bilal bin rabah
Post on 17-Jan-2016
180 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah
menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah
membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap
orang tetap penasaran untuk mendengarnya.
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan
ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya
itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat
ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agungShalallahu ‘alaihi wasallam mulai
mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk
Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk
agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu
Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam
kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang
lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup
ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang
membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya
dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan.
Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang
ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak
mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia
sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah
hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.
Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh
Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah
berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian
orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka
terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang
Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu
semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa
mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga
Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan
kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya.
Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad
… (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun
hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap
mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya.
Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin
hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan
tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya
di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang
diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan
agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan
lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk
membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau
membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai
satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku
tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus
menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata
kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu
Bakar.”
Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke
Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal
satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila
demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan
lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati
segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan
godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap
menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya,
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke
mana pun beliau pergi.
Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan
menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin)
dalam sejarah Islam.
Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alalfalaahi…(Mari melaksanakan
shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari
rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-
barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada
Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu
kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana.
Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon
turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat
langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu
Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan
darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan
pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke
Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah,
Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih RasulullahShalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari
kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar RasulullahShalallahu ‘alaihi
wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati
maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat
bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap
Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah
Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallamdengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan
suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang
dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak
kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan
rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.
Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami
tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang
kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak
menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja
sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani
Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun,
karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada
Muhammad bin Abdullah.”
Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallamhidup. Selama itu pula,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang
begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat
tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat,
“Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang
hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana
semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan
azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan
rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-
sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak
sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah
dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya
keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk
kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku
karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu
juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallamwafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama
pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari
kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul
Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah
cukup lama.
Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya,
sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera
menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya
Bilal).”
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan
azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar
mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu,
yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata.
Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di
Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..Bilal, “pengumandang seruan langit itu”,
tetap tinggal di Damaskus hingga wafat
Suara Muazin terdengar memanggil insan menyembah ALLAH
sejenak terimbau ingatan kepada insan yang mullia
Dirimu hanyalah sahaya
Syahadah itu kebebesanmu derapan kakimu terdengar di depan Rasulmu di syurga
Alunan azanmu terhenti hari kewafatan kekasih tercinta
lalu berderailah tangisan suara emas tak terdengar lagi
Kau Bilal Bin Rabah
Cekal dan Tabah Dipanggang di gurun yang panas
Biarpun dirimu Didera diseksa bibirmu tetap meyebut
Allah Tuhanku Allah yang satu
Tiada tuhan selain Allah Muahammad pesuruh Allah.
Di balik Kulitmu ynag Hitam
tersimpan hati seputih kapas
suara azanmu bergema
hanyalah silamu yang luka
Adalah ukiran mutiara
menjadi tauladan manusia. Latar Belakanag Beliau:
Bilal bin Rabah r.a dilahirkan di Kota Mekah sekitar tahun 43 Sebelum Hijrah(ada pendapat yang mengatakan beliau dilahirkan di Habsyah atau kini disebut negara
Ethopia). Bilal r.a dibesarkan di Kota Mekah sebagai seorang hamba anak-anak yatim Bani Abdul Dar yang berada di bawah jagaanUmaiyyah bin Khalaf. Setelah Rasulullah
s.a.w dibangkitkan menjadi Nabi dengan membawa risalah Islam Bilal adalah terdiri dari kalangan orang-orang yang paling awal memeluk Islam.
Pengislaman Beliau:
Ketika beliau memeluk Islam, hanya terdapat beberapa orang sahaja yang memeluk Islam di atas permukaan bumi ini iaitu: Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar As-Siddiq, Ali
bin Abi Talib, Ammar ibn Yasir serta ibunya Sumaiyyah, Suhaib Ar-Rumi dan Miqdad Al-Aswad. Beliau menerima Islam melalui sahabatnya yang bernama al Fadl dan dilihat
beliau begitu bersungguh-sungguh untuk mendalami ajaran agama Islam sehingga sanggup berulang-alik ke rumah Arqam bin Abi Al-Arqam secara rahsia supaya kegiatannya
menerima Islam sebagai sebahagian daripada hidupnya tidak diketahui oleh tuannya.
Namun akhirnya Umaiyah mengetahuinya dan memujuk Bilal agar meninggalkan Islam dan kembali ke ajaran asalnya, tetapi Bilal berkeras untuk mempertahankan Islam
sebagai agama dunia dan akhiratnya.
Umaiyah pernah berkata,
“Aku berkuasa ke atas tubuh dan jasadmu.”
Tetapi Bilal lantas menjawab,
“Fikiranku, imanku dan kepercayaanku bukan milikmu.”
Setelah gagal memujuk Bilal, Umaiyah nekad untuk bertindak kejam ke atas Bilal dengan mengikat batu besar di tubuh Bilal yang tidak berpakaian, mengheret ke tengah
padang pasir yang panas membakar dan memukul tanpa belas kasihan.
Jasa dan Perjuangan Beliau:
Dikatakan ini adalah makam Bilal Bin Rabah (Sejauh mana
kebenarannya saya tidak tahu)
Beliau meninggal dunia pada tahun 23 Hijrah di negeri Syam dan dikebumikan di Damsyik. Sepanjang hayatnya beliau diakui sebagai seorang yang patuh dan rajin terhadap
tanggungjawabnya, ikhlas, amanah, berani, tabah, dan sanggup menghadapi risiko demi mempertahankan kebenaran. Beliau juga pernah menyertai barisan tentera Islam
dalam beberapa peperangan dan dilantik sebagai juruazan oleh Rasulullah dan kerana itulah namanya kini diabadikan kepada setiap juruazan atau bilal.
Begitulah sedikit sebanyak tentang Bilal Bin Rabah yang saya titipkan di sini. Sekadar ingin berkongsi
Bilal bin Rabah, Mu’adzin Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah.
Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang
tetap penasaran untuk mendengarnya.
Siapakah gerangan lelaki yang ketika didera siksa dahsyat Kafir Quraisy, hanya kata-kata“ Ahadun-Ahad “ yang keluar dari mulutnya, Siapakah pula
lelaki yang pada hari-hari akhirnya mengulang-ulang kata-kata, “Besok kita akan bertemu dengan para kekasih (Muhammad dan para sahabatnya)” ?
Dialah Bilal Bin Rabah Al-Habsyi, Semoga Allah meridloinya, lelaki yang lahir di Mekah, sekitar 43 tahun sebelum hijrah itu tumbuh di Mekah
sebagai seorang hamba sahaya milik anak-anak yatim keluarga Bani Abdud Dar yang berada di bawah asuhan Umaiyah bin Khalaf.
Bilal Sebelum Masuk Islam
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak
wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekkah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan
kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir. Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah
Bilal. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda.
Masa kecil Bilal dihabiskan di Mekkah, sebagai putra dari seorang budak, Bilal melewatkan masa kecilnya dengan bekerja keras dan menjadi budak.
Ia hidup sebagai hamba sahaya, hari-harinya berlalu tanpa beda dan buruk. Ia tidak punya hak pada hari ini, dan tidak punya harapan pada esok hari.
Seringkali ia mendengar tuan-nya, Umayyah, berbicara bersama kawan-kawannya pada suatu waktu dan para anggota kabilah di waktu lain tentang
Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, dengan pembicaraan yang meluapkan amarah dan ke-dengkian yang sangat.
Keislaman Bilal
Bilal termasuk orang yang teguh dengan pendiriannya. Ketika Rasulullah Saw mulai menyampaikan risalahnya kepada penduduk Mekah, beliau telah
lebih dahulu mendengar seruan Rasulullah saw yang membawa agama Islam, yang menyeru untuk beribadah kepada Allah yang Esa, dan
meninggalkan berhala, menggalakkan persamaan antara sesama manusia, memerintahkan kepada akhlak yang mulia, sebagaimana beliau juga
selalu mengikuti pembicaraan para pemuka Quraisy seputar Nabi Muhammad saw.
Beliau mendengar tentang sifat amanah Rasulullah saw, menepati janji, kegagahannya, kejeniusan akalnya, menyimak ucapan mereka : “Muhammad
sama sekali tidak pernah berdusta, beliau bukan ahli sihir, bukan orang gila, dan terakhir beliau juga mendengar pembicaraan mereka tentang sebab-
sebab permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad saw.
Maka Bilal-pun pergi menghadap Rasulullah saw untuk mengikrarkan diri masuk Islam karena Allah Tuhan semesta alam. Bilal masuk dalam deretan
kelompok yang pertama-tama memeluk Islam (Assabiqunal Awwalin). Taslimnya Bilal saat di atas permukaan bumi baru hanya ada segelintir pemeluk
Islam, Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar Sidik, Ali bin Abi Talib, Ammar bin Yasir dan ibunya; Sumaiyah, Shuhaib Ar-Rumi dan Miqdad bin Aswad.
Kemudian menyebarlah perihal masuknya Bilal kedalam agama Islam diseluruh penjuru kota Mekah, hingga sampai kepada tuannya Umayyah bin
Khalaf dan menjadikannya marah sekali sehingga ingin menyiksanya dengan sekeras-kerasnya.
Siksaan Terhadap Bilal bin Rabah atas Keislamannya
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera
tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang
sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal
dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Bilal dicambuk hingga tubuhnya yang hitam tersebut melepuh.
Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas di tengah padang pasir saat terik matahari, waktu yang menjadikan padang pasir
seakan seperti padang api yang sangat panas, dan penyiksaan yang kejam ini terus berulang setiap hari. Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“
Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang
kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada
sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah2 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati
siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…,
Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Abu Bakar Menebus Bilal bin Rabah
Akhirnya Allah mengakhiri siksaan demi siksaan yang dialami oleh Bilal melalui Abu Bakar As Shiddiq. Suatu hari, disaat Bilal kembali disiksa oleh
majikannya Umayyah, Abu Bakar sedang lewat tidak jauh dari tempat penyiksaannya.
Abu Bakar ash-Shiddiq -Radhiallaahu ‘Anhu datang pada saat mereka menyiksanya, dan meneriaki mereka dengan ucapan, “Apakah kalian
membunuh seseorang karena berucap, ‘Rabbku adalah Allah?. Abu Bakar juga berkata, “Wahai Umayah tidakkah engkau takut kepada Allah dalam
diri orang miskin ini ?” “Sampai kapan engkau akan berhenti menyiksa seperti ini ? “. Umayahpun berkata kepada Abu Bakar : “Engkau telah
merusaknya dan saya ingin menyelamatkannya seperti yang engkau lihat”. Lalu Umayah mencambuknya kembali, hingga merasa putus asa dan
meminta kepada Abu Bakar untuk membelinya.
Mendengar hal tersebut, Abu Bakar berniat membeli Bilal dari Umayyah bin Khalaf. Lalu Umayyah pun meninggikan harganya karena ia menduga
bahwa Abu Bakar tidak akan mampu untuk membayarnya. Padahal dalam hatinya dia mengatakan, “Jika dia membelinya 1 uqiah pun akan saya jual.”
Sebaliknya Abu Bakar juga mengatakan dalam hati, “Jika tidak mau menjualnya di bawah harga 100 uqiah pun akan saya beli.”
Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, "Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu
untuk menjualnya."
Abu Bakar membalas, "Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya…"
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para
penyiksanya, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, "Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya,
wahai Abu Bakar." Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, "Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah."
Hijrah ke Madinah
Setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal
Rodhiallahu ‘anhu.. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit
demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia
merasakan nikmatnya iman…. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah…. Di sanalah ia berhasil melawan
nafsu dan godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap
perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, MuhammadSholallahu ‘alaihi wasallam.. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Sholallahu ‘alaihi
wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanyma saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan
RasulullahSholallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Dia mengabdikan diri sepanjang hidupnya kepada Rasul yang sangat dicintainya. Dia menjadi pengikut Rasul yang setia dan selalu mengikuti setiap
peperangan yang terjadi pada masa itu. Bahkan dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana akhirnya Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf
mantan majikannya tewas di tangan pedang kaum muslimin.
Bilal menyertai Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi
janji-Nya dan menolong tentara-Nya.
Saat terjadi perang, Bilal menghadang Umayah dan berkata kepadanya : “Pemimpin kekufuran adalah Umayah bin Kholaf, saya tidak akan selamat
jika jiwa dia selamat”. Akhirnya riwayat hidup Umayah berakhir di tangan Bilal, tangan yang sebelumnya banyak dibelenggu dengan rantai-rantai dari
besi, dan tubuh yang selalu dicambuk dengan pecut.
Penunjukan Bilal bin Rabah sebagai Mu’adzin
Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang
pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam. Suaranya yang begitu merdu sangat menggetarkan hati siapapun yang
mendengarnya. Rasulullah sangat menyukai suara Bilal.
Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya
‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi
wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Penaklukan Mekkah
Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ‘sang pengumandang
panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah,
Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam
saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal
melaksanakan perintah Rasul Sholallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang
tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu…. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi
Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi." Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang
Badar.
Khalid bin Usaid berkata, "Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini." Kebetulan
ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, "Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah."
Al-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, "Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah)."
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, "Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau
hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah."
Adzan Bilal pada Saat Wafatnya Rasulullah
Sesaat setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan,
sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat,
“Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup
mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana
semakin mengharu biru.
Keistimewaan Bilal bin Rabah
Bilal hidup bersama Rasulullah saw dan selalu mengumandangkan Adzan untuk sholat, dan menghidupkan syi’ar agama ini yang telah
mengeluarkannya dari kegelapan kepada cahaya, dari perbudakan pada kemerdekaan, hingga setiap hari kedekatan Bilal dengan Rasulullah saw kian
bertambah yang mana beliau (Rasulullah saw) pernah mensifatinya dengan calon penghuni surga, namun demikian beliau tetap seperti biasa, Bilal
yang ramah, sopan tidak pernah merasa dirinya lebih baik dari sahabatnya yang lain.
Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal
mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah.
"Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."
Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku
berhadats, aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat."
"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah.
Menurut riwayat Bukhari,
Nabi pernah bersabda kepadanya setelah shalat subuh : “Ceritakan kepada saya perbuatan apa yang telah engkau lakukan dalam Islam, karena
sesungguhnya pada suatu malam saya mendengar suara sendal kamu berada di pintu surga”, Bilal berkata : “Saya tidak melakukan sesuatu apapun
yang lebih baik melainkan saya tidak pernah bersuci dengan sempurna pada setiap saat; baik malam dan siang hari kecuali saya melakukan shalat
sebagaimana yang ditentukan untuk saya melakukan shalat”. (Al-Bukhari).
Sepeninggal Rasulullah
Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada
kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu.
Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallamsebagai pemimpin, agar
diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar
dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal
mendesaknya seraya berkata, "Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah
memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya."
Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah."
Bilal menyahut, "Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam wafat."
Abu Bakar menjawab, "Baiklah, aku mengabulkannya."
Mimpi Bertemu Rasulullah
Mimpi pertama bertemu Rasulullah itu dalam mimpinya, Rasulullah Saw berkata kepada Bilal: “Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali
kepadamu,” Kemudian Bilal menjawab: “Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu,” kata Bilal
masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu.
Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal bin Rabah segera memenuhi
ruangan kosong dihampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi
ketemu dengan nabi junjungannya.
Pada suatu hari, ia bermimpi lagi bertemu Rasulullah saw. Dalam mimpinya itu Nabi saw bersabda kepadanya, “Wahai Bilal, apa yang menghalangimu
sehingga engkau tidak pernah menjengukku ?” Setelah bangun dari tidurnya, Bilal ra pun segera pergi ke Madinah. Setibanya di Madinah, Hasan dan
Husain ra meminta Bilal ra agar mengumandangkan adzan. Ia tidak dapat menolak permintaan orang-orang yang dicintainya itu. Ketika ia mulai
mengumandangkan adzan, maka terdengarlah suara adzan seperti ketika zaman Rasulullah saw masih hidup. Hal ini sangat menyentuh hati
penduduk Madinah, sehingga kaum wanita pun keluar dari rumah masing-masing sambil menangis untuk mendengarkan suara adzan Bilal ra itu.
Setelah beberapa hari lamanya Bilal ra tinggal di Madinah, akhirnya ia meninggalkan kota Madinah dan kembali ke Damaskus dan wafat di sana pada
tahun kedua puluh Hijriyah.
Bilal Meninggalkan Madinah untuk Berjihad di Syam
Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari
kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali
bertemu dengan Bilal Rodhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama
Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali,
"Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal)."
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul
Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun
menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal
membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..
Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.
BiIal, "pengumandang seruan langit itu", tetap tinggal di Damaskus hingga wafat. Saat menjelang kematiannya, istri Bilal menunggu di sampingnya
dengan setia seraya berkata, "Oh, betapa sedihnya hati ini…."
Tapi, setiap istrinya berkata seperti itu, Bilal membuka matanya dan membalas, "Oh, betapa bahagianya hati ini…. "
Menjelang wafatnya Bilal pada tahun keduapuluh Hijriyah untuk menghadap sang Khalik, Bilal seringkali mengucapkan kata-kata secara secara
beulang-ulang, kata tersebut adalah:
"Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya"
Bilal meninggal di Syam dalam keadaan bersiap siaga di jalan Allah, sebagaimana yang dikehendakinya. Semoga Allah meridhainya dan
menjadikannya ridha kepadaNya
Bilal bin Rabah adalah seorang lagi tokoh sahabat Rasulullah S.A.W. yang kedua pentingnya dalam menegakkan syiar Islam. Kisah ataupun riwayat hidupnya sebelum dan sesudah memeluk agama Islam adalah merupakan suatu kisah yang amat memilukan bagi kaum muslimin yang mengetahui.
Beliau merupakan salah seorang sahabat Rasulullah S.A.W. yang paling rapat. Kemana sahaja Rasulullah S.A.W. pergi dia tetap bersama dengannya.
Bilal bin Rabah pada asalnya adalah seorang hamba kepada sahabat karib Abu Jahal yang bernama Umaiyah bin Khalaf. Menurut riwayat, setelah Umaiyah mengetahui bahawa Bilal telah memeluk agama Islam, Umaiyah telah menyiksanya dengan cara yang amat kejam sekali.
Pernah suatu ketika beliau telah didera di tengah padang pasir dalam keadaan ditelentangkan dengan badan yang ditelanjangkan. Di tengah padang pasir dan di bawah keterikan panas matahari yang membakar itu beliau telah dipukul oleh beberapa orang tukang pukul dari golongan kaum Quraisy. Tujuan mereka berbuat begitu ialah agar Bilal kembali kepada agama asalnya.
Oleh kerana keimanan Bilal begitu menebal, meereka tidak Berjaya mengubah akidahnya. Sebaliknya semakin hebat dia disiksa semakin galak dia mengingati Allah S.W.T. Semasa dia disiksa dia tidak henti-henti menyebut: “ Ahad! Ahad!”
Semakin kuat Umaiyah menyiksa dia semakin galakdia menyebut ayat itu.
Melihatkan Bilal bersikap teguh dengan pendiriannya, lantas Umaiyah menampar mukanya dan berkata :” Hei
budak jahat, engkau benar-benar celaka, aku mahu kau menyebut lata dan uzza.”
Namun demikian, walaupun dia disiksa dengan sebegitu kejam akan tetapi pada Bilal itu hanyalah merupakan menambahkan keimanan terhadap agama yang telah diyakininya itu.
Setelah melihatkan segala tindakannya terhadap Bilal tidak mendatangkan kesan maka Umaiyah pun pergi berjumpa dengan Abu Jahal. Setibanya dia di rumah Abu Jahal maka Umaiyah pun bermuafakat dengan nya bagaimana hendak mengatasi masalahnya itu.
Umaiyah berkata kepada Abu Jahal: “ Lebih baik saja kita bunuh budak hitam itu.” “Itu tidak bijak.” Jawab Abu Jahal. “ Kalau membunuh dia bererti kita lemah dan kalah. Orang akan menentang kita secara diam-diam,” sambung Abu Jahal.
Umaiyah berkata lagi : : Apakah yang patut kita lakukan?” “Kita siksa dia sehingga dia tidak berdaya lagi,” kata Abu Jahal memberi pendapat.
Umaiyah berkata lagi” “ Sampai bila dan berapa lamakah kita harus menyiksa dia?” “ Sampai dia kafir semula,” jawab Abu Jahal bangga. Umaiyah tidak berasa puas hati maka dia berkata lagi :” Ya Abu Jahal, kita sebenarnya masih ketinggalan zaman kerena belum pernah aku lihat seorang manusia yang begitu sabar menanggung pelbagai azab demi mempertahankan kepercayaannya sebagaimana Bilal.”Umaiyah bertanya lagi: : Adakah cara lain yang engkau fikir boleh membuatkan dia mengubah pendiriannya?” “Begini,” kata Abu Jahal memulakan pendapatnya.” Bukankah hari amat panas sekali, jadi pakaikan dia dengan pakaian besi kemudian kita jemurkan dia di tengah padang pasir di luar kota Mekah. Aku percaya budak hitam itu tidak akan dapat menahan kepanasan besi dan cahaya matahari yang membakar itu.”
Umaiyah bertanya lagi” Adakah perbuatan ini akan berhasil?” “Tentu sekali aku percaya dan yakin jika dia mendengar rancangan kita ini tentu dia akan meminta ampun dan dengan itu sudah tentu dia akan kembali
kepada agama asalnya,” Kata Abu Jahal dengan penuh yakin.
Setelah segala rangcangan mereka siap diatur maka mereka pun menangkap Bilal dan dipakaikannya dengan sehelai baju besi. Kemudian mereka pun membawa Bilal ketengah padang pasir dengan kakinya dirantai.
Setibanya di tengah padang pasir itu mereka pun meninggalkan Bilal keseorangan diri di antara batu-batu padang pasir itu.
Hari itu amat panas sekali sehingga tidak ada sesiapapun yang sanggup berdiri lama di bawah sinaran matahari pada masa itu. Manakala pada malam harinya pula keadaannya amat sejuk sehingga terasa ke tulang hitam.
Azab yang diterima oleh Bilal tidak terperi sakitnya. Bagaimanapun dia tidak mengeluh atau gentar menghadapi segala percubaan yang diterimanya. Hatinya bulat, dia hanya berdoa kepada Allah S.W.T. agar Allah S.W.T. menguatkan imannya di samping memohon bantuan agar Allah S.W.T. melepaskan dia dari azab yang tidak tertanggung itu.
Keesokan harinya Abu Jahal dan Umaiyah datang menemui Bilal. Dalam hati mereka berdua menyangkakan tentulah bilal akan bersujud kepada mereka meminta ampun dan berjanji akan mengubah pegangannya.
Sebaik saja syaitan Quraisy itu bersemuka dengan Bilal, semangatnya menjadi semakin kental mengadap segala kemungkinan dan kemarahannya semakin meluap-luap terhadap kedua manusia itu.
Abu Jahal mendekati Bilal lalu membisikan sesuatu, katanya: “ Hai Bilal, bagaimanakah keadaan engkau sekarang?” Kemudian Bilal menjawab: “ Ahad! Ahad!”
Mendengar perkataan itu, secara tiba-tiba Abu Jahal menjadi marah. Hatinya berasa terlalu sakit mendengar perkataan itu, bagi dia perkataan itu seolah-olah racun baginya.
Lantas dia berkata kepada Bilal dengan geramnya : “ Hei budak hitam, apakah kau masih mahu berkeras di atas kesesatan engkau ini.”
Abu Jahal mengamuk dan meradang setelah Bilal tetap dengan pendiriannya. Dia mencari-cari di sekelilingnya kalau-kalau ada benda yang dapat di pergunakannya untuk membunuh Bilal pada masa itu. Kemudian dia ternampak seketul batu besar tidak jauh dari situ, lantas dia serta Umaiyah dan juga para pengikut yang mengiringin mereka mengangkat batu besar itu dan meletakkannya di atas dada Bilal bin Rabah.
Setelah batu itu diletakkan di atas dadanya, Bilal merasa terlalu sukar untuk bernafas, tetapi dalam hatinya masih menyeru “ Ahad! Ahad!”
Abu Jahal, Umaiyah dan para pengikutnya mengugut Bilal mengatakan bahawa dia akan mati tidak lama lagi. Mereka bersorak-sorak melihat keadaan Bilal semakin payah untuk bernafas dan semakin perlahan pula suaranya menyebut “ Ahad! Ahad.” Akan tetapi gerak bibirnya masih belum berhenti dari menyebut perkataan itu.
Segala harapan Abu Jahal untuk melihat Bilal memohon ampun dan balik ke agama asal meleset sama sekali. Bahkan bibir Bilal tidak henti-henti menyebut “Ahad! Ahad”’ malah adakalanya kedengaran dia berdoa kepada Allah S.W.T. , katanya “ Ya Allah, sekiranya mereka mahu membunuh aku agar aku menyekutukan Tuhan Ar Rahman maka biarlah aku mati, daripada menyekutukan Tuhan. Aku tidak takut mati, aku tidak takut mati, aku lebih takut menyekutukan Tuhan Ar-Rahman. Ya Allah, Tuhan Ibrahim, Yunus, Musa dan Isa aku bermohon kepadamu selamatkanlah aku dari siksaan ini.”
Doa Bilal yang kedengaran terketar-ketar itu di dengari oleh Abu Jahal dan Umaiyah. Mereka berpandangan sesama sendiri memikirkan apakah yang harus dilakukan lagi terhadap Bilal. Kemudian Umaiyah berkata kepada Abu Jahal :” Bukankah sudah aku beritahu pada engkau, tak guna lagi kita menyiksa budak itu. Dia memang keras kepala, memang tak ada harapan yang dia akan mengikut agama kita lagi, lebih baik saja kita bunuh dia.”
Dalam perkara ini Abu Jahal lebih pintar dari Umaiyah. Sambil menundukkan kepada dia mencari-cari jalan
bagaimana hendak memaksa Bilal supaya dia kembali kafir. Membunuhnya sebagaimana yang disarankan oleh Umaiyah adalah jalan yang terakhir tetapi tidak menguntungkan mereka, sebaliknya dia akan membawa banyak akibat dan kerugian kepada pihak Quraisy sendiri.
Kisah penderitaan Bilal menghadapi siksa dari pihak Quraisy akhirnya telah sampai ke pengetahuan Rasulullah S.A.W. dan Saiyidina Abu Bakar Al Siddiq r.a. Setelah mendapat berita itu, tanpa membuang masa Saiyidina Abu Bakar pun terus menuju ke tempat Bilal di siksa itu. Di bawah kepanasan cahaya matahari Saiyidina Abu Bakar meredah padang pasir yang luas itu.
Dari jauh dia nampak sekumpulan manusia sedang mengerumuni sesuatu. Tanpa membuang masa Saiyidina Abu Bakar datang kearah mereka, mereka pun berundur. Sebaik saja Saiyidina Abu Bakar sampai disitu dilihatnya Bilal masih hidup dan dia tidak henti menyebut “Ahad! Ahad!”, akan tetapi keadaanya begitu menyayat hati. Dia meronta-ronta seperti separuh nyawa ikan. Batu besar yang menghempap pada perutnya menyebabkan dia mengalami kesesakan nafas.
Melihat keadaan sahabatnya diperlakukan begitu dia berasa amat hiba sekali, Saidina Abu Bakar yang biasanya bersifat penyabar, lemah lembut dan tenang tiba-tiba saja melenting marah bagai api menjulang. Api kemarahannya terlalu membara melihat kejadian yang menyayatkan itu. Ketika itu dilihatnya Abu Jahal dan Umaiyah adalah seperti budak kecil.
Dengan suara yang lantang dia berkata kepada Abu Jahal: “ Sampai bila kamu akan menyiksa budak itu?”Kata Umaiyah :” Itu urusan kami, mengapa kau harus masuk campur, ini hamba aku, aku boleh siksa dia sesuka hati aku dan aku boleh lepaskan dia bila aku suka.”
“ Apakah engkau tidak takut kepada Allah melakukan siksaan seperti ini?”, kata Saiyidina Abu Bakar. Umaiyah berkata lagi :” Cukup…cukup hai Abu Bakar! Kerana engkaulah maka dia aku siksa dan engkaulah yang merosakkannya.” Jawab Abu Bakar dengan marah : “ aku bukan merosakkannya, aku hanya menunjukkan jalan yang benar.”
“Sudah…sudah aku cukup mengerti perkara itu, engkau tidak perlu menerangkannya. Hanya satu permintaan aku jangan kau campuri urusan kami,” bentak Umaiyah.
“ Kami tidak akan membiarkan perbuatan kejam seperti ini dilakukan terutama sekali terhadap salah seorang teman yang sefahaman dengan kami. Menyiksa dan memaksa dia sama dengan menyiksa dan memaksa kami. Terus terang aku katakan bahawa aku akan membelanya dan tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum engkau melepaskannya dan memerdekakan daripada penganiayaan yang kejam ini, “ tegas Abu Bakar geram.
“ Kami semua sudah sepakat tidak akan melepaskannya sehingga dia kembali kepada agama asalnya atau dia mati dalam siksaan ini,” jawab Umaiyah pula. Kemudian Abu Bakar berkata lagi : “ Engkau akan hampa saja hai Umaiyah. Sudah pasti dia tidak akan kembali kepada agama asalnya setelah mendapat hidayah dari Allah. Seperti orang yang berada dalam gelap gelita dia tidak akan mahu ketempat gelap itu setelah menemui tempat yang terang benderang.”
Umaiyah berkata dengan marah: “ Wahai Abu Bakar, apakah engkau datang ini untuk meminta ampunkan dosanya daripada kami atau engkau datang ini untuk membantu dia menghina dan memaki hamun Tuhan kami di hadapan muka kami sendiri?”
“Saya katakan kepada kamu semua bahawa dia akan tetap berpegang kepada kepercayaannya sampai dia mati walaupun dia disiksa”. “ Jadi adakah kamu mahu dia hidup dan saya beri dia makan dan minum serta pakaian kemudian dia menghina dan mengejek-ngejek agama kami setelah itu dia mengoda isteri dan anak-anak kami?” Sergah Umaiyah.
“ Aku sedia membelinya.” Kata Abu Bakar selamba. “ Engkau mahu membelinya,” kata Umaiyah seakan-akan terkejut. “ Benar….. aku mahu membelinya,” kata Abu Bakar. “Berapakah kamu sanggup bayar,” Tanya Umaiyah. “ Berapa yang kamu minta,” jelas Abu Bakar.
Setelah berpakat dengan Abu Jahal, Umaiyah pun berkata :” Lima wang emas ( setengah kilo).” Tanpa tawar
menawar abu Bakar terus membayarnya. Setelah urusan jual beli itu selesai, tanpa membuang masa Saiyidina Abu Bakar berlari mendapatkan Bilal yang sedang dihempap batu besar itu. Oleh kerana batu itu terlalu besar Saiyidina Abu Bakar tidak berdaya mengangkatnya seorang diri. Orang ramai yang tadi bersurai datang menolong Abu Bakar kerana bersimpati dengannya. Kemudian batu besar itu Berjaya diangkat dan Bilal pun terselamat dari siksaan seterusnya.
Saiyidina Abu Bakar terus memapah Bilal untuk dibawa pulang mengadap Rasulullah S.A.W. Tidak lama kemudian Saiyidina Abu Bakar memerdekakan Bilal. Akhirnya Bilal dibebaskan dan tidak dikuasai oleh sesiapa lagi. Lantaran tingginya budi Saiyidina Abu Bakar dan besar jihad beliau terhadap Islam maka turunlah ayat Quran yang menyatakan kesalahan Umaiyah bin Khalaf serta memuji Saiyidina Abu Bakar yang penuh dengan sifat kemanusiaan yang tiada bandingannya itu.
Pada zaman Rasulullah S.A.W., ketika tiba waktu sembahyang Nabi S.A.W. menjadi iman dan Bilal r.a. menjadi Mu'adzzin. Bilal r.a. memang terkenal dengan suaranya yang merdu. Selepas Rasulullah S.A.W. wafat, Bilal meninggalkan kota Madinah.
Suatu ketika Bilal r.a. bermimpi bertemu dengan Rasulullah S.A.W. dan berkata baginda dalam mimpinya, "Wahai Bilal, mengapakah kamu tidak menziarahiku?" Sebaik sahaja Bilal terjaga dari tidurnya, dia pun bersiap-siap untuk berangkat ke Madinah.
Setibnya di Madinah, Bilal r.a. bertemu Hassan dan Hussain yakni cucu Rasulullah S.A.W., lalu mereka meminta Bilal r.a. untuk melaungkan azan. Untu tidak menghampakan permintaan dari orang-orang yang sangat dikasihinya, maka Bilal r.a. pun mengalunkan azan.
Apabila suara Bilal berazan berkumandang, maka keluarlah orang-orang dari kota Madinah tanpa segan silu, sambil mengerluarkan air mata mengingati zaman
kegemilangannya yang dilalui bersama Rasulullah S.A.W.
Bilal r.a. terkenal dengan sifat kejujurannya, kesolehannya dan rendah hati.
Pada 20 hijrah, wafatlah Bilal r.a. dalam usia 60 tahun. Beliau dimakamkan di kota Damsyik berdekatan daerah Babus Saghir.Cubalah anda semua membaca kisah hidupnya, sudah pasti dada anda sebak dan anda menangis sendirian! Betapa hebat dan besarnya ujian yang Allah s.w.t berikan kepada manusia hebat ini menjadi pengajaran kepada seluruh insan di mukabumi ini.
Bilal lahir di daerah Al-Sarah yang terletak dipinggir Kota Mekah 43 tahun sebelum Hijrah. Ayahnya bernama Rabah dan ibunya bernama Hamamah, seoran wanita berkulit hitam. Sebab itulah Bilal selalu disebut dan diejek dengan gelaran Ibnus-Sauda’ yang bermaksud “Putera Wanita Hitam”. Ibu bapanya adalah hamba dan Bilal dilahirkan sebagai seorang hamba kepada keluarga Bani Abdul Dar.
Liku-liku pahit perjalannya hidupnya bermula bila kedua ibu bapanya yang berpindah dari Habsyah untuk mencari penghidupan baru di Kota Mekah dirompak di pertengahan jalan, ditangkap dan ditawan, seterusnya dijual di pasar Ukaz, lalu dibeli oleh keluarga Bani Abdul Dar.
Kedua ibu bapanya dipaksa bekerja siang dan malam dan dilayan dengan kejam oleh tuannya. Mereka tidak diberi makan dan rehat yang cukup. Pernah suatu hari abang kepada Bilal menangis kerana terlalu lapar, lalu ibunya mengambil sekeping sisa roti dari rumah tuannya, namun bila ternampak oleh tuannya, ibu Bilal di pukul dan roti tersebut disentap dari tangan abangnya lalu dilemparkan kepada seekor anjing, bagi tuannya Bilal dan keluarganya lebih hina dan jijik dari seekor anjing.
Bila abangnya Sahib dan Bilal meningkat remaja, abangnya telah dijual sebagai hamba di yaman, namun nasib abangnya agak baik kerana dia telah dibeli oleh sepasang suami isteri yang kaya tetapi tidak mempunyai anak, lalu dijadikannya Sahib anak angkat mereka.
Ibunya meninggalkan dunia akibat kerinduan yang teramat sangat kerana berpisah dengan anaknya Sahib dan akibat selalu dipukul dengan teruk oleh tuannya. Selepas ibunya meninggal, ayahnya pula turut meninggal dunia kerana sakit tenat.
Selepas ayahnya meninggal dunia, Bilal diserahkan kepada tuan yang baru, iaitu Umaiyah Bin khalaf. Walaupun Bilal seorang hamba yang rajin, jujur dan amat mematuhi suruhan tuannya, tetapi bila Umaiyah mendapat tahu Bilal telah memeluk islam, dia mula menyiksa Bilal tanpa belas kasihan supaya Bilal kembali ke agama asal mereka. Bilal enggan tunduk dan mengikut kemahuan tuannya kerana hatinya telah diserikan oleh bunga-bunga iman. Dia beriman kepada Allah dan RasulNya Muhammad s.a.w. Bagi dirinya dunia dan segala isinya sudah tidak bererti lagi jika dibandingkan dengan nikmat islam dan manisnya iman yang dikecapi dalam hatinya.
Pada mulanya, Bilal dipukul, kemudian dia diarak keliling Kota Mekah. Selepas itu Bilal dijemur di atas pasir ditengah panasnya bahang matahari, dia diseksa dan tidak diberikan makanan dan minuman. Ketika matahari berada tegak diatas kepala dan padang pasir panas membara, Bilal dipakaikan baju besi dan dijemur. Tubuh Bilal disebat dengan cemeti dan dadanya ditindih dengan batu besar. Sudah berbagai bentuk penyeksaan dan taktik yang dilakukan oleh Umaiyah kepada Bilal, namun keimanan Bilal tidak pernah luntur malah lebih menghairankan Umaiyah ialah keimanan Bilal makin bertambah.
Bila Umaiyah memaksa Bilal menyebut nama Tuhan mereka al-Latta dan al-Uzza, Bila tetap dengan iman dan takwanya mempertahankan dan menyebut kalimah “Allah,Allah, Allah,…. Ahad, Ahad, Ahad ..”
Berita penyeksaan yang begitu kejam itu akhirnya sampai kepada pengetahuan Abu Bakar as-Siddiq, lalu Abu Bakar pun pergilah menemui menemui Umaiyah untukmembeli dan menebus Bilal tanpa tawar menawar dengan harga 9 uqiyah emas. Umaiyah berkata, jika Abu Bakar meminta untuk dikurangkan harga Bilal kepada 1 uqiyah emas pun dia sanggup menjualnya, lalu Abu Bakar berkata lagi, jika Umaiyah meletakkan harga Bilal sehingga 100 uqiyah emas pun dia sanggup membelinya. Abu Bakar pun mengambil Bilal lalu memerdekakannya! Bagi Abu Bakar, Bilal adalah seorang manusia hebat dan kukuh imannya. Bila kisah ini diceritakan oleh Abu Bakar kepada Rasulullah s.a.w, maka Rasulullah s.a.w pun terus menyampaikan hasratnya untuk berkongsi wang tebusan Bilal tetapi Abu Bakar mengatakan bahawa dia telah menyelesaikan bayaran itu dengan menggunakan wangnya sendiri! Inilah kisah pengorbanan, kasih sayang, perpaduan, persaudaraan dan permuafakatan yang indah di zaman rasulullah s.a.w!
Dari seorang hamba abdi, Bilal diangkat darjatnya disisi Allah berkat kesabaran dan kegigihannya mempertahankan kalimah Allah, kalimah iman yang amat disayanginya. Dia dilantik menjadi tukang azan Rasulullah s.a.w sehingga laungan azannya bergema 5 kali sehari diseluruh penjuru Kota Mekah dan Madinah malah melepasi langit yang 7 lalu bergema di Arasyh Rabbul Jalil. Seluruh para malaikat di langit menanti-nantikan suara Bilal melaungkan azan setiap hari. Ada satu cerita seorang yang dengki dan irihati dengan Bilal telah membodek rasulullah s.a.w untuk menggantikan Bilal untuk melaungkan azan, tetapi malangnya azan itu dilaungkan secara tidak ikhlas sehingga suara azan tidak bergema seperti selalu dilaungkan oleh Bilal di langit lalu malaikat pun bertanya kepada Rasulullah s.a.w tentang hal itu.
Bilal menyertai semua peperangan dijalan Allah di zaman Nabi Muhammad s.a.w. Kewafatan Nabi s.a.w, memberikan kesan yang cukup mendalam bagi Bilal, betapa sayangnya Bilal pada Rasulullah s.a.w tidak dapat digambarkan dengan kata-kata! Sehinggakan Bilal tidak mampu melaungkan azan lagi, kerana bila tiba pada perkataan Muhammad itu, hatinya terus sebak dan air matanya terus mengalir! Selepas itu Bilal tidak mahu lagi menjadi bilal walaupun puas dipujuk oleh sahabat-sahabat Nabi s.a.w, bukan dia tidak mahu, tetapi dia tidak mampu!!!
Pada zaman Khalifah Abu Bakar, Bilal memohon untuk pergi berperang, tetapi tidak dibenarkan oleh Abu Bakar dengan alasan beliau masih memerlukan khidmat Bilal di Madinah. Mungkin Abu Bakar sudah dapat membaca isi hati Bilal yang sangat merindui mati syahid untuk bertemu dengan orang yang sangat dicintainya iaitu Muhammad s.a.w! Ini adalah kerana kewafatan baginda merupakan satu kehilangan yang besar bagi Bilal.
Sekali lagi pada zaman Khalifah Umar, Bilal memohon untuk menyertai angkatan perang islam menentang tentera Rom lalu diizinkan Saidina Umar. Kesempatan itu digunakan oleh Bilal secukupnya , beliau telah membawa isterinya turut sama berperang bersama tentera islam sehingga berjaya menakluki Baitulmuqaddis! Namun apa yang diharapkan Bilal tidak dimakbulkan Tuhan lagi.
Dia berpindah dari Mekah ke Madinah dan orang ramai sentiasa memujuk dan menyuruhnya menjadi tukang azan, namun beliau menolak dengan baik. Saidina Umar dan Saidina Ali juga pernah memujuk Bilal, tetapi Bilal tetap menolak.
Kata Saidina Umar :“Bilal, adakah kamu seorang saja yang merasa sedih dengan kehilangan Rasulullah s.a.w? Air mata saya juga sudah kering kerana menangis! Jika boleh, saya mahu serahkan nyawa saya ini sebagai gantinya”,
lalu jawab Bilal :“Wahai Amirul mukminin, kesedihan saya melebihi kesedihan tuan. Tuan lahir sebagai seorang yang merdeka. Berbanding saya seorang hamba. Tuan tidak pernah merasai bagaimana gembiranya seorang hamba apabila dimerdekakan. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w membebaskan kami dari perhambaan. Dia memuliakan saya ketika orang lain menghina saya. Kemudian Rasulullah s.a.w melantik saya sebagai tukang azan. Rasulullah s.a.w juga pernah mengatakan terdengar hentakan sepatu saya di dalam syurga” kata Bilal dengan nada yang sedih dan hiba.
Selepas itu Bilal berpindah ke Syam, penduduk Syam juga meminta beliau menjadi tukang azan tetapi Bilal menolak lalu mereka pun memulaukan Bilal. Akhirnya Bilal membawa isterinya berpindah ke Damsyik setelah penduduk Syam memarahinya. Bila akhirnya wafat pada tahun 20 Hijrah / 641 Masehi di Damsyik dan dikebumikan di Damsyik ketika berumur 63 tahun.
Suara muazzin terdengar
Memanggil insan menyembah AllahSejenak terimbau ingatanKepada insan yang mulia
Dirimu hanyalah sahayaSyahadah itu kebebasanmuDerapan kakimu terdengar
Di depan Rasulmu di Syurga
Alunan azanmu terhentiHari kewafatan kekasih tercinta
Lalu berderailah tangisanSuara emas tak terdengar lagi
Kau Bilal Bin RabahCekal dan tabah
Dipanggang di gurun yang panasBiarpun dirimu didera disiksa
Bibirmu tetap menyebut
Allah TuhankuAllah Yang Satu
Tiada Tuhan selain AllahMuhammad pesuruh Allah
Alunan azanmu terhentiHari kewafatan kekasih tercinta
Lalu berderailah tangisanSuara emas tak terdengar lagi
Kau Bilal Bin RabahCekal dan tabah
Dipanggang di gurun yang panasBiarpun dirimu didera disiksa
Bibirmu tetap menyebut
Allah TuhankuAllah Yang Satu
Tiada Tuhan selain AllahMuhammad pesuruh Allah
Di balik kulitmu yang hitamTersimpan hati seputih kapas
Suara azanmu bergemaAdalah silammu yang luka
Adalah butiran mutiaraMenjadi tauladan manusia
Bilal Bin Rabbah muazzin pertama , Senantiasa berwuduk dan bersuci , Hambakan diri sentiasa kepada Yang Esa , Kelak syurga kita duduki
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Dalam sejarah telah diceritaka bahawa ada seorang hamba yang bernama Bilal
bin Rabah, ia adalah seorang hamba dari pemuka bangsa quraisy iaitu Umaiyah bin Khalaf.
Pada suatu saat ketika Umaiyah sedang berada di tempat urusannya menghirup udara pagi yang nyaman. Tiba-tiba ada seorang yang datang kepada Umaiyah menceritakan keadaan Bilal telah berpindah agama iaitu menganut agama islam. Setelah mendengar khabar itu dengan hati yang dendam dan marah, umaiyah kembali ke rumahnya seakan-akan tidak tahu apa yang harus dilakukannya kerana sangat marah.
Kemudian Umaiyah memanggil Bilal dan bilal pun datang dan berdiri dihadapan Umaiyah dengan agak takut. Dengan nada marah Umaiyah berkata kepada Bilal :"Hai Bilal jangan engkau bersembunyi terus teranglah apakah benar engaku telah berpindah agama dan telah meninggalkan Tuhanmu Latta dan Uzza?"
Bilal dengan tenang menjawab: Bila tuan telah mendengar bahawa aku sering datang ke rumah Muhammad, sekarang aku telah mengakui bahawa Muhammad adalah Rasul Allah dan aku beriman kepada ajarannya yang murni iaitu agama islam."
Lalu Umaiyah berkata :"Tidakkah engkau tahu, bahawa engkau adalah hamba belianku, engkau adalah barang kepunyaanku. Aku lebih berhak terhadap apa-apa yang aku lakukan terhadap dirimu."
Kemudian Bilal menjawab :"Tuanku, itu semua aku akui dan sekarang kalau tuan perintahkan aku buat apa sahaja akan aku lakukankan. Akan tetapi akal dan fikiranku , keimanan dan kepercayaanku itu adalah bukan hak tuan dan bukan termasuk barang yang tuan beli dariku. Keimanan dan keislamanku sesungguhnya tidak akan mengurangi akan kerja dan tugasku terhadap tuan."
Mendengar jawapan demikian, bertambah marahlah Umaiyah lalu ia melompat dan mencekik leher Bilal dan kedua tangan dan kakinya diikat. Ia dipanggil anak-anak yang nakal dan memperolok-olok dan melempari Bilal dengan batu. Lalu Umaiyah meninggalkan Bilal dalam keadaan terseksa.
Kemudian Siangnya Umaiyah datang kembali menyeksa Bilal dengan seksa yang sangat berat, sehingga tubuh bilal lebam dan berdarah dipenuhi luka.
Akan tetapi sekalipun bagaimana terseksa, pahit dan jerih Bilal tetap dengan pendiriannya yang kukuh dan keimanan dan keislamannya tidak merasa sakit dan gementar sekali-kali ini kerana kekuatan iman yang begitu tinggi di dalam hati dan jiwa Bilal.
Melihat keadaan Bilal yang mengerikan itu, kemudian Umaiyah berkata :"Wahai Bilal sekarang pilihanmu apakah kalau tetap dalam pendirianmu atau kembali menyembah Latta atau Uzza."
Dengan pandangan mata yang tajam dan bersinar, seakan-akan menentang sekalipun sampai mati, Bilal menjawab:"Wahai Umaiyah , pantang bagi diriku untuk mengubah ketetapan agama dalam hatiku sekalipun anak panah beracun tembus menembusi dadaku atau dipancung kepalaku."
Di saat-saat yang sedang kritikal itu, bibir Bilal tidak lepas berkata:"Ahad,Ahad,Ahad mengesahkan bahawa tiada ada tuhan selain Allah yang Maha Esa.
Ketika matahari mulai menampakkan diri, sinarnya semakin terik semakin panas sehingga membakar padang pasir yang sudah memang kering itu. Kemudian Umaiyah membaringkan Bilal di tengah-tengah padang pasir itu tanpa seurat benang sambil tubuhnya dihimpit dengan batu besar sehingga Bilal tidak dapat bergerak sedikit pun. Namun bibir Bilal mengucapkan:"Ahad,Ahad,Ahad.... Dialah Tuhanku yang aku sembah, Dialah Tuhanku Allah yang Aku Sembah, Dialah Tuhanku untuk memohon perlindungan dari seksa pedih yang menimpaku. Dialah yang telah mengutus Nabi Muhamad saw sebagai utusannya yang memberi petunjuk dan kepercayaan, aku ikuti jejak langkah beliau sekalipun azab dan seksa yang berat terpaksa aku tanggung."
Dari hari ke hari semakin berat seksaan Bilal. Namun Bilal tetap dan keimaman dan pendiriannya kepada Allah swt.
Pada suatu hari ketika Umaiyah sedang menyeksa Bilal, lalu Saidina Abu Bakar menghampiri Umaiyah dan melihat penyeksaan ke atas Bilal sehingga mengundang sebak di hati Saidina Abu Bakar.
Saidina Abu Bakar as berkata :"Wahai Umaiyah apakah engkau tidak mempunyai perasaan belas ikhsan melihat hambamu itu dan apakah dosa yang telah dia perbuat sehingga diperlakukan sedemikian?"
Dijawab dengan sombong dan angkuh oleh Umaiyah :"Wahai Abu Bakar ini adalah hambaku dia milikku dan semua bergantung pada kehendakku." Kalau kau merasa kesian dan sedih padanya silalah engkau beli, dan engkau bebaskannya.
Mendengar ucapan Umaiyah yang sombong dan angkuh itu, Abu Bakar tersentap hatinya untuk membeli dan membebaskan Bilal dari tangan Umaiyah.
Kesempatan itu, tidak disia-siakan oleh Abu Bakar as , Bilal dibeli dan dibebaskan dari tangan Umaiyah. Abu bakar as berkata:"Mulai hari ini wahai Umaiyah engkau tidak mempunyai hak keatasnya apa-apa lagi saat ini Bilal aku bebaskan (merdeka).
Abu Bakar berkata:"Wahai Bilal , pada hari ini aku merdekakan engkau dari tangan Umaiyah, sesungguhnya aku berbuat ini semuanya semata-mata kerana Allah Tuhan kita."
Demikianlah pertolongan Allah swt atas kebaikan Abu Bakar maka Bilal terlepas dari Umaiyah dan dapat menghirup udara segar. Bilal bin Rabah wafat pada usianya 60 tahun bersamaan 20H. Beliau dimakamkan di Kota Damsyik.
teks syarahan agama sekolah mmenengah IMAN DAN TAQWA PENCETUS UMMAH GEMILANG Ahad, 12 Februari 2012 Assalamualaikum wrt….salam integriti pembuka bicara <ن> >م@ي الع>ال Fب ر> لله@ Kح>م<د> >ل ا @ <م ي ح@ Pالر ح<م>ن@ Pالر الله@ @ م @س< <ن> , ب Pق@ي <مKت @ل ل >ة >ا و>الع>اق@ب Fد@ن ي س> ع>ل>ى Kم< ال Pة و>الس< و>الصPال
@ه@ اب ص<ح>< و>أ @ه@ آل و>ع>ل>ى fدPح>مKن> م> >ج<م>ع@ي أ Yang dimuliakan saudara pengacara majlis, barisan panel
hakim yang menjunjung panji keadilan, penjaga masa yang setia dengan masanya, seterusnya warga dewan yang dirahmati Allah. Tampilnya saya di pentas ini adalah untuk menyampaikan syarahan yang bertajuk ‘IMAN DAN TAQWA PENCETUS UMMAH GEMILANG’. Terlebih dahulu izinkan saya mendefinisikan satu persatu tajuk syarahan saya pada pagi ini. Perkataan iman bermakna mengaku dengan lidah, membenarkan di dalam hati dan mengamalkan segala perintah Allah Taqwa pula membawa maksud mengawal diri daripada melakukan perkara yang dimurkai Allah dengan mengerjakan segala suruhannya dan meninggalkan larangannya. Frasa “Pencetus Ummah Gemilang” adalah merujuk kepada ummat Islam yang bermutu dan cemerlang. Wacana fikrah pertama "Insan Beriman Dan Bertakwa Teras Masyarakat Gemilang Hadhirin-hadhirat, pengabdian diri dengan sepenuh hati terhadap segala perintah Allah sudah tentu bertitik tolak daripada keimanan yang utuh, kemudian dipancarkan melalui kesungguhan amalan melahirkan ummah cemerlang bertepatan dengan penegasan Allah dalam Surah al-Mu'minun ayat 1 : 1. Sesungguhnya berjayalah orang-orang Yang beriman, Keimanan dan ketakwaan yang teguh inilah penyelamat Bilal bin Rabah daripada lembah kekufuran biarpun diazab penuh dahsyat oleh tuannya. Iman yang mantap dan teguh inilah yang memperkasakan jatidiri ummah dan menyelamatkan mereka daripada gejala negatif seperti penagihan dadah, pelacuran serta pergaulan bebas.Statistik dadah kebangsaan 2004 menunjukkan 90% penagih terdiri daripada remaja muslim. Nah! terbuktilah iman dan takwa teras masyarakat cemerlang memacu kecemerlangan ummah. Wacana fikrah kedua " Insan Berakhlak MuliaTeras Ummah yang gemilang’ Ini amat bertepatan dengan motif utama pengutusan Rasulullah ke muka bumi demi memurnikan akhlak manusia sebagaimana Sabda Baginda : ( ألتمم بعثت إنما
األخالق Ertinya: Sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak ( مكارمyang mulia Terpancarlah keutuhan akhlak dan sahsiah terpuji Rasulullah melalui karektor beliau sebagai seorang pemimpin negara yang beretika, seorang sahabat yang prihatin serta ketua keluarga yang penyayang. Imbau sahaja keindahan akhlak Rasulullah dengan pemuda Yahudi yang kencing di dalam Masjid Nabawi, Baginda tidak memarahi pemuda tersebut bahkan baginda sendiri membasuhnya menyebabkan pemuda tadi memeluk Islam di hadapan Baginda. Lihatlah hari ini lantaran kerapuhan akhlak, remaja kita dirobek rakus oleh budaya punk , black metal memuja syaitan serta vandalisme meranapkan harta benda awam. Ternyata akhlak mulia tonggak ummah gemilang. Wacana Fikrah ketiga "Insan Beramanah Dan Jujur Teras Ummah Gemilang". Dengan ketakwaan yang tinggi akan melahirkan rasa muraqabah Allah dalam segenap urusan hidup lantas tertegaklah konsep Al ihsan: ( يراك فإنه تراه تكن لم وإن تراه كأنك الله تعبد Yang bermaksud: Kamu ( أنmenyembah Allah seolah-olah kamu melihatnya, jika kamu tidak melihatnya, sesungguhnya dia melihat kamu. Imbau sahaja betapa jujur dan amanahnya
seorang pemimpin bergelar Omar Abdul Aziz , yang sanggup bergelap bila membicarakan urusan keluarga kerana tidak mahu menggunakan harta kerajaan. Bilamana menyuburnya benih amanah dalam jiwa ummah maka lahirlah insan yang jujur kepada Allah, diri sendiri dan orang lain sekaligus terhindar daripada segala unsur penipuan, penyalahgunaan kuasa dan rasuah. Ingatlah, tanpa jujur dan amanah hancurlah ummah. Konklusinya, tidak tertegak rumah tanpa tiang, tidak tertegak agama tanpa iman, dan tidak tertegak ummah gemilang tanpa peribadi unggul.Justeru hiasi diri dengan senyuman, hiasi masyarakat dengan peribadi unggul, pasti cerialah hidup. Meniti wacana fikrah saya yang keempat : ketinggian akidah nucleus solidarity dan perpaduan ummah Tema ukhuwwah dan perpaduan bukanlah satu isu lapuk yang dibiarkan diatas lantai sejarah, bahkan islam telah menobatnya mengisi tampuk keutamaan dan menjadi prinsip asas islam. Kerana itulah Allah menyeru umat islam agar terus mempertahankan kesatuan ummah yang ada sebagaimana firmannya dalam surah al hujurat ayat 10. Sebenarnya orang-orang Yang beriman itu adalah bersaudara, maka damaikanlah di antara dua saudara kamu (yang bertelingkah) itu; Lihatlah betapa damai dan utuhnya perpaduan ini andai dibina atas paksi akidah yang jelas. Marilah kita menyorot generasi awal para sahabat yang mendapat asuhan langsung dari rasul tercinta, berkumpul dibawah bumbung masjid nabawi dengan penug integrasi tanpa ada sekelumit rasa perbezaan taraf dan warna kulit. Beitulah kekuatan madinah yang dipersaudarakan nabi dalam elemen pembentukan kota bercahaya ini dan kiaskan lah bagaimana negara kita cuba mempraktikkannya dalam penubuhan sekolah wawasan yang berkongsi misi dan usaha untuk terus gemilang bersama perpaduan dan keamanan. Tuntasnya integrasi nasional berpaksikan agama teras kegemilangan ummah. Menuntun bicara hujah saya yang kelima ; keagungan akidah pencetus semangat jihad dan pengorbanan. Dengarlah ayat 41 surah at-Taubah 41. Pergilah kamu beramai-ramai (untuk berperang pada jalan Allah), sama ada Dengan keadaan ringan ataupun Dengan keadaan berat; dan berjihadlah Dengan harta benda dan jiwa kamu pada jalan Allah ayat ini secara jelas merupakan satu slogan bagaimana kejayaan umat islam kini dieksprementasikan melalui usaha dan jihad yang berterusan dalam semua lapangan samada ekonomi, kesihatan, pembangunan mahupun ketenteraan. Dan bagaimana umat terdahulu persis saidina khalid alwalid dan solahuddin al ayubi mampu menjadi penakluk dunia dan benteng terampuh menjaga keselamatan agama. Juga persis Abdrahman bin auf melancarkan jihad ekonomi dalam memecahkan monopoli ekonomi kapitalis yahudi penjajah di madinah 14 dekad yang lalu. ironinya kekuatan jihad merupakan aspirasi ummah dan daulah berwibawa. Wacana fikrah keenam “Insan Berdaya Saing Teras Ummah Gemilang “ Kepercayaan yang teguh terhadap Qadha’ dan Qadar mencetuskan muslim yang gigih berusaha, berdaya saing serta tidak menyalahkan takdir semata-mata menjadikan mereka berdiri sama tinggi, duduk sama sebaris dengan bangsa lain. Keazaman membara serta keyakinan yang tinggi kepada Allah menjadi kunci kejayaan Datin Paduka Mazlina ,wanita pertama di dunia belayar secara solo di Benua Antartika ,namanya gah terukir dipersada dunia. Ini bertepatan dengan seruan Allah: ( الخيرات -Ertinya: Dan berlumba ( فاستبقواlumbalah kamu melakukan kebaikan Sebagai contoh, imbau masa lampau, lantaran suburnya sifat berdaya saing serta berlumba-lumba dalam penerokaan ilmu muncullah nama besar seperti Ibnu Sina perintis ilmu matematik, al Khawarizmi perintis ilmu astronomi serta Ibnu Batuta ahli pelayaran tekemuka. Nama mereka meniti dibibir sepanjang zaman.Justeru, marilah kita suburkan sifat juang serta daya saing yang tinggi untuk kita berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain. Konklusi dari hujahan saya tadi, ummah yang gemilang perlu menrealisasikan gagasan islamisasi ilmu dan pemikiran islam mereka kepada ketamadunan dan peradaban ulung berteraskan iman an taqwa dan paradigma yang dibawa oleh alquran dan sunnah. Akhirnya : Indah mawar kembang bersemi , izinkan saya
mengundur diri Dengan lafaz yang mulia ”Wabillahi Taufiq wal hidayah Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
top related