perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id analisis modus...
Post on 12-Mar-2019
212 Views
Preview:
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Analisis modus operandi mafia peradilan dalam mempengaruhi proses penyidikan,
penuntutan dan peradilan ditinjau dari segi kode etik kepolisian, kejaksaan dan hakim
selaku penegak hukum
SKRIPSI
Akbar Mahar
E.1106084
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah
menjadi perhatian bagi masyarakat luas di tanah air, yaitu perihal maraknya Mafia
Peradilan. Mafia Peradilan atau sebutan lainnya, merupakan permasalahan dalam
penegakan hukum di Indonesia, yang bersembunyi di dalam lembaga hukum itu
sendiri. Mafia peradilan atau mafia hukum memang tidak dapat disangkal
keberadaannya, nyata dan ada. Bahkan sudah masuk dan merasuk kesemua lini
dalam struktur aparat hukum. Mafia peradilan bukan hanya buruk bagi proses
penegakan hukum tetapi juga sangat memperburuk citra Indonesia dimata dunia.
Keberadaan para mafia peradilan memperpanjang daftar komponen yang
menjadikan Indonesia sebagai negara yang tergolong buruk dalam bidang hukum
di mata dunia internasional (http://www.p2d.org/index.php/kon/35-18-september-
2008/177-markus-sang-makelar-kasus.html).
Birokrasi disektor penegakan hukum mewujud dalam bentuk lembaga
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Sedangkan mafia peradilan terdapat dalam
sistem peradilan maupun di luar sistem peradilan. Dalam sistem peradilan
misalnya polisi merangkap menjadi mafia peradilan, demikian pula jaksa maupun
hakim yang merangkap jabatan ilegal sebagai mafia peradilan. Sedangkan di luar
sistem peradilan terdapat pegawai negeri sipil atau birokrat di luar sistem
peradilan maupun warga sipil yang memiliki hubungan dekat dengan penegak-
penegak hukum yang berada dalam sistem peradilan (Ismantoro Dwi Yuwono,
2010: 27).
Mafia peradilan eksis karena adanya supply and demand. Rusaknya mental
sebagian masyarakat dan aparat memunculkan potensi lahirnya para mafia
peradilan. Mereka yang berurusan dengan hukum mempercayai bahwa hukum
bisa diatur. Mereka yang berurusan dengan polisi pastilah ingin dinilai tidak
bersalah sejak awal. Begitu juga ketika telah diproses oleh jaksa, pastilah
berusaha agar dikenakan pasal dengan tuntutan yang seringan-ringannya. Sama
halnya ketika proses itu telah menjadi kewenangan hakim. Ada yang percaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
hakim itu bisa dikontak, bisa di lobi. Kondisi ini melahirkan kelompok yang
membutuhkan seseorang yang dapat mengurusi kasusnya diberbagai tingkatan dan
lembaga hukum itu. Contohnya, kasus Gayus Tambunan; jaksa dicurigai oleh
satgas pemberantasan mafia hukum telah terlibat dalam konspirasi perekayasaan
kasus yaitu kasus korupsi direkayasa menjadi kasus penggelapan, akibatnya
Gayus Tambunan oleh pengadilan negeri hanya di putus hukuman 1 tahun, itupun
dengan masa percobaan (Jawa Pos, 21 Maret 2010). Serta pada kasus Gayus
terdapat indikasi bahwa hakim Asnun telah terjerat pada lingkaran mafia
peradilan. Praktek transaksi kasus ini juga nampak pada tertangkap basah hakim
Ibrahim pada pengadilan tinggi tata usaha negara saat menerima uang suap dari
seorang pengacara. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Maret 2010 (Jawa Pos, 31
Maret 2010).
Mafia Hukum mempunyai ranah yang luas. Berbagai penyimpangan
dalam penegakan hukum, baik itu dilakukan oleh pembuat undang-undang
maupun oleh pelaksana penegak hukum, digolongkan sebagai Mafia Hukum.
Reformasi hukum berjalan tidak hanya sekedar pembaharuan perundang-
undangan, tetapi juga reformasi hukum harus didukung oleh para penegak hukum
di dalamnya. Tentunya para penegak hukum yang bermental baik dan bersih
bukan penegak hukum yang bermentalkan mafia. Selama ini kita hanya terfokus
kepada bagaimana merancang suatu undang-undang atau peraturan yang terlihat
begitu kuat dan mengikat semua pihak. Kita menjadi terlena dan seolah lupa akan
reformasi yang sebenarnya yaitu reformasi mental para penegak hukum
(http://blogprajapunya.blogspot.com/2010/11/reformasi-mentalitas-para-penegak-
hukum.html).
Suatu hukum yang dibuat secara baik dan memihak kepada rakyat akan
menjadi tidak berarti apa-apa apabila tidak didukung oleh mentalitas para penegak
hukum tersebut. Sehingga muncul suatu sindiran bersifat sarkasme dalam dunia
hukum “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan
undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan
lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada di negeri ini”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
(http://blogprajapunya.blogspot.com/2010/11/reformasi-mentalitas-para-penegak-
hukum.html
Sementara pada saat yang bersamaan perilaku aparat dalam melaksanakan
tugas, dibatasi oleh kode etik profesi masing-masing. Etika profesi memberikan
pedoman atau tuntunan tingkah laku manusia dalam melaksanakan suatu profesi,
mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan profesi yang baik dan tidak
melakukan profesi sekehendak hati serta pertanggung-jawabannya terhadap
pelaksanaan profesi tersebut. Etika profesi dalam menciptakan atau merealisasi
pelaksanaan profesi yang baik mensyaratkan pemegang profesi memiliki latar
belakang pendidikan yang memadai untuk memperoleh ketrampilan atau keahlian
yang bersangkutan dengan profesinya.
Kode etik adalah norma-norma dan asas-asas yang diterima oleh suatu
kelompok tertentu sebagai landasan ukuran tingkah laku seseorang terhadap
profesi yang dilakukannya, tujuan diadakannya kode etik adalah : 1) Menjunjung
tinggi martabat profesi. 2) Untuk menjaga atau memelihara kesejahteraan para
anggota sehingga tidak melakukan pelanggaran atau larangan yang bersangkutan
dengan profesi yang dijalaninya (E.Sumaryono, 1995: 20).
Jika demikian, kemana hilangnya kode etik ketika para mafia peradilan
menggurita? Dimana pula norma-norma aturan kerja yang mulia ketika praktik
markus peradilan menggejala? Berlandaskan pertanyaan-pertanyaan semacam
inilah penulis menemukan urgensi dan eksesnya mengkaji tentang mafia kasus
jika tidak segera dicermati modus operandinya.
Maka dengan berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa hal-
hal tersebut, merupakan latar belakang permasalahan yang penulis akan
kemukakan pada bab-bab selanjutnya. Oleh karena itu penulis menuangkan
sebuah penulisan yang berbentuk penulisan hukum dengan judul : “ANALISIS
MODUS OPERANDI MAFIA PERADILAN DALAM MEMENGARUHI
PROSES PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PERADILAN DITINJAU
DARI SEGI KODE ETIK KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN HAKIM
SELAKU PENEGAK HUKUM”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memfokuskan masalah
pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan
untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan
suatu penyelesaian masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran sesuai
yang dikehendaki. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, perumusan
masalah dalam penulisan hukum ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah modus operandi praktik mafia peradilan dalam memengaruhi
proses penyidikan, penuntutan dan peradilan?
2. Bagaimanakah kajian modus operandi praktik mafia peradilan ditinjau dari
pelanggaran kode etik polisi, jaksa dan hakim?
C. Tujuan Penelitian
Pada suatu penelitian tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti.
Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui secara jelas mengenai modus operandi praktik mafia
peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan, penuntutan dan
peradilan.
b. Untuk mengetahui secara jelas kajian modus operandi praktik mafia
peradilan ditinjau dari pelanggaran kode etik polisi, jaksa dan hakim.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan penulis dalam bidang
hukum acara pidana, khususnya yang berkaitan dengan modus operandi
mafia peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan, penuntutan dan
peradilan ditinjau dari segi kode etik polisi, jaksa dan hakim selaku aparat
penegak hukum.
b. Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang
ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan wawasan yang dapat dipergunakan dalam penulisan karya
ilmiah di bidang hukum.
b. Untuk lebih mendalami teori–teori yang telah dipelajari selama kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak mengenai modus
operandi praktik mafia peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan,
penuntutan dan peradilan.
b. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai modus operandi praktik
mafia peradilan ditinjau dari pelanggaran kode etik polisi, jaksa dan
hakim.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh sehubungan
dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah-langkah yang
sistematis yang menyangkut masalah kerjanya yaitu cara kerja untuk dapat
memahami yang menjadi sasaran penelitian yang bersangkutan, melalui prosedur
penelitian dan teknik penelitian (M. Iqbal Hasan, 2002:20).
Dengan demikian masalah pemilihan metode adalah masalah yang sangat
signifikan dalam suatu penelitian ilmiah, karena mutu, nilai, validitas dari hasil
penelitian ilmiah sangat ditentukan oleh pemilihan metodenya. Adapun metode
atau teknis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari jenisnya penelitian hukum yang penulis lakukan termasuk
jenis penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara menyediakan suatu penampilan yang
sistematis menyangkut aturan yang mengatur kategori sah tentang undang-
undang tertentu, meneliti hubungan antara aturan, serta meneliti bahan pustaka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
atau sumber bahan hukum sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier (Peter Mahmud Marzuki,
2006: 32). Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian
doktrinal ini adalah modus operandi mafia peradilan yang memengaruhi
proses penyidikan, penuntutan dan peradilan ditinjau dari segi kode etik polisi,
jaksa dan hakim selaku aparat penegak hukum.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bersifat preskriptif.
Sebagai penelitian yang bersifat preskriptif, maka penelitian ini mempelajari
tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 22).
3. Jenis Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
berupa bahan-bahan hukum primer dan sekunder yaitu sejumlah bahan hukum
atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak
langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan, terdiri dari literatur
Kisah Para Markus karangan Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan KUHAP
dalam Praktik Hukum karangan H.M.A Kuffal, peraturan perundang-
undangan yang berlaku, laporan, desertasi, teori-teori dan sumber tertulis
lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang diteliti.
4. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan berupa :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan pustaka
yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis
gunakan adalah :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
4) Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
5) Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
6) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman..
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
bahan hukum primer, seperti :
1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan atau terkait dalam
penelitian ini.
2) Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
3) Buku-buku penunjang lain. Salah satu buku karya E. Sumaryono
tentang Etika Profesi Hukum, Ismantoro Dwi Yuwono tentang Kisah
Para Markus.
4) Peraturan Kapolri Nomor. POL: 7 tahun 2006 tentang kode etik
profesi kepolisian Negara Republik Indonesia.
5) Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 5 Kep-
052/JA/S/1979 tentang Doktrin Adhyaksa Trikrama Adhyaksa.
6) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi
Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/B.KY/IV/2009
tanggal 8 April 2009 tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, diantaranya:
1. Bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini,
contohnya: http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/2010/03/21/kode-
etik-kejaksaan/.
2. Bahan dari Koran yang relevan dengan penelitian ini, contohnya:
Koran Jawa Pos. 2010, 21 Maret 2010. Kejaksaan diduga Terlibat.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan bahan hukum dengan cara
mendokumentasi bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian yang
dimaksud. Penulis mengumpulkan bahan hukum yang ada hubungannya
dengan masalah yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan
katalogisasi. Selanjutnya bahan hukum yang diperoleh kemudian dipelajari,
diklasifikasikan dan pada akhirnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan
dan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang
dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau
bahan pustaka yaitu pengumpulan bahan hukum sesuai tujuan kajian
penelitian. Penulis mengumpulkan bahan hukum dari peraturan perundang-
undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, karangan ilmiah,
literasi resmi serta pengumpulan bahan hukum melalui media internet.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, setiap tahap penyidikan, penuntutan dan
peradilan akan dianalisis dengan logika deduktif berkenaan dengan mafia
peradilan yang melingkupinya. Dalam hal ini, sumber penelitian yang
diperoleh dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus
mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, literasi-literasi yang dapat
membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut
diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap akhir
adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada
akhirnya dapat diketahui modus operandi praktik mafia peradilan dalam
memengaruhi proses penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan serta
modus operandi praktik mafia peradilan ditinjau dari pelanggaran kode etik
polisi, jaksa dan hakim.
Menurut Philipus M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud
metode deduktif sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles
penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor
(pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
khusus). Dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau
conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 47).
Di dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis
mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum.
Sedangkan menurut Johnny Ibrahim, mengutip pendapat Bernand Arief
Shidarta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan
dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual (Johnny
Ibrahim, 2006: 249).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka penulis dalam
penelitiannya membagi menjadi 4 (empat) bab, dan tiap–tiap bab dibagi dalam
sub-bab yang disesuaikan dengan lingkup pembahasannya. Adapun
sistematika penulisan hukum atau penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai pendahuluan yang terdiri dari:
Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang
pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta
mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam
penulisan hukum ini, yang meliputi : Pertama mengenai Tinjauan
tentang Mafia peradilan. Kedua, Tinjauan tentang Penyidikan,
Penuntutan dan Peradilan. Ketiga, Tinjauan tentang Kode Etik.
Pembahasan yang kedua adalah mengenai kerangka pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam hal ini penulis membahas dan menjawab permasalahan
yang telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana modus
operandi mafia peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
penuntutan dan peradilan ditinjau dari segi kode etik kepolisian,
kejaksaan dan hakim selaku penegak hukum.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisi simpulan dan saran terkait dengan pembahasan
permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi sumber-sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum, baik
langsung maupun tidak langsung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Mafia Peradilan
Di dalam ilmu hukum maupun kamus istilah hukum tidak diketemukan
tentang pengertian mafia peradilan. Di dalam penulisan hukum ini penulis
memberikan batasan pengertian dengan memberikan uraian secara etimologi.
Berikut ini merupakan uraian mengenai arti dari mafia peradilan.
Atas dasar arti kata-kata tersebut maka menurut kamus besar bahasa
Indonesia yang dimaksud dengan mafia adalah perkumpulan rahasia yang
bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Sedangkan pengertian mafia
peradilan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah kelompok advokad
yang menguasai proses peradilan sehingga mereka dapat membebaskan
terdakwa apabila terdakwa dapat menyediakan uang sesuai dengan yang
diminta mereka.
Dalam Pelatihan Anti Mafia Peradilan yang diselenggarakan KP2KKN
dirumuskan definisi mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat
sistematis, konspiratif, kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor
tertentu (aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan) untuk
memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan
administrasi dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses
penegakan hukum sehingga menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak
terpenuhinya rasa keadilan (http://bemittelkom.blogspot.com/2008/06/what-
do-u-know-about-mafia-peradilan.html).
Menurut Leo Tukas Leonard mendefinisikan mafia peradilan sebagai
aktivitas yang terjadi di lingkungan peradilan termasuk jual beli putusan
pengadilan. Sedangkan menurut Komite Penyelidikan dan Pemberantasan
KKN, mendefinisikan mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat
sistematis, terstruktur, konspiratif dan kolektif yang dilakuakan oleh aktor
aparat penegak hukum dan masyarakat umum, dimana masyarakat umum
demi mencapai tujuannya menggunakan penyalahgunaan wewenang aparat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
penegak hukum sehingga terjadi simbiosis mutalisme antara masyarakat dan
aparat penegak hukum yang melakukan penyalahgunaan wewenang, tindakan
mal administrasi dan perbuatan melawan hukum
(http://izzuljustitia.wordpress.com/2010/12/04/pola-pola-mafia-peradilan).
Akibat dari mafia peradilan adalah sangat luar biasa sehingga sebagai
suatu bentuk Tindak Pidana Korupsi , mafia peradilan merupakan kejahatan
yang luar biasa (extra ordinary crime) dan berdampak bagi timbulnya
kejahatn yang lain ( bersifat kriminogen) dan viktimogen ( secara potensial
dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan), dan yang pasti lembaga
peradilan dan aparat penegak hukum menjadi invalid, tidak independen,
kriminogen dan yang jelas merugikan bagi para masyarakat pencari keadilan
(http://izzuljustitia.wordpress.com/2010/12/04/pola-pola-mafia-peradilan).
Mafia Peradilan tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Jika bisa
dibuktikan berarti bukan “mafia” namun kejahatan biasa. Menurut
Ensiklopedi Nasional Indonesia, mafia adalah suatu organisasi kriminal yang
hampir menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Istilah mafia merujuk
pada kelompok rahasia tertentu yang melakukan tindak kejahatan terorganisasi
sehingga kegiatan mereka sangat sulit untuk dilacak secara hukum.
Istilah mafia disini menunjuk pada adanya suasana yang sedemikian
rupa sehingga perilaku, pelayanan, kebijaksanaan maupun keputusan tertentu
akan terlihat secara kasat mata sebagai suatu yang berjalan sesuai dengan
hukum padahal sebetulnya tidak. Dengan kata lain mafia peradilan ini tidak
akan terlihat karena mereka bisa berlindung dibalik penegakkan dan
pelayanan hukum. Mereka akan tampil seolah olah sebagai pahlawan
keadilan. Media masa akan ikut mengelu-elukannya sebagai pemberantas
korupsi padahal yang dielu-elukan adalah aktivis atau penegak hukum yang
sedang berada dalam pengaruhnya mafioso, si aktor intelektualis korupsi.
Masyarakat menjadi sulit untuk mengenali mana penegak hukum yang jujur
yang tidak terpengaruh oleh mafioso dengan penegak hukum yang sudah
terkontaminasi. Kekaburan ini telah mengecoh masyarakat sehingga
masyarakat memberi pujian kepada yang tampil sebagai pemberantas korupsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
ketika yang sebenarnya yang dipuja itu sedang melakukan korupsi besar-
besaran. Oleh karena itu mafia peradilan bisa hidup secara terhormat ditengah-
tengah masyarakat tanpa bisa disentuh oleh hukum (http://www.suara-
islam.com/news/muhasabah/analisis-kontemporer/314-mafia-peradilan-apa-
bisa-dibrantas-).
Adapun orang yang berperan sebagai mafia peradilan adalah oknum-
oknum: 1) Polisi. 2) Jaksa. 3) Hakim lain. 4) Panitera. 5) Pegawai pengadilan.
6) Pengacara. 7) bahkan tukang parkir di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
itupun bisa berperan sebagai mafia peradilan. Jadi intinya siapa saja yang
melancarkan pelaku tindak pidana ke aparat hukum dapat disebut sebagai
mafia peradilan.
Di tangan polisi dan jaksa, pasal-pasal dalam undang-undang telah
mempunyai nilai jual yang tinggi. Sementara hakim, dalam membuat putusan
ia ibarat koki dan putusan adalah hidangannya. Dalam membuat hidangannya,
hakim melihat dulu apa pesanannya, baru kemudian meramu argumen-
argumen hukumnya. Hasil ramuannya inilah yang bernilai jual tinggi. Tidak
penting apakah argumen hukumnya masuk akal atau tidak, yang penting
pemesannya merasa bahagia ketika mengunyah-ngunyah hidangannya
(http://www.p2d.org/index.php/kon/35-18-september-2008/177-markus-sang-
makelar-kasus.html).
2. Tinjauan Tentang Penyidikan, Penuntutan dan Peradilan
a. Penyidikan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-
Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
Pengertian penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan
penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang
cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
tindak pidana (M.Yahya Harahap, 2002: 99-100).
Pengertian penyidikan dalam bahasa Belanda disejajarkan dengan
pengertian opsporing. Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti
pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh
undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar
kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran
hukum (Andi Hamzah, 2008: 120).
Berdasarkan pengertian diatas disimpulkan bahwa penyidikan
merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahap
pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses administrasi peradilan pidana
karena apabila dalam proses penyidikan tersangka tidak cukup bukti dalam
terjadinya suatu tindak pidana yang disangkakan maka belum dapat
dilaksanakan kegiatan penuntutan dan pemeriksaan didalam persidangan.
Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam hukum acara pidana
yang pada pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung martabat
individu yang dalam persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan.
Suatu semboyan penting dalam hukum acara pidana yaitu hakikat
penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus
menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharusnya
dibebankan kepadanya. Oleh karena tersebut sering kali proses penyidikan
yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama,
melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis
diusahakan dari penghentian penyidikan (H.M.A. Kuffal. 2008: 47).
Penyidikan mulai dapat dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat
Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam
instansi penyidik, dimana penyidik tersebut telah menerima laporan
mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat
perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya
dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan KUHAP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya
bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan
tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah
dimulainya penyidikan kepada penuntut umum (H.M.A. Kuffal. 2008: 51).
Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut
umum, dimana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan
berkas tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila belum maka berkas
perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi dan
dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum
dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum
tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah
memberitahu bahwa berkas tersebut lengkap sebelum waktu empat belas
hari maka dapat dilanjutkan prosesnya ke persidangan.
b. Penuntutan
1) Pengertian Penuntutan
Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP tercantum definisi penuntutan
sebagai berikut: Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan (Andi Hamzah,2008:161). Dalam hal-hal untuk
memperoleh putusan hakim agar terhadap seseorang dijatuhi pidana
(tuntutan pidana) inisiatifnya adalah pada perseorangan, yaitu pada
pihak yang dirugikan.
Lama kelamaan sistem ini menunjukan kekurangan-
kekurangan yang menyolok. Penuntutan secara terbuka (accusatory
murni), dengan sendirinya telah menyebabkan penuntutan kesalahan
seseorang menjadi lebih sulit, sebab yang bersangkutan segera akan
mengetahui dalam keseluruhannya, semua hal yang memberatkan diri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
penuntut umum, sehingga akan memperoleh kesempatan untuk
menghilangkan sebanyak mungkin bukti-bukti atas kesalahannya.
Sifat perdata dari penuntutan tersebut menyebabkan pula
bahwa kerap kali sesuatu tuntutan pidana tidak dilakukan oleh orang
yang dirugikan, karena ia takut terhadap pembalas dendam atau ia
tidak mampu untuk mengungkapkan kebenaran dari tuntutannya, sebab
kekurangan alat-alat pembuktian yang diperlukan. Atas alasan inilah
maka pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pembinaan
peradilan yang baik telah dan menyerahkan kepada suatu badan
Negara. Yang khusus diadakan untuk itu adalah openbaar ministrie
atau openbaar aanklager, yang kita kenal sebagai penuntut umum
(http://zanikhan.multiply.com/journal/item/1026).
2) Tugas dan Wewenang Penuntut Umum
Di dalam Pasal 13 KUHAP ditentukan bahwa penuntut umum
adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan tuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Menurut Pasal 14 KUHAP, Penuntut Umum mempunyai
wewenang:
a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau pembantu penyidik.
b) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan
ayat 4 dengan memberi petunjuk dalam rangka menyempurnakan
penyidikan dan penyidik.
c) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik.
d) Membuat surat dakwaan.
e) Melimpahkan perkara kepengadilan.
f) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang
yang telah ditentukan.
g) Melakukan penuntutan.
h) Menutup perkara demi kepentingan hukum.
i) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut undang-undang.
j) Melaksanakan penetapan hakim.
Menurut pasal 138 KUHAP, penuntut umum setelah menerima
hasil penyidikan, ia segera mempelajarinya dan menelitinya, dalam
waktu 7 hari penuntut umum wajib memberitahukan kepada penyidik
apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Dalam hal hasil
penyidikan ternyata belum lengkap, maka penuntut umum akan
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk
tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi. Dan dalam waktu
14 hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara kepada penuntut umum.
Selanjutnya, pasal 139 KUHAP menyatakan bahwa setelah
penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan
yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas
perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak
dilimpahkan ke pengadilan.
c. Peradilan
1) Pengertian Peradilan
Peradilan dalam arti yang luas adalah penegakan hukum yang
meliputi unsur-unsur yang berkaitan erat satu sama lain, yaitu terutama
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Ketiga unsur itulah yang pada
dasarnya bertanggung jawab atas penegakan hukum. Dalam hal ini
tegak tidaknya hukum tidak dapat dimintakan tanggung jawab
sepenuhnya kepada pengadilan saja, karena masing-masing unsur tidak
berdiri sendiri lepas satu sama lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
(http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/mewujudkan-peradilan-
sebagai-benteng.html).
Dalam arti yang sempit yang dimaksudkan dengan peradilan
ialah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang
fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan
diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun,
dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan
mencegah eigenrichting. Jadi peradilan dalam arti yang sempit ini
semata-mata berhubungan dengan pengadilan
(http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/mewujudkan-peradilan-
sebagai-benteng.html).
Ada 4 lingkungan peradilan negara yang kesemuanya
berpuncak pada Mahkamah Agung. Empat lingkungan peradilan itu
dapat dibagi menjadi dua, yang bersifat umum, yaitu lingkungan
peradilan umum (peradilan dengan general jurisdiction), dan yang
bersifat khusus (peradilan dengan special jurisdiction), yaitu
lingkungan peradilan agama, Iingkungan peradilan militer dan
lingkungan peradilan tata usaha negara (pasal 10 ayat 1 UU no.14 th
1970). Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan umum ini
diperuntukkan bagi semua warga masyarakat tanpa membedakan
golongan atau agama, yustisiable atau pencari keadilannya umum, jadi
diperuntukkan untuk setiap orang. Di dalam peradilan umum masih
dikenal spesialisasi seperti pengadilan ekonomi. Peradilan khusus
disediakan untuk yustisiable atau pencari keadilan yang khusus
(beragama Islam, militer) atau yang menggunakan hukum materiil
khusus (hukum pidana militer, hukum Islam). Khas bagi peradilan
agama terdapat pilihan hukum: orang Indonesia asli yang beragama
Islam khususnya dalam pembagian warisan dapat memilih tunduk pada
hukum adat yang menjadi wewenang peradilan umum atau hukum
Islam yang menjadi wewenang peradilan agama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
(http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/sistem-peradilan-di-
indonesia.html).
Di samping 4 lingkungan peradilan negara seperti yang
disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970
sistem peradilan kita masih mengenal peradilan sui generis atau
peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-undang no.14 tahun
1970. Dikatakan "semu" karena petugas yang diberi wewenang untuk
memeriksa dan menyelesaikan konflik atau pelanggaran bukanlah
petugas yang khusus diangkat untuk itu seperti hakim pada pengadilan
negeri, akan tetapi mempunyai tugas rangkap. Termasuk peradilan
semu ialah peradilan perburuhan (UU no.22 th 1957), peradilan
perumahan (PP no.55 th 1981 jo. PP no.49 th 1963), peradilan
pelayaran (Skp. Mphbl. No.Kab 4/3/24 jo. S 1949 no.103).
Di samping badan-badan peradilan yang telah disebutkan
masih dikenal juga arbitrase atau pewasitan. Kalau 4 peradilan negara
itu berpuncak pada Mahkamah Agung, maka 3 peradilan semu yang
telah dikemukakan di atas tidak berpuncak pada Mahkamah Agung.
Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan
kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat,
tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa
keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan
tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu
peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat
banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu peradilan
dalam tingkat pemeriksaan ulang
(http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/sistem-peradilan-di-
indonesia.html).
3. Tinjauan Tentang Kode Etik
a. Kode Etik Kepolisian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Upaya pembinaan kemampuan profesi anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam menjalankan tugas pokoknya sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dilaksanakan melalui
pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta
pengalaman penugasan secara berjenjang, berlanjut dan terpadu. Setiap
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diwajibkan untuk
menghayati dan menjiwai etika profesi Kepolisian yang tercermin dalam
sikap dan perilakunya dalam kedinasan maupun kehidupannya sehari-hari.
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
merupakan pedoman perilaku dan sekaligus pedoman moral yang sangat
kuat bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai upaya
pemuliaan terhadap profesi kepolisian, yang berfungsi sebagai
pembimbing pengabdian, sekaligus menjadi pengawas hati nurani setiap
anggota agar terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan
wewenang (http://kuncupmuda.blogspot.com).
Untuk pertama kali Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri Nomor
Pol: Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli Tahun 1985 yang selanjutnya
naskah tersebut terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia beserta pedoman pengalamannya.
Perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia memuat norma perilaku dan moral yang disepakati bersama
serta dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga dapat menjadi
pemacu semangat dan penegak rambu-rambu nurani setiap anggota untuk
pemuliaan profesi Kepolisian guna meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi
pembina profesi Kepolisian yang berwenang membentuk Komisi Kode
Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia di semua tingkat organisasi,
selain itu juga untuk menilai dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia (http://kuncupmuda.blogspot.com).
Liliana Tedjosaputro berpendapat, di dalam pengamalan “Bhakti
Dharma Waspada”, pedoman pengamalan seseorang polisi adalah “Rasta
Sewakottama, nagara Janottama, Yana Anucasana Dharma, yaitu sebagai
berikut :
Insan Rastra Sewakottama :
1) Mengabdi kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
2) Berbakti demi keagungannusa dan bangsa yang bersendikan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai kehormatan tertinggi.
3) Membela tanah air, mengamankan dan mengamalkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dengan tekad juang pantang menyerah.
4) Menegakkan hukum dan menghormati kaidah-kaidah yang hidup di
dalam masyarakat secara adil dan bijaksana.
5) Melindungi, mengayomi, serta membimibing masyarakat sebagai
wujud panggilan tugas pengayoman yang luhur.
Insan Janottama :
1) Berdharma untuk menjamin ketentraman umum bersama-sama warga
masyarakat membina ketertiban dan keamanan demi terwujudnya
kegairahan kerja dan kesejahteraan lahir dan batin.
2) Menampilkan dirinya sebagai warga Negara yang berwibawa dan di
cintai oleh sesama warga Negara.
3) Bersikap disiplin, percaya diri, tanggung jawab, penh keikhlasan
dalam tugas kesanggupan, serta selalu menyadari bahwa dirinya adalah
warga masyarakat.
4) Selalu peka dan tanggap dalam tugas, mengembangkan kemampuan
dirinya, menilai tinggi mutu kerja, penuh keaktifan dan efisiensi serta
menempatkan kepentingan tugas secara wajar diatas kepentingan
pribadinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
5) Memupuk rasa persatuan, sesatuan dan kebersamaan serta
kesetiakawanan dalam lingkungan masyarakat.
6) Menjauhkan diri dari perbuatan dan sikap tercela serta mempelopori
setiap tindakan, mengatasi setiap kesulitan-kesulitan masyarakat
sekelilingnya.
Insan Yana Anucasana Dharma :
1) Selalu waspada, siap sedia dan sanggup menghadapi setiap
kemungkinan dalam tugas.Mampu mengendalikan diri dari perbuatan-
perbuatan penyalahgunaan.
2) Tidak mengenal berhenti dalam memberantas kejahatan dan
mendahulukan cara-cara pencegahan daripada penindakan secara
hukum.
3) Memelihara dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya
memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat.
4) Bersama-sama segenp komponen kekuatan pertahanan keamanan
lainnya dan peran serta masyarakat, memelihara dan meningkatkan
kemanungggalan ABRI-Rakyat.
5) Meletakkan setiap langkah tugas sebagai bagian dari pencapaian tujuan
pembangunan nasional sesuai dengan amanat penderitaan rakyat
(http://brimobpolri.wordpress.com/08-kode-etik-polri/).
b. Kode Etik Kejaksaan
Sebagai pengemban tugas dan wewenang kejaksaan, maka jaksa
selaku insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta memiliki asas satu dan tidak terpisah-pisahkan, senantiasa bertindak
berdasarkan hukum dan sumpah jabatan dengan mengindahkan norma-
norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta menggali nilai
kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dan juga
berpedoman pada Doktrin TriKrama Adhyaksa.
Doktrin Trikrama Adhyaksa perlu dijabarkan dalam kode etik jaksa
sebagai tuntutan tata pikir, tata tutur dan tata laku dalam mewujudkan jati
diri jaksa mandiri dan mumpuni, memiliki kemampuan profesional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Integritas pribadi dan disiplin tinggi dalam mengemban bakti profesi
kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan pemahaman dan penghayatan panggilan tugas sebagai abdi
negara, abdi masyarakat dan abdi hukum, seluruh jaksa yang tergabung
dalam Persatuan Jaksa bersepakat menetapkan Kode Etik Jaksa
(http://lawjusticia.blogspot.com).
Tata Krama Adhyaksa
1) Jaksa adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa yang tercermin dari kepribadian yang utuh dalam
pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila.
2) Jaksa sebagai insan yang cinta tanah air dan bangsa senantiasa
mengamalkan dan melestarikan pancasila serta secara efektif dan
kreatif menjadi pelaku pembangunan hukum dalam mewujudkan
masyarakat adil yang berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan.
3) Jaksa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara
daripada kepentingan pribadi atau golongan.
4) Jaksa mengakui adanya persamaan derajat, persamaan hak dan
kewajiban antara sesama pencari keadilan serta menjunjung tinggi asas
praduga tak bersalah, disamping asas-asas hukum yang berlaku.
5) Jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban melindungi
kepentingan umum sesuai peraturan perundang-undangan dengan
mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan
serta menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
6) Jaksa senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pengabdiannya
dengan mengindahkan disiplin ilmu hukum, memantapkan
pengetahuan dan keahlian hukum serta memperluas wawasan dengan
mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat.
7) Jaksa berlaku adil dalam memberikan pelayanan kepada pencari
keadilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
8) Jaksa dalam melaksanakan taugas dan kewajiban senantiasa memupuk
serta mengembangkan kemampuan profesional, integritas pribadi dan
disiplin yang tinggi.
9) Jaksa menghormati adat kebiasaan setempat yang tercermin dari sikap
dan perilaku baik dalam maupun diluar kedinasan.
10) Jaksa terbuka untuk menerima kebenaran bersikap mawas diri, berani
bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya.
11) Jaksa mengindahkan norma-norma kesopanan dan kepatutan dalam
menyampaikan pandangan dan menyalurkan aspirasi profesi,
disamping mematuhi hirarki dan aturan kedinasan.
12) Jaksa berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur arif dan bijaksana
dalam tata pikir, tata tutur dan tata laku.
13) Jaksa memelihara rasa kekeluargaan, semangat kesetiakawanan dan
mendahulukan kepentingan korps dari pada kepentingan pribadi.
14) Jaksa menjunjung dan membela kehormatan korps serta menjaga
harkat dan martabat profesi.
15) Jaksa senantiasa membina dan mengembangkan kader Adhyaksa
dengan semangat ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso,
Tut Wuri Handayani.
16) Jaksa wajib menghormati dan mematuhi kode etik jaksa serta
mengamalkan secara nyata dalam lingkungan kedinasan maupun
dalam pergaulan masyarakat.
17) Kode Etik jaksa ini disebut Tata Krama Adhyaksa
(http://lawjusticia.blogspot.com).
c. Kode Etik Kehakiman
Kode Kehormatan Hakim adalah segala sifat batiniah dan sikap-
sikap lahiriah yang wajib dimiliki oleh para hakim untuk menjamin
tegaknya kewibawaan dan kehormatan hakim atau korps hakim. KKH ini
diperlukan berkaitan dengan peranan hakim sebagai soko guru terakhir
dari negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
bangsa dan negara. Untuk jabatan hakim, Kode Etik Hakim disebut Kode
Kehormatan Hakim.
Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan
fungsional. Oleh karena itu Kode Kehormatan Hakim memuat 3 jenis
etika, yaitu :
1) Etika kedinasan pegawai negeri sipil.
2) Etika kedinasan hakim sebagai pejabat fungsional penegak hukum.
3) Etika hakim sebagai manusia pribadi manusia pribadi anggota
masyarakat.
Uraian Kode Etik Hakim meliputi :
1) Etika keperibadian hakim.
2) Etika melakukan tugas jabatan.
3) Etika pelayanan terhadap pencari keadilan.
4) Etika hubungan sesama rekan hakim.
5) Etika pengawasan terhadap hakim
(http://hamildiluarnikah.blogspot.com/2010/03/kode-etik-hakim.html).
Dari kelima macam uaraian kode etik ini akan kita lihat apakah
Kode Etik Hakim memiliki upaya paksaan yang berasal dari Undang-
Undang.
1) Etika keperibadian hakim
Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :
a) Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b) Menjunjung tinggi, citra, wibawa dan martabat hak.
c) Berkelakuan baik dan tidak tercela.
d) Menjadi teladan bagi masyarakat.
e) Menjauhkan diri dari perbuatan dursila dan kelakuan yang dicela
oleh masyarakat.
f) Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim.
g) Bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab.
h) Berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu.
i) Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
j) Dapat dipercaya.
k) Berpandangan luas
2) Etika melakukan tugas jabatan.
Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :
a) Bersikap tegas, disiplin
b) Penuh pengabdian pada pekerjaan.
c) Bebas dari pengaruh siapa pun juga.
d) Tidak menyalahgunakan kepercayaan, kedudukan dan wewenang
untuk kepentingan pribadai atau golongan.
e) Tidak berjiwa mumpung.
f) Tidak menonjolkan kedudukan.
g) Menjaga wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan.
h) Berpegang teguh pada Kode Kehormatan Hakim.
3) Etika pelayanan terhadap pencari keadilan.
Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :
a) Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan di
dalam hukum acara yang berlaku.
b) Tidak memihak, tidak bersimpati, tidak antipati pada pihak yang
berperkara.
c) Berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya bertentangan,
tidak membeda-bedakan orang.
d) Sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam
ucapan maupun perbuatan.
e) Menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan.
f) Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.
g) Memutus berdasarkan hati nurani.
h) Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
4) Etika hubungan sesama rekan hakim.
Sebagai sesama rekan pejabat penegak hukum, hakim :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
a) Memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara
sesama rekan.
b) Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai
antara sesama rekan.
c) Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim.
d) Menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam
maupun di luar kedinasan.
e) Bersikap tegas. Adil dan tidak memihak.
f) Memelihara hubungan baik dengan hakim bawahannya dan hakim
atasannya.
g) Memberi contoh yang baik di dalam dan di luar kedinasan
(http://hamildiluarnikah.blogspot.com/2010/03/kode-etik-
hakim.html).
5) Etika pengawasan terhadap hakim.
Urusan Kode Kehormatan Hakim tidak terdapat rumusan
mengenai pengawasan dan sanksi ini. Berarti pengawasan dan sanksi
akibat pelanggaran Kode Kehormatan Hakim dan pelanggaran undang-
undang dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim. Menurut
ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum; Pembentukan, susunan, dan tata kerja
Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan
oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama Menteri Kehakiman
(http://oktaglory.blogspot.com).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Terdapat suatu kasus yang sedang diproses di pengadilan, sebelum pada
pengadilan biasanya dilakukan terlebih dahulu tahap penyidikan oleh polisi, akan
tetapi jaksa juga berwenang sebagai penyidik di dalam tindak pidana tertentu yang
mempunyai kewenangan khusus berdasarkan hukum acara pidana. Pada proses
penyidikan tersebut para mafia peradilan mempunyai celah untuk masuk dengan
embel-embel untuk membantu tersangka agar tidak ditahan atau sebagainya. Pada
proses penuntutanpun mafia peradilan bisa masuk dan menjelma sebagai malaikat
penolong bagi para tersangka atau terdakwa, biasanya dalam proses penuntutan
mafia peradilan menawari tersangka atau terdakwa untuk membayar sejumlah
uang agar tuntutannya dikurangi atau diperingan.
KASUS
Makelar Kasus
Penyidikan Penuntutan
Putusan Pengadilan
Mafia Peradilan
Makelar kasus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Tidak hanya dalam proses penyidikan dan penuntutan saja bahkan proses
peradilan pun juga bisa dipengaruhi oleh mafia peradilan. Di sini mafia peradilan
meminta sejumlah uang kepada tersangka atau terdakwa supaya putusan peradilan
nantinya tidak terlalu tinggi atau bahkan bebas.
Penyidikan, penuntutan dan peradilan bisa dimasuki mafia peradilan
karena adanya celah-celah seperti pada penyidikan, penyidik mempunyai
wewenang untuk menahan atau melepaskan tersangka, begitu juga dengan proses
penuntutan dan penjatuhan putusan peradilan. Modus-modus mafia peradilan
disetiap tahapan penegakan hukum acara pidana inilah yang selanjutnya dikaji
dalam penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Modus Operandi Praktik Mafia peradilan dalam Memengaruhi Proses
Penyidikan, Penuntutan dan Peradilan.
Praktek mafia peradilan dapat merusak sendi-sendi hukum di
Indonesia, sebab para mafia peradilan dalam menjalankan aksinya selalu
mengintervensi oknum aparat hukum secara halus, mulai dari penyidikan,
penuntutan dan peradilan. Sebenarnya aparat hukum dalam menjalankan
tugas selalu memegang teguh aturan dalam undang-undang, namun
keterlibatan para mafia peradilan dalam proses hukum dapat merusak
tatanan hukum yang telah berlaku. Berikut merupakan uraian lebih detail
mengenai modus yang dilakukan mafia peradilan disetiap tahapan
pemeriksaan menurut hukum acara pidana di Indonesia.
1. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan dalam Memengaruhi Proses
Penyidikan
a. Proses Penyidikan Pada Status Terperiksa (Saksi)
Sebelum peneliti memaparkan tentang proses penyidikan pada
status terperiksa maka penulis akan menyajikan contoh kasus yang
relevan dengan pembahasan mengenai pengaruh mafia peradilan
dalam proses penyidikan yang dilakukan pada status terperiksa,
contoh kasus:
Sejak tanggal 7 September 2009 saat dilakukan penyidikan terhadap perkara Gayus di Bareskrim, yang bersangkutan tidak pernah di tahan. Itu terjadi karena adanya konspirasi jahat antara Gayus, pengacara dan 2 orang oknum penyidik yang menangani kasus Gayus, selanjutnya terbongkar 2 oknum penyidik itu adalah Kompol AE dan Ajun Komisaris Polisi SS. Kompol AE mendapatkan imbalan sebuah sepeda motor Harley Davidson seharga ratusan juta rupiah, mobil toyota fortuner dan rumah. Sedangkan Ajun Komisaris Polisi SS mendapat uang suap sebesar Rp. 100 juta (Ismantoro Dwi Yuwono, 2010: 144).
Setelah membaca bahan kasus di atas, maka penulis akan
memaparkan analisis guna mengetahui modus operandi praktik mafia
peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Pada tahapan ini biasanya mafia peradilan menawarkan pasal-pasal
yang dapat meringankan terperiksa. Apabila pihak terperiksa tidak
merespon atau tidak mengindahkan tawaran mafia peradilan, maka
proses akan berjalan dengan penuh intimidasi dan tentunya akan
mengahadapi proses penyidikan yang menakutkan. Proses demikian
yang dialami Mohammad Chambali yang akhirnya terpaksa mengakui
membunuh Asrori alias mister X yang akhirnya terbukti keliru karena
mister X dibunuh Rian jagal dari Jombang. Sehingga dalam hal ini
pihak terperiksa akan sangat cemas dan cenderung mengikuti kemauan
mafia peradilan agar proses penyidikan dapat berjalan secara persuasif.
Bahkan mafia peradilan juga menggunakan modus menjanjikan
dapat merekayasa kasus dengan menawarkan pasal-pasal ringan dalam
menjerat kasus pidana yang telah dilakukan oleh terperiksa. Para mafia
peradilan mampu menawarkan kepada terperiksa untuk menghilangkan
barang bukti, agar kasus pidana yang dihadapinya bisa lemah dalam
pembuktian pada sidang pengadilan kelak, sehingga pada saatnya
terperiksa akan lolos dari jeratan hukum. Ini merupakan bentuk
rekayasa kasus yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang tentu
tidak dapat di biarkan terus menerus terjadi. Sejak puluhan tahun yang
lalu peristiwa rekayasa kasus pidana berkali-kali terjadi, bahkan
menimpa dikalangan masyarakat dan telah menjadi sorotan publik
serta menuai kecaman dalam masyarakat, namun praktek semacam itu
hingga kini masih saja terus terjadi.
Tentu saja harga sebuah rekayasa kasus seperti ini biayanya
sangat mahal karena penyidik harus bersedia melanggar ketentuan
aturan yang ada dalam undang-undang. Penyimpangan dapat terjadi
karena mafia peradilan pada proses penyidikan amatlah dominan yang
terus-menerus mempengaruhi penyidik dengan segala cara agar mau
mengikuti kemauannya, tentunya dengan kompensasi dana yang sangat
menarik. Seperti pada kasus di atas sang mafia peradilan menwarkan
pada terperiksa untuk memberikan imbalan pada penyidik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
menangani kasusnya. Penyidik Kompol AE mendapatkan imbalan
sebuah sepeda motor Harley Davidson seharga ratusan juta rupiah,
mobil toyota fortuner dan rumah. Sedangkan Ajun Komisaris Polisi SS
mendapat uang suap sebesar Rp.100 juta.
Sepak terjang mafia peradilan ini sangat merusak moral dan
mental para penyidik, mafia peradilan dengan gigih memengaruhi
proses penyidikan untuk menyimpang dari ketentuan aturan yang ada
demi kepentingan terperiksa. Praktek mafia peradilan ini sangatlah rapi
misalnya komunikasi rahasia antara Gayus dengan penyidik yang
hanya bisa diketahui masing-masing pelaku atau dengan teknologi
penyadapan yang terencana sehingga kejahatan mafia peradilan sulit di
bongkar karena sulitnya barang bukti yang ada, jejak praktek mafia
peradilan dapat dengan mudah dihilangkan. Mafia peradilan hampir
selalu ada pada kasus tindak pidana tetapi keberadaannya sulit untuk
dibuktikan, seperti itulah mafia peradilan yang ada pada setiap tahapan
proses hukum. Mafia peradilan sulit di bongkar karena tidak
meninggalkan bukti dan jejak tindak pidana.
Guna kepentingan terperiksa mafia peradilan akan mencermati
kewenangan penyidik untuk selanjutnya di lobi agar penyidik mau
melanggar aturan untuk tidak menggunakan kewenangan penyidik
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 KUHAP yang antara lain
berbunyi : ”salah satu kewenangan penyidik adalah menghentikan
penyidikan”. Kewenangan penyidik inilah yang dibidik oleh mafia
peradilan untuk dimanfaatkan guna kepentingan terperiksa agar status
terperiksa tidak dinaikkan menjadi tersangka. Melainkan perkaranya
diminta untuk dihentikan dengan cara penyidik dirayu untuk
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Resiko
pembuatan SP3 ini adalah sangat besar, kalaupun penyidik tidak berani
membuatkan SP3, sang mafia peradilan menurunkan tawarannya untuk
meminta penyidik agar menerapkan pasal-pasal ringan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
menguntungkan tersangka. Inilah upaya para mafia peradilan dalam
memengaruhi oknum penyidik.
b. Proses penyidikan pada status tersangka
Setelah penyidik melakukan serangkaian tindakan dalam
mengungkap tindak pidana dengan didukung alat bukti yang cukup
maka penyidik ditingkat kepolisian ini dapat meningkatkan status
terperiksa (saksi) menjadi tersangka. Pada posisi ini mafia peradilan
berusaha sekuat tenaga untuk melobi pada penyidik agar tersangka
tidak di tahan. Penyidik dapat menahan atau tidak menahan tersangka,
ini sudah sesuai ketentuan aturan yang ada yaitu diatur dalam Pasal 20
ayat (1) KUHAP yang berbunyi: untuk kepentingan penyidikan,
penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang
melakukan penahanan.
Alasan penahanan subyektif yaitu: 1) Tersangka diduga keras
melakukan tindak pidana. 2) Dikhawatirkan tersangka melarikan diri.
3) Dikhawatirkan merusak atau menghilangkan barang bukti. 4)
Dikhawatirkan mengulangi tindak pidana.
Atas dasar ketentuan tersebut penyidik dapat menyalahgunakan
kewenangan untuk menahan atau tidak menahan tersangka, karena hal
itu merupakan kewenangan mutlak pada penyidik. Oleh karena itu
mafia peradilan dengan segala cara untuk mempengaruhi oknum
penyidik agar tersangka tidak ditahan. Betapa besar kekuasaan mafia
peradilan dalam merekayasa kasus sangatlah lihai, sehingga aparat
hukum tidak berkutik dan bertekuk lutut untuk menuruti segala
keinginan mafia peradilan.
2. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan dalam Memengaruhi Proses
Penuntutan
Sebelum penulis memaparkan lebih jauh tentang modus operandi
praktik mafia peradilan dalam memengaruhi proses penuntutan, maka
penulis akan menyajikan terlebih dahulu contoh kasus sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Pada kasus Gayus Tambunan, jaksa dicurigai oleh satgas pemberantasan mafia hukum telah terlibat dalam konspirasi perekayasaan kasus yaitu kasus korupsi direkayasa menjadi kasus penggelapan, akibatnya Gayus Tambunan oleh pengadilan negeri hanya di putus hukuman 1 tahun, itupun dengan masa percobaan (Jawa Pos, 21 Maret 2010). Dari contoh kasus di atas maka penulis akan mencoba menganalisis
sebagai berikut, apabila tersangka sudah menjalani proses penyidikan oleh
kepolisian dan berkasnya dinyatakan lengkap (P21), maka berkas
pemeriksaan kasus pidana tersangka segera dilimpahkan kekejaksaaan,
dengan demikian status tersangka berubah menjadi terdakwa dan sejak itu
penyidik kepolisian sudah tidak mempunyai wewenang atas terdakwa dan
terdakwa menjadi kewenangan penuntut umum (jaksa) sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Untuk kepentingan
penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan”.
Dalam kasus Gayus di atas arsitek yang mengutak-ngatik perkara
adalah CS. CS bahkan menjemput sendiri surat perintah dimulainya
penyidikan (SPDP) ke penyidik kepolisian. Peran kedua di pegang oleh PM
sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku, PM lah yang menunjuk CS
sebagai koordinator jaksa peneliti dan penuntut umum. Sebagai koordinator,
CS lah yang lantas aktif berhubungan dengan PM. Dan keduanyalah yang
mengendalikan perkara di tingkat pra penuntutan (Ismantoro Dwi Yuwono,
2010: 152).
Hasil penelitian jaksa menyebutkan hanya terdapat satu pasal yang
terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke pengadilan, yaitu
penggelapan. Itu pun tidak terkait dengan uang senilai Rp.25 milliar yang
saat itu di duga PPATK dan Polri sebagai money laundrying atau korupsi.
Jaksa menilai bahwa dugaan PPATK sama sekali tidak terbukti bahwa uang
senilai Rp. 25 milyar itu merupakan hasil kejahatan money laundrying.
Seiring berjalannya waktu, mantan Kabareskrim Susno Duadji menuding
bahwa dalam kasus Gayus terlibat juga beberapa jaksa dalam jejaring mafia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
peradilan. Tudingan Susno tersebut ternyata membuat merah telinga
Hendarman Supandji yang pada waktu itu menjabat sebagai Jaksa Agung.
Beberapa hari setelah Susno menyatakan kecurigaannya itu, Hendarman
membentuk tim eksaminasi untuk meneliti ada tidaknya kejanggalan dalam
berkas perkara Gayus Tambunan. Setelah satu pekan bekerja, tim yang
dipimpin oleh Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi Suroso itu
memang menemukan sejumlah kejanggalan dalam berkas kasus Gayus
Tambunan (Ismantoro Dwi Yuwono, 2010: 151).
Dalam kasus Gayus tersebut jelas nampak peristiwa yang tersirat
bahwa jaksa telah dapat dipengaruhi oleh pihak Gayus untuk: 1) Tidak
menuntut pasal-pasal yang memberatkan. 2) Tidak menuntut hukuman
maksimal. Akibat dari peristiwa ini polisi, jaksa dan hakim di proses secara
hukum untuk dihadapkan pada sidang pengadilan.
Praktek mafia peradilan sulit dibongkar, dan hanya dapat terbongkar
jika terjadi pada situasi yang luar biasa, contoh: a) Terbongkarnya praktek
markus Artha Litha Suryani (Ayin) berawal dari tertangkap basah jaksa Urip
Tri Gunawan oleh petugas KPK ketika menerima suap dari Ayin melalui
cara penyadapan telepon oleh petugas KPK. b) Terungkapnya praktek
markus Anggodo karena adanya penyadapan oleh petugas KPK dan pernah
di perdengarkan secara umum didepan sidang Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa praktek mafia peradilan
hanya dapat dibongkar pada situasi yang istimewa dan luar biasa, kejadian
itu sangatlah langka, jadi kalau bukan kedua peristiwa besar tersebut praktek
mafia peradilan sulit di bongkar. Praktek mafia peradilan yang demikian
sering terjadi, dimulai dari kejaksaan ditingkat Kejari, Kejati maupun
Kejagung. Jadi praktek mafia peradilan selalu ada di tingkat penyidikan.
Peran utama pada mafia peradilan adalah perekayasaan kasus, dan
keberadaan mafia peradilan ini sangat membahayakan aparat hukum dalam
penegakan hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
3. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan Dalam Memengaruhi Proses
Peradilan.
Sebelum mengurai lebih lanjut mengenai modus operandi mafia
peradilan dalam memengaruhi proses peradilan, penulis akan memberikan
contoh kasus sebagai berikut:
Muhtadi Asnun kena batunya. Ketua Majelis Hakim kasus Gayus Tambunan itu dinonpalukan, mulai Senin (19/04). Mahkamah Agung (MA) menghukum Ketua Pengadilan Negeri Tangerang itu, menjadi hakim biasa, di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tanpa wewenang apapun. Itulah sanksi yang dijatuhkan kepada Muhtadi Asnun, setelah diperiksa sejak Senin pagi. Ia diperiksa berkaitan dengan pengakuannya telah mendapat imbalan Rp50 juta, atas pembebasan Gayus Tambunan dari dakwaan kasus penggelapan pajak. Muhtadi sebenarnya sudah pernah diperiksa pihak MA, tetapi dinyatakan tidak ada pelanggaran yang dilakukan dalam persidangan Gayus Tambunan di Pengadilan Negeri Tangerang, beberapa waktu lalu. Ternyata dalam pemeriksaan di Komisi Yudisial, terungkap Muhtadi kebagian Rp50 juta, yang menurut Gayus untuk membantu biaya sang hakim berangkat umrah. Atas pengakuan itulah, MA kembali memeriksa Muhtadi Asnun, Senin pagi. Alasannya, pemeriksaan terdahulu baru menyangkut masalah teknis. Pemeriksaan di MA kali ini berkaitan dengan kasus suap. Seperti di KY, saat diperiksa di MA pun, Muhtadi mengaku menerima Rp50 juta itu. Karena itu, MA menjatuhkan sanksi hakim pengadilan tinggi nonpalu itu. "Berdasarkan pengakuan itu, MA mengambil tindakan Muhtadi Asnun dinonpalukan di Pengadilan Tinggi DKI, terhitung mulai hari ini (Senin). SK-nya dalam proses," kata Hatta Ali kepada wartawan. MA juga sedang memeriksa 2 anggota majelis hakim lainnya, Harun Tarigan dan Bambang Widyatmoko. yang memutus perkara Gayus (http://politikindonesia.com/index.php?k=hukum&i=6606).
Dari contoh kasus di atas penulis akan menganalisis berdasarkan sub
bahasan mengenai modus operandi mafia peradilan dalam proses peradilan.
Peradilan dewasa ini seperti yang telah diketahui sejak kurang lebih
tahun 80an keadaan peradilan kita tidak seperti yang diharapkan. Di dalam
praktek dewasa ini hakim tidak bebas dalam menjalankan tugasnya.
Sekalipun tidak dapat dibuktikan secara langsung hal ini ternyata dari
adanya tekanan-tekanan ekstern seperti suap yang dilakukan oleh para mafia
peradilan, pernyataan pejabat mengenai terbukti tidaknya suatu perkara yang
sedang diperiksa di pengadilan, ancaman-ancaman, kolusi, dan juga
tekanan-tekanan intern yang berupa campur tangan dalam penyelesaian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
perkara seperti adanya surat sakti, telfon sakti dan sebagainya. Kebebasan
hakim seperti yang diatur dalam pasal 4 ayat (3) Undang-undang nomor 14
tahun 1970 belumlah dapat kita nikmati sepenuhnya. Karena adanya campur
tangan para mafia peradilan itu kiranya hakim tidak dapat bersikap obyektif.
Ini semuanya tidak hanya menyangkut integritas hakim, tetapi juga
menyangkut jaminan ketentraman dan keamanan bagi hakim dalam
menjalankan tugasnya.
Sebagaimana disebutkan dalam kajian pustaka, setiap hakim
bertanggung jawab atas perbuatannya di bidang penegakan hukum
(peradilan). Tanggung jawab tersebut dibedakan antara tanggung jawab
undang-undang (publik) dan tanggung moral. Tanggung jawab undang-
undang adalah tanggung jawab hakim kepada penguasa (negara) karena
telah melaksanakan peradilan berdasarkan perintah undang-undang.
Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab hakim selaku manusia
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberinya amanat supaya
melaksanakan peradilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Abdulkdir
Muhammad, 2001: 131).
Perbuatan hakim Muhtadi Asnun tersebut selain melanggar kode etik
Kehakiman juga mengingkari tanggung jawab hakim kepada penguasa dan
kepada Tuhan. Hakim Asnun dianggap mengingkari tanggung jawab kepada
penguasa karena, yang bersangkutan tidak melaksanakan peradilan yang
sesuai dengan undang-undang, nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat dan kepatutan (equality).
Dengan uang Rp. 50 juta seorang hakim Asnun tega
mengesampingkan undang-undang, ini yang ditakutkan oleh masyarakat
dengan berkeliarannya para mafia peradilan yang tidak bertanggung jawab.
Hakim Asnun memberikan putusan bebas kepada Gayus sebab pasal
penggelapan uang Rp.370 juta yang dituntut kepada Gayus Tambunan tidak
terbukti. Disini hakim Asnun tidak memberikan keadilan seperti yang
diharapkan oleh semua orang, padahal keadilan yang ditetapkan oleh hakim
merupakan perwujudan nilai-nilai undang-undang, hasil penghayatan nilai-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
nilai yang hidup dalam masyarakat, etika moral masyarakat dan tidak
melanggar hak orang lain. Selain itu keputusan hakim harus memberi
dampak positif bagi masyarakat dan negara serta harus dapat dijadikan
panutan dan yurisprudensi yang selanjutnya akan berguna bagi
pengembangan hukum nasional. Tetapi yang dilakukan hakim Asnun justru
sebaliknya, yang bersangkutan memberikan dampak negatif terhadap
masyarakat dan negara.
Hakim Asnun juga telah mengingkari tanggung jawab kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang artinya hakim tersebut tidak melaksanakan peradilan
sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, menurut
hukum kodrat manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui hati
nuraninya. Dampak negatif bagi hakim yang memutus tidak adil memang
tidak dapat diketahui karena itu adalah rahasia Tuhan. Berlainan dengan
undang-undang yang mengancam dengan sanksi keras, ancaman sanksi itu
dapat diketahui melalui rumusan undang-undang. Tetapi manusia tidak
menyadari bahwa sanksi Tuhan lebih keras lagi dan pasti tetapi tidak dapat
diketahui seketika, yang namanya hukuman pembalasan. Suatu ketika
manusia mendapat penyakit yang sulit bahkan tidak dapat disembuhkan,
tetapi tidak disadari karena dia pernah berlaku tidak adil.
Hakim yang kukuh pendirian tidak akan pernah goyah pada rayuan
mafia peradilan, karena hakim berpedoman pada Pasal 4 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan pokok
Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: ”Segala campur tangan dalam
peradilan dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam undang-undang dasar”. Seorang
hakim sebelum melaksanakan jabatan sebagai hakim telah disumpah
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
”Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
”Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”. ”Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya senantiasa akan enjalankan jabatan ini dengan jujur, seksama dan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim anggota mahkamah agung yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”. Sumpah di atas diharapkan mengandung akibat sakral bagi hakim yang
melanggarnya, sehingga seorang hakim tidak berani melanggar sumpah,
karena agama yang dianutnya melarang perbuatan tercela.
B. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan Ditinjau dari Pelanggaran
Kode Etik Polisi, Jaksa dan Hakim
Praktek mafia peradilan merupakan suatu kenyataan bahwa
keberadaan mereka sangat menghambat proses perkembangan hukum di
Indonesia, karena terus menerus memengaruhi oknum aparat hukum
dalam menegakkan hukum. Oleh karena itu semua oknum aparat hukum di
beri rambu-rambu hukum yang dituangkan dalam kode etik profesi yang
harus ditaati dan menjadi pedoman setiap oknum aparat hukum dalam
menjalankan tugas.
1. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan Ditinjau dari Pelanggaran Kode
Etik Kepolisian
Bagi penyidik (Polisi) yang terlibat dalam perekayasaan kasus
bersama para mafia peradilan pada hakikatnya telah melanggar kode etik
kepolisian. Dalam Peraturan Kapolri No. Pol: 7 Tahun 2006 tentang kode
etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia telah dinyatakan bahwa
anggota kepolisian negara RI dalam melaksanakan tugas wajib
mempelihara perilaku terpercaya dengan:
a. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.
b. Tidak memihak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
c. Tidak melakukan pertemuan di luar ruang pemeriksaan dengan pihak-
pihak yang terkait dengan perkara.
d. Tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi.
e. Tidak mempublikasikan tata cara, taktik dan teknik penyidikan.
f. Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang
dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan
ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara.
g. Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada
dalam penguasaan nya karena terkait dengan penyelesaian perkara.
h. Menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan sesama pejabat
negara dalam sistem peradilan pidana.
i. Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang
perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua
pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud, sehingga
diperoleh kejelasan tentang penyelesaiaannya
(http://kuncupmuda.blogspot.com).
Kode etik kepolisian poin a bahwa polisi wajib menyatakan yang
benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kenyataannya kalau
mafia peradilan sudah masuk dan ikut campur pada proses penyidikan
maka yang salah adalah menjadi benar yaitu dengan cara merusak mental
dan moral penyidik melalui lobi tercela agar penyidik mau melanggar
ketentuan undang-undang. Upaya mafia peradilan ini sungguh sangat
tercela. Padahal penyidik atau polisi dalam menjalankan tugas telah
dibatasi oleh undang-undang dan kode etik kepolisian.
Kode etik kepolisian poin b bahwa polisi tidak memihak, jika ada
penyidik memihak pada tersangka karena ulah mafia peradilan, maka
penyidik tersebut telah melanggar kode etik kepolisian yang tersebut
diatas.
Kode etik kepolisan poin c dinyatakan bahwa polisi tidak
melakukan pertemuan di luar persidangan dengan pihak-pihak yang terkait
dengan perkara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Dalam perekayasaan kasus biasanya mafia peradilan menawarkan
kepada oknum penyidik untuk melakukan pertemuan rahasia ditempat
aman dan tidak diketahui oleh umum. Ditempat tersembunyi inilah mafia
peradilan melakukan aksi tercelanya yaitu membayar oknum penyidik
untuk melakukan penyimpangan. Tindakan ini jelas melanggar kode etik
kepolisian penyidik dilarang mengadakan pertemuan di luar ruang
pemerikasaan. Penyidik yang melanggar kode etik akan dikenakan sanksi
moral berupa:
a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela.
b. Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta
maaf secara terbatas atau terbuka.
c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi.
d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi
kepolisian.
Pemeriksaan atas pelanggaran pada kode etik profesi kepolisian
Negara Republik Indonesia dilakukan oleh komisi kode etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Berangkat dari pelanggaran kode etik ini
penyidik dapat juga diproses secara hukum, tergantung dari kadar
kesalahannya.
Pada kode etik kepolisian dinyatakan bahwa polisi dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat senantiasa:
a. memberikan pelayanan terbaik;
b. menyelamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama;
c. mengutamakan kemudahan dan tidak mempersulit;
d. bersikap hormat pada siapapun dan tidak menunjukkan sikap congkak
atau arogan karena kekuasaan;
e. tidak membeda-bedakan cara pelayanan pada semua orang;
f. tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam atau tidak mengenal hari
libur;
g. tidak membebani biaya kecuali diatur dalam peraturan perundang-
undangan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
h. tidak boleh menolak permintaan pertolongan bantuan dari masyarakat
dengan alasan bukan wilayah hukumnya atau karena kekurangan alat
dan orang;
i. tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan
anggota tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas bantuan
polisi yang telah diberikan kepada masyarakat.
Jika dicermati pada poin e dinyatakan bahwa polisi dalam
memberikan pelayanan pada masyarakat tidak membeda-bedakan cara
pelayanan kepada semua orang. Isi kode etik tersebut sangat mulia
yaitu polisi tidak akan membeda-bedakan pelayanan pada masyarakat,
tetapi pada kenyataannya penyidik (polisi) dalam menangani kasus
perkara pidana masih memberikan pelayanan berbeda pada tersangka.
Jelas hal ini merupakan pelanggaran pada kode etik kepolisian.
2. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan Ditinjau dari Pelanggaran Kode
Etik Kejaksaan
Sebelum membahas permasalahan pokok, perlu penulis sampaikan
tentang Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Kep-
052/JA/S/1979 yang didalamnya terdapat doktrin tri krama adhyaksa.
Doktrin Tri Krama Adhyaksa merupakan suatu ajaran dan citra yang
dianggap benar, dimana kebenaran itu bisa dibuktikan berdasarkan
penalaran dan merupakan pedoman bagi arah perjuangan serta pencapaian
asas serta cita-cita korps. Doktrin ini juga berarti sebagai kebulatan tekat
segenap warga korp yang bersumber pada kesatuan pemikiran dan
pendapat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Doktrin Tri Krama
Adhyaksa berfungsi sebagai pembimbing, pendorong, sumber motivasi
dan inspirasi bagi jaksa dalam pengertian korps secara bulat dan utuh
untuh menciptakan adanya kesatuan bahasa, sikap dan tindak dari jaksa
untuk mencapai cita-cita korps.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Doktrin tri krama adhyaksa dibagi dalam:
a. Catur Asana
Catur Asana adalah empat landasan yang melandasi eksistensi
peranan, wewenang dan tindakan kejaksaan dalam mengemban tugas
baik dibidang yustisial, yudikatif atau pun eksekutif.
Keempat landasan tersebut adalah:
1) Landasan idiil: Pancasila.
2) Landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945.
3) Landasan struktural: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991
tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
4) Landasan operasional: KUHAP, KUHP, Peraturan perundang-
undangan lainnya yang berhubungan dengan peranan jaksa.
b. Tri Atmaka
Tri Atmaka adalah ciri yang merupakan sifat hakiki dari
kejaksaan yang membedakannya dengan alat negara lain.
Tri Atmaka mempunyai makna yaitu:
1) Tunggal Artinya kejaksaan adalah satu-satunya lembaga negara
yang berdasarkan peraturan para jaksa mewakii pemerintah dalam
urusan peradilan dengan sistem hierarki dimana tindakan setiap
jaksa dalam kedinasan dianggap sebagai tindakan seluruh korps.
Tunggal dapat berarti pula suatu ikatan batin yang erat antar
sesama anggota keluarga besar adhyaksa, dimana suka duka baik
didalam maupun diluar kedinasan yang dialami dan dirasakan oleh
seorang anggota akan dirasakan pula oleh anggota yang lainnya.
2) Mandiri Artinya instansi kejaksaan merupakan instansi yang
berdiri sendiri, bukan bagian dari suatu instansi. Kejaksaan dulu
berada dibawah menteri Kehakiman (1960) kemudian dengan
Surat Keputusan Presiden Nomor 204 Tahun 1960 tanggal 15
Agustus 1960 Kejaksaan lepas dari departemen kehakiman. Jadi
mandiri disini menunjukkan adanya kekuasaan istimewa yang
dimiliki kejaksaan selaku alat negara penegak hukum yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
mewakili kejaksaan dalam perbuatannya baik didalam maupun
diluar dinas selalu dilandasi dengan alasan-alasan yang benar
sehingga perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan. Aparat
kejaksaan harus mempenyai sifat wicaksana, artinya bijaksana
dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam penerapan
kekuasaan dan kewenangannya, hal ini berarti setiap warga
kejaksaan dalam menunaikan tugas disamping harus cakap, mampu
dan terampil, harus pula membuktikan dirinya sebagai petugas
yang matang dan dewasa dengan tanpa mengorbankan prinsip dan
ketegasan serta dapat bertindak bijaksana.
3) Mumpuni Kejaksaan merupakan instansi yang memiliki tugas luas
meliputi bidang-bidang yustisial dan non yustisial dengan
dilengkapi kewenangan yang cukup memberikan keleluasaan serta
kebebasan dirinya untuk melaksanakan tugas tanpa tergantung
pada kekuasaan lembaga negara yang lainnya
(http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id)
c. Tri krama adhyaksa
Tri krama adhyaksa merupakan sikap mental yang baik dan
terpuji yang harus dimiliki oleh karyawan kejaksaan yang bersifat:
Satya, adhy dan wicaksana. Satya berarti ketiaan yang bersumber pada
rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi
dan keluarga maupun sesama manusia. Jujur dalam melaksanakan
tugas harus ditujukan dengan pelaksanaan tugas yang baik.
Adhy mengandung pengertian kesempurnaan dalam tugas yang
mempunyai unsur utama memiliki rasa tanggung jawab terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, keluarga dan sesama manusia. Hal ini terdapat
dalam Doktrin: 1) Indrya Adhyaksa. 2) Kritya Adhyaksa. 3) Upakrya
Adhyaksa. 4) Anukara Adhyaksa.
Indra Adhyaksa berarti kejaksaan dalam melaksanakan tugas
bertrilogi: hening (peka), nastiti (cermat) dan kerti (tuntas). Doktrin ini
berkaitan dengan tugas intelejen yang meliputi mengamankan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
kebijakan pemerintah, menghilangkan segala bentuk gangguan,
hambatan maupun ancaman terhadap Negara Republik Indonesia.
Kritya Adhyaksa berarti pekerjaan utama kejaksaan dalam
penegakan hukum dan pelaksanaannya mempunyai trilogi: akas
(cepat), titis (tepat) dan paskita (cermat) doktrin ini berhubungan
dengan tugas jaksa dalam bidang operasi yaitu penegakan hukum,
pemeliharaan ketentraman, keamanan dan ketertiban umum.
Upakrya Adhyaksa mempunyai arti dalam tugas pembinaan di
lingkungan kejaksaan harus berpedoman asuh(pendidikan), asih (cinta
kasih) dan asah (ketrampilan). Doktrin ini berkaitan dengan tugas
bidang pembinaan yaitu menyelenggarakan pembinaan administrasi
organisasi dan ketatalaksanaan serta memberikan pelayanan teknis
administrasi.
Anukara Adhyaksa artinya mengikuti dan mengawasi dalam
lingkungan kejaksaan dengan landasan kerja taat (teratur), titi (teliti)
dan tatas (cepat). Doktrin ini berkaitan dengan tugas bidang
pengawasan umum yaitu menyangkut pelaksanaan dan pengawasan
umum di lingkungan kejaksaan (E. Sumaryono, 1995: 213).
Dari ajaran Doktrin Tri Krama Adhyaksa tersebut diatas
terdapat ajaran Satya yang berarti jujur. Suatu ajaran yang sangat
mulia bagi seorang jaksa dalam menjalakan tugas, namun pada
kenyataannya banyak jaksa yang mengabaikan ajaran ini dimana
dalam penyidikan seorang jaksa mengancam terdakwa dengan cara
menunjukkan pasal-pasal berat dengan ancaman hukuman maksimal.
Dalam kondisi ini terdakwa tergoncang jiwanya dan dia berusaha
minta tolong melalui mafia peradilan agar jaksa mau membantu untuk
tidak menjerat dengan pasal-pasal berat. Biasanya dalam membahas
transaksi ini pihak jaksa tidak mau berhubungan secara langsung
dengan terdakwa, melainkan melalui mafia peradilan agar pihak jaksa
dapat secara leluasa melakukan transaksi pasal yang nantinya di
pergunakan dalam penuntutan. Semakin ringan pasal yang digunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
dalam penuntutan, maka semakin besar pula dana yang harus
dikeluarkan oleh terdakwa. Perilaku jaksa ini merupakan bentuk
pengingkaran dari ajaran Doktrin Tri Krama Adhyaksa pada ajaran
Satya yang artinya jujur. Kejujuran seorang jaksa sangat diharapkan
oleh pencari keadilan, dengan harapan masyarakat mendapatkan
pengayoman dari jaksa. Seorang oknum jaksa sebagai penuntut umum
akan sangat mudah menuntut kasus tindak pidana dengan pasal yang
sebenarnya (tepat) atau menyimpangkan kasus pidana dan menuntut
dengan pasal yang dapat menguntungkan terdakwa (tentunya melalui
perekayasaan kasus).
Contohnya:
1) Pada kasus pembunuhan yang disengaja yang diatur didalam Pasal
338 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun,
kemudian oleh jaksa direkayasa menjadi Pasal 351 ayat (3) KUHP
tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan orang lain
meninggal dunia dengan ancaman hukuman yang jauh lebih ringan
yaitu 7 tahun.
2) Perbuatan tindak pidana pemerkosaan Pasal 285 KUHP yang
ancaman hukumannya 12 tahun, kemudian oleh jaksa direkayasa
menjadi perbuatan hubungan badan yang dilakukan suka sama
suka, sehingga kasusnya bukanlah kasus pemerkosaan tetapi
menjadi kasus persetubuhan yang aturan hukumnya tidak ada
dalam KUHP sehingga terdakwa tersebut dapat lolos dari jeratan
hukum. Asas hukum pidana berbunyi: tindak pidana tidak dapat
dihukum kecuali ada aturan yang terlebih dulu ada. Jadi sepanjang
persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa (telah berusia 21
tahun) maka perbuatan itu tidak dapat dipidana, karena perbuatan
persetubuhan tidak diatur dalam KUHP.
3) Perbuatan penyuapan kemudian oleh jaksa direkayasa menjadi
pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP.
Perekayasaan kasus oleh jaksa ini diharapkan diharapkan agar si
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
penyuap (terdakwa) lolos dari jeratan hukum, sebab seseorang
yang mengeluarkan uang karena diperas tidak dapat dihukum.
Ingat kasus Anggodo (sebagai markus), dia menyuap KPK agar
saudaranya (Anggoro) dibebaskan dari jeratan hukum, tapi
pengakuan Anggodo dia tidak menyuap anggota KPK tetapi
diperas oleh anggota KPK dan sekarang kasusnya sudah di putus
oleh pengadilan negeri kepada Anggodo dijatuhi hukuman 4 tahun
dikurangi masa tahanan dan denda sebesar 150 juta rupiah
(Ismantoro Dwi Yuwono, 2010: 62).
Perekayasaan kasus demikian masih akan terus berlangsung
sepanjang markus masih berkeliaran dilingkungan kejaksaan.
Keberadaan markus menjadi penyebab terjadinya pelanggaran-
pelanggaran kode etik kejaksaan yang dilakukan oleh para jaksa dalam
menangani kasus pidana. Pemerintah dalam rangka memberantas
markus dibentuklah satuan tugas (Satgas) Mafia Hukum yang salah
satu tugasnya adalah memberantas praktek-praktek mafia peradilan di
Indonesia (http://iwaninlawschool.wordpress.com).
3. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan Ditinjau dari Pelanggaran Kode
Etik Kehakiman
Sebelum lebih lanjut membahas peran mafia peradilan yang dapat
merusak mental para hakim maka perlu penulis sampaikan tentang kode
etik hakim. Kode etik hakim telah diatur dalam Keputusan bersama Ketua
Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/B.KY/IV/2009 tanggal 8 Apri 2009
tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim. Salah satu kode etik yang
ada adalah etika kepribadian hakim. Sebagai pejabat penegak hukum
hakim:
a. Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat hakim.
c. Berkelakuan baik dan tidak tercela.
d. Menjadi teladan bagi masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
e. Menjauhkan diri dari perbuatan dan kelakuan yang dicela masyarakat.
f. Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim.
g. Bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab.
h. Berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu.
i. Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai keadilan).
j. Dapat dipercaya.
k. Berpandangan luas.
Sebagai pejabat penegak hukum hakim:
a. Bersikap tegas, disiplin.
b. Penuh pengabdian pada pekerjaan.
c. Bebas pengaruh dari siapapun juga.
d. Tidak menyalahgunakan kepercayaan, kedudukan dan wewenang
untuk kepentingan pribadi atau golongan.
e. Tidak berjiwa mumpung.
f. Tidak menonjolkan kedudukan.
g. Menjaga wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan.
h. Berpegang teguh pada kode kehormatan hakim.
Selain itu hakim sebagai pejabat penegak hukum harus:
a. bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam
hukum acara yang berlaku
b. tidak memihak, tidak bersimpati, tidak anti pati pada pihak yang
berperkara
c. berdiri diatas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak
membeda-bedakan orang
d. sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang baik dalam ucapan
maupun perbuatan
e. menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan
f. bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan
g. memutus berdasarkan hati nurani
h. sanggup mempertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Etika hubungan sesama hakim, harus:
a. Memelihara dan mempelihara hubungan kerja sama yang baik sesama
rekan.
b. Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara
sesama rekan.
c. Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan kepada korp hakim.
d. Menjaga nama baik dan martabat rekan baik didalam maupun diluar
kedinasan.
e. Bersikap tegas adil dan tidak memihak.
f. Memelihara hubungan baik dengan hakim bawahannya dan hakim
atasanya.
g. Memberi contoh yang baik didalam dan diluar kedinasan.
Kode kehormatan hakim dikenal dengan Tri Prasetya Hakim Indonesia,
yaitu: ”Saya berjanji:
1) bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa dan
martabat hakim Indonesia;
2) bahwa saya dalam menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode
kehormatan hakim Indonesia;
3) bahwa saya menjunjung tinggi dan mempertahankan jiwa korp
hakim Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing saya kepada jalan
yang benar.”
Dari bunyi kode etik hakim tersebut diatas, jika dicermati dari
kenyataan yang masih ada penyuapan hukum yang melanggar tatanan
yang ada pada kode etik kehakiman.
Kita lihat saja pada kode etik kepribadian hakim tersebut diatas
pada angka c di sebutkan bahwa hakim harus berkelakuan baik dan tidak
tercela. Tetapi pada kenyataannya masih ada oknum hakim dalam
memutus perkara sering dipengaruhi oleh mafia peradilan (ingat kasus
hakim Asnun pada kasus Gayus), pada kasus Gayus terdapat indikasi
bahwa hakim Asnun telah terjerat pada lingkaran mafia peradilan. Praktek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
transaksi kasus ini juga nampak pada tertangkap basah hakim Ibrahim
pada pengadilan tinggi tata usaha negara saat menerima uang suap dari
seorang pengacara. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Maret 2010 (Jawa
Pos, 31 Maret 2010).
Transaksi kasus ini, dulu dilakukan dengan sangat rapi yaitu
melalui hand phone (hp), tetapi cara tersebut sudah tidak aman lagi karena
ada penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) maka pola ini berubah transaksi tidak melalui hp, melainkan
bertemu langsung ditempat steril.
Etika kepribadian hakim angka f dinyatakan bahwa: hakim tidak
boleh merendahkan martabat hakim. Jika ada hakim dalam menjalankan
tugas telah dipengaruhi oleh mafia peradilan agar mau mengikuti
kehendak mafia peradilan demi kepentingan terdakwa jelas hal itu
merupakan pengingkaran terhadap hukum. Kita masih ingat betapa
tercelanya hakim Asnun dari pengadilan Tangerang yang telah menerima
suap dari mafia peradilannya Gayus Tambunan agar hakim tersebut mau
memberikan putusan yang sangat ringan, sehingga Gayus Tambunan dapat
dengan mudah melenggang bebas diluar penjara. Gayus melalui mafia
peradilan mampu mempengaruhi aparat hukum dengan lihai mulai dari
polisi, jaksa dan hakim. Hal ini terbukti Kompol AE (penyidik Gayus) di
hadapkan ke pengadilan sebagai terdakwa, dan telah diputus 5 tahun
pidana penjara.
Pada kode etik hakim angka g berbunyi: bahwa hakim harus
bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab. Hakim dalam
mewujudkan kode etik tersebut harus terbebas dari pengaruh mafia
peradilan agar putusan hakim sesuai ketentuan undang-undang.
Pada kode etik angka h dinyatakan bahwa hakim harus
berkepribadian, sabar, bijaksana dan berilmu. Setiap hakim dalam
menjalankan tugas dibatasi dengan kode etik agar supaya hakim tidak
lepas kendali dalam menggunakan kewenangannya. Jika ada oknum hakim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
yang melakukan tindakan tercela, maka oknum hakim tersebut telah
melakukan penyimpangan hukum.
Pada kode etik angka i dinyatakan bahwa hakim harus dapat di
percaya., Pada etika tugas jabatan hakim sebagaimana tertulis bahwa
hakim sebagai penegak hukum harus mengabdi pada pekerjaan. Sikap
terpuji dari aparat penegak hukum adalah mengabdi pada pekerjaan secara
otomatis hakim tersebut juga mengabdi pada negara. Jika ada kesediaan
oknum hakim melakukan transaksi putusan melalui mafia peradilan demi
kepentingan pribadi yang berorientasi pada profit adalah salah. Tidak
selayaknya lembaga peradilan dirubah menjadi perusahaan peradilan
dimana, setiap menjalankan pekerjaan selalu mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya (www.pamajene.co.cc).
Pada etika tugas jabatan hakim sebagaiman tertulis bahwa hakim
dilarang berjiwa mumpung. Putusan hakim yang telah terkontaminasi
virus mafia peradilan dapat menabrak rambu-rambu kode etik hakim.
Larangan bahwa hakim tidak boleh berjiwa mumpung merupakan rambu-
rambu hukum yang harus ditaati.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat ditarik
simpulan sebagai berikut :
1. Modus operandi mafia peradilan dapat di uraikan sebagai berikut :
a. Pada tahap penyidikan
Mafia peradilan menggunakan modus menjanjikan kepada tersangka
bahwa ia dapat merekayasa kasus dengan menawarkan pasal-pasal
ringan dalam menjerat kasus pidana yang telah dilakukan oleh
terperiksa.
b. Pada tahap penuntutan
Didalam proses ini modus operandi mafia peradilan adalah
berkonspirasi dengan oknum jaksa untuk tidak menuntut pasal-pasal
yang memberatkan, tidak menuntut hukuman maksimal.
c. Pada tahap Peradilan
Mafia peradilan melobi hakim dengan cara mengajak oknum hakim
tersebut ke tempat yang telah disepakati guna membahas nasib
terdakwa yang sedang diproses dipengadilan, karena putusan hakim
merupakan tahap terakhir dalam proses peradilan. Disini mafia
peradilan merekayasa peradilan yang seharusnya berjalan menurut
ketentuan undang-undang menjadi peradilan yang berjalan menurut
keinginan mafia peradilan.
2. Penerapan kode etik profesi aparat penegak hukum di Indonesia akan
terhambat jika para mafia peradilan masih berkeliaran dan tidak segera di
berantas. Karena tidak bisa dipungkiri lagi mafia peradilan mempunyai peran
penting akan terjadinya pelanggaran kode etik. Secara lebih detail antara lain:
a. Pada kode etik polisi: Kode etik Kepolisian dibuat untuk mengatur
norma-norma dan moral polisi untuk mewujudkan kinerja yang lebih
baik. Tapi dengan adanya para mafia peradilan, maka harapan untuk
mewujudkan kinerja yang lebih baik menjadi sulit. Mafia peradilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
menawari oknum polisi untuk melanggar kode etik guna kepentingan
terdakwa dan mafia peradilan itu sendiri.
b. Pada kode etik jaksa: Jaksa dalam proses peradilan mempunyai
kewenangan sebagai penuntut umum. Kode etik Kejaksaan mengatur
semua tingkah laku oknum jaksa dalam melaksanakan proses
peradilan, tetapi masih banyak oknum jaksa yang melanggar kode etik
kejaksaan karena peran serta mafia peradilan.
c. Pada kode etik hakim: Hakim dalam menjalankan tugas harus
menjunjung tinggi kode etik hakim, karena hakim menjadi panutan
masyarakat baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Tetapi
pada kenyataannya masih ada oknum hakim yang tergoda dengan
tawaran mafia peradilan untuk melanggar kode etik hakim.
B. Saran
1. Satuan Tugas (Satgas) pemberantasan mafia hukum hendaknya dapat berjalan
secara efektif untuk memberantas mafia peradilan dengan cara menambah
perwakilan di daerah dengan program operasi yang jelas dan perlu di
sosialisasikan pada masyarakat.
2. Pasal 20 KUHAP hendaknya ditinjau ulang untuk di ganti, karena pasal
tersebut memberikan peluang penyelewengan hukum yang aman bagi oknum
polisi, oknum jaksa dan oknum hakim. Karena hak menahan atau tidak
menahan menjadi kewenangan aparat hukum. Seharusnya kalau terperiksa
dinyatakan sebagai tersangka harus segera ditahan. Jadi hak alternatif menjadi
tidak ada dan yang ada adalah hak mutlak (absolut).
top related