capd ginjal
Post on 30-Dec-2014
681 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Home Berita Forum Ketenagakerjaan Infotainment Humor Musik asik Hong Kong Korea Malaysia Contact
Home » Gagal Ginjal Sama Dengan Menguras Banyak Biaya
Gagal Ginjal Sama Dengan Menguras Banyak Biaya
Ginjal merupakan organ yang penting dalam sistem metabolik tubuh manusia karena memiliki fungsi utama sebagai penyaring racun dan zat sisa dalam darah.
Bila ginjal rusak dan sudah mengalami gagal ginjal, maka biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit.
Ginjal merupakan filter yang sangat baik, fungsi utamanya adalah untuk membersihkan racun dan mengeluarkan limbah dari darah. Ginjal juga berfungsi untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh, serta untuk mengeluarkan hormon yang membantu produksi sel darah merah. Oleh karena itu, ginjal memainkan peran utama dalam mengatur tekanan darah dan menyeimbangkan elektrolit penting yang menjaga ritme jantung.
Selain berfungsi untuk menyaring dan membuang zat-zat yang tidak diperlukan dan mempertahankan kandungan nutrisi dan mineral yang diperlukan tubuh, ginjal juga berperan dalam keseimbangan sirkulasi darah dalam tubuh, yakni dengan mengatur tekanan darah, memproduksi sel darah merah.
1
Setiap hari, ginjal memfilter 180 liter darah. Ginjal menerima 100-120 mL darah per menit, di mana jumlah ini sangat besar dibandingkan dengan ukurannya yang kecil. Hal tersebut berarti setiap harinya ginjal memfilter darah sebanyak 50 kali dalam sehari.
“Kerusakan ginjal ringan terjadi bila fungsinya sudah kurang dari 90 persen. Dan bila kurang dari 15 persen, maka artinya pasien sudah mengalami gagal ginjal yang obatnya harus hemodialisis (cuci darah) atau transplantasi (cangkok),” jelas dr Dharmeizar, SpPD-KGH, Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), dalam acara Konferensi Pers ‘Hari Ginjal Sedunia: Sayangi Ginjal Anda, Minumlah Air Putih yang Cukup!’ di Hotel Akmani, Jakarta, Selasa (6/3/2012).
Menurut dr Dharmeizar, bila sudah mengalami gagal ginjal, diperlukan terapi pengganti ginjal yang biayanya tidak sedikit.
Berikut biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalani terapi pengganti ginjal:
Hemodialisis (cuci darah) 1. Dilakukan seminggu 2 kali2. 5 jam per sesi3. Biaya per tahun Rp 50-80 juta
CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis atau cuci darah lewat perut) 1. Pemasangan kateter Rp 10 juta2. Biaya CAPD per tahun Rp 50-75 juta
Transplantasi ginjal1. Pretransplantasi dan prosedur Rp 200 juta2. Biaya per tahun Rp 75-150 juta
Gagal ginjal biasanya berawal dari penyakit ginjal kronik, yaitu menurunkan fungsi ginjal. Pada kondisi ini orang biasanya tidak merasakan gejala yang terlalu berarti sampai akhirnya didiagnosis dengan gagal ginjal, yang artinya fungsi ginjalnya kurang dari 15 persen.
Gagal ginjal terjadi karena organ ginjal mengalami penurunan hingga menyebabkan tidak mampu bekerja dalam menyaring elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh (sodium dan kalium) dalam darah atau produksi urine.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang mengalami kerusakan atau gagal ginjal:1.Diabetes melitus2.Hipertensi3.Kelainan ginjal (penyakit ginjal polikistik)4.Penyakit autoimun5.Penyumbatan saluran kemih6.Kanker7.Rusaknya sel penyaring pada ginjal.
2
“Pengidap penyakit ini ditandai dengan lemas, tidak ada tenaga, nafsu makan, mual, muntah, bengkak, kencing berkurang, gatal, sesak napas, pucat atau anemia,” tutup dr Dharmeizar.
Popularity: 1% [?]
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
Kemajuan teknologi kedokteran yang berkembang pesat saat ini memungkinkan para penderita gagal ginjal menjalani rutinitas cuci darah (dialisa) sambil bekerja, cuci mata di mall, bahkan sambil bercinta dengan pasangan! Padahal di masa lalu, kegiatan dialisa harus dilakukan di rumah sakit sambil terbaring lemah selama 5 jam, sebanyak tiga kali seminggu. Belum lagi perasaan gatal di sekujur tubuh sebagai dampak dari terapi cuci darah tersebut.Terapi cuci darah yang begitu praktis itu bernama Continuous Ambulatory Peritoneal Dyalisis/CAPD atau dialisis tanpa mesin dan dapat dilakukan secara mandiri oleh penderita gagal ginjal. Metode ini merupakan metode alternatif dengan menggunakan membran semipermiabel yang berfungsi sebagai ginjal buatan, sehingga mampu menyerap cairan pembersih ke dalam rongga ginjal. Dalam waktu 4 sampai 6 jam dengan frekuensi 4 kali sehari, terjadi proses difusi serta ultrafiltrasi dalam ginjal, sehingga zat racun yang ada di dalamnya terserap ke luar dan diganti cairan baru.Karena masih tergolong teknologi baru, biaya CAPD masih tergolong mahal. Umumnya, biaya yang dikeluarkan peserta terapi CAPD saat ini masih sebesar Rp 4,2-Rp 5 juta setiap bulannya. Namun, biaya sebesar itu menjadi tak berarti, jika melihat kondisi tubuh penderita yang bugar dan tetap produktif seperti sebelum terkena gagal ginjal.“Karena pasien tetap bisa bekerja dan melakukan segala aktivitas seperti biasa, layaknya orang sehat. Bedanya, peserta CAPD punya kantong kecil di perutnya untuk pergantian cairan dialisat itu,” kata Direktur Medik RS PGI Cikini, Tunggul Situmorang dalam acara peluncuran website sahabat ginjal.com yang disponsori PT Kalbe Farma, di Jakarta, belum lama ini.Pengalaman Karyono (45), karyawan swasta yang telah menjalani terapi CAPD selama tiga tahun ini agaknya bisa jadi pelajaran. Karyono mengaku, kualitas hidupnya makin membaik setelah ikut terapi CAPD. Selain itu, ia bisa kembali bekerja dan sama produktifnya seperti sebelum sakit.“Awalnya saya ragu, karena banyak informasi negatif yang saya dengar soal CAPD. Tetapi karena atasan terus mendesak, akhirnya saya beranikan untuk menjadi peserta CAPD. Bahkan, saudara-saudara saya heran karena raut muka dan badan saya yang terlihat lebih segar. Dan yang terpenting saya sudah bisa tidur enak, sebelumnya saya selalu merasa lemas, letih, gelisah,” katanya mengungkapkan.Belum MemasyarakatDr Tunggul menjelaskan, terapi dengan menggunakan pergantian cairan dialisat ini sebenarnya telah masuk ke Indonesia sejak 2004 lalu, namun tidak banyak diketahui masyarakat. Melihat manfaat CAPD yang begitu besar, pihaknya tergugah untuk terus mensosialisasikan CAPD kepada masyarakat luas di Indonesia sebagai salah satu alternatif penanganan bagi penderita gagal ginjal.Selama ini dikenal dua metode dalam penanganan gagal ginjal. Pertama, transplantasi ginjal dan kedua, dialisis atau cuci darah. Sebenarnya metode pertama memiliki lebih banyak keunggulan karena dapat menggantikan fungsi ginjal yang rusak. “Hanya saja masalahnya, masih sedikit donor yang mau memberikan organ tubuhnya. Selain itu
3
jarang sekali ditemukan donor yang cocok dengan penderita gagal ginjal, sehingga tingkat keberhasilannya sangat kecil. Selain itu, biayanya sangat besar,” katanya.Karena itu, penderita gagal ginjal lebih banyak melakukan terapi dialisa atau cuci darah. Metode dialisis pada intinya adalah melakukan fungsi utama ginjal, yakni membersihkan darah dari zat-zat yang tidak berguna pada tubuh dan menjaga kestabilan kandungan darah di dalam tubuh.Pembersihan ini dilakukan dengan dua cara, haemodialisis (HD) dan peritonialdialisis (PD). Pada HD, darah yang akan dibersihkan dikeluarkan dari tubuh dan dimasukkan ke ginjal buatan (dializer). Darah dibersihkan dengan menggunakan cairan pembersih (dialisat) dalam serat-serat dializer itu. Setelah bersih, darah baru dimasukkan kembali ke dalam tubuh.Sedangkan pada metode PD, darah tidak dikeluarkan dari dalam tubuh. Proses pembersihan dilakukan di dalam rongga perut (peritoneum), dengan memasukkan cairan dialisat ke dalam rongga itu. Cairan ini dibiarkan selama empat hingga enam jam hingga akhirnya dikeluarkan kembali.Saat ini sudah berkembang metoda PD dengan berbagai cara seperti CAPD atau APD. Keunggulan utama CAPD adalah kemudahannya, sehingga terapi dengan metode itu pun lebih alami. Proses yang berlangsung terus-menerus selama 24 jam setiap harinya itu, menjadikan hampir sama dengan proses yang berlangsung di dalam ginjal.Sementara itu, jika melakukan cuci darah biasa secara HD, keseluruhan proses dilakukan selama lima jam, yang berarti cairan tubuh dipaksa diperas untuk dicuci mesin. “Akibatnya beban jantung menjadi bertambah dan menyebabkan gangguan tekanan darah,” kata Situmorang.AlamiahCAPD belum banyak digunakan, padahal terapi itu memiliki kelebihan, yakni tidak mengganggu jantung, kontaminasi dengan hepatitis lebih kecil. Fungsi ginjal yang tersisa masih dapat dipertahankan, dan proses dialisis pun bekerja selama 24 jam sesuai dengan kerja ginjal secara alamiah.“Pasien juga tidak perlu datang ke rumah sakit untuk melakukan cuci darah, tetapi melakukan cuci darah secara mandiri dengan jadwal yang dapat ia buat sendiri,” katanya.Keuntungan CAPD adalah lebih memudahkan pengendalian kimia darah dan tekanan darah. Cairan dialisat dapat dijadikan sebagai sumber nutrisi dan bagi penderita diabetes dapat diberikan insulin secara intraperitorial. Sedangkan, kekurangan CAPD adalah sering kali menimbulkan infeksi pada rongga perut. Selain itu juga meningkatkan kadar lemak dan mengakibatkan kegemukan (obesitas), serta dapat menimbulkan hernia, serta sakit pinggang. “Kunci utama dari terapi CAPD adalah menjaga kebersihan lubang yang menghubungkan ginjal dalam perut dengan dunia luar, yaitu kantong cairan dialisat. Bila terjadi infeksi di lubang tersebut, maka biayanya sangat mahal. Karena itu, saya selalu mengingatkan pada pasien untuk menjaga kebersihan. Bahkan, kami memberi pelatihan selama tiga hari khusus untuk menjaga agar lubang tetap bersih,” katanya.Tentang jumlah pasien CAPD di seluruh Indonesia , dr Tunggul mengaku tidak tahu pasti. Namun, pasien CAPD di RS PGI Cikini sudah ratusan orang. Sementara di dunia, ada diperkirakan 120.000 penderita gagal ginjal menggunakan terapi CAPD.Ditanya faktor penyebab utama terjadinya gagal ginjal, dr Tunggul mengatakan, penyebab utama adalah hipertensi (darah tinggi) dan diabetes atau kencing manis. Gangguan fungsi ginjal bisa terjadi perlahan-lahan atau mendadak, bahkan tidak disadari oleh penderita karena tubuh tidak menunjukkan gejala seperti orang sakit. Namun, tiba-tiba dokter mendiagnosa Anda terkena gagal ginjal.
4
Jika seseorang memperhatikan gejala yang umum menyertai penderita gagal ginjal, kata dr Tunggul, penyakit tersebut bisa diminimalisir sedini mungkin. Adapun beberapa tanda fisik yang harus diwaspadai seperti tubuh bengkak yang diawali dari kedua kaki, kulit terlihat kasar. Penderitanya mengalami gangguan pengecapan, mual, muntah, tidak nafsu makan, lesu, gangguan tidur dan juga sering gatal. Tanda lainnya, sering kram, vena di leher melebar dan ada cairan di selaput jantung dan paru.“Bila mendapati satu saja dari gejala itu, sudah waktunya untuk waspada. Untuk itu, segera ke rumah sakit untuk chek-up untuk membuktikan kebenarannya. Kalau kita lihat hasil laboratorium, penderita gagal ginjal ini punya peningkatan asam urat, kalsium, fosfor dan kalium. Hati-hati kalau kaliumnya meningkat, karena memperbesar risiko penyakit jantung,” kata dr Tunggul menandaskan.atauKurang minum air putih ternyata dapat mengganggu fungsi ginjal. Gangguan ginjal dalam tahap ringan masih dapat diatasi dengan minum banyak air putih. Namun, kalau sudah gagal ginjal, hanya bisa diatasi dengan cuci darah atau cangkok ginjal yang biayanya sangat mahal.Meskipun ukurannya kecil, organ ginjal bersifat sangat vital. Ginjal berfungsi untuk menjaga keseimbangan serta mengatur konsentrasi dan komposisi cairan di dalam tubuh. Ginjal juga berfungsi untuk membersihkan darah dan berbagai zat hasil metabolisme serta racun di dalam tubuh. Sampah dari dalam tubuh tersebut akan diubah menjadi air seni (urin). Air seni diproduksi terus menerus di ginjal, lalu dialirkan melalui saluran kemih ke kandung kemih. Bila cukup banyak urin di dalam kandung kemih, maka akan timbul rangsangan untuk buang air kecil. Jumlah urin yang dikeluarkan setiap hari sekitar 1-2 liter. Selain itu, ginjal juga berperan untuk mempertahankan volume dan tekanan darah, mengatur kalsium pada tulang, mengatur produksi sel darah merah, dan menghasilkan hormon seperti erythropoetin, renin, dan vitamin D.Kelainan ginjal dapat terjadi akibat adanya kelainan pada ginjal (penyakit ginjal primer) atau komplikasi penyakit sistematik (penyakit ginjal sekunder), seperti kencing manis (diabetes). Kelainan ringan pada ginjal dapat sembuh sempurna bila penyebabnya sudah diatasi. Kadang cukup dengan pengobatan dan pengaturan diet. Namun, bila keadaannya memburuk, kelainan itu bisa menjadi gagal ginjal yang akut.Perlu diketahui, kasus gagal ginjal di dunia meningkat lebih dari 50%. Di Indonesia sendiri sudah mencapai sekitar 20%. Di Amerika Serikat saja, negara yang sangat maju dan tingkat gizinya tinggi, setiap tahunnya ada sekitar 20 juta orang dewasa menderita penyakit kronik ginjal.Gagal ginjal adalah keadaan dimana kedua ginjal tidak mampu menjalankan fungsinya. Penderita biasanya baru merasakan kelainan pada dirinya jika fungsi ginjal menurun sekitar 25%. Bahkan, untuk penderita yang masih muda bisa di bawah 10%. Tidak heran bila umumnya pasien baru ke dokter bila sudah berada dalam tahap terminal.Sekitar 40% gangguan diabetes menjadi penyebab gagal ginjal. Namun, orang yang diyakini mempunyai gejala sakit
AAAAAAAAAAAAAAAA
Kalbe.co.id - Sampai saat ini, pasien gagal ginjal dapat diatasi dengan tindakan hemodialisa, CAPD, ataupun cangkok ginjal. Diantara 3 tindakan tersebut, CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) saat ini menjadi bahan perbincangan para
5
nefrolog Asia termasuk di Indonesia. Hal ini dikatakan Dr. Ginova Nainggolan, SpPD KGH dalam acara pre-congress Nephrology, Kamis 24 November 2005 di Bali.
Dalam acara workshop ini, dibahas mengenai CAPD. Hadir sebagai pembicara Prof. DR.Dr. Moch. Sja'bani, SppD KGH MSc, Dr. Tunggul D Situmorang SppD KGH dan Prof. DR.Dr. Endang Susalit, SpPD KGH, Dr. Tommy Halauet, SpB.
Dr. Tunggul mengatakan, CAPD sangat membantu bagi pasien gagal ginjal yang harus menjalankan tindakan cuci darah. Keuntungan dari CAPD menurut beliau adalah pasien tidak perlu menggunakan mesin saat melakukan dialisis, dapat digunakan sendiri di rumah, kondisi fisik lebih baik, dapat melakukan olahraga seperti biasa dan pembatasan makanan yang tidak seketat pada tindakan hemodialisa.
CAPD mulai digunakan di Indonesia sejak 1984, dan menurut Prof. Sja'bani saat ini penderita gagal ginjal di Indonesia sudah cukup banyak dan terbanyak dialami oleh pasien-pasien kelas III. Untuk mengatasi biaya yang harus ditanggung oleh pasien yang tidak mampu, tindakan CAPD ini dapat ditanggung biayanya oleh pemerintah melalui PT ASKES, khususnya bagi GAKIN.
Di depan sekitar 150 peserta, Dr. Ita Wijayanti dari Kalbe Farma sebagai pembicara menjelaskan tentang penggunaan dan fungsi dari alat yang dipakai dalam tindakan CAPD. Tak ketinggalan pula dibahas keunggulan dari alat yang digunakan untuk CAPD yang diproduksi oleh Baxter - Kalbe, antara lain dapat memperkecil terjadinya sepsis atau peritonitis.
Kabar Gembira
Ada kabar gembira bagi pengguna maupun calon pengguna CAPD Baxter - Kalbe Farma, khususnya peserta ASKES:
1. Paket awalnya free (yang ini, memang sejak dahulu juga free) 2. Free untuk Paket Rutin 90 (kalau dulu, peserta harus menombok Rp. 600.000) 3. Tambahan hanya Rp. 1.033.000 untuk Paket Rutin 120 (terjadi penurunan dari
Rp. 1.600.000)
Ketentuan di atas mulai berlaku pada Oktober 2005.
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
T : Selain Kacamata, Alat kesehatan apalagi yang ditanggung oleh Askes?
J : Alat kesehatan yang diberikan kepada Peserta antara lain:
Gigi Tiruan (1 kali/2tahun) Alat bantu dengar (1 kali/2tahun) Kaki/tangan tiruan
6
IOL (Lensa tanam di mata) Pen & Screw (Alat Penyambung Tulang), 1kali/5 tahun Mesh (Alat yang dipasang setelah operasi Hernia Alat bantu hidrosephalus/VP Shunt Protesa Mandibula Vitrektomi set Penyangga leher/Collar Neck Jakat penyangga patah tulang belakang/corset Anus buatan/colostomi/Pesarium/DJ Stent Double Lumen Kateter untuk CAPD Triple Lumen Kateter untuk CAPD Vaskuler Graf Tulang/Sendi tiruan Colon set
T : Mengapa saya harus ke Puskemas dulu sebelum ke Rumah Sakit?
J : PT Askes (Persero) merupakan asuransi kesehatan yang bersifat sosial. Dalam mengelola jaminan kesehatan, Askes menggunakan beberapa prinsip managed care (kendali mutu, kendali biaya) yang salah satunya adalah sistem pelayanan berjenjang. Sistem pelayanan berjenjang ini bertujuan untuk mengontrol biaya pelayanan kesehatan dan mengoptimalkan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada Peserta.
Peserta berobat ke pelayanan tingkat pertama (Puskesmas atau Dokter Keluarga) untuk kasus-kasus penyakit sederhana. Kasus penyakit ini bisa ditangani oleh Dokter Umum. Penanganan penyakit seperti ini di Dokter Spesialis sangat tidak efisien. Apabila Dokter Umum tidak bisa mengobati maka Pasien akan dirujuk ke Rumah Sakit untuk mendapat pelayanan kesehatan lanjutan. Untuk kasus gawat darurat tentu saja Peserta dapat langsung datang ke Rumah Sakit.
Apabila semua Peserta langsung berobat ke Rumah Sakit tentunya biayanya sangat besar, biaya kesehatan yang besar ini tentunya tidak mampu ditanggung oleh PT Askes (Persero) sehingga jaminan kesehatan Askes tidak mampu bertahan lama. Disisi lain penumpukan pasien di Rumah Sakit untuk kasus-kasus yang bisa ditangani oleh Dokter umum akan mengakibatkan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit tidak optimal.
T : Berapa biaya pelayanan kesehatan yang ditanggung oleh Askes?
J : Biaya pelayanan kesehatan yang ditanggung oleh PT Askes (Persero) adalah sesuai dengan Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) tentang Tarif Askes. Tarif Permenkes ini dibuat oleh Kementerian Kesehatan atas usulan Rumah Sakit,
7
Perkumpulan Profesi Kedokteran dan PT Askes (Persero). Besaran Tarif Askes adalah sama untuk semua Rumah Sakit yang bekerjasama dengan Askes, pembedaan hanya pada tipe Rumah Sakit. Dalam pelaksanaannya PT Askes (Persero) akan melakukan negosiasi dengan masing-masing Rumah Sakit mengenai besaran urun biaya yang menjadi beban Peserta. Besaran urun biaya tidak sama antara satu Rumah Sakit dengan Rumah Sakit lainnya karena tergantung dari hasil negosiasi. Untuk tahun 2011 urun biaya yang menjadi beban Peserta pada Rumah Sakit Pemerintah sangat minimal atau tidak ada. Sedangkan untuk Rumah sakit swasta masih ada urun biaya yang menjadi beban Peserta. Besarannya sangat bervariasi. Untuk memperoleh informasi iur biaya Peserta dapat menghubungi Askes Center di Rumah Sakit tempat Peserta dilayani.
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
Terapi CAPD: Alternatif Bagi Gagal Ginjalauthor : Olivia Lewi PramestiTuesday, 15 March 2011 - 07:12 pm
Anda divonis gagal ginjal?Tak mau repot dengan urusan cuci darah di rumah sakit? Kalau begitu Anda perlu mencoba terapi pengganti ginjal CAPD atau Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (Dialisis Peritoneal/cuci darah lewat perut).
8
Terapi ini memang tidak populer di Indonesia, tenggelam oleh terapi hemodialisis (cuci darah di rumah sakit) dan transplantasi. Padahal di Thailand,CAPD justru dianjurkan untuk pasien gagal ginjal.
Direktur RS PGI Cikini, dr.Tunggul D. Situmorang,Sp.P.D,.KGH, di Jakarta (10/3), menyatakan bahwa ada banyak keuntungan yang diperoleh dari terapi ini. Antara lain, zat racun aktif dikeluarkan tubuh karena dilakukan 24 jam penuh, kadar hemoglobin lebih tinggi sehingga meningkatkan kualitas hidup, resiko terkena penyakit hepatitis kecil, dapat dilakukan sendiri oleh pasien, dan pasien pun dapat mengerjakan aktivitasnya tanpa terganggu.
CAPD dilakukan mandiri oleh pasien sebanyak 3 - 4 kali per hari dengan cara memasang sebuah kateter di perut. Kateter tersebut berfungsi untuk mengeluarkan cairan dan racun dari dalam tubuh. Tiap kali CAPD diperlukan waktu 30 menit.
Dr. Tunggul melanjutkan, karena dilakukan sendiri oleh pasien, maka diperlukan kedisplinan dari pasien. Kedisiplinan ini seperti cuci tangan sebelum memasang sistem CAPD, menggunakan masker untuk menutup mulut, serta menjaga kebersihan lingkungan ruangan.
"CAPD ini cenderung sedikit kontradiksinya.Infeksi bisa timbul jika pasien tidak mematuhi aturan kebersihan pemasangan. Jangan khawatir tentang terapi ini, karena sebelumnya pasien akan dilatih hingga benar-benar bisa," kata Tunggul.
Terapi CAPD bisa dilakukan pada semua penderita gagal ginjal dengan tingkat kronis yang berbeda-beda. Hanya saja, bagi pasien yang usai menjalani pembedahan di daerah perut dan yang mengalami gangguan di bagian kulit perut tidak dianjurkan menggunakan terapi ini karena bisa infeksi.
Dibandingkan dengan terapi lain, CAPD relatif lebih murah. Apalagi kalau pasien tidak memiliki Askes. Untuk non-Askes, biaya awal Rp 2,3 juta dan per bulannya Rp 5 - 6 juta. Akan tetapi kalau memegang kartu Askes, biaya awal gratis sedangkan per bulannya Rp 1 juta. Bandingkan dengan transplantasi yang memerlukan biaya awal Rp 200 juta - Rp 500 juta, sedangkan per bulannya harus keluar Rp 6 juta - Rp 7 juta.
AAAAAAAAAAAAAAAAAAA
CAPD This entry was posted on 31 May 2012, in Bebas. Bookmark the permalink. 2 Comments
Sekedar sharing pengalaman. Kebetulan ibu kami, usianya sekitar 60an tahun divonis oleh dokter terkena penyakit gagal ginjal. Karena penyakit tersebut ibu harus menjalani cuci darah 2x seminggu. Cuci darah tersebut harus dilakukan di Rumah Sakit yang jaraknya lumayan jauh dari rumah (1,5 Jam Perjalanan, maklum rumah kami di desa) sehingga seringkali setelah menjalani cuci darah di RS ibu justru tambah down, karena terlalu capek di jalan.
9
Beberapa minggu menjalaninya, seorang dokter menawarkan untuk menggunakan alternatif cuci darah mandiri yang dinamakan CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis). Dengan teknologi ini, seorang pasien dapat melakukan cuci darah, dimanapun dan kapanpun. Tanpa harus bergantung pada mesin hemodialisis. Selain itu terapi CAPD juga tergolong lebih alamiah. Jika dibandingkan dengan hemodialisis, dari segi medik, terapi ini lebih bisa mempertahankan fungsi ginjal yang masih ada.
Untuk bisa menjalani terapi CAPD, awalnya pasien harus menjalani operasi untuk memasang selang permanen ke dalam perutnya. Selang inilah yang akan menjadi sarana keluar masuknya cairan pembersih dalam tubuh. Setelah selang terpasang, barulah pasien bisa menjalani proses treatmen CAPD yang dilakukan sebanyak 4 kali dalam sehari. Proses treatment CAPD diawali dengan mengeluarkan cairan kotor yang berasal dari racun-racun dalam darah. Setelah seluruh cairan kotor dikeluarkan, lalu cairan pembersih yang baru dimasukkan ke dalam tubuh. Cairan pembersih ini berfungsi untuk menyedot racun yang ada dalam darah.
Dari segi biaya, uang yang harus dikeluarkan untuk proses CAPD tak jauh berbeda dengan hemodialisis yang menggunakan mesin pencuci darah, yaitu berkisar antara Rp7 juta – Rp8 juta per-bulan. Bahkan ibu kami karena menggunakan ASKES semua biaya digratiskan. Alhamdulillah sudah 2 tahun ini ibu sehat dan bisa beraktifitas. Makan lebih enak dengan sedikit sekali pantangan. Jika ada saudara atau kerabat anda terkena penyakit serupa maka metode CAPD ini bisa dicoba. Sekian, Semoga Bermanfaat.
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
10
Ceria Bersama Klub Sayang Ginjalauthor : Olivia Lewi PramestiFriday, 11 March 2011 - 05:14 pm
"Rasanya sudah mau kiamat saja ketika saya divonis gagal ginjal.Namun sejak saya ikut IKCC,saya malah lebih semangat menjalani hidup ini," kata I Ketut Nesa Sumarbwa (45), seorang pasien gagal ginjal.
IKCC (Indonesian Kidney Care Club) atau Klub Sayang Ginjal inilah salah satu komunitas tempat I Ketut saat ini berbagi keluh kesahnya tentang penyakit gagal ginjal yang sudah dialami selama 15 tahun. Dirinya mengaku, tiga tahun terakhir ini hidupnya lebih tenang dan pasrah dengan keadaan. Awalnya hanyalah ketakutan yang melanda dan berefek emosinya yang terus meningkat. Kata istrinya pula, Ni Luh, suaminya sempat berubah sifat menjadi kasar dan main tangan.
Organisasi yang berdiri pada tanggal 5 Mei 2004 ini memang khusus mewadahi masyarakat Indonesia yang peduli kesehatan ginjal. Hingga saat ini anggotanya sudah mencapai 300 orang. Humas IKCC, Dian Ekawati mengatakan, "Organisasi ini memberikan informasi dan edukasi mengenai ginjal serta menciptakan kondisi psikologis yang nyaman bagi sesama penderita."
Misi klub ini adalah ingin meningkatkan kualitas hidup penderita ginjal. IKCC akan membantu melakukan ekplorasi informasi obat baru untuk penderita.
Bentuk kegiatan yang dilakukan IKCC diantaranya menyelenggarakan seminar yang berhubungan dengan ginjal (gaya hidup, pengembangan motivasi, tips dan pola makan, dll.), memberi fasilitas obat-obatan yang berhubungan dengan penyakit ginjal, memberikan arahan bagi penderita,serta memberikan konsultasi yang berhubungan dengan ginjal.
11
Tak hanya itu saja, anggotanya pun diajak aktif untuk mengembangkan kreativitas mereka seperti lomba memasak, menyusun menu ramah ginjal, lomba menulis, dan lainnya. Kegiatan yang dilakukan pun turut melibatkan keluarga pasien. Jangan khawatir bila Anda ingin bergabung dalam klub ini. IKCC terbuka untuk umum dan lembaga ini nirlaba. "Terlebih lagi, klub ini sangat melindungi kepentingan penderita gagal ginjal," kata Dian Ekawati di Jakarta (10/3).
Spesialis Penyakit Dalam RSU Cikini, dr. Tunggul D. Situmorang, Sp.P.D.-KGH menambahkan bahwa penyakit ginjal perlu dicegah sedini mungkin dengan edukasi kepada masyarakat. Proses edukasi ini dapat dilakukan lewat komunitas. "Di negara berkembang, pemahaman masyarakat tentang penyakit ginjal masih minim.Banyak yang tidak mengetahui bahwa penyakit ini bisa disebabkan oleh diabetes (35%) dan hipertensi (25%). Akibatnya kualitas hidup pasien ginjal tidak bertahan lama," ungkapnya.
Untuk pencegahan penyakit ginjal, seseorang mesti rutin memeriksakan urinenya. Bila urine mengandung protein, maka perlu diwaspadai penyakit ginjal segera datang.Tak hanya itu, gaya hidup sehat seperti olahraga teratur dan tidak merokok menjadi cara mencegah penyakit ini.
Bila tertarik mengikuti klub ini, Anda bisa membuka website mereka di www.ikcc.or.id atau facebook IKCC.
Indonesian Kidney Care Club Sekretariat: Gedung Ziebart Lt.2 Jl. Let. Jend. Suprapto Kav. 5 Cempaka Putih, Jakarta-10510Tlp. 021-4214758 Fax. 021-4269734
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAhttp://bangqory.blogspot.com/
SINOPSIS Gagal Cinta Pertama tak Separah Gagal Ginjal
Di tengah perjalanan hidupnya sebagai seorang guru di sebuah SMP di Banyuresmi, kabupaten Garut, penulis yang dikenal rajin, penuh dedikasi, periang, sangat mencintai keluarga dan kuat mempertahankan aqidahnya, tiba-tiba penyakit yang dikenal dengan nama Gagal Ginjal Terminal atau Gagal Ginjal Kronik. Penyakit ini sangat ditakuti, karena belum ada obatnya. untuk mempertahankan hidup penderitanya harus dilakukan terapi ginjal pengganti berupa cuci darah(hemodialisis) atau cangkok ginjal. Kisah ini, benar-benar menceritakan autobiografi penulis dengan gamlang, sesuai dengan kejadian yang dialami penulis saat divonis mengalami gagal ginjal kronik, tentang penderitaannya, pencarian obat alternatif, pahit-getirnya menjalani cuci darah, keikhlasannya menerima cobaan, kecintaannya pada keluarga, semangatnya untuk terus bisa bertahan hidup, sampai Alloh memberikan jalan keluar,"Ginjal Cadangan" berupa CAPD.
12
CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) atau Peritoneal Dialisis Mandiri Berkesinambungan adalah pergantian cairan yang dimasukkan ke dalam perut seberat 2 kg, dilakukan secara rutin dan kontinu sebanyak 3-4 kali setiap hari, sebagai pengganti ginjal yang sudah rusak dan tidak berfrungsi. Karena keyakinannya atas cinta, kasih sayang dan pertolongan Alloh Swt semata, yang pada akhirnya menyelamatkan penulis untuk terus hidup dan semangat mempertahankan aqidah dari kemusyrikan dan mencari kesembuhan sampai menemukan sahabat setianya berupa CAPD. Penulis yakin dengan haqqul yakin, bahwa Allohlah sebagai penolong jiwanya dan hidupnya bertujuan hanya untuk mencari ridho Alloh Swt semata. Amiiiin!
Gagal Cinta Pertama tak Separah Gagal Ginjal
Mungkin Anda akan tertawa membaca ungkapan tadi, terserah! Aku tidak akan
peduli dengan tanggapan atau reaksi spontan Anda.Yang jelas, “Gagal Ginjal” bagiku
adalah peristiwa yang menenggelamkan hidupku dalam penderitaan yang
berkepanjangan tiada henti sampai akhir hayat.
Empat setengah tahun silam hidupku mulai kelam, Subhanallah ………………..
Berawal dari hasil tes laboratorium pada tanggal 20 Februari 2006 yang
dianalisis oleh dr. John Manurung, SpPD. Ia menyatakan bahwa kadar racun yang
bersarang dalam tubuhku terlalu banyak dan tidak bisa dikeluarkan lewat urine (air
seni). Tak ada jalan lain kecuali Cuci Darah. Penyakit tersebut bernama Gagal Ginjal
Terminal atau Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Shock, stres, putus asa dan seabreg perasaan negatif menghimpit dada. Aku
bersama istri tercinta terperangkap dalam situasi mencekam di hadapan dokter yang
masih memberikan segala macam petuah dan nasihat. Sudah terbayang di benakku,
sebelah kaki di atas kubur, karena aku tahu setiap orang yang telah mengalami cuci
darah pasti ajalnya hampir menghampiri. Isak tangis kami berdua tak bisa
menyelesaikan masalah.
Pulang dari RSU dr. Slamet Garut dengan perasaan hampa, hanya istriku yang
masih bisa berpikir jernih. Dia berusaha menghubungi saudaranya, sahabatnya,
kenalannya dan setiap orang yang mungkin lebih tahu atau pernah tahu tentang cuci
darah dan pengobatan alternatif lainnya untuk penyakit gagal ginjal terminal.
Berbagai macam metode penyembuhan melalui obat, ramuan, pijat refleksi,
elektrolisis, bekam, sampai menjadi konsumen dan anggota MLM ramuan modern
13
dari Cina yang harganya mencapai 500 ribuan per-box pernah dicoba. Hasilnya nihil,
bahkan tambah parah. Maksud untuk menghindari cuci darah tidak bisa dihindari.
Tubuhku semakin parah.Wajah, kaki dan hampir seluruh tubuhku bengkak.
Kepala serasa ditusuk-tusuk ribuan paku. Seluruh persendian serasa mau lepas. Napas
sesak, karena paru-paru hampir terendam cairan dan kerja jantung pun makin berat.
Mual terus menerus sehingga muntah tak bisa di tahan. Badanku semakin lesu dan
kehabisan energi.
Akhirnya aku pasrah berbaring disamping mesin cuci darah mulai tanggal 18
April 2006. Empat selang membelit tubuh, 2 selang cuci darah, 1 selang tranfusi darah
dan 1 lagi selang oksigen untuk membantu nafas yang sudah sesak.
Dunia yang tadinya terasa gelap berangsur bersinar lagi. Nafas tidak lagi
tersengal-sengal, jantung mulai berdetak normal, setelah 2 jam pertama menjalani
cuci darah. Harapan hidup lebih lanjut pun mulai tumbuh lagi, namun dalam limit
waktu 3 – 4 hari, karena cuci darah itu harus dijalani secara kontinyu 2 kali dalam
seminggu, seumur hidup.
Anda tahu batas waktu seumur hidup? Itulah yang jadi masalah bahwa, gagal
cinta pertama tak separah gagal ginjal. Gagal cinta pertama tak merepotkan semua
orang yang berada di sekitar Anda, tapi gagal ginjal bisa merepotkan seluruh
keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan. Bahkan akibat lainnya karir Anda,
jabatan dan masa depan suram menanti Anda! Anda harus siap dengan mental
cadangan Anda, belum lagi materi, kantong yang sangat-sangat tebal harus Anda
siapkan. Kita memang memiliki 2 buah ginjal, tetapi jika sudah dinyatakan gagal
ginjal berarti keduanya sudah tidak bisa berfungsi. Sulit untuk mencari ginjal
pengganti, tak ada super market yang menjual ginjal. Berbeda dengan gagal cinta
pertama, kita masih bisa mencari cinta kedua, ketiga bahkan cinta terakhir yang
biasanya lebih membahagiakan. Gagal ginjal belum ada obatnya, sedangkan gagal
cinta ada obatnya, yaitu cinta terakhir.
Mau tahu kelanjutan kisahnya? Silakan baca kisah selanjutnya …!
14
Gelarku
Siapa yang mengira aku akan menderita GGK, tak seorang pun yang tahu, hanya
Allah Swt lah yang Maha Mengetahui. Badanku segar, energik dan kuat. Sampai usia
39 tahun, karirku cerah. Di masa depan aku membayangkan bisa menjadi pejabat di
Dinas Pendidikan, karena di usia sekarang pun aku sudah dipercaya sebagai
Pembantu/Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, disamping tugas pokok
mengajarkan Bahasa Indonesia dan Wali Kelas di kelas 3 SMP Negri 1 Banyuresmi,
Garut.
Sejak aku menjadi guru honorer tahun 1988 sampai diangkat menjadi PNS dua
tahun kemudian. Aku tak pernah pindah tempat tugas. Kegiatanku banyak sekali,
selain mengajar juga selalu mencari penghasilan tambahan, obyekkan, di luar jam
kerja. Kerja tambahanku apa saja, yang penting halal. Oleh karenanya, aku mendapat
banyak gelar dari profesi tambahan itu, walaupun aku belum menjadi sarjana.
Mau tahu apa saja gelarku? Ini dia…………….
Yang pertama, Asep Rongsok. Gelar tersebut didapat karena di awal kehidupan
berumah tangga, aku memulai dengan bisnis rongsokan. Mengumpulkan barang bekas
lalu dijual. Tak ada rasa gengsi, yang penting dapur tetap mengepul. Semua barang
bekas aku kumpulkan mulai dari kertas, dus, koran, plastik, besi tua, botol kecil
sampai botol besar, dan sebagainya.
Rencanaku ingin menampung dan membuka lapangan pekerjaan bagi remaja di
kampung sekitar tempat tinggalku. Tapi ternyata mereka terbelenggu dengan rasa
gengsi. Berbulan-bulan bisnis ini berjalan, aku kerjakan sendiri dan tak ada seorang
pun yang mau menjadi pemulung barang rongsokan.
Akhirnya bangkrut!
Yang kedua, Asep Cacing. Bisnis cacing menggiurkan. Aku beternak cacing-
cacing itu sendiri di rumah, dan menjualnya ke pengumpul atau penampung. Memang
aku berhasil di bisnis ini. Beberapa kali menjual cacing sehingga keuntungan berjuta-
juta pun didapat. Namun sayang, terjadi booming dan kemacetan ekspor. Akhirnya
gelar Asep Cacing tidak bertahan lama, walau aku berusaha memperpanjang usia
bisnis ini dengan membuat jus cacing sebagai obat tifus, maag, panas dalam dan sakit
gigi. Tapi tidak sampai jadi obat gagal ginjal saja.
15
Yang ketiga, Asep Camat. Dari gelar ini, hanya capek yang dirasakan. Aku
harus bolak-balik mengawinkan kesepakatan harga antara penjual dan pembeli barang
atau kendaraan bekas seharian. Bahkan ada yang berminggu-minggu rasa capek sirna
begitu saja, jika telah mendapat keuntungan yang besar. Ya, itulah pekerjaan camat
(calo matuh). Keuntungan didapat dari komisi yang besarnya tergantung pada
kerelaan si penjual atau dari selisih harga yang disepakati bersama.
Yang keempat, Asep Ginjal. Sejak mengidap penyakit GGK inilah aku
mendapat gelar Asep Ginjal, karena di daerahku terbilang jarang orang yang
mengalami GGK ini. Gelar ini tidak bertahan lama, hanya kurang lebih 4 bulan saja.
Dimulai sejak aku menjalani cuci darah pada April sampai Agustus 2006.
Selanjutnya gelar kelima dan terakhir adalah Asep CAPD. CAPD akan kita
bahas nanti, karena memiliki kisah tersendiri, oke?
Jangan heran! Mengapa aku menguraikan gelar /sebutan lain untuk diriku?
Karena di tempat tinggalku, Kampung Cianten, Desa Sukamukti, Kecamatan
Banyuresmi, Garut, terdapat sekitar 23 nama orang yang berawal dengan kata Asep.
Jadi, kalau mencari nama Asep itu, harus komplit dengan kepanjangan namanya.
Sebagai contoh nama Asep yang lain adalah: Asep Furqon, Asep Fitroh, Asep
Nawawi, Asep Dani, Asep Dedi, Asep Saefullah, Asep Subarna, Asep Wawan dan
masih banyak Asep yang lainnya.
Awal Perkenalan Saya dengan Gagal Ginjal Kronik
Ini merupakan pembahasan yang sangat penting bagi siapa saja yang membaca
tulisan saya, agar lebih bisa berhati-hati dan yang lebih penting adalah bisa mencegah
daripada mengobati.
Peribahasa lebih baik mencegah daripada mengobati merupakan peribahasa
yang tepat sekali. Orang yang mengalami sakit kemudian berobat masih beruntung
kalau sudah ada obatnya, tetapi sungguh malang nasibnya jika sampai saat ini belum
ditemukan obatnya. Maka dia akan menderita seumur hidup sampai ajalnya tiba
sambil menderita penyakit yang dideritanya. Sungguh mengerikan, tetapi itulah
penyakit yang dinamakan GGK (Gagal Ginjal Kronik) atau Gagal Ginjal Terminal.
Tiga tahun sebelum divonis GGK, aku sering merasa heran dengan urin (air
seni) yang ke luar itu berbuih banyak sekali. Setiap buang air kecil, aku harus
16
menyiram kloset minimal empat kali (empat gayung air). Kalau hanya dua atau tiga
gayung, masih saja terdapat buih seperti sabun.
Hampir setiap malam badanku seperti orang yang masuk angin. Pegal-pegal di
sekujur tubuh dan perasaan ngilu di otot. Badan akan terasa enak kalau telah diinjak-
injak oleh anak atau istriku. Lebih enak lagi kalau dipijat dengan memakai minyak
angin. Ploooong……sekali rasanya.
Setahun kemudian, keluhan bertambah dengan sering sakit kepala dan di bagian
punggungku terdapat bintik-bintik hitam seperti bekas terbakar bara rokok. Rasanya
agak gatal.
Pada akhir tahun 2004, aku merasakan nyeri yang hebat di perut bagian kanan.
Dari hasil pemeriksaan dokter aku dinyatakan infeksi usus buntu (apendisitis). Usus
buntu (apendiks) harus segera diangkat. Operasi berjalan lancar. Aktifitasku berjalan
normal kembali.
Kurang lebih enam bulan setelah operasi apendiks, rasa nyeri kembali singgah,
sama seperti ketika dinyatakan aku menderita apendisitis. Nyeri yang sangat dahsyat.
Aku tak bisa diam menahan rasa sakit, buah zakar rasanya seperti dipijat terus
menerus. Setiap ingin buang air kecil terasa nyeri sekali. Aku tak tahan. Bukan urin
yang keluar, malah darah dan airmata yang keluar.
Obat penghilang nyeri tidak ada yang mujarab, rasa nyeri terus mendera. Istriku
sudah panik. Begitu juga orangtuaku, tetangga dan saudara-saudara. Mereka
berdatangan melihatku yang bertindak seperti orang kesurupan, menjerit-jerit minta
tolong.
Beruntung, sahabatku Mang Ujang dan Pak Jejen yang baik hati segera
membawaku ke Rumah Sakit Guntur di Garut. Tim medis segera bertindak dengan
memberi obat penghilang rasa nyeri melalui anus. Kaltopren, nama obat itu,
bentuknya seperti peluru pistol.
Selama menanti reaksi itu, aku menjerit dan melolong-lolong dengan suara yang
melengking tinggi mengucapkan “Allaahu Akbar!” Seluruh pasien yang berdekatan
dengan ruang ICU pasti mendengar, padahal saat itu sudah hampir pukul 24.00
Alhamdulillah, kurang lebih 20 menit kemudian, obat yang diberikan itu
bereaksi, rasa sakit yang menghunjam itu berangsur-angsur reda sampai tidak terasa
lagi.
17
Besoknya aku menjalani pemeriksaan tes kesehatan. Rontgen, tes darah dan tes
urin dilakukan. Hasilnya menerangkan tidak terlihat adanya batu pada ginjal ataupun
saluran pembuangan lainnya. Namun kadar asam uratku agak lebih dari normal.
Aku pulang. Dokter hanya memberikan obat penghilang rasa sakit, peluruh batu
dan penurun asam urat. Setelah sampai di rumah, adikku yang menengok
menyarankan untuk mengkonsumsi obat asam urat terus sampai kadar asam uratku
normal kembali serta melakukan tes urin lagi secara teratur. Tapi aku merasa malas
untuk minum obat terus-terusan dan kembali periksa ke laboratorium ataupun dokter.
Beberapa bulan setelah kejadian itu. Kondisi kesehatanku menjadi fluktuatif,
antara sehat dan sakit. Susah buang air kecil sering berulang, terutama kalau telah
makan jeroan, emping, jengkol, petai, durian dan sayur asem yang pakai daun atau
buah tangkil. Aku juga sering sekali sakit flu disertai demam, tetapi selalu
diselesaikan dengan mengkonsumsi obat-obat bebas yang dijual di warung. Hampir
setiap malam badanku yang pegal-pegal harus dipijat oleh anak dan istriku. Aku
malas memeriksakan diri ke dokter, dan tak mempedulikan saran adikku dulu sewaktu
baru pulang dari rumah sakit.
Pertengahan tahun 2005, aku menemukan obat asam urat yang dijual di toko
obat, Ant namanya. Kapsul jamu asam urat Ant ini mujarab sekali. Rasa nyeri seperti
ditusuk-tusuk jarum itu hilang sama sekali, sakit encok, rematik dan kawan-kawannya
itu lewat begitu saja. Aku yang alergi dingin dan setiap hari harus mandi memakai air
hangat, kembali bisa mandi memakai air dingin. Bahkan kembali bisa meronda
malam, ikut kegiatan camping dengan anak-anak di sekolah dan seabreg kegiatan
sekolah lainnya, walaupun harus menginap bermalam-malam di sekolah.
Adikku, Sumi Azizah, yang apoteker dan tinggal di Bandung beberapa kali
datang ke rumah, menegur dan memberitahuku bahwa obat Ant itu adalah obat illegal
dan bukan obat herbal asli dari tumbuhan Ant, tetapi obat kimia anti nyeri dosis tinggi
yang kalau dikonsumsi terus bisa berakibat fatal bagi ginjal. Dia berceramah
dihadapanku berpuluh-puluh menit, dan melarangku minum obat tersebut.
Aku percaya dan sedikit ketakutan. Aku berhenti mengkonsumsinya sekitar dua
minggu. Rasa sakit yang dulu, muncul lagi bahkan bertambah hebat. Aku tak tahan.
Ant kembali menjadi teman hidupku saat itu. Hanya dengan minum kapsul itu,
kehidupanku kembali berjalan normal, padahal mungkin saat itu ginjalku sudah mulai
rusak.
18
Tak Ada yang Lebih Pintar dari dr. Jhon Manurung
Hari Senin, 20 Februari 2006, badanku terasa lesu sekali, tak bergairah. Saat
istirahat aku jajan kupat tahu. Jajanan favorit para guru sebagai kaum duafa. Karena
murah meriah dengan uang seribu rupiah perut bisa kenyang. Kupat tahu Bu Oom
yang biasanya terasa lezat, gurih dan nikmat kini terasa pahit di lidah. Aku heran. Aku
berpikir, “Jangan-jangan tahunya pakai formalin, karena saat itu orang sedang heboh
dengan tahu berformalin?” Aku sisihkan tahunya kemudian aku makan ketupatnya
tapi tetap saja ketupatnya juga terasa pahit. Aku tambah kaget. Kemudian aku
bercermin sambil menjulurkan lidah, penasaran dengan hilangnya rasa pencecap.
Benar saja, lidahku terlihat putih, diliputi jamur, bakteri, atau apalah aku tak
mengerti. Yang jelas, biasanya orang yang sakit tifus kronis lidahnya seperti ini.
Aku bertambah kaget dengan kondisi lidah seperti orang sakit tifus, tapi badan
tidak panas, hanya lesu saja. Aku tanya Pembina PMR, Ibu Siti.
Bu Siti menceramahiku agar segera memeriksakan diri ke dokter, “Pak Asep,
Bapak itu sakit. Cepat periksa ke dokter. Jangan dibiarkan begini, agar cepat ketahuan
penyebabnya dan cepat diobati!”
Sore hari aku pergi ke dokter umum di PUSKESMAS. Aku diberi obat.
Besoknya, aku kembali pergi ke sekolah. Selesai mengajar jam ke-2, aku ke
toilet, karena ingin buang air kecil. Kencingku mampet lagi. Aku menyuruh penjaga
sekolah untuk mengambil obat pencahar batu, “Kalkurenal”. Aku minum sesuai dosis.
Wajahku sudah pucat, menahan rasa nyeri yang tak terperikan.
Rekan-rekan guru banyak yang menyuruhku pulang agar isirahat di rumah. Tapi
aku masih bertahan. Aku sudah terbiasa kerja sampai sore. Jadi, aku tak biasa pulang
ke rumah pagi-pagi atau siang-siang. Banyak tugas yang harus kukerjakan selain
tugas mengajar pokok. Ada ekstrakurikuler dan les tambahan pelajaran untuk siswa
kelas 3.
Menjelang Dzuhur aku ke toilet lagi. Alhamdulillah, saat aku kencing ada
butiran batu yang keluar sebesar biji kacang kedelai. Walau rasa sakit yang tak
terperikan saat keluar 4 butiran batu itu, tapi rasa plong yang melegakan dapat
menjadi pelipur hati, setelah bolak-balik ke toilet, karena susahnya buang air kecil.
19
Hari itu aku lanjutkan tugasku sampai sore dengan memberikan les tambahan
jam pelajaran bagi siswa kelas 3.
Pulang ke rumah badanku sudah terasa pening, mual dan nyeri persendian.
Malam harinya badan mulai terasa demam dan kepala serasa hampir pecah.
Aku telepon Sumi, adikku yang berada di Bandung. Aku menerangkan segala
gejala yang terasa. Dia langsung mencurigai ginjalku rusak dan menyarankan cek ke
laboratorium sambil berobat ke dokter spesialis dalam, jangan ke dokter umum. Sejak
hari Rabu, 22 Februari 2006, badanku ambruk tak bisa kemana-mana. Seluruh
persendian terasa copot. Mual yang hebat bahkan lebih dahsyat dari sakit maag yang
pernah kualami, kepala terasa dipaku. Aku bertahan di rumah sampai hari Minggu.
Baru hari Senin aku pergi ke RSU Garut.
Dr. John Manurung menyuruhku agar melakukan tes urine, darah dan rontgen.
Hasilnya, Kreatinin 7,57, Ureum 114, Asam urat 13,8, Hb 10,8. Aku dianjurkan agar
diet protein dan buah-buahan. Dicoba selama 2 minggu, aku tidak boleh makan
makanan yang berprotein dan buah-buahan. Aku hanya diperbolehkan makan dari
golongan makanan karbohidrat saja.
Bisa anda bayangkan, lidahku yang kehilangan rasa malah tiap saat hanya boleh
makan karbohidrat saja. Jadi, mulai saat itu aku sadar, bahwa kenikmatan hidupku
sudah dikurangi oleh Allah Swt. Yang memiliki segala rasa nikmat. Tiap hari paling-
paling aku makan nasi dengan kerupuk, ranginang, jagung beledug atau makan ubi
Cilembu.
Dua minggu yang dijanjikan dokter sudah lewat. Aku memeriksakan diri lagi ke
dr. John. Obat yang kuminum selama dua minggu hasilnya nihil. Aku harus
menjalankan diet itu 2 minggu lagi.
Selain dari dr. John, aku juga kasak-kusuk ke sana-ke mari mencari alternatif
lain. Berbagai jamu, ramuan obat tradisional sampai jamu herbal X, perusahaan top
MLM terbesar di Cina, aku konsumsi. Habis jamu herbal X sampai Rp.2 juta, tidak
ada hasilnya. Badanku malah sudah mulai bengkak-bengkak.
Tanggal 20 Maret 2006, aku memeriksakan diri lagi ke dr. Jhon Manurung.
Hasil tes darah dari laboratorium dan USG, dr. John memvonis bahwa ginjalku
mengalami pengerutan/pegecilan volume ginjal. Aku harus menjalani cuci darah!
Masih terngiang di telingaku ketika dr. John berkata,” Bapak harus sabar,
begitu juga Ibunya, karena Bapak harus menjalani cuci darah di Bandung. Beruntung,
Bapak punya Askes, kalau orang lain belum tentu. Tindakan Bapak sudah tepat
20
datang kepada saya. Tolong jangan percaya kepada orang lain yang mengaku lebih
pintar dari dr. John.” kata-katanya begitu tandas dan meyakinkan.
Aku dan istri masih tak percaya dengan keputusan dokter bahwa aku harus cuci
darah, walaupun doker menyarankan agar cepat mengambil keputusan.
Bumi terasa gelap, dada sesak, otak tak bisa lagi berpikir logis. Perasaan hampa.
Kematian rasanya sudah dekat. Mata sembab, bengkak dan merah. Badanku lesu,
lunglai tak bertenaga, cemas resah, rasa bersalah, rasa berdosa dan segala rasa nyeri,
yang tak bisa lagi terperikan dengan kata-kata. Aku tak bisa menyanggupi perintah
dokter, agar aku menjalani cuci darah.
Datang ke rumah pun sama, perdebatan sengit terjadi antara istri, orang tua,
adik-adik, anak-anak dan sahabat-sahabatku. Mereka semua tak percaya kalau aku
harus cuci darah.
Aku masih bertahan dengan menkonsumsi obat X, karena janjinya bisa
menyembuhkan penyakit ginjal. Tapi saat aku kontak semua distributor sampai ke
pusat yang ada di Jakarta dan aku tanyakan, “ Siapa orangnya yang sudah divonis
gagal ginjal dan menjalani cuci darah bisa sembuh dengan obat X tersebut ?”.
Ternyata tak ada seorang pun yang bisa membuktikannya. Seandainya ada seorang
pasien gagal ginjal yang sudah sembuh, maka akan aku kejar sampai ke ujung dunia
sekalipun. Untuk membuktikan dan meyakinkan diriku yang sudah mulai gundah
gulana.
Akhirnya tanggal 5 April 2006, aku cek darah lagi di laboratrium, ternyata kadar
racun di tubuh malah bertambah menjadi Kreatinin 7,81, Ureum 142, Asam Urat 14,6,
dan Hb 5,0. Aku sudah tak tahan dengan rasa sakit dan pasrah untuk menjalani cuci
darah. Aku meminta tolong kepada istriku agar menemui lagi dr. John untuk meminta
surat rujukan ke Bandung dan segala persyaratan Askes lainnya. Tekadku sudah bulat,
cuci darah!
Benar saja, sabda dr. John, “Jangan percaya kepada siapapun di sekelilng Anda,
jika ada yang mengaku-ngaku lebih pintar dari dr. John!” terbukti. Tiap orang yang
memberikan solusi dan obat untuk gagal ginjal dari sahabat, kerabat dan orang-orang
dekat lainnya tak ada yang mujarab. Berarti aku harus mempercayai dr. John. Saat ini,
satu-satunya obat hanyalah cuci darah.
Jurig
21
Sesaat sebelum pergi ke Bandung, Sumi Azizah adikku, menyarankan agar
mencoba berobat ke dr.Rully Roesli, ahli ginjal, untuk menghabiskan rasa
kepenasaran. Usulan tersebut akhirnya disepakati juga. Kami berangkat ke Bandung
pada hari Jumat, 7 April 2006.
Baru saja duduk, dr. Rully sudah mempertanyakan mengapa aku baru datang
berobat kepadanya, padahal seharusnya 3 tahun yang lalu. “Anda seharusnya datang
kepada saya 3 tahun yang lalu!”, katanya.
Aku heran,” Kok, dokter tahu bahwa saya ini sakit sejak tiga tahun lalu?”.
“Saya sudah pengalaman, dengan cara melihat Anda berjalan dan melihat wajah
Anda saja, saya sudah tahu bahwa penyakit Anda itu sudah diderita sejak 3 tahun
yang lalu. Ya, karena berdasarkan dari pengalaman itulah kadang-kadang seorang
dokter tindakannya seperti dukun, bisa meramal”, begitu dia menjawab pertanyaanku
sambil tertawa terbahak-bahak.
Ruangan dr. Rully yang luas, bersih, adem, harum dan diiringi musik yang
mengalun merdu komplit dengan sikapnya yang ramah, murah senyum bisa
memberikan rasa optimis.
Aku disarankan minum obat dulu selama 2 minggu.
Bukan hanya aku yang merasa gembira, tapi juga istri, anak-anak, orang tua,
adik-adik dan sahabat-sahabatku. Wajah yang sudah kebingungan, stress, was-was
mendengar keputusan dr. Rully yang demikian sedikit melegakan, walaupun resepnya
hampir Rp.700 ribu.
Obat dari dr. Rully yang seharusnya aku minum untuk 2 minggu, ternyata tidak
mampu mengubah keadaan. Badanku makin loyo, wajah sudah bengkak, mata
memerah, kepala sakit tak terperikan lagi, mual terus-menerus. Baru 10 hari, aku
memaksa kembali lagi pergi ke tempat dr. Rully berpraktek di Perisai Husada.
Senin 17 April 2006, pukul 20.00 WIB, aku adukan seluruh keluhanku kepada
dr. Rully. Dia memeriksaku dengan teliti. Napasku sudah terengah-engah. Mata terasa
buram dan menonjol ingin meloncat dari kelopaknya. Detak jantung serasa tak
beraturan lagi. Denyut nadi di leher terasa meletup-letup. Kepala rasanya mau pecah
seperti gunung berapi yang mau meletus.
Selesai memeriksa dr. Rully malah memberikan lagi resep. Aku masih sempat
berpikir, buat apa lagi resep? Obat yang sepuluh hari lalu saja, mahalnya bukan main,
tapi hasilnya tidak ada sama sekali. Malah tambah parah.
22
Adik dan istriku yang selalu setia mendampingi, diam saja. Aku protes dan tak
mengerti akan tindakan dokter seperti itu. Akhirnya dengan segenap keberanian dan
sisa-sisa akal sehat, aku bertanya juga, “Maaf,Dok! Apakah dengan resep yang Dokter
berikan, sakit saya bisa sembuh? Kemarin juga dengan resep dari dokter yang
seharusnya 2 minggu, malah hanya bisa bertahan 10 hari !”.
dr. Rully tidak menjawab langsung, dia merogoh laci mejanya dan
mengeluarkan setumpuk kartu berobat. “Lihat ini,Pak!”, jawabnya, “Ini katu berobat
pasien saya sejak tahun 1993 sampai sekarang. Berarti kurang lebih sudah 13 tahun
dia berobat kepada saya 2 minggu sekali, rutin”.
“Sampai sekarang belum sembuh? Bagaimana keluhannya hilang?” aku
memberondong dengan pertanyaan, karena penasaran.
“Nah, ini dia Pak! Sampai sekarang, ya, masih berobat. Keluhannya tetap ada.”
“Jadi, bagaimana dengan saya?”, kataku yang sudah tak sabar.
“Begini, Pak! Bapak tahu jurig * ?”
“Tidak..!”
“Tapi sering bukan, mendengar kata jurig ?”
“Ya..!”
“Bapak takut kan sama jurig ?”
“Tidak..! Sejak kecil juga saya tidak takut.”
“Bagus! Biasanya orang mendengar kata jurig saja, dia itu sudah takut,
walaupun dia belum pernah bertemu atau melihat jurig. Nah, hal ini seperti kata cuci
darah. Orang barat kalau Kreatinin darahnya baru 3 saja sudah cuci darah, karena
yang normal itu cuma 1 kadar kreatinin darahnya. Orang Asia, walaupun Kreatininnya
sudah mencapai 8, dia datang ke dokter, masih memohon agar tidak menjalani cuci
darah. Hanya minta makan obat saja. Jadi, orang Asia jika mendengar kata cuci darah
itu seperti mendengar kata jurig. Takut, padahal kalau dia cuci darah mungkin bisa
lebih baik.”
“Oh, jadi Dokter menganggap saya takut untuk menjalani cuci darah? Saya tidak
takut, Dok! Kalaulah memang cuci darah itu jalan satu-satunya, ya sudah! Saya minta
surat pengantar saja untuk menjalani cuci darah.”
dr. Rully tersenyum, kemudian berkata,”Nah, itu yang saya harapkan. Jadi, saya
akan mengganti resep ini dengan surat pengantar. Mau di mana Anda menjalani cuci
darah?”
“Di RS Al-Islam By Pass saja, Dok! Biar dekat dari Garut.” kataku.
23
“Oke, saya buat surat pengantarnya, ya! Saya sarankan Anda jangan lupa minum
Vitamin 4 S saja!”
“Apa Dok?Vitamin 4 S itu?”
“Vitamin 4 S itu adalah : Shalat, Sabar, Semangat, dan Sehat bersama cuci
darah.
Harus selalu diingat,ya! Anda itu orang normal dan sehat, hanya bersama cuci
darah.”
“Ya, ini suratnya. Selamat menjalani dunia baru!” kata dr. Rully sambil
tersenyum puas.
* Jurig artinya hantu.
Perkenalan dengan Evi Arpan
Rumah Sakit Al-Islam yang menjadi tujuanku untuk menjalani cuci darah
ternyata tidak bisa menerima pasien baru, karena jadualnya sudah penuh dan fasiltas
mesinnya terbatas. Adikku yang mengurus segala persyaratan, surat-surat dan
prosedur yang harus ditempuh terpaksa beralih tempat. Aku mengetahui hal itu
setelah dia selesai mengurus segalanya di Rumah Sakit Khusus Ginjal
Ny.R.A.Habibie Jalan Tubagus Ismail, Bandung.
Jadual yang ditentukan oleh pihak rumah sakit adalah hari Rabu dan Sabtu sore,
padahal hari itu, Selasa, 18 April 2006 . Kalau aku harus menunggu sampai besoknya
lagi, mungkin kisah hidupku tamat sampai di situ, karena aku sudah tak tahan.
Kepalaku selalu tertunduk tak tahan menahan nyeri di tengkuk, mata rasanya mau
lepas, susah membuka kelopak mata, kaki susah melangkah, sekujur tubuh bengkak-
bengkak, napasku pendek-pendek. Otakku tak bisa lagi berpikir waras. Aku pasrah
dengan segala keputusan Allah yang menguasai jiwaku. Apapun yang terjadi aku
sudah pasrah. Dzikirku hanya bisa diucapkan di dalam hati, “Subhaanallah,
walhamdulillah, walaailaahaillallah, wallaahuakbar” tak lepas. Batinku menjerit
memohon kepada Allah agar penderitaanku segera berakhir.
Seluruh keluargaku sudah panik. Hanya adikku, Sumi, dia menyuruh aku agar
segera menghubungi Evi Arpan.
Siapa Evi Arpan itu?
24
Dia adalah pasien gagal ginjal yang sudah banyak makan asam garamnya
masalah cuci darah. Kebetulan tempat tinggalnya hanya sekitar 500 m, tidak jauh dari
rumah adikku, Nurbayani Saleha di Saibi, Cijerah, Bandung sebagai tempat
persinggahanku sementara, selama berobat di Bandung.
Saat itu juga Evi Arpan diundang ke rumah adikku untuk dijadikan nara sumber
sekaligus gambaran bagiku dan seluruh keluargaku yang siap menyimak segala materi
pengalaman hidupnya selama cuci darah kurang lebih 17 tahun itu.
Sungguh suatu prestasi luar biasa, ketabahan, ketawakalan, kesabaran, kegetiran,
kengerian dan semangat hidup yang susah untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Evi Arpan, seorang pemuda yang telah memberikan inspirasi dan keteladanan
hidup bersama cuci darah sejak berusia 16 tahun. Dia mampu melanjutkan sekolah ke
SMA, kuliah, sampai kemudian bekerja layaknya orang yang sehat sebagai Tata
Usaha di salah satu Madrasah Aliyah di Kota Bandung.
Andaikan kutuliskan kisah hidupnya, mungkin tidak akan selesai 3 atau 4 bulan,
karena berjuta pengalaman yang pernah ia lalui.
Biarpun tubuhnya yang kecil, tangannya yang rusak, urat nadinya yang
membengkak melintang sebesar jari seperti kue tambang yang melilit di kedua
tangannya, bekas dua kali operasi AV shunt atau Cimino dan beribu-ribu tusukan
jarum pistula. Namun wajahnya yang kehitaman itu masih memancarkan semangat
hidup yang tinggi.
Oke! Aku angkat topi padanya.
Dari seorang Evi Arpan aku mendapatkan suntikan segar vitamin semangat
hidup. Evi, dia masih bujangan. Tidak ada yang menjadi tanggungannya, tapi dia
masih terus memiliki semangat hidup yang tinggi. Akhirnya tersadar kembali, aku
masih memiliki tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak-anakku yang masih
kecil. Keempat anakku masih membutuhkan figure seorang ayah. Apalagi Si Bontot,
Cici, biasa ia dipanggil, anakku yang paling kecil dan saat itu baru berusia 1 tahun.
Dialah anakku yang paling lucu, yang memotivasiku untuk bangkit lagi dari ketidak
berdayaan. Aku jadi malu di hadapan Allah Swt.
Atas saran Evi, bahwa aku harus segera menjalani cuci darah saat itu juga. Dia
tahu persis kondisiku. Dia bilang, “Pak! Bapak harus hari ini juga cuci darah. Jangan
menunggu sampai besok! Saya khawatir Bapak tidak akan bertahan, karena racun di
tubuh Bapak sudah banyak sekali, harus segera dikeluarkan.”
25
“Ya, memang saya pun sudah tak tahan. Tadi malam juga sudah tak bisa tidur
sama sekali. Badan sudah serasa remuk. Tapi bagaimana caranya bisa cuci darah
sekarang? Jadual saya harus besok sore”.
“Oh, bisa Pak! OT saja!” jawab Evi.
Aku heran tak mengerti, “OT?” pertanyaanku singkat.
“Ya, OT. OT itu cuci darah diluar jadwal yang ditentukan, hanya harus
memberikan biaya tambahan sebesar Rp 100.000,00 sekali cuci. Kapan pun Bapak
mau, pasti dilayani asal telpon dulu Mas Kamto yang mengurus jadualnya”. Evi
menerangkan dengan penuh semangat.
Belakangan, baru aku mengerti bahwa OT itu singkatan dari over time, artinya
cuci darah di luar jadual yang sudah ditentukan.
Saat itu juga aku langsung menghubungi Mas Kamto penentu kebijakan masalah
jadual cuci darah di Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. R. A. Habibie, Bandung.
Alhamdulillah, terjadi kesanggupan menerimaku untuk cuci darah pukul 15.00.
Hampir seluruh keluargaku menumpahkan tangis bahagia, karena telah ada
jalan keluar saat kondisi badanku sudah kritis.
Pada pukul 14.00 kami berangkat dari Saibi, Cijerah ke Tubagus Ismail menuju
RSKG Ny. R.A. Habibie.
Pelayanan pertama yang sungguh mengesankan, karena keramah-tamahan
segenap karyawan RSKG mulai dari satpam, cleaning service, perawat sampai dokter
yang menanganiku semuanya baik, sopan, ramah, selalu tersenyum juga memberikan
pelayanan dan perawatan professional terbaik. Di samping sentuhan lembut para
perawat, penuh perhatian saat mendengarkan keluhan pasien dan kecekatan mereka
merawat pasien bisa aku rasakan. Begitu datang di gerbang pagar depan RSKG,
satpam sudah menyambut dengan anggukan kepala dan senyum yang ramah. Ada
juga satpam yang segera menyodorkan kursi roda pada saat aku turun dari mobil.
Kemudian mendorong dan mengantarkanku sampai ruang tunggu di lantai II.
Beberapa saat kemudian aku dipersilakan memasuki ruangan yang luas, terdiri dari 17
tempat tidur yang mengelilingi meja dokter dan perawat.
Aku berbaring di atas ranjang yang otomatis bisa ditinggikan atau direndahkan
sesuai keinginan atau sandarannya yang mau diatur berapa derajatnya, dengan
menggunakan remote controle. Beberapa meter di atas kepala ada AC yang membuat
pasien lebih nyaman. Dengan posisi ranjang yang berderet dan bersebrangan dengan
26
pasien lain, juga tersedia fasilitas hiburan, beberapa TV kabel yang siap memberikan
hiburan untuk sekedar mengusir rasa kesal berjam-jam terbaring saat cuci darah.
Saat itu, aku sudah sulit bernafas. Maka dokter segera memberikan oksigen.
Sampel darahku diambil untuk membeli 2 labu darah ke PMI. Mesin EKG dipasang
untuk memeriksa jantungku. Hasilnya, jantungku masih baik, tapi aku disarankan
memakai cuci darah system karbonat, bukan asetat. Aku belum begitu mengerti
tentang perbedaan keduanya.
Mas Slamet dan perawat lainnya yang selanjutnya menanganiku. Jarum pistula
siap dipasang di selangkangan kaki kiri untuk mengeluarkan darah yang dialirkan ke
mesin penyaring, kemudian darah segarku yang mengalir itu akan dimasukkan lagi
pada pembuluh darah di tangan kiri. Sebelum menusukkan jarum pistula, di
selangkangan diberi injeksi anestesi lokal dulu agar tidak terlalu sakit, karena jarum
pistula itu besar sekali dan harus berjam-jam terbenam di selangkangan.
Wow! Tusukan pertama jarum itu membuat mataku yang sudah redup langsung
terbelalak. Aku pun merintih, menjerit, menahan sakit yang sampai ke ulu hati.
Tusukkan yang menyelamatkan hidupku. Tusukan yang menyalakan harapan dalam
kegelapan masa depanku.
Pukul 17.00 WIB, Selasa, 18 April 2006 kisah hidup pertama kali berkenalan
dengan mesin cuci darah.
Bunyi kretek-kretek mesin cuci darah diselingi bunyi alarem peringatan serta
kilatan lampu merah yang berkelip-kelip kalau terjadi sesuatu yang salah harus
dinikmati selama 2 jam. Selanjutnya akan berlangsung kontinyu setiap hari Selasa dan
Jum’at dan berangsur-angsur limit waktu bertambah menjadi 3 jam sampai 4 jam
pada saat cuci darah yang ke dua dan ke tiga.
Kepala yang tadinya terasa berat berangsur-angsur ringan. Pandangan yang
asalnya terasa buram, bahkan hampir gelap mulai terasa terang lagi, napas pun terasa
ringan. Badan mulai terasa segar setelah 2 jam cuci darah dan mendapat tranfusi 2
labu darah. Tapi rasa nyeri yang hebat harus terulang saat jarum pistula di
selangkangan harus dicabut kemudian bekas tusukan jarum yang besar itu harus di
tekan dengan kuat sekitar 15 menit, agar urat nadi yang bolong bekas tusukan tidak
memuncratkan darah dan lubangnya tertutup lagi. Begitu juga bekas tusukan jarum di
tangan kiri, sama, harus ditekan dulu 15 menit agar mengering.
Jangan bertanya bagaimana rasanya! Anda bayangkan saja sendiri!
27
Selesai sudah, pengalaman pertama cuci darah yang sangat menakutkan, apa
yang dikatakan dr.Rully seperti bertemu “jurig” itu aku alami. Aku pulang lagi ke
Cijerah, rumah adikku yang pertama, Nurbayani Saleha yang berprofesi sebagai Ibu
Panti Sosial Asuhan Anak Nurul Ihsan. Aku sadar betul bahwa kondisiku masih
sangat lemah jika harus kembali ke Garut. Dan aku sadar betul bahwa cuci darah ini
baru permulaan yang harus aku jalani seumur hidupku, minimal 2 kali seminggu
secara rutin dan kontinyu.
Mampukah aku bertahan hidup dengan cuci darah? Entahlah, hanya Allah Swt
Yang Maha Mengetahui segalanya.
Diposkan oleh bang_qory di 18:16 0 komentar Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
Sabtu, 04 September 2010
Derita Paling Menderita
Mike Tyson, si Leher Beton, petinju legendaris, tentu Anda ingat. Sekuat
apapun dia, jika sedang berada di atas ring tinju dan siap melayangkan bogem
mematikan, tetapi tiba-tiba tubuhnya terserang gatal-gatal, pasti tidak bisa berkutik.
Begitulah kira-kira gambaran bagaimana dahsyatnya gatal-gatal bisa membuat
orang sedigjaya apapun akan menjadi tak berdaya.
Kejadian yang sangat menyakitkan ini pernah kualami saat cuci darah yang
keempat kalinya. Pinggang, paha, sampai betis kaki kiriku bengkak, merah lebam.
Darah dibawah permukaan kulitnya beku, warnanya hitam kebiru-biruan. Rasanya
menyakitkan sekali. Akibat dari tusukan jarum pistula yang kurang tepat di
selangkangan, saat pertama kali cuci darah. Tepat di bekas tusukan itu pun terjadi
abses (pembengkakan) hampir sebesar telur ayam. Sehingga kaki kiri saya sulit untuk
bergerak seperti orang yang terserang Cikungunya.
Tangan kiri baru sehari menjalani operasi cimino/AV shunt, sama tak bisa
bergerak leluasa dan masih bengkak. Apalagi, bekas sayatannya hampir mendekati
sikut. Jadi, gerakan tangan kiri pun terhambat. Sedangkan, tangan kanan dan
selangkangan kaki kanan masing-masing terpanggang jarum pistula cuci darah.
Lengkaplah belenggu yang tak berbelenggu bagi seluruh anggota tubuhku, ikatan erat
yang tak bertali dan membuat aku tak bisa bergerak sedikitpun. Hingga aku harus
bertahan dalam kondisi berbaring seperti mayat selama lebih kurang 4 jam cuci darah.
28
Selang oksigen juga terpasang di hidung agar napasku terasa ringan. Namun
menambah ketidak nyamanan untuk bergerak. Dua buah labu darah sudah
dipersiapkan guna memperbaiki Hb yang hanya 5,0 mlHg. Inilah yang menjadi virus
malapetaka, penyebab utama terjadinya derita yang paling menderita.
Bagaimana bisa?
Ya, dengan transfusi darah itu, aku tersiksa.
Labu pertama terpasang bersamaan dengan proses cuci darah. Pada 15 menit
awal, berjalan lancar-lancar saja. Memasuki menit ke-16 mulai terasa gatal di telinga
sebelah kiri. Aku meminta tolong istri untuk menggaruknya. Beberapa detik
kemudian bertambah pula rasa gatal itu ke telinga kanan.
Gatal itu terus berkembang biak bak jamur di musim hujan, menyerang
punggung, pinggang, pantat, kaki, tangan dan wajah.
Aku segera minta tolong diberi obat anti gatal. Mas Slamet sebagai perawat
yang sigap cepat memasukkan injeksi interhistine 1 ampul. Gatal di tubuhku
bukannya mereda, malah semakin menjadi-jadi. Aku meminta bantuan tambahan
pasukan penggaruk Yayu dan Zaki, adik-adikku. Agar bisa menggaruk seluruh bagian
tubuh yang terasa panas, gatal dan menyakitkan. Karena tangan dan kakiku tak bisa
bergerak sama sekali. Injeksi interhistine ditambah lagi sampai habis 4 ampul. Tapi
hasilnya tetap nihil, malah gatalnya tambah seru.
Aku menjerit, merintih menahan sakit, rasa gatal dan jengkel karena garukan
mereka banyak meleset dari instruksi sasaran yang kuinginkan. Akhirnya aku hanya
bisa pasrah tak berdaya. Aku mengakui segala kelemahan diri di hadapan Allah Swt.,
Yang Maha Kuasa, Yang Maha Menguasai jiwa. Aku hanya bisa menggigit bibir
bagian bawah untuk menahan derita yang paling menderita sambil memanjatkan doa
memohon kekuatan dalam batin, “Laahaula walaa Quwwata illa billaahi aliyul
adziim..!”
Air mata kepasrahan kepada Allah Swt yang menguasai jiwaku terus mengalir.
dr. Rusma, dr. Cut Indra dan Mas Slamet menghampiriku. “Labu darah pertama
sudah habis. Bagaimana,Pak? Mau dilanjutkan dengan labu yang kedua?” kata
dr.Rusma.
Beberapa saat aku tak bisa menjawab. Batinku berperang sabil antara
melanjutkan transfusi atau tidak? Karena aku tahu, penyebab gatal itu adalah
penolakan tubuh terhadap darah asing yang masuk (alergi terhadap darah yang kurang
cocok).
29
Jika dilanjutkan, aku harus menahan penderitaan yang tak terperikan ini lebih
lama. Tapi jika tidak dilanjutkan, badan akan semakin lemah karena Hb-ku yang
sangat minim dan sayang labu darah yang satunya lagi akan terbuang sia-sia. Padahal
harganya cukup mahal, juga perjuangan untuk mendapatkannya sangat melelahkan.
Gejolak batin dan pikiranku terus berperang antara ‘ya’ dan ‘tidak’. Mas Slamet
mendesak, “ Pak, bisa bertahan jika dilanjutkan transfusinya?”
Aku masih belum bisa menjawab. Telinga dan wajahku terasa bengkak. Istriku
juga mengatakan bahwa wajahku bengkak, telingaku menebal beberapa millimeter
dan berbintik-bintik merah. Bisa Anda bayangkan sendiri, betapa menderitanya aku
saat itu.
Selanjutnya aku berpikir belum ada orang yang mati gara-gara gatal. Memang
ada sih, gatal yang mengakibatkan kematian. Yaitu, gatal yang digaruk di tengah jalan
tol lalu tertabrak kendaraan. Ya, mati deh..!
Aku mencoba mengumpulkan segenap keberanian dan kesabaran dalam ketidak
berdayaan untuk melanjutkan tranfusi tersebut, walaupun aku tahu resiko yang harus
aku tanggung berat sekali. Namun aku yakin Allah Swt yang menguasai jiwa ragaku
pasti memberikan kekuatan 2 jam ke depan untuk menahan segala derita ini.
Aku jawab tantangan Mas Slamet dengan hati mantap dan tekad yang bulat “Ya,
Mas! Lanjutkan saja, insya Allah saya kuat!”
Anak, Istri dan adik-adikku yang berada di sekelilingku dan menyaksikan
kejadian itu semuanya meneteskan air mata. Air mata sedih, haru dan pasti bisa
merasakan bagaiman penderitaan yang harus aku jalani selama 2 jam lagi.
Kepasrahan. Ya, hanya kepasrahan diri yang bisa mengantarkan dan melewati
masa-masa kritis semacam itu. Hanya Allah-lah yang bisa menolong jiwaku. Tak ada
makhluk lain. Sambil menggigit bibir bagian bawah dan memejamkan mata, aku
tuntaskan perjuangan melawan rasa gatal serta tak pernah lepas dari doa,
”Laailaahaillallah, Laahaula walaaquwwata illa billaah aliyyul adziim”.
Setelah cuci darah selesai, ketika turun dari pembaringan kakiku tak bisa
bergerak, lemas tak bertenaga. Saat aku mencoba berdiri malah mau ambruk.
Perasaanku cemas dan takut kalau-kalau kakiku menjadi lumpuh. Beruntung, dr.
Rusma memberikan penjelasan bahwa kondisi demikian tidak akan berlangsung lama.
Ini hanya efek samping dari obat anti gatal yang diberikan tadi.
30
Sepanjang perjalanan pulang dari RSKG menuju ke Cijerah, aku masih sibuk
menggaruk-garuk sekujur badan sepuasnya. Hitung-hitung balas dendam, karena
selama cuci darah tadi tidak bisa menggaruk sendiri.
Kesempatan Hidup Kedua
Beberapa minggu setelah kejadian itu, ada lagi peristiwa yang lebih mengerikan.
Seandainya saat ini Anda sedang membaca tulisan ini, tiba-tiba aku ajukan
pertanyaan, “Apakah Anda siap saat ini, detik ini juga malaikat Ijrail menghampiri
Anda, kemudian mencabut nyawa Anda?”. Aku yakin jawabannya pasti “Tidak siap!”
atau kemungkinan besar jawabannya seperti itu. Karena Anda kaget dan sungguh
diluar dugaan, tanpa persiapan mental sedikit pun. Tapi kalau rasa keimanan Anda
kuat, pasti Anda pun menjawab, ”Siap! Kapan pun dan di mana pun saya pasti siap!”
Barangkali kondisi seperti itulah yang aku alami pada hari Kamis, 20 Juni 2006.
Badanku masih kuat untuk berjalan kaki sekedar turun dari angkot menuju lantai II
ruang tunggu cuci darah di RSKG Ny. R.A. Habibie. Segera aku berdiri di atas
timbangan yang tersedia untuk mengetahui berat badanku. Jarum timbangan
menunjukkan angka 46,5 kg, berarti ada kenaikan berat badan 2,5 kg selama 3 hari
sebelumnya. Aku selalu mencatatnya di buku agenda pasien. Rutinitas timbang-
menimbang berat badan sudah menjadi kewajiban baru sejak menjalani cuci darah.
Setiap datang dan pulang pasien wajib mencatat berat badannya, agar tim medis bisa
menentukan banyaknya cairan yang harus dibuang dari tubuh pasien.
Moment cuci darah bisa aku gunakan untuk makan. Hal ini juga banyak dialami
pasien lain. Karena saat inilah biasanya alat pencecap agak normal, bisa merasakan
segala rasa makanan dengan tepat, rupanya karena racun (ureum dan kreatinin) di
tubuh sedang dikeluarkan. Tetapi begitu selang cuci darah dilepas, beberapa puluh
menit kemudian alat pencecap itu kembali krodit, tidak sensitive lagi terhadap rasa.
Saat itupun aku disuapi istri tercinta. Aku makan dengan lahap. Banyak yang iri
melihat kami selalu mesra. Sehingga, makan saat cuci darah adalah saat yang dinanti-
nanti, karena hanya bisa dinikmati 2 kali seminggu.
Jam-jam pertama cuci darah tak ada kendala. Memasuki 15 menit terakhir jam
ke-4, tiba-tiba kedua kakiku terasa dingin, nyeri dan kram. Kemudian kepala juga
31
dingin dan pusing berat, pandangan kabur, berkunang-kunang dan menghitam. Bumi
di sekelilingku rasanya akan runtuh, gelap. Napas tiba-tiba berat dan sesak. Mual tak
tertahankan dan dada pun terasa ditumbuk-tumbuk. Sekelebatan aku masih bisa
melihat suster Neti di sebelahku. Beruntung, aku masih bisa berteriak, “Suster
pusing…!”
Suster Neti dengan sigapnya segera menurunkan posisi kepalaku supaya sejajar
dengan badan sebab asalnya posisi kepalaku bersandar agak tegak. Tujuannya agar
aliran darah ke kepala bisa lancar, selang oksigen cepat-cepat dipasang untuk
membantu pernapasan. Dokter jaga dan perawat lain berdatangan, tensi darahku tiba-
tiba drop menjadi 80/60. Aku terkulai, selang cuci darah juga cepat dicabut, padahal
masih tersisa beberapa menit lagi.
Antara sadar dan tidak, aku berjuang terus, bernapas dan mengembalikan
segenap energi yang masih tersisa. Perlahan-lahan perubahan itu berlangsung,
kemudian napas terasa agak ringan, pandangan pun tidak terlalu gelap. Hanya kepala
masih terasa pening. Tensi darah mulai naik lagi dan beberapa puluh menit kemudian
agak normal 110/70.
Setelah napas kembali normal begitu juga tensi darahku menjadi 120/80, aku
diperbolehkan pulang.
Dengan kursi roda aku menuju angkot Mang Dadang yang sudah siap
menjemput, baru beberapa puluh meter saja angkot itu meninggalkan RSKG tubuhku
tiba-tiba menggigil, meriang merasa kedinginan hebat. Kepala pusing dan mual yang
dahsyat tak tahan. Aku muntah-muntah, terkuras seluruh isi perut keluar semua, jerih
payah istriku menyuapiku waktu cuci darah terbuang sia-sia.
Jarak antara RSKG di jl. Tubagus Ismail sampai ke Panti Sosial Asuhan Anak
Nurul Ihsan di jl. Mekar Manah no.7 Cijerah (Perum Saibi) serasa berpuluh-puluh
jam. Selama perjalanan itu, istriku berusaha mendekapku dengan penuh kasih sayang.
Setiba di Saibi aku tak mampu lagi berdiri apalagi berjalan. Selain istriku dan adiku,
beberapa anak panti ikut membantu menggotong badanku agar sampai di tempat tidur.
Kondisiku makin lemah, kaki tanganku tak mampu bergerak, jari-jari pun tak
mampu bergerak. Dingin menjalar ke sekujur tubuh terutama kaki sampai
pinggangku. Istri dan adik-adiku sudah panik, sekilas saja kulihat mereka semua
sudah menangis bingung harus bagaimana menolongku yang tak berdaya saat itu.
Wajah kakekku tiba-tiba saja terbayang di benakku saat beberapa menit lagi
menjelang ajalnya tiba. Pengalaman dahsyat itu kembali kusaksikan dari file
32
memoriku. Pada saat kakekku melepaskan napas terakhir di pangkuanku. Ibuku juga
detik-detik akhir hidupnya aku saksikan sendiri. Kondisi terakhirnya sama seperti aku
saat ini, dimulai dengan turunnya suhu tubuh di kaki terus beku, merambat ke paha
selanjutnya ke dada, akhirnya melepaskan napas terakhir untuk menuju keharibaan
Allah Swt.
Saat itu hanya hati dan keimanan yang masih menerangi jiwaku dan
menuntunku untuk terus berjuang hidup. Aku pasrah dan menyerah akan segala takdir
yang digariskan Allah Swt. “Aku menerima segala keputusan-Mu, Ya Allah!.
Seandainya malaikat Ijrail mau menjemputku agar aku segera bertemu dengan-Mu
aku rela. Karena aku ini milik Engkau semata. Tetapi seandainya ajalku belum tiba,
tolonglah hamba! Berilah hamba kekuatan untuk bisa bertahan hidup sampai batas
yang telah Engkau tentukan”, begitu jerit batin yang aku panjatkan. Dalam keadaan
hampir seluruh keluarga panik, takut, stress, cemas, khawatir, istriku masih berpikir
bagaimana caranya agar suhu tubuhku menjadi hangat kembali. Selain selimut dan
bantal yang sudah ditumpuk di atas tubuhku agar hangat, ia cepat mengisi buli-buli/
umbit (kantung karet yang bisa di isi air panas), ditambah dengan botol bekas air
minum mineral dan botol kaca bekas sirup buah yang di isi air panas juga. Dua botol
bekas sirup buah yang besar-besar di simpan di betis, dua botol bekas air mineral di
paha dan buli-buli/umbit di atas dada.
Adik-adikku, Nurbayani Saleha, Zaki Sukmaya, dan Yayu Fauziah bergantian
memijit-mijit telapak kaki dan telapak tangan. Mungkin tujuannya agar darah yang
seperti membeku dapat mengalir dengan cepat dan bisa berganti dengan yang hangat
karena air panas tadi.
Hampir 2 jam mereka memijit-mijit telapak kaki dan tangan, serta mengurut
betis sambil terus meneteskan air mata dan berdo’a, baru terasa ada perubahan, suhu
tubuh mulai naik. Badanku mulai hangat lagi. Tapi semua energiku serasa musnah.
Aku masih terkulai, namun kelopak mataku sudah mulai bisa terbuka.
Atas izin Allah pula, aku mulai bisa diajak komunikasi walaupun dengan suara
yang sangat pelan dan berat. Istriku berinisiatif menawarkan minum teh manis. “Biar
ada energi.” katanya. Aku hanya mengedipkan mata tanda setuju. Beberapa sendok
teh manis yang disodorkan istriku bisa mulus melewati tenggorokan. Kemudian dia
juga menawariku makan makanan bayi berupa bubur cair produk Nestle. Jawabanku
sama, hanya kedipan mata pula. Istriku secepat kilat menyajikan bubur Nestle cair
rasa beras merah. Dia menyuapiku dengan sabar, tekun dan penuh cinta.
33
Semangat hidupku timbul lagi. Aku berusaha bisa menelan bubur dan tak perlu
mengunyah sedikit pun. Begitu bubur sudah ada di mulut, langsung glek saja ditelan
dan masuk ke lambung. Dengan ketekunannya menyuapiku, 20 gr bubur Nestle itu
masuk ke dalam lambungku. Dibuatkannya lagi bubur yang kedua. Alhamdulillah,
habis.
Subhanallah, atas kemurahan Allah Swt, aku mulai memiliki energi lagi dan
bisa menggerakkan jari-jari tanganku, sedikit bersuara dan menggerakkan jari-jari
kakiku.
Kejadian menegangkan itu cukup lama, dari sekitar pukul 17.00 sampai pukul
24.00. Adikku, Zaki, masih belum berhenti memijat telapak kaki, karena aku tak mau
darahku kembali menjadi beku. Dia sudah kelelahan dan terkuras mental dan
energinya. Tapi dia masih setia berbakti memijat terus sampai dirinya yakin bahwa
aku sudah pulih. Pukul 01.00, aku baru bisa mengeluarkan suara agak fasih dan bisa
dipahami, walau gerakan tubuhku masih sedikit. Aku menyuruh adikku berhenti
memijat dan beristirahat. “Ki, sudah dulu ya! Istirahat aja dulu! Capek! Terima kasih
ya!” kataku pelan.
Zaki, adikku tidak menjawab. Hanya matanya terus menatapku dengan tatapan
yang berkaca-kaca, lama sekali. Seolah-olah dia ingin meyakinkan diri bahwa aku
masih bisa bertahan hidup sampai besok lusa dan entah sampai kapan. Dia beranjak
ke ruangan tengah untuk beristirahat bersama adikku yang lain.
Sebelum pergi tidur, istriku mengingatkanku untuk shalat Maghrib dan Isya
yang belum sempat kutunaikan. “Pa, shalat dulu ya! Magrib dan Isya kan belum.
Jama qoshor aja semampunya!” katanya pelan. Raut wajahnya agak sedikit berbinar
lagi penuh harapan. Karena usaha dan jerih payahnya bisa berhasil, dan dia pasti
sangat paham, bahwa hakikatnya Allah yang memberikan pertolongan kepada kita.
Aku menjawabnya dengan senyum. Senyum kebahagiaan karena sudah bisa
melewati masa yang sangat kritis, antara hidup dan mati. Aku merasa diberi
kesempatan hidup kedua.
Sambil berurai air mata, aku bertayamum dalam imajinasiku, lalu kutunaikan
shalat Maghrib dan Isya dengan jama qoshor, tanpa bergerak sedikit pun. Kecuali
hanya mengacungkan jari telunjuk saat tahiyyat, karena hanya itulah kemampuanku.
Hanya itu energi yang kumiliki sebagai bakti dan rasa syukurku atas segala
pertolongan Allah Yang Maha Kuasa.
34
Pagi-pagi, aku mulai bisa menggerakkan kaki dan tangan, berbicara pelan-pelan.
Kepalaku masih terasa pusing, tapi aku yakin besok-lusa aku pasti bisa bangkit lagi.
Amiin!
Mimpi
Ya Allah!
Mimpiku menjadi orang normal
Mungkin hanya angan dalam khayal
Yang tak bertepi sampai ajal
Namun aku juga bermimpi
Sakitku pasti akan terobati
Saat aku bisa menikmati
Indahnya cinta-Mu di surga nanti.
Perhiasan Terindah
Pas benar ungkapan sepenggal syair lagu Rhoma Irama yang mengatakan
“Perhiasan terindah itu wanita sholehah”. Fatmah Tresnasih, seorang istri yang aku
sunting pada hari Minggu, 5 Juli 1992 sampai sekarang benar-benar merupakan
perhiasaan terindah dalam hidupku. Sosok perempuan yang tegar, sabar, telaten, tak
pernah mengeluh, penuh daya juang, motivator ulung yang penuh cinta dan kasih,
sesuai dengan namanya Tresnasih. Tresna artinya cinta dan Asih artinya kasih sayang
yang tulus.
Mimih, begitu aku dan anak-anak menyebut namanya. Dialah yang telah
melahirkan 4 permata hidupku yang lain, Faris Fajar Wibawa (17), si sulung yang
ganteng dan tiga dara yang cantik-cantik, Ulfa Shofi Agnia (15), Nazla Gina Farfasya
(10), dan Fhatiya Bilqis Saida (5).
Penandatanganan dan peresmian kontrak hidup bersama dunia-akhirat, kami
sepakati sejak ijab qabul dengan wali dihadapan penghulu tak akan putus, walau
35
kematian memisahkan kami. Ini terbukti dengan begitu setianya dia menjaga dan
merawatku saat aku sudah tak berdaya.
Begitu besar pengorbanannya bagiku dan keluarga. Istriku dituntut harus pandai
membagi waktu, sebagai wanita karir dan sebagai ibu rumah tangga yang baik.
Sebagai wanita karir, dia harus tetap menjalankan tugas mengajarkan Bidang Studi
Bahasa Inggris di SMPN 1 Banyuresmi, Garut. Sebagai ibu rumah tangga, dia harus
menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya.
Tugas istriku yang paling berat adalah merawatku sebagai suaminya. Mimih,
adalah kata pertama yang saya panggil, jika aku sakit. Dia yang pertama kali
terbangun dan terjaga saat tengah malam aku pening, pegal dan linu atau muntah-
muntah. Begadang sampai pagi, sedangkan esok harinya harus mengajar dan mencari
uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan berobat dan cuci darah.
Aku sudah tak bisa berpikir lagi untuk mencari uang. Istrikulah yang sigap
kasak-kusuk, ke sana-ke mari mencari pinjaman. Entah dari mana, aku tak tahu. Biaya
cuci darah memang ditanggung Askes, tetapi banyak obat-obatan yang di luar
tanggungan Askes. Pembelian labu darah, dan yang paling besar biayanya adalah
biaya transportasi. Setiap kali pergi ke Bandung harus merental mobil, karena
badanku semakin lemah dan tak kuat lagi kalau naik kendaraan umum. Ya, setiap cuci
darah harus mengantongi uang minimal 1 juta rupiah.
Bisa Anda kalkulasikan sendiri jika dua kali cuci darah dalam seminggu, berarti
setiap bulan harus mengeluarkan uang Rp 8 juta. Belum biaya tak terduga lainnya
seperti operasi AV shunt atau cimino. Operasi AV shunt atau cimino yaitu operasi
memperbesar pembuluh darah di tangan, agar tidak ditusuk di selangkangan.
Sungguh pengorbanan yang luar biasa. Bukan hanya dituntut bisa memenuhi
kebutuhan untuk berobat, tapi disaat kepalaku pening, istriku mampu memberikan
pijatan lembut yang menggetarkan nadi kehidupan. Pada saat aku terkulai lemas
kehabisan energi, dia menyuapiku dengan penuh kasih sayang. Menyeka seluruh
tubuhku di saat aku tak mampu mandi. Membersihkan seluruh kotoran yang
menempel di badanku. Mengecup pipi kanan, kiri dan keningku dengan penuh
perasaan cinta saat aku akan tidur.
Dialah orang yang pertama kali merasa cemas, gelisah dan pontang-panting
mencari pertolongan, jika aku merintih kesakitan. Dialah yang selalu memberiku
semangat hidup, membesarkan jiwa saat aku merasa putus asa, merasa down, stress
dan kehilangan pegangan. Dialah yang selalu mengajak aku mendekatkan diri pada-
36
Nya! Mengingatkan aku untuk berdo’a, bertasbih, bertahajud dan selalu mengingat
nama- Nya di setiap tarikan nafasku.
Ya Allah! Sungguh malu diri ini dihadapannya. Aku tak bisa membalas cinta,
kasih sayang dan pengorbanannya yang begitu besar, begitu tulus dan begitu murni.
Mustahil aku bisa berpaling ke lain hati. Tak mungkin, impossible!
Bagaimana aku bisa membalas semua itu?
Aku hanya bisa berdo’a dan memohon kepada-Mu ya Allah! Mudah-mudahan ia
mendapatkan ridho-Mu, karena aku pun sebagai suaminya, merasa ridho, bahagia, dan
puas mendapatkan pasangan hidup dirinya yang shalehah.
Tak keliru aku memilih Fatmah Tresnasih sebagai pendamping hidup
selamanya, dunia dan akhirat. Terima kasih Ya Allah!
Uang Bukan Segalanya
Kegiatan rutinku berubah 180 derajat. Biasanya, pagi-pagi sudah berangkat
mengajar, sekarang malah berbaring lesu sambil berselimut tebal. Biasanya berbaur
dengan para guru dan siswa di SMPN 1 Banyuresmi, sekarang harus diam sendirian di
rumah. Biasanya mengurusi orang lain, sekarang malah harus diurus orang lain. Aku
merasa tak berguna lagi. Tugas dan jabatanku harus ditinggalkan. Bahkan kartu
mahasiswa yang baru saja aku terima sebagai tanda bukti menjadi mahasiswa baru, jas
almamater dan kartu KRS di STKIP Garut harus dilupakan begitu saja. Cita-citaku
untuk melanjutkan kuliah hapuslah sudah. Aku harus puas dengan ijazah Diploma 3
saja. Karir, jabatan apalagi penghasilan menyusut drastis setiap bulannya.
Pada bulan April 2006, aku menulis surat pengunduran diri dari jabatan dan
tugas-tugas yang tidak mungkin lagi bisa aku tunaikan dengan alasan kesehatan. Aku
hanya memohon diberi tugas yang ringan dan yang lucu saja di sekolah.
Alhamdulillah Bapak Engkus Kusnadi, S.H., sebagai kepala sekolah mengerti
kondisiku yang harus bolak-balik terus cuci darah ke Bandung.
Tiap kali pergi ke RSKG 2x seminggu, aku tidak mau pusing dengan rentalan
mobil dan sopir. Beruntung, sahabat-sahabat terbaikku selalu siap dan sigap
mempersiapkan semuanya. Pak Jejen, Pak Wawan, dan Mang Ujang mereka
bergantian mengantarku. Biasanya kami berangkat pukul 08.00 dari Garut dan tiba
lagi pukul 18.00 atau 19.00.
37
Anakku yang paling kecil, Cici, begitu nama panggilannya, selalu dibawa pergi
ikut ke RSKG. Banyak yang tertarik dengan kelucuannya. Bahkan seorang pasien,
Pak Bambang, sangat terpesona dengan anakku itu. “Wah, kalau ada Si Cici, 4 jam
cuci darah itu gak kerasa ya! Aneh, padahal di rumah juga banyak anak-anak kecil,
tapi yang ini beda! ” kata Pak Bambang.
Dia selalu menanyakan anakku jika bertemu. Padahal Cuma bisa dadah dan
melontarkan kata-kata yang harus diterjemahkan, karena belum fasih. Ya, memang
Cici itu lucu. Wajahnya bulat, mata sipit, kulit putih, rambut ikal, dan badannya
gemuk, montok. Hanya saja, dia selalu tertawa jika digoda dan seolah-olah bisa diajak
komunikasi, walaupun usianya pada saat itu baru satu tahun.
Kami semakin akrab dengan Pak Bambang, begitu juga istrinya, jadual cuci
darah kami selalu berbarengan. Sayangnya, beliau agak tertutup waktu aku
menanyakan profesinya.
Aku hanya menebak-nebak. Kemungkinan Pak Bambang itu seorang anggota
dewan, karena selalu pakai jas berwarna gelap, beremblim garuda. Postur tubuhnya
tinggi besar. Wajahnya berwibawa. Kata-katanya penuh kharisma. Begitu juga
istrinya, kalau ditanya masalah profesi beliau selalu mengelak. Dia hanya menjawab,
“Bapak itu selalu sibuk, pergi pagi-pagi dan pulang petang, penghasilan pas-pasan
(BP6). Ah, biasa saja wiraswasta!”
Awal bulan Mei 2006, tiba-tiba Pak Bambang berpamitan kepada semua pasien
yang berada di ruangan karbonat yang berjumlah 17 orang. Katanya dia akan pergi ke
Guang Zhou, Cina, untuk transplantasi ginjal. Operasi yang menjadi dambaan semua
pasien GGK. Aku pun memimpikannya, agar bisa hidup normal kembali.
Aku terkesima dan terkagum-kagum, kepada Pak Bambang. Aku bertanya
dengan nada agak menyelidik ingin tahu berapa biayanya, “Berapa Pak biayanya?”.
“Ya, kita mah ambil yang paket hemat aja!” jawab Pak Bambang.
“Oh ya, berapa Pak paket hemat itu?” tanyaku lebih penasaran.
“Sekitar 300 jutaan, itu pun sudah termasuk biaya hidup di sana sekitar satu
setengah bulan”.
“Wah, hebat!” kataku, “Mahal juga, ya?”
“Lumayanlah Pak! Kita juga dapat bantuan dari saudara-saudara”.
“Selamat jalan, Pak! Semoga Bapak sukses transplantasinya!” kataku pelan.
“Amin! Do’anya saja Pak ya!” dia memohon sambil berjabat tangan.
38
“Eh, iya Pak! Kalau nanti Bapak sukses dan berhasil cangkoknya, jangan lupa
kepada kami di sini Pak! Tengok kami ya Pak! Agar kami juga termotivasi untuk bisa
seperti Bapak!” pintaku pada Pak Bambang.
“Pasti Pak, saya tengok! Eh, insya Allah ya!” jawabnya meyakinkan.
Berangkatlah Pak Bambang ke Cina untuk berusaha sembuh dari
penderitaannya.
Setelah keberangkatan Pak Bambang ke Cina, aku jadi terobsesi ingin seperti
Pak Bambang. Terbayang di benakku, seandainya aku sehat lagi seperti sedia kala.
Wah, betapa bahagianya diriku. Berjuta angan dan harapan akan kupenuhi. Cita-cita
akan kuraih. Segudang khayal dan impian berkelebatan di depan mata.
Tiap selesai shalat aku selalu memanjatkan do’a, ”Ya Allah! Berikanlah aku
kekayaaan seperti Pak Bambang agar aku juga bisa melakukan transplantasi ginjal.
Ginjal yang selama ini telah menghambat karir dan kekhusuan ibadah kepada-Mu!
Ginjal yang telah membuat seluruh keluargaku ikut menderita. Bukannya aku tidak
menerima cobaan dari-Mu sebagai tanda sayang-Mu, karena aku telah menjadi orang
pilihan untuk menerima ujian dari-Mu, agar bisa meningkatkan kadar keimanan,
kesabaran dan ketaqwaan kepada-Mu. Bukannya aku tak paham bahwa orang sabar
itu di sayang oleh-Mu dan bukannya aku tak mengerti bahwa penyakit ini adalah
penebus dosa-dosaku. Tapi aku masih ingin lebih sempurna dalam beribadah kepada-
Mu! Maka kabulkanlah do’aku Ya, Allah!”
Begitulah do’a yang sering aku panjatkan ba’da shalat fardu atau shalat tahajud.
Suasana cuci darah tambah akrab dengan sesama pasien maupun dengan
perawat atau dokter, karena begitu seringnya kami bertemu. Ada Pak Kurnia, pasien
dari Cilawu, Garut yang sering kuajak pulang bersama, Pak Agus Berlian, Pak
Rukmana, Ceu Eros, Bu Kartini, Hedy yang masih anak SMU, Luki yang dari
Tangerang, Pak Asnali yang gagah dan selalu berbaju loreng, dan yang lainnya.
Ada rasa rindu andai kata hari sudah mendekati hari Senin atau Kamis, jadualku
cuci darahku yang baru. Rasa rindu untuk saling tukar makanan atau tukar
pengalaman bersama mereka, karena merasa sependeritaan.
Selama itu, do’aku masih tetap sama, selalu berharap seperti Pak Bambang.
Betapa terkejutnya aku, jantungku rasanya hampir copot saat membaca Koran
Pikiran Rakyat tanggal 25 Juni 2006 yang memberitakan bahwa Pak Bambang Budi
Asmara telah berpulang ke khadirat Allah Yang Maha Kuasa.
39
Pak Bambang yang saat pamitan memberikan senyuman dan lambaian tangan
terakhirnya. Pak Bambang yang ingin aku ikuti jejak langkahnya. Kini telah tiada.
Mudah-mudahan Allah mengampuni segala dosanya, diterima iman Islamnya dan
segala amal shalehnya dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Amiin!
Ternyata uang itu bukan segalanya. Harta tidak bisa menjamin kesembuhan
seseorang. Pak Bambang yang akhirnya kuketahui bahwa dia itu merupakan putra
terbaik Jawa Barat. Dia menjabat sebagai Bendaharawan Partai Golkar Jabar, mantan
Ketua KNPI Jabar, Penasihat Taekwondo Jabar, Ketua Yayasan Asia Afrika, dan
sederet jabatan lainnya. Hal ini kuketahui beritanya dari koran setelah beliau tiada.
Di akhir bulan Juni itulah aku baru menyadari bahwa do’a-do’aku selama ini
salah dan keliru. Sehingga aku segera bertobat dan mengucapkan istighfar, seraya
berdo’a, “Ya, Allah terima kasih yang tiada terhingga, aku tidak diberi kekayaan
seperti beliau, seandainya Engkau berikan kekayaan seperti Pak Bambang kepadaku,
mungkin aku telah Engkau panggil seperti dia. Sedangkan aku masih ingin
melanjutkan perjuangan hidup. Aku bersyukur dengan segala rizki yang telah Engkau
berikan. Aku yakin, Engkau pasti telah menentukan jalan lain yang
membahagiakanku.
Maafkanlah dosa-dosaku Ya, Allah! Yang telah menilai kecil rizki yang telah
Engkau berikan, seolah-olah aku tak pernah Engkau beri apa-apa, seolah-olah aku
tidak mensyukuri segala nikmat-Mu! Amiin!”
Sejak saat itu aku menyadari betul bahwa rizki itu sudah diatur dengan skenario
Allah, dan aku yakin bahwa Allah itu memberikan sesuai dengan kemampuan dan
kesabaran menjalaninya. Allah pasti memberikan kemudahan setelah datang
kesusahan sesuai janji-Nya pada surat Al-Insyirah. Inna ma’al usri yusraa..
Bu Bambang yang sengaja datang ke RSKG mengisahkan peristiwa wafat
suaminya dengan berurai air mata. Beliau tidak mengira kalau tiga hari pasca operasi
transplantasi ginjal itu, suaminya dalam keadaan koma. Tak pernah sempat sadar
sedikit pun sampai wafatnya.
Bukan saja menguras energi, mental, kesabaran, keikhlasan, bahkan materi yang
tidak sedikit. Biaya hidup selama pemeriksaan dan operasi tersebut mencapai Rp 300
juta ditambah biaya pemulangan jenazah sekitar Rp 80 jutaan. Sungguh, biaya yang
sangat menakjubkan bagi kami sebagai PNS yang berpenghasilan pas-pasan.
Tetapi itulah takdir Allah Swt, yang harus kita terima dan harus kita ambil
hikmahnya, agar menjadi ibroh dan pelajaran yang sangat berharga.
40
Semoga Anda tabah Bu Bambang! Selalu diberi petunjuk dan kesabaran
menjalaninya. Amiin!
Uji Keimanan
Kabar tentang penyakit yang aku derita begitu cepat tersebar kemana-mana.
Banyak orang menengokku. Keluarga, tetangga, sahabat dekat maupun jauh, rekan
kerja, murid dan semua orang yang kukenal rasanya tak ada yang absen. Bahkan
banyak orangtua murid yang sengaja meluangkan waktu untuk datang menemuiku
dengan memberikan dukungan, motivasi dan do’a mereka.
Setiap hari ada saja tamu yang datang. Terasa benar kebaikan mereka, baik
berupa moril maupun materil yang sangat berarti bagiku. Aku tak mungkin bisa
membalas budi baik mereka. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih dan berdo’a,
semoga amal baik mereka dicatat dan mendapat imbalan pahala yang berlipat ganda
dari Allah Swt. Jazakumullhi khairon katsiraa. Amiin!
Suatu hari salah seorang kerabatku bertandang ke rumah sambil membawa
seseorang yang tak kukenal. Setelah dipersilakan duduk, lalu mengutarakan maksud
kedatangannya, dia berkata, ”Sep! Saya sengaja membawa guru saya ini untuk
mengobati penyakit Asep”.
Aku terpana melihat sosok lelaki tua yang sudah beruban, giginya pun sudah
ompong dan duduk di sampingku. Dia tak membawa peralatan medis apa pun.
Selanjutnya lelaki tua itu mengajak bersalaman. Aku jabat tangannya yang agak
keriput itu. Dia tak melepaskan jabat tangannya yang erat sambil bertanya kepadaku,
“Apa keinginanmu sekarang?” Nada bicaranya pelan tapi pasti. Dengan tatapan
matanya yang seolah-olah ingin meyakinkanku bahwa dia mampu mengobatiku.
Aku menjawab, “Ya, saya ingin sembuh! Saya tak mau cuci darah!”
“Bagus!” jawabnya.
“Caranya?” aku semakin heran.
Sebelum dialog berlanjut, aku menyuruh istriku untuk memanggil ayahku yang
tak jauh rumahnya dari rumahku.
Sambil menunggu ayahku datang, lelaki tua itu mengusulkan agar aku
menganggap dia sebagai orangtuaku sendiri dan dia akan menganggapku sebagai
41
anaknya. Katanya agar hubungan pertalian batinnya semakin erat demi proses
penyembuhan yang cepat.
“Siapa nama Ananda?” kata lelaki tua itu. “Saya, Asep Qoriin”, jawabku
singkat.
Dia komat-kamit sambil memejamkan matanya.
“Kapan dan hari apa Ananda dilahirkan?”
“Hari Jum’at, tanggal 3 Februari 1967, pukul 13.00”.
Ayahku datang. Kami berlima duduk melingkar. Aku, istriku, kerabatku, lelaki
tua itu dan ayahku.
“Nah, sekarang ada ayahnya. Siapa nama Bapak?” tanya lelaki tua itu.
“Saya, Oman Abdurrahman,” ayahku menjawab. Wajahnya masih diliputi rasa
curiga dan heran.
“Bapak tidak perlu merasa heran dan curiga pada saya,” lanjut lelaki tua itu
sambil menatap ayahku. “Saya ke sini atas panggilan jiwa dan ikhlas menolong tanpa
pamrih,” begitu katanya meraih simpati. Lelaki tua itu melanjutkan ceramahnya,
“Mari kita kerjakan bersama! Ananda, mulai hari ini nama Ananda harus diganti!”
“Diganti nama?” aku tambah heran.
“Ya, Ananda harus berganti nama menjadi Asep Diman!” begitu katanya dengan
nada meyakinkan.
“Bapak sebagai ayahnya, anak, istri dan semuanya harus memanggilnya, Asep
Diman. Lupakan nama yang dulu itu sampai Ananda sembuh.”
“Waduh! Bagaimana dengan ijazah saya, SK dan berbagai macam dokumen
pribadi saya?” protesku dengan cepat terlontar.
“Tidak apa-apa,ini hanya dalam waktu sementara saja. Nanti kalau penyakit
yang Ananda derita sudah saya pindahkan, nama Ananda boleh dipakai lagi,” katanya.
Aku semakin heran, “Kok bisa? Mau dipindahkan ke mana?”
“Ke Jerman,” jawabnya mantap.
Aku, istriku, dan ayahku bengong. Kemudian kami saling menatap keheranan.
Ayahku bertanya spontan dengan nada berseloroh, “Kalau begitu kasihan dong orang
Jerman jadi menderita?”
“Enggak apa-apa orang Jerman ini!”
“Kasihan dong orang Jerman. Siapa tahu dia itu saudara kita juga.” ayahku
semakin sengit.
42
Terjadilah perdebatan yang seru. Kerabatku berusaha meyakinkan kami akan
niat baiknya, kami pun berusaha mempertahankan keimanan dan keyakinan kami
akan takdir Allah yang tidak bisa dialihkan pada orang lain.
Kerabatku malah ngotot dan menyuruhku menuliskan bacaan seperti mantra
atau jampi-jampi dalam bahasa Sunda buhun yang harus diamalkan setiap malam.
Aku menuliskannya hanya sekedar untuk meredam kekecewaan niat baik Kerabatku
itu. Aku takut tali persaudaraan kami putus gara-gara hal ini. Cukup panjang
mantranya.
Harap maklum, aku tidak mau mencantumkan mantra tersebut di sini, takut
menjadi kemusyrikan yang berlanjut.
Pertemuan itu bubar dengan tidak menghasilkan kesepakatan. Kerabatku dan
gurunya pulang dengan memendam rasa kecewa.
Beberapa hari kemudian kerabatku bersama gurunya bertandang lagi ke rumah.
Rupanya mereka masih penasaran.
Penyakitku sedang kumat. Tak bisa berpikir jernih, mudah marah dan
tersinggung. Depresi berat, sehingga takut keimananku akan goyah dan terjerumus ke
dalam kemusyrikan. Tak sudi keyakinanku tergadai demi kesembuhan. Aku bulatkan
tekad untuk menolak mereka, tapi kondisiku sedang lemah, tak mungkin bisa berdebat
panjang lebar. “Lebih baik menghindar.” pikirku saat itu.
Aku suruh istriku untuk menghadapi mereka. Aku yakin, dia akan mampu
menyampaikan penolakan dengan baik. Istriku pasti tahu betul jalan pikiranku karena
sudah belasan tahun kami hidup bersama menjalin rumah tangga.
“Kang! Kebetulan suami saya sedang kumat penyakitnya. Dia tak mau di
ganggu,” begitulah istriku memulai argumentasinya. “Kami merasa bahagia dan
berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Akang dan Bapak ini, karena ingin
mengobati suami saya. Bukan berarti kami menolak kebaikan Akang, namun
keyakinan kami masih belum bisa menerima cara pengobatannya. Kami hanya akan
berusaha secara medis dan obat alternatif lainnya yang kami anggap logis. Kami yakin
ini ujian yang datangnya dari Allah. Jangankan suami saya yang laif, hina, dan hanya
manusia biasa. Nabi Ayyub A.S. saja diuji oleh Allah dengan penyakitnya bertahun-
tahun. Kami yakin, Allah tak akan keliru memberikan cobaan kepada hamba-Nya.
Kami menerimanya dengan ikhlas.
Dalam hal ini mungkin persepsi kita tidak bisa sejalan. Mohon maaf, bila kami
belum bisa menerima kebaikan Akang. Jangan sampai Akang kecewa sehingga tali
43
persaudaraan kita menjadi retak. Sekali lagi kami mohon maaf!” Panjang lebar istriku
berusaha menjelaskannya agar bisa diterima dengan baik.
Rupanya penjelasan istriku yang panjang lebar itu tetap saja membuat kecewa
kerabatku dan gurunya. Entahlah, aku tak tahu. Tapi kami bisa memahami
kekecewaan itu. Karena tidak berhasil memberikan pertolongan pada kami.
Satu setengah tahun berlalu. Kondisi badanku sudah agak membaik setelah
menggunakan sistem CAPD. Aku sekeluarga sengaja datang ke rumahnya, tempat
tinggal kerabatku itu. Dalam rangka memperbaiki silaturahmi agar tidak terputus,
memanfaatkan momen Idul Fitri.
Begitulah, akibat dari beda keyakinan membuat tali persaudaraan pun nyaris
terputus. Beda keyakinan (aqidah) tak bisa dijadikan alasan untuk bertoleransi. Tak
ada kompromi. Tak ada alasan untuk menerima paham yang bisa menggelincirkan
keyakinan terhadap Allah Swt, satu-satunya penolong jiwa. Allah-lah tempat
bergantung. Allah-lah tempat meminta. Sesuai dengan firman-Nya :
“Qul aghairaallaahi attakhidzu wa liyyan faatirissamaawaati wal ardhi
wahuwa yuth’imu wa laa yuth’amu. Qul innii umirtu in akuuna awwala man aslama
wa laatakuunanna minalmusyrikiin.”
“Katakanlah (Muhammad), Apakah aku akan menjadikan pelindung selain
Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak
memberi makan?. Katakanlah, Sesungguhnya aku diperintahkan agar aku menjadi
orang yang pertama berserah diri (kepada Allah) dan jangan sekali-kali kamu masuk
golongan orang-orang musyrik.” (QS. Al-An’am : 14)
“Bal iyyaahu tad’uuna fayaksyifu maa tad’uuna ilaihi insyaa a wa tansauna
maa tusyrikuun.”
“(Tidak), hanya kepada-Nya kamu minta tolong. Jika dia menghendaki, Dia
hilangkan apa (bahaya) yang kamu mohonkan kepada-Nya, dan kamu tinggalkan apa
yang kamu persekutukan (dengan Allah).” (QS. Al-An’am : 41)
“Innallaaha laa yagfiru an yusyriku bihii wa yagfiru maa dzaalika liman yasyaa
u wa man yusyrik billaahi faqadiftaraa itsmaan ‘adziimaan.”
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa musyrik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (musyrik) itu, bagi siapa yang di
kehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa besar.” (QS. An-Nisa : 48)
44
Alhamdulillah, kerabatku yang lainnya masih bisa memahami kejadian ini,
bahkan sekarang mereka semua paham betul bahwa penyakitku harus diobati secara
medis, setelah tetangga mereka, yang merupakan muridku di SMP, juga harus cuci
darah.
Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan bimbingan-Nya kepada kita
semua. Amiin!
Obat Alternatif
Keyakinanku tak akan tegoyahkan, bahwa setiap penyakit itu mesti ada obatnya.
Meski dunia medis mengatakan belum menemukan obat gagal ginjal dan tak mungkin
bisa disembuhkan, tapi Alloh tak mungkin mengingkari janji-Nya, bahwa, “Setiap
penyakit itu pasti ada obatnya.”
Jika sampai saat ini belum ditemukan obatnya, ya wajar saja. Sebab manusia itu
masih terbatas pengetahuannya, ilmu Allah sangat luas sampai-sampai ada
keterangannya, ”Andaikan lautan dijadikan tinta untuk menulis ilmu Allah tidak akan
cukup“.
Terkadang aku punya imajinasi, “Mengapa para ahli yang sudah bisa memiliki
ilmu pengetahuan cara mengkloning domba si Dolly yang menghebohkan dunia, bisa
menciptakan domba yang sama persis dengan induknya dari sebuah sel, tidak
mencoba membuat kloning ginjal yang rusak agar bisa diganti secara langsung dengan
ginjal kloning yang sehat dari sel yang ada?”
Mungkin impian ini akan menjadi bahan tertawaan orang tapi biasanya
penemuan baru itu berawal dari sebuah impian. Mengapa tidak? Kalau domba yang
utuh dan bernyawa bisa dicloning, mengapa hanya sebuah organ tubuh yang vital itu
tidak bisa dikloning ?
Masuk akal, bukan?
Mudah-mudahan di tahun 2015 impianku bisa terwujud! Sehingga ditahun 2020
dunia bebas penyakit gagal ginjal kronik.
Sebelum menuju kesana, kita sekarang masih berada di dunia primitif. Kita
masih berusaha mengobati penyakit dengan cara-cara tradisional, aku pun menyadari
hal itu. Maka, aku mulai mencoba berbekam. Mengeluarkan darah kotor dengan cara
disedot, setelah permukaan kulitnya ditusuk-tusuk jarum, agar darah yang
45
mengandung racun keluar bersamaan dengan darah yang menggumpal kehitaman.
Beberapa kali dilakukan oleh seorang ahli bekam, racun di tubuh tetap tak berkurang.
Beralih ke pijat refleksi Pak TJ (45) yang terkenal dengan telapak tangannya
yang mengeluarkan energi panas. Semula aku tak percaya, kalau telapak tangannya
bisa mengeluarkan energi panas dan mengalirkan energi ke tubuh pasien, setelah
kucoba, ternyata betul ada getaran dan energi panas dari tangan kosongnya.
Pijatannya tidak seperti pijatan refleksi umum yang hanya telapak kaki ditusuk-
tusuk dengan stik. Ini lain lagi, seluruh tubuh dipijat dengan tangan kosong. Di sesi
akhir pijatan, baru energi panasnya keluar. Telapak tangannya terasa panas dan
meresap ke dalam tubuh terutama bagian yang sakit. Pasiennya banyak sekali. Segala
penyakit bisa disembuhkan. Stroke, jantung bocor, kanker, bahkan gagal ginjal juga
sanggup dia sembuhkan, tidak ditarif, prakteknya dari pagi sampai jam 12 malam,
kalau pasiennya banyak. Setiap hari rata-rata dipijit 20 s.d 30 menit.
Ternyata suami adiku, Arif tertarik juga ingin mencoba telapak panasnya Pak TJ
bahkan mertua adikku,Bpk. DR. KH. Aminudin Shaleh, SH. MM, Da’i kondang yang
selalu mengisi pengajian di Radio Litasari mau mencobanya. Ya, mereka mengakui
kehebatan tangan Pak TJ yang panas itu.
Bagaiman hasilnya?
Setelah berpuluh kali dipijat, aku mengecek kadar kreatinin dan ureum darahku.
ternyata tidak ada perubahan.
Kemudian aku mencoba pijatan Pak M (47) orang Padalarang. Beliau
menggunakan alat bantu listrik, energi listrik yang terhubung sengaja dialirkan ke
tubuhku melalui telapak tangannya.
Betul, ada getaran arus listrik yang terasa hangat. Terbukti dengan tes pen yang
menyala bila ditempelkan pada bagian tubuh yang mana saja di sekujur tubuhku. Hal
ini bisa merangsang pertumbuhan sel ginjal agar bisa berfungsi normal kembali,
katanya.
Proses pemijatan biasanya dilakukan di rumahku, karena Pak M bisa dipanggil.
Tinggal di SMS saja, pasti ia datang. Memang air urineku semakin banyak, tapi hasil
laboratorium masih menunjukan kadar racun yang tinggi, walau sudah sebulan lebih
aku menjalani terapi ini. Akhirnya kuhentikan juga.
Alternatif lainnya adalah ion detox, yaitu cara tercanggih pengeluaran racun
tubuh melalui detoxivikasi ion negatif dan positif. Memang tidak bisa dilakukan
sendiri di rumah. Harus datang ke tempat ion detox. Biasanya aku melakukan ion
46
detox di jl. Kerkof 53 Bandung. Sekali terapi kita harus merogoh kocek Rp 30.000,00
selama kurang lebih 20 menit.
Caranya, pasien duduk di atas kursi, kaki pasien direndam pakai air agak panas
di dalam waskom yang berisi kurang lebih 5 liter air agak panas dan sebuah alat
elektromagnetik buatan Amrik yang bisa mengeluarkan ion negative dari pori-pori
telapak kaki . Pori-pori telapak kaki akan membesar jika dihangatkan dengan air,
sehingga memudahkan pengeluaran racun yang berada di kaki. Air yang merendam
telapak kaki tersebut akan berubah warna dari jernih menjadi abu-abu sampai
kehitaman, seperti air comberan. Ada pula yang berwarna kecoklatan dan kehijauan
sesuai dengan penyakit yang diderita si pasien. Memang masuk akal juga.
Janjinya 100% terbukti membuang toksin secara alami. Tapi setelah kucoba
berulang kali, tak ada hasilnya. Hasil tes laboratorium tetap bertengger di atas rata-
rata orang normal.
Cuci darah tetap kujalani, sambil terus berusaha mencari info tentang
pengobatan alternatif yang tidak bertentangan dengan keimanan.
Ada yang menawariku agar berobat ke dr. H di Bogor yang bisa memindahkan
segala macam penyakit pada seekor kambing dengan biaya sebesar Rp. 7 juta. Tidak
kutanggapi, karena aku tak percaya sama sekali. Masa ada penyakit bisa dipindah-
pindah?
Awal Juli 2006 tiba-tiba ada seseorang yang menelpon kerumah, “ Hallo! Bisa
bicara dengan Pak Asep ? “
“Ya, Saya sendiri ! Ini siapa ?“ kataku masih belum mengenali suaranya.
“Saya Pak ! Asnali. Bapak masih cuci darah ke Habibie ? “ dia menyebutkan
namanya dan bertanya.
“Oh, ya masih ! Tiap Senin – Kamis “ sahutku.
“Saya mah sudah berhenti Pak“ katanya.
“Oh, iya benar. Kemana aja Pak ? Sudah lama Saya tidak melihat Bapak. Kok
bisa berhenti cuci darah segala. Tak mungkin ah !“ sergahku dengan nada tak percaya.
“Benar Pak ! Saya sudah hampir tiga minggu enggak cuci darah“ jawabnya
sedikit meyakinkan.
“Alternatif ya ?” aku menebaknya.
“Betul Pak !“
“Dimana ?“ tanyaku kemudian.
“Di jalan Sudirman, Refleksi !“ dia menerangkan.
47
“Enggak sesak napas atau bengkak ?“ tanyaku masih merasa kurang percaya.
Tapi memang yakin, sudah hampir tiga minggu ini Pak Asnali tidak bertemu saat cuci
darah.
“Enggak Pak !“ Malah saya minum dan makan buah-buahan. Pernah saya coba
makan buah semangka hampir habis 1 kg, enggak apa-apa.“ jelasnya agak panjang
lebar.
“Oh, nantilah Saya diskusikan dulu dengan istri saya, ya Pak ! Kalau saya minat,
saya akan menemui Bapak. Bolehkan ?“ tanyaku agak semangat.
“Boleh-boleh ! Ditunggu ya Pak !“
“Ya, terima kasih !“ kataku sambil menutup gagang telepon.
Aku diskusikan hal ini dengan istriku. Dia masih was-was, karena baru saja
mendengar kabar bahwa Pak Syamsudin, 60 tahun, telah meninggal dunia gara-gara
berhenti cuci darah selama 3 minggu dan menjalani terapi pengobatan holistik di
daerah Purwakarta.
Kesepakatan kami akhirnya yaitu akan menunggu perkembangan Pak Asnali
satu minggu lagi. Kalau dia selamat, berarti aku jadi mengikuti terapi tersebut. Karena
berhenti cuci darah itu suatu tindakan yang sangat berani. Mempertaruhkan nyawa
sendiri, bukan main-main.
Minggu, 9 Juli 2006 setelah satu minggu kemudian, kuhubumgi lagi Pak Asnali.
Dia masih belum cuci darah lagi, dan menyanggupi akan mengantarku besok sore ke
tempat refleksi tersebut.
Selesai cuci darah hari Senin sore kutemui Pak Asnali di jln. Suci, belakang
dealer Yamaha, Bandung. Dia kelihatannya agak loyo. Dagu kanannya bengkak.
Berdasarkan pengakunnya dia menderita gondongeun. Padahal seminggu sebelumnya
dia sudah kuat berbelanja dan berjualan sea food tengah malam sebagai profesinya
yang telah digelutinya berpuluh-puluh tahun.
Khayalanku semakin melambung. Ingin cepat berobat seperti dia dan sehat lagi
tidak perlu cuci darah.
Ruangan praktek refleksi kaki itu sempit sekali. Kira-kira 2x3 m. Seorang
Tionghoa dari Bandung. Buka praktek 07.00 – 11.30 dan 17.00 – 20.00.
Pasiennya, wah membludak. Kata orang, penghasilannya berkisar antara Rp. 4
juta – 6 juta per hari. Setiap pasien paling lama mendapat pelayanan selama 5 menit.
Tergantung berat tidaknya penyakit yang diderita. Jelas, antri !
48
Alat pijat refleksinya seperti stik ice cream, tipis dan agak runcing. Jadi, saat
ditekan dengan stik itu rasanya panas sekali, nyeri dan menjalar ke sekujur tubuh.
Semua pasien pasti menjerit kesakitan dan berkeringat menahan rasa sakit. Padahal
tusukannya hanya sebentar.
Kaki sebelah kanan ±15 detik, kaki kiri ±15 detik. Sekali naik sepasang kaki
tarifnya Rp. 20.000,00 kalau penyakitnya parah atau berat bisa sampai 5x. Jadi harus
bayar Rp. 100.000,00.
Aku pun dapat 5x sesi, rasanya nyeri sekali. Hampir tak bisa berjalan, tapi
badanku terasa segar. Aku tak pulang ke Garut, karena terapi harus dilakukan tiap hari
pagi dan sore. Urineku yang keluar tambah banyak. Si Engko, begitu aku
memanggilnya , melarangku cuci darah. “Jangan cuci dalah lagi, yang penting badan
tidak bengkak, tidak sesak, kencing lancal, udah belalti kamu sembuh !” suaranya
sengau dengan kata-kata tanpa bunyi [r].
Aku mencoba bolos cuci darah satu kali, pada hari Kamis 20 juli 2006. Tapi
perasaanku agak was-was. Besoknya aku telepon Pak Asnali, ingin tahu kabarnya.
Yang menjawab bukan dia malah anaknya, “Bapak mah enggak ada, sedang dirawat
di RSHS.“
Sejenak aku terpana, “Emangnya kenapa ?“ tanyaku.
“Pingsan, dibawanya juga pakai ambulance !“ jawab anaknya.
Aku kaget setengah mati. Setelah kutanya ruangan tempat ia dirawat, aku segera
menengoknya.
Benar saja, Pak Asnali tergeletak lesu dengan bantuan selang makanan ke
lambung yang dimasukkan lewat hidung, dan oksigen. Sulit untuk diajak bicara.
Nafasnya pendek-pendek. Pelipis kanannya tambah bengkak.
Istrinya bercerita sambil terisak-isak berurai air mata, bahwa Pak Asnali itu
hiper kalemia dan uremia. Bengkak yang dideritanya bukan gondongeun, tetapi
penumpukan racun, karena sudah berminggu-minggu tidak cuci darah.
Tubuhku langsung lemas keluar keringat dingin. “Mengapa dia tak pernah
mengecek darahnya untuk mengetahui kadar racun di tubuhnya ?“ gerutuku dalam
hati.
Pak Asnali merasa berdosa sekali terhadapku, karena dirinya juga hampir
tewas, dan menyuruhku berhenti terapi refleksi itu. Yah ! Gagal maning-gagal
maning. Setiap alternatif tidak ada hasilnya, padahal biayanya cukup besar. Tapi
itulah usaha kita. Manusia berusaha, Allah yang menentukan.
49
Bersabarlah !
Pengenalan CAPD
Senin, 24 Juli 2006. Aku kembali menjalani cuci darah. dr. Cut Indra yang
kebetulan tugas jaga saat itu langsung menegurku, “Bapak kemana saja ? Kok, hari
Kamis bolos ? Awas Pak ! Hati-hati, nanti drop lagi !“
Aku tersipu malu dan tak kuasa untuk menjawab jujur. “Eh, ini Dok ! Saya
lagi liburan bersama keluarga. Tanggung !“
“Waktu hari Kamis itu kita membagikan undangan buat seminar CAPD hari
Minggu Pak ! Jadi Bapak gak tahu dech, masalah CAPD.“ kata dr. cut Indra
menerangkan. “Padahal, kalau untuk Bapak, CAPD itu sangat cocok. Bapak kan
masih muda, masih aktif kerja, dan tempat tinggal Bapak jauh.“ lanjutnya.
Aku terperangah, “Wah, memangnya CAPD itu, apa Dok ?“
“ CAPD itu singkatan dari Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis. Sistem
baru pengganti cuci darah, menggunakan cairan yang dimasukkan ke dalam perut,
lewat selang kateter yang sudah dipasang paten sebelumnya. Bisa dilakukan sendiri di
rumah.” dr. Cut menerangkan.
Aku semakin tertarik. “ Siapa Dok, yang sudah mengikuti program CAPD ?”
aku langsung menyelidiki.
“ Sudah ada beberapa orang Pak! Dan mereka berhasil. Malah kemarin yang
menjadi nara sumbernya pasien CAPD juga, Pak Dadan, dia sudah aktif lagi mengajar
bahkan kuat bermain badminton. Dia sudah 7 bulan pakai CAPD.” jelas dr. Cut Indra.
Aku semakin terkagum-kagum dan tiba-tiba bangkit lagi semangat hidup
baruku. Darahku meletup-letup. Jantungku berdetak kencang. Hasratku meronta-
ronta. Yakin akan perkataan dr. Cut Indra, dia tak mungkin akan berbohong
kepadaku.
Aku masih penasaran tentang Pak Dadan itu. Aku bertanya lagi “ Dimana
Dok, rumahnya Pak Dadan itu?”
“Di Garut “ katanya singkat.
“Wah, kebetulan saya juga kan orang Garut. Di mana ya Garutnya?” tanyaku.
“Aduh, kurang tahu ya!” kata dr. Cut.
50
“Bisa minta nomor teleponnya?” pintaku.
“Oh, ya ada nih !” sambil menyodorkan nomor telepon rumah dan nomor HP-nya.
“Terima kasih Dok !”
“Ya, sama- sama !” jawab dr. Cut Indra sambil berlalu dari hadapanku.
Tiba di rumah, aku langsung menghubungi Pak Dadan. Dari caranya berdialog
kelihatan bahwa dia dalam keadaan segar bugar, malah katanya ia sedang makan
malam, dan tak ada masalah dengan nafsu makannya itu. Padahal, aku yang masih
cuci darah sering kehilangan nafsu makan, tak bisa masuk sedikit pun walau
makanannya serba enak. Kalau sudah demikian, paling-paling aku bisa pasrah saja.
Berhenti makan pada suapan kedua atau ketiga. Selanjutnya, aku hanya bisa berdo’a
sambil berlinang air mata kepada Allah Swt, agar aku selalu diberi energi dan
kekuatan, agar selalu bisa beribadah walau tak ada makanan yang bisa masuk sedikit
pun. Bebek peking, gepuk Ny. Ong maupun mie kocok yang dibeli dari jalan Suryani
semuanya lewat. Padahal makanan tersebut merupakan makanan favorit orang sehat
di kota Bandung. Tak ada rasa nikmat, lezat, apa lagi hasrat yang lahap ketika
memakannya. Sehingga, saat Pak Dadan menerangkan bahwa dia bisa menikmati
berbagai macam makanan dengan baik, aku tergiur menelan air liur ingin seperti dia.
Berat badanku sudah turun 12 kg dari berat normal saat sehat dulu. Asalnya 56
kg, sekarang setelah 4 bulan cuci darah hanya tinggal 44 kg.
Besoknya, aku ceritakan semua itu kepada orang tuaku dan sahabatku, Pak
Jejen. Mereka mendukungku untuk mengikuti program CAPD. Tapi, syaratnya harus
dibuktikan dahulu bahwa Pak Dadan itu benar-benar dalam keadaan bugar. Jangan
seperti Pak Asnali yang dulu hampir KO.
Oke! Kami sepakat untuk pergi menemui Pak Dadan yang ternyata tempat
tinggalnya di Pamijahan, Tasikmalaya. Lumayan jauh, jaraknya ±120 km dari
rumahku.
Jum’at, 28 Juli 2006 kami menemui Pak Dadan, guruku masalah CAPD. Kami
berangkat pukul 08.00 diantar sahabat setia Pak Jejen bersama istrinya, anak istriku
juga tak ketinggalan.
Hanya tinggal beberapa kilometer lagi, perjalanan harus terhenti karena
hampir memasuki waktu Dhuhur. Shalat Jum’at tak bisa kami tinggalkan. Sebuah
mesjid yang cukup besar, jamaahnya pun cukup banyak. Sayang, karpetnya hanya ada
pada barisan depan. Pantatku kesakitan, saat duduk di atas keramik, karena otot
pantatku sudah habis terkikis mesin cuci darah.
51
Waktu khotib berkhutbah terasa lama sekali, padahal Cuma 15 menit. Posisi
dudukku sudah miring ke kiri miring ke kanan. Sesekali telapak tanganku dipakai
sebagai alas duduk. Ibadah Jum’atku tak khusyu.
Sengaja, hal ini aku ungkapkan agar pembaca bisa membayangkan betapa
kerempengnya tubuhku yang tak berotot seperti dulu.
Ba’da shalat Jum’at kami meneruskan perjalanan.
Rumah Pak Dadan berada di lokasi berziarah, Pamijahan, tak bisa di lewati
mobil. Aku naik ojeg, yang lainnya jalan kaki.
Kebetulan Pak Dadan sedang mengganti cairan di perutnya. Jadi aku bisa
melihat secara langsung bagaimana proses refill cairan dianeal CAPD berlangsung.
Praktis sekali, tinggal menyambungkan kateter yang terpasang di perut secara
paten di sebelah kanan pusar, dengan selang berbentuk Y yang tersambung dengan 2
(bag) kantong plastik. Kantong (bag) yang satu berisi cairan dianeal seberat ±2 kg,
dan satunya lagi bag kosong.
Setelah transferset tersambung dengan selang Y tadi, maka selang yang berisi
cairan di gantung di atas, agar dengan gaya grafitasi airnya bisa turun untuk mengisi
perut yang telah dikosongkan atau dikeluarkan cairannya. Jadi, prosesnya itu harus
mengeluarkan dulu cairan yang sudah tersimpan di perut selama ±6 atau 8 jam.
Cara mengeluarkan cairan dari perut, masih sama menggunakan gaya grafitasi.
Pasien duduk di atas kursi, bag yang kosong ditaruh di bawah. Setelah kateter
tersambung dengan selang Y, bukalah kran pada kateter (transferset) itu dengan cara
memutarnya ke kiri, maka mengalirlah cairan dengan derasnya. Sampai benar-benar
habis. Biasanya maximum 20 menit.
Kemudian tinggal memasukkan cairan yang sudah digantung di atas. Caranya,
stop dulu bagian pengeluaran dengan memasang kleman pada selang pengeluaran.
Anda buka pengaman isi cairan dengan mematahkan plastik penutup selangnya yang
berwarna hijau. Mengalirlah cairan dianeal ke perut Anda selama ±10 menit.
Simpel sekali, hanya membutuhkan waktu ±30 menit sekali refill. Sungguh
sederhana, tidak membutuhkan orang lain. Jangan lupa! Tempat dan tangan Anda
harus benar-benar bersih (steril), bahkan harus memakai masker selama refill
berlangsung.
Jika kebetulan Anda pasien cuci darah dan berminat untuk beralih ke CAPD
jangan takut dulu, karena nanti juga akan mengikuti pelatihan selama 3 hari, bahkan
sampai benar-benar mahir melakukan refill sendiri.
52
Mulai dari cuci tangan, refill, sampai dressing (ganti perban).
Selesai refill, Pak Dadan dan Bu Dadan bergantian menerangkan keuntungan
lain dari CAPD.
“Pak, badan saya jadi gemuk lagi sekarang.” katanya.
Kami semua menyimak kisah mereka berdua.
“Dulu waktu cuci darah, saya kurus, sekarang pulih lagi. Makanan bersantan,
sayuran, buah-buahan juga bebas. Tidak usah takut hiper kalemia. Konsumsi obat
tensi berkurang. Tidak capek bolak-balik ke Bandung. Ah, terasalah bedanya. Cairan
diantar sampai ke rumah tiap bulan. Saya bisa berolah raga lagi, main voli, sepak bola
bahkan badminton.”
“Saya hobinya olah raga !” begitu Pak Dadan menerangkannya pada kami.
Tekadku untuk beralih ke CAPD semakin bulat, setelah melihat dengan mata
kepala sendiri kondisi Pak Dadan yang bugar dengan CAPD.
Terima kasih Pak Dadan atas segala kebaikannya, dan kesediaan Bapak
sebagai nara sumber yang sering kutanya. Aku jadikan acuan dan motivator untuk
kesembuhanku di masa depan.
Kateter Penyambung Hidup
Kondisi badanku semakin lama semakin lemah. Setiap pulang cuci darah mesti
disambut oleh tukang pijat, agar pegal linu di sekujur tubuh dan sakit kepala yang
hebat bisa agak reda. Perjalanan pulang dari RSKG selalu merepotkan. Muntah-
muntah, pusing dan kehilangan tenaga, terkadang badan menggigil disertai gatal-
gatal.
Aku sadar betul, kalau keadaanku terus menurun, pasti suatu saat nanti terjadi
klimaks sampai tubuhku ambruk tak berdaya sama sekali, sehingga kematianlah yang
mengakhirinya. Padahal aku baru menjalani cuci darah selama ±4 bulan, apalagi kalau
harus bertahan sampai satu atau dua tahun. Rasanya tak mungkin, aku bisa pulih lagi.
Saat itu aku sangat pesimis, merasa tak berguna malah merasa hidup ini hanya sebagai
parasit atau benalu bagi orang lain. Selalu merepotkan istri, anak-anak, orang tua,
tetangga, sahabat-sahabatku yang selalu mengantarku ke Bandung untuk menjalani
cuci darah secara rutin. Begitu juga adik-adikku yang tak pernah ketinggalan.
53
Mereka selalu bergantian, aku selalu berprasangka jelek (su’udzon) bahwa
sekali atau dua kali mereka mengantar itu merasa senang dan rela. Tapi kalau sudah
tiga kali, empat kali atau bahkan seumur hidupku harus selalu diantar, didorong di
atas kursi roda, dan ditunggui sampai berjam-jam selama cuci darah. Apa mereka
masih ridho ? Masih ikhlas? Rasa-rasanya sangat mustahil, karena mereka itu
hanyalah manusia biasa bukan malaikat, bukan pula sebagai robot yang tak memiliki
nafsu dan keinginan masing-masing.
Namun, setelah aku melihat Pak Dadan yang kelihatan bugar dengan cara
yang tidak merepotkan orang banyak, maka motivasiku untuk melanjutkan perjuangan
hidup pun bangkit lagi. Rasa pesimis berubah arah jadi optimis menyongsong masa
depan yang lebih cerah. Hidup yang berkualitas, ibadah yang lebih khusyu, dan
bertugas lagi sebagai seorang pendidik di sekolah dengan baik, siap kulaksanakan.
Harapan sembuh dan impian untuk keluar dari lilitan mesin cuci darah, segara
aku tindak lanjuti dengan memeriksakan diri ke dr. Ria Bandiara, yang buka praktek
di depan RRI Bandung.
Senin, 31 Juli 2006 sepulang cuci darah pukul 17.00 WIB, aku bertemu
dengan dr. Ria. Pemeriksaannya sebentar ±1 menit, tapi ceramahnya banyak sekali
tentang CAPD. Hampir semua kisah hidup pasien CAPD yang ditangani beliau,
diceritakannya kepadaku dengan penuh semangat, menarik dan membangkitkan
motivasiku untuk sembuh.
Hal ini aku lakukan atas saran Pak Dadan, karena yang menangani masalah
CAPD di Bandung itu dr. Ria Bandiara. Penjelasan dr. Ria hampir sama dengan
informasi yang kudapat dari Pak Dadan, hanya ia menjanjikan secepatnya
menghubungiku jika ada ruangan di RSHS yang kosong. Agar operasi pemasangan
kateter cepat dilakukan, karena ia akan pergi ke Cina. “Pak Asep! Sekarang Bapak
pulanglah ke Garut. Saya minta photo copy Askes saja, dan nomor telpon Bapak, agar
saya bisa memesan ruangan kosong di RSHS, dan nanti, saya hubungi Bapak.” begitu
katanya.
Rupanya tidak perlu menunggu lama, besoknya dr. Ria menghubungiku lewat
telpon, agar sore harinya segera masuk RSHS, karena siangnya ada pasien yang mau
pulang. Aku dan keluarga bahagia sekali.
Selasa, 1 Agustus 2006 pukul 17.00 WIB, aku masuk RSHS di ruang 10 B.
jadwal operasi pemasangan kateter hari Kamis 3 Agustus 2006 pukul 10.00 WIB.
54
Sungguh, suatu proses yang sangat cepat. Tidak perlu menunggu lama untuk
beralih ke CAPD. Suatu anugerah dari Alloh SWT sesuai janji-Nya pada QS. Al
Insyiroh ayat 5 dan 6, “Maka sesungguhnya didalam kesukaran itu ada kemudahan.
Sesungguhnya didalam kesukaran itu ada kemudahan.”
Operasi pemasangan kateter di perut, sebelah kanan pusar berjalan mulus
selama 45 menit. Mulai pukul 11.00 WIB sampai dengan 11.45 WIB. Tanpa anestesi
total. Sehingga aku tahu persis, menjalani proses operasi dengan penuh kesadaran.
dr. Cahyo sebagai ahli bedah yang memimpin jalannya operasi. Mas Slamet
perawat dari RSKG dan istrinya yang kebetulan perawat di RSHS ikut membantu dan
menyaksikan jalannya operasi.
Alhamdulillah, kateter penyambung hidup sudah terpasang. Sujud syukurku
hanya kepada Alloh Yang Maha Kuasa.
Kateter yang terbenam ke dalam perut ±20 cm dan yang di luar ±40 cm.
Ya, kateter itu harus selalu terpasang seumur hidupku, akan selalu setia
menempel dan bergantung, di mana pun aku berada dan ke mana pun aku pergi,
selamanya.
Orang-orang yang kucintai sudah menunggu di ruang tunggu. Begitu terdengar
panggilan dari seorang perawat, “Keluarga Bapak Asep Qori’in!” katanya dengan
nada yang agak keras sambil mencari keluarga kami.
Semuanya menyambutku dengan isak tangis bahagia, sedih, haru dan iba
melihatku yang masih terbaring di atas belangkar, karena perutku sudah dipasang
aksesoris.
Biar tidak mengganggu aktifitas dan tidak merasa risih, takut menyangkut atau
tertarik-tarik, maka kateter luar harus dimasukkan ke dalam kantong yang berupa ikat
pinggang. Kateter akan aman dan steril.
Aku berharap proses selanjutnya bisa berjalan lancar.
Beberapa jam setelah operasi, reaksi obat anestesi sudah hilang. Begitu tiba di
ruangan asalku dirawat. Aku menjerit-jerit kesakitan, kebetulan dr. Ria datang
menjenguk. Sambil meneteskan air mata karena menahan rasa sakit, aku berkata,
“Aduh, Dok sakit banget!”
dr. Ria menjawab sambil menepuk-nepuk pundakku, “Aduh, kacian.. Pak
Acep.. Cup..cup.. cup…! Cakit ya?” gayanya seperti seorang ibu yang berusaha
membuat berhenti tangis seorang bayi sambil menuliskan resep, “Ini obatnya, nanti
diminum ya! Agar tidak sakit lagi.”
55
Aku nyengir kuda sambil menahan rasa sakit, dan perih bekas sayatan pisau
operasi.
Bapak Jadi Robot
Selesai pemasangan kateter CAPD, tidak bisa serta merta langsung
dipergunakan. Aku harus bersabar menunggu selama 2 minggu. Selama itu pula aku
harus menjalani cuci darah.
Hari Jum’at 4 Agustus 2006 aku kembali bertandang ke RSKG untuk
menjalani cuci darah yang seharusnya hari Kamis, karena aku menjalani operasi
pemasangan kateter. Dokter, suster, dan para perawat RSKG lainnya merasa kaget,
terutama dr. Cut Indra dengan begitu cepatnya aku pasang kateter CAPD. Padahal
pasien lain banyak yang mau pasang, masih belum terlaksana. Sampai-sampai dr. Cut
berkomentar, “Aneh ya Pak Asep ini, gak ikut seminar CAPD, tapi malah Pak Asep
yang duluan pasang CAPD?”
Aku tak berkomentar, hanya tersenyum bahagia.
Selama dua minggu aku masih menjalani cuci darah. Namun waktu yang dua
minggu itu tidak terlalu mulus kujalani.
Kamis 10 Agustus 2006, RSKG Ny.R.A.Habibie berulang tahun. Seluruh
pasien dibagi konsumsi makanan berat berupa nasi lengkap dengan lauk pauknya di
dalam kotak plastik. Aku pun menerima nasi kotak tersebut. Aku tergiur dengan apel
merah yang ada dikotak plastik itu
Aku beranggapan tidak akan terjadi apa-apa walaupun aku makan apel itu
sampai habis, karena sedang menjalani cuci darah. Kaliumnya pasti terbuang.
Dugaanku, salah ! Aku mengalami hiper kalemia. Sabtu sore aku mulai sesak
napas, malamnya tak bisa tidur. Detak jantung terasa berat dan agak nyeri. Aku
bertahan sampai Minggu pagi, padahal cuci darah seharusnya hari Senin.
Minggu pagi aku minta OT (over time) cuci darah di luar jadual.
Tiba di RSKG aku diomeli 2 orang perawat, “ Pak Asep, sabar dong! Jangan
dulu makan buah-buahan yang berlebihan, tinggal beberapa hari lagi Pak Asep bebas
makan buah, kalau CAPD-nya sudah dipakai boleh makan buah yang banyak.
Buktinya seperti ini, kalau Pak Asep enggak bisa nahan!”
56
Sambil tersengal-sengal aku masih sempat menjawab, “ Hanya sedikit kok!
Hanya sebuah apel merah kecil. Itu pun pemberian dari sini.”
Mereka tak menghiraukan lagi jawabanku, malah langsung pasang mesin
EKG. Untuk mengetahui kondisi jantungku setelah jarum pistula terpasang, tidak
ketinggalan selang oksigen.
Nazla, anakku yang ke tiga, yang baru masuk SDIT kelas 1, terbengong-
bengong melihatku. Mungkin di hati dan pikirannya merasa heran, “Mau diapakan
lagi ayahku ini? Dulu dia sudah dioperasi usus buntu, operasi AV shunt, kemarin
operasi pemasangan kateter CAPD, sekarang dipasang tiga selang cuci darah dan
oksigaen ditambah lagi banyak kabel yang tersambung ke komputer dari sekujur
tubuh?”
Dengan raut wajah yang ketakutan anakku bertanya, “Bapak, mau diapakan
lagi?” tatapannya penuh ketakutan. Aku menjawab dengan maksud bercanda,
“Sayang! Bapak sekarang mau dijadikan robot oleh dokter. Tuh lihat, ya!” sambil
menunjuk ke mesin EKG.
Kebetulan perawat mau menekan tombol “enter“, berbarengan dengan suara
“trek” tombol yang ditekan dan keluar bunyi dari printernya. Aku pura-pura bergerak
seperti vampire, mengacungkan tangan sedikit dan membelalakkan mata sambil
melotot ke arah anakku. Aku berkata “ Ha…..!”
Nazla, anakku tersentak kaget semua keluargaku yang ikut mengantar dan para
perawat tertawa, karena mereka tahu aku hanya bercanda.
“Wah, Pak Asep masih saja bercanda, biar pun kondisinya sedang kritis. Aneh
ya?” komentar perawat.
Besoknya, anakku Nazla baru bangun tidur. Dia menangis terisak-isak seperti
ketakutan.
“Kenapa kamu menangis? Baru juga bangun.” tanyaku.
Dia tidak menjawab, tapi memelukku erat-erat. Sambil terisak-isak dia bicara,
“Mimpi!”
“Mimpi apa?” tanyaku heran.
“Mimpi Bapak dijadikan robot.” jawabnya ketakutan.
Aku tertawa, kasihan dan heran dengan reaksi anakku. Padahal niatku hanya
bercanda. Kok, begitu mendalam dan melekat di pikiran anak? Sampai terbawa mimpi
segala. Aku berusaha menenangkannya dan meyakinkannya bahwa aku tak mungkin
akan dijadikan robot.
57
Kemerdekaan
Kamis 17 Agustus 2006, hari kemerdekaan RI yang ke- 61 adalah hari
kemerdekaanku dari cuci darah. Hari kemerdekaanku dari tusukan jarum pistula, hari
kemerdekaanku makan buah apa saja dan lebih banyak. Hari dimulainya pergantian
cuci darah dengan CAPD.
Ya! Masa pelatihan tiga hari mulai 17 sampai 19 Agustus 2006.
Mas slamet, sebagai perawat yang teliti dan telaten, memulai pelatihan refill
CAPD dan dressing penutup luka bekas operasi, di bawah pengawasan dr. Rusma.
Pengalaman pertama refill memang agak menyakitkan. Saat cairan masuk,
usus di dalam perut serasa ditumbuk-tumbuk, nyeri sekali. Perlahan, setetes demi
setetes dianeal dipaksakan masuk.
Alhamdulillah bisa sampai 1000 ml/kg, walaupun waktunya hampir 30 menit.
Cairan harus disimpan di dalam perut selama 4 sampai 5 jam. Aku boleh keluar dulu,
jalan-jalan, sambil menunggu waktu refill kedua. Refill kedua bisa memasukkan
cairan dianeal 1,2 kg. Ya, agak lancar. Waktu luang aku pakai bercengkrama dengan
teman-teman sependeritaan cuci darah. Mereka banyak yang mengucapkan selamat.
Dan mereka akan merasa kehilangan, karena aku tidak akan cuci darah lagi bersama
mereka.
Aku pun menjadi terharu, bahagia dan merasa akan kesepian.
Tidak ada teman sependeritaan untuk berbagi cerita tentang keluhan dan
berbagi makanan, bercanda dan lain-lain.
Pak Kurnia berkomentar, “Wah kalau Pak Asep berhenti cuci darah, Saya
pulang ikut siapa?” karena ia berasal dari Garut dan sering ikut pulang bareng
denganku.
“Iya, di sini juga jadi sepi, Pak Asep kan suka bercanda!” kata Pak Agus
Berlian. Komentar yang hampir sama terlontar juga dari Ceu Eros, Bu Kartini, Pak
Rukmana dan yang lainnya. Aku bersalaman dengan seluruh pasien di ruangan itu.
Karena dengan mereka semua aku merasa dekat seperti dengan keluarga sendiri.
Pak Asnali yang sedang duduk di kursi roda. Aku salami, padahal sebenarnya
aku mau mengobrol banyak kepada Pak Asnali, tapi waktunya kurang tepat. Dia akan
58
pulang. Kursi rodanya didorong anak istrinya. Akhirnya aku hanya berkata, “ Pak!
Besok Saya ke rumah Bapak ya! Bolehkan?”
“ Oh, boleh Pak! Saya tunggu.” katanya.
“ Insya Alloh Pak, ya! Besok Saya punya waktu. Sambil menunggu refill yang
siang.” kataku.
Pak Asnali kelihatannya payah. Nafasnya pendek-pendek, badannya loyo, di
wajahnya masih ada benjolan sebesar telur bebek yang dulu ia katakan sebagai
gondongeun, bekas penumpukkan racun akibat tidak cuci darah selama 4 minggu, dan
sekarang cuci darahnya harus 3x seminggu, agar racunnya cepat terkuras.
“Kasihan dia!” gerutuku dalam hati.
Refill terakhir hari pertamaku dilakukan pukul 20.45 WIB. Cairan bisa masuk
1,4 kg. Alhamdulillah lancar.
Pulang ke Saibi aku dijemput Arif, suami adikku. Di jalan aku makan malam
dulu karena merasa lapar dan kelelahan. Walaupun perutku terasa sesak, dengan
cairan 1,4 kg. tetapi untuk makanan tetap lapar karena beda saluran. Kami memesan
beberapa puluh tusuk sate sapi, di sebuah kedai makan pinggir jalan.
Pengalaman hari pertama refill CAPD sungguh mencengangkan, sungguh di
luar dugaan, karena indra pencecapku seolah kembali normal. Rasa asin, manis, gurih,
lezat dan nikmat kembali kurasakan saat ini. Tusuk demi tusuk sate kunikmati dengan
lahap.
Aku bersyukur kepada Allah, karena kenikmatan makan yang pernah hilang
sejak enam bulan yang lalu sekarang sudah kembali. Perutku kenyang sekali, aku
puas. Keringat mengucur keluar dari jidatku. Air mata bahagia dan sedikit ingus,
akibat cabe dari acar yang kumakan, keluar berbarengan. Alhamdulillah, Ya Allah!
Malam itu pun, aku tidur pulas. Tidak seperti malam-malam sebelumnya.
Wisata Rohani
“Alhamdulillaahilladzi ahyanaa ba’da maa amaatana wailaihinnusuur.”
Begitu do’a yang kupanjatkan saat bangun dari tidur yang lelap dan nyenyak. Tidur
nikmat yang begitu kurindukan berbulan-bulan karena terganggu berbagai keluhan.
Kini aku bisa menikmatinya kembali. Terima kasih, Ya Allah!
59
Jum’at, 18 Agustus 2006 pagi itu aku merasa lebih siap hidup, menyongsong
masa depan. Fresh, cool dan lebih bugar setelah berwudlu dan menjalankan sholat
subuh dengan khusyu. Lengkaplah kenikmatan hidup ini dengan secangkir kopi susu
yang dihidangkan istriku tercinta.
Program pelatihan refill hari kedua harus segera dimulai. Aku bersama istri
bergegas lagi pergi ke RSKG.
Mas Slamet sudah siap bertugas sebagai instruktur pelatihan. Aku bersama
istriku langsung naik lift menuju lantai III ruang CAPD.
Proses refill memang agak lama dari ketentuan waktu ideal 30 menit ternyata
molor sampai 1 jam, karena masih terasa nyeri waktu memasukkan cairan. Selisih
volume cairan masuk dan keluar hanya 50 ml/0,5 ons dari 1400 ml menjadi 1450 ml.
Pukul 08.40 WIB, aku memiliki waktu luang sampai nanti refill kedua pukul
14.00 WIB. Nah, waktu luang tersebut akan digunakan untuk berkunjung ke rumah
Pak Asnali yang sudah begitu tulus mengajakku berobat refleksi, agar bisa berhenti
cuci darah. Walaupun pada akhirnya, kejadian itu menjadi malapetaka bagi dirinya,
yang harus ditebus dan dibayar mahal dengan dirawat di ICU RSHS dan menjalani
cuci darah 3x seminggu sampai penumpukan racunnya benar-benar habis dan kondisi
kesehatannya pulih lagi. Aku berniat mengajaknya beralih ke CAPD. Makanya
kupersiapkan segala brosur, gambar dan tulisan tentang CAPD.
Begitu tiba di rumah Pak Asnali, aku disambut senyum ramah anak istrinya
dan disuguhi berbagai makanan dan minuman.
Pak Asnali masih berbaring lesu di kamarnya sambil menghirup oksigen dari
tabung gas kecil yang dimilikinya. Kelihatan wajahnya pucat, nafasnya sesak. Tapi
dia memaksakan diri keluar kamarnya. Aku melarangnya. Dia memasuki ruang
tengah dengan susah payah, ke tempat kami duduk.
“Biar saja Pak! Bapak di kamar istirahat. Jangan memaksakan diri!” kataku.
“Ah, enggak apa-apa Pak! Saya malu oleh Bapak, sudah mengajak Bapak ikut
direfleksi, malah saya jadi begini.” Pak Asnali seolah menyesali perbuatannya.
“Sudahlah Pak! Jangan disesali, kejadian itu anggap saja tak pernah terjadi.
Saya datang ke sini justru ingin mengajak Bapak beralih ke CAPD. Agar Bapak bisa
sehat lagi. Saya merasakan perubahan positif, walaupun baru sehari saya pakai.” aku
mulai menguraikan masalah CAPD dengan sedetil-detilnya sampai dia benar-benar
mengerti keuntungan dan kerugiannya. Segala gambar, brosur dan tulisan tentang
CAPD aku kupas tuntas.
60
Tidak hanya Pak Asnali, keluarganya pun kelihatannya mengerti dan merasa
tertarik dengan system CAPD. Kemudian aku bertanya masalah Askes Keluarga
Miskin (Gakin) sebagai kartu jaminan dari pemerintah. Kalau tanpa Askes Gakin pasti
akan terasa berat. Biaya oprasi pasang carteter saja hampir Rp. 9 juta, belum cairan
dianeal dari Enseval ±Rp. 4 juta s/d p. 4,5 juta per bulan.
“Askes Gakinnya punya?” tanyaku penasaran.
“Waduh, enggak punya Pak! Ada juga Surat Keterangan Tidak Mampu
(SKTM) yang harus diperbaharui tiap bulan. Ini juga susah mengurusnya. Anak saya
sudah mencoba mengurus pembuatan Askes Gakin, malah diping-pong, ke sana ke
mari. Akhirnya kembali ke SKTM.” jelas Pak Asnali.
Aku terdiam. Dadaku tiba-tiba terasa sesak, bingung.
Waktu terus berjalan. Shalat Jum’at sebentar lagi. Aku melirik jam tangan dan
mengajak Pak Asnali Shalat jum’at, “Pak, kuat Shalat Jum’at enggak?”
“Wah, rasanya tidak akan kuat! Silakan Bapak saja! Saya Shalat Dzuhur saja
di rumah.” jawab Pak Asnali pelan.
“Ya, enggak apa-apa Pak! Biar saya sendiri ke Mesjid. Titip istri saya di sini,
ya Pak?” kataku dengan nada bercanda.
“Ya! Pokoknya istri Bapak dijamin utuhlah! Tenang saja!” sambil
memaksakan diri tersenyum Pak Asnali memberikan jaminan.
Sebelum khotib naik ke mimbar, DKM mesjid memberikan pengumuman
mengenai uang infak, nama khotib dan imam Jum’at serta pengumuman warga sakit.
Terngiang di telingaku bagian pengumuman mengenai Pak Asnali. “Bapak-bapak ahli
jum’at, kami mohon do’anya demi kesembuhan salah seorang warga kita yang sedang
mengalami cobaan dari Alloh Swt. Pak Asnali, beliau sedang menderita penyakit yang
serius. Mudah-mudahan Pak Asnali diberi kesabaran, dan keikhlasan menerima ujian
ini. Dan cepat-cepat disembuhkan kembali seperti sedia kala agar bisa beribadah
bersama-sama seperti kita semua. Mudah-mudahan deritanya dijadikan kifarat dan
penebus dosa. Keluarganya diberi kesabaran dan ketabahan serta menjadi amal sholeh
di hadapan Allah Swt. Amiin! Alfatihah!”
Semua jama’ah tertunduk kepalanya memanjatkan do’a kepada Allah Swt
demi kesembuhan Pak Asnali, begitu juga diriku.
Aku tak kuasa menahan air mata sebagai rasa iba dan haru. Batinku terus
berceloteh tentang penyesalan dan ketidak berdayaanku untuk menolong dan
mengajak Pak Asnali beralih ke CAPD.
61
Air mataku semakin deras, saat terbayang di benakku orang-orang yang
mendo’akan kesembuhanku. Pasti, setiap jama’ah Juma’t di kampung halamanku,
murid-muridku dan rekan-rekan guru di SMPN 1 Banyuresmi selalu memanjatkan
do’a bagiku. Belum lagi orang tua, anak istri, adik-adik, ibu-ibu pengajian hari Kamis,
bahkan ibu-ibu pengajian Minggu yang diselenggarakan oleh ibu mertuaku di Gunung
Halu, Cililin tak terlewatkan. Terus berkelebat di dalam bayanganku.
Berkat do’a mereka semua, Allah Yang Maha Kasih dan Maha Sayang
memberikan kemudahan bagiku untuk sembuh. Aku yakin dengan haqqul yakin
bahwa Allah akan memberikan jalan keluar atau obat untuk penyakitku ini. Tangis
rasa syukurku semakin menjadi-jadi, setelah kejadian tadi.
Aku benar-benar bisa membayangkan kejadian nanti di hari pembalasan.
Ketika seorang manusia tidak bisa memberi atau meminta pertolongan dari yang
lainnya. Walaupun hubungan mereka itu sebagai ibu-anak, ayah-anak, suami-istri,
murid-guru, rakyat-pemimpin. Apalagi hanya sebagai sahabat. Semuanya tergantung
pada amal baik atau buruk dia sendiri saat hidup. Jangankan di akhirat, di dunia saja
hal ini bisa terbukti.
Sebagai bukti empirik. Aku yang kebetulan berbekal sedikit ilmu dan
kuamalkan sebagai guru SMP selama 17 tahun menjadi PNS, balasannya sudah terasa.
Punya Askes, sehingga berbagai biaya operasi atau untuk persediaan cairan dijamin
gratis. Padahal bagi orang lain belum tentu bisa didapat dengan cuma-cuma.
Kemudian, aku tidak bisa mengalihkan fasilitas yang bisa kuterima kepada orang lain.
Sedangkan Pak Asnali yang berprofesi sebagai pedagang sea food, dia tidak bisa
mendapatkan fasilitas itu, karena tak memiliki Askes. Keinginannya untuk memiliki
Askes Gakin pun harus dia pendam dalam-dalam karena berbagai kendala birokrasi.
Rohaniku semakin terbang jauh membayangkan rekan-rekanku senasib
lainnya yang tidak memiliki Askes. Pak Kurnia, Pak Agus Berlian dan seorang pasien
yang marah-marah di ruang tunggu gara-gara tidak bisa cuci darah karena tidak
memiliki uang Rp. 399.000,00 padahal kepalanya sudah tak tahan menahan sakit
akibat kadar ureum dan kreatinin yang tinggi.
Bagaimana jadinya Pak Kurnia, Pak Asnali, dan yang lainnya bila sudah
kehabisan materi untuk transport dan bayar cuci darah? Bila profesinya tak bisa
menghasilkan uang karena tak bekerja. Sedangkan kondisinya sangat
mengkhawatirkan. Jangankan berpikir dan berusaha mencari uang, menyiapkan
mental dan kesabaran menghadapi penyakit yang mereka derita saja sudah berat. Aku
62
tak habis pikir, bagaimana jadinya ketika mereka pada akhirnya pasrah, menyerah dan
terkapar dalam kondisi yang mengenaskan.
Ih… bayanganku semakin ngeri!
Kembali aku menafakuri kemurahan Allah yang Maha Rahiim. Aku bersyukur
sekali kepada- Nya. Aku diberi kemudahan, kelancaran dan jalan keluar dari
penderitaan yang menjadi momok bagi banyak orang. Cuci darah, selamat tinggal!
Mataku bengkak dan merah. Tangisku tak bisa berhenti sampai khotib selesai
berkhutbah, bahkan shalat Jum’at dan ba’da shalat pun aku masih juga menangis.
Baru kali ini, aku merasakan khusyunya Shalat Jum’at dan merasa begitu
dekatnya dengan Allah yang membimbingku menuju kehidupan baru, yang lebih baik.
Sujud syukurku pada raka’at akhir shalat serasa sempurna, berterima kasih tiada
hingga kepada- Nya.
Sulit menyembunyikan wajahku yang berantakan habis menangis. Aku merasa
sedih dan menyesal sekali tidak bisa menolong Pak Asnali. Makanya, aku bergegas
berpamitan dan mengajak istriku menuju RSKG untuk melanjutkan proses pelatihan
refill CAPD.
Di perjalanan, istriku mengintrogasiku dengan nada penuh keheranan. Karena
mataku bengkak, memerah, dan masih sembab. Dia bertanya, “Kenapa Pak? Ada apa?
Cerita dong! Mimih siap mendengarnya!”
Aku tidak menjawab, malah tangisku semakin menjadi. Sambil kupegang erat
tangannya, aku berurai air mata dan menceritakan wisata rohaniku kepadanya.
Akhirnya, istriku juga ikut menangis. Tangis bahagia, karena besok kami akan
pulang, dengan keterampilan refill dianeal CAPD dan dressing penutup luka.
Akhir Desember 2006, aku kembali merindukan Pak Asnali. Hampir satu
minggu aku selalu teringat padanya, karena aku sudah berhenti cuci darah hampir 4
bulan sehingga aku tak pernah mendengar kabar beritanya. Segera aku menelpon ke
rumahnya untuk mengetahui keadaannya. Kebetulan yang mengangkat gagang
telepon itu bukan dirinya, bukan pula istrinya, melainkan anaknya.
“Assalaamu’alaikuum!” katanya.
“Wa’alaikuum salaam!” jawabku.
“Dengan siapa ya?” tanya dia.
“Saya, Asep Qori’in dari Garut, bisa bicara dengan Pak Asnali?” aku sudah
tak sabar ingin mendengar suaranya.
“Oh…, Bapak mah sudah tidak ada!” katanya dengan nada keheranan.
63
“Apa dia sedang keluar?” tanyaku.
“Bukan Pak? Pak Asnali mah sudah meninggal. Sekarang sudah hampir
seratus harinya.” katanya meyakinkan.
“Innaalillaahi wa innaailaihiiraaji’uun…” kataku dengan penuh rasa haru dan
iba, setelah mendengar kabar yang sangat menyedihkan itu, “Neng, tolong ya
sampaikan kepada ibu, saya minta maaf karena tidak tahu bahwa bapak telah tiada.
Saya hanya bisa berdo’a mudah-mudahan arwah beliau diterima di sisi Allah Swt,
diterima iman Islamnya dan diampuni dari segala dosa dan kekhilapannya. Ibu
bersama keluarga yang ditinggalkan mudah-mudahan diberi kesabaran dan ketabahan
menerima cobaan yang berat ini. Amiin!” do’aku sambil menutup pembicaraan.
Rupanya, wisata rohaniku saat shalat Jum’at dulu tak perlu menunggu lama.
Peristiwa yang mengenaskan itu benar-benar terjadi hanya beberapa bulan seteleh
pertemuan terakhir kami. Peristiwa itu menimpa seorang pasien gagal ginjal yang baik
hati, sahabat sejati sependeritaan kini telah tiada.
Hidup Bersama CAPD makin PD
Kloning ginjal hanyalah impianku. Kenyatannya, masih ada jalan lain yang
bisa lebih nyaman dari cuci darah. Ya, CAPD merupakan alternatif perbaikan kualitas
hidup seorang penderita gagal ginjal kronik, selain cangkok (transplantasi) ginjal.
Banyak orang yang mencemooh dengan perkataan “CAPD, cape dech!”
memang proses refill tiap hari 3 sampai dengan 4 kali membuat kita cape dech! Tapi
jika dibandingkan dengan cuci darah yang menyita waktu banyak, karena jarak rumah
ke tempat cuci darah yang jauh. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus km seperti
rumahnya Pak Dadan. Jarak tempuh Pamijahan-Bandung, bukan waktu yang sedikit.
Pak Agus, Pameungpeuk-Bandung. Luky, Tanggerang-Bandung, dan lain-lain.
Proses cuci darahnya 4 sampai dengan 5 jam tidak bisa bergerak ke mana-
mana. Belum rasa sakit ditusuk-tusuk oleh jarum pistula yang besar. Sekali waktu
terjadi kram karena terlalu banyak cairan yang ditarik mesin melebihi dari berat
kering tubuh. Selain itu kalau terjadi drop, tensi yang tiba-tiba rendah, atau terlalu
tinggi kemudian pingsan. Wah, rasanya lebih mengerikan. Lebih capek dech
dibanding CAPD.
64
Beberapa bulan saja berat badanku kembali normal. Perubahan kondisi badan
itu terasa sekali, dari 44 kg menjadi 56 kg dalam waktu 3 bulan. Berarti kenaikan
berat badan yang signifikan. Dalam waktu 3 bulan bisa naik 12 kg. Hebat!
Memang diawal-awal CAPD ada beberapa masalah. Wajar, namanya juga
masa-masa adaptasi. Pasti ada penyesuaian tubuh yang harus melalui proses.
Kendala pertama, daya tariknya cairan pengeluaran kurang. Penumpukan
cairan pada tubuh yang membuat repot juga di dua minggu awal CAPD. Bengkak-
bengkak di tubuh harus ditarik lagi memakai mesin cuci darah. Sabtu, 2 September
2006 terpaksa harus ditusuk lagi jarum pistula, untuk mengeluarkan 4,5 kg cairan di
tubuh, (cuci darah bonus).
Setelah kejadian itu. Alhamdulillah, lancar. Setiap refill, mengalami selisih
lebih volume cairan masuk dan keluar sampai akumulasi 1kg per hari. Pernah
mengalami infeksi peritoneum. Dari hasil tes laboratorium cairan tanggal 30 Agustus
2006 terdapat 497 sel bakteri/virus, yang mengakibatkan cairan keruh dan banyak
fibrinnya. Cairan pembuangan tidak kuning dan jernih. Sehingga volume cairan pun
berkurang. Inilah yang mengakibatkan kaki dan badanku bengkak-bengkak.
Pemberian anti biotik “gentamicin” dimasukkan ke dalam bag cairan yang
mau dipakai sebanyak 40 mg/2 lt dapat dengan cepat menanggulangi infeksi. Infeksi
terjadi akibat dari kelalaianku mengganti cairan (refill) di atas mobil, banyak
penumpang dan sedang macet di tengah jalan. Tempatnya tidak steril.
Hari keduanya, tiba-tiba badan menggigil dan cairan keruh banyak fibrinnya.
Keesokan harinya, baru aku berobat ke RSKG.
Alhamdulillah, setelah kejadian itu sampai sekarang lancar-lancar saja, tidak
ada kendala yang berarti. Kepalaku yang sering pusing, sekarang jarang terjadi. Obat-
obat tensi yang harus selalu dikonsumsi selama 2 tahun sekarang sudah berkurang
bahkan tidak sama sekali. Makan pun rasanya nikmat.
Aku sudah merasa nyaman dengan CAPD. Bisa bepergian jauh berhari-hari
tanpa harus dibatasi waktu seperti saat cuci darah. Jika sudah tiba jadual cuci darah,
aku mesti datang ke tempat cuci darah.
Sekarang, hanya tinggal membawa cairan sebanyak yang dibutuhkan selama
bepergian. Penggantian cairan atau refill bisa dilakukan di mana saja, asal memenuhi
syarat kebersihan dan cuci tangan.
Rasanya senang juga mendapatkan pelayanan dan jaminan kesehatan yang
baik dari semua instansi. PT Askes yang memberikan fasilitas gratis 120 bag cairan
65
untuk refill 4 kali per hari setiap bulan. Begitu pula terhadap produk Baxter yang
berkualitas, steril dan praktis. Kalbe Farma sebagai perusahaan yang memasarkannya
sudah membuktikan diri bisa bertindak professional, menunjukkan perhatian tinggi
terhadap konsumennya. Pak Sutisna.H.SDJ. sebagai karyawan handal siap berkunjung
ke rumah pasien untuk memberikan konsultasi gratis tiap bulan dan selama 24 jam
siap dihubungi, apabila ada keluhan. Sekarang ia sudah pindah tempat kerjanya, tapi
sudah diganti karyawan lain yang sama handal. PT Enseval Putera Megatrading Tbk.
sebagai distributor tunggal di Indonesia siap mengantarkan produk Baxter ke seluruh
pelosok tanah air, tempat konsumen berada dengan tepat waktu.
Subhanallah! Luar biasa jika kita tafakuri, kerepotan semua pihak untuk
menanggulangi kerusakan ginjal seseorang, organ tubuh produk Allah Swt yang
bentuknya sebesar kepalan tangan manusia, harus diganti dengan hal yang melibatkan
ratusan bahkan ribuan orang yang terlibat dalam penyediaan alat dan bahan seperti
tadi. Atau menggunakan mesin cuci darah yang ukurannya sebesar kulkas. Bukti
empiris bahwa ilmu Allah Swt itu sangat tinggi. Allahu Akbar !
Ada juga pengalaman yang menyakitkan yaitu pada saat akhir bulan
Ramadhan 1428 H, aku pergi ke Tasikmalaya untuk memproses pemesanan cairan
dianeal CAPD ke PT. Enseval Putera Megatrading Tbk, sekalian berjalan-jalan dan
shopping persiapan lebaran.
Anak istriku tengah berbelanja di pusat perbelanjaan kota Tasikmalaya. Pukul.
13.00 adalah saatnya jadual refill cairan. Aku menemukan tempat yang tepat, bersih
dan ada mejanya yang berupa rak buku. Tempat itu adalah Musholla.
Aku mencari DKM sebagai pengurus Musholla itu untuk meminta izin, tapi
tidak ada yang tahu. Mungkin orang-orang yang sedang shalat pun sama seperti diriku
yang kebetulan singgah.
Setelah berwudhu, aku shalat Dzuhur, selesai shalat kemudian aku membuka
ikat pinggang kantung kateter dan memasang twins bag dianeal cairan CAPD. Aku
memilih sudut belakang Musholla, agar tidak mengganggu kekhusyuan orang yang
sedang beribadah. Orang-orang yang selesai shalat dan akan shalat banyak yang
melihatku dan menghujaniku dengan pertanyaan tentang CAPD. Sambil melakukan
refill kujawab semua pertanyaan itu dengan penuh kesabaran.
Pengeluaran cairan selesai, tinggal pemasukan. Jadi hanya 10 menit lagi waktu
yang aku butuhkan.
66
Tiba-tiba seorang pemuda menghampiriku dan mengusirku dari tempat itu,
”Bapak tahu ini tempat suci?”
Aku berusaha menjelaskan, namun dia terus saja ngotot.
“Di luar saja Pak! Jangan di dalam, itu kan air najis!” kata dia.
“Maaf, Saya tadi mencari Anda sebagai pengurus Musholla ini sebelum
melakukannya untuk meminta izin. Tapi tidak ada yang tahu.” kataku berusaha
menjernihkan situasi. “Saya tidak bisa melakukan refill ini di luar takut kotor kena
debu nantinya, dan akibatnya infeksi. Kata dokter juga tidak boleh ada debu, agar
terhindar dari infeksi. Saya jamin tidak ada setetes air pun yang akan mengotori
Musholla ini, dan saya pun tahu ini tempat suci, tempat beribadah. Sebentar lagi akan
selesai, tinggal 5 menit lagi.”
Pemuda itu rupanya belum paham.
“Ginjal saya rusak. Cairan kuning ini bukan keluar dari tempat kencing, tapi
dari perut saya. Nih, coba lihat sendiri!” sambil kuperlihatkan posisi kateter. Baru dia
menganggukan kepala sembari menggeloyor meninggalkanku.
Pengalaman lain yang cukup menarik yaitu saat pulang dari RSKG setelah
menjalani tes PET. Pada hari Kamis 26 Oktober 2006, aku harus menjalani tes PET.
Suatu tes cairan buangan, agar bisa menentukan tingkat keberhasilan terapi pengganti
ginjal dengan sistem CAPD. Aku merasa was-was tentang bagaimana nanti hasil PET
tersebut. Hasratku untuk mencicipi buah durian begitu besar, tapi masih takut. Sambil
menunggu hasi laboratorium, aku bersama istri berjalan-jalan dulu ke mall. Stand
yang menjadi tujuan utamaku jelas, tempat buah-buahan. Tentu aku ingin segera
menikmati harumnya dan lezatnya buah durian. Aku memaksa istriku untuk membeli
buah durian yang sudah dikemas dalam plastik transparan.
Buah-buahan yang paling aku suka adalah durian. Makan durian merupakan
hobyku sejak kecil. Tapi semenjak dinyatakan gagal ginjal kronik, aku tak pernah
mencicipinya. Apalagi saat cuci darah aku harus diet buah dan sayuran karena terlalu
tinggi kaliumnya. Hiper kalemia sudah terbukti sebagai penyebab utama kematian,
minimal mengalami sesak nafas sehingga harus OT(over time) artinya harus
menjalani cuci darah ekstra di luar jadual.
Istriku masih trauma dengan pengalaman pahit waktu aku masih cuci darah, ia
tak mau kejadian sesak napas tiba-tiba terulang lagi, sehingga harus OT. Aku terus
membujuknya, “Mih, pokoknya Mimih harus beli durian, ya… ! Bapak sudah tak
tahan dengan keharumannya yang begitu menggoda. Sekarang, Bapak hanya akan
67
menciumi harumnya saja sambil menunnggu hasil laboratorium diketahui. Nanti kalau
sudah terbukti kalium darah Bapak normal, apa lagi kalau di bawah normal, Bapak
akan memakannya. Tapi kalau hasil laboratorium menyatakan bahwa kaliumnya
tinggi, Bapak tidak akan berani memakannya.”
“Yakin, Bapak bisa tahan?” tanya istriku masih ragu.
“Yakin!” kataku mantap.
Tak lagi banyak basa-basi istriku langsung menyambar kemasan buah durian
Montong yang dagingnya kelihatan kekuning-kuningan, besar-besar dan harum sekali,
biasanya bijinya kecil-kecil begitu juga rasanya pasti manis, lezat dan nikmat.
dr. Rusma belum bisa memberikan keterangan tentang hasil laboratoriumku.
Namun dia berjanji akan segera mengabariku secepatnya lewat SMS, “Mungkin nanti
sore hasinya Pak! Jika Bapak mau pulang silakan saja. Nanti saya kabari lewat SMS.”
Akhirnya aku pun pulang ke Garut dengan harap-harap cemas.
Hampir tiba waktu Ashar, perjalananku baru sampai kawasan Nagreg. Aku
masih penasaran ingin segera mengetahui hasil laboratoriumku. Terutama ingin
segera menikmati makan durian yang sudah di depan mata, karena kusimpan di atas
deks boards. Segera kulayangkan sebuah SMS kepada dr. Rusma dengan harapan
mudah-mudahan hasilnya sudah ada.
Beberapa menit kemudian Hp-ku berbunyi sebagai tanda ada pesan baru yang
diterima. Deg-deg plas jantungku saat membuka pesan singkat itu. “Pak Asep, sayang
sekali hasil tes itu, kaliumnya rendah hanya 3,1. Jadi, Bapak tinggal makan buah aja
yang banyak.” Begitu kalimat yang kubaca di layar Hp-ku.
Pucuk di cinta ulam tiba, aku bersorak kegirangan. Kemasan plastik durian
langsung kurobek dan kumakan isinya dengan penuh gairah. Nikmat yang beberapa
bulan terakhir dicabut dari kehidupanku, kini sudah dikembalikan oleh Allah Yang
Maha Pemberi Nikmat. Sujud syukurku kembali terulang saat beristirahat di mesjid
Uswatun Hasanah, Nagreg.
Awal November 2007, aku mengikuti acara silaturahmi Halal Bil Halal
pimpinan, seluruh karyawan dan pasien RSKG Ny. RA Habibie. Aku bisa bertemu
kembali dengan teman-teman sependeritaan, walau sebagian sudah tiada atau tidak
bisa hadir karena kondisinya sedang jelek. Hampir semua pasien menganggap akulah
yang paling bugar. Ada hal yang membanggakan, apalagi setelah disuruh tampil oleh
Prof. Enday agar aku membuka ikat pinggang tempat kateter CAPD dan
menunjukannya kepada seluruh peserta yang hadir. Malah, aku sempat berseloroh,
68
“Maaf, Prof! kalau di kampung saya sebelum saya memperlihatkan kateter ini, harus
dicecep seperti anak sunat.” Hadirin tertawa.
Pada sesi akhir acara, aku juga terpilih sebagai pasien teladan. Alhamdulillah,
ternyata diriku masih berguna bagi orang lain.
Senin, 18 Februari 2008 baru saja aku ganti transferset yang ke tiga kalinya.
Rekan-rekanku yang biasanya memiliki jadual cuci darah setiap hari Senin-Kamis
sore semuanya tinggal 5 orang lagi, dari 17 orang pasien satu ruangan. Pak Kurnia,
Luky, Ceu Eros, Bu Kartini dan aku sendiri. Berarti rekan sependeritaanku, seruangan
dan sejadual sudah 12 orang yang berada tenang di alam baka. Pak Rukmana (Alm),
Pak Asnali(Alm), Pak Agus Berlian (Alm), Ibu Dekan (Almh), dan kawan-kawan
yang lainnya semoga mereka diterima iman Islamnya.
Memang tidak hanya yang cuci darah saja, yang CAPD juga ada yang sudah
mendahului kami. Prof. Maman (Alm), Pak Sya’ban (Alm). Pak Barnas (Alm), Pak
Otong (Alm), dan lain-lain.
Semoga yang masih bertahan hidup diberi umur panjang, lebih sehat, dan tetap
selalu minum vitamin 4 S : Shalat, sabar, semangat, dan sehat baik bersama cuci darah
maupun CAPD.
Sekarang aku bisa kembali bertugas pergi ke sekolah, walaupun hanya sebagai
guru BP. Setelah aku dimuat di bulletin ginjal RSKG. Banyak yang menghubungiku
lewat telepon, ada juga yang sengaja datang ke rumah untuk menanyakan masalah
CAPD. Kini aku naik peringkat menjadi nara sumber CAPD bagi banyak orang, baik
pasien cuci darah, keluarganya atau orang awam sekalipun.
Rasa percaya diriku timbul lagi setelah melalui proses hidup yang panjang.
Depresi dan perasaan serasa tak berguna, sekarang hilang. Semakin PD hidup bersama
CAPD. Aku tetap bangga menyandang gelar Asep CAPD atau Asep cape dech,
bahkan ada yang menyebutkannya terbalik menjadi Asep CPAD.
Sekarang hari-hariku kian indah. Biarpun harus selalu disiplin menunaikan
refill 4 kali sehari secara rutin dan kontinyu. Mudah-mudahan bisa menjadi bentuk
ibadahku, ketundukkanku dan pengabdianku kepada Allah Swt, di samping shalatku
yang 5 waktu. Mudah-mudahan jadi kifarat dosa-dosaku dan bisa mengantarku
menggapai keridhoan-Mu. Amiin!
69
Mengenai Saya
bang_qory Asep Qoriin, A.Md.Pd, anak dari Entin Hartini (Almh) dan ayah Oman Abdurahman, anak pertama dari lima bersaudara. Dibesarkan di pinggiran Situ Bagendit, Banyuresmi, Garut lahir tanggal 5 Februari 1967. SD s.d SMAN di Garut sampai dengan tahun 1986. Pendidikannya kemudian dilanjutkan di Fakultas Bahasa dan Sastra IKIP Bandung (UPI sekarang) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia program D2 yang diselesaikannya pada tahun 1988. Kemudian melanjutkan kembali ke D3 th 1996 – 1997. Selesai menjalani pendidikan D2 di IKIP Bandung, diangkat menjadi PNS di SMP 1 Banyuresmi sampai sekarang.Dinyatakan mengalami penyakit “Gagal Ginjal Terminal” 20 Februari 2006. Penulis menikah dengan Fatmah Tresnasih, S.Pd. Memiliki 4 orang anak, Faris Fajar Wibawa, Ulfa Shofi Agnia, Nazla Gina Farfasya dan Fhatiya Bilqis Saida. Sering menulis puisi, cerpen dan naskah drama yang dipentaskan di sekolah tempatnya mengajar.Melatih siswa dan anak-anaknya untuk membaca puisi dan mendongeng hingga mereka bisa meraih juara tingkat propinsi Jawa Barat.
Email :bang_qory@yahoo.co.id
70
top related