diktat kuliah pencemaran lingkungan
Post on 05-Oct-2021
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
DIKTAT KULIAH
PENCEMARAN LINGKUNGAN
OLEH
SANG GEDE PURNAMA, SKM, MSC
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
2
DAFTAR ISI
1. Karakteristik dan dampak polusi udara oleh aktifitas industri……………………….. 3
2. Pencemaran insektisida ……………………………………………………………...11
3. Buang air besar sembarangan dan pencegahannya ………………………………….22
4. Bahaya asap rokok sebaga bahan pencemaran dalam ruangan ……………………..33
5. Pengolahan limbah medis …………………………………………………………..38
6. Karakteristik dan dampak polusi udara oleh aktifitas industri ……………………..48
3
1. KARAKTERISTIK DAN DAMPAK POLUSI UDARAOLEH AKTIVITAS INDUSTRI
Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan kondisi pada abad ke-21,saat ini telah terjadi trend
perubahan komposisi penduduk dimana penduduk yang berasal dari desa menuju ke kota yang
dikenal dengan istilah urbanisasi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health
Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2030, 6 dari 10 orang akan menjadi penghuni
daerah perkotaan, dan akan meningkat menjadi 7 dari 10 orang di tahun 2050. Untuk Indonesia,
pada tahun 2009, lebih dari 43 % penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan. Banyaknya
penduduk desa yang berbondong-bondong untuk menyerbu daerah perkotaan dengan berbagai
faktor salah satunya adalah untuk meningkatkan taraf perekonomian dengan mencari sumber
penghidupan yaitu pekerjaan.
Stigma penduduk desa bahwa kota adalah tempat yang bisa memberikan sebuah
harapan untuk bisa menyediakan lapangan pekerjaan dari berbagai bidang. Selain itu juga
adanya anggapan bekerja di perkotaan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menjadi lebih
mapan. Sehingga rerata penduduk yang sebagai subjek urbanisasi adalah kategori usia
produktif baik laki-laki maupun perempuan. Dapat disimpulkan faktor yang menjadi alasan
terjadinya urbanisasi adalah adanya penyediaan lapangan pekerjaan yang banyak
membutuhkan tenaga kerja yaitu dari sektor industri. Industri tersebut biasanya berada di kota-
kota besar seperti Jakarta,depok,Surabaya,dan lain sebagainya. Menurut data dari Kementerian
Perindustrian (Kemenperin) pada tahun 2015 terdapat 24.425 Perusahaan Industri yang telah
terdaftar di Kemenperin mulai dari industri tingkat atas atau makro,menengah dan mikro.
Angka tersebut hanya tercakup pada industri yang terdaftar,namun masih banyak industri yang
masih belum terdaftar keberadaanya yang kemungkinan lebih banyak lagi jumlahnya.
Sehubungan dengan semakin banyaknya industri di sisi lain dapat memberikan solusi dalam
penyediaan lapangan pekerjaan,namun di sisi lain menimbulkan sebuah permasalahan yang
serius yang harus dipertimbangkan yaitu permasalahan mengenai kesehatan lingkungan salah
satunya pencemaran udara atau polusi udara.
4
Udara adalah salah satu komponen penting bagi makhluk hidup untuk bernafas. Dan
bagaimana jadinya apabila kondisi udara telah tercemar. Permasalahan ini telah banyak terjadi
di kota-kota besar sebagai objek tempat industri dimana hal itu membuat suasana atmosfer di
sekitar daerah tersebut memprihatinkan salah satu dampak dari polusi udara dapat memicu
terjadinya efek rumah kaca dimana hal itu membuat kondisi udara menjadi terkontaminasi
dengan gas-gas hasil pembuangan proses industri tersebut. Oleh karena itu perlu adanya
pengkajian lebih lanjut terkait kondisi dan keberadaan aktivitas industri terhadap aspek
kesehatan lingkungan demi menjaga kelestarian dan kestabilan kondisi kesehatan masyarakat
dengan berdampingan perusahaan industri.
Pengertian
Pencemaran lingkungan atau polusi adalah proses masuknya polutan ke dalam suatu
lingkungan sehingga dapat menurunkan kualitas lingkungan tersebut. Menurut Undang-
undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 tahun 1982, pencemaran lingkungan atau
polusi adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen
lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh
proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan menjadi tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Polutan adalah suatu zat atau bahan yang kadarnya melebihi ambang batas serta berada
pada waktu dan tempat yang tidak tepat, sehingga merupakan bahan pencemar lingkungan,
misalnya: bahan kimia, debu, panas dan suara. Polutan tersebut dapat menyebabkan lingkungan
menjadi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan akhirnya malah merugikan manusia
dan makhluk hidup lainnya. Salah satu jenis pencemaran yang sering terjadi adalah pencemaran
udara atau polusi udara. Pencemaran udara adalah peristiwa masuknya, atau tercampurnya,
polutan (unsur-unsur berbahaya) ke dalam lapisan udara (atmosfer) yang dapat mengakibatkan
menurunnya kualitas udara (lingkungan).
Pencemaran dapat terjadi dimana-mana. Bila pencemaran tersebut terjadi di dalam
rumah, di ruang-ruang sekolah ataupun di ruang-ruang perkantoran maka disebut sebagai
pencemaran dalam ruang (indoor pollution). Sedangkan bila pencemarannya terjadi di
lingkungan rumah, perkotaan, bahkan regional maka disebut sebagai pencemaran di luar ruang
(outdoor pollution).
5
Umumnya, polutan yang mencemari udara berupa gas dan asap. Gas dan asap tersebut
berasal dari hasil proses pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna, yang dihasilkan oleh
mesin-mesin pabrik, pembangkit listrik dan kendaraan bermotor. Selain itu, gas dan asap
tersebut merupakan hasil oksidasi dari berbagai unsur penyusun bahan bakar, yaitu: CO2
(karbondioksida), CO (karbonmonoksida), SOx (belerang oksida) dan NOx (nitrogen oksida).
Faktor Penyebab Pencemaran Udara
Pencemaran udara disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Faktor alam (internal), yang bersumber dari aktivitas alam Contoh :
abu yang dikeluarkan akibat letusan gunung berapi
Gas-gas vulkanik
Debu yang beterbangan di udara akibat tiupan angin
Bau yang tidak enak akibat proses pembusukan sampah organik
2. Faktor manusia (eksternal), yang bersumber dari hasil aktivitas manusia Contoh :
Hasil pembakaran bahan-bahan fosil dari kendaraan bermotor
Bahan-bahan buangan dari kegiatan pabrik industri yang memakai zat kimia organik
dan anorganik
Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara
Pembakaran sampah rumah tangga
Pembakaran hutan
2.3 Zat-zat Pencemaran Udara
Ada beberapa polutan yang dapat menyebabkan pencemaran udara, antara lain: Karbon
monoksida, Nitrogen dioksida, Sulfur dioksida, Partikulat, Hidrokarbon, CFC, Timbal dan
Karbondioksida.
6
1. Karbon monoksida (CO)
Gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan bersifat racun. Dihasilkan dari pembakaran tidak
sempurna bahan bakar fosil, misalnya gas buangan kendaraan bermotor.
2. Nitrogen dioksida (NO2)
Gas yang paling beracun. Dihasilkan dari pembakaran batu bara di pabrik, pembangkit energi
listrik dan knalpot kendaraan bermotor.
3. Sulfur dioksida (SO2)
Gas yang berbau tajam, tidak berwarna dan tidak bersifat korosi. Dihasilkan dari pembakaran
bahan bakar yang mengandung sulfur terutama batubara. Batubara ini biasanya digunakan
sebagai bahan bakar pabrik dan pembangkit tenaga listrik.
4. Partikulat (asap atau jelaga)
Polutan udara yang paling jelas terlihat dan paling berbahaya. Dihasilkan dari cerobong
pabrik berupa asap hitam tebal.
7
Macam-macam partikel, yaitu :
a. Aerosol : partikel yang terhambur dan melayang di udara
b. Fog (kabut) : aerosol yang berupa butiran-butiran air dan berada di udara
c. Smoke (asap): aerosol yang berupa campuran antara butir padat dan cair dan melayang
berhamburan di udara
d. Dust (debu)
5. . karbon dioksida (CO2)
Gas yang dihasilkan dari pembakaran sempurna bahan bakar kendaraan bermotor dan pabrik
serta gas hasil kebakaran hutan.
2.4 Dampak Pencemaran Udara Terhadap Lingkungan Alam
Pencemaran udara dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan alam, antara lain: hujan
asam, penipisan lapisan ozon dan pemanasan global.
1. Hujan Asam
8
Istilah hujan asam pertama kali diperkenalkan oleh Angus Smith ketika ia menulis tentang
polusi industri di Inggris. Hujan asam adalah hujan yang memiliki kandungan pH (derajat
keasaman) kurang dari 5,6.
Proses terbentuknya hujan asam
SO2 dan NOx (NO2 dan NO3) yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil
(kendaraan bermotor) dan pembakaran batubara (pabrik dan pembangkit energi listrik) akan
menguap ke udara. Sebagian lainnya bercampur dengan O2 yang dihirup oleh makhluk hidup
dan sisanya akan langsung mengendap di tanah sehingga mencemari air dan mineral tanah.
SO2 dan NOx (NO2 dan NO3) yang menguap ke udara akan bercampur dengan embun.
Dengan bantuan cahaya matahari, senyawa tersebut akan diubah menjadi tetesan-tetesan
asam yang kemudian turun ke bumi sebagai hujan asam. Namun, bila H2SO2 dan HNO2
dalam bentuk butiran-butiran padat dan halus turun ke permukaan bumi akibat adanya gaya
gravitasi bumi, maka peristiwa ini disebut dengan deposisi asam.
2. Penipisan Lapisan Ozon
Ozon (O3) adalah senyawa kimia yang memiliki 3 ikatan yang tidak stabil. Di atmosfer,
ozon terbentuk secara alami dan terletak di lapisan stratosfer pada ketinggian 15-60 km di atas
9
permukaan bumi. Fungsi dari lapisan ini adalah untuk melindungi bumi dari radiasi sinar
ultraviolet yang dipancarkan sinar matahari dan berbahaya bagi kehidupan.
Namun, zat kimia buatan manusia yang disebut sebagai ODS (Ozone Depleting
Substances) atau BPO (Bahan Perusak Ozon) ternyata mampu merusak lapisan ozon sehingga
akhirnya lapisan ozon menipis. Hal ini dapat terjadi karena zat kimia buatan tersebut dapat
membebaskan atom klorida (Cl) yang akan mempercepat lepasnya ikatan O3 menjadi O2.
Lapisan ozon yang berkurang disebut sebagai lubang ozon (ozone hole). Diperkirakan telah
timbul adanya lubang ozon di Benua Artik dan Antartika. Oleh karena itulah, PBB menetapkan
tanggal 16 September sebagai hari ozon dunia dengan tujuan agar lapisan ozon terjaga dan
tidak mengalami kerusakan yang parah.
3. Pemanasan Global
Kadar CO2 yang tinggi di lapisan atmosfer dapat menghalangi pantulan panas dari bumi
ke atmosfer sehingga permukaan bumi menjadi lebih panas. Peristiwa ini disebut dengan efek
rumah kaca (green house effect). Efek rumah kaca ini mempengaruhi terjadinya kenaikan
suhu udara di bumi (pemanasan global). Pemanasan global adalah kenaikan suhu rata-rata di
seluruh dunia dan menimbulkan dampak berupa berubahnya pola iklim.
Proses terjadinya efek rumah kaca
Permukaan bumi akan menyerap sebagian radiasi matahari yang masuk ke bumi dan
memantulkan sisanya. Namun, karena meningkatnya CO2 di lapisan atmosfer maka pantulan
radiasi matahari dari bumi ke atmosfer tersebut terhalang dan akan kembali dipantulkan ke
bumi. Akibatnya, suhu di seluruh permukaan bumi menjadi semakin panas (pemanasan
global). Peristiwa ini sama dengan yang terjadi di rumah kaca. Rumah kaca membuat suhu
didalam ruangan rumah kaca menjadi lebih panas bila dibandingkan di luar ruangan. Hal ini
dapat terjadi karena radiasi matahari yang masuk ke dalam rumah kaca tidak dapat keluar.
4. Dampak Pencemaran Udara Bagi Manusia
Selain mempengaruhi keadaan lingkungan alam, pencemaran udara juga membawa
dampak negatif bagi kehidupan makhluk hidup (organisme), baik hewan, tumbuhan dan
manusia.
10
Dampak pencemaran udara bagi manusia, antara lain:
1.Karbon monoksida (CO)
Mampu mengikat Hb (hemoglobin) sehingga pasokan O2 ke jaringan tubuh terhambat. Hal
tersebut menimbulkan gangguan kesehatan berupa; rasa sakit pada dada, nafas pendek, sakit
kepala, mual, menurunnya pendengaran dan penglihatan menjadi kabur. Selain itu, fungsi dan
koordinasi motorik menjadi lemah. Bila keracunan berat (70 – 80 % Hb dalam darah telah
mengikat CO), dapat menyebabkan pingsan dan diikuti dengan kematian.
2.Nitrogen dioksida (SO2) dapat menyebabkan timbulnya serangan asma.
3.Hidrokarbon (HC) menyebabkan kerusakan otak, otot dan jantung.
4.Chlorofluorocarbon (CFC) menyebabkan melanoma (kanker kulit) khususnya bagi orang-
orang berkulit terang, katarak dan melemahnya sistem daya tahan tubuh
5.Timbal (Pb) menyebabkan gangguan pada tahap awal pertumbuhan fisik dan mental serta
mempengaruhi kecerdasan otak.
6.Ozon (O3) menyebabkan iritasi pada hidung, tenggorokan terasa terbakar dan memperkecil
paru-paru.
7.Nox menyebabkan iritasi pada paru-paru, mata dan hidung.
SOLUSI PERMASALAHAN
3.1 Upaya penanggulangan
Berdasarkan penjelasan mengenai polusi udara dan dampaknya bagi kesehatan
masyarakat,perlu adanya upaya untuk menanggulangi hal itu. Peran pemerintah teruatama
sangat penting untuk memberikan sebuah batasan dalam pengelolaan polusi udara ini.
Disamping itu juga perlu adanya kordinasi yang baik dari instansi pemerintah dengan
perusahaan industri tersebut untuk bersama-sama menjaga kondisi lingkungan yang sehat
sesuai dengan peraturan dan batasan yang berlaku. Upaya pengelolaan juga bisa dilakukan
dengan gerakan menanan seribu pohon di daerah industrial. Hal ini dapat meminimalisir
terjadinya polusi udara disebabkan keberadaan pohon-pohon tersebut akan memfilter udara
menjadi oksigen yang sehat dengan proses fotosintesis.
11
2. PENCEMARAN INSEKTISIDA
I. Latar Belakang
Kemajuan di bidang pertanian, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pestisida.
Menurut The United State Federal Environmental Pestiade Control Act, pestisida adalah
semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas atau mencegah gangguan
serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang
dianggap hama kecuali virus, bakteri atau jasad renik yang terdapat pada manusia dan
binatang lainnya. Berdasarkan jenis organisme yang dimusnahkan, pestisida dibagi lagi
menjadi herbisida, fungisida, rodentisida, nematisida, dan insektisida.
Insektisida adalah pestisida yang digunakan untuk membunuh serangga yang dianggap
mengganggu pertumbuhan tanaman. Penggunaan insektisida untuk menangani masalah
serangga pengganggu sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan di masyarakat. Insektisda
digunakan digunakan dimana saja saat ini, tidak hanya digunakan di lahan pertanian juga
digunakan di rumah, tempat kerja, dan di hutan. Begitu banyak tempat yang memanfaatkan
insektisida sebagai racun pembunuh serangga, sehingga insektisida bisa ditemukan di udara,
di makanan, di tanah, dan di air.
Insektisida terbagi menjadi 2 golongan yaitu insektisida sintetis dan insektisida hayati.
Namun, yang lebih banyak digunakan adalah insektisida sintetis. Insektisida sintetis terdiri
dari senyawa organofosfat, karbamat, pirethrin, dan senyawa yang sudah dilarang
penggunaannya yaitu organoklorin.
Organoklorin merupakan jenis insektisida yang umum digunakan di Indonesia sejak
awal tahun 1950 untuk mengendalikan serangga di lahan pertanian (Paramita, 2011). Salah
satu jenis organoklorin yang terkenal yaitu DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) juga
digunakan dalam pemberantasan penyakit malaria. Organoklorin dikelompokkan menjadi
3, yaitu : diklorodifenil etan (contoh : DDT, DDD, portan, metosiklor, dan metioklor),
siklodin (contoh : aldrin, dieldrin, heptaklor, klordan, dan endosulfan), dan sikloheksan
benzene terklorinasi (contoh : HCB, HCH, dan lindan).
Oleh karena efikasinya yang sangat baik, DDT menjadi sangat terkenal di bidang
pertanian dan bidang kesehatan masyarakat. Dichloro Diphenyl Trichloroethane sempat
dijuluki the wonder chemical, bahan kimia ajaib yang menyelamatkan ribuan hektar
tanaman dari serangan hama serangga (Ishartadiati, 2011). Dichloro Diphenyl
Trichloroethane adalah insektisida paling ampuh yang pernah ditemukan dan digunakan
12
manusia dalam membunuh serangga, tetapi juga paling berbahaya bagi umat manusia,
sehingga dijuluki “The Most Famous and Infamous Insecticide”.
Organoklorin dikatakan bernahaya karena organoklorin merupakan pencemar utama
dalam golongan Persistent Organic Pollutant yang sedang dipermasalahkan di dunia akibat
sifatnya yang toksik kronis, persisten dan bioakumulatif (Zhou et al dalam Paramita, 2011).
Dalam jangka waktu 40 tahun setelah penggunaa, oraganoklorin masih ditemukan di
lingkungan dan terdistribusi secara global bahkan ke aerah terpencil bahkan dimana
organoklorin tidak dipergunkan (Sudaryanto dalam Paramita, 2011)
Di Indonesia sendiri, insektisida jenis organoklorin telah dilarang penggunaanya.
Namun, masalah yang ditimbulkan akibat penggunaan organoklorin masih terus berlanjut
karena sifatnya yang persisten tadi. Adanya sisa (residu) insektisida ini di tanah dan perairan
dari penggunaan masa lalu dan adanya bahan DDT sisa yang belum digunakan dan masih
tersimpan di gudang tempat penyimpanan di selurun dunia (termasuk di Indonesia) kini
menghantui mahluk hidup di bumi. Bahan racun DDT yang sangat persisten bertahan dalam
lingkungan hidup sambil meracuni ekosistem tanpa dapat didegradasi secara fisik maupun
biologis, sehingga kini dan di masa mendatang kita masih terus mewaspadai akibat-akibat
buruk yang diduga dapat ditimbulkan oleh keracunan DDT.
Pengertian Pestisida Organoklorin
Pestisida berasal dari kata pest, yang berarti hama dan cida, yang berarti pembunuh.
Jadi pestisida adalah substansi kimia digunakan untuk membunuh atau mengendalikan
berbagai hama. Secara luas pestisida diartikan sebagai suatu zat yang dapat bersifat racun,
menghambat pertumbuhan atau perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan,
kesehatan, pengaruh hormon, penghambat makanan, membuat mandul, sebagai pengikat,
penolak dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi OPT.
Pada pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973 tentang Peredaran Penyimpanan
dan Penggunaan Pestisida disebutkan pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta
jasad renik dan virus yang digunakan untuk memberantas atau mencegah hama atau
penyakit yang merusak tanaman, atau hasil pertanian, memberantas hama ternak, hama air,
hama dalam rumah tangga, vektor penyakit pada manusia atau hewan yang dilindungi dan
juga memberantas gulma serta mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman. Terdapat
berbagai jenis pestisida salah satunya adalah Hidrokarbon Berklor. Kelompok senyawa ini
13
sering disebut sebagai organoklorin walaupun penamaannya kurang tepat karena di
dalamnya termasuk fosfat organik yang mengandung klor.
Organoklorin merupakan polutan yang bersifat persisten (tidak mudah diuraikan di
alam), dapat terbioakumulasi di alam serta bersifat toksik terhadap manusia dan makhluk
hidup lainnya. Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang sangat tinggi di
dalam lemak, dan memiliki kemampuan degradasi yang rendah (Ebichon dalam Soemirat,
2005).
Organoklorin secara kimia tergolong insektisida yang toksisitas relatif rendah akan
tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan. Racun ini bersifat mengganggu susunan
saraf dan larut dalam lemak. Insektisida organoklorin dikelompokkan menjadi tiga golongan
berikut:
1. DDT dan analognya, misalnya BHC, dicofol, Klorobenzilat, TDE dan metoxychlor.
2. Senyawa siklodien, misalnya aldrin, dieldrin, endrin, endusulfan dan heptaklor
3. Terpena berklor, misalnya toksafen
Contoh insektisida ini yaitu DDT (Dikloro Difenil Tri Kloroetana) dan diketahui bahwa
DDT ternyata sangat membahayakan bagi kehidupan maupun lingkungan, karena
meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui rantai
makanan. DDT sangat stabil baik di air, di tanah, dalam jaringan tanaman dan hewan.
Pestisida yang seharusnya digunakan untuk membasmi hama ternyata berdampak pada
pencemaran lingkungan baik itu air, udara maupun tanah. Pestisida organoklorin merupakan
bahan kimia yang masuk dalam kategori Persisten Organic Pollutants (POPs) yang
berbahaya bagi kesehatan. Hal ini dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan
karena bahan kimia ini dapat menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan saraf (baik
sentral ataupun peripheral serta dapat juga mengganggu sistem endokrin yang menyebabkan
kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada mahluk hidup,
termasuk janin. Karakteristik POPs yang dapat memberikan efek negatif menurut Gorman
& Tynan (Warlina, 2009), adalah:
a. Terurai sangat lambat dalam tanah, udara, air dan mahluk hidup serta menetap dalam
lingkungan untuk waktu yang lama
b. Masuk dalam rantai makanan dan dapat terakumulasi pada jaringan lemak
(bioakumulasi), sehingga sukar larut dalam air
c. Dapat terbawa jauh melalui udara dan air, karena karakteristik tersebut maka sering
ditemukan konsentrasi POPs yang sangat tinggi dalam berbagai spesies pada level
14
yang tinggi dari rantai makanan, seperti pada ikan paus, burung elang dan mamalia,
termasuk manusia.
Dampak terhadap Kesehatan Lingkungan
Residu pestisida telah ditemukan di dalam tanah, air minum, air sungai, air sumur, udara
serta yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam makanan yang
kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan. Aplikasi pestisida dari udara
jauh memperbesar resiko pencemaran yaitu dengan adanya hembusan angin karena
hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang
disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi,
dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran. Pencemaran pestisida yang diaplikasikan
di sawah beririgasi sebagian besar menyebar ke air pengairan, sungai, dan akhirnya ke laut.
Di dalam air memang terjadi pengenceran, sebagian ada yang terurai dan sebagian lagi
tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap mengandung
resiko mencemari lingkungan. Sebagian besar pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan
terbawa oleh aliran air irigasi. Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh
mikroplankton-mikroplankton. Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di
dalam tubuh mikroplankton akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan
pestisida yang mengambang di dalam air.
Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton dan dengan
demikian pestisida tadi ikut termakan. Sifat persistensi yang dimiliki pestisida menyebabkan
konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan
kali dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplankton zooplankton tersebut
dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih
meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan besar yang
memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang
mengkonsumsi ikan besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut.
Pemakaian pupuk dan pestisida dalam jumlah yang besar menimbulkan pencemaran
tanah dan air tanah dengan kadar racun yang beraneka ragam. Degradasi tanah pertanian
sudah makin parah dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya
dalam waktu yang cukup lama. Untuk mengembalikan nutrisinya tanah memerlukan waktu
ratusan tahun, sedangkan untuk merusaknya hanya perlu beberapa tahun saja. Hal ini terlihat
dari menurunnya produktivitas karena hilangnya kemampuan untuk memproduksi nutrisi.
15
Apabila penyemprotan dilakukan secara berlebihan atau takaran yang dipakai terlalu
banyak, maka yang akan terjadi adalah kerugian. Tanah disekitar tanaman akan terkena
pencemaran pestisida. Akibatnya makhluk-makhluk kecil itu banyak yang ikut terbasmi,
sehingga kesuburan tanah menjadi rusak. Bukan tidak mungkin tragedi kegersangan dan
kekeringan terjadi.
Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan
kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya
bahkan pada dosis yang rendah sekalipun. Banyak dari efek-efek ini terlihat pada saat ini,
seperti konsentrasi DDT pada burung menyebabkan rapuhnya cangkang telur,
meningkatnya tingkat kematian anakan, dan kemungkinan hilangnya spesies tersebut.
(Warlison, 2009)
Pestisida yang banyak digunakan para petani di Indonesia dalam usaha-usaha
pengolahan lahan pertanian sebenarnya memiliki banyak dampak negatif yang ditimbulkan
di lingkungan, dampak tersebut antara lain adalah:
a. Menimbulkan resistensi pada hama pertanian, misalnya beberapa jenis ordo
Lepodopteria
b. Menurunkan populasi predator baik dari golongan serangga, burung, maupun ikan yang
sebenarnya bukan sasaran
c. Menurunkan populasi organisme-organisme yang berperan penting dalam menjaga
kesuburan tanah (cacing tanah, jamur-jamur, dan serangga tanah)
d. Menghambat aktivitas fiksasi nitrogen pada kacang-kacangan (menghambat aktivitas
bakteri nitrat dan nitrit)
e. Tidak terdegradasi di lingkungan sehingga residunya akan terdistribusi melalui rantai
makanan
f. Menimbulkan keracunan pada hewan ternak dan manusia
g. Racun pestisida dapat terakumulasi melalui rantai makanan dan dapat
mengkonsentrasikan pestisida pada tubuhnya hingga mencapai 20 kali konsentrasi
pestisida pada tanah sekitarnya.
h. Karena peristiwa akumulasi tersebut (bioakumulasi) melalui rantai makanan, pestisida
cenderung untuk lebih terkonsentrasi pada organisme yang menempati piramida
makanan yang lebih tinggi. Salah satu organisme itu adalah manusia. Hal ini
menyebabkan manusia rawan untuk teracuni oleh pestisida, yang menurut penelitian
diduga kuat termasuk bahan karsinogenik penyebab kanker.
16
Dampak terhadap Kesehatan
Paparan pestisida organoklorin pada manusia dapat menyebabkan masalah kesehatan
dikarenakan efek toksisitas atau racun yang ditimbulkan. Tanda-tanda seseorang yang
keracunan organoklorin pada dosis rendah yaitu penderita merasa pusing pusing, mual,
sakit kepala serta tidak dapat berkonsentrasi secara sempurna. Pada keracunan dosis yang
tinggi dapat terjadi kejang-kejang, muntah, dan hambatan pernafasan.
Organoklorin dapat menimbulkan efek toksisitas pada sistem saraf. Organoklorin
merangsang sistem saraf dan menyebabkan parestesia, peka terhadap perangsangan,
iritabilitas, terganggunya keseimbangan, tremor, dan kejang-kejang. Selain itu juga
memiliki sifat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker, dermatitis otak, asma,
bersifat hepatotoksik sehingga menginduksi pembesaran hati, serta beberapa organoklorin
dapat mengubah berbagai fungsi imun, contohnya malation, metilparation, karbaril, DDT,
parakuat, dan dikuat telah terbukti dapat menekan pembentukan antibodi, mengganggu
fagositosis leukosit, dan mengurangi pusat germinal pada limpa, timus dan kelenjar limfa.
Pestisida dapat masuk ke tubuh manusia atau hewan melalui 3 cara yaitu kontaminasi
lewat kulit. Pestisida yang menempel di permukaan kulit dapat meresap ke dalam tubuh
dan menimbulkan keracunan. Terhisap lewat hidung atau mulut, Pestisida terhisap lewat
hidung merupakan yang terbanyak kedua sesudah kontaminasi kulit. Pajanan pestisida
dapat masuk ke dalam sistem pencernaan makanan, hal ini dapat terjadi bila petani di lahan
pertanian karena drift pestisida terbawa angin masuk ke mulut, meniup nozel yang
tersumbat langsung ke mulut, makanan dan minuman terkontaminasi pestisida.
(Kementerian Pertanian, 2011)
Solusi yang Dapat Dilakukan untuk Menyelesaikan Permasalahan dari Dampak
Penggunaan Pestisida Terhadap Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat
Pengetahuan merupakan hal yang penting untuk merubah perilaku seseorang.
Perubahan perilaku merupakan sesuatu yang sulit untuk diubah dan memerlukan waktu
yang lama. Tahapan yang pertama adalah pengetahuan, sebelum seseorang mengadopsi
perilaku baru harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut. Sehingga
perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan. Jika pengetahuan yang
dimiliki sudah baik harapannya akan diterapkan pada praktiknya dalam kehidupan sehari-
17
hari. Begitu pula dengan pengetahuan para petani mengenai pestisida, khususnya pestisida
organoklorin. Walaupun saat ini pestisida organoklorin sudah dilarang penggunaannya,
memberikan solusi atas penggunaan pestisida secara umum tentunya dapat kita lakukan.
Supaya kita dapat mencegah lebih dini masalah yang ditimbulkan akibat penggunaan
pestisida.
Solusi yang dapat diajukan untuk mengurangi dampak dari penggunaan pestisida yaitu,
dengan meningkatkan pengetahuan dan melihat perubahan perilaku petani dengan metode
pemberdayaan masyarakat karena pengetahuannya sudah baik belum tentu perilakunya
juga baik atau sebaliknya. Menurut Cole (1999) peningkatan kesadaran masyarakat pada
pencemaran udara dengan menggalakkan peran partisipasi dan dukungan secara penuh
dari pemerintah, LSM atau praktisi serta pengguna. Masyarakat petani berperan aktif untuk
belajar bersama menemukan sendiri permasalahan yang dihadapi serta dapat memecahkan
dan menyelesaikan permasalahannya.
Selain itu, sebagai konsumen kita juga dapat melakukan upaya pencegahan terhadap
penyakit yang dapat ditimbulkan oleh akumulasi pestisida dalam tubuh, yaitu:
a. Mengonsumsi bahan makanan baik buah atau sayuran organik atau lokal.
Saat ini bahan makanan organik lebih mahal daripada bahan makanan non
organik, tetapi mengonsumsi buah atau sayuran lokal yang dijual di pasar atau
supermarket menjadi salah satu solusi untuk mencegah terakumulasinya pestisida
dalam tubuh. Salah satu suervei menyebutkan kandungan pestisida yang ada dalam
bahan makanan lokal jauh lebih rendah, walaupun bahan makanan tersebut non organik.
b. Cuci buah dan sayur sebelum dimasak atau dimakan
Mencuci buah dan sayur sebelum dikonsumsi menjadi salah satu cara jika kita
tidak dapat mengonsumsi bahan makanan yang organik. Pastikanlah untuk mencuci
buah dan sayur sebelum dikonsumsi dan lebih baik apabila dicuci di bawah air yang
mengalir.
c. Tes laboraturium terhadap pestisida
Pemerintah dan dinas terkait hendaknya melakukan pengawasan yang lebih
ketat terhadap produk-produk pestisida sebelum produk tersebut dilepas ke pasaran.
Pestisida yang diketahui dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia diharapkan
bisa dilarang penggunaannya dan penarikan pestisida tersebut dari pasaran, seperti
contohnya pestisida organoklorin. Supaya dampak negatif yang ditimbulkan oleh
pestisida dapat kita minimalisir.
d. Penggunaan pestisida alami
18
Pestisida alami adalah pestisida yang komposisi bahannya berasal dari alam.
Caranya dengan memanfaatkan jenis tumbuhan yang memiliki kelebihan mengusir
hama, penyakit, dan binatang. Pestisida alam ini dikenal juga dengan pestisida nabati,
merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang bisa
digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan.Secara umum,
pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya dari tumbuhan
yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas, karena terbuat
dari bahan alami atau nabati, maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-
degradable) di alam, sehingga tak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia
dan ternak peliharaan, karena residu (sisa-sisa zat) mudah hilang.
Di Indonesia ada banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati. Bahan dasar
pestisida alami ini bisa ditemui di beberapa jenis tanaman, dimana zat yang terkandung
di masing-masing tanaman memiliki fungsi berbeda ketika berperan sebagai pestisida.
Dalam fisiologi tanaman, ada beberapa jenis tanaman yang berpotensi jadi bahan
pestisida, diantaranya:
1. Kelompok tumbuhan insektisida nabati. Merupakan kelompok tumbuhan yang
menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Bengkoang, serai, sirsak, dan
srikaya diyakini bisa menanggulangi serangan serangga.
2. Kelompok tumbuhan antraktan atau pemikat. Di dalam tumbuhan ini ada suatu
bahan kimia yang menyerupai sex pheromon pada serangga betina dan bertugas
menarik serangga jantan, khususnya hama lalat buah dari jenis Bactrocera dorsalis.
Tumbuhan yang bisa diambil manfaatnya, daun wangi (kemangi), dan selasih.
3. Kelompok tumbuhan rodentisida nabati, kelompok tumbuhan yang
menghasilkanpestisida pengendali hama rodentia. Tumbuh-tumbuhan ini terbagi
jadi dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran dan penekan populasi, yaitu
meracuninya. Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya
mengandung steroid, sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya
mengandung alkaloid. Jenis tumbuhan yang sering digunakan sebagai rodentisida
nabati adalahgadung racun.
4. Kelompok tumbuhan moluskisida adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan
pestisida pengendali hama moluska. Beberapa tanaman menimbulkan pengaruh
moluskisida. Diantaranya daun sembung dan akar tuba.
5. Satu lagi, kelompok tumbuhan pestisida serba guna, dimana kelebihan kelompok
ini tak hanya berfungsi untuk satu jenis. Misalnya insektisida saja, tapi juga
19
berfungsi sebagai fungisida, bakterisida, moluskisida, dan nematisida. Tumbuhan
yang bisa dimanfaatkan dari kelompok ini, yaitu jambu mete, lada, tembakau, dan
cengkeh.
Lampiran Dokumentasi
Petani mengumpulkan sayuran hasil panen
Areal Perkebunan Jagung
20
Areal Perkebunan Sayur
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Direktorat Pupuk dan Pestisida
Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida
Girsang, Warlinson. 2009. Dampak Negatif Penggunaan Pestisida. Fakultas Pertanian.
Universitas Simalungun. Pematang Siantar
Ishartadiati, Kartika. 2011. Resistensi Serangga terhadap DDT. Surabaya: Universitas Wijaya
Kusuma
Paramita, Sara Yulia. 2011. Pengaruh Perubahan Musim terhadap Residu Insektisida
Organoklorin Pada Ikan, Air, dan Sedimen di DAS Citarum Hulu Segmen Cisanti Sampai
Nanjung, Jawa Barat. Bandung: ITB
Sinulingga, Karya. 2006. Telaah Residu Organoklor pada Wortel Daucus Carota L. Di
Kawasan Sentra Kab. Karo Sumut. Jurnal Sistem Teknik Industri Vol. 7 Nomor. 1,
Januari 2006
Soemirat, Juli. 2005. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Warlina, Lina. 2009. Persistent Organic Pollutans(POPS) dan Konvensi Stockholm. Jurnal
Matematika, Sains, dan Teknologi Volume 10 Nomor 2, September 2009 hal.102-111
21
Yuantari. 2011. Dampak pestisida Organoklorin terhadap Kesehatan dan Lingkungan serta
Penanggulangannya. Semarang: Universitas Dian Nuswantoro
22
3. BUANG AIR BESAR SEMBARANGAN DAN PENCEGAHANNYA
1.1 Latar Belakang
Derajat kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu : lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan dan keturunan. Faktor lingkungan dan perilaku sangat mempengaruhi
derajat kesehatan. Termasuk lingkungan yaitu keadaan pemukiman/perumahan, tempat
kerja, sekolah dan tempat umum, air dan udara bersih, teknologi, pendidikan, sosial dan
ekonomi. Sedangkan perilaku tergambar dalam kebiasaan sehari - hari seperti pola makan,
kebersihan perorangan, gaya hidup, dan perilaku terhadap upaya kesehatan (Depkes RI,
2009).
Terdapat kebutuhan fisiologis manusia seperti memiliki rumah, yang mencakup
kepemilikan jamban sebagai bagian dari kebutuhan setiap anggota keluarga. Kepemilikan
jamban bagi keluarga merupakan salah satu indikator rumah sehat selain pintu ventilasi,
jendela, air bersih, tempat pembuangan sampah, saluran air limbah, ruang tidur, ruang
tamu, dan dapur. Jamban sehat berfungsi untuk membuang kotoran manusia. Dalam
kaitannya dengan sarana pembuangan air besar, hubungannya yang paling mendasar
dengan kualitas lingkungan yakni fasilitas dan jenis penampungan tinja yang digunakan.
Masalah kondisi lingkungan tempat pembuangan kotoran manusia tidak terlepas dari aspek
kepemilikan terhadap sarana yang digunakan terutama dikaitkan dengan pemeliharaan dan
kebersihan sarana. (Widowati, 2015).
Perkembangan zaman membuat berkembangnya teknologi ,sarana dan prasarana dalam
menunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia,baik itu dalam sektor rumah tangga
maupun kalangan masyarakat umum. Peningkatan sarana dan prasarana tersebut berlaku di
berbagai bidang kehidupan terutama dalam bidang kesehatan. Sebagian besar sarana dan
prasarana yang ada telah mendukung terwujudnya pemeliharaan kesehatan masyarakat.
Namun, dalam perjalanannya tetap saja masih ada masalah kesehatan di masyarakat
terutama dalam bidang sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat serta masalah tempat
pembuangan kotoran manusia yang tidak terlepas dari aspek kepemilikan terhadap sarana
yang digunakan terutama dikaitkan dengan pemeliharaan dan kebersihan sarana.
(Direktorat Penyehatan Lingkungan, 2013)
Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini kepedulian masyarakat untuk buang air
besar di jamban telah meningkat, tetapi masih terdapat beberapa kalangan yang masih
23
memiliki kebiasaan Buang Air Besar Sembarangan (BABS), terutama penduduk yang
tinggal di daerah pedesaan/ pedalaman dan bantaran sungai. Perilaku BABS (Buang Air
Besar Sembarangan) atau yang di sebut dengan Open defecation termasuk salah satu
contoh perilaku yang tidak sehat. BABS/Open defecation adalah suatu tindakan membuang
kotoran atau tinja di ladang, hutan, semak – semak, sungai, pantai atau area terbuka lainnya
dan dibiarkan menyebar mengkontaminasi lingkungan, tanah, udara dan air.
Berdasarkan data WHO pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 1,1 milyar orang atau
17% penduduk dunia masih buang air besar di area terbuka, dari data tersebut diatas sebesar
81% penduduk yang Buang Air Besar Sembarangan (BABS) terdapat di 10 yaitu India
(58%), Indonesia (12,9%), China (4,5%), Ethiopia (4,4%), Pakistan (4,3%), Nigeria (3%),
Sudan (1,5%), Nepal (1,3%), Brazil (1,2%) dan Niger (1,1%). Indonesia merupakan negara
kedua terbanyak ditemukan masyarakat buang air besar di area terbuka. (WHO,2010).
Meskipun sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki fasilitas BAB, masih
terdapat rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB sehingga melakukan BAB
sembarangan, yaitu sebesar 12,9 persen. Berdasarkan karakteristik, proporsi dibandingkan
di perdesaan (67,3%). Secara nasional rerata perilaku BAB di jamban adalah 82,6%.
(Riskesdas, 2013). rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri di
perkotaan lebih tinggi (84,9%).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan praktek BABS (Buang Air Besar
Sembarangan) yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung atau tak langsung
berdampak pada kontaminasi sumber air minum atau makanan yang terdapat di rumah dan
terjadinya pencemaran lingkungan baik itu pencemaran udara terutama pencemaran air
serta dapat menimbulkan penyakit seperti penyakit diare, penyakit kecacingan, penyakit
kulit dan pencernaan. Menurut Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 semua
kematian yang berakar pada buruknya kualitas air dan sanitasi, penyakit diare merupakan
penyebab kematian terbesar yaitu 1.400.000 jiwa /tahun. Permasalahan ini juga secara tidak
langsung berkaitan dengan masalah BABS sebab penyakit diare, kolera, disentri, hingga
tifus merupakan penyakit water borne disease/ penyakit yang berhubungan dengan air yang
telah terkontaminasi oleh tinja yang akhirnya sampai pada manusia dan mebuat manusia
sakit. (Hiswani, 2003). Selanjutnya data WHO dikutip oleh Kementerian Kesehatan RI
tahun 2013 mengatakan bahwa water borne disease merupakan penyebab kematian yang
mencapai 3.400.000 jiwa/tahun.
Melihat permasalahan BABS (Buang Air Besar Sembarangan) di masyarakat , upaya
yang dilakukan pemerintah tertuang dalam Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis
24
Masyarakat (STBM) yang memiliki 5 pilar yaitu stop BABS , mencuci tangan pakai sabun,
pengelolaan air minum rumah tangga, pengelolaan sampah rumah tangga, dan pengelolaan
limbah cair rumah tangga.(Direktorat Penyehatan Lingkungan, 2013). Lima pilar program
STBM merupakan program saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu penting di
lakukan penanganan masalah sanitasi secara berkelanjutan dan berkesinambungan dan
pilar pertama mengenai program stop BABS merupakan masalah utama yang penting di
tangani. Berdasarkan masalah diatas upaya yang dapat kami tawarkan yaitu “Edukasi Stop
BABS Melalui Lima Aspek Pembelajaran (Kelembagaan, Pendanaan, Sosial,Teknologi
Dan Lingkungan) Secara Berkelanjutan Sebagai Solusi Menanggulangi Masalah Buang
Air Besar Sembarangan”.
Permasalahan BABS (Buang Air Besar Sembarangan) yang Terjadi di Masyarakat.
Perilaku buang air besar sembarangan (BABS/Open defecation) termasuk salah satu
contoh perilaku yang tidak sehat. BABS/Open defecation adalah suatu tindakan membuang
kotoran atau tinja di ladang, hutan, semak – semak, sungai, pantai atau area terbuka lainnya
dan dibiarkan menyebar mengkontaminasi lingkungan, tanah, udara dan air. (Murwati,
2012). Buang Air Besar (BAB) sembarangan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya faktor kebiasaan (habit), faktor geografis (letak rumah), dan faktor kesadaran
setiap individu.
Sampai saat ini, diperkirakan sekitar 47% masyarakat Indonesia masih buang air besar
sembarangan, ada yang berperilaku buang air besar ke sungai, kebun, sawah, kolam dan
tempat-tempat terbuka lainnya. Perilaku seperti tersebut jelas sangat merugikan kondisi
kesehatan masyarakat, karena tinja dikenal sebagai media tempat hidupnya bakteri coli
yang berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit diare. Tahun 2006 sebesar 423 per 1000
penduduk terserang diare denganangka kematian sebesar 2,52 %. (Hidayatullah, dkk.,
2013).
Berbagai alasan digunakan oleh masyarakat untuk buang air besar
sembarangan,antara lain anggapan bahwa membangun jamban itu mahal, lebih enak BAB
di sungai, tinja dapat untuk pakan ikan, dan lain-lain yang akhirnya dibungkus sebagai
alasan karena kebiasaan sejak dulu, sejak anak-anak, sejak nenek moyang, dan sampai saat
ini tidak mengalami gangguan kesehatan. Alasan dan kebiasaan tersebut harus diluruskan
dan dirubah karena akibat kebiasaan yang tidak mendukung pola hidup bersih dan sehat
jelas-jelas akan memperbesar masalah kesehatan. Dipihak lain bilamana masyarakat
25
berperilaku higienis, dengan membuang air besar pada tempat yang benar, sesuai dengan
kaidah kesehatan, hal tersebut akan dapat mencegah dan menurunkan kasus-kasus penyakit
menular. Dalam kejadian diare misalnya, dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap
sanitasi dasar, dalam hal ini meningkatkan jamban keluarga akan dapat menurunkan
kejadian diare sebesar 32%. (Hidayatullah, dkk., 2013).
Permasalahan BABS masih dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia.
Penelitian menunjukan bahwa daerah Jawa Timur salah satunya yaitu di kota Bojonegoro
Desa Alasagung Dusun Krajan ditemukan masalah yang selama ini menjadi kendala pada
masyarakat Dusun Krajan yaitu kerusakan lingkungan yang disebabkan BAB (Buang Air
Besar) sembarangan, ini dikarenakan masih 40% masyarakat Dusun Krajan yang sudah
memiliki WC (Water Closed). Padahal beberapa waktu lalu pihak Puskesmas sudah
melakukan penyuluhan kesehatan untuk semua warga, tetapi penyuluhan ini tidak
menghasilkan dampak apapun bagi warga kemudian setelah dilakukan wawancara kepada
warga desa terkait masalah BABS dan yang menjadi faktor penyebab masih belum
memiliki WC dikarenakan belum adanya bantuan dari pemerintah, kebiasan masyarakat
yang lebih suka BAB di luar , kesadaran akan kebersihan lingkungan masih kurang, dan
faktor ekonomi. (Hidayatullah, dkk., 2013).
Masalah BABS juga masih dapat di temukan di beberapa tempat di daerah Bali. Salah
satunya di kabupaten Karangasem, Bali. Penelitian menunjukan bahwa 43% masyarakat
di kabupaten buang air besar besar sembarangan. Hal tersebut di pengaruhi pengetahuan
dan perilaku masyarakat yang masih rendah. Secara teknis, hal yang menjadi kendala
terbesar adalah keterbatasan air bersih di beberapa desa rawan kekeringan, khususnya di
Desa Seraya Timur, Kabupaten Karangasem (Widhaswari, Yati., 2012).
26
Gambar 2.1. Bagan Analisis Aspek Sosial Perilaku Sanitasi Masyarakat Kecamatan
Karangaem (Widhaswari, Yati., 2012).
2.2 Dampak Dari BABS (Buang Air Besar Sembarangan) Terhadap Kesehatan
Masyarakat
Perilaku BABS dapat sebagai faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit yang
berhubungan dengan tinja. Beberapa penelitian menyebutkan hubungan dan pengaruh
sanitasi yang buruk termasuk perilaku BABS terhadap terjadinya infeksi saluran
pencernan. Diperkirakan 88 % kematian akibat diare di dunia disebabkan oleh kualitas
air, sanitasi, dan higiene yang buruk. (Unichef /WHO, 2009). Dalam penelitian lain
menyebutkan bahwa 90 % kematian akibat diare pada anak karena sanitasi yang buruk,
kurangnya akses air bersih, dan tidak adekuatnya kebersihan diri. (Keusch GT,
Fontaine,O, Bhargava, A. et.al, 2006). Sebuah penelitian di Indonesia menyebutkan
bahwa keluarga yang buang air besar sembarangan (BABS) dan tidak mempunyai
jamban berrisiko 1,32 kali anaknya terkena diare akut dan 1,43 kali terjadi kematian
pada anak usia dibawah lima tahun. (Semba R, Kraemer , K, Sun , K. et.al, 2011).
Sanitasi yang buruk, kurangnya kebersihan diri termasuk perilaku BABS dan
lingkungan yang buruk berkaitan dengan penularan beberapa penyakit infeksi yaitu
penyakit diare, kolera, typhoid fever dan paratyphoid fever, disentri, penyakit cacing
tambang, ascariasis, hepatitis A dan E, penyakit kulit, trakhoma, schistosomiasis,
cryptosporidiosis, malnutrisi dan penyakit yang berhubungan dengan malnutrisi.
(Semba R, Kraemer , K, Sun , K. et.al, 2011). Perkiraan kasus kesakitan pertahun di
Indonesia akibat sanitasi buruk adalah penyakit diare sebesar 72%, kecacingan 0,85%,
scabies 23%, trakhoma 0,14%, hepatitis A 0,57%, hepatitis E 0,02% dan malnutrisi
2,5%, sedangkan kasus kematian akibat sanitasi buruk adalah diare sebesar 46%,
kecacingan 0,1%, scabies 1,1%, hepatitis A 1,4% dan hepatitis E 0,04% . (Wsp-Eap,
2008).
Transmisi virus, bakteri, protozoa, cacing dan pathogen yang menyebabkan
penyakit saluran pencernaan manusia dapat dijelaskankan melalui teori ” 4 F “ yaitu
Fluids, Fields, Flies dan Fingers, siklus ini dimulai dari kontaminasi oleh tinja manusia
melalui pencemaran air dan tanah, penyebaran serangga dan tangan yang kotor yang
dipindahkan ke makanan sehingga dikonsumsi oleh manusia.(USAID/Indonesia,
2006). Cara penularan seperti ini disebut fecal - oral transmission. Penularan penyakit
dari tinja manusia di kenal sebagai oral - fekal transmisi yang dapat di jelaskan pada
gambar berikut :
27
Gambar 2.2. Bagan Transmisi Penyakit dari Tinja Manusia
Selain transmisi penyakit dari tinja manusia yang dapat , buang air besar
sembarangan di sungai atau di laut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dengan
teracuninya biota atau makhluk hidup yang berekosistem di daerah tersebut dan dapat
memicu penyebaran wabah penyakit yang dapat ditularkan melalui tinja Buang air besar
di sawah atau di kolam dapat menimbulkan keracunan pada padi karena urea yang panas
dari tinja. Buang air besar di pantai atau tanah terbuka dapat mengundang serangga
seperti lalat, kecoa, kaki seribu yang dapat menyebabkan penyakit akibat tinja.
Pembuangan tinja di tempat terbuka juga dapat menjadi sebab pencemaran udara sekitar
dan mengganggu estetika lingkungan. (Pusat Komunikasi Publik Kementrian Kesehatan
RI, 2015).
2.3 Solusi Dari Permasalahan BABS (Buang Air Besar Sembarangan) yang Terjadi di
Masyarakat
Melihat permasalahan BABS (Buang Air Besar Sembarangan) dan dampak yang
ditimbulkannya maka penting dilakukan upaya untuk menanggulangi masalah BABS
(Buang Air Besar Sembarangan). Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
masalah BABS adalah Edukasi Stop BABS Melalui Lima Aspek Pembelajaran
(Kelembagaan, Pendanaan, Sosial,Teknologi Dan Lingkungan) Secara Berkelanjutan
Sebagai Solusi Menanggulangi Masalah Buang Air Besar Sembarangan.
Edukasi merupakan penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui
teknik praktik belajar atau instruksi, dengan tujuan untuk mengingat fakta atau kondisi
nyata, dengan cara meberi dorongan terhadap pengarahan diri (self direction), aktif
memberikan informasi-informasi atau ide baru. Edukasi adalah serangkaian upaya yang
ditujukan untuk mempengaruhi orang lain, mulai dari individu, kelompok, keluarga dan
masyarakat agar terlaksananya perilaku hidup sehat. (Simanjutak, 2011).
28
Definisi diatas menunjukkan bahwa edukasi ialah suatu proses perubahan terencana
pada diri individu, kelompok, atau masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai
tujuan tertentu, kaitannya dalam kesehatan yaitu edukasi merupakan proses belajar dari
tentang tidak tahu nilai kesehatan menjadi tahu dan dari tidak mampu mengatasi kesehatan
sendiri menjadi mandiri.
Edukasi merupakan hal yang penting dilakukan kepada masyarakat terkait masalah
BABS (Buang Air Besar Sembarangan). Edukasi yang di berikan adalah edukasi Stop
BABS. Stop BABS merupakan salah satu pilar pemerintah yang ada dalam STBM
(Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang di upayakan pemerintah untuk meningkatkan
sanitasi lingkungan masyarakat. Program STBM secara struktural formal merupakan
program - program “turunan” yang didesign oleh propinsi bahkan tingkat pusat. Bahkan
tidak sedikit program - program yang berkaitan dengan perubahan perilaku hidup bersih
dan sehat ini didukung oleh lembaga - lembaga donor internasional. Namun dikarenakan
design program yang seringkali tidak berkelanjutan sehingga banyak program 32 atau
kegiatan yang berulang - ulang dilakukan dan tidak ditindaklanjuti oleh dinas. Ada kesan
bahwa program hanya akan jalan kalau ada budget/dana padahal sebenarnya STBM
merupakan program yang penting dilakukan secara berkelanjutan serta berkesinambungan
karena di dalam program terdapat pilar – pilar yang harus di jalankan. Berdasarkah hal
tersebut maka edukasi Stop BABS harus dilakukan secara berkelanjutan untuk
menuntaskan masalah BABS di masyarakat. Edukasi Stop Babs dilakukan dengan lima
aspek pembelajaran yaitu kelembagaan, pendanaan, sosial, teknologi, dan lingkungan
yang dilakukan secara berkelanjutan.
Berikut merupakan lima aspek pembelajaran (kelembagaan, pendanaan, sosial,
teknologi, dan lingkungan) yang harus dilakukan secara berkelanjutan :
1. Kelembagaan
- Pelaksanaan “Road Show” Sebagai Pembuka Jalan Proses Internalisasi Program Stop
BABS Ke Dalam Program Pemerintah Daerah
Disadari sepenuhnya bahwa program Stop BABS diinisiasi oleh pemerintah pusat,
walaupun pada kenyataannya penyelenggaraan sanitasi telah menjadi kewajiban
pemerintah daerah. Untuk itu, upaya advokasi kepada pemerintah daerah termasuk
kalangan legislatif dianggap penting dilakukan sebagai upaya menjadikan Stop BABS
bagian dari pemerintah daerah yang langkah awalnya merupakan upaya penyamaan
persepsi diantara pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar pelaksaan program
Stop BABS menjadi satu kesatuan antara pusat dan daerah. Upaya advokasi ini disebut
29
“road show” yang pada dasarnya berbentuk loka karya yang diawali dengan kegiatan
penjelasan program Stop BABS yang dihadiri oleh seluruh pihak terkait termasuk
legislatif, LSM, perguruan tinggi dan tokoh masyarakat. Setelah kegiatan penjelasan
program Stop BABS selesai dilanjutkan dengan penyusunan rencana tindak lanjut yang
kemudian dilanjutkan dengan pendampingan agar program Stop BABS dapat tertuang
dalam strategi pembangunan daerah. Program “Road Show” Stop BABS ini sudah
direalisasikan di daerah binaan Plan Internatioal Indonesia seperti di kabupaten
Grobogan, Jawa Tengah dan Kabupaten Dompou, NTB. (Mungkasa, Oswar, 2011).
- Internalisasi Program Stop BABS Ke Dalam Program Pemerintah Daerah Menjadi
Jaminan Keberlanjutan
Sebagaimana diketahui bahwa tanggapan terhadap kebutuhan (demand responsive)
merupakan persyaratan utama pelaksanaan program Stop BABS. Hal ini berarti bahwa
program Stop BABS hanya dilaksanakan pada lokasi atau daerah yang menunjukkan
adanya kebutuhan yang ditandai dengan adanya minat dan komitmen terhadap program
ini. Sadarnya masyarakat dan pemerintah akan hidup yang sehat serta penerapan PHBS
yang salah satu isinya adalah program “STOP BABS” maka ada upaya
menginternalisasi program tersebut ke dalam program pemerintahan daerah.
Keikutsertaan pemerintah daerah dalam upaya memberantasan BABS ini akan
memberikan suatu jaminan keberlanjutan dari status kesehatan masyarakat di
daerahnya. (Mungkasa, Oswar, 2011).
- Menjadikan Puskesmas Dan Posyandu Berikut Jajaran Petugas Kesehatannya Sebagai
Ujung Tombak Mempercepat Penerimaan Masyarakat
Petugas sanitarian, bidan desa, termasuk kader posyandu yang berasal dari masyarakat
merupakan ujung tombak pelaksaan STOP BABS yang dapat diandalkan. Keterlibatan
petugas sanitarian sudah jelas karena memang bidangnya sehingga peran super visi
melekat pada dirinya untuk mengontrol kesehatan lingkungan. Sedangkan bdan
dilakukan seiring dengan tugasnya melayani kesehatan ibu dan anak termasuk dalam
proses sehingga peran motivasi lebih menonjol untuk mempengaruhi perilaku ibu untuk
mempengaruhi perilaku anaknya agar tidak BAB sembarangan. Kader posyandu pun
seharusnya diberikan pelatihan agar dapat memotivasi masyarakat untuk merubah
prilaku mereka agar jangan membuang air besar sembarangan. Solusi untuk program
STOP BABS ini telah diterapkan oleh kabupaten Sumedang yang melatih kader
posyandu dan sanitarian untuk melakukan pemantauan terhadap prilaku
masyarakatnya. (Mungkasa, Oswar, 2011).
30
- Mahasiswa Berpotensi Menjadi Ujung Tombakpemicuan Stop BABS Melalui Program
Kuliahkerja Mahasiswa
Program kuliah kerja mahasiswa yang mengerahkan mahasiswa dalam jumlah banyak
ke desa-desa, merupakan ajang yang potensial dalam melibatkan mahasiswa dalam
pelaksanaan Stop BABS. Dengan pembekalan yang memadai, mahasiswa dapat
berperan menjadi fasilitator pemicu perubahan di tingkat masyarakat. Melalui kerja
sama antara pemerintah daerah dan perguruan tinggi, dapat dibangun suatu sinergi
untuk membantu masyarakat desa dalam memperbaiki kualitas hidupnya. (Mungkasa,
Oswar, 2011).
2. Pendanaan
- Optimalisasi Sumber Daya Yang Ada Dengan Mengadopsi Program Stop BABS Ke
Dalam Program Yang Telah Berjalan
Salah satu upaya daerah dalam membiayai program Stop BABS adalah dengan cara
mengadopsi kegiatan Stop BABS ke dalam program yang telah berjalan. Tentunya hal
ini dengan mudah dapat dilakukan karena pada dasarnya kegiatan Stop BABS adalah
bagian dari kegiatan PHBS dimana isi Program PHBS tersebut berisikan STOP BABS
yang sudah menjadi program pemerintah untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat. (Mungkasa, Oswar, 2011).
- Perubahan skema dana bergulir menjadi non subsidi lebih menjajikan
Jauh sebelum program Stop BABS di perkenalkan, pembangunan sanitasi khususnya
di pedesaan banyak mempergunakan skema dana yang bergulir. Dana yang bergulir
tersebut merupakan dana stimulant yang diberikan oleh proyek kepada kelompok
masyarakat, kemudian kelompok masyarakat tersebut mengelolanya. Secara teoritis
memang cukup baik, namun pada prakteknya banyak ditemui kegagalan, terlihat dari
dana yang bergulir hanya sekali pada penerimaan gelombang pertama kemudian
selanjutnya tidak berlanjut dan kebanyakan masyarakat miskin hamper tidak dapat
mengakses dana tersebut. perubahan dana yang bergulir menjadi non subsidi melalui
program Stop BABS terbukti menunjukkan kinerja baik karena edukasi Stop BABS
memotivasi masyarakat bahwa masyarakat pun bisa membangun jamban apabila mau
berusaha dan tanpa bantuan dana stimulan. (Mungkasa, Oswar, 2011).
3. Teknologi
Edukasi teknologi dapat dilakukan dengan memberi gambaran mengenai teknologi
sederhana. Hal ini berarti dalam membuat suatu pembangunan ( terutama dalam
membuat suatu jamban STOP BABS ) tidak selalu memerlukan biaya yang besar tetapi
31
kita bisa memanfaatkan atau menggunakan suatu teknologi yang sederhana seperti
memanfaatkan material lokal dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat, sehingga
biayanya bisa dijangkau atau terjangkau oleh masyarakat dengan biaya murah dan
mudah membuatnya. Semua itu juga tergantung pada kemampuan masyarakatnya
tersendiri
4. Sosial
- Kampiun Sebagai Penggerak Utama Program Stop BABS
Keberadaan kampiun merupakan hal yang cukup penting. Kampiun merupakan orang
yang terpicu, termotivasi, dan memiliki komitmen dalam pelaksanaan program.
Seorang kampiun dapat berasal dari berbagai golongan baik pemerintah, pegawai
swasta, pemuka agama, pemuka masyarakat, guru, ibu rumah tangga, bahkan pemuda.
Di percayai bahwa pada setiap keberhasilan program Stop BABS terdapat seorang
kampiun yang mengawal. (Mungkasa, Oswar, 2011).
- Mempelajari karakteristik sosial budaya daerah dalam edukasi Stop BABS
Pada suatu daerah tentunya memiliki karakteristik sosial budaya yang berbeda beda
maka dari itu untuk melakukan edukasi kepada masyarakat haru di perhatikan
bagaimana kondisi sosial budaya yang ada di dalam masyarakat. Terdapat berbagai
alasan masyarakat yang melakukan BABS untuk dapat melakukan pendekatan lalu
memotivasi/membuat dan memicu masyarakat agar mau berubah di lakukan
pendekatan dengan cermat dan teliti agar tidak menyinggung sosial budaya yang telah
terdapat di daerah tersebut.
5. Lingkungan
Lingkungan adalah faktor pendukung terjadinya realisasi Stop BABS. Perilaku BABS
tentunya mencemari lingkungan sekitar mulai dari pencemaran, air, tana, maupun
udara. Melakukan edukasi kepada masyarakat dapat melakukan pendekatan aspek
lingkungan dengan harapan bahwa masyrakat mau mengerti dan memahami bahwa
lingkungan sekitar dan tempat tinggal perlu dijaga kebersihannya agar tidak
menimbulkan penyakit.
32
Gambar 2.3. Bagan Konsep Stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan)
Berikut adalah manfaat yang di dapat dari melakukan stop BABS ladalah sebagai
berikut:
- Menjaga lingkungan menjadi bersih, sehat, nyaman dan tidak berbau
- Tidak mencemari sumber air yang dapat dijadikan sebagai air baku air minum atau air
untuk kegiatan sehari-hari lainya seperti mandi, cuci, dll
- Tidak mengundang serangga dan binatang yang dapat menyebarluaskan bibit penyakit,
sehingga dapat mencegah penyakit menular.
33
4. BAHAYA ASAP ROKOK SEBAGAI BAHAN PENCEMARLINGKUNGAN DI DALAM RUANGAN
LATAR BELAKANG
Indonesia setiap tahunnya mengkonsumsi 215 milyar batang rokok, menduduki
peringkat ke lima negara pengkonsumsi rokok terbanyak di dunia setelah Cina, Amerika
Serikat, Jepang dan Rusia. Konsumsi rokok tersebut meningkat sejak tahun 1970. Prevalensi
perokok berusia 15 tahun ke atas meningkat dari 26,9% pada tahun 1995 menjadi 31,5% pada
tahun 2001, hal ini dikaitkan dengan peningkatan prevalensi perokok pada laki-laki dari 53,4
% menjadi 62,2% selama kurun waktu tersebut sedangkan pada perempuan tidak ada
perubahan berarti. Data WHO menyebutkan 59% laki-laki dan 3,7% perempuan Indonesia
adalah perokok. Secara keseluruhan pada tahun 2001, penduduk Indonesia yang merokok
sekitar 31,5%, berarti terdapat sekitar 60 juta perokok di Indonesia.
Asap rokok merupakan bahan penyebab terbanyak pencemaran udara terutama di
dalam ruangan. Lebih dari 150 juta penduduk Indonesia terpapar asap rokok orang lain
dirumah, di perkantoran, di tempat-tempat umum dan kendaraan umum. Sebanyak 71% rumah
tangga mempunyai pengeluaran untuk merokok, dan lebih dari 87% merokok di dalam rumah
ketika sedang berada bersama anggota keluarganya. Data Susenas tahun 2001 juga menunjukan
sebanyak 43 juta anak Indonesia usia 0-14 tahun yang sama dengan 70% populasi kelompok
umur tersebut terpapar asap rokok di dalam rumah.
Di dalam asap rokok tersebut terdapat gas CO yang merupakan suatu komponen yang
tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan tidak mudah larut dalam air, beracun dan
berbahaya yang terdapat dalam bentuk gas pada suhu diatas -192ºC. Zat gas CO ini akan
mengganggu pengikatan oksigen pada darah karena CO lebih mudah terikat oleh darah
dibandingkan dengan oksigen dan gas-gas lainnya. Pada kasus darah yang tercemar CO dalam
kadar 70% hingga 80% dapat menyebabkan kematian pada seseorang.
Melihat kondisi seperti ini tentu akan berdampak buruk bagi lingkungan maupun orang-
orang di sekitar jika perokok tetap saja merokok terutama pada tempat-tempat tertutup seperti
di dalam ruangan yang membuat sirkulasi udara terhambat dari adanya gas CO yang terdapat
pada asap rokok. Oleh karena itu, harus dilakukan pengkajian kembali terkait perilaku merokok
untuk mendapatkan alternatif dalam pemecahan masalah terkait kebiasaan merokok di dalam
ruangan.
34
PENCEMARAN LINGKUNGAN DARI ASAP ROKOK DI DALAM RUANGAN
Pengertian pencemaran udara berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997
pasal 1 ayat 12 mengenai Pencemaran Lingkungan yaitu pencemaran yang disebabkan oleh
aktivitas manusia seperti pencemaran yang berasal dari pabrik, kendaraan bermotor,
pembakaran sampah, sisa pertanian, dan peristiwa alam seperti kebakaran hutan, letusan
gunung api yang mengeluarkan debu, gas, dan awan panas. Sedangkan pencemaran udara
dalam ruang (indoor air pollution) yang disebut juga udara tidak bebas seperti di rumah, pabrik,
bioskop, sekolah, rumah sakit, dan bangunan lainnya. Biasanya zat pencemarnya adalah asap
rokok, asap yang terjadi di dapur tradisional ketika memasak, dan lain-lain. Banyak orang lebih
banyak terpengaruh oleh efek buruk dari polusi udara di dalam ruangan dibandingkan dengan
di luar ruangan. Hal ini terutama terjadi karena banyak orang menghabiskan sebagian besar
waktunya dalam ruangan, yaitu sebesar 80-90% dari kehidupan mereka. Padahal, di dalam
ruangan terutup sirkulasi udara terbatas. Oleh karena paparan polusi di dalam ruangan lebih
besar dibanding di luar ruangan, diperkirakan tingkat polutan udara dalam ruangan adalah 25-
62% lebih besar dari tingkat di luar ruangan, dan dapat menimbulkan masalah kesehatan yang
serius. Salah satu sumber polusi udara dalam ruangan adalah asap rokok yang belakangan ini
belum bisa terselesaikan masalahnya.
Kebiasaan merokok merupakan masalah penting dewasa ini. Salah satu contohnya
melalui hasil observasi kami di salah satu mini market di daerah Kerobokan, Kabupaten
Badung. Berdasarkan observasi yang kami lakukan bahwa kebiasaan merokok di dalam
ruangan masih tetap dilakukan atau diterapkan oleh perokok aktif salah satunya oleh pegawai
mini market tersebut. Pegawai tersebut biasa merokok di dalam ruangan pada saat bekerja. Di
mini market tersebut belum diterapkan perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok), tetapi dari pihak
atasan sudah memberikan pengawasan internal terhadap pegawai tersebut agar tidak merokok
dalam ruangan. Oleh karena itu, di dalam ruangan tersebut tercemar polusi udara dari asap
rokok yang menyebabkan sirkulasi udara menjadi terganggu.
Asap rokok merupakan bahan pencemar udara karena asap rokok mengandung partikel-
partikel kecil yang berbahaya bagi paru-paru dan lebih dari 4.000 bahan kimia yang banyak
diantaranya berbahaya bagi kesehatan. Asap rokok mengandung partikel-partikel kecil yang
tetap tinggal dalam paru-paru sehingga memicu kanker dan efek buruk kesehatan lainnya.
Ilmuwan dari National Cancer Institute di Milan menemukan pada tahun 2004 bahwa asap
rokok mengandung 10 kali partikel lebih banyak dibandingkan knalpot mesin diesel modern.
35
Asap rokok yang dihirup oleh perokok pasif berasal dari asap yang dihembuskan perokok dan
asap yang berasal dari ujung rokok yang terbakar. Asap rokok dari ujung yang terbakar
dianggap lebih berbahaya karena tidak melalui filter. Studi ini meneliti akibat polusi asap rokok
yang terjadi di ruangan tertutup. Adapun dampaknya terhadap kesehatan terutama pada organ
tubuh manusia di antaranya :
Otak : stroke, aneurisma atau pembengkakan pembuluh darah
Jantung : kelemahan arteri, meningkatkan serangan jantung
Paru – paru : kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif kronik
Hati : kanker hati
Abdomen : kanker lambung, pankreas dan usus besar
Ginjal dan kandung kemih : kanker ginjal, kanker kandung kemih
Reproduksi : impotensi, kanker leher rahim, mandul
Tulang : osteoporosis
Melihat banyaknya dampak yang terjadi pada kesehatan, maka perlu adanya solusi
alternatif dalam meminimalisir terjadinya pencemaran udara di dalam ruangan dari adanya
paparan asap rokok yang bisa mengakibatkan gangguan kesehatan maupun kematian pada
seseorang.
SOLUSI
Sumber dari pencemaran udara ruangan salah satunya berasal dari asap rokok. Pencegahan
yang dapat dilakukan untuk meminimalisir pencemaran udara yang berasal dari dalam ruangan
yaitu :
1. Memasang stiker maupun poster tentang Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok) di dalam
ruangan dan pintu masuk gedung yang bertujuan agar masyarakat tidak merokok di dalam
ruangan dan mematuhi larangan atau peraturan yang berlaku.
2. Ventilasi yang sesuai, yaitu :
Usahakan polutan yang masuk ruangan seminimum mungkin.
Tempatkan alat pengeluaran udara dekat dengan sumber pencemaran. Usahakan
menggantikan udara yang keluar dari ruangan sehingga udara yang masuk ke ruangan
sesuai dengan kebutuhan.
3. Filtrasi
Memasang filter dipergunakan dalam ruangan dimaksudkan untuk menangkap polutan dari
sumbernya dan polutan dari udara luar ruangan. Pembersihan udara secara elektronik.
36
Udara yang mengandung polutan dilewatkan melalui alat ini sehingga udara dalam ruangan
sudah berkurang polutannya atau disebut bebas polutan.
4. Menyedikan Smoking Area
Tujuan di bangunnya smoking area selain untuk memberikan ruang bagi perokok aktif juga
untuk meminimalisasi dampak asap rokok terhadap masyarakat yang perokok pasif.
5. Menyediakan asbak untuk tempat merokok atau di smoking area
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat kami tarik dari hasil pembahasan di atas yaitu pencemaran
udara oleh asap rokok masih menjadi permasalahan yang belum bisa teratasi. Terutama pada
pencemaran udara oleh asap rokok di dalam ruangan. Masih banyak perokok yang kurang
peduli terhadap dampak yang ditimbulkan dari asap rokok jika merokok di dalam ruangan.
Maka perlu adanya penanggulangan lebih lanjut agar pencemaran udara oleh asap rokok di
dalam ruangan bisa lebih diminimalisirkan. Salah satu solusinya yaitu penerapan perda KTR
(Kawasan Tanpa Rokok) lebih dioptimalkan terutama di tempat-tempat umum, penyediaan
ventilasi yang sesuai, adanya filtrasi, penyediaan smoking area
SARAN
Asap rokok sangat berbahaya bagi kesehatan, baik perokok aktif maupun pasif.
Pemerintah harus lebih tegas dalam penerapan kawasan tanpa rokok, bekerja sama dengan
berbagai sektor yang merata. Monitoring dan mengikut sertakan masyarakat. Sehingga tidak
ada ruang gerak. Serta pemberian sanksi tegas dan berat. Terhadap pelanggaran seperti
produksi, penjualan, iklan, promosi; atau penggunaan rokok di Kawasan Tanpa Rokok. Adanya
pengukuran efektifitas Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
DOKUMENTASI
37
Gambar 1. Pegawai yang sedang merokok di dalam ruangan
Gambar 2. Pegawai yang sedang merokok bersama rekan kerjanya
38
5. PENGOLAHAN LIMBAH MEDIS
Latar Belakang
Rumah sakit adalah tempat pelayanan kesehatan yang dirancang, dioperasikan dan
dipelihara dengan sangat memperhatikan aspek kebersihan bangunan dan halaman baik fisik
sampah, limbah cair, air bersih. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang
disebut sebagai sampah medis adalah berbagai jenis buangan yang dihasilkan rumah sakit dan
unit-unit pelayanan kesehatan yang dapat membahayakan dan menimbulkan gangguan
kesehataan bagi manusia, yakni pasien maupun masyarakat. Namun menciptakan kebersihan
di rumah sakit merupakan upaya yang cukup sulit dan bersifat kompleks berhubungan dengan
berbagai aspek antara lain budaya/kebiasaan, prilaku masyarakat, kondisi lingkungan, sosial
dan teknologi. Jika di bandingkan dengan limbah dari institusi lain mungkin jenis sampah dan
limbah rumah sakit adalah yang terkomplit, karena mengeluarkan berbagai jenis sampah dan
limbah. Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan
baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis
noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Limbah medis sangat
penting untuk dikelola secara benar, hal ini mengingat limbah medis termasuk kedalam
kategori limbah berbahaya dan beracun. Limbah medis berbahaya yang berupa limbah
kimiawi, limbah farmasi, logam berat, mercuri dan limbah berbahaya lainnya. Sedangkan
limbah infeksius merupakan limbah yang bisa menjadi sumber penyebaran penyakit baik
kepada petugas, pasien, pengunjung ataupun masyarakat di sekitar lingkungan rumah sakit.
Limbah infeksius biasanya berupa jaringan tubuh pasien, jarum suntik, darah, perban, bahan
atau perlengkapan yang bersentuhan dengan penyakit menular atau media lainnya yang
diperkirakan tercemari oleh penyakit pasien. Pengelolaan lingkungan yang tidak tepat akan
beresiko terhadap penularan penyakit. Beberapa resiko kesehatan yang mungkin ditimbulkan
akibat keberadaan limbah rumah sakit antara lain: penyakit menular (hepatitis,diare, campak,
AIDS, influenza), bahaya radiasi (kanker, kelainan organ genetik) dan resiko bahaya kimia,
serta kemungkinan dampak negatif yang lain yang dapat berimbas pada lingkungan masyarakat
sekitar.
39
Pengertian Limbah Medis
Limbah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan, sedangkan limbah medis atau limbah
klinis mencakup semua hasil buangan yang berasal dari instalasi kesehatan, fasilitas
penelitian, dan laboratorium.selain itu yang dimaksud limbah bahan berbahaya dan
beracun adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya atau
karena sifat atau konsentrasinya atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup manusia serta makhluk
hidup lain.
Kategori Limbah Medis
Limbah medis dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Limbah benda tajam
adalah materi padat yang memiliki sudut kurang dari 90 derajat, dapat menyebabkan
luka iris atau tusuk, misalnya : Jarum suntik; Kaca sediaan (preparat glass); Infus set;
Ampul/vial obat.
2. Limbah infeksius
adalah limbah yang mengandung patogen (bakteri, virus, parasit, dan jamur) dalam
jumlah yang cukup untuk menyebabkan penyakit, misalnya Limbah hasil operasi atau
otopsi dari pasien yang menderita penyakit menular; Limbah pasien yang menderita
penyakit menular dari bagian isolasi; Alat atau materi lain yang tersentuh orang sakit.
3. Limbah Patologis
adalah limbah yang berasal dari jaringan tubuh manusia, misalnya : organ tubuh, janin
dan darah, muntahan, urin dan cairan tubuh yang lain.
4. Limbah Farmasi
adalah limbah yang mengandung bahan-bahan farmasi, misalnya : produk farmasi,
obat, vaksin, serum yang sudah kadaluwarsa dan tumpahan obat. Termasuk sarung
tangan, masker.
5. Limbah Kimia
adalah limbah yang mengandung zat kimia yang berasal dari aktifitas diagnostic,
pemeliharaan kebersihan, dan pemberian desinfektan, misalnya : formaldehid, zat
kimia fotografis dan solven.
6. Limbah Kemasan Bertekanan
adalah limbah medis yang berasal dari kegiatan di instansi kesehatan yang memerlukan
gas, misalnya : gas dalam tabung dan kaleng aerosol.
40
7. Limbah Logam Berat
adalah limbah medis yang mengandung logam berat dalam konsentrasi tinggi termasuk
dalam sub kategori limbah berbahaya dan biasanya sangat toksin, misalnya : Limbah
logam merkuri yang berasal dari bocoran peralatan kedokteran (thermometer, alat
pengukur tekanan darah).
Pencemaran dan Dampak Limbah Medis
Limbah medis dapat mengandung berbagai macam mikroorganisme patogen, yang
dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui beberapa jalur yaitu melalui tusukan, atau
luka di kulit, melalui membran mukosa dan melalui pernafasan. Keberadaan bakteri yang
resisten terhadap antibiotika dan desinfektan kimia dapat memperbesar bahaya yang
muncul akibat limbah layanan kesehatan yang tidak dikelola dengan benar dan aman.
Limbah medis tajam tidak hanya dapat menyebabkan luka gores maupun luka tusuk, tetapi
juga dapat menginfeksi luka jika terkontaminasi patogen. Karena risiko ganda ini (cedera
dan penularan penyakit), limbah medis tajam termasuk dalam kelompok limbah yang
sangat berbahaya.Untuk infeksi virus yang serius seperti HIV/AIDS serta Hepatitis B dan
C.
Tenaga puskesmas atau rumah sakit (terutama perawat) merupakan kelompok yang
berisiko paling besar terkena infeksi melalui cedera akibat limbah medis tajam. Risiko
serupa dihadapi oleh tenaga layanan kesehatan lain dan pelaksana pengelolaan limbah di
luar puskesmas atau rumah sakit. Beberapa infeksi yang menyebar melalui media lain atau
disebabkan oleh agent yang lebih resisten dapat menimbulkan risiko yang bermakna pada
pasien dan masyarakat. Contoh : pembuangan limbah medis cair yang tidak terkendali pada
perawatan pasien kolera memberikan dampak yang cukup besar terhadap terjadinya wabah
kolera.
Infeksi akibat paparan limbah layanan kesehatan, organisme penyebab, dan media
penularan meliputi :
1. Infeksi gastroenteritis.
Organism penyebabnya adalah salmonella, shigella spp, vibrio cholera dan cacing.
Media penularannya melalui tinja atau muntahan.
2. Infeksi Saluran Pernafasan.
Organisme penyebabnya adalah mycobacterium tuberculosis, streptococcus
pneumonia, virus campak. Media penularannya melalui cairan yang terhirup, dan air
liur.
41
3. Infeksi Genital.
Organisme penyebabnya adalah Neisseria gonorrhoeae, herpes virus. Media
penularannya adalah melalui genital.
4. Infeksi Kulit.
Organisme penyebabnya adalah Streptococcus spp. Media penularannya adalah
melaui nanah.
5. Antraks.
Organisme penyebabnya adalah Bacillus anthracis. Media penularannya adalah
melalui secret kulit.
6. AIDS.
Organisme penyebabnya adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV). Media
penularannya adalah melalui darah, secret alat kelamin.
7. Hepatitis Virus A.
Organisme penyebab adalah virus hepatitis A. Media penularannya adalah melalui
tinja.
8. Hepatitis Virus B dan C.
Organisme penyebab adalah Virus Hepatitis B dan C. Media penularannya adalah
melalui darah dan cairan tubuh.
Solusi Penyelesaian
Penyelesaian masalah dari pembuangan limbah medis dapat dilakukan dengan
beberapa pengelolaan limbah sesuai dengan jenis limbah yang dihasilkan. Adapun
beberapa pengelolaan limbah yaitu sebagai berikut.
1. Pemisahan sampah
- Sampah harus dipisahkan dari sumbernya.
- Semua limbah yang beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas.
- Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna berbeda yang menunjukkan
kemana plastik harus diangkut atau dibuang.
42
2. Penampungan sementara
Setiap unit di rumah sakit sebaiknya disediakan tempat penyimpanan dengan bentuk,
ukuran dan jumlah yang disesuaikan dengan jenis dan jumlah sampah serta kondisi
setempat. Hendaknya sampah tidak dibiarkan di tempat tersebut terlalu lama karena
bila terlalu lama atau lebih dari tiga hari akan dapat menimbulkan bau dan menjadi
tempat berkembangbiak lalat.
3. Pembuangan dan pemusnahan sampah
Pembuangan dan pemusnahan sampah dapat ditempuh melalui dua alternatif (Depkes
RI, 1997) yaitu :
a. Pembuangan dan pemusnahan sampah medis dan non medis dijadikan satu.
Dengan demikian pihak rumah sakit harus menyediakan sarana yang memadai.
b. Pembuangan dan pemusnahan sampah medis dan non medis secara terpisah.
Pemusnahan ini dimungkinkan apabila Dinas Kebersihan dapat diandalkan
sehingga beban rumah sakit tinggal memusnahkan sampah medis.
Unit pemusnahan sampah rumah sakit adalah insinerator. Faktor penting yang perlu
diperhatikan dalam proses insinerator adalah :
a. Pengaturan suhu di dalam di dalam insinerator (minimal 10000 C)
Pada suhu rendah, akan membakar sampah tidak sempurna, sehingga
menimbulkan asap, gas yang mencemari udara
b. Waktu pembakaran
43
Apabila suhu di dalam insinerator belum cukup, maka tidak boleh dilakukan
pembakaran
c. Pengaturan oksigen
Tidak adanya suplai oksigen dalam insinerator, maka pembakaran akan
berhenti, oleh sebab itu perlu penambahan udara dari luar
d. Jumlah sampah yang akan dibakar
Jumlah sampah yang akan dibakar disesuaikan dengan kapasitas insinerator dan
frekuensi pembakaran
Adapun pengelolaan limbah medis sesuai jenisnya antara lain :
1) Limbah benda tajam
(a) Safety Box : Jarum dan syringe langsung dimasukkan ke dalam safety box
pada setiap selesai satu penyuntikan.
(b) Needle Cutter : Jarum dipatahkan dengan needle cutter pada setiap selesai
satu penyuntikan.
(c) Needle Burner : Jarum dimusnahkan dengan needle burner langsung pada
setiap selesai satu penyuntikan.
2) Limbah infeksius
Untuk menghancurkan mikroorganisme infeksius dapat dilakukan dengan
panas, perlakukan kimiawi atau dengan radiasi mikrowave. Sampah yang
sangat infeksius seperti kultur dan stok agens infeksius dari laboratorium, harus
disterilisasi melalui pengolahan termal basah (misalnya, proses autoclaving)
pada tahapan sedini mungkin. Untuk sampah layanan kesehatan yang infeksius
lainnya, metode desinfeksi sudah memadai. Encapsulation (pembungkusan)
juga sesuai untuk benda tajam. Setelah diinsinerasi atau metode desinfeksi yang
lain, residu yang dihasilkan dapat dipendam.
3) Limbah yang mengandung logam berat
Limbah yang mengandung merkuri atau kadmium tidak boleh dibakar atau
diinsinerasi dan tidak boleh dibuang ke landfill.
4) Limbah kimia
Limbah kimia berbahaya dalam jumlah kecil misalnya residu bahan kimia
dalam kemasannya dapat ditangani melalui insinerasi pirolitik, encapsulation
atau dibuang ke landfill serta dikembalikan ke pemasok awal.
5) Limbah Farmasi
44
Limbah farmasi dalam jumlah kecil dapat diolah dengan insinerator pirolitik
(pyrolitik incinerator), rotary klin, dikubur secara aman, sanitary landfill,
dibuang ke sarana air limbah atau insinerasi. Tetapi dalam jumlah besar harus
menggunakan fasilitas pengolahan yang khusus seperti rotary kli, kapsulisasi
dalam drum logam, dan inersisasi.
4. Pengangkutan
Limbah medis diangkut dengan kontainer tertutup. Untuk keamanan, pengangkutan
limbah radioaktif sebaiknya dipisahkan dengan limbah kimia yang bersifat reaktif,
mudah terbakar, korosif. Alat pengangkutan harus dirawat dan dibersihkan secara rutin
untuk mencegah adanya limbah yang tercecer akibat pengangkutan dan mengurangi
resiko kecelakaan saat pengiriman limbah.
Pengelolaan yang tepat untuk pengelolaan limbah medis di unit-unit pelayanan
kesehatan selain tergantung pada administrasi dan organisasi yang baik, juga memerlukan
kebijakan dan pendanaan yang memadai dan sekaligus partisipasi aktif dari semua pihak yang
ada di unit pelayanan tersebut, misalnya dengan membentuk Tim Pengelolaan Limbah untuk
menyusun rencana pengelolaan limbah secara terstruktur, sistematis dan intensif.
45
DOKUMENTASI PEMBUANGAN LIMBAH MEDIS
Gambar 1. Penampungan Sementara
Gambar 2. Incenerator
Gambar 3. Safety Box
46
Gambar 4. Nedle Bunner
Gambar 5. Pencemaran Limbah
Gambar 6. Pencemaran Limbah
DAFTAR PUSTAKA
47
Available. PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS.
http://www.diskes.baliprov.go.id/id/PENGELOLAAN-LIMBAH-MEDIS-diakses
pada tanggal 20 September 2015.
Available. 2014. Prosedur Pengelolaan limbah Medis. http://www.indonesian-
publichealth.com/2014/08/prosedur-pengelolaan-limbah-medis.html. Diakses pada
tanggal 20 September 2015
Kristina, Nyoman. 2014. Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali : Pengelolaan Limbah
Medis. Available dalam http://www.diskes.baliprov.go.id/id/ PENGELOLAAN-
LIMBAH-MEDIS-
Setiawan, Nugraha. 2010 Pengolahan Limbah Medis.
http://www.academia.edu/6953770/pengolahan_limbah_rumah_sakit diakses pada
tanggal 20 September 2015
Tarigan. 2011. Available dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789
/26100/4/Chapter%20II.pdf. Universitas Sumatera Utara
48
6. KARAKTERISTIK DAN DAMPAK POLUSI UDARA OLEHAKTIVITAS INDUSTRI TERHADAP ASPEK KESEHATAN
LINGKUNGAN
Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan kondisi pada abad ke-21,saat ini telah terjadi trend
perubahan komposisi penduduk dimana penduduk yang berasal dari desa menuju ke kota yang
dikenal dengan istilah urbanisasi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health
Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2030, 6 dari 10 orang akan menjadi penghuni
daerah perkotaan, dan akan meningkat menjadi 7 dari 10 orang di tahun 2050. Untuk Indonesia,
pada tahun 2009, lebih dari 43 % penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan. Banyaknya
penduduk desa yang berbondong-bondong untuk menyerbu daerah perkotaan dengan berbagai
faktor salah satunya adalah untuk meningkatkan taraf perekonomian dengan mencari sumber
penghidupan yaitu pekerjaan.
Stigma penduduk desa bahwa kota adalah tempat yang bisa memberikan sebuah
harapan untuk bisa menyediakan lapangan pekerjaan dari berbagai bidang. Selain itu juga
adanya anggapan bekerja di perkotaan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menjadi lebih
mapan.Sehingga rerata penduduk yang sebagai subjek urbanisasi adalah kategori usia produktif
baik laki-laki maupun perempuan. Dapat disimpulkan faktor yang menjadi alasan terjadinya
urbanisasi adalah adanya penyediaan lapangan pekerjaan yang banyak membutuhkan tenaga
kerja yaitu dari sektor industri. Industri tersebut biasanya berada di kota-kota besar seperti
Jakarta,depok,Surabaya,dan lain sebagainya. Menurut data dari Kementerian Perindustrian
(Kemenperin) pada tahun 2015 terdapat 24.425 Perusahaan Industri yang telah terdaftar di
Kemenperin mulai dari industri tingkat atas atau makro,menengah dan mikro. Angka tersebut
hanya tercakup pada industri yang terdaftar,namun masih banyak industri yang masih belum
terdaftar keberadaanya yang kemungkinan lebih banyak lagi jumlahnya.
Sehubungan dengan semakin banyaknya industri di sisi lain dapat memberikan solusi
dalam penyediaan lapangan pekerjaan,namun di sisi lain menimbulkan sebuah permasalahan
yang serius yang harus dipertimbangkan yaitu permasalahan mengenai kesehatan lingkungan
salah satunya pencemaran udara atau polusi udara. Udara adalah salah satu komponen penting
49
bagi makhluk hidup untuk bernafas. Dan bagaimana jadinya apabila kondisi udara telah
tercemar. Permasalahan ini telah banyak terjadi di kota-kota besar sebagai objek tempat
industri dimana hal itu membuat suasana atmosfer di sekitar daerah tersebut memprihatinkan
salah satu dampak dari polusi udara dapat memicu terjadinya efek rumah kaca dimana hal itu
membuat kondisi udara menjadi terkontaminasi dengan gas-gas hasil pembuangan proses
industri tersebut. Oleh karena itu perlu adanya pengkajian lebih lanjut terkait kondisi dan
keberadaan aktivitas industri terhadap aspek kesehatan lingkungan demi menjaga kelestarian
dan kestabilan kondisi kesehatan masyarakat dengan berdampingan perusahaan industri.
Pengertian
Pencemaran lingkungan atau polusi adalah proses masuknya polutan ke dalam suatu
lingkungan sehingga dapat menurunkan kualitas lingkungan tersebut. Menurut Undang-
undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 tahun 1982, pencemaran lingkungan atau
polusi adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen
lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh
proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan menjadi tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Polutan adalah suatu zat atau bahan yang kadarnya melebihi ambang batas serta berada
pada waktu dan tempat yang tidak tepat, sehingga merupakan bahan pencemar lingkungan,
misalnya: bahan kimia, debu, panas dan suara. Polutan tersebut dapat menyebabkan lingkungan
menjadi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan akhirnya malah merugikan manusia
dan makhluk hidup lainnya. Salah satu jenis pencemaran yang sering terjadi adalah pencemaran
udara atau polusi udara. Pencemaran udara adalah peristiwa masuknya, atau tercampurnya,
polutan (unsur-unsur berbahaya) ke dalam lapisan udara (atmosfer) yang dapat mengakibatkan
menurunnya kualitas udara (lingkungan).
Pencemaran dapat terjadi dimana-mana. Bila pencemaran tersebut terjadi di dalam
rumah, di ruang-ruang sekolah ataupun di ruang-ruang perkantoran maka disebut sebagai
pencemaran dalam ruang (indoor pollution). Sedangkan bila pencemarannya terjadi di
lingkungan rumah, perkotaan, bahkan regional maka disebut sebagai pencemaran di luar ruang
(outdoor pollution).
Umumnya, polutan yang mencemari udara berupa gas dan asap. Gas dan asap tersebut
berasal dari hasil proses pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna, yang dihasilkan oleh
50
mesin-mesin pabrik, pembangkit listrik dan kendaraan bermotor. Selain itu, gas dan asap
tersebut merupakan hasil oksidasi dari berbagai unsur penyusun bahan bakar, yaitu: CO2
(karbondioksida), CO (karbonmonoksida), SOx (belerang oksida) dan NOx (nitrogen oksida).
2.2 Faktor Penyebab Pencemaran Udara
Pencemaran udara disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
3. Faktor alam (internal), yang bersumber dari aktivitas alam Contoh :
abu yang dikeluarkan akibat letusan gunung berapi
Gas-gas vulkanik
Debu yang beterbangan di udara akibat tiupan angin
Bau yang tidak enak akibat proses pembusukan sampah organik
4. Faktor manusia (eksternal), yang bersumber dari hasil aktivitas manusia Contoh :
Hasil pembakaran bahan-bahan fosil dari kendaraan bermotor
Bahan-bahan buangan dari kegiatan pabrik industri yang memakai zat kimia organik
dan anorganik
Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara
Pembakaran sampah rumah tangga
Pembakaran hutan
2.3 Zat-zat Pencemaran Udara
Ada beberapa polutan yang dapat menyebabkan pencemaran udara, antara lain: Karbon
monoksida, Nitrogen dioksida, Sulfur dioksida, Partikulat, Hidrokarbon, CFC, Timbal dan
Karbondioksida.
51
1. Karbon monoksida (CO)
Gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan bersifat racun. Dihasilkan dari pembakaran tidak
sempurna bahan bakar fosil, misalnya gas buangan kendaraan bermotor.
2. Nitrogen dioksida (NO2)
Gas yang paling beracun. Dihasilkan dari pembakaran batu bara di pabrik, pembangkit energi
listrik dan knalpot kendaraan bermotor.
3. Sulfur dioksida (SO2)
Gas yang berbau tajam, tidak berwarna dan tidak bersifat korosi. Dihasilkan dari pembakaran
bahan bakar yang mengandung sulfur terutama batubara. Batubara ini biasanya digunakan
sebagai bahan bakar pabrik dan pembangkit tenaga listrik.
4. Partikulat (asap atau jelaga)
52
Polutan udara yang paling jelas terlihat dan paling berbahaya. Dihasilkan dari cerobong
pabrik berupa asap hitam tebal.
Macam-macam partikel, yaitu :
a. Aerosol : partikel yang terhambur dan melayang di udara
b. Fog (kabut) : aerosol yang berupa butiran-butiran air dan berada di udara
c. Smoke (asap): aerosol yang berupa campuran antara butir padat dan cair dan melayang
berhamburan di udara
d. Dust (debu)
5. . karbon dioksida (CO2)
Gas yang dihasilkan dari pembakaran sempurna bahan bakar kendaraan bermotor dan pabrik
serta gas hasil kebakaran hutan.
2.4 Dampak Pencemaran Udara Terhadap Lingkungan Alam
Pencemaran udara dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan alam, antara lain: hujan
asam, penipisan lapisan ozon dan pemanasan global.
53
5. Hujan Asam
Istilah hujan asam pertama kali diperkenalkan oleh Angus Smith ketika ia menulis tentang
polusi industri di Inggris. Hujan asam adalah hujan yang memiliki kandungan pH (derajat
keasaman) kurang dari 5,6.
Proses terbentuknya hujan asam
SO2 dan NOx (NO2 dan NO3) yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil
(kendaraan bermotor) dan pembakaran batubara (pabrik dan pembangkit energi listrik) akan
menguap ke udara. Sebagian lainnya bercampur dengan O2 yang dihirup oleh makhluk hidup
dan sisanya akan langsung mengendap di tanah sehingga mencemari air dan mineral tanah.
SO2 dan NOx (NO2 dan NO3) yang menguap ke udara akan bercampur dengan embun.
Dengan bantuan cahaya matahari, senyawa tersebut akan diubah menjadi tetesan-tetesan
asam yang kemudian turun ke bumi sebagai hujan asam. Namun, bila H2SO2 dan HNO2
dalam bentuk butiran-butiran padat dan halus turun ke permukaan bumi akibat adanya gaya
gravitasi bumi, maka peristiwa ini disebut dengan deposisi asam.
6. Penipisan Lapisan Ozon
54
Ozon (O3) adalah senyawa kimia yang memiliki 3 ikatan yang tidak stabil. Di atmosfer, ozon
terbentuk secara alami dan terletak di lapisan stratosfer pada ketinggian 15-60 km di atas
permukaan bumi. Fungsi dari lapisan ini adalah untuk melindungi bumi dari radiasi sinar
ultraviolet yang dipancarkan sinar matahari dan berbahaya bagi kehidupan.
Namun, zat kimia buatan manusia yang disebut sebagai ODS (Ozone Depleting Substances)
atau BPO (Bahan Perusak Ozon) ternyata mampu merusak lapisan ozon sehingga akhirnya
lapisan ozon menipis. Hal ini dapat terjadi karena zat kimia buatan tersebut dapat
membebaskan atom klorida (Cl) yang akan mempercepat lepasnya ikatan O3 menjadi O2.
Lapisan ozon yang berkurang disebut sebagai lubang ozon (ozone hole). Diperkirakan telah
timbul adanya lubang ozon di Benua Artik dan Antartika. Oleh karena itulah, PBB
menetapkan tanggal 16 September sebagai hari ozon dunia dengan tujuan agar lapisan ozon
terjaga dan tidak mengalami kerusakan yang parah.
7. Pemanasan Global
Kadar CO2 yang tinggi di lapisan atmosfer dapat menghalangi pantulan panas dari bumi ke
atmosfer sehingga permukaan bumi menjadi lebih panas. Peristiwa ini disebut dengan efek
rumah kaca (green house effect). Efek rumah kaca ini mempengaruhi terjadinya kenaikan
suhu udara di bumi (pemanasan global). Pemanasan global adalah kenaikan suhu rata-rata di
seluruh dunia dan menimbulkan dampak berupa berubahnya pola iklim.
Proses terjadinya efek rumah kaca
Permukaan bumi akan menyerap sebagian radiasi matahari yang masuk ke bumi dan
memantulkan sisanya. Namun, karena meningkatnya CO2 di lapisan atmosfer maka pantulan
radiasi matahari dari bumi ke atmosfer tersebut terhalang dan akan kembali dipantulkan ke
bumi. Akibatnya, suhu di seluruh permukaan bumi menjadi semakin panas (pemanasan
global). Peristiwa ini sama dengan yang terjadi di rumah kaca. Rumah kaca membuat suhu
didalam ruangan rumah kaca menjadi lebih panas bila dibandingkan di luar ruangan. Hal ini
dapat terjadi karena radiasi matahari yang masuk ke dalam rumah kaca tidak dapat keluar.
8. Dampak Pencemaran Udara Bagi Manusia
Selain mempengaruhi keadaan lingkungan alam, pencemaran udara juga membawa dampak
negatif bagi kehidupan makhluk hidup (organisme), baik hewan, tumbuhan dan manusia.
55
Dampak pencemaran udara bagi manusia, antara lain:
1.Karbon monoksida (CO)
Mampu mengikat Hb (hemoglobin) sehingga pasokan O2 ke jaringan tubuh terhambat. Hal
tersebut menimbulkan gangguan kesehatan berupa; rasa sakit pada dada, nafas pendek, sakit
kepala, mual, menurunnya pendengaran dan penglihatan menjadi kabur. Selain itu, fungsi dan
koordinasi motorik menjadi lemah. Bila keracunan berat (70 – 80 % Hb dalam darah telah
mengikat CO), dapat menyebabkan pingsan dan diikuti dengan kematian.
2.Nitrogen dioksida (SO2) dapat menyebabkan timbulnya serangan asma.
3.Hidrokarbon (HC) menyebabkan kerusakan otak, otot dan jantung.
4.Chlorofluorocarbon (CFC) menyebabkan melanoma (kanker kulit) khususnya bagi orang-
orang berkulit terang, katarak dan melemahnya sistem daya tahan tubuh
5.Timbal (Pb) menyebabkan gangguan pada tahap awal pertumbuhan fisik dan mental serta
mempengaruhi kecerdasan otak.
6.Ozon (O3) menyebabkan iritasi pada hidung, tenggorokan terasa terbakar dan memperkecil
paru-paru.
7.Nox menyebabkan iritasi pada paru-paru, mata dan hidung.
Daftar Pustaka
1. Antara, S. et al., 2000. Polusi Udara Akibatkan Penurunan IQ Pada Anak Buangan CO2
Dunia Cepat Sejak 2000 Bertambah.
2. Ceper, K. & Lingkungan, J.T., 2001. Kualitas debu dalam udara sebagai dampak
industri pengecoran logam ceper. , 2(2), pp.168–174.
3. http://www.kemenperin.go.id/direktori-perusahaan 2015
4. http://www.depkes.go.id/article/view/419/peringati-hari-kesehatan-nasional-ke-45-
menkes-serukan-sinergi-untuk--menyehatkan-
lingkungan.html#sthash.NXCNCQEy.dpuf
56
5. http://www.depkes.go.id/article/view/964/urbanisasi-menjadi-salah-satu-masalah-
kesehatan-dunia-abad-21.html#sthash.0kC3oPkj.dpuf
6. Kuncoro, A., 2000. Emisi Polusi Udara dan Air Sungai dalam Struktur Industri
Indonesia Latar Belakang. , pp.1–24.
7. Utara, U.S., 2003. Digitized by USU digital library 1. , pp.1–7.
top related