip tulisan” tertentu pada corak berwarna gelap yang ada
disamping badannya dan hanya dapat terlihat berupa titik-titik abstrak
disamping badannya, dengan begitu harganya mencapai milyaran rupiah.
Begitu pula dengan ikan Louhan yang bentuk fisiknya cacat sejak lahir,
ketidaksempurnaan bentuk tubuhnya juga dapat dihargai jutaan rupiah.
Lalu, bagaimana gilanya harga seekor tokek? Tokek yang diyakini dapat
menyembuhkan AIDS, maka tokek dijual mahal, tokek merupakan
binatang yang saat itu banyak dicari keberadaannya oleh sejumlah
masyarakat.
Pasalnya, jenis reptil yang masuk golongan cecak besar suku Gekkonidae
itu memiliki harga jual tinggi di pasaran. Harga tokek yang memiliki
berat 4 ons bisa dijual lebih dari Rp 500 juta rupiah hingga milyaran
rupiah.
Dengan iming-iming akan mendapatkan keuntungan besar, sejumlah
masyarakat berlomba-lomba untuk berbisnis tokek. Dari tokek kecil
dibeli dengan harga mahal, lalu dijual lagi dengan harga lebih mahal,
begitu seterusnya, selalu dibeli oleh orang yang bukan membutuhkannya,
tapi hanya karena bisnisnya.
Tokek, yang masuk golongan cecak besar suku Gekkonidae, pada masa lalu memiliki harga jual sangat
tinggi di pasaran karena diyakini bisa menyembuhkan AIDS. Harga tokek yang besar isyunya bisa dijual
lebih dari 1 milyar rupiah. Kini tak ada lagi kabar tentang bisnis ini.
Hingga pada pembeli tokek terakhir inilah, tokek hasil pembeliannya itu
akhirnya tak laku lagi dijual, tak ada pembeli lain yang berani
membelinya dengan harga sangat tinggi. Yang laku untuk diekspor justru
yang hanya berukuran biasa.
Bagaimana pula dengan harga sebuah tanaman Anthurium beberapa
tahun lalu? Gelembung harga hingga ratusan juta rupiah tanaman talas-
talasan (Aracaceae) berlabel Anthurium, yang booming pada sekitar
tahun 2004-2007, membuat beberapa kalangan masyarakat kaya
mendadak, dan sebaliknya, miskin mendadak!
Itu terjadi karena migrasi tingkat pendapatan, dari kalangan pejabat
pemerintah yang kaya dan berpunya dari perkotaan dengan tabungannya
jutaan rupiah, berpindah ke kalangan petani bunga di desa pedalaman
dan kaki pegunungan, yang bahkan sebelumnya tak paham caranya bikin
rekening tabungan di bank (waktu itu tak banyak orang desa punya
rekening, bank biasanya cuma ada di kota).
Penawaran suplai terbesar tamanam yang datang dari desa-desa, dan
permintaan terbesar datang dari perkotaan, atau ibu kota Jakarta, yang
kebanyakan tidak mengerti hukum ekonomi pasar, permintaan dan
penawaran, serta rekayasa sosial kelangkaan komoditas (oleh para
pemain lama di pasar), untuk mengendalikan tingkat harga.
Anthurium andraeanum, pohon dari zaman dahulu kala yang biasanya ada disemak-semak hutan ini,
anehnya, harganya sempat sangat mahal. Kini tak ada lagi kabar tentang bisnis ini.
Bagaimana bisa tanaman sejenis talas ini,Anthurium, yang biasanya
tumbuh liar, atau ditanam sebagai penghias ruangan di rumah-rumah itu
harganya bisa membumbung sampai puluhan kali lipat dari tingkat
pendapatan perkapita masyarakat Indonesia pada umumnya?
Semua itu karena setiap barang bisa dihargai atau divaluasi oleh pasar,
dan pasar dibangun dari dua komponen utama, yaitu penawaran (supply)
dan permintaan (demand).
Kurva akan berusaha mencari tingkat keseimbangan (equilibrium),
antara permintaan dan penawaran, dan secara ekonomi pergeseran itu
bisa sangat liar, tak terkendali.
Gelembung ekonomi tanaman talas Anthuriumini sebenarnya model
kasus yang meniru persis kasus gelembung ekonomi Bunga Tulip di
Belanda, pada periode 1636- 1637, tahun yang sama awal-awal kapal
dagang VOC mendarat di tanah Jawa.
Kasusnya seakan menggelikan, konyol tapi nyata, oleh karena itu pakar
ekonomi sering melabelnya dengan : Teori Kegilaan Massal,
atau Kebodohan Besar, saat manusia bisa berlomba membeli bunga
atau tanaman, dengan harga yang setara dengan rumah mewah, di
zamannya.
Tulip sebenarnya bukanlah
tanaman asli Belanda (di dataran rendah/ Nederland), walaupun mungkin
sampai sekarang menjadi ikon utama negeri itu, selain kincir angin.
Tulip aslinya dari kawasan Asia Tengah, yang pertama kali dikultivasikan
pada sekitar tahun 1000, oleh para botanis dan ahli pertamanan
Kesultanan Turki Usmaniyah.
Popularitas Tulip sebagai komoditas dengan nilai ekonomi meningkat,
dengan bertambah eratnya relasi perdagangan antara Turki Usmaniyah
dengan kerajaan-kerajaan di tanah Eropa, utamanya Tahta Suci Romawi.
Kultivasi Tulip di Belanda dimulai oleh satu orang botanis, mantan ahli
taman Kaisar Maximilian II, yang membangun taman botani kerajaan di
Wina, Austria, bernama Claudius Clusius. Pada 1594, Tulip tumbuh
pertama kali di tanah Eropa, setahun setelah kedatangan Claudius di
Belanda.
Interest rate & value stock of assests curve
Selama periode 1594 sampai 1637 Tulip menjadi komoditas ekonomi
berharga tinggi di Eropa, simbol status sosial, dan tentunya langka,
karena ini syarat pertama sebuah barang bisa dimainkan
kurva equilibrium-nya.
Bunga Tulip yang indah menjadi simbol sosial kalangan atas, para
bangsawan dan borjuis Eropa, membuat permintaan terus meningkat
pesat, dan sesuai hukum pasar, maka penawaran harus mengimbangi
untuk terbentuknya harga yang disepakati.
Tumbuhnya permintaan Tulip jauh lebih cepat daripada tingkat
produktivitasnya. Siklus hidup Tulip butuh 7 sampai 12 tahun untuk
pembibitan hingga panen bunga.
Untuk mengendalikan harga Tulip, pedagang Tulip menggunakan cara
baru, yaitu dengan model surat berharga, yang dikeluarkan setiap musim
dingin, hingga pembeli bisa mendapatkan produknya di musim panas.
Bunga Tulip, yang sempat menghancurkan perekonomian Belanda dimasa lalu akibat dari ‘economic bubble’.
Surat berharga itu dibuat berdasarkan prediksi kualitas bibit, dan
tentunya prediksi harga yang pantas di masa depan, atau subprime
lending. Peredaran instrumen transaksi, berupa surat hutang, membuat
peningkatan nilai agregat nominal hutang, yang tidak diimbangi dengan
transaksi riil, pertukaran barang (Tulip) dengan uang (alat tukar resmi).
Lambatnya siklus produksi Tulip yang sangat tidak sebanding dengan
jumlah pertumbuhan permintaannya, sangat berkontribusi untuk
terjadinya gelembung ekonomi yang berpuncak pada tahun 1636- 1637.
Tulip price index
Pada awalnya yang berjudi dengan pertumbuhan harga Tulip hanya
kalangan pedagang, lalu demam Tulip ini merambah ke kalangan
bangsawan dan orang kaya, bahkan masyarakat umum, karena adanya
harapan bahwa pembelian hari ini, akan bisa dijual dengan harga
berlipat pada bulan- bulan berikutnya.
Pada Januari 1637, harga sepucuk Tulip menyentuh harga 6000 Florins
atau setara 1,8 juta USD pada masa kini (kurs April 2013) sedangkan
pendapatan perkapita di Belanda saat itu di angka 150 Florins atau
setara 45,000 USD (kurs April 2013 ).
Pada Februari 1637, terjadi penjualan Tulip dalam jumlah besar yang
diikuti dengan panik massal penjualan stok Tulip secara beruntun oleh
para pelaku pasar, harga Tulip pun anjlok, sama dengan harga seonggok
bawang putih, di kala itu.
Talas Anthurium jelas punya kesamaan model kasus, banyak petani di
kaki gunung yang kaya mendadak, karena ulah spekulan di perkotaan.
Namun selebihnya, banyak ibu- ibu istri pejabat, yang telanjur
menanamkan uangnya dengan harapan akan menangguk keuntungan
berlipat, jatuh merugi.
Nilai Anthurium tertinggi yang ditawarkan pernah sampai di titik harga
Rp. 300 juta rupiah, dengan perbandingan rata-rata upah minimum
regional Jawa Tengah (tempat terbanyak petani Anthurium untuk
perkotaan) perkapita hanya Rp. 12 juta rupiah, 25 kali lipat.
Secara agregat nominal, persentase rasio, atau skala ekonomi memang
tidak sebesar “Tulipmania” 1636- 1637 di Belanda, tapi
kasus Anthurium 2006- 2007 di Jawa Tengah ini cukup mampu
membolak-balik status sosial ekonomi beberapa kalangan.
Siapa yang diuntungkan dari kasus
gelembung semacam bunga Tulip danAnthurium ini?
Yang diuntungkan tentunya adalah para spekulan yang tahu benar kapan
saatnya membeli dan menjual stok barangnya, mereka yang mendengar
pertama kali saat harga masih murah, dan menjualnya kembali pada titik
harga tertinggi.
Siapa yang dirugikan? Tentunya adalah “para pengekor” yang membeli
saat harga mendekati puncak, dan menjual stoknya, saat harga barang
sudah jatuh, menjauhi titik tertinggi harga pasar, mirip fenomena jual-
beli tokek.
Menariknya kurva parabol pertumbuhan persentase marjin, dalam kasus-
kasus gelembung ekonomi, selalu dibumbui dengan variabel psikologi
pelaku pasar, misalnya: dorongan memiliki simbol status sosial
pergaulan, hasrat meraih keuntungan berlipat atau bumbu meta-fisikal
segala, tentang doa-doa yang dikabulkan, bahwa tujuh turunan generasi
akan kaya raya, tanpa perlu lagi bekerja.
Ya, manusia ternyata tetap rasional, selama kondisi psikisnya juga stabil
dan itu bukan perkara yang mudah untuk dikendalikan, apalagi jika yang
dimaksud adalah kondisi psikologi banyak manusia, komunal.
Bubble Lifecycle Graphic
Kasus gelembung ekonomi bisa terjadi karena para pelaku pasar, para
manusia yang sebenarnya adalah makhluk- makhluk yang lebih dominan
sisi psikis daripada kognitifnya (rasio). Sisi- sisi dasar psikis manusia
yang sering digunakan sebagai “tombol ajaib”, untuk membuat pasar
dinamis adalah: rasa takut dan harapan masa depan lebih baik.
Komodifikasi rasa takut (fear) dan harapan (hope) akan selalu dimainkan
oleh segelintir kecil manusia, untuk mengendalikan sebagian besar
manusia lain, dalam kasus ini adalah untuk mengendalikan kondisi
psikologis komunal pelaku pasar.
Investasi terbaik adalah kembali ke diri sendiri, yaitu untuk memiliki
pengetahuan dan keahlian sebanyak yang kita bisa serta perlukan dan
membaca perilaku sosial masyarakat tempat kita hidup sehingga mampu
menentukan posisi, apakah akan mengikuti arus kebodohan massal,
memperingatkan mereka, atau tidak ikut sama sekali dan tidak terlibat
dalam penanggukan keuntungan, ataupun kerugian besar, dalam waktu
sekejap.
Di kasus semacam inilah kapitalisasi informasi menemukan nilai
transaksional yang bisa dikalkulasi dan divaluasi, bukan sekedar jargon-
jargon kosong tentang abad informasi, yang kadang justru susah
dipahami publik awam.
Tulip mania di Belanda (1646), ikan mujair jenis Lohan, cicak besar si
Tokek, tanaman semak Anthurium, dan gelembung saham lainnya adalah
contoh tipikal dari gelembung spekulasi. Di Jepang, penggelembungan
harga aset terjadi pada akhir 1980-an.
Bahkan krisis ekonomi di Amerika Serikat yang dimulai tahun 2008 lalu
juga diawali oleheconomic bubble, dimana rakyatnya mempunyai daya
beli yang tinggi serta suku bunga yang tinggi, hingga akhirnya tak lagi
mampu membayar kredit apapun, termasuk kredit rumah yang tak
terkira jumlahnya.
Tautan jurnal tentang Tulip mania 1636-1637 dapat anda unduh sebagai
bahan perbandingan dan study (format PDF): University of Chicago
JSTOR, UCLA , Maurits van Der Veen, University of Georgia, Scott
Nicholson
Beberapa kasus krisis ekonomi yang berawal dari Economic Bubble atau
Gelembung Ekonomi lainnya:
Tulip mania (berpuncak pada Februari 1637)
The South Sea Company (1720)
Mississippi Company (1720)
Spekulasi saham kereta api Inggris (1840-an)
Spekulasi tanah di Florida 1920-an (1925)
Gelembung ekonomi Amerika 1920-an (Roaring Twenties), (sekitar
1922-1929)
Nifty Fifty, akhir 1960-an dan awal 1970-an
Spekulasi saham Poseidon, awal 1970-an
Penggelembungan harga aset di Jepang (1986-1990)
Krisis finansial Asia 1997
Gelembung dot-com (1995–2000)
Gelembung perumahan Amerika Serikat (2005-2008)
Potensi Gelembung Ekonomi
Kalangan pengusaha dan pelaku ekonomi di tanah air mendapat warning
penting pertengahan Mei 2013 lalu dari Wakil Presiden Boediono. Saat
membuka World Ceramic Tiles Forum di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu
(30/6/13), wapres mengingatkan pelaku ekonomi tentang kemungkinan
terjadinya ’’gelembung ekonomi’’.
Selama ini, ahli ekonomi menggunakan istilah ’’gelembung’’ untuk
menyebut fenomena peningkatan harga aset secara ekstrem berdasar
harapan kenaikannya pada masa depan tanpa dukungan fundamental
ekonomi kuat.
Secara akademis, gelembung ekonomi, spekulatif, atau keuangan juga
sering diartikan sebagai ’’perdagangan dalam volume besar dengan
harga yang sangat berbeda dengan nilai intrinsiknya’’.
Dalam konteks negara, kebijakan yang terlalu mengejar pertumbuhan
jangka pendek dan melupakan jangka menengah hingga panjang bisa
menimbulkan gelembung ekonomi.
Dengan begitu, dalam mengambil kebijakan ekonomi makro, pemerintah
akan mengarahkan kepada upaya menghindari terjadinya kenaikan harga
barang secara tidak rasional.
Perekonomian Indonesia pada 2010 lalu memang sama sekali tidak
mengindikasikan gejala ke arah adanya penggelembungan.
Pertumbuhan ekspor dan investasi di sektor riil meningkat dan mampu
mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal pertama
tahun 2013. Belum lagi pertumbuhan kredit dan penempatan dana
masyarakat di perbankan juga meningkat pesat.
Namun, mencermati peringatan wapres yang juga memiliki kapasitas tak
diragukan di bidang ekonomi moneter sangatlah penting. Apalagi,
belakangan diketahui gelembung ekonomi dapat muncul setiap saat,
tanpa didahului terjadinya ketidakpastian harga dan aksi spekulasi.
Fenomena globalisasi membuat krisis ekonomi di suatu negara langsung
menciptakan ancaman krisis serupa di seluruh negara di dunia. Setelah
krisis finansial global 2008 yang berawal dari Amerika Serikat, dunia kini
dibayangi dampak krisis baru akibat terguncangnya perekonomian
Yunani.
Jika penyebaran dampak krisis Yunani juga tak bisa dicegah, virusnya
bisa mengglobal. Akibatnya, semua negara kini mengelola perekonomian
masing-masing dengan penuh hati-hati.
Apa yang disampaikan Boediono merupakan bagian dari kehati-hatian
tersebut. Peringatan itu juga sebagai isyarat agar kita tidak mudah
terlena dengan indikasi ekonomi makro yang gemilang. Namun
sesungguhnya keropos di dalam.
Kenyataan bahwa penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia
adalah konsumsi masyarakat, sebuah aset berharga yang harus terus
dijaga. Caranya, segala upaya kebijakan ekonomi harus fokus pada
pertumbuhan sektor riil. Tak hanya pertumbuhan di sektor keuangan,
perbankan, saham, dan sektor finansial yang terbukti beberapa kali semu
serta gampang menipu.
ADB Ingatkan Indonesia Waspadai Gelembung Ekonomi
Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan peningkatan arus modal
pada pasar obligasi lokal di beberapa negara berkembang Asia Timur
dapat mendorong risiko terjadinya gelembung (bubble), walaupun hal
tersebut menunjukkan adanya minat investor terhadap kawasan ini.
“Kawasan ini lebih tangguh dibandingkan dulu, namun pemerintah harus
berhati-hati terhadap pembalikan arus modal yang dapat
menyebabkan bubble, apabila perekonomian di AS dan Eropa mulai
membaik,” ujar Ekonom Senior ADB untuk Integrasi Ekonomi Regional,
Thiam Hee Ng, dalam keterangan pers tertulis yang diterima di Jakarta,
Senin (18/3/13).
Sejak 1990, investor swasta telah menanamkan modal di kawasan Asia
Timur karena suku bunga rendah dan pertumbuhan ekonomi yang
melambat di negara maju. Kondisi tersebut makin meningkat hingga
akhir tahun 2012 lalu.
Kawasan negara berkembang di Asia Timur dalam laporan ini mencakup
Indonesia, China, Hong Kong, Korea Selatan, Malaysia, Filipina,
Singapura, Thailand, dan Vietnam.
ADB mencatat pada akhir 2012, pasar obligasi di negara Asia Timur
mencakup dana senilai 6,5 triliun dolar AS atau lebih tinggi bila
dibandingkan dengan periode yang sama pada 2011 yang hanya tercatat
5,7 triliun dolar AS.
Situasi tersebut menunjukkan adanya peningkatan sebesar 12,1%. Hal
yang sama terlihat dari pasar obligasi korporasi yang mengalami
peningkatan hingga 18,6% atau sebesar 2,3 triliun dolar AS.
Contoh kondisi di pasar obligasi
Indonesia, di mana kepemilikan obligasi pemerintah sebesar 33%
dikuasai investor luar negeri hingga akhir 2012.
Bandingkan dengan kepemilikan asing atas obligasi pemerintah Malaysia
yang mencapai 28,5% pada akhir September 2012.
Pasar obligasi lokal Indonesia meningkat pada triwulan IV 2012 sebesar
9,7% bila dibandingkan dengan kondisi tahun lalu atau meningkat 3,3%
dibandingkan akhir September 2012. Sedangkan obligasi korporasi
Indonesia meningkat hingga 19 miliar dolar AS dan obligasi pemerintah
mencapai 92 miliar dolar AS.
Pasar obligasi pemerintah tumbuh 6,6% year on year karena penerbitan
Surat Perbendaharaan Negara (SPN), treasury bill dan Surat Utang
Negara (SUN). Penerbitan obligasi korporasi bahkan meningkat lebih
tinggi 27,6%.
Waspadai Bubble Ekonomi Indonesia!
Pengamat ekonomi, yang juga pendiri CReco Research Institute, M
Chatib Basri, mengingatkan Pemerintah Indonesia akan terjadinya imbas
gelembung pertumbuhan ekonomi yang semu (bubble economy) dengan
mengalirnya dana masuk ke Indonesia sebagai dampak kenaikan pagu
utang Pemerintah AS sebesar 1,2 triliun dollar AS.
Sebab, dana yang mengalir deras ke pasar uang, pasar modal, dan
perbankan Indonesia harus bisa diserap untuk menggerakkan sektor riil
dan investasi jangka panjang. Jangan hanya bertengger di pasar uang,
pasar modal, atau bank belaka.
Jebakan Gelembung Finansial, oleh Muhammad Chatib Basri.
“Kalau hanya numpang di situ saja, itulah yang menyebabkan
peningkatan bubbleeconomy,” tandas Muhammad Chatib Basri Selasa
(2/8/2011) yang akhirnya dilantik oleh Presiden SBY sebagai menteri
keuangan pada 20 Mei 2013 lalu menggantikan Agus Martowardojo yang
dicopot dari jabatannya karena terpilih menjadi Gubernur Bank
Indonesia.
SBY melihat sosok Chatib sebagai seorang ekonom yang memiliki
pengalaman dan penugasan yang luas. SBY juga memuji prestasi Chatib
selama memimpin BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dalam
setahun terakhir.
Muhammad Chatib Basri (Menteri Keuangan)
“Investasi di Indonesia tumbuh secara signifikan, ini sangat penting
kontributor di kala ekspor kita dan ekspor negara-negara lain mengalami
kemerosotan,” puji SBY.
Chatib Basri pernah bertugas sebagai stafsus menteri keuangan, sebagai
deputi menkeu untuk tugas-tugas di G20. Sebelum dipercaya menjabat
sebagai Kepala BKPM, Chatib menjabat sebagai wakil ketua Komite
Ekonomi Nasional (KEN).
Menurut Chatib, Indonesia memang bisa mendapatkan dana murah
untuk pendanaan jangka panjangnya. Namun, apakah bisa diserap secara
optimal?
“Syaratnya, pemerintah juga harus segera membangun infrastruktur
jalan, jembatan, dan pelabuhan agar investor mau mengeluarkan
dananya untuk investasi jangka panjang ataupun foreign direct
invesment (FDI). Tanpa mewujudkan itu, yang terjadi
cuma bubble. Itulah risiko yang harus diwaspadai,” kata M. Chatib Basri.
Gelembung atau “‘pertumbuhan ekonomi yang semu’” akibat masuknya
dana asing justru akan meningkat jika dana tersebut tak bisa untuk
menggerakkan sektor riil. “Karena itu, pemerintah harus segera
merealisasi regulasi yang belum ada, seperti RUU Pertanahan,
pembebasan lahan, dan koordinasi yang semakin baik serta perbaikan
iklim investasi,” kata Chatib mengingatkan.
Hutang AS Yang Tak Mampu Dibayar Masih Merupakan Ancaman
Ekonomi Global!
Amerika Serikat hampir pasti lolos gagal bayar (default) setelah DPR
mereka menyetujui kesepakatan peningkatan batas utang pemerintah
federal, sejak tahun 2011. Meski begitu, para kreditor AS menilai, utang
AS yang menggunung dan dollar yang terlalu dominan masih tetap
mengancam ekonomi global.
“Humans are the only species that pay to live on the Earth… Our money is fake. Our debt is fake. Our two
party system is fake. Our healthcare system is fake. Most of the stuff we’ve been told is fake. Once you
realize this, what you’ve thought of as reality begins to look like a cheap set on some ridiculous B movie.”
NSalah satu kreditor terbesar yang khawatir dengan kemampuan AS
dalam membayar utang adalah China. Surat kabar utama di
China, People’s Daily, mengatakan, kredibilitas obligasi Pemerintah AS
sudah hancur sejak krisissub-prime mortgage.
Namun, kebanyakan negara lain di dunia belum bisa menemukan cara
untuk melepaskan ketergantungan pada dollar.
“Meski kepercayaan pada utang AS turun dan lembaga rating akan
menurunkanrating AS, kredibilitas dasar tidak berubah. Dollar tetap
menjadi mata uang yang kuat,” kata surat kabar itu.
Tapi memang realita yang telah terjadi sesungguhnya terbukti, bahwa
semua produk dunia didominasi dan dijual belikan dengan patokan mata
uang dollar Amerika.
Memang itu yang diinginkan oleh para elit dunia, agar perekonomian
selalu berada dan tergantung dengan dollar Amerika. Jangan macam-
macam jika ada negara atau pemimpin negara di dunia ini yang tidak
menggunakan dollar Amerika, mereka akan dikucilkan di dunia
perekonomian secara global, dulu mirip Libya dan Irak, sekarang ini
mirip Iran dan Korea Utara.
Dengan adanya ketergantungan dunia terhadap dollar Amerika, maka
para elite dunia akan dapat lebih mudah mengontrol perekonomian dan
keuangan dunia. Maka dengan mudah pula dapat mengontrol
manusianya, bahkan rakyat didalam suatu atau beberapa negara lainnya
untuk dapat menentang pemerintahannya akibat krisis berkepanjangan
dan menyusahkan kehidupan rakyatnya. Padahal apa yang terjadi di
negara tersebut adalah akibat “kebijaksanaan” AS dan negara-negara
sekutunya sendiri.
Negara mana yang akan makmur, negara mana yang akan bangkrut,
negara mana yang akan krisis, negara mana yang akan tergantung
dengan ekonomi negara lainnya, dan pengontrollan-pengontrollan
perekonomian sejenisnya secara praktis dapat dirancanakan dan
direalisasi.
Jangan pula kita pikir bahwa Amerika dan Eropa terkena krisis
berkepanjangan artinya para elite mereka juga terkena dampaknya,
tidak! Para elit jauh-jauh sangat kaya, apapun krisisnya, bagaimanapun
level krisis tersebut, mereka tetap kaya dengan cadangan emas jutaan
ton dari hasil pertambangannya seantero dunia, hanya ditukar dengan
kertas, emas dibeli (baca: ditukar) dengan kertas.
Yang terkena krisis di Eropa dan Amerika Serikat, sejatinya adalah
rakyatnya, bukan para elitenya. Namun pemerintahan rezim monarki dan
kapitalis AS justru menaikkan pajak rakyatnya dengan alasan untuk
membayar hutang negara, yang padahal hutang tersebut dapat dibayar
sendiri oleh mereka, para elite pengatur negara dan rakyatnya.
Zhu Baoliang, kepala ekonom di lembaga pemerintah State Information
Centre, mengatakan, pengurangan belanja AS sebesar 1 triliun dollar AS
selama 10 tahun ke depan tidak cukup untuk mencegah krisis utang pada
masa yang akan datang. “Gagal bayar AS tidak akan berdampak
langsung terhadap China. Tapi, dampaknya akan terlihat pada jangka
panjang,” katanya seperti dikutip China Daily.
Vladimir Putin
Sedangkan Li Xiangyang, seorang peneliti di Akademi Ilmu Sosial China,
mengatakan, politisi AS pada masa depan bisa mengabaikan kepentingan
kreditor dan lebih mengutamakan kebijakan dalam negeri.
Menurut Li, untuk menghindari perangkap dollar AS, China harus
menghentikan investasi dalam aset dollar pada masa depan. Perdana
Menteri Rusia Vladimir Putin juga melihat ancaman serupa.
“AS sudah tak terkendali dan menumpahkan sebagian beban masalah ke
ekonomi dunia. AS hidup sebagai parasit dari ekonomi global dan
monopoli dollar,” ujar Vladimir Putin.
Putin, yang sering mengkritik kebijakan nilai tukar AS, mencatat, Rusia
memegang obligasi dan treasury notes AS dalam jumlah besar. “Jika di
Amerika ada masalah sistemik, akan mempengaruhi semua orang.
Negara seperti China dan Rusia menyimpan cadangan devisa dalam
jumlah besar di surat berharga Amerika. Seharusnya ada mata uang lain
sebagai cadangan devisa,” ujarnya. (sumber: wikipedia/ radarlampung/
antara/ maxheartwood.wordpress/ kompas/ kontan.coid/ berbagai
sumber)
“Merupakan hal yang cukup bagus bahwa masyarakat tidak mengetahui sistim perbankan dan moneter, karena
jika mereka mengetahuinya, saya yakin akan ada revolusi sebelum terbitnya fajar.”
- Henry Ford.
***
Alkisah…Alkisah…. dahulu kala, dimana emas masih menjadi alat pembayaran di
dunia seperti mata uang emas dirham, dinar dan lainnya, dikala itupun
negara miskin akan emas, terpuruk. Lalu nan terpuruk menciptakan
mata uang lainnya tanpa kandungan emas didalamnya, currency.
Dibuat currency hanya dari logam biasa, bahkan hanya dari secarik
kertas. Hanya menaruhkan angka, hanya angka yang tertera. Lalu, emas
ditukarkan dengan currency. Emas ditukar kertas, gila. Yang kaya emas
pun menjualnya. Menukar emasnya menjadi secarik kertas.
Yang terpuruk, kertas ciptaannya ditukar emas, lebih gila. Maka emas
ditimbun jua oleh yang terpuruk, kayalah ia. Maka, yang tadinya kaya
emas bertukar menjadi yang terpuruk.
Disaat ekonomi mengguncang, yang sebenarnya kaya emas, tiada emas.
Yang terpuruk justru kaya akan emas, tertimbun, menggunung. Maka,
duniapun dibalik, walau tetap berputar.
Sang terpuruk pun bermain, bermain dengan licik, karena emasnya
menggunung, mempermainkan yang tadinya kaya, menggurasnya jua,
mempermainkan dunia, uang, power, kontrol, sejak ia menciptakan
logam biasa, bahkan hanya dari secarik kertas, lalu, ditukar EMAS.
Selamat lahir di dunia yg fana, jangan khawatir, karena bisa jadi ini
hanya untuk sementara saja. (penulis, IndoCropCircles.wordpress.com)
top related