dua sayap yang terpisah
Post on 25-Dec-2015
217 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Dua Sayap yang Terpisah
“Ckrik..!” suara kamera serta kilatannya mengambil gambar dua bidadari
kecil. Kejadian yang mungkin tidak begitu spesial bagi orang lain, tapi bagiku itu
spesial. Walaupun aku belum mengerti. Mungkin sama sekali belum paham. Aku
tahu dan memahaminya setelah aku beranjak besar, sedikit mengerti saat
memandangi sebuah foto. Disitu ada aku dan seorang lagi yang menggendongku,
dengan penuh kasih sayang. Umurnya sekitar sembilan tahun waktu itu. Dia
memakai baju merah dan celana pendek berwarna hijau muda. Rambutnya diberi
hiasan sebuah bando putih yang manis. Sedangkan aku, yang sepertinya belum
genap satu tahun, memakai baju putih dan topi putih pula. Aku tenang-tenang
saja dalam dekapannya.
Sekarang aku pun menyadari. Ya..!! dia lah saudara perempuanku, yang
sampai saat ini menjadi saudaraku satu-satunya. Usia kami terpaut cukup jauh.
Kami hidup bersama di keluarga yang sederhana, tidak memiliki materi yang
berlebihan tapi punya cara sendiri untuk mendapatkan kebahagiaan. Kami berdua
bahagia dilahirkan di lingkup keluarga kami yang seperti ini. Setiap hari kami
berbaur satu sama lain. Tak ada satu celah kecil pun yang dapat memisahkan
kami. Begitu pikirku dulu, saat aku belum mengerti banyak hal.
Iven Ika Pratiwi, sebuah nama yang tidak begitu bagus, tapi akan selalu ku
ingat seumur hidupku. Orang tuaku yang memberikannya. Begitu juga dengan
nama Yopy Novela Pensha. Aku bangga dengan nama ini.
Hari Minggu pagi yang cerah. Matahari menerobos dinginnya pagi dan
mengganti nya dengan kehangatan. Orang tuaku sudah berangkat bekerja.
Mencari nafkah untuk kami berdua. Berbeda dengan orang lain pada umumnya,
hari Minggu adalah hari libur untuk beristirahat. Tapi orang tuaku justru
sebaliknya. Pekerjaan mereka wiraswasta, hari Minggu bahkan hari yang
ditunggu- tunggu untuk lebih giat mencari uang.
Sedangkan aku dan Iven..
“Dek, ngelap kaca gih. Mumpung libur”.
“Huff.. kenapa si, tiap hari libur, ada aja yang dikerjain. Butuh istirahat juga
neeh”. suara hati ku menggerutu tanpa ku nyatakan dengan perkataan. Dengan
wajah murung seperti orang yang baru terkena musibah, aku menghampirinya.
Dia memberi petunjuk untuk mengerjakan apa yang ia perintahkan tadi. Akhirnya
aku melakukannya juga.
Setelah hampir selesai..
“Dek,dek.. ini kok belum bersih si. Gimana lah, ngelapnya nggak bener”.
Aku kesal dengan perkataannya barusan. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa,
seakan-akan dialah penguasa. Dia lebih tua dariku, jadi aku harus selalu menuruti
apa yang dia katakan.
“Yaudalah, udah. Mandi sana”. Aku bergegas meninggalkannya. Tak tahan
lagi aku disitu.
Aku langsug mandi seperti yang diperintahkan. Lagi lagi, urusan mandi pun
masih harus berdasarkan perintah. Selesai mandi, seperti biasa aku menikmati
sajian televisi hari libur. Biasanya, acara televisi Minggu pagi membuatku betah
berlama-lama di depan layar berwarna yang bergerak itu. Sampai-sampai tak ku
sadari, matahari tidak lagi condong ke timur, aku segera makan siang bersama
Iven. Kejadian tadi pagi sudah luput dari ingatan, tak lagi ku persoalkan. Kami
kembali akrab dengan canda tawa disela-sela makan siang ini. Beginilah kami,
mungkin memang tak bisa dihindari untuk saling memaafkan walaupun tidak
secara langsung.
Setelah kami habiskan makan siang, dan perut terasa penuh. Kami terbaring
lemas didepan televisi, di sebuah karpet yang tidak terlalu lebar. Akhirnya masing-
masing telah berada di alam mimpi.
Hari sudah sore. Kami telah bangun dari istirahat siang ini. Menyapu
halaman dan menyapu rumah adalah tugas rutin kami di sore hari. Iven menyapu
rumah, dan aku menyapu halaman. Setelah semua selesai aku dan dia mandi.
Menjelang malam, saatnya untuk belajar. Dan malam telah larut, aku yang masih
anak-anak sudah digiring ke kamar oleh ibuku sejak tadi. Mungkin Iven masih
sibuk dengan pekerjaannya, tapi dia sudah masuk ke kamar nya.
Pagi ini, aku sudah siap berangkat ke sekolah. Dengan menggunakan
sepeda kesayangan ku, aku melaju menuju sekolah. Aku bisa mengendarai sepeda
ini berkat Iven, dia mengajari ku di sekitar masjid di dekat rumah kami. Sampai
saat ini aku berani menggunakannya sendiri ke sekolah. Memang tidak terlalu
jauh. Tapi betapa menyenangkannya mengayuh sepeda melewati persawahan
dengan menghirup udara pagi yang segar. Iven sudah berangkat sejak tadi.
Sekolahnya cukup jauh. Harus menaiki kendaraan umum untuk sampai disana.
Maka dari itu, dia bergegas setiap hari Senin, karena seperti biasa sekolahnya
melakukan upacara bendera. Aku jarang melihatnya berangkat sekolah, karena
setiap dia pergi aku belum ada di alam sadarku, masih menikmati kehidupan
bunga tidur yang menurutku cukup mengasyikkan.
Siang hari kami kembali ada dirumah. Makan, istirahat, mngerjakan tugas
jika ada. Begitulah aktivitas kami sehari-hari.
“ Pen !! Sholat dulu kamu ! ngapain dikamar terus daritadi ?! “
Aku dan mama kaget mendengar suara yang cukup keras. Tidak seperti biasa, saat
maghrib suasana rumah selalu hening. Tapi kali ini, papa seperti sedang
meluapkan amarahnya. Saat aku dan mama melihat ke sumber suara, Iven sudah
menangis dengan kepala menunduk dan mencoba melindungi tubuhnya.
“ Pa ! Udah..! Kasian.. “ pintaku pada papa. Aku tak peduli jika aku ikut
terkena pukulan papa saat itu. Aku tak ingin Iven menerima amarah papa
sendirian. Sebelumnya aku memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku
hanya diam melihat Iven dipukul dan dicaci oleh papa. Tapi setelah itu, aku tidak
tahan melihatnya. Mama sudah mencoba melarangku. Aku tetap maju mendekat.
Akhirnya amarah papa mereda.
Aku masih melihat Iven menangis. Tidak tega melihatnya. Walaupun aku yang
saat itu tergolong masih kecil, tapi entah kenapa, aku seperti ikut merasakan hal
yang sama seperti dirinya.
Lalu ku tinggalkan dia sendiri. Aku belum berani bicara dengannya.
Layaknya anak kecil lain. Aku kembali seperti biasa, seperti tak ada hal apapun
terjadi.
Hari minggu kembali kami jumpai. Saat itulah kami lebih sering bermain
bersama. Iven selalu saja ‘jail’ saat aku sedang diam. Sehingga kami sering
berkejar-kejaran di dalam rumah. Pernah suatu saat, dia mengejarku sampai
keluar menuju jalan. Kami saling balas-membalas. Tak ada salah satu dari kami
yang mau mengalah. Walaupun sudah mereda, Iven atau aku kembali
memulainya. Sampai-sampai mama dan papa memarahi kami berdua. Tapi tetap
saja, kami melanjutkan kenakalan kami itu. Hehe
Sebentar lagi Iven akan mengadakan studytour bersama teman-temannya di
sekolah. Aku tidak tahu, dia akan pergi kemana. Aku hanya memesan oleh-oleh
padanya.
Tak begitu lama dia pergi, sekitar satu minggu. Dia pulang dengan membawa
boneka kecil untukku, boneka ‘Winnie The Pooh’ yang imut. Aku sangat senang
dengan pemberiannya. Walaupun hanya sebuah boneka. Sejak saat itu, aku
menyukai boneka ‘Winnie The Pooh’.
Tak terasa waktu membawa ku ke masa remaja. Aku sekarang duduk di
sekolah menengah pertama. Iven melanjutkan pendidikannya dengan kuliah di
fakultas kesehatan jurusan Analis. Sekarang dia sudah tidak dirumah lagi, sejak
aku masih SD. Dia belajar hidup mandiri di rumah sementara nya, di dekat tempat
ia menimba ilmu lanjutan. Aku cukup kesepian jika tak ada dia. Iven hanya pulang
seminggu sekali, pada hari Sabtu. Kami tak sedekat dulu lagi. Aku sering merasa
rindu padanya…. Sangat rindu malah.
Semakin beranjak dewasa diriku. Semakin banyak pula masalah yang ku alami.
Tapi untung saja masih bisa ku selesaikan sendiri. Saat SMP aku sangat menikmati
masa anak-anak menuju dewasa ku. Iven tidak terlalu tahu diriku yang sekarang.
Sebenarnya aku ingin bercerita banyak dengannya saat ia pulang. Tapi sepertinya
aku enggan, sangat eggan berbagi cerita dengan Iven. Selama kurang lebih empat
tahun, aku tak banyak berbaur dengannya. Jarak yang memisahkan kami
mempersulit untuk saling terbuka.
Aku akan segera lulus dari sekolah menengah pertama ini. Dan melanjutkan
ke sekolah menengah atas atau yang biasa disingkat SMA. Begitu juga dengan
Iven, dia sudah selesai dengan kuliah nya.
Setelah melewati ujian, dan aku dinyatakan lulus, aku mengikuti tes seleksi.
Akhirnya aku diterima di salah satu sekolah favorit disini. Iven ikut senang dengan
kebahagiaan ku.
Tak lama setelah itu, dia berencana untuk menikah. Aku pun bahagia dengan
berita ini. Tapi di sisi lain, hatiku meronta. Tak ingin kenyataan ini merenggut lagi
kebersamaan kami. Cukup hanya empat tahun aku tak merasakan
keberadaannya. Sempat aku berpikir untuk melarangnya, tapi aku tahu, itu gila!
dia harus melanjutkan kehidupannya.
Kini sangat terasa, aku membutuhkannya. Semenjak dia pergi dari rumah
ini untuk jangka waktu yang sangat lama, atau bahkan selamanya. Aku ingin
membagi cerita remaja ku yang penuh masalah dan kesenangan pada Iven.
Kadang aku merasa sangat tidak beruntung. Aku sering membayangkan, betapa
leganya aku jika dia ada disini dan bisa mendengarkan semua keluh kesahku
selama menjalani masa pubertas. Aku pun ingin mendengar nasihat-nasihat nya
lagi. Apalagi saat ini, memang sangat dibutuhkan seseorang yang bisa
menuntunku dan mengajariku bagaimana harus melangkah.
Aku butuh seseorang yang bisa memahami diriku, dan aku mau itu Iven. Tapi
sepertinya itu sulit, dan bisa jadi mustahil !
Malam sudah begitu hening, sebentar lagi aku akan menghampiri gerbang
alam mimpiku. Tapi sesuatu membuatku terhenti dan membatalkan rencana
sebelumnya. Aku kembali teringat Iven, selalu… air mata yang hanya bisa
meluapkan segala rinduku padanya.
Sesekali aku mengusap kegalauan itu, tapi tak bisa. Aku ingin dia ada disini lagi…
ada disampingku. Andai dia tahu…
“Sayap.. tak berfungsi bila tak jadi satu,
Kehilangan satu sayap seperti kehilangan nyawa.
Dua sayap dapat terbang,
Tapi satu sayap, hidup seakan tak mampu…”
top related