daftar isi -...
Post on 19-Mar-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... ...... 1
I.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
I.2 Tujuan dan Sasaran .................................................................. 3
I.3 Sumber Data ............................................................................... 4
I.4 Sistematika Penulisan ................................................................ 5
BAB II Metodologi ....................................................................................... 6
2.1 Konsep Pembangunan Manusia ................................................. 6
2.2 Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia .......................... 7
BAB III GAMBARAN UMUM .......................................................................... 18
3.1 Profil Kabupaten Ponorogo ........................................................ 18
3.2 Gambaran Umum Sosial Ekonomi Kabupaten Ponorogo .......... 21
3.2.1 Bidang Pendidikan ............................................................ 21
3.2.2 Bidang Kesehatan Masyarakat ......................................... 29
3.2.3 Bidang Perekonomian....................................................... 34
3.2.4 Bidang Ketenagakerjaan ................................................... 35
3.2.5 Bidang Perumahan ........................................................... 37
BAB IV STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PONOROGO ........ 43
4.1 Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo................................. 43
4.2 Perkembangan Komponen IPM ................................................. 45
4.2.1 Indeks Kesehatan .............................................................. 46
4.2.2 Indeks Pendidikan ............................................................ 48
4.2.3 Indeks Daya Beli ................................................................ 53
4.3 Pertumbuhan ............................................................................. 55
BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 57
iii
DAFTAR TABEL
HALAMAN Tabel 1 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM .................................. 10
Tabel 2 Tingkatan Status Nilai IPM .................................................................... 11
Tabel 3 Pengelompokkan Jenjang Pendidikan Yang Pernah/Sedang Diduduki 14
Tabel 4 Pengelompokkan Ijazah/STTB Tertinggi Yang Dimiliki ......................... 14
Tabel 5 Ijazah dan Konversi Tahun Lama Sekolah............................................. 15
Tabel 6 Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Kecamatan
Tahun 2014 ........................................................................................... 20
Tabel 7 Persentase Penduduk Kabupaten Ponorogo Usia 10 Tahun Ke
Atas Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan ......................... 25
Tabel 8 Rasio Murid-Guru & Murid-Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun
Ajaran 2014/2015 ................................................................................ 28
Tabel 9 Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran di Kabupaten
Ponorogo Tahun 2014 ......................................................................... 31
Tabel 10 Persentase Penduduk Menurut Keluhan Kesehatan di Kabupaten
Ponorogo Tahun 2012 - 2014 .............................................................. 32
Tabel 11 Banyaknya Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014.. 33
Tabel 12 PDRB Per Kapita (ADHB) Kabupaten Ponorogo Tahun 2012-2014 ...... 35
Tabel 13 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Variabel Ketenagakerjaan
di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 .................................................... 36
Tabel 14 Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun
Tahun 2012-2014 .................................................................................. 47
Tabel 15 Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun
Tahun 2012-2014 .................................................................................. 48
Tabel 16 Angka Harapan Lama Sekolah (Tahun) Kabupaten/Kota se-eks
Karesidenan Madiun Tahun 2012-2014 ............................................... 50
Tabel 17 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan
Madiun Tahun 2012-2014 ................................................................... 52
iv
Tabel 18 Indeks Pendidikan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun
Tahun 2012-2014 .................................................................................. 53
Tabel 19 Pengeluaran Riil Perkapita Disesuaikan se-eks Karesidenan Madiun dan
Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2014 (Ribu rupiah) .......................... 54
Tabel 20 Indeks Daya Beli Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun
Tahun 2012-2014 .................................................................................. 55
v
DAFTAR GAMBAR HALAMAN
Gambar 1 Diagram Penghitungan IPM .............................................................. 9
Gambar 2 Peta Kabupaten Ponorogo ................................................................ 18
Gambar 3 Luas Wilayah Per Kecamatan ............................................................ 19
Gambar 4 Angka Melek Huruf Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas
Kabupaten Ponorogo Tahun 2010-2014 ........................................... 22
Gambar 5 Angka Partisipasi Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan
Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 ................................................ 24
Gambar 6 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 25 Tahun Ke Atas
Tahun 2012 - 2014 ............................................................................ 26
Gambar 7 Angka Kematian Bayi Per 1000 Kelahiran Hidup
Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 - 2014 ........................................ 30
Gambar 8 Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum Di
Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 .................................................... 39
Gambar 9 Persentase Rumah Tangga Menurut Kepemilikan Telepon Seluler dan
Akses Internet di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 ........................ 40
Gambar 10 Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Lantai Terluas di
Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 .................................................... 41
Gambar 11 Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Tempat Buang Air
Besar di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 - 2014 ........................... 42
Gambar 12 Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo Tahun 2010-2014 .......... 44
Gambar 13 IPM Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun
Tahun 2014 ....................................................................................... 45
Gambar 14 Perkembangan Angka Harapan Hidup Kabupaten Ponorogo
Tahun 2010-2014 (Tahun) ................................................................ 46
Gambar 15 Perkembangan Angka Harapan Lama Sekolah (Tahun) Kabupaten
Ponorogo Tahun 2010-2014.............................................................. 49
Gambar 16 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun 2010-2014 .... 51
Gambar 17 Pertumbuhan IPM Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2014 ............ 55
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penting yang perlu
menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan. SDM yang berkualitas akan
menjadi potensi suatu wilayah. Sebaliknya bila SDM tidak berkualitas maka akan
menjadi beban dalam pembangunan. Manusia adalah kekayaan bangsa yang
sesungguhnya, oleh karena itu rancangan pembangunan manusia yang sesungguhnya
adalah menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan. Kualitas manusia
(SDM yang tangguh) di suatu wilayah memiliki andil besar dalam menentukan
keberhasilan pengelolaan pembangunan di wilayahnya.
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah mensejahterakan seluruh
penduduk. Bertitik tolak dari tujuan ini maka manusia ditempatkan sebagai titik sentral
dalam pembangunan yang mempunyai ciri dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah berupaya meningkatkan kualitas penduduk
sebagai kekayaan sumber daya baik dari aspek kesehatan, pendidikan, kesejahteraan
ekonomi, serta aspek moralitas (iman dan ketaqwaan). Hal ini merupakan suatu
kenyataan yang sederhana, namun seringkali terlupakan oleh kesibukan jangka pendek
yang berorientasi pada hal-hal yang bersifat materi.
Berbagai ukuran telah banyak digunakan untuk menilai kinerja pembangunan,
namun tidak semua ukuran yang dibuat dapat digunakan sebagai ukuran standar yang
dapat dibandingkan antar daerah. Oleh karena itu sejak tahun 1990 United Nation
Development Programme (UNDP) menetapkan suatu ukuran standar pembangunan
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 6
BAB II
METODOLOGI
2.1. Konsep Pembangunan Manusia
Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta
dipahami dari sudut manusianya, bukan hanya dari pertumbuhan ekonominya.
Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan
kemampuan (kapabilitas) manusia, tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan
kemampuan manusia tersebut secara optimal.
Paradigma pembangunan lama menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang
menempatkan pendapatan sebagai acuan, dan yang menjadi alat ukurnya adalah GNP
atau GDP per kapita. Alat ukur ini dirasa kurang komprehensip karena hanya melihat
satu sisi kehidupan manusia. Sejak tahun 1990, UNDP mengadopsi suatu paradigma
baru mengenai pembangunan. Paradigma ini melihat manusia dari sisi yang lebih baik
dan komprehensip karena disamping memperhitungkan keberhasilan pembangunan
manusia dari aspek ekonomi, juga memperhitungkan keberhasilan pembangunan
manusia dari aspek non-ekonomi. Paradigma pembangunan yang dimaksud tersebut
mengandung empat komponen utama yaitu :
a. Produktivitas. Manusia harus berkemampuan untuk meningkatkan
produktivitasnya dan berpartisipasi penuh dalam mencari penghasilan dan
lapangan kerja. Oleh karena itu pembangunan ekonomi merupakan bagian
dari pembangunan manusia.
b. Pemerataan. Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama. Semua
hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapuskan,
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 7
sehingga semua orang dapat berpartisipasi dan mendapat keuntungan dari
peluang yang sama.
c. Berkelanjutan. Akses terhadap peluang/kesempatan harus tersedia bukan
hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan
datang. Semua sumber daya harus dapat diperbaharui.
d. Pemberdayaan. Semua orang diharapkan berpartisipasi penuh dalam
pengambilan keputusan dalam proses aktivitasnya.
Penyertaan konsep pembangunan manusia dalam kebijakan-kebijakan
pembangunan sama sekali tidak berarti meninggalkan berbagai strategi pembangunan
terdahulu, antara lain mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan
mencegah perusakan lingkungan. Namun perbedaannya adalah bahwa dari sudut
pandang pembangunan manusia, semua tujuan tersebut diletakkan dalam kerangka
untuk memperluas pilihan-pilihan bagi manusia.
2.2. Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah variabel tak bebas yang bersifat
state, yaitu suatu variabel yang perubahannya berlangsung lambat dan akan
meningkat/menurun sedikit demi sedikit sebagai respon terhadap perubahan berbagai
kondisi fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Agar mudah dipahami, maka variabel-
variabel sosial dan ekonomi tersebut disusun menjadi indeks komposit yang digabung
menjadi indeks tunggal.
Angka IPM sangat penting untuk melihat sampai seberapa jauh pertumbuhan
dan pemerataan hasil pembangunan mampu secara nyata memberikan output berupa
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 8
peningkatan kebutuhan fisik dasar manusia dan perluasan kemampuan manusia untuk
melakukan pilihan-pilihan.
Mulai tahun 2014 dilakukan penyempurnaan metodologi penghitungan IPM.
Beberapa alasan yang dijadikan dasar perubahan metodologi penghitungan IPM antara
lain :
Beberapa indikator sudah tidak tepat untuk digunakan dalam penghitungan
IPM. Angka melek huruf sudah tidak relevan dalam mengukur pendidikan
secara utuh karena tidak dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Selain
itu, karena angka melek huruf di sebagian besar daerah sudah tinggi,
sehingga tidak dapat membedakan tingkat pendidikan antar daerah dengan
baik.
PDB per kapita tidak dapat menggambarkan pendapatan masyarakat pada
suatu wilayah.
Penggunaan rumus rata-rata aritmatik dalam penghitungan IPM
menggambarkan bahwa capaian yang rendah di suatu dimensi dapat ditutupi
oleh capaian tinggi dari dimensi lain.
Dengan menggunakan indikator yang lebih tepat maka IPM metode baru dapat
membedakan perkembangan IPM antar wilayah antar waktu dengan lebih baik
(diskriminatif).
Diagram di bawah ini menyajikan gambar indeks-indeks yang disajikan pada
Indeks Pembangunan Manusia yang dihitung berdasarkan metode baru tahun 2014 dan
diperlihatkan secara jelas persamaan dan perbedaan antara masing-masing indeks.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 9
Gambar 1. Diagram Penghitungan IPM
DIMENSI UMUR PANJANG
DAN HIDUP SEHAT PENGETAHUAN
STANDAR HIDUP
LAYAK
INDIKATOR
Angka Harapan Hidup
pada saat lahir
Harapan lama
Sekolah (HLS)
Rata-rata Lama
Sekolah (RLS)
Pengeluaran per Kapita
Riil yang Disesuaikan
(PPP Rupiah)
INDEKS Indeks Kesehatan Indeks Pendidikan
INDEKS PEMBANGUNAN
MANUSIA (IPM)
Indeks Daya Beli
Secara umum metode penghitungan IPM yang digunakan di Indonesia sama
dengan metode penghitungan yang digunakan oleh UNDP. IPM di Indonesia disusun
berdasarkan tiga komponen indeks, yaitu:
1) Indeks kesehatan, yang diukur berdasarkan angka harapan hidup saat lahir
(rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang sejak
lahir);
2) Indeks pendidikan, yang diukur berdasarkan harapan lama sekolah (lamanya
sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur
tertentu (7 tahun ke atas) di masa mendatang) dan rata-rata lama sekolah
(jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk (usia 25 tahun ke atas) dalam
menjalani pendidikan formal); serta
3) Indeks daya beli, yang diukur dengan pengeluaran per kapita (PPP-
Purchasing Power Parity / paritas daya beli dalam rupiah).
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 10
Masing-masing terlebih dahulu dihitung indeksnya sehingga bernilai 0 (buruk)
dan 1 (terbaik). Untuk memudahkan analisa biasanya dikalikan 100. Teknik penyusunan
indeks tersebut pada dasarnya mengikuti rumus sebagai berikut:
dimana
dimana:
I(i) : Indeks komponen IPM ke i (i=1,2,3)
X(i) : Nilai indikator komponen IPM ke i
Max.X(i) : Nilai maksimum X(i)
Min. X(i) : Nilai minimum X(i)
Berdasarkan nilai IPM yang diperoleh, kita dapat melakukan analisis lebih
lanjut, diantaranya tingkat status pembangunan manusia dan tingkat pertumbuhan IPM.
Nilai maksimum dan minimum yang digunakan dalam penghitungan IPM menurut BPS
sebagai berikut:
Tabel 1. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM
Indikator Komponen IPM Nilai Minimum Nilai Maksimum Catatan
Angka Harapan Hidup
Harapan Lama Sekolah
Rata-rata Lama Sekolah
Pengeluaran per Kapita *)
20
0
0
1.007.436 a)
85
18
15
26.572.352 b)
Standar UNDP
Standar UNDP
Standar UNDP
Disesuaikan
Catatan * a) Daya beli minimum merupakan garis kemiskinan terendah kabupaten tahun 2010 (data empiris) yaitu di Tolikara-
Papua.
b) Daya beli maksimum merupakan nilai tertinggi kabupaten yang diproyeksikan hingga 2025 (akhir RPJPN) yaitu
perkiraan pengeluaran per kapita Jakarta Selatan tahun 2025.
}..{
}.{
)()(
)()(
)(
ii
ii
iXMinXMax
XMinXI
1003tan dayabelipendidikankeseha IIIIPM
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 11
Hasil penghitungan IPM akan memberikan gambaran seberapa jauh suatu
wilayah telah mencapai sasaran yang ditentukan. Semakin dekat nilai IPM suatu
wilayah terhadap angka 100, maka semakin dekat pula wilayah tersebut dengan sasaran
yang ingin dicapai. Untuk memahami makna nilai IPM, maka PBB malalui UNDP
memberikan kriteria sebagai berikut:
Tabel 2. Tingkatan Status dan Kriteria Nilai IPM
Tingkatan Status Kriteria
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
IPM < 60
60 ≤ IPM < 70
70 ≤ IPM < 80
IPM ≥ 80
Sedangkan tahapan untuk menghitung masing-masing komponen IPM adalah
sebagai berikut :
a. Angka Harapan Hidup Saat Lahir - AHH (Life Expectancy - e0)
Pembangunan manusia harus lebih mengupayakan agar penduduk dapat
mencapai usia hidup yang panjang dan sehat. Sebenarnya banyak indikator yang
dapat digunakan untuk mengukur usia hidup, tetapi dengan mempertimbangkan
ketersediaan data secara global, UNDP memilih indikator angka harapan hidup
saat lahir. Angka harapan hidup saat lahir adalah rata-rata perkiraan banyak tahun
yang dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir. Di Indonesia angka harapan hidup
dihitung dengan metode tidak langsung. Metode ini menggunakan dua macam data
dasar yaitu rata-rata anak yang dilahirkan hidup dan rata-rata anak yang masih
hidup. Prosedur penghitungan angka harapan hidup yang diperoleh dengan metode
tidak langsung ini merujuk pada keadaan 3-4 tahun dari tahun survei.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 12
Besarnya nilai maksimum dan nilai minimum untuk masing-masing
komponen ini merupakan nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara.
Pada komponen ini, angka tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks
dipakai 85 tahun dan terendah adalah 20 tahun. Angka ini diambil sesuai standar
UNDP.
b. Rata-rata Lama Sekolah – RLS (Mean Years Schooling - MYS) dan Angka
Harapan Lama Sekolah - HLS (Expected Years of Schooling - EYS)
Pengetahuan diakui secara luas sebagai unsur mendasar dari
pembangunan manusia. Dua indikator yang digunakan untuk menghitung
komponen indeks pendidikan, yaitu Harapan Lama Sekolah (EYS) dan Rata-Rata
Lama Sekolah (MYS).
Angka Harapan Lama Sekolah didefinisikan lamanya sekolah (dalam
tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa
mendatang. Diasumsikan bahwa peluang anak tersebut akan tetap bersekolah pada
umur-umur berikutnya sama dengan peluang penduduk yang bersekolah per
jumlah penduduk untuk umur yang sama saat ini. Angka Harapan Lama Sekolah
dihitung untuk penduduk berusia 7 tahun ke atas. HLS dapat digunakan untuk
mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang yang
ditunjukkan dalam bentuk lamanya pendidikan (dalam tahun) yang diharapakan
dapat dicapai oleh setiap anak.
Langkah penghitungan EYS adalah pertama-tama menghitung jumlah
penduduk menurut umur (7 tahun ke atas), kemudian menghitung jumlah
penduduk yang masih sekolah menurut umur (7 tahun ke atas). Setelah itu
menghitung rasio penduduk masih sekolah menurut umur (7 tahun ke atas) dan
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 13
menghitung harapan lama sekolah, yaitu dengan menjumlahkan semua rasio
penduduk masih sekolah menurut umur (7 tahun ke atas) dengan formula sebagai
berikut :
di mana :
: Harapan lama sekolah pada umur a di tahun t
: Jumlah penduduk usia i yang bersekolah pada tahun t
: Jumlah penduduk usia i pada tahun t
: Usia (a, a+1, ..., n)
Sedangkan Rata-Rata Lama Sekolah didefinisikan sebagai jumlah tahun
yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal. Diasumsikan
bahwa dalam kondisi normal rata-rata lama sekolah suatu wilayah tidak akan
turun. Cakupan penduduk yang dihitung dalam penghitungan rata-rata lama
sekolah adalah penduduk berusia 25 tahun ke atas.
Untuk penghitungan indeks pendidikan ini, dua batasan dipakai sesuai
kesepakatan beberapa negara. Batas maksimum untuk Angka Harapan Lama
Sekolah adalah 18 tahun dengan batas minimum 0 tahun. Sementara itu batas
maksimum untuk Rata-Rata Lama Sekolah (MYS) adalah 15 tahun dan batas
minimum adalah 0 tahun. Batas maksimum 15 tahun mengindikasikan tingkat
pendidikan maksimum yang ditargetkan adalah setara lulus Sekolah Menengah
Atas.
Langkah pertama penghitungan MYS adalah menyeleksi penduduk pada
usia 25 tahun ke atas. Langkah kedua, mengelompokkan jenjang pendidikan yang
pernah/sedang diduduki.
t
aEYSt
iEt
iP
i
n
ait
i
t
it
a
P
EEYS
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 14
Tabel 3. Pengelompokkan Jenjang Pendidikan Yang Pernah/Sedang Diduduki
Jenis Pendidikan Jenjang
SD/SDLB
Sekolah Dasar Madrasah Ibtidaiyah
Paket A
SMP/SMPLB
SMP Madrasah Tsanawiyah
Paket B
SMA/SMLB
SMA Madrasah Aliyah
SMK
Paket C
Program D1/D2 D1/D2
Program D3/Sarjana Muda D3
Program D4/S1 S1
Program S2/S3 S2/S3
Langkah ketiga, mengelompokkan ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki.
Tabel 4. Pengelompokkan Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki
Jenis Pendidikan Ijazah
Tidak punya ijazah SD Tidak punya ijazah SD
SD/SDLB
Sekolah Dasar Madrasah Ibtidaiyah
Paket A
SMP/SMPLB
SMP Madrasah Tsanawiyah
Paket B
SMA/SMLB
SMA Madrasah Aliyah
SMK
Paket C
Program D1/D2 D1/D2
Program D3/Sarjana Muda D3
Program D4/S1 S1
Program S2/S3 S2/S3
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 15
Langkah keempat, mengkonversi tahun lama sekolah menurut ijazah
terakhir.
Tabel 5. Ijazah dan Konversi Tahun Lama Sekolah
No. Ijazah Konversi Tahun Lama
Sekolah (Th)
1. Tidak punya ijazah 0
2. Sekolah Dasar 6
3. SMP 9
4. SMA 12
5. D1/D2 14
6. D3 15
7. S1/D4 16
8. S2/S3 18
Langkah selanjutnya adalah menghitung lamanya bersekolah sampai
kelas terakhir dan menghitung lamanya bersekolah.
Setelah mendapatkan nilai EYS dan MYS, maka Indeks Pendidikan
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
c. Standar Hidup Layak
Untuk mengukur indikator Standart Hidup Layak, UNDP menggunakan
GDP per kapita yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita). Namun
dalam penghitungan IPM sub nasional (propinsi dan kabupaten/kota) tidak dapat
menggunakan data PDRB per kapita yang kurang lebih setara dengan ukuran
UNDP. Hal ini dikarenakan PDRB per kapita hanya mengukur produksi suatu
wilayah dan tidak mampu menggambarkan daya beli riil dari masyarakat yang
merupakan fokus dari IPM. Sedangkan data pengeluaran per kapita yang diperoleh
2
MYSEYSpendidikan
III
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 16
dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) merupakan pendekatan dari
daya beli masyarakat lokal yang lebih baik.
Untuk mengukur daya beli masyarakat antar kabupaten/kota, digunakan
rata-rata konsumsi 96 komoditi terpilih dari hasil Susenas yang dianggap paling
dominan dikonsumsi oleh masyarakat dan telah distandarkan agar dapat
dibandingkan antar daerah dan antar waktu serta disesuaikan dengan indeks PPP.
Rata-rata pengeluaran per kapita dibuat konstan/riil dengan tahun dasar 2012=100.
Dari 96 komoditi terpilih tersebut, 66 komoditi diantaranya adalah jenis makanan
sementara 30 komoditi lainnya adalah jenis non makanan. Metode penghitungan
paritas daya beli menggunakan metode Rao.
Penghitungan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang telah disesuaikan
dilakukan melalui 5 (lima) tahapan sebagai berikut :
1) Menghitung value (rupiah yang dikeluarkan) dan quantity (jumlah barang yang
dikonsumsi) 96 komoditas PPP dari data Susenas Modul Konsumsi.
2) Menghitung quantity komoditi perumahan dari data Susenas Kor.
3) Menghitung harga rata-rata setiap komoditas. Harga yang tidak dapat diperoleh
dari Susenas modul konsumsi diproksi dengan harga dari Indeks Harga
Konsumen (IHK).
4) Menghitung relatif harga terhadap Jakarta Selatan.
5) Menghitung penyesuaian PPP (rupiah) atau rata-rata konsumsi riil dengan
menggunakan formula :
m
i ik
ij
j
m
p
pPPP
1
1
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 17
dimana:
P(ij) : harga komoditas i di kab/kota j
P(ik) : harga komoditas i di Jakarta Selatan
M : jumlah komoditas
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 18
BAB III
GAMBARAN UMUM
3.1. Profil Kabupaten Ponorogo
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten yang ada di bagian barat
Provinsi Jawa Timur. Luas wilayahnya 1.371,78 km2 yang terletak antara 111°17'
sampai dengan 111°52' Bujur Timur dan 7°49' sampai dengan 8° 20' Lintang Selatan.
Kabupaten Ponorogo secara langsung berbatasan dengan Kabupaten Magetan,
Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Nganjuk di sebelah Utara. Di sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Trenggalek. Di sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pacitan, sedangkan di sebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri (Provinsi Jawa Tengah). Wilayah
Kabupaten Ponorogo terbagi habis atas 21 Kecamatan yang terdiri dari 307
desa/kelurahan.
Gambar 2.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 19
Kondisi topografi Kabupaten Ponorogo bervariasi mulai dari dataran rendah
hingga pegunungan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Ponorogo yaitu sebesar 78,83%
terletak di ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut, 14,66% berada di
antara 500-700 meter, dan sisanya 6,51% berada pada ketinggian di atas 700 meter.
Secara klimatologis Kabupaten Ponorogo merupakan dataran rendah dengan iklim tropis
yang mengalami dua musim yaitu kemarau dan penghujan dengan suhu berkisar 18° -
31°C. Kecamatan Ngrayun mempunyai wilayah terluas (184,76 Km2) dari keseluruhan
luas wilayah Kabupaten Ponorogo, sementara wilayah terkecil adalah Kecamatan
Ponorogo (22,31 Km2).
Sumber : Ponorogo Dalam Angka 2015, BPS
Berdasarkan hasil proyeksi BPS tahun 2014, jumlah penduduk Kabupaten
Ponorogo sebesar 865.809 jiwa, yang terdiri dari 432.578 jiwa penduduk laki-laki dan
433.231 jiwa penduduk perempuan dengan kepadatan penduduk mencapai 631
jiwa/km2. Komposisi penduduk laki-laki dan perempuan di Kabupaten Ponorogo hampir
seimbang. Tercatat rasio jenis kelamin (Sex Ratio) sebesar 99,85 yang berarti bahwa
secara rata-rata pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 20
Tabel 6. Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Kecamatan Tahun 2014
No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Ratio
1 Ngrayun 28.090 28.147 56.237 99.80
2 Slahung 24.271 25.170 49.441 96.43
3 Bungkal 16.990 17.564 34.554 96.73
4 Sambit 17.688 18.006 35.694 98.23
5 Sawoo 26.647 27.651 54.298 96.37
6 Sooko 10.869 11.085 21.954 98.05
7 Pudak 4.598 4.691 9.289 98.02
8 Pulung 23.280 23.310 46.590 99.87
9 Mlarak 20.582 16.143 36.725 127.50
10 Siman 21.695 20.974 42.669 103.44
11 Jetis 14.143 14.919 29.062 94.80
12 Balong 20.353 21.303 41.656 95.54
13 Kauman 19.523 19.927 39.450 97.97
14 Jambon 19.253 19.884 39.137 96.83
15 Badegan 14.608 14.739 29.347 99.11
16 Sampung 17.645 18.050 35.695 97.76
17 Sukorejo 25.609 24.947 50.556 102.65
18 Ponorogo 37.832 38.551 76.383 98.13
19 Babadan 32.568 32.379 64.947 100.58
20 Jenangan 26.483 26.235 52.718 100.95
21 Ngebel 9.851 9.556 19.407 103.09
Jumlah 432.578 433.231 865.809 99.85
Sumber : Ponorogo Dalam Angka 2015, BPS
Dari 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Ponorogo, Kecamatan Ponorogo
merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar, yaitu 76.383 jiwa dengan
kepadatan penduduk sebesar 3.424 jiwa/Km2, diikuti oleh Kecamatan Babadan 64.947
jiwa (1.478 jiwa/Km2) dan Kecamatan Ngrayun 56.237 jiwa (304 jiwa/Km
2). Sementara
kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit sekaligus tingkat kepadatan terendah
adalah Kecamatan Pudak 9.289 jiwa dengan tingkat kepadatan 190 jiwa/Km2.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 21
Jika dilihat menurut sebaran penduduk berdasarkan kelompok umur, mayoritas
penduduk Kabupaten Ponorogo merupakan penduduk produktif dengan persentase
penduduk usia 15-64 tahun sebesar 68,00%. Sedangkan penduduk usia di bawah 15
tahun sebesar 21,04% dan penduduk usia 65 tahun ke atas sebesar 10,96%. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa angka rasio ketergantungan di Kabupaten Ponorogo
pada tahun 2014 mencapai 47,05 yang berarti secara rata-rata dari setiap 100 penduduk
usia produktif harus menanggung sekitar 47 penduduk usia tidak produktif.
3.2 Gambaran Umum Sosial Ekonomi Kabupaten Ponorogo
Sebagaimana paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai titik
sentral dari pembangunan itu sendiri, maka upaya-upaya peningkatan kualitas manusia
baik secara fisiologis, ekonomis, maupun spiritual perlu diupayakan. Dalam
menggambarkan upaya-upaya pembangunan manusia tersebut biasanya digunakan
indikator-indikator sosial ekonomi yang meliputi bidang pendidikan, kesehatan
masyarakat, ketenagakerjaan, maupun pertumbuhan ekonomi.
3.2.1. Bidang Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam proses
pengembangan pola pikir konstruktif dan kreatif sumber daya manusia, baik itu
pendidikan yang diperoleh secara formal maupun informal sebagai bekal atau
modal dalam menjalani interaksi sosial dalam bermasyarakat, pendidikan
diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan manusia.
Perencanaan yang cepat, tepat dan terarah dalam pembangunan pendidikan
mutlak diperlukan. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, akan
mempengaruhi kualitas sumber dayanya. Pendidikan bukan hanya merupakan
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 22
tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat dan keluarga. Pendidikan yang
memadai dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki setiap individu.
Hal ini sejalan dengan program Pemerintah Kabupaten Ponorogo yang
salah satu misinya adalah “menjamin terwujudnya kepastian akses dan mutu
pelayanan dasar masyarakat secara optimal yang meliputi pendidikan, kesehatan,
dan infrastruktur baik pedesaan maupun perkotaan, serta menjamin kepastian
penyediaan pelayanan publik dengan model pelayanan yang efektif dan efisien”.
Pendidikan yang berbasis pengetahuan dan moral sangat dibutuhkan dalam rangka
menghadapi abad globalisasi dimana berbagai pengaruh dari luar yang masuk
dengan bebas ke negeri ini.
Gambar 4. Angka Melek Huruf Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Kabupaten
Ponorogo Tahun 2010-2014
85,86
89,72
91,72 91,94
95,02
2010 2011 2012 2013 2014
Sumber : BPS Jawa Timur 2014
Kemampuan baca tulis adalah kemampuan dasar untuk meningkatkan
kualitas manusia. Diharapkan dengan meningkatnya kemampuan baca tulis maka
akan meningkat pula akses terhadap berbagai informasi, yang pada akhirnya akan
meningkatkan pengetahuan secara umum. Kemampuan baca tulis tercermin dari
tinggi rendahnya angka melek huruf. Dalam hal ini merupakan persentase
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 23
penduduk usia 10 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan
huruf lainnya.
Persentase angka melek huruf penduduk usia 10 tahun ke atas di
Kabupaten Ponorogo terus meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 95,02
persen pada tahun 2014 atau naik 3,08 persen poin dibanding tahun sebelumnya
yang sebesar 91,94 persen.
Tingkat melek huruf yang tinggi menunjukkan adanya sebuah sistem
pendidikan dasar yang efektif dan/atau program keaksaraan yang memungkinkan
sebagian besar penduduk untuk memperoleh kemampuan menggunakan kata-kata
tertulis dalam kehidupan sehari-hari dan melanjutkan pembelajarannya.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pencapaian program wajib
belajar 9 tahun dapat dilakukan dengan cara mengakses seluruh fasilitas
pendidikan yang ada bagi penduduk usia sekolah. Untuk mengetahui seberapa
besar tingkat pemanfaatan atau jangkauan pendidikan, maka digunakan indikator
Angka Partisipasi Sekolah (APS).
Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem
pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Angka partisipasi dapat menjadi
indikator proses di bidang pendidikan yang menggambarkan proses partisipasi
aktif penduduk usia belajar dalam proses belajar. APS yang tinggi menunjukkan
terbukanya peluang yang lebih besar dalam mengakses pendidikan secara umum.
Pada kelompok umur mana peluang tersebut terjadi dapat dilihat dari besarnya
APS setiap kelompok umur.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 24
Gambar 5. Angka Partisipasi Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan
di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014
Sumber : BPS Jawa Timur 2014
Dari grafik di atas diketahui bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia
7-12 tahun yang mempresentasikan usia di tingkat sekolah dasar/sederajat
mencapai 99,22 persen pada tahun 2014. APS usia 13-15 tahun yang
mempresentasikan usia sekolah tingkat lanjutan pertama mencapai 100,00 persen.
Upaya peningkatan pendidikan dasar bagi masyarakat melalui program wajib
belajar sembilan tahun (setara SLTP) telah membawa dampak meningkatnya
angka partisipasi sekolah khususnya pada kelompok usia sasaran program ini
hingga berada pada kisaran di atas 99 persen.
Angka partisipasi sekolah kelompok usia 16-18 tahun yang
mempresentasikan usia sekolah tingkat lanjutan atas pada tahun 2014 juga
mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Terjadi peningkatan sebesar
8,65 persen poin yaitu dari 74,52 persen pada tahun 2013 menjadi 83,17 persen
pada tahun 2014.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 25
Hal ini memberikan gambaran bahwa di Kabupaten Ponorogo secara rata-
rata pada setiap 100 anak usia 7-12 tahun (SD/MI) sekitar 1 anak diantaranya
sedang tidak bersekolah, dan untuk setiap 100 anak usia 13-15 tahun (SMP/MTs)
seluruhnya sedang bersekolah. Sementara untuk usia 16-18 tahun (SLTA
sederajat) terdapat 17 anak yang sedang tidak bersekolah. Angka APS tersebut
menunjukkan tren penurunan seiring dengan kenaikan usia, hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah persentase
penduduk yang sedang bersekolah.
Tabel 7. Persentase Penduduk Kabupaten Ponorogo Usia 10 Tahun Ke Atas
Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2012-2014)
Persentase pendidikan yang ditamatkan dapat digunakan sebagai bahan
acuan perencanaan pembangunan terutama untuk melakukan perencanaan
penawaran tenaga kerja, dengan menyesuaikan kualifikasi pendidikan angkatan
kerja di suatu wilayah. Hal tersebut menunjukkan pula tingkat pendidikan pada
suatu wilayah tertentu.
No Tingkat Pendidikan Yang
Ditamatkan 2012 2013 2014
1 Tidak/Belum Pernah Sekolah 5,83 7,31 4,06
2 Tidak/Belum Tamat SD 24,01 20,11 21,93
3 SD/MI sederajat 30,46 30,07 30,85
4 SLTP/MTs sederajat 19,45 19,19 18,57
5 SMU sederajat 10,79 13,11 11,51
6 SMK sederajat 4,96 5,40 7,53
7 Perguruan Tinggi 4,50 4,81 5,54
Total 100,00 100,00 100,00
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 26
Apabila dilihat menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan, pada tahun
2014 hampir 49,42 persen penduduk Kabupaten Ponorogo usia 10 tahun ke atas
yang telah menamatkan pendidikan tertingginya minimal setingkat SLTP
sederajat. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah masih terdapat penduduk usia
10 tahun ke atas yang tidak mempunyai ijazah atau belum sekolah yaitu sebesar
4,06 persen karena tidak sejalan dengan program pendidikan dasar selama 9 tahun
yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan
kualitas sumber daya yang ada, meskipun persentasenya menurun dibanding tahun
2013 yang mencapai 7,31 persen.
Terjadi peningkatan yang cukup berarti pada persentase penduduk yang
telah menamatkan pendidikan tingkat SLTA sederajat maupun perguruan tinggi,
dari 18,51 persen pada tahun 2013 menjadi 19,04 persen pada tahun 2014 untuk
tingkat SLTA sederajat dan 4,81 persen pada tahun 2013 menjadi 5,54 persen pada
tahun 2014 untuk tingkat perguruan tinggi.
Gambar 6. Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 25 Tahun ke Atas
Tahun 2012- 2014
Sumber : BPS Jawa Timur 2015
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 27
Angka rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang
dihabiskan oleh penduduk untuk menempuh semua jenis pendidikan formal yang
pernah dijalani. Lamanya sekolah atau years of schooling adalah sebuah angka
yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk sekolah dasar
sampai dengan tingkat pendidikan terakhir.
Angka rata-rata lama sekolah merupakan kombinasi antara partisipasi
sekolah, jenjang pendidikan yang sedang dijalani, kelas yang diduduki, dan
pendidikan yang ditamatkan. Tetapi jumlah tahun bersekolah ini tidak
mengindahkan kasus-kasus tidak naik kelas, putus sekolah yang kemudian
melanjutkan kembali, dan masuk sekolah dasar di usia terlalu muda atau
sebaliknya, sehingga nilai dari jumlah tahun bersekolah menjadi terlalu tinggi
(overestimate) atau bahkan terlalu rendah (underestimate).
Rata-rata lama sekolah penduduk usia 25 tahun ke atas di Kabupaten
Ponorogo pada tahun 2014 untuk mengenyam pendidikan formal adalah 6,91
tahun. Apabila dihubungkan dengan tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan
maka hal ini sejalan dengan banyaknya penduduk usia 10 tahun ke atas di
Kabupaten Ponorogo yang menamatkan pendidikannya hanya sebatas SD
sederajat. Selama kurun waktu tiga tahun terakhir terjadi peningkatan rata-rata
lama sekolah penduduk usia 25 tahun ke atas dari 6,57 tahun pada tahun 2012
meningkat menjadi 6,91 tahun pada tahun 2014.
Selain indikator mengenai angka melek huruf, angka partisipasi sekolah,
pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan rata-rata lama sekolah, informasi tentang
banyaknya sarana pendidikan, tenaga pengajar, kelas, perpustakaan dan lain-lain
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 28
mutlak diperlukan guna mengetahui sejauh mana ketersediaan fasilitas pendidikan
yang ada. Walaupun informasi ini belum dapat mendeteksi kualitas dari sarana
pendidikan tersebut. Untuk menggambarkan ketersediaan fasilitas pendidikan
paling tidak digunakan dua indikator, yaitu rasio murid-guru dan rasio murid-
sekolah.
Rasio murid guru diperoleh dari perbandingan antara jumlah murid dan
jumlah guru. Angka rasio ini digunakan untuk menggambarkan beban kerja guru
dalam mengajar. Sedangkan rasio murid sekolah didapat dari perbandingan jumlah
murid dan jumlah sekolah, dimana angka rasio ini dapat digunakan untuk
memantau daya tampung sekolah. Pada tahun ajaran 2014/2015, angka rasio murid
guru di Kabupaten Ponorogo cukup rendah. Secara rata-rata setiap guru pada
setiap jenjang pendidikan mengajar 10 orang murid. Melalui hal ini diharapkan
pengawasan dan perhatian guru terhadap siswa didiknya dapat lebih fokus
sehingga pada akhirnya mutu pengajaran di kelas akan meningkat.
Tabel 8. Rasio Murid-Guru dan Murid-Sekolah Kabupaten Ponorogo
Tahun Ajaran 2014/2015
Sumber : Dinas Pendidikan & Departemen Agama Kabupaten Ponorogo
Sementara untuk rasio murid terhadap sekolah, semakin tinggi jenjang
pendidikan semakin besar pula angka rasio murid-sekolah. Untuk SD sederajat
rata-rata satu sekolah menampung 109 murid, SMP sederajat 246 murid, dan SMA
Jenjang Pendidikan Rasio Rasio
Murid-Guru Murid-Sekolah
(1) (2) (3)
SD sederajat 10 109
SMP sederajat 10 246
SMA sederajat 9 289
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 29
sederajat sebanyak 289 murid. Rasio murid-sekolah merupakan cerminan
perhatian pemerintah dalam menyediakan sarana belajar bagi anak usia sekolah.
Dengan terus bertambahnya jumlah penduduk tentunya juga harus diiringi
penambahan fasilitas belajar berupa sekolah selain juga perlu diperhatikan tingkat
penyebaran guru dan sekolah yang seimbang antara daerah perkotaan dan
perdesaan.
3.2.2. Bidang Kesehatan Masyarakat
Pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di bidang
kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan
kesehatan secara merata, mudah dan murah. Kesehatan merupakan aspek
mendasar yang dibutuhkan semua orang. Dengan kondisi sehat setiap orang dapat
melakukan semua aktivitasnya untuk mencapai apa yang diinginkan. Tubuh yang
sehat secara fisik memungkinkan seseorang untuk melakukan segala kegiatan
sehingga mencapai hasil yang optimal dan mampu menjadi manusia berkualitas.
Derajat atau tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor perilaku
individu, keturunan, pelayanan kesehatan dan lingkungan.
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan antara lain ditandai oleh
semakin menurunnya angka kematian bayi (AKB) dan semakin meningkatnya
angka harapan hidup (AHH). Penurunan angka kematian bayi secara tidak
langsung berhubungan dengan angka kemiskinan di suatu daerah. Pada daerah
yang angka kemiskinannya tinggi biasanya angka kematian bayinya juga tinggi.
Hal ini antara lain disebabkan pola konsumsi penduduk miskin yang belum
mempertimbangkan kecukupan asupan gizi pada ibu-ibu hamil.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 30
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo 2015
Angka kematian bayi adalah jumlah kematian bayi usia dibawah 1 tahun
dalam kurun waktu setahun per 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama.
Kematian bayi di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh kondisi kehamilan ibu,
penolong persalinan, perawatan bayi baru lahir, tingkat gizi yang diberikan pada
bayi dan kualitas tempat tinggal. Selama periode tiga tahun terakhir angka
kematian bayi menunjukkan kecenderungan menurun, dari 37 kematian bayi per
1000 kelahiran hidup pada tahun 2012 menjadi 24 kematian bayi per 1000
kelahiran hidup pada tahun 2014.
Dalam usaha mengurangi angka kematian bayi diperlukan penanganan
yang intensif baik dari faktor eksternal maupun internal, antara lain melalui
keberadaan penolong persalinan yang mumpuni dan kemudahan akses ke tempat
pelayanan kesehatan serta peningkatan perawatan bayi seperti pemberian asupan
makanan yang cukup serta pemberian ASI dan imunisasi.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 31
Dalam proses kelahiran faktor penolong persalinan sangat mempengaruhi
keselamatan ibu dan bayi. Kekeliruan penanganan baik pada saat melahirkan
maupun pasca kelahiran akan berakibat fatal bagi kesehatan dan keselamatan ibu
dan bayi. Penolong persalinan yang dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga
berpengalaman yang sudah dibekali dengan pengetahuan serta kemampuan
kebidanan akan membantu kelancaran proses persalinan.
Tabel 8. Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran
di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2014)
Di tahun 2014 mayoritas kelahiran di Kabupaten Ponorogo ditolong oleh
tenaga kesehatan (dokter/bidan/paramedis) yaitu sebesar 95,79 persen pada awal
kelahiran dan 96,31 persen pada tahap akhir kelahiran. Dapat dikatakan bahwa
sebesar 4,21 persen proses kelahiran tahun 2014 yang pada tahap awal proses
kelahirannya ditolong oleh tenaga non medis, sebanyak 0,52 persen diantaranya
dirujuk ke tenaga medis dimungkinkan karena mengalami kesulitan pada proses
persalinannya.
Selain penolong kelahiran, pemeriksaan kehamilan juga merupakan hal
yang penting untuk mengurangi resiko kematian ibu ataupun bayi yang dilahirkan.
Tenaga Kesehatan Penolong Pertama
Kelahiran
Penolong Terakhir
Kelahiran
(1) (2) (3)
Dokter 16,30 24,32
Bidan 79,49 71,99
Tenaga Medis Lain - -
Dukun 4,21 3,69
Famili/Lainnya - -
Jumlah 100,00 100,00
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 32
Tabel 10. Persentase Penduduk Menurut Keluhan Kesehatan
di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 - 2014
Keluhan Kesehatan 2012 2013 2014
(1) (2) (3) (4)
Tidak ada keluhan kesehatan 73,64 73,98 69,60
Ada keluhan kesehatan dan
menyebabkan terganggunya pekerjaan,
sekolah dan kegiatan sehari-hari
10,55 11,60 10,63
Ada keluhan kesehatan tetapi tidak
menyebabkan terganggunya pekerjaan,
sekolah dan kegiatan sehari-hari
15,80 14,42 19,77
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2012-2014)
Indikator lain yang terkait dengan kesehatan masyarakat yaitu keluhan
kesehatan yang dialami oleh penduduk. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2014,
sekitar 30,40 persen penduduk Kabupaten Ponorogo menyatakan bahwa sebulan
yang lalu mengalami keluhan kesehatan. Jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya mengalami peningkatan sebesar 4,38 persen poin.
Dari 30,40 persen penduduk yang menyatakan bahwa sebulan yang lalu
mengalami keluhan kesehatan sebanyak 10,63 persen diantaranya mengakibatkan
terganggunya kegiatan sehari-hari. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa
penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan, sekitar 34,97 persen diantaranya
mengaku keluhan kesehatan tersebut mengganggu kegiatan sehari-harinya.
Peningkatan status dan derajat kesehatan masyarakat tentunya harus
didukung dengan ketersediaan fasilitas kesehatan karena pelayanan kesehatan
kepada masyarakat terkait erat dengan jumlah fasilitas kesehatan. Di Kabupaten
Ponorogo terdapat 6 rumah sakit umum, 31 puskesmas, 57 puskesmas pembantu,
45 puskesmas keliling, 1.122 posyandu dan sejumlah fasilitas kesehatan lainnya.
Sementara jumlah tenaga medis yaitu dokter sebanyak 147 orang dan paramedis
(perawat dan bidan) sekitar 1.388 orang.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 33
Tabel 11. Banyaknya Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014
Fasilitas Kesehatan Jumlah
(1) (2)
Sarana Kesehatan
Rumah Sakit Umum 6
Puskesmas 31
Puskesmas Pembantu 57
Puskesmas Keliling 45
Balai Pengobatan 34
Posyandu 1.122
Dokter Praktek 127
Apotik 65
Tenaga Kesehatan
Dokter 147
Perawat dan Bidan 1.388
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo
Dengan jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo yang mencapai 865.809
jiwa, maka dapat diketahui bahwa secara rata-rata setiap puskesmas (termasuk
pustu dan pusling) harus siap melayani sekitar 6.510 penduduk, setiap dokter
praktek melayani hampir 6.817 penduduk, dan setiap apotik harus melayani sekitar
13.320 penduduk. Seiring dengan peningkatan jumlah fasilitas kesehatan yang
tersedia maka beban pelayanan menjadi semakin berkurang. Dengan demikian
diharapkan kualitas pelayanan yang diberikan akan semakin meningkat.
Yang perlu menjadi perhatian adalah tingkat penyebaran dari sarana
kesehatan tersebut, karena masih terdapat beberapa kecamatan yang sama sekali
tidak memiliki apotik dan dokter praktek yang ada tidak sebanding dengan jumlah
penduduk yang harus dilayani. Apalagi rumah sakit yang ada seluruhnya berada di
Kecamatan Ponorogo, padahal pasien yang dilayani tidak hanya berasal dari
Kabupaten Ponorogo tetapi juga daerah sekitar Ponorogo.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 34
3.2.3. Bidang Perekonomian
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan suatu
keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan. Tingkat pertumbuhan ekonomi haruslah lebih besar daripada laju
pertumbuhan penduduk, agar peningkatan pendapatan perkapita dapat tercapai.
Menurut beberapa ahli, perekonomian daerah dapat dilihat dari
pertumbuhan ekonomi daerah dan penciptaan lapangan kerja. Besarnya
pertumbuhan ekonomi tergantung dari nilai PDRB setiap tahunnya. Sedangkan
penciptaan lapangan kerja dapat dilakukan setelah terjadi akumulasi aliran modal.
Aliran modal masuk akan berdampak pada tersedianya lapangan kerja yang seluas-
luasnya.
Dengan membagi PDRB atas dasar harga berlaku dengan jumlah penduduk
pertengahan tahun akan menghasilkan PDRB per kapita yang merupakan indikator
dalam melihat tingkat kesejahteraan penduduk secara makro. Meskipun PDRB per
kapita ini tidak dapat menggambarkan secara riil pendapatan yang diterima
masyarakat, namun indikator ini masih relevan untuk mengetahui apakah secara
rata-rata pendapatan masyarakat mengalami peningkatan atau tidak. Jumlah
penduduk dapat dijadikan penimbang karena jumlah penduduk merupakan pelaku
pembangunan yang menghasilkan output.
Nilai nominal PDRB sebagai salah satu indikator makro ekonomi di
Kabupaten Ponorogo dalam lima tahun terakhir ini selalu menunjukkan
peningkatan. Pada tahun 2014 ini perekonomian Kabupaten Ponorogo
menunjukkan pertumbuhan yang sedikit lebih cepat dari tahun sebelumnya yaitu
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 35
dari 5,17 persen pada tahun 2013 menjadi 5,28 persen pada tahun 2014.
Membaiknya kinerja lapangan usaha pertanian serta tumbuhnya lapangan usaha
konstruksi, transportasi dan penyediaan makan minum merupakan faktor
pendorong percepatan pertumbuhan PDRB Kabupaten Ponorogo tahun 2014.
Tabel 12. PDRB Per Kapita (ADHB) Kabupaten Ponorogo
Tahun 2012-2014
Sumber : PDRB Kabupaten Ponorogo 2012-2014, BPS
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dari tahun ke tahun PDRB per
kapita penduduk Kabupaten Ponorogo mengalami kenaikan. PDRB per kapita
penduduk Kabupaten Ponorogo tahun 2012 adalah 12,82 juta rupiah per penduduk
per tahun dan meningkat menjadi 15,52 juta rupiah per penduduk per tahun di
tahun 2014. Bila dilihat dari persentase kenaikannya, maka terdapat kenaikan
sebesar 9,72 persen dari tahun 2012 ke tahun 2013, dan terdapat kenaikan sebesar
10,38 persen dari tahun 2013 dan 2014.
3.2.4. Bidang Ketenagakerjaan
Dalam tinjauan makro ekonomi, salah satu indikator pertumbuhan ekonomi
suatu daerah dapat dilihat dari sejauh mana angkatan kerja di daerah tersebut
terserap ke dalam lapangan kerja yang ada. Penyerapan angkatan kerja ke dalam
No Uraian 2012 2013 2014
(1) (2) (3) (4) (5)
1 PDRB ADHB (Juta Rupiah) 11.047.556,0 12.150.334,2 13.441.459,8
2 Penduduk Pertengahan Tahun
(Jiwa) 861.806 863.890 865.809
PDRB Per Kapita (Rupiah) 12.819.075,3 14.064.677,4 15.524.740,2
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 36
lapangan kerja yang tersedia di daerah tertentu nantinya akan berhubungan dengan
tingkat pengangguran di daerah tersebut.
Penduduk yang termasuk dalam kategori angkatan kerja adalah penduduk
yang secara ekonomis berpotensi menghasilkan output atau pendapatan, baik yang
sudah bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan pengangguran
meliputi penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan, atau
mempersiapkan suatu usaha, atau merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan
(putus asa), atau sudah diterima bekerja namun belum mulai bekerja. Tingkat
pengangguran merupakan perbandingan antara jumlah pengangguran dengan
jumlah angkatan kerja.
Tabel 13. Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut
Variabel Ketenagakerjaan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014
No Variabel Ketenagakerjaan Agustus 2014
(1) (2) (3)
1 Angkatan Kerja (Jiwa) 496.443
2 Bekerja (Jiwa) 478.260
3 Pengangguran (Jiwa) 18.183
4 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 3,66
Sumber : BPS Jawa Timur (Sakernas 2014)
Dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dapat diketahui
bahwa jumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2014 di Kabupaten Ponorogo
mencapai 496.443 jiwa atau sebesar 57,34 persen dari total penduduk di
Kabupaten Ponorogo. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja sebesar 478.260
jiwa atau 96,34 persen dari total angkatan kerja. Tingkat pengangguran terbuka
tercatat sebesar 3,66 persen, lebih tinggi dibanding tingkat pengangguran terbuka
pada tahun 2013 yang mencapai 3,28 persen.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 37
Angka tingkat pengangguran terbuka Kabupaten Ponorogo ini masih lebih
rendah dibanding angka Jawa Timur yang mencapai 4,19 persen dan
kabupaten/kota di wilayah Karesidenan Madiun lainnya, namun masih lebih tinggi
dibanding Kabupaten Pacitan (1,08 persen). Namun kedepannya pemerintah harus
terus berupaya menciptakan lapangan kerja dengan memaksimalkan dan
menggunakan seefisien mungkin segala sumber daya yang ada agar angka
pengangguran dapat ditekan pada level yang rendah.
3.2.5. Bidang Perumahan
Rumah adalah salah satu hak dasar rakyat, oleh karena itu setiap warga
negara berhak untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Selain sebagai tempat tinggal, rumah juga berfungsi sebagai pusat
pendidikan keluarga dan penyiapan generasi muda, sehingga rumah dengan
lingkungan yang layak dan sehat merupakan wadah untuk pengembangan sumber
daya masyarakat di masa depan. Sebagai tempat tinggal, idealnya rumah yang
layak huni memiliki fasilitas kamar tidur, kamar mandi, dapur, kakus (WC)
tersendiri, adanya penerangan listrik serta sumber air bersih.
Ketersediaan air bersih di rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari menjadi sangat penting karena berdampak terhadap tingkat kesehatan.
Semakin tinggi persentase rumah tangga yang menggunakan air bersih, semakin
baik kondisi kesehatan rumah tangga di daerah tersebut. Oleh sebab itu air yang
diperlukan rumahtangga harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu mencakup fisik,
kimia dan bakteriologis.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 38
Pada tahun 2014 di Kabupaten Ponorogo terdapat sekitar 96,95 persen
rumah tangga menggunakan sumber air minum yang layak, dan sekitar 3,05 persen
lainnya menggunakan sumber air minum yang tidak layak. Rumahtangga yang
masih menggunakan sumber air minum tidak layak perlu menjadi perhatian karena
rentan terhadap masalah kesehatan di kemudian hari.
Rumah tangga dikatakan memiliki sumber air minum layak apabila pada
rumah tangga tersebut ada akses terhadap sumber air minum terlindungi. Sumber
air minum terlindungi dapat berasal dari leding meteran atau eceran, air hujan,
sumur bor/pompa/terlindung dan mata air terlindung dengan syarat jarak ke
penampungan kotoran/limbah lebih dari 10 meter. Sedangkan apabila syarat jarak
tidak terpenuhi tetapi rumah tangga menggunakan sumber air mandi/cuci berasal
dari air terlindungi bisa dikatakan rumah tangga memiliki akses terhadap sumber
air minum layak.
Rumah tangga yang menggunakan sumber air minum yang berasal dari air
kemasan bermerk dan air isi ulang, dikatakan tidak memiliki akses sumber air
minum yang layak jika rumah tangga tersebut tidak menggunakan sumber air
mandi/cuci berasal dari air terlindungi. Sebaliknya jika menggunakan sumber air
mandi/cuci berasal dari air terlindungi walaupun untuk sumber air minum
menggunakan air kemasan bermerk/isi ulang berarti rumah tangga tersebut
memiliki akses terhadap sumber air minum yang layak. Untuk rumah tangga yang
menggunakan akses sumber air minum tidak terlindungi (sumur tak terlindung,
mata air tak terlindung, air sungai dan lainnya) dikatakan memiliki akses sumber
air minum yang layak apabila rumah tangga tersebut juga menggunakan sumber
air mandi/cuci berasal dari air terlindungi.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 39
Gambar 8. Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum
di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2014)
Informasi merupakan salah satu kunci kemajuan suatu wilayah.
Pengelolaan sumber-sumber informasi yang baik dapat dimanfaatkan dan diolah
menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Fasilitas telepon sebagai alat komunikasi di rumahtangga mencerminkan
kemajuan aksesibilitas untuk menyerap berbagai informasi. Selain telepon, internet
merupakan salah satu teknologi informasi yang semakin populer. Dampak
penggunaan internet sangat kompleks di masyarakat. Internet sangat berguna bagi
pendidikan sebagai sarana memperluas pengetahuan serta mempermudah
pertukaran informasi yang dibutuhkan oleh pihak pemerintah maupun kalangan
pengusaha.
Saat ini penggunaan fasilitas telepon dan internet menjadi suatu kebutuhan
yang sangat penting untuk mendukung aktivitas rumah tangga, baik untuk
keperluan pendidikan maupun mengakses berbagai kebutuhan lain. Semakin
berkembangnya sektor komunikasi akan sangat memberikan pengaruh pada
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ponorogo.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 40
Gambar 9. Persentase Rumah Tangga Menurut Kepemilikan Telepon Seluler dan
Akses Internet di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2012-2014)
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa kepemilikan telepon selular terus
meningkat setiap tahunnya yaitu dari 79,56 persen pada tahun 2012 menjadi 85,43
persen pada tahun 2014. Sementara persentase rumahtangga yang pernah
mengakses internet selama 3 bulan yang lalu juga menunjukkan kecenderungan
yang serupa dengan kepemilikan telepon selular. Penggunanya mencapai 15,74
persen pada tahun 2014, meningkat 1,57 persen poin dibanding tahun 2013.
Semakin mudahnya akses masyarakat terhadap berbagai informasi secara
bebas dari seluruh sumber informasi dapat membawa dampak positif maupun
negatif. Kemajuan teknologi informasi akan membawa dampak yang baik apabila
penggunanya mampu memilah mana informasi yang bermanfaat dan mana
informasi yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat.
Komponen perumahan lainnya yang cukup penting untuk dilihat kaitannya
dengan kesejahteraan rakyat yaitu jenis lantai terluas. Jenis lantai terluas
dibedakan menjadi dua yaitu tanah dan bukan tanah. Kriteria ini dibedakan
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 41
berdasarkan syarat minimal rumah sehat. Rumah yang memiliki jenis lantai tanah
dapat menyebabkan mudahnya terjangkit berbagai penyakit. Dari segi sosial
ekonomi jika jenis lantai terluas adalah tanah dapat menggambarkan tingkat sosial
ekonomi penghuninya lebih rendah dibandingkan penghuni rumah yang jenis
lantai terluasnya bukan tanah.
Gambar 10. Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Lantai Terluas
Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2014
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2014)
Dari gambar di atas yang menginformasikan mengenai persentase rumah
tangga menurut jenis lantai terluas di Kabupaten Ponorogo, dapat diketahui bahwa
sebanyak 80,15 persen rumah tangga di Kabupaten Ponorogo memiliki jenis lantai
terluasnya adalah bukan tanah sedangkan rumah tangga yang lantai terluasnya
tanah sebanyak 19,85 persen.
Pola hidup bersih akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia.
Oleh karena itu keberadaan sanitasi menjadi sangat penting di dalam setiap rumah
tangga. Bahan buangan (limbah) yang dapat menyebabkan masalah kesehatan
seperti tinja manusia atau binatang, dapat dicegah dengan menggunakan teknologi
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 42
sederhana seperti membuat kakus dan tangki septik. Derajat kesehatan masyarakat
akan meningkat bila penyediaan sarana sanitasi dibarengi dengan perbaikan
perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sanitasi tersebut.
Gambar 11. Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Tempat Buang Air Besar
Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013-2014
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2013-2014)
Berdasarkan data Susenas 2014, rumah tangga di Kabupaten Ponorogo
yang menggunakan fasilitas tempat buang air besar sendiri sebesar 74,99 persen.
Fasilitas tempat buang air besar bersama dan rumah tangga yang tidak memiliki
fasilitas tempat buang air besar mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,29
persen dan 0,20 persen. Dengan demikian secara keseluruhan persentase rumah
tinggal yang bersanitasi (mempunyai fasilitas tempat buang air besar sendiri,
bersama, umum) ada peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya dari 93,49
persen tahun 2013 menjadi 93,68 persen pada tahun 2014. Peningkatan persentase
rumah tangga yang bersanitasi ini tentunya akan berpengaruh positif terhadap
tingkat kesehatan masyarakat.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 43
BAB IV
STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA
DI KABUPATEN PONOROGO
4.1. Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo
Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, IPM merupakan indeks
komposit yang disusun melalui tiga dimensi dasar dengan cakupan yang sangat luas.
Selanjutnya, ketiga dimensi tersebut terangkum dalam satu nilai tunggal yaitu angka
IPM. Angka IPM tidak memiliki makna apabila dalam analisis tidak menyertakan angka
IPM tahun sebelumnya dan dibandingkan dengan angka IPM daerah lain untuk melihat
posisi relatif IPM suatu daerah dengan daerah lain.
Data IPM digunakan sebagai rujukan dalam berbagai kebijakan pemerintah.
Salah satunya adalah kebijakan penentuan dana perimbangan daerah melalui DAU. IPM
juga dapat digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja pembangunan manusia yang
terkait dengan peningkatan kapasitas dasar penduduk yang mencakup aspek kesehatan,
pendidikan, serta ekonomi. Untuk itu, pemerintah sangat berkepentingan dengan data
IPM sebagai bahan perencanaan, evaluasi, dan monitoring.
Berdasarkan skala internasional, capaian IPM dapat dikategorikan menjadi
empat kategori yaitu kategori sangat tinggi (IPM≥80), kategori tinggi (70≤IPM<80),
kategori sedang (60≤IPM<70), dan kategori rendah (IPM<60). Jika diukur berdasarkan
skala internasional, maka selama tahun 2010-2014 IPM Kabupaten Ponorogo masuk
dalam kategori sedang.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 44
Gambar 12. Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo
Tahun 2010-2014
Dari grafik di atas diketahui bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Kabupaten Ponorogo selama tahun 2010-2014 terus mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun. Pada tahun 2010 IPM Kabupaten Ponorogo sebesar 64,13 naik hingga
mencapai 67,40 di tahun 2014 atau rata-rata tumbuh 1,25 persen per tahun. Nilai yang
meningkat telah menaikkan peringkat IPM Kabupaten Ponorogo di Provinsi Jawa Timur
dari peringkat 23 pada tahun 2010 menjadi peringkat 21 dari 38 kabupaten/kota pada
tahun 2014. Secara umum dapat dikatakan bahwa kenaikan angka IPM menandakan
pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo mengalami kemajuan ke arah yang lebih
baik.
Meskipun menunjukkan tren yang terus meningkat setiap tahunnya, namun
angka IPM Kabupaten Ponorogo masih rendah bila dibandingkan dengan angka IPM
Provinsi Jawa Timur. Bila dibandingkan dengan angka IPM se-Karesidenan Madiun,
angka IPM Kabupaten Ponorogo menempati posisi ke lima setelah Kota Madiun,
Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ngawi.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 45
Secara umum, IPM Kabupaten Ponorogo dibanding kabupaten lain se-eks
Karesidenan Madiun berada di bawah kabupaten/kota lainnya, hanya berada diatas
Kabupaten Pacitan dan lebih rendah daripada IPM Provinsi Jawa Timur. Hal ini
mengindikasikan bahwa pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo masih perlu
ditingkatkan dengan terus memaksimalkan segala potensi sumber daya yang ada di
Kabupaten Ponorogo.
4.2. Perkembangan Komponen IPM
Perkembangan IPM yang terjadi dipengaruhi oleh perubahan pada komponen-
komponen pembentuk IPM. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan atau
penurunan indeks dari setiap komponen penyusun IPM, yaitu indeks kesehatan, indeks
pendidikan dan indeks pengeluaran. Perubahan pada komponen-komponen ini sangat
dipengaruhi oleh optimalisasi terhadap sumber daya manusia dan sumber daya alam
yang dimiliki oleh suatu daerah.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 46
4.2.1. Indeks Kesehatan
Indikator penyusun indeks kesehatan adalah Angka Harapan Hidup saat
lahir. Angka harapan hidup adalah perkiraan banyaknya tahun yang dapat
ditempuh oleh seseorang selama hidup (secara rata-rata). Angka harapan hidup
merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan.
Dalam usaha meningkatkan nilai indeks kesehatan ini, pemerintah daerah
perlu mengupayakan kemudahan bagi masyarakat untuk dapat mengakses sarana
kesehatan, peningkatan kualitas dan pembangunan sarana kesehatan yang
memadai, serta aktif memberikan pembinaan kepada masyarakat untuk selalu
menerapkan pola hidup sehat. Capaian komponen angka harapan hidup Kabupaten
Ponorogo selama periode 2010-2014 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
meski tidak terlalu signifikan.
Gambar 14. Perkembangan Angka Harapan Hidup Kabupaten Ponorogo
Tahun 2010-2014 (Tahun)
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 47
Dari grafik di atas terlihat bahwa angka harapan hidup Kabupaten
Ponorogo mengalami peningkatan dari periode 2010 hingga 2014. Tahun 2010
tercatat angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo adalah 71,62 tahun dan terus
mengalami kenaikan menjadi 71,88 tahun pada tahun 2014. Angka ini masih jauh
dibawah standar global atau selisih 13,12 tahun, dimana standar harapan hidup
ideal adalah 85 tahun. Namun angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo tahun
2014 lebih tinggi daripada angka harapan hidup Jawa Timur yang sebesar 70,45
tahun.
Jika dibandingkan dengan angka harapan hidup dengan kabupaten/kota lain
se-eks Karesidenan Madiun, angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo pada tahun
2014 berada pada urutan ketiga tidak berubah dari tahun sebelumnya yaitu setelah
Kota Madiun (72,41 tahun) dan Kabupaten Magetan (71,91 tahun). Namun bila
dilihat secara umum, rata-rata angka harapan hidup tahun 2014 dari seluruh
kabupaten/kota se-eks Karesidenan Madiun mencapai 71,34 tahun mengalami
peningkatan dibanding tahun 2012 (71,22 tahun) dan 2013 (71,30 tahun). Hal ini
mengindikasikan bahwa derajat kesehatan penduduk di eks Karesidenan Madiun
mengalami peningkatan.
Tabel 14. Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun
Tahun 2012-2014
Tahun Pacitan Ponorogo Madiun Magetan Ngawi Kota
Madiun
2012 70,61 71,78 69,59 71,79 71,19 72,33
2013 70,70 71,85 69,70 71,87 71,28 72,38
2014 70,75 71,88 69,76 71,91 71,33 72,41
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 48
Berdasarkan nilai angka harapan hidup tersebut dapat disusun indeks
kesehatan sebagai salah satu komponen dalam penghitungan IPM. Pada tahun
2014 indeks kesehatan Kabupaten Ponorogo berada pada angka 0,80, masih lebih
tinggi dibanding indeks kesehatan Provinsi Jawa Timur yang sebesar 0,78.
Tabel 15. Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun
Tahun 2012-2014
Tahun Pacitan Ponorogo Madiun Magetan Ngawi Kota
Madiun
2012 0,78 0,80 0,76 0,80 0,79 0,81
2013 0,78 0,80 0,76 0,80 0,79 0,81
2014 0,78 0,80 0,77 0,80 0,79 0,81
4.2.2. Indeks Pendidikan
Indeks pendidikan disusun oleh komponen harapan lama sekolah dan rata-
rata lama sekolah. Angka harapan lama sekolah dapat digunakan untuk
mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang yang
ditunjukkan dalam bentuk lamanya pendidikan (dalam tahun) yang diharapkan
dapat dicapai oleh setiap anak.
Angka harapan sekolah dihitung untuk penduduk berusia 7 tahun ke atas.
Hal ini disesuaikan dengan program wajib belajar 9 tahun yang dimulai pada usia
7 tahun. Kelemahannya tidak mencakup anak sekolah yang masuk SD pada usia 5
atau 6 tahun.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 49
Semakin rendah angka harapan sekolah di suatu daerah menunjukkan
sistem pendidikan yang tidak mendukung terhadap keberlangsungan pendidikan
masyarakat, artinya semakin rendah pula harapan penduduk untuk melanjutkan
proses pendidikan hingga tingkat terakhir.
Gambar 15. Perkembangan Angka Harapan Lama Sekolah (Tahun)
Kabupaten Ponorogo Tahun 2010-2014
Angka Harapan Lama Sekolah Kabupaten Ponorogo mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 angka harapan lama sekolah
tercatat 12,10 tahun. Tahun 2011 mengalami kenaikan menjadi 12,33 tahun. Pada
tahun 2012 dan 2013 angka ini kembali mengalami kenaikan menjadi 12,56 tahun
dan 12,80 tahun serta 13,04 tahun pada tahun 2014. Hal ini berarti bahwa pada
tahun 2014 penduduk memiliki harapan untuk melanjutkan pendidikannya hingga
mencapai tingkat pertama perguruan tinggi (13 tahun). Namun bila dibandingkan
dengan angka ideal untuk angka harapan lama sekolah, angka untuk Kabupaten
Ponorogo masih dibawah standar internasional atau selisih 4,96 tahun. Standar
angka harapan lama sekolah yang ideal adalah 18 tahun (tamat Strata 1 pada
perguruan tinggi).
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 50
Tabel 16. Angka Harapan Lama Sekolah (Tahun) Kabupaten/Kota se-eks
Karesidenan Madiun Tahun 2012-2014
Tahun Pacitan Ponorogo Madiun Magetan Ngawi Kota
Madiun
2012 11,35 12,56 12,06 12,54 11,96 12,56
2013 11,41 12,80 12,53 12,57 12,18 13,33
2014 11,61 13,04 12,79 12,77 12,29 13,64
Bila dibandingkan dengan angka harapan lama sekolah dengan
kabupaten/kota se-eks Karesidenan Madiun pada tahun 2014, angka harapan lama
sekolah untuk Kabupaten Ponorogo menduduki peringkat ke-2 setelah Kota
Madiun dari 6 kabupaten yang ada. Sedangkan untuk angka melek huruf tertinggi
kabupaten/kota se-eks Karesidenan Madiun adalah Kota Madiun dengan angka
sebesar 13,64 tahun. Bila dibandingkan dengan angka harapan lama sekolah se-
Provinsi Jawa timur yang tercatat sebesar 12,45 tahun, angka harapan lama
sekolah di Kabupaten Ponorogo masih lebih tinggi.
Ketersediaan dan kemudahan akses terhadap fasilitas pendidikan sangat
berpengaruh terhadap angka harapan lama sekolah. Semakin sedikit dan sulit akses
masyarakat terhadap fasilitas pendidikan di seluruh tingkatan pendidikan maka
angka harapan lama sekolah akan semakin rendah. Demikian sebaliknya apabila
fasilitas pendidikan semakin lengkap dan mudah diakses oleh masyarakat maka
angka harapan lama sekolah akan semakin tinggi.
SDM yang berkualitas merupakan aset paling penting bagi pembangunan.
SDM yang berkualitas adalah manusia yang mempunyai kualitas intelektual,
watak, moral, akhlak, dan fisik yang prima. Keadaan ini dapat terbentuk apabila
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 51
setiap warga dapat memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan yang merata
dan bermutu. Rata-rata lama sekolah dapat digunakan sebagai indikator SDM yang
berkualitas serta salah satu komponen penyusun IPM. Indikator ini
menggambarkan rata-rata jumlah tahun yang dijalani oleh penduduk berumur 25
tahun ke atas dalam menempuh semua jenis pendidikan formal. Pada usia 25 tahun
diasumsikan proses pendidikan sudah berakhir.
Gambar 16. Rata-Rata Lama Sekolah Kabupaten Ponorogo
Tahun 2010-2014 (Tahun)
Dari grafik di atas diketahui bahwa rata-rata lama sekolah di Kabupaten
Ponorogo periode 2010-2014 mengalami peningkatan walaupun dalam skala yang
cukup kecil yaitu 6,12 tahun pada tahun 2010 hingga 6,91 tahun pada tahun 2014.
Hal ini dapat dikatakan bahwa secara rata-rata tingkat pendidikan penduduk yang
berumur 25 tahun ke atas di Kabupaten Ponorogo adalah selama 7 tahun atau
hampir setara dengan kelas satu sekolah menengah pertama. Kondisi ini masih
belum sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan oleh
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 52
pemerintah. Bahkan angka ini masih sangat jauh di bawah standar rata-rata lama
sekolah internasional yaitu 15 tahun.
Tabel 17. Rata-Rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun
Tahun 2012-2014
Tahun Pacitan Ponorogo Madiun Magetan Ngawi Kota
Madiun
2012 6,21 6,57 6,74 7,33 6,23 10,68
2013 6,32 6,86 6,74 7,43 6,27 10,86
2014 6,43 6,91 6,89 7,55 6,52 10,90
Bila dibandingkan dengan rata-rata lama sekolah kabupaten/kota se-eks
Karesidenan Madiun, angka rata-rata sekolah di Kabupaten Ponorogo pada tahun
2014 menempati posisi ketiga dengan nilai 6,91 tahun, sama seperti posisi pada
tahun 2014. Sedangkan rata-rata lama sekolah se-eks Karesidenan Madiun yang
tertinggi adalah Kota Madiun dengan rata-rata lama sekolah berkisar 10,90 tahun
atau setara dengan kelas dua sekolah menengah atas. Namun bila dibandingkan
dengan rata-rata lama sekolah Jawa Timur yang sebesar 7,05 tahun, rata-rata lama
sekolah Kabupaten Ponorogo masih di bawah angka Jawa Timur.
Hal ini mengindikasikan bahwa masih diperlukan kerja keras dari semua
pihak untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah di Kabupaten Ponorogo.
Diperlukan pula komitmen dan kesadaran semua pihak akan pentingnya
pendidikan bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas yang
nantinya akan membangun serta meningkatkan kesejahteraan penduduk di
Kabupaten Ponorogo.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 53
Dari kedua komponen tersebut dapat disusun indeks pendidikan, dengan
besaran angka indeks pendidikan untuk Kabupaten Ponorogo pada tahun 2014
mencapai 0,59.
Tabel 18. Indeks Pendidikan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun
Tahun 2012-2014
Tahun Pacitan Ponorogo Madiun Magetan Ngawi Kota
Madiun
2012 0,52 0,57 0,56 0,59 0,54 0,70
2013 0,53 0,58 0,57 0,60 0,55 0,73
2014 0,54 0,59 0,58 0,61 0,56 0,74
4.2.3. Indeks Daya Beli
Indeks daya beli disusun berdasarkan komponen pengeluaran per kapita riil
yang disesuaikan. Secara umum banyak indikator yang dapat digunakan untuk
mengukur sejauh mana kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Salah satu
indikator yang sering digunakan untuk melihat daya beli masyarakat adalah
pengeluaran riil perkapita. Rata-rata pengeluaran riil merupakan komponen dalam
penyusunan Indeks Standar Hidup.
Daya beli merupakan kemampuan masyarakat dalam membelanjakan
uangnya untuk barang dan jasa. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh harga-
harga riil antar wilayah karena nlai tukar yang digunakan dapat menaikkan atau
menurunkan nilai daya beli. Dengan demikian, kemampuan daya beli masyarakat
satu wilayah akan berbeda dengan wilayah lainnya. Perbedaan ini menyebabkan
kemampuan daya beli masyarakat belum dapat dibedakan, sehingga diperlukan
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 54
standarisasi agar satu rupiah di satu wilayah mempunyai nilai yang sama dengan
satu rupiah di wilayah yang lain. Dengan cara ini kemampuan daya beli
masyarakat antar wilayah di Indonesia dapat dibandingkan.
Tabel 19. Pengeluaran Riil Perkapita Disesuaikan se-eks Karesidenan Madiun
dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2014 (Ribu Rupiah)
Dari tabel di atas diketahui bahwa kemampuan daya beli masyarakat
Kabupaten Ponorogo dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada
tahun 2010 nilai daya beli masyarakat Kabupaten Ponorogo sebesar 7,54 juta
rupiah. Kemudian nilai tersebut terus mengalami peningkatan hingga di tahun
2014 mencapai 8,38 juta rupiah.
Bila dibandingkan dengan nilai daya beli masyarakat se-eks Karesidenan
Madiun, nilai daya beli masyarakat Kabupaten Ponorogo dari tahun 2010-2014
selalu menduduki peringkat ke dua terendah di atas Kabupaten Pacitan. Bahkan
bila dibandingkan dengan nilai daya beli Provinsi Jawa Timur yang sebesar 10,01
juta rupiah, nilai daya beli masyarakat Kabupaten Ponorogo masih berada jauh
dibawah nilai daya beli masyarakat Jawa Timur.
Kabupaten 2010 2011 2012 2013 2014
Pacitan 6.774,96 7.232,03 7.495,95 7.625,93 7.655,87
Ponorogo 7.536,86 7.849,45 8.187,90 8.354,33 8.382,80
Madiun 9.415,93 9.994,91 10.428,85 10.624,84 10.667,45
Magetan 8.961,45 9.635,17 10.374,72 10.483,57 10.538,50
Ngawi 9.003,45 9.387,83 9.905,35 10.104,62 10.143,30
Kota Madiun 13.455,16 13.799,03 14.317,08 14.603,96 14.643,42
Jawa Timur 9.002,02 9.396,20 9.797,47 9.978,00 10.012,16
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 55
Tabel 20. Indeks Daya Beli Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun
Tahun 2012-2014
Tahun Pacitan Ponorogo Madiun Magetan Ngawi Kota
Madiun
2012 0,61 0,64 0,71 0,71 0,70 0,81
2013 0,62 0,65 0,72 0,72 0,70 0,82
2014 0,62 0,65 0,72 0,72 0,71 0,82
4.3. Pertumbuhan
Keberhasilan pembangunan suatu daerah tidak hanya dilihat dari rangking atau
urutan posisi IPM nya saja, tetapi juga dilihat dari nilai pertumbuhannya. Berdasarkan
nilai pertumbuhan ini dapat dilihat seberapa besar akselerasi capaian pembangunan
manusia di suatu daerah. Semakin tinggi nilai pertumbuhan IPM suatu wilayah, maka
semakin cepat kenaikan IPM yang dicapai dalam suatu periode.
Analisis Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 56
Dari gambar grafik di atas diketahui bahwa pertumbuhan IPM Kabupaten
Ponorogo pada tahun 2014 sebesar 0,56 persen, lebih lambat dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Pertumbuhan IPM selama periode lima tahun terakhir cenderung
melambat. Pertumbuhan IPM tahun 2011 tercatat sebesar 1,79 persen, kemudian
melambat menjadi 1,35 persen di tahun 2012 dan kembali melambat pada tahun 2013
sebesar 1,31 persen.
Di antara kabupaten/kota se-Karesidenan Madiun, pertumbuhan IPM Kabupaten
Ponorogo pada tahun 2014 berada pada posisi terendah kedua di atas Kota Madiun (0,51
persen). Bahkan pertumbuhan IPM Kabupaten Ponorogo masih kalah cepat dengan rata-
rata pertumbuhan IPM Jawa Timur yang mencapai 0,88 persen. Pertumbuhan IPM
tertinggi di wilayah eks Karesidenan Madiun dicapai oleh Kabupaten Madiun dan
Kabupaten Ngawi yang mencapai 0,79 persen.
Diperlukan upaya yang berkelanjutan dari segenap pelaku pembangunan yang
ada di Kabupaten Ponorogo agar tingkat kesejahteraan masyarakat semakin membaik
yang tercermin melalui peningkatan angka IPM. Utamanya peningkatan pada dimensi
kesehatan dan standar hidup layak tanpa meninggalkan upaya pembangunan pada
dimensi pendidikan.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 57
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis Penyusunan Indeks Pembangunan Manusia ini diperoleh
beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo selama periode 2010-2014
mengalami peningkatan yang ditunjukkan dengan naiknya nilai IPM dari tahun
ke tahun. Tahun 2014 nilai IPM Kabupaten Ponorogo tercatat sebesar 67,40
meningkat dibandingkan tahun 2010-2013 yaitu masing-masing sebesar 64,13;
65,28; 66,16 dan 67,03.
2. Selama tahun 2014 IPM Kabupaten Ponorogo mengalami pertumbuhan sebesar
0,56 persen, lebih rendah dibanding pertumbuhan IPM Jawa Timur yang
mencapai 0,88 persen. Melambatanya pertumbuhan IPM juga terjadi pada
tingkat Jawa Timur dari 1,22 persen pada tahun 2013 menjadi 0,88 persen pada
tahun 2014. Rendahnya laju indeks kesehatan dan indeks daya beli membawa
pengaruh melambatnya pertumbuhan IPM Kabupaten Ponorogo pada tahun
2014.
3. Peningkatan nilai IPM ini indikasi keberhasilan kinerja pembangunan manusia
yang terkait dengan peningkatan dasar penduduk yang mencakup aspek
kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
4. Jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain se-eks Karesidenan Madiun, pada
tahun 2014 posisi IPM Kabupaten Ponorogo menempati posisi ke lima setelah
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 58
Kota Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Ngawi.
Peringkat Kabupaten Ponorogo pada lingkup kabupaten/kota se-Jawa Timur
mengalami peningkatan yaitu peringkat 23 pada tahun 2010 menjadi peringkat
21 pada tahun 2014 dari 38 kabupaten/kota. Namun angka IPM Kabupaten
Ponorogo masih lebih rendah bila dibanding dengan angka IPM Provinsi Jawa
Timur.Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan manusia di Kabupaten
Ponorogo masih perlu lebih ditingkatkan.
5. Dari aspek pendidikan dapat dilihat bahwa angka harapan lama sekolah dan
rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Ponorogo terus meningkat. Angka
harapan lama sekolah tahun 2014 sebesar 13,04 tahun (setara dengan tingkat
pertama perguruan tinggi) dan angka rata-rata lama sekolah sebesar 6,91 tahun
(setara dengan kelas pertama pada tingkat sekolah menengah tingkat pertama).
Namun di sisi lain masih harus diberikan perhatian yang lebih terhadap sarana
dan prasarana sekolah baik dari segi jumlah, aksesibilitas dan pemerataannya.
6. Dari aspek ekonomi, kesejahteraan penduduk Kabupaten Ponorogo mengalami
peningkatan dengan ditandai semakin tingginya daya beli masyarakat
Kabupaten Ponorogo dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, pengeluaran per
kapita riil disesuaikan masyarakat Kabupaten Ponorogo sebesar 8,38 juta rupiah
meningkat dibandingkan tahun 2012 dan 2013 yang masing-masing sebesar 8,19
juta rupiah dan 8,35 juta rupiah. Namun besaran ini masih jauh lebih rendah
dibanding kabupaten/kota lain di wilayah eks Karesidenan Madiun dan bahkan
pada tingkat Jawa Timur.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo 59
7. Dari aspek kesehatan, angka harapan hidup saat lahir penduduk Kabupaten
Ponorogo semakin meningkat. Pada tahun 2014 angka harapan hidup saat lahir
penduduk Kabupaten Ponorogo telah mencapai 71,88 tahun yang meningkat
dibandingkan tahun 2012 dan 2013 yang masing-masing sebesar 71,78 tahun
dan 71,85 tahun. Angka harapan hidup saat lahir Kabupaten Ponorogo lebih
tinggi daripada angka harapan hidup saat lahir Jawa Timur tahun 2014 yang
mencapai 70,45 tahun.
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO JL. ALON – ALON UTARA NO. 4 PONOROGO
top related