calcium channel blockers - copy
Post on 12-Aug-2015
167 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
CALCIUM CANAL BLOCKERS
Informasi Umum
Calcium Canal Blockers (CCB) memblok pergerakan kalsium melewati
channel kalsium tipe L. Obat-obat yang memiliki fungsi tersebut antara lain
verapamil (a-phenyalkylamine), diltiazem (a benzithiazepine) dan dihidropiridin,
termasuk diantaranya amlodipine, darodipine, felodipine, isradipine, lacidipine,
lercadipine, manidipine, nicardipine, nifedipine, nimodipine, nisoldipine, dan
nitredipine. Agen lainnya, seperti contohnya: prenylamine dan lidoflazine,
sekarang telah jarang digunakan, dan prehexiline, yang gagal masuk pasar pada
beberapa negara, telah ditinggalkan di Inggris setelah kekhawatiran tentang
keamanannya. Mibrefadil menghambat channel kalsium tipe CT; dimana sudah
ditarik dalam satu tahun masa pemasaran oleh karena interaksi antar obat,
menekankan kepentingan penilaian obat secara teliti sebelum pelepasan ke pasar
dan kepentingan survei post-marketing obat baru.
Meskipun obat-obat tersebut secara kimia beragam, banyak efek
merugikan secara umum ditemukan pada CCB, yang dapat diprediksi dari aksi
farmakokinetiknya. Kalsium memiliki peran dalam fungsi kontraksi dan konduksi
di jantung dan otot halus arteri; obat yang turut campur dengan keberadaan
kalsium tersebut (dimana dapat ditemukan banyak sekali obat yang berkaitan,
CCB menjadi yang paling spesifik diantaranya) akan beraksi pada seluruh
jaringan tersebut. Beberapa reaksi idiosyncratic dan hipersensitivitas juga telah
dilaporkan pada masing-masing CCB.
Sifat masing-masing obat CCB sangat bervariasi. Nifedipin dikatakan
memiliki sedikit efek inotropik negatif dan tidak berefek pada atrioventricular
node (AV node).; verapamil adalah obat depresan jantung yang poten, dengan
ditandai efek pada AV node; dan diltiazem memiliki lebih sedikit efek depresan
jantung namun menghambat aktivitas dari AV node.
Penggunaan CCB telah menuai kontroversi dalam terapi hipertensi dam
penyakit jantung iskemi, dengan bukti hubungan yang tidak baik dengan outcome
koroner jika dibandingkan dengan terapi lainnya. Kebanyakan bukti datang dari
penggunaan formulasi short-acting, terutama nifedipine yang digunakan secara
short-acting. Hipotesis menjelaskan bahwa formulasi short-acting menyebabkan
aktivasi refleks dari sistem saraf simpatik. Studi observasi lanjutan menunjukkan
bahwa obat tersebut juga berkaitan dengan perdarahan gastrointestinal dan kanker.
Bukti lanjutan mengenai perdarahan gastrointestinal juga telah dipublikasikan.,
namu terdapat juga bukti yang menghubungkan dengan kanker. seluruh ketakutan
tersebut, tidak diragukan lagi, telah mengurangi kedudukan obat-obat tersebut di
mata para dokter.
CCB efektif dalam mengurangi gejala angina pectoris sudah tidak
diragukan lagi. Bagaimanapun juga, Angina and Silent Ischemia Study, dimana
nifedipine, diltiazem, dan propranolol dibandingkan dengan plasebo dalam studi
crossover, menghasilkan kesimpulan yang bertentangan. Hanya diltiazem yang
dapat meningkatkan treadmill exercise time dan hanya propranolol secara
meyakinkan menutunkan episode silent ischemic selama pemantauan rawat jalan.
Penemuan tersebut susah untuk dijelaskan. Beta bloker mungkin memiliki sifat
kardioprotektif dan oleh karena itu lebih dipilih daripada CCB. Perburukan
signifikan secara klinis tampak pada pasien dengan kerusakan fungsi ventrikel kiri
yang mendapat terapi CCB, adalah penting, sebagaimana banyak pasien dengan
angina memiliki riwayat infark miokard atau memiliki fungsi ventrikel kiri yang
lemah. CCB tidak dapat dianggap sebagai obat lini dua angina pektoris yang aman
pada pasien dengan fungsi jantung yang jelek, meskipun agen CCB terbaru
mungkin terbukti lebih aman.
CCB sangat efektif dalam mengontrol varian angina dan sering digunakan
selama angioplasti koroner dan setelah pembedahan arteri koroner. Obat tersebut
juga berguna pada pasien yang sudah intoleran dengan beta bloker atau pada
pasien yang sudah tidak berespons terhadap nitrat, atau pada pasien yang memiliki
hipertensi secara bersamaan.
Efek samping umum
Nyeri kepala berdenyut, kemerahan pada wajah, dan pusing adalah
keluhan minor yang dikaitkan dengan penggunaan CCB; efek tersebut dipercaya
dikarenakan aksi hambatan pada otot halus. Palpitasi, kramp otot, dan edema kaki
juga dapat terjadi. Pusing, wajah kemerahan, edem kaki, hipotensi postural, dan
konstipasi telah dilaporkan pada kurang lebih sepertiga pasien. pada beberapa
pasien hal tersebut sangat parah dan seringkali berhenti dalam terapi. Efek yang
lebih merugikan, utamanya adalah CCB berefek pada konduksi jantung,
kejadiannya sedikit lebih jarang, dan penghentian terapi jarang diperlukan.
Organ dan Sistem
Kardiovaskular
Gagal Jantung
Meskipun studi hemodinamik menunjukkan bahwa CCB memiliki manfaat
dalam gagal jantung, terapi jangka panjang dengan CCB telah dikaitkan dengan
kemunduran secara klinis. CCB seharusnya diresepkan dengan peringatan pada
pasien dengan fungsi jantung yang terganggu, dimana pasien tersebut harus
dievaluasi secara berkala; terapi harus dihentikan bila tanda atau simtom gagal
jantung muncul. Dalam beberapa kasus, gagal jantung dapat diprediksi, seperti
dalam kasus pasien dengan stenosis aorta yang berkembang menjadi gagal jantung
kiri setelah terapi menggunakan nifedipin. Peningkatan aktivitas simpatik juga
mengkompensasi efek supresan miokardium dari CCB dan kombinasi obat-obatan
tersebut (terutama verapamil) dengan antagonis beta-adrenoreseptor menyebabkan
perhatian khusus pada masa lalu, meskipun kombinasi ini sekarang diketahui
secara relatif aman pada kebanyakan pasien dengan fungsi jantung normal.
Iskemi miokard
Terdapat banyak penelitian mengenai efikasi CCB pada intervensi awal
maupun akhir dalam infark miokard. Studi-studi tersebut gagal menunjukkan
adanya manfaat yang berarti. Memang, dalam studi intervensi dengan nifedipin,
terdapat hasi yang konsisten dengan mortalitas yang lebih tinggi daripada mereka
yang mendapatkan plasebo. Sebuah penelitian dimana pasien dirandomisasi pada
plasebo dan nifedipin selama 48 jam setelah masuk rumah sakit telah
diberhentikan menjadi sampel setelah sejumlah 1358 pasien direkrut. Mortalitas
pada 6 bulan awal terapi mencapau 15,4 % pada nifedipin dan 13,3 % pada
plasebo.
Telah diargumentasikan bahwa CCB golongan dihidropiridin, dimana
dapat menaikkan frekuensi jantung, dapat secara keseluruhan meningkatkan risiko
kematian dan risiko reinfark. Tidak didapatkan hasil manfaat awal dengan
diltiazem pada pasien infark dengan non Q wave pada Multicenter Diltiazem Post
Infarction Trial. Pada psein dengan kongesti pulmonal, diltiazem dikaitkan
dengan peningkatan angka kejadian penyakit jantung dan terdapat hasil yang sama
pada pasien dengan ejeksi fraksi yang rendah. Bagaimanapun juga, verapamil
tampak dapat mereduksi reinfark. Hal tersebut menunjukkan adanya manfaat pada
pasien-pasien dengan tanpa gagal jantung. Nifedipin mungkin juag memiliki
sedikit efek pada unstable angina, namun secara jelas tampak tidak menjanjikan
manfaat apa-apa terhadap unstable angina.
Sebuah studi case control retrospektif telah memunculkan kontroversi
dalam hal penggunaan CCB short acting sebagai terapi hipertensi. Studi tersbeut
mencakup 623 kasus fatal dan kasus non fatal infark miokard selama periode
delapan tahun, dan 2032 sampel kontrol yang dicocokkan secara usia dan jenis
kelamin. Risiko infark miokard pada pasien dengan penggunaan CCB adalah 16
per 1000 pasien, dibandingkan 10 per 1000 pasien yang mendapatkan terapi beta
bloker atau tiazid. Bagaimanapun juga hasil penemuan ini dapat dijadikan perancu
dengan indikasinya. Selama pasien terekspos terhadap CCB, pasien mungkin akan
lebih berisiko untuk memiliki penyakit vaskuler perifer, penyakit paru (FEV yang
rendah dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler),
konsentrasi kolesterol serum yang tinggi dan diabetes mellitus. Analisis yang hati-
hati dilakukan untuk mengontrol beberapa faktor perancu, namun perancu-
perancu tersbeut hanya dapat dikontrol secaar baik dengan suatu studi acak.
Sebuah meta analisis dari 16 penelitian mengenai pencegahan sekunder acak pada
pasien dengan penyakit jantung koroner menunjukkan penggunaan nifedipin short
acting pda pasien dengan penyakit jantung koroner menunjukkan penggunaan
nifedipin short acting berkaitan dengan peningkatan mortalitas terkait dengan
dosis yang digunakan. Bagaimanapun juga, frekuensi kejadina pada studi tersebut
relatif kecil. Sebuah penelitian kohort prospektif pada 906 pasien hipertensi
berusia tua menunjukkan nifedipin secara relatif berkaitan dengan risiko
mortalitas sebesar 1.7 kali bila dibandingkan dengan beta bloker. Setelah
publikasi studi-studi tersebut, FDA merekomendasikan bahwa nifedipin short
acting tidak boleh diberikan pada kasus hipertensi maupun unstable angina.
Gangguan Ritme Jantung
Masing-masing CCB memiliki efek yang berbeda pada sistem konduksi
miokard. Verapamil dan diltiazem memiliki efek hambatan yang signifikan baik
pada fungsi SA node dan AV node, sedangkan nifedipin hanya memiliki sedikit,
bahkan tidak berefek pada konduksi jantung. Bahkan, nifedipin terkadang dapat
menyebabkan bradikardia.
Gangguan konduksi berat dapat juga terjadi bila CCB digunakan pada
kardiomiopati hipertrofik, namun sayangnya obat-obatan tersebut digunakan
dalam kondisi ini
Hipotensi
Terdapat banyak laporan kasus hipotensu simtomatik, biasanya pada
pasien-pasien hipertensi yang diterapi dengan CCB dosis besar, atau pada pasien
dengan dugaan infark miokard. Hal tersebut mempresentasikan peresepan obat
yang tidak bijak bila dibandingkan dengan efek samping yang ditimbulkan.
Dalam studi DAVIT II, 1,9 % dari kelompok yang diberi perlakuan dengan
verapamil dibandingkan dengan 1,6 % dari kelompok yang diberi perlakuan
plasebo, berkembang menjadi hipotensi atau merasa pusing; frekuensi kejadian
hipotensi pada studi acak diltiazem seteah infark adalah 0,6 % pada grup
perlakuan obat dan 0,2 % pada kelompok perlakuan plasebo.
Sistem Respirasi
Efek samping respirasi tidak umum ditemukan dalam penggunaan CCB.
bagaimanapun juga, tiga kasus bronkospasme akut yang diikuti dengan urtikaria
dan pruritus telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan terapi verapamil dan
pasien dengan distrofi otot tipe duchane yang berkembang menjadi gagal nafas
selama diberi terapi verapamil secara intravena dengan indikasi takikardi
supraventrikel. Eksaserbasi asma terjadi pada wanita usia 66 tahum dengan
hipertensi dan asma bronkial yang diberikan terapi verapamil
Pada hipertensi pulmonal, baik verapamil dan nifedipin meningkatkan
rerata tekanan atrium dalam kaitannya dengan hipotensi, nyeri dada, dyspnea, dan
hipotensi; kegagalan hemodinamik berat berefek menjadi henti jantung pada dua
pasien setelah pemberian verapamil, dan kematian pada pasien lainnya setelah
pemberian nifedipin. Seorang pasien dengan hipertensi pulmonal juga
berkembang menjadi edema pulmonal ketika dalam terapi nifedipin dan pasien
lainnya tampak berkembang sebagai reaksi alergi.
Sistem Saraf
CCB dapat menyebabkan parkinsonisme. Dari 32 pasien dengan
komplikasi tersebut, hanya tiga yang dapat mencapai kesembuhan selama 18
bulan setelah penghentian terapi; pasien dengan usia di bawah 73 tahun diketahui
memiliki prognosis yang lebih baik. Nasug belum diketahui jika pasien-pasien
tersebut dapat berkembang menjadi parkinson pada kasus-kasus yang tidak
tercatat dan mungkin obat CCB memiliki aksi sebagai presipitan parkinson.
CCB dapat memperburuk sindrom miastenia. Miatenia gravis dapat terjadi
dengan penggunaan verapamil oral. Seorang pasien dengan sindrom Lambert-
eaton dan small cel karsinoma pada paru, berkembang menjadi gagal nafas selama
beberapa jam dari awal pemberian verapamil untuk terapu atrial flutter, dan pasien
tersebut membutuhkan ventilasi bantuan. Hanya setelah verapamil dihentikan,
pernafasan pasien tersebut kembali baik. Verapamil berefek pada channel kalsium
pada membran saraf, namun konsentrasi eksperimental pada hewan melampaui
yang ditemukan pada praktek klinik. Pada kasus lain, diltiazem mencetuskan
sindrom lambert-eaton, yang dapat berkurang dengan penghentian pengguanaan
obat.
Sistem Sensori
Mata
Nyeri pada mata terjadi pada 14 pasien yang mendapatkan nifedipin,
dibandingkan dengan 9 % pada pasien yang mendapatkan kapropil pada studi
surveilans post-marketing. Mekanismenya belum diketahui, namun mekanisme
tersebut tidak berhubungan dengan vasodilatasi okuler.
Pengecap
Gangguan ringan pengecap dan penghidu, tanpa tanda-tanda lain dari
defisit neurologis, telah ditemukan pada pemberian nifedipin dan diltiazem.
Waktu onset gejala pada nifedipin bervariasi dari hari hingga bulan dan gejala
tersebut berkurang selama 24 jam setelah penghentian penggunaan obat.
Sementara diltiazem, efek tersebut berkurang secara bertahap selama 10 minggu,
meskipun terapi masih tetap dilanjutkan.
Psikiatri
Seorang pasien yang mendapatkan terapi diltiazem berkembang memiliki
gejala dan tanda mania dan perkembangan mania lain dengan ciri-ciri psikotik.
Telah dilaporkan juga bahwa nifedipin dapat menababkan agitasi, termor dan
depresi, dan bahwa verapamil dapat meneybabkan delirium toksik. Mimpi buruk
dan halusinasi visual telah dikaitkan dengan penggunaan nifedipin. Depresi telah
dilaporkan sebagai efek samping dari nifedipin.
Beberapa laporan menilai bahwa CCB ,ungkin berhubungan dengan
peningkatan insidensi depresi maupun bunuh diri. Bagaimanapun juga, terdapat
kekurangan dalam bukti pada panelitian yang berskala besar. Sebuah penelitian
yang menghitung insidensi depresi dengan penggunaan CCB, yang menggunakan
data dari monitorin pemberian resep, melibatkan pengumpulan informasi gejala
atau kejadian dalam studi kohort besar pada pasien setelah peresepan lisinoprol,
endopril, nicardipin, dab diltiazem oleh dokter umum. Frekuensi kasar
keseluruhan kejadian depresi selama terapi sebesar 1.89, 1.92 dan 1.62 per 1000
pasien per bulan pada penggunaan ACE inhibitor, diltiazem dan nicardipin.
Menggunakan ACE inhibitor sebagai kelompok acuan, frekuensi rasio depresi
sebesar 1.07 (95 % CI= 0.82, 1.90) dan 0.86 (0.69, 1.08) untuk diltiazem dan
nifedipin. Studi tersebut tidak mendukung hipotesis bahwa CCB memiliki kaitan
dengan adanya depresi.
Endokrin
Pada enam pasien hipertensi yang diberikan nifedipin 20 mg per hari
selama 30 hari, terdapat inhibisi respons aldosteron, namun tidak terdapat
perubahan secara signifikan pada sekresi ACTH dalam respons terhadap CRH.
Jalur sintesis aldosteron yang bergantung kalsium pada zona glomerulosa
digambat oleh CCB, meningkatkan feedback negatif oada sejresu ACTH oleh
pituitari, yang selanjutnya menyebabkan hiperplasia zona glomerulosa. Hal
tersebut menyebabkan peningkatan produksi steroid androgenik dan kemudian
testosteron, dimana keduanya beraksi pada sel dan matriks gungguva,
meningkatkan proses hiperplasia ginggiava (lihat bab Mulut dan Gigi).
Metabolisme
Transpor kalsium sangat penting untuk sekresi insulin, dimana dapat
dihambat oleh CCB. meskipun demikian, secara umum CCB memiliki efek
minimal dalam toleransi glukosa pada subjek yang sehat maupun yang diabetik.
Toleransi glukosa oral tidak terpengaruh dengan verapamil dan konsentrasi
glukosa darah basal tidak berubah selama pemebrian verapamil jangka panjang.
Demikian pula, nicardipin maupun nifedipin menyebabkan efek hiperglikemik
yang signifikan pada pasien diabetik maupun non diabetik. Pada 117 pasien
hipertensi, nifedipin menyebabkakn peningkatan signifikan rerata glukosa darah
hanya 0.3 mmol/l, sebuah efek yang jelas tidak terdapat hubungan secara klinis.
Dalam Treatment of Mild Hypertension Study, monoterapi selama 4 tahun dengan
menggunakan amlodipin maleat tidak menyebabkan perubahan glukosa jika
dibandingkan dengan kelompok plasebo pada 114 pasien hipertensi. Dalam
sebuah review disimpulkan bahwa CCB dalam dosis biasa tidak merubah kontrol
glukosa. Bagaimanapun juga, pada beberapa pasien diabetes tampak de novo atau
tambah parah dalam terapi awal menggunakan nifedipin, jadi mungkin terdapat
risiko kecil pada beberapa individu.
Keseimbangan Cairan
Edema kaki adalah reaksi yang diketahui dengan baik, terkait pemberian
nifedipin dan juga terjadi pada pemberian verapamil, diltiazem dan dihidropiridin
long acting, menunjukkan bahwa hal tersebut adalah efek dari keseluruhan jenis
CCB.
Hematologi
CCB jarang menyebabkan efek hematologik. Diatesis hemoragik,
termasuk kerusakan fungsi platelet, berkembang pada penderita insufisiensi renal
kronik, dimana CCB digunakan secara umum sebagai agen anti hipertensi. Pada
156 pasien dengan insuifisiensi ginjal jronis yang tidak dalam hemodialisa, CCB
dapat memperpanjang waktu perdarahan (OR= 3.52; 95 %, CI= 1.01, 12.3).
Bagaimanpun juga, meskipun terdapat efek ini, tidak terdapat efek kejadian
perdaarahan yang seruus secara klinik selama masa studi. Di antara pasien yang
mendapatkan CCB, 21 pasien dengan pemanjangan waktu perdarahan secara acak
dibagi ke dalam dua kelompok; pada kelompok pertama, pemberian CCB
dihentikan dan waktu perdarahan semakin memendek; pada kelompok yang
meneruskan terapi CCB, waktu perdarahannya tidak berubah.
Nifedipin telah dilaporkan menyebabkan agranulositosis dan leukopenia
disebabkan oleh diltiazem; dan pasien terakhir (leukopenia) memiliki
skleroderma, penyakit rematoid aktif, fibrosis pulmonal, namun sel darah putih
dihitung setekah tiga minggu pemberian diltiazem. Proses tersebut berhenti saat
penghentian terapi dan kembali lagi bila terapi dilanjutkan. Diltiazem juga
dilaporkan menyebabkan trombositopenia imunogenik pada seorang laki-laki
berusia 68 tahun dengan angina.
Mulut dan Gigi
Hiperplasia ginggiva, mirip dengan yang tampak pada fenitoin dan
siklosporin, adalah jarang, namun efek samping yang diketahui daru bufeduoun
telah juga dilaporkan pada pasien yang mendapatkan felodipin, nitredipin, dan
verapamil, menunjukkanbahwa efek samping tersebut adalah efek samping umum
pada CCB. Hanya satu kasus yang berkembang dengan CCB yang dilaporkan oleh
Norwegian Adverse Drug Reaction Committeee pada tahun 1991, meskipun saat
itu penggunaan CCB masih secara luas. Bagaimanapun juga, hiperplasia ginggiva
subklinis pada jaringan ditemukan pada 83 % dan 74 % pasien yang mendapatkan
terapi nifedipin dan diltiazem. Secara umum reaksi terjadi pada beberapa bulan
sejak pemberian awal, dan pada beberapa kasus, penghentian CCB dapat
menyebabkan perbaikan hiperplasia secara klinis. Mekanisme efek samping ini
masih belum diketahui, namun telah diperkirakan melibatkan ketidakseimbangan
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.
Penyakit periodontal telah dinilai pada 911 pasien yang mendapatkan
CCB, dimana 442 dari mereka mendapatkan nifedipin, 118 amlodipin dan 186
diltiazem, dan sebanyak 102 merupakan subjek kontrol. Terdapat pertumbuhan
berlebih ginggiva secara signifikan pada 6,3 % subjek yang mendapatkan
nifedipin sementara prevalensi yang terinduksi oleh amlodipin dan diltiazem tidak
berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Tingkat
keparahan pertumbuhan berlebihan pada kelompok nifedipin dikaitkan dengan
jumlah inflamasi ginggiva dan juga jenis kelamin, laki-laki tiga kali lebih berisiko
daripada wanita.
Gastrointestinal
Karena efeknya pada otot polos, CCB (khususnya verapamil, namun juga
diltiazem) dapat menyebabkan konstipasi. Hal tersebut mungkin dikarenakan
inhibisi aktivitas motorik kolon. Refluks gastroesofagal juga dapat terjadi, dan
CCB harus dihindari pada pasien dengan gejala refluks esofagitis. CCB
(verapamil, diltiazem, dan nifedipin) juga dikaitkan dengan peningkatan insidensi
perdarahan gastrointestinal, seperti yang dilaporkan dalam penelitian kohort
prosepektif pada 1636 pasien hipertensi usia tua, dengan risiko relatif sebesar 1.86
(95 % CI= 1.22, 2.82) dibandingkan dengan beta bloker. Bagaimanapun juga,
penemuan tersebut tidak ditegaskan oleh penelitian retrospektif lainnya.
Liver
Reaksi hepatik rigan telah diobservasi dalam kaitannya dengan pemberian
verapamil, nifedipin, dan diltiazem. Pada beberapa kasus demam, menggugul dan
berkeringat, telah dikaitkan dengan nyeri pada kuadran atas, hepatomegali dan
peningkatan ringan pada bilirubin serum dan aktivitas enzim transaminase.
Kebanyakan pasien lain asimtomatik. Seorang pasien memiliki hepatitis
granulomatosa dengan pemberian diltiazem. Pasien lainnya memiliki infiltrat
peroportal berupa eosinofil ketika memdapatkan terapi verapamil. Peningkatan
aktivitas enzim hepar secara umum hanya sementara, meskipun terdapat
abnormalitas ringan sementara yang tampak. Terkadang, peningkatan ekstrim
pada aktivitas enzim hepar telah dilaporkan. Frekuensi kejadiannya sangat jarang,
dan karena gejala dan tandanya yang ringan, hal tersebut secara mudah diabaikan.
Kulit
Sekalin kemerahan ringan dan eritema kaki yang dikaitkan dengan edema,
reaksi kulit terhadap CCB jarang terjadi; frekuensinya diperkirakan kurang lebih
1.3 % untuk diltiazem.
Bercak kemerahan dengan edema nyeri telah dideskripsikan dengan
pemberian nifedipin dan juga dengan diltiazem, namun tanpa dengan adanya
edema.
Eritema multiform ringan dan sindroma steven johnson telah dilaporkan
sebagai kemungkinan reaksi terhadap diltiazem dan nifedipin jangka panjang.
Nifedipin, verapamil dan diltiazem, kesemuanya terlibat sebagai penyebab
eritema multiform dan variannya, yakni indroma steven johnson dan nekrolisis
epidermal toksik dan atau dermatitis eksfoliativa dari data FDA.
Erupsi psoriasiformis telah dilaporkan pada pasien yang medapatkan
verapamil dan nicardipin.
Erupsi anular yang diinduksi cahaya atau eruosi papuloskuamosa karena
lupus eritromatosis kutan subakut dengan anibodi positif anti nuklear, anti-Ro dan
anti-La, leha dilaporkan pada pemberian verapamil, nifedipin dan diltiazem.
Hubungan CCB dengan kulit yang rusak akibat cahaya telah dinilai pada 82
pasien dengan transplantasi ginjal (50 % ringan, 24 % sedang dan 23 % berat) dan
53 pasien (65 %) telah menggunakan CCB (49 nifedipin dan 4 amlodipin).
Terdapat hubungan yang kuat antara CCB dan tingkat kerusakan akibat cahaya
dan adanya ekastosis, dengan hubungan yang lebih rendah terhadap solar
elastosis. Tidak terdapat bukti yang meyakinkan antara tingkat kerusakan akibat
cahaya dan durasi lama penggunaan CCB.
Sistem Reproduksi
CCB terkadang dapat menyebabkan menoragi dan ginekomastia.
Immunologi
Verapamil, nifedipin dan diltiazem, seluruhnya dikaitkan dengan reaksi
alergi, termasuk erupsi kulit dan efek pada fungsi hepar dan ginjal. Nifedipin juga
dilaporkan menyebabkan reaksi febril dab diltiazem dikaitkan dengan demam,
limfadenopati, hepatomegali, bercak eritem makulopapular dan eosinofilia pada
seorang laki-laki yang berusia 50 tahun.
Efek Jangka Panjang
Penghentian obat
Kemungkinan sindrom penghentian kalsium antaginos telah
diperkenalkan. Seperti yang telah dilaporkan bahwa penghentian verapamil,
nifedipin dan diltiazem dapat memperburuk angina atau bahkan dapat
menyebabkan infark miokard. Bagaimanapun juga pada penelirian penghentian
verapamil yang dilakukakn secara acak an double blind pada 81 pasien sebelum
dilakukan pembedahan bypass koroner, angina saat istirahat terjadi hanya pada
pasien yang memiliki gejala sama sebelumnya dan tidak terdapat efek pada awal
dari penghenrian onat CCB. jika sindroma penghentian obat terjadi, hal tersebut
dapat dikarenakan rebound vasospaseme koroner. Namun bukti terkini
menyatakan bahwa penghentian pemberian obat hanya menyebabkan kehilangan
fungsi terapeutik dari obat tersebut, atau justru dapat mengungkap penyakit yang
progresif.
Tumorigenitas
Studi kohort retrospektif pada 5052 subjek pasien berusia tua, dimana 451
subjek menggunakan verapapmil, diltiazem atau nifedipin, menunjukkan bahwa
obat-obat tersebut dikaitkan dengan risiko kanker sebesar 1.75 (95 % CI= 1.27,
2.34) dan juga terdapat hubungan yang signifikan terkait dosis yang digunakan.
Risiko terkecil kanker (RR= 1.27, 95 % CI= 0.98, 1.63) karena CCB telah
dilaporkan pada penelitian case control retrospektif murni yang melibatkan 446
kasus kanker pada pasien-pasien hipertensi. Bagaimanapun juga, penulis
menyimpulkan bahwa temuan ini mungkin “palsu”, sepertu tidak terdapat
hubungan antara rusuko kanker dan durasi lama penggunaan obat. Penelitiain lain
tidak menunjukkan adanya peningkatan risiko kanker dengan nifedipin short
acting setelah kejadian infark miokard pada pasien yang dipantau selama 10
tahun, meskipun hanya terdapat 22 kasus kematian kanker pada 2607 pasien.
demikian pula pada penelitian lain yang lebih besar “Benzafibrate Interaction
Prevention” (BIP) study, yang melaporkan data insidensi kanker pada 575 pasien
yang dipantai selama kurun waktu rerata 5,2 tahun, dengan 246 insiden aksus
kanker, 129 diantaranya pengguna CCB dan 117 diantaranya tidak menggunakan
CCB. penelitian lain juga gagal dalam membuktikan adanya hubungan oemakaina
CCB dan kanker. bagaimanapu juga, wanita yang berusia tua, yang mendapatkan
terapi estrogen dan CCB short acting memiliki peningkatan risiko secara
signifikan dari kanker payudara (risiko kasar= 8.48; 95 % CI= 2.99, 24).
Pada penelitian lain, respons pada 975 wanita dengan kanker payudara
masif dibandingkan dengan respons 1007 wanita pada kelompok kontrol. Wanita
yang pernah menggunakan CCB, beta bloker atau ACE inihibitor tidak memiliki
perubahan risiko kanker payudara diantara pengguna yang berhenti segera dari
pengobatan CCB (OR= 1.5; 95 % CI= 1.0, 2.1) dan diuretik hemat kalium (OR=
1.6; 95 % CI= 1.2, 2.1). tidak terdapat perkembangan korelasi yang jelas antara
risiko dan durasi lama penggunaan CCB. kontroversi tersebut mugnkin hanya bisa
diatasi dengan studi prospektif dengan periode pemantauan yang lebih panjang,
meskipun studi ideal sepertinya sulit untuk dilaksanakan.
Efek pada Generasi Kedua
Kehamilan
CCB digunakan sangat terbatas pada kehamilan. Tidak adanya laporan dari
kematian janin, malformasi janin atau efek samping maternal maupun neonatal
tidak bisa menunjukkan tingkat keamanan pemberian CCB pada wanita hamil.
Bagaimanapun juga, perbandingan nifedipin dan hidralazin pada 54 pasien dengan
pre eklamsia berat menunjuhhan bahwa nifedipin lebih efektif, memungkinkan
janin menjadi lebih matur.
Nifedipin lepas modifikasi 40 mg tds menyebabkan hipotensi ketikan
digunakan untuk menunda persalinan prematur pada wanita sehat berusia
29 tahun yang rahimnya mulai berkontraksi pada usia kehamilan 29
minggu; hipotensi ini mungkin telah mencetuskan infark non-Q wave.
Ketika nifedipin dikombinasi dengan magnesium secara intravena untuk menunda
persalinan preterm, dapat terjadi pseudo obstruksi kolon.
Laktasi
Baik verapamil dan diltiazem diekskresikan di air susu ibu, namun risiko
bayi yang meminumnya masih belum jelas.
Faktor Kerentanan
Pasien dengan gangguan fungsi SA node pada agngguan induksi
atrioventrikuler dapat berkembang menjadi sinus bradikardi, sinus arrest, heart
block, hipotensi dan syok, dan bahkan asistol dengan pemberian verapamil atau
diltiazem. Obat-obat tersebut tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan
jalur konduksi yang berkaitan dengan takidisaritmia kompleks dan obat-onat
tersebut dapat menyebabkan gangguan oknduksi berat pada pasien kardiomiopati
hipertrofik.
Demikian juga, verapamil harus digunakan secara hati-hati pada pasien
gagal jantung, dan; baik diltiazem maupun verapamil dapat menyebabkan masalah
pada pasien dengan cadangan jantung yang rendah. Bagaimanapun, studi PRAISE
menganjurkan bahwa amlodipin mungkin dapat diberikan secara aman, bahkan
dengan keberadaan gagal jantung yang berat yang diterapi secara optimal
menggunakan diuretik, digoksin dan ACE inhibitor. dalam studi tersebut,
amlodipin secara signifikan menurunkan mortalotas jantung pada lebih dari
sepertiga kardiomiopali dilatasi non-iskemik, tanpa menyebabkan mortalitas
secara signifikan pada kardiomiopati iskemik.
Kalsium antagonis harus dihindari pada periode peri-infark.
Penggunaan CCB pada pasien dengan hipertensi pulmonal telah dikaitkan
dengan henti jantung dan kematian mendadak.
Hati-hati pada penggunaan verapamil terjadap pasien dengan sirosis
hepatis karena metabolismenya berkurang, menyebabkan konsentrasi plasma yang
tinggi hingga menjadi potensial toksisk. Demikian pula, dosis awal yang rendah
dan dosis pemeliharaan dari CCB lainnya harus digunakan pada pasien dengan
gangguan hepar. Hal tersebut juga diaplikasikan pada pasien dengan insufisiensi
renal kronis, khususnya pada mereka yng mendapatkan terapi verapamil dengan
formulasi release yang dimodifikasi.
Pemberian Obat
Overdosis Obat
Tatalaksana overdoisis CCB telah direview;
laporan lain telah mereview keracunan akibat verapamil dan CCB lainnya.
Gejalanya bisa berupa hipotensi arterial, bradikardi karena depresi nodus
sinus, dan blok atrioventrikular, dan gagal jantung kongestid dan asma. Meskipun
efek terapetik berbeda menurut obatnya, pada kondisi overdosis, efeknya secara
umum masih sama. Asidosis metabolik berat (biasanya asidosis laktat) dan kejang
generalisata dapat terjadi, dan hipoglikemia telah dilaporkan. Edema pulmonal
non kardiogenik juga telah dilaporkan pada penggunaan diltiazem dan verapamil.
Beberpa kematian telah terjadi dengan verapamil.
Overdosis nifedipin hingga 280 mg menyebabkan vasodilatasi nyata pada
pasien muda dengan insufisiensi renal berat; ia diterapi secara sukses
dengan pemberian kalsium secara intravena
Overdosis CCB campuran, gejalanya mirip seperti infark miokard akut
Seorang laki-laki 42 tahun berkembang menjadi sesak nafas, lemah
berkeringat dan left bundle branch block. Pada angiografi hanya
ditemukan lesi non obstruktif, menyingkirkan kemungkinan penutupan
akut arteri koroner, dan ventrikulogramnya menunjukkan tidak adanya
pergerakan dinding yang abnormal, namun lebih pada hiperdinamik
ventrikel kiri dengan fraksi ejeksi sebesar 80 %. Ia secara bertahap
membaik selama beebrapa hari dan sampai pulih sempurna. Setelah
ekstubasi, dia menerima “beberapa” tablet verapamil, diltiazem dan
nifedipin jangka panjang, dengan dosis yang tidak jelas dan selama
periode waktu yang tidak jelas. Pasien tersebut mencoba untuk mengobati
sendiri gejala-gejalanya yang berhubungan dengan takikardi
supraventrukuler paroksismal seumur hidup.
Kasus ini menggarisbawahi fakta bahwa CCB harus dipertimbangkan untuk
diagnosis banding pada pasien yang datang dengan infark miokard akut yang
nyata.
Terapi overdosis CCB termasuk lavase lambung, karbon aktif dan obat
pencahar. Berbeda dengan kepercayaan pada umumnya, overdosis yang signifikan
dari verapamil lepas sedang dapat dikairkan dengan absorbsi yang melambat,
seprti yang dilaporkan pada laporan kasus, penulis yang menyarankan
penggunaan dosis berulang dari karbon aktif. Pada kasus yang berat, lavase usus
secara total harus dipertimbangkan. Kalsium glukonas intravena, glukagon,
pressor amin (isoprenalin, adrenalin atau dobutamin), ventilasi bantuan, dan pacu
jantung, mungkin keseluruhannya diperlukan. Rasionalissasi penggunaan
aminopiridin, sebuah antagonis agen penghambat non depolarizing
neuromuskular, yang didukung eksperimen terdahulu pada hewan, meningkatkan
fluks kalsium transmembran dan fasilitasi transmisi sinaps. Hal tersebut adalah
nilai potensial pada beberapa pasien ulang tidak responsif secara nyata untuk
tujuan suportif.
Lima kasus overdosisi CCB telah dilaporkan:
Seorang wanita 34 tahun yang meminum amlodipin 0.86 mg/kg
Seorang laki-laki 48 tahun yang meminum diltiazem, lepas modifikasi
yang jumlahnya tidak diketahui
Bayi lima bulan yang sengaja diberi nifedipin 20 mg
Seorang anak 14 tahun yang minum verapamil lepas modifikasi 30 mg/kg
Seorang laki-laki 31 tahun yang meminum verapamil lepas modifikasi 71
mg/kg
Seluruhnya diterapi secara sukses dengan terapi hiperinsulinemia/ euglikami.
Penulisnya mendeskripsikan mekanisme aksi dari terapi tersebut, yang mana,
secara umum berkaitan dengan perbaikan kontraktilitas jantung dan resistensi
vaskuler perifer dan pemulihan asidosis. Mereka mengajukan indikasi dan dosis
untuk terapi tersebut yang mencakup kebanakan kasus dengan glukosa yang
diberikan dengan bolus insulin 1 u/kg diikuti dengan infus 0.5-1 u/kg/jam hingga
tekanan darah sistolik mencapai lebih dari 100 mmHg dan heart rate lebih dari 50
kali per menit. Terapi hiperinsulin/euglikemi sekarang diterima sebagai tambahan
dari terapi konvensional dan direkomendasikan hanya setelah respons yang
inadekuat pada resusitasi cairan, garam kalsium dosis tinggi dan agen-agen
pressor.
Seorang laki-laki usia 43 tahun meminum amlodipin 560 mg dan gagal
terhadap respon resusitasi cairan, garam kalsium, glukagon, dan suport
inotropik adrenalin dan noradrenalin. Bagaimanapun juga, metaraminol
intravena 2 mg diikuti dengan 83 mcg/menit menghasilkan perbaikan pada
tekanan darah, cardiac output dan urin output.
Seorang laki-laki usia 65 tahun dengan stenosis aorta meninggal setelah salah
meminum 6 tablet diltiazem SR 360 mg. Ia keracunan dalam waktu 7 jam dan
meninggal setelah 17 jam. Konsentrasi diltiazem pada sampel darah antemortem
11.5 jam setelah dicerna sebesar 2.9 ug/ml dan pada sampel darah sentral
posmortem 6 ug/ml.
Interaksi-interaksi Obat
Benzodiazepin
Diltiazem dan verapamil bersaing pada jalur-jalur oksidatif hepatik yang
memetabolisme kebanyakan benzodiazepin, juga zolpidem, zopiclone, dan
buspiron (SEDA-22, 39) (SEDA-22, 41).
Antagonis-antagonis beta-adrenoseptor
Potensi terbesar terjadinya kecelakaan serius timbul dari interaksi-interaksi
antara penghambat kanal kalsium (khususnya verapamil dan komponen-
komponen yang berhubungan) dan antagonis-antagonis beta-adrenoseptor.
Kombinasi ini dapat menyebabkan hipotensi yang berat dan gagal jantung,
terutama pada pasien-pasien dengan fungsi myokard yang buruk. Risiko utama
tampaknya berhubungan dengan penggunaan verapamil intravena pada pasien-
pasien yang sudah mendapat beta-bloker, tetapi suatu drug-like tiapamil, yang
sangat mirip dengan tiapamil dalam hal farmakologinya, dicurigai memiliki risiko
yang sama. Sebaliknya, diltiazem intravena tidak menyebabkan efek-efek
hemodinamik yang merusak pada pasien-pasien yang menggunakan propanolol
jangka panjang. Namun, terdapat kejadian-kejadian ketika kombinasi diltiazem
dengan metoprolol mengakibatkan sinus arrest dan blok atrioventrikular.
Penggunaan yang bersama-sama dari penghambat kanal kalsium oral dan
antagonis beta-adrenoseptor dalam pengobatan angina pektoris atau hipertensi
cenderung menyebabkan blok jantung atau efek-efek merugikan yang lain, dan
dua kelompok obat ini umumnya digunakan bersama-sama. Namun, disarankan
untuk tetap berhati-hati, dan nifedipin atau derivat dihidropiridin yang lain lebih
dipilih dalam tipe kombinasi ini. Meskipun begitu, kombinasi nifedipin dengan
atenolol pada pasien-pasien klaudikasio intermiten stabil menyebabkan penurunan
pada jarak berjalan dan suhu tubuh, walaupun tiap-tiap obat memberikan manfaat.
Bupivakain
Penghambat kanal kalsium yang dikombinasikan dengan bupivakain
menghasilkan efek-efek inotropik negatif yang signifikan pada jantung binatang,
mungkin karena penurunan ikatan protein dari anestesi lokal, juga penyamarataan
efek depresi miokard.
Namun, kardiotoksisitas bupivakain berkurang pada tikus-tikus yang
diobati sebelumnya dengan penghambat kanal kalsium dosis rendah. In vivo, LD50
untuk bupivakain meningkat dari 3.08 sampai 3.58 mg/kg setelah diobati
sebelumnya dengan verapamil 150 mikrogram/kg, dan sampai 3.50 mg/kg setelah
nimodipin 200 mikrogram/kg. Dari tikus-tikus yang mati, hanya satu yang
mengalami henti jantung pertama, sementara mayoritas mengalami henti napas. In
vitro, bupivakain tunggal tergantung dosis mengurangi frekuensi jantung,
kekuatan kontraktil, dan tekanan perfusi koroner. Disritmia juga dicatat :
bradikardi, denyut ekstra ventrikuler, dan takikardi ventrikuler adalah yang paling
umum. Verapamil juga menyebabkan efek-efek merugikan yang sama, tetapi
nimodipin secara signifikan mengurangi efek-efek kronotropik negatif dan
disritmogenik bupivakain. Meskipun menarik, hasil-hasil ini tidak dapat dipakai
untuk mencapai simpulan-simpulan klinis , terutama sebagai mekanisme interaksi
antara bupivakain dan penghambat kanal kalsium yang belum dijelaskan.
Buspiron
Dalam suatu uji acak plasebo-kontrol, interaksi-interaksi buspiron yang
mungkin terjadi dengan verapamil dan diltiazem diteliti. Baik verapamil dan
diltiazem diduga meningkatkan konsentrasi buspiron pada plasma, mungkin
dengan menghambat CYP3A4. Dengan demikian, efek-efek peningkatan dan
efek-efek merugikan buspiron mungkin terjadi ketika digunakan bersama
verapamil, diltiazem, atau inhibitor-inhibitor CYP3A4 yang lain.
Karbamazepin
Suatu interaksi farmakokinetik telah diuraikan antara karbamazepin dan
penghambat kanal kalsium seperti verapamil dan diltiazem. Dengan kedua obat,
inhibisi metabolisme hepatik karbamazepin berakibat meningkatnya konsentrasi
karbamazepin serum dan neurotoksisitas, dengan rasa pusing, mual, ataksia, dan
diplopia. Menambahkan nifedipin pada karbamazepin tidak berhubungan dengan
perubahan-perubahan kondisi tetap konsentrasi karbamazepin.
Glikosida-glikosida jantung
Penghambat kanal kalsium berinteraksi dengan glikosida-glikosida
jantung. Mekanisme utama adalah penghambatan sekresi digoksin tubuler renal
dengan menghambat glikoprotein P. Dalam suatu tinjauan tentang interaksi
penghambat kanal kalsium dengan digoksin, di mana hubungan klinisnya dinilai,
disimpulkan bahwa akibat-akibat serius dapat dicegah dengan monitoring yang
hati-hati, khususnya pada pasien-pasien dengan konsentrasi digoksin serum yang
sudah mendekati batas atas kisaran terapeutik.
Verapamil menekan eliminasi digoksin renal secara akut, tetapi penekanan
ini menghilang dalam beberapa minggu. Namun, penghambatan klirens digoksin
ekstrarenal menetap, dan hasil interaksi rumit ini meningkat pada kondisi tetap
konsentrasi digoksin yang kurang dari 100%. Pasien yang mendapat kedua obat
harus dimonitor secara hari-hati. Namun, efek-efek farmakodinamik digoksin
tampaknya dikurangi oleh verapamil, sehingga pengaturan dosis mungkin tidak
diperlukan. Kolaps kardiovaskuler dan/ asistol mengikuti penggunaan verapamil
intravena pada pasien-pasien yang mendapat digoksin oral tunggal atau dalam
kombinasi dengan kuinidin, propanolol, atau disopiramid.
Interaksi digoksin dengan nifedipin meningkatkan konsentrasi digoksin
plasma hanya sekitar 15% dan kurang penting.
Diltiazem meningkatkan konsentrasi digoksin sebesar 20-50%.
Interaksi digoksin dengan nitrendipin dan bepridil juga telah dijelaskan.
Verapamil dan diltiazem, tapi tidak nifedipin, meningkatkan konsentrasi
digitoksin plasma kondisi tetap.
Penghambat kanal kalsium memiliki berbagai efek pengaturan digoksin.
Penghambat kanal kalsium dengan berbagai informasi yang ada antara lain
cinnarizine, diltiazem, felodipin, fendilin, gallpamil, isradipin, lidoflazin,
mibefradil, nikardipin, nifedipin, nitrendipin, tiapamil, dan verapamil.
Diltiazem
Penelitian-penelitian mengenai efek-efek diltiazem pada farmakokinetik
digoksin telah mencapai berbagai hasil. Dalam satu penelitian, diltiazem
mengurangi klirens tubuh total beta-asetil-digoksin pada kondisi tetap pada 12
orang sehat, mungkin karena penurunan klirens renal maupun non-renal (SEDA-
10). Dalam beberapa penelitian, diltiazem 120-240 mg/hari meningkatkan
konsentrasi digoksin plasma kondisi tetap sebesar kira-kira 20-40% (SEDA-14),
meskipun pada beberapa penelitian lain tidak (SEDA-14), dan menurunkan
klirens tubuh total (total body clearance) digoksin, dengan perubahan-perubahan
baik klirens renal maupun no-renal (SEDA-11) meskipun penelitian-penelitian
lain tidak menemukan hal ini. Pada paling tidak satu kasus, toksisitas digoksin
dihubungkan dengan interaksi ini (SEDA-216). Pada delapan pasien gagal jantung
kronis yang mendapat digoksin 0.25 mg/hari, diltiazem 180 mg/hari
meningkatkan AUC dan konsentrasi rata-rata digoksin serum kondisi tetap
sebesar 50% dan menurunkan klirens totalnya.
Mibefradil
Pada 40 subyek sehat mibefradil 50 atau 100 mg/hari selama empat hari
tidak memiliki efek-efek signifikan terhadap farmakokinetik kondisi tetap
digoksin, selain sedikit peningkatan Cmax.
Tiapamil
Tiapamil membalik vasokonstriksi splanknik yang diinduksi digoksin pada
orang sehat, tetapi hal ini tidak berefek langsung pada hemodinamik sistemik.
Verapamil
Verapamil meningkatkan konsentrasi digoksin plasma pada kondisi tetap
dengan menghambat sekresi tubular aktif dan klirens non-renal digoksin. Hanya
ada sedikit bukti bahwa hal ini dapat mengakibatkan toksisitas digitalis.
Verapamil membalik vasokonstriksi splanknik yang diinduksi oleh
digoksin pada orang sehat, tetapi hal ini tidak memiliki efek langsung terhadap
hemodinamik sistemik.
Siklosporin
Penghambat kanal kalsium diberikan pada pasien-pasien transplantasi
untuk efek protektifnya terhadap nefrotoksisitas yang diinduksi siklosporin dan
mengoptimalkan imunosupresi siklosporin untuk mengurangi penolakan awal
graft ginjal. Nifedipin telah digunakan untuk mengobati hipertensi yang diinduksi
siklosporin, meskipun amlodipin mungkin sama efektifnya.
Akan tetapi, beberapa penghambat kanal kalsium memiliki interaksi-
interaksi farmakokinetik : diltiazem, verapamil, nikardipin, dan amlodipin
meningkatkan konsentrasi siklosporin, sedangkan nifedipin, felodipin, dan
isradipin tidak (SED-14, 604) (SEDA-21,210) (SEDA-21,212) (SEDA-22, 216).
Dua konfirmasi dari pengamatan-pengamatan ini telah dipublikasikan. Dalam
penelitian retrospektif 103 pasien transplantasi, verapamil dan diltiazem, tetapi
tidak untuk nifedipin atau isradipin, menyebabkan peningkatan konsentrasi
siklosporin plasma yang signifikan. Efek dari verapamil dan diltiazem pada
konsentrasi siklosporin tergantung pada dosis. Dalam suatu perbandingan
crossover antara verapamil, felodipin, dan isradipin pada 22 penerima
transplantasi ginjal, verapamil berinteraksi secara farmakokinetik dengan
siklosporin tetapi felodipin dan isradipin tidak.
Sembilan penerima transplantasi ginjal mengalami peningkatan
konsentrasi siklosporin di seluruh darah sebesar 24-341% setelah pemberian
nikardipin. Interaksi yang sama juga dilaporkan pada diltiazem dan verapamil.
Sejumlah besar data dikumpulkan mengenai efek-efek berbagai
penghambat kanal kalsium terhadap metabolisme siklosporin atau efek proteksi
renal yang mungkin. Diltiazem, nikardipin, atau verapamil menghambat
metabolisme verapamil dan hal ini telah diteliti sebagai kombinasi yang
bermanfaat potensial untuk efek-efek sparing siklosporin, khususnya untuk
diltiazem atau verapamil. Perubahan apapun pada formulasi penghambat kanal
kalsium pada pasien-pasien yang sebelumnya stabil harus diperhatikan dengan
cermat karena perubahan yang tidak diduga pada konsentrasi siklosporin dapat
terjadi. Sebaliknya, nifedipin, isradipin, dan felodipin tidak secara signifikan
mempengaruhi farmakokinetik siklosporin (SED-13, 1129). Hasil-hasil yang
dicapai dengan amlodipin bertentangan; beberapa penelitian menunjukkan tidak
ada efek, sementara yang lain menunjukkan peningkatan sampai 40% pada
konsentrasi siklosporin darah (SEDA-19, 351) (SEDA-20, 345). Pemberian
tambahan penghambat kanal kalsium juga dianggap sebagai pilihan berharga
dalam pengobatan hipertensi yang diinduksi siklosporin, atau untuk mencegah
nefrotoksisitas siklosporin.
Terdapat hasil-hasil yang bertentangan dari penelitian-penelitian mengenai
peran proteksi penghambat kanal kalsium pada pasien-pasien yang menggunakan
siklosporin dalam hal tekanan darah dan pemeliharaan fungsi graft ginjal. Dalam
suatu penelitian multisenter, acak, plasebo-kontrol dengan 131 resipien de novo
allograft renal cadaver, lacidipin meningkatkan fungsi graft dari 1 tahun ke depan,
tetapi tidak memiliki efek pada laju penolakan akut, melalui konsentrasi
siklosporin darah, tekanan darah, jumlah obat-obatan antihipertensi, angka
hospitalisasi, atau angka kejadian-kejadian merugikan.
Kombinasi siklosporin dengan nifedipin menyebabkan peningkatan pada
hiperplasia gusi, dengan peningkatan prevalensi atau dan/atau keparahan (SED-
13,1127) baik pada anak-anak maupun dewasa. Sebaliknya, verapamil tidak
memiliki efek tambahan yang signifikan terhadap prevalensi atau keparahan
pertumbuhan gusi yang berlebihan yang diinduksi oleh siklosporin (SEDA-21,
385).
Simetidin
Antagonis reseptor histamine H2 simetidin meningkatkan konsentrasi
nifedipin plasma dan menunda eliminasinya dengan menghambat mono-oksidase
hepatik. Konsentrasi nifedipin plasma maksimal dan AUC dapat ditingkatkan
sebesar 80%, dan hal ini mengakibatkan peningkatan signifikan pada efek
antihipertensi dan antiangina nifedipin dan juga toksisitasnya.
Simetidin juga meningkatkan konsentrasi plasma nitrendipin dan
nisoldipin.
Ranitidin, yang hanya sedikit menghambat sistem mono-oksidase
mikrosom, tidak mengubah konsentrasi dihidropiridin plasma ke tingkat yang
sama.
Kombinasi-kombinasi penghambat kanal kalsium
Ileus paralitik dihubungkan dengan pemakaian kombinasi dari diltiazem
dan nifedipin.
Seorang pria 62 tahun dengan nyeri dada menjalani kateterisasi jantung.
Diagnosisnya adalah angina vasospastik dan dia diberikan nifedipin 20 mg bd,
ketika anginanya menyerang terus-menerus dia juga diberikan diltiazem oral
100 mg bd. Setelah dua hari, meskipun anginanya terkontrol baik, distensi
abdomen dan vomitus terjadi, dan rontgen sinar X menunjukkan ileus
intestinal. Obat-obatan dihentikan dan ileus terselesaikan. Hal ini terulang
ketika pengobatan dimulai lagi dan perlahan-lahan sembuh lagi setelah
penghentian obat.
Gangguan tersebut diduga akibat peningkatan efek farmakodinamik yang
disebabkan oleh kombinasi dua penghambat kanal kalsium. Akan tetapi,
konsentrasi plasma nifedipin juga dilaporkan meningkat hampir tiga kali lipat
ketika dikombinasikan dengan diltiazem.
Kortikosteroid-glukokortikoid
Konsentrasi metilprednisolon meningkat dengan pemberian tambahan
diltiazem (2.6 kali lipat) dan mibefradil (3.8 kali lipat).
Dantrolene
Dantrolene berinteraksi dengan verapamil dan dengan diltiazem,
menyebabkan depresi miokard dan syok kardiogenik (SEDA-16, 199).
Kombinasi dantrolene dengan penghambat kanal kalsium, seperti
verapamil, dapat mengakibatkan depresi kardiovaskuler yang berat dan
hiperkalemia (SEDA-12,113), sehingga dibutuhkan perawatan intensif.
Flukonazol
Flukonazol memperkuat efek penurunan tekanan darah nifedipin dengan
meningkatkan konsentrasi plasmanya pada seorang pasien 16 tahun dengan
feokromositoma maligna yang mendapat nifedipin jangka panjang untuk
hipertensi arterial yang diberikan flukonazol untuk septikemia Candida.
Jus jeruk bali
Kemampuan jeruk bali untuk meningkatkan konsentrasi plasma beberapa
obat secara tidak sengaja diketahui ketika jus jeruk bali digunakan sebagai agen
pengikat pada penelitian interaksi obat felodipin dan alkohol. Diamati bahwa
konsentrasi plasma felodipin jauh lebih tinggi ketika obat digunakan bersamaan
dengan jus jeruk bali daripada yang dilaporkan sebelumnya untuk dosis obat yang
diberikan. Pada penelitian-penelitian lain pemberian bersama-sama jus jeruk bali
dan felodipin meningkatkan AUC, menyebabkan peningkatan frekuensi jantung,
dan menurunkan tekanan darah diastolik, atau menyebabkan peningkatan tekanan
darah dan frekuensi jantung, sakit kepala, flushing, dan kepala yang terasa ringan.
Jeruk bali meningkatkan konsentrasi plasma nifedipin dan nisoldipin dengan
meningkatkan availabilitas sistemiknya; dengan nisoldipin atau nitrendipin terjadi
peningkatan frekuensi jantung.
Ketokonazol
Efek ketokonazol 200 mg terhadap farmakokinetik nisoldipin 5 mg telah
diteliti dalam uji acak, cross-over. Pengobatan sebelumnya dengan dan pemberian
bersamaan ketokonazol menghasilkan peningkatan AUC dan Cmax nisoldipin
sebesar 24 kali lipat dan 11 kali lipat. Peningkatan konsentrasi plasma metabolit
M9 yang diinduksi ketokonazol memiliki besar yang sama. Dengan demikian,
ketokonazol dan inhibitor-inhibitor CYP3A poten yang lain seharusnya tidak
digunakan bersama dengan nisoldipin.
Dalam suatu penelitian perfusi intestinal dari efek ketokonazol 40 g/ml
pada permeabilitas jejunum dan metabolisme lintasan pertama (R) dan (S)
verapamil 120 g/ml pada enam sukarelawan sehat, ketokonazol tidak mengubah
permeabilitas isomer-isomer jejunum, yang menunjukkan bahwa ketokonazol
tidak mempunyai efek pada glikoprotein P yang memediasi efluks. Akan tetapi,
kecepatan absorbsi meningkat, yang menunjukkan inhibisi ketokonazol terhadap
metabolisme (R/S)-verapamil pada dinding usus oleh CYP3A4.
Litium
Klirens litium berkurang sekitar 30% akibat nifedipin.
Seorang pria 30 tahun membutuhkan penurunan dosis litium dari 1500
menjadi 900 mg/hari untuk menjaga konsentrasi litium serumnya sesuai
rentang target segera setelah dia mulai minum nifedipin 60 mg/hari.
Terdapat laporan-laporan tentang neurotoksisitas, bradikardi, dan
penurunan konsentrasi litium yang dihubungkan dengan verapamil.
Mibefradil
Dalam penelitian Monitoring Peristiwa Peresepan (Prescription-Event
Monitoring) dengan 3085 pasien, berumur rata-rata 65 tahun, satu pasien
mengalami pingsan dan bradikardia berat setelah mulai menggunakan
penghambat kanal kalsium dihidropiridin dalam 24 jam penghentian mibefradil.
Prazosin
Interaksi prazosin dengan nifedipin atau verapamil menyebabkan hipotensi
akut. Mekanismenya tampaknya sebagian adalah kinetik (availabilitas sistemik
prazosin meningkat sebesar 60%) dan sebagian adalah dinamik.
Sildenafil
Analisis retrospektif dari uji-uji klinis menunjukkan bahwa penggunaan
bersama-sama obat-obat antihipertensi tidak menyebabkan peningkatan kejadian-
kejadian merugikan pada pasien yang juga menggunakan sildenafil.
Berlawanan dengan gliseril trinitrat, pasien-pasien hipertensi yang
menggunakan amlodipin hanya mengalami sedikit penurunan tambahan tekanan
darah ketika diuji dengan dosis tunggal sildenafil, dan beberapa mengalami sakit
kepala ringan hingga sedang.
Diltiazem dimetabolisme oleh CYP3A4 dan bertanggungjawab untuk
hipotensi yang diperpanjang yang tidak diantisipasi setelah pemberian gliseril
trinitrat sublingual pada pasien yang menjalani angiografi koroner 2 hari setelah
terakhir menggunakan sildenafil.
Simvastatin
Dalam suatu uji meta-analisis yang besar tentang simvastatin, insidensi
keseluruhan miopati adalah 0.025%; proporsi yang sama juga terjadi pada pasien
miositis yang menggunakan penghambat kanal kalsium seperti keseluruhan
proporsi, menunjukkan bahwa tidak ada interaksi yang penting antara dua
kelompok obat ini.
Akan tetapi, diltiazem berinteraksi dengan lovastatin meskipun tidak
dengan pravastatin (SEDA-24, 511), dan suatu interaksi juga diamati pada
simvastatin pada pria 75 tahun yang menderita kerusakan fungsi ginjal. Orang
tersebut menderita kelemahan dan nyeri otot yang ekstrim.
Takrolimus
Penggunaan diltiazem 90 mg/hari selama 3 hari menyebabkan peningkatan
empat kali lipat konsentrasi takrolimus pada seorang pasien berusia 68 tahun
dengan transplantasi hati.
Dalam suatu penelitian farmakokinetik non-acak, empat pasien yang
menggunakan takrolimus setelah transplantasi ginjal atau hati diberi diltiazem
dalam tujuh dosis bertingkat dari 0-180 mg dengan interval 2 minggu. Efek
sparing takrolimus rata-rata sama dengan efek sparing siklosporin yang
dilaporkan sebelumnya. Efek ini timbul pada dosis diltiazem yang lebih rendah
pada pasien-pasien transplantasi ginjal daripada pasien-pasien transplantasi hati.
Takrolimus dimetabolisme oleh CYP3A4 dan juga suatu substrat untuk
glikoprotein P, dan interaksi ini dapat terjadi dengan menghambat mekanisme-
mekanisme ini.
Suatu penelitian retrospektif menunjukkan peningkatan fungsi ginjal yang
signifikan dan penurunan 38% dalam kebutuhan dosis takrolimus pada pasien-
pasien yang menggunakan nifedipin dan takrolimus dibandingkan pasien yang
tidak menggunakan nifedipin.
Teofilin
Toksisitas teofilin telah dilaporkan pada beberapa pasien, yang
kelihatannya stabil dengan teofilin, setelah pengenalan dengan verapamil atau
nifedipin.
Tubokurarin
Penghambat kanal kalsium, seperti verapamil dan nifedipin , dapat
memperkuat agen-agen penghambat neuromuskuler dan telah diberitahukan
bahwa pada penggunaan jangka panjang dapat berakumulasi pada otot dan
mempersulit pembalikan hambatan.
top related