bahan ajar geomorfologi umum -...
Post on 25-May-2018
244 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAHAN AJAR
GEOMORFOLOGI UMUM
Disusun Oleh:
Dr. Yushardi, S.Si., M.Si.
Fahmi Arif Kurnianto, S.Pd., M.Pd.
Bejo Apriyanto, S.Pd., M.Pd.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Hakikat Geomorfologi
Geomorfologi adalah studi yang mengkaji bentuk-bentuk permukaan
bumi beserta proses yang membentuknya. Geomorfologi mempelajari genesa serta
pengklasifikasian permukaan bumi (relief). Relief tersebut terbentuk oleh berbagai
macam proses baik yang berasal dari astenosfer, litosfer, atmosfer, maupun
antroposfer.
Astenosfer dan litosfer memegang peranan penting dalam membangun
bentukan lahan. Dari sinilah dimulai terbentuknya lahan yang asli (pembentukan
awal) dan belum dipengaruhi oleh proses eksogen. Pada umumnya, bentukan lahan
yang masih pada tahap awal akan berdampak pada kelestarian lingkungan yang
masih terjaga. Pembentukan lahan bersifat dinamis, hal ini berarti ada kemungkinan
suatu lahan akan mengalami perubahan yang dalam hal ini banyak dipengaruhi oleh
atmosfer dan antroposfer.
Kajian geomorfologi meliputi kenampakan sebagai bentang alam
(landscape) sampai pada satuan terkecil sebagai bentuk lahan (landform). Bentuk
lahan terdiri atas struktural, vulkanik, karst, alluvial, marine, aeolian, glasial, dan
antropogenik yang terbentuk oleh tenaga endogen maupun eksogen. Identifikasi
bentuk lahan dapat dilakukan dengan pengamatan lapangan maupun interpretasi citra
satelit dan foto udara (penginderaan jauh).
Suatu bentuk lahan akan berasosiasi dengan kondisi fisik suatu wilayah
yang mempengaruhi pola hidup masyarakatnya. Hal itu menjadikan identifikasi
bentuk lahan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Bentuk lahan juga merupakan
salah satu parameter fisik dalam suatu kajian beberapa kajian antara lain: erosi,
kekeringan, ketersediaan air bersih, longsor, maupun pengembangan wilayah.
3
Teknologi penginderaan jauh akan memudahkan analisis bentuk lahan
suatu wilayah. Kemudahan tersebut berupa efisiensi dalam mengidentifikasi serta
menganalisis bentuk lahan suatu wilayah secara komprehensif. Efisiensi waktu dan
tenaga merupakan kelebihan analisis penginderaan jauh daibandingkan dengan
pengamatan langsung lapangan.
Berdasarkan suku katanya, arti geomorfologi adalah sebagi berikut:
Geo : bumi
Morfo : bentuk
Logos : ilmu/uraian
Jadi Geomorfologi artinya uraian tentang bentuk bumi.
Secara umum Geomorfologi yaitu studi bentuk lahan (landform) (Lobeck,
1939). Menurut Thornbury (1958) Geomorfologi ialah ilmu pengetahuan yang
mengkaji tentang bentuk lahan. Cooke (1974) mengatakan bahwa Geomorfologi
adalah studi bentuk lahan dan pemekarannya pada sifat alamiah asal mula, proses
pengembangan dan komposisi materialnya. Van Zuidam (1979) menyebutkan bahwa
geomorfologi adalah studi bentuk lahan serta proses-proses yang mempengaruhi
pembentukannya dan menyelidiki hubungan antara bentuk dan proses dalam tatanan
keruangannya. Menurut Verstappen (1983) Geomorfologi merupakan ilmu
pengetahuan tentang bentuk lahan pembentuk muka bumi, baik di atas maupun di
bawah permukaan air laut, dan menekankan pada asal mula dan perkembangan di
masa mendatang serta konteksnya dengan lingkungan.
Berdasarkan definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa objek kajian utama
dari Geomorfologi adalah bentuk lahan. Saat ini geomorfologi diaplikasikan dalam
berbagai bidang, sehingga melahirkan berbagai spesialisasi Geomorfologi, seperti:
Geomorfologi Teknik; Geomorfologi Sumberdaya; Geomorfologi Lingkungan;
Geomorfologi Dinamik dan sebagainya.
4
2. Geomorfologi dan Hubungannya dengan ilmu yang lain
Menurut Lobeck (1939) Geomorfologi merupakan bagian Fisiografi yang
mengkaji sebagian dari kulit bumi kita. Kedudukannya sama dengan Meteorologi dan
Klimatologi yang membahas atmosfer dan Oseanografi yang membahas perairan laut.
Hal tersebut dapat digambarkan pada skema berikut :
Geomorfologi : lithosfer
Fisiografis Meteorologi/klimatolgi: atmosfer
Oceanografi: hidrosfer
Awalnya, geomorfologi menjadi bagian Geologi yang membahas lithosfer
bagian terluar, akan tetapi sekarang kedudukan Geomorfologi sejajar dengan Geologi,
yang sama-sama mengkaji lithosfer dengan tinjauan yang berbeda. Geomorfologi
bertujuan untuk mengkaji pola fisik bentuk lahan yang berdampak pada tatanan
kehidupan, sedangkan geologi fokus terhadap formasi batuan pembentuk bumi
beserta proses-proses yang menyertainy. Secara skematik kedudukan Geomorfologi
diantara Fisiografi dan Geologi terlihat pada gambar 1.
5
Gambar 1. Kedudukan Geomorfologi diantara Fisografi dan Geologi.
Hubungan Geomorfologi dengan Geografi yakni geomorfologi merupakan ilmu
bantu Geografi yang mengkaji aspek fisik, kedudukannya sama dengan
Hidrologi, Meteorologi /Klimatologi, Oseanografi, Ilmu Tanah, dan Biogeografi.
Hubungan Geomorfologi dengan Geografi dapat dilihat pada skema
seperti pada
gambar 2:
Geologi 1. Geomorfologi 2. Hidrologi
Lingk. Fisik 3. Meteorologi/klimatologi
4. Oceanografi 5. Biogeografi
Bumi Geografi Manusia Kartografi dan
Penginderaan Jauh S I G
Lingk. Manusia 1. Geografi Manusia
2. Geografi Penduduk
3. Geografi Ekonomi
4. Geografi Politik
Geodesi Ukuran-ukuran 5. Geografi Regional
Gambar 2. Kedudukan Geomorfologi dalam Geografi
6
Kajian Geografi harus
menyangkut: Ruang (spasial)
data
Waktu (tempora1) history
Kartografi + Penginderaan Jauh + Sistem Informasi Geografis
3. Beberapa Istilah Pokok
a. Bentuk: lahan (landform)
adalah setiap unsur bentang lahan (landscape) yang diindikasikan oleh ekspresi
permukaan yang jelas, struktur internal atau keduanya menjadi pembeda yang
mencolok dalam mendiskripsikan fisiografi suatu daerah (Howard dan Spok,
1940)
b. Medan (Terrain) adalah sebidang lahan yang memiliki ciri kompleksitas
atribut fisik dari permukaan lahan atau dekat permukaan (Van Zuidam, 1974).
c. Lahan (land) adalah wilayah di permukaan bumi dengan semua atribut geosfer
yang secara vertikal meliputi atmosfer, tanah, geologi, geomorfologi,
Hidrologi,tumbuhan dan binatang, dan basil aktivitas manusia masa lalu dan
sekarang (FAO, 1976).
d. Bentang lahan/bentang alam (landscape)
adalah gabungan dari beberapa bentuk lahan, seperti: dataran rendah, pegunungan
lipatan, daerah karst, dsb (Verstappen, 1983)
Catatan : Bentuk lahankenampakan tunggal misal: mesa, tanggul alam,
7
Faktor-faktor yang mempengaruhi bentang lahan, merupakan interaksi dari batuan;
bentuk lahan; tanah; udara; air; laut; flora-fauna; manusia.
8
BAB II
PROSES DAN GAYA
Permukaan bumi selalu berubah setiap waktu (dinamis) sebagai akibat proses
geomorfologi. Proses geomorfologi berasal dari astenosfer dan litosfer dihasilkan
oleh tenaga endogen atau sering disebut gaya endogen, sedangkan yang berasal dari
luar litosfer disebabkan oleh tenaga eksogen atau sering disebut proses eksogen.
A. Tenaga Endogen
Tenaga endogen merupakan tenaga dari inti bumi yang membentuk
keberagaman permukaan bumi. Tenaga ini terdiri atas tektonisme (diastrofisme),
vulkanisme dan gempa (seismik). Diastrofime terdiri atas tenaga epirogenesa dan
orogenesa. Tenaga epirogenesa merupakan proses pengangkatan (negatif) atau
penurunan (posistif) letak bumi di wilayah yang luas dengan kecepatan relatif lambat.
Contoh epirogenesa positif yakni turunnya pulau-pulau di Indonesia Timur, dan
akibat epirogenesa negatif adalah pengangkatan benua Asia.
Tenaga Orogenesa merupakan pengangkatan pada daerah relatif sempit dalam
waktu singkat. Contohnya yakni terbentuknya pegunungan lipatan di zona utara Jawa
Timur (Pegunungan Kendeng). Tenaga ini sering disebut tenaga pembentuk
pegunungan.Vulkanisme merupakan proses keluarnya magma ke permukaan bumi,
baik melalui pipa kepundan maupun celah-celah batuan. Konfigurasi permukaan
bumi yang dihasilkan oleh proses vulkanisme berupa bentuk lahan asal proses
vulkanik.
Gempa bumi adalah proses dislokasi permukaan bumi, baik disebabkan oleh
tektonisme, vulkanisme maupun terban (tanah runtuh). Gempa bumi ini kurang
berperan dalam membentuk permukaan bumi dibandingkan tenaga endogen lain.
Tenaga endogen, terutama diastrofisme dan vulkanisme sangat berpengaruh
terhadap pembentukan struktur geologi, antara lain: struktur horizontal, lipatan,
patahan, sesar, volkan, kubah, pegunungan kompleks.
9
B. Tenaga Eksogen
Proses eksogen berlangsung pada permukaan bumi dan tenaganya berasal dari
luar kulit bumi (air, angin, iklim, sinar matahari). Tenaga yang bekerja meliputi
semua proses alami yang mampu mengikis dan mengangkut material di permukaan
bumi. Tenaga eksogen dapat berupa pelapukan, baik pelapukan mekanis (fisis),
kimiawi, organik maupun campuran; gerakan massa batuan, dan erosi. Tenaga yang
menggerakkan dapat berupa: air mengalir, air tanah, gelombang dan arus, tsunami,
angin dan gletser. Berdasarkan proses yang bekerja pada permukaan bumi dikenal
proses: fluvial, marin, eolian, glasial, pelapukan dan gerakan massa batuan. Akibat
bekerjanya proses tersebut terjadilah proses gradasi yang terdiri atas degradasi dan
agradasi. Proses degradasi menyebabkan penurunan permukaan bumi, sedangkan
agradasi menyebabkan kenaikan permukaan bumi. Pada proses degradasi tercakup
proses yang diawali oleh pelapukan, gerak massa batuan dan erosi. Berlangsungnya
proses eksogen tersebut dipengaruhi oleh faktor geologi (jenis batuan, sikap
perlapisan dan struktur geologi), iklim, topografi, vegetasi dan tanah.
1. Pelapukan (Weathering)
Secara umum pelapukan diartikan sebagai proses hancurnya massa batuan oleh
tenaga eksogen. Menurut Ollier (1963) pelapukan adalah proses penyesuaian kimia,
mineral dan sifat fisik batuan terhadap kondisi Iingkungan di sekitamya sehingga
batuan tersebut mengalami deformasi.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pelapukan adalah:
a. Jenis batuan terdiri atas kandungan mineral, retakan yang dimiliknya, bidang
pelapisan, patahan dan rekahan menyebabkan adanya perbedaan tingkat resistensi
terhadap pengaruh ekternal. Batuan yang resisten lebih lambat terkena proses
eksternal sehingga tidak mudah lapuk. Sebaliknya batuan tidak resisten lebih cepat
terkena proses resisten sehingga mudah lapuk.
Contoh: - Limestone, resisten pada iklim kering, tetapi tidak resisten pada iklim
basah.
10
- Granit, resisten pada iklim basah, tetapi tidak resisten pada iklim kering.
b. Iklim, khususnya temperatur dan curah hujan akan mempengaruhi tingkat
pelapukan pada jenis pelapukan.
Contoh : - iklim kering, jenis pelapukannya = mekanik/fisis
- iklim basah, jenis pelapukannya = kimia
- iklim dingin, jenis pelapukannya = mekanik
c. Vegetasi , berperan sebagai penutup sinar matahari, sehingga akan memperlambat
pelapukan mekanis. Selain itu, vegetasi juga berperan sebagai pemasok asam
organik dan CO2 ke dalam tanah, sehingga akan mempercepat pelapukan kimia.
d. Topografi yang kemiringannya besar dan menghadap arah datangnya sinar
matahari/arah hujan, maka akan mempercepat proses pelapukan.
Pelapukan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:
a. Pelapukan Fisik/mekanis yaitu pelapukan yang disebabkan oleh perubahan volume
batuan yang ditimbulkan oleh perubahan kondisi lingkungan atau karena intrusi
kedalam rongga/patahan batuan. Pada pelapukan fisik ini terjadi disintergrasi
batuan.
1. Perubahan kondisi lingkungan:
a.) Berkurangnya tekanan
Batuan beku yang penutupnya hilang menyebabkan volume berkurang sehingga
lingkungannya berubah, akibat selanjutnya tekanan pada batuan itu berubah. Oleh
karena tekanan berubah maka kemampuan memuai/menyusut berbeda-beda begitu
pula pada permukaan batuan, sehingga terjadilah retakan-retakan sejajar yang
menyebabkan pengelupasan batuan (ekfoliation).
b). Insolasi
Batuan yang terkena panas matahari akan memuai, tetapi tingkat pemuaian bagian
luar dan bagian dalam dari batuan tidak sama. Ketidaksamaan tingkat pemuaian
tersebut menyebabkan batuan pecah.
11
c). Akar tanaman.
Akar tanaman yang masuk ke dalam batuan menyebabkan batuan mengalami
pelapukan fisik (pecah). Asam organik yang dikeluarkan akan menyebabkan
pelapukan kimiawi.
d). Hidrasi
Oleh karena proses hidrasi menyebabkan air masuk ke dalam pori-pori mineral.
Peristiwa ini didahului oleh pembentukan mineral baru. Masuknya air ke dalam
pori-pori mineral menyebabkan batuan menjadi lapuk.
e). Hujan dan Petir
Percikan air hujan dan petir menyebabkan batuan mengalami pelapukan fisik.
f). Binatang
Binatang yang menggali batuan lunak menyebabkan batuan mengalami pelapukan
fisik.
2) Interupsi ke dalam pori-pori/celah batuan
a). Frost Weathering (Frost Wedging)
Terjadi di daerah iklim dingin, yanag mana air membeku menyebabkan volume
bertambah ± 10% dan tekanan bertambah ± 1 ton/inci. Proses ini menyebabkan
batuan pecah karena mengalami beku celah (kryoturbasi)
b). Salt weathering
Terjadi di daerah iklim kering, air menguap meyebabkan garam-garaman, misal
NaCl, MgSO4 , KCL mengendap di dalam pori-pori batuan tersebut menekan batuan
hingga pecah.
b. Pelapukan Kimiawi yaitu pelapukan yang disebabkan oleh reaksi kimia terhadap
massa batuan. Air, oksigen dan gas asam arang mudah bereaksi dengan mineral,
sehingga membentuk mineral baru yang menyebabkan batuan cepat pecah. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas pelapukan kimiawi:
1). Komposisi batuan: ada mineral yang mampu bereaksi dengan air, oksigen dan gas
asam arang, ada juga yang tidak dapat bereaksi. Bagi mineral yang mudah
12
bereaksi dengan air, oksigen dan gas asam arang akan lebih cepat lapuk daripada
mineral yang sulit bereaksi dengan air, oksigen dan gas asam arang.
2). Iklim: daerah yang beriklim basah dan panas misalnya iklim hujan tropis akan
mempercepat proses reaksi kimia, sehingga batuan menjadi cepat lapuk.
3) Ukuran batuan: makin kecil ukuran batuan, semakin intensif pula reaksi kimia
pada batuan tersebut, berarti makin cepat pelapukannya.
4) Vegetasi dan binatang: dalam hidupnya vegetasi dan binatang menghasilkan asam
asam tertentu, oksigen dan gas asam arang sehingga mudah bereaksi dengan
batuan.
Artinya vegetasi dan binatang ikut mempercepat proses pelapukan batuan.
Jenis-jenis pelapukan kimiawi dapat dibedakan:
1) Pelarutan/penghancuran (Solution/dissolution)
yaitu pelapukan kimia yang disebabkan oleh mineral yang mengalami dekomposisi
karena pelarutan oleh air.
Contoh: kuarsa mengalami pelarutan
2) Hidrolisa
Yaitu pelapukan kimia yang disebabkan oleh air yang kemudian bereaksi langsung
dengan mineral penyusun batuan.
3) Karbonisasi
Yaitu pelapukan yang disebabkan oleh CO2 dan air membentuk senyawa ion
bikarbonat (HCO3) yang aktif bereaksi dengan mineral-mineral yang mengandung
kation-kation Fe, Ca, Mg, Na, dan K. Proses ini menimbulkan dekomposisi pada
batuan/perubahan fisik.
Contoh : - dekomposisi batuan gamping
- dekomposisi batuan granit
- dekomposisi batuan gabro
13
4) Oksidasi
Yaitu pelapukan kimia yang disebabkan oleh reaksi oksigen terhadap mineral besi
pada batuan, jika batuan dalam keadaan basah maka pelapukan akan intensif.
5) Hidrasi
Yaitu pelapukan kimia yang disebakan oleh penyerapan air oleh mineral ke dalam
struktur kristal batuan.
6). Desilikasi
Yaitu pelapukan kimia yang disebabkan oleh hilangnya silikat pada batuan,terutama
jenis basaltis.
Bentuk topografi hasil pelapukan pada umumnya berskala kecil, dibedakan
menjadi:
1) Differensial Weathering: bentukan ini terjadi karena tingkat resistensi batuan
sebuah daerah tidak sama, batuan resistensi lebih sulit lapuk, sedangkan yang tidak
resistensi ditemui torehan - torehan.
Contoh: Pinnacle (pilar-pilar batuan keras), Rock Padestal (batujamur).
2) Exfoliation dome:yaitu kubah yang permukaannya terkelupas karena erosi intensif.
3) Tor adalah batu-batu bundar hasil pengelupasan yang masih terlihat pada batuan
dasar.
4) Core stone: seperti tor yang pelapukannya terjadi di bawah permukaaan.
5) Spheriodally Wethered bouder yaitu batu-batu agak membulat karena pelapukan
fisik dan kimiawi yang intensif pada sudut-sudut batuan.
6) Pit hole adalah lubang-lubang kecil pada batuan atau bekas mineral yang lapuk,
misalnya: desilikasi.
7) Talus yaitu timbunan hasil pelapukan di kaki lereng terjal.
14
2. Gerakan Massa Batuan (Mass Wasting atau Mass Movement)
Mass wasting merupakan gerakan massa batuan/tanah yang ada di lereng dan
dipengaruhi oleh gaya berat (gravitasi) atau kejenuhan massa air.Terjadi pada lereng
yang labil, yaitu lereng yang gaya menarik (shear strees)nya lebih besar daripada
gaya menahan (shear strenght). Untuk lereng stabil (shear strenght) lebih besar shear
(stress) tidak terjadi gerakan massa batuan.
Faktor-Faktor Pengontrol Mass Wasting
a. Kemiringan lereng: makin besar sudut kemiringan lereng (curam-terjal) dari
suatu bentuk lahan semakin besar peluang terjadinya mass wasting, karena gaya
berat semakin besar pula.
b. Relief lokal: terutama yang mempunyai kemiringan lereng cukup besar, misalnya
kubah, maka mempunyai peluang yang besar untuk terjadi mass wasting.
c. Ketebalan hancuran batuan (debris) di atas batuan dasar: makin tebal hancuran
batuan yang berada di atas batuan dasar, makin besar pula potensi untuk
terjadinya mass wasting,karena permukaan yang labil makin besar pula.
d. Orientasi bidang lemah dalam batuan: pada umumnya mass wasting akan
mengikuti alur bidang lemah, karena orientasi bidang lemah tersebut akan lapuk
lebih dahulu kemudian materi yang lapuk akan bergerak. Bidang lemah itu
berupa kekar, retakan atau diabas.
e. Iklim: kondisi iklim di suatu daerah akan menentukan cepat/lambatnya gerakan
massa batuan. Bagi daerah yang beriklim basah cenderung mempunyai tingkat
kejenuhan air pada massa batuan tinggi, sehingga peluang terjadinya mass
wasting juga besar. Untuk daerah beriklim kering, pelapukan fisik cukup intensif
sehingga permukaan bentuk lahan menjadi daerah yang labil karena timbunan
hancuran batuan menjadi semakin tebal. Selain itu, terjadinya mass wasting.
Seperti daerah beriklim kering, daerah beriklim dingin juga intensif mengalami
pelapukan fisik sebagai akibat proses beku celah (kryoturbasi) sehingga peluang
terjadinya mass wasting juga besar.
15
f. Vegetasi: daerah yang tertutup oleh vegetasi/tumbuh-tumbuhan peluang untuk
terjadi mass wasting kecil, karena vegetasi dapat menahan laju gerakan massa
batuan di permukaan.
7. Gempa bumi: daerah yang sering mengalami gempa bumi merupakan daerah
labil, sehingga peluang terjadinya mass wasting besar.
8. Tambahan material di bagian atas lereng: di daerah gunung api aktif sering
terjadi penambahan material di bagian atas lereng akibat letusan, sehingga akan
memperbesar peluang terjadinya mass wasting. Contoh: kubah lava Merapi
makin lama makin besar pada saat erupsi sehingga menyebabkan guguran lava
ke lereng di bawahnya.
Secara ringkas Lobeck (1939) mengklasifikasi Mass Wasting seperti tabel
berikut
Tipe Kecepatan
< 1 1 mm/hari – 10 1 5 km/jam > 4 km/jam Gerak cm/th
km/jam
Flow Creep Earth Flow Without Mudflow Rock avalanche
Debris slump debris Bed rock
Jenuh air Debris avalanches
Debris
Slip Earth Flow Debris Rock slide
Earth Flow with Bed Rock
slumping Debris slide
Debris
Fall Rock fall
Bed rock
Debris fall debris
landslide
Penjelasan lebih rinci dari klasifikasi Mass wasting adalah sebagai berikut:
a. Slow Flowage (gerakan lambat)
16
1) Rayapan tanah (soil creep) yaitu gerakan massa tanah/batuan secara lambat ( <1
cm/tahun) menuruni lereng, sebagai akibat gravitasi. Oleh karena gerakan ini
sangat lambat maka tidak dapat dilihat prosesnya, melainkan hanya dapat
diketahui gejalanya, yaitu tiang, pohon, bangunan miring di tempat terjadinya
gerakan.
2). Talus Creep: adalah rayapan puing-puing hasil pelapukan yang tertimbun di
suatu lereng. Terjadi karena pengaruh gravitasi, yang tertimbun disuatu lereng.
Terjadi karena pengaruh gravitasi, yang dibantu oleh air atau salju sebagai
pendorong.
3). Rock creep: yaitu gerakan massa batuan secara lambat menuruni lereng,
disebabkan karena gravitasi.
4). Rock Glacier creep: yaitu gerakan massa batuan secara lambat menuruni lereng
daerah bersalju.
Solifluction: adalah gerakan massa batuan setengah mengalir di darah beriklim
dingin. Terjadi pada peralihan musim dingin-semi, massa batuan menjadi jenuh
air bergerak di atas batuan kedap. Materi yang bergerak berasal dari pelapukan
beku celah (kryoturbassi). Lapisan kedap di bawah batuan jenuh air disebut
permafrost (lapisan yang tetap beku).
b. Rapid Flowage (gerakan cepat)
Gerakan ini dikontrol oleh kejenuhan air pada massa batuan.
1) Earth Flow adalah aliran massa batuan yang jenuh air menuruni
lereng. Gerakan/aliran ini dibedakan:
1) Earth Flow murni, alirannya sejajar permukaan.
2) Gabungan earth flow dan mendatar (slumping, kadang-kadang alirannya
intermittent dan mengalami rotasi ke belakang (back ward rotation).
2) Mud Flow yaitu aliran hancuran batuan halus yang bereampur dengan air melalui
lembah-lembah (saluran), terjadi di daerah beriklim kering.
* Penyebabnya adalah:
17
- Material tidak kompak, melicin jika basah;
- berada di lereng terjal;
- ada air yang bergerak; dan
- vegetasi jarang.
*Perbedaan dengan earth flow:
- Earth flow, alirannya lebih lambat;
- Earth flow, tidak terjadi pada lembah/saluran;
- Earth flow, kejenuhan air lebih rendah;
- Earth flow, tidak ada karakteristik di daerah kering.
3). Debris Avalance: yaitu aliran (setengah longsor) pada batuan dasar menuruni
lereng. Gerakan ini berada di daerah yang mempunyai batuan dasar kedap yaitu:
bersalju atau vulkanik. Contoh: daerah batu gamping berada di atas batuan
vulkanik; daerah clay (tanah liat) berada di atas batuan vulkanik.
c. Very Rapid Flowage (gerakan sangat cepat) Gerakan ini didominasi pengaruh
gravitasi.
1) Slumping (Nendatan), yaitu gerakan longsor berulang-ulang pada lereng curam
(inttermitten), mengalami rotasi ke belakang (back ward rotation).Ciri khas
gerakan ini ditandai oleh bentuk Terraceet.
2) Debris Slide, yaitu luncuran puing-puing/pecahan batuan di atas bidang
batas/bidang retakan yang miring.
3). Rock Slide, adalah gerakan batuan meluncur di atas bidang batas lapisanlbidang
retakan yang miring. Proses dipercepat apabila bagian bawah digali/tererosi
(under cutting).
4) Debris Fall, yaitu hancuranlpuing-puing batuan yang jatuh bebas pada tebing
terjal.
5) Rock Fall, adalah bongkahan batuan yang jatuh bebas pada tebing terjal. Terjadi
karena bagian bawah tebing terkikis oleh sungai, gelombang atau manusia.
Cara Untuk Mencegah Gerakan Massa Batuan antara lain:
18
1) Menanami lereng dengan tumbuh-tumbuhan/dihutankan.
2) Membuat teras-teras pada lereng.
3) Bangunan di lereng dibuatkan beton penahan.
4) Apabila bagian bawah lereng dipotong/digali untuk keperluan tertentu, perlu
dibuatkan saluran pembuangan air di bawah tanah.
5) Apabila membangunjalan di daerah pegunungan perhatikan arah kemiringan
batuan. Bagian yang dibangun pada sisi yang stabil.
6) Menahan batuan agar tidak bergeser sepanjang bidang lemah batuan (bidang batas
lapisan, bidang retakan).
Cara yang dilakukan: di bor sampai batuan dasar; atau masukkan mor- disemen- beri
baut- pasang lempeng baja di permukaan - disekrup.
3. EROSI
Erosi adalah suatu proses geomorfologi berupa pelepasan dan terangkutnya
material bumi oleh tenaga geomorfologis. Proses geomorfologi mempelajari
bentuklahan (landform) secara genetik dan proses, mempengaruhi bentuklahan dan
proses-proses itu dalam susunan keruangan (Zuidam and Zuidam Cancelado, 1979).
Arsyad (1989), erosi adalah terangkutnya tanah atau bagian- bagian tanah dari
suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Erosi dapat juga disebut pengikisan,
sesungguhnya merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau
kekuatan air atau angin, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai
akibat/tindakan perbuatan manusia (Kartasapoetra, 1991). Pengertian erosi tersebut
mengandung suatu rangkaian proses. Berdasarkan hal itu Brady (1974), membedakan
erosi menurut intensitasnya menjadi empat yaitu: erosi alami, erosi normal, erosi
geologi dan erosi dipercepat (dalam Yunianto, 1994).
Erosi secara alamiah, normal dan geologi tidak menimbulkan musibah yang
berat, ini dikarenakan banyaknya partikel-partikel tanah yang dipindahkan seimbang
dengan banyaknya tanah yang terbentuk di tempat-tempat yang lebih rendah. Akan
19
tetapi bahaya-bahaya dan kerugian yang ditimbulkan oleh erosi biasanya berasal dari
proses erosi akibat tindakan dan perbuatan yang negatif atau kesalahan-kesalahan
dalam pengelolaan tanah pertanian (Kartasapoetra, 1991).
Begitu besar bahaya erosi yang pada akhirnya merugikan kehidupan manusia,
maka banyak ahli yang membagi faktor-fahor yang menjadi penyebab erosi dan
berupaya untuk menanggulanginya. Menurut Baver (1972), bahwa faktor yang
mempengaruhi terjadinya erosi tanah adalah: 1) sifat hujan, 2) kemiringan lereng dari
Jaringan aliran air, 3) tanaman penutup tanah, dan 4) kemampuan tanah untuk
menahan dispersi dan untuk menghisap kemudian merembeskan air ke lapisan yang
lebih dalam (Kartasapoetra, 1991). Morgan (1979), menyatakan bahwa kemampuan
mengerosi, agen erosi, kepekaan erosi dari tanah, kemiringan lereng, dan keadaan
alami dari tanaman penutup tanah merupakan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap erosi tanah.
Baver (1972) dan Morgan (1980) dalam Sahuleka (1993), menyatakan bahwa
erosi merupakan interaksi antara faktor iklim, topografi, tanah, vegetasi, dan aktivitas
manusia yang dinyatakan dengan formula sebagai beriku:
E = f (c. t. v. s. h)
dalam hal ini :
E = erosi c = iklim t = topografi v = vegetasi
f = fungsi s = tanah h = manusia
20
a.lklim
Iklim merupakan faktor terpenting dalam masalah erosi terutama fungsinya
sebagai agen pemecahan dan transport. Faktor iklim yang berpengaruh adalah curah
hujan, angin, temperatur, kelembadan, dan penyinaran matahari (Schwab et al., 1981;
dalam Arsyad, 1989). Banyaknya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan
menentukan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan,
serta besamya kerusakan erosi. Angin selain sebagai agen transport dalam erosi di
beberapa kawasan, juga bersama-sama dengan temperatur, kelembadan dan
penyinaran matahari berpengaruh terhadap evapotranspirasi, sehingga mengurangi
kandungan air dalam tanah yang berarti memperbesar kembali kapasitas infiltrasi
tanah. Selain itu, juga mempengaruhi kecepatan pelapukan baik bahan organik
maupun anorganik yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepekaan erosi
tanah (Arsyad, 1989).
b. Topografi
Kemiringan lereng, panjang lereng, konfigurasi, keseragaman, dan arah lereng
adalah unsur topografi yang berpengaruh terhadap erosi (Arsyad, 1989). Kemiringan
lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Kecuraman lereng memperbesar jumlah
aliran permukaan, dan memperbesar kecepatan aliran permukaan, sehingga dengan
demikian memperbesar daya angkut air. Semakin besar erosi terjadi dengan makin
curamnya lereng.
Panjang/lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai
suatu titik dimana air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dimana kemiringan
lereng berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran air berubah. Air yang
mengalir di permukaan tanah akan terkumpul di ujung lereng bawah, dengan
demikian berarti lebih banyak air yang mengalir dan makin besar kecepatannya di
bagian bawah lereng dari pada di bagian atas. Hal tersebut menimbulkan tanah di
bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar dari pada bagian atas.
Konfigurasi lereng permukaan berbentuk cembung, planar dan cekung
21
mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap erosi. Berdasarkan konfigurasi lereng,
erosi lembar cenderung pada permukaan yang cembung dan planar, sedangkan erosi
alur dan parit cenderung terjadi pada permukaan yang cekung. Hal itu disebabkan
karena pada lereng cekung aliran permukaan cenderung terkonsentrasi. Demikian
juga arah lereng yang menghadap sinar matahari cenderung mengalami erosi lebih
besar dibandingkan arah lereng yang kurang mendapat sinar matahari. Hal itu
disebabkan karena sinar matahari secara langsung dapat mengakibatkan proses
penguraian bahan organik tanah berjalan lebih intensif sehingga kandungan bahan
organik lebih rendah dan tanah lebih mudah terdispersi.
c. Vegetasi
Peranan vegetasi terhadap erosi terutama pada kemampuannya mengurangi kecepatan
jatuh dari butir hujan dan mempengaruhi aliran permukaan (Wischmeier dan Smith,
1978; dalam Arsyad, 1989).
d. Tanah
Baver et al. (1972), menerangkan bahwa kepekaan tanah terhadap erosi
tergantung pada sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas,
kapasitas menaban air, dan sifat-sifat tanah yang berhubungan dengan ketahanan
struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh media alami. Adapun sifat-sifat
tanah yang mempengaruhi erosi adalah: 1) tekstur, 2) struktur, 3) bahan organik. 4)
kedalaman, 5) sifat lapisan tanah, dan 6) tingkat kesuburan tanah (Arsyad, 1989).
e. Manusia
Manusia dapat mencegah dan mempercepat terjadinya erosi, tergantung
bagaimana manusia mengelolanya. Manusialah yang menentukan apakah tanah yang
"diusahakannya akan rusak dan tidak produktif secara lestari. Banyak faktor yang
22
akan menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan merawat serta
mengusahakan tanahnya secara bijaksana, sehingga menjadi lebih balk dan dapat
memberikan pendapatan yang cukup untuk jangka panjang yang tidak terbatas
(Arsyad, 1989).
Berdasarkan hal tersebut mendorong Morgan (1979), untuk membuat
klasifikasi bentuk erosi menjadi . 1) erosi percik (splash erosion), 2) eros, aliran
permukaan (overland flow erosion), 3) erosi aliran bawah permukaan (subsurface
flow erosion), 4) erosi alur (rill erosion), 5) erosi parit (gully enNlion), dan 6) gerakan
massa tanah (mass movement erosion) (Ananto, 1991).
a. Erosi Percik
Erosi percik ialah proses percikan partikel-partikel tanah halus yang
disebabkan oleh pukulan tetes air hujan terhadap tanah dalam keadaan basah
(Yunianto, 1994). Mc Intrye (1958; dalam Ananto, 1991) menyatakan bahwa ada
empat fase dalam erosi percik, yakni: terjadinya pembasahan yang cepat pada
permukaan tanah sehingga gaya kohesi antar partikel tanah menurun, akibatnya laju
erosi percik akan meningkat, terjadinya pemadatan dan pembentukan lapisan kerak
'tipis (crust) tipis yang akan menurunkan besamya percikan dan meningkatnya
akumulasi air, terbentuk a1iran turbulensi yang mampu menghilangkan sebagian
lapisan kerak pada permukaan tanah. Erosi percikan maksimum terjadi setelah 2 – 3
menit setelah hujan turun. Pada daerah miring erosi percik ini akan terjadi hebat
dibanding dengan daerah yang datar. Pada daerah datar butir-butir hujan dengan
diameter 5,9 mm mampu memercikkan partikel hingga ketinggian 0,38 m, dan
terlempar 1,5 m. Pada lahan yang diolah, butir hujan dengan diameter 6 mm mampu
memereikkan hingga 0,3 m, dan terlempar sejauh 0,95 m (Mihara, 1952: dalam
Ananto, 1991).
b. Erosi Lembar
Erosi lembar adalah erosi yang terjadi karena pengangkutan/pemindahan
lapisan tanah yang hampir merata di tanah permukaan oleh tenaga aliran perluapan.
23
Kekuatan jatuh tetes-tetes hujan dan aliran perluapan merupakan penyebab utama
erosi lembar (Arsyad, 1989). Oleh karena hilangnya lapisan tanah atas adalah merata,
maka bentuk erosi lembar seringkali tidak segera tampak, dan apabila proses erosi
berlangsung lebih lanjut maka baru dapat diketahui setelah tanaman tumbuh pada
lapisan tanah bawah. Erosi lembar disebut juga sebagai erosi antar erosi alur (onterrill
erosion).
c. Erosi Alur
Erosi alur terjadi karena adanya proses erosi dengan sejumlah saluran kecil
(alur), yang kedalamannya < 30 cm, dan terbentuk terutama di lahan pertanian yang
baru saja diolah. Erosi ini sebenarnya sebagai perkembangan lebih lanjut dari erosi
lembar, hanya tenaga aliran perluapan sudah mulai terkonsentrasi pada alur. Alur-alur
tersebut terbentuk karena daya tahan tanah terhadap pengaruh tenaga erosi oleh aliran
perluapan tidak merata, sehingga pada bagian yang relatif lembek akan mengalami
pengikisan awal (Yunianto, 1994).
Alur-alur yang terjadi masih dangkal dan dapat dihilangkan dengan pengolahan
tanah. Erosi alur biasanya terjadi pada tanah-tanah yang ditanami dengan tanaman
yang ditanam berbaris menurut lereng atau akibat pengolahan tanah menurut lereng
atau bekas tempat menarik balok-balok kayu. Erosi lembar dan erosi alur merupakan
kedua bentuk erosi yang lebih banyak dan luas terjadinya jika dibandingkan dengan
bentuk erosi lainnya.
d. Erosi Parit
Proses terbentuknya erosi ini sama dengan erosi alur, akan tetapi tenaga
erosinya berupa aliran limpasan, dan alur-alur yang terbentuk sudah sedemikian
dalam sehingga sudah tidak dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah secara biasa.
Di samping itu, ukuran lebar aim sudah lebih dari 50 cm, dan kedalaman alur lebih
dari 30 cm (Bergsma, 1980; dalam Yunianto, 1994).
Erosi parit dapat berbentuk V atau U, tergantung dari kepekaan erosi
substratanya. Bentuk V adalah bentuk yang umum terdapat, tetapi daerah-daerah
24
yang substratanya rnudah lepas yang umumnya berasal dari batuan sedimen maka
akan terjadi bentuk U. Tanah-tanah yang sudah mengalami erosi parit sangat sulit
'untuk dijadikan lahan pertanian: Diantara kedua bentuk tersebut, bentuk U lebih sulit
diperbaiki dari pada bentuk V (Arsyad, 1989).
25
BAB III
BENTUK LAHAN ASAL STRUKTURAL
Bentuk lahan asal struktural terjadi karena deformasi (perubahan) bentuk
batuan. Terbentuk sebagai akibat proses endogen berupa tektonisme atau diatropisme.
Proses ini meliputi pengangkatan, penurunan dan pelipatan kerak bumi sehingga
terbentuk struktur lipatan dan patahan. Selain itu terdapat struktur batuan horisontal
yang merupakan struktur asli sebelum mengalami perubahan. Dari struktur pokok
tersebut kemudian dapat dirinci menjadi berbagai bentuk lahan berdasarkan sikap
lapisan batuan dan kemiringan lerengnya.
A. Ciri-ciri Bentuk Lahan Asal Struktural
1. Dip dan Strike batuan resisten - non resisten jelas. Dip adalah sudut yang dibentuk
oleh bagian atas hanging wall dan bidang sesar. Strike adalah sudut yang dibentuk
oleh bidang sesar dengan permukaan hanging wall.
2. Adanya sesar, kekar, dan gawir sesar.
3. Horizon kunci jelas, yakni tanda yang terdapat pada permukaan sesar. .
B. Satuan Bentuk Lahan Asal Struktural
1. Pegunungan blok sesar adalah pegunungan (>300 mdpl) yang tersusun dari
batuan klastik, diindikasikan oleh berbagai bentuk patahan dan pelapisan batuan
bukti pernah terjadi pengendapan, misalnya: graben, sembul, triangle facet, dan
sebagainya.
2. Perbukitan blok sesar adalah perbukitan (<300 mdpl) dari batuan klastik,
diindikasikan oleh berbagai bentuk patahan serta pelapisan batuan bukti pernah
terjadi pengendapan, misalnya: graben, sembul, triangle facet, dan sebagainya
2. Gawir sesar yaitu tebing patahan/sesar, terjadi karena adanya dislokasi batuan .
26
3. Pegunungan sinklinal, lembah yang terdapat di samping pegunungan antiklinal
dengan ketinggian >300 mdpl.
4. Pegunungan antiklinal adalah punggungan pegunungan lipatan yang memiliki
ketinggian >300 mdpl.
5. Pegunungan/perbukitan monoklinal adalah pegunungan lipatan yang terjadi
karena adanya tekanan pada satu titik saja sehingga hanya berbentuk lereng
punggungan antiklinal. Bentuk monoklinal/homoklinal yang tingginya > 500
mdpl disebut pegunungan, sedangkan monoklinal dengan elevasi < 500 mdpl
disebut perbukitan monoklinal. Monoklinal (homoklinal) yang lerengnya 11o
disebut cuesta.
6. Pegunungan/perbukitan kubah (Dome) adalah pegunungan/perbukitan tunggal
yang puncaknya melingkar. Kubah yang berstadia dewasa karen adanya tenaga
eksogenik di puncaknya terdapat sistem lembah berbentuk segitiga (triangle
facet) yang disebut flat Iron.
7. Pegunungan/perbukitan Plato, merupakan tanah datar dengan struktur horisontal,
dengan ketinggian > 500 mdpl untuk pegunungan dan < 500 mdpl untuk
perbukitan. Pada umumnya dikelilingi oleh rangkaian pegunungan.
9. Perbukitan mesa adalah perbukitan (<300 mdpl) yang puncaknya datar dengan
struktur horisontal sebagai akibat proses erosi yang intensif.
10. Sembul (Horst) adalah bagaian patahan yang lebih tinggi dari daerah sekitar,
terjadi karena pengangkatan (up lift). 11. Graben (slenk) adalah bagian patahan yang turun sehingga permukaannnya lebih
rendah dari daerah sekitar. Terjadi karena daerah tersebut mengalami penurunan.
* Kenampakan pada bentuk lahan asal struktural salah satunya ditandai dengan
adanya sesar yang disebabkan oleh pergeseran posisi lapisan (dislokasi) batuan di
suatu tempat.
* Ciri-ciri sesar adalah : .
1. Trapezoidal facet, yaitu bentuk daerah yang menyerupai trapesium.
27
2. Triangle facet. yaitu sistem lembah berbentuk segitiga.
3. Hanging falley, yaitu suatu lembah yang letaknya di atas lembah yang sekarang
ada.
4. Breksi besar merupakan lapisan butiran batuan sedimen runcing-runcing pada
dinding/permukaan sesar.
5. Milovit, adalah hancuran batuan-batuan seperti tepung sebagai akibat gesekan pada
sesar.
6. Jalur mata air pada tebing sesar, yang terjadi sebagai akibat butiran permeable
tersingkap.
7. Cermin sesar, yaitu permukaan mengkilap pada permukaan batuan karena gesekan.
9. Kelurusan, yaitu terdapat pola permukaan yang lurus karena patahan pada sesar
sehingga membedakannya dengan wilayah sekitar.
11. Perbedaan topografi yang mencolok pada daerah yang patah dengan daerah
sekitarnya.
12. Lapisan batuan tidak kontinu (omisi) disebabkan oleh pergerakan patahan.
28
Gambar 4. Berbagai Satuan Bentuk lahan Struktural
29
BAB IV
BENTUK LAHAN ASAL VULKANIK
A. Pengertian
Pergerakan magma yang naik ke permukaan bumi merupakan ciri utama awal
terjadinya vulkanisme. Bentukan yang disebut bentukan vulkanis ini lebih
didasarkana pada batuan penyusun berupa batuan vulkanis dengan berbagai jenisnya
sebagai akibat proses vulkanisme. Volcano (gunung api) merupakan kerucut yang
memiliki komposisi batuan beku lelehan atau bahan vulkanis lepas (plastis). Erupsi
adalah proses keluarnya magma dari lapisan bawah kerak bumi ke permukaan bumi
karena tekanan dari dalam, melalui retakaan atau lubang kepundan. Menurut sifatnya,
keluarnya magma ada yang bersifat letusan (eksplosif) dan lelehan (efusif). Lava
yaitu massa batuan dalam keadaan pijar dan kental yang keluar ke permukaan bumi
melalui rekahan dengan temperatur sangat tinggi, sedangkan piroklastik merupakan
flagmen hasil letusan gunung api dengan berbagai ukuran: abu, debu, pasir latili, dan
bongkah.
B. Indikasi Bentuk Lahan Vulkanik
1. Pada titik puncak terdapat depresi yang mana pada volkan stadia muda, pada
stadia dewasa atau tua posisi crater tidak selalu di titik puncak.
2. Terdapat pola aliran sungai radial sentrifugal yang menyebar secara menjari.
3. Materi piroklastik akan berasosiasi dengan badan volkan yang runcing (cone),
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak lembah lava (subsidence);
b. Tidak ada terowongan lava (lavafunnel);
c. Terdapat barranco (lembah-lembah);
d. Terdapat jalur mata air (springbelt)
30
4. Apabila komposisi materi lava badan volkan berupa rounded cone, maka terdapat
ciri-ciri:
a. Membentuk bentukan struktur tali (roppy structure);
b. Tidak ditemukan adanya jalur mata air; dan
c. Ujung endapan lava berhenti secara tiba-tiba (suddenstop);
d. Terdapat magma dengan kondisi basah yang mendekati kental dan membentuk
individu-individu gunung api yang rendah semacam bocca atau ash cone
5. Apabila lava intermedier maka akan membentuk struktur bantal atau pillow
structure
C. Tipe-tipe Gunung Api
Berdasarkan morfologinya tipe gunung api terdiri atas perisai, bocca dan strato. Tipe
gunung apai tersebut dijelaskan sebagi berukut:
1. Perisai, memiliki komposisi penyusun bersifat basa dan cair, batuan ekstrusi yang
keluar dari volkan itu adalah basalt.
2. Bocca, memiliki komposisi material penyusun yang bersifat asam dan kental.
Batuan ekstrusi yang dikeluarkan adalah riolith yang mana pada umumnya magma
belum sampai ke permukaan
3. Strato, material erupsinya bersifat intermediate (tidak asam atau tidak basa) dan
berbentuk cair kental. Batuan ekstrusi berupa andesit. Ciri khas tipe volkan strato
adalah badan volkan berlapis-lapis, kemudian berselang-seling antara material
kasar dan halus.
Ciri-ciri gunung api strato
a. Strato muda
1) Kerucut gunung api bercirikan lereng curam ( 30°), blok baru, material
piroklastik kubah lava, crater (kawah).
2) Lereng atas gunung api bercirikan lereng curam, eflata kasar bercampur dengan
aliran lava, sumber lahar bagi gunung api aktif, longsoran dan erosi rendah.
3) Lereng tengah gunung api mempunyai ciri: lereng landai/curam (5 - 15°) aliran
lahar bercampur dengan aliran lava dan endapan lahar.
31
4) Dataran kaki gunung api bercirikan lereng datar - landai dan ada endapan fluvio
vulkanik halus.
5) Lereng bawah gunung api (kaki) bercirikan lereng landai (< 5°), terdapat
bentukan fluvio vulkanik, lapisan dengan blok besar terselang seling dengan
endapan aliran lava dan endapan abu.
b. Strato tua
Pada stadia tua gunung api strato mengalami pengikisan lanjut, terkadang sulit
diidentifikasi bentuk asli Badan vulkanonya. Ciri-ciri yang dapat diamati:
1) Hasil pelapukan tebal tertimbun di lereng-lereng berupa kerucut talus, kipas
aluvial atau piedmont.
2) tingkat pengikisan lanjut karena proses eksogenik intensif sehingga terdapat
lembah-lembah yang dalam dan tidak beraturan (irregularcrest)
3) Pola aliran rapat dan tidak seluruhnya radial.
4) Batuan induk sulit diidentifikasi di permukaan
D. Jenis-jenis Erupsi Berdasarkan sifatnya erupsi dapat dibedakan:
1. Erupsi eksplosif (letusan), merupakan letusan yang terjadi apabila letak dapur
magma dalam, volume gas besar, sifat magma asam. Material yang dikeluarkan
adalah piroklastik dengan kandungan S1O2 tinggi, misalnya bongkah, bom, lapili,
pasir, debu dan abu. Bentuk volkan adalah sharp cone
2. Erupsi Effusif (lelehan), merupakan letusan terjadi karena letak dapur magma
dangkal, volume gas kecil, sifat magma basa. Material yang dikeluarkan berupa
lava dengan kandungan S1O2 kecil. bentuk volkan yang dihasilkan adalah rounded
cone.
3. Erupsi campuran, merupakan letusan yang terjadi karena adanya variasi letak
dapur magma, volume gas dan sifat magma yang tidak asam dan tidak basa
(intermidier). Sebagian besar erupsi volkan di Indonesia bertipe campuran dengan
material intermidier yang cenderung basa. Bentuk volkan yang dihasilkan adalah
strato (kerucut)
32
Berdasarkan bentuk dan letak kepundan tempat keluamya magma, maka erupsi
dibedakan menjadi 3, yakni:
1. Erupsi areal (Areal Eruption), terjadi karena dinding atas batholith runtuh sehingga
magma keluar ke permukaan wilayah yang luas. Proses ini sering disebut de
roofing karena prosesnya menimpa bagian atap batholith.
Contoh: Gunung api lumpur di Sumatra Selatan.
2. Erupsi celah/linier (Fissure eruption), terjadi melalui retakan batuan kerak bumi.
Contoh: Plato Dekan di India tertutup lava dengan ketebalan rata-rata 667 meter.
3. Erupsi pusat/Puncak (Summit eruption), terjadi melalui pipa kepundan, pada
umumnya berlangsung dalam waktu singkat. Jika magma kental maka pipa
kepundan tersumbat oleh magma yang membeku, disebut sumbat lava (lava plug).
sumbat lava tersebut akan menghalangi keluarnya magma. Gas-gas yang
menyertai magma menyusun kekuatan di bawahnya, dan apabila jika cukup kuat
sumbat lava didobrak ke atas sehingga terjadi erupsi berikutnya. Terkadang
sumbat lava itu sangat kuat sehingga magma mencari jalan lain, menerobos batuan
yang lebih lemah dan terbentuk kepundan baru. Sebagian besar volkan di dunia
mempunyai tipe erupsi ini.
Berdasarkan penyebabnya erupsi dapat digolongkan menjadi 4 jenis, yakni:
1. Erupsi magma (Magmatic eruption) yaitu erupsi yang dihasilkan langsung dari
magma.
2. Erupsi phreatik (Phreatic eruption) yaitu erupsi yang dikarenakan oleh tekanan
uap yang berasal dari air tanah.
3. Hidro erupsi (Hydro eruption) adalah erupsi yang disebabkan oleh uap yang
berasal dari pemansan air di luar magma.
4. Erupsi phreato-magmatic (Phreato magmatic eruption) adalah gabungan erupsi
magma dan phreatik.
*Secara geomorfologis, material penyusun gunung api terdiri atas:
1. Endapan vulkanik stadium muda, dengan ciri: belum memadat (kompak), berupa
33
endapan fluviovulkanik dengan bentuk sebagai berikut:
a. Kerucut, merupakan hasil gunung api fragmental, materi kasar.
Contoh : Gunung Galunggung, Tasikmalaya.
b.Lahar, membentuk dataran dan lereng bawah fluviovulkanik.
c. Medan abu dan pasir, contoh: Bromo.
2. Batuan vulkanik muda
Ciri batuan vulkanik muda:
a. Aliran lava dan medan lava yang meliputi daerah luas hanya berupa aliran lava
saja.
b. Kubah lava, berupa lava mengental pada crater/pipa kepundan. Jika volkan mati
akan terbentuk sumbat lava (volcanic plug/neck).
c. Lava pada kerucut gunung api strato, maka setelah erupsi akan membentuk
puncak baru.
3. Formasi vulkanik tua.
Bentuknya:
a. Endapan vulkanik bercampur dengan sedimen terlapuk.
a. Abu, tuff, lapilli, dan lahar yang tertumpuk kuat.
b. Endapan breksi dan piroklastik terlapuk kuat.
34
Gambar 5. Bentuk lahan Vulkanik
35
BAB IV
BENTUK LAHAN ASAL DENUDASIONAL
Adalah suatu bentuk lahan yang terjadi karena proses-proses pelapukan erosi,
gerak masa batuan dan proses pengendapan. Dengan demikian bentuk lahan tersebut
dapat terjadi karena degradasi atau agradasi.
A. Ciri-ciri Bentuk Lahan Asal Denudasional
1. Tidak ditemukan gejala struktural, batuan massif, dip/stike tertutup.
2. Relief sangat jelas berupa lembah, lereng, dan pola aliran sungai
3. Relief lokal, pola aliran dan kerapatan aliran menjadi dasar uatama untuk merinci
satuan bentuk lahan.
4. Litologi menjadi juga menjadi dasar untuk merinci satuan bentuk lahan. Litologi
terasosiasi dengan bukit, kerapat aliran dan tipe proses.
B. Satuan Bentuk Lahan Asal Denudasional
1. Pegunungan Denudasional
Karakteristik umum unit ini memiliki topografi bergunung dengan lereng sangat
curam (55 > 140%), perbedaan tinggi antara tempat terendah dan tertinggi (relief)
> 300m. Memiliki lembah yang dalam, berdinding terjal berbentuk V karena
proses yang dominan terjadi yakni proses pendalaman lembah (valley deepening)
3. Dataran Nyaris (Peneplain)
Akibat proses denudasional yang bekerja pada pegunungan/perbukitan secara terus
menerus, maka permukaan lahan pada daerah tersebut menurun ketinggiannya dan
membentuk permukaan yang hampir datar yang disebut dataran nyaris
36
(peneplain). Dataran nyaris dikontrol oleh batuan penyusun yang mempunyai
struktur berlapis. Jika batuan penyusun tersebut masih berupa permukaan yang
datar akibat erosi, maka disebut permukaan planasi.
4. Perbukitan sisa terpisah (inselberg)
Terbentuk jika bagian depan (dinding) pegunungan/perbukitan menjadi mundur
akibat proses denudasi dan lereng kaki bertambah lebar serta akan meninggalkan
bentuk sisa dengan lereng dinding yang curam. Bukit sisa terpisah atau inselberg
tersebut berbatu tanpa vegetasi dan banyak singkapan batuan (outcrops).
Kenampakan ini dapat terjadi pada pegunungan/perbukitan terpisah maupun pada
sekelompok pegunungan/perbukitan, dan mempunyai bentuk membulat. Jika
bentuknya relatif memanjang dengan kemiringan lereng curam, maka disebut
monadnock.
5. Lereng kaki (Foot slope)
Bercirikan daerah memanjang dan relatif sempit terletak di suatu
pegunungan/perbukitan dengan topografi landai hingga curam dan mempunyai
lereng landai dan sedikit terkikis. Lereng kaki terjadi pada kaki pegunungan dan
lembah atau dasar cekungan (basin). Permukaan lereng kaki langsung berada pada
batuan induk (bed rock). Permukaan lereng kaki terdapat fragmen batuan hasil
pelapukan daerah di atasnya yang diangkut oleh air ke daerah yang lebih rendah
6. Kerucut Talus (Talus cones) atau kipas koluvial (coluvial fan).
Berupa topografi berbentuk kerucut atau kipas dengan lereng curam (35o). Secara
individu fragmen batuan bervariasi mulai ukuran pasir hingga blok, tergantung
pada besarnya cliff dan batuan yang hancur. Fragmen berukuran kecil terendapkan
pada bagian atas kerucut (apex) sedangkan fragmen kasar meluncur ke bawah dan
terendapkan di bagian bawah kerucut talus.
.
7. Lahan rusak (Bad land).
Merupakan daerah yang mempunyai topografi lereng curam hingga sangat curam
dan terkikis sangat kuat sehingga berbentuk lembah-lembah yang dalam dan
berdinding curam serta berigir tajam (knife-like) dan membulat. Proses erosi parit
(gully erosion) sangat aktif sehingga banyak singkapan batuan muncul ke
37
permukaan (rock outcrops).
Gambar 6. Dataran Nyaris (B) Akibat Proses Denudasional yang Bekerja pada Pegunungan /Perbukitan (A)
Gambar 7. Kerucut Talus (Kipas Koluvial)
38
BAB VI
BENTUK LAHAN ASAL FLUVIAL
Bentuk lahan ini sangat dikontrol oleh DAS dan fisik sungai. Aktivitas manusia yang
terdapat di dalamnya juga berpengaruh besar.
A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Aliran.
Worcester (1961) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas aliran
menjadi lima:
1. Porositas dan permeabilitas batuan, makin besar aliran makin kecil karena air
diserap ke bawah permukaan, sehingga aktivitas/proses fluvial menjadi lambat.
Hal ini semakin lambat apabila vegetasi penutup banyak.
2. Curah hujan (presipitasi), makin tinggi aliran makin intensif dan cenderung
permanen, berada di daerah basah (humide).
3. Daerah berbatuan kapur, aktivitas aliran terjadi di bawah permukaan sebagai under
ground run off, sedangkan di permukaan mengalami persaingan aliran. Peristiwa
ini berlangsung karena air masuk melewati diaklas.
4. Daerah kering (aride) dengan vegetasi kurang, di tempat ini aktivitas aliran besar,
sehingga menyebabkan intensitas gradasi juga tinggi.
5. Daerah impermiabel, aktivitas aliran bertambah sebagai surface run off karena air
tertahan oleh lapisan impermiabel di bawah permukaan.
B. Air Tanah
Air tanah merupakan air yang bergerak di bawah tanah, dapat berupa air
lapisan, yang mengisi ruang-ruang pada agregat tanah, atau air celah, yang mengisi
retakan-retakan batuan. Lapisan yang dapat dilalui dengan mudah oleh air tanah,
misalnya pasir/kerikil disebut permiabel. Lapisan yang sulit dilalui air tanah,
misalnya lapisan lempung atau geluh yang disebut lapisan kedap air (immpermeable).
39
Lapisan permiabel yang jenuh air tanah disebut akuifer.
Akuifer dibedakan menjadi:
1. Akuifer tertekan/terkekang (confined aquifer), terdapat pada lapisan permiabel
yang tertutup oleh lapisan impermiabel.
2. Akuifer bebas (unconfied aquifer), terdapat pada lapisan permiabel, tidak tertutup
oleh lapisan impermiabel dan berhubungan langsung dengan zone aerosi (zone tak
jenuh).
Apabila di dalam zone aerosi terdapat lapisan impermiabel, maka air tanah yang
terbentuk di atas lapisan tersebut disebut air tanah tumpang.
C. Mata Air (Spring)
Mata Air yaitu tempat keluarnya air tanah di permukaan batuan/tanah. Jenis mata air
dapat dibedakan menjadi lima (Verstappen, 1962) sebagai berikut:
1. Mata air lapisan terdapat pada lapisan batuan perangkap air diantara lapisan
impermiabel yang tersingkap.
2. Mata air celah, terdapat pada batuanjenuh air tersingkap karena ada celah/retakan.
3. Mata air bendung, terdapat pada lapisan tembus air yang terbendung oleh kisaran
tektonik atau peristiwa vulkanik.
4. Mata air sesar, berada pada lapisan tembus air menyesar sungkup terhadap batuan
impermiabel.
5. Mata air kompleks batuan jenuh air, terjadi karena membanjimya kompleks batuan
jenuh air.
D. Sungai
Sungai adalah sistem aliran yang terdapat di permukaan bumi.
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan aliran sungai:
a. Kemiringan lereng (gradient), makin besar semakin maka cepat alirannya.
b. Volume air, makin banyak semakin cepat alirannya.
c. Muatan, sungai yang membawa materi berat alirannya cenderung lambat.
40
Lobeck (1939) mengemukakan hubungan kecepatan dengan ukuran materi yang
diangkat seperti berikut:
Hubungan antara kecepatan aliran – ukuran materi
Kecepatan aliran (mil/jam) Ukuran materi yang dapat diangkat
1/3 butiran pasir
¾ Butiran kerikil
3 Batu kecil 2 – 3 inci
6 Batu besar10 – 11 inci
20 Batuan besar 16 – 17 inci
2. Klasifikasi Sungai
* Berdasarkan sifat khas yang dimiliki (Saleh, 1974) dibedakan:
a. Sungai Permanen, yaitu sungai yang mengalir sepanjang tahun, karena pasokan air
konstan atau terletak di bawah ground water. Sumber pemasok air dari curah
hujan, curah salju, atau mata air.
b. Sungai Intermittent, mengalir secara periodik. Berdasarkan sumber air dibedakan:
1). Spring Fed Intermittent river: alirannya berkaitan dengan permukaan air tanah.
Apabila ketinggian permukaan air tanah berada di atas permukaan air sungai
maka terjadi aliran, sebaliknya di bawah permukaan air sungai, tidak ada
aliran.
2). Surface Fed Intermittent river: pasokan air dari curah hujan atau efisiensi yang
mencair. Ada aliran apabila ada pasokan air, sebaliknya tidak ada aliran
apabila tidak ada pasokan air.
c. Sungai Epherical (Epheriral), mengalir karena respon dari air hujan.
* Berdasarkan genetik (Lobeck, 1939) dibedakan atas bentuk asal DAS dan formasi
geologis DAS:
a. bentuk asal DAS:
1). Sungai konsekuen, mengalir sesuai posisi lereng asli (sebelum tererosi). Sungai
semacam ini karakteristiknya terdapat pada daerah pengangkatan muda.
41
2). Sungai Obsekuen, arah alirannya berlawanan dengan formasi (dip), setelah
permukaan DAS tererosi hebat.
3). Sungai Subsekuen, mengalir searah formasi daerah (strike) atau tegak lurus
dengan sungai konsekuen.
4). Sungai Resekuen, arah alirannya sama dengan lereng formasi ( dip) setelah
permukaan DAS tererosi hebat (searah dengan sungai konsekuen).
5). Sungai Insekuen, mempunyai cabang (tributary streams) yang banyak.
b. Formasi Geologi DAS:
1). Sungai Antecedent, dapat mempertahankan aliran setelah daerah terangkat.
Pada umumnya terdapat di daerah berbatuan lunak seperti gamping atau clay.
2). Sungai Superimposed (superimposed), terdapat di daerah dataran nyaris
(peneplain) yang tertutup sedimen tebal kemudian tererosi, batuan resisten
tersisa berbentuk dinding terjal yang tidak resisten hilang berupa dataran
nyaris. Sungai di daerah ini menerobos dinding terjal di dataran nyaris.
3). Sungai Anaclinal, merupakan sungai antecendent yang terangkat miring
dengan arah kebalikan dari arah aliran.
4). Sungai Reverse, tidak dapat mempertahankan aliran setelah terangkat miring.
5). Sungai Resureted (istilah dari Mc. Gee), untuk sementara tidak dapat
mempertahankan aliran karena penenggelaman kemudian sungai tertutup
sedimen, apabila pada tempat yang sama terangkat, dapat mengalir sesuai
semula.
6). Sungai Composite, mengahr di DAS dengan struktur geologi yang berbeda-
beda, misalnya volkan, pegunungan lipatan, pegunungan patahan.
7). SungaiCompound, mengalir di DAS dengan umur/stadia geomorfologi yang
berbeda-beda, misalnya pegunungan lipatan muda, dewasa, tua, pegunungan
patahan tua, dataran dewasa.
3. Pola Aliran Sungai (Valley Pattern/Drainage Pattern)
T ergantung pada:
a. Letak batuan dasar (bed rock) terhadap sungai.
42
b. Bentuk lapisan batuan.
c. Kekerasan permukaan tanah.
d. Keberadaan retakan/kekar/patahan.
e. Struktur geologi suatu daerah.
* Klasifikasi Pola Aliran Sungai
* Menurut Van Der Weg (dalam Sumardi, 1988) dibedakan:
a. Erosional Pattern, dominan karena pengaruh erosi, termasuk dalam kelompok
ini adalah pola-pola: dendritis, sub-dendritis, paralel, sub-paralel, radial,
annular, trellis, rectanguler.
b. Deposiotional Pattern, dominan karena pengaruh sedimentasi (agradasi),
mempunyai karakteristik lurus. Tennasuk dalam kelompok ini: pola braideg,
dan meander, Yazoo, reticular, dan dichotomic.
c. Special Pattern, meliputi:
1). Pola internal, teridiri atas: pola inikhale, knob, kettle.
2). Local importance, terdiri atas: pola derangeg, barbed.
* Menurut Lobeck (1939) dibedakan:
a. Pola Dendritis, menyerupai bentuk pohon dengan cabang dan homogen, misal
daerah aluvial.
b. Pola Rectanguler, anak-anak sungai membentuk sudut 90° terhadap induk
sungai: pada umunya terdapat di daerah patahan/retakan yang berbatuan
kristalin
c. Pola Annular, anak-anak sungai membentuk sudut diagonal terhadap induk
sungai; terdapat di daerah pegunungan kubah (dome) stadia dewasa.
d. Pola Radial bentuknya menjari. Dibedakan menjadi:
1). Sentrifugal, menjari menjauhi pusat, terdapat di daerah volkan muda dan
kubah muda.
2). Sentripetal, menjari menuju pusat, terdapat di suatu basin, cekungan atau
depressi bagian terendah).
43
e. Pola Trellis, menyerupai batang pohon anggur dengan cabang-cabangnya,
terdapat pada pegunungan lipatan stadia dewasa.
44
Gambar 8. Berbagai Tipe Pola Aliran Sungai
45
4. Topografi sebagai hasil Deposisi aliran/Penimbunan
Proses yang dominan pada bentuk lahan tersebut adalah agradasi.
a. Kipas alluvial (alluvial fan), merupakan endapan berbentuk kipas/kerucut rendah
dengan komposisi akumulasi kerikil dan pasir, berada pada mulut lembah
pegunungan yang berbatasan dengan dataran.
Karakteristiknya:
1). Sistem distribusi alur radial;
2). Saluran silang siur (braided) dari apex berupa lembah sempit dan dalam,
sampai dengan di bawah kipas meluas dan dangkal.
Gambar 9. Kipas Aluvial
b. Tanggul alam (natural Levee), akumulasi sedimen berupa igir memanjang dan
membatasi alur sungai. Struktur igir alam berlapis, terbentuk oleh endapan pada
saat banjir. Materi kasar diendapkan dekat aliran sungai, yang halus terangkat jauh
c. Crevasse-Splays, adalah celah yang berisikan endapan pada lengkung luar alur
sungai.
46
ke arah dataran banjir.
d. Point bar, merupakan endapan pada lengkung dalam sungai yang mengalami
proses meandering: di dalam point bar terdapat igir-igir (scroll) yang diselingi
oleh alur (swales) dengan kedudukan hampir sejajar dengan yang lain; pada swales
seeing terisi materi halus; kelerengan miring ke arah lengkung luar.
Gambar 10. Point Bar dan Tanggul Alam
e. Dataran banjir (Fload plain), merupakan endapan di kanan-kiri sungai yang secara
periodik digenangi oleh luapan sungai di dekatnya atau dari akumulasi aliran
permukaan bebas/hujan lokal.
Karakteristik dataran banjir.
1). Tersusun dari timbunan material lepas yang diangkut dari sungai di dekatnya,
yang kasar di dekat aliran sungai;
2). Terletak di kanan-kiri sungai atau dekat pantai;
3). Topografi datar dengan elevasi rendah;
4). Belum terjadi perkembangan tanah karena sering secara mendadak mendapat
tambahan material baru.
f. Cekungan fluvial (Fluvial Flood Basin), yaitu cekungan di belakang tanggul
sungai dengan elevasi sangat rendah.
Karakteristiknya sebagai berikut:
47
1). Ukuran dan bentuknya memanjang sungai;
2). Di daerah tropis selalu tergenang air (permanentlv inundated);
3). Dicirikan oleh tumbuhan air, seperti welingi, enceng gondok,
kangkungan, terate;
4). Merupakan bagian terendah dari dataran banjir.
g. Teras Aluviall (alluvial terraces), adalah teras di tepi sungai yang dibatasi oleh
dinding berlereng curam dan lereng landai di sisi lain.
Karakteristik teras aluvial:
1). Terjadi pada endapan aluvium di dasar lembah;
2). Pada dasar lembah yang lebar terjadi pemotongan ke bawah (down cutting)
oleh sungai (degradasi)
3). Pada saat yang sama terjadi pemotongan ke samping sehingga terjadi
pemindahan (shifted) alur sungai ke arah lateral pada dataran banjir, akibatnya
terjadi satu pasang teras;
4). Pendalaman lembah dan perpindahan ke samping berulang-ulang, kemudian
terbentuk beberapa pasang teras sungai;
5). Kadang-kadang bentuk teras sungai disebabkan karena komposisi batuan
(struktur batuan), disebut scabland dan scab rock.
Gambar 11. Teras Aluvial
h. Delta, merupakan endapan di muara sungai, terjadi apabila material yang
48
dihanyutkan sungai tidak terganggu oleh pengaruh gelombang atau arus sehingga
dapat mengendap di laut/danau.
* Syarat-syarat untuk perkembangan
delta: 1). Daerah aliran sungai luas;
2). Debit sungai tinggi;
3). Sedimen yang terangkat banyak;
4). Daerah tropik basah;
5). Dasar laut dangkal;
6). Arus dan gelombang lemah;
7). Topografi pantai landai.
*. Bentuk-bentuk delta:
1). Delta berbentuk kipas (Arcuate delta), terjadi karena endapan sungai yang
membawa berbagai jenis dan kualitas material (kasar, halus, koloid dan
larutan).
2). Delta Estuari (Estuarine Filling Delta), terdapat di muara-muara sungai
berbentuk corong (estuarium), terjadi sebagai akibat perbedaan pasang-surut
yang besar. Pada saat pasang materi kasar-halus seluruhnya terangkut arus laut
dan arus sungai, saat surut materi kasar diendapkan, materi halus dihanyutkan
ke arah laut. Pada saat pasang berikutnya material yang sudah mengendap
diikat oleh materi halus. Dengan demikian kanal yang terbentuk menjadi
dalam dan tegas.
3). Delta berbentuk kaki burung (Bird's foot Delta), berasal dari endapan material
homogen halus ditambahi dengan lautan kapur. Kanal yang berbentuk tunggal
dan dalam bercabang apabila suatu titik tertentu aliran air dapat meluap,
cabang tersebut membentuk kanal-kanal sekunder atau tersier.
i. Sungai Mati dan danau tapal kuda (Oxbow Lake)
1). Sungai mati adalah sungai yang sudah tidak aktif lagi karena ditinggalkan alur
sungai oleh aliran sungai dan pindah ke tempat lain (proses meandering).
2). Danau berebentuk tapal kuda (oxbow lake), terjadi karena ada pemotongan
49
aliran sehingga tersisa berupa genangan yang bentuknya melengkung seperti
tapal kuda.
Ada tiga cara pemotongan sungai:
a). Chut cut off, yakni sungai memotong sisi terluar meander karena fluktuasi
arus yang sangat kuat.
b). Neck cut off, yakni sungai memotong meander stadia tua pada bagian
leher karena arus terhalang oleh endapan pada meander tersebut, sehingga
arus sungai cenderung mencari jalan pintas.
c). Avulsi, yakni cabang sungai braided tidak memperoleh aliran karena
terhalang endapan pada pertemuan antara cabang dengan sungai aktif
50
BAB VII
BENTUK LAHAN KARST
Bentuk lahan karst berasal dari bentukan lahan asal solusional, dihasilkan oleh
pelarutan batuan kapur/gamping dengan tenaga pelarut aliran air permukaan (surface
run off), air perkolasi (percolation water), dan aliran bawah tanah.
A. Syarat Keberadaan Bentuk Lahan Karst
1. Terdapat batuan mudah larut (limestone dan dolomit).
2. Lapisan batuan tebal (> 100m).
3. Banyak diaklas (retakan/kekar).
4. Terdapat di daerah berikilim tropis
5. Vegetasi penutup lebat.
A. Bentuk Lahan Karst
1. Bentuk lahan negatif
Terletak di bawah permukaan rata-rata sebagai akibat proses pelarutan, runtuhan, atau
terban. Bentuk lahan tersebut meliputi:
a. Uvala yaitu ledakan tertutup yang luas, terbentuk oleh gabungan dari beberapa
doline. Bagian dasar tidak teratur, mencerminkan ketinggian sebelumnya dan
karakteristik lereng doline yang telah mengalami degradasi.
b. Doline (Sink, Sinkhole), adalah ledokan/lubang yang berbentuk corong pada batu
gamping dengan diameter dari beberapa meter sampai ratusan meter (Manroe,
1970). Berdasarkan genesisnya dibedakan: doline solusi, doline runtuhan, doline
terban, doline aluvial.
c. Polje yaitu ledakan tertutup yang luas dan memanjang di daerah topografi karts,
mempunyai dasar mendatar dan dinding terjal. Terjadi dari gabungan sistem gua
yang runtuh, lantai dasar tertutup aluvium.
d. Lembah Buta (Blind Valley), suatu lembah yang mendadak berakhir/buntu dan
sungai yang terdapat pada lembah tersebut lenyap di bawah tanah.
51
Gambar 12. Berbagai satuan Bentuk lahan Timbunan Fluvia
52
Gambar 13. Berbagai Macam Delta
2. Bentuk Lahan Positif
Berada di atas permukaan rata-rata sebagai akibat proses pelarutan.
a. Menara karst (Turn Karts, Pinacle karst, mogote wil,l pepinohill) adalah
perbukitan berlereng curam/vertikal yang menjulang tersendiri di antara dataran
aluvial.
b. Kerucut karst (Kygel karts/butte), adalah bentuk lahan karts tropik yang
dicirikan oleh sejumlah bukit berbentuk kerucut yang kadang-kadang
dipisahkan oleh cockpit, saling berhubungan dan terjadi pada suatu garis yang
mengikuti pola kekar. Lereng bukit-bukit terdiri atas Cliff dan endapan-endapan
berupa Scree.
53
Zuidam, Ra Van Cancelado. 1979. Terrain Analysis and Clasification Using Aerial Photograph Geomorphological Approach. ITC Textbook of Photo Interpretation Vol VII –6 Enchede. The Netherland
54
Gambar 14. Kegel karst dengan Cockpit mengikuti Garis Sesar (P)
Gambar 15. Turm karst dan Kegel Karst
* Disamping bentuk-bentuk yang telah diuraikan di atas terdapat juga:
1. Sungai bawah tanah, terjadi apabila cavern bagian dasarnya kedap terdapat aliran
air.
2. Alur di permukaan daerah karst (karst), terjadi karena pelarutan di permukaan
karts melalui sistem diaklas/kekar.
* Stadia karst:
a. Stadia muda, berupa cekungan/torehan seperti bekas roda pedati,
kedalamannya:± 10 cm dengan arah tidak teratur.
b. Stadia dewasa, cekungan semakin melebar dan dangkal.
c. Stadia tua, cekungan tidak jelas bentuknya digantikan oleh igir-igir rendah yang
sempit di antara dataran luas.
3. Gua Kapur (Caves), awal terbentuknya tterjadi sink hole; kemudian karena
55
pelarutan meluas menjadi lubang tiga dimensi (Cavern), lubang terus meluas
membentuk gua kapur (Caves). Gua kapur luas yang dasamya bertingkat disebut
Galleri.
4. Stalaktit dan Stalagmit, terjadi dari tetesan air yang mengandung larutan kapur.
Untuk membentuk Stalaktit (batu tetes yang menggantung di dinding gua) dan
Stalagmit (batu tetes tegak di dasar gua) diperlukan penguapan, sehingga udara di
dalam gua tidak lembab.
C. Stadia Perkembangan Topografi Karst (Verstappen, 1946)
1. Stadia Dolina( Stadia muda awal/ Early Youth).
Pada stadia ini mulai terbentuk doline-doline kecil karena pelarutan melalui
diaklas.
2. Stadia Uvala (Stadia muda Akhir/ Late Youth)
Beberapa doline bergabung karena gua-gua di bawah tanah yang sudah
terbentuk runtuh. Doline makin meluas, bergabung satu sama lain membentuk
Uvala.
Gambar 16. Macam-macam Doline Berdasarkan Genesisinya
56
Gambar 17. Doline, Uvala dan Polje
3. Stadia Cock pit (Stadia dewasa/Maturity).
Pada stadia ini, kebanyakan sungai di bawah permukaan, gua bawah tanah
banyak yang runtuh sehingga uvala semakin meluas diselingi Cockpit yang
memisahkannya.
4. Stadia Hum (Stadia tua/old)
Stadia hum merupakan stadia tua yang ditandai oleh semakin luasnya lembah--
lembah, hanya tinggal bukit-bukit sisa (Hum/Conical Hillock)
Menurut H. Rahman (dalam Verstappen, 1946) terbentuknya conical hillock
disebabkan oleh batuan kapur yang larut oleh surface run off melalui diaklas.
Sedangkan Van Bemmelens mengatakan bahwa terbentuknya Conical hill disebabkan
oleh meluasnya doline, sehingga diantara doline yang meluas itu yang tersisa adalah
kubah kapur (Conical hill).
57
BAB VIII
BENTANG LAHAN DAERAH KERING (ARlDE)
Bentang lahan ini terbentuk oleh bentukan asal proses angin (aeolian) dan
gabungan pelapukan dengan aliran air. Adapun ciri-ciri daerah aride sebagai berikut:
1. Curah hujan rendah, aride 250 mm/tahun, semi aride = 250 - 500 mm/tahun.
2. Fluktuasi temperatur harian besar (10 - 40°C).
3. Langit cerah
4. Penguapan tinggi
5. Vegetasi jarang.
* Berlokasi daerah kering (daerah aride) yakni:
1. Daerah sekitar 30° LU/LS. Di tempat ini udara turun di garis balik utara dan
selatan menekan lapisan udara di bawahnya sehingga makin panas.
2. Daerah bayangan hujan, udara panas di balik pegunungan karena angin turun dari
lereng depan sudah tidak mengandung uap air (proses diabatis kering)
3. Daerah pedalaman henua, angin sudah kering karena kehabisan uap air dari laut.
4. Daerah pantai yang berdekatan dengan arus laut dingin, angin bertiup ke darat
sehingga udara menjadi semakin panas.
A. Syarat Berkembangnya Bentuk Lahan Asal Aeolian
1. Tersedia material berukuran pasir halus dan kasar dalam jumlah banyak.
2. Periode kering yang panjang.
3. Terdapat angin yang mampu mengangkat dan mengendapkan bahan pasir tersebut.
4. Gerakan angin tidak banyak terhalang oleh vegetasi lain.
* Endapan oleh angin terbentuk karena pengikisan, pengangkutan dan pengendapan
bahan-bahan tidak kompak.
* Aktivitas erosi (pengikisan) oleh angin berupa deflasi dan korosi.
1. Deflasi adalah kemampuan angin mengangkut dan memindahkan partikel-partikel
58
halus (pasir dan debu).
2. Korosi adalah kemampuan angin mengikis batuan dan permukaan bumi karena
mengandung partikel-partikel yang terdapat pada angin tersebut.
B. Bentuk-bentuk Hasil Erosi Angin
1. Desert Pavement (Pebble Armor) yaitu permukaan yang memiliki komposisi
batuan kerikil dan krakal di gurun akibat bahan-bahan halus mengalami deflasi.
2. Blow-Out, yaitu cekungan di daerah gurun akibat adanya deflasi pada materi hasil
pelapukan di permukaan yang berukuran halus.
3. Ventifact adalah permukaan batuan yang menjadi rata karena korosi, terutama
yang berukuran balus (debu dan liat) yang terbawa oleh angin.
4. Dreikanter, seperti ventifact tetapi bentuknya piramida karena arah angin berubah-
ubah.
5. Groove adalah alur-alur memanjang pada permukaan batuan karena erosi angin.
6. Yardang yaitu punggungan memanjang dan paralel (tinggi < 10 m, panjang - 100
m) bekembang di daerah berbatuan lunak.
7. Pan, cekungan yang dalamnya bervariasi dari beberapa meter sampai dengan 100
m, panjangnya dari 100 m - > 100 km, disebabkan karena erosi angin.
C. Bentuk-Bentuk Hasil Pengendapan Angin
Aktivitas angin dalam mengendapkan material dipengaruhi oleh :
* kecepatan angin;
* rintangan (batu, vegetasi); dan
* material yang dibawa oleh angin.
1. Loess yaitu endapan oleh angin berupa debu, pada umumnya berwama kekuningan,
tersusun dari berbagai mineral yang tidak berlapis-lapis tetapi kuat terikat.
2. Endapan pasir, ada beberapa tipe yang ditentukan oleh jumlah pasir dan vegetasi:
a. Sand sheet adalah hamparan pasir tipis yang menutup daerah datar
b. Riplle (riak) yaitu endapan pasir yang permukaannya bergelombang, tinggi
59
bervariasi 1-500 mm, panjang 50-300 meter. Endapan pasir tebal yang
permukaannya bergelombang jenis ripple tetapi lebih besar disebut undulasi;
yang tingginya sampat 400 m dan panjang 4 km disebut draa (Megadune).
c. Sand shadow adalah timbunan pasir di belakang suatu rintangan, seperti semak
semak/batu.
d. Sand fall adalah timbunan pasir di bawah cliff atau gawir.
e. Sand drift yaitu timbunan pasir pada suatu gap/celah antara dua rintangan.
3. Gumuk pasir (dunes) adalah gundukan bukit/igir dari pasir yang terhembus angin.
Gumuk pasir mempunyai penampang tidak simetri, kemiringan lereng pada arah
datangnya angin 5° s.d. 10° dan arah membelakangi arah angin 30° s.d. 34°.
Apabila tidak ada stabilisasi oleh vegetasi gumuk pasir cenderung bergeser ke arah
datangnya angin.
* Pada umumnya gumuk pasir terdapat di daerah:
1) Mempunyai pasir sebagai material utama.
2) Kecepatan angin tinggi, untuk mengikis dan mengangkut butir-butir berukuran
pasir.
3) Permukaan tanah yang tersedia untuk pengendapan pasir.
Selain itu gumuk pasir juga terdapat di:
1) gisik pasir dengan angin pantai;
2) dekat sungai yang dasarnya pasir;
3) daerah yang mempunyai musim kering;
4) daerah daerah gurun yang mengalami penghancuran batuan; dan
5) endapan glasial dan dasar danau glasial pasiran.
* Gumuk pasir dapat dibedakan menjadi:
a. Gumuk pasir sabit (Barchan), bercirikan sisi yang menghadap arah angin landai
dan yang di belakang (slip face) terjal. Penampang gumuk tidak simetri pada
puncaknya, tetapi berangsur-angsur menjadi hampir simetri pada tanduknya.
Ketinggian 5-15 meter, maksimum 30 meter. Berkembang di daerah yang
60
vegetasinya terbatas.
b. Gumuk pasir melintang (Transversal dunes), bercirikan posisi melintang arah
angin/tegak lurus arah angin. Terbentuk pada daerah yang banyak cadangan
pasirnya dan sedikit tumbuhan. Sering meliputi daerah luas dan berkembang
berbentuk seperti ombak dengan punggung melengkung dan melintang tegak lurus
arah angin. Penampang tidak simetri, lebar 7 x ketinggian. Ketinggian 5-15 meter,
maksimum 100 meter. Dapat berubah menjadi sabit apabila sumber pasirnya
berkurang.
c. Gumuk pasir paraholik (Paraholic dunes), berbentuk sabit dengan tanduk yang
panjang ke arah datangnya angin. Terbentuk dimana vegetasi menahan bagian
tanduk. Memungkinkan bagian tengah gumuk berpindah dan menghasilkan gumuk
berbentuk jepit rambut. Penampang tidak simetri pada puncak dan hampir simetri
pada tanduk, sisi belakang gumuk lebih curam dari pada sisi depannya. Gumuk
tidak mudah berpindah, dengan ketinggian 1- 15 meter. Gumuk pasir paraholik
dapat terbentuk karena blowout.
d. Gumuk pasir memanjang (1ongitudinal dunis/seif), bercirikan gundukan pasir yang
hampir lurus sejajar arah angin. Terjadi karena pengarub angin yang kuat
terkumpul dan berhembus dengan arah tetap. Penampang gumuk simetris, ukuran
lebar beberapa kali ketinggian. Ketinggian < 15 meter, panjang beberapa kilo
meter, pada gurun yang luas ketinggian mencapai 200 meter dan panjang 300 km.
Gumuk pasir memanjang di gurun seperti di atas disebut seif. Ukuran partikel
material pada gumuk pasir ini mempunyai kisaran 0,05 - 0,5 mm karena sortasi
angin sangat baik.
e. Whaleback Dunes, adalah gumuk pasir longitudinal yang sangat besar, puncaknya
datar dan di atasnya dapat terbentuk barchans,dan seif kecil-kecil.
61
Gambar 18. Perkembangan Blow Out ke Bentuk Parabolik
62
Gambar 19. Gumuk Pasir Memanjang dan Intermediate
63
BAB IX
BENTANG LAHAN PANTAI
Benang lahan ini terbentuk dari bentuk lahan asal proses marin. Perkembangan
bentang lahan pantai dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Komposisi dan struktur batuan
2. Relief daerah pantai
3. Proses-proses dari daratan
4. Proses-proses endogen
5. Aktivitas gelombang, pasang dan arus sepanjang pantai
6. Organisme
A. Mintakat Pantai
1. Pesisir (Coast) adalah daratan di belakang pantai (shore) yang tidak tergenang air
laut tetapi mendapat pengaruh bahari, batasnya disebut coast line.
2. Pantai (Shore) yaitu daerah yang terletak antara air pasang dan surut, garis batas
darat-laut disebut Shore line.
Pantai dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:
a. Pantai belakang (Back Shore), bagian pantai yang letaknya di belakang pantai
depan (foreshore) sampai garis pantai (coastline) yang hanya tergenang air pada
saat pasang besar, berasosiasi dengan berm (gundukan yang dibentuk gelombang).
b. Pantai depan (Fore shore), bagian yang tergenang pada waktu air pasang sampai
dengan air surut.
c. Beach, sedimen di daerah pantai dibedakan:
* Lower fore shore beach
* Upperr fore shore beach
* Back shore beach
3. Lepas pantai (Off shore) yaitu daerah yang meluas dari garis pasang surut terendah
64
ke arah laut, dibedakan:
a. Inshore, meluas dari garis pasang - surut sampai gosong pasir (bar) atau daerah
empasan (breakers).
b. Off shore, meluas di sebelah luar, arah ke laut.
* Dalam Geomorfologi istilah pantai mencakup Shore dan Coast. Istilah Shoreline
untuk menyatakan keseleruhan daerah pantai ( Shore dan Coast).
B. Klasifikasi Pantai
* Menumt Johnson, dibedakan menjadi:
1. Pantai Tenggelam (Submergence Shore Lines), daerah pantai mengalami
penurunan atau tergenang oleh air pada akhir jaman Glasial sehingga lembah-
lembahnya tenggelam. Termasuk dalam golongan ini adalah pantai Fiord, Ria, dan
Shren.
2. Pantai Timbul (Emergence Shrelines), pantai yang datar kemudian terangkat,
daratan naik atau lautnya yang turun.
3. Pantai Netral (Neutral Shore Lines), tidak dijumpai tanda-tanda penurunan atau
pengangkatan di daerah pantai, yang termasuk jenis pantai ini antara lain: pantai
berdelta, pantai karang, pantai gunung api.
4. Pantai Campuran (Compound Shore Lines), semula merupakan pantai tenggelam
yang terdiri dari beach kemudian air laut surut sehingga dasar laut muncul ke
permukaan; atau pantai timbul kemudian tenggelam karena efisiensi daratan
mencair.
* . Menurut Shepard:
1. Kelompom Primer (Non Marine Agency), terjadi bukan karena proses marin,
sering disebut Youth full Coast. Jenis ini dibedakan menjadi:
a. terbentuknya karena erosi di daratan, misal pantai ria, fiord.
b. terbentuk karena deposit dari daratan, misal:
1). river deposit coast: delta;
2). Glacial deposition coast: morain, drumlin;
65
3). wind deposition coast: beach;
4). Post extended by vegetation.
c. terbentuk karena aktivitas vulkanik
d. terbentuk karena diastropisme, misal patahan, lipatan.
2. Kelompok Sekunder (Marine agency), terbentuk karena proses marin (mature
coast), dibedakan:
a. Shorelines save by marine erosion
b. Shorelines save by marine deposition
c. Coral reef coast
C. Perkembangan Garis Pantai
1. Perkembangan pantai tenggelam
a. stadia awal (Early Youth), ditandai oleh garis pantai yang tidak teratur, banyak
teluk yang dipisahkan oleh daratan yang menjorok ke laut (head land).
b. stadia Muda (Youth), tanda-tandanya:
1). Ujung head land mulai terkikis membentuk cliff rendah (nip), dibawah hill
mulai terbentuk gua;
2). erosi meningkat, menyebabkan gua runtuh membentuk stack dan arc, dasar
laut dangkal terkikis membentuk wave cut plat forms, hasil erosi diendapkan
membentuk beach;
3). arus sepanjang pantai (longshore current) mengendapkan materi yang
tererosi membentuk spit dan hook;
4). terbentuk offshore bar;
5). terbentuk laguna.
2. Perkembangan pantai timbul
a. Stadia awal, ditandai oleh garis-garis pantai tidak teratur, landai dengan laut
dangkal, cliff rendah (nip) .
b. Stadia muda, tanda-tandanya:
1). gelombang mengeruk dasar laut dangkal dan mengangkatnya ke zone surf
66
membangun off shore bar;
2) off shore bar muncul membentuk laguna;
3). Pengendapan di laguna membentuk lagunal plain, off shore bar mulai
dirusak gelombang.
c. Stadia dewasa, mulai terbentuk cliff rendah, gelombang langsung ke darat
karena off shore dirusak dan laguna terendapi.
d. Stadia tua, erosi lanjut sehingga head land terpotong, hasil kikisan gelombang
diendapkan di teluk-teluk kecil menyebabkan garis pantai lurus.
Gambar 20. Evalosi Garis Pantai
67
D. Bentuk Topografi Pantai
Topografi pantai dipengaruhi oleh aktivitas gelombang, arus, sungai, angin dan
organisme.
1. Bentuk-bentuk hasil erosi
Disebabkan oleh aktivitas gelombang, baik oleh kekuatan gelombang tersebut
(hydraulic action) maupun karena membawa pasir (abrasi).
a. Gua laut (sea Caves), terbentuk karena cliff mengalami erosi bawah (under
cutting) oleh pukulan gelombang arus.
b. Celah (Cleff), erosi oleh gelombang yang menimpa retakan/patahan
menyebabkan terbentuknya celah di pantai.
c. Teras-teras (Wave cut terraces), terjadi karena dasar laut dangkal tererosi,
permukaan menjadi rata kemudian terangkat.
2. Bentuk-bentuk sisa erosi
a. Cliff adalah dinding terjal di pantai dan sisa daratan yang terkikis gelombang.
b. Stack yaitu tiang-tiang baru yang terpisah dari daratan. Tersusun dari batuan
yang resisten sehingga masih bertahan dari pukulan gelombang.
c. Arc adalah batuan berlubang tembus sebagai akibat kikisan gelombang, tersusun
dari batuan yang lunak (tidak resisten).
d. Head Land yaitu batuan daratan resisten yang menjorok ke laut sebagai akibat
erosi gelombang, terdiri atas batuan lava dan breksi.
3. Bentuk -bentuk hasil pengendapan
Sebagai tenaga pengendap adalah gelombang, arus, sungai dan angin.
a. Gisik (beach) adalah endapan pantai yang terletak antara mintakat pasang dan
surut.
b. Gosong pasir (bar) yaitu endapan pasir atau kerikil di laut sejajar garis pantai.
1. Off shore bar (barrier bar), yakni bentukan yang terdapat di laut lepas, hasil
pengendapan backswash;
2. Laguna (lagoon),terdapat di laut dangkal antara daratan dan off shore bar;
3. Spit, merupakan endapan arus sepanjang pantai, salah satu ujungnya
68
menjorok ke laut lepas;
4. Hooks (Recurved spit), merupkn ujung spit dibelokkan arahnya karena ada
arus dari arah berlawanan, ujung spit kemudian melengkung ke arah laut
lepas.
5. Loops merupakan ujung spit dibelokkan ke arah daratan dan bersambung
dengan daratan;
6. Bay mouth bar (embankment), merupakan endapan pasir di mulut teluk yang
terpisah dengan laut lepas karena arus sejajar pantai memotong mulut teluk
tersebut;
7. Tombolo, merupakan endapan yang menghubungkan daratan dengan pulau,
sebagai akibat reflaksi gelombang karena rintangan pulau tersebut.
c. Gumuk pasir pantai (Coast dunes) merupakan timbunan pasir di pantai akibat
hasil aktivitas angin dan vegetasi.
1). Free dunes, merupakan timbunan pasir di pantai oleh pengendapan angin
tanpa dibantu vegetasi;
2). Impeded dunes, merupakan timbunan pasir di pantai oleh pengendapan
angin dan topografi kasar.
69
Gambar 21. Perkembangan Cuspate dan Tombolo
4. Bentukan Organisme
Dibentuk oleh aktivitas organisme di laut, meliputi pantai terumbu karang, pantai
bakau dan pantai berumput payau.
a. Terumbu karang (coral reef) yaitu pantai/pulau yang tersusun dari karang sebagai
akibat aktivitas organisme polyps atau ganggang kapur.
* Syarat yang baik untuk kehidupan karang:
1). Kedalam laut < 40 meter, optimum 20 meter;
2). Temperatur air laut > 18°C, optimum 25 - 29°C;
3). Kadar garam air laut 1: 33%;
4). Sirkulasi air cukup, tetapi arus tidak terlalu kuat; dan
5). Air laut jernih, sedikit lumpur, banyak mengandung kalsit.
70
*. Klasifikasi terumbu karang (Maxwell, 1968)
1). Terumbu samudra (oceanic reefs) yang dapat dibedakan menjadi:
a). Koloni embrionik
b). Terumbu pinggiran (fringing reef)
c). Terumbu penghalang (barrier reef)
d). atol
2). Terumbu paparan (shelf reef) dibedakan menjadi:
a). koloni embrionik
b). terumbu rataan gelombang (platform reef)
c). terumbu laguna- rataan (lagoon platform reef)
d). terumbu rataan gelombang memanjang (longate platform reef)
e). terumbu dinding (wall reef)
f). terumbu cuspate (cuspate reef)
h). terumbu apron campuran (composite apron reef)
i). terumbu cincin terbuka (open ring reef)
j). terumbu jala terbuka (open mesh reef)
k). terumbu cincin tertutup (closed ring reef)
1). terumbu jala tertutup (closed mesh reef) dan
71
m). terumbu sumbat (resorbed reef).
Gambar 22. Klasifikasi Terumbu Karang dari Maxwel (1968)
72
* Teori terjadinya terumbu karang dibedakan sebagai berikut:
1). Teori Darwin
Menurut Darwin pertumbuhan atol dimulai dari adanya karang pantai, karena sesuatu
proses pulau beserta karang pantainya tenggelam. Apabila proses penurunan ini
berjalan lambat maka karang yang hidup di pantai tersebut masih sempat membangun
rumahnya sehingga karang pantai itu dapat mencapai permukaan laut kembali,
bentuknya melingkar seperti cincin.
2). Teori Glacial Control dari Daly
Daly mendukung teori Darwin, menurut dia tenggelamnya pulau disebabkan karena
mencairnya efisiensi daratan pada jaman inter glasial.
3). Teori Penggelombangan dari Keumen
Keumen juga mendukung teori Darwin dan berpendapat bahwa tenggelam dari
timbulnya pulau karena gerak pelipatan pada kulit bumi. Pada gerak ini permukaan
bumi mengalami penggelombangan sehingga bagian yang semula punggung
antiklinal yang muncul di atas permukaan laut suatu saat dapat tenggelam di bawah
permukaan laut, proses ini terjadi berulangulang.
4). Teori Imbangan Isostasi dari Molengraaf
Molengraff menyatakan bahwa tenggelamnya pulau terjadi karena adanya imbangan
isostasi. Pulau-pulau volkan semakin bertambah berat karena erupsi sebagai akibat
bertambahnya materi dari volkan itu. Untuk mencapai keseimbangan isostasi pulau
tersebut mengalami penenggelaman secara lambat dan berlangsung lama sesudah
erupsi itu berhenti. Sehingga dapat tumbuh karang pantai yang selanjutnya
berkembang menjadi karang penghalang atau atol.
5). Teori Murrey
Ekspedisi Murrey menemukan puncak volkan yang sudah mati, letak puncaknya di
bawah permukaan laut. Menurut dia puncak-puncak volkan yang sudah mati yang
letaknya tidak begitu dalam akan mengalami pengendapan terutama jenis benthos.
Oleh karena itu lama kelamaan menjadi tinggi sehingga mencapai ketinggian yang
memenuhi syarat bagi hidupnya binatang karang. Dengan tumbuhnya karang di
73
tempat itu maka dapat terbentuk atol.
6). Teori Gardinner
Prinsip teori ini hampir sama dengan Murrey, menurut Gardinner pembentuk atol
bukan binatang karang tetapi ganggang karang dari jenis Lithothamnium. Faktor yang
menyebabkan bentuk gelang adalah perbedaan kesuburan antara bagian tengah dan
tepi pulau tersebut.
b. Pantai bakau
Di daerah tropis bakau (mangrove ) beradaptasi dengan air asin sehingga banyak
dijumpai pada mintakat pasang - surut. Fungsi terpenting tanaman bakau di pantai
adalah melindungi erosi gelombang dan menjadi perangkap sedimen yang terbawa
dari daratan maupun dari laut pada saat pasang sehingga proses deposisi berlangsung
cepat.
74
BAB X
BENTUK LAHAN ANTROPOGENIK
Antropogenik merupakan proses atau akibat yang berkaitan dengan dengan aktivitas
manusia. Sehingga bentuk lahan antropogenik dapat disebut sebagai bentuk lahan
yang terjadi akibat aktivitas manusia. Aktivitas tersebut dapat berupa aktivitas yang
telah disengaja dan direncanakan untuk membuat bentuk lahan yang baru dari bentuk
lahan yang telah ada maupun aktivitas oleh manusia yang secara tidak sengaja telah
merubah bentuk lahan yang telah ada. Bentuk lahan antropogenik dapat dibentuk dari
bentuk-bentuk lahan yang telah ada. Misalnya bentuk lahan marin yang dapat berubah
menjadi pelabuhan dan pantai reklamasi seperti yang terdapat pada pantai Marina
Semaran.
Reklamasi pantai adalah salah satu contoh bentuk lahan antropogenik yang dihasilkan
oleh aktivitas manusia. Secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa
Inggris,to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secaraspesifik
dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan
tanah ( from the sea). Menurut UU no 27 tahun 2007 Reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan
ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan,
pengeringan lahan atau drainase.
Reklamasi kawasan perairan merupakan upaya pembentukan suatu kawasandaratan
baru baik di wilayah pesisir pantai ataupun di tengah lautan. Tujuan utama reklamasi
ini adalah untuk menjadikan kawasan berair yang rusak atau belum termanfaatkan
menjadi suatu kawasan baru yang lebih baik dan bermanfaat untuk ekonomi maupun
tujuan strategis lain.
Kawasan daratan baru tersebut dapat dimanfaatkan untuk kawasan permukiman, peri
ndustrian, bisnis dan pertokoan, pelabuhan udara, perkotaan, pertanian, jalur
transportasi alternatif, reservoir air tawar di pinggir pantai, kawasan pengelolaan
75
limbah dan lingkunganterpadu, dan sebagai tanggul perlindungan daratan lama dari
ancaman abrasi serta untuk menjadi suatu kawasan wisata terpadu.
Gambar 10.1
76
DAFTAR PUSTAKA
`
Arsyad,s. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor
Hinds. 1946, Geomorphology, Mc. Graw Hill Book Company, New York.
Kartosapoetro dan Sutedjo. 1991. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta.
Jakarta
Lobeck, AK. 1993, Introduction to the studv of Landscape, Mc. Graw Hill Book Company, New York.
Ollier, CD. 1969. Weathering, American Elsevier Publishing Company Inc. New York.
Thomburry, William D. 1976. Principles of Geomorphology, John Wiley and Sons Inc. New York - London.
Verstappen, H. Th. 1983. Applied Geomorpholo. Geomorphological Survey for Environment, Elsivier, Amsterdam.
Worcester, Phillips G. 1961. A Text Book of Geomorphology. D. Van Nortrand Company Inc, New York - London
77
top related