buletin digital international relations news edisi 37
Post on 26-Nov-2015
25 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
Edisi Maret 2014
Korps Mahasiswa Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Diterbitkan oleh :
site: komahi.umy.ac.id | e-mail: persmakomahiumy@yahoo.com
-
BERANDA
REDAKSI
Alhamdulillah,ucapan dan puji syukur tentu selayaknya selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang tiada henti mem-berikan nikmat sehat jasmani dan rohani serta memberikan ridha atas segala perbuatan baik kita. Begitu juga salawat beserta salam yang tak henti kita sanjungkan kepada nabi Mu-hammad SAW .
Berbicara tentang ridha, maka terbitnya bulletin edisi 37, merupakan salah satu ridha yang Allah berikan dengan melancarkan segala prosesnya. Bulletin edisi kali ini juga sekaligus awal dari rangakaian bulletin pada pada periode 2013-2014. Sebuah langkah yang cukup panjang dan mengesankan bagi sebuah karya jurnalistik berupa buletin sejak dirintis pertama kali.
Mengangkat tema Nasionalisme VS Globalisasi, buletin edisi 37 di ini terinspirasi dari isu-isu yang sedang hangat yang kita hadapi sekarang ini. Tema tersebut dianggap sebagai penggambaran situasi Nasional dan Internasional yang terjadi sekarang. ASEAN Economic Community (AEC) 2015 kini hanya hitungan bulan sebelum dilaksananakan di seluruh Indonesia.
Kami berharap bulletin yang kami buat ini bisa memberikan gambaran umum mengenai Inte-grasi perdagangan regional pada 2015 mendatang. Sehingga, dengan bekal pengetahuan yang cukup, pembaca bisa lebih siap untuk menghadapi arus globalisasi.
Terima kasih untuk seluruh pihak yang telah memberikan kontribusi sehingga bulletin edisi 37 ini bisa tersaji. Semoga bermanfaat.
Buletin IRN Digital ini diterbitkan oleh Divisi Pers Mahasiswa Korps Mahasiswa Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Penasehat : Dr. Nur Azizah, M.Si.
Penanggung Jawab Umum : Awwab Hafidz A.
Pimpinan Umum : Muhammad Nizar Shohyb
Pimpinan Redaksi : Mira Dewi
Reporter : Deansa Sonia Hefranesa ; Muzakir Haitami ; Elitasari Apriyani ;
Indra Jaya Wiranata ; Anang Wahid Efendi ; Ajoe Lara Putra ;
M. Faldi Baskoro H. ; Zahra Ayu Novianti ; Diah Sulung Syafitri ;
Anif Kusuma Ningrum ; Zuha Destia Anmonita ;
Anggita Setyowati ; Richo Bimapaksi
Editor : Julia Rizky
Layout : Sarah Nur Ramadhani ; Itsnaini Permata Hati
Alamat Redaksi: Sekretariat KOMAHI UMY Gedung Ki Bagus Hadikusumo Lt. 2 UMY Ringroad Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 55183
Buletin Digital International Relations News Edisi 37 | i
-
daftar isi Beranda Redaksi i
Daftar Isi ii
Fokus 1 Nasionalisme & Globalisasi 1
Fokus 2 Saudi Arabia 2
Profil Mustafa Kemal A. & Sun Yat Sen 3
Fokus 3 Nasionalisme di Seberang Lautan
vs Globalisasi di Pelupuk Mata 5
Reportase HI Peduli Bencana 7
Komentar Mahasiswa 8
HI
PEDULI
BENCANA
Page 7
Buletin Digital International Relations News Edisi 37 | ii
-
FOKUS 1
NASIONALISME & GLOBALISASI Arus globalisasi sangat gampang masuk ke dalam kehidupan masyarakat terutama di kalangan pemuda. Pengaruh globalisasi cenderung membuat banyak pemuda kehilangan kepribadian diri se-bagai generasi muda bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kebiasaan - kebiasaan baru yang muncul dalam kehidupan sehari- hari pemuda saat ini. sederhana saja, dari cara berpakaian remaja- remaja misalnya, trend berbusana beralih dan cenderung mengikuti budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan dan memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak
diperlihatkan. Cara berbusana seperti itu jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita.
Saat ini tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan paka-ian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Selain itu, pengaruh kuat juga berasal dari adanya kemajuan teknologi. Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi pemuda, internet sudah menjadi rutinitas mereka. Jika digunakan secara semestinya tentu kita akan mendapatkan manfaat yang signifikan.
Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian yang mengancam.
Banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan teknologi internet dengan tidak semestinya. Misalnya saja pada kasus terburuk ketika pemuda menggunakan teknologi untuk membuka situs-situs porno. Tidak hanya internet saja, rasa sosial masyarakat kurang karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone. Dilihat dari sikap, banyak pemuda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tanpa ada rasa peduli terhadap lingkungan. Generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Disatu sisi, pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi ter-
hadap nilai nasionalisme.
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasional-isme antara lain yaitu :1, Menumbuhkan semangat nasionalisme, misalnya melalui semangat mencintai produk dalam negeri. 2, Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila. 3, Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama. 4, Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya. 5, Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa. Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap
bangsa.
Buletin Digital International Relations News Edisi 37 | 1
-
FOKUS 2
SAUDI ARABIA Nasionalisme merupakan sikap dalam mencintai tanah air. Seseorang yang memiliki rasa cinta, maka ia akan
mempertahankan apa yang dia miliki, sama seperti seseorang yang mencintai negaranya, dia akan merawat dan
melindungi tanah airnya dengan jiwa dan raganya. Rasa nasionalisme itu juga membuat kita mempunyai rasa
memiliki atas negara kita. Nasionalisme sangat dibutuhkan untuk membentengi diri dari pengaruh buruk negara
lain. Jika ditanya penting tidaknya memilik rasa nasionalisme, jawabannya adalah penting. Bagaimana kita bisa
hidup lama dalam negara kita tanpa sedikitpun memiliki rasa cinta terhadap negara.
Contoh negara yang memiliki rasa nasionalisme tinggi adalah Jepang. Mereka mencintai produk negara
mereka. Masyarakat Jepang lebih suka membeli produk yang di produksi negaranya. Ini juga didukung dengan
diterapkannya kebijakan politik dumping oleh pemerintah Jepang, politik dumping yakni kegiatan menjual barang
barang produksi negara lebih mahal daripada di luar negeri. Ini akan memicu semangat dari pengusaha di
dalam negeri untuk bekerja lebih keras, karena apa yang mereka lakukan cenderung dihargai. Jepang juga
memiliki budaya harakiri, yaitu lebih baik bunuh diri daripada menanggung malu di depan orang banyak. Maka
tidak heran, kita sering mendengar mundurnya pejabat pemerintah karena korupsi, gagal memenuhi janji, skan-
dal memalukan, dan lain sebagainya. Mereka menyadari bahwa harga diri merupakan hal yang sangat penting.
Nasionalisme merupakan bukti loyal terhadap negara. Kita harus memilikinya, tetapi bukan berarti kita
harus berlebihan mencintai negara sendiri. Sikap tersebut dinamakan chauvinisme. Chauvinisme bisa diartikan
juga dengan solidaritas yang berlebihan yang didasari oleh pikiran dan emosi. Bahaya chauvinisme sendiri
membuat kita menganggap negara kita adalah negara yang terbaik, memandang negara lain di bawah kita. Pa-
dahal, itu tidak boleh dilakukan, karena pada dasarnya semua negara itu sama, sama sama merdeka dan juga
sama sama berdaulat. Walaupun kita mencintai negara sendiri, bukan berarti harus angkuh terhadap negara
kita sendiri.
chauvinis? kemdian dilaksanakanlah Survei pada 25
Oktober-8 November 2011 dan 2-10 Desember 2011
yang melibatkan 421 responden dari 33 propinsi di se-
luruh Indonesia. Para responden merupakan pengurus
organisasi pemuda yang terdaftar di Kementerian Pemu-
da dan Olahraga. Mereka memegang jabatan ketua
umum, sekretaris, bendahara, atau ketua bidang dalam
organisasi. Hasil surveinya, mayoritas pemuda Indone-
sia tidak setuju jika Indonesia membentuk negara feder-
al, ini berarti mereka menjunjung tinggi konsep negara
kesatuan RI. Serta pemuda Indonesia mayoritas me-
mandang perlunya pembatasan investasi asing. Ini bukti
bahwa pemuda Indonesia memiliki rasa nasionalisme,
rasa memiliki negara Indonesia.
Apapun yang berlebihan itu tidak baik, terma-
suk berlebihan dalam mencintai negara sendiri. Jadi,
mencintailah negara dengan sewajarnya dan mencintai
negara dengan hati. Serta selalu menginternalisasikan
diri dengan rasa nasionalisme, bukan chauvinisme.
Saudi Arabia terkenal dengan nasionalisme yang
radikal. Contohnya ketika Aljazair, Irak, Libya, Suriah
dan beberapa negara di Timur Tengah secara konsisten
mengkritik hubungan Arab Saudi dengan Amerika Seri-
kat pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dari semua nega-
ra, hubungan Arab Saudi dengan Libyalah yang paling
tegang. Pemimpin Libya, Muammar Al Qadhafi yang
sering mengecam dinasti Al Saud sebagai dinasti korup
dan tidak sah dan secara terbuka menyerukan penggu-
lingannya. Setelah itu Arab Saudi menuduh Qadhafi
mendukung serangan teroris pada diplomat Arab yang
lain serta kelompok anti pemerintah yang dibiayai Mesir,
Yordania, Sudan, dan Tunisia. Sebagai kampanye prop-
aganda kerajaan yang digunakan untuk melawan
Qadhafi, pada pertengahan 1980-an, Raja Fahd membu-
juk ulama Arab Saudi dan menyatakan bahwa Qadhafi
sesat.
Lantas bagaimana dengan nasionalisme di Indo-
nesia? Apakah nasionalis ataukah tidak atau malah
Buletin Digital International Relations News Edisi 37 | 2
-
TOKOH
MUSTAFA KEMAL ATATURK Mustafa Kemal Ataturk dikenal sebagai bapak pendiri republik Turki. Lahir di Slovania pada tahun 1881 dalam lingkungan muslim ,
berasal dari orangtua yang sederhana di pelabuhan Usmaniyah kosmopolitan. Pada 12 Maret 1881, ayahnya Ali Iza seorang pegawai bea cukai,
meninggal dunia ketika Ataturk baru berumur tujuh tahun. Karena itu, ia kemudian dibesarkan oleh ibunya, Zubeyde Hanim. Ketik a Ataturk
berusia 12 tahun ia masuk ke sekolah militer di Selanik dan Manastir (kini Bitola). Saat mengenyam pendidikan di sekolah menengah militer di
Selanik, oleh guru matematikanya ia diberikan panggilan Kemal yang artinya kesempurnaan. Panggilan tersebut sebagai bentuk pengakuan sang
guru atas kecerdasan akademiknya. Selepas tamat dari sekolah menengah militer di Selanik, Ataturk melanjutkan ke akademi mili ter di Manastir
pada 1895. Ia lulus dengan pangkat Letnan pada 1905 dan ditempatkan di Dasmaskus. Saat di Dasmaskus ia bergabung dengan sebua h ke-
lompok rahasia kecil yang terdiri atas perwira-perwira yang menginginkan pembaruan. Kelompok ini diberi nama Vatan Ve Hurriyet (Tanah Air
dan Kemerdekaan) dan menjadi penentang aktif rezim Ottoman yang saat itu dipimpin oleh Sultan Abdulhammid II.
Pada 1907 ia ditempatkan di Selanik dan bergabung dengan komite kesatuan dan kemajuan yang biasa disebut dengan kelompok Turk i
Muda. Pada 1908 kelompok ini berhasil merebut kekuasaan dari Sultan Abdulhammid II dan menunjuk Ataturk sebagai tokoh mili ter senior.
Sejak saat itu ia mulai fokus pada tugas-tugas militer dan pertempuran. Sejumlah pemberontakan berhasil ia padamkan, diantaranya dengan ikut
serta dalam mempertahankan wilayah Libya dari serbuan tentara Italia pada tahun 1911-1912. Saat terjadi perang Balkan pertama, ia tengah
berada di Libya sehingga tidak dapat ikut serta. Pada Juli 1913, ia kembali ke Istanbul dan diangkat menjadi komandan pertah anan Ottoman
di wilayah Canakkale di pantai Traakya. Setahun kemudian ia diangkat menjadi atasan militer di Sofia. Namun, banyak pihak yang menduga
pengangkatan tersebut sebagai siasat untuk menyingkirkannya dari ibu kota dan intrik politik.
Perang Revolusi
Pada perang Dunia I, Ataturk muncul sebagai brigadir jenderal yang diakui sebagai salah seorang komandan termuda dan
menonjol diantara para pejuang. Ia pun memperoleh gelar pasha dan sejak saat itu namanya menjadi populer di dalam negeri. Dengan
pengaruh dan pengalaman yang dimilikinya dalam setiap medan pertempuran, ia berhasil menggulingkan Kesultanan Ottoman dan mer ebut kem-
bali wilayah-wilayah yang semula telah diserahkan kepada Yunani selama berkecamuknya Perang Dunia I. Pada Oktober 1918 saat pasukan
sekutu berhasil mengalahkan dan menduduki wilayah Kesultanan Ottoman, kaum revolusioner Turki yang dipimpin oleh Mustafa kema l mulai
memperlihatkan aksi perlawanan. Ia juga mengorganisasi gerakan Kuva- i Milliye(Angkatan Nasional) yang kemudian berkembang menjadi
perang Kemerdekaan Turki. Untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang
sudah direbut oleh pihak sekutu, diantaranya ia menandatangani Perjan-
jian Kars dengan Uni Soviet pada 23 Oktober 1921. Dalam perjanjian
tersebut Turki harus menyerahkan kota Batutami, yang kini terletak di
Georgia, kepada kaum Bolshevik Lenin sebagai ganti kedaulatan atas
kota-kota Kars dan Ardahan yang direbut Tsar Rusia dalam perang Rusia
Turki 1877-1878.
Pada 1923 , kaum revolusioner Turki diawah pimpinan Mustafa Kemal
Ataturk berhasil memenangi perang kemerdekaan Turki. Kemenangan
tersebut menjamin kedaulatan Turki. Melalui perjanjian Lausanne, ia ber-
hasil membawa Turki memasuki masa setelah satu dasawarsa mengalami
peperangan yang menghancurkan seluruh sendi kehidupan rakyat Turki.
Selaku pemimpin republik Turki, Ataturk memusatkan perhatian pada
pemajuan revolusi nasionalisnya. Ia menggunakan beberapa tahun beri-
kutnya untuk mengonsolidasikan kekuasannya di Turki melalui beberapa
serangkaian pembaruan politik, ekonomi, dan sosial. Pada 1925
pemerintah mengeluarkan undang-undang untuk mempertahankan keterti-
ban. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan penuh kepada
Ataturk untuk membubarkan kelompok-kelompok subversif. Karena itu,
partai Republika Progresif dengan segera dibubarkan dengan undang-
undang yang baru ini. Namun tindakan itu menyebabkan banyak orang
Turki menjadi kecewa terhadap Ataturk dan menganggapnya sebagai
Buletin Digital International Relations News Edisi 37 | 3
-
TOKOH
SUN YAT SEN
Dr. Sun Yat Sen, Lahir 12 November 1866 di Guang Dong, China. Anak
seorang petani miskin yang merantau ke Honolulu, Hawai, Amerika Serikat
kemudian mengikuti kakak lelakinya untuk menempuh pendidikan. Sut Yat Sen
kembali ke China tahun 1883, kemudian pindah ke Hongkong untuk menempuh
pendidikan kedokteran hingga lulus pada tahun 1892. Dr. Sun Yat Sen sangat
terkenal karena ia merupakan tokoh nasional China yang berjuang untuk per-
satuan nasional China, pembangunan ekonomi, dan pembentukan pemerintahan
republik. Ia sangat berpengaruh dalam sejarah China modern.
Dr. Sun Yat Sen memutuskan meninggalkan dunia medis dan kembali ke Hawai
untuk mendirikan organisasi pergerakan demi menjatuhkan penguasa Manchu.
Langkah ini disebabkan kegundahannya melihat kemerosotan China pada masa
dinasti Qing yang sangat korup. Setelah kekalahan China dalam perang China-
Jepang tahun 1894-1895 Sun Yat Sen kembali ke Hongkong untuk merancang
pemberontakan Guangzhou. Walaupun usahanya ini gagal, namun semangat
nasionalisme dan gerakan revolusioner mulai tumbuh di masyarakat China
terutama di perantauan. Namanya terkenal di dunia internasional setelah dita-
han oleh kedutaan China di London pada tahun 1896. Selama 16 tahun beri-
kutnya ia banyak berkelana mempelajari secara intensif pemikiran politik dan
ekonomi barat dan membangun arah politik dan ekonomi negerinya.
Sun Yat Sen banyak mendapat dukungan secara finansial, moral maupun politik
dari dunia internasional. Banyak kolega, koneksi-koneksi luar negerinya yang
memberikan bantuan seperti dari pemerintah Jepang pada tahun 1897. Para
intelektual China di perantauan juga memberikan dukungan penuh sehingga
tahun 1905 ia segera mendirikan T`ung meng Hui (Liga Revolusioner
gabungan) yang memperjuangkan tiga visi yaitu nasionalisme, demo-
krasi dan kesejahteraan rakyat. Gerakan Sun Yat Sen ini akhirnya
membuahkan hasil pada bulan Oktober 1911. Dinasti Manchu tidak
mampu membendung gelombang pemberontak sehingga awal tahun
1912, Dr Sun Yat Sen terpilih menjadi presiden sementara RRC yang
baru didirikan. Namun untuk menghindari perang saudara, ia kemudi-
an mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan kepada Yuan Shikai,
mantan menteri pada masa kekaisaran. Ambisi Yuan dalam kekuasaan
tercium gelagatnya oleh Sun Yat Sen, sehingga ia segera melancarkan
perlawanan hingga menjatuhkannya dari kursi kekuasaan tahun 1916.
Dr. Sun Yat Sen kemudian mengubah organisasinya menjadi partai
politik Kuomintang dan tahun 1917 ia membentuk pemerintahan
sendiri di Guangzhou untuk menandingi sisa-sisa penerus Yuan di
Beijing. Ia segera memperkuat militer dan menerima bantuan dari Uni
Soviet untuk memperkuat pemerintahannya. Pada tahun 1923-1924 ia
membentuk aliansi sementara dengan kelompok komunis hingga
terbentuklah Kongres Nasional pertama (KMT) dan partai komunis
menjadi salah satu anggotanya.
Sejak tahun 1923 hingga kematiannya, ia tercatat sebagai kepala
pemerintahan KMT yang diubahnya sesuai dengan sistem Uni Soviet.
Basis massa Sun Yat Sen terutama di Guangzhou berasal dari kelompok
pelajar, pekerja, rakyat bawah, dan tentara. Di akhir-akhir hidupnya ia
senantiasa berjuang untuk persatuan China dengan membujuk berbagai
tokoh fraksi untuk meninggalkan ambisi pribadi. Setelah ia wafat
tanggal 12 Maret 1925, perjuangannya diteruskan oleh Chiang Kai Shek
yang akhirnya berhasil menyatukan China. Namun Chiang Kai Shek
akhirnya juga tersingkir ke Taiwan setelah meletusnya perang saudara
a n t a r a k e l o m p o k n a s i o n a l i s d e n g a n k o m u n i s .
Referensi :
Buku 100 Tokoh Abad Ke 20 Paling Berpengaruh, Penulis Ready Susanto,
Penerbit Nuansa Cendekia.
tindakan seorang diktator . Pada 1930, Ataturk berupaya untuk menerapkan sistem demokrasi parlementer di dalam pemerintahan nya.
Namun, hal tersebut tidak pernah berhasil, ia kadang menghadapi pihak oposisi dengan keras dalam usahanya mencapai tujuan utamanya untuk
mendemokratisasikan Turki. Salah satu kritik terhadapnya yang tetap bertahan hingga sekarang adalah bahwa Ataturk tidak mempromosikan demo-
krasi. Namun sebagaimana dicatat oleh penulis biografinya, Andrew Mango, Diantara kedua perang, demokrasi tidak dapat bertahan di banyak
masyarakat yang lebih kaya dan yang lebih terdidik. Otoritarianisme Ataturk yang dicerahkan meninggalkan ruangan yang memadai untuk kehidupan
privat yang bebas.
Buletin Digital International Relations News Edisi 37 | 4
-
Fokus 3
NASIONALISME DI SEBERANG LAUTAN vs GLOBALISASI DI PELUPUK MATA
Dunia yang kita huni sekarang berada da-lam fenomena yang akrab di sebut dengan global-isasi. Sebuah fenomena yang digambarkan dengan integrasi ekonomi, society dan budaya menjadi satu kesatuan global network. Globalisasi men-gusung dua instrumen penting dalam perkem-bangannya, yaitu mempersempit dimensi ruang dan mempersingkat waktu dalam interaksi skala dunia. Hal menarik yang kemudian timbul adalah adanya sorotan dari berbagai perspektif yang menyatakan bahwa dibalik integrasi yang tercipta ternyata globalisasi berperan dalam terciptanya degradasi nilai-nilai lokal atau yang secara umum sering disebut dengan pemahaman Nasionalisme. Nasionalisme vs globalisasi, merupakan sebuah wacana yang menarik sebab hal ini akan sama halnya menggiring kita pada pembahasan mengenai local value dan global value. Ketika kita berbicara mengenai global value maka akan sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai western yang memang menjadi sumber pokok (core) dari perkembangan globalisasi. Thomas L Friedman dalam bukunya yang berjudul The Lexus and the Olive Tree menyebut istilah golden straitjacket sebagai konten utama yang memuat nilai-nilai da-lam globalisasi. Menurut Friedman, setiap negara, agar mampu menyesuaikan diri dengan perkem-bangan dunia dewasa ini maka perlu mengenakan apa yang ia sebut dengan golden straitjacket yang diterjemahkan ke dalam aktifitas yang mengi-kuti aturan-aturan ekonomi global seperti privat-isasi, deregulasi, dan swastanisasi (as a global value). Dunia dalam naungan globalisasi dirancang menjadi sebuah kesatuan yang homogen dengan menafikkan berbagai kondisi serta latar belakang yang dimiliki oleh aktor-aktornya. Maka timbullah berbagai perdebatan yang kemudian menjadi akrab di telinga kita, yaitu apakah globalisasi merupakan ancaman bagi nasionalisme suatu bangsa?
Perasaan identifikasi yang kuat pada suatu kelompok individu yang berada dalam suatu enti-tas politik merupakan makna dari Nasionalisme. Dalam sebuah negara yang homogen, nasional-isme dapat dengan mudah diidentifikasi, namun berbeda halnya dengan sebuah negara yang het-erogen. Globalisasi sebagai fenomena mendunia, nilai-nilai yang diusungnya telah melebur dalam seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat dan tak pelak, juga menyentuh nasionalisme suatu bangsa. Dalam beberapa kasus, globalisasi dikatakan mengancam nasionalisme suatu bangsa melalui contoh-contoh yang dipaparkan yang ter-jadi di Indonesia seperti; penggunaan pakaian-pakaian minim yang tidak sesuai dengan identiti-tas bangsa Indonesia, penggunaan produk-produk luar negeri, anak-anak bangsa yang tidak menge-tahui lagu nasional (Indonesia Raya), bahkan hingga kepada penggunaan bahasa asing sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Lantas, jika hal tersebut dijadikan standarisasi bagi kita dalam mengukur tingkat nasionalisme suatu bangsa, maka akan kita dapati bahwa tak ada satupun bangsa di dunia ini yang masih memiliki rasa na-sionalisme. Dengan demikian, kita perlu me-mahami apa esensi dari rasa nasionalisme. Nasionalisme bukan merupakan sebuah hal yang mampu terlabeli dengan nyanyian nasional, produk nasional atau bahasa nasional. Nasional-isme hanya akan musnah jika sebuah bangsa musnah. Identitas suatu bangsa akan terus mele-kat dalam diri seorang individu. Contoh-contoh diatas merupakan sebuah bentuk perubahaan dari kebiasaan yang ada sebelumnya. Perubahan ini disebabkan oleh adanya berbagai hal baru yang ditawarkan oleh globalisasi. Mengapa sulit bagi kita dalam mengidentif-ikasi rasa nasionalisme suatu bangsa? Sebab
Buletin Digital International Relations News Edisi 37 | 5
-
ancaman atau musuh bersama bagi satu negara tidak lagi terlihat secara faktual. Menghadirkan an-caman bagi suatu bangsa akan mendorong timbulnya rasa nasionalisme. Bagaimana reaksi masyarakat suatu bangsa dalam menghadapi ancaman terlihat jelas dalam beberapa kasus yang terjadi sebagai contoh, kasus sipadan dan ligitan di Indonesia, invasi Amerika ke Afganistan dan Irak, konflik korea utara dan korea selatan, dsb. Globalisasi tidak serta merta menghilangkan rasa nasionalisme, namun menciptakan pergeseran pada struktur kebiasaan dalam masyarakat. Adapun global value dalam ben-tuk golden straitjacket yang disebut oleh Friedman lebih terlihat sebagai sebuah sistem yang meng-giring kita ke dalam world society yang bersifat homogen dengan menerapkan standar yang sama bagi setiap bangsa. Namun sekali lagi di tekankan bahwa nasionalisme tidak akan mampu digantikan bahkan menjadi second value selama negara masih menjadi aktor global. Golden straitjacket adalah tan-tangan bagi setiap bangsa di dunia bahkan untuk beberapa negara dengan pemikiran yang cenderung radikal akan melihat hal tersebut sebagai sebuah ancaman yang justru semakin memperkuat nasional-isme sebuah bangsa. Angin perubahan yang senantiasa dihembuskan oleh globalisasi dapat menjadi sebuah topan yang membawa kerugian atau menjadi tenaga yang menggerakkan kincir angin yang membawa keuntungan bagi suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kemampuan sebuah bangsa dalam mempersiapkan dirinya guna mengahdapi arus perubahan yang diciptakan oleh Globalisasi. Glob-alization is The Best Of Times And The Worst Of Times, Charles Dickens.
Buletin Digital International Relations News Edisi 37 | 6
-
Reportase
HI Peduli Bencana
Buletin Digital International Relations News Edisi 37 | 7
HI Peduli Bencana, Luka Indonesia, Luka
Kita Semua. Itulah tema yang diusung pada aksi
yang dilakukan untuk membantu korban
bencana Sinabung dan Kelud pasca terjadinya
erupsi februari lalu. Serentetan bencana karena
erupsi beberapa gunung api yang terjadi di In-
donesia tersebut telah menimbulkan banyak
sekali kerugian. Dari mulai materi, hingga pen-
deritaan psikis yang dialami para korban.
Bahkan, pada erupsi Gunung Kelud, abu vulkan-
ik dari erupsi tersebut menutupi hampir seluruh
wilayah Yogyakarta selama berhari-hari. Sehing-
ga, secara tidak langsung, warga Yogyakarta
turut terkena dampak Yang merugikan.
Aksi ini dilakukan secara spontanitas oleh
mahasiswa HI UMY melalui Komahi (Korps Ma-
hasiswa Hubungan Internasional) sebagai rasa
empati kepada para korban bencana erupsi
Gunung Sinabung di Medan, Sumatera Utara
dan Gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur. KOMA-
HI melakukan beberapa kali aksi peduli
bencana. Aksi pertama dilakukan pada hari
Rabu (12/2) yang bertempat di kampus
UMY pada jam efektif perkuliahan untuk
korban bencana Sinabung. Aksi kedua dil-
akukan pada hari Senini, (17/2), 3 hari
sesudah terjadinya erupsi Gunung Kelud.
Siang hari di wilayah intern kampus, dan
pukul 19.00 hingga 21.00 WIB di berbagai
persimpangan jalan sekitar kampus UMY.
Antara lain di simpang empat ringroad
Dongkelan, simpang empat pojok beteng
kulon Jalan Bantul, simpang empat Wiro-
brajan, dan simpat empat Pingit. Ada 25-30
relawan yang terdiri dari mahasiswa HI
UMY dan Pengurus KOMAHI Angkatan
2010-2013 berpartisipasi dalam aksi peduli
bencana ini.
Total dana yang terkumpul yakni
sebesar Rp 4.980.000 ditambah dengan
pengumpulan pakaian-pakaian bekas hasil
dari aksi yang dilakukan di internal kam-
pus. Untuk penyaluran dana, KOMAHI
beker ja sama dengan MDMC
(Muhammadiyah Disaster Manajemen Cen-
ter), instansi Muhammadiyah yang me-
nangani bencana. Dana dan pakaian
disalurkan ke MDMC pada hari Rabu
(19/2).
-
Komentar Mahasiswa
Lia Waskita Dewi
Ilmu Hubungan Internasional 2011
Nasionalisme merupakan wujud kecintaan terhadap tanah air yang dimiliki oleh
seseorang selaku warga negara, di sisi lain, globalisasi merupakan kondisi zaman yang
modern dimana tidak terdapat batasan ruang dan waktu (kapan dan dimana saja ) untuk
melakukan interaksi. Nasionalisme dan globalisasi tersebut sangat berhubungan dan sal-
ing berpengaruh satu sama lain. terutama bagi pemuda. Di indonesia, rasa nasionalisme
pemuda cenderung memudar. Sederhana saja, kita terkadang lebih bangga terhadap bu-
daya dan produk dari negara lain dibanding dengan produk dalam negeri.
Hal tersebut merupakan contoh kecil dari kerugian akan adanya globalisasi yang
menggerus rasa nasionalisme suatu bangsa. Jika ditilik dari keuntungan atau kerugian
yang didapat dari pengaruh globalisasi terhadap nasionalisme, sudut pandang yang tepat
untuk mengkaji hal tersebut ditinjau dari segi pelaku. Apakah si pelaku bersedia mengam-
bil moment globalisasi tersebut sebagai ajang untuk menunjukkan nasionalisme suatu
bangsa. Indonesia memiliki kesempatan tersebut dalam masyarakat ekonomi ASEAN.
Tentunya dengan dukungan dan rasa optimisme berbagai pihak baik dari pemerintah
maupun dari Masyarakat Indonesia sendiri.
Buletin Digital International Relations News Edisi 37 | 8
-
Sirkulasi dan Iklan : Nanang Khoirino ; M. Satria Alamsyah
Richo Bimapaksi ; Ragil Risky Rachman
top related