bahan internet
Post on 25-Oct-2015
40 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Dalam istilah lingkungan konsep 5 R sudah sering Anda dengar atau mungkin kali ini baru Anda dengar. Konsep 5 R
sendiri berasal dari 5 kata dalam bahasa Inggris yaitu Reduce (Mengurangi), Reuse (Menggunakan kembali),
Recycle(Mendaur Ulang), Replace (Menggunakan kembali) dan Replant (Menanam Kembali).
Istilah – istilah ini sering disebutkan dalam upaya melestarikan lingkungan hidup. Untuk dapat diterapkan, berikut ini
dijelaskan tentang konsep 5 R.
1. Recycle
Recycle atau mendaul ulang adalah kegiatan mengolah kembali atau mendaur ulang. Pada perinsipnya, kegitan ini
memanfaatkan barang bekas dengan cara mengolah materinya untuk dapat digunakan lebih lanjut. Contohnya
adalah memanfaatkan dan mengolah sampah organik untuk dijadikan pupuk kompos.
2. Reuse
Reuse atau penggunaan kembali adalah kegiatan menggunakan kembali material atau bahan yang masih layak
pakai. Sebagai contoh, kantong plastik atau kantng kertas yang umumnya didapa dari hasil kita berbelanja,
sebaiknya tidak dibuang tetapi dikumpulkan untuk digunakan kembali saat dibutuhkan. Contoh lain ialah
menggunakan baterai isi ulang.
3. Reduce
Reduce atau Pengurangan adalah kegiatan mengurangi pemakaian atau pola perilaku yang dapat menguarangi
produksi sampah serta tidak melakukan pola konsumsi yang berlebihan. Contoh menggunakan alat-alat makan atau
dapur yang tahan lama dan berkualitas sehingga memperpanjang masa pakai produk atau mengisi ulang atau refill
produk yang dipakai seperti aqua galon, tinta printer serta bahan rumah tangga seperti deterjen, sabun, minyak
goreng dan lainnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi potensi bertumpuknay sampah wadah produk di rumah
Anda.
4. Replace
Replace atau Penggantian adalah kegiatan untuk mengganti pemakaian suatu barang atau memakai barang alernatif
yang sifatnya lebih ramah lingkungan dan dapat digunakan kembali. Upaya ini dinilai dapat mengubah kebiasaan
seseorang yang mempercepat produksi sampah. Contohnya mengubah menggunakan kontong plastik atau kertas
belanjaan dengan membawa tas belanja sendiri yang terbuat dari kain.
5. Replant
Replant atau penamanan kembali adalah kegiatan melakukan penanaman kembali. Contohna melakukan kegiatan
kreatif seperti membuat pupuk kompos dan berkebun di pekarangan rumah. Dengan menanam beberapa pohon,
lingkungan akanmenjadi indah dan asri, membantu pengauran suhu pada tingkat lingkungan mikro (atau sekitar
rumah anda sendiri), dan mengurnagi kontribusi atas pemanasan global.
Dengan menerapkan konsep 5 R yang telah dibahas, kita dapat ikut serta dalam melestarikan dan memlihara
lingkungan agar tidak rusak atau tercemar.
Baca juga artikel lingkungan di sini:
12 Langkah Sederhana Menghemat Energi
Perkembangan zaman dan kemampuan berfikir manusia dalam menciptakan teknologi memungkinkan kehidupa manusia menjadi
mudah dan nyaman. Keberadaan alat seperti mobil, motor, lampu, televisi, kulkas, kom...
PENGERTIAN LINGKUNGAN HIDUP
Pengertian lingkungan hidup adalah semua benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia atau
makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya. Istilah lingkunga...
Mencintai Lingkungan Hidup Sekitar
Mengapa alam sangat berarti bagi makhluk hidup, terutama manusia? Mengapa kita harus peduli dan mencintai alam? Pertanyaan-
pertanyaan tersebut mingkin terpikirkan di dalam benak kita. Alam sangat bera...
Kerusakan Lingkungan Karena Peristiwa Bencana Alam
Artikellingkunganhidup.com – Menurut penyebabnya, kerusakan lingkungan dapat terjadi akibat peristiwa bencana alam dan factor
manusia. Kali ini kita akan membahas tentang kerusakan lingkungan karen...
Manfaat Air bagi Kehidupan Manusia
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh kita terdiri dari air dan
tidak seorangpun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa ...
Kata Kunci: cara daur ulang, contoh daur ulang, contoh penerapan kon
(http://www.artikellingkunganhidup.com/cara-menerapkan-konsep-5-r.html)
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang mempengaruhi perkembangan
kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung. Lingkungan mempunyai arti penting bagi manusia, dengan lingkungan fisik manusia dapat
menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan materilnya, dengan lingkunganbiologi manusia dapat
memenuhi kebutuhan jasmaninya, dan dengan lingkungan sosial manusia dapat memenuhi kebutuhan
spiritualnya. Lingkungan dipandang sebagai tempat beradanya manusia dalam melakukan segala
aktivitas kesehariannya.
Konsep Pengelolaan Lingkungan
1. Pengelolaan Lingkungan dan Otonomi Daerah
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan, sektor Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Hidup perlu memperhatikan penjabaran lebih lanjut mandat yang
terkandung dari ProgramPembangunan Nasional, yaitu pada dasarnya merupakan upaya untuk
mendayagunakan sumberdaya alam yang dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang
berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal sertapenataan ruang.
Hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development – WSSD) di
Johannesburg Tahun 2002, Indonesia aktif dalam membahas dan berupaya mengatasi kemerosotan
kualitas lingkungan hidup, maka diputuskan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan untuk
kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang dengan bersendikan pada pembangunan
ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan
memperkuat satu sama lain. Pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.
Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak
melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Dengan demikian pengertian pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka. Konsep ini mengandung dua unsur : pertama adalah kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi golongan masyarakat yang kurang
beruntung, yang amat perlu mendapatkan prioritas tinggi dari semua negara. kedua adalah keterbatasan. Penguasaan teknologi dan organisasi sosial harus memperhatikan
keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa depan.
Hal ini mengingat visi pembangunan berkelanjutan bertolak dari Pembukaan Undang – Undang Dasar
1945 yaitu terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; tercapainya
kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa yang cerdas; dan dapat berperannya bangsa Indonesia
dalam melaksankan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Dengan demikian, visi pembangunan yang kita anut adalah pembangunan yang dapat memenuhi
aspirasi dan kebutuhan masyarakat generasi saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan
kebutuhan generasi mendatang. Oleh karena itu fungsi lingkungan hidup perlu terlestarikan.
Kebijakan pembangunan Nasional menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang memadukan
ketiga pilar pembangunan yaitu bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Dalam penerapan prinsip
Pembangunan Berkelanjutan tersebut pada Pembangunan Nasional memerlukan kesepakatan semua
pihak untuk memadukan tiga pilar pembangunan secara proposional. Sejalan dengan itu telah
diupayakan penyusunan Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan
melalui serangkaian pertemuan yang diikuti oleh berbagai pihak. Konsep pembangunan berkelanjutan
timbul dan berkembang karena timbulnya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak
dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan hidup.
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan
pencemaran sertapemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat
kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan
lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan,sumberdaya manusia dan
kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan,informasi serta pendanaan. Sifat
keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa
konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri,
akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan
sektor dan daerah.
Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam
bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat
kepada daerah:
Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan. Membangun hubungan interdependensi antar daerah. Menetapkan pendekatan kewilayahan.
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun
2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam
bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai
pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup :
1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai
potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan
evaluasi,serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah
tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur
data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap
daerah.
2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam
dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalamprogram ini
adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan bakuindustri secara
efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan
konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan
sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah
tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan
hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum
dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan
pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya
kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh
perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan
konsisten.
5. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam
dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan,
perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah
penegakan hukum, oleh sebab itu dalam bagian ini akan dikemukakan hal yang terkait dengan
penegakan hukum lingkungan. Dengan pesatnya pembangunan nasional ang dilaksanakan yang
tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain
adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan
aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan dan mengelola usaha
dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga
menimbulkan permasalahan lingkungan.
Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya
pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk instrumen
alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan
lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu
permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliputi :
Regulasi Perda tentang Lingkungan. Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup. Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan. Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup. Peningkatan kualitas dan
kuantitas sumberdaya manusia. Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang
meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan
pengendalian lingkungan hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya,
penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering
diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik
lingkungan.
Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan
hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.4 Tahun 1982. Namun berdasarkan
pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum
dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, maka dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
diadakan berbagai perubahan untuk memudahkan penerapan ketentuan yang berkaitan dengan
penegakan hukum lingkungan yaitu Undang-undang No 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang
No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diatur lebih lanjut dalam
peraturan pelaksanaanya.Undang-undang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi
lingkungan hidup.
Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat
Pengelolaan Lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh
departemen dan lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab
masing-masing, seperti Undang-undang No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999
tentang kehutanan, UU No. 24 Th 1992 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun
Keputusan Gubernur.
Mengingat kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup dan permasalahan yang bersifat lintas sektor dan
wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi,
sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling
memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai fihak, serta ketegasan dalam
penaatan hukum lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan
serta penaatan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk
mengelola lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan
betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak berhenti pada slogan semata. Namun
demikian fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan
menurunnya kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di lapangan yang
dapat diamati. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dalam era otonomi
daerah antara lain sebagai berikut:
Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimbahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, hidup, demikian juga
ego sektor. Pengelolaan lingkungan hidup sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain Tumpang tindih perencanaan antar sektor. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan lingkungan hidup) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain
Pandanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program pengelolaan lingkungan hidup, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan lingkungan hidup.
Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan lingkungan hidup selain dana yang memadai juga harus didukung oleh sumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup.
Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian; eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang semestinya.
Lemahnya implementasi paraturan perundangan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi dalam implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuannya.
Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan perundangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundangan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat lemah didalam pemberian sanksi hukum.
Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini, perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi dapat juga masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup.
Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
Sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang sering sudah menggunakan teknologi yang
ramah lingkungan secara turun-temurun. Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup
yang terjadi di daerah-daerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifakasi satu per satu, yang
kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin mensejahterakan
masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta di atas maka akan timbul
pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih
diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah kondisi lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah
baik, atau bertambah jelek? Hal ini sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik
tsunami, gempabumi, banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang
menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang mengharapkan itu
semua terjadi. Sebagian bencana alam juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.
Begitu banyaknya masalah yang terkait dengnan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
pembangunan. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses pembangunan yang kurang memperhatikan
aspek lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan
hidup semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan
bahwa kemerosotan lingkungan hidup tekait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin
meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek
lingkungan hidup dengan semestinya.
Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-mana, yang diikuti dengan
timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi
kurang diperhatikan dalam proses pembangunan, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang
lain, dari hal-hal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih
luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.
Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup sudah cukup memadai,
namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan, pelaksanaannya perlu
mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah
termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola
lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan
lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk
kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan
pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.
2. Pengelolaan Lingkungan dan Penegakan Hukum
Penegakan hukum khususnya yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan merupakan faktor yang
sangat menentukan dalam pengelolaan pencemaran logam berat. Walaupun berbagai kebijakan telah
diciptakan dalam rangka mendapatkan lingkungan berkualitas, jika penegakan hukum tidak berjalan
sebagaimana mestinya sasaran yang dicapai akan sia-sia. Selama ini dikenal dua versi definisi
pencemaran, pertama adalah “mengubah menjadi kotor atau tidak murni baik secara seremonial maupun
secara moral”, sedangkan definisi kedua, adalah “secara fisik membuat jadi tidak murni, busuk dan kotor”
(Haslam, 1990). Namun berdasarkan hasil survey dari beberapa definisi pencemaran, Hellawell (1986)
menyimpulkan bahwa pencemaran adalah sebagai “sesuatu (zat atau benda) yang berada dalam tempat
yang salah, pada waktu yang salah, dan jumlah yang salah”. Pencemaran lingkungan memiliki hubungan
yang erat dengan kegiatan manusia, karena itu selama dua abad terakhir ini telah terjadi momentum
peningkatan kerusakan lingkungan secara keseluruhan di permukaan bumi ini sebagai hasil dari kegiatan
manusia. Hal ini diperparah lagi oleh kondisi jumlah populasi manusia dari masa ke masa selalu
bertambah dengan pesat, sedangkan hasil teknologi pengolahan limbah tidak menentu sehingga terjadi
korelasi positif antara kecepatan peningkatan populasi manusia dengan kenaikan kuantitas limbah di
bumi ini.
Pencemaran lingkungan terbagi berdasarkan; 1) intesitasnya, dengan mengabaikan besarnya efek
pencemaran, 2) persistensi, terutama bila pemurnian hanya dilakukan di bagian hilir saja, dan 3)
keberlanjutan atau tidak sporadik dan kronis.
Pemisahan yang lebih sederhana atas jenis pencemaran lingkungan dapat dilakukan berdasarkan
sumber pencemar itu sendiri, yaitu: alami, domestik, dan industri. Apabila kita mengacu pada definisi
yang menyatakan pencemaran sebagai “suatu (zat atau benda) yang berada pada tempat, waktu dan
jumlah yang salah”, maka istilah pencemaran alami itu sebetulnya tidak ada. Namun demikian, seringkali
kita menemukan suatu habitat yang tidak nyaman atau tidak tepat bagi kelangsungan hidup berbagai
organisme yang sama sekali bukan disebabkan oleh ulah manusia. Dalam hal ini di mana alam tidak
selamanya dapat berfungsi untuk menunjang suatu kehidupan, seperti misalnya keberadaan gas radon
secara almiah yang berasal dari pecahan uranium dalam lapisan bumi telah merembes melalui tanah
masuk ke dalam sumber mata air. Berkurangnya oksigen dalam air karena melimpahnya jatuhan daun
secara alamiah juga dapat menyebabkan terganggunya kehidupan organisme air.
Limbah domestik adalah limbah sebagai hasil buangan berasal dari rumah tangga yang secara langsung
dibuang ke lingkungan sekitarnya. Seiring dengan meningkatnya kemajuan teknologi telah memengaruhi
jenis limbah domestik menjadi lebih sulit untuk dihancurkan. Salah satu contoh adalah penggunaan
sarana pembungkus yang terbuat dari bahan plastik yang sukar terurai telah menggantikan posisi bahan
alami (daun dan kulit batang tanaman) yang jauh lebih mudah terurai secara alami.
Proses kimia, fisika, dan biologi selama ini telah memegang peranan penting dalam mekanisme
penguraian limbah domestik sepanjang kuantitas dan intensitas pembuangan limbah masih dalam batas
yang normal. Namun sayangnya peningkatan populasi manusia telah menyebabkan peningkatan
kuantitas dan intensitas pembuangan limbah domestik sehingga membuat proses penguraian limbah
secara alami menjadi tidak seimbang. Bila hal ini terjadi secara terus menerus, Soemarwoto (1991)
memperkirakan akan terjadi: peningkatan kadar BOD, COD, N dan K di sungai-sungai; banyak sumur
dan sumber air penduduk lainnya mengandung bakteri koli yang menunjukkan telah terjadinya
pencemaran oleh tinja dan pada akhirnya dapat memacu pertumbuhan gulma air.
Limbah yang dihasilkan dari pencemaran industri pada umumnya bersifat limbah anorganik yang memiliki
keragaman yang luas dengan kemiripin yang kecil. Limbah industri dapat berbentuk gas, cair maupun
padat sebagai hasil sampingan dari kegiatan: pabrik, petanian, peternakan, kehutanan dan lain-lain.
Seringkali limbah industri yang bercampur dengan limbah domestik yang dibuang ke dalam suatu sistem
perairan justru lebih meningkatkan dampak kerusakan yang lebih total pada sumber daya perairan
tersebut. Peningkatan pemakaian obat-obat pertanian (pestisida dan pupuk) secara signifikan telah
memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran lingkungan.
Beberapa jenis limbah sebagai hasil kegiatan manusia yang mencemari bagian hilir dari Daerah Aliran
Sungai (DAS) Tulang Bawang di Propinsi Lampung telah teridentifikasi oleh Rivai dkk. (1991a) dalam
bentuk akumulasi limbah bahan anorganik. Lebih lanjut Rivai (2000f) juga melaporkan bahwa
pencemaran wilayah pesisir yang paling berat di Propinsi Lampung terdapat di pantai Timur, dimana
jenis Sumber-Sumber Pencemar
limbah terdiri dari: cairan organik, limbah hasil pertanian, plastik dan kaleng, pupuk, pestisida, limbah
alami dan domestik. Toksikologi Lingkungan
Toksikologi lingkungan pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku zat kimia serta
perkiraan dampak yang ditimbulkan baik terhadap organisme hidup maupun lingkungannya.Termasuk di
dalamnya menguraikan serta memperkirakan perubahan lingkungan yang akan terjadi atas masuknya
senyawa pencemar sebagai hasil kegiatan manusia ke dalam lingkungan (Levin dkk. 1989). Dengan
segala bentuk tekanan terhadap masalah-masalah lingkungan maka ilmu toksikologi lingkungan
diharapkan dapat melakukan pendekatan terhadap berbagai masalah lingkungan secara lebih rinci dan
tepat. Berdasarkan konsep serta metodologi dari toksikologi lingkungan, pengamatan suatu kasus
keracunan tidak dilakukan hanya sesaat saja, melainkan sedapat mungkin harus dipelajari sejak mulai
dari awal, misalnya; dari masa kecil, pertumbuhan, dewasa dan tua.
Selain itu akan lebih sempurna apabila hasil penelitian toksikologi lingkungan melibatkan faktor-faktor
sosial yang terkait antara: periaku, pendidikan, ekonomi bahkan mungkin politik. Ruang lingkup ilmu
toksikologi meliputi penelitian toksisitas senyawa kimia yang digunakan untuk bidang: kedokteran, industri
makanan, pertanian/peternakan, industri kimia, pertambangan dan lain-lain.
Pada prinsipnya ilmu toksikologi merupakan perwujudan dugaan terjadinya suatu perubahan yang
disebabkan oleh masuknya senyawa racun ke dalam lingkungan. Seiring dengan proses alami, dalam
ekosistem sendiri telah terjadi perubahan secara konstan dimana hal ini dapat merupakan tantangan
untuk membedakan dampak antropogenik dengan dampak dari fluktuasi alamiah. Menurut Kelly dan
Harwell (1989), dalam penelitian ilmu toksikologi lingkungan terdapat langkah-langkah penting yang tidak
dapat diabaikan untuk dipahami, antara lain:
(1) Proses pergerakan dari senyawa pencemar dalam lingkungan, misalnya: bagaimana
perilaku, kuantitas, konsentrasi dan distribusi dari senyawa tersebut dalam ekosistem.
(2) Frekwensi dan lamanya senyawa pencemar berada pada suatu ekosistem.
(3) Spesifikasi sifat kimianya.
(4) Kemampuan untuk bertahan dalam kondisi ekosistem yang baru ditempati.
(5) Memiliki tanggapan balik antara efek biologi dengan proses lingkungan yang dapat
menyebabkan terjadinya suatu perubahan.
(6) Interaksi dengan senyawa kimia antropogenik lain atau tekanan terhadap ekosistem.
(7) Pembagian senyawa kimia ke dalam komponen ekositem.
(8) Perpindahan atau pergerakan senyawa kimia kembali dalam bentuk aslinya.
(9) Hilangnya senyawa kimia dari ekosistem melalui pembagian secara bolak balik.
Tujuan utama dari upaya pengelolaan lingkungan pada intinya adalah untuk memperoleh kepastian
lingkungan yang “sehat” bagi kehidupan manusia. Toksikologi lingkungan dapat digunakan untuk
memantau terjadinya kontaminasi senyawa beracun dalam lingkungan dengan menggunakan manusia
sebagai bio-indikator. Rivai (1995, 1999c, dan 2001a) melaporkan bahwa kuku dan rambut merupakan
bioindikator yang terbaik dibandingkan dengan organ tubuh yang lain untuk digunakan dalam
pemantauan kontaminasi logam berat terhadap manusia.
Beberapa keuntungan yang diperoleh antara lain: 1) Mudah diperoleh karena tidak diperlukan tindakan
operasi maupun otopsi untuk mendapatkannya; 2) Dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum
dianalisis tanpa mengalami kerusakan atau perubahan struktur. 3) Mudah untuk dibawa, dikirim, dan
dipindahkan karena penyimpannya tidak memerlukan tempat yang khusus seperti misalnya lemari
pendingin. dan 3) Relatif ringan dan lentur sehingga mudah untuk menyesuaikan dengan penggunaan
peralatan analisis di laboratorium.
Selama ini dalam pengelolaan lingkungan hidup pandangan kita bersifat antroposentris, yaitu melihat
permasalahannya hanya dari sudut kepentingan manusia saja. Manusia berinteraksi dengan lingkungan
hidupnya karena ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Oleh karena itu,
pengelolaan lingkungan harus bersifat holistik, yaitu memandang keseluruhannya sebagai suatu
kesatuan (Soemarwoto, 1983) . Peranan manusia dalam masalah lingkungan lebih diperjelas lagi oleh
Nissihira dkk. (1997) yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan masalah lingkungan adalah setiap
kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai akibat dari hasil kegiatan manusia.
Akhir-akhir ini topik utama yang selalu hangat untuk didiskusikan adalah mengenai isu perubahan
lingkungan global seperti misalnya: penipisan lapisan ozon, penumpukan unsur CO2 di atmosfir, hujan
asam, perubahan iklim global, pencemaran lingkungan dan proses penggundulan hutan dan lain-lain.
Pencemaran logam berat turut memberikan kontribusi yang nyata terhadap isu perubahan lingkungan
global khususnya dalam hal masuknya senyawa beracun ke dalam lingkungan sebagai akibat kegiatan
industri, pertanian, perternakan, kehutanan dan lain-lain. Selama ini dengan pertimbangan bahwa
masalah yang terjadi dalam isu lingkungan global semata-mata mekanismenya hanya dapat jelas
terungkap melalui ilmu pengetahuan alam saja, maka manusia melakukan pendekatan secara ekslusif
tehadap isu perubahan lingkungan global hanya melalui ilmu pengetahuan alam. Berbagai Aspek
Dimensi ManusiaMenurut Suzuki (1999) hingga saat kita belum mendapatkan jalan keluar yang efektif
untuk memecahkan masalah perubahan lingkungan global, karena dalam banyak kasus ternyata
manusia merupakan penyebab utama dari terjadinya masalah-masalah lingkungan di berbagai belahan
bumi ini. Dalam pengelolaan manusia hendaknya sudah tercakup di dalamnya beberapa dimensi, seperti
: pendidikan, pendidikan lingkungan, pengetahuan, persepsi, kepedulian dan perilaku dari manusia itu
sendiri terhadap masalah-masalah lingkungan (Nishihira dkk. 1997).
Adanya keragaman dimensi manusia merupakan langkah penting yang telah membawa kita kepada
kondisi dan bentuk perubahan lingkungan global yang berbeda berdasarkan setiap dimensinya. Untuk
mendapatkan jalan keluar yang baik dalam memecahkan masalah-masalah lingkungan, maka sudah
saatnya baik di negara yang sudah maju maupun negara sedang berkembang mulai mengembangkan
berbagai penelitian mengenai dimensi manusia terhadap perubahan lingkungan global (Torigoe, 1997).
3. Pendekatan Terpadu Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lingkungan selama ini secara terus menerus telah dimanfaatkan manusia untuk memenuhi segala
kebutuhan hidupnya, termasuk juga di dalamnya untuk memperluas habitat dan meningkatkan kualitas
hidup manusia. Pada dasarnya dalam menghadapi masalah-masalah lingkungan, yang perlu dikelola
bukanlah hanya aspek lingkungan itu semata-mata, melainkan justru aspek manusialah yang harus lebih
dititikberatkan dalam pengelolaannya. Oleh karena itu sudah saatnya bagi kita untuk selalu melibatkan
ilmu pengetahuan sosial dalam upaya pengelolaan lingkungan. Cakupan ilmu pengetahuan sosial disini
sudah termasuk di dalamnya ilmu: hukum, politik, ekonomi, antropologi, pendidikan dan lain-lain.
Betapapun baik dan sempurnanya suatu “konsep pengelolaan lingkungan” yang dirancang oleh para ahli
tetapi bila tidak melibatkan pengelolaan manusia itu sendiri sebagai pengguna dan pelaksana maka
sudah dapat dipastikan hasilnya akan menjadi sia-sia.
Sejak beberapa puluh tahun yang lalu hubungan antara lingkungan dan konflik sosial politik telah menjadi
isu khusus yang menarik untuk dipelajari lebih dalam. Banyak hasil penelitian yang memperlihatkan
bahwa dampak dari konflik telah menciptakan penurunan kualitas lingkungan yang parah. Beberapa
kasus jatuhnya bom pada kegiatan perang merupakan bukti terkini yang memperlihatkan bagaimana air
dan tanah pada lokasi sasaran dapat menjadi tercemar. Kasus yang sangat menyolok terjadi pada waktu
Perang Teluk dimana penghancuran lingkungan telah digunakan sebagai alasan demi kesejahteraan
manusia (Ornas dan Strom, 1999).
Begitu pula sebaliknya, kelangkaan suatu sumberdaya dapat menimbulkan terjadinya peperangan,
dimana kerusakan lingkungan yang terjadi akan lebih sulit lagi untuk diperbaiki. Dilema ini dapat
dikarenakan berkurangnya pasokan suatu sumberdaya alam baik karena kerusakan lingkungan maupun
peningkatan kebutuhan sumberdaya alam seiring dengan meningkatnya populasi manusia. Meskipun
demikian hingga saat ini kita masih belum dapat menandai kapan suatu lingkungan dikatakan aman dari
kelangkaan suatu sumberdaya hingga penjelasannya baru dapat diketahui manakala terjadinya konflik
yaitu dalam bentuk serangan.
Pencemaran logam berat merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya isu perubahan lingkungan
global terutama dalam hal pencemaran lingkungan oleh senyawa logam berat beracun. Melalui ilmu
pengetahuan alam berbagai upaya untuk meminimalkan dampak dapat dilakukan dimulai dari langkah-
langkah mengidentifikasi, mengencerkan, mengganti sampai pada menghilangkan keberadaan senyawa
tersebut baik di alam maupun dalam tubuh organisme hidup melalui proses analisis kimia, fisika dan
biologi. Namun demikian pendekatan masalah pencemaran logam berat melalui ilmu pengetahuan alam
saja ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah lingkungan hingga tuntas tanpa melibatkan ilmu
pengetahuan sosial.
Beberapa negara maju seperti Amerika, Inggris, Jepang, Kanada dan lain-lain dapat dijadikan contoh
dalam kasus terjadinya pencemaran logam berat, namun secara bersamaan negara-negara tersebut juga
dapat dijadikan contoh dalam hal pendekatan terpadu terhadap masalah tersebut. Dalam hal pengelolaan
lingkungan secara terus menerus mereka telah meningkatkan keterampilan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti misalnya: teknik sampling dan analisis senyawa racun, reklamasi
tanah, dan pengolahan limbah cair/padat. Sejalan dengan tindakan tersebut, dalam waktu bersamaan
mereka juga meningkatkan ilmu pengetahuan bidang sosial dalam rangka menumbuhkan persepsi,
pengetahuan, kepedulian dan perilaku manusia yang tepat dalam hal menyikapi masalah-masalah
pencemaran logam berat.
Beberapa contoh kongkrit di lapangan atas perilaku manusia di negara maju dalam menyikapi
pencemaran logam berat antara lain: 1) Tidak membuang secara langsung ke dalam lingkungan limbah
padat yang mengandung logam. 2) Limbah senyawa kimia yang berasal dari rumah sakit dan
laboratorium penelitian tidak dibuang langsung ke dalam saluran air, melainkan dikumpulkan serta
dikirimkan kepada tempat tertentu yang telah ditetapkan. 3) Menghindari penggunaan mainan dan
peralatan bayi yang terbuat dari logam. 4) Tidak menggunakan limbah barang-barang cetakan sebagai
pembungkus makanan. 5) Menghindari pemakaian kosmetik yang mengandung logam beracun, seperti
misalnya logam merkuri yang biasanya digunakan sebagai bahan dasar pemutih kulit. Contoh di atas
merupakan contoh sederhana berupa pengetahuan umum yang telah sangat disadari oleh masyarakat
dari lapisan tingkat bawah hingga atas. Sudah barang tentu pengetahuan tersebut tidak dapat diperoleh
begitu saja oleh masyarakat melainkan melalui proses pendidikan, penegakan hukum, dan penyampaian
informasi secara terus menerus.
Pendidikan lingkungan memiliki peran yang strategis dan penting dalam mempersiapkan manusia untuk
memecahkan masalah lingkungan sebagaimana telah diputuskan secara internasional pada Konferensi
Bumi di Brazil dan tertuang dalam Agenda 21 pada Bab 36. Hanya melalui pendidikan lingkungan orang
dapat mengembangkan segi pemikiran dalam mendukung langkah yang tepat untuk skala lokal dan
global. Kepedulian bukan merupakan tujuan akhir dari pendidikan lingkungan namun harus juga diikuti
oleh langkah nyata.
Selain dari itu, pendidikan sendiri merupakan jalur positif untuk menuju perubahan pada periode modern.
Manusia perlu melanjutkan pendidikan, khususnya dalam bidang lingkungan karena terjadinya
perkembangan yang sangat cepat terhadap perubahan maupun pemahaman mengenai lingkungan.
Beberapa hasil penelitian terdahulu (Kawashima 1999, Suzuki dkk. 1999, Soerjani 1998 dan Sudarmadi
dkk. 2001), melaporkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dari suatu masyarakat maka semakin
tinggi pula persepsi dan kepedulian masyarakat tersebut sehingga menimbulkan sikap serta perilaku
yang lebih baik dalam menghadapi masalah lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan lingkungan harus
disampaikan secara intensif dan komperhensif melalui semua jenjang pendidikan baik formal maupun
nonformal.
Peningkatan ilmu pengetahuan manusia tentang lingkungan hidup bila tanpa disertai upaya
penyebarluasan informasi ilmu pengetahuan itu sendiri sudah barang tentu akan menjadi hambatan ke
arah terciptanya lingkungan yang berkualitas. Khususnya dalam hal pengelolaan pencemaran logam
berat dimana setiap saat dapat saja terjadi suatu perubahan atau pergeseran. Sementara itu pada saat
yang sama teknologi informasi diharapkan dapat meratakan jalan dalam hal penyebaran informasi yang
lebih baik bagi masyarakat serta pemerintah yang lebih responsif. Media massa disini sudah termasuk:
media cetak, radio, televisi dan internet.
Media cetak khususnya surat kabar selama ini telah berperan penting dalam hal penyebaran informasi
masalah lingkungan. Hal tersebut telah dibuktikan dalam beberapa penelitian, salah satu diantaranya
Fang (1997), melaporkan bahwa 64 % dari penduduk kota Beijing dan Shanghai di China mendapatkan
informasi mengenai masalah lingkungan yang berasal dari surat kabar. Begitu pula Rivai (2001b),
menunjukan bahwa surat kabar bagi penduduk kota Bandarlampung merupakan media yang paling
efektif sebagai sumber informasi masalah pencemaran logam berat dibandingkan dengan radio dan
televisi. Hal ini mungkin dikarenakan surat kabar merupakan media yang relatif murah serta mudah
diperoleh sehingga cenderung memiliki tingkat efektifitas penyebaran informasi yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan media lainnya seperti misalnya radio, televisi dan internet.
Penegakan hukum khususnya yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan merupakan faktor yang
sangat menentukan dalam pengelolaan pencemaran logam berat. Walaupun berbagai kebijaksanaan
telah diciptakankan dalam rangka untuk mendapatkan lingkungan yang berkualitas, namun bila
penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya maka sasaran yang akan dicapai akan menjadi
sia-sia.
Menurut Hiraoka (1997), ada beberapa hal yang memengaruhi keberhasilan pelaksanaan pendekatan
terpadu pengelolaan pencemaran logam berat: 1) Peningkatan keahlian profesional di bidangnya secara
terus menerus seiring dengan perubahan lingkungan yang terjadi secara global. 2) Pengembangan
kebijaksanaan lingkungan yang mudah dipahami oleh manusia sehingga dapat dilaksanakan secara
efektif. 3) Berfungsinya peneggakan hukum dalam melaksanakan kebijaksanaan yang telah ditetapkan.
4) Tersedianya penyampaian teknik informasi yang tepat.
4. Sampah dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara
komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi
masyarakat dan aman bagi lingkungan serta dapat mengubah perilaku masyarakat. Pertambahan
penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan
karakteristik sampah yang semakin beragam.
Paradigma pengelolaan sampah beberapa waktu yang lalu belum sesuai dengan metode dan teknik
pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap
kesehatan masyarakat dan lingkungan; Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Ternate, A Malik Ibrahim
berpendapat, dengan adanya UUPS (Undang-Undang Pengelolaan Sampah No. 18 Tahun 2008), maka
kepastian hukum mengenai pengelolaan sampah, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan
pemerintah, pemerintahan daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha terhadap pengelolaan
sampah diharapkan dapat berjalan secara proporsional, efektif dan efisien. “Pengelolaan sampah
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah
sebagai sumber daya. Sampah padat yang dikelola dengan baik seharusnya dapat menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat, misalkan saja sampah-sampah organik yang ada dijadikan sebagai pupuk
kompos, sampah-sampah plastik didaur ulang sehingga sampah bukanlah sesuatu yang harus dibuang
tetapi dapat dimanfaatkan bahkan dicari atau ditunggu-tunggu semua orang. Terus berputarnya siklus
daur ulang alam yang merupakan kunci keselamatan bumi, sebenarnya menjadi tanggung jawab
manusia di lingkungannya masing-masing”.
Undang-Undang Pengelolaan Sampah No 18 Tahun 2008 telah menegaskan bahwa setiap orang dalam
pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan
menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan, sedangkan tata cara pelaksanaan
kewajiban pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga diatur dengan
peraturan daerah. Penegasan dalam UUPS, juga dibebankan sebagai kewajiban kepada Pengelola
Kawasan (permukiman;komersial; industri; khusus; fasilitas umum; fasilitas sosial; dan fasilitas lainnya)
untuk membangun atau menyediakan fasilitas pemilahan sampah paling lama 1 tahun setelah
diundangkan UUPS.
Penanggulangan masalah pengelolaan sampah harus dirumuskan secara sistematis dan bertahap sesuai
kebutuhan sehingga dalam implementasinya masih tetap diperlukan masukan-inisiatif dari pelaku
pembangunan. Diperlukan kesadaran dan pemahaman dari pemangku kepentingan, pemerintah dan
masyarakat dan dukungan sektoral yang memadai untuk mewujudkan hal tersebut. Wahab Ibrahim
(2008) menuturkan, proses daur ulang sampah adalah penjaga kelestarian alam. Sebenarnya sampah
bukanlah limbah, melainkan sumber daya bahan baku untuk proses daur ulang yang menghasilkan
humus atau kompos, pupuk, pelindung pembangun kesuburan tanah.
Daur ulang adalah penggunaan kembali material atau barang yang sudah tidak digunakan untuk menjadi
produk lain. “Bayangkan saja Satu Juta Tahun dibutuhkan oleh sebuah gelas yang dibuang untuk
terdegradasi (hancur) secara alamiah. Selain berfungsi untuk mengurangi jumlah sampah yang harus
dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), daur ulang bermanfaat memenuhi kebutuhan akan bahan
baku suatu produk. Dan dari segi penggunaan bahan bakar adanya daur ulang dapat menghemat energi
yang harus dikeluarkan suatu pabrik” ungkapnya.
Sebagai contoh, dalam pelayanan persampahan di Kota Ternate, terbagi dalam 10 blok daerah
pelayanan dan 1 blok cadangan. Selain itu, terdapat 5 blok penunjang yang terdiri dari 2 penunjang blok
Utara, 2 penunjang blok Selatan dan 1 penunjang blok Barat serta beberapa kontainer yang
penempatannya pada lokasi-lokasi strategis seperti, pasar, terminal pelabuhan dan lain-lain.
Pengumpulan dan pengangkatan limbah padat pemukiman, perdagangan, komersial, dan industri
dilakukan setiap hari agar kebersihan dan sanitasi kota tetap terjaga. Metode pengumpulan ini terdiri atas
pengumpulan langsung dan tidak langsung, Metode langsung diterapkan dalam pengumpulan limbah
perumahan atau pertokoan. Truk angkutan mengangkut limbah dari rumah ke rumah. Sistem ini cukup
memakan tenaga dan waktu, maka retribusi dengan metode ini pun lebih mahal daripada metode yang
lain. Metode tidak langsung, yang diterapkan untuk permukiman atau gedung bertingkat di mana sampah
diangkut ke sebut saja TPS untuk kemudian dibawa ke TPA dengan kontainer besar atau kompaktor.
Dalam prospek pengembangannya bandingkan proses pengelolaan sampah di Singapura yang telah
mengembangkan sistem pneumatik, mengangkut limbah lewat jaringan pipa bawah tanah dengan cara
disedot pompa vacum menuju pusat pengumpulan limbah, kemudian limbah disimpan dan dipadatkan
sebelum dibuang. Sistem ini lebih produktif dan higienis karena tidak ditangani secara manual dan ada
transfer limbah. Metode pneumatik ini banyak dipasang di rumah sakit, pemukiman (real estate) dan
industri makanan, tentu saja sistem ini mahal dalam hal biaya instalasi,operasional dan pengawasan.
Saat ini telah ditanda-tangani perjanjian kerjasama (MoU) antara Pemerintah Kota Ternate dengan PT.
Gikoko Kogyo Indonesia tentang Mekanisme Pembangunan Bersih, Pengurangan Emisi Gas Rumah
Kaca melalui Peningkatan Pengelolaan Persampahan dengan Menggabungkan Penangkapan dan
Pemusnahan Landfill Gas dan Pembangkitan Listrik di TPA Sampah Buku Dero-Dero, Takome Ternate.
Namun hingga saat ini, sistem operasional TPA masih Open Dumping dan masih dilaksanakan langsung
oleh Dinas Kebersihan Kota Ternate, menunggu hingga pelaksanaan pekerjaan pembangunan TPA
sistem operasional Controll Landfill selesai, tambah Muda menjelaskan.
Di pihak lain, sampah Rumah Tangga adalah sampah yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari rumah
tangga, misalnya membersihkan rumah, memasak, makan, dan minum dsb. Dilihat dari jenisnya, sampah
Rumah Tangga dapat dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu: (1) Sampah basah (organik) adalah sampah
yang berasal dari benda hidup yang mudah diuraikan oleh bakteri pengurai, misalnya berupa sisa
makanan, dedaunan, bangkai binatang; (2) Sampah kering (non-organik) adalah sampah yang berasal
dari benda mati yang sulit diuraikan bakteri pengurai, misalnya berupa plastik, kertas kaleng, dan logam.
Didaerah perkotaan, pada umumnya sampah rumah tangga dibuang keluar rumah karena keterbatasan
lahan, melalui proses pengomposan dan pembuangan ke TPS yang biasa dikelola secara swadaya oleh
masyarakat, selanjutnya diangkut ke TPA oleh petugas kebersihan kota.
Sebaliknya, perlu dilakukan pemilihan sampah, karena pemilihan sampah bermanfaat untuk:
Mendukung kebersihan lingkungan melalui perubahan kebiasaan masyarakat dalam memilih sampah rumah tangga.
Membantu masyarakat yang hendak melakukan pengolahan sampah menjadi kompos. Mempermudah proses daur ulang sampah oleh pemulung atau masyarakat pengolah sampah kertas,
kaca, plastik dll. Membuka peluang kesempatan kerja/berusaha bagi masyarakat yang hendak mengelola sampah
menjadi benda yang bermanfaat dan laku jual . Mendukung dan membantu pemerintah dalam mengembangkan proses 4 R (Recyling, Reduce,
Reuse, Replace) .
Pengelolaan sampah mulai dari sumber pembuangan sampah rumah tangga sampai ke TPS merupakan
tanggungjawab bersama warga. Peran ibu rumah tangga sangat besar untuk menanamkan kebiasaan
memilih sampah dilengkungan keluarganya, yaitu dengan menyediakan 2 tempat sampah yang
berbeda untuk sampah organik dan sampah non-organik. Sampah organik dimasukkan kedalam
kantong plastik pada tempat sampah basah, sementara sampah kering dimaksukan kedalam kantong
plastik pada tempat sampah kering. Setiap kantong plastik yang telah terisi sampah organik dan an-
organik ditempatkan didepan rumah untuk diangkut oleh petugas pengangkut sampah dengan gerobak
sampah RT/RW .
Sampah yang sudah dipilih akan dikelola sebagai berikut: (1) Untuk sampah Organik dilakukan kegiatan
sebagai berikut:
Diangkut ke tempat pengomposan untuk diolah menjadi kompos (daur ulang/recyling) . Kompos yang telah mengering siap dikemas dan diberi label untuk dipasarkan . Pemasaran kompos . Perlu kemitraan dengan pemerintah, swasta masyarakat dan pengguna lainya .
(2) Untuk sampah Non-organik dilakukan kegiatan sebagai berikut:
Pemakaian kembali sampah kering (reuse) yaitu menggunakan kembali sampah yang masih dapat dimanfaatkan, seperti kaleng menjadi vas bunga
Daur ulang sampah (recyling), seperti kertas, kardus, botol, kalene, gelas, potongan besi, alumunium, dan lain-lainyang masih bernilai ekonomi menjadi benda lain yang lebioh bermanfaat
Pengurangan sampah (reduce), pengusaha dapat menerima kembali pembungkus kemasan maupun barang-barang yang sudah habis pakai untuk dimanfaatkan kembali
Sampah yang sudah dipilih diangkut ketempat pengomposan (sampah organik) dan tempat
penampungan sampah an-organik untuk diolah menjadi bahan yang berguna. Pola manajemen sampah
organik dan an organik dapat dijelaskan oleh Gambar 2.1. berikut.
Gambar 2.1. Model Pengelolaan Sampah Organik dan an Organik
Sampah organik yang dihasilkan oleh sebuah rumah tangga atau 1 kepala keluarga (KK) yang
beranggota 5 orang (Bapak, Ibu, 2 anak dan 1 pembantu) setiap hari kurang lebih 2 kg. Kalau sebuah
Rukun Tetangga (RT) terdiri dari 40 KK dan sebuah Rukun Warga (RW) terdiri dari 10 RT, maka bisa
dihitung berapa jumlah sampah organik yang memerlukan pengelolaan selanjutnya, atau biasa disebut
“dibuang”. Untuk mengubah pola pikir bahwa sampah adalah tanggung jawab bersama yang
menghasilkan, dan mengubah kebiasaan membuang sampah menjadi mengelola sampah perlu upaya
yang tidak mudah dan memerlukan waktu dan kesabaran.
Dari pengalaman dan pembelajaran, Kebun Karinda menawarkan sebuah model bagi RT/RW yang ingin
mandiri dalam pengelolaan sampah organiknya, namun untuk keberhasilannya diperlukan beberapa
syarat(Nasrun Andika Nurdin, 2009).:
1. Kegiatan ini diorganisir oleh pemimpin masyarakat setempat (Ketua RT/RW), dibantu sebuah tim
pelaksana (Komite Lingkungan).
2. Ada keteladanan dari para pemimpin masyarakat, tokoh masyarakat, pemuka agama yang menjadi
panutan masyarakat setempat.
3. Dibangun komitmen di antara seluruh warga, lingkungan bagaimana yang ingin dicapai.
4. Ada pendampingan agar kegiatan berkelanjutan, kader/motivator yang mendampingi harus sudah
berpengalaman melakukan pengomposan.
5. Proses pengomposan dipilih yang tidak menimbulkan bau ialah proses fermentasi.
Sampah organik rumah tangga yang segar dan lunak, sangat mudah dikomposkan. Pengomposan dapat
dilakukan secara individual di setiap rumah atau secara komunal oleh Komite Lingkungan RT/RW.
4.1. Pengomposan Individual
Kebun Karinda menyarankan pengomposan dengan metode Takakura. Jika dilakukan dengan benar
dalam proses tidak ada bau busuk, tidak keluar air lindi, dan higienis. Tidak memerlukan tempat luas,
tetapi tidak boleh kena hujan atau sinar matahari langsung. Wadahnya bisa keranjang cucian isi 40 L
atau lebih dikenal dengan Keranjang Takakura, ember bekas cat atau kaporit (isi 25 L), drum bekas yang
dipotong menjadi 2 bagian (isi 100 L), keranjang rotan atau bambu yang isinya lebih dari 25 L untuk
mempertahankan suhu kompos. Pemilihan wadah tergantung bahan yang tersedia, selera dan
banyaknya sampah setiap hari. Sampah organik dipisahkan dari sampah anorganik (kegiatan ini disebut
“memilah sampah”) kemudian dicacah menjadi berukuran 2 cm x 2 cm agar mudah dicerna mikroba
kompos. Untuk menyerap air dan menambah unsur karbon, ditambahkan serbuk kayu gergajian.
Sampah harus dimasukkan wadah kompos setiap hari (sebelum menjadi busuk) dan diaduk sampai ke
dasar wadah supaya tidak becek di bagian bawah. Pengadukan juga dimaksud untuk memasukkan
oksigen yang diperlukan untuk pernapasan mikroba kompos.
Jika wadah sudah penuh, kompos harus dimatangkan atau distabilkan dahulu sampai suhunya menjadi
seperti suhu tanah, baru bisa dipanen. Pengomposan dimulai lagi dengan wadah lain, dengan aktivator
sebagian kompos yang masih panas dari wadah pertama. Kompos setengah jadi ini bisa juga dikirim ke
pengomposan komunal untuk diproses bersama-sama. Sebagian ditinggal dalam wadah untuk dijadikan
aktivator. Warga akan mendapat hasil panen kompos, atau membelinya dengan harga khusus.
4.2. Pengomposan Komunal
Memerlukan bangunan tanpa dinding, atapnya bisa dari plastik terpal, daun kirai, plastik gelombang,
genteng dan sebagainya tergantung dana yang tersedia. Lantainya bisa tanah, semen atau paving blok.
Kita bisa menyebutnya sebagai “Rumah Kompos”. Untuk wadah pengomposan sampah organik rumah
tangga dapat dibuat bak atau kotak dari bambu, kayu, paving blok, bata dan sebagainya. Agar dapat
menyimpan panas, kotak harus memiliki volume paling sedikit 500 L atau memiliki panjang 75 cm, lebar
75 cm dan tinggi 1 m. Salah satu sisinya harus bisa dibuka, untuk mengeluarkan adonan kompos jika
seminggu sekali dibalik. Banyaknya kotak tergantung jumlah sampah yang akan dikelola. Hal penting
agar tempat pengomposan bersih dan tidak berbau busuk, sampah yang masuk hanya sampah organik
saja. Warga harus memilah sampahnya di rumah masing-masing (mematuhi UU Pengelolaan Sampah).
Di depan rumah tidak perlu ada bak sampah, tetapi disediakan dua wadah sampah untuk sampah
organik dan anorganik. Petugas pengangkut sampah mengambilnya dengan gerobak sampah yang diberi
sekat. Sampah organiknya diturunkan di Rumah Kompos. Selanjutnya oleh sampah organik dicacah
secara manual atau dengan mesin pencacah. Jika menggunakan mesin pencacah, agar sampah tidak
mengeluarkan air dan untuk menambahkan unsur karbon, dicampurkan terlebih dahulu serbuk kayu
gergajian. Jika pencacahan secara manual, serbuk kayu dicampurkan sebelum masuk wadah
pengomposan. Aktivator yang digunakan adalah kompos yang belum selesai berproses sehingga
mikrobanya masih aktif.
Adonan kompos dari sampah organik rumah tangga jika diaduk setiap hari, akan matang dalam waktu
kurang lebih 10-14 hari, namun harus distabilkan dahulu sampai suhu menjadi seperti suhu tanah, kira-
kira makan waktu 2 minggu. Jika akan dikemas sebaiknya diayak terlebih dahulu untuk memisahkan
bagian yang kasar. Jika tanah yang tersedia cukup luas dan sampahnya cukup banyak, pengomposan
dapat dilakukan dengan sistem open windrow yaitu dengan timbunan-timbunan yang dibalik dan disiram
setiap minggu. Kompos setengah jadi yang dikirim oleh warga dicampurkan ke adonan kompos yang
sudah berusia kurang lebih 2 minggu, dan akan matang bersama-sama.
4.3. Kualitas Kompos
Kompos yang dibuat melalui proses termofilik aerobik dan terkendali seperti ini, kualitasnya “super”. Kaya
akan unsur yang diperlukan tanaman untuk tumbuh subur. Kompos yang berkualitas baik berwarna
hitam, berbau tanah, tekstur seperti tanah, kelembaban 30-40%, keasaman netral. Harganya bisa lebih
dari Rp.1000/kg, bahkan Rp.2000/kg. Jika ingin ditingkatkan lagi harganya, kita bisa membibit dan
menjual tanaman bunga, sayuran dan tanaman obat yang dipupuk dengan kompos buatan sendiri.
4.4. Team Pengelola Sampah
Dibentuk Komite Lingkungan oleh Pengurus RT/RW dan selanjutnya diperlukan peran serta warga
sehingga kegiatan ini menjadi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.
Tugas dan tanggung jawab masing-masing:
(a) Komite Lingkungan:
- Relawan yang peduli lingkungan, memiliki kemampuan dan waktu.
- Mengorganisasi warga dalam kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.
- Melatih dan meningkatkan keterampilan kader sebagai motivator dan tenaga pelaksana pengomposan.
- Mengendalikan proses pengomposan agar dihasilkan kompos yang memenuhi syarat.
(b) Dewan Kelurahan, Tim Penggerak PKK dan Karang Taruna
- Menjadi relawan kader lingkungan, sebagai motivator dalam kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis
Masyarakat.
- Para kader/motivator harus sudah melakukan pengomposan.
- Mengajarkan dan menggerakkan warga untuk memilah sampah.
- Pendampingan dalam proses pengomposan di rumah tangga.
(c) Petugas Pelaksana Pengomposan
- Merupakan tenaga tetap yang melaksanakan proses pengomposan.
4.5. Menciptakan Usaha Mandiri RT/RW
Untuk mewujudkan unit pengelolaan sampah ini perlu disusun proposal yang disusun oleh Pengurus
RT/RW, yang berisi kebutuhan sarana dan prasarana, SDM, jadwal pelatihan TOT kader/motivator,
prospek ke depan. Diharapkan kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat ini nantinya dapat
mandiri dari penjualan kompos dan produk-produk turunannya (tanaman hias, sayuran, tanaman obat).
Lingkungan menjadi bersih, teduh dan asri, masyarakat terjaga kesehatannya karena pengelolaan
sampah merupakan bagian dari perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Mudah-mudahan tulisan ini
dapat memberikan inspirasi bagi Pengurus RT/RW yang ingin mandiri dalam mengurus sampah
warganya. Tentunya tingkat keberhasilan akan lebih tinggi jika aparat di atasnya (Lurah, Camat
Bupati/Walikota) dan instansi terkait ikut berperan serta dengan memberikan dorongan dan apresiasi
(Nasrun Andika Nurdin, 2009).
5. Program Gerakan Ramah Lingkungan
Produsen sampah, yaitu rumah tangga dan industri, diharapkan memiliki kemampuan untuk mengelola
sendiri sampahnya. Mulai dari memilih bahan mentah yang ramah lingkungan, menggunakan proses
yang ramah lingkungan saat mengonsumsi produk, dan mampu memisahkan antara sampah organik dan
nonorganik. Hasanah (2009) menyatakan musim penghujan selalu membawa cerita tersendiri bagi
masyarakat Indonesia khususnya. Hujan yang diturunkan Allah swt. sebagai rahmat bagi manusia dan
makhluk di bumi, kadangkala juga membawa derita. Masih terekam jelas dalam ingatan kita semua,
bagaimana bencana banjir melanda sebagian wilayah Kota Surakarta ini pada akhir tahun 2007, kurang
lebih satu tahun yang lalu. Banjir ini merupakan yang terbesar setelah tahun 1966, di mana hampir
semua wilayah yang terletak di pinggir tanggul terendam air sungai Bengawan Solo setelah tanggulnya
meluap. Banjir tersebut tidak hanya melanda warga bantaran sungai Bengawan Solo saja, tetapi sampai
masuk ke anak-anak sungai yang bermuara ke Bengawan Solo. Selain curah hujan yang tinggi pada
musim penghujan tahun lalu, kerusakan lingkungan diduga turut memengaruhi. Kerugian yang diderita
tidak hanya menyangkut materi saja, tetapi juga nonmateri. Kerusakan infrastuktur, kerugian harta benda,
serta hilangnya aset ekonomi dan korban jiwa.
Maha Benar Allah swt. yang telah berfirman dalam kitab-Nya, “Dan apa musibah yang menimpa kamu
maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)” (Q.S. Asy-Syuura/42: 30). Lingkungan yang bersih, sebagaimana tercermin
dalam hadits yang sudah masyhur, kebersihan adalah sebagian dari iman, menjadi salah satu tolok ukur
seberapa besar komitmen seorang muslim terhadap perintah Allah swt. Hidup atau beraktivitas di
lingkungan yang bersih, seringkali memengaruhi kinerja kita. Kenyamanan, rasa tenang, dan kepuasan
akan kita rasakan ketika yakin lingkungan kita ‘aman’. Aman dalam artian suci, bersih, dan bebas dari
bibit penyakit dan gangguan lain termasuk bau.
Oleh karena itu, perlu mewujudkan terciptanya kampung ramah lingkungan, dan warga masyarakat
diharapkan ikut aktif mendukung dan bertanggungjawab terhadap kebersihan, keasrian, dan kesehatan di
lingkungannya masing-masing. Sebagai Contoh di Kebumen (2009) diadakan sosialisasi, di mana warga
diberi materi tentang sistem pengelolaan sampah dari rumah tangga. Diharapkan tiap rumah tangga bisa
menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Rcycle + re plan). Tiga R adalah mengurangi, menggunakan
kembali, dan mendaur ulang sampah, sehingga sampah bisa diminimalisasi. Selain itu dianjurkan juga
melakukan penghijauan dengan menanam pohon peneduh.
Dari semua penjelasan di atas, ternyata bahwa gerakan ramah lingkungan erat kaitannya dengan yuridis,
filosofis, sosilogis, antroplogis yang dampak akhirnya adalah kepada kesejahteraan wargabaik secara
profit mauput sebagai benefit. dari penggunaan Konsep Pengelolaan Lingkungan.(http://tashwirulafkar.com/konsep-pengelolaan-lingkungan/#chitika_close_button)
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP : “Suatu Langkah Menuju Sinergitas”
Oleh :
DR. Ir. Arif Budimanta, M.Sc
(Disampaikan pada acara Pendidikan dan Latihan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sekolah Demokrasi Indonesia, 20 – 21 Maret 2007 di Hotel Kristal, Kupang)
I. Pengantar
Pembangunan merupakan suatu usaha yang dilakukan dalam kerangka melakukan berbagai perubahan yang bernilai positif. Munculnya suatu perubahan sangat berpotensi untuk menimbulkan berbagai konflik, sehingga diperlukan suatu perumusan pembangunan yang dilakukan secara matang, khususnya dalam pengelolaan lingkungan.Dalam kerangka pengelolaan lingkungan, banyak pembangunan yang dilakukan dalam usaha untuk menciptakan suatu sistem pengelolaan lingkungan yang lebih sinergis, hal ini dibutuhkan terkait pada banyaknya kasus-kasus pengelolaan lingkungan yang berujung pada munculnya konflik. Terdapat berbagai paradigma umum yang mendasari konsep pengelolaan lingkungan. Salah satunya adalah paradigma pengelolaan lingkungan yang berdasarkan pada konsep sustainable dan partisipatif multipihak.
Paradigma yang mengacu pada konsep sustainablemerupakan suatu proses perubahan yang terencana yang didalamya terdapat keselarasan serta peningkatan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masnusia. Hal ini mengartikan bahwa konsepsustainable dapat menjamin adanya pemerataan da keadilan sosial yang ditandai dengan lebih meratanya akses peran dan kesempatan. Konsep ini terfokus pada 3 pilar dasar yaitu sustainable lingkungan, sustainable ekonomi dansustainable sosial. Sustainable lingkungan menekankan pada adanya keterbatasan lingkungan sehingga penting untuk dilindungi dan dilestarikan untuk keberlanjutan hidup generasi yang akan datang, sehingga penting untuk menciptakan suatu sisten kinerja pengelolaan lingkungan yang memiliki koridor sustainable. Paradigma sustainablelingkungan juga mengacu pada konsep keadilan yang
dimaknai dengan adanya keterwakilan dan pendistribusiannya, terkait dengan bagaimana kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat menjadi suatu regulasi yang benar-benar mewakili aspirasi dari masyarakat luas. Melalui konsep keadilan, diharapkan nantinya tercipta peningkatan kualitas kehidupan dan kesejahteraan generasi masa kini tanpa mengabaikan kesempatan generasi masa depan memenuhi kebutuhannya. Sustainable di bidang ekonomi merupakan konsep pemanfaatan sumber ekonomi secara efisien dan efektif untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal ini penting agar produktivitas investasi dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga pada konsep keberlanjutan. Sustainable sosial yaitu pelestarian segala bentuk modal sosial, termasuk jaringan hubungan atau interaksi antar individu dan kelompok masyarakat. Ketiga pilar dasar konsep sustainable ini merupakan suatu hubungan yang saling terkait antara satu dengan yang lain, dimana masing-masing saling mendukung antar konsep yang nantinya akan berdampak pada suatu keberlanjutan yang utuh.
Paradigma umum berikutnya adalah yang mengacu pada konsep partisipatif. Konsep ini menekankan pada pentingnya pelibatan dari berbagai pihak terkait, dimana didasari dengan adanya kesetaraan dan kebersamaan dalam pengelolaan lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi dari berbagai pihak, lingkungan dapat dikelola dengan efektif dan efisien. Mengacu pada kedua paradigma ini, maka perlu ada regulasi hukum yang jelas terkait kepada pengelolaan lingkungan hidup terutama dalam hal pelaksanaannya. Saat ini kita telah memiliki berbagai konsep regulasi hukum yang diaplikasikan pada bentuk Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah, tetapi mengapa masih saja timbul berbagai konflik terkait dengan pengelolaan lingkungan. Berikut akan dipaparkan secara luas dan gamblang mengenai fenomena konflik lingkungan.
II. Urgensi
Saat ini banyak kasus-kasus yang terjadi dalam pengelolaan lingkungan, baik yang berskala kecil maupun berskala besar. Mulai dari konflik pengelolaan sumber daya perairan sampai pada benyaknya konflik yang timbul dalam pengelolaan sumber daya hutan. Kondisi ini mengartikan bahwa pentingnya untuk membicarakan permasalahan konflik lingkungan hidup sebagai suatu langkah dasar dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pada dasarnya, sangat penting untuk menemukenali akar/penyebab konflik, sehingga kita dapat mengetahui permasalahan secara mendasar. Selain itu, penting juga untuk mengidentifikasistakeholders yang terkait. Hal ini menjadi penting mengingat masing-masing pihak memiliki berbagai kepentingan yang berbeda. Diharapkan melalui pengidentifikasian ini, kita dapat mensinergiskan stakeholders terkait sesuai dengan peran masing-masing pihak sehingga nantinya dapat mengantisipasi timbulnya konflik.
III. Sumber Daya Alam Dan Lingkungan
Berbicara mengenai Sumber Daya Alam (SDA) mencakup pengertian yang sangat luas, merupakan unsur pembentuk lingkungan yang sangat kompleks, dinamis, saling berinteraksi satu sama lainnya. Mengacu pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997, Pasal 1 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,dimana lingkungan hidup dapat diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan,
dan pengendalian lingkungan hidup. SDA seperti air, udara, tanah, hutan dan lainnya merupakan sumberdaya yang penting bagi kelangsungan hidup mahkluk hidup termasuk manusia. Bahkan, SDA ini tidak hanya mencukupi kebutuhan hidup manusia, tetapi juga dapat memberikan kontribusi besar terhadap kesejahteraan yang lebih luas. Namun, semua itu bergantung pada bagaimana pengelolaan SDA tersebut, karena pengelolaan yang buruk berdampak pada kerugian yang akan ditimbulkan dari keberadaan SDA, misalnya dalam bentuk banjir, pencemaran air, dan sebagainya.
Dalam hal ini, setidaknya keberadaan sumber daya alam memiliki berbagai fungsi, yaitu ;
1. Fungsi ekonomi dan sosial/budaya; dan kedua, ekologis/sistem penyangga
kehidupan
2. Berfungsi ekonomi maksudnya sumber daya alam menyediakan beragam materi
dan energi yang dibutuhkan untuk menunjang kelangsungan proses produksi.
Sedangkan fungsi sosial/budaya berkaitan dengan keberadaannya sebagai media
sebagian masyarakat dalam berinteraksi antar kelompok sosial maupun dengan
sistem kepercayaan dengan tuhannya atau mempunyai fungsi psychophysiologic
(sebagai insprasi sumber kepercayaan dan aktifitas religius), educational and
scientific services (penelitian dan pendidikan lingkungan) serta source of land and
living space (sumber lahan dan tempat tinggal suku-suku tertentu). Fungsi
ekologis, berkaitan dengan berbagai komponen lingkungan yang membentuk
ekosistem dan keseimbangannya diperlukan dalam menjaminkan berbagai
aktivitas kehidupan makhluk hidup.
IV. Konflik
Banyak definisi yang berkaitan dengan konflik. Konflik bisa diartikan sebagai gangguan emosi yang merupakan akibat benturan pandangan yang saling bertentangan atau ketidakmampuan menangani pandangan-pandangan dengan pertimbangan realistis maupun moral. Konflik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Berdasar Posisi para pelaku : Konflik Horisontal & Konflik Vertikal
b. Berdasar bentuk/dampak yang muncul dari konflik : Konflik Tertutup & Konflik Terbuka, mengarah pada kekerasan/kerusakan
c. Klasifikasi berdasarkan lamanya konflik : Konflik Sesaat (spontan) & Konflik Berkepanjangan (underlying)
d. Klasifikasi berdasarkan rencana target : Konflik Sistematis & Konflik Non-Sistematis
e. Berdasar level konflik : Intrapersonal, interpersonal, intragroup, intergroup, kombinasi, dll; melihat dimana level konflik terjadi (top manajemen, middle atau low manajemen)
f. Berdasar sumber/akar konflik : perbedaan kepribadian, nilai/budaya, data/informasi,, struktural, konflik kepentingan/kekuasaan, dll
g. Berdasar bidang konflik : etnis, politik, ekonomi/perebutan SDA, konflik sosial, dll
h. Berdasar tahapan kegiatan : perencanaan, pengorganisasian, implementasi, pengawasan dan evaluasi
i. berdasar bentuk potensi penyelesaian konflik : melalui hukum adat, penyelesaian
Dalam hal ini, konflik struktural sering menjadi penyebab terjadinya konflik lingkungan/SDA. Konflik ini berpangkal pada adanya ketimpangan sosial, ekonomi dan politik antara para pihak, termasuk dalam akses terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Terkait dengan SDA, secara umum terdapat beberapa hal yang menjadi faktor rentan konflik, yakni:
a. SDA bersifat dependent dan keterpautan, artinya adanya ketidakseimbangan satu komponen akan berakibat pada komponen yang lain. Demikian juga perubahan disuatu lokasi akan meningkatkan akibat ditempat lain.
b. SDA pada dasarnya bersifat terbatas dan bersifat langka (scarcity), sedangkan disi lain kebutuhan dan permintaan akan selalu meningkat. Untuk itulah akan terjadi persaingan antar pihak yang berkepentingan terhadap SDA tersebut.
SDA digunakan masyarakat dengan cara yang ditentukan oleh budaya dan latar belakangnya. Orang berkompetisi terhadap lahan, hutan dll bukan hanya sebagai sumber ekonomi tetapi juga bagian dari cara hidupnya/budaya
V. Konflik Lingkungan
Konflik lingkungan merupakan konflik yang terjadi pada tataran perencanaan maupun pengelolaan lingkungan. Berbagai opini muncul untuk memahami konflik lingkungan ini, terutama hal-hal yang menyangkut regulasi. Terdapat tiga ruang lingkup yang dapat menjelaskan tataran konflik lingkungan, yaitu konflik kebijakan pengelolaan, konflik pada tataran kewenangan dan peran serta konflik yang terkait pada isu-isu di tinkat grass root.
1. Konflik kebijakan pengelolaan
Konflik pada tingkatan ini merupakan konflik yang berada pada tataran regulasi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan. Banyak konflik lingkungan yang timbul sebagai akibat dari adanya kebijakan yang kabur (tidak jelas), adanya kebijakan yang tumpang tindih antara pusat dan darerah serta adanya tumpang tindih kebijakan lama dan kebijakan yang baru. Bagaimana mungkin melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan baik apabila pada tingkatan regulasi saja sudah terdapat berbagai tumpang tindih regulasi. Bercermin pada hal ini, diharapkan kepada pihak pemerintah, khususnya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota agar dapat mensinergiskan berbagai kebijakan maupun regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga antar kebijakan maupun peraturan dapat saling mendukung, baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun antara kebijakan yang telah lama dengan kebijakan yang baru.
1. Konflik kewenangan dan peran
Konflik ini biasanya muncul sebagai akibat dari adanya tarik menarik peran antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Banyak terdapat sistem pelaksanaan yang mengakibatkan munculnya tarik menarik peran. Hal ini didukung seiring dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah. Di satu sisi, pihak pemerintah daerah merasa memiliki peran wewenang yang lebih besar dibandingkat pemerintahan pusat. Sementara disisi lain pemerintah pusat mengklaim bahwa peran dan wewenang tersebut berada di tangan mereka.
1. Konflik yang terkait terhadap isu-isu di level grass root
Pada tingkatan ini, konflik biasanya terjadi seputar permasalahan hak ulayat, proverty dan disparitas dalam pengelolaan lingkungan. Di satu sisi masyarakat merasa memiliki lingkungan sekitarnya yang merupakan hak turun temurun dari leluhur mereka sementara di sisi lain mereka tidak memiliki bukti-bukti / legalitas secara hukum. Konflik yang timbul pada tingkatan ini nantinya akan menimbulkan suatu konflik yang bersifat struktural.
Berdasarkan ruang lingkup konflik lingkungan diatas, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengapa konflik lingkungan dapat terjadi? Terdapat berbagai konsep yang dapat menjelaskan penyebab timbulnya konflik lingkungan. Tentu saja untuk mengidentifikasinya kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana kondisi dan latar belakang sosial yang ada. Terdapat enam hal yang menjadi penyebab utama timbulnya konflik lingkungan.
1. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari konsep bahwa lingkungan adalah
sebuah sistem yang dapat mengalami kerusakan pada waktu dan bagian tertentu,
sehingga banyak terjadi eksploitasi dan monopoli terhadap lingkungan.
2. Lingkungan bersifat common resources, dimana akan terjadi terik menarik
kewenangan dan tanggungjawab antara pihak-pihak yang terkait dan yang
berpotensi untuk terlibat.
3. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari regulasi yang mengatur tata cara
pengelolaan lingkungan tersebut.
4. Bersifat scarcity, dimana pada waktunya nanti akan terjadi suatu kelangkaan
sehingga muncul berbagai keinginan dari berbagai pihak yang cenderung untuk
menguasai
5. Konsep lingkungan yang hanya dipandang pada koridor ekonomi saja, dimana
pada dasarnya lingkungan juga memiliki fungsi sebagai identitas sosial
VI. Manfaat Konflik
Konflik secara harfiah merupakan suatu aspek yang bernilai negatif, tetapi apabila kita telusuri dan cermati dengan mendalam, tidak selamanya konflik membawa dampak negatif (hal ini bukan berarti kita menimbulkan konflik dengan sengaja). Manfaat yang diperoleh adalah manfaat yang bersifat start
point dimana kondisi konflik dapat memberikan berbagai kemudahan dalam melakukan berbagai perbaikan. Yang kita perlukan untuk memanfaatkan konflik sebagai suatu keuntungan adalah dengan adanya managemen konflik yang baik sehingga dapat memberikan nilai positif. Berikut akan dipaparkan beberapa manfaat konflik.
1. Konflik dapat mengartikulasikan kesadaran diri/kelompok atau lembaga tentang adanya dari suatu masalah yang lebih serius. Dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan ada kalanya kita mendapatkan curahan pendapat dari berbagai kelompok tentang tidak tepatnya cara pengelolaan lingkungan
2. Peluang untuk mengembangkan hubungan yang konstruktif antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda. Adanya konflik dapat membuka peluang bagi pihak yang menguasai sumber daya untuk mengetahui lebih dalam lagi apa yang dipersoalkan oleh pihak yang mengajukan keberatan, adakalanya juga di dalam orang yang tadinya mempersoalkan tentang pengelolaan lingkungan kemudian menjadi kawan sejalan dan seiring
3. Membawa penyadaran akan keberadaan pihak lain
Konflik akan membawa kita untuk lebih mengenali pihak lain;
• siapa dia,
• darimana dia,
• kenapa dia seperti itu,
• apa yang menjadi motivasinya
• Siapa saja temannya
4. Pemecahan masalah yang lebih baik
Adanya konflik kemudian memacu perdebatan dan adu argumentasi antara para pihak yang berkonflik, perdebatan tersebut kadangkala diikuti dengan tawaran-tawaran alternatif penyelesaian masalah dari berbagai pihak. Analisis masalah dan alternatif penyelesaian ini membawa para pihak yang bertikai untuk mensinergikan penyelesaian masalah secara lebih bijaksana dan acceptable
5. Meningkatkan produktivitas
Di dalam pengelolaan lingkungan,terdapat beberapa kelompok yang terlibat. Pihak pihak yang terlibat ini tidak dapat berpartisipasi sepenuhnya (terkadang karena terpaksa karena tidak punya pilihan), hal ini mengakibatkan kinerja program tidak optimum, mengenali sejak dini gejala ini akan mempengaruhi kinerja dan produktivitas menjadi lebih baik, apabila masalah tersebut dikelola dan terselesaikan dengan baik.
6. Merangsang Pengembangan Kelembagaan
Adanya konflik, seringkali mengganggu hubungan antar instutusi yang terlibat. Tetapi apabila hubungan tersebut dapat diuraikan berdasarkan masalahnya, maka ide-ide baru yang muncul dalam penyelesaiaan masalah tersebut dapat dijadikan landasan untuk menata hubungan antar institusi yang lebih sinergis, terkoordinasi dan produktif
7. Ajang Pemberdayaan
Interkasi yang terbangun selama proses penyelesaian konflik, akan membuat para pihak untuk dapat memahami dan mengetahui pihak lain, mengeluarkan ide-ide melalui tawaran-tawaran solusi berdasarkan basis sumber daya yang ada. Interaksi ini akan menjadi ajang pemberdayaan apabila pihak yang mengajukan komplain atau yang di komplain ikut terlibat dalam proses pengambilan keptusan terhadap penyelesaian masalah yang dikonflikkan
9. Keuntungan Sosial Ekonomi
Apabila konflik dapat dikelola dengan baik sejak awal untuk mencari upaya sinergis, maka kinerja akan meningkat dan menjadi lebih efisien. Hal ini tentu saja akan menjadi penghematan biaya yang secara tidak langsung, biaya tersebut dapat dialokasikan untuk berbagai kebutuhan yang lain.
VII. Stakeholder
Identifikasi stakeholders merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya konflik. Indentifikasi disini tentu saja bukan hanya melihat siapa saja stakeholdersnya tetapi lebih kepada melihat apa peran, wewenang dan kepentingannya. Dalam pengelolaan lingkungan, stakeholders dapat dibagi kedalam tiga bagian, yaitu masyarakat, pemerintah dan dunia usaha (korporat).
Peran Pemerintah : DPRD dan Dewan Evaluasi Kota
Secara umum, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki peran yang mengacu pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 (Pasal 10) kewajiban pemerintah adalah :
1. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan
tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup
2. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan kesadaran
akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
3. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan
antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup
4. Mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan
lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup
5. Mengembangkan dan mengembangkan perangkat yang bersifat preemtif,
preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan
daya tampung lingkunagn hidup
6. Memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup
7. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup
8. Menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada
masyarakat;
9. Memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang
lingkungan hidup
Sementara itu, mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 6 tahun 2005, DPRD secara mendasar memiliki fungsi legislatif, anggaran dan pengawasan. DPRD memiliki wewenang untuk membentuk Perda dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam konteks pengelolaan lingkingan, pihak DPRD diharapkan dapat membuat berbagai regulasi yang dituangkan dalam bentuk Perda ataupun peraturan perundang-undangan dimana pembentukan peraturan tersebut berdasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang berbasis padasustainibility dan partisipatif. Hal ini menjadi dasar yang sangat penting mengingat pengelolaan lingkungan yang berbasis pada kosep tersebut dapat meminimalisasi terjadi konflik khususnya konflik dalam pengelolaan lingkungan.
Secara lebih spesifik, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki berbagai peran yang berada pada tataran kebijakan dan fasilitasi. Dalam hal ini DPRD dan Dewan Evaluasi Kota diharapkan dapat berperan sebagai :
1. Regulator dalam pembuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut pengelolaan
lingkungan hidup.
2. Mediator multi stakeholders, dimana berfungsi memfasilitasi stakeholders lain
(masyarakat dan dunia usaha) dalam usaha melakukan pengelolaan lingkungan
yang baik dan berkelanjutan
3. Sebagai mitra dari eksekutif dan legislatif untuk melakukan evaluasi atas berbagai
kebijakan pembangunan lingkungan di suatu daerah
4. Menyiapkan rekomendasi atas berbagai temuan masalah dan hasil evaluasi yang
dilakukan
Selain hal tersebut diatas, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota juga harus berada pada koridor konsep environmental leadership dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Dalam melaksanakan fungsi dan perannya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota sebaiknya dapat membangun kesadaran kritis terhadap isu-isu lingkungan, memotivasi dan mengembangkan kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan aksi. Hal ini mengartikan sejauh mana orang mempunyai pemahaman yang koperhensif beta pentingnya menjaga lingkungan, agar lingkungan itu kondusif buat generasi selanjutnya sepanjang masa, ini terkait kepada
tingkatan DPRD dan Dewan Evaluasi Kota adalah pada pengambil kebijakan, sehingga diharapkan segala regulasi yang dibentuk dapat benar-benar dibentuk sinergis dengan berbagai elemen stakeholders. Perlu juga menjadi perhatian bahwa untuk mewujudkan konsep environmental leadership, harus didukung oeh suatu sistem yang benar-benar kondusif sehingga peningkatan kapasitas dapat dilakukan seiring dengan perbaikan sistem.
VIII. STRATEGI PENGELOLAAN KONFLIK :Menemukan Penyelesaian
Bagaimana wujud praktis pengelolaan konflik yang bukan sekedar teori di buku tetapi dapat diterapkan di lapangan? Teknik apa saja yang harus dilakukan? Secara teoritis, penyelesaian konflik yang ideal dilakukan dengan prinsip ”musyawarah untuk mufakat”. Namun pada kenyataannya, yang terjadi di berbagai kasus konflik lingkungan hidup adalah sulitnya untuk mensistematiskan penyelesaian konflik agar sesuai dengan tahap-tahap yang tertulis dalam teori.
Terdapat 3 pendekatan yang dapat dilakukan dalam mengelola konflik, yaitu:
1. Konvensional
2. Konfrontatif
3. Akomodatif
Tentu saja dalam strategi pengelolaan konflik bisa jadi merupakan gabungan beberapa pendekatan, atau bisa juga tidak semua strategi yang biasa diterapkan di lapangan dapat di golongkan sebagai salah satu pendekatan tersebut, melainkan merupakan suatu pendekatan baru. Pada implementasinya, dalam menentukan pendekatan yang ingin digunakan untuk mengelola konflik, kembali lagi harus disesuaikan dengan karakteristik lokal, permasalahan seperti apa yang menjadi sumber terjadinya konflik, serta pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam konflik.
Pendekatan Konvensional
Dalam pendekatan konvensional, sejak dini telah dilakukan identifikasi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumber daya. Hal ini dilakukan untuk menghindari munculnya konflik terbuka sedapat mungkin.
Cara lain yang digunakan dalam pendekatan ini adalah melalui cara-cara pasif yang merupakan penyelesaian sepihak, tanpa kesepakatan atau perundingan dengan pihak lain. Pada umumnya, cara ini bukan menyelesaikan konflik tetapi lebih kepada meredam konflik agar tidak cepat muncul ke permukaan, lalu menjadi konflik terbuka yang diketahui oleh khalayak umum.
Pendekatan Konfrontatif
Dalam pendekatan konfrontatif, pihak-pihak yang bertentangan saling mempertahankan posisinya dan berupaya meyakinkan pihak lain akan ”kebenaran” posisinya. Cara-cara yang biasanya dilakukan antara lain melalui demonstrasi, sabotase, ancaman, atau bahkan kekerasan
Pendekatan ini tidak disarankan dalam penyelesaian permasalahan yang melibatkan masyarakat, karena berdasarkan pengalaman yang sering terjadi, penggunaan cara-cara konfrontatif hanya akan menyulut terjadinya benturan-benturan lain, bukannya menyelesaikan masalah.
Pendekatan Akomodatif
Pendekatan akomodatif menekankan pentingnya cara-cara yang kooperatif, dimana pihak-pihak yang bersengketa bersedia untuk bekerja sama dalam mengupayakan penyelesaian konflik bersama. Memang tidak mudah untuk mencapai solusi tersebut, tetapi bukan tidak mungkin juga untuk dilakukan. Pendekatan ini mencakup tawar-menawar(bargaining), perwasitan (arbitrase), dan berunding (negosiasi, mediasi).
Dalam proses tawar-menawar, masing-masing pihak yang bersengketa harus merumuskan terlebih dahulu apa yang ingin dipenuhi oleh pihak lain (tuntutan) dan apa yang bersedia diberikan kepada pihak lain untuk memenuhi tuntutan dari mereka? Disinilah terjadi proses tawar menawar, dimana secara bergantian masing-masing pihak menawarkan kompromi (mengurangi tuntutan) sambil mencoba meyakinkan pihak lain untuk mau memenuhi tuntutannya
Dalam arbitrase, pihak-pihak yang bersengketa bersepakat untuk menyerahkan keputusan penyelesaian sengketa kepada seorang wasit (arbitrator), yaitu pihak ketiga yang dipercaya kedua belah pihak mampu membantu menyelesaikan konflik yang ada. Biasanya, seorang arbitrator telah memahami permasalahan yang terjadi, sehingga ia dapat bersikap adil dalam menyelesaikan konflik. Salah satu contoh kasus arbitrase yang sering terjadi di pedesaan adalah manakala para petani yang bersengketa mengadukan permasalahannya kepada pemimpin adat, lalu menyerahkan keputusan penyelesaian sengketa kepada pemimpin adat tersebut
Cara lain yang paling umum digunakan dalam menyelesaikan konflik adalah dengan cara perundingan. Hasil yang diharapkan dari pendekatan ini adalah ”win win solution”, yaitu pemecahan yang menguntungkan semua pihak secara optimal dan berimbang. Proses perundingan dapat dilakukan dengan mediasi atau tanpa mediasi. Mediasi diperlukan apabila pokok sengketa telah meluas dan menjadi rumit, sehingga dibutuhkan pihak lain yang dianggap mampu membantu pihak yang bersengketa untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang dapat memenuhi kebutuhan mereka secara berimbang
IX. Pustaka
Budimanta Arif, 2005. ”Memberlanjutkan Pembangunan Diperkotaan Melalui Pembangunan Berkelanjutan”, Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21 : Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia, Jakarta : Yayasan Sugijanto dan Urban and Regional Development Institute.
Budimanta Arif, 2005. ”Menuju Sustainable Future”,Sustainable Future : Menggagas Warisan Peradaban Bagi Anak Cucu Seputar Wacana Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat, Jakarta : ICSD.
Budimanta Arif dkk, 2005. Environmental Leadership, Jakarta : ICSD .
http://www.ypb.or.id/lh/uu9723.html, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Indonesia Center for Sustainable Development, 2003 “Data Pengembangan Masyarakat”
Minulya, Budi Retno, 2006. ”Materi Pelatihan : Conflict Management in Corporate Sosial Responsibilityand Community Development”, Jakarta : ICSD.
Moeliono, Ilya dkk, 2003. “Memadukan Kepentingan Memenangkan Kehidupan”, Bandung : Studio Driya Media bekerjasama dengan World Neighbors, Konsorium pengembangan Masyarakat Nusa Tenggara dan dukungan dari Ford Foundation.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 : Tentang Pilkada, Surabaya : Karina.
About these ads
Tulisan ini dikirim pada pada Senin, Oktober 20th, 2008 5:07 am dan di isikan dibawah Opini. Anda dapat
meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda dapat merespon, or trackback dari website
anda.
Navigasi tulisan
« Previous Post Next Post »
Tinggalkan Balasan
ARSIP
o Maret 2012
o Februari 2012
o Januari 2012
o Desember 2011
o Juni 2011
o Mei 2011
o April 2011
o Februari 2011
o Januari 2011
o September 2010
o Agustus 2010
o September 2009
o Oktober 2008
o September 2008
LINK
o AMAN – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
o icsd
o Lati Tana Adat Takaaq
o LAWALATA IPB
o Megawati Institute
o PDIP
o Tijok
o Tjiliwoeng Dreams
TULISAN TERKINI
o besaran subsidi BBM
o Kualitas Pertumbuhan EKonomi Masih Perlu Perhatian
o 465
o Makro Ekonomi Tumbuh, Kemiskinan Masih Merebak
o Potret APBN 2011: Miskin Kinerja, Utang Tambah Jadi Rp 1.800 Triliun
KATEGORI
The Contempt Theme.
Blog pada WordPress.com.
Ikuti
Follow “Arif Budimanta”
Get every new post delivered to your Inbox.
Powered by WordPress.com
(http://abudimanta.wordpress.com/2008/10/20/pengelolaan-lingkungan-hidup-%E2%80%9Csuatu-langkah-menuju-sinergitas%E2%80%9D/)
Sign me up
top related