bab iv lsm haburas dan pengembangan pariwisata berbasis … · 2017. 1. 20. · dalam pengembangan...
Post on 10-Dec-2020
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
57
BAB IV
LSM Haburas dan Pengembangan Pariwisata Berbasis
Komunitas di Tutuala
“Timor Leste adalah negara yang kecil dan memiliki luas wilayah yang kecil pula, sehingga setelah Timor Leste memperoleh kemerdekaannya, pemerintah dapat melakukan pembangunan di sektor apa saja akan tetapi siapapun tidak dapat memperluas panjang dan lebarnya wilayah Timor Leste, namun apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat Timor Leste supaya negara menjadi lebih besar dan terkenal adalah bahwa semua orang harus bisa melindunggi keaslian dan keindahan alam Timor Leste. Tiap-tiap individu diwajibkan untuk melakukan konservasi terhadap alam agar Timor Leste menjadi surga ekologi di dunia”. (Panglima FALINTIL63, Komandan Nino Conis Santana)
Pengantar
Proses pengembangan pariwisata berbasis masyarakat tidak
selalu dapat dilakukan tanpa proses pemberdayaan. Wilayah-wilayah
yang berkembang sebagai daerah tujuan wisata pada umumnya adalah
wilayah-wilayah terpencil karena wilayah-wilayah inilah banyak
terdapat daya tarik alam, budaya dan flora fauna lokal (Ashley, Boyd &
Goodwin, 2000). Selain pemerintah, LSM juga sering melakukan
pelatihan dalam rangka pemberdayaan. Berbagai pelatihan tersebut
biasanya di biayai lembaga internasional dan LSM menjadi penye-
lengara (Wowor, 2011). Wilayah Tutuala merupakan salah satu wila-
yah terpencil yang terletak di ujung pulau Timor namun memiliki daya
tarik alam, budaya dan flora fauna. LSM Haburas adalah salah satu LSM
63 FALINTIL : Forcas Armadas da Libertação de Timor Leste (Angkatan Bersenjata Pembebasan Timor Leste)
58
Lokal dalam melakukan kerjasama dengan masyarakat lokal Tutuala
untuk mengembangkan usaha pariwisata di pantai Valusere, desa
Tutuala yang dibiayai oleh lembaga internasional yakni Uni Eropa.
Meskipun Tutuala memiliki daya tarik alam yang menarik bagi
wisatawan untuk berkunjung, akan tetapi sampai pada saat ini
pemerintah belum melakukan upaya pengembangan pariwisata di
wilayah tersebut. Setelah anggota LSM Haburas dan LSM CIDAC
melakukan kunjungan ke Tutuala, mereka melihat bahwa masyarakat
yang hidup di wilayah tersebut tidak memperoleh keuntungan dari
kunjungan wisatawan. Dengan demikian, kedua LSM tersebut
melakukan kerjasama untuk mencari dana agar dapat membantu
masyarakat lokal di Tutuala untuk mengembangkan usaha pariwisata
sehingga masyarakat yang hidup di wilayah tersebut dapat
memperoleh pendapatan. Upaya kerjasama yang dilakukan oleh LSM
Haburas dan LSM CIDAC akhirnya membuahkan hasil berupa
pembiayaan yang diperoleh dari Uni Eropa sehingga LSM Haburas
sebagai penyelengara.
Untuk menyelengarakan program kegiatan usaha pariwisata
berbasis masyarakat oleh LSM Haburas dengan masyarakat lokal di
Tutuala membutuhkan beberapa tahapan. Berbagai tahapan keterli-
batan LSM Haburas dengan masyarakat lokal akan diuraikan lebih
lanjut di bagian ini. Sehingga Pada pembahasan bab empat akan
diuraikan tentang kehadiran LSM Haburas di Tutuala dan proses
penjajakan awal untuk melaksanakan program kerja, beserta perma-
salahan yang dihadapi ketika menjalankan program pengembangan
pariwisata berbasis komunitas. Uraian berikut tentang dinamika LSM
dalam pengembangan pariwisata berbasis komunitas di Tutuala.
Membangun Pemahaman Tentang Community Based Tourism
LSM Haburas mengawali karya mereka di Tutuala pada tahun
2003. Kegiatan pemberdayaan yang mereka lakukan di Tutuala berawal
59
dari keprihatinan mereka tentang situasi kehidupan masyarakat di
Tutuala. Setelah wilayah Tutuala ditetapkan sebagai hutan lindung
dalam regulasi UNTAET No. 19 tahun 2000, akses masyarakat lokal
terhadap hutan menjadi sangat terbatas. Oleh karena itu, LSM Haburas
terdorong untuk membantu masyarakat di Tutuala, mencari solusi
berupa mata pencaharian alternatif untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat lokal.
Kehidupan masyarakat di Tutuala sangat tergantung pada
hutan atau alam yang mereka miliki. Masyarakat Tutuala
memanfaatkan alam untuk aktivitas pertanian berupa penanaman
jagung, ubi, singkong dan sayur-mayur. Disamping itu, mereka juga
melepaskan binatang peliharaan berupa sapi dan kerbau hidup bebas di
lingkungan hutan. Masyarakat lokal Tutuala juga memanfaatkan
alamnya untuk kebutuhan rumah tangga yakni memanfaatkan kayu
yang digunakan sebagai kayu bakar ketika memasak, dan bambu untuk
membangun rumah. Sehingga, dengan adanya regulasi UNTAET
tersebut maka membuat kehidupan masyarakat lokal di Tutuala
menjadi terbatas.
Dari hasil kunjungan awal dan berdasarkan kerjasama yang
dibangun dengan LSM CIDAC dan LSM Haburas mengawali karyanya
di Tutuala. Program kerja LSM Haburas di Tutuala dapat dibagi dalam
beberapa tahapan. Tahap pertama adalah tahap di mana mereka
mencoba mendalami terlebih dahulu persoalan yang dihadapi
masyarakat. Pada tahap pertama ini juga LSM Haburas melakukan
penelitian untuk mengidentifikasi objek wisata dan kehidupan sosial
masyarakat lokal di Tutuala. disamping itu LSM Haburas
mengidentifikasi konsep-konsep pariwisata bagi masyarakat lokal dan
membagi informasi mengenai konsep-konsep tersebut kepada
masyarakat lokal di desa Tutuala. pada tahap pertama ini juga LSM
Haburas membantu masyarakat lokal untuk membentuk kelompok
koperasi dan pelatihan-pelatihan dasar. Tahap kedua adalah tahap di
mana LSM Haburas memfasilitasi masyarakat lokal dan melakukan
pendampingan untuk membangun atau melakukan konstruksi fisik
60
berupa penginapan, restoran kios dan toilet. Pada tahap ini juga LSM
Haburas tetap melakukan capacity building melalui pelatihan dan studi
banding. Tahap ke tiga adalah implementasi program usaha pariwisata
dan melakukan evalusi. Pada tahap ini juga LSM Haburas masih
mengadakan capacity building bagi anggota koperasi Valusere di
bidang keuangan, manajemen koperasi.
Untuk mulai mendalami persoalan yang dihadapi masyarakat,
LSM Haburas mengadakan pendekatan-pendekatan awal kepada
masyarakat. Dalam hal ini LSM Haburas mengutus salah satu anggota
LSM Haburas bernama Pedrito untuk melakukan observasi di Tutuala.
Sebagai orang yang berasal dari Lospalos, Pedrito memiliki ikatan
kekeluargaan dengan masyarakat yang hidup di Tutuala di samping itu,
beliau juga menguasai bahasa Fataluku yang merupakan bahasa daerah
setempat.
Dalam menjalankan misinya, pertama saudara Pedrito
menemui bapak Victor, mantan kepala desa dan juga tokoh adat di
Tutuala. Pertemuan pertama ini dilakukan pada bulan November
tahun 2003. Pada pertemuan ini, saudara Pedrito dari LSM Haburas
menjelaskan rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh LSM Haburas
di Tutuala. Karena rencana kegiatan ini akan melibatkan masyarakat
secara aktif, maka saudara Pedrito meminta bantuan kepada bapak
Victor selaku tokoh adat di Tutuala membantu dalam sosialisasi
program kerja LSM Haburas kepada masyarakat lokal di Tutuala. Pada
waktu itu, bapak Victor berjanji untuk mendukung program LSM
Haburas yang akan dilakukan di Tutuala sehingga dapat membantu
masyarakat lokal meningkatkan pendapatan.
Pada bulan Desember tahun 2003, LSM Haburas kembali
mengutus saudara Pedrito melakukan observasi kedua di Tutuala.
Dalam kunjungan ini, selain menemui pak Victor untuk melakukan
diskusi tahap kedua, saudara Pedrito juga memilih untuk bertemu
dengan ibu Angelina. Beliau memilih untuk bertemu dengan ibu
Angelina, karena pada saat itu ibu Angelina adalah seorang guru SD
yang pintar berbahasa Portugis dan memiliki pengalaman
61
berorganisasi. Disamping itu, ibu Angelina juga sudah memiliki
penginapan sederhana serta mempersiapkan akomodasi bagi para tamu
yang membutuhkan penginapan dan akomodasi di Tutuala sebelum
melanjutkan perjalanan ke pantai Valu dan pulau Jaco. Pada pertemuan
tersebut, ibu Angelina mengusulkan agar LSM Haburas membantu
masyarakat mengembangkan pariwisata di Tutuala. Pada kesempatan
ini juga, saudara Pedrito meminta bantuan kepada ibu Angelina
membantu LSM Haburas melakukan sosialisasi mengenai program
pariwisata yang akan dikembangkan di Tutuala.
Pada awalnya LSM Haburas menghadapi kendala dalam
membangun pariwisata berbasis komunitas di Tutuala. Hambatan
utama bagi LSM Haburas adalah cara untuk memperoleh kepercayaan
dari masyarakat lokal dan mengubah cara pemikiran masyarakat agar
mereka benar-benar mengerti bahwa kegiatan yang akan dilakukan
oleh LSM Haburas di wilayah Tutuala akan memberikan manfaat
secara ekonomi bagi masyarakat lokal.
Persoalan pertama adalah rendahnya respons masyarakat pada
saat akan diselenggarakannya dialog. Upaya awal LSM Haburas untuk
mengumpulkan masyarakat untuk berdialog mengenai usulan
pembangunan pariwisata berbasis komunitas di Tutuala kurang
mendapat respons dari masyarakat. Masyarakat lebih memilih
mengerjakan pekerjaan mereka sehari-hari daripada meluangkan
waktu untuk menghadiri pertemuan.
Persoalan lain yang harus dihadapi LSM Haburas terkait
dengan sikap masyarakat mengenai rencana program kerja. Pada waktu
itu masyarakat di Tutuala berasumsi bahwa LSM Haburas datang
memberikan bantuan materi untuk mereka. Dalam pengalaman-
pengalaman mereka sebelumnya, mereka terbiasa untuk mendapatkan
berbagai bantuan dari pemerintah pusat maupun LSM dalam bentuk
penyediaan fasilitas air bersih, pendidikan, kesehatan, jalan raya dan
kebutuhan listrik. Ketika mereka terlibat dalam pembangunan fasilitas-
fasilitas tersebut maka mereka akan memperoleh upah.
62
Karena hambatan-hambatan di atas, maka LSM Haburas
mengubah strategi mereka dengan terjun langsung melakukan
pendampingan yakni kegiatan yang dilakukan oleh anggota koperasi
Valusere tetap melibatkan anggota LSM agar bisa diterima sebagai
bagian dari masyarakat. Staff LSM Haburas melakukan kunjungan
rutin ke Tutuala selama dua minggu sekali, ada anggota LSM Haburas
yang menetap di Tutuala sampai dengan satu atau dua bulan. Akhirnya
masyarakat lokal memberikan sebuah rumah di Tutuala kepada LSM
Haburas untuk dipakai sebagai penginapan selama melakukan
kunjungan di Tutuala. Dalam melakukan pendampingan, staf dari LSM
Haburas menggunakan metode pendekatan partisipatis di mana mereka
terlibat dalam aktivitas warga lokal. Melalui keterlibatan langsung
dengan masyarakat, mereka dapat melakukan kajian awal mengenai
situasi kehidupan masyarakat lokal serta aktivitas wisatawan di lokasi.
Namun demikian proses ini tidak mudah bagi anggota LSM Haburas,
karena proses pertemuan yang dilakukan oleh anggota LSM Haburas
sering berbenturan dengan berbagai aktivitas kehidupan sosial
masyarakat di Tutuala. Dengan demikian anggota LSM Haburas
memilih waktu luang untuk melakukan dialog dan diskusi dengan
masyarakat lokal.
Melalui proses diskusi bersama antara LSM Haburas dengan
masyarakat lokal di wilayah Tutuala terdapat perbedaan ide. Perbedaan
ide di antara masyarakat lokal, perbedaan ide antara anggota LSM
Haburas dengan masyarakat lokal. Pada tahap ini LSM Haburas
membutuhkan satu tahun untuk mencapai kesepahaman mengenai
bentuk pembangunan pariwisata berbasis masyarakat yang akan
dikembangkan di wilayah ini.
Masyarakat lokal di Tutuala juga menginginkan agar benar-
benar mengerti karakteristik pembangunan pariwisata berbasis
masyarakat sebelum program ini diimplementasikan di wilayah
Tutuala. Dengan demikian anggota LSM Haburas melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk menganalisis perbedaan ide yang
muncul di masyarakat. Melalui metode diskusi fokus group yang
63
dilakukan pada akhir tahun 2004 dengan tujuan untuk menyatukan ide
bersama serta membantu masyarakat lokal dalam menyampaikan
pendapat di tempat umum. Akhirnya, melalui Focus Group Discussion (FGD) ini masyarakat lokal sudah mulai mengembangkan pemikiran
mereka, anggota masyarakat mulai memiliki keberanian untuk
menyampaikan pendapat di depan umum, sebagian masyarakat sudah
mulai mengungkapkan kemauan untuk bergabung dan melakukan
kolaborasi dengan LSM Haburas dalam melaksanakan kegiatan
pariwisata berbasis masyarakat di Tutuala.
Dalam pelaksanaan diskusi antara LSM Haburas dengan
masyarakat lokal di Tutuala, anggota LSM Haburas berusaha untuk
menjawab semua pertanyaan dan keluhan secara teliti. Anggota LSM
Haburas juga tidak menjanjikan hal-hal yang berada di luar tanggung
jawab LSM Haburas, untuk menjawab pertanyaan dari masyarakat juga
perlu ketelitian agar tetap menjaga keharmonisan antara LSM Haburas
dengan masyarakat lokal di Tutuala. Kadang-kadang pertanyaan yang
muncul dari masyarakat terdapat kecurigaan dari masyarakat terhadap
LSM Haburas. Terdapat juga pemikiran yang negatif dari masyarakat
lokal terhadap LSM Haburas bahwa LSM datang ke Tutuala memiliki
tujuan untuk memanfaatkan sumberdaya alam untuk kepentingan LSM
bukan kepentingan masyarakat. Dari berbagai pertanyaan yang muncul
dan menyudutkan LSM Haburas, namun demikian anggota LSM
Haburas menganggap bahwa tantangan tersebut adalah sesuatu yang
normal dan harus dihadapi dengan dialog yang dilakukan antara LSM
Haburas dengan masyarakat lokal. Anggota LSM Haburas tetap pada
prinsipnya bahwa kegiatan yang akan dilakukan di Tutuala adalah
sebuah kegiatan pembangunan yang melibatkan masyarakat demi
terciptanya pembangunan yang berkelanjutan di masyarakat lokal
Tutuala.
Dari berbagai dialog dan upaya pendampingan anggota LSM
Haburas dengan masyarakat lokal Tutuala dapat membangun
kesadaran masyarakat lokal. membangun kesadaran masyarakat
mengenai hutan lindung agar timbul rasa memiliki dalam diri
64
masyarakat terhadap hutan lindung. Membangun kesadaran
masyarakat bahwa lingkungan mereka sangat berharga bagi mereka
sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Membangun
kesadaran masyarakat bahwa mereka bisa berbuat sesuatu untuk
meningkatkan kehidupan ekonomi bagi generasi mereka sekarang ini
maupun bagi generasi mereka yang akan datang. Dari dialog ini pula
dapat menghasilkan titik terang bagi LSM Haburas mengenai situasi riil
yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah Tutuala. Sehingga LSM
Haburas dapat menetapkan jenis prioritas yang akan dilakukan bagi
masyarakat di Tutuala.
Keterlibatan LSM Haburas dalam Pembentukan Koperasi
Pada pertemuan lain, setelah adanya kesepakatan dari
masyarakat lokal untuk memulai kegiatan pariwisata dilakukan oleh
LSM Haburas dengan masyarakat lokal di Tutuala pada awal tahun
2005. Dalam pertemuan ini, LSM Haburas mulai memfasilitasi
masyarakat lokal yang memiliki kemauan sendiri dan telah memiliki
gambaran untuk menjalankan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat.
Hal ini dilakukan oleh LSM Haburas berdasarkan pendampingan awal
yang dilakukan oleh anggota LSM Haburas bagi masyarakat lokal di
Tutuala. Setelah anggota LSM Haburas melakukan studi di Tutuala
sebagai sebuah referensi untuk menganalisis situasi sebagai modal dasar
bagi proses pembangunan dengan metode partisipatif untuk
mengimplementasikan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat di
wilayah Tutuala.
LSM Haburas juga membagi informasi kegiatan pariwisata di
Tutuala kepada pemerintahan yang berwenang di Dili. Dalam hal ini,
LSM Haburas membagi informasi kepada pemerintah yang memiliki
hubungan dengan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat di Tutuala.
Departemen yang memiliki kaitan dengan pariwisata berbasis
masyarakat di Tutuala antara lain: Departemen Pariwisata, Departemen
Kehutanan, Departemen Perikanan, Departemen Sumber Daya Alam
65
serta Departemen Ekonomi. Pada dasarnya kegiatan pariwisata
berbasis masyarakat yang dilakukan oleh LSM Haburas bersama
masyarakat lokal di Tutuala mendapatkan dukungan moral dari
pemerintah melalui departemen tersebut diatas. Pemerintah
mendukung kegiatan pariwisata ini karena dapat memberikan manfaat
ekonomi bagi masyarakat lokal yang hidup di daerah terpencil.
Puncak pertemuan antara LSM Haburas dengan masyarakat
lokal di Tutuala diadakan pada tanggal 29-30 Maret 2005 di Tutuala.
Pada pertemuan ini, anggota LSM Haburas yang hadir adalah Direktur
dan anggota LSM Haburas yang telah melakukan berbagai observasi
dan diskusi dengan masyarakat lokal. Tokoh-tokoh masyarakat di
Tutuala yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah kepala desa,
tokoh adat, kaum perempuan, kaum muda yang tergabung dalam
struktur kaum muda di desa Tutuala. Pertemuan puncak ini diadakan
untuk mendengar pendapat dari masyarakat lokal dan memutuskan
tujuan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat yang akan
dikembangkan di Tutuala. Karakteristik daripada pertemuan
komunal ini menggunakan metode dialog. LSM Haburas
memperkenalkan organisasi LSM Haburas kepada masyarakat yang
hadir dalam pertemuan tersebut. Dialog mengenai tujuan dari
pembangunan pariwisata berbasis masyarakat menjadi topik utama
dalam pertemuan tersebut. Anggota LSM Haburas yang memfasilitasi
pertemuan tersebut menjelaskan secara detail program kerja yang akan
diadakan di Tutuala dalam waktu dekat. Pada pertemuan ini juga
masyarakat lokal menyampaikan pendapatnya secara kritis. Namun
demikian, pada akhir pertemuan tersebut, kepala desa dan tokoh adat
di Tutuala serta mayoritas penduduk yang ikut dalam pertemuan
tersebut mendukung agar program pariwisata berbasis masyarakat yang
akan dikembangkan di Tutuala dapat direalisasikan dalam waktu dekat.
LSM Haburas merasa bahwa perlu dibentuknya sebuah wadah
bagi masyarakat yang akan terlibat dalam kegiatan pariwisata dalam
bentuk koperasi yang diberi nama Koperasi Valusere. Anggota koperasi
sebanyak 67 orang dengan komposisi 44 orang anggota laki-laki dan 23
66
orang anggota perempuan. Mereka merupakan perwakilan keluarga
dari 12 marga (Klan) yang ada di Tutuala. Proses dalam persetujuan
untuk memilih perwakilan dari masing-masing marga (Klan) untuk
menjadi anggota koperasi Valusere ditetapkan melalui pertemuan
dalam masing-masing marga (klan).
Koperasi Valusere dimaksudkan untuk menjadi wadah bagi
aspirasi masyarakat lokal dan mempermudah anggota LSM Haburas
untuk melakukan diskusi mengenai program kerja mereka. Dalam
menjalankan tugasnya, para anggota koperasi dibagi dalam 7 kelompok
kerja. Masing-masing kelompok beranggotakan antara 10 sampai
dengan 15 orang. Setelah terbentuknya kelompok, masing – masing
memilih seseorang yang akan menjadi koordinator kelompok. Dan
selanjutnya, mereka secara demokratis memilih seorang koordinator
umum untuk memimpin koperasi.
Program Kerja LSM Haburas di Tutuala
Setelah terbentuk kesepakatan untuk membangun koperasi, bersama-
sama dengan LSM Haburas, masyarakat Tutuala melalui koperasi
Valusere merumuskan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
koperasi. Salah satu kesepakatan penting yang mereka rumuskan
adalah bahwa Koperasi Valusere mendasarkan pembangunan
pariwisatanya pada tiga pilar agar pariwisata yang berkembang di
wilayah Tutuala adalah pariwisata berkelanjutan dan berbasis
masyarakat. Ketiga pilar tersebut antara lain: mempertahankan nilai-
nilai ekologi, mempertahankan nilai-nilai sosial dan budaya,
meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Dengan demikian, berikut
ini akan dibahas pembangunan pariwisata berkelanjutan berdasarkan
tiga pilar yang terdapat dalam anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga koperasi Valusere.
Mempertahankan Nilai-nilai Ekologi
Dalam praktek sehari-hari, masyarakat Tutuala menjalani kehidupan
yang harmonis dengan alam. Masyarakat lokal Tutuala memiliki etika
67
yang menghargai tempat sakral dengan nilai ekologi yang tinggi.
Misalnya upacara Lupurasa merupakan salah satu jenis upacara
larangan yang dilakukan masyarakat lokal Tutuala untuk melarang
masyarakat menggunakan beberapa sumber daya alam. Apabila upacara
Lupurasa telah diadakan, masyarakat tidak boleh mengambil sumber
daya alam yang telah dilarang tersebut. Jika terdapat anggota
masyarakat yang melanggar maka akan dikenakan sanksi berupa
pemotongan kerbau atau sapi maupun babi. Setelah larangan tersebut
berakhir maka akan diadakan lagi upacara yang diberi nama upacara
Masule dimana upacara tersebut diadakan untuk mengizinkan
masyarakat agar dapat memanfaatkan kembali sumber daya alam
tersebut. Contoh lainnya adalah Pulau Jaco, Pulau ini terdapat satwa-
satwa liar sepert Rusa, berbagai jenis burung, ular, di pingir pantai para
wisatawan dapat melihat berbagai jenis penyu serta memiliki
hamparan hutan yang indah dan sejuk. Para wisatawan yang
berkunjung ke pulau Jaco tidak diperbolehkan untuk menginap disitu.
Sudah menjadi turun temurun bagi masyarakat lokal Tutuala bahwa
pulau tersebut dianggap sakral dan tidak ada orang yang boleh tinggal
maupun menginap di pulau Jaco, wisatawan maupun masyarakat
setempat secara adat telah dilarang untuk melakukan kegiatan berburu
di pulau tersebut serta tidak ada kegiatan lain yang merusak alam di
pualu tersebut. Dengan demikian maka nilai-nilai keasliannya akan
tetap melekat di pulau tersebut. Masyarakat keturunan Chailoro
menggunakan batu datar di pingir pantai Jon untuk melakukan upacara
ritual dan memanggil nenek moyang mereka sebagai salah satu simbol
untuk menarik ikan. Ketika tokoh adat melakukan ritual pemangilan,
ikan-ikan akan berenan ke dekat pantai. Setelah tokoh adat melihat
bahwa ikan-ikan sudah berada di dekat pantai maka beliau akan
mengizinkan nelayan untuk menangkap ikan-ikan tersebut. Para
nelayan hanya boleh menangkap ikan untuk konsumsi sendiri dan
konsumsi untuk keluarga, hasil tangkapan ikan tersebut tidak untuk
dijual. Upacara pemangilan ikan dilakukan pada saat keadaan laut dan
cuaca tidak memungkinkan bagi para nelayan menggunakan perahu
untuk melaut. Ketika masyarakat dari keturunan lain maupun dari
68
daerah lain ingin melakukan penangkapan ikan di pantai Jon maka
terlebih dahulu mereka harus meminta izin kepada para nelayan dari
keturunan Chailoro (Chailoro klan). Jika nelayan dari keturunan lain
maupun daerah lain tidak meminta izin kepada nelayan dari keturunan
Chailuro klan maka mereka akan menanggung resiko berupa nasib
buruk atau bahkan kematian.
Dengan demikian, keindahan dan keaslian alam Tutuala tetap
bertahan. Namun demikian, mengingat pengalaman serta pengetahuan
mengenai kegiatan pariwisata serta dampaknya terhadap lingkungan
masih minim, LSM Haburas merasa perlu untuk melakukan
pendampingan intensif terhadap para pengelola koperasi Valusere.
Beberapa hal yang dilakukan oleh LSM Haburas antara lain, pertama,
membangun kesadaran para anggota koperasi mengenai implikasi dan
manfaat dari keberadaan Tutuala sebagai taman nasional dan daya tarik
wisata. Kedua, mengembangkan rasa tanggung jawab dalam kegiatan
pariwisata yang dikembangkan oleh koperasi Valusere di lingkungan
taman nasional di Tutuala.
Langkah awal yang dilakukan bersama dengan para anggota
Koperasi Valusere adalah memasukkan unsur pemeliharaan ekologi
dalam anggaran dasar koperasi. Dalam anggaran dasar pasal 4 ayat 2
disebutkan bahwa salah satu misi koperasi Valusere adalah
meningkatkan kapasitas sumber daya masyarakat Tutuala tanpa
mengabaikan keberlanjutan lingkungan.
Dalam rangka mencapai apa yang telah ditetapkan dalam
anggaran dasar Koperasi Valusere, LSM Haburas melakukan
pendampingan dalam pengelolaan Tutuala sebagai daya tarik wisata.
Pertama, penerapan manajemen sampah. Manajemen sampah sebagai
salah satu bagian penting untuk mempertahankan nilai ekologi.
Manajemen ini dilakukan melalui pengolahan air limbah dari toilet.
Air kotor yang berasal dari toilet tidak secara langsung dibuang melalui
saluran pembuangan dan mengalir ke laut. Akan tetapi air limbah
tersebut diproses melalui bak yang telah terisi dengan batu kapur. Dari
bak penampungan tersebut, air limbah akan masuk kembali kebawah
69
tanah melalui proses alami. Sampah organik yang berasal dari kaleng
bekas minuman ringan maupun beer dan aluminum dikumpulkan dan
dijual kembali. Botol plastik dari minuman dikumpulkan pada tempat
tersendiri dan sebagian digunakan oleh masyarakat lokal untuk
menimpan tuak putih dan air madu untuk dijual kepada konsumen.
Sampah – sampah organik dikumpulkan tersendiri untuk dijadikan
sebagai pupuk kompos.
Mempertahankan Nilai-nilai Budaya
LSM Haburas dalam kerjasama dengan koperasi Valusere tetap
melindungi dan mempertahankan nilai socio-kultural masyarakat lokal
Tutuala. Masyarakat lokal Tutuala masih berpegang pada prinsip sosial.
Selalu ada interaksi dan kerjasama dalam bidang-bidang sosial, saling
membantu dan terdapat interaksi antara budaya adat lokal. Salah satu
contohnya adalah upacara Lipale. Upacara ini adalah upacara
pertemuan keluarga pengantin perempuan dan laki-laki. Sebelum
upacara ini dimulai, keluarga dari pengantin laki-laki berkumpul
bersama di rumah untuk mengumpulkan ternak berupa sapi, kerbau,
kambing serta uang untuk diantarkan ke upacara Lipale. Sedangkan
keluarga pengantin perempuan berkumpul di rumah perempuan untuk
menyiapkan barang-barang berupa beras, pakaian tradisional serta
ternak babi. Setelah barang-barang terkumpul maka upacara Lipale
diadakan. Selesai upacara maka barang-barang yang telah dikumpulkan
tersebut sebagian dipakai untuk makan bersama sebagian lagi akan
diberikan kepada keluarga pengantin pria maupun keluarga pengantin
wanita. Namun demikian, LSM Haburas melihat bahwa kerja sama dan
saling membantu antara masyarakat lokal hanya digunakan dalam hal-
hal sosial berupa acara adat, acara pernikahan maupun anggota
masyarakat yang meninggal. Sehingga LSM Haburas memanfaatkan
kekayaan sosial budaya yang dimiliki oleh masyarak lokal menjadi
kerjasama untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lokal.
LSM Haburas mengidentifikasi nilai-nilai budaya masyarakat
lokal Tutuala. Relasi antara masyarakat lokal dengan alam. Hubungan
antara masyarakat lokal di Tutuala dengan alam adalah sesuatu yang
70
khusus dan unik sehingga berbeda dengan distrik lain di Timor Leste.
Terdapat dimensi religius bagi masyarakat lokal dalam praktek ritual
budaya. Salah satu ritual budaya yang biasa dilakukan oleh masyarakat
lokal Tutuala adalah ritual Tei Fai atau biasa disebut dengan
thanksgiving. Upacara ini diadakan pada saat panen jagung maupun
panen padi. Masyarakat percaya bahwa sebelum melakukan ritual Tei
Fai maka mereka tidak akan makan jagung muda maupun beras yang
baru panen. Setelah mereka melakukan ritual Tei Fai untuk
mengucapkan syukur dan berterimakasih kepada nenek moyang
mereka baru bisa mengkonsumsi jagung muda maupun beras. Kata
Uru-Vacu merupakan salah satu bentuk pangilan yang digunakan
dalam doa-doa mereka untuk mengungkapkan keyakinan masyarakat
dalam kekuatan alam. Masyarakat Tutuala percaya bahwa alam yang
merupakan sumber dari segala cahaya dan energi di dunia. Mereka
percaya bahwa kehidupan manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam
yang dapat diubah melalui elemen biotik dan abiotik dari dalam alam.
Ini digambarkan oleh masyarakat lokal Tutuala mengacu pada buaya
yang merupakan nenek moyang mereka, atau dalam bahasa tetum
mereka memanggil buaya sebagai abo. Hal ini dilakukan untuk
mengungkapkan hubungan yang unik antara manusia dengan alam.
Hubungan masyarakat lokal dengan rumah adat. Struktur dan
rumah adat di Lautem dan Tutuala telah menjadi simbol dari rumah
adat tradisional Timor Leste. Rumah adat tersebut memiliki nilai seni,
nilai sejarah dan nilai spiritual. Pada atap rumah adat tradisional
tersebut tersimpan benda yang dianggap suci. Benda tersebut
merupakan warisan dari nenek moyang secara turun temurun.
Masyarakat lokal Tutuala menggunakan lingkungan di sekitar rumah
adat sebagai tempat doa dan melakukan komunikasi dengan para
leluhur mereka. Rumah adat dan lingkungan sekitarnya dianggap
sebagai tempat suci dan sakral. Upacara ritual yang dilakukan di sekitar
rumah adat dilakukan menurut keturunan (clan) masing-masing.
Masyarakat Tutuala dan Lospalos menyebut rumah adat ini dengan
istilah Acakaka (dalam bahasa Fataluku/Lospalos).
71
Nilai-nilai budaya masyarakat lokal tersebut adalah kekayan
tersendiri. Pada berbagai pertemuan dengan masyarakat lokal Tutuala,
LSM Haburas tetap memberikan rekomendasi kepada pemerintah lokal
Tutuala, tokoh-tokoh adat di Tutuala serta anggota koperasi Valusere
untuk tetap mempertahankan nilai-nilai socio cultural. Nilai-nilai
ekologi dan socio cultural dipertahankan dan ditingkatkan, maka
Tutuala masih menunjukkan keaslian alam dan budayanya, sehingga
para wisatawan akan tetap melakukan kunjungan di Tutuala. Dengan
demikian, maka masyarakat Tutuala akan memperoleh keuntungan
secara ekonomi melalui kegiatan pariwisata yang dikelola oleh anggota
koperasi Valusere.
Meningkatkan Ekonomi Masyarakat lokal
LSM Haburas bekerjasama dengan koperasi Valusere untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. LSM Haburas melihat bahwa
masyarakat lokal Tutuala memiliki sumberdaya alam yang indah, kaya
akan sosial budaya. Wilayah mereka sering dikunjungi oleh wisatawan
lokal maupun wisatawan internasional. Namun demikian, masyarakat
lokal Tutuala hanya sebagai penonton di daerah sendiri. Wisatawan
datang ke wilayah Tutuala untuk menikmati keindahan alam dan
keindahan laut Tutuala tetapi masyarakat lokal tidak memperoleh
manfaat ekonomi dari kunjungan wisatawa. Dengan demikian, maka
LSM Haburas merasa terdorong untuk bekerjasama dengan masyarakat
lokal Tutuala untuk meningkatkan pendapatan mereka melalui
kegiatan pariwisata.
Koperasi Valusere dalam anggaran dasar pasal 4 ayat 1
berbicara mengenai misi koperasi Valusere untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat lokal melalui kegiatan pariwisata.
Berdasarkan misi tersebut, koperasi Valusere bekerjasama dengan LSM
Haburas melakukan bangunan fisik. Program kerja yang dilakukan
pada tahap ini antara lain : memperbaiki jalan raya sepanjang 8 km dari
Tutuala ke pantai Valu, membangun penginapan tradisional dan
restoran, membangun kamar mandi atau toilet, menyediakan fasilitas
air bersih.
72
Perbaikan jalan raya sepanjang 8 km dari Tutuala ke Pantai
Valu. Untuk mencapai pada lokasi wisata di pantai Valu dan menuju ke
pulau Jaco menempuh jarak 8 km dari wilayah Tutuala. Jalan raya
menuju pantai Valu telah mengalami kerusakan. Pada tahap ini LSM
Haburas bekerjasama dengan masyarkat lokal Tutuala untuk
melakukan rehabilitasi jalan raya. LSM Haburas menyediakan bahan
bangunan berupa semen, pasir dan batu. Masyarakat lokal yang
melakukan pekerjaan fisik. Upah yang didapat oleh masyarakat lokal
untuk perbaikan jalan raya sebesar US$ 3,00 per orang per hari atau
setara dengan Rp. 39.000,-. Dana untuk rehabilitasi jalan raya berasal
dari Uni Eropa dan dikelola oleh LSM Haburas bagi kepentingan
masyarakat lokal Tutuala.
LSM Haburas kerjasama dengan Koperasi Valusere dalam
menyediakan fasilitas pariwisata di pantai Valu. Fasilitas pariwisata
yang dibangun mempertimbangkan pemandangan pantai yang
menarik. Lokasi fasilitas yang dibangun terletak pada posisi yang
strategis, diantara gunung dan laut sehingga memiliki daya tarik
tersendiri. Pada saat itu dibangun 5 bungalow tradisional dengan
kapasitas 7 kamar tidur bagi 14 orang tamu. Dibangun pula dapur,
pondok untuk pengelolaan restoran dan sebuah ruangan untuk kios.
Untuk memfasilitasi anggota koperasi Valusere dalam pengelolaan
pariwisata, maka dibangun pula sebuah penginapan khusus bagi
anggota koperasi Valusere.
LSM Haburas dalam pembangunan fisik hanya memberikan
pendampingan bagi anggota koperasi Valusere. Semua pembangunan
fisik yang dilakukan merupakan hasil kerja keras dari semua anggota
koperasi Valusere. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembangunan
fisik ini adalah bahan lokal yang terdapat di Wilayah Tutuala. Masing-
masing anggota kelompok memiliki tanggung jawab untuk mengum-
pulkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk memfasilitasi
pembangunan fisik.
Pendampingan LSM Haburas dalam pembangunan kamar
mandi dan WC. Pada pembangunan kamar mandi dan WC, LSM
73
Haburas melakukan pendampingang khusus bagi anggota koperasi
Valusere. Hal ini disebabkan kamar mandi dan WC menghasilkan
limbah dan air kotor. Pembangunan ini disamping menggunakan
bahan lokal, membutuhkan juga bahan-bahan impor lainnya berupa
semen, kloset duduk dan kloset jongkok, pasir serta batako. Bahan-
bahan bangunan tersebut didatangkan oleh LSM Haburas, anggota
koperasi Valusere yang melakukan pembangunan fisik.
Setelah pembangunan fisik selesai, hambatan utamanya adalah
air bersih. LSM Haburas dan anggota masyarakat lokal mencari solusi
untuk menyelesaikan masalah air bersih. Untuk menyediakan air
bersih, LSM Haburas mendatangkan teknisi dari Dili ke Tutuala untuk
menyediakan air bersih. Dalam proses penyediaan air bersih, teknisi
yang didatangkan dari Dili melakukan pengeboran air di kaki gunung
yang berjarak satu kilometer dari lokasi pariwisata koperasi Valusere.
Dengan demikian, setelah melakukan pengeboran dengan kedalam 60
meter, mendapatkan air bersih. Namun demikian air bersih yang ada
tersebut hanya bisa digunakan untuk mandi, cuci dan kebersihan. Air
tersebut tidak dapat digunakan untuk memasak dan minum karena
masih ada rasa asin. LSM Haburas berusaha untuk mencari solusi agar
mendatangkan air dari Pitileti yang berjarak 6 km dari pantai Valu.
Namun demikian LSM Haburas melihat bahwa masyarakat yang
mayoritas hidup di wilayah Tutuala belum memperoleh air bersih dan
membutuhkan jarak 2 km untuk memperoleh air bersih. Dengan
demikian LSM Haburas melakukan diskusi dengan anggota kelompok
Valusere supaya mereka bisa menyediakan air bersih untuk kebutuhan
makan dan memasak, sedangkan air yang telah dibor tersebut
digunakan untuk mandi, cuci dan kebersihan. Akhirnya terjadilah
kesepakatan antara LSM Haburas dengan anggota koperasi valusere,
sehingga sampai saat ini, anggota koperasi valusere dengang giat dan
rajin mengambil air untuk kebutuhan memasak dengan jarak 6 km dari
lokasi kegiatan pariwisata.
74
Program Kerja LSM Haburas Melalui Pelatihan
Untuk mendukung kegiatan pariwisata bagi anggota koperasi
Valusere maka LSM Haburas mengadakan pelatihan dan studi banding.
Prinsip yang digunakan oleh LSM Haburas dalam pelatihan adalah
menggunakan metode partisipatif aktif. Dengan demikian maka
terciptanya pemikiran kritis dari anggota koperasi sehingga terjadinya
perubahan sosial dalam kehidupan anggota koperasi. Metode
partisipatif yang digunakan dalam pelatihan melalui sebuah prinsip
bahwa tidak ada pelatih maupun tidak ada peserta. Anggota koperasi
Valusere yang merupakan peserta dan anggota LSM Haburas yang
merupakan pelatih dalam pelatihan semuanya memiliki posisi yang
sama yakni semua peserta adalah guru dan murid. Hal penting yang
dilakukan dalam pelatihan adalah saling membagi pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki oleh pelatih maupun peserta.
Jenis pelatihan yang dilakukan berdasarkan kebutuhan dari
anggota koperasi Valusere. Pelatihan yang diadakan bisa melibatkan
seluruh anggota koperasi dan ada pelatihan yang hanya diikuti oleh
utusan dari anggota koperasi. Untuk memilih utusan dari anggota
koperasi dalam menggikuti pelatihan maka diadakan rapat bersama
supaya memilih anggota secara demokrasi dan melihat anggota mana
yang pantas untuk menggikuti pelatihan tersebut. LSM Haburas hanya
melakukan koordinasi dengan kooperasi Valusere, semua keputusan
diambil oleh anggota koperasi melalui rapat anggota. LSM Haburas
yang akan mengorganisir setiap anggota yang akan mengikuti
pelatihan. Dana untuk menggikuti pelatihan berasal dari LSM Haburas.
Mulai dari pemberangkatan ke tempat pelatihan, proses menggikuti
pelatihan dan kembali lagi ke tempat semuanya diorganisir oleh LSM
Haburas.
Berikut akan dibahas jenis – jenis pelatihan yang di fasilitasi
oleh LSM Haburas kepada anggota koperasi Valusere:
75
Pelatihan kerajinan bambu
Pelatihan kerajinan bambu adalah untuk meningkatkan
kreativitas anggota koperasi dalam menghasilkan berbagai jenis
forniture dari bambu. Untuk memilih anggota yang akan menggikuti
pelatihan tersebut ditentukan oleh anggota kelompok melalui suatu
rapat, LSM Haburas hanya melakukan koordinasi dengan kelompok
Valusere, untuk memilih anggota yang ikut pelatihan sepenuhnya
diserahkan kepada kelompok Valusere untuk menentukan anggota
mana yang cocok dan rajin serta mempunyai kemauan untuk
mengikuti pelatihan agar setelah selesai pelatihan diharapkan dapat
mengimplementasikan dalam kelompok Valusere.
Pada pelatihan kerajinan bamboo ini, kelompok Valusere
melalui LSM Haburas mendapat jatah untuk 2 orang anggota yang akan
mengikuti pelatihan tersebut. Hal ini disebabkan oleh fasilitas
pelatihan yang terbatas sebab pelatihan ini dibuka bagi semua
kelompok yang berada di Timor Leste. Disamping itu karena
diperhitungkan pula biaya akomodasi, tempat penginapan serta biaya
transportasi untuk semua peserta pelatihan yang mengikuti pelatihan
tersebut. Oleh karena itu, setelah melalui sebuah rapat di pantai Valu
yang dihadiri oleh staf LSM Haburas yakni saudara Pedrito, maka
forum memilih saudara Juviano dan saudara Nus karena melihat bahwa
mereka masih mudah dan rajin dalam berbagai kegiatan yang diadakan
didalam kelompok Valusere sehingga merekalah yang memiliki hak
untuk mengikuti pelatihan bambu.
Pelatihan ini difasilitasi oleh LSM Sahe dan mendapat bantuan
dana dari sebuah LSM Internasional yakni USAID. Kedua LSM tersebut
mendatangkan 2 orang teknik atau pelatih dari luar negeri, yakni : 1
orang dari Indonesia dan 1 orang dari Nicaragua. Mereka berdua
adalah ahli di bidang kerajinan bambu yang didatangkan untuk
memberikan pelatihan bagi masyarakat Timor Leste. pelatihan ini
dilakukan di Bucoli, sub distrik Baucau, distrik Baucau dengan durasi
waktu dalam pelatihan selama satu bulan. Pelatihan ini dilakukan
secara rutin mulai dari jam 8 pagi sampai dengan jam 6 sore dan
76
dilakukan 6 hari dalam seminggu, khusus hari minggu baru istirahat.
Pelatihan ini diadakan pada tahun 2005 dan pada saat itu penginapan
dan restoran di pantai Valu belum dibangun.
Berbagai kegiatan yang diajarkan dalam pelatihan ini adalah
cara menggunakan bambu untuk meningkatkan kreatifitas dalam
memproduksi mejas, kursi, lemari serta diajarkan pula berbagai macam
teknik menganyam bambu untuk membuat dinding rumah serta atap
rumah. Setelah mengikuti pelatihan ini, kedua orang anggota tersebut
kembali ke Tutuala dan mengimplementasikan kerajinan yang telah
mereka peroleh untuk membangun penginapan atau pondok kecil di
pingir pantai Valusere. Dua orang anggota ini juga dapat memproduksi
beberapa jenis forniture berupa meja, kursi dan lemari yang mereka
jual kembali kepada masyarakat lokal di Tutuala.
Pelatihan manajemen dan akuntansi
Bidang manajemen dan akuntansi keuangan merupakan faktor
yang sanggat penting untuk dapat menghasilkan proses pembangunan
berkelanjutan di dalam organisasi koperasi Valusere. Dengan demikian,
maka 10 orang anggota koperasi Valusere diberi kesempatan untuk
mengikuti pelatihan tersebut. Mereka diberi pelatihan mengenai book
keeping, manajemen pemasukan dan pengeluaran (aliran uang masuk
dan uang keluar) untuk kebutuhan koperasi sehari hari. Mereka juga
diajarkan bagaimana cara mengisi formulir keuangan untuk keperluan
pelaporan harian, minguan, bulanan serta triwulan. Para anggota yang
menggikuti pelatihan juga belajar prinsip dasar akuntansi serta
pentingnya keberlanjutan koperasi tersebut bagi penduduk lokal.
Pelatihan manajemen dan akuntansi ini dilakukan di pantai
Valu, yang memberikan pelatihan ini adalah saudara Demetrio (Ex.
Direktur LSM Haburas) dibantu oleh saudara Pedrito, karena saudara
Pedrito yang merupakan putra daerah Lospalos dan bisa berbahasa
daerah. Didalam pelatihan ini, pelatih menggunakan pendekatan
partisipatif yakni saudara Demetrio dan saudara Pedrito tinggal dengan
anggota kelompok di pantai Valusere, menggikuti setiap kegiatan yang
dilakukan oleh anggota kelompok. Mereka tidak mengangap diri
77
sebagai pelatih atau trainer akan tetapi menjadikan diri sebagai teman
bagi anggota kelomppok Valusere sehingga lebih mudah untuk
mengajarkannya. Pada waktu ita tidak ada materi yang dipersiapkan
secara formal untuk diajarkan namun menggikuti kegiatan yang
dilakukan oleh anggota kelompok Valusere, membimbing masyarakat
mengenai dasar-dasar manajemen dan dasar-dasar akuntansi. Kegiatan
yang dapat dibimbing berupa pencatatan semua pengeluaran untuk
belanja, memperhitungkan harga yang dikenakan untuk setiap
konsumen yang datang berkunjung agar jangan mengalami kerugian,
mencatat semua pemasukan yang diperoleh tiap hari agar lebih
gampang dalam membuat laporan mingguan, bulanan maupun
triwulan.
Pelatihan ini dilakukan secara rutin yakni tiap bulan Saudara
Demetrio dan saudara Pedrito harus berkunjung ke Tutuala 1 sampai 2
kali. Selama kunjungan mereka harus hidup dan mengikuti setiap
kegiatan sehingga membutuhkan 2 sampai 3 hari berada di pantai Valu.
Dengan demikian maka sanggat menyta waktu bagi saudara Demetrio
karena beliau adalah seorang Direktur maka mencari mekanisme lain
untuk melakukan pelatihan ini.
Pada akhirnya LSM Haburas memutuskan untuk membuka
lowongan kerja bagi mereka yang sedang belajar di Universitas dengan
syarat bahwa orang tersebut sudah bebas teori di kampus, adalah orang
Lospalos yang pintar berbahasa daerah (bahasa Fataluku) dan siap
untuk tinggal di Tutuala selama satu sampai tiga bulan untuk
membantu masyarakat di pantai Valu. Akhirnya LSM Haburas dapat
merekrut saudara Cancio sebagai staff LSM Haburas dari tahun 2008
sampai sekarang. Dengan demikian, maka saudara Cancio yang
mengambil alih pelatihan manajemen dan akuntansi bagi kelompok
Valusere Tutuala. Sistim pelatihan yang digunakan masih tetap sama
yakni partisipatif. Saudara Cancio pada tahun 2008 selama tiga bulan
yakni dari bulan Mei sampai dengan bulan Aggustus hidup dengan
kelompok Valusere di Tutuala untuk mengikuti dan membimbing
semua aktivitas kelompok tersebut.
78
Saudara Cancio membagi pelatihan ini dalam empat kelompok,
yakni: untuk kelompok pertama dengan anggota yang mengikuti
pelatihan adalah bendahara umum, ketua kelompok I, bendahara
kelompok I dan wakil bendahara kelompok I. Kelompok kedua juga
terdiri dari bendahara umum, ketua kelompok II, bendahara kelompok
II, wakil bendahara kelompok II. Kelompok ketiga terdiri dari
bendahara umum, ketua kelompok III, bendahara kelompok III dan
wakil bendahara kelompok III. Kelompok empat juga terdiri dari
bendahara umum, ketua kelompok IV, bendahara kelompok IV, wakil
bendahara kelompok IV. Dengan demikian bendahara umum yakni
bapak Celestino juga rutin menggikuti pelatihan tersebut selama tiga
bulan di pantai Valusere Tutuala.
Materi yang dapat didampingi dan diajarkan kepada mereka
adalah bagaimana bisa melakukan laporan mingguan supaya setiap
pergantian kelompok dalam mengelola penginapan, restoran dan kios
dapat berjalan dengan baik. Sehingga setiap pergantian kelompok di
akhir minggu harus ada laporan pertanggungjawaban yang baik dan
jelas dari satu kelompok kepada kelompok lainnya. Jadi pada tahap ini
diharapkan supaya bendahara umum, ketua kelompok, bendahara
kelompok dan wakil bendahara kelompok sudah bisa melakukan
laporan dengan sendirinya. Pelatihan lain yang diberikan adalah
laporan bulanan dan laporan triwulan, jenis laporan ini juga
didampinggi supaya bendahara umum, ketua kelompok, bendahara
kelompok dan wakil bendahara kelompok benar – benar mengerti dan
mengimplementasikan pada akhir bulan dalam rapat anggota. Laporan
triwulan diajarkan kepada bendahara umum supaya beliau bisa
melakukan atau melaporkan hasil pendapatan bagi anggota koperasi
dalam rapat triwulan. Disamping itu diajarkan pula manajemen
pembagian hasil atau keuntungan. Berdasarkan kesepakatan dari
seluruh anggota kelompok bahwa pembagian hasil dilakukan setiap
tiga bulan sekali, diman pendapatan tersebut 25% disimpang di kas
kelompok dan sisanya 75% dibagikan kepada anggota kelompok
berdasarkan kehadirannya. Selain itu, saudara Cancio juga
mengajarkan mengenai cara mengisi buku tamu, cara membuat nota.
79
Pelatihan dalam bidang manajemen dan akuntansi ini pula
yang dapat memberikan kepercayaan diri serta kekuatan bagi para
anggota koperasi sehingga mereka bisa mandiri serta memenuhi
keberlanjutan keuangan dan transparansi manajemen keuangan
didalam koperasi. Melalui pelatihan ini pula dapat menghasilkan
budaya percaya diri, saling mempercayai antara sesama anggota supaya
dapat bersama sama memajukan organisasi di bidang keuangan
sehingga dapat mencapai pembangunan berkelanjutan dari organisasi
Valusere.
Setelah LSM Haburas melakukan sebuah evaluasi mengenai
pendapatan yang diperoleh dari Koperasi Valusere, menunjukkan
bahwa dari bulan Oktober 2007 samai dengan bulan September 2008
mereka sudah memperoleh pendapatan sebesar US$ 36,000.
Berdasarkan kuantitas pendapatan yang diperoleh tersebut, dapat
dikatakan bahwa setiap anggota dapat memperoleh pendapatan antara
US$ 300 sampai dengan US$ 600 pada tahun tersebut. Pendapatan
tersebut diperoleh dari hasil kegiatan penginapan, restoran, kios dan
sewa tenda.
Pelatihan Tourism Services
LSM Haburas memfasilitasi pula pelatihan mengenai usaha di
bidang pariwisata yang dapat dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari
di tempat usaha mereka di Valusere. LSM Haburas juga mengadakan
pendampingan bagi anggota koperasi dalam kegiatan sehari-hari di
Valusere dalam hal pelayanan tamu, supaya dapat memenuhi standar
universal.
Fokus pelatihan ini berbicara mengenai managemen
akomodasi, sanitasi, manajemen restoran, manajemen dalam mengelola
toilet. Pelatihan ini juga dapat meningkatkan etika komunikasi yang
baik antara sesama anggota dan etika yang baik dengan wisatawan.
Pada pelatihan ini juga menggunakan pendekatan partisipatis.
Pelatihan ini didampinggi oleh ibu Santina yang merupakan staff LSM
Haburas, beliau melakukan kunjungan rutin ke Valusere untuk
mendampinggi mereka serta mengajarkan kebersihan, mulai dari
80
anggota yang menerima tamu, anggota yang memasak di dapur,
kebersihan di tempat tidur, kebersihan di kamar mandi. Disamping itu
juga mengidentifikasi makanan lokal yang dapat disajikan bagi para
tamu yang ingin menikmati makanan lokal. Pelatihan ini hanya
dilakukan di pantai Valu, ibu Santina didampingi oleh saudara pedrito
yang melakukan kunjungan setiap bulan 2 sampai 3 hari hidup dengan
masyarakat lokal di pantai Valusere.
Pelatihan Kuliner
Pada dasarnya para anggota koperasi sudah memiliki kapasitas
yang cukup dalam hal memasak makanan sehari-hari. Namun
demikian para anggota koperasi masih membutuhkan peningkatan
kapasitas untuk mengetahui perbedaan menu makan yang diinginkan
oleh wisatawan. Pada pelatihan ini didampinggi oleh Ibu Santina dan
saudara Pedrito. Pelatihan selalu menggunakan pendekatan partisipatif
dan berbaur dengan para anggota kelompok. Pada pelatihan ini, ibu
Santina mengajarkan sedikit makanan modern untuk disajikan yakni:
Beef, soup ikan, bumbu untuk ikan bakar, Kalderada. Bahan-bahan
yang digunakan dalam pelatihan ini dipersiapkan oleh LSM Haburas
dan dibawah dari Dili ke Tutuala. Sebenarnya anggota kelompok
Valusere juga sudah pintar memasak, seperti ibu Angelina, karena
mereka sering memasak pada acara-acara resmi di Tutuala. LSM
Haburas memberikan pelatihan ini supaya para anggota kelompok
lebih memperhatikan kebersihan daripada makanan yang disajikan
kepada tamu.
Pada pelatihan ini, dapat meningkatkan pengetahuan para
anggota mengenai pentingnya memasak, baik masakan tradisional
maupun menu yang lain dimana harus memperhatikan tingkat
keberhasil, sanitasi dan kualitas nutrisi. Dalam pelatihan ini juga
mereka dapat mengetahui bahwa kuliner yang baik merupakan daya
tarik tersendiri bagi wisatawan untuk tetap menggunakan jasa restoran
tersebut.
81
Studi Banding
Dalam hal untuk meningkatkan pengetahuan dan visi
pembangunan pariwisata, LSM Haburas mengutus 5 orang anggota
koperasi Valusere yang didampinggi oleh 2 orang staf LSM Haburas
melakukan observasi pada kegiatan pariwisata alternatif di Bali,
Indonesia. Kegiatan observasi dan studi banding ini sangat penting bagi
anggota koperasi, karena mereka dapat mengobservasi sendiri dan
mendiskusikan aktivitas pariwisata yang dijalangkan atau dilakukan di
wilayah Bali.
Untuk menentukan 5 orang anggota yang akan mengikuti studi
banding di Bali bukan dari LSM Haburas yang menentukan, akan
tetapi mandat sepenuhnya diserahkan kepada anggota kelompok
Valusere untuk memilih dan menentukan siapa saja yang akan
menggikuti studi banding tersebut melalui sebuah rapat. LSM Haburas
merekomendasikan bahwa Koordinator kelompok koperasi Valusere
ibu Angelina harus ikut karena beliau yang menjadi lider dalam
kelompok tersebut tetapi empat orang yang lain bisa ditentukan di
dalam kelompok melalui rapat anggota. Melaui rapat anggota di pantai
Valusere, akhirnya forum memutuskan untuk mengutus 5 orang antara
lain : Ibu Angelina, ibu Rosalia, bapak Justino, saudara Delcio dan
saudara Joao.
Tempat studi banding di Bali merupakan kegiatan ekotourism
yang dinamakan “jaringan eko wisata Bali” yang difasilitasi oleh
Yayasan Wisnu. Kegiatan studi banding lebih banyak dilakukan di
tempat masyarakat lokal (jaringan ekowisata desa) yang merupakan
sebuah pariwisata alternatif di Bali. Faktor penyebab LSM Haburas
memilih tempat tersebut sebagai tempat studi banding karena koperasi
Valusere juga terdapat karakteristik pembangunan yang memiliki
kesamaan dan persamaan prinsip pariwisata. Pariwisata berbasis
masyarakat ini sebagai suatu alternatif lain yang dipraktekkan di Bali
sebagai akibat dari lingkungan, kultur yang telah terkikis serta
masyarakat lokal menjadi tersingkir akibat dari pariwisata massal yang
terjadi di Bali.
82
Berbagai materi yang didapat dalam studi banding ini adalah
mempraktekkan sistim pariwisata berbasis masyarakat, praktek guide
lokal, managemen konservasi ekologi, konservasi rumput laut,
observasi terhadap agrowisata serta observasi terhadap pariwisata
budaya.
Setelah menggikuti studi banding di Bali, maka kelima anggota
koperasi bersama dengan 2 orang staff LSM Haburas yang menggikuti
studi banding tersebut kembali lagi ke Tutuala dan mengadakan
workshop bagi semua anggota koperasi yang tidak menggikuti studi
banding. Workshop dilakukan selama sehari. Para anggota dan staf
LSM Haburas menceritakan kembali kepada anggota lain menggenai
penggalaman selama berada di Bali serta bagaimana jaringan ekowisata
bisa berjalan dengan baik dan mendatangkan keuntungan bagi
masyarakat lokal. mereka juga menceritakan mengenai observasi yang
dilakukan di daerah masstourism, dimana masyarakat lokal telah
disingkirkan, mereka hanya bertemu dengan orang-orang asing,
masyarakat lokal tidak kelihatan. Dengan demikian berdasarkan
pengalaman kunjungan ini maka ibu Anjelina juga memberikan
masukan kepada sesama anggota kelompok supaya tetap
mengembangan pariwisata berbasis masyarakat dan menghindar dari
mass tourism.
Pelatihan Manajemen Sampah
Anggota koperasi juga diberi pelatihan mengenai bagaimana
pengelolaan sampah yang baik. Pelatihan ini juga penting bagi anggota
koperasi Valusere untuk melindungi ekologi yang ada. Dalam
pelatihan ini diberikan 2 sistem manajemen sampah. Pertama
pengelolaan air kotor dari kamar mandi dan toilet. Air kotor dari toilet
tidak langsung di buang ke laut, tetapi melalui suatu proses sederhana
yakni di tampung didalam bak yang telah diisi dengan batu kapur
sehingga dari situ, air kotor tersebut diserap oleh batu kapur dan akan
menghilang didalam tanah. Yang kedua adalah pengelolaan sampah
melalui pemisahan jenis sampah. Sampah non-organik seperti kaleng –
kaleng dari bir maupun minuman ringan serta botol – botol bir di
83
kumpulkan pada tempt tersendiri serta mereka bisa menjual kembali.
Untuk sampah organik seperti sisa-sisa sayuran akan dikuburkan lagi
supaya dijadikan sebagai pupuk kompos serta sisa makanan dapat
digunakan untuk memberi makan kepada ternak.
Pelatihan didampingi oleh saudara Virgilio Guterres (Direktur
LSM Haburas sekarang), dengan seorang volunteer dari perancis yang
sedang melakukan magang di LSM Haburas. Pelatihan juga dilakukan
di pantai Valusere dengan menggunakan sistem partisipatif dari pelatih
maupun peserta. Pelatihan ini diberikan kepada seluruh anggota
koperasi yang terlibat dalam kelompok koperasi Valusere. Waktu
pelatihan selama satu minggu, sehingga saudara Virgilio dan volunteer dari perancis tersebut harus berbaur dengan anggota kelompok
Valusere.
Pelatihan Manajemen Ekologi
Pelatihan ini sangat penting bagi anggota koperasi dalam hal
pembangunan berkelanjutan. Faktor penting dari pealatihan ini adalah
bahwa bagaimana sumberdaya ekologi yang ada dapat mendatangkan
keuntungan secara ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal.
Mempertahankan perspektif yang benar mengenai prinsip
pembangunan yang bersih, konsep kesehatan lingkungan bagi
masyarakat lokal, keseimbangan antara ekologi dan keanekaragaman
hayati, aspek politik ekologi pada pembangunan ekonomi serta politik
konservasi. Masyarakat Tutuala memiliki budaya interaksi dengan alam
sekitarnya yang menunjukkan kehidupan yang harmonis antara
masyarakat dan alam. Mereka memiliki etika dan menghargai tempat-
tempat sakral yang memiliki nilai ekologi.
Pelatihan ini juga dilakukan di Tutuala, yang mendampinggi
pelatihan ini adalah saudara Pedrito. Selama memberikan pelatihan ini,
saudara Pedrito didampinggi oleh anggota koperasi yang masih muda,
mereka keluar masuk hutan untuk melihat jenis-jenis pohon yang
tidak boleh dipotong, mengajarkan kepada anggota kelompok supaya
tetap harus melindungi hutan yang ada. Namun demikian masyarakat
Tutuala juga memiliki kepercayaan dan budaya interaksi yang kuat
84
antara mereka dengan alam yang ada. Jadi sudah sejak jaman nenek
moyang mereka sudah menghormati alam yang ada sehingga alam
tersebut masih dapat dilindungi sampai sekarang.
Pelatihan Pemandu Wisata
Dari pengalaman yang didapat dari studi banding di Bali
menunjukkan bahwa kegiatan pariwisata berbasis masyarakat dapat
memperoleh keuntungan jika ada pemandu wisata lokal yang memiliki
pengetahuan yang memadai guna memberikan informasi bagi
wisatawan.
Dasar informasi mengenai salah satu wilayah seperti di Tutuala,
telah melekat pada masyarakat Tutuala sendiri. Permasalahannya
adalah bahwa perlu suatu metode yang baik untuk mengumpulkan
semua cerita mengenai Tutuala dalam sebuah alur cerita sehingga dapat
menarik wisatawan.
Modal utama dari guide lokal adalah cerita atau sejarah dari
wilayah mereka sendiri, cerita mengenai situs-situs sejarah, makanan
tradisional, kepercayaan dari nenek moyang mereka, legenda, cerita
mengenai kultur dan ritual tradisional. Modal lainnya adalah
kemampuan berkomunikasi dengan wisatawan. Disini, tidak menuntut
lebih mengenai kesempurnaan menggunakan bahasa inggris dan
portugis dengan baik. Tetapi yang terpenting adalah memiliki sedikit
pengetahuan berbahas inggris dan portugis untuk membantu guide
lokal supaya dapat mengekspresikan pikiran mengenai sejarah dan
cerita Tutuala.
Bahasa merupakan salah satu hambatan, namun demikian
bahasa dapat dibangun melalui kursus untuk membantu dalam
komunikasi dengan wisatawan. LSM Haburas pada awalnya telah
memberikan pelatihan bagi empat orang anggota mengenai pemandu
wisata lokal dalam bahasa portugis, pemandu wisata lokal dalam bahasa
ingris serta telah menerjemahkannya dalam bahasa tetum. Dari
keempat orang yang menggikuti kursus atau training tersebut, tiga
orang anggota telah keluar dari anggota koperasi dan memiliki
85
pekerjaan lain dimana mereka memperoleh pendapatan yang cukup
tinggi dibandingkan dengan penghasilan di koperasi Valusere.
Permasalahan yang di hadapi LSM Haburas dalam
kerjasama dengan koperasi Valusere
LSM Haburas dalam kerjasama dengan koperasi Valusere selain
membawa keberhasilan bagi masyarakat lokal juga terdapat berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh LSM Haburas. Beberapa
permasalahan yang dihadapi oleh anggota LSM Haburas dalam
menjalangkan program kerja membutuhkan waktu pendampingan
yang banyak. Permasalahan yang masih menjadi kendala bagi LSM
Haburas pada saat itu antara lain adalah masyarakat belum terbiasa
dengan sistem bisnis, masyarakat lokal belum memiliki pengetahuan
yang mendalam mengenai konsep pembangunan pariwisata, terlalu
banyak waktu yang dipakai oleh masyarakat dalam kegiatan sosial.
Masyarakat Tutuala pada saat itu masih terbiasa dengan sistim
ekonomi subsistensi. Produksi sebatas untuk kebutuhan konsumsi
mereka, masyarakat tidak memproduksi lebih agar hasil produksi
tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Masyarakat
tidak terbiasa dengan sistim bisnis sehingga untuk meningkatkan
pendapatan ekonomi tergolong rendah. Pada saat itu, masyarakat lokal
hanya menunggu bantuan dari pemerintah pusat maupun LSM agar
memenuhi kebutuhan dasar. Masyarakat lokal mengharapkan bahwa
LSM Haburas datang ke tempat mereka agar kebutuhan dasar berupa
akses terhadap air bersih, permasalahan listrik, jalan raya dan masalah
komunikasi dapat diselesaikan oleh LSM Haburas. Pemikiran
masyarakat bahwa permasalahan ini merupakan hambatan utama bagi
mereka.
Persoalan lain yang dihadapi oleh LSM Haburas pada
pendampingan bagi masyarakat lokal adalah mereka belum memiliki
pengetahuan yang mendalam mengenai konsep pembangunan
pariwisata. Belum ada seorang tokoh yang berpengaruh dan memiliki
86
inisiatif bagi pemanfaatan sumberdaya alam dan sosial budaya yang
mereka miliki untuk dikelola serta mendatangkan keuntungan secara
ekonomi bagi masyarakat lokal. Sebagian masyarakat memiliki
pemikiran yang negatif terhadap LSM Haburas. Mereka mengangap
bahwa LSM Haburas datang ke Tutuala mengeksploitasi potensi
sumberdaya alam bagi kepentingan LSM secara pribadi. Untuk
memperoleh kepercayaan dan meyakinkan masyarakat bahwa
merekalah yang merupakan pemilik daripada sumberdaya alam serta
memiliki kekuatan dalam pembangunan di wilayahnya.
Secara budaya masyarakat Tutuala memiliki tradisi tersendiri
bagi kehidupan mereka sehari-hari. Terlalu banyak waktu yang dipakai
oleh masyarakat lokal pada kegiatan sosial dan budaya. Anggota LSM
Haburas dalam melakukan pendampingan harus disesuaikan dengan
kegiatan masyarakat. Proses pendampingan sedang berlangsung terjadi
acara adat yang tak terduga, maka pendampingan tersebut harus di
tunda untuk beberapa hari. Setelah acara adat tersebut selesai
kemudian dilanjutkan lagi dengan program kerja oleh anggota LSM
Haburas.
Anggota LSM Haburas dalam melakukan proses pendam-
pingan, menghadapi juga permasalahan sosial di Tutuala. Masyarakat
juga dituntut untuk melakukan kegiatan sehari-hari berupa kegiatan
pertanian, nelayan, melakukan pekerjaan rumah tangga dan aktivitas
sosial lainnya. Mereka berpikir supaya kegiatan pendampingan jangan
dilakukan terus menerus karena dapat menghambat aktivitas
masyarakat. Dengan demikian masyarakat menuntut supaya segera
melakukan sebuah aksi konkrit dari pembangunan pariwisata tersebut.
Dari permasalahan yang dihadapi oleh anggota LSM Haburas di
Tutuala, dengan sabar tetap melakukan pendekatan. Berpatok pada
pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat lokal sehingga anggota
LSM Haburas mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi. Proses pendampingan sering membuat masyarakat lokal
jenuh akan tetapi anggota LSM Haburas tetap menggunakan berbagai
strategi. Pembangunan berkelanjutan terealisir berdasarkan kesiapan
87
masyarakat lokal serta butuh proses yang panjang untuk merealisasikan
kegiatan pariwisata berbasis masyarakat.
Konflik yang Timbul Setelah Koperasi Valusere Mandiri
Permasalahan koperasi Valusere menjadi semakin rumit pada
proses penyerahan dan pengelolaan secara mandiri oleh anggota
koperasi Valusere. Hal ini disebabkan oleh kurangnya manajemen
pengelolaan hasil usaha, kecemburuan dari anggota masyarakat yang
tidak terlibat didalam koperasi, kecurigaan antara sesama anggota
koperasi. Sehingga LSM Haburas memiliki tanggung jawab untuk
terlibat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh
anggota koperasi Valusere.
Persoalan manajemen pengelolaan hasil usaha. Setelah koperasi
Valusere memperoleh keuntungan dari usaha yang dikelola bersama,
maka mereka masih kurang kapasitas dalam mengelola hasil yang
diperoleh tersebut. Dalam hal ini para anggota koperasi binggung
untuk membagikan hasil pendapatan yang mereka peroleh tersebut.
Sebab pada awalnya baik LSM Haburas maupun masyarakat yang
tergabung dalam anggota koperasi tidak membayangkan bahwa usaha
yang mereka kelola tersebut bisa mendapatkan keuntungan yang besar.
Pada awal usaha tersebut pendapatan yang diperoleh masih minim,
tetapi setelah berjalan beberapa bulan maka pendapatan yang diperoleh
terus meningkat dan terjadi di luar dugaan. Berdasarkan laporan dari
para anggota koperasi kepada LSM Haburas pada tahun 2009 bahwa
terkadang pendapatan yang diperoleh dari koperasi Valusere bisa
mencapai $ 40.000 per tahun atau dikonversikan ke kurs rupiah
menjadi Rp. 520.000.000 per tahun.
Dari hasil pendapatan yang mereka peroleh membawa juga
permasalahan baru bagi anggota koperasi sendiri, karena sudah ada
pendapatan dan keuntungan maka mulai terjadi kecurigaan antara
sesama anggota. Dengan demikian, maka LSM Haburas harus kembali
ke Tutuala untuk mencari solusi dan menyelesaikan permasalahan
88
yang mereka hadapi serta LSM Haburas dituntut untuk membantu
masyarakat dalam hal memfasilitasi anggota koperasi untuk
mendiskusikan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang dapat
digunakan untuk menggikat seluruh anggota koperasi dalam
menjalangkan usaha mereka. Setelah anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga dibuat maka semua anggota mulai sadar dan mengerti
untuk bekerjasama mengelola usaha yang dimiliki bersama tersebut.
LSM Haburas melakukan pendampingan bagi masyarakat lokal
melalui koperasi Valusere sejak tahun 2003 sampai dengan 2008. LSM
Haburas merasa bahwa sudah saatnya untuk melepaskan anggota
koperasi Valusere mengelola usaha secara mandiri. Dengan demikian
pada tahun 2008 LSM Haburas berencana untuk melakukan serah
terima kegiatan pariwisata kepada koperasi Valusere untuk mengelola
usaha mereka tanpa ada campur tanggang dari pihak LSM Haburas.
Akan tetapi pada saat mau melakukan serah terima, terjadi satu
permasalahan lagi di kelompok Valusere, di mana terdapat beberapa
orang Tutuala yang tidak setuju dengan kegiatan tersebut untuk
dikembangkan. Hal ini disebabkan oleh kecemburuan sosial yang
terjadi dari masyarakat yang tidak terlibat dalam koperasi Valusere.
Usaha yang telah berjalan tersebut mendatangkan keuntungan bagi
anggota koperasi. Masyarakat yang tidak ikut dalam kelompok koperasi
Valusere memiliki pemikiran bahwa usaha tersebut adalah milik LSM
Haburas. Orang-orang Tutuala yang tidak terlibat didalam anggota
koperasi menjadi tidak senang dengan penghasilan yang diperoleh dari
hasil kegiatan pariwisata tersebut.
Permasalahan menjadi rumit dan masyarakat lokal saling
memberikan ancaman untuk saling serang antara kelompok yang tidak
terlibat dalam koperasi Valusere dengan anggota kelompok koperasi
Valusere. Namun demikian, masyarakat desa Tutuala masih memiliki
ikatan kekeluargaan yang kuat dan adat istiadat yang mengikat mereka
masih tinggi sehingga semua permasalahan yang dihadapi tersebut
akhirnya dapat diselesaikan secara adat atau disebut dalam istilah
bahasa tetum adalah nahe biti boot. Melalui penyelesaian secara adat,
89
akhirnya kedua kelompok tersebut saling menerima satu sama lain.
Setelah permasalahan tersebut diselesaikan secara adat, pada akhirnya
tahun 2008 terjadilah serah terima dari LSM Haburas kepada anggota
koperasi Valusere yang dihadiri oleh pihak pemerintah yakni Menteri
Muda Urusan Kehutanan dan acara serah terima tersebut berjalan
dengan lancar.
Konflik lain yang terjadi di anggota koperasi Valusere setelah
mereka mengelola sendiri kegiatan pariwisata di pantai Valu pada
tahun 2011. Permasalahan ini terjadi akibat daripada saling mencurigai
antara satu anggota dengan anggota yang lainnya serta ada anggota
yang tidak masuk kerja juga meminta supaya mendapatkan juga
penghasilan yang sama dengan anggota lainnya. Disamping itu, ada
sebagian anggota koperasi yang mengusulkan supaya pendapatan yang
diperoleh dari usaha penginapan maupun restoran harus dibagikan
semuanya, tidak perlu ada simpanan koperasi lagi. Dengan demikian,
maka mereka bersama sama memutuskan untuk membagi semua
keuntungan yang ada secara merata dan menutup usaha tersebut. Hal
ini akhirnya benar benar terjadi, semua anggota melakukan sebuah
rapat dan memutuskan untuk membagi semua penghasilan dan modal
usaha yang ada kepada para anggota kelompok serta memutuskan
untuk menutup usaha tersebut. Dari hasil rapat tersebut mereka
melaporkan kepada LSM Haburas bahwa kegiatan pariwisata tersebut
telah dibubarkan. LSM Haburas pada saat itu tidak memiliki pilihan
lain selain menggikuti tuntutan dari anggota koperasi.
Setelah usaha tersebut tidak berjalan lagi maka semua anggota
kembali seperti semula, yakni menjadi petani dan beternak serta ada
yang menganggur. Namun demikian, menjelang satu atau dua bulan,
beberapa anggota merasakan tidak memiliki pendapatan dari sektor
lain, akhirnya mereka berkumpul kembali mengadakan diskusi untuk
menjalangkan kembali usaha mereka. Orang - orang yang
menginginkan untuk melanjutkan usaha tersebut berjumlah 43 orang.
Mereka melakukan rapat bersama dan mengutus dua orang ke Dili
untuk mengadakan konsultasi dengan LSM Haburas. Maka dengan
90
senang hati LSM Haburas menerima ide tersebut. LSM Haburas juga
sadar bahwa sudah saatnya mereka merasakan bahwa usaha tersebut
menjadi milik mereka dan bukan milik LSM atau pihak lain karena
sebelumnya mereka tidak merasa memiliki dan hanya merasakan
bahwa yang menjadi pemilik dari usaha ini adalah LSM bukan koperasi
Valusere. Untuk melanjutkan kembali usaha tersebut, para anggota
yang aktif mengumpulkan modal awal sendiri yakni setiap anggota
dikenakan biaya sebesar $ 50 setara dengan Rp. 650.000, sebagai modal
awal untuk melanjutkan kembali usaha penginapan, restoran dan kios.
Anggota koperasi tidak meminta modal dari LSM Haburas untuk
membantu usaha mereka, tetapi mereka memiliki inisiatif sendiri
untuk mengelola usaha. Anggota koperasi Valusere hanya meminta
support ide untuk memfasilitasi dalam rapat dan kesulitan lain yang
tidak dapat diselesaikan oleh anggota koperasi Valusere. Dengan
demikian para anggota yang awalnya adalah 67 KK akhirnya yang aktif
kembali hanyalah 43 kk yang bertahan dengan usaha tersebut sampai
sekarang. Semua permasalahan yang dihadapi oleh koperasi valusere
akhirnya dapat diselesaikan sendiri oleh anggota koperasi tanpa
melibatkan lagi LSM Haburas serta mereka sudah mengelola usaha
mereka secara mandiri dan berkembang dengan baik sampai saat ini.
Kesimpulan
LSM Haburas dalam mengembangkan Community Based Tourism bagi masyarakat lokal di Tutuala melalui tiga tahap. Tahapan-
tahapan yang dikerjakan dengan masyarakat tersebut antara lain :
pertama, tahap di mana mereka mencoba mendalami terlebih dahulu
persoalan yang dihadapi masyarakat. Pada tahap pertama ini juga LSM
Haburas melakukan penelitian untuk mengidentifikasi objek wisata
dan kehidupan sosial masyarakat lokal di Tutuala. disamping itu LSM
Haburas mengidentifikasi konsep-konsep pariwisata bagi masyarakat
lokal dan membagi informasi mengenai konsep-konsep tersebut kepada
masyarakat lokal di desa Tutuala. pada tahap pertama ini juga LSM
Haburas membantu masyarakat lokal untuk membentuk kelompok
91
koperasi dan pelatihan-pelatihan dasar. Kedua, Tahap kedua adalah
tahap di mana LSM Haburas memfasilitasi masyarakat lokal dan
melakukan pendampingan untuk membangun atau melakukan
konstruksi fisik berupa penginapan, restoran kios dan toilet. Pada tahap
ini juga LSM Haburas tetap melakukan capacity building melalui
pelatihan dan studi banding. Ketiga, Tahap ke tiga adalah implementasi
program usaha pariwisata dan melakukan evalusi. Pada tahap ini juga
LSM Haburas masih mengadakan capacity building bagi anggota
koperasi Valusere di bidang keuangan, manajemen koperasi.
Dalam kerjasama antara LSM Haburas dengan koperasi
Valusere, selain membawa manfaat dan keberhasilan, terdapat juga
berbagai masalah yang dihadapi di lapangan. Beberapa permasalahan
yang dihadapi oleh anggota LSM Haburas dalam menjalangkan
program kerja membutuhkan waktu pendampingan yang banyak.
Permasalahan yang masih menjadi kendala bagi LSM Haburas pada saat
itu antara lain adalah masyarakat belum terbiasa dengan sistem bisnis,
masyarakat lokal belum memiliki pengetahuan yang mendalam
mengenai konsep pembangunan pariwisata, terlalu banyak waktu yang
dipakai oleh masyarakat dalam kegiatan sosial. Akan tetapi melalui
pengalaman dan kerjasama yang baik antara anggota LSM Haburas
dengan masyarakat lokal, akhirnya berbagai permasalahan tersebut
dapat teratasi dan koperasi tersebut dapat berjalan dengan baik sampai
saat ini.
top related