batas landas kontinen indonesia bertambah
Post on 23-Jun-2015
792 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Batas Landas Kontinen Indonesia bertambah, seluas 4.209 kilometer persegi
Tepat pada tanggal 17 Agustus 2010 jam 12.45 Waktu New York, Setelah melalui perjalanan
panjang, akhirnya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), melalui CLCS (Commission on the Limits
of Continental Shelf) dapat menerima submisi Indonesia atas hak kedaulatannya di dasar laut di
wilayah di luar 200 mil laut (NM). Wilayah baru yang menjadi bagian yurisdiksi Indonesia adalah
di bagian Barat Aceh seluas kurang-lebih 4.209 km2.
Submisi wilayah di luar 200 mil laut (Extended Continental Shelf-ECS) ini berhak dilakukan
Indonesia sebagai negara pihak terhadap UNCLOS, dimana Indonesia telah meratifikasi UNCLOS
1982 melalui UU No. 17 tahun 1985. Sebagai negara pantai sesuai ketentuan Pasal 76 UNCLOS
1982, Indonesia telah menggunakan haknya dengan baik untuk mensubmisi landas kontinen di luar
200 mil laut.
Untuk mendukung keperluan submisi tersebut, data ilmiah survei dan pemetaan telah dibina oleh
Indonesia sejak tahun 2003 yang dikoordinasikan oleh. Bakosurtanal dan didukung instansi-instansi
BPPT, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, LIPI, Dinas Hidrografi TNI AL,
dan Kementerian Luar Negeri. Diawali dengan pengkajian Desktop Study berdasarkan data global
yang dilakukan para ahli Indonesia untuk menentukan lokasi-lokasi potensial untuk submisi landas
kontinen diluar 200 NM. Studi tersebut menghasilkan tiga lokasi potensial yaitu: di sebelah Barat
Sumatera, di Selatan NTB dan di Utara Papua.
Selanjutnya hasil studi yang menggunakan data global tersebut harus dipertajam dan dilengkapi
dengan bukti-bukti ilmiah sesuai panduan submisi dari CLCS, maka Bakosurtanal bersama BPPT,
LIPI, Kementerian ESDM dan Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan survei seismik di
sebelah Barat Aceh pada tahun 2006 menggunakan kapal riset Sonne, dan pada bulan Februari 2010
menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya.
Pada tahun 2008, Indonesia berhasil menuntaskan dokumen submisi tahap pertama yang berisikan
hasil-hasil kajian dan analisis berbagai data hasil survei, yang menjadi dokumen submisi untuk
LKI di luar 200 NM di perairan sebelah Barat Aceh. Dokumen tersebut diterima oleh PBB pada
tanggal 25 Juni 2008, dan dibahas pada sidang bulan Mei 2009. Akhirnya pada sidang pleno CLCS
tanggal 17 Agustus 2010, submisi Indonesia diterima dengan baik, dan dengan demikian batas
wilayah landas kontinen Indonesia bertambah seluas 4.209 kilometer persegi.
Ini adalah prestasi besar bangsa Indonesia, dan patut dibanggakan. Sebagai negara besar dengan
kemampuan sumberdaya dan teknologi survei dan pemetaan yang masih terbatas, kita telah
mendapat pengakuan internasional. Dukungan data survei dan pemetaan hasil kerjasama beberapa
lembaga pemerintah yang tertuang di dalam dokumen sumbmisi, adalah bukti kemampuan survei
dan pemetaan bangsa Indonesia tidak kalah jika dibandingkan dengan negara-negara maju.
Permasalahan batas wilayah pun tidak berhenti hingga di sini. Penyelesaian batas-batas wilayah
dengan negara-negara tetangga masih menjadi ‘PR’ panjang bangsa Indonesia, dan memerlukan
komitmen tinggi dari bangsa Indonesia sehingga kedepan diharapkan dukungan optimal bukan
hanya dari Pemerintah, tapi juga dari Parlemen untuk dapat menyelesaikan submisi landas kontinen
diluar 200 NM tahap ke II dan seterusnya.
Tiga Lapis "Pagar" untuk Malaysia
Konflik perbatasan Indonesia-Malaysia terjadi di daerah ”abu-abu” yang belum disepakati kedua
pihak. Indonesia selesai menetapkan batas wilayah tahun 1999, dengan menerapkan teknik survei
pemetaan mutakhir yang mengacu pada the United Nations Convention on the Law of the Sea.
Indonesia negeri yang unik. Daratannya berupa belasan ribu pulau besar-kecil, sedangkan
perairannya meliputi 60 persen total wilayah atau 3.257.483 kilometer persegi. Cakupan laut seluas
ini hampir menyamai daratan India. Panjang bentang wilayahnya lebih dari 7.365 kilometer, nyaris
sama dengan bentangan daratan Amerika Serikat.
Memiliki kondisi geografis didominasi laut yang relatif dangkal, Indonesia—yang dijuluki Benua
Maritim—dipagari oleh tiga jenis batas wilayah laut, yaitu Batas Laut Teritorial, Landas Kontinen,
dan Zona Ekonomi Eksklusif. Penetapan tiga batas wilayah maritim ini diatur dalam the United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) I dan III.
Pada Batas Laut Teritorial yang berjarak 12 mil laut dari garis pangkal, negara memiliki kedaulatan
penuh atas wilayah itu. Apabila ada kapal asing yang masuk, misalnya, petugas keamanan berhak
menangkap bahkan menenggelamkan.
Pada Landas Kontinen yang berjarak 200 mil dari garis pangkal, negara berdaulat untuk mengelola
sumber daya alam di bawah dasar laut, seperti sumber tambang. Namun, bisa mengklaim
penambahan zona ini apabila menemukan sedimen di dasar pulau yang dibuktikan secara ilmiah
memenuhi ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pada Zona Ekonomi Eksklusif yang berjarak 200 mil dari garis pangkal, negara memiliki
kedaulatan eksklusif untuk pemanfaatan sumber daya di kolom air hingga ke permukaannya.
Survei kelautan
Bagi Indonesia yang memiliki wilayah perairan yang luas, proses pemetaan maritim untuk
memenuhi ketentuan PBB tersebut bukanlah hal yang mudah. Untuk pengukuran batas di laut,
diperlukan teknik survei yang berbeda dan kapal riset yang dilengkapi peralatan yang mendukung.
Survei pemetaan batas laut di Indonesia, tutur Sobar Sutisna, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), dilakukan pihaknya dengan
menggunakan Kapal Baruna Jaya II milik BPPT (Badan Pengkajian Penerapan Teknologi) tahun
1996 hingga 1999. Survei ini mendapat bantuan teknis dari Norwegia.
Peralatan yang digunakan antara lain penginderaan jauh dengan sistem radar dan laser dari udara.
Adapun untuk memantau batimetri di dasar laut menggunakan sistem sonar (multibeam
echosounder). Sistem sonar ini dapat menjangkau kedalaman hingga 7.000 meter.
Dengan sarana ini dilakukan survei ke pulau-pulau terluar di wilayah Nusantara. Di pulau terluar
kemudian ditetapkan titik dasar terluar. Antara titik itu lalu ditarik garis pangkal geografis. ”Selama
tiga tahun survei dihasilkan lebih dari 230 titik dasar di 120 pulau terluar,” kata Sobar.
Perundingan batas maritim
Menggunakan peta batas wilayah yang telah disusun itu, Indonesia kemudian mengadakan
perundingan dengan 10 negara tetangga. Awal perundingan tahun 1970-an, dilakukan dengan
Singapura dan Malaysia. ”Hingga kini, Indonesia telah memiliki 18 perjanjian batas maritim dengan
negara tetangga,” ujar Asep Karsidi, Kepala Bakosurtanal.
Dari seluruh batas wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, batas terpanjang memang
dengan Malaysia. Perundingan batas wilayah maritim Indonesia-Malaysia, sejak terhenti pada awal
2009, akan dimulai lagi pada Senin (6/9) di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Perundingan akan
membahas semua batas wilayah laut yang belum disepakati yang terdiri atas Zona Ekonomi
Eksklusif, Batas Laut Teritorial, dan Landas Kontinen.
Saat ini sebagian besar Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen telah disepakati, baik oleh
Indonesia maupun Malaysia. Persetujuan Batas Laut Teritorial telah mencapai lebih dari 80 persen,
tetapi yang belum disepakati adalah 20 persen, yaitu sepanjang hampir 50 mil laut atau 92,6
kilometer.
Di bagian barat, daerah ”abu-abu” itu berada di selatan Selat Malaka, daerah antara Johor dan Pulau
Bintan, serta perairan dekat Batu Puteh di timur Singapura. Di perairan Kalimantan batas yang
belum disepakati ada di Tanjung Datuk yang berhadapan dengan Laut China Selatan dan Pulau
Sebatik di Laut Sulawesi.
Landas Kontinen yang sudah disepakati mencapai lebih dari 95 persen, atau masih menyisakan
batas berjarak kurang dari 100 mil atau 185,2 kilometer, yaitu di Ambalat Laut Sulawesi.
Namun, hingga kini Zona Ekonomi Eksklusif di perbatasan kedua negara belum ada satu pun yang
disepakati. Padahal, kawasan ini memiliki arti penting bagi aspek ekonomi karena Zona Ekonomi
Eksklusif mengandung potensi perikanan dan nilai strategis dari aspek transportasi laut.
”Perundingan pada September mendatang kemungkinan akan berlangsung alot dan memakan waktu
lama,” ujar Sobar, selain karena kepentingan ekonomi, juga karena suasana politis yang sedang
menghangat.
Perundingan Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen dilaksanakan setelah keluarnya UNCLOS I
tahun 1958. Perundingan Indonesia-Malaysia untuk dua batas itu dilaksanakan sejak tahun 1969
hingga 1972.
Adapun ketetapan tentang Zona Ekonomi Eksklusif baru dikeluarkan pada UNCLOS III tahun
1982. Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia mencapai total
1.200 mil atau 2.222 kilometer. ”Zona sepanjang ini belum ada yang disepakati,” ujar Sobar. Zona
itu meliputi garis sepanjang 300 mil laut di Selat Malaka, 800 mil laut di Laut China Selatan, dan
sekitar 100 mil laut di Laut Sulawesi.
”Di antara perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif tersebut yang sering menimbulkan konflik ada di
Selat Malaka. Karena Malaysia menarik garis masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif
yang ditetapkan Indonesia hingga sejauh 9 mil,” papar Sobar.
Menghadapi kondisi belum adanya kesepakatan batas wilayah di beberapa titik di Selat Malaka,
Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi, Indonesia perlu mengintensifkan patroli lautnya di tiga
kawasan itu.
Sengketa Wilayah: RI Berhak untuk Tegas
Dalam sengketa perbatasan wilayah dengan Malaysia, Indonesia tidak selayaknya bersikap lembek.
Karena kuncinya ada dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS, yang justru merupakan
hasil perjuangan para diplomat kawakan kita pada masa lalu.
Mengherankan bila dalam ingar-bingar masalah penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan
dan Perikanan dan sengketa perbatasan RI-Malaysia tidak cukup terdengar suara keras dari jajaran
Pemerintah Indonesia mengenai konvensi yang dihasilkan para diplomat Indonesia dengan susah
payah.
Salah satu pokok persoalan terkait sengketa perbatasan laut itu adalah keengganan Malaysia
memperbaiki kembali peta wilayah tahun 1979-nya dengan ketentuan UNCLOS 1982. Padahal,
Malaysia juga meratifikasi kesepakatan hukum laut internasional (UNCLOS) itu. Dengan demikian,
dari sisi ini saja, Indonesia berada di ”atas angin” dan sudah seharusnya menekan Malaysia segera
menyesuaikan diri dengan ketentuan hukum laut PBB itu.
Peta Malaysia bermasalah
Perlu diingat kembali, ketika Malaysia mengumumkan peta wilayahnya pada tahun 1979, negara-
negara tetangga Malaysia, termasuk Indonesia, langsung memprotes peta wilayah itu yang
seenaknya saja mencaplok wilayah negara-negara mereka.
Menurut kebiasaan hukum internasional, sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Perjanjian
Internasional, Keamanan, dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno,
jika klaim atas sebuah wilayah oleh sebuah negara tidak mendapatkan protes dari negara lain,
setelah dua tahun klaim itu dinyatakan sah.
Dalam kasus peta Malaysia 1979, Indonesia, Singapura, Filipina, Vietnam, dan beberapa negara
lainnya langsung memprotes. Dengan demikian, peta Malaysia 1979 tidak punya kekuatan secara
internasional.
Oleh karena itulah, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tunduk apalagi mengakui peta Malaysia
yang bermasalah itu.
Sebaliknya, setelah berlakunya UNCLOS, Indonesia segera menyesuaikan peta wilayah sesuai
ketentuan hukum laut internasional. Sebagaimana negara kepulauan, menurut UNCLOS, Indonesia
mendapatkan sejumlah keistimewaan untuk menarik garis batas wilayahnya sehingga wilayah
negara kepulauan berada dalam satu kesatuan.
Sebagai negara kepulauan, menurut UNCLOS, Indonesia berhak menarik garis di pulau-pulau
terluar sebagai patokan untuk garis batas wilayah kedaulatannya sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 47 UNCLOS. Hal yang sama tidak berlaku untuk Malaysia, yang tidak termasuk kategori
negara kepulauan, tetapi berusaha menempatkan diri sebagai negara kepulauan sehingga bisa
menggunakan keistimewaan sebagai negara kepulauan itu.
top related