case report session_difteri

34
Case Report Session DIFTERI Oleh : Meliyanti. Z 0520083 Preceptor : Dr. Yorva Sayoeti, Sp. A (K) BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 1

Upload: azilla-ila-balqis

Post on 07-Dec-2014

43 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

crs

TRANSCRIPT

Page 1: Case Report Session_difteri

Case Report Session

DIFTERI

Oleh :

Meliyanti. Z

0520083

Preceptor :

Dr. Yorva Sayoeti, Sp. A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RS DR. M. DJAMIL PADANG

2009

1

Page 2: Case Report Session_difteri

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Difteri adalah infeksi menular akut yang disebabkan oleh Corynebacterium

diphtheria yang ditandai oleh pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa.

Difteri menyebar dari orang ke orang melalui droplet pernapasan dari tenggorokan saat

sedang batuk atau bersin.

B. Epidemiologi

Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih

dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah

15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja

yang tidak diimunisasi. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering

terjadi adalah infeksi subklinis dan difteri kulit. Difteri merupakan penyebab

kematian yang umum pada bayi dan anak-anak. Pada tahun 2000 diseluruh dunia

dilaporkan 30.000 kasus dan 3.000 orang diantaranya meninggal karena penyakit

ini. Dilaporkan 10% kasus difteri dapat mnyebabkan kematian.

Penyakit ini juga dijumpai pada daerah pada daerah padat penduduk dengan

tingkat sanitasi rendah. Sejak ditemukannya vaksin DPT (diphtheria, Pertusis dan

tetanus) penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi bakteri diberikan pada

anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit

tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit

ini dibandingkan dengan anak yang mendapatkan vaksin.

C. Etiologi

Penyebab dari penyakit difteri adalah Corynebacteria diptheriae. kuman ini

berbentuk batang garam positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak

membentuk spora, mati dalam pemanasan 60OC, tahan dalam keadaan beku dan kering.

Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau

merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina.

2

Page 3: Case Report Session_difteri

Tiga strain dari Corynebacterium diphtheriae telah dikenali, yaitu gravis,

intermedius dan mitis. Dipandang dari sudut antigenitasnya sebenarnya basil ini

merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini

memungkinkan seorang pasien dapat mempunyai lebih dari satu koloni Corynebacterium

diphtheria. Ciri khas kuman ini adalah kemampuannya memproduksi yang identik dan

mampu berkoloni di tenggorokan. Endotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat

molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A

(amino terminal) dan fragmen B (karboksi terminal). Kemampuan suatu strain untuk

memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag yang mengandung toxigene.

D. Patogenesis dan patofisiologi

Kuman C. diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta berkembang

biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan mulai memproduksi toksin

dan dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek

toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan toksin dalam sel.

Toksin difteri mula-mula menempel pada membrane sel dengan bantuan fragmen B dan

selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase

melalui proses : NAD+EF2 (aktif) toksin ADP2ribosil-EF2 (inaktif)+Nikotinamid ADP-

ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak

terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan dan akibatnya sel akan mati. Nekrosis

tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Jaringan nekrotik bersama-sama dengan respon

inflamasi local membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin

semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.

Terbentuklah suatu membrane yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung

jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin membrane juga mengandung sel radang,

eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membrane, akan terjadi perdarahan.

Membrane akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.

Pada pseudomembran, kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan

bakteri lain misalnya Streptococcus pyogenes. Membrane dan jaringan edematous dapat

menyumbat jalan napas. Gangguan pernapasan atau sufokasi dapat terjadi dengan

perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeobronkus. Toksin yang diedarkan

3

Page 4: Case Report Session_difteri

dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ terutama jantung, saraf dan

ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorpsi

pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel.

Terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbul manifestasi klinis setelah toksin

terfiksasi dalam sel. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada

umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis

toksin dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ atau jaringan. Pada jantung

tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi.

Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf

tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak dan selaput myelin. Nekrosis hati bisa

disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis

tubular akut pada ginjal.

E. Manifestasi klinis

Manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan

atau penyakit hipertoksik serta fatal. Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya

manifestasi klinik, factor primer adalah imunitas penjamu terhadap toksin difteria,

virulensi serta toksigenitas C. diptheriae dan lokasi penyakit secara anatomis. Factor lain

termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang

sudah sebelumnya. Difteri mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada umumnya datang

untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi

38.9oC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.

Difteri hidung

Awalnya menyerupai common cold dengan gejala pilek ringan tanpa atau

disertai gejala sistemik ringan. Secret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan

kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan

tampak membrane putih pada septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala

sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lama dibuat.

Difteri tonsil faring

4

Page 5: Case Report Session_difteri

Gejala difteri tonsil faring adalah anoreksia, demam ringan dan nyeri menelan.

Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu dapat

menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke

laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikal dan submandibular. Bila limfadenitis

terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas akan bermanifestasi

sebagai bullneck. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernapasan atau sirkulasi.

Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral disertai kesukaran

menelan dan regurgitasi. Stupor, koma dan kematian dapat terjadi dalam1 minggu sampai

10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa

disertai pentulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terkelupas

dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

Difteri laring

Biasanya merupakan perluasan difteri faring. Gejala klinis difteri laring sukar

dibedakan dari tipe infectious croups yang lain seperti napas berbunyi, stridor yang

progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi

suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan pada membrane yang

menyumbat jalan napasbisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane

dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteri laring terjadi sebagai

perlusan dari difteria faring,maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala

obstruksi dan toksemia.

Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva dan telinga

Difteri tipe ini merupakan tipe yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit

tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Keainan ini cenderung menahun.

Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane

pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan

berbau.

F. Diagnosis

1. Gejala utama

5

Page 6: Case Report Session_difteri

Berupa membran khas terutama pada tonsil dan dinding faring dengan sifat membran :

tebal, putih kelabu, pinggir hiperemis dan udem, sukar diangkat dan mudah berdarah.

2. Gejala tambahan

a. Difteri hidung

Ditemukan sekret serosanguinus dari lubang hidung dan tanda-tanda infeksi pada

lubang hidung dan bibir atas.

b. Difteri tonsil dan faring.

- Demamsubfebril

- Anorexia, sakit menelan

- Pembesaran kelenjar servikal/submandibula

- Bull neck (adenitis servikal, periadenitis dan udem jaringan sekitarnya. Dimana

batas batas m.sternocleidomasteoideus, angulus mandibulae dan medial clavicula

tidak jelas lagi.

c. Difteri laring

- Suara serak, stridor

- Ada obstruksi pernafasan : sesak, retraksi dinding thoraks, sianosis

- Difteri laring mudah didiagnosis secara klinis bila ada difteri tonsil dan faring.

Bila tidak ada tanda-tanda difteri tonsil dan faring, maka diagnosis difterilaring

harus dilanjutkan dengan pemeriksaan laringoskopi.

Diagnosis berdasarkan pemeriksaan bakteriologik :

Berupa preparat apusan langsung dari biakan (isolasi kuman difteri) dari bahan

apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab).

Pemeriksaan penunjang

a. Bakteriologik.

Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok

(nasofaringeal swab)

b. Darah rutin : Hb, leuosit, hitung jenis

c. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen

6

Page 7: Case Report Session_difteri

d. Enzim CPK, segera saat masuk RS

e. Ureum dan kreatinin (bila curiga ada komplikasi ginjal)

f. EKG dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada

indkasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.

G. Diagnosis banding

Penyakit yang menyerupai difteri hidung ialah rhinorrhen (common cold,

sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital). Difteri faring

harus dibadakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh Streptokokus,

mononukleus infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis hepatica primer,

moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi. Gejala difteri laring dapat menyerupai

laryngitis, infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada

laring dan benda asing dalam laring. Difteri kulit perlu dibadakan dengan impetigo dan

infeksi kulit yang disebabkan streptokokus atau stafilokokus.

H. Penyulit

Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat inflamasi local atau akibat aktivitas

eksotoksin. Maka penyulit difteri dapat dikelompokkan dalam obstruksi jalan napas,

dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf, ginjal serta infeksi sekunder oleh

bakteri lain.

Obstruksi jalan napas disebabkan oleh tertutpnya jalan napas oleh membrane

difteri atau oleh edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.

Dampak toksin dapat bemanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang dapat

terjadi baik pada difteri ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada pasien yang

terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya penyulit miokarditis

terjadi pada minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini ataupun lambat sekitar minggu ke-6.

Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardi, suara jantung redup, terdengar bising

jantung atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung. Kelainan pemeriksaan

elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR dan heart

block.

7

Page 8: Case Report Session_difteri

Penyulit pada saraf biasanya lambat dan bersifat bilateral, terutama mengenai

saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada palatum molle pada

minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan.

Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara

minggu ke-5 dan ke-7. Paralisis ekstrimitas bersifat bilateral dan simetris disertai

hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor serebrospinal.

Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke-7 sebagai akibat neuritis

frenikus dan dapat menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator

mekanik. Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal

jantung.

I. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan oenderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum

terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,

mengeliminasi C. diphtheria untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta

dan penyulit difteria

Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlewati dan biakan hapus tenggorok negatef

2x berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Tirah baring

lebih kurang 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteri

laring, dijaga agar napas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan

nebulizer.

Khusus

1. Anti toksin : anti diphtheria serum (ADS)

Diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada

hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan

penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian bisa meningkat sampai 30%.

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit dan uji mata terlebih dahulu Karen

apada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan

larutan adrenalin 1:1.000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0.1 ml

8

Page 9: Case Report Session_difteri

ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif jika

dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. uji mata dilakukan dengan meneteskan 1

tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Hasil positif jika dalam 20 menit

tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Jika uji kulit atau

mata positif, ADS diberikan secara desensitisasi. Bila uji hipersensitivitas negative,

ADS diberikan sekaligus secara intravena. ADS diberikan berdasarkan berat penyakit

dan lama sakit, bukan berdasarkan berat badan pasien, berkisar antara 20.000 –

120.000 KI (lihat tabel). Pengamatan terhadap efek samping obat atau reaksi sakal

dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Perlu dimonitor

terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat.

Dosis ADS menurut lokasi embran dan lama sakit.

Tipe difteri Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteri hidung 20.000 IM

difteri tonsil 40.000 IM atau IV

Difteri faring 40.000 IM atau IV

Difteri laring 40.000 IM atau IV

Kombinasi lokal di atas 80.000 IV

Difteri+penyulit, bullneck 80.000 – 100.000 IV

Terlambat berobat (>72 jam),

lokasi dimana saja

80.000 – 100.000 IV

2. Antibiotik

Diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin

50.000 – 100.000 KI/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hipersensitivitas

penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari.

3. Kortikosteroid

Belum terdapat kesamaan pendapat dalam kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan

kortikosteroid diberikan pada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi

saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak dengan bullneck) dan bila terdapat

penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata

9

Page 10: Case Report Session_difteri

tidak terbukti. Kortikosteroid yang dapat diberikan adalah Prednison 2 mg/kgBB/hari

selama 3 minggu, Deksametason 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk

toksemia)

4. Pengobatan penyulit

Penobatan terutama ditujukan untuk menjaga hemodinamik tetap baik. Penyulit yang

disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas

serta gangguan pernapasan yang progresif merupakan indikasi untuk trakeostomi.

5. Pengobatan kontak

Pada seorang anak yang mengalami kontak dengan dengan pasien sebaiknya diisolasi

sampai tindakan berikut terlaksana yaitu :

a. Biakan hidung dan tenggorokan

b. Seyogyanya dilakukan uji schick (uji kerentanan terhadap difteri)

c. Gejala klinis diikuti setiap hari selama masa tunas terlewati.

Anak yang telah diimunisasi dasar dapat diberikan booster toksoid difteri.

6. Pengobatan karier

Karier adalah mereka yang tiak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schisk

negative tetapi megandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yangdapat

diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral atau suntikan, atau eritromisin 40

mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi atau

adenoidektomi.

Table pengobatan untuk kontak difteri.

Biaka

n

Uji

Schick

Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar

diberikan booster toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan karier : penisilin 100 mg/kgBB/hari oral atau

suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu

(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral atau suntikan, atau eritromisin

40 mg/kgBB/hari + ADS 20.000 KI

(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif) sesuai dengan status imunisasi

10

Page 11: Case Report Session_difteri

J. Pencegahan

1. Kegiatan penyuluhan: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada

para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif

diberikan kepada bayi dan anak-anak.

 

2. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif

secara luas (massal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada

waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid,

antigen "acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau

vaksin yang mengandung "whole cell pertusis" (DTP). Vaksin yang

mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen "whole cell

pertussis ", dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah

tersedia.

 

 3. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat

a)   Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.

Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama

diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi

berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3

diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi

keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.

Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah);

dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada

usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi,

sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.

 

b)   Untuk usia 7 tahun ke atas:

Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan

bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun,

11

Page 12: Case Report Session_difteri

vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria

toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya

belum pemah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis

vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).

Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis

ke-3 diberikan 6 bulan hingga I tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas

dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin

tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan

remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.

Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan

pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.

4. Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan

penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan

imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster

Td kepada mereka.

5. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem

kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV

diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sarna bagi

orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan

respon kekebalan yang optimal.

12

Page 13: Case Report Session_difteri

BAB II

ILUSTRASI KASUS

Nama : A

Umur : 6 tahun 1 bulan

Jenis kelamin : Perempuan

Suku bangsa : Minagkabau

Anamnesis (alloanamnesis oleh ibu kandung)

Seorang anak perempuan berusia 6 tahun 1 bulan diawat di ruang isolasi bagian anak RSUP DR.

M. Djamil Padang sejak tanggal 6 Desember 2009 dengan :

Keluhan utama

Suara napas ngorok sejak 1 hari yang lalu

Riwayat penyakit sekarang

- Demam sejak 7 hari yang lalu, tinggi, hilang timbul, tidak menggigil, tidak berkeringat.

- Batuk sejak 4 hari yang lalu, berdahak.

- Keluar darah dari hidung 2 hari yang lalu, frekuensi 1x, jumlah 4-5 tetes, berhenti

dengan pemberian suntik oleh perawat

- Suara napas ngorok sejak 1 hari yang lalu, napas tampak sesak, sesak tidak dipengauhi

oleh aktivitas, cuaca dan makanan.

- Nyeri menelan sejak 1 hari yang lalu

- Suara napas ngorok sejak 1 hari yang lalu, napas tampak sesak, sesak tidak dipengaruhi

oleh aktivitas

13

Page 14: Case Report Session_difteri

- Nyeri menelan sejak 1 hari yang lalu

- Mual muntah tidak ada

- Buang air kecil warna dan jumlah biasa

- BAB ; warna dan konsistensi biasa

- Anak telah dirawat di RSUD Pariaman selama 3 hari, dirujuk ke RS Dr. M. Djamil Padang

dengan keterangnan suspek difteri, O2 2-4 lt/I, terpai IVFD Asering 12 tetes/mikro,

sauspiallin 300 mg/6 jam, paracetamol 3 x 1/3, ellera 2 x cth 1, diazepam 3 x 1.4 mg.

Riwayat penyakit dahulu

Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga dan tetangga yang menderita penyakit seperti ini.

Riwayat kehamilan

Selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit berat, ibu tidak mengkonsumsi obat-

obatan selama hamil, tidak pernah mengdapat penyinaran selama hamil, tidak ada kebiasaan

merokok dan minum alcohol dan ibu melakukan control ke puskesmas tidak teratur. Suntikan

imunisasi TT 2x, hamil cukup bulan.

Riwayat kelahiran

Anak lahir spontan ditolong oleh bidan. Kehamilan cukup bulan dengan berat badan ahir

2500 gram, panjang lahir 51 cm. saat lahir anak langsung menangis kuat.

Riwayat makan dan minum

ASI : 0 – 2.5 bulan

Nasi tim : umur 9 bulan

Makanan biasa : umur 1.5 tahun – sekarang, frekuensi 2x1/hari

14

Page 15: Case Report Session_difteri

Kesan : kualitas dan kuantitas makan dan minum kurang

Riwayat imunisasi

Anak tidak pernah mendapatkan imunisasi dasar

Riwayat sosial ekonomi

Anak pertama dari 2 bersaudara. Ibu tamatan SD dengan pekerjaan sehari-hari sebagai

ibu rumah tangga, Bapak tamatan SD dengan pekerjaan sebagai petani.

Riwayat lingkungan dan perumahan

Tinggal di rumah tidak permanen dengan perkarangan yang cukup luas. Sumber air diperoleh

dari mata air. Aktivitas mandi, buang air besar dan kecil dilakukan di sungai.Sampah ditumpuk

lalu dibakar.

Kesan : higine dan sanitasi lingkungan kurang

Riwayat tumbuh kembang

- Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan

- Psikomotor :

Tengkurap : 7 bulan

Duduk : 8 bulan

Berdiri : 12 bulan

Berjalan : 12 bulan

Bicara : 13 bulan

Membaca dan menulis : 50 bulan

Kesan : normal

- Perkembangan puberitas : status pubertas A1M1P1

Pemeriksaan fisik

- Kesadaran : sadar

15

Page 16: Case Report Session_difteri

- KU : buruk

- TD : 90/60 mmHg

- Nadi : 110x/menit

- Suhu : 370C

- Pernapasan : 38x/menit

- TB : 115 cm

- BB : 12 kg

- Keadaan gizi : kurang

BB/U : 60 %

TB/U : 90.5 %

BB/TB : 70.5 %

- Sianosis : tidak ada

- Edema : tidak ada

- Anemia : tidak ada

- Ikterus : tidak ada

- Kulit : teraba hangat

- KGB : bullneck tidak ada

- Kepala : bulat simetris

- Rambut : hitam tidak mudah dicabut

- Mata : konjungtiva tidak anemis, tidak ikterik, pupil ishokor, d = 2 mm,

reflex cahaya +/+ normal

- Telinga ; tidak ditemukan kelainan

- Hidung : tidak ditemukan kelainan

- Tenggorokan : tonsil T3 - T3 tampak membrane berwarna putih keabu-abuan,

susah di angkat, mudah berdarah.

- Gigi dan mulut : mukosa mulut dan bibir basah

- Leher tidak ada pembesaran KGB leher

- Dada

16

Page 17: Case Report Session_difteri

Paru I : normochest, simetris, retraksi ada, epigastrium, interkostal dan suprasternal

P : fremitus ki = ka

P : sonor

A : vesikuler, Rh -/-, Wh -/-, stridor +

Jantung I : ictus cordis tidak tampak

P : ictus cordis taraba pada 1 jari medial LMCS RIC V

P : batas-batas jantung ; atas : RICII, kanan : LSD, kiri : 1 jari medial LMCS

RIC V

A : tidak ditemukan bising jantung

- Perut I : distensi tidak ada

P : supel, hepar tidak teraba

P : timpani

A : bising usus + normal

- Punggung : tidak ditemukan kelainan

- Alat kelamin ; tidak ditemukan kelainan

- Anus : tidak dilakukan colok dubur

- Anggota gerak : akral hangat, perfusi baik, reflex fisiologis +/+ normal, reflex patologis

-/-

Diagnosis kerja

obstruksi laring grade III susp difteri

Gizi kurang

Pemeriksaan laboratorium rutin

17

Page 18: Case Report Session_difteri

Darah : Hb 9.4 g/dl

Leukosit 24.100/mm3

Trombosit : 191.000/mm3

Eritrosit : 4.69

Ht : 33 %

Urine : Albumin (-)

Reduksi (-)

Feces : Makroskopis : warna kuning

Mikroskopis : eritrosit (-), leukosit (-), T. cacing (-)

Laboratorium khusus

MCH 9.4/4.69 x 10 = 20 pg (27-32)

MCV 33/4.69 x 10 = 70.3 fl (72-46)

MCHC 9.4/33 x 100 = 28.5 % (32-37)

k/ anemis mikrositik hipokrom

Terapi

O2 2l/i

IVFD Ka-EN 1B 65 cc/kgBB/hari

= 780 cc/hr = 8 tetes/makro

Sementara puasa

18

Page 19: Case Report Session_difteri

ADS 20.000 IU

Inj. PP 600.00 IM

Prednisone 3 x 8 mg p.o

Luminal 2 x 30 mg p.o

Rencana : rawat bersama THT

Trakeostomi

Pemeriksaan CT/BT

Pemeriksaan EKG

Ro Thoraks

Ro soft tissue cervical

Follow up

Tanggal 6 Desember 2009

Telah dilakukan trakeostomi primer pada pasien dengan anastesi lokal. Keadaan pasca

trakeostomi :

S/ Demam tidak ada

Sesak napas berkurang, bunyi napas ngorok masih ada tapi berkurang dari sebelumnya

Kebiruan tidak ada

Anak masih dipuasakan

BAB dan BAK biasa

O/ KU : sakit berat, sadar

TD : 100/70 mmHg

19

Page 20: Case Report Session_difteri

Nadi : 110x/menit

Nafas : 20x/menit

Suhu : 37oC

Mata : konjungtiva sub anemis, sclera tidak ikerik

Thoraks : retraksi (+) epigastrium

Pulmo ; vesikuler, ronki (-), wheezing (-)

Cor : irama teratur, bising tidak ada

Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal

Ekstrimitas : akral hangat perfusi baik

Kesan ; perbaikan minimal

Hasil pemeriksaan penunjang

CT/BT : 2’30’’/2’ kesan : dalam batas normal

EKG : frekuensi 110x/menit, PR interval 0.12 dt, kesan : tidak ada pemanjangan PR interval

Sikap : O2 2l/menit

IVFD Ka-EN 1B 65 cc/kgBB/hari

= 780 cc/hr = 8 tetes/menit makro

Sementara puasa

ADS 20.000 IU

Inj. PP 600.00 IM

Prednison 3 x 8 mg p.o

Luminal 2 x 30 mg p.o

20

Page 21: Case Report Session_difteri

Ambroxol syr 3 x ch ½ p.o

Transamin inj 2 x 120 mg I.V

Tanggal 7 Desember 2009

S/ Demam tidak ada

Sesak napas masih ada

Batuk ada

Nyeri tenggorokan ada

Coba makan per NGT

O/ KU : sakit berat, sadar

Nadi : 75x/menit

Nafas : 36x/menit

Suhu : 37oC

Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikerik

Leher : kanul trakeostomi lancar

Thoraks : retraksi (+) interkostal

Pulmo ; vesikuler, ronki (+), wheezing (-), lender (+)

Cor : irama teratur, bising tidak ada

Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal

Ekstrimitas : akral hangat perfusi baik

Kesan ; perbaikan minimal

21

Page 22: Case Report Session_difteri

Sikap : O2 2l/menit

IVFD Ka-EN 1B 4 tetes/menit makro

MC 6 x 200 cc/NGT

Inj. PP 600.00 IM

Luminal 2 x 30 mg p.o

Ambroxol syr 3 x ch ½ p.o

Transamin inj 2 x 120 mg I.V

Dexamethason 3 x 2 mg I.V

Lactulac 1 x cth I

Kesan : Stq

Rencana : AGD

8 Desember 2009

S/ Demam tidak ada

Sesak napas (+)

Batuk (+)

Makan masuk melalui NGT

O/ KU : sakit berat, sadar

Nadi : 80x/menit

Nafas : 35x/menit

Suhu : 36.8oC

Mata : konjungtiva sub anemis, sclera tidak ikerik

22

Page 23: Case Report Session_difteri

Thoraks : retraksi (+) interkostal

Pulmo ; vesikuler, ronki (-), wheezing (-), lendir (+)

Cor : irama teratur, bising tidak ada

Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal

Ekstrimitas : akral hangat perfusi baik

Kesan ; Stq

Sikap : O2 2l/i

IVFD Ka-EN 1B 4 tetes/menit makro

MC 6 x 200cc/NGT

Ambroxol syr 3 x ch ½ p.o

Transamin inj 2 x 120 mg I.V

Dexamethason 3 x 2 mg I.V

Lactulac 1 x cth I

Hasil pemeriksaan AGD (analisis gas darah)

pH ; 7.24

pCO2 : 44.8

p O2 : 77.6

HCO3 : 19.5

BE : - 8.1

23

Page 24: Case Report Session_difteri

Sat O2 : 92%

Kesan ; asidosis metabolic

Terapi koreksi ½ bicnat

BE x BB x 0.3

2

= 8.1 x 15 x 0.3

2

= 18 mEq ∞ 18 cc

Disertai dengan aqua 1:1

24

Page 25: Case Report Session_difteri

BAB III

DISKUSI

Telah dilaporkan sebuah kasus seorang anak perempuan berumur 6 tahun 1 bulan dengan

diagnosis kerja obstruksi laring grade III susp difteri. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

anamnesa dan pemeriksaan kilinis. Penyakit ini diterapi dengan menggunakan berbagai

macam obat salah satunya adalah kortikosteroid. Belum terdapat persamaan pendapat dalam

pemberian kortikosteroid dalam penatalaksanan difteri. Pada pasien ini diberikan prednisone

peroral pada saat pasien masuk, pada hari ke-2 prednison digantikan dengan deksametason

yang diberikan secara intravena (IV). Dalam literature, pemberian prednison dilakukan selama

3 minggu dan pemberian deksametason secara IV dilakukan apabila telah terjadi toksikemia.

Masih dipertanyakan indikasi pemberian luminal pada pasien ini dikarenakan pada pasien

tidak ada riwayat kejang.

25