belajar adalah : ”suatu aktivitas dan...
Post on 31-May-2019
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hakekat Hasil Belajar Matematika
2.1.1.1 Pengertian Belajar
Winkel (Eriyani, 2011:7) mengemukakan belajar adalah : ”suatu aktivitas
mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, dan nilai-nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan
dan berbekas”.
Jihad (2010:14) belajar merupakan suatu proses dari seseorang yang
berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif
menetap. Dalam kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional, biasanya guru
menetapkan tujuan belajar. Siswa yang berhasil dalam belajar adalah yang
berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional.
Slameto (2010:2) mengemukakan belajar ialah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.
Seels dan Rita (Iryani, 2010:6), belajar juga diartikan sebagai perolehan
perubahan tingkah laku yang relatif permanen dalam diri seseorang mengenai
pengetahuan atau tingkah laku karena adanya pengalaman. Hal ini senada dengan
pendapat Bower & Ernes (Iryani, 2010:6) bahwa belajar diartikan sebagai
perubahan tingkah laku yang relatif permanen dan tidak disebabkan oleh adanya
kedewasaan.
Pengertian belajar sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Slameto
(2010), belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
9
Belajar sebagai proses adalah kegiatan yang dilakukan secara sengaja
melalui penyesuaian tingkah laku dirinya guna meningkatkan kualitas kehidupan.
Sedangkan belajar sebagai hasil adalah akibat dari belajar sebagai proses,
sehingga seseorang yang telah mengalami proses belajar akan memperoleh hasil
berupa kemampuan terhadap sesuatu yang menjadi hasil belajar.
2.1.1.2 Pengertian Hasil Belajar Matematika
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
siswa menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley (Sudjana, 2001:21)
membagi tiga macam hasil belajar, yaitu (a) ketrampilan dan kebiasaan, (b)
pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita, yang masing-masing
golongan dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah.
Menurut Hamalik (Jihad, 2010:14) hasil belajar adalah bila seseorang telah
belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari
tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Azwar (Febriana, 2010) hasil belajar ranah kognitif berkenaan dengan hasil
belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan,
pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek utama disebut
kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat
tinggi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah
psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan
bertindak yang terdiri dari enam aspek, yakni gerakan refleks, ketrampilan
gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan dan ketepatan, gerakan
ketrampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif. Disamping itu
hasil belajar dapat dioperasionalisasikan dalam bentuk indikator-indikator berupa
nilai rapor, indeks prestasi studi, angka kelulusan, dan predikat keberhasilan.
Hasil belajar ini diperoleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar.
Untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil belajar siswa atau kemampuan siswa
dalam suatu pokok bahasan guru biasanya mengadakan tes hasil belajar. Hasil
10
belajar dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh siswa setelah mengikuti
suatu tes hasil belajar yang diadakan setelah selesai program pengajaran.
Evrieta (2010) hasil belajar matematika siswa merupakan suatu indikator
untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran matematika.
Pengertian hasil belajar matematika sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Evrieta yaitu suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses
pembelajaran matematika.
2.1.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Slameto (2010:54) Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu:
1. Faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor individu
(intern), yang meliputi : (1). Faktor biologis, meliputi: kesehatan, gizi,
pendengaran, dan penglihatan. Jika salah satu dari faktor biologis terganggu
akan mempengaruhi hasil prestasi belajar, (2). Faktor Psikologis, meliputi:
intelegensi, minat dan motivasi serta perhatian ingatan berfikir, (3). Faktor
kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan rohani. Kelelahan jasmani
nampak dengan adanya lemah tubuh, lapar dan haus serta mengantuk.
Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan
kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk mengahasilkan sesuatu akan
hilang.
2. Faktor yang ada pada luar individu yang disebut dengan faktor ekstern, yang
meliputi: (1). Faktor keluarga. Keluarga adalah lembaga pendidikan yang
pertama dan utama. Merupakan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil
tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar. (2). Faktor
Sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan
siswa, siswa dengan siswa dan berdisiplin di sekolah. (3). Faktor
Masyarakat, meliputi: bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat
mempengaruhi prestasi belajar siswa. Jika lingkungan siswa adalah
lingkungan terpelajar maka siswa akan terpengaruh dan mendorong untuk
lebih giat belajar.
11
Sudjana (Mahardika, 2011) Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar
siswa adalah:
a. Faktor intern, yaitu faktor yang terdapat dalam diri individu itu sendiri,
antara lain ialah kemampuan yang dimilikinya, minat, motivasi, dan
faktor-faktor lain.
b. Faktor ekstern, yaitu faktor yang berada di luar individu diantaranya
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar di atas dapat
dikaji bahwa salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar adalah
metode guru dalam mengajar (metode pembelajaran) seperti yang dikemukakan
oleh Slameto (2010). Sehingga perlu diperhatikan oleh pengajar atau guru bahwa
penerapan metode dalam pembelajaran sangat menentukan hasil belajar siswa.
2.1.2 Problem Based Learning (PBL)
2.1.2.1 Pengertian PBL
Pengertian metode problem based learning (PBL) menurut Amir (2008:21)
ialah lingkungan belajar yang didalamnya menggunakan masalah yaitu sebelum
belajar mempelajari suatu hal, mereka diharuskan mengidentifikasi masalah, baik
yang dihadapi secara nyata maupun telaah kasus. Masalah diajukan sedemikian
rupa sehingga siswa menemukan kebutuhan belajar yang diperlukan agar mereka
dapat memecahkan masalah tersebut.
Metode problem based learning ini melatih dan mengembangkan
kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik
dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat
tinggi. Kondisi yang tetap harus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka,
negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat
berpikir optimal. Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi
(analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, sintesis,
generalisasi, dan inkuiri.
12
2.1.2.2 Karakteristik PBL
Problem Based Learning (PBL) dirancang dalam masalah-masalah yang
menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat meraka mahir
dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki
kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan
pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah atau menghadapi
tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dalam kehidupan sehari-hari.
Karakteristik yang tercakup dalam proses PBL menurut Amir (2008:22-23):
1) Masalah yang digunakan sebagai awal pembelajaran.
2) Biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata
yang disajikan secara ngambang (ill-stuctured).
3) Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk (multiple perspektive).
4) Masalah membuat siswa tertantang untuk mendapat pembelajaran di
ranah pembelajaran yang baru.
5) Sangat mengutamakan belajar mandiri (selt directed learning).
6) Memanfaatkan sumber belajar yang bervariasi, tidak dari satu sumber
saja. Pencarian, evaluasi serta penggunaan pengetahuan ini menjadi
kunci penting.
7) Pembelajaran kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Pembelajar
bekerja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan (peer
teaching), dan melakukan presentasi.
2.1.2.3 Langkah-langkah PBL
Proses PBL menurut Amir (2009:24-25) akan dapat dijalankan dalam
pembelajaran dengan 7 langkah diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas.
2) Merumuskan masalah.
3) Menganalisis masalah.
4) Menata gagasan dan secara sistematis menganalisis lebih mendalam.
5) Menformulasikan tujuan pembelajaran.
13
6) Mencari informasi tambahan dari sumber yang lain (di luar diskusi
kelompok).
7) Mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru, dan membuat
laporan untuk guru.
Adapun langkah-langkah pembelajaran PBL adalah sebagai berikut:
1. Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai dan menyebutkan sarana
atau alat pendukung yang dibutuhkan.
2. Guru memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah
yang telah dipilih.
3. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik,
tugas, jadwal, dsb).
4. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah,
pengumpulan data, hipotesis, dan pemecahan masalah.
5. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang
sesuai seperti laporan dan membantu mereka dalam berbagi tugas dengan
temannya.
6. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap
proses-proses belajar.
7. Kesimpulan/penutup.
2.1.2.4 Tahap-tahap PBL
Menurut Jatmiko (Solikhin, 2011:10) menegaskan ada lima tahap dalam
pembelajaran PBL yaitu : (1) orientasi siswa pada masalah, (2)
mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) membimbing individual maupun
kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan (5) menganalisis
dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Menurut Arends (Mahardika, 2011), pelaksanaan model pembelajaran
berdasarkan masalah meliputi lima tahap yaitu:
1. Orientasi siswa terhadap masalah autentik
14
Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa
agar terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah, dan mengajukan
masalah.
2. Mengorganisasi peserta didik
Pada tahap ini guru membagi peserta didik ke dalam kelompok, membantu
peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah.
3. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
yang sesuai, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya/diskusi
Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan membantu
mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Pada tahap ini guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau
evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan.
Secara singkat kelima tahapan pembelajaran PBL adalah seperti pada tabel
2.1 berikut ini.
Tabel 2.1Tahap-tahap pembelajaran problem based learningTahap Tingkah laku guruTahap I
Orientasi siswa pada masalahGuru menjelaskan tujuan pembelajaran, memotivasisiswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yangdipilihnya.
Tahap IIMengorganisasi siswa untuk
belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan danmengorganisasikan tugas belajar yang berhubungandengan masalah tersebut.
Tahap IIIMembimbing penyelidikan
individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkaninformasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untukmendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap IVMengembangkan dan menyajikan
hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan danmenyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model,dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengantemannya.
Tahap VMenganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atauevaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
15
2.1.2.5 Kelebihan dan Kelemahan PBL
Menurut Endriani (2011) kelebihan Problem Based Learning (PBL) adalah
solving realistik dengan kehidupan siswa, konsep sesuai dengan kebutuhan siswa,
memupuk sifat inquiry siswa, retensi konsep menjadi kuat, memupuk kemampuan
problem solving. Kekurangan Problem Based Learning (PBL) adalah persiapan
pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks, sulitnya mencari problem
yang relevan, sering terjadi mis konsepsi, memerlukan waktu yang cukup panjang.
2.1.3 Konsep Teori Belajar Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan
perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya
bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-
anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi
anak yag mempelajari matematika.
Teori belajar Dienes juga menekankan pada tahapan permainan yang berarti
pembelajaran yang diarahkan pada proses melibatkan anak didik dalam belajar.
Hal ini berarti proses pembelajaran dapat membangkitkan dan membuat anak
didik senang dalam belajar. Oleh karena itu teori belajar Dienes ini sangat terkait
dengan konsep pembelajaran dengan pendekatan PAKEM (Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
Perkembangan konsep matematika menurut Dienes (Somakim, 2007) dapat
dicapai melalui pola berkelanjutan, yang setiap seri dalam rangkaian kegiatan
belajar dari konkret ke simbolik. Tahap belajar adalah interaksi yang direncanakan
antara yang satu segmen struktur pengetahuan dan belajar aktif, yang dilakukan
melalui media matematika yang didesain secara khusus. Menurut Dienes,
permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika dalam permainan
tersebut menunjukkan aturan secara konkret dan lebih membimbing dan
menajamkan pengertian matematika pada anak didik. Dapat dikatakan bahwa
obyek-obyek konkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat
penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik dengan
16
konsep PAKEM. Menurut Dienes (Aisyah dkk, 2008), konsep-konsep matematika
akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-
tahap belajar menjadi beberapa, yaitu:
1. Permainan Bebas (Free Play)
Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan
konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap
belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak
didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan
anak muncul, anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam
mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya
dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-
konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat
dari benda yang dimanipulasi.
2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-
pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini
mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang
lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi dengan melalui
permainan diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur
matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam
konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan
memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang
dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik
memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam
pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu.
Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk
kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk
kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam
membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman
terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang
tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning).
17
3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan
menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk
melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan
mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain.
Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam
permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block
logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal,
anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam
kelompok tersebut (anggota kelompok).
4. Permainan Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang
sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu.
Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam
situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat
abstrak. Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika
yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal
segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif.
5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan
kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan
menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai
contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif
tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu
poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap
ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian
merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah
mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus
18
mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut.
Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika
seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan
aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut. Karso (Aisyah dkk, 2008)
menyatakan, pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan
teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah
mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-
konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan
operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya
elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem
matematika.
Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan
lainnya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability),
sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-
beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang
disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya
manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel matematika. Variasi
matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah
konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep lain. Dengan demikian, semakin
banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin
jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut.
Kelebihan teori belajar Dienes adalah:
1) Dengan menggunakan benda-benda konkret, siswa dapat lebih memahami
konsep dengan benar.
2) Suasana belajar akan lebih hudup, menyenangkan, dan tidak membosankan.
3) Dominasi guru kurang dan siswa lebih aktif.
4) Konsep yang lebih dipahami dapat lebih mengakar karena siswa
membuktikannya sendiri.
5) Dengan banyaknya contoh dengan melakukan permainan siswa dapat
menerapkan kedalam situasi yang lain.
19
Teori belajar Dienes bersumber pada teori perkembangan Piaget yang
membagi manusia dalam beberapa tahap perkembangan yang telah dikembangkan
kembali oleh Dienes yang diorientasikan pada anak-anak, sehingga menjadi lebih
menarik untuk anak-anak. Sesuai dengan teori yang diungkapkan Dienes maka
siswa akan lebih memahami pembelajaran matematika jika diajarkan
menggunakan benda-benda nyata dan dalam bentuk permainan.
2.1.4 Teori Belajar Dienes Dalam Problem Based Learning
Dutch (Amir, 2008:21) mengemukakan PBL merupakan metode
intruksional yang menantang siswa agar “belajar untuk belajar”, bekerja sama
dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata. Masalah ini
digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis siswa
dan inisiatif atas materi pelajaran. PBL mempersiapkan siswa untuk berpikir kritis
serta analitis, dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang
sesuai.
Pembelajaran dengan metode problem based learning yang didasari pada
pemberian masalah pada awal pembelajaran memang dapat menumbuhkan
kemampuan siswa dalam pemecahan masalah khususnya matematika. Tetapi
pembelajaran dengan pendekatan problem based learning cenderung akan
membuat siswa menjadi bingung dan susah dalam pembelajaran tersebut jika
tidak mendesain pembelajaran dengan menarik bagi siswa. Hal ini terjadi karena
pengemasan pembelajaran masih bersifat kaku dan umum. Maka metode ini dapat
dikembangkan agar lebih menyenangkan untuk siswa dan pembelajaran lebih
optimal.
Metode pembelajaran ini dapat dikembangkan dengan teori belajar Dienes
yang mengutamakan pembelajaran menggunakan benda konkret sebagai
medianya dan permainan dalam pengemasannya. Dengan mnggunakan benda
konkret, siswa dapat lebih mudah memahami materi yang dipelajari. Hal ini
sesuai dengan pendapat Piaget (Aisyah dkk, 2008) bahwa siswa di sekolah dasar
(7-12 tahun) dalam tahap periode operasional konkret. Pada tahap ini siswa
bekerja menggunakan logika dengan berorientasi ke obyek-obyek atau peristiwa
20
yang dialami siswa, dan berpikir logikanya didasarkan atas manipulasi fisik dari
obyek-obyek. Maka tepat bila pembelajaran dengan metode problem based
learning dikembangkan dengan teori belajar Dienes agar lebih optimal dan
menyenangkan bagi siswa.
2.1.5 Metode Pembelajaran Matematika Mekanistik
Treffer (Evrieta, 2010:21), mengatakan bahwa metode matematika
mekanistik merupakan metode yang didasarkan pada apa yang diketahui dari
pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam
metode ini manusia dianggap sebagai komputer atau mesin. Dalam metode
matematika mekanistik proses pembelajaran cenderung dipisahkan dan tidak
terjadi kegiatan siswa berupa proses bermatematika secara horisontal dan vertikal.
Pada umumnya, sebagian guru ketika mengajar matematika akan melalui
proses pembelajaran suatu topik dengan membahas definisi, lalu membuktikan
atau hanya mengumumkan kepada para siswa rumus-rumus yang berkaitan
dengan topik tersebut, diikuti dengan membahas contoh-contoh soal, dan diakhiri
dengan meminta para siswanya untuk mengerjakan soal-soal latihan. Dengan
pembelajaran seperti itu, para guru akan mengontrol secara penuh materi serta
metode penyampaiannya. Akibatnya, proses pembelajaran matematika di kelas
menjadi proses mengikuti langkah-langkah, aturan-aturan, serta contoh-contoh
yang diberikan oleh guru.
Suryanto (Evrieta, 2010:22) mengemukakan metode matematika mekanistik
yaitu metode matematika yang berfokus pada prosedur penyelesaian soal. Metode
matematika mekanistik memecah isi pembelajaran menjadi bagian kecil yang
tidak bermakna dan berisi latihan menyelesaikan soal yang terpisah. Pada
pembelajaran ini masalah atau soal realistik juga kadang digunakan dalam
pembelajaran, namun biasanya hanya pada bagian akhir pembelajaran sebagai
suatu contoh atau soal-soal penerapan dari materi matematika yang telah
dipelajari.
Treffers (Evrieta, 2010:23) mengatakan, karakteristik metode matematika
mekanistik adalah sebagai berikut:
21
1. Belajar bukan sebagai proses kontruksi melainkan proses reproduksi.
Pelajaran tidak didasarkan pada orientasi konkret, tetapi setiap kali dimulai
dengan tahap aritmetika formal.
2. Proses belajar tidak mengenal tahap formalisasi, sehingga tidak ada
jembatan antara kegiatan berkonteks yang informal dan pelajaran formal.
3. Refleksi siswa kurang diperhatikan. Masalah disajikan secara khas, yaitu
berupa soal simbolik dan cerita murni, tidak ada kesempatan untuk
produksi bebas, tidak ada soal yang mengandung konflik, dan tidak ada
soal yang informasinya dicari sendiri oleh siswa.
4. Pelajaran bersifat individual, tidak mengandung konteks sosial dan
interaksi.
5. Keterkaitan antara materi matematika dan keterkaitan dengan realitas
kurang ditekankan.
2.2 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan yang berkaitan dengan Problem Based Learning
(PBL) yaitu Febriana (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan
Problem-Based Learning Pokok Bahasan Bangun Ruang Untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SDN Kauman lor 01 Kecamatan
Pabelan Kabupaten Semarang” hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan
problem-based learning dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan
hasil belajar siswa. Dari total nilai yang didapat, siswa dengan nilai ≥ 60 pada
kondisi awal ada 15 siswa (50%) dengan mean 63,4, lalu pada siklus I, 28 siswa
(93%) dengan mean 65,67. Kemudian meningkat pada siklus II mean 89 ada 29
siswa (97%) dengan nilai ≥ 60. Keberhasilan tersebut terjadi karena adanya
perubahan pada siswa yaitu (1) siswa mampu mengorientasi masalah, (2) siswa
mampu membentuk kelompok untuk berdiskusi, (3) siswa mampu menyelidiki
masalah baik secara individu maupun kelompok, (4) siswa mampu
mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi kelompok, dan (5) siswa mampu
menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
22
Wahyudi (2011), dalam penelitiannya yang berjudul “Peningkatan
Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Melalui Penerapan Problem-Based
Learning Dalam Pembelajaran Matematika” hasil penelitian yang
mengemukakan bahwa penerapan problem-based learning dalam pembelajaran
matematika dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal
cerita matematika. Peningkatan ini terlihat dari kemampuan siswa menggunakan
logika/penalarannya secara benar dalam mengerjakan soal cerita, sehingga siswa
mampu memahami, merencanakan penyelesaian, dan menyelesaikan soal
dengan langkah dan aturan yang benar sehingga hasil belajar siswa meningkat.
Dari total nilai yang didapat siswa dengan nilai ≥ 70 pada kondisi awal ada 8
siswa (30,77%) dengan mean 62,20 meningkat menjadi 26 siswa (100%) dengan
mean 88,34. Keberhasilan tersebut karena adanya perubahan pada
partisipasi/keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran, yang sudah
mampu mengidentifikasi masalah dan menggali sumber informasi yang relevan,
belajar mandiri, menyelidiki dan menginterpretasi informasi yang terkumpul,
memprioritaskan beberapa alternatif solusi masalah, mengintegrasikan pendapat
atau data informasi untuk menyeleksi solusi masalah.
Mahardika (2011), dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan
Pendekatan Problem-Based Learning pada Mata Pelajaran IPA Pokok Bahasan
Energi Bunyi untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV
SDN 1 Kranggan Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung Tahun
Pelajaran 2010/2011” menunjukkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini
adalah terjadi peningkatan motivasi dan hasil belajar siswa. Siklus I aspek
motivasi belajar dengan dengan kategori baik hanya aspek perasaan senang dan
kemauan, sedangkan pada siklus II semua aspek motivasi belajar masuk kategori
baik. Dan hasil belajar siswa juga terjadi peningkatan dengan kriteria ketuntasan
minimal yang telah ditetapkan yaitu ≥ 70. Dari siswa yang berjumlah 41 anak,
sebelum diadakan penelitian 20 siswa yang tuntas dengan persentase 49%, pada
siklus I siswa tuntas dalam belajar berjumlah 36 anak dengan persentase 87,8%
dan pada siklus II siswa tuntas dalam belajar berjumlah 41 anak dengan
persentase 100%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan
23
pendekatan problem-based learning dapat meningkatkan motivasi dan hasil
belajar siswa kelas IV SD N 1 Kranggan Kecamatan Kranggan Kabupaten
Temanggung Tahun Pelajaran 2010/2011.
Solikhin (2011), dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Problem-
Based Learning (PBL) Terhadap Pencapaian Prestasi Belajar Matematika Siswa
Kelas V Gugus Kartini Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga Semester II Tahun
Pelajaran 2010/2011” mengemukakan bahwa hasil penelitian menunjukkan tidak
ada pengaruh Problem Based Learning (PBL) terhadap prestasi belajar yang
ditunjukkan dengan THitung > TTabel (-0,116<2,311), maka H0 diterima. Temuan
penelitian ini bertolak belakang dengan temuan yang dilakukan oleh Suci (2006)
dan Kusumaningsih (2008).
2.3 Kerangka Pikir
Aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru tidak sesuai dengan tujuan
pembelajaran matematika. Materi yang disampaikan hanya berupa informasi yang
lebih mengaktifkan guru, sedangkan siswa pasif mendengarkan dan menyalin
dalam buku catatan. Hal ini disebabkan oleh tuntutan kurikulum yang lebih
menekankan pada pencapaian target. Artinya, semua bahan harus selesai diajarkan
dan bukan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika. Akhirnya
terjadilah proses penghafalan konsep atau prosedur. Pemahaman konsep
matematika rendah, dan tidak dapat digunakan untuk permasalahan kompleks
yang melibatkan tingkat pemahaman dan logika berpikir yang lebih tinggi.
Dengan rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep matematika
mengakibatkan hasil belajar yang tidak memuaskan.
Salah satu metode yang digunakan untuk membantu siswa dalam
pemahaman konsep adalah metode pembelajaran problem based learning (PBL)
dengan teori Dienes. Woods (Amir, 2009) menyebutkan PBL lebih dari sekedar
lingkungan yang efektif untuk mempelajari pengetahuan tertentu. PBL dapat
membantu siswa membangun kecakapan sepanjang hidupnya dalam memecahkan
masalah, kerjasama tim, dan berkomunikasi. Sehingga hasil belajar dapat
24
meningkat dengan keaktifan siswa dalam pembelajaran dan pembelajaran lebih
bermakna. Perhatikan bagan 2.1 kerangka berpikir berikut.
Bagan 2.1 Kerangka Pikir
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori, kajian penelitian yang relevan, dan kerangka
berpikir yang telah diuraikan di atas maka hipotesis awal dirumuskan sebagai
berikut:
2.4.1 Hipotesis Deskriptif
Secara rinci hipotesis deskriptif yang diajukan adalah sebagai berikut: ada
perbedaan hasil belajar matematika siswa yang diajar menggunakan metode
pembelajaran problem based learning dengan teori Dienes dan metode
pembelajaran mekanistik, pada siswa kelas IV di SDN Mangunsari 04 dan 07.
2.4.2 Hipotesis Statistik
Secara statistik hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. H0 : µeksperimen = µkontrol
Tidak ada perbedaan hasil belajar yang diajar metode pembelajaran
problem based learning dengan teori Dienes dan metode pembelajaran
mekanistik, pada siswa kelas IV di SDN Mangunsari 04 dan 07.
Pembelajaran berpusatpada guru, siswa
menjadi tidak aktif
Rendahnya hasilbelajar siswa
Metode pembelajaran problembased learning (PBL) denganteori Dienes membuat siswa
menjadi aktif
Meningkatnya hasilbelajar siswa
25
b. H1 : µeksperimen = µkontrol
Ada perbedaan hasil belajar yang diajar metode pembelajaran problem
based learning dengan teori Dienes dan metode pembelajaran
mekanistik, pada siswa kelas IV di SDN Mangunsari 04 dan 07.
top related