bab iv makna upacara kematian ritus marapu di …repository.unwira.ac.id/4984/5/bab iv.pdf · bab...
Post on 25-Mar-2019
244 Views
Preview:
TRANSCRIPT
46
BAB IV
MAKNA UPACARA KEMATIAN RITUS MARAPU DI KAMPUNG BUKAREGHA
DESA KARUNI KECAMATAN LOURA KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
Dalam pembahasan ini, penulis lebih pada penjelasan yang analitis untuk menjawabi
makna yang terkandung dalam upacara kematian ritus Marapu pada masyarakat Kampung
Bukaregha. Sebelum masuk pada pembahasan makna upacara kematian, penulis terlebih dahulu
membahas tentang pengertian kematian baik dalam arti etimologis maupun arti real. Selanjutnya
penulis menambahkan pandangan kematian menurut Kitab suci Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru. Kemudian, penulis menguraikan tentang makna kematian yang penulis temukan
baik dalam penelitian lapangan maupun pustaka dengan mengunakan pendekatan analisis.
Selain itu, penulis juga akan menguraikan makna kematian baik dalam pemahaman
Kristen maupun menurut pandangan masyarakat Kampung Bukaregha. Makna kematian dalam
pemahaman Kristen sebagai berikut: Kematian sebagai akhir persiarahan duniawi manusia,
kematian sebagai tindakan pribadi. Menurut pandangan masyarakat Kampung Bukaregha
sebagai berikut: kematian berarti menghadap sang pencipta, perjalanan pulang ke Kampung
Besar, persatuan dengan roh nenek moyang, perpisahan jiwa dan badan. Di samping itu, dari
hasil penelitian penulis tentang ritus upacara kematian di kampung Bukharegha, penulis
menjumpai tiga makna yang terkandung dalam ritus upacara kematian. Ketiga makna itu adalah
makna religius, makna sosial, dan makna moral.
47
4.1 Pengertian Kematian
4.1.1 Arti Leksikal
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kematian dari akar kata mati, berarti sudah
kehilangan nyawa.1 Menurut para sosiolog, kematian merupakan saat putusnya suatu interaksi
antara individu dengan masyarakat serta lingkungannya secara total. Singkatnya kematian adalah
saat di mana seseorang sama sekali kehilangan status dan peranan sosialnya yang mendapat
pengakuan dari masyarakat.2 Sedangkan pandangan klinis modern menyatakan bahwa kematian
atau mati berarti berhentinya fungsi otak (brain death). Di sini kematian disamakan dengan tak
berfungsinya otak.3 Dalam Ensiklopedi Gereja, kematian diartikan sebagai kenyataan paling
penting dalam kehidupan seseorang. Sebab kematian merupakan peralihan dari keadaan fana di
dunia ini menuju keadaan pasti di akhirat yakni keselamatan atau kehidupan abadi.4
4.1.2 Arti Realis
Kematian dan kehidupan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kedua kata ini
mempunyai arti tersendiri. Kedua kata itu terdiri dari kata dasar “mati” dan “hidup” bukan lawan
kata dari “mati”. Sebab kata “mati” merupakan lawan kata dari “lahir” dan pengertiannya “lahir”
adalah awal kehidupan.5 Sedangkan “mati” adalah akhir kehidupan. Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan secara sederhana bahwa kematian adalah situasi batas yang dialami oleh manusia.
Saat di mana organ-organ tubuh kehilangan fungsinya yang menyebabkan manusia tak berdaya
sama sekali, saat terputusnya komunikasi dan aktivitas hidup lainnya.
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. II, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), hlm. 673
2 Hasan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia,(Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984), hlm. 265-266.
3 Louis Leahy, Mesteri Kematian, ( Jakarta : Gramedia, 1998), hlm 38.
4 A. Heuken. SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid IV, (Jakarta : Yayasan Cipta Lokal Craka, 2005), hlm 325.
5 Inu Kencana Syafi‟ie, Filsafat Kehidupan ( Jakarta : Bumi Aksara, 1945), hlm. 5.
48
4.1.2 Kematian Menurut Pandangan Kitab Suci
4.1.2.1 Menurut Kitab Suci Perjanjian Lama
Pandangan Kitab Suci mengenai kematian tidak dapat dilepaskan dari pandangan Kitab
Suci mengenai kehidupan. Jika hakekat kehidupan adalah hembusan nafas kehidupan (Roh
Allah) ke dalam diri manusia (bdk Kej 2:17), maka hakekat kematian adalah penarikan kembali
napas hidup Allah (bdk Ayub 23:14-15). Menurut Kitab Suci, pandangan kematian pertama-tama
berarti manusia kembali menjadi debu tanah (bdk Kej 3:9). Dan nafas hidup kembali kepada
Allah yang mengaruniakannya (bdk Kaj 12:7). Manusia dianggap sudah mati apabila nafas hidup
tidak lagi ada di dalam tubuhnya (bdk 1 Raj 17 :17).6
Pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama tidak hanya melihat kematian sebagai perstwai
kodrat manusia, tetapi juga melihat kematian sebagai akibat dosa (bdk Kej: 2 dan 3, Kel 2,3).
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa Perjanjian Lama melihat kematian bukan sekedar
sebagai peristiawa kodrat manusia, tetapi kematian juga merupakan hukuman atas ketidaktaatan
kepada Allah. Perjanjian Lama memandang kematian tidak semata-mata sebagai tindakan
jasmani yakni berhentinya atau berakhirnya hidup tetapi juga sebagai hukuman atas dosa.7
4.1.2.2 Menurut Perjanjian Baru
Para penulis Perjanjian Baru tentang kematian dan sakratu maut, banyak dipengaruhi oleh
paham Yudaisme. Akan tetapi tafsirannya dalam konteks terang pemahaman wafat dan
kebangkitan Yesus Kristus. Kematian bagi manusia itu umum ( Ibr 9:27), kecuali untuk Henokh
(Kej 5:24;Ibr 11:5 dan Elia (2 Raj 2:11). Dinyatakan bahwa hanya Allah saja yang baka (1 Tim
6 P.Hendrik Njiolah, Dunia Orang Mati Menurut Kitab Suci, ( Yayasan Pustaka Nusantara, 2002), hlm. 11
7 Pater C. Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal, (Yogyakarta : Kanisius,
2005), hlm. 78-80.
49
6:16). Meskipun bersifat umum, kematian sekurang-kurangnya sebagai penghancuran diri yang
memedihkan dan menakutkan, bukan rencana semula dari Allah bagi bangsa manusia, melainkan
hukuman atas dosa sebagaimana dikatakan dalam Roma 6:23, upah dosa adalah maut. “Sama
seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang dan oleh dosa itu juga maut,
demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, kerena semua orang telah berbuat
dosa‟‟ (Roma 5:12).
Namun seperti halnya dosa dan maut telah menimpa bangsa manusia melalui satu orang,
Kristus sang Adam baru dan penebus, mencurahkan rahmat dan kehidupan kekal kepada semua
orang ( Roma 5:15-21). Maka kematian Kristus “ memusnahkan dia, yaitu iblis, yang berkuasa
atas maut‟‟.(Ibr 2:14); sesungguhnya dengan kematian-Nya Kristus memusnahkan maut sendiri
(2 Tim 1:10), musuh terahkir yang harus dikalahkan (1 Kor 12;26)8
4.1 Makna Kematian
4.2.1 Menurut Pandangan Kristiani
4.2.1.1 Kematian Sebagai Akhir Perziarahan Manusia Di Dunia
Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa kematian adalah titik akhir perziarahan
manusia di dunia. Titik akhir dari masa rahmat dan belaskasihan yang Allah berikan kepadanya,
supaya melewati kehidupan dunia ini sesuai dengan rencana Allah dan dengan demikian
menentukan nasibnya yang terakhir.9
Dengan demikian kematian bukanlah semata-mata
berakhirnya kehidupan jasmani, melainkan pertama-tama berakhirnya sejarah pribadi.10
Sama
halnya dengan pandangan masyarakat Kampung Bukaregha yang memahami kematian sebagai
8 Ibid., hlm. 83-84.
9 Paus Yohanes Paulus II, Promulgator, Katekismus Gereja Katolik, dalam P. Herman Embuiru, SVD
(Penterj.), ( Ende: Nusa Indah), No. 1013. 10
Peter C. Phan, Op Cit, hlm. 95.
50
suatu peralihan dari kehidupan yang fana di dunia ini ke dunia kehidupan yang lebih baik,
makmur, dan damai sejahtera.
Kematian merupakan akhir kehidupan duniawi. Kematian adalah gerakan menuju
kekekalan Allah. Oleh karena itu, kematian bukan lagi sekedar serentetan momen yang hanya
berbeda melainkan momen terakhir dalam kelender kehidupan. Kematian bukan pula hanya
merupakan momen transisi antara kehidupan temporal dengan kehidupan kekal. Kematian adalah
peristiwa melalui sesuatu, bukan setelah sesuatu dalam mencapai kehidupan kekal.11
4.2.1.2 Kematian Sebagai Tindakan Pribadi
Deskripsi tradisional tentang kematian sebagai perpisahan jiwa dan badan tidak
menunjukkan secara memadai karakter kematian personal. Tentu saja, dalam satu hal kematian
adalah impersonal. Manusia mempunyai struktur fisik. Kehancuran struktur tersebut adalah
sesuatu yang terjadi pada manusia. Akan tetapi ada sesuatu yang lebih baik pada manusia dari
pada hanya tubuh. Seorang pribadi bukanlah objek melainkan subjek yang bebas dalam
keterbatasan kodratnya, memiliki pribadi. Karena kematian adalah realitas seseorang, maka
kematian bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan pada seseorang dari luar, yakni suatu
peristiwa hanya pasif. Mati juga sesuatu yang terjadi dari dalam seorang pribadi. Karena manusia
adalah subyek bebas.
Aspek persoalan kematian adalah seseorang secara aktif membawa keseluruhan hidupnya
menuju kepenuhan. Di dalam kematian, kebebasan mengambil bentuk akhirnya; pilihan dasar
menjadi definitif. Dalam kematian, kita membawa sejarah kebebasan kita menuju ke suatu akhir
dalam tindakan menentukan yang merangkum dan membawa apa yang kita buat dengan diri kita
11
Otto Henetz, Pengharapan Kristen, (Yogyakarta : Kanisius, 2005) hlm. 76-77
51
menuju puncak. Itulah sebabnya mengapa peristiwa kematian bukan hanya saat akhir kehidupan
sementara, tetapi juga kepenuhan abadi tidak sekedar setelah mati, melainkan pula dalam dan
melalui kematian. Kita mati terhadap keakuan diri sendiri, kita mati terhadap keakuan yang
melecehkan ciptaan Allah, terhadap keakuan yang mendominasi hidup. Sejauh kita memiliki
komitmen terhadap diri kita dalam pengharapan dan kepercayaan kepada kehendak Allah, kita
meninggalkan keakuan kita. Kita menanggalkan segala sesuatu, termasuk diri kita, dalam
pelayanan cinta. Itulah pilihan dasar orang Kristen.12
4.2.2 Menurut Pandangan Masyarakat Kampung Bukaregha
4.2.2.1 Kematian : Menghadap Sang Pencipta
Kematian dipahami sebagai suatu peralihan dari kehidupan yang fana di dunia ini kesuatu
dunia kehidupan yang lebih baik, makmur dan damai sejahtera yang di sebut negeri leluhur
(Wanno Kalada). Kematiaan juga dipahami sebagai panggilan dan kehendak Ilahi Tertinggi.
Pamahaman seperti ini tampak dalam beberapa ungkapan antara lain Mori akadangawi (ia telah
dipanggil oleh pencipta). Neebani Amadii Brarana Apadadiwi, Apaole Atana (duduk di samping
yang membentuk dan yang merupakan manusia). Na Tamaba Rate Danna - Na Peneba Togo
Langita (ia telah masuk ke bumi dan naik ke langit).
4.2.2.2 Kematian Sebagai Perjalanan Pulang Ke “Kampung Besar”
Orang asli Sumba memahami kematian sebagai perjalanan jiwa ke Kampung besar
(Wanno Kalada). Kematian diungkapkan dengan “terbenamnya matahari” untuk kemudian terbit
lagi dalam suatu kehidupan yang baru. Kematian juga dipahami sebagai suatu perjalanan menuju
12
Ibid., hlm. 77-78
52
asal mula manusia berasal (padou moripa) seperti dari pucuk (awalina) ke sumber atau pangkal
hidup(Mori) yakni Tuhan sang pencipta.13
Singkatnya kematian adalah proses peraliran manusia untuk menjadi Marapu. Jiwa orang
itu berkumpul dengan para jiwa lain di Uma Kalada, dan berada dihadirat sang pencipta yang
orang Sumba gambarkan berada di kaki langit.14
Dalam kacamata pemahaman orang Sumba
Barat Daya pada umumnya dan pada khususnya di Kampung Bukaregha, (Wanno Kalada) juga
dikenal dengan istilah rate. Peranan anggota suku/ kabizu yang masih hidup adalah menghantar/
mengorientasikan orang yang mati itu ke dalam persekutuan dengan para Marapu di hadirat
pencipta. Hal ini dilakukan melalui berbagai ritual di sekitar kematian dan penguburan orang
mati.
4.2.2.3 Kematian : Persatuan Dengan Roh Nenek Moyang
Dalam pandangan aliran kepercayaan Marapu, seseorang yang telah meninggal bukan
saja pergi kepada Yang Tertingi sebagai pencipta, tetapi juga kematian seseorang menjadi sarana
baginya untuk mengalami persatuan yang lebih nyata dengan para leluhur (Marapu). Hal ini
tampak dalam ungkapan sebagai berikut: ia telah berada di negeri nenek moyang (Ina kaweda
dan Ama kaweda). Pergilah ia kepada para leluhur (Ina kaweda dan Ama kaweda).
Meskipun ada dua hal yang menjadi penekanan dalam pemahaman tentang makna
kematian seseorang di dalam aliran kepercayaan Marapu namun yang paling utama bahwa
kematian itu dihayati sebagai takdir dari yang kuasa pencipta dan penyelenggara atas kehidupan.
13
Gregory L. Forth, Op Cit, hlm. 201. 14
Edmund Woga., Der Parentale Gott : Zum Dialong zwischen der Religion der indonesischen Volker
Sumbas und dem Christentum, dalam Herman Punda Panda & Theodorus Silab, Konstruksi Eskatologi Intermedia
Inkulturatif Dalam Perjumpaan Antara Agama Katoli Dan Agama Asli Sumba(Marapu) Melalui Kajian Atas
Ritual Penguburan Orang Mati( Laporan Hasil Penelitian) ( Kupang : Universitas Katolik Widya Mandira Kupang,
2011) hlm. 10
53
Dialah Ilahi Tertinggi yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Manusia harus pasrah kepada
takdir yang Maha Tinggi.15
Singkatnya, kematian dilihat sebagai transisi antara hidup duniawi
dan akhirat. Dengan demikian di sini tekandung sifat fatalistis dalam kehidupan orang Sumba
pada umumnya. Pemahaman ini diungkapkan melalui pemukulan gong pada saat kematian
seseorang yang di sebut Talla Ata Mate. Tidak sembarang memukul, melainkan dengan irama
yang teratur, sebab irama gong dalam „Talla Ata Mate’ mengandung makna yang
mengungkapkan kalimat tanya jawab yang berbunyi „Apawaimu Mori?‟ (Kau mengapakan dia?)
dan Mate dounawe („Mori akadangawi‟).
4.2.2.4 Kematian Sebagai Perpisahan Jiwa Dan Badan
Pada dasarnya kematian itu baru bisa disebut kematian yang total Na latakaba (badan
sudah kaku) yang ditandai dengan tidak adanya gerakan kehidupan. Di mana jiwa berpisah
dengan badan. Jiwa tidak lagi bersemayam di dalam tubuh, sehingga tubuh menjadi hancur.
Eksistensi tubuh sebagai yang fana menjadi nampak. Tubuh itu akan hancur dan kembali
menjadi tanah, sebagaimana manusia itu tercipta dari debu tanah. Namun jiwa mengalami
kehidupan di alam yang lain.
Pada masyarakat Kampung Bukaregha, jiwa manusia memiliki dua sebutan yaitu
kamatena atau tuuna. Kamatena adalah jiwa yang sesudah manusianya mati, yang pergi
ketempat para arwah, sedangkan Touna („tubuh‟) yang tinggal di rumah. Kedua sebutan ini
kadang-kadang berdiri sendiri, yang satu lepas dari yang lain, namun kadang- kadang dicampur.
15
Bullu Routa, Wawancara di Kampung Wanno Mangeda,14 juli 2017.tersimpan dalam cacatan peneliti.
54
4.3 Makna Upacara Kematian
4.3.1 Makna Religius
4.3.1.1 Konsep Tentang Yang Ilahi Sebagai Pencipta, Pengasih, Penyayang Dan
Penyelamat
Tuhan adalah pencipta manusia. Dalam bahasa masyarakat Bukharegha dengan
apadadina mono apamoripa artinya yang melahirkan dan membuat manusia. Ia adalah pencipta
segala yang ada, dan Dia mencipta dari yang tidak ada menjadi ada. Dalam pandangan Marapu,
yang Ilahi menciptakan manusia dan alam semesta. Ia menciptakan manusia dengan memisahkan
jari tangan dan kaki yang dalam baitan adatnya disebuat, nia apakedewi lima mono waina. Tuhan
adalah yang mencipta, mengukir, dan melukis kehidupan, hal ini diungkapkan: apadadina
padadina apakedena pakedena („yang membuat yang dibuat dan menciptakan yang diciptakan‟).
Tuhanlah yang membentuk alis mata dan batang hidung, Mori apaduana hulu mata pono koru.
Ini berarti Tuhan menciptakan manusia dan segalah sesuatu yang ada dengan sangat sempurna.
Tuhan sebagai pencipta alam semesta, pencipta lagit dan bumi, hal ini nampak dalam doa:
woudona apakedewe tanah pono lagita, yang artinya Engkau yang membuat langit dan
menciptakan di dunia. Hal ini bisa di bandingkan dengan kisah penciptaan dalam Kitab
Kejadian. Dalam doktrin Kristen, pencipta disebuat Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Dia
menciptakan segala sesuatu. Dalam agama Marapu, pencipta tidak disebut nama-Nya, hanya
dikenal dengan gelar, yang menunjukan bahwa Tuhan adalah Pencipta, Esa, Kudus, Sempurna,
Asal dan Tujuan segala sesuatu.16
16
Herman Punda Panda, Mencari Titik Temu Antara Marapu Dan Kekristenan, dalam Lumen Veritatis,
Jurnal Filsafat Dan Teologi, Vol.2. No.2, Oktober 2008- Maret 2009 (Kupang Fakultas Filsafat Agama Unwira),
hlm.12
55
Tuhan bersifat transenden sekaligus imannya. Dia memelihara dan melindungi segala
ciptaan-Nya agar bertumbuh dan berkembang, aman dan selamat. Ia mencintai dan memelihara
mahkluk ciptaan-Nya. Konsep yang Ilahi sebagai pengasih dan penyayang dalam masyarakat
Sumba dikenal dengan ungkapan apadadina yang berarti yang mencintai, yang baik, menaruh
perhatian, punya kepedulian. Baitan adatnya amanawaran mono apasarana („kasih dan solider‟).
Apalologe, dalam pandangan Marapu mempunyai makna religius yakni adanya insiatif sang
pencipta terhadap manusia berupa perhatian dan pengawasan atas seluruh peristiwa hidup
manusia dari waktu ke waktu, sejak matahari terbit sampai pada terbenamnya. Dalam baitannya
dikenal dengan („apaudawi mata lodo mono apa tamani mata lodo’) yang berarti yang
memunculkan matahari dan yang memasukan matahari.Ungkapan simbolis ini mengisahkan
manusia sebagai kawanan ternak gembalaan Tuhan. Dia dilambangkan sebagai pemelihara
ternak atau gembala yang menyayangi dan menggembalakan ternaknya di padang rumput yang
hijau dan membimbingnya ke sumber air yang jernih (bdk. Mazmur 23).
Meskipun Tuhan yang mengatur segalanya namun ia mempergunakan mahkluk ciptaan-
Nya untuk pelaksanaan selanjutnya. Ia memberikan keselamatan sesuai rencana dan kekuasaan-
Nya kepada mereka dalam kelemahan dan keterbatasan mahkluk-Nya. Bagi manusia ciptaan-
Nya, bila menyapa Allah dengan penuh kesadaran penuh keyakinan sambil mohon pengampunan
dan perlindungan, berkat dan kekuatan, maka manusia akan mendapat keselamatan. Keselamatan
akan menjadi milik manusia dan kebahagiaan pun ada dalam tangan mereka.17
Sejak dahulu kala sampai dengan saat ini, upacara sekitar kematian dan pemakaman
menjadi salah satu ritus penting dalam kebudayaan orang Sumba, teristimewa di dalam aliran
kepercayaan Marapu. Di Kampung Bukaregha prosesi ini menjadi suatu kenyataan yang tidak
17
Bey Arifin, Mengenai Tuhan, (Surabaya : PT. Bina Iman, 1999),hlm. 180
56
dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Upacara kematian adalah saat di mana
seseorang tidak lagi dapat mengalami kehidupan di dunia yang fana ini. Dapat dipahami bahwa
kematian menutup lingkaran di dunia bawah ini dan mendobraknya mengarah ke alam dunia
abadi.
4.3.1.2 Kepercayaan Akan Adanya Komunitas Kampung Besar
Komunitas kampung besar yang diyakini adalah persekutuan dengan para Marapu yang
merupakan cerminan dari komunitas kampung besar, tempat persekutuan anggota-anggota
kabizu yang masih hidup. Dalam komunitas kampung besar ini dilingkupi oleh adanya situasi
yang disebuat dengan istilah („amahegela mono maringina’) yang sejuk dan segar yang memiliki
makna sejahtera, selamat, damai, harmoni, tentram, keberuntungan, singkatnya hidup yang
sejahtera. Hidup yang demikian bersifat menyeluruh dan mempengaruhi segala aspek kehidupan
manusia. Hidup yang sejahtera itu juga dikaitkan dengan relasi yang harmonis dan lancar.18
4.3.1.3 Jiwa Mengalami Keselamatan
Sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa keselamatan
seseorang yang meninggal amat ditentukan oleh mereka yang masih hidup. Hal ini dapat dilihat
dari prosesi yang dilakukan tahap demi tahap. Tahap-tahap dari prosesi upacara pemakaman
mengandung doa-doa dan harapan dan keyakinan yang teguh bagi kelancaran perjalanan dan
keselamatan jiwa si mati. Hal ini menunjukkan bahwa peranan doa dalam setiap ritual,
khususnya dalam kepercayaan Marapu mendapat tempat yang utama dan terutama.
18
Herman Punda Panda & Theodorus Silab, Konstruksi Eskatologi Intermedia Inkulturatif Dalam
Perjumpaan Antara Agama Katoli Dan Agama Asli Sumba(Marapu) Melalui Kajian Atas Ritual Penguburan
Orang Mati( Laporan Hasil Penelitian) ( Kupang : Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, 2011) hlm. 77.
57
Dalam Gereja peranan doa orang hidup untuk keselamatan jiwa-jiwa orang yang
meninggal juga amat berguna. Hal ini dikarenakan Gereja meyakini ada banyak jiwa orang mati
yang mesti melalui proses pemurnian sebelum masuk Surga. Karena itu anggota Gereja di dunia
perlu mendoakan jiwa-jiwa itu supaya mendapatkan belas kasih Tuhan agar segera dimurnikan.19
Doa untuk keselamatan orang mati yang disertai juga dengan perbuatan baik anggota
Gereja yang masih hidup tidak bertujuan untuk menebus dan melunasi dosa orang yang sudah
mati. Tetapi doa bertujuan memohon rahmat dan belas kasih Tuhan untuk memurnikan jiwa
orang yang meninggal. Hal ini berhubungan juga dengan kasih terhadap sesama manusia yang
tidak dibatasi oleh kematian. Karena didorong oleh kasih maka orang yang masih hidup
mendoakan keselamatan orang lain yang telah meninggal.20
4.3.1.3.1 Proses Perjalanan Jiwa Menuju Kampung Besar
Dalam pemahaman orang Marapu, setelah lepas dari tubuh pada saat kematian, jiwa
memulai proses perjalanan ke Kampung Besar. Proses perjalanan jiwa itu terjadi secara
bertahap-tahap dan sebelum masuk ke Kampung Besar jiwa berada dalam posisi transisi antara
orang hidup dan orang mati.21
Proses perjalanan jiwa yang berlangsung tahap-demi tahap dan
posisi transisi sebelum jiwa masuk secara definitif ke Kampung Besar adalah sebagai berikut; Di
Sumba ada dua tempat arwah yaitu di Tanjung Sasar dan di Pengunungan Masu. Selain itu,
setiap daerah memiliki tempat bagi tujuan pertama arwah atau jiwa orang sudah mati.
Orang asli Sumba memahami kematian sebagai perjalanan jiwa ke Kampung besar
(„Wanno Kalada’). Kematian diungkapkan dengan “terbenamnya matahari” untuk kemudian
19
Herman Punda Panda Dan Theodorus Silab, Op Cit, hlm. 14 20
Ibid 21
Gregory L. Fort, Op. Cit, hlm 188
58
terbit lagi dalam suatu kehidupan yang baru. Kematian juga dipahami sebagai suatu perjalanan
menuju asal mula manusia berasal seperti (‘wali’) seperti dari pucuk („tibu’) hidup (‘moripa’)
yakni Tuhan sang pencipta.
Singkatnya kematian adalah proses peralihan manusia untuk menjadi Marapu. Jiwa
oarang itu berkumpul dengan para jiwa lain di Kampung Besar, dan berada dihadirat sang
pencipta yang orang Sumba gambarkan berada di kaki langit. Dalam kacamata pemahaman
masyarakat di Kampung Bukharegha, Kampung Besar juga dikenal istilah Wanno Kalada,.22
Peranan anggota suku/kabizu yang masih hidup adalah untuk menghantar/mengorientasikan
orang yang mati itu kedalam persekutuan dengan para Marapu di hadirat pencipta. Hal ini
dilakukan melalui berbagai ritual disekitar kematian dan penguburan orang mati.23
Keadaan hidup di komunitas orang mati digambarkan paralel dengan kehidupan dalam
komunitas orang hidup hanya berbeda tingkat kualitas. Komunitas orang mati, hidup bersama
pencipta karena itu berbeda dalan tingkat yang sempurna dan tidak berkekurangan. Segala
sesuatu di sana bersifat murni, baru, dan berkelimpahan. Jiwa-jiwa di sana memiliki tubuh
seperti yang mereka miliki ketika masih hidup. Masyarakat orang mati mempertahankan pula
keadaan masyarakat dalam komunitas orang hidup, misalnya para bangsawan tetap menduduki
posisinya sebagai bangsawan dan masyarakat biasa tetap sebagai masyarakat biasa.24
22
Herman Punda Panda dan Theodorus Silab, Op. Cit, hlm 10 23
Bullu Routa, Wawancara di Kampung Wanno Mangeda,14 juli 2017.tersimpan dalam cacatan peneliti.
24
Gregory L. Forth, Op. Cit, hlm. 200
59
4.3.1.3.2 Peranan Orang Hidup Bagi Keselamatan Jiwa Orang Mati
Dalam aliran kepercayan Marapu, meyakini bahwa terdapat banyak jiwa yang masih
berada dalam penantian dan mesti melalui proses pemurnian sebelum sungguh-sungguh sampai
ke Wanno Kalada atau surga. Karena itu amat penting bagi sanak-saudara yang masih hidup
untuk terus mendoakan, memohon kepada Marapu agar dapat menerima jiwa dari si mati ke
dalam persekutuan para roh nenek moyang.
Hal ini dapat dilihat dari wujud upacara kematian yang berlangsung di mana keluarga
melalui seorang imam Marapu mendoakan arwah si mati agar segala dosanya dapat dihapus
dengan demikian jiwa dari si mati dengan tenang dapat masuk dalam persekutuan yang abadi
dengan Tuhan penciptanya di Wanno Kalada atau surga. Ritual ini dikenal dengan istilah („ndegi
weemaringi weemala’) yakni suatu tindakan dari orang hidup yang memohon belaskasih rahmat
dan pengampunan dari Tuhan. Hal ini juga berhubungan dengan kasih terhadap sesama manusia
yang tidak dibatasi oleh kematian.
4.3.1.4 Makna Upacara Pemakaman
Upacara pemakaman merupakan upacara yang penting dalam kehidupan masyarakat
Sumba. Pelaksanaan upacara ini sangat menentukan perjalanan arwah si mati untuk tiba di dunia
persekutuan nenek moyang, yaitu Uma Kalada. Oleh karena itu, upacara ini baru dapat
dilaksanankan apabila persiapan telah tuntas. Apabila persiapan pemakaman belum siap, maka
jenazah belum dikuburkan atau perlu diadakan penguburan sementara. Upacara penguburan
resmi baru diadakan apabila pihak keluarga telah memiliki biaya penguburan.
Hari penguburan dipahami sebagai awal perjalanan arwah si mati ke Wanno Kalada.
Jenazah dikuburkan, baik pada kubur yang baru maupun dalam kuburan yang lama. Contohnya
60
seperti yang dikatakan F.D. Wellem dalam bukunya Injil dan Marapu, menurutnya, jika istri atau
suami telah meninggal terlebih dahulu, jenazah akan dikuburkan pada liang lahat yang sama.25
Hal senada juga di katakan oleh Gregory L Forth. Forth juga menambahkan bahwa penguburan
yang demikian hanya diperbolehkan untuk mereka yang suami istri saja. Sedangkan mengenai
aturan lain, bagi Forth, yang sama sekali tidak boleh dikuburkan bersama adalah anak dan bapa
dengan pengecualian pada anak-anak yang masih kecil, istri yang diberi dan istri yang diambil,
saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Di sini nampak adanya suatu pandangan bahwa
larangan yang berlaku dalam perkawinan berlaku juga dalam sistem penguburan bersama.26
4.3.1.4.1 Pemakaman Sebagai Bentuk Penghormatan Kepada Manusia
Menurut pandangan orang Sumba, manusia adalah mahkluk ciptaan Ilah Tertinggi.
Manusia diciptakan dengan memakai bahan tanah liat. Ilahi Tertinggi dibayangkan sebagai
tukang periuk dan penganyam yang membentuk dan menganyam manusia („weeli tou‟).
Kehidupan manusia sepenuhnya bergantung kepada Ilah Tertinggi. Ilah Tertinggi adalah
pemegang napas hidup dari manusia. Oleh karena itu kematian dipahami sebagai tindakan Ilah
Tertinggi yang memutuskan nafas hidup dari manusia. Pemahaman ini nampak dalam ungkapan
sebagai berikut:
”Mori aterena moripa,
Nia apadadina ata pia,
Abaisa kaina lolongau ata pia,
Akana kedewe mate”
Terjemahannya:
„Tuhanlah yang memegang napas,
25
F.D Welem, Op. Cit. Hlm 82 26
Gregory L. Forth, Op. Cit, hlm. 179
61
Yang dengannya manusia hidup
Jika napas itu putus,
Maka kebinasaanlah yang terjadi („mati‟)‟.
Pada mulanya manusia mempunyai hubungan langsung dan harmonis dengan Ilah
Tertinggi dan tinggal bersama-sama di langit. Ilah tertinggi berdiam di lapisan yang kedelapan,
sedangkan manusia berdiam pada lapisan yang keenam. Manusia dapat naik turun untuk
menyampaikan keinginannya secara langsung tanpa perantara. Namun setelah manusia turun ke
bumi, manusia tidak dapat lagi secara langsung berhubungan dengan Ilah tertinggi. Ilah tertinggi
menjadi Ilah yang transenden. Ia tidak dapat lagi didekati oleh manusia dan ia tidak dapat turun
untuk menemui manusia. Jikalau manusia memohon perlindungan, berkat dan sebagainya ia
harus memakai perantara atau mediator, yaitu Marapu dalam hal ini arwah roh nenek moyang.
Manusia pertama dan keturunannya yang berdiam di lapisan langit keenam dibayangkan
sebagai roh yang bertubuh. Mereka hidup seperti manusia biasa, misalnya bercocok tanam,
kawin mawin, makan dan minum. Di samping itu, mereka dipandang memiliki berbagai
kekuatan supranatural seperti dapat terbang, menghilang dan tidak dapat mati. Namun setelah
turun ke bumi, mereka kehilangan berbagai kekuatan tersebut. Manusia dikuasai oleh kefanaan.
Manusia dipahami sebagai mahkluk yang dikotomis, yaitu terdiri dari tubuh dan jiwa.
Pada waktu manusia mati, tubuhnya hancur menjadi tanah, sedangkan jiwanya akan pergi ke
dunia arwah nenek-moyang Wanno Kalada. Sekalipun terdapat pemahaman yang dualistik,
namun tidak terdapat kecendrungan askese dikalangan orang Sumba. Manusia di atas bumi akan
menjalani kehidupan melalui siklus kehidupan tertentu. Siklus kehidupan ini terdiri dari beberapa
fase, yaitu kelahiran, masa kanak-kanak, pemuda, pernikahan, kematian dan penguburan. Fase-
62
fase ini dipandang sebagai masa kritis dan berbahaya dalam kehidupan seseorang. Oleh karena
itu, pada fase-fase peralihan ini dilaksanakan sejumlah ritus penyembahan kepada Marapu.27
Hal
inilah yang menurut Gregory L.Fort, fase-fase ini dipahami bukan sebagai peristiwa tetapi adalah
proses dari kehidupan manusia. Ritus-ritus ini mengandung unsur-unsur pemisahan, transisi dan
korporasi atau persekutuan.28
Manusia adalah mahkluk yang istimewa. Hal ini dapat dilihat bahwa manusia adalah
mahluk yang melebihi segala mahkluk yang ada di muka bumi ini. Dalam pandangan Kristen
manusia dilihat sebagai mahkluk yang diciptakan seciri dengan Allah. Oleh karena itu seperti
apapun manusia dia adalah Imago Dei (Citra Allah).29
Masyarakat Kampung Bukaregha
menyakini bahwa manusia tidak hanya dihormati ketika ia hidup saja, tetapi juga saat ia mati.
Oleh kerena itu penghormatan terhadap si mati menuju Wanno Kalada amat ditentukan pula
melalui wujud penghormatan yang dilakukan.30
4.3.1.4.2 Penghormatan Terhadap Tubuh Manusia
Dalam Kitab Kejadian, mula-mula Allah menciptakan manusia dari debu tanah (Kej 2:7),
baru kemudian Allah menghembuskan nafas hidup. Berarti hal pertama yang diciptakan Allah
adalah tubuh. Di atas telah diuraikan konsep tentang manusia menurut orang Sumba. Dalam
pemahaman orang Sumba manusia itu diciptakan oleh Ilah Tertinggi. Manusia diciptakan dengan
menggunakan bahan dasar tanah liat. Dengan demikian tubuh manusia itu tercipta dari Tuhan.
27
F.D Wellem, Op. Cit, hlm. 54-55 28
Georg L. Fort, Op. Cit, hlm 133 29
Georg Kirchberger, Pandangan Kresten Tentang Dunia Dan Manusia, (Maumere : Ledalero,2002),
hlm.19. 30
Ama Malo, Wawancara Di Kampung Karuni, 20 jili 2017, Tersimpan Dalam Cacatan Peneliti.
63
Dalam dualisme Plato dikatakan bahwa tubuh adalah penjara bagi jiwa, jiwa hakikatnya
rohani dan badan hakikatnya jasmani. Hakikat jiwa mempunyai primat atas tubuh. Berarti jika
tubuh mati, maka jiwa akan bebas dan pulang ke kerajaan ide-ide.31
Dari gambaran ini dapat
dilihat bahwa tubuh seakan-akan hanyalah materi yang menjadi tempat bersemayamnya roh.
Pada hal tanpa tubuh maka jiwa tidak akan dapat dilihat dalam diri manusia yang walaupun roh
sifatnya abadi. Manusia tetap hidup mesti tanpa tubuh.
Dalam konteks ini, yang mau dilihat dan dikaji bukanlah sebuah pertentangan, melainkan
melihat tubuh manusia itu sendiri sebagai sesuatu yang suci dan kudus, sebab tubuh adalah
ciptaan Tuhan sendiri. Konsep tentang tubuh itu sendiri dilihat sebagai sesuatu yang suci, yang
harus dijaga, dipelihara dan dihormati, demikianlah yang terjadi pada masyarakat di Kampung
Bukaregha.
Secara kasat mata, tubuh manusia akan hancur dan kembali pada hakikatnya yaitu tanah.
Tetapi secara iman tubuh itu juga akan mengalami kebangkitan. Dan dalam konteks ajaran
Marapu, tubuh itu akan mengalami kehidupan seperti di dunia nyata, namun sifatnya berbeda.
Jika di dunia nyata tubuh mengalami derita dan kefanaan dunia, maka di alam lain, tubuh
manusia itu hidup dalam keadaan yang sempurna, sejahtera, makmur, tak berkekurangan.
Penginjil Lukas sendiri secara lebih jelas mempertajam ungkapan bahwa dalam dunia
kebangkitan, manusia sama seperti malaikat (bdk Luk,20:36). Maka di satu pihak harus
disimpulkan bahwa dalam dunia, kebangkitan manusia akan mempertahankan hakikat psiko-
somatiknya artinya kesatuan jiwa dan tubuh manusia tetap dipertahankan. Meskipun demikian,
Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa akan ada sebuah spiritualisasi manusia seturut
31
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual; Konfontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani
Hingga Zaman Modern, (Yogyakarta :Kanisius,2004),hlm. 53.
64
sebuah dimensi yang berbeda dari apa yang ada pada awal mula. Dengan kata lain kebangkitan
berarti sebuah penyerahan tubuh kepada kekuasaan roh secara baru.32
Hal ini penting ditegaskan,
karena bertujuan untuk menghindari paham dualisme.
Prosesi upacara kematian adalah salah satu wujud penghormatan kepada pribadi manusia,
tubuh dan jiwa manusia, supaya mengalami keselamatan yang paripurna. Dan dapat dikatakan
bahwa makna dari setiap ritual-ritual adat yang diselenggarakan oleh manusia yang hidup bagi
orang yang meninggal adalah sebuah proses perohanian agar tubuh dapat merealisasikan dirinya
secara sempurna, dan menghantar tubuh ke dalam partisipasi sempurna dari segala yang bersifat
ragawi dalam diri manusia di dalam segala yang bersifat spiritual dalam dirinya. Dari situ
manusia tidak lagi memandang hal-hal lain yang bersifat duniawi, tetapi terpusatnya
pengetahuan dan cinta pada Allah semata-mata.
4.3.1.5 Model Pemakaman Dalam Aliran Kepercayaan Marapu
4.3.1.5.1 Pemakaman Secara Tuntas
Dalam tradisi orang Marapu, seseorang baru akan dikuburkan saat segala persiapan sudah
lengkap. Segalah persiapan yang dimaksud di sini adalah segala hal yang berkaitan dengan ritual
penguburan orang mati, seperti hewan korban („ranga pateba’) yaitu kerbau, sapi, babi, anjing,
ayam. Selain itu pula beberapa barang milik si mati yang selalu dipergunakan si mati saat masih
hidup, seperti sirih-pinang (uta pamama) dan kuburan tempat peristirahatan si mati.Selain itu
juga dalam kebiasaan orang Sumba Barat Daya bahwa apabila seluruh anggota keluarga inti
belum lengkap maka pemakaman belum dapat dilaksanakan.Singkatnya pemakaman baru dapat
dilangsungkan apabila segala persiapan sudah benar-benar matang.
32
Deshi Ramadhani, Sj, Lihatlah Tubuku,(Yogyakarta :Kanisius,2009), hlm.116
65
Undangan biasanya disampaikan secara lisan oleh seorang utusan („ata bowo’).
Undangan sudah disampaikan beberapa hari sebelum penguburan itu berlangsung. Keluarga akan
datang beberapa hari sebelum hari penguburan dengan bawaan mereka. Pihak pengambil
perempuan („pagera’) ia akan membawa hewan berupa kerbau atau kuda dan sapi. Ini
melambangkan kepedulian dari pihak laki-laki yang mengambil anak gadis dari keluarga yang
meninggal.
Pihak pemberi perempuan („ole sawa’) membawa dua lembar kain (‘ngee’) bagi si mati
yang laki-laki atau dua lembar sarung („ingi’) bagi si mati yang perempuan. Keluarga yang tidak
tergolong dalam kedua kelompok di atas dapat membawa hewan, kain, atau uang. Para tamu
disambut dengan pukulan gong yang berirama talla atamate („gong orang mati‟) serta dilayani
sirih-pinang.
Sebelum jenazah diturunkan dari balai-balai atas, imam mengadakan korban berupa
seekor ayam untuk persiapan menurunkan si mati dari balai-balai menuju kubur (Wanno
Kalada), hatinya akan disimpan di piring yang ada nasinya dan diletakan pada tempat yang biasa
tua adat melakukan ritual. Tujuannya adalah imam meminta kepada Marapu agar memberi
petunjuk jalan kepada si mati agar tiba di Wanno Kalada dan menasihati arwah si mati agar
menaati kehendak Marapu.
Jenazah kemudian diturunkan dari balai-balai besar atas ke balai-balai bawah. Pada saat
ini, gong dipukul dengan irima talla ata mate („gong orang mati‟) untuk menghantar arwah si
mati serta beberapa ekor kerbau, sapi, dan babi sebagai bekal si mati saat tiba di Rate Dana
sebagai Wanno Kalada (kampung besar). Dalam keyakinan masyarakat kampung Bukaregha,
arwah si mati akan melewati sungai lalu kemudian sampai di Rate Dana („dalam kubur‟). Dia
66
akan menjelajai seluruh kehidupan baru untuk ada bersama para leluhur yang sudah terdahulu.
Kemudian arwahnya akan naik menghadap Ilahi yang Maha Tinggi di tanah dan bukit
keselamatan. Ilah Tertinggi akan menghakiminya dan si mati akan mengakui dosanya. Pada
akhirnya arwah akan kembali ke Rate Dana untuk berkumpul dengan para Marapu lainnya.33
4.3.1.5.2 Pemakaman Sementara (Patane Tudu)
Penguburan sementara yang terjadi di Masyarakat Sumba Barat Daya berbeda dengan
penguburan sementara yang terjadi pada masyarakat Sumba Timur. Di Sumba Timur, misalnya
Jenazah tidak dikuburkan di dalam tanah ketika tahap persiapan melainkan disimpan di salah
satu kamar di rumahnya. Tidak ada hewan korban hanyalah ritual adat singkat saja yang
dilaksanakan untuk patane untuk menyampaikan bahwa si mati belum dikuburkan secara tuntas,
baru akan dilaksanakan apabila segala persiapan sudah tersedia.34
Kesepakatan waktu untuk
pemakaman secara tuntas dilaksanakan secara musyawarah dalam anggota keluarga dari si mati
yang diistilakan dengan horoge. Sedangkan model pemakaman sementara yang terjadi di Sumba
Barat Daya berarti si mati memang dimakamkan atau dikuburkan sebagaimana mestinya hanya
penguburan itu dilaksanakan secara sederhana. Hanya beberapa ekor babi saja yang disembelih
untuk dipersembahkan kepada Arwah dan memberi makan kepada pelayat. Pemakaman yang
tuntas baru dapat dijalankan jika pihak keluarga sudah mendapatkan biaya („kerbau dll‟). Bila
persiapan sudah tersedia maka diadakanlah upacara yang di sebut makaghera (menggali tulang
dari orang tersebut) untuk dimakamkan sesuai tata cara adat yang tuntas.
33
F.D. Wellem, Op Cit, hlm.83-84 34
Bullu Routa, Op Cit, hlm.32.
67
4.3.2 Makna Sosial
4.3.2.1 Hubungan Manusia Dengan Manusia
Berbicara tentang hubungan manusia dengan manusia tidak terlepas dari pribadi manusia.
Esensi manusia dinyatakan melalui esksitensi pribadi-pribadi manusia. Penekanan yang
disesuaikan dengan konsep manusia menjurus kepada sosialitas, dan tidak terkungkung dalam
otonomi individualisme.35
Kasdim Sitohang dalam bukunya Filsafat Manusia memberikan
penjelasan yang sama, “ Selain sebagai mahkluk personal, manusia juga adalah mahkluk sosial.
Ia mengalami perkembangan sebagai individu bersama dengan yang lain. Dalam arti ini,
kehadiran orang lain merupakan un sur yang mutlak. Realitas kehidupan manusia terpenuhi
bersama dengan orang lain.” 36
Upacara kematian juga mengandung makna sosial. Di dalam upacara kematian ada
keterlibatan banyak pihak, entah anggota suku/clan, sanak saudara, maupun pihak yang bukan se
suku ataupun memiliki hubungan darah dan perkawinan. Namun solidaritas menjadi
pemandangan yang tidak lazim lagi dalam upacara kematian di Sumba dan khususnya pada
masyarakat Kampung Bukaregha. Menurut informan bapak Rato Rode, pengambilan bagian
manusia dalam upacara kematian tidak hanya turut berduka atas kematian sesamanya, tetapi
lebih ditampakkan pula solidaritas, yakni melalui aneka pembawaan para undangan, berupa kain,
hewan korban, sirih-pinang, beras, kopi-gula. Di samping itu juga soal partisipasinya dalam
mengurusi segala persiapan bagi si mati yang ditandai dengan saling kerja sama dalam
35
Hans Fink, Filsafat Sosial,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2010,), hlm. 82 36
Kasdim Sitohang, Filsafat Manusia,(Yogyakarta : Kanisius,2009), hlm. 41
68
mempersiapkan kubur, dari penggalian kubur, memotong batu kubur, sampai peristiwa penarikan
batu, watu odi.37
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nuansa sosialitas tidak hanya ditunjukkan
manusia terhadap sesamanya ketika masih hidup saja, bahkan ketika sesamanya matipun sikap
sosialitas manusia nampak. Sikap sosialitas manusia terhadap manusia lain dalam masyarakat
Kampung Bukaregha serentak mengurangi beban keluarga yang berduka, sekaligus menjadi
dukungan bagi mereka dalam menghadapi setuasi duka. Karena itu, jelaslah bahwa manusia
tidak hanya mahkluk personal, serentak pula adalah mahkluk sosial yang mengalami
perkembangan dalam relas dengan yang lain.
4.3.2.2 Hubungan Keluarga Dengan Orang Lain
Dengan peristiwa upacara kematian juga timbul kesadaran dari pihak orang lain yang
sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dan se-suku, untuk turut mengambil bagian dalam
peristiwa upacara kematian. Dengan kehadiran orang lain dimaknai sebagai adanya sikap solider
dari orang lain yang turut mengambil bahagian dalam peristiwa upacara kematian.
Peristiwa upacara kematian menjadi ajang yang tepat bagi keluarga dengan orang lain
untuk saling berbagi. Nuansa solider yang dimaksud adalah turut mengambil bagian dalam
upacara kematian dan kehadiran orang lain dilihat sebagai bentuk cinta dan perhatian serta
penghormatan baik bagi keluarga duka, maupun si mati. Dengan peristiwa upacara kematian,
segala bentuk persoalan yang terjadi antara si mati semasa hidupnya dengan orang lain dapat
diselesaikan.38
37
Bullu Pinge, Wawancara Di Kampung Bukaregha 15 Juli 2017, tersimpan dalam cacatan peneliti. 38
Bullu Pinge, Wawancara Di Kampung Bukaregha 15 Juli 2017, tersimpan dalam cacatan peneliti.
69
4.3.2.3 Hubungan Keluarga Dengan Keluarga
Pada awal pembahasan telah diuraikan bahwa suku yang mendiami Kampung Bukaregha
adalah suku Bukaregha. Namun segenap anggota suku tidak semuanya menetap di Kampung
Bukaregha, melainkan berdiaspora ke luar Kampung Bukaregha, kerana pekerjaan dan peristiwa
kawin-mawin. Namun ketika mereka mati, sekalipun mereka berada jauh dari Kampung
Bukaregha, Kampung asal mereka, mereka akan di bawa kembali ke Kampung asalnya dan
dimakamkan di situ.
Peristiwa kematian seorang keluarga yang sesuku di Kampung Bukaregha menjadi ajang
di mana keluarga dapat berkumpul dan ada bersama, baik yang jauh maupun yang dekat.
Peristiwa upacara kematian melibatkan semua anggota keluarga suku/clan, tanpa terkecuali.
Semua mengambil bagian dalam peristiwa itu.
Dengan peristiwa kematian dan upacara kematian, menjadi sarana bagi anggota keluarga
sesuku yang selama ini memiliki perselisihan dengan si mati atau keluarga dari si mati berdamai.
Sebab dalam keyakinan masyarakat Kampung Bukaregha, apabila keluarga yang berselisih
paham baik dengan keluarga si mati, maupun dengan si mati tidak berdamai, maka akan
meninggalkan beban tersendiri bagi perjalanan jiwa si mati ke rumah keabadian, uma kalada.39
4.3.4 Makna Moral
Kata moral berasal itu sendiri berasa dari bahasa latin mos (tunggal) mores (jamak) dan
kata sifat moralis. Mores berarti kebiasaan, kelakuan, kesusilaan. Sedangkan moralis berati
susila. Kata ini juga searti dengan kata “ etika” ethieks dalam bahasa belanda, ethisct dalam
39
Bullu Pinge, Wawancara Di Kampung Bukaregha 15 Juli 2017, tersimpan dalam cacatan peneliti.
70
bahasa inggris. Kata ini8 berasal dari bahasa yunani ethos yang kelakuan, kebiasaan. jadi secara
etimologis tidak ada perbedaan arti antar “ etika”dan “moral” jika kata “moral” dipakai sebagai
kata sifat artinya sama dengan “etis” dan jika dipakai sebagai kata benda sama dengan “etika”.
Daam penggunaan sehari-hari kedua kata ini dapat ditukartempatkan tanpa membawa
pergeseran. Dalam hal ini moral, mengatur tata sikap batin dari perilaku kita atau pedoman
bagaimana kita harus mengatur hidup agar menjadi lebih baik sesuai dengan maksud Tuhan
Yang Maha Esa. Dan kebiasaan, adat-istiadat di dalam sebuah masyarakat. Secara sederhana
moral diartikan sebagai norma yang memuat hak dan kewajiban, termasuk di dalamnya tentang
apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang dalam relasinya dengan
sesama dalam kehidupan bermasyarakat. Franz Magnis Suseno menjelaskan bahwa ajaran moral
memuat pandangan-pandangan nilai-nilai dan norma-norma moral di antara sekelompok
manusia. 40
Norma moral merupakan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup supaya
menjadi baik sebagai manusia.41
Nilai moral yang terkandung dalam makna upacara kematian tidak terlepas pula dari
konsep kepercayaan Marapu. Bagi masyarakat Sumba, Marapu menjadi falsafah hidup bagi
berbagai ungkapan budaya Sumba. Mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat („uma
urata’), rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunannya, sampai kepada seluruh aspek
kehidupan dan kegiatan orang Sumba. Marapu merupakan tata nilai mendasar yang dipegang dan
dianut oleh masyarakat Sumba.42
Tidak berbeda dengan sistem kepercayaan umumnya, Marapu
mempunyai dua peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sumba.
40
Watu Yohanes Vianey, “ Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di Kampung
Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertai), Denpasar : Universitas Udayana, 2008), hlm.399. 41
Franz Magnis Suseno, Nilai-nilai dan Norma Moral, (Yogyakarta : Kanisius, 1991), hlm. 71. 42
Ama Malo, Wawancara Di Kampung Karuni, 20 jili 2017, Tersimpan Dalam Cacatan Peneliti.
71
Menurut bapak Andereas Zula Bili, dua peranan penting Marapu dalam kehidupan
masyarakat Sumba umumnya dan masyarakat Kampung Bukaregha pada khususnya adalah:
Pertama, Marapu berperan sebagai pedoman hidup dan tingkah laku masyarakat. Marapu sendiri
mempunyai aturan-aturan atau hukum. Aturan-aturan tersebut dapat didefinisikan sebagai “
pedoman untuk berprilaku menurut tata-cara Marapu”. Aturan-aturan itu tidak hanya berkaitan
dengan akal budi dan pengertian manusia saja, melainkan dengan seluruh pola kehidupannya.
Sebagai sistem kepercayaan yang mempunyai aturan-aturan, sampai dengan saat ini masih dapat
diterima karena keseluruhan tata nilai diarahkan pada kebaikan kehidupan manusia.
Kedua, Marapu berperan sebagai penolong. Artinya ketika manusia mampu untuk
menjalankan aturan-aturan dalam Marapu maka ia akan selamat. Selamat yang dimaksudkan
adalah: Berhasil dalam segala usahanya di dunia, pertanian, pertenakan dll.Sekaligus juga, akan
dilindungi oleh Sang Pencipta melalui roh nenek moyang dari segala malapetaka. Ketiga, ketika
meniggal setelah rohnya melayang-layang diangkasa rohnya akan masuk pada langit ke-
delapan‟(surga‟).43
Untuk lebih jelasnya orang Sumba memandang alam semesta dalam gambaran „podo
makebelana laagita mono iwa makebelana tanah‟(delapan lapis langit dan tujuh lapis bumi‟).
Lapisan-lapisan bumi dihuni oleh roh jahat, susunannya dari terjahat (lapisan I‟) hingga terbaik,
yaitu hunian manusia („lapisan 7‟). Sedangkan lapisan langit dihuni oleh roh baik dari susunan
roh kurang baik (lapisan 1) hingga roh paling baik surga („lapisan 8‟). Menurut informasi bapak
Andereas Zula Bili, pemahaman ini sangat mempengaruhi pola-pola tindakan dalam masyarakat
Sumba Barat Daya. Salah satu contohnya adalah upacara kematian. Upacara kematian dirayakan
43
Ama Malo, Wawancara Di Kampung Karuni, 20 juli 2017, Tersimpan Dalam Cacatan Peneliti.
72
dengan menyembelih korban seperti kerbau, kuda, sapi, babi dll, sebagai jamuan upacara
kematian, baik dengan para roh nenek moyang maupun dengan orang yang masih hidup. Mayat
dikubur dengan pakaian lengkap, dengan tumpukan kain sarung (ingi/gee), serta perhiasan
seperti, mas maupun perak. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Sumba Barat Daya pada
umumnya dan masyarakat Kampung Bukaregha pada khususnya dengan harapan bahwa korban
yang berupa, kain sarung, serta perhiasan merupakan bekal bagi roh yang meninggal dalam
perjalanan dari langit lapisan terendah hinggan langit lapisan kedelapan („Sorga‟).44
Dalam
pemahaman masyarakat Kampung Bukaregha, apabila segala norma dan ketentuan itu tidak
dijalankan secara baik dan benar sesuai dengan tatacara yang sudah diwarisi turun temurun,
maka akan menimbulkan masalah bagi segenap anggota keluarga yang masih hidup, dan amat
berpengaruh bagi perjalanan jiwa dari si mati.
4.4 Refleksi Teologis
Sebagai masyarakat adat yang menjunjung tinggi nilai kehidupan manusia baik ketika
masih hidup maupun ketika mati, mereka tiba pada suatu ekspresi kesadaran akan eksistensi
mereka yang terikat pada Tuhan sebagai pencipta dan penyelenggara kehidupan. Sebagai
masyarakat yang menganut sistem kepercayaan Marapu, mereka percaya, bahwa kematian
bukanlah akhir dari suatu kehidupan manusia. Pemahaman ini dilandasi oleh adanya pengakuan
bahwa Allah berdaulat dalam semua masalah kehidupan dan kematian, karena Dia telah
menunjukkan karya-karya keselamatan untuk menaklukkan maut dan kehidupan.
Kesadaran manusia akan eksistensinya sebagai makhluk yang berdimensi rohani dihayati
dan diungkapkan dalam hidupnya, di mana manusia selalu mengarahkan hidupnya dalam
44
Ama Malo, Wawancara Di Kampung Karuni, 20 jili 2017, Tersimpan Dalam Cacatan Peneliti.
73
membangun relasi personal dengan yang Ilahi, sesama, dan alam semesta. Manusia tidak hanya
membutuhkan sesama, tetap membutuhkan pula alam semesta tempat untuk berpijak. Kesadaran
manusia melalui relasi dengan sesama dan alam semesta menuntutnya untuk membangun relasi
dengan yang Ilahi melalui doa, persembahan dan simbol-simbol kehadiran yang Ilahi. Menurut
Mardiatmadja, kata-kata dalam nyanyian dan doa, memberikan korban, menari, penyembelian
hewan korban merupakan cara-cara manusia berhubungan dengan Tuhan.45
Aliran kepercayaan Marapu secara mutlak berpandangan bahwa Wujud Tertinggi
merupakan sumber dan penentu kehidupan manusia. Itulah sebabnya segala bentuk ritus yang
dijalankan dan sebesar apapun tuntutannya tidak dipersoalkan, karena tuntutan dari dalam diri
yang mengharuskan mereka untuk berhubungan dengan Marapu melalui doa dan hewan korban.
Inilah cara-cara manusia berhubungan dengan Ilahi. Prinsip hidup yang demikian ini semakin
menampakan jati diri setiap penganut aliran kepercayaan Marapu yang selalu mengarahkan diri
dan hidupnya pada keadaan yang absolut, mutlak.
Makna religius yang terkandung dalam penguburan orang mati dalam aliran kepercayaan
Marapu menjadi bukti bahwa di dalam aliran kepercayaan Marapu terkandung konsep tentang
Tuhan yang Ilahi sebagai pencipta, pengasih, penyayang dan penyelamat manusia. Kepercayaan
akan adanya komunitas Kampung Besar yang dalam dunia Kekristenan dikenal sebagai sorga
dilihat sebagai tempat yang sejuk, sejahtera, dan harmonis. Di Kampung Besar inilah jiwa
mengalami kehidupan baru dalam persekutuan dengan Marapu. Dalam aliran kepercayaan
Marapu, keselamatan jiwa seseorang amat diutamakan oleh anggota keluarga dari si mati yang
masih hidup, yang dapat dilihat lewat aneka doa mohon ampun kepada Wujud yang Tertinggi
atas segala salah dan dosa dari si mati agar jiwanya boleh mengalami keselamatan kekal.
45
B. S. Mardiatmadja, Panggilan Hidup Manusia, (Yogyakarta : Kanisius, 1982), hlm 74
74
Bersama dengan itu Gereja juga mempersembahkan korban dan doa sebagai silih atas segala
dosa dari setiap orang yang meninggal.
Perhatian yang begitu tinggi pada aspek keselamatan jiwa seseorang yang telah
meninggal dunia merupakan tindakan kasih terhadap sesama manusia yang tidak dibatasi oleh
kematian. Wujud upacara pemakaman adalah suatu ekpresi dari manusia yang masih hidup.
Kasih terhadap sesama yang tidak dibatasi oleh kematian semakin diperluas dengan adanya
upacara pemakaman yang diselenggarakan. Bahkan upacara pemakaman bagi seseorang dalam
aliran kepercayaan Marapu dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada manusia dan tubuh
manusia. Hal ini didasari oleh adanya konsep pemahaman setiap penganut aliran kepercayaan
Marapu yang memandang manusia adalah makhluk ciptan Ilahi Tertinggi. Ilahi Tertinggi adalah
pemegang nafas hidup manusia. Penghormatan kepada tubuh manusia diekspresikan lewat
pemakaian pakaian kematian dan proses merias jenazah bagi si mati. Hal ini dapat dilihat pula
dalam Kitab Suci di mana ketika Yesus akan dimakamkan tubuh-Nya dibalut dengan kain kafan
dan mereka membubuhinya dengan rempah-rempah („Yoh 19:40‟).
Konsep tentang manusia yang dilihat sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang indah dan
mulia, menghantar setiap penganut aliran kepercayaan Marapu menjalankan segala ritus yang
terkandung didalamnya secara teratur dan benar. Sebab jika tidak dijalankan secara teratur dan
benar akan menimbulkan persoalan yang menimpa keluarga dari si mati yang masih hidup.
Ekspresi relegiositas dari setiap aliran kepercayaan Marapu semakin memperjelas bahwa agama
Marapu memiliki konsep mendalam tentang hidup dalam hubungannya dengan Tuhan. Sejalan
dengan pandangan ini, tepatlah apa yang dikatakan oleh Bede Briffiths yang mengatakan bahwa
setiap agama memiliki tujuan yang sama yaitu mengarahkan setiap manusia pada keadaan yang
absolut dan transenden, realitas tunggal, kebenaran abadi yang tidak bisa diungkapkan dan tidak
75
bisa dipahami. Dalam situasi dan keadaan apapun manusia, secara tetap ditarik kepada kebenaran
yang transenden.46
Senada dengan pandangan di atas, Gereja Katolik memberikan penghargaan yang begitu
tinggi terhadap segala bentuk ritus dalam setiap aliran kepercayaan yang berada di luar Gereja.
Situasi ini sudah dipraktekkan oleh Gereja Katolik di Sumba dan sangat nyata pada saat jalannya
upacara pemakaman dimana unsur Marapu diselipkan dalam pemakaman Katolik. Akan tetapi
dalam hal ini dibatasi sejauh tidak menyimpang dari kebenaran dan kebajikan kristiani. Sikap
Gereja yang demikian adalah usaha Gereja Katolik di Sumba dalam membangun inkulturasi serta
menanamkan nilai-nilai Kristiani agar sungguh mengakar dalam diri umat.
Marapu sebagai sebuah agama asli masyarakat Sumba mengajarkan kepada para
peganutnya untuk membangun sikap hormat, penuh persahabatan, ramah dan terbuka dalam
tataran komunikasi serta suka mendengarkan orang lain. Sejumlah ritus tidak hanya bermuara
kepada persembahan, tetapi pula harus berawal dari persatuan dalam cinta kasih. Penulis
menawarkan refleksi teologis ini berdasarkan doa Yesus tentang persatuan “ Supaya mereka
semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,
agar mereka juga ada di dalam kita” (Yoh. 17:21). Cinta kasih merupakan salah satu kebajikan
teologal yang terus diajarkan oleh Gereja Katolik. Allah telah lebih dulu mengasihi manusia
sebelum manusia mengasihi-Nya. Cinta-Nya membebaskan manusia dari segala dosa. Putra-Nya
datang ke dunia karena cinta-Nya yang begitu besar dan tak terbatas.
Allah menghendaki agar manusia senantiasa ada di dalam Dia baik ketika masih hidup
dan berjuang di dunia ini, maupun kelak ketika manusia dipanggil manghadap tahta
46
Bede Griffiths, Mencari Kedalaman, (Maumere : LPBAJ, 2002),hlm, 85.
76
kemuliannya-Nya, dan bersatu dalam cinta kasih Allah secara absolut dan saling memandang
muka dengan muka dengan-Nya (Visio Beatafica). Sejalan dengan doa Yesus tentang persatuan,
Gereja Katolik di Sumba membangun komunikasi inkulturatif dengan agama Marapu. Hal ini
dilakukan agar tidak ada sekat yang memisahkan. Sebab Gereja Katolik di Sumba sungguh
menyadari akan pentingnya segala ritual budaya yang melekat dalam diri umatnya. Inilah bentuk
cinta kasih Gereja Katolik di Sumba dalam usaha menjaga persatuan dan pelestarian budaya
Sumba. Hal ini sejalan dengan pandangan Gereja universal yang memandang dengan
penghargaan yang jujur cara bertindak, cara hidup, peraturan dan budaya-budaya setempat yang
sekalipun dalam banyak hal berbeda dengan apa yang dipahami dan dilaksanakan dalam tradisi
Gereja Katolik, namun sebenarnya tetap menimbulkan cahaya kebenaran tersendiri.47
Meski
demikian Gereja Katolik di Sumba tidak lupa menjaga dan melestarikan iman Kristiani, sehingga
terhindar dari sinkretisme antara kepercayaan Marapu yang termanifestasi dalam berbagai ritus
yang dipraktikkan dengan ajaran iman Gereja Katolik.
Meskipun demikian, dari sisi pastoral masih dijumpai banyak kendala. Di antaranya yang
paling nyata di Sumba Timur, persoalan simpan mayat dalam waktu yang lama. Praktik ini tidak
hanya dilakukan oleh mereka yang beraliran kepercayaan Marapu tetapi juga mereka yang telah
menganut agama Kristen Katolik. Bersamaan dengan itu, Gereja selalu mengingatkan umatnya
dengan pendekatan-pendekatan, lewat pelbagai kegiatan rohani, katekese budaya, yang bertujuan
menyadarkan umat bahwa menyimpan mayat dalam waktu yang lama berdampak buruk bagi
kesehatan, lingkungan, serta dari sisi ekonomi (pemborosan). Meski demikian ritus upacara
kematian bagaimanapun juga tetap dipandang sebagai suatu bentuk religi asli yang merupakan
peninggalan leluhur orang Sumba.
47
Konsili Vatikan II., Nostra Aetate, Tentang Hubungan Gereja Dengan Agama- Agama Bukan Kristen
(21 November 1964), dal R. Hardawirjana ( Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta : Obor, 1993), no. 2.
top related