case report session_difteri
Post on 07-Dec-2014
43 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Case Report Session
DIFTERI
Oleh :
Meliyanti. Z
0520083
Preceptor :
Dr. Yorva Sayoeti, Sp. A (K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RS DR. M. DJAMIL PADANG
2009
1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Difteri adalah infeksi menular akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria yang ditandai oleh pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa.
Difteri menyebar dari orang ke orang melalui droplet pernapasan dari tenggorokan saat
sedang batuk atau bersin.
B. Epidemiologi
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih
dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah
15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja
yang tidak diimunisasi. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering
terjadi adalah infeksi subklinis dan difteri kulit. Difteri merupakan penyebab
kematian yang umum pada bayi dan anak-anak. Pada tahun 2000 diseluruh dunia
dilaporkan 30.000 kasus dan 3.000 orang diantaranya meninggal karena penyakit
ini. Dilaporkan 10% kasus difteri dapat mnyebabkan kematian.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah pada daerah padat penduduk dengan
tingkat sanitasi rendah. Sejak ditemukannya vaksin DPT (diphtheria, Pertusis dan
tetanus) penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi bakteri diberikan pada
anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit
tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit
ini dibandingkan dengan anak yang mendapatkan vaksin.
C. Etiologi
Penyebab dari penyakit difteri adalah Corynebacteria diptheriae. kuman ini
berbentuk batang garam positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, mati dalam pemanasan 60OC, tahan dalam keadaan beku dan kering.
Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau
merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina.
2
Tiga strain dari Corynebacterium diphtheriae telah dikenali, yaitu gravis,
intermedius dan mitis. Dipandang dari sudut antigenitasnya sebenarnya basil ini
merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini
memungkinkan seorang pasien dapat mempunyai lebih dari satu koloni Corynebacterium
diphtheria. Ciri khas kuman ini adalah kemampuannya memproduksi yang identik dan
mampu berkoloni di tenggorokan. Endotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A
(amino terminal) dan fragmen B (karboksi terminal). Kemampuan suatu strain untuk
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag yang mengandung toxigene.
D. Patogenesis dan patofisiologi
Kuman C. diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan mulai memproduksi toksin
dan dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek
toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan toksin dalam sel.
Toksin difteri mula-mula menempel pada membrane sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase
melalui proses : NAD+EF2 (aktif) toksin ADP2ribosil-EF2 (inaktif)+Nikotinamid ADP-
ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan dan akibatnya sel akan mati. Nekrosis
tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Jaringan nekrotik bersama-sama dengan respon
inflamasi local membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin
semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.
Terbentuklah suatu membrane yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung
jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin membrane juga mengandung sel radang,
eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membrane, akan terjadi perdarahan.
Membrane akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.
Pada pseudomembran, kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri lain misalnya Streptococcus pyogenes. Membrane dan jaringan edematous dapat
menyumbat jalan napas. Gangguan pernapasan atau sufokasi dapat terjadi dengan
perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeobronkus. Toksin yang diedarkan
3
dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ terutama jantung, saraf dan
ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorpsi
pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel.
Terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbul manifestasi klinis setelah toksin
terfiksasi dalam sel. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis
toksin dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ atau jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi.
Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf
tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak dan selaput myelin. Nekrosis hati bisa
disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis
tubular akut pada ginjal.
E. Manifestasi klinis
Manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan
atau penyakit hipertoksik serta fatal. Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya
manifestasi klinik, factor primer adalah imunitas penjamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diptheriae dan lokasi penyakit secara anatomis. Factor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang
sudah sebelumnya. Difteri mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada umumnya datang
untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi
38.9oC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.
Difteri hidung
Awalnya menyerupai common cold dengan gejala pilek ringan tanpa atau
disertai gejala sistemik ringan. Secret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan
kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membrane putih pada septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lama dibuat.
Difteri tonsil faring
4
Gejala difteri tonsil faring adalah anoreksia, demam ringan dan nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu dapat
menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke
laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikal dan submandibular. Bila limfadenitis
terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas akan bermanifestasi
sebagai bullneck. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernapasan atau sirkulasi.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral disertai kesukaran
menelan dan regurgitasi. Stupor, koma dan kematian dapat terjadi dalam1 minggu sampai
10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa
disertai pentulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terkelupas
dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Difteri laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring. Gejala klinis difteri laring sukar
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain seperti napas berbunyi, stridor yang
progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan pada membrane yang
menyumbat jalan napasbisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane
dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteri laring terjadi sebagai
perlusan dari difteria faring,maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia.
Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva dan telinga
Difteri tipe ini merupakan tipe yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit
tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Keainan ini cenderung menahun.
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan
berbau.
F. Diagnosis
1. Gejala utama
5
Berupa membran khas terutama pada tonsil dan dinding faring dengan sifat membran :
tebal, putih kelabu, pinggir hiperemis dan udem, sukar diangkat dan mudah berdarah.
2. Gejala tambahan
a. Difteri hidung
Ditemukan sekret serosanguinus dari lubang hidung dan tanda-tanda infeksi pada
lubang hidung dan bibir atas.
b. Difteri tonsil dan faring.
- Demamsubfebril
- Anorexia, sakit menelan
- Pembesaran kelenjar servikal/submandibula
- Bull neck (adenitis servikal, periadenitis dan udem jaringan sekitarnya. Dimana
batas batas m.sternocleidomasteoideus, angulus mandibulae dan medial clavicula
tidak jelas lagi.
c. Difteri laring
- Suara serak, stridor
- Ada obstruksi pernafasan : sesak, retraksi dinding thoraks, sianosis
- Difteri laring mudah didiagnosis secara klinis bila ada difteri tonsil dan faring.
Bila tidak ada tanda-tanda difteri tonsil dan faring, maka diagnosis difterilaring
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan laringoskopi.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan bakteriologik :
Berupa preparat apusan langsung dari biakan (isolasi kuman difteri) dari bahan
apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab).
Pemeriksaan penunjang
a. Bakteriologik.
Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok
(nasofaringeal swab)
b. Darah rutin : Hb, leuosit, hitung jenis
c. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
6
d. Enzim CPK, segera saat masuk RS
e. Ureum dan kreatinin (bila curiga ada komplikasi ginjal)
f. EKG dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada
indkasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
G. Diagnosis banding
Penyakit yang menyerupai difteri hidung ialah rhinorrhen (common cold,
sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital). Difteri faring
harus dibadakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh Streptokokus,
mononukleus infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis hepatica primer,
moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi. Gejala difteri laring dapat menyerupai
laryngitis, infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada
laring dan benda asing dalam laring. Difteri kulit perlu dibadakan dengan impetigo dan
infeksi kulit yang disebabkan streptokokus atau stafilokokus.
H. Penyulit
Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat inflamasi local atau akibat aktivitas
eksotoksin. Maka penyulit difteri dapat dikelompokkan dalam obstruksi jalan napas,
dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf, ginjal serta infeksi sekunder oleh
bakteri lain.
Obstruksi jalan napas disebabkan oleh tertutpnya jalan napas oleh membrane
difteri atau oleh edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.
Dampak toksin dapat bemanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang dapat
terjadi baik pada difteri ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada pasien yang
terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya penyulit miokarditis
terjadi pada minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini ataupun lambat sekitar minggu ke-6.
Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardi, suara jantung redup, terdengar bising
jantung atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung. Kelainan pemeriksaan
elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR dan heart
block.
7
Penyulit pada saraf biasanya lambat dan bersifat bilateral, terutama mengenai
saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada palatum molle pada
minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan.
Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara
minggu ke-5 dan ke-7. Paralisis ekstrimitas bersifat bilateral dan simetris disertai
hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor serebrospinal.
Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke-7 sebagai akibat neuritis
frenikus dan dapat menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator
mekanik. Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal
jantung.
I. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan oenderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diphtheria untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteria
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlewati dan biakan hapus tenggorok negatef
2x berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Tirah baring
lebih kurang 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteri
laring, dijaga agar napas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.
Khusus
1. Anti toksin : anti diphtheria serum (ADS)
Diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada
hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian bisa meningkat sampai 30%.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit dan uji mata terlebih dahulu Karen
apada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan
larutan adrenalin 1:1.000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0.1 ml
8
ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif jika
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. uji mata dilakukan dengan meneteskan 1
tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Hasil positif jika dalam 20 menit
tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Jika uji kulit atau
mata positif, ADS diberikan secara desensitisasi. Bila uji hipersensitivitas negative,
ADS diberikan sekaligus secara intravena. ADS diberikan berdasarkan berat penyakit
dan lama sakit, bukan berdasarkan berat badan pasien, berkisar antara 20.000 –
120.000 KI (lihat tabel). Pengamatan terhadap efek samping obat atau reaksi sakal
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat.
Dosis ADS menurut lokasi embran dan lama sakit.
Tipe difteri Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteri hidung 20.000 IM
difteri tonsil 40.000 IM atau IV
Difteri faring 40.000 IM atau IV
Difteri laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokal di atas 80.000 IV
Difteri+penyulit, bullneck 80.000 – 100.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam),
lokasi dimana saja
80.000 – 100.000 IV
2. Antibiotik
Diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin
50.000 – 100.000 KI/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hipersensitivitas
penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari.
3. Kortikosteroid
Belum terdapat kesamaan pendapat dalam kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan
kortikosteroid diberikan pada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi
saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak dengan bullneck) dan bila terdapat
penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata
9
tidak terbukti. Kortikosteroid yang dapat diberikan adalah Prednison 2 mg/kgBB/hari
selama 3 minggu, Deksametason 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk
toksemia)
4. Pengobatan penyulit
Penobatan terutama ditujukan untuk menjaga hemodinamik tetap baik. Penyulit yang
disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas
serta gangguan pernapasan yang progresif merupakan indikasi untuk trakeostomi.
5. Pengobatan kontak
Pada seorang anak yang mengalami kontak dengan dengan pasien sebaiknya diisolasi
sampai tindakan berikut terlaksana yaitu :
a. Biakan hidung dan tenggorokan
b. Seyogyanya dilakukan uji schick (uji kerentanan terhadap difteri)
c. Gejala klinis diikuti setiap hari selama masa tunas terlewati.
Anak yang telah diimunisasi dasar dapat diberikan booster toksoid difteri.
6. Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tiak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schisk
negative tetapi megandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yangdapat
diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral atau suntikan, atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi atau
adenoidektomi.
Table pengobatan untuk kontak difteri.
Biaka
n
Uji
Schick
Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : penisilin 100 mg/kgBB/hari oral atau
suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral atau suntikan, atau eritromisin
40 mg/kgBB/hari + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif) sesuai dengan status imunisasi
10
J. Pencegahan
1. Kegiatan penyuluhan: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada
para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif
diberikan kepada bayi dan anak-anak.
2. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif
secara luas (massal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada
waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid,
antigen "acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau
vaksin yang mengandung "whole cell pertusis" (DTP). Vaksin yang
mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen "whole cell
pertussis ", dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah
tersedia.
3. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat
a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama
diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi
berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3
diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi
keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah);
dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada
usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi,
sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.
b) Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan
bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun,
11
vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria
toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya
belum pemah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis
vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis
ke-3 diberikan 6 bulan hingga I tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas
dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin
tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan
remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan
pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
4. Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan
penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan
imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster
Td kepada mereka.
5. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem
kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV
diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sarna bagi
orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan
respon kekebalan yang optimal.
12
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Nama : A
Umur : 6 tahun 1 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Minagkabau
Anamnesis (alloanamnesis oleh ibu kandung)
Seorang anak perempuan berusia 6 tahun 1 bulan diawat di ruang isolasi bagian anak RSUP DR.
M. Djamil Padang sejak tanggal 6 Desember 2009 dengan :
Keluhan utama
Suara napas ngorok sejak 1 hari yang lalu
Riwayat penyakit sekarang
- Demam sejak 7 hari yang lalu, tinggi, hilang timbul, tidak menggigil, tidak berkeringat.
- Batuk sejak 4 hari yang lalu, berdahak.
- Keluar darah dari hidung 2 hari yang lalu, frekuensi 1x, jumlah 4-5 tetes, berhenti
dengan pemberian suntik oleh perawat
- Suara napas ngorok sejak 1 hari yang lalu, napas tampak sesak, sesak tidak dipengauhi
oleh aktivitas, cuaca dan makanan.
- Nyeri menelan sejak 1 hari yang lalu
- Suara napas ngorok sejak 1 hari yang lalu, napas tampak sesak, sesak tidak dipengaruhi
oleh aktivitas
13
- Nyeri menelan sejak 1 hari yang lalu
- Mual muntah tidak ada
- Buang air kecil warna dan jumlah biasa
- BAB ; warna dan konsistensi biasa
- Anak telah dirawat di RSUD Pariaman selama 3 hari, dirujuk ke RS Dr. M. Djamil Padang
dengan keterangnan suspek difteri, O2 2-4 lt/I, terpai IVFD Asering 12 tetes/mikro,
sauspiallin 300 mg/6 jam, paracetamol 3 x 1/3, ellera 2 x cth 1, diazepam 3 x 1.4 mg.
Riwayat penyakit dahulu
Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga dan tetangga yang menderita penyakit seperti ini.
Riwayat kehamilan
Selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit berat, ibu tidak mengkonsumsi obat-
obatan selama hamil, tidak pernah mengdapat penyinaran selama hamil, tidak ada kebiasaan
merokok dan minum alcohol dan ibu melakukan control ke puskesmas tidak teratur. Suntikan
imunisasi TT 2x, hamil cukup bulan.
Riwayat kelahiran
Anak lahir spontan ditolong oleh bidan. Kehamilan cukup bulan dengan berat badan ahir
2500 gram, panjang lahir 51 cm. saat lahir anak langsung menangis kuat.
Riwayat makan dan minum
ASI : 0 – 2.5 bulan
Nasi tim : umur 9 bulan
Makanan biasa : umur 1.5 tahun – sekarang, frekuensi 2x1/hari
14
Kesan : kualitas dan kuantitas makan dan minum kurang
Riwayat imunisasi
Anak tidak pernah mendapatkan imunisasi dasar
Riwayat sosial ekonomi
Anak pertama dari 2 bersaudara. Ibu tamatan SD dengan pekerjaan sehari-hari sebagai
ibu rumah tangga, Bapak tamatan SD dengan pekerjaan sebagai petani.
Riwayat lingkungan dan perumahan
Tinggal di rumah tidak permanen dengan perkarangan yang cukup luas. Sumber air diperoleh
dari mata air. Aktivitas mandi, buang air besar dan kecil dilakukan di sungai.Sampah ditumpuk
lalu dibakar.
Kesan : higine dan sanitasi lingkungan kurang
Riwayat tumbuh kembang
- Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan
- Psikomotor :
Tengkurap : 7 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 13 bulan
Membaca dan menulis : 50 bulan
Kesan : normal
- Perkembangan puberitas : status pubertas A1M1P1
Pemeriksaan fisik
- Kesadaran : sadar
15
- KU : buruk
- TD : 90/60 mmHg
- Nadi : 110x/menit
- Suhu : 370C
- Pernapasan : 38x/menit
- TB : 115 cm
- BB : 12 kg
- Keadaan gizi : kurang
BB/U : 60 %
TB/U : 90.5 %
BB/TB : 70.5 %
- Sianosis : tidak ada
- Edema : tidak ada
- Anemia : tidak ada
- Ikterus : tidak ada
- Kulit : teraba hangat
- KGB : bullneck tidak ada
- Kepala : bulat simetris
- Rambut : hitam tidak mudah dicabut
- Mata : konjungtiva tidak anemis, tidak ikterik, pupil ishokor, d = 2 mm,
reflex cahaya +/+ normal
- Telinga ; tidak ditemukan kelainan
- Hidung : tidak ditemukan kelainan
- Tenggorokan : tonsil T3 - T3 tampak membrane berwarna putih keabu-abuan,
susah di angkat, mudah berdarah.
- Gigi dan mulut : mukosa mulut dan bibir basah
- Leher tidak ada pembesaran KGB leher
- Dada
16
Paru I : normochest, simetris, retraksi ada, epigastrium, interkostal dan suprasternal
P : fremitus ki = ka
P : sonor
A : vesikuler, Rh -/-, Wh -/-, stridor +
Jantung I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis taraba pada 1 jari medial LMCS RIC V
P : batas-batas jantung ; atas : RICII, kanan : LSD, kiri : 1 jari medial LMCS
RIC V
A : tidak ditemukan bising jantung
- Perut I : distensi tidak ada
P : supel, hepar tidak teraba
P : timpani
A : bising usus + normal
- Punggung : tidak ditemukan kelainan
- Alat kelamin ; tidak ditemukan kelainan
- Anus : tidak dilakukan colok dubur
- Anggota gerak : akral hangat, perfusi baik, reflex fisiologis +/+ normal, reflex patologis
-/-
Diagnosis kerja
obstruksi laring grade III susp difteri
Gizi kurang
Pemeriksaan laboratorium rutin
17
Darah : Hb 9.4 g/dl
Leukosit 24.100/mm3
Trombosit : 191.000/mm3
Eritrosit : 4.69
Ht : 33 %
Urine : Albumin (-)
Reduksi (-)
Feces : Makroskopis : warna kuning
Mikroskopis : eritrosit (-), leukosit (-), T. cacing (-)
Laboratorium khusus
MCH 9.4/4.69 x 10 = 20 pg (27-32)
MCV 33/4.69 x 10 = 70.3 fl (72-46)
MCHC 9.4/33 x 100 = 28.5 % (32-37)
k/ anemis mikrositik hipokrom
Terapi
O2 2l/i
IVFD Ka-EN 1B 65 cc/kgBB/hari
= 780 cc/hr = 8 tetes/makro
Sementara puasa
18
ADS 20.000 IU
Inj. PP 600.00 IM
Prednisone 3 x 8 mg p.o
Luminal 2 x 30 mg p.o
Rencana : rawat bersama THT
Trakeostomi
Pemeriksaan CT/BT
Pemeriksaan EKG
Ro Thoraks
Ro soft tissue cervical
Follow up
Tanggal 6 Desember 2009
Telah dilakukan trakeostomi primer pada pasien dengan anastesi lokal. Keadaan pasca
trakeostomi :
S/ Demam tidak ada
Sesak napas berkurang, bunyi napas ngorok masih ada tapi berkurang dari sebelumnya
Kebiruan tidak ada
Anak masih dipuasakan
BAB dan BAK biasa
O/ KU : sakit berat, sadar
TD : 100/70 mmHg
19
Nadi : 110x/menit
Nafas : 20x/menit
Suhu : 37oC
Mata : konjungtiva sub anemis, sclera tidak ikerik
Thoraks : retraksi (+) epigastrium
Pulmo ; vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstrimitas : akral hangat perfusi baik
Kesan ; perbaikan minimal
Hasil pemeriksaan penunjang
CT/BT : 2’30’’/2’ kesan : dalam batas normal
EKG : frekuensi 110x/menit, PR interval 0.12 dt, kesan : tidak ada pemanjangan PR interval
Sikap : O2 2l/menit
IVFD Ka-EN 1B 65 cc/kgBB/hari
= 780 cc/hr = 8 tetes/menit makro
Sementara puasa
ADS 20.000 IU
Inj. PP 600.00 IM
Prednison 3 x 8 mg p.o
Luminal 2 x 30 mg p.o
20
Ambroxol syr 3 x ch ½ p.o
Transamin inj 2 x 120 mg I.V
Tanggal 7 Desember 2009
S/ Demam tidak ada
Sesak napas masih ada
Batuk ada
Nyeri tenggorokan ada
Coba makan per NGT
O/ KU : sakit berat, sadar
Nadi : 75x/menit
Nafas : 36x/menit
Suhu : 37oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikerik
Leher : kanul trakeostomi lancar
Thoraks : retraksi (+) interkostal
Pulmo ; vesikuler, ronki (+), wheezing (-), lender (+)
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstrimitas : akral hangat perfusi baik
Kesan ; perbaikan minimal
21
Sikap : O2 2l/menit
IVFD Ka-EN 1B 4 tetes/menit makro
MC 6 x 200 cc/NGT
Inj. PP 600.00 IM
Luminal 2 x 30 mg p.o
Ambroxol syr 3 x ch ½ p.o
Transamin inj 2 x 120 mg I.V
Dexamethason 3 x 2 mg I.V
Lactulac 1 x cth I
Kesan : Stq
Rencana : AGD
8 Desember 2009
S/ Demam tidak ada
Sesak napas (+)
Batuk (+)
Makan masuk melalui NGT
O/ KU : sakit berat, sadar
Nadi : 80x/menit
Nafas : 35x/menit
Suhu : 36.8oC
Mata : konjungtiva sub anemis, sclera tidak ikerik
22
Thoraks : retraksi (+) interkostal
Pulmo ; vesikuler, ronki (-), wheezing (-), lendir (+)
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstrimitas : akral hangat perfusi baik
Kesan ; Stq
Sikap : O2 2l/i
IVFD Ka-EN 1B 4 tetes/menit makro
MC 6 x 200cc/NGT
Ambroxol syr 3 x ch ½ p.o
Transamin inj 2 x 120 mg I.V
Dexamethason 3 x 2 mg I.V
Lactulac 1 x cth I
Hasil pemeriksaan AGD (analisis gas darah)
pH ; 7.24
pCO2 : 44.8
p O2 : 77.6
HCO3 : 19.5
BE : - 8.1
23
Sat O2 : 92%
Kesan ; asidosis metabolic
Terapi koreksi ½ bicnat
BE x BB x 0.3
2
= 8.1 x 15 x 0.3
2
= 18 mEq ∞ 18 cc
Disertai dengan aqua 1:1
24
BAB III
DISKUSI
Telah dilaporkan sebuah kasus seorang anak perempuan berumur 6 tahun 1 bulan dengan
diagnosis kerja obstruksi laring grade III susp difteri. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesa dan pemeriksaan kilinis. Penyakit ini diterapi dengan menggunakan berbagai
macam obat salah satunya adalah kortikosteroid. Belum terdapat persamaan pendapat dalam
pemberian kortikosteroid dalam penatalaksanan difteri. Pada pasien ini diberikan prednisone
peroral pada saat pasien masuk, pada hari ke-2 prednison digantikan dengan deksametason
yang diberikan secara intravena (IV). Dalam literature, pemberian prednison dilakukan selama
3 minggu dan pemberian deksametason secara IV dilakukan apabila telah terjadi toksikemia.
Masih dipertanyakan indikasi pemberian luminal pada pasien ini dikarenakan pada pasien
tidak ada riwayat kejang.
25
top related