dimensi eksperiensial dan konsekuensial dari...
Post on 08-Nov-2020
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DIMENSI EKSPERIENSIAL DAN KONSEKUENSIAL
DARI PSIKOGRAFI KEBERAGAMAAN MAHASISWA IAIN SALATIGA
TAHUN 2016
(Studi pada Komunitas Hafizh dan Hafizhah)
Penelitian ini Dilakukan dalam Rangka Memenuhi Tugas Tri Darma
Perguruan Tinggi pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Oleh:
Dra. Djami’atul Islamiyah, M. Ag.
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASAYARAKAT (LP2M)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2016
PROGRES REPORT
HIBAH PENELITIAN INDIVIDUAL DAN UNGGULAN DOSEN
TAHUN 2016
Judul Penelitian : DIMENSI EKSPERIENSIAL DAN KONSEKUENSIAL
DARI PSIKOGRAFI KEBERAGAMAAN
MAHASISWA IAIN SALATIGA TAHUN 2016 (Studi
pada Mahasiswa Hafizh dan Hafizhah)
Nama Peneliti : Dra. Djami’atul Islamiyah, M. Ag.
Nama Konsultan : Dr. M. Gufron, M. Ag.
BAB I :
BAB II :
BAB III :
BAB IV :
BAB V :
BAB VI :
Saran-saran Konsultan:
Target Penyelesaian Laporan :
Salatiga, 5 Oktober 2016
Konsultan Peneliti
Dr. M. Gufron, M. Ag. Dra. Djami’atul Islamiyah, M. Ag.
NIP. 19720814 200312 1 001 NIP. 19570812 198802 2 001
i
PENELITIAN
DIMENSI EKSPERIENSIAL DAN KONSEKUENSIAL DARI
PSIKOGRAFI KEBERAGAMAAN MAHASISWA IAIN SALATIGA
TAHUN 2016
(Studi pada Komunitas hafizh dan Hafizhah)
Oleh:
Dra. Djami’atul Islamiyah, M. Ag.
NIP. 19570812 198802 2 001
Telah dikoreksi dan disetujui oleh konsultan
Salatiga, 20 Oktober 2016
Konsultan;
Dr. M. Gufron, M. Ag.
NIP. 19720814 200312 1 001
Mengetahui;
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M)
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Dr. Adang Kuswaya, M. Ag.
NIP. 19720531 199803 1 002
KATA PENGANTAR
ii
Penelitian tentang mahasiswa mungkin telah banyak dilakukan orang
dengan berbagai setting dan fokus kehidupan mereka. Tetapi penelitian ini akan
terus menarik minat jika dikaitkan dengan keinginan meningkatkan kualitas
kehidupan mereka, dalam studi, karir, dan keberagamaan mereka sebagai tujuan
akhirnya.
Alhamdulillah, penelitian tentang kebergamaan mahasiswa khususnya pada
dimensi eksperiensial dan konsekuensial mereka telah mampu penulis selesaikan
dengan segala keterbatasan-keterbatasan tentunya. Semoga hasil penelitian ini
dapat menjadi salah satu referensi dalam pengambilan kebijakan akademik,
khususnya pada Fakultas Ushuluddin, umumnya pada IAIN Salatiga.
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang berkontribusi
dalam proses panjang penyelesaian penelitian ini.
20 Oktober 2016
Penulis
iii
ABSTRAK
Maraknya tradisi menghafal al Quran belakangan ini, menandai semakin
kuatnya penerimaan masyarakat akan agama di samping tradisi keagamaan yang
lain. Saat al Quran dilantunkan oleh seseorang, ada saatnya mampu memberikan
impressi yang mendalam bagi pendengarnya. Masalahnya adalah jika terhadap
pendengarnya saja mampu menyentuh perasaan keagamaan (religious feeling)
seseorang, lalu bagaimana terhadap pembacanya sendiri? Terlebih bagi mereka
yang sudah mampu menghafal al Quran?
Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah bagaimana polarisasi mahasiswa
hafizh dan hafizhah terkait hafalan al Quran mereka? Bagaimana dimensi
eksperiensial dan konsekuensial dari psikografi keberagamaan mereka? Jenis
penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi
dan wawancara yang mendalam, dan dengan analisa data melalui reduksi dan
display data, mengambil kesimpulan dan verifikasi. Sementara pengecekan
keabsahan data melalui member check dan teknik trianggulasi dengan penggunaan
sumber.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa polarisasi tingkat hafalan al Quran
separuh dari responden sudah hafal 30 juz sementara separuh yang lain antara 6
sampai 7 juz. Dorongan keluarga, tugas akademik, dan kesadaran secara personal
merupakan faktor yang memberi kontribusi pada hafalan mereka. Namun mereka
belum mampu memahami makna al Quran secara keseluruhan. Faktor penting
yang memiliki kontribusi pada mereka adalah keluarga, akademik/jurusan, dan
Pondok Pesantren. Tentang dimensi eksperiensial dalam hal mampu merasakan
hadirnya Tuhan pada waktu shalat, perasaan selalu dekat dengan Tuhan,
responden mengakui belum stabil dan masih kondisional, saat-saat tertentu saja
bisa. Sementara tentang keyakinan doa-doanya akan dikabulkan, mereka semua
memiliki keyakinan itu. Demikian juga mereka sudah terbiasa berbagi kepada
yang mengalami kesulitan dan mereka terbiasa juga membentengi diri dari
perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan moral. Selanjutnya tentang dimensi
konsekuensial, yang meliputi motivasi dan etos studi, berbagi pada yang
mengalami kesulitan dan aplikasi keilmuan dan konsistensi moral para responden
memberi jawaban motivasi mereka yang utama adalah pengamalan ajaran agama
dan untuk pengembangan keilmuan secara pribadi. Mereka telah terbiasa berbagi
kepada teman-teman dan orang lain yang membutuhkan. Tentang konsistensi
moral, mereka selalu membentengi diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak
sesuai dengan moral agama seperti ketidakjujuran dan pergaulan bebas.
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………….. i
PENGESAHAN KONSULTAN ……………………………………………… ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… iii
ABSTRAK ……………………………………………………………………... iv
DAFTAR ISI …………………………………………………………………... v
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………... viii
BAB I: PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang …………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………. 6
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………... 6
D. Signifikansi Penelitian ……………………………………………... 6
E. Prior Research Review …………………………………………….. 7
BAB II: KERANGKA TEORI ……………………………………………….. 11
A. The Dimension of Religious Commitment …………………………. 13
B. The Psychological Roots of Religious Belief and Behaviour ……… 17
C. Teori Komunitas Kognitif dalam Keberagamaan …………………. 22
BAB III: METODE PENELITIAN ………………………………………….. 23
A. Lokasi dan Subjek Penelitian ……………………………………… 23
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian …………………………………… 23
C. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………… 26
D. Uji Keabsahan Data ………………………………………………... 27
E. Teknik Analisis Data ………………………………………………. 29
v
BAB IV: HASIL PENELITIAN ……………………………………………… 32
A. Gambaran Umum Komunitas Mahasiswa Hafizh dan Hafizhah
yang Menjadi Subjek Penelitian ……………………………………
32
B. Dimensi Eksperiensial dari Psikografi Keberagamaan Hafizh dan
Hafizhah Mahasiswa IAIN Salatiga ………………………………..
42
C. Dimensi Konsekuensial dari Psikografi Keberagamaan Mahasiswa
Hafizh dan Hafizhah ………………………………………………..
54
BAB V: PEMBAHASAN DAN ANALISA ………………………………….. 63
A. Polarisasi Hafizh dan Hafizhah yang Menjadi Responden ………... 63
B. Keterlibatan Emosional dalam Pelaksanaan Ajaran
Agama/Dimensi Eksperiensial ……………………………………..
71
1. Kemampuan Merasakan Hadirnya Tuhan pada Waktu Shalat
Maupun di Luar Shalat ………………………………………….
71
2. Perasaan Adanya Keyakinan Bahwa Tuhan Mendengarkan dan
Mengabulkan Doa ……………………………………………….
73
3. Adanya Hubungan yang Sangat Dekat dengan Tuhan dan
Perasaan Penuh Cinta Kasih pada-Nya …………………………
74
C. Implikasi Sosial dari Pelaksanaan Ajaran Agama (Dimensi
Konsekuensial) ……………………………………………………..
79
1. Etos dan Motivasi Studi ………………………………………… 80
2. Membantu Bagi Mereka yang Mengalami Kesulitan …………... 82
3. Konsistensi Moral ………………………………………………. 84
BAB VI: KESIMPULAN DAN PENUTUP …………………………………. 88
vi
A. Kesimpulan ………………………………………………………… 88
B. Rekomendasi ………………………………………………………. 89
C. Penutup …………………………………………………………….. 90
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 92
DAFTAR WAWANCARA/VERBATIM………………………………….…. 94
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Polarisasi Hafalan Hafizh dan Hafizhah Responden ……………….. 69
Table 5.2 Keterlibatan Emosional dalam Pelaksanaan Ajaran Agama
(Dimensi Eksperiensial) ………..........................................................................
76
Table 5.3 Implikasi Sosial dari Pelaksanaan Ajaran Agama (Dimensi
Konsekuensial) ………………………………………………………………...
86
1
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu mainstream yang menandai era post modern adalah
semakin kuatnya posisi agama dalam kehidupan di masyarakat (Khoironi
ed, 2002:61). Hal itu bisa kita lihat dalam berbagai aspek kehidupan. Pada
aspek pendidikan misalnya, dengan munculnya orientasi kurikulum agama
yang semakin instens, terutama pada sekolah-sekolah terpadu. Fenomena
tersebut berbanding lurus dengan respon para orang tua yang menunjukkan
semakin luasnya kesadaran mereka tentang pentingnya agama bagi anak-
anak mereka, di samping kualitas ilmu.
Pada aspek lembaga keuangan dan perbankkan, maraknya bank-bank
syariah (Bank Muamalat misalnya), bahkan pada bank-bank konvensional
ramai-ramai membuka unit dengan management syariah (BRI Syariah,
BNI Syariah, dll). Meski pada awal perjalanannya sempat tertatih-tatih
namun masyarakat muslim seiring berjalannya waktu juga semakin
bertambah kepercayaannya kepada bank-bank syariah.
Di samping itu, posisi yang semakin kuat terhadap penerimaan
agama di masyarakat juga bisa kita lihat dengan semakin kuatnya
kesadaran dan trend berjilbab. Jika pada era tahun 90 an guru-guru di SD
masih memakai PSH yang belum menutup aurat, maka pada dasawarsa
terakhir ini bukan hanya guru agama yang memakai jilbab, tetapi hampir
seluruh guru yang beragama Islam sudah memakai jilbab. Jika sebelumnya
2
PNS di kantor-kantor pemerintahan memakai jilbab hanya pada waktu
acara halal bi halal saja, maka kini di kantor-kantor tersebut mayoritas
pegawainya sudah memakai jilbab.
Bagian lain dari kultur Islam yang semakin fenomenal dalam
kehidupan masyarakat adaiah semakin maraknya tradisi menghafal al
Quran (tahfizh Al Quran), disamping kajian-kajian lain yang bersifat
akademis. Hal ini secara perlahan tapi pasti akan semakin menguatkan
identitas Islam di tingkat lokal maupun global, yang pada gilirannya nanti
diharapkan memiliki implikasi yang sangat luas bagi pentingnya makna al
Quran dalam kehidupan baik secara personal maupun komunal.
Dalam konteks nasional maupun lokal (Salatiga), tradisi menghafal
al Quran bukan hanya diselenggarakan di pondok-pondok saja, tetapi juga
telah muncul majlis-majlis kecil yang dirintis di beberapa perkampungan,
dalam bentuk rumah-rumah tahfizh. Kegiatan yang berkaitan dengan
tahfizhul qur‟an juga mewarnai acara-acara media elektronik melalui
saluran-saluran TV swasta nasional tertentu, yang tentu telah banyak
memberi inspirasi bagi pemirsanya akan pentingnya mempelajari al Quran
sebagai petunjuk hidup.
lAIN Salatiga sebagai lembaga perguruan tinggi Islam telah lama
mendesain rancang bangun kurikulum tahfizhul quran pada jurusan-
jurusan tertentu (misalnya pada jurusan IAT dan KKI) bahkan secara
formal kelembagaan, lAIN Salatiga memberi apresiasi lebih kepada
mahasiswa hafizh dan hafizhah melalui penghapusan SPP selama studi,
3
jika yang bersangkutan mengajukan permohonan dan mengikuti tes khusus
berkaitan dengan hafalan mereka.
Adanya kurikulum tahfizhul quran pada jurusan-jurusan tertentu
menambah semarak kultur dan tradisi Islam di lAIN Salatiga. Gemuruh
suara mahasiswa yang sedang menghafal al Quran pada saat setoran,
memberikan pengaruh tersendiri bagi subjek-subjek di sekitarnya, seperti
dosen-dosen yang kebetulan duduk berdekatan dan sempat mendengarkan
hafalan mereka. Kondisi tersebut kadang memberi impressi yang
mendalam tentang al Quran dan maknanya, sehingga secara tidak langsung
dapat mengasah kembali spirit keagamaan mereka.
Masalahnya adalah jika terhadap orang-orang di sekitarnya, hafalan
al Quran itu mampu memberi energi positif bagi penghayatan agama,
apakah hafalan tersebut juga mampu memberi implikasi tertentu bagi
intensitas dimensi eksperiensial mereka? yang pada gilirannya intensitas
dimensi ini akan berkaitan dengan dimensi konsekuensial/sosial dari
keberagamaan mereka. Dengan kata lain, apakah hafalan ayat-ayat suci al
Quran tersebut mampu memberikan implikasi pada tingkat penghayatan
tentang kedekatan mereka dengan Tuhan secara personal dan sekaligus
menguatkan efek sosial bagi sesamanya? Bukankah dalam al Quran (surat
al „Ashr) dijelaskan bahwa sesungguhnya manusia itu niscaya dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, saling
menasehati dalam kebaikan dan kesabaran.
4
الإنسانلفيخسر،والعصر الات،إن إلاالذينآمنواوعملواالص وت واصوابلق وت واصوابلصب
Surat al „Ashr tersebut secara eksplisit mengajarkan tentang
pentingnya dimensi keimanan dengan amalan-amalan baik yang nyata dan
pentingnya menjaga hubungan interpersonal dengan bagus dan penuh
kesabaran agar kita tidak tergolong sebagai orang-orang yang merugi.
Pada sisi yang lain, berkenaan dengan kegiatan menghafal al Quran,
Allah menjamin eksistensi al Quran meskipun telah melampaui berabad-
abad lamanya. Sebagaimana firman-Nya:
ننن زلنا لولافظونإن الذكروإن
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan a1 Quran dan kami akan
menjaganya”. (Q.S. Al-Hijr: 9)
Tentu saja jaminan tersebut salah satu instrumennya adalah melalui
tradisi menghafal al Quran. Sementara itu dalam sebuah hadits Nabi
disebutkan:
:لوقي ملسوويلعىالللصالللوسرتعس:الىرضي الله عنهقلاىبالةامماباانك)روهمسلم(وابحصالاعي فشةاميقالموىي تيونافأنرقواالؤراق
Artinya: “Diriwayatkan oleh Muslim hadits dari Abi Umamah, bersabda
Rasulullah Saw. “Bacalah olehmu al Quran karena al Quran itu nanti
akan datang di hari kiamat untuk memberi syafaat bagi pembacanya”.
Dalam kaitannya dengan fakultas Ushuludin sudah lebih dari 15
mahasiswa yang hafal al Quran dengan segala variannya, belum lagi jika
5
dilihat dan fakultas-fakultas lain yang ada di lAIN Salatiga. Asumsi
penulis bahwa dalam tradisi menghafal al Quran yang sudah mapan ini
akan semakin memiliki implikasi yang lebih luas dari sekedar aspek
kognisi, yaitu afeksi dan aksi, jika hafalan itu disertai dengan pemahaman
maknanya. Berdasarkan observasi sementara penulis, bahwa dalam
komunitas mahasiswa yang menghafal al Quran ini terdapat polarisasi
tersendiri di antara mereka. Polarisasi tersebut bisa dikategorikan
berdasarkan volume hafalan (berapa juz), intensitas dalarn kemampuan,
memahami terjemahan al Qur‟an (hafal dengan paham artinya, hafal
dengan sebagian paham artinya, hanya hafal saja). Juga tentang pandangan
mereka terhadap kegiatan menghafal al Quran itu sendiri (bagian tugas
akademik, adanya keyakinan tentang kemuliaan yang akan diberikan oleh
Allah bagi penghafal al Qur‟an atau kedua-duanya benar).
Uraian-uraian tersebut di atas menyiratkan adanya kegelisahan-
kegelisahan penulis berkaitan degan upaya meningkatkan kualitas
penghayatan agama melalui tahfizhul quran secara personal dan sekaligus
imipikasi-implikasi sosialnya. Di samping itu, bagian lain yang menjadi
kegelisahan akademik penulis adalah adanya kesadaran bahwa
keberagamaan memiliki aspek yang plural, sehingga penting untuk
melakukan penelitian secara aspektual (dalam hal ini penulis fokus pada
aspek eksperiensial dan konsekuensial) sementara mayoritas penelitian
yang ada tentang keberagamaan lebih banyak bersifat umum sehingga
6
timbul kesan bahwa agama dan keberagamaan jika menjadi objek
penelitian hanya berkaitan dengan aspek ritual saja (shalat misalnya).
Atas dasar persoalan-persoalan itulah penulis mencoba melakukakan
penelitian dengan judul “DIMENSI EKSPERIENSIAL DAN
KONSEKUENSIAL DARI PSIKOGRAFI KEBERAGAMAAN
MAHASISWA IAIN SALATIGA TAHUN 2016 (Studi pada Komunitas
Hafizh dan Hafizhah)”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana polarisasi dari komunitas mahsiswa hafizh dan hafizhah
IAIN Salatiga tahun 2016?
2. Bagaimana pula psikografi keberagamaan mereka pada dimensi
eksperiensial dan konsekuensial?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan polarisasi komunitas mahasiswa hafizh dan hafizhah
IAIN Salatiga tahun 2016?
2. Memberikan paparan dan analisis dimensi eksperiensial dan
konsekuensial dan psikografi keberagamaan mereka.
D. Signifikansi Penelitian
1. Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan studi Islam yang tidak semata-mata normatif dan
7
historis saja (meminjam terma Amin Abdullah), namun menempatkan
keduanya dalam satu bingkai penelitian yang tak terpisahkan namun
dapat dibedakan.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan
masukan kepada lembaga (lAIN Salatiga) tentang pengembngan
tradisi menghafal al Quran (di kalangan mahasiswa) dan pemahaman
maknanya sehingga hafalan tersebut tidak hanya mampu rnengasah
wilayah kognitif saja, namun juga dapat memperdalam wilayah afeksi
dan sekaligus aksi sebagai out put tradisi tersebut.
E. Prior Research Review
Penelitian ini meliputi dua aspek pokok. Dilihat dan subjeknya,
fokus penelitian ini ada pada mahasiswa lAIN Salatiga yang hafal al
Quran. Sernentara dan substansi materi yang diteliti berkaitan dengan
dimensi eksperiensial dan konsekuensial keberagamaan. Kedua aspek
tersebut telah banyak dikaji orang dengan sfressing point yang berbeda-
beda antara lain:
Studi tentang “Reseliensi Mahasiswa Penghafal al Quran,
Mahasiswa IAIN Salatiga Tahun 2015”, yang dilakukan oleh Miftahur
Rif‟ah”. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat adanya daya tahan
mahasiswa penghafal al Quran terhadap berbagai godaan masa remaja.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa hafalan al Quran mereka mampu
memberi daya tahan (resiliensi) gangguan masa remaja.
8
Ahmad Ta‟riifin dkk, meneliti tentang corak pengalaman keagamaan
mahasiswa STAIN Pekalongan tahun 2008. Sebagaimana judulnya ingin
melihat keberagamaan mereka, umum dan mahasiswa sejak masa kecil
dan remaja mereka. Studi ini menyimpulkan bahwa mahasiswa yang sejak
kecil rajin beribadah mengaji, pada saat remaja banyak melanggar ajaran
agama, pada saat dewasa menyadari kesalahan-kesalahannya. Mahasiswa
yang sejak kecil rajin beribadah dan mengaji pada saat remaja juga rajin
beribadah, setelah dewasa dengan lingkungan yang tidak mendukung
menyebabkan mereka kurang beribadah. Sementara mahasiswa yang sejak
kecil rajin beribadah dan dengan lingkungan yang mendukung tetap taat
beribadah pada saat dewasa.
Penelitian secara kuantitatif dilakukan oleh Munfarida tahun 2011
dengan judul “Pengaruh Intensitas Pengalaman Keagamaan terhadap Sikap
Ihsan Masyarakat di desa Mbaruan, Tengaran Kabupaten Semarang”.
Hasil penelitian ini memberi kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara intensitas pengalaman keagamaan terhadap sikap ihsan
masyarakat.
Sementara Khanif Rosidin, melakukan penelitian tentang
“Pengalaman Keagamaan dan Respon Siswa Muslim SMAN 1
Banguntapan, Bantul, Jogja Terhadap Orang yang Beragama Hindu. Hasil
penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 ini menyimpulkan bahwa dan
24 informan yang diteliti hampir semuanya memiliki sikap toleran. Dilihat
9
dari kesimpulannya peneliti berusaha menghubungkan religiusitas dengan
sikap toleran.
Penelitian yang secara khusus mencermati para hafizh dan hafizhah
dalam menjaga hafalan mereka dilakukan oleh Tri Wahyu Hidayati tahun
2015. Studi ini menghasilkan kesimpulan bahwa di antara upaya-upaya
yang dilakukan untuk menjaga hafalan al Quran mereka adalah dengan
jalan menjadikan al Quran sebagai wirid (bacaan setelah shalat), dengan
jalan murajaah (nderes) sementara di antara faktor yang mendukung
adalah adanya keyakinan yang kuat akan kemuliaan yang diberikan oleh
Allah. Sedangkan faktor kendala dalam menjaga hafalan al Quran, para
responden tidak merasakan adanya kendala karena mereka yakin kalau
sungguh-sungguh dan istiqomah pasti bisa.
Selanjutnya Ida Afwa melakukan penelitian dengan judul Model
Pembelajaran Tahfizhul Quran di Pondok Pesantren Al Wahid Bener,
Weding, Demak Tahun 2016. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
model pembelajarannya sangat variatif, seperti sorogan, tartilan, simaan,
murajaah kelas, acakan, dan qiraah sab‟ah. Tentang faktor yang
mendukung disebutkan antara lain menghafal yang mudah, adanya
bimbingan khusus santri kecil, adanya buku penilaian hafalan, program
murajaah kelas, antusias santri yang tinggi. Sementara faktor
penghambatnya adalah tidak boleh setoran murajaah saat haid, banyaknya
tugas tambahan, setoran harus 5 juz, minimnya ruangan khusus untuk
tempat murajaah dan seterusnya.
10
Uraian-uraian tersebut di atas menyiratkan bahwa sampai saat ini
belum ada penelitian tentang dimensi eksperiensial dan konsekuensial dan
psikografi keberagamaan mahasiswa hafizh dan hafizhah khususnya di
IAIN Salatiga belum pernah dilakukan orang.
11
BAB II
KERANGKA TEORI
Sebelum penulis memaparkan teori-teori yang akan menjadi rangka acuan
analisis dalam penelitian ini, terlebih dahulu penulis akan mendeskripsikan dalil-
dalil secara normatif baik a1 Quran maupun hadits, yang berkaitan dengan
keutamaan-keutamaan dan pahala bagi orang yang membaca, mendengarkan,
menghafalkan, dan mempelajari al Quran.
Islam mengajarkan pentingnya mendengarkan, membaca dan menghafal
ayat-ayat al Quran sebagai wahyu Allah yang berisi segala tuntunan hidup bagi
umat manusia karena fungsinya itu, secara implisit ada keharusan bagi setiap umat
Islam untuk mengkaji dan mempelajarinya sesuai dengan kemampuan masing-
masing. Allah berfirman dalam al Quran.
جعلناهق رآنعربيالعلكمت عقلون حكيم،إن وإنوفأمالكتابلدي نالعلي
Artinya: “Sesungguhnya kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab
supaya kamu memahami (nya). Dan sesungguhnya A1-Quran itu dalam induk al
kitab (lauh Mahfuzh) di sisi kami, adaiah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat
banyak mengandung hikmah”. (QS. Az Zuhruf: 3 dan 4)
Sementara pada ayat yang lain mengajarkan tentang keutamaan membaca
Al Quran misalnya pada surat Al-Fatir ayat 29 dan 30.
ناىمسرا لاةوأن فقوامارزق وأقامواالص كتابالل لون الذيني ت وعلانيةي رجونإنشكورلي وفي همأجورىمويزيدىممنفضلوإنوغفور،تارةلنت بور
Artinya: “Sesungguhnya orang yang membaca Al Quran, mendirikan shalat,
dan menafkahkan sebagian rizki yang kami berikan kepadanya secara diam-diam
12
dan terang-terangan mereka itu rnengharapkan perniagaan yang tidak akan
merugi. Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah mereka akan
karunia Nya, sesungguhnya Dia maha pengampun lagi maha penerima syukur”.
Sejalan dengan ayat tersebut di atas Nabi Muhammad dalam sebuah hadits
bersabda:
اللتوي ب نمتيب فموق عمتااجاللصلى الله عليه وسلم:ملوسرال:قالرضي الله عنهقةري رىبانع،وةحلرامهت ي شغ،وةني كالسمهيلعتلزن لاامهن ي ب ونوساردتي واللابتكنولت ي
)رواهمسلم(هدنعنمفاللهركذوةكئلامالمهت فح
Artinya: “Dari Abi Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW, bersabda
apabila berkumpul suatu kaum dalam majlis (baitullah) untuk membaca kitab
Allah (al Quran) dan mempelajarinya, maka pasti turun pada mereka kesenangan
dan diliputi oleh rahmat dan dikerumuni oleh malaikat yang ada di sekitar-Nya”.
(HR. Muslim)
Hadits tersebut juga diperkuat oleh hadits yang lain sebagai berikut:
ةرفالسعموبراىموىوانرقالأرقي يذصلى الله عليه وسلم:الالللوسرال:قتالرضي الله عنهاقةشائعنع)متفقعليو(انراجولاقشويلعوىوويفعتعت ت ي وانرقالأرقي يذال،وةررب الامركال
Artinya: “Dan Aisyah r.a. ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: siapa yang
membaca al Quran dengan fasih, maka ia beserta para utusan Allah (malaikat)
yang mulia lagi berbakti, dan barang siapa yang membaca dalam keadaan yang
tersendat-sendat, maka dia dapat dua pahala”. (HR. Bukhari Muslim)
Hadits Aisyah tersebut di atas mengajarkan bahwa Allah memberi
kemuliaan bagi para pembaca al Quran yang bagus dan benar bacaannya berupa
penempatan diri mereka bersama para malaikat, sementara bagi orang Islam yang
terbiasa membaca al Quran namun kurang lancar, mereka tetap dapat dua pahala.
Meskipun dalam desain penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk
menguji kesesuaian teori dengan objek kajian sebagaimana lazimnya dalam desain
13
penelitian kualitatif, namun sebagaimana pendapat Strauss “teori dalam penelitian
kualitatif amat diperlukan untuk memaknakan realitas dan data (Suryanto, 2007;
193). Dalam rangka itulah penulis menggunakan beberapa teori yang diharapkan
mampu menjadi kerangka analisis dari data yang ada dalam penelitian teori-teori
tersebut adalah:
A. The Dimensions of Religious Commitment
Teori ini dikemukakan oleh R. Stark dan C.Y. Glock. Menurut teori ini
agama memiliki beberapa dimensi:
1. The bilief dimension comprises expectations that the religious person will
hold a certain theological outlook, that he will acknowledge the truth of
the tenets of the religion. Every religion maintains some set of beliefs
which adherents are expected to ratify. However, the content and scope of
beliefs will vary not only between religious tradition.
2. Religious practice includes acts of worship and devotion, the things
people do to carry out their religious commitment. Religious practices fall
into two important classes:
Ritual refers to the set of rites, formal religious acts and sacred practices
which all religions expect their adherents to perform. In Cristianity some
of these formal ritual expectations are attendance at worship services,
taking communion, baptism, weddings and the like.
Devotion is somewhat akin to, but importantly different from ritual. While
the ritual aspect of commitment is highly formalized and typically public,
all known religions also value personal acts of worship and contemplation
14
which are relatively spontaneous, informal, and typically private.
Devotionalism among Christians is manifested through private prayer,
Bible reading and perhaps even by impromptu hymn singing.
3. The experience dimension takes into account the fact that all religions
have certain expectations, however imprecisely they may be stated, that
the properly religious person will at some time or other achieve a direct,
subjective knowledge of ultimate reality; that he will achieve some sense of
contact, however fleeting, with a supranatural agency. As we have written
elsewhere, this dimension is concerned with religious experiences, those
feelings, perceptions, and sensations which are experienced by an actor or
defined by a religious group (or a society) as involving some
communication, however slight, with a divine essence, that is, with God,
with ultimate reality, with transcendental autority (Glock and Stark, 1965,
chs. 3 and 8). To be sure, there are marked contrasts in the varieties of
such experiences which are deemed proper by different religious traditions
and isntitutions, and religions also vary in the degree to which they
encourage any type of religious encounter. Nevertheless, every religion
places at least minimal value on some variety of subjective religious
experience as a sign of individual religiousness.
4. The knowledge dimension refers to the expectation that religious persons
will presses some minimum of information about the basic tenets of their
faith and its rites, scriptures and traditions. The knowledge and belief
dimensions are clearly related since knowledge of a belief is a necessary
15
precondition for its acceptance. However, belief need not follow from
knowledge, nor does all religious knowledge bear on belief. Furthermore,
a man may hold a belief without really understanding it, that is, belief can
exist on the basis of very little knowledge.
5. The consequenses dimension of religious commitment differs from the
other four. It identifies the effects of religious belief, practice, experience,
and knowledge in persons‟ day-to-day lives. The notion of „works‟, in the
theologgical sense, is connoted here. Although religions prescribe much of
how their adherents ought to think and act in everyday life, it is not
entirely clear the extent to which religious consequences are a part of
religious commitment or simply follow from it (Robertson, 1972: 256).
Mungkin timbul pertanyaan di mana kaitan antara kata psikografi
dengan dimensi eksperiensial dan konsekuensial? Seperti telah ditulis
sebelumnya bahwa psikografi adalah peta keberagamaan (Rakhmat, 2003:
43). Dalam psikografi kita dapat menerangkan agama dalam rangkaian
bagian-bagiannya atau dimensi-dimensinya. Hal itu dikarenakan fenomena
keberagamaan bukanlah realitas tunggal melainkan mencakup aspek-aspek
yang bersifat plural. Hal mi sebagaimana ditulis dalam Raharjo yang
mengutip pendapat Ninian Smart “bahwa studi agama yang ilmiah harus
bertolak dan kesadaran yang penuh akan sifat agama yang mempunyai aspek
majmuk. Karena itu studi tersebut haruslah bersifat aspektual, artinya dengan
sadar menentukan aspek tertentu mana dan agama itu yang ingin diteliti
secara akademik” (Abdullah ed, 1989: 31). Dalam konteks itulah penulis
16
dalam penelitian ini memilih dua dimensi (aspek) dari psikografi
keberagamaan mahasiswa, yaitu dimensi eksperiensial dan konsekuensial.
Dimensi eksperiensial adalah bagian keagarnaan yang bersifat afektif yakni,
keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksaan ajaran agama.
Dimensi ini dapat bergerak dalam empat tingkat; Konfirmatif (merasakan
kehadiran Tuhan atas apa saja yang diamatinya), Responsif (merasa bahwa
Tuhan menjawab kehendaknya atau keluhannya), Eskatik (merasakan
hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan dan Partisipatif (merasa
menjadi kekasih atau wali Tuhan dan menyertai Tuhan dalam karya ilahiyah).
Sementara dimensi konsekuensial meliputi implikasi sosial dari pelaksanaan
ajaran agama (mencakup empat dimensi sebelumnya) sebagaimanâ ditulis di
atas. Dimensi inilah yang menjelaskan apakah efek ajaran Islam terhadap etos
kerja, etos studi, hubungan interpersonal empati kepada yang membutuhkan
dan lain-lain. Jelasnya dimensi ini merupakan konsekuensi ajaran agama
dalam perilaku umum yang tidak secara khusus ditetapkan dalam agama,
sebagaimana lazimnya pada dimensi ritual (shalat misalnya).
Jika penulis memilih pada kedua dimensi tersebut tidak dimaksudkan
untuk menganggap remeh dimensi-dimensi lain, namun semata-mata untuk
menyederhanakan pemahaman dan karena menyadari konteks yang menjadi
subjek penelitan ini yaitu para hafizh dan hafizhah yang secara psikologis
sebagian besar masih dalam proses remaja menuju dewasa. Karenanya
pemilihan pada dua dimensi tersebut tepat sekali dalam rangka untuk
mengasah kembali intensitas dimensi penghayatan dan pengamalan agama
17
sebagai implikasi dan hafalan-hafalan mereka. Di samping itu, kedua dimensi
ini mampu mewaliki aspek personal dan sosial keberagamaan.
B. The Psychological Roots of Religious Belief and Behaviour
Jika pada teori pertama dimaksudkan untuk memaknai data-data yang
berkaitan dengan dimensi-dimensi keberagamaan, maka dalam teori yang
kedua ini diharapkan dapat mengelaborasi tentang berbagai faktor yang
mempengaruhi keberagamaan para mahasiswa.
Teori ini dikemukakan oleh RH. Thouless dalam bukunya “An
Introduction to The Psychology of Religion “. Thouless mengkritik pendapat-
pendapat sebelumnya yang mengatakan bahwa gejala keberagamaan muncul
karena “a single psychological root”. Dengan kata lain Thouless tidak setuju
dengan pendapat-pendapat yang menganggap bahwa akar-akar psikologis
agama bersifat tunggal. Seperti rnisalnya yang diasumsikan oleh psikoanalisa
(Sigmund Freud) yang mengatakan “Religion as derive from guilt impulses
originating childhood, and believe in God as the search afather image”
(Clark, 1958: 46). Artinya bahwa ajaran agama berasal dan adanya dorongan-
dorongan perasaan dosa pada masa kanak-kanak, dan bahwa kepercayaan
pada Tuhan adalah merupakan pencarian imej seorang bapak.
Sementara menurut behaviorisme (JB Watson) bahwa aksi dan reaksi
manusia terhadap stimulus hanyalah dalam kaitan prinsip reinforcement
(reward and punishment) (Ancok, 1994: 74). Lebih lanjut aliran mi
menambahkan bahwa stimulus dan respon menjadi penentu perbuatan
18
manusia (termasuk perilaku agamanya-penulis). Stimulus adalah rangsangan
sementara respon adalah reaksi terhadap rangsangan atau sering disebut
sebagai reflek (Gunarsa, 1996: 78).
Berbeda dengan psikoanalisa dan behaviorisme, aliran humanistik
(Abraham Maslow) menyimpulkan bahwa gejala agama bukan sekedar
berasal dan konflik peninggalan masa kanak-kanak atau dan reaksi stimulus-
respon, tetapi merupakan “transendensi diri dengan kekuatan sendiri karena
agama merupakan urusan pribadi dengan Tuhan” (Crapps, 1993: 783).
Optimisme yang tinggi terhadap kodrat manusia melahirkan pandangan tidak
terbatasnya potensi manusia. Oleh karena itu, Crapps menilai mereka yang
berpendirian humanistik ada dalam bahaya terlalu menekankan individual
dengan mengorbankan sosial kemasyarakatan yang ada (1993: 184).
Uraian-uraian tersebut mengambarkan tentang teori-teori yang disebut
Thouless sebagai a single psychological root of religious belief and
behaviour. Menurut Thouless tidâk ada seorangpun yang dapat percaya
tentang adanya sumber agama yang bersifat tunggal (... none can plausibly be
regarded as its sole religion) (Thouless 1971: 15). Terkait hal ini dia
memberi alasan bahwa “religion as a complex structure which may have
many roots” oleh karena itu pertanyaannya bukanlah “what is the
psychological root of religion?” tetapi “what migh be psychological roots of
religion?” oleh karena itu menurut Thouless “we try to classify the factor
which have been or maybe claimed to produce the religious attitude they
seem to fall into four main groups; social influences, experiences, needs and
19
processes of thought” (Thouless 1971: 16). Kutipan tersebut di atas
menjelaskan bahwa terdapat setidak-tidaknya empat faktor yang
mempengaruhi perilaku agama, yaitu faktor sosial, faktor pengalaman-
pengalaman, faktor kebutuhan-kebutuhan dan proses berpikir. Adapun
penjelasan dan masing-masing faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor sosial meliputi ajaran-ajaran orang tua, tradisi, dan opini
lingkungan sekitar dan lain-lain. Singkatnya faktor sosial ini mencakup
semua pengaruh melingkupi diri subjek.
2. Faktor pengalaman, terdiri dari pengalaman natural, pengalaman moral
dan pengalaman afektif. Pengalaman natural mencakup pengalaman-
pengalaman yang bersumber dan keindahan ataupun kedahsyatan alam.
Pengalaman moral berkaitan dengan pengalaman baik buruk (menyesali
keburukan perilaku di masa lalu, misalnya). Pengalaman afektif adalah
pengalaman yang langsung berkaitan dengan Tuhan, karenanya
pengalaman ini sering disebut sebagai pengalaman agama (religious
experience).
3. Faktor kebutuhan, meliputi kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta
kasih, kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan dihasilkan oleh adanya
kematian yang tidak bisa dielakkan. Kebutuhan akan rasa aman merupakan
terpenting dalam hidup manusia. Orang-orang pada zaman primitif
menyembah angin adalah karena hanya angin (dalam anggapan mereka)
yang mampu menghempaskan rumah dan keluarganya dan rumah-rumah
mereka yang dibangun di atas pohon-pohon besar. Sementara tentang
20
kebutuhan cinta kasih juga merupakan kebutuhan dasar hidup manusia.
Perilaku agama dilakukan seseorang karena ingin mendapatkan cinta kasih
Tuhan yang paling asasi dan cinta kasih lainnya. Kebutuhan yang
ditimbulkan oleh adanya kematian yang tidak bisa dielakkan ini menurut
Thouless bisa dilihat dan semakin intensnya perilaku agama pada orang-
orang lanjut usia. Perhaps the most important empirical evidence for the
relationship between the religious attitude and in adjusment to the fact of
the death... is the inereased tendency to religious acceptance amongst the
old, and, in particular, their high degree of acceptance at the doctrine at
immortality (Thouless 1971: 63).
4. Faktor intelektual (proses berpikir). Menurut Thouless “Man is a thingking
animal, and one of the effect at result of his thingking is that it help him to
determine which beliefs he accepts and which ones he reject even though
other factors also help to determine this” (Thouless, 1971: 18). Manusia
adalah binatang yang bisa berpikir, ialah satu dan hasil berpikirnya adalah
dapat membantu menentukan kepercayaan mana yang harus dia pilih dan
kepercayaan mana yang harus dia tolak, meskipun faktor-faktor lain juga
mampu menentukannya.
Berdasarkan uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa banyak faktor
yang dapat mempengaruhi munculnya aktivitas keagamaan seseorang, karena
keberagarnaan sendiri adalah suatu gejala yang kompleks, sehingga sumber-
sumber psikologisnya tidak mungkin tunggal dan jamak. Teori ini bisa
21
penulis pakai untuk menganalisis keberagamaan mahasiswa tentang faktor-
faktor yang paling dominan mempengaruhi intensitas keberagamaan mereka.
Erat kaitannya dengan teori tersebut di atas, G.S. Spinks dalam bukunya
“Psychology and Religion” mengemukakan bahwa ada empat faktor penting
yang mempengaruhi psikologi keberagamaan seseorang yang dia sebut
sebagai “quadrilateral of belief” yang meliputi 4 elemen essensial yaitu
institution, reason, experience, and revelation (Spinks, 1971: 186-187).
Jika Thouless menyebut faktor sosial (tradisi) maka menurut Spinks
akan lebih baik dideskripsikan sebagai institusi. Hal itu dikarenakan kata
tersebut lebih menekankan bagian penting yang dimainkan oleh institusi
secara historis dalam menjaga tradisi ritual keberagamaan. Di samping itu,
jika ada pendapat Thouless tidak menyebutkan adanya faktor revelasi
(wahyu), maka Spinks secara eksplisit menyebut faktor revelasi sebagai salah
satu elemen dalam teorinya yang dia sebut sebagai “quadrilateral of belief”.
Menurut dia “It is important to emphasize the paset played by revelation in
all form of religion. Psychology by itself can, of course, say nothing whatever
about the validity of such revelationary experiences, but it cannot ignore their
reputed occurence”. Artinya, adalah penting untuk menekankan peran yang
dimainkan oleh revelasi dari semua bentuk agama. Memang psikologi bisa
saja tidak membicarakan apapun tentang validitas pengalaman-pengalaman
revelasi seperti itu, tetapi psikologi tidak bisa mengambarkan reputasi
pengalaman-pengalaman revelasi terjadi.
22
C. Teori Komunitas Kognitif dalam Keberagamaan
Menurut Peter Berger “keyakinan religius mampu membentuk suatu
masyarakat sebagai komunitas kognitif”. Oleh karena itu, agama memiliki
kemungkinan untuk memberi arah pada pola perilaku dan corak struktur
sosial. Sistem kepercayaan dan akibat struktural dan perilaku yang
ditimbulkannya dikatakan merupakan suatu sistem yang organik. Dalam
sistem yang organik itu dengan kata lain, kita menemukan sistem
kepercayaan yang merupakan aspek kultural dan agama dan pola perilaku dan
struktur yang merupakan manifestasi dan kepercayaan itu (Abdullah ed,
1989: 33).
Jadi, meskipun bermula dan suatu ikatan spiritual, para pemeluk agama
membentuk masyarakat sendiri, yang berbeda-beda dengan “komunitas
kognitif” lainnya. Dalam konteks penelitian ini teori “komunitas kognitif” ini
bisa penulis gunakan untuk menelaah komunitas para mahasiswa yang hafal
al Quran, misalnya dengan mengkaji corak dan bentuk dan tatanan komunitas
tersebut, apakah jika dilihat dan perspektif agama, sudah merupakan
cerminan dan keharusan doktrin agama?
23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Salatiga, Khususnya di kampus lAIN
Salatiga. Hal ini dikarenakan subjek-subjek dalam penelitian ini adalah
para mahasiswa IAIN Salatiga yang memiliki kelebihan mampu
rnenghafal al Quran. Komunitas ini tentu dengan segala variannya dalam
hal volume hafalan, kemampuan menerjemahkan ayat al Quran, dan lain-
lain. Penelitian tersebut didasarkan pada adanya kesadaran bahwa tentu
mereka yang mampu menghafal al Quran tersebut tidak bisa seragam
(semuanya sama). Mengingat dari jumlah komunitas mereka yang tidak
sedikit maka penulis menggunakan sampel “purposive “, yaitu rnengambil
sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian (Nasution, 2003: 32).
Terkait dengan sampel tersebut dalam hal ini penulis memilih
sebagian besar mereka yang berasal dan jurusan IAT, meskipun terdapat
juga yang dari jurusan FTIK. Pemilihan tersebut tidak memiliki tendensi
apapun selain hanya untuk mempermudah perolehan data dan
komunikasinya.
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini rnerupkan jenis penelitian kualitatif. Yaitu jenis
penelitian yang pada hakikatnya ingin mengamati (melakukan
pengamatan) orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan
24
mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia
sekitarnya (Nasution, 2003: 5). Sementara menurut Ambert sebagaimana
ditulis oleh Sholichin Abdul Wahab “The Aim of Qualitative Research is
to learn how and why people be have, think and make meaning as they do,
rather than focusing on what people do or believe on large scale” (1997:
7). Artinya “Tujuan dan penelitian kualitatif adalah untuk mempelajari
bagaimana dan mengapa seseorang berbuat, berpikir, dan mengartikan apa
yang mereka kerjakan. Lebih dari itu adalah fokus pada apa yang
seseorang percaya dalam skala yang luas”.
Melengkapi pengertian penelitian kualitatif tersebut di atas, Taylor
dan Bogdan mengemukakan beberapa karakteristik penelitian tersebut:
1. Bersifat induktif, yaitu mendasarkan pada prosedur logik yang berawal
dan proposisi khusus sebagai hasil pengamatan dan berakhir pada suatu
kesimpulan hipotesis yang bersifat umum. Dalam hal ini konsep-
konsep, pengertian dan pemahaman didasarkan pada pola-pola yang
ditemui dalam data.
2. Melihat pada setting dan manusia sebagai satu-kesatuan, yaitu
mempelajari manusia dalam konteks dan situasi dimana mereka berada.
Oleh karena itu, manusia dan setting tidak disederhanakan ke dalam
variabel, tetapi dilihat sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan.
3. Memahami perilaku manusia dan sudut pandang mereka sendiri (sudut
pandang yang diteliti). Hal itu dilakukan dengan cara melakukan empati
25
pada orang-orang yang diteliti dalam dalam upaya memahami
bagaimana mereka melihat sebagai hal dalam kehidupannya.
4. Lebih mementingkan proses penelitian dari pada hasil penelitian. Oleh
karena itu, bukan pemahaman mutlak yang dicari, tetapi pemahaman
yang mendalam tentang kehidupan sosial.
5. Menekankan pada validitas data sehingga ditekankan pada dunia
empiris. Penelitian dirancang sedemikian rupa agar data yang diperoleh
benar-benar mencerminkan apa yang dilakukan dan dikatakan yang
diteliti.
6. Bersifat humanistis, yaitu memahami secara pribadi orang yang diteliti
dan ikut mengalami apa yang dialami orang yang diteliti dalam
kehidupan sehari-hari.
7. Semua aspek kehidupan sosial dan manusia dianggap berharga dan
penting untuk dipahami karena dianggap sebagai spesifik dan unik
(Suyanto ed, 2007: 169-170).
Selanjutnya tentang pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan sosiologis (sosiologi agama) dan pendekatan psikologis
(psikolog agama). Pendekatan sosiologis secara khusus meneliti tentang
hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat atau komunitas
tertentu (Jongeneel, 1978: 68). Sementara pendekatan psikologis terhadap
perilaku agama maneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku
orang, atau mekanisme yang bekerja pada diri seseorang karena keyakinan
itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya (Darajat, 1976: 12).
26
Pemilihan pada dua pendekatan tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa objek kajian dalam penelitian ini adalah tentang
keberagamaan terutama pada dimensi eksperiensial dan konsekuensial.
Dimensi eksperiensial menyangkut afeksi keberagamaan yang menjadi
lahan kajian psikologi agama. Sementara dimensi konsekuensial
merupakan aspek sosial keberagamaan sehingga tepat jika digunakan
pendekatan sosiologis.
C. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Bagong Suyatno (2007: 186), ada tiga macam pengumpulan
data secara kualitatif. Pertama, adalah wawancara yang mendalam
terbuka. Data yang diperoleh terdiri dan kutipan langsung, dan respon dan
tentang pengalaman, pendapat, perasaan dan pengetahuannya. Dalam
konteks wawancara ini adalah data yang berkaitan tentang banyaknya
hafalan al Quran, waktu menghafal al Quran dan intensitas pemahaman
makna al Quran. Metode wawancara ini menjadi sangat penting karena
meskipun ada metode observasi, namun observasi saja belum dapat
mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran seseorang. Oleh karena itu,
wawancara menjadi pelengkap observasi agar peneliti dapat memasuki
pikiran dan perasaan responden. Pada tahap awal, wawancara dilakukan
tanpa struktur, responden diberi kebebasan dan kesempatan untuk
menyampaikan pikiran, pandangan dan perasaan tanpa terikat oleh
peneliti. Setelah penulis memperoleh sejumlah data, penulis memakai
27
wawancara yang terstruktur yang disusun berdasarkan hasil observasi dan
apa yang telah disampaikan oleh para responden. Kedua, adalah observasi
langsung. Data yang didapat melalui observasi langsung terdiri dan
pemetaan rinci tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang-orang
(responden) serta keseluruhan kemungkinan interaksi interpersonal.
Observasi ini dapat penulis gunakan berkaitan dengan dimensi
konsekuensial dan keberagamaan mereka. Dua hal penting yang harus
dikaitkan dalam proses observasi adalah informasi dan konteks. Informasi
adalah apa yang terjadi, sementara konteks adalah yang berkaitan dengan
sekitarnya. Segala sesuatu terjadi dalam dimensi ruang dan waktu tertentu,
dimana informasi yang ada tak bisa dilepaskan dan konteksnya untuk
menangkap makna yang tepat (Nasution, 2003: 55). Ketiga, penelaahan
terhadap dokumen-dokumen tertulis yang berhubungan dengan objek dan
subjek penelitian. Dalam hal ini misalnya data tentang mahasiswa yang
hafal al Quran beserta fakultasnya.
D. Uji Keabsahan Data
Menurut Moleong ada beberapa kriteria dan keabsahan data (trust
worthinness), yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan
(transferability), kebergantungan (deoendability), dan kepastian
(confirmabillity) (Moleong, 2011: 324).
Sementara itu, untuk menguji keabsahan data, sebagaimana ditulis
oleh Nasution (2003; 114-118), dapat dengan 1) memperpanjang massa
28
observasi; 2) pengamatan yang terus menerus; 3) Trianggulasi; 4)
membicarakan dengan orang lain; 5) menganalisis kasus negatif; 6)
menggunakan bahan referensi; 7) menggunakan member check. Terkait
penelitian ini digunakan jenis uji keabsahan data dengan memberi check,
yakni membuat laporan tertulis mengenai wawancara secara garis besar
yang telah dialakukan untuk dibaca oleh responden atau ditambah yang
kurang. Di samping itu, penulis juga akan menggunakan teknik
trianggulasi. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Dalam hal ini Lexy Moleong
membedakan empat macam trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang
memanfaatkan sumber metode, penyidik, dan teori Moleong (2011: 330-
331).
Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu
dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal ini dapat dicapai
dengan jalan (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; (3) membandingkan apa
yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang
dikatakan sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan dan perspektitf
seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat
biasa, orang pemerintahan; (5) membandingkan hasil wawancara dengan
isi suatu dokumen yang berkaitan.
29
Sementara untuk trianggulasi dengan metode, terdapat dua strategi,
yaitu: (1) pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian
beberapa teknik pengumpulan data dan (2) pengecekan derajat
kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Teknik trianggulasi ketiga yaitu dengan memanfaatkan penyidik
(peneliti) atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali
derajat kepercayaan data.
Trianggulasi dengan teori, hal itu dapat dilaksanakan sebagai
penjelasan banding (rival explanation).
Oleh karena itu, di samping uji keabsahan data dengan member
check, penulis juga menggunakan teknik trianggulasi dengan pemanfaatan
sumber. Yakni dengan membandingkan data hasil pengamatan dengan
data hasil wawancara, dan sebaliknya menggunakan data hasil wawancara
dengan pengamatan kembali.
E. Tekuik Analisis Data
Analisis data diperlukan agar data yang telah terkumpul tidak
semata-mata deskriptif belaka dan dapat ditemukan maknanya. Dalam hal
ini ada beberapa langkah analisis data, yaitu reduksi data, display data,
mengambil kesimpulan dan verifikasi (Nasution, 2003: 129).
Reduksi data dapat dilakukan dengan menerangkan laporan data
yang ada, kemudian dipilih hal-hal yang penting dan ditentukan polanya,
misalnya tentang deskripsi komunitass mahasiswa yang hafizh-hafizhah
30
dan ditentukan polarisasinya, berdasarkan volume hafalan maupun
intensitas pemahamannya tentang isi al Quran dengan dedukasi dapat
memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan. Di
samping itu, reduksi data dapat pula membantu dalam memberikan kode
kepada aspek-aspek tertentu.
Display data, kegiatan display data di dilakukan misalnya dengan
membuat grafik atau matrik dan tabel data penelitian. Dengan display data
ini penulis akan menemukan gambaran keseluruhn atau bagian-bagian
tertentu dan penelitian. Misalnya membuat tabel tentang data yang
berkaitan tentang dimensi eksperiensial dan dimensi konsekuensial.
Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Dalam penelitian kualitatif
peneliti sejak awal dapat merumuskan kesimpulan tentang makna data
yang terkumpul melalui observasi dan wawancara. Tetapi sifatnya yang
masih tentatif maka agar kesimpulan dapat menjadi lebih grounded
diperlukan data yang lebih banyak dan bertambah. Sementara verifikasi
tetap dilakukan secara singkat dengan mencari data baru (Nasution, 2003:
130).
Kesimpulan memang dibuat dalam setiap observasi maupun
wawancra oleh penulis. Namun kesimpulan itu tentu masih sementara
sifatnya. Oleh karena itu, kesimpulan yang final baru diambil melalui
proses evaluasi kembali dan kesimpulan yang sementara, pada saat
penelitian telah selesai. Dengan kata lain, kesimpulan yang bersifat final
adalah out put penelitian itu sendiri, melalui proses panjang dan dan data
31
mentah kemudian data tersebut di reduksi (dipilih-pilih) yang sesuai
dengan data yang diinginkan (tematik) penelitian ini. Selanjutnya data
tersebut dideskripsikan melalui display data dengan kemungkinan pola-
polanya diproses analisis menggunakan konstruksi teori yang ada sehingga
dengan cara itu diharapkan data tidak semata-mata tidak bersifat deskriptif
belaka, namun juga bersifat akademis.
32
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Komunitas Mahasiswa Hafizh dan Hafizhah yang
Menjadi Subjek Penelitian
Sebagaimana telah ditulis sebelumnya bahwa tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui polarisasi dari mahasiswa hafizh dan hafizhah
IAIN Salatiga. Maksud dari kata polarisasi tersebut adalah hal-hal yang
berkaitan dengan volume hafalan dan intensitas pemahaman mereka
tentang arti ayat per ayat (kemampuan menerjemahkan). Di samping itu
juga persepsi mereka tentang kegiatan menghafal al Quran itu sendiri.
Polarisasi tersebut menurut penulis sangat penting jika dikaitkan dengan
tujuan kedua dari penelitian ini yaitu mendeskripsikan dimensi
eksperiensial dan konsekuensial dari mahasiswa hafizh dan hafizhah.
Dengan demikian penulis ingin melihat adanya implikasi intensitas hafalan
dan pemahaman terjemahan al Quran bagi tingkat pengahayatan secara
personal dan aplikasinya secara sosial.
Komunitas mahasiswa hafizh dan hafizhah semakin lama tentu
semakin banyak. Berdasarkan wawancara dengan ketua jurusan IAT (18-
05-2016) komunitas mereka hampir 20 orang, belum lagi dari fakultas lain
seperti FTIK atau yang lainnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
penulis tidak bisa mengambil semua sebagai subjek dalam penelitian ini,
dan hanya beberapa saja (enam orang) dari IAT dan FTIK. Pertimbangan
tersebut lebih berkaitan dengan masalah teknis dan di samping itu juga
33
dalam praktiknya tidak semua komunitas mereka tersedia diwawancarai.
Sebagian dari alasan mereka adalah tidak ingin orang lain mengetahui
tentang jumlah hafalan mereka (takut riya‟-penulis). Hal ini juga menjadi
salah satu kendala dalam proses penelitian sehingga dibutuhkan
perdebatan khusus.
Secara intens wawancara penulis lakukan dengan responden satu
per satu, kemudian jika masih ada tambahan data penulis berusaha
menemui mereka lagi baik secara langsung maupun via phone. Begitu
seterusnya hingga dirasa data yang dibutuhkan telah cukup dalam
mewakili judul penelitian. Berikut ini akan dideskripsikan gambaran
sekilas tentang responden dalam penelitian ini:
RBK (Responden 1)
Responden ini lahir di desa Susukan, Ketapang, Kabupaten
Semarang pada tahun 1994, dari keluarga dengan kultur keagamaan
yang sangat kuat. Bapak ibunya adalah seorang hafizh dan hafizhah
yang mengelola sebuah Pondok Pesantren yang cukup terkenal yaitu
“Roudlotul Tolibin 3” di desanya. Oleh karena itu, tidak heran jika
tradisi menghafal al Quran sudah melingkupinya sejak dia kecil.
Namun sesungguhnya kegiatan menghafal al Quran itu sendiri secara
intens baru dia mulia ketika dia belajar di MTs (meski saat dia belajar
di MI sudah mulai diperkenalkan tapi belum intens) yang kemudian
dia lanjutkan lebih serius lagi saat di sekolah MAN Suruh. Pada saat
inilah dia belajar sambil tinggal di Pondok Al Mansur Suruh,
34
Kabupaten Semarang. Pondok ini diakui responden telah banyak
membantu dalam hal menghafal al Quran, “satu hari bisa satu
halaman/lembar bu” kata dia saat wawancara. Kegiatan itu terus dia
tekuni lembar per lembar hingga ia akhirnya dia khatam 30 juz selama
belajar di MAN tersebut (wawancara 16-05-2016).
Selain dia, bapak dan ibunya, kakaknya yang sulung juga
seorang hafizh. Sementara adiknya yang satu baru tamat SMA (2016)
dan yang ragil baru kelas satu SMA, keduanya masih dalam proses
menghafal al Quran. Saat penulis bertanya tentang pandangan dia
berkaitan dengan kegiatan menghafal al Quran dia menjawab “itu
dorongan dari orang tua di awal memulainya, tetapi menjalani
hafalan itu merasa menjadi tugas untuk mempertahankan hafalan dan
bukan semata-mata sebagai tugas akademik saja” (wawancara 03-08-
2016).
Kini dia sudah memasuki semester 6 sebagai mahasiswa di IAIN
Salatiga. Karena rasa tanggung jawabnya pada tugas yang diberikan
keluarga, responden ini memilih nglaju (tidak tinggal di kos),
Susukan-Salatiga selama menjalani studinya.
Ada yang perlu digaris bawahi dari proses wawancara dengan
responden ini, yakni susahnya memperoleh konfirmasi tentang volume
hafalannya, namun akhirnya dia mengangguk kepala saat penulis
sebut 30 juz. Sementara tentang kemampuan menerjemahkan ayat-
35
ayat al Quran dia menjawab “bisa tapi tidak seluruhnya”. Artinya ada
bagian-bagian di mana dia tidak bisa langsung memahami artinya.
MHM (Responden 2)
Responden ini lahir di desa Rowosari, Tuntang, Kabupaten
Semarang pada tahun 1995. Sebagaimana responden lainnya,
responden ini juga berasal dari keluarga yang sangat religius. Ayahnya
adalah seorang alumni salah satu pondok ternama di Gresik, Jawa
Timur. Kini sang ayah bekerja sebagai perangkat desa sementara
seorang ibu sebagai ibu rumah tangga biasa.
Responden yang memiliki seorang adik yang masih duduk di
SMP ini memulai menghafal al Quran saat sekolah di SMP Bina
Insani di desa Baran, Ketapang, Kabupaten Semarang (meski kegiatan
mengajinya sudah dimulai sejak dia di sekolah dasar). Di SMP Bina
Insani ini, responden terus dilatih hafalan al Qurannya yang kemudian
dilanjutkan saat dia di sekolah Madrasah Aliyah Salatiga.
Kegiatan hafalan al Quran tersebut semakin bertambah saat dia
mulai kuliah di IAIN Salatiga. Kini dia sudah semester 6 dan dengan
jarak yang tidak terlalu jauh antara rumah dan kampus, responden ini
nglaju setiap hari. Kesulitan mengkonfirmasi tentang jumlah hafalan
juga penulis alami terhadap responden ini, “pesan pak kyai mboten
pareng nduduhke hafalannya” jawabnya saat penulis bertanya
masalah tersebut. Namun akhirnya responden bersedia juga
menyebutkan bahwa dia sudah hafal 7 juz. Kemudian saat penulis
36
menanyakan “apakah dari 7 juz itu anda mampu menerjemahkan
seluruhnya?”, dia menjawab “hanya sebagian saja yang mampu saya
terjemahkan” (wawancara 16-05-2016).
Selanjutnya tentang pandangan responden berkaitan dengan
kegiatan menghafal al Quran, dia memberikan jawaban “untuk
mengamalkan surat al „Alaq yaitu membaca, mengerti, serta
mentadaburi agar seimbang dengan perjalanan intelektual saya, yaitu
menafsirkan al Quran dengan mempelajari ilmu-ilmunya”
(wawancara 03-08-2016).
SFH (Responden 3)
Terlahir dari keluarga petani di sebuah desa di kawasan
Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 7 September 1996. Keluarga
yang sangat religius menjadikan responden ini akrab dengan kegiatan
membaca al Quran sejak kecil. Setamat sekolah dasar di desanya, dia
melanjutkan sekolah di MTs sambil menjadi santri di Pondok
Rahmatullah 2 desa Grabag, Magelang. Kegiatan ini hanya berjalan
satu tahun, kemudian dia keluar dari pondok di mana dia memilih
hafalan al Qurannya. Dia melanjutkan hafalannya di rumah bersama
ibunya yang juga seorang hafizhah yang kebetulan beliau juga alumni
Pondok Rahmatullah 2 Grabag, Magelang.
Setelah tamat dari sekolah MTs, dia melanjutkan sekolah di
salah satu SMK di Salatiga. Selama sekolah di SMK ini, dia
mengatakan tidak ada aktivitas menghafal al Quran, sampai kemudian
37
dia kuliah di IAIN Salatiga dan tinggal di ma‟had IAIN kurang lebih
satu tahun. Setelah itu dia pindah ke Pondok Mansyaul Huda Sraten,
Tuntang, melanjutkan kegiatan menghafal al Quran hingga sekarang
dia telah mampu menghafal 6 juz al Quran. Ketika penulis bertanya
“apakah anda mampu memahami terjemahan dari ayat yang anda
hafal itu?” dia menjawab “saya belajar menerjemahkan sendiri dan
jika merujuk pada ayat insya Allah saya bisa” jawabnya.
Selain itu, responden ini juga menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi semangatnya menghafal al Quran adalah adanya tradisi
yang kuat secara turun temurun dari keluarga besarnya. Seluruh putra-
putri neneknya (termasuk) ibunya adalah hafizh dan hafizhah. Maka
ketika sampai pada generasi kedua, ada semacam keharusan bahwa di
antara anak mereka (cucu-cucu dari neneknya) harus ada yang hafal al
Quran. Inilah salah satu yang mendorong kegiatan menghafal al Quran
responden (wawancara 17-05-2016).
Saat penulis menginginkan konfirmasinya seputar pandangan
responden tentang kegiatan menghafal al Quran bagi diri pribadinya,
responden ini menjawab “sekarang ini kegiatan menghafal saya masih
berkaitan dengan akademik, kuliah di jurusan IAT membuat saya
semakin sadar pentingnya menghafal al Quran lebih banyak lagi
untuk bisa merujuk ayat yang diperlukan. Di samping itu, di era
sekarang ini sudah seharusnya menjadikan al Quran sebagai
38
pedoman hidup dengan menghafal dan menghayati artinya”
(wawancara 03-08-2016).
MYF (Responden 4)
Responden ini berasal dari Bone, Makasar. Tiga bersaudara ini
lahir pada tahun 1994. Setelah tamat dari sekolah dasar dia
melanjutkan ke MTs Singkang, Makasar. Di MTs inilah dia berhasil
menghafal sebanyak 10 juz selama dua tahun. Ayahnya seorang yang
sangat religius dan menginginkan anaknya menjadi hafizh. Maka
dimasukkanlah dia oleh ayahnya ke Pesantren As‟adiyah Singkang,
Kabupaten Sulawesi Selatan. Tapi kemudian merasa tidak krasan dan
keluar dari pondok tersebut, kemudian langsung kembali ke MTs
kelas III hingga tamat.
Selanjutnya dia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Aliyah
di Makasar. Namun setelah tamat dari Madrasah Aliyah, dia off
selama tiga tahun (dari pendidikan formal) untuk menghafal al Quran
kembali di Ummul Quro Bogor. Dari Ummul Quro, dia pindah ke Al
Azhar Bandung (Rumah Tahfizh). Pada tahun 2012 dia mendaftar
kuliah di UIN Bandung, saat itu dia sudah hafal 13 juz, meski dia
diterima di UIN tersebut, namun tidak dilanjutkan. Pada tahun 2013,
dia masuk ke IAIN Salatiga dan saat itu dia baru hafal 13 juz al Quran.
Dia tinggal di Pondok Pesantren Al Irsyad, mengajar sambil kuliah
dan melanjutkan hafalan al Qurannya hingga selesai 30 juz.
39
Meski sudha mampu menghafal al Quran 30 juz, namun
responden ini mengaku belum bisa menerjemahkan secara langsung.
Sebagian mungkin bisa, sebagian yang lain belum. Kemudian saat
penulis bertanya tentang pandangan dia mengenai kegaitan menghafal
al Quran bagi dirinya dia menjawab “menghafal al Quran adalah
salah satu cara menjaga al Quran dan kalau kegiatan itu semakin
banyak, maka al Quran itu semakin kuat terjaganya dan
kemurniannya, jaminan Allah untuk menjaga al Quran tentu melalui
hafalan-hafalan para hafizh...” (wawancara 17-05-2016).
NVT (Responden 5)
Responden ini lahir di desa Pucung, Kecamatan Suruh pada
tahun 1995. Setamat dari sekolah dasar dia meneruskan ke MTs Bina
Insani di Baran, Ketapang, Susukan, Kabupaten Semarang.
Selanjutnya dari MTs tersebut dia melanjutkan ke SMA Bina Insani di
desa yang sama.
“Bisa kuliah di IAIN Salatiga adalah hal yang sangat
membanggakan” katanya. Mengingat tidak mudah juga untuk kuliah.
“… radi sulit bu”, paparnya pada saat penulis wawancara dengan dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan masa kecilnya dia diajak oleh bapak dan
ibunya transmigrasi ke Sumatra. Namun saat usianya telah mencukupi
untuk masuk ke sekolah dasar, dia dibawa kembali ke Jawa (Pucung)
dan dia ditemani neneknya selama menjalani pendidikannya, karena
ayah dan ibunya masih di Sumatra.
40
Saat penulis konfirmasi tentang kapan mulai menghafal al
Quran? dia menjawab “sejak masuk kuliah di IAIN Salatiga ini bu”.
Sambil kuliah dia mondok di Pesantren Al Falah Grogol, Salatiga. Di
Pondok Pesantren inilah dia belajar menghafal al Quran hingga kini
dia telah menyelesaikan 7 juz hafalannya.
Lalu bagaimana pandangan responden ini tentang makna
menghafal al Quran tersebut? Dia memberi jawaban “yang utama
bukan semata-mata karena kegiatan akademik bu. Memang awalnya
seperti itu, namun dari diri sendiri juga ada keinginan untuk
memahami kalamullah, mungkin melalui kuliah di jurusan IAT ini
juga sebagai salah satu penunjang untuk mewujudkan harapan saya”
(wawancara 03-08-2016).
IDF (Responden 6)
Responden kelahiran Sarirejo, Kaliwungu, Kendal, 10 April
1992 ini merupakan 9 bersaudara, yang terdiri dari 4 perempuan dan 5
laki-laki, sementara dia sendiri adalah anak yang kelima. Bapaknya
adalah seorang alumni Pondok Pesantren yang bekerja sebagai petani,
sedang ibunya sebagai ibu rumah tangga biasa.
Setamat dari sekolah dasar di desanya, dia melanjutkan di SMP
sambil mondok di Pesantren Al Wahid, Bener, Weding Bonang,
Demak. Saat dia mulai sekolah di SMA, dia pernah menjadi santri
titipan di Pondok Pesantren Al Muhtar Blora selama 3 tahun. Di
Pondok Pesantren inilah dia mampu menghafal al Quran secara
41
efektif. Pada waktu hafalannya hampir selesai (30 juz), responden ini
kembali ke Demak (Pondok Pesantren Al Wahid) kurang lebih selama
dua tahun. Waktu dua tahun ini digunakan untuk menghatamkan al
Quran secara sempurna, sementara yang satu tahun digunakan untuk
mengabdi di Pondok Pesantren dengan membantu mengajar di Pondok
Pesantren tersebut sambil menunggu wisuda para hafizh.
Pada saat wawancara ini (21-06-2016) responden yang kuliah di
IAIN Salatiga ini telah semester 8, dan sedang menyelesaikan
skripsinya. Sejak semester 8 ini, responden yang semula tinggal di
ma‟had putrid IAIN Salatiga memilih tinggal di kos sambil fokus
mengerjakan skripsinya. Meskipun padat jadwalnya, saat masih
kuliah, responden ini aktif membantu di kegiatan menghafal al Quran
di beberapa Rumah Tahfizh, salah satunya adalah Rumah Tahfizh di
Klaseman.
Meski sudah mampu menghafal al Quran 30 juz, namun saat
ditanya kemampuannya dalam menerjemahkan al Quran, responden
ini menjawab seperti responden lainnya “tidak semuanya mampu
diterjemahkan” jawabnya. Lalu bagaimana pandangan responden ini
tentang kegiatan menghafal al Quran ini? Dia memberikan jawaban
“senang dan bangga dengan kegiatan menghafal al Quran ini, karena
menghafal al Quran membawa kemuliaan tersendiri. Di samping juga
kegiatan ini untuk menjaga kemurnian al Quran” (wawancara 21-06-
2016).
42
B. Dimensi Eksperiensial dari Psikografi Keberagamaan Hafizh dan
Hafizhah Mahasiswa IAIN Salatiga
Sebagaimana telah ditulis sebelumnya bahwa dimensi eksperiensial
dalam keberagamaan adalah dimensi yang berkaitan dengan pengalaman,
perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi keagamaan yang
dialami oleh seseorang atau yang dinyatakan oleh satu komunitas religius
yang mencakup komunikasi dengan Tuhan betapa pun ringannya (The
experience dimension ... is concerned with religious experience, those
feelings, perceptions, and sensations which are experienced by an actor or
defined by a religious groups as involving some communication, however
slight with a devine essence, that is with God) (Robertson, 1972: 257).
Sementara itu, Jalaludin Rahmat mendefinisikan lebih rinci tentang
dimensi eksperiensial sebagai berikut “bagian keagamaan yang bersifat
afektif, yakni keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan
ajaran agama. Inilah perasaan keagamaan (religious feeling) yang dapat
bergerak dalam empat tingkat: yaitu konfirmatif (merasakan kehadiran
Tuhan atau apa saja yang diamatinya), responsif (merasa bahwa Tuhan
menjawab kehendaknya atau keluhannya), eskatik (merasakan hubungan
yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan, dan partisipatif (merasa
menjadi kawan setia, kekasih, atau wali Tuhan dan menyertai Tuhan
dalam melakukan karya ilahiyah) (Abdullah ed., 1989: 93).
Oleh karena itu, pada bagian ini penulis ingin mendeskripsikan
bagian keagamaan yang bersifat afektif, mencakup keterlibatan emosional
43
dan sentimental yang dialami oleh seseorang dalam komunikasinya
dengan Tuhan. Dengan deskripsi ini setidaknya akan dapat diketahui
kondisi riil religious feeling mahasiswa khususnya pada komunitas
mahasiswa hafizh dan hafizhah. Adapun poin-poin penting yang penulis
ajukan sebagai bahan wawancara berkaitan dengan dimensi experience
sesuai dengan penjelasan tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Pada waktu mengerjakan shalat, apakah anda selalu dapat merasakan
hadirnya Tuhan di sana?
Dalam berbagai kegiatan sehari-hari di manapun anda berada, apakah
anda selalu dapat merasakan hadirnya Tuhan di sana, seperti saat anda
sedang bersama teman-teman, saat kuliah misalnya atau saat sedang
sendirian di rumah?
Apakah pada setiap doa yang kita panjatkan berkaitan dengan
permohonan terhadap problem-problem kehidupan, muncul harapan
yang positif bahwa Allah akan mengabulkan?
Pada saat anda memanjatkan doa pada Tuhan, apakah anda yakin
bahwa Allah mendengarkan doa anda?
Pada saat yang bagaimana anda dapat merasakan hubungan yang
akrab dengan Tuhan? Beri contohnya?
Apakah pada saat anda akan melaksanakan shalat anda menyiapkan
dengan sepenuh hati sebagai tanda cinta kasih anda yang akan
menghadapi Tuhan?
44
Apakah ada perasaan dalam diri anda untuk ikut bertanggung jawab
menyebarluaskan ajaran dalam al Quran?
Apa yang anda rasakan saat mendengar al Quran dibaca orang lain?
Jika anda sedang membaca al Quran, apakah anda mampu meresapi
kandungan al Quran?
Berikut adalah deskripsi hasil wawancara yang menggambarkan
tentang dimensi experience mereka:
Responden ini (RBK) menggambarkan bahwa tidak selamanya pada
waktu shalat dapat merasakan hadirnya Tuhan di sana, dia
menambahkan juga bahwa ketika sedang banyak masalah justru akan
lebih mudah merasakan hadirnya Tuhan. Demikian juga pada saat
ramai-ramai sedang berkumpul dengan teman, saat kuliah misalnya,
tidak selalu dapat merasakan kehadiran Tuhan. Namun saat penulis
menanyakan tentang perasaan adanya keyakinan bahwa Allah
mendengar doa-doanya, responden ini menjawab dengan tegas
“sangat merasakan keyakinan itu”. Demikian juga saat penulis
menanyakan tentang adanya harapan positif bahwa Allah akan
mengabulkan doa-doanya, responden ini juga menjawab sangat yakin
bahwa Allah akan mengabulkan permohonannya. Dia selalu memiliki
harapan positif (optimis) terhadap doa-doanya yang dipanjatkan
kepada Allah. Responden ini juga menjelaskan bahwa perasaan yang
dekat dan akrab dengan Allah dapat dia rasakan saat dia sedang
menghadapi masalah, seakan-akan masalah tersebut dapat melecut
45
kesadaran dia akan Allah yang Maha Kuasa untuk hadir lebih dekat
lagi. Dia mencontohkan misalnya saat dia sedang menghadapi ujian.
Demikian juga saat ditanya tentang kemampuan menyiapkan diri
dengan sepenuh hati setiap kali akan shalat, responden ini menjawab
“tidak selamanya bisa sungguh-sungguh dalam menyiapkan diri
sewaktu hendak shalat, artinya masih situasional.
Selanjutnya tentang adanya perasaan keterpanggilan untuk ikut
menyebarluaskan ajaran-ajaran yang ada dalam al Quran, responden
ini menjawab “itu adalah keharusan bagi saya, itulah sebabnya saya
selalu menyediakan waktu mengajar di TPA keluarganya” (RBK,
wawancara 16-05-2016).
Tentang bagaimana perasaan responden saat mendengar al
Quran dibaca orang lain, responden ini mengatakan, “senang sekali,
karena semakin banyak al Quran dibaca orang semakin merasakan
bahagia, meskipun tentang meresapi makna al Quran belum
semuanya bisa, masih terbatas adanya” (RBK, wawancara 19-09-
2016).
Hampir sama dengan responden di atas, responden ini (MHM) juga
menuturkan bahwa belum bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam
setiap shalat. Dia menambahkan bahwa hal itu tergantung dengan
suasana hati. Demikian juga dalam pengalaman bersama dengan
teman-teman dalam pergaulan, responden ini juga mengakui belum
bisa merasakan hadirnya Tuhan di sana. Hanya saja saat dia merasa
46
menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain, dia mengatakan
“saya akan segera menyebut “astaghfirullahal„adzim” tegasnya.
Karena itu responden ini menjawab dengan tegas, saat ditanya
tentang harapan positif bahwa Tuhan akan mengabulkan permohonan-
permohonan kita, saat kita berdoa pada Tuhan “tentu merasa yakin”
katanya. Demikian juga responden ini memberikan jawaban yang
sama saat ditanya tentang adanya keyakinan bahwa Tuhan pasti akan
mendengarkan doa-doa kita.
Momen shalat tahajud di tengah malam yang sunyi menjadi
momen di mana responden mampu merasakan adanya hubungan yang
dekat dan akrab dengan Tuhan. Kondisi malam yang tenang dan sunyi
mampu memfokuskan komunikasi dia dengan Tuhan dalam hubungan
yang akrab. Dengan kata lain, responden ini belum bisa merasakan
kedekatan hubungan dengan Tuhan dalam setiap waktu. Oleh karena
itu, saat penulis menanyakan tentang kekhusyukannya menyiapkan
diri pada saat akan beribadah (shalat misalnya) responden ini
menjawab, “belum sepenuhnya waktu bisa, hanya terkadang saja
bisa” katanya. Selanjutnya tentang adanya komitmen ikut bertanggung
jawab dalam misi menyebarkan ajaran dalam al Quran, responden ini
menjawab bahwa “perasaan itu ada dan sangat kuat, oleh karenanya
saya ikut melibatkan diri mengajar di pondok Usaqil Quran di
Rawasari, Tuntang, Kabupaten Semarang” (MHM, wawancara 16-05-
2016).
47
Selanjutnya tentang perasaan apa yang bisa dirasakan saat
mendengar al Quran dibaca orang lain? Responden ini memberikan
jawaban “tergantung suasana hati, belum bisa istiqamah”. Dengan
kata lain, responden ini belum bisa secara rutin dapat merasakan
secara khusyu‟ pada saat al Quran dibaca orang. Terkadang merasakan
tentram, terkadang biasa-biasa saja (cuek) jika yang membaca al
Quran kurang mahir. Tentang kemampuannya memahami makna al
Quran pada saat dia sedang membacanya, responden ini mengakui
“ada yang bisa jika ceritanya runtut, hingga bisa menangis, namun
belum semuanya” (MHM, wawancara 02-09-2016).
Hasil wawancara dengan responden ini (SFH) menuturkan bahwa
belum bisa pada setiap saat shalat mampu menghadirkan Tuhan di
sana, mungkin hanya saat-saat tertentu saja mampu (wawancara 19-
09-2016). Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari di luar shalat,
meski belum bisa di setiap waktu mampu merasakan kehadiran Tuhan,
namun ada waktu-waktu tertentu di mana dia dapat merasakan
hadirnya Tuhan. Dia mencontohkan bahwa pada suatu hari (jumat dan
sabtu) dia minta 1 juz sama kyai di pondoknya untuk pulang ke
Magelang.
Sebelum dia memutuskan pulang, dia sebetulnya banyak sekali
acara, yaitu janji untuk ikut acara muncak (hiking) dan juga janji
untuk membantu orang tuanya menanam jagung. Di antara dua janji
itu dia akhirnya memutuskan untuk memilih pulang membantu orang
48
tuanya menanam jagung. Setelah itu dilakukan, ternyata dia mendapat
kabar dari temannya bahwa acara muncak ditunda pelaksanaannya.
“Saya merasa bahwa Tuhan hadir di sana memberi kemudahan pada
saya kalau saya memilih yang terbaik”. Karenanya saat ditanya
tentang adanya harapan positif bahwa Tuhan akan mengabulkan
permohonan kita? Responden ini menjawab “saya sangat berharap
secara positif bahwa Tuhan akan mengabulkan doa saya berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang ada”. Demikian juga dalam keyakinan
bahwa Tuhan mendengarkan doa-doa kita, responden ini memberikan
jawaban yang senada “saya sangat yakin, Tuhan mendengarkan saya
saat berdoa”.
Pertanyaan lain adalah tentang saat-saat tertentu di mana
responden ini (SFH) dapat merasakan hubungan yang sangat akrab
dengan Tuhan. Responden ini memberikan jawaban “pada saat-saat
ada masalah”. Dengan kata lain, hubungannya dengan Tuhan semakin
kuat intensitasnya saat dia menghadapi masalah kehidupan. Di
samping itu, responden ini juga mengakui bahwa “dalam setiap shalat
5 waktu saya belum bisa mempersiapkan dengan sepenuh hati, tapi
kalau pada waktu shalat tahajud saya bisa” katanya. Berkaitan
tentang perasaan ikut bertanggung jawab menyebarluaskan ajaran
agama atau apa yang tercantum dalam al Quran, “tentu perasaan
bertanggung jawab itu ada, karena itu saya ikut mengajar secara
49
bergiliran dengan teman-teman di TPA pondok” (wawancara 16-05-
2016).
Selanjutnya tentang perasaan-perasaan yang ada pada saat
mendengarkan al Quran dibaca orang, responden ini (SFH) menjawab
“saya merasa tenang saat ada yang membaca al Quran” meskipun
tentang pemahaman makna al Quran, responden ini memberikan
jawaban tersendiri “saya hanya bisa meresapi ayat-ayat yang saya
dapat memahami artinya, sementara yang lain saya kurang bisa
meresapi karena belum mengerti artinya”.
Responden berikutnya (MYF) memaparkan tentang pengalamannya
merasakan hadirnya Tuhan dalam shalat maupun di luar shalat.
Menurutnya “posisi kita di mata Tuhan dapat kita ketahui bagaimana
Tuhan memposisikan kita sekarang. Saya sering menemukan Tuhan
melalui banyak anugrah yang diberikan pada diri saya”. Oleh
karenanya, dia senantiasa yakin dan memiliki harapan yang positif
saat dia berdoa bahwa Tuhan pasti akan mengabulkan dan mendengar
doa-doa kita. Bahkan dia menambahkan “bukankah kita memang
diperintahkan oleh-Nya untuk berdoa, مكلبجتسانوعدا (berdoalah
kepada Aku, tentu Aku akan kabulkan permintaanmu). Dia juga
menggambarkan bahwa saat-saat merasakan hubungan yang akrab
dengan Tuhan adalah “saat sedang mendengarkan murattal ayat-ayat
al Quran. Demikian juga saat shalat tahajud meskipun dia dengan
50
jujur mengakui belum bisa rutin setiap malam melakukannya, “masih
susah bu” keluhnya. Demikian juga tentang kemampuan menyiapkan
diri dengan sepenuh hati saat akan melakukan shalat responden ini
(MYF) menjawab “belum bisa dalam setiap mau shalat, hanya
terkadang saja bisa”, dia juga menambahkan “bahwa shalat itu
sesungguhnya adalah bercampurnya antara perasaan takut dan cinta
kepada-Nya” ungkapnya.
Tentang perasaan bertanggung jawab terhadap misi-misi
keagamaan yang melibatkan dirinya, responden ini memberi ulasan
“yakni dengan ikut mengajar tahfizhul Quran di Pondok Pesantren
Nurul Islam Salatiga”. Karenanya dia bermukim di Pondok Pesantren
tersebut sambil melanjutkan kuliahnya yang sudah semester 6
(wawancara 20-05-2016). Sementara tentang perasaannya saat
mendengar al Quran dibaca orang lain responden ini menggambarkan
“saat itu tentu saya bisa merasakan hadirnya Tuhan melalui ayat
demi ayat yang dibaca, bukankah al Quran itu firman-Nya?” Namun
tentang kemampuan pemahaman makna al Quran, responden
mengakui belum bisa secara otomatis memahami ayat per ayat tentang
artinya, ada yang bisa ada yang tidak (wawancara 19-09-2016).
Berikutnya adalah responden NOV, di mana dia ini satu di antara dua
responden perempuan dalam penelitian ini. Dia menjelaskan bahwa
“tidak dalam setiap shalat, saya mampu merasakan hadirnya Tuhan,
hanya pada saat-saat tertentu saja saya bisa”. Demikian juga saat
51
ditanya tentang perasaan tersebut di luar shalat dia menjelaskan
“melalui ucapan istighfar saya mampu merasakan hadirnya kembali
Tuhan dalam kehidupan sehari-hari”. Memang agak sulit tapi saya
selalu berusaha mengucapkan kata-kata dan ucapan istighfar tersebut
terutama menghadapi sesuatu yang tidak mengenakkan hati”. Dengan
kata lain, ucapan istighfar tersebut memiliki fungsi menyadarkan
kembali tentang pentingnya kehadiran Tuhan dalam setiap saat.
Karenanya dalam hidupnya dia selalu berusaha memiliki harapan yang
positif terhadap Tuhan terutama saat dia berdoa. Dia juga yakin bahwa
Tuhan akan mendengarkan setiap dia berdoa “saya yakin Tuhan
mengabulkan ... asal kita positif” tandasnya. Dia juga menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan kata positif adalah selama kita selalu
dalam kebenaran ajaran-Nya.
Selanjutnya dia juga menjelaskan tentang momen-momen di
mana dia merasakan hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan.
“Saat saya sedih saya bisa berdoa sampai menangis”. Dengan kata
lain, dia merasakan saat dia dalam kesedihan maka dia bisa merasakan
hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan melalui kesedihan-
kesedihannya dan belum bisa dalam setiap waktu. Oleh karena itu,
ketika ditanya tentang kemampuannya menyiapkan dengan sepenuh
hati setiap kali akan mengerjakan shalat, responden ini (NOV)
menjawab “terkadang saya mampu” artinya belum dalam setiap waktu
dia mampu menyiapkan diri dengan sepenuh hati melaksanakan
52
shalat. Mengenai adanya perasaan ikut bertanggung jawab
menyebarkan ajaran agama responden ini memberi jawaban “tentu
perasaan itu ada, karenanya saya ikut organisasi di pondok,
melibatkan diri dalam kepanitiaan, PHBI misalnya” (wawancara 16-
05-2016).
Responden ini (NOV) juga mendeskripsikan perasaannya saat
mendengarkan al Quran dibaca orang “mendengar al Quran
dilantunkan dengan baik dan benar, rasanya senang sekali bu,
apalagi jika lagu-lagunya sesuai”. Namun dalam hal kapasitas
memahami makna al Quran, responden ini menjawab “karena
terbatasnya penguasaan mufradat saya, jadinya hanya sedikit yang
bisa dipahami maknanya, meskipun sesungguhnya pemahaman makna
saat menghafal dapat membantu memudahkan hafalan al Quran”
(wawancara 20-09-2016).
IDF adalah responden perempuan yang lain dalam penelitian ini.
Responden yang hafal 30 juz al Quran ini menuturkan selalu berusaha
untuk dapat merasakan hadirnya Tuhan dalam setiap mengerjakan
shalat. Demikian juga pada waktu-waktu di luar shalat, dalam keadaan
bersama-sama maupun sendiri, dia dapat merasakan hadirnya Tuhan.
Dia juga menjelaskan bahwa dia selalu memiliki harapan yang positif,
Tuhan akan mengabulkan permohonan-permohonannya. Demikian
juga dia merasa yakin bahwa Tuhan mendengarkan dia saat dia
memohonnya.
53
Selanjutnya untuk pertanyaan pada saat yang bagaimana anda
dapat merasakan hubungan yang akrab sekali dengan Tuhan,
responden ini menjawab “terutama pada saat tengah malam (pada
waktu shalat tahajud), juga pada saat-saat banyak masalah, inilah
waktu yang efektif untuk bisa akrab dengan Tuhan”. Tetapi dalam hal
kemampuan menyiapkan diri dengan sepenuh hati saat akan
mengerjakan shalat, responden ini menjelaskan “bisa, namun belum
untuk semua shalat wajib” mengenai komitmen untuk ikut
menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam, responden ini (IDF) dengan
antusias menjelaskan “tentu saja komitmen itu ada, waktu saya masih
di Pondok Pesantren Demak, saya mengajar hafalan al Quran pada
santri-santri kecil selama 1,5 tahun. Saya juga pernah memberi les
anak-anak SD belajar membaca al Quran di Kembang Arum.
Demikian juga di SMP I Tengaran, sebagian belajar membaca dan
sebagian yang lain belajar menghafal al Quran/Juz Amma”
(wawancara 21-05-2016). Itulah sebabnya dia sangat senang jika
mendengar al Quran dibaca orang, dia mengatakan “saya bisa
merinding mendengarkan ayat-ayat al Quran yang sedang dibaca
orang, dan saya senang juga karena dengan mendengarkan itu, saya
dapat murajaah (mengulang-ulang hafalan)”. Meski dia mengakui
tentang kemampuan memahami maknanya dia belum bisa seluruhnya
(wawancara 19-09-2016).
54
C. Dimensi Konsekuensial dari Psikografi Keberagamaan Mahasiswa
Hafizh dan Hafizhah
Dimensi konsekuensial sebagaimana ditulis oleh Robertson “that it
identities the effects of religious belief, practice, experience and
knowledge in persons day-to-day lives” (1972: 257) artinya “dimensi ini
mencakup pengaruh-pengaruh dari kepercayaan agama, ibadah,
penghayatan, dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari”. Jelasnya,
dimensi ini meliputi semua pengaruh dari dimensi-dimensi keberagamaan
yang lain (iman, ibadah, penghayatan, dan pengetahuan orang tentang
agamanya) dalam kehidupan secara individual maupun secara komunal.
Karena itu, rumusan-rumusan dari dimensi ini bisa berupa pertanyaan “apa
efek agama terhadap etos kerja, etos studi, emphati, hubungan
interpersonal, dan lain-lain. Untuk memperoleh data tentang dimensi
konsekuensial ini, penulis merinci definisi dan formula dimensi tersebut
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya ke dalam beberapa pertanyaan
berikut ini:
Kesadaran sebagai seorang muslim/muslimah tentu membawa
konsekuensi tertentu pada kehidupan anda, misalnya saat ini anda
sedang menuntut ilmu, apakah motivasi dalam menuntut ilmu juga
didasari motif agama, atau semata-mata karena ilmu?
Saat anda menghadapi ujian dan kebetulan anda menemui kesulitan
untuk menjawab, sementara anda melihat sebagian teman anda ada
yang curang, apakah anda akan melakukan hal yang sama?
55
Seandainya di antara teman-teman anda ada ynag minta tolong untuk
mendapatkan penjelasan tentang mata kuliah tertentu yang belum dia
pahami, apa yang anda lakukan?
Jika anda sempat melihat pergaulan bebas dalam kehidupan remaja,
bagaimana sikap anda?
Apakah anda perlu membantu jika ada teman atau orang lain yang
membutuhkan sesuatu (uang, sepeda, buku) dengan
meminjamkannya?
Sebagai seorang muslim/muslimah yang diberi kesempatan menuntut
ilmu sampai ke Perguruan Tinggi, apakah anda berusaha
mengamalkan ilmu-ilmu tersebut?
Bagaimana partisipasi anda dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di
mana kamu tinggal?
Uraian berikut ini adalah hasil wawancara dengan para responden
tentang dimensi konsekuensial keberagamaan mereka:
Sebagai pribadi yang hafal al Quran, responden ini (RBK) saat penulis
mewawancarai tentang motivasi dalam menuntut ilmu memberi
jawaban “dua motif sekaligus, motif agama dan motif ilmu”. Motif
agama yang dimaksudkan adalah menuntut ilmu sebagai kewajiban
agama, sementara motif ilmu, maksudnya untuk menambah ilmu
pengetahuan sebagai pengembangan aspek intelektual secara pribadi.
Karenanya dengan ilmu itu dia merasa memiliki konsekuensi untuk
menjauhi perbuatan yang curang meski itu dilakukan oleh sebagian
56
teman-temannya. Sementara itu saat ditanya tentang tanggapannya
jika ada seorang teman yang minta dijelaskan tentang mata kuliah
tertentu yang belum dipahaminya, dia menjawab “tentu saya akan
berusaha menjelaskan dan itu hal yang biasa”. Tentang pergaulan
bebas, responden ini menjawab tentu akan menjauhi perbuatan yang
semacam itu karena itu larangan agama. Sementara tentang sikapnya
jika ada teman atau orang lain yang membutuhkan sesuatu, apakah
uang, sepeda, atau buku, responden ini (RBK) menuturkan bahwa
“saya akan membantu jika saya mampu”. Oleh karena itu, responden
ini berusaha mengamalkan ilmunya semampunya, misalnya dengan
melibatkan diri mengajar mengaji di desanya (pondok orang tuanya)
(wawancara 16-05-2016).
Responden berikutnya adalah MHM, hampir sama dengan responden
sebelumnya, responden ini menjelaskan bahwa motivasi dia dalam
menuntut ilmu adalah motivasi agama dan juga motivasi ilmu.
Tentang kemungkinan melakukan hal yang sama, yaitu berbuat curang
seperti yang dilakukan teman-temannya saat menghadapi kesulitan
saat ujian, responden ini menjawab “saya akan berusaha jujur”.
Tetapi jika ada teman yang membutuhkan penjelasan tentang mata
kuliah yang belum dipahaminya, dia memaparkan “akan menjawab
jika kebetulan saya bisa”. Mengenai pergaulan bebas, dia menjawab
lugas, “sebisa mungkin saya akan menjauhinya”. Sementara tentang
pertanyaan pentingnya membantu teman atau orang lain yang
57
meminjam (uang, sepeda, buku), dia menjawab “kalau memungkinkan
saya akan meminjaminya”. Demikian juga saat ditanya tentang
keinginan mengamalkan ilmu-ilmunya dia menjawab “saya merasa
penting untuk mengamalkan ilmu” untuk itu dia ikut membantu
mengajar di Pondok Pesantrennya („Usaqil Quran Rawasari, Tuntang,
Kabupaten Semarang). Sementara tentang partisipasinya dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan dia menjawab “saya ikut dalam
kegiatan-kegiatan Remas (Remaja masjid) (wawancara 17-05-2016).
SFH, responden ini saat diwawancarai oleh penulis tentang motivasi
menuntut ilmu, dia menjawab “semata-mata karena motif agama”.
Artinya, karena agama menganjurkan untuk menuntut ilmu, maka
semacam ada kewajiban pada dirinya untuk melaksanakannya.
Tentang pertanyaan apakah dia akan melakukan hal yang sama jika
melihat salah seorang temannya berbuat curang saat ujian? Responden
ini menjawab “saya tidak akan melakukan hal itu”. Namun saat dia
ditanya tentang sikapnya jika ada temannya yang membutuhkan
penjelasan tentang suatu materi mata kuliah yang belum dipahami, dia
menjawab “saya pasti akan menjelaskan jika saya bisa”. Demikian
juga saat ditanya tentang sikapnya melihat pergaulan bebas, SFH
memberi jawaban “saya pasti akan menjauhinya”. Sementara tentang
pertanyaan kesanggupan membantu teman atau orang lain saat
membutuhkan bantuannya (seperti uang, sepeda, atau buku),
58
responden ini juga memberi jawaban yang singkat juga “saya pasti
membantu jika saya memilikinya”.
Selanjutnya tentang kesadaran untuk mengamalkan ilmu yang
telah diperoleh, responden ini mengatakan “ya sebisa saya, saya akan
mengamalkannya”. Mengenai keterlibatannya dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan, responden ini menjawab dengan jujur sejak SMK
sudah jauh dari orang tua/rumah, sehingga untuk terlibat dalam
kegiatan kemasyarakatan di desanya dia masih merasa kurang, kecuali
saat liburan saja (wawancara 16-05-2016).
Responden selanjutnya, MYF, responden yang berasal dari Makasar
ini menjawab dengan lugas saat ditanya tentang motivasi dalam
menuntut ilmu yakni “semata-mata karena motif agama”. Dengan
kata lain, kenapa dia jauh-jauh untuk menuntut ilmu di Salatiga adalah
karena ajaran dalam Islam yang memberi motivasi juga agar manusia
menuntut ilmu supaya dinaikkan derajatnya. Hafalan al Quran yang
dimilikinya menjadikan dia tidak cenderung kepada pikiran-pikiran
tidak jujur. Oleh karena itu, saat diminta jawabannya tentang sikapnya
pada suatu saat melihat seorang temannya yang melakukan
kecurangan pada waktu ujian, responden ini menjawab dengan tegas
juga “ saya tidak akan menjawab kalau saya tidak bisa”. Dengan kata
lain, dia memilih mengosongkan jawabannya saat dia tidak bisa
mengerjakan soal ujian daripada harus curang. Tetapi saat diminta
jawabannya tentang apa yang akan dilakukan oleh MYF ini ketika ada
59
teman yang minta dijelaskan tentang materi mata kuliah tertentu yang
belum dipahaminya, responden ini menjawab “pasti akan membantu,
sharing bersama mereka”. Selanjutnya responden MYF ini
menjelaskan sikapnya jika melihat pergaulan bebas di antara remaja
“jujur saya kurang banyak bergaul, tentu saya punya versi lain yang
lebih baik” (dalam pergaulan-penulis).
Untuk pertanyaan “apakah anda perlu membantu jika ada teman
atau orang lain yang mau meminjam uang, buku, atau sepeda
padanya?” dia menjawab “ya saya akan membantu dia selagi saya
mampu membantu”. Demikian juga saat ditanya tentang sikapnya
dalam mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, MYF merasa
berkomitmen untuk itu, “saya sekarang menjadi staf pengajar di
Pondok Pesantren Al Irsyad dan saya bermukim di sana sambil
kuliah”. Sementara tentang partisipasi dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan dia memberikan jawaban “saya tinggal di pondok,
jadi kegiatan kemasyarakatan tersebut mampu saya lakukan di
lingkungan pondok saja”.
NVT, responden perempuan ini memberi jawaban dengan singkat
tentang motivasi dia dalam menuntut ilmu “yaitu motif agama” artinya
sama seperti responden-responden yang lain motif agama menjadi
acuan penting dalam mendasari motivasi dalam menuntut ilmu.
Kemudian tentang sikapnya saat melihat ada salah seorang temannya
yang bersikap curang dalam ujiannya, NVT menjawab “semampunya
60
saja, karena menurut saya hasil itu akhir”. Tentang apa yang
dilakukan jika pada suatu saat ada teman yang minta bantuannya
untuk menjelaskan mata kuliah yang belum dipahaminya, responden
ini menjawab “saya akan membantu menjelaskan seperti yang saya
pahami, jika saya merasa kurang mampu, kulo badhe mencari
rencang (teman) yang lebih paham untuk menjelaskan”.
Selanjutnya tentang sikapnya jika melihat pergaulan bebas di
kalangan remaja, NVT memberi jawaban “butuh waktu yang lama,
sementara ini jika melihat seperti itu, kulo membentengi awake kulo
piyambak mawon” (saya akan membentengi diri saya sendiri dulu-
penulis). Demikian juga saat penulis mewawancarai tentang sikapnya
jika ada teman atau orang lain yang pinjam sesuatu padanya, seperti
uang, sepeda atau buku, NVT mengemukakan “selagi ada yang
meminta bantuan dan saya punya, tentu badhe kulo sambuti” (tentu
akan saya pinjami-penulis).
Tentang upaya mengamalkan ilmu yang telah dia peroleh,
responden ini mengakui keinginan itu tentu ada, namun mungkin
belum maksimal. Demikian juga saat ditanya tentang keterlibatannya
dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dia menjawab “kalau yang
dimaksud masyarakat itu ada di desa saya, tentu saya masih sangat
kurang, karena saya tinggal di pondok maka aktivitas sosial saya
lebih banyak di pondok” (wawancara 16-05-2016).
61
Responden terakhir dalam penelitian ini adalah IDF, seorang
responden perempuan yang sudah memiliki hafalan al Quran lengkap
30 juz. Responden ini menjelaskan bahwa motivasi dalam menuntut
ilmu adalah semata-mata motivasi agama. Dalam arti karena agama
memerintahkan untuk mencari ilmu, maka dia berusaha untuk
melaksanakan perintah agama tersebut. Motivasi agama yang sangat
kuat mendorong dia untuk selalu berusaha bersikap jujur. Oleh karena
itu, saat ditanya sikapnya saat menghadapi ujian, dan dia melihat
temannya ada yang curang, maka dia tidak akan ikut-ikutan curang.
“Semampunya saja bu, saya cukup percaya diri” jawabnya. Tetapi
saat ditanya tentang apa yang dilakukan saat ada teman yang minta
bantuannya untuk menjelaskan materi tertentu yang belum dia pahami,
dia menjawab “saya akan menolong menjelaskan pada teman tersebut
terkait pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan”.
Selanjutnya tentang sikap IDF saat melihat pergaulan bebas di
kalangan remaja, responden ini menjawab “selagi itu teman saya
sendiri maka saya akan menegurnya, dan selanjutnya untuk
membentengi diri sendiri dari pergaulan bebas tersebut saya akan
menjauhi lingkungan yang seperti itu”. Responden ini juga
menjelaskan jawabannya tentang apa yang dilakukan jika pada suatu
hari ada teman yang membutuhkan bantuannya meminjam uang,
sepeda, atau buku, “selagi saya punya dan bisa tentu saya akan
meminjamkan” ungkapnya. Tentang tanggung jawab untuk
62
mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, responden ini
mengemukakan pendapatnya bahwa “keinginan itu pasti ada dan saya
akan selalu berusaha untuk dapat mengamalkan ilmu yang telah saya
peroleh”. Yang terakhir tentang kegiatan sosial di masyarakat, selama
ini kegiatan sosial yang bisa dia lakukan adalah berkaitan dengan
keilmuan dia yaitu membaca dan menghafal al Quran. Oleh karena itu,
jawaban dia tentang pertanyaan ini adalah kegiatan-kegiatan sosial
keagamaan seperti yang pernah dia jabarkan saat menjawab
wawancara tentang pertanyaan tanggung jawab menyebarluaskan
Islam pada dimensi eksperiensial seperti telah ditulis oleh penulis
sebelumnya (wawancara 10-04-2016).
63
BAB V
PEMBAHASAN DAN ANALISA
Sebagaimana ditulis oleh Nasution (2003: 126), analisis adalah proses
menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkannya
dalam pola, tema atau kategori. Dalam kerangka perspektif tersebut pada bab ini
penulis akan membingkai analisis dari sejumlah data yang ada ke dalam 3 sub
tema, yaitu pertama; Polarisasi responden (hafizh dan hafizhah), kedua;
Keterlibatan emosional dalam pelaksanaan ajaran agama (dimensi eksperiensial),
dan ketiga; Implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama (dimensi
konsekuensial).
A. Polarisasi Hafizh dan Hafizhah yang Menjadi Responden
Berdasarkan hasil wawancara dapat dikatakan bahwa masing-masing
responden memiliki kultur keagamaan yang sangat kuat. Hampir semua
responden menjelaskan bahwa bapak mereka berasal dari pendidikan Pondok
Pesantren. Di antara mereka juga menyebutkan bapak dan ibunya alumni
Pondok Pesantren. Bahkan terdapat dua responden (RBK dan SFH) di mana
bapak ibunya adalah seorang hafizh dan hafizhah. Memang ada seorang
responden (NVT) yang menyampaikan bahwa keinginan untuk menghafal al
Quran bukan karena dorongan keluarganya, tetapi awalnya karena jurusan
yang diambilnya (IAT). Hal itu disebabkan sejak kecil dia hidup dengan
neneknya, karena ayah dan ibunya berada di Sumatera.
Temuan berikutnya adalah bahwa meski keluarga menjadi kontributor
yang utama pada awal-awalnya, namun lembaga lain yaitu Pondok Pesantren
64
menjadi tempat yang memberi kontribusi penting dalam proses panjang
menghafal al Quran. Pondok Pesantren tersebut berdasarkan hasil wawancara
dengan responden adalah sebagai berikut (berdasarkan nomor urut
responden): Pondok Pesantren Al Mansur Suruh, Bina Insani Baran Ketapang
Susukan, Pondok Pesantren Rahmatullah 2 Grabag Magelang; Pondok
As‟adiyah Sengkang Sulawesi Selatan, Pondok Pesantren Al Falah Salatiga,
dan Pondok Pesantren Al Muhtar Blora.
Memang sesuai dengan kemampuan dan kesempatan menghafal para
responden tidak seragam dalam hal volume hafalan mereka. Di antara mereka
ada yang sudah hafal 30 juz (RBK, MYF, dan IDF) namun yang lainnya
masing-masing 7 juz (MHM dan NVT) dan 6 juz (SFH). Hal itu berbeda
dengan tingkat pemahaman terhadap makna al Quran di mana mereka
memberikan jawaban yang seragam “bisa memahami maknanya tapi hanya
sebagian”. Dengan kata lain para responden memang sudah hafal al Quran,
namun belum memiliki kemampuan untuk memahami seluruh terjemahan
dari al Quran itu sendiri. Tentu ini berkaitan langsung dengan kemampuan
dasar mereka dalam bahasa Arab.
Selanjutnya tentang latar belakang menghafal al Quran, sebagian
menyebutkan untuk menjaga eksistensi dan kemurnian al Quran (MHM dan
IDF). Sementara yang lain menyebutkan pada awalnya memang dorongan
orang tua, tugas akademik dari jurusan, namun lama kelamaan timbul
kesadaran tentang pentingnya tahfizhul Quran (RBK, SFH, dan NVT). Untuk
responden yang lain (MHM) menyebutkan bahwa dorongan menghafal al
65
Quran adalah untuk mengamalkan al Quran surat al „Alaq, yang artinya
bacalah, mungkin yang dimaksud oleh responden adalah bacalah al Quran.
Mencermati hasil penelitian tersebut di atas, dapat disarikan bahwa
faktor keluarga sebagai lingkungan yang pertama dan utama bagi tumbuh
kembang fisik dan pendidikan anak (termasuk di dalamnya pendidikan agama
mereka) menjadi faktor dalam tradisi menghafal al Quran. Hal itu
mengingatkan kita pada hadits Nabi,
رانوكلمولودي ولدعلىالفطرةفان سانواوي نص اب واهي هودانواويج
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua
orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Majusi, atau Nasrani” (HR.
Bukhori).
Hadits tersebut menjelaskan bahwa sekalipun setiap anak dilahirkan dalam
keadaan memiliki fitrah (rabbaniyah, fitrah tauhid) namun lingkungan sosial
mampu mengubah fitrah tersebut ke dalam berbagai kecenderungan
keimanan. Tentu saja dalam keluarga proses pendidikan (agama) terjadi
melalui respon imitatif anak terhadap orang tuanya. Demikian juga dalam
konteks penelitian para orang tua, para pengasuh pondok, menjadi model dan
motivator dalam kegiatan menghafal al Quran. Peran sebagai model
mengharuskan mereka memberi contoh-contoh yang positif dalam relasi
orang tua dan anak, juga pengasuh pondok dan santri. Dalam surat at Tahrim
ayat 6 disebutkan,
قواأن فسكموأىليكمنرا
Artinya: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
66
Keharusan menjaga diri lebih dahulu dari api neraka, sebelum menjaga
keluarga, mengisyaratkan penting diri sebagai model lebih dahulu sebelum
mengajarkan sesuatu pada anak-anak dan orang lain.
Dalam telaah psikologis, Shaffer dalam bukunya Development
Psychology menyebutkan bahwa peran orang tua sebagai pusat
identifikasi/imitasi/model, sangatlah kritis yang akan dilihat, diikuti, dan
dicoba ditiru oleh anak sesuai dengan tahap perkembangannya (Shaffer,
1998: 67). Melalui observasi anak terhadap perilaku atau tindakan orang tua
(orang tua lain yang lebih tua-ustadz misalnya) dan usaha-usaha secara
spontannya untuk meniru, mereka akan lebih dapat membuat persiapan yang
lebih mendukung bagi berlangsungnya nilai-nilai yang ingin diterapkan oleh
sebuah keluarga. J.B. Pratt menulis “The seed is the word, but there is little
use in sowing the seed, before the soil has been prepare for it (Pratt, tt: 96).
Artinya biji itu adalah kata, tetapi hanya ada sedikit kegunaan dalam menabur
benih jika sebelumnya tanahnya belum disiapkan untuk ditaburi. Ungkapan
ini sungguh menjelaskan tentang pentingnya lingkungan yang dipersiapkan
bagi tumbuh kembangnya anak-anak.
RH Thouless menyebut faktor sosial/tradisi sosial sebagai salah satu
faktor yang mempengaruhi keberagamaan seseorang. Tradisi sosial yang
dimaksud mencakup pendidikan keluarga, Pondok Pesantren atau masyarakat
sekitar, dan sekolah (Thouless, 1971: 16). Oleh karena itu, G.S. Spink
menyebut tradisi sosial tersebut sebagai elemen institusi. Hal itu dimaksudkan
67
untuk lebih menguatkan peran yang dimainkan oleh elemen ini dalam tradisi
keberagamaan (Spink, 1971: 187).
Berkenaan dengan temuan penelitian tentang terbatasnya kemampuan
mahasiswa hafizh dan hafizhah dalam memahami makna al Quran, hal itu
sangat menarik dalam konteks intensitas hafalan itu sendiri dan IAIN sebagai
lembaga Perguruan Tinggi. Dalam arti bahwa sungguh sangat ideal jika para
hafizh dan hafizhah yang studi di Perguruan Tinggi mampu menerjemahkan
isi al Quran. Mengapa? karena dengan memahami maknanya seorang
pembaca al Quran akan dengan mengerti maksud dari firman-firman Tuhan
tersebut lewat ayat demi ayat sehingga akan semakin mendorong untuk
mengamalkan kandungan al Quran dalam kehidupan nyata. Memang harus
diakui bahwa dalam Islam membaca satu ayat saja sudah mendapatkan
pahala, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit tentang keharusan mampu
memahami artinya, sebagaimana dalam hadits berikut ini.
كتبتلوحسنةالايةمناستمع كتابالل كتابومنتلاايةمضاعفةمن منكانتلون ور القيامةاي ومالل
Artinya: “Barang siapa yang mendengar suatu ayat dari kitab Allah,
maka dicatat untuknya kebaikan yang berlipat ganda dan barang siapa yang
membaca ayat dari kitab Allah akan menjadi cahaya baginya pada hari
kiamat”. (HR. Ahmad)
Mendengar dan membaca ayat-ayat al Quran semuanya akan ada
pahalanya, apalagi membaca yang disertai pemahaman maknanya dan
kemudian mengamalkannya, tentu akan lebih utama. Salah satu hadits Nabi
menyebutkan,
68
كممنت علمالقرانوعلمو ر خي Artinya: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang belajar al Quran
dan mengajarkannya”.
Untuk dapat mengajar dengan baik tentu dibutuhkan pemahaman arti al
Quran itu sendiri. Untuk mencapai kondisi tersebut tentu membutuhkan
waktu yang cukup. Mungkin yang perlu dikaji lebih awal adalah mengapa
mereka masih sulit menerjemahkan al Quran keseluruhan atau paling tidak
setiap ayat yang sudah dihafalkan? Apakah karena terbatasnya kemampuan
dasar dalam bahasa Arab, terbatasnya waktu, atau mungkin karena belum
adanya keharusan akademik? Tentu perlu diteliti. Tetapi yang harus disyukuri
adalah bahwa tidak lama lagi Fakultas Ushuluddin akan menggunakan sistem
ma‟had yang tergabung (menjadi satu/dalam satu area) dengan gedung-
gedung perkuliahan. Paling tidak momentum tersebut dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas hafalan mahasiswa dengan disertai pemahaman
maknanya, sehingga hal itu bisa menjadi well-differentiated bagi lembaga-
lembaga lainnya.
Uraian tentang hasil penelitian tentang polarisasi hafizh dan hafizhah
yang menjadi responden dalam penelitian ini secara ringkas dapat dibaca
pada tabel berikut.
69
Tabel 5.1
Polarisasi Hafalan Hafizh dan Hafizhah Responden
Kode
Responden
Hafalan/
Juz
Kontributor Hafalan Kemampuan Memahami
Makna Ayat
RBK 30 Keluarga tentu menjadi
kontributor utama, lalu Pondok
Pesantren, dan tugas akademik,
kemudian ada semacam
kewajiban untuk mempertahankan
hafalan.
Bisa memahami tapi baru
sebagian saja belum
seluruhnya.
MHM 7 Yang pertama adalah keluarga
selanjutnya Pondok Pesantren,
tugas akademik, serta kesadaran
adanya perintah agama dan
muncul kesadaran diri tentang
pentingnya keseimbangan antara
intelektualitas dan spiritualitas
pribadi.
Hanya pada ayat tertentu
saja saya mampu.
SFH 6 Awalnya keluarga, karena ada
tradisi salah satu dari keluarga
harus ada yang hafal al Quran,
selanjutnya Pondok Pesantren dan
tugas akademik, dari satu muncul
Tidak semua ayat saya dapat
memahami maknanya,
hanya sebagian saja.
70
kesadaran dari dalam diri sendiri.
MYF 30 Tentu keluarga, kemudian Pondok
Pesantren As‟adiyah Sengkang,
Rumah Tahfizh Ummul Qura Al
Askar, dan setelah 30 juz baru aku
masuk IAIN Salatiga.
Saya mampu
menerjemahkan tapi kalau
semua ayat al Quran tentu
belum.
NVT 7 Kontributor awal adalah tugas
akademik/jurusan, lalu saya
menghafal di pondok, lama
kelamaan muncul kesadaran dari
dalam diri sendiri.
Belum bisa, bahkan hanya
sekit sekali yang saya bisa,
fokus pada hafalan saja,
karena mufradat saya
terbatas.
IDF 30 Keluarga tentunya, lalu saya
belajar menghafal sambil sekolah,
di Pondok Al Wahid Demak, juga
Pondok Pesantren Al Muhtar
Blora, dan ma‟had STAIN ketika
itu, muncul kesadaran untuk
menjaga kemurnian al Quran.
Belum bisa memahami arti
ayat per ayat secara
keseluruhan, ada yang sudah
bisa tapi banyak yang
belum.
71
B. Keterlibatan Emosional dalam Pelaksanaan Ajaran Agama/Dimensi
Eksperiensial
Untuk mendapatkan data tentang persoalan di atas penulis kemas dalam
9 pertanyaan pada saat wawancara dengan responden. Namun dari 9 butir
pertanyaan tersebut di atas dapat dipetakan ke dalam 3 bagian. Yaitu mampu
merasakan kehadiran Tuhan di waktu shalat atau di luar shalat, meyakini
Tuhan mendengar dan mengabulkan saat berdoa, dan adanya perasaan
memiliki hubungan yang dekat sekali dan penuh cinta kasih dengan Tuhan.
1. Kemampuan Merasakan Hadirnya Tuhan pada Waktu Shalat
Maupun di Luar Shalat
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar responden (RBK,
MHM, SFH, dan NVT) memberi jawaban “belum bisa merasakan
hadirnya Tuhan dalam seluruh waktu shalat saya”. Dengan kata lain,
terkadang bisa terkadang juga tidak. Demikian juga pada saat di luar
shalat. Namun berbeda dengan keempat responden tersebut di atas, dua
responden lainnya menjawab “saya selalu berusaha dapat menghadirkan
Allah pada setiap saya shalat maupun waktu di luar shalat” (IDF, MYF).
Hanya saja MYF member jawaban tersendiri terkait dengan hal yang
terakhir tersebut “di luar shalat pun saya mampu merasakan hadirnya
Tuhan karena menurut saya posisi kita di mata Tuhan dapat kita ketahui
bagaimana Tuhan memposisikan kita sekarang, saya sering merasakan
hadirnya Tuhan melalui anugrah Tuhan.
72
Dalam konteks ibadah (shalat) perasaan hadirnya Tuhan menjadi
sangat penting karena substansi dari shalat tersebut agar kita mampu
mengingat keberadaan-Nya, sehingga mampu mengatur gerak-gerik kita.
Dalam al Quran disebutkan:
لاةلذكري لاإلوإلاأنفاعبدنوأقمالص إننأنالل
Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan
(yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk
mengingat Aku”. (Q.S. Thaha: 14)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memerintahkan shalat
adalah agar untuk mengingat-Nya. Dengan kata lain dalam ibadah shalat
kita diharapkan dapat mengingat Allah. Dengan kata lain juga, bahwa saat
kita sedang shalat kita diharapkan mampu merasakan hadirnya Tuhan.
Demikian juga dalam hal merasakan hadirnya Tuhan di luar shalat.
Hadits Nabi menyebutkan:
يئةالسنةتحهاوخالقالناسبلقحسنات كنتوأتبعالس ثما حي قالل
Artinya: “Hendaklah kamu takut kepada Allah di mana saja kamu
berada, dan ikutilah perbuatan yang jahat dengan perbuatan yang baik,
pasti akan menghapusnya dan bergaullah dengan sesama manusia dengan
pergaulan (akhlak) yang baik”. (HR. Ahmad)
Perintah untuk takut kepada Allah di mana saja mengindikasikan
bahwa kita diperintahkan untuk selalu memiliki perasaan akan hadirnya
Tuhan di manapun kita berada.
73
2. Perasaan Adanya Keyakinan Bahwa Tuhan Mendengarkan dan
Mengabulkan Doa
Jika pada item nomor 1 responden tidak sama dalam memberikan
jawaban, maka pada item-item ini responden memiliki jawaban yang
seragam. Meski dengan redaksi yang berbeda-beda tetapi esensinya sama
yaitu semua responden meyakini Tuhan mendengarkan dan mengabulkan
doa-doa mereka saat mereka berdoa.
Berdoa merupakan salah satu aktivitas yang biasanya dilakukan
berdasarkan kebutuhan secara individual. Jawaban responden yang
seragam tentang keyakinan akan doanya, barangkali dapat dijelaskan
dalam kerangka berpikir seperti itu. Artinya karena doa dilakukan
berdasarkan kebutuhan tertentu (yang sangat penting) dan dalam waktu
tertentu, maka seseorang lebih bisa intens pada saat berdoa.
Terkait dengan doa dan intensitasnya al Quran mengajarkan:
السنفاد الأساء عوهولل
Artinya: “Allah memiliki nama-nama yang sangat indah (asmaul
husna) maka memohonlah kamu dengan nama-nama itu” (QS. Al A‟raf:
180).
لايستجيبدعاءمنق ل الل جابةواعلمواان وأن تمموقن ونبلا بادعواالل غافللاه
Artinya: “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan bahwa doamu
itu akan dikabulkan Allah. Dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan
mengabulkan doa yang muncul dari hati yang hampa dan tidak sungguh-
sungguh”. (HR. Turmudzi)
74
3. Adanya Hubungan yang Sangat Dekat dengan Tuhan dan Perasaan
Penuh Cinta Kasih pada-Nya
Responden dalam hal ini merasa belum merasa memiliki hubungan
yang sangat dekat dengan Tuhan dalam setiap waktu. Namun saat
ditanyakan kapan anda merasakan hubungan yang sangat dekat dengan
Tuhan, responden memberikan jawaban dengan redaksi yang berbeda-
beda sekaligus dengan momentum yang beragam seperti berikut ini:
RBK : “Saya merasa dekat sekali dengan Tuhan saat saya menghadapi
ujian atau masalah-masalah yang lain”.
MHM : “Saya merasa dekat dengan Tuhan terutama saat shalat tahajud di
malam yang sunyi”.
SFH : “Saya merasa dekat dengan Tuhan pada saat saya sedang
menghadapi masalah”.
MYF : “Saya merasa dekat sekali dengan Tuhan saat shalat tahajud dan
mendengarkan murattal ayat al Quran”.
NVT : “Saya merasa dekat dengan Tuhan ketika sedang sedih”.
IDF : “Saya merasa dekat dengan Tuhan saat shalat tahajud dan jika
sedang ada masalah”.
Paparan tersebut di atas menjelaskan bahwa ada 2 kondisi di mana
para responden mampu merasakan hubungan yang sangat dekat sekali
dengan Tuhan yaitu pertama, “saat ada masalah” (sedang sedih, sedang
ujian, atau mendapat masalah-masalah yang lain) dan kedua, “saat
tahajud”.
75
Dari jenis jawaban yang pertama (sedang ada masalah) dapat
disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara variabel
“adanya masalah” dengan hubungan yang semakin dekat dengan Tuhan.
Hal ini tentu tidak dialami oleh para responden saja tetapi hampir
dirasakan oleh setiap orang, bukankah al Quran sendiri sudah mengingat
tentang sifat manusia terkait hal tersebut di atas.
كشفناعنوضرهمر ا دعانلنبوأوقاعداأوقائماف لم الإنسانالضر وإذامسكانوا كذلكزينللمسرفينما و مس يدعناإلضر ي عملونكأنل
Artinya: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada
Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami
hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang
sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk
(menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang
yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka
kerjakan”. (QS. Yunus: 12)
Kondisi kedua di mana responden merasa memiliki hubungan yang
dekat sekali dengan Tuhan adalah pada saat shalat tahajud. Hal itu bisa
dimaklumi karena pelaksanaan shalat tahajud itu sendiri dilaksanakan pada
saat tengah malam dengan suasana yang sepi dan tenang sehingga tingkat
penghayatannya pun bisa lebih mendalam. Di samping itu, harus diakui
bahwa agama memang memiliki fungsi 3 psikologis tertentu, yang
memberikan perasaan tenang dan nyaman dari takut dan sedih,
sebagaimana firman Allah:
وامن هممنخوف
76
Artinya: “Dan Dialah yang memberikan rasa aman pada mereka
dari rasa takut”.
Hal lain berkenaan dengan keterlibatan emosional dalam
pelaksanaan ajaran agama adalah tentang kemampuan menyiapkan diri
dengan sepenuh hati sebagai tanda cinta kasih saat akan beribadah kepada
Tuhan, (wudhu misalnya), seluruh responden menjawab “tidak selamanya
bisa, kadang bisa terkadang tidak”. Namun, ketika ditanya tentang
perasaan yang muncul saat mendengarkan al Quran semua responden
menjawab “perasaan tenang, tentram, bahagia, dan senang” bahkan salah
satu responden menjawab hingga bisa merinding mendengarnya. Jiika kita
kembali kepada al Quran maka ciri orang mukmin salah satunya adalah
apabila dibacakan ayat-ayat suci al Quran bertambahlah imannya.
وجلتق لوب هموإذاتليتعليهمآي االمؤمنونالذينإذاذكرالل توزادت همإنلون إيانوعلىربمي ت وك
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman
mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal”. (QS. Al
Anfal: 2)
Jika dideskripsikan dalam sebuah tabel maka dimensi keterlibatan
emosional dalam pelaksanaan ajaran agama (dimensi eksperiensial)
berdasarkan hasil wawancara dengan responden akan terbaca sebagai
berikut.
77
Tabel 5.2
Keterlibatan Emosional dalam Pelaksanaan Ajaran Agama
(Dimensi Eksperiensial)
Kode
Responden
Keterlibatan Emosional dalam Pelaksanaan Ajaran Agama (Dimensi
Eksperiensial)
Merasakan
hadirnya
Tuhan pada
saat shalat
Adanya harapan
positif dan
keyakinan bahwa
Tuhan
mengabulkan doa
Merasakan
hubungan yang
sangat dekat dengan
perasaan penuh
cinta kasih pada
Tuhan
Perasaan
saat
mendengar
ayat-ayat al
Quran
dibaca
RBK Belum bisa
merasakan
hadirnya
Tuhan dalam
setiap waktu
shalat saya.
Selalu yakin bahwa
Tuhan mendengar
dan akan
mengabulkan doa-
doa saya.
Belum bisa seluruh
waktu merasakan
hubungan yang dekat
dengan Tuhan, hanya
pada saat ada masalah
atau menghadapi
ujian.
Saya merasa
bahagia.
MHM Belum bisa
merasakan
hadirnya
Tuhan dalam
setiap waktu
shalat saya.
Selalu yakin bahwa
Tuhan mendengar
dan akan
mengabulkan doa-
doa saya.
Belum bisa seluruh
waktu merasakan
hubungan yang dekat
dengan Tuhan, saya
bisa merasa dekat
pada waktu shalat
tahajud di malam hari.
Saya merasa
tentram.
SFH Belum bisa
merasakan
hadirnya
Tuhan dalam
Selalu yakin bahwa
Tuhan mendengar
dan akan
mengabulkan doa-
Belum bisa seluruh
waktu merasakan
hubungan yang dekat
dengan Tuhan, tetapi
Saya merasa
tenang.
78
setiap waktu
shalat saya.
doa saya. saat menghadapi
masalah saya merasa
dekat dengan Tuhan.
NVT Belum bisa
merasakan
hadirnya
Tuhan dalam
setiap waktu
shalat saya.
Selalu yakin bahwa
Tuhan mendengar
dan akan
mengabulkan doa-
doa saya.
Belum bisa seluruh
waktu merasakan
hubungan yang dekat
dengan Tuhan, pada
saat saya sedang
sedih.
Saya merasa
senang.
MYF Saya merasa
mampu
merasakan
hadirnya
Tuhan saat
saya shalat.
Selalu yakin bahwa
Tuhan mendengar
dan akan
mengabulkan doa-
doa saya.
Belum bisa seluruh
waktu merasakan
hubungan yang dekat
dengan Tuhan, saya
merasa dekat sekali
dengan Tuhan pada
saat tahajud dan
mendengarkan
murattal ayat-ayat al
Quran.
Saya
merasakan
hadirnya
Tuhan
melalui ayat
demi ayat.
IDF Belum bisa
merasakan
hadirnya
Tuhan dalam
setiap waktu
shalat saya.
Selalu yakin bahwa
Tuhan mendengar
dan akan
mengabulkan doa-
doa saya.
Belum bisa seluruh
waktu merasakan
hubungan yang dekat
dengan Tuhan, pada
saat shalat tahajud dan
sedang ada masalah
saya merasa dekat
dengan Tuhan.
Saya merasa
sangat
senang,
terkadang
sampai
merinding.
Jika kita mencermati apa yang tertulis dalam tabel tersebut maka ada
yang perlu digaris bawahi, yaitu merasakan hadirnya Tuhan pada saat akan
79
shalat, merasakan hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan dan
perasaan cinta kasih yang penuh saat wudhu misalnya (akan menghadap
Tuhan), responden dalam hal ini merasakan belum mampu (kecuali MYF
dan IDF yang menyatakan mampu merasakan hadirnya Tuhan dalam
setiap shalat). Jika masalah ini kita telaah dari perspektif psikologi agama,
maka usia remaja dikenal dengan keberagamaan yang bersifat ambivalen,
yaitu kondisi keyakinan yang maju mundur. Kadang terasa dekat sekali
keyakinannya kepada Tuhan, tetapi kadang juga terasa begitu jauh dan
tidak mampu memusatkan pikiran dan hatinya pada waktu berdoa dan
shalat (Daradjat, 1976: 98-101).
Oleh karena itu, dalam hal ketiga masalah seperti yang telah disebut
sebelumnya, responden masih belum bisa merasakan dalam setiap waktu
secara tetap, tetapi terkadang bisa dan terkadang tidak. Barang kali, inilah
yang dimaksud oleh Zakiyah sebagai keberagamaan yang ambivalen atau
maju mundur.
C. Implikasi Sosial dari Pelaksanaan Ajaran Agama (Dimensi
Konsekuensial)
Pertanyaan mendasar dari dimensi ini adalah “apa efek agama
terhadap etos kerja, etos studi, emphati, hubungan interpersonal, dan lain-
lain. Dari masalah tersebut kemudian penulis urai dalam 7 pertanyaan dan
7 pertanyaan tersebut setelah diwawancarakan dengan responden akhirnya
dapat penulis kelompokkan menjadi 3 sub tema, yaitu etos dan motivasi
80
studi, membantu bagi yang mengalami kesulitan, dan konsistensi moral.
Oleh karena itu, pada bagian pembahasan dan analisis ini penulis akan
deskripsikan ke 3 sub tema tersebut.
1. Etos dan Motivasi Studi
Dari 6 responden yang penulis wawancarai 2 responden (RBK
dan MHM) menyebutkan bahwa motivasi mereka menuntut ilmu adalah
karena motif agama dan motif ilmu. Artinya menuntut ilmu merupakan
implementasi dari ajaran agama yang mewajibkan manusia untuk
mencari ilmu, sementara yang dimaksud dengan motif ilmu adalah di
samping motif ajaran agama adalah juga demi ilmu itu sendiri bagi
peningkatan kualitas intelektual responden secara pribadi. Sementara 4
responden lainnya memberikan jawaban demi motif agama semata.
Mereka beralasan bahwa karena agama mengajarkan untuk menuntut
ilmu maka ada semacam kewajiban untuk melaksanakannya.
Sementara tentang etos studi, dalam hal ini menyangkut
kesungguhan dalam menjalaninya dan dalam mengamalkannya, semua
responden memberikan jawaban yang seragam bahwa mereka memiliki
komitmen yang tinggi dalam studi (kesimpulan ini bukan hanya penulis
dapatkan melalui wawancara, tetapi juga berdasarkan observasi selama
mengajar dalam beberapa semester di kelas mereka). Demikian juga
dalam hal mengamalkan ilmu, rata-rata mereka telah mulai menjadi
ustazh/ustazhah di Pondok Pesantren masing-masing. Seperti responden
RBK yang nglaju saat kuliah ini membantu mengajar di Pondok
81
Pesantren milik orang tuanya di Susukan, Kabupaten Semarang. MHM
membantu mengajar di Pondok Pesantren Roudlotul Usaqil Quran
Rowosari, Tuntang, Kabupaten Semarang. SFH mengajar mengaji di
Pondok Pesantren Mansyaul Huda Sraten, Tuntang, Kabupaten
Semarang. MYF menjadi pengajar tetap di Pondok Pesantren Al Irsyad
Bener, Salatiga. IDF meski berpindah-pindah tempat sesuai dengan
domisilinya, namun dia selalu terlibat dalam kegiatan mengajar, seperti
sewaktu dia tinggal di Pondok Pesantren Al Wahid, Weding, Demak.
Juga saat dia kuliah di Salatiga dia mengajar di rumah tahfizh bahkan
pernah mengajar di sekolah tempat dia PPL, di Ungaran. Hanya
responden NVT saja yang sudah mengamalkan ilmunya namun dia
merasa belum maksimal.
Dalam al Quran, secara eksplisit disebutkan tentang keutamaan
orang yang beriman dan menuntut ilmu.
الذينآمنوامنكموالذينأوتواالعلمدرجات ي رفعالل
Artinya: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang menuntut ilmu”. (QS.
Mujadalah: 11)
Demikian dalam sebuah hadits Nabi diajarkan bahwa akan diberi
kemudahan jalan ke surga bagi orang-orang yang mau menuntut ilmu.
لاللبوالالنةمنسلكطري قاي لتمس فيوعلماسه
Artinya: “Barang siapa yang berjalan dalam rangka mencari
ilmu, Allah akan memudahkan jalan baginya ke surga”. (HR. Muslim)
82
Tentang pentingnya umat Islam memperdalam ilmu agama dan
kemudian mengamalkannya juga dijelaskan dalam al Quran.
هواف همطائفةلي ت فق كلفرقةمن كافةف لولان فرمن كانالمؤمنونلي نفروا وماينولي نذرواق ومهمإذارجعواإليهملعلهميذرون الد
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu
pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. At Taubah: 122)
2. Membantu Bagi Mereka yang Mengalami Kesulitan
Tentang kesadaran responden dalam hal membantu kesulitan
baik di antara teman-teman, orang yang lain yang membutuhkan bisa
dikatakan mereka memiliki jawaban yang seragam. Artinya seluruh
responden menjawab “akan membantu menjelaskan jika ada
kesulitan dari temannya dan akan meminjami buku, sepeda, atau
uang jika ada teman atau orang lain yang membutuhkan”. Sementara
tentang partisipasi di masyarakat, responden dalam hal ini
menjelaskan keterlibatannya di lingkungan masyarakat di mana saat
ini mereka tinggal. Karena mereka saat ini hampir semuanya tinggal
di Pondok Pesantren, maka pengabdian masyarakat itu dimaknai
dalam konteks masyarakat Pondok Pesantren dan sekitarnya. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika jawaban responden terkait hal
ini bersifat kegiatan keagamaan, seperti mengajar mengaji, hafalan al
Quran, baca tulis al Quran, kegiatan-kegiatan remas, dan lain-lain.
83
Padatnya kegiatan akademik di kampus tidak membuat mereka
membagi waktu untuk berbagi dengan sesama dan melakukan
pengabdian pada masyarakat berdasarkan kemampuan mereka.
Partisipasi sosial para responden hafizh dan hafizhah sebagai sebuah
“komunitas kognitif” (meminjam terma Peter Berger), merupakan
manifestasi dari keimanan mereka. Karena menurut Berger
“keyakinan agama mampu membentuk suatu masyarakat sebagai
“komunitas kognitif”, oleh karenanya komunitas ini memiliki
kemampuan untuk memberi arah pada pola perilaku dan corak
struktur sosialnya. Dalam konteks ini partisipasi sosial responden di
dalam lingkup masyarakat masing-masing bisa dimaknai sebagai
konsekuensi dari mereka sebagai komunitas kognitif tersebut.
Di samping itu, partisipasi sosial dari para responden dapat
dimaknai juga sebagai kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan ini
menurut Maslow merupakan kebutuhan yang paling tinggi (Ancok,
1994: 50). Pada tingkatan ini masih kata Maslow, manusia ingin
berbuat sesuatu semata-mata karena dorongan dari dalam. Dia tidak
lagi menuntut atau mengharapkan penghargaan orang lain atas apa
yang diperbuatnya. Sesuatu yang ingin dikejar dalam kebutuhan
tingkat ini adalah keindahan, kesempurnaan, keadilan, dan
kebermaknaan.
84
Dalam perspektif al Quran tolong menolong dan berbagi
kepada sesama merupakan bagian dari ajaran agama Islam. Seperti
tersebut dalam ayat berikut ini.
والعدوانت عاونواعلىالبوالت قوىولاوت عاونوا ث علىالإ
Artinya: “Saling tolong menolonglah kamu sekalian dalam hal
kebaikan dan taqwa dan janganlah saling tolong menolong dalam
dosa dan permusuhan”. (QS. Al Maidah: 2)
3. Konsistensi Moral
Bagian terakhir dari implikasi sosial dalam penelitian ini
adalah konsistensi moral. Dalam hal ini penulis sengaja kaitkan
dengan masalah-masalah yang berdekatan dengan kondisi para
responden saat ini yaitu sebagai mahasiswa di satu sisi dan sebagai
remaja pada sisi yang lain. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah
tentang bagaimana sikap responden jika melihat ada teman yang
curang saat ujian, dan bagaimana sikap mereka pula dalam
menghadapi pergaulan bebas.
Terhadap kedua pertanyaan tersebut, seluruh responden
memberikan jawaban yang sama yaitu tidak akan melakukan
kecurangan saat ujian (sebisanya saja, jadi tidak perlu curang) dan
mereka sama sekali tidak tertarik dengan pergaulan bebas. Karena itu
mayoritas dan bahkan semua responden memberi jawaban “akan
menjauhi (pergaulan bebas) dan membentengi diri dari pergaulan
seperti itu”.
85
Dari beberapa uraian di atas, kiranya dapat penulis katakan
bahwa hafalan al Quran yang mereka tekuni memiliki implikasi yang
kuat bagi konsistensi moral mereka. Pentingnya konsistensi moral ini
sangat ditekankan dalam al Quran. Sebagai contoh dalam surat Al
Ashr juga dalam surat At Tin dan masih banyak lainnya.
Dalam studi psikologi agama, konsistensi moral menurut GW.
Allport (1971: 65) merupakan salah satu kriteria maturitas agama.
Jika ditelaah lanjut berdasarkan hasil wawancara dengan para
responden maka dapat disimpulkan bahwa dalam tingkat
penghayatan dalam hal merasakan hadirnya Tuhan belum seluruh
responden mampu merasakan dalam setiap waktu. Demikian juga
tentang perasaan kedekatan dengan Tuhan dalam setiap waktu.
Responden menyatakan belum bisa merasakan hal itu, namun bisa
pada saat-saat tertentu saja. Hal itu tentu sangat terkait dengan
kondisi mereka yang masih remaja sehingga wajar jika dalam hal
tingkat penghayatan dan kedekatan mereka masih labil. Tetapi dalam
hal implikasi sosial dan konsistensi moral mereka dipandang sudah
stabil.
Secara ringkas dimensi konsekuensial dari psikografi
keberagamaan mahasiswa hafizh dan hafizhah bisa dilihat dalam
tabel berikut ini.
86
Tabel. 5.3
Implikasi Sosial dari Pelaksanaan Ajaran Agama
(Dimensi Konsekuensial)
Kode
Responden
Implikasi Sosial dari Pelaksanaan Ajaran Agama
(Dimensi Konsekuensial)
Motivasi dan etos
studi
Berbagi pada yang
membutuhkan dan
pengabdian ilmu
Konsistensi moral
RBK Motivasi dalam studi
di samping karena
motif-motif agama
adalah juga demi
ilmu itu sendiri bagi
pribadi
Saya memiliki kebiasaan
berbagi pada yang
membutuhkan baik berupa
ilmu, waktu, ataupun
materi, semampunya.
Mampu membentengi diri
dari ketidakjujuran dan dari
pergaulan bebas.
MHM Motivasi dalam studi
di samping karena
motif-motif agama
adalah juga demi
ilmu itu sendiri bagi
pribadi.
Berbagi kepada yang
membutuhkan baik berupa
ilmu, waktu, ataupun
materi semampunya saya.
Sudah menjadi kebiasaan.
Saya mampu membentengi
diri dari ketidakjujuran dan
dari pergaulan bebas.
SFH Motivasi menuntut
ilmu semata karena
Saya memiliki kebiasaan
berbagi pada yang
Saya akan menjauhkan diri
dari ketidakjujuran dan dari
87
motif agama dalam
arti karena agama
memerintahkan
manusia untuk
menuntut ilmu.
membutuhkan baik berupa
ilmu, waktu, ataupun
materi, semampunya saya.
pergaulan bebas.
MYF Motivasi dalam studi
di samping karena
motif-motif agama
adalah juga demi
ilmu itu sendiri bagi
pribadi
Saya akan berbagi pada
yang membutuhkan baik
berupa ilmu, waktu,
ataupun materi jika saya
mampu.
Mampu membentengi diri
dari ketidakjujuran dan dari
pergaulan bebas.
NVT Motivasi dalam studi
di samping karena
motif-motif agama
adalah juga demi
ilmu itu sendiri bagi
pribadi.
Berbagi pada yang
membutuhkan baik berupa
ilmu, waktu, ataupun
materi, semampunya.
Berusaha mampu
membentengi diri dari
ketidakjujuran dan dari
pergaulan bebas.
IDF Motivasi dalam studi
di samping karena
motif-motif agama
adalah juga demi
ilmu itu sendiri bagi
pribadi.
Saya akan berbagi pada
yang membutuhkan baik
berupa ilmu, waktu,
ataupun materi jika saya
mampu.
Saya menjaga diri dari
ketidakjujuran dan dari
pergaulan bebas.
88
BAB VI
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada fokus penelitian dan hasil wawancara dengan responden
maka penelitian ini menyimpulkan:
1. Polarisasi responden hafizh dan hafizhah mahasiswa IAIN Salatiga
tahun 2016 adalah sebagai berikut:
Responden memiliki hafalan al Quran secara variatif antara 6
sampai 30 juz.
Motivasi menghafal al Quran adalah karena dorongan keluarga,
tugas akademik, namun untuk selanjutnya tumbuh kesadaran
secara internal tentang pentingnya menghafal al Quran.
Responden penelitian ini (5 orang adalah mahasiswa semester 6
dan 1 orang semester 8), memiliki kemampuan menerjemahkan
ayat al Quran, namun kemampuan tersebut belum menyeluruh.
Artinya baru sebagian ayat yang mereka pahami artinya.
2. Dimensi eksperiensial dalam psikografi keberagamaan responden
Secara keseluruhan responden mampu merasakan hadirnya Tuhan
pada waktu shalat, namun belum bisa pada seluruh waktu shalat.
Jadi terkadang bisa terkadang belum bisa merasakannya.
Semua responden yakin bahwa saat mereka berdoa, Tuhan
mendengarkan dan mengabulkan doa-doa mereka.
89
Perasaan selalu merasa dekat sekali dengan Tuhan, jika dalam
setiap waktu mereka belum mampu. Namun mereka menyebutkan
waktu-waktu tertentu saat mereka bisa dekat sekali dengan Tuhan
yaitu saat menghadapi masalah, saat shalat tahajud, dan saat
murattal ayat-ayat al Quran.
3. Dimensi konsekuensial dalam psikografi keberagamaan responden
Dalam hal motivasi dan etos studi, mereka menyebut antara motif
agama (mengamalkan ajaran agama) dan motif keilmuan pribadi. 2
di antara responden memiliki motif keduanya, selebihnya (4
responden) semata-mata karena motif agama.
Kebiasaan berbagi kepada yang membutuhkan dan pengabdian
keilmuan terhadap lingkungan mereka, diakui oleh semua
responden.
Mereka memiliki kemampuan membentengi diri dari perilaku tidak
jujur dan dari pergaulan bebas.
B. Rekomendasi
1. Kepada lembaga PT IAIN Salatiga, penting kiranya untuk terus
menjaga kerjasama dengan Pondok Pesantren tertentu dengan
menggiatkan kemampuan hafalan al Quran bagi mahasiswa.
2. Melalui instrumen akademik perlu diupayakan kiat meningkatkan
kemampuan memahami makna al Quran karena tentu akan
mempengaruhi pada tataran aplikasinya.
90
3. Untuk Fakultas Ushuluddin dengan adanya rencana pengadaan ma‟had
yang dapat menambah tradisi hafalan al Quran bukan hanya pada
mahasiswa IAT semata tapi bagi keseluruhan mahasiswa.
4. Untuk para mahasiswa, perlu menjaga dan meningkatkan semangat
menghafal al Quran disertai dengan pemahaman terjemahannya agar
semakin komprehensif.
C. Penutup
Rasa syukur yang tak terhingga penulis ucapkan ke hadirat Allah
Swt. karena hanya dengan pertolongan-Nya penulis mampu
menyelesaikan penelitian ini.
Penelitian ini hanyalah salah satu saja di antara penelitian tentang
keberagamaan mahasiswa. Penulis yakin masih terdapat kelemahan dalam
penelitian ini, terutama karena belum mampu mengungkap keberagamaan
mahasiswa dalam keseluruhan dimensi-dimensinya.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
kontribusinya. Terima kasih kepada mbak Titik Isniatus Sholikhah yang
dengan susah payah membantu penulis dalam proses penyelesaian
penelitian ini. Semoga Allah berkenan memberikan balasan yang berlipat
ganda. Amin.
Yang terakhir kepada lembaga LP2M IAIN Salatiga yang telah
memberikan fasilitas penelitian ini. Mudah-mudahan apa yang dihasilkan
dari penelitian ini dapat menjadi bagian rujukan dalam pengambilan
91
kebijakan maupun pengembangan akademik, khususnya tentang
keberagamaan.
92
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 1999. Studi Islam Normativitas dan Historisitas.
Jogja: Pustaka Pelajar.
Abdullah, Taufik.ed. 1989. Metodologi Penelitian Agama. Jogja: PT
Tiara Wacana.
Ancok, Djamaluddin. 1994. Psikologi Islam. Yoyakarta: Pustaka
Pelajar.
Clark. 1958. The Psychology of Religion. New York: The Mac Millan
Company.
Crapps, Robert W. 1993. Dialog Psikologi dan Agama. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Daradjat, Zakiah. 1976. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Gunarsa, Singgih Dirga. 1996. Pengantar Psikologi. Jakarta: Sumber
Widya.
Jongeneel, J.A.B. 1978. Introduction to The Scientific Study of
Religion. Jakarta: Gunung Mulia.
Khoironi Ed. 2002. Islam dan Hegemoni Sosial. Jakarta: Media Cipta.
Moleong, Lexy. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Rosda Karya.
Nasution, S. 2003. Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitalif.
Bandung: Tarsito.
Pratt, JB. tt. The Religious Consciousness. New York: The Macmillan
Company.
93
Rakhmad, Jalaluddin. 2003. Psikologi Agama. Jakarta: PT Mizan
Pustaka.
Robertson, Roland. 1972. Sociology of Religion. Australia: Penguin
Book INC.
Shaffer. 1988. Development Psychology. California: Cole Publishing.
Spink, G.S. 1971. Psychology and Religion. USA: Beacon Press.
Suryanto, Bagong ed. 2007. Metode Penelitian Sosial. Jakarta:
Kencana.
Thouless, RH. 1971. An Introduction to The Psychology of Religion.
Cambridge: University Press.
94
DAFTAR WAWANCARA/VERBATIM
Kode
Responden
Dimensi
Keberagamaan
Pertanyaan Jawaban
RBK 1 Eksperiensial Pada waktu mengerjakan
shalat, apakah anda dapat
merasakan kehadiran Tuhan
di sana?
Dalam kegiatan sehari-hari
di manapun, apakah anda
selalu dapat merasakan
hadirnya Tuhan di sana,
seperti saat sedang bersama
teman-teman atau saat
sendirian?
Apakah pada saat anda
memanjatkan doa pada
Tuhan, anda memiliki
harapan positif bahwa Allah
akan mengabulkan?
Pada saat anda
memanjatkan doa, apakah
anda yakin bahwa Allah
mendengarkan doa anda?
Belum semua dalam
melakukan ibadah shalat
dapat benar-benar merasakan
hadirnya Tuhan di sana.
Tetapi perasaan tersebut
menjadi sangat kuat justru
shalat dalam kesulitan.
Belum selamanya dapat
merasakan itu. Artinya
terkadang bisa terkadang
belum.
Saya memiliki harapan yang
positif terhadap permohonan
saya jika saya sudah berusaha
sebelumnya.
Saya yakin Allah
mendengarkan doa saya.
95
Pada saat yang bagaimana
anda dapat merasakan
hubungan yang sangat dekat
dengan Tuhan?
Apakah pada setiap anda
melakukan ibadah shalat,
anda bisa menyiapkan diri
dengan sepenuh hati sebagai
tanda cinta kasih anda yang
akan menghadap Tuhan?
Apakah anda merasakan
adanya rasa ikut
bertanggung jawab
menyebarluaskan ajaran
dalam al Quran?
Apa yang anda rasakan saat
mendengar al Quran dibaca
orang-orang?
Jika anda sedang membaca
al Quran, apakah anda
mampu meresapi makna al
Quran tersebut?
Pada saat sedang menghadapi
masalah seperti saat
menghadapi ujian atau
masalah lain.
Belum bisa seluruhnya masih
sangat situasional.
Itu adalah keharusan bagi
saya. Karenanya saya mulai
belajar ikut mengajar di TPA
keluarga saya.
Senang sekali, karena
semakin al Quran dibaca
orang saya merasa bahagia.
Pada ayat-ayat tertentu yang
sudah mengerti
terjemahannya, saya bisa
meresapi tapi belum
semuanya.
Konsekuensial
Kesadaran sebagai
muslim/muslimah tentu
membawa konsekuensi
Motif agama dan sekaligus
motif ilmu. Sebagai
implementasi dari ajaran
96
tertentu pada kehidupan
anda, misalnya apakah
dalam menuntut ilmu juga
didasari motif agama atau
semata-mata motif ilmu?
Saat anda menghadapi ujian
dan kebetulan anda melihat
ada teman anda yang
curang, apakah anda akan
melakukan hal yang sama?
Seandainya di antara teman-
teman anda ada yang minta
tolong untuk menjelaskan
tentang materi mata kuliah
yang belum dipahami, apa
yang anda lakukan?
Jika anda sempat melihat
pergaulan bebas di kalangan
remaja, bagaimana sikap
anda?
Apakah anda perlu
membantu jika ada teman
yang mau pinjam uang,
sepeda, atau buku misalnya?
Sebagai seorang yang diberi
kesempatan menuntut ilmu
agama dan sekaligus sebagai
keinginan masuk belajar lebih
banyak tentang ilmu agar
bertambah terus wawasan
intelektual saya.
Saya akan berusaha menjauhi
perbuatan-perbuatan seperti
itu (curang).
Ya, saya akan berusaha
menjelaskan.
Saya akan menjaga diri dari
pergaulan-pergaulan seperti
itu.
Ya, seharusnya begitu. Saya
akan membantu jika saya
mampu.
Saya selalu berusaha dapat
mengamalkan ilmu saya
97
sampai perguruan tinggi,
apakah anda berusaha
bersungguh-sungguh
mengamalkan ilmu-ilmu
yang anda peroleh?
Bagaimana partisipasi anda
dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan di mana
anda tinggal?
semampunya.
Saya melibatkan dalam
kegiatan sosial keagamaan
seperti yang sudah saya
katakan sebelumnya. Saya
membantu mengajar anak-
anak di pondok orang tua
saya di mana saya tinggal.
MHM 2 Eksperiensial Pada waktu mengerjakan
shalat, apakah anda dapat
merasakan kehadiran Tuhan
di sana?
Dalam kegiatan sehari-hari
di manapun, apakah anda
selalu dapat merasakan
hadirnya Tuhan di sana,
seperti saat sedang bersama
teman-teman atau saat
sendirian?
Apakah pada saat anda
memanjatkan doa pada
Belum bisa merasakan
kehadiran Tuhan dalam setiap
shalat, tergantung pada
suasana hati.
Belum bisa merasakan hal itu
pada setiap saat. Hanya saja
saat saya merasa
menyinggung perasaan
teman, saya akan menyebut
“astaghfirullahal azhim” saat
itulah saya dapat merasakan
kehadiran Tuhan dalam hidup
saya.
Saya yakin Tuhan akan
mengabulkan doa saya. Saya
98
Tuhan, anda memiliki
harapan positif bahwa Allah
akan mengabulkan?
Pada saat anda
memanjatkan doa, apakah
anda yakin bahwa Allah
mendengarkan doa anda?
Pada saat yang bagaimana
anda dapat merasakan
hubungan yang sangat dekat
dengan Tuhan?
Apakah pada setiap anda
melakukan ibadah shalat,
anda bisa menyiapkan diri
dengan sepenuh hati sebagai
tanda cinta kasih anda yang
akan menghadap Tuhan?
Apakah anda merasakan
adanya rasa ikut
bertanggung jawab
menyebarluaskan ajaran
dalam al Quran?
Apa yang anda rasakan saat
mendengar al Quran dibaca
orang-orang?
sangat memberikan harapan
positif terhadap Tuhan dalam
hal itu.
Sama dengan pertanyaan di
atas, saya yakin Tuhan
mendengarkan saya, saat saya
sedang memanjatkan doa.
Pada saat shalat tahajud di
tengah malam yang sunyi.
Belum seluruh waktu bisa,
hanya terkadang saja bisa.
Tentu merasakan hal itu,
itulah sebabnya saya ikut
mengajar di pondok saya
“Usaqil Quran” di desa
Rawasari, Tuntang,
Kabupaten Semarang.
Tergantung suasana hati,
terkadang merasa tentram,
terkadang cuek saja, saya
99
Jika anda sedang membaca
al Quran, apakah anda
mampu meresapi makna al
Quran tersebut?
belum bisa istiqamah.
Ada yang bisa meresapi
maknanya, jika cerita dalam
al Quran itu runtut bahkan
sering bisa menangis tapi
belum bisa semuanya.
Konsekuensial
Kesadaran sebagai
muslim/muslimah tentu
membawa konsekuensi
tertentu pada kehidupan
anda, misalnya apakah
dalam menuntut ilmu juga
didasari motif agama atau
semata-mata motif ilmu?
Saat anda menghadapi ujian
dan kebetulan anda melihat
ada teman anda yang
curang, apakah anda akan
melakukan hal yang sama?
Seandainya di antara teman-
teman anda ada yang minta
tolong untuk menjelaskan
tentang materi mata kuliah
yang belum dipahami, apa
yang anda lakukan?
Motivasi agama dan motivasi
ilmu.
Saya akan berusaha jujur.
Akan membantu menjelaskan
kalau sekiranya saya bisa.
100
Jika anda sempat melihat
pergaulan bebas di kalangan
remaja, bagaimana sikap
anda?
Apakah anda perlu
membantu jika ada teman
yang mau pinjam uang,
sepeda, atau buku misalnya?
Sebagai seorang yang diberi
kesempatan menuntut ilmu
sampai perguruan tinggi,
apakah anda berusaha
bersungguh-sungguh
mengamalkan ilmu-ilmu
yang anda peroleh?
Bagaimana partisipasi anda
dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan di mana
anda tinggal?
Sebisa mungkin saya akan
menjauhinya.
Kalau mungkin dan mampu,
saya akan meminjaminya.
Saya merasa penting
mengamalkan ilmu-ilmu
saya, meski belum semuanya.
Tapi saya sudah mulai
mengajar di pondok saya.
Saya ikut dalam kegiatan-
kegiatan remas di samping
mengajarkan di pondok
pesantren saya.
SFH 3 Eksperiensial Pada waktu mengerjakan
shalat, apakah anda dapat
merasakan kehadiran Tuhan
di sana?
Dalam kegiatan sehari-hari
di manapun, apakah anda
selalu dapat merasakan
Belum mampu dalam setiap
shalat, merasakan hadirnya
Tuhan di sana. Hanya saat-
saat tertentu saja mampu.
Sama dengan jawaban di atas,
saya belum bisa merasakan
hal itu dalam setiap waktu,
101
hadirnya Tuhan di sana,
seperti saat sedang bersama
teman-teman atau saat
sendirian?
Apakah pada saat anda
memanjatkan doa pada
Tuhan, anda memiliki
harapan positif bahwa Allah
akan mengabulkan?
Pada saat anda
memanjatkan doa, apakah
anda yakin bahwa Allah
mendengarkan doa anda?
Pada saat yang bagaimana
anda dapat merasakan
hubungan yang sangat dekat
dengan Tuhan?
Apakah pada setiap anda
melakukan ibadah shalat,
anda bisa menyiapkan diri
dengan sepenuh hati sebagai
tanda cinta kasih anda yang
akan menghadap Tuhan?
Apakah anda merasakan
adanya rasa ikut
bertanggung jawab
menyebarluaskan ajaran
namun ada waktu-waktu
tertentu saya dapat merasakan
hadirnya Tuhan dalam hidup
saya.
Harapan saya sangat positif
saat saya berdoa pada Tuhan
bahwa Tuhan akan
mengabulkan permohonan-
permohonan saya.
Berdasarkan pengalaman
yang ada, saya yakin bahwa
saat saya berdoa, Tuhan pasti
akan mendengarkan doa saya.
Pada saat saya sedang ada
masalah, saya merasa
hubungan yang sangat akrab
dengan Tuhan.
Dalam setiap shalat 5 waktu,
saya belum bisa
mempersiapkan dengan
sepenuh hati. Tapi kalau pada
shalat tahajud saya bisa.
Tentu perasaan itu ada, itulah
sebabnya saya ikut secara
bergiliran dengan teman-
teman mengajar anak-anak di
102
dalam al Quran?
Apa yang anda rasakan saat
mendengar al Quran dibaca
orang-orang?
Jika anda sedang membaca
al Quran, apakah anda
mampu meresapi makna al
Quran tersebut?
TPA pondok saya.
Saya merasa tenang saat al
Quran dibaca orang lain.
Saya hanya bisa meresapi
ayat-ayat yang dapat saya
pahami artinya, sementara
yang lain saya kurang bisa
meresapi karena belum
mengerti artinya.
Konsekuensial Kesadaran sebagai
muslim/muslimah tentu
membawa konsekuensi
tertentu pada kehidupan
anda, misalnya apakah
dalam menuntut ilmu juga
didasari motif agama atau
semata-mata motif ilmu?
Saat anda menghadapi ujian
dan kebetulan anda melihat
ada teman anda yang
curang, apakah anda akan
melakukan hal yang sama?
Seandainya di antara teman-
teman anda ada yang minta
tolong untuk menjelaskan
Semata-mata karena motif
agama. Karena agama
mengajarkan untuk menuntut
ilmu, maka ada semacam
kewajiban untuk
melaksanakannya.
Saya tidak akan melakukan
hal itu.
Saya pasti akan menjelaskan
saya jika saya bisa.
103
tentang materi mata kuliah
yang belum dipahami, apa
yang anda lakukan?
Jika anda sempat melihat
pergaulan bebas di kalangan
remaja, bagaimana sikap
anda?
Apakah anda perlu
membantu jika ada teman
yang mau pinjam uang,
sepeda, atau buku misalnya?
Sebagai seorang yang diberi
kesempatan menuntut ilmu
sampai perguruan tinggi,
apakah anda berusaha
bersungguh-sungguh
mengamalkan ilmu-ilmu
yang anda peroleh?
Bagaimana partisipasi anda
dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan di mana
anda tinggal?
Saya pasti akan menjauhinya.
Saya pasti akan membantu
jika saya memilikinya.
Ya sebisa saya, saya akan
mengamalkan ilmu saya.
Saya sejak SMK sudah jauh
dari orang tua/rumah,
sehingga untuk terlibat dalam
kegiatan kemasyarakatan di
desa saya, saya masih merasa
kurang kecuali saat liburan
saja.
104
MYF 4 Eksperiensial Pada waktu mengerjakan
shalat, apakah anda dapat
merasakan kehadiran Tuhan
di sana?
Dalam kegiatan sehari-hari
di manapun, apakah anda
selalu dapat merasakan
hadirnya Tuhan di sana,
seperti saat sedang bersama
teman-teman atau saat
sendirian?
Apakah pada saat anda
memanjatkan doa pada
Tuhan, anda memiliki
harapan positif bahwa Allah
akan mengabulkan?
Pada saat anda
memanjatkan doa, apakah
anda yakin bahwa Allah
mendengarkan doa anda?
Pada saat yang bagaimana
anda dapat merasakan
hubungan yang sangat dekat
Mampu merasakan kehadiran
Tuhan dalam setiap saya
melakukan ibadah shalat.
Di luar shalat pun saya
mampu merasakan hadirnya
Tuhan karena menurut saya
posisi kita di mata Tuhan
dapat kita ketahui bagaimana
Tuhan memposisikan kita
sekarang, saya sering
menemukan Tuhan melalui
anugrah yang diberikan
Tuhan.
Saya selalu memiliki harapan
positif terhadap doa-doa saya
pasti akan dikabulkan.
Saya yakin pasti Allah
mendengarkan saat saya
berdoa padanya, bukankah
kita diperintahkan untuk
berdoa.
Saat sedang mendengarkan
murattal ayat-ayat al Quran
dan ketika shalat tahajjud.
105
dengan Tuhan?
Apakah pada setiap anda
melakukan ibadah shalat,
anda bisa menyiapkan diri
dengan sepenuh hati sebagai
tanda cinta kasih anda yang
akan menghadap Tuhan?
Apakah anda merasakan
adanya rasa ikut
bertanggung jawab
menyebarluaskan ajaran
dalam al Quran?
Apa yang anda rasakan saat
mendengar al Quran dibaca
orang-orang?
Jika anda sedang membaca
al Quran, apakah anda
mampu meresapi makna al
Quran tersebut?
Meskipun saya belum bisa
mengerjakan setiap malam,
masih susah bu.
Belum bisa dalam setiap
shalat, terkadang saja saya
bisa shalat itu sesungguhnya
adalah bercampurnya antara
perasaan takut dan cinta
kepada-Nya.
Saya juga merasakan
kewajiban itu, itulah
sebabnya saya bermukim di
Pondok Pesantren Nurul
Islam dan ikut mengajar di
sana.
Saya bisa merasakan hadirnya
Tuhan melalui ayat-ayat yang
dibaca, bukankah al Quran itu
firman Tuhan.
Belum bisa secara otomatis
memahami ayat per ayat
tentang artinya, ada yang bisa
ada yang tidak.
106
Konsekuensial Kesadaran sebagai
muslim/muslimah tentu
membawa konsekuensi
tertentu pada kehidupan
anda, misalnya apakah
dalam menuntut ilmu juga
didasari motif agama atau
semata-mata motif ilmu?
Saat anda menghadapi ujian
dan kebetulan anda melihat
ada teman anda yang
curang, apakah anda akan
melakukan hal yang sama?
Seandainya di antara teman-
teman anda ada yang minta
tolong untuk menjelaskan
tentang materi mata kuliah
yang belum dipahami, apa
yang anda lakukan?
Jika anda sempat melihat
pergaulan bebas di kalangan
remaja, bagaimana sikap
anda?
Apakah anda perlu
membantu jika ada teman
yang mau pinjam uang,
sepeda, atau buku misalnya?
Semata-mata karena motif
agama.
Saya tidak akan menjawab,
kalau saya memang saya
tidak bisa, jadi tidak perlu
curang.
Tentu akan membantu,
sharing bersama mereka.
Jujur saya kurang bergaul,
tentu saya punya versi yang
lebih baik (dalam pergaulan).
Saya akan membantu selagi
saya mampu membantu.
107
Sebagai seorang yang diberi
kesempatan menuntut ilmu
sampai perguruan tinggi,
apakah anda berusaha
bersungguh-sungguh
mengamalkan ilmu-ilmu
yang anda peroleh?
Bagaimana partisipasi anda
dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan di mana
anda tinggal?
Saya sangat berkomitmen
untuk itu. Saya sekarang
menjadi pengajar di Pondok
Al Irsyad dan saya bermukim
di sana.
Saya tinggal di pondok, jadi
kegiatan sosial hanya mampu
saya lakukan dalam pondok.
NVT 5 Eksperiensial Pada waktu mengerjakan
shalat, apakah anda dapat
merasakan kehadiran Tuhan
di sana?
Dalam kegiatan sehari-hari
di manapun, apakah anda
selalu dapat merasakan
hadirnya Tuhan di sana,
seperti saat sedang bersama
teman-teman atau saat
sendirian?
Apakah pada saat anda
memanjatkan doa pada
Tidak dalam setiap shalat
saya mampu merasakan
hadirnya Tuhan, hanya pada
saat-saat tertentu saja, saya
bisa.
Melalui ucapan istighfar, saya
mampu merasakan hadirnya
kembali Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari.
Memang agak sulit, tapi saya
selalu berusaha mengucapkan
istighfar tersebut saat
menghadapi sesuatu yang
tidak mengenakkan hati.
Saya selalu memiliki harapan
positif terhadap Tuhan saat
108
Tuhan, anda memiliki
harapan positif bahwa Allah
akan mengabulkan?
Pada saat anda
memanjatkan doa, apakah
anda yakin bahwa Allah
mendengarkan doa anda?
Pada saat yang bagaimana
anda dapat merasakan
hubungan yang sangat dekat
dengan Tuhan?
Apakah pada setiap anda
melakukan ibadah shalat,
anda bisa menyiapkan diri
dengan sepenuh hati sebagai
tanda cinta kasih anda yang
akan menghadap Tuhan?
Apakah anda merasakan
adanya rasa ikut
bertanggung jawab
menyebarluaskan ajaran
dalam al Quran?
saya berdoa, harapan untuk
dikabulkan.
Saya yakin Tuhan
mengabulkan asal kita positif
dalam arti selalu dalam
kebenaran ajaran-Nya.
Saya merasakan hubungan
yang dekat dengan Tuhan
saat saya sedih, saya bisa
berdoa sampai menangis,
betul-betul dapat merasakan
hubungan yang dekat dengan-
Nya.
Terkadang saya bisa, tapi
belum bisa dalam setiap
waktu akan shalat.
Tentu perasaan itu ada karena
saya ikut organisasi di
pondok, melibatkan diri
dalam kepanitiaan, PHBI
misalnya.
109
Apa yang anda rasakan saat
mendengar al Quran dibaca
orang-orang?
Jika anda sedang membaca
al Quran, apakah anda
mampu meresapi makna al
Quran tersebut?
Mendengar al Quran
dilantunkan orang dengan
baik dan benar, saya sangat
senang sekali apalagi jika
lagu-lagunya sesuai.
Karena kemampuan mufradat
saya sangat terbatas maka
hanya sedikit yang bisa saya
pahami makna ayat-ayat al
Quran.
Konsekuensial Kesadaran sebagai
muslim/muslimah tentu
membawa konsekuensi
tertentu pada kehidupan
anda, misalnya apakah
dalam menuntut ilmu juga
didasari motif agama atau
semata-mata motif ilmu?
Saat anda menghadapi ujian
dan kebetulan anda melihat
ada teman anda yang
curang, apakah anda akan
melakukan hal yang sama?
Seandainya di antara teman-
teman anda ada yang minta
tolong untuk menjelaskan
tentang materi mata kuliah
Motivasi saya dalam meuntut
ilmu adalah motif agama.
Dalam arti karena perintah
agama.
Semampunya saja bu, karena
menurut saya hasil itu akhir.
Saya akan membantu seperti
yang saya pahami, jika saya
merasa kurang mampu, saya
akan mencari teman yang
110
yang belum dipahami, apa
yang anda lakukan?
Jika anda sempat melihat
pergaulan bebas di kalangan
remaja, bagaimana sikap
anda?
Apakah anda perlu
membantu jika ada teman
yang mau pinjam uang,
sepeda, atau buku misalnya?
Sebagai seorang yang diberi
kesempatan menuntut ilmu
sampai perguruan tinggi,
apakah anda berusaha
bersungguh-sungguh
mengamalkan ilmu-ilmu
yang anda peroleh?
Bagaimana partisipasi anda
dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan di mana
anda tinggal?
lebih paham untuk
menjelaskan.
Saya akan membentengi diri
saya sendiri.
Selagi ada yang meminta
bantuan dan saya punya, tentu
akan saya pinjami.
Keinginan itu ada, tapi belum
maksimal.
Saya tinggal di pondok, maka
aktivitas sosial saya lebih
banyak di pondok.
111
IDF 6 Eksperiensial Pada waktu mengerjakan
shalat, apakah anda dapat
merasakan kehadiran Tuhan
di sana?
Dalam kegiatan sehari-hari
di manapun, apakah anda
selalu dapat merasakan
hadirnya Tuhan di sana,
seperti saat sedang bersama
teman-teman atau saat
sendirian?
Apakah pada saat anda
memanjatkan doa pada
Tuhan, anda memiliki
harapan positif bahwa Allah
akan mengabulkan?
Pada saat anda
memanjatkan doa, apakah
anda yakin bahwa Allah
mendengarkan doa anda?
Pada saat yang bagaimana
anda dapat merasakan
hubungan yang sangat dekat
dengan Tuhan?
Saya selalu berusaha
merasakan hadirnya Tuhan
dalam setiap saya
mengerjakan shalat.
Sama seperti ketika shalat, di
luar shalat saya juga
merasakan untuk selalu dapat
merasakan hadirnya Tuhan.
Saya selalu merasakan
harapan yang positif bahwa
Tuhan akan mengabulkan
permohonan-permohonan
saya.
Saya merasa yakin bahwa
Tuhan akan mendengarkan
doa-doa saya.
Saya bisa merasakan
hubungan yang dekat dengan
Tuhan terutama pada saat
tengah malam (pada waktu
shalat tahajud), juga pada saat
banyak masalah, inilah waktu
112
Apakah pada setiap anda
melakukan ibadah shalat,
anda bisa menyiapkan diri
dengan sepenuh hati sebagai
tanda cinta kasih anda yang
akan menghadap Tuhan?
Apakah anda merasakan
adanya rasa ikut
bertanggung jawab
menyebarluaskan ajaran
dalam al Quran?
Apa yang anda rasakan saat
mendengar al Quran dibaca
orang-orang?
Jika anda sedang membaca
al Quran, apakah anda
mampu meresapi makna al
Quran tersebut?
yang efektif untuk akrab
dengan Tuhan.
Bisa, namun belum bisa
untuk semua shalat. Artinya
terkadang bisa
mempersiapkan sepenuh hati
waktu akan shalat, namun
terkadang belum bisa.
Tentu komitmen itu ada. Saya
pernah mengajar hafalan al
Quran santri-santri kecil,
memberi les anak-anak SD
dalam belajar membaca al
Quran dan masih banyak lagi.
Saya bisa merinding
mendengar al Quran dibaca
orag lain. Di samping itu,
saya juga bisa murajaah saat
mendengar al Quran dibaca
orang lain.
Belum bisa seluruhnya dapat
memahami makna setiap ayat
al Quran.
113
Konsekuensial Kesadaran sebagai
muslim/muslimah tentu
membawa konsekuensi
tertentu pada kehidupan
anda, misalnya apakah
dalam menuntut ilmu juga
didasari motif agama atau
semata-mata motif ilmu?
Saat anda menghadapi ujian
dan kebetulan anda melihat
ada teman anda yang
curang, apakah anda akan
melakukan hal yang sama?
Seandainya di antara teman-
teman anda ada yang minta
tolong untuk menjelaskan
tentang materi mata kuliah
yang belum dipahami, apa
yang anda lakukan?
Jika anda sempat melihat
pergaulan bebas di kalangan
remaja, bagaimana sikap
anda?
Apakah anda perlu
membantu jika ada teman
yang mau pinjam uang,
Saya semata-mata karena
motivasi agama.
Semampunya saja bu, saya
cukup percaya diri.
Saya akan menolong
menjelaskan pada teman yang
membutuhkan.
Selagi itu teman saya sendiri,
maka saya akan menegurnya
dan untuk membentengi diri
saya, saya akan menjauhi dari
pergaulan seperti itu.
Selagi saya punya, pasti akan
saya pinjami.
114
sepeda, atau buku misalnya?
Sebagai seorang yang diberi
kesempatan menuntut ilmu
sampai perguruan tinggi,
apakah anda berusaha
bersungguh-sungguh
mengamalkan ilmu-ilmu
yang anda peroleh?
Bagaimana partisipasi anda
dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan di mana
anda tinggal?
Keinginan pasti ada dan saya
selalu berusaha untuk dapat
mengamalkan ilmu saya.
Jawaban saya sama saat
menjawab pertanyaan nomor
7 dari dimensi eksperiensial,
melibatkan diri dalam
kegiatan sosial keagamaan.
top related